Pendekar Mata Keranjang Jilid 27

Serial pedang kayu harum episode pendekar mata keranjang jilid 27 karya Kho Ping Hoo
Sonny Ogawa
SIKAP Hay Hay ini menarik hati gadis suku bernama Nian Ci itu dan dia pun memandang kepada Hay Hay dengan tersenyum pula. Dia lebih suka kepada Hay Hay yang kelihatan ramah dari pada Hui Lian yang bersikap dingin saja, biar pun Hui Lian tidak kalah tampan dibandingkan pemuda bercaping. Bahkan ketika menyerahkan mouw-pit dan bak kepada masing-masing peserta, Nian Ci berbisik kepada Hay Hay,

"Mudah-mudahan engkau menang."

Hay Hay hanya mengangguk dan menjawab dalam bahasa Han karena dia tidak mengerti apa yang dikatakan oleh gadis itu. "Engkau sungguh manis sekali!"

Melihat sikap mereka dan mendengar pula ucapan pemuda bercaping, Hui Lian menjadi mendongkol sekali. Hemm, tak diduganya bahwa pemuda bercaping ini ternyata seorang laki-laki mata keranjang yang pandai merayu wanita!

Tadi Si Kepala Suku sendiri sudah menjelaskan bahwa pertandingan adu ilmu bela diri itu bukan dimaksudkan untuk saling melukai apa lagi membunuh, tetapi hanya untuk menguji kepandaian masing-masing. Oleh karena itu, mereka masing-masing diberi mouw-pit dan bak (tinta) agar dengan alat itu mereka dapat mendatangkan coretan atau totolan kepada tubuh lawan selama bernyalanya sebatang hio. Setelah itu akan dihitung, siapa yang lebih banyak terdapat noda hitam totolan mouw-pit, dialah yang kalah.

Kini keduanya sudah saling berhadapan di atas panggung, ditonton semua orang yang hadir. Hay Hay masih belum mengerti kenapa dia diberi mouw-pit dan tinta bak. Dengan mouw-pit di tangan kanan dan bak di tangan kiri, dia berdiri dengan muka bodoh, lalu dia memandang Hui Lian.

"Eh, Twako yang baik, apakah kita disuruh berlomba menulis sajak atau membuat tulisan indah? Wah, kalau begitu aku menyerah kalah saja! Tentu engkau lebih mahir."

Hui Lian maklum bahwa orang ini sama sekali tak mengerti bahasa Miao, akan tetapi dia tidak tersenyum, bahkan merasa semakin mendongkol. Jika sudah memasuki sayembara ini, tentu pemuda ini sudah tahu akan semua syaratnya dan sikapnya yang ketololan ini tentu sengaja dilakukan untuk mempermainkannya.

"Huh, kiranya engkau hanya seorang laki-laki mata keranjang!" bentaknya.

Hui Lian pun sudah mulai menyerang dengan mouw-pitnya. Karena mouw-pit yang sudah direndam bulunya dengan tinta tadi hanya menyambar ke arah ujung lengan bajunya, Hay Hay tidak menghindar sehingga nampaklah coretan pada ujung lengan bajunya. Dia pun terbelalak kaget dan kagum karena ternyata coretan itu bukan sembarangan saja, namun membentuk huruf ‘Mata Keranjang’!

"Ehhh...!" Dia berseru dan cepat dia pun membalas, akan tetapi mouw-pitnya tertangkis oleh mouw-pit lawan. Karena penasaran belum membalas makian lewat coretan, Hay Hay lalu menggunakan kepandaiannya, mouw-pitnya menyambar ke arah mata lawan.

Hui Lian terkejut karena serangan ini sungguh berbahaya sekali. Pada saat dia mengelak ke samping, tiba-tiba saja mouw-pit lawan itu meluncur turun dan mengenai ujung bajunya yang putih. Ketika memandang, dia melihat coretan itu pun berbentuk huruf makian yang berbunyi ‘Lancang Mulut’!

Hui Lian marah. Mouw-pitnya menyambar-nyambar lagi dan berhasil mencoret-coret huruf makian ‘Goblok’ dan ‘Gila’ pada kanan kiri bagian baju Hay Hay. Kalau saja Hay Hay mau menghindarkan, tentu tidak mudah bajunya dicoret-coret, akan tetapi sungguh aneh, dia ingin sekali melihat tulisan apa lagi yang dilakukan lawan maka dia sengaja membiarkan lawan mencoret-coret bajunya.

Ketika membaca ‘Goblok’ dan ‘Gila’, dia pun membalas dan sekali ini Hui Lian juga ingin tahu jawaban lawannya. Marahlah dia sesudah membaca huruf ‘Tolol’ dan ‘Sinting’ yang dicoretkan mouw-pit di tangan Hay Hay pada bajunya. Dia pun segera balas menyerang kalang kabut, dan keduanya pun kini bertanding mempergunakan mouw-pit.

Setelah keduanya mengeluarkan kepandaian masing-masing maka sulitlah bagi keduanya untuk membuat satu totolan atau coretan saja di baju lawan! Sekarang keduanya terkejut bukan main karena tidak menyangka bahwa pihak lawan sedemikian lihainya!

Hay Hay memang tahu akan kelihaian Hui Lian, akan tetapi tak disangkanya sehebat ini. Sebaliknya Hui Lian juga sangat terkejut mendapat kenyataan bahwa pemuda bercaping itu mampu mengimbangi kecepatan gerakannya, bahkan membalas serangannya dengan totokan-totokan yang amat cepat, aneh, dan bertenaga!

"Engkau manusia tak tahu malu!" Hui Lian mendesis dalam bahasa Han, tidak keras tapi hanya cukup terdengar oleh Hay Hay saja ketika mereka saling serang dan belum juga berhasil menodai baju masing-masing kecuali huruf-huruf tadi. "Aku tidak percaya engkau benar-benar mau menjadi mantu kepala suku dan kawin dengan gadis Miao itu!"

Tentu saja Hay Hay merasa heran mendengar ucapan itu. "Gila!" dia pun berbisik. "Siapa mau menjadi mantu kepala suku?"

"Engkau tergila-gila kepada gadis suku Miao itu, tadi engkau mengajaknya tersenyum dan memuji dia manis!"

"Memang dia manis, apa salahnya aku memuji? Akan tetapi aku tidak tergila-gila!"

"Engkau tolol, kalau tidak tergila-gila, kenapa ikut sayembara ini?" Kini Hui Lian menduga bahwa pemuda ini mengikuti sayembara hanya karena iseng saja, mungkin tidak tahu apa artinya sayembara ini karena dia tidak paham bahasa Miao.

"Aku ikut karena merasa tertarik, apa salahnya?" Hay Hay tersenyum. "Aku hanya ingin mengurangi kesombonganmu berlagak dan memamerkan kepandaian!"

"Aihh, engkau lancang mulut! Apa engkau tidak tahu kalau sayembara ini diadakan untuk memperebutkan gadis anak kepala suku! Pemenangnya yang akan menjadi suaminya."

Hay Hay terkejut sekali sehingga dia menengok ke arah kiri di mana duduk gadis Miao itu di samping ayah dan ibunya. Gadis beranting-anting besar itu memandang padanya dan tersenyum. Karena menoleh Hay Hay menjadi lengah, maka Hui Lian berhasil membuat coretan pada bajunya. Hay Hay meloncat ke belakang.

"Apa? Gadis beranting-anting besar itu? Jadi... jadi isteri pemenang...?"

"Benar, tolol! Dan kau tidak tahu mengenai itu, ya? Ikut sayembara hanya untuk iseng saja?" Hui Lian menyerang lagi tetapi kali ini dia merasa terkejut karena kini mudah saja baginya untuk mencoretkan mouw-pitnya kepada pakaian lawan.

"Wah, kalau begitu biar aku kalah saja. Ambillah perempuan itu untukmu, sobat!"

Kini sambil bersilat Hay Hay melakukan gerakan yang amat cepat dengan mouw-pitnya, akan tetapi bukan pakaian lawan yang menjadi sasarannya melainkan pakaiannya sendiri! Bahkan saking gemasnya kepada diri sendiri yang hampir saja celaka karena jika menang dia harus menjadi suami gadis Miao itu, maka dia mencoret-coretkan mouw-pitnya pada mukanya pula!

