Mayang tetap sederhana, bahkan rambutnya tidak disisir rapi, agak awut-awutan namun bahkan menjadi semakin manis! Kemanisan yang wajar seorang gadis, bukan kecantikan karena riasan. Di samping gadis itu terdapat seorang wanita lain yang pantasnya menjadi kakak Mayang karena ada banyak persamaan di wajah mereka. Kalau Mayang bagaikan kuncup mulai mekar, wanita itu adalah bunga yang sudah mekar sepenuhnya. Keduanya sama menariknya!
Hay Hay memandang mereka, dari yang satu kepada yang lain. Inikah subo dari Mayang? Inikah wanita pertapa yang berjuluk Kim Mo Siankouw itu? Memang seorang wanita yang cantik dan anggun, akan tetapi dia tidak melihat alasan mengapa wanita berjuluk Kim Mo Siankouw (Dewi Berambut Emas). Rambutnya hitam seperti rambut Mayang, tapi tersisir rapi dan tidak awut-awutan seperti rambut gadis itu.
"Locianpwe yang mulia, saya Tang Hay datang menghaturkan hormat, mohon Siankouw sudi memaafkan kelancangan saya...” kata Hay Hay dengan penuh hormat.
Hay Hay menghaturkan penghormatan seperti yang diberikan kepada seorang permaisuri atau raja. Namun dia terbelalak dan bengong memandang kepada Mayang karena gadis itu tiba-tiba tertawa terkekeh-kekeh, tangan kiri menutup mulut dan tangan kanan meraba perut karena merasa geli.
"Ehhh, Mayang, ada apakah? Apakah... apakah aku kurang sopan dan kurang hormat?” tanya Hay Hay, benar-benar tidak mengerti kenapa gadis itu tertawa-tawa geli seperti itu.
Gadis yang tadi tertawa sambil membungkuk itu mengangkat mukanya memandang. Saat melihat pemuda itu bengong dan mendengar pertanyaan tadi, tawanya kembali meledak, sampai terkekeh-kekeh dan ada air mata keluar dari kedua matanya yang bersinar-sinar. Akhirnya ketawanya mereda setelah wanita di sampingnya menegur halus.
"Mayang, tidak sepantasnya engkau tertawa seperti itu."
Mayang memandang Hay Hay, wajahnya masih penuh tawa. "Hay Hay, ini bukan subo, ini adalah ibuku, hi-hi-hik!” Gadis itu menahan ketawanya.
Kini wajah Hay Hay seketika menjadi merah. Dia pun mengangkat muka dan memandang lagi kepada wanita itu, mengamati dengan penuh perhatian. Kemudian, sesudah menarik napas panjang dia pun berkata. "Ahhh, pantas... sungguh pantas, akan tetapi juga tidak patut sekali...”
Mendengar kata-kata yang tidak karuan maknanya ini, Mayang berbalik menjadi bengong. "Apa maksudmu, Hay Hay? Ucapanmu tidak karuan. Kau bilang pantas akan tetapi juga tidak patut! Bagaimana pula itu?"
"Memang pantas sekali menjadi ibumu karena mirip denganmu, Mayang, dan pantas pula engkau demikian cantik manis karena ibumu juga begini cantik jelita. Namun tidak patut menjadi ibumu karena dia masih terlalu muda, patutnya menjadi kakakmu!"
Mayang tidak merasa heran mendengar pemuda mata keranjang ini memuji kecantikan ibunya, akan tetapi wanita itu terbelalak, mukanya berubah merah sekali.
"Mayang! Siapakah dia ini? Orang macam apa yang kau bawa berkunjung ini? Apakah dia waras, tidak gila?"
Mendengar pertanyaan ibunya, gadis itu kembali tertawa geli sambil menatap wajah Hay Hay. "Hati-hati, ibu, jangan-jangan engkau akan jatuh ke dalam rayuan mautnya. Memang Hay Hay ini seorang perayu maut yang amat berbahaya bagi setiap orang wanita."
Hay Hay segera teringat akan keadaan dirinya yang kini sedang berada di tempat orang, tempat berbahaya pula karena penghuninya adalah seorang pertapa wanita sakti. Cepat dia memberi hormat kepada ibu Mayang dengan sikap sopan, lantas berkata, "Harap Bibi sudi memaafkan saya yang selalu suka terus terang sehingga mungkin terdengar kurang ajar. Bukan maksud saya untuk merayu, melainkan untuk berterus terang. Maafkan, saya Tang Hay dan...”
"She Tang...?” Tiba-tiba wanita itu membelalakkan matanya dan menatap wajah Hay Hay, lalu dia mengeluarkan jerit kecil tertahan, “Kau... kau... matamu dan hidungmu itu... ihhh, dan engkau she Tang pula... Orang muda, cepat katakan, siapakah ayahmu?"
Hay Hay terkejut. Dia mengambil keputusan untuk tidak memperkenalkan siapa ayahnya bila tidak amat perlu, maka dia pun menarik napas panjang. "Saya tidak tahu siapa ayah saya, Bibi, karena ayah telah pergi sejak saya berada dalam kandungan dan mungkin dia sudah mati."
"Ibu, mengapa Ibu terkejut mendengar she dari Hay Hay? Dan Ibu menyinggung mata dan hidungnya! Ada apakah, ibu...?" Mayang kini juga bersikap sungguh-sungguh karena dia pun terkejut dan heran melihat sikap ibunya.
Wanita itu telah dapat menguasai dirinya. "Ahh, tidak apa-apa. Aku hanya merasa seperti pernah melihat pemuda ini. Akan tetapi, Mayang, bagaimana engkau dapat berkenalan dengan pemuda yang... eh, mata keranjang ini? Mau apa kau bawa dia ke sini? Siankouw bisa marah kalau...”
“Orang muda kurang ajar ini harus pergi sekarang juga!" Mendadak terdengar bentakan halus dari sebelah dalam.
Mendengar suara ini ibu Mayang cepat membungkuk, lantas merangkap kedua tangannya memberi hormat. Juga Mayang segera menjatuhkan diri berlutut di dekat ibunya, sikapnya amat hormat.
Hay Hay mengangkat muka memandang. Yang rnuncul di ambang pintu memang sangat menakjubkan, seperti bukan manusia ketika mendadak muncul di situ, dengan sikap yang lembut dan anggun sekali. Sukar dapat dipercaya bahwa seorang wanita berusia enam puluh tahun masih seperti itu!
Rambutnya yang bercampur uban itu berwarna keemasan! Kulit mukanya nampak lembut tanpa keriput, matanya mencorong dan bibirnya masih kemerahan namun terhias senyum aneh. Tubuh, wajah dan sikap wanita ini pantasnya terdapat pada sebuah patung, seperti arca Kwan Im Pouwsat saja!
Tanpa dibuat-buat, di dalam hati Hay Hay timbul perasaan hormat terhadap wanita ini, maka dia pun cepat memberi hormat dengan merangkap kedua tangan di depan dada, kemudian berkata dengan suara lantang.
"Mohon maaf sebesarnya dari Siankouw akan kelancangan saya yang telah berani datang dan menghadap Siankouw tanpa diundang. Saya memberanikan diri datang menghadap Siankouw untuk memohon pertolongan, karena saya mendengar bahwa Siankouw adalah seorang manusia berbudi luhur, seorang pertapa yang mencari penerangan dan tentu akan selalu menjulurkan tangan untuk menolong yang membutuhkan bantuan. Atas pertolongan Siankouw yang sakti dan suci, sebelumnya saya Tang Hay menghaturkan banyak terima kasih dan akan selalu berdoa semoga semua budi kebaikan Siankouw akan tercatat oleh para Malaikat dan Thian yang akan berkenan membalas semua amal perbuatan Siankouw yang berbudi sehingga kalau dalam kehidupan yang sekarang saya tidak dapat membalas segala kebaikan Siankouw yang mulia, semoga dalam kehidupan mendatang saya akan dapat menebusnya dan...”
