SIAPAKAH pemuda bercaping lebar yang pernah bertemu dengan Hui Lian ketika gadis ini menolong anak penggembala dari serangan empat orang manusia iblis itu? Dia bukan lain adalah Hay Hay!
Seperti telah diceritakan di bagian depan, dalam perantauannya Hay Hay bertemu dengan seorang kakek yang mengaku bernama Song Lojin dan Hay Hay lalu menjadi murid dari pencinta alam dan pencinta binatang itu. Kakek itu tidak lama melatih Hay Hay, hanya kurang lebih selama satu bulan, tapi gemblengan yang diberikan itu betul-betul membuat Hay Hay menjadi seorang yang matang ilmu-ilmunya!
Sebagai seorang ahli silat tingkat tinggi, tentu saja Hay Hay kagum bukan main ketika dia melihat perkelahian antara Hui Lian dengan empat orang manusia iblis itu. Apa lagi ketika dia mengenal siapa adanya empat orang pengeroyok itu! Dia tahu benar akan kelihaian Lam-hai Siang-mo dan juga suami isteri Goa Iblis Pantai Selatan.
Akan tetapi pemuda tampan yang dikeroyok oleh empat orang datuk sesat yang amat lihai itu tampak demikian lincah, gerakannya begitu ringan dan tampak tidak sungguh-sungguh pada saat menghadapi pengeroyokan mereka! Akan tetapi tetap saja empat orang ilbis itu menjadi jeri dan melarikan diri.
Tadinya Hay Hay sudah siap untuk membantu pemuda itu, akan tetapi setelah dia merasa yakin bahwa pemuda itu tidak akan kalah, dia segera mengajak anak penggembala untuk meninggalkan tempat berbahaya itu, menggiring pergi domba-dombanya. Walau pun dia tidak mengerti sepatah kata pun bahasa Miao, namun dengan gerakan tangan dia mampu meyakinkan anak penggembala untuk cepat-cepat pergi dan Hay Hay lalu menemaninya pergi dari tempat pertempuran.
Dia mengajak penggembala itu pergi. Pertama untuk menyelamatkan anak itu bersama domba-dombanya, dan ke dua karena dia merasa segan untuk bertemu muka dengan mereka, terutama Lam-hai Siang-mo yang pernah menjadi ayah ibunya selama hampir tujuh tahun, sejak dia bayi sampai berusia tujuh tahun.
Ketika Hui Lian mengejar mereka dan dia berkesempatan berbicara dengan Hui Lian, dia merasa sangat kagum dan tertarik. Belum pernah dia bertemu dengan seorang pemuda yang demikian lihai dan juga tampan seperti pemuda itu, hanya sayang sedikit, pikirnya, pemuda perkasa itu agak galak dan sikapnya sedikit kewanitaan, terutama sekali aroma harum yang keluar dari tubuhnya. Seorang pemuda yang senang memakai minyak wangi, sungguh tidak menyenangkan hatinya karena hal itu amat kewanitaan.
Setelah mereka berpisah, Hay Hay sudah melupakan Hui Lian dan penggembala domba itu. Akan tetapi ketika dia melanjutkan perjalanan dan lewat dekat sebuah dusun, dia pun mendengar percakapan orang tentang keramaian yang akan diadakan oleh suku bangsa Miao pada besok hari, yaitu keramaian adu kepandaian dan ketangkasan!
Sebagai seorang pemuda, apa lagi yang suka dengan ilmu ketangkasan, Hay Hay tertarik sekali. Maka pada keesokan harinya, setelah malam itu dia bermalam di sebuah padang rumput yang indah bersih, pagi-pagi sekali dia lalu pergi menuju ke perkampungan orang Miao untuk nonton keramaian adu ketangkasan!
Ketika dia sampai di perkampungan itu, di sana telah berkumpul banyak orang, baik suku bangsa itu sendiri mau pun penduduk dusun-dusun di sekitar daerah itu yang berbondong datang untuk turut menonton keramaian yang menarik itu. Dan di sebuah lapangan sudah dipersiapkan alat-alat untuk ujian saringan bagi para peserta sayembara. Ketika Hay Hay tiba di situ, dia melihat pada sudut lapangan itu didirikan sebuah panggung, dan di bawah panggung terdapat sebuah batu hitam yang besarnya seperti perut kerbau dan nampak berat.
Saat itu pula nampak seorang lelaki tinggi besar yang pakaiannya indah, dengan banyak gelang serta kalung menghias tubuhnya, dengan bulu burung indah menghias sorbannya. Dan keadaan pakaian yang berbeda dari para laki-laki lainnya dari suku bangsa Miao itu menunjukkan bahwa dia adalah kepala suku.
Lelaki tinggi besar ini lalu membuat pidato pendek yang isinya memberi tahukan tentang syarat-syarat dan macamnya perlombaan, juga pengumuman bahwa pemenangnya akan berhak untuk menjadi menantunya, menikah dengan Nian Ci.
Akan tetapi, walau pun dia mendengarkan, Hay Hay hanya melongo saja, sedikit pun dia tidak mengerti apa yang dikatakan oleh kepala suku itu. Tentu saja hal ini membuat dia merasa kesal, maka dia pun menjadi lega karena pidato itu ternyata hanya pendek saja. Ketika para penonton mundur dan memberi tempat di sekitar panggung itu supaya cukup luas, ia pun lalu mendekat, maklum bahwa di panggung itulah akan diadakan pertunjukan pertama.
Ada belasan orang pemuda yang sudah siap di tempat itu, pemuda-pemuda suku bangsa Miao, ada juga yang peranakan dan yang agaknya berbangsa Han karena kulitnya putih kuning. Yang sangat menarik hati Hay Hay yang berdiri di antara para penonton adalah pada saat dia melihat hadirnya seorang pemuda bertubuh ramping yang amat tampan di antara para pemuda lainnya itu karena dia mengenal pemuda ini sebagai pemuda lihai yang kemarin pernah dikeroyok dua pasang suami isteri iblis dan mengalahkan mereka.
Heran sekali, pikirnya. Seorang pemuda dengan ilmu kepandaian yang demikian tingginya kini hadir di sana dan ikut pula memasuki sayembara mengadu ketangkasan? Hampir dia tertawa karena dia dapat memastikan bahwa semua saingan itu tentu akan kalah jauh dibanding pemuda yang lihai itu.
Peserta pertama, seorang pemuda bangsa Miao yang bertubuh tinggi besar dan bermuka hitam, melangkah maju setelah namanya dipanggil oleh seorang petugas perlombaan. Dia sengaja menyingsingkan kedua lengan bajunya sehingga nampaklah lengannya itu penuh dengan otot yang melingkar-lingkar.
Pemuda itu menghampiri batu hitam itu, tubuhnya membungkuk lalu sepasang lengannya yang besar memeluk batu hitam, setiap gerakannya diikuti pandang mata para penonton. Kemudian, sekali dia mengeluarkan bentakan, batu itu sudah diangkatnya ke atas kepala. Terdengar para penonton menyambut dengan tepuk tangan. Hay Hay yang turut gembira juga ikut pula bertepuk tangan memuji pertunjukan tenaga otot yang kuat itu.
Pemuda bermuka hitam itu lalu mengambil ancang-ancang dan berlari meloncat ke atas panggung, akan tetapi loncatannya kurang sehingga tidak mencapai panggung. Terpaksa dia turun lagi dan melepaskan batu hitam yang jatuh berdebuk di atas tanah.
Terdengar keluhan para penonton yang turut menyayangkan dan pemuda muka hitam itu pun memberi hormat ke arah kepala suku yang duduk di belakang panggung, kemudian mengundurkan diri. Dia telah gagal dalam ujian saringan sehingga tak diperkenankan ikut sayembara.
Seorang demi seorang maju untuk melalui ujian saringan ini. Ada yang berhasil membawa batu itu meloncat ke atas panggung, lantas disambut sorak-sorai dan tepuk tangan para penonton. Akan tetapi banyak yang tidak berhasil. Semua pengikut berhasil mengangkat batu itu ke atas, akan tetapi hanya sedikit yang mampu membawanya ke atas panggung. Bahkan ada seorang peserta yang ketika meloncat, terjatuh kembali namun dia terlambat melepaskan batu sehingga batu itu lantas menimpa kakinya dan kakinya menjadi patah. Terpaksa dia digotong kawan-kawannya keluar dari tempat itu untuk diobati.
Melihat betapa banyaknya orang yang tidak lulus, Kiao Yi yang ikut menonton di pinggir dengan tubuh masih lemah dan muka masih pucat, berkali-kali memberi isyarat kepada Hui Lian agar membatalkan saja niat hatinya. Akan tetapi pemuda itu hanya tersenyum tenang.
Ketika datang giliran Hui Lian yang dipanggil namanya, semua orang memandang dengan sikap mencemooh, bahkan ada pula yang tersenyum mengejek. Sebagian besar di antara para penonton adalah orang Miao, tentu saja mereka tidak menghendaki kalau pemenang sayembara ini adalah orang Han sehingga puteri kepala suku mereka akan menjadi isteri orang Han! Apa lagi melihat pemuda Han yang bertubuh kecil ramping jika dibandingkan dengan para peserta lain, semua orang segera memandang rendah, kecuali Hay Hay. Dia merasa yakin benar bahwa pemuda itu akan dengan mudah membawa batu itu meloncat ke atas panggung.
Tentu saja yang paling tegang di antara mereka semua adalah Kiao Yi. Dia belum tahu sampai di mana kelihaian penolongnya itu. Mengingat bahwa dia adalah seorang wanita, yang harus mengangkat batu seberat itu kemudian membawanya loncat, sungguh ngeri dia membayangkan. Bagaimana jika penolongnya itu sampai celaka? Hampir Kiao Yi tak berani membuka mata dan dia cepat-cepat menundukkan mukanya ketika Hui Lian mulai menghampiri batu itu.
Tepuk tangan yang riuh-rendah membuat Kiao Yi cepat mengangkat mukanya dan muka itu segera berseri-seri dengan cerah, matanya bersinar dan mulutnya tersenyum, penuh kekaguman juga keheranan. Hampir dia tak dapat mempercayai pandang matanya sendiri melihat betapa Hui Lian sudah mengangkat batu besar itu di atas kepala, hanya dengan tangan kanan saja! Dengan sebelah tangan!
Teringatlah dia akan pengakuan Hui Lian bahwa dia adalah seorang pendekar wanita dan kini timbullah harapan yang membuat Kiao Yi bertepuk tangan lebih keras dari pada yang lain! Juga anak penggembala yang kemarin itu berjingkrak-jingkrak sambil bersorak-sorak amat gembiranya. Anak itu merasa bangga karena dialah yang mula-mula menemukan peserta sayembara yang amat hebat itu!
Sambutan orang-orang ini membuat Hay Hay yang tadinya ikut bertepuk tangan, menjadi cemberut dan agak iri hati. Huh, yang begitu saja dipamerkan, pikirnya. Apanya sih yang harus dikagumi kalau hanya mengangkat batu seperti itu?
