Hay Hay tersenyum. Sebelum tuntutan ini diajukan, dia memang sudah menduga hal ini. Sambil tersenyum dia lalu berkata kepada Pek Eng. "Adik yang baik, jangan menuduhku kurang ajar kalau aku melepas bajuku di depanmu, karena aku dipaksa oleh ketiga orang Locianpwe ini." Berkata demikian, Hay Hay segera menanggalkan bajunya, membiarkan tubuhnya bagian atas telanjang.
Nampak dadanya yang bidang dan tubuh bagian atas yang tegap, dengan otot-otot yang menonjol kuat serta kulit yang putih halus, dada seorang pemuda yang sedang mekar dan kokoh kuat. Dia kemudian membalikkan tubuhnya, membiarkan punggungnya terlihat oleh mereka.
Keluarga Pek dan tiga orang pendeta Lama ini memandang ke arah punggung Hay Hay dan dengan mudah menemukan tahi lalat merah yang cukup besar di punggung itu!
"Anakku...!" terlak Souw Bwee.
"Koko...!" Pek Eng juga berseru.
Akan tetapi saat mereka hendak maju, keduanya dicegah oleh Pek Kong dan Pek Ki Bu. Keluarga itu lalu menonton saja, ingin tahu dengan hati tegang apa yang selanjutnya akan terjadi. Kiranya pemuda itu benar Pek Han Siong, pikir mereka dengan jantung berdebar.
Tentu saja dugaan mereka itu keliru. Pemuda itu adalah Hay Hay, bukan Pek Han Siong. Tanda merah pada punggungnya itu hanyalah hasil muslihat Hay Hay saja. Sebelum tadi turun tangan, pemuda ini sudah berpikir panjang dan teringat bahwa satu-satunya tanda dari Sin-tong yang semenjak bayi tidak pernah muncul, hanyalah tahi lalat tanda merah di punggungnya, maka tadi sebelum turun gelanggang secara diam-diam dia telah lebih dulu menutul kulit punggungnya dengan tinta merah.
Dengan kecerdikannya, mempergunakan kesempatan selagi orang ribut-ribut mengepung tiga orang pendeta Lama, Hay Hay cepat menyelinap masuk ke dalam rumah dan berhasil mendapatkan tinta merah yang dicarinya. Karena itu, ketika dia terjun ke dalam lapangan itu, di balik bajunya, di atas kulit punggungnya, sudah terdapat tanda merah yang sengaja dibuatnya itu!
"Sin-tong...!" Tiga orang pendeta Lama itu terkecoh. Mereka bertiga cepat merangkapkan kedua tangan di depan dada dan memberi hormat kepada ‘Anak Ajaib’ itu!
"Pinceng bertiga mendapat kehormatan untuk menjemput Paduka dan mengiringi Paduka menuju ke istana Paduka di Tibet," pendeta Lama bermuka bopeng berkata dengan sikap hormat sekali, seperti sikap seorang menteri terhadap rajanya.
Hampir saja Hay Hay tertawa karena gelinya. Sikap ketiga pendeta Lama itu menggelitik hatinya. Demikian lucu seolah-olah dia sedang bermain sandiwara di atas panggung saja. Biarlah, dia akan bermain sandiwara sepuasnya, pikirnya. Bagaimana pun juga, dia sudah berhasil memindahkan perhatian tiga orang pendeta Lama yang lihai itu dari keluarga Pek kepada dirinya. Tentu sekarang yang terpenting bagi mereka hanyalah dirinya yang sudah dipercaya dan diterima sebagai Sin-tong!
"Hemm, begini sajakah penerimaan para pendeta Lama terhadap diriku? Tahukah kalian siapa yang sudah menjelma menjadi diriku sekarang ini?" tanyanya dengan sikap agung berwibawa.
"Pinceng tahu. Paduka adalah calon Dalai Lama, penjelmaan Sang Buddha, omitohud...!" kata pendeta Lama bermuka bopeng.
"Nah, kalau kau sudah tahu, kenapa yang menyambutku hanya tiga orang pendeta Lama tingkat rendahan saja?"
"Kami bertiga yang rendah adalah anggota pimpinan tingkat tiga...," kata pendeta Lama kurus pucat untuk memberi tahu bahwa tingkat mereka sudah terhitung tinggi.
"Hemm, seharusnya Dalai Lama sendiri, atau setidaknya harus utusan yang memiliki ilmu tinggi. Akan tetapi karena kalian bertiga telah sampai di sini, baiklah. Aku akan ikut kalian kalau saja kuanggap ilmu kepandalan kalian cukup tinggi sehingga aku pun merasa cukup terhormat. Nah, kalian majulah. Hendak kulihat sampai di mana kelihaian kalian, apakah patut untuk menjadi orang-orang yang ditugaskan menjemput diriku."
Tiga orang pendeta Lama itu saling pandang dan mereka nampak terkejut sekaligus juga terheran-heran, lantas menjadi bingung sendiri. Selama mereka menjadi pendeta Lama, baru sekali inilah ada Sin-tong yang pada saat dijemput hendak menguji dulu kepandaian para penjemputnya!
Biasanya, yang sudah-sudah, seorang Sin-tong hanya pandai menghafalkan isi kitab-kitab suci, merupakan seorang setengah dewa yang lemah-lembut dan sama sekali tak pernah menggunakan kekerasan. Akan tetapi Sin-tong yang ini bahkan menantang mereka untuk menguji kepandaian silat! Padahal tingkat mereka dalam hal ilmu silat sudah tinggi sekali. Keluarga Pek yang merupakan orang-orang gagah terkenal dari Pek-sim-pang saja bukan tandingan mereka, apa lagi pemuda ini yang kelihatan begitu lemah!
"Hayo mulai, kenapa kalian diam saja?" Hay Hay mendesak.
Keluarga Pek dan juga para anggota Pek-sim-pang memandang dengan muka pucat dan jantung berdebar. Alangkah beraninya pemuda itu, menantang tiga orang pendeta Lama yang demikian lihainya sehingga ketua Pek-sim-pang dan ayahnya saja bukan tandingan mereka!
"Kami... mana kami berani?" Akhirnya pendeta bermuka bopeng menjawab mewakili dua orang temannya.
Hay Hay mengerutkan sepasang alisnya, pura-pura marah. "Kalau kalian tidak memenuhi permintaanku, berarti kalian memandang rendah kepadaku dan selain aku tidak akan sudi ikut ke Tibet, juga kelak aku akan melapor kepada Dalai Lama bahwa kalian bertiga telah menghina diriku!"
Terkejutlah tiga orang pendeta Lama itu. Mereka saling pandang, lalu berbisik-bisik dan mengadakan perundingan di antara mereka sendiri dalam bahasa Tibet. Dan akhirnya, Si Pendeta Kurus Pucat yang melangkah maju lantas menjura dengan hormat kepada Hay Hay.
"Biarlah pinceng mewakili teman-teman untuk menerima perintah Sin-tong dan siap untuk diuji kepandaian pinceng," katanya dengan sikap hormat.
Melihat ini, diam-diam Hay Hay tersenyum. Tiga orang pendeta Lama ini ternyata amat memandang rendah padanya. Dari gerakan-gerakan mereka tadi ketika dalam beberapa gebrakan berkelahi melawan orang-orang Pek-sim-pang, dia sudah dapat menilai bahwa di antara mereka bertiga, Si Kurus Pucat ini yang paling rendah ilmunya, sedangkan yang tinggi besar muka hitam itu yang paling lihai.
"Baik, majulah. Akan tetapi kalau engkau kalah, dua orang yang lainnya harus kuuji pula kepandaiannya. Bila mana aku tidak sanggup mengalahkanmu, berarti tingkat kepandaian kalian bertiga sudah cukup tinggi," kata Hay Hay dan dengan sikap sembarangan saja dia lalu membuat kuda-kuda.
Melihat betapa pemuda itu membuat kuda-kuda dengan kedua kaki berdiri tegak, lututnya bengkak-bengkok seperti orang yang tidak bertenaga, pinggangnya juga menggeliat-geliat ke sana-sini seperti orang habis bangun tidur, matanya melirik-lirik ke sana-sini, terutama ke arah Pek Eng, kedua tangannya juga tergantung agak ke belakang, sungguh sikap ini sama sekali tidak meyakinkan! Bukan sikap atau kuda-kuda dari seorang ahli silat yang tangguh.
Diam-diam keluarga Pek merasa kecewa dan gelisah, sedangkan pendeta kurus pucat itu bersama kawan-kawannya merasa amat geli. Sin-tong yang ini tidak becus ilmu silat akan tetapi ingin menyombongkan diri, pikir mereka. Akan tetapi karena pemuda itu Sin-tong, tentu saja mereka tidak berani mentertawakan.
Juga Si Kurus Pucat tidak akan berani menjatuhkan tangan besi melukai, apa lagi sampai membunuh Sin-tong! Hanya saja, melihat gaya Sin-tong yang lemah ini, hatinya merasa lega. Dari Dalai Lama dia mendengar bahwa Sin-tong kini telah menjadi seorang pemuda dewasa yang mempunyai ilmu tinggi, akan tetapi melihat sikap tidak meyakinkan itu, dia tahu bahwa dengan mudah dIa akan mampu mengalahkan pemuda ini.
Dia hanya akan mengelak dan menangkis saja, membuat pemuda itu kehabisan tenaga dan napas agar menyerah dengan sendirinya, tanpa membalas serangan dan juga tanpa memukul atau menendang!
"Hayo seranglah!" kata Hay Hay.
"Pinceng tidak berani, harap Paduka Yang Mulia menyerang," jawab kakek pendeta kurus pucat itu.
"Rewel benar kau! Kalau engkau tidak mau menyerang, mana aku tahu sampai di mana kelihaianmu?"
Pek Eng memandang dengan alis berkerut. Betulkah pemuda tolol ini kakak kandungnya? Mengapa begitu bodoh? Apakah tidak melihat bahwa pendeta kurus pucat itu lihai bukan main? Sungguh mencari penyakit saja, pikirnya tak puas. Hatinya amat kecewa, dia tidak puas memiliki seorang kakak kandung seperti itu, sombong dan brengsek!
"Baiklah, pinceng akan menyerang, harap disambut!" kata pendeta kurus pucat lantas dia pun menyerang.
Akan tetapi gerakan itu sama sekali tidak bisa dinamakan serangan, sebab tangan kirinya bergerak perlahan, seakan hendak mengusap pundak kanan Hay Hay saja. Gerakannya juga lambat dan tidak mengandung tenaga.
Dengan gerakan kaku Hay Hay melangkah mundur untuk mengelak, mulutnya mengomel panjang pendek. "Wah, kalau pukulanmu hanya seperti itu, untuk memukul tahu pun tidak akan pecah. Mana bisa dibilang lihai?"
Pendeta Lama itu maklum bahwa gerakannya terlalu lambat dan lemah, maka agar tidak kentara bahwa dia mengalah, dia kembali maju dan menyerang lagi, kini agak lebih cepat dan lebih kuat, maksudnya pun hanya hendak mengelus ke arah pundak kiri pemuda itu sambil menanti pemuda itu membalas serangannya.
Akan tetapi kembali dengan gerakan kaku Hay Hay mengelak, kini mengelak ke samping dan masih mengomel. "Hanya sebegini? Tidak ada mutunya sama sekali. Ilmu silat apa sih ini?" Dia mengejek dan mencela.
Muka yang pucat itu kini berubah agak kemerahan, apa lagi ketika pendeta itu mendengar suara ketawa di sana-sini, suara ketawa para anggota Pek-sim-pang yang merasa betapa lucunya pertunjukan itu.
"Pinceng akan menyerang lagi lebih cepat, harap siap siaga!" Dia membentak kemudian menubruk, kali ini dengan lebih cepat dan bertenaga. Maksudnya untuk menangkap dan memeluk Sin-tong agar tidak dapat bergerak meronta lagi dan langsung membawanya lari ke Tibet.
"Wuuuttt...! Brukkk...!"
Hampir saja pendeta itu berteriak kaget karena yang ditubruknya hanyalah angin belaka! Tubrukannya luput! Betapa mungkin ini? Tadi dia mempergunakan kecepatan dan tenaga sinkang, akan tetapi tanpa diketahui bagaimana caranya, tahu-tahu tubrukannya ini hanya mengenai tempat kosong dan pemuda itu entah pergi ke mana.
"Heii, muka pucat. Engkau sedang apa-apaan di situ? Jangan main-main, tadi aku minta engkau menggunakan ilmu silat mengalahkan aku, bukan untuk main-main seperti orang mencari kodok saja. Apakah engkau biasa menangkap dan makan daging kodok?"
Kini lebih banyak lagi terdengar suara ketawa, bahkan keluarga Pek memandang dengan terheran-heran. Tadinya mereka merasa kecewa dan tidak puas melihat sikap ketololan dari pemuda yang mereka sangka Pek Han Siong itu. Mereka tahu bahwa pendeta kurus pucat itu mengalah dan tak berani menggunakan kekerasan. Pemuda itulah yang mereka anggap tidak tahu diri.
Tetapi tubrukan tadi cukup cepat, dan mereka melihat betapa pemuda itu hanya memutar kakinya seperti gasing dan tahu-tahu sudah berada di luar tubrukan sehingga tubrukan itu pun hanya mengenai tempat kosong saja, ada pun pemuda itu dengan terhuyung-huyung tahu-tahu telah berada di belakang Si Pendeta, kemudian menegurnya dengan kata-kata mengejek. Seperti juga pendeta kurus pucat itu, para keluarga Pek juga mengira bahwa keberhasilan pemuda itu menghindarkan diri dari tubrukan hanyalah kebetulan saja.
"Hayo pukullah aku, seranglah dan jangan main-main. Apakah engkau ingin aku menjadi marah kemudian memukulimu sampai babak belur?” Ucapan keras pemuda ini kembali memancing suara tawa geli di sana-sini. Pemuda yang agaknya sama sekali tidak pandai ilmu silat itu kini malah mengancam hendak memukul si pendeta lihai hingga babak belur!
"Baik, dan Paduka sambutlah!" kata Si Pendeta Kurus Pucat.
Sekarang dia harus berhasil, pikirnya. Dia mengerahkan sinkang dan dengan cepat sekali pukulan tangannya yang dikepal sudah meluncur ke arah perut Hay Hay. Semua orang sangat terkejut. Pukulan itu cepat dan dahsyat, kalau mengenai perut pemuda yang tidak pandai silat itu tentu akan mengakibatkan seluruh isi perutnya berantakan dan Sin-tong pasti tewas!
Wajah Pek Kong, Souw Bwee, Pek Ki Bu dan Pek Eng sudah menjadi pucat bukan main, bahkan Souw Bwee memejamkan mata, tidak tega melihat puteranya terpukul mati. Dan semua orang melihat betapa pemuda yang tidak pandai silat itu agaknya tidak tahu akan datangnya pukulan, buktinya dia masih menyeringai dan sama sekali tidak bergerak untuk mengelak atau menangkis!
Pendeta kurus pucat itu memang sudah menduga bahwa Sin-tong pasti tak akan mampu mengelak, tapi dengan kepandaiannya yang tinggi dia sudah bisa menguasai gerakannya sepenuhnya. Sebab itu, begitu kepalan tangannya telah mendekati perut lawan, dia cepat menahan dan mengeremnya sehingga kepalan itu hanya menyentuh kulit perut perlahan saja, tanpa ada angin pukulan tenaga sinkang.
"Plekk…!" kepalan itu hanya menempel lirih saja, lembut dan tidak mendatangkan rasa nyeri sama sekali. Hay Hay tersenyum mengejek.
"Ha-ha, begitu saja pukulanmu! Wah, lebih lunak dari pada tahu! Mana bisa dibilang lihai kalau pukulannya hanya seperti ini?"
"Sin-tong, pinceng tidak berani memukul sungguh-sungguh. Paduka tentu tidak akan kuat menerima pukulan pinceng!" kata Si Kurus Pucat yang menjadi mendongkol juga karena semua orang tersenyum, ada pula yang tertawa mendengar ejekan Hay Hay tadi.
Mereka semuanya tidak suka kepada para Lama yang menyebabkan Pek-sim-pang harus pergi mengungsi, apa lagi kini ada tiga orang Lama datang untuk membawa pergi putera ketua mereka. Maka, melihat betapa pendeta Lama yang kurus pucat itu dipermainkan, mereka merasa gembira juga.
"Apa...? Aku tidak tahan menerima pukulanmu? Ha-ha-ha, jangan bergurau! Pukulanmu tak akan menghancurkan sepotong tahu, apa lagi perutku!" Hay Hay tidak menyombong. Tadi pun dia sudah melindungi perutnya dengan sinkang yang terkuat untuk menjaga diri. Andai kata tadi Si Pendeta Lama memukulnya dengan sungguh-sungguh, tetap saja dia tidak akan terluka!
"Sebaiknya kalau Paduka saja yang memukul pinceng dan pinceng yang akan menjaga diri. Kalau sampai pinceng dapat terpukul roboh satu kali saja, biarlah pinceng mengaku kalah," kata pula hwesio kurus pucat dengan sikap serba salah.
Diam-diam dia mendongkol bukan main karena ucapan-ucapan yang mengejek itu, yang membuat dia menjadi bahan tertawaan orang banyak. Memukul sungguh-sungguh, tentu saja dia tidak berani melukai Sin-tong, tidak sungguh-sungguh, dia dijadikan bahan ejekan dan tertawaan.