“Sudah, cukup... cukup...!” Kim Mo Siankouw berkata sambil menahan ketawanya ketika mendengar kata-kata yang berderet-deret tanpa ada putusnya itu. "Engkau lelaki perayu, dengan kata-katamu yang indah, suaramu yang merdu, ucapanmu yang manis, sungguh engkau seorang yang palsu dan berbahaya sekali bagi kaum wanita. Engkau harus pergi dari sini!" Sambil berkata demikian, seperti orang yang merasa jengkel, wanita itu lantas menggerakkan tangannya ke arah kepala Hay Hay.
Pemuda ini mendengar angin berdesir dan dia terkejut bukan main. Biar pun nampaknya hanya mengebutkan tangan, akan tetapi sesungguhnya gerakan itu merupakan serangan yang sangat dahsyat dan berbahaya bukan main! Maka, agar jangan kentara bahwa dia mengelak, pada saat itu dia segera menjatuhkan diri berlutut menghadap ke arah wanita berambut keemasan itu sambil mengangguk-angguk memberi hormat.
“Siankouw yang sakti, Siankouw yang budiman, Siankouw yang agung, tolonglah saya, tolonglah sahabat saya...”
Kim Mo Siankouw agak terbelalak dan dia menoleh kepada Mayang. “Mayang, dari mana engkau memperoleh pemuda perayu ini dan apa kehendakmu membawa orang semacam ini kepadaku? Hayo jawab yang sejujurnya!" Ucapannya halus akan tetapi mengandung teguran dan perintah.
Sambil berlutut Mayang lalu menjawab, "Harap Subo sudi memaafkan teecu (murid). Subo (ibu guru) tentu maklum bahwa teecu tidak akan berani berlancang hati untuk membawa seorang tamu pria datang menghadap subo. Akan tetapi telah terjadi peristiwa yang cukup hebat, yang teecu anggap cukup penting bagi Subo untuk mengetahuinya. Pertama-tama, agar Subo ketahui bahwa tadi teecu sudah bentrok dengan tiga orang pendeta Lama yang memimpin para pendeta Lama di puncak Bukit Bangau."
Kim Mo Siankouw terkejut walau pun hal ini hanya nampak pada pandang matanya dan kerutan alisnya. "Hemmm, sudah kukatakan bahwa engkau tidak boleh berurusan dengan mereka. Urusan pemberontakan terhadap Dalai Lama bukanlah urusan kita dan kita tidak perlu mencampuri."
"Maaf, Subo. Bukan maksud teecu untuk mencampuri, tetapi secara kebetulan saja teecu bertemu dengan mereka bertiga itu di kedai makan di dusun Wang-kan dalam perjalanan teecu pulang mengantar ternak ke kota Cauw-ti. Mereka makan di sana bersama seorang pemuda. Ketika mereka melihat teecu, seorang di antara mereka menghampiri teecu dan pura-pura minta derma, akan tetapi teecu merasakan betapa dia menggunakan kekuatan sihir untuk menguasai pikiran teecu. Tadi malam teecu datang ke gubuk di luar dusun di mana mereka menanti dan dengan sihir pendeta Lama itu menarik teecu datang. Karena teecu menganggap mereka itu jahat sekali, sebagai pendeta Lama tidak patut melakukan kekejian seperti itu terhadap teecu, maka teecu datang dan ingin menghajar mereka!"
“Aih, engkau lancang, Mayang. Mereka itu adalah tiga orang pendeta Lama yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Yang mana di antara mereka itu yang menyihirmu?"
"Ketika teecu berada di dalam rumah makan, yang menyihir teecu adalah pendeta yang mukanya kekanak-kanakan, tubuhnya tinggi bongkok...”
“Hemm, siapa lagi jika bukan Pat Hoa Lama si pendeta cabul? Huh, berani dia menghina muridku! Lalu bagaimana? Agaknya tidak mungkin engkau dapat lolos dari tangan mereka bertiga!" Setelah berkata demikian, Kim Mo Siankouw mengerling kepada Hay Hay yang masih menunggu dengan hati tegang. Dia merasa betapa wanita itu memang hebat, dan agaknya sudah mengenal dan mengetahui keadaan para pendeta Lama yang menculik Han Siong.
"Mereka bertiga lantas menghadapi teecu dan mencoba untuk menguasai teecu dengan sihir. Akan tetapi... hemmm, mereka tidak tahu bahwa teecu adalah murid Subo. Segala permainan kanak-kanak itu...”
"Jangan tergesa-gesa menyombongkan diri!" Kim Mo Siankouw memotong dengan suara tegas sehingga mengejutkan Mayang sendiri karena tidak biasanya gurunya menghardik dirinya. Sementara itu, diam-diam Hay Hay tersenyum melihat sikap Mayang.
"Sesudah sihir mereka itu gagal, seorang di antara mereka yang memegang tongkat lalu menyerang teecu. Teecu melawan dengan cambuk. Kami berdua saling serang dan teecu sudah mengambil keputusan untuk menghajar mereka bertiga. Akan tetapi tiba-tiba teecu dikejutkan oleh terbakarnya gubuk itu dan teecu lalu pergi meninggalkan mereka. Teecu bertemu dengan Hay Hay ini, lantas dia menceritakan bahwa pemuda yang bersama tiga orang pendeta Lama itu adalah seorang sahabatnya yang diculik mereka untuk dijadikan pelayan. Karena teecu menduga bahwa kawannya itu dilarikan ke Bukit Bangau, maka Hay Hay minta kepada teecu untuk menghadap Subo dan mohon pertolongan Subo untuk dapat menolong dan membebaskan sahabatnya itu."
Kim Mo Siankouw menahan senyum, memandang kepada muridnya itu dan menggeleng kepalanya. "Mayang, kau kira aku tidak tahu siapa ketiga orang pendeta Lama itu? Yang menyihirmu adalah Pat Hoa Lama, ada pun orang yang menyerangmu dengan tongkat itu bukankah bertubuh tinggi besar, dan tongkatnya itu memakai kelenengan? Lalu orang ke tiga itu tinggi kurus, matanya seperti selalu terpejam?"
“Benar sekali, Subo."
"Mereka itu adalah tokoh-tokoh di Tibet. Yang menyerangmu bernama Gunga Lama dan yang matanya terpejam itu Janghau Lama. Mereka bertiga adalah orang-orang sakti dan menghadapi Gunga Lama seorang saja belum tentu engkau dapat menang. Kalau tidak ada orang yang membakar gubuk itu, kiranya belum tentu engkau akan dapat meloloskan diri dari tangan mereka. Siapa yang membakar gubuk itu?"
Hay Hay cepat mengacungkan telunjuk kanannya ke atas, "Saya, Siankouw! Untung ada saya...”
Pada saat itu pula terdengar suara ribut di luar. Mereka segera memandang keluar dan nampaklah lima orang Lama sedang ribut mulut dengan para pelayan wanita yang bekerja di pekarangan depan. Agaknya para pelayan itu bersikeras melarang mereka memasuki pekarangan, tapi lima orang pendeta Lama itu berkeras pula akan memasuki pekarangan sehingga terjadi ketegangan.
