Pendekar Mata Keranjang Jilid 41

Serial pedang kayu harum episode pendekar mata keranjang jilid 41 karya Kho Ping Hoo
Sonny Ogawa
KINI Hay Hay terkejut dan dia harus mengakui bahwa lawannya amat tangguh, dan kalau dia hanya main elak dan tangkis saja, maka akhirnya dia akan terancam bahaya besar. Karena itu, sesudah membiarkan lawannya mendesaknya sampai belasan jurus, barulah Hay Hay mulai membalas dan karena dia maklum bahwa dia tidak boleh main-main dalam menghadapi seorang lawan tangguh seperti itu, begitu membalas dia telah mengeluarkan ilmu simpanan Ciu-sian Cap-pek-ciang!

Ilmu ini adalah ciptaan Ciu-sian Lo-kai, sudah sangat hebat walau pun hanya terdiri dari delapan belas jurus. Akan tetapi setelah Hay Hay digembleng oleh kakek aneh setengah gila Song Lo-jin, semua ilmunya, termasuk Ciu-sian Cap-pek-ciang, menjadi hebat bukan main!

Begitu Hay Hay mengelak dan menangkis lalu membalas dengan jurus ke tiga belas yang disertai pengerahan sinkang, Ciang Su Kiat yang mencoba untuk menangkis langsung merasa seperti dilanda badai dan betapa pun dia bertahan, tetap saja tubuhnya terlempar ke belakang seperti daun kering tertiup angin. Dia terhuyung sehingga akhirnya terpaksa merobohkan dirinya dan bergulingan agar jangan sampai terbanting.

Melihat betapa suaminya terlempar dan terhuyung kemudian bergulingan, Hui Lian cepat meloncat ke depan dan menyerang Hay Hay dengan tamparannya.

"Engkau melukai suamiku...!" bentaknya marah.

Hay Hay terkejut sekali, akan tetapi dia tak mengelak dan menerima tamparan itu dengan pundaknya.

"Plakkk!" Dan tubuh Hay Hay terpelanting!

"Sumoi, jangan...!" Ciang Su Kiat membentak.

"Aihh, Suheng, engkau tidak apa-apa?" Hui Lian membalik dan girang melihat suaminya sudah berada di belakangnya dan tidak kelihatan terluka parah.

"Aku tidak apa-apa. Kenapa engkau menyerang dia, Sumoi?"

"Kukira... kukira dia telah melukaimu, Suheng...," kata Hui Lian menyesal.

Su Kiat menghampiri Hay Hay yang sudah bangkit berdiri. Ada sedikit darah di ujung bibir Hay Hay. Tamparan tadi memang hebat, akan tetapi dia sengaja menerimanya. Dia tidak terluka, namun guncangan karena tamparan itu membuat dia muntahkan sedikit darah.

"Saudara Hay Hay, engkau tidak apa-apa?" tanya Su Kiat, suaranya ramah dan pandang matanya penuh kagum. "Maafkan isteriku..."

Hay Hay tersenyum. "Tidak mengapa, Toako. Aku tahu bahwa Enci Hui Lian memang galak dan tamparannya hebat sekali. Akan tetapi kini bertambah pengetahuanku bahwa ia amat mencintamu, Toako, dan tadi ia seperti seekor singa betina marah melihat jantannya diganggu!"

"Ah, Hay Hay, kau maafkan aku!" kata Hui Lian yang menghampiri dan dengan menyesal dia lalu meletakkan tangannya di atas pundak Hay Hay, untuk memeriksa pundak yang ditamparnya tadi.

Su Kiat tersenyum melihat isterinya merangkul pundak pemuda itu, kemudian dia pun ikut merangkul Hay Hay. "Engkau seorang pemuda yang betul-betul hebat, Hay Hay! Engkau memang pantas mendapatkan perhatian serta kasih sayang setiap orang wanita. Engkau demikian lihai, akan tetapi tidak mau mempergunakan ketampanan dan kelihaianmu untuk menghina wanita, bahkan engkau mengalah terhadap aku yang mencurigaimu. Maafkan aku."

Hay Hay tertawa gembira kemudian dia pun merangkul kedua orang itu seperti dua orang sahabat baiknya. Dia menoleh ke kiri, ke arah Hui Lian. "Enci, pilihanmu yang terakhir ini sungguh tepat sekali. Engkau telah memperoleh seorang suami yang hebat, mempunyai kepandaian tinggi, berwatak jujur dan terbuka, gagah perkasa. Sungguh, dan engkau juga, Ciang-toako, engkau telah memperoleh seorang isteri yang tiada duanya di dunia ini. Aku harus mengucapkan kionghi (selamat) kepada kalian!" Dia pun melepaskan rangkulannya dan memberi hormat kepada mereka yang dibalas oleh suami isteri itu yang tersipu-sipu, akan tetapi juga gembira sekali.

"Nah, Hay Hay, sekarang mari kita lanjutkan percakapan kita dalam pertemuan yang tadi terganggu," kata Hui Lian sambil melirik ke arah suaminya yang juga tersenyum. "Engkau datang dari mana dan hendak ke mana?"

Hay Hay mengangkat tangan lantas mengamangkan telunjuknya kepada Hui Lian seperti orang menegur. "Ihhh, Enci Hui Lian, sudahlah jangan menyindir suamimu sendiri. Aku dalam perjalanan menuju ke Pegunungan Yunan..."

"Ahh...! Apa sekiranya ada hubungannya dengan persekutuan orang-orang dunia hitam?" Hui Lian memotong.

"Benarkah engkau hendak menyelidiki persekutuan yang kabarnya dipimpin oleh Lam-hai Giam-lo itu?" Ciang Su Kiat juga bertanya.

Kini Hay Hay memandang mereka dengan mata terbelalak. "Wah, kalian ini bukan saja suami isteri yang lihai ilmu silatnya, akan tetapi agaknya juga pandai sekali meramal dan membaca isi hati orang. Bagaimana kalian bisa menduga bahwa aku hendak menyelidiki persekutuan itu dan kalian tahu pula bahwa persekutuan itu dipimpin Lam-hai Giam-lo?"

"Tentu saja kami dapat menduga karena kami sendiri pun sedang menuju ke sana. Kami sudah mendengar mengenai persekutuan itu, akan tetapi kami tidak ada urusan dengan itu, yang penting aku harus mencari Lam-hai Giam-lo, musuh besar kami!" kata Ciang Su Kiat.

"Musuh besar kalian?"

"Dialah yang dulu membuat kami berdua terjatuh ke dalam jurang sehingga kami berdua terpaksa hidup selama sepuluh tahun di dalam jurang itu sebelum kami berhasil naik ke dunia ramai. Sudah lama kami mencarinya dan beberapa kali kami hampir saja berhasil membunuhnya, akan tetapi dia selalu mampu menghindarkan diri hingga akhirnya selama bertahun-tahun ini kami kehilangan jejak. Entah di mana dia bersembunyi," kata Hui Lian.

"Baru beberapa bulan yang lalu kami mendengar bahwa dia sekarang memimpin sebuah persekutuan antara tokoh-tokoh sesat yang hendak menyusun kekuatan di pegunungan atau dataran tinggi Yunan, kabarnya mereka hendak mengadakan pemberontakan. Kami tidak peduli akan hal itu, tetapi yang penting kami harus mencari Lam-hai Giam-lo untuk membalas kejahatannya yang dilakukan kepada kami belasan tahun yang lalu," sambung Su Kiat.

"Dan engkau sendiri, apakah yang mendorongmu untuk melakukan penyelidikan tentang persekutuan tokoh-tokoh sesat itu, Hay Hay?" tanya Hui Lian.

Hay Hay kemudian menceritakan tentang pertemuannya dengan Menteri Yang Ting Hoo di rumah Jaksa Kwan. "Enci Hui Lian, engkau tentu masih ingat mengenai mustika batu kemala milik Jaksa Kwan? Nah, aku pergi ke rumah Jaksa Kwan untuk mengembalikan batu mustika itu, akan tetapi Jaksa Kwan memberikan batu itu kepadaku dan di sana aku bertemu dengan Menteri Yang Ting Hoo. Mereka berdua menceritakan tentang Lam-hai Giam-lo yang memimpin persekutuan para tokoh sesat yang lihai, dan di antara mereka terdapat banyak tokoh sesat yang berilmu tinggi seperti Lam-hai Siang-mo, suami isteri Goa Iblis Pantai Selatan Min-san Mo-ko, Tok-sim Mo-li Ji Sun Bi, bahkan para pendeta Pek-lian-kauw juga telah bergabung dengan mereka. Menteri Yang minta bantuanku agar membantu para pendekar untuk menghadapi para tokoh sesat, sedangkan pasukan kaum pemberontak akan dihancurkan oleh pasukan pemerintah kalau saatnya tiba. Aku pun lalu berangkat dan sampai di sini, tertarik oleh keindahan telaga ini, aku lalu berhenti dengan maksud hendak menikmati keindahan telaga selama beberapa hari sebelum melanjutkan perjalanan."

"Hemm, kalau begitu, kami pun akan membantu para pendekar untuk menentang gerakan persekutuan itu!" kata Su Kiat penuh semangat.

"Kebetulan sekali engkau tertarik oleh telaga ini. Begitu pula dengan kami, Hay Hay. Kami melihat telaga ini dari atas saat akan memasuki kota Wei-ning dan kami juga tertarik lalu singgah di sini. Sungguh kebetulan sekali sehingga kita dapat saling jumpa. Kalau begitu, sebaiknya kalau kita pergi bersama ke dataran tinggi Yunan, bersama-sama melakukan penyelidikan terhadap persekutuan itu!" kata Hui Lian gembira.

Akan tetapi Hay Hay menggeleng kepalanya dan tersenyum. Dia maklum bahwa biar pun Su Kiat kelihatan tersenyum dan sinar matanya tidak lagi membayangkan keraguan dan kemarahan, namun pendekar itu tetap saja merupakan seorang laki-laki biasa dan tentu akan timbul kembali cemburunya apa bila dia melakukan perjalanan bersama mereka dan kemudian nampak hubungan yang amat akrab antara dia dan Hui Lian. Tidak, dia takkan mengganggu ketenteraman dan kedamaian hubungan suami isteri yang saling mencinta itu.

"Kurasa sebaiknya kalau kita melakukan tugas kita secara terpisah. Bukankah akan lebih mudah melakukan penyelidikan bila kita berpencar? Kita tentu akan saling jumpa di sana dan dapat saling membantu," katanya.

