GADIS itu berwatak demikian terbuka, polos di samping galak dan keras, akan tetapi juga penuh rahasia baginya. Kadang-kadang gadis itu bersikap manis sekali, kadang-kadang seperti acuh. Bagaimana kalau nanti Bi Lian menolak? Bagaimana kalau diam-diam gadis ini telah mempunyai seorang pemuda pilihan hatinya sendiri? Hal ini membuat dia secara diam-diam merasa gelisah ketika mengikuti gadis dan ayah ibunya itu dari belakang.
Diam-diam dia merasa iri melihat betapa tangan dan lengan suhu dan subo-nya melingkar di pinggang yang ramping itu. Kalau saja tangan dan lengannya yang berada di situ! Gadis itu bicara dengan sikap manja sambil menoleh ke kanan kiri, kepada ayahnya dan ibunya. Kalau saja gadis itu bicara seperti itu kepadanya!
Mereka memasuki sebuah pondok sederhana yang berdiri di pinggir sebuah anak sungai yang airnya jernih, yang mengalir riang berdendang di antara batu-batu sungai. Pondok atau rumah tunggal di lembah itu, tidak mempunyai tetangga. Rumah orang lain berada di dusun yang berada di kaki gunung.
Setelah berada di dalam pondok dan duduk di atas lantai bertilamkan rumput kering yang lunak dan bersih, mereka berempat kemudian bercakap-cakap. Untuk melenyapkan rasa penasaran di hati Bi Lian, mula-mula Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu menceritakan keadaan mereka sebagai keturunan para datuk sesat yang sudah yatim piatu dan saling mencinta dalam keadaan sengsara. Betapa kemudian mereka ingin menebus dosa orang tua mereka, lalu masuk ke dalam kuil Siauw-lim-si untuk menjadi hwesio dan nikouw.
"Tapi agaknya Tuhan juga melarang kami menjadi pendeta. Buktinya, aku mengandung, Bi Lian. Engkau pun terlahir dan kami dihukum oleh losuhu Ceng Hok Hwesio," kata Toan Hui Cu.
"Kenapa ayah dan ibu dihukum? Bagaimana hukumannya? tanya Bi Lian sambil menahan kemarahannya terhadap ketua kuil itu,.
Siangkoan Ci Kang yang menjawab pertanyaan puterinya. "Kami dihukum agar bertobat dan bertapa di dalam kamar tahanan masing-masing selama dua puluh tahun...”
"Dua puluh tahun?" Bi Lian pura-pura terkejut. "Mengapa losuhu itu menghukum seperti itu?"
"Karena menurut losuhu, kami dianggap telah melanggar dosa. Dan kami harus menebus dosa dengan bertapa dan menyesali perbuatan kami itu," jawab ibunya.
"Ayah dan Ibu menerima hukuman itu dengan rela? Ayah dan Ibu menganggap hukuman itu sudah pantas?" Bi Lian mendesak.
Suami isteri itu saling lirik, lantas Siangkoan Ci Kiang menjawab, "Ya, kami menerimanya dan kami menganggapnya sudah pantas."
"Tidak! Tidaakkk! Sama sekali tidak pantas! Hwesio tua itu hanya membalas dendam. Dia tergila-gila kepada Ibu, kakek yang tidak tahu malu itu! Ibu tidak mau melayaninya dan dia membalas dendam, menghukum Ayah dan Ibu untuk memuaskan dendamnya!"
"Sumoi...!" Han Siong berseru menegur.
Suami isteri itu saling pandang, lalu memandang Han Siong. Siangkoan Ci Kang menarik napas panjang sebelum bertanya, "Aha, kiranya kalian sudah tahu pula hal itu? Dari siapa kalian tahu?"
"Dia sendiri yang mengaku kepada kami!" Bi Lian menjawab. "Ayah dan Ibu, tadinya kami masuk ke dalam kamar tahanan Ayah dan Ibu, akan tetapi kami hanya bertemu dengan losuhu itu dan dia membuat pengakuan ini. Hampir saja aku membunuhnya!"
"Bi Lian...!" Toan Hui Cu merangkul puterinya.
Kini Han Siong turut bicara. "Suhu dan Subo, sebelum bertemu dengan losuhu Ceng Hok Hwesio, sumoi belum tahu bahwa dia adalah puteri Suhu dan Subo, karena teecu hanya mengajak sumoi untuk menghadap Suhu dan Subo yang dia ingat sebagai guru-gurunya pada saat dia masih kecil. Akan tetapi, ketika teecu mencari Suhu dan Subo di kuil, kami berjumpa dengan Ceng Hok Hwesio dan dialah yang mengakui segalanya kepada kami sehingga sumoi mengetahui bahwa dia adalah puteri Suhu dan Subo dan dia mengakui segala hal yang telah dilakukannya."
"Aku heran sekali mengapa Ayah dan Ibu membiarkan saja orang berbuat begitu kejam terhadap Ayah dan Ibu?" Bi Lian menyambung dengan suara mengandung penasaran.
Ayahnya tersenyum. "Engkau tidak tahu, anakku. Engkau tidak tahu betapa Ayah beserta Ibumu menderita tekanan batin mengingat dosa-dosa yang dahulu ditumpuk oleh kakek nenekmu. Kami menerima hukuman itu yang kami anggap memang tepat bagi kami untuk menebus dosa-dosa turunan. Biar pun sesudah hampir dua puluh tahun kemudian losuhu itu baru membuat pengakuan, kami tak merasa penasaran karena di dalam pelaksanaan hukuman itu kami mendapatkan hikmat dan anugerah yang sangat berharga dari Tuhan. Melalui pelaksanaan hukuman itu kami mendapatkan ilmu-ilmu tinggi, bahkan kemudian kami bertemu dengan suheng-mu ini yang menjadi murid kami. Tidak, anakku, kami tidak merasa penasaran kepada Ceng Hok Hwesio."
"Bahkan kami merasa kasihan kepadanya, Bi Lian," kata ibunya. "Dia merasa menyesal dan penyesalan merupakan hukuman yang lebih berat lagi. Kini dia yang sudah begitu tua harus menderita kesengsaraan batin yang berat, bahkan dia akan menghukum diri sendiri di kamar itu sampai mati."
Bi Lian mengangguk-angguk. "Mungkin benar juga pendapat Ayah dan Ibu. Dia menyiksa diri bahkan minta agar kubunuh, akan tetapi suheng mencegah aku. Akan tetapi, kenapa Ibu menyerahkan aku kepada keluarga Cu, bahkan juga menyuruh mereka mengakui aku sebagai anaknya?"
"Begini, Bi Lian," jawab ayahnya. "Ibumu dan aku sudah merundingkan hal itu baik-baik. Kami akan hidup selama dua puluh tahun dalam kurungan sebagai orang-orang hukuman. Kalau kami membiarkan engkau hidup bersama dengan kami dalam hukuman, bagaimana jadinya dengan dirimu? Kami harus memikirkan masa depanmu. Oleh karena itu, sesudah berpikir masak-masak maka kami menitipkan engkau kepada keluarga Cu yang kami tahu merupakan keluarga baik-baik. Kami selalu mengunjungimu untuk menjenguk keadaanmu sejak engkau masih bayi sampai engkau besar dan kami beri latihan dasar ilmu silat."
"Nah, itulah sesungguhnya yang mendorong kami menitipkan engkau kepada keluarga Cu di dusun itu, Bi Lian. Bukan sekali-kali karena kami tidak sayang kepadamu! Engkau tahu, sampai berbulan-bulan setiap malam aku menangis kalau teringat kepadamu, dan hanya demi kebahagiaanmu di masa depan sajalah aku dapat menahan penderitaan batin yang berat itu...”
Bi Lian merangkul ibunya. "Aku percaya, Ibu. Aku pun dapat merasakan kasih sayang Ibu dan Ayah ketika sering datang mengajarku di dusun itu."
"Nah, sekarang giliranmu untuk menceritakan semua pengalamanmu!" kata Siangkoan Ci Kang kepada puterinya.
"Nanti dulu, Ayah dan Ibu," kata Bi Lian dengan sikap manja dan 'jual mahal'. "Aku ingin mendengar cerita suheng lebih dulu, tentang riwayatnya sampai dia bertemu dengan aku ketika menentang gerombolan Lam-hai Giam-lo itu."
Toan Hui Cu tersenyum kemudian mengangguk kepada muridnya. "Kami pun ingin sekali mendengar, terutama tentang keberhasilanmu menemukan anakku. Kini berceritalah, Han Siong."
"Sumoi, aku pernah menceritakan keadaan keluargaku kepadamu. Ayahku adalah ketua dari Pek-sim-pang di Kong-goan. Ketika masih bayi, terpaksa aku disembunyikan karena hendak diculik oleh para pendeta Lama di Tibet. Aku disembunyikan di kuil Siauw-lim-si itu sehingga bertemu dengan suhu dan subo kemudian menjadi muridnya."
"Ya, aku sudah tahu tentang hal itu, dan aku tahu pula bahwa adik Pek Eng adalah adik kandungmu. Ceritakan saja sejak engkau meninggalkan ayah dan ibu," kata Bi Lian.
Kini Han Siong menujukan ceritanya kepada dua orang gurunya. "Ketika Suhu dan Subo memberi tugas kepada teecu untuk mencari Sumoi, sesungguhnya teecu merasa bingung sekali karena selain selamanya teecu belum pernah bertemu dengan Sumoi, juga teecu tidak tahu harus mencari ke arah mana. Akan tetapi teecu mengambil keputusan tidak akan kembali menghadap Suhu dan Subo sebelum berhasil menemukan Sumoi. Teecu berangkat dibekali doa restu Suhu dan Subo, dan juga kenekatan. Dalam perjalanan itu teecu bertemu dengan seorang locianpwe yang berjuluk Ban Hok Lojin dan teecu diambil murid selama satu tahun!."
"Ban Hok Lojin?" Siangkoan Ci Kang berseru kaget. "Bukankah dia adalah salah seorang di antara Delapan Dewa?"
"Suhu benar. Suhu Ban Hok Lojin adalah seorang di antara Pat-sian (Delapan Dewa) dan selama satu tahun teecu diberi ilmu Pek-hong Sin-ciang dan juga ilmu sihir..."
"Wah, Ayah dan Ibu! Suheng ini pandai main sulap, pandai main sihir!"
“Hemm, coba kau perlihatkan sedikit sihirmu supaya kami dapat melihatnya, Han Siong," kata Toan Hui Cu, subo-nya.
“Bagaimana teecu berani bersombong dan kurang ajar terhadap Suhu dan Subo?” kata Han Siong.
"Tidak, Han Siong. Jangan mengira bahwa kami tidak senang mendengar engkau menjadi murid Ban Hok Lojin. Kami hanya ingin melihat sendiri kekuatan sihir yang kau pelajari itu," kata suhu-nya.
"Suhu, menurut keterangan suhu Ban Hok Lojin, ada dua macam ilmu sihir, yaitu yang disebut ilmu hitam dan ilmu putih. Ilmu hitam adalah sihir yang dipergunakan orang untuk melakukan kejahatan, sedangkan yang diajarkan oleh suhu Ban Hok Lojin hanyalah untuk melindungi diri dari serangan musuh, terutama untuk menghadapi serangan sihir hitam."
"Kalau begitu bagus sekali, Han Siong. Nah, perlihatkan sedikit kepada kami supaya kami menjadi yakin."
"Aihh, Suheng! Kenapa pelit amat? Hayo perlihatkan kepandaianmu, aku pun ingin sekali melihatnya," kata Bi Lian.
Han Siong tersenyum, lantas diam-diam dia mulai mengerahkan kekuatan batinnya untuk melakukan demonstrasi sihirnya. "Suhu, Subo dan Sumoi, andai kata sekali waktu teecu kewalahan menghadapi pengeroyokan atau seorang lawan tangguh, teecu bisa membuat lawan bingung untuk menyelamatkan diri dengan memperbanyak diri teecu!"
"Memperbanyak diri?" Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui ClI bertanya hampir berbareng.
"Apa maksudmu, Suheng?" Bi Lian juga ingin sekali tahu.
"Suhu, teecu dapat memperbanyak diri, misalnya menjadi dua seperti ini!"
Suara Han Siong berwibawa sekali, menggetar dan tiba-tiba saja ayah, ibu dan anak itu terbelalak melihat betapa tubuh Han Siong benar-benar berubah menjadi dua orang!
"Atau menjadi tiga seperti ini!" terdengar lagi suara Han Siong dan sekarang muncul pula seorang Pek Han Siong yang lain dan berdirilah tiga orang pemuda yang kembar di depan mereka.
Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu, dua orang tokoh kang-ouw yang sudah mempunyai banyak pengalaman dan memiliki kepandaian tinggi itu cepat-cepat mengerahkan tenaga khikang mereka dan memusatkannya kepada pandang mata dan kini lenyaplah dua orang bayangan Han Siong yang lain, tinggal seorang saja yang asli. Akan tetapi Bi Lian tidak tahu bagaimana caranya membuyarkan penglihatan aneh itu dan dia pun berseru sambil tertawa.
"Wah-wah-wah...! Kalau aku menjadi lawanmu pasti aku benar-benar akan kebingungan sekali, Suheng! Yang mana sih engkau yang sesungguhnya?"
Han Siong tersenyum. Dia pun segera melenyapkan dua bayangannya, lalu menjatuhkan diri berlutut di hadapan suhu dan subo-nya yang dia tahu dapat menguasai penglihatan mereka tadi.
"Harap suhu dan subo suka memaafkan teecu."
Suami isteri itu saling pandang dan Siangkoan Ci Kang menarik napas panjang. "Memang hebat ilmu sihir itu, Han Siong. Kami sendiri seketika terpengaruh dan memang ilmu sihir ini dapat menjadi alat pembela diri yang ampuh. Kami ikut merasa gembira bahwa engkau dilatih oleh seorang sakti seperti locianpwe itu. Sekarang lanjutkan ceritamu, Han Siong."
"Teecu lalu pergi berkunjung ke Pek-sim-pang. Di sana teecu bertemu dengan lima orang pendeta Lama yang hendak memaksa teecu ikut ke Tibet, namun teecu berhasil mengusir mereka. Kemudian teecu bertemu dengan ayah, ibu dan keluarga Pek."
"Ah, syukurlah, Han Siong. Aku ikut merasa gembira bahwa engkau bisa bertemu dengan orang tuamu dan keluargamu di sana," kata Toan Hui Cu.
"Tetapi teecu mendengar dari keluarga Pek bahwa adik kandung teecu yang bernama Pek Eng telah pergi meninggalkan rumah, katanya untuk mencari teecu, kakaknya yang selama hidupnya belum pernah dilihatnya."
"Ahh, kasihan sekali adik Pek Eng...,” kata Bi Lian.
"Karena itu teecu merasa khawatir dan teecu juga tidak lama tinggal di asrama Pek-sim-pang. Teecu lalu berangkat untuk mencari adik Pek Eng dan juga Sumoi, teecu mencari dua orang gadis!"
"Dua orang yang selamanya belum pernah Suheng lihat. Hik-hik, betapa sukarnya itu...!" Bi Lian tertawa.
"Akhirnya teecu menemukan jejak adik Pek Eng yang kiranya ditangkap oleh gerombolan pemberontak Lam-hai Giam-lo yang bersarang di Lembah Yang-ce di Yunan, maka teecu segera menyusul ke sana dan ternyata teecu menemukan dua-duanya di sana!"
Kembali Bi Lian tertawa. "Dua orang yang dicarinya itu telah berkumpul di Yunan, bahkan sebelum Suheng berjumpa dengan aku atau dengan adik Eng, aku dan adik Eng sudah menjadi sahabat baik!"
"Pemberontakan Lam-hai Giam-lo dapat dihancurkan oleh para pendekar, kemudian teecu berhasil membujuk Sumoi untuk menghadap Suhu dan Subo di kuil Siauw-lim-si itu." Han Siong mengakhiri ceritanya.
"Kami sungguh bersyukur sekali, Han Siong. Engkau bukan saja berhasil melaksanakan tugasmu dan memenuhi permintaan kami sehingga berhasil baik, akan tetapi juga dapat menemukan adik kandungmu dan dapat membantu para pendekar untuk menghancurkan persekutuan pemberontak Lam-hai Giam-lo," kata Siangkoan Ci Kang. "Nah, sekarang giliranmu untuk bercerita, Bi Lian."
Bi Lian lalu menceritakan pengalamannya sejak dia diambil murid oleh mendiang Pak-kwi-ong dan Tung-hek-kwi, dua orang di antara Empat Setan yang menjadi datuk-datuk sesat di empat penjuru itu. Kedua orang datuk itu senang sekali melihat Bi Lian yang ketika itu berusia enam tahun, seorang anak perempuan yang mungil, manis lincah dan mempunyai keberanian luar biasa sekali.
Tentu saja anak kecil yang pemberani itu tadinya mendendam kepada dua orang iblis ini yang dianggap sebagai pembunuh keluarga Cu, keluarganya! Akan tetapi kedua datuk itu menyalahkan dua pasang suami isteri iblis yang memusuhi mereka. Dua pasangan suami isteri iblis itulah yang membujuk rakyat dusun agar mengeroyok mereka sehingga banyak penduduk dusun tewas, termasuk keluarga Cu. Bi Lian dapat menerima alasan ini dan dia pun lantas mengalihkan dendamnya kepada dua pasang suami isteri iblis, yaitu Lam-hai Siang-mo dan Sepasang Suami Isteri Goa Iblis Pantai Selatan.
"Pelajaran apa saja yang kau peroleh dari Dua Setan itu?" Toan Hui Cu bertanya.
Bi Lian memandang kepada ayah ibunya. Ia melihat sinar mata khawatir ierpancar keluar dari pandang mata kedua orang tuanya. Tidak dapat disangkal lagi bahwa Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu memang merasa amat khawatir bila membayangkan bahwa anak kandung mereka menjadi murid dua manusia iblis seperti Tung-hek-kwi dan Pek-kwi-ong yang sudah terkenal sekali di dunia kang-ouw sebagai dua orang yang tidak segan-segan melakukan perbuatan jahat dan kejam yang bagaimana pun juga.
Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu sadar diri. Mereka merasa bahwa mereka adalah keturunan datuk-datuk jahat sekali, maka mendengar betapa puteri mereka menjadi murid dua di antara Empat Setan, tentu saja mereka merasa khawatir kalau-kalau darah nenek moyang puterinya itu akan menurun pada batin puterinya.
Bi Lian tersenyum. "Ayah dan Ibu tak perlu khawatir. Memang aku mempelajari berbagai ilmu silat tinggi dari mendiang suhu Pek-kwi-ong dan Tung-hek-kwi, akan tetapi aku tidak sudi mempelajari dan meniru perbuatan mereka yang kuanggap sangat jahat! Bagaimana pun juga, bimbingan keluarga Cu yang baik, juga bimbingan Ayah dan Ibu yang ketika itu kuanggap guru, masih meninggalkan kesan di hatiku sehingga aku tidak terpengaruh oleh watak jahat mereka."
