PAGI-PAGI sekali Hay Hay telah keluar dari daerah dusun dan pegunungan itu. Dia menuju ke barat karena dia sedang melakukan perjalanan untuk mencari keluarga Pek yang dulu tinggal di Tibet.
Sejak dia menjadi murid See-thian Lama dan Ciu-sian Sin-kai, keadaan dirinya membuat dia sering kali termenung dan termangu-mangu. Dua orang gurunya yang amat sakti itu pun tidak dapat menentukan dia anak siapa!
Sejak bayi dia merasa menjadi putera suami isteri Siangkoan Leng dan Ma Kim Li, yang tidak tahunya adalah sepasang suami isteri iblis yang berjuluk Lam-hai Siang-mo. Namun ternyata suami isteri itu bukanlah orang tuanya, melainkan telah menculiknya dari rumah keluarga Pek. Kalau saja keluarga Pek mempunyai anak yang lumrah, tentu mudah sekali memastikan bahwa dia adalah anak keluarga Pek yang diculik oleh Lam-hai Siang-mo.
Akan tetapi dua orang gurunya yang sakti dan bijaksana memastikan bahwa dia bukanlah putera keluarga Pek, karena sudah dipastikan oleh para pimpinan pendeta Lama bahwa putera keluarga Pek adalah seorang Sin-tong (anak ajaib) yang mempunyai tanda merah di punggungnya! Sedangkan dia tidak mempunyai tanda merah itu! Jelas, menurut kedua orang gurunya, dia bukan putera keluarga Pek!
Maka satu-satunya petunjuk tentang keadaan dirinya hanya dapat diharapkan datang dari keluarga Pek. Mereka tentu tahu siapa dia, siapa orang tuanya dan mengapa ketika bayi dia dapat berada di tangan keluarga Pek sehingga diculik oleh Lam-hai Siang-mo.
Inilah sebabnya maka Hay Hay kini menuju ke barat, untuk mencari keluarga Pek dan menyelidiki tentang asal-usul dirinya yang sebenarnya. Akan tetapi dia tidak tergesa-gesa dan melaksanakan keinginannya menemui keluarga Pek sambil lalu saja, yang terpenting baginya adalah menikmati perjalanan yang amat jauh itu.
Dia sudah pernah melakukan perjalanan jauh seperti ini, akan tetapi dari barat ke timur, yaitu beberapa tahun yang lampau ketika dia masih berusia kurang lebih tiga belas tahun dan meninggalkan See-thian Lama untuk mengikuti gurunya yang baru, Ciu-sian Sin-kai menuju ke Pulau Hiu di lautan Pohai. Kalau dulu dia datang dari barat menuju ke timur, sekarang sebaliknya, dia datang dari pantai Pohai menuju ke barat, ke Tibet!
Dengan santai Hay Hay melakukan perjalanan dan sebelum dia menuruni bukit terakhir, dia berhenti lebih dulu dan membalikkan tubuhnya menghadap ke timur, untuk menikmati keindahan matahari terbit.
Bola merah yang besar itu perlahan-lahan tersembul dan naik ke atas. Hay Hay tak berani terlampau lama memandang bola api itu, walau pun sinarnya belum terlalu menyilaukan, namun dia tahu bahwa hal itu tidak baik bagi matanya. Yang dinikmati adalah keindahan cahaya merah itu memandikan segalanya yang berada di permukaan bumi, dan cahaya merah kuning biru yang mewarnai awan-awan yang membentuk berbagai macam corak, demikian kaya dengan bentuk sehingga setiap manusia dapat membentuk awan-awan itu menjadi bentuk apa saja menurut khayal mereka yang paling ajaib.
Sesudah puas menikmati keindahan alam di waktu pagi, Hay Hay membalikkan tubuhnya lagi dan hendak menuruni lereng bukit terakhir. Akan tetapi tiba-tiba dia tertegun karena tidak jauh di depannya, hanya belasan meter jauhnya, telah berdiri tegak seorang wanita yang bukan lain adalah gadis galak semalam!
Namun hanya sebentar saja dia tertegun. Dia tidak kehilangan keluwesannya dan segera tersenyum ramah kemudian melangkah maju menghampiri dan menjura.
"Selamat pagi, Nona yang gagah perkasa! Sungguh pagi yang sangat cerah dan indah, bukan?"
Akan tetapi gadis jelita dan manis itu cemberut. Aneh sekali, pikir Hay Hay, kenapa gadis ini cemberut saja dapat terlihat demikian manisnya? Apanya yang membuatnya demikian manis? Segalanya memang indah bentuknya, dan wajah itu ayu akan tetapi apanya yang paling menonjol? Dia menyelidiki keadaan gadis itu dengan penuh perhatian!
"Aku tidak tanya dan tidak peduli pagi ini cerah indah atau muram buruk! Aku berada di sini sengaja menantimu dan ingin bicara denganmu!"
"Ahai, lebih baik lagi kalau begitu! Ahh, kalau saja aku tahu Nona menantiku di sini, tentu tadi aku akan bersicepat dan tak akan membiarkan diri terpesona oleh kecantikan alam di waktu pagi." Dengan ucapan itu dia seolah-olah hendak memuji bahwa keindahan gadis itu tidak kalah oleh keindahan alam pagi. "Suatu kehormatan yang teramat besar bagiku. Tidak tahu Nona hendak menyampaikan berita bahagia apakah kepada diriku yang miskin ini?"
Sejenak Bi Lian, gadis itu, tertegun juga. Alangkah indahnya kata-kata yang dikeluarkan oleh pemuda ini, sambil tersenyum, wajahnya berseri, sepasang matanya yang tajam itu memandang lembut. Akan tetapi dia langsung teringat bahwa pemuda ini adalah seorang perayu wanita, seorang lelaki mata keranjang, maka dia memasang muka cemberut lagi. Lebih cemberut dari pada tadi. Akan tetapi lebih manis, pikir Hay Hay.
"Tak usah merayu dengan kata-kata indah! Aku menantimu untuk mengajakmu membuat perhitungan dan melunasi hutang-pihutang antara kita!"
Diam-diam Hay Hay terkejut sekaligus juga heran. Dia maklum yang dimaksudkan dengan hutang-pihutang tentulah urusan perselisihan di antara mereka. Akan tetapi seingatnya, tidak ada lagi urusan di antara mereka. Bukankah di dalam urusan ruangan di kuil tua dia sudah mengalah dan pergi, kemudian perkelahian semalam itu terjadi hanya karena salah paham dan salah duga terhadap dirinya? Dia anggap sudah habis dan selesai, mengapa nona ini bicara tentang penyelesaian hutang-pihutang? Akan tetapi wajahnya tetap berseri dan dia memasang muka gembira.
"Wah, menarik sekali!" Hay Hay menurunkan buntalan pakaiannya lalu duduk di atas batu dl pinggir jalan kecil itu, seperti orang yang ingin sekali mendengarkan sebuah cerita yang amat menarik. "Berapakah hutangku kepadamu dan bagaimana aku harus membayarnya, Nona? Aku seorang perantau miskin..."
"Bukan engkau yang masih ada hutang, akan tetapi aku yang hutang kepadamu."
"Aih, semakin menarik dan menyenangkan saja. Akan tetapi sungguh mati aku sudah lupa lagi kapan Nona berhutang kepadaku dan berapa jumlahnya?"
"Pertama-tama aku mengusirmu dari kuil dan ke dua, aku sudah menuduhmu melakukan perbuatan terkutuk yang tidak kau lakukan. Nah, aku telah hutang dua kali kepadamu dan aku ingin melunasinya sekarang!"
"Ehhh...?" Kali ini senyumnya menghilang dari wajah Hay Hay karena memang dia heran sekali. "Lalu bagaimana engkau akan melunasi hutang-hutang itu, Nona?"
Dara itu memperlihatkan sepasang lengannya yang diulur dengan jari-jari tangan terkepal. "Dengan ini! Bagaimana lagi orang-orang seperti kita menyelesaikan perhitungan kecuali dengan jalan mengadu ilmu silat? Majulah lantas bersiaplah, kita harus bertanding untuk membereskan perhitungan!"
"Wah-wah-wah!" Hay Hay mengangkat kedua tangannya ke atas kepala dan menggeleng-geleng kepala. "Kalau seperti itu pembayarannya, sudahlah, jangan kau bayar saja semua hutang-hutangmu, Nona! Aku sudah rela dan biarlah hutang-hutangmu itu kuanggap lunas saja!"
"Apa?!" Gadis itu memandang dengan mata mendelik. "Rupanya engkau mau menghina aku! Kau anggap aku tidak mampu melunasi hutang-hutangku?"
"Ehhh, bukan begitu! Tapi..., wah mengapa pembayarannya harus seperti itu? Aku tidak merasa pernah menghutangkan, aku tidak menaruh dendam sakit hati, dan aku pun tidak mengharapkan pembayaran. Sudahlah, hutang-hutangmu telah lunas dan jangan sampai kita membuat hutang-hutang lagi, Nona."
Hay Hay lalu mengambil buntalan pakaiannya. Akan tetapi tiba-tiba dia meloncat dengan elakan yang sangat cepat karena pada saat itu ada angin pukulan yang panas dan kuat sekali menyambar ke arahnya, dibarengi bentakan nona itu.
"Heiiiitttt...!"
"Brakkk...!"
Ujung batu yang tadi diduduki Hay Hay pecah berantakan terkena pukulan tangan gadis yang lihai itu. Debu mengepul dan mata Hay Hay terbelalak. Gadis itu memukul sungguh-sungguh! Kalau dia tidak cepat mengelak sehingga terkena pukulan seampuh itu tentu dia akan celaka, mungkin tewas atau paling tidak terluka parah. Sungguh seorang gadis yang cantik jelita, manis, lihai akan tetapi ganas bukan main!
"Ehh-ehh, tahan dahulu, Nona! Bagaimana sih engkau ini? Engkau merasa bersalah dan berhutang kepadaku, mengapa membayarnya bahkan dengan penambahan hutang yang lebih besar lagi? Bagaimana kalau sampai aku terkena pukulanmu dan mati?"
"Berarti aku tidak hutang lagi kepadamu. Tidak ada orang berhutang kepada orang yang sudah mati."
Jika saja nona itu tidak berbicara sambil merengut, tentu Hay Hay akan menganggapnya main-main atau kelakar.
"Lalu bagaimana kalau sampai aku tidak dapat kau kalahkan?" Hay Hay menyelidik.
"Kalau aku yang mati, berarti hutangku juga lunas. Tidak ada orang mati yang mempunyai hutang kepada siapa pun juga!"
Wah, pikir Hay Hay. Gadis ini bicara serius, akan tetapi ucapannya sungguh bocengli (tak pantas)! Mana ada orang merasa bersalah dianggap hutang dan pembayarannya harus saling membunuh? Diam-diam dia lalu memandang penuh perhatian. Seorang gadis yang benar-benar amat cantik, dan usianya tentu tak berselisih banyak dengan usianya sendiri.
"Kau aneh, Nona."
"Sudahlah, aku tak ingin mendengar pendapatmu tentang diriku. Hayo cepat bersiap, kita lanjutkan penyelesaian hutang-pihutang ini!"
Bi Lian sudah siap untuk melakukan penyerangan lagi. Kuda-kudanya sangat indah akan tetapi aneh, kaki kanan berdiri tegak lurus di atas jari-jari kaki, kaki kiri ditekuk seperti kaki burung, tangan kanan diacungkan tinggi ke atas kepala, tangan kiri menyembah di depan dada, leher dimiringkan dan napasnya ditahan! Agaknya gadis itu telah siap untuk melancarkan pukulan maut yang aneh lagi!
"Nanti dulu...! Nanti dulu, Nona." Hay Hay berkata cepat-cepat mendahului agar nona itu tidak keburu menyerang.
"Ada apa lagi? Cerewet benar engkau!" nona itu mengomel.
"Sebelum aku kau pukul mati, aku berhak untuk tahu siapa yang berhutang kepadaku dan membayar hutangnya dengan pukulan maut. Atau, menurut engkau, aturannya tidak boleh memperkenalkan nama dan sembunyi-sembunyi saja?"
"Huhh!" Bi Lian mendengus melalui hidungnya. "Siapa sembunyi-sembunyi? Kau kira aku takut mempertanggung jawabkan? Namaku adalah Cu Bi Lian..."
"Nama yang amat indah dan cantik, seperti pemiliknya..."
"Aku tidak butuh pujianmu!"
"Aku tak memuji, melainkan terus terang saja. Engkau sungguh cantik jelita, mempunyai ilmu kepandaian yang amat tinggi, dan memiliki nama yang indah. Bi Lian (Teratai Cantik), sungguh nama yang hebat. Sayang sekali..."
"Apa sayang?" Bi Lian cepat memotong
Diam-diam Hay Hay tersenyum di dalam hatinya. Bagaimana pun juga gadis ini tetap saja seorang wanita yang wajar, yang selalu ingin mendengar pujian dan pantang mendengar celaan, maka cepat-cepat gadis itu bertanya ketika dia berkata sayang.
Hay Hay cukup cerdik untuk tidak mengucapkan celaannya. Di dalam hatinya dia berkata sayang bahwa gadis yang cantik dan lihai itu berperangai ganas dan kejam, akan tetapi mulutnya tidak mengatakan demikian. Belum pernah dia mencela seorang wanita, karena baginya wanita hanya pantas dipuji, tidak layak dicela!
"Sayang jika aku mati olehmu, aku tidak dapat menikmati kecantikanmu lagi, dan engkau tidak lagi ada yang memuji lagi."
"Sudahlah, jangan cerewet. Bersiaplah menghadapi seranganku!" kata Bi Lian.
Hay Hay melihat betapa wajah ltu tak beringas lagi seperti tadi, melainkan menjadi manis karena ada senyum puas membayang di bibir yang merah membasah itu.
"Nanti dulu, nanti dulu! Aku telah mengenal namamu, akan tetapi engkau belum mengenal namaku, Nona Cu Bi Lian yang cantik."
"Namamu... Hay-ko, aku sudah tahu! Engkau seorang perayu dan mata keranjang, gila perempuan. Itu saja! Nah, sambutlah ini!" Dan dia pun sudah menerjang kembali dengan hebatnya tanpa memberi kesempatan kepada Hay Hay untuk banyak cakap lagi!