Dengan langkah sangat tenang, Hui Lian yang mengangkat batu dengan tangan kanan ke atas kepala itu kini menghampiri panggung, kemudian tanpa ancang-ancang lagi tubuhnya meloncat ke atas dan berhasil tiba di atas panggung, amat mudah dan enaknya sehingga mengagumkan semua orang. Paling hebatlah sambutan penonton sekali ini dibandingkan dengan sambutan untuk peserta lain yang juga berhasil tadi.
Hanya lima orang yang berhasil membawa batu itu loncat naik ke atas panggung setelah peserta yang terakhir gagal. Akan tetapi tiba-tiba, tanpa dipanggil namanya, ada seorang peserta lagi, juga seorang pemuda bangsa Han yang pakaiannya serba putih, melangkah menghampiri batu itu lalu mengangkat batu dengan tangan kiri ke atas!
Tentu saja semua orang menjadi terkejut hingga sejenak tidak ada yang bersuara saking heran dan kagumnya, apa lagi setelah pemuda baju putih itu melemparkan batu ke atas lantas menerimanya dengan kepala! Pecahlah sorak-sorai serta tepuk tangan menyambut kehebatan pemuda baru ini.
Dengan batu di atas kepala, Hay Hay lalu meloncat ke atas panggung! Batu itu bagaikan menempel di kepalanya, sedikit pun tak pernah bergoyang dan dia masih membawa batu itu di atas kepalanya ketika ia memberi hormat kepada kepala suku yang duduk bersama para pembantu dan keluarganya di panggung kehormatan sambil berkata nyaring.
"Saya ingin ikut meramaikan pesta ini, harap diperkenankan!"
Kepala suku itu ternyata dapat pula berbahasa Han. Tadi dia sudah hampir marah melihat ada orang luar yang namanya tak terdaftar ikut pula memasuki ujian saringan, akan tetapi melihat kehebatan orang ini, apa lagi sesudah mendengar kata-kata Si Baju Putih yang katanya ingin ikut meramaikan pesta, kepala suku tertawa senang dan sambil berdiri dia pun berkata. "Boleh, boleh sekali!"
Tentu saja ucapan kepala suku ini merupakan ijin bagi Hay Hay untuk ikut bersama para pemenang yang lain berlomba untuk menentukan siapa yang akan menjadi juara! Dengan gerakan yang sangat ringan dia pun meloncat turun kembali sambil membawa batu besar itu. Ketika menurunkan batu besar, dia menggerakkan kepalanya sehingga batu tertempar ke atas, disambut dengan tangan kirinya lalu perlahan-lahan diletakkan kembali ke atas tanah tanpa menimbulkan suara apa pun.
Semua orang kembali bersorak-sorai. Pemuda Han pertama yang kecil ramping tadi kini memperoleh lawan, pikir mereka. Akan ramailah perlombaan ini!
Hui Lian mengerutkan sepasang alisnya ketika melihat ulah Hay Hay. Diam-diam dia pun terkejut bukan main. Tak disangkanya sama sekali bahwa pemuda bercaping itu ternyata ikut pula dalam sayembara dan agaknya mempunyai kepandaian yang demikian hebat!
Dia tidak merasa gentar atau heran karena dianggapnya perbuatan Hay Hay tadi tak ada artinya. Dia sendiri juga sanggup melakukan hal itu. Pemuda bercaping itu hanya pamer saja! Akan tetapi dia segera tahu bahwa selanjutnya, pemuda itulah yang akan menjadi lawan utamanya. Dia harus menang, demi kebahagiaan Kiao Yi dan Nian Ci!
Hanya enam orang termasuk Hui Lian dan Hay Hay yang lulus dalam ujian saringan itu. Perlombaan pertama adalah menunggang kuda dan memperlihatkan keahlian memanah sasaran yang sudah ditentukan. Sambil menunggang kuda meloncati rintangan-rintangan, lalu memanah lingkaran yang digantungkan di atas pohon.
Para peserta suku bangsa Miao yang ahli menunggang kuda dan juga sebagai pemburu ahli mempergunakan anak panah, keempatnya berhasil lulus dengan baik. Kuda mereka melompati rintangan-rintangan tanpa pernah gagal, lantas dengan berbagai gaya mereka berhasil memanah lingkaran secara tepat sekali.
Tibalah giliran Hui Lian sebagai peserta ke lima. Gadis ini bukan ahli menunggang kuda, akan tetapi karena dia mempunyai ilmu ginkang yang sangat hebat sehingga kuda yang ditunggangi seolah-olah tidak merasa ada beban di punggungnya, meski pun dengan cara sederhana saja, kudanya juga dapat melompati semua rintangan dan tidak pernah gagal.
Hui Lian lalu menggunakan ginkang-nya ketika tiba saatnya dia harus melepaskan anak panah. Kalau tadi empat peserta yang lainnya melepas anak panah sambil duduk dengan berbagai gaya, kini Hui Lian meloncat dan berdiri di atas kudanya, lalu membidikkan anak panahnya dan berhasil tepat mengenai sasaran! Tentu saja cara memanah sambil berdiri di atas punggung kuda ini lebih sukar, sehingga Hui Lian kembali memperoleh pujian dan sambutan tepuk sorak yang gemuruh.
Tiba giliran Hay Hay. Pemuda ini tentu tadi tidak akan maju dan ikut bertanding kalau saja tidak melihat Hui Lian hadir pula. Dia memang nakal dan hanya ingin menyaingi pemuda itu saja yang dianggapnya pamer kepandaian! Melihat betapa Hui Lian memanah sambil berdiri di atas punggung kuda, Hay Hay tersenyum dan ketika dipersilakan maju, dia pun mengerling dan tersenyum ke arah Hui Lian yang segera membuang muka ketika melihat pemuda itu tersenyum kepadanya.
Hay Hay sengaja memilih seekor kuda hitam yang nampaknya liar! Semua orang merasa terkejut, bahkan tukang kuda memberi tahu bahwa kuda itu tidak memenuhi syarat untuk digunakan sebagai kuda tunggangan bagi peserta keahlian memanah ini sebab masih liar dan belum jinak benar.
Akan tetapi, Hay Hay mana mengerti semua ucapannya? Hay Hay mengira bahwa orang itu mengeluarkan kata-kata memuji padanya karena keberhasilannya tadi, maka dia pun hanya mengangguk-angguk dan tetap saja melompat naik ke atas punggung kuda hitam!
Begitu merasa ada yang duduk di atas punggungnya, kuda itu lantas mengeluarkan suara meringkik keras dan segera berloncatan bagai kemasukan setan! Hay Hay terkejut sekali, akan tetapi dia cepat menyambar tali kendali kuda dan membiarkan kuda itu berloncatan sesuka hatinya. Dengan ginkang-nya, tentu saja dia mampu duduk di atas punggung kuda hitam.
Memang dia hendak menonjolkan kepandaian agar tidak kalah hebat dari pada Hui Lian. Dengan sepasang kakinya dia menjepit perut kuda sambil mengerahkan sinkang sehingga tubuhnya menjadi berat. Kuda itu tidak berloncatan lagi, bahkan sekarang empat kakinya gemetar seperti menahan beban yang amat berat.
"Kuda yang baik, sekarang larilah dan loncati semua rintangan itu. Nah, terbanglah!" Dia meringankan tubuhnya dan menepuk leher kuda.
Kuda itu agaknya maklum bahwa yang berada di punggungnya adalah orang yang jauh lebih kuat darinya dan sekarang tiba-tiba saja dia menjadi jinak. Apa lagi karena Hay Hay menggunakan kekuatan sihirnya yang mempengaruhi kuda itu! Kuda itu kini berlari secara lurus dan indah.
Hay Hay juga merubah kedudukan, dia tidak duduk lagi melainkan tidur telentang di atas punggung kuda! Kendali kuda tetap dipegangnya dan ketika kuda itu meloncati rintangan-rintangan, dia tetap enak-enak tidur telentang di punggung kuda seperti kain basah saja! Semua rintangan berhasil dilewati dan tepuk tangan sorak-sorai tiada hentinya mengikuti semua gerakan kuda itu.
Hay Hay masih tidur telentang ketika tiba saatnya dia harus memanah sasaran lingkaran yang tergantung di atas pohon. Dia sengaja memasang tiga batang anak panah pada tali busurnya, kemudian sekali lepas, tiga batang anak panah itu meluncur ke atas, yang dua menembus lingkaran, yang satu mengenai tali gantungan sehingga papan lingkaran yang menjadi sasaran itu terjatuh. Kembali perbuatannya ini disambut sorak-sorai, namun juga disambut kerut alis dan mulut cemberut oleh Hui Lian.
Ujian yang pertama itu dilewati dengan baik oleh enam orang yang mengikuti sayembara. Mereka dinyatakan lulus dan mereka kini bersiap untuk melakukan ujian ke dua. Belasan ekor rusa muda dilepas dalam sebuah hutan kecil di lereng bukit. Setelah rusa-rusa itu lari memasuki hutan dan lenyap menyelinap di antara semak belukar, keenam orang peserta sayembara itu pun diperbolehkan melakukan pengejaran.
Empat orang peserta segera berlari ke dalam hutan. Hui Lian tenang-tenang saja, akan tetapi ia pun pergi memasuki hutan. Hanya Hay Hay yang masih enak-enak, sama sekali tidak kelihatan tergesa-gesa biar pun orang-orang yang menjagoinya dan ingin melihat dia menjadi pemenang sudah meneriakinya agar dia cepat-cepat masuk ke hutan menangkap seekor rusa.
Hay Hay tentu saja tidak mengerti apa yang mereka maksudkan, bahkan dia sama sekali tak mengerti apa yang diperintahkan, tidak tahu apa yang harus dilakukan. Hanya karena melihat rusa-rusa itu dilepas ke hutan, kemudian para peserta lain melakukan pengejaran, dia dapat menduga bahwa sekarang tiba ujian menangkap seekor rusa liar. Karena hal itu dianggapnya amat mudah, maka dia pun enak-enak saja dan kini dia berjalan seenaknya, dengan lenggang malas-malasan memasuki hutan.
Semua orang yang menonton sayembara itu menanti dengan hati tegang, dan di antara mereka ada juga yang bertaruh siapa yang akan lebih dahulu mendapatkan seekor rusa. Akan tetapi yang paling ramai menjadi jago dalam taruhan adalah Hui Lian dan Hay Hay. Dari demonstrasi membawa loncat batu kemudian memanah sambil menunggang kuda tadi saja mereka sudah tahu bahwa kedua orang muda Han itu lebih unggul dibandingkan dengan empat orang saingannya, yaitu para pemuda suku Miao.
Dugaan mereka benar karena tak lama kemudian telah nampak berkelebat dua bayangan orang keluar dari dalam hutan dan ketika mereka tiba di situ, ternyata mereka adalah Hui Lian dan Hay Hay yang masing-masing telah memondong seekor rusa muda! Mereka tiba di situ dalam waktu yang bersamaan, disambut sorak-sorai para penonton.
Wajah Hui Lian menjadi merah karena penasaran. Tidak disangkanya bahwa gerakannya yang amat cepat itu dapat diimbangi oleh pemuda bercaping yang kini tersenyum-senyum kepadanya. Kembali Hui Lian membuang muka dan hatinya mulai marah karena pemuda bercaping itu dianggapnya sengaja hendak menyaingi dan mempermainkannya.
