Pendekar Mata Keranjang Jilid 14

Cersil online karya Kho Ping Hoo Serial Pedang Kayu Harum Episode Pendekar Mata Keranjang Jilid 14
Sonny Ogawa
SEPERTI diketahui, Pek Kong mempunyai seorang putera yang dianggap sebagai Sin-tong (Anak Ajaib), calon Dalai Lama, yang kemudian menjadi sebab keributan hingga keluarga Pek terpaksa melarikan diri dari Tibet. Sejak puteranya dibawa pergi oleh kakek buyutnya, yaitu Pek Khun, pendiri dari Pek-sim-pang, untuk diselamatkan serta disembunyikan dari kejaran para pendeta Lama dan para tokoh sesat dari dunia hitam yang memperebutkan anak itu, maka kehidupan keluarga Pek menjadi muram dan sunyi.

Akan tetapi empat tahun kemudian semenjak anak yang menghebohkan itu terlahir, Souw Bwee atau Nyonya Pek Kong kemudian melahirkan seorang anak perempuan yang diberi nama Pek Eng. Anak inilah yang kemudian menjadi hiburan bagi Kakek Pek Ki Bu yang ditinggal mati isterinya. Dia mendidik cucunya itu penuh kasih sayang.

Sekarang Pek Eng telah menjadi seorang gadis berusia enam belas tahun yang berwajah manis sekali. Dia lincah gembira, jenaka dan nakal suka menggoda orang, juga galak dan manja sebab semenjak kecil dimanjakan oleh kakeknya. Tentu saja ia mewarisi ilmu silat yang diajarkan sendiri oleh kakeknya dan karena Pek Eng seorang anak yang cerdas dan berbakat maka dalam usia enam ibelas tahun, dia telah menjadi seorang dara yang gagah perkasa dan kiranya tidak ada di antara murid Pek-sim-pang yang dapat menandinginya.

Pek Eng seorang gadis remaja yang bertubuh tinggi ramping, dengan sepasang kaki yang panjang, pinggang yang kecil, namun di dalam usia enam belas tahun bagaikan setangkai bunga yang mulai mekar semerbak harum, tubuhnya sudah nampak padat berisi dengan lekuk lekung yang sempurna. Kecepatan dewasanya ini adalah karena dia hidup di alam bebas, suka berburu binatang dan sudah biasa terpanggang terik matahari, tertiup angin badai, tertimpa hujan lebat. Pendeknya dia sudah biasa menghadapi keadaan yang keras dan sulit.

Karena di daerah Secuan bagian selatan banyak terdapat orang-orang dari suku bangsa Yi, maka kehidupan Pek Eng pun sedikit banyak dipengaruhi oleh kebiasaan suku bangsa Yi. Apa lagi karena kakeknya, sesudah kini mengundurkan diri, tertarik dengan kehidupan rohani yang menjadi tradisi suku bangsa Yi, yaitu mendasarkan kehidupan agama mereka dari kitab-kitab suci, kitab-kitab kuno yang bersumber kepada Agama Hindu kuno. Kakek Pek Ki Bu sekarang tekun membaca kitab-kitab kuno itu dan membiarkan saja cucunya banyak bergaul dengan suku bangsa Yi.

Pakaian dari suku bangsa ini amat indah, juga gagah, sesuai dengan watak suku bangsa Yi yang sejak jaman dahulu terkenal sebagai prajurit-prajurit yang gagah perkasa. Selain terkenal sebagai prajurit-prajurit yang gagah berani, suku bangsa Yi juga terkenal sebagai orang-orang yang tetap mempertahankan kebudayaan dan tradisi mereka, hidup sebagai keluarga dan masyarakat golongan tinggi dan menganggap kelompok mereka lebih tinggi derajatnya dengan suku-suku lain.

Maka tidaklah mengherankan kalau hampir setiap keluarga Yi, walau pun yang tergolong kurang mampu, memiliki budak belian atau hamba sahaya yang terdiri dari orang-orang yang pernah mereka taklukkan, dari suku-suku lain yang dianggap lebih rendah martabat dan derajat mereka.

Suku bangsa Yi suka mengenakan pakaian yang berwarna hitam sebagai dasar, dengan beraneka ragam dan warna hiasan. Juga mereka biasa menghias serta menutupi kepala mereka dengan kain sorban yang dihias dengan bulu burung, atau yang di bagian ujung sorbannya dibentuk mencuat ke atas sebagai pengganti bulu burung.

Pek Eng juga sering kali mengenakan pakaian suku bangsa Yi, sungguh pun ada kalanya dia mengenakan pakaian biasa sebagai seorang gadis bersuku bangsa Han, yakni suku bangsa terbesar di seluruh Tiongkok. Dan tentu saja Pek Eng juga pandai berbahasa Yi. Dia pandai pula menunggang kuda, mempergunakan anak panah dan suling, di samping tentu saja pandai bermain silat tangan kosong dan pedang dari ilmu silat keluarganya.

Keluarga Ketua Pek-sim-pang itu sudah lama prihatin kalau mereka memikirkan tentang keturunan mereka, yaitu Pek Han Siong. Ketika Kakek Pek Khun yang sudah tua sekali itu meninggal dunia, dia tidak meninggalkan pesan apa pun mengenai putera Pek Kong itu, yang memang sejak dahulu dirahasiakan oleh kakek tua itu.

Sebelum kakek itu wafat, kalau ada keluarga Pek yang bertanya tentang Pek Han Siong, selalu dijawabnya bahwa anak yang diperebutkan itu berada di dalam tangan yang dapat dipercaya, keadaannya selamat, sehat dan aman. Dan selalu mengatakan bahwa apa bila anak itu sudah dewasa kelak, tentu akan datang sendiri mencari keluarganya di Secuan!

Kini Pek Ki Bu berdiam di sebuah rumah kecil yang menyendiri di sudut perkampungan agar dapat bersemedhi dan mempelajari kitab dengan tenteram. Pada suatu sore, ketika kakek ini datang ke gedung utama menengok keluarga puteranya, Souw Bwee isteri Pek Kong kembali teringat akan puteranya maka nyonya ini pun menangis dengan sedihnya. Suaminya, juga puterinya, berada di situ menghiburnya.

"Sudahlah, apa gunanya disusahkan dan ditangisi?" demikian Kakek Pek Ki Bu berkata untuk menghibur mantunya. "Persoalan apa pun yang timbul dalam kehidupan merupakan tantangan hidup yang harus dihadapi kemudian diatasi dengan usaha yang didasari akal budi kita, dan tangis tak ada gunanya sama sekali untuk dijadikan dasar usaha mengatasi persoalan itu karena tangis bahkan akan menumpulkan akal budi."

Mendengar ucapan ayah mertuanya itu, Souw Bwee menghapus air matanya dan setelah tangisnya terhenti dia pun lalu berkata, "Harap Ayah memaafkan saya. Akan tetapi saya merasa heran sekali, kenapa mendiang kakek menyembunyikan keadaan Han Siong dari kita?"

"Tentu mendiang ayah mempunyai alasan yang kuat untuk itu. Mungkin saja dia melihat bahwa rahasia mengenai keadaan Han Siong perlu dipegang kuat-kuat karena masih ada banyak ancaman. Lagi pula, bukankah mendiang kakek kalian itu sudah berpesan bahwa kelak, kalau sudah dewasa, Han Siong tentu akan mencari sendiri keluarganya di sini?"

Pek Kong mengerutkan alisnya. Dia merasa sangat kasihan kepada isterinya yang sudah menderita bertahun-tahun, selalu berduka bila mana teringat akan putera mereka. "Ayah, memang tidak seharusnya kita membenamkan diri di dalam duka dan tangis. Akan tetapi, menurut perhitungan saya, kini Han Siong telah berusia lebih dari dua puluh tahun, sudah cukup dewasa. Kenapa dia belum juga pulang? Tentu kami merasa khawatir sekali, Ayah, sebab bagaimana pun juga dia adalah putera kami satu-satunya, dan dialah satu-satunya penyambung keturunan keluarga Pek!"

Mendengar puteranya menyinggung mengenai keturunan keluarga Pek, Kakek Pek Ki Bu terdiam dan dia pun mengerutkan alisnya dengan khawatir. Kekhawatiran timbul karena andai kata cucunya itu benar-benar sudah tiada, bukankah hal itu berarti bahwa keluarga Pek akan terputus keturunannya? Dan hal ini tentu saja akan merupakan hal yang amat menyedihkan.

