Hay Hay menarik napas lega. Andai kata kakak beradik itu tadi tidak percaya kepadanya dan menyerangnya, maka dia akan memejamkan mata saja dan menerima kematiannya! Kini tinggal Ling Ling! Maka dia meloncat ke tempat pertempuran tadi dan berkata kepada Ling Ling yang masih digandeng Kui Hong.
"Ling-moi, mari kita bereskan urusan antara kita di sana," ajaknya.
Sejak tadi Ling Ling sudah dibujuk Kui Hong supaya menyerahkan urusan itu kepadanya, maka kini dia menoleh dan memandang kepada Kui Hong.
"Baik, dia akan pergi bersamaku untuk bicara denganmu!" kata Kui Hong dengan suara ketus.
Gadis ini juga maklum bahwa tidak mungkin mereka membicarakan urusan Ling Ling di hadapan banyak orang. Dua orang wanita itu lalu mengikuti Hay Hay yang juga mengajak mereka menjauhi semua orang untuk dapat bicara tanpa terdengar orang lain.
Sesudah mereka bertiga berhadapan, Kui Hong yang sudah menjadi sangat marah dan membenci Hay Hay, segera berkata, "Laki-laki busuk! Apa lagi yang hendak kau katakan kepada kami? Engkau telah memperkosa Ling Ling secara kejam dan biadab, dan engkau bahkan begitu pengecut untuk menyangkal perbuatanmu yang amat busuk itu! Sekarang apa lagi yang akan kau lakukan?"
Ling Ling mengusap air matanya karena hatinya hancur teringat akan mala petaka yang menimpa dirinya. Hay Hay menghela napas panjang. Tadi dia berani menggunakan ilmu sihir untuk memaksa Pek Eng mengucapkan pengakuan yang sejujurnya, karena di sana ada Han Siong yang menjadi saksinya. Kini dia tidak berani melakukan hal serupa kepada Ling Ling karena hal itu tentu akan menambah kecurigaan dua orang gadis itu.
"Kui Hong, harap bersabar dulu. Engkau hanya baru mendengar keterangan sepihak, dari pihak Ling Ling yang memang sedang menyangka bahwa akulah pelaku pemerkosa yang biadab itu. Akan tetapi, apa bila engkau mau mendengarkan keterangan dariku, aku sama sekali tidak merasa pernah melakukan perbuatan biadab itu, baik terhadap Ling Ling atau kepada wanita mana pun juga! Dan Ling Ling, engkau adalah murid keponakanku sendiri, puteri dari Suheng-ku, bagaimana mungkin aku melakukan perbuatan sekeji itu terhadap dirimu? Apakah engkau tidak keliru sangka?"
Ling Ling menghentikan tangisnya lantas mengangkat muka memandang wajah Hay Hay, kini pandang matanya tajam penuh selidik dan dia menggeleng kepala penuh keyakinan.
"Aku tidak mungkin keliru," katanya pasti.
"Bukankah engkau sedang tidur pulas ketika ditotok orang?"
"Benar, akan tetapi aku lalu tersadar walau pun tidak mampu bergerak."
"Dan waktu itu malam gelap sekali, bukan?"
"Remang-remang, biar pun aku tidak dapat melihat wajahmu dengan jelas, namun bentuk mukamu, bentuk wajahmu, aku tak akan keliru sangka. Pula, tidak ada orang lain kecuali engkau yang tahu bahwa aku menunggu di tempat sunyi itu. Dan kalau orang biasa saja, apakah akan mampu menotokku sampai tidak mampu bergerak? Akan tetapi, engkau adalah sute dari Ayahku, engkau mengenal ilmu silatku..."
"Dan orang itu sama sekali tidak mengeluarkan suara?"
Ling Ling mengerutkan alisnya dan menggeleng kepala. "Tidak."
"Ling Ling, aku tahu pasti dan yakin bahwa engkau seorang gadis yang budiman, gagah perkasa dan tak akan mungkin mau melakukan fitnah, juga aku yakin engkau jujur. Coba ingat-ingat, apakah tak ada sesuatu yang khas pada orang itu? Sesuatu yang merupakan tanda, mungkin cacat pada tubuhnya, atau suaranya, atau sinar matanya, atau mungkin juga... bau badannya?"
Ling Ling termenung dan sepasang alisnya berkerut, kemudian tiba-tiba ia berkata. "Ahh, aku ingat. Dia... dia... mengeluarkan bau harum... seperti bunga... Seperti madu... wangi bunga... ya, wangi bunga..."
"Bunga cendana...?"
"Benar! Bau bunga cendana!"
Seketika wajah Hay Hay menjadi pucat sekali, matanya terbelalak lebar bagaikan melihat setan, lantas dia pun meloncat tinggi dan ketika turun, dia mengepal tinju dan terdengar suaranya melengking nyaring seperti jeritan seekor binatang buas yang marah.
"Han Lojiiiiin...!" Dan Hay Hay sudah melompat dan berlari cepat meninggalkan tempat itu.
Lengkingan panjang yang sangat nyaring ini terdengar sampai di tempat di mana Menteri Cang dan yang lain-lain masih menanti. Semua pendekar terkejut, apa lagi ketika melihat Hay Hay berlari cepat seperti itu lewat di dekat mereka. Han Siong dan beberapa orang sudah berlompatan maju menghadang karena menyangka bahwa Hay Hay yang menjadi tertuduh itu melarikan diri. Akan tetapi Hay Hay melompat ke samping, menghindar dan kembali dia berteriak, sekali ini lebih nyaring dari pada tadi.
"Han Lojiiiiiinnnn...!" Sambil berteriak-teriak memanggil nama ini seperti orang kesetanan, Hay Hay berlari cepat menuju ke bukit di mana Han Lojin dijadikan tawanan oleh Menteri Cang.
Para pendekar cepat melakukan pengejaran, juga Kui Hong dan Ling Ling yang tadi amat terkejut kini ikut pula mengejar. Menteri Cang yang juga ingin sekali mengetahui apa yang akan terjadi cepat menunggang kuda dikawal oleh para perwira, setelah memberi perintah kepada komandan pasukan untuk membereskan para tawanan pemberontak.
Dengan mengerahkan seluruh tenaga serta kepandaiannya berlari cepat, maka Hay Hay tak terkejar oleh para pendekar dan dia dapat tiba lebih dahulu di bukit kecil itu. Pasukan yang berjaga di situ sudah mendengar laporan bahwa pasukan pemerintah telah berhasil baik dan bahwa Han Lojin yang ditawan di situ bukanlah pembohong, maka mereka pun tidak terlampau ketat menjaga Han Lojin, memberinya kebebasan di puncak bukit. Akan tetapi ketika mereka melihat Hay Hay, pemuda yang tidak mereka kenal, komandan jaga cepat membawa anak buahnya menghadang.
"Heiii, berhenti! Siapa pun juga dilarang naik ke puncak bukit ini!"
Hay Hay menjadi tertegun dan mukanya penuh keringat. Dia lantas teringat akan Tek-pai, tanda kuasa yang diterimanya dari Menteri Yang Ting Hoo, maka tanpa banyak cakap dia mengeluarkan tanda kuasa itu, memperlihatkannya kepada komandan jaga. Melihat tanda kuasa ini, komandan segera memberi hormat, diturut oleh para anak buahnya.
"Di mana Han Lojin?" Hay Hay bertanya. "Aku harus berjumpa padanya, penting sekali!"
"Dia berada di dalam kamarnya di pondok itu, sejak pagi tadi dia tidak pernah keluar dari dalam pondok."
"Kalau begitu, biarkan aku menemuinya di dalam pondok."
"Silakan, Taihiap!" kata komandan itu, menyebut Taihiap (Pendekar Besar) setelah melihat pemuda itu membawa tanda kuasa dari Menteri Yang.
Hay-Hay melompat dan berlari cepat ke puncak bukit. Tubuhnya berkelebat dan melihat pemuda itu bergerak ke atas seperti terbang saja, komandan jaga bersama anak buahnya memandang dengan mulut ternganga dan mata terbelalak.
"Han Lojin, keluarlah!" Hay Hay berseru. Tiada jawaban.
Dengan perasaan tidak sabar Hay Hay mendorong daun pintu. Pintu terbuka dan ternyata pondok itu kosong dan semua jendelanya terbuka sehingga cahaya matahari memenuhi pondok. Tiada seorang pun di situ, akan tetapi Hay Hay segera tertarik oleh coret-coret di dinding sebelah dalam pondok. Tulisan yang cukup indah dan jelas dalam bentuk sajak. Dibacanya tulisan itu.
Beterbangan dari bunga ke bunga menyusup kelopak bunga harum semerbak sepuas hati menghisap madunya meninggalkan bunga layu tergeletak!
Kamu Tawon Muda tiada guna hanya puas dimabok harum bunga biarkan seratus bunga melayu masih ada ribuan kuncup mekar penuh madu!
Hay Hay mengerutkan alisnya dan dia segera melihat dua buah benda berkilauan di atas meja dekat dinding itu. Ketika dia menghampiri, ternyata dua buah benda itu adalah dua perhiasan tawon merah, persis seperti yang tersimpan dalam kantung bajunya! Nampak pula sehelai kertas tertulis di bawah dua benda perhiasan itu. Cepat disambarnya kertas itu dan dibaca tulisannya.
'Dua buah tanda mata ini untuk Nona Pek Eng dan Nona Cia Ling, masing-masing satu buah.'
Dan di dalam tulisan itu terdapat lukisan seekor tawon merah! Wajah Hay Hay berubah pucat, dua tangan yang memegang surat itu gemetar, dan tiba-tiba dia meremas hancur surat itu, lalu menyimpan dua buah perhiasan yang sangat dibencinya itu ke dalam saku bajunya. Kemudian matanya mengeluarkan sinar berapi dan memandang ke arah tulisan sajak di atas dinding. Tubuhnya gemetar, kedua tangannya digenggam kuat-kuat dan dia pun mengeluarkan bentakan nyaring.
"Jahanaaaammmm...!" Dihantamnya meja di depannya.
"Braaakkkk...!"
Meja itu hancur berkeping-keping, sementara tubuh Hay Hay langsung terkulai dan jatuh di atas lantai, pingsan! Dia telah mengalami guncangan batin yang sangat hebat.
Ketika untuk kedua kalinya, pertama dari Pek Eng, kemudian kedua kalinya dari Ling Ling, dia mendengar bahwa yang menggauli Pek Eng dan memperkosa Ling Ling itu seorang pria yang mengeluarkan bau harum bunga, madu dan cendana, dia pun segera teringat. Hanya Han Lojin yang mengeluarkan bau seperti itu!
Hal ini diingatnya benar karena ketika pada malam itu dia disuguhi arak oleh Han Lojin, dia pun mencium bau yang khas itu, yang sempat membuatnya terheran-heran. Maka dia pun merasa yakin bahwa pelaksana kejahatan yang amat keji itu tentulah Han Lojin yang lihai! Ini merupakan guncangan pertama.
Kemudian, di dalam pondok ini, setelah membaca sajak itu, apa lagi membaca surat dan peninggalan dua buah perhiasan tawon merah, hatinya terguncang untuk ke dua kalinya, bahkan lebih hebat lagi karena dia memperoleh kenyataan bahwa Han Lojin penjahat keji yang telah memperkosa Pek Eng dan Ling Ling bukan lain adalah Ang-hong-cu atau ayah kandungnya sendiri!
Kebencian menyesak dalam dadanya. Ayah kandungnya terkenal sebagai Ang-hong-cu, jai-hwa-cat yang amat kejam dan jahat, pemerkosa ibunya, kemudian juga memperkosa dua orang gadis dusun yang sederhana itu, dan kini memperkosa Pek Eng dan Ling Ling! Lebih hebat lagi, semua orang menyangka bahwa dia yang melakukan perbuatan itu, dan agaknya Han Lojin atau Ang-hong-cu orang she Tang itu memang sengaja melakukan hal itu untuk merusak namanya.
Bahkan dari sindiran pada sajak itu agaknya Ang-hong-cu atau Han Lojin juga telah tahu bahwa dia adalah puteranya yang dikatakan 'Tawon Muda tiada guna...!' Pantas dia pernah disuguhi arak perangsang, tentu dengan maksud supaya dia memperkosa atau menggauli Pek Eng, tindakan yang tentu akan menyenangkan hati ayah kandung itu sebab dianggap cocok dengan wataknya, dianggap mewarisi bakat dan keahlian ayah kandungnya!
Ketika Menteri Cang beserta para pendekar memasuki pondok itu, Hay Hay telah siuman dari pingsannya, dan dia demikian terpukul sehingga dia masih berlutut di atas lantai dan termenung seperti orang kehilangan semangat.
Semenjak tadi Kok Hui Lian merasa amat khawatir akan keadaan Hay Hay. Wanita yang secara diam-diam amat mencinta Hay Hay ini tadi telah mengerahkan seluruh tenaganya, mempergunakan ilmu berlari cepat yang membuat tubuhnya meluncur bagaikan terbang. Kini dia sudah tiba paling depan, lalu dia pun menyentuh pundak Hay Hay dengan lembut dan penuh kekhawatiran.
"Hay Hay, apakah yang telah terjadi?" tanyanya.
"Di mana Han Lojin?" terdengar pertanyaan-pertanyaan dari para pendekar yang tadinya sudah tahu bahwa Han Lojin ditahan di pondok itu.
Ketika Menteri Cang muncul pula ke dalam pondok, semua orang memberi jalan dan dia pun bertanya, "Di mana adanya Han Lojin? Tang-enghiong (Orang Gagah Tang), di mana Han Lojin?" tanyanya kepada Hay Hay.
Semenjak tadi Hay Hay diam saja seakan-akan tidak mendengar pertanyaan orang-orang itu, bahkan seolah-olah tidak sadar bahwa pondok itu telah penuh orang. Kini, mendengar suara Menteri Cang, dia pun tersadar dan mengangkat kepala memandang pembesar itu. Akan tetapi dia pun tidak menjawab, melainkan menudingkan telunjuknya ke arah tulisan di dinding.
Semua orang termasuk Menteri Cang membaca sajak di dinding itu, dan mulailah mereka itu berseru kaget hingga suasana menjadi bising.
"Ang-hong-cu...! Ada gambar tawon merah...!"
"Kalau begitu, dia Ang-hong-cu...!"
"Han Lojin adalah Ang-hong-cu...!"
Kini Hay Hay sudah sadar betul. Perlahan-lahan dia bangkit berdiri, menyapukan pandang matanya kepada mereka semua, kemudian dia berkata, suaranya lantang. "Benar sekali! Han Lojin adalah Ang-hong-cu (Si Tawon Merah), penjahat cabul, jai-hwa-cat yang sangat kejam! Dia adalah ayah kandungku! Dia yang telah melakukan semua kejahatan terhadap wanita dan yang akhirnya dituduhkan kepadaku. Aku berjanji kepada semua orang untuk mencarinya, untuk meminta pertanggungan jawabnya! Akan tetapi, kalau masih ada yang merasa penasaran dan hendak menghukum aku sebagai anaknya, sebagai penggantinya yang menerima hukuman, silakan! Aku tak akan melawan, silakan sebelum aku pergi dari sini untuk memulai dengan tugas yang sudah kujanjikan yaitu mencarinya sampai dapat dan menuntut pertanggungan jawab darinya!"
"Bapaknya jahat, anaknya pun tentu jahat! Biar aku yang menghukumnya!" Tiba-tiba saja terdengar bentakan-bentakan dari Bu-tong Liok-eng. Enam orang tokoh murid utama dari Bu-tong-pai itu berlompatan maju lalu mengepung Hay Hay yang sudah keluar dari dalam pondok dan berada di pelataran pondok itu.
Akan tetapi tiba-tiba Hui Lian sudah melompat ke dalam kepungan, mukanya merah dan matanya bersinar-sinar.
"Hay Hay tak bersalah, jika ada yang hendak mengganggunya akan berhadapan dengan aku!"
Suaminya, Ciang Su Kiat yang juga berpendapat bahwa Hay Hay tidak dapat disalahkan, sudah maju pula di samping isterinya sehingga Hui Lian merasa girang sekali.
"Saudara Tang Hay tidak bersalah, biarkan dia pergi mencari ayah kandungnya seperti yang sudah dijanjikannya tadi."
Kini Han Siong juga telah melangkah maju ke dalam kepungan, siap untuk membela Hay Hay karena dia merasa tidak rela kalau sampai pemuda perkasa itu dibunuh tanpa dosa.
"Siancai... kalian mundurlah," kata Tiong Gi Cinjin. "Bukankah tadi telah ada kesepakatan antara kita dengan putera Ang-hong-cu itu?" Mendengar teguran paman guru mereka, juga melihat betapa orang-orang sakti itu sudah maju membela Hay Hay, Bu-tong Liok-eng lalu melangkah mundur.
Hay Hay memandang ke sekeliling, terutama sekali dia memandang wajah Ling Ling dan Pek Eng dengan penuh rasa iba, kemudian mengangkat kedua tangan ke dada memberi hormat.
"Terima kasih atas kepercayaan Cu-wi. Bagaimana pun juga, yang melakukan kejahatan-kejahatan itu adalah ayah kandungku sendiri, oleh karena itu sudah sepantasnya kalau di sini aku mohon maaf sebesarnya kepada Cu-wi. Percayalah, aku akan pergi mencarinya sampai dapat, dan akan kupaksa dia untuk mempertanggung jawabkan semua dosanya. Kalau perlu dia mati di tanganku atau aku yang mati di tangannya. Nah, selamat tinggal dan maafkan aku" Hay Hay memberi hormat lantas meloncat jauh dan berlari secepatnya meninggalkan tempat itu.
Menteri Cang kemudian menghaturkan terima kasih kepada para pendekar atas bantuan mereka sehingga pemberontakan dapat ditumpas dan menawarkan bantuan bagi mereka yang kehilangan anggota atau teman dalam pertempuran itu. Para pendekar lalu bubaran.
Pek Eng yang bertemu dengan ayahnya segera lari menghampiri ayahnya dan disambut dengan pelukan. Gadis itu langsung menangis pada dada ayahnya. Pek Kong, atau Ketua Pek-sim-pang, mengajak kedua orang anaknya, yaitu Pek Han Siong dan Pek Eng untuk berbicara di tempat terpisah. Bahkan dia minta permisi kepada sahabatnya, Song Un Tek untuk dapat bicara bertiga saja dengan kedua orang anaknya.