Su Kiat mengangguk-angguk. "Apa yang dikatakan Hay Hay itu memang benar. Lam-hai Giam-lo sudah lihai, kalau dia dibantu oleh banyak tokoh sesat yang lihai, maka keadaan di tempat itu tentu sangat berbahaya. Kita harus berhati-hati dan melakukan penyelidikan beramai-ramai tentu akan lebih mudah diketahui pihak musuh."

Hui Lian kelihatan kecewa, akan tetapi dia tidak mendesak karena naluri kewanitaannya yang halus juga memperingatkannya bahwa kebersamaannya dengan Hay Hay memang cukup berbahaya dan dapat menimbulkan salah sangka dan cemburu di pihak suaminya.

"Sudah tiga hari ini kami berada di sini, hari ini kami harus melanjutkan perjalanan. Kami akan berangkat lebih dahulu," kata pula Su Kiat. Mereka lalu berpamit dari Hay Hay yang masih ingin pesiar di telaga itu.

Hay Hay cepat-cepat menghapus ingatannya dari suami isteri itu dan kembali mendayung perahunya setelah suami isteri itu mengembalikan perahu yang mereka sewa. Akan tetapi sungguh mengherankan hati Hay Hay. Walau pun dia sudah berhasil mengusir bayangan suami isteri itu, terutama sekali bayangan Hui Lian, tetapi tetap saja dia sudah kehilangan kegembiraan dan kehilangan gairah. Dia merasa seolah-olah kesepian.

Akhirnya dia pun mendayung perahunya ke tepi dan mengembalikan perahu sewaan itu, lantas menggendong buntalan pakaiannya dan berjalan-jalan di tepi telaga. Matahari telah naik tinggi dan sinarnya menyengat kulit. Hay Hay menjauhkan diri dari tempat ramai dan berjalan-jalan di bagian tepi telaga yang penuh dengan pohon-pohon rindang. Di situ amat sunyi dan dia terlindung dari sinar matahari yang terik.

Tidak ada seorang pun di situ, juga perahu-perahu itu berada jauh dari bagian itu, hanya merupakan perahu-perahu yang terlihat kecil dan memenuhi permukaan telaga di sebelah sana dan di tengah telaga. Akan tetapi tidak sebanyak pagi tadi.

Perahu-perahu yang tidak mempunyai bilik, yaitu perahu-perahu kecil yang terbuka, mulai berkurang. Tentu mereka yang menggunakan perahu-perahu terbuka itu telah kepanasan sehingga mulai meninggalkan telaga. Hanya perahu-perahu yang ada biliknya saja yang masih berseliweran, agaknya para penumpangnya merasa asyik sendiri terutama mereka yang membawa gadis-gadis penghibur.

Hay Hay sama sekali tidak tahu bahwa semenjak pertemuannya dengan pendeta-pendeta Pek-lian-kauw di malam itu, para pendeta itu tak pernah melepaskannya dari pengamatan dan pengintaian. Bahkan banyak mata menonton dari jarak aman ketika dia bertanding melawan Ciang Su Kiat.

Semakin teganglah hati para pendeta Pek-lian-kauw melihat betapa pemuda yang mereka takuti itu masih dapat menang menghadapi lawan Si Lengan Buntung yang demikian lihai pun! Sebagian dari mereka telah lama memberi laporan kepada Lam-hai Giam-lo tentang munculnya pemuda lihai itu.

Lam-hai Giam-lo tentu saja menjadi curiga dan penasaran, lalu dia mengutus dua orang pembantunya yang paling dipercaya, yaitu Min-san Mo-ko dan Tok-sim Mo-li Ji Sun Bi, untuk menyelidiki siapa pemuda itu dan kalau perlu membantu lima tokoh Pek-lian-kauw untuk menundukkan pemuda itu.

"Kalau benar dia selihai seperti yang dilaporkan, kalau mungkin bujuklah supaya dia dapat bekerja sama dengan kita, membantu gerakan kita," pesan Lam-hai Giam-lo kepada dua orang pembantunya itu, "Kukira Tok-sim Mo-li cukup tahu bagaimana untuk menundukkan hati seorang pemuda. Tapi kalau kiranya tidak mungkin, bunuh saja dia dari pada menjadi ancaman bagi kita."

Dengan penuh semangat, guru dan murid yang menjadi kekasih itu berangkat bersama pendeta Pek-lian-kauw yang melapor itu. Akan tetapi, ketika Min-san Mo-ko dan Ji Sun Bi melihat siapa adanya pemuda itu, tentu saja mereka terkejut bukan main.

"Hay Hay...!" desis Ji Sun Bi dari tempat dia mengintai.

"Pemuda setan itu!" kata pula Min-san Mo-ko dengan hati gentar.

Mereka sudah pernah merasakan kelihaian pemuda itu, bukan hanya lihai ilmu silatnya, akan tetapi bahkan mempunyai ilmu sihir yang pernah membuat guru dan murid ini tidak berdaya dan dipermainkan. Pantas saja lima orang pendeta Pek-lian-kauw yang ahli sihir itu tidak mampu menandinginya!

Sekarang guru dan murid itu sendiri bahkan saling pandang dengan sikap ragu-ragu dan was-was karena mereka sangsi apakah dengan bantuan mereka yang bergabung dengan lima orang pendeta Pek-lian-kauw itu mereka akan mampu mengalahkan Hay Hay.

"Kita harus minta bala bantuan," kata Min-san Mo-ko kepada muridnya, tanpa malu-malu lagi.

Ji Sun Bi mengangguk. "Benar, kurasa hanya ada dua orang saja di dalam perserikatan kita yang akan mampu menandinginya. Pertama tentu saja Lam-hai Giam-lo sendiri, akan tetapi Bengcu kita itu tak mungkin turun tangan sendiri. Dan yang ke dua adalah Ki Liong. Baiknya aku segera mengundangnya ke sini untuk memperkuat kita."

Min-san Mo-ko yang maklum akan kelihaian Ki Liong yang sekarang dikenal sebagai Sim Ki Liong, pembantu utama dari Lam-hai Giam-lo, mengangguk menyetujui. Berangkatlah Ji Sun Bi secepatnya, kembali ke dataran tinggi Yunan yang tak berapa jauh lagi dari situ, sedangkan Min-san Mo-ko dan lima orang pendeta Pek-lian-kauw itu hanya membayangi Hay Hay dari kejauhan, tidak berani turun tangan. Karena Hay Hay mengambil keputusan hendak tinggal selama tiga hari di kota Wei-ning sambil berpesiar di Telaga Cao, maka Ki Liong dapat tiba di situ bersama Ji Sun Bi sebelum Hay Hay meninggalkan tempat itu.

Pada hari terakhir itu pagi-pagi sekali Hay Hay sudah duduk di tepi telaga, di tempat yang paling sepi, sambil memegang setangkai pancing. Kemarin ketika berperahu dia melihat bahwa di bagian ini justru banyak sekali ikannya. Dia ingin sekali mengail ikan di situ dan apa bila mendapatkan ikan akan dipanggangnya di situ pula. Untuk keperluan ini dia telah membawa bumbu dan garam dari rumah penginapan.

Akan tetapi sial baginya. Sudah satu jam lebih dia duduk di situ tetapi tak seekor pun ikan mencium umpannya! Dia menganggap dirinya sial, padahal hari masih terlalu pagi maka agaknya ikan-ikan masih belum waktunya keluar dari sarang mencari makanan.

"Huh, apakah kalian masih tidur semuanya? Ataukah belum waktunya sarapan pagi? Atau pergi melancong sekeluarga kalian?" Hay Hay mengomel panjang pendek akan tetapi dia lalu tertawa geli, mentertawakan diri sendiri. Mana mungkin ada ikan tidur?

Dan dia termenung. Bagaimana kalau ikan beristirahat dan tidur? Apakah juga ada waktu makan seperti manusia, makan pagi, siang dan malam sebanyak tiga kali? Ataukah asal lapar lalu makan tanpa kenal waktu? Dan pernahkan keluarga ikan itu bersenang-senang, pelesir bersama anak isterinya? Gambaran ini demikian menggelitik hatinya sehingga dia pun tertawa dengan bebas karena di tempat itu tidak terdapat orang lain.

"Ha-ha-ha-ha, engkau pasti sudah gila, Hay Hay!" demikian dia berkata, lalu mengangkat pancingnya, mengganti dengan umpan yang baru dan mulai memancing lagi.

Memancing adalah sebuah pekerjaan yang mengasyikkan. Apa bila dia tidak membiarkan pikirannya melamun, mengingat-ingat hal yang lalu atau membayangkan hal mendatang, maka pikiran menjadi tenang dan hening, dan jika semua perhatiannya ditujukan kepada tali pancing di permukaan air telaga, maka keadaannya hampir sama dengan kalau dia bersemedhi.

Tenang dan damai, demikianlah keadaan seorang yang sedang mengail kalau pikirannya tidak melayang-layang, melainkan tenggelam dalam keheningan. Dia menjadi lupa waktu, lupa keadaan, tidak menyadari bahwa satu jam telah berlalu pula dan kini sinar matahari pagi mulai menciptakan sinar keemasan pada permukaan air telaga. Dan agaknya sinar matahari pagi itu yang menggugah ikan-ikan karena mulailah dia merasa betapa ujung tali pancingnya bergerak-gerak, tanda bahwa umpannya mulai ada yang menciumnya!

Tentu saja seluruh perhatian Hay Hay dicurahkan ke ujung pancingnya sehingga dia tidak tahu akan datangnya sebuah perahu kecil yang di dayung oleh seorang gadis menuju ke tempat dia mengail. Hay Hay baru sadar ketika ikan-ikan yang mulai mencium umpannya itu tiba-tiba saja melepaskan umpan dan permukaan air berombak, lalu terdengar suara dayung memukul air.

"Haiii...!" Hay Hay mengangkat mukanya dan berteriak marah. "Apakah engkau tidak tahu bahwa di sini ada orang sedang memancing ikan? Engkau datang mengganggu sehingga ikan-ikan yang tadi mulai mendekati umpan pancingku sekarang semuanya lari cerai-berai ketakutan karena datangnya perahumu!"

