Kui Hong bukan saja sudah menguasai ilmu San-in Kun-hoat dengan sangat baik, akan tetapi sesudah menerima gemblengan dari kakek dan neneknya di Pulau Teratai Merah, gadis ini telah memiliki sinkang yang amat kuat. Juga kakek dan neneknya menunjukkan kekurangan-kekurangan dalam gerakan semua ilmu silat yang telah dikuasainya sehingga ilmu itu menjadi semakin ampuh karena seolah-olah telah disempurnakan oleh dua orang ahli silat yang sakti!
Oleh karena itu, menghadapi lima orang suheng-nya, biar pun seorang di antara mereka ahli San-in Kun-hoat, dara ini memang jauh lebih matang, lebih cepat karena menguasai ginkang (ilmu meringankan tubuh) gemblengan neneknya, juga memiliki sinkang (tenaga sakti) gemblengan kakeknya. Walau pun dikeroyok oleh lima orang, Kui Hong menguasai keadaan karena semua serangan yang sudah dikenalnya dengan baik itu dapat dielakkan dengan kecepatan gerakan tubuhnya, dan jika tak sempat mengelak, setiap tangkisannya membuat tubuh penyerangnya terdorong ke belakang.
Akhirnya lima orang itu harus mengakui keunggulan sumoi mereka. Mereka tahu bahwa dalam perkelahian sungguh-sungguh, sudah sejak tadi mereka akan roboh seorang demi seorang! Ciok Gun yang lebih dulu melompat ke belakang diikuti empat orang murid lain.
"Hebat, ilmu kepandaianmu sekarang amat hebat, sumoi. Sungguh membuat kami semua kagum dan membuka mata kami bahwa keturunan ketua dan guru kami memang hebat!"
Mendengar ucapan Ciok Gun itu, semua murid menjadi gembira karena tadinya banyak di antara murid Cin-ling-pai kebingungan, merasa kehilangan pimpinan, seperti sekumpulan anak ayam ditinggalkan induknya ketika ketua mereka, Cia Hui Song, bertapa di makam isterinya yang kedua, sedangkan ketua lama, Cia Kong Liang hanya bersemedhi di dalam kamarnya tanpa mau mencampuri urusan luar, dan Sui Cin juga bersikap acuh terhadap perkumpulan itu karena bagaimana pun juga, dia merasa bukan haknya untuk memimpin Cin-ling-pai. Akan tetapi sekarang muncul Cia Kui Hong yang demikian lihai, maka para murid mempunyai harapan untuk dapat memperoleh seorang pemimpin yang pandai dan boleh diandalkan, juga yang ahli dalam ilmu-ilmu silat Cin-ling-pai.
"Hidup nona Cia Kui Hong!" teriak para murid. Ada yang menyebut sumoi, suci, dan juga nona! Kui Hong menjura ke arah mereka dengan sikap merendah.
"Para suheng dan sute, harap jangan terlalu memuji padaku. Ketahuilah, aku memperoleh kemajuan karena aku tekun dan giat berlatih, juga aku sudah menerima bimbingan kakek dan nenekku di Pulau Teratai Merah. Akan tetapi aku mengajak kalian berlatih bukannya untuk pamer, melainkan karena aku melihat kelesuan di antara kalian. Marilah kita berlatih dengan baik, karena kalau bukan kita siapa lagi yang harus menegakkan nama besar Cin-ling-pai! Dan bagaimana kita akan mampu menegakkan nama besar Cin-ling-pai bila kita lemah dan malas berlatih? Ketahuilah, aku membawa berita baik, yaitu bahwa mulai hari ini ayahku, yaitu ketua kalian, telah meninggalkan tempat pertapaan dan akan memimpin Cin-ling-pai seperti biasa."
Mendengar ini semua murid segera bersorak gembira sekali karena berita ini merupakan berita baik. Kui Hong mencari dengan matanya dan akhirnya dia melihat pemuda tinggi besar bermuka putih yang bernama Tang Cun Sek itu, murid Cin-Iing-pai yang baru dan amat disuka oleh kakeknya, yang menurut kakeknya lihai sekali karena sebelum masuk menjadi anggota Cin-ling-pai sudah mempunyai banyak macam ilmu silat yang tinggi. Dia melihat pemuda itu di sudut, turut pula bertepuk tangan dengan para murid lain.
Tiba-tiba seorang murid lain yang berdiri di dekat Tang Cun Sek, yakni murid bertubuh kurus yang dikenal oleh Kui Hong sebagai seorang murid lama dan terhitung suheng-nya, berusia tiga puluh lima tahun, bangkit berdiri dan berkata dengan suara nyaring,
"Tentu saja kami gembira sekali mendengar berita itu, Cia-sumoi, akan tetapi kami pernah mendengar bahwa nanti akan diadakan pemilihan ketua baru untuk Cin-ling-pai. Sampai di mana kebenaran berita itu?"
Kui Hong kembali bertemu pandang dengan Tang Cun Sek dan ia melihat betapa pemuda itu memandang kepadanya dengan penuh perhatian, seakan-akan tertarik sekali dan ingin benar mendengar jawabannya atas pertanyaan itu.
Gadis itu tersenyum. Tentu saja para murid itu juga telah mendengar akan hal ini, karena bukankah kakeknya juga mendengar? Dia mengangguk dan memandang ke sekeliling.
"Memang benar, ayahku telah memberi tahu pula kepadaku bahwa dalam waktu dekat ini akan diadakan pesta di Cin-ling-pai, pertama untuk merayakan hari ulang tahun ke tujuh puluh dari kakekku..."
"Hidup dan panjang umur lo-pangcu!" terdengar para murid Cin-ling-pai serentak berseru untuk menghormati ketua lama yang akan merayakan ulang tahunnya itu.
"Dan yang kedua, memang ayahku berniat untuk mengangkat seorang ketua Cin-ling-pai yang baru. Hal ini adalah karena ayah dan ibuku hendak pergi merantau dan tidak baik kalau Cin-ling-pai dibiarkan tanpa ketua," sambung Kui Hong.
"Mengapa mesti susah-susah mencari ketua baru? Nona Cia Kui Hong sangat lihai dan amat pantas menjadi pengganti ketua!" terdengar teriakan seorang murid dan ucapan ini kembali mendapat sambutan sorak-sorai, tanda bahwa sebagian besar dari para murid itu setuju jika Kui Hong menjadi ketua Cin-ling-pai. Mereka sudah melihat kelihaian Kui Hong dan juga merasa senang sekali kalau ketua mereka seorang gadis yang demikian cantik dan gagah perkasa!
Sejenak Kui Hong memperhatikan wajah Tang Cun Sek. Akan tetapi pemuda tinggi besar yang bermuka putih itu kelihatan tenang saja, malah tersenyum dan mengangguk-angguk tanpa menyatakan setuju, akan tetapi juga tidak menentang.
Wajah Kui Hong yang menjadi merah, "Aihh, para Sute dan Suheng ini ada-ada saja. Aku hanya seorang wanita, bagaimana dapat menjadi seorang ketua yang harus menghadapi banyak tantangan dan persoalan? Aku paling tidak suka dengan kesibukan, apa lagi kalau harus mempergunakan otak memikirkan banyak persoalan. Aku ingin bebas. Kurasa Cin-ling-pai memiliki cukup banyak murid yang pandai dan pantas untuk menjadi ketua, kalau memang ayah menghendaki adanya seorang ketua baru," berkata demikian, kembali Kui Hong melayangkan pandang matanya kepada Tang Cun Sek yang masih diam saja, tidak membuat tanggapan apa pun.
"Sudahlah, kita menanti datangnya saat itu dan kita lihat saja nanti. Bagaimana pun juga, seorang calon ketua Cin-ling-pai haruslah benar-benar seorang yang selain pandai ilmu silat Cin-ling-pai juga bijaksana. Tentu kepandaiannya itu akan diuji lebih dulu, dan kurasa para susiok dan pemuka Cin-ling-pai juga sudah siap untuk menghadapi peristiwa besar itu. Sekarang, siapa lagi yang ingin berlatih silat dengan aku?"
Dengan gembira para murid Cin-ling-pai itu lalu bergantian maju dan berlatih silat dengan gadis puteri ketua itu yang ternyata pandai dalam semua ilmu silat perkumpulan mereka. Dan Kui Hong tidak segan-segan untuk memberi petunjuk dan bimbingan kepada mereka dengan hati tulus.
Demikianlah, semenjak Kui Hong pulang ke Cin-ling-pai banyak di antara para murid yang memperoleh kegembiraan baru dan mereka mulai rajin lagi berlatih silat. Sementara itu Cia Hui Song sibuk mengirim surat undangan kepada para tokoh pendekar dan pimpinan perkumpulan persilatan besar untuk menghadiri pesta yang akan diadakan dengan dua peristiwa penting, yaitu pertama untuk merayakan hari ulang tahun ayahnya yang ke tujuh puluh tahun, dan ke dua untuk mengadakan pemilihan ketua baru dari Cin-ling-pai dengan disaksikan oleh para tokoh yang hadir.
Dan tanpa diketahui orang lain kecuali ketua Cin-ling-pai itu dan anak isterinya, pesta itu pun diam-diam diadakan untuk merayakan pertemuan serta bersatunya keluarga mereka setelah berpisah batin selama kurang lebih empat tahun lamanya. Sesudah mengirimkan surat-surat undangan, Cin-ling-pai sibuk membuat persiapan untuk menyambut datangnya hari baik itu dan tempat-tempat darurat dipersiapkan untuk menampung para tamu.
Cin-ling-pai adalah sebuah perkumpulan besar yang sudah sangat terkenal. Keluarga Cia yang sejak turun temurun memimpin Cin-ling-pai juga dikenal sebagai pendekar-pendekar gagah perkasa, dan para murid perkumpulan ini juga belum pernah ada yang melakukan penyelewengan sehingga nama Cin-ling-pai amat dihormati dan disegani dunia kang-ouw, ditakuti golongan hitam dan dikagumi para pendekar.
Oleh karena itu para tokoh persilatan yang telah menerima undangan dari pihak Cin-ling-pai memerlukan datang untuk memberi selamat kepada kakek Cia Kong Liang, juga untuk menyaksikan pemilihan ketua baru yang tentunya akan menarik sekali. Seperti telah lajim dilakukan di kalangan persilatan, penggantian ketua selalu diramaikan dengan ujian ilmu silat, bahkan di dalam kesempatan itu tidak jarang terjadi adu ilmu.
Juga berita bahwa Cin-ling-pai hendak mengangkat seorang ketua di antara para murid, bukan keturunan langsung dari ketua yang sekarang, merupakan hal yang amat menarik bagi para tokoh kang-ouw. Sedikit sekali di antara mereka yang menerima undangan tidak menyempatkan diri untuk datang hadir.
Pada hari yang sudah ditentukan, para tamu berdatangan mendaki Gunung Cin-ling-san. Para murid kepala Cin-ling-pai menyambut mereka dengan sikap hormat, lantas mereka dipersilakan masuk ke dalam taman yang luas di belakang rumah induk. Memang taman itu sudah dipersiapkan untuk pesta ini.
Sebuah taman yang amat luas dan kini telah dihias dan kursi-kursi berpencaran di antara tanaman bunga. Di tengah taman yang lapang itu dibangun sebuah panggung dan pihak tuan rurnah duduk di deretan kursi yang diletakkan di sudut, menghadap ke arah semua tamu yang duduk membentuk setengah lingkaran menghadap ke panggung.
Ternyata Cia Hui Song, ketua Cin-ling-pai tak ingin membuat pesta besar-besaran. Tamu yang diundang tidak banyak, dan mereka yang sudah datang semua itu hanya berjumlah kurang lebih seratus lima puluh orang, terdiri dari berbagai macam golongan, tokoh-tokoh persilatan, pimpinan perkumpulan silat, dan orang-orang penting dalam dunia persilatan.
Walau pun tamu yang diundang tidak begitu banyak, namun mereka mewakili tokoh-tokoh yang terpenting. Suasana pesta itu pun cukup meriah karena Cin-ling-pai mendatangkan rombongan musik, nyanyian dan tari yang kenamaan, juga mendatangkan koki yang telah berpengalaman.
Tentu saja tamu yang diundang itu hanyalah tokoh-tokoh kalangan persilatan yang tinggal di daerah Propinsi Shensi saja, terutama mereka yang tinggal di kota-kota besar seperti Sian, Han-cung, Pao-ci, Yen-an dan sebagainya. Namun semua perkumpulan persilatan besar seperti Siauw-lim-pai, Bu-tong-pai, dan Kun-lun-pai telah diwakili oleh wakil masing-masing yang terdapat di Propinsi Shensi karena kebetulan sekali di propinsi ini terdapat murid-murid pandai dari perkumpulan besar itu yang dapat mewakili perkumpulan masing-masing.
Para tamu secara bergiliran memberi selamat kepada kakek Cia Kong Liang yang duduk di sudut panggung. Karena telah bertahun-tahun selalu mengeram diri di dalam kamarnya dan bersemedhi, maka kakek ini pun merasa lemah kalau terlalu lama berdiri, maka dia menyambut penghormatan para tamu sambil duduk.
Puteranya, Cia Hui Song atau ketua Cin-ling-pai, berdiri di sebelah kanannya. Dialah yang membalas setiap ucapan selamat para tamu itu dengan penghormatan, mewakili ayahnya yang hanya duduk sambil tersenyum dan mengangguk-angguk terhadap setiap para tamu yang menghaturkan selamat kepadanya.
Sesudah memberi kesempatan kepada para tamu untuk memberi selamat kepada kakek Cia Kong Liang, Cia Hui Song lantas memberi ucapan selamat datang kepada para tamu dan pesta pun dimulailah dengan meriah. Rombongan pemain musik, penari dan penyanyi mulai memperlihatkan kemahiran mereka, maka taman itu pun penuh dengan senyum dan tawa di antara mengalirnya arak dan anggur harum sebagai teman hidangan yang serba lezat karena dibuat oleh koki yang pandai.
Para tamu mulai makan minum sambil mengobrol dengan gembira. Ada pula yang makan minum sambil menikmati tontonan yang amat menarik, yaitu tari-tarian dan nyanyian yang dilakukan para gadis cantik. Mereka semua bergembira, terutama sekali karena mereka tahu bahwa sesudah makan minum mereka akan disuguhi tontonan yang sedang mereka nanti-nantikan, bahkan yang sudah mendorong mereka untuk hadir dalam pesta itu, yaitu pemilihan ketua baru dari Cin-ling-pai.
Para tamu muda tak ada hentinya mengerling ke arah panggung di mana duduk seorang gadis yang amat menarik perhatian mereka, apa lagi sesudah mereka mendengar bahwa gadis yang cantik jelita dan gagah itu bukan lain adalah puteri ketua Cin-ling-pai! Nama Cia Kui Hong sudah banyak dikenal orang kalangan persilatan karena gadis ini termasuk seorang di antara para pendekar yang telah ikut membasmi pemberontakan yang dipimpin oleh Lam-hai Giam-lo. Apa lagi mereka pun mendengar bahwa gadis cantik dan gagah perkasa itu, yang usianya sudah sembilan belas tahun, bagaikan setangkai bunga mawar sedang mekar mengharum dengan indahnya, belum menikah, bahkan belum bertunangan!
Sesudah pesta makan minum selesai, Cia Hui Song lalu bangkit dan melangkah maju ke tengah panggung, menghaturkan terima kasih kemudian memberi tahu kepada para tamu bahwa kini Cin-ling-pai hendak mengadakan pemilihan ketua baru dan dia berharap agar para tamu suka menjadi saksi.
"Harap Cia-pangcu (Ketua Cia) suka memberi tahu kepada kami kenapa pangcu hendak mengadakan pemilihan ketua baru? Bukankah pangcu adalah ketuanya dan Cin-ling-pai sudah mendapat banyak kemajuan selama dalam bimbingan pangcu?" terdengar seorang tamu berseru.
Para tamu lainnya mengangguk menyatakan persetujuan mereka dengan pertanyaan itu karena memang rata-rata mereka merasa heran akan pemilihan ketua Cin-ling-pai secara tiba-tiba ini, pada hal ketuanya masih muda dan memiliki ilmu kepandaian tinggi.
Mendengar pertanyaan ini, Hui Song tersenyum ramah dan mengangguk. Dia memang sudah mempersiapkan diri menghadapi pertanyaan seperti itu.
"Harap cu-wi (anda sekalian) tidak salah sangka. Sebenarnya tidak terjadi sesuatu yang aneh dalam perkumpulan kami dan pemilihan ketua baru ini wajar saja. Tidak lain karena saya bersama isteri ingin merantau dan karena merasa tidak baik jika meninggalkan Cin-ling-pai tanpa seorang ketua, maka sebelum pergi kami hendak mengadakan pemilihan ketua baru. Kami sengaja memilih hari ini agar ada cu-wi yang dapat menjadi saksi."
Keterangan Cia Hui Song ini agaknya dapat diterima karena tidak ada lagi di antara para tamu yang mengajukan pertanyaan. Cia Hui Song kemudian menyerahkan pimpinan untuk pemilihan ketua baru itu kepada ayahnya. Baru sekarang Cia Kong Liang yang sudah tua itu nampak bersemangat setelah puteranya menyerahkan pimpinan kepadanya. Dia masih tetap duduk di atas kursinya, akan tetapi suaranya terdengar lantang ketika dia berkata,
"Semua murid dan anggota Cin-ling-pai tanpa terkecuali, harap semuanya berkumpul di dekat panggung!"
Maka berkumpullah semua murid Cin-ling-pai, bahkan mereka yang tadinya bertugas jaga atau ikut melayani tamu, kini ikut pula berkumpul. Setelah semua murid berkumpul dekat panggung, menempati bagian belakang panggung supaya tidak menghalangi pandangan para tamu yang duduk di kursi menghadap panggung, ketua lama Cia Kong Liang berkata kembali, nada suaranya tegas dan berpengaruh.