"Haiiiittt...!"
Serangan itu demikian ganas sehingga untuk menghindarkan diri, Hay Hay menjatuhkan diri di atas tanah dan bergulingan menjauh, lalu melompat berdiri lagi. "Nanti dulu, kurasa engkau telah berbohong kepadaku, Nona!"
Bi Lian yang sudah siap mengirim serangan susulan, mengerutkan alisnya dan matanya mengeluarkan sinar berapi. "Apa?! Kau bilang aku berbohong kepadamu? Untuk tuduhan itu saja engkau harus membayar nyawa!"
"Hutang lagi! Wah, engkau berbakat menjadi tukang kredit, Nona."
"Apa tukang kredit?"
"Itu, orang yang melepas uang dengan bunga hutang-pihutang! Aku mengatakan bohong tentang namamu. Kau pernah mengaku bahwa engkau Dewi, sekarang engkau mengaku bernama Cu Bi Lian, nama seorang gadis, seorang manusia biasa. Nah, manakah yang benar?"
Hay Hay memang sengaja mencari-cari urusan saja sebagai bahan untuk berbicara agar nona itu tidak menyerangnya. Dia khawatir juga ketika melihat betapa serangan nona itu semakin lama semakin ganas dan berbahaya.
"Siapa berbohong?! Namaku memang Cu Bi Lian dan julukanku Thiat-sim Sian-li!"
"Dewi Berhati Besi? Wah-wah-wah, ini namanya langit bertemu bumi!"
"Apa lagi itu? Mana mungkin langit bertemu bumi!"
Hay Hay tersenyum, senang sudah dapat memancing nona itu bercakap-cakap. "Memang hal itu tidak mungkin, sama tak mungkinnya dengan julukanmu, Nona. Dengar baik-baik, seorang Sian-li (Dewi) sudah pasti memiliki hati yang lembut, penuh belas kasihan, penuh cinta kasih terhadap sesamanya. Sebaliknya, yang pantas mempunyai hati besi hanyalah iblis-iblis dan setan-setan yang kejam, ganas dan senang membunuh orang tanpa salah. Dewi-dewi biasanya berwajah cantik-cantik, lemah lembut dan bijaksana, sedangkan iblis dan setan bertampang buruk, berwatak kasar dan keras. Nah, jelas bahwa tidak mungkin ada dewi berhati besi, bukan?"
"Peduli apa kau dengan keadaanku? Aku boleh berhati besi, berhati baja, berhati batu, atau berhati apa saja, sesuka hatiku. Tidak ada sangkut-pautnya dengan engkau!"
"Memang, seribu prosen hakmu sendiri untuk memakai hati dari apa, Cu-lihiap (Pendekar Wanita Cu). Nah, pantas sekali sebutan Cu-lihiap untukmu, bukan? Memang engkau jauh lebih pantas menjadi seorang pendekar wanita dari pada..."
"Dari pada apa?" Cepat Bi Lian mendesak karena Hay Hay berhenti bicara. Pemuda ini kembali mengelak, berjaga-jaga agar jangan sampai menyinggung hati gadis itu dengan celaan.
"Engkau adalah seorang pendekar wanita. Nah, menjadi pendekar wanita lebih baik dari pada jika seandainya engkau menjadi tokoh sesat yang jahat sekali, bukan?"
Kini Bi Lian agaknya sadar bahwa sejak tadi ia tidak diberi kesempatan untuk menyerang, bahkan terseret ke dalam serangkaian percakapan dengan pemuda ini! Marahlah gadis ini dan dia pun lalu membentak, "Cukup sudah! Cerewet benar kau! Bersiaplah karena aku segera akan menyerangmu untuk menyelesaikan perhitungan!"
Hay Hay merasa kecewa bahwa dia tak berhasil melembutkan hati yang keras itu. Pantas julukannya Dewi Berhati Besi, pikirnya. Akan tetapi dia masih mencoba juga.
"Nanti dulu, Lihiap. Apakah aku tidak dapat membayar lunas... ehh, siapa yang berhutang tadi? Engkau atau aku? Tidak peduli siapa yang berhutang dan siapa yang membayar, apakah tidak ada cara lain untuk melunasi hutang? Apakah aku sudah begini tak berguna sehingga engkau hendak membunuhku? Ingat baik-baik, Nona cantik dan gagah perkasa. Mungkin orang macam aku ini masih ada juga gunanya selain untuk dijadikan pembayar hutang dan dibunuh."
Tentu saja Hay Hay mengeluarkan kata-kata ini hanya sekedar hendak memperpanjang waktu sambil mengalihkan perhatian gadis itu dari kehendaknya yang ingin menyerangnya maka tentu saja dia tidak mengharapkan tanggapan yang serius. Bahkan ucapannya tadi hanya seperti kelakar saja. Karena itu dia menjadi sangat terheran-heran ketika gadis itu menanggapinya dengan serius!
Sepasang mata itu memandang kepadanya penuh selidik. Dan kini suaranya tak seketus tadi, melainkan penuh harap. "Kalau engkau dapat membantuku dengan keterangan yang berguna, mungkin aku akan menganggap lunas semua perhitungan di antara kita tanpa harus mengajakmu bertanding."
Wajah Hay Hay yang tadinya terkejut dan heran itu kini berubah girang sekali. Dengan senyum ramah dia cepat bertanya. "Keterangan apakah itu, Lihiap? Tentu aku akan suka sekali membantumu kalau memang aku dapat."
"Aku mencari dua pasang suami isteri, mudah-mudahan engkau mengenal mereka dan tahu di mana mereka berada."
"Siapakah mereka, Nona?"
"Mereka adalah Lam-hai Siang-mo dan suami isteri Goa Iblis Pantai Selatan."
Tentu saja Hay Hay merasa terkejut bukan main dan walau pun dia memiliki batin yang cukup kuat dan tidak mudah terkejut, tapi sekali ini kekagetan itu nampak pada pandang matanya yang melebar.
"Kau kenal mereka? Di mana mereka? Aku sedang mencari-cari mereka!"
Tentu saja Hay Hay mengenal dua pasang suami isteri itu! Lam-hai Siang-mo adalah Siangkoan Leng dan Ma Kim yang pernah dipanggilnya ayah dan ibu selama bertahun-tahun, sejak dia masih bayi! Dan suami isteri Goa Iblis Pantai Selatan adalah suami isteri yang hendak merampasnya dari tangan orang-orang yang tadinya dianggap sebagai ayah ibunya itu.
"Kenapa engkau mencari dua pasang suami isteri itu?"
"Aku hendak membunuh mereka!"
Kembali Hay Hay terkejut, akan tetapi diam-diam hatinya girang juga. Jawaban gadis itu menunjukkan bahwa dia bermusuhan dengan dua pasang suami isteri yang terkenal amat kejam dan jahat itu. Hal ini berarti bahwa gadis ini ternyata bukan dari golongan sesat!
"Nona Cu Bi Lian yang baik, kenapa engkau hendak membunuh dua pasang suami isteri itu?"
"Cerewet benar kau!" Gadis itu membentak dengan mata melotot. "Katakan saja, engkau mengenal mereka atau tidak? Tidak perlu engkau mencampuri urusanku dan jangan kau membohong!"
Hay Hay mengangguk. "Aku kenal mereka, mengenal dengan baik sekali," katanya terus terang dengan sikap tenang.
Mendengar ini Bi Lian menjadi girang sekali dan wajahnya nampak berseri, membuat Hay Hay bengong saking kagum karena melihat wajah yang demikian cantik dan manisnya.
"Wah, bukan main...!" Dia mengeluarkan pujian tanpa disadarinya lagi, matanya menatap wajah yang berseri itu penuh kagum.
Bagaimana dia tidak akan kagum melihat betapa kedua pipi itu, tepat pada bagian tulang menonjol di bawah kedua mata kini nampak kemerahan, mata itu bersinar-sinar bening, mulut yang bibirnya merah membasah itu tersenyum simpul.
"Apanya yang bukan main?!" Bi Lian membentak, mengerutkan alisnya karena pandang mata pemuda itu demikian tajam dan dia pun mengenal bayangan kagum mata laki-laki seperti yang sering dia lihat ketika dia bertemu dengan kaum pria.
"Wajahmu itu, hemmm... cantik bukan main, Nona." kata pula Hay Hay terus terang.
Sepasang mata itu terbelalak. Berbagai macam perasaan mengaduk dalam hati Bi Lian. Girang, bangga, akan tetapi juga marah dan kemarahanlah yang paling besar. Harus dia akui bahwa sudah banyak dia menerima pujian kaum pria, baik melalui pandangan mata atau pun melalui kata-kata, akan tetapi lelaki yang memujinya itu selalu memiliki pandang mata yang kurang ajar dan penuh nafsu, dan pujiannya merupakan rayuan.
Akan tetapi pemuda ini, yang dalam pertemuan pertama sudah memujinya, memandang dengan kekaguman yang terbuka, yang tak menyembunyikan pandang mata kurang ajar, dan yang begitu terus terang dan jujur sehingga membuat dia tersipu.
"Simpan semua rayuanmu, laki-laki mata keranjang. Atau, sekali lagi aku akan menampar mukamu. Jangan pringas-pringis seperti monyet! Hayo katakan, di mana mereka?"
Hay Hay masih terpesona. Perubahan wajah gadis itu dari keadaan berseri girang menjadi marah-marah bahkan menambah kemanisannya. Bentakan itu membuat dia sadar, maka dia pun menjawab bingung, "Mereka siapa?"
"Keparat, kau jangan mempermainkan aku, ya!" Bi Lian membentak, tangannya membuat gerakan seperti hendak menampar. "Tentu saja dua pasang suami isteri itu! Sudah lama aku mencari mereka. Di mana mereka?"
Hay Hay menggelengkan kepalanya, "Aku tidak tahu."
"Bohong!" Bi Lian membentak, kecewa dan marah sekali. "Engkau pembohong besar!"
Hay Hay kini mengerutkan alisnya sambil memandang tajam. Sukar baginya untuk marah kepada seorang gadis secantik ini, akan tetapi dalam waktu sehari saja telah dua kali dia dimaki sebagai pembohong oleh gadis ini. Pertama, pada waktu dia menyangkal tuduhan pemerkosa dan pembunuh malam tadi, gadis itu pun memakinya pembohong sehingga dia dikeroyok oleh banyak orang. Dan sekarang dia dimaki pembohong lagi, untuk kedua kalinya.
"Nona Cu Bi Lian, engkau sungguh keterlaluan memandang rendah dan memaki orang. Apa bila sikapmu seperti ini, andai kata aku tahu juga di mana adanya dua pasang suami isteri itu, agaknya aku akan merasa enggan untuk memberi tahu kepadamu."
"Hemm, kau kira aku tidak akan dapat memaksamu membuka mulut kalau engkau tahu di mana mereka berada?"
Panas juga rasa perut Hay Hay mendengar kecongkakan gadis itu. Dia tahu bahwa gadis itu lihai, akan tetapi bukan karena takut apa bila dia selalu bersikap mengalah, melainkan hatinya terasa berat kalau harus bermusuhan dengan wanita cantik. Jauh lebih baik, lebih enak dan menyenangkan untuk bersahabat dengan mereka dari pada memusuhi mereka!
Namun sikap Bi Lian yang terlalu memandang rendah, membuat dia merasa mendongkol juga. Selain itu, di tempat yang sunyi ini, di mana tidak terdapat orang lain yang menjadi saksi, apa salahnya kalau dia menguji kemampuan gadis ini? Dia ingin sekali tahu sampai di mana kehebatan gadis bernama Cu Bi Lian ini sehingga dia bersikap demikian angkuh.
"Aha, aku juga ingin sekali melihat bagaimana engkau akan dapat memaksaku."
"Dengan ini!" Dan Bi Lian langsung menerjang dengan pukulan yang amat hebat, kedua telapak tangannya mengeluarkan uap yang panas dan gerakannya cepat bukan kepalang sehingga sulit diikuti pandang mata, tahu-tahu tangan kanannya sudah mencengkeram ke arah muka Hay Hay sedangkan tangan kiri dengan jari terbuka telah menotok ke arah ulu hati. Sungguh merupakan serangan dahsyat yang amat kejam dan ganas sekali!
"Eiiihhh...!" Hay Hay cepat meloncat ke belakang, mengelak dengan cepat sambil bersiap untuk melindungi tubuhnya. Dan memang hal ini penting sekali karena lengan tangan kiri yang menotok ulu hati itu ternyata dapat mengejarnya, mulur sampai panjang dan terus saja melanjutkan totokannya dengan kecepatan yang luar biasa.
"Dukkk!"
Terpaksa Hay Hay menangkis dengan mengerahkan tenaganya sehingga tangan kiri yang menotoknya itu terpental.
Bi Lian menjadi marah. "Mampuslah!" Dia membentak.
Kini dia sudah menyerang lagi, kakinya menendang dengan tendangan berantai sampai tujuh kali, dengan kaki kanan dan kiri, sementara itu, di antara tendangan-tendangan yang bertubi-tubi itu, kedua tangannya juga ikut membantu kakinya dengan serangan tamparan-tamparan jarak jauh yang ganas dan kuat bukan kepalang sehingga angin pukulan yang mengandung hawa panas itu saja sudah dapat merobohkan lawan yang kurang kuat.
Betapa pun cepat dan kuat gerakan Bi Lian dalam serangan-serangannya, namun sekali ini yang sedang dihadapinya adalah seorang murid terkasih dari dua orang di antara Pat Sian (Delapan Dewa)! Tingkat kepandaian dua orang gurunya itu jauh melampaui tingkat kepandaian dua orang guru Bi Lian, yaitu dua orang di antara Empat Setan, maka tentu saja tidak mengherankan jika tingkat kepandaian Hay Hay juga lebih tinggi dibandingkan tingkat Bi Lian.
Hay Hay kaget juga melihat kehebatan serangan-serangan gadis itu, akan tetapi dia tidak gugup. Dengan Ilmu Jiauw-pouw Poan-soan, yaitu langkah ajaib yang membuat tubuhnya berputar-putaran namun selalu dapat menghindarkan diri dari serangan lawan, dia berhasil membuat semua tendangan dan pukulan tangan Bi Lian mengenai angin kosong belaka.