"Benarkah? Saudara-saudara semua mendengar sendiri bahwa jika aku mampu memukul dia roboh satu kali saja, dia akan mengaku kalah. Harap Saudara sekalian menjadi saksi!" kata Hay Hay sambil memutar tubuh ke empat penjuru. Kini para anggota Pek-sim-pang sudah menjadi semakin gembira.
"Kami menjadi saksi!" terdengar teriakan di sana-sini.
"Nah, puluhan orang menjadi saksi supaya engkau nanti tidak melanggar janjimu sendiri. Bersiaplah, aku akan segera menyerang!" kata Hay Hay.
Kini pendeta itu bersiap siaga, memasang kuda-kuda yang kokoh kuat, sedangkan para keluarga Pek menonton dengan hati tegang dan penuh perhatian. Sekarang mereka ingin melihat bagaimana sebenarnya kepandaian pemuda itu karena semenjak tadi pemuda itu belum pernah memperlihatkan satu kali pun gerakan ilmu silat. Kini, karena dia hendak menyerang, tentu dia akan mempergunakan jurus-jurus silat dan mereka ingin mengenal aliran silat apa yang dimiliki pemuda itu.
"Pinceng sudah siap!" kata hwesio Lama yang kurus pucat itu.
"Awas, aku menyerang, sambutlah!" Hay Hay membentak, suaranya nyaring dan semua orang menduga akan terjadi serangan yang dahsyat. Akan tetapi mereka semua kecewa.
Pemuda itu menyerang dengan gerakan liar dan sembarangan saja, bukan seperti orang bersilat, melainkan seperti anak kecil berkelahi di pinggir jalan, asal memukul saja tanpa memilih sasaran. Kepalan sepasang tangannya diayun dan dipukulkan bergantian ke arah tubuh pendeta Lama itu. Melihat datangnya pukulan yang amat lamban dan tanpa tenaga sinkang ini, pendeta Lama itu tersenyum dan dengan mudahnya mengelak ke belakang.
"Mau lari ke mana kau?" Hay Hay berseru, lagaknya mirip seperti orang yang mendesak lawannya, mengejar dengan pukulan-pukulan serta tendangan-tendangan ngawur. Setiap kali pukulan atau tendangan sudah dielakkan oleh pendeta lama itu, maka tubuh pemuda itu langsung terhuyung, bahkan hampir saja jatuh tertelungkup ke depan. Semua orang kecewa, terutama sekali Pek Eng.
"Si Tolol yang tak tahu malu!" gadis itu membentak, cukup keras karena hatinya kecewa, bahkan marah bukan main melihat pemuda yang mengaku sebagai Sin-tong ini. Sungguh memalukan sekali mempunyai seorang kakak kandung seperti itu, pikirnya gemas.
Hay Hay dapat mendengar celaan ini. Tiba-tiba dia menghentikan serangannya, menoleh pada Pek Eng sambil menyeringai. "Adik yang manis, memang dia ini tolol sekali, bukan? Engkau benar sekali, dia memang seorang pendeta Lama yang sangat tolol, dan karena ketololannya, dia akan kubikin roboh sekarang!"
Jika saja tidak teringat bahwa kemungkinan besar pemuda itu adalah kakak kandungnya, dan karena di sana terdapat banyak orang, tentu Pek Eng akan terang-terangan memaki dan mencela pemuda itu. Dia mendongkol bukan kepalang, dan terpaksa menelan semua kegemasan hatinya ketika pemuda itu sudah membalik kembali dan menghadapi pendeta Lama yang kurus itu.
"Nah, sekarang robohlah kau!" Hay Hay membentak.
Bentakannya yang penuh keyakinan ini memancing suara ketawa dari banyak orang. Kini Hay Hay yang menjadi bahan tertawaan karena pemuda itu nampak demikian tolol. Jelas bahwa pemuda itu tidak becus apa-apa, bersilat satu jurus pun tidak becus, akan tetapi lagaknya demikian hebat, memastikan bahwa pendeta Lama yang lihai itu roboh!
Diiringi suara tawa riuh rendah, sekarang Hay Hay meloncat. Gerakannya bukan gerakan silat, melainkan gerakan katak melompat ke depan, ke arah lawannya, dengan kedua kaki dan tangan bergerak-gerak di udara ketika meloncat, seperti seorang anak kecil mencoba untuk melompati sebuah got. Kedua tangannya dengan jari-jari terbuka menusuk ke arah muka pendeta itu, dan kedua kakinya bergerak ke depan dengan liar dan ngawur. Semua orang semakin geli melihat loncatan katak itu dan suara ketawa makin riuh.
Tiba-tiba saja suara ketawa itu terhenti dan tubuh pendeta Lama itu jatuh berlutut! Seperti seekor jangkerik mengerik kini terpijak, suara ketawa itu seperti dicekik dan semua orang memandang dengan mata terbelalak, tidak percaya akan apa yang disaksikannya.
Lebih terkejut dan terheran lagi adalah pendeta lama kurus pucat itu. Tadi ketika pemuda itu membuat loncatan katak, tentu saja dia menjadi geli dan memandang rendah. Ketika kedua tangan pemuda itu menusuk dengan jari-jarinya ke arah kedua matanya, barulah dia agak terkejut dan cepat dia miringkan kepala untuk menghindarkan diri dari tusukan jari-jari tangan yang meluncur dengan cepat sekali itu. Saking cepatnya tusukan jari-jari itu ke arah matanya, pendeta Lama ini terkejut dan hanya memperhatikan serangan ke arah matanya itu.
Tiba-tiba saja kedua lututnya dicium ujung sepatu kedua kaki Hay Hay dan karena yang tertotok ujung sepatu itu adalah sambungan lutut, maka seketika tubuh pendeta itu tidak dapat bertahan untuk berdiri lagi. Kedua lututnya seketika lemas dan lumpuh, lalu dia pun jatuh berlutut!
"Nah, engkau sudah roboh, berarti engkau sudah kalah!" kata Hay Hay sambil tersenyum-senyum memandang ke empat penjuru.
Sekarang barulah suara sorak sorai dan tepuk tangan meledak. Semua orang bergembira melihat betapa tanpa disangka-sangka, pemuda itu sudah berhasil mengalahkan seorang di antara tiga pendeta Lama yang lihai itu. Biar pun mereka sendiri tidak tahu bagaimana mungkin pendeta itu roboh berlutut, dan walau pun sebagian besar di antara mereka, juga termasuk keluarga Pek, menyangka bahwa kejadian itu hanyalah kebetulan saja, namun mereka semua gembira bahwa seorang di antara para Lama itu telah roboh dan kalah!
Kalau saja yang sedang dihadapinya bukan Sin-tong, pendeta Lama itu tentu akan marah dan mengamuk, menyerang pemuda itu. Akan tetapi yang dihadapinya adalah Sin-tong, dan kalau diingat, peristiwa tadi membuat bulu tengkuknya meremang.
Tentu para dewa melindungi Sin-tong, pikirnya. Jika tidak begitu, bagaimana mungkin dia sendiri roboh hanya oleh tendangan-tendangan yang tidak berarti, yang secara kebetulan sekali mengenai sambungan kedua lututnya? Agaknya para dewa yang sudah menuntun gerakan-gerakan kacau dan ngawur itu. Kalau menghadapi kekuasaan para dewa, tentu saja dia kalah! Maka dia pun bangkit berdiri, merangkap kedua tangan di depan dada dan berkata dengan suara merendah,
"Pinceng mengaku kalah dan terima kasih atas petunjuk Sin-tong."
"Ha-ha, bagus, engkau tahu diri juga. Nah, siapa orang kedua yang akan mencoba ilmu silatnya!" kata Hay Hay sengaja berlagak dan senyumnya melebar ketika dia mengerling dan melihat betapa Pek Eng merengut dan mengerutkan alisnya.
Kemenangannya tadi agaknya membuat gadis itu tak merasa puas dan hal ini menambah kegembiraan di hati Hay Hay. Memang dia hendak mempermainkan tiga orang pendeta Lama ini, juga ingin menggoda semua orang, terutama gadis manis berlesung pipit yang amat menarik hatinya itu.
Dua orang pendeta Lama lainnya mengerutkan alis dan secara diam-diam menyesal atas kesembronoan teman mereka. Mereka berdua merasa yakin bahwa tidak mungkin teman mereka itu kalah dan dirobohkankan oleh Sin-tong, melihat betapa Sin-tong tidak pandai ilmu silat. Meski pun tendangan yang mengenai kedua lutut itu luar biasa dan aneh sekali, akan tetapi mereka yakin bahwa hal itu tentu terjadi hanya karena suatu kebetulan yang sial belaka. Kini pendeta bermuka bopeng yang melangkah maju lantas menjura kepada Hay Hay.
"Biarlah pinceng yang kini mohon petunjuk Sin-tong. Pinceng akan mengeluarkan semua kebodohan pinceng untuk menyerang Paduka dan mencoba untuk merobohkan Paduka seperti yang Paduka lakukan terhadap teman pinceng tadi."
Secara diam-diam Hay Hay memandang tajam penuh perhatian. Pendeta bermuka buruk ini terlihat cerdik sekali, dan dia tahu bahwa tentu kata-katanya bukan sekedar basa-basi, melainkan merupakan ancaman yang akan dipenuhi.
Pendeta ini tentu akan benar-benar berusaha untuk merobohkan dia tanpa mendatangkan luka berat, dan hal itu tidaklah sukar bagi seorang yang memlliki ilmu kepandaian tinggi. Maka dia harus berlaku hati-hati terhadap orang ini, pikirnya.
"Ha-ha, bagus sekali engkau mengakui kebodohanmu sehingga nanti kalau engkau gagal merobohkan aku, kebodohanmu itu tidak akan bertambah. Biar pun sampai seratus jurus, aku yakin engkau tidak akan mampu merobohkan aku."
Pek Eng dan ayah ibunya, juga kakeknya, mengerutkan alisnya. Pemuda itu sungguh luar biasa beraninya. Menentang serta mengadu kepandaian dengan pendeta-pendeta lihai itu saja sudah sangat berat dan sudah berani sekali. Akan tetapi pemuda ini masih demikian beraninya untuk membual bahwa dia sanggup melayani sampai seratus jurus!
Hal ini pun terasa oleh pendeta muka bopeng. Hemmm, pikirnya dengan gemas, belum sepuluh jurus saja tentu engkau akan roboh. Apa lagi kalau dia menghadapi pemuda ini sebagai musuh, bukan sebagai Sin-tong, mungkin dalam satu jurus saja dia akan mampu merobohkan dan membunuhnya!
"Mungkin saja Paduka jauh lebih pandai dari pada pinceng. Nah, harap Paduka bersiap. Pinceng mulai menyerang!" Setelah berkata demikian, pendeta bermuka buruk itu segera mengembangkan kedua lengannya, kemudian menggerakkan kaki tangannya menyerang ke arah Hay Hay. Serangannya itu merupakan tamparan dari kanan kiri susul menyusul, dan ketika tangan pendeta itu menyambar, terdengar suara bersiutan dan terasa oleh Hay Hay ada hawa panas sekali menyambar ke arah tubuhnya!
Hay Hay kaget sekali. Kiranya pendeta ini mengeluarkan kepandaiannya dan menyerang sungguh-sungguh dengan mengerahkan tenaga sinkang! Memang inilah maksud pendeta itu, hendak merobohkan Hay Hay, kalau mungkin melalui angin atau hawa pukulan saja, mengandalkan sinkang-nya!
"Siuuuttt...! Siuuutttt...!" Dua tamparan dengan kedua tangan menyambar dari kanan kiri, atas bawah.
"Haiiittt...! Ouuuttt... lupuutttt...!" Hay Hay sudah mengelak ke belakang, gerakannya kaku dan lucu, namun kenyataannya, dua tamparan itu memang tidak mengenai sasaran! Biar pun kaku, namun tubuh pemuda itu nampak sedemikian ringannya, seolah-olah tubuh itu berubah menjadi kapas yang dapat menjauh dan mengelak sendiri tertiup angin pukulan!
Akan tetapi kakek pendeta itu terus menerus mendesak dengan tamparan-tamparan yang lebih cepat, lebih kuat dan mengandung hawa yang lebih panas lagi. Menghadapi desakan ini, tiba-tiba saja Hay Hay nampak terhuyung-huyung, kakinya bergeser ke sana-sini, dan mulutnya nyerocos,
"Hooshhhh... heshhhh... luput lagi...!"
Dan memang benar, pukulan atau tamparan beruntun itu tidak mengenai sasaran, selalu lewat saja di kanan kiri tubuh Hay Hay, seolah-olah kakek itu yang pikun dan bodoh, tidak mampu memukul sasaran sehingga pukulannya selalu menyeleweng ke samping!
Namun kakek pendeta itu terus mendesak dengan pukulan-pukulan, tamparan-tamparan serta totokan, bahkan mulai melakukan tendangan-tendangan. Memang hebat sekali ilmu silat pendeta ini, tubuhnya bahkan mulai sukar diikuti pandang mata saking cepatnya dia bergerak.
Mula-mula masih terdengar suara ketawa disana-sini karena memang lucu sekali gerakan Hay Hay yang megal-megol, loncat sana-sini, kadang-kadang membungkuk, kadang kala hampir rebah, menungging, berjongkok, dan lain gerakan aneh dan lucu lagi. Akan tetapi kini semua orang mulai merasa tegang dan kagum. Betapa pun aneh gerakan pemuda itu namun kenyataannya semua serangan pendeta itu luput!
"Dasar manusia tolol...!" Pek Eng mencela, akan tetapi tiba-tiba tangannya dipegang oleh ayahnya yang berdiri di sampingnya.
"Anak bodoh, lihatlah baik-baik...!" bisik ayahnya dan ketua Pek-sim-pang ini, seperti juga Kakek Pek Ki Bu, menonton dengan wajah tegang dan pandang mata penuh kagum.
Pemandangan di situ memang sungguh aneh. Seorang pendeta Lama, dengan jubah dan mantel lebar berkibar-kibar, gerakannya cepat sehingga sukar mengikuti bentuk tubuhnya dengan mata, menghujankan serangan-serangan yang mendatangkan angin pukulan amat dahsyat, sedangkan pemuda yang diserangnya itu selalu dapat mengelak dengan gerakan yang aneh bukan main.
Namun, karena kini diserang dan didesak hebat, terpaksa Hay Hay tak berani main-main lagi. Biar pun gerakan-gerakannya masih dibuat-buat sehingga nampak aneh dan konyol, tetapi kedua kakinya kini mulai melakukan gerakan ilmu kesaktian yang dipelajarinya dari See-thian Lama yang dulu berjuluk Go-bi San-jin, salah seorang di antara Delapan Dewa. Gerakan ini adalah Jiauw-pouw Poan-soan, yaitu langkah-langkah berputaran yang amat aneh karena langkah-langkah ini mampu menghindarkan dirinya dari serangan-serangan berbahaya.
Gerakan tubuhnya juga mulai sukar diikuti saking cepatnya, dan mulailah para penonton memandang kagum, dan dapat menduga bahwa bukan karena nasib baik atau kebetulan saja pemuda itu tadi mempermainkan Lama pertama kemudian merobohkannya, namun karena pemuda itu memang lihai sekali!
Pendeta Lama bermuka bopeng juga amat terkejut saat melihat gerakan langkah-langkah ajaib itu. Biar pun dia sendiri tidak menguasai ilmu itu, akan tetapi dia pernah mendengar tentang langkah-langkah ajaib yang berdasarkan pada garis-garis pat-kwa yang amat luar biasa.
Akan tetapi hanya tokoh-tokoh besar yang mempunyai tingkat tinggi saja yang kabarnya dapat menguasai langkah-langkah ajaib seperti itu. Mungkinkah seorang pemuda seperti ini sudah mampu menguasainya? Dia teringat bahwa pemuda ini adalah Sin-tong, bukan pemuda sembarangan. Bagi Sin-tong tentu mungkin saja untuk menguasai ilmu apa pun!
"Hesshhh... hosshhh... tidak kena! Heii, sudah berapa ratus jurus seranganmu ini? Wahh, panasnya... gerah sekali, dan keringatmu mengeluarkan bau yang amat busuk! Tak tahan aku...!" kata Hay Hay dan tiba-tiba saja tubuhnya sudah menjauh.
Karena semenjak tadi dia mainkan ilmu langkah ajaib Jiauw-pouw Poan-soan sedangkan lawannya menyerangnya dengan cepat, maka dia pun telah mengeluarkan banyak tenaga dan tubuh bagian atas yang tidak berbaju itu kini basah oleh keringat.
Mendadak terdengar teriakan pendeta Lama yang bertubuh tinggi besar bermuka hitam, orang terlihai di antara tiga pendeta itu, "Lihat, dia bukan Sin-tong! Tanda merah itu luntur oleh keringatnya!"
Semua orang kini dapat melihat dengan jelas, ‘tahi lalat’ merah yang berada di punggung Hay Hay itu kini luntur karena keringatnya membasahi tanda yang dibuat dari tinta merah itu! Melihat ini, pendeta kurus pucat menjadi marah sekali. Dia kini tahu bahwa pemuda itu bukan Sin-tong, melainkan seorang pemuda yang memalsukan nama Sin-tong dan tadi telah mempermainkannya.