"Sekarang dimulai tahap pertama, yaitu para murid diberi kesempatan untuk mengajukan calon-calon yang mereka pilih!"
Semenjak ada pernyataan ketua Cin-ling-pai bahwa akan diadakan pemilihan ketua baru, maka sudah terjadi semacam persaingan di antara para murid Cin-ling-pai. Di satu pihak ada yang memilih Gouw Kian Sun untuk menjadi ketua.
Gouw Kian Sun ini berusia hampir empat puluh tahun, dan dialah yang dapat dikata murid Cin-ling-pai terpandai di waktu itu. Dia adalah sute dari Cia Hui Song, atau murid dari Cia Kong Liang dan murid ini sudah menguasai seluruh ilmu silat Cin-ling-pai. Bahkan dialah yang selama ini mengurus sebagian besar tugas di Cin-ling-pai ketika Hui Song bertapa di makam isterinya yang ke dua dan Cia Kong Liang mengeram diri di dalam kamarnya. Oleh Cia Hui Song dia diangkat pula menjadi pembantu utama.
Gouw Kian Sun ini seorang yang tidak memiliki keluarga, tidak punya orang tua dan dia belum menikah sungguh pun usianya sudah hampir empat puluh tahun. Orangnya sangat rajin, setia terhadap Cin-ling-pai, bertanggung jawab serta pendiam. Semua murid tingkat atas maklum belaka bahwa Gouw Kian Sun memiliki ilmu kepandaian silat yang menonjol dan hanya berada di bawah tingkat kepandaian ketua sendiri! Karena itu, maka sebagian murid memilih dan mengajukan dia sebagai calon ketua.
Tetapi ada sebagian murid yang memilih Tang Cun Sek! Hal ini adalah karena mereka itu percaya akan kelihaian Tang Cun Sek yang menguasai banyak ilmu silat selain ilmu-ilmu Cin-ling-pai dan mereka menganggap bahwa kalau Cun Sek menjadi ketua, tentu mereka akan bisa mempelajari ilmu-ilmu silat yang baru. Di samping itu, juga Tang Cun Sek yang pendiam itu menarik perhatian, terutama sesudah para murid tahu bahwa Tang Cun Sek agaknya disayang oleh ketua lama, yaitu kakek Cia Kong Liang!
Sebelum Kui Hong pulang ke Cin-ling-san, para murid terbagi menjadi dua kelompok yang memilih dua orang ini, akan tetapi sesudah gadis itu pulang, banyak di antara para murid yang condong memilih gadis puteri ketua itu menjadi pangcu (ketua) yang baru! Maka, ketika kakek Cia Kong Liang menyuruh para murid memilih dan mengajukan calon ketua terdengarlah teriakan-teriakan yang menyebut tiga nama.
"Gouw Kian Sun!"
"Tang Cun Sek!"
"Nona Cia Kui Hong...!"
Demikianlah terdengar para murid meneriakkan nama calon masing-masing. Mendengar disebutnya nama Cia Kui Hong itu, Cia Hui Song saling pandang dengan isterinya, Ceng Sui Cin. Mereka tidak menyangka bahwa ada sebagian murid yang memilih puteri mereka sebagai calon ketua baru!
Akan tetapi karena mereka berada pada suatu upacara pemilihan, tentu saja mereka tidak dapat menyatakan sesuatu dan suara dari para murid pada waktu seperti itu mempunyai hak dan kekuasaan. Mereka hanya memandang kepada puteri mereka yang juga nampak terkejut mendengar namanya disebut-sebut sebagai calon ketua!
Akan tetapi Kui Hong pun hanya tersenyum saja karena merasa tidak enak jika menolak begitu saja. Diapun sudah tahu akan peraturan pemilihan seperti ini, harus tunduk kepada suara banyak dan yang berhak menentukan adalah suara terbanyak. Jika dia menyatakan penolakannya, maka sama saja dengan melanggar peraturan yang sudah diadakan oleh perkumpulannya sendiri, atau sama saja dengan mengkhianati Cin-ling-pai.
Akan tetapi gadis yang cerdik ini diam-diam membayangkan bagaimana kalau dia menjadi ketua, terikat oleh tugas dan kewajiban. Diam-dim dia merasa ngeri dan dalam benaknya sudah diaturnya bagaimana supaya dia dapat mengatasi hal itu. Dia pun sudah mengenal Gouw Kian Sun yang dipanggilnya susiok, seorang yang setia kepada Cin-ling-pai, pandai dan juga bijaksana.
Dan dara ini pun tahu bahwa calon ke dua, Tang Cun Sek, adalah orang yang didukung oleh kakeknya, juga mempunyai banyak pendukung di antara para murid Cin-ling-pai. Biar pun dia sendiri belum membuktikan, dia mendengar bahwa Tang Cun Sek adalah orang yang mempunyai ilmu kepandaian tinggi! Bahkan menurut keterangan kakeknya, pemuda tinggi besar bermuka putih itu mempunyai kepandaian silat yang tingkatnya tidak berada di bawah tingkat ayahnya atau ibunya! Sungguh hal ini sukar untuk dapat dipercayanya.
Ayahnya adalah murid dari mendiang Siangkiang Lojin, seorang di antara Delapan Dewa, ada pun ibunya adalah puteri tunggal Pendekar Sadis, kongkong-nya yang amat sakti dan neneknya yang juga tak kalah saktinya! Kalau benar Tang Cun Sek ini mempunyai tingkat kepandaian seperti ayahnya atau ibunya, tentu dia lihai bukan main dan mudah diduga bahwa tingkat kepandaian susiok-nya, Gouw Kian Sun yang menjadi calon pertama itu tidak akan mampu mengalahkannya.
Tentu saja diam-dlam Kui Hong condong memilih susiok-nya yang sudah dikenal benar wataknya. Setelah dia bicara dengan ayah ibunya tentang Tang Cun Sek, ternyata bahwa ayah ibunya agaknya juga tidak begitu setuju apa bila orang ini menjadi ketua baru, akan tetapi ayah ibunya juga merasa sungkan terhadap kakeknya.
"Kami sendiri belum pernah membuktikan sampai di mana kelihaiannya," demikian antara lain Cia Hui Song menjawab pertanyaan puterinya mengenai Tang Cun Sek. "Akan tetapi ketika dia mohon menjadi murid Cin-ling-pai, sikapnya amat baik sehingga tak ada alasan bagiku untuk menolaknya. Dan dia memang berbakat sekali karena semua ilmu silat Cin-ling-pai dapat dikuasainya dengan baik, bahkan yang bagaimana sukar pun. Dan dia pun amat tekun belajar, bahkan paling menonjol dalam hal ketekunannya."
"Dan bagaimana pun juga harus kami akui bahwa sikapnya amat baik. Dia pendiam, tidak banyak cakap dan tidak banyak ulah, bahkan rajin pula bekerja. Tak ada alasan bagi kami untuk merasa kecewa atau tidak suka kepadanya."
"Dan agaknya ayah memang amat suka kepada pemuda itu. Entah mengapa kakekmu itu sering memanggilnya, dan bahkan hanya Tang Cun Sek yang diperkenankan memasuki pondoknya, kemudian bahkan mengharuskan murid itu yang melayani kakekmu," kata Hui Song.
"Ayah dan Ibu, agaknya kakek sudah condong memilih dia sebagai ketua baru, bahkan kakek pernah mengatakan kepadaku bahwa murid itu pantas menjadi jodohku. Hemmm, agaknya kakek sudah suka bukan main kepada Tang Cun Sek itu."
Ayah dan ibunya saling pandang dan tersenyum. "Mengenai hal itu, terserah kepadamu, anakku," kata Ceng Sui Cin. "Ayahmu dan aku memang sudah ingin sekali mempunyai mantu dan cucu, tetapi tentang jodohmu, kami menyerahkan sepenuhnya pada pilihanmu. Biar pun kakekmu serta ayah dan ibumu telah menyukai seorang calon suamimu, namun kalau engkau sendiri tidak suka dan tidak setuju, siapa pun tak akan dapat memaksamu."
Mendengar ucapan ibunya itu, Kui Hong lalu merangkul dan mencium pipi ibunya dengan hati yang girang dan terharu. Ucapan ibunya itu saja telah menunjukkan betapa besarnya cinta kasih ayah dan ibunya kepadanya.
"Terima kasih, Ayah dan Ibu. Semoga saja aku dapat menemukan seorang jodoh yang akan menyenangkan hati kita semua, juga termasuk hati kakek."
Kini hati Kui Hong merasa tidak enak. Yang diajukan oleh para murid Cin-ling-pai hanya dua orang saja, tiga dengannya. Dan di antara kedua orang itu, agaknya Tang Cun Sek yang lebih unggul. Apakah dia harus memperebutkan kedudukan ketua dengan Tang Cun Sek? Padahal dia sama sekali tak ingin menjadi ketua! Tetapi membiarkan Tang Cun Sek menjadi ketua Cin-ling-pai yang baru? Hal inilah yang diragukannya sebab dia belum tahu benar bagaimana watak orang baru itu. Bahkan ayah dan ibunya juga belum mengenal wataknya dengan baik. Dia lalu mendekati ibunya dan berbisik.
"Ibu, bagaimana ini? Aku tidak ingin menjadi ketua. Apakah kita harus membiarkan Cun Sek menjadi ketua baru? Apakah susiok Gouw Kian Sun mampu mengalahkannya dalam ujian ilmu silat?"
Ibunya kemudian balas berbisik kepadanya. "Dengar, Kui Hong. Terus terang saja, aku pun masih belum percaya kepadanya. Kalau memang dia seorang murid yang baik, tentu dia tidak mengandalkan kepandaian dari luar untuk merebut kemenangan dan menduduki jabatan ketua! Tentu dia akan mengalah dan membiarkan susiok-mu Gouw Kian Sun yang menjadi ketua baru. Karena itu lihat saja baik-baik, dan kalau perlu engkau harus menjadi penghalang agar dia tidak menjadi ketua dengan jalan kekerasan atau mempergunakan kepandaian silat yang datang dari luar Cin-ling-pai. Mengertikah engkau?"
Kui Hong mengangguk dan pada saat itu terdengar suara kakek Cia Kong Liang, lantang berwibawa, "Apakah hanya tiga orang itu yang dijadikan calon oleh para murid?"
Terdengar para murid Cln-ling-pai menjawab berbareng seperti sarang lebah diusik, tetapi semua membenarkan pertanyaan ketua lama itu. Akan tetapi di antara para tamu tiba-tiba saja nampak seorang laki-laki bangkit berdiri dari kursinya. Dia seorang pria yang usianya kurang lebih tiga puluh tahun, dan dia adalah seorang di antara para wakil Bu-tong-pai.
"Maaf, Cia Locianpwe (orang tua gagah Cia). Bolehkah kami ikut mengajukan pertanyaan karena walau pun bukan anggota Cin-ling-pai namun kami hadir di sini sebagai saksi."
Kakek Cia Kong Liang tersenyum mendengar pertanyaan itu. "Tentu saja boleh. Silakan!"
"Locianpwe, apakah yang berhak menjadi calon ketua hanya murid atau anggota Cin-ling-pai saja? Bagaimana kalau ada orang luar yang hendak masuk pula menjadi calon dan menghadapi ujian, ingin menjadi ketua Cin-ling-pai yang baru?"
Kakek Cia Kong Liang kemudian memperlebar senyumnya. "Sungguh aneh pertanyaan itu, orang muda yang gagah. Kurasa tidak ada perkumpulan silat di dunia ini yang akan membolehkan orang luar menjadi ketua mereka. Dan kami pun tidak terkecuali. Tentu saja yang berhak menjadi calon ketua hanyalah seorang murid Cin-ling-pai."
"Maaf, Locianpwe," kata lagi orang itu. "Telah bertahun-tahun kami mengenal Cin-Iing-pai, dan banyak murid-murid utama Cin-ling-pai yang kami kenal sebagai pendekar-pendekar budiman. Saudara Gouw Kian Sun juga kami kenal sebagai seorang anggota Cin-ling-pai yang gagah perkasa dan sudah selayaknya kalau dia terpilih menjadi calon ketua. Juga nona Cia Kui Hong, sudah sepatutnya pula menjadi calon sebab dia adalah seorang puteri Cia Pang-cu. Akan tetapi orang ke tiga yang namanya disebut tadi, Tang Cun Sek, sama sekali tidak kami kenal. Apakah dia seorang anggota Cin-ling-pai?"
Mendengar pertanyaan ini, berkerut kening Tang Cun Sek, namun hanya Kui Hong yang agaknya memperhatikan perubahan pada wajahnya. Gadis itu melihat betapa sinar mata Cun Sek seperti mengeluarkan api ditujukan kepada si pembicara.
"Tang Cun Sek memang seorang anggota baru," kata kakek Cia Kong Liang. "Baru empat tahun dia menjadi murid Cin-ling-pai, maka dia pun berhak untuk menjadi calon ketua."
"Empat tahun?" Orang Bu-tong-pai itu berseru heran. "Locianpwe, bagaimana mungkin seorang murid yang baru empat tahun mempelajari ilmu-ilmu dari Cin-ling-pai tahu-tahu dapat diangkat menjadi ketua? Tentu ilmu silatnya belum ada artinya sama sekali!"
"Tidak, biar pun dia baru empat tahun menjadi murid Cin-ling-pai, namun sebelumnya dia sudah menguasai banyak macam ilmu silat tinggi. Kalau dia tidak mempunyai kepandaian tinggi, bagaimana mungkin dia dipilih?" Agaknya kakek itu ingin menyudahi percakapan ini, maka dia pun segera berseru dengan suara lantang, "Tiga orang calon yang terpilih supaya maju dan naik ke atas panggung!"
Yang muncul lebih dahulu adalah Tang Cun Sek. Karena seperti para murid Cin-ling-pai lainnya dia pun berdiri di bawah panggung maka kini dia meloncat ke atas panggung yang tingginya sekepala orang itu. Agaknya dia memang ingin memperlihatkan kepandaiannya karena ketika dia meloncat, seperti terbang saja tubuhnya melayang naik jauh lebih tinggi dari panggung itu, berjungkir balik tiga kali sebelum dia turun ke atas panggung.
Agaknya, untuk minta maaf atas perbuatannya yang seperti memamerkan kepandaian ini, begitu kedua kakinya turun, dia langsung menjatuhkan diri berlutut di hadapan kakek Cia Kong Liang, memberi hormat kepada kakek yang terhitung kakek gurunya itu.
Cia Kong Liang memandang dengan wajah berseri, "Cun Sek, bangkitlah dan berdirilah di tengah panggung agar dikenal oleh semua tamu."
Akan tetapi Cun Sek tak segera bangkit berdiri, melainkan cepat memberi hormat kepada Cia Hui Song dan Ceng Sui Cin yang disebutnya suhu dan subo. Barulah dia bangkit dan mundur sampai ke tengah panggung, kemudian membalik dan menghadap ke arah para tamu sambil menjura dan bersoja (memberi hormat dengan kedua tangan dirangkap di depan dada).
Para murid yang menjagoinya bertepuk tangan menyambut kehadiran orang muda tinggi besar ini. Melihat seorang pemuda berusia sekitar tiga puluh tahun, bertubuh tinggi besar bermuka putih, tampan dan gagah, sepasang matanya mencorong, para tamu diam-diam memandang kagum.
Sementara itu Gouw Kian Sun juga meloncat ke atas panggung, meloncat biasa saja lalu menjatuhkan diri berlutut memberi hormat kepada suhu dan suheng-nya. Dan berbareng dengan itu, Kui Hong juga melangkah maju, berlutut di dekat susiok-nya.
"Suhu dan Suheng, sesungguhnya teecu tidak berani maju secara lancang untuk menjadi calon ketua, tetapi teecu didorong oleh para anggota Cin-ling-pai yang memilih teecu."
Kui Hong yang berlutut di sampingnya cepat berkata, cukup keras untuk didengar semua orang, "Susiok, mengapa begitu? Engkaulah satu-satunya orang yang paling tepat untuk menggantikan ayah kalau ayah mengundurkan diri!"
"Kian Sun! Kui Hong, bangkitlah dan berdiri di tengah panggung untuk memperkenalkan diri kepada para tamu!" terdengar kakek Cia Kong Liang berseru dengan suara nyaring.
Kian Sun dan Kui Hong bangkit lantas berdiri di tengah panggung seperti yang dilakukan Cun Sek, dan para murid Cin-ling-pai yang mendukung mereka menyambut dengan tepuk tangan dan sorak sorai.
Kembali terdengar suara kakek Cia Kong Liang yang menyuruh ketiga orang calon yang terpilih itu untuk duduk, lalu dengan lantang dia memberi tahu kepada para tamu dan para murid Cin-ling-pai bahwa kini pemilihan ketua baru itu akan dimulai. Pertama-tama, ketiga orang calon itu diharuskan memperlihatkan keahlian mereka dalam Ilmu Silat Cin-ling-pai untuk dinilai. Para penilainya, di samping kakek Cia Kong Liang sendiri, juga Cia Hui Song sebagai pangcu dan tujuh orang murid tertua yang menjadi suheng dan sute ketua.
"Calon ketua Tang Cun Sek, perlihatkanlah kemampuanmu!" terdengar kakek Cia Kong Liang berseru.
Pemuda tinggi besar itu bangkit berdiri, berjalan ke tengah panggung, memberi hormat ke arah kakek itu bersama para wasit, kemudian menjura ke arah para tamu dan mulailah dia bersilat. Dia menggerakkan tubuhnya dan memainkan Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun, sebuah di antara ilmu-ilmu silat yang ampuh dari Cin-ling-pai.
