MELIHAT mereka berlagak dan memandang rendah padanya, sepasang alis Pek Eng lantas berkerut dan dia sudah merasa menyesal memasuki tempat ini. Tak disangkanya bahwa mereka itu bukanlah calon-calon pendekar seperti para murid di Pek-sim-pang, melainkan sekelompok laki-laki yang berwatak ugal-ugalan dan bahkan kurang ajar terhadap wanita yang sama sekali belum mereka kenal.
"Ha-ha-ha-ha!" Pelatih itu tertawa lebar. "Nona manis, benarkah engkau adalah seorang pendekar pedang seperti kata dia tadi? Apakah kedatanganmu ini hendak memamerkan kepandaianmu atau hendak menguji kami?"
Karena sudah terlanjur masuk, Pek Eng yang tak mau melayani kekurang ajaran mereka langsung saja bertanya. "Aku tertarik melihat papan nama Hui-houw Bu-koan di luar dan aku masuk untuk bertanya apakah di antara kalian ada yang mengenal dua orang pemuda yang bernama Pek Han Siong dan Hay Hay?"
Sebenarnya pelatih itu dan para anak buahnya tidak pernah mendengar dua buah nama yang disebut Pek Eng tadi, namun pura-pura sudah mengenalnya. "Aahh, kiranya engkau mencari mereka?"
Bukan main girangnya hati Pek Eng. Tak diduganya bahwa orang itu mengenal kakaknya dan Hay Hay. "Benar, tahukah engku di mana mereka?"
Pelatih itu mengangguk-angguk. "Tentu saja aku tahu, akan tetapi sebelum aku memberi tahukan kepadamu, engkau harus memenuhi syarat yang kuajukan."
Pek Eng mengerutkan alisnya dan memandang penuh selidik. "Syarat? Syarat apa itu?"
Pelatih itu tertawa. "Ha-ha-ha, syaratnya engkau harus maju dan main-main dengan aku sebentar. Jika engkau menang, tentu akan segera kuberi tahukan di mana mereka, akan tetapi jika engkau kalah, maka engkau harus menemani aku pelesir selama tiga hari tiga malam, baru engkau akan aku pertemukan dengan mereka. Bagaimana?"
Semua lelaki yang tadi berlatih silat tersenyum-senyum mendengar ini, dan semua mata memandang pada Pek Eng secara kurang ajar sekali. Hati Pek Eng sudah menjadi panas dan kini dia meragukan kebenaran pengakuan pelatih itu bahwa dia tahu di mana adanya dua orang pemuda yang sedang dicarinya. Tentu hanya untuk mencari alasan agar dapat mempermainkannya, pikirnya dengan hati panas dan marah.
Akan tetapi dia tetap tersenyum, bahkan mengangguk-angguk. Andai kata kalah pun, dia masih mempunyai akal untuk menghindarkan diri dari kekurang ajaran orang ini, pikirnya. Akan tetapi melihat gerakan mereka tadi, dia yakin bahwa dia akan mampu mengalahkan orang tinggi besar ini, bahkan tidak merasa gentar jika harus menghadapi pengeroyokan belasan orang yang tingkat kepandaiannya masih amat rendah dan hanya mengandalkan kekuatan otot belaka.
"Baik, akan tetapi jika engkau kalah kemudian tidak dapat membawa aku kepada mereka, akan kuhancurkan mulutmu yang lancang itu!" katanya, tetap tenang dan mulutnya dihias senyum, sama sekali tidak kelihatan marah.
"Toako, biarlah aku menangkap gadis ini untukmu!" tiba-tiba terdengar seruan seorang di antara anak buah itu dan orang ini, berusia kurang lebih dua puluh lima tahun, bertubuh kurus dan mukanya pucat seperti orang berpenyakitan, segera melompat maju ke depan Pek Eng dan langsung saja dia menubruk untuk merangkul dan menangkap gadis itu.
Kesempatan yang amat baik, pikir pemuda itu. Dia akan dapat memeluk gadis manis ini, bahkan mungkin dapat mencuri satu dua kali ciuman sebelum menyerahkannya kepada pelatihnya. Tangan kanannya menyambar hendak memukul leher, ada pun tangan kirinya secara kurang ajar sekali hendak mencengkeram ke arah dada!
Pek Eng melihat gerakan serangan yang kurang ajar akan tetapi juga terlalu lambat dan lemah baginya itu. Dia cepat menggerakkan kakinya memutar tubuh setengah lingkaran, membiarkan cengkeraman ke arah dada itu lewat, ada pun tangan kanannya sendiri cepat bergerak ke atas, menangkap pergelangan tangan kanan lawan yang akan merangkulnya, kemudian cepat sekali dia menekuk lengan kanannya dan akhirnya dengan tepat sekali siku kanannya menghantam muka orang itu.
"Crotttt...!"
Ujung siku tepat menghantam hidung pemuda muka pucat itu dan tulang hidung itu patah, hidungnya menjadi hitam membengkak dan darah pun bercucuran keluar. Ketika pemuda itu tersentak ke belakang dan perutnya maju ke muka, Pek Eng mengangkat kakinya dan lututnya sudah menghantam perut lawan.
"Ngekkkk...!"
Dan pemuda itu pun terjengkang, kedua tangannya sibuk memegangi hidung serta perut karena dalam keadaan hampir pingsan dia tidak dapat membandingkan mana yang lebih nyeri antara hidung yang remuk dengan perut yang mulas itu. Dengan suara bindeng dia mengaduh-aduh sambil berlutut membungkuk-bungkuk.
Pelatih itu marah bukan main. Sambil berseru keras dia pun menubruk ke depan. Namun Pek Eng tak mau membuang banyak waktu lagi. Disambutnya serangan lawan itu dengan tamparan dari samping yang tepat mengenai pelipis pelatih tinggi besar itu.
"Plakkk!"
Tubuh tinggi besar itu terputar karena dia merasa seolah-olah baru saja disambar petir, kepalanya nyeri, pandang matanya berkunang dan dia pun meloncat-loncat bagai monyet menari-nari di atas papan yang panas. Pek Eng menyusulkan dua kali gerakan kaki, ujung sepatunya menyentuh sambungan lutut dan orang tinggi besar itu pun terpelanting roboh.
Kini belasan orang murid itu maju mengeroyok Pek Eng, bahkan di antara mereka sudah ada yang membawa senjata golok, pedang dan toya. Namun mereka itu tidak ada artinya bagi Pek Eng. Gadis perkasa ini bergerak sangat cepat seperti seekor burung walet yang menyambar-nyambar di antara sekelompok capung saja. Belasan orang itu pun satu demi satu roboh terpelanting, roboh sambil mengaduh-aduh!
Pada saat itu pula dari pintu tengah muncul seorang kakek dan seorang nenek. Mereka terkejut sekali melihat betapa ada seorang gadis muda merobohkan belasan orang anak murid Hui-houw Bu-koan. Kakek itu lantas memutar tubuhnya dan berseru ke arah dalam rumah.
"Ciok Kauwsu (Guru Silat Ciok), keluarlah!"
Kini muncullah seorang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh tahun, perutnya gendut dan kepalanya botak, kedua matanya seperti mata burung elang, tajam dan lincah melirik ke sana sini, dan sinarnya mengandung kelicikan. Laki-laki ini adalah Ciok Cun, pemilik Hui-houw Bu-koan, juga seorang kepala jagoan yang amat terkenal di kota Kui-yang dan sekitarnya.
Hampir tidak ada orang yang berani menentang kepala jagoan ini, karena selain lihai, dia mempunyai banyak anak buah dan seluruh jagoan serta tukang pukul di daerah itu tunduk belaka kepadanya. Semua orang juga mengetahui bahwa dia mempunyai hubungan baik dan erat dengan para pembesar setempat. Ia pandai mengambil hati dan mendekati para pejabat yang berwenang dengan cara mengirim hadiah-hadiah barang berharga kepada mereka.
Ketika terjadi peristiwa keributan di pekarangan luar, saat itu Ciok Cun sedang menerima tamu yang agaknya sangat penting karena tamu kakek dan nenek itu diterima di ruangan paling dalam. Mereka bertiga lalu bicara dalam ruangan tertutup, bahkan tak seorang pun pelayan atau murid boleh masuk tanpa dipanggil. Tepat ketika dua orang tamu itu hendak pergi, mereka melihat kesibukan di luar, di mana belasan orang anak buah Hui-houw Bu-koan telah roboh berserakan oleh seorang gadis muda!
Tentu saja Ciok Cun menjadi terkejut dan marah bukan kepalang melihat betapa belasan orang muridnya dihajar orang, apa lagi pembantunya yang tinggi besar, yang merupakan murid dari tingkat atas, agaknya sudah tak mampu bangkit, kedua kakinya seperti lumpuh dan sebelah mukanya matang biru!
"Heiiii, siapakah engkau anak perempuan yang datang mengacau? Aku adalah Ciok Cun, Kauwsu (guru silat) dan pemilik bu-koan (tempat belajar silat) ini! Siapakah engkau dan apa maksudmu membikin ribut di sini?"
Sebagai seorang yang berpengalaman, tentu saja Ciok Cun dapat menduga bahwa meski pun gadis ini masih muda, tentu mempunyai kepandaian tinggi. Kalau tidak demikian, tak mungkin belasan orang muridnya itu roboh semua sedangkan pakaian gadis itu agaknya kusut pun tidak!
Mendengar pengakuan Ciok Cun, Pek Eng lalu memandang tajam. Kalau anak buahnya mengenal kakaknya dan Hay Hay, tentu gurunya lebih mengenal mereka lagi. Maka dia pun menjura ke arah laki-laki gendut botak itu.
"Harap suka maafkan aku, Ciok Kauwsu. Aku bernama Pek Eng dan tadinya aku sama sekali tidak pernah menyangka akan berkelahi dengan anak buahmu di tempat ini. Aku kebetulan lewat dan tertarik bahwa di sini adalah sebuah perguruan silat, aku lalu masuk kemudian kepada mereka ini aku menanyakan nama dua orang pemuda, apakah mereka mengenalnya. Orang tinggi besar ini memberi tahu bahwa dia mengenal mereka dan akan memberi tahukan di mana adanya mereka asal aku mampu mengalahkan dia. Kami lalu bertanding dan semua anak buahmu maju mengeroyokku dan... beginilah jadinya." Pek Eng menggerakkan kedua tangannya ke arah mereka yang masih mengaduh-aduh dan sukar untuk bangkit berdiri.
Ciok Cun sendiri belum pernah mendengar kedua nama itu, maka dia pun memandang kepada muridnya yang menjadi pelatih murid-murid tingkat rendahan, kemudian bertanya, "Benarkah engkau mengenal dua orang yang dicari Nona ini?"
Si Tinggi Kurus terpaksa mengaku. "Sebetulnya kami tidak mengenal mereka, kami hanya membohongi Nona ini untuk main-main saja..."
Mendengar ini, Pek Eng merasa dongkol bukan main. Dengan alis berkerut dia menyapu bekas lawan yang banyak itu dengan pandang matanya, kemudian dia mengomel. "Kalau kalian tidak tahu, kenapa harus pura-pura tahu? Kalau tadi kalian bilang tidak tahu, maka keributan ini tidak perlu terjadi. Sudahlah, jika kalian tidak mengenal mereka, barang kali engkau sendiri mengenal mereka, Ciok Kauwsu, dan aku sungguh akan berterima kasih sekali kalau engkau dapat menunjukkan kepadaku di mana mereka."
Ciok Cun sudah merasa mendongkol melihat betapa para muridnya dihajar, akan tetapi karena dia maklum betapa lihainya dara muda ini, dia pun bertanya. "Siapakah mereka?"
"Yang seorang bernama Pek Han Siong, dan yang kedua dikenal dengan nama Hay Hay."
Ciok Cun mengerutkan sepasang alisnya mengingat-ingat, akan tetapi dia sendiri belum pernah bertemu dengan dua orang yang namanya seperti itu, maka dia pun menggeleng kepala. "Aku tidak mengenal mereka."
Pek Eng kecewa sekali. "Kalau begitu biar aku pergi saja dan sekali lagi maafkanlah aku!" Setelah berkata demikian, Pek Eng segera membalikkan tubuhnya dan hendak pergi dari pekarangan itu, keluar melalui pintu gerbang.
"Nona, tunggu dulu!" tiba-tiba terdengar bentakan orang sehingga Pek Eng membalikkan tubuhnya dan kini dia berhadapan dengan kakek dan nenek itu. Melihat betapa kakek itu menghampirinya, maklumlah Pek Eng bahwa yang mengeluarkan suara menahannya tadi adalah kakek itu. Sekarang dia memperhatikan mereka.
Kakek itu usianya tentu telah enam puluh tahun lebih, tubuhnya tinggi besar dan pandang matanya mencorong tajam. Ada pun nenek itu hanya beberapa tahun lebih muda, kurang lebih enam puluh tahun, tetapi masih nampak cantik dan pesolek karena pipi dan bibirnya masih memakai pemerah kulit, bahkan mukanya yang bentuknya cantik itu dipulas bedak yang cukup tebal. Karena mereka adalah orang-orang tua, Pek Eng menghadapi mereka dengan sikap tenang dan hormat.
