Pendekar Mata Keranjang Jilid 23

Serial Pedang Kayu Harum Episode Pendekar Mata Keranjang Jilid 23
Sonny Ogawa
Hay Hay berdiri tertegun, memandang ke sekeliling yang gundul dan sunyi, lalu menarik napas panjang. Mengapa dia harus mentaati saja semua perintah gila dan aneh ini? Apa manfaatnya mengubur diri dalam pasir? Apakah dia sudah menjadi gila?

Walau pun pikirannya sangat kacau, tetap saja dia menggali lubang menggunakan jari-jari tangannya, kemudian masuk ke dalam lubang, bersila lantas menguruk tubuhnya dengan pasir sampai tubuhnya yang bersila itu terpendam pasir sebatas leher.

Mula-mula terasa hangat dan nyaman sehingga dia bisa memusatkan pikiran mengulang kalimat itu sambil mengheningkan cipta dengan tenang dan anteng. Akan tetapi, tak lama kemudian dia mulai merasa gatal-gatal ketika pasir bergerak, bahkan menjadi geli seperti digelitik. Dia mengerahkan sinkang mengusir perasaan tidak enak itu dan berhasil. Makin lama, setelah mengulang kalimat itu ratusan kali, timbul pendalaman mengenai kalimat itu dan dia pun mulai menyelidiki dengan mengamati diri sendiri.

"Yang merasa dirinya pintar adalah tolol…!"

Tentu saja! Perasaan demikian itu sesungguhnya hanya merupakan suatu kecongkakan saja, merajalelanya si aku yang ingin mengangkat diri sampai setinggi-tingginya, sebesar-besarnya, yang paling besar, yang tak bisa lenyap, yang abadi dan banyak macam ‘yang ter’ lagi. Perasaan ini hanya timbul dari pikiran yang bukan lain adalah si aku sendiri.

Orang yang merasa dirinya pintar adalah orang-orang bodoh yang mudah bersikap tinggi hati, sombong, congkak, merasa benar sendiri, menang sendiri, meremehkan orang lain. Tentu saja orang macam itu adalah tolol sekali.

Kemudian kalimat lanjutannya yang merupakan kebalikannya,

"Yang merasa dirinya bodoh adalah waspada…!"

Bukan pintar, melainkan waspada. Memang sesungguhnya, apa bila orang mengamati diri sendiri lantas merasa betapa dirinya, seperti semua manusia lain, sebenarnya hanyalah makhluk-makhluk yang banyak sekali kekurangan serta kelemahannya, maka dia adalah orang yang waspada. Kewaspadaan itu sendiri yang akan mengadakan perubahan pada dirinya, menghilangkan segala macam kebodohan dalam bentuk keangkuhan, ketinggian hati dan sebagainya dan kewaspadaan ini yang akan melenyapkan kebodohannya. Bukan berarti lalu menjadi pintar, karena kalau dia merasa pintar, berarti dia terjeblos ke dalam kebodohan yang akan membuatnya tolol!

'Merasa' di dalam hal ini berbeda dengan 'mengaku'. Hanya mengaku diri bodoh saja tak ada artinya. Pengakuan itu malah menjadi selubung untuk menyembunyikan pamrih yang sebenarnya, yaitu agar dianggap orang yang 'waspada', agar dianggap orang yang tahu akan kebodohannya dan karena itu waspada dan berisi. Bukan pengakuan yang ditujukan kepada orang lain, melainkan perasaan yang merupakan pengakuan terhadap diri sendiri, bukan sekedar mengaku, melainkan yakin karena melihat sendiri kebodohannya.

Itu adalah batiniahnya, sedangkan secara lahiriah, orang yang merasa pintar tentu akan mengabaikan segala macam pendapat dan pengertian orang lain, sehingga orang seperti ini tidak akan mampu menambah pengertiannya sehingga seperti katak dalam tempurung dan tenggelam ke dalam kebodohannya.

Sebaliknya, orang yang merasa dirinya bodoh, tentu akan selalu haus dengan pelajaran, selalu ingin tahu dan ingin menambah pengetahuannya, mendengar pendapat dan buah pikiran orang lain sehingga muncul kewaspadaannya dan tentu dia tidak bodoh bila mana sudah mau belajar setiap saat!


Hay Hay tenggelam di dalam hening ketika menyelami isi kalimat itu dan tahu-tahu malam telah larut. Tiba-tiba saja dia mendengar sesuatu, gerakan yang ringan dan halus. Karena telinganya berada dekat dengan permukaan pasir, maka dia menjadi lebih peka lagi.

Dicobanya untuk menembus kegelapan dengan pandang matanya, namun tidak berhasil. Gelap pekat malam itu. Bintang-bintang tertutup mendung. Kemudian, suara itu semakin jelas dan tiba-tiba dia melihat ada tiga ekor tikus besar berada di dekat kepalanya!

Celaka! Kedua tangannya berada di bawah pasir. Hanya kepalanya saja yang tersembul keluar dan bagaimana jika nanti tikus-tikus ini menggigitnya? Kalau hidungnya atau daun telinganya digigit, tentu dia tidak akan mampu melindungi anggota badan itu!

Tikus-tikus itu mendekat dan mulai mencium-cium mukanya. Terasa geli sekali dan bau apek menyerang hidungnya. Kumis-kumis panjang tiga ekor tikus itu menyapu-nyapu, geli dan jijik rasanya

“Phuhhhhh...!" Hay Hay menggunakan sinkang-nya dan meniup ke arah tiga ekor tikus itu. Tiupannya kuat sekali, pasir-pasir berhamburan menyerang tiga ekor tikus itu yang segera lari mencicit ketakutan.

"Amaaaann...!" Hay Hay bernapas lega.

Tidak ada lagi tikus yang datang, akan tetapi mendadak dia merasa ada benda bergerak yang menyentuh-nyentuh tubuhnya yang telanjang. Celaka! Tikus-tikus itu, atau binatang-binatang kecil lain, mungkin cacing atau serangga bawah tanah yang sekarang juga mulai ikut mengganggunya dari bawah! Dan dia tak mampu bergerak untuk mengusir binatang-binatang itu. Bagaimana kalau anggota tubuhnya yang terpendam digerogoti?

Ihhh…, dia merasa ngeri bukan main dan bila menurutkan perasaan takut dan ngeri, mau rasanya sekali meloncat keluar dari pendaman pasir itu. Akan tetapi tidak, dia harus dapat mempertahankan diri.

Memang ini merupakan ujian, pikirnya. Kini dia pun tahu bahwa selain dilatih untuk siulian (semedhi) dan mengamati diri sendiri, juga kakek aneh itu sengaja ingin menguji dirinya, batinnya, badannya, merupakan suatu gemblengan lahir batin yang makin lama semakin berat! Dia harus sanggup mempertahankan diri dan mengatasi semua godaan itu, betapa pun berat derita dan siksa yang dirasakannya.