Sejak tadi Pek Eng mendengarkan dengan alis berkerut. Dia duduk bersimpuh merangkul ibunyauntuk menghibur saat ibunya menangis, sementara dia mendengarkan percakapan mereka. Pada saat ayahnya menyinggung tentang keturunan keluarga Pek, kerut alisnya makin mendalam, sepasang matanya yang agak sipit itu mengeluarkan sinar penasaran, dan mukanya yang manis itu menjadi merah gelap. Hatinya tidak pernah dapat menerima sikap orang-orang tua bangsanya yang selalu lebih mementingkan anak laki-laki dari pada anak perempuan.

Keturunan! Hanya nama keturunan, hanya she. Dia tahu bahwa dia tidak akan melahirkan keturunan Pek, melainkan keturunan marga orang yang akan menjadi suaminya. Dan hal ini sangat menyakitkan hatinya! Dia merasa seakan-akan didorong ke samping sehingga berdiri di luar kalangan atau lingkaran keluarga Pek!

Mendadak dia melepaskan rangkulan dari pundak ibunya lantas bangkit berdiri. Sikapnya gagah saat dia berkata. "Kakek, Ayah dan Ibu, biarlah aku berangkat pergi mencari Koko Pek Han Siong yang menimbulkan kedukaan dalam keluarga Pek!"

Tiga orang tua itu terkejut, seolah-olah baru teringat akan adanya Pek Eng di sana. "Eng-ji (Anak Eng), engkau seorang anak perempuan...!" Seru ibunya.

Seruan ibunya membuat rasa penasaran dan marah di hati Pek Eng semakin bergelora. "Apa salahnya seorang anak perempuan, Ibu? Aku tak kalah oleh seorang anak laki-laki. Aku tidak pernah menyusahkan hati Ibu, tidak seperti Koko! Dari pada Ibu susah-susah selalu, biarlah aku akan pergi mencari Koko sampai dapat!"

"Eng-ji, jangan bicara tidak karuan!" bentak ayahnya. "Kami saja tidak tahu di mana Han Siong berada, apa lagi engkau. Kemana engkau hendak mencarinya?"

"Ke mana saja, Ayah. Apa bila Koko memang masih hidup, pasti akan dapat kucari dan kutemukan. Aku akan mulai dengan daerah Kun-lun-san di mana kakek buyut bertapa dan mencari keterangan di sana."

"Jangan, Eng-ji, engkau jangan pergi!" Ibunya berseru penuh kekhawatiran.

"Pek Eng, apakah engkau ingin menjadi seorang anak yang durhaka? Ibumu kini sedang berduka akibat memikirkan kakakmu yang belum juga pulang dan sekarang engkau malah hendak pergi meninggalkannya?" Terdengar Pek Ki Bu berkata halus menegur cucunya yang amat disayangnya.

Pek Eng cemberut memandang kakeknya. Anak ini paling manja terhadap kakeknya, dan setiap kali ditegur, dia merasa kecewa dan marah. "Kongkong, aku hendak mencari Koko justru agar Ibu tidak selalu berduka. Hemmm, mentang-mentang aku ini anak perempuan, apa pun yang kulakukan serba tidak kebetulan saja. Huh!" Gadis itu membanting kakinya lalu meninggalkan ruangan itu.

Dengan uring-uringan Pek Eng lantas keluar dari rumahnya, lalu berjalan-jalan menuju ke pintu gerbang di depan perkampungan mereka. Hatinya masih terasa jengkel dan kesal. Diam-diam dia merasa tak suka kepada kakaknya, rasa tidak suka yang timbul pada saat itu karena dia merasa iri hati.

Biasanya dia sendiri merasa sangat rindu kepada kakak yang selama hidup belum pernah dilihatnya itu. Sudah sering kali ibu dan ayahnya berbicara tentang kakak yang sejak bayi dibawa pergi kakek buyutnya. Ia ingin sekali melihat bagaimana wajah kakak kandungnya itu. Seperti ayahnyakah? Atau seperti ibunya? Orang bilang dia sendiri mirip ibunya dan dia merasa bangga karena ibunya amat cantik.

Sesudah tiba di pintu gerbang, dia hanya menjawab sambil lalu saja ketika para penjaga pintu gerbang menyapanya. Walau pun sebenarnya seluruh anggota Pek-sim-pang masih terhitung saudara-saudara seperguruannya, karena mereka adalah murid-murid ayahnya atau kakeknya, tapi mereka menyebutnya Pek-siocia (Nona Pek), panggilan menghormat karena biar pun saudara seperguruan, gadis remaja ini adalah puteri ketua mereka.

"Pek-siocia, senja sudah mendatang, engkau hendak ke manakah? Sebentar lagi pintu gerbang akan ditutup," kata seorang di antara mereka. Semua penjaga memandang gadis itu dengan sinar mata penuh kagum karena siapakah yang tak merasa tertarik dan kagum kepada gadis yang amat manis itu?

Biasanya Pek Eng bersikap manis terhadap semua anggota Pek-sim-pang. Dia memang seorang gadis yang lincah jenaka dan gembira. Tetapi ketika itu hatinya sedang murung, maka pertanyaan orang itu diterimanya sebagai suatu gangguan.

"Aku mau pergi jalan-jalan. Biar sudah kau tutup, apa disangka aku tidak dapat masuk?" Setelah berkata demikian, dia lantas meloncat dan berlari cepat sekali sehingga sebentar saja bayangannya sudah menghilang.

Penjaga-penjaga itu hanya menggelengkan kepala, kagum akan kelihaian gadis itu. Tentu saja mereka akan selalu berjaga di sana, walau pun nanti pintu gerbang telah ditutup, dan besiap-siap untuk cepat membuka pintu gerbang bila mana gadis itu pulang. Tentu saja mereka maklum bahwa walau pun pintu gerbang ditutup, tanpa dibuka sekali pun, dengan ilmu kepandaiannya yang tinggi, gadis itu akan mampu meloncat dah masuk melalui atas pagar tembok.

Dengan hati masih kesal Pek Eng segera berlari menuju ke kaki bukit di mana dia tahu merupakan tempat tinggal sekelompok suku bangsa Yi yang menjadi sahabatnya. Dusun suku Yi itu telah nampak dari situ dan dia mempunyai banyak kawan baik di situ. Senang mendengar cerita orang-orang tua suku bangsa Yi pada waktu menceritakan pengalaman mereka yang menegangkan saat terjadi perang, menceritakan kegagahan nenek moyang mereka.

Akan tetapi, pada waktu dia sampai di pintu gerbang dusun Yi, dia melihat belasan orang Yi sedang mengepung seorang pemuda yang menggendong buntalan, dan seorang gadis Yi tampak duduk bersimpuh di atas tanah sambil menangis, juga terlihat seorang pemuda Yi yang marah-marah ada pun orang-orang Yi lainnya mendengarkan, tangan memegang gagang senjata dan semua mata ditujukan kepada pemuda itu.

Karena tak ingin mengganggu dan ingin sekali tahu apa yang tengah terjadi, Pek Eng lalu menyelinap dan mengintai sambil mendengarkan. Juga dia memperhatikan pemuda yang kelihatannya tenang-tenang saja dikepung oleh orang-orang Yi yang kelihatannya marah-marah.

Seorang pemuda yang bertubuh sedang tetapi tegap, dengan dada bidang. Yang menarik adalah wajahnya yang berseri dan sikapnya yang tenang, matanya bersinar-sinar, bibirnya tersenyum-senyum, seakan-akan dia sedang menghadapi sekumpulan sahabat baik yang menyambutnya, bukan sekumpulan orang Yi yang sedang marah kepadanya. Pemuda itu bukan lain adalah Hay Hay!

Seperti yang kita ketahui, selama satu tahun Hay Hay berguru kepada Pek Mau San-jin dan setelah gurunya itu meninggal dunia dan dikuburnya sebagaimana mestinya, Hay Hay lalu melanjutkan perjalanannya, yaitu mencari keluarga Pek di Secuan.

Sore hari itu, tibalah dia di sebuah hutan, tidak jauh dari dusun Yi itu. Karena hari sudah sore, dia bergegas hendak menuju ke dusun yang sudah dilihatnya dari jauh tadi, agar dia dapat melewatkan malam di dusun itu. Akan tetapi tiba-tiba dia mendengar suara wanita menjerit.

Cepat dia berlari ke arah datangnya suara dan betapa marahnya melihat seorang gadis suku Yi sedang dipegangi dua orang laki-laki suku Miau yang agaknya hendak menyeret dan menculik gadis itu. Dia mengenal mereka dari pakaian-pakaian mereka dan memang di dalam perjalanannya dia sudah mendengar bahwa ada permusuhan antara kedua suku bangsa itu. Tidak salah lagi, dua orang suku Miau itu tentu hendak menculik gadis Yi yang cukup cantik itu.