Dari See-thian Lama dia telah mewarisi ginkang istimewa, yang membuat tubuhnya dapat bergerak jauh lebih cepat dari gerakan Bi Lian. Sampai belasan jurus gadis itu menyerang secara bertubi-tubi, tetapi tak ada satu pun serangannya yang mengenai sasaran, bahkan menyentuh baju pemuda itu pun tidak. Bi Lian menjadi semakin penasaran dan marah.
"Keparat, balaslah jika engkau memang memiliki kepandaian!" Makin Hay Hay mengalah, dia merasa semakin dipandang rendah dan dipermainkan.
"Baik, terimalah ini!" Hay Hay mulai membalas dengan tamparan ke arah pundak Bi Lian. Tamparan yang nampaknya perlahan saja.
Akan tetapi Bi Lian tak berani memandang rendah sebab dia pun maklum bahwa pemuda ini, biar pun ugal-ugalan dan berlagak tolol, ternyata memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Dia pun cepat mengelak dan membalas dengan tusukan tangan miring ke arah lambung.
Akan tetapi Hay Hay segera membalikkan tangan yang menampar ke bawah, secara tak tersangka-sangka tangannya yang seperti kepala ular itu telah menyambar ke bawah dan dia berhasil menangkap pergelangan tangan gadis itu.
"Heh-heh...!" Dia tertawa akan tetapi hanya sebentar karena bukan main kagetnya ketika tangan yang ke dua dari gadis itu tahu-tahu telah menyambar ke arah mukanya, dengan telunjuk dan jari tengah menusuk ke arah mata!
"Eeiiiitttt...! Aku belum mau menjadi buta!" katanya. Dia terpaksa melepaskan tangkapan tangannya dan meloncat ke belakang.
Bi Lian melihat betapa pergelangan tangannya yang tadi dipegang terdapat tanda bekas jari tangan sehingga dia pun menjadi marah bukan main. Tiba-tiba dari mulutnya keluar suara melengking tinggi yang menggetarkan jantung Hay Hay.
Pemuda ini terkejut bukan main saat merasa betapa jantungnya terguncang dan tubuhnya menggigil mendengar suara melengking ini. Tahulah dia bahwa gadis itu mempergunakan semacam ho-kang (ilmu khikang yang dilancarkan melalui suara) yang sangat kuat. Ilmu seperti ini hanya dapat dilakukan oleh orang yang mempunyai sinkang dan khikang yang sangat kuat, seperti binatang harimau dan singa yang mampu melumpuhkan lawan hanya dengan gerengannya saja!
Maka dia pun cepat menahan napas dan mengerahkan sinkang-nya, lalu dia pun tertawa bergelak-gelak. Dari suara ketawanya ini keluar gelombang suara yang kuat bukan main, menahan gelombang suara lengkingan yang dikeluarkan oleh Bi Lian.
Pada saat itu pula, tanpa menghentikan lengkingannya Bi Lian sudah menerjang lagi, kini pukulannya dilakukan dari kanan dan kiri, menampar-nampar ke arah kepala sampai ke pinggang, diselingi tendangan-tendangan maut yang amat cepat.
Melihat ini, Hay Hay juga cepat mengeluarkan langkah ajaibnya, mengelak dan membalas serangan Bi Lian. Begitu tangan kanan Bi Lian yang menyambar pelipis kirinya berhasil dia elakkan, otomatis tangan kanannya bergerak menotok ke arah leher gadis itu sambil tangan kirinya menangkis datangnya tendangan.
Tangkisan tendangan itu ternyata membuat tubuh Bi Lian segera terguling sehingga Hay Hay merasa terkejut dan menyesal bukan main. Tak disangkanya bahwa tangkisannya itu mempergunakan tenaga terlampau kuat sehingga dia membuat gadis itu terpelanting. Dia cepat membungkuk untuk membantu gadis itu bangun kembali, akan tetapi tiba-tiba kaki kiri gadis itu menyambar dari bawah dalam posisi terpelanting tadi.
Hay Hay terkejut. Baru tahulah dia bahwa gadis itu bukan terpelanting sungguh-sungguh, melainkan hanya pancingan saja. Tendangan yang demikian cepatnya menyambar selagi tubuhnya membungkuk untuk menolong, maka tak sempat lagi ditangkis atau dielakkan. Segera dia mengerahkan sinkang ke arah pinggangnya yang disambar tendangan itu.
"Bukkk...!"
Tubuh Hay Hay terlempar sampai tiga meter, jatuh bergulingan, namun dia tidak terluka. Gadis itu laksana menendang sebuah bola karet yang berisi angin saja!
Semua gerakan kedua orang tadi demikian cepat tak dapat diikuti oleh pandangan mata orang biasa, dan mereka pun bergerak hanya mengandalkan naluri hingga kecepatannya melebihi perhitungan pikiran. Gerakan yang telah mendarah daging dan semuanya serba otomatis, baik menyerang, menangkis atau mengelak. Kepekaan syaraf yang memegang peran. Gerakan reflex yang merupakan reaksi dari pada semua otot dan syaraf di dalam tubuh dan sering kali di luar kecepatan perhitungan pikiran.
"Heh-heh-heh!" Hay Hay bangkit lantas mengebut-ngebut pakaiannya yang terkena debu. "Terima kasih, tendanganmu lumayan lunak sehingga membuat pegal-pegal di pinggangku lenyap seketika."
Sebenarnya Hay Hay hanya bergurau, akan tetapi Bi Lian menjadi semakin marah karena dia menganggap pemuda itu mengejeknya.
"Singgg...!" Tiba-tiba tangan gadis itu sudah memegang sebatang pedang!
Hay Hay terkejut sekali. Tadi gadis itu tidak kelihatan membawa pedang, akan tetapi kini tahu-tahu memegang sebatang pedang yang berkilauan saking tajamnya, seperti bermain sulap saja. Dia dapat menduga bahwa pedang di tangan gadis itu tentu sebatang pedang tipis yang dapat digulung, terbuat dari baja yang amat baik dan pedang seperti itu sangat berbahaya dan tajam.
"Aihh, nanti dulu, Nona Cu Bi Lian. Kenapa engkau sampai harus mengeluarkan senjata? Apakah hanya untuk urusan kecil ini saja engkau benar-benar berniat hendak membunuh aku? Kita baru saja berkenalan, jadi tak ada hal-hal yang pantas dijadikan alasan bagimu untuk membunuhku."
"Tidak perlu banyak cakap lagi. Keluarkan senjatamu dan mari kita lanjutkan perkelahian ini. Kita berdua bukan anak-anak kecil lagi, sama-sama memiliki ilmu silat, dan mari kita bertanding untuk menentukan siapa yang lebih unggul!" kata Bi Lian.
Dia masih merasa penasaran sekali karena dalam perkelahian tadi, walau pun dia belum kalah, namun jauh untuk dapat dibilang dia menang. Dan sikap pemuda itu yang agaknya memandang ringan dan mengejeknya, benar-benar sudah membuat hatinya panas sekali. Tendangan tadi dikatakan lunak dan hanya dapat mengusir pegal-pegal!
Sebenarnya Hay Hay masih ingin menguji kehebatan gadis itu bermain pedang. Namun, melihat betapa sepasang mata yang indah itu mencorong penuh dengan kemarahan, dia tahu bahwa dia tidak boleh mendesak terlalu jauh, karena salah-salah hal ini hanya akan menumbuhkan kebencian di dalam hati gadis itu terhadap dirinya. Dan dibenci oleh gadis sejelita itu, wah, tentu saja dia merasa keberatan sekali.
"Nona yang baik..."
"Sudah, tak perlu lagi merayu. Aku bukan Nona yang baik!" Bi Lian memotong.
Hay Hay mengembangkan kedua lengan, mengangkat pundak. "Habis, apakah aku harus menyebutmu Nona yang jelek! Padahal engkau sama sekali tidak jelek, sama sekali tidak jahat. Nona yang baik, apakah engkau tak merasa malu untuk menjilat ludah sendiri yang sudah dikeluarkan?"
Bi Lian mengerutkan alisnya. "Apa?! Engkau jangan bicara yang bukan-bukan!"
"Nona tadi telah mengatakan bahwa kalau aku dapat memberi keterangan mengenai dua pasang suami isteri, maka Nona tidak akan mengajakku bertanding lagi. Dan aku sudah memberi keterangan bahwa aku mengenal mereka. Mengapa Nona hendak mengingkari janji sendiri? Bukankah itu berarti menjilat kembali ludah sendiri yang sudah dikeluarkan?"
"Tidak ada yang menjilat ludah, tak ada yang melanggar janji! Engkau hanya mengatakan kenal saja, akan tetapi tidak tahu mereka tinggal di mana. Keterangan macam apa itu? Tidak ada harganya sekeping pun!"
Hay Hay mengangguk-angguk. "Jadi, kalau aku mengetahui di mana biasanya mereka itu tinggal, apakah Nona sudah menganggap lunas perhitungan di antara kita dan tidak akan memaksaku bertanding lagi?"
Timbul harapan di hati Bi Lian. Memang dia ingin sekali menghajar lelaki yang membuat dia jengkel itu. Akan tetapi kini dia pun sudah tahu bahwa Hay Hay lihai sekali, agaknya tak akan mudah baginya untuk dapat menangkan pemuda itu. Dia tidak takut menghadapi pemuda itu, bahkan merasa penasaran dan ingin sekali mengalahkannya, tetapi dia lebih membutuhkan keterangan tentang dua pasang suami isteri yang menjadi musuh besarnya itu.
Sudah lama sekali dia mencari tanpa hasil dan sekarang dia bertemu dengan orang yang mengenal mereka dan tahu di mana biasanya mereka tinggal. Jika dia hanya menurutkan kemarahan hatinya dan kehilangan kesempatan baik ini untuk mengetahui tempat tinggal musuh-musuhnya, sungguh dia akan rugi sekali.
"Baik, kuberi kesempatan sekali lagi. Cepat katakan di mana mereka berada maka aku akan segera pergi meninggalkanmu, tidak memaksamu untuk bertanding." katanya, akan tetapi dia masih tetap memegang pedangnya. "Apa bila engkau merayu dan membohong sekali lagi, maka pedangku pasti akan memenggal batang lehermu!"
Hay Hay memanjangkan lehernya dan mempergunakan kedua tangan mengulur lehernya sambil menjulurkan lidah, kelihatan merasa ngeri. "Wah, kalau sampai putus, bagaimana menyambungnya kembali? Nah, dengar baik-baik, Nona. Lam-hai Siang-mo adalah suami isteri yang bernama Siangkoan Leng dan Ma Kim Li. Mereka dulu tinggal di kota Nan-king sebagai pedagang obat. Mungkin Nona dapat mencari mereka di Nan-king atau di daerah pantai selatan, karena sesuai dengan julukan mereka, tentu mereka sering berkeliaran di pantai laut selatan. Ada pun suami isteri Goa Iblis Pantai Selatan, bernama Kwee Siong dan isterinya Tong Ci Ki. Mereka pun merupakan tokoh-tokoh pantai selatan, tentu tidak akan sukar menemukan dua pasang suami isteri itu."
Girang rasa hati Bi Lian mendengar keterangan ini. Biar pun belum ada kepastian di mana tempat tinggal dua pasang suami isteri itu, setidaknya dia sudah memperoleh pegangan sehingga dapat lebih mudah mencari jejak mereka.
"Keteranganmu cukup dan hari ini kau kubebaskan. Akan tetapi kalau keteranganmu ini ternyata bohong, lain hari aku pasti mencarimu dan akan membuat perhitungan sampai lunas!" Sesudah berkata demikian, gadis itu meloncat lantas berlari dengan cepat sekali sehingga sebentar saja lenyap dari pandang mata Hay Hay.
"Uhhhhh ...!" Hay Hay menarik napas lega.
Seorang gadis yang bukan main! Dia merasa semakin kagum. Cu Bi Lian itu bukan saja cantik jelita dan manis, akan tetapi juga mempunyai ilmu kepandaian yang tinggi sekali. Sayang, ilmu silatnya memiliki sifat yang ganas, liar dan kejam, banyak gerakan-gerakan yang curang dan hanya dimiliki oleh orang-orang dari golongan sesat.
Sayang dia belum dapat mengetahui keadaan gadis itu lebih banyak, murid siapa, anak siapa dan dari golongan mana. Meski pun melihat wataknya yang ganas dan keras, juga dari ilmu silatnya menunjukkan bahwa gadis itu agaknya telah mempelajari ilmu silat tinggi dari kaum sesat, namun kenyataan bahwa gadis itu memusuhi dua pasang suami isteri iblis, sangat melegakan hati Hay Hay.
Jika gadis itu memusuhi golongan sesat, itu berarti bahwa dia sendiri bukan dari golongan sesat! Mudah-mudahan demikian, pikirnya sambil menarik napas panjang, teringat akan keganasan gadis itu yang hendak membunuhnya!
"Han Siong, kini tibalah saatnya engkau harus pergi meninggalkan kuil ini dan memenuhi harapan yang selama ini terkandung di dalam hati kami. Tentu engkau mengerti akan isi hati kami dan tahu apa yang kami harapkan darimu, muridku."
Han Siong menundukkan mukanya dan mengangguk. Pemuda ini berlutut di depan suhu dan subo-nya. Siangkoan Ci Kang, laki-laki tinggi tegap yang gagah perkasa dan lengan kirinya buntung sebatas siku, kini sudah berusia empat puluh tahun. Usia yang belum tua benar, tetapi wajahnya yang tampan dan dingin itu penuh dengan garis-garis keprihatinan.
Sejak muda pendekar ini memang bernasib buruk, karena sebagai putera seorang datuk sesat yang amat kejam, dia malah mempunyai watak gagah perkasa sehingga sering kali harus bertentangan dengan mendiang ayahnya. Kemudian pemuda ini pun gagal dalam cintanya.
Walau pun akhirnya dia bertemu dengan Toan Hui Cu yang senasib sehingga keduanya saling tertarik dan saling jatuh cinta, akan tetapi penderitaan hidupnya belumlah berakhir. Bahkan, bersama Toan Hui Cu yang sudah menjadi isterinya tanpa pernikahan, dia harus menjalani hukuman dua puluh tahun!
