Pendekar Mata Keranjang Jilid 21

Serial pedang kayu harum episode pendekar mata Keranjang jilid 21 karya Kho Ping Hoo
Sonny Ogawa
KEMBALI para pendeta Lama itu saling pandang dan kini mereka terbelalak, baru terkejut dan dapat menduga bahwa pemuda itu tentu memiliki kekuatan gaib yang hebat sehingga serangan mereka tadi, yang dilakukan susul-menyusul dengan tenaga gabungan mereka, sedikit pun tidak berbekas!

"Sudahlah, Cu-wi Losuhu, jangan memaksaku. Kalau dipaksakan, segala sesuatu di dunia ini akan berakibat buruk. Harap Cu-wi pergi dan jangan mengganggu aku lagi."

"Baik, pinceng pergi...," kata pendeta kurus yang menjadi pimpinan.

"Kami pergi..."

"Kami pergi..."

Lima orang itu tiba-tiba saja menundukkan kepala dan membalikkan tubuh, hendak pergi meninggalkan Han Siong. Akan tetapi baru beberapa langkah mereka lantas sadar bahwa mereka sudah kehilangan kemauan sehingga tanpa mereka kehendaki mulut mereka tadi mengeluarkan kata-kata itu dan kaki mereka hendak membawa mereka pergi.

"Omitohud...!" Mereka berseru dan kembali membalikkan tubuh.

Kini menghadapi Han Siong dengan mata terbelalak penasaran dan alis berkerut. Tahulah mereka bahwa ketika berkata-kata tadi, Pek Han Siong sudah mempergunakan kekuatan sihir pula yang membuat mereka berlima terpengaruh!

"Pek Han Siong!" kata pendeta kurus yang menjadi pimpinan, "biar pun engkau Sin-tong dan kami berlima tidak akan berani kurang ajar terhadapmu, akan tetapi saat ini engkau adalah seorang yang diharuskan oleh pimpinan kami untuk turut ke Tibet. Oleh karena itu terpaksa kami akan menggunakan kekerasan membawamu ke Tibet!" Berkata demikian, tiba-tiba seorang di antara mereka yang bertubuh tinggi besar seperti raksasa, menubruk Han Siong dari belakang.

Han Siong tidak mengelak sehingga dua buah lengan yang besar dan panjang itu sudah memeluknya dari belakang dalam tangkapan yang amat kuat seperti dua ekor ular melibat tubuhnya, membuat Han Siong tidak mampu bergerak lagi. Pimpinan para Lama itu cepat melangkah maju lantas sekali menotok dengan jari tangannya ke arah pundak, tubuh Han Siong segera menjadi lumpuh dan tidak dapat berkutik lagi.

Lima orang pendeta Lama itu merasa girang dan lega, tertawa senang karena mereka tak menyangka bahwa pemuda itu dapat ditangkap semudah itu. Kiranya pemuda itu hanya pandai ilmu sihir saja namun sama sekali tidak pandai ilmu silat!

"Bagus, mari kita bawa dia!" kata kakek tinggi kurus yang memimpin rombongan itu.

Si Raksasa segera memanggul tubuh yang sudah tak berdaya itu dan mereka pun berlari cepat meninggalkan tempat itu, khawatir kalau-kalau sampai diketahui oleh orang-orang Pek-sim-pang sehingga akan timbul keributan.

Akan tetapi, baru dua ratus langkah mereka lari, tiba-tiba pimpinan pendeta itu bertanya heran. "Ehh, mana Lung Ti Lama?"

Mendengar ini, teman-temannya berhenti kemudian menengok ke kanan kiri. Memang Si Pendek Lung Ti Lama, seorang di antara mereka, tidak kelihatan dan mereka kini hanya berempat! Berlima dengan tawanan mereka. Pendeta kurus yang menjadi pimpinan cepat memandang ke arah tawanan yang masih dipanggul oleh temannya yang tinggi besar dan seketika wajahnya menjadi pucat.

"Celaka, yang kau panggul itu adalah Lung Ti Lama!" teriaknya.

Si Tinggi Besar terkejut sekali, lalu menurunkan tubuh yang dipanggulnya dan benar saja, ternyata yang ditawan dan ditotok tadi adalah salah seorang teman mereka sendiri, yaitu pendeta Lama bertubuh pendek itu! Tentu saja empat orang pendeta itu menjadi terkejut bukan main dan pimpnan Lama cepat membebaskan totokan dari tubuh Si Pendek. Lung Ti Lama mengeluh dan mengusap-usap pundaknya yang terasa kaku sambil mengomel panjang pendek.

"Bagaimana bisa tahu-tahu engkau yang menjadi tawanan? Padahal tadi kami menangkap Sin-tong!" tegur pendeta tinggi itu.

"Sin-tong apa?" Si Pendek mengomel. "Kalian bahkan mengeroyok aku dan menangkap aku."

Semua pendeta maklum bahwa kembali Sin-tong mempergunakan sihir yang sangat kuat sehingga mereka berlima dapat dipermainkan. Ketika mereka menengok, mereka melihat pemuda itu telah melangkah lagi akan melanjutkan perjalanan memasuki perkampungan.

"Tangkap dia!" bentak pimpinan Pendeta Lama dan mereka pun segera berloncatan dan mengepung Han Siong yang masih bersikap tenang.

"Kalian adalah pendeta-pendeta yang tidak tahu diri." Han Siong menegur. "Mengganggu orang yang tidak bersalah sama sekali."

Akan tetapi lima orang pendeta itu tak lagi memberi kesempatan kepada Han Siong untuk banyak cakap dan mereka pun langsung menerjang dan menyerang. Tiga orang memakai tongkat hitamnya dan dua orang lagi mempergunakan tasbeh yang menyambar dengan dahsyat.

Melihat permainan senjata mereka yang begitu kuat, maklumlah Han Siong bahwa dalam hal ilmu silat, lima oang pendeta Tibet itu sama sekali tidak boleh dipandang ringan. Maka dia pun cepat mengerahkan tenaga sambil menggunakan ginkang-nya mengelak ke sana sini dengan loncatan-loncatan pendek dan kadang-kadang menangkis dengan lengannya yang tidak kalah kerasnya dibandingkan tongkat lawan.

Han Siong tak ingin melukai lima orang pendeta itu karena dia tidak bermusuhan dengan mereka. Dia tahu pula bahwa mereka itu hanyalah petugas-petugas yang melaksanakan tugas dan tidak berani melanggar perintah atasan. Dan dia pun tak ingin memperlihatkan ilmu-ilmu yang dipelajarinya dari suhu dan subo-nya.

Maka, dalam menghadapi pengeroyokan itu dia hanya mainkan ilmu-ilmu silat dari Siauw-lim-pai yang dipelajarinya di kuil Siauw-lim-si. Biar pun demikian, karena dia telah memiliki sinkang yang kuat dan ginkang yang membuat gerakannya ringan dan cepat, maka dia selalu dapat menghindarkan diri dari hujan senjata itu.