Juga diam-diam dia menganggap pemuda ini mata keranjang. Sayang, seorang pemuda yang begitu tampan dan gagah, juga memiliki ilmu kepandaian yang hebat, kini mau saja memperebutkan seorang gadis suku Miao! Tak mungkin untuk benar-benar diperisterinya karena kalau dia mau, pemuda itu tentu bisa mendapatkan gadis yang jauh lebih cantik dari pada puteri kepala suku Miao itu. Tentu hanya untuk main-main!
Dia pun memandang dengan sinar mata mencorong. Kalau pemuda ini ternyata seorang lelaki yang suka mempermainkan wanita, maka dia yang akan menentangnya! Berbahaya apa bila seorang laki-laki tukang mempermainkan wanita memiliki ilmu kepandaian begitu tinggi.
Lama setelah kedua orang peserta ini kembali di situ membawa rusa tangkapan mereka, bermunculanlah empat orang peserta lainnya, berturut-turut sambil membawa seekor rusa yang sudah mati karena mereka merobohkan rusa-rusa itu dengan anak panah mereka.
Tentu saja hampir tidak mungkin bagi para pemburu itu untuk dapat menangkap seekor rusa tanpa menggunakan anak panah seperti yang dilakukan Hui Lian dan Hay Hay. Dan mereka berempat hanya memandang dengan terheran-heran setelah melihat betapa dua orang pemuda Han itu telah mendahului mereka, malah masing-masing telah menangkap seekor rusa yang masih hidup dan sama sekali tidak terluka!
Ujian ketiga lebih menegangkan hati karena kini para peserta akan diuji kegagahan serta kekuatan mereka dengan melawan seekor kerbau! Mereka masing-masing harus mampu merobohkan seekor kerbau dan membuat binatang itu tidak berdaya hingga tidak mampu bangkit kembali.
Kerbau adalah seekor binatang yang jinak. Akan tetapi binatang ini kuat sekali dan meski pun jinak, apa bila dipaksa akan dirobohkan, tentu melawan dan dapat berbahaya! Di situ telah disediakan belasan ekor kerbau dan setiap orang peserta boleh memilih seekor
Seorang peserta, pemuda Miao bertubuh jangkung dengan kumis melengkung, mendapat giliran pertama dan dia pun memilih seekor kerbau, menuntunnya keluar dari kandang lalu membawanya ke lapangan di bawah panggung. Semua orang memandang dengan penuh perhatian.
Menurut kelajiman di antara suku bangsa Miao, cara merobohkan kerbau dan membuat kerbau tidak berdaya adalah dengan jalan merangkul lehernya, memegangi kedua tanduk dengan dua tangan dan memuntir lehernya sehingga binatang itu akan terguling. Dengan terus menindihnya, dan memuntir batang leher, binatang itu tidak akan dapat bangun lagi.
Akan tetapi hal ini bukan tidak berbahaya karena kerbau itu sangat kuat dan tentu akan memberontak dan marah. Kalau saja orangnya kalah kuat, dan kerbau itu sampai dapat melepaskan diri, maka akan berbahayalah keadaannya.
Pemuda Miao jangkung berkumis itu tampaknya cukup kuat dan tahu bagaimana caranya menguasai kerbaunya. Sesudah menuntun kerbaunya ke tengah lapangan, dia menunggu saat kerbau itu lengah, lalu tiba-tiba saja dia menerkam, memegang kedua tanduk kerbau, menjepit lehernya dan memutar. Kerbau itu terkejut dan hendak melepaskan diri, namun terlambat karena lehernya telah dipuntir sehingga dia kehilangan keseimbangan tubuhnya dan roboh terguling.
Orang-orang bersorak, akan tetapi dengan hati tetap tegang karena kini saat yang paling berbahaya pun tiba. Kerbau yang sudah rebah miring itu kini meronta dan mencoba untuk melepaskan diri, menggunakan kekuatan lehernya. Di sinilah terjadinya pergulatan itu dan terdengarlah pemimpin sayembara menghitung perlahan-lahan.
Menurut peraturan, jika hitungan itu sampai lima puluh dan kerbau itu tetap tidak terlepas, maka berarti menanglah peserta sayembara itu. Jika sebelum lima puluh kerbau itu dapat bangkit berdiri, maka dia harus merobohkannya kembali dan hitungan pun diulang mulai dari satu sampai lima puluh!
Kerbau yang ditindih dan dipuntir lehernya oleh Si Jangkung berkumis itu berusaha terus meronta, namun Si Jangkung mempertahankan dan akhirnya hitungan sampai lima puluh. Dengan tubuh penuh peluh dan napas agak memburu, peserta jangkung itu melepaskan jepitan lengannya lalu kerbau itu pun digiring pergi, disambut sorak-sorai penonton yang memujinya.
Peserta ke dua maju sambil menuntun keluar seekor kerbau lainnya. Seperti juga peserta pertama, dia lalu merobohkan kerbau itu dengan memuntir lehernya, memegangi kedua tanduknya. Akan tetapi agaknya kerbau itu amat kuat, atau peserta itu yang kurang kuat. Binatang itu terlalu kuat baginya sehingga ketika hitungan baru mencapai dua puluh tiga, kerbau yang meronta itu berhasil menggerakkan kepalanya sedemikian kuatnya sehingga orang itu pun tidak lagi dapat menguasainya.
Kerbau itu bangkit dan kepalanya terus digoyang-goyangkan sehingga orang itu terlempar dengan lengan berdarah, luka oleh tanduk kerbau. Kalau saja pada saat itu tidak muncul beberapa orang pengatur pertunjukan sayembara ini yang langsung mengikat kerbau dan menggiringnya pergi, peserta itu dapat celaka karena diserang kerbau yang mulai marah itu. Gagallah peserta ke dua ini dan terpaksa dia harus mengundurkan diri, dinyatakan kalah!
Peserta ke tiga mengalami nasib yang sama seperti peserta ke dua. Kerbau itu terlampau kuat baginya sehingga dia tidak mampu menahan kerbau itu di atas tanah lebih dari dua puluh hitungan. Bahkan dia menderita luka yang lebih parah karena kalau peserta ke dua hanya luka di lengannya yang berdarah, dada orang ke tiga ini terkena seruduk sehingga pingsan! Tentu saja dia dinyatakan gagal.
Peserta ke empat berhasil menahan kerbaunya sampai hitungan ke lima puluh, walau pun seperti peserta pertama dia pun mandi peluh dan napasnya memburu. Setelah peserta ke empat, tibalah giliran Hui Lian.
Penonton menyambutnya dengan sorak-sorai, terutama sekali mereka yang menjagoinya dalam taruhan. Akan tetapi Kiao Yi justru memandang dengan hati berdebar-debar. Ujian ini sepenuhnya merupakan pekerjaan laki-laki yang menggunakan tenaga besar, ada pun wakilnya itu adalah seorang wanita! Bagaimana kalau gagal? Dan yang lebih celaka lagi, bagaimana jika sampai terluka? Ngeri dia kalau membayangkan kerbau itu mengamuk dan menyeruduk dada gadis yang menyamar pria itu!
Semua orang menghentikan sorak sambutan mereka sesudah melihat Hui Lian menuntun keluar seekor kerbau dari dalam kandang. Melihat banyaknya orang dan tadi mendengar sorak-sorai yang gaduh, kerbau itu telah kelihatan panik dan matanya liar memandang ke kanan kiri, dan dia telah kelihatan curiga kepada Hui Lian sehingga ketika dituntun keluar beberapa kali kepalanya menoleh ke belakang dan hendak mogok.
Akhirnya Hui Lian pun tiba di tengah lapangan dengan kerbaunya. Dia menengok ke atas panggung dan melihat betapa kepala suku beserta keluarganya, termasuk juga puterinya, menjenguk dari atas panggung dan seperti semua penonton, kini sedang mencurahkan perhatian mereka kepadanya.
Ketika dia mengerling ke kiri, dia melihat Hay Hay berjongkok, mukanya sebagian tertutup caping, akan tetapi sebelah mata yang nampak memandang kepadanya dengan berseri dan mulutnya tersenyum, senyum yang seperti mengejek dan mentertawakannya. Ia tidak tahu bahwa pemuda bercaping itu sangat kagum dan tertarik kepadanya, dan diam-diam ada perasaan penasaran juga keinginan keras di dalam hati pemuda bercaping itu untuk menguji kepandaiannya.
Tidak seperti empat orang peserta terdahulu, Hui Lian tidak mau merobohkan kerbaunya dengan puntiran batang lehernya, biar pun tidak sulit baginya untuk memutar leher kerbau itu sampai patah tulang lehernya kalau dia mau melakukan hal itu! Tidak, dia tidak akan merangkul dan memuntir leher kerbau itu, namun dengan cepat sekali kakinya mengirim tendangan ke arah lutut keempat kaki binatang itu, tidak terlalu keras namun cepat sekali bertubi-tubi dan binatang itu pun roboh!
Empat batang kaki itu rasanya lumpuh dan tentu saja kerbau itu tidak mampu berdiri lagi. Setiap kali dia berusaha bangkit berdiri, Hui Lian langsung menyusulkan tendangan, tidak terlalu keras agar tidak membikin patah sambungan lutut, dan kerbau itu pun tak mampu bangkit. Hitungan sampai lima puluh dan binatang itu sama sekali tidak mampu bangkit kembali karena Hui Lian selalu menyusulkan tendangan.
Orang-orang bersorak sungguh pun hati mereka tidak puas karena dalam ujian ini, walau pun lulus, Hui Lian tidak memperlihatkan kekuatan, melainkan menggunakan akalnya biar pun semua peserta, kecuali Hay Hay, harus mengakui bahwa mereka tidak akan mampu melakukan tendangan-tendangan seperti itu.
Ketika kerbau itu dituntun pergi, kakinya tidak mengalami cedera, hanya agak terpincang-pincang sedikit. Maka legalah hati Kiao Yi dan dia semakin kagum saja kepada pendekar wanita yang menolongnya itu.
Tibalah giliran Hay Hay sebagai peserta terakhir. Semua orang tertegun ketika dia memilih seekor kerbau yang terbesar dan paling galak di antara belasan ekor kerbau di kandang, bahkan Hui Lian memandang dengan alis berkerut. Akan tetapi segera meledaklah suara ketawa para penonton karena Hay Hay tidak lagi menuntun kerbaunya seperti yang lain, melainkan meloncat ke atas punggung kerbau dan menungganginya.
Kerbau paling liar yang sengaja dipilihnya itu terkejut lantas hendak meronta, mendengus marah. Akan tetapi aneh, begitu Hay Hay menggerakkan kakinya menendang perut dan menggunakan kedua tangannya memegang leher, kerbau itu langsung menjadi jinak dan dengan tenang melangkah perlahan menuju tengah lapangan, ke tempat yang ditentukan bagi para peserta memperlihatkan kekuatannya.
Dan tiba-tiba Hay Hay berseru, "Kerbau yang baik, engkau rebahlah!"
Kerbau itu tentu saja tidak mengerti dan semua orang sudah mulai tertawa melihat cara pemuda itu hendak menundukkan kerbaunya. Akan tetapi mereka terbelalak memandang ketika kerbau itu tiba-tiba mendengus, berusaha meronta, akan tetapi kedua tangan Hay Hay menekan leher, lalu beberapa kali menepuk punggung dan ke empat kaki kerbau itu pun menjadi lemas dan kehilangan tenaga, mengakibatkan kerbau itu mendekam di luar kemauannya!