"Engkaukah yang menahan aku pergi tadi, Paman Tua? Ada urusan apakah?" tanyanya sambil memandang kepada kakek itu.
"Benarkah yang kau cari itu adalah Pek Han Siong dan Hay Hay?" tanya kakek itu.
"Benar, apakah engkau mengenal mereka?"
Kakek itu saling pandang dengan Si Nenek dan mereka pun mengangguk, bahkan kakek itu berseru. "Mengenal mereka? Ahh, mengenal baik sekali!"
Pek Eng memandang dengan penuh curiga. "Sekarang aku tak akan mudah percaya lagi kalau ada orang mengaku kenal dengan mereka, karena tadi pun aku sudah dibohongi orang," katanya sambil melirik ke arah pelatih silat tadi.
"Akan tetapi aku tidak membohong!" kata pula kakek itu. "Bukankah yang bernama Hay Hay itu seorang pemuda yang berusia dua puluh satu tahun, wataknya lincah gembira, tubuhnya sedang dan dadanya bidang, matanya bersinar-sinar, bibirnya selalu tersenyum, dia memiliki ilmu silat yang amat lihai dan juga pandai sihir? Dan bukankah yang bernama Pek Han Siong itu adalah putera Ketua Pek-sim-pang, yang dahulu ketika kecil disebut Sin-tong (Anak Ajaib)?"
Pek Eng hampir bersorak kegirangan. Wajahnya seketika berubah, berseri-seri dan sinar matanya penuh harapan ditujukan kepada orang tua itu. "Aih, benar sekali, Paman. Benar sekali, aku adalah adik dari Pek Han Siong!"
"Bagus!" tiba-tiba saja nenek yang sejak tadi hanya memandang wajah Pek Eng dengan penuh perhatian itu kini membentak. "Nah, sekarang engkau katakan di mana adanya Pek Han Siong itu!"
Nenek itu bersikap mengancam sehingga diam-diam Pek Eng terkejut, juga merasa heran dan kecewa. Sialan, pikirnya. Tadi dia sudah sangat kegirangan karena kakek dan nenek itu mengenal kakaknya dan Hay Hay, akan tetapi siapa sangka mereka malah bertanya kepadanya di mana adanya kakaknya!
"Hemm, jadi kalian kakek dan nenek ini mengenal kakakku akan tetapi tidak tahu di mana dia berada? Kalau begitu, kalian pun tidak ada gunanya bagiku. Selamat tinggal!" Setelah berkata demikian, Pek Eng yang tidak mau lebih lama lagi tinggal di tempat itu, bergerak cepat hendak lari keluar dari pintu gerbang.
Akan tetapi tiba-tiba nampak bayangan berkelebat di sampingnya dan tahu-tahu nenek itu telah menghadang di ambang pintu gerbang, ke dua tangannya dipalangkan seakan-akan hendak melarang dan mencegah dia keluar!
Diam-diam Pek Eng terkejut juga. Dari gerakan itu tadi saja dia sudah tahu bahwa nenek itu memiliki ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang hebat. Dia menoleh dan kakek itu pun menghampirinya. Dia telah dikepung depan dan belakang oleh kakek dan nenek itu.
Pek Eng cepat mengambil keputusan. Dia harus keluar dari situ sebelum dikepung oleh lebih banyak orang lagi. Maka tiba-tiba saja, tanpa mengeluarkan suara, tubuhnya sudah meloncat ke depan dan menerjang nenek yang menghadang di ambang pintu. Sepasang tangannya mendorong dengan maksud untuk mendorong nenek itu ke samping agar dia dapat menerobos keluar!
Akan tetapi nenek itu tidak mengelak, melainkan menyambut dorongan sepasang tangan gadis itu dengan kedua tangannya sendiri. Dua tenaga bertemu dan akibatnya, tubuh Pek Eng terdorong mundur kembali ke dalam pekarangan! Gadis itu terkejut, merasa betapa kuatnya tenaga dorongan nenek itu.
"Engkau tidak boleh pergi sebelum menunjukkan kepada kami di mana adanya Sin-tong!" kata kakek itu.
Tiba-tiba saja tubuh kakek itu meloncat tinggi, kemudian dari atas dia menubruk dengan kedua tangan membentuk cakar laksana seekor burung garuda yang menyambar kelinci! Melihat ini, Pek Eng mengelak dengan loncatan ke samping sambil siap untuk membalas, akan tetapi lengan kakek tinggi besar itu mengejarnya dari atas. Maka terpaksa Pek Eng menangkis dengan lengan kiri sambil membarengi dengan pukulan tangan kanan ke arah leher kakek itu.
"Dukkk!"
Pukulan itu mengenai leher yang terasa keras bagaikan baja, tetapi cengkeraman tangan kakek itu juga berhasil menangkap pundak Pek Eng dan gadis itu pun lalu roboh dengan kaki tangan terasa lemas kehilangan tenaga. Ternyata kakek itu tadi telah mencengkeram jalan darahnya dan dia pun tidak mampu bangkit lagi.
Walau pun kaki tangannya sudah tidak dapat digerakkan lagi, namun Pek Eng yang roboh telentang itu memandang kepada kakek itu dengan kedua mata melotot, sedikit pun tidak memperlihatkan rasa takut.
Dengan sekali loncat nenek itu sudah berdiri di dekat Pek Eng. "Hayo cepat katakan, di mana adanya Pek Han Siong. Kalau engkau tak mau mengaku, maka terpaksa aku akan menyiksamu dengan jarum beracun!"
Sementara itu, Ciok Cun yang sejak tadi menjadi penonton bersama anak-anak buahnya, terbelalak kagum melihat betapa hanya dalam beberapa gebrakan saja kakek dan nenek itu telah mampu menangkap gadis gadis yang amat lihai itu!
"Hebat... hebat sekali... kepandaian Ji-wi sungguh seperti dewa!" Dia memuji. "Ahhh, tak dapat aku membayangkan betapa tinggi tingkat kepandaian Locianpwe Lam-hai Giam-lo, melihat betapa utusannya saja seperti Ji-wi memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat!"
Nenek itu mendengus tak menjawab, tapi kakek itu berkata, "Tingkat kepandaian Lam-hai Giam-lo tak dapat diukur, karena itu jangan engkau main-main, Ciok-kauwsu, dan engkau harus mentaati semua yang telah diperintahkan."
"Kami taat... tentu saja kami taat, apa lagi setelah Locianpwe itu demikian royal memberi pengganti biaya kami melalui kedatangan Ji-wi."
Nenek itu kini mengeluarkan sebatang jarum hitam dari kantung kecil di pinggangnya lalu memamerkan kepada Pek Eng. "Nona, kau lihat jarum ini. Karena benda inilah maka aku dijuluki orang kang-ouw sebagai Tok-ciam (Jarum Beracun). Jarum ini bukan hanya dapat membunuh, akan tetapi juga bisa mendatangkan siksaan yang amat hebat. Kalau engkau tidak mau menunjukkan kepada kami di mana adanya Sin-tong, engkau akan menderita siksaan yang akan membuat engkau rindu kepada kematian yang tak kunjung tiba. Lihat!"
Pada saat itu kebetulan seekor anjing lewat tidak jauh dari mereka. Sekali menggerakkan tangannya, jarum itu meluncur dan terdengar anjing itu berkuik lalu roboh dan selanjutnya anjing itu melolong-lolong berkelojotan. Jarum itu mengenai kaki depan sebelah kanan dan kini jelas nampak betapa kaki yang terkena jarum itu membengkak dan menghitam, dan agaknya mendatangkan rasa nyeri yang sangat hebat melihat betapa anjing itu melolong-lolong amat menyedihkan.
Diam-diam Pek Eng merasa ngeri juga ketika melihat kekejaman itu dan maklum bahwa ancaman nenek itu bukanlah gertak kosong belaka. Dia maklum bahwa nenek dan kakek itu lihai bukan main dan dia tak akan mampu mengalahkan mereka, maka kalau dia nekat melawan pun tidak akan ada gunanya. Diam-diam dia menduga-duga siapa adanya kakek dan nenek yang amat lihai ini dan siapa pula pimpinan mereka yang tadi disebut berjuluk Lam-hai Giam-lo.
Kalau saja Pek Eng mengenal kakek dan nenek itu, tentu dia akan menjadi semakin kaget dan ngeri. Kakek dan nenek sakti itu adalah suami isteri yang terkenal sebagai Lam-hai Siang-mo (Sepasang Iblis Laut Selatan)! Kita telah mengenal mereka sebagai datuk-datuk sesat yang amat kejam dan lihai.
Kakek itu bernama Siangkoan Leng dan nenek itu adalah isterinya yang bernama Ma Kim Li. Seperti sudah diceritakan di bagian depan, suami isteri ini menculik bayi dari keluarga Pek dan mengira bahwa bayi yang bukan lain adalah Hay Hay itu sebagai Sin-tong (Anak Ajaib). Mereka kecelik karena bayi keluarga Pek yang mereka culik itu ternyata bukanlah Sin-tong. Kini pasangan suami isteri ini telah bergabung dengan para datuk sesat lainnya, menjadi pembantu-pembantu yang diandalkan oleh Lam-hai Giam-lo, seorang kakek sakti yang ingin menghimpun para datuk sesat dan memperkuat kembali golongan hitam.
Untuk memperkuat kedudukannya dan memperluas pengaruhnya, Lam-hai Giam-lo telah mengutus beberapa orang pembantunya untuk mempengaruhi kalangan sesat di daerah selatan, mengajak mereka untuk ikut bergabung di bawah pimpinan Lam-hai Giam-lo dan untuk keperluan itu, Lam-hai Giam-lo tidak sayang untuk menyebarkan uang secara royal sekali. Suami isteri itu kini berada di Kui-yang juga dalam rangka sedang membujuk Ciok Cun yang dianggap sebagai kepala jagoan kota itu agar mengumpulkan kawan-kawannya dan bergabung di bawah pimpinan Lam-hai Giam-lo.
"Nah, bagaimana, Nona?" Ma Kim Li bertanya sambil tersenyum dingin. "Engkau memilih selamat dan menunjukkan kepada kami di mana adanya kakakmu, ataukah engkau ingin melolong-lolong seperti anjing itu dalam keadaan hidup tidak mati pun tidak?"
"Hemmm, nenek yang berhati kejam! Kau kira aku seorang gila yang tidak dapat memilih mana yang menguntungkan? Tentu saja aku memilih yang pertama. Akan tetapi sebelum kita bicara, aku ingin dibebaskan dari totokan ini dan ingin mengenal siapa adanya kalian berdua."
Girang sekali hati suami isteri itu ketika mendengar kesanggupan ini. Kalau mereka dapat menguasai Sin-tong lantas menyerahkannya kepada Lam-hai Giam-lo, tentu mereka akan berjasa besar. Pemuda yang dulu diperebutkan itu tentu masih berharga sekali bagi para pendeta Lama di Tibet yang tentu akan bersedia menukarnya dengan emas permata yang banyak terdapat di negeri penuh rahasia itu.
Tentu saja Siangkoan Leng tidak merasa khawatir gadis itu akan melarikan diri. Di bawah pengamatan dia dan isterinya, gadis itu tidak akan sanggup melarikan diri. Maka dia pun melangkah maju dan dengan beberapa kali totokan pada pundak, dia telah membebaskan Pek Eng. Gadis itu bangkit berdiri sambil memijit-mijit pundaknya yang terasa nyeri dan kaku, kemudian memandang suami isteri itu sambil tersenyum.
"Terima kasih, kalian sungguh merupakan kakek dan nenek yang amat lihai dan membuat aku merasa kagum. Siapakah sebenarnya kalian?"
"Namaku Siangkoan Leng dan ini isteriku Ma Kim Li. Di kalangan kang-ouw kami berdua dikenal sebagai Lam-hai Siang-mo," kata Siangkoan Leng.
Diam-diam dia merasa kagum sekali. Biar pun masih muda dan berada dalam kekuasaan atau tawanan mereka, gadis itu masih saja bersikap demikian tenangnya dan sedikit pun tidak memperlihatkan kekhawatiran.
"Sekarang katakanlah di mana kakakmu itu!" Ma Kim Li kembali mendesak.
Sejak tadi Pek Eng sudah memutar otak mencari akal untuk menjawab desakan ini dan dia lalu memandang ke kanan kiri seperti orang yang merasa rikuh untuk bicara. Dia lalu memandang wajah nenek itu dan berkata dengan suara lirih,
"Sudah tepatkah kalau kita bicara tentang itu di depan banyak orang?"
Suami isteri itu sadar bahwa mereka masih berada di antara Ciok Cun dan anak buahnya. Ma Kim Li lalu memegang tangan Pek Eng sambil berkata kepada suaminya. "Mari kita berangkat!"
Dengan diantar oleh Ciok Cun sampai ke depan pintu gerbang, suami isteri itu keluar dan ternyata beberapa orang anak buah Ciok Cun telah mengeluarkan sebuah kereta berkuda dua yang tadinya di simpan di sebelah rumah. Ma Kim Li lalu mengajak Pek Eng masuk ke dalam kereta, sedangkan Siangkoan Leng duduk di depan dan menjadi kusir. Kereta bergerak meninggalkan rumah itu, bahkan segera keluar dari pintu gerbang kota Kui-yang sebelah selatan.