"Lepaskan gadis itu!" Hay Hay lalu membentak dalam bahasa Han karena dia tidak dapat berbahasa Yi atau pun Miau.

Dua orang lelaki itu terkejut sekali dan ketika mereka melihat bahwa yang membentak itu adalah seorang pemuda Han yang kelihatan biasa saja, keduanya lantas menjadi marah. Seorang di antara mereka mencabut parang, sedangkan orang ke dua masih memegangi kedua lengan gadis yang meronta-ronta itu.

Si pemegang parang yang tinggi besar itu segera menerjang Hay Hay dengan parangnya, menyerang dengan dahsyat. Akan tetapi Hay Hay melihat bahwa orang ini hanya memiliki tenaga besar saja, maka dengan mudah dia mengelak dan sekali kakinya bergerak, lutut kanan orang itu telah tercium ujung sepatu Hay Hay dan dia pun terpelanting.

Melihat ini, orang ke dua segera melepaskan gadis Yi dan ikut mengeroyok. Akan tetapi, dengan kedua kakinya saja, tanpa mempergunakan tangan, Hay Hay menghajar mereka, menendangi mereka sampai akhirnya mereka lari tunggang-langgang meninggalkan gadis yang masih menangis terisak-isak. Hay Hay tidak mengejar, hanya tersenyum kemudian dia menghampiri gadis itu. Maklumlah, mata keranjang berhidung belang.

Gadis itu mengangkat muka memandang, kemudian sambil menangis dia menubruk dan merangkul Hay Hay, menangis di dada pemuda itu. Tentu saja Hay Hay merasa senang sekali karena gadis itu memang amat manis. Otomatis tangannya mengusap-usap rambut itu, dibelainya rambut itu dan dia pun balas merangkul. Sampai beberapa lamanya gadis itu berada di dalam pelukannya.

"Nona manis, di manakah rumahmu? Hari sudah hampir malam, sebaiknya kalau engkau pulang saja," akhirnya Hay Hay berkata sesudah bajunya di bagian dada menjadi basah oleh air mata gadis Yi itu.

Gadis itu melepaskan diri lalu bicara dalam bahasa Yi. Akan tetapi karena Hay Hay tidak mengerti, gadis itu lalu menuding-nuding ke arah letak dusunnya. Hay Hay mengangguk, kemudian menggandeng tangan dara itu, diajaknya pulang ke dusunnya. Mereka berjalan sambil bergandeng tangan dan biar pun mereka tak dapat saling bicara, akan tetapi setiap kali gadis itu menoleh dan memandang wajahnya, Hay Hay dapat menangkap sinar mata penuh rasa syukur dan terima kasih terpancar dari sinar mata yang bening itu.

Seorang gadis yang amat manis, pikirnya senang bahwa secara kebetulan dia sudah bisa menyelamatkan gadis ini dari tangan dua orang penculiknya. Dia membayangkan betapa malam ini dirinya akan diterima sebagai tamu agung oleh keluarga gadis itu, dijamu dan memperoleh kamar yang enak di mana dia bisa membiarkan tubuhnya yang terasa penat itu untuk beristirahat!

Karena berpikir demikian, wajah Hay Hay menjadi cerah, berseri dan mulutnya tersenyum ketika dia bersama dara itu tiba di luar pintu gerbang dusun tempat tinggal suku bangsa Yi itu dan melihat beberapa orang keluar dari pintu gerbang lalu bicara dengan hiruk-pikuk sambil menuding-nuding ke arah dia dan gadis itu.

Dara itu melepaskan tangannya yang digandeng Hay Hay, kemudian berlari menghampiri kelompok orang itu, bicara kepada mereka sambil tangannya menuding ke arah Hay Hay, agaknya menceritakan apa yang telah terjadi. Akan tetapi seorang di antara mereka, yaitu seorang pemuda yang bertubuh jangkung, mengeluarkan suara keras lantas menampar gadis itu.

Gadis itu menjerit, lalu menjatuhkan diri bersimpuh sambil menangis. Melihat ini, Hay Hay terkejut sekali dan cepat dia berlari menghampiri mereka. Orang-orang itu mengurungnya dengan sikap mengancam.

Demikianlah keadaan di sana ketika Pek Eng tiba dan gadis ini mengintai untuk melihat dan mendengar apa yang sudah terjadi. Dia melihat sikap pemuda Han yang tenang dan tersenyum-senyum itu. Seorang di antara para pengepung itu yang agaknya merupakan satu-satunya di antara mereka yang pandai berbahasa Han, segera melangkah maju dan menudingkan telunjuknya dengan marah kepada Hay Hay.

"Engkau telah menodai nama baik keluarga Hamani!"

Hay Hay mengerutkan alisnya. "Aku? Menodai nama baik keluarga orang? Hemmm, apa kesalahanku? Dan siapa itu Hamani?"

Tiba-tiba gadis itu bangkit berdiri, menghampiri Hay Hay dan dengan muka ketakutan dia bicara dalam bahasa Yi sambil menepuk dada sendiri dan berkata, "Hamani."

Maka mengertilah Hay Hay bahwa gadis yang ditolongnya itu bernama Hamani. Agaknya dia sedang dimarahi oleh orang banyak dan agaknya membutuhkan perlindungannya pula. Maka, dengan sikap melindungi dia merangkul pinggang gadis itu.

"Jangan takut, Hamani, aku akan melindungimu," bisiknya.

Melihat ini, orang-orang itu makin ribut dan menuding-nuding. "Orang asing, engkau telah menggandeng dan merangkul Hamani. Tak seorang pun laki-laki boleh memeluk seorang gadis kecuali dia menjadi tunangannya atau suaminya."

Hay Hay kaget sekali, maka otomatis rangkulannya pada pinggang ramping itu pun cepat dilepaskan. "Akan tetapi aku... aku hanya menolongnya dari ancaman orang-orang jahat, dan aku hanya ingin melindungi...!" Dia memprotes keras.

"Apa lagi engkau seorang asing, telah berani menghina seorang gadis kami. Oleh karena itu engkau harus ikut bersama kami untuk melangsungkan pernikahan!"

Kalau pada saat itu ada kilat menyambarnya, belum tentu Hay Hay akan sekaget seperti ketika mendengar ucapan orang itu. Sepasang matanya terbelalak lantas dia mundur dua langkah, menjauhi Hamani. Menikah? Apa-apaan ini? Dia menggelengkan kepalanya.

"Tidak, aku tidak mau menikah," katanya.

Pek Eng mendengarkan semua itu dan hatinya merasa geli. Dia tahu akan peraturan dan kebiasaan suku bangsa Yi. Kalau seorang gadis sudah mau digandeng, apa lagi dipeluk oleh seorang pemuda, maka berarti bahwa gadis dan pemuda itu saling mencinta. Dan bagi keluarga gadis itu tentu akan merasa ternoda dan terhina kalau si pemuda tidak mau menikah dengan gadis yang sudah 'dinodainya' itu, dalam arti kata, diperlakukan dengan mesra di depan umum.

Mendengar penolakan Hay Hay, orang itu segera menterjemahkannya ke dalam bahasa Yi kemudian marahlah orang-orang itu.

"Dia menghina kita!"

"Dia hendak mempermainkan gadis kita!"

"Orang asing ini harus dibunuh sebagai musuh kalau dia tidak mau mengawini Hamani!" Ucapan yang terakhir ini dikeluarkan oleh pemuda yang tadi menampar Hamani karena dia adalah kakak kandung gadis itu.

Mendengar betapa pemuda yang tadi menolongnya itu menolak untuk menjadi suaminya, Hamani sendiri terkejut dan dia pun berlari menghampiri Hay Hay dengan muka pucat dan mata terbelalak. Dalam bahasa Yi dia berteriak-teriak. "Engkau telah menyelamatkan aku, aku pun sudah menyerahkan diri dan engkau menerimaku, memelukku, menggandengku, memandangdengan mesra, kita telah sama-sama tersenyum dan sepakat dalam pandang mata kita, dan sekarang kau... kau menolak untuk menikah dengan aku? Aihh..., engkau merayuku dan hendak meninggalkanku? Engkau jahat... jahat sekali...!" Dan kini Hamani menggunakan kedua tangannya untuk memukul dan mencakar muka Hay Hay.

