Kini dia cepat-cepat menghampiri Han Siong yang sudah tak mampu bergerak, kemudian menyusulkan beberapa tekanan pada jalan darah Han Siong sehingga Han Siong benar-benar tidak mampu berkutik lagi.
Hay Hay lalu mengamati wajah yang telentang itu. Memang wajah Han Siong, akan tetapi sinar mata itu! Sungguh beringas dan penuh kemarahan.
"Keparat, kau curang! Kubunuh kau!" Han Siong menggerutu dan matanya berkilat marah.
Hay Hay mencoba untuk mempergunakan kekuatan sihirnya. Dengan pandang matanya yang mencorong dia menatap wajah itu, menentang pandang matanya, lantas terdengar suaranya yang dalam dan menggetar penuh kekuatan sihir. "Han Siong, sadarlah. Engkau Pek Han Siong... dan aku adalah Hay Hay! Sadarlah dan lepaskan pengaruh kekuasaan dunia kegelapan...!”
Akan tetapi hasilnya sia-sia belaka. Sepasang mata itu masih berkilat marah dan setelah beberapa kali mengulang usahanya tanpa hasil, Hay Hay duduk termenung, menjadi agak bingung. Kalau saja dia tahu di mana adanya tiga orang pendeta Lama itu sehingga dapat menggempur mereka, tentu Han Siong akan dapat dibebaskan dari permainan sihir hitam mereka.
Kemudian dia pun teringat. Batu giok mustika yang dimilikinya! Beberapa tahun yang lalu, karena merasa berhutang budi kepadanya, seorang jaksa, yaitu Kwan Taijin (Pembesar Kwan) telah menghadiahkan pusakanya yang sangat berharga, yaitu sebuah giok mustika yang berwarna belang merah dan hijau. Jaksa dari kota Siang-tan itu menghadiahkan batu giok itu kepadanya dan sampai sekarang masih tergantung di lehernya.
Batu giok mustika itu merupakan obat pencegah racun yang amat mujarab. Segala jenis racun dapat dihisap dan dilenyapkan dari tubuh oleh batu giok mustika itu. Dan menurut penuturan jaksa itu, batu giok itu masih mempunyai khasiat lain, yaitu memiliki kekuatan mukjijat untuk menolak kekuatan setan. Dia belum pernah membuktikannya, akan tetapi sekarang, apa salahnya kalau dia mencobanya?
Dia segera melepaskan tali yang mengikat mustika batu giok itu dari lehernya. Kalau dia mempergunakan totokan pada bagian kepala yang bawah di atas tengkuk dari Han Siong, yang menjadi pusat penerimaan segala yang datangnya dari luar, tentu hubungan dengan kekuatan sihir hitam itu akan terputus. Namun hal itu berbahaya sekali karena Han Siong akan menjadi terputus sama sekali dengan hal-hal di luar dirinya, dan kalau terlalu lama dapat membuat pemuda itu menjadi hilang ingatan dan hilang pula daya pikirnya.
Akan tetapi, jika batu giok ini memang mempunyai kekuatan ajaib yang halus, siapa tahu mampu membebaskan Han Siong dari pengaruh sihir, atau setidaknya dapat mengurangi kekuatan sihir itu. Dengan pikiran demikian Hay Hay segera memutuskan untuk mencoba keampuhan batu giok mustika miliknya.
Hay Hay lalu menggosok-gosokkan batu giok itu pada seluruh kepala, wajah serta leher, kemudian ditempelkan hingga lama pada tengkuk sambil terus memperhatikan wajah Han Siong. Tidak lama kemudian Hay Hay melihat perubahan pada pandang mata itu. Kalau tadi, ketika dia mulai dengan penggosokan batu giok, sepasang mata itu nampak berkilat marah, kini kilatan kemarahan itu semakin menipis dan akhirnya memudar. Tiba-tiba Han Siong membelalakkan matanya dengan pandang mata heran.
"Heiii! Hay Hay, apa yang kau lakukan ini? Ihhh... aku tertotok!" serunya ketika dia gagal menggerakkan kaki tangannya.
"Han Siong, dengarkan baik-baik dengan hati tenang dan sabar. Engkau baru saja sadar dari pengaruh sihir hitam yang sangat jahat. Tadi engkau menyerangku dan kita berkelahi, untung dengan akal aku dapat menotokmu roboh. Sekarang coba kau kerahkan kekuatan batinmu untuk merasakan datangnya serangan pengaruh sihir itu. Cepat...!”
Hay Hay mengangkat batu gioknya dan Han Siong yang cerdik segera mentaati perintah Hay Hay. Benar saja, begitu batu giok di angkat, dia merasakan getaran aneh, akan tetapi sekarang dia mampu menahannya dengan kekuatan sihirnya sendiri.
“Hay Hay, ada getaran aneh... begitu kuat untuk menguasai diriku. Ah, ada dorongan agar aku memusuhimu, membunuhmu...”
“Bagus, engkau sudah dapat merasakannya dan dapat menguasainya. Dengar baik-baik, Han Siong. Engkau pertahankan terus dengan kekuatanmu dan peganglah kuat-kuat batu ini, tempelkan di atas tengkukmu, nah, di sini, dan pengaruh itu akan menipis. Akan tetapi jangan ditolak sama sekali, melainkan ikuti saja...”
“Kau gila? Mengikuti pengaruh itu?”
“Maksudku, ikuti saja kalau pengaruh itu memanggilmu karena hal itu akan membawa kita kepada yang melepaskan sihir atas dirimu. Aku akan membayangi dari belakang dan kita bersama akan menumpas mereka!”
“Mereka? Kau maksudkan... para pendeta Lama itu?”
"Siapa lagi? Mereka telah mengambil darahmu untuk menyihirmu. Ingat, jangan kau turun tangan menyerang kalau belum kuberi tanda. Sebaiknya urusanmu dengan Dalai Lama ini segera diselesaikan agar jangan sampai engkau terganggu lagi!"
"Maksudmu bagaimana, Hay Hay...?" Han Siong bertanya bingung karena dia masih saja merasakan tarikan yang kuat dari pengaruh sihir hitam itu.
"Jangan banyak bicara tetapi dengarkan baik-baik, Han Siong. Pendeta Lama itu sedang mempengaruhimu agar bermusuhan dengan aku, dan kalau tidak keliru dugaanku, hal itu bertujuan agar dengan mudah engkau akan dapat mereka bawa ke Tibet. Bukankah dari dahulu, sejak kau bayi, mereka itu memang hendak membawamu ke sana? Sekaranglah saatnya yang baik. Engkau telah tahu bahwa engkau disihir, akan tetapi dengan batu giok itu engkau dapat menolak sihir mereka. Engkau pura-pura dalam pengaruh sihir mereka dan bila mereka mengajakmu ke Tibet, kau ikuti saja. Aku membayangimu dari belakang dan kita bersama akan melihat apa yang sesungguhnya terjadi di sana. Maukah engkau menempuh petualangan baru di Tibet bersamaku? Tentu akan penuh bahaya dan hebat sekali. Maukah engkau?"
Hay Hay tidak menyebut tentang Ci Goat karena kalau sampai pemuda itu menyadari apa yang sudah diperbuatnya dengan Ci Goat maka hal itu akan menjadi pukulan batin yang sangat berat dan akan melemahkannya sehingga pengaruh sihir itu akan lebih mudah lagi menguasainya.
“Baik, aku mengerti. Ahh, dorongan itu makin kuat, menyuruh aku membawa pakaianku dan pergi dari rumah itu...”
"Bagus, sekarang kubebaskan engkau dan ikuti saja, Han Siong. Ingat, segera gunakan batu kemala (giok) itu kalau sampai dorongan itu terlalu kuat. Engkau harus selalu dapat menguasai dirimu, dan hanya berpura-pura saja taat kepada pengaruh sihir mereka."
Tanpa ragu-ragu lagi Hay Hay lalu membebaskan totokan pada tubuh Han Siong. Pemuda ini dapat bergerak kembali dan Hay Hay mengangguk-angguk.
"Nah, turutilah perintah melalui pengaruh sihir itu Han Siong."
Keduanya lalu kembali ke rumah keluarga Ouw, seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu. Kini di dalam telinga Han Siong terdengar jelas perintah bahwa dia harus membunuh Hay Hay, atau menjauhkan diri dan setelah mengambil pakaian harus meninggalkan rumah itu tanpa setahu Hay Hay. Tanpa setahu Hay Hay? Akan tetapi Han Siong segera tersenyum. Hay Hay akan mengetahuinya, yang tidak tahu adalah mereka yang menyihirnya!
Kedatangan mereka disambut oleh Ouw Lok Khi yang terlihat bingung dan gelisah sekali. Betapa terkejut rasa hati Hay Hay ketika mendengar dari tuan rumah itu bahwa Ouw Ci Goat telah pergi dari dalam kamarnya! Ia mengamati wajah Han Siong yang mengerutkan alis dan kelihatan terheran-heran. Agaknya Han Siong belum menyadari apa yang sudah dia lakukan tadi malam, atau menganggapnya sebagai mimpi saja.
"Kapan perginya, Paman Ouw? Dan ke mana?"
"Entah ke mana dan kapan, akan tetapi pagi-pagi sekali tadi dia sudah tidak ada di dalam kamarnya, dan dia membawa pedangnya. Tadinya, melihat bahwa ji-wi taihiap (pendekar besar berdua) juga tidak berada di kamar, hati kami merasa lega dan mengira bahwa dia pergi bersama ji-wi (kalian). Akan tetapi sekarang ji-wi sudah pulang dan dia... ahhh, ke mana perginya anakku?"
"Hemm, jangan khawatir, Paman. Kami berdua akan segera pergi mencarinya!" kata Hay Hay.
Wajah Ouw Lok Khi kelihatan lega. "Ahh, terima kasih. Kalau ji-wi yang pergi mencarinya maka hatiku tidak akan khawatir lagi."
Han Siong lalu mengambil pakaiannya, demikian juga Hay Hay dan tidak lama kemudian, sesudah matahari naik agak tinggi, Han Siong memberi isyarat kepada Hay Hay bahwa pengaruh sihir itu mulai memerintahkan agar dia pergi dari situ!
Mereka lalu pergi meninggalkan rumah Ouw Lok Khi. Setelah tiba di luar kota, Hay Hay memberi isyarat agar Han Siong terus mengikuti arah yang ditunjukkan dalam pengaruh sihir, sedangkan dia sendiri mengikuti atau membayangi dari jauh.
Ke mana perginya Ci Goat? Tadi malam dia sudah mengalami hal yang sama sekali tak pernah disangkanya. Ketika dia mendengar dari Hay Hay bahwa Pek Han Siong, pemuda yang dicintanya itu, tidak mungkin dapat menyambut dan membalas cintanya, dia merasa berduka walau pun duka itu sudah banyak berkurang karena jasa Hay Hay yang pandai menghiburnya dan menyadarkannya. Akan tetapi bagamana pun juga malam itu dia tidak dapat tidur dan lebih banyak melamun sambil berbaring.
Dia belum tidur ketika ada ketukan daun jendela, dan dapat dibayangkan betapa gembira dan tegang rasa hatinya ketika mendengar bahwa yang mengetuk daun jendela kamarnya adalah Pek Han Siong dan pemuda itu minta dibukakan jendela karena ingin bicara!
Ketegangan dan kegembiraan itu berubah menjadi lautan kebahagian setelah pemuda itu melompat ke dalam kamarnya, menutupkan jendela dan langsung merangkulnya! Hampir dia tidak dapat mempercayai apa yang didengar, dilihat dan dirasakannya, disangkanya dia sedang dalam mimpi.
Akan tetapi, karena pada saat itu dia sedang kehausan kasih sayang, sedang patah hati setelah tadi mendengar bahwa orang yang dicintanya tidak dapat menerima cintanya, kini melihat betapa orang yang dicintanya itu datang-datang merangkul dan menciuminya, Ci Goat kehilangan semua keseimbangan hatinya. Dia hanyut dan terseret. Dia tidak peduli apa pun yang akan menjadi akibatnya. Dia menyerah sebulatnya, penuh kepasrahan dan dengan suka rela, bahkan menyambut dengan api gairah yang menyala-nyala.
Dia dan kekasihnya itu sampai lupa diri, lupa tempat dan waktu. Sesudah Pek Han Siong meninggalkannya baru dia terkejut. Selama tenggelam dalam gelombang nafsu birahi dan kemesraan tadi, keduanya tidak sempat bicara. Dalam keadaan seperti itu, kata-kata tidak ada artinya lagi. Pikiran tidak lagi bekerja, kesadaran tidak lagi bergerak. Yang ada hanya satu, yaitu mengikuti dorongan gairah dan nafsu birahi yang menguasai seluruh diri lahir batin, lain-lain hal tidak masuk hitungan lagi.
Ci Goat baru tersentak kaget setelah Han Siong meninggalkannya. Dia kaget bukan main melihat kenyataan yang tidak masuk di akal itu. Dia sudah menyerahkan diri begitu saja kepada seorang pria, bahkan menyambut dengan gairah yang sama besarnya! Meski dia mencinta pria itu dengan seluruh jiwa raganya, namun penyerahan itu sungguh menyalahi segala peraturan, melanggar kesusilaan dan merendahkan martabatnya sebagai seorang wanita! Dia tidak menyesal, melainkan terkejut dan juga terheran mengapa hal seperti itu bisa terjadi!
Dia mengenal Han Siong bukan sebagai seorang pemuda seperti itu, dan dia sendiri juga seorang gadis yang memiliki harga diri tinggi. Maka timbul rasa penasaran di hatinya dan dia pun keluar dari kamarnya, diam-diam membayangi kekasihnya yang menuju kembali ke kamarnya sendiri itu. Tiba-tiba dia melihat munculnya Hay Hay, lalu dia mendengarkan percakapan antara Han Siong dan Hay Hay.
Semakin didengarkan percakapan itu, semakin pucatlah wajah Ci Goat. Bibirnya gemetar dan kedua matanya segera bercucuran air mata setelah dia mendengar ucapan Hay Hay, "…engkau masuk ke kamar Ci Goat karena dituntun oleh kekuatan hitam! Engkau sudah dicengkeram oleh ilmu hitam tiga orang pendeta Lama itu, Han Siong!"
Dia juga mendengar ucapan Han Siong, "Aku tidak akan mengawini gadis mana pun!"
Kini mengertilah Ci Goat. Dengan hati hancur dia baru mengerti bahwa segala yang telah terjadi semalam hanya merupakan sesuatu yang palsu. Kepalsuan yang harus ditebusnya dengan aib dan kehormatannya. Ternyata Han Siong sama sekali tidak mencintanya! Han Siong melakukan perbuatan tadi bukan atas kehendaknya sendiri, bukan karena cintanya, bahkan tanpa disadarinya! Dia melakukannya atas tuntunan pengaruh sihir atau kekuatan hitam dari pendeta Lama.
Tiga orang pendeta Lama! Ci Goat tersentak dan cepat dia kembali memasuki kamarnya, mengenakan pakaian ringkas dan membawa pedangnya. la tahu ke mana dia harus pergi. Dia telah mendapat keterangan dari seorang penduduk yang ikut menyerbu para penjahat bahwa beberapa hari sebelumnya ada tiga orang pendeta Lama bertanya-tanya tentang orang yang bernama Pek Han Siong alias Sin-tong, dan mereka adalah tiga orang pendeta Lama yang hadir dalam pemakaman tiga orang murid Pek-tiauw-pang. Menurut orang itu, dia bertemu dengan tiga orang pendeta Lama yang tinggal di sebuah kuil tua yang sudah tidak dipergunakan lagi, di sebuah bukit kecil di luar kota Hok-lam.
Kini, setelah dia mendengar kekuasaan ilmu hitam dari tiga orang pendeta Lama, dengan hati penuh duka dan dendam Ci Goat pergi menuju ke bukit itu. Cuaca masih gelap ketika dengan isak tertahan gadis itu berlari mendaki bukit.
Sesudah tiba di depan kuil tua itu, Ci Goat mencabut pedangnya dan dengan nekat, tanpa mengenal rasa takut karena duka dan sakit hati menyesak di dada, dia melompat dan lari memasuki kuil itu. Di tengah kuil itu, di sebuah ruangan yang luas, dia melihat tiga orang pendeta Lama itu duduk bersila menghadapi dupa yang mengepulkan asap tebal dan di atas lantai terdapat coret-coretan, lilin dan jimat-jimat.
Biar pun dia tidak tahu apa artinya semua itu, tetapi Ci Goat dapat menduga bahwa tentu mereka itu sedang melakukan sihir yang menguasai Han Siong. Hal ini mengingatkan dia akan keadaan dirinya yang sudah ternoda.
Kalau saja Han Siong melakukan hal semalam atas dirinya dengan suka rela, atas dasar cinta dan pemuda itu bersedia mempertanggung jawabkannya, tentu dia tak akan merasa ternoda karena dia pun menyerah dengan suka rela. Akan tetapi pemuda itu melakukan hal itu bukan karena cinta, melainkan karena ulah ketiga orang pendeta Lama ini, di luar kesadarannya dan karena itu tidak mau bertanggung jawab. Maka semua dendam dan sakit hati gadis itu ditumpahkan kepada ketiga orang pendeta Lama.
"Pendeta keparat, kalian layak mampus!" bentaknya dan gadis ini telah meloncat masuk.
Namun tiga orang pendeta Lama itu kelihatan tenang-tenang saja, bahkan tidak bergerak seolah-olah tidak tahu akan kehadiran gadis itu. Dengan kemarahan meluap karena sakit hatinya, Ci Goat menerjang dan mengayun pedangnya ke arah kepala pendeta terdekat, yaitu Pat Hoa Lama. Pedangnya menyambar ke arah kepala yang gundul itu dan Pat Hoa Lama sama sekali tidak menangkis atau mengelak, seakan tidak tahu bahwa kepalanya sedang dibacok orang dengan sebatang pedang yang tajam.