Bukan hanya itu! Puteri mereka satu-satunya yang mereka titipkan kepada keluarga Cu di dusun, telah lenyap diculik orang! Mereka berdua tidak berdaya, tidak mampu melakukan pencarian karena mereka belum selesai menjalani hukuman.
Kini dia duduk bersila, berdampingan dengan Toan Hui Cu yang sekarang usianya sudah tiga puluh sembilan tahun. Wanita ini pun nampak amat dingin dan mukanya agak pucat, pembawaannya anggun dan angkuh.
"Teecu (murid) mengerti apa yang diharapkan Suhu dan Subo. Teecu akan segera pergi mencari adik Siangkoan Bi Lian," jawab Han Siong dengan suara tegas karena memang ingin memegang janjinya, ingin membalas kebaikan suhu dan subo-nya dengan mencari puteri mereka sampai dapat. "Teecu hanya akan kembali ke sini menghadap Suhu dan Subo kalau teecu sudah berhasil menemukan Adik Bi Lian, dan tidak akan kembali kalau belum berhasil."
"Han Siong, engkau tentu tahu bahwa siang malam aku akan menanti kembalimu dengan hati yang penuh harapan." Toan Hui Cu bicara, suaranya penuh dengan keharuan walau pun wajahnya tetap dingin. "Carilah anakku itu sampai dapat, dan engkau berhati-hatilah, muridku. Engkau sudah sering kami ceritakan tentang tokoh-tokoh di dunia persilatan dan ketahuilah bahwa selain mereka yang kami kenal dan sudah kami ceritakan kepadamu, di dunia ini masih banyak lagi orang pandai."
"Teecu akan selalu mengingat nasehat Subo dan Suhu," jawab Han Siong.
"Kami tahu bahwa tidak akan mudah mencari Bi Lian, karena anak itu tidak meninggalkan jejak. Akan tetapi mengingat bahwa lenyapnya bersamaan dengan keributan yang terjadi di dusun, kabarnya ada manusia-manusia iblis yang berkelahi di sana, maka carilah dia di antara tokoh-tokoh dan kaum sesat..." kata Toan Hui Cu yang kemudian dilanjutkan oleh Siangkoan Ci Kang.
"Selain itu, Han Siong, ada satu hal penting lagi yang telah kami ambil menjadi keputusan hati kami berdua. Kami hanya mengharapkan bahwa engkau tak akan menolak apa yang menjadi keinginan hati kami ini." Gurunya itu berhenti dan agaknya merasa sukar untuk melanjutkan kata-katanya. Ketika Han Siong menengadah dan memandang mereka, dia melihat suhu dan subo-nya saling pandang dengan khawatir .
"Han Siong, selama ini engkau sudah seperti anak kami sendiri, bukan? Sebab itu kurasa engkau tidak akan menolak keinginan kami...," kata pula subo-nya, akan tetapi wanita itu juga tidak melanjutkan kata-katanya.
"Suhu dan Subo, apakah yang menjadi keinginan hati Ji-wi? Katakanlah, teecu pasti akan memenuhi keinginan Suhu dan Subo yang selama ini sudah melimpahkan budi terhadap diri teecu. Katakanlah, Suhu."
Siangkoan Ci Kang menarik napas panjang, lantas berkata, "Hukuman kami masih tersisa dua tahun lagi, Han Siong. Setelah itu barulah kami akan meninggalkan kuil ini dan pergi sendiri mencari anak kami. Tetapi kami telah mengambil keputusan untuk... menjodohkan Bi Lian denganmu, Han Siong. Karena itu, dalam waktu dua tahun, sebelum kami pergi meninggalkan kuil ini, kami harap engkau suka datang ke sini untuk melaporkan semua hasil penyelidikanmu mengenai puteri kami."
Bukan main kagetnya hati Han Siong mendengar kata-kata kedua orang gurunya itu. Dia dijodohkan dengan puteri gurunya? Melihat pun belum pernah puteri gurunya itu! Di lubuk hatinya timbul perasaan menentang karena dia sama sekali tidak pernah berpikir tentang perjodohan. Akan tetapi bagaimana mungkin dia dapat menolak keinginan hati suhu dan subo-nya? Dia hanya menundukkan mukanya dan sampai lama tidak mampu menjawab.
Melihat keraguan muridnya ini, suami isteri yang sakti itu saling pandang kemudian Toan Hui Cu mengerutkan alisnya sambil bertanya. "Bagaimana, Han Siong. Maukah engkau menerima keinginan kami untuk menjadi calon jodoh anak kami Bi Lian?"
Melihat isterinya mendesak, Siangkoan Ci Kang segera menyambung. "Han Siong, kami tahu bahwa perjodohan adalah satu di antara semua peristiwa yang ditentukan oleh Thian (Tuhan). Seperti kami katakan tadi, kami berdua melihat alangkah baiknya kalau Bi Lian bisa berjodoh denganmu, namun hal itu merupakan keinginan hati kami saja. Akan tetapi keputusannya nanti, terserah pada kehendak Thian. Engkau perlu mengetahui saja bahwa kami ingin sekali menjodohkan Bi Lian denganmu, kami sama sekali tidak memaksa dan biarlah kita bicarakan lagi urusan perjodohan ini kalau engkau atau kami sudah berhasil menemukan Bi Lian kembali."
Lega rasa hati Han Siong mendengar ucapan suhu-nya itu. Dia tak ingin mengecewakan hati kedua orang gurunya dengan penolakan. Akan tetapi bagaimana mungkin dia dapat menerima begitu saja uluran tangan untuk berjodoh, tanpa lebih dulu melihat bagaimana keadaan orang yang hendak dijadikan jodohnya, dan tanpa bertanya pula kepada pihak keluarganya? Ucapan suhu-nya membuat hatinya terasa lega sekali maka cepat-cepat dia memberi hormat dan berkata.
"Suhu dan Subo, teecu selalu mentaati semua perintah Suhu dan Subo. Teecu rasa yang paling penting sekarang ini adalah lebih dulu menemukan Adik Bi Lian."
Suami isteri itu kembali saling pandang dan keduanya merasa lega juga. Bagaimana pun, murid mereka itu tidak menolak. Mereka lalu mempergunakan waktu semalam itu untuk memberi nasehat-nasehat kepada Han Siong, juga menceritakan kepada murid mereka itu tentang keadaan di dunia kang-ouw, tentang banyaknya orang pandai yang berwatak palsu, curang dan jahat sekali. Juga mereka menceritakan mengenai para pendekar yang gagah perkasa yang pernah mereka kenal.
Pada esok harinya, barulah Han Siong meninggalkan kamar di mana suhu dan subo-nya menjalani hukuman kurungan mereka. Malam tadi, untuk dapat berkumpul dengan murid mereka, Toan Hui Cu meninggalkan kamarnya dan mereka bertiga berkumpul di dalam kamar Siangkoan Ci Kang, tanpa diketahui siapa pun juga. Ketika murid mereka hendak berangkat, Siangkoan Ci Kang menyerahkan sebatang pedang kepadanya sambil berkata dengan suara halus.
"Muridku, kau terimalah pedang ini dari kami. Pedang ini adalah Kwan-im-kiam (Pedang Kwan Im), amat cocok untuk ilmu silat pedang Kwan-im Kiam-sut yang telah kami ajarkan kepadamu. Pedang ini tadinya kami simpan untuk Bi Lian, dan sekarang kami serahkan kepadamu sebagai bekal untuk melindungi dirimu sendiri dari orang-orang jahat. Selain itu juga merupakan peringatan bagimu bahwa Suhu dan Subo-mu telah menyerahkan puteri mereka kepadamu..." Sampai di sini Siangkoan Ci Kang terhenti lantas dia memandang terharu.
Han Siong menerima pedang itu, pedang yang ringan dan pendek, lalu menyimpannya di dalam buntalan pakaiannya. Dia meninggalkan kamar renungan dosa atau kamar penebus dosa itu, diikuti pandang mata suhu dan subo-nya yang merasa kehilangan sebab selama delapan tahun ini mereka menggembleng Han Siong seperti anak sendiri. Semenjak Han Siong masih seorang anak laki-laki sampai kini menjadi seorang pemuda dewasa berusia dua puluh tahun!
Pada keesokan harinya, Han Siong menghadap Ceng Hok Hwesio, ketua kuil itu yang kini telah menjadi seorang kakek yang amat tua. Dengan usianya yang tujuh puluh tiga tahun, Ceng Hok Hwesio masih nampak gagah, tinggi besar bermuka hitam dan wataknya masih keras berdisiplin.
Ketika Han Siong menghadap padanya untuk berpamit, hwesio ini mengangguk-angguk. Selama ini Han Siong tinggal di kuil sebagai seorang kacung, namun karena pemuda ini titipan dari paman gurunya, Pek Khun, maka pemuda itu diperlakukan dengan sikap yang baik.
"Omitohud, alangkah cepatnya waktu berlalu, Han Siong," kata Ceng Hok Hwesio ketika pemuda itu berlutut menghadapnya dan mengatakan bahwa hari itu juga dia hendak pergi meninggalkan kuil.
"Telah tiga belas tahun teecu berdiam di kuil ini dan telah menerima banyak kebaikan dari Suhu dan para Suhu di kuil ini. Teecu menghaturkan banyak terima kasih dan bila mana selama ini teecu pernah melakukan kesalahan-kesalahan, sudilah kiranya Suhu memberi maaf kepada teecu."
"Siancai...! Pinceng merasa bangga sekali padamu, Han Siong. Walau pun engkau tidak menjadi hwesio, akan tetapi engkau sudah mempelajari banyak tentang agama kita, mau memperhatikan tentang kebudayaan, filsafat dan pengertian tentang kehidupan. Dan biar pun engkau bukan murid Siauw-lim-pai, namun di sini engkau telah memperoleh ilmu silat yang pinceng tahu sangat tinggi. Mudah-mudahan saja engkau pandai-pandai membawa diri di dalam dunia ramai dan tidak mengecewakan bahwa engkau sudah pernah tinggal menggembleng diri di sini selama tiga belas tahun."
"Semua nasehat Suhu akan teecu perhatikan baik-baik."
"Ada satu hal penting yang perlu kau ketahui, Han Siong. Apakah engkau tahu di mana adanya keluargamu?"
Han Siong menggelengkan kepalanya. "Justru teecu ingin bertanya kepada Suhu di mana teecu dapat bertemu dengan kakek buyut Pek Khun yang dulu membawa teecu ke kuil ini."
Hwesio tua itu menarik napas panjang. "Aihhh... pinceng sendiri tidak tahu di mana Pek Khun Susiok berada. Mungkin dia kembali ke Kun-lun-san. Akan tetapi menurut apa yang dipesannya kepada pinceng ketika dia menitipkan engkau di sini, setelah engkau dewasa, engkau diharuskan mencari keluargamu, yaitu keluarga Pek. Ayahmu adalah cucu Susiok Pek Khun. Ayahmu bernama Pek Kong, yakni putera ketua Pek-sim-pang yang berasal dari daerah Kong-goan di Propinsi Secuan. Nah, engkau carilah keluargamu di sana, Han Siong."
Setelah menerima banyak petunjuk dari Ceng Hok Hwesio, maka berangkatlah Han Siong meninggalkan kuil itu. Tentu saja selama tiga belas tahun ini telah terjadi perubahan besar atas dirinya.
Ketika datang bersama kakek buyutnya, dia hanya seorang anak laki-laki berusia tujuh tahun yang belum tahu apa-apa, hanya memiliki dasar-dasar ilmu silat yang diajarkan oleh kakek buyutnya. Sekarang dia sudah menjadi seorang pemuda dewasa. Bukan saja luas pengetahuannya karena dia tekun sekali mempelajari sastera dari kitab-kitab yang banyak terdapat di kuil itu, akan tetapi juga dia sudah digembleng secara tekun selama delapan tahun ini oleh suami isteri sakti Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu.
Selain telah melatih diri dengan tiga belas jurus Pek-sim-kun yang merupakan inti sari dari ilmu silat perkumpulan Pek-sim-pang, juga dia sudah digembleng oleh Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu yang memiliki bermacam-macam ilmu silat. Ilmu yang baru didapatkan oleh dua orang itu, yaitu ilmu Kwan-im Kiam-sut dan Kwan-im Sin-kun sudah dipelajarinya dengan baik sekali.
Selain semua ilmu silat itu, dari subo-nya Toan Hui Cu, Han Siong juga telah mempelajari ilmu Hoat-sut atau sihir yang mempergunakan kekuatan hitam untuk menundukkan lawan! Hal ini sama sekali tidak aneh karena Toan Hui Cu adalah puteri dari Raja dan Ratu Iblis yang selain tinggi sekali ilmu silatnya, juga merupakan datuk-datuk sesat.
Han Siong melakukan perjalanan cepat, menuju ke Secuan karena lebih dahulu dia akan mencari keluarganya sambil mendengarkan kalau-kalau ada petunjuk jejak Bi Lian. Musim salju telah tiba dan di mana-mana hawanya dingin bukan main. Pohon-pohon yang sudah kehilangan daun-daunnya pada musim rontok, kini terhias salju seperti kapas putih bersih, membuat pohon-pohon itu nampak seperti hiasan-hiasan yang indah.
Han Siong sedang berjalan seorang diri melalui jalan yang tertutup salju. Hujan salju baru saja berhenti dan biar pun cuaca nampak sudah terang, tetapi dinginnya bukan kepalang. Han Siong mengenakan jubah yang cukup tebal, tapi ini pun masih harus dibantu dengan pengerahan sinkang yang membuat tubuhnya terasa hangat. Uap putih agak tebal terlihat keluar dari hidung dan mulutnya setiap kali dia menghembuskan napas.
Sekarang pemuda ini sudah menjadi seorang lelaki dewasa yang tampan. Wajahnya yang berbentuk bulat itu memiliki kulit muka yang putih dan sepasang pipinya membayangkan warna kemerahan yang sehat. Demikian pula bibirnya nampak merah tanda sehat.
Alisnya lebat dan hitam, sepasang matanya yang agak sipit itu bersinar terang dan tajam lembut. Tubuhnya sedang dan tegap, kaki tangannya juga padat dan nampak kuat karena semenjak kecil Han Siong melakukan segala macam pekerjaan yang kasar di dalam kuil, seperti menebang pohon, membelah kayu dan memikul air. Gerak-geriknya halus, dengan wajah yang anggun dan pandang mata bersinar.