"Nah, sekarang ceritakan apa artinya semua itu," kata Pek Kong dengan nada suara yang penasaran. "Pertama aku minta penjelasan darimu, Eng-ji. Apa yang telah terjadi hingga Lam-hai Siang-mo suami isteri iblis itu mendatangi Kang-jiu-pang kemudian memutuskan tali perjodohan antara engkau dengan Song Bu Hok, malah suami isteri iblis itu juga telah membikin kacau dan menyerang orang-orang Kang-jiu-pang!"
Dengan wajah menunjukkan penyesalan dan ketakutan, terpaksa Pek Eng menceritakan betapa dia ditangkap oleh anak buah Lam-hai Giam-lo, lalu untuk menyelamatkan diri dia terpaksa mau menjadi anak angkat dan murid Lam-hai Giam-lo. Karena tak setuju dengan ikatan jodoh itu, dia lalu minta kepada Lam-hai Giam-lo untuk membatalkannya dan ketua pemberontak itu mengutus Lam-hai Siang-mo untuk mendatangi Kang-jiu-pang kemudian memutuskan tali perjodohan.
Merah wajah Pek Kong mendengar pengakuan puterinya itu. "Hemmm, sungguh engkau sudah membikin malu keluarga kita!" omelnya. "Lalu apa artinya keributan dengan Tang Hay tadi? Han Siong, mengapa pula engkau bersusah payah berusaha untuk membunuh Tang Hay?"
Han Siong tidak berani menjawab dan hanya memandang kepada adiknya. Pek Eng telah menangis dan tiba-tiba saja dia menubruk kaki ayahnya lalu menangis sesenggukan. Pek Kong amat mencinta Pek Eng, maka betapa pun marahnya, melihat puterinya merangkul kedua kakinya sambil menangis sesenggukan, dia terkejut dan cepat mengangkat bangun gadis itu.
"Engkau kenapakah?"
"Ayah, ampunkan aku, Ayah... atau... bunuh saja aku...!"
"Ehh, sudah gilakah engkau? Apa yang telah terjadi?"
"Koko... tolonglah aku, ceritakan kepada Ayah..." pinta Pek Eng kepada kakaknya dengan sendu. Bagaimana pun juga, bagaimana dia dapat menceritakan aib yang telah menimpa dirinya itu kepada ayahnya?
Han Siong mengangguk, maklum akan perasaan adiknya. Ia pun ingin menolong adiknya dan meringankan kesalahan adiknya, oleh karena itu dia berani sedikit berbohong kepada ayahnya. "Ayah, sesungguhnya Eng-moi telah menderita mala petaka yang sangat hebat. Dia telah... telah diperkosa orang..."
"Apa...?" Pek Kong berseru keras dan mukanya menjadi pucat. "Bagaimana...? Siapa...?" Dia tergagap saking kaget dan marahnya mendengar bahwa puterinya sudah diperkosa. Berita ini agaknya lebih hebat dari pada berita kematian.
Han Siong maklum akan keadaan ayahnya, maka dengan tenang dia lalu berkata, "Harap Ayah suka menenangkan hati Ayah. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih jika telah dikehendaki oleh Thian. Eng-moi diperkosa orang yang memiliki ilmu tinggi, dia tidak berdaya dan tertotok. Tadinya Eng-moi menyangka bahwa pelakunya adalah Tang Hay, oleh karena itu dia memusuhi Tang Hay dan minta kepadaku untuk menghajarnya. Itu pula sebabnya mengapa aku berkelahi mati-matian melawan Tang Hay. Akan tetapi, kemudian kita sama melihat bahwa Tang Hay tidak berdosa, bahwa yang melakukan hal itu bukan lain adalah Ang-hong-cu, Ayah kandung Tang Hay yang menyamar sebagai Han Lojin."
Kini wajah Pek Kong menjadi merah dan dia mengepal tinju, marah sekali. "Keparat! Kita harus mencarinya untuk membuat perhitungan!"
Melihat kemarahan ayahnya, Han Siong cepat mendekati dan menghibur. "Ayah, memang peristiwa ini benar-benar menyakitkan hati, menyinggung kehormatan keluarga kita, serta menghancurkan kehidupan Eng-moi. Akan tetapi Tang Hay sudah berjanji untuk mencari dan menangkap ayah kandungnya sendiri. Dan kita harus ingat, Ayah. Memang semenjak dahulu ada hubungan dekat sekali antara Ang-hong-cu dengan kita. Bukankah Tang Hay itu adalah anak kandungnya, dan Tang Hay sudah dipergunakan oleh keluarga kita untuk menggantikan aku, untuk menyelamatkan aku? Agaknya itulah kesalahan keluarga kita, Ayah, sehingga kini timbul peristiwa dan aib yang menimpa keluarga kita. Yang penting sekarang adalah mengurus bagaimana baiknya dengan nasib adikku ini."
Pek Kong menarik napas panjang dan memandang kepada puterinya itu. Walau pun tidak menangis sesenggukan, tetap saja dia mengeluarkan air mata yang menetes-netes pada sepanjang kedua pipinya.
"Baiklah, memang seyogyanya begitu. Aku akan membicarakan hal ini dengan keluarga Song. Eng-ji, bagaimana sekarang, apakah engkau masih tetap tidak setuju kalau menjadi isteri Song Bu Hok?"
Pek Eng mengangkat mukanya yang basah, memandang ayahnya dengan sikap sangat memelas, lalu dia mengangguk lemah. "Aku menurut saja apa yang Ayah tentukan, akan tetapi, Ayah, aku... aku sudah..." Dia tidak dapat melanjutkan.
"Jangan khawatir. Aku tahu bahwa Song Bu Hok benar-benar mencintaimu, dan mudah-mudahan dia cukup gagah untuk dapat melihat bahwa peristiwa ini terjadi bukan karena kesalahanmu."
"Tapi, Ayah, bukankah sebaiknya bila aib ini dirahasiakan dari orang lain? Mungkin harus berterus terang kepada Song Bu Hok, akan tetapi kurasa tak perlu diketahui keluarganya. Hal itu akan sangat merugikan Eng-moi karena dia akan dipandang rendah."
Mendengar pendapat puteranya, Pek Kong mengangguk-angguk setuju. "Engkau benar, aku yang akan bicara empat mata dengan Song Bu Hok setelah kita pulang nanti," kata Ketua Pek-sim-pang itu.
"Dan aku akan pergi mengunjungi guru-guruku di kuil Siauw-lim-si, Ayah, bersama Sumoi Bi Lian. Ada urusan yang amat penting antara aku, Sumoi, dan kedua orang guru kami. Kelak akan kuceritakan kepada Ayah mengenai semua itu."
Demikianlah, ayah dan dua orang anaknya ini lalu berpisah. Han Siong menemui Bi Lian yang sudah dijanjikan akan dibawa menghadap kedua orang gurunya di kuil Siauw-lim-si, sedangkan Pek Kong mengajak puterinya yang prihatin itu untuk pulang.
Bagaimana dengan Ling Ling? Dengan sedih gadis ini bersama Kui Hong meninggalkan tempat itu. Kesedihan yang dirasakan Ling Ling hampir mirip dengan kesedihan Pek Eng. Kedua orang gadis ini bukan hanya menyedihi nasib mereka yang kini sudah dinodai aib, kehilangan keperawanan dan kehormatan, namun lebih dari pada itu, yaitu ketika mereka melihat kenyataan bahwa yang memperkosa mereka itu bukan Hay Hay melainkan ayah kandung pemuda itu, seorang jai-hwa-cat yang amat jahat!
Hal inilah yang menyedihkan hati mereka, bahkan membuat harapan mereka lenyap sama sekali. Kalau Hay Hay yang menjadi pelakunya, sedikitnya mereka masih mengharapkan pemuda itu mau mengakui dan bertanggung jawab mengawini mereka!
Kui Hong tak pernah melepaskan tangan Ling Ling, terus menggandengnya ketika mereka meninggalkan sarang pemberontak yang kini telah dikuasai pasukan pemerintah. Setelah tinggal berdua saja, Ling Ling menangis sambil bersandar kepada Kui Hong, dihibur oleh Kui Hong di sepanjang jalan.
Ling Ling membayangkan nasibnya. Ia mencinta Hay Hay, hal ini tak dapat disangkalnya pula. Biar pun tadinya dia mengira bahwa Hay Hay telah memperkosanya, namun dia siap untuk memaafkannya bahkan bersedia menjadi isteri pemuda yang dicintanya itu. Akan tetapi... kenyataannya demikian pahit.
Pemerkosanya adalah Ang-hong-cu, penjahat besar, ayah kandung Hay Hay. Bagaimana dia mampu hidup terus dengan menahan siksa batin karena aib ini? Bagaimana pula dia akan menghadap ayah dan ibunya? Ahhh, ayah dan ibunya tentu akan merasa terpukul, akan ikut menderita sengsara.
Membayangkan betapa ayahnya akan berduka sekali, ibunya akan menangis, mendadak Ling Ling melepaskan diri dari gandengan tangan Kui Hong, menjerit dan berlari bagaikan orang gila! Kui Hong terkejut dan segera mengejar, khawatir sekali karena agaknya Ling Ling tidak mempedulikan lagi ke mana dia lari, seperti orang yang berlari sambil menutup matanya.
"Ling Ling...! Berhentilah, Ling Ling...!" Kui Hong mengejar sekuat tenaga. Dia terbelalak melihat betapa Ling Ling lari mendaki bukit, terus lari ke arah tebing yang curam.
"Ling Ling...!" Wajah Kui Hong sudah menjadi pucat sekali karena dia merasa tidak akan mampu mencegah gadis itu yang agaknya akan lari terus dari atas tebing!
Ling Ling yang berlari terus agaknya tak melihat bahwa dia berlari menuju ke tebing yang amat curam. Tepi tebing itu tinggal dua tiga meter lagi dan tiba-tiba dari samping nampak berkelebat sesosok bayangan, lalu tahu-tahu tubuh Ling Ling telah disambar dan dirangkul pinggangnya oleh Can Sun Hok.
"Lepaskan aku...! Lepaskan aku...!" Ling Ling meronta-ronta dan berusaha melepaskan diri, namun Sun Hok mempergunakan seluruh tenaganya untuk memeluk dan tidak mau melepaskan gadis itu.
Melihat betapa pemuda ini nekat merangkulnya, Ling Ling menjadi heran, keheranan yang sejenak membuat dia bingung, yang mengatasi kedukaan dan keputus asaannya hingga membuatnya ingin membunuh diri itu. Dia mengangkat muka memandang wajah pemuda itu, lantas kembali dia membentak.
"Lepaskan aku!"
"Tidak, Ling-moi, tidak mungkin aku membiarkan engkau terlepas dan melanjutkan niatmu yang sesat itu!" kata Sun Hok, tetap merangkul pinggangnya.
Ling Ling menjadi semakin bingung. Perkenalannya dengan Sun Hok belum lama, namun sudah timbul keakraban di antara mereka ketika mereka berdua menghadapi gerombolan pemberontak itu. Sun Hok menyebutnya adik dan ia pun menyebut kakak kepada pemuda perkasa itu.
"Hok-ko, lepaskan aku dan jangan engkau mencampuri urusanku!" kembali dia meronta dengan sia-sia.
"Ling-moi, aku tahu bahwa engkau hendak membunuh diri ke jurang itu! Ingin membunuh diri! Perbuatan itu sungguh sesat, pengecut dan sama sekali keliru, Ling-moi. Karena itu, sebelum engkau mengubah pendirianmu itu, aku tidak akan melepaskanmu!"
Ling Ling menjadi marah. Tangan kanannya sudah menempel pada tengkuk pemuda itu. "Lepaskan! Kalau tidak, kubunuh engkau lebih dahulu!"
Sun Hok tidak terkejut, malah tersenyum. "Bagus, jika engkau masih bisa marah, hal itu berarti engkau masih suka hidup. Ling-moi, silakan saja bila engkau hendak membunuhku sebelum bunuh diri. Biarlah aku akan mengantarkanmu ke alam baka. Nah, silakan..."
Melihat kepasrahan pemuda ini, Ling Ling menjadi lemas lahir batin. Tenaganya bagaikan habis dan ia pun menangis, mengguguk di atas pundak pemuda itu yang kini melepaskan rangkulan di pinggangnya. Sun Hok masih merangkul pundak gadis itu, mengelus rambut kepalanya dan membiarkan gadis itu menangis sepuas hatinya.
Kui Hong berlari menghampiri dan gadis ini menghela napas lega. Wajahnya masih pucat dan jantungnya tadi berdebar penuh ketegangan. Melihat betapa Ling Ling menangis di dalam rangkulan pemuda itu, dia tidak berani mengeluarkan kata-kata, takut kalau-kalau Ling Ling 'kumat' lagi kenekatannya. Dia hanya saling pandang dengan Sun Hok, pemuda yang sudah dikenalnya itu.
Beberapa tahun yang lalu dia dan ibunya pernah bertemu dengan pemuda ini yang tadinya mendendam kepada ibunya karena kematian ibu pemuda ini, yakni seorang tokoh sesat bernama Gui Siang Hwa, disebabkan karena bertanding melawan Ibunya.
Akan tetapi ibunya dapat menyadarkan Can Sun Hok. Dan agaknya pemuda ini memang telah menjadi seorang pendekar yang gagah perkasa. Buktinya dia pun ikut muncul dalam pertempuran melawan kaum sesat yang memberontak, bersamaan dengan Ling Ling yang agaknya telah dikenal dengan baik.
Tentu ada apa-apa di antara mereka, pikir Kui Hong. Maka tanpa banyak cakap, sebelum Ling Ling sempat melihatnya, diam-diam Kui Hong meninggalkan kedua orang itu.
Setelah tangisnya mereda, Ling Ling teringat bahwa dia menangis pada dada pemuda itu sehingga baju bagian dada Sun Hok menjadi basah. Dia lalu melepaskan diri dan dengan lembut Sun Hok melepaskan pelukannya.
Gadis itu mundur dua langkah, mengangkat muka dan memandang dengan kedua mata yang kemerahan dan basah. Sun Hok memandang dengan senyum yang membesarkan hati, sementara sepasang matanya jelas membayangkan perasaan iba dan sayang.
"Hok-ko, kenapa... kenapa engkau... menghalangi aku? Kenapa engkau tak membiarkan aku mati saja sehingga aku akan terbebas dari penderitaan ini?" kata Ling Ling, suaranya setengah menyesal dan setengah menegur.
Sun Hok masih tersenyum ketika menggeleng kepalanya. "Ling Ling, bagaimana mungkin aku membiarkan engkau mati? Hal itu sama saja dengan membunuh kebahagiaan serta harapan hidupku sendiri. Tidak, Ling-moi, aku tidak akan membiarkan engkau mati seperti juga dunia tidak akan membiarkan hilangnya matahari."
Sepasang mata yang masih basah itu terbelalak mengamati wajah pemuda yang berdiri di depannya itu. Seorang pemuda yang berwajah tampan dan gagah, bertubuh tegap dan matanya mencorong, sikapnya ramah dan sederhana.
"Hok-ko... apa... apa maksudmu? Apa... artinya kata-katamu tadi, Hok-ko...?" tanyanya bingung dan jantungnya berdebar karena samar-samar dia mampu menangkap apa yang dimaksudkan pemuda itu, namun dia masih belum dapat menerima atau percaya begitu saja.
"Engkau tentu mengerti, Ling-moi, bahwa semenjak kita saling berjumpa, aku... aku telah mengagumimu, menyukaimu, mengasihanimu dan aku... cinta padamu."
Sepasang mata Ling Ling semakin terbelalak dan wajahnya yang tadinya pucat sekarang berubah merah sekali. Kemudian wajah yang membayangkan kekagetan dan keheranan itu berubah, berkerut-kerut, bibir itu gemetar, matanya menjadi sayu dan tak tertahankan lagi Ling Ling lantas menangis, menutupi mukanya dengan kedua tangannya, terisak-isak, lebih sedih dari pada tadi!
Can Sun Hok mengerutkan alis dan menghela napas panjang, lalu berkata dengan suara lembut sekali. "Ling-moi, sungguh aku tak tahu diri dan lancang sekali. Aku bahkan telah menambah kedukaanmu dengan menyinggung hatimu. Jika kejujuranku ini menyinggung perasaanmu, harap kau maafkan aku, Ling-moi."
Sampai lama Ling Ling tak mampu menjawab, hanya terisak-isak, pundaknya terguncang-guncang dan air mata menetes melalui celah-celah jari tangannya. Dan akhirnya, setelah tangisnya mereda, dia menurunkan kedua tangannya, memandang kepada Sun Hok yang masih menanti dengan sabar.
"Bukan begitu maksudku, Hok-ko... aku... aku menjadi semakin sedih karena... karena... engkau begitu baik, engkau... engkau menyatakan cinta kepadaku, padahal aku... aku..."
Sun Hok tersenyum lembut dan memandang dengan sikap memberi semangat. "Engkau kenapa Ling-moi? Bagiku, engkau gadis yang paling hebat di dunia ini."
"Aihh... Hok-ko, aku... aku tidak berharga untuk menjadi sisihanmu... aku... aku..."
"Engkau kenapa? Katakanlah, Ling-moi, aku siap mendengar yang bagaimana pun juga."
Ling Ling menatap tajam wajah pemuda itu, mengumpulkan ketabahannya lantas dia pun berkata, "Aku... aku telah ternoda... aku bukan perawan lagi, Hok-ko..."
Dan dia pun segera menundukkan mukanya yang menjadi pucat, air matanya mengalir di sepanjang kedua pipinya, kedua kakinya menggigil dan tentu tubuhnya akan roboh kalau saja Sun Hok tak cepat-cepat menghampiri dan memegang kedua pundaknya, kemudian mengguncangnya sedikit untuk memberi semangat dan kekuatan.
"Aku telah mengetahui, Ling-moi, aku telah dapat menduga semuanya."
Ling Ling makin terkejut dan heran. Dia mengangkat muka dan memandang pemuda itu, sinar matanya tajam menyelidik melalui genangan air matanya. "Engkau... engkau sudah tahu...? Bagaimana... engkau bisa tahu?"