"Sumoi berkata benar,” Han Siong cepat menyambung. "Sejak bertemu dengan Sumoi, yang teecu lihat Sumoi mempunyai jiwa pendekar seratus prosen, dan bahkan dia sudah mendapat julukan Thiat-sim Sian-li sebagai tanda kekerasan hatinya menghadapi orang-orang jahat.”
“Aihh, Suheng ini memuji-mujiku di depan Ayah dan Ibu, mau merayu, ya?” tanya Bi Lian dengan pandang mata nakal menggoda.
Seketika wajah Han Siong berubah merah. Kalau saja gadis itu tahu bahwa mereka telah dijodohkan, tentu tidak akan mengeluarkan kata-kata seperti itu! Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu memandang sambil tersenyum. Mereka tahu bahwa puteri mereka memiliki watak keras, pemberani, dan polos sehingga ucapan yang dikeluarkan tadi hanya untuk menggoda Han Siong, tidak mempunyai makna lain.
“Ah, aku hanya bicara jujur, Sumoi. Kalau engkau bukan berjiwa pendekar tentu tak akan menentang gerombolan Lam-hai Giam-lo. Bahkan engkau berjasa besar sekali karena di tanganmulah Lam-hai Giam-lo tewas!"
"Ahh, benarkah?" Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu terkejut mendengar hal ini karena mereka berdua maklum akan kelihaian Lam-hai Giam-lo. Apa bila puteri mereka mampu membunuh iblis itu, tentu puteri mereka itu telah memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa hebatnya!
"Wah, memang Suheng tukang memuji. Hemm, jangan-jangan Suheng sudah ketularan watak putera Si Tawon Merah itu!" Tiba-tiba saja Bi Lian termenung karena dia sekarang teringat pada seorang pemuda yang amat pandai merayu hati wanita, bahkan dia sendiri pernah terpikat oleh puji-pujian dan rayuan yang keluar dari mulut pemuda itu.
Pemuda itu bernama Tang Hay, seorang pendekar yang memiliki ilmu kepandaian hebat bukan main, bahkan pandai pula bermain sihir, seorang pemuda pendekar yang gagah perrkasa. Akan tetapi kemudian ketahuan bahwa pemuda perkasa itu adalah putera Ang-hong-cu atau Si Kumbang Merah yang terkenal sebagai penghisap kembang atau seorang jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga) perusak dan pemerkosa wanita yang amat keji!
"Sumoi, aku tidak memuji, namun bicara secara jujur,” kata Pek Han Siong yang merasa tidak enak mendengar disebutnya nama putera Ang-hong-cu itu.
"Akan tetapi benarkah engkau telah berhasil membunuh Lam-hai Giam-lo, Bi Lian?" tanya Toan Hui Cu heran.
"Ahh, ibu. Suheng ini bisa saja. Memang aku membunuhnya, akan tetapi bukan sendirian, melainkan mengeroyoknya bersama dua orang pendekar yang sakti. Kalau aku sendirian, kiranya tidak akan mampu mengalahkan dia."
"Lanjutkan ceritamu," kata Siangkoan Ci Kang.
"Selama belajar ilmu silat dari kedua orang suhu itu, aku diajak merantau tetapi aku tidak pernah mencampuri urusan suhu. Dan aku sendiri mempergunakan kepandaianku untuk menentang kejahatan di mana-mana sehingga aku dijuluki Thiat-sim Sian-li oleh kalangan kang-ouw. Kedua orang suhu lantas merantau ke daerah Yunan di mana aku menemukan jejak dua pasang suami isteri yang kuanggap sebagai musuh besarku karena merekalah yang menyebabkan terbasminya keluarga Cu yang kukira keluargaku sendiri. Dan dalam pengejaran terhadap dua pasang suami isteri itu kami bertiga kemudian bertemu dengan gerombolan Lam-hai Giam-lo! Suhu Pak-kwi-ong dan Tung-hek-kwi terbujuk oleh mereka dan meski pun aku tak senang, mereka tetap saja menjadi tamu kehormatan gerombolan pemberontak itu. Malah suhu Pak-kwi-ong kemudian hendak memaksaku agar menerima pinangan Kulana, seorang di antara pimpinan para pemberontak berasal dari Birma yang berilmu tinggi dan kaya raya. Aku tidak sudi, dan ketika suhu Pak-kwi-ong memaksa, suhu Tung-hek-kwi membelaku. Mereka kemudian saling serang hingga keduanya tewas! Pada waktu itulah bermunculan para pendekar dan aku lantas bergabung dengan mereka untuk membasmi gerombolan pemberontak yang dipimpin oleh Lam-hai Giam-lo, Kulana serta banyak lagi tokoh sesat itu.” Bi Lian mengakhiri kisahnya.
Gadis dan ayah bundanya itu melepaskan kerinduan masing-masing. Selama beberapa hari mereka hanya bercakap-cakap saja, saling menceritakan pengalaman mereka lebih terperinci.
Beberapa hari kemudian, sehabis makan siang mereka berempat duduk di atas rumput tebal di luar pondok, di bawah pohon yang rindang. Mereka memang lebih suka bercakap-cakap sambil duduk di atas rumput ini dari pada di dalam pondok.
Tiba-tiba saja Toan Hui Cu bertanya kepada Han Siong, "Han Siong, sudahkah engkau menceritakan kepada sumoi-mu tentang pedang pusaka Kwan-im Pokiam Itu?"
Seketika wajah Han Siong berubah merah dan dia tak mampu menjawab, hanya meraba gagang pedang di pinggangnya. Melihat ini, Bi Lian yang menjawab sambil tersenyum.
"Suheng pernah bercerita bahwa selain menerima ilmu-ilmu yang hebat dari ayah dan ibu, dia juga menerima pemberian pedang pusaka Kwan-im Pokiam, ibu!"
"Bukan hanya sebagai pemberian, Bi Lian," kata Hui Cu dan dia segera menoleh kepada suaminya. Siangkoan Ci Kang mengangguk, agaknya setuju kalau isterinya menyinggung urusan itu.
"Bukan hanya sebagai pemberian, lalu sebagai apa, ibu? Hadiah karena Suheng seorang murid yang baik?" Bi Lian bertanya, mengerling kepada suheng-nya untuk menggodanya.
"Sebagai... ikatan, Bi Lian. Ikatan jodoh!"
Bi Lian terbelalak memandang kepada ibunya, lalu kepada ayahnya. "Ikatan jodoh? Apa yang ibu maksudkan?" Sementara itu Han Siong menundukkan mukanya yang menjadi merah sekali.
"Bi Lian, aku dan ayahmu telah mengambil keputusan, jauh sebelum engkau pulang, yaitu dua tahun lebih yang lampau, pada waktu suheng-mu berangkat untuk pergi mencarimu. Keputusan itu adalah bahwa kami berdua menjodohkan engkau dengan Pek Han Siong, dan pedang pusaka Kwan-im Pokiam itu kami berikan kepadanya sebagai tanda ikatan jodoh...” Toan Hui Cu tiba-tiba saja menghentikan kata-katanya dan memandang kepada puterinya dengan wajah khawatir.
Dia melihat perubahan pada wajah puterinya yang tadinya cerah dan riang itu. Wajah itu kini menjadi keras, sepasang matanya mencorong dan Bi Lian memandang ayah ibunya bergantian, lalu menoleh dan memandang kepada Han Siong yang masih menundukkan mukanya yang merah. Suasana menjadi amat sunyi, kesunyian yang menegangkan hati, terutama bagi Han Siong.
"Kami harap engkau akan menerimanya dengan hati terbuka, anakku," kata Siangkoan Ci Kang. "Kami melihat Han Siong sebagai seorang pemuda yang amat baik, juga keturunan pendekar, dan selama ini engkau sendiri tentu sudah mengenalnya dan dapat menilainya sendiri....”
"Justru itulah, Ayah! Selama ini aku menganggap dia sebagai seorang suheng, seorang kakak! Suheng, kenapa selama ini engkau diam saja tak pernah memberi tahu kepadaku tentang jodoh ini?" Dalam pertanyaan itu terkandung penyesalan dan teguran.
Han Siong mengangkat mukanya, sikapnya masih tetap tenang sungguh pun dia merasa gugup sekali. Sesudah beberapa kali menelan ludah untuk menenangkan batinnya yang terguncang, dia pun lalu menjawab, "Maafkan aku, Sumoi. Aku tidak tega, aku tidak ingin membuat engkau menjadi sungkan dan malu, maka aku diam saja, biar Suhu dan Subo sendiri yang memberi tahu akan hal itu."
"Tidak...! Tidak...! Bagaimana mungkin terjadi ikatan jodoh yang tiba-tiba ini? Aku sudah menganggapnya sebagai kakakku sendiri! Ayah dan Ibu, sungguh aku tak bisa menerima keputusan yang begini tiba-tiba!"
Mendengar kata-kata ini, wajah Han Siong berubah pucat dan seperti tadi, dia pun hanya menundukkan mukanya.
"Bi Lian, engkau tak boleh menolak mentah-mentah hanya dengan alasan bahwa engkau menganggapnya seperti kakak sendiri! Memang benar dia kakak seperguruanmu, akan tetapi tidak ada hubungan darah sedikit pun antara keluarga kita dan keluarga Pek," kata Siangkoan Ci Kang sambil mengerutkan alisnya karena kecewa melihat sikap puterinya yang menolak ikatan jodoh itu.
"Tetapi, ayah! Bagaimana mungkin orang berjodoh dengan cara begitu saja? Selama ini aku memandang Suheng sebagai seorang kakak seperguruan, bagaimana tiba-tiba saja aku memandangnya sebagai tunangan, sebagai calon suami? Orang berjodoh harus ada perasaan cinta kasih!" bantah Bi Lian dengan polos, sesuai dengan wataknya. Bagaimana pun juga, dia mewarisi sikap kedua orang gurunya yang polos dan berandalan.
Toan Hui Cu juga merasa amat penasaran. Dia mengambil keputusan dalam menghadapi puterinya yang bicara secara terbuka ini dengan cara yang lebih jujur, karena itu dia pun berkata kepada Han Siong, "Han Siong, sekarang lebih baik engkau pun berbicara terus terang saja! Bagaimana perasaan hatimu ketika kami menyatakan bahwa engkau kami jodohkan dengan puteri kami yang pada waktu itu belum kau lihat? Engkau memang telah menerimanya dengan patuh, akan tetapi bagaimana perasaanmu pada saat itu?"
Mendengar pertanyaan ibunya, wajah Bi Lian menjadi berseri-seri. Ia memang lebih suka urusan secara terbuka begini dari pada harus menyimpan di dalam hati.
"Suheng, jawablah sejujurnya. Percayalah, aku tidak akan menyesal atau marah, bahkan aku akan merasa penasaran dan marah kalau engkau tidak bicara jujur!" katanya kepada Han Siong.
Pemuda ini merasa terhimpit sekali. Sejak kecil dia hidup di dalam kuil dan mempelajari segala macam kebudayaan dan sopan santun, kesusilaan, peraturan untuk menghormati orang tua, guru, wanita dan orang pandai. Kini dia diharuskan bicara secara terbuka tanpa tenggang rasa lagi, apa adanya!
Biar pun dia tidak merasa keberatan dengan cara seperti ini, membicarakan rahasia hati di hadapan orang lain secara terbuka, namun tentu saja dia harus berkorban perasaan. Sesudah menghela napas panjang beberapa kali, dia pun memandang kepada suhu dan subo-nya, lalu memberi hormat sambil berlutut.
"Suhu dan Subo, teecu sudah menerima budi besar dari ji-wi yang tak dapat teecu bayar dengan nyawa sekali pun dan teecu sama sekali tidak menghendaki untuk menyinggung perasaan atau menyakiti hati Suhu dan Subo. Akan tetapi karena Suhu, Subo dan juga Sumoi menghendaki jawaban yang sejujurnya dan terbuka, maka apa yang hendak teecu katakan merupakan suara hati teecu yang sebenarnya dan sama sekali tidak lagi ditutupi oleh perasaan sungkan."
"Bagus, Suheng! Begitulah seharusnya sikap orang gagah!" kata Bi Lian dan wajahnya kini berseri gembira lagi.
"Ketika Suhu dan Subo memberikan Kwan-im Pokiam ini kepada teecu dan mengatakan bahwa ji-wi menjodohkan teecu dengan puteri ji-wi, sebenarnya teecu juga merasa amat terkejut. Tentu saja tidak mungkin teecu dapat menyatakan suka atau tidak suka karena teecu belum pernah melihat Sumoi. Namun pada waktu itu teecu menerima sepenuhnya hanya karena terdorong keinginan teecu untuk membalas budi ji-wi serta menyenangkan hati ji-wi. Teecu merasa yakin bahwa ji-wi tentu telah memperhitungkannya secara masak dan tidak akan keliru mengambil keputusan. Oleh karena itulah teecu menerima dan mulai mencari sumoi."
Sepasang suami isteri itu mengangguk-angguk dan dapat menerima keterangan ini. Juga Bi Lian mengerti bahwa alasan suheng-nya itu memang tepat, akan tetapi tidak urung dia mencela.
"Suheng telah bersikap tidak wajar. Menerima secara membuta seperti itu sungguh bukan merupakan kebaktian yang benar. Kita harus mempertimbangkan baik-baik macam tugas yang diperintahkan, siapa pun yang menyuruh kita. Biar pun guru sendiri, atau orang tua sendiri, apa bila menyuruh kita melakukan hal yang berlawanan dengan suara hati, sudah sewajarnya jika ditolak. Mentaati karena ingin rnembalas budi itu namanya ketaatan yang ngawur dan nekat, dan yang akibatnya dapat membuat diri sendiri menyesal!"
Kembali suami isteri itu saling pandang. Puteri mereka itu ternyata sudah dewasa benar dan telah mempunyai kematangan pandangan, walau pun terlalu polos, terlalu jujur tanpa ditutup-tutupi sehingga mudah menyinggung perasaan orang dan terdengar kasar.
"Sekarang katakan, Han Siong. Setelah engkau bertemu dengan Sumoi-mu dan sesudah melihatnya, bicara bahkan bergaul dengannya, bagaimana pendapatmu? Mengaku saja terus terang, adakah cinta kasih di dalam hatimu terhadap anak kita Siangkoan Bi Lian?"
Mendengar pertanyaan ini kembali wajah pemuda itu menjadi merah sekali. Dia memberi hormat sambil berlutut dan berkata lirih, "Duhai Suhu dan Subo, bagaimana teecu berani menjawab pertanyaan itu...?”
“Han Siong, tenangkan hatimu. Tadi Sumoi-mu menuntut agar kita semua bicara secara terbuka. Kalau dipikir, sikap ini memang benar. Segala macam persoalan bisa dipecahkan dengan cepat kalau kita bersikap terbuka. Jawablah sejujurnya, Han Siong."
"Suheng, apakah engkau bukan laki-laki yang jantan? Kita harus jujur, kepada diri sendiri, kepada orang lain! Manusia yang tidak memiliki kejujuran dan tidak berani mengakui apa yang berada di dalam hatinya, dia itu hanya seorang pengecut! Tapi aku yakin, suheng-ku yang gagah ini sama sekali bukan pengecut!"
Bukan main ucapan gadis itu. Lidahnya seperti pecut yang mencambuk-cambuk dengan tajamnya!
"Baiklah, Sumoi. Suhu dan Subo, kini teecu mengaku terus terang, begitu teecu bertemu dengan Sumoi, melihat wajahnya, berbicara dengannya, melihat sikapnya dan segalanya, teecu langsung jatuh cinta padanya!"
Suami isteri itu saling pandang dan tersenyum, akan. tetapi Bi Lian terbelalak keheranan memandang suheng-nya. "Waahhh! Benarkah itu, Suheng? Ataukah engkau hanya terikat oleh janji dan balas budi? Bagaimana mungkin begitu mendadak kau jatuh cinta, dan..... aku sama sekali tidak pernah melihat sikapmu yang mencinta itu, tidak pernah engkau mengatakan kepadaku bahwa engkau cinta padaku!"
"Mana aku berani, Sumoi?"
“Ahh, kenapa tidak berani? Dalam cinta mencinta, pertama-tama yang dibutuhkan adalah kejujuran pula!"
"Sudahlah, Bi Lian, kini suheng-mu sudah mengaku sejujurnya bahwa dia mencintamu. Sekarang, bagaimana dengan engkau? Setelah bertemu dan bergaul dengan suheng-mu, bagaimana pendapatmu? Tidakkah dia amat pantas menjadi calon suamimu? Katakanlah, apakah engkau dapat membalas cinta kasihnya?"
“Wah, aku masih bingung, Ibu. Aku memang suka sekali pada Suheng, suka dan kagum, dan terus terang saja, aku bangga mempunyai seorang Suheng seperti dia. Jarang pula ada pemuda sebaik Suheng! Akan tetapi cinta? Sama sekali hal itu tak pernah kupikirkan. Andai kata dia tidak memperkenalkan diri sebagai suheng-ku, mungkin saja hal itu akan kupikirkan karena selama ini aku pun belum pernah bergaul dengan seorang kawan pria seakrab dengan Suheng. Aku menganggap dia sebagai kakak, dan aku tidak tahu apakah aku dapat mencintanya sebagai seorang calon suami. Aku pun tidak yakin akan cintanya yang begitu tiba-tiba, apa lagi dilatar belakangi ketaatan serta hutang budi kepada Ayah dan Ibu!”
"Lalu bagaimana keputusanmu, Bi Lian? Maukah engkau menerima ikatan jodoh dengan suheng-mu?" tanya Siangkoan Ci Kang.
"Tidak, Ayah. Aku sama sekali belum memikirkan soal perjodohan."
"Bi Lian," kata ibunya. "Tahukah engkau berapa usiamu sekarang?"
"Kalau tidak salah dua puluh tuhun, ibu. Apa hubungannya usia dengan perjodohan?"
"Aihh, Bi Lian, usia dua puluh sudah terlalu terlambat bagi seorang gadis untuk berjodoh," kata ibunya.
Gadis itu tersenyum lebar. "Tidak, ibu. Bagiku perjodohan tidak ada hubungannya dengan usia. Yang ada hubungannya hanyalah cinta kasih. Dan terus terang saja, aku suka dan kagum kepada Suheng, akan tetapi aku tidak... atau belum mencintanya seperti seorang calon suami."
"Jadi jelasnya, engkau menolak, Bi Lian?" kata Siangkoan Ci Kang.
