Pendekar Mata Keranjang Jilid 40

Serial Pedang Kayu Harum Episode Pendekar Mata Keranjang Jilid 40 Karya Kho Ping Hoo
Sonny Ogawa
AKAN tetapi pujian Hay Hay demikian jujur, demikian indah didengar, demikian mengelus hatinya, membuat dia seperti merasa mengantuk dan nyaman sekali. Dia menggigit bibir dan dengan mengeraskan hati dia berseru. "Cukup...!"

Bentakannya itu membuyarkan ayunan yang nikmat tadi dan dia menatap wajah Hay Hay dengan sepasang mata bersinar dan penuh selidik. Tetapi dia tidak menemukan kekurang ajaran di dalam pandang mata pemuda itu.

"Nah, Kui Hong. Demikianlah kira-kira keadaan wajahmu, yang tadi kugambarkan secara canggung sekali karena bagaimana mungkin bisa menggambarkan keindahan seperti itu. Aku bukanlah seorang seniman yang pandai. Kalau saja aku pandai melukis! Apakah itu namanya rayuan? Aku hanya menggambarkan dengan jujur, bukan sembarang memuji, juga bukan merayu dengan pamrih. Kalau engkau cantik, mana mungkin aku mengatakan buruk? Lelaki yang menyembunyikan kecantikan wanita, tidak jujur dan menyimpan saja di dalam hati agar dianggap sopan, maka dia adalah seorang munafik!"

Sejenak keduanya diam dan Kui Hong merasa senang sekali walau pun dia merasa malu dan canggung, Akhirnya dia mengangkat muka sehingga kedua orang itu beradu pandang. "Hay Hay, benar-benarkah engkau menganggap aku cantik?"

"Tentu saja. Kalau engkau buruk lalu kukatakan cantik, itu baru merayu namanya. Engkau seorang dara yang gagah perkasa, lihai, cantik dan lincah gembira, Kui Hong."

Kali ini Kui Hong tidak cemberut, bahkan tersenyum manis, yakin akan kejujuran pemuda yang dianggapnya istimewa ini. Dia sudah banyak bertemu pria, akan tetapi belum pernah ada yang seperti Hay Hay, begitu pintar memuji dan menyenangkan hati dengan kata-kata yang indah seperti merayu, akan tetapi tidak memiliki pandang mata kurang ajar atau tak sopan seperti pandang mata pria lain. Hatinya senang sekali.

"Dan engkau pun seorang pemuda yang tampan, sederhana namun memiliki kepandaian yang amat tinggi, Hay Hay."

Hay Hay tertawa girang. Dia pun bangkit berdiri dan menjura dengan tubuh membungkuk sampai dalam. "Terima kasih, Nona manis, terima kasih atas pujianmu. Ternyata engkau mudah sekali belajar menjadi manusia yang jujur!" Dia lalu memandang ke sekelilingnya. "Akan tetapi senja sudah larut dan malam hampir tiba. Apakah tidak sebaiknya kalau kita melanjutkan perjalanan mencari dusun supaya kita memperoleh rumah untuk melewatkan malam?"

Kui Hong menggelengkan kepalanya. "Tidak, malam ini bulan muncul dan tempat ini pun cukup menyenangkan. Aku masih lelah dan biar kita melewatkan malam di sini saja. Akan tetapi, kalau engkau ingin mencari rumah penginapan di dusun, silakan pergi dan biarlah aku tinggal sendiri di sini!" Kalimat terakhir mengandung kekerasan.

"Ha-ha-ha, engkau sungguh seperti sebutir batu mulia, Kui Hong!"

"Hemm? Apa artinya engkau menyamakan aku dengan batu?"

"Batu tapi bukan sembarang batu, Nona, melainkan batu mulia seperti intan dan kemala, indah, bernilai tinggi, akan tetapi keras laksana baja. Baiklah, kalau engkau menghendaki bermalam di sini, aku pun suka sekali. Kita dapat bercakap-cakap agar perkenalan antara kita lebih akrab. Yang kuketahui darimu hanyalah bahwa engkau bernama Cia Kui Hong, puteri Ketua Cin-ling-pai. Tentu saja aku ingin mengetahui lebih banyak."

"Engkau harus bercerita lebih dulu," kata Kui Hong sambil menjulurkan kedua kakinya dan duduk bersandar di batang pohon yang tumbuh di situ. Tempat itu memang enak sekali, rumputnya tebal dan bersih, ada pohon yang melindungi mereka dan tidak jauh dari situ agaknya terdapat anak sungai karena terdengar suara gemericik air.

"Baiklah, akan tetapi karena memang tidak ada apa-apanya yang menarik tentang diriku, kau boleh bertanya apa saja dan aku akan menjawab."

"Hay Hay, tadi pada saat engkau bertanding melawan Hek-hiat-kwi, engkau terdesak tapi kemudian ternyata engkau hanya bersiasat dan mengalah untuk menjebak nenek iblis itu. Andai kata engkau tak mengalah, apakah engkau akan bisa mengalahkan Hek-hiat-kwi?"

"Locianpwe itu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, ilmu silatnya juga aneh dan matang, dan tenaga saktinya sangat kuat. Akan tetapi aku yakin akan mampu mengatasinya kalau kami bertanding dengan sungguh-sungguh," jawab Hay Hay sejujurnya.

Gadis itu mengangguk-angguk tanpa melepaskan tatapan matanya pada wajah pemuda itu dengan sinar mata kagum. "Aku pun menduga demikian Hay Hay, engkau begini lihai, ilmu silatmu jauh lebih tinggi dibandingkan kepandaianku, bahkan engkau pun pandai ilmu sihir, dan engkau mengaku masih sute dari Toako (Kakak Besar) Cia Sun..."

"Ehh? Engkau menyebut Toako kepada Suheng Cia Sun? Apa hubunganmu..."

"Nanti dulu. Ingat, kini giliran cerita tentang dirimu! Nah, siapakah gurumu yang membuat engkau demikian lihai?"

"Wah, Kui Hong, terus terang saja, selama ini aku tak pernah menceritakan kepada siapa pun tentang guru-guruku. Akan tetapi karena aku sudah berjanji untuk menjawab, biarlah aku memberi pengecualian kepadamu. Engkau seorang gadis yang hebat, sangat pantas mendapat keistimewaan itu. Nah, guru-guruku banyak. Yang mengajar ilmu silat ialah dua orang dari Delapan Dewa, yaitu Ciu-sian Sin-kai, majikan Pulau Hiu di Laut Pohai, serta See-thian Lama atau Go-bi Sian-jin, yaitu gurunya suheng Cia Sun. Yang mematangkan seluruh ilmuku adalah suhu Song Lojin (Kakek Song) dan Guruku dalam ilmu sihir adalah mendiang Pek Mau san-jin."

Kui Hong memandang penuh kagum. "Pantas saja engkau hebat. Ternyata yang menjadi guru-gurumu dalam hal ilmu silat adalah dua orang di antara Delapan Dewa. Aku pernah mendengar dari Kongkong (Kakek) tentang kehebatan Delapan Dewa. Sekarang aku ingin tahu tentang keluargamu. Engkau tentu sudah beristeri..."

"Ahhh, jangan mengejekku, Kui Hong! Siapa sudi dengan orang macam aku? Aku belum menikah, bertunangan pun belum, pacar pun tidak punya!"

"Hemm, benarkah? Engkau sudah begitu berpengalaman dan pandai menyenangkan hati wanita, dan usiamu juga tidak muda lagi."

"Aku baru berusia dua puluh satu, masih terlalu muda untuk memikirkan soal jodoh."

"Begitu pendapatmu? Dan siapa nama Ayah Ibumu? Di mana mereka tinggal?"

Kali ini lenyaplah seri pada wajah Hay Hay. Untung bahwa malam mulai tiba, sinar senja mulai terganti keremangan menjelang malam sehingga gadis itu tidak melihat perubahan mukanya yang kini diliputi mendung.

"Ayahku she Tang, aku tidak tahu siapa namanya. Aku juga tidak tahu siapa nama ibuku. Aku pun tidak pernah melihat ayah ibuku. Ibu meninggal dunia ketika aku masih kecil dan ayahku, aku tidak tahu dia berada di mana."

"Ohhhh...!" Seruan Kui Hong mengandung kekagetan dan juga iba. "Kasihan engkau, Hay Hay..."

Keriangan watak Hay Hay pulih kembali. "Tidak usah kasihan, Kui Hong, aku sendiri pun tidak kasihan pada diriku sendiri. Kenapa mesti kasihan kalau keadaan hidupku memang sudah semestinya begitu?"

"Tapi... tapi, bagaimana sampai engkau tidak tahu dan tidak mengenal ayah ibumu? Apa yang telah terjadi dengan mereka?"

Hay Hay merasa canggung sekali. Akan tetapi karena sudah berjanji, maka terpaksa dia pun menuturkan sebagian dari riwayat hidupnya tanpa harus menceritakan keadaan ayah kandungnya seperti yang didengarnya dari keluarga Pek.

"Aku sendiri tidak tahu apa yang terjadi. Pada waktu aku masih kecil sekali, agaknya ibu mengajak aku bepergian dengan perahu. Tetapi perahu itu terguling sehingga ibu dan aku hanyut. Ibu tewas dan aku tertolong orang. Kemudian aku bertemu dengan kedua orang guruku dan menjadi murid mereka. Hanya begitulah. Nah, tidak ada yang menarik tentang diriku, bukan? Sekarang giliranmu, Kui Hong."