Han Siong melihat banyak orang berlarian keluar dari dalam pintu gerbang perkampungan dan jantungnya berdebar tegang. Apa lagi ketika dia mendengar suara seorang laki-laki, cukup keras sehingga terdengar olehnya. "Benarkah dia itu? Tidak kelirukah ini? Pek Han Siong telah kembali...?"

Dia tidak tahu siapa yang bicara itu, akan tetapi dia tahu bahwa tentu keluarga Pek telah berada di situ dan menonton perkelahian.

Tiba-tiba saja Han Siong merubah gerakannya dan dia memainkan tiga belas jurus pilihan dari Pek-sim-kun seperti yang dilatihnya dari kitab peninggalan kakek buyutnya. Dahulu, Pek Khun kakek buyutnya itu sudah menyaring ilmu silat Pek-sim-kun menjadi tiga belas jurus saja yang amat ampuh, yang mencakup bagian-bagian paling lihai dari ilmu silat itu, kemudian menuliskannya menjadi sebuah kitab pelajaran ilmu silat yang cukup sukar.

Setelah digembleng oleh suhu dan subo-nya, barulah Pek Han Siong memperoleh dasar yang cukup kuat untuk mempelajari tiga belas jurus Pek-sim-kun ini sampai mahir benar. Kini, melihat keluarga Pek keluar dan menonton, dia pun mulai memainkan ilmu silat itu menghadapi lima orang pengeroyoknya.

Terdengar seruan-seruan heran, kaget dan kagum dari rombongan yang baru keluar dari perkampungan itu.

"Mirip Pek-sim-kun!"

"Dasar gerakan kakinya sama!"

"Tapi demikian aneh dan cepat!"

Terdengar berbagai macam komentar para penonton. Dengan hati bangga Han Siong lalu mempercepat dan memperkuat gerakannya. Terdengar suara tongkat patah yang disusul teriakan kaget lima orang pendeta Lama yang mengeroyoknya. Tiga batang tongkat yang amat kuat itu telah patah dan dua untai tasbeh juga putus talinya!

Lima orang pendeta itu maklum bahwa mereka sama sekali bukan lawan pemuda yang ilmu sihir dan ilmu silatnya amat lihai itu, dan mereka juga maklum bahwa Sin-tong sejak tadi selalu mengalah dan tidak ingin melukai mereka. Sebagai orang-orang pandai, tentu saja mereka tahu bahwa kalau dikehendakinya, semenjak tadi mereka berlima telah roboh dan mungkin tewas di tangan pemuda tangguh itu.

"Mari kita pergi!" kata pendeta tinggi kurus dan dia pun meloncat pergi diikuti empat orang kawannya.

Yang keluar dari dalam pintu gerbang perkampungan itu memang keluarga Pek bersama murid-murid mereka. Mereka sudah tahu bahwa telah berbulan lamanya, bahkan mungkin semenjak kemunculan Hay Hay yang menimbulkan keributan dengan para pendeta Lama, di luar perkampungan mereka selalu terdapat pendeta-pendeta Lama berkeliaran.

Mereka dapat menduga pula bahwa tentu para pendeta itu menanti munculnya Pek Han Siong untuk mereka tangkap. Karena mereka itu berada di luar dusun dan tidak pernah mengganggu perkampungan Pek-sim-pang, maka orang-orang Pek-sim-pang tidak dapat melarang mereka.

Maka, pada saat mendengar bahwa ada seorang pemuda berkelahi melawan lima orang pendeta Lama, mereka pun berbondong keluar dan mereka masih sempat menyaksikan betapa pemuda gagah itu telah mengusir lima orang pendeta Lama yang mengeroyoknya tadi dengan ilmu mirip Pek-sim-kun.

Pek Kong dan Souw Bwee, isterinya, melangkah maju mendekati Han Siong. Sepasang suami isteri ini mengamati wajah Han Siong akan tetapi tentu saja mereka berdua masih ragu-ragu. Semenjak bayi mereka sudah berpisah dari anak mereka, maka kini tentu saja mereka tidak mengenal pemuda yang berdiri dengan tegap, gagah dan tampan di depan mereka. Mereka takut kalau-kalau mereka kecelik lagi, seperti ketika di situ muncul Hay Hay yang mereka sangka anak mereka.

"Apakah engkau Pek Han Siong?" tanya Pek Kong, suaranya gemetar, penuh ketegangan dan harapan.

Han Siong memandang suami isteri itu. Seorang laki-laki yang kelihatan gagah, berusia kurang lebih empat puluh satu tahun, serta seorang wanita yang usianya beberapa tahun lebih muda, wanita cantik dan lembut akan tetapi di wajahnya nampak guratan-guratan kehidupan yang membayangkan penderitaan batin.

Ketika ditanya oleh pria itu, Han Siong merasa jantungnya berdebar tegang. Dia dapat menduga bahwa dua orang inilah agaknya yang menjadi ayah dan ibu kandungnya, akan tetapi dia ingin memperoleh kepastian, karena itu dengan suara lembut dan hormat dia pun bertanya,

"Bolehkah saya mengetahui, siapakah Ji-wi yang mulia?"

Dengan suara gemetar Pek Kong berkata, "Aku bernama Pek Kong dan ini isteriku..."

"Ayah! Ibu...!" Pek Han Siong tak dapat menahan dirinya lagi, langsung saja menjatuhkan dirinya berlutut di depan kaki ayah kandungnya, "saya adalah Pek Han Siong..."

"Han Siong...!" Souw Bwee menubruk dan jatuh pingsan di dalam rangkulan puteranya!

Dengan sikap tenang dan sudah menguasai diri sepenuhnya, Han Siong lalu memondong tubuh ibunya dan berkata kepada ayahnya, "Ayah, marilah kita masuk ke dalam karena ibu perlu dirawat. Dia telah menderita guncangan batin."

Pek Kong memandang puteranya dengan sinar mata kagum. Puteranya telah dewasa dan sikapnya begitu tenang, juga tadi dia sudah menyaksikan kehebatan ilmu kepandaiannya sehingga dapat demikian mudahnya mengalahkan lima orang pendeta Lama yang berilmu tinggi. Kini, menghadapi ibunya yang pingsan, dia bersikap dewasa dan tenang sekali.

"Baik," katanya dan mereka semua memasuki perkampungan.

Sesudah merebahkan ibunya di atas pembaringan, lantas mengurut beberapa jalan darah sehingga ibunya siuman kembali, Han Siong duduk di tepi pembaringan.

"Ibu, tenanglah. Anakmu telah kembali, Ibu."

"Han Siong... ahh, Han Siong...!" Wanita itu menangis. "Engkau sudah datang, Anakku... ehh, mana Eng-ji? Eng-ji, pulanglah, kakakmu telah datang, Eng-ji! Pulanglah, Nak..."

Melihat ibunya amat berduka, Han Siong mengelus-elus dahi ibunya sambil mengerahkan tenaga batinnya sehingga tidak lama kemudian ibunya tertidur pulas! Han Siong bangkit, lalu menghampiri ayahnya yang sejak tadi melihat semuanya itu dengan hati terharu.