Para petugas mulai menghitung dan sesudah dihitung sampai lima puluh kali, kerbau itu tetap saja mendekam. Setelah hitungan habis dan Hay Hay melompat turun, baru kerbau itu mendengus kemudian meloncat marah dan hendak lari mengamuk.
Akan tetapi dengan cekatan Hay Hay cepat menangkap ekornya dan kerbau itu pun tidak mampu lari lagi. Ketika Hay Hay menangkap kedua tanduknya dan menyeret kembali ke kandang, semua orang mengikutinya dengan tepuk tangan dan sorak sorai. Hay Hay pun lulus dalam ujian ini.
Kini sisa peserta tinggal empat orang lagi setelah ada dua orang yang gagal dalam ujian merobohkan kerbau. Ujian ke empat sangat berbahaya, yaitu menghadapi serangan anak panah dalam jarak seratus meter! Padahal anak panah yang dilepas oleh pemburu suku Miao terkenal dengan kecepatannya dan ketepatannya!
Sungguh berbahaya sehingga orang harus memiliki kecepatan gerakan untuk menghindar dari tiga batang anak panah yang dilepas secara beruntun itu! Memang untuk keperluan itu ujung anak panah yang runcing telah dihilangkan, namun biar pun tidak runcing, tetap saja dapat menembus kulit dan melukai daging, apa lagi kalau sampai mengenai mata!
Dua orang peserta pertama, pemuda-pemuda Miao itu sudah nampak gentar menghadapi ujian anak panah ini. Mereka maklum betapa sukarnya menghindarkan diri dari sambaran tiga batang anak panah itu, apa lagi karena mereka tahu bahwa ujian ini dilakukan oleh Paman Wa Him, seorang ahli panah yang dikenal di antara para pemburu sebagai orang yang tak pernah luput menggunakan anak panahnya! Akan tetapi karena mereka berdua itu tergila-gila kepada Nian Ci, juga sudah berhasil melampaui tiga macam ujian, mereka memberanikan hati dan peserta pertama lalu maju.
Dia diharuskan berdiri di atas tanah yang sudah diberi lingkaran dengan garis tengah dua meter. Dia boleh meloncat untuk mengelak asalkan tidak keluar dari lingkaran itu. Dan di depannya, dalam jarak seratus meter, telah berdiri seorang lelaki setengah tua bertubuh tinggi besar yang sudah siap dengan busurnya yang besar. Pada punggungnya terdapat tempat anak panah dengan belasan batang anak panah yang sudah dihilangkan ujungnya yang runcing.
Semua penonton yang berada di belakang peserta diharuskan pindah, takut kalau-kalau anak panah akan mengenai penonton. Semua penonton kini sudah memilih tempat yang enak dan aman, dan hati mereka penuh dengan ketegangan ketika peserta pertama telah berdiri tegak dengan sikap gagah namun wajahnya agak pucat.
Pengatur ujian memberi isyarat agar peserta dan pemanah bersiap. Kakek tinggi besar itu segera memasang anak panahnya pada busur, membidik sambil menarik tali busurnya. Terdengar suara menjepret dan nampaklah luncuran anak panah, cepat sekali.
Dan pemanah itu tidak berhenti bergerak, melainkan cepat sekali tangan kanannya sudah mencabut sebatang anak panah lagi lantas meluncurkan anak panah ke dua dengan luar biasa cepatnya, disusul oleh anak panah ke tiga. Hanya seorang ahli panah yang sudah berpengalaman dan terlatih saja yang mampu memanah beruntun tiga kali secepat itu.
Tiga batang anak panah itu meluncur susul-menyusul ke arah tubuh peserta. Peserta itu hanya melihat sinar berkelebat dan dia cepat meloncat ke kiri untuk mengelak, akan tetapi anak panah ke dua sudah datang menyambar ke arah tubuhnya mengelak. Kembali dia membuang diri ke kanan dan seperti anak panah yang pertama, anak panah ke dua ini pun luput walau pun sudah menyerempet ujung bajunya.
Akan tetapi kembali anak panah ke tiga menyambar, tepat ke arah dia mengelak. Biar pun dia masih berusaha membuang diri ke belakang, tetap saja pundaknya terkena sambaran anak panah ke tiga. Dia mengeluh kemudian roboh, pundaknya tampak berdarah. Dia pun dipapah keluar dan tentu saja dia dinyatakan gagal!
Peserta ke dua kini maju. Juga dia merasa gentar karena wajahnya sudah agak pucat. Dia pun maklum alangkah sukarnya lolos dari ujian ini. Setelah isyarat diberikan, kembali pemanah itu meluncurkan tiga batang anak panahnya secara beruntun, cepat sekali.
Peserta ke dua itu juga berhasil mengelak ke kanan dari sambaran anak panah pertama, dan ketika anak panah ke dua meluncur ke arah tubuhnya, dia meloncat tinggi sehingga anak panah itu meluncur di bawah kakinya. Akan tetapi kembali anak panah ke tiga yang membuatnya gagal. Anak panah ini menyambar lantas mengenai betisnya, membuat dia roboh pula sehingga harus dipapah terpincang-pincang keluar dari tempat itu. Gagal!
Hui Lian maju dan kembali peserta ini disambut oleh sorak-sorai dan tepuk tangan. Kiao Yi juga memandang dengan wajah berseri-seri. Wakilnya itu tentu akan mampu lolos dari serangan anak panah. Yang dikhawatirkan hanyalah pemuda bercaping itu, yang ternyata juga lihai bukan main!
Sesudah Hui Lian berdiri tegak dan diberi isyarat, Si Pemanah kembali meluncurkan anak panahnya. Akan tetapi tidak seperti dua orang peserta terdahulu, Hui Lian sama sekali tak mengelak. Anak panah pertama yang menyambar ke arahnya itu hanya disambut dengan tubuh dimiringkan saja dan ketika anak panah meluncur, tangan kirinya cepat menangkap anak panah itu, kemudian dia melontarkan anak panah itu ke depan hingga menyambar anak panah ke dua.
"Trakkk!"
Dua batang anak panah bertemu dan keduanya runtuh ke atas tanah. Ketika anak panah ke tiga datang, Hui Lian menggunakan tangan kanannya yang dimiringkan membacok dan anak panah itu pun runtuh ke atas tanah, patah menjadi dua potong!
Tentu saja keberhasilannya ini disambut sorak-sorai dan tepuk tangan gemuruh, terutama sekali Kiao Yi yang merasa girang bukan main. Dengan sikap dingin Hui Lian menoleh ke arah Hay Hay dan dara ini melihat betapa pemuda bercaping ini juga ikut bertepuk tangan memujinya sambil memandang kepadanya dan tersenyum. Akan tetapi, baginya senyum itu seperti mengandung ejekan!
Ketika Hay Hay maju, dia pun disambut dengan tepuk tangan oleh para penonton yang menjagoinya. Kini penonton hanya terpecah menjadi dua bagian, mereka yang menjagoi Hui Lian dan mereka yang menjagoi Hay Hay karena kini yang lulus hanyalah tinggal dua orang peserta ini.
Hay Hay melangkah maju dan dengan sikap seenaknya berdiri di tengah lingkaran yang telah disediakan, berdiri tenang menghadap ke arah pemanah tinggi besar yang juga telah mempersiapkan anak panahnya. Tadi pemanah ini terbelalak saat menyaksikan Hui Lian menyambut tiga batang anak panahnya. Jika tidak melihat dengan matanya sendiri, tentu dia tidak akan percaya ada orang mampu menghadapi tiga batang anak panahnya seperti yang dilakukan oleh pemuda itu.
Tadi dia sudah melihat kehebatan pemuda bercaping itu, maka dengan hati-hati dia pun membidik sambil menanti isyarat. Ketika isyarat itu diberikan oleh pengatur pertandingan, terdengar tali busur menjepret dan nampak sinar anak panah meluncur ke arah pusar Hay Hay.
Seperti Hui Lian tadi, pemuda ini pun seperti mendiamkan saja anak panah itu meluncur ke arah dirinya. Setelah anak panah itu dekat, baru dia miringkan tubuh ke kiri dan tangan kanannya menyambar ke bawah. Anak panah itu tahu-tahu telah dicepitnya antara ibu jari dan telunjuk tangan kanannya, demikian mudahnya seperti orang mencabut rumput saja!
Anak panah ke dua menyambar ke arah dadanya. Hay Hay hanya miringkan tubuh, lalu tangan yang masih memegang anak panah pertama kembali menyambar dan anak panah ke dua itu dijepit antara telunjuk dan jari tengah kanan. Kini dua batang anak panah itu dipegang tangan kanan seperti orang memegang sepasang sumpit!
Pada saat itu pula anak panah ke tiga menyambar ke arah lehernya! Dia hanya miringkan kepalanya dan ketika anak panah ke tiga ini lewat di dekat lehernya, di bawah dagu, dia cepat membuka mulut dan menangkap anak panah itu dengan gigitan!
Tentu saja demonstrasi ini disambut sorak-sorai para penonton, dan untuk kedua kalinya pemanah itu melongo saking heran dan kagumnya. Sekarang Hay Hay menggunakan dua batang anak panah sebagai sumpit, mengambil anak ke tiga dari mulutnya dan sekali dia melontarkan tangan kanan, tiga batang anak panah itu meluncur dan jatuh menancap di atas tanah di depan kaki pemanah itu, berjajar rapi dan masuk ke dalam tanah sampai ke bulu pada gagangnya. Luar biasa!
Hui Lian dan Hay Hay dinyatakan lulus dan kini hanya tinggal mereka berdua yang harus melakukan ujian terakhir, yaitu mengadu ilmu kepandaian dalam bela diri! Mereka berdua lalu dipanggil naik panggung.
Hay Hay yang tidak mengerti bahasa Miao, hanya ikut-ikutan saja meloncat naik ke atas panggung ketika dia melihat Hui Lian sudah meloncat naik. Mereka berdiri berdampingan menghadap kepala suku yang berkata dalam bahasa Miao bahwa mereka berdua adalah dua orang muda perkasa dan kini mereka harus memperlihatkan siapa di antara mereka yang lebih unggul dan berhak menjadi mantu kepala suku.
Kemudian kepala suku memberi isyarat kepada puterinya dan bangkitlah gadis Miao itu, membawa dua buah mouw-pit (pena bulu) dan tempat tinta. Dengan langkah yang lemah gemulai, puteri kepala suku itu tersenyum manis ketika menghampiri dua orang peserta itu, diiringi tepuk tangan para penonton.
Hay Hay memandang kepada gadis itu. Seorang gadis yang manis sekali, pikirnya, hitam manis dan baju yang dikenakan gadis itu bagian depannya terbuka agak rendah sehingga memperlihatkan lereng sepasang bukit dada yang indah membusung, dihiasi oleh kalung-kalung emas dengan ukir-ukiran indah. Sayang anting-anting yang dipakainya terlampau besar, membuat bagian daun telinga itu tergantung mulur dan lubangnya menjadi lebar. Dia pun tersenyum ramah sambil memandang dengan sinar mata berseri-seri ketika gadis Miao itu mendekat.