Ilmu ini memang sangat indah, dan sekarang dimainkan dengan gerakan sempurna, juga dengan pengerahan tenaga sakti yang membuat setiap gerakan tangan atau kaki pemuda itu mengeluarkan suara angin mencuit sehingga para tamu dapat merasakan betapa ada angin menyambar-nyambar dari arah panggung.
Secara diam-diam Kui Hong sendiri terkejut bukan main karena dia dapat pula merasakan sambaran angin itu, maka tahulah gadis ini bahwa Tang Cun Sek memang seorang yang amat tangguh! Dia mengikuti semua gerakan pemuda itu dan walau pun permainan Silat Thai-kek Sin-kun itu amat hebat, akan tetapi dia masih dapat melihat suatu kekakuan atau ketidak wajaran yang menunjukkan bahwa ilmu silat itu sudah 'berbau' ilmu silat lain yang menjadi dasar gerakan pemuda itu. Hanya di dalam pandangan mata seorang ahli sajalah hal ini akan dapat nampak.
Kui Hong tahu bahwa para wasit yang terdiri dari kakeknya, ayahnya dan para supek dan susiok-nya, yang semuanya adalah ahli-ahli Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun, tentu akan dapat melihatnya pula. Hanya saja, kenyataan ini dapat menimbulkan dua macam tanggapan. Pertama adalah tanggapan bahwa Thai-kek Sin-kun yang dimainkan pemuda itu menjadi bertambah indah dan ampuh, namun yang ke dua adalah kenyataan bahwa ilmu itu tidak dimainkan secara murni lagi sehingga gerakan Cun Sek dapat dianggap kurang tepat.
Dan secara diam-diam Kui Hong harus mengakui bahwa ilmu silat Thai-kek Sin-kun yang dimainkan pemuda itu memang hebat sekali, biar pun dia sendiri tidak melihat kemajuan dalam segi keindahannya karena 'berbau' dasar ilmu silat lain, namun gerakannya cepat dan mengandung angin pukulan yang hebat. Pemuda ini akan menjadi lawan yang amat tangguh, pikirnya.
Sekarang dia percaya akan keterangan kongkong-nya bahwa Cun Sek ini memiliki tingkat kepandaian yang setara dengan ayah serta ibunya. Harus diakuinya sendiri bahwa andai kata dia belum digembleng secara keras oleh kakeknya dan neneknya di Pulau Teratai Merah, maka dia sendiri bukanlah tandingan anggota baru Cin-ling-pai ini.
Tiba-tiba saja Cun Sek merubah ilmu silatnya dan dia kini memainkan ilmu silat Thian-te Sin-ciang, satu di antara ilmu silat yang amat tangguh dari perguruan Cin-ling-pai. Seperti juga Thai-kek Sin-kun tadi, ilmu ini pun dalam pandangan Kui Hong berbau gerakan ilmu asing sungguh pun harus diakuinya bahwa gerakan-gerakan pemuda itu cepat sekali dan semua pukulannya mengandung tenaga yang kadang bertentangan sebagai ciri khas ilmu silat Thian-te Sin-kun, tenaganya kadang keras dan kadang lunak.
Berturut-turut Cun Sek memainkan sebagian dari ilmu-ilmu silat yang lain seperti San-in Kun-hwat, dan bahkan Im-yang Sin-kun yang merupakan ilmu simpanan dari ketua lama Cia Kong Liang. Kini mengertilah Cia Hui Song dan isterinya bahwa diam-diam ayahnya telah mendidik pemuda itu dengan ilmu silat simpanan ini.
Bukan itu saja, bahkan yang terakhir, pemuda itu menghunus sebatang pedang. Semua orang merasa silau ketika ada sinar emas berkilat dan pemuda itu sudah memainkan ilmu pedang Siang-bhok Kiam-sut, ilmu pedang yang paling rahasia dari Cin-ling-pai dan yang hanya diajarkan kepada murid-murid tingkat tertinggi saja! Dan pedang yang digunakan itu bukan lain adalah Hong-cu-kiam, pedang yang dapat digulung, pedang pusaka milik kakek Cia Kong Liang.
Kembali Cia Hui Song dan isterinya, Ceng Sui Cin, saling pandang dan mereka mengerti bahwa pemuda ini benar-benar telah dipilih oleh ayah mereka. Tentu kakek itu yang telah mengajarkan ilmu pedang itu dan memberikan pedang Hong-cu-kiam pula!
Kui Hong sendiri merasa betapa perutnya panas. Dia adalah cucu tunggal dari kongkong-nya sebelum terlahir adik tirinya, Cia Kui Bu. Akan tetapi kongkong-nya itu belum pernah meminjamkan pedang pusaka itu kepadanya! Kini tahu-tahu kakeknya sudah memberikan atau meminjamkan pedang itu kepada pemuda ini. Dan kembali dia mengerutkan alisnya, maklum benar betapa tangguhnya pemuda ini dengan pedang pusaka Hong-cu-kiam itu.
Semua tamu yang terdiri dari tokoh-tokoh dunia persilatan nampak mengangguk-angguk dan kagum pada saat melihat betapa sinar emas itu bergulung-gulung mengelilingi tubuh pemuda itu yang sudah lenyap ditelan gulungan sinar emas! Tiba-tiba sinar itu lenyap dan nampaklah pemuda yang gagah itu berdiri tegak dengan pedang sudah melingkar pada pinggangnya, memberi hormat ke empat penjuru yang langsung disambut sorak sorai dan tepuk tangan dari para pendukungnya, juga dari sebagian para tamu yang merasa kagum.
Dengan anggunnya pemuda itu segera berlutut memberi hormat kepada Cia Kong Liang, kemudian kepada Cia Hui Song dan isterinya, baru dia mundur ke pinggir panggung dan duduk bersila dengan sikap sopan. Tang Cun Sek memang seorang pemuda yang pandai membawa diri. Orangnya gagah, dengan wajah tampan ganteng berkulit putih, tubuhnya tinggi besar sehingga pantaslah dia menjadi seorang pendekar.
Kakek Cia Kong Liang terlihat gembira melihat sambutan semua orang terhadap pemuda yang disukanya itu. Memang dia menyukai Cun Sek, dan hal ini tidak dapat disalahkan. Memang pemuda itu pandai sekali mengambil hati, bukan dengan menjilat-jilat, melainkan dengan sikapnya yang sangat sopan dan baik.
Selama menjadi murid Cin-ling-pai belum pernah dia memperlihatkan sikap yang tercela. Selain tampan dan gagah, juga dia pantas menjadi murid kebanggaan Cin-ling-pai, dan menurut penglihatan Cia Kong Liang pemuda itu sangat pantas menjadi cucu mantunya, menjadi suami Cia Kui Hong!
Karena itulah maka selama ini dia sendiri secara tekun sudah menggembleng pemuda itu dengan ilmu-ilmu silat simpanannya, bahkan menyerahkan pedang pusaka Hong-cu-kiam kepadanya. Bukankah pemuda itu adalah calon ketua Cin-ling-pai sekaligus calon cucu mantunya? Sudah sepatutnya mewarisi pedang pusakanya itu.
"Sekarang calon ketua Gouw Kian Sun, perlihatkan kemampuanmu!" terdengar kakek ini berkata. Gouw Kian Sun adalah muridnya sendiri, murid Cin-ling-pai yang paling pandai, tentu saja kalau tanpa memperhitungkan Cun Sek.
Gouw Kian Sun maju, lantas memberi hormat kepada Cia Kong Liang sebagai gurunya, kemudian kepada Cia Hui Song dan isterinya sebagai suheng dan juga ketua Cin-ling-pai, dan dengan sikap tenang dia pun lalu melangkah ke tengah panggung. Setelah memberi hormat kepada para penonton, dia pun mulai bersilat.
Seperti yang dipertontonkan oleh Tang Cun Sek tadi, ia juga memainkan semua ilmu silat Cin-ling-pai walau pun tidak semua jurus dikeluarkan, hanya dipilih jurus-jurus yang paling baik saja. Permainannya mantap dan menunjukkan kemahiran serta kematangan. Walau pun kecepatannya tidak seperti yang dipertontonkan Cun Sek tadi, juga sambaran angin pukulannya tidak sedahsyat pemuda tadi, tetapi semua yang ahli dalam ilmu silat Cin-ling-pai maklum bahwa inilah ilmu silat Cin-ling-pai yang asli.
Di lubuk hatinya yang paling dalam, kakek Cia Kong Liang sendiri harus mengakui bahwa permainan silat Gouw Kian Sun itu memang sudah mendekati kesempurnaan, gerakan-gerakannya mantap dan matang. Dan dia pun bukan tidak tahu bahwa gerakan silat Cun Sek tadi berbau percampuran gerakan silat asing. Akan tetapi karena dia sudah condong untuk memilih Cun Sek yang dipercayanya akan mampu memimpin Cin-ling-pai dengan baik dan bisa memajukan perkumpulan itu, maka dia pun memberi nilai yang lebih tinggi kepada pemuda itu.
Berbeda dengan Tang Cun Sek yang tadi menutup permainan silatnya dengan jurus Ilmu Pedang Siang-bhok Kiam-sut (Ilmu Pedang Kayu Harum), kini Gouw Kian Sun menutup ujiannya dengan permainan tongkat berpasangan yang disebut Siang-liong-pang (Tongkat Sepasang Naga). Dalam ilmu mempergunakan senjata ini pun gerakan Kian Sun sangat mantap dan jelas dia merupakan seorang lawan yang amat tangguh. Cia Hui Song sendiri diam-diam memuji kemajuan sutenya ini.
Ketika pria berumur empat puluh tahun itu berhenti bersilat, para pendukungnya bertepuk tangan memuji, termasuk Kui Hong yang bertepuk tangan paling keras dan panjang! Dara ini secara terang-terangan mendukung susiok-nya itu.
Namun pada saat itu pula suara kongkong-nya sudah menyebut namanya sebagai tanda bahwa tiba saatnya dia diharuskan menunjukkan kemampuannya bersilat sebagai salah seorang di antara tiga orang calon ketua yang dipilih oleh para anggota Cin-ling-pai.
"Kongkong, haruskah aku turut maju pula? Bukankah sudah jelas bahwa ilmu silat susiok tadi jauh lebih baik dan asli? Susiok Gouw Kian Sun adalah orang yang paling cocok dan tepat untuk menjadi ketua Cin-ling-pai yang baru menggantikan ayah kalau ayah memang mengundurkan diri!" Suaranya lantang didengar semua orang dan kakeknya mengerutkan kening.
"Cia Kui Hong," kakeknya berkata dengan suara yang lantang pula. "Menurut peraturan pemilihan ketua, setiap calon harus maju dan memperlihatkan kemampuannya. Sesudah itu baru diadakan pertandingan untuk menentukan siapa di antara para calon yang paling pandai sehingga tepat untuk menjadi ketua Cin-ling-pai yang baru. Nah, kini perlihatkanlah kemampuanmu!"
Kui Hong menghela napas panjang. Dia telah mengenal watak kakeknya yang keras hati. Kakeknya ini sudah menganggap bahwa Tang Cun Sek yang paling tepat untuk menjadi ketua karena memang dianggapnya paling baik. Dan agaknya kakeknya sudah demikian yakin akan kemenangan Tang Cun Sek!
Tidak, dia yang akan menentangnya, bukan menentang kehendak kakeknya, akan tetapi menggagalkan pemuda itu menjadi ketua Cin-ling-pai! Kalau perlu dia sendiri akan turun tangan dan menjadi pengganti ayahnya! Tentu saja dia harus mampu mengalahkan Tang Cun Sek dan dia harus mengerahkan seluruh kepandaiannya karena dia maklum betapa lihainya pemuda pilihan kakeknya itu.
Kalau pemuda itu berhasil memenangkan pemilihan ketua dan menjadi ketua baru, tentu kakeknya akan melanjutkan niatnya menjodohkan pemuda itu dengannya. Memang harus dia akui bahwa Cun Sek seorang pemuda yang tampan, gagah dan pandai ilmu silatnya, baik pula sikapnya. Akan tetapi entah mengapa, ada sesuatu pada diri pemuda itu yang tidak disukainya. Dia sendiri tidak mengerti mengapa dan apakah gerangan sesuatu itu.
Ketika Kui Hong bangkit dan berjalan ke tengah panggung, para pendukungnya segera menyambutnya dengan tepuk tangan yang meriah. Juga para tamu banyak yang bertepuk tangan, terutama sekali para undangan.
Memang Kui Hong nampak cantik bukan kepalang. Dia mengenakan celana biru dan baju merah muda, dengan sabuk berwarna kuning keemasan. Rambutnya digelung ke atas dan dihias tusuk sanggul dari emas yang berbentuk burung Hong dengan mata intan. Bibirnya tersenyum manis sekali, matanya tajam bersinar. Gadis berusia sembilan belas tahun ini bagai kembang yang sedang mekar semerbak mengharum. Bukan hanya nampak cantik jelita, akan tetapi juga gagah sekali.
Pada saat dia memberi hormat kepada para tamu, semua orang tersenyum dan yang tua mengangguk-angguk sedangkan yang muda ramai bertepuk tangan. Sepasang mata Cun Sek juga menyinarkan api penuh kagum, dan diam-diam dia membayangkan betapa akan senangnya jika dia dapat menjadi ketua Cin-ling-pai dengan dara jelita itu duduk di sisinya sebagai isterinya!
Sambil mengamati dara yang semenjak kepulangannya ke Cin-ling-pai telah membuatnya tergila-gila itu, Tang Cun Sek mengenang keadaan dirinya dan riwayatnya sendiri. Dia tak pernah mengenal ayah kandungnya sendiri. Pada saat dia sudah mulai dapat berpikir, dia mengajukan pertanyaan kepada ibunya kenapa dia memiliki she (nama keturunan) Tang, pada hal ayahnya seorang hartawan she Thio.
Ibunya dengan terus terang menceritakan bahwa ketika ibunya menikah dengan hartawan Thio, dia sudah menjadi seorang janda yang masih sangat muda, baru berusia dua puluh tahun, ada pun Cun Sek berusia tiga tahun. Ibunya melahirkan ketika berusia tujuh belas tahun, masih muda sekali. Mengenai ayah kandungnya, dengan sepasang alis berkerut ibunya bercerita begini:
"Ayah kandungmu adalah seorang she Tang. Aku sendiri tidak tahu namanya karena dia tak pernah mengaku, akan tetapi dia adalah seorang yang sakti dan dia memperkenalkan julukannya sebagai Ang-hong-cu (Si Kumbang Merah). Dan aku pun bukan isterinya, dia... dia memaksaku dengan ancaman mati sehingga aku terpaksa melayaninya. Selama tiga bulan dia sering datang ke kamarku di malam hari dan setelah aku mengandung, dia pun meninggalkan aku dan hanya meninggalkan benda ini agar kelak engkau mengenalnya. Inilah benda itu," demikian cerita ibunya sambil menyerahkan sebuah benda kecil yang selalu disimpan olehnya secara rahasia dan tak pernah terpisah dari tubuhnya. Benda itu sebuah mainan berbentuk seekor kumbang merah terbuat dari emas dan permata. Hanya itulah yang diketahuinya tentang ayah kandungnya.
"Orangnya tampan sekali dan pandai merayu, tubuhnya sedang, akan tetapi dia seperti iblis, datang dan pergi seperti pandai menghilang saja," demikian kata ibu kandungnya.
Sejak berusia tiga tahun dia hidup di rumah gedung Thio Wan-gwe (Hartawan Thio) yang dipanggilnya ayah karena memang merupakan ayah tirinya. Agaknya ayah tirinya tak mau mengakuinya sebagai anak sendiri sehingga ibunya terpaksa memberinya she Tang, yaitu nama keturunan jai-hwa-cat (penjahat pemerkosa wanita) yang juga she Tang.
Sebagai putera keluarga kaya raya, walau pun hanya anak angkat saja, dia hidup serba kecukupan, mewah dan dimanja, tetapi semenjak kecil Cun Sek memiliki kecerdikan yang lebih dari anak-anak biasa. Pada mulanya dia mempelajari kesusasteraan dengan sangat tekun, akan tetapi setelah berusia sepuluh tahun, dia mempergunakan banyak uang yang diperoleh dari ibunya untuk belajar ilmu silat!
Diam-diam dia menanam bibit dendam kebencian kepada orang yang oleh ibunya disebut Ang-hong-cu, ayah kandungnya sendiri karena orang itu setelah memperkosa ibunya dan ibunya mengandung dia kemudian meninggalkan ibunya begitu saja! Karena ibunya selalu menuruti permintaannya dan Cun Sek menghamburkan banyak sekali uang, dia pun bisa mempelajari banyak macam ilmu silat. Karena dia memang berbakat sekali, maka dia pun dapat menguasai bermacam-macam ilmu silat.
Akan tetapi ada satu kelemahan dalam diri pemuda yang cerdik dan berbakat, juga penuh semangat ini. Semenjak berusia enam belas tahun dia telah mulai memperhatikan wanita. Bukan sekedar memperhatikan, bahkan dia mulai terangsang bila bertemu wanita cantik.
Ayah tirinya mempunyai lima orang selir dan di antara mereka, ada dua orang selir yang masih sangat muda, berusia delapan belas tahun. Dua orang selir ini mulai bermain mata dengan Cun Sek yang berusia enam belas tahun. Hal yang sukar untuk dihindarkan pun terjadilah!
Cun Sek mulai bermain cinta dengan dua orang selir muda itu. Kedua orang selir itu yang menjadi guru Cun Sek dan membuat dia seakan-akan seekor kuda yang terlepas dari kendali, menjadi liar dan menjadi seorang pengumbar nafsu yang tidak ketulungan lagi!
