KETIKA dua orang muda itu tiba diluar perkampungan, tiba-tiba nampak api besar bernyala di belakang mereka dan sayup-sayup terdengarlah suara tangisan serta teriakan Mulana memanggil-manggil nama isterinya. Agaknya Mulana sudah menjadi gila dan pria ini telah membakar istananya sendiri! Pria itu sesungguhnya sangat mencinta isterinya akan tetapi dibikin gila oleh cemburu!
"Kasihan...!" Pek Han Siong yang berhenti dan memandang ke belakang mengeluh.
"Siapa yang kasihan?" Barulah Han Siong teringat bahwa Bi Lian berada di situ dan tadi suara hatinya dikeluarkan melalui mulut.
"Kedua-duanya...," jawab Han Siong.
Mereka melanjutkan perjalanan, berjalan perlahan menuruni bukit itu.
"Engkau benar, Saudara Pek. Kasihan keduanya. Keduanya telah bersalah dan keduanya patut dikasihani sebab nasib mereka sungguh buruk sekali. Tak disangka jika orang-orang seperti mereka...," kata Bi Lian, kemudian disambungnya lirih. "Cinta memang aneh..."
"Ya, cinta memang aneh...," Han Siong juga menggumam.
Keduanya lalu tenggelam dalam lamunan, kata-kata mereka seperti berdengung di telinga mereka. Kata-kata itu seperti menunjukkan bahwa mereka telah mengerti atau setidaknya pernah mengalami cinta! Sampai lama mereka melangkah, termenung, saling menduga, lalu tiba-tiba Bi Lian bertanya.
"Saudara Pek, pernahkah engkau jatuh cinta?"
Han Siong terkejut, memandang gadis itu, menggeleng kepala. "Belum, dan engkau?"
"Aku juga belum pernah."
"Kalau begitu, bagaimana engkau dapat mengatakan bahwa cinta itu aneh?"
"Dan engkau pun tadi membenarkan begitu saja." Keduanya saling pandang, lalu tertawa geli.
"Lihat saja mereka itu. Mulana dan Yasmina, bukankah mereka itu menjadi seperti orang gila karena cinta? Itulah yang membuat aku tadi mengatakan bahwa cinta memang aneh," kata Bi Lian membela diri.
"Tetapi itu bukan cinta, Nona Cu. Mulana tidak mencinta isterinya dengan sesungguhnya, atau cintanya berlandaskan kebanggaan karena dia sudah berhasil memenangkan puteri itu dalam perebutan. Dia memperlakukan Yasmina sebagai barang pusaka, dikeramatkan, disanjung, dipuja, dibanggakan dan dipamerkan! Ada pun cinta Yasmina juga hanya cinta nafsu. Karena itu keduanya lalu menyeleweng, dan cinta itu baru terasa setelah terlambat. Mulana lebih mementingkan kebanggaan dirinya sedangkan Yasmina lebih mementingkan nafsu birahinya, dan keduanya merana..."
"Aih, agaknya engkau adalah seorang yang ahli dalam seni mencinta, Saudara Pek!" kata Bi Lian.
Wajah Han Siong berubah merah. "Sama sekali bukan begitu, hanya aku melihat hal-hal yang aneh sekali dalam cinta ini. Ada suatu peristiwa yang tak kalah anehnya, juga amat mengharukan antara dua orang yang benar-benar saling mencinta. Akan tetapi biarlah lain kali saja kuceritakan kepadamu, Nona Cu."
"Siapakah mereka?" Bi Lian tertarik.
"Mereka... adalah kedua orang guruku, suhu dan subo-ku..."
"Ihhh, tentu menarik sekali. Ceritakan, Saudara Pek."
"Lain kali sajalah. Mari kita mencari tempat yang enak untuk melewatkan malam. Nah, di sana ada sungai kecil, bagaimana kalau kita melewatkan malam di tepi sungai itu?"
Mereka lalu mencari tepian sungai yang landai dan di sana terdapat banyak batu kali yang besar dan bersih. Mereka kemudian mengumpulkan kayu kering dan membuat api unggun sambil duduk di atas batu kali yang besar, halus dan rata. Memang tempat itu nyaman sekali. Sebelum pergi, mereka tadi telah memasuki kamar masing-masing dan membawa perbekalan mereka tanpa ada yang mengganggu mereka.
"Sekarang mengaso dan tidurlah, Nona. Biarlah aku yang berjaga di sini," kata Pek Han Siong.
"Aku belum mengantuk, Saudara Pek. Lebih baik kita bercakap-cakap. Pertemuan antara kita sungguh aneh sekali. Engkau muncul begitu saja pada waktu aku terancam bahaya, dikeroyok oleh Kulana dan Lam-hai Giam-lo yang sangat lihai. Lalu kita bertemu dengan Mulana dan isterinya yang bahkan lebih aneh lagi. Apa lagi sesudah mendengar bahwa engkau adalah kakak kandung Adik Pek Eng yang baru saja kukenal dengan baik, bahwa engkau adalah Sing-tong yang sudah sangat lama kukenal namanya sebagai Anak Ajaib. Saudara Pek, ceritakanlah tentang keadaan dirimu, keluargamu. Begitu bertemu dengan adikmu, Pek Eng, aku sudah merasa suka sekali padanya."
Han Siong menghela napas panjang. "Tidak ada sesuatu yang menarik mengenai diriku, Nona, akan tetapi justru ada suatu hal yang amat penting, amat menarik tentang dirimu, Nona. Ketahuilah, pada saat engkau memperkenalkan namamu, sesungguhnya aku... aku telah menjadi terkejut bukan main karena aku sudah mengenal namamu dengan sangat baik, Nona Cu."
Bi Lian memandang dengan sinar mata tajam penuh selidik. "Pantas saja saat mendengar namaku engkau terlihat kaget. Di mana engkau pernah mendengar namaku, Saudara Pek Han Siong?"
Han Siong mengambil keputusan untuk berterus terang. Jika sekarang dia tidak mengaku, kelak gadis ini tentu akan merasa tersinggung dan marah karena menganggap dia sudah pura-pura tak mengenalnya. Padahal dialah yang mendapat tugas dari suhu dan subo-nya untuk mencari puteri mereka ini.
Akan tetapi tentu saja dia tidak mungkin berani mengaku tentang ikatan jodoh itu, bahkan agaknya tidak bijaksana kalau sekarang dia membuka rahasia bahwa gadis ini bukan she Cu melainkan she Siangkoan. Dengan hati-hati dia lalu menjawab.
"Sebelumnya aku hendak mendengar pengakuanmu. Bukankah dahulu engkau tinggal di sebuah dusun di Ching-hai selatan, di Pegunungan Heng-tuan-san, tidak jauh dari sebuah kuil Siauw-lim-si yang terletak di luar kota Yu-shu?"
Bi Lian memandang dengan sinar mata berseri. "Benar sekali! Bagaimana engkau bisa tahu akan hal itu, Saudara Pek? Ketika itu aku tinggal di sebuah dusun, bersama kedua orang tuaku. Akan tetapi datanglah mala petaka di dusun itu. Terjadi pertempuran antara para tokoh sesat sehingga banyak orang dusun tewas di dalam pertempuran itu, termasuk juga kedua orang tuaku! Ayah ibuku tewas dan aku terjatuh ke dalam tangan kedua orang guruku itu, yaitu mendiang Pak Kwi Ong dan Tung Hek Kwi! Ketika itu aku baru berusia sebelas tahun, dan mulai saat itu aku menjadi murid mereka lalu diajak merantau sampai jauh. Akan tetapi sekali lagi, bagaimana engkau bisa mengetahui tentang keadaan diriku di dusun itu?"
"Ada satu hal lagi, Nona, harap kau suka menjawab dengan sejujurnya. Sebelum engkau ikut dengan dua orang gurumu itu, yaitu mendiang Pak Kwi Ong dan Tung Hek Kwi, dan sebelum terjadi pertempuran antara tokoh sesat di dusunmu itu sehingga mengakibatkan kematian ayah bundamu, sebelum itu pernahkan engkau belajar ilmu silat?"
Bi Lian kembali memandang tajam, penuh selidik dan dia mengingat-ingat. Masih teringat benar olehnya betapa ketika dia masih kecil ada dua orang yang selalu datang di malam hari dan kedua orang itu, pria dan wanita, secara bergiliran memberi petunjuk kepadanya tentang dasar ilmu silat.
Dua orang itu dianggapnya sebagai guru-gurunya, disebutnya suhu dan subo dan mereka itu demikian sayang kepadanya. Terutama sekali subo-nya, kadang-kadang subo-nya itu menunjukkan kasih sayang kepadanya secara mesra. Dia sering digedong dan ditimang, bahkan diciuminya! Kini terbayanglah wajah mereka itu.
Subo-nya seorang wanita yang teramat cantik, mukanya agak pucat dan pendiam, namun pandang matanya kepadanya penuh dengan kemesraan dan kasih sayang. Ia masih ingat betapa subo-nya itu selalu mengenakan sabuk sutera putih, sikapnya amat lemah-lembut.
Ada pun suhu-nya adalah seorang lelaki bertubuh tinggi tegap, juga pendiam tetapi ramah dan baik sekali kepadanya, memberi petunjuk dengan tekun dan sabar. Yang tak mungkin dapat dilupakan dari suhu-nya itu adalah bahwa lengan kiri suhu-nya itu buntung sebatas siku. Lengan baju kirinya kosong sebatas siku. Hanya itulah yang teringat olehnya tentang suhu dan subo-nya, dan sekarang dia diingatkan dan ditanya oleh Pek Han Siong tentang kedua orang yang sudah hampir terlupa olehnya itu.
"Ya-ya-ya, tentu saja aku masih ingat kepada mereka. Suhu dan Subo yang demikian baik padaku! Ahh, mereka sering datang secara bergilir pada waktu malam, dan mereka bilang bahwa mereka tinggal di kuil Siauw-lim-si. Memang mereka telah membimbingku dengan dasar-dasar ilmu silat."
Girang bukan main rasa hati Han Siong mendengar ini dan dia merasa betapa jantungnya berdebar tegang. "Nona Cu, tahukah engkau siapa nama mereka itu?"
"Suhu dan Subo?" Gadis itu menggeleng kepala. "Tahuku hanya Suhu dan Subo. Mereka tidak pernah memperkenalkan nama, juga ayah dan ibu yang agaknya amat menghormati mereka, tidak pernah menceritakan siapa nama mereka, hanya menyuruh agar aku selalu patuh dan mentaati mereka sebagai guru-guruku. Eh, Saudara Pek, apakah engkau kenal dengan Suhu dan Subo itu?"
Han Siong mengangguk. Sejenak dia termenung sambil memandang ke arah api unggun, sedangkan gadis itu mengamati wajahnya penuh perhatian. Pemuda itu lalu mengalihkan pandang matanya sehingga kedua pasang sinar mata itu saling bertaut sampai beberapa lamanya, kemudian Han Siong berkata dengan sikap tenang.
"Aku mengenal mereka dengan baik, Nona, karena mereka itu adalah guru-guruku juga! Suhu bernama Siangkoan Ci Kang, dan subo bernama Toan Hui Cu."
Sepasang mata yang indah itu terbelalak dan diam-diam Han Siong memandang kagum. Gadis ini demikian mirip subo-nya! Akan tetapi jauh lebih cantik karena kalau subo-nya itu pendiam, gadis ini memiliki mata yang tajam, sikapnya lincah, manis dan tahi lalat di dagu itu sungguh luar biasa manisnya, juga memiliki pembawaan yang gagah perkasa seperti suhu-nya!
"Aihhh..., kalau begitu engkau... "
"Aku adalah... saudara seperguruan denganmu, Sumoi."
"Engkau suheng-ku! Ah, akan tetapi, aku baru mempelajari dasar-dasar gerakan ilmu silat saja dari suhu dan subo, dan aku selanjutnya digembleng oleh kedua orang guruku, Pak Kwi Ong dan Tung Hek Kwi!"
"Mereka itu merampasmu dari suhu dan subo."
"Tapi... tapi ilmu silat kita berbeda jauh, dan engkau... begitu lihai. Kalau begitu, suhu dan subo itu lihai bukan main, bahkan melebihi kedua orang guruku yang kini sudah tewas!" Bi Lian kagum bukan main.
Han Siong menggeleng kepalanya. "Belum tentu, Sumoi. Kedua orang gurumu itu adalah datuk-datuk persilatan yang ilmunya sudah sangat tinggi, walau pun suhu dan subo juga merupakan orang-orang sakti. Ilmu silat kita memang berbeda, akan tetapi aku tak berani mengatakan bahwa aku lebih lihai darimu. Kulihat engkau lihai bukan main, hanya karena engkau dipengaruhi sihir oleh Kulana, maka engkau hampir celaka."
"Dan engkau dapat melenyapkan pengaruh sihir! Kalau begitu, selain ilmu silat, suhu dan subo juga mengajarkan ilmu sihir kepadamu, Suheng, sehingga engkau mampu melawan Kulana?"
Han Siong menggelengkan kepala. "Tidak, meski pun suhu dan subo sangat lihai, namun bukan mereka yang mengajarkan ilmu sihir kepadaku. Sumoi, ketahuilah, ketika engkau memperkenalkan namamu, aku menjadi demikian gembira sampai merasa takut mengaku kepadamu. Baru sekarang aku berani mengaku karena sebenarnya suhu dan subo telah memberi tugas kepadaku untuk mencari engkau sampai dapat kutemukan!"
Bi Lian tersenyum memandang. Di bawah cahaya api unggun, wajah pemuda ini nampak aneh dan menarik sekali. Dia merasa betapa jantungnya berdebar, entah karena senang mendapat kenyataan bahwa pemuda lihai ini adalah suheng-nya, atau ada sebab lainnya, dia sendiri tidak dapat mengerti.
Yang jelas, diingatkan keadaan masa kecilnya telah mendatangkan kenangan yang aneh, ada pahitnya dan ada pula manisnya. Dan dia sama sekali tidak mengira bahwa suhu dan subo-nya yang dulu itu ternyata masih ingat kepadanya, bahkan mengutus muridnya yang lihai ini untuk mencarinya sampai dapat!
"Dan ternyata engkau berhasil, Suheng. Kita sudah dapat saling bertemu, lalu apa yang akan kau lakukan terhadap aku, atau... apakah yang harus kulakukan sekarang?"
Han Siong juga tersenyum. Gadis ini mempunyai pembawaan yang lincah gembira. "Kita saling bertemu, bahkan secara bersama telah menghadapi pengeroyokan lawan lihai, dan baru saja tadi mengalami hal yang amat aneh dan mengguncangkan batin. Tentu saja aku ingin menyampaikan pesan suhu dan subo bahwa... bahwa... engkau diminta untuk cepat berkunjung kepada mereka, Sumoi. Mereka sangat rindu kepadamu dan merasa khawatir ketika mendengar bahwa engkau lenyap dari dalam dusun itu. Akan tetapi, sebelum itu, aku ingin mencari dulu adikku Pek Eng, untuk kuajak keluar dari tempat berbahaya itu."
"Engkau benar sekali, Suheng. Aku pun tadinya merasa heran dan juga tidak rela melihat ada seorang gadis seperti Eng-moi berada di antara mereka. Apa lagi dia menjadi murid bahkan anak angkat dari seorang sejahat Lam-hai Giam-lo! Ada dua hal yang mendorong adikmu menjadi muridnya. Pertama, karena tadinya dia tertawan oleh anak buah Lam-hai Giam-lo, lantas dengan kecerdikannya adikmu itu sudah dapat menundukkan hati Giam-lo sehingga kakek iblis itu suka kepadanya, bahkan mengambilnya sebagai murid dan anak angkat. Yang ke dua, adikmu itu memang ingin mempelajari ilmu silat tinggi sesudah dia minggat dari rumahnya karena tak sudi dijodohkan dengan pemuda yang tidak dicintanya. Akan tetapi, bila mana bertemu denganmu dan tahu bahwa engkaulah kakak kandungnya yang selama ini dicarinya, aku yakin engkau akan dapat membujuknya keluar dari sana. Aku pun hendak kembali ke sana, Suheng. Ada dua hal yang ingin kulakukan di sana."
"Apakah dua hal itu kalau aku boleh tahu, Sumoi?"
"Pertama, aku harus membalaskan kematian ayah ibuku, dan ke dua, aku pun tidak akan tinggal diam karena dua orang guruku sampai tewas di sana. Kulana harus bertanggung jawab karena ulah dia yang melamarku sudah menjadi penyebab kematian kedua orang guruku itu."
"Dan siapakah yang telah menewaskan ayah ibumu di dusun?"
"Ayah ibuku tewas di tangan... mendiang Pak Kwi Ong dan Tung Hek Kwi..."
"Aihhh?!" Han Siong berseru kaget. "Lalu kepada siapa..."
"Begini, Suheng. Pada waktu itu kedua orang guruku itu dikeroyok oleh Lam-hai Siang-mo dan suami isteri Goa Iblis Pantai Selatan beserta anak buah mereka. Mereka itu bahkan menghasut orang dusun supaya memusuhi Pak Kwi Ong dan Tung Hek Kwi. Kedua orang tua ini mengamuk dan membunuh banyak musuh, termasuk banyak orang dusun. Dengan demikian, biar pun orang tuaku tewas di tangan kedua orang guruku itu, akan tetapi kedua orang guruku itu tidak memiliki permusuhan dengan orang tuaku. Yang bersalah adalah dua pasang suami isteri itu yang menghasut penduduk untuk ikut mengeroyok dua orang tua itu. Nah, kuanggap bahwa merekalah yang telah menjerumuskan ayah ibuku sehingga menjadi korban."
Han Siong mengerutkan alisnya, teringatlah dia akan semua nasehat suhu dan subo-nya, juga semua wejangan dari gurunya yang ke dua, yaitu Ban Hok Lojin, seorang di antara Delapan Dewa. Setelah menarik napas panjang, semua nasehat dan petuah yang pernah didengarnya itu pun meluncur lewat mulutnya, tanpa dapat ditahan bahkan seperti di luar kesadarannya sendiri.
"Sumoi, dendam adalah suatu penyakit yang amat merugikan diri sendiri dan dari dendam timbullah perbuatan-perbuatan yang kejam dan jahat. Apa lagi dendam karena kematian. Semua orang di dunia ini pada saatnya tentu akan mati, Sumoi, dan jangan dikira bahwa ada orang lain yang dapat menentukan kematian seseorang, biar pun orang itu bisa saja menjadi sebab dari pada kematian orang lain. Kalau Thian tidak menghendaki, biar ada seribu pasang suami isteri seperti Lam-hal Siang-mo atau seribu orang seperti mendiang guru-gurumu itu, tidak mungkin orang tuamu di dusun dapat tewas! Juga kalau Thian tidak menghendaki, biar ada seribu orang Kulana tak akan mungkin dapat menyebabkan kedua orang gurumu saling serang hingga akhirnya keduanya tewas! Tidak Sumoi, mendendam sungguh merupakan suatu penyakit yang keliru. Kematian berada di tangan Tuhan."
"Suheng... !" Bi Lian berseru kaget dan heran karena baru kini dia mendengar pendapat seperti itu.
