HAN SIONG adalah seorang pemuda yang amat sederhana. Pakaian yang menempel pada tubuhnya adalah pakaian yang diterimanya dari pemberian Ceng Hok Hwesio, terbuat dari kain kasar berwarna putih dan kuning. Jubah tebal itu terbuat dari kapas, akan tetapi juga kasar, seperti yang dipakai oleh para hwesio kuil itu di musim salju. Buntalan pakaiannya hanya terisi beberapa potong pakaian dan juga pedang Kwan-im-kiam pemberian gurunya, dan sedikit uang perak yang berada di dalam buntalannya adalah pemberian Toan Hui Cu.
Hari sudah menjelang senja ketika dia tiba di puncak bukit itu. Sebuah bukit gundul yang hanya ditumbuhi pohon-pohon yang kini sudah menjadi hiasan putih dari salju. Tempat itu nampak lengang dan dinginnya bukan kepalang. Han Siong lalu memandang ke bawah, ke arah timur.
Di lereng itu terdapat sebuah dusun, pikirnya girang. Pada musim salju begini dia harus mendapatkan rumah penduduk atau paling tidak goa atau tempat yang cukup terlindung untuk melewatkan malam. Tidak seperti di musim lain, di mana dia bisa saja melewatkan malam di bawah pohon sambil membuat api unggun. Sangat berbahaya kalau tersesat di tempat yang tidak terlindung dalam musim dingin seperti ini. Orang bisa mati kedinginan.
Ketika Han Siong hendak menuruni bukit itu dengan cepat agar tidak sampai kemalaman tiba di dusun di lereng itu, tiba-tiba dia mendengar suara orang tertawa-tawa. Suara tawa itu parau dan aneh, juga menyeramkan. Di tempat sunyi seperti itu, di mana hawa dingin membuat orang menggigil, bagaimana tiba-tiba saja terdengar suara orang tertawa-tawa?
Han Siong merasa tertarik dan cepat dia menghampiri tempat dari mana datangnya suara itu, yaitu dari balik sebuah batu gunung. Ketika dia tiba di balik batu besar itu, Han Siong berdiri tertegun, bahkan matanya terbelalak memandang ke depan. Penglihatan di depan memang sungguh luar biasa sekali.
Seorang kakek yang sukar ditaksir berapa usianya, berkepala gundul dan berperut gendut sekali sehingga tubuhnya nampak serba bulat, sedang membuat sebuah boneka salju di sana! Hebatnya, kakek yang tertawa-tawa itu bertelanjang dada, hanya memakai celana panjang saja, disambung sepatu rumput.
Dalam hawa yang sedingin itu, bertelanjang badan atas sungguh merupakan hal yang luar biasa sekali. Apa lagi kakek itu masih dapat tertawa-tawa dan bermain-main seorang diri sambil membuat boneka salju, tertawa dan membentuk boneka besar itu, sebesar dirinya, bahkan boneka itu pun menyerupai dirinya, seorang kakek gundul yang perutnya gendut bukan main!
Biar pun Han Siong belum memiliki banyak pengalaman di dunia persilatan, namun ketika melihat keadaan kakek gendut itu, dia dapat menduga bahwa tentu dia bertemu dengan seorang kakek yang amat sakti. Baru keadaannya yang setengah telanjang di antara salju itu saja sudah membuktikan akan kesaktiannya.
Tanpa mempunyai sinkang yang luar biasa kuatnya, tidak mungkin orang dapat bertahan bermain-main dengan salju dalam keadaan tubuh bagian atas telanjang. Dan masih dapat tertawa-tawa pula!
Maka dia pun bermaksud untuk meninggalkan kakek itu, tidak ingin perjalanannya menuju ke dusun di bawah itu terganggu hingga terlambat. Dia sudah memutar tubuh untuk pergi ketika terdengar suara dari belakangnya, suara yang parau dan nyaring.
"Heiiiii! Enak saja kau. Berhenti!"
Tentu saja Han Siong terkejut sekali mendengar teguran yang tidak ramah, bahkan agak kasar ini. Dia tidak mau mencari urusan, maka dia pun langsung membalik, memandang dengan wajah ramah penuh hormat.
"Maaf, saya tak ingin mengganggu keasyikan Locianpwe," Han Siong berkata, menyebut Locianpwe (Orang Tua Perkasa) dan bersikap hormat karena dia yakin bahwa kakek itu adalah seorang yang sakti.
Sejenak kakek itu memandang penuh perhatian dan Han Siong melihat betapa sinar mata yang mencorong itu seakan-akan mendatangkan rasa hangat ketika menyoroti tubuhnya. Diam-diam dia bergidik.
"Orang muda, tanpa diundang engkau datang melihat pekerjaanku, maka kini engkau tak boleh pergi begitu saja tanpa perkenanku!"
Han Siong terkejut sekali, akan tetapi dia menahan sabar. Dia melihat kakek itu kini sudah melanjutkan pekerjaannya membuat boneka besar dari salju itu, agaknya sudah lupa lagi kepadanya karena tidak mempedulikannya sama sekali. Han Siong berdiri saja menonton, tidak tahu harus berbuat apa, akan tetapi merasa lebih aman jika sementara ini dia tutup mulut saja.
Jelas bahwa kakek ini berwatak kasar dan aneh, sehingga siapa tahu dia akan mendapat kesulitan bila dia memaksa diri pergi meninggalkan kakek itu. Maka dia berdiri menonton, merasa betapa kedua kakinya hampir beku karena hawa dingin dari tanah berlapis salju itu seperti menembus sepatunya kemudian meresap masuk ke dalam kedua kaki melalui telapak kakinya. Terpaksa dia mengerahkan sinkang-nya ke arah dua kakinya, memaksa hawa dingin itu supaya turun kembali dan karena pengerahan sinkang ini, maka uap putih mengepul tebal dari kepalanya.
Ada setengah jam Han Siong berdiri menonton. Dia pikir kalau kakek itu sudah selesai membuat boneka salju, tentu dia diperbolehkan pergi. Akan tetapi kakek itu masih terus memperbaiki boneka yang sudah selesai itu, sementara dia merasa betapa cuaca mulai agak gelap. Dia khawatir tidak akan dapat masuk ke dusun itu dalam waktu yang tepat, yaitu sebelum malam tiba.
"Locianpwe, maafkan saya. Saya harus pergi sekarang, khawatir jika sampai kemalaman sebelum tiba di dusun bawah itu."
"Kemalaman atau tidak bukan urusanku. Engkau telah datang dan melihat, sekarang kau katakan bagaimana dengan hasil seni ciptaanku ini, miripkah dengan aku, baguskah?"
Han Siong merasa mendongkol juga. Kakek ini selain kasar, juga mau enaknya sendiri saja, tak mau menghormati dan menghargai keperluan orang lain. Dia mengamati boneka salju yang runtuh karena saljunya merekah atau terlepas, untuk menyatakan kedongkolan hatinya, dia lalu menjawab,
"Boneka salju itu tidak dapat dibilang bagus."
Mendengar jawaban ini, kakek gendut itu melotot memandang kepada Han Siong, terlihat marah sekali. "Apa...?!" Dia berteriak. "Engkau tidak dapat menghargai hasil karya seniku yang hebat ini? Sungguh goblok, sungguh tolol, sungguh tidak memiliki selera tinggi! Hasil karya seni yang begini hebat, timbul dari inspirasi murni, kau katakan tidak bagus, hah?"
Melihat orang itu marah-marah, Han Siong terkejut. Dia tidak ingin membuat orang marah, apa lagi kalau sampai terjadi pertengkaran, maka cepat dia berkata.
"Locianpwe, bagaimana pun juga, harus kuakui bahwa boneka salju buatan Locianpwe ini sangat mirip dengan Locianpwe." Dan pujian ini memang bukan kosong belaka. Memang boneka itu mirip sekali penciptanya, baik bentuk badannya, mukanya dan kepalanya.
Akan tetapi betapa kaget hati Han Siong saat dia melihat kakek itu kini menjadi semakin marah, membanting-banting kakinya sambil menudingkan telunjuknya ke arah hidung Han Siong. "Bocah kemarin sore, kau berani menghina kakek-kakek macam aku ya? Dua kali engkau menghinaku. Pertama, engkau tidak menghargai karya seniku yang agung, dan ke dua, engkau samakan aku dengan sebuah boneka salju yang tak bernyawa! Sungguh kurang ajar engkau, ya?"
Hampir saja Han Siong tertawa. Kakek ini memang aneh dan mau enaknya sendiri, akan tetapi kemarahannya itu disebabkan oleh hal-hal yang aneh dan tidak masuk akal, seperti anak kecil saja. Maka timbullah kegembiraannya dalam usahanya hendak menyenangkan hati kakek itu.
Sudah dua kali dia salah omong, walau pun maksudnya baik untuk memuji. Pertama kali dia bicara sejujurnya tetapi diterima salah, kemudian untuk kedua kalinya dia bicara untuk menyenangkan hati dan memuji namun diterima salah pula. Dia lalu mengerahkan tenaga batinnya seperti yang sudah diajarkan oleh subo-nya, menunjuk ke arah boneka salju dan dengan suara yang halus tetapi mengandung wibawa untuk menguasai pikiran orang, dia berkata,
"Locianpwe, siapa bilang boneka salju itu tidak bernyawa? Lihat, dia pandai berjalan!"
Kakek itu segera menengok memandang dan benar saja, dia melihat betapa boneka salju buatannya tadi kini berjalan-jalan, dengan langkah satu-satu, lucu sekali! Han Siong telah menggunakan kekuatan sihirnya seperti yang telah dipelajarinya dari subo-nya, membuat boneka salju itu berjalan-jalan dalam pandang mata kakek yang kasar dan galak itu.
Kakek itu terbelalak, lalu sengaja dia berjalan di belakang boneka itu sambil tertawa-tawa ha-ha he-he sehingga nampak pemandangan yang lucu sekali. Sepasang kakek kembar, yang satu dari salju, yang satu manusia tulen, berbaris ke kanan-kiri hilir-mudik. Lucunya, kakek gendut bahkan kini memberi aba-aba.
"Satu, dua, tu-wa, tu-wa...!"
Melihat ini Han Siong merasa geli sekaligus juga kasihan, maka dia tersenyum lebar dan menghentikan ilmu sihirnya. Akan tetapi kini dia terbelalak dan mukanya berubah karena dia terkejut bukan main dan merasa terheran-heran sekali. Boneka salju itu tidak berhenti melangkah, melainkan masih terus melangkah dan kakek gendut itu masih mengikuti di belakangnya sambil berseru,
"Tu-wa, tu-wa, tu-wa...!" sambil tertawa-tawa!
Tentu saja Han Siong merasa amat terkejut dan heran. Boneka salju itu tadi bisa berjalan karena pengaruh sihirnya. Akan tetapi mengapa boneka salju itu masih berjalan terus biar pun dia telah menghentikan pengerahan tenaga sihirnya? Dia terbelalak memandang!
Akan tetapi kakek gendut itu tetap tertawa bergelak, bahkan kini mengeluarkan kata-kata parau. "Ha-ha-ha-ha! Boneka salju ini dapat berjalan, bukan hanya berjalan bahkan dapat pula menyerang dan bermain-main dengan orang muda yang lancang, ha-ha-ha!"
Kini dengan langkah-langkah lebar boneka salju itu berjalan menghampiri Han Siong, lalu menyerang Han Siong dengan gerakan yang cepat dan kuat sekali! Hal ini tentu saja amat mengejutkan pemuda itu, maka cepat dia mengelak dengan sebuah loncatan ke samping lalu kakinya melayang, menendang ke arah perut boneka salju itu dengan cepat.
"Prokkk...!" Boneka salju itu hancur berhamburan.
Han Siong melompat ke belakang, masih terheran-heran mengapa boneka salju yang tadi disihirnya sehingga dapat berjalan itu, tahu-tahu dapat mengamuk sesudah pengaruh sihir itu dia lenyapkan. Akan tetapi Han Siong seorang pemuda yang amat cerdik.
Dia sudah dapat menduga bahwa tentu kakek gendut itulah yang main-main dengan dia. Tentu kakek itulah yang telah mempergunakan kekuatan sihir yang lebih ampuh dari pada kekuatannya sendiri untuk melanjutkan permainan itu, sekaligus untuk mengejek dirinya. Pantas kakek itu tadi mengatakan bahwa dia lancang!
Kakek gendut itu sekarang terbelalak, marah melihat betapa boneka kesayangannya yang dinamakannya sendiri sebagai hasil karya seni agung itu dirusak orang. Sambil bertolak pinggang dan menggembungkan perutnya yang sudah gendut, dia berteriak.
"Orang muda yang jahat! Engkau berani merusak boneka saljuku?!"
"Maaf, Locianpwe..."
"Apa maaf?! Tidak ada maaf bagimu! Engkau tadi telah menyamakan aku dengan boneka salju, malah engkau telah mencela pula dan mengatakan buatanku, hasil karya seni yang agung itu tidak bagus. Engkau harus dihajar!"
"Maaf, saya tidak sengaja untuk membikin Locianpwe marah."
"Sengaja atau tidak, aku sudah terlanjur marah sekarang. Nah, kau lihat seranganku. Aku harus membalas dendam atas kehancuran boneka salju." Berkata demikian, tiba-tiba saja tubuh yang gendut itu menerjang ke depan, seperti sebuah bola besar menggelinding dan tahu-tahu dua buah lengan yang besar pendek sudah menyerang dari atas bawah, kanan kiri. Serangan kedua tangan itu mendatangkan angin pukulan berdesir yang mengandung hawa panas!
Dengan gerakan yang halus akan tetapi cepat, Han Siong sudah cepat mengelak dengan menggeser kakinya lantas meloncat ke kiri. Pukulan kedua tangan itu meluncur lewat dan ketika hawa pukulan yang ganas itu menyambar dan mengenai salju yang menempel di batang pohon, salju itu pun mencair dan nampaklah kulit batang yang kehitaman!
Secara diam-diam Han Siong terkejut bukan main. Itulah pukulan yang amat ampuh, yang mengandung tenaga sinkang yang luar biasa. Maka dia pun cepat mainkan Pek-sim-kun yang dipelajarinya dari catatan kakek buyutnya. Tiga belas jurus Pek-sim-kun ini adalah hasil perasan dari Ilmu Silat Pek-sim-kun, merupakan intinya, karena itu hebatnya bukan kepalang.
Begitu melihat gerakan Han Siong yang dilakukan secara mantap, cepat dan mengandung sinkang yang kuat, kakek gendut itu mengimbanginya dengan elakan dan tangkisan yang kuat pula, bahkan segera membalas dengan pukulan-pukulan yang gayanya mirip dengan Pek-sim-kun. Tahulah Han Siong bahwa kakek ini pandai pula dengan ilmu silat Siauw-lim-pai, maka dia kemudian bersilat dengan hati-hati dan berganti-ganti memainkan jurus Pek-sim-kun yang jumlahnya tiga belas itu.
"Wuuuuutttt...!"
Angin pukulan yang sangat keras menyambar ketika Han Siong mencondongkan tubuh ke depan, lengan kanannya menyambar dari samping dengan dahsyatnya, meninju ke arah pelipis lawan sedangkan tangan kirinya membuat gerakan berputar di depan dada, lantas meluncur ke bawah sebagai serangan susulan dan menghantam dengan telapak tangan terbuka ke arah pusar.
Hebat sekali jurus tangan terbuka dari Pek-sim-kun ini. Kakek gendut menyambut jurus ini dengan sebuah tangkisan sambil mengeluarkan seruan kagum.
"Dukkk! Desss...!"
Benturan dua tenaga dahsyat membuat bumi di bawah mereka seolah-olah tergetar dan akibatnya, kakek gendut ini melangkah mundur tiga tindak, sedangkan Han Siong sedikit terhuyung saking hebatnya tenaga lawan yang menangkisnya.
"Ha-ha-ha, ilmu silatmu hebat, berdasarkan ilmu Siauw-lim-pai. Sungguh engkau seorang pemuda yang amat mengagumkan, akan tetapi juga menjengkelkan karena engkau telah mengganggu aku!"
Kini Han Siong sudah merasa yakin bahwa dia berhadapan dengan seorang kakek sakti, maka kesempatan bicara ini dia gunakan untuk berkata. "Harap Locianpwe memaafkan kelancangan saya tadi..."