Kereta akhirnya berhenti di sebuah tempat sunyi di luar kota itu dan kembali suami isteri itu mendesak kepada Pek eng. "Hayo, sekarang katakan di mana adanya kakakmu Pek Han Siong itu!"
Sambil tersenyum Pek Eng memandang kepada mereka. "Kalian adalah dua orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, jika melihat usia juga kalian tentu telah memiliki banyak pengalaman, akan tetapi bagaimana dapat mengajukan pertanyaan yang begitu bodoh?"
"Apa kau bilang?!" Siangkoan Leng membentak, merasa heran sekali melihat keberanian anak dara itu yang dalam keadaan tertawan bahkan berani mengatakan mereka bodoh!
"Hati-hati dengan mulutmu atau jarumku akan menyiksamu!" nenek itu pun mengancam.
Akan tetapi Pek Eng yang cerdik itu hanya tersenyum menghadapi kemarahan mereka. Ia telah memperhitungkan betul semua sikap dan kata-katanya. Ia maklum bahwa dua orang ini adalah orang-orang yang dulu ikut memperebutkan kakaknya sebagai Sin-tong, seperti yang sering didengar dari orang tuanya. Mereka ingin sekali menemukan kakaknya, tetapi mereka hanya mengenal kakaknya dari namanya saja dan tidak tahu di mana kakaknya berada.
"Lam-hai Siang-mo," katanya dengan sikap seperti sedang berbicara dengan orang-orang yang setingkat saja. "Aku tidak bermaksud untuk menghina kalian, akan tetapi tadi kalian melihat sendiri bahwa aku datang ke persilatan Macan Terbang itu untuk bertanya kepada mereka kalau-kalau mereka melihat kakakku Pek Han Siong. Jelaslah bahwa aku datang untuk mencari kakakku, namun sekarang kalian memaksa aku mengaku di mana adanya kakakku itu. Bukankah itu pertanyaan yang amat bodoh? Jika aku mencari-cari kakakku, jelas bahwa aku tidak tahu di mana dia berada saat ini."
Kakek dan nenek itu saling pandang sejenak. "Hemmm, kini ceritakan bagaimana engkau berpisah dari kakakmu itu supaya kami dapat membantumu mencarinya!" kata Siangkoan Leng.
Semenjak tadi Pek Eng memang telah mempersiapkan diri. "Aku dan kakakku itu sedang melakukan perjalanan pesiar ke selatan. Ketika kami tiba di luar kota Kui-yang, muncul tiga orang pendeta berkepala gundul yang hendak menangkap kakakku. Oleh karena tiga orang pendeta itu lihai sekali, kakakku menyuruh aku menyingkir. Mereka lantas berkelahi dengan seru dan berkejar-kejaran. Ketika aku mengejar, ternyata aku tertinggal jauh dan mereka sudah menghilang semuanya. Aku lalu mencari-cari sampai ke kota Kui-yang dan bertanya di Hui-houw Bu-koan." Dia berhenti sebentar kemudian bertanya. "Apakah kalian mengenal kakakku itu? Apa perlunya kalian hendak bertemu dengan dia?"
Suami isteri itu saling pandang. "Apakah tiga pendeta berkepala gundul itu mengenakan jubah mantel lebar berwarna merah dan kotak-kotak?" tanya Siangkoan Leng.
"Benar sekali!" jawab Pek Eng yang teringat akan para pendeta Lama yang dulu pernah menyerbu rumah keluarganya.
Kembali suami isteri itu saling pandang. "Mereka adalah para pendeta Lama dari Tibet!" kata Ma Kim Li dengan hati khawatir, takut kalau-kalau dia dan suaminya kalah dulu oleh para pendeta itu. "Apakah kakakmu itu kalah lalu ditangkap dan dibawa pergi?"
"Tidak mungkin kakakku kalah!" Pek Eng langsung berteriak seperti orang marah. "Tiga orang pendeta itu yang lari dan dikejar-kejar kakakku. Sayang ginkang mereka terlampau tinggi sehingga aku tertinggal jauh dan kehilangan mereka." Ketika dua orang itu saling pandang, ia melanjutkan. "Akan tetapi aku yakin bahwa kakakku tentu akan mengalahkan mereka dan dia akan mencari aku sampai dapat."
"Lihai sekalikah Pek Han Siong itu?" Ma Kim Li bertanya.
"Kakakku? Wah, ilmu kepandaiannya seperti dewa! Karena itu, jika kalian mengenal dia, harap jangan mengganggu aku agar dia tidak menjadi marah."
"Kami tidak mengganggumu," kata Siangkoan Leng sambil tersenyum mengejek. "Sudah lama kami ingin bertemu dengan kakakmu, ada urusan penting yang ingin kami bicarakan dengan dia."
"Wah, kalau begitu biarlah aku yang akan memberi tahukan dia kalau kami sudah saling bertemu. Katakan saja ke mana dia harus pergi mencari kalian, bukankah itu urusan yang mudah sekali?" Berkata demikian Pek Eng tersenyum manis sekali kepada mereka.
Dia sengaja tersenyum untuk membuat dua orang itu lengah karena pada saat itu pula dia mendengar derap kaki kuda menuju ke arah kereta yang dihentikan di tepi jalan itu. Siapa pun adanya para pemunggang kuda itu, dia akan mempergunakan kesempatan ini untuk melarikan diri dengan harapan para penunggang kuda itu akan membantunya bila melihat seorang gadis diserang dan dikejar kakek dan nenek itu.
Pek Eng sama sekali tidak tahu bahwa sepasang iblis itu bukan tidak mendengar derap kaki kuda, bahkan mereka dapat menduga siapa adanya para penunggang kuda itu tanpa menengok. Tempat ini memang merupakan tempat yang telah dijanjikan untuk menunggu datangnya dua orang kawan mereka!
Ketika dua orang penunggang kuda sudah tiba dekat dengan kereta itu, dan sepasang suami isteri itu nampaknya masih termenung mendengar perkataan Pek Eng tadi, tiba-tiba gadis itu melompat ke luar dari dalam kereta! Dia melihat bahwa dua orang penunggang kuda itu berpakaian serba hitam dan ia bermaksud untuk merampas seekor kuda mereka agar dia dapat melarikan diri dengan menunggang kuda. Dengan beberapa kali lompatan saja dia telah tiba dekat dengan dua orang penunggang kuda itu.
"Tangkap gadis itu!" terdengar suara Siangkoan Leng berseru di belakangnya.
Mendengar ini, dua orang yang berpakaian serba hitam itu meloncat turun dari kudanya. Pek Eng melihat bahwa mereka adalah dua orang kakek dan nenek juga, tetapi keadaan mereka membuat dia merasa terkejut dan ngeri.
Kakek berpakaian hitam itu tinggi kurus dan sungguh pun mukanya nampak tampan akan tetapi muka itu seperti kedok mati saja. Nenek berpakaian hitam yang cantik itu mukanya juga seperti mayat. Pakaian hitam mereka membuat kepucatan wajah mereka jadi makin nyata.
Pek Eng merasa bulu tengkuknya meremang. Akan tetapi karena dia tahu bahwa dia tak akan menang melawan dua orang kakek nenek yang ada di dalam kereta, maka dia lalu bertindak nekat dan cepat dia menubruk ke depan lantas menerjang nenek pakaian hitam itu. Kalau dia dapat merampas seekor kuda, maka dia akan melarikan diri, pikirnya dan di antara kakek dan nenek berpakaian hitam itu, dia memilih Si Nenek. Serangannya cepat sekali dan dia mengerahkan kedua tangannya ke arah dada nenek itu.
Pek Eng tidak mengenal kedua orang itu dan kalau dia mengenal mereka tentu dia tidak akan nekat menyerang nenek itu. Kakek dan nenek itu bukan lain adalah suami isteri Goa Iblis Pantai Selatan! Dalam hal ilmu kepandaian silat, sepasang iblis ini tak kalah lihainya jika dibandingkan dengan Lam-hai Siang-mo!
Melihat serangan gadis itu serta mendengar teriakan Siangkoan Leng, nenek yang bukan lain adalah Tong Ci Ki itu langsung menyambutnya. Dia pun menangkis dengan dorongan kedua tangannya yang digerakkan memutar hingga akibatnya, tubuh Pek Eng terpelanting dan terpaksa dia mundur kembali sambil terhuyung sebab dia harus mempertahankan diri agar tidak sampai jatuh!
Kagetlah Pek Eng dan dengan mata terbalalak dia memandang kepada kakek dan nenek yang kini berdiri di depannya itu. Kwee Siong, kakek berpakaian hitam itu, mengeluarkan suara mendengus akan tetapi wajahnya sama sekali tidak bergerak.
Pek Eng cepat membalikkan tubuhnya, namun dia melihat Lam-hai Siang-mo telah keluar dari kereta dan kini juga berdiri menghadangnya. Dia sudah dikepung oleh dua pasangan kakek dan nenek yang amat lihai itu! Pikirannya bekerja cepat, lantas dia pun tersenyum menghadapi Siangkoan Leng dan Ma Kim Li.
"Apa lagi perlunya kalian menahan aku? Semuanya telah kuceritakan dengan terus terang dan kau tidak tahu di mana adanya kakakku Pek Han Siong, tetapi aku akan mencarinya dan akan kusampaikan kepadanya bahwa kalian mencarinya karena ada urusan penting. Mengapa kalian masih belum mau melepaskan aku, dan siapa pula kakek dan nenek ini yang juga menghalangi aku pergi?"
Mendengar nama Pek Han Siong disebut, suami isteri Goa Iblis Pantai Selatan itu sangat terkejut, dan juga girang sekali.
"Ahh, Nona kecil. Kakakmu yang bernama Pek Han Siong, apakah Sin-tong putera ketua Pek-sim-pang?" tanya Kwee Siong.
Diam-diam Pek Eng merasa semakin heran. Agaknya dua orang yang baru datang ini pun amat tertarik mendengar nama kakaknya! Apakah mereka juga termasuk orang yang dulu pernah memperebutkan Sin-tong, kakaknya yang dianggap anak ajaib oleh para pendeta Lama di Tibet itu?
Dia lalu membalikkan tubuhnya untuk menghadapi Kwee Siong dan Tong Ci Ki. "Benar," katanya, "Apakah kalian juga ingin bertemu dengan Kakak Pek Han Siong?"
"Orang she Kwee!" terdengar Siangkoan Leng berseru. "Ingat, dia adalah tawanan kami!"
Mendengar ucapan itu Pek Eng mendapat akal, maka dia pun melangkah maju mendekati kakek dan nenek yang baru datang. "Bohong! Aku bukan tawanannya, buktinya sekarang aku bebas, dan akulah yang menentukan dengan siapa kakakku dapat bertemu. Kakakku adalah seorang gagah perkasa yang sakti, oleh karena itu tidak boleh dia bertemu dengan orang sembarangan. Siapa di antara kalian yang lebih lihai, barulah pantas kupertemukan dengan kakakku!"
Perlu diingat bahwa semenjak belasan tahun yang lalu dua pasang suami isteri ini pernah bermusuhan. Dengan mati-matian mereka memperebutkan Sin-tong yang dianggap akan mendatangkan keuntungan besar. Biar pun kemudian mereka bersatu dan bekerja sama, namun kini mereka dihadapkan pada perebutan kembali.
"Hemm, Lam-hai Siang-mo memang tamak!" kata Tong Ci Ki marah. "Kalian mendengar sendiri kata-kata adik dari Sin-tong ini. Kami berdualah yang lebih pantas bertemu dengan kakaknya!"
"Tong Ci Ki perempuan iblis bermuka mayat! Engkau lebih percaya kepada bocah ini dan berani menghina kami?" bentak Ma Kim Li dengan marah. "Gadis itu kami yang tangkap, dia milik kami dan kalian tidak boleh mencampuri!"
"Enak saja engkau membuka mulut, Ma Kim Li. Perlu diselidiki lebih dulu siapa di antara kita yang lebih patut bertemu dengan Sin-tong, seperti yang diucapkan gadis itu."
"Benar begitu!" Pek Eng berseru, "Lam-hai Siang-mo memang pengecut, beraninya hanya kepada aku, seorang yang masih amat muda, sekali berhadapan dengan pasangan yang lebih lihai, nyali mereka mengecil dan mereka hanya berani mengandalkan lebarnya mulut saja!"
Lam-hai Siang-mo menjadi marah sekali mendengar ucapan itu. Mereka berdua langsung mengeluarkan gerengan seperti dua ekor binatang buas, lalu mereka menerjang ke depan untuk menyerang dan membunuh Pek Eng. Gadis itu cepat melompat lantas menyelinap ke belakang Kwee Siong dan Tong Ci Ki, dan pada saat yang bersamaan suami isteri ini maju menyambut serangan Lam-hai Siang-mo!
"Lam-hai Siang-mo, gadis ini berada dalam lindungan kami!" kata Kwee Siong.
"Bagus! Kalian hendak merampas tawanan kami?!" bentak Siangkoan Leng.
Dan dua pasang suami isteri itu sudah saling terjang dan saling serang dengan hebatnya. Tingkat kepandaian mereka memang tidak banyak selisihnya, maka di tempat itu segera terjadi perkelahian yang seru sekali, yang membuat debu mengepul tinggi dan empat ekor kuda meringkik ketakutan.