"Singgg…! Takkk!"
Ci Goat kaget bukan main. Pedangnya terpental seolah-olah bertemu dengan baja, bukan kepala manusia! Pada saat itu pula pinggangnya dipeluk orang dan tahu-tahu pedangnya sudah dirampas dan tubuhnya sudah ditarik sehingga terjatuh ke atas pangkuan pendeta Lama yang berada di tengah. Pendeta tinggi kurus Janghau Lama sudah menangkapnya. Mata yang amat sipit itu kini terbuka dan mulutnya yang ompong menyeringai.
"Ha-ha-ha-ha, gadis cantik, engkau datang hendak menemani pinceng? Bagus! Memang pinceng sedang merasa kesepian. Suheng dan Sute, kalian lanjutkan saja permainan kita, pinceng ingin bermain-main sejenak dengan gadis manis ini!"
Dua orang pendeta yang lain seperti tidak tahu atau tak peduli, tetap duduk bersila seperti patung. Janghau Lama bangkit sambil memondong tubuh Ci Goat.
Gadis itu merasa ngeri melihat keadaan tiga orang pendeta itu. Dia meronta, akan tetapi sepasang tangannya tidak dapat bergerak karena keduanya telah dipegang dengan amat kuatnya oleh tangan kiri Janghau Lama yang jarinya panjang-panjang.
Janghau Lama membawa Ci Goat ke sudut ruangan itu, lalu dia menjatuhkan diri ke atas lantai sambil mendekap Ci Goat. Tangan kanannya cepat bergerak dan terdengarlah kain robek berulang kali pda waktu tangan yang kurus panjang namun amat kuat itu rnerobek-robek semua pakaian dan merenggutnya lepas dari tubuh Ci Goat.
Jelas bagi Ci Goat apa yang akan dilakukan pendeta itu terhadap dirinya. Dia merasa tak berdaya. Kini dia maklum bahwa dirinya sama sekali bukan tandingan tiga orang pendeta Lama ini. Melawan pun akan percuma saja karena tentu dia akan diperkosa tanpa mampu mempertahankan diri sama sekali.
Rasa ngeri membuat dia rnencari akal. Ketika Janghau Lama nampak terangsang setelah merenggut lepas semua pakaian Ci Goat, pendeta yang kini telah kelihatan watak aslinya itu mendengus dan mencium mulut Ci Goat. Gadis ini pura-pura lunglai dan lemas, tidak melawan lagi seolah membiarkan mulutnya dicium. Akan tetapi begitu bibir Janghau Lama menempel di mulutnya, dia cepat membuka mulut dan menggigit bibir itu sekuat tenaga.
"Auhhh…!" Janghau Lama yang sedang dikuasai nafsu birahi itu menjadi lengah, bibirnya tergigit hampir putus dan terluka. Dia pun segera melepaskan rangkulannya.
Begitu merasa betapa dirinya telah bebas, Ci Goat cepat-cepat menggerakkan kepalanya, dibenturkan sekuatnya pada dinding di dekatnya. Terdengar suara nyaring dan gadis itu terkulai dengan kepala retak! Dia tewas seketika. Agaknya dia memilih mati membunuh diri dari pada membiarkan dirinya dinodai pendeta Tibet itu, yakin bahwa dia tidak mampu melawan, tidak akan mampu menghindarkan diri dari perkosaan.
Janghau Lama terkejut melihat gadis itu rebah tak bernyawa lagi, cairan merah bercampur putih keluar dari retakan kepalanya. Terdengar suara Gunga Lama.
"Sute, engkau sudah bertindak ceroboh. Gadis itu telah tewas, dan urusan tentu menjadi kacau. Mari kita cepat memperkuat daya pengaruh kita untuk memanggil Pek Han Siong ke sini!"
Janghau Lama tidak berani banyak membantah lagi. Dia telah merasa bersalah. Tadi dia terlampau dipengaruhi nafsu birahi sehingga dia kurang waspada, mudah dibuat lengah oleh gadis itu yang membunuh diri. Pada hal dia hanya ingin main-main sebentar sebelum menawan gadis yang datang mengamuk itu.
Dia tahu bahwa permainan mereka bertiga kini sudah diketahui orang. Buktinya gadis itu datang dan menyerang. Hal itu berarti bahwa gadis itu sudah mengetahui atau setidaknya menduga bahwa mereka memainkan suatu permainan rahasia.
Janghau Lama cepat kembali ke tempatnya semula dan mereka bertiga mengerahkan seluruh kekuatan untuk memanggil Pek Han Siong melalui ilmu sihir. Bibir Janghau Lama terluka dan berdarah.
Han Siong merasa benar tarikan pengaruh yang amat kuat itu, sesuatu yang memanggil-manggilnya, yang seperti menyedotnya. Dia mengikuti daya tarikan ini dan kadang, kalau tarikan itu terasa terlalu kuat, dia meraba batu kemala yang tergantung pada lehernya dan tersembunyi di balik bajunya, lalu menempelkannya di atas tengkuknya.
Dan benar saja. Setiap kali dia melakukan itu, daya tarikan itu menjadi berkurang banyak sekali kekuatannya. Dengan adanya bukti ini, hatinya menjadi tenang. Apa lagi mengingat bahwa tidak jauh di belakangnya ada sahabatnya yang sangat boleh dipercaya, yaitu Hay Hay.
Meski pun bayangan itu suram muram, namun kini Han Siong mulai dapat mengingat apa yang terjadi tadi malam. Rasanya bagaikan orang mengenang sebuah mimpi yang sudah hampir terlupa saja.
Akan tetapi, setiap kali dia mengingatnya bayangan itu cukup membuat mukanya berubah merah. Apa yang telah terjadi di dalam kamarnya Ci Goat itu! Bergidik dia mengenangkan semua itu. Walau pun hanya samar-samar, tapi dia dapat menduga apa yang telah terjadi.
Di bawah pengaruh daya sihir yang amat kuat, yang bisa melumpuhkan semua kekuatan sihirnya sendiri, dia telah dituntun memasuki kamar Ci Goat dan dibangkitkan oleh gairah yang tidak wajar. Dia dapat pula membayangkan penyambutan Ci Goat.
Gadis itu jatuh cinta kepadanya, bahkan ketika bersembahyang gadis itu mengaku bahwa dia mencinta dirinya dengan sepenuh jiwa raganya. Agaknya semalam gadis itu pun telah menyambutnya dengan suka rela.
Setelah Ci Goat mendengar dari Hay Hay bahwa dia tak dapat menerima dan membalas cintanya, tentu gadis itu menjadi patah hati dan berduka. Karena itu, ketika malam itu dia memasuki kamarnya, agaknya gadis itu memperoleh harapan baru. Dan dia bergidik bila membayangkan apa yang tentu telah terjadi di antara mereka.
Meski pun samar-samar namun dia masih ingat, dan bulu tengkuknya segera meremang bila mana dia membayangkan apa yang akan menjadi tanggung jawabnya. Walau pun dia melakukannya di luar kesadarannya, karena terpengaruh sihir, namun hal itu telah terjadi. Ci Goat kini telah ternoda, dan sebagai seorang jantan dia harus berani mempertanggung jawabkannya.
Tarikan daya kekuatan itu menuntunnya ke sebuah bukit dan tak lama kemudian dia telah sampai di depan sebuah kuil tua. Jantungnya berdebar tegang. Kalau menurutkan suara hatinya, ingin dia menghajar tiga orang pendeta Lama itu karena mereka sudah membuat dia tanpa disadarinya telah menodai Ci Goat. Hal ini berarti akan merubah seluruh jalan hidupnya karena dia harus mengawini gadis itu! Sudah sepantasnya tiga orang pendeta Lama itu dihajar bahkan dibunuhnya!
Akan tetapi dia teringat akan nasehat Hay Hay. Memang sebaiknya kalau dia menyelidiki dan membiarkan dirinya dibawa ke Tibet agar urusan dirinya dengan para Lama di Tibet segera dapat diselesaikan dan tidak berlarut-larut. Jika dia membunuh tiga orang pendeta Lama ini, maka semua jejak menuju ke Tibet akan terputus dan terhapus.
Dia memasuki kuil tua itu karena ada dorongan atau tarikan yang amat kuat dari arah itu. Ketika dia masuk ke ruangan dalam itu, tiga orang pendeta Lama telah bangkit berdiri dan menyambutnya dengan sikap hormat.
"Terima kasih bahwa Sin-tong sudah berkenan menerima undangan kami dan datang ke sini!" kata Gunga Lama sambil memberi hormat, diturut pula oleh dua orang sute-nya.
Han Siong bersikap seperti seorang yang linglung. Dia membalas penghormatan itu, lalu menjawab dengan suara datar. "Sam-wi lo-suhu ada keperluan apakah mengundang aku ke sini?"
"Sin-tong, ketahuilah bahwa engkau adalah calon junjungan kami, engkaulah calon Dalai Lama yang sejati. Sudah terlampau lama kami menantimu, Sin-tong, dan sekarang tibalah saatnya engkau ikut bersama kami pergi ke tempat di mana selayaknya engkau berada, yaitu di Tibet, untuk memimpin kami ke Jalan Terang. Marilah, ikutilah kami, Sin-tong, kita pergi sekarang juga ke barat."
Di dalam suara itu terkandung kekuatan mukjijat dan Han Siong kini merasakan getaran yang sangat kuat. Di hadapan mereka, dia tidak mungkin dapat mempergunakan kemala mustikanya yang tergantung di lehernya, maka dia pun mengangguk dan berkata singkat, "Baiklah, aku menurut."
Tiga orang pendeta Lama itu girang bukan main dan mereka lalu mengajak Han Siong ke luar dari kuil itu, langsung menuruni bukit menuju ke barat. Di dalam kesempatan ini diam-diam Han Siong menggerakkan kalungnya sehingga kemala itu berputar ke tengkuknya dan seketika dia merasa betapa tekanan atau tarikan yang memaksanya itu mengendur.
Hal ini perlu dia lakukan agar dia jangan tenggelam ke dalam pengaruh sihir mukjijat itu. Di dalam keadaan setengah sadar ini dia masih mampu meneliti apa yang sesungguhnya terjadi dan dia dapat berpura-pura taat dan tunduk atas permintaan mereka.
Sementara itu, Hay Hay yang membayangi di belakang mengambil jalan memutar dan dia memasuki kuil dari arah belakang. Akan tetapi ketika dia tiba di belakang kuil, dia melihat tubuh seorang wanita menelungkup. Jelas dia sudah tak bernyawa lagi.
Hay Hay cepat menghampiri. Mayat itu masih baru, masih ada darah basah di kepalanya. Dengan sangat hati-hati dia membalikkan tubuh mayat itu dan hampir dia menjerit saking kagetnya. Ci Goat! Gadis ini telah mendahului Han Siong, entah bagaimana bisa sampai ke kuil ini dan terbunuh. Kepalanya pecah!
Pada waktu melihat tiga orang pendeta Lama sedang mengajak Han Siong pergi ke Tibet, hatinya panas sekali. Siapa lagi yang membunuh Ci Goat kalau bukan mereka? Ingin dia menerjang dan menghajar mereka. Tetapi dia lantas teringat akan Han Siong yang sedang pura-pura takluk di bawah kekuasaan mereka. Tidak, dia harus bersabar.
Bagaimana pun juga Ci Goat sudah tewas. Kini tinggal menyelesaikan urusan Han Siong dengan para pendeta Lama. Kasihan pemuda itu yang semenjak bayi terus dikejar-kejar sampai sekarang. Dia dan Han Siong harus menyelidiki sedalamnya, kalau perlu bertemu dengan pimpinan para Lama untuk mengajukan protes. Setelah urusan Han Siong selesai barulah dia akan membalas kematian Ci Goat yang penasaran itu, menuntut ketiga orang pendeta Lama ini.
Setelah tiga orang pendeta Lama dan Han Siong meninggalkan kuil, dan melihat betapa mereka menuruni bukit menuju ke barat, dia lalu cepat mengubur jenazah Ci Goat dengan sederhana di belakang kuil itu. Kemudian dia menggunakan ilmu berlari cepat mengejar ke barat karena dia tadi mendengar bahwa mereka mengajak Han Siong pergi ke Tibet dan mereka tadi menuruni bukit ke arah barat.
Hari itu kota Pao-teng amat ramai. Maklum, dua hari lagi rakyat akan merayakan hari raya Tahun Baru Imlek. Beberapa hari sebelum Sincia (Tahu Baru Imlek) biasanya orang-orang sibuk berbelanja. Mereka membeli kain dan pakaian baru, juga membeli beberapa macam bahan untuk mengadakan sembahyangan dan pesta.
Para pedagang pakaian, bahan masakan dan sembahyang yang lebih dulu berpesta pora mengumpulkan keuntungan karena seperti biasanya, pada hari-hari sebelum Sincia para pedagang itu akan kebanjiran pembeli. Dan seperti biasa pula, kalau pembelinya terlalu banyak, lebih banyak yang dibutuhkan dari pada persediaannya, maka harga-harga akan membumbung tinggi sehingga perut para pedagang menjadi semakin gendut.
Semua orang nampak berseri wajahnya. Mereka yang saling mengenal, saling menegur di jalan dan ada yang bercakap dengan santai dan gembira. Ada para wanita yang bicara serius sambil berbisik, apa lagi yang dibicarakan kalau bukan desas-desus tentang wanita lainnya! Memang asyik membicarakan aib atau keburukan orang lain, karena kita merasa bersih dan tinggi ketika membicarakan kekotoran orang lain dan merendahkannya,.
Para wanita yang biasanya lebih banyak tinggal di rumah, kini banyak yang meninggalkan rumah keluar ke jalan raya. Inilah kesempatan baik sekali bagi para pria tua muda. untuk memuaskan mata mereka dan mengagumi gadis-gadis manis yang banyak berkeliaran di jalan-jalan, toko-toko dan pasar untuk berbelanja.
Daya tarik lawan jenis yang selalu dikekang demi sopan santun dan tata susila antara pria dan wanita, pada kesempatan itu agak longgar dan terlepas sehingga kedua belah pihak merasakan kegembiraan besar karena bisa saling pandang dan saling senyum. Yang pria mengambil sikap dan mengeluarkan kata-kata menyanjung atau menggoda, yang wanita menyembunyikan rasa gembira di balik senyum tersipu malu.
Di dalam kesempatan semacam itu, bukan mustahil dua hati akan bertaut dan merupakan suatu awal menuju kepada ikatan pernikahan. Ada pula yang menjadi awal mala petaka karena terjadi pelanggaran susila dan penyelewengan. Di segala pelosok dunia, keadaan semacam ini sudah lazim terjadi. Kehidupan memang berputar di sekitar hubungan antara pria dan wanita.
Seperti telah menjadi kebiasaan semenjak jaman dahulu, pada hari-hari menjelang Sincia sampai biasanya lima belas hari sesudah Sincia, orang-orang berpesta pora dan di mana-mana orang memasang petasan hingga keadaan menjadi meriah dan bising. Kebisingan suara petasan mendatangkan suatu perasaan gembira tersendiri di dalam hati manusia. Dan biasanya orang tidak merasa sayang menghamburkan uang untuk membeli petasan dan membakar petasan seperti sedang bersaing dengan orang lain. Makin besar petasan yang disulut, makin banyak, akan makin banggalah hati.
Di antara sekian banyaknya orang yang berlalu lalang di jalan raya kota Pao-teng, tampak seorang gadis yang amat menarik. Memang banyak terdapat wanita cantik berkeliaran di jalan sebab boleh dibilang pada pagi hari itu semua wanita di kota Pao teng keluar rumah. Akan tetapi gadis ini memiliki daya tarik tersendiri yang membuat semua mata pria yang berpapasan di jalan tentu memandangnya dengan kagum. Bahkan beberapa pria sampai menoleh ke belakang untuk terus menikmati penglihatan yang menyenangkan itu.
Dia adalah seorang gadis berusia antara sembilan belas sampai dua puluh tahun, bagai setangkai bunga yang sedang mekar semerbak. Wajahnya berbentuk bulat telur dengan dagu runcing. Mulutnya kecil dengan sepasang bibir yang manis sekali, segar kemerahan, dan ujung hidungnya yang mancung dapat bergerak-gerak, lucu sekali. Matanya jeli dan sinarnya tajam, jika mengerling nampak anggun dan dapat meruntuhkan hati setiap orang pria.
Pakaiannya dari sutera yang halus dan meski pun tidak terlalu mewah, namun pakaian itu rapi dan menunjukkan bahwa gadis itu bukanlah seorang miskin. Melihat sebuah buntalan panjang yang tergendong di punggungnya, mudah diduga bahwa dia tentu seorang gadis pendatang, bukan penduduk kota Pao-teng dan agaknya hari itu dia baru saja memasuki kota sehingga buntalan barangnya masih digendong di punggung.
Gadis manis itu bukan lain adalah Cia Kui Hong! Seperti yang sudah kita ketahui, dalam pemilihan ketua baru Cin-ling-pai, terjadi perebutan di antara Cia Kui Hong dan Tang Cun Sek. Sebenarnya Kui Hong tidak ingin menjadi ketua Ci-ling-pai, dan kalau dia mengikuti pemilihan itu hanyalah untuk mencegah agar kedudukan ketua Cin-ling-pai tidak terjatuh ke tangan Tang Cun Sek. Dia berhasil mengalahkan Cun Sek, lantas dia diangkat menjadi ketua Cin-ling-pai yang baru, sedangkan Cun Sek minggat sambil membawa pergi Hong-cu-kiam, pedang pusaka Cin-ling-pai.