"Enak saja, tidak ada maaf-maafan! Hayo sambutlah seranganku ini!" kata kakek itu yang agaknya timbul kegembiraannya karena mendapatkan seorang lawan tangguh. Sekarang tubuhnya telah menggelinding lagi ke depan, mengirim serangan yang lebih dahsyat dari pada tadi.
Melihat hal ini, Han Siong mengerutkan alisnya. Agaknya kakek itu bersungguh-sungguh hendak membunuh atau melukainya, sebab itu dia pun terpaksa harus membela diri. Dan karena lawannya bukan orang sembarangan, serangannya sangat berbahaya, maka dia pun cepat mengerahkan semua tenaga dan kini dia mainkan ilmu-ilmu yang dipelajarinya dari suhu serta subo-nya selama delapan tahun ini di kuil Siauw-lim-pai, di dalam kamar Penebus Dosa.
Harus diketahui bahwa selain ilmu-ilmu yang cukup bersih yang dahulu diperolehnya dari gurunya, yaitu Ciu-sian Lo-kai, Siangkoan Ci Kang juga memiliki ilmu-ilmu dari ayahnya, seorang datuk sesat yang berjuluk Iblis Buta. Ilmu-ilmu dari ayahnya ini sebagian besar bersifat kotor dan kejam.
Semua ilmu ini oleh Siangkoan Ci Kang diajarkan kepada Han Siong sehingga pemuda ini di samping menerima ilmu yang bersih, juga menerima ilmu silat yang sifatnya kotor dan curang, seperti biasa sifat ilmu-ilmu berkelahi dari golongan sesat. Apa lagi dari subo-nya, dia juga memperoleh ilmu-ilmu kesaktian yang ganas sekali mengingat bahwa subo-nya adalah anak tunggal dari mendiang Raja dan Ratu Iblis.
Maka ketika sekarang dia mengeluarkan ilmu-ilmunya ini, kakek gendut itu beberapa kali mengeluarkan seruan kaget dan heran. "Ihh, ganas, keji...! Ilmu setan! Ilmu iblis!" Berkali-kali kakek itu berseru penasaran sambil mengelak atau menangkis.
Mendengar seruan-seruan ini, akhirnya Han Siong merasa malu juga. Dia sudah pernah mendapat penjelasan dari suhu dan subo-nya mengenai sifat ilmu-ilmu yang dipelajarinya. Bahkan suhu-nya berkata antara lain demikian,
"Baik buruk atau baik jahatnya suatu ilmu tergantung dari pada penggunaannya, muridku, tergantung dari pada manusianya yang menggunakan ilmu itu. Akan tetapi harus diketahui bahwa dalam ilmu silat, memang terdapat ilmu-ilmu yang sifatnya memang jahat, kejam, curang dan licik. Ilmu-ilmu silat semacam itu digunakan oleh kaum atau golongan sesat. Karena kami berdua memiliki lebih banyak ilmu silat kaum sesat itu, maka kami ajarkan keduanya kepadamu dengan harapan supaya engkau paham benar bahwa yang penting adalah penggunaannya. Gunakanlah ilmu-ilmu yang baik untuk membela kebenaran dan keadilan, sedangkan ilmu silat yang sesat itu bisa kau gunakan untuk menghadapi lawan dari golongan sesat atau untuk memperoleh kemenangan dalam suatu perkelahian. Akan tetapi jangan sekali-kali dipergunakan untuk kejahatan, sebab betapa pun bersihnya suatu ilmu, kalau dipergunakan untuk kejahatan, ilmu itu pun menjadi ilmu kotor."
Kini, sesudah teringat akan pesan gurunya, Han Siong merasa malu. Kakek yang menjadi lawannya ini memang orang aneh yang memaksanya bertanding, akan tetapi dia belum mengenalnya, belum tahu kakek ini dari golongan mana. Maka amat memalukan jika dia harus mengeluarkan ilmu-ilmu yang bersifat curang dan kejam itu.
Dia pun langsung merubah gerakannya dan kini Han Siong bersilat dengan gerakan yang lemah lembut, halus laksana orang menari, akan tetapi di balik kehalusan itu tersembunyi kekuatan yang dahsyat. Itulah Ilmu Silat Kwan-im-kun!
Kakek gendut itu mengeluarkan seruan terkejut dan heran ketika Han Siong pertama kali memainkan jurus Ilmu Silat Kwan-im-kun. Dia selalu mengelak dengan loncatan-loncatan ke kanan kiri dan sesudah dia yakin benar akan ilmu silat pemuda itu, tiba-tiba tubuhnya meloncat jauh ke belakang.
"Heiii, tadi engkau mainkan ilmu silat dari Kwan Im Nio-nio! Dia itu apamukah?" tanyanya dengan mata terbelalak.
Mendengar nama ini, Han Siong menjawab terus terang, "Saya tidak mengenal Kwan Im Nio-nio, Locianpwe."
"Mustahil! Jangan bohong kau! Engkau memainkan ilmu silatnya dan engkau mengatakan tidak mengenal pemiliknya? Kalau begitu, tentu engkau mencuri ilmunya itu!"
"Saya mempelajarinya dari Suhu dan Subo."
"Siapa nama Suhu dan Subo-mu? Apakah mereka itu murid Kwan Im Nio-nio? Rasanya tidak mungkin. Perempuan angkuh itu tidak pernah mau mempunyai murid, katanya ingin membawa mati semua ilmunya."
"Bukan, Locianpwe. Suhu bernama Siangkoan Ci Kang dan Subo bernama Toan Hui Cu, dan mereka secara kebetulan saja menemukan kitab-kitab ilmu yang saya mainkan tadi."
"Di mana kitab itu ditemukan? Dan apakah Kwan Im Nio-nio masih hidup? Hayo ceritakan semua, orang muda." Kini kakek itu bersikap ramah. Dia lantas duduk begitu saja di atas tanah yang tertutup salju, wajahnya seperti seorang anak kecil yang siap mendengarkan dongeng yang menarik.
Melihat ini, legalah hati Han Siong. Agaknya kakek aneh ini sudah tidak memusuhinya lagi, karena itu dia pun lalu duduk di atas sebuah batu karena dia tidak ingin membiarkan celananya basah seperti kakek itu. Dia kemudian menceritakan tentang pengalaman suhu dan subo-nya menemukan kitab-kitab serta pedang seperti yang diceritakan oleh mereka kepadanya.
Secara kebetulan dan tidak disengaja, pada waktu Siangkoan Ci Kang memeriksa kamar di mana dia harus menjalani hukuman, dia menemukan kitab-kitab yang ada gambarnya Kwan Im Pouwsat. Bersama Toan Hui Cu dia lalu mempelajari dua buah kitab itu yang kemudian mereka namakan Kwan-im-kun dan Kwan-im Kiam-sut sesuai dengan gambar-gambar Kwan Im Pouwsat yang menghias sampul-sampul dua buah kitab itu.
Beberapa tahun kemudian giliran Toan Hui Cu yang menemukan lubang rahasia di kamar dia menjalani hukumannya. Ketika dia membongkarnya, lubang di lantai itu menembus ke sebuah kamar di bawah tanah dan di sana dia menemukan rangka manusia yang masih mengenakan pakaian seperti pakaian Kwan Im Pouwsat, dan di atas pangkuan kerangka manusia itu dia menemukan sebatang pedang tipis pendek.
Itulah pedang yang mereka namakan pedang Kwan-im-kiam. Kemudian mereka berikan pedang itu kepada Han Siong sebagai tanda ikatan jodoh antara murid mereka itu dengan puteri mereka yang hilang diculik orang.
"Demikianlah, Locianpwe. Saya mewarisi kedua ilmu itu berikut pedangnya dari Suhu dan Subo yang menemukan semua itu di dalam kamar-kamar mereka di kuil Siauw-lim-si." Han Siong mengakhiri ceritanya, tentu saja tanpa menyebut tentang ikatan jodoh itu.
Kakek gendut itu tiba-tiba menangis! Tentu saja Han Siong menjadi bengong. Dia segera mengamati dengan penuh perhatian, mengira bahwa kakek sakti ini tentu seorang yang sudah miring otaknya, atau memiliki watak yang demikian anehnya sehingga mendekati gila.
Kakek yang duduk di atas tanah bersalju itu menangis dengan kedua punggung tangan menghapus air mata, pundaknya bergoyang-goyang, perutnya yang gendut itu bergerak-gerak, persis seperti seorang anak kecil, dari mulutnya keluar suara tangisan yang parau. Diam-diam keadaan ini menimbulkan keharuan di dalam hati Han Siong. Kakek itu patut dikasihani, pikirnya.
"Aihhh, perempuan memang aneh sekali...!" Kakek itu kini berhenti menangis dan seperti bicara kepada diri sendiri. "Kwan Im Nio-nio, nenek tua bangka, kenapa engkau menyiksa dirimu sampai begitu rupa? Hemm, aku mengerti, agaknya engkau hendak menghabiskan sisa umurmu untuk menebus dosa di dalam kuil, membawa ilmumu bersama pedangmu mengubur diri di dalam kuil. Namun ternyata ada orang-orang yang berjodoh denganmu sehingga mewarisi pedang dan ilmu-ilmumu."
Kembali dia terisak. Han Siong membiarkan saja kakek itu menangis sampai akhirnya dia berhenti menangis, memandang kepadanya dengan mata merah.
"Orang muda, siapakah namamu?"
"Nama saya Pek Han Siong, Locianpwe."
Kakek itu terbelalak dan memandang tajam. "Engkau she Pek? Kalau begitu limu silatmu yang pertama tadi adalah ilmu silat dari Pek-sim-pang? Apakah engkau masih memiliki hubungan dengan para ketua-ketua Pek-sim-pang?"
"Saya adalah keturunan Ketua Pek-sim-pang."
'Ehhh...?" Tiba-tiba kakek itu menggerakkan kedua tangannya ke depan dada, membuat gerakan-gerakan aneh dengan kedua tangannya sehingga Han Siong mengikuti gerakan-gerakan itu dengan heran. "Jangan bergerak!" kakek itu membentak dan tubuhnya sudah menerjang ke depan.
Han Siong terkejut sekali ketika hendak mengelak, karena tiba-tiba tubuhnya tidak dapat digerakkan! Dia segera sadar bahwa kakek itu sudah menggunakan kekuatan sihir ketika berteriak melarang dia bergerak tadi. Dia langsung mengerahkan kekuatan batinnya untuk melawan, akan tetapi ketika akhirnya dia mampu bergerak, baju di punggungnya sudah dirobek oleh kakek itu.
"Aihh, benar...!" Kakek itu berteriak kaget. "Ada tanda merah di punggungmu dan engkau keturunan ketua Pek-sim-pang." Tiba-tiba saja kakek gendut itu menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Han Siong!
Tentu saja Han Siong terkejut bukan main. "Locianpwe... harap... harap jangan melakukan ini...!" serunya.
"Paduka adalah Sin-tong yang telah lama menggegerkan seluruh daerah barat, karena itu sudah sepatutnya kalau saya menghormati paduka dan sudah sepatutnya pula jika saya menyerahkan seluruh kepandaian yang ada kepada paduka..."
Celaka, pikir Han Siong. Kakek ini benar-benar sinting!
"Locianpwe, bangkitlah dan mari kita bicara dengan baik-baik..."
"Tidak, sampai mati pun saya tidak akan bangkit lagi sebelum paduka menyatakan mau menerima ilmu-ilmu yang akan saya ajarkan kepada paduka."
Gila, pikir Han Siong. Ini namanya dunia dan aturannya sudah terbalik semua. Biasanya seorang calon murid yang memohon sambil berlutut supaya diterima menjadi murid. Akan tetapi sekarang kakek yang sinting ini bahkan berlutut dan memohon kepadanya supaya suka menerima ilmu-ilmu yang akan diajarkan oleh kakek itu kepadanya! Akan tetapi apa salahnya? Kakek ini sakti, dan agaknya mengenal baik pemilik kitab-kitab Kwan-im-kun yang namanya Kwan Im Nio-nio itu.
"Baik, Locianpwe, saya suka mempelajari ilmu-ilmu dari Locianpwe, tapi ada syaratnya."
"Silakan sebutkan apa syarat itu. Berbahagialah saya apa bila dapat memberi bimbingan kepada Sin-tong!" kakek itu bicara dengan suara yang gembira bukan main!
"Syaratnya ada dua. Pertama, saya hanya akan belajar selama satu tahun saja kepada Locianpwe karena banyak urusan yang harus saya selesaikan. Ke dua, Locianpwe harap bersikap biasa saja seperti layaknya seorang guru terhadap muridnya, jangan menyebut Sin-tong kepada saya, melainkan menyebut nama saya saja, dan saya akan menyebut Suhu kepada Locianpwe. Bagaimana?"
Kakek itu menarik napas panjang. "Sebenarnya syarat ke dua itu amat berat, akan tetapi baiklah, Han Siong." Kakek itu bangkit berdiri dan kini Han Siong yang cepat berlutut dan memberi hormat sambil menyebut, "Suhu...!"
"Mari kita duduk dan bicara. Aku ingin sekali mendengar tentang dirimu, Han Siong. Ahh, betapa banyak sudah aku mendengar tentang dirimu yang dijadikan rebutan oleh semua orang gagah di dunia barat. Selama ini, di mana saja engkau bersembunyi?"
Karena dia sudah mengangkat kakek itu menjadi gurunya, maka Han Siong pun tak mau merahasiakan keadaan dirinya lagi. Dia lalu menceritakan betapa sejak bayi dia dirawat oleh kakek buyutnya yang bernama Pek Khun, yang mengajaknya bertapa di Pegunungan Kun-lun-san, kemudian betapa oleh kakek buyutnya dia lalu dikirim ke kuil Siauw-lim-pai di Pegunungan Heng-tuan-san dan menjadi kacung di kuil sana.
"Di kuil itulah teecu (murid) bertemu dengan Suhu Siangkoan Ci Kang dan Subo Toan Hui Cu, menerima pelajaran ilmu-ilmu silat di samping teecu juga tekun mempelajari ilmu-ilmu kebudayaan dari kitab-kitab yang terdapat di dalam kuil, di bawah bimbingan para hwesio di sana. Setelah tamat belajar, barulah Suhu dan Subo menyuruh teecu untuk keluar dari kuil dan mencari keluarga teecu, yaitu keluarga Pek di Kong-goan."
Kakek itu mengangguk-angguk. "Agaknya Subo serta Suhu-mu itu orang-orang yang baik dan juga cerdas sekali. Akan tetapi bagaimana engkau bisa mempelajari ilmu sihir seperti yang kau pergunakan untuk menghidupkan boneka saljuku tadi?"
"Teecu mempelajarinya sedikit dari Subo. Ketika Subo menjalani hukuman di kuil Siauw-lim-si, dia juga banyak membaca kitab-kitab dan dia menemukan kitab yang mengatakan bahwa di dalam diri setiap orang terdapat kekuatan gaib yang tersembunyi. Subo sendiri adalah keturunan orang-orang sakti yang diam-diam mempunyai kekuatan gaib yang kuat sekali. Mulailah Subo melatih diri membangkitkan kekuatan gaibnya, lantas dia pun mulai mempelajari ilmu sihir di dalam Kamar Penebusan Dosa itu dan dari Subo teecu belajar sedikit ilmu sihir yang tidak ada artinya dibandingkan dengan ilmu sihir dari Suhu sendiri."
"Hemm, Subo-mu itu she Toan, ya? Sepertinya aku pernah mendengar akan kehebatan orang-orang dari keluarga Toan, kalau tak salah keluarga pangeran..."
"Tidak salah, Suhu. Subo Toan Hui Cu adalah puteri mendiang Pangeran Toan Jit Ong yang berjuluk Raja Iblis..."
"Ya Tuhan...! Benar, Raja dan Ratu Iblis...!" Kakek itu terbelalak dan mengangkat kedua tangan ke atas saking kagetnya. "Pantas saja ilmu silatmu bermacam ragam dan banyak pula yang merupakan ilmu yang sesat! Untung Suhu dan Subo-mu itu menemukan ilmu peninggalan Kwan Im Nio-nio dan diajarkan kepadamu, dan untung pula engkau bertemu dengan aku. Ketahuilah, Han Siong. Kwan Im Nio-nio dan aku adalah dua orang di antara orang-orang yang dijuluki Delapan Dewa."