Melihat betapa siasatnya mengadu domba berhasil dengan baik, Pek Eng lalu melompat dan melarikan diri. Dia tidak berani mempergunakan kuda, karena selain hal ini memakan banyak waktu dan akan lebih mudah mereka lihat, juga di sana masih terdapat tiga ekor kuda lainnya sehingga mereka tetap saja akan dapat mengejarnya dengan berkuda.
Akan tetapi perasaan girang di hati Pek Eng hanya sebentar saja. Belum ada satu li dia melarikan diri, tiba-tiba saja empat bayangan orang berkelebat dan tahu-tahu dua pasang suami isteri yang tadinya saling serang itu telah berdiri di depannya! Hal ini mengejutkan hati Pek Eng dan dengan mata terbelalak dia memandang mereka, lalu berkata gagap,
"Ehh... lalu bagaimana hasilnya? Siapa di antara kalian yang... menang...?"
Empat orang itu cemberut! Untung mereka tadi langsung menyadari bahwa mereka telah diadu domba ketika mereka melihat betapa gadis itu melarikan diri. Betapa mereka telah dibodohi oleh seorang gadis muda!
"Bocah setan! Kalau tidak mengingat bahwa engkau adik Sin-tong, sekarang juga engkau sudah kusiksa dan kucabut nyawamu!" bentak Ma Kim Li marah sekali.
Pek Eng adalah seorang gadis yang tidak saja tabah, akan tetapi juga cerdik sekali. Kini dia yakin bahwa empat orang itu tidak akan membunuhnya, maka dia pun tersenyum dan berkata, "Kalau kalian hendak membunuh pun, aku tidak menyesal. Mati di tangan empat orang kakek nenek yang sangat lihai, tidak menjadi penasaran. Akan tetapi kalianlah yang akan menyesal karena tanpa aku, jangan harap dapat bertemu dengan Sin-tong!"
"Sudahlah, Lam-hai Siang-mo, tak perlu banyak cakap dengan bocah setan ini. Kita bawa saja dia menghadap Lam-hai Giam-lo!" kata Tong Ci Ki.
"Menghadap Lam-hai Giam-lo?" Pek Eng berseru dengan wajah menunjukkan perasaan girang. "Bagus sekali! Semenjak mendengar namanya, aku sudah ingin sekali berjumpa dengan orang tua itu. Agaknya hanya dia seoranglah yang cukup berharga untuk bertemu dengan kakakku!" Dia segera melangkah untuk kembali ke kereta sambil berkata, "Nah, marilah kita berangkat sekarang juga. Mau tunggu apa lagi?"
Empat orang itu saling pandang, tanpa tahu harus berbuat apa terhadap gadis ini. Kalau saja bukan adik Sin-tong, tentu mereka telah membunuh gadis ini. Perlu apa susah-susah membawanya menghadap Lam-hai Giam-lo? Akan tetapi jika mereka mempersembahkan gadis ini kepada Lam-hai Giam-lo, tentu pimpinan itu akan girang sekali dan mereka akan mendapat pujian dan dianggap berjasa. Kini tidak perlu lagi mempergunakan kekerasan karena kalau gadis ini mengadukan perlakuan yang tidak patut terhadap dirinya kepada Lam-hai Giam-lo, siapa tahu orang tua itu bahkan akan marah kepada mereka dan hal ini sungguh mengerikan.
Demikianlah, Pek Eng tertolong dan terbebas dari siksaan serta perlakuan kasar karena sikapnya yang penuh ketabahan dan kecerdikan itu. Dia duduk di dalam kereta bersama Ma Kim Li karena Siangkoan Leng mengusiri kereta, sedangkan kakek dan nenek yang berpakaian hitam itu mengawasi di belakang kereta, di atas kuda mereka.
Sungai Yang-ce adalah sungai ke dua setelah Huang-ho yang mengalir jauh dari barat ke timur, melalui puluhan ribu li dan makin lama menjadi semakin lebar. Air sungai Yang-ce membuat lembah Yang-ce menjadi daerah yang subur sekali, apa lagi pada bagian timur. Akan tetapi air sungai itu pula yang kadang-kadang mengamuk dengan hebat, membanjiri sawah ladang dan perkampungan di sisinya sehingga merenggut banyak nyawa manusia dan menghancurkan banyak pertanian.
Di dataran tinggi Yunan, di antara bukit-bukit dan gunung yang tak terhitung banyaknya, Sungai Yang-ce mengalir dengan tenang dan indahnya. Airnya masih belum begitu keruh, juga belum terlalu banyak, mengalir melalui celah-celah antara bukit, kadang kala melalui jurang-jurang yang amat curam.
Di lereng sebuah bukit di Lembah Yang-ce inilah tinggal Lam-hai Giam-lo yang terkenal sebagai salah seorang di antara datuk-datuk besar golongan sesat. Seperti yang sudah kita ketahui di bagian depan kisah ini, Lam-hai Giam-lo pernah terpaksa harus melarikan diri dan bersembunyi, menyamar sebagai seorang hwesio dalam kuil Siauw-lim-si karena dia dikejar-kejar oleh dua orang musuhnya yang amat ditakutinya, yaitu Ciang Su Kiat Si Pendekar Buntung lengan kirinya dan Kok Hui Lian.
Dua orang yang pernah nyaris dibunuhnya ini kemudian muncul dengan kepandaian yang mengejutkan hingga beberapa kali hampir saja Lam-hai Giam-lo tewas di tangan mereka. Namun, penyamarannya di kuil itu ketahuan oleh sepasang pendekar Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu sehingga terpaksa dia melarikan diri lagi.
Lam-hai Giam-lo adalah seorang datuk sesat yang telah banyak pengalamannya di dunia kang-ouw, dan mempunyai banyak sahabat di dunia golongan hitam. Maka dia pun cepat dapat berhubungan bahkan menarik kaum sesat untuk bersekutu dengan dia.
Sesudah mengumpulkan banyak harta dari hasil pencurian-pencurian yang dilakukannya sendiri di dalam gedung-gedung para bangsawan di kota raja, Lam-hai Giam-lo lalu tinggal di lembah Yang-ce-kiang ini, di mana dia membangun sebuah gedung besar dan hidup sebagai seorang hartawan dan juga pimpinan golongan hitam.
Banyak orang-orang dari golongan sesat yang memiliki kepandaian tinggi telah bergabung dengannya, bahkan menjadi pembantu-pembantunya. Di antara mereka itu terdapat suami isteri Goa Iblis Pantai Selatan, suami isteri Lam-hai Siang-mo, bahkan Min-san Mo-ko dan Ji Sun Bi yang sangat lihai itu sudah menjadi pembantunya pula. Kemudian Sim Ki Liong yang pernah menyelundup menjadi murid Pendekar Sadis, juga dibawa oleh Ji Sun Bi dan menggabungkan diri dengan Lam-hai Giam-lo, menjadi tangan kanannya yang dipercaya! Belum lagi datuk-datuk lain, termasuk tokoh-tokoh perkumpulan Pek-lian-kauw.
Pengaruh Lam-hai Giam-lo semakin luas bahkan dia mulai mempengaruhi para pembesar di daerah selatan sebab kakek ini memiliki cita-cita untuk menentang kekuasaan kerajaan setelah menjadi seorang yang disebut 'pengcu' (pemimpin rakyat)!
Keinginan manusia untuk memperbesar dirinya, menambah kemuliaan serta kesenangan dirinya, merupakan penyakit yang tidak pernah sembuh sampai manusia mati. Keinginan untuk menjadi lebih dari pada keadaan sekarang merupakan nafsu yang menghanyutkan, makin dituruti semakin membesar dan semakin tamak. Seperti orang kehausan minum-minuman yang terlampau manis, makin banyak minum menjadi semakin haus.
Sekali membiarkan nafsu mencengkeram batin, nafsu keinginan mendapatkan apa yang belum dimilikinya, maka penyakit itu akan mendarah daging dan terus mencengkeramnya sampai akhir hayat! Kecuali kalau ada kesadaran yang timbul dari pengamatan waspada sehingga kita dapat melihat kenyataan diri sendiri, maka kesadaran ini secara seketika akan membuang jauh-jauh nafsu keinginan atau penyakit itu.
Bukan berarti kita lalu menjadi mati semangat atau lumpuh, bukan berarti menjadi bosan hidup dan seperti patung atau seperti pohon saja, menerima segala sesuatu tanpa ikhtiar. Ikhtiar untuk memelihara diri adalah wajib, menjaga diri dan menempatkan diri sebaiknya, mencari kebutuhan hidup ini, sandang pangan sewajarnya. Menikmati kesenangan hidup adalah hak kita, sebab kita diperlengkapi alat-alat yang sempurna untuk menikmati hidup melalui panca indrya kita. Akan tetapi bukan berarti kita harus mengejar kesenangan itu, bukan berarti kita dicengkeram penyakit nafsu keinginan mengejar segala keadaan yang belum kita miliki.
Nafsu keinginan mengejar kesenangan ini bisa saja bersembunyi di balik kata-kata yang muluk dan indah, misalnya gagasan-gagasan, cita-cita, harapan-harapan yang dapat saja kita pulas sehingga warnanya menjadi putih dan menamakannya cita-cita mulia, ide-ide sempurna, dan sebagainya. Namun kesemuanya itu tidak ada bedanya dengan ambisi, keinginan untuk mencapai suatu keadaan atau mendapatkan sesuatu yang kita anggap akan lebih menyenangkan dari pada yang ada sekarang ini!
Penyakit ini, yaitu nafsu keinginan mengejar sesuatu, pada akhirnya dapat menimbulkan penyelewengan-penyelewengan. Kalau yang dikejar itu kesenangan melalui uang, maka bisa menimbulkan pencurian, penipuan, kecurangan, korupsi dan sebagainya lagi. Kalau yang dikejar itu pahala batiniah, maka akan muncul kemunafikan, kepura-puraan. Kalau yang dikejar itu kedudukan, akan timbul persaingan. Kalau yang dikejar itu kesenangan melalui sex, akan timbul pelacuran, perkosaan, perjinahan dan sebagainya.
Gejala yang kelihatan pada orang yang dihinggapi penyakit itu adalah kekecewaan yang terus menerus karena dia tidak akan pernah merasa puas. Kepuasan yang dirasakannya hanyalah sekelumit, selewatnya bagaikan angin lalu saja karena kepuasan sekelumit itu segera sirna lagi diburu penyakit yang ingin mengejar lebih lagi.
Orang yang berpenyakit seperti ini akan selalu mengejar yang tidak ada, sehingga tidak akan dapat menikmati apa yang ada. Pandang mata batinnya tak pernah ditujukan untuk mengamati keindahan apa yang ada, namun selalu menerawang ke arah bayangan apa yang dinginkannya, yang selalu membesar, membengkak, dan menjauh. Berbahagialah orang yang bebas dari penyakit ini dan hidup di saat ini, menikmati apa yang ada dengan segala kewajarannya.
Lam-hai Giam-lo, murid dari mendiang Lam-kwi-ong, yaitu seorang di antara datuk yang terkenal dengan sebutan Empat Setan, kini bercita-cita untuk menjadi pimpinan golongan sesat, membangun dunia hitam kembali seperti yang pernah dilakukan Cap-sha-kwi (Tiga Belas Setan) yang kemudian kekuasaannya direbut oleh Raja Iblis dan Ratu Iblis.
Dia ingin mengikuti jejak Empat Setan, yaitu empat orang datuk sesat di empat penjuru. Dengan kekuatan baru dari kaum sesat ini dia bercita-cita untuk bersekutu dengan para pemberontak, menjatuhkan kaisar dan cita-citanya yang paling muluk adalah mengangkat dirinya sebagai kaisar baru.
Untuk memperluas kekuasaan serta pengaruhnya, Lam-hai Giam-lo mengutus para datuk yang menjadi pembantu-pembantunya untuk membujuk tokoh-tokoh dunia kang-ouw agar suka datang menggabungkan diri atau setidaknya mengakui kepemimpinannya. Dia tidak merasa sayang menghamburkan hartanya untuk menarik hati para tokoh itu, seperti yang sudah dilakukan oleh dua pasang suami isteri iblis dari selatan dengan hasil baik.
Para utusan lainnya belum pulang kembali ketika Sepasang Iblis Laut Selatan dan suami isteri Goa Iblis Pantai Selatan tiba bersama Pek Eng di tempat tinggal Lam-hai Giam-lo. Secara diam-diam Pek Eng memperhatikan keadaan rumah besar itu dan sekelilingnya.
Rumah itu berdiri di lereng bukit. Walau pun terletak di tepi Sungai Yang-ce-kiang, rumah itu dalam keadaan aman karena berada jauh di atas permukaan sungai itu sehingga tidak khawatir dilanda banjir. Rumah besar itu berdiri sendiri tanpa tetangga, di tengah sebuah hutan dan pemandangan di daerah itu sungguh indah.
Ketika dengan halus tapi bernada memerintah para penawannya menyuruh dia turun dan mengikuti mereka masuk ke beranda rumah, Pek Eng melihat betapa rumah itu dilengkapi dengan perabot-perabot rumah yang serba mewah, dan ketika mereka memasuki pintu gerbang depan tadi, dia melihat belasan orang penjaga yang nampaknya galak dan kuat, akan tetapi yang segera memberi hormat ketika dua pasang suami isteri iblis itu masuk. Kini, di beranda depan mereka disambut oleh lima orang gadis pelayan yang muda-muda dan cantik-cantik.