Melihat hal ini, Mayang melompat bangun, juga ibunya sudah melangkah keluar bersama puterinya. Kim Mo Siankouw sendiri dengan sikap tenang bangkit berdiri akan tetapi dia pun melangkah keluar. Hay Hay yang ditinggal seorang diri dalam keadaan masih berlutut itu pun segera bangkit dan keluar.
"Heiii, apa yang telah terjadi di sini!” bentak Mayang yang bersama ibunya telah berada di pintu pagar di mana lima orang pendeta Lama itu bersitegang dengan para pelayan yang melarang mereka memasuki pekarangan.
Lima orang pendeta Lama itu berusia kurang lebih antara empat puluh tahun. Mendengar bentakan ini, mereka mengangkat muka memandang dan ketika melihat Mayang, mereka memandang dengan wajah berseri. Salah seorang di antara mereka yang mulutnya lebar segera melangkah maju.
"Apakah engkau yang bernama nona Mayang?”
"Kalau benar aku, mengapa?" tantang Mayang yang sudah marah melihat mereka karena dia menduga bahwa tentu mereka ini anak buah tiga orang pendeta Lama yang mereka bicarakan tadi.
Lima orang pendeta itu saling pandang dan mereka pun menyeringai kurang ajar. Si mulut besar tertawa. "Ha-ha-ha, pantas saja suhu berpesan agar kita membawanya hidup-hidup dan jangan melukainya. Kiranya memang manis sekali dan sayang kalau sampai terluka," katanya kepada kawan-kawannya, lalu dia menghadapi Mayang kembali. "Nona Mayang, kami diutus oleh para guru kami untuk mengundang Nona ke tempat kami, menghadap tiga orang suhu kami karena ada urusan penting yang hendak dibicarakan denganmu."
"Aku tidak sudi!” Mayang membentak.
"Nona Mayang, kami datang dengan niat baik dan tidak ingin menggunakan kekerasan, akan tetapi kami pun tidak berani pulang kalau tidak bersamamu. Maka marilah engkau ikut dengan kami agar tidak perlu kami menggunakan kekerasan untuk memaksamu."
Mayang melompat lantas membanting kakinya dengan marah. “Kalian ini lima ekor anjing gundul berani mengancam aku? Majulah dan aku akan membikin remuk gundul-gundulmu itu!”
"Mayang, mundur kau!" Mendadak terdengar Kim Mo Siankouw berkata lembut. Mayang terkejut dan dia pun tidak berani membantah, walau pun dia masih ragu-ragu.
"Mayang, lekas taati Siankouw!" kata pula ibunya yang lebih mengerti mengapa Kim Mo Siankouw menyuruh Mayang mundur. Dia bisa menduga bahwa kalau tiga orang pendeta Lama itu mengirim utusan lima orang ini, tentu mereka sudah memperhitungkan bahwa lima orang pendeta utusan ini akan mampu menandingi bahkan mengalahkan Mayang.
Kini Kim Mo Siankouw memandang kepada Hay Hay sambil tersenyum, senyum dingin mengejek. "Orang muda, pin-ni (aku) akan mempertimbangkan permintaanmu tadi kalau engkau dapat mewakili kami menghadapi lima orang pendeta Lama ini."
"Subo, apakah Subo hendak mencelakakan Hay Hay? Dia tidak bisa apa-apa, seorang pemuda yang lemah, bagaimana harus...”
"Mayang, jangan membantah kehendak Siankouw!" kembali ibu gadis itu menegur.
Mayang tidak melanjutkan kata-katanya, hanya memandang terbelalak kepada Hay Hay, merasa kasihan karena bagaimana pemuda lemah itu akan dapat menandingi lima orang pendeta Lama itu? Melawan seorang dari mereka pun tidak akan mampu. Tentu dia akan tewas!
Tiba-tiba dia merasa khawatir dan gelisah sekali. Tidak, pikirnya, pemuda itu tidak boleh mati. konyol. Dia tidak berani lagi membantah subo-nya, akan tetapi secara diam-diam dia akan berjaga-jaga dan akan melindungi Hay Hay!
Sementara itu, diam-diam Hay Hay kagum bukan main kepada guru Mayang. Wanita tua yang masih cantik dan lembut itu sungguh memiliki penglihatan yang sangat tajam. Tentu dia telah tahu bahwa dia mempunyai kepandaian, kalau tidak demikian, tidak mungkin dia menyuruh dia melawan lima orang pendeta Lama ini! Maka dia pun tersenyum, walau pun masih berpura-pura tolol karena melihat sikap Mayang.
"Aihhh, syaratnya berat amat! Akan tetapi, baiklah, Siankouw. Demi menolong sahabatku, saya akan berusaha sekuat tenaga untuk melawan lima ekor anjing gundul ini.
Melihat sikap Hay Hay, Mayang merasa girang dan bangga. Biar pun jelas bahwa pemuda itu bukan lawan lima orang pendeta Lama yang dia duga tentu lihai, akan tetapi pemuda itu sudah memperlihatkan sikap yang gagah! Berani memaki mereka sebagai lima ekor anjing gundul, meniru makiannya tadi.
"Benar, Hay Hay. Hantam kepala lima ekor anjing gundul itu. Jangan takut, kalau mereka hendak menggigitmu, akan kuketok kepala mereka yang gundul itu!" Dia berteriak penuh semangat. Gurunya dan ibunya hanya melirik saja sambil tersenyum karena sungguh pun berteriak tetapi gadis itu tidak turun tangan, mentaati perintah subo-nya tadi.
Hay Hay melirik kepada Mayang dan masih tersenyum, kemudian dengan langkah gontai seperti orang yang tidak bertenaga dia maju menghampiri lima orang pendeta Lama itu.
Lima orang pendeta Lama itu adalah tokoh-tokoh di Tibet, dan merupakan tangan kanan dari tiga pendeta Lama yang bersarang di Bukit Bangau. Mereka sudah marah ketika tadi mendengar penghinaan Mayang, gadis manis yang berani memaki mereka sebagai lima ekor anjing gundul. Kini kembali mereka dimaki, dan yang memaki adalah pemuda yang terlihat lemah ini, bahkan tadi gadis itu telah mencegah pemuda ini maju karena dikatakan bahwa pemuda ini lemah.
Dalam kemarahan itu, lima orang pendeta Lama bermaksud untuk mempermainkan dan menghina Hay Hay. Salah seorang di antara mereka yang tubuhnya kurus kering berkata dengan suaranya yang parau besar, tidak sesuai dengan tubuhnya.
"Saudara-saudara sekalian, monyet cilik ini hendak melawan kita? Ha-ha-ha-ha, mari kita buat dia menari-nari!" Ucapan ini merupakan isyarat kepada teman-temannya agar mereka mempergunakan kekuatan sihir saja untuk mempermainkan dan menghina Hay Hay, yaitu menyihirnya agar dia bersikap seperti seekor monyet!
Mereka berlima kemudian mengerahkan kekuatan sihir mereka, menatap wajah Hay Hay dengan tajam, lalu si kurus tadi membentak lagi, kini kekuatan sihirnya disatukan dengan kekuatan empat orang kawannya.
"Orang muda, engkau adalah seekor monyet yang baru keluar dari dalam hutan! Ingatlah baik-baik, engkau adalah seekor monyet! Monyet! Monyet! Monyet! Hayo monyet, engkau menari-narilah!"