Han Siong memandang kagum, akan tetapi terus terang menjawab, "Di dalam kuil Suhu dan Subo banyak bercerita kepada teecu mengenai tokoh-tokoh di dunia persilatan, akan tetapi terus terang saja, teecu belum pernah mendengar akan nama Delapan Dewa."
Kakek itu menarik napas panjang. "Salah kami sendiri. Puluhan tahun yang lampau kami pernah memperoleh nama besar dan disegani oleh seluruh golongan di dunia persilatan. Akan tetapi pada suatu hari kami bertemu dan bentrok dengan Raja dan Ratu Iblis. Kami mengadu ilmu melawan mereka dengan perjanjian bahwa siapa yang kalah harus pergi bertapa dan tidak boleh lagi muncul di dunia persilatan. Dan kami kalah! Kami memegang janji. Masing-masing pergi bertapa dan memperdalam ilmu silat. Setelah kami mendapat ilmu-ilmu yang tinggi, ternyata Raja dan Ratu Iblis sudah tewas di tangan para pendekar muda. Demikianlah, kami telah terlanjur suka bertapa sehingga tidak muncul lagi di dunia persilatan."
Han Siong mendengarkan dengan kagum. Mereka tentulah orang-orang yang menjunjung tinggi kegagahan sehingga mereka setia terhadap janji sendiri sampai rela menderita dan mengasingkan diri.
"Siapakah tokoh lain dari Delapan Dewa kecuali Suhu dan Locianpwe Kwan Im Nio-nio?" tanyanya.
Kakek gendut itu menarik napas panjang. "Nama Delapan Dewa yang tadinya gemilang itu telah menjadi muram, bahkan tenggelam dan lenyap sesudah kami ditaklukkan oleh Raja dan Ratu Iblis. Kami cerai berai, pergi bertapa dan tidak saling berhubungan lagi sampai puluhan tahun. Di antara kami yang delapan orang, hanya terdapat dua orang wanitanya, yaitu Kwan Im Nio-nio dan In Liong Nio. Yang enam orang sisanya adalah pria semua, susunannya seperti ini. Aku sendiri disebut orang Ban Hok Lojin atau juga diejek dengan sebutan Ji-lai-hud, kemudian Ciu-sian Lo-kai atau Ciu-sian Sin-kai, Go-bi San-jin yang kabarnya sekarang sudah masuk menjadi pendeta Lama berjuluk See-thian Lama, lalu Wu-yi Lo-jin, Siang-kiang Lo-jin, dan Sian-eng-cu The Kok. Nah, itulah nama-nama Delapan Dewa yang sudah lama meninggalkan dunia ramai. Akan tetapi selama ini aku tidak pernah bertemu atau berhubungan dengan mereka, hanya kabarnya empat di antara kami, yaitu Go-bi San-jin, Ciu-sian Sin-kai, Wu-yi Lo-jin, dan Siang-kiang Lo-jin, ikut pula membantu pada saat para pendekar muda yang menjadi murid-murid mereka membasmi Raja dan Ratu Iblis bersama gerombolannya. Sekarang aku tidak tahu di mana mereka, masih hidup ataukah sudah mati semua seperti Kwan Im Nio-nio." Kembali kakek gendut itu menarik napas panjang, akan tetapi kini wajahnya sudah cerah kembali dan senyum menghias mulutnya.
Kini Han Siong menjadi semakin kagum Ternyata kakek yang menjadi gurunya ini adalah seorang sakti dan dia pun girang bukan main. "Semoga dalam waktu setahun teecu akan menerima petunjuk-petunjuk yang berharga dari Suhu."
"Ilmu silatmu sudah tinggi tingkatnya, Han Siong. Bila mana engkau sudah menguasainya dengan sempurna, agaknya aku sendiri pun tidak akan menang darimu. Sayang engkau terlampau banyak mempelajari ilmu-ilmu sesat, untuk itu aku akan mengajarkan ilmu silat Pek-hong Sin-ciang (Tangan Sakti Awan Putih) kepadamu. Juga ilmu sihirmu itu jangan kau pergunakan. Aku akan mengajarmu untuk mempergunakan tenaga batin yang bersih untuk menghadapi segala macam kekuatan ilmu hitam."
"Suhu, apakah perbedaan antara sihir putih dan sihir hitam? Antara kekuatan bersih dan kekuatan kotor?" Han Siong merasa penasaran dan bertanya.
"Sudah kukatakan tadi bahwa bersih dan kotornya suatu ilmu tergantung dari pada watak orang yang mempergunakannya. Akan tetapi yang dinamakan ilmu silat kotor adalah ilmu silat di mana digunakan segala kecurangan, alat-alat rahasia, racun-racun, cara-cara yang penuh tipu muslihat licik. Sebaliknya, ilmu silat bersih adalah ilmu silat yang berdasarkan kekuatan yang terlatih, gerakan-gerakan yang kuat dan cepat, kewaspadaan yang dapat membuat gerakan menjadi tepat, tanpa memakai cara-cara curang untuk mengalahkan lawan. Sedangkan sihir putih adalah penggunaan kekuatan batin yang terhimpun di dalam tubuh, menggunakan kekuasaan dan kekuatan alam dengan dasar iman dan kepercayaan kepada Tuhan dan para dewa. Sebaliknya sihir hitam adalah penggunaan kekuatan yang datang dari setan-setan, roh jahat, dan segala macam kekuatan gaib yang mendorong pemakainya ke arah perbuatan jahat."
Mulai hari itu, kembali Han Siong menerima gemblengan, sekali ini dari seorang di antara Delapan Dewa yang mempunyai ilmu kepandaian tinggi sekali. Dia belajar dengan sangat tekun, di dalam sebuah goa di puncak bukit yang sunyi.
Sungai itu mengalir dari Pegunungan Min-san dan sungai itu disebut Sungai Min-kiang. Ketika sungai itu tiba di dalam sebuah hutan di kaki Pegunungan Min-san, airnya masih jernih, belum dikotori sampah-sampah seperti apa bila sudah melewati banyak dusun dan kota. Apa lagi daerah itu merupakan pegunungan yang tanahnya terdiri dari tanah keras, tidak berlumpur sehingga airnya nampak jernih mengalir riang di antara batu-batu, bahkan dasarnya pun nampak.
Sudah lebih dari setengah jam wanita itu mengintai pemuda yang sedang duduk di pinggir sungai, di atas rumput tebal. Pemuda itu tengah memancing ikan seorang diri, tampaknya benar-benar dapat menikmati kesunyian dan keindahan keadaan di tepi Sungai Min-kiang di dalam hutan yang teduh itu.
Air sungai demikian jernihnya sehingga penuh dengan bayangan pohon-pohon di atasnya, bergerak-gerak sedikit karena tenangnya air yang mengalir perlahan. Aliran yang lambat ini, ditambah akar-akar pohon, menciptakan tempat tinggal yang sangat menyenangkan bagi ikan-ikan, apa lagi bagian itu agak dalam, membuat tempat itu dihuni banyak ikan. Maka tidak mengherankan jika dalam waktu setengah jam saja pemuda itu telah berhasil mengangkat tiga ekor ikan yang lumayan besarnya.
Wanita itu mengintai dengan mata bersinar-sinar dan wajah berseri. Dia melihat betapa pemuda itu mengeluarkan teriakan girang karena kembali dia telah berhasil mendapatkan seekor ikan lagi, ikan yang kulitnya putih seperti perak, dengan perut kuning.
"Ha, seekor lagi saja maka aku akan pesta! Lima ekor sudah lebih dari cukup!" katanya. "Marilah manis, kau sambar umpanku!" Pemuda itu tersenyum-senyum dengan gembira dan sepasang mata yang mengintai itu menjadi semakin kagum.
Wanita yang mengintai itu sekarang berindap-indap mendekati, akan tetapi tetap saja dia melakukannya sambil bersembunyi, menyelinap di antara pepohonan, semak belukar dan batu-batu. Gerakannya demikian ringan sehingga tidak menimbulkan suara dan akhirnya dia dapat bersembunyi di balik semak-semak terdekat, dapat memandang pemuda yang tengah memancing ikan itu dengan amat jelas. Dan semakin jelas dia memandang, makin kagumlah dia, wajahnya makin berseri, mulutnya tersenyum dan matanya bersinar-sinar.
Seorang pemuda yang tampan dan gagah. Walau pun sedang duduk seenaknya di atas rumput, nampak betapa bidang dada itu, betapa tegap tubuh yang bentuknya sedang itu. Sepasang matanya bersinar-sinar penuh gairah hidup, mulutnya yang berbentuk manis itu selalu mengembangkan senyum, hidungnya mancung dan raut wajahnya membayangkan kejantanan dengan dagu yang dapat mengeras dan agak berlekuk di tengahnya.
Senyumnya manis dan memikat. Pakaiannya berwarna biru muda berhiaskan garis-garis kuning emas di tepinya. Sebuah buntalan pakaian terletak di sebelahnya. Usianya kurang lebih dua puluh tahun.
Wanita yang mengintai itu pun bukan wanita sembarangan. Dari pakaiannya saja mudah diduga bahwa dia bukanlah penghuni dusun atau wanita gunung sederhana, melainkan seorang wanita yang biasa tinggal di kota. Apa lagi kalau melihat gelung rambutnya yang tinggi dan dihiasi seekor burung Hong dari emas dan permata yang tentu sangat mahal harganya.
Wanita ini juga membawa sebuah buntalan kain panjang yang digendong pada belakang punggungnya. Kenyataan ini menunjukkan bahwa wanita itu juga seseorang yang sedang melakukan perjalanan jauh dengan membawa bekal pakaian. Akan tetapi pakaian yang menempel di tubuhnya nampak bersih, demikian pula sepatunya yang kecil dan baru.
Wajahnya bulat dengan kulit yang putih halus, dibuat semakin putih halus akibat dibedaki. Sepasang matanya agak lebar dan penuh sinar dan gairah hidup, penuh semangat, juga kedua bola matanya dapat bergerak lincah, tanda bahwa wanita ini biasa menggunakan kecerdikannya.
Alisnya kecil melengkung hitam, lengkung yang tak wajar, dibuat dengan cara mencabuti sebagian rambut alisnya. Kedua pipinya terlihat segar kemerahan, bukan karena pemerah pipi. Hidungnya kecil mancung dan ujungnya sedikit mencuat ke atas menjadi penambah manis. Mulutnya kecil dengan bibir yang merah basah dan selalu agak terbuka laksana orang terengah, menimbulkan sifat menantang.
Wanita berusia kurang lebih tiga puluh tahun ini memang mempunyai wajah yang manis sekali. Juga bentuk tubuhnya padat dan ramping menggairahkan, dengan lekuk lengkung yang sexy, bagian dada dan pinggul membusung, sedangkan pinggangnya sangat kecil seperti pinggang tawon kemit.
Pemuda yang sedang memancing ikan itu adalah Hay Hay! Memang pemuda ini memiliki raut wajah, bentuk tubuh serta pembawaan yang sangat menarik hati bagi kaum wanita. Wajahnya yang tampan selalu cerah, dengan pandang mata yang selalu penuh semangat dan gairah, bibirnya selalu dibayangi senyum ramah.
Seperti kita ketahui, Hay Hay melakukan perjalanan ke daerah itu untuk mencari keluarga Pek di Kong-goan. Ketika sampai di tepi sungai itu dia melihat gerakan banyak ikan, dan tertarik oleh keadaan yang indah dan nyaman, dia pun merasa lapar sekali dan segera dia membuat pancing sederhana dari peniti, tali dan ranting. Peniti dibentuk menjadi mata kail dan dengan cacing yang mudah didapatkan di tepi sungai, dia pun mengail dan berhasil menangkap empat ekor ikan dada kuning.
Dia tak akan patut disebut murid dari dua orang sakti, dua di antara Delapan Dewa, kalau saja dia tidak tahu bahwa ada orang sedang mengintainya. Sejak tadi pun dia sudah tahu dan hal ini membuat Hay Hay menjadi makin gembira. Pemandangan alam di tempat itu demikian indah, hawanya sejuk nyaman, dan memancing ikan pun berhasil menangkap ikan-ikan yang gemuk, dan kini ada seorang wanita yang mengintainya pula!
Dengan ujung matanya, tadi sekelebatan dia berhasil menangkap bayangan pengintainya dan tahu bahwa pengintai itu seorang wanita. Akan tetapi tentu saja dia tidak tahu siapa dan jantungnya berdegup agak keras penuh kegembiraan yang menegangkan ketika dia menduga bahwa bayangan itu mungkin saja Bi Lian, gadis cantik jelita yang amat menarik hati itu.
Akan tetapi dia segera membantah sendiri dugaan itu. Kalau Bi Lian, tidak mungkin gadis itu demikian bodoh untuk mengintainya seperti itu. Bukankah Bi Lian telah tahu bahwa dia mempunyai kepandaian sehingga kalau diintai seperti itu pasti akan mengetahuinya? Dan pula, apa perlunya Bi Lian harus mengintai semacam itu? Gadis itu tentu akan langsung saja menemuinya kalau hal itu dikehendakinya.
Bukan, wanita itu bukan Bi Lian, dan pendapat ini mendatangkan kegembiraan di hati Hay Hay. Membayangkan dia akan bertemu dengan seorang wanita lain yang penuh rahasia, belum apa-apa sudah membuatnya bergembira. Wanita merupakan makhluk yang selalu menarik perhatiannya. Maklum, mata keranjang berhidung belang.
Tiba-tiba tali pancingnya bergerak. Seekor ikan yang agaknya berat dan lebih besar dari pada empat ekor yang sudah ditangkapnya, bergantung di mata kailnya. Dengan gerakan cepat Hay Hay menarik tangkai pancingnya sehingga mata kailnya mengait di mulut ikan lantas dia meneruskannya dengan sentakan kuat sehingga terlemparlah seekor ikan yang benar saja lebih besar dari pada tadi, ke atas. Hay Hay sengaja melepaskan ranting yang menjadi tangkai pancing sambil berteriak,
"Oh, terlepas...!" Ikan berikut tali dan tangkai pancing itu meluncur ke arah semak-semak di mana wanita itu bersembunyi!
Mendadak ada sebuah tangan yang kecil halus tapi cekatan menyambut dan menangkap tangkai pancing dan nampaklah seorang wanita muncul dari balik semak-semak sambil memegang setangkai pancing yang di ujungnya nampak seekor ikan besar menggelepar-gelepar. Sambil tersenyum penuh daya pikat wanita itu kini melangkah maju menghampiri Hay Hay, membawa ikan di ujung pancing itu.
"Ikan yang besar, gemuk dan mulus, tentu enak sekali!" Wanita itu berkata, senyumnya melebar membuat mulutnya merekah sehingga nampak rongga mulut yang merah sekali dengan deretan gigi yang berkilauan dan putih rapi.
Hay Hay memandang dengan wajah bengong, seperti terpesona oleh kecantikan wanita yang kini sudah berdiri di depannya. Sejenak pandang matanya menjelajahi wanita itu dari ujung kaki sampai ke ujung rambut, kadang-kadang berhenti agak lama di bagian-bagian tertentu yang menarik, dan akhirnya dia menarik napas panjang.
"Ya ampun, Dewi...! Apakah paduka ini Dewi Air ataukah Dewi Hutan yang sengaja turun dari kahyangan hendak memberi anugerah ikan gemuk kepada hamba?" Tentu saja Hay Hay hanya main-main dan berkelakar karena dia sudah tahu bahwa wanita ini sejak tadi mengintainya, akan tetapi dia jujur dengan pandang matanya yang penuh kagum karena memang wanita ini cantik manis dan menggairahkan, penuh daya tarik kewanitaan seperti sekuntum bunga yang selain indah juga harum semerbak.
Mula-mula kedua mata yang lebar itu terbelalak heran mendengar ucapan itu, kemudian wajahnya menjadi kemerahan, bukan karena marah melainkan karena bangga dan girang bukan kepalang. Wanita itu terkekeh sambil memasang aksi, menutupi mulutnya dengan punggung tangan kiri.
"Mengapa engkau menganggap aku sebagai Dewi Air atau Dewi Hutan yang baru turun dari kahyangan?" tanyanya, suaranya merdu sekali seperti suara rebab digesek.