"Manusia jahat!" bentakan ini disusul oleh serangannya yang hebat.
Pendeta Lama ini agaknya sudah marah bukan main sehingga serangannya merupakan serangan maut. Dia menyerang dengan kedua ujung lengan bajunya yang menyambar bagaikan sepasang senjata yang ampuh, melakukan totokan-totokan ke arah jalan darah di bagian depan. Bertubi-tubi kedua ujung lengan baju itu menotok ke arah tujuh titik jalan darah yang dapat mendatangkan maut apa bila tepat mengenai sasaran!
"Celaka...!" Pek Ki Bu berseru kaget karena melihat betapa hebatnya serangan pendeta lama yang kurus pucat itu. Sebagai seorang ahli silat tingkat tinggi dia segera mengenal serangan maut yang amat ampuh dan berbahaya sekali.
Akan tetapi dengan gerakan yang lincah sekali Hay Hay telah mengelak ke sana-sini dan masih mempergunakan langkah-langkah ajaibnya. Kini dia pun tidak mau main-main lagi, menghadapi serangan yang sungguh-sungguh itu dia pun segera mengeluarkan segenap kepandaiannya. Dengan satu jurus pilihan dari ilmu Silat Ciu-sian Cap-pik-ciang (Delapan Belas Pukulan Dewa Arak) dia cepat membalas, tangan kanan mencengkeram ke depan dan ketika lawan mengelak ke kiri, tangan kirinya memapaki dengan tamparan.
"Plakkk...!"
Tubuh pendeta Lama yang kurus itu terpelanting! Masih untung bahwa pemuda itu tidak mempergunakan tenaga sepenuhnya sehingga tulangnya tidak sampai patah-patah ketika pundaknya kena ditampar, hanya tubuhnya saja yang terpelanting dan terbanting ke atas tanah!
Semua orang terkejut, bahkan Pek Eng memandang dengan mata terbelalak serta mulut ternganga. Gerakan pemuda itu kini nampak demikian indah dan gagah, tidak lagi ketolol-tololan seperti tadi. Dan dalam segebrakan saja pemuda itu mampu merobohkan pendeta Lama muka pucat yang demikian lihainya!
Hati Pek Eng menjadi kagum sekali dan mukanya berubah merah saat dia teringat betapa tadi dia memandang rendah pada pemuda itu. Akan tetapi kembali dia merasa menyesal karena pemuda itu bukan kakak kandungnya.
Kalau saja pemuda itu kakak kandungnya, tentu dia sudah bersorak karena senang dan bangganya mempunyai seorang kakak yang begitu lihainya. Akan tetapi pemuda itu jelas bukan Pek Han Siong, karena bukankah tanda merah di punggungnya itu palsu belaka?
Sementara itu orang-orang Pek-sim-pang menjadi gembira bukan main, sebab itu mereka bertepuk tangan memuji, senang bahwa pendeta Lama yang mereka benci itu sudah ada yang menandingi. Pendeta Lama bermuka bopeng menjadi amat terkejut, akan tetapi juga marah melihat temannya roboh. Maka dia pun mengeluarkan suara menggereng dahsyat lantas tubuhnya telah menerjang maju dengan cepat dan kedua tangannya mengeluarkan uap putih ketika dia melancarkan pukulan-pukulan maut yang mengandung angin pukulan dahsyat sampai debu mengepul di sekitarnya.
Hay Hay kembali mengeluarkan kelihaiannya. Dengan gerakan yang gagah serta lincah, tubuhnya mengelak sambil tangannya menangkis dari atas ke bawah. Dua buah lengan yang mengandung tenaga sinkang bertemu dengan kerasnya.
"Dukkk!"
Akibatnya, tubuh pendeta Lama itu tergetar dan terhuyung, sedangkan Hay Hay masih berdiri tegak. Pendeta Lama bermuka bopeng itu maklum bahwa pemuda ini ternyata kuat bukan kepalang!
"Orang muda, siapakah engkau sebenarnya? Mengapa engkau mencampuri urusan kami dengan Pek-sim-pang?" dia bertanya sebab hatinya menjadi ragu memperoleh kenyataan bahwa pemuda yang sakti ini bukanlah Sin-tong dan sungguh tidak baik untuk menanam permusuhan dengan golongan lain. Juga dia perlu mengenal lawan yang tangguh ini agar urusan menjadi jelas.
Hay Hay tersenyum lalu dengan amat tenang dia kini mengenakan kembali bajunya yang tadi dilepas, sikapnya seperti tidak sedang menghadapi ancaman dari tiga orang pendeta Lama yang lihai.
"Sam-wi Losuhu adalah tiga orang tokoh dari Tibet, namun ingin mengenal namaku? Aku bernama Hay Hay dan aku akan mencampuri urusan siapa saja apa bila kulihat ada orang menggunakan kepandaian untuk memaksa para orang gagah di sini. Keluarga Pek yang gagah perkasa ini dengan jujur telah mengatakan bahwa mereka tak tahu tentang putera mereka, akan tetapi kenapa Sam-wi hendak memaksa dan mempergunakan kepandaian untuk menekan? Tentu saja aku tidak dapat tinggal diam saja.”
"Bocah sombong, engkau sengaja hendak menentang kami? Siapakah gurumu?" bentak pula pendeta Lama bermuka bopeng. Melihat sikap ini, Hay Hay mengerutkan sepasang alisnya, akan tetapi dia masih tersenyum.
"Locianpwe, aku tidak perlu membawa nama suhu-suhu-ku yang mulia dalam urusan ini. Pergilah saja pulang ke Tibet dan jangan mengotorkan nama besar para pendeta Lama dengan perbuatan kekerasan yang tidak patut dilakukan pendeta-pendeta yang suci."
"Keparat sombong!" Tiba-tiba pendeta Lama yang bertubuh tinggi besar sudah menerjang ke depan. Tubuhnya menyerang bagaikan seekor gajah marah. Angin besar terasa oleh orang banyak ketika tubuh yang tinggi besar itu menerjang maju dan bertubi-tubi kedua lengan panjang dan kaki panjang itu menyerang dengan pukulan dan tendangan ke arah Hay Hay.
Kembali semua orang menonton dengan hati tegang, terutama sekali Pek Ki Bu dan Pek Kong yang memiliki ilmu silat lebih tinggi dari pada orang-orang Pek-sim-pang sehingga mereka berdua dapat mengikuti perkelahian itu lebih teliti lagi. Mereka maklum alangkah lihainya tiga orang pendeta itu, maka tentu saja mereka mengkhawatirkan keselamatan pemuda yang berpihak kepada mereka itu.
Akan tetapi sekali ini Hay Hay tidak berani main-main lagi. Dia pun tahu bahwa meski pun ilmu silatnya masih lebih tinggi dari pada mereka bertiga, tetapi dia kalah pengalaman dan tiga orang pendeta itu merupakan lawan yang sama sekali tidak boleh dipandang ringan. Dia pun cepat menggerakkan kakinya, mengelak ke sana-sini dengan cepat bukan main.
Dia masih tetap mempergunakan Jiauw-pouw Poan-soan untuk menghindarkan terjangan dahsyat dari pendeta Lama tinggi besar itu. Dengan amat lincah tubuhnya berloncatan ke sana-sini, kadang-kadang tubuhnya melejit-lejit, kedua kakinya digeser secara aneh dan ke mana pun tangan dan kaki pendeta tinggi besar itu menyambar, tubuh Hay Hay selalu dapat mengelak dengan gerakan indah dan tepat sekali.
Melihat betapa semua serangan dari pendeta tinggi besar itu tak mampu mengenai tubuh lawan, dua orang pendeta Lama lainnya cepat maju sehingga kini Hay Hay dikeroyok oleh mereka bertiga!
Tentu saja Hay Hay menjadi repot bukan main! Tiga orang pendeta itu adalah tokoh-tokoh tingkat tiga dari Tibet, sekarang maju bersama. Tentu saja gabungan tiga tenaga itu amat kuatnya. Akan tetapi Hay Hay masih mampu mengelak, menangkis, bahkan ada kalanya membalas dengan serangan-serangan yang membuat tubuh tiga orang lawannya kadang kala harus terhuyung ke belakang.
Tepuk sorak makin riuh menyambut kehebatan Hay Hay menghadapi pengeroyokan tiga orang pendeta itu. Keluarga Pek kini melongo. Biar pun mereka telah tahu bahwa pemuda yang mengaku Sin-tong itu amat lihai, namun mereka tidak pernah dapat membayangkan bahwa pemuda itu ternyata sanggup menghadapi pengeroyokan tiga orang pendeta Lama yang demikian lihainya.
"Anak itu luar biasa sekali...!" Pek Ki Bu sampai berseru saking kagumnya.
Pek Eng memandang dengan muka merah. Pemuda yang demikian lihainya, jauh lebih lihai dari ayahnya, bahkan dari kakeknya sendiri, dan dia tadi sudah menantang pemuda itu! Jika pemuda itu menghendaki, agaknya dalam segebrakan saja tentu dia akan roboh!
Perkelahian itu berlangsung dengan sangat cepat. Tiga orang pendeta Lama itu memang tangguh sekali, apa lagi mereka sekarang maju bertiga. Bahkan kini pendeta kurus pucat menggunakan kedua ujung lengan bajunya, pendeta muka bopeng mengeluarkan sebuah kipas sebagai senjata sedangkan pendeta tinggi besar mengeluarkan seuntai tasbeh yang dipergunakan sebagai senjata.
Hay Hay yang mengandalkan ilmu langkah ajaibnya menjadi kewalahan dan terpaksa dia pun mempergunakan Ilmu Yan-cu Coan-in sehingga dia bisa mengerahkan ginkang (ilmu meringankan tubuh) sepenuhnya. Tubuhnya kadang-kadang lenyap saking cepatnya dia bergerak, menyelinap di antara gulungan sinar senjata yang terus menyambar-nyambar dan mengepungnya. Para penonton menjadi kabur pandangan mereka, dan tidak mampu lagi mengikuti gerakan empat orang itu dengan jelas.
Hay Hay tidak mau melukai tiga orang pendeta Lama itu, apa lagi membunuh mereka. Hal inilah yang membuat dia semakin kewalahan. Tiga orang lawan itu menyerangnya dengan sungguh-sungguh, dengan serangan-serangan maut, ada pun dia hanya mempertahankan diri saja, dan serangan balasannya bukan ditujukan untuk merobohkan lawan, melainkan untuk membendung banjir serangan itu. Tentu saja keadaan seperti itu benar-benar tidak menguntungkan dan dia pun kini terdesak dan tertekan, berada dalam ancaman bahaya.
Maklum bahwa kalau dia terus melayani tiga orang lawan itu akhirnya dia tentu terpaksa melukai mereka karena kalau tidak dia sendiri yang akan celaka, Hay Hay lalu mengambil keputusan untuk mencoba ilmu barunya yang belum lama ini dipelajarinya dari Pek Mau San-jin selama satu tahun. Diam-diam dia mengerahkan tenaga batinnya lantas mulutnya berkemak-kemik membaca mantera, kemudian dia melompat jauh ke belakang sampai kurang lebih enam meter. Ketika tiga orang lawannya mengejar, dia berseru dan suaranya lembut namun mengandung getaran yang amat kuat.
"Heii, tiga orang pendeta Lama dari Tibet, buka mata kalian dan lihat baik-baik siapa aku. Aku adalah Sin-tong yang siap untuk ikut dengan kalian ke Tibet menghadap Dalai Lama!"
Semua orang terkejut karena ucapan itu seperti memaksa mereka untuk percaya bahwa pemuda itu benar-benar Sin-tong. Bahkan Souw Bwee telah berseru dengan hati terharu. "Anakku Pek Han Siong !" Akan tetapi tangannya keburu dipegang oleh Pek Kong yang tidak ingin melihat isterinya lari kepada pemuda itu.
Bagaimana pun juga, pengaruh suara Hay Hay itu tidak begitu hebat terhadap mereka karena ditujukan kepada tiga orang pendeta Lama. Tiga orang pendeta Lama itulah yang langsung menerima serangan ilmu sihir dari Hay Hay.
Mendadak mereka bertiga mengubah sikap mereka, menyimpan senjata masing-masing, lantas mereka menjura dengan hormat kepada Hay Hay! Bahkan pendeta muka bopeng yang agaknya menjadi juru bicara mereka, segera berkata dengan sikap hormat sekali,
"Marilah, Sin-tong, pinceng bertiga datang untuk menjemput kemudian mengantar Paduka ke Lasha di Tibet."
Hay Hay masih memandang dengan sinar mata mencorong, kemudian dia berkata, "Aku lelah sekali, aku mau ke Tibet asal digendong."
"Pinceng selalu siap menggendong Paduka!" berkata pendeta Lama yang tubuhnya tinggi besar, siap untuk menggendong Hay Hay.
Hay Hay lalu mengambil sebongkah batu besar yang berada tidak jauh dari situ kemudian meletakkan batu itu di depannya. Kembali suaranya mengandung getaran kuat sekali saat dia berkata, "Sin-tong telah siap, angkat dan pondonglah ke Tibet!"
Suara itu mengandung kekuatan yang luar biasa, dan kakek pendeta Lama yang tinggi besar itu kini menghampiri batu dan segera mengangkat dan memondongnya, dipandang oleh dua orang rekannya. Kemudian, mereka bertiga lalu membalikkan tubuh dan berjalan hendak pergi meninggalkan tempat itu, Si Pendeta Tinggi Besar masih memondong batu besar tadi.
Tentu saja peristiwa itu membuat semua orang terheran-heran. Mereka merasa seperti sedang menonton pertunjukan sandiwara di panggung saja, atau pertunjukan pelawak. Melihat betapa pendeta tinggi besar itu menggendong batu besar bagaikan menggendong tubuh Sin-tong seperti yang tadi diucapkan oleh pemuda itu, beberapa orang tidak dapat menahan ketawanya, mereka tertawa karena merasa heran dan juga lucu. Suara ketawa amat mudah menular sehingga tak lama kemudian meledaklah suara ketawa.
Suara ketawa ini memiliki kekuatan dan membuyarkan pengaruh sihir atas diri tiga orang pendeta itu. Tiba-tiba saja Si Pendeta Tinggi Besar berteriak kaget dan memandang batu dalam pondongannya, juga dua orang temannya terbelalak.
"Omitohud... Si Keparat!" teriak pendeta tinggi besar dan dia pun membalik, kemudian dia melontarkan batu besar itu ke arah Hay Hay! Lontaran ini mengandung tenaga yang amat kuat, membuat batu besar itu meluncur cepat seperti sebuah peluru meriam yang sangat besar menuju ke arah tubuh Hay Hay.
Pemuda ini terkejut. Jika dia mengelak, maka batu itu tentu akan menyerang murid-murid Pek-sim-pang yang berada di belakangnya. Kalau menerimanya, dia khawatir tenaganya tidak mampu menahan lajunya lontaran itu. Jalan satu-satunya hanyalah menyambut batu itu dengan pukulan.
Hay Hay segera mengerahkan tenaga sinkang-nya dan begitu batu menyambar sampai di depannya, dia pun memukul batu itu dengan tangan miring, menggunakan tangan kirinya yang mengandung tenaga sepenuhnya itu.
"Darrrrr...!"
Batu besar itu pecah berhamburan, pecahannya yang kecil-kecil melesat ke mana-mana, akan tetapi tidak berbahaya lagi andai kata mengenai orang-orang yang berada di sekitar tempat itu. Kembali semua orang memuji dengan sorak dan tepuk tangan!
Kini tiga orang pendeta Lama itu sudah maju lagi menghampiri Hay Hay dengan pandang mata penuh kemarahan dan dendam. Akan tetapi begitu tiba di depan pemuda itu, Hay Hay segera membentak,
"Kalian bertiga mau apa?! Lihat baik-baik, aku adalah Dalai Lama!"
Dan ketiga orang pendeta itu tiba-tiba saja menjatuhkan diri berlutut di hadapan Hay Hay sambil memberi hormat. Tentu saja para murid Pek-sim-pang terkejut dan terheran-heran semua, akan tetapi mereka kini mulai mengerti bahwa pemuda yang luar biasa itu tentu telah mempergunakan ilmu sihir!
Karena mereka dapat menduga bahwa tiga orang pendeta itu kini tentu melihat pemuda itu berubah menjadi Dalai Lama, tentu saja mereka merasa geli sehingga kembali mereka tertawa-tawa. Suara ketawa ini kembali membuyarkan kekuatan sihir. Suara orang banyak memang mengandung kekuatan yang luar biasa. Tiga orang pendeta itu segera sadar.
Pendeta kurus pucat meloncat dan menerjang, akan tetapi disambut tamparan oleh Hay Hay yang membuat dia terpelanting jatuh. Orang kedua, yang bermuka bopeng, maju dan disambut tendangan yang membuatnya terjungkal pula. Pendeta tinggi besar menerkam Hay Hay, dan dia pun terpelanting oleh pukulan tangan kiri Hay Hay yang menyambutnya.
Tiga orang pendeta itu tak terluka dan mereka telah bangkit lagi, siap untuk mengeroyok. Sementara itu, para murid Pek-sim-pang memandang kagum melihat betapa pemuda itu merobohkan tiga orang Lama itu satu demi satu.