"Nanti dulu," bantah Kui Hong. "Engkau memiliki ilmu sihir, bahkan aku sendiri pun pernah kau permainkan dengan sihirmu ketika kita memperebutkan kijang itu. Akan tetapi kenapa nenek itu tidak dapat kau pengaruhi dengan ilmu sihirmu?"

"Ahh, hal itu hanya menunjukkan bahwa nenek itu pernah mempelajari sihir atau memiliki kekuatan batin yang amat kuat untuk melindungi dirinya. Sekarang aku ingin tahu tentang dirimu, Kui Hong. Biar pun aku sudah tahu bahwa ayahmu adalah Ketua Cin-ling-pai yang terkenal, akan tetapi aku belum tahu siapa nama kedua orang tuamu."

"Ayah bernama Cia Hui Song, keturunan dari para Ketua Cin-ling-pai, sedangkan ibuku bernama Ceng Sui Cin, puteri Pendekar Sadis..."

"Ahh! Pendekar sadis yang amat terkenal itu adalah Kongkong-mu?" kata Hay Hay penuh kagum. "Dan semua ilmu silatmu tentu kau dapat dari orang tuamu."

"Benar, akan tetapi selama tiga tahun terakhir ini aku tinggal di Pulau Teratai Merah dan menerima petunjuk dari kakek dan nenekku."

"Pantas saja! Ilmu silatmu lihai bukan main, Kui Hong. Apa lagi dalam hal ginkang (ilmu meringankan tubuh), sungguh aku kagum dan takluk."

"Sudahlah, jangan terlalu banyak memuji. Buktinya aku tidaklah selihai engkau," kata Kui Hong yang tidak ingin berbicara lebih banyak tentang orang tuanya karena tidak mungkin baginya untuk menceritakan mengenai keretakan rumah tangga orang tuanya. "Sekarang engkau sedang hendak pergi ke manakah?"

Hay Hay lalu menceritakan tentang pertemuannya dengan Menteri Yang Ting Hoo yang bijaksana di rumah Jaksa Kwan, dan tentang permintaan tolong Menteri Yang Ting Hoo kepadanya agar suka melakukan penyelidikan terhadap persekutuan di Lembah Yangce.

"Menurut keterangan dua orang pejabat tinggi yang bijaksana dan setia itu, gerakan para pemberontak itu dipimpin oleh para datuk sesat, kabarnya diketuai oleh Lam-hai Giam-lo, bahkan Pek-lian-kauw juga sudah bergabung dengan persekutuan itu. Nah, sekarang aku sedang menuju ke sana. Ketika perutku terasa amat lapar, aku lalu berburu kijang itu dan bertemu denganmu." Hay Hay tersenyum ketika teringat akan peristiwa itu. "Dan engkau sendiri, hendak pergi ke manakah?"

"Aku? Aku hanya ingin merantau, meluaskan pengalaman, juga hendak mencari seorang pengkhianat keji, seorang murid murtad yang sudah sepantasnya dihancurkan karena dia dapat menjadi orang yang amat berbahaya." Kui Hong mengepal tinju dan nampak marah sekali.

Hay Hay terkejut sekali dan mengerutkan alisya. Tak nyaman rasa hatinya melihat gadis itu dicengkeram dendam yang demikian penuh kebencian terhadap seseorang. "Hemmm, siapakah orang itu? Seorang murid Cin-ling-pai?"

"Kalau hanya seorang murid Cin-ling-pai, kiranya tidaklah demikian membahayakan, tidak perlu aku bersusah payah mencarinya sendiri. Akan tetapi dia jauh lebih lihai dari sekedar seorang murid Cin-ling-pai, karena dia adalah murid gemblengan dari Kakek dan Nenek di Pulau Teratai Merah."

"Ahhh...! Maksudmu, dia itu murid dari kakekmu Pendekar Sadis?"

"Benar. Namanya Ciang Ki Liong. Seperti juga engkau, dia seorang korban kecelakaan di laut yang ketika kecil ditolong oleh kakek dan nenekku lalu diambil murid dan digembleng. Ketika tiga tahun yang lalu berkunjung ke pulau itu, aku sendiri sama sekali tidak mampu menandinginya. Tiga tahun yang silam dia minggat dari pulau sambil membawa banyak pusaka Pulau Teratai Merah, dan karena itulah kakek dan nenek kemudian mengajarkan ilmu-ilmu kepadaku agar aku dapat menandinginya."

"Tapi... tapi sebagai murid Pendekar Sadis, tentu dia memiliki akhlak yang baik. Mengapa dia sampai pergi meninggalkan pulau itu dan membawa banyak pusaka milik kakekmu?"

"Menurut kakek dan nenek, sejak kecil dia memang kelihatan berwatak baik sekali, akan tetapi ketika aku berkunjung ke pulau itu, malam itu dia... dia mempunyai niat kotor dan kurang ajar terhadap diriku. Aku menolak dan menyerangnya, kami lantas berkelahi dan begitulah, pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali dia minggat membawa barang-barang pusaka, termasuk pedang kakek yang bernama Gin-hwa-kiam (Pedang Bunga Perak)."

"Aihh, kiranya begitu?" Hay Hay mengangguk-angguk. "Terbuktilah sekarang bahwa aku tidak membohong ketika aku memuji-muii kecantikanmu, Kui Hong. Pantas saja Ciang Ki Liong itu tergila-gila kepadamu sebab engkau memang cantik menggairahkan, hanya saja dia tidak sanggup melawan nafsu birahinya sendiri sehingga melakukan hal yang buruk. Kecantikan, seperti juga semua keindahan, menjadi sangat berbahaya kalau ingin dimiliki dan dinikmati sebagai kesenangan."

"Hemmm, engkau sendiri seorang laki-laki mata keranjang yang suka dengan kecantikan wanita. Tentu engkau pun sering kali tertarik oleh kecantikan wanita, bukan?"

"Tidak kusangkal, Kui Hong. Aku suka sekali dan sering tertarik akan kecantikan wanita seperti aku suka dan tertarik dengan kecantikan bunga-bunga yang beraneka bentuk dan warna. Semuanya indah mengagumkan. Akan tetapi aku tidak membiarkan diriku dikuasai nafsu untuk memetik bunga-bunga itu, karena hal itu berarti merusak dan merusak adalah perbuatan jahat. Aku hanya menikmati kecantikan wanita melalui pandang mataku, tanpa dipengaruhi birahi yang akan mendorongku ke arah perbuatan yang melanggar susila."

Hening sejenak dan malam pun tiba. Tanpa bicara keduanya lantas mengumpulkan kayu kering dan membuat api unggun untuk mengusir nyamuk dan hawa dingin. Api bernyala dengan indahnya karena kayu yang dimakannya sudah kering betul dan malam itu tidak ada angin. Kehangatan dan penerangan diciptakan api yang bernyala itu.

Mereka duduk berhadapan, terhalang oleh api unggun. Hay Hay mengagumi wajah yang tertimpa cahaya api itu, mewarnai wajah cantik itu dengan warna kemerahan. Ketika gadis itu mengangkat muka dan menatapnya, dia tidak melepaskan pandang matanya sehingga sejenak sinar mata mereka bertemu dan bertaut.

"Hay Hay, pernahkah engkau jatuh cinta?"

Hay Hay terkejut. Pertanyaan itu begitu tiba-tiba dan tak tersangka, seperti sebuah jurus serangan yang aneh dan berbahaya. Dia melihat betapa sepasang mata jeli dan tajam itu memandang kepadanya penuh selidik.

Hay Hay tersenyum dan menggeleng kepalanya. "Aku bersyukur bahwa aku belum pernah jatuh cinta, Kui Hong."

"Bersyukur? Kenapa mesti bersukur?"

"Karena, seperti katamu tadi, cinta merupakan ikatan, seperti burung di dalam sangkar. Aku tidak ingin kakiku terikat atau terkurung di dalam sangkar, lebih suka terbang bebas di angkasa seperti seekor burung garuda! Bagaimana dengan engkau sendiri, Kui Hong? Seorang gadis selihai dan secantik engkau tentu banyak pengagumnya dan tentu engkau pernah jatuh cinta."

"Huh, engkau yang sudah berusia dua puluh satu tahun saja belum pernah jatuh cinta, apa lagi aku yang baru berusia delapan belas tahun. Sudahlah, tidak perlu kita berbicara tentang cinta. Aku tertarik mendengar ceritamu tadi tentang para datuk yang bersekutu untuk memberontak itu. Siapa pula nama pemimpin mereka tadi, dan di mana mereka bersarang?"

"Menurut keterangan Menteri Yang, pemimpin mereka adalah Lam-hai Giam-lo, seorang datuk sesat yang amat sakti. Dan masih banyak tokoh sesat lihai yang bergabung dalam persekutuan itu, juga Pek-lian-kauw yang mempunyai banyak tokoh lihai. Mereka sedang menyusun kekuatan di sepanjang Lembah Yangce, di Pegunungan Yunan."

"Hemm, aku tertarik sekali. Sebagai puteri Ketua Cin-ling-pai, sudah selayaknya kalau aku turun tangan menentang mereka. Dan siapa tahu di sana aku akan dapat bertemu dengan murid murtad itu. Aku pun akan pergi ke sana, Hay Hay."

"Bagus! Kalau begitu kita melakukan perjalanan bersama, Kui Hong. Betapa senangnya melakukan perjalanan bersamamu!"