Akhirnya persaingan dan kebencian di antara para selir membuat hubungan itu diketahui oleh Thio Wan-gwe yang mendapat bisikan dari selir yang lain. Dan Cun Sek tertangkap basah! Ayah tirinya marah sekali kemudian Cun Sek diusirnya!
Pemuda ini juga memiliki harga diri yang tinggi. Merasa bahwa dia memang bukan anak kandung hartawan itu, maka dia pun pergi sambil membawa banyak sekali emas permata yang didapat dari ibunya yang amat memanjakannya. Mulailah Tang Cun Sek bertualang, bebas seperti seekor burung di udara!
Dengan hartanya yang sangat banyak, dia mencari guru demi guru silat yang pandai dan mempelajari pelbagai llmu silat, baik dari golongan putih mau pun dari gerombolan hitam. Selain itu dia pun sering mengumbar nafsunya, berkecimpung dalam dunia kesenangan bersama wanita-wanita pelacur. Dan dia pun menjadi seorang kongcu hidung belang yang kaya raya dan yang menghambur-hamburkan uang untuk dilayani para wanita cantik dan menerima pelajaran silat dari guru-guru yang pandai.
Akhirnya Cun Sek pun mulai bosan dengan pergaulannya dalam dunia pelacuran itu dan melanjutkan kehausannya akan ilmu silat sampai dia pergi mengunjungi guru-guru yang pandai di puncak-puncak gunung, mengangkat guru kepada siapa saja yang dia anggap mempunyai kepandaian tinggi.
Berkat pengetahuannya yang cukup luas melalui bacaan, disertai sikap pandai membawa diri, maka banyak sudah orang-orang pandai di dunia persilatan menganggap dia sebagai seorang calon pendekar budiman sehingga mereka pun tidak segan untuk mengajarkan ilmu silat mereka kepada pemuda ini. Bahkan, pada saat mendengar tentang Cin-ling-pai, Tang Cun Sek dalam usia dua puluh enam tahun kemudian datang menghadap pimpinan Cin-ling-pai untuk menjadi murid perkumpulan silat yang besar dan terkenal itu.
Demikianlah riwayat yang dikenang kembali oleh Tang Cun Sek pada saat dia mengamati gadis cantik di panggung itu. Tentu saja dia menyimpan rapat-rapat riwayatnya ini sebagai rahasia pribadinya. Dia memperkenalkan dirinya sebagai Tang Cun Sek seorang pemuda yatim piatu yang suka mempelajari ilmu silat tinggi, dan karena sikapnya memang sangat baik, sopan dan halus, pandai membawa diri dan pandai menyenangkan hati orang lain melalui sikap dan tutur sapanya, dia pun diterima menjadi anggota Cin-ling-pai dan dapat mempelajari ilmu-ilmu silat milik Cin-ling-pai. Demikian pandainya dia menyenangkan hati orang sehingga kakek Cia Kong Liang sendiri sampai terpikat dan berkenan mengajarkan ilmu-ilmu simpanan Cin-ling-pai kepada pemuda ini.
Kini Kui Hong sudah mulai bersilat. Seperti dua orang calon sebelumnya, Kui Hong juga memainkan ilmu-ilmu silat Cin-ling-pai. Dia langsung mengerahkan seluruh tenaga berikut kepandaiannya karena dia ingin melebihi Cun Sek dalam segala-galanya!
Sebagai keturunan ketua Cin-ling-pai, dalam hal ilmu silat Cin-ling-pai tentu saja dia telah menguasai semua ilmu dengan baik. Akan tetapi kalau dibandingkan dengan Gouw Kian Sun, tentu saja dia masih kalah matang karena susiok-nya itu sudah menguasai ilmu-ilmu ini selama puluhan tahun, dan terutama sekali karena setiap hari Gouw Kian Sun selalu mempraktekkannya untuk melatih para murid Cin-ling-pai.
Akan tetapi, karena gadis ini baru saja langsung digembleng oleh kakek dan neneknya di Pulau Teratai Merah, maka dia telah memperoleh kemajuan hebat dalam hal sinkang dan ginkang sehingga ketika bergerak tubuhnya bagai kilat menyambar-nyambar. Kecepatan gerakannya melebihi kecepatan Cun Sek dan hal ini memang disengaja oleh Kui Hong untuk mengurangi kesan baik yang diperoleh Cun Sek dalam pameran silatnya tadi.
Kini tubuh gadis ini sukar diikuti pandangan mata. Tubuhnya berkelebat-kelebat menjadi bayangan warna-warni, merah biru dan kuning, sementara angin menyambar-nyambar ke semua penjuru karena dorongan tangan serta tendangan kakinya. Para penonton sampai terpesona karena apa yang diperlihatkan Kui Hong itu memang sangat indah dan amat hebat pula. Cun Sek sendiri terpesona dan dia semakin tergila-gila kepada gadis itu.
Sesudah memainkan beberapa macam ilmu silat Cin-ling-pai, Kui Hong lantas mencabut sepasang pedang pemberian dari neneknya, yaitu Hok-mo Siang-kiam (Sepasang Pedang Penakluk Iblis) yang berwarna hitam sehingga nampak dua gulung sinar hitam. Dan gadis ini segera memainkan kedua pedangnya itu dengan ilmu pedang Hok-mo Siang-kiam-sut yang dipelajarinya dari neneknya!
Bukan main hebatnya ilmu pedang ini. Terdengar suara mengaung-ngaung tinggi rendah yang diselingi suara berdesing-desing, dan yang nampak hanyalah dua gulungan cahaya hitam yang menyeramkan dan dahsyat sekali. Tidak aneh karena ilmu pedang ini adalah ilmu dari nenek gadis itu yang bernama Toan Kim Hong. Pada waktu mudanya, Toan Kim Hong ini sudah terkenal dengan menyamar sebagai seorang nenek berjuluk Lam Sin dan termasuk seorang di antara tokoh-tokoh dan para datuk aneh di empat penjuru dunia!
Seluruh murid Cin-ling-pai memandang bingung. Permainan sepasang pedang itu tidak mereka kenal sama sekali! Biar pun amat hebat, namun jelas bukan ilmu silat Cin-ling-pai, maka mereka saling pandang dengan heran walau pun hati mereka merasa kagum sekali. Baru dimainkan sendirian saja sudah dapat terlihat jelas betapa ampuh dan kuatnya ilmu sepasang pedang itu, membuat orang merasa jeri.
Setelah selesai bersilat pedang pasangan dan memberi hormat kepada penonton, semua tamu bertepuk tangan memuji. Banyak di antara tamu yang tidak hafal akan ilmu-ilmu Cin-ling-pai dan mengira bahwa ilmu bermain sepasang pedang itu pun merupakan ilmu dari Cin-ling-pai. Melihat sambutan meriah yang diberikan para tamu kepada cucunya, Cia Kong Liang menggapai dan memanggil cucunya itu. Setelah Kui Hong duduk di dekatnya, dia menegur.
"Kui Hong, kalau tidak salah, engkau tadi memainkan ilmu pedang dari nenekmu di Pulau Teratai Merah! Itu bukan ilmu dari Cin-ling-pai!" Teguran itu mengandung nada yang tidak senang. Memang sejak dahulu tokoh Cin-ling-pai ini tidak begitu suka terhadap Pendekar Sadis dan isterinya, terutama isteri Pendekar Sadis yang tadinya seorang datuk sesat!
Akan tetapi Kui Hong adalah seorang gadis yang keras hati pula, dan dia tidak akan sudi mengalah terhadap siapa pun juga apabila merasa bahwa dia benar. Mendengar teguran kongkong-nya itu, dia pun berkata, walau pun suaranya lirih namun terdengar tegas.
"Kongkong, siapa pun tahu bahwa permainan Tang Cun Sek tadi tidak asli sebab berbau ilmu silat dari luar, akan tetapi kongkong tidak menegur atau mencelanya. Aku sengaja memperlihatkan Hok-mo Siang-kiam agar dia tahu bahwa aku pun mempunyai ilmu lain di luar ilmu-ilmu Cin-ling-pai asli."
Kakek itu mengenal watak cucunya ini, maka dia menghela napas panjang lantas berkata lantang, "Ketiga orang calon ketua telah memperlihatkan kepandaiannya masing-masing! Ternyata ketiganya memiliki tingkat yang sudah tinggi dan juga matang dalam ilmu-ilmu silat Cin-ling-pai. Oleh karena itu, untuk menentukan siapa yang paling pandai di antara mereka, akan diadakan pertandingan antara mereka. Pertama kali akan berhadapan calon pertama dan ke dua, yaitu Tang Cun Sek dan Gouw Kian Sun!"
Dua orang itu memberi hormat lalu menuju ke tengah panggung. Sebelum pemilihan itu dimulai, mereka sudah menerima petunjuk dari ketua Cin-ling-pai bahwa pertandingan itu diadakan menurut pilihan kedua calon yang berhadapan, dengan tangan kosong ataukah dengan senjata. Dan mengingat bahwa semua calon adalah anggota keluarga perguruan sendiri, maka tentu saja mereka harus dapat menjaga agar jangan sampai melukai lawan dengan parah, apa lagi sampai membunuhnya. Pertandingan semacam ini membutuhkan keahlian dan kemampuan yang mendalam, yaitu mengenai sasaran tanpa mendatangkan luka parah.
Dengan sikapnya yang memang selalu menyenangkan, Tang Cun Sek memberi hormat kepada lawannya yang masih terhitung susiok-nya sendiri, bahkan susiok ini pulalah yang lebih banyak membimbingnya dalam latihan ilmu-ilmu silat Cin-ling-pai, kemudian berkata,
"Susiok, maafkan bila hari ini teecu memberanikan diri menjadi calon lawan susiok karena terpaksa dipilih sebagai calon. Teecu menyerahkan kepada susiok cara apa yang susiok pilih."
Ucapan ini memang halus dan sopan, namun tidak urung mengandung nada menantang dan bahkan memandang rendah kepada sang paman guru sehingga pemuda itu bersikap mengalah dan mempersilakan susiok-nya itu memilih cara pertandingan. Dia seolah-olah hendak melayani saja.
Gouw Kian Sun memandang tajam, lalu menarik napas. Dia pun bukan seorang bodoh. Dia tahu bahwa suhu-nya, ketua lama, condong berpihak dan memilih pemuda ini, dan dia pun tahu bahwa sebelum menjadi murid Cin-ling-pai, pemuda ini sudah memiliki ilmu silat yang tinggi. Meski pada mulanya dia menaruh curiga dan tidak mengerti kenapa pemuda yang sudah pandai ini mau menjadi murid Cin-ling-pai, akan tetapi melihat betapa suhu-nya amat menyayang pemuda ini, maka dia pun menghilangkan kecurigaannya.
"Cun Sek, kita adalah orang sendiri, tak perlu mempergunakan senjata. Engkau atau pun aku yang menjadi ketua, apa bedanya? Mari kita mulai, dengan tangan kosong saja."
"Tahan dulu!" Tiba-tiba Cia Kong Liang berseru keras lantas dia menyuruh seorang murid Cin-ling-pai supaya mengambil dua batang mouw-pit (pena bulu) dan tinta bak. Kemudian dia pun berkata kepada dua orang calon ketua itu. "Agar lebih mudah menentukan siapa pemenangnya, kalian gunakanlah mouw-pit yang sudah dicelup tinta untuk saling serang. Pada akhir pertandingan, siapa yang ternyata lebih banyak terkena goresan atau totokan hitam pada pakaiannya, dialah yang kalah."
Baik Cun Sek mau pun Gouw Kian Sun menerima baik perintah ini, apa lagi memang tak akan terasa enak dalam hati kalau sampai mereka saling melukai. Betapa pun pandainya mereka, jika sampai terjadi sebuah pertandingan yang seimbang baik kekuatan mau pun kemahiran ilmunya, bukan tidak mungkin mereka takkan mampu mengendalikan diri dan kesalahan tangan melukai lawan. Dengan mouw-pit mereka dapat menotok atau mencoret pada bagian tubuh yang tertutup pakaian, biar pun tidak perlu menotok keras, cukup kalau sudah menodai bagian pakaian itu sebagai bukti bahwa mereka berhasil saling melukai.
Pertandingan itu pun dimulai. Karena mouw-pit itu panjangnya hanya sejengkal dan dijepit di antara jari tangan yang terkepal, maka pertandingan itu lebih menyerupai pertandingan tangan kosong. Mereka berdua kini berhadapan, kedua tangan terkepal sambil menjepit mouw-pit di tangan masing-masing, memasang kuda-kuda yang sama, yaitu kuda-kuda dari ilmu silat Thian-te Sin-ciang.
"Silakan, susiok!" kata Cun Sek.
Ucapan ini juga nampaknya saja dia menghormati susiok-nya agar menyerang lebih dulu, padahal mereka berdua sama tahu bahwa dalam hal pertandingan semacam ini, seperti halnya latihan saja karena masing-masing mempergunakan ilmu silat yang sama, siapa menyerang lebih dahulu maka memiliki titik kelemahan.
Gouw Kian Sun mengeluarkan seruan keras sebagai isyarat serangannya dan Cun Sek mengelak sambil membalas, dan mulailah keduanya serang menyerang mempergunakan ilmu silat Thian-te Sin-ciang. Mereka bertanding dengan pengerahan tenaga dan seluruh kepandaian sehingga nampak seru sekali. Mereka saling serang dan mengganti ilmu-ilmu silat mereka.
Bagi para ahti silat Cin-ling-pai, nampak betapa setiap kali lawannya mendesak dan dia berada dalam ancaman pukulan atau lebih tepat colekan mouw-pit, Cun Sek tidak segan-segan untuk mempergunakan suatu gerakan yang menyimpang atau bukan gerakan ilmu silat Cin-ling-pai. Suatu gerakan reflek untuk menghindarkan diri dari serangan dan dalam gerakan ini secara otomatis akan keluar ilmu yang bukan merupakan ilmu-ilmu dari Cin-ling-pai yang dikuasainya!
Akan tetapi gerakan kedua orang jagoan ini demikian cepat sehingga kalau bukan ahli silat Cin-ling-pai, hal ini tidak akan nampak. Bahkan para murid Cin-ling-pai yang belum mencapai tingkat tertinggi juga tidak dapat membedakannya. Hanya Cia Kong Liang, Cia Hui Song, Ceng Sui Cin, Cia Kui Hong, dan beberapa orang murid kepala saja yang dapat mengetahuinya.
Seperti sudah ditentukan dalam peraturan adu kepandaian itu, setelah sebatang hio (dupa biting) yang di awal pertandingan tadi dinyalakan kini habis terbakar, maka pertandingan langsung dihentikan dan para wasit menghitung jumlah noda yang terdapat pada pakaian masing-masing. Tentu saja dengan mudah dapat dilihat bahwa pada pakaian Gouw Kian Sun lebih banyak terdapat noda dan coretan. Hal ini berarti bahwa dia telah kalah.
Dengan diam-diam Gouw Kian Sun mengerutkan alisnya. Mulailah dia merasa tidak suka terhadap Cun Sek, bukan karena iri, bukan karena dia dinyatakan kalah, melainkan dia melihat betapa murid keponakan itu ternyata seorang yang amat curang dan licik. Dia tadi melihat Cun Sek banyak menggunakan jurus ilmu silat lain yang dibaurkan dengan jurus ilmu silat Cin-ling-pai.
Bukan itu saja kelicikan pemuda itu. Juga dia tadi melihat betapa setiap menyerangnya, pemuda itu menggerak-gerakkan kedua mouw-pitnya sedemikian rupa sehingga tinta bak dari ujung bulu pena itu memercik hingga menodai pakaiannya! Percikan yang membuat noda pada pakaiannya itu bukan seluruhnya disebabkan tepatnya serangan kedua mouw-pit di tangan Cun Sek, melainkan sebagian besar karena percikan itulah. Dari hal ini saja dapat diketahui alangkah curangnya pemuda itu. Dalam pengumpulan noda pada pakaian lawan, tentu saja Cun Sek memperoleh kemenangan yang banyak.
Dengan sikap gembira kakek Cia Kong Liang lalu mengumumkan bahwa pemenangnya adalah Tang Cun Sek, calon ketua nomor satu dan sekarang akan diadakan pertandingan antara calon nomor satu dengan calon nomor tiga. Untuk itu Cun Sek diharuskan berganti pakaian yang bersih lebih dahulu karena pakaiannya sudah berlepotan noda hitam.
Sementara menanti calon lawannya berganti pakaian, kesempatan itu dipergunakan oleh Kui Hong untuk mendekati kongkong-nya. Dia tahu bahwa kalau Tang Cun Sek sampai bisa menjadi calon ketua yang memperoleh banyak pendukung, bahkan sekarang mampu mengalahkan Gouw Kian Sun, hal itu adalah karena dukungan kakeknya ini.
"Kongkong," bisiknya dan hanya kakeknya seorang yang dapat mendengarnya. "Kenapa kongkong membolehkan Cun Sek itu melakukan kecurangan? Dia menggunakan banyak jurus di luar ilmu silat Cin-ling-pai ketika melawan susiok Gouw Kian Sun, bahkan dia juga menodai pakaian Gouw-susiok dengan percikan-percikan dari mouw-pitnya."
Kakeknya memandang kepadanya dan menjawab dalam bisikan pula. "Kui Hong, hal itu menunjukkan kecerdikannya. Dialah yang paling tepat untuk memimpin perkumpulan kita, dapat menambah ragamnya ilmu silat kita. Kiranya engkau tidak perlu maju lagi, cucuku. Untuk apa seorang wanita menjadi ketua? Kalau engkau menjadi isterinya, itu baru tepat."