"Hemm, kalian ini tiga orang pendeta Lama sungguh tak tahu malu, berdiri di sini dengan telanjang bulat! Tak tahu malu!"
Para murid Pek-sim-pang mulai mengerti bahwa suara tawa mereka dapat membuyarkan kekuatan sihir pemuda itu. Kini mereka tidak mau tertawa lagi, bahkan dengan suara bulat mereka pun mengejek. "Tak tahu malu!"
Tiga orang pendeta Lama itu memandang kepada tubuh masing-masing, kemudian saling pandang dengan dua mata terbelalak. Suara orang banyak itu memperkuat pengaruh sihir yang dilancarkan Hay Hay sehingga mereka bertiga melihat betapa mereka benar-benar sedang telanjang bulat. Dengan perasaan malu bukan main, ketiganya lalu menggunakan kedua tangan, sedapat mungkin menutupi bagian tubuh di bawah pusar, dan seperti tiga ekor anjing yang ketakutan, mereka pun lari meninggalkan tempat itu.
Pemandangan yang amat lucu ini tentu saja membuat semua orang tertawa, tanpa dapat ditahan lagi mereka tertawa. Namun sekali ini, walau pun suara ketawa itu membuyarkan pengaruh sihir sehingga tiga orang pendeta Lama itu melihat bahwa sebenarnya mereka tidak telanjang, akan tetapi mereka maklum bahwa mereka tak akan menang menghadapi pemuda luar biasa itu. Kini mereka pun sudah agak jauh, maka dari pada menderita malu lebih parah lagi, ketiganya lantas melarikan diri tanpa menoleh lagi, diiringi suara ketawa banyak orang.
Kini Pek Ki Bu sudah menghampiri pemuda itu, memandang penuh perhatian kemudian bertanya, suaranya sungguh-sungguh,
"Orang muda, sebenarnya siapakah engkau? Benarkah engkau Sin-tong?"
Hay Hay cepat memberi hormat. Teringat dia akan nasibnya di waktu kecil, oleh keluarga ini dia diambil dan dibiarkan menjadi Sin-tong dalam pandangan banyak orang sehingga dia diperebutkan. Maka dia pun tidak membohong ketika dia mengangguk dan menjawab,
"Benar, Locianpwe. Saya adalah Sin-tong..."
Semua orang yang tadi melihat tanda merah pada punggung itu luntur, kemudian melihat betapa pemuda ini pandai ilmu sihir, mengira bahwa lunturnya tanda merah itu pun hanya karena pengaruh sihir saja, maka muncul kembali harapan dan dugaan bahwa pemuda ini memang benar Pek Han Siong. Maka, jawaban Hay Hay yang membenarkan bahwa dia adalah Sin-tong, membuat Pek Eng berteriak dengan girang dan bangga sekali.
"Koko...! Ahh, kiranya engkau kakakku Pek Han Siong! Koko...!" Dan saking girang dan bangganya, Pek Eng lari menghampiri, merangkul leher pemuda itu dan mencium pipinya! Ketika merasa betapa pipinya dingok oleh gadis manis itu, dengan girang sekali Hay Hay membalas pula dengan dua kali ngok pada kedua pipi Pek Eng!
"Anakku...!" Souw Bwee juga lari dan merangkul leher Hay Hay, mencium dahi pemuda itu.
Hay Hay hanya menyeringai saja dirangkul dua orang wanita itu. Kalau Pek Eng yang merangkul dan menciuminya, biar sehari pun dia tidak akan merasa keberatan dan akan membiarkannya saja, akan tetapi melihat nyonya itu pun menyangka bahwa dia Pek Han Siong, hati Hay Hay merasa tidak enak.
Tidak baik mempermainkan seorang nyonya yang sedang kehilangan puteranya, pikirnya. Maka dengan halus dia pun melepaskan diri dari rangkulan nyonya itu tanpa melepaskan rangkulan Pek Eng di pundaknya serta rangkulan lengannya sendiri pada pinggang yang ramping itu, kemudian dia berkata halus,
"Maaf, sungguh menyesal sekali saya harus mengecewakan cuwi (Anda Sekalian) sebab sesungguhnyalah saya bukanlah Pek Han Siong. Nama saya Hay Hay."
"Aihhh...!" Souw Bwee mundur tiga langkah, mukanya berubah pucat, dan Pek Eng juga cepat melepaskan rangkulannya lantas melangkah mundur dengan muka berubah merah sekali.
"Tapi kau... kau...!" teriaknya
"Ya, aku kenapakah, adik yang baik?"
"Kalau engkau bukan kakakku, aku pun bukan adikmu! Kalau engkau bukan Kakak Pek Han Siong, lalu kenapa kau... kau... kau... tadi menciumku..."
Hay Hay memandang wajah yang manis itu sambil tersenyum. Bukan main indahnya mata dan mulut itu, pikirnya. Wajah yang manis sekali, walau pun kulitnya agak gelap seperti terlalu banyak terbakar sinar matahari, namun bahkan menambah manisnya dan kulit itu pun halus dan betapa hangatnya ketika kedua lengan itu tadi merangkul lehernya, ketika hidung dan bibir itu tadi menyentuh pipinya.
Sepasang mata yang agak sipit itu indah sekali bentuknya, dengan kedua ujung di kanan kiri meruncing seperti dilukis, bulu matanya panjang melengkung, alisnya hitam panjang. Manisnya hidung itu, kecil dan ujungnya agak naik seperti menantang, membuat wajah itu tampak mungil dan lucu penuh kelincahan. Bibir yang merah basah itu terlihat segar tanda kesehatan yang sempurna, dan dipermanis lagi oleh sebuah lesung pipit di pipi kiri. Gadis yang lincah jenaka, galak dan manja, dan memiliki daya tarik amat kuatnya.
"Heeiii! Lakas jawab pertanyaanku, jangan longang-longong seperti kerbau tolol!" Pek Eng memaki karena dia merasa kecelik, marah dan malu telah berciuman dengan pemuda itu di depan orang banyak lagi!
"Nona, aku tidak pernah mengaku sebagai kakakmu. Sejak semula aku memperkenalkan namaku, yaitu Hay Hay, bukan Pek Han Siong. Dan tentang ciuman itu... ehhh, siapakah yang memulai lebih dulu, Nona?"
Wajah itu menjadi semakin merah saking malunya, karena harus diakuinya bahwa dialah yang tadi memeluk dan mencium dengan hati penuh keyakinan bahwa pemuda ini adalah kakak kandungnya.
"Kau... kau... memang laki-laki kurang ajar, laki-laki mata keranjang...!" Dia memaki dan kedua tangannya telah dikepal karena saking malu dan marahnya dia hendak menyerang pemuda itu.
"Eng-ji, jangan!" bentak Pek Kong kepada puterinya. "Mundurlah!"
Biar pun hatinya masih panas sekali, Pek Eng mundur juga dibentak ayahnya. Pek Kong lalu melangkah maju menghadapi pemuda itu. Sejenak dia memandang penuh perhatian dan penuh selidik, kemudian dia bertanya, "Orang muda, kalau engkau bukan puteraku Pek Han Siong, bagaimana engkau dapat mengaku bahwa engkau adalah Sin-tong?"
Jantung Hay Hay berdebar tegang ketika dia memandang laki-laki gagah di depannya itu. Seorang laki-laki berusia empat puluh tahun lebih, bertubuh tegap dan berwajah tampan dan gagah, pembawaannya penuh wibawa dan matanya bersinar tajam. Dia tahu bahwa laki-laki inilah yang pernah menjadi ayahnya, ayah angkat mungkin, dan bahwa laki-laki ini sajalah yang tahu tentang riwayat dirinya! Cepat dia memberi hormat.
"Apakah saya berhadapan dengan Pek-pangcu, Ketua Pek-sim-pang?" tanyanya.
"Benar, aku adalah ketua Pek-sim-pang bernama Pek Kong."
"Ahhh, Pangcu. Justru pertanyaan tadi itulah yang mendorong saya untuk berkunjung ke sini, karena hanya Pangcu yang akan dapat menjawabnya."
"Maksudmu?" tanya Pek Kong terbelalak.
Pek Ki Bu yang tidak menghendaki percakapan itu dilakukan di tempat terbuka sehingga terdengar oleh semua murid Pek-sim-pang, segera melangkah maju dan berkata. "Lebih baik kita bicara saja di dalam. Bagaimana pun juga, orang muda ini telah menyelamatkan kita dari keadaan yang tidak enak sekali tadi. Marilah, orang muda, mari kita masuk untuk berbicara di dalam."
Hay Hay mengangguk, tapi kakinya ragu-ragu melangkah karena pada saat dia menoleh kepada Pek Eng, dia melihat gadis itu berdiri melotot kepadanya dan seolah-olah gadis itu tidak rela menerimanya sebagai tamu di rumahnya. Melihat pemuda itu seperti ragu-ragu, kemudian mengikuti pandang mata pemuda itu dan melihat sikap puterinya, Nyonya Souw Bwee lalu menggandeng tangan puterinya.
"Eng-ji, mari kita masuk dulu dan mempersiapkan hidangan untuk menyambut tamu!"
Pek Eng tidak dapat membantah dan ditarik ibunya masuk lebih dulu. Hay Hay melempar senyum kepadanya dan gadis itu membuang muka, membuat senyum Hay Hay menjadi semakin lebar.
Sekarang mereka duduk berhadapan mengelilingi sebuah meja besar di ruang belakang. Setelah memerintahkan pelayan mempersiapkan hidangan, nyonya Souw Bwee ikut pula duduk karena dia ingin sekali mendengar penuturan pemuda itu. Pek Eng juga ikut duduk, akan tetapi dia duduk agak di belakang, tidak mau berdekatan dengan pemuda itu.
"Nah, sekarang ceritakan kepada kami tentang dirimu dan tentang pengakuanmu sebagai Sin-tong tadi, orang muda," kata Pek Kong.
Sejenak Hay Hay memandang kepada wajah mereka, seorang demi seorang. Mula-mula dipandangnya wajah Pek Kong, kemudian Souw Bwee, kemudian wajah kakek Pek Ki Bu, dan dia melirik kepada Pek Eng yang duduk di belakang orang tuanya. Setelah itu dia pun berkata,
"Saya sendiri tidak tahu siapa saya ini sebenarnya. Setahu saya, saya bernama Hay Hay dan saya dianggap Sin-tong, diperebutkan banyak orang. Saya tahu bahwa jawabannya terletak dalam rahasia keluarga Pek, karena semenjak bayi saya dianggap sebagai putera keluarga Pek. Kemudian ketika masih bayi, saya diculik orang dari tangan keluarga Pek, ditukar dengan bayi mati dan..."
"Ahhhh...!" Pek Kong dan isterinya berteriak kaget sehingga Hay Hay lalu menghentikan ceritanya dan memandang kepada dua orang suami isteri itu dengan sinar mata penuh harap dan permohonan.
"Karena itu, Pangcu, saya sengaja datang mencari Pek-sim-pang untuk bertanya tentang rahasia diri saya ini kepada Pek-pangcu. Siapakah saya ini sesungguhnya, dan mengapa menjadi putera keluarga Pek lalu diculik orang?"
"Ah, kiranya engkau anak yang malang itu...!" Tiba-tiba Pek Ki Bu berseru kemudian dia menggeleng-gelengkan kepala saking takjubnya. Anak itu kini muncul dan menuntut agar diceritakan asal-usulnya.
"Baiklah, kami akan ceritakan semuanya kepadamu. Memang telah menjadi hakmu untuk mengetahui segalanya tentang dirimu, anak yang malang," kata Pek Kong.
Dengan jantung berdebar dan muka agak pucat karena saat inilah yang dinanti-nantikan selama bertahun-tahun ini, Hay Hay memandang kepada Ketua Pek-sim-pang itu, siap mendengarkan semua cerita yang akan keluar dari mulut Pek Kong.
Pek Kong lalu menceritakan peristiwa yang terjadi kurang lebih dua puluh satu tahun yang lalu ketika isterinya, Souw Bwee mengandung dan pada waktu itu Pek-sim-pang masih berada di Nam-co, di daerah Tibet. Kandungan isterinya itu menimbulkan masalah karena para Lama di Tibet meramalkan bahwa anak yang dikandung adalah Sin-tong dan kelak harus diserahkan kepada para pendeta Lama untuk dirawat dan dididik, karena sesudah dewasa Sin-tong akan menjadi Dalai Lama. Pek Kong dan isterinya kemudian melarikan diri mengungsi ke timur.
"Pada saat kelahiran putera kami itulah engkau muncul," Pek Kong melanjutkan ceritanya yang didengarkan dengan penuh perhatian oleh Hay Hay. "Pada waktu itu kakekku, yaitu Kakek Pek Khun, melihat seorang ibu muda bunuh diri di laut bersama puteranya. Kakek Pek Khun berhasil menyelamatkan anak laki-laki itu, akan tetapi ibu muda itu meninggal dunia sesudah meninggalkan sedikit pesan. Bayi laki-laki yang diselamatkan oleh Kakek Pek Khun itu..."
“Sayalah bayi itu!" kata Hay Hay, wajahnya agak pucat dan suaranya gemetar.
"Betul sekali! Engkaulah bayi laki-laki itu. Karena putera kami sedang terancam dan dicari para Lama, maka putera kami itu dibawa pergi dan disembunyikan oleh Kakek Pek Khun, sedangkan engkau lalu kami pelihara sebagai gantinya. Akan tetapi, tidak lama kemudian engkau diculik orang dan sebagai gantinya, di tempat tidurmu diletakkan seorang bayi lain yang sudah mati. Dua orang penjagamu juga dibunuh oleh penculik itu."
"Hemmm, Lam-hai Siang-mo...!" kata Hay Hay.
"Apa maksudmu?" tanya Pek Kong.
"Yang menculik saya pada waktu bayi itu adalah suami isteri Lam-hai Siang-mo."
"Ahh, kiranya Siangkoan Leng dan Ma Kim Li?" kata Pek Ki Bu mengepal tinju. "Jika aku tahu tentu ketika itu kucari mereka. Mereka begitu kejam, membunuh anak sendiri untuk ditukar denganmu, dan membunuh dua orang penjaga."
"Mereka memang orang-orang kejam dan jahat. Mereka lalu merawat saya sehingga sejak kecil saya menganggap bahwa mereka adalah ayah dan ibu saya. Akan tetapi pada waktu saya berusia tujuh tahun, muncul suami isteri Goa Iblis Pantai Selatan..."
"Kwee Siong Si Tangan Maut dan Tong Ci Ki Si Jarum Sakti?" tanya Kakek Pek Ki Bu yang agaknya mengenal tokoh-tokoh persilatan di selatan.
"Benar," kata Hay Hay. "Mereka merampas saya dan mulailah saya dijadikan perebutan. Ketika itu baru saya mendengar bahwa saya bukanlah anak kandung Lam-hai Siang-mo, melainkan anak kandung keluarga Pek. Akan tetapi, setelah kemudian orang tahu bahwa tidak ada tanda merah di punggung saya, saya pun mengerti bahwa sesungguhnya saya bukanlah putera kandung keluarga Pek, dan bahwa rahasia mengenai diri saya berada di sini, di antara keluarga Pek. Karena itu, saya mohon kepada Cu-wi agar suka membuka rahasia itu. Siapakah saya? Siapakah ibu saya yang dahulu membunuh diri di lautan itu dan siapa pula ayah saya?"
Pek Ki Bu saling pandang dengan putera dan mantunya. Pek Kong mengangguk lalu dia berkata, "Tunggulah sebentar, saya ingin mengambil sesuatu dari dalam kamar." Dia pun pergi dan tak lama kemudian kembali lagi ke ruangan itu.
"Ketahuilah, orang muda. Sebelum wanita muda yang membunuh diri itu tewas, ia sempat meninggalkan pesan kepada kakek Pek Khun. Dia sempat bercerita pada saat terakhir itu bahwa dia membunuh diri karena ingin melarikan diri dari aib."
"Ahhh...” Hay Hay menahan napas dan Souw Bwee memandang kepadanya dengan sinar mata penuh rasa iba. Sedangkan Pek Eng yang juga belum pernah mendengar cerita itu, ikut mendengarkan dengan hati tertarik.
"Menurut pengakuannya, ibu muda itu adalah seorang gadis yang diperkosa dan dipaksa oleh seorang laki-laki..." Pek Kong tidak tega untuk mengatakan bahwa pemerkosa itu seorang jai-hwa-cat (penjahat pemerkosa wanita), "Dan ketika wanita itu mengandung lalu melahirkan anak karena hubungan itu, dia tidak kuat menghadapi aib itu lantas mencoba membunuh diri bersama anaknya itu. Lelaki yang menjadi... ayah kandungmu itu adalah seorang yang memiliki she (bernama keturunan) Tang..."
"Hemm, jadi saya she Tang? Tang Hay...?" kata Hay Hay seperti kepada dirinya sendiri dengan hati sangat tidak enak rasanya. Ibunya diperkosa orang sampai mengandung dan melahirkan dia. Dia seorang anak haram! Anak yang lahir dari perkosaan. Jadi ayahnya adalah seorang yang amat jahat, she Tang!
"Dan di manakah adanya ayah saya yang she Tang itu?"