Hay Hay tidak mengerti tentang semua itu, akan tetapi melihat sikap Hamani, dia terkejut dan cepat dia mengelak ke belakang. Akan tetapi pada saat itu, semua orang telah maju dengan sikap mengancam untuk menyerangnya.

Hay Hay merasa bingung sekali. Tak disangkanya sama sekali bahwa dia akan menerima penyambutan seperti ini! Tidak ada gunanya untuk membela diri dengan kata-kata karena agaknya di antara mereka hanya seorang saja yang dapat mengerti bahasanya. Dan tidak ada gunanya melayani mereka yang marah-marah itu, maka dia pun cepat membalikkan tubuhnya dan melarikan diri dari tempat itu!

"Kejar...!"

"Tangkap...!"

"Hajar dia...!"

Orang-orang itu segera mengejarnya, akan tetapi Hay Hay telah berlari cepat memasuki hutan yang mulai gelap.

Pek Eng yang melihat semuanya ini, diam-diam merasa geli hatinya. Biarlah, pemuda itu memang perlu dihajar, pikirnya. Tadi pemuda itu tentu telah mempergunakan ketampanan wajahnya yang selalu cerah tersenyum-senyum itu untuk memikat hati Hamani, namun dia tak berani bertanggung jawab dan malah menolak ketika disuruh mengawini gadis itu. Bukan urusannya!

Dia pun kemudian meninggalkan tempat itu untuk kembali ke perkampungannya sendiri. Dibatalkan niatnya untuk berkunjung ke dusun orang-orang Yi itu. Dia merasa tidak enak sebab pemuda itu adalah bangsa Han, bangsanya. Jika dia berkunjung, tentu percakapan akan mengenai pemuda Han itu dan bagaimana pun juga, dia akan merasa tersinggung.

Hemmm, pemuda mata keranjang tukang perayu, rasakan kau sekarang, pikirnya sambil tersenyum geli, akan tetapi juga jengkel terhadap pemuda itu. Hamani adalah kembang dusun itu dan dia mengenalnya sebagai seorang gadis yang baik.

Betapa pun juga, sedikit ketegangan karena peristiwa di dusun suku Yi tadi telah banyak mengurangi perasaan kesal dan dongkolnya yang dibawa dari rumah tadi, dan begitu tiba di pintu gerbang, ternyata para penjaga masih berada di sana menunggunya dan segera membukakan pintu. Hal ini membuat dia semakin tenang dan dia pun kembali ke rumah keluarganya, langsung masuk ke kamar dan tidur.

********************

cerita silat online karya kho ping hoo

Dengan sikap uring-uringan Hay Hay merebahkan tubuh di antara cabang-cabang pohon yang tinggi itu. Sialan, dia mengomel. Membayangkan sambutan yang meriah dan ramah ternyata yang diterima adalah caci maki bahkan serangan dan ancaman! Membayangkan tidur nyenyak dengan perut kenyang di dalam kamar yang bersih dan di atas tempat tidur beralaskan kasur dan bantal, tetapi ternyata kini dia rebah tak enak sekali di atas cabang pohon, di antara ranting dan daun, kotor dan basah, dengan perut lapar pula!

Sialan! Sialan gadis itu, pikirnya penasaran. Ditolong malah mencelakakan! Itu namanya dia memberi air susu dibalas air tuba! Namun gadis itu manis, dan pinggangnya ramping sekali. Dia lalu membayangkan dan senyumnya muncul kembali. Bagaimana pun juga dia telah merangkulnya, merasakan kehangatan tubuhnya, kelembutan kulitnya, dan berjalan bersama sambil bergandeng tangan! Kawin? Sialan! Siapa yang ingin kawin?

Dengan keadaan gelisah akhirnya Hay Hay dapat juga tidur nyenyak di antara ranting dan daun pohon, jauh tinggi di atas, aman dari pengejaran orang-orang Yi yang sama sekali tidak menyangka bahwa orang buruan mereka itu berada di atas pohon yang tinggi, yang beberapa kali mereka lewati.

Pada keesokan harinya Hay Hay baru terbangun setelah mentari menembuskan sinarnya di antara celah-celah daun dan menimpa mukanya. Sinar keemasan matahari pagi terlihat indah, seperti jalur-jalur benang emas di antara daun-daun.

Hay Hay bangkit duduk, kemudian berdiri di atas cabang yang paling tinggi, memandang ke kanan kiri untuk melihat apakah masih ada orang-orang Yi yang mencarinya di tempat itu. Sunyi saja di sekeliling pohon itu, akan tetapi dia melihat sesuatu yang menarik.

Tak jauh dari situ, di lereng bukit, dia melihat tembok perkampungan sehingga jantungnya berdebartegang. Dia mengenal bentuk pagar tembok orang-orang Han. Perkampungan itu tentu perkampungan orang Han dan agaknya dia akan dapat mencari keterangan tentang keluarga Pek yang kabarnya tinggal di sekitar pegunungan ini.

Dia lalu meloncat turun setelah mengikatkan buntalan pakaian yang tadi dipakai sebagai bantal itu di punggungnya. Hay Hay segera keluar dari hutan itu dan menuju ke arah bukit di mana dia tadi melihat ada pagar tembok sebuah perkampungan. Tidak lama kemudian dia sudah berdiri di depan pintu gerbang perkampungan Pek-sim-pang! Hatinya gembira bukan main ketika dia melihat papan dengan huruf-huruf besar PEK SIM PANG terpasang di depan pintu gerbang itu.

Tidak salah lagi, inilah perkampungan Pek-sim-pang, tempat tinggal keluarga Pek yang merupakan satu-satunya keluarga di dunia ini yang bisa menceritakan siapa dirinya yang sebenarnya dan siapa pula orang tuanya! Jantungnya berdebar penuh ketegangan, juga keharuan.

Pagi itu suasana di situ masih sunyi. Pintu gerbang agaknya baru saja dibuka dan masih nampak kesibukan di sebelah dalam perkampungan itu, tetapi tidak nampak orang keluar masuk.

Tiba-tiba saja muncul seorang gadis yang membuat Hay Hay membelalakkan matanya. Seorang gadis yang baru saja berangkat dewasa, berusia antara enam belas atau tujuh belas tahun. Mata itu, bibir itu! Mempesonakan! Dengan wajah penuh senyum cerah Hay Hay melangkah maju menghampiri gadis yang baru keluar dari pintu gerbang itu.

Gadis itu adalah Pek Eng. Begitu dia melihat Hay Hay, alisnya berkerut. Tentu saja dia langsung mengenal pemuda yang tadi malam menjadi orang buruan suku Yi. Kiranya dia dapat melarikan diri, pikirnya. Melihat pemuda itu menghampirinya dengan wajah berseri, pandang mata bersinar dan mulut tersenyum-senyurn, Pek Eng menghardiknya.

"Mau apa kau cengar-cengir di sini?! Hayo pergi atau aku akan menyeretmu ke dusun orang-orang Yi agar engkau dihukum!"

Hay Hay membelalakkan matanya. "Ehhh? Bagaimana Nona tahu? Pernahkah kita saling bertemu? Rasanya belum pernah biar pun aku akan merasa berbahagia sekali jika dapat bertemu dengan Nona, walau pun hanya dalam mimpi."

Selama hidupnya belum pernah Pek Eng menghadapi seorang lelaki yang bicara seperti ini, maka dia tertegun, hatinya tertarik untuk mengetahui dan bertanya, "Kenapa merasa berbahagia kalau bisa bertemu denganku?" Pemuda ini memang tampan dan mempunyai wajah yang ramah menyenangkan dan menarik hati, pikirnya sambil menatap wajah Hay Hay.

Kini Hay Hay juga memandang dengan penuh kagum. Setelah tadi membuka mulut dan bicara, nampak jelas bahwa gadis ini memang manis bukan main, ketika menggerakkan mulutnya, muncullah lesung pipit di pipi sebelah kiri. Dan sinar mata gadis itu pun begitu penuh gairah hidup, wajahnya membayangkan kelincahan dan kejenakaan. Seorang dara pilihan di antara seribu!

"Kenapa, Nona? Siapa yang tidak akan berbahagia bertemu dengan seorang gadis yang cantik jelita dan manis sepertimu ini?"

Pek Eng adalah seorang gadis yang lincah jenaka, pandai berdebat. Akan tetapi kemarin sore dia sudah melihat pemuda ini hampir dikeroyok orang karena berani bermain-main dengan seorang gadis Yi. Kiranya seorang pemuda yang pandai merayu wanita, dengan kata-kata manis.