"Ha-ha-ha-ha!" Pelatih itu tertawa lebar. "Nona manis, benarkah engkau adalah seorang pendekar pedang seperti kata dia tadi? Apakah kedatanganmu ini hendak memamerkan kepandaianmu atau hendak menguji kami?"
Karena sudah terlanjur masuk, Pek Eng yang tak mau melayani kekurang ajaran mereka langsung saja bertanya. "Aku tertarik melihat papan nama Hui-houw Bu-koan di luar dan aku masuk untuk bertanya apakah di antara kalian ada yang mengenal dua orang pemuda yang bernama Pek Han Siong dan Hay Hay?"
Sebenarnya pelatih itu dan para anak buahnya tidak pernah mendengar dua buah nama yang disebut Pek Eng tadi, namun pura-pura sudah mengenalnya. "Aahh, kiranya engkau mencari mereka?"
Bukan main girangnya hati Pek Eng. Tak diduganya bahwa orang itu mengenal kakaknya dan Hay Hay. "Benar, tahukah engku di mana mereka?"
Pelatih itu mengangguk-angguk. "Tentu saja aku tahu, akan tetapi sebelum aku memberi tahukan kepadamu, engkau harus memenuhi syarat yang kuajukan."
Pek Eng mengerutkan alisnya dan memandang penuh selidik. "Syarat? Syarat apa itu?"
Pelatih itu tertawa. "Ha-ha-ha, syaratnya engkau harus maju dan main-main dengan aku sebentar. Jika engkau menang, tentu akan segera kuberi tahukan di mana mereka, akan tetapi jika engkau kalah, maka engkau harus menemani aku pelesir selama tiga hari tiga malam, baru engkau akan aku pertemukan dengan mereka. Bagaimana?"
Semua lelaki yang tadi berlatih silat tersenyum-senyum mendengar ini, dan semua mata memandang pada Pek Eng secara kurang ajar sekali. Hati Pek Eng sudah menjadi panas dan kini dia meragukan kebenaran pengakuan pelatih itu bahwa dia tahu di mana adanya dua orang pemuda yang sedang dicarinya. Tentu hanya untuk mencari alasan agar dapat mempermainkannya, pikirnya dengan hati panas dan marah.
Akan tetapi dia tetap tersenyum, bahkan mengangguk-angguk. Andai kata kalah pun, dia masih mempunyai akal untuk menghindarkan diri dari kekurang ajaran orang ini, pikirnya. Akan tetapi melihat gerakan mereka tadi, dia yakin bahwa dia akan mampu mengalahkan orang tinggi besar ini, bahkan tidak merasa gentar jika harus menghadapi pengeroyokan belasan orang yang tingkat kepandaiannya masih amat rendah dan hanya mengandalkan kekuatan otot belaka.
"Baik, akan tetapi jika engkau kalah kemudian tidak dapat membawa aku kepada mereka, akan kuhancurkan mulutmu yang lancang itu!" katanya, tetap tenang dan mulutnya dihias senyum, sama sekali tidak kelihatan marah.
"Toako, biarlah aku menangkap gadis ini untukmu!" tiba-tiba terdengar seruan seorang di antara anak buah itu dan orang ini, berusia kurang lebih dua puluh lima tahun, bertubuh kurus dan mukanya pucat seperti orang berpenyakitan, segera melompat maju ke depan Pek Eng dan langsung saja dia menubruk untuk merangkul dan menangkap gadis itu.
Kesempatan yang amat baik, pikir pemuda itu. Dia akan dapat memeluk gadis manis ini, bahkan mungkin dapat mencuri satu dua kali ciuman sebelum menyerahkannya kepada pelatihnya. Tangan kanannya menyambar hendak memukul leher, ada pun tangan kirinya secara kurang ajar sekali hendak mencengkeram ke arah dada!
Pek Eng melihat gerakan serangan yang kurang ajar akan tetapi juga terlalu lambat dan lemah baginya itu. Dia cepat menggerakkan kakinya memutar tubuh setengah lingkaran, membiarkan cengkeraman ke arah dada itu lewat, ada pun tangan kanannya sendiri cepat bergerak ke atas, menangkap pergelangan tangan kanan lawan yang akan merangkulnya, kemudian cepat sekali dia menekuk lengan kanannya dan akhirnya dengan tepat sekali siku kanannya menghantam muka orang itu.
"Crotttt...!"
Ujung siku tepat menghantam hidung pemuda muka pucat itu dan tulang hidung itu patah, hidungnya menjadi hitam membengkak dan darah pun bercucuran keluar. Ketika pemuda itu tersentak ke belakang dan perutnya maju ke muka, Pek Eng mengangkat kakinya dan lututnya sudah menghantam perut lawan.
"Ngekkkk...!"
Dan pemuda itu pun terjengkang, kedua tangannya sibuk memegangi hidung serta perut karena dalam keadaan hampir pingsan dia tidak dapat membandingkan mana yang lebih nyeri antara hidung yang remuk dengan perut yang mulas itu. Dengan suara bindeng dia mengaduh-aduh sambil berlutut membungkuk-bungkuk.
Pelatih itu marah bukan main. Sambil berseru keras dia pun menubruk ke depan. Namun Pek Eng tak mau membuang banyak waktu lagi. Disambutnya serangan lawan itu dengan tamparan dari samping yang tepat mengenai pelipis pelatih tinggi besar itu.
"Plakkk!"
Tubuh tinggi besar itu terputar karena dia merasa seolah-olah baru saja disambar petir, kepalanya nyeri, pandang matanya berkunang dan dia pun meloncat-loncat bagai monyet menari-nari di atas papan yang panas. Pek Eng menyusulkan dua kali gerakan kaki, ujung sepatunya menyentuh sambungan lutut dan orang tinggi besar itu pun terpelanting roboh.
Kini belasan orang murid itu maju mengeroyok Pek Eng, bahkan di antara mereka sudah ada yang membawa senjata golok, pedang dan toya. Namun mereka itu tidak ada artinya bagi Pek Eng. Gadis perkasa ini bergerak sangat cepat seperti seekor burung walet yang menyambar-nyambar di antara sekelompok capung saja. Belasan orang itu pun satu demi satu roboh terpelanting, roboh sambil mengaduh-aduh!
Pada saat itu pula dari pintu tengah muncul seorang kakek dan seorang nenek. Mereka terkejut sekali melihat betapa ada seorang gadis muda merobohkan belasan orang anak murid Hui-houw Bu-koan. Kakek itu lantas memutar tubuhnya dan berseru ke arah dalam rumah.
"Ciok Kauwsu (Guru Silat Ciok), keluarlah!"
Kini muncullah seorang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh tahun, perutnya gendut dan kepalanya botak, kedua matanya seperti mata burung elang, tajam dan lincah melirik ke sana sini, dan sinarnya mengandung kelicikan. Laki-laki ini adalah Ciok Cun, pemilik Hui-houw Bu-koan, juga seorang kepala jagoan yang amat terkenal di kota Kui-yang dan sekitarnya.
Hampir tidak ada orang yang berani menentang kepala jagoan ini, karena selain lihai, dia mempunyai banyak anak buah dan seluruh jagoan serta tukang pukul di daerah itu tunduk belaka kepadanya. Semua orang juga mengetahui bahwa dia mempunyai hubungan baik dan erat dengan para pembesar setempat. Ia pandai mengambil hati dan mendekati para pejabat yang berwenang dengan cara mengirim hadiah-hadiah barang berharga kepada mereka.
Ketika terjadi peristiwa keributan di pekarangan luar, saat itu Ciok Cun sedang menerima tamu yang agaknya sangat penting karena tamu kakek dan nenek itu diterima di ruangan paling dalam. Mereka bertiga lalu bicara dalam ruangan tertutup, bahkan tak seorang pun pelayan atau murid boleh masuk tanpa dipanggil. Tepat ketika dua orang tamu itu hendak pergi, mereka melihat kesibukan di luar, di mana belasan orang anak buah Hui-houw Bu-koan telah roboh berserakan oleh seorang gadis muda!
Tentu saja Ciok Cun menjadi terkejut dan marah bukan kepalang melihat betapa belasan orang muridnya dihajar orang, apa lagi pembantunya yang tinggi besar, yang merupakan murid dari tingkat atas, agaknya sudah tak mampu bangkit, kedua kakinya seperti lumpuh dan sebelah mukanya matang biru!
"Heiiii, siapakah engkau anak perempuan yang datang mengacau? Aku adalah Ciok Cun, Kauwsu (guru silat) dan pemilik bu-koan (tempat belajar silat) ini! Siapakah engkau dan apa maksudmu membikin ribut di sini?"
Sebagai seorang yang berpengalaman, tentu saja Ciok Cun dapat menduga bahwa meski pun gadis ini masih muda, tentu mempunyai kepandaian tinggi. Kalau tidak demikian, tak mungkin belasan orang muridnya itu roboh semua sedangkan pakaian gadis itu agaknya kusut pun tidak!
Mendengar pengakuan Ciok Cun, Pek Eng lalu memandang tajam. Kalau anak buahnya mengenal kakaknya dan Hay Hay, tentu gurunya lebih mengenal mereka lagi. Maka dia pun menjura ke arah laki-laki gendut botak itu.
"Harap suka maafkan aku, Ciok Kauwsu. Aku bernama Pek Eng dan tadinya aku sama sekali tidak pernah menyangka akan berkelahi dengan anak buahmu di tempat ini. Aku kebetulan lewat dan tertarik bahwa di sini adalah sebuah perguruan silat, aku lalu masuk kemudian kepada mereka ini aku menanyakan nama dua orang pemuda, apakah mereka mengenalnya. Orang tinggi besar ini memberi tahu bahwa dia mengenal mereka dan akan memberi tahukan di mana adanya mereka asal aku mampu mengalahkan dia. Kami lalu bertanding dan semua anak buahmu maju mengeroyokku dan... beginilah jadinya." Pek Eng menggerakkan kedua tangannya ke arah mereka yang masih mengaduh-aduh dan sukar untuk bangkit berdiri.
Ciok Cun sendiri belum pernah mendengar kedua nama itu, maka dia pun memandang kepada muridnya yang menjadi pelatih murid-murid tingkat rendahan, kemudian bertanya, "Benarkah engkau mengenal dua orang yang dicari Nona ini?"
Si Tinggi Kurus terpaksa mengaku. "Sebetulnya kami tidak mengenal mereka, kami hanya membohongi Nona ini untuk main-main saja..."
Mendengar ini, Pek Eng merasa dongkol bukan main. Dengan alis berkerut dia menyapu bekas lawan yang banyak itu dengan pandang matanya, kemudian dia mengomel. "Kalau kalian tidak tahu, kenapa harus pura-pura tahu? Kalau tadi kalian bilang tidak tahu, maka keributan ini tidak perlu terjadi. Sudahlah, jika kalian tidak mengenal mereka, barang kali engkau sendiri mengenal mereka, Ciok Kauwsu, dan aku sungguh akan berterima kasih sekali kalau engkau dapat menunjukkan kepadaku di mana mereka."
Ciok Cun sudah merasa mendongkol melihat betapa para muridnya dihajar, akan tetapi karena dia maklum betapa lihainya dara muda ini, dia pun bertanya. "Siapakah mereka?"
"Yang seorang bernama Pek Han Siong, dan yang kedua dikenal dengan nama Hay Hay."
Ciok Cun mengerutkan sepasang alisnya mengingat-ingat, akan tetapi dia sendiri belum pernah bertemu dengan dua orang yang namanya seperti itu, maka dia pun menggeleng kepala. "Aku tidak mengenal mereka."
Pek Eng kecewa sekali. "Kalau begitu biar aku pergi saja dan sekali lagi maafkanlah aku!" Setelah berkata demikian, Pek Eng segera membalikkan tubuhnya dan hendak pergi dari pekarangan itu, keluar melalui pintu gerbang.
"Nona, tunggu dulu!" tiba-tiba terdengar bentakan orang sehingga Pek Eng membalikkan tubuhnya dan kini dia berhadapan dengan kakek dan nenek itu. Melihat betapa kakek itu menghampirinya, maklumlah Pek Eng bahwa yang mengeluarkan suara menahannya tadi adalah kakek itu. Sekarang dia memperhatikan mereka.
Kakek itu usianya tentu telah enam puluh tahun lebih, tubuhnya tinggi besar dan pandang matanya mencorong tajam. Ada pun nenek itu hanya beberapa tahun lebih muda, kurang lebih enam puluh tahun, tetapi masih nampak cantik dan pesolek karena pipi dan bibirnya masih memakai pemerah kulit, bahkan mukanya yang bentuknya cantik itu dipulas bedak yang cukup tebal. Karena mereka adalah orang-orang tua, Pek Eng menghadapi mereka dengan sikap tenang dan hormat.
"Engkaukah yang menahan aku pergi tadi, Paman Tua? Ada urusan apakah?" tanyanya sambil memandang kepada kakek itu.
"Benarkah yang kau cari itu adalah Pek Han Siong dan Hay Hay?" tanya kakek itu.