Dengan sangat terbuka Hay Hay mengagumi mata, hidung serta mulut itu. Anak rambut yang membentuk sinom di sepanjang pelipis, di atas dahi dan di belakang telinga itu pun manis sekali, melingkar-lingkar laksana dilukis saja, nampak hitam indah dilatar belakangi kulit yang putih kuning mulus.
"Karena rasanya tidak mungkin ada seorang gadis secantik Paduka. Hanya bidadari dan para dewi kahyangan sajalah kiranya yang dapat memiliki kecantikan seperti ini." Hay Hay memang pandai sekali merayu, bukan rayuan kosong belaka, melainkan kata-kata manis dan pujian yang muncul dari lubuk hatinya.
Dalam pandang matanya, wanita itu seperti bunga. Mana ada bunga yang buruk? Semua bunga, setiap kuntum bunga pasti indah, biar pun keindahannya berbeda-beda. Demikian pula wanita. Tak ada yang buruk, walau pun kemanisannya pun berbeda-beda. Ada yang terletak pada matanya, pada hidungnya, pada mulutnya, atau rambutnya, kulitnya. Akan tetapi wanita di depannya ini memiliki keindahan pada banyak bagian!
Wajah yang manis itu semakin berseri gembira, dan matanya pun menjadi semakin tajam bersinar-sinar. "Aihh, orang muda, engkau sungguh terlalu memujiku. Aku hanya seorang manusia biasa seperti engkau. Kebetulan saja aku dapat menangkap pancing dan ikanmu yang terlempar tadi. Nah, terimalah kembali pancingmu."
Wanita itu kemudian menyerahkan pancing dengan ikan yang menggelepar-gelepar itu, diterima dengan gembira oleh Hay Hay yang tersenyum ramah.
"Terima kasih, Nona. Ya Tuhan, hampir aku tidak percaya bahwa Nona seorang manusia. Kemunculanmu demikian tiba-tiba dan kecantikanmu... hemmm, sukar untuk dipercaya!"
Wanita itu sudah sering kali menghadapi laki-laki yang kurang ajar dan tidak sopan, yang memuji kecantikannya untuk merayu dan menarik perhatian. Akan tetapi baru sekarang dia bertemu dengan pemuda yang memuji kecantikannya demikian jujur terbuka, dengan mata yang sama sekali tidak membayangkan kekurang ajaran seperti mata setiap lelaki yang selalu menyembunyikan tantangan, ajakan dan uluran tangan!
Maka dia menjadi semakin gembira, sungguh pun mulutnya pura-pura cemberut ketika dia berkata. "Ihhh, orang muda, jangan terlampau memuji, membuat aku merasa rikuh saja."
"Aku tidak memuji secara kosong belaka, Nona. Dan kuharap Nona tidak menyebut aku orang muda. Aihh, seolah-olah Nona lebih tua saja dariku. Padahal, paling-paling usia kita sebaya."
Tentu saja Hay Hay dapat menduga bahwa wanita itu agak lebih tua darinya, namun dia tahu bahwa paling tidak enak bagi wanita kalau diingatkan tentang usianya yang sudah lebih tua. Pula, wanita di depannya ini memang masih nampak muda sekali dan memang pantas kalau dikatakan sebaya dengannya.
Wanita itu tersenyum, manis sekali. "Pemuda yang tampan dan ganteng, berapa usiamu sekarang?"
Jantung di dalam dada Hay Hay berdebar dan dia merasa aneh. Betapa beraninya wanita ini. Memujinya sebagai tampan dan ganteng, juga menanyakan usianya! Wah, sungguh seorang wanita yang tidak malu-malu lagi, seorang yang agaknya sudah berpengalaman!
"Berapa menurut dugaanmu, Nona yang cantik jelita?"
"Hemm, kiranya tidak akan lebih dari sembilan belas atau delapan belas tahun."
"Ha, dugaanmu keliru sebab aku lebih tua dari itu, Nona. Usiaku sudah dua puluh tahun!" Hay Hay tertawa dan balas bertanya. "Dan berapakah usiamu, Nona?"
"Berapa menurut dugaanmu, pemuda yang tampan menarik?" tanya wanita itu menirukan kata-kata dan gaya Hay Hay tadi.
Kembali pandang mata Hay Hay menjelajahi seluruh tubuh wanita itu, kemudian dia pun mengangguk-angguk. "Paling banyak dua puluh tahun, Nona."
Wanita itu tersenyum semakin manis. Agaknya taksiran itu amat menyenangkan hatinya. "Lebih berapa tahun lagi. Aku lebih tua darimu."
"Aku tidak percaya!" Hay Hay berseru penasaran. Oleh karena dia menggerakkan tangkai pancing, ikan itu meronta-ronta dan agaknya baru dia teringat akan ikan itu.
"Hi-hik, mau diapakan sih ikan itu?" Si Wanita bertanya menggoda.
"Wah, aku sampai lupa. Oh, ya, karena engkau baik sekali, Nona, dan telah membantuku menangkap ikan yang tadi sempat terlepas ini, maka biar kuundang engkau untuk makan bersamaku. Daging ikan-ikan ini tentu enak sekali."
Wanita itu memandang dengan kedua mata bersinar-sinar. "Bagaimana engkau hendak memasaknya?"
Hay Hay mengangkat dada, lantas menepuk dadanya. "Jangan khawatir. Aku ahli masak! Tunggu sebentar dan bantulah aku menghabiskan daging ikan-ikan ini sebagai teman roti kering dan anggur. Pasti lezat sekali!"
Wanita itu menelan ludah, nampak berselera sekali. "Tentu saja lezat."
"Kau tunggu sebentar, Nona."
Hay Hay yang sudah menjadi gembira bukan kepalang menemukan seorang kawan baik, seorang wanita cantik untuk teman bercakap-cakap di tempat yang sunyi indah itu, segera bekerja. Selama beberapa tahun menjadi murid See-thian Lama, dia hidup berdua saja dengan gurunya itu dan dialah yang selalu melayani suhu-nya, setiap hari dia yang masak sehingga dia memang dapat dikata ahli masak.
Apa lagi sesudah dia mengikuti gurunya yang ke dua, Ciu-sian Sin-kai, kakek berpakaian jembel yang sebetulnya merupakan to-cu (majikan pulau) dari Pulau Hiu dan hidup serba cukup, maka dia pun mempelajari masak dari juru-juru masak suhu-nya itu. Ketika tinggal di Pulau Hiu, tentu saja dia sering ikut menangkap ikan dan memasak ikan, maka dia tahu banyak cara memasak ikan. Setiap macam ikan memerlukan cara memasak yang khusus baru akan lezat dan cocok sekali.
Dan di dalam perantauannya, dia tidak melupakan bekal bumbu-bumbu yang diperlukan. Dia memang suka akan segala yang indah, segala yang enak, bisa menikmati kehidupan ini biar pun berada dalam keadaan yang bagaimana pun juga.
Wanita itu lalu melepaskan buntalan panjang dari punggungnya, meletakkannya di pinggir sungai dan dia pun duduk di atas akar pohon sambil mengikuti gerakan-gerakan Hay Hay dengan sepasang mata yang bersinar-sinar dan wajah berseri. Pandang matanya penuh kekaguman saat dia melihat betapa pemuda itu dengan cekatan membersihkan lima ekor ikan itu, menggunakan sebatang pisau yang dikeluarkan dari buntalan pakaiannya, lantas menaburi ikan-ikan itu dengan bumbu dan garam, dan memanggangnya di atas bara api.
Segera bau yang amat sedap menyerang hidungnya dan wanita itu tiba-tiba saja merasa betapa perutnya sudah lapar sekali! Mulutnya terasa basah oleh ludah karena dia sudah mengilar ingin merasakan bagaimana lezatnya ikan panggang itu.
Sambil kadang-kadang memandang kepada wanita itu dengan senyum, sekali dua kali dia mengedipkan matanya memberi tanda agar wanita itu bersabar, Hay Hay mempersiapkan makan untuk mereka. Roti kering beserta anggur dikeluarkan, dan ikan panggang ditaruh di dalam sebuah piring, dikeluarkannya pula bumbu dan saus yang selalu berada dalam perbekalannya.
"Mari silakan, Nona. Mari kita makan seadanya," Hay Hay mempersilakan dengan sikap ramah.
Wanita itu tersenyum, bangkit dengan gerakan lemah gemulai dan setengah menggeliat sehingga nampak jelas tonjolan-tonjolan tubuhnya hendak menembus bajunya yang ketat dari sutera tipis. Hay Hay tidak mau pura-pura, dia memandangi itu semua dengan penuh kagum.
"Ehh, sobat, apakah yang sedang kau pandang?" tiba-tiba wanita itu bertanya, pura-pura marah padahal hatinya senang bukan main.
"Apa yang kupandang?" Hay Hay sama sekali tidak merasa gugup. "Apa lagi kalau bukan keindahan tubuhmu itu, Nona! Engkau seorang gadis yang beruntung sekali, dianugerahi wajah cantik manis dan tubuh yang indah. Sungguh lengkap. Ehh, mari, mari kita makan, selagi daging ikannya masih panas."
Tanpa ragu-ragu atau malu-malu lagi wanita itu lantas duduk di atas rumput, berhadapan dengan Hay Hay terhalang oleh makanan yang diletakkan di atas rumput pula. Gadis itu menerima pemberian roti kering dan memilih panggang ikan yang nampak menimbulkan selera.
Mereka makan dan minum bersama, tanpa kata-kata. Wanita itu hanya mengeluarkan kata pujian sebab daging ikan itu memang enak sekali. Belum pernah rasanya dia makan seenak ini! Padahal hanya roti kering dan panggang ikan saja, akan tetapi begitu nikmat, terasa lezatnya di setiap kunyahan.
Lima ekor ikan itu pun habis mereka makan, ditambah empat potong roti kering besar dan beberapa cawan anggur yang manis. Setelah selesai makan-makan, keduanya kemudian membersihkan tangan dan mulut di sungai itu, dengan air sungai yang jernih. Kemudian keduanya duduk di tepi sungai, berhadapan dan mulailah mereka bercakap-cakap.
"Hi-hik, alangkah lucunya!" Tiba-tiba gadis itu berkata, menutup mulut dengan punggung tangan kiri ketika dia tertawa.
Hay Hay mengangkat muka dan memandang. " Apanya yang lucu, Nona...?"
"Kita sudah makan bersama."
"Apa salahnya dengan itu?"
"Kita sudah saling mengetahui usia masing-masing."
"Memang wajar dalam suatu perkenalan, akan tetapi aku belum mengetahui dengan pasti berapa usiamu..."
"Itu tidak penting. Akan tetapi anehnya, kita belum saling mengenal nama."
Hay Hay tertawa. Tadi dia memang sengaja. Betapa pun juga keadaan wanita ini amat mencurigakan. Pada saat mengintainya, wanita itu bisa bergerak dengan cepat dan amat ringan, itu saja menunjukkan bahwa wanita ini tentu memiliki ilmu kepandaian tinggi.
Dia belum tahu siapa wanita ini, dari golongan mana, dan berdiri di pihak mana, kawan ataukah lawan. Karena itu dia harus berhati-hati dan biarlah wanita ini yang lebih dahulu memperkenalkan diri. Maka dia pun tidak pernah memperkenalkan diri dan sekarang dia tertawa seperti baru melihat kelucuan keadaan mereka.
"Ah, benar juga! Aku merasa seolah-olah kita telah menjadi sahabat baik selama puluhan tahun! Ha-ha, Nona yang baik, siapakah Anda? Di mana tempat tinggal, datang dari mana dan hendak ke mana?"
Gadis itu tertawa pula dan kini dia tidak lagi bersusah payah menutupi mulutnya sehingga Hay Hay dapat melihat betapa manis dan menggairahkan mulut itu bila tertawa.
"Hi-hik-hik, pertanyaanmu itu menyerangku seperti ombak samudera saja. Sebaiknya kita saling mengenal nama lebih dulu. Namaku Sun Bi she Ji."
"Ji Sun Bi... hemmm, nama yang indah dan cantik, secantik orangnya," Hay Hay memuji sambil mengangguk-angguk.
"Sekarang giliranmu. Siapakah namamu?" Wanita yang bernama Ji Sun Bi itu bertanya.
"Namaku? Namaku Hay."
"Hay siapa...?"
"Yah, Hay saja."
"She-mu apa?"
Hay Hay menggelengkan kepalanya. "Aku sendiri pun tidak tahu, Sun Bi," kata Hay Hay, menyebut nama gadis itu begitu saja seakan-akan mereka sudah menjadi kenalan lama, dan hal ini membuat Ji Sun Bi merasa senang sekali. Kalau pemuda itu menyebutnya Enci (Kakak) misalnya, justru dia akan merasa tidak enak, seolah-olah diingatkan bahwa dia lebih tua.
"Ahh, mustahil orang tidak mengetahui she-nya sendiri! Siapa nama ayahmu?"
Hay Hay menggeleng kepala, mengangkat pundak dan mengembangkan dua lengannya.
"Aku sungguh tidak tahu. Aku tidak pernah mengenal ayah ibuku, sejak bayi aku dibawa oleh orang lain dan sekarang aku sedang mencari orang tuaku. Aku tidak tahu she apa. Namaku hanya Hay saja, begitulah."
"Lalu aku harus menyebutmu bagaimana?"
"Ya, sebut saja Hay, atau biasanya orang memanggil aku Hay Hay."
"Hay Hay... hemmm, enak juga kedengarannya. Baiklah, Hay Hay. Sekarang kita sudah benar-benar saling berkenalan dan menjadi sahabat. Secara kebetulan kita saling bertemu di sini dan menjadi sahabat baik. Engkau datang dari mana dan hendak pergi ke mana?"
"Aku tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap, Sun Bi. Tadi sudah kukatakan bahwa aku tengah mencari orang tuaku, setelah selama dua puluh tahun ini aku selalu ikut orang lain. Aku belum tahu di mana adanya orang tuaku, juga apakah mereka masih hidup. Aku hidup sebatang kara di dunia ini, tidak punya keluarga tidak punya tempat tinggal. Ahh, tidak menarik. bukan? Lebih baik kita bicara tentang dirimu, tentu lebih menarik."
"Aihh, kasihan sekali engkau, Hay Hay," Sun Bi berkata dengan suara halus dan nampak terharu, lalu tangannya diulur dan menyentuh lengan Hay Hay.
Tangan itu terasa hangat dan halus, dan Hay Hay pun diam saja, hanya memandang ke tangan yang memiliki jari-jari yang kecil mungil. Ingin dia tahu sampai di mana besarnya kekuatan yang tersembunyi di dalam jari-jari tangan kecil mungil ini.
"Tidak perlu dikasihani. Selama ini aku hidup cukup bahagia, setiap hari aku hidup di alam bebas, bergembira melihat segala keindahan, burung-burung di udara, binatang-binatang di hutan, kembang-kembang, air sungai yang jernih, wanita yang manis seperti engkau. Bukankah semua itu menyenangkan? Sekarang ceritakanlah, dari mana engkau datang dan hendak ke mana, Sun Bi?"
Ditanya demikian, tiba-tiba wajah yang tadinya berseri itu menjadi murung dan gadis itu sekarang menundukkan mukanya, lalu perlahan-lahan dua titik air mata menuruni kedua pipinya. Dua butir air mata itu lalu dihapusnya dengan sehelai sapu tangan sutera, dan terdengar wanlta itu berkata dengan suara yang penuh duka.
"Aihhh... Hay Hay, aku adalah seorang wanita yang paling sengsara di dunia..."
Hay Hay mengerutkan alisnya dan berusaha untuk menatap wajah itu penuh selidik. Akan tetapi wajah itu menunduk terus. "Sun Bi, apakah yang sudah terjadi? Mengapa engkau merasa sengsara?"
Dengan suara sedih dan kadang-kadang mengusap air matanya, Sun Bi lantas bercerita. "Aku adalah wanita yang paling sengsara, Hay Hay. Baru menikah beberapa bulan saja, suamiku terserang penyakit berat sehingga meninggal dunia. Orang tuaku dan mertuaku menganggap aku adalah orang yang membawa kesialan, karena itu aku lalu diusir pergi. Demikianlah, aku merantau seorang diri, sebatang kara, seperti juga engkau... hanya saja aku membawa kepedihan hati sebagai seorang janda muda tanpa ada yang melindungi... tanpa ada yang menghibur kedukaanku...,"
Sun Bi segera menangis lagi, sekali ini tangisnya sesenggukan dan menyedihkan sekali. Kedua tangannya dipergunakan untuk menutupi kedua matanya dan air mata bercucuran melalui kedua tanganhya.