Karena ia memang tidak suka menjadi ketua baru, Kui Hong lalu menyerahkan kekuasaan pimpinan Cin-ling-pai kepada Gouw Kian Sun, yaitu sute dari ayahnya, untuk mengurus perkumpulan itu. Dia sendiri lalu meninggalkan Cin-ling-san untuk mencari Tang Cun Sek dan merebut kembali Hong-cu-kiam, juga akan mencari Sim Ki Long dan merebut kembali Gin-hwa-kiam milik Pulau Teratai Merah yang dibawa minggat oleh Sim Ki Liong. Ada pun ayah dan ibunya, sesudah menyerahkan kedudukan ketua Cin-ling-pai, pergi berkunjung ke Pulau Teratai Merah.
Demikianlah perjalanan singkat Cia Kui Hong sampai pada pagi hari itu dia memasuki kota Pao-teng. Dia turut merasa gembira melihat ramainya kota itu dengan penduduknya yang bergembira ria menyambut datangnya Sincia yang tinggal dua hari lagi. Akan tetapi di samping kegembiraannya, di sudut hatinya terdapat perasaan sedih dan juga kesepian karena dia teringat pada ayah ibunya, juga kepada kakek dan neneknya di Pulau Teratai Merah, dan kepada kakeknya di Cin-Iing-pai.
Pada hari Sincia, biasanya dia selalu berkumpul dengan keluarganya, dan terdapat suatu kegembiraan yang khas ketika berkumpul dengan seluruh keluarga pada hari Sincia itu. Sekarang dia menyambut menjelang Sincia seorang diri saja, di tempat asing di mana dia tidak mempunyai seorang pun kenalan. Dan yang lebih mengesalkan hatinya lagi, sampai sekian lamanya dia belum dapat menemukan jejak dua orang yang dicarinya, yaitu Tang Cun Sek dan Sim Ki Liong.
Pada saat itu pula terdengar bunyi roda kereta dan sebuah kereta yang ditarik oleh empat ekor kuda lewat di jalan raya itu. Semua orang minggir dan memberi jalan, dan banyak di antara mereka yang memberi hormat ke arah kereta. Kui Hong melihat bahwa kereta itu adalah milik seorang yang berpangkat tinggi. Hal ini mudah dilihat dengan adanya sebuah bendera kebesaran di kereta itu, juga ada selosin pasukan mengiringi kereta.
Ketika kereta itu lewat di depan sebuah toko, seuntai mercon besar-besar yang disulut oleh pemiliknya tiba-tiba saja meledak-ledak dengan suara yang amat nyaring dan bising. Empat ekor kuda penarik kereta menjadi terkejut, dan dua di antaranya mengangkat kaki depan tinggi-tinggi, lalu empat ekor kuda itu meloncat ke depan dan lari ketakutan sambil berloncatan.
Kusirnya terkejut dan berusaha menenangkan kuda. Dia bangkit berdiri, akan tetapi kuda-kuda itu semakin ketakutan, terus melonjak-lonjak sehingga kusirnya terlempar keluar dari atas kereta saking kuatnya guncangan itu! Empat ekor kuda itu lalu kabur!
Melihat ini, para pengawal membalapkan kuda untuk menyusul. Akan tetapi mereka pun tidak mampu menenangkan kuda, bahkan kuda-kuda penarik kereta itu menjadi semakin panik ketika melihat banyak kuda para pengawal lari di samping mereka.
Semua orang terbelalak dan merasa khawatir melihat peristiwa itu terjadi. Mereka yang mengenal bendera di atas kereta itu tahu bahwa yang duduk di dalam kereta itu adalah Cang Taijin, yaitu seorang pembesar dari kota raja yang amat terkenal karena dia adalah seorang menteri yang bijaksana dan disegani seluruh pembesar, bahkan menjadi tangan kanan kaisar!
Selagi semua orang merasa panik, tiba-tiba nampak bayangan berkelebat ke atas kereta yang sedang dibalapkan empat ekor kuda yang kabur itu. Semua orang terbelalak heran melihat betapa di tempat kusir tadi kini sudah berdiri seorang gadis yang manis sekali. Dia bukan lain adalah Kui Hong!
Ketika tadi dia melihat kereta dibawa kabur dan kusirnya terpental keluar kereta, Kui Hong segera lari menghadang dan begitu kereta itu lewat, dia pun mempergunakan kelincahan tubuhnya, melompat ke atas kereta dan cepat dia menyambar kendali kuda yang terlepas. Dengan kekuatan sinkang-nya, dia lalu menarik kendali kuda itu.
Empat ekor kuda itu meronta, melonjak-lonjak dan mempergunakan tenaga mereka untuk melepaskan kendali yang menarik kepala mereka ke belakang, namun sia-sia belaka dan akhirnya, biar pun mereka itu masih meringkik-ringkik, tetapi mereka tidak mampu kabur lagi. Dengan kepala ditarik ke belakang seperti itu mau tidak mau mereka menghentikan lari mereka sehingga kereta itu pun berhenti.
Pintu kereta dibuka dari dalam dan keluarlah seorang pria setengah tua bersama seorang laki-laki muda. Mereka berpakaian serba indah, pakaian bangsawan. Pria yang usianya lebih dari lima puluh tahun dan bertubuh tegap itu nampak tenang ketika menuruni kereta, tetapi orang kedua, seorang pemuda berusia kurang lebih dua puluh tujuh tahun, nampak pucat dan kedua kakinya gementar ketika dia menuruni kereta.
Kusir kereta segera naik ke atas kereta dengan pipi lebam dan pakaian koyak-koyak. "Terima kasih, Nona, terima kasih...!” katanya sambil menerima kendali kuda dari tangan gadis itu.
Kui Hong hanya mengangguk, lalu dia pun melompat turun. Buntalan panjang tadi masih melekat di punggungnya dan dia sama sekali tidak kelihatan tegang, masih tetap tenang seolah-olah apa yang dia lakukan hanyalah permainan kanak-kanak saja.
Pembesar itu menatap kepadanya sambil mengerutkan alisnya karena dia merasa seperti pernah mengenal nona manis itu. Sebaliknya, Kui Hong yang memandang kepada pria itu juga segera menghampiri dan memberi hormat dengan mengangkat dua tangan ke depan dada.
"Ahhh, kiranya Cang Taijin yang berada di dalam kereta!" serunya gembira sekali karena ternyata pejabat pemerintah yang ditolongnya itu adalah seorang pembesar yang sangat dikaguminya dan dahulu pernah dikenalnya, yaitu Menteri Cang Ku Ceng yang setia dan bijaksana.
Sejak tadi menteri itu sudah merasa mengenal Kui Hong. Sekarang dia melangkah maju dan mendekat lalu membalas penghormatan gadis itu. "Maafkan aku, rasanya aku pernah mengenalmu, Nona, akan tetapi aku lupa lagi kapan dan di mana.”
Kui Hong tersenyum, tidak tersinggung walau pun pembesar ini lupa kepadanya. Maklum, sebagai seorang pejabat tinggi yang berhubungan dengan banyak sekali orang, tentu saja tidak mungkin Cang Taijin ingat semua orang yang pernah dikenalnya.
“Memang kita pernah saling jumpa ketika para pendekar membantu pasukan Cang Taijin membasmi pemberontak Kulana...”
"Ahh, benar! Nona adalah seorang di antara para pendekar muda yang gagah perkasa itu. Maafkan kalau aku sudah lupa, dan siapakah namamu, lihiap (pendekar wanita)?”
"Nama saya Cia Kui Hong, Taijin."
"She Cia? Ahh, sekarang aku ingat. Lihiap adalah puteri ketua Cin-ling-pai, bukan? Lihiap adalah seorang di antara para pendekar wanita muda yang kami kagumi. Dan kini, lihiap pula yang telah menyelamatkan kami dari bahaya. Sun-ji, (anak Sun), ini adalah pendekar wanita Cia Kui Hong dari Cin-ling-pai yang tadi sudah menyelamatkan kita. Lihiap, dia ini adalah puteraku Cang Sun."
Kui Hong memberi hormat kepada pemuda itu dan diam-diam dia kecewa. Dia mengenal Cang Taijin sebagai seorang pembesar yang bijaksana, setia dan juga pandai, akan tetapi mengapa puteranya ini demikian penakut? Memang tampan, tetapi tidak memiliki wibawa dan keagungan seperti ayahnya, malah pandang matanya mengandung kecabulan ketika menjelajahi tubuhnya.
"Nona Cia Kui Hong, terima kasih atas pertolonganmu tadi," Cang Sun berkata sambil tersenyum.
"Cia-lihiap, agaknya engkau baru saja masuk ke kota ini. Buntalan pakaianmu masih kau gendong...,” kata pembesar itu.
"Memang, baru pagi ini saya memasuki kota Pao-teng ini, Taijin."
"Jika begitu, mari engkau ikut bersama kami, lihiap, menjadi tamu kami yang terhormat."
"Saya hanya akan mengganggu dan membikin repot saja, Taijin."
"Ahh, sama sekali tidak, lihiap. Kami mempunyai rumah di Pao-teng sini, dan keluargaku akan merasa girang sekali menerimamu sebagai seorang tamu."
"Akan tetapi saya hendak mengunjungi keluarga paman Cia Sun di dusun Ciang-si-bun di sebelah selatan kota raja," kata Kui Hong.
Alasan ini bukan dicari-cari karena memang dia ingin berkunjung ke rumah pendekar Cia Sun. Sebenarnya Cia Sun masih terhitung paman dari ayahnya, akan tetapi karena usia Cia Sun sebaya dengan ayahnya, dia sudah biasa menyebutnya paman saja.
Memang hubungannya dengan keluarga ini cukup dekat. Cia Sun bukan saja mempunyai hubungan darah dengan ayahnya, akan tetapi isteri Cia Sun yang bernama Tan Siang Wi juga merupakan seorang tokoh dan murid Cin-ling-pai, murid kongkong-nya. Dan puteri mereka, Cia Ling juga telah dikenalnya dengan baik sekali ketika mereka bersama terlibat dalam gerakan pembasmian gerombolan pemberontak yang dipimpin Kulana. Dia bukan hanya ingin berkunjung, melainkan juga hendak mencari jejak Sim Ki Liong dan Tang Cun Sek, dan bertanya kepada keluarga pendekar itu kalau-kalau mereka mendengar tentang dua orang yang dicarinya itu.
"Ciang-si-bun? Keluarga Cia Sun? Ah, jangan khawatir, akan kami antarkan karena kalau kami pulang ke kota raja juga melewati dusun itu, dan kami adalah sahabat baik pendekar Cia Sun! Hari ini kita bermalam di Pao-teng dan besok kita ke kota raja, singgah di rumah keluarga pendekar Cia Sun. Engkau harus ikut menggembirakan kami dengan merayakan Sincia di rumah kami di kota raja, lihiap."
Melihat sikap yang sangat ramah dan kesungguhan hati pejabat tinggi yang bijaksana itu, Kui Hong tidak dapat menolak lagi. Dia merasa kurang enak kalau menolak terus setelah pembesar itu bersikap sedemikian ramahnya. Dan dia pun tahu bahwa Menteri Cang Ku Ceng ini memiliki kedudukan yang amat tinggi, bahkan dia dihormati oleh semua pejabat lain. Hal itu telah dilihatnya sendiri ketika mereka bersama menghadapi gerombolan yang dipimpin Kulana beserta kawan-kawannya. Sungguh merupakan suatu kehormatan besar yang membanggakan kalau menjadi tamu pembesar ini, apa lagi tamu kehormatan!
Sesudah Kui Hong menerima undangannya, Cang Taijin merasa girang bukan main. Dia mempersilakan Kui Hong duduk di dalam kereta bersamanya, dan menyuruh puteranya, Cang Sun supaya menunggang kuda. Kemudian kereta yang dikawal itu meninggalkan tempat itu, diikuti pandang mata banyak orang dengan kagum.
Mereka bukan saja kagum melihat gadis manis yang menyelamatkan Cang Taijin, dengan keberanian luar biasa telah mampu menghentikan kereta yang dibawa kabur empat ekor kuda, namun juga kagum melihat gadis itu menjadi tamu terhormat dari seorang menteri yang demikian terkenal seperti Cang Taijin.
Cang Ku Ceng adalah seorang menteri yang bukan saja pandai dan bijaksana, akan tetapi juga sederhana. Karena ia selalu melaksanakan tugasnya tanpa dinodai perbuatan korup, seperti pembesar lain yang menyalah gunakan kedudukan untuk memperkaya diri sendiri, maka kehidupan keluarganya yang hanya mengandalkan pada penghasilan halal sebagai seorang menteri, tidak terlalu berlebihan.
Isterinya berasal dari Poa-teng, maka tidak mengherankan apa bila menteri ini mempunyai sebuah rumah di kota ini. Rumahnya memang besar, akan tetapi tidak terlampau mewah, tidak seperti rumah para pembesar lain yang walau pun pangkatnya belum setinggi Cang Taijin, akan tetapi dalam hal kemewahan, menyaingi kehidupan kaisar sendiri.
Isteri dan kedua orang selir Cang Taijin menerima Kui Hong dengan gembira dan ramah sekali sehingga lenyaplah perasaan rikuh dari hati gadis itu. Hanya seorang saja di dalam keluarga itu yang tidak begitu dia sukai, yaitu Cang Sun. Pemuda ini selalu memandang kepadanya dengan sinar mata penuh nafsu. Walau pun di hadapan ayahnya pemuda itu kelihatan pendiam dan tidak pernah mengganggunya, namun sinar mata dan senyumnya jelas membayangkan kegenitan yang cabul!
Sesudah bicara dengan isteri dan dua orang selir Cang Taijin, baru Kui Hong tahu bahwa pemuda itu adalah putera dari salah seorang di antara dua selir itu, dan hanya Cang Sun seoranglah keturunan Cang Taijin.
Isteri Menteri Cang adalah seorang wanita yang lembut dan ramah sekali dan dia segera akrab dengan Kui Hong. Nampak jelas betapa nyonya yang tidak mempunyai keturunan itu sangat sayang kepada Kui Hong. Dan melihat keakraban keluarga itu terhadap dirinya, Kui Hong merasa tidak enak kalau terus disebut lihiap (pendekar wanita), maka dia minta agar mereka menyebut namanya saja, tanpa sebutan pendekar wanita.
Setelah menginap satu malam di rumah keluarga Cang di kota Pao-teng, pada keesokan harinya Cang Taijin menyuruh puteranya mengantar isteri serta dua orang selirnya pulang lebih dulu ke kota raja menggunakan sebuah kereta besar, ada pun dia sendiri bersama Kui Hong akan berkunjung ke rumah keluarga Cia Sun. Pada waktu komandan pengawal hendak membagi pasukan pengawal, Menteri Cang tertawa.
"Ha-ha-ha-ha, aku melakukan perjalanan bersama nona Cia Kui Hong," katanya kepada komandan pengawal. "Dia sendiri sudah merupakan kekuatan pengawal yang tidak kalah oleh seratus orang prajurit pengawal!"
Dia memerintahkan kepala pasukan pengawal itu supaya mengawal kereta keluarganya saja. Dia sendiri lalu menunggang kuda bersama Kui Hong dan menuju ke dusun Ciang-si-bun.
Cia Sun adalah seorang pendekar kenamaan yang memiliki ilmu tinggi. Dia adalah putera pendekar dari Lembah Naga Cia Han Tong yang menjadi ketua Pek-liong-pang. Sebagai putera seorang pendekar sakti, juga sempat menjadi murid dari Go-bi San-jin, maka Cia Sun mempunyai kepandaian yang tinggi. Tetapi wataknya sederhana dan pendiam, halus berwibawa. Dia tidak pernah menonjolkan diri dan kini, sesudah usianya empat puluh tiga tahun lebih, dia bahkan jarang sekali muncul di dunia persilatan.
Dia tinggal di dusun Ciang-si-bun bersama isterinya yang bernama Tang Siang Wi. Walau pun isterinya tidak selihai dia, namun Tang Siang Wi yang sekarang berusia empat puluh satu tahun itu bukanlah wanita lemah. Dia pernah menjadi murid kesayangan ketua Cin-ling-pai, yaitu Cia Kong Liang, juga digembleng oleh isteri ketua itu. Bahkan pada waktu masih muda wanita ini pernah terkenal di dunia persilatan dengan julukan Toat-beng Sian-li (Dewi Pencabut Nyawa) karena sikapnya yang sangat ganas dan tidak mengenal ampun terhadap para penjahat.
Suami isteri ini hanya memiliki seorang anak saja, yakni anak perempuan yang bernama Cia Ling atau selalu di sebut Ling Ling. Ling Ling yang kini berusia delapan belas tahun itu sudah menikah dan kini tinggal bersama suaminya yang bernama Can Sun Hok di kota Siang-tan. Can Sun Hok sendiri adalah seorang pemuda perkasa yang kaya raya.
Setelah Ling Ling pergi meninggalkan rumah orang tuanya untuk ikut bersama suaminya, maka Cia Sun dan isterinya hanya hidup berdua dan sering kali merasa kesepian. Karena dia seorang pendekar besar yang kenamaan, maka beberapa orang pejabat pemerintah kadang suka minta bantuannya untuk membasmi penjahat dan mengamankan daerahnya.
Bahkan sesudah mendengar namanya, Menteri Cang Ku Ceng yang bijaksana dan dapat menghargai para pendekar lantas menghubunginya dan setelah bercakap-cakap, Menteri Cang merasa amat cocok dengan Cia Sun sehingga sering kali mereka saling berkunjung. Terjalinlah persahabatan antara menteri dan pendekar itu.