"Ayah, siapakah Eng-ji yang disebut-sebut ibu tadi?"

"Mari kita bicara di luar kamar, Anakku. Engkau perlu mengenal semua anggota keluarga kita," kata Pek Kong mengajak puteranya keluar dan memasuki ruangan dalam di mana telah berkumpul Pek Ki Bu juga para murid kepala Pek-sim-pang.

"Anakku, ini adalah kakekmu yang bernama Pek Ki Bu," kata Pek Kong mengenalkan.

"Ahh, Kongkong! Kakek Buyut Pek Khun sering menyebut nama Kongkong, juga Ayah." Han Siong lalu menjatuhkan diri berlutut, memberi hormat kepada Pek Ki Bu, kakek yang sekarang berusia enam puluh tahun lebih itu. Pek Ki Bu menyentuh pundak cucunya dan mengangguk-angguk dengan wajah berseri.

"Aku merasa berbahagia sekali melihat engkau kini pulang sebagai seorang gagah yang berilmu tinggi. Semoga engkau dapat mengangkat kembali nama besar Pek-sim-pang."

Han Siong segera diperkenalkan kepada murid-murid kepala Pek-sim-pang dan mereka bercakap-cakap dengan penuh kegembiraan.

"Eng-ji adalah adik kandungmu, Han Siong," ayahnya menerangkan. "Engkau mempunyai adik kandung bernama Pek Eng yang usianya telah tujuh belas tahun."

"Ahh! Kakek buyut tidak pernah bercerita tentang ini! Di manakah adikku itu, Ayah?"

Wajah ketua Pek-sim-pang itu berubah menjadi muram. "Itulah yang menyebabkan ibumu menjadi berduka. Sudah beberapa bulan lamanya dia pergi meninggalkan rumah tanpa pamit, hanya meninggalkan surat ini," katanya sambil mengeluarkan selembar kertas dari saku bajunya dan memberikannya kepada Han Siong.

Pemuda ini mengerutkan alis. Hatinya kecewa mendengar adiknya, seorang perempuan remaja, minggat dari rumah tanpa pamit! Gadis macam apakah yang menjadi adiknya itu, pikirnya. Dia menerima surat itu dan membacanya. Hanya beberapa baris kata-kata saja.

'Ayah dan Ibu yang tercinta. Aku tidak mau menikah dengan siapa pun. Aku mau pergi mencari Kakak Pek Han Siong. Ampunkan anakmu.'

"Dia meninggalkan surat itu di atas meja dalam kamarnya," kata Pek Kong.

Rasa kecewa yang tadi sudah menyelinap di dalam hatinya terhadap adik perempuannya, kini terganti perasaan geli. Adiknya itu seorang gadis yang penuh semangat dan agaknya keras hati bukan main.

"Maaf, Ayah. Apakah dia memang dipaksa untuk menikah?" dia bertanya, menatap wajah ayahnya yang masih nampak tampan gagah itu.

Ayahnya menarik napas panjang. "Ia dipinang oleh keluarga Song, ketua Kang-jiu-pang di Cin-an yang telah bertahun-tahun menjadi sahabat baik keluarga kita, untuk putera ketua Kang-jiu-pang bernama Song Bu Hok yang gagah perkasa dan pantas menjadi suaminya. Kami dengan senang hati menerima pinangan itu, tapi dia menangis ketika kami memberi tahukan kepada Eng-ji,. Dan pada keesokan harinya, dia sudah pergi meninggalkan surat ini."

Han Siong mengangguk-angguk, "Hemmm, alangkah keras hatinya adikku itu. Biarlah aku akan mencarinya, Ayah. Setelah ibu sehat kembali, aku akan pergi mencari adik Eng."

"Kami merasa curiga dengan kehadiran Hay Hay itu, karena kepergian adikmu justru saat Hay Hay tiba di sini," kata Pek Ki Bu dan Pek Kong mengangguk-angguk.

Memang Pek Kong dan isterinya merasa curiga. Bukankah Hay Hay dikabarkan sebagai seorang pemuda mata keranjang yang pandai silat dan ilmu sihir, dan bukankah terdapat hubungan akrab antara Pek Eng dan Hay Hay?

"Siapakah Hay Hay itu, Ayah?"

"Dia adalah bayi yang dulu menjadi penggantimu," kata ayahnya. Han Siong mengerutkan alisnya dan memandang heran.

"Apa maksud Ayah?"

"Aih, engkau perlu mendengar tentang keadaan dirimu, tentang hal-hal aneh yang terjadi karena engkau terlahir sebagai Sin-tong."

Pek Kong dan Pek Ki Bu lantas menceritakan segala riwayat Han Siong sejak dia masih dalam kandungan, yang telah diramalkan sebagai Sin-tong oleh para pendeta Lama. Han Siong sendiri hanya mengetahui dari kakek buyutnya serta dari Ceng Hok Hwesio ketua Siauw-lim-si bahwa dia dianggap Sin-tong dan dicari-cari oleh para pendeta Lama, juga diperebutkan pula oleh para datuk sesat. Baru sekarang dia mendengar dengan jelas apa yang terjadi dengan dirinya dan segala akibatnya.

Betapa semenjak bayi dia dilarikan dan disembunyikan oleh kakek buyutnya, dan sebagai gantinya, bayi yang ditemukan kakek buyutnya ditinggalkan kepada ayah ibunya. Betapa bayi yang menjadi penggantinya itu diculik orang dan diganti pula dengan bayi yang telah mati! Betapa kemudian bayi yang pernah menggantikannya itu, yang kini sudah menjadi dewasa dan menurut keluarga Pek bernama Hay Hay dan sangat lihai pula, tiba-tiba saja muncul di perkampungan keluarga Pek dan membikin gempar.

Betapa Hay Hay itu telah pula mengalahkan pendeta-pendeta Lama! Dan betapa Hay Hay disangka dirinya dan betapa adiknya Pek Eng, minggat pada hari itu pula setelah Hay Hay muncul di perkampungan keluarga Pek.

"Nah, demikianlah, Han Siong. Kami tidak menuduh Hay Hay yang bukan-bukan, karena dia seorang pemuda gagah perkasa pula. Akan tetapi, mengingat bahwa dia adalah anak haram dari seorang jai-hwa-cat berjuluk Ang-hong-cu, betapa sikapnya amat menarik bagi wanita, berwatak mata keranjang menurut keterangan adikmu, maka kami menjadi curiga. Ataukah mungkin hanya kebetulan saja?"

Han Siong masih tertegun mendengar cerita tadi. Begitu banyak hal aneh dan mengerikan yang terjadi sebagai akibat dia dianggap Sin-tong, sampai melibatkan bayi lain.

"Ayah, aku akan pergi mencari adik Eng, dan akan kuingat baik-baik tentang diri Hay Hay itu, walau pun aku masih sangsi bahwa dia mempunyai hubungan dengan kepergian Adik Eng. Kurasa Adik Eng pergi karena tidak setuju dengan perjodohan itulah."

