KETIKA Lam-hai Giam-lo mengangkat muka memandang dan mengenal suami isteri yang amat ditakuti itu, wajahnya berubah pucat. Sudah beberapa kali dia harus menyelamatkan diri dari suami lsteri ini, bahkan dia sampai melarikan diri dan menyamar sebagai seorang hwesio di kuil Siauw-lim-pai saking takutnya dikejar-kejar suami isteri ini.
Tak diduganya bahwa perbuatan yang iseng dan jahat di waktu yang lalu mengakibatkan munculnya dua orang musuh yang luar biasa tangguhnya ini. Kini dua orang musuh besar ini muncul kembali sebagai pembantu pasukan pemerintah, pada waktu anak buahnya sudah mulai tersudut dan terhimpit.
Dia mulai mencari jalan keluar untuk melarikan diri, akan tetapi ketika membalik, di sana telah ada Bi Lian yang siap menerjangnya! Celaka, pikirnya, menghadapi Bi Lian seorang saja dia masih belum mampu mengalahkannya, apa lagi dengan munculnya suami isteri yang ditakutinya itu.
Pasukannya menghadapi kehancuran, ada pun pembantu-pembantunya tidak tampak ada yang muncul, bahkan dia tidak melihat adanya Kulana dan Sim Ki Liong yang diandalkan, yang entah berada di mana. Karena tidak metihat jalan keluar, Lam-hai Giam-lo menjadi nekat.
"Baik, aku akan mengadu nyawa dengan kalian!" bentaknya dengan suaranya yang parau seperti ringkik kuda.
Tubuhnya lalu berputar-putar dan dia mulai memainkan ilmu silat yang dia andalkan, yaitu ilmu silat dengan tubuh berputaran. Di dalam putaran tubuhnya ini terkandung kekuatan seperti angin puyuh yang berpusing, bahkan nampak daun kering dan debu ikut berpusing di sekeliling tubuhnya disertai angin menyambar-nyambar di sekitarnya!
Hebat bukan main ilmu dari Lam-hai Giam-lo ini sehingga beberapa orang pendekar dan banyak anak buah pasukan pemerintah tidak ada yang berani mendekat, membiarkan tiga orang perkasa itu menghadapi pemimpin pemberontak yang amat sakti itu.
Su Kiat dan Hui Lian tidak mengenal Bi Lian, akan tetapi mereka berdua merasa kagum sekali. Dara yang cantik jelita itu, yang usianya belum menginjak dua puluh tahun, berani menghadapi Lam-hai Giam-lo seorang diri saja tanpa senjata, bahkan mampu menandingi iblis itu sehingga terjadi perkelahian yang seru. Padahal Lam-hai Giam-lo adalah seorang datuk sesat yang amat berbahaya!
Sementara itu Bi Lian juga memperhatikan dengan heran saat melihat munculnya seorang laki-laki berlengan kiri buntung bersama seorang wanita yang cantik dan mereka berdua itu langsung menyerang Lam-hai Giam-lo dengan dahsyatnya, bahkan membuat Lam-hai Giam-lo kelihatan seperti orang ketakutan.
Akan tetapi gadis ini maklum bahwa mereka berdua itu adalah kawan-kawan, setidaknya juga membantu pasukan pemerintah, maka tanpa banyak cakap lagi dia pun siap bekerja sama dengan mereka untuk membasmi manusia jahat macam Lam-hai Giam-lo. Tanpa mengucapkan sepatah pun kata, ketiga orang ini sudah membentuk Sha-kak-tin (Barisan Segitiga) mengepung Lam-hai Giam-lo yang berputaran seperti gasing itu!
Bi Lian sudah mengerahkan tenaga sinkang, disalurkan melalui kedua lengannya dan dia memainkan ilmu silat gabungan dari Pak Kwi Ong dan Tung Hek Kwi, ilmu silat yang aneh gerak-geriknya. Kedua telapak tangannya mengeluarkan uap putih, lengannya bisa mulur dan memendek seperti karet, tubuhnya dengan ringan dan cekatan dapat berlompatan ke sana-sini dan kadang-kadang tangannya mencuat ke depan seakan hendak menembus tubuh yang berpusing itu.
Dengan lengan kiri buntung yang kini digantikan oleh ujung lengan baju yang dapat dibuat lemas dan kadang kala keras seperti besi, Ciang Su Kiat memainkan Ilmu Silat Sian-eng Sin-kun yang cepatnya bukan main. Ilmu silat tangan kosong Sian-eng Sin-kun (Pukulan Sakti Bayangan Dewa) ini merupakan peninggalan dari Sian-eng-cu The Kok, seorang di antara delapan orang sakti yang dikenal dengan julukan Delapan Dewa.
Dengan ilmu silat ini tubuhnya seperti dapat terbang saja, atau bahkan saking cepatnya gerakannya, bagi pandang mata biasa yang nampak hanyalah bayangan saja dan setiap kali menyerang, baik dengan ujung lengan bajunya yang kiri atau pun tangan kanannya, maka serangan itu merupakan serangan maut yang amat berbahaya bagi lawan.
Kok Hui Lian juga mengerahkan seluruh tenaga serta kepandaiannya untuk menghadapi Lam-hai Giam-lo yang lihai. Dia langsung memainkan In-liong Kiam-sut dengan pedang Kiok-hwa-kiam. In-liong Kiam-sut (Ilmu Pedang Naga Awan) adalah ciptaan mendiang In Liong Nio-nio, juga salah seorang di antara Delapan Dewa.
Gerakannya sangat tangkas dan gagah, tepat seperti nama ilmu itu sendiri, seakan-akan seekor naga sedang melayang-layang di angkasa. Gulungan sinar pedang itu membentuk lingkaran lebar dan dari dalamnya menyambar-nyambar sinar pedang yang dahsyat.
Menghadapi tiga orang yang memiliki ilmu silat tinggi itu, Lam-hai Giam-lo menjadi repot bukan main. Lawan lain tentu akan menjadi gentar menghadapi ilmunya itu, akan tetapi tiga orang ini mempunyai tingkat yang mampu menandinginya, maka tentu saja dia tidak mendapatkan banyak kesempatan untuk menyerang mereka. Dalam keadaan berpusing itu dia hanya mampu mempertahankan diri untuk menangkis atau bersembunyi di dalam pusingan tubuhnya yang sukar dijadikan sasaran serangan itu.
"Singgg...! Singgg...!"
Gulungan sinar pedang Kiok-hwa-kiam mengeluarkan cahaya mencuat dua kali, pertama menyarnbar ke arah leher, kemudian seperti meluncur turun dan menyambar ke arah kaki dari tubuh Lam-hai Giam-lo yang berpusing. Lam-hai Giam-lo mampu menghindarkan diri dengan dua kali elakan, akan tetapi pada saat itu pula tangan Bi Lian yang mulur sudah mencengkeram ke arah lehernya.
"Dukkk!"
Dia menangkis dan benturan kedua lengan membuat tubuhnya tergetar walau pun Bi Lian juga terhuyung. Getaran tubuh ini menghentikan pusingan tubuh Lam-hai Giam-lo. Pada saat itu pula ujung lengan baju yang menjadi lemas seperti cambuk telah melecut ke arah matanya, dan ketika Lam-hai Giam-lo menarik tubuhnya ke belakang, ujung lengan baju itu sudah berubah kaku dan kini menotok ke arah pinggang. Totokan maut ini nyaris saja mengenai pinggangnya. Lam-hai Giam-lo cepat membuang dirinya ke samping kemudian bergulingan.
Sinar pedang menyambar-nyambar mengejar tubuh yang bergulingan itu. Dalam keadaan terhimpit itu Lam-hai Giam-lo mencengkeram tanah, kemudian sekali menggerakkan dua tangannya, ada pasir dan tanah menyambar ke arah mata ketiga orang pengeroyoknya!
Kakek ini memang hebat! Akan tetapi yang dihadapinya juga merupakan tiga orang lawan yang amat tangguh, yang tidak mudah digertak dengan senjata rahasia seperti itu. Hanya dengan memiringkan kepala, tiga orang itu dapat menghindarkan diri dari sambaran pasir dan tanah itu tanpa harus menghentikan pengejaran mereka terhadap tubuh yang masih bergulingan itu.
"Singggg...!"
Sinar pedang Kiok-hwa-kiam menyambar ke arah leher Lam-hai Giam-lo yang sudah tidak memiliki kesempatan untuk mengelak lagi. Terpaksa dia menangkis dengan lengan kirinya ke arah sinar pedang berkilauan itu.
"Crokkk!" Pedang tertahan dan tidak mengenai leher, akan tetapi lengan Lam-hai Giam-lo terbabat buntung sebatas siku.
Lam-hai Giam-lo sama sekali tidak mengeluarkan teriakan walau pun lengan kirinya telah buntung. Dengan tangan kanan dia cepat menotok jalan darah pada pangkal lengannya untuk menghentikan darah yang bercucuran keluar, kemudian tubuhnya membalik ke arah Hui Lian dan dengan marah disertai kenekatan, Lam-hai Giam-lo lalu menubruk dengan serangan tangan kanan yang ampuh. Orang ini memang memiliki daya tahan yang kuat sekali sehingga dalam keadaan terluka parah itu serangannya bahkan lebih dahsyat dari pada tadi.
Hui Lian terkejut, cepat mengelebatkan pedangnya namun pedang itu dapat ditampar dari samping oleh tangan kanan Lam-hai Giam-lo sehingga hampir terlepas, dan seperti cakar setan tangan itu sudah menyambar ke arah dada Hui Lian! Keadaan wanita itu sungguh kritis dan berbahaya sekali. Akan tetapi suaminya, Ciang Su Kiat, sudah siap siaga dan melihat bahaya mengancam isterinya, dia pun menubruk ke depan lalu menghantamkan tangan kanannya ke arah kepala Lam-hai Giam-lo.
"Plakkk!"
Tubuh Lam-hai Giam-lo terpelanting keras dan roboh tak mampu bergerak lagi. Tewaslah Lam-hai Giam-lo, datuk sesat yang mempunyai ambisi besar itu. Setelah Lam-hai Giam-lo tewas, Hui Lian, Su Kiat dan Bi Lian saling berpencaran lagi, masing-masing melanjutkan amukan mereka untuk membantu pasukan pemerintah yang kini mulai berhasil mendesak pasukan pemberontak yang sudah kehilangan banyak pemimpin itu.
Sementara itu, Can Sun Hok yang berkelahi melawan Kim San Ketua Kui-kok-pang juga sudah berhasil merobohkan lawan itu dengan sulingnya yang lihai, kemudian membantu Ling Ling yang masih mengamuk dikeroyok oleh belasan orang anak buah Kui-kok-pang. Mereka berdua mengamuk dan biar pun anak buah Kui-kok-pang berdatangan membantu teman-teman mereka, tetapi satu demi satu mereka roboh dan tewas di tangan sepasang orang muda perkasa ini.
Kui Hong yang bersama belasan anak buahnya menjaga di atas tebing sebelah kiri telah melihat betapa tebing di seberang sudah dikuasai pula oleh pihak pasukan pemerintah, bahkan kini ditinggalkan sesudah tadi dia melihat betapa pendekar lengan buntung Ciang Su Kiat menarik putus sumbu panjang itu. Melihat ini, Kui Hong juga meniru perbuatan Su Kiat. Dia kemudian menarik sumbu panjang yang menjulur ke bawah dari puncak tebing itu dan mempergunakan tenaga menyentak sehingga sumbu itu putus pula dekat tempat pemasangan bahan peledak.
"Kalian berjaga di sini saja, aku mau turun membantu pertempuran di bawah," pesannya kepada para prajurit, dan dia pun berlari turun dengan cepatnya.
Selagi dia berloncatan menuruni tebing itu, dia melihat seorang wanita cantik berpakaian merah bergegas hendak melarikan diri, tersaruk-saruk di tebing. Kui Hong belum pernah melihat wanita ini, akan tetapi dia pernah mendengar dari Hay Hay mengenai datuk-datuk sesat yang membantu pemberontakan, di antaranya terdapat orang-orang lihai seperti Ji Sun Bi, Min-san Mo-ko dan orang-orang Pek-lian-kauw.
Sesudah melihat keadaan wanita itu, dia segera menduga bahwa agaknya wanita itulah yang berjuluk Tok-sim Mo-li (Iblis Betina Berhati Racun) dan bernama Ji Sun Bi itu. Maka cepat dia menghadang. Setelah wanita itu tiba di depannya, dia lalu menudingkan telunjuk kanannya dan membentak.
"Heii! Bukankah engkau ini Tok-sim Mo-li Ji Sun Bi?!"
Pertanyaan ini dikeluarkan secara tiba-tiba dengan bentakan sehingga wanita itu terkejut dan marah, tak sempat berpikir panjang lagi lalu balas membentak. "Kalau benar, kenapa engkau tidak lekas berlutut agar aku tidak membunuhmu?!"
Wanita itu memang Ji Sun Bi. Melihat betapa Min-san Mo-ko yang menjadi gurunya dan juga kekasihnya itu tewas, demikian pula banyak kawan yang membantu Lam-hai Giam-lo roboh dan tewas, Ji Sun Bi pun merasa kecil hati dan ketakutan. Seperti juga para datuk sesat, orang seperti dia memang tak memiliki kesetiaan. Segala sepak terjangnya dalam hidup hanya mempunyai satu dasar, yaitu ingin menyenangkan dan menguntungkan diri sendiri belaka. Seperti yang lain, apa bila dia membantu Lam-hai Giam-lo adalah karena mereka itu melihat kemungkinan untuk memperoleh kemuliaan kalau gerakan itu menang.
Kini, melihat betapa gerakan pemberontakan itu terancam kehancuran di kandang sendiri sebelum sempat bergerak keluar, Ji Sun Bi cepat mengumpulkan barang-barang berharga lantas diam-diam dia meninggalkan medan pertempuran. Tidak ada jalan lari melalui jalan terusan, juga tidak mungkin ke belakang lembah karena di sana pun sudah penuh dengan pasukan pemerintah. Maka jalan satu-satunya hanyalah mencoba untuk menyelamatkan diri lewat tebing di kanan kiri jalan terusan.
Dia memilih tebing kiri, tidak menyangka bahwa dia akan bertemu dengan seorang gadis cantik yang mengenalinya dan bertanya tanpa sopan santun sama sekali. Maka dia pun menjadi marah, apa lagi gadis itu hanya seorang diri dan tentu saja Ji Sun Bi memandang rendah gadis itu. Hal ini tidaklah aneh mengingat bahwa Ji Sun Bi adalah seorang datuk sesat wanita yang berilmu tinggi dan jarang menemukan tanding.
Kui Hong adalah seorang gadis yang galak dan berandalan, gagah dan tidak kenal takut, bahkan masih dapat tersenyum manis dalam keadaan mendongkol melihat keangkuhan Ji Sun Bi. Pada dasarnya, Kui Hong memiliki watak jenaka, hanya kadang-kadang watak itu tertutup oleh kegalakan dan keberandalannya.
"Wah, kalau engkau berjuluk Iblis Betina Berhati Racun, maka sebentar lagi engkau harus mengubah julukanmu itu menjadi Mayat Iblis Tak Berjantung karena engkau akan mati di tanganku. Aku adalah Cia Kui Hong dan julukanku adalah Hok-mo Sian-li (Dewi Penakluk Iblis)!" Tentu saja julukan ini hanya buatan Kui Hong saja untuk menggoda orang. Wanita itu berjuluk Iblis maka dia sengaja memakai julukan Penakluk Iblis!
"Srattttt...!"
Nampak dua sinar berkelebat saat Ji Sun Bi mencabut keluar senjatanya, yaitu sepasang pedang yang berkilauan saking tajamnya. Dengan pedang kiri diangkat di atas kepala dan pedang kanan menodong ke arah Kui Hong, Ji Sun Bi mengeluarkan bentakan nyaring.
"Bocah lancang, akan kupotong lidahmu!"
Akan tetapi terdengar suara berdesing dan kini tahu-tahu di kedua tangan Kui Hong telah terlihat masing-masing sebatang pedang. Kiranya dara itu telah mencabut keluar Hok-mo Siang-kiam (Sepasang Pedang Penakluk Iblis) yang berwarna hitam, pedang pemberian neneknya, yaitu Toan Kim Hong di Pulau Teratai Merah.
Melihat sepasang pedang berwarna hitam yang mengeluarkan sinar menyeramkan itu, Ji Sun Bi terkejut sekali. Akan tetapi dia tidak mengenal pedang itu dan masih memandang ringan.
"Keparat, makanlah pedangku!" bentak Ji Sun Bi saat melihat Kui Hong sambil tersenyum mengejek melintangkan pedangnya di depan muka. Dia membacok dengan pedang kanan sedangkan pedang kirinya meluncur ke arah perut Kui Hong.
"Heiiittt... ihhhh...!" Kui Hong berseru lantas dua batang pedangnya berubah menjadi dua gulungan sinar hitam.
"Cringgg...! Tranggg...!"
Kini terkejutlah Ji Sun Bi sebab dia merasa betapa kedua tangannya tergetar keras ketika sepasang pedangnya ditangkis dengan cepat oleh lawannya. Ji Sun Bi boleh jadi memiliki watak yang angkuh dan sombong, akan tetapi dia cukup cerdik dan benturan dua pasang senjata itu memberi tahu kepadanya bahwa biar pun masih muda, ternyata lawannya ini mempunyai ilmu kepandaian tinggi dan tenaga kuat sehingga tak boleh dipandang ringan sama sekali.
Maka tanpa banyak cakap lagi dia telah menyerang dengan ganas, mengeluarkan semua ilmunya yang paling diandalkan. Sepasang pedangnya menyambar-nyambar laksana dua ekor naga mencari mangsa.
Namun yang dihadapinya adalah Cia Kui Hong yang ilmu pedangnya amat hebat, apa lagi sesudah dia menerima gemblengan dari kakek dan neneknya, yaitu Pendekar Sadis dan isterinya di Pulau Teratai Merah. Dengan lincahnya Kui Hong memainkan Ilmu Pedang Hok-mo Siang-kiam yang telah disempurnakan oleh gemblengan neneknya.
Di samping menerima gemblengan ilmu-ilmu silat yang telah dikuasainya dari latihan yang diberikan oleh ayah ibunya, juga ilmu ginkang Kui Hong sudah diperdalam oleh kakek dan neneknya sehingga kini dia dapat bergerak sangat lincah dan ringannya. Bagaikan seekor burung walet saja tubuhnya berkelebatan di seputar lawannya, membuat Ji Sun Bi makin kaget dan khawatir.
Tingkat kepandaian Kui Hong agaknya akan seimbang dengan tingkat kepandaian Ji Sun Bi sebelum dia digembleng oleh kakek dan neneknya. Akan tetapi kini dia menang jauh, terutama sekali dalam hal sinkang dan ginkang. Tenaga saktinya lebih kuat dan dia pun memiliki gerakan yang lebih ringan, lincah dan cepat sehingga lewat tiga puluh jurus saja, Ji Sun Bi mulai terdesak dan kewalahan.