Maka dia lalu mengerahkan sinkang-nya dan setiap kali ada gelitik atau gigitan kecil pada tubuhnya, dia segera mengerahkan sinkang dan membuat tubuhnya menjadi panas. Apa yang dilakukannya ini ternyata menolong. Karena tubuhnya sudah dilindungi oleh sinkang panas dan kekebalan, meski pun masih ada gigitan-gigitan, namun yang terluka hanyalah kulitnya saja yang menimbulkan rasa perih. Akan tetapi karena tubuh itu berada di dalam pasir yang panas, maka perasaan nyeri itu tidaklah terasa benar.

Menjelang pagi terdengar lolong anjing. Hay Hay terbelalak. Celaka kalau yang datang itu adalah anjing liar atau serigala! Cuaca yang remang-remang membuat dia dapat melihat bayangan lima ekor anjing yang besar-besar! Benar saja, lima ekor anjing liar datang ke tempat itu!

Jantungnya berdebar tegang. Tidak mungkin dia menggunakan tiupannya untuk mengusir anjing-anjing itu seperti yang dilakukannya terhadap gangguan tiga ekor tikus tadi malam. Kalau lima ekor anjing liar itu menggigitnya, maka dia tidak akan mampu mengelak atau menangkis. Sungguh mengerikan!

Lima ekor arijing itu berhenti, mengepungnya sambil menyalak-nyalak, memamerkan gigi mereka yang besar serta runcing. Hay Hay menenangkan hatinya. Dalam keadaan panik dia bisa benar-benar celaka, pikirnya. Dia memang tidak boleh mengeluarkan tangan dan yang nampak hanyalah kepalanya. Akan tetapi mengapa dia tidak mau mempergunakan akal?

Sebagai seorang ahli silat tingkat tinggi bukan hanya kaki dan tangannya saja yang telah terlatih, akan tetapi kepalanya juga. Bahkan bagian kepalanya yang di depan, belakang, kanan dan kiri merupakan bagian-bagian yang keras dan kuat. Kalau terpaksa, dia akan mampu membela diri dengan kepalanya!

Agaknya lima ekor anjing itu merasa ragu-ragu dan agak jeri juga melihat sebuah kepala manusia hidup tersembul di atas pasir. Setelah menggonggong dan menyalak cukup lama tanpa ada reaksi dari kepala itu, mereka mulai mendekat dan mencium-cium dengan alat penciuman mereka yang amat peka. Makin dekat mereka mencium, makin kuat saja bau mereka menusuk hidung Hay Hay. Bau apek, amis dan busuk.

Namun Hay Hay tidak memperhatikan itu semua karena seluruh perhatiannya dicurahkan mengikuti gerak-gerik mereka, siap untuk melawan apa bila anjing-anjing itu menyerang. Dan lima ekor anjing itu amat cerdik karena tiba-tiba saja salah seekor di antara mereka menyerang lebih dulu, menubruk dari belakang dengan moncong lebar menggigit ke arah tengkuk Hay Hay! Empat ekor yang lain hanya menyalak-nyalak di dekat muka Hay Hay, agaknya untuk membikin panik korban mereka itu.

Biar pun kepalanya tak mampu menengok dan di belakang kepala itu tidak ada matanya, namun Hay Hay dapat mendengar gerakan serangan anjing pertama yang menerkam dan menggigit dari belakangnya itu. Sambil mengerahkan tenaga sinkang, Hay Hay langsung menyambut terkaman itu dengan gerakan kepala yang memukul ke belakang.

"Prakkk!"

Belakang kepala Hay Hay bertemu dengan moncong binatang itu secara keras sekali. Anjing itu menguik keras dan terpelanting, kemudian berteriak kesakitan. Ujung hidungnya pecah berdarah. Pada saat itu pula anjing ke dua sudah menerkam dari depan, disambut oleh dahi Hay Hay dengan cepat dan kuatnya.

"Desss...!"

Anjing ke dua ini pun menguik keras dan terpelanting dengan hidung dan ujung moncong berdarah dan pada saat itu, Hay Hay sudah menggerakkan kepalanya ke kanan kiri untuk menyambut terkaman dua anjing lainnya yang menyerang dari samping. Dua ekor anjing ini pun melolong kesakitan, diikuti anjing terakhir yang moncongnya bertemu lagi dengan bagian belakang kepala Hay Hay yang keras.

Lima ekor anjing yang kesakitan itu menjadi ketakutan, lantas mereka pun lari tunggang-langgang sambil menguik-nguik, diikuti pandangan mata Hay Hay yang berseri-seri penuh kelegaan dan juga kegelian hatinya. Pengalaman ini benar-benar menegangkan dan lebih berbahaya dari pada latihan pertama di dalam air itu.

Pada keesokan harinya tidak terdapat gangguan binatang, akan tetapi rasa panas seperti membakar dirinya. Matahari membakar pasir, sementara itu dari bawah juga membubung hawa panas yang membuat kepala yang tersembul di atas pasir itu basah oleh keringat. Namun Hay Hay masih mampu bertahan dan bahkan dia tidak pernah lagi menghentikan renungannya atas kalimat yang harus dlhafalnya.

Malam itu pun hanya ada seekor harimau yang menghampirinya dan mencium-ciumnya, membuat Hay Hay hampir kehilangan nyali. Akan tetapi sungguh aneh, harimau itu tidak mengganggunya dan pergi lagi tanpa sedikit pun menyerangnya! Pada keesokan harinya, setelah dua malam dia bertapa di dalam pasir, Kakek Song muncul di depannya.

"Bagus, engkau berhasil. Keluarlah untuk mengikuti latihan-latihan selanjutnya."

Dengan semangat lebih besar dari kemarin dulu walau pun dengan perut lebih lapar lagi, Hay Hay keluar dari dalam pendaman pasir itu dan kembali dia terkejut dan girang. Begitu suhu-nya memanggil dan dia mempunyai niat untuk keluar dari situ, tiba-tiba sudah timbul tenaga yang amat besar dan tubuhnya seperti dijebol dari dalam. Sekali bergerak saja dia sudah keluar dari pendaman itu dengan tubuh terasa segar dan semangat berkobar! Dia pun cepat menjatuhkan diri berlutut di depan suhu-nya dalam keadaan telanjang bulat itu.

"Bagus, engkau berhasil. Sudah, tak perlu segala upacara ini. Hayo bangun dan ikuti aku, taati semua petunjukku."

Dengan penuh semangat Hay Hay mengikuti gurunya ke goa dan mengenakan kembali pakaiannya, kemudian mencari buah-buahan untuk dia beserta gurunya. Dia masih harus mengikuti cara berlatih yang aneh, berpuasa dan bertapa dengan cara yang sebenarnya amat berat dan berbahaya. Namun semua dia taati dan dia lakukan penuh semangat dan pantang mundur.