"Mengapa senang?" Kui Hong bertanya sambil mengerling, disertai senyum. Bagaimana pun juga hati gadis ini senang sekali mendengar pujian-pujian pemuda itu sehingga ingin lebih banyak mendengarnya.

"Kenapa? Tentu saja amat menyenangkan melakukan perjalanan bersama seorang gadis yang cantik manis, lincah jenaka dan lihai pula ilmu silatnya. Biar bertemu setan dan iblis di jalan, aku tidak akan takut kalau melakukan perjalanan bersamamu, Kui Hong."

"Hushhh, di malam gelap dan sunyi seperti ini, jangan bicara tentang setan dan iblis, Hay Hay!"

"Ah, sebentar lagi bulan akan muncul. Lihat di timur itu, sudah ada cahaya merah di langit timur, berarti bulan akan segera muncul."

"Apa lagi waktu terang bulan, katanya setan dan iblis suka berkeliaran. Hihhh! Sungguh mengerikan!" Dan Kui Hong benar-benar agak menggigil ketika mengenang tentang setan dan iblis.

"Ha-ha-ha, seorang gadis selihai engkau ini merasa ngeri dan takut soal setan dan iblis? Sesungguhnya merekalah yang harus merasa ngeri dan takut berhadapan denganmu, Kui Hong, bukan engkau yang takut!" Hay Hay berkelakar.

"Kalau setan dan iblis yang hanya dipakai penjahat untuk julukan mereka, tentu saja aku tidak takut sama sekali. Tetapi kalau setan dan iblis sungguh-sungguh, makhluk-makhluk halus, hiiihhh, siapa yang tidak merasa ngeri?" Kui Hong memandang ke kanan kiri, lalu menoleh ke belakang.

Selama melakukan perjalanan seorang diri, gadis ini tidak takut menghadapi siapa pun, dan karena tidak pernah berbicara atau berpikir tentang setan, maka dia pun tidak pernah takut. Tapi kini, sekali Hay Hay menyebut tentang setan dan iblis yang suka mengganggu manusia, teringatlah dia akan dongeng-dongeng mengerikan tentang setan dan iblis yang suka mengganggu manusia.

"Kui Hong, apakah engkau pernah melihat sendiri setan itu?"

Kui Hong menggeleng kepala menyangkal.

"Kalau belum pernah melihat sendiri, bagaimana engkau bisa percaya adanya setan?"

"Hay Hay, banyak hal-hal yang gaib di dunia ini, yang tak dapat dilihat namun toh ada dan keberadaannya harus dipercaya. Siapa dapat melihat adanya angin? Siapa dapat melihat adanya nyawa? Siapa yang dapat melihat adanya Tuhan? Akan tetapi kita toh percaya. Aku percaya akan adanya setan dan iblis seperti yang didongengkan orang."

Hay Hay mengangguk. "Memang, di dalam ilmu sihir juga ada ilmu yang dinamakan ilmu hitam, yang kekuatannya berpangkal kepada kepercayaan dan pemujaan setan dan iblis. Seperti juga kepercayaan terhadap Tuhan, walau pun tak dapat dilihat, namun kekuasaan Tuhan dapat kita lihat di mana-mana, bahkan di dalam detak jantung kita sendiri, di dalam pertumbuhan kuku dan rambut dan dalam seluruh kehidupan diri kita. Kalau Tuhan adalah sumber segala kebenaran dan kebaikan, maka sebaliknya setan itu adalah sumber segala kejahatan. Aku sendiri ingin sekali melihat setan dengan mata kepala, namun tak pernah berhasil..."

"Ihh... sudahlah, Hay Hay, jangan bicara tentang setan dan iblis di waktu seperti ini. Lihat, bulan mulai muncul dan bayangan-bayangan pohon itu sungguh menyeramkan!" Kembali Kui Hong nampak ketakutan dan diam-diam gadis ini merasa beruntung sekali malam itu ada Hay Hay yang menemaninya. Dia menambahkan kayu pada api unggun sehingga api membesar.

"Sekarang aku mau tidur, tubuhku masih terasa lelah bukan main," katanya dan dia pun merebahkan diri miring di bawah pohon itu berbantal tangan.

"Engkau tidurlah, biar aku yang berjaga. Tidurlah dengan tenang dan nyenyak dan jangan takut akan diganggu setan..."

Tiba-tiba saja Kui Hong menahan jeritnya, lantas meloncat duduk dengan mata terbelalak memandang ke sebelah kirinya.

"Kui Hong! Ada apakah?" tanya Hay Hay dan dia pun menoleh.

Dia pun terbelalak karena melihat asap hitam mengepul dan di tengah asap itu muncullah bentuk yang sangat menyeramkan, seorang manusia mirip raksasa, bertubuh tinggi besar, mukanya hitam arang, matanya lebar melotot hidungnya besar dan mulutnya bertaring! Pendeknya, yang muncul dari dalam asap hitam itu bukan bentuk manusia umum, namun wujud yang biasanya dimiliki setan di dalam dongeng!

Kui Hong yang tadinya terkejut sekali, kini tiba-tiba meloncat ke arah bayangan raksasa itu dan dia menyerang dengan pukulan dahsyat. Akan tetapi gadis itu menahan pekiknya ketika tangannya ternyata tembus saja seolah-olah dia memukul bayangan! Dan 'raksasa' itu tertawa bergelak, nampak giginya yang besar-besar dan lidahnya terjulur panjang! Kui Hong menjadi pucat dan kini ia tidak meragukan lagi bahwa yang diserangnya itu sudah pasti setan! Bukan manusia biasa.

"Kui Hong, mundurlah dan biarkan aku yang menghadapinya," terdengar suara Hay Hay di belakangnya.

Kui Hong cepat melompat ke arah Hay Hay dan dengan tubuh gemetar dia ikut duduk di atas rumput dekat Hay Hay karena pemuda itu pun masih duduk seperti tadi. Saking ngeri dan takutnya, tanpa disadarinya Kui Hong duduk merapat dan merangkul leher pemuda itu, seolah-olah meminta perlindungan.

"Aku... aku takut...," bisiknya dan suaranya juga gemetar.

Api unggun kini mulai padam karena tidak ditambah kayu, akan tetapi bulan telah muncul sehingga cuaca cukup terang, akan tetapi penerangan redup yang menambah keseraman suasana. Kini suara ketawa terdengar semakin ramai dan dengan muka pucat serta mata terbelalak Kui Hong melihat bahwa sekarang, bersama dengan mengepulnya asap hitam, muncul pula empat sosok bayangan lain yang kesemuanya merupakan makhluk-makhluk mengerikan yang mengepung mereka dari depan dengan barisan setengah lingkaran.

Kui Hong merasa semakin takut hingga di luar kesadarannya kedua lengannya merangkul pundak dan leher Hay Hay, seperti seorang anak kecil yang sangat ketakutan dan minta perlindungan dalam dekapan ibunya.

"Tenanglah, Kui Hong, itu hanya permainan kanak-kanak!" bisik Hay Hay.

Padahal di dalam hatinya pemuda ini juga sangat terkejut karena maklum bahwa dia kini sedang berhadapan dengan orang-orang yang memiliki kekuatan sihir yang sangat kuat. Bayangan-bayangan menyeramkan itu adalah jadi-jadian atau wujud yang muncul karena kekuatan sihir ilmu hitam!

Hay Hay mengerahkan kekuatan batinnya, tangannya mengambil tanah di bawah rumput, kemudian menujukan pandang matanya ke arah lima sosok bayangan setan yang sangat menyeramkan itu. Bayangan-bayangan itu masih mengeluarkan suara ketawa yang tidak seperti suara manusia.

"Kalian datang dari tiada, kembalilah kepada tiada!" serunya dan tangannya melontarkan tanah ke arah bayangan-bayangan itu.

Tanah itu melayang berpencar lebar kemudian mengenai lima sosok bayangan. Terdengar pekik-pekik mengerikan dan lima sosok bayangan setan itu menghilang, berubah menjadi asap hitam dan sekarang lima gumpal asap itu menjadi satu, hitam dan tebal bergerak perlahan, membentuk sosok bayangan yang amat panjang dan ternyata berubah menjadi seekor naga hitam yang amat mengerikan!

"Ihhh...!" Kui Hong menggigil ketakutan.

Dara ini adalah seorang pendekar wanita yang gagah perkasa, berilmu tinggi dan memiliki keberanian menghadapi lawan yang bagaimana pun juga. Akan tetapi karena sebelumnya tadi dia sudah merasa ngeri ketika berbicara mengenai setan dengan Hay Hay, maka kini dia kehilangan ketabahannya dan merasa takut bukan kepalang begitu muncul apa yang disangkanya setan benar-benar.

Dia menganggap bahwa semua ilmu silatnya tak ada artinya sama sekali untuk melawan setan, dan kemunculan bentuk-bentuk yang menyeramkan itu menambah rasa takutnya. Apa lagi tadi dia sudah sempat mencoba, ketika memukul tangannya tembus saja tanpa ada pengaruh sedikit pun kepada bayangan-bayangan itu. Sekarang rasa takut membuat wajahnya pucat, kepalanya pening dan tubuhnya lemas seakan-akan seluruh tenaganya lenyap meninggalkan tubuhnya.

Melihat betapa Kui Hong ketakutan, Hay Hay merasa mendongkol juga kepada lima orang yang tengah mengganggu mereka dengan ilmu hitam. Maka dia pun mengerahkan semua tenaganya, sebab lima orang itu dengan mempersatukan kekuatan sihir mereka sekarang telah membentuk bayangan seekor naga hitam.