Di dusun Ciang-si-bun, Cia Sun dan isterinya dikenal sebagai sepasang suami isteri yang amat dermawan. Karena semua penduduk dusun itu mengenal siapa mereka, tahu bahwa suami isteri pendekar itu mempunyai banyak kenalan di kalangan pembesar tinggi, maka tentu saja mereka semakin dihormati.
Penduduk dusun Ciang-si-bun tidak akan merasa heran lagi bila mana melihat ada kereta pembesar dari kota raja yang datang berkunjung ke rumah keluarga pendekar itu, kereta yang dikawal oleh pasukan yang gagah. Akan tetapi banyak penduduk memandang heran ketika mereka melihat Menteri Cang datang bersama seorang gadis cantik yang gagah, berdua saja dan hanya berkuda tanpa pengawal.
Akan tetapi Cia Sun dan isterinya yang menyambut dua orang tamu itu tak merasa heran setelah mereka tahu bahwa menteri itu datang bersama Cia Kui Hong yang mereka kenal sebagai seorang gadis gemblengan yang gagah perkasa. Mereka tadinya agak pangling, akan tetapi sesudah Kui Hong memperkenalkan diri, isteri Cia Sun, yaitu Toat-beng Sian-li Tang Siang Wi segera merangkul murid keponakan itu dengan gembira sekali.
"Aih, ternyata engkau, Kui Hong! Pantas saja kali ini Cang Taijin datang berkunjung tanpa pengawal, kiranya ada engkau! Mari, mari, silakan masuk." Ia menggandeng tangan gadis itu dan diajaknya masuk ke dalam setelah memberi hormat kepada kepada Cang Taijin.
Cang Taijin memang seorang pejabat tinggi yang amat bijaksana dan sederhana. Dia tak pernah mengangkat dirinya tinggi-tinggi karena kedudukannya. Biar pun keluarga Cia Sun hanya rakyat biasa, akan tetapi sesudah bersahabat, dia tidak memperkenankan keluarga itu memberi penghormatan yang berlebihan kepadanya, karena itu sambutan Cia Sun dan isterinya juga sederhana saja.
Sebagai seorang menteri dia layak dihormati dengan berlutut, akan tetapi menteri ini tidak mau bila seorang sahabatnya menghormatnya sambil berlutut. Sungguh merupakan sikap yang amat bijaksana! Karena sikapnya inilah maka Cang Taijin amat dikenal dan disayang oleh rakyat.
Diam-diam Cia Sun merasa heran bagaimana menteri itu sekarang berkunjung bersama Kui Hong, dan mengapa hubungan antara menteri itu dengan puteri ketua Cin-ling-pai itu nampak demikian akrabnya.
“Kau tentu heran melihat aku datang ke sini bersama Kui Hong!" pejabat tinggi itu segera mendahului ketika dia melihat sikap Cia Sun, setelah mereka berempat duduk di ruangan dalam.
Cia Sun mengangguk. "Benar sekali, Taijin. Bagaimana Taijin dapat bersama dengan Kui Hong dan agaknya ada keperluan yang amat penting dalam kunjungan Taijin sekali ini."
Menteri Cang menggelengkan kepalanya. "Sama sekali tidak, bahkan ini hanya kunjungan sambil lalu saja, untuk menemani Kui Hong yang memang ingin berkunjung ke sini. Kau tahu, Taihiap, kemarin, Kui Hong telah menyelamatkan aku dari bahaya maut!"
"Ahhh…?!" Cia Sun dan isterinya terkejut mendengar ini.
"Aih, Cang Taijin terlalu membesarkan, harap Paman dan Bibi tidak menerimanya dengan sungguh-sungguh. Yang benar, kereta yang ditumpangi Cang Taijin dan puteranya dibawa kabur oleh empat ekor kuda yang menariknya dan aku hanya menenangkan kuda-kuda itu. Sebelum itu memang aku sudah pernah berkenalan dengan Cang Taijin, yaitu ketika penumpasan gerombolan Kulana dahulu itu. Tentu Paman dan Bibi sudah mendengarnya dari Ling Ling. Oh ya, di mana Ling Ling, Paman? Aku ingin sekali bertemu dengannya."
Suami isteri itu memandang kepada Kui Hong. Disebutnya nama puteri mereka itu sudah membuat hati mereka terasa perih. Telah terjadi mala petaka atas diri puteri mereka, akan tetapi menurut keterangan Ling Ling, Kui Hong adalah satu-satunya orang yang dipercaya puteri mereka. Gadis itu tahu pula akan mala petaka yang menimpa diri Ling Ling.
Peristiwa itu terjadi pada waktu Ling Ling berada di antara para pendekar yang membantu Cang Taijin membasmi gerombolan Kulana. Gadis yang sejak kecil telah mempelajari ilmu silat dan telah menjadi seorang pendekar wanita yang cukup tangguh, pada suatu malam telah dibuat tidak berdaya kemudian diperkosa seorang pria!
Tadinya Hay Hay Si Pendekar Mata Keranjang yang dituduh sebagai pemerkosanya, akan tetapi akhirnya diketahui bahwa yang melakukan perbuatan jahat itu adalah Ang-hong-cu, Si Kumbang Merah, jai-hwa-cat (Penjahat Pemetik Bunga) yang amat tersohor itu. Masih baik nasib puteri mereka karena ada seorang pemuda perkasa yang jatuh cinta padanya, yaitu Can Sun Hok, yang tetap mencintanya dan bahkan meminangnya biar pun dia tahu akan mala petaka dan aib yang menimpa diri gadis yang dicintanya itu.
"Ling Ling telah menikah dan sekarang dia ikut dengan suaminya ke Siang-tan," kata isteri Cia Sun singkat.
Berseri wajah Kui Hong mendengar berita itu. Syukurlah, demikian bisik hatinya. Kiranya Can Sun Hok, cucu Pangeran Can Seng Ong itu adalah seorang pemuda yang setia akan kasihnya. Dia tahu bahwa Can Sun Hok seorang pemuda yang baik sekali walau pun Can Sun Hok pernah mendendam kepada ibunya dan pernah memusuhi ibunya. Hal itu adalah karena Can Sun Hok hendak membalaskan kematian ibu kandungnya.
Ibu kandung Can Sun Hok adalah mendiang Siang-tok Sian-li Gui Siang Hwa (Dewi Racun Wangi), seorang tokoh sesat yang tewas di tangan ibu kandungnya, pendekar Ceng Sui Cin. Akan tetapi ibunya bisa menyadarkan Sun Hok mengenai kejahatan ibu kandungnya sehingga pemuda itu mau menghabiskan dendamnya. Hal ini saja sudah memperlihatkan bahwa Can Sun Hok adalah seorang pemuda yang gagah perkasa. Hanya seorang gagah saja yang mampu menyadari kesalahan pihaknya sendiri.
Karena itu, sesudah mendengar keterangan bibinya bahwa kini Ling Ling telah pindah ke rumah suaminya di kota Siang-tan, dia tidak ragu-ragu lagi bahwa suami gadis itu tentulah Can Sun Hok yang rumahnya di kota itu.
"Jadi dia sudah menikah dengan Can Sun Hok? Bagus sekali! Aku turut merasa bahagia, Paman dan Bibi. Akan tetapi, kenapa aku tidak diberi tahu? Keluarga kami tidak ada yang diundang...”
"Maafkan kami. Atas kehendak mereka berdua, pernikahan itu memang tidak dirayakan. Karena tidak dirayakan, kami pun tidak mengundang tamu, apa lagi yang dari jauh karena hanya akan merepotkan saja. Harap maklum,” kata Cia Sun.
Tentu saja Kui Hong maklum. Dalam keadaan ternoda aib seperti keadaan Ling Ling, dia dapat memaklumi apa bila pernikahan itu dilakukan secara sederhana dan diam-diam dia semakin iba kepada Ling Ling dan makin berterima kasih kepada Can Sun Hok.
"Aku dapat memaklumi, Paman dan Bibi. Tidak mengapalah, kelak bila ada kesempatan tentu aku akan berkunjung ke rumah mereka di Siang-tan."
"Sebenarnya urusan apa yang membawamu sampai ke sini, Kui Hong? Apakah engkau hanya pesiar dan sengaja hendak berkunjung ke rumah kami, ataukah ada kepentingan lainnya?” Cia Sun bertanya.
Kui Hong memandang kepada Cang Taijin dan sambil tersenyum menteri ini lalu berkata, "Apakah kehadiranku mengganggu dan membuat kalian sekeluarga menjadi tidak leluasa untuk bicara? Kalau begitu, biar aku menyingkir ke ruangan lain lebih dulu."
"Ah, tidak sama sekali, Taijin,” kata Kui Hong. "Jangan begitu, membuat saya merasa tak enak saja. Kalau orang lain mungkin saja kami anggap orang asing yang tidak berhak ikut mendengar, Taijin, akan tetapi Taijin kuanggap bukan orang lain lagi. Baiklah, akan saya ceritakan keperluan saya maka sampai ke sini." Dia lalu memandang kepada paman dan bibinya. "Paman Cia Sun dan Bibi, sebetulnya perjalananku sekali ini memang membawa tugas atau keperluan yang amat penting, yaitu mencari dua orang yang jahat. Karena aku belum dapat menemukan jejak mereka, maka aku mencari ke arah kota raja dan sekalian hendak berkunjung ke sini, selain sudah rindu juga siapa tahu kalau-kalau Paman dan Bibi dapat membantuku dan mendengar tentang dua orang yang kucari-cari itu."
"Siapakah dua orang jahat yang sedang kau cari itu, Kui Hong? Terus terang saja, sudah lama sekali aku dan bibimu tak lagi berkecimpung di dunia kang-ouw sehingga kami tidak banyak mengetahui tentang mereka yang hidup di dunia sesat,” kata Cia Sun.
"Aku pun ingin sekali mendengar siapa yang kau cari itu, Kui Hong. Barangkali aku dapat membantu pula," kata Menteri Cang Ku Ceng.
"Nama mereka Sim Ki Liong dan Tang Cun Sek."
Cia Sun dan isterinya saling pandang, lalu mereka menggeleng kepala. Dua buah nama itu tidak ada artinya bagi mereka karena mereka belum pernah mengenalnya. Akan tetapi Cang Taijin mengerutkan alisnya dan mengingat-ingat.
"Sim Ki Liong?" katanya perlahan sambil mengingat-ingat nama itu. "Aku seperti pernah mendengar nama ini, akan tetapi kapan dan di mana?"
“Taijin tentu pernah mendengarnya karena dia adalah seorang di antara tokoh jahat yang ikut membantu gerakan pemberontakan Kulana," kata Kui Hong.
"Ah, benar! Tokoh yang lihai dan berhasil lolos dari kepungan para pendekar. Akan tetapi nama ke dua itu belum pernah aku mendengarnya."
"Tentu saja belum, Cang Taijin. Yang bernama Tang Cun Sek itu adalah seorang murid Cin-ling-pai yang murtad."
"Kui Hong, kenapa engkau bersusah payah mencari dua orang itu?" Cia Sun bertanya.
"Sim Ki Liong pernah menjadi murid Pulau Teratai Merah, namun kemudian dia minggat sambil membawa lari pedang pusaka Gin-hwa-kiam dari Pulau Teratai Merah, sedangkan Tang Cun Sek minggat melarikan pedang pusaka Hong-cu-kiam milik kongkong Cia Kong Liang."
"Aihhh...!" Tan Siang Wi berseru marah mendengar betapa pedang pusaka milik gurunya dilarikan orang. "Sungguh kurang ajar benar Tang Cun Sek itu. Murid Cin-Iing-pai berani berbuat semacam itu!"
"Aneh sekali memang," kata pula Cia Sun. “Mengapa ada murid Pulau Teratal Merah juga melarikan sebuah pusaka dari sana?"
Kui Hong mengangguk. “Sepandai-pandainya orang, sekali waktu dapat saja dia lengah, Paman. Agaknya sekali ini pun, kedua kongkong (kakek), baik kakek Ceng Thian Sin dari Pulau Teratai Merah mau pun kakek Cia Kong Liang dari Cin-ling-pai, keduanya lengah sehingga ada orang jahat dapat menyusup masuk menjadi murid, yaitu Sim Ki Liong dan Tang Cun Sek. Aku sudah berjanji kepada kedua kakekku untuk pergi mencari mereka dan merampas kembali kedua pedang pusaka itu."
"Akan tetapi, sampai sekarang engkau belum berhasil menemukan jejak mereka?”
Kui Hong menggeleng kepala. "Aku bertemu dengan Sim Ki Liong ketika kami membantu Cang Taijin membasmi gerombolan Kulana, akan tetapi tidak berhasil merampas kembali pedang pusaka Gin-hwa-kiam dari Pulau Teratai Merah, bahkan dia berhasil meloloskan diri. Ada pun jejak Tang Cun Sek, sampai sekarang aku belum menemukannya. Sungguh aku akan merasa tidak enak kepada kedua kakekku bila gagal merampas kembali kedua batang pedang pusaka."
"Hemmm, aku pun tidak pernah mendengar berita tentang Sim Ki Liong yang tempo hari lolos," kata Cang Taijin, "akan tetapi aku akan dapat memerintahkan orang-orangku agar menyebar para penyelidik untuk mencari jejak dua orang itu. Jangan khawatir, Kui Hong, engkau tinggallah di rumah kami di kota raja. Aku yakin orang-orangku yang banyak akan segera dapat menemukan jejak mereka. Yang seorang lagi... aku tidak pernah mengenal nama Tang Cun Sek. Akan tetapi she Tang? Hemm, hal itu mengingatkan aku akan suatu peristiwa yang sampai sekarang masih terasa tidak enak bagiku. Mungkin engkau dapat membantuku melakukan penyelidikan di kota raja, Kui Hong."
“Ada peristiwa hebat dan penting apakah yang terjadi di kota raja, Cang Taijin?" tanya Cia Sun setelah mempersilakan tamunya minum dan makan hidangan yang dikeluarkan oleh para pelayan.
Cang Taijin minum air teh yang dihidangkan, lalu menghela napas panjang. "Sebenarnya urusan itu amat menggelisahkan, akan tetapi bagi kami juga mengalami kesukaran untuk memecahkannya, karena menyangkut urusan dalam istana Sribaginda Kaisar! Mula-mula terjadi penyelewengan yang dilakukan seorang selir Sribaginda dengan seorang perwira muda she Tang. Tidak ada yang tahu akan peristiwa itu sampai pada suatu malam, selir itu bersama dayangnya lenyap dari dalam istana. Tak seorang pun menduga bahwa selir itu kiranya berhubungan gelap dengan perwira pengawal istana yang bernama Tang Gun itu. Sribaginda menjadi marah sekali dan sudah menyebar orang untuk mencari selir yang hilang, namun sia-sia belaka karena disembunyikan oleh Tang Gun, perwira muda yang menjadi kekasihnya itu."
Cia Sun, isterinya, dan Kui Hong mendengarkan penuh perhatian. Biar pun agaknya tidak ada hubungannya dengan mereka, akan tetapi mereka maklum bahwa bila Menteri Cang Ku Ceng telah menceritakan sesuatu hal, maka tentu urusan itu amat penting. Cang Taijin kembali meneguk air the, lalu melanjutkan ceritanya.
"Nah, selagi kaisar marah dan semua petugas sudah hampir putus harapan untuk dapat menangkap selir dan dayangnya yang melarikan diri secara aneh, muncullah orang gagah yang bernama Tang Bun An itu. Dan dia telah menangkap Tang Gun dan selir itu, berikut dayangnya. Dia menghadapkan ketiga orang itu kepada kaisar yang tentu saja berterima kasih kepadanya. Selir dan dayang itu dihukum menjadi nikouw, sementara perwira Tang Gun dihukum buang." Menteri Cang berhenti pula.
"Ahh, Taijin, kalau begitu, berarti urusannya sudah selesai, bukan? Yang bersalah sudah ditangkap dan dihukum," kata Kui Hong.
"Urusan bukan hanya sampai di situ," kata Menteri Cang. "Masih ada kelanjutannya dan dalam urusan itu terkandung hal-hal yang aneh. Apakah kalian tidak merasakan sesuatu yang aneh?"
"Hanya ada satu hal yang sedikit aneh, Taijin. Perwira yang melarikan selir kaisar itu she Tang, dan penangkapnya juga seorang yang she Tang. Apakah ini kebetulan saja?" tanya Cia Sun.
Menteri Cang mengangguk. "Memang hal itu juga menarik perhatian dan sudah kuselidiki pula. Akan tetapi agaknya tidak terdapat hubungan kekeluargaan antara Tang Bun An dan Tang Gun itu, karena keduanya hidup sebatang kara dan tidak berkeluarga. Namun ada hal lain yang amat menarik. Tang Gun telah dijatuhi hukuman buang, tapi ketika hukuman dilaksanakan dan dia dikawal menuju ke tempat pembuangan, di tengah perjalanan dua orang pengawal itu dibunuh orang dan Tang Gun meloloskan diri. Tak seorang pun tahu siapa penolongnya itu."
"Hemm, sungguh menarik sekali!" kata Kui Hong. "Peristiwa itu penuh teka-teki."
"Ada satu hal lain yang kiranya patut kalian ketahui, yaitu bahwa pada saat masih menjadi perwira pengawal istana, Tang Gun sering kali membual bahwa dia adalah keturunan Si Kumbang Merah."
"Ahhh...!" Seruan itu keluar dari tiga mulut pendengarnya, hampir berbareng.
Nama Ang-hong-cu (Si Kumbang Merah) bukan nama asing bagi mereka, bahkan nama yang tak pernah mereka lupakan. Bagi Cia Sun suami isteri, nama itu amat dibenci karena Ang-hong-cu itulah yang pernah memperkosa puteri mereka! Dan bagi Kui Hong, dia pun sudah terlalu sering mendengar nama itu, bahkan dia pernah bertemu dengan Ang-hong-cu yang menyamar menjadi Han Lojin.