Mayang merasa benar akan gelombang kekuatan sihir itu. Bagi dirinya sendiri yang sudah kebal, gelombang kekuatan itu hanya lewat saja tanpa membekas, akan tetapi ia khawatir sekali melihat Hay Hay karena bagaimana mungkin pemuda yang tidak mengenal sihir itu akan mampu bertahan menghadapi serangan ilmu sihir sekuat itu? Dia melihat Hay Hay tersenyum lebar, lalu memandang seperti orang bingung dan heran.
"Monyet? Aku disuruh menjadi monyet? Ha-ha, baiklah, aku akan menari seperti monyet. Akan tetapi pertunjukan monyet harus dilengkapi dengan segerombolan anjing! Dan kalian yang menjadi lima ekor anjingnya! Anjing gundul, ha-ha! Kalian lima ekor anjing gundul, hayo kalian menggonggong, biar aku jadi monyet menari-nari!”
Kini Mayang terbelalak. Apa yang telah dilihatnya? Lima orang pendeta Lama itu tiba-tiba saja merangkak-rangkak dan menggonggong mirip anjing, menyalak-nyalak dan meringis-ringis!
Tadinya dia mengira bahwa mungkin subo-nya yang telah membantu Hay Hay sehingga dia merasa gembira sekali. Akan tetapi, ketika dia menoleh kepada subo-nya, dia melihat betapa subo-nya juga terbelalak dan terheran-heran, maka dia cepat memandang lagi ke arah Hay Hay dan lima orang pendeta Lama itu.
Lima orang pendeta itu masih merangkak-rangkak, kadang kala berloncatan ke sana-sini sambil menyalak-nyalak, dan Hay Hay meloncat ke atas punggung pendeta kurus kering. Sambil menari dan menggaruk-garuk tubuh seperti seekor monyet, Hay Hay berloncatan dari satu punggung ke lain punggung, persis seekor monyet yang sedang bermain-main dengan lima ekor anjing. Riuh rendah suara lima orang pendeta itu menggonggong dan menyalak-nyalak dengan galak.
Mayang hampir tidak dapat percaya akan pandangan matanya sendiri. Sudah jelas bahwa Hay Hay agaknya berada di bawah pengaruh sihir dan bersikap laksana seekor monyet, akan tetapi mengapa lima orang pendeta yang menyihir Hay Hay itu seperti terkena sihir pula? Bahkan lebih parah dari Hay Hay? Kalau Hay Hay hanya bersikap seperti monyet, menggaruk-garuk dan menari-nari tetapi masih bisa bercakap-cakap, lima orang pendeta Lama itu benar-benar bersikap dan bersuara seperti anjing!
Akan tetapi ketika kembali Mayang menoleh kepada subo-nya, dia melihat subo-nya kini tidak terheran-heran lagi. Bahkan subo-nya tersenyum-senyum! Sekarang dia melihat Hay Hay meloncat turun dari punggung para pendeta Lama itu, masih berjingkrak-jingkrak dan menggaruk-garuk dada dan punggung seperti monyet, sambil tertawa-tawa.
"Ha-ha-ha, bagus, bagus! Anjjng-anjing gundul, kalian sekarang boleh saling serang, lima ekor anjing berebut tulang dan aku monyetnya yang memberi tulang!"
Dengan gerakan mirip monyet Hay Hay lalu mengambil sepotong kayu dan melemparkan kayu ke arah lima orang pendeta yang masih merangkak-rangkak dan berloncat-loncatan itu dan terjadilah suatu penglihatan yang membuat Mayang kini tertawa terkekeh-kekeh!
Bagaikan lima ekor anjing tulen kelima orang pendeta itu sekarang menyerbu dan saling memperebutkan ‘tulang’ yang bukan lain hanya sepotong kayu itu! Mereka saling terkam dan saling gigit di antara gonggongan yang riuh rendah! Ada yang telinganya kena gigit sampai robek, atau hidungnya kena gigit sampai berdarah dan melihat semua ini, Mayang tertawa terpingkal-pingkal sampai harus memegangi perutnya yang terguncang-guncang dan menjadi keras.
Tiba-tiba terdengar suara Hay Hay, "Sudah... sudah, cukup! Kalian ini lima orang pendeta Lama, kenapa bermain-main seperti anak-anak kecil?"
Tiba-tiba lima orang pendeta itu berloncatan berdiri dan saling pandang. Wajah mereka seketika menjadi pucat, lalu menjadi merah sekali. Mereka menyusut darah dari muka dan kini mereka memandang kepada Hay Hay dengan mata melotot penuh kemarahan.
"Srattt! Srattt! Singgg...!"
Nampaklah sinar berkilauan dan lima orang pendeta Lama itu sudah mencabut golok dari sarung golok yang menempel di punggung mereka. Mereka segera mengepung Hay Hay dengan golok di tangan, sikap mereka nampak beringas serta penuh ancaman sehingga Mayang memandang dengan muka berubah agak pucat.
"Heii, kalian ini berpakaian pendeta, kenapa memegang golok? Apakah pekerjaan kalian menjagal babi?" Hay Hay agaknya tidak sadar akan bahaya maut yang mengancam maka masih sempat berkelakar.
“Kami memang jagal, sekali ini hendak menjagal kamu, monyet busuk!" bentak seorang di antara mereka yang hidungnya pecah berdarah karena digigit kawannya sendiri.
"Hemm, tadi kalian memperebutkan tulang, tapi sekarang tulangnya ditinggal begitu saja!" kata Hay Hay, lantas dia pun mengambil sepotong kayu tadi yang besarnya selengan dan panjangnya tiga kaki.
"Orang muda sombong, bersiaplah engkau untuk mampus!" bentak lima orang pendeta itu yang sudah mengepungnya.
"Hay Hay, mundurlah! Mereka itu lihai dan engkau tidak pandai silat...!" Tiba-tiba Mayang berteriak karena gadis ini merasa khawatir sekali.
Hay Hay menoleh kepadanya dan tersenyum. "Biarlah, Mayang. Justru karena mereka itu lihai, maka hendak kuhadapi dengan gerakan yang bukan silat. Aku menjadi monyet, aku akan bergerak seperti monyet."
"Jangan, Hay Hay! Engkau akan celaka...!" Mayang sudah siap untuk meloncat ke depan, untuk menggantikan Hay Hay, atau setidaknya untuk melindunginya, akan tetapi subo-nya menegurnya.
"Mayang, jangan mencampuri!"
Mayang terkejut dan cepat dia menghampiri subo-nya, lalu menjatuhkan diri duduk di atas tanah dekat subo-nya yang juga sudah duduk di atas sebuah bangku yang tadi disediakan oleh seorang pelayan wanita. Ibu gadis itu juga duduk di atas bangku di sebelah kiri Kim Mo Siankouw.
"Subo, bagaimana ini? Jangan biarkan Hay Hay tewas, Subo. Dia akan mati konyol...”
"Hushhh..., Mayang, kau pergunakanlah matamu baik-baik. Sejak bertemu tadi aku sudah melihat bahwa pemuda itu sama sekali bukan orang lemah. Kau lihat saja!"
Gadis itu terkejut dan merasa heran. Hay Hay bukan orang lemah? Dengan bingung dia memandang dan melihat betapa kini lima orang pendeta Lama itu sudah mulai menyerang dengan golok mereka. Gulungan sinar golok menyambar-nyambar ganas dan hampir saja Mayang memejamkan mata karena merasa ngeri membayangkan tubuh pemuda itu akan tersayat-sayat.