Pek Kong menggelengkan kepala sambil merogoh saku jubahnya. "Kami juga tidak tahu, hanya ibumu dalam pesan terakhir itu menyerahkan benda ini kepada Kakek Pek Khun. Katanya benda ini adalah milik ayahmu, orang she Tang itu, dan ibumu berpesan supaya engkau mencarinya..." Pek Kong menyerahkan benda itu kepada Hay Hay.
Nampak dadanya yang bidang dan tubuh bagian atas yang tegap, dengan otot-otot yang menonjol kuat serta kulit yang putih halus, dada seorang pemuda yang sedang mekar dan kokoh kuat. Dia kemudian membalikkan tubuhnya, membiarkan punggungnya terlihat oleh mereka.
Keluarga Pek dan tiga orang pendeta Lama ini memandang ke arah punggung Hay Hay dan dengan mudah menemukan tahi lalat merah yang cukup besar di punggung itu!
"Anakku...!" terlak Souw Bwee.
"Koko...!" Pek Eng juga berseru.
Akan tetapi saat mereka hendak maju, keduanya dicegah oleh Pek Kong dan Pek Ki Bu. Keluarga itu lalu menonton saja, ingin tahu dengan hati tegang apa yang selanjutnya akan terjadi. Kiranya pemuda itu benar Pek Han Siong, pikir mereka dengan jantung berdebar.
Tentu saja dugaan mereka itu keliru. Pemuda itu adalah Hay Hay, bukan Pek Han Siong. Tanda merah pada punggungnya itu hanyalah hasil muslihat Hay Hay saja. Sebelum tadi turun tangan, pemuda ini sudah berpikir panjang dan teringat bahwa satu-satunya tanda dari Sin-tong yang semenjak bayi tidak pernah muncul, hanyalah tahi lalat tanda merah di punggungnya, maka tadi sebelum turun gelanggang secara diam-diam dia telah lebih dulu menutul kulit punggungnya dengan tinta merah.
Dengan kecerdikannya, mempergunakan kesempatan selagi orang ribut-ribut mengepung tiga orang pendeta Lama, Hay Hay cepat menyelinap masuk ke dalam rumah dan berhasil mendapatkan tinta merah yang dicarinya. Karena itu, ketika dia terjun ke dalam lapangan itu, di balik bajunya, di atas kulit punggungnya, sudah terdapat tanda merah yang sengaja dibuatnya itu!
"Sin-tong...!" Tiga orang pendeta Lama itu terkecoh. Mereka bertiga cepat merangkapkan kedua tangan di depan dada dan memberi hormat kepada ‘Anak Ajaib’ itu!
"Pinceng bertiga mendapat kehormatan untuk menjemput Paduka dan mengiringi Paduka menuju ke istana Paduka di Tibet," pendeta Lama bermuka bopeng berkata dengan sikap hormat sekali, seperti sikap seorang menteri terhadap rajanya.
Hampir saja Hay Hay tertawa karena gelinya. Sikap ketiga pendeta Lama itu menggelitik hatinya. Demikian lucu seolah-olah dia sedang bermain sandiwara di atas panggung saja. Biarlah, dia akan bermain sandiwara sepuasnya, pikirnya. Bagaimana pun juga, dia sudah berhasil memindahkan perhatian tiga orang pendeta Lama yang lihai itu dari keluarga Pek kepada dirinya. Tentu sekarang yang terpenting bagi mereka hanyalah dirinya yang sudah dipercaya dan diterima sebagai Sin-tong!
"Hemm, begini sajakah penerimaan para pendeta Lama terhadap diriku? Tahukah kalian siapa yang sudah menjelma menjadi diriku sekarang ini?" tanyanya dengan sikap agung berwibawa.
"Pinceng tahu. Paduka adalah calon Dalai Lama, penjelmaan Sang Buddha, omitohud...!" kata pendeta Lama bermuka bopeng.
"Nah, kalau kau sudah tahu, kenapa yang menyambutku hanya tiga orang pendeta Lama tingkat rendahan saja?"
"Kami bertiga yang rendah adalah anggota pimpinan tingkat tiga...," kata pendeta Lama kurus pucat untuk memberi tahu bahwa tingkat mereka sudah terhitung tinggi.
"Hemm, seharusnya Dalai Lama sendiri, atau setidaknya harus utusan yang memiliki ilmu tinggi. Akan tetapi karena kalian bertiga telah sampai di sini, baiklah. Aku akan ikut kalian kalau saja kuanggap ilmu kepandalan kalian cukup tinggi sehingga aku pun merasa cukup terhormat. Nah, kalian majulah. Hendak kulihat sampai di mana kelihaian kalian, apakah patut untuk menjadi orang-orang yang ditugaskan menjemput diriku."
Tiga orang pendeta Lama itu saling pandang dan mereka nampak terkejut sekaligus juga terheran-heran, lantas menjadi bingung sendiri. Selama mereka menjadi pendeta Lama, baru sekali inilah ada Sin-tong yang pada saat dijemput hendak menguji dulu kepandaian para penjemputnya!
Biasanya, yang sudah-sudah, seorang Sin-tong hanya pandai menghafalkan isi kitab-kitab suci, merupakan seorang setengah dewa yang lemah-lembut dan sama sekali tak pernah menggunakan kekerasan. Akan tetapi Sin-tong yang ini bahkan menantang mereka untuk menguji kepandaian silat! Padahal tingkat mereka dalam hal ilmu silat sudah tinggi sekali. Keluarga Pek yang merupakan orang-orang gagah terkenal dari Pek-sim-pang saja bukan tandingan mereka, apa lagi pemuda ini yang kelihatan begitu lemah!
"Hayo mulai, kenapa kalian diam saja?" Hay Hay mendesak.
Keluarga Pek dan juga para anggota Pek-sim-pang memandang dengan muka pucat dan jantung berdebar. Alangkah beraninya pemuda itu, menantang tiga orang pendeta Lama yang demikian lihainya sehingga ketua Pek-sim-pang dan ayahnya saja bukan tandingan mereka!
"Kami... mana kami berani?" Akhirnya pendeta bermuka bopeng menjawab mewakili dua orang temannya.
Hay Hay mengerutkan sepasang alisnya, pura-pura marah. "Kalau kalian tidak memenuhi permintaanku, berarti kalian memandang rendah kepadaku dan selain aku tidak akan sudi ikut ke Tibet, juga kelak aku akan melapor kepada Dalai Lama bahwa kalian bertiga telah menghina diriku!"
Terkejutlah tiga orang pendeta Lama itu. Mereka saling pandang, lalu berbisik-bisik dan mengadakan perundingan di antara mereka sendiri dalam bahasa Tibet. Dan akhirnya, Si Pendeta Kurus Pucat yang melangkah maju lantas menjura dengan hormat kepada Hay Hay.
"Biarlah pinceng mewakili teman-teman untuk menerima perintah Sin-tong dan siap untuk diuji kepandaian pinceng," katanya dengan sikap hormat.
Melihat ini, diam-diam Hay Hay tersenyum. Tiga orang pendeta Lama ini ternyata amat memandang rendah padanya. Dari gerakan-gerakan mereka tadi ketika dalam beberapa gebrakan berkelahi melawan orang-orang Pek-sim-pang, dia sudah dapat menilai bahwa di antara mereka bertiga, Si Kurus Pucat ini yang paling rendah ilmunya, sedangkan yang tinggi besar muka hitam itu yang paling lihai.
"Baik, majulah. Akan tetapi kalau engkau kalah, dua orang yang lainnya harus kuuji pula kepandaiannya. Bila mana aku tidak sanggup mengalahkanmu, berarti tingkat kepandaian kalian bertiga sudah cukup tinggi," kata Hay Hay dan dengan sikap sembarangan saja dia lalu membuat kuda-kuda.
Melihat betapa pemuda itu membuat kuda-kuda dengan kedua kaki berdiri tegak, lututnya bengkak-bengkok seperti orang yang tidak bertenaga, pinggangnya juga menggeliat-geliat ke sana-sini seperti orang habis bangun tidur, matanya melirik-lirik ke sana-sini, terutama ke arah Pek Eng, kedua tangannya juga tergantung agak ke belakang, sungguh sikap ini sama sekali tidak meyakinkan! Bukan sikap atau kuda-kuda dari seorang ahli silat yang tangguh.
Diam-diam keluarga Pek merasa kecewa dan gelisah, sedangkan pendeta kurus pucat itu bersama kawan-kawannya merasa amat geli. Sin-tong yang ini tidak becus ilmu silat akan tetapi ingin menyombongkan diri, pikir mereka. Akan tetapi karena pemuda itu Sin-tong, tentu saja mereka tidak berani mentertawakan.
Juga Si Kurus Pucat tidak akan berani menjatuhkan tangan besi melukai, apa lagi sampai membunuh Sin-tong! Hanya saja, melihat gaya Sin-tong yang lemah ini, hatinya merasa lega. Dari Dalai Lama dia mendengar bahwa Sin-tong kini telah menjadi seorang pemuda dewasa yang mempunyai ilmu tinggi, akan tetapi melihat sikap tidak meyakinkan itu, dia tahu bahwa dengan mudah dIa akan mampu mengalahkan pemuda ini.
Dia hanya akan mengelak dan menangkis saja, membuat pemuda itu kehabisan tenaga dan napas agar menyerah dengan sendirinya, tanpa membalas serangan dan juga tanpa memukul atau menendang!
"Hayo seranglah!" kata Hay Hay.
"Pinceng tidak berani, harap Paduka Yang Mulia menyerang," jawab kakek pendeta kurus pucat itu.
"Rewel benar kau! Kalau engkau tidak mau menyerang, mana aku tahu sampai di mana kelihaianmu?"
Pek Eng memandang dengan alis berkerut. Betulkah pemuda tolol ini kakak kandungnya? Mengapa begitu bodoh? Apakah tidak melihat bahwa pendeta kurus pucat itu lihai bukan main? Sungguh mencari penyakit saja, pikirnya tak puas. Hatinya amat kecewa, dia tidak puas memiliki seorang kakak kandung seperti itu, sombong dan brengsek!
"Baiklah, pinceng akan menyerang, harap disambut!" kata pendeta kurus pucat lantas dia pun menyerang.
Akan tetapi gerakan itu sama sekali tidak bisa dinamakan serangan, sebab tangan kirinya bergerak perlahan, seakan hendak mengusap pundak kanan Hay Hay saja. Gerakannya juga lambat dan tidak mengandung tenaga.
Dengan gerakan kaku Hay Hay melangkah mundur untuk mengelak, mulutnya mengomel panjang pendek. "Wah, kalau pukulanmu hanya seperti itu, untuk memukul tahu pun tidak akan pecah. Mana bisa dibilang lihai?"
Pendeta Lama itu maklum bahwa gerakannya terlalu lambat dan lemah, maka agar tidak kentara bahwa dia mengalah, dia kembali maju dan menyerang lagi, kini agak lebih cepat dan lebih kuat, maksudnya pun hanya hendak mengelus ke arah pundak kiri pemuda itu sambil menanti pemuda itu membalas serangannya.
Akan tetapi kembali dengan gerakan kaku Hay Hay mengelak, kini mengelak ke samping dan masih mengomel. "Hanya sebegini? Tidak ada mutunya sama sekali. Ilmu silat apa sih ini?" Dia mengejek dan mencela.
Muka yang pucat itu kini berubah agak kemerahan, apa lagi ketika pendeta itu mendengar suara ketawa di sana-sini, suara ketawa para anggota Pek-sim-pang yang merasa betapa lucunya pertunjukan itu.
"Pinceng akan menyerang lagi lebih cepat, harap siap siaga!" Dia membentak kemudian menubruk, kali ini dengan lebih cepat dan bertenaga. Maksudnya untuk menangkap dan memeluk Sin-tong agar tidak dapat bergerak meronta lagi dan langsung membawanya lari ke Tibet.
"Wuuuttt...! Brukkk...!"
Hampir saja pendeta itu berteriak kaget karena yang ditubruknya hanyalah angin belaka! Tubrukannya luput! Betapa mungkin ini? Tadi dia mempergunakan kecepatan dan tenaga sinkang, akan tetapi tanpa diketahui bagaimana caranya, tahu-tahu tubrukannya ini hanya mengenai tempat kosong dan pemuda itu entah pergi ke mana.
"Heii, muka pucat. Engkau sedang apa-apaan di situ? Jangan main-main, tadi aku minta engkau menggunakan ilmu silat mengalahkan aku, bukan untuk main-main seperti orang mencari kodok saja. Apakah engkau biasa menangkap dan makan daging kodok?"
Kini lebih banyak lagi terdengar suara ketawa, bahkan keluarga Pek memandang dengan terheran-heran. Tadinya mereka merasa kecewa dan tidak puas melihat sikap ketololan dari pemuda yang mereka sangka Pek Han Siong itu. Mereka tahu bahwa pendeta kurus pucat itu mengalah dan tak berani menggunakan kekerasan. Pemuda itulah yang mereka anggap tidak tahu diri.
Tetapi tubrukan tadi cukup cepat, dan mereka melihat betapa pemuda itu hanya memutar kakinya seperti gasing dan tahu-tahu sudah berada di luar tubrukan sehingga tubrukan itu pun hanya mengenai tempat kosong saja, ada pun pemuda itu dengan terhuyung-huyung tahu-tahu telah berada di belakang Si Pendeta, kemudian menegurnya dengan kata-kata mengejek. Seperti juga pendeta kurus pucat itu, para keluarga Pek juga mengira bahwa keberhasilan pemuda itu menghindarkan diri dari tubrukan hanyalah kebetulan saja.
"Hayo pukullah aku, seranglah dan jangan main-main. Apakah engkau ingin aku menjadi marah kemudian memukulimu sampai babak belur?” Ucapan keras pemuda ini kembali memancing suara tawa geli di sana-sini. Pemuda yang agaknya sama sekali tidak pandai ilmu silat itu kini malah mengancam hendak memukul si pendeta lihai hingga babak belur!
"Baik, dan Paduka sambutlah!" kata Si Pendeta Kurus Pucat.
Sekarang dia harus berhasil, pikirnya. Dia mengerahkan sinkang dan dengan cepat sekali pukulan tangannya yang dikepal sudah meluncur ke arah perut Hay Hay. Semua orang sangat terkejut. Pukulan itu cepat dan dahsyat, kalau mengenai perut pemuda yang tidak pandai silat itu tentu akan mengakibatkan seluruh isi perutnya berantakan dan Sin-tong pasti tewas!
Wajah Pek Kong, Souw Bwee, Pek Ki Bu dan Pek Eng sudah menjadi pucat bukan main, bahkan Souw Bwee memejamkan mata, tidak tega melihat puteranya terpukul mati. Dan semua orang melihat betapa pemuda yang tidak pandai silat itu agaknya tidak tahu akan datangnya pukulan, buktinya dia masih menyeringai dan sama sekali tidak bergerak untuk mengelak atau menangkis!
Pendeta kurus pucat itu memang sudah menduga bahwa Sin-tong pasti tak akan mampu mengelak, tapi dengan kepandaiannya yang tinggi dia sudah bisa menguasai gerakannya sepenuhnya. Sebab itu, begitu kepalan tangannya telah mendekati perut lawan, dia cepat menahan dan mengeremnya sehingga kepalan itu hanya menyentuh kulit perut perlahan saja, tanpa ada angin pukulan tenaga sinkang.
"Plekk…!" kepalan itu hanya menempel lirih saja, lembut dan tidak mendatangkan rasa nyeri sama sekali. Hay Hay tersenyum mengejek.
"Ha-ha, begitu saja pukulanmu! Wah, lebih lunak dari pada tahu! Mana bisa dibilang lihai kalau pukulannya hanya seperti ini?"
"Sin-tong, pinceng tidak berani memukul sungguh-sungguh. Paduka tentu tidak akan kuat menerima pukulan pinceng!" kata Si Kurus Pucat yang menjadi mendongkol juga karena semua orang tersenyum, ada pula yang tertawa mendengar ejekan Hay Hay tadi.
Mereka semuanya tidak suka kepada para Lama yang menyebabkan Pek-sim-pang harus pergi mengungsi, apa lagi kini ada tiga orang Lama datang untuk membawa pergi putera ketua mereka. Maka, melihat betapa pendeta Lama yang kurus pucat itu dipermainkan, mereka merasa gembira juga.
"Apa...? Aku tidak tahan menerima pukulanmu? Ha-ha-ha, jangan bergurau! Pukulanmu tak akan menghancurkan sepotong tahu, apa lagi perutku!" Hay Hay tidak menyombong. Tadi pun dia sudah melindungi perutnya dengan sinkang yang terkuat untuk menjaga diri. Andai kata tadi Si Pendeta Lama memukulnya dengan sungguh-sungguh, tetap saja dia tidak akan terluka!
"Sebaiknya kalau Paduka saja yang memukul pinceng dan pinceng yang akan menjaga diri. Kalau sampai pinceng dapat terpukul roboh satu kali saja, biarlah pinceng mengaku kalah," kata pula hwesio kurus pucat dengan sikap serba salah.
Diam-diam dia mendongkol bukan main karena ucapan-ucapan yang mengejek itu, yang membuat dia menjadi bahan tertawaan orang banyak. Memukul sungguh-sungguh, tentu saja dia tidak berani melukai Sin-tong, tidak sungguh-sungguh, dia dijadikan bahan ejekan dan tertawaan.