Setelah Han Siong merawat ibunya sampai sehat betul, barulah dia berani meninggalkan perkampungan Pek-sim-pang. Ibunya setuju mendengar bahwa dia hendak pergi mencari Pek Eng, karena ibu ini tentu saja merasa gelisah sekali memikirkan puterinya.

Dia tidak merasa khawatir apa bila puteranya yang pergi, apa lagi puteranya telah menjadi seorang yang amat lihai. Walau pun Pek Eng juga bukan gadis sembarangan, akan tetapi bagaimana juga dia hanya seorang wanita remaja yang tentu akan menghadapi banyak gangguan.

Kepergian Pek Eng terjadi kurang lebih lima enam bulan yang lalu, maka tidaklah mudah bagi Han Siong untuk mengikuti jejaknya. Dia pergi hanya secara untung-untungan saja dan karena kepergian Pek Eng memakai alasan untuk mencarinya, maka dia pun menuju ke Pegunungan Heng-tuan-san, ke arah kuil Siauw-lim-si.

Tentu adiknya pergi ke situ. Segera dia mengurungkan niatnya untuk mengunjungi kakek buyutnya, karena dari ayah dan kakeknya, dia mendengar bahwa kakek buyutnya itu telah meninggal dunia karena usia tua.

********************

cerita silat online karya kho ping hoo

Hari mulai menjelang senja. Hay Hay berjalan seorang diri di padang rumput yang cukup luas itu. Wajahnya terlihat tampan dengan sepasang mata yang bersinar-sinar, bibir yang selalu dihiasi senyum, dan hidung yang mancung. Jalannya seenaknya, dengan lenggang lepas. Dadanya yang bidang itu tegak dan tubuhnya yang berukuran sedang namun tegap seolah seperti tubuh seekor harimau kalau sedang berjalan.

Pakaiannya sederhana berwarna biru dengan garis-garis tepi berwarna kuning, dua warna kesukaannya. Di punggungnya terlihat sebuah buntalan pakaian. Sepasang matanya yang tajam menangkap segala sesuatu yang terbentang di hadapan matanya, barisan rumput hijau segar yang bergerak-gerak akibat tertiup angin, tampak seperti air berombak-ombak, daun-daun pohon yang melambai-lambai.

Bukit kecil di depannya nampak demikian tenang, tak terikat waktu, begitu tenang, indah dan hening. Hanya keheningan yang mengandung keindahan, karena sekali keheningan terganggu oleh kesibukan, maka keindahan pun membuyar lenyap.

Ketika berjalan seperti itu, melahap segala yang nampak dengan kedua matanya, ketika pikirannya tak terganggu oleh apa pun, maka batinnya menjadi hening dan keindahan pun menyentuh seluruh pribadinya. Matahari telah condong jauh ke barat, telah tertutup bukit. Hay Hay cepat mendaki bukit itu. Dari atas puncak bukit itu pasti pemandangannya amat indah, keindahan matahari terbenam di kaki langit sebelah barat.

Ketika telah melewati padang rumput, pikirannya teringat akan keadaan dirinya. Dia anak jai-hwa-cat, anak seorang penjahat yang digolongkan sebagai penjahat yang paling hina dan rendah, bahkan juga dipandang hina oleh para penjahat lainnya. Seorang berwatak keji, tukang memperkosa wanita! Dan dia adalah anaknya, anak haram lagi!

Biasanya, kalau sudah teringat akan hal ini, bermacam perasaan mengaduk hatinya dan keheningan pun lenyap. Keindahan pun tak tampak lagi, yang ada hanya rasa penasaran, kekecewaan dan kemarahan.

Kemarahan datang dari pikiran. Pikiran yang membesar-besarkan aku-nya, pikiran yang melihat betapa aku-nya direndahkan sebagai anak penjahat, anak haram, maka aku pun menjadi marah dan penasaran! Padahal baru saja, sebelum pikiran mengunyah-ngunyah ingatan itu, tidak ada sedikit pun rasa sesal atau marah mengganggu Hay Hay.

Kemarahan tidak muncul dengan sendirinya. Kemarahan hanyalah akibat dari ulah sang pikiran sendiri. Semua ini dapat dilihat oleh mereka yang mau mengamati pikiran sendiri, mengamati saja penuh dengan kewaspadaan, dan dari pengamatan ini akan timbul suatu perubahan pada pikiran itu sendiri, seperti ombak samudera yang tadinya membadai lalu menjadi tenang dengan sendirinya.

Pengamatan bukan berarti terseret ke dalam arus pikiran, melainkan mengamati tanpa ada yang mengamati. Yang ada hanyalah pengamatan, perhatian, kewaspadaan. Bila ada yang mengamati berarti pikiran itu sendiri yang mengamati, dan hal ini merupakan suatu kesibukan lain dari pikiran saja! Gelombang yang lain lagi, namun masih sama, hasilnya mengeruhkan batin.

Sekarang Hay Hay telah tiba di puncak bukit dan seperti awan tipis disapu angin, semua kesibukan pikiran yang tadi pun segera lenyap. Indah bukan main di puncak bukit itu. Ada sebidang padang rumput yang rata dan di sana-sini nampak pohon tua yang sudah mulai mengundurkan diri ke dalam keremangan yang penuh rahasia, laksana raksasa-raksasa.

Nun jauh di sana, di barat, matahari nampak besar kemerahan membakar langit di atas dan kanan kirinya, menciptakan warna pelangi dan keperakan yang teramat indah! Pena siapakah yang dapat melukis keindahan matahari terbenam seperti itu? Pena siapa yang dapat mencatat semua keindahan itu? Dia akan kehabisan warna, ruang dan bentuk untuk menggambarkannya dan dia akan kekurangan kata untuk menceritakannya.

Dengan hati terasa lega, seolah-olah segala beban batin yang menindih hatinya pada saat itu sudah diangkat terlepas, Hay Hay menjatuhkan diri duduk di atas rumput yang lunak, menurunkan buntalan pakaiannya dan termangu-mangu memandangi awan yang sedang terbakar sinar kemerahan yang teramat indah itu.

Ia lupa akan diri sendiri, merasa seolah-olah melayang di antara awan nun di balik warna merah, awan yang menciptakan beribu-ribu macam bentuk yang indah-indah, aneh-aneh, malang melintang, coret-moret tidak karuan namun ajaibnya, kesemuanya itu merupakan satu kesatuan yang amat harmonis!

Lihat rumput-rumput itu. Malang-melintang, ada yang condong ke kanan, ke kiri, ada yang rebah, ada yang besar ada yang kecil, panjang pendek, tua muda, ada yang kering layu, akan tetapi tidak ada pertentangan sedikit pun di antara mereka. Bahkan kesemuanya itu pun merupakan suatu kesatuan yang amat harmonis, dan membentuk sebuah keindahan yang lengkap. Timbullah semacam pemikiran dan perbandingan di antara benak Hay Hay, dan agaknya akibat terbawa oleh suasana dan keadaan, terlontarlah pemikiran ini melalui kata-kata dari mulutnya.