"Benar, apakah engkau mengenal mereka?"
Kakek itu saling pandang dengan Si Nenek dan mereka pun mengangguk, bahkan kakek itu berseru. "Mengenal mereka? Ahh, mengenal baik sekali!"
Pek Eng memandang dengan penuh curiga. "Sekarang aku tak akan mudah percaya lagi kalau ada orang mengaku kenal dengan mereka, karena tadi pun aku sudah dibohongi orang," katanya sambil melirik ke arah pelatih silat tadi.
"Akan tetapi aku tidak membohong!" kata pula kakek itu. "Bukankah yang bernama Hay Hay itu seorang pemuda yang berusia dua puluh satu tahun, wataknya lincah gembira, tubuhnya sedang dan dadanya bidang, matanya bersinar-sinar, bibirnya selalu tersenyum, dia memiliki ilmu silat yang amat lihai dan juga pandai sihir? Dan bukankah yang bernama Pek Han Siong itu adalah putera Ketua Pek-sim-pang, yang dahulu ketika kecil disebut Sin-tong (Anak Ajaib)?"
Pek Eng hampir bersorak kegirangan. Wajahnya seketika berubah, berseri-seri dan sinar matanya penuh harapan ditujukan kepada orang tua itu. "Aih, benar sekali, Paman. Benar sekali, aku adalah adik dari Pek Han Siong!"
"Bagus!" tiba-tiba saja nenek yang sejak tadi hanya memandang wajah Pek Eng dengan penuh perhatian itu kini membentak. "Nah, sekarang engkau katakan di mana adanya Pek Han Siong itu!"
Nenek itu bersikap mengancam sehingga diam-diam Pek Eng terkejut, juga merasa heran dan kecewa. Sialan, pikirnya. Tadi dia sudah sangat kegirangan karena kakek dan nenek itu mengenal kakaknya dan Hay Hay, akan tetapi siapa sangka mereka malah bertanya kepadanya di mana adanya kakaknya!
"Hemm, jadi kalian kakek dan nenek ini mengenal kakakku akan tetapi tidak tahu di mana dia berada? Kalau begitu, kalian pun tidak ada gunanya bagiku. Selamat tinggal!" Setelah berkata demikian, Pek Eng yang tidak mau lebih lama lagi tinggal di tempat itu, bergerak cepat hendak lari keluar dari pintu gerbang.
Akan tetapi tiba-tiba nampak bayangan berkelebat di sampingnya dan tahu-tahu nenek itu telah menghadang di ambang pintu gerbang, ke dua tangannya dipalangkan seakan-akan hendak melarang dan mencegah dia keluar!
Diam-diam Pek Eng terkejut juga. Dari gerakan itu tadi saja dia sudah tahu bahwa nenek itu memiliki ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang hebat. Dia menoleh dan kakek itu pun menghampirinya. Dia telah dikepung depan dan belakang oleh kakek dan nenek itu.
Pek Eng cepat mengambil keputusan. Dia harus keluar dari situ sebelum dikepung oleh lebih banyak orang lagi. Maka tiba-tiba saja, tanpa mengeluarkan suara, tubuhnya sudah meloncat ke depan dan menerjang nenek yang menghadang di ambang pintu. Sepasang tangannya mendorong dengan maksud untuk mendorong nenek itu ke samping agar dia dapat menerobos keluar!
Akan tetapi nenek itu tidak mengelak, melainkan menyambut dorongan sepasang tangan gadis itu dengan kedua tangannya sendiri. Dua tenaga bertemu dan akibatnya, tubuh Pek Eng terdorong mundur kembali ke dalam pekarangan! Gadis itu terkejut, merasa betapa kuatnya tenaga dorongan nenek itu.
"Engkau tidak boleh pergi sebelum menunjukkan kepada kami di mana adanya Sin-tong!" kata kakek itu.
Tiba-tiba saja tubuh kakek itu meloncat tinggi, kemudian dari atas dia menubruk dengan kedua tangan membentuk cakar laksana seekor burung garuda yang menyambar kelinci! Melihat ini, Pek Eng mengelak dengan loncatan ke samping sambil siap untuk membalas, akan tetapi lengan kakek tinggi besar itu mengejarnya dari atas. Maka terpaksa Pek Eng menangkis dengan lengan kiri sambil membarengi dengan pukulan tangan kanan ke arah leher kakek itu.
"Dukkk!"
Pukulan itu mengenai leher yang terasa keras bagaikan baja, tetapi cengkeraman tangan kakek itu juga berhasil menangkap pundak Pek Eng dan gadis itu pun lalu roboh dengan kaki tangan terasa lemas kehilangan tenaga. Ternyata kakek itu tadi telah mencengkeram jalan darahnya dan dia pun tidak mampu bangkit lagi.
Walau pun kaki tangannya sudah tidak dapat digerakkan lagi, namun Pek Eng yang roboh telentang itu memandang kepada kakek itu dengan kedua mata melotot, sedikit pun tidak memperlihatkan rasa takut.
Dengan sekali loncat nenek itu sudah berdiri di dekat Pek Eng. "Hayo cepat katakan, di mana adanya Pek Han Siong. Kalau engkau tak mau mengaku, maka terpaksa aku akan menyiksamu dengan jarum beracun!"
Sementara itu, Ciok Cun yang sejak tadi menjadi penonton bersama anak-anak buahnya, terbelalak kagum melihat betapa hanya dalam beberapa gebrakan saja kakek dan nenek itu telah mampu menangkap gadis gadis yang amat lihai itu!
"Hebat... hebat sekali... kepandaian Ji-wi sungguh seperti dewa!" Dia memuji. "Ahhh, tak dapat aku membayangkan betapa tinggi tingkat kepandaian Locianpwe Lam-hai Giam-lo, melihat betapa utusannya saja seperti Ji-wi memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat!"
Nenek itu mendengus tak menjawab, tapi kakek itu berkata, "Tingkat kepandaian Lam-hai Giam-lo tak dapat diukur, karena itu jangan engkau main-main, Ciok-kauwsu, dan engkau harus mentaati semua yang telah diperintahkan."
"Kami taat... tentu saja kami taat, apa lagi setelah Locianpwe itu demikian royal memberi pengganti biaya kami melalui kedatangan Ji-wi."
Nenek itu kini mengeluarkan sebatang jarum hitam dari kantung kecil di pinggangnya lalu memamerkan kepada Pek Eng. "Nona, kau lihat jarum ini. Karena benda inilah maka aku dijuluki orang kang-ouw sebagai Tok-ciam (Jarum Beracun). Jarum ini bukan hanya dapat membunuh, akan tetapi juga bisa mendatangkan siksaan yang amat hebat. Kalau engkau tidak mau menunjukkan kepada kami di mana adanya Sin-tong, engkau akan menderita siksaan yang akan membuat engkau rindu kepada kematian yang tak kunjung tiba. Lihat!"
Pada saat itu kebetulan seekor anjing lewat tidak jauh dari mereka. Sekali menggerakkan tangannya, jarum itu meluncur dan terdengar anjing itu berkuik lalu roboh dan selanjutnya anjing itu melolong-lolong berkelojotan. Jarum itu mengenai kaki depan sebelah kanan dan kini jelas nampak betapa kaki yang terkena jarum itu membengkak dan menghitam, dan agaknya mendatangkan rasa nyeri yang sangat hebat melihat betapa anjing itu melolong-lolong amat menyedihkan.
Diam-diam Pek Eng merasa ngeri juga ketika melihat kekejaman itu dan maklum bahwa ancaman nenek itu bukanlah gertak kosong belaka. Dia maklum bahwa nenek dan kakek itu lihai bukan main dan dia tak akan mampu mengalahkan mereka, maka kalau dia nekat melawan pun tidak akan ada gunanya. Diam-diam dia menduga-duga siapa adanya kakek dan nenek yang amat lihai ini dan siapa pula pimpinan mereka yang tadi disebut berjuluk Lam-hai Giam-lo.
Kalau saja Pek Eng mengenal kakek dan nenek itu, tentu dia akan menjadi semakin kaget dan ngeri. Kakek dan nenek sakti itu adalah suami isteri yang terkenal sebagai Lam-hai Siang-mo (Sepasang Iblis Laut Selatan)! Kita telah mengenal mereka sebagai datuk-datuk sesat yang amat kejam dan lihai.
Kakek itu bernama Siangkoan Leng dan nenek itu adalah isterinya yang bernama Ma Kim Li. Seperti sudah diceritakan di bagian depan, suami isteri ini menculik bayi dari keluarga Pek dan mengira bahwa bayi yang bukan lain adalah Hay Hay itu sebagai Sin-tong (Anak Ajaib). Mereka kecelik karena bayi keluarga Pek yang mereka culik itu ternyata bukanlah Sin-tong. Kini pasangan suami isteri ini telah bergabung dengan para datuk sesat lainnya, menjadi pembantu-pembantu yang diandalkan oleh Lam-hai Giam-lo, seorang kakek sakti yang ingin menghimpun para datuk sesat dan memperkuat kembali golongan hitam.
Untuk memperkuat kedudukannya dan memperluas pengaruhnya, Lam-hai Giam-lo telah mengutus beberapa orang pembantunya untuk mempengaruhi kalangan sesat di daerah selatan, mengajak mereka untuk ikut bergabung di bawah pimpinan Lam-hai Giam-lo dan untuk keperluan itu, Lam-hai Giam-lo tidak sayang untuk menyebarkan uang secara royal sekali. Suami isteri itu kini berada di Kui-yang juga dalam rangka sedang membujuk Ciok Cun yang dianggap sebagai kepala jagoan kota itu agar mengumpulkan kawan-kawannya dan bergabung di bawah pimpinan Lam-hai Giam-lo.
"Nah, bagaimana, Nona?" Ma Kim Li bertanya sambil tersenyum dingin. "Engkau memilih selamat dan menunjukkan kepada kami di mana adanya kakakmu, ataukah engkau ingin melolong-lolong seperti anjing itu dalam keadaan hidup tidak mati pun tidak?"
"Hemmm, nenek yang berhati kejam! Kau kira aku seorang gila yang tidak dapat memilih mana yang menguntungkan? Tentu saja aku memilih yang pertama. Akan tetapi sebelum kita bicara, aku ingin dibebaskan dari totokan ini dan ingin mengenal siapa adanya kalian berdua."
Girang sekali hati suami isteri itu ketika mendengar kesanggupan ini. Kalau mereka dapat menguasai Sin-tong lantas menyerahkannya kepada Lam-hai Giam-lo, tentu mereka akan berjasa besar. Pemuda yang dulu diperebutkan itu tentu masih berharga sekali bagi para pendeta Lama di Tibet yang tentu akan bersedia menukarnya dengan emas permata yang banyak terdapat di negeri penuh rahasia itu.
Tentu saja Siangkoan Leng tidak merasa khawatir gadis itu akan melarikan diri. Di bawah pengamatan dia dan isterinya, gadis itu tidak akan sanggup melarikan diri. Maka dia pun melangkah maju dan dengan beberapa kali totokan pada pundak, dia telah membebaskan Pek Eng. Gadis itu bangkit berdiri sambil memijit-mijit pundaknya yang terasa nyeri dan kaku, kemudian memandang suami isteri itu sambil tersenyum.
"Terima kasih, kalian sungguh merupakan kakek dan nenek yang amat lihai dan membuat aku merasa kagum. Siapakah sebenarnya kalian?"
"Namaku Siangkoan Leng dan ini isteriku Ma Kim Li. Di kalangan kang-ouw kami berdua dikenal sebagai Lam-hai Siang-mo," kata Siangkoan Leng.
Diam-diam dia merasa kagum sekali. Biar pun masih muda dan berada dalam kekuasaan atau tawanan mereka, gadis itu masih saja bersikap demikian tenangnya dan sedikit pun tidak memperlihatkan kekhawatiran.
"Sekarang katakanlah di mana kakakmu itu!" Ma Kim Li kembali mendesak.
Sejak tadi Pek Eng sudah memutar otak mencari akal untuk menjawab desakan ini dan dia lalu memandang ke kanan kiri seperti orang yang merasa rikuh untuk bicara. Dia lalu memandang wajah nenek itu dan berkata dengan suara lirih,
"Sudah tepatkah kalau kita bicara tentang itu di depan banyak orang?"
Suami isteri itu sadar bahwa mereka masih berada di antara Ciok Cun dan anak buahnya. Ma Kim Li lalu memegang tangan Pek Eng sambil berkata kepada suaminya. "Mari kita berangkat!"
Dengan diantar oleh Ciok Cun sampai ke depan pintu gerbang, suami isteri itu keluar dan ternyata beberapa orang anak buah Ciok Cun telah mengeluarkan sebuah kereta berkuda dua yang tadinya di simpan di sebelah rumah. Ma Kim Li lalu mengajak Pek Eng masuk ke dalam kereta, sedangkan Siangkoan Leng duduk di depan dan menjadi kusir. Kereta bergerak meninggalkan rumah itu, bahkan segera keluar dari pintu gerbang kota Kui-yang sebelah selatan.
Kereta akhirnya berhenti di sebuah tempat sunyi di luar kota itu dan kembali suami isteri itu mendesak kepada Pek eng. "Hayo, sekarang katakan di mana adanya kakakmu Pek Han Siong itu!"