Han Siong tersenyum. "Untuk mengambil nyawa orang, Thian bisa menggunakan banyak macam cara, Sumoi. Ada yang melalui penyakit, melalui kecelakaan atau melalui bencana alam dan sebagainya. Apakah kita juga harus mendendam kepada penyakit bila keluarga kita mati karena penyakit? Mendendam kepada api jika mati karena api, dan mendendam kepada air kalau seandainya mati tenggelam?"
"Akan tetapi, Suheng! Apakah kita harus berdiam diri saja melihat orang-orang melakukan kejahatan seperti dua pasang suami isteri iblis itu, melihat seorang semacam Kulana yang mengandalkan pengaruh dan kekayaan hendak memaksakan kehendaknya?"
"Wah, itu lain lagi, Sumoi. Itu bukan persoalan dendam lagi, tapi sikap seorang pendekar yang harus selalu menentang kejahatan dan membela kebenaran. Kalau engkau hendak menentang Lam-hai Giam-lo beserta kawan-kawannya karena engkau tahu benar bahwa mereka merupakan sekelompok orang sesat yang hanya hendak mengancam kedamaian hidup orang lain, itu adalah panggilan jiwa kependekaranmu dan aku akan menemanimu ke sana. Sekarang kita istirahat lebih dulu, besok pagi-pagi kita melakukan penyelidikan ke sana. Akan tetapi ingat, harus bebas dari dendam, Sumoi."
Bi Lian tersenyum dan mengangguk. "Bebas dari dendam, Suheng."
Dia masih tersenyum ketika akhirnya dapat tidur pulas, sedangkan Pek Han Siong duduk bersila dekat api unggun, mengumpulkab hawa murni dan berjaga karena dia tahu bahwa dia tidak boleh lengah di tempat itu.
Kita biarkan dulu Pek Han Siong dan Cu Bi Lian yang sedang beristirahat di pinggir anak sungai itu, dan sekarang mari kita mengikuti perjalanan Hay Hay yang sudah terlalu lama kita tinggalkan.
Seperti sudah kita ketahui, Hay Hay berjumpa dengan Kok Hui Lian. Hampir saja terjadi hubungan badan yang terdorong oleh birahi antara pemuda ini dengan janda muda yang selain cantik jelita, tubuhnya mengeluarkan keharuman, dan teramat lihai ilmu silatnya itu.
Untung bahwa Hay Hay memiliki batin yang amat kuat walau pun dia sudah hampir lupa dan buta oleh gejolak nafsunya. Mereka berdua bisa menguasai diri kembali, tidak terjadi suaiu pelanggaran walau pun mereka telah bermesraan. Setelah mereka saling berpisah, Hay Hay tak pernah dapat melupakan wanita itu, seorang wanita yang memenuhi segala keindahan yang dapat dibayangkan pria mengenai diri seorang wanita.
Sekarang dia masih memiliki sebuah tugas, yaitu mengembalikan pusaka batu giok milik Kwan-taijin, yaitu Jaksa Kwan yang terkenal adil dan dimusuhi kaum sesat itu. Batu giok mustika itu dirampas dari tangan Jaksa Kwan oleh Min-san Mo-ko ketika pembesar itu ditawan, akan tetapi berkat pertolongan Hay Hay dan Kok Hui Lian, para penjahat dapat diusir dan batu giok mustika dapat dirampas kembali. Bahkan tanpa sengaja, dengan batu giok itu luka-luka beracun mereka berdua dapat disembuhkan. Ketika berpisah, Hui Lian minta kepada Hay Hay untuk mengembalikan batu giok mustika itu kepada Jaksa Kwan yang tinggal di kota Siang-tan.
Setelah berpisah dari Hui Lian, memang ada perasaan kehilangan dan kesepian di dalam hati Hay Hay. Tetapi dia menghadapinya dengan senyum, mentertawakan diri sendiri, lalu perasaan kehilangan dan kesepian itu pun lenyap bagaikan tertiup angin pagi yang sejuk. Dia tahu betul kenapa ada perasaan kehilangan yang menyelinap di dalam hatinya. Itulah tuntutan nafsu badani, ikatan batin yang selalu menghendaki adanya kesenangan.
Jika ada sesuatu yang menyenangkan batin kita, baik yang menyenangkan itu orang lain atau benda, atau bahkan gagasan saja, maka kita selalu menghendaki agar kesenangan itu tidak terpisah lagi dari diri kita. Pikiran kita selalu haus akan kesenangan, selalu ingin mengulang lagi segala hal yang menyenangkan dan karena itulah terjadi ikatan di dalam batin terhadap kesenangan-kesenangan itu. Dan setelah batin terikat, bila mana saatnya tiba kesenangan itu harus berpisah dari kita, maka timbullah rasa kehilangan, kesepian, kecewa dan duka.
Hay Hay sering merenungkan kenyataan hidup ini, membuat dirinya waspada dan secara gamblang dapat melihat kenyataan dan kepalsuan di dalam kehidupan ini.
Badan lahiriah memang boleh mempunyai apa pun, demi kebutuhan badan sendiri, demi kehidupan badan sebagai anggota masyarakat, memiliki keluarga, para sahabat, benda-benda, ilmu pengetahuan, kepandaian dan sebagainya lagi, namun batin haruslah bebas tanpa memiliki apa-apa. Sekali batin ikut memlliki apa yang dipunyai oleh badan, maka timbul ikatan batin dan ikatan batin inilah penyebab timbulnya duka dan kesengsaraan batin. Batin haruslah kosong, bebas dan berdiri sendiri, tidak bersandar atau bergantung, juga tidak disandari atau digantungi.
Pengamatan penuh kewaspadaan ini membuat Hay Hay sudah merasa gembira kembali ketika melanjutkan perjalanannya, menuju ke kota Siang-tan karena dia ingin lebih dahulu berkunjung ke tempat tinggal Jaksa Kwan untuk mengembalikan batu giok mustika milik pembesar itu.
Kota Siang-tan di Propinsi Hunan merupakan kota yang cukup besar dan ramai. Di sinilah tinggal Kwan-taijin, jaksa yang terkenal jujur dan keras memegang tegaknya hukum dan pembesar ini tidak pernah mau memaafkan perbuatan jahat, menghukum banyak sekali penjahat besar sehingga dia amat dibenci oleh para penjahat.
Seperti yang sudah diceritakan di bagian depan kisah ini, pada saat Kwan-taijin bersama keluarganya melewatkan waktu libur di Telaga Tung-ting, hampir saja dia tewas di tangan para tokoh sesat yang mendendam terhadapnya. Para penyerang itu adalah datuk-datuk sesat yang amat lihai sehingga Kwan-taijin sampai berhasil ditangkap.
Tetapi berkat pertolongan Hay Hay dan Kok Hui Lian, pembesar itu berhasil diselamatkan kemudian oleh Hay Hay diantar pulang bersama keluarganya. Batu giok mustika dirampas oleh penjahat, namun akhirnya Hay Hay dan Hui Lian dapat merampasnya kembali. Kini, sesudah Hay Hay berpisah dari Hui Lian, dia harus kembali lagi ke kota Siang-tan untuk mengembalikan benda yang amat berharga itu kepada pemiliknya.
Setelah melalui penjagaan yang ketat, akhirnya Hay Hay bertemu dengan pembesar itu di kamar tamu. Kedatangannya disambut dengan gembira dan ramah oleh Kwan-taijin.
"Aihh, ternyata Taihiap yang datang berkunjung!" kata pembesar itu sambil menyongsong kedatangan Hay Hay.
Pemuda ini merasa canggung sekali mendengar betapa pembesar yang amat terkenal itu menyebutnya Taihiap (Pendekar Besar). Dia cepat membalas penghormatan tuan rumah dan Kwan-taijin lantas menggandengnya, diajaknya masuk ke sebelah dalam dan barulah nampak oleh Hay Hay bahwa di dalam ruangan yang besar itu terdapat seorang lain yang sedang duduk. Dia pun memperhatikan.
Orang laki-laki itu berusia kurang lebih lima puluh tahun, tubuhnya sedang saja dan kalau melihat cara dia berpakaian, mudah diduga bahwa dia tentulah seorang pembesar tinggi. Wajahnya halus dan ramah, kedua matanya membayangkan suatu kecerdikan dan mulut yang selalu tersenyum itu penuh kebijaksanaan. Agaknya, ketika pengawal melaporkan tentang kunjungannya, Jaksa Kwan sedang duduk bercakap-cakap dengan pembesar ini.
"Kebetulan sekali, kami baru saja menerima kunjungan Yang-taijin, bahkan kami sedang bicara tentang dirimu,Taihiap. Mari silakan masuk dan kuperkenalkan kepada Yang-taijin!"
Hay Hay segera melangkah masuk dengan sikap hormat, tahu bahwa orang itu pun tentu seorang bangsawan tinggi walau pun sikapnya ramah dan sederhana. Ada kewibawaan besar terpancar dari pandang mata orang itu.
Kwan-taijin membungkuk dengan penuh hormat kepada orang itu, lantas berkata dengan suara gembira, "Yang-taijin, benar-benar seperti dituntun oleh tangan Thian sendiri bahwa saat ini datang pendekar yang baru saja saya ceritakan kepada Paduka. Taihiap, beliau adalah seorang menteri yang amat bijaksana, yaitu Menteri Negara Yang Ting Hoo yang berkedudukan di kota raja dan hari ini melimpahkan kehormatan menjadi tamu kami yang terhormat."
Bukan main kagetnya rasa hati Hay Hay mendengar disebutnya nama Yang Ting Hoo ini. Di dalam perantauannya selama ini, dia mendengar berita bahwa kemakmuran negara di bawah pemerintahan Kaisar Cia Ceng pada saat ini adalah berkat jasa dua orang menteri yang amat bijaksana dan pandai mengurus negara. Yang pertama bernama Menteri Yang Ting Hoo dan yang ke dua adalah Menteri Chang Ku Ceng. Dan sekarang tiba-tiba saja dia telah berhadapan dengan Menteri Yang Ting Hoo di tempat kediaman Jaksa Kwan itu. Pertemuan yang sama sekali tak pernah disangkanya, dan cepat dia lalu menjatuhkan diri berlutut menghadap menteri itu.
"Hamba Hay Hay, karena tidak tahu telah bersikap tidak hormat terhadap Paduka, mohon Paduka sudi memberi maaf yang sebesarnya."
Menteri Yang Ting Hoo menggerakkan tangannya. "Aihhh, Taihiap, bangkitlah dan mari duduk di sini. Kita bercakap-cakap seenaknya. Percayalah, hanya karena kebiasaan saja aku sering disembah orang, padahal di dalam hati aku merasa amat muak dengan semua penghormatan yang berlebihan itu. Karena itu, kalau benar engkau ingin menyenangkan hatiku dan ingin bicara dari hati ke hati, bangkitlah dan duduklah di sini!" Dia menunjuk ke arah sebuah kursi di depannya, hanya terhalang meja.
Jaksa Kwan tertawa, hal yang tak biasa pula dilakukan oleh seorang pembesar bawahan kepada pembesar atasan yang pangkatnya begitu tinggi. Hal ini juga menunjukkan betapa akrab hubungan di antara keduanya.
"Taihiap, tidak usah heran dengan sikap Yang-taijin. Begitulah beliau, lebih mementingkan hubungan antar manusia dari pada antar kedudukan. Silakan duduk, Taihiap."
Hay Hay merasa kagum bukan main, juga gembira. Dia tahu bahwa kini dia berhadapan dengan seorang pembesar yang lebih patut disebut pemimpin rakyat, karena pembesar itu selalu merasa dirinya lebih besar dari orang biasa, sebaliknya seorang pemimpin akan selalu bersikap sebagai seorang ayah, guru atau pemimpin, tidak pernah merasa dirinya lebih besar. Dia pun menghaturkan terima kasih, bangkit lalu duduk berhadapan dengan kedua orang pejabat yang duduk berdampingan itu.
Jaksa Kwan memberi isyarat dengan tangannya memanggil seorang pelayan yang segera meletakkan sebuah cawan arak di depan Hay Hay dan mengambil tambahan seguci arak harum, juga hidangan sekedarnya ditambah. Kemudian Kwan-taijin memberi isyarat agar semua pelayan serta pengawal meninggalkan ruangan itu dan hanya berjaga di luar pintu tanpa ikut mendengarkan percakapan yang akan terjadi di dalam ruangan tamu itu.
"Engkau tadi mengaku bernama Hay Hay, Taihiap? Siapakah nama keluargamu?" Menteri Yang Ting Hoo bertanya dengan sikap ramah.
Hay Hay tersenyum untuk menyembunyikan perasaan tidak enak di dalam hatinya. Tidak dapat disangkal lagi, menurut keterangan keluarga Pek, dia memiliki nama keluarga Tang, yaitu putera dari seorang she Tang yang terkenal sebagai seorang penjahat keji, seorang jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga, pemerkosa wanita) she Tang! Di dalam hati kecilnya dia malu dan tidak suka menggunakan nama keluarga itu, akan tetapi jika kenyataannya memang dia she Tang, mau bagaimana lagi?
"Hamba she Tang, akan tetapi sejak kecil hamba lebih sering disebut Hay Hay dan hamba lebih senang memakai nama itu saja," jawabannya sederhana.
Menteri itu tertawa sambil mengangguk-angguk. "Taihiap tentu mengetahui bahwa untuk menilai seseorang bukanlah tergantung dari namanya, kedudukannya, kepintarannya mau pun kekayaannya, melainkan dari sepak terjangnya dalam kehidupan sehari-hari. Karena itu, mengapa risau tentang nama? Di dunia ini terdapat banyak orang yang memiliki nama keluarga Tang, yang baik banyak yang jahat pun banyak, tergantung dari pribadi masing-masing."
Hay Hay terkejut dan barulah dia tahu mengapa orang ini terkenal sebagai seorang yang bijaksana. Pandangannya yang sederhana itu saja seakan-akan sudah berhasil membuka kedoknya! Dia memang merasa malu menggunakan she Tang karena ayah kandungnya, orang she Tang itu adalah seorang penjahat. Bagaimana andai kata ayahnya itu seorang yang baik? Tentulah dia akan bangga menyandang nama keluarga itu! Alangkah palsunya sikap ini!
"Terima kasih atas peringatan Paduka ini. Hamba memang bernama Tang Hay," katanya kemudian, namun sekali ini dengan ringan saja lidahnya menyebut nama keluarga Tang seolah-olah tidak ada apa-apanya.
Kwan-taijin lantas mempersilakan Hay Hay minum arak. Mereka bertiga minum arak dan makan hidangan dengan sikap terbuka. Hay Hay merasa gembira sekaligus juga aneh. Ia kini duduk berhadapan dengan dua orang pembesar, malah salah satunya adalah seorang menteri negara, namun dia sama sekali tidak merasa rikuh atau rendah diri. Hal ini sudah membuktikan bahwa dua pembesar itu memang merupakan orang-orang yang bijaksana karena dia merasa seperti duduk semeja dengan dua orang sahabat saja!
"Nah, sekarang ceritakanlah keadaanmu, Tang-taihiap. Bagaimana keadaanmu semenjak kita saling berpisah, setelah engkau menyelamatkan kami sekeluarga di Telaga Tung-ting, dan apakah kedatanganmu ini hanya untuk berkunjung, ataukah ada keperluan lain?"
Mendengar pertanyaan Jaksa Kwan itu, Hay Hay lalu mengeluarkan batu kemala mustika dari saku bajunya. Dia membuka bungkusan sapu tangan, mengambil batu giok itu dan menyerahkannya kepada Jaksa Kwan sambil berkata, "Saya datang untuk menyerahkan kembali batu giok mustika ini kepada Paduka, Kwan-taijin."
Sepasang mata pembesar itu bersinar dan wajahnya berseri gembira. "Ahh! Jadi engkau bahkan berhasil pula merampas kembali mustika ini?" Dia lalu menerima batu giok itu dan menyerahkannya kepada Yang-taijin.
"Lihat, Taijin, pendekar perkasa ini bahkan sudah berhasil merampas kembali mustika ini!" Menteri Yang menerima batu giok itu dan memandang kagum kepada Hay Hay!
"Apakah hanya seorang diri saja engkau merampas kembali mustika ini, ataukah dengan pendekar lainnya yang juga lihai itu, ehhh, siapa lagi namanya? Sayang sekali aku tidak sempat berkenalan dengannya."
"Dia she Kok...," kata Hay Hay dan dia pun teringat, cepat menahan kata-katanya karena bukankah pada waktu itu Hui Lian menyamar sebagai seorang pria?
"Dia she Kok? Ahh, mengingatkan aku akan seorang sahabatku yang baik sekali belasan tahun yang silam, yaitu Gubernur Kok dari San-hai-koan. Kasihan sekali dia, keluarganya terbasmi oleh gerombolan pemberontak... "
Mendengar ucapan Menteri Yang itu, diam-diam Hay Hay kaget bukan main sehingga dia mengeluarkan seruan tertahan.
"Ahhh, ada apakah, Tang-taihiap? Benarkah masih ada hubungan antara sahabatmu itu dengan mendiang Gubernur Kok di San-hai-koan?" tanya menteri itu ada pun Jaksa Kwan juga memandang kepadanya.
Hay Hay mengangguk-angguk. "Mungkin sekali... ahhh, dia memang mempunyai banyak keanehan yang dirahasiakan. Kemungkinan besar dia adalah puteri gubernur yang Paduka maksudkan itu."
"Puteri?" Jaksa Kwan berteriak kaget. "Kau maksudkan dia... dia seorang wanita?"
Hay Hay mengangguk. Menghadapi dua orang pembesar yang amat bijaksana dan pandai ini, tidak perlu lagi dia berbohong. "Memang benar, dia adalah seorang gadis bernama Kok Hui Lian, akan tetapi memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi."
"Aduh sayang sekali! Kenapa dia tidak ikut bersamamu berkunjung ke sini, Taihiap? Pada saat ini kami membutuhkan banyak orang pandai seperti engkau dan gadis pendekar itu. Makin banyak semakin baik," kata Kwan-taijin.
"Akan tetapi, ada apakah, Taijin? Ada urusan penting apakah hingga Taijin membutuhkan bantuan para pendekar?" tanya Hay Hay, khawatir kalau-kalau para tokoh sesat kembali mengganggu pembesar yang mereka musuhi ini.
Kwan-taijin menoleh kepada Menteri Yang, kemudian berkata kepada Hay Hay. "Sekali ini urusannya lebih gawat dan besar lagi, Tang-taihiap. Sebaiknya kalau engkau mendengar sendiri dari Paduka Menteri Yang, karena beliau inilah yang sedang menangani masalah yang amat penting dan penuh rahasia, Taihiap. Oya, nanti dulu." kata pula jaksa itu sambil menyerahkan batu kemala mustika itu kepada Hay Hay sambil berkata. "Batu giok ini aku berikan kepadamu, Taihiap. Engkau seorang pendekar yang banyak merantau dan sering bertemu dengan para penjahat, maka mustika seperti ini agaknya amat penting bagimu. Sedangkan aku berada di kota dan dikelilingi banyak tabib, maka mustika seperti ini tidak begitu penting bagiku. Nah, terimalah, aku berikan kepadamu dengan setulus hatiku."