Saking cepat gerakannya, para penonton tidak ada yang tahu bahwa pemuda berpakaian biru itu mencoreti pakaian dan mukanya sendiri. Hanya Hui Lian yang tahu dan diam-diam dia tertawa. Betapa pun juga pemuda ini bukan orang jahat dan bukan mata keranjang, bahkan lucu sekali!

Setelah hio yang membara itu padam, pengatur pertandingan segera memberi tanda agar mereka berhenti bertanding dan tanpa dihitung lagi, mudah saja diketahui bahwa Hay Hay telah kalah! Bajunya penuh dengan coretan, bahkan leher dan mukanya juga berlepotan bak hitam! Sorak-sorai menyambut kemenangan Hui Lian, dan mereka yang tadi bertaruh menjagoi Hay Hay, terpaksa membayar kekalahan sambil mengomel panjang pendek.

Sebagai pemenang Hui Lian lalu dihadapkan kepada kepala suku. Kepala suku mencabut golok dari pinggangnya, memberikannya kepada puterinya. Nian Ci, gadis kepala suku itu, membawa golok dan melepaskan pula kalungnya, hendak dikalungkan ke leher Hui Lian dan menyerahkan golok sebagai tanda bahwa ‘pemuda’ itu telah diterima menjadi mantu ayahnya.

Akan tetapi Hui Lian melangkah mundur dan memberi isyarat penolakan dengan tangan. Melihat ini, kepala suku terbelalak dan para penonton menjadi gaduh. Pemenang menolak menjadi suami Nian Ci! Apa pula ini?

"Orang muda!" Kepala suku membentak dengan suara marah karena hatinya penasaran. "Mengapa engkau menolak? Engkau adalah pemenang sayembara tadi sehingga berhak menjadi mantuku!"

"Aku mengikuti sayembara bukan untuk diriku sendiri, akan tetapi mewakili dia!" Dan dia pun menuding ke arah Kiao Yi yang berada di bawah panggung. Digapainya Kiao Yi dan disuruhnya naik ke panggung. Kiao Yi yang tubuhnya masih lemah itu segera naik ke atas panggung kemudian menjatuhkan diri berlutut di depan kepala suku.

"Kiao Yi...!" Nian Ci berseru. Pemuda itu membalas pandangan mata kekasihnya lantas mengangguk tersenyum.

Semua orang mendengar ini merasa penasaran, maka mulailah mereka berteriak-teriak. Mereka adalah suku bangsa yang menjunjung tinggi kegagahan serta kejujuran. Mereka tak setuju bila kini hadiah puteri kepala suku itu diberikan kepada Kiao Yi yang dianggap tidak berhak karena yang memenangkan sayembara adalah pemuda berpakaian putih itu.

Hay Hay juga merasa sangat penasaran. "Heiiii, sobat!" teriaknya dari bawah panggung. "Apa-apaan itu? Engkau sudah menang dan engkau berhak mengawini gadis itu, kenapa menolak? Dia cantik jelita dan manis, pantas sekali menjadi teman hidupmu selamanya. Ha-ha-ha! Bukankah engkau sudah menang?" Hay Hay mentertawakan Hui Lian.

Kepala suku Miao itu kini memandang kepada Kiao Yi dengan mata terbelalak. Dia suka kepada Kiao Yi dan tahu bahwa antara puterinya dan pemuda ini sudah lama terjalin cinta dan saling suka. Akan tetapi dia harus mempertahankan kewibawaan dan kegagahannya sebagai kepala suku.

"Kiao Yi, apa artinya ini? Mengapa engkau lancang berani maju hendak menerima hadiah dari pemenang, padahal pemenangnya orang lain?"

Kiao Yi menjawab dengan lantang sehingga didengar oleh semua orang. "Harap maafkan saya. Sesungguhnya saya sendiri yang hendak maju memasuki sayembara. Akan tetapi saya keracunan dan jatuh sakit, hampir saja mati kalau tidak ditolong oleh... pendekar itu. Melihat saya diracun orang yang agaknya hendak menghalangi saya ikut sayembara, dan mendengar bahwa antara saya dengan Nian Ci sudah saling cocok untuk menjadi suami isteri, Tuan pendekar ini lalu mewakili saya dalam pertandingan sayembara ini."

Sekarang para penonton kembali terpecah dua, ada yang pro dan ada pula yang kontra sehingga keadaan di tempat itu menjadi sangat gaduh dan bising karena mereka saling berbantahan sendiri. Ada yang setuju kalau puteri kepala suku menikah dengan Kiao Yi yang sudah dikenal sebagai pemuda suku sendiri yang cukup gagah perkasa. Ada pula yang mempertahankan agar puteri kepala suku dikawinkan dengan pemuda pakaian putih sebagai pemenang sayembara.

Selagi keadaan mulai menjadi tegang, tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan ketakutan dan tampaklah orang-orang Miao berlarian, dikejar oleh orang-orang yang keadaannya sangat mengejutkan karena mereka itu adalah orang-orang yang berwajah dan bersikap sungguh menyeramkan. Apa lagi ketika nampak beberapa orang Miao sudah roboh mandi darah akibat diserang oleh beberapa orang itu. Sedikitnya ada dua puluh orang yang menyerbu perkampungan itu.

Hui Lian sudah meloncat turun dari atas panggung. Ia tadi menengok dan melihat bahwa di antara para penyerbu terdapat dua pasang suami isteri yang pernah dilawannya ketika mereka hendak merampas domba-domba yang digembala seorang anak Miao pada hari kemarin. Dia tahu alangkah lihainya mereka, dan kini mereka berempat datang bersama belasan orang lain yang keadaannya juga aneh-aneh namun menunjukkan bahwa mereka adalah kaum sesat yang berilmu tinggi.

Hay Hay juga terkejut, bukan saja melihat dua pasang suami isteri itu, melainkan karena di antara para penyerbu itu dia mengenal pula Ji Sun Bi yang berjuluk Tok-sim Mo-li (Iblis Betina Berhati Racun) yang cantik dan cabul itu bersama gurunya, Min-san Mo-ko yang lebih lihai lagi. Melihat kedua orang ini, Hay Hay mengerutkan alisnya dan teringatlah dia kembali akan pengalamannya ketika dia terjatuh ke tangan dua iblis itu. Untunglah bahwa dia dapat lolos dari tangan dua orang manusia keji ini, ditolong oleh mendiang Pek Mau Sanjin yang telah mengajarkan ilmu sihir kepadanya.

Bagaimanakah dua pasang suami isteri iblis itu kini dapat bekerja sama dengan Tok-sim Mo-li Ji Sun Bi dan Min-san Mo-ko, murid dari mendiang See Kwi Ong, seorang di antara Empat Setan? Seperti kita ketahui, suami isteri Lam-hai Siang-mo dan suami isteri Goa Iblis Pantai Selatan telah bersekutu, setelah tadinya bermusuhan karena memperebutkan Sin-tong (Anak Ajaib) keluarga Pek dan sama-sama gagal. Ketika secara berkelompok mereka bertemu pula dengan Lam-hai Giam-lo, murid mendiang Lam-kwi-ong yang sudah bergabung pula dengan Min-san Mo-ko yang setingkat, dua pasang suami isteri ini lalu menggabungkan diri pula.

Ketika itu golongan hitam yang mulai menghimpun kekuatan ini mendengar bahwa Jaksa Tinggi Kwan Sin bersama keluarganya sedang mengadakan liburan ke Telaga Tung-ting. Jaksa Tinggi ini terkenal sekali di dunia kang-ouw sebagai seorang pembesar yang selalu menghadapi dunia kejahatan dengan tangan besi.

Banyak sudah tokoh-tokoh kaum sesat yang menjalani hukuman berat melalui Kwan-taijin ini, maka oleh kalangan sesat dia pun dianggap sebagai tokoh musuh. Banyak orang dari dunia hitam menginginkan nyawanya, bukan saja karena membencinya sebagai seorang pejabat yang bertangan besi terhadap penjahat, juga terutama sekali karena pembesar itu terkenal memiliki mustika yang amat langka.