Seperti telah diceritakan di bagian depan, dalam perantauannya Hay Hay bertemu dengan seorang kakek yang mengaku bernama Song Lojin dan Hay Hay lalu menjadi murid dari pencinta alam dan pencinta binatang itu. Kakek itu tidak lama melatih Hay Hay, hanya kurang lebih selama satu bulan, tapi gemblengan yang diberikan itu betul-betul membuat Hay Hay menjadi seorang yang matang ilmu-ilmunya!
Sebagai seorang ahli silat tingkat tinggi, tentu saja Hay Hay kagum bukan main ketika dia melihat perkelahian antara Hui Lian dengan empat orang manusia iblis itu. Apa lagi ketika dia mengenal siapa adanya empat orang pengeroyok itu! Dia tahu benar akan kelihaian Lam-hai Siang-mo dan juga suami isteri Goa Iblis Pantai Selatan.
Akan tetapi pemuda tampan yang dikeroyok oleh empat orang datuk sesat yang amat lihai itu tampak demikian lincah, gerakannya begitu ringan dan tampak tidak sungguh-sungguh pada saat menghadapi pengeroyokan mereka! Akan tetapi tetap saja empat orang ilbis itu menjadi jeri dan melarikan diri.
Tadinya Hay Hay sudah siap untuk membantu pemuda itu, akan tetapi setelah dia merasa yakin bahwa pemuda itu tidak akan kalah, dia segera mengajak anak penggembala untuk meninggalkan tempat berbahaya itu, menggiring pergi domba-dombanya. Walau pun dia tidak mengerti sepatah kata pun bahasa Miao, namun dengan gerakan tangan dia mampu meyakinkan anak penggembala untuk cepat-cepat pergi dan Hay Hay lalu menemaninya pergi dari tempat pertempuran.
Dia mengajak penggembala itu pergi. Pertama untuk menyelamatkan anak itu bersama domba-dombanya, dan ke dua karena dia merasa segan untuk bertemu muka dengan mereka, terutama Lam-hai Siang-mo yang pernah menjadi ayah ibunya selama hampir tujuh tahun, sejak dia bayi sampai berusia tujuh tahun.
Ketika Hui Lian mengejar mereka dan dia berkesempatan berbicara dengan Hui Lian, dia merasa sangat kagum dan tertarik. Belum pernah dia bertemu dengan seorang pemuda yang demikian lihai dan juga tampan seperti pemuda itu, hanya sayang sedikit, pikirnya, pemuda perkasa itu agak galak dan sikapnya sedikit kewanitaan, terutama sekali aroma harum yang keluar dari tubuhnya. Seorang pemuda yang senang memakai minyak wangi, sungguh tidak menyenangkan hatinya karena hal itu amat kewanitaan.
Setelah mereka berpisah, Hay Hay sudah melupakan Hui Lian dan penggembala domba itu. Akan tetapi ketika dia melanjutkan perjalanan dan lewat dekat sebuah dusun, dia pun mendengar percakapan orang tentang keramaian yang akan diadakan oleh suku bangsa Miao pada besok hari, yaitu keramaian adu kepandaian dan ketangkasan!
Sebagai seorang pemuda, apa lagi yang suka dengan ilmu ketangkasan, Hay Hay tertarik sekali. Maka pada keesokan harinya, setelah malam itu dia bermalam di sebuah padang rumput yang indah bersih, pagi-pagi sekali dia lalu pergi menuju ke perkampungan orang Miao untuk nonton keramaian adu ketangkasan!
Ketika dia sampai di perkampungan itu, di sana telah berkumpul banyak orang, baik suku bangsa itu sendiri mau pun penduduk dusun-dusun di sekitar daerah itu yang berbondong datang untuk turut menonton keramaian yang menarik itu. Dan di sebuah lapangan sudah dipersiapkan alat-alat untuk ujian saringan bagi para peserta sayembara. Ketika Hay Hay tiba di situ, dia melihat pada sudut lapangan itu didirikan sebuah panggung, dan di bawah panggung terdapat sebuah batu hitam yang besarnya seperti perut kerbau dan nampak berat.
Saat itu pula nampak seorang lelaki tinggi besar yang pakaiannya indah, dengan banyak gelang serta kalung menghias tubuhnya, dengan bulu burung indah menghias sorbannya. Dan keadaan pakaian yang berbeda dari para laki-laki lainnya dari suku bangsa Miao itu menunjukkan bahwa dia adalah kepala suku.
Lelaki tinggi besar ini lalu membuat pidato pendek yang isinya memberi tahukan tentang syarat-syarat dan macamnya perlombaan, juga pengumuman bahwa pemenangnya akan berhak untuk menjadi menantunya, menikah dengan Nian Ci.
Akan tetapi, walau pun dia mendengarkan, Hay Hay hanya melongo saja, sedikit pun dia tidak mengerti apa yang dikatakan oleh kepala suku itu. Tentu saja hal ini membuat dia merasa kesal, maka dia pun menjadi lega karena pidato itu ternyata hanya pendek saja. Ketika para penonton mundur dan memberi tempat di sekitar panggung itu supaya cukup luas, ia pun lalu mendekat, maklum bahwa di panggung itulah akan diadakan pertunjukan pertama.
Ada belasan orang pemuda yang sudah siap di tempat itu, pemuda-pemuda suku bangsa Miao, ada juga yang peranakan dan yang agaknya berbangsa Han karena kulitnya putih kuning. Yang sangat menarik hati Hay Hay yang berdiri di antara para penonton adalah pada saat dia melihat hadirnya seorang pemuda bertubuh ramping yang amat tampan di antara para pemuda lainnya itu karena dia mengenal pemuda ini sebagai pemuda lihai yang kemarin pernah dikeroyok dua pasang suami isteri iblis dan mengalahkan mereka.
Heran sekali, pikirnya. Seorang pemuda dengan ilmu kepandaian yang demikian tingginya kini hadir di sana dan ikut pula memasuki sayembara mengadu ketangkasan? Hampir dia tertawa karena dia dapat memastikan bahwa semua saingan itu tentu akan kalah jauh dibanding pemuda yang lihai itu.
Peserta pertama, seorang pemuda bangsa Miao yang bertubuh tinggi besar dan bermuka hitam, melangkah maju setelah namanya dipanggil oleh seorang petugas perlombaan. Dia sengaja menyingsingkan kedua lengan bajunya sehingga nampaklah lengannya itu penuh dengan otot yang melingkar-lingkar.
Pemuda itu menghampiri batu hitam itu, tubuhnya membungkuk lalu sepasang lengannya yang besar memeluk batu hitam, setiap gerakannya diikuti pandang mata para penonton. Kemudian, sekali dia mengeluarkan bentakan, batu itu sudah diangkatnya ke atas kepala. Terdengar para penonton menyambut dengan tepuk tangan. Hay Hay yang turut gembira juga ikut pula bertepuk tangan memuji pertunjukan tenaga otot yang kuat itu.
Pemuda bermuka hitam itu lalu mengambil ancang-ancang dan berlari meloncat ke atas panggung, akan tetapi loncatannya kurang sehingga tidak mencapai panggung. Terpaksa dia turun lagi dan melepaskan batu hitam yang jatuh berdebuk di atas tanah.
Terdengar keluhan para penonton yang turut menyayangkan dan pemuda muka hitam itu pun memberi hormat ke arah kepala suku yang duduk di belakang panggung, kemudian mengundurkan diri. Dia telah gagal dalam ujian saringan sehingga tak diperkenankan ikut sayembara.
Seorang demi seorang maju untuk melalui ujian saringan ini. Ada yang berhasil membawa batu itu meloncat ke atas panggung, lantas disambut sorak-sorai dan tepuk tangan para penonton. Akan tetapi banyak yang tidak berhasil. Semua pengikut berhasil mengangkat batu itu ke atas, akan tetapi hanya sedikit yang mampu membawanya ke atas panggung. Bahkan ada seorang peserta yang ketika meloncat, terjatuh kembali namun dia terlambat melepaskan batu sehingga batu itu lantas menimpa kakinya dan kakinya menjadi patah. Terpaksa dia digotong kawan-kawannya keluar dari tempat itu untuk diobati.
Melihat betapa banyaknya orang yang tidak lulus, Kiao Yi yang ikut menonton di pinggir dengan tubuh masih lemah dan muka masih pucat, berkali-kali memberi isyarat kepada Hui Lian agar membatalkan saja niat hatinya. Akan tetapi pemuda itu hanya tersenyum tenang.
Ketika datang giliran Hui Lian yang dipanggil namanya, semua orang memandang dengan sikap mencemooh, bahkan ada pula yang tersenyum mengejek. Sebagian besar di antara para penonton adalah orang Miao, tentu saja mereka tidak menghendaki kalau pemenang sayembara ini adalah orang Han sehingga puteri kepala suku mereka akan menjadi isteri orang Han! Apa lagi melihat pemuda Han yang bertubuh kecil ramping jika dibandingkan dengan para peserta lain, semua orang segera memandang rendah, kecuali Hay Hay. Dia merasa yakin benar bahwa pemuda itu akan dengan mudah membawa batu itu meloncat ke atas panggung.
Tentu saja yang paling tegang di antara mereka semua adalah Kiao Yi. Dia belum tahu sampai di mana kelihaian penolongnya itu. Mengingat bahwa dia adalah seorang wanita, yang harus mengangkat batu seberat itu kemudian membawanya loncat, sungguh ngeri dia membayangkan. Bagaimana jika penolongnya itu sampai celaka? Hampir Kiao Yi tak berani membuka mata dan dia cepat-cepat menundukkan mukanya ketika Hui Lian mulai menghampiri batu itu.
Tepuk tangan yang riuh-rendah membuat Kiao Yi cepat mengangkat mukanya dan muka itu segera berseri-seri dengan cerah, matanya bersinar dan mulutnya tersenyum, penuh kekaguman juga keheranan. Hampir dia tak dapat mempercayai pandang matanya sendiri melihat betapa Hui Lian sudah mengangkat batu besar itu di atas kepala, hanya dengan tangan kanan saja! Dengan sebelah tangan!
Teringatlah dia akan pengakuan Hui Lian bahwa dia adalah seorang pendekar wanita dan kini timbullah harapan yang membuat Kiao Yi bertepuk tangan lebih keras dari pada yang lain! Juga anak penggembala yang kemarin itu berjingkrak-jingkrak sambil bersorak-sorak amat gembiranya. Anak itu merasa bangga karena dialah yang mula-mula menemukan peserta sayembara yang amat hebat itu!
Sambutan orang-orang ini membuat Hay Hay yang tadinya ikut bertepuk tangan, menjadi cemberut dan agak iri hati. Huh, yang begitu saja dipamerkan, pikirnya. Apanya sih yang harus dikagumi kalau hanya mengangkat batu seperti itu?
Dengan langkah sangat tenang, Hui Lian yang mengangkat batu dengan tangan kanan ke atas kepala itu kini menghampiri panggung, kemudian tanpa ancang-ancang lagi tubuhnya meloncat ke atas dan berhasil tiba di atas panggung, amat mudah dan enaknya sehingga mengagumkan semua orang. Paling hebatlah sambutan penonton sekali ini dibandingkan dengan sambutan untuk peserta lain yang juga berhasil tadi.