"Benarkah? Saudara-saudara semua mendengar sendiri bahwa jika aku mampu memukul dia roboh satu kali saja, dia akan mengaku kalah. Harap Saudara sekalian menjadi saksi!" kata Hay Hay sambil memutar tubuh ke empat penjuru. Kini para anggota Pek-sim-pang sudah menjadi semakin gembira.
"Kami menjadi saksi!" terdengar teriakan di sana-sini.
"Nah, puluhan orang menjadi saksi supaya engkau nanti tidak melanggar janjimu sendiri. Bersiaplah, aku akan segera menyerang!" kata Hay Hay.
Kini pendeta itu bersiap siaga, memasang kuda-kuda yang kokoh kuat, sedangkan para keluarga Pek menonton dengan hati tegang dan penuh perhatian. Sekarang mereka ingin melihat bagaimana sebenarnya kepandaian pemuda itu karena semenjak tadi pemuda itu belum pernah memperlihatkan satu kali pun gerakan ilmu silat. Kini, karena dia hendak menyerang, tentu dia akan mempergunakan jurus-jurus silat dan mereka ingin mengenal aliran silat apa yang dimiliki pemuda itu.
"Pinceng sudah siap!" kata hwesio Lama yang kurus pucat itu.
"Awas, aku menyerang, sambutlah!" Hay Hay membentak, suaranya nyaring dan semua orang menduga akan terjadi serangan yang dahsyat. Akan tetapi mereka semua kecewa.
Pemuda itu menyerang dengan gerakan liar dan sembarangan saja, bukan seperti orang bersilat, melainkan seperti anak kecil berkelahi di pinggir jalan, asal memukul saja tanpa memilih sasaran. Kepalan sepasang tangannya diayun dan dipukulkan bergantian ke arah tubuh pendeta Lama itu. Melihat datangnya pukulan yang amat lamban dan tanpa tenaga sinkang ini, pendeta Lama itu tersenyum dan dengan mudahnya mengelak ke belakang.
"Mau lari ke mana kau?" Hay Hay berseru, lagaknya mirip seperti orang yang mendesak lawannya, mengejar dengan pukulan-pukulan serta tendangan-tendangan ngawur. Setiap kali pukulan atau tendangan sudah dielakkan oleh pendeta lama itu, maka tubuh pemuda itu langsung terhuyung, bahkan hampir saja jatuh tertelungkup ke depan. Semua orang kecewa, terutama sekali Pek Eng.
"Si Tolol yang tak tahu malu!" gadis itu membentak, cukup keras karena hatinya kecewa, bahkan marah bukan main melihat pemuda yang mengaku sebagai Sin-tong ini. Sungguh memalukan sekali mempunyai seorang kakak kandung seperti itu, pikirnya gemas.
Hay Hay dapat mendengar celaan ini. Tiba-tiba dia menghentikan serangannya, menoleh pada Pek Eng sambil menyeringai. "Adik yang manis, memang dia ini tolol sekali, bukan? Engkau benar sekali, dia memang seorang pendeta Lama yang sangat tolol, dan karena ketololannya, dia akan kubikin roboh sekarang!"
Jika saja tidak teringat bahwa kemungkinan besar pemuda itu adalah kakak kandungnya, dan karena di sana terdapat banyak orang, tentu Pek Eng akan terang-terangan memaki dan mencela pemuda itu. Dia mendongkol bukan kepalang, dan terpaksa menelan semua kegemasan hatinya ketika pemuda itu sudah membalik kembali dan menghadapi pendeta Lama yang kurus itu.
"Nah, sekarang robohlah kau!" Hay Hay membentak.
Bentakannya yang penuh keyakinan ini memancing suara ketawa dari banyak orang. Kini Hay Hay yang menjadi bahan tertawaan karena pemuda itu nampak demikian tolol. Jelas bahwa pemuda itu tidak becus apa-apa, bersilat satu jurus pun tidak becus, akan tetapi lagaknya demikian hebat, memastikan bahwa pendeta Lama yang lihai itu roboh!
Diiringi suara tawa riuh rendah, sekarang Hay Hay meloncat. Gerakannya bukan gerakan silat, melainkan gerakan katak melompat ke depan, ke arah lawannya, dengan kedua kaki dan tangan bergerak-gerak di udara ketika meloncat, seperti seorang anak kecil mencoba untuk melompati sebuah got. Kedua tangannya dengan jari-jari terbuka menusuk ke arah muka pendeta itu, dan kedua kakinya bergerak ke depan dengan liar dan ngawur. Semua orang semakin geli melihat loncatan katak itu dan suara ketawa makin riuh.
Tiba-tiba saja suara ketawa itu terhenti dan tubuh pendeta Lama itu jatuh berlutut! Seperti seekor jangkerik mengerik kini terpijak, suara ketawa itu seperti dicekik dan semua orang memandang dengan mata terbelalak, tidak percaya akan apa yang disaksikannya.
Lebih terkejut dan terheran lagi adalah pendeta lama kurus pucat itu. Tadi ketika pemuda itu membuat loncatan katak, tentu saja dia menjadi geli dan memandang rendah. Ketika kedua tangan pemuda itu menusuk dengan jari-jarinya ke arah kedua matanya, barulah dia agak terkejut dan cepat dia miringkan kepala untuk menghindarkan diri dari tusukan jari-jari tangan yang meluncur dengan cepat sekali itu. Saking cepatnya tusukan jari-jari itu ke arah matanya, pendeta Lama ini terkejut dan hanya memperhatikan serangan ke arah matanya itu.
Tiba-tiba saja kedua lututnya dicium ujung sepatu kedua kaki Hay Hay dan karena yang tertotok ujung sepatu itu adalah sambungan lutut, maka seketika tubuh pendeta itu tidak dapat bertahan untuk berdiri lagi. Kedua lututnya seketika lemas dan lumpuh, lalu dia pun jatuh berlutut!
"Nah, engkau sudah roboh, berarti engkau sudah kalah!" kata Hay Hay sambil tersenyum-senyum memandang ke empat penjuru.
Sekarang barulah suara sorak sorai dan tepuk tangan meledak. Semua orang bergembira melihat betapa tanpa disangka-sangka, pemuda itu sudah berhasil mengalahkan seorang di antara tiga pendeta Lama yang lihai itu. Biar pun mereka sendiri tidak tahu bagaimana mungkin pendeta itu roboh berlutut, dan walau pun sebagian besar di antara mereka, juga termasuk keluarga Pek, menyangka bahwa kejadian itu hanyalah kebetulan saja, namun mereka semua gembira bahwa seorang di antara para Lama itu telah roboh dan kalah!
Kalau saja yang sedang dihadapinya bukan Sin-tong, pendeta Lama itu tentu akan marah dan mengamuk, menyerang pemuda itu. Akan tetapi yang dihadapinya adalah Sin-tong, dan kalau diingat, peristiwa tadi membuat bulu tengkuknya meremang.
Tentu para dewa melindungi Sin-tong, pikirnya. Jika tidak begitu, bagaimana mungkin dia sendiri roboh hanya oleh tendangan-tendangan yang tidak berarti, yang secara kebetulan sekali mengenai sambungan kedua lututnya? Agaknya para dewa yang sudah menuntun gerakan-gerakan kacau dan ngawur itu. Kalau menghadapi kekuasaan para dewa, tentu saja dia kalah! Maka dia pun bangkit berdiri, merangkap kedua tangan di depan dada dan berkata dengan suara merendah,
"Pinceng mengaku kalah dan terima kasih atas petunjuk Sin-tong."
"Ha-ha, bagus, engkau tahu diri juga. Nah, siapa orang kedua yang akan mencoba ilmu silatnya!" kata Hay Hay sengaja berlagak dan senyumnya melebar ketika dia mengerling dan melihat betapa Pek Eng merengut dan mengerutkan alisnya.
Kemenangannya tadi agaknya membuat gadis itu tak merasa puas dan hal ini menambah kegembiraan di hati Hay Hay. Memang dia hendak mempermainkan tiga orang pendeta Lama ini, juga ingin menggoda semua orang, terutama gadis manis berlesung pipit yang amat menarik hatinya itu.
Dua orang pendeta Lama lainnya mengerutkan alis dan secara diam-diam menyesal atas kesembronoan teman mereka. Mereka berdua merasa yakin bahwa tidak mungkin teman mereka itu kalah dan dirobohkankan oleh Sin-tong, melihat betapa Sin-tong tidak pandai ilmu silat. Meski pun tendangan yang mengenai kedua lutut itu luar biasa dan aneh sekali, akan tetapi mereka yakin bahwa hal itu tentu terjadi hanya karena suatu kebetulan yang sial belaka. Kini pendeta bermuka bopeng yang melangkah maju lantas menjura kepada Hay Hay.
"Biarlah pinceng yang kini mohon petunjuk Sin-tong. Pinceng akan mengeluarkan semua kebodohan pinceng untuk menyerang Paduka dan mencoba untuk merobohkan Paduka seperti yang Paduka lakukan terhadap teman pinceng tadi."
Secara diam-diam Hay Hay memandang tajam penuh perhatian. Pendeta bermuka buruk ini terlihat cerdik sekali, dan dia tahu bahwa tentu kata-katanya bukan sekedar basa-basi, melainkan merupakan ancaman yang akan dipenuhi.
Pendeta ini tentu akan benar-benar berusaha untuk merobohkan dia tanpa mendatangkan luka berat, dan hal itu tidaklah sukar bagi seorang yang memlliki ilmu kepandaian tinggi. Maka dia harus berlaku hati-hati terhadap orang ini, pikirnya.
"Ha-ha, bagus sekali engkau mengakui kebodohanmu sehingga nanti kalau engkau gagal merobohkan aku, kebodohanmu itu tidak akan bertambah. Biar pun sampai seratus jurus, aku yakin engkau tidak akan mampu merobohkan aku."
Pek Eng dan ayah ibunya, juga kakeknya, mengerutkan alisnya. Pemuda itu sungguh luar biasa beraninya. Menentang serta mengadu kepandaian dengan pendeta-pendeta lihai itu saja sudah sangat berat dan sudah berani sekali. Akan tetapi pemuda ini masih demikian beraninya untuk membual bahwa dia sanggup melayani sampai seratus jurus!
Hal ini pun terasa oleh pendeta muka bopeng. Hemmm, pikirnya dengan gemas, belum sepuluh jurus saja tentu engkau akan roboh. Apa lagi kalau dia menghadapi pemuda ini sebagai musuh, bukan sebagai Sin-tong, mungkin dalam satu jurus saja dia akan mampu merobohkan dan membunuhnya!
"Mungkin saja Paduka jauh lebih pandai dari pada pinceng. Nah, harap Paduka bersiap. Pinceng mulai menyerang!" Setelah berkata demikian, pendeta bermuka buruk itu segera mengembangkan kedua lengannya, kemudian menggerakkan kaki tangannya menyerang ke arah Hay Hay. Serangannya itu merupakan tamparan dari kanan kiri susul menyusul, dan ketika tangan pendeta itu menyambar, terdengar suara bersiutan dan terasa oleh Hay Hay ada hawa panas sekali menyambar ke arah tubuhnya!
Hay Hay kaget sekali. Kiranya pendeta ini mengeluarkan kepandaiannya dan menyerang sungguh-sungguh dengan mengerahkan tenaga sinkang! Memang inilah maksud pendeta itu, hendak merobohkan Hay Hay, kalau mungkin melalui angin atau hawa pukulan saja, mengandalkan sinkang-nya!
"Siuuuttt...! Siuuutttt...!" Dua tamparan dengan kedua tangan menyambar dari kanan kiri, atas bawah.
"Haiiittt...! Ouuuttt... lupuutttt...!" Hay Hay sudah mengelak ke belakang, gerakannya kaku dan lucu, namun kenyataannya, dua tamparan itu memang tidak mengenai sasaran! Biar pun kaku, namun tubuh pemuda itu nampak sedemikian ringannya, seolah-olah tubuh itu berubah menjadi kapas yang dapat menjauh dan mengelak sendiri tertiup angin pukulan!
Akan tetapi kakek pendeta itu terus menerus mendesak dengan tamparan-tamparan yang lebih cepat, lebih kuat dan mengandung hawa yang lebih panas lagi. Menghadapi desakan ini, tiba-tiba saja Hay Hay nampak terhuyung-huyung, kakinya bergeser ke sana-sini, dan mulutnya nyerocos,
"Hooshhhh... heshhhh... luput lagi...!"
Dan memang benar, pukulan atau tamparan beruntun itu tidak mengenai sasaran, selalu lewat saja di kanan kiri tubuh Hay Hay, seolah-olah kakek itu yang pikun dan bodoh, tidak mampu memukul sasaran sehingga pukulannya selalu menyeleweng ke samping!
Namun kakek pendeta itu terus mendesak dengan pukulan-pukulan, tamparan-tamparan serta totokan, bahkan mulai melakukan tendangan-tendangan. Memang hebat sekali ilmu silat pendeta ini, tubuhnya bahkan mulai sukar diikuti pandang mata saking cepatnya dia bergerak.
Mula-mula masih terdengar suara ketawa disana-sini karena memang lucu sekali gerakan Hay Hay yang megal-megol, loncat sana-sini, kadang-kadang membungkuk, kadang kala hampir rebah, menungging, berjongkok, dan lain gerakan aneh dan lucu lagi. Akan tetapi kini semua orang mulai merasa tegang dan kagum. Betapa pun aneh gerakan pemuda itu namun kenyataannya semua serangan pendeta itu luput!
"Dasar manusia tolol...!" Pek Eng mencela, akan tetapi tiba-tiba tangannya dipegang oleh ayahnya yang berdiri di sampingnya.
"Anak bodoh, lihatlah baik-baik...!" bisik ayahnya dan ketua Pek-sim-pang ini, seperti juga Kakek Pek Ki Bu, menonton dengan wajah tegang dan pandang mata penuh kagum.
Pemandangan di situ memang sungguh aneh. Seorang pendeta Lama, dengan jubah dan mantel lebar berkibar-kibar, gerakannya cepat sehingga sukar mengikuti bentuk tubuhnya dengan mata, menghujankan serangan-serangan yang mendatangkan angin pukulan amat dahsyat, sedangkan pemuda yang diserangnya itu selalu dapat mengelak dengan gerakan yang aneh bukan main.
Namun, karena kini diserang dan didesak hebat, terpaksa Hay Hay tak berani main-main lagi. Biar pun gerakan-gerakannya masih dibuat-buat sehingga nampak aneh dan konyol, tetapi kedua kakinya kini mulai melakukan gerakan ilmu kesaktian yang dipelajarinya dari See-thian Lama yang dulu berjuluk Go-bi San-jin, salah seorang di antara Delapan Dewa. Gerakan ini adalah Jiauw-pouw Poan-soan, yaitu langkah-langkah berputaran yang amat aneh karena langkah-langkah ini mampu menghindarkan dirinya dari serangan-serangan berbahaya.
Gerakan tubuhnya juga mulai sukar diikuti saking cepatnya, dan mulailah para penonton memandang kagum, dan dapat menduga bahwa bukan karena nasib baik atau kebetulan saja pemuda itu tadi mempermainkan Lama pertama kemudian merobohkannya, namun karena pemuda itu memang lihai sekali!
Pendeta Lama bermuka bopeng juga amat terkejut saat melihat gerakan langkah-langkah ajaib itu. Biar pun dia sendiri tidak menguasai ilmu itu, akan tetapi dia pernah mendengar tentang langkah-langkah ajaib yang berdasarkan pada garis-garis pat-kwa yang amat luar biasa.
Akan tetapi hanya tokoh-tokoh besar yang mempunyai tingkat tinggi saja yang kabarnya dapat menguasai langkah-langkah ajaib seperti itu. Mungkinkah seorang pemuda seperti ini sudah mampu menguasainya? Dia teringat bahwa pemuda ini adalah Sin-tong, bukan pemuda sembarangan. Bagi Sin-tong tentu mungkin saja untuk menguasai ilmu apa pun!
"Hesshhh... hosshhh... tidak kena! Heii, sudah berapa ratus jurus seranganmu ini? Wahh, panasnya... gerah sekali, dan keringatmu mengeluarkan bau yang amat busuk! Tak tahan aku...!" kata Hay Hay dan tiba-tiba saja tubuhnya sudah menjauh.
Karena semenjak tadi dia mainkan ilmu langkah ajaib Jiauw-pouw Poan-soan sedangkan lawannya menyerangnya dengan cepat, maka dia pun telah mengeluarkan banyak tenaga dan tubuh bagian atas yang tidak berbaju itu kini basah oleh keringat.
Mendadak terdengar teriakan pendeta Lama yang bertubuh tinggi besar bermuka hitam, orang terlihai di antara tiga pendeta itu, "Lihat, dia bukan Sin-tong! Tanda merah itu luntur oleh keringatnya!"
Semua orang kini dapat melihat dengan jelas, ‘tahi lalat’ merah yang berada di punggung Hay Hay itu kini luntur karena keringatnya membasahi tanda yang dibuat dari tinta merah itu! Melihat ini, pendeta kurus pucat menjadi marah sekali. Dia kini tahu bahwa pemuda itu bukan Sin-tong, melainkan seorang pemuda yang memalsukan nama Sin-tong dan tadi telah mempermainkannya.
"Manusia jahat!" bentakan ini disusul oleh serangannya yang hebat.