Benda mustika itu berupa sebuah giok (batu kemala) yang sudah ribuan tahun umurnya, berwarna belang merah hijau dan mempunyai khasiat menyembuhkan segala macam luka beracun, dapat pula menyedot racun dari dalam tubuh dan juga kalau air rendaman batu kemala ini diminum selama beberapa hari berturut-turut, maka dapat menjadi obat kuat pembersih darah. Batu giok ini selalu tergantung pada dada pembesar itu sebagai mainan seuntai kalung, tersembunyi di balik jubahnya.

Berita tentang Kwan-taijin inilah yang membuat kawanan sesat itu kini menuju ke Telaga Tung-ting. Dua pasangan suami isteri iblis itu sering kali memisahkan diri dari gerombolan mereka. Kemarin mereka telah gagal merampas domba, kemudian pada hari ini, bersama dengan gerombolan teman-teman mereka, mereka menyerbu perkampungan suku Miao yang sedang mengadakan pesta itu.

Ketika Hui Lian berloncatan menyambut serbuan gerombolan penjahat, suami isteri Goa Iblis Pantai Selatan yang berdekatan dengan Min-san Mo-ko cepat-cepat berkata, "Itulah pemuda yang amat lihai itu."

Mereka telah menceritakan kepada rekan yang kedudukannya lebih tinggi dari mereka itu tentang kegagalan mereka merampas domba ketika bertemu dengan pemuda berpakaian putih itu.

Begitu melihat Hui Lian, Ji Sun Bi yang mata keranjang segera jatuh hati. Tidak dikiranya bahwa pemuda yang kabarnya telah mengalahkan pengeroyokan dua pasang suami isteri itu adalah seorang lelaki yang demikian tampan. Maka dia pun cepat meloncat ke depan menyambut Hui Lian dengan senyum memikat. Karena sudah mendengar betapa lihainya pemuda pakaian putih itu, Ji Sun Bi telah mencabut sepasang pedangnya dan memegang di kedua tangan.

"Orang muda yang ganteng, engkau ikut saja dengan kami, menjadi sahabat baikku dan kita hidup bersenang-senang!" katanya sambil melepas senyum manis serta lirikan mata memikat.

Hui Lian mengerutkan alisnya ketika melihat sikap wanita yang cantik dan genit itu. Dia tahu bahwa dia berhadapan dengan seorang wanita cabul dan mata keranjang, maka dia pun membentak marah.

"Perempuan tak tahu malu, jangan mencoba untuk membujukku!"

Ji Sun Bi adalah orang yang selalu berpendapat bahwa jlka sesuatu yang dikehendaki itu tidak akan berhasil dimilikinya, maka sesuatu itu harus dihancurkan! Karena itu, sesudah melihat sikap pemuda berpakaian putih yang memakinya, rasa sukanya segera berubah dan berbalik menjadi kebencian.

"Kalau begitu, mampuslah!" bentaknya, kemudian sepasang pedangnya berubah menjadi gulungan sinar yang menyambar-nyambar dahsyat ke arah Hui Lian.

Melihat betapa serangan wanita itu ternyata cukup dahsyat dan berbahaya, Hui Lian pun maklum bahwa dia menghadapi seorang lawan tangguh, maka dia meloncat ke belakang menghindar sambil menggerakkan tangannya dan tiba-tiba tampak sinar putih kemerahan berkelebat ketika dia telah mencabut sebatang pedang yang berkilauan.

Itulah Kiok-hwa-kiam, pedang yang ia temukan bersama suheng-nya di dalam goa berikut kitab peninggalan In Liong Nio-nio dan Sin-eng-cu The Kok, dua orang di antara delapan tokoh yang dahulu dikenal dengan sebutan Delapan Dewa.

Ji Sun Bi yang sudah marah sekali melanjutkan serangannya dan kini dua gulungan sinar pedangnya bertemu dengan gulungan sinar pedang Kiok-hwa-kiam.

"Cringgg…! Tranggg...!"

Ji Sun Bi menahan teriakannya dan terkejut bukan main karena dalam pertemuan pedang itu dia merasa betapa sepasang tangannya tergetar hebat, tanda bahwa tenaga lawannya memang amat kuat. Ia pun berhati-hati dan kembali menggerakkan sepasang pedangnya menyerang dengan dahsyat. Hui Lian menyambutnya dengan gerakan tenang saja, tetapi dalam gebrakan-gebrakan berikutnya, pedangnya menekan sepasang pedang lawan dan dia pun sudah mendesak hebat!

Melihat ini, Min-san Mo-ko segera melangkah maju. "Sun Bi, minggirlah'" bentaknya dan ketika muridnya meloncat ke belakang, dia melangkah maju lagi menghadapi Hui Lian.

Gadis ini memandang tajam lawan barunya yang bertubuh kurus bermuka pucat itu. Akan tetapi, melihat betapa sepasang mata kakek ini mencorong seperti mata harimau, dia lalu bersikap hati-hati.

Dengan suara melengking tinggi Min-san Mo-ko menudingkan jari telunjuknya ke arah Hui Lian sambil memandang dengan sepasang mata yang tajam berpengaruh, "Orang muda, lepaskan pedangmu dan berlututlah!"

Hui Lian terkejut bukan main karena suara itu laksana menembus otaknya dan menusuk ke arah jantungnya, begitu menguasai dirinya sehingga tak dapat ditahannya lagi pedang di tangannya dilepaskan, jatuh ke atas tanah. Akan tetapi dia masih mampu bertahan dan tidak menjatuhkan diri berlutut. Melihat ini Min-san Mo-ko mengerahkan kekuatan sihirnya dan berkata lagi suaranya yang semakin tinggi melengking.

"Orang muda, engkau tidak mampu menahan lagi, harus berlutut di hadapanku!" Tangan kanannya bergerak-gerak ke arah Hui Lian.

Kembali Hui Lian merasa seolah-olah dirinya dipaksa untuk berlutut dan biar pun hatinya menolak, akan tetapi kedua kakinya sudah gemetar dan hampir saja dia menjatuhkan diri berlutut. Mendadak terdengar suara ketawa dan anehnya, suara ketawa ini membuyarkan kekuatan hebat yang memaksanya harus berlutut tadi.

"Ha-ha-ha-ha, Toako yang berpakaian putih, jangan dengarkan omongan dukun cabul itu. Omongannya tiada arti dan gunanya sama sekali, lebih busuk dari kentut perut kotor!"

Ucapan ini langsung membuyarkan pengaruh yang menguasai diri Hui Lian sehingga dia terkejut sendiri melihat pedang Kiok-hwa-kiam di dekat kakinya. Cepat dia membungkuk dan mengambil kembali pedangnya. Dia menoleh dan melihat bahwa yang muncul adalah pemuda bercaping itu.

Mukanya berubah merah karena tadi dia memperlihatkan kelemahannya terhadap lawan dan baru sekarang dia sadar bahwa dia tadi berada di bawah pengaruh sihir. Kalau tahu begitu, dengan pengerahan sinkang dan khikang, dia tentu akan dapat mempertahankan dirinya!

"Terima kasih," katanya kepada Hay Hay.

"Lebih baik engkau bantu orang-orang Miao itu, Toako, dan biarlah aku yang menghadapi Si Dukun Cabul ini!" kata Hay Hay.

Hui Lian melihat betapa dua pasangan suami isteri yang pernah dikalahkannya kemarin, bersama teman-teman mereka kini mulai menyerbu sehingga terjadi pertempuran antara mereka dengan orang-orang Miao yang tentu saja tidak mampu menghadapi orang-orang yang berilmu tinggi itu. Beberapa orang Miao telah roboh menjadi korban dari keganasan gerombolan itu. Melihat ini, dengan pedang di tangan Hui Lian lalu berlari dan menerjang ke arah para penyerbu, pedangnya mengeluarkan bunyi mengaung dan berubah menjadi sinar bergulung-gulung.