Hanya lima orang yang berhasil membawa batu itu loncat naik ke atas panggung setelah peserta yang terakhir gagal. Akan tetapi tiba-tiba, tanpa dipanggil namanya, ada seorang peserta lagi, juga seorang pemuda bangsa Han yang pakaiannya serba putih, melangkah menghampiri batu itu lalu mengangkat batu dengan tangan kiri ke atas!
Tentu saja semua orang menjadi terkejut hingga sejenak tidak ada yang bersuara saking heran dan kagumnya, apa lagi setelah pemuda baju putih itu melemparkan batu ke atas lantas menerimanya dengan kepala! Pecahlah sorak-sorai serta tepuk tangan menyambut kehebatan pemuda baru ini.
Dengan batu di atas kepala, Hay Hay lalu meloncat ke atas panggung! Batu itu bagaikan menempel di kepalanya, sedikit pun tak pernah bergoyang dan dia masih membawa batu itu di atas kepalanya ketika ia memberi hormat kepada kepala suku yang duduk bersama para pembantu dan keluarganya di panggung kehormatan sambil berkata nyaring.
"Saya ingin ikut meramaikan pesta ini, harap diperkenankan!"
Kepala suku itu ternyata dapat pula berbahasa Han. Tadi dia sudah hampir marah melihat ada orang luar yang namanya tak terdaftar ikut pula memasuki ujian saringan, akan tetapi melihat kehebatan orang ini, apa lagi sesudah mendengar kata-kata Si Baju Putih yang katanya ingin ikut meramaikan pesta, kepala suku tertawa senang dan sambil berdiri dia pun berkata. "Boleh, boleh sekali!"
Tentu saja ucapan kepala suku ini merupakan ijin bagi Hay Hay untuk ikut bersama para pemenang yang lain berlomba untuk menentukan siapa yang akan menjadi juara! Dengan gerakan yang sangat ringan dia pun meloncat turun kembali sambil membawa batu besar itu. Ketika menurunkan batu besar, dia menggerakkan kepalanya sehingga batu tertempar ke atas, disambut dengan tangan kirinya lalu perlahan-lahan diletakkan kembali ke atas tanah tanpa menimbulkan suara apa pun.
Semua orang kembali bersorak-sorai. Pemuda Han pertama yang kecil ramping tadi kini memperoleh lawan, pikir mereka. Akan ramailah perlombaan ini!
Hui Lian mengerutkan sepasang alisnya ketika melihat ulah Hay Hay. Diam-diam dia pun terkejut bukan main. Tak disangkanya sama sekali bahwa pemuda bercaping itu ternyata ikut pula dalam sayembara dan agaknya mempunyai kepandaian yang demikian hebat!
Dia tidak merasa gentar atau heran karena dianggapnya perbuatan Hay Hay tadi tak ada artinya. Dia sendiri juga sanggup melakukan hal itu. Pemuda bercaping itu hanya pamer saja! Akan tetapi dia segera tahu bahwa selanjutnya, pemuda itulah yang akan menjadi lawan utamanya. Dia harus menang, demi kebahagiaan Kiao Yi dan Nian Ci!
Hanya enam orang termasuk Hui Lian dan Hay Hay yang lulus dalam ujian saringan itu. Perlombaan pertama adalah menunggang kuda dan memperlihatkan keahlian memanah sasaran yang sudah ditentukan. Sambil menunggang kuda meloncati rintangan-rintangan, lalu memanah lingkaran yang digantungkan di atas pohon.
Para peserta suku bangsa Miao yang ahli menunggang kuda dan juga sebagai pemburu ahli mempergunakan anak panah, keempatnya berhasil lulus dengan baik. Kuda mereka melompati rintangan-rintangan tanpa pernah gagal, lantas dengan berbagai gaya mereka berhasil memanah lingkaran secara tepat sekali.
Tibalah giliran Hui Lian sebagai peserta ke lima. Gadis ini bukan ahli menunggang kuda, akan tetapi karena dia mempunyai ilmu ginkang yang sangat hebat sehingga kuda yang ditunggangi seolah-olah tidak merasa ada beban di punggungnya, meski pun dengan cara sederhana saja, kudanya juga dapat melompati semua rintangan dan tidak pernah gagal.
Hui Lian lalu menggunakan ginkang-nya ketika tiba saatnya dia harus melepaskan anak panah. Kalau tadi empat peserta yang lainnya melepas anak panah sambil duduk dengan berbagai gaya, kini Hui Lian meloncat dan berdiri di atas kudanya, lalu membidikkan anak panahnya dan berhasil tepat mengenai sasaran! Tentu saja cara memanah sambil berdiri di atas punggung kuda ini lebih sukar, sehingga Hui Lian kembali memperoleh pujian dan sambutan tepuk sorak yang gemuruh.
Tiba giliran Hay Hay. Pemuda ini tentu tadi tidak akan maju dan ikut bertanding kalau saja tidak melihat Hui Lian hadir pula. Dia memang nakal dan hanya ingin menyaingi pemuda itu saja yang dianggapnya pamer kepandaian! Melihat betapa Hui Lian memanah sambil berdiri di atas punggung kuda, Hay Hay tersenyum dan ketika dipersilakan maju, dia pun mengerling dan tersenyum ke arah Hui Lian yang segera membuang muka ketika melihat pemuda itu tersenyum kepadanya.
Hay Hay sengaja memilih seekor kuda hitam yang nampaknya liar! Semua orang merasa terkejut, bahkan tukang kuda memberi tahu bahwa kuda itu tidak memenuhi syarat untuk digunakan sebagai kuda tunggangan bagi peserta keahlian memanah ini sebab masih liar dan belum jinak benar.
Akan tetapi, Hay Hay mana mengerti semua ucapannya? Hay Hay mengira bahwa orang itu mengeluarkan kata-kata memuji padanya karena keberhasilannya tadi, maka dia pun hanya mengangguk-angguk dan tetap saja melompat naik ke atas punggung kuda hitam!
Begitu merasa ada yang duduk di atas punggungnya, kuda itu lantas mengeluarkan suara meringkik keras dan segera berloncatan bagai kemasukan setan! Hay Hay terkejut sekali, akan tetapi dia cepat menyambar tali kendali kuda dan membiarkan kuda itu berloncatan sesuka hatinya. Dengan ginkang-nya, tentu saja dia mampu duduk di atas punggung kuda hitam.
Memang dia hendak menonjolkan kepandaian agar tidak kalah hebat dari pada Hui Lian. Dengan sepasang kakinya dia menjepit perut kuda sambil mengerahkan sinkang sehingga tubuhnya menjadi berat. Kuda itu tidak berloncatan lagi, bahkan sekarang empat kakinya gemetar seperti menahan beban yang amat berat.
"Kuda yang baik, sekarang larilah dan loncati semua rintangan itu. Nah, terbanglah!" Dia meringankan tubuhnya dan menepuk leher kuda.
Kuda itu agaknya maklum bahwa yang berada di punggungnya adalah orang yang jauh lebih kuat darinya dan sekarang tiba-tiba saja dia menjadi jinak. Apa lagi karena Hay Hay menggunakan kekuatan sihirnya yang mempengaruhi kuda itu! Kuda itu kini berlari secara lurus dan indah.
Hay Hay juga merubah kedudukan, dia tidak duduk lagi melainkan tidur telentang di atas punggung kuda! Kendali kuda tetap dipegangnya dan ketika kuda itu meloncati rintangan-rintangan, dia tetap enak-enak tidur telentang di punggung kuda seperti kain basah saja! Semua rintangan berhasil dilewati dan tepuk tangan sorak-sorai tiada hentinya mengikuti semua gerakan kuda itu.
Hay Hay masih tidur telentang ketika tiba saatnya dia harus memanah sasaran lingkaran yang tergantung di atas pohon. Dia sengaja memasang tiga batang anak panah pada tali busurnya, kemudian sekali lepas, tiga batang anak panah itu meluncur ke atas, yang dua menembus lingkaran, yang satu mengenai tali gantungan sehingga papan lingkaran yang menjadi sasaran itu terjatuh. Kembali perbuatannya ini disambut sorak-sorai, namun juga disambut kerut alis dan mulut cemberut oleh Hui Lian.
Ujian yang pertama itu dilewati dengan baik oleh enam orang yang mengikuti sayembara. Mereka dinyatakan lulus dan mereka kini bersiap untuk melakukan ujian ke dua. Belasan ekor rusa muda dilepas dalam sebuah hutan kecil di lereng bukit. Setelah rusa-rusa itu lari memasuki hutan dan lenyap menyelinap di antara semak belukar, keenam orang peserta sayembara itu pun diperbolehkan melakukan pengejaran.
Empat orang peserta segera berlari ke dalam hutan. Hui Lian tenang-tenang saja, akan tetapi ia pun pergi memasuki hutan. Hanya Hay Hay yang masih enak-enak, sama sekali tidak kelihatan tergesa-gesa biar pun orang-orang yang menjagoinya dan ingin melihat dia menjadi pemenang sudah meneriakinya agar dia cepat-cepat masuk ke hutan menangkap seekor rusa.
Hay Hay tentu saja tidak mengerti apa yang mereka maksudkan, bahkan dia sama sekali tak mengerti apa yang diperintahkan, tidak tahu apa yang harus dilakukan. Hanya karena melihat rusa-rusa itu dilepas ke hutan, kemudian para peserta lain melakukan pengejaran, dia dapat menduga bahwa sekarang tiba ujian menangkap seekor rusa liar. Karena hal itu dianggapnya amat mudah, maka dia pun enak-enak saja dan kini dia berjalan seenaknya, dengan lenggang malas-malasan memasuki hutan.
Semua orang yang menonton sayembara itu menanti dengan hati tegang, dan di antara mereka ada juga yang bertaruh siapa yang akan lebih dahulu mendapatkan seekor rusa. Akan tetapi yang paling ramai menjadi jago dalam taruhan adalah Hui Lian dan Hay Hay. Dari demonstrasi membawa loncat batu kemudian memanah sambil menunggang kuda tadi saja mereka sudah tahu bahwa kedua orang muda Han itu lebih unggul dibandingkan dengan empat orang saingannya, yaitu para pemuda suku Miao.
Dugaan mereka benar karena tak lama kemudian telah nampak berkelebat dua bayangan orang keluar dari dalam hutan dan ketika mereka tiba di situ, ternyata mereka adalah Hui Lian dan Hay Hay yang masing-masing telah memondong seekor rusa muda! Mereka tiba di situ dalam waktu yang bersamaan, disambut sorak-sorai para penonton.
Wajah Hui Lian menjadi merah karena penasaran. Tidak disangkanya bahwa gerakannya yang amat cepat itu dapat diimbangi oleh pemuda bercaping yang kini tersenyum-senyum kepadanya. Kembali Hui Lian membuang muka dan hatinya mulai marah karena pemuda bercaping itu dianggapnya sengaja hendak menyaingi dan mempermainkannya.