Hari sudah menjelang senja ketika dia tiba di puncak bukit itu. Sebuah bukit gundul yang hanya ditumbuhi pohon-pohon yang kini sudah menjadi hiasan putih dari salju. Tempat itu nampak lengang dan dinginnya bukan kepalang. Han Siong lalu memandang ke bawah, ke arah timur.
Di lereng itu terdapat sebuah dusun, pikirnya girang. Pada musim salju begini dia harus mendapatkan rumah penduduk atau paling tidak goa atau tempat yang cukup terlindung untuk melewatkan malam. Tidak seperti di musim lain, di mana dia bisa saja melewatkan malam di bawah pohon sambil membuat api unggun. Sangat berbahaya kalau tersesat di tempat yang tidak terlindung dalam musim dingin seperti ini. Orang bisa mati kedinginan.
Ketika Han Siong hendak menuruni bukit itu dengan cepat agar tidak sampai kemalaman tiba di dusun di lereng itu, tiba-tiba dia mendengar suara orang tertawa-tawa. Suara tawa itu parau dan aneh, juga menyeramkan. Di tempat sunyi seperti itu, di mana hawa dingin membuat orang menggigil, bagaimana tiba-tiba saja terdengar suara orang tertawa-tawa?
Han Siong merasa tertarik dan cepat dia menghampiri tempat dari mana datangnya suara itu, yaitu dari balik sebuah batu gunung. Ketika dia tiba di balik batu besar itu, Han Siong berdiri tertegun, bahkan matanya terbelalak memandang ke depan. Penglihatan di depan memang sungguh luar biasa sekali.
Seorang kakek yang sukar ditaksir berapa usianya, berkepala gundul dan berperut gendut sekali sehingga tubuhnya nampak serba bulat, sedang membuat sebuah boneka salju di sana! Hebatnya, kakek yang tertawa-tawa itu bertelanjang dada, hanya memakai celana panjang saja, disambung sepatu rumput.
Dalam hawa yang sedingin itu, bertelanjang badan atas sungguh merupakan hal yang luar biasa sekali. Apa lagi kakek itu masih dapat tertawa-tawa dan bermain-main seorang diri sambil membuat boneka salju, tertawa dan membentuk boneka besar itu, sebesar dirinya, bahkan boneka itu pun menyerupai dirinya, seorang kakek gundul yang perutnya gendut bukan main!
Biar pun Han Siong belum memiliki banyak pengalaman di dunia persilatan, namun ketika melihat keadaan kakek gendut itu, dia dapat menduga bahwa tentu dia bertemu dengan seorang kakek yang amat sakti. Baru keadaannya yang setengah telanjang di antara salju itu saja sudah membuktikan akan kesaktiannya.
Tanpa mempunyai sinkang yang luar biasa kuatnya, tidak mungkin orang dapat bertahan bermain-main dengan salju dalam keadaan tubuh bagian atas telanjang. Dan masih dapat tertawa-tawa pula!
Maka dia pun bermaksud untuk meninggalkan kakek itu, tidak ingin perjalanannya menuju ke dusun di bawah itu terganggu hingga terlambat. Dia sudah memutar tubuh untuk pergi ketika terdengar suara dari belakangnya, suara yang parau dan nyaring.
"Heiiiii! Enak saja kau. Berhenti!"
Tentu saja Han Siong terkejut sekali mendengar teguran yang tidak ramah, bahkan agak kasar ini. Dia tidak mau mencari urusan, maka dia pun langsung membalik, memandang dengan wajah ramah penuh hormat.
"Maaf, saya tak ingin mengganggu keasyikan Locianpwe," Han Siong berkata, menyebut Locianpwe (Orang Tua Perkasa) dan bersikap hormat karena dia yakin bahwa kakek itu adalah seorang yang sakti.
Sejenak kakek itu memandang penuh perhatian dan Han Siong melihat betapa sinar mata yang mencorong itu seakan-akan mendatangkan rasa hangat ketika menyoroti tubuhnya. Diam-diam dia bergidik.
"Orang muda, tanpa diundang engkau datang melihat pekerjaanku, maka kini engkau tak boleh pergi begitu saja tanpa perkenanku!"
Han Siong terkejut sekali, akan tetapi dia menahan sabar. Dia melihat kakek itu kini sudah melanjutkan pekerjaannya membuat boneka besar dari salju itu, agaknya sudah lupa lagi kepadanya karena tidak mempedulikannya sama sekali. Han Siong berdiri saja menonton, tidak tahu harus berbuat apa, akan tetapi merasa lebih aman jika sementara ini dia tutup mulut saja.
Jelas bahwa kakek ini berwatak kasar dan aneh, sehingga siapa tahu dia akan mendapat kesulitan bila dia memaksa diri pergi meninggalkan kakek itu. Maka dia berdiri menonton, merasa betapa kedua kakinya hampir beku karena hawa dingin dari tanah berlapis salju itu seperti menembus sepatunya kemudian meresap masuk ke dalam kedua kaki melalui telapak kakinya. Terpaksa dia mengerahkan sinkang-nya ke arah dua kakinya, memaksa hawa dingin itu supaya turun kembali dan karena pengerahan sinkang ini, maka uap putih mengepul tebal dari kepalanya.
Ada setengah jam Han Siong berdiri menonton. Dia pikir kalau kakek itu sudah selesai membuat boneka salju, tentu dia diperbolehkan pergi. Akan tetapi kakek itu masih terus memperbaiki boneka yang sudah selesai itu, sementara dia merasa betapa cuaca mulai agak gelap. Dia khawatir tidak akan dapat masuk ke dusun itu dalam waktu yang tepat, yaitu sebelum malam tiba.
"Locianpwe, maafkan saya. Saya harus pergi sekarang, khawatir jika sampai kemalaman sebelum tiba di dusun bawah itu."
"Kemalaman atau tidak bukan urusanku. Engkau telah datang dan melihat, sekarang kau katakan bagaimana dengan hasil seni ciptaanku ini, miripkah dengan aku, baguskah?"
Han Siong merasa mendongkol juga. Kakek ini selain kasar, juga mau enaknya sendiri saja, tak mau menghormati dan menghargai keperluan orang lain. Dia mengamati boneka salju yang runtuh karena saljunya merekah atau terlepas, untuk menyatakan kedongkolan hatinya, dia lalu menjawab,
"Boneka salju itu tidak dapat dibilang bagus."
Mendengar jawaban ini, kakek gendut itu melotot memandang kepada Han Siong, terlihat marah sekali. "Apa...?!" Dia berteriak. "Engkau tidak dapat menghargai hasil karya seniku yang hebat ini? Sungguh goblok, sungguh tolol, sungguh tidak memiliki selera tinggi! Hasil karya seni yang begini hebat, timbul dari inspirasi murni, kau katakan tidak bagus, hah?"
Melihat orang itu marah-marah, Han Siong terkejut. Dia tidak ingin membuat orang marah, apa lagi kalau sampai terjadi pertengkaran, maka cepat dia berkata.
"Locianpwe, bagaimana pun juga, harus kuakui bahwa boneka salju buatan Locianpwe ini sangat mirip dengan Locianpwe." Dan pujian ini memang bukan kosong belaka. Memang boneka itu mirip sekali penciptanya, baik bentuk badannya, mukanya dan kepalanya.
Akan tetapi betapa kaget hati Han Siong saat dia melihat kakek itu kini menjadi semakin marah, membanting-banting kakinya sambil menudingkan telunjuknya ke arah hidung Han Siong. "Bocah kemarin sore, kau berani menghina kakek-kakek macam aku ya? Dua kali engkau menghinaku. Pertama, engkau tidak menghargai karya seniku yang agung, dan ke dua, engkau samakan aku dengan sebuah boneka salju yang tak bernyawa! Sungguh kurang ajar engkau, ya?"
Hampir saja Han Siong tertawa. Kakek ini memang aneh dan mau enaknya sendiri, akan tetapi kemarahannya itu disebabkan oleh hal-hal yang aneh dan tidak masuk akal, seperti anak kecil saja. Maka timbullah kegembiraannya dalam usahanya hendak menyenangkan hati kakek itu.
Sudah dua kali dia salah omong, walau pun maksudnya baik untuk memuji. Pertama kali dia bicara sejujurnya tetapi diterima salah, kemudian untuk kedua kalinya dia bicara untuk menyenangkan hati dan memuji namun diterima salah pula. Dia lalu mengerahkan tenaga batinnya seperti yang sudah diajarkan oleh subo-nya, menunjuk ke arah boneka salju dan dengan suara yang halus tetapi mengandung wibawa untuk menguasai pikiran orang, dia berkata,
"Locianpwe, siapa bilang boneka salju itu tidak bernyawa? Lihat, dia pandai berjalan!"
Kakek itu segera menengok memandang dan benar saja, dia melihat betapa boneka salju buatannya tadi kini berjalan-jalan, dengan langkah satu-satu, lucu sekali! Han Siong telah menggunakan kekuatan sihirnya seperti yang telah dipelajarinya dari subo-nya, membuat boneka salju itu berjalan-jalan dalam pandang mata kakek yang kasar dan galak itu.
Kakek itu terbelalak, lalu sengaja dia berjalan di belakang boneka itu sambil tertawa-tawa ha-ha he-he sehingga nampak pemandangan yang lucu sekali. Sepasang kakek kembar, yang satu dari salju, yang satu manusia tulen, berbaris ke kanan-kiri hilir-mudik. Lucunya, kakek gendut bahkan kini memberi aba-aba.
"Satu, dua, tu-wa, tu-wa...!"
Melihat ini Han Siong merasa geli sekaligus juga kasihan, maka dia tersenyum lebar dan menghentikan ilmu sihirnya. Akan tetapi kini dia terbelalak dan mukanya berubah karena dia terkejut bukan main dan merasa terheran-heran sekali. Boneka salju itu tidak berhenti melangkah, melainkan masih terus melangkah dan kakek gendut itu masih mengikuti di belakangnya sambil berseru,
"Tu-wa, tu-wa, tu-wa...!" sambil tertawa-tawa!
Tentu saja Han Siong merasa amat terkejut dan heran. Boneka salju itu tadi bisa berjalan karena pengaruh sihirnya. Akan tetapi mengapa boneka salju itu masih berjalan terus biar pun dia telah menghentikan pengerahan tenaga sihirnya? Dia terbelalak memandang!
Akan tetapi kakek gendut itu tetap tertawa bergelak, bahkan kini mengeluarkan kata-kata parau. "Ha-ha-ha-ha! Boneka salju ini dapat berjalan, bukan hanya berjalan bahkan dapat pula menyerang dan bermain-main dengan orang muda yang lancang, ha-ha-ha!"
Kini dengan langkah-langkah lebar boneka salju itu berjalan menghampiri Han Siong, lalu menyerang Han Siong dengan gerakan yang cepat dan kuat sekali! Hal ini tentu saja amat mengejutkan pemuda itu, maka cepat dia mengelak dengan sebuah loncatan ke samping lalu kakinya melayang, menendang ke arah perut boneka salju itu dengan cepat.
"Prokkk...!" Boneka salju itu hancur berhamburan.
Han Siong melompat ke belakang, masih terheran-heran mengapa boneka salju yang tadi disihirnya sehingga dapat berjalan itu, tahu-tahu dapat mengamuk sesudah pengaruh sihir itu dia lenyapkan. Akan tetapi Han Siong seorang pemuda yang amat cerdik.
Dia sudah dapat menduga bahwa tentu kakek gendut itulah yang main-main dengan dia. Tentu kakek itulah yang telah mempergunakan kekuatan sihir yang lebih ampuh dari pada kekuatannya sendiri untuk melanjutkan permainan itu, sekaligus untuk mengejek dirinya. Pantas kakek itu tadi mengatakan bahwa dia lancang!
Kakek gendut itu sekarang terbelalak, marah melihat betapa boneka kesayangannya yang dinamakannya sendiri sebagai hasil karya seni agung itu dirusak orang. Sambil bertolak pinggang dan menggembungkan perutnya yang sudah gendut, dia berteriak.
"Orang muda yang jahat! Engkau berani merusak boneka saljuku?!"
"Maaf, Locianpwe..."
"Apa maaf?! Tidak ada maaf bagimu! Engkau tadi telah menyamakan aku dengan boneka salju, malah engkau telah mencela pula dan mengatakan buatanku, hasil karya seni yang agung itu tidak bagus. Engkau harus dihajar!"
"Maaf, saya tidak sengaja untuk membikin Locianpwe marah."
"Sengaja atau tidak, aku sudah terlanjur marah sekarang. Nah, kau lihat seranganku. Aku harus membalas dendam atas kehancuran boneka salju." Berkata demikian, tiba-tiba saja tubuh yang gendut itu menerjang ke depan, seperti sebuah bola besar menggelinding dan tahu-tahu dua buah lengan yang besar pendek sudah menyerang dari atas bawah, kanan kiri. Serangan kedua tangan itu mendatangkan angin pukulan berdesir yang mengandung hawa panas!
Dengan gerakan yang halus akan tetapi cepat, Han Siong sudah cepat mengelak dengan menggeser kakinya lantas meloncat ke kiri. Pukulan kedua tangan itu meluncur lewat dan ketika hawa pukulan yang ganas itu menyambar dan mengenai salju yang menempel di batang pohon, salju itu pun mencair dan nampaklah kulit batang yang kehitaman!
Secara diam-diam Han Siong terkejut bukan main. Itulah pukulan yang amat ampuh, yang mengandung tenaga sinkang yang luar biasa. Maka dia pun cepat mainkan Pek-sim-kun yang dipelajarinya dari catatan kakek buyutnya. Tiga belas jurus Pek-sim-kun ini adalah hasil perasan dari Ilmu Silat Pek-sim-kun, merupakan intinya, karena itu hebatnya bukan kepalang.
Begitu melihat gerakan Han Siong yang dilakukan secara mantap, cepat dan mengandung sinkang yang kuat, kakek gendut itu mengimbanginya dengan elakan dan tangkisan yang kuat pula, bahkan segera membalas dengan pukulan-pukulan yang gayanya mirip dengan Pek-sim-kun. Tahulah Han Siong bahwa kakek ini pandai pula dengan ilmu silat Siauw-lim-pai, maka dia kemudian bersilat dengan hati-hati dan berganti-ganti memainkan jurus Pek-sim-kun yang jumlahnya tiga belas itu.
"Wuuuuutttt...!"
Angin pukulan yang sangat keras menyambar ketika Han Siong mencondongkan tubuh ke depan, lengan kanannya menyambar dari samping dengan dahsyatnya, meninju ke arah pelipis lawan sedangkan tangan kirinya membuat gerakan berputar di depan dada, lantas meluncur ke bawah sebagai serangan susulan dan menghantam dengan telapak tangan terbuka ke arah pusar.
Hebat sekali jurus tangan terbuka dari Pek-sim-kun ini. Kakek gendut menyambut jurus ini dengan sebuah tangkisan sambil mengeluarkan seruan kagum.
"Dukkk! Desss...!"
Benturan dua tenaga dahsyat membuat bumi di bawah mereka seolah-olah tergetar dan akibatnya, kakek gendut ini melangkah mundur tiga tindak, sedangkan Han Siong sedikit terhuyung saking hebatnya tenaga lawan yang menangkisnya.
"Ha-ha-ha, ilmu silatmu hebat, berdasarkan ilmu Siauw-lim-pai. Sungguh engkau seorang pemuda yang amat mengagumkan, akan tetapi juga menjengkelkan karena engkau telah mengganggu aku!"
Kini Han Siong sudah merasa yakin bahwa dia berhadapan dengan seorang kakek sakti, maka kesempatan bicara ini dia gunakan untuk berkata. "Harap Locianpwe memaafkan kelancangan saya tadi..."
"Enak saja, tidak ada maaf-maafan! Hayo sambutlah seranganku ini!" kata kakek itu yang agaknya timbul kegembiraannya karena mendapatkan seorang lawan tangguh. Sekarang tubuhnya telah menggelinding lagi ke depan, mengirim serangan yang lebih dahsyat dari pada tadi.