Seperti yang pernah dia pelajari dari Pek-mau San-jin, kembali tangannya mencengkeram segenggam tanah, mulutnya membaca mantra yang artinya 'Ngo-heng (Lima Unsur Inti) adalah senjataku, Im-yang (Positip Negatip) menjadi perisaiku, kekuasaan Tuhan menjadi peganganku, dan hancurlah semua anasir jahat!'

Dia melontarkan tanah itu ke arah bayangan naga yang amat menyeramkan itu, yang kini agaknya hendak menerkam kedua orang muda itu, dengan mata yang bernyala, dengan mulut terbuka sehingga tampak gigi dan lidahnya yang mengeluarkan asap dan terdengar suara geraman dahsyat.

"Darrrrr...!" Terdengar bunyi ledakan, lantas bayangan naga hitam itu pun lenyap berubah menjadi asap hitam, dan kini nampaklah lima orang laki-laki berpakaian pendeta dengan gambar bunga teratai pada jubah bagian dada mereka.

Lima orang itu kelihatan marah sekali dan dengan cepat mereka menerjang ke arah Hay Hay dengan gaya masing-masing. Ada yang menubruk seperti seekor harimau menubruk kambing, ada yang menghantamkan kedua tangannya ke arah kepala Hay Hay, ada pula yang melakukan tendangan kilat, dan ada pula yang mempergunakan tenaga dalam untuk menghantamkan kedua telapak tangan ke arah pemuda itu. Gerakan mereka itu dilakukan secara berbareng, dan agaknya memang disengaja supaya pemuda itu tidak lagi mampu menghindarkan diri dari pengeroyokan itu.

Akan tetapi mereka terlalu memandang rendah pada pemuda sederhana ini. Pengalaman mereka tadi saja, pada saat mereka menggabungkan kekuatan sihir tetapi dengan mudah bisa dibikin hancur oleh Hay Hay, mestinya telah memperingatkan mereka bahwa mereka menghadapi seorang pemuda yang sangat lihai. Namun agaknya mereka memang bandel dan belum mengaku kalah.

Kui Hong masih ketakutan, tubuhnya lemas sehingga dia hanya bersandar kepada Hay Hay. Dia masih bingung dan masih menganggap bahwa lima orang itu adalah setan-setan atau para siluman yang menyeramkan, yang tidak dapat dilawan dengan ilmu silat. Sebab itu, melihat betapa mereka kini menerjang Hay Hay, dia pun hanya menonton saja dengan tubuh masih gemetar.

Begitu melihat serangan mereka, Hay Hay yang waspada sudah dapat mengukur tenaga mereka, maka dia pun masih tetap duduk saja. Untuk menghadapi serangan mereka itu, dia menyambutnya dengan dorongan dua tangannya, dengan telapak tangan menghadap ke depan.

"Haiiittttt...!" Pemuda itu membentak dan suaranya mengandung khikang yang amat kuat, sedangkan dari kedua telapak tangannya menyambar hawa pukulan dahsyat menyambut serangan lima orang itu.

Terdengar teriakan-teriakan keras dan tubuh lima orang itu terjengkang lantas terbanting roboh! Mereka terkejut bukan main, baru menyadari bahwa mereka berhadapan dengan orang yang mempunyai tingkat kepandaian yang jauh lebih tinggi dari pada mereka, maka tanpa dikomando lagi lima orang itu pun segera berloncatan dan lari menghilang di dalam kegelapan bayangan-bayangan pohon.

Setelah lima orang pendeta Pek-lian-kauw itu pergi, baru Hay Hay dapat memperhatikan keadaan Kui Hong. Gadis itu masih merangkulnya dan dengan tubuh lemas bersandar di tubuhnya, seperti orang yang kehabisan tenaga, dengan tubuh masih agak dingin gemetar seperti seekor kelinci ketakutan yang baru saja terhindar dari terkaman harimau.

"Tenanglah, Kui Hong, kini mereka sudah pergi," kata Hay Hay dengan hati iba. Dia tahu bahwa Kui Hong bukan seorang pengecut atau penakut, akan tetapi pada waktu itu gadis ini sedang dilanda rasa takut dan kengerian terhadap setan yang dia merasa tidak akan mampu melawannya.

Mendengar ucapan Hay Hay itu, Kui Hong menarik napas tanda lega hatinya, akan tetapi ketegangan hatinya masih belum lenyap sehingga dia masih menyandarkan kepalanya di pundak Hay Hay dan untuk melepaskan ketegangan hatinya, dia lalu memejamkan kedua matanya.

"Aku... aku tadi takut sekali...," desahnya.

Hay Hay tersenyum dan menunduk. Dilihatnya wajah yang manis itu masih pucat, bahkan nampak lebih pucat karena sinar bulan memang sudah membuat suasana nampak makin pucat. Rambut itu terurai dan nampak leher yang panjang, kulit leher yang demikian halus seperti lilin, putih mulus dan menantang.

Hay Hay terbayang akan semua pengalamannya. Pertama dengan Ji Sun Bi, kemudian dengan Kok Hui Lian, lantas tergeraklah hatinya, bernyalalah api gairah di dalam dirinya dan bagaikan orang yang tidak sadar, dia pun mendekatkan bibirnya dan pada lain saat dengan lembut mulutnya sudah mencium leher Kui Hong.

Leher itu menegang sesaat, akan tetapi lalu lemas kembali. Kui Hong tetap memejamkan kedua matanya dan napasnya terengah-engah, akan tetapi Hay Hay merasa betapa leher itu menjadi hangat dan lembut. Dia menjadi semakin lupa diri, tenggelam dalam perasaan mesra yang mendalam. Bibirnya mengecup kulit leher itu, ujung lidahnya menjilat-jilat dan Kui Hong mengeluarkan keluhan lirih memanjang dan tubuhnya menggelinjang.

Bibir Hay Hay menciumi leher itu dengan lembut, kemudian ke atas, ke bawah dagu dan ke bawah daun teiinga. Kui Hong mendesah tanpa membuka mata, bahkan ketika mulut Hay Hay bergerak lembut ke atas pipinya dan sampai ke ujung mulutnya, dia menengok, menyambut dan dua mulut itu saling bertemu dalam sebuah ciuman yang mesra. Rintihan halus terdengar dari leher Kui Hong.

Ketika Hay Hay merasa betapa mulut yang panas dan basah itu menyambutnya seperti bunga merekah, dia amat terkejut kemudian cepat melepaskan ciuman dan rangkulannya. Napasnya terengah-engah, berpacu dengan napas Kui Hong yang juga memburu.

Pada saat Hay Hay melepaskan dekapannya, Kui Hong seperti baru sadar dan keduanya bagai tersentak kaget kemudian saling menjauhi. Kui Hong terbelalak, mukanya sebentar pucat sebentar merah, sedangkan Hay Hay merasa menyesal bukan main bahwa dia tadi telah lupa diri.

"Setan kau! Iblis kau! Berani menggodaku!" bentak Hay Hay sambil memukul tanah tiga kali.

"Hay Hay... apa... kenapa...?" Kui Hong berkata gagap karena hatinya masih terguncang hebat oleh peristiwa tadi, sejak munculnya setan-setan itu sampai pengalaman yang amat mengguncang hatinya, ketika kemesraan menenggelamkannya, pengalaman yang selama hidupnya baru sekali ini pernah dirasakannya dan yang membuatnya bingung.

Hay Hay cepat menghadapi gadis itu. "Ahhh, Kui Hong, kau... kau maafkanlah aku, kau ampunkanlah aku... aku tadi telah tergoda setan! Benar-benar setan dan iblis sendiri yang telah menggodaku, menggoda kita sehingga kita... kita lupa diri..."

Kui Hong memandang dengan muka merah karena merasa malu dan canggung, dengan sinar mata bingung tidak mengerti. "Akan tetapi... apa salahnya... kalau kita... kita saling mencinta... apa salahnya...?"

Hay Hay merasa terharu dan juga terkejut. Terharu karena gadis ini benar-benar polos dan jujur, masih bersih dan suci, dan dia yang telah menodai kebersihan batin gadis itu! Juga dia terkejut mendengar ucapan Kui Hong yang jelas menyatakan gadis itu mencintanya! Pernyataan bahwa mereka saling mencinta itu saja sudah cukup jelas membuktikan kalau gadis itu cinta padanya dan mengira bahwa dia pun cinta pada Kui Hong!

Akan tetapi dia tidak boleh berbohong, tidak boleh menipu gadis yang hebat seperti Kui Hong ini. Memang, alangkah mudahnya menyatakan cinta kepada seorang gadis sehebat Kui Hong, akan tetapi pernyataan itu hanya merupakan suatu kebohongan belaka. Dalam lubuk hatinya dia tidak merasakan adanya cinta seperti yang dimaksudkan Kui Hong, cinta yang akan mendorong pria dan wanita untuk menjadi suami isteri dan hidup bersama untuk selamanya.

Tidak, dia tidak menghendaki itu, dia tak ingin menjadi suami Kui Hong atau suami wanita mana pun juga. Dia suka kepada Kui Hong, kagum dan mungkin mencintanya, akan tetapi bukan cinta untuk kemudian diikat menjadi suami! Bukan pula cinta nafsu karena betapa pun juga, walau pun dia kagum bukan main akan kecantikan gadis ini, dia masih mampu mengatasi kekuasaan nafsu birahinya.