"Hyaaaattttt...!" Tiba-tiba Ji Sun Bi mengeluarkan lengking panjang dan kedua pedangnya diputar sedemikian rupa hingga tubuhnya tergulung oleh sinar pedangnya sendiri, lalu dari gulungan sinar pedang itu mencuat dua sinar yang menyambar ke arah leher serta dada Kui Hong.
Namun dara itu dengan tenang saja meloncat ke belakang dan ketika lawannya mengejar, tiba-tiba dia mengelebatkan kedua pedangnya. Dua sinar hitam menyambar dari atas dan bawah. Ji Sun Bi tidak sempat mengelak karena dia sedang meloncat ke depan, terpaksa dia menangkis dengan kedua pedangnya.
"Singgg...! Singgg...!"
Mendadak Kui Hong menarik kembali sepasang pedangnya sehingga tangkisan itu hanya meluncur ke tempat kosong dan pada saat itu sepasang pedang hitam sudah menyerang lagi dari kanan kiri. Ji Sun Bi semakin kaget, terpaksa memutar pergelangan tangannya dan menggunakan pedang untuk menangkis.
"Tranggg...! Tranggg...!"
Terdengar dua kali suara nyaring, lantas pedang kiri Ji Sun Bi terlepas dan terlempar, sedangkan tangan kanannya hampir saja melepaskan pedang karena telapak tangannya terasa panas dan perih. Tanpa banyak cakap lagi dia langsung meloncat ke belakang dan melarikan diri! Ji Sun Bi maklum bahwa kalau dia melanjutkan perkelahian itu, tentu dia akan kalah dan akhirnya tewas di tangan lawannya yang amat tangguh itu.
"Heiii, iblis betina pengecut, hendak lari ke mana engkau?!" Kui Hong memaki dan cepat mengejar. Karena dia memang mempunyai ginkang yang amat hebat, maka sebentar saja dia hampir dapat menyusul Ji Sun Bi yang menjadi semakin gelisah.
Ketika melihat bahwa dia telah mengambil jalan yang salah, yaitu yang menuju ke jurang yang curam, Ji Sun Bi menjadi semakin bingung. Ada pun Kui Hong justru tertawa girang melihat lawannya terjebak dan berada di jalan buntu.
"Heh-heh, Tok-sim Mo-li, engkau hendak lari ke mana lagi sekarang?" Kui Hong mengejek dan dengan gerakan cepat sekali dia mengejar lawan yang sudah ketakutan itu.
Ji Sun Bi menoleh dan melihat Kui Hong mengejarnya. Dia maklum bahwa sekali ini dia tidak akan mampu menyelamatkan diri lagi. Dalam ketakutannya ini dia lalu menjadi nekat dan meloncat ke depan! Tubuhnya meluncur ke bawah.
"Ehhh...!" Kui Hong berseru dan cepat meloncat ke tepi jurang, lalu menjenguk ke bawah.
Dia masih sempat melihat tubuh wanita itu terbanting dan terpental, lantas menggelinding terus ke bawah sampai tidak nampak lagi. Kui Hong menghela napas panjang, kemudian menyarungkan sepasang pedangnya. Wanita iblis itu tidak mungkin dapat meloloskan diri lagi. Terjatuh dari tempat setinggi itu pasti akan mati. Dia pun tidak dapat mengejar sebab tak mungkin menuruni jurang itu. Maka Kui Hong lalu melanjutkan larinya menuruni tebing untuk membantu pertempuran pasukan pemerintah melawan pasukan pemberontak.
Sementara itu Hay Hay terus mencari Ki Liong sambil merobohkan prajurit pemberontak yang menghadang di jalan. Akhirnya dia melihat pemuda itu sedang mengamuk dengan hebat di luar jalan terusan.
Memang benar apa yang dikatakan Kui Hong kepadanya. Pemuda yang menjadi murid Pendekar Sadis dan isterinya itu sungguh lihai bukan main. Sudah belasan orang menjadi korban pedang pusaka Gin-hwa-kiam, pedang pusaka Pulau Teratai Merah yang menurut cerita Kui Hong telah dicuri Ki Liong berikut beberapa benda pusaka dari pulau itu.
Gerakan pedang pemuda itu demikian matang dan mantap sehingga para prajurit kerajaan merasa gentar juga menghadapi pemuda ini sesudah ada beberapa orang perwira roboh dan tewas. Mereka mengepung dari jarak jauh dengan mempergunakan tombak panjang. Melihat keadaan ini, Hay Hay lalu meloncat dekat dan Ki Liong segera melihatnya.
"Saudara Tang Hay...!" kata Ki Liong. "Bantulah aku keluar dari tempat ini dan nanti akan kubagikan pusaka-pusaka indah kepadamu!"
Akan tetapi Hay Hay melangkah maju sambil berseru kepada para prajurit. "Harap kalian mundur dan biarkan aku menghadapinya!"
Para prajurit cepat-cepat mundur dan mengepung tempat itu dari jarak jauh. Kini Hay Hay berhadapan dengan Ki Liong yang mengamatinya dengan sinar mata tajam penuh selidik karena dia masih belum yakin benar di pihak mana Hay Hay berdiri.
"Sim Ki Liong, apa yang sudah kau lakukan terhadap Pek Eng?" Hay Hay bertanya lirih karena tak ingin hal itu didengar lain orang, akan tetapi di dalam pertanyaan yang lirih itu terkandung ancaman serta kemarahan besar. Ki Liong melebarkan matanya memandang Hay Hay dengan heran.
"Apa yang sudah kulakukan? Tidak apa-apa, Saudara Tang Hay. Gadis itu pergi dan tak seorang pun tahu ke mana. Aku tidak pernah mengganggunya..."
"Bohong! Malam itu, di dalam pondok taman! Apa yang sudah kau lakukan? Jangan kau menyangkal, hayo ikut bersamaku dan membuat pengakuan di depan Pek Eng, atau aku akan memaksamu!"
"Tang Hay manusia sombong! Aku tidak punya urusan dengan Pek Eng atau denganmu! Kalau engkau tidak suka membantu aku keluar dari tempat ini, sudahlah, aku tidak punya waktu untuk melayani obrolanmu yang tidak karuan ujung pangkalnya!"
"Ki Liong! Kalau engkau menyangkal, terpaksa aku harus memaksamu untuk menyerah!" bentak Hay Hay sambil melompat menghadang pada saat melihat Ki Liong hendak pergi meninggalkannya.
Marahlah Ki Liong, "Keparat! Engkau seorang jai-hwa-cat hina berani mengancam aku?" Dia mengacungkan pedang Gin-hwa-kiam.
Hay Hay juga marah sekali. Dia tidak mau mempergunakan ilmu sihirnya untuk melawan Ki Liong karena dia hendak mencoba sampai di mana kelihaian murid dari Pulau Teratai Merah ini.
"Mulutmu busuk seperti hatimu!" Hay Hay balas memaki sesudah mendengar dia dimaki sebagai jai-hwa-cat.
Akan tetapi pada saat itu Ki Liong sudah menggerakkan Gin-hwa-kiam menyerangnya. Serangannya hebat bukan main, dahsyat sekali, cepat dan mengandung tenaga sinkang yang amat kuat. Ilmu pedang yang dimainkannya adalah Hok-mo Kiam-sut, ada pun jurus yang dipergunakan untuk penyerangan pertama itu adalah jurus Sin-liong Hok-mo (Naga Sakti Menaklukkan Iblis).
Pedang itu meluncur ke arah dada lawan untuk dilanjutkan dengan putaran pergelangan tangan sehingga pedang dapat dilanjutkan dengan bacokan memutar yang mengancam semua bagian tubuh depan lawan! Jurus ini hebat bukan kepalang dan karena dia sudah menerima gemblengan dari suami isteri pendekar yang sakti, maka gerakannya itu sangat mantap sekaligus juga ganas.
Menghadapi sebatang pedang pusaka, Hay Hay tidak berani bertangan kosong saja. Dia mengenal pusaka ampuh, maka dia pun cepat mencabut sulingnya dari ikat pinggang dan sambil meloncat ke belakang untuk mengelak, dia langsung memutar sulingnya sehingga terdengarlah suara melengking tinggi rendah. Pedang itu telah dilanjutkan dengan putaran yang menyerang leher, dan Hay Hay kini menangkis dari samping dengan sulingnya.
"Tranggg...!"
Suling dan pedang bertemu lalu keduanya melangkah mundur dua tindak, masing-masing mengakui akan kehebatan tenaga sinkang lawan. Namun Ki Liong sudah menerjang lagi ke depan. Dia ingin cepat-cepat pergi dari tempat berbahaya itu dan untuk itu dia harus cepat pula menyelesaikan perkelahian ini.
Pedangnya lenyap berubah menjadi gulungan cahaya perak yang menyelimuti tubuhnya. Bagaikan roda perak yang berputar cepat, gulungan sinar itu bergerak maju ke arah Hay Hay, dengan suara mendesing-desing memekakkan telinga dan angin sambaran pedang terasa sampai beberapa meter jauhnya.
Hay Hay bersikap hati-hati. Maklum dengan kelihaian lawan yang memiliki ilmu silat tinggi dan pilihan itu, dia pun cepat mengerahkan tenaga dan menggunakan Ilmu Langkah Ajaib Jiauw-paow-poan-soan. Tubuhnya berputar-putar dan dengan langkah ajaib itu dia mampu menghindarkan diri dari tekanan dan sambaran sinar pedang lawan, bahkan membalas pula dengan totokan ke arah jalan darah dengan ujung sulingnya.
Terjadilah perkelahian yang sangat hebat sehingga membuat daun-daun kering dan pasir berhamburan serta debu mengepul di sekitar tempat itu. Suara mengaung dan berdesing memekakkan telinga disertai sambaran angin berputar-putar membuat para penonton baik dari pihak pasukan pemerintah mau pun pemberontak terpaksa mundur beberapa langkah lagi.
Setelah lewat dua puluh jurus lebih, tiba-tiba saja Hay Hay melakukan serangan dengan sulingnya, menotok ke arah muka lawan antara kedua matanya. Serangan ini hanya untuk memancing perhatian lawan, karena tangan kirinya telah siap untuk melakukan serangan inti, pada saat lawan terpaksa mencurahkan perhatian kepada serangan pertama.
Akan tetapi Ki Liong cukup lihai untuk menduga siasat lawan ini. Pedang Gin-hwa-kiam dikelebatkan dari samping menangkis suling, sambil sekaligus dia mengerahkan tenaga sinkang yang mempunyai daya tempel yang kuat.
Pemuda ini memang belum diberi pelajaran Thi-ki-i-beng, yaitu ilmu sinkang yang dapat membetot dan menghisap tenaga sakti lawan, merupakan ilmu mukjijat dan simpanan dari Pendekar Sadis Ceng Thian Sin, akan tetapi dia sudah mempelajari sinkang yang dilatih dengan jungkir balik dan dapat menggunakan tenaga sakti ini untuk mendorong, menarik, membetot, bahkan menempel.
Begitu pedangnya bertemu suling yang ditangkisnya, maka pedang itu melekat dan hal ini terasa oleh Hay Hay yang menjadi terkejut juga karena sulingnya melekat pada pedang itu bagaikan besi melekat pada besi semberani! Dan kekagetannya itu membuat dia agak lambat menggunakan tangan kiri yang sudah dipersiapkan. Serangan suling yang tadinya dilakukan untuk mengejutkan lawan itu kini bahkan membuat dia sendiri menjadi terkejut ketika sulingnya melekat pada pedang lawan.
Dan pada saat itu pula tangan kiri Ki Liong sudah menghantam ke arah dadanya dengan tangan terbuka! Kiranya Ki Liong mempunyai siasat yang sama, yaitu menggunakan daya lekat sinkang-nya untuk mengejutkan lawan sehingga lawan dalam keadaan lengah ketika tangan kirinya menghantam dengan pukulan maut. Pukulan itu adalah pukulan Thian-te Sin-ciang yang amat dahsyat. Thian-te Sin-ciang (Tangan Sakti Bumi Langit) merupakan satu di antara ilmu-ilmu yang hebat dari Pendekar Sadis!
Dalam keadaan kritis itu Hay Hay tak kehilangan akal. Tangan kirinya memang sejak tadi sudah dia persiapkan untuk menyerang akan tetapi dia kedahuluan lawan, maka kini dia pun mendorong dengan tangan kirinya itu, dengan jari tangan terbuka. Itulah sebuah jurus ampuh dari Ciu-sian Cak-pek-ciang (Delapan Belas Jurus Silat Dewa Arak) yang pernah dipelajarinya dari Ciu-sian Lokai, seorang di antara Delapan Dewa.
"Plakkk!"
Dua buah tangan itu saling bertemu dan saling menempel! Kini kedua orang muda itu tak dapat melepaskan diri lagi. Pedang dan suling saling melekat dan kedua tangan kiri saling menempel sehingga satu-satunya hal yang dapat mereka lakukan hanyalah mengerahkan sinkang, mengadu tenaga sakti untuk merobohkan lawan. Dan di dalam pertandingan ini keduanya harus mengerahkan seluruh tenaga karena siapa kalah dalam adu sinkang ini tentu akan putus nyawanya!
Perlahan-lahan Ki Liong merasa betapa tenaga lawannya menjadi semakin kuat saja dan mulailah dia gemetar. Keringat membasahi muka serta lehernya, dan uap putih mengepul dari kepalanya.
"Mati aku sekali ini..." pikir Ki Liong. Tapi bagaimana pun juga dia harus mempertahankan diri. Dia tidak dapat melepaskan diri dari himpitan ini, karena itu tak ada jalan lain kecuali mempertahankan sampai saat terakhir!
Di saat yang amat berbahaya bagi Ki Liong karena dia memang kalah tenaga itu, tiba-tiba saja nampak bayangan orang berkelebat dan dua buah tangan mendorong dari samping. Dua buah tangan ini mengandung tenaga sinkang yang kuat pula, dan karena dorongan itu, Ki Liong dan Hay Hay menjadi miring sehingga benturan atau adu tenaga dari mereka berdua menyeleweng lantas terlepaslah telapak tangan mereka.
Hay Hay meloncat ke belakang sementara Ki Liong terguling! Dia terus bergulingan, lalu meloncat bangun dengan muka pucat. Dia nyaris tewas di dalam adu tenaga tadi dan kini dia melihat bahwa orang yang melerai tadi adalah seorang pemuda yang usianya sebaya dengan dia mau pun Hay Hay, bermuka putih bulat dan bersikap tenang.
Akan tetapi pemuda yang tidak dikenalnya itu tidak memperhatikannya, bahkan sekarang menghadapi Hay Hay yang juga menatap dengan penuh perhatian. Melihat kesempatan yang amat baik ini, diam-diam Ki Liong lalu melarikan diri dan melompat jauh.
"Heiii! Mau lari ke mana kau?!" Hay Hay membentak dan hendak mengejar, akan tetapi pemuda muka putih yang bukan lain adalah Pek Han Siong itu menghadang di depannya.
"Tahan dulu...!"
Hay Hay yang tak ingin melihat Ki Liong melarikan diri hendak mengejar terus, dan karena Han Siong menghadang di jalan, Hay Hay mengibaskan lengannya untuk mendorongnya minggir.
"Dukkk!" Kedua lengan mereka bertemu dan akibatnya, keduanya terdorong mundur.
Maka terkejutlah Hay Hay. Orang ini ternyata lihai sekali! Karena Ki Liong sudah lenyap di antara para prajurit yang masih bertempur, dan karena pemuda di depannya itu agaknya bersungguh-sungguh hendak menghadangnya, maka terpaksa dia membiarkan Ki Liong pergi dan sekarang menghadapi Han Siong dengan sinar mata tajam penuh selidik. Dia belum pernah bertemu dengan orang ini dan tidak tahu apakah orang ini memihak kepada pemberontak ataukah pemerintah.
"Saudara yang gagah, siapakah engkau dan kenapa engkau menghadangku?" tanya Hay Hay, diam-diam terkejut melihat betapa sinar mata pemuda ini mencorong dan wajahnya penuh wibawa, menunjukkan bahwa pemuda ini mempunyai kekuatan tersembunyi yang sangat dahsyat.
"Betulkah engkau yang bernama Tang Hay?" Han Siong berbalik mengajukan pertanyaan sambil memandang tajam.
Hay Hay mengerutkan alisnya, lantas mengangguk, "Benar, namaku Tang Hay. Siapakah engkau dan ada urusan apakah..."
Han Siong memotong. "Namaku Pek Han Siong dan..."
"Ahh! Kiranya engkau yang dijuluki Sin-tong...!"
"Benar sekali, akan tetapi aku datang bukan untuk meributkan persoalan itu. Aku datang untuk meminta pertanggungan jawabmu, Tang Hay. Bersikaplah sebagai seorang jantan yang berani mempertanggungjawabkan perbuatannya!"
"Apa maksudmu?" tanya Hay Hay, akan tetapi dia segera mengerti sebelum pemuda itu menjawab karena pada saat itu dia melihat munculnya Pek Eng!
"Jangan engkau menyangkal tentang perbuatanmu terhadap adik kandungku, Eng-moi!"
Hay Hay cepat menggelengkan kepala dan matanya tetap memandang ke arah Pek Eng seakan-akan jawaban itu dia ajukan kepada Pek Eng. "Tidak... tidak...! Aku tidak pernah melakukan kekejian itu! Aku sama sekali tidak melakukannya!"
Han Siong memandang dengan muka merah. Benar kata adiknya. Pemuda ini sungguh pengecut walau pun berilmu tinggi, berani berbuat tetapi tidak berani bertanggung jawab. Teringat dia bahwa menurut keterangan orang tuanya, pemuda ini adalah putera seorang jai-hwa-cat, seorang penjahat cabul pemerkosa wanita dan amarahnya makin memuncak.
Adik kandungnya telah menjadi korban kecabulan laki-laki ini dan sekarang dia tidak mau bertanggung jawab, bahkan menyangkal! Padahal buktinya sudah jelas, adiknya menjadi saksi utama. Tidak mungkin adik kandungnya melakukan fitnah, menuduh orang yang tak berdosa sebagai pelakunya.
"Tang Hay, apakah engkau hendak mengikuti jejak ayah kandungmu? Jika engkau secara pengecut menyangkal perbuatanmu sendiri, maka terpaksa aku akan menghajarmu!"
Wajah Hay Hay berubah merah. Dia tahu bahwa orang ini marah karena percaya bahwa dia telah merenggut kegadisan Pek Eng dan meminta dia bertanggung jawab. Akan tetapi karena dia benar-benar merasa tidak melakukan hal itu, dan kini dia diingatkan tentang ayahnya yang jahat, hal yang amat menyakitkan hatinya, maka dia pun menjadi marah.
"Sampai mati pun tak mungkin aku dapat mengakui perbuatan yang tidak kulakukan. Nah, terserah apa yang hendak kau lakukan kepadaku, aku tidak takut!" jawabnya.
Bagi Han Siong, jawaban ini dianggap sebagai ucapan seorang yang keras hati dan yang nekat hendak menyangkal perbuatannya, maka dia pun semakin penasaran. Akan tetapi niatnya bertemu dengan Hay Hay bukan hendak menyerangnya, apa lagi membunuhnya.