"Sebaiknya ikatan jodoh itu dibatalkan dahulu saja, Ayah. Jangan ada pengikatan. Kelak, bila aku yakin bahwa aku cinta kepada Suheng dan dia juga cinta kepadaku, mudah saja dilakukan ikatan kembali!"
"Bi Lian! Engkau mengecewakan hati ayah ibumu!" kata Siangkoan Ci Kang.
"Maafkan, Ayah dan Ibu. Apakah Ayah dan Ibu ingin memaksaku dan membikin hidupku selanjutnya kecewa dan merana? Senangkah Ayah dan Ibu jika aku menurut hanya untuk berbakti? Itu hanya akan menjadi pernikahan paksaan, Ayah dan Ibu. Suheng menikah karena ingin membalas budi, dan aku menikah hanya untuk berbakti. Pernikahan macam apa itu? Maukah Ayah dan Ibu begitu?"
Suami isteri itu saling pandang dan menghela napas panjang. Terus terang saja, mereka tidak menghendaki pernikahan anaknya seperti itu. "Lalu apa yang menjadi kehendakmu sekarang, Bi Lian? Apakah engkau sudah mempunyai seorang calon jodoh pilihan hatimu sendiri? Kalau benar demikian, katakanlah terus terang. Kami sudah ingin melihat engkau berumah tangga, mengingat usiamu sudah cukup dewasa," kata ibu gadis itu.
Sementara itu, sejak tadi Han Siong hanya menundukkan mukanya. Hatinya terasa perih dan perasaannya terpukul hebat oleh penolakan sumoi-nya. Dia dipaksa untuk berterus terang di hadapan suhu dan subo-nya, dan setelah dia berterus terang menyatakan cinta kasihnya dengan menekan rasa malunya, kini dengan terus terang pula Bi Lian menolak cintanya! Padahal dia sudah ditunangkan dengan sumoi-nya itu. Bagaimana pun juga dia adalah seorang laki-laki maka tentu saja dia merasa harga dirinya terbanting keras.
“Maaf, Suhu, Subo dan Sumoi. Teecu harap agar Suhu dan Subo tidak terlalu menekan Sumoi dan urusan perjodohan ini supaya dihabiskan sampai di sini saja. Sumoi memang benar. Perjodohan hanya dapat dilakukan kalau ada cinta kasih kedua pihak. Teecu yang tidak tahu diri, berani lancang mencinta Sumoi. Oleh karena itu, Suhu dan Subo, maafkan teecu dan sebaiknya jika Kwan-im Po-kiam ini teecu kembalikan kepada Suhu dan Subo, sebagai tanda bahwa tidak ada lagi ikatan perjodohan antara Sumoi dan teecu."
Dengan dua tangannya pemuda itu menyerahkan pedang pusaka itu kepada kedua orang gurunya. Siangkoan Ci Kang terpaksa menerima pedang itu dengan kedua tangan pula, menarik napas panjang lalu berkata kepada muridnya,
"Han Siong, engkaulah yang harus dapat memaafkan kami berdua. Mungkin kami terlalu terburu-buru mengikatkan tali perjodohan antara anak kami dan engkau, sama sekali tidak menyangka bahwa akan timbul penolakan dari pihak puteri kami. Engkau benar, memang sebaiknya kalau ikatan jodoh itu diputuskan. Apa bila Tuhan memang menghendaki kalian berjodoh, kelak tentu kalian akan dapat saling mencinta. Tetapi andai kata tidak, itu berarti bahwa memang Tuhan tidak menghendaki kalian menjadi suami isteri."
"Han Siong, keputusanmu ini bijaksana sekali dan engkau kembali sudah memperlihatkan kebaktianmu pada kami. Dengan kebijaksanaanmu ini maka engkau telah membebaskan guru-gurumu dari keadaan yang tidak enak. Terima kasih, muridku," kata subo-nya sambil tersenyum dengan hati terharu. Nyonya ini melihat betapa muridnya sangat budiman dan alangkah akan bahagia rasa hatinya kalau puterinya mau menjadi isteri Han Siong!
Bi Lian bertepuk tangan, wajahnya penuh senyum dan berseri gembira, kemudian dengan sikap manja dan lincah dia pun melangkah mendekati Han Siong lantas memberi hormat dengan merangkapkan kedua tangan di dadanya.
"Bagus, bagus sekali! Aku pun sangat berterima kasih kepadamu, Suheng! Nah, kau lihat, keputusanmu ini membuat engkau menjadi pahlawan dalam keluarga kami! Ayah dan Ibu terbebas dari perasaan tidak enak dan aku pun merasa bebas dari ikatan kebaktian yang kulanggar. Kini aku bisa menghadapi dan memandangmu dengan wajar sebagai seorang sumoi terhadap suheng-nya yang baik hati! Terima kasih, Suheng."
Biar pun wajah pemuda itu tidak memperlihatkan sesuatu, namun sesungguhnya hatinya bagai diremas-remas. Dia tidak menyalahkan suhu dan subo-nya, juga tidak menyalahkan sumoi-nya, melainkan menyesali diri sendiri. Memang nasib dirinya yang selalu buruk dan sial, sejak dia dilahirkan.
Tapi betapa pun juga, dalam hal ini dia merasa bahwa dia yang bersalah karena lemah. Mengapa dia begitu mudah jatuh cinta? Andai kata dia tidak jatuh cinta kepada Bi Lian, maka pembatalan ikatan jodoh ini tentu tidak terlampau menyakitkan hatinya.
Cinta kita bergelimang nafsu, karena itu selalu mendatangkan suka duka, puas kecewa, nikmat sengsara. Cinta kita menimbulkan ikatan, menciptakan belenggu. Cinta kita mirip jual beli di pasar. Kita membeli dengan pengorbanan diri, kesetiaan, penyerahan, untuk memperoleh yang lebih menguntungkan dan lebih menyenangkan, yaitu pengorbanannya, kesetiaannya, penyerahan dirinya, serta kesenangan-kesenangan lain yang kita nikmati darinya. Kalau semua itu tidak terdapat oleh kita sebagai imbalan, maka cinta kita pun menguap ke udara dan tidak berbekas lagi, bahkan kadang kala berubah menjadi benci.
Cinta kita selalu menyembunyikan pamrih demi kesenangan diri sendiri. Adakah cinta tanpa pamrih? Adakah cinta yang tidak mengandung pengajaran kepentingan diri sendiri? Adakah cinta yang tidak menimbulkan ikatan, yang memberi kebebasan? Dapatkah kita manusia memiliki cinta kasih seperti itu?
Han Siong menderita akibat dari pada cinta seperti itu. Dia mencinta, tentu saja dengan pamrih agar yang dicintanya itu pun membalas cintanya, menjadi miliknya. Ketika ternyata bahwa gadis yang dicintanya itu tidak membalas cintanya dan tak mau menjadi miliknya, maka hatinya pun kecewa, malu dan timbullah duka.
"Sumoi, harap jangan terlampau memujiku. Aku telah membuat Suhu, Subo, dan Sumoi rmerasa tidak enak saja. Semua salahku sendiri karena sesungguhnya akulah yang tidak tahu diri."
"Han Siong, jangan menyalahkan dirimu sendiri. Engkau hanya mentaati permintaan kami saja, dan kamilah yang sesungguhnya bersalah," kata Siangkoan Ci Kang.
"Jangan putus asa, Han Siong. Bagaimana pun juga Bi Lian hanya terkejut karena berita yang mendadak itu. Biarlah dia berpikir dan mempertimbangkan. Apa bila kalian memang berjodoh, kelak ikatan ini tentu akan dapat disambung kembali," kata Toan Hui Cu yang juga merasa kasihan sekali kepada murid tersayang itu.
"Sudahlah, Ayah dan Ibu, jangan mengulurkan harapan baru bagi Suheng agar kelak dia tidak akan menderita kekecewaan lagi. Suheng, kurasa sekarang ini belum waktunya bagi kita berdua untuk memikirkan soal perjodohan! Masih banyak tugas menunggu di depan. Lupakah Suheng akan nasib adik kandung Suheng itu? Apakah Suheng akan membiarkan saja si jahanam Ang-hong-cu itu?"
Mendengar ini Han Siong mengerutkan kedua alisnya, wajahnya berubah merah dan dia termenung. Terbayanglah segala peristiwa yang terjadi ketika dia bersama para pendekar lainnya menentang persekutuan Lam-hai Giam-lo.
Di dalam perjuangan para pendekar ketika menghadapi para pemberontak yang dipimpin persekutuan itu, muncul seorang tokoh yang juga membantu gerakan para pendekar, tapi tokoh itu ternyata adalah seorang tokoh hitam yang namanya sudah amat terkenal, yaitu Ang-hong-cu, si Kumbang Merah yang senang menghisap kembang. Seorang jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga) yang terkenal suka memperkosa serta merayu banyak wanita. Celakanya, di antara banyak wanita yang diperkosanya itu termasuk pula Pek Eng, adik kandungnya!
Pek Eng diperkosa orang. Tadinya semua tuduhan ditimpakan kepada Tang Hay, seorang pendekar muda yang selain sakti, pandai ilmu silat, juga amat kuat ilmu sihirnya. Bahkan terjadi bentrok antara dia dan Tang Hay dan kesalah pahaman ini tentu akan berlarut-larut kalau saja kemudian tidak diketahui bahwa pemerkosa Pek Eng itu sama sekali bukanlah Tang Hay, melainkan Ang-hong-cu, penjahat cabul yang namanya sudah amat terkenal di dunia kang-ouw itu.
Akan tetapi dia tidak segera mencari penjahat itu untuk membalaskan penghinaan yang menimpa diri adik kandungnya, melainkan menyibukkan diri untuk mengantarkan sumoi-nya kepada suhu dan subo-nya, tentu saja dengan pamrih tersembunyi bahwa dia akan dijodohkan dengan gadis yang menarik hatinya itu. Wajahnya seketika berseri ketika dia diingatkan oleh sumoi-nya tentang hal itu, dan dadanya penuh dengan getaran semangat.
"Engkau benar sekali, Sumoi! Aku harus mencari manusia jahat itu supaya dia tidak dapat merajalela dan mendatangkan bencana bagi banyak orang yang tidak berdosa." Dia lalu berlutut memberi hormat kepada suhu dan subo-nya.
”Suhu dan Subo, sesudah teecu berhasil membawa pulang Sumoi dan mengantarkannya kepada Suhu dan Subo, maka selesailah tugas teecu dan teecu mohon diperkenankan untuk pergi, melaksanakan tugas lain, tugas keluarga teecu sendiri."
Suami isteri itu merasa tidak enak sekali terhadap murid mereka, namun kepergian murid mereka itu justru akan dapat menghilangkan rasa tidak enak itu, maka keduanya memberi persetujuan tanpa banyak cakap lagi. Pemuda itu berpamit, memberi hormat lantas pergi meninggalkan kedua gurunya dan juga sumoi-nya, gadis yang dicintanya.
Setelah pemuda itu pergi, Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu mendengar lebih banyak dari puteri mereka tentang Ang-hong-cu Si Kumbang Merah, dan tentang adik kandung Han Siong yang menjadi salah satu di antara para wanita yang menjadi korban kejahatan jai-hwa-cat itu.
Kota Shu-lu tidak begitu besar namun cukup ramai dan di kota ini bahkan terdapat sebuah rumah penginapan Hok-lai-koan yang memiliki kamar cukup banyak serta sebuah rumah makan. Karena rumah penginapan ini memiliki rumah makan sendiri, maka banyak orang luar kota kalau terpaksa menginap di kota Shu-lu lebih senang bermalam di sini dari pada di rumah penginapan lain. Kalau di Hok-lai-koan sudah penuh barulah pengunjung kota itu terpaksa mencari rumah penginapan lain. Hampir setiap hari rumah penginapan itu penuh tamu, dan dengan sendirinya rumah makan itu pun selalu ramai karena semua tamu yang bermalam di situ juga makan di rumah makan itu.
Pemilik rumah makan itu bernama Gui Lok, seorang pria berusia empat puluh lima tahun yang perutnya gendut dan orangnya ramah. Gui Lok ini ahli masak dan pandai bergaul, pandai menjilat dan mata duitan.
Isterinya yang pertama sudah meninggal dunia, meninggalkan seorang anak perempuan yang sekarang sudah berusia tujuh belas tahun, cantik manis dan ramah walau pun agak pendiam. Gui Lok telah menikah lagi, dengan seorang janda muda yang usianya baru dua puluh lima tahun, cantik dan genit. Ketiga orang ini semua turun tangan mengurus rumah penginapan dan rumah makan mereka.
Walau pun di kedua tempat itu sudah terdapat pegawai-pegawai yang bertugas, namun ayah ibu dan anak itu selalu saja membantu, kadang-kadang di rumah penginapan, akan tetapi lebih sering di rumah makan. Gui Lok sering membantu di dapur memberi petunjuk kepada para tukang masak, sedangkan isterinya dan puterinya membantu di luar.
Hal ini menambah semaraknya rumah makan itu karena keduanya merupakan dua orang wanita yang cantik manis. Isteri Gui Lok dengan kecantikan yang genit memikat, ada pun Gui Ai Ling dengan kecantikan seorang gadis yang baru saja mekar bagaikan setangkai bunga segar.
Pagi itu para tamu rumah penginapan sudah berada di rumah makan itu untuk sarapan pagi. Ada yang memesan bubur ayam, ada pula yang makan bakmi atau makan bakpao, bahkan mereka yang gembul pagi-pagi sudah memesan nasi dengan lauk pauknya!
Di antara para tamu itu nampak seorang pemuda duduk seorang diri di sudut luar rumah makan. Dia seorang pemuda berusia kurang lebih dua puluh dua tahun, mempunyai tubuh sedang namun tegap dengan dadanya yang bidang. Matanya bersinar-sinar mencorong, mulutnya tersenyum-senyum dan memang pemuda ini memiliki wajah cerah yang manis.
Hidungnya mancung dan pakaiannya sederhana, berwarna biru dengan garis-garis kuning. Pemuda yang juga menjadi tamu rumah penginapan itu agaknya sehabis sarapan hendak segera pergi ke luar kota karena di atas mejanya terdapat sebuah caping lebar pelindung panas dan hujan.
Nampaknya dia seorang pemuda sederhana biasa saja. Terdapat ribuan orang pemuda seperti dia dan kehadirannya di sana sama sekali tidak menarik perhatian orang, kecuali isteri dan puteri Gui Lok karena pemuda itu memang dapat dibilang tampan dan sikapnya menarik.
Akan tetapi, siapa pun yang telah mengenal pemuda ini pasti akan terkejut sekali melihat kehadirannya karena pemuda ini sebenarnya sama sekali bukan orang muda biasa saja, melainkan seorang pemuda gemblengan, murid dari dua orang di antara Delapan Dewa, kemudian digembleng lagi dalam hal ilmu sihir oleh mendiang Pek Mau San-jin dan masih beruntung pula dapat menjadi murid kakek Song Lo-jin yang aneh dan sakti. Pemuda ini bernama Tang Hay, atau lebih dikenal dengan sebutan Hay Hay saja.
Seperti halnya pendekar Pek Han Siong, semenjak kecil kehidupan Hay Hay juga diliputi penuh rahasia, menjadi rebutan dan sering terancam bahaya maut. Bahkan kehidupannya pada masa dia masih bayi erat hubungannya dengan Pek Han Siong.
Ibunya sudah tewas sejak dia masih bayi dan dia bahkan tidak tahu siapa nama ibunya. Ibunya adalah seorang gadis yang menjadi korban jai-hwa-cat yang berjuluk Ang-hong-cu, dan Si Kumbang Merah itu meninggalkan ibunya setelah mengandung. Ibunya membunuh diri di laut bersamanya, akan tetapi dia sendiri diselamatkan oleh mendiang kakek Pek Khun, yaitu kakek buyut dari Pek Han Siong.
Dia kemudian diaku anak oleh Pek Kong, ayah Pek Han Siong. Dia dijadikan pengganti Pek Han Siong yang dilarikan secara diam-diam karena anak itu dianggap Sin-tong dan diperebutkan oleh para pendeta Lama di Tibet karena dianggap sebagai calon guru besar di Tibet!
Pada saat dia masih bayi dan menjadi anak keluarga Pek, pengganti Pek Han Siong, dia diculik oleh suami isteri Lam-hai Siang-mo! Ia kemudian diambil anak oleh sepasang iblis itu dan namanya menjadi Siangkoan Hay, karena Lam-hai Siang-mo itu terdiri dari suami Siangkoan Leng dan isteri Ma Kim Li, dua orang datuk sesat yang amat jahat.
Dalam usia tujuh tahun, dia yang masih dianggap sebagai sin-tong kembali diperebutkan lagi di antara orang-orang dunia kang-ouw sampai akhirnya dia mendengar bahwa dirinya bukanlah putera kandung Lam-hai Siang-mo! Dia lalu melarikan diri dan dikejar-kejar oleh para kang-ouw hingga akhirnya dia diselamatkan oleh See-thian Lama atau Gobi San-jin, seorang di antara Delapan Dewa, lalu menjadi muridnya. Selama beberapa tahun sempat pula dia menjadi murid Ciu-sian Sin-kai, juga seorang di antara Delapan Dewa.
Demikianlah, berturut-turut dia menjadi murid dari orang-orang sakti sehingga sekarang Hay Hay menjadi seorang pemuda gemblengan yang memiliki kesaktian. Bukan saja ilmu silatnya tinggi, akan tetapi juga dia memiliki ilmu sihir yang cukup hebat!
Pemuda ini memiliki watak periang. Suka bergembira dan menggoda orang, juga pandai sekali merayu wanita dengan kata-kata manis sehingga para wanita mudah sekali jatuh cinta atau setidaknya tertarik padanya. Akan tetapi, biar pun hal ini agaknya diwarisinya dari ayahnya yang tidak pernah dijumpainya, namun dia bukan seorang perusak wanita, bukan seorang pria cabul yang suka memperkosa atau mempermainkan wanita. Biar pun karena ulahnya itu dia dijuluki Pendekar Mata Keranjang, namun sifat mata keranjangnya itu hanya di kulit saja, hanya di luar karena dia selalu menjaga agar jangan sampai dia mengganggu atau berjinah dengan wanita.
Pada waktu para pendekar menentang pemberontakan yang dipimpin oleh persekutuan Lam-hai Giam-lo, Hay Hay juga turut membantu para pendekar, bahkan dia terlibat secara langsung. Dia berjasa besar dalam perjuangan itu, akan tetapi karena sifatnya yang mata keranjang, maka dialah yang dituduh ketika ada beberapa orang gadis menjadi korban perkosaan Ang-hong-cu! Dan di tempat itu pula baru Hay Hay mendapat kenyataan bahwa Ang-hong-cu, penjahat keji perusak wanita itu, tak lain adalah ayah kandungnya sendiri!