Tanpa berani memandang kepada Kui Hong, Hay Hay yang masih duduk di atas rumput itu menggelengkan kepala dan menarik napas panjang. "Tidak, Kui Hong, aku menyesal sekali... akan tetapi aku... terus terang saja aku... aku tidak mencintamu seperti yang kau maksudkan. Aku kagum padamu, aku suka padamu, bahkan aku pun cinta padamu, akan tetapi bukan cinta untuk kelak menjadi jodohmu, Kui Hong! Aku tak ingin mencinta seperti itu, tidak ingin menjadi suami wanita mana pun, aku... aku..."

Kui Hong telah meloncat berdiri. Mukanya pucat bukan kepalang, matanya terbelalak dan kini beberapa butir air mata mengalir keluar membasahi pipinya. "Kau...! Kau tidak cinta padaku akan tetapi tadi engkau berani menciumku! Aku cinta padamu tapi engkau hanya mempermainkan aku...! Ahh... hu-huh-huhhh... aku benci padamu! Aku benci padamu..." Kui Hong menyambar buntalan pakaiannya, lalu melompat jauh dari tempat itu, membawa pergi isak tangisnya.

"Kui Hong..." Hay Hay memanggil lirih sambil berdiri, akan tetapi gadis itu tidak nampak lagi, hanya lapat-lapat terdengar isaknya dari jauh. Hay Hay tidak mengejarnya, bahkan dia menjatuhkan diri ke atas rumput, lalu menjambak-jambak rambutnya sendiri.

"Kau goblok! Kau tolol sudah membiarkan setan menggodamu!" Dia memaki-maki dirinya sendiri, maklum bahwa dia telah menyinggung perasaan hati Kui Hong, bahkan juga telah menghancurkan cintanya dan sebaliknya menumbuhkan kebencian dalam hati gadis yang dikaguminya itu.

Akhirnya dia tidak peduli lagi dan tak lama kemudian Hay Hay sudah tidur pulas di tempat itu, tanpa api unggun, di bawah sinar bulan dan di dalam hawa yang semakin dingin.

********************

cerita silat online karya kho ping hoo

Jauh dari situ Kui Hong menjatuhkan diri di bawah pohon, lantas dia pun menangis sejadi-jadinya. Hatinya terasa seperti ditusuk-tusuk, dan kesedihan menyelimuti seluruh dirinya. Ingin dia membunuh Hay Hay, akan tetapi dua hal tidak memungkinkan hal itu terjadi.

Pertama, dia kalah jauh sehingga tidak akan mungkin dapat memenangkan pertandingan melawan pemuda lihai itu. Ke dua, dia tidak akan tega membunuhnya, karena selain dia telah berhutang budi dan nyawa, juga dia sadar betul bahwa dia telah jatuh cinta kepada Hay Hay.

Ia mencinta pemuda itu sepenuh hatinya. Semua gerak-gerik pemuda itu menyenangkan hatinya dan mendatangkan perasaan kagumnya. Betapa pemuda itu dapat menundukkan musuh-musuh yang lihai, bahkan setan yang mengganggu pada malam itu, secara jantan dan hebat. Betapa dia akan berbahagia berada di samping pemuda itu selama hidupnya.

Akan tetapi kenyataan pahit yang tak dapat ditolak lagi, dengan mulutnya sendiri pemuda itu menyatakan bahwa dia tidak cinta kepadanya! Padahal kalau dia membayangkan apa yang baru saja terjadi, betapa mesranya pemuda itu membelainya dan menciumnya, dia hampir tak mau percaya bahwa Hay Hay tidak cinta padanya. Akan tetapi kenyataannya, dengan mulutnya sendiri pemuda itu mengatakan bahwa dia tidak cinta kepadanya atau wanita lain. Cintanya bukan untuk berjodoh!

Kui Hong menangis dan ingin dia mengamuk, bukan kepada Hay Hay akan tetapi kepada siapa saja. Kalau saja pada saat itu ada musuh di hadapannya, tak peduli manusia atau setan, tentu akan diamuknya. Biar setan-setan itu muncul kembali, sekarang dia tak akan merasa takut. Akan diamuknya sampai membunuh mereka semua atau dia yang dibunuh mereka! Lebih baik lagi karena dia tidak akan menderita sakit hati seperti sekarang ini.

Akhirnya Kui Hong juga dapat tidur di bawah pohon itu, tidak peduli dengan keselamatan dirinya lagi. Akan tetapi, seperti juga Hay Hay, tidurnya gelisah bukan main, kadang kala tersenyum penuh kebahagiaan apa bila dia bermimpi tentang kemesraannya bersama Hay Hay, lalu terganti isak tangis.

Pada keesokan harinya, ketika kicau burung dan kokok ayam hutan membangunkannya, Kui Hong segera meninggalkan tempat itu. Ia hendak pergi ke Pegunungan Yunan, bukan untuk membantu Hay Hay yang hendak menyelidiki ke sana, akan tetapi hendak mencari Ciang Ki Liong, murid murtad dari Pulau Teratai Merah itu. Dan inilah satu-satunya tujuan hidupnya saat ini. Menyeret Ciang Ki Liong, dalam keadaan hidup atau mati, kembali ke Pulau Teratai Merah agar menerima hukuman dari kakek dan neneknya!

********************

Bukan watak Hay Hay mau membiarkan diri tenggelam dalam duka. Dia memang merasa menyesal bukan main bahwa dia sempat lupa diri dan membiarkan dirinya hanyut dalam kemesraan, bahkan menyeret Kui Hong hingga gadis itu mengira bahwa dia mencintanya. Kemudian, karena dia tidak membohong atau menipu, biar pun pahit, dia berterus terang dan tentu saja gadis itu tersinggung dan menjadi benci kepadanya.

Hanya sehari dua hari saja dia kelihatan muram dan menyesal, akan tetapi beberapa hari kemudian dia sudah melupakan pengalaman yang tidak enak itu. Dia sudah pulih kembali, menjadi orang yang riang jenaka dan memandang dunia dari segi yang terang benderang. Senyumnya kembali lagi, tidak pernah meninggalkan sudut bibirnya dan matanya kembali bersinar-sinar, wajahnya kembali berseri-seri.

Biarlah yang lewat berlalu sudah, tidak perlu dikenang lagi. Inilah pendiriannya sehingga Hay Hay tidak pernah mau menyimpan semua pengalaman yang lampau, maklum bahwa mengingat kembali hal-hal silam hanya akan mendatangkan sesal dan duka, kecewa dan dendam. Dengan gembira dia melanjutkan perjalanan, menuju selatan, ke Pegunungan Yunan.

Hay Hay tahu bahwa yang mengganggu dia dan Kui Hong tadi malam adalah lima orang pendeta Pek-lian-kauw (Agama Teratai Putih), yang selain memiliki ilmu silat yang cukup lihai juga pandai ilmu sihir sehingga telah membikin takut kepada Kui Hong. Dia berhasil mengusir mereka tanpa perkelahian, hanya dengan mengalahkan ilmu sihir mereka dan hanya satu kali menangkis serangan mereka dengan tenaga saktinya yang jauh lebih kuat dari pada tenaga mereka.

Dia mengira bahwa lima orang pendeta Pek-lian-kauw itu menjadi takut lantas melarikan diri. Dia tidak tahu bahwa peristiwa malam itu sudah membuat orang-orang Pek-lian-kauw menjadi curiga dan waspada kepadanya sehingga kini perjalanannya selalu dibayangi dari jauh.

Mereka melihat seorang lawan yang amat berbahaya pada diri pemuda ini, apa lagi ketika melihat bahwa pemuda itu melakukan perjalanan ke selatan! Kecurigaan mereka semakin besar sesudah mereka tahu bahwa di dalam perjalanannya, ketika melewati sebuah kota pemuda itu mencari keterangan kepada orang-orang di jalan tentang Pegunungan Yunan. Jelaslah bahwa pemuda itu hendak pergi ke Pegunungan Yunan.

Walau pun pemuda itu tidak pernah mengatakan kepada siapa pun juga apa urusannya di Pegunungan Yunan, akan tetapi pihak Pek-lian-kauw sudah bisa menduga bahwa pemuda ini tentu hendak mencari sarang persekutuan mereka! Karena itulah, maka jauh sebelum Hay Hay tiba di perbatasan Pegunungan Yunan, para pimpinan persekutuan kaum sesat itu telah lebih dulu tahu akan keadaan dirinya.

Berdasarkan keterangan yang didapatnya dalam perjalanan, Hay Hay mendengar bahwa yang disebut Dataran Tinggi Yunan adalah daerah di bagian utara Propinsi Yunan yang berbatasan dengan Propinsi Secuan dan Kwi-couw. Di perbatasan itulah terdapat Sungai Cin-sa yang menjadi anak sungai besar Yang-ce-kiang.

Menurut keterangan Menteri Yang Ting Hoo, sarang Lam-hai Giam-lo berada di lembah sungai itu, di antara kedua gunung besar atau Pegunungan Heng-tuan-san di barat dan Pegunungan Tatiang-san di timur, dan pegunungan atau dataran tinggi Yunan itu terapit oleh dua pegunungan ini.

Hay Hay mengambil jalan melewati Propinsi Kwi-couw, dan pada suatu hari tibalah dia di kota Wei-ning. Kota ini terletak di dekat sebuah telaga besar yang disebut Cao-hai (Laut Cao) atau juga Cao-hu (Telaga Cao). Sebuah telaga yang sangat indah, terletak di bagian bawah lereng Pegunungan Wu-meng-san, dekat tapal batas sebelah barat dari Propinsi Kwi-couw, tak berapa jauh lagi dari daerah Yunan sebelah timur.