Sementara itu sambil tersenyum lebar Hay Hay menghadapi Min-san Mo-ko dan Ji Sun Bi. Ji Sun Bi segera mengenalnya, maka giranglah hati wanita ini melihat pemuda yang dahulu pernah membuat dirinya tergila-gila itu. Teringatlah dia betapa bagaikan segumpal daging di mulut harimau, pemuda ini telah berada dalam cengkeramannya dan tentu telah dimilikinya kalau tidak muncul kakek aneh yang merebut pemuda ini darinya.

"Hay Hay! Engkau datang mencariku, sayang?" tegur Sun Bi sambil tersenyum manis dan menghampiri, akan tetapi berhati-hati karena dia sudah mengenal kelihaian Hay Hay.

Hay Hay juga tetap tersenyum memandang wanita yang merupakan orang pertama yang mengajarkan dia bercumbu itu, wanita cantik menarik yang kemudian menjadi musuhnya karena hendak memaksakan kehendaknya yang tidak baik, wanita cabul!

"Ji Sun Bi, kita berjumpa lagi! Akan tetapi jangan harap engkau akan dapat memaksakan keinginanmu yang kotor dengan bantuan dukun cabul ini!" Dia menuding ke arah Min-san Mo-ko.

Tentu saja Min-san Mo-ko menjadi sangat marah mendengar dua kali dia dimaki dukun cabul oleh Hay Hay. Tadi dia tidak mengenal Hay Hay ketika pemuda ini muncul dan baru dia teringat sesudah Ji Sun Bi saling tegur dengan pemuda itu. Dia lantas teringat bahwa pemuda ini yang dahulu pernah dijatuhkannya dengan sihir dan sebelum dibunuh hendak dipermainkan dulu oleh Sun Bi, akan tetapi kemudian muncul Pek Mau San-jin yang kuat sekali ilmu sihirnya sehingga pemuda itu dapat lolos.

"Bagus! Dulu kebetulan saja engkau dapat melepaskan diri, sekarang jangan harap lagi, orang muda!" Kakek itu lantas menggosok kedua telapak tangannya, mulutnya berkemak-kemik, matanya mencorong menatap wajah Hay Hay, kemudian dia mengembangkan dua lengannya dengan telapak tangan menghadap ke arah Hay Hay dan terdengar suaranya melengking tinggi.

"Orang muda, tidurlah engkau! Tidurlah, karena kini engkau merasa lelah dan mengantuk sekali!" Suaranya bergema mengerikan dan mempunyai pengaruh amat kuat

Tentu saja Hay Hay sudah siap siaga menghadapi ilmu sihir kakek itu. Dia mengerahkan tenaga batinnya, menangkis bahkan melontarkan kembali kekuatan yang menyerangnya itu kepada Si Penyerang, ditambah lagi oleh kekuatan sendiri yang bergelombang sangat kuatnya.

"Bagus, kakek kurus, bagus sekali, tidurlah engkau!"

Min-san Mo-ko sama sekali tak pernah menyangka bahwa pemuda di depannya itu sama sekali berbeda dengan pemuda yang pernah dirobohkannya dengan sihir! Kini dia sedang berhadapan dengan seorang pemuda yang memiliki kekuatan sihir yang hebat, jauh lebih kuat dari pada ilmu sihirnya sendiri.

Dia tidak tahu betapa kekuatan sihirnya tadi sudah ditangkis dan dikembalikan oleh Hay Hay kepadanya, bahkan ditambah dengan kekuatan pemuda itu sendiri. Kini tahu-tahu dia merasa mengantuk bukan kepalang, menguap dan tubuhnya terkulai, terus rebah di atas tanah dan tidur mendengkur!

Terkejutlah Ji Sun Bi melihat keadaan gurunya yang juga menjadi kekasihnya. Hampir dia tidak percaya akan penglihatannya sendiri. Biasanya gurunya sangat lihai dalam ilmu sihir dan sekali memerintah orang, tentu akan berhasil. Barusan gurunya memerintah Hay Hay untuk tidur, akan tetapi kenapa hasilnya bahkan gurunya sendiri yang tidur mendengkur? Dia pun menubruk dan mengguncang pundak Min-san Mo-ko, mengerahkan sinkang dan berseru,

"Suhu, bangunlah! Bangunlah!"

Sebagai seorang ahli sihir yang amat berpengalaman tentu saja Min-san Mo-ko menyadari bahwa dia telah terpukul oleh serangannya sendiri namun tadi terlambat dia menyadari hal ini sehingga dia keburu terpengaruh dan pulas. Sekarang gugahan Ji Sun Bi membuat dia terbangun lantas dengan muka merah dia meloncat berdiri, memandang kepada pemuda yang masih senyum-senyum itu.

Dia langsung teringat akan ilmu sihirnya yang paling kuat. Sejenak dia diam mengerahkan seluruh kekuatannya, kemudian tiba-tiba saja kedua matanya mencucurkan air mata dan dia pun menangis sesenggukan! Sungguh penglihatan yang lucu dan aneh sekali! Kakek Min-san Mo-ko menangis tersedu-sedu dengan air mata bercucuran sambil memandang kepada Hay Hay.

"Hu-uhu-hu-huuu...!" Ia menangis dan mengeluh, "Hidup begini sengsara... penuh duka... uhu-hu-huuuu...!"

Tangis biasa saja sudah amat menular, memiliki kekuatan untuk menyeret orang lain agar ikut menangis, apa lagi tangis Min-san Mo-ko ini, tangis yang mengandung kekuatan sihir amat dahsyat. Bahkan Ji Sun Bi, yang meski pun sudah tahu bahwa gurunya melakukan sihir, tak dapat menahan diri dan ikut pula menangis!

Hay Hay merasakan getaran yang sangat kuat, yang seolah-olah menerkam dirinya dan menyeretnya, memaksanya untuk ikut pula menangis bersama Min-san Mo-ko dan Ji Sun Bi. Bahkan ingatannya pun lalu membayangkan keadaan dirinya yang sebatang kara dan tidak memillki apa-apa di dunia ini, terbayang olehnya betapa sunyinya hidup, betapa dia menderita kesepian.

Mau rasanya dia mengguguk menangis seperti anak kecil. Tetapi kesadarannya membuat dia waspada dan dapat melihat bahwa semua ini hanyalah karena kekuatan sihir lawan! Dia membiarkan air matanya jatuh menetes ke atas pipinya, kemudian dia mengerahkan kekuatan sihirnya dan berkata dengan suara menghibur.

"Sudahlah, Kakek yang malang, janganlah terlampau berduka, hal itu dapat mengganggu kesehatanmu."

Kalau mendengar kata-kata hiburan, orang yang sedang bersedih biasanya kedukaannya menjadi penuh keharuan sehingga membuatnya menangis semakin sedih. Demikian pula dengan Min-san Mo-ko, karena kekuatan sihirnya tak cukup kuat untuk mengalahkan Hay Hay, sekarang sebaliknya dia malah terseret oleh kekuatan sihir yang dilepas Hay Hay. Mendengar kata-kata hiburan itu, dia pun menangis makin hebat, tidak hanya mengguguk lagi, malah kini melolong-lolong dan tak lama kemudian dia pun bergulingan di atas tanah sambil menangis seperti anak kecil!

Melihat keadaan gurunya ini, Ji Sun Bi terkejut sekali, akan tetapi dia pun tidak berdaya karena dia juga menangis semakin hebat, terseret pula oleh pengaruh sihir yang dilepas Hay Hay! Guru dan murid itu bertangis-tangisan dengan amat sedihnya, hingga keduanya megap-megap dan sukar bernapas seperti tercekik oleh tangis sendiri.

Tiba-tiba berkelebat bayangan orang dan muncul dua orang berpakaian pendeta. Melihat gambar teratai di dada mereka, mudah dikenal bahwa mereka adalah dua orang pendeta Agama Pek-lian-kauw. Seorang di antara mereka membanting sesuatu, terdengar suara meledak dan tempat itu penuh tertutup asap hitam.