Dia hanya hendak membujuk pemuda itu bertanggung jawab, apa lagi karena menurut pengakuan Pek Eng, adiknya itu mencinta Hay Hay. Kalau tidak dapat dibujuk, dia hendak menggunakan akal agar Hay Hay suka menyerah dan sadar lalu mau menerima Pek Eng sebagai jodohnya.
Oleh karena itu Han Siong hendak menakut-nakuti Hay Hay dengan ilmu sihirnya, hendak menaklukkan pemuda itu tanpa harus menggunakan kekerasan. Maka diam-diam dia pun mengerahkan kekuatan batinnya, kemudian sekali mencabut pedangnya, tampaklah sinar berkilauan dari pedang Kwan-im-kiam yang ditodongkan ke arah muka Hay Hay, sambil terdengar suaranya yang menggeledek.
"Tang Hay, lihat baik-baik! Aku adalah seorang yang jauh lebih sakti darimu, aku seorang raksasa setinggi pohon, dan engkau hanya seorang manusia kecil, tidak akan ada artinya melawan aku!"
Pada waktu dia menggerakkan pedangnya, nampak kilatan pedangnya dan tiba-tiba saja semua orang yang mengelilingi tempat itu menjadi terbelalak dan terkejut bukan kepalang ketika melihat betapa tiba-tiba saja keadaan tubuh Pek Han Siong berubah. Kini pemuda itu menjadi tinggi besar, setinggi pohon besar, seorang raksasa yang sangat mengerikan dan menakutkan karena Hay Hay kini hanya setinggi lututnya saja!
Akan tetapi Hay Hay tetap bersikap tenang walau pun dia juga terkejut, tidak menyangka bahwa pemuda yang pernah menggemparkan dunia persilatan dengan julukan Sin-tong dan yang menjadi rebutan itu memiliki ilmu sihir yang cukup kuat! Timbul kegembiraannya dan dia pun tidak mau kalah. Dia lalu mengerahkan kesaktiannya dan suaranya terdengar penuh wibawa yang menggetarkan jantung para penonton pertandingan itu.
"Bagus sekali, Pek Han Siong! Sekarang engkau menjadi raksasa, akan tetapi aku juga sanggup mengembarimu! Lihatlah baik-baik!"
Hay Hay mengibaskan tangan yang memegang suling, terdengar suara melengking tinggi dan tubuhnya pun tumbuh menjadi besar, sebesar Han Siong! Mereka berdiri berhadapan dalam keadaan yang menyeramkan semua orang.
Kini Han Siong yang terkejut. Tak pernah disangkanya bahwa kepandaian Hay Hay akan sehebat ini! Karena sudah terlanjur mengeluarkan ilmu sihirnya, ketika melihat lawan telah mengembarinya menjadi besar pula, Han Siong lalu menggerakkan pedangnya dan mulai menyerang.
Hay Hay menggerakkan sulingnya menangkis, kemudian balas menyerang. Dan terjadilah pertempuran yang hebat dan dahsyat bukan main, mengguncangkan tanah di sekitarnya. Pohon-pohon bergoyang seperti tertiup angin taufan, bahkan banyak dahan pohon yang patah, batu-batu beterbangan tertendang kaki mereka dan debu mengebul tinggi. Kembali keduanya terkejut dan kagum.
Walau pun Kwan-im Kiam-sut yang dimainkan Han Siong merupakan ilmu pedang yang jarang tandingannya, namun Hay Hay mampu menandinginya dengan sulingnya. Bahkan setelah lewat belasan jurus Han Siong sudah dapat menilai bahwa akan sulitlah baginya mengalahkan pemuda itu dengan pedangnya, apa lagi setelah keduanya menjadi sebesar raksasa itu. Dan bila perkelahian itu dilanjutkan maka dapat membahayakan orang-orang yang menonton di sekeliling tempat itu.
"Tang Hay, tidak perlu menakut-nakuti orang lain. Aku akan menjadi kecil sampai engkau tidak akan dapat melihatku lagi!"
Kembali 'raksasa' Han Siong menggerakkan pedangnya dan mendadak tubuhnya lenyap sebab dari keadaan tinggi besar seperti raksasa tiba-tiba saja tubuh itu menyusut menjadi kecil, hanya sebesar jari tangan manusia biasa! Kehilangan lawannya, sejenak Hay Hay merasa bingung namun dia pun segera tahu apa yang telah dilakukan lawannya.
"Pek Han Siong, sudah kukatakan, aku akan mengembari ilmumu. Lihat, aku pun menjadi kecil sebesar kamu!"
Dan tubuh Hay Hay kini lenyap dari pandangan orang-orang yang berada di situ, menjadi kecil seperti tubuh Han Siong, lalu keduanya melanjutkan perkelahian dengan suling dan pedang dalam keadaan tubuh sebesar jari tangan manusia biasa. Mereka yang menonton perkelahian aneh itu akhirnya dapat melihat mereka berdua dan terdengar seruan-seruan kaget, heran dan kagum!
Kalau tadi mereka menyaksikan perkelahian dua orang raksasa yang tingginya empat kali ukuran manusia biasa hingga mengguncangkan tanah di sekeliling tempat itu, kini mereka melihat perkelahian dua orang yang sangat kecil, hanya sebesar jari tangan mereka. Tadi mereka merasa seram dan takut, kini merasa ngeri dan juga lucu bercampur tegang.
Han Siong dan Hay Hay kembali saling serang. Meski pun keduanya sudah mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan kepandaian simpanan mereka, namun masing-masing selalu menjaga agar jangan sampai saling membunuh. Han Siong sama sekali tidak ingin membunuh Hay Hay yang dicinta oleh Pek Eng, akan tetapi ingin menaklukkannya. Dan sebaliknya, tentu saja Hay Hay tidak ingin membunuh Han Siong yang membela adiknya, hanya ingin memperlihatkan kepandaian agar jangan sampai dipandang rendah sebagai putera seorang jai-hwa-cat.
Apa bila dibuat ukuran, sebetulnya Hay Hay telah menerima gemblengan yang lebih kuat dari pada Han Siong. Dalam hal ilmu silat mereka berdua menerima pelajaran peninggalan dari orang-orang yang menjadi anggota Delapan Dewa, akan tetapi Hay Hay memperoleh gemblengan secara langsung. Juga dalam hal ilmu sihir, Hay Hay telah digembleng oleh dua orang, apa lagi gemblengan terakhir dari Song Lojin sudah membuat kedua macam ilmu kepandaiannya itu menjadi matang betul.
Akan tetapi karena dia selalu mengalah dan tidak ada niat di hatinya untuk mengalahkan Han Siong, apa lagi sampai melukai atau membunuh, maka pertandingan antara mereka itu menjadi seimbang dan seru bukan main.
Sementara itu, kini pertempuran antara kedua pasukan sudah mulai terhenti di sana-sini. Setelah sebagian pemimpin mereka tewas atau melarikan diri, makin gentarlah hati para pasukan pemberontak. Mereka kalah banyak dan terhimpit dari depan belakang. Apa lagi di pihak pemerintah terdapat para pendekar yang amat lihai.
Orang-orang yang mereka andalkan kini sudah habis. Lam-hai Giam-lo sudah tewas, juga Kulana yang sangat mereka harapkan itu. Para pembantu Lam-hai Giam-lo juga sudah roboh satu demi satu.
Suami isteri Siangkoan Leng dan Ma Kim Li yang terkenal dengan julukan Sepasang Iblis Laut Selatan itu telah tewas di tangan Pek Han Siong. Suami isteri Kwee Siong dan Tong Ci Ki yang terkenal dengan julukan suami isteri Goa Iblls Pantai Selatan tewas di tangan Bi Lian. Lam-hai Giam-lo sendiri tewas di tangan suami isteri Cang Su Kiat dan Kok Hui Lian, musuh besarnya.
Ji Sun Bi yang juga merupakan seorang tangan kanan Lam-hai Giam-lo, terjatuh ke dalam jurang yang curam pada saat berkelahi melawan Cia Kui Hong. Gurunya, Min-san Mo-ko, tewas di tangan Kok Hui Lian pula. Ketua Kui-kok-pang, yaitu Kim San, tewas di tangan Can Sun Hok dan anak buahnya hampir habis terbasmi oleh Sun Hok dan Ling Ling.
Begitu pula dengan Hek-hiat Mo-ko yang ditewaskan oleh Sun Hok dan Ling Ling. Kulana sendiri tewas sampyuh bersama Mulana. Masih banyak lagi tokoh-tokoh sesat yang turut membantu pemberontakan itu dan menjadi korban dalam pertempuran itu, termasuk para pendeta Pek-lian-kauw.
Meski pun pada pihak pemerintah banyak pula pendekar, perwira dan prajurit yang tewas, namun jelas bahwa pihak pemberontak mengalami kekalahan dan kini sisanya yang tidak mampu lagi melarikan diri cepat-cepat berlutut dan menyerah! Pertempuran lalu berhenti, akan tetapi masih ada pertempuran yang amat hebat terjadi antara Hay Hay dan Pek Han Siong sehingga menarik perhatian para pendekar dan para perwira untuk datang dan ikut menonton.
Banyak orang menjadi saksi betapa tadi baik Hay Hay mau pun Han Siong sudah berjasa karena turut mengamuk untuk membantu pemerintah, maka kini semua orang yang tidak tahu urusannya merasa heran melihat mereka saling gempur sendiri, tetapi tak ada yang berani melerai. Apa lagi melihat betapa kedua orang itu mempergunakan ilmu-ilmu yang aneh.
Para pendekar yang keluar sebagai pemenang dalam pertempuran itu, kini satu demi satu menghampiri tempat perkelahian yang amat seru itu untuk ikut menonton. Mereka semua takjub menyaksikan perkelahian yang luar biasa itu. Su Kiat dan Hui Lian melihat dengan penuh kagum, juga Kui Hong, Ling Ling dan Sun Hok, demikian pula Pek Eng yang tidak melihat bahwa di antara para pendekar yang mengelilingi tempat pertempuran itu terdapat pula ayahnya, Pek Kong dan juga Song Un Tek bekas calon ayah mertuanya.
Pek Kong yang amat tertarik melihat puteranya, Pek Han Siong, bertanding melawan Hay Hay, suatu hal yang amat mengherankan hatinya, juga belum melihat kehadiran Pek Eng di seberang. Pek Kong sangat terkejut dan heran melihat perkelahian itu, akan tetapi dia tak mau lancang melerai dan membiarkan saja perkelahian itu sambil bersiap-siap untuk membantu puteranya kalau perlu.
Pertempuran itu memang berjalan dengan sangat serunya. Sesudah mendapat kenyataan bahwa dengan merubah diri menjadi kecil yang diturut pula oleh Hay Hay namun dia tidak mampu mendesak pemuda yang menjadi lawannya, Han Siong merubah dirinya menjadi seekor harimau besar yang mengaum-ngaum sambil mencakar-cakar. Dan hebatnya, Hay Hay juga mengubah diri menjadi seekor harimau yang sama besarnya. Kedua binatang itu lantas bertarung dengan hebatnya, menggetarkan jantung para penonton yang memenuhi tempat itu.
Berulang kali Han Siong mengubah diri menjadi naga, menjadi rajawali, bahkan menjadi beruang, namun selalu Hay Hay dapat mengembari dan menyainginya, dan akhirnya Han Siong terpaksa mengubah dirinya menjadi normal kembali. Hal ini segera diikuti oleh Hay Hay, kemudian kedua orang muda yang sama gagah dan sama perkasanya itu bertempur kembali! Suling dan pedang sudah ratusan kali beradu sambil memercikkan bara api yang menyilaukan mata.
"Aih, kalau dilanjutkan tentu salah seorang di antara mereka akan celaka...," bisik Hui Lian di dekat telinga suaminya, Su Kiat.
"Kurasa tidak," bisik Su Kiat kembali. "Lihat, mereka itu seperti orang yang berlatih saja. Tampaknya keduanya sangat berhati-hati agar jangan sampai mencelakai lawan. Hemm, benar-benar membuat hatiku kagum bukan main. Mereka adalah dua orang pemuda yang sukar dicari bandingnya di dunia persilatan."
Kui Hong yang berdiri seorang diri menonton dengan jantung berdebar. Melihat Hay Hay, teringatlah dara ini tentang pengalamannya yang mesra dengan pemuda itu. Kini, melihat Hay Hay berkelahi menemukan lawan yang demikian tangguhnya, diam-diam dia merasa khawatir. Memang ada kalanya dia merasa benci sekali terhadap Hay Hay yang dianggap sudah mempermainkan dirinya, telah menolak cintanya. Akan tetapi harus diakuinya pula bahwa dia masih mencinta pemuda itu!
Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring. "Engkau harus mati...!"
Nampak Ling Ling meloncat ke medan pertempuran itu, menggunakan sebatang pedang menerjang dengan nekat, lalu menyerang Hay Hay! Tentu saja Hay Hay merasa terkejut sekali dan cepat dia mengelak. Pek Han Siong juga terkejut. Dia tidak menghendaki ada orang lain mencampuri perkelahiannya dengan Hay Hay, akan tetapi dia pun tidak dapat mencegah gadis ini.
"Engkau harus mati...!" Kembali Ling Ling berseru sambil menyerang dengan dahsyatnya.
Hay Hay merasa betapa perasaan hatinya sangat tertusuk. Dia tahu mengapa Ling Ling menyerangnya. Gadis itu masih menganggap bahwa dialah yang telah memperkosa gadis itu! Perasaan tertusuk ini membuat dia menjadi lengah, apa lagi karena sulingnya masih terus dipergunakan melindungi dirinya dari desakan Han Siong. Karena itu serangan Ling Ling agak terlambat dielakkan dan bahu kirinya tergurat pedang sehingga bajunya robek berikut kulitnya dan darah membasahi bajunya.
Pek Han Siong sudah mengenal Ling Ling dan tidak tahu mengapa gadis itu menyerang Hay Hay. Akan tetapi karena dia sendiri merasa cukup kewalahan menghadapi Hay Hay, maka dia segera mendesak dengan tusukan pedangnya ketika melihat pemuda lawannya yang amat tangguh itu terluka.
"Tranggg...!"
Hay Hay menangkis, lantas melompat menjauhi Ling Ling yang marah itu. Kembali terjadi pertarungan sengit antara Hay Hay melawan Han Siong. Ling Ling juga sudah siap untuk menyerang lagi dan mengeroyok Hay Hay.
"Ling Ling, jangan...!" Tiba-tiba Kui Hong melompat ke depan, lalu dia memegang lengan kiri Ling Ling dan menariknya mundur dari medan pertempuran.
Ling Ling membalikkan tubuhnya dan dia pun langsung menangis sesudah melihat bahwa yang menariknya adalah Kui Hong. Kui Hong terkejut dan merangkul Ling Ling.
"Ehhh, Ling Ling, engkau kenapakah...?" bisiknya, semakin heran melihat keadaan gadis itu.
"Bibi Kui Hong...!" Ling Ling mengeluh dan tangisnya semakin sesenggukan.
Semenjak mala petaka yang menimpa dirinya itu, Ling Ling telah menderita tekanan batin yang hebat namun dia selalu menahan dan menyembunyikannya, tak mau menceritakan kepada siapa pun juga. Sekarang, ketika bertemu Kui Hong yang masih terhitung bibinya sendiri dan dengan siapa dia telah menjalin persahabatan yang akrab ketika dia berada di Cin-ling-pai, kesedihannya mengalir bersama air mata seperti lepas dari bendungannya.
"Ling Ling, kenapa engkau ingin membunuh dia?" bisik Kui Hong.
Ling Ling dapat menguasai dirinya setelah mengalirkan banyak air mata, dan ketika masih di dalam rangkulan Kui Hong, dia pun berbisik dengan hati hancur, "Bibi Hong, dia... dia adalah jai-hwa-cat yang jahat... dia harus mati di tanganku... dia... telah memperkosa aku, menotok aku selagi tidur kemudian memperkosaku..."
Kui Hong mendorong tubuh Ling Ling saking kagetnya, wajahnya pucat dan dua matanya terbelalak. Kemudian dia menoleh ke arah perkelahian yang masih berlangsung seru itu, mukanya perlahan-lahan berubah merah sekali dan sepasang matanya yang amat jeli itu mengeluarkan sinar berapi. Kemudian, tiba-tiba saja dia berkata kepada Ling Ling. "Kalau begitu akulah yang akan membunuhnya!"
Kui Hong segera mencabut Hok-mo Siang-kiam, sepasang pedang yang berwarna hitam itu, lalu menerjang ke medan perkelahian, menyerang Hay Hay dengan dahsyat sekali.
Hay Hay terkejut sekali dan cepat meloncat ke belakang. "Kui Hong, kau... kau...!"
Akan tetapi gadis itu sudah menyerang lagi sehingga Hay Hay kembali mengelak dengan loncatan ke samping.
"Engkau manusia busuk dan jahat, engkau harus mati di tanganku!" bentak Kui Hong.
Terpaksa Hay Hay cepat memutar sulingnya untuk melindungi diri sebab Han Siong yang tadinya merasa bingung dan ragu ketika melihat munculnya seorang gadis lain yang lebih lihai menyerang Hay Hay, kini sudah maju lagi menggerakkan pedang pusakanya.
Melihat Kui Hong menyerang Hay Hay, Ling Ling lalu meloncat maju dan dia pun cepat menyerang. Sekarang Hay Hay dikeroyok oleh tiga orang dan karena dia sama sekali tak ingin merobohkan atau melukai seorang pun di antara mereka bertiga, maka dia hanya mencurahkan semua tenaga serta kepandaiannya untuk menjaga dan melindungi dirinya. Hal ini membuat dia makin terdesak hebat sehingga kembali dia terluka oleh serempetan pedang hitam di tangan kiri Kui Hong yang mengenai paha kanannya sehingga celananya robek berdarah.
"Heiii! Jangan main keroyokan...!" Hui Lian berteriak dan meloncat ke depan, hatinya tidak tega melihat betapa Hay Hay dikeroyok oleh ketiga orang itu, dan dia pun merasa sangat heran mengapa gadis-gadis she Cia itu kini ikut pula menyerang Hay Hay.
Akan tetapi suaminya segera memegang lengannya dan berbisik, "Sebaiknya kalau kita tidak mencampuri karena kita tidak tahu perkaranya." Hui Lian menghentikan gerakannya, akan tetapi matanya masih memandang ke arah perkelahian itu dengan cemas.
"Bunuh jai-hwa-cat itu!" Terdengar teriakan-teriakan dan nampaklah Tiong Gi Cinjin diikuti oleh Bu-tong Liok-eng berlompatan maju, lantas mengepung perkelahian dan mengeroyok Hay Hay.
Tentu saja hal ini membuat Hay Hay menjadi semakin repot. Betapa pun lihainya, yang mengeroyoknya adalah orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian hebat, maka kembali dia menerima tusukan dan bacokan yang biar pun telah dilawan dengan kekebalan, tetap saja melukai kulitnya dan membuat luka-luka kecil yang mengeluarkan darah.