Karena melihat telaga yang demikian indahnya di dekat kota Wei-ning itu, Hay Hay tidak dapat menahan hatinya untuk tidak berhenti di kota itu dan menikmati keindahan telaga itu selama beberapa hari. Sudah terlalu lama dia melakukan perjalanan melewati gunung-gunung yang tinggi, bukit-bukit yang luas, melalui dusun dan kota, akan tetapi baru sekali ini dia melihat sebuah telaga besar yang airnya kebiruan dan demikian luasnya.

Pantaslah bila Telaga Cao itu kadang-kadang disebut Lautan Cao, karena memang airnya berwarna biru saking dalamnya, mirip air laut. Apa lagi dilihat dari ketinggian sebelum Hay Hay memasuki kota Wei-ning, telaga itu nampak amat indahnya. Banyak pohon tumbuh di sekelilingnya, dan di bagian selatan nampak kelompok pohon cemara yang indah, tumbuh di lereng di tepi telaga.

Rumah-rumah para penduduk kampung berada di sebelah barat dan utara, sedangkan di bagian timur telaga itu adalah kota Wei-ning. Penghuni perkampungan di sekitar telaga itu pada umumnya adalah para petani dan nelayan karena telaga itu selain dapat mengairi sawah sehingga para petani dapat menanam bermacam tanaman sepanjang tahun, juga telaga itu sendiri mengandung ikan yang seakan-akan tiada habisnya biar pun setiap hari dikail dan dijala oleh para nelayan.

Nampak burung camar beterbangan di permukaan air telaga, kadang-kadang menyambar turun dan pada saat melayang naik kembali, paruh mereka telah menangkap seekor ikan. Riuh rendah suara mereka, seperti sedang bekerja mencari nafkah dengan gembira dan bersendau-gurau di antara teman.

Tampak pula perahu-perahu nelayan dan perahu-perahu indah di mana orang-orang kota, baik dari Wei-ning mau pun dari kota lain yang sengaja datang berkunjung dan bersenang-senang di telaga itu. Perahu para nelayan memilih bagian yang sepi, jauh di barat dan di tepi-tepi yang sunyi, sebab usaha mereka mencari ikan akan sia-sia saja jika berdekatan dengan perahu-perahu pelesiran yang selalu gaduh itu.

Memang sebagian besar perahu-perahu pelesiran itu disediakan bagi para pria yang ingin bersenang-senang. Ada yang bermain kartu sambil minum arak, ada yang hanya minum arak saja sampai mabok. Ada pula yang memanggil gadis-gadis penyanyi dan penari, dan banyak pula yang memanggil gadis panggilan atau para pelacur untuk menemani mereka minum arak atau menemani mereka tidur di bilik-bilik perahu besar itu.

Namun ada pula pria-pria tua muda yang lebih suka menyendiri, menyewa perahu-perahu kecil dan mereka itu ada yang mencoba peruntungan mereka mengail ikan, ada pula yang hanya duduk membaca buku, ada yang bermain musik sendirian, bermain yang-kim atau meniup suling, ada yang melukis atau menulis sanjak sambil minum arak.

Tak lama kemudian perahu yang ditumpangi Hay Hay telah menyelinap di antara ratusan buah perahu yang lain. Dia menyewa sebuah perahu kecil yang dicat merah, membawa bekal makanan dan minuman yang telah dibelinya di pantai tempat menyewa perahu, lalu mendayung perahu itu meluncur ke tengah telaga dan bercampur dengan ratusan buah perahu lain.

Hay Hay mulai merasa lapar, maka dia memilih tempat yang agak sunyi, jauh di tengah, lalu membuka bungkusan daging ayam panggang saus tomat, semacam sayur hijau yang menjadi masakan, beberapa butir buah pir dan apel, juga seguci kecil arak serta seguci kecil air teh. Mulailah dia makan minum seorang diri dengan hati lapang. Sungguh nikmat makan di atas perahu, di tengah telaga dengan hawa yang sejuk nyaman dan bersih.

Ahh, kalau saja ada Kui Hong di dalam perahunya, pikirnya dan ingin Hay Hay menampar kepalanya sendiri. Kenapa mendadak saja dia merasa kesepian dan teringat kepada Kui Hong? Gadis itu tentu akan marah-marah dan mungkin akan langsung menyerangnya di atas perahu! Mengingat akan hal ini, Hay Hay tersenyum lucu. Tentu mereka keduanya akan tercebur ke dalam air telaga lantas akan mengalami hal-hal aneh dan berbahaya lagi bersama-sama! Tidak, tak boleh dia mengharapkan kehadiran Kui Hong.

Bagaimana kalau Bi Lian? Setelah pikirannya menolak kehadiran Kui Hong, Hay Hay lalu teringat pada Bi Lian. Cu Bi Lian yang berjuluk Tiat-sim Sian-li itu. Murid dari dua di antara Empat Setan, yaitu Pak-kwi-ong dan Tung-hek-kwi. Bukan main gadis itu! Tak kalah oleh Kui Hong dalam segala hal. Cantiknya, lincahnya, galaknya! Bahkan lebih galak dibanding Kui Hong, walau pun belum tentu menang lihai. Akan tetapi Bi Lian juga lihai bukan main, dengan ilmu yang aneh-aneh. Tahi lalat di dagunya itu, bukan main manisnya!

Akan tetapi, kemunculan Bi Lian tentu juga hanya akan mendatangkan keributan, karena bukankah gadis itu pernah mengancamnya bahwa apa bila mereka bertemu lagi, gadis itu tentu akan menyerangnya dan tak akan memberi ampun? Dia tersenyum gembira teringat kepada Bi Lian. Seorang gadis yang hebat dan dia kagum dan suka sekali kepada gadis itu. Akan tetapi tidak, terlampau berbahaya kalau di tempat ini berjumpa dengan Bi Lian. Kalau sampai Bi Lian menggulingkan perahu!

Memang benar, selama tinggal bersama suhu-nya yang ke dua, yaitu Ciu Sian Lokai yang menjadi majikan di Pulau Hiu, dia sering kali mandi di laut sehingga sudah pandai dan menguasai ilmu renang, akan tetapi ilmunya ini tidak cukup tinggi untuk dapat melindungi diri di dalam air kalau sampai dia diserang musuh. Tidak, lebih baik jauh dari Bi Lian kalau dia ingin bersantai di telaga itu.

Begitu dia mengusir bayangan wajah Bi Lian dengan tahi lalat di dagunya yang manis itu, tiba-tiba saja muncul bayangan Pek Eng! Hay Hay mengeluh. Ada apakah dengan dirinya hari ini? Mengapa perempuan melulu yang memenuhi benaknya? Bayangan gadis-gadis cantik saja yang teringat olehnya?

Biar pun dia mencela diri sendiri namun tetap saja kini nampak wajah Pek Eng yang lucu dan manis menarik itu. Hitam manis, mata sipit yang indah, hidung yang ujungnya agak menjungkat naik, bibir yang selalu merah membasah, dan lesung pipit di pipi kiri itu. Aihh, sungguh gadis remaja yang segar, dengan tubuh tinggi semampai yang menggairahkan. Lincah jenaka dan manja!

Hay Hay tersenyum ketika teringat betapa Pek Eng pernah mencium pipinya, menyangka bahwa dia adalah kakaknya yang bernama Pek Han Siong! Gadis yang menyenangkan sekali, kalau saja berada di dalam perahunya, tentu akan diajaknya bersendau-gurau!

Dan Pek Eng tidak akan membahayakan dirinya. Pek Eng sudah memaafkannya karena kesalah pahaman itu, ketika gadis itu marah-marah karena menciumnya, mencium orang yang salah. Kembali Hay Hay tersenyum dan tanpa disadarinya, tangan kirinya mengusap pipi kiri yang pernah disentuh hidung dan bibir lembut Pek Eng.

Tetapi aku tidak mencinta Pek Eng, juga tidak mencinta Bi Lian atau Kui Hong walau pun terhadap mereka ada rasa suka yang mendalam pada lubuk hatinya. Dia tidak mencinta mereka, maka sebaiknya kalau dia tidak dekat dengan mereka. Selalu timbul keributan kalau dia dekat dengan seorang gadis.

Bagaimana jika Hui Lian? Jantungnya berdebar kencang karena dia membayangkan apa yang pernah terjadi di antara dia dengan Hui Lian, janda muda itu. Aroma tubuhnya yang harum! Bagaimana dia bisa melupakan wanita itu? Selamanya dia takkan pernah mampu melupakan Hui Lian!

Dengan Hui Lian hampir saja dia tidak mampu menguasai dirinya lagi, hampir saja terjadi pelanggaran antara mereka. Dan dia tidak pernah menyalahkan dirinya. Pria mana yang akan sanngup bertahan kalau sudah bergaul demikian dekatnya dengan seorang wanita seperti Hui Lian? Baru keharuman tubuhnya saja sudah membuat pria menjadi mabok.

Ahhh, kalau ada Hui Lian di sana, di dalam perahu bersamanya, tentu dia akan merasa semakin gembira. Tidak akan ada bahaya diserang Hui Lian, yang ada hanyalah diserang gairah nafsunya sendiri. Dan ini bahkan jauh lebih berbahaya dari pada kalau dia diserang orang!

Bagaimana dengan keadaan Hui Lian sekarang? Di mana dia berada dan apa saja yang dilakukannya? Tiba-tiba dia merasa rindu sekali kepada Hui Lian, apa lagi karena dia pun yakin bahwa Hui Lian cinta kepadanya. Dia tahu bahwa andai kata dia menanggapi cinta itu, sudah pasti mereka berdua tak akan pernah saling berpisah lagi.