Perahu itu sudah datang mendekat dan penumpangnya yang tadi mendayung perahu itu kini bangkit berdiri. Karena muka orang itu tadinya tertutup oleh sebuah caping lebar yang melindungi muka itu dari panas matahari, maka sesudah orang itu berdiri dan mendorong capingnya ke belakang, barulah nampak oleh Hay Hay bahwa penumpang perahu yang ditegurnya itu ternyata adalah seorang gadis remaja yang tersenyum manis sekali!

Gadis ini usianya paling banyak delapan belas tahun, pakaiannya sederhana akan tetapi tubuh yang mulai mekar ranum itu menarik sekali, sedangkan wajahnya yang sederhana tanpa bedak gincu itu memiliki daya tarik yang sangat kuat, mungkin karena kelembutan dan kepolosan yang terpancar pada wajah yang berseri itu.

"Maaf, aku tidak tahu bahwa aku sudah mengganggumu," kata gadis itu, dan suaranya juga lunak halus.

"Maaf, maaf! Setelah ikan-ikan itu pergi jauh? Aih, engkau tidak tahu bahwa engkau telah merampas sedikitnya satu ekor ikan besar untuk sarapanku, padahal perutku sudah lapar dan sejak tadi aku sudah siap untuk memanggang ikan hasil pancinganku!" kata Hay Hay, mulai berkurang kemarahannya melihat betapa gadis itu bersikap dan berbicara demikian lunak dan halus.

Gadis itu masih tersenyum ramah dan sinar matanya mengandung penyesalan. "Ahh, kalau begitu aku berhutang satu ekor ikan padamu, bung! Nah, biar kubayar hutang itu!"

Dara itu masih berdiri di atas perahunya, ada pun dayung itu dipegangnya dengan tangan kanan. Kini matanya mengamati permukaan air telaga yang mulai tenang kembali setelah perahunya berhenti meluncur. Tiba-tiba saja dayungnya menyambar ke bawah, terdengar suara air terpukul, lantas gadis itu berjongkok dan tangan kirinya mengambil seekor ikan sebesar betis yang sudah mengambang karena mati terpukul dayungnya.

"Nah, inilah hutangku kepadamu, bung!" katanya sambil melemparkan ikan itu ke darat, di belakang Hay Hay.

Melihat ini Hay Hay terbelalak dan dia pun semakin tertarik. Dara remaja yang sikap serta tutur katanya lembut dan halus itu ternyata seorang gadis yang memiliki ilmu kepandalan hebat sehingga dengan mudahnya mampu menangkap seekor ikan yang dipukul dengan dayungnya. Hay Hay tersenyum lebar, merasa penasaran karena agaknya gadis itu ingin memamerkan kepandaiannya.

"Hemmm, aku ingin memancing, bukan menangkap ikan begitu saja. Engkau tidak tahu seninya orang mengail, Nona. Kalau aku mau, tentu akan dapat pula menangkap ikan semudah seperti yang kau lakukan itu!"

Hay Hay bangkit berdiri dan memandang permukaan air. Air yang jernih itu membuat dia dapat melihat beberapa ekor ikan berenang tak jauh dari situ. Dia menggerakkan tangkai pancingnya yang terbuat dari bambu itu. Tangkai itu meluncur ke dalam air dan ketika dia mencabutnya kembali, ujungnya sudah menusuk seekor ikan yang menggelepar-gelepar. Dia melepaskan ikan itu di atas darat, kemudian dengan cepat tangkai pancingnya masih dua kali lagi meluncur dan dalam waktu yang cepat dia sudah menangkap tiga ekor ikan yang cukup gemuk!

"Ahh, kiranya engkau seorang yang amat lihai, yang menyamar sebagai seorang pengail. Maafkan kalau aku bersikap kurang hormat, dan maafkan sekali lagi bahwa tadi aku telah mengganggu tanpa sengaja." Gadis itu memberi hormat dari perahunya, kemudian duduk kembali dan dengan perlahan mendayung perahunya ke tengah.

"Heiiiii, Nona! Nanti dulu!" Hay Hay berteriak. "Engkau sudah bersalah kepadaku dan aku tidak mau memaafkan sebelum menghukummu!"

Gadis itu menahan perahunya, alisnya berkerut karena dia menyangka bahwa pemuda di pantai itu akan bersikap kurang ajar. Akan tetapi dengan suara tetap lembut dan penuh kegembiraan dia bertanya. "Aku memang bersalah, akan tetapi tidak kusengaja dan aku sudah minta maaf. Hukuman apa yang akan kau jatuhkan kepadaku?"

"Lihat!" Hay Hay menunjuk ke arah empat bangkai ikan tadi. "Karena ulahmu di sini empat ekor ikan yang tidak berdosa telah mati. Kalau dagingnya tidak dimakan, itu adalah suatu pemborosan dan sia-sia namanya. Oleh karena itu aku akan menghukummu agar engkau membantuku menghabiskan daging empat ekor ikan ini. Aku sudah siap dengan bumbu-bumbunya dan kalau dipanggang, daging ikan ini pasti lezat sekali!"

Lenyaplah kerut-merut pada alis gadis itu dan dia pun tertawa, lalu mendayung perahu ke tepi. "Baiklah, aku terima hukuman itu!" katanya sambil tersenyum. "Aku pun lapar sekali!"

Dia meloncat ke darat dan menarik tali perahu itu ke darat. Demikian mudahnya gadis itu menarik perahu ke darat, padahal pantai itu agak terjal, hal ini menunjukkan bahwa dia memang bukan gadis sembarangan dan memiliki tenaga yang kuat.

Mereka kini berdiri berhadapan, saling pandang dan Hay Hay semakin tertarik. Gadis ini tidak cantik sekali, akan tetapi pembawaannya demikian polos dan wajar, juga tubuhnya indah sehingga memiliki daya tarik besar. Memang banyak dia temui wanita cantik yang kurang begitu kuat daya tariknya, seolah-olah setangkai bunga yang tidak begitu harum. Akan tetapi gadis ini bagaikan setangkai bunga sederhana yang sangat harum semerbak, yang memiliki daya tarik besar hingga membuat orang suka sekali berdekatan dan bicara dengannya.

Sepasang matanya demikian lembut, keibuan dan penuh kesabaran, mulutnya juga selalu tersenyum ramah. Wajahnya yang tanpa bedak itu kemerahan dan segar bagai setangkai bunga mawar merah bermandi embun. Pakaiannya juga sangat sederhana, namun malah menonjolkan keindahan tubuhnya yang sedang mekar.

Dua muda-mudi itu sama-sama tersenyum, agaknya masing-masing merasa puas dengan apa yang mereka pandang dan nilai. Kemudian gadis itu berkata, "Mari kubantu engkau memanggang ikan."

Keduanya tidak banyak cakap lagi, melainkan sibuk membersihkan sisik ikan-ikan itu dan membuang isi perutnya, mencuci dengan air telaga lalu melumurinya dengan bumbu yang sudah dipersiapkan oleh Hay Hay. Tidak lama kemudian masing-masing memegangi dua tusuk bambu, memanggang dua ekor ikan di atas api membara dan terciumlah bau yang sedap.

"Aduh, alangkah sedapnya...! Kini perutku menjadi semakin lapar saja!" kata gadis itu dan cuping hidungnya kembang kempis, lucu sekali.

"Ha-ha-ha-ha, air liurku tidak dapat kutahan lagi!" Hay Hay juga berkata dan dia tertawa, merasa gembira bukan main. Kehadiran gadis ini sungguh merupakan berkah baginya, membuat hari nampak demikian cerah dan suasana demikian gembira dan indah. Bukan main!

Tak lama kemudian keduanya sudah mengganyang ikan-ikan itu yang terasa gurih, manis dan lezat bukan main. Gadis itu tidak kelihatan malu-malu. Dia mempunyai watak yang terbuka dan polos, namun lembut dan tidak liar seperti watak Kui Hong atau Bi Lian. Sama sekali tidak kelihatan galak meski pun kadang-kadang sinar matanya mencorong penuh wibawa. Sebentar saja daging ikan-ikan itu sudah habis, tinggal kepala, ekor dan tulang-tulangnya saja.

"Sayang tidak ada minuman..."

"Jangan khawatir, Nona, aku membawa sebotol anggur." Hay Hay segera mengeluarkan botol anggur dari buntalannya.

"Aku kurang begitu suka minum arak."

"Ini bukan arak keras, melainkan anggur yang halus. Rasanya manis dan enak, tak akan memabokkan asal tidak terlampau banyak, dan menghangatkan perut. Cobalah!" Hay Hay menyodorkan botol yang terisi anggur hampir penuh itu sambil membuka tutupnya.

Gadis itu mendekatkan mulut botol ke bawah hidungnya. "Hemm, baunya memang amat harum. Akan tetapi mana cawannya? Akan kucoba sedikit untuk menghilangkan amis ikan tadi dari mulut."

"Aku tidak membawa cawan, Nona. Minumlah saja dari botol, mengapa?"

"Ihh, mulut botol akan berbau amis oleh mulutku yang habis makan ikan panggang."

"Apa salahnya? Mulutku juga," kata Hay Hay.

Gadis itu tersenyum, kemudian menuangkan isi botol itu dan diterima oleh mulutnya yang terbuka sehingga dia bisa minum anggur itu tanpa menyentuh bibir botol dengan bibirnya. Melihat mulut gadis itu terbuka, melihat rongga mulut yang merah sehat, deretan gigi yang putih berkilau dan lidah yang merah jambu, bibir yang basah kemerahan pula, Hay Hay menelan ludah. Seorang gadis yang sehat dan bersih, dan memiliki daya tarik yang amat kuat justru karena kesederhanaannya!

"Hemm, engkau terlampau sopan, Nona," katanya setelah gadis itu mengembalikan botol anggur.

Gadis itu tidak menanggapi, melainkan memuji. "Anggurmu sungguh enak."

"Ini untuk mencuci dan menyegarkan mulut!" kata Hay Hay setelah mengeluarkan empat buah pir dan memberikan dua buah kepada gadis itu. Wajah itu nampak berseri.

"Heiiii! Engkau seperti tahu saja dengan buah kesukaanku!" teriaknya.

Ia pun segera makan buah pir yang mengandung banyak air itu, terasa segar dan manis, dan memang merupakan pencuci mulut yang amat segar untuk menghilangkan bau amis dari daging ikan tadi.

Mereka kini makan buah sambil duduk berhadapan di atas rumput. Mendadak Hay Hay tertawa, "Sungguh lucu sekali!"