Sementara itu pertempuran antara pasukan pemerintah dan pasukan pemberontak sudah selesai. Sisa para pemberontak menyerah dan menjadi tawanan. Ada pun para pendekar dan perwira kini telah menjadi penonton perkelahian antara Hay Hay yang dikeroyok oleh puluhan orang lihai itu.
Untung bagi Hay Hay bahwa kini Han Siong tidak mendesaknya lagi. Pemuda itu merasa rikuh harus mengeroyok seperti itu, akan tetapi dia semakin penasaran karena dari sikap para pengeroyok, jelaslah bahwa Hay Hay adalah seorang pemuda jai-hwa-cat yang amat jahat.
Selagi Hay Hay terdesak hebat sekali, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dari seorang perwira, "Atas nama Cang-taijin, harap perkelahian segera dihentikan!"
Memang tugas perwira ini adalah menjadi juru bicara sehingga telah biasa mengeluarkan bentakan nyaring. Sesudah para pengeroyok melihat bahwa yang muncul adalah Menteri Cang, dengan sikapnya yang halus ramah namun penuh wibawa, mereka merasa tidak enak hati dan segera berlompatan mundur walau pun masih dalam keadaan mengepung Hay Hay.
Hay Hay sendiri kini berdiri lemas dengan tubuh penuh luka-luka yang walau pun tidak berbahaya namun membuat pakaiannya berlepotan darah. Dia menundukkan wajahnya dan diam-diam bersyukur bahwa Menteri Cang datang melerai, karena kalau tidak, entah sampai kapan dia mampu bertahan sebelum akhirnya pasti akan roboh binasa di bawah senjata para pengeroyoknya.
Sesudah memandang kepada mereka yang berkelahi itu satu demi satu, dan diam-diam terkejut melihat bahwa yang terlibat di dalam perkelahian itu adalah pendekar-pendekar pilihan, Menteri Cang lalu berkata.
"Cu-wi Enghiong (Para Orang Gagah Sekalian), sesudah kita semua berhasil menumpas para pemberontak, mengapa di antara Cu-wi malah terjadi perkelahian sendiri? Bukankah kemenangan kita seharusnya mendatangkan kegembiraan dan bukan perkelahian antara teman sendiri? Apakah yang telah terjadi?"
Hay Hay adalah seorang pemuda yang berpandangan luas lagi pula bijaksana. Otaknya bekerja dengan cepatnya. Dia tahu bahwa perkelahian itu menyangkut soal kehormatan dua orang gadis yang tentu saja tidak mungkin diumumkan. Bila dia menceritakan sebab perkelahian itu, berarti akan melempar aib kepada Ling Ling dan Pek Eng, mencemarkan nama baik dua orang gadis yang tertimpa mala petaka itu. Tidak, dia harus mencegah hal itu terjadi.
Karena itu, ketika mendengar pertanyaan Menteri Cang dan sebelum ada orang lain yang mendahuluinya, dia sudah cepat maju memberi hormat kepada menteri itu. Menteri Cang memandang kepadanya penuh selidik. Dari para penyelidiknya, pembesar ini mendengar bahwa Hay Hay merupakan salah seorang di antara para pendekar yang tadi mengamuk mati-matian membantu pasukan pemerintah, bahkan pemuda ini yang sudah menempur Sim Ki Liong, tangan kanan Lam-hai Giam-lo yang amat lihai itu.
"Harap Taijin sudi memaafkan kami. Sebenarnya perkelahian ini hanyalah urusan pribadi. Mereka semuanya menuduh bahwa hamba adalah seorang penjahat, seorang jai-hwa-cat yang jahat dan keji. Karena hal itu tidak benar, maka hamba menyangkal dan mereka lalu menyerang hamba sehingga terjadilah perkelahian itu."
Lega rasa hati Ling Ling dan Pek Eng yang tadinya sudah pucat dan cemas kalau-kalau aib yang menimpa diri mereka akan dibicarakan di tempat umum seperti itu.
"Bohong, Taijin! Dia memang benar jai-hwa-cat yang berjuluk Ang-hong-cu! Kami melihat buktinya, dan anak murid kami yang sudah menjadi korbannya!" terdengar Tiong Gi Cinjin dari Bu-tong-pai berseru marah. "Sebab itu pinto harus membunuhnya!" Saking marahnya kakek ini sudah menggerakkan tongkatnya dan menghantam dengan sepenuh tenaga ke arah kepala Hay Hay. Pemuda itu mengangkat kedua lengannya.
"Dukkk!"
Tongkat itu tertangkis, kemudian sekali memutar kedua tangannya Hay Hay telah berhasil merenggut tongkat itu hingga terlepas dari kedua tangan lawan. Demikian cepat dan kuat gerakannya sehingga Tiong Gi Cinjin tak mampu mempertahankan tongkatnya lagi. Akan tetapi Hay Hay menyodorkan kembali tongkatnya itu dan berkata dengan tenang.
"Harap Totiang suka bersikap jantan dan tenang, dan tidak membuat ribut di depan Cang Taijin."
Tosu itu menerima kembali tongkatnya dan mukanya berubah merah karena merasa rikuh terhadap Menteri Cang.
"Sudahlah," kata pembesar itu, "Urusan Cu-wi merupakan urusan pribadi, sebab itu harus diselesaikan secara pribadi pula. Cu-wi adalah pendekar-pendekar yang sudah berjasa kepada negara, akan tetapi kalau di sini membuat ribut, berarti melanggar peraturan dan larangan perintah. Kalau Cu-wi masih berkeras membuat ribut di sini, maka terpaksa kami akan menggunakan kekuatan kami untuk menangkap Cu-wi dan untuk diajukan didepan pengadilan untuk menemukan siapa yang salah. Kami tidak menghendaki hal itu terjadi, maka biarlah kami menjadi saksi dan Cu-wi selesaikan urusan ini dengan jalan damai di depan kami."
"Taijin, mohon Paduka suka mempertimbangkan dengan adil," kata pula Tiong Gi Cinjin. "Seorang anak murid Bu-tong-pai, yakni gadis yang masih muda, sudah menjadi korban kejahatan Ang-hong-cu, penjahat jai-hwa-cat yang terkenal di dunia kang-ouw. Anak murid Bu-tong-pai kami sebar untuk mencari penjahat itu dan pada suatu hari, murid-murid kami menemukan pemuda ini sedang bermain-main dengan perhiasan berbentuk tawon merah, persis seperti yang ditinggalkan pada mayat murid perempuan kami yang telah dihina dan dibunuhnya. Jelas bahwa dia ini Ang-hong-cu pemerkosa dan pembunuh murid perempuan kami, oleh karena itu, bukankah sudah adil dan sepatutnya jika kami hendak membunuh dia? Bukan sekedar membalas kematian murid kami, juga sekalian melenyapkan seorang penjahat besar yang mengancam keamanan dunia, terutama kaum wanitanya!"
Menteri Cang mengangguk-angguk kemudian menoleh kepada Hay Hay, di dalam hatinya kurang percaya bahwa pemuda gagah ini adalah seorang jai-hwa-cat yang memperkosa dan membunuh wanita dengan kejam.
"Bagaimana pembelaanmu terhadap tuduhan ini, orang muda?" tanyanya.
"Taijin, dengan tegas hamba menyatakan bahwa hamba bukan jai-hwa-cat Ang-hong-cu. Tetapi kalau satu pihak menuduh dan lain pihak menyangkal maka takkan ada habisnya. Hamba berjanji kepada Bu-tong-pai bahwa hamba akan mencari jai-hwa-cat Ang-hong-cu yang sesungguhnya dan kalau perlu menyeretnya ke Bu-tong-pai untuk mengakui semua kejahatannya itu. Jika hamba tidak berhasil boleh saja Bu-tong-pai minta pertanggungan jawab hamba. Ang-hong-cu adalah seorang jai-hwa-cat yang sudah mengganas di dunia kang-ouw semenjak hamba belum lahir, jadi tak mungkin hamba yang menjadi jai-hwa-cat Ang-hong-cu."
"Enak saja kau berjanji!" kata seorang di antara Bu-tong Liok-eng. "Apakah engkau sudah mengenal Ang-hong-cu yang sebenarnya?"
"Aku tahu siapa adanya dia walau pun aku belum sempat berjumpa dengan Ang-hong-cu yang memang sedang kucari," jawab Hay Hay.
"Ang-hong-cu adalah ayah kandungnya!" tiba-tiba terdengar Pek Eng berseru.
Semua orang amat terkejut dan terheran-heran mendengar ini, bahkan Hui Lian langsung menutup mulutnya menahan teriakan kaget. Kui Hong dan Ling Ling memandang dengan mata terbelalak pula. Kini semua orang memandang kepada Hay Hay.
Wajah Hay Hay nampak pucat sekali ketika sejenak dia mengangkat muka memandang kepada Pek Eng, lalu cepat menundukkan mukanya yang ternyata berubah merah sekali. Rahasianya telah dibuka gadis yang merasa penasaran itu. Biarlah, biarlah semua orang tahu bahwa dia adalah anak jai-hwa-cat. Biarlah dunia tahu bahwa dia adalah anak haram dari Ang-hong-cu, penjahat cabul yang amat jahat itu. Kenyataan ini tak perlu ditutupi lagi, tak perlu dirahasiakan lagi karena hal itu bukanlah kesalahannya.
Dengan perlahan kini Hay Hay mengangkat mukanya yang telah normal kembali, bahkan mulutnya tersenyum duka, dan dia pun memandang orang sekelilingnya, lalu memandang kepada Menteri Cang dan mengangguk.
"Ucapan tadi memang benar. Aku adalah anak dari seorang wanita yang menjadi korban kejahatan Ang-hong-cu. Karena itu harap para Enghiong dan Locianpwe dari Bu-tong-pai menyadari. Dia adalah ayah kandungku, maka aku akan mencarinya sampai dapat untuk memaksa dia mempertanggung jawabkan perbuatannya, baik terhadap murid Bu-tong-pai, terhadap mendiang ibuku, atau terhadap semua wanita yang pernah menjadi korbannya!"
"Siancai...!" Tiong Gi Cinjin berseru. "Sekarang pinto mengerti dan maafkanlah kekhilafan kami. Kalau saja semenjak dulu engkau mengatakan hal ini. Ahh, kalau begitu, perhiasan tawon merah yang berada di tanganmu itu..."
"Itu adalah perhiasan yang ditinggalkan oleh ibuku untukku, sebagai tanda bahwa beliau menjadi korban Si Tawon Merah."
"Sekarang kami merasa puas dan baiklah, kami menerima kesanggupanmu, orang muda yang gagah. Bu-tong-pai tak akan bertindak apa-apa lagi, hanya akan menunggu sampai engkau berhasil menangkap Ang-hong-cu." Lalu Tiong Gi Cinjin menoleh kepada Menteri Cang. "Taijin, kami dari Bu-tong-pai sudah tidak ada urusan lagi dengan orang muda ini, harap Taijin sudi memaafkan keributan yang kami lakukan tadi."
Menteri Cang tersenyum girang, diam-diam dia merasa terharu atas pengakuan Hay Hay tadi. Seorang pemuda yang gagah perkasa, mengaku sebagai putera kandung yang tidak sah dari seorang jai-hwa-cat yang dicari-cari para pendekar untuk dibunuh!
"Bagus, segala urusan bisa diselesaikan dengan musyawarah, asal dilakukan dengan hati jernih dan kepala dingin. Bagaimana, apakah masih ada orang lain yang memiliki urusan pribadi dengan Saudara Tang Hay?" tanyanya sambil memandang pada Han Siong, Ling Ling dan Kui Hong yang tadi mengeroyok Hay Hay.
"Taijin, perkenankanlah hamba bicara empat mata dengan Saudara Tang Hay," kata Han Siong yang mulai merasa sangsi dengan keterangan adiknya.
Harus diakuinya bahwa Hay Hay adalah seorang pemuda yang amat luar biasa, memiliki ilmu sihir dan silat yang amat tinggi sehingga dia sendiri kewalahan menghadapinya. Biar pun keturunan jai-hwa-cat, namun sikap Hay Hay tidak menunjukkan bahwa dia seorang pengecut yang jahat, maka dia hendak membicarakan urusan itu dengan Hay Hay, tentu saja tanpa didengar orang lain kecuali dia dan Pek Eng.
"Baik sekali, silakan. Pek-enghiong." kata pembesar itu.
Han Siong lalu mengajak Hay Hay untuk menyingkir dari situ dan memilih tempat sunyi di antara pohon-pohon, cukup jauh dari situ. Dia pun memberi isyarat kepada adiknya untuk ikut dan kini mereka bertiga berdiri saling berhadapan di bawah pohon, dapat terlihat oleh Menteri Cang akan tetapi semua yang mereka bicarakan tidak dapat terdengar.
"Saudara Tang Hay, sekarang aku minta pengakuanmu tentang..."
"Aku sudah tahu, Saudara Pek Han Siong," Hay Hay memotong. "Adik Eng sendiri sudah pernah menyerangku mati-matian."
"Apakah engkau tetap akan bersikap demikian pengecut untuk menyangkal perbuatanmu terhadap adikku?"
Hay Hay tersenyum pahit dan menarik napas panjang. "Entah mengapa, agaknya Tuhan telah menakdirkan bahwa semenjak lahir hingga sekarang hidupku selalu menjadi korban keadaan. Aku dilahirkan oleh seorang ibu yang menjadi korban perkosaan kemudian mati membunuh diri, lalu dijadikan penggantimu, seorang Sin-tong sehingga aku diperebutkan seperti sebuah benda pusaka! Kemudian setelah dewasa, aku dijadikan korban fitnah dari sana-sini. Sungguh mati, Saudara Pek Han Siong, bukan aku yang sudah menodai Adik Eng..."
"Hay-ko, begitu kejamkah hatimu untuk tetap menyangkal? Jangan kira bahwa aku begitu kejam dan tak tahu malu untuk menjatuhkan fitnah kepadamu, Hay-ko. Karena engkaulah orangnya yang melakukan, maka tentu saja aku minta pertanggungan jawabmu, sebagai seorang jantan, sebagai seorang pendekar gagah! Hay-ko, begitu kejamkah hatimu untuk menghancurkan perasaan dan kehormatanku?" Pek Eng menangis.
Hay Hay menarik napas panjang dan memandang kepada Han Siong. "Saudara Pek Han Siong, bolehkah aku menggunakan kekuatan batin untuk memaksa adikmu mengucapkan pengakuan yang sebenarnya akan apa yang sudah menimpa dirinya? Agar dia menjawab semua pertanyaanku dengan sepenuh hati dan sejujurnya? Ataukah engkau yang hendak mempergunakan kekuatan batin itu atas dirinya?"
Han Siong mengerti apa yang dimaksudkan Hay Hay dan dia pun mengangguk. Dia mulai meragukan apakah benar Hay Hay telah melakukan perbuatan itu lalu menyangkal secara pengecut. Melihat sikapnya, agaknya Hay Hay bukan seorang pengecut.
"Baik, lakukanlah," katanya lirih.
Han Siong segera memasang perhatian sepenuhnya untuk mengamati supaya Hay Hay tidak menyalah gunakan ilmu sihirnya untuk mempengaruhi jawaban Pek Eng. Sementara itu Hay Hay lalu berkata, suaranya berpengaruh dan menggetar.
"Eng-moi, kau pandanglah mataku kemudian jawablah sejujurnya apa yang kutanyakan kepadamu!"
Pek Eng mengangkat muka memandang. Dia terkejut bertemu pandang dengan sepasang mata yang mengeluarkan sinar mencorong itu akan tetapi sia-sia belaka untuk membuang pandang mata atau mengelak karena dia tak mampu lagi melepaskan pandang matanya yang sudah bertaut dan melekat dengan pandang mata Hay Hay.
"Eng-moi, katakanlah sejujurnya, siapakah yang malam itu memasuki pondok taman dan menggaulimu?"
Sambil memandang wajah Hay Hay dengan mata yang tidak pernah berkedip, Pek Eng lalu menjawab, suaranya datar, "Dia adalah Hay-ko."
Jawaban ini sudah diduga oleh Hay Hay, maka dia tidak merasa terpukul. Dia tahu bahwa Pek Eng tidak melakukan fitnah, melainkan benar-benar merasa yakin bahwa orang yang menggaulinya itu adalah dia. Dia harus dapat mengorek rahasia ini, tanda-tanda pada pria itu yang akan dapat memberikan jejak kepadanya.
"Eng-moi, pada waktu laki-laki itu memasuki pondok, bagaimana cuaca di dalam pondok itu? Gelap ataukah terang?"
"Gelap..."
"Apakah engkau dapat melihat wajah laki-laki itu?"
"Tidak..."
"Lalu bagaimana engkau dapat yakin bahwa dia adalah Hay-ko?" tanya Hay Hay.
"Sudah pasti dia. Hay-ko tadinya meninggalkan aku, lalu dia kembali dan aku mengenal bentuk tubuhnya, juga wajahnya ketika tanganku merabanya."
"Apakah dia mengeluarkan suara?"
"Tidak..."
Hay Hay menjadi bingung, lalu berpikir keras. "Apakah tidak ada sesuatu yang khas pada orang itu, suaranya, tanda sesuatu pada tubuhnya, atau... mungkin bau badannya?"
Sampai beberapa detik lamanya Pek Eng tidak menjawab, tetapi kemudian dia berseru, "Bau badannya... ahh, aku teringat bau badannya, bau harum cendana..."
Hay Hay menyudahi pengaruh sihirnya dan Pek Eng merasa seperti orang baru sadar dari tidur. Hay Hay memandang kepada Pek Han Siong, lantas berkata. "Memang keterangan Eng-moi tak begitu jelas akan tetapi engkau pasti tahu bahwa aku tidak berbau cendana, Saudara Pek Han Siong."
Han Siong mengerutkan alisnya. "Lalu, siapa kiranya orang itu kalau bukan engkau?"
Hay Hay menggeleng kepala. "Aku belum tahu, aku belum dapat menduga, akan tetapi... rasanya bau cendana itu tak asing bagiku. Harap engkau dan Eng-moi menanti sebentar, biar aku mengambil keputusan apa yang dapat kujanjikan kepadamu, Saudara Pek. Tapi kalau engkau dan Eng-moi kukuh berkeyakinan bahwa akulah yang berdosa, nah, silakan kalau hendak membunuhku. Aku tidak akan melawan, namun kuperingatkan kalian bahwa kalian akan menanggung dosa yang amat besar karena aku sungguh tidak bersalah!"
Pek Han Siong adalah seorang pemuda yang cukup bijaksana, dahulu pernah menerima gemblengan dari para hwesio yang hidup bersih di kuil Siauw-lim-si. Oleh karena itu dia dapat menangkap kebenaran kata-kata Hay Hay tadi. Maka dia pun menggandeng tangan adiknya, diajak pergi, kembali ke tempat di mana Menteri Cang dan para pendekar lainnya masih menunggu, setelah berkata kepada Hay Hay,
"Baik, kami percaya kepadamu dan kami akan menunggu!"