Tentu saja Hay Hay terkejut dan juga girang. Mustika itu memang sangat berguna, dapat menghadapi penyerangan senjata beracun yang banyak digunakan orang-orang golongan hitam. Dia pun tidak pura-pura lagi dan menerima benda itu, dibungkusnya dengan sapu tangan lalu disimpannya di dalam saku bajunya.
"Terima kasih atas budi kebaikan Taijin," katanya singkat, lantas dia memandang kepada Menteri Yang, siap untuk mendengar tentang masalah yang sedang dihadapi para pejabat tinggi itu.
"Begini, Tang-taihiap, sebenarnya kami sedang menghadapi usaha pemberontakan yang berbahaya sekali dan kami ingin mengajakmu berbincang-bincang tentang hal ini, bahkan mengharapkan bantuan para pendekar seperti Taihiap." Menteri itu mulai.
Hay Hay mengerutkan alisnya. Pemberontakan? Bukankah itu adalah urusan pemerintah, persoalan negara dan sudah banyak pejabat yang berkewajiban untuk menanganinya?"
Melihat pandang mata ragu dari pendekar itu, Menteri Yang tersenyum maklum. "Taihiap, kalau pemberontakan itu merupakan pemberontakan dari pasukan, maka kami pun tidak perlu membicarakannya dengan para pendekar yang hanya merupakan bagian dari pada rakyat jelata. Kami tinggal mengerahkan pasukan besar untuk menumpas dan membasmi mereka, seperti yang sudah sering kami lakukan. Akan tetapi, kami sedang menghadapi pemberontakan terselubung, Taihiap."
"Pemberontakan terselubung?" Hay Hay bertanya, tidak mengerti.
"Golongan yang menjadi lawan dari golonganmu, yaitu kaum sesat, kini memperlihatkan gejala sedang memperkuat diri. Mereka ingin bangkit kembali seperti ketika dunia hitam dipimpin oleh Raja dan Ratu Iblis yang terkenal itu. Untuk menghadapi para datuk sesat, kami tidak banyak berdaya, Taihiap, dan tentu para pendekar lebih mampu menghadapi mereka. Namun, menurut bukti-bukti yang didapatkan para penyelidik kami, kebangkitan para tokoh sesat ini agaknya ada hubungannya dengan rencana pemberontakan terhadap pemerintah! Inilah yang berbahaya, Taihiap. Oleh karena itu, tadi kami sudah bicarakan dengan Kwan taijin agar kami dapat menghimpun dan minta bantuan para pendekar, demi keselamatan negara dan keamanan kehidupan rakyat. Engkau tentu tahu sendiri betapa menderitanya rakyat apa bila sampai terjadi pemberontakan dan perang, apa lagi kalau di antara para pemberontak itu terdapat golongan sesat yang tentu akan selalu memancing di air keruh."
Hay Hay mengangguk-angguk. Kalau memang demikian persoalannya, tentu saja dia siap untuk menentang kaum sesat yang hendak bersekutu dengan para pemberontak itu.
"Siapakah datuk sesat yang memimpin gerakan gelap itu, Taijin?" tanyanya.
"Menurut hasil penyelidikan kami, pemimpinnya ada beberapa orang, namun di antaranya yang terpenting adalah seorang yang berjuluk Lam-hai Giam-lo. Dia bermarkas di Lembah Yang-ce, sekitar Pegunungan Yunan. Kabarnya dia mempunyai banyak sekali teman dari dunia hitam yang merupakan tokoh-tokoh yang berilmu tinggi, dan yang lebih berbahaya lagi, kabarnya dia pun bersekutu dengan tokoh Birma. Juga kabarnya gerombolan sesat Kui-kok-pang dari Lembah Iblis di Pegunungan Hong-san, dan entah siapa lagi namanya aku tidak tahu. Hebatnya, mereka itu berhasil menarik Pek-lian-kauw sebagai sekutu dan kini mereka tengah membangun pasukan yang kuat."
Mendengar ini, Hay Hay mengangguk-angguk dan dia melihat betapa berbahaya gerakan seperti itu.
"Dan banyak di antara sekutu mereka yang sudah kau kenal, Taihiap." kini Jaksa Kwan berkata. "Mereka yang pernah mencoba untuk menculik aku di Telaga Tung-ting..."
"Ahhh, mereka pun terlibat?" Hay Hay berseru, teringat ada dua pasang suami isteri iblis yang lihai dan Min-san Mo-ko bersama muridnya, Ji Sun Bi, juga pemuda tampan yang mempunyai ilmu kepandaian tinggi itu. "Kalau begitu, lebih berbahaya lagi. Mereka adalah orang-orang yang sangat lihai dan curang! Lalu apakah yang dapat saya lakukan untuk membantu Paduka?"
"Bantuan Taihiap amat kami harapkan untuk melakukan penyelidikan ke sarang mereka, seperti telah kami minta pula kepada beberapa orang pendekar yang bersedia membantu kami. Dan kami siap untuk menyediakan semua biayanya bagi Taihiap. Pendeknya, kami menawarkan kerja sama dengan Taihiap. Bagian kami tentu saja menyiapkan pasukan besar untuk melawan pasukan pemberontak, dan bagi para pendekar untuk menghadapi para tokoh sesat itu. Bagaimana pendapatmu, Tang-taihiap?"
"Taijin, sudah menjadi tugas setiap orang yang menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan untuk selalu menghadapi dan menentang kejahatan, melawan yang jahat dan melindungi yang lemah dari penindasan. Oleh karena itu, meski tanpa diminta sekali pun, saya akan suka pergi menyelidiki mereka itu. Saya pun tidak mengharapkan upah, namun saya akan mengusahakan sekuat kemampuan saya, Taijin. Sekali lagi terima kasih atas pemberian batu giok oleh Kwan-taijin, dan atas kepercayaan dan penyambutan yang amat terhormat ini. Sekarang saya mohon diri untuk segera memulai dengan tugas saya."
"Nanti dulu, Tang-taihiap," tiba-tiba Menteri Yang Ting Hoo berkata dan dia mengeluarkan sebuah benda bundar dari perak yang diberi tanda nama dan pangkat dari menteri itu. "Ini sebuah Tek-pai dari perak, merupakan tanda kuasa. Jika engkau berada dalam kesulitan karena tidak dipercaya oleh petugas pemerintah, maka semua pembesar sipil atau militer akan mengenalnya dan engkau akan dianggap sebagai utusan pribadiku karena memiliki tanda kuasa. Terimalah ini."
Hay Hay menerima benda itu dan memasukkannya ke dalam saku bajunya. "Masih ada satu hal lagi, Taihiap. Di antara beberapa orang gagah yang sudah menyanggupi untuk membantu kami, ada satu orang yang keadaannya sungguh masih meragukan sekali. Dia seorang pendekar yang berwatak aneh, Taihiap, dan kami ingin agar engkau lebih dahulu berkenalan dan menyelidikinya. Kalau sampai engkau dapat mengajaknya pergi bersama melakukan penyelidikan ke sarang Lam-hai Giam-lo, hal itu sungguh baik sekali sebab dia adalah seorang yang mempunyai kepandaian tinggi. Akan tetapi, karena dia adalah orang kota Siang-tan ini, agaknya Kwan-tajin akan lebih banyak mengetahui dan dapat memberi penjelasan kepadamu."
Kwan-taijin mengangguk. "Apa yang dikatakan oleh Yang-taijin itu memang benar sekali, Tang-taihiap. Di Siang-tan ini tinggal seorang pemuda yang aneh dan menurut berita, dia memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi. Hanya wataknya amat aneh dan sukar sekali didekati, bahkan dia sama sekali tidak mau mencampuri urusan pemerintah. Ketika diberi tahu mengenai usaha pemberontakan yang hendak dilakukan kaum sesat, dia pun acuh saja. Kami pernah mempergunakan siasat memancing harimau keluar dari sarangnya dan sengaja membiarkan seorang gadis cantik diganggu orang-orang jahat, dan dia kemudian keluar menolong gadis itu. Agaknya kini dia bahkan bersahabat dengan gadis itu, namun selanjutnya tetap saja dia bersikap acuh dan tak mempedulikan permintaan yang pernah kami ajukan agar dia mau membantu kami menghadapi para datuk sesat. Bagaimana jika engkau berkenalan dengan dia, Taihiap? Siapa tahu, pandanganmu serta perkenalannya denganmu akan mampu mengubah sikapnya itu."
Hay Hay tertarik sekali. "Siapakah dia, Taijin?"
"Sebenarnya dia adalah keturunan bangsawan tinggi, masih putera pangeran. Kini tinggal menyendiri di istana tua warisan orang tuanya. Namanya Can Sun Hok, mungkin dua atau tiga tahun lebih tua darimu." Jaksa Kwan lalu memberi tahu di mana tinggalnya pendekar bernama Can Sun Hok itu.
Hay Hay lantas berpamit. Dia berjanji akan menghubungi pendekar itu sebelum berangkat dengan penyelidikannya ke Lembah Sungai Yang-ce, di mana Lam-hai Giam-lo bersarang dan menghimpun kekuatan untuk memberontak.
Yang disinggung dalam percakapan antara Hay Hay dengan dua orang pejabat tinggi itu bukan lain adalah Can Sun Hok, yaitu pendekar muda yang pernah kita kenal saat terjadi keributan di Telaga Tung-ting. Dialah pemuda yang suka berperahu seorang diri sambil memainkan suling dan yang-kim. Kemudian dia bertemu dengan pendekar wanita Ceng Sui Cin dan puterinya, Cia Kui Hong, bahkan kemudian ibu dan anak ini bentrok dengan Nenek Wa Wa Lobo yang menjadi pengasuh dan guru Can Sun Hok sampai Nenek Wa Wa Lobo meninggal dunia.
Lebih dari dua puluh tahun yang lalu, nama Gui Siang Hwa yang berjuluk Siang-tok Sian-li (Dewi Racun Harum) sangat terkenal di dunia sesat karena dia adalah murid tunggal dari Raja dan Ratu Iblis! Ilmu kepandaiannya amat tinggi dan wataknya juga amat kejam dan jahat biar pun wajahnya cantik jelita dan menarik. Wanita itu adalah seorang ahli silat dan ahli menggunakan segala macam racun. Akan tetapi wataknya cabul dan sudah banyak pria yang terjatuh ke dalam tangannya, dibunuhnya setelah ia puas mempermainkannya.
Di dalam petualangannya itulah, Gui Siang Hwa bertemu dengan Can Koan Ti, seorang pangeran. Can Koan Ti ini putera seorang pangeran istana bernama Pangeran Can Seng Ong yang menjadi gubernur di Ning-po. Terjadilah hubungan antara pangeran yang kaya raya dan tinggi kedudukannya ini dengan Gui Siang Hwa. Dan terlahirlah Can Sun Hok.
Akan tetapi wanita seperti Gui Siang Hwa ini bukanlah wanita yang dapat terikat menjadi seorang ibu rumah tangga. Dia seorang petualang, maka akhirnya dia pun berpisah dari Pangeran Can Koan Ti. Ketika Can Sun Hok masih belum dewasa, ayahnya, Pangeran Can Koan Ti meninggal dunia karena sakit. Ibunya, Siang-tok Sian-li Gui Siang Hwa tidak suka repot-repot mengurus puteranya, bahkan dia melanjutkan petualangannya sampai akhirnya dia tewas dalam pertempuran ketika dia membantu gerakan para pemberontak. Kematian Siang Hwa adalah ketika dia bertanding melawan Ceng Sui Cin, roboh terluka lau tubuhnya hancur oleh pengeroyokan para prajurit.
Sebelum tewas Gui Siang Hwa sudah menitipkan puteranya, Can Sun Hok, kepada salah seorang pelayan, yaitu bekas pelayan Raja dan Ratu Iblis, kedua orang guru Gui Siang Hwa. Nenek ini, Wa Wa Lobo, tidak ikut dalam gerakan pemberontakan para majikannya, melainkan pergi menyelamatkan Can Sun Hok yang dirawatnya seperti cucu sendiri dan digemblengnya dengan ilmu-ilmu yang pernah diperolehnya dari Raja dan Ratu Iblis.
Nenek Wa Wa Lobo ini lihai bukan main, juga ahli dalam hal racun, biar pun kelihaiannya tidak sampai setingkat dengan kelihaian mendiang Gui Siang Hwa yang langsung menjadi murid terkasih dari Raja dan Ratu Iblis. Dan akhirnya, seperti sudah diceritakan di bagian depan, Nenek Wa Wa Lobo ini kemudian dapat berhadapan muka dengan Ceng Sui Cin yang dianggap musuh besar dan pembunuh Gui Siang Hwa.
Sesudah Wa Wa Lobo tewas karena kalah oleh Ceng Sui Cin kemudian membunuh diri, Can Sun Hok menangisi mayat nenek itu yang dianggapnya sebagai pengganti ayah ibu, nenek dan juga pengasuh dan gurunya. Akan tetapi, agaknya darah yang jahat dari Gui Siang Hwa tak mengalir ke dalam tubuh Can Sun Hok. Dia tumbuh dewasa dengan watak yang gagah, walau pun kadang-kadang dia dapat bersikap keras dan dingin.
Namun sikap ini sama sekali bukan mencerminkan watak yang kejam dan jahat. Dia tidak suka mengganggu siapa pun juga asalkan dia juga tidak diganggu. Dia tidak pernah pula memamerkan kepandaiannya, malah suka menyembunyikan kenyataan bahwa dia pandai ilmu silat.
Karena ketika dilarikan oleh Wa Wa Lobo, nenek itu membawa pula bekal harta benda yang amat banyak berupa emas permata dari ayahnya, maka kini Can Sun Hok menjadi seorang pemuda kaya raya yang tinggal di gedung besar di kota Siang-tan yang pernah menjadi tempat tinggal ayahnya. Setelah nenek Wa Wa Lobo tewas, dia tinggal sendirian saja di dalam rumah itu dengan hanya beberapa orang pelayan. Dia lebih suka merantau, membawa suling dan yang-kim, dua alat musik yang amat disukanya. Memang dia sangat berbakat dengan pemainan musik ini.
Can Sun Hok kini sudah menjadi seorang pemuda yang usianya kurang lebih dua puluh tiga tahun. Sudah tiga tahun nenek Wa Wa Lobo tewas membunuh diri sesudah kalah bertanding melawan pendekar wanita Ceng Sui Cin, dan selama tiga tahun ini Can Sun Hok juga memperdalam ilmunya dengan tekun berlatih.
Ada dua buah kitab silat peninggalan Raja dan Ratu Iblis yang disimpan oleh neneknya. Dan akhirnya, dengan bantuan seorang kakek ahli sastera kuno, dia pun dapat mengerti arti dari pelajaran itu lantas dia berlatih diri dengan tekun. Maka, dia pun kini memperoleh kemajuan yang amat pesat.
Walau pun dia kaya raya namun hidupnya sederhana. Wajahnya tampan, tubuhnya tegap dan sepasang matanya mencorong, wajahnya cerah akan tetapi ada bayangan dingin dan keras pada mata dan dagunya.
Beberapa bulan yang silam Jaksa Kwan yang dahulu pernah mengenal ayahnya, datang berkunjung. Jaksa ini bukan orang asing bagi Can Sun Hok, walau pun dia jarang sekali mengadakan hubungan. Tentu saja kunjungan itu sangat mengejutkan hati Sun Hok, apa lagi sesudah jaksa itu dengan terus terang mengharapkan bantuannya untuk ikut bersama para pendekar melakukan penyelidikan tentang gerakan para tokoh sesat yang kabarnya sedang menghimpun tenaga untuk memperkuat diri dan membangun pasukan dengan niat hendak memberontak terhadap pemerintah.
"Kami tahu bahwa Can Kongcu (Tuan Muda Can) adalah seorang pemuda gagah perkasa yang berkepandaian tinggi. Oleh karena itu, mengingat bahwa mendiang ayahmu adalah seorang pangeran, bahkan mendiang kakekmu juga pernah menjadi seorang gubernur di Ning-po, maka kami sangat mengharapkan bantuan Kongcu untuk berbakti terhadap nusa dan bangsa."
Mendengar uluran tangan ini, Can Sun Hok lalu mengerutkan alisnya. Selama ini dia tidak pernah mencampuri urusan orang lain, apa lagi urusan pemerintah. Tentu saja penduduk Siang-tan, termasuk jaksanya ini, tahu belaka bahwa dia pandai ilmu silat karena sudah sering kali dia menghajar orang-orang jahat yang hendak menjagoi di kota itu dan malang melintang dengan perbuatan mereka yang sewenang-wenang. Malah dia pernah seorang diri menghajar kocar-kacir dan membasmi sebuah perkumpulan orang jahat yang dipimpin oleh seorang perampok yang amat lihai.
Akan tetapi dia tidak pernah minta diakui sebagai jagoan atau pendekar, bahkan tak ingin bicara dengan orang lain mengenai apa yang telah dilakukannya. Dan kini, karena sudah mendengar akan kepandaiannya itu Jaksa Kwan ini agaknya datang membujuknya untuk membantu pemerintah dalam menghadapi para tokoh sesat yang hendak memberontak!
"Kwan-taijin...!," katanya dengan sikap hormat karena dia pun sudah mengenal siapa ini Kwan-taijin, seorang jaksa yang amat adil dan bijaksana, dicinta rakyat jelata karena dia berani menentang para penjahat serta melindungi keamanan rakyat dalam kedudukannya sebagai jaksa. "Tak perlu saya sangkal bahwa saya pernah belajar ilmu silat. Akan tetapi apakah artinya tenaga seorang seperti saya apa bila menghadapi para tokoh sesat yang bersekutu dan bergabung hendak melakukan pemberontakan? Kirim saja pasukan besar di bawah pimpinan panglima yang pandai, maka persekutuan itu dapat ditumpas habis."
Kwan-taijin tersenyum. "Apa yang kau ucapkan tadi memang tepat, Can Kongcu. Namun ketahuilah bahwa pasukan pemerintah hanya dilatih untuk berjuang melawan pasukan lain dalam suatu pertempuran. Kalau sudah terjadi pemberontakan bersenjata, tentu pasukan pemerintah yang akan menanggulanginya. Tapi sekarang keadaannya berbeda lagi. Para datuk kaum sesat yang kabarnya dikepalai oleh seorang manusia iblis berjuluk Lam-hai Giam-lo telah mengadakan persekutuan, mengumpulkan para datuk persilatan yang sesat untuk membangun kekuatan. Kini mereka bersarang di Lembah Yang-ce di Pegunungan Yunan, dan ini berbahaya sekali. Kami tahu bahwa hanya para pendekar saja yang akan mampu menentang orang-orang seperti ini, sebab itu saya sengaja datang mengharapkan bantuan Kongcu."
Can Sun Hok tersenyum, senyum sinis dan sebentar saja. "Mungkin para pendekar, akan tetapi saya bukan pendekar, Taijin."