Hay Hay menggunakan dua lengannya untuk mengebut dan mengusir asap. Akan tetapi sesudah asap hitam menghilang, tidak nampak lagi Min-san Mo-ko dan Ji Sun Bi di situ. Ternyata mereka berdua telah dilarikan oleh dua orang teman mereka dari Pek-lian-kauw! Hay Hay tidak peduli dan cepat dia menyerbu ke dalam pertempuran.

Hui Lian yang memegang pedang dikeroyok banyak orang, akan tetapi permainan pedang pemuda berpakaian putih itu demikian hebat sehingga meski pun ada belasan orang lihai mengeroyoknya, mereka tidak mampu menembus benteng gulungan sinar pedang itu!

Melihat ini, Hay Hay menepuk pundak seorang lawan yang mengeroyok, kemudian orang ke dua. Dua orang itu membalik, kemudian mereka berdua saling hantam sendiri karena di dalam pandangan mereka, masing-masing adalah musuh yang harus dihantam, bukan kawan lagi! Hay Hay melakukan hal yang sama terhadap dua orang pengeroyok lain dan tidak lama kemudian para pengeroyok Hui Lian itu sudah saling hantam sendiri di antara teman mereka!

Tentu saja Hui Lian sendiri menjadi bingung melihat ulah para pengeroyoknya itu, begitu pula dengan orang-orang Miao yang kini dengan enaknya memukuli para penyerbu yang saling hantam sendiri itu. Melihat keadaan ini, Siangkoan Leng dan isterinya, Ma Kim Li, juga suami isteri Kwee Siong dan Tong Ci Ki, menjadi terkejut dan gentar. Mereka cepat berloncatan dan melarikan diri dari tempat itu.

Sisa anak buah atau teman-teman mereka, hanya setengahnya yang akhirnya dapat lolos melarikan diri membawa luka-luka ketika mereka diserbu oleh suku Miao. Ada tujuh orang di antara mereka yang tewas dalam pertempuran itu, beberapa orang lagi luka-luka dan merangkak pergi, dibiarkan saja oleh orang-orang Miao yang sibuk merawat teman-teman sendiri yang terluka. Pesta yang gembira itu berubah menjadi suasana berkabung karena di antara suku Miao ada beberapa orang pula yang tewas.

Kepala suku menghaturkan terima kasih kepada Hui Lian dan Hay Hay sebab jelas bahwa dua orang inilah yang sudah mengusir para perampok tadi. Kesempatan ini dipergunakan oleh Hui Lian untuk memberi tahu kepada kepala suku.

"Saya hendak melakukan pengejaran terhadap mereka dan meninggalkan perkampungan ini. Akan tetapi saya minta dengan sangat supaya Nian Ci dikawinkan dengan Kiao Yi karena keduanya sudah saling mencinta. Maukah kalian memenuhi permintaanku itu?"

Kepala suku dan keluarganya menyatakan setuju, maka Hui Lian lalu pergi meninggalkan tempat itu dengan cepat. Hanya dengan sekali berkelebat tubuhnya telah lenyap dari situ, membuat orang-orang Miao melongo.

"Ha-ha, aku pun harus pergi!" kata Hay Hay dalam bahasanya sendiri, dan orang-orang pun hanya melihat pemuda itu berkelebat lenyap.

Muncul dan lenyapnya dua orang muda itu tak pernah dilupakan oleh orang-orang Miao di perkampungan itu. Mereka yang masih percaya akan tahyul merasa yakin bahwa kedua orang itu tentulah penjelmaan para dewa yang sengaja datang hendak menolong mereka dari serbuan para perampok tadi.

Kiao Yi juga tidak pernah membuka rahasia bahwa pemuda berpakaian putih itu adalah seorang wanita menurut pengakuan orang itu sendiri. Dia sendiri masih belum yakin betul, akan tetapi dia takut untuk membuka rahasia ini, biar kepada isterinya sendiri sekali pun. Hal itu disimpannya sendiri sebagai sebuah rahasia keramat.

********************

cerita silat online karya kho ping hoo

"Heiiiii, sobat, tunggu dulu!" beberapa kali Hay Hay berteriak-teriak memanggil bayangan putih yang berlari cepat di depan itu. Tentu saja Hui Lian mendengar teriakan ini, namun dia bahkan mempercepat larinya karena dia ingin menguji sampai di mana kepandaian berlari cepat pemuda bercaping yang aneh itu.

Melihat betapa orang yang sedang dikejarnya itu malah semakin ngebut, Hay Hay segera mengerahkan tenaganya dan dia pun berlari dengan sangat cepatnya. Apa bila dilihat dari gemblengan yang mereka peroleh, sebetulnya dalam hal ginkang Hay Hay masih menang satu tingkat karena pemuda ini sudah mewarisi ilmu-ilmu dari See-thian Lama atau Go-bi San-jin yang memang mengandalkan ginkang, yaitu terutama sekali Ilmu Yan-cu Coan-in (Walet Terbang Menembus Awan) yang membuat tubuhnya sangat ringan dan dia dapat berlari secepat kijang.

Akan tetapi, di samping ilmu-ilmu silat tinggi yang telah dipelajari oleh Hui Lian dari Ciang Su Kiat, juga wanita ini telah mewarisi ilmu peninggalan dari dua orang di antara Delapan Dewa, dan terutama sekali yang membuat tubuhnya ringan adalah akibat makanan aneh berupa jamur-jamur yang dimakannya selama sepuluh tahun di dalam goa terasing. Inilah sebabnya kenapa kekalahannya dalam hal ilmu meringankan tubuh dapat ditebusnya dan kini keadaan mereka berimbang. Jarak di antara keduanya tidak menjadi lebih dekat atau lebih jauh. Melihat kenyataan ini, kembali keduanya terkejut dan kagum.

Karena Hui Lian hanya hendak menguji, dan dia pun ingin berkenalan lebih dekat dengan pemuda bercaping yang menarik itu, akhirnya dia berhenti di lereng sebuah bukit sehingga dalam beberapa detik saja Hay Hay sudah dapat menyusulnya.

"Wah, sobat, larimu seperti kijang saja, cepat bukan main," Hay Hay memuji saat mereka sudah berdiri saling berhadapan.

Hui Lian tak menjawab, melainkan menatap wajah pemuda di depannya itu dengan penuh perhatian. Seorang pemuda yang tampan, dengan wajah yang cerah gembira. Dadanya bidang, tubuhnya yang berukuran sedang itu tegap dan jelas membayangkan tenaga kuat yang dikandungnya. Matanya selalu bersinar-sinar dan bibirnya tersenyum-senyum penuh daya tarik. Hidungnya yang mancung itu seperti orang yang selalu mengejek.

Pakaiannya sederhana saja, berwarna biru muda dengan garis-garis kuning pada tepinya. Punggungnya membawa buntalan pakaian dan sebuah caping lebar sekarang tergantung di atas buntalan itu, seperti perisai melindungi tubuh belakangnya. Seorang pemuda yang masih muda sekali, baru kurang lebih dua puluh tahun saja! Hui Lian yang usianya sudah sekitar tiga puluh tahun itu menganggap Hay Hay masih remaja!

Karena merasa dirinya sedang diamati orang, Hay Hay pun mempergunakan kesempatan itu untuk balas mengamatinya. Seorang pemuda yang tubuhnya agak kecil dan ramping, pakaiannya serba putih, wajahnya tampan sekali, kulit mukanya begitu halus kemerahan, sepasang matanya yang jeli itu seperti sepasang bintang yang selalu memancarkan sinar. Akan tetapi dari mata yang jeli itu, hidung kecil mungil yang agak berjungkit ke atas, mulut dengan bibir yang kemerahan dan bentuknya indah, serta dagu yang meruncing itu, jelas terbayang kekerasan hati!

Sesudah beberapa lamanya mereka saling pandang dan saling mengamati, Hui Lian lalu bertanya, "Ada keperluan apakah engkau mengejar aku?"