"Apanya yang lucu?" Gadis itu bertanya heran lalu memandangi tubuhnya, membereskan rambutnya yang agak awut-awutan karena dia mengira dirinya yang nampak lucu.

"Kita sudah menangkap ikan bersama, makan ikan dan minum anggur, kini makan buah bersama, seperti dua orang sahabat karib yang saling mengenal selama bertahun-tahun. Padahal kita baru saja saling jumpa secara kebetulan, bahkan kita belum mengenal nama masing-masing. Apakah kau kira tak sepatutnya bila kita saling memperkenalkan nama? Namaku adalah Hay Hay."

"Dan namaku Ling Ling."

"Heii! Nama kita juga mirip, hanya satu suku kata yang diulang. Ling Ling, sungguh nama yang indah dan manis sekali, sesuai dengan orangnya!"

Ling Ling adalah Cia Ling, puteri tunggal dari Cia Sun. Seperti sudah kita ketahui, Cia Ling pergi meninggalkan tempat tinggal ayahnya di dusun Ciangsi-bun di sebelah selatan kota raja untuk berkunjung ke Cin-ling-pai. Kemudian gadis ini meninggalkan Cin-ling-pai untuk melanjutkan perjalanannya merantau dan mencari pengalaman sebelum pulang ke rumah orang tuanya.

Di dalam perjalanannya inilah dia mendengar tentang persekutuan para tokoh dunia hitam yang kabarnya bersarang di dataran tinggi Yunan. Dia merasa tertarik. Persekutuan orang jahat ini pasti akan ditentang oleh para pendekar, pikirnya, mengingat akan cerita ayahnya tentang pengalaman ayahnya dahulu ketika masih muda, di mana para pendekar selalu siap untuk menentang gerakan para penjahat di dunia kang-ouw. Inilah kesempatan baik untuk meluaskan pengetahuan, pikirnya.

Demikianlah, tanpa ragu lagi gadis gagah perkasa ini lalu melakukan perjalanan menuju ke selatan, ke Yunan. Dan ketika tiba di Telaga Cou, dara perkasa ini tertarik sekali lalu menyewa sebuah perahu kecil sampai perjumpaannya yang tak disangka-sangka dengan seorang pemuda yang aneh dan menarik hatinya.

cerita silat online karya kho ping hoo

Pada sepanjang perjalanannya, gadis ini mengalami cukup banyak godaan dan halangan, namun berkat ilmu silatnya yang tinggi, dia mampu mengatasi semua halangan, bahkan banyak menghajar orang-orang jahat yang berani mengganggunya, baik untuk merampok perbekalannya atau pun untuk mengganggu dirinya sebagai seorang gadis muda yang cukup menarik dan sedang melakukan perjalanan sendirian saja.

Kini, mendengar kata-kata Hay Hay yang mengatakan bahwa namanya indah dan manis sekali sesuai dengan orangnya, gadis ini memandang dengan sinar mata tajam penuh selidik, dan sepasang alisnya berkerut sedikit. Namun suaranya masih terdengar lembut dan sabar ketika dia bertanya.

"Apa maksudmu?"

Dia mulai merasa curiga, mengira bahwa Hay Hay tiada bedanya dengan para lelaki yang pernah dijumpainya di dalam perjalanan, yaitu pada akhirnya lelaki-lelaki itu hanya ingin merayunya dan menjatuhkannya!

Akan tetapi Hay Hay tersenyum lebar dan memandang dengan polos. "Apa maksudku? Sudah jelas. Namamu itu, Ling Ling, terdengar merdu seperti nyayian dan indah manis, seperti pemiliknya. Apakah engkau belum tahu bahwa engkau adalah seorang gadis yang amat menarik, sederhana tapi manis dan mengandung daya tarik bagaikan besi sembrani, Adik Ling Ling?"

Kalau tadinya Ling Ling sudah bersiap untuk menegur atau bahkan menghajar pemuda itu andai kata berani kurang ajar, kini gadis itu bimbang. Pemuda ini memang memujinya, bahkan kata-katanya mirip rayuan, akan tetapi pandangan matanya dan suaranya sama sekali bukan seperti para pria lain yang hendak berkurang ajar kepadanya.

Mata itu demikian polos, dan suaranya juga datar saja seolah-olah membicarakan tentang kecantikannya merupakan hal yang lumrah dan sewajarnya saja, seperti seorang memuji keindahan setangkai bunga! Karena itu dia pun tidak dapat marah, melainkan mengamati wajah pemuda itu dengan penuh selidik.

"Hemm, baru sekarang ada orang mengatakan bahwa aku manis menarik. Hay-ko (Kakak Hay), coba katakan, apanya sih yang manis menarik?"

Senang hati Hay Hay disebut Hay-ko sesudah tadi dia menyebut Ling-moi (Adik Ling), terdengar demikian akrab dan mesra, seperti kakak beradik, atau seperti... pacar saja!

"Ha-ha-ha, apamu yang menarik, Ling-moi? Entahlah, sukar untuk menentukan. Mungkin matamu yang lembut itu, atau mulutmu yang selalu tersenyum, atau juga hidungmu yang cupingnya dapat kembang kempis lucu, atau rambutmu yang hitam panjang awut-awutan itu. Atau semuanya itu ditambah kesederhanaanmu, kelembutanmu dan pakaianmu yang sederhana tapi justru menonjolkan keindahan bentuk tubuhmu, waah, pendeknya engkau manis menarik!"

Sekarang Ling Ling tertawa. Bukan, bukan perayu kurang ajar yang memiliki niat buruk, pikirnya. Pemuda ini sama sekali berbeda dari pada para pria lainnya. Pria lainnya yang dijumpainya selalu memandang kepadanya dengan sinar mata yang jelas membayangkan kebangkitan nafsu birahi, senyum-senyum buatan untuk memikat, kata-kata rayuan yang juga isinya penuh dengan daya pikat, mata dan mulut yang jelas mengandung kekurang ajaran.

Akan tetapi pemuda ini berbeda sama sekali. Biar pun rayuannya maut, lebih manis dan menyenangkan dibandingkan semua rayuan yang pernah didengarnya, namun sinar mata pemuda ini polos dan bersih dari nafsu, dan tidak ada nampak bayangan keinginan untuk memikat, apa lagi kurang ajar. Maka dia pun tertawa.

"Hik-hik, Hay-ko, engkau sungguh seorang perayu besar! Rayuanmu yang maut itu dapat membuat kepala seorang gadis menjadi tujuh keliling dan membuat dia bertekuk lutut dan takluk kepadamu! Apakah engkau adalah seorang laki-laki mata keranjang yang senang merayu wanita?"

Hay Hay menarik napas panjang. "Sudah mejadi nasibku barangkali, sudah suratan takdir bahwa selama hidupku aku akan dicap sebagai seorang laki-laki mata keranjang! Hampir semua wanita menganggap aku mata keranjang dan perayu besar!"

"Tetapi engkau memang perayu besar, Hay-ko. Selama hidupku belum pernah aku dipuji laki-laki seperti yang kau lakukan tadi!" Ling Ling berkata, akan tetapi sambil tersenyum.

Kembali Hay Hay menarik napas panjang. "Itulah nasibku! Aku sama sekali tidak pernah merayumu, Ling-moi. Aku hanya bicara secara jujur dan terus terang saja, mengatakan apa adanya. Memang engkau manis menarik, habis aku harus berkata bagaimana?"

"Apakah engkau selalu memuji setiap orang wanita yang kau jumpai?"

"Iya, sebagian besar. Karena bagiku, setiap orang wanita itu seperti juga bunga. Bunga itu bermacam-macam, baik bentuknya mau pun warnanya, akan tetapi adakah bunga yang buruk? Semua indah dan semua cantik, dalam coraknya sendiri, memiliki keistimewaan sendiri. Dan aku memandang wanita seperti memandang bunga, aku selalu kagum akan keindahan seorang wanita seperti kagum kepada keindahan bunga. Salahkah kalau aku memuji keindahan itu?"

"Memuji keindahan bunga lalu ingin memetiknya?"

"Ahh, tidak! Aku bukan perayu, Ling-moi! Aku suka akan keindahan, bagaimana mungkin aku ingin merusak keindahan itu? Tidak, aku hanya cukup puas dengan memandangnya, mengamati dan mengagumi kecantikannya."

Ling Ling memandang kagum. "Engkau seorang laki-laki yang aneh, terlalu jujur dan tentu telah banyak mengalami hal-hal yang menyusahkan karena kejujuranmu itu, Hayko."

Tiba-tiba terdengar suara orang, suara yang parau dan kasar, "Heh-heh, kiranya engkau sudah berada di sini, Nona manis!"

Hay Hay masih duduk dan hanya memutar tubuhnya untuk memandang saja, akan tetapi Ling Ling langsung meloncat dan bangkit berdiri. Hay Hay memperhatikan tiga orang yang muncul itu.

Mereka itu adalah tiga orang laki-laki yang usianya antara empat puluh dan lima puluh tahun. Ketiganya mengenakan pakaian serba putih! Yang dua orang bertubuh tinggi besar dan terlihat kokoh kuat, dengan lengan berotot dan sepasang mata yang memandang liar. Muka mereka kehitaman, seorang berjenggot panjang dan seorang lagi tanpa jenggot.

Orang ke tiga juga berpakaian warna putih seperti dua orang terdahulu, usianya beberapa tahun lebih tua, akan tetapi orang ke tiga ini bertubuh pendek gendut seperti bola. Yang membuat Hay Hay merasa terkejut adalah muka orang ini, karena muka ini agak pucat. Hal ini bukan berarti bahwa orang gendut itu berpenyakitan. Kepucatan mukanya berbeda dengan pucatnya orang yang tidak sehat. Hanya dengan melihat mukanya Hay Hay dapat mengenal orang itu sebagai seorang yang memiliki kepandaian tinggi.

Dia pernah mendengar dari para gurunya bahwa di dunia kang-ouw banyak terdapat ilmu sesat, di antaranya latihan hawa sakti yang akan membuat wajah orang itu menjadi pucat, akan tetapi semakin pucat wajahnya, semakin kuat pula sinkang sesat yang dilatihnya.

Dugaan Hay Hay ini memang sungguh tepat. Tiga orang itu adalah anggota perkumpulan Kui-kok-pang (Perkumpulan Lembah Iblis), sebuah perkumpulan yang terdapat di Lembah Iblis yang berada di lereng Gunung Hong-san. Perkumpulan Kui-kok-pang ini dipimpin oleh ketuanya yang bernama Kim San, seorang yang berilmu tinggi dan mukanya amat pucat seperti mayat.