Tiga hari tiga malam tanpa makan dia harus bertapa dengan cara bergantung di cabang pohon yang tinggi, dengan dua kaki terikat yang bergantung dan kepala di bawah! Latihan ini berat bukan main, dan hanya orang yang sudah memiliki sinkang yang amat kuat saja dapat bertahan. Peredaran darah menjadi tidak seperti biasanya, terlampau banyak darah mengalir di dalam kepala, maka pada hari pertama terasa amat berat dan mendatangkan pemandangan-pemandangan khayal yang menakutkan.

Tapi Hay Hay amat teguh sehingga berhasil melewati waktu tiga hari dengan baik sambil menghafal kalimat yang diberikan kakek itu, begini bunyinya: ‘Langit di bawah kaki, Bumi di atas kepala, atas bawah baik buruk hanya pendapat, bukan kebenaran nyata!’

Ada pula latihan berpuasa tujuh hari tujuh malam sambil bersemedhi di dalam kegelapan. Di dalam goa terdapat terowongan yang pada ujungnya terdapat sebuah ruangan bawah tanah yang sangat gelap. Tidak ada sedikit pun cahaya masuk, siang malam sama saja gelap pekat hitam legam.

Di tempat inilah Hay Hay harus duduk bersemedhi dan bertapa dalam keadaan telanjang bulat, dengan kalimat yang harus diingatnya, kalimat yang paling aneh di antara kalimat lain yang pernah diajarkan kepadanya. ‘Tiada cahaya, tiada bentuk tiada warna tidak ada apa-apa, kosong hampa hening...!"

Dan ternyata latihan ini terasa paling berat bagi Hay Hay. Dia tidak lagi mengenal waktu, tak lagi melihat apa-apa, tidak mendengar apa-apa, tidak mencium apa-apa, tidak meraba apa-apa. Seluruh anggota tubuhnya seperti mati, tidak melakukan kegiatan apa pun. Akan tetapi anehnya, dalam keadaan tanpa gerak itu pikirannya menjadi semakin liar, bagaikan seekor naga yang terikat dan meronta, meliar, memberontak hendak keluar.

Ketika dia dapat menenangkannya, muncul bermacam-macam gambaran yang membuat dia merasa seperti telah menjadi gila! Segala ingatan datang dan pergi dengan cepatnya. Teringat dia akan pengalamannya di waktu kanak-kanak, dan bahkan terbayang olehnya seorang lelaki yang menyerupai dirinya, Si Tawon Merah yang menjadi ayah kandungnya. Terasa olehnya seolah-olah lelaki yang menjadi ayah kandungnya itu menyusup ke dalam dirinya, dan membawa pula rangsangan-rangsangan birahi ke dalam tubuhnya, membuat dia gelisah dan hampir tidak kuat bertahan. Terbayang segala hal yang indah dan cantik menarik dari para wanita, membuat nafsu birahi dalam dirinya berkobar dan menyesakkan napas, menuntut pelepasan.

Dan akhirnya, yang paling hebat dan berat dari segala godaan ini, di dalam kegelapan itu tiba-tiba saja muncul seorang wanita yang luar biasa cantiknya. Wanita yang mempunyai seluruh unsur kecantikan yang dapat digambarkan oleh otaknya!

Dengan suara merayu-rayu, membawa keharuman khas wanita, ia menghampiri Hay Hay, membelai serta merayunya, merangkul dan menciuminya, dan hampir saja Hay Hay tidak kuat lagi bertahan. Napasnya telah terengah memburu, seluruh tubuhnya sudah menggigil dan di dalam hatinya terjadi perang yang sangat seru antara keinginan untuk merangkul mendekap wanita itu dan menahan diri.

"Kosong hampa hening... kosong hampa hening...!" hanya tiga kata ini yang dapat diingat olehnya, akan tetapi diucapkannya tiga kata yang teringat itu keras-keras, dengan seluruh kekuatan batinnya dan dengan seluruh perhatiannya, dan tiba-tiba lenyaplah wanita yang membelai seluruh tubuhnya itu.

Hay Hay merasa betapa seluruh tubuhnya basah dengan keringatnya sendiri dan betapa napasnya terengah-engah. Tubuhnya terasa lemas seolah-olah baru saja menggunakan tenaga yang amat besar. Dia bergidik sesudah teringat betapa hampir saja dia kalah oleh godaan yang timbul dari pikirannya sendiri, karena sekali dia terpeleset dan jatuh, kalah oleh godaan itu, mungkin latihannya akan berakhir dengan kemunculan seorang laki-laki yang gila.

Dia tentu akan menjadi gila apa bila tadi dia kalah. Cepat dia berkemak-kemik membaca kalimat yang telah diajarkan suhu-nya, "Tiada cahaya, tiada bentuk tiada warna tidak ada apa-apa, kosong hampa hening...!"

Memang sekarang bisa dirasakannya sendiri, bahwa segala sesuatu merupakan hasil dari pada pendapat pikiran sendiri dan disesuaikan dengan pengalaman, dengan keadaan diri sendiri, dengan kebutuhan badan serta keinginan batin untuk menyenangkan diri sendiri. Sesungguhnya tidak ada apa-apa, kalau pun ada maka kita sendirilah yang mengadakan.

Susah, senang, buruk, baik, duka, suka, dan semua keadaan dengan kebalikan-kebalikan itu hanya ada karena kita adakan oleh pikiran. Kalau pikiran kosong, hampa dan hening, maka sebetulnya tidak ada apa-apa. Semua itu hanya permainan pikiran yang merasakan adanya suatu keadaan. Jika pikiran tidak mengada-ada maka yang ada hanyalah kosong, hampa dan hening seperti keadaan seseorang yang tidur pulas tanpa mimpi!

Sampai kurang lebih satu bulan Hay Hay selalu melaksanakan perintah Kakek Song dan melakukan bermacam latihan dan tapa yang aneh-aneh dan macam-macam. Akan tetapi semua itu, bahkan yang terberat sekali pun, yaitu bertapa di tempat gelap selama tujuh hari tujuh malam, dapat dilewatinya dengan baik.

Setelah bertapa di tempat gelap, Hay Hay pun dipanggil oleh Kakek Song. Dia keluar dari terowongan, mengenakan pakaian dan menjatuhkan diri berlutut di depan kaki orang itu. Tidak seperti biasanya, kini kakek itu hanya memandang Hay Hay sambil mengangguk-angguk.

"Bagaimana, Hay Hay? Apakah kini engkau masih memandang aku sebagai orang yang gila?" akhirnya dia bertanya dengan suaranya yang aneh, karena suara itu kadang kala parau namun kadang-kadang halus lembut penuh wibawa.