"Sejak berjumpa denganmu, lalu melihat engkau berkelahi mati-matian melawan pemuda perkasa bernama Tang Hay itu, mendengar engkau menyebutnya jai-hwa-cat dan melihat kebencianmu kepadanya, aku sudah menyangka bahwa tentu telah terjadi sesuatu yang amat hebat antara engkau dan dia. Kemudian, tidak percuma aku bertemu dan jatuh hati kepadamu, Ling-moi, aku memperhatikan semua gerak-gerikmu, juga aku melihat semua yang terjadi ketika engkau menyerang Tang Hay, dan setelah melihat perkembangannya aku dapat menduga bahwa engkau tentu seorang di antara korban-korban dari jai-hwa-cat yang kemudian ternyata ialah Ang-hong-cu, ayah kandung Tang Hay! Betulkah demikian, Ling-moi?"
Ling Ling menggerakkan tangan mengusap air matanya dan dia pun mengangguk. "Benar dugaanmu, Hok-ko. Aku adalah seorang korban dari jai-hwa-cat itu, yang tadinya kukira Hay-ko orangnya. Dan engkau... engkau sudah tahu bahwa aku bukan perawan lagi, telah ternoda, tercemar badan, nama dan kehormatanku, akan tetapi engkau... engkau masih menyatakan cinta...?"
Sun Hok melepaskan kedua pundak gadis itu lantas mundur dua langkah. Mereka saling pandang dan Sun Hok mengangguk. "Benar, Ling-moi. Aku cinta kepadamu, dan dengar baik-baik, engkaulah yang kucinta, engkau, jiwa ragamu, engkau seutuhnya! Aku bukan mencinta nama dan kehormatanmu. Dan aku merasa bangga dan gembira sekali bahwa engkau telah berani mengaku di depanku, hal ini menandakan bahwa cintaku tidak keliru. Engkau seorang gadis yang hebat sekali. Akan tetapi... Ling-moi, aku masih merasa ragu apakah seorang gadis sehebat engkau ini akan mungkin membalas cinta kasihku? Maka jawablah, Ling-moi, sudikah engkau menerima pinanganku dan maukah engkau menjadi calon isteriku?"
Kembali mereka saling pandang dan sebelum Ling Ling sempat menjawab, Sun Hok telah mendahuluinya. "Nanti dulu, Ling-moi! Jangan jawab dahulu sebelum engkau mendengar siapa adanya diriku ini!"
"Engkau seorang pendekar gagah perkasa dan patriotik!"
Sun Hok menggelengkan kepala. "Jauh dari pada itu, Ling-moi. Mendiang ibuku adalah seorang tokoh sesat yang terkenal amat lihai! Hanya saja, aku sadar akan kesesatannya dan tidak mengikuti jejaknya. Dan yang lebih dari pada itu, aku... aku sudah mempunyai seorang selir, Ling-moi. Jadi, kalau engkau sudi menjadi isteriku, di sana telah menunggu seorang selir, berarti seorang madu bagimu..."
Kini Ling Ling mengangkat muka memandang dengan mata dilebarkan. "Seorang selir...? Tapi, mengapa dia tidak menjadi isterimu? Siapa dia dan bagaimana hanya menjadi selir? Ceritakanlah tentang wanita itu..."
Sun Hok mengangguk-angguk. "Bukan isteri, hanya selir, itu pun baru seorang calon selir. Dia tidak mau menjadi isteriku, hanya mau menjadi selir itu pun kalau aku telah beristeri, kalau belum, dia tidak mau."
Ling Ling semakin heran. "Hok-ko, ceritakan tentang dia!" kata Ling Ling semakin tertarik.
Sun Hok lalu bercerita dengan sejujurnya tentang Bhe Siauw Cin, gadis penyanyi bekas dayang seorang pangeran di kota raja yang dipergunakan oleh Jaksa Kwan untuk merayu dan membujuknya itu. Siauw Cin memang sudah mengaku kepadanya tentang keadaan dirinya yang sebenarnya dan Sun Hok sudah memaafkannya. Dia menceritakan kepada Ling Ling betapa Siauw Cin yang mencinta dirinya, tidak mau mendatangkan aib kepada namanya dan hanya mau melayani sebagai seorang selir kalau dia sudah menikah.
"Demikianlah, sekarang dia berada di rumahku menjadi seorang pengurus rumah dan juru masak. Dialah yang akan menjadi selirku kalau engkau sudi menjadi isteriku, Ling-moi."
Ling Ling mengerutkan alisnya dan diam-diam dia merasa kagum sekali kepada pemuda ini. Seorang pemuda yang jujur, yang tidak malu mengakui kelemahannya dan cacatnya, kalau pun mempunyai seorang calon selir dapat dikatakan cacat.
Agaknya pemuda itu sengaja menceritakan hal ini untuk membangkitkan harga diri Ling Ling sehingga setidaknya Ling Ling akan menganggap bahwa Sun Hok pun mempunyai cacat dan seperti juga dirinya, menjadi jodohnya tidak dalam keadaan 'utuh'. Dan biar pun harus diakuinya bahwa hatinya pernah jatuh kepada Hay Hay, namun semenjak bertemu dengan Sun Hok, dia pun merasa tertarik dan kagum kepada pemuda ini.
"Ling-moi, bagaimana? Sudikah engkau menerima cintaku, sudikah engkau menjadi calon isteriku?"
Akhirnya Ling Ling memandang kepadanya dan menarik napas panjang. "Hok-ko, engkau sudah menghindarkan aku dari kematian bunuh diri yang sesat, engkau seakan memberi harapan dan kehidupan baru bagiku. Tentu saja aku merasa sangat berterima kasih dan menerima uluran tanganmu dengan rasa syukur dan gembira. Akan tetapi bagaimana pun juga, yang akan mengambil keputusan adalah ayah dan ibuku. Aku akan pulang ke dusun Ciang-si-bun, menceritakan semuanya kepada orang tuaku."
Berkata demikian, nampak oleh Sun Hok betapa gadis itu gemetar, agaknya merasa ngeri untuk menceritakan mala petaka yang menimpa dirinya kepada ayah ibunya. Dengan hati penuh iba Sun Hok maju dan merangkulnya.
"Jangan khawatir Ling-moi, aku akan menyertaimu, dan aku akan membantumu bercerita kepada mereka, juga sekalian mengajukan pinangan karena aku sudah tidak mempunyai orang tua yang dapat mengajukan pinangan."
Ling Ling merasa demikian lega dan girang sehingga sejenak dia menyandarkan kepala di dada calon suaminya itu. Kedamaian yang menenteramkan hatinya, yang mendatangkan harapan baru baginya, yang menyelubungi hatinya. Gadis ini nampak tersenyum manis walau pun pada kedua pipinya masih ada sisa-sisa air mata yang tadi.
Kita manusia hidup bagaikan mendayung perahu di tengah samudera kehidupan yang luas, penuh dengan ombak mengalun yang menghantam biduk kita dari kanan kiri! Biduk yang kita dayung di tengah samudera kehidupan itu silih berganti dipermainkan ombak senang dan susah. Mulut ini sampai lelah rasanya oleh permainan tawa dan tangis yang saling menyeling tiada henti, walau pun sepanjang hidup kita tangis datang lebih banyak dari pada tawa.
Kita selalu mendambakan kesenangan yang membuat kita tertawa, dan selalu menjauhi kesusahan yang mendatangkan tangis. Akan tetapi mungkinkah itu? Mungkinkah ombak mengalun dari satu sisi saja?
Senang dan susah hanya suatu timbal-balik seperti terang dan gelap, seperti siang dan malam. Tidak mungkin sepanjang hidup hanya mendapatkan senang saja tanpa pernah menemukan susah, karena senang dan susah adalah saudara kembar yang tidak dapat terpisahkan, seperti dua permukaan dari satu mata uang yang sama!
Kalau sudah mengetahui ini, maka bijaksanalah orang yang tidak menjadi lupa daratan di kala senang, dan tidak menjadi putus semangat di kala susah. Dari susah ke senang, dan sebaliknya, hanya satu langkah saja! Lebih bijaksana lagi kalau kita mau mengamati dan mempelajari apa sebenarnya susah dan senang itu, bagaimana munculnya.
Sebenarnya susah dan senang hanyalah permainan pikiran belaka, pikiran yang menilai berdasarkan keuntungan dan kepentingan pribadi. Segala peristiwa yang menguntungkan pribadi akan mendatangkan senang, sebaliknya yang merugikan pribadi mendatangkan susah. Kalau pikiran tidak menimbang-nimbang, menilai, maka segala peristiwa adalah wajar dan tidak akan menimbulkan susah senang.
Berbahagialah manusia yang berada di luar jangkauan susah senang ciptaan pikiran ini. Pengamatan mendalam secara pasip (tanpa mengubah) bila mana susah atau senang menguasai batin merupakan langkah pertama ke arah kebebasan.
"Heiii, di mana Bibi Kui Hong...?" Tiba-tiba saja Ling Ling teringat dan cepat melepaskan diri dari rangkulan Sun Hok.
"Dia tadi menuju ke sana..." Sun Hok menunjuk ke arah sebuah hutan kecil tak jauh dari situ.
"Mari kita cari Bibi Kui Hong!" Ling Ling lalu berlari ke arah itu, diikuti oleh Sun Hok.
"Bibi Kui Hong...! Bibi Kui Hong...!" Beberapa kali Ling Ling memanggil setelah memasuki hutan itu.
"Lihat itu di sana! Seperti ada kertas yang menempel di batang pohon," tiba-tiba Sun Hok berkata sambil menunjuk pada sebatang pohon.
Ling Ling menengok dan menghampiri sebatang pohon besar yang tadi ditunjuk Sun Hok. Benar saja, ada kertas berlipat menempel di batang pohon itu, ujungnya tertusuk sebuah ranting kecil. Ling Ling cepat mengambil kertas itu, lalu dibukanya dan ternyata kertas itu adalah sehelai surat dari Kui Hong kepadanya! Segera dibacanya surat singkat itu.
Ling Ling,
Can Sun Hok adalah cucu seorang pangeran, dia seorang pendekar yang gagah perkasa dan baik budi. Semoga engkau dapat hidup berbahagia dengan dia.
Bibimu, Cia Kui Hong.
Ling Ling tersenyum dan semakin gembira. Kiranya pemuda yang mencintanya ini bukan orang sembarangan, melainkan cucu dari seorang pangeran, akan tetapi mengaku putera seorang wanita tokoh sesat! Sambil tersenyum Ling Ling menyerahkan surat itu kepada Sun Hok yang membacanya pula. Pemuda itu pun tersenyum.
"Ahhh, kiranya wanita perkasa cucu Pendekar Sadis itu adalah bibimu? Ternyata engkau keturunan keluarga para pendekar yang hebat. Ling-moi!"
Keduanya melanjutkan perjalanan menuju ke dusun Ciang-si-bun di sebelah selatan kota raja, ke tempat tinggal orang tua Cia Ling. Ketika mereka tiba di rumah Cia Sun, kembali Cia Ling merasa tegang dan ada rasa takut menyelinap dalam hatinya. Jika saja dia tidak pulang bersama Sun Hok, kiranya dia tidak akan berani langsung menceritakan keadaan dirinya kepada ayah ibunya. Kehadiran Sun Hok membesarkan hatinya, apa lagi karena selama dalam perjalanan itu Sun Hok sudah membuktikan dirinya sebagai seorang lelaki yang menghargainya dan sopan.
Cia Sun dan Tan Siang Wi menyambut pulangnya puteri mereka dengan gembira. Akan tetapi Tan Siang Wi merasa agak khawatir melihat wajah puterinya yang agak pucat dan sinar matanya yang redup seperti orang tengah menderita tekanan batin. Sedangkan Cia Sun merasa heran pada saat melihat puterinya pulang bersama seorang pemuda tampan yang sikapnya sederhana.
Atas bantuan dan semangat yang diberikan oleh Sun Hok, dengan suara tersendat-sendat bercampur tangis akhirnya dari bibir Ling Ling keluar juga kisah sedih tentang mala petaka yang menimpa dirinya, yaitu diperkosa oleh seorang jai-hwa-cat berjuluk Ang-hong-cu.
Baru cerita itu tiba di bagian ini, Tan Siang Wi yang berwatak angkuh dan galak itu sudah melompat berdiri dari kursinya, mukanya menjadi pucat lalu berubah merah sekali, kedua tangan dikepal dan matanya mendelik.
"Aku harus mencari Ang-hong-cu! Aku akan mengadu nyawa dengan jahanam keparat busuk itu!"
Akan tetapi Cia Sun yang berwatak sabar dan halus itu menyentuh lengan isterinya, lalu berkata, "Tenang dan bersabarlah. Segalanya sudah terjadi dan mari kita mendengarkan cerita Ling-ji lebih lanjut." Akhirnya wanita yang sangat marah itu dapat dibikin tenang dan dengan kedua mata basah dia mendengarkan kelanjutan cerita anaknya
Ling Ling melanjutkan ceritanya bahwa bukan hanya dia yang menjadi korban, akan tetapi banyak dan di antaranya seorang murid Bu-tong-pai. Kini Ang-hong-cu menjadi buronan dan dikejar-kejar oleh puteranya sendiri yang bernama Tang Hay karena pemuda ini ingin mencuci namanya yang tadinya menjadi pusat persangkaan dan dia akan memaksa agar ayah kandungnya mempertanggung jawabkan semua perbuatannya yang jahat.
Juga Ling Ling menuturkan tentang pemberantasan gerombolan sesat yang memberontak hingga gerombolan itu dapat dihancurkan. Begitu pula pertemuan-pertemuannya dengan Kui Hong dan para pendekar lainnya.
"Dan siapakah orang muda ini?" Cia Sun bertanya kepada puterinya sesudah ceritanya selesai.
"Ayah, dia adalah salah seorang di antara para pendekar yang ikut membantu membasmi gerombolan pemberontak. Namanya Can Sun Hok, tinggal di kota Siang-tan. Dia... dia... ikut bersamaku ke sini untuk... untuk..." Ling Ling tak melanjutkan ucapannya, melainkan menoleh ke arah Sun Hok seperti hendak minta bantuan.
Sekarang suami isteri pendekar perkasa itu memandang kepada Sun Hok. Di dalam hati mereka terdapat rasa penasaran sebab tadi puteri mereka menceritakan tentang aib yang menimpa dirinya di depan pemuda asing ini pula.
Sun Hok cepat memberi hormat kepada suami isteri pendekar itu. Dia tadi amat terkesan melihat sikap orang tua Ling Ling. Ibunya begitu galak penuh semangat dan keberanian, ayahnya demikian pendiam dan tenang, penuh wibawa. Hatinya gentar juga menghadapi dua orang yang perkasa ini.
"Harap Paman dan Bibi sudi memaafkan saya. Sebenarnya amat tidak pantas kalau saya datang menghadap sendiri untuk keperluan ini, akan tetapi mengingat bahwa saya sudah tidak mempunyai keluarga lagi, tiada ayah bunda, maka terpaksa saya memberanikan diri menghadap Paman dan Bibi untuk mengajukan pinangan atas diri Ling-moi, untuk menjadi calon isteri saya kalau Paman dan Bibi sudi menerima saya yang bodoh dan yatim piatu sebagai calon mantu."
Suami isteri itu saling pandang dan tampak ibu Ling Ling membelalakkan kedua matanya, lalu menoleh kepada puterinya.
"Dia... dia sudah tahu... tentang dirimu...?" tanyanya kepada Ling Ling.
Ling Ling mengangguk. "Sudah, Ibu. Bahkan dia telah menduganya sebelum aku berterus terang kepadanya. Aku tentu telah mati membunuh diri dengan terjun ke jurang kalau saja tidak ada Hok-ko ini yang mencegahku. Dia tidak peduli dengan aib yang menimpa diriku, bahkan dia merasa iba kepadaku."
Mendengar ini ibu Ling Ling merasa terharu dan suami isteri itu tentu saja tidak menolak, malah berterima kasih sekali kepada pemuda itu yang telah menyelamatkan nyawa puteri tunggal mereka, bahkan bersedia pula mencuci aib itu dengan menikahinya. Akan tetapi, sebagai seorang wanita yang terkenal angkuh, belum puas rasa hati Tan Siang Wi kalau belum mendapat keterangan tentang asal-usul pemuda yang akan menjadi menantunya. Maka secara langsung saja dia lalu bertanya mengenai orang tua pemuda itu, walau pun ayah ibu pemuda itu telah meninggal dunia.
"Ibu, Hok-ko adalah cucu seorang pangeran," kata Ling Ling untuk mengangkat pemuda itu dalam pandangan ibunya.
Akan tetapi Sun Hok segera berkata. "Ah, keturunan bangsawan itu sudah tidak termasuk hitungan lagi. Memang kakek saya adalah Pangeran Can Seng Ong yang pernah menjadi gubernur di Ning-po. Kemudian kakek saya pindah ke Siang-tan. Ayah saya bernama Can Koan Ti, ada pun ibu saya... bernama Gui Siang Hwa dan mereka sudah meninggal dunia semua..."
Tiba-tiba Tan Siang Wi meloncat dari kursinya. Matanya terbelalak karena dia ingat benar dengan nama itu. "Gui Siang Hwa? Benarkah nama ibumu adalah Gui Siang Hwa, murid Raja dan Ratu Iblis?"
Sambil menundukkan mukanya Sun Hok berkata, "Benar, Bibi, mendiang ibu saya adalah seorang tokoh sesat."
Cia Sun juga tertegun, lebih lagi Tan Siang Wi. Ia pernah bentrok dengan Gui Siang Hwa dan teringatlah dia akan masa lalu. Ketika dia masih seorang gadis, pernah dia bertanding melawan Gui Siang Hwa yang amat lihai dan dia kalah bahkan tertawan oleh wanita iblis itu.
Wanita ini menjadi bingung. Ia bermantukan putera Gui Siang Hwa yang terkenal dengan julukan Siang-tok Sian-li (Dewi Racun Wangi) itu? Tidak mungkin! Akan tetapi dia pun lalu teringat akan keadaan puterinya yang sudah ternoda, dan ingat betapa putera Gui Siang Hwa ini adalah seorang pendekar, bahkan seorang patriot! Maka dia terduduk kembali dan termangu-mangu memandang suaminya.
Cia Sun menghela napas panjang. "Di dalam hidup manusia ada tiga hal yang sudah ada garisnya, sudah ditentukan dan diatur oleh kekuasaan Thian, yaitu kelahiran, perjodohan dan kematian. Sebagai manusia kita hanya dapat menerima saja. Dan dalam perjodohan yang terpenting adalah cinta kasih antara dua orang yang berjodoh. Can Sun Hok, apakah engkau benar-benar mencinta puteri kami Cia Ling?" Sambil bertanya sinar mata Cia Sun dengan tajam mengamati wajah pemuda itu. Sun Hok balas memandang dan menjawab dengan suara yang tenang dan tegas, tanpa ragu-ragu.