Ahhh, betapa akan senangnya kalau kini mereka berdua berperahu di telaga itu, makan bersama sambil bersenda gurau bersama. Dia tidak membayangkan hal-hal yang mesra, hanya ingin dekat dan bercakap-cakap dengan wanita yang luar biasa itu!

"Hay Hay...!"

Hay Hay terlonjak kaget. Suara Hui Lian! Gila benar! Apakah lamunannya tentang wanita itu tadi membuat dia menjadi gila sehingga dia mendengar suaranya? Meski pun dia tidak percaya bahwa itu adalah suara Hui Lian yang sesungguhnya, namun dia menengok juga ke kanan dan... tak salah lagi! Yang memanggilnya tadi bukan lain adalah Kok Hui Lian!

Wanita itu nampak semakin cantik, wajahnya segar berseri tidak seperti dulu yang agak diliputi mendung kedukaan. Wanita itu duduk di dalam sebuah perahu berukuran sedang dan sekarang nampak melambai kepadanya.

Bisa dibayangkan betapa girangnya rasa hati Hay Hay. Baru saja dirindukan, dilamunkan dan kini wanita itu benar-benar berada di situ, di atas perahu yang jaraknya hanya sekitar lima meter dari perahunya, Hui Lian yang cantik jelita, Hui Lian yang manis, Hui Lian yang harum!

Saking gembiranya Hay Hay langsung bangkit berdiri, lantas sekali loncat tubuhya sudah melayang ke arah perahu Hui Lian. Untunglah bahwa mereka berada di bagian yang sepi sehingga perbuatan Hay Hay itu tidak kelihatan orang lain yang tentu akan menimbulkan kekaguman dan perhatian.

"Enci Hui Lian...!" teriaknya. "Ahh, Enci Hui Lian, betapa rindu aku padamu...!"

"Hay Hay, tidak kusangka akan berjumpa denganmu di sini!" kata Hui Lian, juga dengan suara yang gembira sekali.

Begitu kedua kakinya hinggap di atas perahu Hui Lian, Hay Hay segera menghampiri dan memegang kedua tangan wanita itu sambil mengamati Hui Lian dari ujung rambut kepala sampai ke kaki.

"Aihh, engkau nampak segar dan semakin cantik saja, Enci Hui Lian!"

"Hushhhh...! Engkau masih belum berubah juga, pemuda mata keranjang!" kata Hui Lian sambil tertawa geli, akan tetapi kedua tangannya juga membalas remasan tangan Hay Hay, tanda bahwa dia girang dan gembira sekali bertemu dengan pemuda itu.

Pada saat itu terdengar suara batuk-batuk lantas seorang laki-laki muncul dari dalam bilik perahu itu. Hay Hay merasa terkejut dan heran, akan tetapi Hui Lian bersikap tenang dan biasa saja, bahkan dia belum melepaskan kedua tangan pemuda itu dari genggamannya, hanya menoleh dan memandang kepada laki-laki yang baru muncul itu sambil tersenyum girang.

"Suheng, inilah pemuda luar biasa yang pernah kuceritakan kepadamu itu, yang bernama Hay Hay!" katanya gembira.

Hay Hay memandang pada pria yang disebut suheng (kakak seperguruan) oleh Hui Lian dan diam-diam dia pun kagum. Seorang pria yang usianya tentu sudah lima puluh tahun lebih, lengan kirinya buntung sebatas siku, memiliki tubuh tinggi besar dan pada wajahnya terbayang kejujuran, keterbukaan serta wibawa yang besar sehingga dia kelihatan gagah perkasa meski pun lengan kirinya buntung. Mengingat akan kehebatan dan tingginya ilmu kepandaian Hui Lian, dapat dia bayangkan bahwa tingkat suheng wanita itu sudah tentu lebih hebat lagi.

"Hay Hay, perkenalkanlah. Dia itu adalah Suheng Ciang Su Kiat. Dia adalah suheng-ku, juga guruku, juga suamiku."

"Ahhh...!" Begitu mendengar kata 'suamiku' itu, cepat-cepat Hay Hay melepaskan kedua tangannya yang semenjak tadi saling berpegangan dengan kedua tangan Hui Lian, dan mukanya berubah kemerahan, sikapnya menjadi kikuk sekali.

Ciang Su Kiat memandang dengan sikap kereng, sepasang alisnya yang tebal berkerut dan matanya mengamati wajah Hay Hay dengan tajam. "Hemmm, kiranya inikah pemuda itu? Pantas! Dia tampan menarik dan pandai merayu, seorang pemuda lihai yang mata keranjang. Sumoi, kau menyebut dia pendekar mata keranjang? Hai, orang muda, kenapa engkau segera melepaskan kedua tanganmu setelah mengetahui bahwa Hui Lian adalah isteriku? Itu adalah suatu sikap pengecut yang sama sekali tak dapat kuhargai. Bukankah katamu tadi dia nampak segar dan makin cantik? Ataukah itu pun hanya sekedar rayuan belaka?"

"Suheng...!" Hui Lian terbelalak memandang suaminya, terkejut karena suaminya belum pernah memperlihatkan sikap kurang senang seperti itu dan tahulah dia bahwa suaminya secara tiba-tiba dilanda cemburu!

"Sumoi, aku meragukan ceritamu bahwa pemuda ini mempunyai ilmu kepandaian tinggi. Sikapnya menunjukkan bahwa dia hanyalah seorang perayu yang mata keranjang dan tak mampu menguasai perasaan hatinya sendiri. Orang muda, mari kita bicara di pantai agar tidak nampak orang lain."

"Tapi... baiklah!" kata Hay Hay yang tadinya meragu akan tetapi ketika melihat sinar mata yang demikian jujur dan gagah dari Si Lengan Buntung, juga melihat sikap Hui Lian yang meragu dan agaknya gelisah, dia lalu mengambil keputusan untuk menghadapi persoalan ini sampai tuntas. Dia harus berani bertanggung jawab, untuk membela diri yang memang tidak memiliki niat buruk, juga sekalian untuk mencuci nama baik Hui Lian dari kecurigaan suaminya. Apa pun yang akan terjadi, akan dihadapinya secara jantan!

Maka sekali melompat dia pun sudah melayang ke atas perahunya sendiri. Dia menunggu sambil memegang dayung, dan untuk sesaat lamanya dua orang pria itu saling pandang dari atas perahu masing-masing. Hay Hay mengangguk kepada Su Kiat, memberi tanda bahwa dia akan mengikutinya dan Su Kiat lantas mendayung perahunya menuju ke pantai yang sepi.

Hay Hay cepat mengikutinya dari belakang, diam-diam mengagumi suami isteri itu karena selama mendayung perahu ke tepi, keduanya diam saja dan sama sekali tidak kelihatan mereka bertengkar. Sungguh sikap dua orang yang sudah matang sehingga tidak hanya menurutkan perasaan hati saja.

Biar pun hatinya merasa tegang, namun diam-diam Hui Lian ingin sekali melihat apa yang akan terjadi antara suaminya dan Hay Hay. Secara diam-diam dia pun mendongkol sekali terhadap suaminya. Tidak tahukah suaminya bahwa cintanya hanya untuk suaminya, ada pun terhadap Hay Hay dia hanya merasa suka dan kagum, seperti seorang enci terhadap adiknya saja?

Memang tidak disangkal bahwa dia pernah tergila-gila kepada pemuda ini, terdorong oleh gairah nafsu birahinya, akan tetapi itu terjadi dulu sebelum dia menjadi isteri suheng-nya. Kini tentu saja tidak ada lagi gairah nafsu terhadap pria lain karena dia telah mendapatkan segala-galanya dari suaminya yang amat dicintanya.

Biarlah dia cemburu dan hendak kulihat apa yang akan dilakukannya terhadap Hay Hay, pikirnya. Dia tidak merasa khawatir karena dia mengenal benar Hay Hay yang sudah pasti tidak akan mencelakakan suaminya, dan dia pun tahu bahwa suaminya tidak akan dapat mencelakakan Hay Hay yang mempunyai ilmu kepandaian tinggi itu. Lagi pula suaminya adalah seorang pendekar perkasa, tidak mungkin mau berbuat jahat terhadap orang lain hanya karena cemburu buta yang tidak beralasan sama sekali!

Ketika suami isteri itu meloncat ke darat, Hay Hay juga sudah tiba di darat dan dia pun meloncat dengan sigapnya, menghadapi mereka dengan sikap tenang sekali.

"Toako, aku masih belum tahu apa maksudmu mengundangku ke tepi. Apabila engkau menganggap aku bersalah karena kegembiraanku berjumpa dengan Enci Hui Lian yang tadinya belum kuketahui bahwa dia sekarang telah menjadi isterimu, maka harap engkau suka memaafkan aku. Sungguh aku tidak mempunyai maksud buruk, aku hanya demikian gembira dan hanya luapan kegembiraan inilah yang membuat aku tadi memegang kedua tangan isterimu."