"Hemm, engkau memang seorang mata keranjang dan perayu. Akan tetapi jangan harap engkau akan dapat memikat aku dengan rayuan gombalmu itu, ya? Hayo lekas pergi dari sini, kalau tidak, terpaksa aku akan menghajarmu!"

Hay Hay membuka mata lebar-lebar dan mulutnya mengomel. "Hayaaa... agaknya daerah ini ditinggali oleh orang-orang yang ringan mulut ringan tangan, mudah menghajar orang yang tidak bersalah. Nona yang baik, jauh-jauh aku datang untuk bertemu dengan Ketua Pek-sim-pang, maka ijinkanlah aku masuk dan menghadap Pek-sim Pangcu (Ketua)."

Pek Eng mengerutkan alisnya. Orang ini betul-betul tak tahu diri. Mau apa minta bertemu dengan Ketua Pek-sim-pang? Dia tidak percaya jika ayahnya mengenal seorang pemuda seperti ini. Tiba-tiba saja wajahnya berubah pucat lantas dia bertanya dengan suara agak gemetar.

"Kau... kau... siapakah namamu...?"

Hay Hay merasa terkejut juga melihat perubahan pada wajah gadis cantik ini. Kalau tadi nampak galak dan lincah, kini nampaknya pucat dan suaranya gemetar. Dia merasa tidak tega untuk bermain-main lagi, maka dengan suara sungguh-sungguh dia pun menjawab,

"Namaku Hay, biasa dipanggil Hay Hay..."

Wajah itu nampak lega akan tetapi masih ragu-ragu. "Benarkah? Namamu bukan... Han Siong...?"

Hay Hay tersenyum lebar. "Aihh, kalau namaku Han Siong, mengapa aku harus mengaku Hay Hay? Aku tidak mempermainkanmu, Nona, aku tidak berani. Namaku Hay Hay, dan aku ingin sekali bertemu dengan Ketua Pek-sim-pang..."

"Apakah engkau mengenal ayahku?"

Kini Hay Hay terkejut bukan main. "Eh, jadi Nona... engkau adalah puteri Pek-sim-pang?"

"Benar, sekarang jawab, apakah engkau mengenal ayahku?"

Hay Hay menggelengkan kepala.

"Kalau begitu pergilah dan jangan ganggu kami lagi. Pergilah sebelum ada orang Yi yang datang ke sini dan mengenalmu. Engkau tentu akan diseret!"

"Tidak, Nona, aku harus menghadap Pangcu lebih dulu. Aku mempunyai keperluan yang teramat penting...," Hay Hay mendesak.

Pada saat itu tujuh orang penjaga pintu gerbang murid-murid Pek-sim-pang sudah keluar akibat mereka tertarik oleh keributan antara nona mereka dengan seorang pemuda asing.

"Pek-siocia, apakah yang terjadi?"

"Siapakah dia ini?"

Pek Eng menoleh kepada para penjaga itu. "Dia seorang pendatang yang kemarin sudah membuat keributan di perkampungan orang Yi dan sekarang minta bertemu dengan ayah. Suruh dia pergi dan jangan mengganggu lebih lanjut," kata Pek Eng dan dia pun masuk ke dalam gardu penjagaan di pintu gerbang dengan sikap tidak peduli lagi.

"Eh, sobat. Kalau engkau datang untuk minta pekerjaan, di sini tidak ada pekerjaan," kata komandan jaga kepada Hay Hay.

"Aku datang bukan ingin minta pekerjaan atau minta apa pun, aku datang untuk bertemu dengan Pek-sim Pangcu sebab ada satu hal yang amat penting bagiku untuk kutanyakan kepada Pangcu. Harap kalian suka menyampajkan hal ini kepada Pangcu agar aku dapat diterima menghadap."

Karena tadi Pek Eng sudah memberi perintah agar pemuda ini diusir, maka para anggota Pek-sim-pang itu bersikap keras. "Tidak bisa, Pangcu tak boleh diganggu dan Siocia tadi sudah minta agar engkau pergi. Pergilah dan jangan ganggu kami," kata komandan jaga.

Hay Hay mengerutkan alisnya dan melirik ke arah Pek Eng yang sudah duduk di bangku tempat jaga dengan sikap acuh. Dia menarik napas panjang lalu berkata seperti kepada dirinya sendlri. "Sudah ribuan li jauhnya aku melakukan perjalanan dan mendengar bahwa Pek-sim-pang adalah perkumpulan orang-orang gagah. Akan tetapi melihat kenyataannya, lebih tepat kalau huruf Pek (Putih) di diganti dengan Hek (Hitam) saja!"

"Ee-eeeh-eeehhh!" Tiba-tiba saja tubuh Pek Eng meluncur dari dalam gardu itu.

Bagaikan seekor burung terbang saja dia melayang dan tiba di depan Hay Hay, bertolak pinggang. Walau pun masih agak sipit, matanya terbelalak mencorong penuh kemarahan, dan dia berdiri tegak, dada dibusungkan, kepala ditegakkan dan dua tangannya bertolak pinggang, lalu tangan kirinya bergerak, telunjuknya yang bentuknya agak melengkung itu, kecil mungil, menunjuk ke arah hidung Hay Hay.

"Apa kamu bilang tadi? Engkau menghina kami, ya? Apa maksudmu mengatakan bahwa Pek-sim-pang harus diganti menjadi Hek-sim-pang (Perkumpulan Hati Hitam)?"

Hay Hay juga sudah marah karena dia tidak dibolehkan menghadap Ketua Pek-sim-pang. "Sikap kalianlah yang menyebabkan aku bermulut lancang, Nona. Nama perkumpulannya Pek-sim-pang, sepatutnya para anggotanya juga berhati putih. Hati putih berarti hatinya baik, akan tetapi melihat sikap kalian menerima kunjunganku sungguh jauh dari pada baik dan lebih pantas kalau kalian menjadi anggota Perkumpulan Hati Hitam saja."

"Keparat bermulut kotor! Kau muncul dan merayu anak gadis orang, kemudian melarikan diri ketika akan dikawinkan, sudah terlalu bagus perbuatanmu itu, ya? Kamu sendiri jahat, hatimu lebih hitam dari pada arang, masih berani memaki kami?"

"Pukul saja mulut lancang itu, Pek-siocia!" kata komandan jaga yang sudah marah sekali karena mendengar perkumpulannya dihina orang.

Para murid Pek-sim-pang sudah menghampiri Hay Hay dengan sikap mengancam. Pada saat ini terdengarlah suara yang berat, "Omitohud... orang-orang Pek-sim-pang sekarang hanya menjadi tukang-tukang pukul yang suka mengeroyok orang!"

Pek Eng dan murid-murid Pek-sim-pang terkejut sekali dan cepat menengok. Kiranya di situ telah berdiri tiga orang pendeta Lama. Usia mereka antara enam puluh sampai enam puluh lima tahun, memakai jubah panjang berwarna kuning dengan garis-garis merah.

Pek Eng dan para murid Pek-sim-pang telah mendengar belaka akan riwayat perkumpulan mereka yang terpaksa lari mengungsi dari Tibet karena ulah para pendeta Lama ini. Apa lagi Pek Eng. Sejak kecil dia mendengar mengenai peristiwa yang menimpa keluarganya, gara-gara para pendeta Lama ingin merampas kakaknya yang mereka namakan Sin-tong. Maka, sejak kecil sudah tertanam perasaan tidak suka kepada para pendeta Lama. Kini di situ muncul tiga orang pendeta Lama, maka seketika dia dan para murid Pek-sim-pang tidak lagi memperhatikan Hay Hay yang dianggap tidak penting.

"Apakah kalian bertiga adalah pendeta-pendeta Lama dari Tibet?" tanya Pek Eng dengan sikap yang sama sekali tidak menghormat.

Bukan wataknya demikian. Dia cukup terdidik baik dan biasanya dia bersikap sopan dan halus terhadap orang-orang tua, apa lagi terhadap pendeta. Akan tetapi, karena memang dia sudah merasa sakit hati kepada pendeta-pendeta Lama, maka kini dia bersikap kasar ketika menduga bahwa tiga orang ini tentulah pendeta-pendeta Lama dari Tibet.

"Omitohud, tak keliru dugaanmu, Nona. Kami adalah tiga orang pendeta Lama dari Tibet. Kami ingin bertemu dengan Pek Kong atau ayahnya, Pek Ki Bu," kata seorang di antara mereka yang mukanya penuh bopeng dan matanya melotot lebar.