Hay Hay lalu mengamati wajah yang telentang itu. Memang wajah Han Siong, akan tetapi sinar mata itu! Sungguh beringas dan penuh kemarahan.
"Keparat, kau curang! Kubunuh kau!" Han Siong menggerutu dan matanya berkilat marah.
Hay Hay mencoba untuk mempergunakan kekuatan sihirnya. Dengan pandang matanya yang mencorong dia menatap wajah itu, menentang pandang matanya, lantas terdengar suaranya yang dalam dan menggetar penuh kekuatan sihir. "Han Siong, sadarlah. Engkau Pek Han Siong... dan aku adalah Hay Hay! Sadarlah dan lepaskan pengaruh kekuasaan dunia kegelapan...!”
Akan tetapi hasilnya sia-sia belaka. Sepasang mata itu masih berkilat marah dan setelah beberapa kali mengulang usahanya tanpa hasil, Hay Hay duduk termenung, menjadi agak bingung. Kalau saja dia tahu di mana adanya tiga orang pendeta Lama itu sehingga dapat menggempur mereka, tentu Han Siong akan dapat dibebaskan dari permainan sihir hitam mereka.
Kemudian dia pun teringat. Batu giok mustika yang dimilikinya! Beberapa tahun yang lalu, karena merasa berhutang budi kepadanya, seorang jaksa, yaitu Kwan Taijin (Pembesar Kwan) telah menghadiahkan pusakanya yang sangat berharga, yaitu sebuah giok mustika yang berwarna belang merah dan hijau. Jaksa dari kota Siang-tan itu menghadiahkan batu giok itu kepadanya dan sampai sekarang masih tergantung di lehernya.
Batu giok mustika itu merupakan obat pencegah racun yang amat mujarab. Segala jenis racun dapat dihisap dan dilenyapkan dari tubuh oleh batu giok mustika itu. Dan menurut penuturan jaksa itu, batu giok itu masih mempunyai khasiat lain, yaitu memiliki kekuatan mukjijat untuk menolak kekuatan setan. Dia belum pernah membuktikannya, akan tetapi sekarang, apa salahnya kalau dia mencobanya?
Dia segera melepaskan tali yang mengikat mustika batu giok itu dari lehernya. Kalau dia mempergunakan totokan pada bagian kepala yang bawah di atas tengkuk dari Han Siong, yang menjadi pusat penerimaan segala yang datangnya dari luar, tentu hubungan dengan kekuatan sihir hitam itu akan terputus. Namun hal itu berbahaya sekali karena Han Siong akan menjadi terputus sama sekali dengan hal-hal di luar dirinya, dan kalau terlalu lama dapat membuat pemuda itu menjadi hilang ingatan dan hilang pula daya pikirnya.
Akan tetapi, jika batu giok ini memang mempunyai kekuatan ajaib yang halus, siapa tahu mampu membebaskan Han Siong dari pengaruh sihir, atau setidaknya dapat mengurangi kekuatan sihir itu. Dengan pikiran demikian Hay Hay segera memutuskan untuk mencoba keampuhan batu giok mustika miliknya.
Hay Hay lalu menggosok-gosokkan batu giok itu pada seluruh kepala, wajah serta leher, kemudian ditempelkan hingga lama pada tengkuk sambil terus memperhatikan wajah Han Siong. Tidak lama kemudian Hay Hay melihat perubahan pada pandang mata itu. Kalau tadi, ketika dia mulai dengan penggosokan batu giok, sepasang mata itu nampak berkilat marah, kini kilatan kemarahan itu semakin menipis dan akhirnya memudar. Tiba-tiba Han Siong membelalakkan matanya dengan pandang mata heran.
"Heiii! Hay Hay, apa yang kau lakukan ini? Ihhh... aku tertotok!" serunya ketika dia gagal menggerakkan kaki tangannya.
"Han Siong, dengarkan baik-baik dengan hati tenang dan sabar. Engkau baru saja sadar dari pengaruh sihir hitam yang sangat jahat. Tadi engkau menyerangku dan kita berkelahi, untung dengan akal aku dapat menotokmu roboh. Sekarang coba kau kerahkan kekuatan batinmu untuk merasakan datangnya serangan pengaruh sihir itu. Cepat...!”
Hay Hay mengangkat batu gioknya dan Han Siong yang cerdik segera mentaati perintah Hay Hay. Benar saja, begitu batu giok di angkat, dia merasakan getaran aneh, akan tetapi sekarang dia mampu menahannya dengan kekuatan sihirnya sendiri.
“Hay Hay, ada getaran aneh... begitu kuat untuk menguasai diriku. Ah, ada dorongan agar aku memusuhimu, membunuhmu...”
“Bagus, engkau sudah dapat merasakannya dan dapat menguasainya. Dengar baik-baik, Han Siong. Engkau pertahankan terus dengan kekuatanmu dan peganglah kuat-kuat batu ini, tempelkan di atas tengkukmu, nah, di sini, dan pengaruh itu akan menipis. Akan tetapi jangan ditolak sama sekali, melainkan ikuti saja...”
“Kau gila? Mengikuti pengaruh itu?”
“Maksudku, ikuti saja kalau pengaruh itu memanggilmu karena hal itu akan membawa kita kepada yang melepaskan sihir atas dirimu. Aku akan membayangi dari belakang dan kita bersama akan menumpas mereka!”
“Mereka? Kau maksudkan... para pendeta Lama itu?”
"Siapa lagi? Mereka telah mengambil darahmu untuk menyihirmu. Ingat, jangan kau turun tangan menyerang kalau belum kuberi tanda. Sebaiknya urusanmu dengan Dalai Lama ini segera diselesaikan agar jangan sampai engkau terganggu lagi!"
"Maksudmu bagaimana, Hay Hay...?" Han Siong bertanya bingung karena dia masih saja merasakan tarikan yang kuat dari pengaruh sihir hitam itu.
"Jangan banyak bicara tetapi dengarkan baik-baik, Han Siong. Pendeta Lama itu sedang mempengaruhimu agar bermusuhan dengan aku, dan kalau tidak keliru dugaanku, hal itu bertujuan agar dengan mudah engkau akan dapat mereka bawa ke Tibet. Bukankah dari dahulu, sejak kau bayi, mereka itu memang hendak membawamu ke sana? Sekaranglah saatnya yang baik. Engkau telah tahu bahwa engkau disihir, akan tetapi dengan batu giok itu engkau dapat menolak sihir mereka. Engkau pura-pura dalam pengaruh sihir mereka dan bila mereka mengajakmu ke Tibet, kau ikuti saja. Aku membayangimu dari belakang dan kita bersama akan melihat apa yang sesungguhnya terjadi di sana. Maukah engkau menempuh petualangan baru di Tibet bersamaku? Tentu akan penuh bahaya dan hebat sekali. Maukah engkau?"
Hay Hay tidak menyebut tentang Ci Goat karena kalau sampai pemuda itu menyadari apa yang sudah diperbuatnya dengan Ci Goat maka hal itu akan menjadi pukulan batin yang sangat berat dan akan melemahkannya sehingga pengaruh sihir itu akan lebih mudah lagi menguasainya.
“Baik, aku mengerti. Ahh, dorongan itu makin kuat, menyuruh aku membawa pakaianku dan pergi dari rumah itu...”
"Bagus, sekarang kubebaskan engkau dan ikuti saja, Han Siong. Ingat, segera gunakan batu kemala (giok) itu kalau sampai dorongan itu terlalu kuat. Engkau harus selalu dapat menguasai dirimu, dan hanya berpura-pura saja taat kepada pengaruh sihir mereka."
Tanpa ragu-ragu lagi Hay Hay lalu membebaskan totokan pada tubuh Han Siong. Pemuda ini dapat bergerak kembali dan Hay Hay mengangguk-angguk.
"Nah, turutilah perintah melalui pengaruh sihir itu Han Siong."
Keduanya lalu kembali ke rumah keluarga Ouw, seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu. Kini di dalam telinga Han Siong terdengar jelas perintah bahwa dia harus membunuh Hay Hay, atau menjauhkan diri dan setelah mengambil pakaian harus meninggalkan rumah itu tanpa setahu Hay Hay. Tanpa setahu Hay Hay? Akan tetapi Han Siong segera tersenyum. Hay Hay akan mengetahuinya, yang tidak tahu adalah mereka yang menyihirnya!
Kedatangan mereka disambut oleh Ouw Lok Khi yang terlihat bingung dan gelisah sekali. Betapa terkejut rasa hati Hay Hay ketika mendengar dari tuan rumah itu bahwa Ouw Ci Goat telah pergi dari dalam kamarnya! Ia mengamati wajah Han Siong yang mengerutkan alis dan kelihatan terheran-heran. Agaknya Han Siong belum menyadari apa yang sudah dia lakukan tadi malam, atau menganggapnya sebagai mimpi saja.
"Kapan perginya, Paman Ouw? Dan ke mana?"
"Entah ke mana dan kapan, akan tetapi pagi-pagi sekali tadi dia sudah tidak ada di dalam kamarnya, dan dia membawa pedangnya. Tadinya, melihat bahwa ji-wi taihiap (pendekar besar berdua) juga tidak berada di kamar, hati kami merasa lega dan mengira bahwa dia pergi bersama ji-wi (kalian). Akan tetapi sekarang ji-wi sudah pulang dan dia... ahhh, ke mana perginya anakku?"
"Hemm, jangan khawatir, Paman. Kami berdua akan segera pergi mencarinya!" kata Hay Hay.
Wajah Ouw Lok Khi kelihatan lega. "Ahh, terima kasih. Kalau ji-wi yang pergi mencarinya maka hatiku tidak akan khawatir lagi."
Han Siong lalu mengambil pakaiannya, demikian juga Hay Hay dan tidak lama kemudian, sesudah matahari naik agak tinggi, Han Siong memberi isyarat kepada Hay Hay bahwa pengaruh sihir itu mulai memerintahkan agar dia pergi dari situ!
Mereka lalu pergi meninggalkan rumah Ouw Lok Khi. Setelah tiba di luar kota, Hay Hay memberi isyarat agar Han Siong terus mengikuti arah yang ditunjukkan dalam pengaruh sihir, sedangkan dia sendiri mengikuti atau membayangi dari jauh.
********************
Ke mana perginya Ci Goat? Tadi malam dia sudah mengalami hal yang sama sekali tak pernah disangkanya. Ketika dia mendengar dari Hay Hay bahwa Pek Han Siong, pemuda yang dicintanya itu, tidak mungkin dapat menyambut dan membalas cintanya, dia merasa berduka walau pun duka itu sudah banyak berkurang karena jasa Hay Hay yang pandai menghiburnya dan menyadarkannya. Akan tetapi bagamana pun juga malam itu dia tidak dapat tidur dan lebih banyak melamun sambil berbaring.
Dia belum tidur ketika ada ketukan daun jendela, dan dapat dibayangkan betapa gembira dan tegang rasa hatinya ketika mendengar bahwa yang mengetuk daun jendela kamarnya adalah Pek Han Siong dan pemuda itu minta dibukakan jendela karena ingin bicara!
Ketegangan dan kegembiraan itu berubah menjadi lautan kebahagian setelah pemuda itu melompat ke dalam kamarnya, menutupkan jendela dan langsung merangkulnya! Hampir dia tidak dapat mempercayai apa yang didengar, dilihat dan dirasakannya, disangkanya dia sedang dalam mimpi.
Akan tetapi, karena pada saat itu dia sedang kehausan kasih sayang, sedang patah hati setelah tadi mendengar bahwa orang yang dicintanya tidak dapat menerima cintanya, kini melihat betapa orang yang dicintanya itu datang-datang merangkul dan menciuminya, Ci Goat kehilangan semua keseimbangan hatinya. Dia hanyut dan terseret. Dia tidak peduli apa pun yang akan menjadi akibatnya. Dia menyerah sebulatnya, penuh kepasrahan dan dengan suka rela, bahkan menyambut dengan api gairah yang menyala-nyala.
Dia dan kekasihnya itu sampai lupa diri, lupa tempat dan waktu. Sesudah Pek Han Siong meninggalkannya baru dia terkejut. Selama tenggelam dalam gelombang nafsu birahi dan kemesraan tadi, keduanya tidak sempat bicara. Dalam keadaan seperti itu, kata-kata tidak ada artinya lagi. Pikiran tidak lagi bekerja, kesadaran tidak lagi bergerak. Yang ada hanya satu, yaitu mengikuti dorongan gairah dan nafsu birahi yang menguasai seluruh diri lahir batin, lain-lain hal tidak masuk hitungan lagi.
Ci Goat baru tersentak kaget setelah Han Siong meninggalkannya. Dia kaget bukan main melihat kenyataan yang tidak masuk di akal itu. Dia sudah menyerahkan diri begitu saja kepada seorang pria, bahkan menyambut dengan gairah yang sama besarnya! Meski dia mencinta pria itu dengan seluruh jiwa raganya, namun penyerahan itu sungguh menyalahi segala peraturan, melanggar kesusilaan dan merendahkan martabatnya sebagai seorang wanita! Dia tidak menyesal, melainkan terkejut dan juga terheran mengapa hal seperti itu bisa terjadi!
Dia mengenal Han Siong bukan sebagai seorang pemuda seperti itu, dan dia sendiri juga seorang gadis yang memiliki harga diri tinggi. Maka timbul rasa penasaran di hatinya dan dia pun keluar dari kamarnya, diam-diam membayangi kekasihnya yang menuju kembali ke kamarnya sendiri itu. Tiba-tiba dia melihat munculnya Hay Hay, lalu dia mendengarkan percakapan antara Han Siong dan Hay Hay.
Semakin didengarkan percakapan itu, semakin pucatlah wajah Ci Goat. Bibirnya gemetar dan kedua matanya segera bercucuran air mata setelah dia mendengar ucapan Hay Hay, "…engkau masuk ke kamar Ci Goat karena dituntun oleh kekuatan hitam! Engkau sudah dicengkeram oleh ilmu hitam tiga orang pendeta Lama itu, Han Siong!"
Dia juga mendengar ucapan Han Siong, "Aku tidak akan mengawini gadis mana pun!"
Kini mengertilah Ci Goat. Dengan hati hancur dia baru mengerti bahwa segala yang telah terjadi semalam hanya merupakan sesuatu yang palsu. Kepalsuan yang harus ditebusnya dengan aib dan kehormatannya. Ternyata Han Siong sama sekali tidak mencintanya! Han Siong melakukan perbuatan tadi bukan atas kehendaknya sendiri, bukan karena cintanya, bahkan tanpa disadarinya! Dia melakukannya atas tuntunan pengaruh sihir atau kekuatan hitam dari pendeta Lama.
Tiga orang pendeta Lama! Ci Goat tersentak dan cepat dia kembali memasuki kamarnya, mengenakan pakaian ringkas dan membawa pedangnya. la tahu ke mana dia harus pergi. Dia telah mendapat keterangan dari seorang penduduk yang ikut menyerbu para penjahat bahwa beberapa hari sebelumnya ada tiga orang pendeta Lama bertanya-tanya tentang orang yang bernama Pek Han Siong alias Sin-tong, dan mereka adalah tiga orang pendeta Lama yang hadir dalam pemakaman tiga orang murid Pek-tiauw-pang. Menurut orang itu, dia bertemu dengan tiga orang pendeta Lama yang tinggal di sebuah kuil tua yang sudah tidak dipergunakan lagi, di sebuah bukit kecil di luar kota Hok-lam.
Kini, setelah dia mendengar kekuasaan ilmu hitam dari tiga orang pendeta Lama, dengan hati penuh duka dan dendam Ci Goat pergi menuju ke bukit itu. Cuaca masih gelap ketika dengan isak tertahan gadis itu berlari mendaki bukit.
Sesudah tiba di depan kuil tua itu, Ci Goat mencabut pedangnya dan dengan nekat, tanpa mengenal rasa takut karena duka dan sakit hati menyesak di dada, dia melompat dan lari memasuki kuil itu. Di tengah kuil itu, di sebuah ruangan yang luas, dia melihat tiga orang pendeta Lama itu duduk bersila menghadapi dupa yang mengepulkan asap tebal dan di atas lantai terdapat coret-coretan, lilin dan jimat-jimat.
Biar pun dia tidak tahu apa artinya semua itu, tetapi Ci Goat dapat menduga bahwa tentu mereka itu sedang melakukan sihir yang menguasai Han Siong. Hal ini mengingatkan dia akan keadaan dirinya yang sudah ternoda.
Kalau saja Han Siong melakukan hal semalam atas dirinya dengan suka rela, atas dasar cinta dan pemuda itu bersedia mempertanggung jawabkannya, tentu dia tak akan merasa ternoda karena dia pun menyerah dengan suka rela. Akan tetapi pemuda itu melakukan hal itu bukan karena cinta, melainkan karena ulah ketiga orang pendeta Lama ini, di luar kesadarannya dan karena itu tidak mau bertanggung jawab. Maka semua dendam dan sakit hati gadis itu ditumpahkan kepada ketiga orang pendeta Lama.
"Pendeta keparat, kalian layak mampus!" bentaknya dan gadis ini telah meloncat masuk.
Namun tiga orang pendeta Lama itu kelihatan tenang-tenang saja, bahkan tidak bergerak seolah-olah tidak tahu akan kehadiran gadis itu. Dengan kemarahan meluap karena sakit hatinya, Ci Goat menerjang dan mengayun pedangnya ke arah kepala pendeta terdekat, yaitu Pat Hoa Lama. Pedangnya menyambar ke arah kepala yang gundul itu dan Pat Hoa Lama sama sekali tidak menangkis atau mengelak, seakan tidak tahu bahwa kepalanya sedang dibacok orang dengan sebatang pedang yang tajam.