Sejak dia menjadi murid See-thian Lama dan Ciu-sian Sin-kai, keadaan dirinya membuat dia sering kali termenung dan termangu-mangu. Dua orang gurunya yang amat sakti itu pun tidak dapat menentukan dia anak siapa!
Sejak bayi dia merasa menjadi putera suami isteri Siangkoan Leng dan Ma Kim Li, yang tidak tahunya adalah sepasang suami isteri iblis yang berjuluk Lam-hai Siang-mo. Namun ternyata suami isteri itu bukanlah orang tuanya, melainkan telah menculiknya dari rumah keluarga Pek. Kalau saja keluarga Pek mempunyai anak yang lumrah, tentu mudah sekali memastikan bahwa dia adalah anak keluarga Pek yang diculik oleh Lam-hai Siang-mo.
Akan tetapi dua orang gurunya yang sakti dan bijaksana memastikan bahwa dia bukanlah putera keluarga Pek, karena sudah dipastikan oleh para pimpinan pendeta Lama bahwa putera keluarga Pek adalah seorang Sin-tong (anak ajaib) yang mempunyai tanda merah di punggungnya! Sedangkan dia tidak mempunyai tanda merah itu! Jelas, menurut kedua orang gurunya, dia bukan putera keluarga Pek!
Maka satu-satunya petunjuk tentang keadaan dirinya hanya dapat diharapkan datang dari keluarga Pek. Mereka tentu tahu siapa dia, siapa orang tuanya dan mengapa ketika bayi dia dapat berada di tangan keluarga Pek sehingga diculik oleh Lam-hai Siang-mo.
Inilah sebabnya maka Hay Hay kini menuju ke barat, untuk mencari keluarga Pek dan menyelidiki tentang asal-usul dirinya yang sebenarnya. Akan tetapi dia tidak tergesa-gesa dan melaksanakan keinginannya menemui keluarga Pek sambil lalu saja, yang terpenting baginya adalah menikmati perjalanan yang amat jauh itu.
Dia sudah pernah melakukan perjalanan jauh seperti ini, akan tetapi dari barat ke timur, yaitu beberapa tahun yang lampau ketika dia masih berusia kurang lebih tiga belas tahun dan meninggalkan See-thian Lama untuk mengikuti gurunya yang baru, Ciu-sian Sin-kai menuju ke Pulau Hiu di lautan Pohai. Kalau dulu dia datang dari barat menuju ke timur, sekarang sebaliknya, dia datang dari pantai Pohai menuju ke barat, ke Tibet!
Dengan santai Hay Hay melakukan perjalanan dan sebelum dia menuruni bukit terakhir, dia berhenti lebih dulu dan membalikkan tubuhnya menghadap ke timur, untuk menikmati keindahan matahari terbit.
Bola merah yang besar itu perlahan-lahan tersembul dan naik ke atas. Hay Hay tak berani terlampau lama memandang bola api itu, walau pun sinarnya belum terlalu menyilaukan, namun dia tahu bahwa hal itu tidak baik bagi matanya. Yang dinikmati adalah keindahan cahaya merah itu memandikan segalanya yang berada di permukaan bumi, dan cahaya merah kuning biru yang mewarnai awan-awan yang membentuk berbagai macam corak, demikian kaya dengan bentuk sehingga setiap manusia dapat membentuk awan-awan itu menjadi bentuk apa saja menurut khayal mereka yang paling ajaib.
Sesudah puas menikmati keindahan alam di waktu pagi, Hay Hay membalikkan tubuhnya lagi dan hendak menuruni lereng bukit terakhir. Akan tetapi tiba-tiba dia tertegun karena tidak jauh di depannya, hanya belasan meter jauhnya, telah berdiri tegak seorang wanita yang bukan lain adalah gadis galak semalam!
Namun hanya sebentar saja dia tertegun. Dia tidak kehilangan keluwesannya dan segera tersenyum ramah kemudian melangkah maju menghampiri dan menjura.
"Selamat pagi, Nona yang gagah perkasa! Sungguh pagi yang sangat cerah dan indah, bukan?"
Akan tetapi gadis jelita dan manis itu cemberut. Aneh sekali, pikir Hay Hay, kenapa gadis ini cemberut saja dapat terlihat demikian manisnya? Apanya yang membuatnya demikian manis? Segalanya memang indah bentuknya, dan wajah itu ayu akan tetapi apanya yang paling menonjol? Dia menyelidiki keadaan gadis itu dengan penuh perhatian!
"Aku tidak tanya dan tidak peduli pagi ini cerah indah atau muram buruk! Aku berada di sini sengaja menantimu dan ingin bicara denganmu!"
"Ahai, lebih baik lagi kalau begitu! Ahh, kalau saja aku tahu Nona menantiku di sini, tentu tadi aku akan bersicepat dan tak akan membiarkan diri terpesona oleh kecantikan alam di waktu pagi." Dengan ucapan itu dia seolah-olah hendak memuji bahwa keindahan gadis itu tidak kalah oleh keindahan alam pagi. "Suatu kehormatan yang teramat besar bagiku. Tidak tahu Nona hendak menyampaikan berita bahagia apakah kepada diriku yang miskin ini?"
Sejenak Bi Lian, gadis itu, tertegun juga. Alangkah indahnya kata-kata yang dikeluarkan oleh pemuda ini, sambil tersenyum, wajahnya berseri, sepasang matanya yang tajam itu memandang lembut. Akan tetapi dia langsung teringat bahwa pemuda ini adalah seorang perayu wanita, seorang lelaki mata keranjang, maka dia memasang muka cemberut lagi. Lebih cemberut dari pada tadi. Akan tetapi lebih manis, pikir Hay Hay.
"Tak usah merayu dengan kata-kata indah! Aku menantimu untuk mengajakmu membuat perhitungan dan melunasi hutang-pihutang antara kita!"
Diam-diam Hay Hay terkejut sekaligus juga heran. Dia maklum yang dimaksudkan dengan hutang-pihutang tentulah urusan perselisihan di antara mereka. Akan tetapi seingatnya, tidak ada lagi urusan di antara mereka. Bukankah di dalam urusan ruangan di kuil tua dia sudah mengalah dan pergi, kemudian perkelahian semalam itu terjadi hanya karena salah paham dan salah duga terhadap dirinya? Dia anggap sudah habis dan selesai, mengapa nona ini bicara tentang penyelesaian hutang-pihutang? Akan tetapi wajahnya tetap berseri dan dia memasang muka gembira.
"Wah, menarik sekali!" Hay Hay menurunkan buntalan pakaiannya lalu duduk di atas batu dl pinggir jalan kecil itu, seperti orang yang ingin sekali mendengarkan sebuah cerita yang amat menarik. "Berapakah hutangku kepadamu dan bagaimana aku harus membayarnya, Nona? Aku seorang perantau miskin..."
"Bukan engkau yang masih ada hutang, akan tetapi aku yang hutang kepadamu."
"Aih, semakin menarik dan menyenangkan saja. Akan tetapi sungguh mati aku sudah lupa lagi kapan Nona berhutang kepadaku dan berapa jumlahnya?"
"Pertama-tama aku mengusirmu dari kuil dan ke dua, aku sudah menuduhmu melakukan perbuatan terkutuk yang tidak kau lakukan. Nah, aku telah hutang dua kali kepadamu dan aku ingin melunasinya sekarang!"
"Ehhh...?" Kali ini senyumnya menghilang dari wajah Hay Hay karena memang dia heran sekali. "Lalu bagaimana engkau akan melunasi hutang-hutang itu, Nona?"
Dara itu memperlihatkan sepasang lengannya yang diulur dengan jari-jari tangan terkepal. "Dengan ini! Bagaimana lagi orang-orang seperti kita menyelesaikan perhitungan kecuali dengan jalan mengadu ilmu silat? Majulah lantas bersiaplah, kita harus bertanding untuk membereskan perhitungan!"
"Wah-wah-wah!" Hay Hay mengangkat kedua tangannya ke atas kepala dan menggeleng-geleng kepala. "Kalau seperti itu pembayarannya, sudahlah, jangan kau bayar saja semua hutang-hutangmu, Nona! Aku sudah rela dan biarlah hutang-hutangmu itu kuanggap lunas saja!"
"Apa?!" Gadis itu memandang dengan mata mendelik. "Rupanya engkau mau menghina aku! Kau anggap aku tidak mampu melunasi hutang-hutangku?"
"Ehhh, bukan begitu! Tapi..., wah mengapa pembayarannya harus seperti itu? Aku tidak merasa pernah menghutangkan, aku tidak menaruh dendam sakit hati, dan aku pun tidak mengharapkan pembayaran. Sudahlah, hutang-hutangmu telah lunas dan jangan sampai kita membuat hutang-hutang lagi, Nona."
Hay Hay lalu mengambil buntalan pakaiannya. Akan tetapi tiba-tiba dia meloncat dengan elakan yang sangat cepat karena pada saat itu ada angin pukulan yang panas dan kuat sekali menyambar ke arahnya, dibarengi bentakan nona itu.
"Heiiiitttt...!"
"Brakkk...!"
Ujung batu yang tadi diduduki Hay Hay pecah berantakan terkena pukulan tangan gadis yang lihai itu. Debu mengepul dan mata Hay Hay terbelalak. Gadis itu memukul sungguh-sungguh! Kalau dia tidak cepat mengelak sehingga terkena pukulan seampuh itu tentu dia akan celaka, mungkin tewas atau paling tidak terluka parah. Sungguh seorang gadis yang cantik jelita, manis, lihai akan tetapi ganas bukan main!
"Ehh-ehh, tahan dahulu, Nona! Bagaimana sih engkau ini? Engkau merasa bersalah dan berhutang kepadaku, mengapa membayarnya bahkan dengan penambahan hutang yang lebih besar lagi? Bagaimana kalau sampai aku terkena pukulanmu dan mati?"
"Berarti aku tidak hutang lagi kepadamu. Tidak ada orang berhutang kepada orang yang sudah mati."
Jika saja nona itu tidak berbicara sambil merengut, tentu Hay Hay akan menganggapnya main-main atau kelakar.
"Lalu bagaimana kalau sampai aku tidak dapat kau kalahkan?" Hay Hay menyelidik.
"Kalau aku yang mati, berarti hutangku juga lunas. Tidak ada orang mati yang mempunyai hutang kepada siapa pun juga!"
Wah, pikir Hay Hay. Gadis ini bicara serius, akan tetapi ucapannya sungguh bocengli (tak pantas)! Mana ada orang merasa bersalah dianggap hutang dan pembayarannya harus saling membunuh? Diam-diam dia lalu memandang penuh perhatian. Seorang gadis yang benar-benar amat cantik, dan usianya tentu tak berselisih banyak dengan usianya sendiri.
"Kau aneh, Nona."
"Sudahlah, aku tak ingin mendengar pendapatmu tentang diriku. Hayo cepat bersiap, kita lanjutkan penyelesaian hutang-pihutang ini!"
Bi Lian sudah siap untuk melakukan penyerangan lagi. Kuda-kudanya sangat indah akan tetapi aneh, kaki kanan berdiri tegak lurus di atas jari-jari kaki, kaki kiri ditekuk seperti kaki burung, tangan kanan diacungkan tinggi ke atas kepala, tangan kiri menyembah di depan dada, leher dimiringkan dan napasnya ditahan! Agaknya gadis itu telah siap untuk melancarkan pukulan maut yang aneh lagi!
"Nanti dulu...! Nanti dulu, Nona." Hay Hay berkata cepat-cepat mendahului agar nona itu tidak keburu menyerang.
"Ada apa lagi? Cerewet benar engkau!" nona itu mengomel.
"Sebelum aku kau pukul mati, aku berhak untuk tahu siapa yang berhutang kepadaku dan membayar hutangnya dengan pukulan maut. Atau, menurut engkau, aturannya tidak boleh memperkenalkan nama dan sembunyi-sembunyi saja?"
"Huhh!" Bi Lian mendengus melalui hidungnya. "Siapa sembunyi-sembunyi? Kau kira aku takut mempertanggung jawabkan? Namaku adalah Cu Bi Lian..."
"Nama yang amat indah dan cantik, seperti pemiliknya..."
"Aku tidak butuh pujianmu!"
"Aku tak memuji, melainkan terus terang saja. Engkau sungguh cantik jelita, mempunyai ilmu kepandaian yang amat tinggi, dan memiliki nama yang indah. Bi Lian (Teratai Cantik), sungguh nama yang hebat. Sayang sekali..."
"Apa sayang?" Bi Lian cepat memotong
Diam-diam Hay Hay tersenyum di dalam hatinya. Bagaimana pun juga gadis ini tetap saja seorang wanita yang wajar, yang selalu ingin mendengar pujian dan pantang mendengar celaan, maka cepat-cepat gadis itu bertanya ketika dia berkata sayang.
Hay Hay cukup cerdik untuk tidak mengucapkan celaannya. Di dalam hatinya dia berkata sayang bahwa gadis yang cantik dan lihai itu berperangai ganas dan kejam, akan tetapi mulutnya tidak mengatakan demikian. Belum pernah dia mencela seorang wanita, karena baginya wanita hanya pantas dipuji, tidak layak dicela!
"Sayang jika aku mati olehmu, aku tidak dapat menikmati kecantikanmu lagi, dan engkau tidak lagi ada yang memuji lagi."
"Sudahlah, jangan cerewet. Bersiaplah menghadapi seranganku!" kata Bi Lian.
Hay Hay melihat betapa wajah ltu tak beringas lagi seperti tadi, melainkan menjadi manis karena ada senyum puas membayang di bibir yang merah membasah itu.
"Nanti dulu, nanti dulu! Aku telah mengenal namamu, akan tetapi engkau belum mengenal namaku, Nona Cu Bi Lian yang cantik."
"Namamu... Hay-ko, aku sudah tahu! Engkau seorang perayu dan mata keranjang, gila perempuan. Itu saja! Nah, sambutlah ini!" Dan dia pun sudah menerjang kembali dengan hebatnya tanpa memberi kesempatan kepada Hay Hay untuk banyak cakap lagi!
"Haiiiittt...!"