Akan tetapi aneh! Dia melihat tubuh pemuda itu bergerak seperti monyet, berloncatan ke sana-sini, tangan kanan memegang tongkat dan tangan kiri menggaruk-garuk sana-sini di tubuhnya, akan tetapi kelima batang golok itu tidak pernah mampu menyentuhnya! Mula-mula Mayang terbelalak, terheran-heran, akan tetapi segera dia tersenyum dan akhirnya dia berteriak-teriak saking gembiranya.
Tentu saja Hay Hay bukan lawan seimbang bagi kelima orang pendeta Lama itu. Dengan mudah saja pendekar ini menggunakan ilmu Jiauw-pouw Poan-san, yaitu gerak langkah kaki ajaib yang membuat dirinya selalu dapat mengelak dari sambaran lima batang golok. Hanya gerakannya itu dicampurnya dengan gerakan dan loncatan mirip monyet sehingga nampak lucu sekali. Tongkat di tangannya itu kadang membantunya, setiap kali ada golok yang terlalu berbahaya menyambarnya, tongkat cepat bergerak dan ujungnya mendorong golok lawan sehingga menyerong.
Lima orang pendeta Lama itu terkejut, akan tetapi juga penasaran dan marah sekali. Tadi mereka sudah dihina secara luar biasa, yaitu mereka seolah-olah menjadi seperti anjing yang saling serang sendiri. Sekarang golok mereka sama sekali tidak mampu menyentuh tubuh pemuda itu, padahal katanya pemuda itu tidak pandai silat, dan kini hanya bergerak seperti monyet saja. Namun golok mereka selalu membacok dan menusuk udara kosong!
"Bocah keparat! Kalau berani, hadapilah kami dan mari kita mengadu kepandaian, bukan terus mengelak seperti itu!" bentak si kurus kering.
"Singgg...!"
Goloknya menyambar ke arah leher Hay Hay dari kanan ke kiri. Hay Hay merendahkan tubuhnya dan golok itu menyambar lewat di atas kepalanya.
"Nih tulang, makanlah!" kata Hay Hay dan tiba-tiba saja, tanpa dapat dihindarkan lagi oleh si tinggi kurus, ujung tongkat itu sudah menusuk ke arah mulutnya, lantas terdengar bunyi berkerotokan!
"Auhhhh....!"
Si tinggi kurus terjengkang, kemudian dia menutupi mulutnya yang berdarah-darah karena sebagian besar giginya di bagian depan telah rontok dan tanggal karena mulut itu dijejali ujung tongkat!
Empat orang pendeta lainnya menjadi terkejut, akan tetapi juga marah bukan main. Golok mereka menyambar-nyambar semakin ganas, akan tetapi Hay Hay tidak ingin membuang banyak waktu lagi. Sekarang dia pun membalas dan nampak sinar hijau bergulung-gulung ketika tongkatnya berkelebatan.
“Tak! Tuk! Tak! Tuk!”
Terdengar suara tongkat beradu dengan empat kepala gundul, disusul teriakan kesakitan empat orang itu. Empat batang golok terlempar, dan keempat orang pendeta itu langsung menghentikan serangan mereka.
Kini mereka mengelus-elus kepala gundul mereka yang ternyata telah benjol-benjol akibat dihajar tongkat. Lima orang pendeta itu langsung maklum bahwa kini mereka berhadapan dengan lawan yang amat pandai, maka tanpa banyak cakap lagi, tanpa memungut golok mereka, lima orang pendeta Lama itu segera lari tunggang langgang tanpa pamit!
Sejak tadi Mayang hampir tidak berkedip. Dia meloncat berdiri dan menghampiri Hay Hay, kini pandang dari sepasang mata yang jeli indah itu berubah. Penuh kagum, akan tetapi juga penuh dengan perasaan penasaran.
“Kau... kau... telah berpura-pura bodoh, ya?" bentaknya penuh teguran karena dia merasa dipermainkan pemuda ini. Hay Hay hanya tersenyum dan dia segera menghadap Kim Mo Siankouw dengan sikap hormat. Wanita itu sekarang bersikap angkuh ketika berkata dan bangkit berdiri.
"Orang muda, kita bicara di dalam!"
Hay Hay mengangguk, kemudian mengikuti wanita itu yang memasuki rumah bersama ibu Mayang. Gadis itu sendiri lalu mengikuti dari belakang, hatinya masih merasa dongkol terhadap Hay Hay karena dia merasa dibodohi, merasa dipermainkan pemuda itu dalam pertemuan pertama.
Wajahnya berubah kemerahan apa bila dia membayangkan semua peristiwa yang sudah terjadi sejak dia berjumpa dengan Hay Hay yang membakar gubuk dan pura-pura sebagai seorang pemuda yang lemah! Tidak tahunya, pemuda ini memiliki ilmu silat yang hebat, yang dengan amat mudahnya mengalahkan lima orang pendeta Lama itu dan yang lebih hebat lagi, pemuda ini agaknya juga seorang ahli sihir!
Mereka kini duduk di dalam ruangan sebelah belakang. Hanya empat orang yang berada di ruang itu. Kim Mo Siankouw duduk di atas kursi yang ditilami sutera merah. Ibu Mayang duduk di sebelah kirinya, dan Mayang sendiri berlutut di atas lantai di sebelah kanannya, Hay Hay duduk pula di bangku berhadapan dengan mereka.
Untuk sejenak mereka hanya saling pandang saja. Ibu Mayang memandang dengan alis berkerut dan sinar mata penuh selidik. Kim Mo Siankouw menatap dengan pandang mata menyelidik pula seperti hendak mengukur dan menjenguk isi hati pemuda itu. Sedangkan Mayang sendiri memandang dengan wajah berubah-ubah, kadang -kadang penuh kagum, lalu penuh perasaan dongkol.
Hay Hay sendiri bersikap tenang saja. Walau pun dengan jelas dia dapat melihat keadaan hati mereka melalui wajah mereka, akan tetapi dia berpura-pura tidak tahu dan bersikap tenang, pada bibirnya terhias senyum.
Tiba-tiba Hay Hay terkejut karena merasakan suatu getaran yang sangat kuat datang dari wanita tua itu. Ketika dia mengangkat muka, dia melihat betapa sepasang mata Kim Mo Siankouw mencorong laksana dua buah bintang yang memiliki sinar amat kuatnya. Maka tahulah dia bahwa wanita itu memandang kepadanya dengan pengerahan kekuatan batin untuk mengukur dirinya, karena sinar yang keluar dari mata wanita tua itu bukan bersifat menyerang, melainkan berusaha untuk membuka isi hatinya melalui pikiran, seakan-akan hendak memaksa dirinya mengaku.
Dia pun cepat mengerahkan tenaga batinnya dan menyambut sinar mata itu dengan sinar matanya sendiri sehingga terjadilah bentrokan antara dua kekuatan batin yang amat kuat. Sejenak mereka itu saling tatap, kemudian, ketika merasakan betapa sinar mata Kim Mo Siankouw melembut, Hay Hay juga cepat-cepat menarik kembali tenaganya dan dia pun menundukkan pandang matanya.
"Orang muda yang gagah, sekarang katakan terus terang kepadaku, siapakah yang telah mengajarkan ilmu sihir kepadamu?" pertanyaan itu lembut namun tegas.
Hay Hay membutuhkan bantuan wanita sakti ini, maka dia pun tidak ragu untuk membuat pengakuan. "Yang mengajarkan kepada saya adalah mendiang suhu Pek Mau Sanjin dan Song Lojin."
Kim Mo Siankouw mengangguk-angguk, tidak lagi merasa penasaran melihat kehebatan orang muda itu dalam ilmu sihir setelah mendengar siapa gurunya.
"Dan siapa pula gurumu dalam ilmu silat?"