Kui Hong tidak menjawab, melainkan pergi menjauhkan diri dari kakeknya dengan muka cemberut. Sialan, pikirnya. Kakeknya sudah benar-benar dipengaruhi oleh Tang Cun Sek sehingga sudah bertekad bulat untuk mendukung pemuda itu menjadi ketua Cin-ling-pai. Bukan itu saja, malah agaknya bertekad untuk menjodohkan pemuda itu dengannya.
Oleh karena itu, menghadapi lima orang suheng-nya, biar pun seorang di antara mereka ahli San-in Kun-hoat, dara ini memang jauh lebih matang, lebih cepat karena menguasai ginkang (ilmu meringankan tubuh) gemblengan neneknya, juga memiliki sinkang (tenaga sakti) gemblengan kakeknya. Walau pun dikeroyok oleh lima orang, Kui Hong menguasai keadaan karena semua serangan yang sudah dikenalnya dengan baik itu dapat dielakkan dengan kecepatan gerakan tubuhnya, dan jika tak sempat mengelak, setiap tangkisannya membuat tubuh penyerangnya terdorong ke belakang.
Akhirnya lima orang itu harus mengakui keunggulan sumoi mereka. Mereka tahu bahwa dalam perkelahian sungguh-sungguh, sudah sejak tadi mereka akan roboh seorang demi seorang! Ciok Gun yang lebih dulu melompat ke belakang diikuti empat orang murid lain.
"Hebat, ilmu kepandaianmu sekarang amat hebat, sumoi. Sungguh membuat kami semua kagum dan membuka mata kami bahwa keturunan ketua dan guru kami memang hebat!"
Mendengar ucapan Ciok Gun itu, semua murid menjadi gembira karena tadinya banyak di antara murid Cin-ling-pai kebingungan, merasa kehilangan pimpinan, seperti sekumpulan anak ayam ditinggalkan induknya ketika ketua mereka, Cia Hui Song, bertapa di makam isterinya yang kedua, sedangkan ketua lama, Cia Kong Liang hanya bersemedhi di dalam kamarnya tanpa mau mencampuri urusan luar, dan Sui Cin juga bersikap acuh terhadap perkumpulan itu karena bagaimana pun juga, dia merasa bukan haknya untuk memimpin Cin-ling-pai. Akan tetapi sekarang muncul Cia Kui Hong yang demikian lihai, maka para murid mempunyai harapan untuk dapat memperoleh seorang pemimpin yang pandai dan boleh diandalkan, juga yang ahli dalam ilmu-ilmu silat Cin-ling-pai.
"Hidup nona Cia Kui Hong!" teriak para murid. Ada yang menyebut sumoi, suci, dan juga nona! Kui Hong menjura ke arah mereka dengan sikap merendah.
"Para suheng dan sute, harap jangan terlalu memuji padaku. Ketahuilah, aku memperoleh kemajuan karena aku tekun dan giat berlatih, juga aku sudah menerima bimbingan kakek dan nenekku di Pulau Teratai Merah. Akan tetapi aku mengajak kalian berlatih bukannya untuk pamer, melainkan karena aku melihat kelesuan di antara kalian. Marilah kita berlatih dengan baik, karena kalau bukan kita siapa lagi yang harus menegakkan nama besar Cin-ling-pai! Dan bagaimana kita akan mampu menegakkan nama besar Cin-ling-pai bila kita lemah dan malas berlatih? Ketahuilah, aku membawa berita baik, yaitu bahwa mulai hari ini ayahku, yaitu ketua kalian, telah meninggalkan tempat pertapaan dan akan memimpin Cin-ling-pai seperti biasa."
Mendengar ini semua murid segera bersorak gembira sekali karena berita ini merupakan berita baik. Kui Hong mencari dengan matanya dan akhirnya dia melihat pemuda tinggi besar bermuka putih yang bernama Tang Cun Sek itu, murid Cin-Iing-pai yang baru dan amat disuka oleh kakeknya, yang menurut kakeknya lihai sekali karena sebelum masuk menjadi anggota Cin-ling-pai sudah mempunyai banyak macam ilmu silat yang tinggi. Dia melihat pemuda itu di sudut, turut pula bertepuk tangan dengan para murid lain.
Tiba-tiba seorang murid lain yang berdiri di dekat Tang Cun Sek, yakni murid bertubuh kurus yang dikenal oleh Kui Hong sebagai seorang murid lama dan terhitung suheng-nya, berusia tiga puluh lima tahun, bangkit berdiri dan berkata dengan suara nyaring,
"Tentu saja kami gembira sekali mendengar berita itu, Cia-sumoi, akan tetapi kami pernah mendengar bahwa nanti akan diadakan pemilihan ketua baru untuk Cin-ling-pai. Sampai di mana kebenaran berita itu?"
Kui Hong kembali bertemu pandang dengan Tang Cun Sek dan ia melihat betapa pemuda itu memandang kepadanya dengan penuh perhatian, seakan-akan tertarik sekali dan ingin benar mendengar jawabannya atas pertanyaan itu.
Gadis itu tersenyum. Tentu saja para murid itu juga telah mendengar akan hal ini, karena bukankah kakeknya juga mendengar? Dia mengangguk dan memandang ke sekeliling.
"Memang benar, ayahku telah memberi tahu pula kepadaku bahwa dalam waktu dekat ini akan diadakan pesta di Cin-ling-pai, pertama untuk merayakan hari ulang tahun ke tujuh puluh dari kakekku..."
"Hidup dan panjang umur lo-pangcu!" terdengar para murid Cin-ling-pai serentak berseru untuk menghormati ketua lama yang akan merayakan ulang tahunnya itu.
"Dan yang kedua, memang ayahku berniat untuk mengangkat seorang ketua Cin-ling-pai yang baru. Hal ini adalah karena ayah dan ibuku hendak pergi merantau dan tidak baik kalau Cin-ling-pai dibiarkan tanpa ketua," sambung Kui Hong.
"Mengapa mesti susah-susah mencari ketua baru? Nona Cia Kui Hong sangat lihai dan amat pantas menjadi pengganti ketua!" terdengar teriakan seorang murid dan ucapan ini kembali mendapat sambutan sorak-sorai, tanda bahwa sebagian besar dari para murid itu setuju jika Kui Hong menjadi ketua Cin-ling-pai. Mereka sudah melihat kelihaian Kui Hong dan juga merasa senang sekali kalau ketua mereka seorang gadis yang demikian cantik dan gagah perkasa!
Sejenak Kui Hong memperhatikan wajah Tang Cun Sek. Akan tetapi pemuda tinggi besar yang bermuka putih itu kelihatan tenang saja, malah tersenyum dan mengangguk-angguk tanpa menyatakan setuju, akan tetapi juga tidak menentang.
Wajah Kui Hong yang menjadi merah, "Aihh, para Sute dan Suheng ini ada-ada saja. Aku hanya seorang wanita, bagaimana dapat menjadi seorang ketua yang harus menghadapi banyak tantangan dan persoalan? Aku paling tidak suka dengan kesibukan, apa lagi kalau harus mempergunakan otak memikirkan banyak persoalan. Aku ingin bebas. Kurasa Cin-ling-pai memiliki cukup banyak murid yang pandai dan pantas untuk menjadi ketua, kalau memang ayah menghendaki adanya seorang ketua baru," berkata demikian, kembali Kui Hong melayangkan pandang matanya kepada Tang Cun Sek yang masih diam saja, tidak membuat tanggapan apa pun.
"Sudahlah, kita menanti datangnya saat itu dan kita lihat saja nanti. Bagaimana pun juga, seorang calon ketua Cin-ling-pai haruslah benar-benar seorang yang selain pandai ilmu silat Cin-ling-pai juga bijaksana. Tentu kepandaiannya itu akan diuji lebih dulu, dan kurasa para susiok dan pemuka Cin-ling-pai juga sudah siap untuk menghadapi peristiwa besar itu. Sekarang, siapa lagi yang ingin berlatih silat dengan aku?"
Dengan gembira para murid Cin-ling-pai itu lalu bergantian maju dan berlatih silat dengan gadis puteri ketua itu yang ternyata pandai dalam semua ilmu silat perkumpulan mereka. Dan Kui Hong tidak segan-segan untuk memberi petunjuk dan bimbingan kepada mereka dengan hati tulus.
Demikianlah, semenjak Kui Hong pulang ke Cin-ling-pai banyak di antara para murid yang memperoleh kegembiraan baru dan mereka mulai rajin lagi berlatih silat. Sementara itu Cia Hui Song sibuk mengirim surat undangan kepada para tokoh pendekar dan pimpinan perkumpulan persilatan besar untuk menghadiri pesta yang akan diadakan dengan dua peristiwa penting, yaitu pertama untuk merayakan hari ulang tahun ayahnya yang ke tujuh puluh tahun, dan ke dua untuk mengadakan pemilihan ketua baru dari Cin-ling-pai dengan disaksikan oleh para tokoh yang hadir.
Dan tanpa diketahui orang lain kecuali ketua Cin-ling-pai itu dan anak isterinya, pesta itu pun diam-diam diadakan untuk merayakan pertemuan serta bersatunya keluarga mereka setelah berpisah batin selama kurang lebih empat tahun lamanya. Sesudah mengirimkan surat-surat undangan, Cin-ling-pai sibuk membuat persiapan untuk menyambut datangnya hari baik itu dan tempat-tempat darurat dipersiapkan untuk menampung para tamu.
Cin-ling-pai adalah sebuah perkumpulan besar yang sudah sangat terkenal. Keluarga Cia yang sejak turun temurun memimpin Cin-ling-pai juga dikenal sebagai pendekar-pendekar gagah perkasa, dan para murid perkumpulan ini juga belum pernah ada yang melakukan penyelewengan sehingga nama Cin-ling-pai amat dihormati dan disegani dunia kang-ouw, ditakuti golongan hitam dan dikagumi para pendekar.
Oleh karena itu para tokoh persilatan yang telah menerima undangan dari pihak Cin-ling-pai memerlukan datang untuk memberi selamat kepada kakek Cia Kong Liang, juga untuk menyaksikan pemilihan ketua baru yang tentunya akan menarik sekali. Seperti telah lajim dilakukan di kalangan persilatan, penggantian ketua selalu diramaikan dengan ujian ilmu silat, bahkan di dalam kesempatan itu tidak jarang terjadi adu ilmu.
Juga berita bahwa Cin-ling-pai hendak mengangkat seorang ketua di antara para murid, bukan keturunan langsung dari ketua yang sekarang, merupakan hal yang amat menarik bagi para tokoh kang-ouw. Sedikit sekali di antara mereka yang menerima undangan tidak menyempatkan diri untuk datang hadir.
Pada hari yang sudah ditentukan, para tamu berdatangan mendaki Gunung Cin-ling-san. Para murid kepala Cin-ling-pai menyambut mereka dengan sikap hormat, lantas mereka dipersilakan masuk ke dalam taman yang luas di belakang rumah induk. Memang taman itu sudah dipersiapkan untuk pesta ini.
Sebuah taman yang amat luas dan kini telah dihias dan kursi-kursi berpencaran di antara tanaman bunga. Di tengah taman yang lapang itu dibangun sebuah panggung dan pihak tuan rurnah duduk di deretan kursi yang diletakkan di sudut, menghadap ke arah semua tamu yang duduk membentuk setengah lingkaran menghadap ke panggung.
Ternyata Cia Hui Song, ketua Cin-ling-pai tak ingin membuat pesta besar-besaran. Tamu yang diundang tidak banyak, dan mereka yang sudah datang semua itu hanya berjumlah kurang lebih seratus lima puluh orang, terdiri dari berbagai macam golongan, tokoh-tokoh persilatan, pimpinan perkumpulan silat, dan orang-orang penting dalam dunia persilatan.
Walau pun tamu yang diundang tidak begitu banyak, namun mereka mewakili tokoh-tokoh yang terpenting. Suasana pesta itu pun cukup meriah karena Cin-ling-pai mendatangkan rombongan musik, nyanyian dan tari yang kenamaan, juga mendatangkan koki yang telah berpengalaman.
Tentu saja tamu yang diundang itu hanyalah tokoh-tokoh kalangan persilatan yang tinggal di daerah Propinsi Shensi saja, terutama mereka yang tinggal di kota-kota besar seperti Sian, Han-cung, Pao-ci, Yen-an dan sebagainya. Namun semua perkumpulan persilatan besar seperti Siauw-lim-pai, Bu-tong-pai, dan Kun-lun-pai telah diwakili oleh wakil masing-masing yang terdapat di Propinsi Shensi karena kebetulan sekali di propinsi ini terdapat murid-murid pandai dari perkumpulan besar itu yang dapat mewakili perkumpulan masing-masing.
Para tamu secara bergiliran memberi selamat kepada kakek Cia Kong Liang yang duduk di sudut panggung. Karena telah bertahun-tahun selalu mengeram diri di dalam kamarnya dan bersemedhi, maka kakek ini pun merasa lemah kalau terlalu lama berdiri, maka dia menyambut penghormatan para tamu sambil duduk.
Puteranya, Cia Hui Song atau ketua Cin-ling-pai, berdiri di sebelah kanannya. Dialah yang membalas setiap ucapan selamat para tamu itu dengan penghormatan, mewakili ayahnya yang hanya duduk sambil tersenyum dan mengangguk-angguk terhadap setiap para tamu yang menghaturkan selamat kepadanya.
Sesudah memberi kesempatan kepada para tamu untuk memberi selamat kepada kakek Cia Kong Liang, Cia Hui Song lantas memberi ucapan selamat datang kepada para tamu dan pesta pun dimulailah dengan meriah. Rombongan pemain musik, penari dan penyanyi mulai memperlihatkan kemahiran mereka, maka taman itu pun penuh dengan senyum dan tawa di antara mengalirnya arak dan anggur harum sebagai teman hidangan yang serba lezat karena dibuat oleh koki yang pandai.
Para tamu mulai makan minum sambil mengobrol dengan gembira. Ada pula yang makan minum sambil menikmati tontonan yang amat menarik, yaitu tari-tarian dan nyanyian yang dilakukan para gadis cantik. Mereka semua bergembira, terutama sekali karena mereka tahu bahwa sesudah makan minum mereka akan disuguhi tontonan yang sedang mereka nanti-nantikan, bahkan yang sudah mendorong mereka untuk hadir dalam pesta itu, yaitu pemilihan ketua baru dari Cin-ling-pai.
Para tamu muda tak ada hentinya mengerling ke arah panggung di mana duduk seorang gadis yang amat menarik perhatian mereka, apa lagi sesudah mereka mendengar bahwa gadis yang cantik jelita dan gagah itu bukan lain adalah puteri ketua Cin-ling-pai! Nama Cia Kui Hong sudah banyak dikenal orang kalangan persilatan karena gadis ini termasuk seorang di antara para pendekar yang telah ikut membasmi pemberontakan yang dipimpin oleh Lam-hai Giam-lo. Apa lagi mereka pun mendengar bahwa gadis cantik dan gagah perkasa itu, yang usianya sudah sembilan belas tahun, bagaikan setangkai bunga mawar sedang mekar mengharum dengan indahnya, belum menikah, bahkan belum bertunangan!
Sesudah pesta makan minum selesai, Cia Hui Song lalu bangkit dan melangkah maju ke tengah panggung, menghaturkan terima kasih kemudian memberi tahu kepada para tamu bahwa kini Cin-ling-pai hendak mengadakan pemilihan ketua baru dan dia berharap agar para tamu suka menjadi saksi.
"Harap Cia-pangcu (Ketua Cia) suka memberi tahu kepada kami kenapa pangcu hendak mengadakan pemilihan ketua baru? Bukankah pangcu adalah ketuanya dan Cin-ling-pai sudah mendapat banyak kemajuan selama dalam bimbingan pangcu?" terdengar seorang tamu berseru.
Para tamu lainnya mengangguk menyatakan persetujuan mereka dengan pertanyaan itu karena memang rata-rata mereka merasa heran akan pemilihan ketua Cin-ling-pai secara tiba-tiba ini, pada hal ketuanya masih muda dan memiliki ilmu kepandaian tinggi.
Mendengar pertanyaan ini, Hui Song tersenyum ramah dan mengangguk. Dia memang sudah mempersiapkan diri menghadapi pertanyaan seperti itu.
"Harap cu-wi (anda sekalian) tidak salah sangka. Sebenarnya tidak terjadi sesuatu yang aneh dalam perkumpulan kami dan pemilihan ketua baru ini wajar saja. Tidak lain karena saya bersama isteri ingin merantau dan karena merasa tidak baik jika meninggalkan Cin-ling-pai tanpa seorang ketua, maka sebelum pergi kami hendak mengadakan pemilihan ketua baru. Kami sengaja memilih hari ini agar ada cu-wi yang dapat menjadi saksi."
Keterangan Cia Hui Song ini agaknya dapat diterima karena tidak ada lagi di antara para tamu yang mengajukan pertanyaan. Cia Hui Song kemudian menyerahkan pimpinan untuk pemilihan ketua baru itu kepada ayahnya. Baru sekarang Cia Kong Liang yang sudah tua itu nampak bersemangat setelah puteranya menyerahkan pimpinan kepadanya. Dia masih tetap duduk di atas kursinya, akan tetapi suaranya terdengar lantang ketika dia berkata,
"Semua murid dan anggota Cin-ling-pai tanpa terkecuali, harap semuanya berkumpul di dekat panggung!"
Maka berkumpullah semua murid Cin-ling-pai, bahkan mereka yang tadinya bertugas jaga atau ikut melayani tamu, kini ikut pula berkumpul. Setelah semua murid berkumpul dekat panggung, menempati bagian belakang panggung supaya tidak menghalangi pandangan para tamu yang duduk di kursi menghadap panggung, ketua lama Cia Kong Liang berkata kembali, nada suaranya tegas dan berpengaruh.
"Sekarang dimulai tahap pertama, yaitu para murid diberi kesempatan untuk mengajukan calon-calon yang mereka pilih!"