Dia lalu mengambil keputusan untuk menebus dosa ayahnya itu, bukan hanya dengan perbuatan-perbuatan baik sebagai seorang pendekar, namun terutama sekali dia harus dapat menangkap ayah kandungnya sendiri supaya orang itu mempertanggung jawabkan semua dosanya. Dia harus menangkap Si Kumbang Merah!
Demikianlah riwayat singkat dari Tang Hay atau Hay Hay yang dikenal sebagai Pendekar Mata Keranjang! Padahal, sampai dia berusia dua puluh dua tahun itu, dia masih seorang perjaka tulen! Dan pada pagi hari itu dia duduk di dalam rumah makan karena malam tadi dia bermalam di rumah penginapan Hok-lai-koan.
Sekarang Hay Hay enak-enak duduk seorang diri, menanti datangnya pesanannya, yaitu bubur ayam dan air teh panas. Dia tidak tahu betapa sejak dia datang, dia sudah menarik perhatian dua orang wanita cantik, ibu tiri dan anak pemilik rumah makan itu.
Pada saat dia melamun, dia mendengar suara langkah kaki halus menghampirinya. Tentu saja suara ini amat halus dan lirih, tidak terdengar di antara suara bising para tamu, akan tetapi cukup jelas bagi telinga Hay Hay yang amat terlatih. Dia mengira pesanannya yang datang, maka dia menoleh dan seketika wajahnya berseri dan matanya bersinar-sinar.
Seorang gadis berusia tujuh belas tahun yang berwajah manis kini sudah berdiri di dekat mejanya, memandang kepadanya dengan senyum yang manisnya mengalahkan madu! Dengan ramah sekali gadis itu bertanya tanpa malu-malu kepadanya,
"Apakah kongcu (tuan muda) belum dilayani? Apakah kongcu sudah memesan makanan dan minuman?"
Hay Hay tertegun. Sukar baginya untuk menduga bahwa gadis manis ini adalah seorang di antara para pelayan rumah makan itu. Gadis semanis ini? Dia pun mengangguk sambil tersenyum, "Sudah, aku sudah pesan kepada seorang pelayan tadi. Bubur dan air teh."
"Kalau begitu harap tunggu sebentar, kongcu. Maafkanlah jika pelayanannya kurang cepat karena banyaknya tamu.”
"Tidak mengapa, nona. Meski pun harus menunggu setahun di sini, kalau ada nona yang menemani bicara, sungguh merupakan suatu kebahagiaan besar bagiku. Aduhh, betapa sayangnya...!"
Gadis Itu memandang dengan kedua pipi berubah merah. Meski pun pemuda ganteng ini memujinya, akan tetapi pujian itu tidak kasar dan kurang ajar, berbeda dengan para tamu pria lain yang biasanya suka mengeluarkan kata-kata kotor, tidak bersusila dan bahkan kurang ajar kepadanya.
"Kongcu, apanya yang sayang?" tanyanya, ingin tahu apa yang dimaksudkan pemuda ini.
"Ketika tadi aku melihat engkau berdiri seanggun itu, aku pun mengira sedang bermimpi bertemu bidadari! Ketika nona bicara, kusangka seorang puteri bangsawan yang menjadi tamu restoran ini. Sungguh sayang gadis secantik jelita nona ini, yang anggun, manis dan elok, ternyata seorang pelayan. Di sini tempat umum maka nona tentu akan selalu digoda orang. Mengapa nona secantik ini tidak tinggal saja di rumah dan melakukan pekerjaan lain?"
Wajah itu kini berubah semakin merah, akan tetapi bukan karena marah. Kecantikannnya dipuji setinggi langit, disamakan dengan bidadari, disangka puteri bangsawan! Hati gadis mana yang tak akan berdebar penuh rasa bangga kalau dipuji-puji seperti ini oleh seorang pria yang ganteng? Apa lagi pujian itu sama sekali tidak kurang ajar, bahkan mengandung nasehat.
"Aih, kongcu ini bisa saja memuji orang!" katanya sambil menggigit bibirnya dan matanya mengerling malu-malu akan tetapi hatinya senang bukan main. "Sebetulnya aku bukanlah pelayan rumah makan ini, kongcu. Ayahku pemilik rumah penginapan dan rumah makan ini, aku hanya ikut membantu para pekerja di sini."
"Ah, kalau begitu aku bersikap kurang hormat dan telah lancang bicara!" Hay Hay segera bangkit berdiri dan memberi hormat kepada gadis itu. "Silakan duduk, nona. Sungguh aku merasa beruntung sekali dapat berjumpa dan berkenalan denganmu. Namaku Hay Hay, dan nona...?"
"Ai Ling..., mari ke sini! Ada tamu datang, sambutlah!" Tiba-tiba terdengar suara seorang wanita lain.
"Hemm, namamu Ai Ling, nona? Nama yang sangat manis, semanis orangnya," kata Hay Hay.
Akan tetapi gadis itu sudah menjauhinya sambil berseru. “Baik, ibu!”
Dan dia pun cepat pergi menuju ke pintu masuk untuk menyambut tamu-tamu yang baru datang. Sementara itu Hay Hay kembali menjadi bengong sesudah melihat orang yang datang membawa baki terisi bubur dan minuman teh yang dipesannya, yaitu wanita yang tadi menegur Ai Ling, dan yang disebut ibu oleh gadis itu.
Ibunya gadis itu? Mana mungkin? Wanita yang datang dengan lenggang yang aduhai ini paling banyak berusia dua puluh lima tahun! Seorang wanita yang sudah matang, dengan tubuh denok montok dan penuh lekuk lengkung yang menggairahkan, wajahnya putih dan cantik manis, hanya sayang bedak dan gincu yang dipakainya agak terlalu tebal, dengan pakaian yang indah dan mahal, rambut digelung rapi dengan hiasan menarik. Dengan lenggang yang lemah gemulai seperti penari ahli, wanita ini datang menghampirinya dan tersenyum manis kepada Hay Hay.
“Maaf kalau agak lambat, kongcu. Inilah pesananmu. Bubur ayam dan minuman air teh, bukan?” katanya sambil meletakkan hidangan itu di atas meja.
Dia berdiri dekat sekali dengan Hay Hay sehingga pemuda ini dapat mencium keharuman semerbak keluar dari pakaian wanita ini. Dia masih bengong mengamati wanita ini, tetapi akhirnya dia menarik napas panjang dan berkata,
"Terima kasih, akan tetapi... tidak salahkah pendengaranku? Tadi Ai Ling menyebut ibu..., tidak kelirukah aku?"
Wanita itu adalah isteri Gui Lok bernama Kim Hwa. Dengan sikap genit dia mengerling kepada pemuda ganteng yang semenjak tadi memang amat menarik perhatiannya itu, lalu tersenyum cerah sehingga nampak kilatan giginya yang putih.
"Engkau tidak keliru, kongcu. Aku adalah Kim Hwa, ibu tiri dari Ai Ling. Kenapa kongcu meragukan?"
Hay Hay menarik napas panjang lagi. "Aihhh, siapa yang tidak ragu-ragu? Engkau masih begini muda, cantik jelita lagi, pantasnya menjadi kakak dari Ai Ling, jika kalian enci adik barulah pantas. Ternyata engkau ibu tirinya? Sungguh, kalian adalah dua orang wanita yang sama cantik manisnya, pantas saja rumah makan ini selalu penuh. Kalian bagaikan dua tangkai bunga mawar indah yang menghiasi tempat ini sehingga banyak kumbang beterbangan dan berkeliaran di sini...!"
Senyum di wajah yang cantik genit itu makin cerah dan sepasang mata yang menantang itu makin berseri, "Ihhh, kongcu. Rayuanmu maut! Engkau sendiri seorang pemuda yang amat menarik hati. Siapakah namamu, orang muda yang tampan?"
"Namaku Hay Hay...”
“Hay Hay, di kamar nomor berapa?"
"Kamar bagian belakang, nomor tujuh."
"Kongcu, malam nanti lewat jam dua belas, kalau babi itu sudah pulas, aku ingin datang berkunjung ke kamarmu...," berkata demikian, wanita itu lalu pergi meninggalkan mejanya sambil membawa baki kosong, melempar senyum dan kerling tajam yang membuat Hay Hay bengong di atas bangkunya!
Bukan main, pikirnya. Nyonya muda itu dengan mudah saja menjanjikan permainan kotor dengannya! Tak salah lagi, tentu yang dimaksudkan babi itu adalah suaminya, atau ayah Ai Ling!
Pada saat itu pula dari pintu belakang yang menembus ke dapur justru muncul seorang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh lima tahun, seorang pria yang bertubuh gendut sekali, dan yang melihat sikapnya tentu dia adalah majikan rumah makan itu! Benar saja, pria gendut itu menggapai kepada Kim Hwa dan wanita genit itu segera menghampirinya dan mereka bicara bisik-bisik, keduanya memandang ke arah tamu baru yang datang dan disambut oleh Ai Ling.
Melihat ini, Hay Hay juga langsung menoleh dan memandang ke arah gadis manis yang menyambut tamu baru itu. Tamu itu seorang lelaki berusia lima puluh tahun, tinggi besar laksana raksasa dengan pakaian mewah. Seorang hartawan besar, akan tetapi wajahnya menyeramkan dan menakutkan karena kulit muka yang hitam itu penuh dengan bopeng, yaitu cacat bekas penyakit cacar yang membuat kulit mukanya kasar dan kelihatan kotor.
Matanya agak besar sebelah, hidungnya amat besar dan mulutnya juga lebar. Akan tetapi lagaknya jelas menunjukkan bahwa dia adalah orang kaya dan royal, lagak khas seorang hartawan yang yakin akan ‘harga dirinya’ yang diukur dengan kepadatan kantungnya.
Di belakang hartawan raksasa ini kelihatan tiga orang yang juga tidak menyembunyikan lagak mereka sebagai tukang-tukang pukul atau pengawal dari si hartawan tinggi besar. Dengan lengan baju disingsingkan, pinggang dihias golok, dada dibusungkan dan kepala ditegakkan tinggi, langkah satu-satu laksana harimau berjalan, tiga orang itu seakan-akan memasang kedudukan mereka di atas dada agar semua orang tahu.
Dengan sikap manis, seperti kalau menerima tamu rumah makan itu, Ai Ling menyambut empat orang tamu ini, akan tetapi sekali ini senyum yang menghias wajah yang manis itu agak dibuat-buat. Di dalam hatinya, gadis ini tidak suka kepada tamu hartawan itu karena hartawan Coa ini sudah terkenal sekali sebagai seorang mata keranjang yang sering kali mempergunakan harta kekayaannya untuk memaksakan kehendaknya.
Selain sebagai seorang hartawan, Coa Wan-gwe ini juga seorang yang dianggap sebagai majikan dari para penjahat yang ada di sekitar kota Shu-lu. Dengan hartanya dan dengan kekuasaannya karena dia pandai mendekati para pejabat, juga dengan banyaknya tukang pukul yang menjadi pengawalnya, maka dia ditakuti oleh semua orang. Bahkan orang ini menguasai pula semua tempat pelesir di kota Shu-lu dan kota-kota lain yang berdekatan dengan kota raja.
Di samping banyaknya orang yang merasa takut dan diam-diam membencinya, banyak pula orang-orang yang ingin memperoleh keuntungan dari hartawan ini, dan orang-orang seperti ini tidak segan-segan untuk menjilat dan mencari muka. Kalau Gui Lok sendiri dan puterinya, Ai Ling, diam-diam merasa tidak suka bahkan membenci dan takut kepada Coa Wan-gwe, sebaliknya Kim Hwa selalu bersikap manis terhadap hartawan itu. Dia maklum akan kekuasaan dan kekayaan hartawan ini, bahkan sadar pula bahwa apa bila keluarga suaminya tidak membikin senang hati hartawan ini, maka perusahaan suaminya terancam kebangkrutan.
Kalau hartawan itu sampai memusuhi mereka, maka tidak sukar baginya untuk memaksa suaminya agar menutup rumah penginapan dan rumah makannya, dengan menggunakan kekerasan dan siapakah yang akan berani membela suaminya? Semua pembesar di kota Shu-lu, dari yang paling rendah sampai yang paling tinggi, semuanya telah berada dalam genggaman tangan Coa Wan-gwe, bagaikan boneka-boneka yang dapat menari menurut kehendak hartawan itu.
Ketika makan di rumah makan mereka tiga hari yang lalu, ketika dilayani oleh Kim Hwa, hartawan itu sudah membisikkan hasrat hatinya untuk ‘memetik’ bunga rumah makan itu, yaitu Ai Ling! Mendengar hal ini tentu saja hati Kim Hwa diliputi rasa takut. Namun secara diam-diam dia juga merasa girang karena semenjak menjadi isteri Gui Lok, sebetulnya dia membenci Ai Ling.
Maka dia lalu membujuk suaminya supaya menyerahkan Ai Ling kepada Coa Wan-gwe, untuk menjadi selir yang entah ke berapa kalinya. Gui Lok tidak setuju dan marah-marah kepada isterinya, akan tetapi dia pun merasa khawatir sekali dan tidak berani menentang kehendak Coa Wan-gwe karena dia tahu betapa bahayanya menentang kehendak orang itu.
Ketika pada pagi hari itu sang hartawan muncul bersama tiga orang tukang pukulnya, Gui Lok tak berani keluar dari dapur. Isterinya cepat menyuruh Ai Ling menyambut tamu baru itu, kemudian dia pun cepat memasuki dapur dan setengah menyeret suaminya keluar.
"Lihat, alangkah besar rasa cinta Coa Wan-gwe kepada anak kita," bisik Kim Hwa kepada suaminya yang memandang dengan muka agak pucat. "Lihatlah sinar matanya kepada Ai Ling. Aih, kalau engkau memiliki menantu dia, maka kedudukanmu tentu akan meningkat tinggi dan di Shu-lu ini tidak ada seorang pun yang berani kepadamu."
Sementara itu, Ai Ling sudah menyambut tamu-tamu itu dengan sikap manis dibuat-buat, "Selamat pagi, lo-ya (tuan besar), dan silakan duduk di sudut sana. Masih ada beberapa meja kosong untuk lo-ya sekalian," kata Ai Ling dengan senyum buatan.
Coa Wan-gwe bengong memandang gadis yang manis itu. Seperti setangkai bunga yang sedang mekar semerbak, pikirnya. Ia mengangguk-angguk, lalu berkata, "Ai Ling, engkau sediakan bakmi dan panggang babi, juga arak yang cukup untuk kami, dan engkau sendiri harus melayani aku pagi ini. Jangan khawatir, nanti akan kuberi hadiah yang banyak, Ai Ling, manis....!" Tiga orang tukang pukulnya tertawa-tawa dan Ai Ling tersipu.
"Maaf, lo-ya, saya masih memiliki banyak pekerjaan. Akan tetapi pesan lo-ya akan saya sampaikan. Silakan duduk!" Gadis itu lalu setengah berlari masuk ke dalam.
Sejak tadi Hay Hay menyaksikan semua yang terjadi itu. Telinganya yang sangat terlatih itu dapat menangkap bisikan hartawan tinggi besar muka bopeng ketika mengajak Ai Ling untuk melayaninya dan diam-diam dia merasa tidak senang kepada orang tinggi besar itu. Sikapnya begitu pongah dan congkak, seperti telah biasa memerintah, dan sinar matanya begitu penuh nafsu seolah-olah menggerayangi tubuh Ai Ling dari atas ke bawah. Orang ini berbahaya sekali, pikirnya dan dia mengkhawatirkan keselamatan Ai Ling.
Dia melihat betapa Ai Ling terlibat ribut-ribut mulut dengan ayah dan ibu tirinya, biar pun mereka hanya berbisik-bisik. Nampak olehnya di balik pintu ke dapur itu betapa Ai Ling menggelengkan kepalanya keras-keras seperti menolak, sedangkan Kim Hwa memegang pundaknya dan seperti membujuk-bujuk, sementara Gui Lok yang gendut seperti babi itu hanya menggeleng-gelengkan kepala dengan bingung dan khawatir .
Kini nampak Kim Hwa yang mengantar seorang pelayan membawakan pesanan makanan dan minuman untuk hartawan itu. Sesudah mengatur hidangan di atas meja dan pelayan itu pergi, Kim Hwa berbisik kepada hartawan itu, suaranya manis dibuat-buat.
"Harap Coa tai-ya sudi memaafkan Ai Ling. Dasar anak pemalu dan dia banyak pekerjaan di dalam, maka tidak dapat melayani tai-ya. Biarlah saya yang melayani di sini." Dengan sikap manis sekali dia kemudian menuangkan arak ke dalam cawan untuk hartawan itu, sedangkan ketiga orang tukang pukul itu memandang nyonya muda itu dengan senyum-senyum senang.
Akan tetapi hartawan itu cemberut. "Hemm, apakah engkau belum menyampaikan hasrat hatiku kepadanya dan kepada suamimu?"
"Sudah, tai-ya."
"Dan suamimu tidak setuju?" Sepasang mata hartawan itu memandang penuh ancaman.
"Ahh, tidak, tidak! Mana mungkin dia berani? Dia menyerahkan kepada saya dan kepada puterinya. Percayalah, tai-ya pasti akan mendapatkan apa yang tai-ya inginkan itu," kata Kim Hwa dengan sikap manis.
Semenjak tadi Hay Hay terus mendengarkan. Kebetulan sekali meja yang dihadapi oleh rombongan hartawan itu tidak begitu jauh dari tempat duduknya sehingga pendengarannya yang sangat tajam dapat menangkap semua percakapan itu walau pun dilakukan dengan berbisik-bisik dan lirih.
"Hemmm, nyonya Gui, dengar baik-baik. Aku sudah tidak sabar lagi. Malam ini aku akan bermalam di rumah penginapan suamimu. Sediakan kamar yang terbaik, dan malam nanti aku benar-benar mengharapkan dia berada di dalam kamarku! Apa bila perintahku sekali ini tidak ditaati, kelak jangan menyesal kalau keluarga dan perusahaan suamimu menjadi berantakan!"
Wajah wanita itu nampak amat ketakutan, "Baik, tai-ya, jangan khawatir...,” lalu suaranya menjadi semakin lirih, "Bagaimana pun juga, saya akan berusaha sekuatnya agar dapat mendorongnya ke kamar tai-ya. Akan tetapi karena dia sangat pemalu, harap tai-ya suka menunggu sampai lewat tengah malam, kalau perlu saya akan memaksanya "
Hartawan tinggi besar itu tersenyum lebar dan menjilati bibirnya, kemudian mengeluarkan sebuah bungkusan dari dalam saku bajunya. "Tidak perlu dengan paksaan, kau gunakan ini. Campurkan dalam makanan atau minumannya dan dia akan menjadi mabok dan tidak akan melawan lagi."