Hay Hay memperlebar senyumnya. Dia sudah beberapa kali berhadapan dengan pemuda ini, yang dia taksir usianya hanya beberapa tahun lebih tua darinya, namun sikap pemuda berpakaian putih ini selalu keras dan tidak bersahabat! Akan tetapi dia telah melihat sepak terjang orang ini, dan biar pun sikapnya keras dan galak, namun sesungguhnya orang ini memiliki watak yang gagah, seorang pendekar sejati.

Bukankah dia telah membela penggembala domba dan dengan gagah berani menghadapi pengeroyokan dua pasang suami isteri iblis itu? Kemudian, dia bahkan mewakili seorang pemuda Miao untuk memenangkan sayembara dan menjodohkan sepasang orang muda yang saling mencinta itu, dan betapa gagahnya ketika dia menyambut serbuan golongan jahat itu untuk membela orang-orang Miao!

"Aku ingin mengenalmu lebih dekat, Toako (Kakak)," kata Hay Hay dan ketika melihat betapa alis yang hitam itu mengerut, dia cepat melanjutkan, "bukankah sebenarnya sudah lama kita saling berkenalan? Kita bekerja sama menolong anak penggembala, malah kita sudah sama-sama menjadi rekan peserta sayembara, dan sama-sama pula menghadapi gerombolan tadi. Nah, salahkah kalau aku ingin mengenalmu lebih dekat?"

Sebenarnya, di dalam hati kecilnya Hui Lian juga ingin sekali berkenalan dengan pemuda bercaping yang lihai ini, akan tetapi wataknya yang angkuh, terlebih lagi sebagai seorang wanita, tentu saja dia merasa malu untuk menyatakan perasaan hatinya ini. Maka, untuk menyembunyikan perasaannya dia lalu menjawab ketus,

"Aku tidak punya waktu untuk berkenalan dan banyak bicara, karena aku harus mengejar orang-orang tadi!"

Hay Hay melebarkan matanya. "Ahh, kebetulan sekali! Aku pun memiliki niat yang sama. Aku merasa curiga dengan munculnya orang-orang seperti mereka itu, tokoh-tokoh sesat yang kenamaan!"

"Kau mengenal mereka ?"

Hay Hay mengangguk. Maklum bahwa hal itu akan menarik perhatian pemuda galak dan angkuh ini, maka dia pun bersikap penuh rahasia dan hanya mengangguk. Benar saja, Hui Lian merasa penasaran, apa lagi teringat betapa tadi hampir saja dia celaka oleh ilmu sihir kakek kurus itu.

"Siapakah mereka?"

"Bukankah akan makan waktu lama untuk bercakap-cakap?" Hay Hay mengingatkan, lalu cepat disambungnya sesudah teringat akan watak galak orang itu. "Bagaimana kalau kita sekarang melanjutkan pengejaran dan nanti saja bercakap-cakap kalau kita telah berhasil menyusul mereka?"

Hui Lian mengangguk dan tanpa bicara lagi keduanya kemudian melanjutkan lari mereka mendaki bukit karena gerombolan tadi pun melarikan diri naik ke bukit itu. Mereka berlari dengan Hui Lian di depan, Hay Hay di belakangnya, dekat di belakangnya. Dan kembali Hay Hay mencium keharuman yang aneh itu.

Dia masih mengira bahwa pemuda pakaian putih di depannya ini berwatak pesolek dan suka memakai wangi-wangian, sama sekali tidak pernah menduga bahwa bau harum itu tercium karena Hui Lian mulai berkeringat dan memang keringat Hui Lian mengeluarkan bau harum sebagai akibat dari makanan jamur selama sepuluh tahun!

Karena kedua orang itu mempergunakan ilmu berlari cepat yang bertingkat tinggi, tubuh mereka berkelebatan cepat sehingga tak lama kemudian mereka telah berhasil menyusul gerombolan yang melarikan diri tadi. Sesudah sampai di balik bukit, gerombolan itu tidak berlari lagi, tidak tahu bahwa mereka tadi sudah dikejar dan kini sedang dibayangi oleh dua orang muda yang membuat mereka lari ketakutan itu.

"Apakah kita akan menyerang mereka?" tanya Hay Hay kepada Hui Lian ketika mereka berdua mengintai dari balik pohon-pohon dan melihat gerombolan itu berhenti mengaso sambil mengobati teman-teman yang terluka di bawah pohon besar di kaki bukit sebelah sana.

"Tidak, aku ingin melihat dulu apa yang akan dilakukan gerombolan itu? Mereka memiliki kepandaian tinggi, rasanya tidak mungkin kalau mereka itu adalah gerombolan perampok biasa saja yang hendak merampok perkampungan Miao yang miskin."

Hay Hay mengangguk-angguk. "Agaknya dugaanmu benar, Toako. Aku pun yakin mereka itu bukan perampok-perampok biasa, apa lagi kalau melihat dua pasang suami isteri iblis dan wanita cabul bersama gurunya itu."

Sekarang tiba waktunya untuk bercakap-cakap sambil membayangi gerombolan itu, pikir Hui Lian. "Kau tadi mengatakan bahwa kau mengenal mereka? Siapakah mereka itu?"

Hay Hay memandang Hui Lian sambil tersenyum lalu berkata, "Toako yang baik, sebelum engkau mengenal mereka, bukankah lebih baik kalau mengenal aku lebih dulu? Kita telah bekerja sama akan tetapi belum saling mengenal." Dengan gaya yang lucu dan gembira Hay Hay bangkit dan memberi hormat dengan bersoja kepada Hui Lian. "Toako, namaku Hay dan kalau boleh aku mengetahui namamu..."

Hui Lian segera membalas penghormatannya dan menjawab, "Namaku Hui Lian, Kok Hui Lian. Siapa nama lengkapmu, apa nama keturunanmu?"

"Namaku hanya Hay saja dan orang memanggil aku Hay Hay. Tentang nama keturunan... aku tidak punya. Engkau memiliki nama yang indah sekali. Kok-toako (Kakak Kok), nama yang membayangkan kelembutan, cocok dengan keadaan dirimu yang amat tampan ini."

Hui Lian menatap wajah Hay Hay, secara diam-diam memperhatikan kalau-kalau pemuda ini sudah dapat menduga bahwa dia seorang wanita. Akan tetapi karena dia tidak melihat tanda-tanda itu, dia pun merasa lega dan tersenyum pula. Senyum yang pertama kali dan kembali Hay Hay memandang kagum. Tampan bukan main orang ini apa bila tersenyum. Sayang jarang tersenyum, sebaliknya wajahnya lebih sering membayangkan kedinginan dan kekerasan hati.

"Berapa usiamu?" tanya Hui Lian.

"Dua puluh satu tahun. Engkau tentu lebih tua satu dua tahun dari pada aku, Toako."

Hui Lian hanya mengangguk-angguk, secara diam-diam merasa girang bahwa dia terlihat jauh lebih muda dari pada usia sebenarnya. Usianya sudah tiga puluh tahun dan Hay Hay ini mengira bahwa dia baru berusia dua puluh dua atau dua puluh tiga tahun! Hati wanita mana yang tidak akan girang kalau dianggap lebih muda dari pada usia sebenarnya?

"Sekarang ceritakan siapa mereka itu," katanya mengalihkan percakapan karena dia tidak ingin mereka bicara tentang dirinya.

"Lihat baik-baik, kakek tinggi besar itu bernama Siangkoan Leng, dan nenek yang masih nampak cantik di sebelahnya itu bernama Ma Kim Li. Keduanya merupakan suami isteri yang amat terkenal dengan julukan Lam-hai Siang-mo (Sepasang Iblis Laut Selatan). Dan suami isteri ke dua itu juga amat terkenal dan tidak kalah jahatnya. Kakek pakaian hitam tinggi kurus yang wajahnya tampan dingin seperti memakai kedok itu adalah Si Tangan Maut Kwee Siong. Nenek berpakaian hitam yang cantik akan tetapi mukanya pucat bagai mayat itu adalah Si Jarum Sakti Tong Ci Ki. Mereka berdua dikenal sebagai suami isteri Goa Iblis Pantai Selatan dan sama jahatnya dengan Lam-hai Siang-mo. Di daerah selatan nama mereka berempat sudah terkenal sekali."