Semenjak ada pernyataan ketua Cin-ling-pai bahwa akan diadakan pemilihan ketua baru, maka sudah terjadi semacam persaingan di antara para murid Cin-ling-pai. Di satu pihak ada yang memilih Gouw Kian Sun untuk menjadi ketua.
Gouw Kian Sun ini berusia hampir empat puluh tahun, dan dialah yang dapat dikata murid Cin-ling-pai terpandai di waktu itu. Dia adalah sute dari Cia Hui Song, atau murid dari Cia Kong Liang dan murid ini sudah menguasai seluruh ilmu silat Cin-ling-pai. Bahkan dialah yang selama ini mengurus sebagian besar tugas di Cin-ling-pai ketika Hui Song bertapa di makam isterinya yang ke dua dan Cia Kong Liang mengeram diri di dalam kamarnya. Oleh Cia Hui Song dia diangkat pula menjadi pembantu utama.
Gouw Kian Sun ini seorang yang tidak memiliki keluarga, tidak punya orang tua dan dia belum menikah sungguh pun usianya sudah hampir empat puluh tahun. Orangnya sangat rajin, setia terhadap Cin-ling-pai, bertanggung jawab serta pendiam. Semua murid tingkat atas maklum belaka bahwa Gouw Kian Sun memiliki ilmu kepandaian silat yang menonjol dan hanya berada di bawah tingkat kepandaian ketua sendiri! Karena itu, maka sebagian murid memilih dan mengajukan dia sebagai calon ketua.
Tetapi ada sebagian murid yang memilih Tang Cun Sek! Hal ini adalah karena mereka itu percaya akan kelihaian Tang Cun Sek yang menguasai banyak ilmu silat selain ilmu-ilmu Cin-ling-pai dan mereka menganggap bahwa kalau Cun Sek menjadi ketua, tentu mereka akan bisa mempelajari ilmu-ilmu silat yang baru. Di samping itu, juga Tang Cun Sek yang pendiam itu menarik perhatian, terutama sesudah para murid tahu bahwa Tang Cun Sek agaknya disayang oleh ketua lama, yaitu kakek Cia Kong Liang!
Sebelum Kui Hong pulang ke Cin-ling-san, para murid terbagi menjadi dua kelompok yang memilih dua orang ini, akan tetapi sesudah gadis itu pulang, banyak di antara para murid yang condong memilih gadis puteri ketua itu menjadi pangcu (ketua) yang baru! Maka, ketika kakek Cia Kong Liang menyuruh para murid memilih dan mengajukan calon ketua terdengarlah teriakan-teriakan yang menyebut tiga nama.
"Gouw Kian Sun!"
"Tang Cun Sek!"
"Nona Cia Kui Hong...!"
Demikianlah terdengar para murid meneriakkan nama calon masing-masing. Mendengar disebutnya nama Cia Kui Hong itu, Cia Hui Song saling pandang dengan isterinya, Ceng Sui Cin. Mereka tidak menyangka bahwa ada sebagian murid yang memilih puteri mereka sebagai calon ketua baru!
Akan tetapi karena mereka berada pada suatu upacara pemilihan, tentu saja mereka tidak dapat menyatakan sesuatu dan suara dari para murid pada waktu seperti itu mempunyai hak dan kekuasaan. Mereka hanya memandang kepada puteri mereka yang juga nampak terkejut mendengar namanya disebut-sebut sebagai calon ketua!
Akan tetapi Kui Hong pun hanya tersenyum saja karena merasa tidak enak jika menolak begitu saja. Diapun sudah tahu akan peraturan pemilihan seperti ini, harus tunduk kepada suara banyak dan yang berhak menentukan adalah suara terbanyak. Jika dia menyatakan penolakannya, maka sama saja dengan melanggar peraturan yang sudah diadakan oleh perkumpulannya sendiri, atau sama saja dengan mengkhianati Cin-ling-pai.
Akan tetapi gadis yang cerdik ini diam-diam membayangkan bagaimana kalau dia menjadi ketua, terikat oleh tugas dan kewajiban. Diam-dim dia merasa ngeri dan dalam benaknya sudah diaturnya bagaimana supaya dia dapat mengatasi hal itu. Dia pun sudah mengenal Gouw Kian Sun yang dipanggilnya susiok, seorang yang setia kepada Cin-ling-pai, pandai dan juga bijaksana.
Dan dara ini pun tahu bahwa calon ke dua, Tang Cun Sek, adalah orang yang didukung oleh kakeknya, juga mempunyai banyak pendukung di antara para murid Cin-ling-pai. Biar pun dia sendiri belum membuktikan, dia mendengar bahwa Tang Cun Sek adalah orang yang mempunyai ilmu kepandaian tinggi! Bahkan menurut keterangan kakeknya, pemuda tinggi besar bermuka putih itu mempunyai kepandaian silat yang tingkatnya tidak berada di bawah tingkat ayahnya atau ibunya! Sungguh hal ini sukar untuk dapat dipercayanya.
Ayahnya adalah murid dari mendiang Siangkiang Lojin, seorang di antara Delapan Dewa, ada pun ibunya adalah puteri tunggal Pendekar Sadis, kongkong-nya yang amat sakti dan neneknya yang juga tak kalah saktinya! Kalau benar Tang Cun Sek ini mempunyai tingkat kepandaian seperti ayahnya atau ibunya, tentu dia lihai bukan main dan mudah diduga bahwa tingkat kepandaian susiok-nya, Gouw Kian Sun yang menjadi calon pertama itu tidak akan mampu mengalahkannya.
Tentu saja diam-dlam Kui Hong condong memilih susiok-nya yang sudah dikenal benar wataknya. Setelah dia bicara dengan ayah ibunya tentang Tang Cun Sek, ternyata bahwa ayah ibunya agaknya juga tidak begitu setuju apa bila orang ini menjadi ketua baru, akan tetapi ayah ibunya juga merasa sungkan terhadap kakeknya.
"Kami sendiri belum pernah membuktikan sampai di mana kelihaiannya," demikian antara lain Cia Hui Song menjawab pertanyaan puterinya mengenai Tang Cun Sek. "Akan tetapi ketika dia mohon menjadi murid Cin-ling-pai, sikapnya amat baik sehingga tak ada alasan bagiku untuk menolaknya. Dan dia memang berbakat sekali karena semua ilmu silat Cin-ling-pai dapat dikuasainya dengan baik, bahkan yang bagaimana sukar pun. Dan dia pun amat tekun belajar, bahkan paling menonjol dalam hal ketekunannya."
"Dan bagaimana pun juga harus kami akui bahwa sikapnya amat baik. Dia pendiam, tidak banyak cakap dan tidak banyak ulah, bahkan rajin pula bekerja. Tak ada alasan bagi kami untuk merasa kecewa atau tidak suka kepadanya."
"Dan agaknya ayah memang amat suka kepada pemuda itu. Entah mengapa kakekmu itu sering memanggilnya, dan bahkan hanya Tang Cun Sek yang diperkenankan memasuki pondoknya, kemudian bahkan mengharuskan murid itu yang melayani kakekmu," kata Hui Song.
"Ayah dan Ibu, agaknya kakek sudah condong memilih dia sebagai ketua baru, bahkan kakek pernah mengatakan kepadaku bahwa murid itu pantas menjadi jodohku. Hemmm, agaknya kakek sudah suka bukan main kepada Tang Cun Sek itu."
Ayah dan ibunya saling pandang dan tersenyum. "Mengenai hal itu, terserah kepadamu, anakku," kata Ceng Sui Cin. "Ayahmu dan aku memang sudah ingin sekali mempunyai mantu dan cucu, tetapi tentang jodohmu, kami menyerahkan sepenuhnya pada pilihanmu. Biar pun kakekmu serta ayah dan ibumu telah menyukai seorang calon suamimu, namun kalau engkau sendiri tidak suka dan tidak setuju, siapa pun tak akan dapat memaksamu."
Mendengar ucapan ibunya itu, Kui Hong lalu merangkul dan mencium pipi ibunya dengan hati yang girang dan terharu. Ucapan ibunya itu saja telah menunjukkan betapa besarnya cinta kasih ayah dan ibunya kepadanya.
"Terima kasih, Ayah dan Ibu. Semoga saja aku dapat menemukan seorang jodoh yang akan menyenangkan hati kita semua, juga termasuk hati kakek."
Kini hati Kui Hong merasa tidak enak. Yang diajukan oleh para murid Cin-ling-pai hanya dua orang saja, tiga dengannya. Dan di antara kedua orang itu, agaknya Tang Cun Sek yang lebih unggul. Apakah dia harus memperebutkan kedudukan ketua dengan Tang Cun Sek? Padahal dia sama sekali tak ingin menjadi ketua! Tetapi membiarkan Tang Cun Sek menjadi ketua Cin-ling-pai yang baru? Hal inilah yang diragukannya sebab dia belum tahu benar bagaimana watak orang baru itu. Bahkan ayah dan ibunya juga belum mengenal wataknya dengan baik. Dia lalu mendekati ibunya dan berbisik.
"Ibu, bagaimana ini? Aku tidak ingin menjadi ketua. Apakah kita harus membiarkan Cun Sek menjadi ketua baru? Apakah susiok Gouw Kian Sun mampu mengalahkannya dalam ujian ilmu silat?"
Ibunya kemudian balas berbisik kepadanya. "Dengar, Kui Hong. Terus terang saja, aku pun masih belum percaya kepadanya. Kalau memang dia seorang murid yang baik, tentu dia tidak mengandalkan kepandaian dari luar untuk merebut kemenangan dan menduduki jabatan ketua! Tentu dia akan mengalah dan membiarkan susiok-mu Gouw Kian Sun yang menjadi ketua baru. Karena itu lihat saja baik-baik, dan kalau perlu engkau harus menjadi penghalang agar dia tidak menjadi ketua dengan jalan kekerasan atau mempergunakan kepandaian silat yang datang dari luar Cin-ling-pai. Mengertikah engkau?"
Kui Hong mengangguk dan pada saat itu terdengar suara kakek Cia Kong Liang, lantang berwibawa, "Apakah hanya tiga orang itu yang dijadikan calon oleh para murid?"
Terdengar para murid Cln-ling-pai menjawab berbareng seperti sarang lebah diusik, tetapi semua membenarkan pertanyaan ketua lama itu. Akan tetapi di antara para tamu tiba-tiba saja nampak seorang laki-laki bangkit berdiri dari kursinya. Dia seorang pria yang usianya kurang lebih tiga puluh tahun, dan dia adalah seorang di antara para wakil Bu-tong-pai.
"Maaf, Cia Locianpwe (orang tua gagah Cia). Bolehkah kami ikut mengajukan pertanyaan karena walau pun bukan anggota Cin-ling-pai namun kami hadir di sini sebagai saksi."
Kakek Cia Kong Liang tersenyum mendengar pertanyaan itu. "Tentu saja boleh. Silakan!"
"Locianpwe, apakah yang berhak menjadi calon ketua hanya murid atau anggota Cin-ling-pai saja? Bagaimana kalau ada orang luar yang hendak masuk pula menjadi calon dan menghadapi ujian, ingin menjadi ketua Cin-ling-pai yang baru?"
Kakek Cia Kong Liang kemudian memperlebar senyumnya. "Sungguh aneh pertanyaan itu, orang muda yang gagah. Kurasa tidak ada perkumpulan silat di dunia ini yang akan membolehkan orang luar menjadi ketua mereka. Dan kami pun tidak terkecuali. Tentu saja yang berhak menjadi calon ketua hanyalah seorang murid Cin-ling-pai."
"Maaf, Locianpwe," kata lagi orang itu. "Telah bertahun-tahun kami mengenal Cin-Iing-pai, dan banyak murid-murid utama Cin-ling-pai yang kami kenal sebagai pendekar-pendekar budiman. Saudara Gouw Kian Sun juga kami kenal sebagai seorang anggota Cin-ling-pai yang gagah perkasa dan sudah selayaknya kalau dia terpilih menjadi calon ketua. Juga nona Cia Kui Hong, sudah sepatutnya pula menjadi calon sebab dia adalah seorang puteri Cia Pang-cu. Akan tetapi orang ke tiga yang namanya disebut tadi, Tang Cun Sek, sama sekali tidak kami kenal. Apakah dia seorang anggota Cin-ling-pai?"
Mendengar pertanyaan ini, berkerut kening Tang Cun Sek, namun hanya Kui Hong yang agaknya memperhatikan perubahan pada wajahnya. Gadis itu melihat betapa sinar mata Cun Sek seperti mengeluarkan api ditujukan kepada si pembicara.
"Tang Cun Sek memang seorang anggota baru," kata kakek Cia Kong Liang. "Baru empat tahun dia menjadi murid Cin-ling-pai, maka dia pun berhak untuk menjadi calon ketua."
"Empat tahun?" Orang Bu-tong-pai itu berseru heran. "Locianpwe, bagaimana mungkin seorang murid yang baru empat tahun mempelajari ilmu-ilmu dari Cin-ling-pai tahu-tahu dapat diangkat menjadi ketua? Tentu ilmu silatnya belum ada artinya sama sekali!"
"Tidak, biar pun dia baru empat tahun menjadi murid Cin-ling-pai, namun sebelumnya dia sudah menguasai banyak macam ilmu silat tinggi. Kalau dia tidak mempunyai kepandaian tinggi, bagaimana mungkin dia dipilih?" Agaknya kakek itu ingin menyudahi percakapan ini, maka dia pun segera berseru dengan suara lantang, "Tiga orang calon yang terpilih supaya maju dan naik ke atas panggung!"
Yang muncul lebih dahulu adalah Tang Cun Sek. Karena seperti para murid Cin-ling-pai lainnya dia pun berdiri di bawah panggung maka kini dia meloncat ke atas panggung yang tingginya sekepala orang itu. Agaknya dia memang ingin memperlihatkan kepandaiannya karena ketika dia meloncat, seperti terbang saja tubuhnya melayang naik jauh lebih tinggi dari panggung itu, berjungkir balik tiga kali sebelum dia turun ke atas panggung.
Agaknya, untuk minta maaf atas perbuatannya yang seperti memamerkan kepandaian ini, begitu kedua kakinya turun, dia langsung menjatuhkan diri berlutut di hadapan kakek Cia Kong Liang, memberi hormat kepada kakek yang terhitung kakek gurunya itu.
Cia Kong Liang memandang dengan wajah berseri, "Cun Sek, bangkitlah dan berdirilah di tengah panggung agar dikenal oleh semua tamu."
Akan tetapi Cun Sek tak segera bangkit berdiri, melainkan cepat memberi hormat kepada Cia Hui Song dan Ceng Sui Cin yang disebutnya suhu dan subo. Barulah dia bangkit dan mundur sampai ke tengah panggung, kemudian membalik dan menghadap ke arah para tamu sambil menjura dan bersoja (memberi hormat dengan kedua tangan dirangkap di depan dada).
Para murid yang menjagoinya bertepuk tangan menyambut kehadiran orang muda tinggi besar ini. Melihat seorang pemuda berusia sekitar tiga puluh tahun, bertubuh tinggi besar bermuka putih, tampan dan gagah, sepasang matanya mencorong, para tamu diam-diam memandang kagum.
Sementara itu Gouw Kian Sun juga meloncat ke atas panggung, meloncat biasa saja lalu menjatuhkan diri berlutut memberi hormat kepada suhu dan suheng-nya. Dan berbareng dengan itu, Kui Hong juga melangkah maju, berlutut di dekat susiok-nya.
"Suhu dan Suheng, sesungguhnya teecu tidak berani maju secara lancang untuk menjadi calon ketua, tetapi teecu didorong oleh para anggota Cin-ling-pai yang memilih teecu."
Kui Hong yang berlutut di sampingnya cepat berkata, cukup keras untuk didengar semua orang, "Susiok, mengapa begitu? Engkaulah satu-satunya orang yang paling tepat untuk menggantikan ayah kalau ayah mengundurkan diri!"
"Kian Sun! Kui Hong, bangkitlah dan berdiri di tengah panggung untuk memperkenalkan diri kepada para tamu!" terdengar kakek Cia Kong Liang berseru dengan suara nyaring.
Kian Sun dan Kui Hong bangkit lantas berdiri di tengah panggung seperti yang dilakukan Cun Sek, dan para murid Cin-ling-pai yang mendukung mereka menyambut dengan tepuk tangan dan sorak sorai.
Kembali terdengar suara kakek Cia Kong Liang yang menyuruh ketiga orang calon yang terpilih itu untuk duduk, lalu dengan lantang dia memberi tahu kepada para tamu dan para murid Cin-ling-pai bahwa kini pemilihan ketua baru itu akan dimulai. Pertama-tama, ketiga orang calon itu diharuskan memperlihatkan keahlian mereka dalam Ilmu Silat Cin-ling-pai untuk dinilai. Para penilainya, di samping kakek Cia Kong Liang sendiri, juga Cia Hui Song sebagai pangcu dan tujuh orang murid tertua yang menjadi suheng dan sute ketua.
"Calon ketua Tang Cun Sek, perlihatkanlah kemampuanmu!" terdengar kakek Cia Kong Liang berseru.
Pemuda tinggi besar itu bangkit berdiri, berjalan ke tengah panggung, memberi hormat ke arah kakek itu bersama para wasit, kemudian menjura ke arah para tamu dan mulailah dia bersilat. Dia menggerakkan tubuhnya dan memainkan Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun, sebuah di antara ilmu-ilmu silat yang ampuh dari Cin-ling-pai.
Ilmu ini memang sangat indah, dan sekarang dimainkan dengan gerakan sempurna, juga dengan pengerahan tenaga sakti yang membuat setiap gerakan tangan atau kaki pemuda itu mengeluarkan suara angin mencuit sehingga para tamu dapat merasakan betapa ada angin menyambar-nyambar dari arah panggung.