Kim Hwa menerima bungkusan itu, lalu melayani hartawan Coa beserta tiga orang tukang pukulnya makan minum hingga mereka menjadi setengah mabok. Sementara itu Hay Hay sudah meninggalkan rumah makan. Hatinya panas sekali.
Diam-diam dia merasa iri melihat betapa tangan dan lengan suhu dan subo-nya melingkar di pinggang yang ramping itu. Kalau saja tangan dan lengannya yang berada di situ! Gadis itu bicara dengan sikap manja sambil menoleh ke kanan kiri, kepada ayahnya dan ibunya. Kalau saja gadis itu bicara seperti itu kepadanya!
Mereka memasuki sebuah pondok sederhana yang berdiri di pinggir sebuah anak sungai yang airnya jernih, yang mengalir riang berdendang di antara batu-batu sungai. Pondok atau rumah tunggal di lembah itu, tidak mempunyai tetangga. Rumah orang lain berada di dusun yang berada di kaki gunung.
Setelah berada di dalam pondok dan duduk di atas lantai bertilamkan rumput kering yang lunak dan bersih, mereka berempat kemudian bercakap-cakap. Untuk melenyapkan rasa penasaran di hati Bi Lian, mula-mula Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu menceritakan keadaan mereka sebagai keturunan para datuk sesat yang sudah yatim piatu dan saling mencinta dalam keadaan sengsara. Betapa kemudian mereka ingin menebus dosa orang tua mereka, lalu masuk ke dalam kuil Siauw-lim-si untuk menjadi hwesio dan nikouw.
"Tapi agaknya Tuhan juga melarang kami menjadi pendeta. Buktinya, aku mengandung, Bi Lian. Engkau pun terlahir dan kami dihukum oleh losuhu Ceng Hok Hwesio," kata Toan Hui Cu.
"Kenapa ayah dan ibu dihukum? Bagaimana hukumannya? tanya Bi Lian sambil menahan kemarahannya terhadap ketua kuil itu,.
Siangkoan Ci Kang yang menjawab pertanyaan puterinya. "Kami dihukum agar bertobat dan bertapa di dalam kamar tahanan masing-masing selama dua puluh tahun...”
"Dua puluh tahun?" Bi Lian pura-pura terkejut. "Mengapa losuhu itu menghukum seperti itu?"
"Karena menurut losuhu, kami dianggap telah melanggar dosa. Dan kami harus menebus dosa dengan bertapa dan menyesali perbuatan kami itu," jawab ibunya.
"Ayah dan Ibu menerima hukuman itu dengan rela? Ayah dan Ibu menganggap hukuman itu sudah pantas?" Bi Lian mendesak.
Suami isteri itu saling lirik, lantas Siangkoan Ci Kiang menjawab, "Ya, kami menerimanya dan kami menganggapnya sudah pantas."
"Tidak! Tidaakkk! Sama sekali tidak pantas! Hwesio tua itu hanya membalas dendam. Dia tergila-gila kepada Ibu, kakek yang tidak tahu malu itu! Ibu tidak mau melayaninya dan dia membalas dendam, menghukum Ayah dan Ibu untuk memuaskan dendamnya!"
"Sumoi...!" Han Siong berseru menegur.
Suami isteri itu saling pandang, lalu memandang Han Siong. Siangkoan Ci Kang menarik napas panjang sebelum bertanya, "Aha, kiranya kalian sudah tahu pula hal itu? Dari siapa kalian tahu?"
"Dia sendiri yang mengaku kepada kami!" Bi Lian menjawab. "Ayah dan Ibu, tadinya kami masuk ke dalam kamar tahanan Ayah dan Ibu, akan tetapi kami hanya bertemu dengan losuhu itu dan dia membuat pengakuan ini. Hampir saja aku membunuhnya!"
"Bi Lian...!" Toan Hui Cu merangkul puterinya.
Kini Han Siong turut bicara. "Suhu dan Subo, sebelum bertemu dengan losuhu Ceng Hok Hwesio, sumoi belum tahu bahwa dia adalah puteri Suhu dan Subo, karena teecu hanya mengajak sumoi untuk menghadap Suhu dan Subo yang dia ingat sebagai guru-gurunya pada saat dia masih kecil. Akan tetapi, ketika teecu mencari Suhu dan Subo di kuil, kami berjumpa dengan Ceng Hok Hwesio dan dialah yang mengakui segalanya kepada kami sehingga sumoi mengetahui bahwa dia adalah puteri Suhu dan Subo dan dia mengakui segala hal yang telah dilakukannya."
"Aku heran sekali mengapa Ayah dan Ibu membiarkan saja orang berbuat begitu kejam terhadap Ayah dan Ibu?" Bi Lian menyambung dengan suara mengandung penasaran.
Ayahnya tersenyum. "Engkau tidak tahu, anakku. Engkau tidak tahu betapa Ayah beserta Ibumu menderita tekanan batin mengingat dosa-dosa yang dahulu ditumpuk oleh kakek nenekmu. Kami menerima hukuman itu yang kami anggap memang tepat bagi kami untuk menebus dosa-dosa turunan. Biar pun sesudah hampir dua puluh tahun kemudian losuhu itu baru membuat pengakuan, kami tak merasa penasaran karena di dalam pelaksanaan hukuman itu kami mendapatkan hikmat dan anugerah yang sangat berharga dari Tuhan. Melalui pelaksanaan hukuman itu kami mendapatkan ilmu-ilmu tinggi, bahkan kemudian kami bertemu dengan suheng-mu ini yang menjadi murid kami. Tidak, anakku, kami tidak merasa penasaran kepada Ceng Hok Hwesio."
"Bahkan kami merasa kasihan kepadanya, Bi Lian," kata ibunya. "Dia merasa menyesal dan penyesalan merupakan hukuman yang lebih berat lagi. Kini dia yang sudah begitu tua harus menderita kesengsaraan batin yang berat, bahkan dia akan menghukum diri sendiri di kamar itu sampai mati."
Bi Lian mengangguk-angguk. "Mungkin benar juga pendapat Ayah dan Ibu. Dia menyiksa diri bahkan minta agar kubunuh, akan tetapi suheng mencegah aku. Akan tetapi, kenapa Ibu menyerahkan aku kepada keluarga Cu, bahkan juga menyuruh mereka mengakui aku sebagai anaknya?"
"Begini, Bi Lian," jawab ayahnya. "Ibumu dan aku sudah merundingkan hal itu baik-baik. Kami akan hidup selama dua puluh tahun dalam kurungan sebagai orang-orang hukuman. Kalau kami membiarkan engkau hidup bersama dengan kami dalam hukuman, bagaimana jadinya dengan dirimu? Kami harus memikirkan masa depanmu. Oleh karena itu, sesudah berpikir masak-masak maka kami menitipkan engkau kepada keluarga Cu yang kami tahu merupakan keluarga baik-baik. Kami selalu mengunjungimu untuk menjenguk keadaanmu sejak engkau masih bayi sampai engkau besar dan kami beri latihan dasar ilmu silat."
"Nah, itulah sesungguhnya yang mendorong kami menitipkan engkau kepada keluarga Cu di dusun itu, Bi Lian. Bukan sekali-kali karena kami tidak sayang kepadamu! Engkau tahu, sampai berbulan-bulan setiap malam aku menangis kalau teringat kepadamu, dan hanya demi kebahagiaanmu di masa depan sajalah aku dapat menahan penderitaan batin yang berat itu...”
Bi Lian merangkul ibunya. "Aku percaya, Ibu. Aku pun dapat merasakan kasih sayang Ibu dan Ayah ketika sering datang mengajarku di dusun itu."
"Nah, sekarang giliranmu untuk menceritakan semua pengalamanmu!" kata Siangkoan Ci Kang kepada puterinya.
"Nanti dulu, Ayah dan Ibu," kata Bi Lian dengan sikap manja dan 'jual mahal'. "Aku ingin mendengar cerita suheng lebih dulu, tentang riwayatnya sampai dia bertemu dengan aku ketika menentang gerombolan Lam-hai Giam-lo itu."
Toan Hui Cu tersenyum kemudian mengangguk kepada muridnya. "Kami pun ingin sekali mendengar, terutama tentang keberhasilanmu menemukan anakku. Kini berceritalah, Han Siong."
"Sumoi, aku pernah menceritakan keadaan keluargaku kepadamu. Ayahku adalah ketua dari Pek-sim-pang di Kong-goan. Ketika masih bayi, terpaksa aku disembunyikan karena hendak diculik oleh para pendeta Lama di Tibet. Aku disembunyikan di kuil Siauw-lim-si itu sehingga bertemu dengan suhu dan subo kemudian menjadi muridnya."
"Ya, aku sudah tahu tentang hal itu, dan aku tahu pula bahwa adik Pek Eng adalah adik kandungmu. Ceritakan saja sejak engkau meninggalkan ayah dan ibu," kata Bi Lian.
Kini Han Siong menujukan ceritanya kepada dua orang gurunya. "Ketika Suhu dan Subo memberi tugas kepada teecu untuk mencari Sumoi, sesungguhnya teecu merasa bingung sekali karena selain selamanya teecu belum pernah bertemu dengan Sumoi, juga teecu tidak tahu harus mencari ke arah mana. Akan tetapi teecu mengambil keputusan tidak akan kembali menghadap Suhu dan Subo sebelum berhasil menemukan Sumoi. Teecu berangkat dibekali doa restu Suhu dan Subo, dan juga kenekatan. Dalam perjalanan itu teecu bertemu dengan seorang locianpwe yang berjuluk Ban Hok Lojin dan teecu diambil murid selama satu tahun!."
"Ban Hok Lojin?" Siangkoan Ci Kang berseru kaget. "Bukankah dia adalah salah seorang di antara Delapan Dewa?"
"Suhu benar. Suhu Ban Hok Lojin adalah seorang di antara Pat-sian (Delapan Dewa) dan selama satu tahun teecu diberi ilmu Pek-hong Sin-ciang dan juga ilmu sihir..."
"Wah, Ayah dan Ibu! Suheng ini pandai main sulap, pandai main sihir!"
“Hemm, coba kau perlihatkan sedikit sihirmu supaya kami dapat melihatnya, Han Siong," kata Toan Hui Cu, subo-nya.
“Bagaimana teecu berani bersombong dan kurang ajar terhadap Suhu dan Subo?” kata Han Siong.
"Tidak, Han Siong. Jangan mengira bahwa kami tidak senang mendengar engkau menjadi murid Ban Hok Lojin. Kami hanya ingin melihat sendiri kekuatan sihir yang kau pelajari itu," kata suhu-nya.
"Suhu, menurut keterangan suhu Ban Hok Lojin, ada dua macam ilmu sihir, yaitu yang disebut ilmu hitam dan ilmu putih. Ilmu hitam adalah sihir yang dipergunakan orang untuk melakukan kejahatan, sedangkan yang diajarkan oleh suhu Ban Hok Lojin hanyalah untuk melindungi diri dari serangan musuh, terutama untuk menghadapi serangan sihir hitam."
"Kalau begitu bagus sekali, Han Siong. Nah, perlihatkan sedikit kepada kami supaya kami menjadi yakin."
"Aihh, Suheng! Kenapa pelit amat? Hayo perlihatkan kepandaianmu, aku pun ingin sekali melihatnya," kata Bi Lian.
Han Siong tersenyum, lantas diam-diam dia mulai mengerahkan kekuatan batinnya untuk melakukan demonstrasi sihirnya. "Suhu, Subo dan Sumoi, andai kata sekali waktu teecu kewalahan menghadapi pengeroyokan atau seorang lawan tangguh, teecu bisa membuat lawan bingung untuk menyelamatkan diri dengan memperbanyak diri teecu!"
"Memperbanyak diri?" Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui ClI bertanya hampir berbareng.
"Apa maksudmu, Suheng?" Bi Lian juga ingin sekali tahu.
"Suhu, teecu dapat memperbanyak diri, misalnya menjadi dua seperti ini!"
Suara Han Siong berwibawa sekali, menggetar dan tiba-tiba saja ayah, ibu dan anak itu terbelalak melihat betapa tubuh Han Siong benar-benar berubah menjadi dua orang!
"Atau menjadi tiga seperti ini!" terdengar lagi suara Han Siong dan sekarang muncul pula seorang Pek Han Siong yang lain dan berdirilah tiga orang pemuda yang kembar di depan mereka.
Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu, dua orang tokoh kang-ouw yang sudah mempunyai banyak pengalaman dan memiliki kepandaian tinggi itu cepat-cepat mengerahkan tenaga khikang mereka dan memusatkannya kepada pandang mata dan kini lenyaplah dua orang bayangan Han Siong yang lain, tinggal seorang saja yang asli. Akan tetapi Bi Lian tidak tahu bagaimana caranya membuyarkan penglihatan aneh itu dan dia pun berseru sambil tertawa.
"Wah-wah-wah...! Kalau aku menjadi lawanmu pasti aku benar-benar akan kebingungan sekali, Suheng! Yang mana sih engkau yang sesungguhnya?"
Han Siong tersenyum. Dia pun segera melenyapkan dua bayangannya, lalu menjatuhkan diri berlutut di hadapan suhu dan subo-nya yang dia tahu dapat menguasai penglihatan mereka tadi.
"Harap suhu dan subo suka memaafkan teecu."
Suami isteri itu saling pandang dan Siangkoan Ci Kang menarik napas panjang. "Memang hebat ilmu sihir itu, Han Siong. Kami sendiri seketika terpengaruh dan memang ilmu sihir ini dapat menjadi alat pembela diri yang ampuh. Kami ikut merasa gembira bahwa engkau dilatih oleh seorang sakti seperti locianpwe itu. Sekarang lanjutkan ceritamu, Han Siong."
"Teecu lalu pergi berkunjung ke Pek-sim-pang. Di sana teecu bertemu dengan lima orang pendeta Lama yang hendak memaksa teecu ikut ke Tibet, namun teecu berhasil mengusir mereka. Kemudian teecu bertemu dengan ayah, ibu dan keluarga Pek."
"Ah, syukurlah, Han Siong. Aku ikut merasa gembira bahwa engkau bisa bertemu dengan orang tuamu dan keluargamu di sana," kata Toan Hui Cu.
"Tetapi teecu mendengar dari keluarga Pek bahwa adik kandung teecu yang bernama Pek Eng telah pergi meninggalkan rumah, katanya untuk mencari teecu, kakaknya yang selama hidupnya belum pernah dilihatnya."
"Ahh, kasihan sekali adik Pek Eng...,” kata Bi Lian.
"Karena itu teecu merasa khawatir dan teecu juga tidak lama tinggal di asrama Pek-sim-pang. Teecu lalu berangkat untuk mencari adik Pek Eng dan juga Sumoi, teecu mencari dua orang gadis!"
"Dua orang yang selamanya belum pernah Suheng lihat. Hik-hik, betapa sukarnya itu...!" Bi Lian tertawa.
"Akhirnya teecu menemukan jejak adik Pek Eng yang kiranya ditangkap oleh gerombolan pemberontak Lam-hai Giam-lo yang bersarang di Lembah Yang-ce di Yunan, maka teecu segera menyusul ke sana dan ternyata teecu menemukan dua-duanya di sana!"
Kembali Bi Lian tertawa. "Dua orang yang dicarinya itu telah berkumpul di Yunan, bahkan sebelum Suheng berjumpa dengan aku atau dengan adik Eng, aku dan adik Eng sudah menjadi sahabat baik!"
"Pemberontakan Lam-hai Giam-lo dapat dihancurkan oleh para pendekar, kemudian teecu berhasil membujuk Sumoi untuk menghadap Suhu dan Subo di kuil Siauw-lim-si itu." Han Siong mengakhiri ceritanya.
"Kami sungguh bersyukur sekali, Han Siong. Engkau bukan saja berhasil melaksanakan tugasmu dan memenuhi permintaan kami sehingga berhasil baik, akan tetapi juga dapat menemukan adik kandungmu dan dapat membantu para pendekar untuk menghancurkan persekutuan pemberontak Lam-hai Giam-lo," kata Siangkoan Ci Kang. "Nah, sekarang giliranmu untuk bercerita, Bi Lian."
Bi Lian lalu menceritakan pengalamannya sejak dia diambil murid oleh mendiang Pak-kwi-ong dan Tung-hek-kwi, dua orang di antara Empat Setan yang menjadi datuk-datuk sesat di empat penjuru itu. Kedua orang datuk itu senang sekali melihat Bi Lian yang ketika itu berusia enam tahun, seorang anak perempuan yang mungil, manis lincah dan mempunyai keberanian luar biasa sekali.
Tentu saja anak kecil yang pemberani itu tadinya mendendam kepada dua orang iblis ini yang dianggap sebagai pembunuh keluarga Cu, keluarganya! Akan tetapi kedua datuk itu menyalahkan dua pasang suami isteri iblis yang memusuhi mereka. Dua pasangan suami isteri iblis itulah yang membujuk rakyat dusun agar mengeroyok mereka sehingga banyak penduduk dusun tewas, termasuk keluarga Cu. Bi Lian dapat menerima alasan ini dan dia pun lantas mengalihkan dendamnya kepada dua pasang suami isteri iblis, yaitu Lam-hai Siang-mo dan Sepasang Suami Isteri Goa Iblis Pantai Selatan.
"Pelajaran apa saja yang kau peroleh dari Dua Setan itu?" Toan Hui Cu bertanya.
Bi Lian memandang kepada ayah ibunya. Ia melihat sinar mata khawatir ierpancar keluar dari pandang mata kedua orang tuanya. Tidak dapat disangkal lagi bahwa Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu memang merasa amat khawatir bila membayangkan bahwa anak kandung mereka menjadi murid dua manusia iblis seperti Tung-hek-kwi dan Pek-kwi-ong yang sudah terkenal sekali di dunia kang-ouw sebagai dua orang yang tidak segan-segan melakukan perbuatan jahat dan kejam yang bagaimana pun juga.
Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu sadar diri. Mereka merasa bahwa mereka adalah keturunan datuk-datuk jahat sekali, maka mendengar betapa puteri mereka menjadi murid dua di antara Empat Setan, tentu saja mereka merasa khawatir kalau-kalau darah nenek moyang puterinya itu akan menurun pada batin puterinya.
Bi Lian tersenyum. "Ayah dan Ibu tak perlu khawatir. Memang aku mempelajari berbagai ilmu silat tinggi dari mendiang suhu Pek-kwi-ong dan Tung-hek-kwi, akan tetapi aku tidak sudi mempelajari dan meniru perbuatan mereka yang kuanggap sangat jahat! Bagaimana pun juga, bimbingan keluarga Cu yang baik, juga bimbingan Ayah dan Ibu yang ketika itu kuanggap guru, masih meninggalkan kesan di hatiku sehingga aku tidak terpengaruh oleh watak jahat mereka."