"Aku pernah mendengar nama mereka," kata Hui Lian. "Dan siapakah wanita cantik yang mempergunakan siang-kiam (pedang pasangan) itu? Siapa pula kakek kurus pucat yang lihai itu?"

Hay Hay memandang ke arah Ji Sun Bi dan teringatlah dia akan semua pengalamannya dengan wanita itu. Wajahnya berubah merah karena malu ketika dia terkenang betapa dia pernah menerima pelajaran bagaimana caranya orang bercumbu dari wanita yang sangat berpengalaman itu. Harus diakuinya bahwa dia pernah dibakar nafsu yang dibangkitkan oleh wanita itu namun masih untung bahwa batinnya cukup kuat untuk mengatasi gelora nafsu birahinya sendiri.

"Wanita itu amat berbahaya dan lihai, namanya Ji Sun Bi dan kalau tak salah julukannya adalah Tok-sim Mo-li. Kakek kurus pucat itu bahkan lebih lihai dan berbahaya lagi karena selain ilmu silatnya tinggi, ia pun seorang ahli sihir dan nama julukannya Min-san Mo-ko."

Hui Lian memandang wajah Hay Hay penuh kagum. Pemuda ini memang masih sangat muda, akan tetapi ternyata pengalamannya sudah luas sehingga mengenal banyak tokoh kang-ouw.

"Hay-te (Adik Hay), kiranya engkau telah mengenal banyak tokoh dari kalangan kang-ouw. Engkau begini muda tapi sudah memiliki kepandaian tinggi dan pengalaman luas!"

Hay Hay tersenyum. "Aih, Toako jangan terlalu memuji. Dibandingkan dengan Toako, aku belum apa-apa."

"Jangan merendah, Hay-te. Tadi ketika aku berhadapan dengan Min-san Mo-ko, hampir aku celaka oleh sihirnya." Hui Lian bergidik mengenang peristiwa itu. "Bagaimana engkau dapat menandingi dia yang ahli dalam ilmu sihir itu?"

"Kebetulan sekali aku pernah mempelajari cara untuk menolak pengaruh sihir, Toako. Di dalam hal ilmu silat sudah jelas kalau guru dan murid itu bukan tandinganmu sama sekali. Kulihat ilmu silatmu hebat bukan main, kalau boleh aku mengetahui, siapakah gurumu, Toako? Dari perguruan manakah?"

Hui Lian menghela napas panjang dan teringat akan suheng-nya. "Aku tidak punya guru, aku bersama suheng-ku menemukan kitab-kitab ilmu silat kemudian kami mempelajarinya bersama. Sudahlah, hal itu tidak penting. Akan tetapi engkau sendiri yang masih begini muda, dari mana engkau memperoleh ilmu kepandaian begini tinggi?"

"Wah, guruku banyak sekali, Toako. Jadi kepandaianku semacam cap-jai saja, campuran bermacam-macam aliran. Dasar aku yang tolol, semakin banyak diberi pelajaran, semakin bingung dan bodoh saja." Hay Hay mengelak. "Ahh, mereka sudah bergerak lagi, Toako. Mari kita bayangi mereka."

"Tidak perlu!" tiba-tiba saja Hui Lian berkata ketus. "Aku ingin bercakap-cakap denganmu dulu!"

Hay Hay terkejut. Kenapa mendadak saja orang ini demikian ketus? "Kenapa? Bukankah kita bermaksud hendak membayangi mereka?" kata Hay Hay sambil memandang ke arah gerombolan itu yang mulai meninggalkan tempat di mana mereka tadi beristirahat.

"Nanti dulu, engkau harus menceritakan dulu dari mana engkau memperoleh semua ilmu tadi, ilmu silat tinggi dan juga ilmu penolak kekuatan sihir. Aku harus tahu lebih dulu siapa sebenarnya engkau ini, kawan ataukah lawan."

Hay Hay tersenyum sambil memandang wajah yang tampan itu. "Toako, engkau sungguh aneh. Apa engkau masih juga sangsi terhadap diriku yang telah bekerja sama denganmu menghadapi gerombolan tadi? Kalau aku bukan kawanmu, tentu kita tidak bekerja sama."

"Akan tetapi aku ingin tahu siapa gurumu!" Hui Lian mendesak.

"Kok-toako, sudah kukatakan bahwa guruku banyak sekali sampai aku tak ingat lagi, dan perlu apa mengenal guru-guru kita? Aku pun tidak bertanya siapa gurumu."

Hui Lian mengerutkan alisnya. Pemuda ini bukan orang sembarangan, dan meski pun tadi telah bekerja sama dengannya menghadapi gerombolan tetapi dia belum mengenal benar siapa dia sesungguhnya. Dan sikapnya demikian ramah dan pandai mengambil hati.

Masih ada perasaan curiga bahwa pemuda ini memang seorang laki-laki mata keranjang, mengingat betapa dia tadi mengikuti sayembara memperebutkan seorang dara Miao yang cantik. Selain itu juga timbul rasa penasaran dalam hati Hui Lian untuk menguji sampai di mana kelihaian pemuda ini, karena ketika mereka bertanding dalam sayembara, mereka, terutama pemuda itu, tidak bertanding dengan sesungguhnya.

Hal ini membuat dia merasa penasaran sekali. Bagaimana pun lihainya, pemuda ini baru berusia dua puluh satu tahun, masih tergolong seorang remaja, dan tak mungkin dia tidak mampu mengalahkannya!

"Kalau engkau tidak mau memberi tahu siapa gurumu pun tidak mengapa karena dengan bertanding, aku akan dapat mengenal ilmu silatmu. Marilah kita main-main sebentar untuk menentukan siapa di antara kita yang lebih pandai, melanjutkan pertandingan kita dalam sayembara yang tidak sungguh-sungguh itu."

Melihat Hui Lian kini memasang kuda-kuda menghadapinya, siap untuk menyerang, Hay Hay terkejut. Akan tetapi dia tersenyum dan memandang kepada Hui Lian seperti melihat sesuatu yang lucu. "Wah, Toako, apa-apaan lagi ini? Mengapa engkau menantang aku? Apa lagi yang akan kita perebutkan sekarang?” Dia lalu menoleh ke kanan kiri. "Tidak ada gadis cantik jelita untuk kita perebutkan sekarang!"

Wajah Hui Lian berubah merah dan hatinya terasa panas. "Engkau mata keranjang, yang dipikirkan hanya gadis cantik saja!" bentaknya. "Kali ini kita bertanding untuk menentukan siapa yang lebih unggul. Sambutlah!" Tanpa banyak cakap lagi, begitu Hay Hay bangkit berdiri, Hui Lian sudah menyerangnya dengan gerakan cepat dan mantap.

Hay Hay terkejut. Serangan itu bukan main-main, bahkan berbahaya sekali. Dia pun cepat meloncat ke samping untuk menghindarkan pukulan tangan miring yang mengarah pada sisi lehernya itu. Akan tetapi, begitu pukulannya luput, Hui Lian segera menyusulkan lagi totokan-totokan yang bertubi-tubi ke arah tujuh jalan darah utama di tubuh Hay Hay.

"Ahh... ehhh... wah, apakah engkau sudah gila, Toako?" Hay Hay berseru kaget.

Dia repot mengelak dan menangkis menghadapi serangkaian serangan yang benar-benar amat berbahaya itu. Setiap serangan yang dilakukan lawan itu merupakan ancaman maut dan terhadap serangan seperti itu, dia sama sekali tidak boleh main-main atau lengah.

Akan tetapi, melihat betapa semua serangannya gagal dan pemuda itu memakinya gila, Hui Lian menjadi semakin penasaran dan marah. Sesudah serangkaian totokannya tadi gagal, Hui Lian juga menjadi terkejut dan maklum bahwa Hay Hay memang lihai sekali, maka tanpa ragu-ragu lagi dia pun mulai memainkan Sian-eng Sin-kun yang amat hebat untuk mendesak lawan.