Serangan itu demikian ganas sehingga untuk menghindarkan diri, Hay Hay menjatuhkan diri di atas tanah dan bergulingan menjauh, lalu melompat berdiri lagi. "Nanti dulu, kurasa engkau telah berbohong kepadaku, Nona!"
Bi Lian yang sudah siap mengirim serangan susulan, mengerutkan alisnya dan matanya mengeluarkan sinar berapi. "Apa?! Kau bilang aku berbohong kepadamu? Untuk tuduhan itu saja engkau harus membayar nyawa!"
"Hutang lagi! Wah, engkau berbakat menjadi tukang kredit, Nona."
"Apa tukang kredit?"
"Itu, orang yang melepas uang dengan bunga hutang-pihutang! Aku mengatakan bohong tentang namamu. Kau pernah mengaku bahwa engkau Dewi, sekarang engkau mengaku bernama Cu Bi Lian, nama seorang gadis, seorang manusia biasa. Nah, manakah yang benar?"
Hay Hay memang sengaja mencari-cari urusan saja sebagai bahan untuk berbicara agar nona itu tidak menyerangnya. Dia khawatir juga ketika melihat betapa serangan nona itu semakin lama semakin ganas dan berbahaya.
"Siapa berbohong?! Namaku memang Cu Bi Lian dan julukanku Thiat-sim Sian-li!"
"Dewi Berhati Besi? Wah-wah-wah, ini namanya langit bertemu bumi!"
"Apa lagi itu? Mana mungkin langit bertemu bumi!"
Hay Hay tersenyum, senang sudah dapat memancing nona itu bercakap-cakap. "Memang hal itu tidak mungkin, sama tak mungkinnya dengan julukanmu, Nona. Dengar baik-baik, seorang Sian-li (Dewi) sudah pasti memiliki hati yang lembut, penuh belas kasihan, penuh cinta kasih terhadap sesamanya. Sebaliknya, yang pantas mempunyai hati besi hanyalah iblis-iblis dan setan-setan yang kejam, ganas dan senang membunuh orang tanpa salah. Dewi-dewi biasanya berwajah cantik-cantik, lemah lembut dan bijaksana, sedangkan iblis dan setan bertampang buruk, berwatak kasar dan keras. Nah, jelas bahwa tidak mungkin ada dewi berhati besi, bukan?"
"Peduli apa kau dengan keadaanku? Aku boleh berhati besi, berhati baja, berhati batu, atau berhati apa saja, sesuka hatiku. Tidak ada sangkut-pautnya dengan engkau!"
"Memang, seribu prosen hakmu sendiri untuk memakai hati dari apa, Cu-lihiap (Pendekar Wanita Cu). Nah, pantas sekali sebutan Cu-lihiap untukmu, bukan? Memang engkau jauh lebih pantas menjadi seorang pendekar wanita dari pada..."
"Dari pada apa?" Cepat Bi Lian mendesak karena Hay Hay berhenti bicara. Pemuda ini kembali mengelak, berjaga-jaga agar jangan sampai menyinggung hati gadis itu dengan celaan.
"Engkau adalah seorang pendekar wanita. Nah, menjadi pendekar wanita lebih baik dari pada jika seandainya engkau menjadi tokoh sesat yang jahat sekali, bukan?"
Kini Bi Lian agaknya sadar bahwa sejak tadi ia tidak diberi kesempatan untuk menyerang, bahkan terseret ke dalam serangkaian percakapan dengan pemuda ini! Marahlah gadis ini dan dia pun lalu membentak, "Cukup sudah! Cerewet benar kau! Bersiaplah karena aku segera akan menyerangmu untuk menyelesaikan perhitungan!"
Hay Hay merasa kecewa bahwa dia tak berhasil melembutkan hati yang keras itu. Pantas julukannya Dewi Berhati Besi, pikirnya. Akan tetapi dia masih mencoba juga.
"Nanti dulu, Lihiap. Apakah aku tidak dapat membayar lunas... ehh, siapa yang berhutang tadi? Engkau atau aku? Tidak peduli siapa yang berhutang dan siapa yang membayar, apakah tidak ada cara lain untuk melunasi hutang? Apakah aku sudah begini tak berguna sehingga engkau hendak membunuhku? Ingat baik-baik, Nona cantik dan gagah perkasa. Mungkin orang macam aku ini masih ada juga gunanya selain untuk dijadikan pembayar hutang dan dibunuh."
Tentu saja Hay Hay mengeluarkan kata-kata ini hanya sekedar hendak memperpanjang waktu sambil mengalihkan perhatian gadis itu dari kehendaknya yang ingin menyerangnya maka tentu saja dia tidak mengharapkan tanggapan yang serius. Bahkan ucapannya tadi hanya seperti kelakar saja. Karena itu dia menjadi sangat terheran-heran ketika gadis itu menanggapinya dengan serius!
Sepasang mata itu memandang kepadanya penuh selidik. Dan kini suaranya tak seketus tadi, melainkan penuh harap. "Kalau engkau dapat membantuku dengan keterangan yang berguna, mungkin aku akan menganggap lunas semua perhitungan di antara kita tanpa harus mengajakmu bertanding."
Wajah Hay Hay yang tadinya terkejut dan heran itu kini berubah girang sekali. Dengan senyum ramah dia cepat bertanya. "Keterangan apakah itu, Lihiap? Tentu aku akan suka sekali membantumu kalau memang aku dapat."
"Aku mencari dua pasang suami isteri, mudah-mudahan engkau mengenal mereka dan tahu di mana mereka berada."
"Siapakah mereka, Nona?"
"Mereka adalah Lam-hai Siang-mo dan suami isteri Goa Iblis Pantai Selatan."
Tentu saja Hay Hay merasa terkejut bukan main dan walau pun dia memiliki batin yang cukup kuat dan tidak mudah terkejut, tapi sekali ini kekagetan itu nampak pada pandang matanya yang melebar.
"Kau kenal mereka? Di mana mereka? Aku sedang mencari-cari mereka!"
Tentu saja Hay Hay mengenal dua pasang suami isteri itu! Lam-hai Siang-mo adalah Siangkoan Leng dan Ma Kim yang pernah dipanggilnya ayah dan ibu selama bertahun-tahun, sejak dia masih bayi! Dan suami isteri Goa Iblis Pantai Selatan adalah suami isteri yang hendak merampasnya dari tangan orang-orang yang tadinya dianggap sebagai ayah ibunya itu.
"Kenapa engkau mencari dua pasang suami isteri itu?"
"Aku hendak membunuh mereka!"
Kembali Hay Hay terkejut, akan tetapi diam-diam hatinya girang juga. Jawaban gadis itu menunjukkan bahwa dia bermusuhan dengan dua pasang suami isteri yang terkenal amat kejam dan jahat itu. Hal ini berarti bahwa gadis ini ternyata bukan dari golongan sesat!
"Nona Cu Bi Lian yang baik, kenapa engkau hendak membunuh dua pasang suami isteri itu?"
"Cerewet benar kau!" Gadis itu membentak dengan mata melotot. "Katakan saja, engkau mengenal mereka atau tidak? Tidak perlu engkau mencampuri urusanku dan jangan kau membohong!"
Hay Hay mengangguk. "Aku kenal mereka, mengenal dengan baik sekali," katanya terus terang dengan sikap tenang.
Mendengar ini Bi Lian menjadi girang sekali dan wajahnya nampak berseri, membuat Hay Hay bengong saking kagum karena melihat wajah yang demikian cantik dan manisnya.
"Wah, bukan main...!" Dia mengeluarkan pujian tanpa disadarinya lagi, matanya menatap wajah yang berseri itu penuh kagum.
Bagaimana dia tidak akan kagum melihat betapa kedua pipi itu, tepat pada bagian tulang menonjol di bawah kedua mata kini nampak kemerahan, mata itu bersinar-sinar bening, mulut yang bibirnya merah membasah itu tersenyum simpul.
"Apanya yang bukan main?!" Bi Lian membentak, mengerutkan alisnya karena pandang mata pemuda itu demikian tajam dan dia pun mengenal bayangan kagum mata laki-laki seperti yang sering dia lihat ketika dia bertemu dengan kaum pria.
"Wajahmu itu, hemmm... cantik bukan main, Nona." kata pula Hay Hay terus terang.
Sepasang mata itu terbelalak. Berbagai macam perasaan mengaduk dalam hati Bi Lian. Girang, bangga, akan tetapi juga marah dan kemarahanlah yang paling besar. Harus dia akui bahwa sudah banyak dia menerima pujian kaum pria, baik melalui pandangan mata atau pun melalui kata-kata, akan tetapi lelaki yang memujinya itu selalu memiliki pandang mata yang kurang ajar dan penuh nafsu, dan pujiannya merupakan rayuan.
Akan tetapi pemuda ini, yang dalam pertemuan pertama sudah memujinya, memandang dengan kekaguman yang terbuka, yang tak menyembunyikan pandang mata kurang ajar, dan yang begitu terus terang dan jujur sehingga membuat dia tersipu.
"Simpan semua rayuanmu, laki-laki mata keranjang. Atau, sekali lagi aku akan menampar mukamu. Jangan pringas-pringis seperti monyet! Hayo katakan, di mana mereka?"
Hay Hay masih terpesona. Perubahan wajah gadis itu dari keadaan berseri girang menjadi marah-marah bahkan menambah kemanisannya. Bentakan itu membuat dia sadar, maka dia pun menjawab bingung, "Mereka siapa?"
"Keparat, kau jangan mempermainkan aku, ya!" Bi Lian membentak, tangannya membuat gerakan seperti hendak menampar. "Tentu saja dua pasang suami isteri itu! Sudah lama aku mencari mereka. Di mana mereka?"
Hay Hay menggelengkan kepalanya, "Aku tidak tahu."
"Bohong!" Bi Lian membentak, kecewa dan marah sekali. "Engkau pembohong besar!"
Hay Hay kini mengerutkan alisnya sambil memandang tajam. Sukar baginya untuk marah kepada seorang gadis secantik ini, akan tetapi dalam waktu sehari saja telah dua kali dia dimaki sebagai pembohong oleh gadis ini. Pertama, pada waktu dia menyangkal tuduhan pemerkosa dan pembunuh malam tadi, gadis itu pun memakinya pembohong sehingga dia dikeroyok oleh banyak orang. Dan sekarang dia dimaki pembohong lagi, untuk kedua kalinya.
"Nona Cu Bi Lian, engkau sungguh keterlaluan memandang rendah dan memaki orang. Apa bila sikapmu seperti ini, andai kata aku tahu juga di mana adanya dua pasang suami isteri itu, agaknya aku akan merasa enggan untuk memberi tahu kepadamu."
"Hemm, kau kira aku tidak akan dapat memaksamu membuka mulut kalau engkau tahu di mana mereka berada?"
Panas juga rasa perut Hay Hay mendengar kecongkakan gadis itu. Dia tahu bahwa gadis itu lihai, akan tetapi bukan karena takut apa bila dia selalu bersikap mengalah, melainkan hatinya terasa berat kalau harus bermusuhan dengan wanita cantik. Jauh lebih baik, lebih enak dan menyenangkan untuk bersahabat dengan mereka dari pada memusuhi mereka!
Namun sikap Bi Lian yang terlalu memandang rendah, membuat dia merasa mendongkol juga. Selain itu, di tempat yang sunyi ini, di mana tidak terdapat orang lain yang menjadi saksi, apa salahnya kalau dia menguji kemampuan gadis ini? Dia ingin sekali tahu sampai di mana kehebatan gadis bernama Cu Bi Lian ini sehingga dia bersikap demikian angkuh.
"Aha, aku juga ingin sekali melihat bagaimana engkau akan dapat memaksaku."
"Dengan ini!" Dan Bi Lian langsung menerjang dengan pukulan yang amat hebat, kedua telapak tangannya mengeluarkan uap yang panas dan gerakannya cepat bukan kepalang sehingga sulit diikuti pandang mata, tahu-tahu tangan kanannya sudah mencengkeram ke arah muka Hay Hay sedangkan tangan kiri dengan jari terbuka telah menotok ke arah ulu hati. Sungguh merupakan serangan dahsyat yang amat kejam dan ganas sekali!
"Eiiihhh...!" Hay Hay cepat meloncat ke belakang, mengelak dengan cepat sambil bersiap untuk melindungi tubuhnya. Dan memang hal ini penting sekali karena lengan tangan kiri yang menotok ulu hati itu ternyata dapat mengejarnya, mulur sampai panjang dan terus saja melanjutkan totokannya dengan kecepatan yang luar biasa.
"Dukkk!"
Terpaksa Hay Hay menangkis dengan mengerahkan tenaganya sehingga tangan kiri yang menotoknya itu terpental.
Bi Lian menjadi marah. "Mampuslah!" Dia membentak.
Kini dia sudah menyerang lagi, kakinya menendang dengan tendangan berantai sampai tujuh kali, dengan kaki kanan dan kiri, sementara itu, di antara tendangan-tendangan yang bertubi-tubi itu, kedua tangannya juga ikut membantu kakinya dengan serangan tamparan-tamparan jarak jauh yang ganas dan kuat bukan kepalang sehingga angin pukulan yang mengandung hawa panas itu saja sudah dapat merobohkan lawan yang kurang kuat.
Betapa pun cepat dan kuat gerakan Bi Lian dalam serangan-serangannya, namun sekali ini yang sedang dihadapinya adalah seorang murid terkasih dari dua orang di antara Pat Sian (Delapan Dewa)! Tingkat kepandaian dua orang gurunya itu jauh melampaui tingkat kepandaian dua orang guru Bi Lian, yaitu dua orang di antara Empat Setan, maka tentu saja tidak mengherankan jika tingkat kepandaian Hay Hay juga lebih tinggi dibandingkan tingkat Bi Lian.
Hay Hay kaget juga melihat kehebatan serangan-serangan gadis itu, akan tetapi dia tidak gugup. Dengan Ilmu Jiauw-pouw Poan-soan, yaitu langkah ajaib yang membuat tubuhnya berputar-putaran namun selalu dapat menghindarkan diri dari serangan lawan, dia berhasil membuat semua tendangan dan pukulan tangan Bi Lian mengenai angin kosong belaka.