Pendeta Lama ini agaknya sudah marah bukan main sehingga serangannya merupakan serangan maut. Dia menyerang dengan kedua ujung lengan bajunya yang menyambar bagaikan sepasang senjata yang ampuh, melakukan totokan-totokan ke arah jalan darah di bagian depan. Bertubi-tubi kedua ujung lengan baju itu menotok ke arah tujuh titik jalan darah yang dapat mendatangkan maut apa bila tepat mengenai sasaran!
"Celaka...!" Pek Ki Bu berseru kaget karena melihat betapa hebatnya serangan pendeta lama yang kurus pucat itu. Sebagai seorang ahli silat tingkat tinggi dia segera mengenal serangan maut yang amat ampuh dan berbahaya sekali.
Akan tetapi dengan gerakan yang lincah sekali Hay Hay telah mengelak ke sana-sini dan masih mempergunakan langkah-langkah ajaibnya. Kini dia pun tidak mau main-main lagi, menghadapi serangan yang sungguh-sungguh itu dia pun segera mengeluarkan segenap kepandaiannya. Dengan satu jurus pilihan dari ilmu Silat Ciu-sian Cap-pik-ciang (Delapan Belas Pukulan Dewa Arak) dia cepat membalas, tangan kanan mencengkeram ke depan dan ketika lawan mengelak ke kiri, tangan kirinya memapaki dengan tamparan.
"Plakkk...!"
Tubuh pendeta Lama yang kurus itu terpelanting! Masih untung bahwa pemuda itu tidak mempergunakan tenaga sepenuhnya sehingga tulangnya tidak sampai patah-patah ketika pundaknya kena ditampar, hanya tubuhnya saja yang terpelanting dan terbanting ke atas tanah!
Semua orang terkejut, bahkan Pek Eng memandang dengan mata terbelalak serta mulut ternganga. Gerakan pemuda itu kini nampak demikian indah dan gagah, tidak lagi ketolol-tololan seperti tadi. Dan dalam segebrakan saja pemuda itu mampu merobohkan pendeta Lama muka pucat yang demikian lihainya!
Hati Pek Eng menjadi kagum sekali dan mukanya berubah merah saat dia teringat betapa tadi dia memandang rendah pada pemuda itu. Akan tetapi kembali dia merasa menyesal karena pemuda itu bukan kakak kandungnya.
Kalau saja pemuda itu kakak kandungnya, tentu dia sudah bersorak karena senang dan bangganya mempunyai seorang kakak yang begitu lihainya. Akan tetapi pemuda itu jelas bukan Pek Han Siong, karena bukankah tanda merah di punggungnya itu palsu belaka?
Sementara itu orang-orang Pek-sim-pang menjadi gembira bukan main, sebab itu mereka bertepuk tangan memuji, senang bahwa pendeta Lama yang mereka benci itu sudah ada yang menandingi. Pendeta Lama bermuka bopeng menjadi amat terkejut, akan tetapi juga marah melihat temannya roboh. Maka dia pun mengeluarkan suara menggereng dahsyat lantas tubuhnya telah menerjang maju dengan cepat dan kedua tangannya mengeluarkan uap putih ketika dia melancarkan pukulan-pukulan maut yang mengandung angin pukulan dahsyat sampai debu mengepul di sekitarnya.
Hay Hay kembali mengeluarkan kelihaiannya. Dengan gerakan yang gagah serta lincah, tubuhnya mengelak sambil tangannya menangkis dari atas ke bawah. Dua buah lengan yang mengandung tenaga sinkang bertemu dengan kerasnya.
"Dukkk!"
Akibatnya, tubuh pendeta Lama itu tergetar dan terhuyung, sedangkan Hay Hay masih berdiri tegak. Pendeta Lama bermuka bopeng itu maklum bahwa pemuda ini ternyata kuat bukan kepalang!
"Orang muda, siapakah engkau sebenarnya? Mengapa engkau mencampuri urusan kami dengan Pek-sim-pang?" dia bertanya sebab hatinya menjadi ragu memperoleh kenyataan bahwa pemuda yang sakti ini bukanlah Sin-tong dan sungguh tidak baik untuk menanam permusuhan dengan golongan lain. Juga dia perlu mengenal lawan yang tangguh ini agar urusan menjadi jelas.
Hay Hay tersenyum lalu dengan amat tenang dia kini mengenakan kembali bajunya yang tadi dilepas, sikapnya seperti tidak sedang menghadapi ancaman dari tiga orang pendeta Lama yang lihai.
"Sam-wi Losuhu adalah tiga orang tokoh dari Tibet, namun ingin mengenal namaku? Aku bernama Hay Hay dan aku akan mencampuri urusan siapa saja apa bila kulihat ada orang menggunakan kepandaian untuk memaksa para orang gagah di sini. Keluarga Pek yang gagah perkasa ini dengan jujur telah mengatakan bahwa mereka tak tahu tentang putera mereka, akan tetapi kenapa Sam-wi hendak memaksa dan mempergunakan kepandaian untuk menekan? Tentu saja aku tidak dapat tinggal diam saja.”
"Bocah sombong, engkau sengaja hendak menentang kami? Siapakah gurumu?" bentak pula pendeta Lama bermuka bopeng. Melihat sikap ini, Hay Hay mengerutkan sepasang alisnya, akan tetapi dia masih tersenyum.
"Locianpwe, aku tidak perlu membawa nama suhu-suhu-ku yang mulia dalam urusan ini. Pergilah saja pulang ke Tibet dan jangan mengotorkan nama besar para pendeta Lama dengan perbuatan kekerasan yang tidak patut dilakukan pendeta-pendeta yang suci."
"Keparat sombong!" Tiba-tiba pendeta Lama yang bertubuh tinggi besar sudah menerjang ke depan. Tubuhnya menyerang bagaikan seekor gajah marah. Angin besar terasa oleh orang banyak ketika tubuh yang tinggi besar itu menerjang maju dan bertubi-tubi kedua lengan panjang dan kaki panjang itu menyerang dengan pukulan dan tendangan ke arah Hay Hay.
Kembali semua orang menonton dengan hati tegang, terutama sekali Pek Ki Bu dan Pek Kong yang memiliki ilmu silat lebih tinggi dari pada orang-orang Pek-sim-pang sehingga mereka berdua dapat mengikuti perkelahian itu lebih teliti lagi. Mereka maklum alangkah lihainya tiga orang pendeta itu, maka tentu saja mereka mengkhawatirkan keselamatan pemuda yang berpihak kepada mereka itu.
Akan tetapi sekali ini Hay Hay tidak berani main-main lagi. Dia pun tahu bahwa meski pun ilmu silatnya masih lebih tinggi dari pada mereka bertiga, tetapi dia kalah pengalaman dan tiga orang pendeta itu merupakan lawan yang sama sekali tidak boleh dipandang ringan. Dia pun cepat menggerakkan kakinya, mengelak ke sana-sini dengan cepat bukan main.
Dia masih tetap mempergunakan Jiauw-pouw Poan-soan untuk menghindarkan terjangan dahsyat dari pendeta Lama tinggi besar itu. Dengan amat lincah tubuhnya berloncatan ke sana-sini, kadang-kadang tubuhnya melejit-lejit, kedua kakinya digeser secara aneh dan ke mana pun tangan dan kaki pendeta tinggi besar itu menyambar, tubuh Hay Hay selalu dapat mengelak dengan gerakan indah dan tepat sekali.
Melihat betapa semua serangan dari pendeta tinggi besar itu tak mampu mengenai tubuh lawan, dua orang pendeta Lama lainnya cepat maju sehingga kini Hay Hay dikeroyok oleh mereka bertiga!
Tentu saja Hay Hay menjadi repot bukan main! Tiga orang pendeta itu adalah tokoh-tokoh tingkat tiga dari Tibet, sekarang maju bersama. Tentu saja gabungan tiga tenaga itu amat kuatnya. Akan tetapi Hay Hay masih mampu mengelak, menangkis, bahkan ada kalanya membalas dengan serangan-serangan yang membuat tubuh tiga orang lawannya kadang kala harus terhuyung ke belakang.
Tepuk sorak makin riuh menyambut kehebatan Hay Hay menghadapi pengeroyokan tiga orang pendeta itu. Keluarga Pek kini melongo. Biar pun mereka telah tahu bahwa pemuda yang mengaku Sin-tong itu amat lihai, namun mereka tidak pernah dapat membayangkan bahwa pemuda itu ternyata sanggup menghadapi pengeroyokan tiga orang pendeta Lama yang demikian lihainya.
"Anak itu luar biasa sekali...!" Pek Ki Bu sampai berseru saking kagumnya.
Pek Eng memandang dengan muka merah. Pemuda yang demikian lihainya, jauh lebih lihai dari ayahnya, bahkan dari kakeknya sendiri, dan dia tadi sudah menantang pemuda itu! Jika pemuda itu menghendaki, agaknya dalam segebrakan saja tentu dia akan roboh!
Perkelahian itu berlangsung dengan sangat cepat. Tiga orang pendeta Lama itu memang tangguh sekali, apa lagi mereka sekarang maju bertiga. Bahkan kini pendeta kurus pucat menggunakan kedua ujung lengan bajunya, pendeta muka bopeng mengeluarkan sebuah kipas sebagai senjata sedangkan pendeta tinggi besar mengeluarkan seuntai tasbeh yang dipergunakan sebagai senjata.
Hay Hay yang mengandalkan ilmu langkah ajaibnya menjadi kewalahan dan terpaksa dia pun mempergunakan Ilmu Yan-cu Coan-in sehingga dia bisa mengerahkan ginkang (ilmu meringankan tubuh) sepenuhnya. Tubuhnya kadang-kadang lenyap saking cepatnya dia bergerak, menyelinap di antara gulungan sinar senjata yang terus menyambar-nyambar dan mengepungnya. Para penonton menjadi kabur pandangan mereka, dan tidak mampu lagi mengikuti gerakan empat orang itu dengan jelas.
Hay Hay tidak mau melukai tiga orang pendeta Lama itu, apa lagi membunuh mereka. Hal inilah yang membuat dia semakin kewalahan. Tiga orang lawan itu menyerangnya dengan sungguh-sungguh, dengan serangan-serangan maut, ada pun dia hanya mempertahankan diri saja, dan serangan balasannya bukan ditujukan untuk merobohkan lawan, melainkan untuk membendung banjir serangan itu. Tentu saja keadaan seperti itu benar-benar tidak menguntungkan dan dia pun kini terdesak dan tertekan, berada dalam ancaman bahaya.
Maklum bahwa kalau dia terus melayani tiga orang lawan itu akhirnya dia tentu terpaksa melukai mereka karena kalau tidak dia sendiri yang akan celaka, Hay Hay lalu mengambil keputusan untuk mencoba ilmu barunya yang belum lama ini dipelajarinya dari Pek Mau San-jin selama satu tahun. Diam-diam dia mengerahkan tenaga batinnya lantas mulutnya berkemak-kemik membaca mantera, kemudian dia melompat jauh ke belakang sampai kurang lebih enam meter. Ketika tiga orang lawannya mengejar, dia berseru dan suaranya lembut namun mengandung getaran yang amat kuat.
"Heii, tiga orang pendeta Lama dari Tibet, buka mata kalian dan lihat baik-baik siapa aku. Aku adalah Sin-tong yang siap untuk ikut dengan kalian ke Tibet menghadap Dalai Lama!"
Semua orang terkejut karena ucapan itu seperti memaksa mereka untuk percaya bahwa pemuda itu benar-benar Sin-tong. Bahkan Souw Bwee telah berseru dengan hati terharu. "Anakku Pek Han Siong !" Akan tetapi tangannya keburu dipegang oleh Pek Kong yang tidak ingin melihat isterinya lari kepada pemuda itu.
Bagaimana pun juga, pengaruh suara Hay Hay itu tidak begitu hebat terhadap mereka karena ditujukan kepada tiga orang pendeta Lama. Tiga orang pendeta Lama itulah yang langsung menerima serangan ilmu sihir dari Hay Hay.
Mendadak mereka bertiga mengubah sikap mereka, menyimpan senjata masing-masing, lantas mereka menjura dengan hormat kepada Hay Hay! Bahkan pendeta muka bopeng yang agaknya menjadi juru bicara mereka, segera berkata dengan sikap hormat sekali,
"Marilah, Sin-tong, pinceng bertiga datang untuk menjemput kemudian mengantar Paduka ke Lasha di Tibet."
Hay Hay masih memandang dengan sinar mata mencorong, kemudian dia berkata, "Aku lelah sekali, aku mau ke Tibet asal digendong."
"Pinceng selalu siap menggendong Paduka!" berkata pendeta Lama yang tubuhnya tinggi besar, siap untuk menggendong Hay Hay.
Hay Hay lalu mengambil sebongkah batu besar yang berada tidak jauh dari situ kemudian meletakkan batu itu di depannya. Kembali suaranya mengandung getaran kuat sekali saat dia berkata, "Sin-tong telah siap, angkat dan pondonglah ke Tibet!"
Suara itu mengandung kekuatan yang luar biasa, dan kakek pendeta Lama yang tinggi besar itu kini menghampiri batu dan segera mengangkat dan memondongnya, dipandang oleh dua orang rekannya. Kemudian, mereka bertiga lalu membalikkan tubuh dan berjalan hendak pergi meninggalkan tempat itu, Si Pendeta Tinggi Besar masih memondong batu besar tadi.
Tentu saja peristiwa itu membuat semua orang terheran-heran. Mereka merasa seperti sedang menonton pertunjukan sandiwara di panggung saja, atau pertunjukan pelawak. Melihat betapa pendeta tinggi besar itu menggendong batu besar bagaikan menggendong tubuh Sin-tong seperti yang tadi diucapkan oleh pemuda itu, beberapa orang tidak dapat menahan ketawanya, mereka tertawa karena merasa heran dan juga lucu. Suara ketawa amat mudah menular sehingga tak lama kemudian meledaklah suara ketawa.
Suara ketawa ini memiliki kekuatan dan membuyarkan pengaruh sihir atas diri tiga orang pendeta itu. Tiba-tiba saja Si Pendeta Tinggi Besar berteriak kaget dan memandang batu dalam pondongannya, juga dua orang temannya terbelalak.
"Omitohud... Si Keparat!" teriak pendeta tinggi besar dan dia pun membalik, kemudian dia melontarkan batu besar itu ke arah Hay Hay! Lontaran ini mengandung tenaga yang amat kuat, membuat batu besar itu meluncur cepat seperti sebuah peluru meriam yang sangat besar menuju ke arah tubuh Hay Hay.
Pemuda ini terkejut. Jika dia mengelak, maka batu itu tentu akan menyerang murid-murid Pek-sim-pang yang berada di belakangnya. Kalau menerimanya, dia khawatir tenaganya tidak mampu menahan lajunya lontaran itu. Jalan satu-satunya hanyalah menyambut batu itu dengan pukulan.
Hay Hay segera mengerahkan tenaga sinkang-nya dan begitu batu menyambar sampai di depannya, dia pun memukul batu itu dengan tangan miring, menggunakan tangan kirinya yang mengandung tenaga sepenuhnya itu.
"Darrrrr...!"
Batu besar itu pecah berhamburan, pecahannya yang kecil-kecil melesat ke mana-mana, akan tetapi tidak berbahaya lagi andai kata mengenai orang-orang yang berada di sekitar tempat itu. Kembali semua orang memuji dengan sorak dan tepuk tangan!
Kini tiga orang pendeta Lama itu sudah maju lagi menghampiri Hay Hay dengan pandang mata penuh kemarahan dan dendam. Akan tetapi begitu tiba di depan pemuda itu, Hay Hay segera membentak,
"Kalian bertiga mau apa?! Lihat baik-baik, aku adalah Dalai Lama!"
Dan ketiga orang pendeta itu tiba-tiba saja menjatuhkan diri berlutut di hadapan Hay Hay sambil memberi hormat. Tentu saja para murid Pek-sim-pang terkejut dan terheran-heran semua, akan tetapi mereka kini mulai mengerti bahwa pemuda yang luar biasa itu tentu telah mempergunakan ilmu sihir!
Karena mereka dapat menduga bahwa tiga orang pendeta itu kini tentu melihat pemuda itu berubah menjadi Dalai Lama, tentu saja mereka merasa geli sehingga kembali mereka tertawa-tawa. Suara ketawa ini kembali membuyarkan kekuatan sihir. Suara orang banyak memang mengandung kekuatan yang luar biasa. Tiga orang pendeta itu segera sadar.
Pendeta kurus pucat meloncat dan menerjang, akan tetapi disambut tamparan oleh Hay Hay yang membuat dia terpelanting jatuh. Orang kedua, yang bermuka bopeng, maju dan disambut tendangan yang membuatnya terjungkal pula. Pendeta tinggi besar menerkam Hay Hay, dan dia pun terpelanting oleh pukulan tangan kiri Hay Hay yang menyambutnya.
Tiga orang pendeta itu tak terluka dan mereka telah bangkit lagi, siap untuk mengeroyok. Sementara itu, para murid Pek-sim-pang memandang kagum melihat betapa pemuda itu merobohkan tiga orang Lama itu satu demi satu.
"Hemm, kalian ini tiga orang pendeta Lama sungguh tak tahu malu, berdiri di sini dengan telanjang bulat! Tak tahu malu!"