Sambil tersenyum Pek Eng memandang kepada mereka. "Kalian adalah dua orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, jika melihat usia juga kalian tentu telah memiliki banyak pengalaman, akan tetapi bagaimana dapat mengajukan pertanyaan yang begitu bodoh?"
"Apa kau bilang?!" Siangkoan Leng membentak, merasa heran sekali melihat keberanian anak dara itu yang dalam keadaan tertawan bahkan berani mengatakan mereka bodoh!
"Hati-hati dengan mulutmu atau jarumku akan menyiksamu!" nenek itu pun mengancam.
Akan tetapi Pek Eng yang cerdik itu hanya tersenyum menghadapi kemarahan mereka. Ia telah memperhitungkan betul semua sikap dan kata-katanya. Ia maklum bahwa dua orang ini adalah orang-orang yang dulu ikut memperebutkan kakaknya sebagai Sin-tong, seperti yang sering didengar dari orang tuanya. Mereka ingin sekali menemukan kakaknya, tetapi mereka hanya mengenal kakaknya dari namanya saja dan tidak tahu di mana kakaknya berada.
"Lam-hai Siang-mo," katanya dengan sikap seperti sedang berbicara dengan orang-orang yang setingkat saja. "Aku tidak bermaksud untuk menghina kalian, akan tetapi tadi kalian melihat sendiri bahwa aku datang ke persilatan Macan Terbang itu untuk bertanya kepada mereka kalau-kalau mereka melihat kakakku Pek Han Siong. Jelaslah bahwa aku datang untuk mencari kakakku, namun sekarang kalian memaksa aku mengaku di mana adanya kakakku itu. Bukankah itu pertanyaan yang amat bodoh? Jika aku mencari-cari kakakku, jelas bahwa aku tidak tahu di mana dia berada saat ini."
Kakek dan nenek itu saling pandang sejenak. "Hemmm, kini ceritakan bagaimana engkau berpisah dari kakakmu itu supaya kami dapat membantumu mencarinya!" kata Siangkoan Leng.
Semenjak tadi Pek Eng memang telah mempersiapkan diri. "Aku dan kakakku itu sedang melakukan perjalanan pesiar ke selatan. Ketika kami tiba di luar kota Kui-yang, muncul tiga orang pendeta berkepala gundul yang hendak menangkap kakakku. Oleh karena tiga orang pendeta itu lihai sekali, kakakku menyuruh aku menyingkir. Mereka lantas berkelahi dengan seru dan berkejar-kejaran. Ketika aku mengejar, ternyata aku tertinggal jauh dan mereka sudah menghilang semuanya. Aku lalu mencari-cari sampai ke kota Kui-yang dan bertanya di Hui-houw Bu-koan." Dia berhenti sebentar kemudian bertanya. "Apakah kalian mengenal kakakku itu? Apa perlunya kalian hendak bertemu dengan dia?"
Suami isteri itu saling pandang. "Apakah tiga pendeta berkepala gundul itu mengenakan jubah mantel lebar berwarna merah dan kotak-kotak?" tanya Siangkoan Leng.
"Benar sekali!" jawab Pek Eng yang teringat akan para pendeta Lama yang dulu pernah menyerbu rumah keluarganya.
Kembali suami isteri itu saling pandang. "Mereka adalah para pendeta Lama dari Tibet!" kata Ma Kim Li dengan hati khawatir, takut kalau-kalau dia dan suaminya kalah dulu oleh para pendeta itu. "Apakah kakakmu itu kalah lalu ditangkap dan dibawa pergi?"
"Tidak mungkin kakakku kalah!" Pek Eng langsung berteriak seperti orang marah. "Tiga orang pendeta itu yang lari dan dikejar-kejar kakakku. Sayang ginkang mereka terlampau tinggi sehingga aku tertinggal jauh dan kehilangan mereka." Ketika dua orang itu saling pandang, ia melanjutkan. "Akan tetapi aku yakin bahwa kakakku tentu akan mengalahkan mereka dan dia akan mencari aku sampai dapat."
"Lihai sekalikah Pek Han Siong itu?" Ma Kim Li bertanya.
"Kakakku? Wah, ilmu kepandaiannya seperti dewa! Karena itu, jika kalian mengenal dia, harap jangan mengganggu aku agar dia tidak menjadi marah."
"Kami tidak mengganggumu," kata Siangkoan Leng sambil tersenyum mengejek. "Sudah lama kami ingin bertemu dengan kakakmu, ada urusan penting yang ingin kami bicarakan dengan dia."
"Wah, kalau begitu biarlah aku yang akan memberi tahukan dia kalau kami sudah saling bertemu. Katakan saja ke mana dia harus pergi mencari kalian, bukankah itu urusan yang mudah sekali?" Berkata demikian Pek Eng tersenyum manis sekali kepada mereka.
Dia sengaja tersenyum untuk membuat dua orang itu lengah karena pada saat itu pula dia mendengar derap kaki kuda menuju ke arah kereta yang dihentikan di tepi jalan itu. Siapa pun adanya para pemunggang kuda itu, dia akan mempergunakan kesempatan ini untuk melarikan diri dengan harapan para penunggang kuda itu akan membantunya bila melihat seorang gadis diserang dan dikejar kakek dan nenek itu.
Pek Eng sama sekali tidak tahu bahwa sepasang iblis itu bukan tidak mendengar derap kaki kuda, bahkan mereka dapat menduga siapa adanya para penunggang kuda itu tanpa menengok. Tempat ini memang merupakan tempat yang telah dijanjikan untuk menunggu datangnya dua orang kawan mereka!
Ketika dua orang penunggang kuda sudah tiba dekat dengan kereta itu, dan sepasang suami isteri itu nampaknya masih termenung mendengar perkataan Pek Eng tadi, tiba-tiba gadis itu melompat ke luar dari dalam kereta! Dia melihat bahwa dua orang penunggang kuda itu berpakaian serba hitam dan ia bermaksud untuk merampas seekor kuda mereka agar dia dapat melarikan diri dengan menunggang kuda. Dengan beberapa kali lompatan saja dia telah tiba dekat dengan dua orang penunggang kuda itu.
"Tangkap gadis itu!" terdengar suara Siangkoan Leng berseru di belakangnya.
Mendengar ini, dua orang yang berpakaian serba hitam itu meloncat turun dari kudanya. Pek Eng melihat bahwa mereka adalah dua orang kakek dan nenek juga, tetapi keadaan mereka membuat dia merasa terkejut dan ngeri.
Kakek berpakaian hitam itu tinggi kurus dan sungguh pun mukanya nampak tampan akan tetapi muka itu seperti kedok mati saja. Nenek berpakaian hitam yang cantik itu mukanya juga seperti mayat. Pakaian hitam mereka membuat kepucatan wajah mereka jadi makin nyata.
Pek Eng merasa bulu tengkuknya meremang. Akan tetapi karena dia tahu bahwa dia tak akan menang melawan dua orang kakek nenek yang ada di dalam kereta, maka dia lalu bertindak nekat dan cepat dia menubruk ke depan lantas menerjang nenek pakaian hitam itu. Kalau dia dapat merampas seekor kuda, maka dia akan melarikan diri, pikirnya dan di antara kakek dan nenek berpakaian hitam itu, dia memilih Si Nenek. Serangannya cepat sekali dan dia mengerahkan kedua tangannya ke arah dada nenek itu.
Pek Eng tidak mengenal kedua orang itu dan kalau dia mengenal mereka tentu dia tidak akan nekat menyerang nenek itu. Kakek dan nenek itu bukan lain adalah suami isteri Goa Iblis Pantai Selatan! Dalam hal ilmu kepandaian silat, sepasang iblis ini tak kalah lihainya jika dibandingkan dengan Lam-hai Siang-mo!
Melihat serangan gadis itu serta mendengar teriakan Siangkoan Leng, nenek yang bukan lain adalah Tong Ci Ki itu langsung menyambutnya. Dia pun menangkis dengan dorongan kedua tangannya yang digerakkan memutar hingga akibatnya, tubuh Pek Eng terpelanting dan terpaksa dia mundur kembali sambil terhuyung sebab dia harus mempertahankan diri agar tidak sampai jatuh!
Kagetlah Pek Eng dan dengan mata terbalalak dia memandang kepada kakek dan nenek yang kini berdiri di depannya itu. Kwee Siong, kakek berpakaian hitam itu, mengeluarkan suara mendengus akan tetapi wajahnya sama sekali tidak bergerak.
Pek Eng cepat membalikkan tubuhnya, namun dia melihat Lam-hai Siang-mo telah keluar dari kereta dan kini juga berdiri menghadangnya. Dia sudah dikepung oleh dua pasangan kakek dan nenek yang amat lihai itu! Pikirannya bekerja cepat, lantas dia pun tersenyum menghadapi Siangkoan Leng dan Ma Kim Li.
"Apa lagi perlunya kalian menahan aku? Semuanya telah kuceritakan dengan terus terang dan kau tidak tahu di mana adanya kakakku Pek Han Siong, tetapi aku akan mencarinya dan akan kusampaikan kepadanya bahwa kalian mencarinya karena ada urusan penting. Mengapa kalian masih belum mau melepaskan aku, dan siapa pula kakek dan nenek ini yang juga menghalangi aku pergi?"
Mendengar nama Pek Han Siong disebut, suami isteri Goa Iblis Pantai Selatan itu sangat terkejut, dan juga girang sekali.
"Ahh, Nona kecil. Kakakmu yang bernama Pek Han Siong, apakah Sin-tong putera ketua Pek-sim-pang?" tanya Kwee Siong.
Diam-diam Pek Eng merasa semakin heran. Agaknya dua orang yang baru datang ini pun amat tertarik mendengar nama kakaknya! Apakah mereka juga termasuk orang yang dulu pernah memperebutkan Sin-tong, kakaknya yang dianggap anak ajaib oleh para pendeta Lama di Tibet itu?
Dia lalu membalikkan tubuhnya untuk menghadapi Kwee Siong dan Tong Ci Ki. "Benar," katanya, "Apakah kalian juga ingin bertemu dengan Kakak Pek Han Siong?"
"Orang she Kwee!" terdengar Siangkoan Leng berseru. "Ingat, dia adalah tawanan kami!"
Mendengar ucapan itu Pek Eng mendapat akal, maka dia pun melangkah maju mendekati kakek dan nenek yang baru datang. "Bohong! Aku bukan tawanannya, buktinya sekarang aku bebas, dan akulah yang menentukan dengan siapa kakakku dapat bertemu. Kakakku adalah seorang gagah perkasa yang sakti, oleh karena itu tidak boleh dia bertemu dengan orang sembarangan. Siapa di antara kalian yang lebih lihai, barulah pantas kupertemukan dengan kakakku!"
Perlu diingat bahwa semenjak belasan tahun yang lalu dua pasang suami isteri ini pernah bermusuhan. Dengan mati-matian mereka memperebutkan Sin-tong yang dianggap akan mendatangkan keuntungan besar. Biar pun kemudian mereka bersatu dan bekerja sama, namun kini mereka dihadapkan pada perebutan kembali.
"Hemm, Lam-hai Siang-mo memang tamak!" kata Tong Ci Ki marah. "Kalian mendengar sendiri kata-kata adik dari Sin-tong ini. Kami berdualah yang lebih pantas bertemu dengan kakaknya!"
"Tong Ci Ki perempuan iblis bermuka mayat! Engkau lebih percaya kepada bocah ini dan berani menghina kami?" bentak Ma Kim Li dengan marah. "Gadis itu kami yang tangkap, dia milik kami dan kalian tidak boleh mencampuri!"
"Enak saja engkau membuka mulut, Ma Kim Li. Perlu diselidiki lebih dulu siapa di antara kita yang lebih patut bertemu dengan Sin-tong, seperti yang diucapkan gadis itu."
"Benar begitu!" Pek Eng berseru, "Lam-hai Siang-mo memang pengecut, beraninya hanya kepada aku, seorang yang masih amat muda, sekali berhadapan dengan pasangan yang lebih lihai, nyali mereka mengecil dan mereka hanya berani mengandalkan lebarnya mulut saja!"
Lam-hai Siang-mo menjadi marah sekali mendengar ucapan itu. Mereka berdua langsung mengeluarkan gerengan seperti dua ekor binatang buas, lalu mereka menerjang ke depan untuk menyerang dan membunuh Pek Eng. Gadis itu cepat melompat lantas menyelinap ke belakang Kwee Siong dan Tong Ci Ki, dan pada saat yang bersamaan suami isteri ini maju menyambut serangan Lam-hai Siang-mo!
"Lam-hai Siang-mo, gadis ini berada dalam lindungan kami!" kata Kwee Siong.
"Bagus! Kalian hendak merampas tawanan kami?!" bentak Siangkoan Leng.
Dan dua pasang suami isteri itu sudah saling terjang dan saling serang dengan hebatnya. Tingkat kepandaian mereka memang tidak banyak selisihnya, maka di tempat itu segera terjadi perkelahian yang seru sekali, yang membuat debu mengepul tinggi dan empat ekor kuda meringkik ketakutan.
Melihat betapa siasatnya mengadu domba berhasil dengan baik, Pek Eng lalu melompat dan melarikan diri. Dia tidak berani mempergunakan kuda, karena selain hal ini memakan banyak waktu dan akan lebih mudah mereka lihat, juga di sana masih terdapat tiga ekor kuda lainnya sehingga mereka tetap saja akan dapat mengejarnya dengan berkuda.