Hay Hay mengangkat mukanya dan memandang kakek itu. Dia terkejut karena tak pernah menyangka jika kakek ini tahu bahwa dia pernah memandangnya sebagai seorang yang berotak miring. Sekarang, sejak beberapa hari yang lalu, dia sudah tak lagi beranggapan demikian. Malah sebaliknya, dia tahu bahwa kakek ini adalah seorang yang sangat tinggi ilmunya, amat bijaksana dan waspada, seorang manusia yang telah bersatu dengan alam hingga tak lagi menghiraukan segala kesibukan lahiriah dan selalu bersikap wajar. Justru kewajarannya itu bagi manusia pada umumnya akan nampak aneh dan gila.

"Teecu telah menerima banyak petunjuk dari Suhu, teecu merasa gembira dan beruntung sekali. Teecu hanya menanti apa petunjuk Suhu selanjutnya agar teecu bisa mentaatinya dengan baik untuk menambah pengertian teecu tentang hidup dan diri sendiri."

"Heh-heh-heh, latihan-latihan selama sebulan ini merupakan gemblengan yang jauh lebih berhasil dari pada gemblengan bertahun-tahun dari gurumu."

"Teecu menyadari hal itu, Suhu, dan teecu mengharapkan petunjuk selanjutnya."

"Ha-ha-ha, tiada sesuatu tanpa akhir di dunia ini kecuali cinta kasih, Hay Hay. Hubungan lahiriah bahkan lebih rapuh lagi, dan kita harus berpisah hari ini. Lanjutkan perjalananmu dan jangan kau ingat lagi kepadaku."

"Betapa mungkin teecu dapat melupakan Suhu yang sudah melimpahkan begitu banyak kasih sayang kepada teecu?"

"Ha-ha-ha, aku tak pernah memberi sesuatu, dan engkau pun hanya menerima hasil dari pada jerih payahmu sendiri. Boleh saja engkau ingat kepada manusia lain bernama Kakek Song, aku tidak peduli, akan tetapi aku tidak akan ingat lagi kepadamu. Aku hanya akan ingat kepada seorang pemuda nakal bersama Hay Hay yang sangat tekun dan tahan uji. Nah, untuk selanjutnya tentukan langkahmu sendiri. Hanya ada satu pesanku kepadamu. Kalau engkau mendaki gunung yang kelihatan biru di sana itu, engkau akan mendapatkan sebuah air terjun yang besar. Di balik air terjun itu terdapat sebuah goa. Belasan tahun aku pernah bertapa di sana. Kalau engkau mau bertapa di bawah air terjun, membiarkan air terjun menyiram kepala dan tubuhmu selama tiga hari tiga malam, maka engkau akan memperoleh kematangan yang amat menguntungkan badanmu. Nah, aku pergi sekarang, Hay Hay!" Seperti biasa, kakek itu tanpa ragu lagi berkelebat dan lenyap.

Hay Hay maklum akan keanehan gurunya, karena itu tidak berani mengejar, hanya tetap berlutut memberi hormat ke bekas tempat duduk suhu-nya. Tidak lama kemudian dia pun bangkit dan pergi meninggalkan bukit itu menuju ke gunung yang tampak biru, di sebelah selatan bukit itu.

Ada sesuatu di dalam langkahnya yang membedakan Hay Hay dari keadaannya sebulan yang lalu. Langkah satu-satu yang membawa dirinya maju itu demikian mantapnya, tanpa ragu-ragu, dan senyum di bibirnya itu kini terlihat penuh pengertian, sepasang mata yang mencorong mengandung kelembutan.

Benarkah bahwa gemblengan yang satu bulan itu lebih berhasil dari pada gemblengan bertahun-tahun yang pernah didapatkannya. Dia tidak diberi pelajaran ilmu silat atau ilmu apa pun juga oleh Kakek Song, namun gemblengan sebulan lamanya itu membuat semua ilmu yang pernah dipelajarinya menjadi lebih matang dan sempurna.

********************

cerita silat online karya kho ping hoo

Sebelum kita mengikuti perjalanan Hay Hay, mari lebih dulu kita menengok ke belakang beberapa tahun yang silam untuk mengikuti perjalanan Kok Hui Lian dan Ciang Su Kiat. Seperti pernah diceritakan di bagian depan kisah ini, Ciang Su Kiat adalah bekas murid Cin-ling-pai yang lengan kirinya buntung sebatas siku, bertubuh tinggi besar dan berwatak jujur dan keras.

Telah diceritakan pula betapa dia menyelamatkan seorang anak perempuan bernama Kok Hui Lian yang kemudian menjadi murid, bahkan dianggap sebagai anak sendiri olehnya. Kok Hui Lian adalah puteri mendiang Kok-taijin, seorang gubernur dari San-hai-koan.

Kemudian, dalam perjalanan mereka, ketika Ciang Su Kiat berusia tiga puluh empat tahun dan Hui Lian berusia belasan tahun, mereka bertemu dengan Lam-hai Giam-lo yang amat jahat. Lam-hai Giam-lo menangkap Hui Lian dengan niat keji, tetapi Ciang Su Kiat segera menyerangnya sehingga terjadi perkelahian yang mengakibatkan Ciang Su Kiat terjatuh ke dalam jurang dan Hui Lian ikut meloncat ke dalam jurang yang amat curam itu.

Akan tetapi keduanya tidak binasa, bahkan menemukan kitab-kitab rahasia peninggalan dua orang sakti dari Delapan Dewa, yaitu mendiang Sian-eng-cu The Kok dan mendiang In Liong Nio-nio. Dua orang itu kemudian hidup di tebing jurang, di dalam sebuah goa dan mereka mempelajari ilmu kesaktian dari dua kitab ilmu peninggalan dua orang sakti itu.

Juga mereka berdua terpaksa hanya makan daging burung, telur, dan jamur-jamur kecil. Akan tetapi makanan ini malah membuat mereka menjadi kuat, bahkan karena memakan makanan aneh ini selama sepuluh tahun, tubuh Hui Lian mengeluarkan bau yang harum seperti bunga!

Setelah mendapat ilmu yang amat tinggi, ditambah makanan aneh selama sepuluh tahun, Su Kiat dan Hui Lian berhasil keluar dari tempat terasing itu, mendaki tebing jurang yang sangat curam. Mereka sudah meninggalkan dunia ramai selama sepuluh tahun dan ketika mereka berhasil keluar dari situ, Ciang Su Kiat sudah berusia empat puluh empat tahun ada pun Kok Hui Lian telah menjadi seorang gadis dewasa berusia dua puluh dua tahun! Seorang gadis yang cantik dan keras, dengan keringat berbau harum.

Tentu saja mereka merasa sakit hati terhadap Lam-hai Giam-lo sehingga mulailah mereka mencari tokoh sesat itu untuk membalas dendam. Akhirnya mereka berhasil menemukan Lam-hai Giam-lo kemudian menyerangnya hingga hampir berhasil membunuhnya, namun iblis itu cepat-cepat melarikan diri. Mereka terus memburunya dan berkali-kali menyerang tokoh sesat itu, tetapi lawannya selalu dapat menyelamatkan diri.