"Ahhh, tidak perlu merendahkan diri, Kongcu. Siapa pun di Siang-tan ini tahu belaka siapa adanya Kongcu. Kongcu mempunyai ilmu silat yang sangat lihai, juga sudah terlalu sering mengulurkan tangan membela kebenaran dan menentang para penjahat yang berbahaya dan keji. Sekali ini ada pekerjaan yang lebih penting dan mulia, maka saya harap Kongcu dapat mempertimbangkan permintaan kami tadi, atas nama pemerintah dan atas nama rakyat."
"Harap Taijin suka bersabar dan memberi waktu bagi saya untuk mengambil keputusan. Percayalah, Taijin, pada dasarnya saya senang sekali membantu karena memang sudah menjadi kewajiban saya untuk menentang kejahatan, tetapi selama ini saya belum pernah bekerja secara berkelompok. Sebab itu, bekerja sama dengan para pendekar itu sungguh membuat saya berkecil hati dan malu."
Jaksa Kwan akhirnya pulang sesudah meninggalkan pesan dan permintaannya, dan juga mendengar jawaban pemuda ini yang hendak berpikir-pikir dahulu tentang hal itu.
Jaksa Kwan adalah seorang yang amat cerdik. Beberapa hari kemudian dia menguji sikap dan watak Can Sun Hok, ingin melihat apakah benar pemuda itu berjiwa pendekar seperti yang diduganya. Lalu didatangkannya seorang gadis cantik manis dari kota raja.
Gadis ini sesungguhnya adalah seorang dayang keluarga pangeran. Karena cantiknya, dia digauli oleh majikannya. Akan tetapi hal ini tidak disetujui isteri pangeran yang merasa cemburu karena gadis itu terlalu cantik sehingga terpaksa gadis itu dijual keluar. Karena kepintarannya bermain musik, menari dan menyanyi, gadis itu kemudian terkenal sebagai seorang gadis penari dan penyanyi yang amat disuka oleh para pembesar.
Di dalam pergaulan dan pekerjaan seperti itu, tak dapat dihindarkan lagi bahwa gadis itu kadang-kadang tidak dapat menahan diri lagi, dan menjual diri dengan bayaran yang luar biasa tingginya, kepada para pembesar yang berwatak mata keranjang dan yang uangnya sudah berlebihan.
Dengan bantuan para rekannya yang berada di kota raja, Jaksa Kwan dapat menugaskan gadis ini untuk menjalankan niatnya 'memancing harimau supaya keluar dari sarangnya', yaitu menguji sikap dan watak Can Sun Hok sebagai seorang pendekar.
Demikianlah, beberapa pekan semenjak Jaksa Kwan datang berkunjung, di suatu senja yang cerah, Sun Hok pergi seorang diri ke tepi Sungai Yang-ce yang sunyi. Dia duduk di atas batu besar di pinggir sungai itu, tempat yang sunyi sepi karena jauh dari dusun. Dia membawa sebatang tangkai pancing karena sore itu dia merasa iseng ingin menangkap ikan dengan pancingnya. Pada waktu itu memang sedang musim ikan lee moncong putih yang banyak terdapat di dalam sungai di sekitar tempat itu dan daging ikan ini lezatnya bukan main.
Dia duduk memegangi tangkai pancingnya, seperti sudah berubah menjadi arca, bersatu dengan batu yang didudukinya dan seluruh perhatiannya hanya berpusat pada tali yang ujungnya dipasangi pancing dan umpan. Tali itu terbawa air dan agak bergoyang-goyang, akan tetapi bukan bergoyang karena disambar ikan. Kalau saatnya tiba, kalau umpannya itu disambar ikan, tentu akan terasa oleh tangannya.
Penantian sambaran ikan yang tak nampak inilah yang amat mengasyikkan bagi seorang pengail. Di situ terdapat suatu kejutan yang sangat menggembirakan, disusul perjuangan untuk berhasil menaikkan ikan yang sudah berani menyambar umpan pada pancingnya.
Akan tetapi Sun Hok bukanlah seorang ahli pengail ikan yang pandai. Kalau dia ahli tentu bukan di waktu senja itu dia mengail, melainkan malam nanti atau besok pagi-pagi. Pada waktu senja seperti itu, di waktu sinar matahari senja yang merah menimpa permukaan air menyilaukan mata, agaknya ikan-ikan bersembunyi di sarang masing-masing, atau masih merasa malas untuk mencari makan. Sudah sejam lebih dia duduk, namun tak seekor pun ikan mencium umpan pada pancingnya.
Sun Hok menancapkan gagang tangkai pancingnya di atas tanah, kemudian ia mencabut suling yang selalu berada di ikat pinggangnya. Sekali ini dia tidak membawa alat musik yang-kim karena terlampau berabe, apa lagi memang kepergiannya adalah untuk mengail ikan.
Untuk menghilangkan kekesalan hatinya karena semenjak tadi tidak pernah berhasil, kini dia pun menempelkan lubang suling pada mulutnya dan tak lama kemudian terdengarlah bunyi lagu merdu yang keluar dari sulingnya. Suara merdu itu mengalun naik turun, lirih saja sebab dia tidak mau mengejutkan ikan-ikan, bahkan melalui lagu yang ditiup dengan sulingnya itu seolah-olah dia ingin mengundang ikan-ikan agar datang dan makan umpan di pancingnya.
"Tolooonggg...!" tiba-tiba dia mendengar jerit seorang wanita.
Seketika Sun Hok menghentikan tiupan sulingnya, lantas memandang ke depan. Nampak sebuah perahu meluncur lewat di tengah dan ada seorang wanita muda dipegangi kedua tangannya secara kasar oleh beberapa orang laki-laki. Ada lima orang laki-laki di perahu itu.
Mendadak tali pancingnya bergerak. Sun Hok langsung menyambar tangkai pancingnya, lalu menarik dengan sekali kejutan dan seekor ikan lee moncong putih sebesar lengannya tergantung di ujung tali pancingnya!
Kalau saja tidak ada perahu di mana dia melihat seorang gadis agaknya ditawan oleh lima orang laki-laki itu, tentu Sun Hok akan merasa gembira sekali dengan hasil tangkapannya itu. Tetapi sekarang ada gangguan, maka dia pun melepaskan gagang pancing sehingga ikan itu menggelepar di atas tanah, kemudian dia berjalan mengikuti arah perahu sambil memperhatikan keadaan perahu itu. Ketika dia melihat ada sebuah perahu nelayan kecil yang ditumpangi seorang nelayan tua, dia cepat memanggilnya.
"Paman Tua tukang perahu...! Bolehkah aku menyewa perahumu sebentar? Engkau akan kuberi uang ini!" katanya sambil mengacungkan sepotong perak yang beratnya satu tail.
Tentu saja nelayan tua itu girang sekali. Uang sekian itu terlampau besar untuk menyewa perahunya, apa lagi hanya sebentar. Dia pun sedang mengail ikan dan semenjak tadi pun hasilnya baru beberapa ekor ikan yang kecil saja. Dia cepat meminggirkan perahunya.
"Ah, kiranya Can Kongcu!" kata tukang perahu girang ketika mengenal pemuda yang kaya raya ini. "Baiklah, kalau Kongcu hendak memakai perahu saya, marilah!"
Sun Hok menyuruh pemilik perahu turun dan dia pun cepat meloncat ke atas perahu kecil itu, lalu mendayung perahu dengan amat cepatnya, meluncur dan mengejar perahu besar yang ditumpangi lima orang pria itu. Perahu besar itu sudah meluncur agak jauh, namun masih kelihatan dan jeritan itu tidak terdengar lagi, agaknya lima orang itu tentu sudah membungkam mulut gadis tadi.
Dengan tenaganya yang luar biasa, tidak lumrah orang biasa, Sun Hok cepat mendayung perahunya yang lebih kecil. Perahu itu segera meluncur cepat sekali sehingga tidak lama kemudian dia pun sudah berhasil menyusul perahu di depan itu.
Kini nampaklah olehnya bahwa kaki tangan gadis itu memang sudah diikat, dan mulutnya juga diikat sapu tangan sehingga tidak mampu berkutik atau berteriak. Sedangkan kelima orang itu agaknya sedang bersuka ria sambil minum arak. Mereka nampak terkejut ketika tiba-tiba ada perahu kecil menempel pada perahu mereka dan seorang di antara mereka membentak kepada pemilik perahu kecil yang mereka kira seorang nelayan itu.
"Heiii! Apa engkau sudah bosan hidup berani menempel perahu kami?!"
Empat orang kawannya juga marah sekali. Mereka berlima segera menghunus golok dan dengan sikap mengancam mereka hendak menyerang Sun Hok. Akan tetapi pemuda itu tidak menjadi takut, bahkan sekali tubuhnya bergerak, dia sudah meloncat ke atas kepala perahu, bertolak pinggang dan menghardik mereka dengan suara nyaring.
"Hemmm, kalian ini lima orang laki-laki menangkap seorang gadis, ada urusan apakah? Apa kesalahannya dan apa yang hendak kalian lakukan dengannya?"
"Hei orang muda, jangan mencampuri urusan kami! Kami adalah orang-orang yang diutus oleh Bengcu. Pergilah engkau sebelum kami turun tangan membunuhmu di sini juga!"
Sun Hok tertarik. "Bengcu? Siapakah Bengcu kalian itu?"
Seorang di antara mereka yang bertubuh gendut membelalakkan matanya dan memaki. "Engkau tikus kecil mana mengenal Bengcu kami? Bengcu adalah Lam-hai Giam-lo..."
"Sudah, hajar saja dia!" teriak seorang temannya dan kelima orang itu segera menerjang dengan golok mereka.
Melihat gerakan mereka, Sun Hok segera dapat melihat bahwa mereka bukanlah orang sembarangan akan tetapi mempunyai ilmu golok yang cukup tangguh, maka ia pun cepat mengeluarkan sulingnya. Tubuhnya lantas bergerak cepat sekali, didahului sulingnya dan terdengarlah suara nyaring berkali-kali disusul tamparan tangan kiri atau tendangan yang membuat lima orang itu satu demi satu terjungkal ke dalam air!
Tanpa banyak cakap lagi Sun Hok cepat menyambar tubuh gadis itu, dibawanya meloncat ke dalam perahu sewaannya lalu dia pun mendayung perahu itu meninggalkan lima orang yang masih gelagapan di air dan mencoba untuk berenang ke perahu mereka kembali.
Dengan sebelah tangannya Sun Hok membikin putus tali yang mengikat kaki dan tangan gadis itu, juga sekali renggut, sapu tangan yang menutupi mulut berikut sebagian muka gadis itu terlepas. Senja masih cukup cerah sehingga dia dapat melihat wajah itu dengan jelas.
Dan Sun Hok terpesona. Tak disangkanya bahwa gadis yang ditolongnya dari tangan lima orang penjahat itu ternyata adalah seorang yang luar biasa cantik manisnya! Sepasang mata yang lebar dan jeli itu memandang kepadanya, agak basah air mata, dan gadis itu pun segera berlutut di dalam perahu menghadap Sun Hok.
"Sungguh saya telah berhutang budi yang teramat besar kepada Kongcu. Kalau tidak ada Kongcu yang menolongku, entah apa yang akan terjadi dengan diriku ini, tentu lebih hebat dari pada kematian. Tidak mungkin aku dapat membalas budi kebaikan itu, maka biarlah setiap malam aku akan bersembahyang kepada Thian agar Kongcu diberi berkah selama hidupnya, dan biarlah kelak dalam penjelmaan mendatang saya akan menjadi kuda atau anjing peliharaan Kongcu untuk membalas budi ini," kata-kata itu diucapkan dengan suara yang merdu dan halus, menggetar bercampur tangis tertahan.
Sun Hok mengerutkan alisnya. memandang penuh perhatian, lalu berkata dengan halus. "Nona, tak perlu engkau bicara seperti itu. Yang penting, ceritakan siapa engkau, di mana rumahmu dan bagaimana engkau tadi terjatuh ke dalam tangan lima orang penjahat itu."
Gadis itu kini menangis sambil menutupi muka dengan sepasang tangannya, tak mampu mengeluarkan kata-kata. Sun Hok merasa iba sekali, akan tetapi dia membiarkan gadis itu menangis. Perahu mereka telah tiba kembali di tempat di mana nelayan tua tadi masih menunggu.
"Kita turun di sini, Nona, dan nanti kuantar engkau pulang. Perahu ini harus dikembalikan kepada pemiliknya."
Tukang perahu itu merasa heran melihat penyewa perahunya kembali dengan seorang gadis cantik, akan tetapi dia mengenal Can Sun Hok sebagai seorang pemuda kaya raya yang mendiami istana tua dan sering kali mengail di sungai, maka dia pun tidak banyak bertanya melainkan menerima setail perak dengan girang. Ia menghaturkan terima kasih, lalu meluncurlah perahunya meninggalkan sepasang orang muda itu berada di pantai. Sun Hok mengajak gadis itu mengambil pancing dan ikan yang tadi ditangkapnya. Ikan itu sudah mati, akan tetapi masih segar.
"Aih, engkau mendapatkan ikan lee moncong putih yang besar dan segar, Kongcu!" gadis itu berseru dan agaknya sudah lupa akan kesedihannya.
Melihat ini Sun Hok menahan senyumnya. Gadis ini agaknya bukan seorang pemurung dan dia pun ikut bersenang hati.
"Bagaimana kalau kupanggang ikan ini untukmu, Kongcu? Aku pandai memanggang ikan, akan tetapi sayang, tidak ada garam dan bumbu..."
"Aku selalu membawanya," kata Sun Hok dan dia pun mengeluarkan bungkusan garam, bawang dan bumbu yang lain.
"Aih, bagus sekali, Pernahkah engkau makan ikan panggang yang terbungkus tanah liat?" Gadis itu bertanya. Sun Hok menggeleng kepalanya dan gadis itu cepat menyingsingkan lengan bajunya sehingga nampak kedua lengannya yang halus dan putih mulus.
"Kongcu, apakah engkau punya pisau? Aku memerlukannya untuk membersihkan ikan ini, membuang isi perutnya..."
Sun Hok tersenyum dan menggeleng kepala. "Mari kubantu engkau," katanya dan dia pun mengambil ikan itu. Dengan sepotong batu kecil yang runcing tajam dia membuka perut ikan itu, lalu menyerahkannya kembali kepada gadis itu.
Kemudian dia memasang umpan cacing di mata kailnya dan duduk lagi memancing, kini penuh perhatian dan harapan untuk menangkap sedikitnya satu ekor lagi yang agak besar supaya cukup untuk mereka berdua. Entah kenapa, tiba-tiba saja bagi Sun Hok dunia ini seperti terjadi suatu perubahan luar biasa, dia merasa gembira dan penuh gairah. Senja yang mulai remang-remang itu nampak indah bukan main, dan tempat yang sunyi itu, di mana hanya ada mereka berdua, kelihatannya sama sekali tidak sepi lagi.
Tak lama kemudian umpannya kembali disambar ikan. Sun Hok menariknya dan sekali ini dia benar-benar bersorak gembira ketika melihat seekor ikan yang lebih besar dari tadi tergantung di ujung pancingnya.
"Horeeeee...!" Dia berseru gembira dan seperti seorang anak kecil dia membawa tangkai pancing dengan ikan yang masih meronta-ronta itu kepada gadis yang kini sudah selesai membersihkan ikan pertama tadi.
Gadis itu pun kini sama sekali tidak kelihatan murung lagi, ikut pula tertawa dan gembira sehingga untuk kedua kalinya Sun Hok terpesona. Pada waktu gadis ini tertawa, nampak deretan gigi seperti mutiara dan di kedua ujung bibirnya nampak lesung pipit yang manis bukan kepalang
"Wah, malam ini kita akan kekenyangan ikan!" teriak gadis itu.
Sun Hok lalu mengambil ikan itu, membuka perutnya dan menyerahkannya lagi kepada Si Gadis yang dengan jari-jari tangan cekatan segera membersihkan isi perutnya. Sun Hok melihat betapa dengan gerakan tangan seorang ahli, gadis itu menaruhkan bumbu-bumbu setelah mencuci daging ikan, lalu menutupi ikan itu seluruhnya dengan tanah liat. Belum pernah selamanya dia melihat orang memanggang ikan seperti itu.
"Kita butuh api unggun!" kata gadis itu dan tanpa diperintah lagi, Sun Hok segera mencari kayu kering kemudian membuat api. Sebentar saja tempat itu menjadi terang dengan api unggun.
Dengan dua tangkai kayu yang digunakan sebagai sepasang sumpit besar, gadis itu lalu memanggang dua ekor ikan yang kini sudah berada di dalam tanah liat. Mereka duduk menghadapi api unggun, saling berhadapan terhalang api unggun, akan tetapi malah bisa saling pandang karena wajah masing-masing tertimpa sinar api kemerahan.
Beberapa kali sinar mata mereka bertaut, akan tetapi selalu Sun Hok yang menundukkan pandang mata lebih dahulu. Meski pun usianya sudah dua puluh tiga, selama ini Sun Hok tidak pernah bergaul dengan wanita. Kesenangannya hanyalah memperdalam ilmu silat, menjelajah ke gunung-gunung dan sungai-sungai, mencari kesibukan dalam kesepian.
Semenjak Wa Wa Lobo meninggal dunia, dia seperti kehilangan pegangan dan kadang-kadang terjadi perang di dalam batinnya. Apakah dia harus membalaskan kematian ibu kandungnya, juga kematian Wa Wa Lobo, kepada Ceng Sui Cin? Akan tetapi bila mana dia teringat kepada Ceng Sui Cin, apa lagi kepada puterinya, Cia Kui Hong, dia merasa kagum dan bahkan semua petuah yang pernah didengarnya dari Ceng Sui Cin tak pernah dapat dilupakannya.
Menurut nasehat Wa Wa Lobo, sebagai seorang anak berbakti dia harus membalaskan kematian ibunya. Akan tetapi menurut nasehat Ceng Sui Cin, karena ibu kandungnya dulu pernah melakukan penyelewengan, menjadi seorang tokoh sesat dan turut memberontak, maka satu-satunya cara baginya untuk berbakti kepada ibunya adalah dengan perbuatan-perbuatan baik untuk menebus semua dosa ibunya yang lalu!
Sekarang dia bertemu dengan seorang wanita lagi yang secara mendadak telah menyita seluruh perhatiannya, membuat dia terpesona, padahal dia sama sekali belum mengenal siapa wanita ini dan orang macam apa! Apakah kecantikannya yang khas itu yang sudah membangkitkan rangsangan di dalam hati mudanya? Ataukah karena sikap gadis itu yang begitu gembira? Juga, biar nampak masih amat muda, namun demikian pandai membawa diri, dapat menguasai diri, tenang dan yakin akan kemampuan diri sendiri?
Tanah liat yang membungkus dua ekor ikan itu sudah mulai kering tapi tidak tercium bau gurih seperti kalau Sun Hok memanggang ikan itu tanpa dibungkus tanah liat.