Secara diam-diam Kui Hong sendiri terkejut bukan main karena dia dapat pula merasakan sambaran angin itu, maka tahulah gadis ini bahwa Tang Cun Sek memang seorang yang amat tangguh! Dia mengikuti semua gerakan pemuda itu dan walau pun permainan Silat Thai-kek Sin-kun itu amat hebat, akan tetapi dia masih dapat melihat suatu kekakuan atau ketidak wajaran yang menunjukkan bahwa ilmu silat itu sudah 'berbau' ilmu silat lain yang menjadi dasar gerakan pemuda itu. Hanya di dalam pandangan mata seorang ahli sajalah hal ini akan dapat nampak.
Kui Hong tahu bahwa para wasit yang terdiri dari kakeknya, ayahnya dan para supek dan susiok-nya, yang semuanya adalah ahli-ahli Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun, tentu akan dapat melihatnya pula. Hanya saja, kenyataan ini dapat menimbulkan dua macam tanggapan. Pertama adalah tanggapan bahwa Thai-kek Sin-kun yang dimainkan pemuda itu menjadi bertambah indah dan ampuh, namun yang ke dua adalah kenyataan bahwa ilmu itu tidak dimainkan secara murni lagi sehingga gerakan Cun Sek dapat dianggap kurang tepat.
Dan secara diam-diam Kui Hong harus mengakui bahwa ilmu silat Thai-kek Sin-kun yang dimainkan pemuda itu memang hebat sekali, biar pun dia sendiri tidak melihat kemajuan dalam segi keindahannya karena 'berbau' dasar ilmu silat lain, namun gerakannya cepat dan mengandung angin pukulan yang hebat. Pemuda ini akan menjadi lawan yang amat tangguh, pikirnya.
Sekarang dia percaya akan keterangan kongkong-nya bahwa Cun Sek ini memiliki tingkat kepandaian yang setara dengan ayah serta ibunya. Harus diakuinya sendiri bahwa andai kata dia belum digembleng secara keras oleh kakeknya dan neneknya di Pulau Teratai Merah, maka dia sendiri bukanlah tandingan anggota baru Cin-ling-pai ini.
Tiba-tiba saja Cun Sek merubah ilmu silatnya dan dia kini memainkan ilmu silat Thian-te Sin-ciang, satu di antara ilmu silat yang amat tangguh dari perguruan Cin-ling-pai. Seperti juga Thai-kek Sin-kun tadi, ilmu ini pun dalam pandangan Kui Hong berbau gerakan ilmu asing sungguh pun harus diakuinya bahwa gerakan-gerakan pemuda itu cepat sekali dan semua pukulannya mengandung tenaga yang kadang bertentangan sebagai ciri khas ilmu silat Thian-te Sin-kun, tenaganya kadang keras dan kadang lunak.
Berturut-turut Cun Sek memainkan sebagian dari ilmu-ilmu silat yang lain seperti San-in Kun-hwat, dan bahkan Im-yang Sin-kun yang merupakan ilmu simpanan dari ketua lama Cia Kong Liang. Kini mengertilah Cia Hui Song dan isterinya bahwa diam-diam ayahnya telah mendidik pemuda itu dengan ilmu silat simpanan ini.
Bukan itu saja, bahkan yang terakhir, pemuda itu menghunus sebatang pedang. Semua orang merasa silau ketika ada sinar emas berkilat dan pemuda itu sudah memainkan ilmu pedang Siang-bhok Kiam-sut, ilmu pedang yang paling rahasia dari Cin-ling-pai dan yang hanya diajarkan kepada murid-murid tingkat tertinggi saja! Dan pedang yang digunakan itu bukan lain adalah Hong-cu-kiam, pedang yang dapat digulung, pedang pusaka milik kakek Cia Kong Liang.
Kembali Cia Hui Song dan isterinya, Ceng Sui Cin, saling pandang dan mereka mengerti bahwa pemuda ini benar-benar telah dipilih oleh ayah mereka. Tentu kakek itu yang telah mengajarkan ilmu pedang itu dan memberikan pedang Hong-cu-kiam pula!
Kui Hong sendiri merasa betapa perutnya panas. Dia adalah cucu tunggal dari kongkong-nya sebelum terlahir adik tirinya, Cia Kui Bu. Akan tetapi kongkong-nya itu belum pernah meminjamkan pedang pusaka itu kepadanya! Kini tahu-tahu kakeknya sudah memberikan atau meminjamkan pedang itu kepada pemuda ini. Dan kembali dia mengerutkan alisnya, maklum benar betapa tangguhnya pemuda ini dengan pedang pusaka Hong-cu-kiam itu.
Semua tamu yang terdiri dari tokoh-tokoh dunia persilatan nampak mengangguk-angguk dan kagum pada saat melihat betapa sinar emas itu bergulung-gulung mengelilingi tubuh pemuda itu yang sudah lenyap ditelan gulungan sinar emas! Tiba-tiba sinar itu lenyap dan nampaklah pemuda yang gagah itu berdiri tegak dengan pedang sudah melingkar pada pinggangnya, memberi hormat ke empat penjuru yang langsung disambut sorak sorai dan tepuk tangan dari para pendukungnya, juga dari sebagian para tamu yang merasa kagum.
Dengan anggunnya pemuda itu segera berlutut memberi hormat kepada Cia Kong Liang, kemudian kepada Cia Hui Song dan isterinya, baru dia mundur ke pinggir panggung dan duduk bersila dengan sikap sopan. Tang Cun Sek memang seorang pemuda yang pandai membawa diri. Orangnya gagah, dengan wajah tampan ganteng berkulit putih, tubuhnya tinggi besar sehingga pantaslah dia menjadi seorang pendekar.
Kakek Cia Kong Liang terlihat gembira melihat sambutan semua orang terhadap pemuda yang disukanya itu. Memang dia menyukai Cun Sek, dan hal ini tidak dapat disalahkan. Memang pemuda itu pandai sekali mengambil hati, bukan dengan menjilat-jilat, melainkan dengan sikapnya yang sangat sopan dan baik.
Selama menjadi murid Cin-ling-pai belum pernah dia memperlihatkan sikap yang tercela. Selain tampan dan gagah, juga dia pantas menjadi murid kebanggaan Cin-ling-pai, dan menurut penglihatan Cia Kong Liang pemuda itu sangat pantas menjadi cucu mantunya, menjadi suami Cia Kui Hong!
Karena itulah maka selama ini dia sendiri secara tekun sudah menggembleng pemuda itu dengan ilmu-ilmu silat simpanannya, bahkan menyerahkan pedang pusaka Hong-cu-kiam kepadanya. Bukankah pemuda itu adalah calon ketua Cin-ling-pai sekaligus calon cucu mantunya? Sudah sepatutnya mewarisi pedang pusakanya itu.
"Sekarang calon ketua Gouw Kian Sun, perlihatkan kemampuanmu!" terdengar kakek ini berkata. Gouw Kian Sun adalah muridnya sendiri, murid Cin-ling-pai yang paling pandai, tentu saja kalau tanpa memperhitungkan Cun Sek.
Gouw Kian Sun maju, lantas memberi hormat kepada Cia Kong Liang sebagai gurunya, kemudian kepada Cia Hui Song dan isterinya sebagai suheng dan juga ketua Cin-ling-pai, dan dengan sikap tenang dia pun lalu melangkah ke tengah panggung. Setelah memberi hormat kepada para penonton, dia pun mulai bersilat.
Seperti yang dipertontonkan oleh Tang Cun Sek tadi, ia juga memainkan semua ilmu silat Cin-ling-pai walau pun tidak semua jurus dikeluarkan, hanya dipilih jurus-jurus yang paling baik saja. Permainannya mantap dan menunjukkan kemahiran serta kematangan. Walau pun kecepatannya tidak seperti yang dipertontonkan Cun Sek tadi, juga sambaran angin pukulannya tidak sedahsyat pemuda tadi, tetapi semua yang ahli dalam ilmu silat Cin-ling-pai maklum bahwa inilah ilmu silat Cin-ling-pai yang asli.
Di lubuk hatinya yang paling dalam, kakek Cia Kong Liang sendiri harus mengakui bahwa permainan silat Gouw Kian Sun itu memang sudah mendekati kesempurnaan, gerakan-gerakannya mantap dan matang. Dan dia pun bukan tidak tahu bahwa gerakan silat Cun Sek tadi berbau percampuran gerakan silat asing. Akan tetapi karena dia sudah condong untuk memilih Cun Sek yang dipercayanya akan mampu memimpin Cin-ling-pai dengan baik dan bisa memajukan perkumpulan itu, maka dia pun memberi nilai yang lebih tinggi kepada pemuda itu.
Berbeda dengan Tang Cun Sek yang tadi menutup permainan silatnya dengan jurus Ilmu Pedang Siang-bhok Kiam-sut (Ilmu Pedang Kayu Harum), kini Gouw Kian Sun menutup ujiannya dengan permainan tongkat berpasangan yang disebut Siang-liong-pang (Tongkat Sepasang Naga). Dalam ilmu mempergunakan senjata ini pun gerakan Kian Sun sangat mantap dan jelas dia merupakan seorang lawan yang amat tangguh. Cia Hui Song sendiri diam-diam memuji kemajuan sutenya ini.
Ketika pria berumur empat puluh tahun itu berhenti bersilat, para pendukungnya bertepuk tangan memuji, termasuk Kui Hong yang bertepuk tangan paling keras dan panjang! Dara ini secara terang-terangan mendukung susiok-nya itu.
Namun pada saat itu pula suara kongkong-nya sudah menyebut namanya sebagai tanda bahwa tiba saatnya dia diharuskan menunjukkan kemampuannya bersilat sebagai salah seorang di antara tiga orang calon ketua yang dipilih oleh para anggota Cin-ling-pai.
"Kongkong, haruskah aku turut maju pula? Bukankah sudah jelas bahwa ilmu silat susiok tadi jauh lebih baik dan asli? Susiok Gouw Kian Sun adalah orang yang paling cocok dan tepat untuk menjadi ketua Cin-ling-pai yang baru menggantikan ayah kalau ayah memang mengundurkan diri!" Suaranya lantang didengar semua orang dan kakeknya mengerutkan kening.
"Cia Kui Hong," kakeknya berkata dengan suara yang lantang pula. "Menurut peraturan pemilihan ketua, setiap calon harus maju dan memperlihatkan kemampuannya. Sesudah itu baru diadakan pertandingan untuk menentukan siapa di antara para calon yang paling pandai sehingga tepat untuk menjadi ketua Cin-ling-pai yang baru. Nah, kini perlihatkanlah kemampuanmu!"
Kui Hong menghela napas panjang. Dia telah mengenal watak kakeknya yang keras hati. Kakeknya ini sudah menganggap bahwa Tang Cun Sek yang paling tepat untuk menjadi ketua karena memang dianggapnya paling baik. Dan agaknya kakeknya sudah demikian yakin akan kemenangan Tang Cun Sek!
Tidak, dia yang akan menentangnya, bukan menentang kehendak kakeknya, akan tetapi menggagalkan pemuda itu menjadi ketua Cin-ling-pai! Kalau perlu dia sendiri akan turun tangan dan menjadi pengganti ayahnya! Tentu saja dia harus mampu mengalahkan Tang Cun Sek dan dia harus mengerahkan seluruh kepandaiannya karena dia maklum betapa lihainya pemuda pilihan kakeknya itu.
Kalau pemuda itu berhasil memenangkan pemilihan ketua dan menjadi ketua baru, tentu kakeknya akan melanjutkan niatnya menjodohkan pemuda itu dengannya. Memang harus dia akui bahwa Cun Sek seorang pemuda yang tampan, gagah dan pandai ilmu silatnya, baik pula sikapnya. Akan tetapi entah mengapa, ada sesuatu pada diri pemuda itu yang tidak disukainya. Dia sendiri tidak mengerti mengapa dan apakah gerangan sesuatu itu.
Ketika Kui Hong bangkit dan berjalan ke tengah panggung, para pendukungnya segera menyambutnya dengan tepuk tangan yang meriah. Juga para tamu banyak yang bertepuk tangan, terutama sekali para undangan.
Memang Kui Hong nampak cantik bukan kepalang. Dia mengenakan celana biru dan baju merah muda, dengan sabuk berwarna kuning keemasan. Rambutnya digelung ke atas dan dihias tusuk sanggul dari emas yang berbentuk burung Hong dengan mata intan. Bibirnya tersenyum manis sekali, matanya tajam bersinar. Gadis berusia sembilan belas tahun ini bagai kembang yang sedang mekar semerbak mengharum. Bukan hanya nampak cantik jelita, akan tetapi juga gagah sekali.
Pada saat dia memberi hormat kepada para tamu, semua orang tersenyum dan yang tua mengangguk-angguk sedangkan yang muda ramai bertepuk tangan. Sepasang mata Cun Sek juga menyinarkan api penuh kagum, dan diam-diam dia membayangkan betapa akan senangnya jika dia dapat menjadi ketua Cin-ling-pai dengan dara jelita itu duduk di sisinya sebagai isterinya!
Sambil mengamati dara yang semenjak kepulangannya ke Cin-ling-pai telah membuatnya tergila-gila itu, Tang Cun Sek mengenang keadaan dirinya dan riwayatnya sendiri. Dia tak pernah mengenal ayah kandungnya sendiri. Pada saat dia sudah mulai dapat berpikir, dia mengajukan pertanyaan kepada ibunya kenapa dia memiliki she (nama keturunan) Tang, pada hal ayahnya seorang hartawan she Thio.
Ibunya dengan terus terang menceritakan bahwa ketika ibunya menikah dengan hartawan Thio, dia sudah menjadi seorang janda yang masih sangat muda, baru berusia dua puluh tahun, ada pun Cun Sek berusia tiga tahun. Ibunya melahirkan ketika berusia tujuh belas tahun, masih muda sekali. Mengenai ayah kandungnya, dengan sepasang alis berkerut ibunya bercerita begini:
"Ayah kandungmu adalah seorang she Tang. Aku sendiri tidak tahu namanya karena dia tak pernah mengaku, akan tetapi dia adalah seorang yang sakti dan dia memperkenalkan julukannya sebagai Ang-hong-cu (Si Kumbang Merah). Dan aku pun bukan isterinya, dia... dia memaksaku dengan ancaman mati sehingga aku terpaksa melayaninya. Selama tiga bulan dia sering datang ke kamarku di malam hari dan setelah aku mengandung, dia pun meninggalkan aku dan hanya meninggalkan benda ini agar kelak engkau mengenalnya. Inilah benda itu," demikian cerita ibunya sambil menyerahkan sebuah benda kecil yang selalu disimpan olehnya secara rahasia dan tak pernah terpisah dari tubuhnya. Benda itu sebuah mainan berbentuk seekor kumbang merah terbuat dari emas dan permata. Hanya itulah yang diketahuinya tentang ayah kandungnya.
"Orangnya tampan sekali dan pandai merayu, tubuhnya sedang, akan tetapi dia seperti iblis, datang dan pergi seperti pandai menghilang saja," demikian kata ibu kandungnya.
Sejak berusia tiga tahun dia hidup di rumah gedung Thio Wan-gwe (Hartawan Thio) yang dipanggilnya ayah karena memang merupakan ayah tirinya. Agaknya ayah tirinya tak mau mengakuinya sebagai anak sendiri sehingga ibunya terpaksa memberinya she Tang, yaitu nama keturunan jai-hwa-cat (penjahat pemerkosa wanita) yang juga she Tang.
Sebagai putera keluarga kaya raya, walau pun hanya anak angkat saja, dia hidup serba kecukupan, mewah dan dimanja, tetapi semenjak kecil Cun Sek memiliki kecerdikan yang lebih dari anak-anak biasa. Pada mulanya dia mempelajari kesusasteraan dengan sangat tekun, akan tetapi setelah berusia sepuluh tahun, dia mempergunakan banyak uang yang diperoleh dari ibunya untuk belajar ilmu silat!
Diam-diam dia menanam bibit dendam kebencian kepada orang yang oleh ibunya disebut Ang-hong-cu, ayah kandungnya sendiri karena orang itu setelah memperkosa ibunya dan ibunya mengandung dia kemudian meninggalkan ibunya begitu saja! Karena ibunya selalu menuruti permintaannya dan Cun Sek menghamburkan banyak sekali uang, dia pun bisa mempelajari banyak macam ilmu silat. Karena dia memang berbakat sekali, maka dia pun dapat menguasai bermacam-macam ilmu silat.
Akan tetapi ada satu kelemahan dalam diri pemuda yang cerdik dan berbakat, juga penuh semangat ini. Semenjak berusia enam belas tahun dia telah mulai memperhatikan wanita. Bukan sekedar memperhatikan, bahkan dia mulai terangsang bila bertemu wanita cantik.
Ayah tirinya mempunyai lima orang selir dan di antara mereka, ada dua orang selir yang masih sangat muda, berusia delapan belas tahun. Dua orang selir ini mulai bermain mata dengan Cun Sek yang berusia enam belas tahun. Hal yang sukar untuk dihindarkan pun terjadilah!
Cun Sek mulai bermain cinta dengan dua orang selir muda itu. Kedua orang selir itu yang menjadi guru Cun Sek dan membuat dia seakan-akan seekor kuda yang terlepas dari kendali, menjadi liar dan menjadi seorang pengumbar nafsu yang tidak ketulungan lagi!
Akhirnya persaingan dan kebencian di antara para selir membuat hubungan itu diketahui oleh Thio Wan-gwe yang mendapat bisikan dari selir yang lain. Dan Cun Sek tertangkap basah! Ayah tirinya marah sekali kemudian Cun Sek diusirnya!