Lam-hai Giam-Io menjadi ketakutan menghadapi dua orang yang haus akan darahnya itu sehingga akhirnya dia pun mencukur gundul rambut kepalanya lantas menyamar menjadi hwesio kuil Siauw-lim-pai. Demikianlah kisah yang sudah kita ketahui pada bagian depan cerita ini.

Meski pun terus mengejar tanpa mengenal lelah, akhirnya Ciang Su Kiat dan Kok Hui Lian kehilangan musuhnya itu. Sesudah mencari-cari tanpa hasil, keduanya lalu menghentikan pencarian mereka.

"Sudahlah, tak perlu lagi kita mencari lebih jauh," kata Su Kiat kepada Hui Lian. "Dia tentu sedang bersembunyi dan selama dia tidak keluar di dunia ramai, tidak mungkin kita dapat menemukannya. Kita tunggu saja sampai dia muncul lagi di dunia ramai. Tentu kita akan mendengar tentang sepak terjangnya dan belum terlambat membunuhnya kalau kelak kita mendengar namanya disebut orang."

"Baiklah, Suheng. Lalu sekarang kita akan pergi ke mana?" tanya Hui Lian.

Sejak bersama-sama mempelajari dua kitab yang mereka temukan di dalam goa di tebing yang curam itu, Su Kiat minta kepada Hui Lian supaya gadis ini tak lagi menganggapnya sebagai guru. Secara kebetulan mereka berdua telah menerima peninggalan warisan ilmu dari dua orang sakti, sehingga mereka berdua menjadi murid-murid kedua orang sakti itu dan dengan sendirinya mereka menjadi suheng dan sumoi.

Mula-mula Hui Lian tidak setuju karena dia merasa betapa Su Kiat adalah penolongnya, juga gurunya dan selama ini Su Kiat menganggapnya sebagai murid dan anak angkat. Akan tetapi atas desakan Su Kiat, Hui Lian yang ketika itu baru berusia dua belas tahun akhirnya mau menurut dan demikianlah, mereka lalu belajar bersama dan menjadi seperti kakak dan adik seperguruan.

Memang ada keanehan dalam hubungan antara mereka. Walau pun di tempat terasing itu Hui Lian tumbuh menjadi gadis dewasa yang amat cantik menarik, namun Su Kiat selalu dapat menguasai dirinya dan tidak sampai memiliki keinginan yang bukan-bukan terhadap gadis itu. Biar pun kini mereka saling panggil seperti kakak dan adik seperguruan, namun Su Kiat tetap memandang gadis itu sebagai anaknya sendiri, dan di dalam hatinya hanya ada kasih sayang dan iba seperti perasaan seorang ayah terhadap anaknya. Pandangan inilah yang menjauhkan nafsu birahinya, sungguh pun gadis yang hidup di sampingnya itu memiliki daya tarik dan daya pikat yang amat kuat.

Ketika Hui Lian bertanya ke mana mereka akan pergi, Su Kiat menjadi bingung juga. Dia memang hidup sebatang kara. Ketika masih menjadi murid Cin-ling-pai, dia sudah hidup sebatang kara, tanpa keluarga.

Gadis yang menjadi sumoi-nya itu juga hidup sebatang kara. Seluruh keluarganya, yaitu keluarga Kok yang pernah menjadi keluarga bangsawan terhormat, sudah terbasmi habis ketika terjadi pemberontakan. Gubernur Kok dan keluarganya telah habis. Mungkin masih ada sisanya, akan tetapi dia tidak ingin membawa Hui Lian kembali kepada keluarga Kok di San-hai-koan, karena dia tidak mau kehilangan gadis itu.

Tetapi dia pun tidak boleh membiarkan Hui Lian hidup menjadi gelandangan tanpa tempat tinggal yang patut. Hui Lian telah menjadi seorang gadis yang cukup dewasa, yang sudah sepantasnya bila dijodohkan! Dan untuk dapat menjodohkannya dia harus mencari tempat tinggal yang tetap dan hidup sebagai keluarga terhormat.

"Sumoi, kini kita harus memilih dusun yang cocok untuk menjadi tempat tinggal kita. Kita harus hidup sebagai keluarga yang pantas, memiliki rumah dan sawah yang memadai..."

"Akan tetapi, kita akan bekerja apa kalau tinggal di dusun, Suheng? Tidakkah sebaiknya bila kita tinggal di sebuah kota di mana kita dapat bekerja, misalnya membuka perguruan silat?"

Su Kiat mengangguk-angguk. Memang tak keliru pendapat sumoi-nya itu. Bagaimana dia dapat bercita-cita menjadi petani kalau lengannya hanya sebelah? Dia tidak mempunyai modal, dan tidak memiliki keahlian lain kecuali ilmu silat. Karena itu, untuk dapat mencari uang guna membeli rumah dan sebagainya, satu-satunya kemungkinan hanyalah menjual kepandaian itu dengan membuka perguruan silat.

Akhirnya mereka memilih sebuah dusun yang berada di tepi Sungai Cia-ling di luar kota Kong-goan untuk menjadi tempat tinggal. Dusun itu tidak besar, hanya merupakan dusun nelayan yang hidupnya dari menyewakan perahu untuk mengangkut rempah-rempah dan mencari ikan di Sungai Cia-ling, dan semua penghuni dusun itu mencari nafkah ke kota Kong-goan yang besar.

Mereka membeli sebidang tanah dengan harga murah, agak terpencil di ujung dusun, lalu membangun sebuah pondok sederhana. Sesudah memiliki rumah tinggal, barulah Su Kiat dan Hui Lian bicara tentang mencari pekerjaan.

"Suheng, apakah engkau tidak mempunyai pikiran untuk pergi mengunjungi Cin-ling-pai?" Kedua mata yang bening itu menatap tajam wajah suheng-nya. "Bukankah Cin-ling-san dekat dari sini, di sebelah utara itu?"

Su Kiat menghela napas panjang. Pertanyaan sumoi-nya itu mengingatkan dia akan masa mudanya di Cin-ling-pai, kemudian tanpa sengaja dia melirik ke arah lengan kirinya yang buntung. Tidak, dia tidak mendendam kepada Cin-ling-pai! Dia sendiri yang membuntungi lengan kirinya, sungguh pun dia didesak oleh ketua Cin-ling-pai yang berhati keras seperti baja itu. Dia telah keluar dari Cin-ling-pai dan tidak ada sangkut-paut lagi. Untuk apa pergi ke sana?

Dia tahu bahwa sumoi-nya merasa penasaran dan sakit hati terhadap Cin-ling-pai setelah mendengar ceritanya tentang penyebab buntungnya lengan kirinya. Sungguh kejam ketua Cin-ling-pai itu, demikian sumoi-nya membentak, tidak patut menjadi ketua perkumpulan orang-orang yang mengaku pendekar gagah perkasa!

Dia menggelengkan kepala dan memandang wajah sumoi-nya. "Tidak, Sumoi. Antara aku dan Cin-ling-pai kini sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi. Untuk apa aku berkunjung ke sana? Hanya akan menggali kenangan-kenangan pahit belaka."