Para murid Pek-sim-pang mulai mengerti bahwa suara tawa mereka dapat membuyarkan kekuatan sihir pemuda itu. Kini mereka tidak mau tertawa lagi, bahkan dengan suara bulat mereka pun mengejek. "Tak tahu malu!"
Tiga orang pendeta Lama itu memandang kepada tubuh masing-masing, kemudian saling pandang dengan dua mata terbelalak. Suara orang banyak itu memperkuat pengaruh sihir yang dilancarkan Hay Hay sehingga mereka bertiga melihat betapa mereka benar-benar sedang telanjang bulat. Dengan perasaan malu bukan main, ketiganya lalu menggunakan kedua tangan, sedapat mungkin menutupi bagian tubuh di bawah pusar, dan seperti tiga ekor anjing yang ketakutan, mereka pun lari meninggalkan tempat itu.
Pemandangan yang amat lucu ini tentu saja membuat semua orang tertawa, tanpa dapat ditahan lagi mereka tertawa. Namun sekali ini, walau pun suara ketawa itu membuyarkan pengaruh sihir sehingga tiga orang pendeta Lama itu melihat bahwa sebenarnya mereka tidak telanjang, akan tetapi mereka maklum bahwa mereka tak akan menang menghadapi pemuda luar biasa itu. Kini mereka pun sudah agak jauh, maka dari pada menderita malu lebih parah lagi, ketiganya lantas melarikan diri tanpa menoleh lagi, diiringi suara ketawa banyak orang.
Kini Pek Ki Bu sudah menghampiri pemuda itu, memandang penuh perhatian kemudian bertanya, suaranya sungguh-sungguh,
"Orang muda, sebenarnya siapakah engkau? Benarkah engkau Sin-tong?"
Hay Hay cepat memberi hormat. Teringat dia akan nasibnya di waktu kecil, oleh keluarga ini dia diambil dan dibiarkan menjadi Sin-tong dalam pandangan banyak orang sehingga dia diperebutkan. Maka dia pun tidak membohong ketika dia mengangguk dan menjawab,
"Benar, Locianpwe. Saya adalah Sin-tong..."
Semua orang yang tadi melihat tanda merah pada punggung itu luntur, kemudian melihat betapa pemuda ini pandai ilmu sihir, mengira bahwa lunturnya tanda merah itu pun hanya karena pengaruh sihir saja, maka muncul kembali harapan dan dugaan bahwa pemuda ini memang benar Pek Han Siong. Maka, jawaban Hay Hay yang membenarkan bahwa dia adalah Sin-tong, membuat Pek Eng berteriak dengan girang dan bangga sekali.
"Koko...! Ahh, kiranya engkau kakakku Pek Han Siong! Koko...!" Dan saking girang dan bangganya, Pek Eng lari menghampiri, merangkul leher pemuda itu dan mencium pipinya! Ketika merasa betapa pipinya dingok oleh gadis manis itu, dengan girang sekali Hay Hay membalas pula dengan dua kali ngok pada kedua pipi Pek Eng!
"Anakku...!" Souw Bwee juga lari dan merangkul leher Hay Hay, mencium dahi pemuda itu.
Hay Hay hanya menyeringai saja dirangkul dua orang wanita itu. Kalau Pek Eng yang merangkul dan menciuminya, biar sehari pun dia tidak akan merasa keberatan dan akan membiarkannya saja, akan tetapi melihat nyonya itu pun menyangka bahwa dia Pek Han Siong, hati Hay Hay merasa tidak enak.
Tidak baik mempermainkan seorang nyonya yang sedang kehilangan puteranya, pikirnya. Maka dengan halus dia pun melepaskan diri dari rangkulan nyonya itu tanpa melepaskan rangkulan Pek Eng di pundaknya serta rangkulan lengannya sendiri pada pinggang yang ramping itu, kemudian dia berkata halus,
"Maaf, sungguh menyesal sekali saya harus mengecewakan cuwi (Anda Sekalian) sebab sesungguhnyalah saya bukanlah Pek Han Siong. Nama saya Hay Hay."
"Aihhh...!" Souw Bwee mundur tiga langkah, mukanya berubah pucat, dan Pek Eng juga cepat melepaskan rangkulannya lantas melangkah mundur dengan muka berubah merah sekali.
"Tapi kau... kau...!" teriaknya
"Ya, aku kenapakah, adik yang baik?"
"Kalau engkau bukan kakakku, aku pun bukan adikmu! Kalau engkau bukan Kakak Pek Han Siong, lalu kenapa kau... kau... kau... tadi menciumku..."
Hay Hay memandang wajah yang manis itu sambil tersenyum. Bukan main indahnya mata dan mulut itu, pikirnya. Wajah yang manis sekali, walau pun kulitnya agak gelap seperti terlalu banyak terbakar sinar matahari, namun bahkan menambah manisnya dan kulit itu pun halus dan betapa hangatnya ketika kedua lengan itu tadi merangkul lehernya, ketika hidung dan bibir itu tadi menyentuh pipinya.
Sepasang mata yang agak sipit itu indah sekali bentuknya, dengan kedua ujung di kanan kiri meruncing seperti dilukis, bulu matanya panjang melengkung, alisnya hitam panjang. Manisnya hidung itu, kecil dan ujungnya agak naik seperti menantang, membuat wajah itu tampak mungil dan lucu penuh kelincahan. Bibir yang merah basah itu terlihat segar tanda kesehatan yang sempurna, dan dipermanis lagi oleh sebuah lesung pipit di pipi kiri. Gadis yang lincah jenaka, galak dan manja, dan memiliki daya tarik amat kuatnya.
"Heeiii! Lakas jawab pertanyaanku, jangan longang-longong seperti kerbau tolol!" Pek Eng memaki karena dia merasa kecelik, marah dan malu telah berciuman dengan pemuda itu di depan orang banyak lagi!
"Nona, aku tidak pernah mengaku sebagai kakakmu. Sejak semula aku memperkenalkan namaku, yaitu Hay Hay, bukan Pek Han Siong. Dan tentang ciuman itu... ehhh, siapakah yang memulai lebih dulu, Nona?"
Wajah itu menjadi semakin merah saking malunya, karena harus diakuinya bahwa dialah yang tadi memeluk dan mencium dengan hati penuh keyakinan bahwa pemuda ini adalah kakak kandungnya.
"Kau... kau... memang laki-laki kurang ajar, laki-laki mata keranjang...!" Dia memaki dan kedua tangannya telah dikepal karena saking malu dan marahnya dia hendak menyerang pemuda itu.
"Eng-ji, jangan!" bentak Pek Kong kepada puterinya. "Mundurlah!"
Biar pun hatinya masih panas sekali, Pek Eng mundur juga dibentak ayahnya. Pek Kong lalu melangkah maju menghadapi pemuda itu. Sejenak dia memandang penuh perhatian dan penuh selidik, kemudian dia bertanya, "Orang muda, kalau engkau bukan puteraku Pek Han Siong, bagaimana engkau dapat mengaku bahwa engkau adalah Sin-tong?"
Jantung Hay Hay berdebar tegang ketika dia memandang laki-laki gagah di depannya itu. Seorang laki-laki berusia empat puluh tahun lebih, bertubuh tegap dan berwajah tampan dan gagah, pembawaannya penuh wibawa dan matanya bersinar tajam. Dia tahu bahwa laki-laki inilah yang pernah menjadi ayahnya, ayah angkat mungkin, dan bahwa laki-laki ini sajalah yang tahu tentang riwayat dirinya! Cepat dia memberi hormat.
"Apakah saya berhadapan dengan Pek-pangcu, Ketua Pek-sim-pang?" tanyanya.
"Benar, aku adalah ketua Pek-sim-pang bernama Pek Kong."
"Ahhh, Pangcu. Justru pertanyaan tadi itulah yang mendorong saya untuk berkunjung ke sini, karena hanya Pangcu yang akan dapat menjawabnya."
"Maksudmu?" tanya Pek Kong terbelalak.
Pek Ki Bu yang tidak menghendaki percakapan itu dilakukan di tempat terbuka sehingga terdengar oleh semua murid Pek-sim-pang, segera melangkah maju dan berkata. "Lebih baik kita bicara saja di dalam. Bagaimana pun juga, orang muda ini telah menyelamatkan kita dari keadaan yang tidak enak sekali tadi. Marilah, orang muda, mari kita masuk untuk berbicara di dalam."
Hay Hay mengangguk, tapi kakinya ragu-ragu melangkah karena pada saat dia menoleh kepada Pek Eng, dia melihat gadis itu berdiri melotot kepadanya dan seolah-olah gadis itu tidak rela menerimanya sebagai tamu di rumahnya. Melihat pemuda itu seperti ragu-ragu, kemudian mengikuti pandang mata pemuda itu dan melihat sikap puterinya, Nyonya Souw Bwee lalu menggandeng tangan puterinya.
"Eng-ji, mari kita masuk dulu dan mempersiapkan hidangan untuk menyambut tamu!"
Pek Eng tidak dapat membantah dan ditarik ibunya masuk lebih dulu. Hay Hay melempar senyum kepadanya dan gadis itu membuang muka, membuat senyum Hay Hay menjadi semakin lebar.
Sekarang mereka duduk berhadapan mengelilingi sebuah meja besar di ruang belakang. Setelah memerintahkan pelayan mempersiapkan hidangan, nyonya Souw Bwee ikut pula duduk karena dia ingin sekali mendengar penuturan pemuda itu. Pek Eng juga ikut duduk, akan tetapi dia duduk agak di belakang, tidak mau berdekatan dengan pemuda itu.
"Nah, sekarang ceritakan kepada kami tentang dirimu dan tentang pengakuanmu sebagai Sin-tong tadi, orang muda," kata Pek Kong.
Sejenak Hay Hay memandang kepada wajah mereka, seorang demi seorang. Mula-mula dipandangnya wajah Pek Kong, kemudian Souw Bwee, kemudian wajah kakek Pek Ki Bu, dan dia melirik kepada Pek Eng yang duduk di belakang orang tuanya. Setelah itu dia pun berkata,
"Saya sendiri tidak tahu siapa saya ini sebenarnya. Setahu saya, saya bernama Hay Hay dan saya dianggap Sin-tong, diperebutkan banyak orang. Saya tahu bahwa jawabannya terletak dalam rahasia keluarga Pek, karena semenjak bayi saya dianggap sebagai putera keluarga Pek. Kemudian ketika masih bayi, saya diculik orang dari tangan keluarga Pek, ditukar dengan bayi mati dan..."
"Ahhhh...!" Pek Kong dan isterinya berteriak kaget sehingga Hay Hay lalu menghentikan ceritanya dan memandang kepada dua orang suami isteri itu dengan sinar mata penuh harap dan permohonan.
"Karena itu, Pangcu, saya sengaja datang mencari Pek-sim-pang untuk bertanya tentang rahasia diri saya ini kepada Pek-pangcu. Siapakah saya ini sesungguhnya, dan mengapa menjadi putera keluarga Pek lalu diculik orang?"
"Ah, kiranya engkau anak yang malang itu...!" Tiba-tiba Pek Ki Bu berseru kemudian dia menggeleng-gelengkan kepala saking takjubnya. Anak itu kini muncul dan menuntut agar diceritakan asal-usulnya.
"Baiklah, kami akan ceritakan semuanya kepadamu. Memang telah menjadi hakmu untuk mengetahui segalanya tentang dirimu, anak yang malang," kata Pek Kong.
Dengan jantung berdebar dan muka agak pucat karena saat inilah yang dinanti-nantikan selama bertahun-tahun ini, Hay Hay memandang kepada Ketua Pek-sim-pang itu, siap mendengarkan semua cerita yang akan keluar dari mulut Pek Kong.
Pek Kong lalu menceritakan peristiwa yang terjadi kurang lebih dua puluh satu tahun yang lalu ketika isterinya, Souw Bwee mengandung dan pada waktu itu Pek-sim-pang masih berada di Nam-co, di daerah Tibet. Kandungan isterinya itu menimbulkan masalah karena para Lama di Tibet meramalkan bahwa anak yang dikandung adalah Sin-tong dan kelak harus diserahkan kepada para pendeta Lama untuk dirawat dan dididik, karena sesudah dewasa Sin-tong akan menjadi Dalai Lama. Pek Kong dan isterinya kemudian melarikan diri mengungsi ke timur.
"Pada saat kelahiran putera kami itulah engkau muncul," Pek Kong melanjutkan ceritanya yang didengarkan dengan penuh perhatian oleh Hay Hay. "Pada waktu itu kakekku, yaitu Kakek Pek Khun, melihat seorang ibu muda bunuh diri di laut bersama puteranya. Kakek Pek Khun berhasil menyelamatkan anak laki-laki itu, akan tetapi ibu muda itu meninggal dunia sesudah meninggalkan sedikit pesan. Bayi laki-laki yang diselamatkan oleh Kakek Pek Khun itu..."
“Sayalah bayi itu!" kata Hay Hay, wajahnya agak pucat dan suaranya gemetar.
"Betul sekali! Engkaulah bayi laki-laki itu. Karena putera kami sedang terancam dan dicari para Lama, maka putera kami itu dibawa pergi dan disembunyikan oleh Kakek Pek Khun, sedangkan engkau lalu kami pelihara sebagai gantinya. Akan tetapi, tidak lama kemudian engkau diculik orang dan sebagai gantinya, di tempat tidurmu diletakkan seorang bayi lain yang sudah mati. Dua orang penjagamu juga dibunuh oleh penculik itu."
"Hemmm, Lam-hai Siang-mo...!" kata Hay Hay.
"Apa maksudmu?" tanya Pek Kong.
"Yang menculik saya pada waktu bayi itu adalah suami isteri Lam-hai Siang-mo."
"Ahh, kiranya Siangkoan Leng dan Ma Kim Li?" kata Pek Ki Bu mengepal tinju. "Jika aku tahu tentu ketika itu kucari mereka. Mereka begitu kejam, membunuh anak sendiri untuk ditukar denganmu, dan membunuh dua orang penjaga."
"Mereka memang orang-orang kejam dan jahat. Mereka lalu merawat saya sehingga sejak kecil saya menganggap bahwa mereka adalah ayah dan ibu saya. Akan tetapi pada waktu saya berusia tujuh tahun, muncul suami isteri Goa Iblis Pantai Selatan..."
"Kwee Siong Si Tangan Maut dan Tong Ci Ki Si Jarum Sakti?" tanya Kakek Pek Ki Bu yang agaknya mengenal tokoh-tokoh persilatan di selatan.
"Benar," kata Hay Hay. "Mereka merampas saya dan mulailah saya dijadikan perebutan. Ketika itu baru saya mendengar bahwa saya bukanlah anak kandung Lam-hai Siang-mo, melainkan anak kandung keluarga Pek. Akan tetapi, setelah kemudian orang tahu bahwa tidak ada tanda merah di punggung saya, saya pun mengerti bahwa sesungguhnya saya bukanlah putera kandung keluarga Pek, dan bahwa rahasia mengenai diri saya berada di sini, di antara keluarga Pek. Karena itu, saya mohon kepada Cu-wi agar suka membuka rahasia itu. Siapakah saya? Siapakah ibu saya yang dahulu membunuh diri di lautan itu dan siapa pula ayah saya?"
Pek Ki Bu saling pandang dengan putera dan mantunya. Pek Kong mengangguk lalu dia berkata, "Tunggulah sebentar, saya ingin mengambil sesuatu dari dalam kamar." Dia pun pergi dan tak lama kemudian kembali lagi ke ruangan itu.
"Ketahuilah, orang muda. Sebelum wanita muda yang membunuh diri itu tewas, ia sempat meninggalkan pesan kepada kakek Pek Khun. Dia sempat bercerita pada saat terakhir itu bahwa dia membunuh diri karena ingin melarikan diri dari aib."
"Ahhh...” Hay Hay menahan napas dan Souw Bwee memandang kepadanya dengan sinar mata penuh rasa iba. Sedangkan Pek Eng yang juga belum pernah mendengar cerita itu, ikut mendengarkan dengan hati tertarik.
"Menurut pengakuannya, ibu muda itu adalah seorang gadis yang diperkosa dan dipaksa oleh seorang laki-laki..." Pek Kong tidak tega untuk mengatakan bahwa pemerkosa itu seorang jai-hwa-cat (penjahat pemerkosa wanita), "Dan ketika wanita itu mengandung lalu melahirkan anak karena hubungan itu, dia tidak kuat menghadapi aib itu lantas mencoba membunuh diri bersama anaknya itu. Lelaki yang menjadi... ayah kandungmu itu adalah seorang yang memiliki she (bernama keturunan) Tang..."
"Hemm, jadi saya she Tang? Tang Hay...?" kata Hay Hay seperti kepada dirinya sendiri dengan hati sangat tidak enak rasanya. Ibunya diperkosa orang sampai mengandung dan melahirkan dia. Dia seorang anak haram! Anak yang lahir dari perkosaan. Jadi ayahnya adalah seorang yang amat jahat, she Tang!
"Dan di manakah adanya ayah saya yang she Tang itu?"
Pek Kong menggelengkan kepala sambil merogoh saku jubahnya. "Kami juga tidak tahu, hanya ibumu dalam pesan terakhir itu menyerahkan benda ini kepada Kakek Pek Khun. Katanya benda ini adalah milik ayahmu, orang she Tang itu, dan ibumu berpesan supaya engkau mencarinya..." Pek Kong menyerahkan benda itu kepada Hay Hay.