"Saya mencinta Ling-moi dengan sepenuh hati, Paman."
"Dan engkau, Ling Ling, apakah engkau mencinta Can Sun Hok?" Sekarang pendekar itu memandang kepada Ling Ling. Wajah gadis ini berubah merah dan sambil mengerling ke arah Sun Hok, dia pun menjawab dengan lantang dan tegas.
"Ayah, aku... aku cinta padanya."
Cia Sun kelihatan puas lantas mengangguk-angguk. "Bagus, kalau begitu kami orang tua hanya tinggal melaksanakan saja pernikahan antara kalian berdua. Kita akan memilih hari dan bulan baik, kemudian merayakan pernikahan kalian secara sederhana saja."
Dengan hati gembira keluarga itu lalu merayakan kepulangan Ling Ling, juga merayakan perjodohan antara kedua orang muda itu. Cia Sun serta isterinya akhirnya merasa puas dan gembira juga mendengar riwayat hidup Can Sun Hok yang tanpa merahasiakan lagi menuturkan pertemuannya dengan Ceng Sui Cin yang tadinya dianggap musuh besarnya, betapa kemudian dia sadar sesudah mendengar wejangan wanita perkasa itu. Walau pun mendiang ibunya adalah seorang tokoh sesat yang terkenal jahat, akan tetapi pemuda ini agaknya tidak mewarisi kejahatan ibunya.
Demikianlah, seperti bergantinya hujan dan mendung dengan sinar matahari yang cerah, setelah mengalami penderitaan batin karena diperkosa orang yang hampir saja membuat Ling Ling membunuh diri, sekarang gadis itu menemukan kebahagiaan di samping Can Sun Hok yang mencintanya.
Sesudah menjadi isteri pemuda itu dan dibawa pulang ke Siang-tan, ke rumah megah di mana dia dipertemukan dengan Bhe Siauw Cin, hati Ling Ling menjadi semakin gembira. Bhe Siauw Cin ternyata seorang wanita muda yang selain cantik jelita, juga ramah dan halus budi bahasanya, pandai membawa diri dan meski pun dia seorang bekas penyanyi dan penghibur panggilan kelas tinggi, tetapi dia cerdas dan memiliki banyak pengetahuan sehingga Ling Ling yang kini menjadi 'Nyonya besar' banyak belajar dari wanita ini, juga dalam melayani suaminya.
Pada masa itu merupakan hal yang lajim bagi seorang pria, apa lagi kalau dia seorang bangsawan atau hartawan, untuk memiliki isteri lebih dari seorang walau pun isteri yang lain dinamakan selir. Ling Ling hidup berbahagia di samping suaminya dan madunya.
Nasib Pek Eng tidaklah sebaik nasib Ling Ling yang mendapatkan seorang suami yang di samping mencintanya juga sangat dicintanya. Akan tetapi, bila mengingat peristiwa yang mendatangkan aib bagi diri Pek Eng, nasibnya masih dapat dinamakan baik juga.
Ayahnya, Pek Kong yang menjadi Ketua Pek-sim-pang, secara diam-diam menemui Song Bu Hok dan mengajaknya berbicara empat mata. Sesudah memesan kepada pemuda itu bahwa semua yang akan dibicarakan merupakan rahasia besar keluarga Pek, dan hanya kepada Song Bu Hok seorang Ketua Pek-sim-pang itu memberi tahukan, juga meminta kepada pemuda itu agar menyimpannya sebagai rahasia sampai mati, barulah Pek Kong menceritakan tentang peristiwa yang menimpa diri puterinya.
Song Bu Hok adalah seorang pemuda keturunan orang-orang gagah pekasa. Walau pun wataknya agak tinggi hati namun mempunyai jiwa yang gagah perkasa, seorang pendekar yang selalu menentang kejahatan dan membela keadilan. Mendengar betapa gadis yang dicintanya, yang kini menjadi calon isterinya karena pinangan ayahnya telah diterima oleh keluarga Pek, diperkosa oleh jai-hwa-cat Ang-hong-cu, dia menjadi marah sekali.
"Saya akan mencari jahanam itu dan akan saya bunuh dia!" katanya penuh geram.
"Bukan itu maksudku mengapa aku membuka rahasia ini kepadamu, Anakku," kata Pek Kong. "Akan tetapi kami sekeluarga menunggu keputusanmu mengenai ikatan perjodohan antara engkau dan Eng-ji."
Bu Hok menatap calon ayah mertuanya dengan tajam dan heran. "Keputusan apakah? Bukankah ikatan perjodohan itu telah diputuskan dan kedua pihak telah menyetujuinya?"
"Akan tetapi, setelah mala petaka yang menimpa keluarga kami, setelah tunanganmu itu tercemar, mendapatkan aib... bagaimana pendirianmu?"
Bu Hok mengerutkan alisnya. "Gak-hu (Ayah Mertua), aib yang menimpa tunangan sama dengan aib yang menimpa diri sendiri. Tentu saja saya tidak menyalahkan Eng-moi, saya tetap menghormati dan mencintanya."
Wajah Pek Kong yang tadinya muram sekarang terlihat cerah ketika dia mengamati wajah Song Bu Hok dengan tajam dan penuh selidik. "Engkau tidak akan merasa kecewa atau menyesal, juga tidak akan memandang rendah, menghina atau membenci Eng-ji karena peristiwa itu?"
"Mengapa saya harus begitu? Eng-moi tidak bersalah. Keparat busuk itulah yang bersalah dan kelak saya akan mencarinya untuk menuntut balas! Mengenai perasaan saya kepada Eng-moi... saya kira tidak akan berubah, Gak-hu, bahkan bertambah dengan satu macam perasaan lagi, yaitu iba. Kasihan Eng-moi yang tertimpa kemalangan seperti itu. Saya tetap menghormati dan mencintanya, Gak-hu."
"Bagus, sungguh sikapmu ini jantan dan mulia, Bu Hok, dan engkau sudah membuat hati kami menjadi tenang. Terima kasih! Dan tentunya engkau akan menyimpan aib dari calon isterimu sendiri, bukan?"
"Tentu saja! Sampai mati peristiwa yang saya dengar dari Gak-hu ini tak akan keluar dari mulut saja, bahkan mulai saat ini pun sudah saya lupakan."
Demikianlah, akhirnya Pek Eng juga terangkat dan namanya tercuci bersih karena dia menikah dengan Song Bu Hok, putera tunggal Song Un Tek Ketua Kang-jiu-pang, yang menurut pendapat orang banyak, merupakan kedudukan terhormat dan menyenangkan.
Song Bu Hok terkenal sebagai seorang pemuda yang gagah perkasa berwatak baik, juga dari keluarga terhormat, disegani oleh dunia kang-ouw. Memang Pek Eng tidak memiliki perasaan cinta kepada Song Bu Hok, akan tetapi dia merasa berhutang budi karena Song Bu Hok tetap menghormati dan mencintanya, bahkan bersedia menikah dengannya. Hal ini saja sudah membuat dia bersyukur dan berhutang budi sehingga setelah menikah, Pek Eng berusaha keras untuk dapat menumbuhkan perasaan cinta terhadap suaminya.
Hay Hay seperti sudah gila. Dia meninggalkan bukit di mana Ang-hong-cu yang mengaku bernama Han Lojin itu ditahan kemudian melarikan diri, meninggalkan sajak yang bahkan membuat Hay Hay menderita pukulan batin yang paling hebat. Dia berlari meninggalkan tempat itu sambil mengerahkan seluruh tenaganya berlari cepat. Bagaikan terbang saja tubuhnya meluncur ke depan tanpa ada tujuan tertentu, lari dan lari terus, seolah-olah dia hendak lari dari kenyataan yang amat pahit getir dan merobek-robek perasaan batinnya itu.
Sambil berteriak seperti kuda gila, pikirannya dipenuhi bayangan-bayangan yang semakin menusuk hatinya. Bahwa ayahnya adalah seorang jai-hwa-cat kelas berat, hal itu hanya merupakan luka yang sudah lama. Namun luka itu kini ditambah lagi dengan kenyataan betapa ayahnya sudah mencemarkan Pek Eng dan bahkan memperkosa Cia Ling secara keji. Lebih dari itu malah, ayah kandungnya itu agaknya memang sengaja melakukan hal itu untuk merusak namanya, agar semua orang menuduh dia sebagai pelakunya.
"Ang-hong-cu...! Keparat jahanam, di mana engkau...?!" Akhirnya dia pun berteriak-teriak, mengerahkan khikang hingga suaranya melengking dan bergema sampai jauh.
Dia berlari terus, naik-turun gunung, melompati jurang-jurang. Kadang kala dia berteriak-teriak menyebut nama Ang-hong-cu, kadang-kadang nampak pula air mata bercucuran di sepanjang kedua pipinya. Dia berlari terus, tanpa pernah mengurangi tenaganya.
Betapa pun terlatih dan kuatnya, tenaga manusia tetap terbatas dan akhirnya, menjelang senja Hay Hay roboh terpelanting di atas rumput, di sebuah lereng bukit yang sunyi. Dia roboh dan pingsan karena kelelahan dan kehabisan tenaga. Seperti sudah mati tubuhnya rebah miring setengah menelungkup di antara rumput tebal hijau segar. Dan kini, setelah roboh pingsan, wajahnya yang tadinya penuh dengan linangan air mata dan nampak lesu, muram dan berkerut-kerut, kini berubah menjadi tenang bahkan ada setengah senyuman membayang pada mulutnya.
Segala macam duka, benci, takut dan sebagainya adalah perasaan yang muncul sebagai kembangnya pikiran. Pikiranlah yang menjadi biang keladi dari segala macam emosi dan sentimen dalam batin kita. Pikiran mengenang masa lalu, membayangkan masa depan, pikiran yang menimbang-nimbang dan menilai untung rugi terhadap diri kita, menciptakan segala macam perasaan itu.
Bahkan duka dan pikiran bukan dua hal yang berlainan! Duka adalah pikiran itulah. Yang merasa punya diri, yang merasa ada aku, juga pikiran itu dan iba diri timbul pula dari permainan pikiran. Iblis tidak berada jauh dari diri kita, bersarang di dalam pikiran, setiap saat membisikkan bermacam kata-kata berbisa, mulai dari yang manis merayu sampai yang mencaci maki dan menusuk perasaan. Betapa pun duka atau benci atau takutnya seseorang apa bila pikirannya tidak bekerja lagi, dalam tidur, dalam pingsan seperti Hay Hay, maka semua bentuk perasaan duka, benci, takut dan sebagainya itu akan lenyap pula!
Oleh karena itu tidak ada artinya untuk mengalahkan duka, benci atau pun takut, selama pikiran masih menjadi bisikan iblis. Kalau yang berusaha mengalahkan duka itu pikiran, maka yang muncul hanyalah pelarian, hiburan, dan semua ini kosong dan sia-sia belaka, karena duka adalah pikiran itu sendiri! Bagaimana mungkin pikiran melarikan diri dari dirinya sendiri?
Yang penting adalah melepaskan belenggu ikatan pikiran, ikatan si aku, membebaskan diri dari semua permainan pikiran yang menyenangkan masa silam dan membayangkan masa depan. Bukan aku yang membebaskan, karena yang mengaku sebagai 'aku yang berusaha membebaskan' bukan lain adalah pikiran pula, dalam bentuk lain.
Pikiran memang lihai dan lincah, seperti Sun Go Kong (Si Raja Monyet} dalam dongeng See-yuki. Lalu timbul pertanyaan, yaitu bagaimana caranya untuk membebaskan diri dari pikiran ini? Pertanyaan ini pun masih sekali tiga uang, sama saja, karena yang bertanya itu juga si aku atau pikiran yang mempunyai pamrih untuk bebas dari pikiran agar tidak ada duka lagi! Setiap gerakan dari pikiran sudah pasti berpamrih, karena pusatnya adalah si aku yang ingin senang!
Jadi. Tidak ada pamrih membebaskan diri, namun sadar akan bekerjanya pikiran kita sendiri yang menjadi sumber dari segala perasaan. Dan tidak pernah terdapat cara untuk membebaskan pikiran, karena pikiran adalah aku atau kita sendiri! Akan tetapi dengan sepenuh kewaspadaan mengamati diri, mengamati apa yang terjadi di dalam dan di luar diri, di dalam pikiran, mengamati diri ketika timbul duka, benci, takut. Pengamatan inilah yang amat penting.
Pengamatan tanpa pamrih, pengamatan tanpa ada si aku yang mengamati sebab kalau begini, tentu si aku akan menilai dan mengubah, mencela dan memuji. Yang ada hanya PENGAMATAN saja, dengan penuh kewaspadaan, dengan penuh perhatian dan dengan menyeluruh, namun sedikit pun tidak ada pamrih mengubah atau boleh disebut secara pasip saja.
Angin semilir menggoyangkan rumput-rumput hijau, juga membuat rambut di kepala Hay Hay berkibar. Angin dingin meniup kepalanya sementara hawa dingin menyusup ke dalam kepala, menggugah Hay Hay yang pingsan seperti orang tertidur itu. Dia membuka mata, menggerakkan tubuhnya lantas bangkit duduk. Teringat dia akan semua yang terjadi dan dia pun menampar kepala sendiri, lirih, lalu tersenyum.
"Hay Hay, apakah engkau sudah gila? Membiarkan diri terseret oleh kedukaan dan malu? Tenanglah, tidak ada suatu apa pun tidak dapat diatasi di dunia ini."
Dia pun bangkit berdiri, merentangkan kedua lengannya ke atas, menghirup udara segar hingga sepenuh paru-paru dan perutnya, lalu menghembuskannya perlahan dan perasaan lega dan sejuk menyusup sampai ke dalam dirinya yang paling dalam. Dia pun tersenyum lagi dan kembalilah dia seperti keadaan Hay Hay semula, sebelum diracuni duka. Juga perasaan benci terhadap Ang-hong-cu tidak terasa lagi.
Dia mengangguk-angguk, merasa bersyukur melihat keadaan dirinya. Kemudian perlahan dia menghampiri sebuah batu besar di bawah pohon tidak jauh dari situ, lalu dia duduk di atas batu. Tempat itu sunyi dan sejuk sekali.
Langit senja begitu indahnya, menciptakan awan beraneka warna dan di sudut barat langit terbakar warna merah muda. Di antara kelompok awan yang bentuknya laksana biri-biri putih salju nampak sinar biru dan ungu, juga ada awan besar yang menghitam yaitu awan mendung yang bagaikan raksasa malas, bergerak perlahan-lahan tak secepat awan-awan putih di sekitarnya. Langit bagaikan pantulan lautan yang amat luas, dengan awan-awan itu mengambang di atasnya secara terbalik, hanyut bersama arus angin.
Di bawah tidak kalah indahnya. Rumput di padang itu hijau kekuningan, segar dan tampak hidup setelah seharian penuh dibakar matahari, kini agaknya dengan penuh harapan siap menyambut selimut malam yang hitam dan sejuk. Pohon-pohon besar bagaikan raksasa-raksasa berjajar, siap untuk memasuki alam gelap malam yang penuh rahasia. Burung-burung sudah sibuk memilih tempat tidur mereka di antara daun-daun dan ranting-ranting, suara mereka bagaikan celoteh yang cerewet menceritakan pengalaman masing-masing sehari yang lalu.
Hay Hay duduk bersila di atas batu. Sebelum membiarkan diri tenggelam dalam siu-lian (semedhi), dia lebih dulu mengenangkan segala yang terjadi. Tentang Pek Eng, tentang Cia Ling, tentang Hui Lian, Kui Hong, dan mereka yang ditemuinya, tentang pertempuran hebat itu. Dan dia melihat betapa dia dituduh karena sikapnya yang manis terhadap setiap wanita yang dijumpainya. Dia dianggap mata keranjang! Mata keranjang!
Dia mencari arti dari kata-kata sebutan ini. Mata keranjang! Seorang pria yang suka sekali kepada wanita cantik? Seorang pria yang selalu tertarik kepada wanita cantik? Yang suka memuji-muji kecantikan wanita yang dijumpainya? Itukah yang disebut mata keranjang?
Pasti bukan seperti Ang-hong-cu! Dia bukan sekedar mata keranjang, melainkan perusak, penjahat yang berhati kejam dan keji. Tidak, dia tidak seperti Ang-hong-cu, sungguh pun harus diakuinya bahwa dia senang sekali melihat wanita cantik, tertarik akan kecantikan wanita dan suka memuji-muji kecantikan itu.
Apa salahnya dengan ini? Apa salahnya kalau pria itu mata keranjang? Bukankah setiap orang pria, apa bila dia itu normal, memang mata keranjang? Bukankah daya tarik atau kecantikan wanita terhadap pria itu sudah alami!
Setiap orang pria normal sudah pasti suka melihat kecantikan wanita, sudah pasti tertarik hatinya, sudah pasti memujinya meski hanya dalam hati. Hanya bedanya, dia tidak mau menyimpan perasaan suka ini menjadi rahasia, tapi dia selalu berterus terang, dia memuji kecantikan wanita seperti memuji keindahan bunga dan dia memperoleh kenikmatan batin kalau dia menyampaikan pujiannya itu kepada si empunya kecantikan.
Apa salahnya dengan itu? Dia tak suka untuk berpura-pura, menikmati kecantikan wanita sambil sembunyi-sembunyi, melirik dari sudut, memuji di dalam hati, bahkan berpura-pura alim dan berpura-pura tidak suka! Ini munafik namanya!
Dia lantas teringat akan ayah kandungnya. Tidak, dia tidak membenci ayah kandungnya. Perasaan benci adalah racun, ini dia tahu benar. Akan tetapi dia pun tahu betapa jahatnya Ang-hong-cu, dan betapa berbahayanya membiarkan orang seperti itu berkeliaran dengan bebas. Tentu akan berjatuhan lagi korban-korban baru.
Gadis-gadis cantik yang tidak berdosa, seperti bunga-bunga indah yang dipetik secara kasar, dipermainkan lalu dicampakkan begitu saja, mati melayu di selokan, di tepi jalan, terinjak-injak kaki! Bagaimana pun juga dia harus mencari Ang-hong-cu sampai dapat, dia harus minta pertanggungan jawab laki-laki itu. Setidaknya dia akan membuktikan bahwa dia memegang janji, kepada Bu-tong-pai, kepada Pek Han Siong dan Pek Eng, kepada Kui Hong dan Ling Ling.