"Kenapa harus dibungkus tanah liat?" akhirnya Sun Hok bertanya karena semenjak tadi, setiap kali beradu pandang, mereka hanya tersenyum-senyum saja, seakan-akan merasa canggung dan malu untuk bicara, seakan-akan tidak ada apa-apa lagi untuk dibicarakan karena kalau sampai mereka bicara, suasana yang demikian aneh dan menggembirakan itu akan terganggu.
"Kasihan...!" Pek Han Siong yang berhenti dan memandang ke belakang mengeluh.
"Siapa yang kasihan?" Barulah Han Siong teringat bahwa Bi Lian berada di situ dan tadi suara hatinya dikeluarkan melalui mulut.
"Kedua-duanya...," jawab Han Siong.
Mereka melanjutkan perjalanan, berjalan perlahan menuruni bukit itu.
"Engkau benar, Saudara Pek. Kasihan keduanya. Keduanya telah bersalah dan keduanya patut dikasihani sebab nasib mereka sungguh buruk sekali. Tak disangka jika orang-orang seperti mereka...," kata Bi Lian, kemudian disambungnya lirih. "Cinta memang aneh..."
"Ya, cinta memang aneh...," Han Siong juga menggumam.
Keduanya lalu tenggelam dalam lamunan, kata-kata mereka seperti berdengung di telinga mereka. Kata-kata itu seperti menunjukkan bahwa mereka telah mengerti atau setidaknya pernah mengalami cinta! Sampai lama mereka melangkah, termenung, saling menduga, lalu tiba-tiba Bi Lian bertanya.
"Saudara Pek, pernahkah engkau jatuh cinta?"
Han Siong terkejut, memandang gadis itu, menggeleng kepala. "Belum, dan engkau?"
"Aku juga belum pernah."
"Kalau begitu, bagaimana engkau dapat mengatakan bahwa cinta itu aneh?"
"Dan engkau pun tadi membenarkan begitu saja." Keduanya saling pandang, lalu tertawa geli.
"Lihat saja mereka itu. Mulana dan Yasmina, bukankah mereka itu menjadi seperti orang gila karena cinta? Itulah yang membuat aku tadi mengatakan bahwa cinta memang aneh," kata Bi Lian membela diri.
"Tetapi itu bukan cinta, Nona Cu. Mulana tidak mencinta isterinya dengan sesungguhnya, atau cintanya berlandaskan kebanggaan karena dia sudah berhasil memenangkan puteri itu dalam perebutan. Dia memperlakukan Yasmina sebagai barang pusaka, dikeramatkan, disanjung, dipuja, dibanggakan dan dipamerkan! Ada pun cinta Yasmina juga hanya cinta nafsu. Karena itu keduanya lalu menyeleweng, dan cinta itu baru terasa setelah terlambat. Mulana lebih mementingkan kebanggaan dirinya sedangkan Yasmina lebih mementingkan nafsu birahinya, dan keduanya merana..."
"Aih, agaknya engkau adalah seorang yang ahli dalam seni mencinta, Saudara Pek!" kata Bi Lian.
Wajah Han Siong berubah merah. "Sama sekali bukan begitu, hanya aku melihat hal-hal yang aneh sekali dalam cinta ini. Ada suatu peristiwa yang tak kalah anehnya, juga amat mengharukan antara dua orang yang benar-benar saling mencinta. Akan tetapi biarlah lain kali saja kuceritakan kepadamu, Nona Cu."
"Siapakah mereka?" Bi Lian tertarik.
"Mereka... adalah kedua orang guruku, suhu dan subo-ku..."
"Ihhh, tentu menarik sekali. Ceritakan, Saudara Pek."
"Lain kali sajalah. Mari kita mencari tempat yang enak untuk melewatkan malam. Nah, di sana ada sungai kecil, bagaimana kalau kita melewatkan malam di tepi sungai itu?"
Mereka lalu mencari tepian sungai yang landai dan di sana terdapat banyak batu kali yang besar dan bersih. Mereka kemudian mengumpulkan kayu kering dan membuat api unggun sambil duduk di atas batu kali yang besar, halus dan rata. Memang tempat itu nyaman sekali. Sebelum pergi, mereka tadi telah memasuki kamar masing-masing dan membawa perbekalan mereka tanpa ada yang mengganggu mereka.
"Sekarang mengaso dan tidurlah, Nona. Biarlah aku yang berjaga di sini," kata Pek Han Siong.
"Aku belum mengantuk, Saudara Pek. Lebih baik kita bercakap-cakap. Pertemuan antara kita sungguh aneh sekali. Engkau muncul begitu saja pada waktu aku terancam bahaya, dikeroyok oleh Kulana dan Lam-hai Giam-lo yang sangat lihai. Lalu kita bertemu dengan Mulana dan isterinya yang bahkan lebih aneh lagi. Apa lagi sesudah mendengar bahwa engkau adalah kakak kandung Adik Pek Eng yang baru saja kukenal dengan baik, bahwa engkau adalah Sing-tong yang sudah sangat lama kukenal namanya sebagai Anak Ajaib. Saudara Pek, ceritakanlah tentang keadaan dirimu, keluargamu. Begitu bertemu dengan adikmu, Pek Eng, aku sudah merasa suka sekali padanya."
Han Siong menghela napas panjang. "Tidak ada sesuatu yang menarik mengenai diriku, Nona, akan tetapi justru ada suatu hal yang amat penting, amat menarik tentang dirimu, Nona. Ketahuilah, pada saat engkau memperkenalkan namamu, sesungguhnya aku... aku telah menjadi terkejut bukan main karena aku sudah mengenal namamu dengan sangat baik, Nona Cu."
Bi Lian memandang dengan sinar mata tajam penuh selidik. "Pantas saja saat mendengar namaku engkau terlihat kaget. Di mana engkau pernah mendengar namaku, Saudara Pek Han Siong?"
Han Siong mengambil keputusan untuk berterus terang. Jika sekarang dia tidak mengaku, kelak gadis ini tentu akan merasa tersinggung dan marah karena menganggap dia sudah pura-pura tak mengenalnya. Padahal dialah yang mendapat tugas dari suhu dan subo-nya untuk mencari puteri mereka ini.
Akan tetapi tentu saja dia tidak mungkin berani mengaku tentang ikatan jodoh itu, bahkan agaknya tidak bijaksana kalau sekarang dia membuka rahasia bahwa gadis ini bukan she Cu melainkan she Siangkoan. Dengan hati-hati dia lalu menjawab.
"Sebelumnya aku hendak mendengar pengakuanmu. Bukankah dahulu engkau tinggal di sebuah dusun di Ching-hai selatan, di Pegunungan Heng-tuan-san, tidak jauh dari sebuah kuil Siauw-lim-si yang terletak di luar kota Yu-shu?"
Bi Lian memandang dengan sinar mata berseri. "Benar sekali! Bagaimana engkau bisa tahu akan hal itu, Saudara Pek? Ketika itu aku tinggal di sebuah dusun, bersama kedua orang tuaku. Akan tetapi datanglah mala petaka di dusun itu. Terjadi pertempuran antara para tokoh sesat sehingga banyak orang dusun tewas di dalam pertempuran itu, termasuk juga kedua orang tuaku! Ayah ibuku tewas dan aku terjatuh ke dalam tangan kedua orang guruku itu, yaitu mendiang Pak Kwi Ong dan Tung Hek Kwi! Ketika itu aku baru berusia sebelas tahun, dan mulai saat itu aku menjadi murid mereka lalu diajak merantau sampai jauh. Akan tetapi sekali lagi, bagaimana engkau bisa mengetahui tentang keadaan diriku di dusun itu?"
"Ada satu hal lagi, Nona, harap kau suka menjawab dengan sejujurnya. Sebelum engkau ikut dengan dua orang gurumu itu, yaitu mendiang Pak Kwi Ong dan Tung Hek Kwi, dan sebelum terjadi pertempuran antara tokoh sesat di dusunmu itu sehingga mengakibatkan kematian ayah bundamu, sebelum itu pernahkan engkau belajar ilmu silat?"
Bi Lian kembali memandang tajam, penuh selidik dan dia mengingat-ingat. Masih teringat benar olehnya betapa ketika dia masih kecil ada dua orang yang selalu datang di malam hari dan kedua orang itu, pria dan wanita, secara bergiliran memberi petunjuk kepadanya tentang dasar ilmu silat.
Dua orang itu dianggapnya sebagai guru-gurunya, disebutnya suhu dan subo dan mereka itu demikian sayang kepadanya. Terutama sekali subo-nya, kadang-kadang subo-nya itu menunjukkan kasih sayang kepadanya secara mesra. Dia sering digedong dan ditimang, bahkan diciuminya! Kini terbayanglah wajah mereka itu.
Subo-nya seorang wanita yang teramat cantik, mukanya agak pucat dan pendiam, namun pandang matanya kepadanya penuh dengan kemesraan dan kasih sayang. Ia masih ingat betapa subo-nya itu selalu mengenakan sabuk sutera putih, sikapnya amat lemah-lembut.
Ada pun suhu-nya adalah seorang lelaki bertubuh tinggi tegap, juga pendiam tetapi ramah dan baik sekali kepadanya, memberi petunjuk dengan tekun dan sabar. Yang tak mungkin dapat dilupakan dari suhu-nya itu adalah bahwa lengan kiri suhu-nya itu buntung sebatas siku. Lengan baju kirinya kosong sebatas siku. Hanya itulah yang teringat olehnya tentang suhu dan subo-nya, dan sekarang dia diingatkan dan ditanya oleh Pek Han Siong tentang kedua orang yang sudah hampir terlupa olehnya itu.
"Ya-ya-ya, tentu saja aku masih ingat kepada mereka. Suhu dan Subo yang demikian baik padaku! Ahh, mereka sering datang secara bergilir pada waktu malam, dan mereka bilang bahwa mereka tinggal di kuil Siauw-lim-si. Memang mereka telah membimbingku dengan dasar-dasar ilmu silat."
Girang bukan main rasa hati Han Siong mendengar ini dan dia merasa betapa jantungnya berdebar tegang. "Nona Cu, tahukah engkau siapa nama mereka itu?"
"Suhu dan Subo?" Gadis itu menggeleng kepala. "Tahuku hanya Suhu dan Subo. Mereka tidak pernah memperkenalkan nama, juga ayah dan ibu yang agaknya amat menghormati mereka, tidak pernah menceritakan siapa nama mereka, hanya menyuruh agar aku selalu patuh dan mentaati mereka sebagai guru-guruku. Eh, Saudara Pek, apakah engkau kenal dengan Suhu dan Subo itu?"
Han Siong mengangguk. Sejenak dia termenung sambil memandang ke arah api unggun, sedangkan gadis itu mengamati wajahnya penuh perhatian. Pemuda itu lalu mengalihkan pandang matanya sehingga kedua pasang sinar mata itu saling bertaut sampai beberapa lamanya, kemudian Han Siong berkata dengan sikap tenang.
"Aku mengenal mereka dengan baik, Nona, karena mereka itu adalah guru-guruku juga! Suhu bernama Siangkoan Ci Kang, dan subo bernama Toan Hui Cu."
Sepasang mata yang indah itu terbelalak dan diam-diam Han Siong memandang kagum. Gadis ini demikian mirip subo-nya! Akan tetapi jauh lebih cantik karena kalau subo-nya itu pendiam, gadis ini memiliki mata yang tajam, sikapnya lincah, manis dan tahi lalat di dagu itu sungguh luar biasa manisnya, juga memiliki pembawaan yang gagah perkasa seperti suhu-nya!
"Aihhh..., kalau begitu engkau... "
"Aku adalah... saudara seperguruan denganmu, Sumoi."
"Engkau suheng-ku! Ah, akan tetapi, aku baru mempelajari dasar-dasar gerakan ilmu silat saja dari suhu dan subo, dan aku selanjutnya digembleng oleh kedua orang guruku, Pak Kwi Ong dan Tung Hek Kwi!"
"Mereka itu merampasmu dari suhu dan subo."
"Tapi... tapi ilmu silat kita berbeda jauh, dan engkau... begitu lihai. Kalau begitu, suhu dan subo itu lihai bukan main, bahkan melebihi kedua orang guruku yang kini sudah tewas!" Bi Lian kagum bukan main.
Han Siong menggeleng kepalanya. "Belum tentu, Sumoi. Kedua orang gurumu itu adalah datuk-datuk persilatan yang ilmunya sudah sangat tinggi, walau pun suhu dan subo juga merupakan orang-orang sakti. Ilmu silat kita memang berbeda, akan tetapi aku tak berani mengatakan bahwa aku lebih lihai darimu. Kulihat engkau lihai bukan main, hanya karena engkau dipengaruhi sihir oleh Kulana, maka engkau hampir celaka."
"Dan engkau dapat melenyapkan pengaruh sihir! Kalau begitu, selain ilmu silat, suhu dan subo juga mengajarkan ilmu sihir kepadamu, Suheng, sehingga engkau mampu melawan Kulana?"
Han Siong menggelengkan kepala. "Tidak, meski pun suhu dan subo sangat lihai, namun bukan mereka yang mengajarkan ilmu sihir kepadaku. Sumoi, ketahuilah, ketika engkau memperkenalkan namamu, aku menjadi demikian gembira sampai merasa takut mengaku kepadamu. Baru sekarang aku berani mengaku karena sebenarnya suhu dan subo telah memberi tugas kepadaku untuk mencari engkau sampai dapat kutemukan!"
Bi Lian tersenyum memandang. Di bawah cahaya api unggun, wajah pemuda ini nampak aneh dan menarik sekali. Dia merasa betapa jantungnya berdebar, entah karena senang mendapat kenyataan bahwa pemuda lihai ini adalah suheng-nya, atau ada sebab lainnya, dia sendiri tidak dapat mengerti.
Yang jelas, diingatkan keadaan masa kecilnya telah mendatangkan kenangan yang aneh, ada pahitnya dan ada pula manisnya. Dan dia sama sekali tidak mengira bahwa suhu dan subo-nya yang dulu itu ternyata masih ingat kepadanya, bahkan mengutus muridnya yang lihai ini untuk mencarinya sampai dapat!
"Dan ternyata engkau berhasil, Suheng. Kita sudah dapat saling bertemu, lalu apa yang akan kau lakukan terhadap aku, atau... apakah yang harus kulakukan sekarang?"
Han Siong juga tersenyum. Gadis ini mempunyai pembawaan yang lincah gembira. "Kita saling bertemu, bahkan secara bersama telah menghadapi pengeroyokan lawan lihai, dan baru saja tadi mengalami hal yang amat aneh dan mengguncangkan batin. Tentu saja aku ingin menyampaikan pesan suhu dan subo bahwa... bahwa... engkau diminta untuk cepat berkunjung kepada mereka, Sumoi. Mereka sangat rindu kepadamu dan merasa khawatir ketika mendengar bahwa engkau lenyap dari dalam dusun itu. Akan tetapi, sebelum itu, aku ingin mencari dulu adikku Pek Eng, untuk kuajak keluar dari tempat berbahaya itu."
"Engkau benar sekali, Suheng. Aku pun tadinya merasa heran dan juga tidak rela melihat ada seorang gadis seperti Eng-moi berada di antara mereka. Apa lagi dia menjadi murid bahkan anak angkat dari seorang sejahat Lam-hai Giam-lo! Ada dua hal yang mendorong adikmu menjadi muridnya. Pertama, karena tadinya dia tertawan oleh anak buah Lam-hai Giam-lo, lantas dengan kecerdikannya adikmu itu sudah dapat menundukkan hati Giam-lo sehingga kakek iblis itu suka kepadanya, bahkan mengambilnya sebagai murid dan anak angkat. Yang ke dua, adikmu itu memang ingin mempelajari ilmu silat tinggi sesudah dia minggat dari rumahnya karena tak sudi dijodohkan dengan pemuda yang tidak dicintanya. Akan tetapi, bila mana bertemu denganmu dan tahu bahwa engkaulah kakak kandungnya yang selama ini dicarinya, aku yakin engkau akan dapat membujuknya keluar dari sana. Aku pun hendak kembali ke sana, Suheng. Ada dua hal yang ingin kulakukan di sana."
"Apakah dua hal itu kalau aku boleh tahu, Sumoi?"
"Pertama, aku harus membalaskan kematian ayah ibuku, dan ke dua, aku pun tidak akan tinggal diam karena dua orang guruku sampai tewas di sana. Kulana harus bertanggung jawab karena ulah dia yang melamarku sudah menjadi penyebab kematian kedua orang guruku itu."
"Dan siapakah yang telah menewaskan ayah ibumu di dusun?"
"Ayah ibuku tewas di tangan... mendiang Pak Kwi Ong dan Tung Hek Kwi..."
"Aihhh?!" Han Siong berseru kaget. "Lalu kepada siapa..."
"Begini, Suheng. Pada waktu itu kedua orang guruku itu dikeroyok oleh Lam-hai Siang-mo dan suami isteri Goa Iblis Pantai Selatan beserta anak buah mereka. Mereka itu bahkan menghasut orang dusun supaya memusuhi Pak Kwi Ong dan Tung Hek Kwi. Kedua orang tua ini mengamuk dan membunuh banyak musuh, termasuk banyak orang dusun. Dengan demikian, biar pun orang tuaku tewas di tangan kedua orang guruku itu, akan tetapi kedua orang guruku itu tidak memiliki permusuhan dengan orang tuaku. Yang bersalah adalah dua pasang suami isteri itu yang menghasut penduduk untuk ikut mengeroyok dua orang tua itu. Nah, kuanggap bahwa merekalah yang telah menjerumuskan ayah ibuku sehingga menjadi korban."
Han Siong mengerutkan alisnya, teringatlah dia akan semua nasehat suhu dan subo-nya, juga semua wejangan dari gurunya yang ke dua, yaitu Ban Hok Lojin, seorang di antara Delapan Dewa. Setelah menarik napas panjang, semua nasehat dan petuah yang pernah didengarnya itu pun meluncur lewat mulutnya, tanpa dapat ditahan bahkan seperti di luar kesadarannya sendiri.
"Sumoi, dendam adalah suatu penyakit yang amat merugikan diri sendiri dan dari dendam timbullah perbuatan-perbuatan yang kejam dan jahat. Apa lagi dendam karena kematian. Semua orang di dunia ini pada saatnya tentu akan mati, Sumoi, dan jangan dikira bahwa ada orang lain yang dapat menentukan kematian seseorang, biar pun orang itu bisa saja menjadi sebab dari pada kematian orang lain. Kalau Thian tidak menghendaki, biar ada seribu pasang suami isteri seperti Lam-hal Siang-mo atau seribu orang seperti mendiang guru-gurumu itu, tidak mungkin orang tuamu di dusun dapat tewas! Juga kalau Thian tidak menghendaki, biar ada seribu orang Kulana tak akan mungkin dapat menyebabkan kedua orang gurumu saling serang hingga akhirnya keduanya tewas! Tidak Sumoi, mendendam sungguh merupakan suatu penyakit yang keliru. Kematian berada di tangan Tuhan."
"Suheng... !" Bi Lian berseru kaget dan heran karena baru kini dia mendengar pendapat seperti itu.