Dari See-thian Lama dia telah mewarisi ginkang istimewa, yang membuat tubuhnya dapat bergerak jauh lebih cepat dari gerakan Bi Lian. Sampai belasan jurus gadis itu menyerang secara bertubi-tubi, tetapi tak ada satu pun serangannya yang mengenai sasaran, bahkan menyentuh baju pemuda itu pun tidak. Bi Lian menjadi semakin penasaran dan marah.
"Keparat, balaslah jika engkau memang memiliki kepandaian!" Makin Hay Hay mengalah, dia merasa semakin dipandang rendah dan dipermainkan.
"Baik, terimalah ini!" Hay Hay mulai membalas dengan tamparan ke arah pundak Bi Lian. Tamparan yang nampaknya perlahan saja.
Akan tetapi Bi Lian tak berani memandang rendah sebab dia pun maklum bahwa pemuda ini, biar pun ugal-ugalan dan berlagak tolol, ternyata memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Dia pun cepat mengelak dan membalas dengan tusukan tangan miring ke arah lambung.
Akan tetapi Hay Hay segera membalikkan tangan yang menampar ke bawah, secara tak tersangka-sangka tangannya yang seperti kepala ular itu telah menyambar ke bawah dan dia berhasil menangkap pergelangan tangan gadis itu.
"Heh-heh...!" Dia tertawa akan tetapi hanya sebentar karena bukan main kagetnya ketika tangan yang ke dua dari gadis itu tahu-tahu telah menyambar ke arah mukanya, dengan telunjuk dan jari tengah menusuk ke arah mata!
"Eeiiiitttt...! Aku belum mau menjadi buta!" katanya. Dia terpaksa melepaskan tangkapan tangannya dan meloncat ke belakang.
Bi Lian melihat betapa pergelangan tangannya yang tadi dipegang terdapat tanda bekas jari tangan sehingga dia pun menjadi marah bukan main. Tiba-tiba dari mulutnya keluar suara melengking tinggi yang menggetarkan jantung Hay Hay.
Pemuda ini terkejut bukan main saat merasa betapa jantungnya terguncang dan tubuhnya menggigil mendengar suara melengking ini. Tahulah dia bahwa gadis itu mempergunakan semacam ho-kang (ilmu khikang yang dilancarkan melalui suara) yang sangat kuat. Ilmu seperti ini hanya dapat dilakukan oleh orang yang mempunyai sinkang dan khikang yang sangat kuat, seperti binatang harimau dan singa yang mampu melumpuhkan lawan hanya dengan gerengannya saja!
Maka dia pun cepat menahan napas dan mengerahkan sinkang-nya, lalu dia pun tertawa bergelak-gelak. Dari suara ketawanya ini keluar gelombang suara yang kuat bukan main, menahan gelombang suara lengkingan yang dikeluarkan oleh Bi Lian.
Pada saat itu pula, tanpa menghentikan lengkingannya Bi Lian sudah menerjang lagi, kini pukulannya dilakukan dari kanan dan kiri, menampar-nampar ke arah kepala sampai ke pinggang, diselingi tendangan-tendangan maut yang amat cepat.
Melihat ini, Hay Hay juga cepat mengeluarkan langkah ajaibnya, mengelak dan membalas serangan Bi Lian. Begitu tangan kanan Bi Lian yang menyambar pelipis kirinya berhasil dia elakkan, otomatis tangan kanannya bergerak menotok ke arah leher gadis itu sambil tangan kirinya menangkis datangnya tendangan.
Tangkisan tendangan itu ternyata membuat tubuh Bi Lian segera terguling sehingga Hay Hay merasa terkejut dan menyesal bukan main. Tak disangkanya bahwa tangkisannya itu mempergunakan tenaga terlampau kuat sehingga dia membuat gadis itu terpelanting. Dia cepat membungkuk untuk membantu gadis itu bangun kembali, akan tetapi tiba-tiba kaki kiri gadis itu menyambar dari bawah dalam posisi terpelanting tadi.
Hay Hay terkejut. Baru tahulah dia bahwa gadis itu bukan terpelanting sungguh-sungguh, melainkan hanya pancingan saja. Tendangan yang demikian cepatnya menyambar selagi tubuhnya membungkuk untuk menolong, maka tak sempat lagi ditangkis atau dielakkan. Segera dia mengerahkan sinkang ke arah pinggangnya yang disambar tendangan itu.
"Bukkk...!"
Tubuh Hay Hay terlempar sampai tiga meter, jatuh bergulingan, namun dia tidak terluka. Gadis itu laksana menendang sebuah bola karet yang berisi angin saja!
Semua gerakan kedua orang tadi demikian cepat tak dapat diikuti oleh pandangan mata orang biasa, dan mereka pun bergerak hanya mengandalkan naluri hingga kecepatannya melebihi perhitungan pikiran. Gerakan yang telah mendarah daging dan semuanya serba otomatis, baik menyerang, menangkis atau mengelak. Kepekaan syaraf yang memegang peran. Gerakan reflex yang merupakan reaksi dari pada semua otot dan syaraf di dalam tubuh dan sering kali di luar kecepatan perhitungan pikiran.
"Heh-heh-heh!" Hay Hay bangkit lantas mengebut-ngebut pakaiannya yang terkena debu. "Terima kasih, tendanganmu lumayan lunak sehingga membuat pegal-pegal di pinggangku lenyap seketika."
Sebenarnya Hay Hay hanya bergurau, akan tetapi Bi Lian menjadi semakin marah karena dia menganggap pemuda itu mengejeknya.
"Singgg...!" Tiba-tiba tangan gadis itu sudah memegang sebatang pedang!
Hay Hay terkejut sekali. Tadi gadis itu tidak kelihatan membawa pedang, akan tetapi kini tahu-tahu memegang sebatang pedang yang berkilauan saking tajamnya, seperti bermain sulap saja. Dia dapat menduga bahwa pedang di tangan gadis itu tentu sebatang pedang tipis yang dapat digulung, terbuat dari baja yang amat baik dan pedang seperti itu sangat berbahaya dan tajam.
"Aihh, nanti dulu, Nona Cu Bi Lian. Kenapa engkau sampai harus mengeluarkan senjata? Apakah hanya untuk urusan kecil ini saja engkau benar-benar berniat hendak membunuh aku? Kita baru saja berkenalan, jadi tak ada hal-hal yang pantas dijadikan alasan bagimu untuk membunuhku."
"Tidak perlu banyak cakap lagi. Keluarkan senjatamu dan mari kita lanjutkan perkelahian ini. Kita berdua bukan anak-anak kecil lagi, sama-sama memiliki ilmu silat, dan mari kita bertanding untuk menentukan siapa yang lebih unggul!" kata Bi Lian.
Dia masih merasa penasaran sekali karena dalam perkelahian tadi, walau pun dia belum kalah, namun jauh untuk dapat dibilang dia menang. Dan sikap pemuda itu yang agaknya memandang ringan dan mengejeknya, benar-benar sudah membuat hatinya panas sekali. Tendangan tadi dikatakan lunak dan hanya dapat mengusir pegal-pegal!
Sebenarnya Hay Hay masih ingin menguji kehebatan gadis itu bermain pedang. Namun, melihat betapa sepasang mata yang indah itu mencorong penuh dengan kemarahan, dia tahu bahwa dia tidak boleh mendesak terlalu jauh, karena salah-salah hal ini hanya akan menumbuhkan kebencian di dalam hati gadis itu terhadap dirinya. Dan dibenci oleh gadis sejelita itu, wah, tentu saja dia merasa keberatan sekali.
"Nona yang baik..."
"Sudah, tak perlu lagi merayu. Aku bukan Nona yang baik!" Bi Lian memotong.
Hay Hay mengembangkan kedua lengan, mengangkat pundak. "Habis, apakah aku harus menyebutmu Nona yang jelek! Padahal engkau sama sekali tidak jelek, sama sekali tidak jahat. Nona yang baik, apakah engkau tak merasa malu untuk menjilat ludah sendiri yang sudah dikeluarkan?"
Bi Lian mengerutkan alisnya. "Apa?! Engkau jangan bicara yang bukan-bukan!"
"Nona tadi telah mengatakan bahwa kalau aku dapat memberi keterangan mengenai dua pasang suami isteri, maka Nona tidak akan mengajakku bertanding lagi. Dan aku sudah memberi keterangan bahwa aku mengenal mereka. Mengapa Nona hendak mengingkari janji sendiri? Bukankah itu berarti menjilat kembali ludah sendiri yang sudah dikeluarkan?"
"Tidak ada yang menjilat ludah, tak ada yang melanggar janji! Engkau hanya mengatakan kenal saja, akan tetapi tidak tahu mereka tinggal di mana. Keterangan macam apa itu? Tidak ada harganya sekeping pun!"
Hay Hay mengangguk-angguk. "Jadi, kalau aku mengetahui di mana biasanya mereka itu tinggal, apakah Nona sudah menganggap lunas perhitungan di antara kita dan tidak akan memaksaku bertanding lagi?"
Timbul harapan di hati Bi Lian. Memang dia ingin sekali menghajar lelaki yang membuat dia jengkel itu. Akan tetapi kini dia pun sudah tahu bahwa Hay Hay lihai sekali, agaknya tak akan mudah baginya untuk dapat menangkan pemuda itu. Dia tidak takut menghadapi pemuda itu, bahkan merasa penasaran dan ingin sekali mengalahkannya, tetapi dia lebih membutuhkan keterangan tentang dua pasang suami isteri yang menjadi musuh besarnya itu.
Sudah lama sekali dia mencari tanpa hasil dan sekarang dia bertemu dengan orang yang mengenal mereka dan tahu di mana biasanya mereka tinggal. Jika dia hanya menurutkan kemarahan hatinya dan kehilangan kesempatan baik ini untuk mengetahui tempat tinggal musuh-musuhnya, sungguh dia akan rugi sekali.
"Baik, kuberi kesempatan sekali lagi. Cepat katakan di mana mereka berada maka aku akan segera pergi meninggalkanmu, tidak memaksamu untuk bertanding." katanya, akan tetapi dia masih tetap memegang pedangnya. "Apa bila engkau merayu dan membohong sekali lagi, maka pedangku pasti akan memenggal batang lehermu!"
Hay Hay memanjangkan lehernya dan mempergunakan kedua tangan mengulur lehernya sambil menjulurkan lidah, kelihatan merasa ngeri. "Wah, kalau sampai putus, bagaimana menyambungnya kembali? Nah, dengar baik-baik, Nona. Lam-hai Siang-mo adalah suami isteri yang bernama Siangkoan Leng dan Ma Kim Li. Mereka dulu tinggal di kota Nan-king sebagai pedagang obat. Mungkin Nona dapat mencari mereka di Nan-king atau di daerah pantai selatan, karena sesuai dengan julukan mereka, tentu mereka sering berkeliaran di pantai laut selatan. Ada pun suami isteri Goa Iblis Pantai Selatan, bernama Kwee Siong dan isterinya Tong Ci Ki. Mereka pun merupakan tokoh-tokoh pantai selatan, tentu tidak akan sukar menemukan dua pasang suami isteri itu."
Girang rasa hati Bi Lian mendengar keterangan ini. Biar pun belum ada kepastian di mana tempat tinggal dua pasang suami isteri itu, setidaknya dia sudah memperoleh pegangan sehingga dapat lebih mudah mencari jejak mereka.
"Keteranganmu cukup dan hari ini kau kubebaskan. Akan tetapi kalau keteranganmu ini ternyata bohong, lain hari aku pasti mencarimu dan akan membuat perhitungan sampai lunas!" Sesudah berkata demikian, gadis itu meloncat lantas berlari dengan cepat sekali sehingga sebentar saja lenyap dari pandang mata Hay Hay.
"Uhhhhh ...!" Hay Hay menarik napas lega.
Seorang gadis yang bukan main! Dia merasa semakin kagum. Cu Bi Lian itu bukan saja cantik jelita dan manis, akan tetapi juga mempunyai ilmu kepandaian yang tinggi sekali. Sayang, ilmu silatnya memiliki sifat yang ganas, liar dan kejam, banyak gerakan-gerakan yang curang dan hanya dimiliki oleh orang-orang dari golongan sesat.
Sayang dia belum dapat mengetahui keadaan gadis itu lebih banyak, murid siapa, anak siapa dan dari golongan mana. Meski pun melihat wataknya yang ganas dan keras, juga dari ilmu silatnya menunjukkan bahwa gadis itu agaknya telah mempelajari ilmu silat tinggi dari kaum sesat, namun kenyataan bahwa gadis itu memusuhi dua pasang suami isteri iblis, sangat melegakan hati Hay Hay.
Jika gadis itu memusuhi golongan sesat, itu berarti bahwa dia sendiri bukan dari golongan sesat! Mudah-mudahan demikian, pikirnya sambil menarik napas panjang, teringat akan keganasan gadis itu yang hendak membunuhnya!
********************
"Han Siong, kini tibalah saatnya engkau harus pergi meninggalkan kuil ini dan memenuhi harapan yang selama ini terkandung di dalam hati kami. Tentu engkau mengerti akan isi hati kami dan tahu apa yang kami harapkan darimu, muridku."
Han Siong menundukkan mukanya dan mengangguk. Pemuda ini berlutut di depan suhu dan subo-nya. Siangkoan Ci Kang, laki-laki tinggi tegap yang gagah perkasa dan lengan kirinya buntung sebatas siku, kini sudah berusia empat puluh tahun. Usia yang belum tua benar, tetapi wajahnya yang tampan dan dingin itu penuh dengan garis-garis keprihatinan.
Sejak muda pendekar ini memang bernasib buruk, karena sebagai putera seorang datuk sesat yang amat kejam, dia malah mempunyai watak gagah perkasa sehingga sering kali harus bertentangan dengan mendiang ayahnya. Kemudian pemuda ini pun gagal dalam cintanya.
Walau pun akhirnya dia bertemu dengan Toan Hui Cu yang senasib sehingga keduanya saling tertarik dan saling jatuh cinta, akan tetapi penderitaan hidupnya belumlah berakhir. Bahkan, bersama Toan Hui Cu yang sudah menjadi isterinya tanpa pernikahan, dia harus menjalani hukuman dua puluh tahun!
Bukan hanya itu! Puteri mereka satu-satunya yang mereka titipkan kepada keluarga Cu di dusun, telah lenyap diculik orang! Mereka berdua tidak berdaya, tidak mampu melakukan pencarian karena mereka belum selesai menjalani hukuman.