Hatinya terasa tenteram dan Hay Hay lalu tenggelam ke dalam semedhi...
"Ling-moi, mari kita bereskan urusan antara kita di sana," ajaknya.
Sejak tadi Ling Ling sudah dibujuk Kui Hong supaya menyerahkan urusan itu kepadanya, maka kini dia menoleh dan memandang kepada Kui Hong.
"Baik, dia akan pergi bersamaku untuk bicara denganmu!" kata Kui Hong dengan suara ketus.
Gadis ini juga maklum bahwa tidak mungkin mereka membicarakan urusan Ling Ling di hadapan banyak orang. Dua orang wanita itu lalu mengikuti Hay Hay yang juga mengajak mereka menjauhi semua orang untuk dapat bicara tanpa terdengar orang lain.
Sesudah mereka bertiga berhadapan, Kui Hong yang sudah menjadi sangat marah dan membenci Hay Hay, segera berkata, "Laki-laki busuk! Apa lagi yang hendak kau katakan kepada kami? Engkau telah memperkosa Ling Ling secara kejam dan biadab, dan engkau bahkan begitu pengecut untuk menyangkal perbuatanmu yang amat busuk itu! Sekarang apa lagi yang akan kau lakukan?"
Ling Ling mengusap air matanya karena hatinya hancur teringat akan mala petaka yang menimpa dirinya. Hay Hay menghela napas panjang. Tadi dia berani menggunakan ilmu sihir untuk memaksa Pek Eng mengucapkan pengakuan yang sejujurnya, karena di sana ada Han Siong yang menjadi saksinya. Kini dia tidak berani melakukan hal serupa kepada Ling Ling karena hal itu tentu akan menambah kecurigaan dua orang gadis itu.
"Kui Hong, harap bersabar dulu. Engkau hanya baru mendengar keterangan sepihak, dari pihak Ling Ling yang memang sedang menyangka bahwa akulah pelaku pemerkosa yang biadab itu. Akan tetapi, apa bila engkau mau mendengarkan keterangan dariku, aku sama sekali tidak merasa pernah melakukan perbuatan biadab itu, baik terhadap Ling Ling atau kepada wanita mana pun juga! Dan Ling Ling, engkau adalah murid keponakanku sendiri, puteri dari Suheng-ku, bagaimana mungkin aku melakukan perbuatan sekeji itu terhadap dirimu? Apakah engkau tidak keliru sangka?"
Ling Ling menghentikan tangisnya lantas mengangkat muka memandang wajah Hay Hay, kini pandang matanya tajam penuh selidik dan dia menggeleng kepala penuh keyakinan.
"Aku tidak mungkin keliru," katanya pasti.
"Bukankah engkau sedang tidur pulas ketika ditotok orang?"
"Benar, akan tetapi aku lalu tersadar walau pun tidak mampu bergerak."
"Dan waktu itu malam gelap sekali, bukan?"
"Remang-remang, biar pun aku tidak dapat melihat wajahmu dengan jelas, namun bentuk mukamu, bentuk wajahmu, aku tak akan keliru sangka. Pula, tidak ada orang lain kecuali engkau yang tahu bahwa aku menunggu di tempat sunyi itu. Dan kalau orang biasa saja, apakah akan mampu menotokku sampai tidak mampu bergerak? Akan tetapi, engkau adalah sute dari Ayahku, engkau mengenal ilmu silatku..."
"Dan orang itu sama sekali tidak mengeluarkan suara?"
Ling Ling mengerutkan alisnya dan menggeleng kepala. "Tidak."
"Ling Ling, aku tahu pasti dan yakin bahwa engkau seorang gadis yang budiman, gagah perkasa dan tak akan mungkin mau melakukan fitnah, juga aku yakin engkau jujur. Coba ingat-ingat, apakah tak ada sesuatu yang khas pada orang itu? Sesuatu yang merupakan tanda, mungkin cacat pada tubuhnya, atau suaranya, atau sinar matanya, atau mungkin juga... bau badannya?"
Ling Ling termenung dan sepasang alisnya berkerut, kemudian tiba-tiba ia berkata. "Ahh, aku ingat. Dia... dia... mengeluarkan bau harum... seperti bunga... Seperti madu... wangi bunga... ya, wangi bunga..."
"Bunga cendana...?"
"Benar! Bau bunga cendana!"
Seketika wajah Hay Hay menjadi pucat sekali, matanya terbelalak lebar bagaikan melihat setan, lantas dia pun meloncat tinggi dan ketika turun, dia mengepal tinju dan terdengar suaranya melengking nyaring seperti jeritan seekor binatang buas yang marah.
"Han Lojiiiiin...!" Dan Hay Hay sudah melompat dan berlari cepat meninggalkan tempat itu.
Lengkingan panjang yang sangat nyaring ini terdengar sampai di tempat di mana Menteri Cang dan yang lain-lain masih menanti. Semua pendekar terkejut, apa lagi ketika melihat Hay Hay berlari cepat seperti itu lewat di dekat mereka. Han Siong dan beberapa orang sudah berlompatan maju menghadang karena menyangka bahwa Hay Hay yang menjadi tertuduh itu melarikan diri. Akan tetapi Hay Hay melompat ke samping, menghindar dan kembali dia berteriak, sekali ini lebih nyaring dari pada tadi.
"Han Lojiiiiiinnnn...!" Sambil berteriak-teriak memanggil nama ini seperti orang kesetanan, Hay Hay berlari cepat menuju ke bukit di mana Han Lojin dijadikan tawanan oleh Menteri Cang.
Para pendekar cepat melakukan pengejaran, juga Kui Hong dan Ling Ling yang tadi amat terkejut kini ikut pula mengejar. Menteri Cang yang juga ingin sekali mengetahui apa yang akan terjadi cepat menunggang kuda dikawal oleh para perwira, setelah memberi perintah kepada komandan pasukan untuk membereskan para tawanan pemberontak.
Dengan mengerahkan seluruh tenaga serta kepandaiannya berlari cepat, maka Hay Hay tak terkejar oleh para pendekar dan dia dapat tiba lebih dahulu di bukit kecil itu. Pasukan yang berjaga di situ sudah mendengar laporan bahwa pasukan pemerintah telah berhasil baik dan bahwa Han Lojin yang ditawan di situ bukanlah pembohong, maka mereka pun tidak terlampau ketat menjaga Han Lojin, memberinya kebebasan di puncak bukit. Akan tetapi ketika mereka melihat Hay Hay, pemuda yang tidak mereka kenal, komandan jaga cepat membawa anak buahnya menghadang.
"Heiii, berhenti! Siapa pun juga dilarang naik ke puncak bukit ini!"
Hay Hay menjadi tertegun dan mukanya penuh keringat. Dia lantas teringat akan Tek-pai, tanda kuasa yang diterimanya dari Menteri Yang Ting Hoo, maka tanpa banyak cakap dia mengeluarkan tanda kuasa itu, memperlihatkannya kepada komandan jaga. Melihat tanda kuasa ini, komandan segera memberi hormat, diturut oleh para anak buahnya.
"Di mana Han Lojin?" Hay Hay bertanya. "Aku harus berjumpa padanya, penting sekali!"
"Dia berada di dalam kamarnya di pondok itu, sejak pagi tadi dia tidak pernah keluar dari dalam pondok."
"Kalau begitu, biarkan aku menemuinya di dalam pondok."
"Silakan, Taihiap!" kata komandan itu, menyebut Taihiap (Pendekar Besar) setelah melihat pemuda itu membawa tanda kuasa dari Menteri Yang.
Hay-Hay melompat dan berlari cepat ke puncak bukit. Tubuhnya berkelebat dan melihat pemuda itu bergerak ke atas seperti terbang saja, komandan jaga bersama anak buahnya memandang dengan mulut ternganga dan mata terbelalak.
"Han Lojin, keluarlah!" Hay Hay berseru. Tiada jawaban.
Dengan perasaan tidak sabar Hay Hay mendorong daun pintu. Pintu terbuka dan ternyata pondok itu kosong dan semua jendelanya terbuka sehingga cahaya matahari memenuhi pondok. Tiada seorang pun di situ, akan tetapi Hay Hay segera tertarik oleh coret-coret di dinding sebelah dalam pondok. Tulisan yang cukup indah dan jelas dalam bentuk sajak. Dibacanya tulisan itu.
Beterbangan dari bunga ke bunga menyusup kelopak bunga harum semerbak sepuas hati menghisap madunya meninggalkan bunga layu tergeletak!
Kamu Tawon Muda tiada guna hanya puas dimabok harum bunga biarkan seratus bunga melayu masih ada ribuan kuncup mekar penuh madu!
Hay Hay mengerutkan alisnya dan dia segera melihat dua buah benda berkilauan di atas meja dekat dinding itu. Ketika dia menghampiri, ternyata dua buah benda itu adalah dua perhiasan tawon merah, persis seperti yang tersimpan dalam kantung bajunya! Nampak pula sehelai kertas tertulis di bawah dua benda perhiasan itu. Cepat disambarnya kertas itu dan dibaca tulisannya.
'Dua buah tanda mata ini untuk Nona Pek Eng dan Nona Cia Ling, masing-masing satu buah.'
Dan di dalam tulisan itu terdapat lukisan seekor tawon merah! Wajah Hay Hay berubah pucat, dua tangan yang memegang surat itu gemetar, dan tiba-tiba dia meremas hancur surat itu, lalu menyimpan dua buah perhiasan yang sangat dibencinya itu ke dalam saku bajunya. Kemudian matanya mengeluarkan sinar berapi dan memandang ke arah tulisan sajak di atas dinding. Tubuhnya gemetar, kedua tangannya digenggam kuat-kuat dan dia pun mengeluarkan bentakan nyaring.
"Jahanaaaammmm...!" Dihantamnya meja di depannya.
"Braaakkkk...!"
Meja itu hancur berkeping-keping, sementara tubuh Hay Hay langsung terkulai dan jatuh di atas lantai, pingsan! Dia telah mengalami guncangan batin yang sangat hebat.
Ketika untuk kedua kalinya, pertama dari Pek Eng, kemudian kedua kalinya dari Ling Ling, dia mendengar bahwa yang menggauli Pek Eng dan memperkosa Ling Ling itu seorang pria yang mengeluarkan bau harum bunga, madu dan cendana, dia pun segera teringat. Hanya Han Lojin yang mengeluarkan bau seperti itu!
Hal ini diingatnya benar karena ketika pada malam itu dia disuguhi arak oleh Han Lojin, dia pun mencium bau yang khas itu, yang sempat membuatnya terheran-heran. Maka dia pun merasa yakin bahwa pelaksana kejahatan yang amat keji itu tentulah Han Lojin yang lihai! Ini merupakan guncangan pertama.
Kemudian, di dalam pondok ini, setelah membaca sajak itu, apa lagi membaca surat dan peninggalan dua buah perhiasan tawon merah, hatinya terguncang untuk ke dua kalinya, bahkan lebih hebat lagi karena dia memperoleh kenyataan bahwa Han Lojin penjahat keji yang telah memperkosa Pek Eng dan Ling Ling bukan lain adalah Ang-hong-cu atau ayah kandungnya sendiri!
Kebencian menyesak dalam dadanya. Ayah kandungnya terkenal sebagai Ang-hong-cu, jai-hwa-cat yang amat kejam dan jahat, pemerkosa ibunya, kemudian juga memperkosa dua orang gadis dusun yang sederhana itu, dan kini memperkosa Pek Eng dan Ling Ling! Lebih hebat lagi, semua orang menyangka bahwa dia yang melakukan perbuatan itu, dan agaknya Han Lojin atau Ang-hong-cu orang she Tang itu memang sengaja melakukan hal itu untuk merusak namanya.
Bahkan dari sindiran pada sajak itu agaknya Ang-hong-cu atau Han Lojin juga telah tahu bahwa dia adalah puteranya yang dikatakan 'Tawon Muda tiada guna...!' Pantas dia pernah disuguhi arak perangsang, tentu dengan maksud supaya dia memperkosa atau menggauli Pek Eng, tindakan yang tentu akan menyenangkan hati ayah kandung itu sebab dianggap cocok dengan wataknya, dianggap mewarisi bakat dan keahlian ayah kandungnya!
Ketika Menteri Cang beserta para pendekar memasuki pondok itu, Hay Hay telah siuman dari pingsannya, dan dia demikian terpukul sehingga dia masih berlutut di atas lantai dan termenung seperti orang kehilangan semangat.
Semenjak tadi Kok Hui Lian merasa amat khawatir akan keadaan Hay Hay. Wanita yang secara diam-diam amat mencinta Hay Hay ini tadi telah mengerahkan seluruh tenaganya, mempergunakan ilmu berlari cepat yang membuat tubuhnya meluncur bagaikan terbang. Kini dia sudah tiba paling depan, lalu dia pun menyentuh pundak Hay Hay dengan lembut dan penuh kekhawatiran.
"Hay Hay, apakah yang telah terjadi?" tanyanya.
"Di mana Han Lojin?" terdengar pertanyaan-pertanyaan dari para pendekar yang tadinya sudah tahu bahwa Han Lojin ditahan di pondok itu.
Ketika Menteri Cang muncul pula ke dalam pondok, semua orang memberi jalan dan dia pun bertanya, "Di mana adanya Han Lojin? Tang-enghiong (Orang Gagah Tang), di mana Han Lojin?" tanyanya kepada Hay Hay.
Semenjak tadi Hay Hay diam saja seakan-akan tidak mendengar pertanyaan orang-orang itu, bahkan seolah-olah tidak sadar bahwa pondok itu telah penuh orang. Kini, mendengar suara Menteri Cang, dia pun tersadar dan mengangkat kepala memandang pembesar itu. Akan tetapi dia pun tidak menjawab, melainkan menudingkan telunjuknya ke arah tulisan di dinding.
Semua orang termasuk Menteri Cang membaca sajak di dinding itu, dan mulailah mereka itu berseru kaget hingga suasana menjadi bising.
"Ang-hong-cu...! Ada gambar tawon merah...!"
"Kalau begitu, dia Ang-hong-cu...!"
"Han Lojin adalah Ang-hong-cu...!"
Kini Hay Hay sudah sadar betul. Perlahan-lahan dia bangkit berdiri, menyapukan pandang matanya kepada mereka semua, kemudian dia berkata, suaranya lantang. "Benar sekali! Han Lojin adalah Ang-hong-cu (Si Tawon Merah), penjahat cabul, jai-hwa-cat yang sangat kejam! Dia adalah ayah kandungku! Dia yang telah melakukan semua kejahatan terhadap wanita dan yang akhirnya dituduhkan kepadaku. Aku berjanji kepada semua orang untuk mencarinya, untuk meminta pertanggungan jawabnya! Akan tetapi, kalau masih ada yang merasa penasaran dan hendak menghukum aku sebagai anaknya, sebagai penggantinya yang menerima hukuman, silakan! Aku tak akan melawan, silakan sebelum aku pergi dari sini untuk memulai dengan tugas yang sudah kujanjikan yaitu mencarinya sampai dapat dan menuntut pertanggungan jawab darinya!"
"Bapaknya jahat, anaknya pun tentu jahat! Biar aku yang menghukumnya!" Tiba-tiba saja terdengar bentakan-bentakan dari Bu-tong Liok-eng. Enam orang tokoh murid utama dari Bu-tong-pai itu berlompatan maju lalu mengepung Hay Hay yang sudah keluar dari dalam pondok dan berada di pelataran pondok itu.
Akan tetapi tiba-tiba Hui Lian sudah melompat ke dalam kepungan, mukanya merah dan matanya bersinar-sinar.
"Hay Hay tak bersalah, jika ada yang hendak mengganggunya akan berhadapan dengan aku!"
Suaminya, Ciang Su Kiat yang juga berpendapat bahwa Hay Hay tidak dapat disalahkan, sudah maju pula di samping isterinya sehingga Hui Lian merasa girang sekali.
"Saudara Tang Hay tidak bersalah, biarkan dia pergi mencari ayah kandungnya seperti yang sudah dijanjikannya tadi."
Kini Han Siong juga telah melangkah maju ke dalam kepungan, siap untuk membela Hay Hay karena dia merasa tidak rela kalau sampai pemuda perkasa itu dibunuh tanpa dosa.
"Siancai... kalian mundurlah," kata Tiong Gi Cinjin. "Bukankah tadi telah ada kesepakatan antara kita dengan putera Ang-hong-cu itu?" Mendengar teguran paman guru mereka, juga melihat betapa orang-orang sakti itu sudah maju membela Hay Hay, Bu-tong Liok-eng lalu melangkah mundur.
Hay Hay memandang ke sekeliling, terutama sekali dia memandang wajah Ling Ling dan Pek Eng dengan penuh rasa iba, kemudian mengangkat kedua tangan ke dada memberi hormat.
"Terima kasih atas kepercayaan Cu-wi. Bagaimana pun juga, yang melakukan kejahatan-kejahatan itu adalah ayah kandungku sendiri, oleh karena itu sudah sepantasnya kalau di sini aku mohon maaf sebesarnya kepada Cu-wi. Percayalah, aku akan pergi mencarinya sampai dapat, dan akan kupaksa dia untuk mempertanggung jawabkan semua dosanya. Kalau perlu dia mati di tanganku atau aku yang mati di tangannya. Nah, selamat tinggal dan maafkan aku" Hay Hay memberi hormat lantas meloncat jauh dan berlari secepatnya meninggalkan tempat itu.
Menteri Cang kemudian menghaturkan terima kasih kepada para pendekar atas bantuan mereka sehingga pemberontakan dapat ditumpas dan menawarkan bantuan bagi mereka yang kehilangan anggota atau teman dalam pertempuran itu. Para pendekar lalu bubaran.
Pek Eng yang bertemu dengan ayahnya segera lari menghampiri ayahnya dan disambut dengan pelukan. Gadis itu langsung menangis pada dada ayahnya. Pek Kong, atau Ketua Pek-sim-pang, mengajak kedua orang anaknya, yaitu Pek Han Siong dan Pek Eng untuk berbicara di tempat terpisah. Bahkan dia minta permisi kepada sahabatnya, Song Un Tek untuk dapat bicara bertiga saja dengan kedua orang anaknya.
"Nah, sekarang ceritakan apa artinya semua itu," kata Pek Kong dengan nada suara yang penasaran. "Pertama aku minta penjelasan darimu, Eng-ji. Apa yang telah terjadi hingga Lam-hai Siang-mo suami isteri iblis itu mendatangi Kang-jiu-pang kemudian memutuskan tali perjodohan antara engkau dengan Song Bu Hok, malah suami isteri iblis itu juga telah membikin kacau dan menyerang orang-orang Kang-jiu-pang!"