Juga diam-diam dia menganggap pemuda ini mata keranjang. Sayang, seorang pemuda yang begitu tampan dan gagah, juga memiliki ilmu kepandaian yang hebat, kini mau saja memperebutkan seorang gadis suku Miao! Tak mungkin untuk benar-benar diperisterinya karena kalau dia mau, pemuda itu tentu bisa mendapatkan gadis yang jauh lebih cantik dari pada puteri kepala suku Miao itu. Tentu hanya untuk main-main!
Dia pun memandang dengan sinar mata mencorong. Kalau pemuda ini ternyata seorang lelaki yang suka mempermainkan wanita, maka dia yang akan menentangnya! Berbahaya apa bila seorang laki-laki tukang mempermainkan wanita memiliki ilmu kepandaian begitu tinggi.
Lama setelah kedua orang peserta ini kembali di situ membawa rusa tangkapan mereka, bermunculanlah empat orang peserta lainnya, berturut-turut sambil membawa seekor rusa yang sudah mati karena mereka merobohkan rusa-rusa itu dengan anak panah mereka.
Tentu saja hampir tidak mungkin bagi para pemburu itu untuk dapat menangkap seekor rusa tanpa menggunakan anak panah seperti yang dilakukan Hui Lian dan Hay Hay. Dan mereka berempat hanya memandang dengan terheran-heran setelah melihat betapa dua orang pemuda Han itu telah mendahului mereka, malah masing-masing telah menangkap seekor rusa yang masih hidup dan sama sekali tidak terluka!
Ujian ketiga lebih menegangkan hati karena kini para peserta akan diuji kegagahan serta kekuatan mereka dengan melawan seekor kerbau! Mereka masing-masing harus mampu merobohkan seekor kerbau dan membuat binatang itu tidak berdaya hingga tidak mampu bangkit kembali.
Kerbau adalah seekor binatang yang jinak. Akan tetapi binatang ini kuat sekali dan meski pun jinak, apa bila dipaksa akan dirobohkan, tentu melawan dan dapat berbahaya! Di situ telah disediakan belasan ekor kerbau dan setiap orang peserta boleh memilih seekor
Seorang peserta, pemuda Miao bertubuh jangkung dengan kumis melengkung, mendapat giliran pertama dan dia pun memilih seekor kerbau, menuntunnya keluar dari kandang lalu membawanya ke lapangan di bawah panggung. Semua orang memandang dengan penuh perhatian.
Menurut kelajiman di antara suku bangsa Miao, cara merobohkan kerbau dan membuat kerbau tidak berdaya adalah dengan jalan merangkul lehernya, memegangi kedua tanduk dengan dua tangan dan memuntir lehernya sehingga binatang itu akan terguling. Dengan terus menindihnya, dan memuntir batang leher, binatang itu tidak akan dapat bangun lagi.
Akan tetapi hal ini bukan tidak berbahaya karena kerbau itu sangat kuat dan tentu akan memberontak dan marah. Kalau saja orangnya kalah kuat, dan kerbau itu sampai dapat melepaskan diri, maka akan berbahayalah keadaannya.
Pemuda Miao jangkung berkumis itu tampaknya cukup kuat dan tahu bagaimana caranya menguasai kerbaunya. Sesudah menuntun kerbaunya ke tengah lapangan, dia menunggu saat kerbau itu lengah, lalu tiba-tiba saja dia menerkam, memegang kedua tanduk kerbau, menjepit lehernya dan memutar. Kerbau itu terkejut dan hendak melepaskan diri, namun terlambat karena lehernya telah dipuntir sehingga dia kehilangan keseimbangan tubuhnya dan roboh terguling.
Orang-orang bersorak, akan tetapi dengan hati tetap tegang karena kini saat yang paling berbahaya pun tiba. Kerbau yang sudah rebah miring itu kini meronta dan mencoba untuk melepaskan diri, menggunakan kekuatan lehernya. Di sinilah terjadinya pergulatan itu dan terdengarlah pemimpin sayembara menghitung perlahan-lahan.
Menurut peraturan, jika hitungan itu sampai lima puluh dan kerbau itu tetap tidak terlepas, maka berarti menanglah peserta sayembara itu. Jika sebelum lima puluh kerbau itu dapat bangkit berdiri, maka dia harus merobohkannya kembali dan hitungan pun diulang mulai dari satu sampai lima puluh!
Kerbau yang ditindih dan dipuntir lehernya oleh Si Jangkung berkumis itu berusaha terus meronta, namun Si Jangkung mempertahankan dan akhirnya hitungan sampai lima puluh. Dengan tubuh penuh peluh dan napas agak memburu, peserta jangkung itu melepaskan jepitan lengannya lalu kerbau itu pun digiring pergi, disambut sorak-sorai penonton yang memujinya.
Peserta ke dua maju sambil menuntun keluar seekor kerbau lainnya. Seperti juga peserta pertama, dia lalu merobohkan kerbau itu dengan memuntir lehernya, memegangi kedua tanduknya. Akan tetapi agaknya kerbau itu amat kuat, atau peserta itu yang kurang kuat. Binatang itu terlalu kuat baginya sehingga ketika hitungan baru mencapai dua puluh tiga, kerbau yang meronta itu berhasil menggerakkan kepalanya sedemikian kuatnya sehingga orang itu pun tidak lagi dapat menguasainya.
Kerbau itu bangkit dan kepalanya terus digoyang-goyangkan sehingga orang itu terlempar dengan lengan berdarah, luka oleh tanduk kerbau. Kalau saja pada saat itu tidak muncul beberapa orang pengatur pertunjukan sayembara ini yang langsung mengikat kerbau dan menggiringnya pergi, peserta itu dapat celaka karena diserang kerbau yang mulai marah itu. Gagallah peserta ke dua ini dan terpaksa dia harus mengundurkan diri, dinyatakan kalah!
Peserta ke tiga mengalami nasib yang sama seperti peserta ke dua. Kerbau itu terlampau kuat baginya sehingga dia tidak mampu menahan kerbau itu di atas tanah lebih dari dua puluh hitungan. Bahkan dia menderita luka yang lebih parah karena kalau peserta ke dua hanya luka di lengannya yang berdarah, dada orang ke tiga ini terkena seruduk sehingga pingsan! Tentu saja dia dinyatakan gagal.
Peserta ke empat berhasil menahan kerbaunya sampai hitungan ke lima puluh, walau pun seperti peserta pertama dia pun mandi peluh dan napasnya memburu. Setelah peserta ke empat, tibalah giliran Hui Lian.
Penonton menyambutnya dengan sorak-sorai, terutama sekali mereka yang menjagoinya dalam taruhan. Akan tetapi Kiao Yi justru memandang dengan hati berdebar-debar. Ujian ini sepenuhnya merupakan pekerjaan laki-laki yang menggunakan tenaga besar, ada pun wakilnya itu adalah seorang wanita! Bagaimana kalau gagal? Dan yang lebih celaka lagi, bagaimana jika sampai terluka? Ngeri dia kalau membayangkan kerbau itu mengamuk dan menyeruduk dada gadis yang menyamar pria itu!
Semua orang menghentikan sorak sambutan mereka sesudah melihat Hui Lian menuntun keluar seekor kerbau dari dalam kandang. Melihat banyaknya orang dan tadi mendengar sorak-sorai yang gaduh, kerbau itu telah kelihatan panik dan matanya liar memandang ke kanan kiri, dan dia telah kelihatan curiga kepada Hui Lian sehingga ketika dituntun keluar beberapa kali kepalanya menoleh ke belakang dan hendak mogok.
Akhirnya Hui Lian pun tiba di tengah lapangan dengan kerbaunya. Dia menengok ke atas panggung dan melihat betapa kepala suku beserta keluarganya, termasuk juga puterinya, menjenguk dari atas panggung dan seperti semua penonton, kini sedang mencurahkan perhatian mereka kepadanya.
Ketika dia mengerling ke kiri, dia melihat Hay Hay berjongkok, mukanya sebagian tertutup caping, akan tetapi sebelah mata yang nampak memandang kepadanya dengan berseri dan mulutnya tersenyum, senyum yang seperti mengejek dan mentertawakannya. Ia tidak tahu bahwa pemuda bercaping itu sangat kagum dan tertarik kepadanya, dan diam-diam ada perasaan penasaran juga keinginan keras di dalam hati pemuda bercaping itu untuk menguji kepandaiannya.
Tidak seperti empat orang peserta terdahulu, Hui Lian tidak mau merobohkan kerbaunya dengan puntiran batang lehernya, biar pun tidak sulit baginya untuk memutar leher kerbau itu sampai patah tulang lehernya kalau dia mau melakukan hal itu! Tidak, dia tidak akan merangkul dan memuntir leher kerbau itu, namun dengan cepat sekali kakinya mengirim tendangan ke arah lutut keempat kaki binatang itu, tidak terlalu keras namun cepat sekali bertubi-tubi dan binatang itu pun roboh!
Empat batang kaki itu rasanya lumpuh dan tentu saja kerbau itu tidak mampu berdiri lagi. Setiap kali dia berusaha bangkit berdiri, Hui Lian langsung menyusulkan tendangan, tidak terlalu keras agar tidak membikin patah sambungan lutut, dan kerbau itu pun tak mampu bangkit. Hitungan sampai lima puluh dan binatang itu sama sekali tidak mampu bangkit kembali karena Hui Lian selalu menyusulkan tendangan.
Orang-orang bersorak sungguh pun hati mereka tidak puas karena dalam ujian ini, walau pun lulus, Hui Lian tidak memperlihatkan kekuatan, melainkan menggunakan akalnya biar pun semua peserta, kecuali Hay Hay, harus mengakui bahwa mereka tidak akan mampu melakukan tendangan-tendangan seperti itu.
Ketika kerbau itu dituntun pergi, kakinya tidak mengalami cedera, hanya agak terpincang-pincang sedikit. Maka legalah hati Kiao Yi dan dia semakin kagum saja kepada pendekar wanita yang menolongnya itu.
Tibalah giliran Hay Hay sebagai peserta terakhir. Semua orang tertegun ketika dia memilih seekor kerbau yang terbesar dan paling galak di antara belasan ekor kerbau di kandang, bahkan Hui Lian memandang dengan alis berkerut. Akan tetapi segera meledaklah suara ketawa para penonton karena Hay Hay tidak lagi menuntun kerbaunya seperti yang lain, melainkan meloncat ke atas punggung kerbau dan menungganginya.
Kerbau paling liar yang sengaja dipilihnya itu terkejut lantas hendak meronta, mendengus marah. Akan tetapi aneh, begitu Hay Hay menggerakkan kakinya menendang perut dan menggunakan kedua tangannya memegang leher, kerbau itu langsung menjadi jinak dan dengan tenang melangkah perlahan menuju tengah lapangan, ke tempat yang ditentukan bagi para peserta memperlihatkan kekuatannya.
Dan tiba-tiba Hay Hay berseru, "Kerbau yang baik, engkau rebahlah!"
Kerbau itu tentu saja tidak mengerti dan semua orang sudah mulai tertawa melihat cara pemuda itu hendak menundukkan kerbaunya. Akan tetapi mereka terbelalak memandang ketika kerbau itu tiba-tiba mendengus, berusaha meronta, akan tetapi kedua tangan Hay Hay menekan leher, lalu beberapa kali menepuk punggung dan ke empat kaki kerbau itu pun menjadi lemas dan kehilangan tenaga, mengakibatkan kerbau itu mendekam di luar kemauannya!