"Tapi, Koko...," Pek Eng membantah.
"Sudahlah, kau percaya saja kepadaku, adikku." kata Han Siong.
Tak diduganya bahwa perbuatan yang iseng dan jahat di waktu yang lalu mengakibatkan munculnya dua orang musuh yang luar biasa tangguhnya ini. Kini dua orang musuh besar ini muncul kembali sebagai pembantu pasukan pemerintah, pada waktu anak buahnya sudah mulai tersudut dan terhimpit.
Dia mulai mencari jalan keluar untuk melarikan diri, akan tetapi ketika membalik, di sana telah ada Bi Lian yang siap menerjangnya! Celaka, pikirnya, menghadapi Bi Lian seorang saja dia masih belum mampu mengalahkannya, apa lagi dengan munculnya suami isteri yang ditakutinya itu.
Pasukannya menghadapi kehancuran, ada pun pembantu-pembantunya tidak tampak ada yang muncul, bahkan dia tidak melihat adanya Kulana dan Sim Ki Liong yang diandalkan, yang entah berada di mana. Karena tidak metihat jalan keluar, Lam-hai Giam-lo menjadi nekat.
"Baik, aku akan mengadu nyawa dengan kalian!" bentaknya dengan suaranya yang parau seperti ringkik kuda.
Tubuhnya lalu berputar-putar dan dia mulai memainkan ilmu silat yang dia andalkan, yaitu ilmu silat dengan tubuh berputaran. Di dalam putaran tubuhnya ini terkandung kekuatan seperti angin puyuh yang berpusing, bahkan nampak daun kering dan debu ikut berpusing di sekeliling tubuhnya disertai angin menyambar-nyambar di sekitarnya!
Hebat bukan main ilmu dari Lam-hai Giam-lo ini sehingga beberapa orang pendekar dan banyak anak buah pasukan pemerintah tidak ada yang berani mendekat, membiarkan tiga orang perkasa itu menghadapi pemimpin pemberontak yang amat sakti itu.
Su Kiat dan Hui Lian tidak mengenal Bi Lian, akan tetapi mereka berdua merasa kagum sekali. Dara yang cantik jelita itu, yang usianya belum menginjak dua puluh tahun, berani menghadapi Lam-hai Giam-lo seorang diri saja tanpa senjata, bahkan mampu menandingi iblis itu sehingga terjadi perkelahian yang seru. Padahal Lam-hai Giam-lo adalah seorang datuk sesat yang amat berbahaya!
Sementara itu Bi Lian juga memperhatikan dengan heran saat melihat munculnya seorang laki-laki berlengan kiri buntung bersama seorang wanita yang cantik dan mereka berdua itu langsung menyerang Lam-hai Giam-lo dengan dahsyatnya, bahkan membuat Lam-hai Giam-lo kelihatan seperti orang ketakutan.
Akan tetapi gadis ini maklum bahwa mereka berdua itu adalah kawan-kawan, setidaknya juga membantu pasukan pemerintah, maka tanpa banyak cakap lagi dia pun siap bekerja sama dengan mereka untuk membasmi manusia jahat macam Lam-hai Giam-lo. Tanpa mengucapkan sepatah pun kata, ketiga orang ini sudah membentuk Sha-kak-tin (Barisan Segitiga) mengepung Lam-hai Giam-lo yang berputaran seperti gasing itu!
Bi Lian sudah mengerahkan tenaga sinkang, disalurkan melalui kedua lengannya dan dia memainkan ilmu silat gabungan dari Pak Kwi Ong dan Tung Hek Kwi, ilmu silat yang aneh gerak-geriknya. Kedua telapak tangannya mengeluarkan uap putih, lengannya bisa mulur dan memendek seperti karet, tubuhnya dengan ringan dan cekatan dapat berlompatan ke sana-sini dan kadang-kadang tangannya mencuat ke depan seakan hendak menembus tubuh yang berpusing itu.
Dengan lengan kiri buntung yang kini digantikan oleh ujung lengan baju yang dapat dibuat lemas dan kadang kala keras seperti besi, Ciang Su Kiat memainkan Ilmu Silat Sian-eng Sin-kun yang cepatnya bukan main. Ilmu silat tangan kosong Sian-eng Sin-kun (Pukulan Sakti Bayangan Dewa) ini merupakan peninggalan dari Sian-eng-cu The Kok, seorang di antara delapan orang sakti yang dikenal dengan julukan Delapan Dewa.
Dengan ilmu silat ini tubuhnya seperti dapat terbang saja, atau bahkan saking cepatnya gerakannya, bagi pandang mata biasa yang nampak hanyalah bayangan saja dan setiap kali menyerang, baik dengan ujung lengan bajunya yang kiri atau pun tangan kanannya, maka serangan itu merupakan serangan maut yang amat berbahaya bagi lawan.
Kok Hui Lian juga mengerahkan seluruh tenaga serta kepandaiannya untuk menghadapi Lam-hai Giam-lo yang lihai. Dia langsung memainkan In-liong Kiam-sut dengan pedang Kiok-hwa-kiam. In-liong Kiam-sut (Ilmu Pedang Naga Awan) adalah ciptaan mendiang In Liong Nio-nio, juga salah seorang di antara Delapan Dewa.
Gerakannya sangat tangkas dan gagah, tepat seperti nama ilmu itu sendiri, seakan-akan seekor naga sedang melayang-layang di angkasa. Gulungan sinar pedang itu membentuk lingkaran lebar dan dari dalamnya menyambar-nyambar sinar pedang yang dahsyat.
Menghadapi tiga orang yang memiliki ilmu silat tinggi itu, Lam-hai Giam-lo menjadi repot bukan main. Lawan lain tentu akan menjadi gentar menghadapi ilmunya itu, akan tetapi tiga orang ini mempunyai tingkat yang mampu menandinginya, maka tentu saja dia tidak mendapatkan banyak kesempatan untuk menyerang mereka. Dalam keadaan berpusing itu dia hanya mampu mempertahankan diri untuk menangkis atau bersembunyi di dalam pusingan tubuhnya yang sukar dijadikan sasaran serangan itu.
"Singgg...! Singgg...!"
Gulungan sinar pedang Kiok-hwa-kiam mengeluarkan cahaya mencuat dua kali, pertama menyarnbar ke arah leher, kemudian seperti meluncur turun dan menyambar ke arah kaki dari tubuh Lam-hai Giam-lo yang berpusing. Lam-hai Giam-lo mampu menghindarkan diri dengan dua kali elakan, akan tetapi pada saat itu pula tangan Bi Lian yang mulur sudah mencengkeram ke arah lehernya.
"Dukkk!"
Dia menangkis dan benturan kedua lengan membuat tubuhnya tergetar walau pun Bi Lian juga terhuyung. Getaran tubuh ini menghentikan pusingan tubuh Lam-hai Giam-lo. Pada saat itu pula ujung lengan baju yang menjadi lemas seperti cambuk telah melecut ke arah matanya, dan ketika Lam-hai Giam-lo menarik tubuhnya ke belakang, ujung lengan baju itu sudah berubah kaku dan kini menotok ke arah pinggang. Totokan maut ini nyaris saja mengenai pinggangnya. Lam-hai Giam-lo cepat membuang dirinya ke samping kemudian bergulingan.
Sinar pedang menyambar-nyambar mengejar tubuh yang bergulingan itu. Dalam keadaan terhimpit itu Lam-hai Giam-lo mencengkeram tanah, kemudian sekali menggerakkan dua tangannya, ada pasir dan tanah menyambar ke arah mata ketiga orang pengeroyoknya!
Kakek ini memang hebat! Akan tetapi yang dihadapinya juga merupakan tiga orang lawan yang amat tangguh, yang tidak mudah digertak dengan senjata rahasia seperti itu. Hanya dengan memiringkan kepala, tiga orang itu dapat menghindarkan diri dari sambaran pasir dan tanah itu tanpa harus menghentikan pengejaran mereka terhadap tubuh yang masih bergulingan itu.
"Singggg...!"
Sinar pedang Kiok-hwa-kiam menyambar ke arah leher Lam-hai Giam-lo yang sudah tidak memiliki kesempatan untuk mengelak lagi. Terpaksa dia menangkis dengan lengan kirinya ke arah sinar pedang berkilauan itu.
"Crokkk!" Pedang tertahan dan tidak mengenai leher, akan tetapi lengan Lam-hai Giam-lo terbabat buntung sebatas siku.
Lam-hai Giam-lo sama sekali tidak mengeluarkan teriakan walau pun lengan kirinya telah buntung. Dengan tangan kanan dia cepat menotok jalan darah pada pangkal lengannya untuk menghentikan darah yang bercucuran keluar, kemudian tubuhnya membalik ke arah Hui Lian dan dengan marah disertai kenekatan, Lam-hai Giam-lo lalu menubruk dengan serangan tangan kanan yang ampuh. Orang ini memang memiliki daya tahan yang kuat sekali sehingga dalam keadaan terluka parah itu serangannya bahkan lebih dahsyat dari pada tadi.
Hui Lian terkejut, cepat mengelebatkan pedangnya namun pedang itu dapat ditampar dari samping oleh tangan kanan Lam-hai Giam-lo sehingga hampir terlepas, dan seperti cakar setan tangan itu sudah menyambar ke arah dada Hui Lian! Keadaan wanita itu sungguh kritis dan berbahaya sekali. Akan tetapi suaminya, Ciang Su Kiat, sudah siap siaga dan melihat bahaya mengancam isterinya, dia pun menubruk ke depan lalu menghantamkan tangan kanannya ke arah kepala Lam-hai Giam-lo.
"Plakkk!"
Tubuh Lam-hai Giam-lo terpelanting keras dan roboh tak mampu bergerak lagi. Tewaslah Lam-hai Giam-lo, datuk sesat yang mempunyai ambisi besar itu. Setelah Lam-hai Giam-lo tewas, Hui Lian, Su Kiat dan Bi Lian saling berpencaran lagi, masing-masing melanjutkan amukan mereka untuk membantu pasukan pemerintah yang kini mulai berhasil mendesak pasukan pemberontak yang sudah kehilangan banyak pemimpin itu.
Sementara itu, Can Sun Hok yang berkelahi melawan Kim San Ketua Kui-kok-pang juga sudah berhasil merobohkan lawan itu dengan sulingnya yang lihai, kemudian membantu Ling Ling yang masih mengamuk dikeroyok oleh belasan orang anak buah Kui-kok-pang. Mereka berdua mengamuk dan biar pun anak buah Kui-kok-pang berdatangan membantu teman-teman mereka, tetapi satu demi satu mereka roboh dan tewas di tangan sepasang orang muda perkasa ini.
Kui Hong yang bersama belasan anak buahnya menjaga di atas tebing sebelah kiri telah melihat betapa tebing di seberang sudah dikuasai pula oleh pihak pasukan pemerintah, bahkan kini ditinggalkan sesudah tadi dia melihat betapa pendekar lengan buntung Ciang Su Kiat menarik putus sumbu panjang itu. Melihat ini, Kui Hong juga meniru perbuatan Su Kiat. Dia kemudian menarik sumbu panjang yang menjulur ke bawah dari puncak tebing itu dan mempergunakan tenaga menyentak sehingga sumbu itu putus pula dekat tempat pemasangan bahan peledak.
"Kalian berjaga di sini saja, aku mau turun membantu pertempuran di bawah," pesannya kepada para prajurit, dan dia pun berlari turun dengan cepatnya.
Selagi dia berloncatan menuruni tebing itu, dia melihat seorang wanita cantik berpakaian merah bergegas hendak melarikan diri, tersaruk-saruk di tebing. Kui Hong belum pernah melihat wanita ini, akan tetapi dia pernah mendengar dari Hay Hay mengenai datuk-datuk sesat yang membantu pemberontakan, di antaranya terdapat orang-orang lihai seperti Ji Sun Bi, Min-san Mo-ko dan orang-orang Pek-lian-kauw.
Sesudah melihat keadaan wanita itu, dia segera menduga bahwa agaknya wanita itulah yang berjuluk Tok-sim Mo-li (Iblis Betina Berhati Racun) dan bernama Ji Sun Bi itu. Maka cepat dia menghadang. Setelah wanita itu tiba di depannya, dia lalu menudingkan telunjuk kanannya dan membentak.
"Heii! Bukankah engkau ini Tok-sim Mo-li Ji Sun Bi?!"
Pertanyaan ini dikeluarkan secara tiba-tiba dengan bentakan sehingga wanita itu terkejut dan marah, tak sempat berpikir panjang lagi lalu balas membentak. "Kalau benar, kenapa engkau tidak lekas berlutut agar aku tidak membunuhmu?!"
Wanita itu memang Ji Sun Bi. Melihat betapa Min-san Mo-ko yang menjadi gurunya dan juga kekasihnya itu tewas, demikian pula banyak kawan yang membantu Lam-hai Giam-lo roboh dan tewas, Ji Sun Bi pun merasa kecil hati dan ketakutan. Seperti juga para datuk sesat, orang seperti dia memang tak memiliki kesetiaan. Segala sepak terjangnya dalam hidup hanya mempunyai satu dasar, yaitu ingin menyenangkan dan menguntungkan diri sendiri belaka. Seperti yang lain, apa bila dia membantu Lam-hai Giam-lo adalah karena mereka itu melihat kemungkinan untuk memperoleh kemuliaan kalau gerakan itu menang.
Kini, melihat betapa gerakan pemberontakan itu terancam kehancuran di kandang sendiri sebelum sempat bergerak keluar, Ji Sun Bi cepat mengumpulkan barang-barang berharga lantas diam-diam dia meninggalkan medan pertempuran. Tidak ada jalan lari melalui jalan terusan, juga tidak mungkin ke belakang lembah karena di sana pun sudah penuh dengan pasukan pemerintah. Maka jalan satu-satunya hanyalah mencoba untuk menyelamatkan diri lewat tebing di kanan kiri jalan terusan.
Dia memilih tebing kiri, tidak menyangka bahwa dia akan bertemu dengan seorang gadis cantik yang mengenalinya dan bertanya tanpa sopan santun sama sekali. Maka dia pun menjadi marah, apa lagi gadis itu hanya seorang diri dan tentu saja Ji Sun Bi memandang rendah gadis itu. Hal ini tidaklah aneh mengingat bahwa Ji Sun Bi adalah seorang datuk sesat wanita yang berilmu tinggi dan jarang menemukan tanding.
Kui Hong adalah seorang gadis yang galak dan berandalan, gagah dan tidak kenal takut, bahkan masih dapat tersenyum manis dalam keadaan mendongkol melihat keangkuhan Ji Sun Bi. Pada dasarnya, Kui Hong memiliki watak jenaka, hanya kadang-kadang watak itu tertutup oleh kegalakan dan keberandalannya.
"Wah, kalau engkau berjuluk Iblis Betina Berhati Racun, maka sebentar lagi engkau harus mengubah julukanmu itu menjadi Mayat Iblis Tak Berjantung karena engkau akan mati di tanganku. Aku adalah Cia Kui Hong dan julukanku adalah Hok-mo Sian-li (Dewi Penakluk Iblis)!" Tentu saja julukan ini hanya buatan Kui Hong saja untuk menggoda orang. Wanita itu berjuluk Iblis maka dia sengaja memakai julukan Penakluk Iblis!
"Srattttt...!"
Nampak dua sinar berkelebat saat Ji Sun Bi mencabut keluar senjatanya, yaitu sepasang pedang yang berkilauan saking tajamnya. Dengan pedang kiri diangkat di atas kepala dan pedang kanan menodong ke arah Kui Hong, Ji Sun Bi mengeluarkan bentakan nyaring.
"Bocah lancang, akan kupotong lidahmu!"
Akan tetapi terdengar suara berdesing dan kini tahu-tahu di kedua tangan Kui Hong telah terlihat masing-masing sebatang pedang. Kiranya dara itu telah mencabut keluar Hok-mo Siang-kiam (Sepasang Pedang Penakluk Iblis) yang berwarna hitam, pedang pemberian neneknya, yaitu Toan Kim Hong di Pulau Teratai Merah.
Melihat sepasang pedang berwarna hitam yang mengeluarkan sinar menyeramkan itu, Ji Sun Bi terkejut sekali. Akan tetapi dia tidak mengenal pedang itu dan masih memandang ringan.
"Keparat, makanlah pedangku!" bentak Ji Sun Bi saat melihat Kui Hong sambil tersenyum mengejek melintangkan pedangnya di depan muka. Dia membacok dengan pedang kanan sedangkan pedang kirinya meluncur ke arah perut Kui Hong.
"Heiiittt... ihhhh...!" Kui Hong berseru lantas dua batang pedangnya berubah menjadi dua gulungan sinar hitam.
"Cringgg...! Tranggg...!"
Kini terkejutlah Ji Sun Bi sebab dia merasa betapa kedua tangannya tergetar keras ketika sepasang pedangnya ditangkis dengan cepat oleh lawannya. Ji Sun Bi boleh jadi memiliki watak yang angkuh dan sombong, akan tetapi dia cukup cerdik dan benturan dua pasang senjata itu memberi tahu kepadanya bahwa biar pun masih muda, ternyata lawannya ini mempunyai ilmu kepandaian tinggi dan tenaga kuat sehingga tak boleh dipandang ringan sama sekali.
Maka tanpa banyak cakap lagi dia telah menyerang dengan ganas, mengeluarkan semua ilmunya yang paling diandalkan. Sepasang pedangnya menyambar-nyambar laksana dua ekor naga mencari mangsa.
Namun yang dihadapinya adalah Cia Kui Hong yang ilmu pedangnya amat hebat, apa lagi sesudah dia menerima gemblengan dari kakek dan neneknya, yaitu Pendekar Sadis dan isterinya di Pulau Teratai Merah. Dengan lincahnya Kui Hong memainkan Ilmu Pedang Hok-mo Siang-kiam yang telah disempurnakan oleh gemblengan neneknya.
Di samping menerima gemblengan ilmu-ilmu silat yang telah dikuasainya dari latihan yang diberikan oleh ayah ibunya, juga ilmu ginkang Kui Hong sudah diperdalam oleh kakek dan neneknya sehingga kini dia dapat bergerak sangat lincah dan ringannya. Bagaikan seekor burung walet saja tubuhnya berkelebatan di seputar lawannya, membuat Ji Sun Bi makin kaget dan khawatir.
Tingkat kepandaian Kui Hong agaknya akan seimbang dengan tingkat kepandaian Ji Sun Bi sebelum dia digembleng oleh kakek dan neneknya. Akan tetapi kini dia menang jauh, terutama sekali dalam hal sinkang dan ginkang. Tenaga saktinya lebih kuat dan dia pun memiliki gerakan yang lebih ringan, lincah dan cepat sehingga lewat tiga puluh jurus saja, Ji Sun Bi mulai terdesak dan kewalahan.
"Hyaaaattttt...!" Tiba-tiba Ji Sun Bi mengeluarkan lengking panjang dan kedua pedangnya diputar sedemikian rupa hingga tubuhnya tergulung oleh sinar pedangnya sendiri, lalu dari gulungan sinar pedang itu mencuat dua sinar yang menyambar ke arah leher serta dada Kui Hong.