Dengan wajah menunjukkan penyesalan dan ketakutan, terpaksa Pek Eng menceritakan betapa dia ditangkap oleh anak buah Lam-hai Giam-lo, lalu untuk menyelamatkan diri dia terpaksa mau menjadi anak angkat dan murid Lam-hai Giam-lo. Karena tak setuju dengan ikatan jodoh itu, dia lalu minta kepada Lam-hai Giam-lo untuk membatalkannya dan ketua pemberontak itu mengutus Lam-hai Siang-mo untuk mendatangi Kang-jiu-pang kemudian memutuskan tali perjodohan.
Merah wajah Pek Kong mendengar pengakuan puterinya itu. "Hemmm, sungguh engkau sudah membikin malu keluarga kita!" omelnya. "Lalu apa artinya keributan dengan Tang Hay tadi? Han Siong, mengapa pula engkau bersusah payah berusaha untuk membunuh Tang Hay?"
Han Siong tidak berani menjawab dan hanya memandang kepada adiknya. Pek Eng telah menangis dan tiba-tiba saja dia menubruk kaki ayahnya lalu menangis sesenggukan. Pek Kong amat mencinta Pek Eng, maka betapa pun marahnya, melihat puterinya merangkul kedua kakinya sambil menangis sesenggukan, dia terkejut dan cepat mengangkat bangun gadis itu.
"Engkau kenapakah?"
"Ayah, ampunkan aku, Ayah... atau... bunuh saja aku...!"
"Ehh, sudah gilakah engkau? Apa yang telah terjadi?"
"Koko... tolonglah aku, ceritakan kepada Ayah..." pinta Pek Eng kepada kakaknya dengan sendu. Bagaimana pun juga, bagaimana dia dapat menceritakan aib yang telah menimpa dirinya itu kepada ayahnya?
Han Siong mengangguk, maklum akan perasaan adiknya. Ia pun ingin menolong adiknya dan meringankan kesalahan adiknya, oleh karena itu dia berani sedikit berbohong kepada ayahnya. "Ayah, sesungguhnya Eng-moi telah menderita mala petaka yang sangat hebat. Dia telah... telah diperkosa orang..."
"Apa...?" Pek Kong berseru keras dan mukanya menjadi pucat. "Bagaimana...? Siapa...?" Dia tergagap saking kaget dan marahnya mendengar bahwa puterinya sudah diperkosa. Berita ini agaknya lebih hebat dari pada berita kematian.
Han Siong maklum akan keadaan ayahnya, maka dengan tenang dia lalu berkata, "Harap Ayah suka menenangkan hati Ayah. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih jika telah dikehendaki oleh Thian. Eng-moi diperkosa orang yang memiliki ilmu tinggi, dia tidak berdaya dan tertotok. Tadinya Eng-moi menyangka bahwa pelakunya adalah Tang Hay, oleh karena itu dia memusuhi Tang Hay dan minta kepadaku untuk menghajarnya. Itu pula sebabnya mengapa aku berkelahi mati-matian melawan Tang Hay. Akan tetapi, kemudian kita sama melihat bahwa Tang Hay tidak berdosa, bahwa yang melakukan hal itu bukan lain adalah Ang-hong-cu, Ayah kandung Tang Hay yang menyamar sebagai Han Lojin."
Kini wajah Pek Kong menjadi merah dan dia mengepal tinju, marah sekali. "Keparat! Kita harus mencarinya untuk membuat perhitungan!"
Melihat kemarahan ayahnya, Han Siong cepat mendekati dan menghibur. "Ayah, memang peristiwa ini benar-benar menyakitkan hati, menyinggung kehormatan keluarga kita, serta menghancurkan kehidupan Eng-moi. Akan tetapi Tang Hay sudah berjanji untuk mencari dan menangkap ayah kandungnya sendiri. Dan kita harus ingat, Ayah. Memang semenjak dahulu ada hubungan dekat sekali antara Ang-hong-cu dengan kita. Bukankah Tang Hay itu adalah anak kandungnya, dan Tang Hay sudah dipergunakan oleh keluarga kita untuk menggantikan aku, untuk menyelamatkan aku? Agaknya itulah kesalahan keluarga kita, Ayah, sehingga kini timbul peristiwa dan aib yang menimpa keluarga kita. Yang penting sekarang adalah mengurus bagaimana baiknya dengan nasib adikku ini."
Pek Kong menarik napas panjang dan memandang kepada puterinya itu. Walau pun tidak menangis sesenggukan, tetap saja dia mengeluarkan air mata yang menetes-netes pada sepanjang kedua pipinya.
"Baiklah, memang seyogyanya begitu. Aku akan membicarakan hal ini dengan keluarga Song. Eng-ji, bagaimana sekarang, apakah engkau masih tetap tidak setuju kalau menjadi isteri Song Bu Hok?"
Pek Eng mengangkat mukanya yang basah, memandang ayahnya dengan sikap sangat memelas, lalu dia mengangguk lemah. "Aku menurut saja apa yang Ayah tentukan, akan tetapi, Ayah, aku... aku sudah..." Dia tidak dapat melanjutkan.
"Jangan khawatir. Aku tahu bahwa Song Bu Hok benar-benar mencintaimu, dan mudah-mudahan dia cukup gagah untuk dapat melihat bahwa peristiwa ini terjadi bukan karena kesalahanmu."
"Tapi, Ayah, bukankah sebaiknya bila aib ini dirahasiakan dari orang lain? Mungkin harus berterus terang kepada Song Bu Hok, akan tetapi kurasa tak perlu diketahui keluarganya. Hal itu akan sangat merugikan Eng-moi karena dia akan dipandang rendah."
Mendengar pendapat puteranya, Pek Kong mengangguk-angguk setuju. "Engkau benar, aku yang akan bicara empat mata dengan Song Bu Hok setelah kita pulang nanti," kata Ketua Pek-sim-pang itu.
"Dan aku akan pergi mengunjungi guru-guruku di kuil Siauw-lim-si, Ayah, bersama Sumoi Bi Lian. Ada urusan yang amat penting antara aku, Sumoi, dan kedua orang guru kami. Kelak akan kuceritakan kepada Ayah mengenai semua itu."
Demikianlah, ayah dan dua orang anaknya ini lalu berpisah. Han Siong menemui Bi Lian yang sudah dijanjikan akan dibawa menghadap kedua orang gurunya di kuil Siauw-lim-si, sedangkan Pek Kong mengajak puterinya yang prihatin itu untuk pulang.
Bagaimana dengan Ling Ling? Dengan sedih gadis ini bersama Kui Hong meninggalkan tempat itu. Kesedihan yang dirasakan Ling Ling hampir mirip dengan kesedihan Pek Eng. Kedua orang gadis ini bukan hanya menyedihi nasib mereka yang kini sudah dinodai aib, kehilangan keperawanan dan kehormatan, namun lebih dari pada itu, yaitu ketika mereka melihat kenyataan bahwa yang memperkosa mereka itu bukan Hay Hay melainkan ayah kandung pemuda itu, seorang jai-hwa-cat yang amat jahat!
Hal inilah yang menyedihkan hati mereka, bahkan membuat harapan mereka lenyap sama sekali. Kalau Hay Hay yang menjadi pelakunya, sedikitnya mereka masih mengharapkan pemuda itu mau mengakui dan bertanggung jawab mengawini mereka!
Kui Hong tak pernah melepaskan tangan Ling Ling, terus menggandengnya ketika mereka meninggalkan sarang pemberontak yang kini telah dikuasai pasukan pemerintah. Setelah tinggal berdua saja, Ling Ling menangis sambil bersandar kepada Kui Hong, dihibur oleh Kui Hong di sepanjang jalan.
Ling Ling membayangkan nasibnya. Ia mencinta Hay Hay, hal ini tak dapat disangkalnya pula. Biar pun tadinya dia mengira bahwa Hay Hay telah memperkosanya, namun dia siap untuk memaafkannya bahkan bersedia menjadi isteri pemuda yang dicintanya itu. Akan tetapi... kenyataannya demikian pahit.
Pemerkosanya adalah Ang-hong-cu, penjahat besar, ayah kandung Hay Hay. Bagaimana dia mampu hidup terus dengan menahan siksa batin karena aib ini? Bagaimana pula dia akan menghadap ayah dan ibunya? Ahhh, ayah dan ibunya tentu akan merasa terpukul, akan ikut menderita sengsara.
Membayangkan betapa ayahnya akan berduka sekali, ibunya akan menangis, mendadak Ling Ling melepaskan diri dari gandengan tangan Kui Hong, menjerit dan berlari bagaikan orang gila! Kui Hong terkejut dan segera mengejar, khawatir sekali karena agaknya Ling Ling tidak mempedulikan lagi ke mana dia lari, seperti orang yang berlari sambil menutup matanya.
"Ling Ling...! Berhentilah, Ling Ling...!" Kui Hong mengejar sekuat tenaga. Dia terbelalak melihat betapa Ling Ling lari mendaki bukit, terus lari ke arah tebing yang curam.
"Ling Ling...!" Wajah Kui Hong sudah menjadi pucat sekali karena dia merasa tidak akan mampu mencegah gadis itu yang agaknya akan lari terus dari atas tebing!
Ling Ling yang berlari terus agaknya tak melihat bahwa dia berlari menuju ke tebing yang amat curam. Tepi tebing itu tinggal dua tiga meter lagi dan tiba-tiba dari samping nampak berkelebat sesosok bayangan, lalu tahu-tahu tubuh Ling Ling telah disambar dan dirangkul pinggangnya oleh Can Sun Hok.
"Lepaskan aku...! Lepaskan aku...!" Ling Ling meronta-ronta dan berusaha melepaskan diri, namun Sun Hok mempergunakan seluruh tenaganya untuk memeluk dan tidak mau melepaskan gadis itu.
Melihat betapa pemuda ini nekat merangkulnya, Ling Ling menjadi heran, keheranan yang sejenak membuat dia bingung, yang mengatasi kedukaan dan keputus asaannya hingga membuatnya ingin membunuh diri itu. Dia mengangkat muka memandang wajah pemuda itu, lantas kembali dia membentak.
"Lepaskan aku!"
"Tidak, Ling-moi, tidak mungkin aku membiarkan engkau terlepas dan melanjutkan niatmu yang sesat itu!" kata Sun Hok, tetap merangkul pinggangnya.
Ling Ling menjadi semakin bingung. Perkenalannya dengan Sun Hok belum lama, namun sudah timbul keakraban di antara mereka ketika mereka berdua menghadapi gerombolan pemberontak itu. Sun Hok menyebutnya adik dan ia pun menyebut kakak kepada pemuda perkasa itu.
"Hok-ko, lepaskan aku dan jangan engkau mencampuri urusanku!" kembali dia meronta dengan sia-sia.
"Ling-moi, aku tahu bahwa engkau hendak membunuh diri ke jurang itu! Ingin membunuh diri! Perbuatan itu sungguh sesat, pengecut dan sama sekali keliru, Ling-moi. Karena itu, sebelum engkau mengubah pendirianmu itu, aku tidak akan melepaskanmu!"
Ling Ling menjadi marah. Tangan kanannya sudah menempel pada tengkuk pemuda itu. "Lepaskan! Kalau tidak, kubunuh engkau lebih dahulu!"
Sun Hok tidak terkejut, malah tersenyum. "Bagus, jika engkau masih bisa marah, hal itu berarti engkau masih suka hidup. Ling-moi, silakan saja bila engkau hendak membunuhku sebelum bunuh diri. Biarlah aku akan mengantarkanmu ke alam baka. Nah, silakan..."
Melihat kepasrahan pemuda ini, Ling Ling menjadi lemas lahir batin. Tenaganya bagaikan habis dan ia pun menangis, mengguguk di atas pundak pemuda itu yang kini melepaskan rangkulan di pinggangnya. Sun Hok masih merangkul pundak gadis itu, mengelus rambut kepalanya dan membiarkan gadis itu menangis sepuas hatinya.
Kui Hong berlari menghampiri dan gadis ini menghela napas lega. Wajahnya masih pucat dan jantungnya tadi berdebar penuh ketegangan. Melihat betapa Ling Ling menangis di dalam rangkulan pemuda itu, dia tidak berani mengeluarkan kata-kata, takut kalau-kalau Ling Ling 'kumat' lagi kenekatannya. Dia hanya saling pandang dengan Sun Hok, pemuda yang sudah dikenalnya itu.
Beberapa tahun yang lalu dia dan ibunya pernah bertemu dengan pemuda ini yang tadinya mendendam kepada ibunya karena kematian ibu pemuda ini, yakni seorang tokoh sesat bernama Gui Siang Hwa, disebabkan karena bertanding melawan Ibunya.
Akan tetapi ibunya dapat menyadarkan Can Sun Hok. Dan agaknya pemuda ini memang telah menjadi seorang pendekar yang gagah perkasa. Buktinya dia pun ikut muncul dalam pertempuran melawan kaum sesat yang memberontak, bersamaan dengan Ling Ling yang agaknya telah dikenal dengan baik.
Tentu ada apa-apa di antara mereka, pikir Kui Hong. Maka tanpa banyak cakap, sebelum Ling Ling sempat melihatnya, diam-diam Kui Hong meninggalkan kedua orang itu.
Setelah tangisnya mereda, Ling Ling teringat bahwa dia menangis pada dada pemuda itu sehingga baju bagian dada Sun Hok menjadi basah. Dia lalu melepaskan diri dan dengan lembut Sun Hok melepaskan pelukannya.
Gadis itu mundur dua langkah, mengangkat muka dan memandang dengan kedua mata yang kemerahan dan basah. Sun Hok memandang dengan senyum yang membesarkan hati, sementara sepasang matanya jelas membayangkan perasaan iba dan sayang.
"Hok-ko, kenapa... kenapa engkau... menghalangi aku? Kenapa engkau tak membiarkan aku mati saja sehingga aku akan terbebas dari penderitaan ini?" kata Ling Ling, suaranya setengah menyesal dan setengah menegur.
Sun Hok masih tersenyum ketika menggeleng kepalanya. "Ling Ling, bagaimana mungkin aku membiarkan engkau mati? Hal itu sama saja dengan membunuh kebahagiaan serta harapan hidupku sendiri. Tidak, Ling-moi, aku tidak akan membiarkan engkau mati seperti juga dunia tidak akan membiarkan hilangnya matahari."
Sepasang mata yang masih basah itu terbelalak mengamati wajah pemuda yang berdiri di depannya itu. Seorang pemuda yang berwajah tampan dan gagah, bertubuh tegap dan matanya mencorong, sikapnya ramah dan sederhana.
"Hok-ko... apa... apa maksudmu? Apa... artinya kata-katamu tadi, Hok-ko...?" tanyanya bingung dan jantungnya berdebar karena samar-samar dia mampu menangkap apa yang dimaksudkan pemuda itu, namun dia masih belum dapat menerima atau percaya begitu saja.
"Engkau tentu mengerti, Ling-moi, bahwa semenjak kita saling berjumpa, aku... aku telah mengagumimu, menyukaimu, mengasihanimu dan aku... cinta padamu."
Sepasang mata Ling Ling semakin terbelalak dan wajahnya yang tadinya pucat sekarang berubah merah sekali. Kemudian wajah yang membayangkan kekagetan dan keheranan itu berubah, berkerut-kerut, bibir itu gemetar, matanya menjadi sayu dan tak tertahankan lagi Ling Ling lantas menangis, menutupi mukanya dengan kedua tangannya, terisak-isak, lebih sedih dari pada tadi!
Can Sun Hok mengerutkan alis dan menghela napas panjang, lalu berkata dengan suara lembut sekali. "Ling-moi, sungguh aku tak tahu diri dan lancang sekali. Aku bahkan telah menambah kedukaanmu dengan menyinggung hatimu. Jika kejujuranku ini menyinggung perasaanmu, harap kau maafkan aku, Ling-moi."
Sampai lama Ling Ling tak mampu menjawab, hanya terisak-isak, pundaknya terguncang-guncang dan air mata menetes melalui celah-celah jari tangannya. Dan akhirnya, setelah tangisnya mereda, dia menurunkan kedua tangannya, memandang kepada Sun Hok yang masih menanti dengan sabar.
"Bukan begitu maksudku, Hok-ko... aku... aku menjadi semakin sedih karena... karena... engkau begitu baik, engkau... engkau menyatakan cinta kepadaku, padahal aku... aku..."
Sun Hok tersenyum lembut dan memandang dengan sikap memberi semangat. "Engkau kenapa Ling-moi? Bagiku, engkau gadis yang paling hebat di dunia ini."
"Aihh... Hok-ko, aku... aku tidak berharga untuk menjadi sisihanmu... aku... aku..."
"Engkau kenapa? Katakanlah, Ling-moi, aku siap mendengar yang bagaimana pun juga."
Ling Ling menatap tajam wajah pemuda itu, mengumpulkan ketabahannya lantas dia pun berkata, "Aku... aku telah ternoda... aku bukan perawan lagi, Hok-ko..."
Dan dia pun segera menundukkan mukanya yang menjadi pucat, air matanya mengalir di sepanjang kedua pipinya, kedua kakinya menggigil dan tentu tubuhnya akan roboh kalau saja Sun Hok tak cepat-cepat menghampiri dan memegang kedua pundaknya, kemudian mengguncangnya sedikit untuk memberi semangat dan kekuatan.
"Aku telah mengetahui, Ling-moi, aku telah dapat menduga semuanya."
Ling Ling makin terkejut dan heran. Dia mengangkat muka dan memandang pemuda itu, sinar matanya tajam menyelidik melalui genangan air matanya. "Engkau... engkau sudah tahu...? Bagaimana... engkau bisa tahu?"
"Sejak berjumpa denganmu, lalu melihat engkau berkelahi mati-matian melawan pemuda perkasa bernama Tang Hay itu, mendengar engkau menyebutnya jai-hwa-cat dan melihat kebencianmu kepadanya, aku sudah menyangka bahwa tentu telah terjadi sesuatu yang amat hebat antara engkau dan dia. Kemudian, tidak percuma aku bertemu dan jatuh hati kepadamu, Ling-moi, aku memperhatikan semua gerak-gerikmu, juga aku melihat semua yang terjadi ketika engkau menyerang Tang Hay, dan setelah melihat perkembangannya aku dapat menduga bahwa engkau tentu seorang di antara korban-korban dari jai-hwa-cat yang kemudian ternyata ialah Ang-hong-cu, ayah kandung Tang Hay! Betulkah demikian, Ling-moi?"