"Sumoi berkata benar,” Han Siong cepat menyambung. "Sejak bertemu dengan Sumoi, yang teecu lihat Sumoi mempunyai jiwa pendekar seratus prosen, dan bahkan dia sudah mendapat julukan Thiat-sim Sian-li sebagai tanda kekerasan hatinya menghadapi orang-orang jahat.”
“Aihh, Suheng ini memuji-mujiku di depan Ayah dan Ibu, mau merayu, ya?” tanya Bi Lian dengan pandang mata nakal menggoda.
Seketika wajah Han Siong berubah merah. Kalau saja gadis itu tahu bahwa mereka telah dijodohkan, tentu tidak akan mengeluarkan kata-kata seperti itu! Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu memandang sambil tersenyum. Mereka tahu bahwa puteri mereka memiliki watak keras, pemberani, dan polos sehingga ucapan yang dikeluarkan tadi hanya untuk menggoda Han Siong, tidak mempunyai makna lain.
“Ah, aku hanya bicara jujur, Sumoi. Kalau engkau bukan berjiwa pendekar tentu tak akan menentang gerombolan Lam-hai Giam-lo. Bahkan engkau berjasa besar sekali karena di tanganmulah Lam-hai Giam-lo tewas!"
"Ahh, benarkah?" Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu terkejut mendengar hal ini karena mereka berdua maklum akan kelihaian Lam-hai Giam-lo. Apa bila puteri mereka mampu membunuh iblis itu, tentu puteri mereka itu telah memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa hebatnya!
"Wah, memang Suheng tukang memuji. Hemm, jangan-jangan Suheng sudah ketularan watak putera Si Tawon Merah itu!" Tiba-tiba saja Bi Lian termenung karena dia sekarang teringat pada seorang pemuda yang amat pandai merayu hati wanita, bahkan dia sendiri pernah terpikat oleh puji-pujian dan rayuan yang keluar dari mulut pemuda itu.
Pemuda itu bernama Tang Hay, seorang pendekar yang memiliki ilmu kepandaian hebat bukan main, bahkan pandai pula bermain sihir, seorang pemuda pendekar yang gagah perrkasa. Akan tetapi kemudian ketahuan bahwa pemuda perkasa itu adalah putera Ang-hong-cu atau Si Kumbang Merah yang terkenal sebagai penghisap kembang atau seorang jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga) perusak dan pemerkosa wanita yang amat keji!
"Sumoi, aku tidak memuji, namun bicara secara jujur,” kata Pek Han Siong yang merasa tidak enak mendengar disebutnya nama putera Ang-hong-cu itu.
"Akan tetapi benarkah engkau telah berhasil membunuh Lam-hai Giam-lo, Bi Lian?" tanya Toan Hui Cu heran.
"Ahh, ibu. Suheng ini bisa saja. Memang aku membunuhnya, akan tetapi bukan sendirian, melainkan mengeroyoknya bersama dua orang pendekar yang sakti. Kalau aku sendirian, kiranya tidak akan mampu mengalahkan dia."
"Lanjutkan ceritamu," kata Siangkoan Ci Kang.
"Selama belajar ilmu silat dari kedua orang suhu itu, aku diajak merantau tetapi aku tidak pernah mencampuri urusan suhu. Dan aku sendiri mempergunakan kepandaianku untuk menentang kejahatan di mana-mana sehingga aku dijuluki Thiat-sim Sian-li oleh kalangan kang-ouw. Kedua orang suhu lantas merantau ke daerah Yunan di mana aku menemukan jejak dua pasang suami isteri yang kuanggap sebagai musuh besarku karena merekalah yang menyebabkan terbasminya keluarga Cu yang kukira keluargaku sendiri. Dan dalam pengejaran terhadap dua pasang suami isteri itu kami bertiga kemudian bertemu dengan gerombolan Lam-hai Giam-lo! Suhu Pak-kwi-ong dan Tung-hek-kwi terbujuk oleh mereka dan meski pun aku tak senang, mereka tetap saja menjadi tamu kehormatan gerombolan pemberontak itu. Malah suhu Pak-kwi-ong kemudian hendak memaksaku agar menerima pinangan Kulana, seorang di antara pimpinan para pemberontak berasal dari Birma yang berilmu tinggi dan kaya raya. Aku tidak sudi, dan ketika suhu Pak-kwi-ong memaksa, suhu Tung-hek-kwi membelaku. Mereka kemudian saling serang hingga keduanya tewas! Pada waktu itulah bermunculan para pendekar dan aku lantas bergabung dengan mereka untuk membasmi gerombolan pemberontak yang dipimpin oleh Lam-hai Giam-lo, Kulana serta banyak lagi tokoh sesat itu.” Bi Lian mengakhiri kisahnya.
Gadis dan ayah bundanya itu melepaskan kerinduan masing-masing. Selama beberapa hari mereka hanya bercakap-cakap saja, saling menceritakan pengalaman mereka lebih terperinci.
Beberapa hari kemudian, sehabis makan siang mereka berempat duduk di atas rumput tebal di luar pondok, di bawah pohon yang rindang. Mereka memang lebih suka bercakap-cakap sambil duduk di atas rumput ini dari pada di dalam pondok.
Tiba-tiba saja Toan Hui Cu bertanya kepada Han Siong, "Han Siong, sudahkah engkau menceritakan kepada sumoi-mu tentang pedang pusaka Kwan-im Pokiam Itu?"
Seketika wajah Han Siong berubah merah dan dia tak mampu menjawab, hanya meraba gagang pedang di pinggangnya. Melihat ini, Bi Lian yang menjawab sambil tersenyum.
"Suheng pernah bercerita bahwa selain menerima ilmu-ilmu yang hebat dari ayah dan ibu, dia juga menerima pemberian pedang pusaka Kwan-im Pokiam, ibu!"
"Bukan hanya sebagai pemberian, Bi Lian," kata Hui Cu dan dia segera menoleh kepada suaminya. Siangkoan Ci Kang mengangguk, agaknya setuju kalau isterinya menyinggung urusan itu.
"Bukan hanya sebagai pemberian, lalu sebagai apa, ibu? Hadiah karena Suheng seorang murid yang baik?" Bi Lian bertanya, mengerling kepada suheng-nya untuk menggodanya.
"Sebagai... ikatan, Bi Lian. Ikatan jodoh!"
Bi Lian terbelalak memandang kepada ibunya, lalu kepada ayahnya. "Ikatan jodoh? Apa yang ibu maksudkan?" Sementara itu Han Siong menundukkan mukanya yang menjadi merah sekali.
"Bi Lian, aku dan ayahmu telah mengambil keputusan, jauh sebelum engkau pulang, yaitu dua tahun lebih yang lampau, pada waktu suheng-mu berangkat untuk pergi mencarimu. Keputusan itu adalah bahwa kami berdua menjodohkan engkau dengan Pek Han Siong, dan pedang pusaka Kwan-im Pokiam itu kami berikan kepadanya sebagai tanda ikatan jodoh...” Toan Hui Cu tiba-tiba saja menghentikan kata-katanya dan memandang kepada puterinya dengan wajah khawatir.
Dia melihat perubahan pada wajah puterinya yang tadinya cerah dan riang itu. Wajah itu kini menjadi keras, sepasang matanya mencorong dan Bi Lian memandang ayah ibunya bergantian, lalu menoleh dan memandang kepada Han Siong yang masih menundukkan mukanya yang merah. Suasana menjadi amat sunyi, kesunyian yang menegangkan hati, terutama bagi Han Siong.
"Kami harap engkau akan menerimanya dengan hati terbuka, anakku," kata Siangkoan Ci Kang. "Kami melihat Han Siong sebagai seorang pemuda yang amat baik, juga keturunan pendekar, dan selama ini engkau sendiri tentu sudah mengenalnya dan dapat menilainya sendiri....”
"Justru itulah, Ayah! Selama ini aku menganggap dia sebagai seorang suheng, seorang kakak! Suheng, kenapa selama ini engkau diam saja tak pernah memberi tahu kepadaku tentang jodoh ini?" Dalam pertanyaan itu terkandung penyesalan dan teguran.
Han Siong mengangkat mukanya, sikapnya masih tetap tenang sungguh pun dia merasa gugup sekali. Sesudah beberapa kali menelan ludah untuk menenangkan batinnya yang terguncang, dia pun lalu menjawab, "Maafkan aku, Sumoi. Aku tidak tega, aku tidak ingin membuat engkau menjadi sungkan dan malu, maka aku diam saja, biar Suhu dan Subo sendiri yang memberi tahu akan hal itu."
"Tidak...! Tidak...! Bagaimana mungkin terjadi ikatan jodoh yang tiba-tiba ini? Aku sudah menganggapnya sebagai kakakku sendiri! Ayah dan Ibu, sungguh aku tak bisa menerima keputusan yang begini tiba-tiba!"
Mendengar kata-kata ini, wajah Han Siong berubah pucat dan seperti tadi, dia pun hanya menundukkan mukanya.
"Bi Lian, engkau tak boleh menolak mentah-mentah hanya dengan alasan bahwa engkau menganggapnya seperti kakak sendiri! Memang benar dia kakak seperguruanmu, akan tetapi tidak ada hubungan darah sedikit pun antara keluarga kita dan keluarga Pek," kata Siangkoan Ci Kang sambil mengerutkan alisnya karena kecewa melihat sikap puterinya yang menolak ikatan jodoh itu.
"Tetapi, ayah! Bagaimana mungkin orang berjodoh dengan cara begitu saja? Selama ini aku memandang Suheng sebagai seorang kakak seperguruan, bagaimana tiba-tiba saja aku memandangnya sebagai tunangan, sebagai calon suami? Orang berjodoh harus ada perasaan cinta kasih!" bantah Bi Lian dengan polos, sesuai dengan wataknya. Bagaimana pun juga, dia mewarisi sikap kedua orang gurunya yang polos dan berandalan.
Toan Hui Cu juga merasa amat penasaran. Dia mengambil keputusan dalam menghadapi puterinya yang bicara secara terbuka ini dengan cara yang lebih jujur, karena itu dia pun berkata kepada Han Siong, "Han Siong, sekarang lebih baik engkau pun berbicara terus terang saja! Bagaimana perasaan hatimu ketika kami menyatakan bahwa engkau kami jodohkan dengan puteri kami yang pada waktu itu belum kau lihat? Engkau memang telah menerimanya dengan patuh, akan tetapi bagaimana perasaanmu pada saat itu?"
Mendengar pertanyaan ibunya, wajah Bi Lian menjadi berseri-seri. Ia memang lebih suka urusan secara terbuka begini dari pada harus menyimpan di dalam hati.
"Suheng, jawablah sejujurnya. Percayalah, aku tidak akan menyesal atau marah, bahkan aku akan merasa penasaran dan marah kalau engkau tidak bicara jujur!" katanya kepada Han Siong.
Pemuda ini merasa terhimpit sekali. Sejak kecil dia hidup di dalam kuil dan mempelajari segala macam kebudayaan dan sopan santun, kesusilaan, peraturan untuk menghormati orang tua, guru, wanita dan orang pandai. Kini dia diharuskan bicara secara terbuka tanpa tenggang rasa lagi, apa adanya!
Biar pun dia tidak merasa keberatan dengan cara seperti ini, membicarakan rahasia hati di hadapan orang lain secara terbuka, namun tentu saja dia harus berkorban perasaan. Sesudah menghela napas panjang beberapa kali, dia pun memandang kepada suhu dan subo-nya, lalu memberi hormat sambil berlutut.
"Suhu dan Subo, teecu sudah menerima budi besar dari ji-wi yang tak dapat teecu bayar dengan nyawa sekali pun dan teecu sama sekali tidak menghendaki untuk menyinggung perasaan atau menyakiti hati Suhu dan Subo. Akan tetapi karena Suhu, Subo dan juga Sumoi menghendaki jawaban yang sejujurnya dan terbuka, maka apa yang hendak teecu katakan merupakan suara hati teecu yang sebenarnya dan sama sekali tidak lagi ditutupi oleh perasaan sungkan."
"Bagus, Suheng! Begitulah seharusnya sikap orang gagah!" kata Bi Lian dan wajahnya kini berseri gembira lagi.
"Ketika Suhu dan Subo memberikan Kwan-im Pokiam ini kepada teecu dan mengatakan bahwa ji-wi menjodohkan teecu dengan puteri ji-wi, sebenarnya teecu juga merasa amat terkejut. Tentu saja tidak mungkin teecu dapat menyatakan suka atau tidak suka karena teecu belum pernah melihat Sumoi. Namun pada waktu itu teecu menerima sepenuhnya hanya karena terdorong keinginan teecu untuk membalas budi ji-wi serta menyenangkan hati ji-wi. Teecu merasa yakin bahwa ji-wi tentu telah memperhitungkannya secara masak dan tidak akan keliru mengambil keputusan. Oleh karena itulah teecu menerima dan mulai mencari sumoi."
Sepasang suami isteri itu mengangguk-angguk dan dapat menerima keterangan ini. Juga Bi Lian mengerti bahwa alasan suheng-nya itu memang tepat, akan tetapi tidak urung dia mencela.
"Suheng telah bersikap tidak wajar. Menerima secara membuta seperti itu sungguh bukan merupakan kebaktian yang benar. Kita harus mempertimbangkan baik-baik macam tugas yang diperintahkan, siapa pun yang menyuruh kita. Biar pun guru sendiri, atau orang tua sendiri, apa bila menyuruh kita melakukan hal yang berlawanan dengan suara hati, sudah sewajarnya jika ditolak. Mentaati karena ingin rnembalas budi itu namanya ketaatan yang ngawur dan nekat, dan yang akibatnya dapat membuat diri sendiri menyesal!"
Kembali suami isteri itu saling pandang. Puteri mereka itu ternyata sudah dewasa benar dan telah mempunyai kematangan pandangan, walau pun terlalu polos, terlalu jujur tanpa ditutup-tutupi sehingga mudah menyinggung perasaan orang dan terdengar kasar.
"Sekarang katakan, Han Siong. Setelah engkau bertemu dengan Sumoi-mu dan sesudah melihatnya, bicara bahkan bergaul dengannya, bagaimana pendapatmu? Mengaku saja terus terang, adakah cinta kasih di dalam hatimu terhadap anak kita Siangkoan Bi Lian?"
Mendengar pertanyaan ini kembali wajah pemuda itu menjadi merah sekali. Dia memberi hormat sambil berlutut dan berkata lirih, "Duhai Suhu dan Subo, bagaimana teecu berani menjawab pertanyaan itu...?”
“Han Siong, tenangkan hatimu. Tadi Sumoi-mu menuntut agar kita semua bicara secara terbuka. Kalau dipikir, sikap ini memang benar. Segala macam persoalan bisa dipecahkan dengan cepat kalau kita bersikap terbuka. Jawablah sejujurnya, Han Siong."
"Suheng, apakah engkau bukan laki-laki yang jantan? Kita harus jujur, kepada diri sendiri, kepada orang lain! Manusia yang tidak memiliki kejujuran dan tidak berani mengakui apa yang berada di dalam hatinya, dia itu hanya seorang pengecut! Tapi aku yakin, suheng-ku yang gagah ini sama sekali bukan pengecut!"
Bukan main ucapan gadis itu. Lidahnya seperti pecut yang mencambuk-cambuk dengan tajamnya!
"Baiklah, Sumoi. Suhu dan Subo, kini teecu mengaku terus terang, begitu teecu bertemu dengan Sumoi, melihat wajahnya, berbicara dengannya, melihat sikapnya dan segalanya, teecu langsung jatuh cinta padanya!"
Suami isteri itu saling pandang dan tersenyum, akan. tetapi Bi Lian terbelalak keheranan memandang suheng-nya. "Waahhh! Benarkah itu, Suheng? Ataukah engkau hanya terikat oleh janji dan balas budi? Bagaimana mungkin begitu mendadak kau jatuh cinta, dan..... aku sama sekali tidak pernah melihat sikapmu yang mencinta itu, tidak pernah engkau mengatakan kepadaku bahwa engkau cinta padaku!"
"Mana aku berani, Sumoi?"
“Ahh, kenapa tidak berani? Dalam cinta mencinta, pertama-tama yang dibutuhkan adalah kejujuran pula!"
"Sudahlah, Bi Lian, kini suheng-mu sudah mengaku sejujurnya bahwa dia mencintamu. Sekarang, bagaimana dengan engkau? Setelah bertemu dan bergaul dengan suheng-mu, bagaimana pendapatmu? Tidakkah dia amat pantas menjadi calon suamimu? Katakanlah, apakah engkau dapat membalas cinta kasihnya?"
“Wah, aku masih bingung, Ibu. Aku memang suka sekali pada Suheng, suka dan kagum, dan terus terang saja, aku bangga mempunyai seorang Suheng seperti dia. Jarang pula ada pemuda sebaik Suheng! Akan tetapi cinta? Sama sekali hal itu tak pernah kupikirkan. Andai kata dia tidak memperkenalkan diri sebagai suheng-ku, mungkin saja hal itu akan kupikirkan karena selama ini aku pun belum pernah bergaul dengan seorang kawan pria seakrab dengan Suheng. Aku menganggap dia sebagai kakak, dan aku tidak tahu apakah aku dapat mencintanya sebagai seorang calon suami. Aku pun tidak yakin akan cintanya yang begitu tiba-tiba, apa lagi dilatar belakangi ketaatan serta hutang budi kepada Ayah dan Ibu!”
"Lalu bagaimana keputusanmu, Bi Lian? Maukah engkau menerima ikatan jodoh dengan suheng-mu?" tanya Siangkoan Ci Kang.
"Tidak, Ayah. Aku sama sekali belum memikirkan soal perjodohan."
"Bi Lian," kata ibunya. "Tahukah engkau berapa usiamu sekarang?"
"Kalau tidak salah dua puluh tuhun, ibu. Apa hubungannya usia dengan perjodohan?"
"Aihh, Bi Lian, usia dua puluh sudah terlalu terlambat bagi seorang gadis untuk berjodoh," kata ibunya.
Gadis itu tersenyum lebar. "Tidak, ibu. Bagiku perjodohan tidak ada hubungannya dengan usia. Yang ada hubungannya hanyalah cinta kasih. Dan terus terang saja, aku suka dan kagum kepada Suheng, akan tetapi aku tidak... atau belum mencintanya seperti seorang calon suami."
"Jadi jelasnya, engkau menolak, Bi Lian?" kata Siangkoan Ci Kang.
"Sebaiknya ikatan jodoh itu dibatalkan dahulu saja, Ayah. Jangan ada pengikatan. Kelak, bila aku yakin bahwa aku cinta kepada Suheng dan dia juga cinta kepadaku, mudah saja dilakukan ikatan kembali!"
"Bi Lian! Engkau mengecewakan hati ayah ibumu!" kata Siangkoan Ci Kang.