Dari pertanyaan ini saja telah membuktikan bahwa Kim Mo Siankouw memang mengenal keadaan mendiang Pek Mau Sanjin, seorang pertapa sakti yang sangat kuat dengan ilmu sihirnya, namun yang tidak pernah mempelajari ilmu silat.
"Kedua suhu saya adalah See-thian Lama dan Ciu-sian Sin-kai."
"Siancai...!" Kini wanita tua itu nampak terkejut. "Kiranya engkau adalah murid dari dua di antara Delapan Dewa...! Ahh, Mayang, sungguh engkau beruntung sekali dapat bertemu dan bersahabat dengan pendekar muda ini!"
Akan tetapi Mayang cemberut. Biar pun dia merasa semakin kagum, tetapi juga semakin dongkol karena kebodohannya sehingga mudah saja dia dipermainkan Hay Hay, mengira bahwa Hay Hay adalah seorang pemuda yang hanya memiliki kepandaian merayu saja, seorang pemuda yang menyenangkan namun lemah.
"Orang muda yang gagah, melihat deretan nama para gurumu, engkau telah memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, dan kiranya engkau tidak perlu gentar menghadapi para pendeta Lama yang murtad dan sesat itu. Kenapa engkau masih ingin minta bantuanku?”
Hay Hay menarik napas panjang. Kini dia tak boleh berpura-pura lagi, harus menceritakan segata hal dengan sejujurnya.
"Locianpwe, sebenarnya saya tidak maju sendiri dalam menghadapi para pendeta Lama, melainkan berdua dengan sahabat baik saya itu, dan dia pun seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, baik ilmu silat mau pun ilmu sihir. Akan tetapi tetap saja kami merasa khawatir karena kami berada di Tibet, bukan di daerah kami. Apa lagi kalau diingat bahwa daerah ini berada dalam kekuasaan Dalai Lama yang agaknya terpaksa akan kami hadapi sebagai lawan."
Kim Mo Siankouw rnengerutkan alisnya dan nampak sangat terkejut. "Memusuhi Dalai Lama? Hemm, orang muda, sungguh mengejutkan sekali ucapanmu itu. Kenapa engkau dan sahabatmu memusuhi Dalai Lama?"
"Bukan kami yang memusuhi, melainkah Dalai Lama sendiri yang sejak lahirnya sahabat saya itu selalu mengganggu dan hendak menculik sahabat saya. Ketahuilah, locianpwe, sahabat saya itu bernama Pek Han Siong dan semenjak lahir dia selalu dicari dan hendak diculik oleh para pendeta Lama atas perintah Dalai Lama. Sahabatku itu dahulu dlsebut Sin-tong (Anak AJaib) yang menurut pendapat para pendeta Lama adalah seorang calon Dalai Lama!"
"Hemmm, kiranya Sin-tong? Putera dari ketua Pek-sim-pang di Nam-co itu? Kami pernah mendengar mengenai peristiwa itu! Jadi sahabatmu itukah Sin-tong? Teruskan ceritamu, orang muda. Sungguh ceritamu mulai menarik hatiku."
Kim Mo Siankouw kini benar-benar merasa tertarik. Dia sudah mendengar akan Sin-tong yang pernah dicari oleh para pendeta Lama. Dia sendiri merupakan sahabat Dalai Lama dan dia sendiri tahu bahwa Dalai Lama mencari Sin-tong bukan dengan niat buruk.
"Keluarga Pek tidak merelakan putera mereka diambil oleh para pendeta Lima," Hay Hay melanjutkan ceritanya, "Hingga dewasa Han Siong bersembunyi dan dia menjadi seorang yang berilmu tinggi. Akan tetapi sampai kini para pendeta Lama itu agaknya masih terus mengejarnya. Akhir-akhir ini muncul tiga orang pendeta Lama di kota Hok-lam dan secara jujur mereka mengatakan bahwa mereka diutus oleh Dalai Lama untuk mengundang Pek Han Siong. Karena tidak ingin dia diganggu terus, Han Siong dan saya bekerja sama. Dia pura-pura terpengaruh oleh sihir tiga orang pendeta Lama itu dan menurut saja dibawa ke daerah ini. Dengan diam-diam saya membayanginya, maka terjadilah pertemuan antara saya dengan adik Mayang. Mendengar akan kesaktian locianpwe, juga melihat kehebatan adik Mayang yang tidak mempan sihir para Pendeta Lama. maka saya memberanikan diri untuk mohon bantuan Locianpwe dalam menghadapi para pendeta Lama, terutama untuk membujuk Dalai Lama agar tidak lagi mengejar-ngejar sahabat saya Pek Han Siong itu."
Kim Mo Siankouw menarik napas panjang. "Benar-benar aneh! Ketahuilah, orang muda, bahwa Gunga Lama, Janghau Lama dan Pat Hoa Lama adalah tiga orang pendeta Lama tokoh-tokoh besar di Tibet yang pernah memberontak terhadap Dalai Lama. Mereka telah dihadapi para pengikut Dalai Lama, gerombolan mereka sudah dihancurkan dan mereka melarikan diri. Maka sungguh aneh sekali jika sekarang mereka itu mengaku utusan Dalai Lama untuk mengundang Pek Han Siong. Hemmm, tentu ada maksud tertentu yang tidak sehat. Dan sahabatmu itu sekarang seorang diri berada di antara mereka, tentu dibawa ke puncak Bukit Bangau dan hal ini sungguh berbahaya. Baiklah, aku akan membantumu karena tertarik oleh peristiwa ini, juga karena aku adalah sahabat baik Dalai Lama yang agaknya nama besarnya hendak dicemarkan. Memang, ketika Dalai Lama mendapatkan ilham bahwa calon Dalai Lama yang baru sudah terlahir sebagai Sin-tong, tentu saja dia berusaha menarik Sin-tong untuk dididik sebagai calon Dalai Lama. Namun hal itu terjadi dengan suka rela, dengan cara damai, tidak boleh ada pemaksaan sama sekali. Bila ada pemaksaan terhadap Pek Han Siong, maka hal itu tidak sesuai dengan sikap Dalai Lama dan merupakan hal yang tidak wajar. Nanti pada saat matahari telah naik tinggi, aku akan menemanimu naik ke Bukit Bangau. Sekarang engkau boleh beristirahat dahulu, orang muda. Mayang, engkau persiapkan sebuah kamar untuk tamu kita."
Tentu saja Hay Hay menjadi girang sekali dan menghaturkan terima kasih, lalu mengikuti Mayang meninggalkan ruangan itu menuju ke sebelah dalam bangunan besar itu.
"Nah, ini kamarmu, engkau boleh beristirahat sekarang," kata Mayang ketika mereka tiba di sebuah kamar tamu yang sudah bersih karena memang di situ terdapat kamar-kamar tamu yang siap pakai.
Melihat sikap Mayang, Hay Hay lalu tersenyum. "Mayang, aku berterima kasih padamu. Gurumu suka membantu kami, dan semua ini berkat engkau, Mayang. Bila tidak bertemu denganmu, bagaimana mungkin aku bertemu dengan subo-mu."
Akan tetapi dengan cemberut gadis itu berkata singkat, "Tak usah berterima kasih kepada aku seorang gadis yang bodoh!" katanya, kemudian dia pun membalikkan tubuhnya dan lari meninggalkan Hay Hay.
Pemuda ini terbelalak, lalu cepat mengejar. Mayang memasuki taman bunga yang indah, lantas duduk di atas bangku di dekat kolam ikan emas. Mendengar ada suara di sebelah belakangnya, dia segera membalik dan ternyata Hay Hay telah berdiri di belakangnya.