Seperti juga ketuanya, seluruh anggota Kui-kok-pang mengenakan pakaian serba putih, dan ketinggian tingkat mereka dapat dilihat dari keadaan muka mereka. Yang iebih pucat berarti lebih tinggi kedudukannya dan ilmu kepandaiannya. Dua orang tinggi besar yang mukanya kehitaman, dengan kepucatan yang hampir tidak terlihat karena kulit muka yang hitam, menunjukkan bahwa mereka berdua hanyalah anggota-anggota biasa saja yang tingkatnya masih rendah, dan mereka lebih mengandalkan tenaga otot dari pada tenaga sakti. Akan tetapi muka orang ke tiga yang bertubuh pendek gendut seperti bola nampak pucat dan ini menunjukkan bahwa tingkatnya lebih tinggi dari pada kedua orang temannya yang bermuka hitam.

Ketika mendengar teguran parau dan kasar tadi, Ling Ling cepat-cepat menengok. Begitu melihat dua orang lelaki tinggi besar yang mukanya kehitaman, seketika wajah Ling Ling berubah merah dan dia pun meloncat bangun, berdiri sambil bertolak pinggang, sepasang matanya mengeluarkan sinar berapi ketika memandang kepada mereka.

"Hemmm, kiranya kalian anjing-anjing hitam yang kurang ajar ini berani muncul kembali! Apakah kalian masih belum jera dan minta dihajar lagi?" kata Ling Ling.

Dua orang laki-laki muka hitam itu saling pandang, kemudian mereka menoleh kepada laki-laki perut gendut sambil berkata. "Nah, engkau dengar sendiri, Suheng! Dia memang seorang gadis yang sombong dan memandang rendah kepada kita!" kata Si Hitam yang berjenggot kambing.

Si Pendek perut gendut melangkah maju menghadapi Ling Ling. Sejenak dia tidak bicara apa pun, hanya mengamati wajah gadis itu dengan sinar mata mencorong, kemudian dia berkata, suaranya kecil seperti suara tikus terpencet, sehingga terdengar lucu dan sangat berlawanan dengan tubuhnya yang gendut.

"Nona, agaknya engkau tidak mengetahui bahwa kami adalah orang-orang Kui-kok-pang! Mungkin Nona baru saja memasuki dunia kang-ouw, bagaikan burung yang baru belajar terbang sehingga tidak mengenal kami. Oleh karena itu, kalau Nona mau bersikap manis dan meminta maaf, maka kami pun akan menyudahi urusan ini dan menganggap bahwa Nona masih kanak-kanak yang tidak tahu akan kebesaran Kui-kok-pang."

Mendengar disebutnya nama Kui-kok-pang, diam-diam Hay Hay terkejut karena dia sudah mendengar akan nama besar perkumpulan itu. Akan tetapi sebelum berpihak dia harus tahu lebih dulu tentang duduk perkaranya, maka sebelum Ling Ling yang bersikap tenang namun marah itu menjawab, dia sudah mendahului.

"Adik Ling Ling, apakah yang telah terjadi antara engkau dengan dua orang saudara dari Kui-kok-pang ini?"

Ling Ling sudah siap menjawab kata-kata Si Gendut pendek itu dengan kata-kata keras. Namun ketika mendengar pertanyaan Hay Hay, dia lalu menoleh kepada pemuda itu.

"Hay-ko, aku tidak tahu apakah dua orang jahanam ini merupakan anggota Perkumpulan Lembah Iblis atau perkumpulan apa, akan tetapi kemarin sore ketika aku memasuki kota, di tengah perjalanan di luar kota mereka sudah menghadangku dan bersikap kurang ajar, hendak mengganggu aku. Tentu saja aku menghajar mereka hingga mereka lari tunggang langgang seperti dua ekor anjing dipukul. Dan sekarang mereka muncul kembali bersama seekor anjing gemuk lainnya yang agaknya hendak menggonggong lebih keras dari pada mereka."

Hay Hay menahan senyum karena geli hatinya. Kini dia tahu bahwa dua orang anggota Kui-kok-pang yang bertubuh tinggi besar itu, seperti kebanyakan laki-laki yang kasar dan kurang ajar, kemarin mencoba mengganggu Ling Ling yang dianggapnya seorang gadis cantik yang lemah. Namun mereka tertumbuk batu karang lantas dihajar, dan kini mereka datang dengan seorang kawan yang tadi mereka sebut suheng, tentu hendak membalas dendam kepada gadis itu.

Hay Hay maklum bahwa jika dibiarkan saja, tentu Ling Ling akan berkelahi melawan tiga orang Kui-kok-pang itu. Maka dia cepat menghadapi laki-laki pendek gendut, menjura dan berkata dengan ramah.

"Sobat, bila adikku ini telah kesalahan tangan terhadap dua orang saudaramu itu, biarlah aku yang memintakan maaf, harap urusan ini dihabiskan sampai di sini saja."

Si Pendek Gendut itu memandang sejenak kepada Hay Hay, lalu dengan alis berkerut dia pun berkata, nada suaranya penuh ketinggian hati.

"Orang muda, aku tidak tahu siapa engkau dan kenapa pula engkau mencampuri urusan kami. Nona ini yang telah menghina orang-orang kami, maka dia sendiri yang harus minta maaf dan membuktikan penyesalannya dengan menghibur kami selama sehari semalam, baru kami mau sudah. Kalau tidak begitu, biar ada seribu orang yang memintakan maaf, kami tidak akan mau menerimanya."

Sikap Si Pendek Gendut itu demikian sombong sehingga Ling Ling telah menjadi semakin marah saja. "Hay-ko, engkau jangan mencampuri urusan ini. Biar kuhajar manusia busuk ini!" bentak Ling Ling dan sekali loncat dia telah berhadapan dengan Si Pendek Gendut itu. "Hei, babi gendut, jangan engkau membuka mulut sembarangan saja kalau tidak ingin kuhancurkan mulutmu yang busuk!"

Muka yang pucat itu mendadak menjadi merah sekali, akan tetapi segera menjadi pucat kembali, dan sepasang mata yang sipit dari Si Pendek Gendut itu seperti mengeluarkan sinar berapi. Mendengar makian gadis itu, dia marah sekali.

Tadinya dia mengira bahwa setelah mendengar nama besar Kui-kok-pang, gadis itu akan menjadi ketakutan dan menyerah. Tidak tahunya gadis itu malah memakinya babi gendut! Padahal dia merupakan seorang tokoh Kui-kok-pang tingkat tiga yang amat ditakuti orang karena ilmu kepandaiannya sudah tinggi.

Di bawah kedudukan Ketua Kui-kok-pang hanya terdapat tiga orang yang bertingkat dua sebagai pembantu-pembantu utama ketua, dan hanya ada lima orang, termasuk dia, yang menduduki tingkat ketiga sebagai orang-orang yang dipercaya ketua dan sering bertindak sebagai utusan atau wakil ketua. Dan kini, gadis manis ini berani menghinanya sesudah dia tertarik dan ingin memiliki gadis ini untuk menghibur hatinya.

"Bocah sombong, berani engkau menghina tuanmu? Agaknya engkau telah bosan hidup!" Nafsu birahinya yang tadi timbul setelah dua orang anak buahnya membawanya menemui gadis yang pernah menghajar mereka itu, kini lenyap sama sekali oleh penghinaan yang dilontarkan Ling Ling, berubah menjadi kemarahan dan kebencian yang berbau darah dan maut.

Begitu kata-katanya berhenti, tubuhnya sudah menerjang dengan dahsyatnya ke depan. Kedua tangannya membentuk cakar dan menyerang dengan cakaran dan cengkeraman seperti seekor beruang marah, dari kerongkongannya juga keluar suara seperti gerengan binatang buas. Kemudian dari kedua tangan yang membentuk cakar itu menyambar hawa yang amat kuat, didahului uap putih dan bau yang amis seperti darah!

Terkejutlah Hay Hay melihat serangan ini, karena dia mengenal serangan ilmu pukulan yang mengandung racun dan amat jahat, ciri khas pukulan yang biasa dipergunakan para tokoh golongan hitam. Hampir dia berteriak memperingatkan Ling Ling, malah semua urat syaraf di tubuhnya sudah menegang karena dia pun siap untuk melindungi gadis itu dari serangan dahsyat lawannya, jika saja dia tidak melihat gerakan Ling Ling yang membuat dia terbelalak.

Dengan amat mudahnya, ringan dan bagaikan bulu tertiup angin, gadis itu menggerakkan kakinya dan terkaman yang dahsyat itu dapat dihindarkan dengan amat mudahnya! Yang membuat Hay Hay terbelalak heran bukan karena melihat kelihaian Ling Ling. Dia sudah banyak bertemu gadis yang berilmu tinggi, maka dia tidak akan heran melihat munculnya gadis-gadis lihai lainnya lagi. Akan tetapi dia terbelalak heran karena dia mengenal gerak langkah kaki yang digunakan Ling Ling untuk menghindarkan diri dari serangan dahsyat Si Pendek Gendut tadi.

Itulah Ilmu Langkah Ajaib Jiauw-pouw-poan-soan! Tidak mungkin salah lagi, sungguh pun belum sempurna benar, namun langkah-langkah rahasia itu mudah dikenal! Padahal ilmu langkah ajaib itu adalah ciptaan gurunya See-thian Lama yang juga disebut Go-bi San-jin! Bagaimana gadis itu mampu memainkan langkah ajaib itu?

Kini lenyaplah kekhawatiran dari hati Hay Hay. Bukan saja gadis itu pandai ilmu Jiauw-pouw-poan-soan yang akan membuat gadis itu pandai menyelamatkan diri dari serangan yang betapa hebat pun, juga gadis itu memiliki ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang demikian hebat.

Dan Hay Hay menahan seruan kagum ketika gadis itu mulai membalas dengan tamparan-tamparan dua tangannya yang mengeluarkan angin keras mencicit tanda bahwa telapak tangan itu mengandung tenaga sakti yang sangat kuat.

Tadi, pada saat gadis itu menangkap ikan dengan dayungnya, dia sudah menduga bahwa Ling Ling adalah seorang gadis yang mempunyai kepandaian silat. Akan tetapi perbuatan menangkap ikan itu mudah saja sehingga dia tidak menyangka bahwa gadis itu ternyata memiliki ilmu silat yang tinggi, bahkan mampu memainkan ilmu langkah ajaib Jiauw-pouw-poan-soan! Kini dia tidak khawatir lagi, bahkan mengkhawatirkan nasib Si Pendek Gendut karena dia pun tahu bahwa Ling Ling jauh lebih lihai dibandingkan lawannya.