"Singgg…! Takkk!"
Ci Goat kaget bukan main. Pedangnya terpental seolah-olah bertemu dengan baja, bukan kepala manusia! Pada saat itu pula pinggangnya dipeluk orang dan tahu-tahu pedangnya sudah dirampas dan tubuhnya sudah ditarik sehingga terjatuh ke atas pangkuan pendeta Lama yang berada di tengah. Pendeta tinggi kurus Janghau Lama sudah menangkapnya. Mata yang amat sipit itu kini terbuka dan mulutnya yang ompong menyeringai.
"Ha-ha-ha-ha, gadis cantik, engkau datang hendak menemani pinceng? Bagus! Memang pinceng sedang merasa kesepian. Suheng dan Sute, kalian lanjutkan saja permainan kita, pinceng ingin bermain-main sejenak dengan gadis manis ini!"
Dua orang pendeta yang lain seperti tidak tahu atau tak peduli, tetap duduk bersila seperti patung. Janghau Lama bangkit sambil memondong tubuh Ci Goat.
Gadis itu merasa ngeri melihat keadaan tiga orang pendeta itu. Dia meronta, akan tetapi sepasang tangannya tidak dapat bergerak karena keduanya telah dipegang dengan amat kuatnya oleh tangan kiri Janghau Lama yang jarinya panjang-panjang.
Janghau Lama membawa Ci Goat ke sudut ruangan itu, lalu dia menjatuhkan diri ke atas lantai sambil mendekap Ci Goat. Tangan kanannya cepat bergerak dan terdengarlah kain robek berulang kali pda waktu tangan yang kurus panjang namun amat kuat itu rnerobek-robek semua pakaian dan merenggutnya lepas dari tubuh Ci Goat.
Jelas bagi Ci Goat apa yang akan dilakukan pendeta itu terhadap dirinya. Dia merasa tak berdaya. Kini dia maklum bahwa dirinya sama sekali bukan tandingan tiga orang pendeta Lama ini. Melawan pun akan percuma saja karena tentu dia akan diperkosa tanpa mampu mempertahankan diri sama sekali.
Rasa ngeri membuat dia rnencari akal. Ketika Janghau Lama nampak terangsang setelah merenggut lepas semua pakaian Ci Goat, pendeta yang kini telah kelihatan watak aslinya itu mendengus dan mencium mulut Ci Goat. Gadis ini pura-pura lunglai dan lemas, tidak melawan lagi seolah membiarkan mulutnya dicium. Akan tetapi begitu bibir Janghau Lama menempel di mulutnya, dia cepat membuka mulut dan menggigit bibir itu sekuat tenaga.
"Auhhh…!" Janghau Lama yang sedang dikuasai nafsu birahi itu menjadi lengah, bibirnya tergigit hampir putus dan terluka. Dia pun segera melepaskan rangkulannya.
Begitu merasa betapa dirinya telah bebas, Ci Goat cepat-cepat menggerakkan kepalanya, dibenturkan sekuatnya pada dinding di dekatnya. Terdengar suara nyaring dan gadis itu terkulai dengan kepala retak! Dia tewas seketika. Agaknya dia memilih mati membunuh diri dari pada membiarkan dirinya dinodai pendeta Tibet itu, yakin bahwa dia tidak mampu melawan, tidak akan mampu menghindarkan diri dari perkosaan.
Janghau Lama terkejut melihat gadis itu rebah tak bernyawa lagi, cairan merah bercampur putih keluar dari retakan kepalanya. Terdengar suara Gunga Lama.
"Sute, engkau sudah bertindak ceroboh. Gadis itu telah tewas, dan urusan tentu menjadi kacau. Mari kita cepat memperkuat daya pengaruh kita untuk memanggil Pek Han Siong ke sini!"
Janghau Lama tidak berani banyak membantah lagi. Dia telah merasa bersalah. Tadi dia terlampau dipengaruhi nafsu birahi sehingga dia kurang waspada, mudah dibuat lengah oleh gadis itu yang membunuh diri. Pada hal dia hanya ingin main-main sebentar sebelum menawan gadis yang datang mengamuk itu.
Dia tahu bahwa permainan mereka bertiga kini sudah diketahui orang. Buktinya gadis itu datang dan menyerang. Hal itu berarti bahwa gadis itu sudah mengetahui atau setidaknya menduga bahwa mereka memainkan suatu permainan rahasia.
Janghau Lama cepat kembali ke tempatnya semula dan mereka bertiga mengerahkan seluruh kekuatan untuk memanggil Pek Han Siong melalui ilmu sihir. Bibir Janghau Lama terluka dan berdarah.
********************
Han Siong merasa benar tarikan pengaruh yang amat kuat itu, sesuatu yang memanggil-manggilnya, yang seperti menyedotnya. Dia mengikuti daya tarikan ini dan kadang, kalau tarikan itu terasa terlalu kuat, dia meraba batu kemala yang tergantung pada lehernya dan tersembunyi di balik bajunya, lalu menempelkannya di atas tengkuknya.
Dan benar saja. Setiap kali dia melakukan itu, daya tarikan itu menjadi berkurang banyak sekali kekuatannya. Dengan adanya bukti ini, hatinya menjadi tenang. Apa lagi mengingat bahwa tidak jauh di belakangnya ada sahabatnya yang sangat boleh dipercaya, yaitu Hay Hay.
Meski pun bayangan itu suram muram, namun kini Han Siong mulai dapat mengingat apa yang terjadi tadi malam. Rasanya bagaikan orang mengenang sebuah mimpi yang sudah hampir terlupa saja.
Akan tetapi, setiap kali dia mengingatnya bayangan itu cukup membuat mukanya berubah merah. Apa yang telah terjadi di dalam kamarnya Ci Goat itu! Bergidik dia mengenangkan semua itu. Walau pun hanya samar-samar, tapi dia dapat menduga apa yang telah terjadi.
Di bawah pengaruh daya sihir yang amat kuat, yang bisa melumpuhkan semua kekuatan sihirnya sendiri, dia telah dituntun memasuki kamar Ci Goat dan dibangkitkan oleh gairah yang tidak wajar. Dia dapat pula membayangkan penyambutan Ci Goat.
Gadis itu jatuh cinta kepadanya, bahkan ketika bersembahyang gadis itu mengaku bahwa dia mencinta dirinya dengan sepenuh jiwa raganya. Agaknya semalam gadis itu pun telah menyambutnya dengan suka rela.
Setelah Ci Goat mendengar dari Hay Hay bahwa dia tak dapat menerima dan membalas cintanya, tentu gadis itu menjadi patah hati dan berduka. Karena itu, ketika malam itu dia memasuki kamarnya, agaknya gadis itu memperoleh harapan baru. Dan dia bergidik bila membayangkan apa yang tentu telah terjadi di antara mereka.
Meski pun samar-samar namun dia masih ingat, dan bulu tengkuknya segera meremang bila mana dia membayangkan apa yang akan menjadi tanggung jawabnya. Walau pun dia melakukannya di luar kesadarannya, karena terpengaruh sihir, namun hal itu telah terjadi. Ci Goat kini telah ternoda, dan sebagai seorang jantan dia harus berani mempertanggung jawabkannya.
Tarikan daya kekuatan itu menuntunnya ke sebuah bukit dan tak lama kemudian dia telah sampai di depan sebuah kuil tua. Jantungnya berdebar tegang. Kalau menurutkan suara hatinya, ingin dia menghajar tiga orang pendeta Lama itu karena mereka sudah membuat dia tanpa disadarinya telah menodai Ci Goat. Hal ini berarti akan merubah seluruh jalan hidupnya karena dia harus mengawini gadis itu! Sudah sepantasnya tiga orang pendeta Lama itu dihajar bahkan dibunuhnya!
Akan tetapi dia teringat akan nasehat Hay Hay. Memang sebaiknya kalau dia menyelidiki dan membiarkan dirinya dibawa ke Tibet agar urusan dirinya dengan para Lama di Tibet segera dapat diselesaikan dan tidak berlarut-larut. Jika dia membunuh tiga orang pendeta Lama ini, maka semua jejak menuju ke Tibet akan terputus dan terhapus.
Dia memasuki kuil tua itu karena ada dorongan atau tarikan yang amat kuat dari arah itu. Ketika dia masuk ke ruangan dalam itu, tiga orang pendeta Lama telah bangkit berdiri dan menyambutnya dengan sikap hormat.
"Terima kasih bahwa Sin-tong sudah berkenan menerima undangan kami dan datang ke sini!" kata Gunga Lama sambil memberi hormat, diturut pula oleh dua orang sute-nya.
Han Siong bersikap seperti seorang yang linglung. Dia membalas penghormatan itu, lalu menjawab dengan suara datar. "Sam-wi lo-suhu ada keperluan apakah mengundang aku ke sini?"
"Sin-tong, ketahuilah bahwa engkau adalah calon junjungan kami, engkaulah calon Dalai Lama yang sejati. Sudah terlampau lama kami menantimu, Sin-tong, dan sekarang tibalah saatnya engkau ikut bersama kami pergi ke tempat di mana selayaknya engkau berada, yaitu di Tibet, untuk memimpin kami ke Jalan Terang. Marilah, ikutilah kami, Sin-tong, kita pergi sekarang juga ke barat."
Di dalam suara itu terkandung kekuatan mukjijat dan Han Siong kini merasakan getaran yang sangat kuat. Di hadapan mereka, dia tidak mungkin dapat mempergunakan kemala mustikanya yang tergantung di lehernya, maka dia pun mengangguk dan berkata singkat, "Baiklah, aku menurut."
Tiga orang pendeta Lama itu girang bukan main dan mereka lalu mengajak Han Siong ke luar dari kuil itu, langsung menuruni bukit menuju ke barat. Di dalam kesempatan ini diam-diam Han Siong menggerakkan kalungnya sehingga kemala itu berputar ke tengkuknya dan seketika dia merasa betapa tekanan atau tarikan yang memaksanya itu mengendur.
Hal ini perlu dia lakukan agar dia jangan tenggelam ke dalam pengaruh sihir mukjijat itu. Di dalam keadaan setengah sadar ini dia masih mampu meneliti apa yang sesungguhnya terjadi dan dia dapat berpura-pura taat dan tunduk atas permintaan mereka.
Sementara itu, Hay Hay yang membayangi di belakang mengambil jalan memutar dan dia memasuki kuil dari arah belakang. Akan tetapi ketika dia tiba di belakang kuil, dia melihat tubuh seorang wanita menelungkup. Jelas dia sudah tak bernyawa lagi.
Hay Hay cepat menghampiri. Mayat itu masih baru, masih ada darah basah di kepalanya. Dengan sangat hati-hati dia membalikkan tubuh mayat itu dan hampir dia menjerit saking kagetnya. Ci Goat! Gadis ini telah mendahului Han Siong, entah bagaimana bisa sampai ke kuil ini dan terbunuh. Kepalanya pecah!
Pada waktu melihat tiga orang pendeta Lama sedang mengajak Han Siong pergi ke Tibet, hatinya panas sekali. Siapa lagi yang membunuh Ci Goat kalau bukan mereka? Ingin dia menerjang dan menghajar mereka. Tetapi dia lantas teringat akan Han Siong yang sedang pura-pura takluk di bawah kekuasaan mereka. Tidak, dia harus bersabar.
Bagaimana pun juga Ci Goat sudah tewas. Kini tinggal menyelesaikan urusan Han Siong dengan para pendeta Lama. Kasihan pemuda itu yang semenjak bayi terus dikejar-kejar sampai sekarang. Dia dan Han Siong harus menyelidiki sedalamnya, kalau perlu bertemu dengan pimpinan para Lama untuk mengajukan protes. Setelah urusan Han Siong selesai barulah dia akan membalas kematian Ci Goat yang penasaran itu, menuntut ketiga orang pendeta Lama ini.
Setelah tiga orang pendeta Lama dan Han Siong meninggalkan kuil, dan melihat betapa mereka menuruni bukit menuju ke barat, dia lalu cepat mengubur jenazah Ci Goat dengan sederhana di belakang kuil itu. Kemudian dia menggunakan ilmu berlari cepat mengejar ke barat karena dia tadi mendengar bahwa mereka mengajak Han Siong pergi ke Tibet dan mereka tadi menuruni bukit ke arah barat.
********************
Hari itu kota Pao-teng amat ramai. Maklum, dua hari lagi rakyat akan merayakan hari raya Tahun Baru Imlek. Beberapa hari sebelum Sincia (Tahu Baru Imlek) biasanya orang-orang sibuk berbelanja. Mereka membeli kain dan pakaian baru, juga membeli beberapa macam bahan untuk mengadakan sembahyangan dan pesta.
Para pedagang pakaian, bahan masakan dan sembahyang yang lebih dulu berpesta pora mengumpulkan keuntungan karena seperti biasanya, pada hari-hari sebelum Sincia para pedagang itu akan kebanjiran pembeli. Dan seperti biasa pula, kalau pembelinya terlalu banyak, lebih banyak yang dibutuhkan dari pada persediaannya, maka harga-harga akan membumbung tinggi sehingga perut para pedagang menjadi semakin gendut.
Semua orang nampak berseri wajahnya. Mereka yang saling mengenal, saling menegur di jalan dan ada yang bercakap dengan santai dan gembira. Ada para wanita yang bicara serius sambil berbisik, apa lagi yang dibicarakan kalau bukan desas-desus tentang wanita lainnya! Memang asyik membicarakan aib atau keburukan orang lain, karena kita merasa bersih dan tinggi ketika membicarakan kekotoran orang lain dan merendahkannya,.
Para wanita yang biasanya lebih banyak tinggal di rumah, kini banyak yang meninggalkan rumah keluar ke jalan raya. Inilah kesempatan baik sekali bagi para pria tua muda. untuk memuaskan mata mereka dan mengagumi gadis-gadis manis yang banyak berkeliaran di jalan-jalan, toko-toko dan pasar untuk berbelanja.
Daya tarik lawan jenis yang selalu dikekang demi sopan santun dan tata susila antara pria dan wanita, pada kesempatan itu agak longgar dan terlepas sehingga kedua belah pihak merasakan kegembiraan besar karena bisa saling pandang dan saling senyum. Yang pria mengambil sikap dan mengeluarkan kata-kata menyanjung atau menggoda, yang wanita menyembunyikan rasa gembira di balik senyum tersipu malu.
Di dalam kesempatan semacam itu, bukan mustahil dua hati akan bertaut dan merupakan suatu awal menuju kepada ikatan pernikahan. Ada pula yang menjadi awal mala petaka karena terjadi pelanggaran susila dan penyelewengan. Di segala pelosok dunia, keadaan semacam ini sudah lazim terjadi. Kehidupan memang berputar di sekitar hubungan antara pria dan wanita.
Seperti telah menjadi kebiasaan semenjak jaman dahulu, pada hari-hari menjelang Sincia sampai biasanya lima belas hari sesudah Sincia, orang-orang berpesta pora dan di mana-mana orang memasang petasan hingga keadaan menjadi meriah dan bising. Kebisingan suara petasan mendatangkan suatu perasaan gembira tersendiri di dalam hati manusia. Dan biasanya orang tidak merasa sayang menghamburkan uang untuk membeli petasan dan membakar petasan seperti sedang bersaing dengan orang lain. Makin besar petasan yang disulut, makin banyak, akan makin banggalah hati.
Di antara sekian banyaknya orang yang berlalu lalang di jalan raya kota Pao-teng, tampak seorang gadis yang amat menarik. Memang banyak terdapat wanita cantik berkeliaran di jalan sebab boleh dibilang pada pagi hari itu semua wanita di kota Pao teng keluar rumah. Akan tetapi gadis ini memiliki daya tarik tersendiri yang membuat semua mata pria yang berpapasan di jalan tentu memandangnya dengan kagum. Bahkan beberapa pria sampai menoleh ke belakang untuk terus menikmati penglihatan yang menyenangkan itu.
Dia adalah seorang gadis berusia antara sembilan belas sampai dua puluh tahun, bagai setangkai bunga yang sedang mekar semerbak. Wajahnya berbentuk bulat telur dengan dagu runcing. Mulutnya kecil dengan sepasang bibir yang manis sekali, segar kemerahan, dan ujung hidungnya yang mancung dapat bergerak-gerak, lucu sekali. Matanya jeli dan sinarnya tajam, jika mengerling nampak anggun dan dapat meruntuhkan hati setiap orang pria.
Pakaiannya dari sutera yang halus dan meski pun tidak terlalu mewah, namun pakaian itu rapi dan menunjukkan bahwa gadis itu bukanlah seorang miskin. Melihat sebuah buntalan panjang yang tergendong di punggungnya, mudah diduga bahwa dia tentu seorang gadis pendatang, bukan penduduk kota Pao-teng dan agaknya hari itu dia baru saja memasuki kota sehingga buntalan barangnya masih digendong di punggung.
Gadis manis itu bukan lain adalah Cia Kui Hong! Seperti yang sudah kita ketahui, dalam pemilihan ketua baru Cin-ling-pai, terjadi perebutan di antara Cia Kui Hong dan Tang Cun Sek. Sebenarnya Kui Hong tidak ingin menjadi ketua Ci-ling-pai, dan kalau dia mengikuti pemilihan itu hanyalah untuk mencegah agar kedudukan ketua Cin-ling-pai tidak terjatuh ke tangan Tang Cun Sek. Dia berhasil mengalahkan Cun Sek, lantas dia diangkat menjadi ketua Cin-ling-pai yang baru, sedangkan Cun Sek minggat sambil membawa pergi Hong-cu-kiam, pedang pusaka Cin-ling-pai.