"Mau apa engkau ke sini? Engkau disuruh beristirahat, bukan?" kata Mayang, suaranya mengandung keheranan, namun juga masih ketus dan terutama sekali pandang matanya tidak menyamankan rasa hati Hay Hay.
"Wah, bagaimana aku bisa beristirahat kalau engkau seperti ini, Mayang? Suaramu yang ketus akan terus meledak-ledak di dalam telingaku, wajahmu yang cemberut akan terus menghantuiku, dan pandang matamu seperti hendak mencekik leherku. Amboi, dewi yang jelita, apakah gerangan dosa hambamu ini maka paduka marah-marah kepada hamba?”
Akan tetapi sekali ini Mayang tidak tertawa melihat ulah Hay Hay, bahkan kerut di kening gadis itu semakin mendalam dan mulutnya yang cemberut menjadi semakin meruncing. Dengan gerakan marah dia membuat dua kuncir tebal yang tadinya bergantung di depan dada melayang dan berpindah ke punggungnya.
Mata yang sipit itu basah, hidung yang agak besar itu cupingnya bergerak lembut, mulut yang kecil kemerahan itu membentuk bundaran runcing, kedua pipi yang putih mulus dan biasanya kemerahan itu kini menjadi merah padam. Akan tetapi bagi Hay Hay kelihatan semakin cantik manis saja!
"Tidak perlu menjual rayuan! Aku juga tahu bahwa aku adalah seorang gadis bodoh dan tolol, tidak sehebat engkau ini pendekar jagoan yang serba bisa!"
"Astaga! Ini namanya marah benar-benar! Mayang sayang, siapa yang mengatakan bahwa engkau gadis bodoh dan tolol? Biar kugampar mulut orang yang berani memakimu seperti itu!"
Gadis itu tadinya memutar tubuh membelakangi Hay Hay yang hanya dapat mengagumi pinggulnya yang bulat besar membusung. Tiba-tiba dia membalik dan sepasang kuncirnya turut pula melayang ke depan, secepat gerakan pecutnya, suaranya pun meledak dalam serangan yang mendadak dan mengejutkan.
"Engkau yang menghina dan memaki aku!"
Hay Hay memandang bengong. "Aku? Ya ampun dewiku! Aku menghina dan memakimu? Akan kupukuli kepala ini kalau berani! Engkau sudah menolongku, engkau telah bersikap ramah dan baik, engkau begini manis dan jelita, dan engkau sahabat baikku. Bagaimana mungkin aku menghina dan memakimu?”
"Engkau masih berani menyangkal? Bukankah ketika bertemu dengan aku, engkau sudah berlagak bodoh? Engkau berlagak seakan-akan seorang pemuda yang lemah? Bukankah itu berarti bahwa engkau sudah mempermainkan aku, bahwa engkau sudah menganggap aku bodoh dan karenanya menghinaku? Hayo katakan! Hayo katakan bahwa engkau tidak menganggapku bodoh! Engkau telah mempermainkan aku, membikin aku merasa bodoh dan malu bukan main! Ihhhh... ingin aku menghajarmu!"
Barulah Hay Hay mengerti dan diam-diam dia pun menyesal. Dia tidak pernah bermaksud mempermainkan gadis ini, sama sekali tidak. Bila dia berpura-pura, hal itu adalah karena dia memang sengaja ingin menyembunyikan kepandaiannya, tidak ingin diketahui bahwa dia memiliki ilmu kepandaian.
Hal ini penting baginya karena bukankah dia sedang membayangi para pendeta itu, dan bukankah dia sedang bertugas untuk menyelidiki rahasia para pendeta Lama? Tadi pun di depan Kim Mo Siankouw, karena terpaksa saja dia harus mengeluarkan ilmunya, karena dia tak mungkin dapat mengelak lagi ketika harus menghadapi pengeroyokan lima orang pendeta Lama yang lihai. Apa lagi karena agaknya mata Kim Mo Siankouw tajam sekali, dapat menduga bahwa dia seorang yang memiliki kepandaian. Dan dia pun kini maklum bahwa tentu saja Mayang merasa dipermainkan.
"Aduhh, Mayang, maafkanlah aku. Sungguh mati, demi Langit dan Bumi aku bersumpah, bukan maksudku mempermainkan engkau, sayang. Terus terang saja, tadinya memang aku hendak menyembunyikan kepandaianku, bukan hanya darimu, akan tetapi juga dari subo-mu dan dari semua orang. Ingat bahwa aku mempunyai tugas penting bersama Han Siong, menyelidiki keadaan para pendeta Lama. Kalau aku memperlihatkan kepandaian, tentu akan menghadapi banyak kesukaran. Sungguh mati, Mayang, aku tidak bermaksud menghinamu. Kalau engkau merasa begitu, maukah engkau mengampuni aku, sayang? Lihat, aku jujur, aku mau minta ampun, bila perlu aku akan berlutut di depan kakimu untuk minta ampun. Mayang, ampunkan aku."
Dan Hay Hay benar-benar menjatuhkan diri berlutut di depan gadis itu. Tentu saja Mayang menjadi terkejut sekali dan cepat dia membalikkan tubuhnya sehingga Hay Hay berlutut di belakang sepasang bukit pinggul yang besar itu.
“Taihiap, engkau... engkau bangkitlah, jangan berlutut seperti itu!" katanya, suaranya tidak begitu ketus lagi biar pun masih kering.
“Ampun! Engkau menyebut aku taihiap lagil Ya ampun, Mayang, kalau engkau tidak mau menyebut namaku dan mengatakan bahwa engkau mengampuni aku, sampai mati pun aku tidak akan bangkit dan akan berlutut terus sampai dunia kiamat!"
Mau tak mau Mayang tersenyum sendiri mendengar ini. "Aku tidak percaya! Mana kedua lututmu kuat bertahan kalau menanti sampai dunia kiamat!"
Legalah hati Hay Hay mendengar ucapan yang nadanya sudah mengajak berkelakar itu. “Tentu akan kuat, asalkan engkau juga terus berdiri di depanku. Mari kita sama-sama lihat saja siapa yang kuat dan siapa yang tidak. Hayo, Mayang, lekas katakan bahwa engkau suka mengampuni aku. Aku berjanji bahwa selama hidupku, aku tidak akan berpura-pura bodoh lagi kepadamu!"
Senyum di bibir gadis itu makin melebar walau pun dia belum memutar tubuh. "Huh, siapa mau makan akalmu? Berpura-pura bodoh pun tidak ada gunanya karena aku sudah tahu!"
"Sudah tahu bahwa aku bodoh?"
"Sudah tahu bahwa engkau pan...dir!" Hay Hay cemberut. Semula disangkanya gadis itu akan mengatakan ‘pandai’, tidak tahunya berubah menjadi ‘pandir’.
"Nah, engkau telah membalas memaki aku. Kini sudah satu lawan satu, bukan? Mayang, hayolah, katakan bahwa engkau telah mengampuni aku. Kedua lututku sudah mulai nyeri dan lelah nih!"
Mayang tak dapat menahan ketawanya lagi. Dia membalik dan tersenyum. "Baiklah, Hay Hay, aku memaafkanmu. Semenjak tadi pun aku telah memaafkanmu, kalau tidak begitu, tentu aku tidak akan sudi bicara denganmu."