"Matahari timbul di waktu pagi cemerlang menjadi raja sehari kemudian menyuram di kala senja tenggelam dan lenyap, gelap gulita! Timbul tenggelam, terang gelap silih berganti yang pernah hidup berakhir mati. Apa artinya duka nestapa kalau memang sudah demikian keadaannya? Selagi hidup kenapa layu dan mati? Lebih baik bergembira hari ini!"

Hay Hay tersenyum kemudian tertawa, mentertawakan diri sendiri. Tangannya menyentuh sesuatu di saku bajunya. Dikeluarkan benda itu dan ternyata itu adalah sebuah perhiasan berbentuk tawon merah yang buatannya cukup indah, terbuat dari emas muda dan dihias permata merah.

Ang-hong-cu, Si Tawon Merah! Julukan jai-hwa-cat yang menjadi ayah kandungnya! Akan tetapi sekarang Hay Hay memandang dan mengamati benda itu dengan mulut tersenyum. Kebetulan saja orang itu menjadi ayahnya, merupakan jembatan baginya untuk muncul ke muka bumi ini. Bisa jadi Si Jai-hwa-cat itu atau orang lain, akan tetapi yang jelas, dia dan orang yang menjadi ayah kandungnya itu sama sekali tak ada sangkut-pautnya, memiliki nyawanya sendiri-sendiri, pikirannya sendiri-sendiri. Mereka berdua merupakan dua orang manusia yang sama-sama utuh, tiada sangkutannya kecuali suatu kebetulan saja bahwa dia menjadi anaknya dan orang itu menjadi ayahnya! Ayah yang bagaimana!

Tidak, dia tidak akan menganggapnya sebagai ayah. Bukankah menurut cerita keluarga Pek yang disampaikan kepadanya, jai-hwa-cat yang berjuluk Ang-hong-cu dan bernama keturunan Tang itu, meninggalkan wanlta yang mengandungnya begitu saja? Wanita yang menjadi ibu kandungnya itu kemudian membunuh diri bersama dia, akan tetapi bila lautan menerima ibunya yang kemudian menjadi tewas, agaknya lautan menolaknya sehingga dia tidak menjadi mati bersama ibunya!

Tidak, tak mungkin dia dapat menerima laki-laki yang begitu kejam terhadap wanita yang menjadi ibunya itu sebagai ayahnya! Masih lebih baik orang-orang seperti Siangkoan Leng dan Ma Kim Li, suami isteri yang berjuluk Lam-hai Siang-mo, yang bagaimana pun juga pernah menunjukkan rasa kasih sayang sebagai orang tua terhadap dirinya, dibandingkan jai-hwa-cat she Tang itu.

Dan dia pun tidak sudi menggunakan keturunan Tang. Lebih baik tak bernama keturunan, tanpa marga, tanpa she. Biarlah namanya hanya Hay Hay begitu saja, titik. Tentu saja dia pun tidak mau menggunakan she Siangkoan.

"Hemmm..., Ang-hong-cu...," bisiknya sambil memutar-mutar perhiasan kecil itu di antara jari-jari tangannya.

Matahari semakin dalam tenggelam sehingga tidak nampak lagi kecuali cahayanya yang kemerahan. Cuaca menjadi remang-remang. Tawon merah itu tak nampak lagi merahnya, kelihatan hitam. Tawon Merah! Orang yang membunuh dan memperkosa dua orang gadis dusun itu, yang seorang dibunuh karena melawan, yang seorang lagi diperkosa.

Gadis-gadis yang demikian manisnya, demikian polos dan bersih! Terkutuk! Teringat akan gadis-gadis manis itu serta nasib mereka yang tertimpa mala petaka dengan kemunculan jai-hwa-cat Ang-hong-cu, tanpa disadarinya, sambil mempermainkan benda perhiasan itu di antara jari-jari tangannya, dia pun bersajak.

"Gadis yang cantik jelita manis menarik dan manja bagaikan sekuntum bunga indah semerbak mengharum setiap pria ingin menyuntingnya untuk menyemarakkan hidupnya. Namun kumbang merah datang menyerbu menghisap habis sari madu meninggalkan bunga terkulai layu sunggub keji, sungguh gila...!"

Hay Hay mengepal tinju dan baris terakhir dari sajaknya itu terucap dari mulutnya seperti makian. Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dari belakangnya.

"Ang-hong-cu memang penjahat keji dan gila, dan harus mampus!" Bentakan itu ditutup dengan datangnya serangan yang sangat hebat. Anginnya menyambar dahsyat ke arah tengkuk Hay Hay, disusul dengan sambaran angin yang tak kalah hebatnya yang datang dari kanan kiri.

Dia sudah diserang tiga orang sekaligus yang agaknya diam-diam sudah menghampirinya dari arah belakang. Karena angin menerpa dari depan, sedangkan dia sedang melamun dan tenggelam di dalam keheningan senja, maka Hay Hay tadi tidak tahu bahwa ada tiga orang datang menghampirinya. Apa lagi karena gerakan mereka memang sangat ringan, tanda bahwa mereka adalah tiga orang yang berilmu tinggi.

Ketika merasa betapa ada angin pukulan dahsyat datang menyambarnya dari tiga arah, Hay Hay cepat berjungkir balik ke depan, menggelundung di atas rumput di depannya dan baru meloncat bangkit berdiri setelah tidak merasakan lagi adanya angin serangan.

Demikian cepat gerakan yang dilakukan Hay Hay itu sehingga para penyerangnya terkejut karena pukulan-pukulan mereka sama sekali tidak menyentuh sasaran dan tahu-tahu kini pemuda yang mereka serang itu telah meloncat berdiri di depan mereka!

Hay Hay yang merasa terheran-heran dan penasaran, mengamati tiga orang penyerang itu dan menjadi makin heran dan penasaran. Dia tidak merasa pernah berjumpa apa lagi berkenalan dengan tiga orang ini!

Mereka bertiga itu berusia kurang lebih empat puluh tahun dan biar pun cuaca telah mulai remang-remang, dia masih bisa melihat wajah mereka yang membayangkan kemarahan. Wajah-wajah yang tampan dan gagah, dengan pakaian sederhana ringkas seperti pakaian para pendekar. Di punggung mereka nampak gagang pedang beronce merah.

Melihat sikap mereka, Hay Hay menduga bahwa dia kini berhadapan dengan orang-orang gagah, bukan dengan penjahat atau perampok. Maka dia pun mendahului mereka, bersoja dengan dua tangan di rangkap di depan dada, sikapnya hormat dan bersungguh-sungguh, walau pun wajahnya masih berseri ramah dan mulutnya terhias tersenyum.

"Harap Sam-wi (Anda Bertiga) suka memaafkan aku, akan tetapi sungguh aku merasa penasaran sekali. Apa gerangan dosaku kepada Sam-wi yang sama sekali belum kukenal maka Sam-wi tiba-tiba saja menyerangku mati-matian?"