"Aku adalah Pek Eng, puteri Ketua Pek-sim-pang. Tidak perlu bicara dengan ayahku, bila mana ada keperluan, cukup kalian bicara saja dengan aku. Mau apakah kalian datang ke tempat kami ini?" Hatinya makin kesal membayangkan betapa keluarganya bersama para anggota Pek-sim-pang terpaksa melarikan diri karena ulah orang-orang ini.

Tiga orang pendeta itu saling pandang, kemudian Si Muka Bopeng yang agaknya menjadi wakil pembicara mereka, berseru. "Omitohud...! Ternyata Nona adalah puteri Pek Kong? Jadi Nona adalah Adik Sin-tong... hemmm, baiklah, kami akan bicara denganmu, Nona. Sampaikan kepada Ayahmu bahwa kami datang untuk menagih hutang. Sudah dua puluh tahun kami menunggu dengan sabar, kini Sin-tong telah menjadi dewasa, maka keluarga Pek harus menyerahkan Sin-tong kepada kami!"

Hati Pek Eng yang sudah sakit dan marah terhadap para pendeta Lama, kini tentu saja menjadi semakin panas mendengar ucapan pendeta muka bopeng itu. Ia pun melangkah maju, membusungkan dadanya dan suaranya nyaring dan keras penuh kemarahan ketika dia membentak,

"Kalian iblis-iblis neraka yang menyamar menjadi pendeta-pendeta, seperti harimau yang berkerudung bulu domba! Kalian adalah manusia-manusia terkutuk yang sudah membuat kakak kandungku sejak lahir berpisah dengan keluarga kami. Masih belum puaskah kalian yang jahat ini mengacau keluarga kami sampai dua puluh tahun sehingga kini datang lagi. Sungguh manusia-manusia terkutuk macam kalian ini harus dibasmi!"

Kini sudah ada dua belas orang anak murid Pek-sim-pang yang berkumpul di sana dan mendengar kata-kata keras nona mereka, empat orang yang berada paling depan sudah menerjang pendeta Lama muka bopeng itu.

"Pergilah!" pendeta Lama itu membentak sambil mengebutkan lengan bajunya ke depan, menyambut serangan empat orang itu. Empat orang itu seperti daun-daun kering dilanda angin keras, tubuh mereka terpelanting dan terbanting keras sampai bergulingan di atas tanah.

Melihat ini, delapan orang murid Pek-sim-pang lainnya cepat mengikuti gerakan Pek Eng yang sudah mengepung tiga orang pendeta Lama itu. Pek Eng telah mencabut sebatang pedang, juga delapan orang itu mengambil senjata masing-masing. Empat orang murid yang tadi roboh ternyata tidak terluka berat dan mereka pun kini ikut mengepung.

"Omitohud, ternyata Pek-sim-pang kini hanyalah menjadi perkumpulan para tukang pukul yang beraninya hanya main keroyokan saja!" kakek pendeta yang bermuka bopeng itu kembali berseru mengejek.

Mendengar ini, Pek Eng lantas membentak para murid itu. "Kalian mundurlah dan jangan mengeroyok! Biarkan aku menghadapi anjing gundul muka bopeng ini!" Kemarahan Pek Eng telah memuncak sehingga dia tidak ingat akan sopan santun lagi, kini secara terang-terangan dia memaki pendeta Lama itu sebagai anjing!

Pendeta Lama termuda di antara mereka lalu maju, dan dengan bahasa Han yang lucu dan patah-patah dia kemudian berkata, "Omitohud, biarlah pinceng yang melayani Nona ini, Suheng."

Kiranya pendeta ini sute dari Si Muka Bopeng. Dia seorang pendeta yang tubuhnya kurus sekali, bagaikan tulang-tulang dibungkus kulit saja. Wajah pendeta Lama ini mengerikan sekali, mukanya mirip seperti tengkorak hidup, sepasang mata yang cekung itu nampak kehitaman. Dia melangkah maju sambil mengebutkan jubah kuningnya. Si Muka Bopeng mengangguk lalu mundur, berdiri di samping pendeta lainnya yang sejak tadi diam saja.

"Huh, engkau ini anjing kurus kurang makan mau banyak menjual lagak di sini? Lekaslah menggelinding dari sini!" bentak Pek Eng yang marah.

Gadis ini sudah melangkah maju dan mengirim tendangan yang cepat dan kuat dengan kaki kanannya. Tendangan itu cepat datangnya, mengarah ke pusar lawan, gerakannya seperti terputar dan ini merupakan tendangan khas dari ilmu silat keluarga Pek, yaitu ilmu silat yang mereka namakan Pek-sim-kun.

"Hemm, gadis manis yang ganas!" terdengar pendeta kurus kering itu berseru perlahan, akan tetapi dengan miringkan tubuhnya dia dapat mengelak dari sambaran kaki Pek Eng, tangannya menyambar untuk menangkap kaki yang menendang itu.

Melihat ini, Hay Hay mengerutkan alisnya. Biar pun mengenakan pakaian jubah pendeta, akan tetapi orang ini memiliki hati yang condong ke arah kecabulan dan kekurang ajaran, pikirnya. Dia sendiri tidak akan tega, bahkan malu sendiri kalau menyerang dengan cara menangkap kaki lawan yang merupakan seorang gadis remaja!

Akan tetapi pedang di tangan Pek Eng berkelebat menyambut tangan pendeta Lama itu! Sang Pendeta segera menarik kembali tangannya, membuat langkah memutar sehingga tubuhnya berputar dan sesudah membalik, dia langsung membalas dengan cengkeraman tangannya ke arah kepala Pek Eng. Sungguh merupakan serangan yang amat ganas dan juga berbahaya sekali!

Begitu melihat gerakan-gerakan mereka, Hay Hay sudah maklum bahwa agaknya lawan gadis itu lebih unggul dan lebih berbahaya, maka diam-diam dia sudah siap siaga untuk membantu dan menyelamatkan kalau sampai gadis itu terancam bahaya. Tentu saja dia menaruh perhatian besar atas peristiwa ini, peristiwa yang memiliki hubungan dekat sekali dengan dirinya.

Dia masih ingat betapa ketika masih kecil dia menjadi rebutan orang-orang sakti, karena dia disangka Sin-tong. Ternyata sampai sekarang para pendeta Lama di Tibet itu masih saja meributkan urusan Sin-tong dan masih merasa penasaran, berani datang menyerbu Pek-sim-pang untuk menuntut agar Sin-tong yang sekarang sudah dewasa itu diserahkan kepada mereka!

Pek Eng dapat bergerak lincah sekali. Ketika melihat sambaran tangan dengan lengan baju lebar itu ke arah kepalanya, dia cepat melempar tubuh ke belakang, berjungkir balik, lalu memutar pedangnya dan membuat serangan lagi. Pedangnya yang diputaar-putar itu mendahului gerakan kakinya ke depan dan tiba-tiba pedang meluncur menjadi serangan tusukan ke arah dada pendeta Lama yang kurus kering.

"Trakkk...!"

Pedang pada tangan Pek Eng terpukul miring sehingga gadis itu harus mempertahankan pedangnya yang hampir saja terlepas dari tangannya saking keras dan kuatnya tangkisan pendeta itu. Dan kesempatan ini dipergunakan oleh Sang Pendeta untuk mencengkeram pundak Pek Eng dari samping.

Tetapi gadis itu memiliki gerakan lincah dan gesit sekali. Dalam keadaan yang berbahaya itu dia masih sempat melempar tubuh ke atas tanah, bergulingan menjauh dan melompat bangun lagi setelah terbebas dari ancaman lawan. Bukan main marahnya hati Pek Eng. Ia mengeluarkan suara melengking nyaring dan menyerang lagi.

Hay Hay kini siap siaga. Gadis itu telah nekat dan ini tandanya dia terancam bahaya. Ilmu silat gadis itu memang cukup baik, apa lagi dia mempunyai ginkang yang lumayan, yang membuat tubuhnya dapat bergerak dengan gesit sekali, akan tetapi dalam hal kepandaian silat, jelas dia masih kalah jauh dibandingkan pendeta kurus kering itu. Apa bila dia tetap nekat menyerang, maka dia dapat celaka.

Terjangan Pek Eng disambut dengan senyum dingin oleh pendeta kurus kering. Beberapa kali dia mengelak dan mengebutkan lengan baju, mencari kesempatan sambil melindungi diri. Pada saat tangkisan kebutan lengan bajunya kembali membuat tubuh dara itu miring, kakinya menendang cepat.