Para petugas mulai menghitung dan sesudah dihitung sampai lima puluh kali, kerbau itu tetap saja mendekam. Setelah hitungan habis dan Hay Hay melompat turun, baru kerbau itu mendengus kemudian meloncat marah dan hendak lari mengamuk.
Akan tetapi dengan cekatan Hay Hay cepat menangkap ekornya dan kerbau itu pun tidak mampu lari lagi. Ketika Hay Hay menangkap kedua tanduknya dan menyeret kembali ke kandang, semua orang mengikutinya dengan tepuk tangan dan sorak sorai. Hay Hay pun lulus dalam ujian ini.
Kini sisa peserta tinggal empat orang lagi setelah ada dua orang yang gagal dalam ujian merobohkan kerbau. Ujian ke empat sangat berbahaya, yaitu menghadapi serangan anak panah dalam jarak seratus meter! Padahal anak panah yang dilepas oleh pemburu suku Miao terkenal dengan kecepatannya dan ketepatannya!
Sungguh berbahaya sehingga orang harus memiliki kecepatan gerakan untuk menghindar dari tiga batang anak panah yang dilepas secara beruntun itu! Memang untuk keperluan itu ujung anak panah yang runcing telah dihilangkan, namun biar pun tidak runcing, tetap saja dapat menembus kulit dan melukai daging, apa lagi kalau sampai mengenai mata!
Dua orang peserta pertama, pemuda-pemuda Miao itu sudah nampak gentar menghadapi ujian anak panah ini. Mereka maklum betapa sukarnya menghindarkan diri dari sambaran tiga batang anak panah itu, apa lagi karena mereka tahu bahwa ujian ini dilakukan oleh Paman Wa Him, seorang ahli panah yang dikenal di antara para pemburu sebagai orang yang tak pernah luput menggunakan anak panahnya! Akan tetapi karena mereka berdua itu tergila-gila kepada Nian Ci, juga sudah berhasil melampaui tiga macam ujian, mereka memberanikan hati dan peserta pertama lalu maju.
Dia diharuskan berdiri di atas tanah yang sudah diberi lingkaran dengan garis tengah dua meter. Dia boleh meloncat untuk mengelak asalkan tidak keluar dari lingkaran itu. Dan di depannya, dalam jarak seratus meter, telah berdiri seorang lelaki setengah tua bertubuh tinggi besar yang sudah siap dengan busurnya yang besar. Pada punggungnya terdapat tempat anak panah dengan belasan batang anak panah yang sudah dihilangkan ujungnya yang runcing.
Semua penonton yang berada di belakang peserta diharuskan pindah, takut kalau-kalau anak panah akan mengenai penonton. Semua penonton kini sudah memilih tempat yang enak dan aman, dan hati mereka penuh dengan ketegangan ketika peserta pertama telah berdiri tegak dengan sikap gagah namun wajahnya agak pucat.
Pengatur ujian memberi isyarat agar peserta dan pemanah bersiap. Kakek tinggi besar itu segera memasang anak panahnya pada busur, membidik sambil menarik tali busurnya. Terdengar suara menjepret dan nampaklah luncuran anak panah, cepat sekali.
Dan pemanah itu tidak berhenti bergerak, melainkan cepat sekali tangan kanannya sudah mencabut sebatang anak panah lagi lantas meluncurkan anak panah ke dua dengan luar biasa cepatnya, disusul oleh anak panah ke tiga. Hanya seorang ahli panah yang sudah berpengalaman dan terlatih saja yang mampu memanah beruntun tiga kali secepat itu.
Tiga batang anak panah itu meluncur susul-menyusul ke arah tubuh peserta. Peserta itu hanya melihat sinar berkelebat dan dia cepat meloncat ke kiri untuk mengelak, akan tetapi anak panah ke dua sudah datang menyambar ke arah tubuhnya mengelak. Kembali dia membuang diri ke kanan dan seperti anak panah yang pertama, anak panah ke dua ini pun luput walau pun sudah menyerempet ujung bajunya.
Akan tetapi kembali anak panah ke tiga menyambar, tepat ke arah dia mengelak. Biar pun dia masih berusaha membuang diri ke belakang, tetap saja pundaknya terkena sambaran anak panah ke tiga. Dia mengeluh kemudian roboh, pundaknya tampak berdarah. Dia pun dipapah keluar dan tentu saja dia dinyatakan gagal!
Peserta ke dua kini maju. Juga dia merasa gentar karena wajahnya sudah agak pucat. Dia pun maklum alangkah sukarnya lolos dari ujian ini. Setelah isyarat diberikan, kembali pemanah itu meluncurkan tiga batang anak panahnya secara beruntun, cepat sekali.
Peserta ke dua itu juga berhasil mengelak ke kanan dari sambaran anak panah pertama, dan ketika anak panah ke dua meluncur ke arah tubuhnya, dia meloncat tinggi sehingga anak panah itu meluncur di bawah kakinya. Akan tetapi kembali anak panah ke tiga yang membuatnya gagal. Anak panah ini menyambar lantas mengenai betisnya, membuat dia roboh pula sehingga harus dipapah terpincang-pincang keluar dari tempat itu. Gagal!
Hui Lian maju dan kembali peserta ini disambut oleh sorak-sorai dan tepuk tangan. Kiao Yi juga memandang dengan wajah berseri-seri. Wakilnya itu tentu akan mampu lolos dari serangan anak panah. Yang dikhawatirkan hanyalah pemuda bercaping itu, yang ternyata juga lihai bukan main!
Sesudah Hui Lian berdiri tegak dan diberi isyarat, Si Pemanah kembali meluncurkan anak panahnya. Akan tetapi tidak seperti dua orang peserta terdahulu, Hui Lian sama sekali tak mengelak. Anak panah pertama yang menyambar ke arahnya itu hanya disambut dengan tubuh dimiringkan saja dan ketika anak panah meluncur, tangan kirinya cepat menangkap anak panah itu, kemudian dia melontarkan anak panah itu ke depan hingga menyambar anak panah ke dua.
"Trakkk!"
Dua batang anak panah bertemu dan keduanya runtuh ke atas tanah. Ketika anak panah ke tiga datang, Hui Lian menggunakan tangan kanannya yang dimiringkan membacok dan anak panah itu pun runtuh ke atas tanah, patah menjadi dua potong!
Tentu saja keberhasilannya ini disambut sorak-sorai dan tepuk tangan gemuruh, terutama sekali Kiao Yi yang merasa girang bukan main. Dengan sikap dingin Hui Lian menoleh ke arah Hay Hay dan dara ini melihat betapa pemuda bercaping ini juga ikut bertepuk tangan memujinya sambil memandang kepadanya dan tersenyum. Akan tetapi, baginya senyum itu seperti mengandung ejekan!
Ketika Hay Hay maju, dia pun disambut dengan tepuk tangan oleh para penonton yang menjagoinya. Kini penonton hanya terpecah menjadi dua bagian, mereka yang menjagoi Hui Lian dan mereka yang menjagoi Hay Hay karena kini yang lulus hanyalah tinggal dua orang peserta ini.
Hay Hay melangkah maju dan dengan sikap seenaknya berdiri di tengah lingkaran yang telah disediakan, berdiri tenang menghadap ke arah pemanah tinggi besar yang juga telah mempersiapkan anak panahnya. Tadi pemanah ini terbelalak saat menyaksikan Hui Lian menyambut tiga batang anak panahnya. Jika tidak melihat dengan matanya sendiri, tentu dia tidak akan percaya ada orang mampu menghadapi tiga batang anak panahnya seperti yang dilakukan oleh pemuda itu.
Tadi dia sudah melihat kehebatan pemuda bercaping itu, maka dengan hati-hati dia pun membidik sambil menanti isyarat. Ketika isyarat itu diberikan oleh pengatur pertandingan, terdengar tali busur menjepret dan nampak sinar anak panah meluncur ke arah pusar Hay Hay.
Seperti Hui Lian tadi, pemuda ini pun seperti mendiamkan saja anak panah itu meluncur ke arah dirinya. Setelah anak panah itu dekat, baru dia miringkan tubuh ke kiri dan tangan kanannya menyambar ke bawah. Anak panah itu tahu-tahu telah dicepitnya antara ibu jari dan telunjuk tangan kanannya, demikian mudahnya seperti orang mencabut rumput saja!
Anak panah ke dua menyambar ke arah dadanya. Hay Hay hanya miringkan tubuh, lalu tangan yang masih memegang anak panah pertama kembali menyambar dan anak panah ke dua itu dijepit antara telunjuk dan jari tengah kanan. Kini dua batang anak panah itu dipegang tangan kanan seperti orang memegang sepasang sumpit!
Pada saat itu pula anak panah ke tiga menyambar ke arah lehernya! Dia hanya miringkan kepalanya dan ketika anak panah ke tiga ini lewat di dekat lehernya, di bawah dagu, dia cepat membuka mulut dan menangkap anak panah itu dengan gigitan!
Tentu saja demonstrasi ini disambut sorak-sorai para penonton, dan untuk kedua kalinya pemanah itu melongo saking heran dan kagumnya. Sekarang Hay Hay menggunakan dua batang anak panah sebagai sumpit, mengambil anak ke tiga dari mulutnya dan sekali dia melontarkan tangan kanan, tiga batang anak panah itu meluncur dan jatuh menancap di atas tanah di depan kaki pemanah itu, berjajar rapi dan masuk ke dalam tanah sampai ke bulu pada gagangnya. Luar biasa!
Hui Lian dan Hay Hay dinyatakan lulus dan kini hanya tinggal mereka berdua yang harus melakukan ujian terakhir, yaitu mengadu ilmu kepandaian dalam bela diri! Mereka berdua lalu dipanggil naik panggung.
Hay Hay yang tidak mengerti bahasa Miao, hanya ikut-ikutan saja meloncat naik ke atas panggung ketika dia melihat Hui Lian sudah meloncat naik. Mereka berdiri berdampingan menghadap kepala suku yang berkata dalam bahasa Miao bahwa mereka berdua adalah dua orang muda perkasa dan kini mereka harus memperlihatkan siapa di antara mereka yang lebih unggul dan berhak menjadi mantu kepala suku.
Kemudian kepala suku memberi isyarat kepada puterinya dan bangkitlah gadis Miao itu, membawa dua buah mouw-pit (pena bulu) dan tempat tinta. Dengan langkah yang lemah gemulai, puteri kepala suku itu tersenyum manis ketika menghampiri dua orang peserta itu, diiringi tepuk tangan para penonton.
Hay Hay memandang kepada gadis itu. Seorang gadis yang manis sekali, pikirnya, hitam manis dan baju yang dikenakan gadis itu bagian depannya terbuka agak rendah sehingga memperlihatkan lereng sepasang bukit dada yang indah membusung, dihiasi oleh kalung-kalung emas dengan ukir-ukiran indah. Sayang anting-anting yang dipakainya terlampau besar, membuat bagian daun telinga itu tergantung mulur dan lubangnya menjadi lebar. Dia pun tersenyum ramah sambil memandang dengan sinar mata berseri-seri ketika gadis Miao itu mendekat.