Tiga orang itu kelihatan marah. Seorang di antara mereka, yang bermuka penuh brewok yang terpelihara rapi sehingga dia nampak gagah seperti tokoh Thio Hwi dalam dongeng Sam Kok, melangkah maju mendekat. Dengan telunjuk kiri menuding ke arah muka Hay Hay, dia pun memaki.

"Jai-hwa-cat laknat! Biar pun kami bertiga belum pernah bertemu denganmu, akan tetapi kami mengenal namamu. Engkau adalah jai-hwa-cat yang paling kejam di seluruh dunia ini dan engkau layak mampus karena orang macam engkau ini bagaikan iblis yang hanya mengancam keselamatan para wanita dan harus dibasmi dari permukaan bumi!"

"Akan tetapi aku... aku bukan jai-hwa-cat...!"

"Hemm, sudah jahat pengecut pula!" teriak orang ke dua yang tinggi besar dan mukanya kemerahan.

"Suheng, kiranya tidak perlu banyak cakap. Iblis keji ini pandai bicara, tidak perlu dilayani. Hantam saja!" teriak orang ke tiga yang kurus dan mukanya kuning.

"Sungguh mati, aku bukanlah penjahat, aku tidak pernah memperkosa wanita!" kata Hay Hay penasaran.

Kembali Si Brewok yang bicara. "Menjadi penjahat pemerkosa sudah rendah, akan tetapi menyangkalnya secara pengecut lebih hina lagi. Engkau sungguh seorang yang berahlak rendah dan hina. Ang-hong-cu, kau tak perlu menyangkal lagi, mari hadapi kami dengan senjatamu, bukankah kabarnya selain jahat engkau juga lihai sekali?"

"Sungguh, aku bukan jai-hwa-cat, aku bukanlah Ang-hong-cu seperti yang kalian kira..."

"Hemmm, percuma saja engkau menyangkal. Kami sudah melihat benda yang berada di tanganmu tadi. Bukankah benda itu merupakan tanda dari Ang-hong-cu?"

"Benar, akan tetapi aku bukanlah Ang-hong-cu. Harap kalian tidak ngawur! Apakah kalian belum pernah mendengar bagaimana macamnya orang yang berjuluk Ang-hong-cu itu? Usianya? Bentuk wajah dan tubuhnya?"

"Hemmm..., tidak perlu menyangkal lagi. Kami mendengar bahwa dia seorang pria yang tampan, dan tak seorang pun tahu berapa usianya. Bentuk tubuhnya tegap dan sedang. Engkau pun tampan bertubuh tegap, juga membawa tanda Ang-hong-cu. Siapa lagi kalau bukan engkau?"

"Bukan, aku bukan Ang-hong-cu..."

Tiga orang itu saling pandang. Agaknya mereka bersikap hati-hati. Kemudian seorang di antara merekat yang bermuka merah dan bertubuh tinggi besar itu, berkata, "Ketahuilah bahwa kami adalah tiga orang murid Bu-tong-pai yang sedang bertugas untuk mencari dan membunuh Ang-hong-cu Si Keparat Jahanam!"

"Mengapa engkau hendak membunuhnya?" tanya Hay Hay dengan sikap tenang, padahal tentu saja dia ingin mendengar tentang orang yang kebetulan menjadi ayah kandungnya itu.

"Dia telah memperkosa seorang murid Bu-tong-pai hingga sumoi kami itu membunuh diri di depan Suhu! Jangan pura-pura tidak tahu karena engkaulah orangnya yang melakukan perbuatan keji itu! Engkaulah Ang-hong-cu, mengaku saja!"

"Aku bukan Ang-hong-cu bagaimana harus mengaku sebagai dia?"

"Kalau bukan, bagaimana engkau bisa mempunyai lambang hiasan tawon merah itu? Dari mana kau dapatkan itu? Dan apa hubunganmu dengan Ang-hong-cu?"

Hay Hay tidak dapat menjawab. Tentu saja dla tidak mau menceritakan bahwa dia putera Ang-hong-cu! "Itu... itu adalah urusanku sendiri, tidak perlu kuberi tahukan kepada kalian. Yang jelas, aku bukan Ang-hong-cu. Tidak percayakah engkau?"

"Tidak, memang aku tidak percaya!" Sekarang yang bermuka kuning dan bertubuh kurus membentak. "Engkau bohong, engkau seorang pengecut! Tadi pun engkau telah bersajak memuji-muji kecantikan wanita sambil bermain-main dengan perhiasan tawon merah itu. Engkau adalah Ang-hong-cu!"

Hay Hay merasa mendongkol sekali. Si Muka Kuning ini tidak kelihatan gagah seperti dua orang yang lain dan tampak sombong ketika memaki-makinya. Timbul kemarahannya dan sepasang matanya mencorong menatap mata Si Muka Kuning.

"Kalau begitu engkau hanyalah seekor anjing yang tolol!" dia balas memaki.

Mendadak terjadi keanehan karena tiba-tiba Si Muka Kuning itu menjatuhkan diri berlutut, kedua tangannya menapak tanah, lalu dia merangkak dan dari mulutnya keluarlah suara menyalak-nyalak seperti seekor anjing marah! Melihat ini, dua orang suheng-nya terkejut bukan main. Si Brewok cepat menepuk pundak Si Muka Kuning sambil membentak,

"Sute, apa yang kau lakukan ini?! Sadarlah!"

Ditepuk pundaknya, pria muka kuning itu seperti orang terkejut dan seperti baru sadar dari mimpi buruk. Dia terbelalak heran melihat dirinya merangkak, dan dia pun cepat meloncat bangun sambil mencabut pedangnya. Dua orang suheng-nya juga mencabut pedang dan mereka bertiga segera mengepung Hay Hay dari tiga jurusan.

"Ang-hong-cu, menyerahlah untuk kami belenggu kemudian kami bawa menghadap para pimpinan Bu-tong-pai supaya engkau dapat mempertanggung jawabkan perbuatanmu!" Si Brewok membentak nyaring sambil menodongkan pedangnya. "Atau terpaksa kami akan menggunakan kekerasan membunuhmu lalu membawa kepalamu kembali ke Bu-tong-san untuk dipakai menyembahyangi arwah sumoi kami!"

"Baiklah, aku menyerah. Nah, kalian tangkaplah aku dan bawalah ke mana kalian suka," kata Hay Hay dengan tenang dan dia lalu duduk di atas sebongkah batu besar yang ada di situ.

Tentu saja tiga orang murid Bu-tong-pai merasa girang sekali walau pun mereka masih agak meragukan apakah benar Ang-hong-cu mau menyerahkan diri demikian mudahnya. Mereka memang sudah siap siaga dan Si Brewok lalu mengeluarkan sehelai tali terbuat dari pada kulit kerbau yang sangat kuat. Dibantu oleh dua orang sute-nya, dia menubruk Hay Hay dan cepat mereka membelenggu kaki tangan pemuda itu yang sama sekali tidak melakukan perlawanan.