"Hemmm, orang muda. Aku sudah mendengar tentang dirimu dari isteriku dan aku dapat menghargai kejujuranmu. Melihat kemunculanmu dan engkau berpegang tangan dengan Sumoi Hui Lian, aku tidak apa-apa karena aku maklum bahwa tentu engkau bergembira berjumpa dengannya, seperti juga isteriku bergembira bertemu denganmu. Tetapi engkau segera melepaskan pegangan tanganmu begitu mendengar bahwa aku suaminya. Hal ini kuanggap bahwa engkau tidak jujur, bahwa engkau tak lain hanyalah seorang lelaki mata keranjang yang pandai merayu wanita. Kini timbul dugaanku bahwa kalau dahulu engkau tidak sampai melanjutkan pelanggaran susila terhadap Sumoi hanya karena engkau tidak berani menghadapi kelihaian Sumoi. Jika sekarang engkau dapat memperlihatkan bahwa tingkat ilmu yang kau miliki memang lebih tinggi dari tingkat Sumoi atau tingkatku, baru aku percaya bahwa engkau memang tidak mau melakukan pelanggaran susila, dan baru akuakan percaya kejujuranmu. Nah, orang muda, bersiaplah untuk menandingiku dan jika engkau tidak mampu mengalahkan aku, maka aku akan menghajarmu karena engkau tak lain hanyalah seorang laki-laki mata keranjang perayu wanita yang hina!"

"Suheng...!" Hui Lian berseru. "Jangan menuduh sedemikian keji terhadap Hay Hay! Dia bukanlah orang yang seperti kau duga itu, dan engkau tidak akan menang melawan dia, Suheng! Engkau dibikin buta oleh cemburu!"

Ciang Su Kiat mengangguk-angguk akan tetapi tersenyum kepada isterinya, sama sekali dia tak memperlihatkan sikap marah kepada isterinya yang amat dicintanya itu. "Memang benar aku merasa cemburu, Sumoi. Belum pernah aku merasa cemburu seperti sekarang ini! Tapi alasanku untuk merasa cemburu kuat sekali, bukan cemburu karena menyangka engkau tak setia padaku. Sama sekali bukan. Dijauhkan Tuhan aku dari perasaan seperti itu kepadamu, Sumoi. Akan tetapi aku merasa cemburu oleh sikap pemuda ini. Karena itu, sebelum dia bisa menunjukkan bahwa persangkaanku terhadap dirinya tidak benar, yaitu dengan mengalahkan aku, maka hatiku akan selalu digoda cemburu dan prasangka buruk terhadap dirinya."

"Tapi telah kuceritakan kepadamu betapa dia seorang yang kuat lahir batin. Memang dulu aku pernah tergila-gila kepadanya dan andai kata bukan dia yang kuat batinnya sehingga mengingatkan aku, tentu saat itu akan terjadi pelanggaran susila. Dialah yang mencegah terjadinya pelanggaran itu, Suheng. Semua itu telah kuceritakan kepadamu."

"Aku percaya padamu, Sumoi. Akan tetapi aku tidak percaya padanya. Dia bukan dewa, dan tidak mungkin dia kuat menolak dirimu! Kalau dia melakukan hal itu, tentu karena dia takut akan akibatnya, takut akan kelihaianmu dan takut menghadapi kemarahanmu pada kemudian hari. Nah, orang muda, majulah dan kita akan melihat bukti kejujuranmu."

"Suheng, engkau tak akan menang," kata pula Hui Lian.

"Kalau begitu barulah puas hatiku dan aku akan minta maaf kepadanya, juga kepadamu, Sumoi. Marilah, orang muda."

"Hay Hay, layani dia. Si Keras Hati ini memang harus diperlihatkan buktinya, kalau tidak, dia akan gelisah terus, tak enak makan tak enak tidur!" akhirnya Hui Lian berkata.

Hay Hay menghela napas panjang, lantas melangkah maju menghadapi Su Kiat sambil berkata, "Ciang-toako, aku tidak menyangkal bahwa aku suka akan keindahan, suka akan kecantikan wanita seperti aku suka akan tamasya alam indah, akan bunga-bunga. Aku suka dengan keindahan dan kecantikan wanita merupakan suatu keindahan yang sangat mengagumkan. Enci Hui Lian adalah seorang wanita yang cantik jelita luar biasa. Harus kuakui bahwa aku pernah tergila-gila kepadanya, namun bukan berarti aku mencintanya. Demikian pula Enci Hui Lian, dia tidak cinta kepadaku. Kami saling tertarik karena saling mengagumi, karena dorongan gairah birahi yang wajar. Katakanlah aku mata keranjang, akan tetapi jangan mengira bahwa nafsu birahi akan mudah begitu saja mengalahkan aku sehingga aku menjadi mata gelap lantas melakukan pelanggaran susila. Aku sama sekali bukan takut menghadapi ilmu kepandaian Enci Hui Lian, melainkan takut kalau sampai aku menodainya lalu membuat hidupnya sengsara karena merasa kehormatannya sudah ternoda. Sekarang engkau tak percaya kepadaku dan hendak mengujiku. Silakan, Ciang-toako!"

Ciang Su Kiat mengangguk-angguk. "Bagus, nah, kau terimalah seranganku ini!"

Dan begitu orang yang buntung lengan kirinya ini menyerang, Hay Hay merasa terkejut dan kagum. Dia sudah menyangka bahwa Si Lengan Kiri Buntung ini tentulah ahli ginkang yang hebat, mengingat betapa Hui Lian juga hebat bukan main dalam hal ginkang. Dan dugaannya memang tepat. Meski pun tadinya Ciang Su Kiat tidak memasang kuda-kuda, hanya berdiri biasa saja, akan tetapi begitu kata-katanya habis, tubuhnya telah menerjang dengan kecepatan yang akan mengaburkan pandang mata lawan saking cepatnya.

Lengan kanannya bergerak menyambar dengan sebuah pukulan ke arah dada Hay Hay, nampaknya perlahan saja, akan tetapi datangnya cepat sekali dan dari telapak tangannya menyambar hawa pukulan yang dahsyat. Pukulan ini menjadi semakin berbahaya karena dibayangi sambaran ujung lengan baju kosong yang menotok ke arah pelipis kanan Hay Hay!

Memang, Su Kiat yang ingin menguji kepandaian pemuda itu tak mau membuang banyak waktu dan begitu bergerak dia telah mainkan Ilmu Silat Sian-eng Sin-kun, ilmu silat sakti peninggalan kitab dari Sian-eng-cu The Kok, seorang di antara Delapan Dewa. Tentu saja serangannya itu hebat bukan main.

Akan tetapi yang diserangnya adalah seorang pemuda yang juga menjadi murid dua orang di antara Delapan Dewa, bahkan pemuda ini digembleng oleh dua orang sakti itu sendiri, tidak seperti Ciang Su Kiat yang hanya mempelajari dari peninggalan kitab. Oleh karena itu, kalau dibuat perbandingan, tentu saja dalam hal ilmu silat Su Kiat masih kalah jauh bila dibandingkan dengan Hay Hay.

Akan tetapi, untuk mengurangi jarak kekalahannya dalam pendidikan ilmu silat, si lengan kiri buntung ini telah memiliki tenaga yang luar biasa berkat makan jamur selama sepuluh tahun, jamur aneh yang hanya terdapat di dalam sebuah goa di tebing yang terjal, maka kekalahannya itu bisa ditebus dengan kekuatan mukjijat itu. Makan jamur selama sepuluh tahun ini membuat Su Kiat dan Hui Lian mempunyai tenaga sinkang dan ginkang yang istimewa, dan pada Hui Lian bahkan akibatnya membuat wanita ini memiliki keringat yang harum baunya!

Melihat datangnya serangan, Hay Hay cepat melangkah ke belakang sambil mengibaskan kedua tangannya menangkis. Akan tetapi dengan kecepatan yang luar biasa Su Kiat telah menarik lengan kanannya, kemudian segera melangkah maju mendesak dan menyerang lagi dengan lebih ganas.

Kini ujung lengan baju kiri itu tiba-tiba menegang dan menusuk seperti sebatang pedang ke arah muka Hay Hay, tepat di antara kedua matanya, sedangkan tangan kanan sudah melakukan cengkeraman ke arah perut. Dua serangan ini datang secara bertubi dan yang berbahaya adalah karena kecepatannya. Ujung lengan baju tangan kiri itu juga tidak boleh dipandang ringan karena sesudah dialiri tenaga sinkang, menjadi kaku seperti sebatang pedang dan kalau mengenai sasaran antara kedua mata Hay Hay, tentu amat berbahaya.

Akan tetapi dengan tenang dan mudah saja Hay Hay kembali mampu menghindarkan diri, dengan memutar tubuh sambil mengibaskan kedua tangan menangkis. Dia masih belum mau membalas karena belum merasa perlu dan belum terdesak. Melihat betapa pemuda itu dengan mudahnya dapat menghindarkan diri, Ciang Su Kiat tak mau memberi hati dan kini dia menyusulkan serangan bertubi-tubi, dengan ujung lengan baju kiri, dengan tangan kanan, bahkan dengan kedua kakinya yang dapat mengirim tendangan istimewa.

Kini Hay Hay didesak terus dengan serangan yang datang laksana gelombang samudera, susul-menyusul dan tiada hentinya. Dibandingkan dengan Kok Hui Lian, tentu saja tingkat Ciang Su Kiat lebih tinggi, karena sebelum keduanya menemukan kitab-kitab peninggalan dua orang di antara Delapan Dewa, yaitu mendiang Sian-eng-cu The Kok dan mendiang In Liong Nio-nio, Su Kiat sudah memiliki ilmu silat yang cukup kuat sebagai murid pilihan Cin-ling-pai sedangkan Hui Lian masih merupakan seorang gadis cilik yang belum pernah belajar ilmu silat.

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.