Karena ia memang tidak suka menjadi ketua baru, Kui Hong lalu menyerahkan kekuasaan pimpinan Cin-ling-pai kepada Gouw Kian Sun, yaitu sute dari ayahnya, untuk mengurus perkumpulan itu. Dia sendiri lalu meninggalkan Cin-ling-san untuk mencari Tang Cun Sek dan merebut kembali Hong-cu-kiam, juga akan mencari Sim Ki Long dan merebut kembali Gin-hwa-kiam milik Pulau Teratai Merah yang dibawa minggat oleh Sim Ki Liong. Ada pun ayah dan ibunya, sesudah menyerahkan kedudukan ketua Cin-ling-pai, pergi berkunjung ke Pulau Teratai Merah.
Demikianlah perjalanan singkat Cia Kui Hong sampai pada pagi hari itu dia memasuki kota Pao-teng. Dia turut merasa gembira melihat ramainya kota itu dengan penduduknya yang bergembira ria menyambut datangnya Sincia yang tinggal dua hari lagi. Akan tetapi di samping kegembiraannya, di sudut hatinya terdapat perasaan sedih dan juga kesepian karena dia teringat pada ayah ibunya, juga kepada kakek dan neneknya di Pulau Teratai Merah, dan kepada kakeknya di Cin-Iing-pai.
Pada hari Sincia, biasanya dia selalu berkumpul dengan keluarganya, dan terdapat suatu kegembiraan yang khas ketika berkumpul dengan seluruh keluarga pada hari Sincia itu. Sekarang dia menyambut menjelang Sincia seorang diri saja, di tempat asing di mana dia tidak mempunyai seorang pun kenalan. Dan yang lebih mengesalkan hatinya lagi, sampai sekian lamanya dia belum dapat menemukan jejak dua orang yang dicarinya, yaitu Tang Cun Sek dan Sim Ki Liong.
Pada saat itu pula terdengar bunyi roda kereta dan sebuah kereta yang ditarik oleh empat ekor kuda lewat di jalan raya itu. Semua orang minggir dan memberi jalan, dan banyak di antara mereka yang memberi hormat ke arah kereta. Kui Hong melihat bahwa kereta itu adalah milik seorang yang berpangkat tinggi. Hal ini mudah dilihat dengan adanya sebuah bendera kebesaran di kereta itu, juga ada selosin pasukan mengiringi kereta.
Ketika kereta itu lewat di depan sebuah toko, seuntai mercon besar-besar yang disulut oleh pemiliknya tiba-tiba saja meledak-ledak dengan suara yang amat nyaring dan bising. Empat ekor kuda penarik kereta menjadi terkejut, dan dua di antaranya mengangkat kaki depan tinggi-tinggi, lalu empat ekor kuda itu meloncat ke depan dan lari ketakutan sambil berloncatan.
Kusirnya terkejut dan berusaha menenangkan kuda. Dia bangkit berdiri, akan tetapi kuda-kuda itu semakin ketakutan, terus melonjak-lonjak sehingga kusirnya terlempar keluar dari atas kereta saking kuatnya guncangan itu! Empat ekor kuda itu lalu kabur!
Melihat ini, para pengawal membalapkan kuda untuk menyusul. Akan tetapi mereka pun tidak mampu menenangkan kuda, bahkan kuda-kuda penarik kereta itu menjadi semakin panik ketika melihat banyak kuda para pengawal lari di samping mereka.
Semua orang terbelalak dan merasa khawatir melihat peristiwa itu terjadi. Mereka yang mengenal bendera di atas kereta itu tahu bahwa yang duduk di dalam kereta itu adalah Cang Taijin, yaitu seorang pembesar dari kota raja yang amat terkenal karena dia adalah seorang menteri yang bijaksana dan disegani seluruh pembesar, bahkan menjadi tangan kanan kaisar!
Selagi semua orang merasa panik, tiba-tiba nampak bayangan berkelebat ke atas kereta yang sedang dibalapkan empat ekor kuda yang kabur itu. Semua orang terbelalak heran melihat betapa di tempat kusir tadi kini sudah berdiri seorang gadis yang manis sekali. Dia bukan lain adalah Kui Hong!
Ketika tadi dia melihat kereta dibawa kabur dan kusirnya terpental keluar kereta, Kui Hong segera lari menghadang dan begitu kereta itu lewat, dia pun mempergunakan kelincahan tubuhnya, melompat ke atas kereta dan cepat dia menyambar kendali kuda yang terlepas. Dengan kekuatan sinkang-nya, dia lalu menarik kendali kuda itu.
Empat ekor kuda itu meronta, melonjak-lonjak dan mempergunakan tenaga mereka untuk melepaskan kendali yang menarik kepala mereka ke belakang, namun sia-sia belaka dan akhirnya, biar pun mereka itu masih meringkik-ringkik, tetapi mereka tidak mampu kabur lagi. Dengan kepala ditarik ke belakang seperti itu mau tidak mau mereka menghentikan lari mereka sehingga kereta itu pun berhenti.
Pintu kereta dibuka dari dalam dan keluarlah seorang pria setengah tua bersama seorang laki-laki muda. Mereka berpakaian serba indah, pakaian bangsawan. Pria yang usianya lebih dari lima puluh tahun dan bertubuh tegap itu nampak tenang ketika menuruni kereta, tetapi orang kedua, seorang pemuda berusia kurang lebih dua puluh tujuh tahun, nampak pucat dan kedua kakinya gementar ketika dia menuruni kereta.
Kusir kereta segera naik ke atas kereta dengan pipi lebam dan pakaian koyak-koyak. "Terima kasih, Nona, terima kasih...!” katanya sambil menerima kendali kuda dari tangan gadis itu.
Kui Hong hanya mengangguk, lalu dia pun melompat turun. Buntalan panjang tadi masih melekat di punggungnya dan dia sama sekali tidak kelihatan tegang, masih tetap tenang seolah-olah apa yang dia lakukan hanyalah permainan kanak-kanak saja.
Pembesar itu menatap kepadanya sambil mengerutkan alisnya karena dia merasa seperti pernah mengenal nona manis itu. Sebaliknya, Kui Hong yang memandang kepada pria itu juga segera menghampiri dan memberi hormat dengan mengangkat dua tangan ke depan dada.
"Ahhh, kiranya Cang Taijin yang berada di dalam kereta!" serunya gembira sekali karena ternyata pejabat pemerintah yang ditolongnya itu adalah seorang pembesar yang sangat dikaguminya dan dahulu pernah dikenalnya, yaitu Menteri Cang Ku Ceng yang setia dan bijaksana.
Sejak tadi menteri itu sudah merasa mengenal Kui Hong. Sekarang dia melangkah maju dan mendekat lalu membalas penghormatan gadis itu. "Maafkan aku, rasanya aku pernah mengenalmu, Nona, akan tetapi aku lupa lagi kapan dan di mana.”
Kui Hong tersenyum, tidak tersinggung walau pun pembesar ini lupa kepadanya. Maklum, sebagai seorang pejabat tinggi yang berhubungan dengan banyak sekali orang, tentu saja tidak mungkin Cang Taijin ingat semua orang yang pernah dikenalnya.
“Memang kita pernah saling jumpa ketika para pendekar membantu pasukan Cang Taijin membasmi pemberontak Kulana...”
"Ahh, benar! Nona adalah seorang di antara para pendekar muda yang gagah perkasa itu. Maafkan kalau aku sudah lupa, dan siapakah namamu, lihiap (pendekar wanita)?”
"Nama saya Cia Kui Hong, Taijin."
"She Cia? Ahh, sekarang aku ingat. Lihiap adalah puteri ketua Cin-ling-pai, bukan? Lihiap adalah seorang di antara para pendekar wanita muda yang kami kagumi. Dan kini, lihiap pula yang telah menyelamatkan kami dari bahaya. Sun-ji, (anak Sun), ini adalah pendekar wanita Cia Kui Hong dari Cin-ling-pai yang tadi sudah menyelamatkan kita. Lihiap, dia ini adalah puteraku Cang Sun."
Kui Hong memberi hormat kepada pemuda itu dan diam-diam dia kecewa. Dia mengenal Cang Taijin sebagai seorang pembesar yang bijaksana, setia dan juga pandai, akan tetapi mengapa puteranya ini demikian penakut? Memang tampan, tetapi tidak memiliki wibawa dan keagungan seperti ayahnya, malah pandang matanya mengandung kecabulan ketika menjelajahi tubuhnya.
"Nona Cia Kui Hong, terima kasih atas pertolonganmu tadi," Cang Sun berkata sambil tersenyum.
"Cia-lihiap, agaknya engkau baru saja masuk ke kota ini. Buntalan pakaianmu masih kau gendong...,” kata pembesar itu.
"Memang, baru pagi ini saya memasuki kota Pao-teng ini, Taijin."
"Jika begitu, mari engkau ikut bersama kami, lihiap, menjadi tamu kami yang terhormat."
"Saya hanya akan mengganggu dan membikin repot saja, Taijin."
"Ahh, sama sekali tidak, lihiap. Kami mempunyai rumah di Pao-teng sini, dan keluargaku akan merasa girang sekali menerimamu sebagai seorang tamu."
"Akan tetapi saya hendak mengunjungi keluarga paman Cia Sun di dusun Ciang-si-bun di sebelah selatan kota raja," kata Kui Hong.
Alasan ini bukan dicari-cari karena memang dia ingin berkunjung ke rumah pendekar Cia Sun. Sebenarnya Cia Sun masih terhitung paman dari ayahnya, akan tetapi karena usia Cia Sun sebaya dengan ayahnya, dia sudah biasa menyebutnya paman saja.
Memang hubungannya dengan keluarga ini cukup dekat. Cia Sun bukan saja mempunyai hubungan darah dengan ayahnya, akan tetapi isteri Cia Sun yang bernama Tan Siang Wi juga merupakan seorang tokoh dan murid Cin-ling-pai, murid kongkong-nya. Dan puteri mereka, Cia Ling juga telah dikenalnya dengan baik sekali ketika mereka bersama terlibat dalam gerakan pembasmian gerombolan pemberontak yang dipimpin Kulana. Dia bukan hanya ingin berkunjung, melainkan juga hendak mencari jejak Sim Ki Liong dan Tang Cun Sek, dan bertanya kepada keluarga pendekar itu kalau-kalau mereka mendengar tentang dua orang yang dicarinya itu.
"Ciang-si-bun? Keluarga Cia Sun? Ah, jangan khawatir, akan kami antarkan karena kalau kami pulang ke kota raja juga melewati dusun itu, dan kami adalah sahabat baik pendekar Cia Sun! Hari ini kita bermalam di Pao-teng dan besok kita ke kota raja, singgah di rumah keluarga pendekar Cia Sun. Engkau harus ikut menggembirakan kami dengan merayakan Sincia di rumah kami di kota raja, lihiap."
Melihat sikap yang sangat ramah dan kesungguhan hati pejabat tinggi yang bijaksana itu, Kui Hong tidak dapat menolak lagi. Dia merasa kurang enak kalau menolak terus setelah pembesar itu bersikap sedemikian ramahnya. Dan dia pun tahu bahwa Menteri Cang Ku Ceng ini memiliki kedudukan yang amat tinggi, bahkan dia dihormati oleh semua pejabat lain. Hal itu telah dilihatnya sendiri ketika mereka bersama menghadapi gerombolan yang dipimpin Kulana beserta kawan-kawannya. Sungguh merupakan suatu kehormatan besar yang membanggakan kalau menjadi tamu pembesar ini, apa lagi tamu kehormatan!
Sesudah Kui Hong menerima undangannya, Cang Taijin merasa girang bukan main. Dia mempersilakan Kui Hong duduk di dalam kereta bersamanya, dan menyuruh puteranya, Cang Sun supaya menunggang kuda. Kemudian kereta yang dikawal itu meninggalkan tempat itu, diikuti pandang mata banyak orang dengan kagum.
Mereka bukan saja kagum melihat gadis manis yang menyelamatkan Cang Taijin, dengan keberanian luar biasa telah mampu menghentikan kereta yang dibawa kabur empat ekor kuda, namun juga kagum melihat gadis itu menjadi tamu terhormat dari seorang menteri yang demikian terkenal seperti Cang Taijin.
********************
Cang Ku Ceng adalah seorang menteri yang bukan saja pandai dan bijaksana, akan tetapi juga sederhana. Karena ia selalu melaksanakan tugasnya tanpa dinodai perbuatan korup, seperti pembesar lain yang menyalah gunakan kedudukan untuk memperkaya diri sendiri, maka kehidupan keluarganya yang hanya mengandalkan pada penghasilan halal sebagai seorang menteri, tidak terlalu berlebihan.
Isterinya berasal dari Poa-teng, maka tidak mengherankan apa bila menteri ini mempunyai sebuah rumah di kota ini. Rumahnya memang besar, akan tetapi tidak terlampau mewah, tidak seperti rumah para pembesar lain yang walau pun pangkatnya belum setinggi Cang Taijin, akan tetapi dalam hal kemewahan, menyaingi kehidupan kaisar sendiri.
Isteri dan kedua orang selir Cang Taijin menerima Kui Hong dengan gembira dan ramah sekali sehingga lenyaplah perasaan rikuh dari hati gadis itu. Hanya seorang saja di dalam keluarga itu yang tidak begitu dia sukai, yaitu Cang Sun. Pemuda ini selalu memandang kepadanya dengan sinar mata penuh nafsu. Walau pun di hadapan ayahnya pemuda itu kelihatan pendiam dan tidak pernah mengganggunya, namun sinar mata dan senyumnya jelas membayangkan kegenitan yang cabul!
Sesudah bicara dengan isteri dan dua orang selir Cang Taijin, baru Kui Hong tahu bahwa pemuda itu adalah putera dari salah seorang di antara dua selir itu, dan hanya Cang Sun seoranglah keturunan Cang Taijin.
Isteri Menteri Cang adalah seorang wanita yang lembut dan ramah sekali dan dia segera akrab dengan Kui Hong. Nampak jelas betapa nyonya yang tidak mempunyai keturunan itu sangat sayang kepada Kui Hong. Dan melihat keakraban keluarga itu terhadap dirinya, Kui Hong merasa tidak enak kalau terus disebut lihiap (pendekar wanita), maka dia minta agar mereka menyebut namanya saja, tanpa sebutan pendekar wanita.
Setelah menginap satu malam di rumah keluarga Cang di kota Pao-teng, pada keesokan harinya Cang Taijin menyuruh puteranya mengantar isteri serta dua orang selirnya pulang lebih dulu ke kota raja menggunakan sebuah kereta besar, ada pun dia sendiri bersama Kui Hong akan berkunjung ke rumah keluarga Cia Sun. Pada waktu komandan pengawal hendak membagi pasukan pengawal, Menteri Cang tertawa.
"Ha-ha-ha-ha, aku melakukan perjalanan bersama nona Cia Kui Hong," katanya kepada komandan pengawal. "Dia sendiri sudah merupakan kekuatan pengawal yang tidak kalah oleh seratus orang prajurit pengawal!"
Dia memerintahkan kepala pasukan pengawal itu supaya mengawal kereta keluarganya saja. Dia sendiri lalu menunggang kuda bersama Kui Hong dan menuju ke dusun Ciang-si-bun.
********************
Cia Sun adalah seorang pendekar kenamaan yang memiliki ilmu tinggi. Dia adalah putera pendekar dari Lembah Naga Cia Han Tong yang menjadi ketua Pek-liong-pang. Sebagai putera seorang pendekar sakti, juga sempat menjadi murid dari Go-bi San-jin, maka Cia Sun mempunyai kepandaian yang tinggi. Tetapi wataknya sederhana dan pendiam, halus berwibawa. Dia tidak pernah menonjolkan diri dan kini, sesudah usianya empat puluh tiga tahun lebih, dia bahkan jarang sekali muncul di dunia persilatan.
Dia tinggal di dusun Ciang-si-bun bersama isterinya yang bernama Tang Siang Wi. Walau pun isterinya tidak selihai dia, namun Tang Siang Wi yang sekarang berusia empat puluh satu tahun itu bukanlah wanita lemah. Dia pernah menjadi murid kesayangan ketua Cin-ling-pai, yaitu Cia Kong Liang, juga digembleng oleh isteri ketua itu. Bahkan pada waktu masih muda wanita ini pernah terkenal di dunia persilatan dengan julukan Toat-beng Sian-li (Dewi Pencabut Nyawa) karena sikapnya yang sangat ganas dan tidak mengenal ampun terhadap para penjahat.
Suami isteri ini hanya memiliki seorang anak saja, yakni anak perempuan yang bernama Cia Ling atau selalu di sebut Ling Ling. Ling Ling yang kini berusia delapan belas tahun itu sudah menikah dan kini tinggal bersama suaminya yang bernama Can Sun Hok di kota Siang-tan. Can Sun Hok sendiri adalah seorang pemuda perkasa yang kaya raya.
Setelah Ling Ling pergi meninggalkan rumah orang tuanya untuk ikut bersama suaminya, maka Cia Sun dan isterinya hanya hidup berdua dan sering kali merasa kesepian. Karena dia seorang pendekar besar yang kenamaan, maka beberapa orang pejabat pemerintah kadang suka minta bantuannya untuk membasmi penjahat dan mengamankan daerahnya.
Bahkan sesudah mendengar namanya, Menteri Cang Ku Ceng yang bijaksana dan dapat menghargai para pendekar lantas menghubunginya dan setelah bercakap-cakap, Menteri Cang merasa amat cocok dengan Cia Sun sehingga sering kali mereka saling berkunjung. Terjalinlah persahabatan antara menteri dan pendekar itu.
Di dusun Ciang-si-bun, Cia Sun dan isterinya dikenal sebagai sepasang suami isteri yang amat dermawan. Karena semua penduduk dusun itu mengenal siapa mereka, tahu bahwa suami isteri pendekar itu mempunyai banyak kenalan di kalangan pembesar tinggi, maka tentu saja mereka semakin dihormati.