Akan tetapi mereka mengalami kesukaran ketika hendak menyeret pemuda yang sudah dibelenggu karena ternyata pemuda itu berat sekali. Mereka bertiga mengerahkan tenaga menyeret dan... ketiganya lantas jatuh tunggang langgang ketika akhirnya tubuh pemuda itu dapat mereka seret.

Akan tetapi mereka meloncat bangun dengan mata terbelalak memandang kepada batu besar yang mereka tarik dan telah terikat kuat. Kiranya yang mereka belenggu tadi adalah sebongkah batu besar yang tadi diduduki oleh Hay Hay, tentu saja mereka merasa berat sekali karena sebagian dari batu itu tertanam di dalam tanah. Ketika akhirnya batu dapat dijebol, mereka langsung berjatuhan dan baru mereka melihat bahwa yang mereka ikat dan seret-seret bukanlah tubuh Ang-hong-cu melainkan sebongkah batu.

Ketika mereka mengangkat muka dan memandang, mereka melihat pemuda itu sekarang sudah duduk dan membuat api unggun yang mulai menyala terang, tidak jauh dari tempat itu, sama sekali tak peduli terhadap mereka seolah-olah mereka bertiga hanya bayangan-bayangan belaka.

Tiga orang murid Bu-tong-pai itu saling pandang dengan mata terbelalak. Mereka merasa terkejut, heran dan juga seram. Manusiakah Ang-hong-cu itu, ataukah dia iblis? Jika saja mereka tidak datang bertiga melainkan sendirian saja, tentu mereka akan lari ketakutan. Akan tetapi karena mereka bertiga, hati mereka menjadi besar dan dengan penasaran kini kembali menghampiri Hay Hay.

Dengan sikap seolah-olah baru melihat mereka, Hay Hay lantas menoleh. Wajahnya yang tampan tampak kemerahan tertimpa sinar api unggun dan sepasang matanya mencorong, membuat tiga orang murid Bu-tong-pay menjadi jeri juga sehingga mereka menghentikan langkah dan memandang kepada Hay Hay dengan ragu-ragu.

"Ahh, kalian masih belum pergi juga? Mau tunggu apa lagi?"

Si Brewok terpaksa memberanikan diri. "Ang-hong-cu, kami menerima tugas dari suhu di Bu-tong-pai. Kami akan pulang ke Bu-tong-pai kalau membawa dirimu atau kepalamu."

"Iihh, sungguh repot. Kalau kalian menginginkan kepalaku, nah, ambillah. Ini kusediakan untuk kalian. Ambillah!" Hay Hay lantas menjulurkan kepalanya, seolah-olah menawarkan kepalanya untuk dipenggal.

Tentu saja tiga orang murid Bu-tong-pai itu terkejut dan terheran-heran. Gilakah orang ini? Mereka sudah memegang pedang masing-masing di tangan, akan tetapi tak ada seorang pun yang bergerak. Siapa orangnya yang tidak akan meragu dan menjadi ngeri bila orang menyodorkan kepalanya begitu saja dan menawarkan kepalanya itu untuk dipenggal?

"Hayo, kenapa kalian bengong saja?!" Hay Hay berseru. "Aku bisa kelelahan kalau harus mengulurkan kepala begini terus."

"Tapi... tapi kami bukan orang-orang yang suka membunuh lawan tanpa ada perlawanan darinya. Kami bukan pembunuh berdarah dingin!" kata Si Brewok dengan suara nyaring. "Kami adalah murid-murid Bu-tong-pai yang berjiwa pendekar gagah perkasa!"

"Hemm, siapakah yang mau membunuh? Kalian tak akan dapat membunuhku. Aku bukan minta dibunuh, hanya memberikan kepala yang kalian butuhkan. Bukankah kalian minta kepalaku untuk dibawa ke Bu-tong-pai? Nah, ambillah!"

Kembali Hay Hay menyodorkan kepalanya hingga lehernya nampak panjang putih keluar dari leher bajunya. Melihat ini gatal-gatal rasa tangan Si Brewok yang memegang pedang. Dengan sekali penggal saja dia akan memperoleh kepala itu untuk dijadikan bukti kepada para suhu-nya dan dijadikan bahan sembahyang bagi abu sumoi-nya.

"Kau... kau tidak akan mati penasaran?" tanyanya sambil melangkah mendekat, namun masih ragu-ragu apakah perbuatannya itu tidak akan melanggar pantangan pendekar.

"Aku tidak akan mati. Kalau perlu kepalaku, ambillah dan jangan banyak cakap lagi," kata Hay Hay dengan suara dongkol seperti orang yang merasa gemas akibat ketenangannya telah diganggu orang.

"Baik, engkau yang memberikan sendiri. Awas, kupenggal lehermu!" kata Si Brewok dan pedang di tangannya lalu berkelebat, mengeluarkan sinar kilat ketika pedang menyambar ke arah leher yang pucat itu.

"Cratttt...!"

Sekali tebas, kepala itu pun terpisah dari tubuhnya. Akan tetapi sama sekali tak ada darah yang keluar.

Si Brewok segera menyambar rambut kepala itu dan mengangkat ke atas dengan wajah girang, dipandang oleh kedua orang sute-nya. Mereka melihat bahwa memang kepala itu adalah kepala pemuda tadi, dengan wajah masih tersenyum. Akan tetapi ketika mereka memandang ke arah tubuh di depan api unggun, mereka langsung terkejut dan merasa betapa tengkuk mereka meremang. Pemuda itu masih duduk dan kepalanya masih utuh. Bahkan kini pemuda itu menjulurkan kepalanya lagi ke arah Si Tinggi Besar muka merah.

"Apakah engkau juga butuh kepalaku? Nah, ambillah!"

Murid Bu-tong-pai yang tinggi besar itu seperti orang bingung. Dia hanya berdiri bengong memandang ke arah kepala pemuda itu yang masih menempel di tubuhnya, lalu menoleh dan memandang ke arah kepala yang tergantung di tangan kiri suheng-nya. Dia bergidik, akan tetapi kemudian dia mengeluarkan lengking panjang dan dia melompat ke depan, sekuat tenaga menggerakkan pedang di tangan kanannya membacok ke arah leher yang disodorkan itu.

"Crattttt...!"

Kembali pedang menebas buntung leher itu dan kepalanya sudah disambar oleh Si Muka Merah. Akan tetapi, meski pun jelas bahwa kepala yang berada di tangan kirinya dengan dijambak rambutnya itu adalah kepala Ang-hong-cu, akan tetapi kini pemuda yang duduk di dekat api unggun itu masih memiliki kepala yang utuh menempel pada lehernya. Malah pemuda itu kini menyodorkan lagi kepalanya dan melirik ke arah Si Muka Kuning.

"Engkau juga mau kepalaku? Nah, amblllah supaya kalian bertiga bisa pulang membawa masing-masing sebuah kepala!"