Si Pendek Gendut juga terkejut sekali saat melihat tamparan gadis itu mengandung angin pukulan bercuitan mengejutkan. Dia mencoba untuk mengelak, bahkan menangkis untuk kemudian dilanjutkan cengkeraman pada lengan Ling Ling. Akan tetapi, begitu lengannya tersentuh lengan Ling Ling yang mengandung tenaga Thian-te Sinkang, tubuh Si Gendut itu terjengkang ke belakang dan di lain saat tubuh itu telah menggelundung bagai sebuah bola ditendang!

Akan tetapi dengan muka merah dia cepat meloncat bangun lagi dan dia sudah mencabut senjatanya, yaitu sebuah pedang pendek yang berwarna hitam, tanda bahwa pedang itu agaknya sudah sering kali dilumuri racun! Ketika melihat betapa suheng mereka dalam beberapa jurus saja telah terjengkang, dua orang anggota Kui-kok-pang yang tinggi besar dan berkulit hitam segera mencabut golok masing-masing dan mereka pun serentak maju mengepung! Gadis itu dikepung tiga orang lawan yang kesemuanya bersenjata tajam!

Tetapi Ling Ling berdiri tegak sambil bertolak pinggang dengan kedua tangannya, tenang-tenang saja sambil tersenyum, seperti seorang guru melihat tingkah tiga orang anak kecil yang bandel dan nakal!

Hay Hay juga memandang dengan tersenyum. Dia masih percaya penuh bahwa gadis itu akan mampu melindungi dirinya. Dengan Jiauw-pouw-poan-soan saja, dia percaya gadis itu akan mampu menghindarkan diri dari kepungan tiga batang senjata tajam itu. Apa lagi agaknya gadis itu masih memiliki lain-lain ilmu yang juga amat hebat.

Dugaan Hay Hay memang tidak meleset. Tingkat kepandaian Si Pendek Gendut bersama dua orang pembantunya itu masih berselisih jauh di bawah tingkat Ling Ling yang sejak kecil menerima gemblengan ayah bundanya.

Ketika Si Pendek Gendut menyerang dengan pedangnya, juga dua orang pembantunya menerjang dengan golok mereka, tiba-tiba saja mereka bertiga itu terkejut karena melihat dara itu menyelinap secepat kilat sehingga hanya nampak bayangan berkelebat tahu-tahu orangnya sudah lenyap. Ketika Si Gendut membalik, ternyata gadis itu sudah berada di belakangnya, berdiri dengan santai dan tersenyum manis! Si Gendut kembali menyerang dengan pedangnya, dibarengi dua temannya yang membacok dengan golok mereka.

Melihat pengeroyokan dengan senjata ini, kembali Ling Ling menyelamatkan diri dengan langkah-langkah anehnya. Tubuhnya bergeser ke kanan kiri, memutar, dan dara itu sudah keluar dari kepungan tiga senjata tajam. Melihat betapa di antara ketiga orang lawannya yang paling kuat adalah Si Pendek Gendut, maka dia lalu menyerang dengan totokan jari telunjuk.

Cepat sekali jari telunjuknya mencuat dan menotok ke arah pundak Si Gendut Pendek. Totokan ltu cepat bukan main dan tidak mungkin dapat dihindarkan oleh lawan. Itulah Ilmu Thiam-hiat-hoat (menotok jalan darah) yang amat ampuh, yaitu It-sin-ci (Satu Jari Sakti).

Begitu pundaknya tersentuh jari telunjuk kiri gadis itu, seketika itu pula Si Pendek Gendut merasa betapa tubuhnya lemas kehilangan tenaga. Pedangnya terlepas lantas tubuhnya terkulai jatuh. Akan tetapi, begitu tubuhnya rebah dia bergulingan dan tak lama kemudian dapat meloncat bangkit kembali sambil menyambar pedangnya yang tadi terlepas.

Hal ini mengejutkan hati Ling Ling, juga mengherankan hati Hay Hay. Jelaslah bahwa Si Pendek Gendut itu tadi terkena totokan yang lihai dan melihat dia terkulai, hal itu berarti bahwa totokan itu mengenai sasarannya dengan tepat. Akan tetapi bagaimana mungkin begitu terkulai jatuh, Si Pendek Gendut itu dapat langsung meloncat bangun kembali setelah bergulingan?

Baik Hay Hay mau pun Ling Ling belum mengetahui bahwa Kui-kok-pang adalah sebuah perkumpulan golongan sesat yang dulu pernah dipimpin oleh orang-orang berilmu tinggi. Beberapa macam ilmu aneh diturunkan oleh para pimpinan itu, dan Si Pendek Gendut itu ternyata telah pula mewarisi salah satu di antara ilmu-ilmu aneh, yaitu yang disebut Ilmu Kekebalan Trenggiling Besi.

Ilmu ini adalah semacam ilmu kekebalan terhadap totokan lawan. Biar pun tadinya tubuh telah terpengaruh totokan lihai, asal tubuh itu bisa rebah di atas tanah, maka akan timbul kekuatan sehigga dia dapat bergulingan dan pengaruh totokan itu pun akan membuyar dengan sendirinya!

Kui-kok-pang didirikan oleh sepasang suami isteri yang memiliki kepandaian tinggi sekali. Si Suami berjuluk Kui-kok Lo-mo dan isterinya Kui-kok Lo-bo, yaitu kakek dan nenek dari Lembah Kui-kok. Mereka selalu berpakaian putih dan muka kedua orang suami isteri ini pun putih seperti muka mayat, dengan mata mencorong. Ilmu kepandaian suami isteri ini hebat bukan main sehingga nama Kui-kok-pang, perkumpulan yang mereka dirikan, amat terkenal di dunia persilatan.

Akan tetapi, di dalam kebesarannya suami isteri ini bernasib sial karena bentrok dengan Raja dan Ratu Iblis, dua orang tokoh yang menjadi datuk terbesar di dunia hitam sehingga Kui-kok Lo-mo dan Kui-kok Lo-bo tewas di tangan Ratu Iblis yang sakti. Kini yang menjadi Ketua Kui-kok-pang adalah Kim San, seorang murid suami isteri itu yang paling banyak mewarisi ilmu kepandaian mereka. Kui-kok-pang lalu bangkit kembali dan kini menyusun kekuatan dengan bekerja sama di bawah pimpinan Lam-hai Giam-lo.

Seperti para pembantu lain yang bersekutu di dalam gerombolan yang dipimpin Lam-hai Giam-lo, para tokoh Kui-kok-pang tak ketinggalan ikut bekerja keras untuk menggembleng anak buah mereka, dan seperti para pembantu lain, juga berkeliaran mencari teman baru untuk ditarik menjadi anggota kelompok mereka untuk memperkuat pasukan yang sedang mereka susun.

Si Gendut Pendek bersama beberapa orang anak buahnya juga sedang bertugas mencari teman. Pada saat mereka berkeliaran sampai ke daerah Telaga Cao, dua orang di antara mereka, yang bertubuh tinggi besar, bertemu dengan Ling Ling di tengah jalan yang sepi.

Melihat ada seorang dara muda yang cantik melakukan perjalanan seorang diri, tentu saja membangkitkan nafsu kedua orang anggota Kui-kok-pang yang sudah biasa melakukan segala jenis kejahatan itu. Mereka bermaksud menggoda, akan tetapi mereka kecelik dan akibat dari godaan itu, mereka berdua dihajar oleh Ling Ling sehingga mereka terpaksa melarikan diri dalam keadaan babak-belur.

Mereka kemudian mengadu kepada pimpinan mereka, yaitu Si Pendek Gendut. Orang ini adalah seorang laki-laki yang lemah terhadap wanita cantik. Mendengar bahwa dua orang anak buahnya baru saja dihajar oleh seorang gadis cantik, hatinya merasa penasaran dan bersama kedua orang anak buahnya itu, dia pun segera mencari gadis itu dan akhirnya dapat menemukan Ling Ling yang sedang bercengkerama dengan Hay Hay.

Demikianlah sedikit mengenai Kui-kok-pang. Tidak mengherankan jika Si Pendek Gendut itu mampu membebaskan pengaruh totokan It-sin-ci dari Ling Ling karena kebetulan dia sudah mewarisi satu di antara ilmu-ilmu yang aneh, yang ditinggalkan Kui-kok Lo-mo dan Kui-kok Lo-bo, yaitu Ilmu Kekebalan Trenggiling Besi.

Sekarang Si Gendut sudah meloncat bangun dan menyerang lagi, diikuti oleh dua orang pembantunya yang menjadi besar hati ketika melihat betapa suheng mereka tadi biar pun sempat roboh tapi dapat bangkit kembali dengan cepat, dan agaknya hal ini mengejutkan gadis itu yang memandang dengan mata terbelalak.

Memang kebangkitan Si Gendut yang tidak tersangka-sangka itu sudah mengejutkan hati Ling Ling, akan tetapi tidak membuatnya menjadi gugup. Begitu melihat ketiga orang itu telah maju menerjangnya lagi, dia cepat menyelinap di antara bayangan tiga buah senjata tajam itu dengan menggunakan langkah-langkah ajaibnya. Setelah membiarkan tiga orang lawannya menyerang sampai empat lima jurus dan melihat kesempatan terbuka, tiba-tiba saja sambil membuat gerakan memutar dalam langkah-langkahnya dia menyerang secara bertubi-tubi ke arah tiga orang lawan itu dengan jurus-jurus cepat dari Ilmu Silat San-in Kun-hoat (Ilmu Silat Awan Gunung), salah satu di antara ilmu silat Cin-ling-pai yang halus dan hebat.

Terdengar suara teriakan-teriakan ketika tubuh tiga orang itu berturut-turut roboh dan dua batang golok terlepas dari pegangan pemiliknya. Tubuh Si Pendek Gendut itu roboh untuk kedua kalinya. Kembali dia mempergunakan ilmunya Trenggiling Besi, bergulingan lantas melompat bangun.

Akan tetapi melihat betapa dua orang pembantunya begitu dapat bangun terus melarikan diri dengan terpincang-pincang, Si Gendut itu pun agaknya sudah kehabisan nyali dan dia pun tanpa banyak cakap lagi langsung memutar tubuh lantas melarikan diri menyusul dua orang anak buahnya!