Ling Ling menggerakkan tangan mengusap air matanya dan dia pun mengangguk. "Benar dugaanmu, Hok-ko. Aku adalah seorang korban dari jai-hwa-cat itu, yang tadinya kukira Hay-ko orangnya. Dan engkau... engkau sudah tahu bahwa aku bukan perawan lagi, telah ternoda, tercemar badan, nama dan kehormatanku, akan tetapi engkau... engkau masih menyatakan cinta...?"
Sun Hok melepaskan kedua pundak gadis itu lantas mundur dua langkah. Mereka saling pandang dan Sun Hok mengangguk. "Benar, Ling-moi. Aku cinta kepadamu, dan dengar baik-baik, engkaulah yang kucinta, engkau, jiwa ragamu, engkau seutuhnya! Aku bukan mencinta nama dan kehormatanmu. Dan aku merasa bangga dan gembira sekali bahwa engkau telah berani mengaku di depanku, hal ini menandakan bahwa cintaku tidak keliru. Engkau seorang gadis yang hebat sekali. Akan tetapi... Ling-moi, aku masih merasa ragu apakah seorang gadis sehebat engkau ini akan mungkin membalas cinta kasihku? Maka jawablah, Ling-moi, sudikah engkau menerima pinanganku dan maukah engkau menjadi calon isteriku?"
Kembali mereka saling pandang dan sebelum Ling Ling sempat menjawab, Sun Hok telah mendahuluinya. "Nanti dulu, Ling-moi! Jangan jawab dahulu sebelum engkau mendengar siapa adanya diriku ini!"
"Engkau seorang pendekar gagah perkasa dan patriotik!"
Sun Hok menggelengkan kepala. "Jauh dari pada itu, Ling-moi. Mendiang ibuku adalah seorang tokoh sesat yang terkenal amat lihai! Hanya saja, aku sadar akan kesesatannya dan tidak mengikuti jejaknya. Dan yang lebih dari pada itu, aku... aku sudah mempunyai seorang selir, Ling-moi. Jadi, kalau engkau sudi menjadi isteriku, di sana telah menunggu seorang selir, berarti seorang madu bagimu..."
Kini Ling Ling mengangkat muka memandang dengan mata dilebarkan. "Seorang selir...? Tapi, mengapa dia tidak menjadi isterimu? Siapa dia dan bagaimana hanya menjadi selir? Ceritakanlah tentang wanita itu..."
Sun Hok mengangguk-angguk. "Bukan isteri, hanya selir, itu pun baru seorang calon selir. Dia tidak mau menjadi isteriku, hanya mau menjadi selir itu pun kalau aku telah beristeri, kalau belum, dia tidak mau."
Ling Ling semakin heran. "Hok-ko, ceritakan tentang dia!" kata Ling Ling semakin tertarik.
Sun Hok lalu bercerita dengan sejujurnya tentang Bhe Siauw Cin, gadis penyanyi bekas dayang seorang pangeran di kota raja yang dipergunakan oleh Jaksa Kwan untuk merayu dan membujuknya itu. Siauw Cin memang sudah mengaku kepadanya tentang keadaan dirinya yang sebenarnya dan Sun Hok sudah memaafkannya. Dia menceritakan kepada Ling Ling betapa Siauw Cin yang mencinta dirinya, tidak mau mendatangkan aib kepada namanya dan hanya mau melayani sebagai seorang selir kalau dia sudah menikah.
"Demikianlah, sekarang dia berada di rumahku menjadi seorang pengurus rumah dan juru masak. Dialah yang akan menjadi selirku kalau engkau sudi menjadi isteriku, Ling-moi."
Ling Ling mengerutkan alisnya dan diam-diam dia merasa kagum sekali kepada pemuda ini. Seorang pemuda yang jujur, yang tidak malu mengakui kelemahannya dan cacatnya, kalau pun mempunyai seorang calon selir dapat dikatakan cacat.
Agaknya pemuda itu sengaja menceritakan hal ini untuk membangkitkan harga diri Ling Ling sehingga setidaknya Ling Ling akan menganggap bahwa Sun Hok pun mempunyai cacat dan seperti juga dirinya, menjadi jodohnya tidak dalam keadaan 'utuh'. Dan biar pun harus diakuinya bahwa hatinya pernah jatuh kepada Hay Hay, namun semenjak bertemu dengan Sun Hok, dia pun merasa tertarik dan kagum kepada pemuda ini.
"Ling-moi, bagaimana? Sudikah engkau menerima cintaku, sudikah engkau menjadi calon isteriku?"
Akhirnya Ling Ling memandang kepadanya dan menarik napas panjang. "Hok-ko, engkau sudah menghindarkan aku dari kematian bunuh diri yang sesat, engkau seakan memberi harapan dan kehidupan baru bagiku. Tentu saja aku merasa sangat berterima kasih dan menerima uluran tanganmu dengan rasa syukur dan gembira. Akan tetapi bagaimana pun juga, yang akan mengambil keputusan adalah ayah dan ibuku. Aku akan pulang ke dusun Ciang-si-bun, menceritakan semuanya kepada orang tuaku."
Berkata demikian, nampak oleh Sun Hok betapa gadis itu gemetar, agaknya merasa ngeri untuk menceritakan mala petaka yang menimpa dirinya kepada ayah ibunya. Dengan hati penuh iba Sun Hok maju dan merangkulnya.
"Jangan khawatir Ling-moi, aku akan menyertaimu, dan aku akan membantumu bercerita kepada mereka, juga sekalian mengajukan pinangan karena aku sudah tidak mempunyai orang tua yang dapat mengajukan pinangan."
Ling Ling merasa demikian lega dan girang sehingga sejenak dia menyandarkan kepala di dada calon suaminya itu. Kedamaian yang menenteramkan hatinya, yang mendatangkan harapan baru baginya, yang menyelubungi hatinya. Gadis ini nampak tersenyum manis walau pun pada kedua pipinya masih ada sisa-sisa air mata yang tadi.
Kita manusia hidup bagaikan mendayung perahu di tengah samudera kehidupan yang luas, penuh dengan ombak mengalun yang menghantam biduk kita dari kanan kiri! Biduk yang kita dayung di tengah samudera kehidupan itu silih berganti dipermainkan ombak senang dan susah. Mulut ini sampai lelah rasanya oleh permainan tawa dan tangis yang saling menyeling tiada henti, walau pun sepanjang hidup kita tangis datang lebih banyak dari pada tawa.
Kita selalu mendambakan kesenangan yang membuat kita tertawa, dan selalu menjauhi kesusahan yang mendatangkan tangis. Akan tetapi mungkinkah itu? Mungkinkah ombak mengalun dari satu sisi saja?
Senang dan susah hanya suatu timbal-balik seperti terang dan gelap, seperti siang dan malam. Tidak mungkin sepanjang hidup hanya mendapatkan senang saja tanpa pernah menemukan susah, karena senang dan susah adalah saudara kembar yang tidak dapat terpisahkan, seperti dua permukaan dari satu mata uang yang sama!
Kalau sudah mengetahui ini, maka bijaksanalah orang yang tidak menjadi lupa daratan di kala senang, dan tidak menjadi putus semangat di kala susah. Dari susah ke senang, dan sebaliknya, hanya satu langkah saja! Lebih bijaksana lagi kalau kita mau mengamati dan mempelajari apa sebenarnya susah dan senang itu, bagaimana munculnya.
Sebenarnya susah dan senang hanyalah permainan pikiran belaka, pikiran yang menilai berdasarkan keuntungan dan kepentingan pribadi. Segala peristiwa yang menguntungkan pribadi akan mendatangkan senang, sebaliknya yang merugikan pribadi mendatangkan susah. Kalau pikiran tidak menimbang-nimbang, menilai, maka segala peristiwa adalah wajar dan tidak akan menimbulkan susah senang.
Berbahagialah manusia yang berada di luar jangkauan susah senang ciptaan pikiran ini. Pengamatan mendalam secara pasip (tanpa mengubah) bila mana susah atau senang menguasai batin merupakan langkah pertama ke arah kebebasan.
"Heiii, di mana Bibi Kui Hong...?" Tiba-tiba saja Ling Ling teringat dan cepat melepaskan diri dari rangkulan Sun Hok.
"Dia tadi menuju ke sana..." Sun Hok menunjuk ke arah sebuah hutan kecil tak jauh dari situ.
"Mari kita cari Bibi Kui Hong!" Ling Ling lalu berlari ke arah itu, diikuti oleh Sun Hok.
"Bibi Kui Hong...! Bibi Kui Hong...!" Beberapa kali Ling Ling memanggil setelah memasuki hutan itu.
"Lihat itu di sana! Seperti ada kertas yang menempel di batang pohon," tiba-tiba Sun Hok berkata sambil menunjuk pada sebatang pohon.
Ling Ling menengok dan menghampiri sebatang pohon besar yang tadi ditunjuk Sun Hok. Benar saja, ada kertas berlipat menempel di batang pohon itu, ujungnya tertusuk sebuah ranting kecil. Ling Ling cepat mengambil kertas itu, lalu dibukanya dan ternyata kertas itu adalah sehelai surat dari Kui Hong kepadanya! Segera dibacanya surat singkat itu.
Ling Ling,
Can Sun Hok adalah cucu seorang pangeran, dia seorang pendekar yang gagah perkasa dan baik budi. Semoga engkau dapat hidup berbahagia dengan dia.
Bibimu, Cia Kui Hong.
Ling Ling tersenyum dan semakin gembira. Kiranya pemuda yang mencintanya ini bukan orang sembarangan, melainkan cucu dari seorang pangeran, akan tetapi mengaku putera seorang wanita tokoh sesat! Sambil tersenyum Ling Ling menyerahkan surat itu kepada Sun Hok yang membacanya pula. Pemuda itu pun tersenyum.
"Ahhh, kiranya wanita perkasa cucu Pendekar Sadis itu adalah bibimu? Ternyata engkau keturunan keluarga para pendekar yang hebat. Ling-moi!"
Keduanya melanjutkan perjalanan menuju ke dusun Ciang-si-bun di sebelah selatan kota raja, ke tempat tinggal orang tua Cia Ling. Ketika mereka tiba di rumah Cia Sun, kembali Cia Ling merasa tegang dan ada rasa takut menyelinap dalam hatinya. Jika saja dia tidak pulang bersama Sun Hok, kiranya dia tidak akan berani langsung menceritakan keadaan dirinya kepada ayah ibunya. Kehadiran Sun Hok membesarkan hatinya, apa lagi karena selama dalam perjalanan itu Sun Hok sudah membuktikan dirinya sebagai seorang lelaki yang menghargainya dan sopan.
Cia Sun dan Tan Siang Wi menyambut pulangnya puteri mereka dengan gembira. Akan tetapi Tan Siang Wi merasa agak khawatir melihat wajah puterinya yang agak pucat dan sinar matanya yang redup seperti orang tengah menderita tekanan batin. Sedangkan Cia Sun merasa heran pada saat melihat puterinya pulang bersama seorang pemuda tampan yang sikapnya sederhana.
Atas bantuan dan semangat yang diberikan oleh Sun Hok, dengan suara tersendat-sendat bercampur tangis akhirnya dari bibir Ling Ling keluar juga kisah sedih tentang mala petaka yang menimpa dirinya, yaitu diperkosa oleh seorang jai-hwa-cat berjuluk Ang-hong-cu.
Baru cerita itu tiba di bagian ini, Tan Siang Wi yang berwatak angkuh dan galak itu sudah melompat berdiri dari kursinya, mukanya menjadi pucat lalu berubah merah sekali, kedua tangan dikepal dan matanya mendelik.
"Aku harus mencari Ang-hong-cu! Aku akan mengadu nyawa dengan jahanam keparat busuk itu!"
Akan tetapi Cia Sun yang berwatak sabar dan halus itu menyentuh lengan isterinya, lalu berkata, "Tenang dan bersabarlah. Segalanya sudah terjadi dan mari kita mendengarkan cerita Ling-ji lebih lanjut." Akhirnya wanita yang sangat marah itu dapat dibikin tenang dan dengan kedua mata basah dia mendengarkan kelanjutan cerita anaknya
Ling Ling melanjutkan ceritanya bahwa bukan hanya dia yang menjadi korban, akan tetapi banyak dan di antaranya seorang murid Bu-tong-pai. Kini Ang-hong-cu menjadi buronan dan dikejar-kejar oleh puteranya sendiri yang bernama Tang Hay karena pemuda ini ingin mencuci namanya yang tadinya menjadi pusat persangkaan dan dia akan memaksa agar ayah kandungnya mempertanggung jawabkan semua perbuatannya yang jahat.
Juga Ling Ling menuturkan tentang pemberantasan gerombolan sesat yang memberontak hingga gerombolan itu dapat dihancurkan. Begitu pula pertemuan-pertemuannya dengan Kui Hong dan para pendekar lainnya.
"Dan siapakah orang muda ini?" Cia Sun bertanya kepada puterinya sesudah ceritanya selesai.
"Ayah, dia adalah salah seorang di antara para pendekar yang ikut membantu membasmi gerombolan pemberontak. Namanya Can Sun Hok, tinggal di kota Siang-tan. Dia... dia... ikut bersamaku ke sini untuk... untuk..." Ling Ling tak melanjutkan ucapannya, melainkan menoleh ke arah Sun Hok seperti hendak minta bantuan.
Sekarang suami isteri pendekar perkasa itu memandang kepada Sun Hok. Di dalam hati mereka terdapat rasa penasaran sebab tadi puteri mereka menceritakan tentang aib yang menimpa dirinya di depan pemuda asing ini pula.
Sun Hok cepat memberi hormat kepada suami isteri pendekar itu. Dia tadi amat terkesan melihat sikap orang tua Ling Ling. Ibunya begitu galak penuh semangat dan keberanian, ayahnya demikian pendiam dan tenang, penuh wibawa. Hatinya gentar juga menghadapi dua orang yang perkasa ini.
"Harap Paman dan Bibi sudi memaafkan saya. Sebenarnya amat tidak pantas kalau saya datang menghadap sendiri untuk keperluan ini, akan tetapi mengingat bahwa saya sudah tidak mempunyai keluarga lagi, tiada ayah bunda, maka terpaksa saya memberanikan diri menghadap Paman dan Bibi untuk mengajukan pinangan atas diri Ling-moi, untuk menjadi calon isteri saya kalau Paman dan Bibi sudi menerima saya yang bodoh dan yatim piatu sebagai calon mantu."
Suami isteri itu saling pandang dan tampak ibu Ling Ling membelalakkan kedua matanya, lalu menoleh kepada puterinya.
"Dia... dia sudah tahu... tentang dirimu...?" tanyanya kepada Ling Ling.
Ling Ling mengangguk. "Sudah, Ibu. Bahkan dia telah menduganya sebelum aku berterus terang kepadanya. Aku tentu telah mati membunuh diri dengan terjun ke jurang kalau saja tidak ada Hok-ko ini yang mencegahku. Dia tidak peduli dengan aib yang menimpa diriku, bahkan dia merasa iba kepadaku."
Mendengar ini ibu Ling Ling merasa terharu dan suami isteri itu tentu saja tidak menolak, malah berterima kasih sekali kepada pemuda itu yang telah menyelamatkan nyawa puteri tunggal mereka, bahkan bersedia pula mencuci aib itu dengan menikahinya. Akan tetapi, sebagai seorang wanita yang terkenal angkuh, belum puas rasa hati Tan Siang Wi kalau belum mendapat keterangan tentang asal-usul pemuda yang akan menjadi menantunya. Maka secara langsung saja dia lalu bertanya mengenai orang tua pemuda itu, walau pun ayah ibu pemuda itu telah meninggal dunia.
"Ibu, Hok-ko adalah cucu seorang pangeran," kata Ling Ling untuk mengangkat pemuda itu dalam pandangan ibunya.
Akan tetapi Sun Hok segera berkata. "Ah, keturunan bangsawan itu sudah tidak termasuk hitungan lagi. Memang kakek saya adalah Pangeran Can Seng Ong yang pernah menjadi gubernur di Ning-po. Kemudian kakek saya pindah ke Siang-tan. Ayah saya bernama Can Koan Ti, ada pun ibu saya... bernama Gui Siang Hwa dan mereka sudah meninggal dunia semua..."
Tiba-tiba Tan Siang Wi meloncat dari kursinya. Matanya terbelalak karena dia ingat benar dengan nama itu. "Gui Siang Hwa? Benarkah nama ibumu adalah Gui Siang Hwa, murid Raja dan Ratu Iblis?"
Sambil menundukkan mukanya Sun Hok berkata, "Benar, Bibi, mendiang ibu saya adalah seorang tokoh sesat."
Cia Sun juga tertegun, lebih lagi Tan Siang Wi. Ia pernah bentrok dengan Gui Siang Hwa dan teringatlah dia akan masa lalu. Ketika dia masih seorang gadis, pernah dia bertanding melawan Gui Siang Hwa yang amat lihai dan dia kalah bahkan tertawan oleh wanita iblis itu.
Wanita ini menjadi bingung. Ia bermantukan putera Gui Siang Hwa yang terkenal dengan julukan Siang-tok Sian-li (Dewi Racun Wangi) itu? Tidak mungkin! Akan tetapi dia pun lalu teringat akan keadaan puterinya yang sudah ternoda, dan ingat betapa putera Gui Siang Hwa ini adalah seorang pendekar, bahkan seorang patriot! Maka dia terduduk kembali dan termangu-mangu memandang suaminya.
Cia Sun menghela napas panjang. "Di dalam hidup manusia ada tiga hal yang sudah ada garisnya, sudah ditentukan dan diatur oleh kekuasaan Thian, yaitu kelahiran, perjodohan dan kematian. Sebagai manusia kita hanya dapat menerima saja. Dan dalam perjodohan yang terpenting adalah cinta kasih antara dua orang yang berjodoh. Can Sun Hok, apakah engkau benar-benar mencinta puteri kami Cia Ling?" Sambil bertanya sinar mata Cia Sun dengan tajam mengamati wajah pemuda itu. Sun Hok balas memandang dan menjawab dengan suara yang tenang dan tegas, tanpa ragu-ragu.
"Saya mencinta Ling-moi dengan sepenuh hati, Paman."