Di lain pihak, melihat gerakan lawan, Hay Hay diam-diam terkejut bukan main. Di dalam pertandingan sayembara tadi, ketika mereka hanya saling totol dengan mouw-pit, dia pun sudah tahu bahwa pemuda berpakaian putih yang tampan ini memiliki ilmu kepandaian tinggi.

Akan tetapi sekarang barulah dia melihat betapa ilmu silat Kok Hui Lian memang hebat bukan main. Gerakannya begitu ringan dan cepat sehingga tubuhnya berkelebat menjadi sesosok bayangan putih yang menyambar-nyambar, dengan pukulan-pukulan cepat yang sukar diikuti dan diduga ke mana arah selanjutnya.

Oleh karena itu dia pun cepat mengeluarkan kepandaiannya, mengerahkan ginkang yang dipelajarinya dari Ciu-sian Sin-kai dan mempergunakan tenaga sinkang yang dipelajarinya dari Go-bi San-jin atau See-thian Lama!

Dan sekarang Hui Lian yang terkejut bukan main. Kiranya bocah ini mampu mengimbangi kecepatan gerakan tubuhnya, dan setiap kali lengan mereka beradu, dirasakannya betapa tubuhnya tergetar dan lengannya nyeri, tanda bahwa bocah itu memiliki tenaga yang tidak kalah kuat dibanding dirinya!

Memang, kalau dibuat ukuran, baik kecepatan, tenaga mau pun kelihaian ilmu silat kedua orang ini tak banyak selisihnya. Jika saja Hay Hay mau menggunakan kekuatan sihirnya, tentu dia akan dapat mengalahkan Hui Lian. Akan tetapi Hay Hay tidak mau melakukan hal ini.

Dia bisa menduga bahwa lawannya ini merupakan seorang pemuda halus yang berwatak angkuh dan tidak mau dikalahkan. Maka dalam pertandingan itu pun dia hanya berusaha mengimbangi saja, membalas setiap serangan tanpa keinginan untuk merobohkan lawan yang memang tidak mudah dilakukannya.

Setelah lewat dari seratus jurus, barulah Hui Lian merasa yakin benar bahwa pemuda ini memang hebat, kalau tidak lebih lihai darinya, setidaknya juga setingkat. Makin kagumlah dia, dan semakin suka karena baru sekarang dia bertemu dengan seorang pemuda yang demikian menarik.

"Haiiiittttttt...!" Tiba-tiba Hui Lian mengeluarkan suara melengking nyaring ketika tubuhnya melayang ke atas dan menukik dengan kedua tangannya mencengkeram ke arah lawan, ke ubun-ubun dan leher!

Hay Hay terkejut bukan kepalang. Dia segera mengelak, tapi masih kurang cepat karena tangan kiri Hui Lian telah mencengkeram pundaknya. Hay Hay cepat-cepat mengerahkan tenaga sinkang untuk membuat pundaknya kebal, lalu menangkis dengan keras.

"Brettttt...!"

Baju di bagian pundak Hay Hay terobek lebar, akan tetapi tangkisan itu membuat tangan Hay Hay meleset dan menyentuh dada Hui Lian. Hampir saja pemuda ini berteriak saking kagetnya ketika merasa gumpalan daging yang lembut di dada pemuda berpakaian putih itu!

Mata Hay Hay terbelalak memandang dan baru sekarang dia menginsyafi bahwa pemuda berpakaian putih di depannya itu adalah seorang wanita! Pantas saja wajahnya demikian tampan, kulitnya demikian halus! Dan kini keharuman yang luar biasa kembali menyengat hidungnya.

Wanita ini basah oleh keringat, mulai dari dahi sampai ke lehernya penuh keringat, akan tetapi mengapa kini keharuman itu semakin semerbak? Apakah keringatnya yang berbau harum itu? Hay Hay makin terbelalak, menatap wajah Hui Lian dengan penuh takjub.

"Maaf... maafkan aku... tidak sengaja...," katanya gagap teringat betapa tanpa disengaja dia tadi telah menyentuh payudara wanita itu!

Wajah Hui Lian berubah kemerahan. Dia pun tahu bahwa pemuda itu tidak sengaja, akan tetapi bagaimana pun juga kini rahasianya telah terbuka. Pemuda itu telah tahu bahwa dia adalah seorang wanita. Tadinya dia hendak marah sekali dan ingin menyerang lagi sebab pemuda itu berani menyentuh dadanya. Akan tetapi dia pun tahu diri, maklum bahwa jika pemuda itu menghendaki, tentu sentuhan pada dadanya tadi akan dapat berubah menjadi totokan atau pukulan yang mematikan!

Ternyata sejak tadi Hay Hay sudah mengalah pada dirinya. Maka kemarahannya berubah menjadi perasaan malu sehingga sesudah mereka saling pandang sejenak, tanpa banyak cakap lagi Hui Lian cepat membalikkan tubuhnya kemudian meloncat pergi, melarikan diri dengan amat cepatnya.

"Toako...! Ehh... Enci yang baik...!" Hay Hay berteriak, akan tetapi Hui Lian telah lari jauh. Hay Hay tidak berani mengejar, karena takut kalau-kalau gadis itu akan menjadi semakin marah.

Dia pun berdiri termenung, kemudian bibirnya tersenyum-senyum nakal sambil mencium tangan kanannya yang tadi menyentuh dada. Bukan main, pikirnya! Seorang gadis yang cantik jelita, gagah perkasa, menyamar sebagai pria. Dan keringatnya berbau harum!

Dia pun segera melanjutkan perjalanan ke arah perginya gerombolan tadi karena dia telah mengambil keputusan untuk membayangi mereka dan melihat apa yang akan dilakukan oleh gerombolan kaum sesat yang lihai itu.

********************

Perahu itu sangat besar, paling besar di antara perahu-perahu lain yang berada di tengah Telaga Tung-ting. Memang perahu itu paling besar, karena pembesar setempat sengaja menyediakan perahu itu untuk keperluan Jaksa Kwan yang berlibur dan pelesir di telaga ini bersama keluarganya. Dan semua pejabat setempat tunduk dan takut terhadap Jaksa Kwan, seorang pembesar yang sangat keras dan selalu memegang teguh hukum, tegas dan sama sekali tidak pernah mau disogok.

Memang Kwan-taijin (Pembesar Kwan) terkenal sebagai seorang jaksa yang menentang kejahatan dan bersikap keras sekali terhadap pelanggar hukum, terhadap kaum penjahat sehingga dia dibenci oleh golongan hitam, akan tetapi sebaliknya dia amat dikagumi dan dihormati oleh para pendekar yang menjunjung kebenaran dan keadilan.

Pada masa itu jaranglah terdapat seorang pejabat pemerintah seperti Kwan-taijin. Hampir semua pejabat, mulai dari yang paling rendah sampai yang paling tinggi, pada waktu itu menjadi koruptor-koruptor yang tidak segan-segan melakukan segala macam penindasan terhadap rakyat atau pencurian terhadap pemerintah untuk menggendutkan perut sendiri. Oleh karena itu, Jaksa Kwan merupakan seorang yang sukar ditemukan keduanya.

Kejujuran dan keadilannya membuat dia sangat ditakuti oleh para penjahat dan disegani para pendekar, tetapi juga mendatangkan hal lain yang membahayakan, yaitu dia dibenci oleh golongan hitam! Namun, karena Kwan-taijin tidak pernah menyimpan sesuatu pamrih demi keuntungan pribadi atau dendam pribadi, karena dia bertindak tegas keras dan adil demi tegaknya hukum yang dipegangnya, maka dia pun tidak pernah merasa takut atau terancam.

Karena tidak mau mengikuti jejak kawan-kawan dan rekan-rekannya, tak mau berkorupsi, maka tidaklah aneh kalau sebagai seorang pejabat Kwan-taijin hidup sederhana sungguh pun juga tidak kekurangan karena sebagai seorang pejabat tinggi dia menerima gaji yang cukup besar. Namun dibandingkan dengan para pejabat lain yang tingkatnya lebih rendah dari pada Kwan-taijin, yang biasa hidup berkelebihan dan bergelimang kemewahan, maka keluarga Kwan-taijin dapat dibilang hidup secara sederhana.

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.