Hay Hay tertawa sambil bertepuk tangan memuji. Dia merasa kagum sekali, bukan hanya karena kelihaian Ling Ling, akan tetapi terutama sekali dia merasa gembira dan kagum karena jelas nampak olehnya betapa di dalam perkelahian tadi Ling Ling sudah mengalah dan sama sekali tidak pernah menggunakan tangan besi.

Kalau saja gadis itu menghendaki, dengan mudah dia akan mampu merobohkan mereka bertiga sehingga tidak dapat bangun kembali, tewas atau setidaknya terluka parah. Akan tetapi tidak, gadis itu jelas hanya ingin menundukkan mereka tanpa ingin melukai. Ini saja telah membuktikan bahwa Ling Ling adalah seorang gadis yang mempunyai watak halus, penyabar dan sama sekali tidak kejam. Berbeda dengan banyak pendekar wanita yang ringan tangan dan kadang-kadang terlampau ganas terhadap penjahat. Gadis ini seorang pemaaf besar!

"Hebat sekali, Ling-moi! Engkau membuat aku kagum!" kata Hay Hay memuji.

Ling Ling tersenyum. "Apanya sih yang patut dipuji? Meski pun aku belum pernah melihat kepandaianmu, tetapi aku berani memastikan bahwa engkau jauh lebih pandai dari pada aku, Hay-ko."

"Hemm, dari mana engkau dapat memastikan seperti itu, Adikku yang manis?"

"Dari sikapmu, Hay-ko, juga ketika engkau menangkap ikan dengan alat pancingmu tadi. Engkau bersikap sederhana hanya untuk menutupi kelihaianmu, Hay-ko."

Hay Hay memandang kagum. "Ling-moi, engkau memang seorang gadis yang luar biasa sekali. Aku masih terheran-heran, dari mana engkau mahir memainkan ilmu langkah ajaib Jiauw-pouw-poan-soan itu...?"

Kini Ling Ling memandang penuh selidik. "Nah, tak keliru dugaanku. Baru melihat engkau sudah dapat mengenal gerakanku. Betapa tajamnya pandang matamu, Hay-ko. Menurut ayahku, karena ilmu itu merupakan ilmu simpanan maka jarang atau mungkin tidak ada orang yang mengenalnya, namun begitu melihat gerakanku engkau segera mengenalnya. Aku mempelajarinya dari ayahku, Hay-ko. Dan bagaimana engkau dapat mengenal ilmu kami itu?"

Akan tetapi Hay Hay tidak menjawab, melainkan memandang dengan mata terbelalak, lalu bertanya lagi, "Apakah nama keluargamu Cia?"

Ling Ling mengangguk dengan rasa heran. Bagaimana pula pemuda ini tahu atau dapat menduga tentang nama keluarganya?

"Dan ayahmu bernama Cia Sun?"

Dara itu bengong, lalu tersenyum. "Wah, ini namanya sudah keterlaluan, Hay-ko. Engkau membuat aku semakin bingung, heran dan penasaran sekali. Engkau dapat mengetahui segalanya mengenai diriku. Apakah engkau menguasai ilmu meramal? Jangan membikin aku bingung keheranan, Hay-ko. Bagaimana engkau dapat menduga demikian tepat?"

"Karena ilmu langkah tadilah, Ling-moi. Ketahuilah bahwa ayahmu yang bernama Cia Sun itu adalah suheng-ku."

"Ahhh...? Bagaimana mungkin? Ayah tidak pernah bercerita bahwa dia memiliki seorang sute seperti engkau!"

"Memang, dia sendiri pun tidak tahu bahwa aku adalah sute-nya."

"Tapi... tapi, guru ayahku ada dua. Yang seorang adalah kakekku sendiri..."

"Aku tahu, tentu kakekmu, pendekar sakti yang tinggal di Lembah Naga itu, bukan? Akan tetapi yang kumaksudkan tadi adalah gurunya yang berjuluk See-thian Lama atau Go-bi San-jin..."

"Jadi..., kalau begitu engkau adalah murid dari Locianpwe itu? Dari Sukong (kakek Guru) Go-bi San-jin?"

"Benar, Ling-moi. Karena itu aku segera mengenal ilmu langkahmu tadi. Ayahmu adalah murid Suhu Go-bi San-jin juga, oleh karena itu dia adalah suheng-ku."

"Dan engkau adalah paman guruku! Ahh, Susiok (Paman Guru) harap maafkan aku yang tadi bersikap kurang hormat karena belum mengenal Susiok," kata Ling Ling sambil cepat menjura dengan hormat kepada pemuda itu.

"Eiiittt, jangan begitu, Ling-moi!" kata Hay Hay. Hay Hay cepat membalas penghormatan gadis itu. "Aku lebih senang jika menjadi kakak dan adik denganmu, seperti sekarang ini. Sebut saja aku Hay-ko seperti tadi, Ling-moi."

"Aku tidak berani, Susiok," kata Ling Ling, sikapnya hormat.

"Aihh, aku mendadak merasa menjadi tua sekali kalau engkau menyebutku paman guru, Ling-moi. Padahal, usiaku baru dua puluh satu tahun lebih!"

Gadis itu menatap wajahnya kemudian berkata, sikapnya sungguh-sungguh namun tetap ramah dan halus. "Susiok, satu di antara pelajaran yang kuterima dari ayahku adalah agar aku menghormati orang tua, dan agar aku selalu mengingat akan tata susila dan sopan santun. Biar pun engkau masih muda dan pantas menjadi kakakku, tetapi kenyataannya engkau adalah adik seperguruan dari ayah. Oleh karena itu maka sudah semestinya dan sepatutnya kalau aku menyebut Susiok kepadamu. Dan harap Susiok jangan menyebut adik kepadaku, karena hal itu tentu akan menjadi bahan tertawaan orang lain."

Hay Hay mengerutkan alis. "Aihhh, masa bodoh dengan pandangan dan pendapat orang lain. Ling-moi, engkau terlalu teguh memegang peraturan!"

Gadis itu tersenyum, sikapnya tenang dan halus, sedangkan pandangan matanya seperti menggurui. "Susiok, apa akan jadinya dengan manusia kalau tidak memegang peraturan? Hidup tak mungkin dapat bebas dari peraturan, Susiok. Tanpa peraturan, kehidupan akan menjadi bebas dan liar, tanpa batas-batas lagi sehingga tidak akan ada bedanya dengan kehidupan binatang. Maaf, Susiok, sejak kecil ayah mengajarkan kepadaku agar mentaati peraturan, karena itulah aku tidak berani melanggar."

Wajah Hay Hay berubah agak merah dan mendadak dia pun tertawa. "Baiklah, Ling Ling. Biarlah aku menyebut namamu begitu saja kalau engkau bertekad menyebut aku Susiok. Memang pendapatmu tadi ada benarnya. Tanpa peraturan maka hidup akan menjadi liar dan kacau. Akan tetapi hidup pun akan menjadi kaku kalau terlalu memegang peraturan. Di dalam segala hal memang dibutuhkan kebijaksanaan, karena hanya kebijaksanaanlah yang akan bisa membuat kita mempertimbangkan mana yang benar, mana yang baik dan mana yang buruk. Baiklah keponakanku yang manis, sekarang ceritakan kepada Paman Gurumu ini, bagaimana engkau, seorang dara remaja, dapat tiba di tempat ini melakukan perjalanan seorang diri. Dan ceritakan pula keadaan Suheng Cia Sun sekeluarganya yang belum pernah kutemui itu."

Dengan singkat Ling Ling menceritakan keadaan orang tuanya, betapa ayah dan ibunya tinggal di dusun Ciang-si-bun di sebelah selatan kota raja, hidup sederhana dan bertani.

"Aku meninggalkan rumah dengan perkenan ayah dan ibu, Susiok. Aku ingin meluaskan pengalaman dan juga ingin berkunjung ke Cin-ling-pai, karena ibuku adalah murid ketua yang lama dari Cin-ling-pai, ada pun ayahku juga masih keluarga dekat dengan keluarga Cin-ling-pai."

Karena urusan di Cin-ling-pai merupakan urusan keluarga, maka Ling Ling tidak bercerita tentang keributan di Cin-ling-pai karena kemunculan Kui Hong, kemudian Hui Lian. Kalau dia menyebut nama kedua orang gadis ini tentu Hay Hay akan terkejut dan girang karena dia sudah mengenal baik kedua orang gadis itu.

"Sesudah bertemu keluarga Cin-ling-pai, aku lalu melanjutkan perjalananku dan di tengah perjalanan inilah aku mendengar tentang gerakan persekutuan para tokoh kang-ouw yang dipimpin oleh datuk-datuk sesat dan kabarnya yang telah diangkat menjadi bengcu adalah seorang datuk sesat berjuluk Lam-hai Giam-lo. Kabarnya, persekutuan golongan hitam ini bermaksud hendak mengadakan pemberontakan. Mendengar berita ini, aku merasa yakin bahwa para pendekar tentu akan menentangnya, Susiok. Karena itulah aku bermaksud hendak melakukan penyelidikan di sarang mereka, yaitu di Pegunungan Yunan."

Hay Hay mengangguk-angguk gembira. "Wah, sungguh kebetulan sekali. Aku pun sedang menuju ke sana, Ling Ling. Aku pun mendengar akan gerakan itu, bahkan aku mendengar sendiri langsung dari Menteri Yang Ting Hoo."

Gadis itu terbelalak. "Kau maksudkan Yang Taijin yang terkenal sebagai seorang menteri yang tiong-sin (setia) itu? Aku pernah mendengar dari ayah bahwa di kota raja terdapat dua orang menteri setia yang bijaksana, yaitu Menteri Yang Ting Hoo dan Menteri Cang Ku Cing. Jadi Susiok ini... utusan pribadi Menteri Yang Ting Hoo? Ah, betapa bangga aku mendengarnya!"

Gadis itu memandang dengan wajah berseri, bangga bahwa utusan pribadi seorang yang demikian terkenal bijaksana seperti Menteri Yang ternyata adalah susiok-nya sendiri!