Melihat hal ini, Han Siong mengerutkan alisnya. Agaknya kakek itu bersungguh-sungguh hendak membunuh atau melukainya, sebab itu dia pun terpaksa harus membela diri. Dan karena lawannya bukan orang sembarangan, serangannya sangat berbahaya, maka dia pun cepat mengerahkan semua tenaga dan kini dia mainkan ilmu-ilmu yang dipelajarinya dari suhu serta subo-nya selama delapan tahun ini di kuil Siauw-lim-pai, di dalam kamar Penebus Dosa.
Harus diketahui bahwa selain ilmu-ilmu yang cukup bersih yang dahulu diperolehnya dari gurunya, yaitu Ciu-sian Lo-kai, Siangkoan Ci Kang juga memiliki ilmu-ilmu dari ayahnya, seorang datuk sesat yang berjuluk Iblis Buta. Ilmu-ilmu dari ayahnya ini sebagian besar bersifat kotor dan kejam.
Semua ilmu ini oleh Siangkoan Ci Kang diajarkan kepada Han Siong sehingga pemuda ini di samping menerima ilmu yang bersih, juga menerima ilmu silat yang sifatnya kotor dan curang, seperti biasa sifat ilmu-ilmu berkelahi dari golongan sesat. Apa lagi dari subo-nya, dia juga memperoleh ilmu-ilmu kesaktian yang ganas sekali mengingat bahwa subo-nya adalah anak tunggal dari mendiang Raja dan Ratu Iblis.
Maka ketika sekarang dia mengeluarkan ilmu-ilmunya ini, kakek gendut itu beberapa kali mengeluarkan seruan kaget dan heran. "Ihh, ganas, keji...! Ilmu setan! Ilmu iblis!" Berkali-kali kakek itu berseru penasaran sambil mengelak atau menangkis.
Mendengar seruan-seruan ini, akhirnya Han Siong merasa malu juga. Dia sudah pernah mendapat penjelasan dari suhu dan subo-nya mengenai sifat ilmu-ilmu yang dipelajarinya. Bahkan suhu-nya berkata antara lain demikian,
"Baik buruk atau baik jahatnya suatu ilmu tergantung dari pada penggunaannya, muridku, tergantung dari pada manusianya yang menggunakan ilmu itu. Akan tetapi harus diketahui bahwa dalam ilmu silat, memang terdapat ilmu-ilmu yang sifatnya memang jahat, kejam, curang dan licik. Ilmu-ilmu silat semacam itu digunakan oleh kaum atau golongan sesat. Karena kami berdua memiliki lebih banyak ilmu silat kaum sesat itu, maka kami ajarkan keduanya kepadamu dengan harapan supaya engkau paham benar bahwa yang penting adalah penggunaannya. Gunakanlah ilmu-ilmu yang baik untuk membela kebenaran dan keadilan, sedangkan ilmu silat yang sesat itu bisa kau gunakan untuk menghadapi lawan dari golongan sesat atau untuk memperoleh kemenangan dalam suatu perkelahian. Akan tetapi jangan sekali-kali dipergunakan untuk kejahatan, sebab betapa pun bersihnya suatu ilmu, kalau dipergunakan untuk kejahatan, ilmu itu pun menjadi ilmu kotor."
Kini, sesudah teringat akan pesan gurunya, Han Siong merasa malu. Kakek yang menjadi lawannya ini memang orang aneh yang memaksanya bertanding, akan tetapi dia belum mengenalnya, belum tahu kakek ini dari golongan mana. Maka amat memalukan jika dia harus mengeluarkan ilmu-ilmu yang bersifat curang dan kejam itu.
Dia pun langsung merubah gerakannya dan kini Han Siong bersilat dengan gerakan yang lemah lembut, halus laksana orang menari, akan tetapi di balik kehalusan itu tersembunyi kekuatan yang dahsyat. Itulah Ilmu Silat Kwan-im-kun!
Kakek gendut itu mengeluarkan seruan terkejut dan heran ketika Han Siong pertama kali memainkan jurus Ilmu Silat Kwan-im-kun. Dia selalu mengelak dengan loncatan-loncatan ke kanan kiri dan sesudah dia yakin benar akan ilmu silat pemuda itu, tiba-tiba tubuhnya meloncat jauh ke belakang.
"Heiii, tadi engkau mainkan ilmu silat dari Kwan Im Nio-nio! Dia itu apamukah?" tanyanya dengan mata terbelalak.
Mendengar nama ini, Han Siong menjawab terus terang, "Saya tidak mengenal Kwan Im Nio-nio, Locianpwe."
"Mustahil! Jangan bohong kau! Engkau memainkan ilmu silatnya dan engkau mengatakan tidak mengenal pemiliknya? Kalau begitu, tentu engkau mencuri ilmunya itu!"
"Saya mempelajarinya dari Suhu dan Subo."
"Siapa nama Suhu dan Subo-mu? Apakah mereka itu murid Kwan Im Nio-nio? Rasanya tidak mungkin. Perempuan angkuh itu tidak pernah mau mempunyai murid, katanya ingin membawa mati semua ilmunya."
"Bukan, Locianpwe. Suhu bernama Siangkoan Ci Kang dan Subo bernama Toan Hui Cu, dan mereka secara kebetulan saja menemukan kitab-kitab ilmu yang saya mainkan tadi."
"Di mana kitab itu ditemukan? Dan apakah Kwan Im Nio-nio masih hidup? Hayo ceritakan semua, orang muda." Kini kakek itu bersikap ramah. Dia lantas duduk begitu saja di atas tanah yang tertutup salju, wajahnya seperti seorang anak kecil yang siap mendengarkan dongeng yang menarik.
Melihat ini, legalah hati Han Siong. Agaknya kakek aneh ini sudah tidak memusuhinya lagi, karena itu dia pun lalu duduk di atas sebuah batu karena dia tidak ingin membiarkan celananya basah seperti kakek itu. Dia kemudian menceritakan tentang pengalaman suhu dan subo-nya menemukan kitab-kitab serta pedang seperti yang diceritakan oleh mereka kepadanya.
Secara kebetulan dan tidak disengaja, pada waktu Siangkoan Ci Kang memeriksa kamar di mana dia harus menjalani hukuman, dia menemukan kitab-kitab yang ada gambarnya Kwan Im Pouwsat. Bersama Toan Hui Cu dia lalu mempelajari dua buah kitab itu yang kemudian mereka namakan Kwan-im-kun dan Kwan-im Kiam-sut sesuai dengan gambar-gambar Kwan Im Pouwsat yang menghias sampul-sampul dua buah kitab itu.
Beberapa tahun kemudian giliran Toan Hui Cu yang menemukan lubang rahasia di kamar dia menjalani hukumannya. Ketika dia membongkarnya, lubang di lantai itu menembus ke sebuah kamar di bawah tanah dan di sana dia menemukan rangka manusia yang masih mengenakan pakaian seperti pakaian Kwan Im Pouwsat, dan di atas pangkuan kerangka manusia itu dia menemukan sebatang pedang tipis pendek.
Itulah pedang yang mereka namakan pedang Kwan-im-kiam. Kemudian mereka berikan pedang itu kepada Han Siong sebagai tanda ikatan jodoh antara murid mereka itu dengan puteri mereka yang hilang diculik orang.
"Demikianlah, Locianpwe. Saya mewarisi kedua ilmu itu berikut pedangnya dari Suhu dan Subo yang menemukan semua itu di dalam kamar-kamar mereka di kuil Siauw-lim-si." Han Siong mengakhiri ceritanya, tentu saja tanpa menyebut tentang ikatan jodoh itu.
Kakek gendut itu tiba-tiba menangis! Tentu saja Han Siong menjadi bengong. Dia segera mengamati dengan penuh perhatian, mengira bahwa kakek sakti ini tentu seorang yang sudah miring otaknya, atau memiliki watak yang demikian anehnya sehingga mendekati gila.
Kakek yang duduk di atas tanah bersalju itu menangis dengan kedua punggung tangan menghapus air mata, pundaknya bergoyang-goyang, perutnya yang gendut itu bergerak-gerak, persis seperti seorang anak kecil, dari mulutnya keluar suara tangisan yang parau. Diam-diam keadaan ini menimbulkan keharuan di dalam hati Han Siong. Kakek itu patut dikasihani, pikirnya.
"Aihhh, perempuan memang aneh sekali...!" Kakek itu kini berhenti menangis dan seperti bicara kepada diri sendiri. "Kwan Im Nio-nio, nenek tua bangka, kenapa engkau menyiksa dirimu sampai begitu rupa? Hemm, aku mengerti, agaknya engkau hendak menghabiskan sisa umurmu untuk menebus dosa di dalam kuil, membawa ilmumu bersama pedangmu mengubur diri di dalam kuil. Namun ternyata ada orang-orang yang berjodoh denganmu sehingga mewarisi pedang dan ilmu-ilmumu."
Kembali dia terisak. Han Siong membiarkan saja kakek itu menangis sampai akhirnya dia berhenti menangis, memandang kepadanya dengan mata merah.
"Orang muda, siapakah namamu?"
"Nama saya Pek Han Siong, Locianpwe."
Kakek itu terbelalak dan memandang tajam. "Engkau she Pek? Kalau begitu limu silatmu yang pertama tadi adalah ilmu silat dari Pek-sim-pang? Apakah engkau masih memiliki hubungan dengan para ketua-ketua Pek-sim-pang?"
"Saya adalah keturunan Ketua Pek-sim-pang."
'Ehhh...?" Tiba-tiba kakek itu menggerakkan kedua tangannya ke depan dada, membuat gerakan-gerakan aneh dengan kedua tangannya sehingga Han Siong mengikuti gerakan-gerakan itu dengan heran. "Jangan bergerak!" kakek itu membentak dan tubuhnya sudah menerjang ke depan.
Han Siong terkejut sekali ketika hendak mengelak, karena tiba-tiba tubuhnya tidak dapat digerakkan! Dia segera sadar bahwa kakek itu sudah menggunakan kekuatan sihir ketika berteriak melarang dia bergerak tadi. Dia langsung mengerahkan kekuatan batinnya untuk melawan, akan tetapi ketika akhirnya dia mampu bergerak, baju di punggungnya sudah dirobek oleh kakek itu.
"Aihh, benar...!" Kakek itu berteriak kaget. "Ada tanda merah di punggungmu dan engkau keturunan ketua Pek-sim-pang." Tiba-tiba saja kakek gendut itu menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Han Siong!
Tentu saja Han Siong terkejut bukan main. "Locianpwe... harap... harap jangan melakukan ini...!" serunya.
"Paduka adalah Sin-tong yang telah lama menggegerkan seluruh daerah barat, karena itu sudah sepatutnya kalau saya menghormati paduka dan sudah sepatutnya pula jika saya menyerahkan seluruh kepandaian yang ada kepada paduka..."
Celaka, pikir Han Siong. Kakek ini benar-benar sinting!
"Locianpwe, bangkitlah dan mari kita bicara dengan baik-baik..."
"Tidak, sampai mati pun saya tidak akan bangkit lagi sebelum paduka menyatakan mau menerima ilmu-ilmu yang akan saya ajarkan kepada paduka."
Gila, pikir Han Siong. Ini namanya dunia dan aturannya sudah terbalik semua. Biasanya seorang calon murid yang memohon sambil berlutut supaya diterima menjadi murid. Akan tetapi sekarang kakek yang sinting ini bahkan berlutut dan memohon kepadanya supaya suka menerima ilmu-ilmu yang akan diajarkan oleh kakek itu kepadanya! Akan tetapi apa salahnya? Kakek ini sakti, dan agaknya mengenal baik pemilik kitab-kitab Kwan-im-kun yang namanya Kwan Im Nio-nio itu.
"Baik, Locianpwe, saya suka mempelajari ilmu-ilmu dari Locianpwe, tapi ada syaratnya."
"Silakan sebutkan apa syarat itu. Berbahagialah saya apa bila dapat memberi bimbingan kepada Sin-tong!" kakek itu bicara dengan suara yang gembira bukan main!
"Syaratnya ada dua. Pertama, saya hanya akan belajar selama satu tahun saja kepada Locianpwe karena banyak urusan yang harus saya selesaikan. Ke dua, Locianpwe harap bersikap biasa saja seperti layaknya seorang guru terhadap muridnya, jangan menyebut Sin-tong kepada saya, melainkan menyebut nama saya saja, dan saya akan menyebut Suhu kepada Locianpwe. Bagaimana?"
Kakek itu menarik napas panjang. "Sebenarnya syarat ke dua itu amat berat, akan tetapi baiklah, Han Siong." Kakek itu bangkit berdiri dan kini Han Siong yang cepat berlutut dan memberi hormat sambil menyebut, "Suhu...!"
"Mari kita duduk dan bicara. Aku ingin sekali mendengar tentang dirimu, Han Siong. Ahh, betapa banyak sudah aku mendengar tentang dirimu yang dijadikan rebutan oleh semua orang gagah di dunia barat. Selama ini, di mana saja engkau bersembunyi?"
Karena dia sudah mengangkat kakek itu menjadi gurunya, maka Han Siong pun tak mau merahasiakan keadaan dirinya lagi. Dia lalu menceritakan betapa sejak bayi dia dirawat oleh kakek buyutnya yang bernama Pek Khun, yang mengajaknya bertapa di Pegunungan Kun-lun-san, kemudian betapa oleh kakek buyutnya dia lalu dikirim ke kuil Siauw-lim-pai di Pegunungan Heng-tuan-san dan menjadi kacung di kuil sana.
"Di kuil itulah teecu (murid) bertemu dengan Suhu Siangkoan Ci Kang dan Subo Toan Hui Cu, menerima pelajaran ilmu-ilmu silat di samping teecu juga tekun mempelajari ilmu-ilmu kebudayaan dari kitab-kitab yang terdapat di dalam kuil, di bawah bimbingan para hwesio di sana. Setelah tamat belajar, barulah Suhu dan Subo menyuruh teecu untuk keluar dari kuil dan mencari keluarga teecu, yaitu keluarga Pek di Kong-goan."
Kakek itu mengangguk-angguk. "Agaknya Subo serta Suhu-mu itu orang-orang yang baik dan juga cerdas sekali. Akan tetapi bagaimana engkau bisa mempelajari ilmu sihir seperti yang kau pergunakan untuk menghidupkan boneka saljuku tadi?"
"Teecu mempelajarinya sedikit dari Subo. Ketika Subo menjalani hukuman di kuil Siauw-lim-si, dia juga banyak membaca kitab-kitab dan dia menemukan kitab yang mengatakan bahwa di dalam diri setiap orang terdapat kekuatan gaib yang tersembunyi. Subo sendiri adalah keturunan orang-orang sakti yang diam-diam mempunyai kekuatan gaib yang kuat sekali. Mulailah Subo melatih diri membangkitkan kekuatan gaibnya, lantas dia pun mulai mempelajari ilmu sihir di dalam Kamar Penebusan Dosa itu dan dari Subo teecu belajar sedikit ilmu sihir yang tidak ada artinya dibandingkan dengan ilmu sihir dari Suhu sendiri."
"Hemm, Subo-mu itu she Toan, ya? Sepertinya aku pernah mendengar akan kehebatan orang-orang dari keluarga Toan, kalau tak salah keluarga pangeran..."
"Tidak salah, Suhu. Subo Toan Hui Cu adalah puteri mendiang Pangeran Toan Jit Ong yang berjuluk Raja Iblis..."
"Ya Tuhan...! Benar, Raja dan Ratu Iblis...!" Kakek itu terbelalak dan mengangkat kedua tangan ke atas saking kagetnya. "Pantas saja ilmu silatmu bermacam ragam dan banyak pula yang merupakan ilmu yang sesat! Untung Suhu dan Subo-mu itu menemukan ilmu peninggalan Kwan Im Nio-nio dan diajarkan kepadamu, dan untung pula engkau bertemu dengan aku. Ketahuilah, Han Siong. Kwan Im Nio-nio dan aku adalah dua orang di antara orang-orang yang dijuluki Delapan Dewa."
Han Siong memandang kagum, akan tetapi terus terang menjawab, "Di dalam kuil Suhu dan Subo banyak bercerita kepada teecu mengenai tokoh-tokoh di dunia persilatan, akan tetapi terus terang saja, teecu belum pernah mendengar akan nama Delapan Dewa."