Pada suatu hari mereka berdua pergi memasuki kota Kong-goan yang besar dan ramai. Kota ini terletak di dekat perbatasan antara Propinsi Secuan dan Shen-si, di sebelah timur Sungai Cia-ling. Karena Sungai Cia-ling datang mengalir dari utara, jauh dari pedalaman Propinsi Kan-su, kemudian mengalir ke selatan memasuki sungai besar Yang-ce-kiang, maka adanya sungai itu di dekat kota Kong-goan membuat kota ini menjadi makin ramai karena dilewati jalur perdagangan melalui sungai itu.

Karena mereka belum mempunyai kenalan di kota itu sehingga sukar bagi mereka untuk memperkenalkan diri sebagai ahli silat yang akan membuka perguruan silat, Su Kiat lalu mengajak sumoi-nya untuk langsung saja pergi ke pusat kota yang ramai. Di luar sebuah pasar di tepi jembatan, dia lantas memilih tempat di sudut di mana terdapat petak rumput dan mengeluarkan kain yang sudah ditulisi dan digulung. Dipasangnya kain itu dengan tali yang diikatkan pada batang pohon dan dinding pagar pasar. Kain putih itu telah ditulis dari rumah tadi, dengan huruf-huruf besar.

KAMI MEMBUKA PERGURUAN SILAT DI DUSUN HEK-BUN DENGAN BIAYA PANTAS DAN ANDA DAPAT BELAJAR ILMU BELA DIRI YANG BERMUTU DARI KAMI. SILAKAN MENDAFTARKAN DIRI DI SINI.

CIA-LING BU-KOAN.

Sebentar saja banyak orang datang merubung tempat itu. Mereka itu terdiri dari pria-pria yang tertarik, bukan hanya oleh tulisan itu, terutama sekali oleh kecantikan Hui Lian!

"Ehh, apakah gurunya berlengan buntung itu?"

"Wah, mana mungkin melatih silat dengan baik?"

"Kalau Si Cantik itu yang menjadi guru, berapa mahal pun akan kubayar!"

"Cia-ling Bu-koan (Perguruan Silat Sungai Cia-ling), aliran manakah?"

Berbagai macam pendapat dan dugaan orang sehingga tempat itu menjadi berisik sekali. Melihat banyaknya orang yang tertarik dan kini merubung tempat itu, Su Kiat lalu berdiri dan menghadap ke empat penjuru sambil mengangkat sebelah tangannya di depan dada.

"Cu-wi yang terhormat. Ketahuilah bahwa kami suheng dan sumoi, merupakan penduduk baru dari dusun Hek-bun di luar kota ini di tepi Sungai Cia-ling. Karena kami ingin bekerja mencari nafkah sedangkan keahlian kami hanyalah ilmu silat, maka kami memberanikan diri untuk membuka sebuah perguruan silat. Kami memakai nama Cia-ling Bu-koan sebab dusun kami berada di tepi Sungai Cia-ling. Apa bila di antara Cu-wi ada yang ingin belajar silat yang baik, dan mau menolong kami mencari nafkah secara halal, silakan mendaftar di sini!"

"Tetapi bagaimana kami tahu bahwa Anda pandai ilmu silat?" terdengar teriakan seorang di antara para penonton dan pertanyaan ini mendapat sambutan banyak orang.

Su Kiat tersenyum dan mengagguk. "Sudah pantas pertanyaan itu. Wajarlah kalau Cu-wi kurang percaya terhadap kami karena memang kita belum saling berkenalan. Kami baru satu bulan tinggal di dusun itu. Sumoi, mari kita main-main sebentar untuk mengenalkan diri kepada mereka!"

Hui Lian mengangguk dan meloncat ke tengah lapangan rumput. Para penonton mundur dan memberi ruang untuk mereka berdua. Gembira hati mereka karena hendak disuguhi tontonan yang amat mengasyikkan bagi mereka, yaitu demonstrasi silat, apa lagi karena dilakukan oleh seorang gadis demikian cantik manis melawan seorang lelaki yang lengan kirinya buntung.

Mereka menduga bahwa ilmu silat dua orang itu tentu hanya begitu-begitu saja, dan tentu saja mereka tidak begitu bodoh untuk belajar ilmu silat kepada orang yang bukan ahlinya benar. Di kota Kong-goan terdapat banyak perguruan silat yang besar dan kuat, dan biar pun harus mengeluarkan biaya besar, lebih baik belajar dari guru-guru silat yang pandai dan terkenal di kota itu. Akan tetapi ada pula di antara mereka yang sudah mengambil keputusan untuk mengeluarkan sedikit biaya agar selalu dapat berdekatan dengan gadis cantik itu, apa lagi dilatih silat oleh gadis itu, berkesempatan untuk dipegang-pegang!

"Haiiiiittttttt...!" Hui Lian mengeluarkan teriakan untuk memberi tanda kepada suheng-nya bahwa dia mulai menyerang. Serangannya cepat sekali, kedua tangannya bergerak, yang kanan mencengkeram ke arah kepala dan yang kiri menusuk ke arah dada dengan jari tangan terbuka.

Akan tetapi dengan gerakan ringan sekali Su Kiat dapat menghindar, memutar tubuh dan langsung membalas dengan tendangan kilat. Tendangan menyambar lewat, dekat sekali dengan tubuh gadis itu sehingga para penonton mulai terkejut. Kini kedua orang itu saling serang dan para penonton mulai terbelalak. Suheng dan sumoi itu saling serang dengan sungguh-sungguh!

Mereka sudah sering melihat demonstrasi silat berpasangan dan dalam demonstrasi itu, pukulan dan serangan selalu dilakukan dengan diatur lebih dulu oleh kedua pesilat. Akan tetapi kedua orang ini sama sekali tidak. Serangan mereka dilakukan dengan begitu cepat dan kuatnya, dan setiap serangan nyaris mengenai tubuh lawan. Dan Si Buntung itu, biar pun lengannya hanya sebelah, ternyata lihai sekali. Bahkan lengan baju kiri yang kosong mampu dia pergunakan untuk menangkis serangan bahkan menotok!

Demonstrasi itu seperti sungguh-sungguh dan tidak dapat disangkal lagi bahwa keduanya memang mempunyai gerakan yang cepat, dan ilmu silat mereka pun aneh. Tidak seorang pun di antara para penonton, termasuk yang sudah pernah belajar silat sekali pun, dapat mengenal aliran ilmu silat yang dimainkan mereka.

"Hyaatt!" Tiba-tiba tubuh Su Kiat mencelat ke atas dan dia pun menghujankan serangan kepada lawannya. Ujung lengan baju kiri yang tidak berisi itu menyambar dengan totokan-totokan ke arah jalan darah pada leher dan pundak, tangan kanannya mencengkeram ke arah ubun-ubun dan kedua kakinya bergantian mengirim tendangan bertubi-tubi.