Hay Hay tersenyum dan menggelengkan kepalanya, "Memang aku telah bertemu dengan Yang Mulia Menteri Yang Ting Hoo, dan beliau menceritakan semuanya tentang gerakan yang dipimpin Lam-hai Giam-lo itu, juga beliau minta bantuanku agar aku suka melakukan penyelidikan ke Pegunungan Yunan. Akan tetapi hal itu bukan berarti bahwa aku menjadi utusan pribadi beliau, Ling Ling. Aku bukan seorang pejabat pemerintah."

"Ah, Susiok terlalu merendahkan diri. Bagaimana pun juga Susiok pernah bercakap-cakap dengan Yang Mulia Menteri Yang Ting Hoo, bahkan telah dimintai tolong untuk membantu pemerintah menentang gerakan itu. Hal ini saja sudah luar biasa sekali sehingga aku ikut merasa gembira. Susiok, kebetulan sekali kita saling berjumpa di sini dan kita memiliki tujuan yang sama. Oleh karena itu dengan gembira aku akan membantu penyelidikanmu, Susiok. Tadinya aku memang meragu dan bingung, apa yang akan kulakukan. Aku belum mengenal tokoh-tokoh pendekar yang mungkin banyak terdapat di daerah Yunan, dan aku tidak tahu apa yang harus kulakukan."

"Bagus, kita akan bekerja sama, Ling Ling. Kulihat kepandaianmu telah cukup untuk bisa kau pergunakan membela diri, akan tetapi hendaknya engkau berhati-hati sebab menurut keterangan yang sudah kuperoleh, persekutuan itu mempunyai banyak sekali tokoh sesat yang amat lihai sebagai anggota, maka dapat dipastikan bahwa kita akan bertemu dengan lawan-lawan tangguh."

"Aku tidak takut, apa lagi ada Susiok di sampingku!" kata gadis itu gembira.

Hay Hay tersenyum. Baru sekali ini dia bertemu seorang gadis yang begitu bertemu telah merasa yakin dengan kepandaiannya sehingga sukarlah baginya untuk berpura-pura lagi. Gadis ini memiliki watak yang amat lembut, sabar pemaaf dan sama sekali tidak tinggi hati.

"Ling Ling, bagaimana engkau dapat begitu yakin akan kemampuanku?"

"Mudah saja, Susiok. Dari caramu menangkap ikan, sikapmu yang ramah serta terbuka. Kemudian, pada saat aku bertanding melawan tiga orang Kui-kok-pang, Susiok diam saja tidak membantu, berarti Susiok sudah tahu bahwa aku akan keluar sebagai pemenang. Semua itu masih diperkuat lagi dengan kenyataan bahwa Susiok adalah sute dari ayah. Bagaimana aku tidak akan merasa yakin bahwa Susiok mempunyai ilmu kepandaian yang tinggi sekali?"

Hay Hay tertawa. "Ha-ha-ha, sungguh aku beruntung sekali. Tanpa bermimpi lebih dulu, tahu-tahu aku menemukan seorang keponakan yang sudah demikian besar, merupakan seorang gadis yang cantik manis, lembut dan lihai ilmu silatnya, di samping cerdik bukan main."

"Wah, Susiok memang amat pandai memuji orang," kata Ling Ling dan mukanya berubah kemerahan, akan tetapi mulutnya tersenyum. Jelas bahwa dia merasa senang sekali dan tanpa disadarinya, semenjak pertemuan pertama tadi gadis ini memang telah tertarik dan jatuh.

"Aku memang suka memuji kepada apa yang memang patut dipuji, Ling Ling. Marlah kita melanjutkan perjalanan. Mudah-mudahan saja orang-orang Kui-kok-pang tadi sudah jera dan tidak akan datang mengganggumu lagi. Sebaiknya kita masuk ke kota Wei-ning lebih dulu, untuk makan siang dan membeli makanan kering untuk bekal di perjalanan."

Ling Ling setuju dan mereka pun meninggalkan tepi telaga itu, memasuki kota Wei-ning. Sama sekali Hay Hay tidak menyangka bahwa yang mengintai dan mengancam mereka bukanlah orang-orang Kui-kok-pang saja, namun segerombolan orang yang bahkan lebih lihai lagi. Mereka adalah para anak buah Lam-hai Giam-lo yang sudah bergabung dengan orang-orang Kui-kok-pang yang juga merupakan rekan mereka, dan di antara mereka itu terdapat orang-orang Pek-lian-kauw, juga Min-san Mo-ko, Ji Sun Bi, dan Sim Ki Liong!

Min-san Mo-ko dan Ji Sun Bi merasa jeri sesudah mereka melihat bahwa pemuda yang mengalahkan orang-orang Pek-lian-kauw itu ternyata adalah Hay Hay yang mereka tahu sangat lihai itu. Maka mereka cepat mengundang Sim Ki Liong untuk membantu mereka. Dan kini, pemuda murid Pendekar Sadis itu sudah muncul dan bersama teman-temannya sudah melakukan pengintaian ketika Hay Hay berjalan memasuki kota Wei-ning bersama seorang gadis yang telah menghajar para anggota Kui-kok-pang itu.

Sim Ki Liong adalah seorang pemuda yang cerdik bukan kepalang. Dari hasil penyelidikan mata-mata yang disebar oleh Lam-hai Giam-lo, dia tahu bahwa kini di daerah Wei-ning telah banyak berdatangan orang-orang gagah, pendekar-pendekar yang sikapnya sangat mencurigakan. Dia sudah menduga bahwa tentang kemunculan para pendekar ini sedikit banyak ada hubungannya dengan gerakan yang dipimpin Lam-hai Giam-lo, sungguh pun belum ada pendekar yag secara berterang memusuhi mereka.

Terutama sekali di kota Wei-ning, dia melihat banyak sekali berkeliaran orang-orang yang dari sikap serta pakaian mereka yang aneh-aneh mudah diduga bahwa mereka bukanlah orang-orang sembarangan. Karena itu dia tidak setuju ketika teman-temannya bermaksud menyerbu pemuda yang oleh Min-san Mo-ko dikatakan bernama Hay Hay dan kabarnya amat lihai itu. Apa lagi sesudah melihat betapa pemuda itu kini bergabung dengan gadis yang menurut laporan para anggota Kui-kok-pang juga amat lihai.

"Kita tidak boleh turun tangan secara gegabah," katanya kepada Ji Sun Bi dan Min-san Mo-ko. "Bukan aku takut menghadapi mereka berdua. Dengan kekuatan kita sekarang, kiranya kita akan mampu mengalahkan mereka. Akan tetapi harus diingat bahwa di kota Wei-ning kini terdapat banyak orang aneh yang mungkin saja tidak akan membiarkan kita bergerak. Jangan sampai kita membangunkan macan-macan tidur hanya karena urusan kedua bocah itu. Dan bukankah bengcu kita sudah berpesan bahwa sebaiknya membujuk orang-orang pandai untuk bergabung lebih dulu sebelum turun tangan?"

"Lalu apa yang akan kita lakukan sekarang, Sim-kongcu?"

Sim Ki Liong memang disebut kongcu (tuan muda) atau juga taihiap (pendekar besar) oleh para pembantu Lam-hai Giam-lo karena pembawaannya yang halus dan berpakaian rapi laksana seorang pelajar, juga karena semua orang tahu betapa pemuda ini memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi.

"Harap kalian bersembunyi saja sambil bersiap menanti tanda dariku. Aku akan mencoba untuk menghubungi mereka secara baik-baik. Siapa tahu aku akan berhasil membujuk mereka, atau setidaknya memancing mereka agar keluar kota. Kalau sudah berada di luar kota, di tempat sepi, barulah kita boleh turun tangan terhadap mereka, kalau mereka tidak mau kubujuk untuk bekerja sama."

"Akan tetapi hati-hatilah, Kongcu. Pemuda yang bernama Hay Hay itu memiliki ilmu silat yang amat lihai," Ji Sun Bi memesan.

"Juga hati-hati terhadap ilmu sihirnya. Selain ilmu silat yang lihai, juga kekuatan sihirnya berbahaya sekali," sambung Min-san Mo-ko dan para pendeta Pek-lian-kauw yang sudah merasakan kekuatan sihir pemuda itu, mengangguk membenarkan.

"Jangan khawatir, aku dapat menjaga diri," kata Ki Liong dengan bangga terhadap dirinya sendiri.

Mereka lalu berpencar dan Ki Liong memasuki kota Wei-ning seorang diri, dengan gaya seorang pelajar tinggi yang sedang melancong. Memang, kalau dilihat dari pakaian, wajah dan sikapnya, maka takkan ada seorang pun yang menyangka bahwa pemuda ini adalah tangan kanan dari pimpinan persekutuan kaum sesat. Dia lebih pantas menjadi seorang tuan muda bangsawan kaya raya dan terpelajar, atau seorang pendekar muda yang halus dan sopan gerak-geriknya.

Namun di balik kehalusan ini, dari sepasang matanya berkilat sinar yang membayangkan kecerdikannya ketika Ki Liong dari jarak yang cukup aman dan jauh membayangi pemuda dan gadis yang berjalan seenaknya memasuki kota Wei-ning itu.

Hay Hay dan Ling Ling sama sekali tidak mengira bahwa mereka sedang dibayangi orang dari jauh, malah dari jarak yang lebih jauh lagi, lebih banyak lagi orang yang membayangi mereka dalam keadaan berpencaran, yaitu Min-san Mo-ko Ji Sun Bi, dan masih banyak lagi orang-orang lihai yang menjadi kaki tangan persekutuan di Pegunungan Yunan itu.

Hay Hay mengajak Ling Ling memasuki rumah makan merangkap penginapan Ban Lok di mana dia pernah makan dan masakan di restoran itu sangat lezat. Mereka masuk dan ternyata rumah makan itu penuh sekali. Untung masih ada sebuah meja kosong di sudut belakang. Pelayan lalu mempersilakan mereka duduk menghadapi meja kosong itu dan Hay Hay memesan beberapa macam masakan dan nasi putih, juga anggur dan air teh.

Ki Liong yang cerdik melihat kesempatan baik sekali. Sekelebatan saja dia sudah melihat bahwa restoran itu penuh. Memang ada beberapa buah meja di mana hanya duduk dua atau tiga orang, akan tetapi dengan sengaja, walau pun nampaknya tidak, dia berjalan di antara meja-meja itu sambil matanya mencari-cari tempat kosong.

Seorang pelayan menyambutnya dan dengan sikap menyesal pelayan itu berkata, "Maaf, Kongcu. Tempatnya penuh, kalau Kongcu suka menanti sebentar di depan..."

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.