Namun dara itu dengan tenang saja meloncat ke belakang dan ketika lawannya mengejar, tiba-tiba dia mengelebatkan kedua pedangnya. Dua sinar hitam menyambar dari atas dan bawah. Ji Sun Bi tidak sempat mengelak karena dia sedang meloncat ke depan, terpaksa dia menangkis dengan kedua pedangnya.
"Singgg...! Singgg...!"
Mendadak Kui Hong menarik kembali sepasang pedangnya sehingga tangkisan itu hanya meluncur ke tempat kosong dan pada saat itu sepasang pedang hitam sudah menyerang lagi dari kanan kiri. Ji Sun Bi semakin kaget, terpaksa memutar pergelangan tangannya dan menggunakan pedang untuk menangkis.
"Tranggg...! Tranggg...!"
Terdengar dua kali suara nyaring, lantas pedang kiri Ji Sun Bi terlepas dan terlempar, sedangkan tangan kanannya hampir saja melepaskan pedang karena telapak tangannya terasa panas dan perih. Tanpa banyak cakap lagi dia langsung meloncat ke belakang dan melarikan diri! Ji Sun Bi maklum bahwa kalau dia melanjutkan perkelahian itu, tentu dia akan kalah dan akhirnya tewas di tangan lawannya yang amat tangguh itu.
"Heiii, iblis betina pengecut, hendak lari ke mana engkau?!" Kui Hong memaki dan cepat mengejar. Karena dia memang mempunyai ginkang yang amat hebat, maka sebentar saja dia hampir dapat menyusul Ji Sun Bi yang menjadi semakin gelisah.
Ketika melihat bahwa dia telah mengambil jalan yang salah, yaitu yang menuju ke jurang yang curam, Ji Sun Bi menjadi semakin bingung. Ada pun Kui Hong justru tertawa girang melihat lawannya terjebak dan berada di jalan buntu.
"Heh-heh, Tok-sim Mo-li, engkau hendak lari ke mana lagi sekarang?" Kui Hong mengejek dan dengan gerakan cepat sekali dia mengejar lawan yang sudah ketakutan itu.
Ji Sun Bi menoleh dan melihat Kui Hong mengejarnya. Dia maklum bahwa sekali ini dia tidak akan mampu menyelamatkan diri lagi. Dalam ketakutannya ini dia lalu menjadi nekat dan meloncat ke depan! Tubuhnya meluncur ke bawah.
"Ehhh...!" Kui Hong berseru dan cepat meloncat ke tepi jurang, lalu menjenguk ke bawah.
Dia masih sempat melihat tubuh wanita itu terbanting dan terpental, lantas menggelinding terus ke bawah sampai tidak nampak lagi. Kui Hong menghela napas panjang, kemudian menyarungkan sepasang pedangnya. Wanita iblis itu tidak mungkin dapat meloloskan diri lagi. Terjatuh dari tempat setinggi itu pasti akan mati. Dia pun tidak dapat mengejar sebab tak mungkin menuruni jurang itu. Maka Kui Hong lalu melanjutkan larinya menuruni tebing untuk membantu pertempuran pasukan pemerintah melawan pasukan pemberontak.
Sementara itu Hay Hay terus mencari Ki Liong sambil merobohkan prajurit pemberontak yang menghadang di jalan. Akhirnya dia melihat pemuda itu sedang mengamuk dengan hebat di luar jalan terusan.
Memang benar apa yang dikatakan Kui Hong kepadanya. Pemuda yang menjadi murid Pendekar Sadis dan isterinya itu sungguh lihai bukan main. Sudah belasan orang menjadi korban pedang pusaka Gin-hwa-kiam, pedang pusaka Pulau Teratai Merah yang menurut cerita Kui Hong telah dicuri Ki Liong berikut beberapa benda pusaka dari pulau itu.
Gerakan pedang pemuda itu demikian matang dan mantap sehingga para prajurit kerajaan merasa gentar juga menghadapi pemuda ini sesudah ada beberapa orang perwira roboh dan tewas. Mereka mengepung dari jarak jauh dengan mempergunakan tombak panjang. Melihat keadaan ini, Hay Hay lalu meloncat dekat dan Ki Liong segera melihatnya.
"Saudara Tang Hay...!" kata Ki Liong. "Bantulah aku keluar dari tempat ini dan nanti akan kubagikan pusaka-pusaka indah kepadamu!"
Akan tetapi Hay Hay melangkah maju sambil berseru kepada para prajurit. "Harap kalian mundur dan biarkan aku menghadapinya!"
Para prajurit cepat-cepat mundur dan mengepung tempat itu dari jarak jauh. Kini Hay Hay berhadapan dengan Ki Liong yang mengamatinya dengan sinar mata tajam penuh selidik karena dia masih belum yakin benar di pihak mana Hay Hay berdiri.
"Sim Ki Liong, apa yang sudah kau lakukan terhadap Pek Eng?" Hay Hay bertanya lirih karena tak ingin hal itu didengar lain orang, akan tetapi di dalam pertanyaan yang lirih itu terkandung ancaman serta kemarahan besar. Ki Liong melebarkan matanya memandang Hay Hay dengan heran.
"Apa yang sudah kulakukan? Tidak apa-apa, Saudara Tang Hay. Gadis itu pergi dan tak seorang pun tahu ke mana. Aku tidak pernah mengganggunya..."
"Bohong! Malam itu, di dalam pondok taman! Apa yang sudah kau lakukan? Jangan kau menyangkal, hayo ikut bersamaku dan membuat pengakuan di depan Pek Eng, atau aku akan memaksamu!"
"Tang Hay manusia sombong! Aku tidak punya urusan dengan Pek Eng atau denganmu! Kalau engkau tidak suka membantu aku keluar dari tempat ini, sudahlah, aku tidak punya waktu untuk melayani obrolanmu yang tidak karuan ujung pangkalnya!"
"Ki Liong! Kalau engkau menyangkal, terpaksa aku harus memaksamu untuk menyerah!" bentak Hay Hay sambil melompat menghadang pada saat melihat Ki Liong hendak pergi meninggalkannya.
Marahlah Ki Liong, "Keparat! Engkau seorang jai-hwa-cat hina berani mengancam aku?" Dia mengacungkan pedang Gin-hwa-kiam.
Hay Hay juga marah sekali. Dia tidak mau mempergunakan ilmu sihirnya untuk melawan Ki Liong karena dia hendak mencoba sampai di mana kelihaian murid dari Pulau Teratai Merah ini.
"Mulutmu busuk seperti hatimu!" Hay Hay balas memaki sesudah mendengar dia dimaki sebagai jai-hwa-cat.
Akan tetapi pada saat itu Ki Liong sudah menggerakkan Gin-hwa-kiam menyerangnya. Serangannya hebat bukan main, dahsyat sekali, cepat dan mengandung tenaga sinkang yang amat kuat. Ilmu pedang yang dimainkannya adalah Hok-mo Kiam-sut, ada pun jurus yang dipergunakan untuk penyerangan pertama itu adalah jurus Sin-liong Hok-mo (Naga Sakti Menaklukkan Iblis).
Pedang itu meluncur ke arah dada lawan untuk dilanjutkan dengan putaran pergelangan tangan sehingga pedang dapat dilanjutkan dengan bacokan memutar yang mengancam semua bagian tubuh depan lawan! Jurus ini hebat bukan kepalang dan karena dia sudah menerima gemblengan dari suami isteri pendekar yang sakti, maka gerakannya itu sangat mantap sekaligus juga ganas.
Menghadapi sebatang pedang pusaka, Hay Hay tidak berani bertangan kosong saja. Dia mengenal pusaka ampuh, maka dia pun cepat mencabut sulingnya dari ikat pinggang dan sambil meloncat ke belakang untuk mengelak, dia langsung memutar sulingnya sehingga terdengarlah suara melengking tinggi rendah. Pedang itu telah dilanjutkan dengan putaran yang menyerang leher, dan Hay Hay kini menangkis dari samping dengan sulingnya.
"Tranggg...!"
Suling dan pedang bertemu lalu keduanya melangkah mundur dua tindak, masing-masing mengakui akan kehebatan tenaga sinkang lawan. Namun Ki Liong sudah menerjang lagi ke depan. Dia ingin cepat-cepat pergi dari tempat berbahaya itu dan untuk itu dia harus cepat pula menyelesaikan perkelahian ini.
Pedangnya lenyap berubah menjadi gulungan cahaya perak yang menyelimuti tubuhnya. Bagaikan roda perak yang berputar cepat, gulungan sinar itu bergerak maju ke arah Hay Hay, dengan suara mendesing-desing memekakkan telinga dan angin sambaran pedang terasa sampai beberapa meter jauhnya.
Hay Hay bersikap hati-hati. Maklum dengan kelihaian lawan yang memiliki ilmu silat tinggi dan pilihan itu, dia pun cepat mengerahkan tenaga dan menggunakan Ilmu Langkah Ajaib Jiauw-paow-poan-soan. Tubuhnya berputar-putar dan dengan langkah ajaib itu dia mampu menghindarkan diri dari tekanan dan sambaran sinar pedang lawan, bahkan membalas pula dengan totokan ke arah jalan darah dengan ujung sulingnya.
Terjadilah perkelahian yang sangat hebat sehingga membuat daun-daun kering dan pasir berhamburan serta debu mengepul di sekitar tempat itu. Suara mengaung dan berdesing memekakkan telinga disertai sambaran angin berputar-putar membuat para penonton baik dari pihak pasukan pemerintah mau pun pemberontak terpaksa mundur beberapa langkah lagi.
Setelah lewat dua puluh jurus lebih, tiba-tiba saja Hay Hay melakukan serangan dengan sulingnya, menotok ke arah muka lawan antara kedua matanya. Serangan ini hanya untuk memancing perhatian lawan, karena tangan kirinya telah siap untuk melakukan serangan inti, pada saat lawan terpaksa mencurahkan perhatian kepada serangan pertama.
Akan tetapi Ki Liong cukup lihai untuk menduga siasat lawan ini. Pedang Gin-hwa-kiam dikelebatkan dari samping menangkis suling, sambil sekaligus dia mengerahkan tenaga sinkang yang mempunyai daya tempel yang kuat.
Pemuda ini memang belum diberi pelajaran Thi-ki-i-beng, yaitu ilmu sinkang yang dapat membetot dan menghisap tenaga sakti lawan, merupakan ilmu mukjijat dan simpanan dari Pendekar Sadis Ceng Thian Sin, akan tetapi dia sudah mempelajari sinkang yang dilatih dengan jungkir balik dan dapat menggunakan tenaga sakti ini untuk mendorong, menarik, membetot, bahkan menempel.
Begitu pedangnya bertemu suling yang ditangkisnya, maka pedang itu melekat dan hal ini terasa oleh Hay Hay yang menjadi terkejut juga karena sulingnya melekat pada pedang itu bagaikan besi melekat pada besi semberani! Dan kekagetannya itu membuat dia agak lambat menggunakan tangan kiri yang sudah dipersiapkan. Serangan suling yang tadinya dilakukan untuk mengejutkan lawan itu kini bahkan membuat dia sendiri menjadi terkejut ketika sulingnya melekat pada pedang lawan.
Dan pada saat itu pula tangan kiri Ki Liong sudah menghantam ke arah dadanya dengan tangan terbuka! Kiranya Ki Liong mempunyai siasat yang sama, yaitu menggunakan daya lekat sinkang-nya untuk mengejutkan lawan sehingga lawan dalam keadaan lengah ketika tangan kirinya menghantam dengan pukulan maut. Pukulan itu adalah pukulan Thian-te Sin-ciang yang amat dahsyat. Thian-te Sin-ciang (Tangan Sakti Bumi Langit) merupakan satu di antara ilmu-ilmu yang hebat dari Pendekar Sadis!
Dalam keadaan kritis itu Hay Hay tak kehilangan akal. Tangan kirinya memang sejak tadi sudah dia persiapkan untuk menyerang akan tetapi dia kedahuluan lawan, maka kini dia pun mendorong dengan tangan kirinya itu, dengan jari tangan terbuka. Itulah sebuah jurus ampuh dari Ciu-sian Cak-pek-ciang (Delapan Belas Jurus Silat Dewa Arak) yang pernah dipelajarinya dari Ciu-sian Lokai, seorang di antara Delapan Dewa.
"Plakkk!"
Dua buah tangan itu saling bertemu dan saling menempel! Kini kedua orang muda itu tak dapat melepaskan diri lagi. Pedang dan suling saling melekat dan kedua tangan kiri saling menempel sehingga satu-satunya hal yang dapat mereka lakukan hanyalah mengerahkan sinkang, mengadu tenaga sakti untuk merobohkan lawan. Dan di dalam pertandingan ini keduanya harus mengerahkan seluruh tenaga karena siapa kalah dalam adu sinkang ini tentu akan putus nyawanya!
Perlahan-lahan Ki Liong merasa betapa tenaga lawannya menjadi semakin kuat saja dan mulailah dia gemetar. Keringat membasahi muka serta lehernya, dan uap putih mengepul dari kepalanya.
"Mati aku sekali ini..." pikir Ki Liong. Tapi bagaimana pun juga dia harus mempertahankan diri. Dia tidak dapat melepaskan diri dari himpitan ini, karena itu tak ada jalan lain kecuali mempertahankan sampai saat terakhir!
Di saat yang amat berbahaya bagi Ki Liong karena dia memang kalah tenaga itu, tiba-tiba saja nampak bayangan orang berkelebat dan dua buah tangan mendorong dari samping. Dua buah tangan ini mengandung tenaga sinkang yang kuat pula, dan karena dorongan itu, Ki Liong dan Hay Hay menjadi miring sehingga benturan atau adu tenaga dari mereka berdua menyeleweng lantas terlepaslah telapak tangan mereka.
Hay Hay meloncat ke belakang sementara Ki Liong terguling! Dia terus bergulingan, lalu meloncat bangun dengan muka pucat. Dia nyaris tewas di dalam adu tenaga tadi dan kini dia melihat bahwa orang yang melerai tadi adalah seorang pemuda yang usianya sebaya dengan dia mau pun Hay Hay, bermuka putih bulat dan bersikap tenang.
Akan tetapi pemuda yang tidak dikenalnya itu tidak memperhatikannya, bahkan sekarang menghadapi Hay Hay yang juga menatap dengan penuh perhatian. Melihat kesempatan yang amat baik ini, diam-diam Ki Liong lalu melarikan diri dan melompat jauh.
"Heiii! Mau lari ke mana kau?!" Hay Hay membentak dan hendak mengejar, akan tetapi pemuda muka putih yang bukan lain adalah Pek Han Siong itu menghadang di depannya.
"Tahan dulu...!"
Hay Hay yang tak ingin melihat Ki Liong melarikan diri hendak mengejar terus, dan karena Han Siong menghadang di jalan, Hay Hay mengibaskan lengannya untuk mendorongnya minggir.
"Dukkk!" Kedua lengan mereka bertemu dan akibatnya, keduanya terdorong mundur.
Maka terkejutlah Hay Hay. Orang ini ternyata lihai sekali! Karena Ki Liong sudah lenyap di antara para prajurit yang masih bertempur, dan karena pemuda di depannya itu agaknya bersungguh-sungguh hendak menghadangnya, maka terpaksa dia membiarkan Ki Liong pergi dan sekarang menghadapi Han Siong dengan sinar mata tajam penuh selidik. Dia belum pernah bertemu dengan orang ini dan tidak tahu apakah orang ini memihak kepada pemberontak ataukah pemerintah.
"Saudara yang gagah, siapakah engkau dan kenapa engkau menghadangku?" tanya Hay Hay, diam-diam terkejut melihat betapa sinar mata pemuda ini mencorong dan wajahnya penuh wibawa, menunjukkan bahwa pemuda ini mempunyai kekuatan tersembunyi yang sangat dahsyat.
"Betulkah engkau yang bernama Tang Hay?" Han Siong berbalik mengajukan pertanyaan sambil memandang tajam.
Hay Hay mengerutkan alisnya, lantas mengangguk, "Benar, namaku Tang Hay. Siapakah engkau dan ada urusan apakah..."
Han Siong memotong. "Namaku Pek Han Siong dan..."
"Ahh! Kiranya engkau yang dijuluki Sin-tong...!"
"Benar sekali, akan tetapi aku datang bukan untuk meributkan persoalan itu. Aku datang untuk meminta pertanggungan jawabmu, Tang Hay. Bersikaplah sebagai seorang jantan yang berani mempertanggungjawabkan perbuatannya!"
"Apa maksudmu?" tanya Hay Hay, akan tetapi dia segera mengerti sebelum pemuda itu menjawab karena pada saat itu dia melihat munculnya Pek Eng!
"Jangan engkau menyangkal tentang perbuatanmu terhadap adik kandungku, Eng-moi!"
Hay Hay cepat menggelengkan kepala dan matanya tetap memandang ke arah Pek Eng seakan-akan jawaban itu dia ajukan kepada Pek Eng. "Tidak... tidak...! Aku tidak pernah melakukan kekejian itu! Aku sama sekali tidak melakukannya!"
Han Siong memandang dengan muka merah. Benar kata adiknya. Pemuda ini sungguh pengecut walau pun berilmu tinggi, berani berbuat tetapi tidak berani bertanggung jawab. Teringat dia bahwa menurut keterangan orang tuanya, pemuda ini adalah putera seorang jai-hwa-cat, seorang penjahat cabul pemerkosa wanita dan amarahnya makin memuncak.
Adik kandungnya telah menjadi korban kecabulan laki-laki ini dan sekarang dia tidak mau bertanggung jawab, bahkan menyangkal! Padahal buktinya sudah jelas, adiknya menjadi saksi utama. Tidak mungkin adik kandungnya melakukan fitnah, menuduh orang yang tak berdosa sebagai pelakunya.
"Tang Hay, apakah engkau hendak mengikuti jejak ayah kandungmu? Jika engkau secara pengecut menyangkal perbuatanmu sendiri, maka terpaksa aku akan menghajarmu!"
Wajah Hay Hay berubah merah. Dia tahu bahwa orang ini marah karena percaya bahwa dia telah merenggut kegadisan Pek Eng dan meminta dia bertanggung jawab. Akan tetapi karena dia benar-benar merasa tidak melakukan hal itu, dan kini dia diingatkan tentang ayahnya yang jahat, hal yang amat menyakitkan hatinya, maka dia pun menjadi marah.
"Sampai mati pun tak mungkin aku dapat mengakui perbuatan yang tidak kulakukan. Nah, terserah apa yang hendak kau lakukan kepadaku, aku tidak takut!" jawabnya.
Bagi Han Siong, jawaban ini dianggap sebagai ucapan seorang yang keras hati dan yang nekat hendak menyangkal perbuatannya, maka dia pun semakin penasaran. Akan tetapi niatnya bertemu dengan Hay Hay bukan hendak menyerangnya, apa lagi membunuhnya.