"Maafkan, Ayah dan Ibu. Apakah Ayah dan Ibu ingin memaksaku dan membikin hidupku selanjutnya kecewa dan merana? Senangkah Ayah dan Ibu jika aku menurut hanya untuk berbakti? Itu hanya akan menjadi pernikahan paksaan, Ayah dan Ibu. Suheng menikah karena ingin membalas budi, dan aku menikah hanya untuk berbakti. Pernikahan macam apa itu? Maukah Ayah dan Ibu begitu?"
Suami isteri itu saling pandang dan menghela napas panjang. Terus terang saja, mereka tidak menghendaki pernikahan anaknya seperti itu. "Lalu apa yang menjadi kehendakmu sekarang, Bi Lian? Apakah engkau sudah mempunyai seorang calon jodoh pilihan hatimu sendiri? Kalau benar demikian, katakanlah terus terang. Kami sudah ingin melihat engkau berumah tangga, mengingat usiamu sudah cukup dewasa," kata ibu gadis itu.
Sementara itu, sejak tadi Han Siong hanya menundukkan mukanya. Hatinya terasa perih dan perasaannya terpukul hebat oleh penolakan sumoi-nya. Dia dipaksa untuk berterus terang di hadapan suhu dan subo-nya, dan setelah dia berterus terang menyatakan cinta kasihnya dengan menekan rasa malunya, kini dengan terus terang pula Bi Lian menolak cintanya! Padahal dia sudah ditunangkan dengan sumoi-nya itu. Bagaimana pun juga dia adalah seorang laki-laki maka tentu saja dia merasa harga dirinya terbanting keras.
“Maaf, Suhu, Subo dan Sumoi. Teecu harap agar Suhu dan Subo tidak terlalu menekan Sumoi dan urusan perjodohan ini supaya dihabiskan sampai di sini saja. Sumoi memang benar. Perjodohan hanya dapat dilakukan kalau ada cinta kasih kedua pihak. Teecu yang tidak tahu diri, berani lancang mencinta Sumoi. Oleh karena itu, Suhu dan Subo, maafkan teecu dan sebaiknya jika Kwan-im Po-kiam ini teecu kembalikan kepada Suhu dan Subo, sebagai tanda bahwa tidak ada lagi ikatan perjodohan antara Sumoi dan teecu."
Dengan dua tangannya pemuda itu menyerahkan pedang pusaka itu kepada kedua orang gurunya. Siangkoan Ci Kang terpaksa menerima pedang itu dengan kedua tangan pula, menarik napas panjang lalu berkata kepada muridnya,
"Han Siong, engkaulah yang harus dapat memaafkan kami berdua. Mungkin kami terlalu terburu-buru mengikatkan tali perjodohan antara anak kami dan engkau, sama sekali tidak menyangka bahwa akan timbul penolakan dari pihak puteri kami. Engkau benar, memang sebaiknya kalau ikatan jodoh itu diputuskan. Apa bila Tuhan memang menghendaki kalian berjodoh, kelak tentu kalian akan dapat saling mencinta. Tetapi andai kata tidak, itu berarti bahwa memang Tuhan tidak menghendaki kalian menjadi suami isteri."
"Han Siong, keputusanmu ini bijaksana sekali dan engkau kembali sudah memperlihatkan kebaktianmu pada kami. Dengan kebijaksanaanmu ini maka engkau telah membebaskan guru-gurumu dari keadaan yang tidak enak. Terima kasih, muridku," kata subo-nya sambil tersenyum dengan hati terharu. Nyonya ini melihat betapa muridnya sangat budiman dan alangkah akan bahagia rasa hatinya kalau puterinya mau menjadi isteri Han Siong!
Bi Lian bertepuk tangan, wajahnya penuh senyum dan berseri gembira, kemudian dengan sikap manja dan lincah dia pun melangkah mendekati Han Siong lantas memberi hormat dengan merangkapkan kedua tangan di dadanya.
"Bagus, bagus sekali! Aku pun sangat berterima kasih kepadamu, Suheng! Nah, kau lihat, keputusanmu ini membuat engkau menjadi pahlawan dalam keluarga kami! Ayah dan Ibu terbebas dari perasaan tidak enak dan aku pun merasa bebas dari ikatan kebaktian yang kulanggar. Kini aku bisa menghadapi dan memandangmu dengan wajar sebagai seorang sumoi terhadap suheng-nya yang baik hati! Terima kasih, Suheng."
Biar pun wajah pemuda itu tidak memperlihatkan sesuatu, namun sesungguhnya hatinya bagai diremas-remas. Dia tidak menyalahkan suhu dan subo-nya, juga tidak menyalahkan sumoi-nya, melainkan menyesali diri sendiri. Memang nasib dirinya yang selalu buruk dan sial, sejak dia dilahirkan.
Tapi betapa pun juga, dalam hal ini dia merasa bahwa dia yang bersalah karena lemah. Mengapa dia begitu mudah jatuh cinta? Andai kata dia tidak jatuh cinta kepada Bi Lian, maka pembatalan ikatan jodoh ini tentu tidak terlampau menyakitkan hatinya.
Cinta kita bergelimang nafsu, karena itu selalu mendatangkan suka duka, puas kecewa, nikmat sengsara. Cinta kita menimbulkan ikatan, menciptakan belenggu. Cinta kita mirip jual beli di pasar. Kita membeli dengan pengorbanan diri, kesetiaan, penyerahan, untuk memperoleh yang lebih menguntungkan dan lebih menyenangkan, yaitu pengorbanannya, kesetiaannya, penyerahan dirinya, serta kesenangan-kesenangan lain yang kita nikmati darinya. Kalau semua itu tidak terdapat oleh kita sebagai imbalan, maka cinta kita pun menguap ke udara dan tidak berbekas lagi, bahkan kadang kala berubah menjadi benci.
Cinta kita selalu menyembunyikan pamrih demi kesenangan diri sendiri. Adakah cinta tanpa pamrih? Adakah cinta yang tidak mengandung pengajaran kepentingan diri sendiri? Adakah cinta yang tidak menimbulkan ikatan, yang memberi kebebasan? Dapatkah kita manusia memiliki cinta kasih seperti itu?
Han Siong menderita akibat dari pada cinta seperti itu. Dia mencinta, tentu saja dengan pamrih agar yang dicintanya itu pun membalas cintanya, menjadi miliknya. Ketika ternyata bahwa gadis yang dicintanya itu tidak membalas cintanya dan tak mau menjadi miliknya, maka hatinya pun kecewa, malu dan timbullah duka.
"Sumoi, harap jangan terlampau memujiku. Aku telah membuat Suhu, Subo, dan Sumoi rmerasa tidak enak saja. Semua salahku sendiri karena sesungguhnya akulah yang tidak tahu diri."
"Han Siong, jangan menyalahkan dirimu sendiri. Engkau hanya mentaati permintaan kami saja, dan kamilah yang sesungguhnya bersalah," kata Siangkoan Ci Kang.
"Jangan putus asa, Han Siong. Bagaimana pun juga Bi Lian hanya terkejut karena berita yang mendadak itu. Biarlah dia berpikir dan mempertimbangkan. Apa bila kalian memang berjodoh, kelak ikatan ini tentu akan dapat disambung kembali," kata Toan Hui Cu yang juga merasa kasihan sekali kepada murid tersayang itu.
"Sudahlah, Ayah dan Ibu, jangan mengulurkan harapan baru bagi Suheng agar kelak dia tidak akan menderita kekecewaan lagi. Suheng, kurasa sekarang ini belum waktunya bagi kita berdua untuk memikirkan soal perjodohan! Masih banyak tugas menunggu di depan. Lupakah Suheng akan nasib adik kandung Suheng itu? Apakah Suheng akan membiarkan saja si jahanam Ang-hong-cu itu?"
Mendengar ini Han Siong mengerutkan kedua alisnya, wajahnya berubah merah dan dia termenung. Terbayanglah segala peristiwa yang terjadi ketika dia bersama para pendekar lainnya menentang persekutuan Lam-hai Giam-lo.
Di dalam perjuangan para pendekar ketika menghadapi para pemberontak yang dipimpin persekutuan itu, muncul seorang tokoh yang juga membantu gerakan para pendekar, tapi tokoh itu ternyata adalah seorang tokoh hitam yang namanya sudah amat terkenal, yaitu Ang-hong-cu, si Kumbang Merah yang senang menghisap kembang. Seorang jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga) yang terkenal suka memperkosa serta merayu banyak wanita. Celakanya, di antara banyak wanita yang diperkosanya itu termasuk pula Pek Eng, adik kandungnya!
Pek Eng diperkosa orang. Tadinya semua tuduhan ditimpakan kepada Tang Hay, seorang pendekar muda yang selain sakti, pandai ilmu silat, juga amat kuat ilmu sihirnya. Bahkan terjadi bentrok antara dia dan Tang Hay dan kesalah pahaman ini tentu akan berlarut-larut kalau saja kemudian tidak diketahui bahwa pemerkosa Pek Eng itu sama sekali bukanlah Tang Hay, melainkan Ang-hong-cu, penjahat cabul yang namanya sudah amat terkenal di dunia kang-ouw itu.
Akan tetapi dia tidak segera mencari penjahat itu untuk membalaskan penghinaan yang menimpa diri adik kandungnya, melainkan menyibukkan diri untuk mengantarkan sumoi-nya kepada suhu dan subo-nya, tentu saja dengan pamrih tersembunyi bahwa dia akan dijodohkan dengan gadis yang menarik hatinya itu. Wajahnya seketika berseri ketika dia diingatkan oleh sumoi-nya tentang hal itu, dan dadanya penuh dengan getaran semangat.
"Engkau benar sekali, Sumoi! Aku harus mencari manusia jahat itu supaya dia tidak dapat merajalela dan mendatangkan bencana bagi banyak orang yang tidak berdosa." Dia lalu berlutut memberi hormat kepada suhu dan subo-nya.
”Suhu dan Subo, sesudah teecu berhasil membawa pulang Sumoi dan mengantarkannya kepada Suhu dan Subo, maka selesailah tugas teecu dan teecu mohon diperkenankan untuk pergi, melaksanakan tugas lain, tugas keluarga teecu sendiri."
Suami isteri itu merasa tidak enak sekali terhadap murid mereka, namun kepergian murid mereka itu justru akan dapat menghilangkan rasa tidak enak itu, maka keduanya memberi persetujuan tanpa banyak cakap lagi. Pemuda itu berpamit, memberi hormat lantas pergi meninggalkan kedua gurunya dan juga sumoi-nya, gadis yang dicintanya.
Setelah pemuda itu pergi, Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu mendengar lebih banyak dari puteri mereka tentang Ang-hong-cu Si Kumbang Merah, dan tentang adik kandung Han Siong yang menjadi salah satu di antara para wanita yang menjadi korban kejahatan jai-hwa-cat itu.
********************
Kota Shu-lu tidak begitu besar namun cukup ramai dan di kota ini bahkan terdapat sebuah rumah penginapan Hok-lai-koan yang memiliki kamar cukup banyak serta sebuah rumah makan. Karena rumah penginapan ini memiliki rumah makan sendiri, maka banyak orang luar kota kalau terpaksa menginap di kota Shu-lu lebih senang bermalam di sini dari pada di rumah penginapan lain. Kalau di Hok-lai-koan sudah penuh barulah pengunjung kota itu terpaksa mencari rumah penginapan lain. Hampir setiap hari rumah penginapan itu penuh tamu, dan dengan sendirinya rumah makan itu pun selalu ramai karena semua tamu yang bermalam di situ juga makan di rumah makan itu.
Pemilik rumah makan itu bernama Gui Lok, seorang pria berusia empat puluh lima tahun yang perutnya gendut dan orangnya ramah. Gui Lok ini ahli masak dan pandai bergaul, pandai menjilat dan mata duitan.
Isterinya yang pertama sudah meninggal dunia, meninggalkan seorang anak perempuan yang sekarang sudah berusia tujuh belas tahun, cantik manis dan ramah walau pun agak pendiam. Gui Lok telah menikah lagi, dengan seorang janda muda yang usianya baru dua puluh lima tahun, cantik dan genit. Ketiga orang ini semua turun tangan mengurus rumah penginapan dan rumah makan mereka.
Walau pun di kedua tempat itu sudah terdapat pegawai-pegawai yang bertugas, namun ayah ibu dan anak itu selalu saja membantu, kadang-kadang di rumah penginapan, akan tetapi lebih sering di rumah makan. Gui Lok sering membantu di dapur memberi petunjuk kepada para tukang masak, sedangkan isterinya dan puterinya membantu di luar.
Hal ini menambah semaraknya rumah makan itu karena keduanya merupakan dua orang wanita yang cantik manis. Isteri Gui Lok dengan kecantikan yang genit memikat, ada pun Gui Ai Ling dengan kecantikan seorang gadis yang baru saja mekar bagaikan setangkai bunga segar.
Pagi itu para tamu rumah penginapan sudah berada di rumah makan itu untuk sarapan pagi. Ada yang memesan bubur ayam, ada pula yang makan bakmi atau makan bakpao, bahkan mereka yang gembul pagi-pagi sudah memesan nasi dengan lauk pauknya!
Di antara para tamu itu nampak seorang pemuda duduk seorang diri di sudut luar rumah makan. Dia seorang pemuda berusia kurang lebih dua puluh dua tahun, mempunyai tubuh sedang namun tegap dengan dadanya yang bidang. Matanya bersinar-sinar mencorong, mulutnya tersenyum-senyum dan memang pemuda ini memiliki wajah cerah yang manis.
Hidungnya mancung dan pakaiannya sederhana, berwarna biru dengan garis-garis kuning. Pemuda yang juga menjadi tamu rumah penginapan itu agaknya sehabis sarapan hendak segera pergi ke luar kota karena di atas mejanya terdapat sebuah caping lebar pelindung panas dan hujan.
Nampaknya dia seorang pemuda sederhana biasa saja. Terdapat ribuan orang pemuda seperti dia dan kehadirannya di sana sama sekali tidak menarik perhatian orang, kecuali isteri dan puteri Gui Lok karena pemuda itu memang dapat dibilang tampan dan sikapnya menarik.
Akan tetapi, siapa pun yang telah mengenal pemuda ini pasti akan terkejut sekali melihat kehadirannya karena pemuda ini sebenarnya sama sekali bukan orang muda biasa saja, melainkan seorang pemuda gemblengan, murid dari dua orang di antara Delapan Dewa, kemudian digembleng lagi dalam hal ilmu sihir oleh mendiang Pek Mau San-jin dan masih beruntung pula dapat menjadi murid kakek Song Lo-jin yang aneh dan sakti. Pemuda ini bernama Tang Hay, atau lebih dikenal dengan sebutan Hay Hay saja.
Seperti halnya pendekar Pek Han Siong, semenjak kecil kehidupan Hay Hay juga diliputi penuh rahasia, menjadi rebutan dan sering terancam bahaya maut. Bahkan kehidupannya pada masa dia masih bayi erat hubungannya dengan Pek Han Siong.
Ibunya sudah tewas sejak dia masih bayi dan dia bahkan tidak tahu siapa nama ibunya. Ibunya adalah seorang gadis yang menjadi korban jai-hwa-cat yang berjuluk Ang-hong-cu, dan Si Kumbang Merah itu meninggalkan ibunya setelah mengandung. Ibunya membunuh diri di laut bersamanya, akan tetapi dia sendiri diselamatkan oleh mendiang kakek Pek Khun, yaitu kakek buyut dari Pek Han Siong.
Dia kemudian diaku anak oleh Pek Kong, ayah Pek Han Siong. Dia dijadikan pengganti Pek Han Siong yang dilarikan secara diam-diam karena anak itu dianggap Sin-tong dan diperebutkan oleh para pendeta Lama di Tibet karena dianggap sebagai calon guru besar di Tibet!
Pada saat dia masih bayi dan menjadi anak keluarga Pek, pengganti Pek Han Siong, dia diculik oleh suami isteri Lam-hai Siang-mo! Ia kemudian diambil anak oleh sepasang iblis itu dan namanya menjadi Siangkoan Hay, karena Lam-hai Siang-mo itu terdiri dari suami Siangkoan Leng dan isteri Ma Kim Li, dua orang datuk sesat yang amat jahat.
Dalam usia tujuh tahun, dia yang masih dianggap sebagai sin-tong kembali diperebutkan lagi di antara orang-orang dunia kang-ouw sampai akhirnya dia mendengar bahwa dirinya bukanlah putera kandung Lam-hai Siang-mo! Dia lalu melarikan diri dan dikejar-kejar oleh para kang-ouw hingga akhirnya dia diselamatkan oleh See-thian Lama atau Gobi San-jin, seorang di antara Delapan Dewa, lalu menjadi muridnya. Selama beberapa tahun sempat pula dia menjadi murid Ciu-sian Sin-kai, juga seorang di antara Delapan Dewa.
Demikianlah, berturut-turut dia menjadi murid dari orang-orang sakti sehingga sekarang Hay Hay menjadi seorang pemuda gemblengan yang memiliki kesaktian. Bukan saja ilmu silatnya tinggi, akan tetapi juga dia memiliki ilmu sihir yang cukup hebat!
Pemuda ini memiliki watak periang. Suka bergembira dan menggoda orang, juga pandai sekali merayu wanita dengan kata-kata manis sehingga para wanita mudah sekali jatuh cinta atau setidaknya tertarik padanya. Akan tetapi, biar pun hal ini agaknya diwarisinya dari ayahnya yang tidak pernah dijumpainya, namun dia bukan seorang perusak wanita, bukan seorang pria cabul yang suka memperkosa atau mempermainkan wanita. Biar pun karena ulahnya itu dia dijuluki Pendekar Mata Keranjang, namun sifat mata keranjangnya itu hanya di kulit saja, hanya di luar karena dia selalu menjaga agar jangan sampai dia mengganggu atau berjinah dengan wanita.
Pada waktu para pendekar menentang pemberontakan yang dipimpin oleh persekutuan Lam-hai Giam-lo, Hay Hay juga turut membantu para pendekar, bahkan dia terlibat secara langsung. Dia berjasa besar dalam perjuangan itu, akan tetapi karena sifatnya yang mata keranjang, maka dialah yang dituduh ketika ada beberapa orang gadis menjadi korban perkosaan Ang-hong-cu! Dan di tempat itu pula baru Hay Hay mendapat kenyataan bahwa Ang-hong-cu, penjahat keji perusak wanita itu, tak lain adalah ayah kandungnya sendiri!
Dia lalu mengambil keputusan untuk menebus dosa ayahnya itu, bukan hanya dengan perbuatan-perbuatan baik sebagai seorang pendekar, namun terutama sekali dia harus dapat menangkap ayah kandungnya sendiri supaya orang itu mempertanggung jawabkan semua dosanya. Dia harus menangkap Si Kumbang Merah!