Pek Eng berusaha menarik kakinya dan cepat miringkan tubuh, tetapi tetap saja pahanya tersentuh ujung sepatu lawan dan dia pun terpelanting, lalu cepat bergulingan menjauhi. Ketika dia meloncat bangun, mukanya agak pucat, pakaiannya kotor dan kakinya sedikit terpincang. Akan tetapi agaknya dia tidak menjadi kapok bahkan kini dia memutar pedang di atas kepala untuk melakukan serangan lebih nekat lagi. Pada saat itu pula muncullah beberapa orang keluar dari pintu gerbang.

"Eng-ji, tahan senjata!" terdengar bentakan orang dan Pek Eng terpaksa menghentikan gerakan pedangnya ketika mendengar suara ayahnya. Dengan muka merah saking marah dan penasaran, dia lalu berdiri dengan pedang masih di tangan.

Pek Kong dan Pek Ki Bu sudah berdiri di situ bersama Souw Bwee dan beberapa murid Pek-sim-pang yang lebih tua. Melihat betapa Pek Eng berkelahi dengan seorang pendeta Lama, Ketua Pek-sim-pang dan ayahnya memandang kepada tiga orang pendeta Lama itu dengan alis berkerut.

Mereka berdua mengenal tiga orang pendeta Lama itu sebagai tokoh-tokoh para Lama di Tibet, tokoh tingkat tiga yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Jangankan Pek Eng, walau pun Pek Kong sendiri bukan lawan mereka, dan Pek Ki Bu sendiri pun meragukan apakah dia akan mampu melawan seorang di antara mereka.

"Omitohud... selamat bertemu lagi, Pek-sim-pangcu!" kata pendeta Lama muka bopeng sambil menjura kepada Pek Ki Bu yang segera diturut oleh dua orang temannya.

Pek Ki Bu balas menjura lalu berkata, "Sam-wi keliru, sekarang bukan saya yang menjadi ketua, melainkan anak saya Pek Kong."

"Aih, maaf... maaf... kiranya Pek-taihiap telah memperoleh banyak kemajuan dan menjadi Ketua Pek-sim-pang," kata pula pendeta muka bopeng.

Pek Kong mengerutkan kedua alisnya dan menjura ke arah tiga orang pendeta itu. "Harap maafkan kalau puteri kami yang masih terlampau muda itu berlancang tangan dan mulut terhadap Sam-wi Losuhu. Akan tetapi, kami Pek-sim-pang agaknya sudah tidak memiliki urusan lagi dengan cu-wi di Tibet, maka, apakah maksud Sam-wi datang berkunjung ke tempat kami?" Kata-kata itu sopan dan merendah, namun mengandung teguran.

Sejak tadi Hay Hay memandang penuh perhatian dan dia merasa kagum kepada keluarga Pek itu. Mereka adalah orang-orang gagah, pikirnya.

"Perlukah Pangcu bertanya lagi? Sudah selama dua puluh tahun lebih kami bersabar dan kini terpaksa kami harus datang untuk menjemput Sin-tong yang kini tentu sudah menjadi dewasa, untuk mengangkatnya dengan upacara kebesaran agar menjadi seorang pendeta Lama, calon Dalai Lama."

Pek Kong mengerutkan alisnya sebab dia mendongkol bukan kepalang. "Pihak para Lama di Tibet sungguh terlalu mendesak orang!" dia berkata, nada suaranya jelas menunjukkan kemarahannya. "Semenjak kecil putera kami itu hilang entah ke mana dan hal ini semua orang juga mengetahui. Bahkan sebagai orang tuanya, kami merasa prihatin dan berduka karena kami tidak tahu dia berada di mana. Bagaimana sekarang Sam-wi datang-datang menuntut supaya kami menyerahkan putera kami itu? Kami sedang berduka, akan tetapi Sam-wi bahkan hendak menekan, sungguh sebuah perbuatan yang tidak layak dan tidak mulia sama sekali."

"Omitohud, semoga Sang Buddha mengampuni kita sekalian!" pendeta muka bopeng itu berseru, lantas dia pun tersenyum menyeringai. "Pangcu dapat saja membohongi orang lain, namun tidak mungkin membohongi Dalai Lama yang arif bijaksana dan mengetahui segala sesuatu yang terjadi di permukaan bumi. Menurut ramalan dan penglihatan tajam beliau, sekarang Sin-tong telah menjadi dewasa. Selama ini anak itu diberi nama Pek Han Siong, bukan? Dia sudah mempelajari ilmu-ilmu dan kini telah menjadi seorang pemuda dewasa yang perkasa. Nah, kalau dia belum pulang ke sini, katakan saja di mana dia dan kami akan segera menjemputnya, Pangcu."

"Kami tidak tahu!" Tiba-tiba saja Souw Bwee, isteri Pek Kong menjawab dengan suara mengandung isak. "Andai kata kami tahu sekali pun, tidak akan kami beri tahukan kepada kalian, pendeta-pendeta keparat!"

Sakit sekali rasa hati ibu yang dipisahkan dari puteranya ini. Rasa sakit hati yang selama ini terus dipendam sekarang meledak setelah melihat betapa tiga orang pendeta Lama itu mendesak.

"Omitohud..., Toanio, sungguh tidak baik memaki kami para pendeta. Toanio akan dikutuk dan akan hidup dalam kesengsaraan...," pendeta muka bopeng menegur.

"Aku tak peduli!" wanita yang sudah marah itu membentak. "Selama ini aku sudah hidup sengsara karena dipisahkan dari puteraku oleh kalian pendeta-pendeta busuk. Sekarang aku bahkan ingin membunuh kalian!" Berkata demikian, nyonya itu sudah bergerak maju menyerang Si Muka Bopeng. Suaminya kaget bukan main, akan tetapi sudah tak keburu mencegah.

"Plakkk!" Si Muka Bopeng menggerakkan tangan dan lengan bajunya yang panjang lebar itu menyambar. Tubuh nyonya itu terhuyung ke belakang.

"Ibuuuu...!" Pek Eng menubruk dan merangkul ibunya yang mukanya menjadi pucat.

Pipi kanan ibunya membiru dan darah mengalir dari mulutnya. Ternyata ujung lengan baju itu menampar muka dan biar pun tidak mengakibatkan luka berbahaya, namun pipi wanita itu bengkak dan membiru.

Melihat hal ini, Pek Kong tak dapat menahan kesabarannya lagi, demikian pula Pek Ki Bu. "Kalian sungguh tak tahu diri!" kata Pek Ki Bu sambil menerjang ke depan.

"Tamu-tamu tak tahu aturan!" Pek Kong juga menerjang maju.

Pek Kong segera disambut oleh pendeta muka bopeng, ada pun Pek Ki Bu disambut oleh pendeta tinggi besar muka hitam yang agaknya merupakan pendeta tertua dan terlihai di antara mereka.

鈥淒essss...!" Pukulan tangan Pek Ki Bu ditangkis dan disambut oleh pendeta muka hitam, menyebabkan Pek Ki Bu terdorong ke belakang tiga langkah, sedangkan lawannya hanya mundur selangkah.

"Dukkk!" Pukulan tangan Pek Kong juga tertangkis oleh Si Muka Bopeng dan tangkisan ini membuat tubuh Pek Kong terhuyung.

Dalam pertemuan segebrakan ini saja dapat dilihat bahwa baik Pek Kong mau pun Pek Ki Bu bukanlah lawan para pendeta yang amat lihai dan kokoh kuat itu. Akan tetapi kini anak buah Pek-sim-pang sudah keluar semua, jumlah mereka ada berpuluh-puluh dan mereka sudah memegang senjata semua, siap untuk mengepung dan mengeroyok.

Pada saat itu pula, Hay Hay yang sejak tadi hanya menjadi penonton merasa sudah perlu untuk turun tangan. Bagaimana pun juga, dirinya terlibat secara langsung di dalam urusan Sin-tong ini, maka dia pun melangkah lebar ke depan tiga orang pendeta itu dan dengan suara lantang dia berkata,

"Sam-wi Losuhu jauh-jauh datang dari Tibet, apakah untuk menjemput Sin-tong? Nah, kini sesudah Sin-tong berada di hadapan kalian, mengapa kalian tidak lekas menyambut dan memberi hormat?" Sambil berkata demikian, dia berdiri tegak dengan dada terangkat dan sikapnya angkuh dan agung sekali.

Semua orang terkejut. Pek Eng juga terkejut akan tetapi dara ini pun mendongkol bukan main, langsung membisiki ayahnya yang berdiri di dekatnya, "Ayah, dia itu pemuda mata keranjang yang kurang ajar."