Kini dia duduk bersila, berdampingan dengan Toan Hui Cu yang sekarang usianya sudah tiga puluh sembilan tahun. Wanita ini pun nampak amat dingin dan mukanya agak pucat, pembawaannya anggun dan angkuh.
"Teecu (murid) mengerti apa yang diharapkan Suhu dan Subo. Teecu akan segera pergi mencari adik Siangkoan Bi Lian," jawab Han Siong dengan suara tegas karena memang ingin memegang janjinya, ingin membalas kebaikan suhu dan subo-nya dengan mencari puteri mereka sampai dapat. "Teecu hanya akan kembali ke sini menghadap Suhu dan Subo kalau teecu sudah berhasil menemukan Adik Bi Lian, dan tidak akan kembali kalau belum berhasil."
"Han Siong, engkau tentu tahu bahwa siang malam aku akan menanti kembalimu dengan hati yang penuh harapan." Toan Hui Cu bicara, suaranya penuh dengan keharuan walau pun wajahnya tetap dingin. "Carilah anakku itu sampai dapat, dan engkau berhati-hatilah, muridku. Engkau sudah sering kami ceritakan tentang tokoh-tokoh di dunia persilatan dan ketahuilah bahwa selain mereka yang kami kenal dan sudah kami ceritakan kepadamu, di dunia ini masih banyak lagi orang pandai."
"Teecu akan selalu mengingat nasehat Subo dan Suhu," jawab Han Siong.
"Kami tahu bahwa tidak akan mudah mencari Bi Lian, karena anak itu tidak meninggalkan jejak. Akan tetapi mengingat bahwa lenyapnya bersamaan dengan keributan yang terjadi di dusun, kabarnya ada manusia-manusia iblis yang berkelahi di sana, maka carilah dia di antara tokoh-tokoh dan kaum sesat..." kata Toan Hui Cu yang kemudian dilanjutkan oleh Siangkoan Ci Kang.
"Selain itu, Han Siong, ada satu hal penting lagi yang telah kami ambil menjadi keputusan hati kami berdua. Kami hanya mengharapkan bahwa engkau tak akan menolak apa yang menjadi keinginan hati kami ini." Gurunya itu berhenti dan agaknya merasa sukar untuk melanjutkan kata-katanya. Ketika Han Siong menengadah dan memandang mereka, dia melihat suhu dan subo-nya saling pandang dengan khawatir .
"Han Siong, selama ini engkau sudah seperti anak kami sendiri, bukan? Sebab itu kurasa engkau tidak akan menolak keinginan kami...," kata pula subo-nya, akan tetapi wanita itu juga tidak melanjutkan kata-katanya.
"Suhu dan Subo, apakah yang menjadi keinginan hati Ji-wi? Katakanlah, teecu pasti akan memenuhi keinginan Suhu dan Subo yang selama ini sudah melimpahkan budi terhadap diri teecu. Katakanlah, Suhu."
Siangkoan Ci Kang menarik napas panjang, lantas berkata, "Hukuman kami masih tersisa dua tahun lagi, Han Siong. Setelah itu barulah kami akan meninggalkan kuil ini dan pergi sendiri mencari anak kami. Tetapi kami telah mengambil keputusan untuk... menjodohkan Bi Lian denganmu, Han Siong. Karena itu, dalam waktu dua tahun, sebelum kami pergi meninggalkan kuil ini, kami harap engkau suka datang ke sini untuk melaporkan semua hasil penyelidikanmu mengenai puteri kami."
Bukan main kagetnya hati Han Siong mendengar kata-kata kedua orang gurunya itu. Dia dijodohkan dengan puteri gurunya? Melihat pun belum pernah puteri gurunya itu! Di lubuk hatinya timbul perasaan menentang karena dia sama sekali tidak pernah berpikir tentang perjodohan. Akan tetapi bagaimana mungkin dia dapat menolak keinginan hati suhu dan subo-nya? Dia hanya menundukkan mukanya dan sampai lama tidak mampu menjawab.
Melihat keraguan muridnya ini, suami isteri yang sakti itu saling pandang kemudian Toan Hui Cu mengerutkan alisnya sambil bertanya. "Bagaimana, Han Siong. Maukah engkau menerima keinginan kami untuk menjadi calon jodoh anak kami Bi Lian?"
Melihat isterinya mendesak, Siangkoan Ci Kang segera menyambung. "Han Siong, kami tahu bahwa perjodohan adalah satu di antara semua peristiwa yang ditentukan oleh Thian (Tuhan). Seperti kami katakan tadi, kami berdua melihat alangkah baiknya kalau Bi Lian bisa berjodoh denganmu, namun hal itu merupakan keinginan hati kami saja. Akan tetapi keputusannya nanti, terserah pada kehendak Thian. Engkau perlu mengetahui saja bahwa kami ingin sekali menjodohkan Bi Lian denganmu, kami sama sekali tidak memaksa dan biarlah kita bicarakan lagi urusan perjodohan ini kalau engkau atau kami sudah berhasil menemukan Bi Lian kembali."
Lega rasa hati Han Siong mendengar ucapan suhu-nya itu. Dia tak ingin mengecewakan hati kedua orang gurunya dengan penolakan. Akan tetapi bagaimana mungkin dia dapat menerima begitu saja uluran tangan untuk berjodoh, tanpa lebih dulu melihat bagaimana keadaan orang yang hendak dijadikan jodohnya, dan tanpa bertanya pula kepada pihak keluarganya? Ucapan suhu-nya membuat hatinya terasa lega sekali maka cepat-cepat dia memberi hormat dan berkata.
"Suhu dan Subo, teecu selalu mentaati semua perintah Suhu dan Subo. Teecu rasa yang paling penting sekarang ini adalah lebih dulu menemukan Adik Bi Lian."
Suami isteri itu kembali saling pandang dan keduanya merasa lega juga. Bagaimana pun, murid mereka itu tidak menolak. Mereka lalu mempergunakan waktu semalam itu untuk memberi nasehat-nasehat kepada Han Siong, juga menceritakan kepada murid mereka itu tentang keadaan di dunia kang-ouw, tentang banyaknya orang pandai yang berwatak palsu, curang dan jahat sekali. Juga mereka menceritakan mengenai para pendekar yang gagah perkasa yang pernah mereka kenal.
Pada esok harinya, barulah Han Siong meninggalkan kamar di mana suhu dan subo-nya menjalani hukuman kurungan mereka. Malam tadi, untuk dapat berkumpul dengan murid mereka, Toan Hui Cu meninggalkan kamarnya dan mereka bertiga berkumpul di dalam kamar Siangkoan Ci Kang, tanpa diketahui siapa pun juga. Ketika murid mereka hendak berangkat, Siangkoan Ci Kang menyerahkan sebatang pedang kepadanya sambil berkata dengan suara halus.
"Muridku, kau terimalah pedang ini dari kami. Pedang ini adalah Kwan-im-kiam (Pedang Kwan Im), amat cocok untuk ilmu silat pedang Kwan-im Kiam-sut yang telah kami ajarkan kepadamu. Pedang ini tadinya kami simpan untuk Bi Lian, dan sekarang kami serahkan kepadamu sebagai bekal untuk melindungi dirimu sendiri dari orang-orang jahat. Selain itu juga merupakan peringatan bagimu bahwa Suhu dan Subo-mu telah menyerahkan puteri mereka kepadamu..." Sampai di sini Siangkoan Ci Kang terhenti lantas dia memandang terharu.
Han Siong menerima pedang itu, pedang yang ringan dan pendek, lalu menyimpannya di dalam buntalan pakaiannya. Dia meninggalkan kamar renungan dosa atau kamar penebus dosa itu, diikuti pandang mata suhu dan subo-nya yang merasa kehilangan sebab selama delapan tahun ini mereka menggembleng Han Siong seperti anak sendiri. Semenjak Han Siong masih seorang anak laki-laki sampai kini menjadi seorang pemuda dewasa berusia dua puluh tahun!
Pada keesokan harinya, Han Siong menghadap Ceng Hok Hwesio, ketua kuil itu yang kini telah menjadi seorang kakek yang amat tua. Dengan usianya yang tujuh puluh tiga tahun, Ceng Hok Hwesio masih nampak gagah, tinggi besar bermuka hitam dan wataknya masih keras berdisiplin.
Ketika Han Siong menghadap padanya untuk berpamit, hwesio ini mengangguk-angguk. Selama ini Han Siong tinggal di kuil sebagai seorang kacung, namun karena pemuda ini titipan dari paman gurunya, Pek Khun, maka pemuda itu diperlakukan dengan sikap yang baik.
"Omitohud, alangkah cepatnya waktu berlalu, Han Siong," kata Ceng Hok Hwesio ketika pemuda itu berlutut menghadapnya dan mengatakan bahwa hari itu juga dia hendak pergi meninggalkan kuil.
"Telah tiga belas tahun teecu berdiam di kuil ini dan telah menerima banyak kebaikan dari Suhu dan para Suhu di kuil ini. Teecu menghaturkan banyak terima kasih dan bila mana selama ini teecu pernah melakukan kesalahan-kesalahan, sudilah kiranya Suhu memberi maaf kepada teecu."
"Siancai...! Pinceng merasa bangga sekali padamu, Han Siong. Walau pun engkau tidak menjadi hwesio, akan tetapi engkau sudah mempelajari banyak tentang agama kita, mau memperhatikan tentang kebudayaan, filsafat dan pengertian tentang kehidupan. Dan biar pun engkau bukan murid Siauw-lim-pai, namun di sini engkau telah memperoleh ilmu silat yang pinceng tahu sangat tinggi. Mudah-mudahan saja engkau pandai-pandai membawa diri di dalam dunia ramai dan tidak mengecewakan bahwa engkau sudah pernah tinggal menggembleng diri di sini selama tiga belas tahun."
"Semua nasehat Suhu akan teecu perhatikan baik-baik."
"Ada satu hal penting yang perlu kau ketahui, Han Siong. Apakah engkau tahu di mana adanya keluargamu?"
Han Siong menggelengkan kepalanya. "Justru teecu ingin bertanya kepada Suhu di mana teecu dapat bertemu dengan kakek buyut Pek Khun yang dulu membawa teecu ke kuil ini."
Hwesio tua itu menarik napas panjang. "Aihhh... pinceng sendiri tidak tahu di mana Pek Khun Susiok berada. Mungkin dia kembali ke Kun-lun-san. Akan tetapi menurut apa yang dipesannya kepada pinceng ketika dia menitipkan engkau di sini, setelah engkau dewasa, engkau diharuskan mencari keluargamu, yaitu keluarga Pek. Ayahmu adalah cucu Susiok Pek Khun. Ayahmu bernama Pek Kong, yakni putera ketua Pek-sim-pang yang berasal dari daerah Kong-goan di Propinsi Secuan. Nah, engkau carilah keluargamu di sana, Han Siong."
Setelah menerima banyak petunjuk dari Ceng Hok Hwesio, maka berangkatlah Han Siong meninggalkan kuil itu. Tentu saja selama tiga belas tahun ini telah terjadi perubahan besar atas dirinya.
Ketika datang bersama kakek buyutnya, dia hanya seorang anak laki-laki berusia tujuh tahun yang belum tahu apa-apa, hanya memiliki dasar-dasar ilmu silat yang diajarkan oleh kakek buyutnya. Sekarang dia sudah menjadi seorang pemuda dewasa. Bukan saja luas pengetahuannya karena dia tekun sekali mempelajari sastera dari kitab-kitab yang banyak terdapat di kuil itu, akan tetapi juga dia sudah digembleng secara tekun selama delapan tahun ini oleh suami isteri sakti Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu.
Selain telah melatih diri dengan tiga belas jurus Pek-sim-kun yang merupakan inti sari dari ilmu silat perkumpulan Pek-sim-pang, juga dia sudah digembleng oleh Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu yang memiliki bermacam-macam ilmu silat. Ilmu yang baru didapatkan oleh dua orang itu, yaitu ilmu Kwan-im Kiam-sut dan Kwan-im Sin-kun sudah dipelajarinya dengan baik sekali.
Selain semua ilmu silat itu, dari subo-nya Toan Hui Cu, Han Siong juga telah mempelajari ilmu Hoat-sut atau sihir yang mempergunakan kekuatan hitam untuk menundukkan lawan! Hal ini sama sekali tidak aneh karena Toan Hui Cu adalah puteri dari Raja dan Ratu Iblis yang selain tinggi sekali ilmu silatnya, juga merupakan datuk-datuk sesat.
Han Siong melakukan perjalanan cepat, menuju ke Secuan karena lebih dahulu dia akan mencari keluarganya sambil mendengarkan kalau-kalau ada petunjuk jejak Bi Lian. Musim salju telah tiba dan di mana-mana hawanya dingin bukan main. Pohon-pohon yang sudah kehilangan daun-daunnya pada musim rontok, kini terhias salju seperti kapas putih bersih, membuat pohon-pohon itu nampak seperti hiasan-hiasan yang indah.
Han Siong sedang berjalan seorang diri melalui jalan yang tertutup salju. Hujan salju baru saja berhenti dan biar pun cuaca nampak sudah terang, tetapi dinginnya bukan kepalang. Han Siong mengenakan jubah yang cukup tebal, tapi ini pun masih harus dibantu dengan pengerahan sinkang yang membuat tubuhnya terasa hangat. Uap putih agak tebal terlihat keluar dari hidung dan mulutnya setiap kali dia menghembuskan napas.
Sekarang pemuda ini sudah menjadi seorang lelaki dewasa yang tampan. Wajahnya yang berbentuk bulat itu memiliki kulit muka yang putih dan sepasang pipinya membayangkan warna kemerahan yang sehat. Demikian pula bibirnya nampak merah tanda sehat.
Alisnya lebat dan hitam, sepasang matanya yang agak sipit itu bersinar terang dan tajam lembut. Tubuhnya sedang dan tegap, kaki tangannya juga padat dan nampak kuat karena semenjak kecil Han Siong melakukan segala macam pekerjaan yang kasar di dalam kuil, seperti menebang pohon, membelah kayu dan memikul air. Gerak-geriknya halus, dengan wajah yang anggun dan pandang mata bersinar.