Demikianlah riwayat singkat dari Tang Hay atau Hay Hay yang dikenal sebagai Pendekar Mata Keranjang! Padahal, sampai dia berusia dua puluh dua tahun itu, dia masih seorang perjaka tulen! Dan pada pagi hari itu dia duduk di dalam rumah makan karena malam tadi dia bermalam di rumah penginapan Hok-lai-koan.
Sekarang Hay Hay enak-enak duduk seorang diri, menanti datangnya pesanannya, yaitu bubur ayam dan air teh panas. Dia tidak tahu betapa sejak dia datang, dia sudah menarik perhatian dua orang wanita cantik, ibu tiri dan anak pemilik rumah makan itu.
Pada saat dia melamun, dia mendengar suara langkah kaki halus menghampirinya. Tentu saja suara ini amat halus dan lirih, tidak terdengar di antara suara bising para tamu, akan tetapi cukup jelas bagi telinga Hay Hay yang amat terlatih. Dia mengira pesanannya yang datang, maka dia menoleh dan seketika wajahnya berseri dan matanya bersinar-sinar.
Seorang gadis berusia tujuh belas tahun yang berwajah manis kini sudah berdiri di dekat mejanya, memandang kepadanya dengan senyum yang manisnya mengalahkan madu! Dengan ramah sekali gadis itu bertanya tanpa malu-malu kepadanya,
"Apakah kongcu (tuan muda) belum dilayani? Apakah kongcu sudah memesan makanan dan minuman?"
Hay Hay tertegun. Sukar baginya untuk menduga bahwa gadis manis ini adalah seorang di antara para pelayan rumah makan itu. Gadis semanis ini? Dia pun mengangguk sambil tersenyum, "Sudah, aku sudah pesan kepada seorang pelayan tadi. Bubur dan air teh."
"Kalau begitu harap tunggu sebentar, kongcu. Maafkanlah jika pelayanannya kurang cepat karena banyaknya tamu.”
"Tidak mengapa, nona. Meski pun harus menunggu setahun di sini, kalau ada nona yang menemani bicara, sungguh merupakan suatu kebahagiaan besar bagiku. Aduhh, betapa sayangnya...!"
Gadis Itu memandang dengan kedua pipi berubah merah. Meski pun pemuda ganteng ini memujinya, akan tetapi pujian itu tidak kasar dan kurang ajar, berbeda dengan para tamu pria lain yang biasanya suka mengeluarkan kata-kata kotor, tidak bersusila dan bahkan kurang ajar kepadanya.
"Kongcu, apanya yang sayang?" tanyanya, ingin tahu apa yang dimaksudkan pemuda ini.
"Ketika tadi aku melihat engkau berdiri seanggun itu, aku pun mengira sedang bermimpi bertemu bidadari! Ketika nona bicara, kusangka seorang puteri bangsawan yang menjadi tamu restoran ini. Sungguh sayang gadis secantik jelita nona ini, yang anggun, manis dan elok, ternyata seorang pelayan. Di sini tempat umum maka nona tentu akan selalu digoda orang. Mengapa nona secantik ini tidak tinggal saja di rumah dan melakukan pekerjaan lain?"
Wajah itu kini berubah semakin merah, akan tetapi bukan karena marah. Kecantikannnya dipuji setinggi langit, disamakan dengan bidadari, disangka puteri bangsawan! Hati gadis mana yang tak akan berdebar penuh rasa bangga kalau dipuji-puji seperti ini oleh seorang pria yang ganteng? Apa lagi pujian itu sama sekali tidak kurang ajar, bahkan mengandung nasehat.
"Aih, kongcu ini bisa saja memuji orang!" katanya sambil menggigit bibirnya dan matanya mengerling malu-malu akan tetapi hatinya senang bukan main. "Sebetulnya aku bukanlah pelayan rumah makan ini, kongcu. Ayahku pemilik rumah penginapan dan rumah makan ini, aku hanya ikut membantu para pekerja di sini."
"Ah, kalau begitu aku bersikap kurang hormat dan telah lancang bicara!" Hay Hay segera bangkit berdiri dan memberi hormat kepada gadis itu. "Silakan duduk, nona. Sungguh aku merasa beruntung sekali dapat berjumpa dan berkenalan denganmu. Namaku Hay Hay, dan nona...?"
"Ai Ling..., mari ke sini! Ada tamu datang, sambutlah!" Tiba-tiba terdengar suara seorang wanita lain.
"Hemm, namamu Ai Ling, nona? Nama yang sangat manis, semanis orangnya," kata Hay Hay.
Akan tetapi gadis itu sudah menjauhinya sambil berseru. “Baik, ibu!”
Dan dia pun cepat pergi menuju ke pintu masuk untuk menyambut tamu-tamu yang baru datang. Sementara itu Hay Hay kembali menjadi bengong sesudah melihat orang yang datang membawa baki terisi bubur dan minuman teh yang dipesannya, yaitu wanita yang tadi menegur Ai Ling, dan yang disebut ibu oleh gadis itu.
Ibunya gadis itu? Mana mungkin? Wanita yang datang dengan lenggang yang aduhai ini paling banyak berusia dua puluh lima tahun! Seorang wanita yang sudah matang, dengan tubuh denok montok dan penuh lekuk lengkung yang menggairahkan, wajahnya putih dan cantik manis, hanya sayang bedak dan gincu yang dipakainya agak terlalu tebal, dengan pakaian yang indah dan mahal, rambut digelung rapi dengan hiasan menarik. Dengan lenggang yang lemah gemulai seperti penari ahli, wanita ini datang menghampirinya dan tersenyum manis kepada Hay Hay.
“Maaf kalau agak lambat, kongcu. Inilah pesananmu. Bubur ayam dan minuman air teh, bukan?” katanya sambil meletakkan hidangan itu di atas meja.
Dia berdiri dekat sekali dengan Hay Hay sehingga pemuda ini dapat mencium keharuman semerbak keluar dari pakaian wanita ini. Dia masih bengong mengamati wanita ini, tetapi akhirnya dia menarik napas panjang dan berkata,
"Terima kasih, akan tetapi... tidak salahkah pendengaranku? Tadi Ai Ling menyebut ibu..., tidak kelirukah aku?"
Wanita itu adalah isteri Gui Lok bernama Kim Hwa. Dengan sikap genit dia mengerling kepada pemuda ganteng yang semenjak tadi memang amat menarik perhatiannya itu, lalu tersenyum cerah sehingga nampak kilatan giginya yang putih.
"Engkau tidak keliru, kongcu. Aku adalah Kim Hwa, ibu tiri dari Ai Ling. Kenapa kongcu meragukan?"
Hay Hay menarik napas panjang lagi. "Aihhh, siapa yang tidak ragu-ragu? Engkau masih begini muda, cantik jelita lagi, pantasnya menjadi kakak dari Ai Ling, jika kalian enci adik barulah pantas. Ternyata engkau ibu tirinya? Sungguh, kalian adalah dua orang wanita yang sama cantik manisnya, pantas saja rumah makan ini selalu penuh. Kalian bagaikan dua tangkai bunga mawar indah yang menghiasi tempat ini sehingga banyak kumbang beterbangan dan berkeliaran di sini...!"
Senyum di wajah yang cantik genit itu makin cerah dan sepasang mata yang menantang itu makin berseri, "Ihhh, kongcu. Rayuanmu maut! Engkau sendiri seorang pemuda yang amat menarik hati. Siapakah namamu, orang muda yang tampan?"
"Namaku Hay Hay...”
“Hay Hay, di kamar nomor berapa?"
"Kamar bagian belakang, nomor tujuh."
"Kongcu, malam nanti lewat jam dua belas, kalau babi itu sudah pulas, aku ingin datang berkunjung ke kamarmu...," berkata demikian, wanita itu lalu pergi meninggalkan mejanya sambil membawa baki kosong, melempar senyum dan kerling tajam yang membuat Hay Hay bengong di atas bangkunya!
Bukan main, pikirnya. Nyonya muda itu dengan mudah saja menjanjikan permainan kotor dengannya! Tak salah lagi, tentu yang dimaksudkan babi itu adalah suaminya, atau ayah Ai Ling!
Pada saat itu pula dari pintu belakang yang menembus ke dapur justru muncul seorang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh lima tahun, seorang pria yang bertubuh gendut sekali, dan yang melihat sikapnya tentu dia adalah majikan rumah makan itu! Benar saja, pria gendut itu menggapai kepada Kim Hwa dan wanita genit itu segera menghampirinya dan mereka bicara bisik-bisik, keduanya memandang ke arah tamu baru yang datang dan disambut oleh Ai Ling.
Melihat ini, Hay Hay juga langsung menoleh dan memandang ke arah gadis manis yang menyambut tamu baru itu. Tamu itu seorang lelaki berusia lima puluh tahun, tinggi besar laksana raksasa dengan pakaian mewah. Seorang hartawan besar, akan tetapi wajahnya menyeramkan dan menakutkan karena kulit muka yang hitam itu penuh dengan bopeng, yaitu cacat bekas penyakit cacar yang membuat kulit mukanya kasar dan kelihatan kotor.
Matanya agak besar sebelah, hidungnya amat besar dan mulutnya juga lebar. Akan tetapi lagaknya jelas menunjukkan bahwa dia adalah orang kaya dan royal, lagak khas seorang hartawan yang yakin akan ‘harga dirinya’ yang diukur dengan kepadatan kantungnya.
Di belakang hartawan raksasa ini kelihatan tiga orang yang juga tidak menyembunyikan lagak mereka sebagai tukang-tukang pukul atau pengawal dari si hartawan tinggi besar. Dengan lengan baju disingsingkan, pinggang dihias golok, dada dibusungkan dan kepala ditegakkan tinggi, langkah satu-satu laksana harimau berjalan, tiga orang itu seakan-akan memasang kedudukan mereka di atas dada agar semua orang tahu.
Dengan sikap manis, seperti kalau menerima tamu rumah makan itu, Ai Ling menyambut empat orang tamu ini, akan tetapi sekali ini senyum yang menghias wajah yang manis itu agak dibuat-buat. Di dalam hatinya, gadis ini tidak suka kepada tamu hartawan itu karena hartawan Coa ini sudah terkenal sekali sebagai seorang mata keranjang yang sering kali mempergunakan harta kekayaannya untuk memaksakan kehendaknya.
Selain sebagai seorang hartawan, Coa Wan-gwe ini juga seorang yang dianggap sebagai majikan dari para penjahat yang ada di sekitar kota Shu-lu. Dengan hartanya dan dengan kekuasaannya karena dia pandai mendekati para pejabat, juga dengan banyaknya tukang pukul yang menjadi pengawalnya, maka dia ditakuti oleh semua orang. Bahkan orang ini menguasai pula semua tempat pelesir di kota Shu-lu dan kota-kota lain yang berdekatan dengan kota raja.
Di samping banyaknya orang yang merasa takut dan diam-diam membencinya, banyak pula orang-orang yang ingin memperoleh keuntungan dari hartawan ini, dan orang-orang seperti ini tidak segan-segan untuk menjilat dan mencari muka. Kalau Gui Lok sendiri dan puterinya, Ai Ling, diam-diam merasa tidak suka bahkan membenci dan takut kepada Coa Wan-gwe, sebaliknya Kim Hwa selalu bersikap manis terhadap hartawan itu. Dia maklum akan kekuasaan dan kekayaan hartawan ini, bahkan sadar pula bahwa apa bila keluarga suaminya tidak membikin senang hati hartawan ini, maka perusahaan suaminya terancam kebangkrutan.
Kalau hartawan itu sampai memusuhi mereka, maka tidak sukar baginya untuk memaksa suaminya agar menutup rumah penginapan dan rumah makannya, dengan menggunakan kekerasan dan siapakah yang akan berani membela suaminya? Semua pembesar di kota Shu-lu, dari yang paling rendah sampai yang paling tinggi, semuanya telah berada dalam genggaman tangan Coa Wan-gwe, bagaikan boneka-boneka yang dapat menari menurut kehendak hartawan itu.
Ketika makan di rumah makan mereka tiga hari yang lalu, ketika dilayani oleh Kim Hwa, hartawan itu sudah membisikkan hasrat hatinya untuk ‘memetik’ bunga rumah makan itu, yaitu Ai Ling! Mendengar hal ini tentu saja hati Kim Hwa diliputi rasa takut. Namun secara diam-diam dia juga merasa girang karena semenjak menjadi isteri Gui Lok, sebetulnya dia membenci Ai Ling.
Maka dia lalu membujuk suaminya supaya menyerahkan Ai Ling kepada Coa Wan-gwe, untuk menjadi selir yang entah ke berapa kalinya. Gui Lok tidak setuju dan marah-marah kepada isterinya, akan tetapi dia pun merasa khawatir sekali dan tidak berani menentang kehendak Coa Wan-gwe karena dia tahu betapa bahayanya menentang kehendak orang itu.
Ketika pada pagi hari itu sang hartawan muncul bersama tiga orang tukang pukulnya, Gui Lok tak berani keluar dari dapur. Isterinya cepat menyuruh Ai Ling menyambut tamu baru itu, kemudian dia pun cepat memasuki dapur dan setengah menyeret suaminya keluar.
"Lihat, alangkah besar rasa cinta Coa Wan-gwe kepada anak kita," bisik Kim Hwa kepada suaminya yang memandang dengan muka agak pucat. "Lihatlah sinar matanya kepada Ai Ling. Aih, kalau engkau memiliki menantu dia, maka kedudukanmu tentu akan meningkat tinggi dan di Shu-lu ini tidak ada seorang pun yang berani kepadamu."
Sementara itu, Ai Ling sudah menyambut tamu-tamu itu dengan sikap manis dibuat-buat, "Selamat pagi, lo-ya (tuan besar), dan silakan duduk di sudut sana. Masih ada beberapa meja kosong untuk lo-ya sekalian," kata Ai Ling dengan senyum buatan.
Coa Wan-gwe bengong memandang gadis yang manis itu. Seperti setangkai bunga yang sedang mekar semerbak, pikirnya. Ia mengangguk-angguk, lalu berkata, "Ai Ling, engkau sediakan bakmi dan panggang babi, juga arak yang cukup untuk kami, dan engkau sendiri harus melayani aku pagi ini. Jangan khawatir, nanti akan kuberi hadiah yang banyak, Ai Ling, manis....!" Tiga orang tukang pukulnya tertawa-tawa dan Ai Ling tersipu.
"Maaf, lo-ya, saya masih memiliki banyak pekerjaan. Akan tetapi pesan lo-ya akan saya sampaikan. Silakan duduk!" Gadis itu lalu setengah berlari masuk ke dalam.
Sejak tadi Hay Hay menyaksikan semua yang terjadi itu. Telinganya yang sangat terlatih itu dapat menangkap bisikan hartawan tinggi besar muka bopeng ketika mengajak Ai Ling untuk melayaninya dan diam-diam dia merasa tidak senang kepada orang tinggi besar itu. Sikapnya begitu pongah dan congkak, seperti telah biasa memerintah, dan sinar matanya begitu penuh nafsu seolah-olah menggerayangi tubuh Ai Ling dari atas ke bawah. Orang ini berbahaya sekali, pikirnya dan dia mengkhawatirkan keselamatan Ai Ling.
Dia melihat betapa Ai Ling terlibat ribut-ribut mulut dengan ayah dan ibu tirinya, biar pun mereka hanya berbisik-bisik. Nampak olehnya di balik pintu ke dapur itu betapa Ai Ling menggelengkan kepalanya keras-keras seperti menolak, sedangkan Kim Hwa memegang pundaknya dan seperti membujuk-bujuk, sementara Gui Lok yang gendut seperti babi itu hanya menggeleng-gelengkan kepala dengan bingung dan khawatir .
Kini nampak Kim Hwa yang mengantar seorang pelayan membawakan pesanan makanan dan minuman untuk hartawan itu. Sesudah mengatur hidangan di atas meja dan pelayan itu pergi, Kim Hwa berbisik kepada hartawan itu, suaranya manis dibuat-buat.
"Harap Coa tai-ya sudi memaafkan Ai Ling. Dasar anak pemalu dan dia banyak pekerjaan di dalam, maka tidak dapat melayani tai-ya. Biarlah saya yang melayani di sini." Dengan sikap manis sekali dia kemudian menuangkan arak ke dalam cawan untuk hartawan itu, sedangkan ketiga orang tukang pukul itu memandang nyonya muda itu dengan senyum-senyum senang.
Akan tetapi hartawan itu cemberut. "Hemm, apakah engkau belum menyampaikan hasrat hatiku kepadanya dan kepada suamimu?"
"Sudah, tai-ya."
"Dan suamimu tidak setuju?" Sepasang mata hartawan itu memandang penuh ancaman.
"Ahh, tidak, tidak! Mana mungkin dia berani? Dia menyerahkan kepada saya dan kepada puterinya. Percayalah, tai-ya pasti akan mendapatkan apa yang tai-ya inginkan itu," kata Kim Hwa dengan sikap manis.
Semenjak tadi Hay Hay terus mendengarkan. Kebetulan sekali meja yang dihadapi oleh rombongan hartawan itu tidak begitu jauh dari tempat duduknya sehingga pendengarannya yang sangat tajam dapat menangkap semua percakapan itu walau pun dilakukan dengan berbisik-bisik dan lirih.
"Hemmm, nyonya Gui, dengar baik-baik. Aku sudah tidak sabar lagi. Malam ini aku akan bermalam di rumah penginapan suamimu. Sediakan kamar yang terbaik, dan malam nanti aku benar-benar mengharapkan dia berada di dalam kamarku! Apa bila perintahku sekali ini tidak ditaati, kelak jangan menyesal kalau keluarga dan perusahaan suamimu menjadi berantakan!"
Wajah wanita itu nampak amat ketakutan, "Baik, tai-ya, jangan khawatir...,” lalu suaranya menjadi semakin lirih, "Bagaimana pun juga, saya akan berusaha sekuatnya agar dapat mendorongnya ke kamar tai-ya. Akan tetapi karena dia sangat pemalu, harap tai-ya suka menunggu sampai lewat tengah malam, kalau perlu saya akan memaksanya "
Hartawan tinggi besar itu tersenyum lebar dan menjilati bibirnya, kemudian mengeluarkan sebuah bungkusan dari dalam saku bajunya. "Tidak perlu dengan paksaan, kau gunakan ini. Campurkan dalam makanan atau minumannya dan dia akan menjadi mabok dan tidak akan melawan lagi."
Kim Hwa menerima bungkusan itu, lalu melayani hartawan Coa beserta tiga orang tukang pukulnya makan minum hingga mereka menjadi setengah mabok. Sementara itu Hay Hay sudah meninggalkan rumah makan. Hatinya panas sekali.