Han Siong tersenyum. "Untuk mengambil nyawa orang, Thian bisa menggunakan banyak macam cara, Sumoi. Ada yang melalui penyakit, melalui kecelakaan atau melalui bencana alam dan sebagainya. Apakah kita juga harus mendendam kepada penyakit bila keluarga kita mati karena penyakit? Mendendam kepada api jika mati karena api, dan mendendam kepada air kalau seandainya mati tenggelam?"
"Akan tetapi, Suheng! Apakah kita harus berdiam diri saja melihat orang-orang melakukan kejahatan seperti dua pasang suami isteri iblis itu, melihat seorang semacam Kulana yang mengandalkan pengaruh dan kekayaan hendak memaksakan kehendaknya?"
"Wah, itu lain lagi, Sumoi. Itu bukan persoalan dendam lagi, tapi sikap seorang pendekar yang harus selalu menentang kejahatan dan membela kebenaran. Kalau engkau hendak menentang Lam-hai Giam-lo beserta kawan-kawannya karena engkau tahu benar bahwa mereka merupakan sekelompok orang sesat yang hanya hendak mengancam kedamaian hidup orang lain, itu adalah panggilan jiwa kependekaranmu dan aku akan menemanimu ke sana. Sekarang kita istirahat lebih dulu, besok pagi-pagi kita melakukan penyelidikan ke sana. Akan tetapi ingat, harus bebas dari dendam, Sumoi."
Bi Lian tersenyum dan mengangguk. "Bebas dari dendam, Suheng."
Dia masih tersenyum ketika akhirnya dapat tidur pulas, sedangkan Pek Han Siong duduk bersila dekat api unggun, mengumpulkab hawa murni dan berjaga karena dia tahu bahwa dia tidak boleh lengah di tempat itu.
********************
Kita biarkan dulu Pek Han Siong dan Cu Bi Lian yang sedang beristirahat di pinggir anak sungai itu, dan sekarang mari kita mengikuti perjalanan Hay Hay yang sudah terlalu lama kita tinggalkan.
Seperti sudah kita ketahui, Hay Hay berjumpa dengan Kok Hui Lian. Hampir saja terjadi hubungan badan yang terdorong oleh birahi antara pemuda ini dengan janda muda yang selain cantik jelita, tubuhnya mengeluarkan keharuman, dan teramat lihai ilmu silatnya itu.
Untung bahwa Hay Hay memiliki batin yang amat kuat walau pun dia sudah hampir lupa dan buta oleh gejolak nafsunya. Mereka berdua bisa menguasai diri kembali, tidak terjadi suaiu pelanggaran walau pun mereka telah bermesraan. Setelah mereka saling berpisah, Hay Hay tak pernah dapat melupakan wanita itu, seorang wanita yang memenuhi segala keindahan yang dapat dibayangkan pria mengenai diri seorang wanita.
Sekarang dia masih memiliki sebuah tugas, yaitu mengembalikan pusaka batu giok milik Kwan-taijin, yaitu Jaksa Kwan yang terkenal adil dan dimusuhi kaum sesat itu. Batu giok mustika itu dirampas dari tangan Jaksa Kwan oleh Min-san Mo-ko ketika pembesar itu ditawan, akan tetapi berkat pertolongan Hay Hay dan Kok Hui Lian, para penjahat dapat diusir dan batu giok mustika dapat dirampas kembali. Bahkan tanpa sengaja, dengan batu giok itu luka-luka beracun mereka berdua dapat disembuhkan. Ketika berpisah, Hui Lian minta kepada Hay Hay untuk mengembalikan batu giok mustika itu kepada Jaksa Kwan yang tinggal di kota Siang-tan.
Setelah berpisah dari Hui Lian, memang ada perasaan kehilangan dan kesepian di dalam hati Hay Hay. Tetapi dia menghadapinya dengan senyum, mentertawakan diri sendiri, lalu perasaan kehilangan dan kesepian itu pun lenyap bagaikan tertiup angin pagi yang sejuk. Dia tahu betul kenapa ada perasaan kehilangan yang menyelinap di dalam hatinya. Itulah tuntutan nafsu badani, ikatan batin yang selalu menghendaki adanya kesenangan.
Jika ada sesuatu yang menyenangkan batin kita, baik yang menyenangkan itu orang lain atau benda, atau bahkan gagasan saja, maka kita selalu menghendaki agar kesenangan itu tidak terpisah lagi dari diri kita. Pikiran kita selalu haus akan kesenangan, selalu ingin mengulang lagi segala hal yang menyenangkan dan karena itulah terjadi ikatan di dalam batin terhadap kesenangan-kesenangan itu. Dan setelah batin terikat, bila mana saatnya tiba kesenangan itu harus berpisah dari kita, maka timbullah rasa kehilangan, kesepian, kecewa dan duka.
Hay Hay sering merenungkan kenyataan hidup ini, membuat dirinya waspada dan secara gamblang dapat melihat kenyataan dan kepalsuan di dalam kehidupan ini.
Badan lahiriah memang boleh mempunyai apa pun, demi kebutuhan badan sendiri, demi kehidupan badan sebagai anggota masyarakat, memiliki keluarga, para sahabat, benda-benda, ilmu pengetahuan, kepandaian dan sebagainya lagi, namun batin haruslah bebas tanpa memiliki apa-apa. Sekali batin ikut memlliki apa yang dipunyai oleh badan, maka timbul ikatan batin dan ikatan batin inilah penyebab timbulnya duka dan kesengsaraan batin. Batin haruslah kosong, bebas dan berdiri sendiri, tidak bersandar atau bergantung, juga tidak disandari atau digantungi.
Pengamatan penuh kewaspadaan ini membuat Hay Hay sudah merasa gembira kembali ketika melanjutkan perjalanannya, menuju ke kota Siang-tan karena dia ingin lebih dahulu berkunjung ke tempat tinggal Jaksa Kwan untuk mengembalikan batu giok mustika milik pembesar itu.
Kota Siang-tan di Propinsi Hunan merupakan kota yang cukup besar dan ramai. Di sinilah tinggal Kwan-taijin, jaksa yang terkenal jujur dan keras memegang tegaknya hukum dan pembesar ini tidak pernah mau memaafkan perbuatan jahat, menghukum banyak sekali penjahat besar sehingga dia amat dibenci oleh para penjahat.
Seperti yang sudah diceritakan di bagian depan kisah ini, pada saat Kwan-taijin bersama keluarganya melewatkan waktu libur di Telaga Tung-ting, hampir saja dia tewas di tangan para tokoh sesat yang mendendam terhadapnya. Para penyerang itu adalah datuk-datuk sesat yang amat lihai sehingga Kwan-taijin sampai berhasil ditangkap.
Tetapi berkat pertolongan Hay Hay dan Kok Hui Lian, pembesar itu berhasil diselamatkan kemudian oleh Hay Hay diantar pulang bersama keluarganya. Batu giok mustika dirampas oleh penjahat, namun akhirnya Hay Hay dan Hui Lian dapat merampasnya kembali. Kini, sesudah Hay Hay berpisah dari Hui Lian, dia harus kembali lagi ke kota Siang-tan untuk mengembalikan benda yang amat berharga itu kepada pemiliknya.
Setelah melalui penjagaan yang ketat, akhirnya Hay Hay bertemu dengan pembesar itu di kamar tamu. Kedatangannya disambut dengan gembira dan ramah oleh Kwan-taijin.
"Aihh, ternyata Taihiap yang datang berkunjung!" kata pembesar itu sambil menyongsong kedatangan Hay Hay.
Pemuda ini merasa canggung sekali mendengar betapa pembesar yang amat terkenal itu menyebutnya Taihiap (Pendekar Besar). Dia cepat membalas penghormatan tuan rumah dan Kwan-taijin lantas menggandengnya, diajaknya masuk ke sebelah dalam dan barulah nampak oleh Hay Hay bahwa di dalam ruangan yang besar itu terdapat seorang lain yang sedang duduk. Dia pun memperhatikan.
Orang laki-laki itu berusia kurang lebih lima puluh tahun, tubuhnya sedang saja dan kalau melihat cara dia berpakaian, mudah diduga bahwa dia tentulah seorang pembesar tinggi. Wajahnya halus dan ramah, kedua matanya membayangkan suatu kecerdikan dan mulut yang selalu tersenyum itu penuh kebijaksanaan. Agaknya, ketika pengawal melaporkan tentang kunjungannya, Jaksa Kwan sedang duduk bercakap-cakap dengan pembesar ini.
"Kebetulan sekali, kami baru saja menerima kunjungan Yang-taijin, bahkan kami sedang bicara tentang dirimu,Taihiap. Mari silakan masuk dan kuperkenalkan kepada Yang-taijin!"
Hay Hay segera melangkah masuk dengan sikap hormat, tahu bahwa orang itu pun tentu seorang bangsawan tinggi walau pun sikapnya ramah dan sederhana. Ada kewibawaan besar terpancar dari pandang mata orang itu.
Kwan-taijin membungkuk dengan penuh hormat kepada orang itu, lantas berkata dengan suara gembira, "Yang-taijin, benar-benar seperti dituntun oleh tangan Thian sendiri bahwa saat ini datang pendekar yang baru saja saya ceritakan kepada Paduka. Taihiap, beliau adalah seorang menteri yang amat bijaksana, yaitu Menteri Negara Yang Ting Hoo yang berkedudukan di kota raja dan hari ini melimpahkan kehormatan menjadi tamu kami yang terhormat."
Bukan main kagetnya rasa hati Hay Hay mendengar disebutnya nama Yang Ting Hoo ini. Di dalam perantauannya selama ini, dia mendengar berita bahwa kemakmuran negara di bawah pemerintahan Kaisar Cia Ceng pada saat ini adalah berkat jasa dua orang menteri yang amat bijaksana dan pandai mengurus negara. Yang pertama bernama Menteri Yang Ting Hoo dan yang ke dua adalah Menteri Chang Ku Ceng. Dan sekarang tiba-tiba saja dia telah berhadapan dengan Menteri Yang Ting Hoo di tempat kediaman Jaksa Kwan itu. Pertemuan yang sama sekali tak pernah disangkanya, dan cepat dia lalu menjatuhkan diri berlutut menghadap menteri itu.
"Hamba Hay Hay, karena tidak tahu telah bersikap tidak hormat terhadap Paduka, mohon Paduka sudi memberi maaf yang sebesarnya."
Menteri Yang Ting Hoo menggerakkan tangannya. "Aihhh, Taihiap, bangkitlah dan mari duduk di sini. Kita bercakap-cakap seenaknya. Percayalah, hanya karena kebiasaan saja aku sering disembah orang, padahal di dalam hati aku merasa amat muak dengan semua penghormatan yang berlebihan itu. Karena itu, kalau benar engkau ingin menyenangkan hatiku dan ingin bicara dari hati ke hati, bangkitlah dan duduklah di sini!" Dia menunjuk ke arah sebuah kursi di depannya, hanya terhalang meja.
Jaksa Kwan tertawa, hal yang tak biasa pula dilakukan oleh seorang pembesar bawahan kepada pembesar atasan yang pangkatnya begitu tinggi. Hal ini juga menunjukkan betapa akrab hubungan di antara keduanya.
"Taihiap, tidak usah heran dengan sikap Yang-taijin. Begitulah beliau, lebih mementingkan hubungan antar manusia dari pada antar kedudukan. Silakan duduk, Taihiap."
Hay Hay merasa kagum bukan main, juga gembira. Dia tahu bahwa kini dia berhadapan dengan seorang pembesar yang lebih patut disebut pemimpin rakyat, karena pembesar itu selalu merasa dirinya lebih besar dari orang biasa, sebaliknya seorang pemimpin akan selalu bersikap sebagai seorang ayah, guru atau pemimpin, tidak pernah merasa dirinya lebih besar. Dia pun menghaturkan terima kasih, bangkit lalu duduk berhadapan dengan kedua orang pejabat yang duduk berdampingan itu.
Jaksa Kwan memberi isyarat dengan tangannya memanggil seorang pelayan yang segera meletakkan sebuah cawan arak di depan Hay Hay dan mengambil tambahan seguci arak harum, juga hidangan sekedarnya ditambah. Kemudian Kwan-taijin memberi isyarat agar semua pelayan serta pengawal meninggalkan ruangan itu dan hanya berjaga di luar pintu tanpa ikut mendengarkan percakapan yang akan terjadi di dalam ruangan tamu itu.
"Engkau tadi mengaku bernama Hay Hay, Taihiap? Siapakah nama keluargamu?" Menteri Yang Ting Hoo bertanya dengan sikap ramah.
Hay Hay tersenyum untuk menyembunyikan perasaan tidak enak di dalam hatinya. Tidak dapat disangkal lagi, menurut keterangan keluarga Pek, dia memiliki nama keluarga Tang, yaitu putera dari seorang she Tang yang terkenal sebagai seorang penjahat keji, seorang jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga, pemerkosa wanita) she Tang! Di dalam hati kecilnya dia malu dan tidak suka menggunakan nama keluarga itu, akan tetapi jika kenyataannya memang dia she Tang, mau bagaimana lagi?
"Hamba she Tang, akan tetapi sejak kecil hamba lebih sering disebut Hay Hay dan hamba lebih senang memakai nama itu saja," jawabannya sederhana.
Menteri itu tertawa sambil mengangguk-angguk. "Taihiap tentu mengetahui bahwa untuk menilai seseorang bukanlah tergantung dari namanya, kedudukannya, kepintarannya mau pun kekayaannya, melainkan dari sepak terjangnya dalam kehidupan sehari-hari. Karena itu, mengapa risau tentang nama? Di dunia ini terdapat banyak orang yang memiliki nama keluarga Tang, yang baik banyak yang jahat pun banyak, tergantung dari pribadi masing-masing."
Hay Hay terkejut dan barulah dia tahu mengapa orang ini terkenal sebagai seorang yang bijaksana. Pandangannya yang sederhana itu saja seakan-akan sudah berhasil membuka kedoknya! Dia memang merasa malu menggunakan she Tang karena ayah kandungnya, orang she Tang itu adalah seorang penjahat. Bagaimana andai kata ayahnya itu seorang yang baik? Tentulah dia akan bangga menyandang nama keluarga itu! Alangkah palsunya sikap ini!
"Terima kasih atas peringatan Paduka ini. Hamba memang bernama Tang Hay," katanya kemudian, namun sekali ini dengan ringan saja lidahnya menyebut nama keluarga Tang seolah-olah tidak ada apa-apanya.
Kwan-taijin lantas mempersilakan Hay Hay minum arak. Mereka bertiga minum arak dan makan hidangan dengan sikap terbuka. Hay Hay merasa gembira sekaligus juga aneh. Ia kini duduk berhadapan dengan dua orang pembesar, malah salah satunya adalah seorang menteri negara, namun dia sama sekali tidak merasa rikuh atau rendah diri. Hal ini sudah membuktikan bahwa dua pembesar itu memang merupakan orang-orang yang bijaksana karena dia merasa seperti duduk semeja dengan dua orang sahabat saja!
"Nah, sekarang ceritakanlah keadaanmu, Tang-taihiap. Bagaimana keadaanmu semenjak kita saling berpisah, setelah engkau menyelamatkan kami sekeluarga di Telaga Tung-ting, dan apakah kedatanganmu ini hanya untuk berkunjung, ataukah ada keperluan lain?"
Mendengar pertanyaan Jaksa Kwan itu, Hay Hay lalu mengeluarkan batu kemala mustika dari saku bajunya. Dia membuka bungkusan sapu tangan, mengambil batu giok itu dan menyerahkannya kepada Jaksa Kwan sambil berkata, "Saya datang untuk menyerahkan kembali batu giok mustika ini kepada Paduka, Kwan-taijin."
Sepasang mata pembesar itu bersinar dan wajahnya berseri gembira. "Ahh! Jadi engkau bahkan berhasil pula merampas kembali mustika ini?" Dia lalu menerima batu giok itu dan menyerahkannya kepada Yang-taijin.
"Lihat, Taijin, pendekar perkasa ini bahkan sudah berhasil merampas kembali mustika ini!" Menteri Yang menerima batu giok itu dan memandang kagum kepada Hay Hay!
"Apakah hanya seorang diri saja engkau merampas kembali mustika ini, ataukah dengan pendekar lainnya yang juga lihai itu, ehhh, siapa lagi namanya? Sayang sekali aku tidak sempat berkenalan dengannya."
"Dia she Kok...," kata Hay Hay dan dia pun teringat, cepat menahan kata-katanya karena bukankah pada waktu itu Hui Lian menyamar sebagai seorang pria?
"Dia she Kok? Ahh, mengingatkan aku akan seorang sahabatku yang baik sekali belasan tahun yang silam, yaitu Gubernur Kok dari San-hai-koan. Kasihan sekali dia, keluarganya terbasmi oleh gerombolan pemberontak... "
Mendengar ucapan Menteri Yang itu, diam-diam Hay Hay kaget bukan main sehingga dia mengeluarkan seruan tertahan.
"Ahhh, ada apakah, Tang-taihiap? Benarkah masih ada hubungan antara sahabatmu itu dengan mendiang Gubernur Kok di San-hai-koan?" tanya menteri itu ada pun Jaksa Kwan juga memandang kepadanya.
Hay Hay mengangguk-angguk. "Mungkin sekali... ahhh, dia memang mempunyai banyak keanehan yang dirahasiakan. Kemungkinan besar dia adalah puteri gubernur yang Paduka maksudkan itu."
"Puteri?" Jaksa Kwan berteriak kaget. "Kau maksudkan dia... dia seorang wanita?"
Hay Hay mengangguk. Menghadapi dua orang pembesar yang amat bijaksana dan pandai ini, tidak perlu lagi dia berbohong. "Memang benar, dia adalah seorang gadis bernama Kok Hui Lian, akan tetapi memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi."
"Aduh sayang sekali! Kenapa dia tidak ikut bersamamu berkunjung ke sini, Taihiap? Pada saat ini kami membutuhkan banyak orang pandai seperti engkau dan gadis pendekar itu. Makin banyak semakin baik," kata Kwan-taijin.
"Akan tetapi, ada apakah, Taijin? Ada urusan penting apakah hingga Taijin membutuhkan bantuan para pendekar?" tanya Hay Hay, khawatir kalau-kalau para tokoh sesat kembali mengganggu pembesar yang mereka musuhi ini.
Kwan-taijin menoleh kepada Menteri Yang, kemudian berkata kepada Hay Hay. "Sekali ini urusannya lebih gawat dan besar lagi, Tang-taihiap. Sebaiknya kalau engkau mendengar sendiri dari Paduka Menteri Yang, karena beliau inilah yang sedang menangani masalah yang amat penting dan penuh rahasia, Taihiap. Oya, nanti dulu." kata pula jaksa itu sambil menyerahkan batu kemala mustika itu kepada Hay Hay sambil berkata. "Batu giok ini aku berikan kepadamu, Taihiap. Engkau seorang pendekar yang banyak merantau dan sering bertemu dengan para penjahat, maka mustika seperti ini agaknya amat penting bagimu. Sedangkan aku berada di kota dan dikelilingi banyak tabib, maka mustika seperti ini tidak begitu penting bagiku. Nah, terimalah, aku berikan kepadamu dengan setulus hatiku."