Akan tetapi perasaan girang di hati Pek Eng hanya sebentar saja. Belum ada satu li dia melarikan diri, tiba-tiba saja empat bayangan orang berkelebat dan tahu-tahu dua pasang suami isteri yang tadinya saling serang itu telah berdiri di depannya! Hal ini mengejutkan hati Pek Eng dan dengan mata terbelalak dia memandang mereka, lalu berkata gagap,
"Ehh... lalu bagaimana hasilnya? Siapa di antara kalian yang... menang...?"
Empat orang itu cemberut! Untung mereka tadi langsung menyadari bahwa mereka telah diadu domba ketika mereka melihat betapa gadis itu melarikan diri. Betapa mereka telah dibodohi oleh seorang gadis muda!
"Bocah setan! Kalau tidak mengingat bahwa engkau adik Sin-tong, sekarang juga engkau sudah kusiksa dan kucabut nyawamu!" bentak Ma Kim Li marah sekali.
Pek Eng adalah seorang gadis yang tidak saja tabah, akan tetapi juga cerdik sekali. Kini dia yakin bahwa empat orang itu tidak akan membunuhnya, maka dia pun tersenyum dan berkata, "Kalau kalian hendak membunuh pun, aku tidak menyesal. Mati di tangan empat orang kakek nenek yang sangat lihai, tidak menjadi penasaran. Akan tetapi kalianlah yang akan menyesal karena tanpa aku, jangan harap dapat bertemu dengan Sin-tong!"
"Sudahlah, Lam-hai Siang-mo, tak perlu banyak cakap dengan bocah setan ini. Kita bawa saja dia menghadap Lam-hai Giam-lo!" kata Tong Ci Ki.
"Menghadap Lam-hai Giam-lo?" Pek Eng berseru dengan wajah menunjukkan perasaan girang. "Bagus sekali! Semenjak mendengar namanya, aku sudah ingin sekali berjumpa dengan orang tua itu. Agaknya hanya dia seoranglah yang cukup berharga untuk bertemu dengan kakakku!" Dia segera melangkah untuk kembali ke kereta sambil berkata, "Nah, marilah kita berangkat sekarang juga. Mau tunggu apa lagi?"
Empat orang itu saling pandang, tanpa tahu harus berbuat apa terhadap gadis ini. Kalau saja bukan adik Sin-tong, tentu mereka telah membunuh gadis ini. Perlu apa susah-susah membawanya menghadap Lam-hai Giam-lo? Akan tetapi jika mereka mempersembahkan gadis ini kepada Lam-hai Giam-lo, tentu pimpinan itu akan girang sekali dan mereka akan mendapat pujian dan dianggap berjasa. Kini tidak perlu lagi mempergunakan kekerasan karena kalau gadis ini mengadukan perlakuan yang tidak patut terhadap dirinya kepada Lam-hai Giam-lo, siapa tahu orang tua itu bahkan akan marah kepada mereka dan hal ini sungguh mengerikan.
Demikianlah, Pek Eng tertolong dan terbebas dari siksaan serta perlakuan kasar karena sikapnya yang penuh ketabahan dan kecerdikan itu. Dia duduk di dalam kereta bersama Ma Kim Li karena Siangkoan Leng mengusiri kereta, sedangkan kakek dan nenek yang berpakaian hitam itu mengawasi di belakang kereta, di atas kuda mereka.
********************
Sungai Yang-ce adalah sungai ke dua setelah Huang-ho yang mengalir jauh dari barat ke timur, melalui puluhan ribu li dan makin lama menjadi semakin lebar. Air sungai Yang-ce membuat lembah Yang-ce menjadi daerah yang subur sekali, apa lagi pada bagian timur. Akan tetapi air sungai itu pula yang kadang-kadang mengamuk dengan hebat, membanjiri sawah ladang dan perkampungan di sisinya sehingga merenggut banyak nyawa manusia dan menghancurkan banyak pertanian.
Di dataran tinggi Yunan, di antara bukit-bukit dan gunung yang tak terhitung banyaknya, Sungai Yang-ce mengalir dengan tenang dan indahnya. Airnya masih belum begitu keruh, juga belum terlalu banyak, mengalir melalui celah-celah antara bukit, kadang kala melalui jurang-jurang yang amat curam.
Di lereng sebuah bukit di Lembah Yang-ce inilah tinggal Lam-hai Giam-lo yang terkenal sebagai salah seorang di antara datuk-datuk besar golongan sesat. Seperti yang sudah kita ketahui di bagian depan kisah ini, Lam-hai Giam-lo pernah terpaksa harus melarikan diri dan bersembunyi, menyamar sebagai seorang hwesio dalam kuil Siauw-lim-si karena dia dikejar-kejar oleh dua orang musuhnya yang amat ditakutinya, yaitu Ciang Su Kiat Si Pendekar Buntung lengan kirinya dan Kok Hui Lian.
Dua orang yang pernah nyaris dibunuhnya ini kemudian muncul dengan kepandaian yang mengejutkan hingga beberapa kali hampir saja Lam-hai Giam-lo tewas di tangan mereka. Namun, penyamarannya di kuil itu ketahuan oleh sepasang pendekar Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu sehingga terpaksa dia melarikan diri lagi.
Lam-hai Giam-lo adalah seorang datuk sesat yang telah banyak pengalamannya di dunia kang-ouw, dan mempunyai banyak sahabat di dunia golongan hitam. Maka dia pun cepat dapat berhubungan bahkan menarik kaum sesat untuk bersekutu dengan dia.
Sesudah mengumpulkan banyak harta dari hasil pencurian-pencurian yang dilakukannya sendiri di dalam gedung-gedung para bangsawan di kota raja, Lam-hai Giam-lo lalu tinggal di lembah Yang-ce-kiang ini, di mana dia membangun sebuah gedung besar dan hidup sebagai seorang hartawan dan juga pimpinan golongan hitam.
Banyak orang-orang dari golongan sesat yang memiliki kepandaian tinggi telah bergabung dengannya, bahkan menjadi pembantu-pembantunya. Di antara mereka itu terdapat suami isteri Goa Iblis Pantai Selatan, suami isteri Lam-hai Siang-mo, bahkan Min-san Mo-ko dan Ji Sun Bi yang sangat lihai itu sudah menjadi pembantunya pula. Kemudian Sim Ki Liong yang pernah menyelundup menjadi murid Pendekar Sadis, juga dibawa oleh Ji Sun Bi dan menggabungkan diri dengan Lam-hai Giam-lo, menjadi tangan kanannya yang dipercaya! Belum lagi datuk-datuk lain, termasuk tokoh-tokoh perkumpulan Pek-lian-kauw.
Pengaruh Lam-hai Giam-lo semakin luas bahkan dia mulai mempengaruhi para pembesar di daerah selatan sebab kakek ini memiliki cita-cita untuk menentang kekuasaan kerajaan setelah menjadi seorang yang disebut 'pengcu' (pemimpin rakyat)!
Keinginan manusia untuk memperbesar dirinya, menambah kemuliaan serta kesenangan dirinya, merupakan penyakit yang tidak pernah sembuh sampai manusia mati. Keinginan untuk menjadi lebih dari pada keadaan sekarang merupakan nafsu yang menghanyutkan, makin dituruti semakin membesar dan semakin tamak. Seperti orang kehausan minum-minuman yang terlampau manis, makin banyak minum menjadi semakin haus.
Sekali membiarkan nafsu mencengkeram batin, nafsu keinginan mendapatkan apa yang belum dimilikinya, maka penyakit itu akan mendarah daging dan terus mencengkeramnya sampai akhir hayat! Kecuali kalau ada kesadaran yang timbul dari pengamatan waspada sehingga kita dapat melihat kenyataan diri sendiri, maka kesadaran ini secara seketika akan membuang jauh-jauh nafsu keinginan atau penyakit itu.
Bukan berarti kita lalu menjadi mati semangat atau lumpuh, bukan berarti menjadi bosan hidup dan seperti patung atau seperti pohon saja, menerima segala sesuatu tanpa ikhtiar. Ikhtiar untuk memelihara diri adalah wajib, menjaga diri dan menempatkan diri sebaiknya, mencari kebutuhan hidup ini, sandang pangan sewajarnya. Menikmati kesenangan hidup adalah hak kita, sebab kita diperlengkapi alat-alat yang sempurna untuk menikmati hidup melalui panca indrya kita. Akan tetapi bukan berarti kita harus mengejar kesenangan itu, bukan berarti kita dicengkeram penyakit nafsu keinginan mengejar segala keadaan yang belum kita miliki.
Nafsu keinginan mengejar kesenangan ini bisa saja bersembunyi di balik kata-kata yang muluk dan indah, misalnya gagasan-gagasan, cita-cita, harapan-harapan yang dapat saja kita pulas sehingga warnanya menjadi putih dan menamakannya cita-cita mulia, ide-ide sempurna, dan sebagainya. Namun kesemuanya itu tidak ada bedanya dengan ambisi, keinginan untuk mencapai suatu keadaan atau mendapatkan sesuatu yang kita anggap akan lebih menyenangkan dari pada yang ada sekarang ini!
Penyakit ini, yaitu nafsu keinginan mengejar sesuatu, pada akhirnya dapat menimbulkan penyelewengan-penyelewengan. Kalau yang dikejar itu kesenangan melalui uang, maka bisa menimbulkan pencurian, penipuan, kecurangan, korupsi dan sebagainya lagi. Kalau yang dikejar itu pahala batiniah, maka akan muncul kemunafikan, kepura-puraan. Kalau yang dikejar itu kedudukan, akan timbul persaingan. Kalau yang dikejar itu kesenangan melalui sex, akan timbul pelacuran, perkosaan, perjinahan dan sebagainya.
Gejala yang kelihatan pada orang yang dihinggapi penyakit itu adalah kekecewaan yang terus menerus karena dia tidak akan pernah merasa puas. Kepuasan yang dirasakannya hanyalah sekelumit, selewatnya bagaikan angin lalu saja karena kepuasan sekelumit itu segera sirna lagi diburu penyakit yang ingin mengejar lebih lagi.
Orang yang berpenyakit seperti ini akan selalu mengejar yang tidak ada, sehingga tidak akan dapat menikmati apa yang ada. Pandang mata batinnya tak pernah ditujukan untuk mengamati keindahan apa yang ada, namun selalu menerawang ke arah bayangan apa yang dinginkannya, yang selalu membesar, membengkak, dan menjauh. Berbahagialah orang yang bebas dari penyakit ini dan hidup di saat ini, menikmati apa yang ada dengan segala kewajarannya.
Lam-hai Giam-lo, murid dari mendiang Lam-kwi-ong, yaitu seorang di antara datuk yang terkenal dengan sebutan Empat Setan, kini bercita-cita untuk menjadi pimpinan golongan sesat, membangun dunia hitam kembali seperti yang pernah dilakukan Cap-sha-kwi (Tiga Belas Setan) yang kemudian kekuasaannya direbut oleh Raja Iblis dan Ratu Iblis.
Dia ingin mengikuti jejak Empat Setan, yaitu empat orang datuk sesat di empat penjuru. Dengan kekuatan baru dari kaum sesat ini dia bercita-cita untuk bersekutu dengan para pemberontak, menjatuhkan kaisar dan cita-citanya yang paling muluk adalah mengangkat dirinya sebagai kaisar baru.
Untuk memperluas kekuasaan serta pengaruhnya, Lam-hai Giam-lo mengutus para datuk yang menjadi pembantu-pembantunya untuk membujuk tokoh-tokoh dunia kang-ouw agar suka datang menggabungkan diri atau setidaknya mengakui kepemimpinannya. Dia tidak merasa sayang menghamburkan hartanya untuk menarik hati para tokoh itu, seperti yang sudah dilakukan oleh dua pasang suami isteri iblis dari selatan dengan hasil baik.
Para utusan lainnya belum pulang kembali ketika Sepasang Iblis Laut Selatan dan suami isteri Goa Iblis Pantai Selatan tiba bersama Pek Eng di tempat tinggal Lam-hai Giam-lo. Secara diam-diam Pek Eng memperhatikan keadaan rumah besar itu dan sekelilingnya.
Rumah itu berdiri di lereng bukit. Walau pun terletak di tepi Sungai Yang-ce-kiang, rumah itu dalam keadaan aman karena berada jauh di atas permukaan sungai itu sehingga tidak khawatir dilanda banjir. Rumah besar itu berdiri sendiri tanpa tetangga, di tengah sebuah hutan dan pemandangan di daerah itu sungguh indah.
Ketika dengan halus tapi bernada memerintah para penawannya menyuruh dia turun dan mengikuti mereka masuk ke beranda rumah, Pek Eng melihat betapa rumah itu dilengkapi dengan perabot-perabot rumah yang serba mewah, dan ketika mereka memasuki pintu gerbang depan tadi, dia melihat belasan orang penjaga yang nampaknya galak dan kuat, akan tetapi yang segera memberi hormat ketika dua pasang suami isteri iblis itu masuk. Kini, di beranda depan mereka disambut oleh lima orang gadis pelayan yang muda-muda dan cantik-cantik.