Penduduk dusun Ciang-si-bun tidak akan merasa heran lagi bila mana melihat ada kereta pembesar dari kota raja yang datang berkunjung ke rumah keluarga pendekar itu, kereta yang dikawal oleh pasukan yang gagah. Akan tetapi banyak penduduk memandang heran ketika mereka melihat Menteri Cang datang bersama seorang gadis cantik yang gagah, berdua saja dan hanya berkuda tanpa pengawal.
Akan tetapi Cia Sun dan isterinya yang menyambut dua orang tamu itu tak merasa heran setelah mereka tahu bahwa menteri itu datang bersama Cia Kui Hong yang mereka kenal sebagai seorang gadis gemblengan yang gagah perkasa. Mereka tadinya agak pangling, akan tetapi sesudah Kui Hong memperkenalkan diri, isteri Cia Sun, yaitu Toat-beng Sian-li Tang Siang Wi segera merangkul murid keponakan itu dengan gembira sekali.
"Aih, ternyata engkau, Kui Hong! Pantas saja kali ini Cang Taijin datang berkunjung tanpa pengawal, kiranya ada engkau! Mari, mari, silakan masuk." Ia menggandeng tangan gadis itu dan diajaknya masuk ke dalam setelah memberi hormat kepada kepada Cang Taijin.
Cang Taijin memang seorang pejabat tinggi yang amat bijaksana dan sederhana. Dia tak pernah mengangkat dirinya tinggi-tinggi karena kedudukannya. Biar pun keluarga Cia Sun hanya rakyat biasa, akan tetapi sesudah bersahabat, dia tidak memperkenankan keluarga itu memberi penghormatan yang berlebihan kepadanya, karena itu sambutan Cia Sun dan isterinya juga sederhana saja.
Sebagai seorang menteri dia layak dihormati dengan berlutut, akan tetapi menteri ini tidak mau bila seorang sahabatnya menghormatnya sambil berlutut. Sungguh merupakan sikap yang amat bijaksana! Karena sikapnya inilah maka Cang Taijin amat dikenal dan disayang oleh rakyat.
Diam-diam Cia Sun merasa heran bagaimana menteri itu sekarang berkunjung bersama Kui Hong, dan mengapa hubungan antara menteri itu dengan puteri ketua Cin-ling-pai itu nampak demikian akrabnya.
“Kau tentu heran melihat aku datang ke sini bersama Kui Hong!" pejabat tinggi itu segera mendahului ketika dia melihat sikap Cia Sun, setelah mereka berempat duduk di ruangan dalam.
Cia Sun mengangguk. "Benar sekali, Taijin. Bagaimana Taijin dapat bersama dengan Kui Hong dan agaknya ada keperluan yang amat penting dalam kunjungan Taijin sekali ini."
Menteri Cang menggelengkan kepalanya. "Sama sekali tidak, bahkan ini hanya kunjungan sambil lalu saja, untuk menemani Kui Hong yang memang ingin berkunjung ke sini. Kau tahu, Taihiap, kemarin, Kui Hong telah menyelamatkan aku dari bahaya maut!"
"Ahhh…?!" Cia Sun dan isterinya terkejut mendengar ini.
"Aih, Cang Taijin terlalu membesarkan, harap Paman dan Bibi tidak menerimanya dengan sungguh-sungguh. Yang benar, kereta yang ditumpangi Cang Taijin dan puteranya dibawa kabur oleh empat ekor kuda yang menariknya dan aku hanya menenangkan kuda-kuda itu. Sebelum itu memang aku sudah pernah berkenalan dengan Cang Taijin, yaitu ketika penumpasan gerombolan Kulana dahulu itu. Tentu Paman dan Bibi sudah mendengarnya dari Ling Ling. Oh ya, di mana Ling Ling, Paman? Aku ingin sekali bertemu dengannya."
Suami isteri itu memandang kepada Kui Hong. Disebutnya nama puteri mereka itu sudah membuat hati mereka terasa perih. Telah terjadi mala petaka atas diri puteri mereka, akan tetapi menurut keterangan Ling Ling, Kui Hong adalah satu-satunya orang yang dipercaya puteri mereka. Gadis itu tahu pula akan mala petaka yang menimpa diri Ling Ling.
Peristiwa itu terjadi pada waktu Ling Ling berada di antara para pendekar yang membantu Cang Taijin membasmi gerombolan Kulana. Gadis yang sejak kecil telah mempelajari ilmu silat dan telah menjadi seorang pendekar wanita yang cukup tangguh, pada suatu malam telah dibuat tidak berdaya kemudian diperkosa seorang pria!
Tadinya Hay Hay Si Pendekar Mata Keranjang yang dituduh sebagai pemerkosanya, akan tetapi akhirnya diketahui bahwa yang melakukan perbuatan jahat itu adalah Ang-hong-cu, Si Kumbang Merah, jai-hwa-cat (Penjahat Pemetik Bunga) yang amat tersohor itu. Masih baik nasib puteri mereka karena ada seorang pemuda perkasa yang jatuh cinta padanya, yaitu Can Sun Hok, yang tetap mencintanya dan bahkan meminangnya biar pun dia tahu akan mala petaka dan aib yang menimpa diri gadis yang dicintanya itu.
"Ling Ling telah menikah dan sekarang dia ikut dengan suaminya ke Siang-tan," kata isteri Cia Sun singkat.
Berseri wajah Kui Hong mendengar berita itu. Syukurlah, demikian bisik hatinya. Kiranya Can Sun Hok, cucu Pangeran Can Seng Ong itu adalah seorang pemuda yang setia akan kasihnya. Dia tahu bahwa Can Sun Hok seorang pemuda yang baik sekali walau pun Can Sun Hok pernah mendendam kepada ibunya dan pernah memusuhi ibunya. Hal itu adalah karena Can Sun Hok hendak membalaskan kematian ibu kandungnya.
Ibu kandung Can Sun Hok adalah mendiang Siang-tok Sian-li Gui Siang Hwa (Dewi Racun Wangi), seorang tokoh sesat yang tewas di tangan ibu kandungnya, pendekar Ceng Sui Cin. Akan tetapi ibunya bisa menyadarkan Sun Hok mengenai kejahatan ibu kandungnya sehingga pemuda itu mau menghabiskan dendamnya. Hal ini saja sudah memperlihatkan bahwa Can Sun Hok adalah seorang pemuda yang gagah perkasa. Hanya seorang gagah saja yang mampu menyadari kesalahan pihaknya sendiri.
Karena itu, sesudah mendengar keterangan bibinya bahwa kini Ling Ling telah pindah ke rumah suaminya di kota Siang-tan, dia tidak ragu-ragu lagi bahwa suami gadis itu tentulah Can Sun Hok yang rumahnya di kota itu.
"Jadi dia sudah menikah dengan Can Sun Hok? Bagus sekali! Aku turut merasa bahagia, Paman dan Bibi. Akan tetapi, kenapa aku tidak diberi tahu? Keluarga kami tidak ada yang diundang...”
"Maafkan kami. Atas kehendak mereka berdua, pernikahan itu memang tidak dirayakan. Karena tidak dirayakan, kami pun tidak mengundang tamu, apa lagi yang dari jauh karena hanya akan merepotkan saja. Harap maklum,” kata Cia Sun.
Tentu saja Kui Hong maklum. Dalam keadaan ternoda aib seperti keadaan Ling Ling, dia dapat memaklumi apa bila pernikahan itu dilakukan secara sederhana dan diam-diam dia semakin iba kepada Ling Ling dan makin berterima kasih kepada Can Sun Hok.
"Aku dapat memaklumi, Paman dan Bibi. Tidak mengapalah, kelak bila ada kesempatan tentu aku akan berkunjung ke rumah mereka di Siang-tan."
"Sebenarnya urusan apa yang membawamu sampai ke sini, Kui Hong? Apakah engkau hanya pesiar dan sengaja hendak berkunjung ke rumah kami, ataukah ada kepentingan lainnya?” Cia Sun bertanya.
Kui Hong memandang kepada Cang Taijin dan sambil tersenyum menteri ini lalu berkata, "Apakah kehadiranku mengganggu dan membuat kalian sekeluarga menjadi tidak leluasa untuk bicara? Kalau begitu, biar aku menyingkir ke ruangan lain lebih dulu."
"Ah, tidak sama sekali, Taijin,” kata Kui Hong. "Jangan begitu, membuat saya merasa tak enak saja. Kalau orang lain mungkin saja kami anggap orang asing yang tidak berhak ikut mendengar, Taijin, akan tetapi Taijin kuanggap bukan orang lain lagi. Baiklah, akan saya ceritakan keperluan saya maka sampai ke sini." Dia lalu memandang kepada paman dan bibinya. "Paman Cia Sun dan Bibi, sebetulnya perjalananku sekali ini memang membawa tugas atau keperluan yang amat penting, yaitu mencari dua orang yang jahat. Karena aku belum dapat menemukan jejak mereka, maka aku mencari ke arah kota raja dan sekalian hendak berkunjung ke sini, selain sudah rindu juga siapa tahu kalau-kalau Paman dan Bibi dapat membantuku dan mendengar tentang dua orang yang kucari-cari itu."
"Siapakah dua orang jahat yang sedang kau cari itu, Kui Hong? Terus terang saja, sudah lama sekali aku dan bibimu tak lagi berkecimpung di dunia kang-ouw sehingga kami tidak banyak mengetahui tentang mereka yang hidup di dunia sesat,” kata Cia Sun.
"Aku pun ingin sekali mendengar siapa yang kau cari itu, Kui Hong. Barangkali aku dapat membantu pula," kata Menteri Cang Ku Ceng.
"Nama mereka Sim Ki Liong dan Tang Cun Sek."
Cia Sun dan isterinya saling pandang, lalu mereka menggeleng kepala. Dua buah nama itu tidak ada artinya bagi mereka karena mereka belum pernah mengenalnya. Akan tetapi Cang Taijin mengerutkan alisnya dan mengingat-ingat.
"Sim Ki Liong?" katanya perlahan sambil mengingat-ingat nama itu. "Aku seperti pernah mendengar nama ini, akan tetapi kapan dan di mana?"
“Taijin tentu pernah mendengarnya karena dia adalah seorang di antara tokoh jahat yang ikut membantu gerakan pemberontakan Kulana," kata Kui Hong.
"Ah, benar! Tokoh yang lihai dan berhasil lolos dari kepungan para pendekar. Akan tetapi nama ke dua itu belum pernah aku mendengarnya."
"Tentu saja belum, Cang Taijin. Yang bernama Tang Cun Sek itu adalah seorang murid Cin-ling-pai yang murtad."
"Kui Hong, kenapa engkau bersusah payah mencari dua orang itu?" Cia Sun bertanya.
"Sim Ki Liong pernah menjadi murid Pulau Teratai Merah, namun kemudian dia minggat sambil membawa lari pedang pusaka Gin-hwa-kiam dari Pulau Teratai Merah, sedangkan Tang Cun Sek minggat melarikan pedang pusaka Hong-cu-kiam milik kongkong Cia Kong Liang."
"Aihhh...!" Tan Siang Wi berseru marah mendengar betapa pedang pusaka milik gurunya dilarikan orang. "Sungguh kurang ajar benar Tang Cun Sek itu. Murid Cin-Iing-pai berani berbuat semacam itu!"
"Aneh sekali memang," kata pula Cia Sun. “Mengapa ada murid Pulau Teratal Merah juga melarikan sebuah pusaka dari sana?"
Kui Hong mengangguk. “Sepandai-pandainya orang, sekali waktu dapat saja dia lengah, Paman. Agaknya sekali ini pun, kedua kongkong (kakek), baik kakek Ceng Thian Sin dari Pulau Teratai Merah mau pun kakek Cia Kong Liang dari Cin-ling-pai, keduanya lengah sehingga ada orang jahat dapat menyusup masuk menjadi murid, yaitu Sim Ki Liong dan Tang Cun Sek. Aku sudah berjanji kepada kedua kakekku untuk pergi mencari mereka dan merampas kembali kedua pedang pusaka itu."
"Akan tetapi, sampai sekarang engkau belum berhasil menemukan jejak mereka?”
Kui Hong menggeleng kepala. "Aku bertemu dengan Sim Ki Liong ketika kami membantu Cang Taijin membasmi gerombolan Kulana, akan tetapi tidak berhasil merampas kembali pedang pusaka Gin-hwa-kiam dari Pulau Teratai Merah, bahkan dia berhasil meloloskan diri. Ada pun jejak Tang Cun Sek, sampai sekarang aku belum menemukannya. Sungguh aku akan merasa tidak enak kepada kedua kakekku bila gagal merampas kembali kedua batang pedang pusaka."
"Hemmm, aku pun tidak pernah mendengar berita tentang Sim Ki Liong yang tempo hari lolos," kata Cang Taijin, "akan tetapi aku akan dapat memerintahkan orang-orangku agar menyebar para penyelidik untuk mencari jejak dua orang itu. Jangan khawatir, Kui Hong, engkau tinggallah di rumah kami di kota raja. Aku yakin orang-orangku yang banyak akan segera dapat menemukan jejak mereka. Yang seorang lagi... aku tidak pernah mengenal nama Tang Cun Sek. Akan tetapi she Tang? Hemm, hal itu mengingatkan aku akan suatu peristiwa yang sampai sekarang masih terasa tidak enak bagiku. Mungkin engkau dapat membantuku melakukan penyelidikan di kota raja, Kui Hong."
“Ada peristiwa hebat dan penting apakah yang terjadi di kota raja, Cang Taijin?" tanya Cia Sun setelah mempersilakan tamunya minum dan makan hidangan yang dikeluarkan oleh para pelayan.
Cang Taijin minum air teh yang dihidangkan, lalu menghela napas panjang. "Sebenarnya urusan itu amat menggelisahkan, akan tetapi bagi kami juga mengalami kesukaran untuk memecahkannya, karena menyangkut urusan dalam istana Sribaginda Kaisar! Mula-mula terjadi penyelewengan yang dilakukan seorang selir Sribaginda dengan seorang perwira muda she Tang. Tidak ada yang tahu akan peristiwa itu sampai pada suatu malam, selir itu bersama dayangnya lenyap dari dalam istana. Tak seorang pun menduga bahwa selir itu kiranya berhubungan gelap dengan perwira pengawal istana yang bernama Tang Gun itu. Sribaginda menjadi marah sekali dan sudah menyebar orang untuk mencari selir yang hilang, namun sia-sia belaka karena disembunyikan oleh Tang Gun, perwira muda yang menjadi kekasihnya itu."
Cia Sun, isterinya, dan Kui Hong mendengarkan penuh perhatian. Biar pun agaknya tidak ada hubungannya dengan mereka, akan tetapi mereka maklum bahwa bila Menteri Cang Ku Ceng telah menceritakan sesuatu hal, maka tentu urusan itu amat penting. Cang Taijin kembali meneguk air the, lalu melanjutkan ceritanya.
"Nah, selagi kaisar marah dan semua petugas sudah hampir putus harapan untuk dapat menangkap selir dan dayangnya yang melarikan diri secara aneh, muncullah orang gagah yang bernama Tang Bun An itu. Dan dia telah menangkap Tang Gun dan selir itu, berikut dayangnya. Dia menghadapkan ketiga orang itu kepada kaisar yang tentu saja berterima kasih kepadanya. Selir dan dayang itu dihukum menjadi nikouw, sementara perwira Tang Gun dihukum buang." Menteri Cang berhenti pula.
"Ahh, Taijin, kalau begitu, berarti urusannya sudah selesai, bukan? Yang bersalah sudah ditangkap dan dihukum," kata Kui Hong.
"Urusan bukan hanya sampai di situ," kata Menteri Cang. "Masih ada kelanjutannya dan dalam urusan itu terkandung hal-hal yang aneh. Apakah kalian tidak merasakan sesuatu yang aneh?"
"Hanya ada satu hal yang sedikit aneh, Taijin. Perwira yang melarikan selir kaisar itu she Tang, dan penangkapnya juga seorang yang she Tang. Apakah ini kebetulan saja?" tanya Cia Sun.
Menteri Cang mengangguk. "Memang hal itu juga menarik perhatian dan sudah kuselidiki pula. Akan tetapi agaknya tidak terdapat hubungan kekeluargaan antara Tang Bun An dan Tang Gun itu, karena keduanya hidup sebatang kara dan tidak berkeluarga. Namun ada hal lain yang amat menarik. Tang Gun telah dijatuhi hukuman buang, tapi ketika hukuman dilaksanakan dan dia dikawal menuju ke tempat pembuangan, di tengah perjalanan dua orang pengawal itu dibunuh orang dan Tang Gun meloloskan diri. Tak seorang pun tahu siapa penolongnya itu."
"Hemm, sungguh menarik sekali!" kata Kui Hong. "Peristiwa itu penuh teka-teki."
"Ada satu hal lain yang kiranya patut kalian ketahui, yaitu bahwa pada saat masih menjadi perwira pengawal istana, Tang Gun sering kali membual bahwa dia adalah keturunan Si Kumbang Merah."
"Ahhh...!" Seruan itu keluar dari tiga mulut pendengarnya, hampir berbareng.
Nama Ang-hong-cu (Si Kumbang Merah) bukan nama asing bagi mereka, bahkan nama yang tak pernah mereka lupakan. Bagi Cia Sun suami isteri, nama itu amat dibenci karena Ang-hong-cu itulah yang pernah memperkosa puteri mereka! Dan bagi Kui Hong, dia pun sudah terlalu sering mendengar nama itu, bahkan dia pernah bertemu dengan Ang-hong-cu yang menyamar menjadi Han Lojin.