Tentu saja Hay Hay terkejut dan juga girang. Mustika itu memang sangat berguna, dapat menghadapi penyerangan senjata beracun yang banyak digunakan orang-orang golongan hitam. Dia pun tidak pura-pura lagi dan menerima benda itu, dibungkusnya dengan sapu tangan lalu disimpannya di dalam saku bajunya.
"Terima kasih atas budi kebaikan Taijin," katanya singkat, lantas dia memandang kepada Menteri Yang, siap untuk mendengar tentang masalah yang sedang dihadapi para pejabat tinggi itu.
"Begini, Tang-taihiap, sebenarnya kami sedang menghadapi usaha pemberontakan yang berbahaya sekali dan kami ingin mengajakmu berbincang-bincang tentang hal ini, bahkan mengharapkan bantuan para pendekar seperti Taihiap." Menteri itu mulai.
Hay Hay mengerutkan alisnya. Pemberontakan? Bukankah itu adalah urusan pemerintah, persoalan negara dan sudah banyak pejabat yang berkewajiban untuk menanganinya?"
Melihat pandang mata ragu dari pendekar itu, Menteri Yang tersenyum maklum. "Taihiap, kalau pemberontakan itu merupakan pemberontakan dari pasukan, maka kami pun tidak perlu membicarakannya dengan para pendekar yang hanya merupakan bagian dari pada rakyat jelata. Kami tinggal mengerahkan pasukan besar untuk menumpas dan membasmi mereka, seperti yang sudah sering kami lakukan. Akan tetapi, kami sedang menghadapi pemberontakan terselubung, Taihiap."
"Pemberontakan terselubung?" Hay Hay bertanya, tidak mengerti.
"Golongan yang menjadi lawan dari golonganmu, yaitu kaum sesat, kini memperlihatkan gejala sedang memperkuat diri. Mereka ingin bangkit kembali seperti ketika dunia hitam dipimpin oleh Raja dan Ratu Iblis yang terkenal itu. Untuk menghadapi para datuk sesat, kami tidak banyak berdaya, Taihiap, dan tentu para pendekar lebih mampu menghadapi mereka. Namun, menurut bukti-bukti yang didapatkan para penyelidik kami, kebangkitan para tokoh sesat ini agaknya ada hubungannya dengan rencana pemberontakan terhadap pemerintah! Inilah yang berbahaya, Taihiap. Oleh karena itu, tadi kami sudah bicarakan dengan Kwan taijin agar kami dapat menghimpun dan minta bantuan para pendekar, demi keselamatan negara dan keamanan kehidupan rakyat. Engkau tentu tahu sendiri betapa menderitanya rakyat apa bila sampai terjadi pemberontakan dan perang, apa lagi kalau di antara para pemberontak itu terdapat golongan sesat yang tentu akan selalu memancing di air keruh."
Hay Hay mengangguk-angguk. Kalau memang demikian persoalannya, tentu saja dia siap untuk menentang kaum sesat yang hendak bersekutu dengan para pemberontak itu.
"Siapakah datuk sesat yang memimpin gerakan gelap itu, Taijin?" tanyanya.
"Menurut hasil penyelidikan kami, pemimpinnya ada beberapa orang, namun di antaranya yang terpenting adalah seorang yang berjuluk Lam-hai Giam-lo. Dia bermarkas di Lembah Yang-ce, sekitar Pegunungan Yunan. Kabarnya dia mempunyai banyak sekali teman dari dunia hitam yang merupakan tokoh-tokoh yang berilmu tinggi, dan yang lebih berbahaya lagi, kabarnya dia pun bersekutu dengan tokoh Birma. Juga kabarnya gerombolan sesat Kui-kok-pang dari Lembah Iblis di Pegunungan Hong-san, dan entah siapa lagi namanya aku tidak tahu. Hebatnya, mereka itu berhasil menarik Pek-lian-kauw sebagai sekutu dan kini mereka tengah membangun pasukan yang kuat."
Mendengar ini, Hay Hay mengangguk-angguk dan dia melihat betapa berbahaya gerakan seperti itu.
"Dan banyak di antara sekutu mereka yang sudah kau kenal, Taihiap." kini Jaksa Kwan berkata. "Mereka yang pernah mencoba untuk menculik aku di Telaga Tung-ting..."
"Ahhh, mereka pun terlibat?" Hay Hay berseru, teringat ada dua pasang suami isteri iblis yang lihai dan Min-san Mo-ko bersama muridnya, Ji Sun Bi, juga pemuda tampan yang mempunyai ilmu kepandaian tinggi itu. "Kalau begitu, lebih berbahaya lagi. Mereka adalah orang-orang yang sangat lihai dan curang! Lalu apakah yang dapat saya lakukan untuk membantu Paduka?"
"Bantuan Taihiap amat kami harapkan untuk melakukan penyelidikan ke sarang mereka, seperti telah kami minta pula kepada beberapa orang pendekar yang bersedia membantu kami. Dan kami siap untuk menyediakan semua biayanya bagi Taihiap. Pendeknya, kami menawarkan kerja sama dengan Taihiap. Bagian kami tentu saja menyiapkan pasukan besar untuk melawan pasukan pemberontak, dan bagi para pendekar untuk menghadapi para tokoh sesat itu. Bagaimana pendapatmu, Tang-taihiap?"
"Taijin, sudah menjadi tugas setiap orang yang menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan untuk selalu menghadapi dan menentang kejahatan, melawan yang jahat dan melindungi yang lemah dari penindasan. Oleh karena itu, meski tanpa diminta sekali pun, saya akan suka pergi menyelidiki mereka itu. Saya pun tidak mengharapkan upah, namun saya akan mengusahakan sekuat kemampuan saya, Taijin. Sekali lagi terima kasih atas pemberian batu giok oleh Kwan-taijin, dan atas kepercayaan dan penyambutan yang amat terhormat ini. Sekarang saya mohon diri untuk segera memulai dengan tugas saya."
"Nanti dulu, Tang-taihiap," tiba-tiba Menteri Yang Ting Hoo berkata dan dia mengeluarkan sebuah benda bundar dari perak yang diberi tanda nama dan pangkat dari menteri itu. "Ini sebuah Tek-pai dari perak, merupakan tanda kuasa. Jika engkau berada dalam kesulitan karena tidak dipercaya oleh petugas pemerintah, maka semua pembesar sipil atau militer akan mengenalnya dan engkau akan dianggap sebagai utusan pribadiku karena memiliki tanda kuasa. Terimalah ini."
Hay Hay menerima benda itu dan memasukkannya ke dalam saku bajunya. "Masih ada satu hal lagi, Taihiap. Di antara beberapa orang gagah yang sudah menyanggupi untuk membantu kami, ada satu orang yang keadaannya sungguh masih meragukan sekali. Dia seorang pendekar yang berwatak aneh, Taihiap, dan kami ingin agar engkau lebih dahulu berkenalan dan menyelidikinya. Kalau sampai engkau dapat mengajaknya pergi bersama melakukan penyelidikan ke sarang Lam-hai Giam-lo, hal itu sungguh baik sekali sebab dia adalah seorang yang mempunyai kepandaian tinggi. Akan tetapi, karena dia adalah orang kota Siang-tan ini, agaknya Kwan-tajin akan lebih banyak mengetahui dan dapat memberi penjelasan kepadamu."
Kwan-taijin mengangguk. "Apa yang dikatakan oleh Yang-taijin itu memang benar sekali, Tang-taihiap. Di Siang-tan ini tinggal seorang pemuda yang aneh dan menurut berita, dia memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi. Hanya wataknya amat aneh dan sukar sekali didekati, bahkan dia sama sekali tidak mau mencampuri urusan pemerintah. Ketika diberi tahu mengenai usaha pemberontakan yang hendak dilakukan kaum sesat, dia pun acuh saja. Kami pernah mempergunakan siasat memancing harimau keluar dari sarangnya dan sengaja membiarkan seorang gadis cantik diganggu orang-orang jahat, dan dia kemudian keluar menolong gadis itu. Agaknya kini dia bahkan bersahabat dengan gadis itu, namun selanjutnya tetap saja dia bersikap acuh dan tak mempedulikan permintaan yang pernah kami ajukan agar dia mau membantu kami menghadapi para datuk sesat. Bagaimana jika engkau berkenalan dengan dia, Taihiap? Siapa tahu, pandanganmu serta perkenalannya denganmu akan mampu mengubah sikapnya itu."
Hay Hay tertarik sekali. "Siapakah dia, Taijin?"
"Sebenarnya dia adalah keturunan bangsawan tinggi, masih putera pangeran. Kini tinggal menyendiri di istana tua warisan orang tuanya. Namanya Can Sun Hok, mungkin dua atau tiga tahun lebih tua darimu." Jaksa Kwan lalu memberi tahu di mana tinggalnya pendekar bernama Can Sun Hok itu.
Hay Hay lantas berpamit. Dia berjanji akan menghubungi pendekar itu sebelum berangkat dengan penyelidikannya ke Lembah Sungai Yang-ce, di mana Lam-hai Giam-lo bersarang dan menghimpun kekuatan untuk memberontak.
********************
Yang disinggung dalam percakapan antara Hay Hay dengan dua orang pejabat tinggi itu bukan lain adalah Can Sun Hok, yaitu pendekar muda yang pernah kita kenal saat terjadi keributan di Telaga Tung-ting. Dialah pemuda yang suka berperahu seorang diri sambil memainkan suling dan yang-kim. Kemudian dia bertemu dengan pendekar wanita Ceng Sui Cin dan puterinya, Cia Kui Hong, bahkan kemudian ibu dan anak ini bentrok dengan Nenek Wa Wa Lobo yang menjadi pengasuh dan guru Can Sun Hok sampai Nenek Wa Wa Lobo meninggal dunia.
Lebih dari dua puluh tahun yang lalu, nama Gui Siang Hwa yang berjuluk Siang-tok Sian-li (Dewi Racun Harum) sangat terkenal di dunia sesat karena dia adalah murid tunggal dari Raja dan Ratu Iblis! Ilmu kepandaiannya amat tinggi dan wataknya juga amat kejam dan jahat biar pun wajahnya cantik jelita dan menarik. Wanita itu adalah seorang ahli silat dan ahli menggunakan segala macam racun. Akan tetapi wataknya cabul dan sudah banyak pria yang terjatuh ke dalam tangannya, dibunuhnya setelah ia puas mempermainkannya.
Di dalam petualangannya itulah, Gui Siang Hwa bertemu dengan Can Koan Ti, seorang pangeran. Can Koan Ti ini putera seorang pangeran istana bernama Pangeran Can Seng Ong yang menjadi gubernur di Ning-po. Terjadilah hubungan antara pangeran yang kaya raya dan tinggi kedudukannya ini dengan Gui Siang Hwa. Dan terlahirlah Can Sun Hok.
Akan tetapi wanita seperti Gui Siang Hwa ini bukanlah wanita yang dapat terikat menjadi seorang ibu rumah tangga. Dia seorang petualang, maka akhirnya dia pun berpisah dari Pangeran Can Koan Ti. Ketika Can Sun Hok masih belum dewasa, ayahnya, Pangeran Can Koan Ti meninggal dunia karena sakit. Ibunya, Siang-tok Sian-li Gui Siang Hwa tidak suka repot-repot mengurus puteranya, bahkan dia melanjutkan petualangannya sampai akhirnya dia tewas dalam pertempuran ketika dia membantu gerakan para pemberontak. Kematian Siang Hwa adalah ketika dia bertanding melawan Ceng Sui Cin, roboh terluka lau tubuhnya hancur oleh pengeroyokan para prajurit.
Sebelum tewas Gui Siang Hwa sudah menitipkan puteranya, Can Sun Hok, kepada salah seorang pelayan, yaitu bekas pelayan Raja dan Ratu Iblis, kedua orang guru Gui Siang Hwa. Nenek ini, Wa Wa Lobo, tidak ikut dalam gerakan pemberontakan para majikannya, melainkan pergi menyelamatkan Can Sun Hok yang dirawatnya seperti cucu sendiri dan digemblengnya dengan ilmu-ilmu yang pernah diperolehnya dari Raja dan Ratu Iblis.
Nenek Wa Wa Lobo ini lihai bukan main, juga ahli dalam hal racun, biar pun kelihaiannya tidak sampai setingkat dengan kelihaian mendiang Gui Siang Hwa yang langsung menjadi murid terkasih dari Raja dan Ratu Iblis. Dan akhirnya, seperti sudah diceritakan di bagian depan, Nenek Wa Wa Lobo ini kemudian dapat berhadapan muka dengan Ceng Sui Cin yang dianggap musuh besar dan pembunuh Gui Siang Hwa.
Sesudah Wa Wa Lobo tewas karena kalah oleh Ceng Sui Cin kemudian membunuh diri, Can Sun Hok menangisi mayat nenek itu yang dianggapnya sebagai pengganti ayah ibu, nenek dan juga pengasuh dan gurunya. Akan tetapi, agaknya darah yang jahat dari Gui Siang Hwa tak mengalir ke dalam tubuh Can Sun Hok. Dia tumbuh dewasa dengan watak yang gagah, walau pun kadang-kadang dia dapat bersikap keras dan dingin.
Namun sikap ini sama sekali bukan mencerminkan watak yang kejam dan jahat. Dia tidak suka mengganggu siapa pun juga asalkan dia juga tidak diganggu. Dia tidak pernah pula memamerkan kepandaiannya, malah suka menyembunyikan kenyataan bahwa dia pandai ilmu silat.
Karena ketika dilarikan oleh Wa Wa Lobo, nenek itu membawa pula bekal harta benda yang amat banyak berupa emas permata dari ayahnya, maka kini Can Sun Hok menjadi seorang pemuda kaya raya yang tinggal di gedung besar di kota Siang-tan yang pernah menjadi tempat tinggal ayahnya. Setelah nenek Wa Wa Lobo tewas, dia tinggal sendirian saja di dalam rumah itu dengan hanya beberapa orang pelayan. Dia lebih suka merantau, membawa suling dan yang-kim, dua alat musik yang amat disukanya. Memang dia sangat berbakat dengan pemainan musik ini.
Can Sun Hok kini sudah menjadi seorang pemuda yang usianya kurang lebih dua puluh tiga tahun. Sudah tiga tahun nenek Wa Wa Lobo tewas membunuh diri sesudah kalah bertanding melawan pendekar wanita Ceng Sui Cin, dan selama tiga tahun ini Can Sun Hok juga memperdalam ilmunya dengan tekun berlatih.
Ada dua buah kitab silat peninggalan Raja dan Ratu Iblis yang disimpan oleh neneknya. Dan akhirnya, dengan bantuan seorang kakek ahli sastera kuno, dia pun dapat mengerti arti dari pelajaran itu lantas dia berlatih diri dengan tekun. Maka, dia pun kini memperoleh kemajuan yang amat pesat.
Walau pun dia kaya raya namun hidupnya sederhana. Wajahnya tampan, tubuhnya tegap dan sepasang matanya mencorong, wajahnya cerah akan tetapi ada bayangan dingin dan keras pada mata dan dagunya.
Beberapa bulan yang silam Jaksa Kwan yang dahulu pernah mengenal ayahnya, datang berkunjung. Jaksa ini bukan orang asing bagi Can Sun Hok, walau pun dia jarang sekali mengadakan hubungan. Tentu saja kunjungan itu sangat mengejutkan hati Sun Hok, apa lagi sesudah jaksa itu dengan terus terang mengharapkan bantuannya untuk ikut bersama para pendekar melakukan penyelidikan tentang gerakan para tokoh sesat yang kabarnya sedang menghimpun tenaga untuk memperkuat diri dan membangun pasukan dengan niat hendak memberontak terhadap pemerintah.
"Kami tahu bahwa Can Kongcu (Tuan Muda Can) adalah seorang pemuda gagah perkasa yang berkepandaian tinggi. Oleh karena itu, mengingat bahwa mendiang ayahmu adalah seorang pangeran, bahkan mendiang kakekmu juga pernah menjadi seorang gubernur di Ning-po, maka kami sangat mengharapkan bantuan Kongcu untuk berbakti terhadap nusa dan bangsa."
Mendengar uluran tangan ini, Can Sun Hok lalu mengerutkan alisnya. Selama ini dia tidak pernah mencampuri urusan orang lain, apa lagi urusan pemerintah. Tentu saja penduduk Siang-tan, termasuk jaksanya ini, tahu belaka bahwa dia pandai ilmu silat karena sudah sering kali dia menghajar orang-orang jahat yang hendak menjagoi di kota itu dan malang melintang dengan perbuatan mereka yang sewenang-wenang. Malah dia pernah seorang diri menghajar kocar-kacir dan membasmi sebuah perkumpulan orang jahat yang dipimpin oleh seorang perampok yang amat lihai.
Akan tetapi dia tidak pernah minta diakui sebagai jagoan atau pendekar, bahkan tak ingin bicara dengan orang lain mengenai apa yang telah dilakukannya. Dan kini, karena sudah mendengar akan kepandaiannya itu Jaksa Kwan ini agaknya datang membujuknya untuk membantu pemerintah dalam menghadapi para tokoh sesat yang hendak memberontak!
"Kwan-taijin...!," katanya dengan sikap hormat karena dia pun sudah mengenal siapa ini Kwan-taijin, seorang jaksa yang amat adil dan bijaksana, dicinta rakyat jelata karena dia berani menentang para penjahat serta melindungi keamanan rakyat dalam kedudukannya sebagai jaksa. "Tak perlu saya sangkal bahwa saya pernah belajar ilmu silat. Akan tetapi apakah artinya tenaga seorang seperti saya apa bila menghadapi para tokoh sesat yang bersekutu dan bergabung hendak melakukan pemberontakan? Kirim saja pasukan besar di bawah pimpinan panglima yang pandai, maka persekutuan itu dapat ditumpas habis."
Kwan-taijin tersenyum. "Apa yang kau ucapkan tadi memang tepat, Can Kongcu. Namun ketahuilah bahwa pasukan pemerintah hanya dilatih untuk berjuang melawan pasukan lain dalam suatu pertempuran. Kalau sudah terjadi pemberontakan bersenjata, tentu pasukan pemerintah yang akan menanggulanginya. Tapi sekarang keadaannya berbeda lagi. Para datuk kaum sesat yang kabarnya dikepalai oleh seorang manusia iblis berjuluk Lam-hai Giam-lo telah mengadakan persekutuan, mengumpulkan para datuk persilatan yang sesat untuk membangun kekuatan. Kini mereka bersarang di Lembah Yang-ce di Pegunungan Yunan, dan ini berbahaya sekali. Kami tahu bahwa hanya para pendekar saja yang akan mampu menentang orang-orang seperti ini, sebab itu saya sengaja datang mengharapkan bantuan Kongcu."
Can Sun Hok tersenyum, senyum sinis dan sebentar saja. "Mungkin para pendekar, akan tetapi saya bukan pendekar, Taijin."
"Ahhh, tidak perlu merendahkan diri, Kongcu. Siapa pun di Siang-tan ini tahu belaka siapa adanya Kongcu. Kongcu mempunyai ilmu silat yang sangat lihai, juga sudah terlalu sering mengulurkan tangan membela kebenaran dan menentang para penjahat yang berbahaya dan keji. Sekali ini ada pekerjaan yang lebih penting dan mulia, maka saya harap Kongcu dapat mempertimbangkan permintaan kami tadi, atas nama pemerintah dan atas nama rakyat."