Dia hanya hendak membujuk pemuda itu bertanggung jawab, apa lagi karena menurut pengakuan Pek Eng, adiknya itu mencinta Hay Hay. Kalau tidak dapat dibujuk, dia hendak menggunakan akal agar Hay Hay suka menyerah dan sadar lalu mau menerima Pek Eng sebagai jodohnya.
Oleh karena itu Han Siong hendak menakut-nakuti Hay Hay dengan ilmu sihirnya, hendak menaklukkan pemuda itu tanpa harus menggunakan kekerasan. Maka diam-diam dia pun mengerahkan kekuatan batinnya, kemudian sekali mencabut pedangnya, tampaklah sinar berkilauan dari pedang Kwan-im-kiam yang ditodongkan ke arah muka Hay Hay, sambil terdengar suaranya yang menggeledek.
"Tang Hay, lihat baik-baik! Aku adalah seorang yang jauh lebih sakti darimu, aku seorang raksasa setinggi pohon, dan engkau hanya seorang manusia kecil, tidak akan ada artinya melawan aku!"
Pada waktu dia menggerakkan pedangnya, nampak kilatan pedangnya dan tiba-tiba saja semua orang yang mengelilingi tempat itu menjadi terbelalak dan terkejut bukan kepalang ketika melihat betapa tiba-tiba saja keadaan tubuh Pek Han Siong berubah. Kini pemuda itu menjadi tinggi besar, setinggi pohon besar, seorang raksasa yang sangat mengerikan dan menakutkan karena Hay Hay kini hanya setinggi lututnya saja!
Akan tetapi Hay Hay tetap bersikap tenang walau pun dia juga terkejut, tidak menyangka bahwa pemuda yang pernah menggemparkan dunia persilatan dengan julukan Sin-tong dan yang menjadi rebutan itu memiliki ilmu sihir yang cukup kuat! Timbul kegembiraannya dan dia pun tidak mau kalah. Dia lalu mengerahkan kesaktiannya dan suaranya terdengar penuh wibawa yang menggetarkan jantung para penonton pertandingan itu.
"Bagus sekali, Pek Han Siong! Sekarang engkau menjadi raksasa, akan tetapi aku juga sanggup mengembarimu! Lihatlah baik-baik!"
Hay Hay mengibaskan tangan yang memegang suling, terdengar suara melengking tinggi dan tubuhnya pun tumbuh menjadi besar, sebesar Han Siong! Mereka berdiri berhadapan dalam keadaan yang menyeramkan semua orang.
Kini Han Siong yang terkejut. Tak pernah disangkanya bahwa kepandaian Hay Hay akan sehebat ini! Karena sudah terlanjur mengeluarkan ilmu sihirnya, ketika melihat lawan telah mengembarinya menjadi besar pula, Han Siong lalu menggerakkan pedangnya dan mulai menyerang.
Hay Hay menggerakkan sulingnya menangkis, kemudian balas menyerang. Dan terjadilah pertempuran yang hebat dan dahsyat bukan main, mengguncangkan tanah di sekitarnya. Pohon-pohon bergoyang seperti tertiup angin taufan, bahkan banyak dahan pohon yang patah, batu-batu beterbangan tertendang kaki mereka dan debu mengebul tinggi. Kembali keduanya terkejut dan kagum.
Walau pun Kwan-im Kiam-sut yang dimainkan Han Siong merupakan ilmu pedang yang jarang tandingannya, namun Hay Hay mampu menandinginya dengan sulingnya. Bahkan setelah lewat belasan jurus Han Siong sudah dapat menilai bahwa akan sulitlah baginya mengalahkan pemuda itu dengan pedangnya, apa lagi setelah keduanya menjadi sebesar raksasa itu. Dan bila perkelahian itu dilanjutkan maka dapat membahayakan orang-orang yang menonton di sekeliling tempat itu.
"Tang Hay, tidak perlu menakut-nakuti orang lain. Aku akan menjadi kecil sampai engkau tidak akan dapat melihatku lagi!"
Kembali 'raksasa' Han Siong menggerakkan pedangnya dan mendadak tubuhnya lenyap sebab dari keadaan tinggi besar seperti raksasa tiba-tiba saja tubuh itu menyusut menjadi kecil, hanya sebesar jari tangan manusia biasa! Kehilangan lawannya, sejenak Hay Hay merasa bingung namun dia pun segera tahu apa yang telah dilakukan lawannya.
"Pek Han Siong, sudah kukatakan, aku akan mengembari ilmumu. Lihat, aku pun menjadi kecil sebesar kamu!"
Dan tubuh Hay Hay kini lenyap dari pandangan orang-orang yang berada di situ, menjadi kecil seperti tubuh Han Siong, lalu keduanya melanjutkan perkelahian dengan suling dan pedang dalam keadaan tubuh sebesar jari tangan manusia biasa. Mereka yang menonton perkelahian aneh itu akhirnya dapat melihat mereka berdua dan terdengar seruan-seruan kaget, heran dan kagum!
Kalau tadi mereka menyaksikan perkelahian dua orang raksasa yang tingginya empat kali ukuran manusia biasa hingga mengguncangkan tanah di sekeliling tempat itu, kini mereka melihat perkelahian dua orang yang sangat kecil, hanya sebesar jari tangan mereka. Tadi mereka merasa seram dan takut, kini merasa ngeri dan juga lucu bercampur tegang.
Han Siong dan Hay Hay kembali saling serang. Meski pun keduanya sudah mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan kepandaian simpanan mereka, namun masing-masing selalu menjaga agar jangan sampai saling membunuh. Han Siong sama sekali tidak ingin membunuh Hay Hay yang dicinta oleh Pek Eng, akan tetapi ingin menaklukkannya. Dan sebaliknya, tentu saja Hay Hay tidak ingin membunuh Han Siong yang membela adiknya, hanya ingin memperlihatkan kepandaian agar jangan sampai dipandang rendah sebagai putera seorang jai-hwa-cat.
Apa bila dibuat ukuran, sebetulnya Hay Hay telah menerima gemblengan yang lebih kuat dari pada Han Siong. Dalam hal ilmu silat mereka berdua menerima pelajaran peninggalan dari orang-orang yang menjadi anggota Delapan Dewa, akan tetapi Hay Hay memperoleh gemblengan secara langsung. Juga dalam hal ilmu sihir, Hay Hay telah digembleng oleh dua orang, apa lagi gemblengan terakhir dari Song Lojin sudah membuat kedua macam ilmu kepandaiannya itu menjadi matang betul.
Akan tetapi karena dia selalu mengalah dan tidak ada niat di hatinya untuk mengalahkan Han Siong, apa lagi sampai melukai atau membunuh, maka pertandingan antara mereka itu menjadi seimbang dan seru bukan main.
Sementara itu, kini pertempuran antara kedua pasukan sudah mulai terhenti di sana-sini. Setelah sebagian pemimpin mereka tewas atau melarikan diri, makin gentarlah hati para pasukan pemberontak. Mereka kalah banyak dan terhimpit dari depan belakang. Apa lagi di pihak pemerintah terdapat para pendekar yang amat lihai.
Orang-orang yang mereka andalkan kini sudah habis. Lam-hai Giam-lo sudah tewas, juga Kulana yang sangat mereka harapkan itu. Para pembantu Lam-hai Giam-lo juga sudah roboh satu demi satu.
Suami isteri Siangkoan Leng dan Ma Kim Li yang terkenal dengan julukan Sepasang Iblis Laut Selatan itu telah tewas di tangan Pek Han Siong. Suami isteri Kwee Siong dan Tong Ci Ki yang terkenal dengan julukan suami isteri Goa Iblls Pantai Selatan tewas di tangan Bi Lian. Lam-hai Giam-lo sendiri tewas di tangan suami isteri Cang Su Kiat dan Kok Hui Lian, musuh besarnya.
Ji Sun Bi yang juga merupakan seorang tangan kanan Lam-hai Giam-lo, terjatuh ke dalam jurang yang curam pada saat berkelahi melawan Cia Kui Hong. Gurunya, Min-san Mo-ko, tewas di tangan Kok Hui Lian pula. Ketua Kui-kok-pang, yaitu Kim San, tewas di tangan Can Sun Hok dan anak buahnya hampir habis terbasmi oleh Sun Hok dan Ling Ling.
Begitu pula dengan Hek-hiat Mo-ko yang ditewaskan oleh Sun Hok dan Ling Ling. Kulana sendiri tewas sampyuh bersama Mulana. Masih banyak lagi tokoh-tokoh sesat yang turut membantu pemberontakan itu dan menjadi korban dalam pertempuran itu, termasuk para pendeta Pek-lian-kauw.
Meski pun pada pihak pemerintah banyak pula pendekar, perwira dan prajurit yang tewas, namun jelas bahwa pihak pemberontak mengalami kekalahan dan kini sisanya yang tidak mampu lagi melarikan diri cepat-cepat berlutut dan menyerah! Pertempuran lalu berhenti, akan tetapi masih ada pertempuran yang amat hebat terjadi antara Hay Hay dan Pek Han Siong sehingga menarik perhatian para pendekar dan para perwira untuk datang dan ikut menonton.
Banyak orang menjadi saksi betapa tadi baik Hay Hay mau pun Han Siong sudah berjasa karena turut mengamuk untuk membantu pemerintah, maka kini semua orang yang tidak tahu urusannya merasa heran melihat mereka saling gempur sendiri, tetapi tak ada yang berani melerai. Apa lagi melihat betapa kedua orang itu mempergunakan ilmu-ilmu yang aneh.
Para pendekar yang keluar sebagai pemenang dalam pertempuran itu, kini satu demi satu menghampiri tempat perkelahian yang amat seru itu untuk ikut menonton. Mereka semua takjub menyaksikan perkelahian yang luar biasa itu. Su Kiat dan Hui Lian melihat dengan penuh kagum, juga Kui Hong, Ling Ling dan Sun Hok, demikian pula Pek Eng yang tidak melihat bahwa di antara para pendekar yang mengelilingi tempat pertempuran itu terdapat pula ayahnya, Pek Kong dan juga Song Un Tek bekas calon ayah mertuanya.
Pek Kong yang amat tertarik melihat puteranya, Pek Han Siong, bertanding melawan Hay Hay, suatu hal yang amat mengherankan hatinya, juga belum melihat kehadiran Pek Eng di seberang. Pek Kong sangat terkejut dan heran melihat perkelahian itu, akan tetapi dia tak mau lancang melerai dan membiarkan saja perkelahian itu sambil bersiap-siap untuk membantu puteranya kalau perlu.
Pertempuran itu memang berjalan dengan sangat serunya. Sesudah mendapat kenyataan bahwa dengan merubah diri menjadi kecil yang diturut pula oleh Hay Hay namun dia tidak mampu mendesak pemuda yang menjadi lawannya, Han Siong merubah dirinya menjadi seekor harimau besar yang mengaum-ngaum sambil mencakar-cakar. Dan hebatnya, Hay Hay juga mengubah diri menjadi seekor harimau yang sama besarnya. Kedua binatang itu lantas bertarung dengan hebatnya, menggetarkan jantung para penonton yang memenuhi tempat itu.
Berulang kali Han Siong mengubah diri menjadi naga, menjadi rajawali, bahkan menjadi beruang, namun selalu Hay Hay dapat mengembari dan menyainginya, dan akhirnya Han Siong terpaksa mengubah dirinya menjadi normal kembali. Hal ini segera diikuti oleh Hay Hay, kemudian kedua orang muda yang sama gagah dan sama perkasanya itu bertempur kembali! Suling dan pedang sudah ratusan kali beradu sambil memercikkan bara api yang menyilaukan mata.
"Aih, kalau dilanjutkan tentu salah seorang di antara mereka akan celaka...," bisik Hui Lian di dekat telinga suaminya, Su Kiat.
"Kurasa tidak," bisik Su Kiat kembali. "Lihat, mereka itu seperti orang yang berlatih saja. Tampaknya keduanya sangat berhati-hati agar jangan sampai mencelakai lawan. Hemm, benar-benar membuat hatiku kagum bukan main. Mereka adalah dua orang pemuda yang sukar dicari bandingnya di dunia persilatan."
Kui Hong yang berdiri seorang diri menonton dengan jantung berdebar. Melihat Hay Hay, teringatlah dara ini tentang pengalamannya yang mesra dengan pemuda itu. Kini, melihat Hay Hay berkelahi menemukan lawan yang demikian tangguhnya, diam-diam dia merasa khawatir. Memang ada kalanya dia merasa benci sekali terhadap Hay Hay yang dianggap sudah mempermainkan dirinya, telah menolak cintanya. Akan tetapi harus diakuinya pula bahwa dia masih mencinta pemuda itu!
Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring. "Engkau harus mati...!"
Nampak Ling Ling meloncat ke medan pertempuran itu, menggunakan sebatang pedang menerjang dengan nekat, lalu menyerang Hay Hay! Tentu saja Hay Hay merasa terkejut sekali dan cepat dia mengelak. Pek Han Siong juga terkejut. Dia tidak menghendaki ada orang lain mencampuri perkelahiannya dengan Hay Hay, akan tetapi dia pun tidak dapat mencegah gadis ini.
"Engkau harus mati...!" Kembali Ling Ling berseru sambil menyerang dengan dahsyatnya.
Hay Hay merasa betapa perasaan hatinya sangat tertusuk. Dia tahu mengapa Ling Ling menyerangnya. Gadis itu masih menganggap bahwa dialah yang telah memperkosa gadis itu! Perasaan tertusuk ini membuat dia menjadi lengah, apa lagi karena sulingnya masih terus dipergunakan melindungi dirinya dari desakan Han Siong. Karena itu serangan Ling Ling agak terlambat dielakkan dan bahu kirinya tergurat pedang sehingga bajunya robek berikut kulitnya dan darah membasahi bajunya.
Pek Han Siong sudah mengenal Ling Ling dan tidak tahu mengapa gadis itu menyerang Hay Hay. Akan tetapi karena dia sendiri merasa cukup kewalahan menghadapi Hay Hay, maka dia segera mendesak dengan tusukan pedangnya ketika melihat pemuda lawannya yang amat tangguh itu terluka.
"Tranggg...!"
Hay Hay menangkis, lantas melompat menjauhi Ling Ling yang marah itu. Kembali terjadi pertarungan sengit antara Hay Hay melawan Han Siong. Ling Ling juga sudah siap untuk menyerang lagi dan mengeroyok Hay Hay.
"Ling Ling, jangan...!" Tiba-tiba Kui Hong melompat ke depan, lalu dia memegang lengan kiri Ling Ling dan menariknya mundur dari medan pertempuran.
Ling Ling membalikkan tubuhnya dan dia pun langsung menangis sesudah melihat bahwa yang menariknya adalah Kui Hong. Kui Hong terkejut dan merangkul Ling Ling.
"Ehhh, Ling Ling, engkau kenapakah...?" bisiknya, semakin heran melihat keadaan gadis itu.
"Bibi Kui Hong...!" Ling Ling mengeluh dan tangisnya semakin sesenggukan.
Semenjak mala petaka yang menimpa dirinya itu, Ling Ling telah menderita tekanan batin yang hebat namun dia selalu menahan dan menyembunyikannya, tak mau menceritakan kepada siapa pun juga. Sekarang, ketika bertemu Kui Hong yang masih terhitung bibinya sendiri dan dengan siapa dia telah menjalin persahabatan yang akrab ketika dia berada di Cin-ling-pai, kesedihannya mengalir bersama air mata seperti lepas dari bendungannya.
"Ling Ling, kenapa engkau ingin membunuh dia?" bisik Kui Hong.
Ling Ling dapat menguasai dirinya setelah mengalirkan banyak air mata, dan ketika masih di dalam rangkulan Kui Hong, dia pun berbisik dengan hati hancur, "Bibi Hong, dia... dia adalah jai-hwa-cat yang jahat... dia harus mati di tanganku... dia... telah memperkosa aku, menotok aku selagi tidur kemudian memperkosaku..."
Kui Hong mendorong tubuh Ling Ling saking kagetnya, wajahnya pucat dan dua matanya terbelalak. Kemudian dia menoleh ke arah perkelahian yang masih berlangsung seru itu, mukanya perlahan-lahan berubah merah sekali dan sepasang matanya yang amat jeli itu mengeluarkan sinar berapi. Kemudian, tiba-tiba saja dia berkata kepada Ling Ling. "Kalau begitu akulah yang akan membunuhnya!"
Kui Hong segera mencabut Hok-mo Siang-kiam, sepasang pedang yang berwarna hitam itu, lalu menerjang ke medan perkelahian, menyerang Hay Hay dengan dahsyat sekali.
Hay Hay terkejut sekali dan cepat meloncat ke belakang. "Kui Hong, kau... kau...!"
Akan tetapi gadis itu sudah menyerang lagi sehingga Hay Hay kembali mengelak dengan loncatan ke samping.
"Engkau manusia busuk dan jahat, engkau harus mati di tanganku!" bentak Kui Hong.
Terpaksa Hay Hay cepat memutar sulingnya untuk melindungi diri sebab Han Siong yang tadinya merasa bingung dan ragu ketika melihat munculnya seorang gadis lain yang lebih lihai menyerang Hay Hay, kini sudah maju lagi menggerakkan pedang pusakanya.
Melihat Kui Hong menyerang Hay Hay, Ling Ling lalu meloncat maju dan dia pun cepat menyerang. Sekarang Hay Hay dikeroyok oleh tiga orang dan karena dia sama sekali tak ingin merobohkan atau melukai seorang pun di antara mereka bertiga, maka dia hanya mencurahkan semua tenaga serta kepandaiannya untuk menjaga dan melindungi dirinya. Hal ini membuat dia makin terdesak hebat sehingga kembali dia terluka oleh serempetan pedang hitam di tangan kiri Kui Hong yang mengenai paha kanannya sehingga celananya robek berdarah.
"Heiii! Jangan main keroyokan...!" Hui Lian berteriak dan meloncat ke depan, hatinya tidak tega melihat betapa Hay Hay dikeroyok oleh ketiga orang itu, dan dia pun merasa sangat heran mengapa gadis-gadis she Cia itu kini ikut pula menyerang Hay Hay.
Akan tetapi suaminya segera memegang lengannya dan berbisik, "Sebaiknya kalau kita tidak mencampuri karena kita tidak tahu perkaranya." Hui Lian menghentikan gerakannya, akan tetapi matanya masih memandang ke arah perkelahian itu dengan cemas.
"Bunuh jai-hwa-cat itu!" Terdengar teriakan-teriakan dan nampaklah Tiong Gi Cinjin diikuti oleh Bu-tong Liok-eng berlompatan maju, lantas mengepung perkelahian dan mengeroyok Hay Hay.
Tentu saja hal ini membuat Hay Hay menjadi semakin repot. Betapa pun lihainya, yang mengeroyoknya adalah orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian hebat, maka kembali dia menerima tusukan dan bacokan yang biar pun telah dilawan dengan kekebalan, tetap saja melukai kulitnya dan membuat luka-luka kecil yang mengeluarkan darah.