Akan tetapi Pek Kong dan Pek Ki Bu lantas memandang tajam penuh perhatian, bahkan Pek Kong cepat mengangkat tangan memberi isyarat kepada anak buah atau murid-murid Pek-sim-pang agar tidak bergerak dan tidak menyerang sebelum ada aba-aba darinya.

Kini semua orang memandang kepada Hay Hay dan tiga orang pendeta itu dengan hati tegang, lebih lagi mereka tadi juga mendengar pengakuan pemuda itu bahwa dia adalah Sin-tong, putera ketua mereka yang kedatangannya selalu ditunggu-tunggu. Juga ketiga orang pendeta Lama itu terbelalak, mengamati Hay Hay dengan penuh perhatian, penuh selidik memandang pemuda itu dari kepala sampai ke kaki.

Sementara itu, Pek Kong dan isterinya, Souw Bwee, terbelalak menatap wajah Hay Hay, mengingat-ingat apakah benar pemuda tampan yang kini berdiri dengan mulut tersenyum itu adalah Pek Han Siong, putera mereka. Demikian pula Pek Ki Bu memandang dengan penuh keheranan, sekaligus juga penuh harapan karena dia pun tidak dapat menentukan apakah benar pemuda ini adalah cucunya atau bukan.

Hanya Pek Eng yang amat mendongkol. Ingin dara ini memaki pemuda itu karena dialah yang tahu bahwa pemuda itu bukan Pek Han Siong, bukan kakaknya, melainkan seorang pemuda mata keranjang. Tapi karena kemunculan pemuda ini agaknya hendak membantu dan berpihak pada keluarganya, maka dia pun diam saja dan hanya memandang dengan heran mengapa pemuda itu berani menentang tiga orang pendeta Lama yang demikian lihainya. Bahkan mulai timbul keraguan. Siapa tahu pemuda itu memang benar kakaknya, Pek Han Siong, dan tadi tak mau mengaku kepadanya hanya untuk mempermainkannya saja. Siapa tahu!

Tiga orang pendeta Lama itu kini berdiri bingung, kadang-kadang mereka saling pandang dan di wajah mereka terbayang ketegangan, harapan, akan tetapi juga keraguan. Selama ini Sin-tong dilarikan keluarganya, disembunyikan dari para pendeta Lama. Mungkinkah kini Sin-tong muncul dan memperkenalkan diri begitu saja?

Mereka merupakan tokoh-tokoh Tibet, termasuk pimpinan para pendeta Lama tingkat tiga. Selain mempunyai ilmu kepandaian tinggi, tentu saja tiga orang Pendeta Lama ini adalah orang-orang yang cerdik, tidak akan mudah menipu mereka.

"Orang muda, jangan engkau main-main dengan kami! Jika engkau hendak menipu kami, maka dosamu sangat besar sehingga kematian pun belum dapat membebaskan engkau dari pada hukuman!" kata pendeta yang kurus pucat.

"Omitohud...!" Hay Hay berseru, menirukan lagak seorang pendeta. "Menipu adalah suatu perbuatan yang tidak benar, aku sebagai Sin-tong mana mau melakukannya? Semenjak terlahir aku disebut Sin-tong, diperebutkan sebagai Sin-tong, setelah kini menjadi dewasa dan mengaku bahwa aku adalah Sin-tong, Sam-wi Losuhu dari Tibet malah tidak percaya kepadaku! Sam-wi mengingkari Sin-tong, bukankah itu merupakan dosa yang amat besar pula?"

Ketiga orang pendeta Lama itu saling pandang dan sekarang sikap mereka menjadi agak berbeda, pandang mata mereka mulai menghormat biar pun masih terlihat ada keraguan. Nampaknya mereka mulai percaya bahwa pemuda di hadapan mereka itu mungkin sekali Sin-tong yang mereka cari-cari.

"Dia bukan Sin-tong! Dia bukan putera kami!" tiba-tiba Souw Bwee berseru. Tentu saja seruan ini mengejutkan serta mengherankan hati Pek Kong dan Pek Ki Bu. Bagaimana wanita itu dapat memastikan bahwa pemuda itu bukan Pek Han Siong?

"Memang Ibu benar! Dia bukan Kakak Pek Han Siong, dia hanya seorang pemuda mata keranjang yang tidak tahu malu, berani memalsukan kakakku!" teriak pula Pek Eng yang mengira ibunya mengenal betul bahwa pemuda itu bukan Pek Han Siong.

Padahal teriakan Souw Bwee tadi sama sekali bukan karena dia tahu bahwa pemuda itu bukan puteranya. Dia sendiri ragu-ragu dan tentu saja tidak tahu benar, sebab puteranya itu dipisahkan dari sampingnya semenjak masih bayi. Kalau dia tadi berteriak menyangkal justru terdorong oleh rasa khawatirnya.

Apa bila benar pemuda ini adalah puteranya dan hal ini diketahui oleh tiga orang pendeta Lama yang lihai itu, tentu puteranya itu akan mereka bawa! Dan dia tidak mau kehilangan lagi puteranya yang baru saja pulang. Inilah sebabnya dia berteriak menyangkal agar tiga orang pendeta Lama itu percaya kepadanya dan tidak akan membawa pergi puteranya. Dan Pek Eng yang salah mengerti, sekarang malah membantunya dengan sangkalannya bahwa pemuda itu bukan kakaknya yang dicari-cari.

Pek Kong dan Pek Ki Bu memandang dengan perasaan bingung, namun begitu bertemu pandang dengan isterinya, Pek Kong melihat betapa sinar mata isterinya itu mengandung kegelisahan dan ketakutan, maka tahulah dia bahwa penyangkalan isterinya tadi hanya merupakan usaha untuk menyelamatkan pemuda itu! Karena itu dia sendiri pun merasa bingung dan tidak berkata apa-apa, hanya dapat menunggu untuk melihat perkembangan selanjutnya.

Sementara itu, Hay Hay juga terkejut mendengar teriakan nyonya dan puterinya itu. Tak disangkanya mereka berteriak menyangkalnya. Dia berpura-pura menjadi Sin-tong untuk mengalihkan perhatian tiga orang pendeta yang lihai agar tidak lagi mendesak keluarga Pek, akan tetapi ternyata nyonya rumah bahkan menyangkalnya!

Apakah mereka itu tidak tahu bahwa dia memang sengaja hendak membantu mereka? Ataukah keluarga Pek itu begitu tinggi hati sehingga tidak sudi menerima pertolongannya, walau pun jelas bahwa mereka terancam bahaya? Ataukah nyonya itu tidak ingin orang lain celaka karena keluarga mereka? Banyak sekali kemungkinan untuk menjawab serta mencari sebab ulah ibu dan anak itu, akan tetapi dia harus dapat meyakinkan tiga orang pendeta Lama itu bahwa dia benar-benar Sin-tong!

"Hemmm, Sam-wi Losuhu merupakan tokoh-tokoh pandai dari Tibet, mana mungkin dapat dibohongi? Mereka menyangkal diriku, karena tentu saja mereka tidak ingin melihat aku kalian bawa pergi dari sini!" Ucapan Hay Hay ini memang tepat sekali sehingga Nyonya Souw Bwee menahan jeritnya, mukanya menjadi pucat dan matanya terbelalak menatap kepada pemuda itu.

Tiga orang pendeta Lama yang tadinya sudah merasa ragu karena mendengar teriakan Nyonya Souw Bwee dan Pek Eng yang menyangkal pemuda itu sebagai Sin-tong, kini saling pandang dan harapan baru memancar kembali dari wajah mereka ketika mereka memandang Hay Hay.

Memang tepat sekali ucapan pemuda itu, pikir mereka. Kalau benar pemuda ini Sin-tong, tentu ibunya bersama adiknya akan berusaha menyelamatkannya dan satu-satunya cara adalah menyangkalnya!

"Omitohud...!" Pendeta Lama bermuka bopeng berseru lalu tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, kami bukanlah orang-orang bodoh yang demikian mudah dipermainkan dan ditipu. Orang muda, kau tanggalkanlah bajumu!"

Keluarga Pek menjadi pucat. Mereka tahu bahwa Pek Han Siong yang dianggap Sin-tong oleh para pendeta Lama itu memang mempunyai tanda tahi lalat merah di punggungnya sehingga kalau pemuda ini tidak mempunyai tanda itu, biar mengaku bagaimana pun juga maka akan nampak bohongnya. Akan tetapi di samping kekhawatirannya ini, juga mereka merasa tegang karena mereka pun ingin melihat siapa sebenarnya pemuda ini, Pek Han Siong ataukah bukan.

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.