Gadis itu melempar tubuh ke belakang, berjungkir balik dan terpaksa harus terus-menerus berjungkir balik untuk mengelak dan menghindarkan diri dari hujan serangan itu. Gerakan mengelak ini sedemikian ringan dan indahnya sehingga tertariklah hati semua penonton. Mereka bersorak dan bertepuk tangan memuji.

"Berhenti...!" Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring.

Hui Lian dan Su Kiat cepat-cepat menghentikan gerakan mereka. Para penonton melihat munculnya serombongan orang dan mereka pun nampak jeri, kemudian mundur menjauh. Mereka menonton dari jarak yang cukup jauh dan semua orang merasa khawatir akan keselamatan suheng dan sumoi itu, karena mereka mengenal siapa adanya rombongan orang yang baru tiba, dan siapa pula raksasa muka hitam yang tadi membentak.

Su Kiat dan Hui Lian berdiri memandang. Rombongan yang datang itu terdiri dari delapan orang. Melihat betapa di dada baju delapan orang itu terdapat sulaman gambar harimau hitam, Su Kiat dan Hui Lian menduga bahwa mereka adalah orang-orang yang berasal dari satu golongan tertentu. Dan dugaan mereka memang benar.

Semua penonton telah mengenal jagoan-jagoan dari Hek-houw Bu-koan (Perguruan Silat Harimau Hitam) itu, yakni sebuah perguruan silat terbesar di Kong-goan dan yang paling berpengaruh. Semua perguruan silat lainnya tunduk dan takut kepada Hek-houw Bu-koan dan perguruan ini dianggap sebagai perguruan yang tingkatnya paling tinggi dan mahal. Bahkan setiap bulan perguruan lain selalu mengirim hadiah tanda penghormatan kepada Hek-houw Bu-koan yang dianggap sebagai rekan paling tua dan paling lihai.

Tentu saja tidak mudah menjadi murid Hek-houw Bu-koan, harus dapat membayar mahal dan karena anak-anak para bangsawan dan pejabat kebanyakan berguru di sana, maka tentu saja kedudukan Hek-houw Bu-koan menjadi semakin kuat. Murid-muridnya ditakuti dan disegani orang, terlebih lagi murid dari golongan yang tingkatnya sudah tinggi, seperti delapan orang murid ini yang sudah memakai gambar harimau hitam di dada mereka!

Kini delapan orang itu menghadapi Su Kiat dan Hui Lian yang berdiri dengan sikap tenang biar pun dari sikap para penonton mereka dapat menduga bahwa delapan orang ini tentu bukanlah orang-orang yang disukai rakyat, dan berarti merupakan orang-orang yang suka bertindak sewenang-wenang.

"Toako, Si Buntung ini kurang ajar sekali, berani tak memandang mata kepada kita!" kata seorang di antara mereka yang bertubuh tinggi kurus.

"Toako, Nona ini sungguh mulus!" kata orang ke dua yang berperut gendut dan mukanya menyeringai kurang ajar.

Raksasa muka hitam yang disebut Toako itu lantas melangkah maju, melotot kepada Su Kiat. Betapa pun marahnya, dia tak mampu memperlihatkan sikap marah kepada seorang gadis secantik Hui Lian, maka yang menerima kemarahannya adalah Su Kiat seorang.

"Heh, buntung! Siapa kau dan dari mana kau datang?" tanyanya dengan suara keras dan memandang rendah.

Wajah Hui Lian berubah merah dan kalau saja suheng-nya tak berkedip kepadanya, tentu dia sudah menerjang raksasa muka hitam yang berani menghina suheng-nya itu. Akan tetapi Su Kiat maklum bahwa kalau dia dan sumoi-nya hendak mencari nafkah di kota itu, tidak menguntungkan kalau di hari pertama sudah harus bermusuhan dengan orang lain. Maka dia pun melangkah maju menghadapi raksasa muka hitam itu, lantas dengan muka cerah dan ramah dia menjawab pertanyaan yang dilontarkan kepadanya.

"Namaku Ciang Su Kiat dan dia adalah sumoi-ku bernama Kok Hui Lian. Kami baru lebih kurang satu bulan ini tinggal di dusun Hek-bun di luar kota Kong-goan, di pinggir Sungai Cia-ling." Dan dia pun balas bertanya, "Siapakah Si-cu dan mengapa Si-cu menghentikan demonstrasi kami?"

"Orang she Ciang yang sombong! Siapa yang memberikan ijin kepadamu untuk membuka perguruan silat? Engkau sungguh tak tahu diri dan melanggar peraturan!"

"Ehh? Maaf, peraturan apakah yang sudah kulanggar? Apa kesalahanku dengan rencana membuka perguruan silat?"

"Engkau telah membuat dua pelanggaran besar. Pertama, engkau menghina kami karena membuka perguruan silat tanpa sepengetahuan kami! Ketahuilah bahwa di Kong-goan ini, perguruan silat kami Hek-houw Bu-koan mempunyai wewenang sepenuhnya dan semua perguruan silat harus mendapatkan restu dari kami. Akan tetapi engkau berani membuka tanpa minta persetujuan kami. Dan ke dua, engkau sudah berani melakukan penipuan di kota kami!"

"Penipuan? Untuk yang pertama, kami minta maaf karena kami tidak tahu tentang adanya peraturan seperti itu. Namun hal itu mudah saja dibereskan. Aku akan pergi menghadap pimpinan Hek-houw Bu-koan untuk meminta persetujuan. Akan tetapi penipuan? Aku tak merasa menipu siapa pun juga."

"Sombong! Engkau ini berlengan buntung, jadi mana mungkin akan mampu mengajar silat dengan baik? Bukankah itu artinya kalian mengelabui dan menipu para peminat, hendak mengeduk uang mereka dengan alasan mengajar silat akan tetapi sesungguhnya engkau tidak mampu bersilat dengan baik?"

"Toako, hajar saja orang ini dan kita tahan gadis itu sebagai sandera!" kata laki-laki yang berperut gendut.

Dia pun melangkah maju, kakinya menendang meja kecil yang disediakan oleh Hui Lian. Di atas meja itu tersedia kertas dan alat tulis untuk mendaftar mereka yang berminat. Kini tinta dan kertas terlempar sehingga berserakan, meja itu pun ringsek. Delapan orang itu tertawa.

Bukan main marahnya Hui Lian. Dia tidak mampu menahan dirinya lagi dan dia pun cepat meloncat ke depan suheng-nya.

"Suheng, aku tidak sudi dihina orang seperti ini. Biarlah aku mewakili Suheng menghadapi tikus-tikus busuk ini!" Dan sebelum Su Kiat dapat menahannya, Hui Lian telah melangkah maju menghadapi raksasa muka hitam, jari tangannya lalu menuding ke arah muka yang hitam itu.