Kakek itu menarik napas panjang. "Salah kami sendiri. Puluhan tahun yang lampau kami pernah memperoleh nama besar dan disegani oleh seluruh golongan di dunia persilatan. Akan tetapi pada suatu hari kami bertemu dan bentrok dengan Raja dan Ratu Iblis. Kami mengadu ilmu melawan mereka dengan perjanjian bahwa siapa yang kalah harus pergi bertapa dan tidak boleh lagi muncul di dunia persilatan. Dan kami kalah! Kami memegang janji. Masing-masing pergi bertapa dan memperdalam ilmu silat. Setelah kami mendapat ilmu-ilmu yang tinggi, ternyata Raja dan Ratu Iblis sudah tewas di tangan para pendekar muda. Demikianlah, kami telah terlanjur suka bertapa sehingga tidak muncul lagi di dunia persilatan."
Han Siong mendengarkan dengan kagum. Mereka tentulah orang-orang yang menjunjung tinggi kegagahan sehingga mereka setia terhadap janji sendiri sampai rela menderita dan mengasingkan diri.
"Siapakah tokoh lain dari Delapan Dewa kecuali Suhu dan Locianpwe Kwan Im Nio-nio?" tanyanya.
Kakek gendut itu menarik napas panjang. "Nama Delapan Dewa yang tadinya gemilang itu telah menjadi muram, bahkan tenggelam dan lenyap sesudah kami ditaklukkan oleh Raja dan Ratu Iblis. Kami cerai berai, pergi bertapa dan tidak saling berhubungan lagi sampai puluhan tahun. Di antara kami yang delapan orang, hanya terdapat dua orang wanitanya, yaitu Kwan Im Nio-nio dan In Liong Nio. Yang enam orang sisanya adalah pria semua, susunannya seperti ini. Aku sendiri disebut orang Ban Hok Lojin atau juga diejek dengan sebutan Ji-lai-hud, kemudian Ciu-sian Lo-kai atau Ciu-sian Sin-kai, Go-bi San-jin yang kabarnya sekarang sudah masuk menjadi pendeta Lama berjuluk See-thian Lama, lalu Wu-yi Lo-jin, Siang-kiang Lo-jin, dan Sian-eng-cu The Kok. Nah, itulah nama-nama Delapan Dewa yang sudah lama meninggalkan dunia ramai. Akan tetapi selama ini aku tidak pernah bertemu atau berhubungan dengan mereka, hanya kabarnya empat di antara kami, yaitu Go-bi San-jin, Ciu-sian Sin-kai, Wu-yi Lo-jin, dan Siang-kiang Lo-jin, ikut pula membantu pada saat para pendekar muda yang menjadi murid-murid mereka membasmi Raja dan Ratu Iblis bersama gerombolannya. Sekarang aku tidak tahu di mana mereka, masih hidup ataukah sudah mati semua seperti Kwan Im Nio-nio." Kembali kakek gendut itu menarik napas panjang, akan tetapi kini wajahnya sudah cerah kembali dan senyum menghias mulutnya.
Kini Han Siong menjadi semakin kagum Ternyata kakek yang menjadi gurunya ini adalah seorang sakti dan dia pun girang bukan main. "Semoga dalam waktu setahun teecu akan menerima petunjuk-petunjuk yang berharga dari Suhu."
"Ilmu silatmu sudah tinggi tingkatnya, Han Siong. Bila mana engkau sudah menguasainya dengan sempurna, agaknya aku sendiri pun tidak akan menang darimu. Sayang engkau terlampau banyak mempelajari ilmu-ilmu sesat, untuk itu aku akan mengajarkan ilmu silat Pek-hong Sin-ciang (Tangan Sakti Awan Putih) kepadamu. Juga ilmu sihirmu itu jangan kau pergunakan. Aku akan mengajarmu untuk mempergunakan tenaga batin yang bersih untuk menghadapi segala macam kekuatan ilmu hitam."
"Suhu, apakah perbedaan antara sihir putih dan sihir hitam? Antara kekuatan bersih dan kekuatan kotor?" Han Siong merasa penasaran dan bertanya.
"Sudah kukatakan tadi bahwa bersih dan kotornya suatu ilmu tergantung dari pada watak orang yang mempergunakannya. Akan tetapi yang dinamakan ilmu silat kotor adalah ilmu silat di mana digunakan segala kecurangan, alat-alat rahasia, racun-racun, cara-cara yang penuh tipu muslihat licik. Sebaliknya, ilmu silat bersih adalah ilmu silat yang berdasarkan kekuatan yang terlatih, gerakan-gerakan yang kuat dan cepat, kewaspadaan yang dapat membuat gerakan menjadi tepat, tanpa memakai cara-cara curang untuk mengalahkan lawan. Sedangkan sihir putih adalah penggunaan kekuatan batin yang terhimpun di dalam tubuh, menggunakan kekuasaan dan kekuatan alam dengan dasar iman dan kepercayaan kepada Tuhan dan para dewa. Sebaliknya sihir hitam adalah penggunaan kekuatan yang datang dari setan-setan, roh jahat, dan segala macam kekuatan gaib yang mendorong pemakainya ke arah perbuatan jahat."
Mulai hari itu, kembali Han Siong menerima gemblengan, sekali ini dari seorang di antara Delapan Dewa yang mempunyai ilmu kepandaian tinggi sekali. Dia belajar dengan sangat tekun, di dalam sebuah goa di puncak bukit yang sunyi.
********************
Sungai itu mengalir dari Pegunungan Min-san dan sungai itu disebut Sungai Min-kiang. Ketika sungai itu tiba di dalam sebuah hutan di kaki Pegunungan Min-san, airnya masih jernih, belum dikotori sampah-sampah seperti apa bila sudah melewati banyak dusun dan kota. Apa lagi daerah itu merupakan pegunungan yang tanahnya terdiri dari tanah keras, tidak berlumpur sehingga airnya nampak jernih mengalir riang di antara batu-batu, bahkan dasarnya pun nampak.
Sudah lebih dari setengah jam wanita itu mengintai pemuda yang sedang duduk di pinggir sungai, di atas rumput tebal. Pemuda itu tengah memancing ikan seorang diri, tampaknya benar-benar dapat menikmati kesunyian dan keindahan keadaan di tepi Sungai Min-kiang di dalam hutan yang teduh itu.
Air sungai demikian jernihnya sehingga penuh dengan bayangan pohon-pohon di atasnya, bergerak-gerak sedikit karena tenangnya air yang mengalir perlahan. Aliran yang lambat ini, ditambah akar-akar pohon, menciptakan tempat tinggal yang sangat menyenangkan bagi ikan-ikan, apa lagi bagian itu agak dalam, membuat tempat itu dihuni banyak ikan. Maka tidak mengherankan jika dalam waktu setengah jam saja pemuda itu telah berhasil mengangkat tiga ekor ikan yang lumayan besarnya.
Wanita itu mengintai dengan mata bersinar-sinar dan wajah berseri. Dia melihat betapa pemuda itu mengeluarkan teriakan girang karena kembali dia telah berhasil mendapatkan seekor ikan lagi, ikan yang kulitnya putih seperti perak, dengan perut kuning.
"Ha, seekor lagi saja maka aku akan pesta! Lima ekor sudah lebih dari cukup!" katanya. "Marilah manis, kau sambar umpanku!" Pemuda itu tersenyum-senyum dengan gembira dan sepasang mata yang mengintai itu menjadi semakin kagum.
Wanita yang mengintai itu sekarang berindap-indap mendekati, akan tetapi tetap saja dia melakukannya sambil bersembunyi, menyelinap di antara pepohonan, semak belukar dan batu-batu. Gerakannya demikian ringan sehingga tidak menimbulkan suara dan akhirnya dia dapat bersembunyi di balik semak-semak terdekat, dapat memandang pemuda yang tengah memancing ikan itu dengan amat jelas. Dan semakin jelas dia memandang, makin kagumlah dia, wajahnya makin berseri, mulutnya tersenyum dan matanya bersinar-sinar.
Seorang pemuda yang tampan dan gagah. Walau pun sedang duduk seenaknya di atas rumput, nampak betapa bidang dada itu, betapa tegap tubuh yang bentuknya sedang itu. Sepasang matanya bersinar-sinar penuh gairah hidup, mulutnya yang berbentuk manis itu selalu mengembangkan senyum, hidungnya mancung dan raut wajahnya membayangkan kejantanan dengan dagu yang dapat mengeras dan agak berlekuk di tengahnya.
Senyumnya manis dan memikat. Pakaiannya berwarna biru muda berhiaskan garis-garis kuning emas di tepinya. Sebuah buntalan pakaian terletak di sebelahnya. Usianya kurang lebih dua puluh tahun.
Wanita yang mengintai itu pun bukan wanita sembarangan. Dari pakaiannya saja mudah diduga bahwa dia bukanlah penghuni dusun atau wanita gunung sederhana, melainkan seorang wanita yang biasa tinggal di kota. Apa lagi kalau melihat gelung rambutnya yang tinggi dan dihiasi seekor burung Hong dari emas dan permata yang tentu sangat mahal harganya.
Wanita ini juga membawa sebuah buntalan kain panjang yang digendong pada belakang punggungnya. Kenyataan ini menunjukkan bahwa wanita itu juga seseorang yang sedang melakukan perjalanan jauh dengan membawa bekal pakaian. Akan tetapi pakaian yang menempel di tubuhnya nampak bersih, demikian pula sepatunya yang kecil dan baru.
Wajahnya bulat dengan kulit yang putih halus, dibuat semakin putih halus akibat dibedaki. Sepasang matanya agak lebar dan penuh sinar dan gairah hidup, penuh semangat, juga kedua bola matanya dapat bergerak lincah, tanda bahwa wanita ini biasa menggunakan kecerdikannya.
Alisnya kecil melengkung hitam, lengkung yang tak wajar, dibuat dengan cara mencabuti sebagian rambut alisnya. Kedua pipinya terlihat segar kemerahan, bukan karena pemerah pipi. Hidungnya kecil mancung dan ujungnya sedikit mencuat ke atas menjadi penambah manis. Mulutnya kecil dengan bibir yang merah basah dan selalu agak terbuka laksana orang terengah, menimbulkan sifat menantang.
Wanita berusia kurang lebih tiga puluh tahun ini memang mempunyai wajah yang manis sekali. Juga bentuk tubuhnya padat dan ramping menggairahkan, dengan lekuk lengkung yang sexy, bagian dada dan pinggul membusung, sedangkan pinggangnya sangat kecil seperti pinggang tawon kemit.
Pemuda yang sedang memancing ikan itu adalah Hay Hay! Memang pemuda ini memiliki raut wajah, bentuk tubuh serta pembawaan yang sangat menarik hati bagi kaum wanita. Wajahnya yang tampan selalu cerah, dengan pandang mata yang selalu penuh semangat dan gairah, bibirnya selalu dibayangi senyum ramah.
Seperti kita ketahui, Hay Hay melakukan perjalanan ke daerah itu untuk mencari keluarga Pek di Kong-goan. Ketika sampai di tepi sungai itu dia melihat gerakan banyak ikan, dan tertarik oleh keadaan yang indah dan nyaman, dia pun merasa lapar sekali dan segera dia membuat pancing sederhana dari peniti, tali dan ranting. Peniti dibentuk menjadi mata kail dan dengan cacing yang mudah didapatkan di tepi sungai, dia pun mengail dan berhasil menangkap empat ekor ikan dada kuning.
Dia tak akan patut disebut murid dari dua orang sakti, dua di antara Delapan Dewa, kalau saja dia tidak tahu bahwa ada orang sedang mengintainya. Sejak tadi pun dia sudah tahu dan hal ini membuat Hay Hay menjadi makin gembira. Pemandangan alam di tempat itu demikian indah, hawanya sejuk nyaman, dan memancing ikan pun berhasil menangkap ikan-ikan yang gemuk, dan kini ada seorang wanita yang mengintainya pula!
Dengan ujung matanya, tadi sekelebatan dia berhasil menangkap bayangan pengintainya dan tahu bahwa pengintai itu seorang wanita. Akan tetapi tentu saja dia tidak tahu siapa dan jantungnya berdegup agak keras penuh kegembiraan yang menegangkan ketika dia menduga bahwa bayangan itu mungkin saja Bi Lian, gadis cantik jelita yang amat menarik hati itu.
Akan tetapi dia segera membantah sendiri dugaan itu. Kalau Bi Lian, tidak mungkin gadis itu demikian bodoh untuk mengintainya seperti itu. Bukankah Bi Lian telah tahu bahwa dia mempunyai kepandaian sehingga kalau diintai seperti itu pasti akan mengetahuinya? Dan pula, apa perlunya Bi Lian harus mengintai semacam itu? Gadis itu tentu akan langsung saja menemuinya kalau hal itu dikehendakinya.
Bukan, wanita itu bukan Bi Lian, dan pendapat ini mendatangkan kegembiraan di hati Hay Hay. Membayangkan dia akan bertemu dengan seorang wanita lain yang penuh rahasia, belum apa-apa sudah membuatnya bergembira. Wanita merupakan makhluk yang selalu menarik perhatiannya. Maklum, mata keranjang berhidung belang.
Tiba-tiba tali pancingnya bergerak. Seekor ikan yang agaknya berat dan lebih besar dari pada empat ekor yang sudah ditangkapnya, bergantung di mata kailnya. Dengan gerakan cepat Hay Hay menarik tangkai pancingnya sehingga mata kailnya mengait di mulut ikan lantas dia meneruskannya dengan sentakan kuat sehingga terlemparlah seekor ikan yang benar saja lebih besar dari pada tadi, ke atas. Hay Hay sengaja melepaskan ranting yang menjadi tangkai pancing sambil berteriak,
"Oh, terlepas...!" Ikan berikut tali dan tangkai pancing itu meluncur ke arah semak-semak di mana wanita itu bersembunyi!
Mendadak ada sebuah tangan yang kecil halus tapi cekatan menyambut dan menangkap tangkai pancing dan nampaklah seorang wanita muncul dari balik semak-semak sambil memegang setangkai pancing yang di ujungnya nampak seekor ikan besar menggelepar-gelepar. Sambil tersenyum penuh daya pikat wanita itu kini melangkah maju menghampiri Hay Hay, membawa ikan di ujung pancing itu.
"Ikan yang besar, gemuk dan mulus, tentu enak sekali!" Wanita itu berkata, senyumnya melebar membuat mulutnya merekah sehingga nampak rongga mulut yang merah sekali dengan deretan gigi yang berkilauan dan putih rapi.
Hay Hay memandang dengan wajah bengong, seperti terpesona oleh kecantikan wanita yang kini sudah berdiri di depannya. Sejenak pandang matanya menjelajahi wanita itu dari ujung kaki sampai ke ujung rambut, kadang-kadang berhenti agak lama di bagian-bagian tertentu yang menarik, dan akhirnya dia menarik napas panjang.
"Ya ampun, Dewi...! Apakah paduka ini Dewi Air ataukah Dewi Hutan yang sengaja turun dari kahyangan hendak memberi anugerah ikan gemuk kepada hamba?" Tentu saja Hay Hay hanya main-main dan berkelakar karena dia sudah tahu bahwa wanita ini sejak tadi mengintainya, akan tetapi dia jujur dengan pandang matanya yang penuh kagum karena memang wanita ini cantik manis dan menggairahkan, penuh daya tarik kewanitaan seperti sekuntum bunga yang selain indah juga harum semerbak.
Mula-mula kedua mata yang lebar itu terbelalak heran mendengar ucapan itu, kemudian wajahnya menjadi kemerahan, bukan karena marah melainkan karena bangga dan girang bukan kepalang. Wanita itu terkekeh sambil memasang aksi, menutupi mulutnya dengan punggung tangan kiri.
"Mengapa engkau menganggap aku sebagai Dewi Air atau Dewi Hutan yang baru turun dari kahyangan?" tanyanya, suaranya merdu sekali seperti suara rebab digesek.
Dengan sangat terbuka Hay Hay mengagumi mata, hidung serta mulut itu. Anak rambut yang membentuk sinom di sepanjang pelipis, di atas dahi dan di belakang telinga itu pun manis sekali, melingkar-lingkar laksana dilukis saja, nampak hitam indah dilatar belakangi kulit yang putih kuning mulus.