"Dan engkau, Ling Ling, apakah engkau mencinta Can Sun Hok?" Sekarang pendekar itu memandang kepada Ling Ling. Wajah gadis ini berubah merah dan sambil mengerling ke arah Sun Hok, dia pun menjawab dengan lantang dan tegas.
"Ayah, aku... aku cinta padanya."
Cia Sun kelihatan puas lantas mengangguk-angguk. "Bagus, kalau begitu kami orang tua hanya tinggal melaksanakan saja pernikahan antara kalian berdua. Kita akan memilih hari dan bulan baik, kemudian merayakan pernikahan kalian secara sederhana saja."
Dengan hati gembira keluarga itu lalu merayakan kepulangan Ling Ling, juga merayakan perjodohan antara kedua orang muda itu. Cia Sun serta isterinya akhirnya merasa puas dan gembira juga mendengar riwayat hidup Can Sun Hok yang tanpa merahasiakan lagi menuturkan pertemuannya dengan Ceng Sui Cin yang tadinya dianggap musuh besarnya, betapa kemudian dia sadar sesudah mendengar wejangan wanita perkasa itu. Walau pun mendiang ibunya adalah seorang tokoh sesat yang terkenal jahat, akan tetapi pemuda ini agaknya tidak mewarisi kejahatan ibunya.
Demikianlah, seperti bergantinya hujan dan mendung dengan sinar matahari yang cerah, setelah mengalami penderitaan batin karena diperkosa orang yang hampir saja membuat Ling Ling membunuh diri, sekarang gadis itu menemukan kebahagiaan di samping Can Sun Hok yang mencintanya.
Sesudah menjadi isteri pemuda itu dan dibawa pulang ke Siang-tan, ke rumah megah di mana dia dipertemukan dengan Bhe Siauw Cin, hati Ling Ling menjadi semakin gembira. Bhe Siauw Cin ternyata seorang wanita muda yang selain cantik jelita, juga ramah dan halus budi bahasanya, pandai membawa diri dan meski pun dia seorang bekas penyanyi dan penghibur panggilan kelas tinggi, tetapi dia cerdas dan memiliki banyak pengetahuan sehingga Ling Ling yang kini menjadi 'Nyonya besar' banyak belajar dari wanita ini, juga dalam melayani suaminya.
Pada masa itu merupakan hal yang lajim bagi seorang pria, apa lagi kalau dia seorang bangsawan atau hartawan, untuk memiliki isteri lebih dari seorang walau pun isteri yang lain dinamakan selir. Ling Ling hidup berbahagia di samping suaminya dan madunya.
********************
Nasib Pek Eng tidaklah sebaik nasib Ling Ling yang mendapatkan seorang suami yang di samping mencintanya juga sangat dicintanya. Akan tetapi, bila mengingat peristiwa yang mendatangkan aib bagi diri Pek Eng, nasibnya masih dapat dinamakan baik juga.
Ayahnya, Pek Kong yang menjadi Ketua Pek-sim-pang, secara diam-diam menemui Song Bu Hok dan mengajaknya berbicara empat mata. Sesudah memesan kepada pemuda itu bahwa semua yang akan dibicarakan merupakan rahasia besar keluarga Pek, dan hanya kepada Song Bu Hok seorang Ketua Pek-sim-pang itu memberi tahukan, juga meminta kepada pemuda itu agar menyimpannya sebagai rahasia sampai mati, barulah Pek Kong menceritakan tentang peristiwa yang menimpa diri puterinya.
Song Bu Hok adalah seorang pemuda keturunan orang-orang gagah pekasa. Walau pun wataknya agak tinggi hati namun mempunyai jiwa yang gagah perkasa, seorang pendekar yang selalu menentang kejahatan dan membela keadilan. Mendengar betapa gadis yang dicintanya, yang kini menjadi calon isterinya karena pinangan ayahnya telah diterima oleh keluarga Pek, diperkosa oleh jai-hwa-cat Ang-hong-cu, dia menjadi marah sekali.
"Saya akan mencari jahanam itu dan akan saya bunuh dia!" katanya penuh geram.
"Bukan itu maksudku mengapa aku membuka rahasia ini kepadamu, Anakku," kata Pek Kong. "Akan tetapi kami sekeluarga menunggu keputusanmu mengenai ikatan perjodohan antara engkau dan Eng-ji."
Bu Hok menatap calon ayah mertuanya dengan tajam dan heran. "Keputusan apakah? Bukankah ikatan perjodohan itu telah diputuskan dan kedua pihak telah menyetujuinya?"
"Akan tetapi, setelah mala petaka yang menimpa keluarga kami, setelah tunanganmu itu tercemar, mendapatkan aib... bagaimana pendirianmu?"
Bu Hok mengerutkan alisnya. "Gak-hu (Ayah Mertua), aib yang menimpa tunangan sama dengan aib yang menimpa diri sendiri. Tentu saja saya tidak menyalahkan Eng-moi, saya tetap menghormati dan mencintanya."
Wajah Pek Kong yang tadinya muram sekarang terlihat cerah ketika dia mengamati wajah Song Bu Hok dengan tajam dan penuh selidik. "Engkau tidak akan merasa kecewa atau menyesal, juga tidak akan memandang rendah, menghina atau membenci Eng-ji karena peristiwa itu?"
"Mengapa saya harus begitu? Eng-moi tidak bersalah. Keparat busuk itulah yang bersalah dan kelak saya akan mencarinya untuk menuntut balas! Mengenai perasaan saya kepada Eng-moi... saya kira tidak akan berubah, Gak-hu, bahkan bertambah dengan satu macam perasaan lagi, yaitu iba. Kasihan Eng-moi yang tertimpa kemalangan seperti itu. Saya tetap menghormati dan mencintanya, Gak-hu."
"Bagus, sungguh sikapmu ini jantan dan mulia, Bu Hok, dan engkau sudah membuat hati kami menjadi tenang. Terima kasih! Dan tentunya engkau akan menyimpan aib dari calon isterimu sendiri, bukan?"
"Tentu saja! Sampai mati peristiwa yang saya dengar dari Gak-hu ini tak akan keluar dari mulut saja, bahkan mulai saat ini pun sudah saya lupakan."
Demikianlah, akhirnya Pek Eng juga terangkat dan namanya tercuci bersih karena dia menikah dengan Song Bu Hok, putera tunggal Song Un Tek Ketua Kang-jiu-pang, yang menurut pendapat orang banyak, merupakan kedudukan terhormat dan menyenangkan.
Song Bu Hok terkenal sebagai seorang pemuda yang gagah perkasa berwatak baik, juga dari keluarga terhormat, disegani oleh dunia kang-ouw. Memang Pek Eng tidak memiliki perasaan cinta kepada Song Bu Hok, akan tetapi dia merasa berhutang budi karena Song Bu Hok tetap menghormati dan mencintanya, bahkan bersedia menikah dengannya. Hal ini saja sudah membuat dia bersyukur dan berhutang budi sehingga setelah menikah, Pek Eng berusaha keras untuk dapat menumbuhkan perasaan cinta terhadap suaminya.
********************
Hay Hay seperti sudah gila. Dia meninggalkan bukit di mana Ang-hong-cu yang mengaku bernama Han Lojin itu ditahan kemudian melarikan diri, meninggalkan sajak yang bahkan membuat Hay Hay menderita pukulan batin yang paling hebat. Dia berlari meninggalkan tempat itu sambil mengerahkan seluruh tenaganya berlari cepat. Bagaikan terbang saja tubuhnya meluncur ke depan tanpa ada tujuan tertentu, lari dan lari terus, seolah-olah dia hendak lari dari kenyataan yang amat pahit getir dan merobek-robek perasaan batinnya itu.
Sambil berteriak seperti kuda gila, pikirannya dipenuhi bayangan-bayangan yang semakin menusuk hatinya. Bahwa ayahnya adalah seorang jai-hwa-cat kelas berat, hal itu hanya merupakan luka yang sudah lama. Namun luka itu kini ditambah lagi dengan kenyataan betapa ayahnya sudah mencemarkan Pek Eng dan bahkan memperkosa Cia Ling secara keji. Lebih dari itu malah, ayah kandungnya itu agaknya memang sengaja melakukan hal itu untuk merusak namanya, agar semua orang menuduh dia sebagai pelakunya.
"Ang-hong-cu...! Keparat jahanam, di mana engkau...?!" Akhirnya dia pun berteriak-teriak, mengerahkan khikang hingga suaranya melengking dan bergema sampai jauh.
Dia berlari terus, naik-turun gunung, melompati jurang-jurang. Kadang kala dia berteriak-teriak menyebut nama Ang-hong-cu, kadang-kadang nampak pula air mata bercucuran di sepanjang kedua pipinya. Dia berlari terus, tanpa pernah mengurangi tenaganya.
Betapa pun terlatih dan kuatnya, tenaga manusia tetap terbatas dan akhirnya, menjelang senja Hay Hay roboh terpelanting di atas rumput, di sebuah lereng bukit yang sunyi. Dia roboh dan pingsan karena kelelahan dan kehabisan tenaga. Seperti sudah mati tubuhnya rebah miring setengah menelungkup di antara rumput tebal hijau segar. Dan kini, setelah roboh pingsan, wajahnya yang tadinya penuh dengan linangan air mata dan nampak lesu, muram dan berkerut-kerut, kini berubah menjadi tenang bahkan ada setengah senyuman membayang pada mulutnya.
Segala macam duka, benci, takut dan sebagainya adalah perasaan yang muncul sebagai kembangnya pikiran. Pikiranlah yang menjadi biang keladi dari segala macam emosi dan sentimen dalam batin kita. Pikiran mengenang masa lalu, membayangkan masa depan, pikiran yang menimbang-nimbang dan menilai untung rugi terhadap diri kita, menciptakan segala macam perasaan itu.
Bahkan duka dan pikiran bukan dua hal yang berlainan! Duka adalah pikiran itulah. Yang merasa punya diri, yang merasa ada aku, juga pikiran itu dan iba diri timbul pula dari permainan pikiran. Iblis tidak berada jauh dari diri kita, bersarang di dalam pikiran, setiap saat membisikkan bermacam kata-kata berbisa, mulai dari yang manis merayu sampai yang mencaci maki dan menusuk perasaan. Betapa pun duka atau benci atau takutnya seseorang apa bila pikirannya tidak bekerja lagi, dalam tidur, dalam pingsan seperti Hay Hay, maka semua bentuk perasaan duka, benci, takut dan sebagainya itu akan lenyap pula!
Oleh karena itu tidak ada artinya untuk mengalahkan duka, benci atau pun takut, selama pikiran masih menjadi bisikan iblis. Kalau yang berusaha mengalahkan duka itu pikiran, maka yang muncul hanyalah pelarian, hiburan, dan semua ini kosong dan sia-sia belaka, karena duka adalah pikiran itu sendiri! Bagaimana mungkin pikiran melarikan diri dari dirinya sendiri?
Yang penting adalah melepaskan belenggu ikatan pikiran, ikatan si aku, membebaskan diri dari semua permainan pikiran yang menyenangkan masa silam dan membayangkan masa depan. Bukan aku yang membebaskan, karena yang mengaku sebagai 'aku yang berusaha membebaskan' bukan lain adalah pikiran pula, dalam bentuk lain.
Pikiran memang lihai dan lincah, seperti Sun Go Kong (Si Raja Monyet} dalam dongeng See-yuki. Lalu timbul pertanyaan, yaitu bagaimana caranya untuk membebaskan diri dari pikiran ini? Pertanyaan ini pun masih sekali tiga uang, sama saja, karena yang bertanya itu juga si aku atau pikiran yang mempunyai pamrih untuk bebas dari pikiran agar tidak ada duka lagi! Setiap gerakan dari pikiran sudah pasti berpamrih, karena pusatnya adalah si aku yang ingin senang!
Jadi. Tidak ada pamrih membebaskan diri, namun sadar akan bekerjanya pikiran kita sendiri yang menjadi sumber dari segala perasaan. Dan tidak pernah terdapat cara untuk membebaskan pikiran, karena pikiran adalah aku atau kita sendiri! Akan tetapi dengan sepenuh kewaspadaan mengamati diri, mengamati apa yang terjadi di dalam dan di luar diri, di dalam pikiran, mengamati diri ketika timbul duka, benci, takut. Pengamatan inilah yang amat penting.
Pengamatan tanpa pamrih, pengamatan tanpa ada si aku yang mengamati sebab kalau begini, tentu si aku akan menilai dan mengubah, mencela dan memuji. Yang ada hanya PENGAMATAN saja, dengan penuh kewaspadaan, dengan penuh perhatian dan dengan menyeluruh, namun sedikit pun tidak ada pamrih mengubah atau boleh disebut secara pasip saja.
Angin semilir menggoyangkan rumput-rumput hijau, juga membuat rambut di kepala Hay Hay berkibar. Angin dingin meniup kepalanya sementara hawa dingin menyusup ke dalam kepala, menggugah Hay Hay yang pingsan seperti orang tertidur itu. Dia membuka mata, menggerakkan tubuhnya lantas bangkit duduk. Teringat dia akan semua yang terjadi dan dia pun menampar kepala sendiri, lirih, lalu tersenyum.
"Hay Hay, apakah engkau sudah gila? Membiarkan diri terseret oleh kedukaan dan malu? Tenanglah, tidak ada suatu apa pun tidak dapat diatasi di dunia ini."
Dia pun bangkit berdiri, merentangkan kedua lengannya ke atas, menghirup udara segar hingga sepenuh paru-paru dan perutnya, lalu menghembuskannya perlahan dan perasaan lega dan sejuk menyusup sampai ke dalam dirinya yang paling dalam. Dia pun tersenyum lagi dan kembalilah dia seperti keadaan Hay Hay semula, sebelum diracuni duka. Juga perasaan benci terhadap Ang-hong-cu tidak terasa lagi.
Dia mengangguk-angguk, merasa bersyukur melihat keadaan dirinya. Kemudian perlahan dia menghampiri sebuah batu besar di bawah pohon tidak jauh dari situ, lalu dia duduk di atas batu. Tempat itu sunyi dan sejuk sekali.
Langit senja begitu indahnya, menciptakan awan beraneka warna dan di sudut barat langit terbakar warna merah muda. Di antara kelompok awan yang bentuknya laksana biri-biri putih salju nampak sinar biru dan ungu, juga ada awan besar yang menghitam yaitu awan mendung yang bagaikan raksasa malas, bergerak perlahan-lahan tak secepat awan-awan putih di sekitarnya. Langit bagaikan pantulan lautan yang amat luas, dengan awan-awan itu mengambang di atasnya secara terbalik, hanyut bersama arus angin.
Di bawah tidak kalah indahnya. Rumput di padang itu hijau kekuningan, segar dan tampak hidup setelah seharian penuh dibakar matahari, kini agaknya dengan penuh harapan siap menyambut selimut malam yang hitam dan sejuk. Pohon-pohon besar bagaikan raksasa-raksasa berjajar, siap untuk memasuki alam gelap malam yang penuh rahasia. Burung-burung sudah sibuk memilih tempat tidur mereka di antara daun-daun dan ranting-ranting, suara mereka bagaikan celoteh yang cerewet menceritakan pengalaman masing-masing sehari yang lalu.
Hay Hay duduk bersila di atas batu. Sebelum membiarkan diri tenggelam dalam siu-lian (semedhi), dia lebih dulu mengenangkan segala yang terjadi. Tentang Pek Eng, tentang Cia Ling, tentang Hui Lian, Kui Hong, dan mereka yang ditemuinya, tentang pertempuran hebat itu. Dan dia melihat betapa dia dituduh karena sikapnya yang manis terhadap setiap wanita yang dijumpainya. Dia dianggap mata keranjang! Mata keranjang!
Dia mencari arti dari kata-kata sebutan ini. Mata keranjang! Seorang pria yang suka sekali kepada wanita cantik? Seorang pria yang selalu tertarik kepada wanita cantik? Yang suka memuji-muji kecantikan wanita yang dijumpainya? Itukah yang disebut mata keranjang?
Pasti bukan seperti Ang-hong-cu! Dia bukan sekedar mata keranjang, melainkan perusak, penjahat yang berhati kejam dan keji. Tidak, dia tidak seperti Ang-hong-cu, sungguh pun harus diakuinya bahwa dia senang sekali melihat wanita cantik, tertarik akan kecantikan wanita dan suka memuji-muji kecantikan itu.
Apa salahnya dengan ini? Apa salahnya kalau pria itu mata keranjang? Bukankah setiap orang pria, apa bila dia itu normal, memang mata keranjang? Bukankah daya tarik atau kecantikan wanita terhadap pria itu sudah alami!
Setiap orang pria normal sudah pasti suka melihat kecantikan wanita, sudah pasti tertarik hatinya, sudah pasti memujinya meski hanya dalam hati. Hanya bedanya, dia tidak mau menyimpan perasaan suka ini menjadi rahasia, tapi dia selalu berterus terang, dia memuji kecantikan wanita seperti memuji keindahan bunga dan dia memperoleh kenikmatan batin kalau dia menyampaikan pujiannya itu kepada si empunya kecantikan.
Apa salahnya dengan itu? Dia tak suka untuk berpura-pura, menikmati kecantikan wanita sambil sembunyi-sembunyi, melirik dari sudut, memuji di dalam hati, bahkan berpura-pura alim dan berpura-pura tidak suka! Ini munafik namanya!
Dia lantas teringat akan ayah kandungnya. Tidak, dia tidak membenci ayah kandungnya. Perasaan benci adalah racun, ini dia tahu benar. Akan tetapi dia pun tahu betapa jahatnya Ang-hong-cu, dan betapa berbahayanya membiarkan orang seperti itu berkeliaran dengan bebas. Tentu akan berjatuhan lagi korban-korban baru.
Gadis-gadis cantik yang tidak berdosa, seperti bunga-bunga indah yang dipetik secara kasar, dipermainkan lalu dicampakkan begitu saja, mati melayu di selokan, di tepi jalan, terinjak-injak kaki! Bagaimana pun juga dia harus mencari Ang-hong-cu sampai dapat, dia harus minta pertanggungan jawab laki-laki itu. Setidaknya dia akan membuktikan bahwa dia memegang janji, kepada Bu-tong-pai, kepada Pek Han Siong dan Pek Eng, kepada Kui Hong dan Ling Ling.
Hatinya terasa tenteram dan Hay Hay lalu tenggelam ke dalam semedhi...
T A M A T
Bagian Ke Sepuluh Serial Pedang Kayu Harum SI KUMBANG MERAH PENGISAP KEMBANG