Sementara itu pertempuran antara pasukan pemerintah dan pasukan pemberontak sudah selesai. Sisa para pemberontak menyerah dan menjadi tawanan. Ada pun para pendekar dan perwira kini telah menjadi penonton perkelahian antara Hay Hay yang dikeroyok oleh puluhan orang lihai itu.
Untung bagi Hay Hay bahwa kini Han Siong tidak mendesaknya lagi. Pemuda itu merasa rikuh harus mengeroyok seperti itu, akan tetapi dia semakin penasaran karena dari sikap para pengeroyok, jelaslah bahwa Hay Hay adalah seorang pemuda jai-hwa-cat yang amat jahat.
Selagi Hay Hay terdesak hebat sekali, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dari seorang perwira, "Atas nama Cang-taijin, harap perkelahian segera dihentikan!"
Memang tugas perwira ini adalah menjadi juru bicara sehingga telah biasa mengeluarkan bentakan nyaring. Sesudah para pengeroyok melihat bahwa yang muncul adalah Menteri Cang, dengan sikapnya yang halus ramah namun penuh wibawa, mereka merasa tidak enak hati dan segera berlompatan mundur walau pun masih dalam keadaan mengepung Hay Hay.
Hay Hay sendiri kini berdiri lemas dengan tubuh penuh luka-luka yang walau pun tidak berbahaya namun membuat pakaiannya berlepotan darah. Dia menundukkan wajahnya dan diam-diam bersyukur bahwa Menteri Cang datang melerai, karena kalau tidak, entah sampai kapan dia mampu bertahan sebelum akhirnya pasti akan roboh binasa di bawah senjata para pengeroyoknya.
Sesudah memandang kepada mereka yang berkelahi itu satu demi satu, dan diam-diam terkejut melihat bahwa yang terlibat di dalam perkelahian itu adalah pendekar-pendekar pilihan, Menteri Cang lalu berkata.
"Cu-wi Enghiong (Para Orang Gagah Sekalian), sesudah kita semua berhasil menumpas para pemberontak, mengapa di antara Cu-wi malah terjadi perkelahian sendiri? Bukankah kemenangan kita seharusnya mendatangkan kegembiraan dan bukan perkelahian antara teman sendiri? Apakah yang telah terjadi?"
Hay Hay adalah seorang pemuda yang berpandangan luas lagi pula bijaksana. Otaknya bekerja dengan cepatnya. Dia tahu bahwa perkelahian itu menyangkut soal kehormatan dua orang gadis yang tentu saja tidak mungkin diumumkan. Bila dia menceritakan sebab perkelahian itu, berarti akan melempar aib kepada Ling Ling dan Pek Eng, mencemarkan nama baik dua orang gadis yang tertimpa mala petaka itu. Tidak, dia harus mencegah hal itu terjadi.
Karena itu, ketika mendengar pertanyaan Menteri Cang dan sebelum ada orang lain yang mendahuluinya, dia sudah cepat maju memberi hormat kepada menteri itu. Menteri Cang memandang kepadanya penuh selidik. Dari para penyelidiknya, pembesar ini mendengar bahwa Hay Hay merupakan salah seorang di antara para pendekar yang tadi mengamuk mati-matian membantu pasukan pemerintah, bahkan pemuda ini yang sudah menempur Sim Ki Liong, tangan kanan Lam-hai Giam-lo yang amat lihai itu.
"Harap Taijin sudi memaafkan kami. Sebenarnya perkelahian ini hanyalah urusan pribadi. Mereka semuanya menuduh bahwa hamba adalah seorang penjahat, seorang jai-hwa-cat yang jahat dan keji. Karena hal itu tidak benar, maka hamba menyangkal dan mereka lalu menyerang hamba sehingga terjadilah perkelahian itu."
Lega rasa hati Ling Ling dan Pek Eng yang tadinya sudah pucat dan cemas kalau-kalau aib yang menimpa diri mereka akan dibicarakan di tempat umum seperti itu.
"Bohong, Taijin! Dia memang benar jai-hwa-cat yang berjuluk Ang-hong-cu! Kami melihat buktinya, dan anak murid kami yang sudah menjadi korbannya!" terdengar Tiong Gi Cinjin dari Bu-tong-pai berseru marah. "Sebab itu pinto harus membunuhnya!" Saking marahnya kakek ini sudah menggerakkan tongkatnya dan menghantam dengan sepenuh tenaga ke arah kepala Hay Hay. Pemuda itu mengangkat kedua lengannya.
"Dukkk!"
Tongkat itu tertangkis, kemudian sekali memutar kedua tangannya Hay Hay telah berhasil merenggut tongkat itu hingga terlepas dari kedua tangan lawan. Demikian cepat dan kuat gerakannya sehingga Tiong Gi Cinjin tak mampu mempertahankan tongkatnya lagi. Akan tetapi Hay Hay menyodorkan kembali tongkatnya itu dan berkata dengan tenang.
"Harap Totiang suka bersikap jantan dan tenang, dan tidak membuat ribut di depan Cang Taijin."
Tosu itu menerima kembali tongkatnya dan mukanya berubah merah karena merasa rikuh terhadap Menteri Cang.
"Sudahlah," kata pembesar itu, "Urusan Cu-wi merupakan urusan pribadi, sebab itu harus diselesaikan secara pribadi pula. Cu-wi adalah pendekar-pendekar yang sudah berjasa kepada negara, akan tetapi kalau di sini membuat ribut, berarti melanggar peraturan dan larangan perintah. Kalau Cu-wi masih berkeras membuat ribut di sini, maka terpaksa kami akan menggunakan kekuatan kami untuk menangkap Cu-wi dan untuk diajukan didepan pengadilan untuk menemukan siapa yang salah. Kami tidak menghendaki hal itu terjadi, maka biarlah kami menjadi saksi dan Cu-wi selesaikan urusan ini dengan jalan damai di depan kami."
"Taijin, mohon Paduka suka mempertimbangkan dengan adil," kata pula Tiong Gi Cinjin. "Seorang anak murid Bu-tong-pai, yakni gadis yang masih muda, sudah menjadi korban kejahatan Ang-hong-cu, penjahat jai-hwa-cat yang terkenal di dunia kang-ouw. Anak murid Bu-tong-pai kami sebar untuk mencari penjahat itu dan pada suatu hari, murid-murid kami menemukan pemuda ini sedang bermain-main dengan perhiasan berbentuk tawon merah, persis seperti yang ditinggalkan pada mayat murid perempuan kami yang telah dihina dan dibunuhnya. Jelas bahwa dia ini Ang-hong-cu pemerkosa dan pembunuh murid perempuan kami, oleh karena itu, bukankah sudah adil dan sepatutnya jika kami hendak membunuh dia? Bukan sekedar membalas kematian murid kami, juga sekalian melenyapkan seorang penjahat besar yang mengancam keamanan dunia, terutama kaum wanitanya!"
Menteri Cang mengangguk-angguk kemudian menoleh kepada Hay Hay, di dalam hatinya kurang percaya bahwa pemuda gagah ini adalah seorang jai-hwa-cat yang memperkosa dan membunuh wanita dengan kejam.
"Bagaimana pembelaanmu terhadap tuduhan ini, orang muda?" tanyanya.
"Taijin, dengan tegas hamba menyatakan bahwa hamba bukan jai-hwa-cat Ang-hong-cu. Tetapi kalau satu pihak menuduh dan lain pihak menyangkal maka takkan ada habisnya. Hamba berjanji kepada Bu-tong-pai bahwa hamba akan mencari jai-hwa-cat Ang-hong-cu yang sesungguhnya dan kalau perlu menyeretnya ke Bu-tong-pai untuk mengakui semua kejahatannya itu. Jika hamba tidak berhasil boleh saja Bu-tong-pai minta pertanggungan jawab hamba. Ang-hong-cu adalah seorang jai-hwa-cat yang sudah mengganas di dunia kang-ouw semenjak hamba belum lahir, jadi tak mungkin hamba yang menjadi jai-hwa-cat Ang-hong-cu."
"Enak saja kau berjanji!" kata seorang di antara Bu-tong Liok-eng. "Apakah engkau sudah mengenal Ang-hong-cu yang sebenarnya?"
"Aku tahu siapa adanya dia walau pun aku belum sempat berjumpa dengan Ang-hong-cu yang memang sedang kucari," jawab Hay Hay.
"Ang-hong-cu adalah ayah kandungnya!" tiba-tiba terdengar Pek Eng berseru.
Semua orang amat terkejut dan terheran-heran mendengar ini, bahkan Hui Lian langsung menutup mulutnya menahan teriakan kaget. Kui Hong dan Ling Ling memandang dengan mata terbelalak pula. Kini semua orang memandang kepada Hay Hay.
Wajah Hay Hay nampak pucat sekali ketika sejenak dia mengangkat muka memandang kepada Pek Eng, lalu cepat menundukkan mukanya yang ternyata berubah merah sekali. Rahasianya telah dibuka gadis yang merasa penasaran itu. Biarlah, biarlah semua orang tahu bahwa dia adalah anak jai-hwa-cat. Biarlah dunia tahu bahwa dia adalah anak haram dari Ang-hong-cu, penjahat cabul yang amat jahat itu. Kenyataan ini tak perlu ditutupi lagi, tak perlu dirahasiakan lagi karena hal itu bukanlah kesalahannya.
Dengan perlahan kini Hay Hay mengangkat mukanya yang telah normal kembali, bahkan mulutnya tersenyum duka, dan dia pun memandang orang sekelilingnya, lalu memandang kepada Menteri Cang dan mengangguk.
"Ucapan tadi memang benar. Aku adalah anak dari seorang wanita yang menjadi korban kejahatan Ang-hong-cu. Karena itu harap para Enghiong dan Locianpwe dari Bu-tong-pai menyadari. Dia adalah ayah kandungku, maka aku akan mencarinya sampai dapat untuk memaksa dia mempertanggung jawabkan perbuatannya, baik terhadap murid Bu-tong-pai, terhadap mendiang ibuku, atau terhadap semua wanita yang pernah menjadi korbannya!"
"Siancai...!" Tiong Gi Cinjin berseru. "Sekarang pinto mengerti dan maafkanlah kekhilafan kami. Kalau saja semenjak dulu engkau mengatakan hal ini. Ahh, kalau begitu, perhiasan tawon merah yang berada di tanganmu itu..."
"Itu adalah perhiasan yang ditinggalkan oleh ibuku untukku, sebagai tanda bahwa beliau menjadi korban Si Tawon Merah."
"Sekarang kami merasa puas dan baiklah, kami menerima kesanggupanmu, orang muda yang gagah. Bu-tong-pai tak akan bertindak apa-apa lagi, hanya akan menunggu sampai engkau berhasil menangkap Ang-hong-cu." Lalu Tiong Gi Cinjin menoleh kepada Menteri Cang. "Taijin, kami dari Bu-tong-pai sudah tidak ada urusan lagi dengan orang muda ini, harap Taijin sudi memaafkan keributan yang kami lakukan tadi."
Menteri Cang tersenyum girang, diam-diam dia merasa terharu atas pengakuan Hay Hay tadi. Seorang pemuda yang gagah perkasa, mengaku sebagai putera kandung yang tidak sah dari seorang jai-hwa-cat yang dicari-cari para pendekar untuk dibunuh!
"Bagus, segala urusan bisa diselesaikan dengan musyawarah, asal dilakukan dengan hati jernih dan kepala dingin. Bagaimana, apakah masih ada orang lain yang memiliki urusan pribadi dengan Saudara Tang Hay?" tanyanya sambil memandang pada Han Siong, Ling Ling dan Kui Hong yang tadi mengeroyok Hay Hay.
"Taijin, perkenankanlah hamba bicara empat mata dengan Saudara Tang Hay," kata Han Siong yang mulai merasa sangsi dengan keterangan adiknya.
Harus diakuinya bahwa Hay Hay adalah seorang pemuda yang amat luar biasa, memiliki ilmu sihir dan silat yang amat tinggi sehingga dia sendiri kewalahan menghadapinya. Biar pun keturunan jai-hwa-cat, namun sikap Hay Hay tidak menunjukkan bahwa dia seorang pengecut yang jahat, maka dia hendak membicarakan urusan itu dengan Hay Hay, tentu saja tanpa didengar orang lain kecuali dia dan Pek Eng.
"Baik sekali, silakan. Pek-enghiong." kata pembesar itu.
Han Siong lalu mengajak Hay Hay untuk menyingkir dari situ dan memilih tempat sunyi di antara pohon-pohon, cukup jauh dari situ. Dia pun memberi isyarat kepada adiknya untuk ikut dan kini mereka bertiga berdiri saling berhadapan di bawah pohon, dapat terlihat oleh Menteri Cang akan tetapi semua yang mereka bicarakan tidak dapat terdengar.
"Saudara Tang Hay, sekarang aku minta pengakuanmu tentang..."
"Aku sudah tahu, Saudara Pek Han Siong," Hay Hay memotong. "Adik Eng sendiri sudah pernah menyerangku mati-matian."
"Apakah engkau tetap akan bersikap demikian pengecut untuk menyangkal perbuatanmu terhadap adikku?"
Hay Hay tersenyum pahit dan menarik napas panjang. "Entah mengapa, agaknya Tuhan telah menakdirkan bahwa semenjak lahir hingga sekarang hidupku selalu menjadi korban keadaan. Aku dilahirkan oleh seorang ibu yang menjadi korban perkosaan kemudian mati membunuh diri, lalu dijadikan penggantimu, seorang Sin-tong sehingga aku diperebutkan seperti sebuah benda pusaka! Kemudian setelah dewasa, aku dijadikan korban fitnah dari sana-sini. Sungguh mati, Saudara Pek Han Siong, bukan aku yang sudah menodai Adik Eng..."
"Hay-ko, begitu kejamkah hatimu untuk tetap menyangkal? Jangan kira bahwa aku begitu kejam dan tak tahu malu untuk menjatuhkan fitnah kepadamu, Hay-ko. Karena engkaulah orangnya yang melakukan, maka tentu saja aku minta pertanggungan jawabmu, sebagai seorang jantan, sebagai seorang pendekar gagah! Hay-ko, begitu kejamkah hatimu untuk menghancurkan perasaan dan kehormatanku?" Pek Eng menangis.
Hay Hay menarik napas panjang dan memandang kepada Han Siong. "Saudara Pek Han Siong, bolehkah aku menggunakan kekuatan batin untuk memaksa adikmu mengucapkan pengakuan yang sebenarnya akan apa yang sudah menimpa dirinya? Agar dia menjawab semua pertanyaanku dengan sepenuh hati dan sejujurnya? Ataukah engkau yang hendak mempergunakan kekuatan batin itu atas dirinya?"
Han Siong mengerti apa yang dimaksudkan Hay Hay dan dia pun mengangguk. Dia mulai meragukan apakah benar Hay Hay telah melakukan perbuatan itu lalu menyangkal secara pengecut. Melihat sikapnya, agaknya Hay Hay bukan seorang pengecut.
"Baik, lakukanlah," katanya lirih.
Han Siong segera memasang perhatian sepenuhnya untuk mengamati supaya Hay Hay tidak menyalah gunakan ilmu sihirnya untuk mempengaruhi jawaban Pek Eng. Sementara itu Hay Hay lalu berkata, suaranya berpengaruh dan menggetar.
"Eng-moi, kau pandanglah mataku kemudian jawablah sejujurnya apa yang kutanyakan kepadamu!"
Pek Eng mengangkat muka memandang. Dia terkejut bertemu pandang dengan sepasang mata yang mengeluarkan sinar mencorong itu akan tetapi sia-sia belaka untuk membuang pandang mata atau mengelak karena dia tak mampu lagi melepaskan pandang matanya yang sudah bertaut dan melekat dengan pandang mata Hay Hay.
"Eng-moi, katakanlah sejujurnya, siapakah yang malam itu memasuki pondok taman dan menggaulimu?"
Sambil memandang wajah Hay Hay dengan mata yang tidak pernah berkedip, Pek Eng lalu menjawab, suaranya datar, "Dia adalah Hay-ko."
Jawaban ini sudah diduga oleh Hay Hay, maka dia tidak merasa terpukul. Dia tahu bahwa Pek Eng tidak melakukan fitnah, melainkan benar-benar merasa yakin bahwa orang yang menggaulinya itu adalah dia. Dia harus dapat mengorek rahasia ini, tanda-tanda pada pria itu yang akan dapat memberikan jejak kepadanya.
"Eng-moi, pada waktu laki-laki itu memasuki pondok, bagaimana cuaca di dalam pondok itu? Gelap ataukah terang?"
"Gelap..."
"Apakah engkau dapat melihat wajah laki-laki itu?"
"Tidak..."
"Lalu bagaimana engkau dapat yakin bahwa dia adalah Hay-ko?" tanya Hay Hay.
"Sudah pasti dia. Hay-ko tadinya meninggalkan aku, lalu dia kembali dan aku mengenal bentuk tubuhnya, juga wajahnya ketika tanganku merabanya."
"Apakah dia mengeluarkan suara?"
"Tidak..."
Hay Hay menjadi bingung, lalu berpikir keras. "Apakah tidak ada sesuatu yang khas pada orang itu, suaranya, tanda sesuatu pada tubuhnya, atau... mungkin bau badannya?"
Sampai beberapa detik lamanya Pek Eng tidak menjawab, tetapi kemudian dia berseru, "Bau badannya... ahh, aku teringat bau badannya, bau harum cendana..."
Hay Hay menyudahi pengaruh sihirnya dan Pek Eng merasa seperti orang baru sadar dari tidur. Hay Hay memandang kepada Pek Han Siong, lantas berkata. "Memang keterangan Eng-moi tak begitu jelas akan tetapi engkau pasti tahu bahwa aku tidak berbau cendana, Saudara Pek Han Siong."
Han Siong mengerutkan alisnya. "Lalu, siapa kiranya orang itu kalau bukan engkau?"
Hay Hay menggeleng kepala. "Aku belum tahu, aku belum dapat menduga, akan tetapi... rasanya bau cendana itu tak asing bagiku. Harap engkau dan Eng-moi menanti sebentar, biar aku mengambil keputusan apa yang dapat kujanjikan kepadamu, Saudara Pek. Tapi kalau engkau dan Eng-moi kukuh berkeyakinan bahwa akulah yang berdosa, nah, silakan kalau hendak membunuhku. Aku tidak akan melawan, namun kuperingatkan kalian bahwa kalian akan menanggung dosa yang amat besar karena aku sungguh tidak bersalah!"
Pek Han Siong adalah seorang pemuda yang cukup bijaksana, dahulu pernah menerima gemblengan dari para hwesio yang hidup bersih di kuil Siauw-lim-si. Oleh karena itu dia dapat menangkap kebenaran kata-kata Hay Hay tadi. Maka dia pun menggandeng tangan adiknya, diajak pergi, kembali ke tempat di mana Menteri Cang dan para pendekar lainnya masih menunggu, setelah berkata kepada Hay Hay,
"Baik, kami percaya kepadamu dan kami akan menunggu!"
"Tapi, Koko...," Pek Eng membantah.
"Sudahlah, kau percaya saja kepadaku, adikku." kata Han Siong.