"Karena rasanya tidak mungkin ada seorang gadis secantik Paduka. Hanya bidadari dan para dewi kahyangan sajalah kiranya yang dapat memiliki kecantikan seperti ini." Hay Hay memang pandai sekali merayu, bukan rayuan kosong belaka, melainkan kata-kata manis dan pujian yang muncul dari lubuk hatinya.
Dalam pandang matanya, wanita itu seperti bunga. Mana ada bunga yang buruk? Semua bunga, setiap kuntum bunga pasti indah, biar pun keindahannya berbeda-beda. Demikian pula wanita. Tak ada yang buruk, walau pun kemanisannya pun berbeda-beda. Ada yang terletak pada matanya, pada hidungnya, pada mulutnya, atau rambutnya, kulitnya. Akan tetapi wanita di depannya ini memiliki keindahan pada banyak bagian!
Wajah yang manis itu semakin berseri gembira, dan matanya pun menjadi semakin tajam bersinar-sinar. "Aihh, orang muda, engkau sungguh terlalu memujiku. Aku hanya seorang manusia biasa seperti engkau. Kebetulan saja aku dapat menangkap pancing dan ikanmu yang terlempar tadi. Nah, terimalah kembali pancingmu."
Wanita itu kemudian menyerahkan pancing dengan ikan yang menggelepar-gelepar itu, diterima dengan gembira oleh Hay Hay yang tersenyum ramah.
"Terima kasih, Nona. Ya Tuhan, hampir aku tidak percaya bahwa Nona seorang manusia. Kemunculanmu demikian tiba-tiba dan kecantikanmu... hemmm, sukar untuk dipercaya!"
Wanita itu sudah sering kali menghadapi laki-laki yang kurang ajar dan tidak sopan, yang memuji kecantikannya untuk merayu dan menarik perhatian. Akan tetapi baru sekarang dia bertemu dengan pemuda yang memuji kecantikannya demikian jujur terbuka, dengan mata yang sama sekali tidak membayangkan kekurang ajaran seperti mata setiap lelaki yang selalu menyembunyikan tantangan, ajakan dan uluran tangan!
Maka dia menjadi semakin gembira, sungguh pun mulutnya pura-pura cemberut ketika dia berkata. "Ihhh, orang muda, jangan terlampau memuji, membuat aku merasa rikuh saja."
"Aku tidak memuji secara kosong belaka, Nona. Dan kuharap Nona tidak menyebut aku orang muda. Aihh, seolah-olah Nona lebih tua saja dariku. Padahal, paling-paling usia kita sebaya."
Tentu saja Hay Hay dapat menduga bahwa wanita itu agak lebih tua darinya, namun dia tahu bahwa paling tidak enak bagi wanita kalau diingatkan tentang usianya yang sudah lebih tua. Pula, wanita di depannya ini memang masih nampak muda sekali dan memang pantas kalau dikatakan sebaya dengannya.
Wanita itu tersenyum, manis sekali. "Pemuda yang tampan dan ganteng, berapa usiamu sekarang?"
Jantung di dalam dada Hay Hay berdebar dan dia merasa aneh. Betapa beraninya wanita ini. Memujinya sebagai tampan dan ganteng, juga menanyakan usianya! Wah, sungguh seorang wanita yang tidak malu-malu lagi, seorang yang agaknya sudah berpengalaman!
"Berapa menurut dugaanmu, Nona yang cantik jelita?"
"Hemm, kiranya tidak akan lebih dari sembilan belas atau delapan belas tahun."
"Ha, dugaanmu keliru sebab aku lebih tua dari itu, Nona. Usiaku sudah dua puluh tahun!" Hay Hay tertawa dan balas bertanya. "Dan berapakah usiamu, Nona?"
"Berapa menurut dugaanmu, pemuda yang tampan menarik?" tanya wanita itu menirukan kata-kata dan gaya Hay Hay tadi.
Kembali pandang mata Hay Hay menjelajahi seluruh tubuh wanita itu, kemudian dia pun mengangguk-angguk. "Paling banyak dua puluh tahun, Nona."
Wanita itu tersenyum semakin manis. Agaknya taksiran itu amat menyenangkan hatinya. "Lebih berapa tahun lagi. Aku lebih tua darimu."
"Aku tidak percaya!" Hay Hay berseru penasaran. Oleh karena dia menggerakkan tangkai pancing, ikan itu meronta-ronta dan agaknya baru dia teringat akan ikan itu.
"Hi-hik, mau diapakan sih ikan itu?" Si Wanita bertanya menggoda.
"Wah, aku sampai lupa. Oh, ya, karena engkau baik sekali, Nona, dan telah membantuku menangkap ikan yang tadi sempat terlepas ini, maka biar kuundang engkau untuk makan bersamaku. Daging ikan-ikan ini tentu enak sekali."
Wanita itu memandang dengan kedua mata bersinar-sinar. "Bagaimana engkau hendak memasaknya?"
Hay Hay mengangkat dada, lantas menepuk dadanya. "Jangan khawatir. Aku ahli masak! Tunggu sebentar dan bantulah aku menghabiskan daging ikan-ikan ini sebagai teman roti kering dan anggur. Pasti lezat sekali!"
Wanita itu menelan ludah, nampak berselera sekali. "Tentu saja lezat."
"Kau tunggu sebentar, Nona."
Hay Hay yang sudah menjadi gembira bukan kepalang menemukan seorang kawan baik, seorang wanita cantik untuk teman bercakap-cakap di tempat yang sunyi indah itu, segera bekerja. Selama beberapa tahun menjadi murid See-thian Lama, dia hidup berdua saja dengan gurunya itu dan dialah yang selalu melayani suhu-nya, setiap hari dia yang masak sehingga dia memang dapat dikata ahli masak.
Apa lagi sesudah dia mengikuti gurunya yang ke dua, Ciu-sian Sin-kai, kakek berpakaian jembel yang sebetulnya merupakan to-cu (majikan pulau) dari Pulau Hiu dan hidup serba cukup, maka dia pun mempelajari masak dari juru-juru masak suhu-nya itu. Ketika tinggal di Pulau Hiu, tentu saja dia sering ikut menangkap ikan dan memasak ikan, maka dia tahu banyak cara memasak ikan. Setiap macam ikan memerlukan cara memasak yang khusus baru akan lezat dan cocok sekali.
Dan di dalam perantauannya, dia tidak melupakan bekal bumbu-bumbu yang diperlukan. Dia memang suka akan segala yang indah, segala yang enak, bisa menikmati kehidupan ini biar pun berada dalam keadaan yang bagaimana pun juga.
Wanita itu lalu melepaskan buntalan panjang dari punggungnya, meletakkannya di pinggir sungai dan dia pun duduk di atas akar pohon sambil mengikuti gerakan-gerakan Hay Hay dengan sepasang mata yang bersinar-sinar dan wajah berseri. Pandang matanya penuh kekaguman saat dia melihat betapa pemuda itu dengan cekatan membersihkan lima ekor ikan itu, menggunakan sebatang pisau yang dikeluarkan dari buntalan pakaiannya, lantas menaburi ikan-ikan itu dengan bumbu dan garam, dan memanggangnya di atas bara api.
Segera bau yang amat sedap menyerang hidungnya dan wanita itu tiba-tiba saja merasa betapa perutnya sudah lapar sekali! Mulutnya terasa basah oleh ludah karena dia sudah mengilar ingin merasakan bagaimana lezatnya ikan panggang itu.
Sambil kadang-kadang memandang kepada wanita itu dengan senyum, sekali dua kali dia mengedipkan matanya memberi tanda agar wanita itu bersabar, Hay Hay mempersiapkan makan untuk mereka. Roti kering beserta anggur dikeluarkan, dan ikan panggang ditaruh di dalam sebuah piring, dikeluarkannya pula bumbu dan saus yang selalu berada dalam perbekalannya.
"Mari silakan, Nona. Mari kita makan seadanya," Hay Hay mempersilakan dengan sikap ramah.
Wanita itu tersenyum, bangkit dengan gerakan lemah gemulai dan setengah menggeliat sehingga nampak jelas tonjolan-tonjolan tubuhnya hendak menembus bajunya yang ketat dari sutera tipis. Hay Hay tidak mau pura-pura, dia memandangi itu semua dengan penuh kagum.
"Ehh, sobat, apakah yang sedang kau pandang?" tiba-tiba wanita itu bertanya, pura-pura marah padahal hatinya senang bukan main.
"Apa yang kupandang?" Hay Hay sama sekali tidak merasa gugup. "Apa lagi kalau bukan keindahan tubuhmu itu, Nona! Engkau seorang gadis yang beruntung sekali, dianugerahi wajah cantik manis dan tubuh yang indah. Sungguh lengkap. Ehh, mari, mari kita makan, selagi daging ikannya masih panas."
Tanpa ragu-ragu atau malu-malu lagi wanita itu lantas duduk di atas rumput, berhadapan dengan Hay Hay terhalang oleh makanan yang diletakkan di atas rumput pula. Gadis itu menerima pemberian roti kering dan memilih panggang ikan yang nampak menimbulkan selera.
Mereka makan dan minum bersama, tanpa kata-kata. Wanita itu hanya mengeluarkan kata pujian sebab daging ikan itu memang enak sekali. Belum pernah rasanya dia makan seenak ini! Padahal hanya roti kering dan panggang ikan saja, akan tetapi begitu nikmat, terasa lezatnya di setiap kunyahan.
Lima ekor ikan itu pun habis mereka makan, ditambah empat potong roti kering besar dan beberapa cawan anggur yang manis. Setelah selesai makan-makan, keduanya kemudian membersihkan tangan dan mulut di sungai itu, dengan air sungai yang jernih. Kemudian keduanya duduk di tepi sungai, berhadapan dan mulailah mereka bercakap-cakap.
"Hi-hik, alangkah lucunya!" Tiba-tiba gadis itu berkata, menutup mulut dengan punggung tangan kiri ketika dia tertawa.
Hay Hay mengangkat muka dan memandang. " Apanya yang lucu, Nona...?"
"Kita sudah makan bersama."
"Apa salahnya dengan itu?"
"Kita sudah saling mengetahui usia masing-masing."
"Memang wajar dalam suatu perkenalan, akan tetapi aku belum mengetahui dengan pasti berapa usiamu..."
"Itu tidak penting. Akan tetapi anehnya, kita belum saling mengenal nama."
Hay Hay tertawa. Tadi dia memang sengaja. Betapa pun juga keadaan wanita ini amat mencurigakan. Pada saat mengintainya, wanita itu bisa bergerak dengan cepat dan amat ringan, itu saja menunjukkan bahwa wanita ini tentu memiliki ilmu kepandaian tinggi.
Dia belum tahu siapa wanita ini, dari golongan mana, dan berdiri di pihak mana, kawan ataukah lawan. Karena itu dia harus berhati-hati dan biarlah wanita ini yang lebih dahulu memperkenalkan diri. Maka dia pun tidak pernah memperkenalkan diri dan sekarang dia tertawa seperti baru melihat kelucuan keadaan mereka.
"Ah, benar juga! Aku merasa seolah-olah kita telah menjadi sahabat baik selama puluhan tahun! Ha-ha, Nona yang baik, siapakah Anda? Di mana tempat tinggal, datang dari mana dan hendak ke mana?"
Gadis itu tertawa pula dan kini dia tidak lagi bersusah payah menutupi mulutnya sehingga Hay Hay dapat melihat betapa manis dan menggairahkan mulut itu bila tertawa.
"Hi-hik-hik, pertanyaanmu itu menyerangku seperti ombak samudera saja. Sebaiknya kita saling mengenal nama lebih dulu. Namaku Sun Bi she Ji."
"Ji Sun Bi... hemmm, nama yang indah dan cantik, secantik orangnya," Hay Hay memuji sambil mengangguk-angguk.
"Sekarang giliranmu. Siapakah namamu?" Wanita yang bernama Ji Sun Bi itu bertanya.
"Namaku? Namaku Hay."
"Hay siapa...?"
"Yah, Hay saja."
"She-mu apa?"
Hay Hay menggelengkan kepalanya. "Aku sendiri pun tidak tahu, Sun Bi," kata Hay Hay, menyebut nama gadis itu begitu saja seakan-akan mereka sudah menjadi kenalan lama, dan hal ini membuat Ji Sun Bi merasa senang sekali. Kalau pemuda itu menyebutnya Enci (Kakak) misalnya, justru dia akan merasa tidak enak, seolah-olah diingatkan bahwa dia lebih tua.
"Ahh, mustahil orang tidak mengetahui she-nya sendiri! Siapa nama ayahmu?"
Hay Hay menggeleng kepala, mengangkat pundak dan mengembangkan dua lengannya.
"Aku sungguh tidak tahu. Aku tidak pernah mengenal ayah ibuku, sejak bayi aku dibawa oleh orang lain dan sekarang aku sedang mencari orang tuaku. Aku tidak tahu she apa. Namaku hanya Hay saja, begitulah."
"Lalu aku harus menyebutmu bagaimana?"
"Ya, sebut saja Hay, atau biasanya orang memanggil aku Hay Hay."
"Hay Hay... hemmm, enak juga kedengarannya. Baiklah, Hay Hay. Sekarang kita sudah benar-benar saling berkenalan dan menjadi sahabat. Secara kebetulan kita saling bertemu di sini dan menjadi sahabat baik. Engkau datang dari mana dan hendak pergi ke mana?"
"Aku tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap, Sun Bi. Tadi sudah kukatakan bahwa aku tengah mencari orang tuaku, setelah selama dua puluh tahun ini aku selalu ikut orang lain. Aku belum tahu di mana adanya orang tuaku, juga apakah mereka masih hidup. Aku hidup sebatang kara di dunia ini, tidak punya keluarga tidak punya tempat tinggal. Ahh, tidak menarik. bukan? Lebih baik kita bicara tentang dirimu, tentu lebih menarik."
"Aihh, kasihan sekali engkau, Hay Hay," Sun Bi berkata dengan suara halus dan nampak terharu, lalu tangannya diulur dan menyentuh lengan Hay Hay.
Tangan itu terasa hangat dan halus, dan Hay Hay pun diam saja, hanya memandang ke tangan yang memiliki jari-jari yang kecil mungil. Ingin dia tahu sampai di mana besarnya kekuatan yang tersembunyi di dalam jari-jari tangan kecil mungil ini.
"Tidak perlu dikasihani. Selama ini aku hidup cukup bahagia, setiap hari aku hidup di alam bebas, bergembira melihat segala keindahan, burung-burung di udara, binatang-binatang di hutan, kembang-kembang, air sungai yang jernih, wanita yang manis seperti engkau. Bukankah semua itu menyenangkan? Sekarang ceritakanlah, dari mana engkau datang dan hendak ke mana, Sun Bi?"
Ditanya demikian, tiba-tiba wajah yang tadinya berseri itu menjadi murung dan gadis itu sekarang menundukkan mukanya, lalu perlahan-lahan dua titik air mata menuruni kedua pipinya. Dua butir air mata itu lalu dihapusnya dengan sehelai sapu tangan sutera, dan terdengar wanlta itu berkata dengan suara yang penuh duka.
"Aihhh... Hay Hay, aku adalah seorang wanita yang paling sengsara di dunia..."
Hay Hay mengerutkan alisnya dan berusaha untuk menatap wajah itu penuh selidik. Akan tetapi wajah itu menunduk terus. "Sun Bi, apakah yang sudah terjadi? Mengapa engkau merasa sengsara?"
Dengan suara sedih dan kadang-kadang mengusap air matanya, Sun Bi lantas bercerita. "Aku adalah wanita yang paling sengsara, Hay Hay. Baru menikah beberapa bulan saja, suamiku terserang penyakit berat sehingga meninggal dunia. Orang tuaku dan mertuaku menganggap aku adalah orang yang membawa kesialan, karena itu aku lalu diusir pergi. Demikianlah, aku merantau seorang diri, sebatang kara, seperti juga engkau... hanya saja aku membawa kepedihan hati sebagai seorang janda muda tanpa ada yang melindungi... tanpa ada yang menghibur kedukaanku...,"
Sun Bi segera menangis lagi, sekali ini tangisnya sesenggukan dan menyedihkan sekali. Kedua tangannya dipergunakan untuk menutupi kedua matanya dan air mata bercucuran melalui kedua tanganhya.