"Harap Taijin suka bersabar dan memberi waktu bagi saya untuk mengambil keputusan. Percayalah, Taijin, pada dasarnya saya senang sekali membantu karena memang sudah menjadi kewajiban saya untuk menentang kejahatan, tetapi selama ini saya belum pernah bekerja secara berkelompok. Sebab itu, bekerja sama dengan para pendekar itu sungguh membuat saya berkecil hati dan malu."
Jaksa Kwan akhirnya pulang sesudah meninggalkan pesan dan permintaannya, dan juga mendengar jawaban pemuda ini yang hendak berpikir-pikir dahulu tentang hal itu.
Jaksa Kwan adalah seorang yang amat cerdik. Beberapa hari kemudian dia menguji sikap dan watak Can Sun Hok, ingin melihat apakah benar pemuda itu berjiwa pendekar seperti yang diduganya. Lalu didatangkannya seorang gadis cantik manis dari kota raja.
Gadis ini sesungguhnya adalah seorang dayang keluarga pangeran. Karena cantiknya, dia digauli oleh majikannya. Akan tetapi hal ini tidak disetujui isteri pangeran yang merasa cemburu karena gadis itu terlalu cantik sehingga terpaksa gadis itu dijual keluar. Karena kepintarannya bermain musik, menari dan menyanyi, gadis itu kemudian terkenal sebagai seorang gadis penari dan penyanyi yang amat disuka oleh para pembesar.
Di dalam pergaulan dan pekerjaan seperti itu, tak dapat dihindarkan lagi bahwa gadis itu kadang-kadang tidak dapat menahan diri lagi, dan menjual diri dengan bayaran yang luar biasa tingginya, kepada para pembesar yang berwatak mata keranjang dan yang uangnya sudah berlebihan.
Dengan bantuan para rekannya yang berada di kota raja, Jaksa Kwan dapat menugaskan gadis ini untuk menjalankan niatnya 'memancing harimau supaya keluar dari sarangnya', yaitu menguji sikap dan watak Can Sun Hok sebagai seorang pendekar.
Demikianlah, beberapa pekan semenjak Jaksa Kwan datang berkunjung, di suatu senja yang cerah, Sun Hok pergi seorang diri ke tepi Sungai Yang-ce yang sunyi. Dia duduk di atas batu besar di pinggir sungai itu, tempat yang sunyi sepi karena jauh dari dusun. Dia membawa sebatang tangkai pancing karena sore itu dia merasa iseng ingin menangkap ikan dengan pancingnya. Pada waktu itu memang sedang musim ikan lee moncong putih yang banyak terdapat di dalam sungai di sekitar tempat itu dan daging ikan ini lezatnya bukan main.
Dia duduk memegangi tangkai pancingnya, seperti sudah berubah menjadi arca, bersatu dengan batu yang didudukinya dan seluruh perhatiannya hanya berpusat pada tali yang ujungnya dipasangi pancing dan umpan. Tali itu terbawa air dan agak bergoyang-goyang, akan tetapi bukan bergoyang karena disambar ikan. Kalau saatnya tiba, kalau umpannya itu disambar ikan, tentu akan terasa oleh tangannya.
Penantian sambaran ikan yang tak nampak inilah yang amat mengasyikkan bagi seorang pengail. Di situ terdapat suatu kejutan yang sangat menggembirakan, disusul perjuangan untuk berhasil menaikkan ikan yang sudah berani menyambar umpan pada pancingnya.
Akan tetapi Sun Hok bukanlah seorang ahli pengail ikan yang pandai. Kalau dia ahli tentu bukan di waktu senja itu dia mengail, melainkan malam nanti atau besok pagi-pagi. Pada waktu senja seperti itu, di waktu sinar matahari senja yang merah menimpa permukaan air menyilaukan mata, agaknya ikan-ikan bersembunyi di sarang masing-masing, atau masih merasa malas untuk mencari makan. Sudah sejam lebih dia duduk, namun tak seekor pun ikan mencium umpan pada pancingnya.
Sun Hok menancapkan gagang tangkai pancingnya di atas tanah, kemudian ia mencabut suling yang selalu berada di ikat pinggangnya. Sekali ini dia tidak membawa alat musik yang-kim karena terlampau berabe, apa lagi memang kepergiannya adalah untuk mengail ikan.
Untuk menghilangkan kekesalan hatinya karena semenjak tadi tidak pernah berhasil, kini dia pun menempelkan lubang suling pada mulutnya dan tak lama kemudian terdengarlah bunyi lagu merdu yang keluar dari sulingnya. Suara merdu itu mengalun naik turun, lirih saja sebab dia tidak mau mengejutkan ikan-ikan, bahkan melalui lagu yang ditiup dengan sulingnya itu seolah-olah dia ingin mengundang ikan-ikan agar datang dan makan umpan di pancingnya.
"Tolooonggg...!" tiba-tiba dia mendengar jerit seorang wanita.
Seketika Sun Hok menghentikan tiupan sulingnya, lantas memandang ke depan. Nampak sebuah perahu meluncur lewat di tengah dan ada seorang wanita muda dipegangi kedua tangannya secara kasar oleh beberapa orang laki-laki. Ada lima orang laki-laki di perahu itu.
Mendadak tali pancingnya bergerak. Sun Hok langsung menyambar tangkai pancingnya, lalu menarik dengan sekali kejutan dan seekor ikan lee moncong putih sebesar lengannya tergantung di ujung tali pancingnya!
Kalau saja tidak ada perahu di mana dia melihat seorang gadis agaknya ditawan oleh lima orang laki-laki itu, tentu Sun Hok akan merasa gembira sekali dengan hasil tangkapannya itu. Tetapi sekarang ada gangguan, maka dia pun melepaskan gagang pancing sehingga ikan itu menggelepar di atas tanah, kemudian dia berjalan mengikuti arah perahu sambil memperhatikan keadaan perahu itu. Ketika dia melihat ada sebuah perahu nelayan kecil yang ditumpangi seorang nelayan tua, dia cepat memanggilnya.
"Paman Tua tukang perahu...! Bolehkah aku menyewa perahumu sebentar? Engkau akan kuberi uang ini!" katanya sambil mengacungkan sepotong perak yang beratnya satu tail.
Tentu saja nelayan tua itu girang sekali. Uang sekian itu terlampau besar untuk menyewa perahunya, apa lagi hanya sebentar. Dia pun sedang mengail ikan dan semenjak tadi pun hasilnya baru beberapa ekor ikan yang kecil saja. Dia cepat meminggirkan perahunya.
"Ah, kiranya Can Kongcu!" kata tukang perahu girang ketika mengenal pemuda yang kaya raya ini. "Baiklah, kalau Kongcu hendak memakai perahu saya, marilah!"
Sun Hok menyuruh pemilik perahu turun dan dia pun cepat meloncat ke atas perahu kecil itu, lalu mendayung perahu dengan amat cepatnya, meluncur dan mengejar perahu besar yang ditumpangi lima orang pria itu. Perahu besar itu sudah meluncur agak jauh, namun masih kelihatan dan jeritan itu tidak terdengar lagi, agaknya lima orang itu tentu sudah membungkam mulut gadis tadi.
Dengan tenaganya yang luar biasa, tidak lumrah orang biasa, Sun Hok cepat mendayung perahunya yang lebih kecil. Perahu itu segera meluncur cepat sekali sehingga tidak lama kemudian dia pun sudah berhasil menyusul perahu di depan itu.
Kini nampaklah olehnya bahwa kaki tangan gadis itu memang sudah diikat, dan mulutnya juga diikat sapu tangan sehingga tidak mampu berkutik atau berteriak. Sedangkan kelima orang itu agaknya sedang bersuka ria sambil minum arak. Mereka nampak terkejut ketika tiba-tiba ada perahu kecil menempel pada perahu mereka dan seorang di antara mereka membentak kepada pemilik perahu kecil yang mereka kira seorang nelayan itu.
"Heiii! Apa engkau sudah bosan hidup berani menempel perahu kami?!"
Empat orang kawannya juga marah sekali. Mereka berlima segera menghunus golok dan dengan sikap mengancam mereka hendak menyerang Sun Hok. Akan tetapi pemuda itu tidak menjadi takut, bahkan sekali tubuhnya bergerak, dia sudah meloncat ke atas kepala perahu, bertolak pinggang dan menghardik mereka dengan suara nyaring.
"Hemmm, kalian ini lima orang laki-laki menangkap seorang gadis, ada urusan apakah? Apa kesalahannya dan apa yang hendak kalian lakukan dengannya?"
"Hei orang muda, jangan mencampuri urusan kami! Kami adalah orang-orang yang diutus oleh Bengcu. Pergilah engkau sebelum kami turun tangan membunuhmu di sini juga!"
Sun Hok tertarik. "Bengcu? Siapakah Bengcu kalian itu?"
Seorang di antara mereka yang bertubuh gendut membelalakkan matanya dan memaki. "Engkau tikus kecil mana mengenal Bengcu kami? Bengcu adalah Lam-hai Giam-lo..."
"Sudah, hajar saja dia!" teriak seorang temannya dan kelima orang itu segera menerjang dengan golok mereka.
Melihat gerakan mereka, Sun Hok segera dapat melihat bahwa mereka bukanlah orang sembarangan akan tetapi mempunyai ilmu golok yang cukup tangguh, maka ia pun cepat mengeluarkan sulingnya. Tubuhnya lantas bergerak cepat sekali, didahului sulingnya dan terdengarlah suara nyaring berkali-kali disusul tamparan tangan kiri atau tendangan yang membuat lima orang itu satu demi satu terjungkal ke dalam air!
Tanpa banyak cakap lagi Sun Hok cepat menyambar tubuh gadis itu, dibawanya meloncat ke dalam perahu sewaannya lalu dia pun mendayung perahu itu meninggalkan lima orang yang masih gelagapan di air dan mencoba untuk berenang ke perahu mereka kembali.
Dengan sebelah tangannya Sun Hok membikin putus tali yang mengikat kaki dan tangan gadis itu, juga sekali renggut, sapu tangan yang menutupi mulut berikut sebagian muka gadis itu terlepas. Senja masih cukup cerah sehingga dia dapat melihat wajah itu dengan jelas.
Dan Sun Hok terpesona. Tak disangkanya bahwa gadis yang ditolongnya dari tangan lima orang penjahat itu ternyata adalah seorang yang luar biasa cantik manisnya! Sepasang mata yang lebar dan jeli itu memandang kepadanya, agak basah air mata, dan gadis itu pun segera berlutut di dalam perahu menghadap Sun Hok.
"Sungguh saya telah berhutang budi yang teramat besar kepada Kongcu. Kalau tidak ada Kongcu yang menolongku, entah apa yang akan terjadi dengan diriku ini, tentu lebih hebat dari pada kematian. Tidak mungkin aku dapat membalas budi kebaikan itu, maka biarlah setiap malam aku akan bersembahyang kepada Thian agar Kongcu diberi berkah selama hidupnya, dan biarlah kelak dalam penjelmaan mendatang saya akan menjadi kuda atau anjing peliharaan Kongcu untuk membalas budi ini," kata-kata itu diucapkan dengan suara yang merdu dan halus, menggetar bercampur tangis tertahan.
Sun Hok mengerutkan alisnya. memandang penuh perhatian, lalu berkata dengan halus. "Nona, tak perlu engkau bicara seperti itu. Yang penting, ceritakan siapa engkau, di mana rumahmu dan bagaimana engkau tadi terjatuh ke dalam tangan lima orang penjahat itu."
Gadis itu kini menangis sambil menutupi muka dengan sepasang tangannya, tak mampu mengeluarkan kata-kata. Sun Hok merasa iba sekali, akan tetapi dia membiarkan gadis itu menangis. Perahu mereka telah tiba kembali di tempat di mana nelayan tua tadi masih menunggu.
"Kita turun di sini, Nona, dan nanti kuantar engkau pulang. Perahu ini harus dikembalikan kepada pemiliknya."
Tukang perahu itu merasa heran melihat penyewa perahunya kembali dengan seorang gadis cantik, akan tetapi dia mengenal Can Sun Hok sebagai seorang pemuda kaya raya yang mendiami istana tua dan sering kali mengail di sungai, maka dia pun tidak banyak bertanya melainkan menerima setail perak dengan girang. Ia menghaturkan terima kasih, lalu meluncurlah perahunya meninggalkan sepasang orang muda itu berada di pantai. Sun Hok mengajak gadis itu mengambil pancing dan ikan yang tadi ditangkapnya. Ikan itu sudah mati, akan tetapi masih segar.
"Aih, engkau mendapatkan ikan lee moncong putih yang besar dan segar, Kongcu!" gadis itu berseru dan agaknya sudah lupa akan kesedihannya.
Melihat ini Sun Hok menahan senyumnya. Gadis ini agaknya bukan seorang pemurung dan dia pun ikut bersenang hati.
"Bagaimana kalau kupanggang ikan ini untukmu, Kongcu? Aku pandai memanggang ikan, akan tetapi sayang, tidak ada garam dan bumbu..."
"Aku selalu membawanya," kata Sun Hok dan dia pun mengeluarkan bungkusan garam, bawang dan bumbu yang lain.
"Aih, bagus sekali, Pernahkah engkau makan ikan panggang yang terbungkus tanah liat?" Gadis itu bertanya. Sun Hok menggeleng kepalanya dan gadis itu cepat menyingsingkan lengan bajunya sehingga nampak kedua lengannya yang halus dan putih mulus.
"Kongcu, apakah engkau punya pisau? Aku memerlukannya untuk membersihkan ikan ini, membuang isi perutnya..."
Sun Hok tersenyum dan menggeleng kepala. "Mari kubantu engkau," katanya dan dia pun mengambil ikan itu. Dengan sepotong batu kecil yang runcing tajam dia membuka perut ikan itu, lalu menyerahkannya kembali kepada gadis itu.
Kemudian dia memasang umpan cacing di mata kailnya dan duduk lagi memancing, kini penuh perhatian dan harapan untuk menangkap sedikitnya satu ekor lagi yang agak besar supaya cukup untuk mereka berdua. Entah kenapa, tiba-tiba saja bagi Sun Hok dunia ini seperti terjadi suatu perubahan luar biasa, dia merasa gembira dan penuh gairah. Senja yang mulai remang-remang itu nampak indah bukan main, dan tempat yang sunyi itu, di mana hanya ada mereka berdua, kelihatannya sama sekali tidak sepi lagi.
Tak lama kemudian umpannya kembali disambar ikan. Sun Hok menariknya dan sekali ini dia benar-benar bersorak gembira ketika melihat seekor ikan yang lebih besar dari tadi tergantung di ujung pancingnya.
"Horeeeee...!" Dia berseru gembira dan seperti seorang anak kecil dia membawa tangkai pancing dengan ikan yang masih meronta-ronta itu kepada gadis yang kini sudah selesai membersihkan ikan pertama tadi.
Gadis itu pun kini sama sekali tidak kelihatan murung lagi, ikut pula tertawa dan gembira sehingga untuk kedua kalinya Sun Hok terpesona. Pada waktu gadis ini tertawa, nampak deretan gigi seperti mutiara dan di kedua ujung bibirnya nampak lesung pipit yang manis bukan kepalang
"Wah, malam ini kita akan kekenyangan ikan!" teriak gadis itu.
Sun Hok lalu mengambil ikan itu, membuka perutnya dan menyerahkannya lagi kepada Si Gadis yang dengan jari-jari tangan cekatan segera membersihkan isi perutnya. Sun Hok melihat betapa dengan gerakan tangan seorang ahli, gadis itu menaruhkan bumbu-bumbu setelah mencuci daging ikan, lalu menutupi ikan itu seluruhnya dengan tanah liat. Belum pernah selamanya dia melihat orang memanggang ikan seperti itu.
"Kita butuh api unggun!" kata gadis itu dan tanpa diperintah lagi, Sun Hok segera mencari kayu kering kemudian membuat api. Sebentar saja tempat itu menjadi terang dengan api unggun.
Dengan dua tangkai kayu yang digunakan sebagai sepasang sumpit besar, gadis itu lalu memanggang dua ekor ikan yang kini sudah berada di dalam tanah liat. Mereka duduk menghadapi api unggun, saling berhadapan terhalang api unggun, akan tetapi malah bisa saling pandang karena wajah masing-masing tertimpa sinar api kemerahan.
Beberapa kali sinar mata mereka bertaut, akan tetapi selalu Sun Hok yang menundukkan pandang mata lebih dahulu. Meski pun usianya sudah dua puluh tiga, selama ini Sun Hok tidak pernah bergaul dengan wanita. Kesenangannya hanyalah memperdalam ilmu silat, menjelajah ke gunung-gunung dan sungai-sungai, mencari kesibukan dalam kesepian.
Semenjak Wa Wa Lobo meninggal dunia, dia seperti kehilangan pegangan dan kadang-kadang terjadi perang di dalam batinnya. Apakah dia harus membalaskan kematian ibu kandungnya, juga kematian Wa Wa Lobo, kepada Ceng Sui Cin? Akan tetapi bila mana dia teringat kepada Ceng Sui Cin, apa lagi kepada puterinya, Cia Kui Hong, dia merasa kagum dan bahkan semua petuah yang pernah didengarnya dari Ceng Sui Cin tak pernah dapat dilupakannya.
Menurut nasehat Wa Wa Lobo, sebagai seorang anak berbakti dia harus membalaskan kematian ibunya. Akan tetapi menurut nasehat Ceng Sui Cin, karena ibu kandungnya dulu pernah melakukan penyelewengan, menjadi seorang tokoh sesat dan turut memberontak, maka satu-satunya cara baginya untuk berbakti kepada ibunya adalah dengan perbuatan-perbuatan baik untuk menebus semua dosa ibunya yang lalu!
Sekarang dia bertemu dengan seorang wanita lagi yang secara mendadak telah menyita seluruh perhatiannya, membuat dia terpesona, padahal dia sama sekali belum mengenal siapa wanita ini dan orang macam apa! Apakah kecantikannya yang khas itu yang sudah membangkitkan rangsangan di dalam hati mudanya? Ataukah karena sikap gadis itu yang begitu gembira? Juga, biar nampak masih amat muda, namun demikian pandai membawa diri, dapat menguasai diri, tenang dan yakin akan kemampuan diri sendiri?
Tanah liat yang membungkus dua ekor ikan itu sudah mulai kering tapi tidak tercium bau gurih seperti kalau Sun Hok memanggang ikan itu tanpa dibungkus tanah liat.
"Kenapa harus dibungkus tanah liat?" akhirnya Sun Hok bertanya karena semenjak tadi, setiap kali beradu pandang, mereka hanya tersenyum-senyum saja, seakan-akan merasa canggung dan malu untuk bicara, seakan-akan tidak ada apa-apa lagi untuk dibicarakan karena kalau sampai mereka bicara, suasana yang demikian aneh dan menggembirakan itu akan terganggu.