Pemuda ini juga memiliki harga diri yang tinggi. Merasa bahwa dia memang bukan anak kandung hartawan itu, maka dia pun pergi sambil membawa banyak sekali emas permata yang didapat dari ibunya yang amat memanjakannya. Mulailah Tang Cun Sek bertualang, bebas seperti seekor burung di udara!
Dengan hartanya yang sangat banyak, dia mencari guru demi guru silat yang pandai dan mempelajari pelbagai llmu silat, baik dari golongan putih mau pun dari gerombolan hitam. Selain itu dia pun sering mengumbar nafsunya, berkecimpung dalam dunia kesenangan bersama wanita-wanita pelacur. Dan dia pun menjadi seorang kongcu hidung belang yang kaya raya dan yang menghambur-hamburkan uang untuk dilayani para wanita cantik dan menerima pelajaran silat dari guru-guru yang pandai.
Akhirnya Cun Sek pun mulai bosan dengan pergaulannya dalam dunia pelacuran itu dan melanjutkan kehausannya akan ilmu silat sampai dia pergi mengunjungi guru-guru yang pandai di puncak-puncak gunung, mengangkat guru kepada siapa saja yang dia anggap mempunyai kepandaian tinggi.
Berkat pengetahuannya yang cukup luas melalui bacaan, disertai sikap pandai membawa diri, maka banyak sudah orang-orang pandai di dunia persilatan menganggap dia sebagai seorang calon pendekar budiman sehingga mereka pun tidak segan untuk mengajarkan ilmu silat mereka kepada pemuda ini. Bahkan, pada saat mendengar tentang Cin-ling-pai, Tang Cun Sek dalam usia dua puluh enam tahun kemudian datang menghadap pimpinan Cin-ling-pai untuk menjadi murid perkumpulan silat yang besar dan terkenal itu.
Demikianlah riwayat yang dikenang kembali oleh Tang Cun Sek pada saat dia mengamati gadis cantik di panggung itu. Tentu saja dia menyimpan rapat-rapat riwayatnya ini sebagai rahasia pribadinya. Dia memperkenalkan dirinya sebagai Tang Cun Sek seorang pemuda yatim piatu yang suka mempelajari ilmu silat tinggi, dan karena sikapnya memang sangat baik, sopan dan halus, pandai membawa diri dan pandai menyenangkan hati orang lain melalui sikap dan tutur sapanya, dia pun diterima menjadi anggota Cin-ling-pai dan dapat mempelajari ilmu-ilmu silat milik Cin-ling-pai. Demikian pandainya dia menyenangkan hati orang sehingga kakek Cia Kong Liang sendiri sampai terpikat dan berkenan mengajarkan ilmu-ilmu simpanan Cin-ling-pai kepada pemuda ini.
Kini Kui Hong sudah mulai bersilat. Seperti dua orang calon sebelumnya, Kui Hong juga memainkan ilmu-ilmu silat Cin-ling-pai. Dia langsung mengerahkan seluruh tenaga berikut kepandaiannya karena dia ingin melebihi Cun Sek dalam segala-galanya!
Sebagai keturunan ketua Cin-ling-pai, dalam hal ilmu silat Cin-ling-pai tentu saja dia telah menguasai semua ilmu dengan baik. Akan tetapi kalau dibandingkan dengan Gouw Kian Sun, tentu saja dia masih kalah matang karena susiok-nya itu sudah menguasai ilmu-ilmu ini selama puluhan tahun, dan terutama sekali karena setiap hari Gouw Kian Sun selalu mempraktekkannya untuk melatih para murid Cin-ling-pai.
Akan tetapi, karena gadis ini baru saja langsung digembleng oleh kakek dan neneknya di Pulau Teratai Merah, maka dia telah memperoleh kemajuan hebat dalam hal sinkang dan ginkang sehingga ketika bergerak tubuhnya bagai kilat menyambar-nyambar. Kecepatan gerakannya melebihi kecepatan Cun Sek dan hal ini memang disengaja oleh Kui Hong untuk mengurangi kesan baik yang diperoleh Cun Sek dalam pameran silatnya tadi.
Kini tubuh gadis ini sukar diikuti pandangan mata. Tubuhnya berkelebat-kelebat menjadi bayangan warna-warni, merah biru dan kuning, sementara angin menyambar-nyambar ke semua penjuru karena dorongan tangan serta tendangan kakinya. Para penonton sampai terpesona karena apa yang diperlihatkan Kui Hong itu memang sangat indah dan amat hebat pula. Cun Sek sendiri terpesona dan dia semakin tergila-gila kepada gadis itu.
Sesudah memainkan beberapa macam ilmu silat Cin-ling-pai, Kui Hong lantas mencabut sepasang pedang pemberian dari neneknya, yaitu Hok-mo Siang-kiam (Sepasang Pedang Penakluk Iblis) yang berwarna hitam sehingga nampak dua gulung sinar hitam. Dan gadis ini segera memainkan kedua pedangnya itu dengan ilmu pedang Hok-mo Siang-kiam-sut yang dipelajarinya dari neneknya!
Bukan main hebatnya ilmu pedang ini. Terdengar suara mengaung-ngaung tinggi rendah yang diselingi suara berdesing-desing, dan yang nampak hanyalah dua gulungan cahaya hitam yang menyeramkan dan dahsyat sekali. Tidak aneh karena ilmu pedang ini adalah ilmu dari nenek gadis itu yang bernama Toan Kim Hong. Pada waktu mudanya, Toan Kim Hong ini sudah terkenal dengan menyamar sebagai seorang nenek berjuluk Lam Sin dan termasuk seorang di antara tokoh-tokoh dan para datuk aneh di empat penjuru dunia!
Seluruh murid Cin-ling-pai memandang bingung. Permainan sepasang pedang itu tidak mereka kenal sama sekali! Biar pun amat hebat, namun jelas bukan ilmu silat Cin-ling-pai, maka mereka saling pandang dengan heran walau pun hati mereka merasa kagum sekali. Baru dimainkan sendirian saja sudah dapat terlihat jelas betapa ampuh dan kuatnya ilmu sepasang pedang itu, membuat orang merasa jeri.
Setelah selesai bersilat pedang pasangan dan memberi hormat kepada penonton, semua tamu bertepuk tangan memuji. Banyak di antara tamu yang tidak hafal akan ilmu-ilmu Cin-ling-pai dan mengira bahwa ilmu bermain sepasang pedang itu pun merupakan ilmu dari Cin-ling-pai. Melihat sambutan meriah yang diberikan para tamu kepada cucunya, Cia Kong Liang menggapai dan memanggil cucunya itu. Setelah Kui Hong duduk di dekatnya, dia menegur.
"Kui Hong, kalau tidak salah, engkau tadi memainkan ilmu pedang dari nenekmu di Pulau Teratai Merah! Itu bukan ilmu dari Cin-ling-pai!" Teguran itu mengandung nada yang tidak senang. Memang sejak dahulu tokoh Cin-ling-pai ini tidak begitu suka terhadap Pendekar Sadis dan isterinya, terutama isteri Pendekar Sadis yang tadinya seorang datuk sesat!
Akan tetapi Kui Hong adalah seorang gadis yang keras hati pula, dan dia tidak akan sudi mengalah terhadap siapa pun juga apabila merasa bahwa dia benar. Mendengar teguran kongkong-nya itu, dia pun berkata, walau pun suaranya lirih namun terdengar tegas.
"Kongkong, siapa pun tahu bahwa permainan Tang Cun Sek tadi tidak asli sebab berbau ilmu silat dari luar, akan tetapi kongkong tidak menegur atau mencelanya. Aku sengaja memperlihatkan Hok-mo Siang-kiam agar dia tahu bahwa aku pun mempunyai ilmu lain di luar ilmu-ilmu Cin-ling-pai asli."
Kakek itu mengenal watak cucunya ini, maka dia menghela napas panjang lantas berkata lantang, "Ketiga orang calon ketua telah memperlihatkan kepandaiannya masing-masing! Ternyata ketiganya memiliki tingkat yang sudah tinggi dan juga matang dalam ilmu-ilmu silat Cin-ling-pai. Oleh karena itu, untuk menentukan siapa yang paling pandai di antara mereka, akan diadakan pertandingan antara mereka. Pertama kali akan berhadapan calon pertama dan ke dua, yaitu Tang Cun Sek dan Gouw Kian Sun!"
Dua orang itu memberi hormat lalu menuju ke tengah panggung. Sebelum pemilihan itu dimulai, mereka sudah menerima petunjuk dari ketua Cin-ling-pai bahwa pertandingan itu diadakan menurut pilihan kedua calon yang berhadapan, dengan tangan kosong ataukah dengan senjata. Dan mengingat bahwa semua calon adalah anggota keluarga perguruan sendiri, maka tentu saja mereka harus dapat menjaga agar jangan sampai melukai lawan dengan parah, apa lagi sampai membunuhnya. Pertandingan semacam ini membutuhkan keahlian dan kemampuan yang mendalam, yaitu mengenai sasaran tanpa mendatangkan luka parah.
Dengan sikapnya yang memang selalu menyenangkan, Tang Cun Sek memberi hormat kepada lawannya yang masih terhitung susiok-nya sendiri, bahkan susiok ini pulalah yang lebih banyak membimbingnya dalam latihan ilmu-ilmu silat Cin-ling-pai, kemudian berkata,
"Susiok, maafkan bila hari ini teecu memberanikan diri menjadi calon lawan susiok karena terpaksa dipilih sebagai calon. Teecu menyerahkan kepada susiok cara apa yang susiok pilih."
Ucapan ini memang halus dan sopan, namun tidak urung mengandung nada menantang dan bahkan memandang rendah kepada sang paman guru sehingga pemuda itu bersikap mengalah dan mempersilakan susiok-nya itu memilih cara pertandingan. Dia seolah-olah hendak melayani saja.
Gouw Kian Sun memandang tajam, lalu menarik napas. Dia pun bukan seorang bodoh. Dia tahu bahwa suhu-nya, ketua lama, condong berpihak dan memilih pemuda ini, dan dia pun tahu bahwa sebelum menjadi murid Cin-ling-pai, pemuda ini sudah memiliki ilmu silat yang tinggi. Meski pada mulanya dia menaruh curiga dan tidak mengerti kenapa pemuda yang sudah pandai ini mau menjadi murid Cin-ling-pai, akan tetapi melihat betapa suhu-nya amat menyayang pemuda ini, maka dia pun menghilangkan kecurigaannya.
"Cun Sek, kita adalah orang sendiri, tak perlu mempergunakan senjata. Engkau atau pun aku yang menjadi ketua, apa bedanya? Mari kita mulai, dengan tangan kosong saja."
"Tahan dulu!" Tiba-tiba Cia Kong Liang berseru keras lantas dia menyuruh seorang murid Cin-ling-pai supaya mengambil dua batang mouw-pit (pena bulu) dan tinta bak. Kemudian dia pun berkata kepada dua orang calon ketua itu. "Agar lebih mudah menentukan siapa pemenangnya, kalian gunakanlah mouw-pit yang sudah dicelup tinta untuk saling serang. Pada akhir pertandingan, siapa yang ternyata lebih banyak terkena goresan atau totokan hitam pada pakaiannya, dialah yang kalah."
Baik Cun Sek mau pun Gouw Kian Sun menerima baik perintah ini, apa lagi memang tak akan terasa enak dalam hati kalau sampai mereka saling melukai. Betapa pun pandainya mereka, jika sampai terjadi sebuah pertandingan yang seimbang baik kekuatan mau pun kemahiran ilmunya, bukan tidak mungkin mereka takkan mampu mengendalikan diri dan kesalahan tangan melukai lawan. Dengan mouw-pit mereka dapat menotok atau mencoret pada bagian tubuh yang tertutup pakaian, biar pun tidak perlu menotok keras, cukup kalau sudah menodai bagian pakaian itu sebagai bukti bahwa mereka berhasil saling melukai.
Pertandingan itu pun dimulai. Karena mouw-pit itu panjangnya hanya sejengkal dan dijepit di antara jari tangan yang terkepal, maka pertandingan itu lebih menyerupai pertandingan tangan kosong. Mereka berdua kini berhadapan, kedua tangan terkepal sambil menjepit mouw-pit di tangan masing-masing, memasang kuda-kuda yang sama, yaitu kuda-kuda dari ilmu silat Thian-te Sin-ciang.
"Silakan, susiok!" kata Cun Sek.
Ucapan ini juga nampaknya saja dia menghormati susiok-nya agar menyerang lebih dulu, padahal mereka berdua sama tahu bahwa dalam hal pertandingan semacam ini, seperti halnya latihan saja karena masing-masing mempergunakan ilmu silat yang sama, siapa menyerang lebih dahulu maka memiliki titik kelemahan.
Gouw Kian Sun mengeluarkan seruan keras sebagai isyarat serangannya dan Cun Sek mengelak sambil membalas, dan mulailah keduanya serang menyerang mempergunakan ilmu silat Thian-te Sin-ciang. Mereka bertanding dengan pengerahan tenaga dan seluruh kepandaian sehingga nampak seru sekali. Mereka saling serang dan mengganti ilmu-ilmu silat mereka.
Bagi para ahti silat Cin-ling-pai, nampak betapa setiap kali lawannya mendesak dan dia berada dalam ancaman pukulan atau lebih tepat colekan mouw-pit, Cun Sek tidak segan-segan untuk mempergunakan suatu gerakan yang menyimpang atau bukan gerakan ilmu silat Cin-ling-pai. Suatu gerakan reflek untuk menghindarkan diri dari serangan dan dalam gerakan ini secara otomatis akan keluar ilmu yang bukan merupakan ilmu-ilmu dari Cin-ling-pai yang dikuasainya!
Akan tetapi gerakan kedua orang jagoan ini demikian cepat sehingga kalau bukan ahli silat Cin-ling-pai, hal ini tidak akan nampak. Bahkan para murid Cin-ling-pai yang belum mencapai tingkat tertinggi juga tidak dapat membedakannya. Hanya Cia Kong Liang, Cia Hui Song, Ceng Sui Cin, Cia Kui Hong, dan beberapa orang murid kepala saja yang dapat mengetahuinya.
Seperti sudah ditentukan dalam peraturan adu kepandaian itu, setelah sebatang hio (dupa biting) yang di awal pertandingan tadi dinyalakan kini habis terbakar, maka pertandingan langsung dihentikan dan para wasit menghitung jumlah noda yang terdapat pada pakaian masing-masing. Tentu saja dengan mudah dapat dilihat bahwa pada pakaian Gouw Kian Sun lebih banyak terdapat noda dan coretan. Hal ini berarti bahwa dia telah kalah.
Dengan diam-diam Gouw Kian Sun mengerutkan alisnya. Mulailah dia merasa tidak suka terhadap Cun Sek, bukan karena iri, bukan karena dia dinyatakan kalah, melainkan dia melihat betapa murid keponakan itu ternyata seorang yang amat curang dan licik. Dia tadi melihat Cun Sek banyak menggunakan jurus ilmu silat lain yang dibaurkan dengan jurus ilmu silat Cin-ling-pai.
Bukan itu saja kelicikan pemuda itu. Juga dia tadi melihat betapa setiap menyerangnya, pemuda itu menggerak-gerakkan kedua mouw-pitnya sedemikian rupa sehingga tinta bak dari ujung bulu pena itu memercik hingga menodai pakaiannya! Percikan yang membuat noda pada pakaiannya itu bukan seluruhnya disebabkan tepatnya serangan kedua mouw-pit di tangan Cun Sek, melainkan sebagian besar karena percikan itulah. Dari hal ini saja dapat diketahui alangkah curangnya pemuda itu. Dalam pengumpulan noda pada pakaian lawan, tentu saja Cun Sek memperoleh kemenangan yang banyak.
Dengan sikap gembira kakek Cia Kong Liang lalu mengumumkan bahwa pemenangnya adalah Tang Cun Sek, calon ketua nomor satu dan sekarang akan diadakan pertandingan antara calon nomor satu dengan calon nomor tiga. Untuk itu Cun Sek diharuskan berganti pakaian yang bersih lebih dahulu karena pakaiannya sudah berlepotan noda hitam.
Sementara menanti calon lawannya berganti pakaian, kesempatan itu dipergunakan oleh Kui Hong untuk mendekati kongkong-nya. Dia tahu bahwa kalau Tang Cun Sek sampai bisa menjadi calon ketua yang memperoleh banyak pendukung, bahkan sekarang mampu mengalahkan Gouw Kian Sun, hal itu adalah karena dukungan kakeknya ini.
"Kongkong," bisiknya dan hanya kakeknya seorang yang dapat mendengarnya. "Kenapa kongkong membolehkan Cun Sek itu melakukan kecurangan? Dia menggunakan banyak jurus di luar ilmu silat Cin-ling-pai ketika melawan susiok Gouw Kian Sun, bahkan dia juga menodai pakaian Gouw-susiok dengan percikan-percikan dari mouw-pitnya."
Kakeknya memandang kepadanya dan menjawab dalam bisikan pula. "Kui Hong, hal itu menunjukkan kecerdikannya. Dialah yang paling tepat untuk memimpin perkumpulan kita, dapat menambah ragamnya ilmu silat kita. Kiranya engkau tidak perlu maju lagi, cucuku. Untuk apa seorang wanita menjadi ketua? Kalau engkau menjadi isterinya, itu baru tepat."
Kui Hong tidak menjawab, melainkan pergi menjauhkan diri dari kakeknya dengan muka cemberut. Sialan, pikirnya. Kakeknya sudah benar-benar dipengaruhi oleh Tang Cun Sek sehingga sudah bertekad bulat untuk mendukung pemuda itu menjadi ketua Cin-ling-pai. Bukan itu saja, malah agaknya bertekad untuk menjodohkan pemuda itu dengannya.