"Kamu ini manusia ataukah iblis? Menjadi harimau hitam pun tidak patut karena harimau pun tidak sejahat kamu! Kamu menghina orang seenak perutmu sendiri. Apa kesalahan kami? Untuk membuka perguruan silat tidak perlu meminta persetujuan binatang macam kamu, dan kalau kami tetap melanjutkan usaha kami, kamu mau apa? Majulah jika ingin mengenal kelihaian nonamu!"

Si Perut Gendut segera melangkah maju. "Toako, harap tahan kemarahanmu. Serahkan saja kuda betina liar ini kepadaku. Aku akan menangkapnya, barulah engkau menghajar Si Buntung itu!"

Tanpa menunggu jawaban raksasa muka hitam yang mendelik marah karena dimaki-maki oleh Hui Lian, Si Gendut itu sudah menerjang ke arah Hui Lian dan begitu dia menyerang, dia menggunakan dua tangannya untuk mencengkeram ke arah dada gadis itu! Sungguh serangan yang amat tidak sopan dan memandang rendah kepada Hui Lian.

"Sumoi, jangan membunuh orang!" Su Kiat memperingatkan, diam-diam juga amat marah melihat serangan yang kurang ajar itu.

"Plakk! Plakk!"

Sepasang tangan Hui Lian menyambut dua tangan Si Perut Gendut itu yang tentu saja menjadi girang maka segera dia mencengkeram kedua tangan gadis itu. Jari-jari tangan mereka saling remas seperti sepasang kekasih sedang bermain-main saja. Teman-teman Si Gendut sudah mentertawakan.

"Wah, untung besar Si Gendut kali ini!"

"Wah, main remas jari tangan!"

"Halusnya!"

"Hangatnya, heh-heh!"

Si Perut Gendut yang mencengkeram tangan Hui Lian berusaha menarik gadis itu untuk mencium mukanya. Akan tetapi tiba-tiba dia mengeluarkan pekik kesakitan, dua matanya terbelalak seperti hendak meloncat keluar, mukanya menjadi pucat sekali ada pun seluruh tubuhnya menggigil saking menahan rasa nyerinya.

Kiranya, jari-jari tangannya itu bertemu dengan jari-jari tangan yang keras seperti baja dan panas seperti api membara! Biar pun jari-jari tangannya lebih panjang dan besar, namun jari-jari tangannya itu seperti tahu dicacah saja, tahu bertemu pisau! Jari tangan Hui Lian lalu mencengkeram dan terdengar suara berkeretakan ketika tulang-tulang dan buku jari tangan Si Gendut itu patah-patah dan remuk!

"Aduhhh... aduhhhh... ampunnn... amm... punnnn... augghhhh...!" Si Gendut menjerit-jerit dan menangis seperti babi disembelih, dan saking nyerinya, dia berjongkok dengan kedua lengannya bergantung.

Hui Lian mendengus jijik, lantas kakinya menendang sambil membentak. "Anjing buduk, pergilah!"

"Bukkk!"

Kaki Hui Lian menendang perut yang gendut itu sambil dia melepaskan cengkeramannya. Tubuh Si Gendut itu terjengkang dan bergulingan, dan kini dia merintih dengan bingung, menggunakan kedua tangan yang tulang-tulang jarinya telah remuk itu untuk meraba-raba perutnya yang mendadak menjadi mulas dan nyeri sekali. Agaknya usus buntunya sudah terkena tendangan yang cukup keras itu

Gegerlah semua orang melihat peristiwa yang sama sekali tak mereka sangka-sangka itu. Para penonton yang berada di jarak aman, terbelalak dan wajah mereka berseri. Walau pun mereka bergembira, terkejut heran dan kagum bukan main, akan tetapi mereka tidak berani bersorak, hanya bersorak di dalam hati sambil saling pandang dengan senyum di bibir.

Sebaliknya tujuh orang teman Si Gendut terkejut bukan main dan mereka menjadi marah, terutama Si Raksasa bermuka hitam yang menjadi saudara tertua di antara mereka dan merupakan pimpinan kelompok itu karena dialah yang paling lihai dan paling kuat.

"Perempuan jahat, berani engkau memukul orang?!" bentak Si Raksasa muka hitam.

"Huh, matamu kamu taruh di mana? Jelas dialah yang memukul orang, bukan aku. Kalau kamu ingin memukulku juga boleh. Majulah!"

"Perempuan sombong, engkau ingin merasakan tangan besi jagoan Hek-houw Bu-koan? Nah, sambutlah!" Teriak Si Muka Hitam dan dia pun mengirim pukulan dengan tamparan tangannya ke arah pundak Hui Lian. Tangan raksasa muka hitam itu besar dan lengannya panjang, ketika menampar mendatangkan angin yang cukup kuat.

Karena melihat Si Raksasa ini tidak menyerang secara ganas, hanya menampar pundak, tidak kurang ajar seperti Si Perut Gendut, Hui Lian juga tak mau bertindak kejam. Dengan mudah saja dia mengelak, lalu kakinya menotok ke depan dan tubuh Si Raksasa itu pun segera terjungkal karena kedua kakinya tiba-tiba saja menjadi lumpuh ketika ujung sepatu kecil itu dua kali mencium kedua lututnya!

Kembali suasana menjadi geger. Gadis itu sudah merobohkan toako mereka hanya dalam satu gebrakan saja! Para penonton juga gempar, dan sekali ini meski pun tidak bersorak, tetapi ada terdengar suara ketawa di sana-sini menyambut kemenangan mudah gadis itu.

Enam orang murid Hek-houw Bu-koan kini menjadi marah sekali. Pemimpin mereka telah dirobohkan seorang gadis dengan sedemikian mudahnya, hal ini merupakan penghinaan bagi mereka.

"Bunuh siluman betina itu!" teriak mereka dan enam orang itu sudah menerjang ke depan dengan golok tipis di tangan.

Melihat berkelebatnya senjata tajam, para penonton menjadi panik. Hanya Su Kiat yang masih berdiri di pinggir dengan tenang. Tingkat kepandaian enam orang itu tiada artinya bagi sumoi-nya, maka dia hanya diam menonton saja. Dan memang benar. Begitu melihat enam orang itu menerjangnya dalam kepungan, menggunakan golok, Hui Lian tersenyum mengejek.

"Kalian memang tikus-tikus pengecut yang beraninya main keroyok!"

Dan tiba-tiba saja enam orang yang telah menyerang dengan golok, menjadi terkejut dan bingung karena tubuh gadis yang dikepung mereka itu lenyap, berubah menjadi bayangan yang berkelebatan ke sana sini lalu satu demi satu mereka pun mengeluarkan teriakan dan roboh. Golok di tangan mereka beterbangan ke sana sini! Mereka sendiri tidak tahu bagaimana mereka dapat roboh, hanya merasa ada bagian tubuh yang kena tendangan atau tamparan tanpa melihat lawan yang melakukannya.

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.