Seperti juga kedua orang temannya, Si Muka Kuning itu bengong, dengan mata terbelalak dan mulut celangap, menoleh ke arah pemuda itu, kemudian memandang pada dua buah kepala yang dijambak rambutnya oleh dua orang temannya. Dia pun jelas terlihat jeri dan ketakutan, bahkan bergidik hingga kedua pundaknya menggigil seperti orang kedinginan. Akan tetapi, melihat betapa kedua orang suheng-nya telah memegang sebuah kepala, dia pun mengatupkan giginya, lalu berteriak.

"Biar pun engkau siluman atau iblis, Ang-hong-cu, aku akan memenggal kepalamu!" Dan dia pun meloncat sambil mengayun pedangnya, mengerahkan tenaganya ketika pedang itu mengeluarkan sinar kilat dan menyambar ke arah leher itu.

"Crattttt...!"

Untuk ke tiga kalinya leher itu terbabat dan sebuah kepala disambar tangan kiri Si Muka Kuning. Ketiganya kini memandang dan ternyata pemuda itu masih duduk tenang di dekat api dengan kepala masih tetap utuh. Tiga kali kepalanya dipenggal, dan tiga buah kepala kini sudah berada di tangan kiri tiga orang murid Bu-tong-pai itu dan mereka berloncatan menjauh.

Sesudah mereka melihat lebih teliti, ke arah wajah dari kepala yang rambutnya dijambak, ketiganya menjerit penuh kengerian karena wajah dari kepala yang dipenggal dan berada di tangan mereka itu kini berubah menjadi wajah mereka sendiri! Seperti memegang ular berbisa mereka cepat-cepat melepaskan kepala itu yang terjatuh ke atas tanah kemudian lenyap begitu saja!

Tiga orang jagoan Bu-tong-pai itu sekarang terbelalak pucat. Jelas nampak betapa tubuh mereka menggigil, tangan yang memegang pedang juga gemetar. Mereka memandang ke arah pemuda yang masih saja duduk bersila di dekat api unggun. Meski pun dia takut setengah mati, namun Si Brewok mengumpulkan nyalinya dan berteriak lantang,

"Ang-hong-cu, biar pun engkau memiliki ilmu siluman, kami bertekad untuk membasmimu dan kami tidak takut kehilangan nyawa untuk membasmi kejahatan!"

Setelah berkata demikian, sambil mengeluarkan lengking nyaring Si Brewok sudah berlari menerjang ke arah Hay Hay, diikuti oleh kedua orang sute-nya yang juga sudah menjadi nekat. Melihat kenekatan mereka, Hay Hay bangkit menyambar buntalan pakaiannya.

"Sialan, mengganggu orang saja!" katanya, kemudian sekali berkelebat dia pun lenyap dari depan tiga orang itu yang menjadi bengong terlongong.

Mereka tidak tahu harus mengejar ke mana. Pula, mereka kini yakin bahwa Ang-hong-cu atau bukan, orang muda itu memiliki ilmu kepandaian yang sungguh sangat hebat, bukan hanya pandai ilmu sihir yang sudah berkali-kali membuat mereka kecelik, akan tetapi juga memiliki ilmu silat tinggi. Buktinya, gerakan pemuda itu demikian cepatnya seperti pandai menghilang saja.

Mereka terpaksa pergi meninggalkan bukit itu dan di sepanjang perjalanan mereka tidak pernah berhenti membicarakan orang muda luar biasa itu. Ada kesangsian di dalam hati mereka apakah benar pemuda itu Ang-hong-cu, karena kalau dia benar si penjahat cabul, tentu mereka takkan dibiarkan hidup. Melihat pembawaan dan sikap pemuda itu, agaknya tidak patut disebut orang jahat, biar pun pemuda itu tampan dan membawa hiasan tawon merah.

Sementara itu, sambil bersungut-sungut dengan hati yang mengkal bukan main, Hay Hay terpaksa meninggalkan bukit indah itu dan karena dari tempat tinggi itu dia tidak melihat adanya dusun dekat situ, terpaksa dia memasuki sebuah hutan lebat yang nampak gelap sekali. Lebih baik di tempat tersembunyi itu agar tidak terganggu lagi, pikirnya. Malam ini dia ingin tidur nyenyak. Dia memanjat sebatang pohon besar dan tak lama kemudian Hay Hay telah tidur nyenyak, terjepit di antara tiga cabang pohon yang saling melintang.

********************

Bunyi suling itu naik turun dengan merdunya, kadang-kadang melayang tinggi di angkasa, bermain-main dengan awan yang bergerak menuju timur, kemudian di lain saat menukik turun seolah bermain-main di permukaan anak sungai, berdendang bersama riak air yang berkejaran di antara batu-batu hitam mengkilat, bahkan kemudian menyelam dan bersatu dengan suara yang dalam dan aneh dari perut bumi, untuk pada lain saat muncul kembali kemudian berdendang mengiringi angin yang bersilir sejuk di antara daun-daun, gemerisik suara daun-daun, dan akhirnya menyatu dengan kicau burung yang menyambut pagi.

Sukma Hay Hay melayang-layang, hanyut oleh suara suling itu. Ia ikut melayang di antara awan-awan, kemudian naik cahaya matahari pagi, turun hingga ke permukaan sungai, ikut berkejaran bersama suara suling dan riak air di antara batu-batuan, turut pula menyelam sampai dalam tak terukur lagi.

Tiba-tiba suara suling itu terhenti dan Hay Hay tersentak kaget, lalu membuka mata dan bangkit duduk. Baru teringat bahwa dia berada di antara tiga cabang pohon besar. Sinar matahari sudah mulai menyusup di antara celah-celah cabang, ranting serta daun pohon, menciptakan cahaya yang kecil tajam menyilaukan mata, mengusir kabut yang mulai naik membubung dari permukaan tanah dan dari daun-daun pohon di mana semalam mereka berkumpul.

Burung-burung berkicau sambil beterbangan dari dahan ke dahan, suasananya cerah dan riang bukan main seakan-akan semua makhluk hidup, baik yang bergerak mau pun yang tidak, menyambut datangnya pagi itu dengan penuh keriangan. Memang cahaya matahari pagi merupakan sesuatu yang baru, yang mengakhiri cuaca gelap yang membuat semua makhluk mengundurkan diri, dan cahaya pagi seakan-akan menghidupkan kembali segala sesuatu yang mati selama satu malam.

Kini Hay Hay terseret oleh arus kegembiraan yang menyelimuti seluruh permukaan alam di sekelilingnya. Dia lupa lagi akan suara suling yang tadi didengarnya, dan dianggapnya bahwa dia tadi bermimpi, mimpi yang indah bukan main.

Buntalan pakaian yang tadi malam dipergunakan sebagai bantal, kini diikatkan kembali ke punggungnya, lalu dia pun merayap turun perlahan-lahan. Dia tidak mau meloncat karena melihat betapa beberapa ekor kelinci berloncatan saling kejar di antara semak-semak di bawah pohon dan dia tidak ingin mengejutkan dan membuat takut mereka.

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.