Hay Hay bangkit berdiri dan mereka saling pandang dengan wajah berseri-seri. "Aku pun sudah menduga bahwa engkau tentu akan suka memaafkan aku, Mayang. Seorang gadis yang manis dan jelita seperti engkau ini sudah pasti memiliki watak yang baik.”
"Huh, merayu lagi! Sekali diberi kesempatan, engkau tentu akan terus merayu. Hay Hay, aku masih merasa penasaran. Engkau begini baik kepadaku, akan tetapi kenapa engkau tega mempermainkan aku? Bahkan ketika kita berjalan melewati tebing itu, engkau pura-pura ketakutan sehingga terpaksa harus kugandeng tanganmu. Mengapa engkau begitu kejam mempermainkan aku?"
Hay Hay tersenyum. "Bukan mempermainkanmu, Mayang. Pertama-tama aku hanya ingin menyembunyikan keadaan diriku demi keamanan dan kepentingan penyelidikanku. Akan tetapi melihat engkau semanis ini, aku lalu berpura-pura dan ketika engkau menggandeng tanganku, hemmm... tanganmu begitu lembut, lunak dan hangat sehingga aku tidak ingin melepaskannya "
"Ihhh! Engkau memang mata keranjang tak ketulungan lagi!" Mayang berkata, akan tetapi wajahnya berubah merah sekali dan untuk menutupi perasaannya yang terguncang, agar jangan sampai salah tingkah, dia pun tertawa.
Dan sejak detik itu hati Mayang sudah jatuh cinta kepada pemuda yang demikian pandai merayu dan menyenangkan hatinya ini. Dia memang sudah merasa suka ketika pertama berjumpa dengan Hay Hay, dan rasa suka itu kini ditambah rasa kagum melihat betapa Hay Hay memiliki ilmu kepandaian yang demikian tinggi, maka timbullah perasaan cinta.
"Sudahlah, Hay Hay. Tadi engkau disuruh beristirahat. Engkau sedang menghadapi tugas berat dan berbahaya. Beristirahatlah agar aku jangan sampai ditegur subo kalau melihat kita bercakap-cakap di sini."
Hay Hay maklum bahwa seorang seperti Kim Mo Siankouw tentu memiliki watak aneh dan tidak mengherankan apa bila kadang-kadang dia bersikap keras luar biasa. Dia tidak ingin menyusahkan Mayang, maka dia pun lalu meninggalkan gadis itu, menuju ke kamar yang sudah disediakan untuknya.
Hay Hay memandang mereka, dari yang satu kepada yang lain. Inikah subo dari Mayang? Inikah wanita pertapa yang berjuluk Kim Mo Siankouw itu? Memang seorang wanita yang cantik dan anggun, akan tetapi dia tidak melihat alasan mengapa wanita berjuluk Kim Mo Siankouw (Dewi Berambut Emas). Rambutnya hitam seperti rambut Mayang, tapi tersisir rapi dan tidak awut-awutan seperti rambut gadis itu.
"Locianpwe yang mulia, saya Tang Hay datang menghaturkan hormat, mohon Siankouw sudi memaafkan kelancangan saya...” kata Hay Hay dengan penuh hormat.
Hay Hay menghaturkan penghormatan seperti yang diberikan kepada seorang permaisuri atau raja. Namun dia terbelalak dan bengong memandang kepada Mayang karena gadis itu tiba-tiba tertawa terkekeh-kekeh, tangan kiri menutup mulut dan tangan kanan meraba perut karena merasa geli.
"Ehhh, Mayang, ada apakah? Apakah... apakah aku kurang sopan dan kurang hormat?” tanya Hay Hay, benar-benar tidak mengerti kenapa gadis itu tertawa-tawa geli seperti itu.
Gadis yang tadi tertawa sambil membungkuk itu mengangkat mukanya memandang. Saat melihat pemuda itu bengong dan mendengar pertanyaan tadi, tawanya kembali meledak, sampai terkekeh-kekeh dan ada air mata keluar dari kedua matanya yang bersinar-sinar. Akhirnya ketawanya mereda setelah wanita di sampingnya menegur halus.
"Mayang, tidak sepantasnya engkau tertawa seperti itu."
Mayang memandang Hay Hay, wajahnya masih penuh tawa. "Hay Hay, ini bukan subo, ini adalah ibuku, hi-hi-hik!” Gadis itu menahan ketawanya.
Kini wajah Hay Hay seketika menjadi merah. Dia pun mengangkat muka dan memandang lagi kepada wanita itu, mengamati dengan penuh perhatian. Kemudian, sesudah menarik napas panjang dia pun berkata. "Ahhh, pantas... sungguh pantas, akan tetapi juga tidak patut sekali...”
Mendengar kata-kata yang tidak karuan maknanya ini, Mayang berbalik menjadi bengong. "Apa maksudmu, Hay Hay? Ucapanmu tidak karuan. Kau bilang pantas akan tetapi juga tidak patut! Bagaimana pula itu?"
"Memang pantas sekali menjadi ibumu karena mirip denganmu, Mayang, dan pantas pula engkau demikian cantik manis karena ibumu juga begini cantik jelita. Namun tidak patut menjadi ibumu karena dia masih terlalu muda, patutnya menjadi kakakmu!"
Mayang tidak merasa heran mendengar pemuda mata keranjang ini memuji kecantikan ibunya, akan tetapi wanita itu terbelalak, mukanya berubah merah sekali.
"Mayang! Siapakah dia ini? Orang macam apa yang kau bawa berkunjung ini? Apakah dia waras, tidak gila?"
Mendengar pertanyaan ibunya, gadis itu kembali tertawa geli sambil menatap wajah Hay Hay. "Hati-hati, ibu, jangan-jangan engkau akan jatuh ke dalam rayuan mautnya. Memang Hay Hay ini seorang perayu maut yang amat berbahaya bagi setiap orang wanita."
Hay Hay segera teringat akan keadaan dirinya yang kini sedang berada di tempat orang, tempat berbahaya pula karena penghuninya adalah seorang pertapa wanita sakti. Cepat dia memberi hormat kepada ibu Mayang dengan sikap sopan, lantas berkata, "Harap Bibi sudi memaafkan saya yang selalu suka terus terang sehingga mungkin terdengar kurang ajar. Bukan maksud saya untuk merayu, melainkan untuk berterus terang. Maafkan, saya Tang Hay dan...”
"She Tang...?” Tiba-tiba wanita itu membelalakkan matanya dan menatap wajah Hay Hay, lalu dia mengeluarkan jerit kecil tertahan, “Kau... kau... matamu dan hidungmu itu... ihhh, dan engkau she Tang pula... Orang muda, cepat katakan, siapakah ayahmu?"
Hay Hay terkejut. Dia mengambil keputusan untuk tidak memperkenalkan siapa ayahnya bila tidak amat perlu, maka dia pun menarik napas panjang. "Saya tidak tahu siapa ayah saya, Bibi, karena ayah telah pergi sejak saya berada dalam kandungan dan mungkin dia sudah mati."
"Ibu, mengapa Ibu terkejut mendengar she dari Hay Hay? Dan Ibu menyinggung mata dan hidungnya! Ada apakah, ibu...?" Mayang kini juga bersikap sungguh-sungguh karena dia pun terkejut dan heran melihat sikap ibunya.
Wanita itu telah dapat menguasai dirinya. "Ahh, tidak apa-apa. Aku hanya merasa seperti pernah melihat pemuda ini. Akan tetapi, Mayang, bagaimana engkau dapat berkenalan dengan pemuda yang... eh, mata keranjang ini? Mau apa kau bawa dia ke sini? Siankouw bisa marah kalau...”
“Orang muda kurang ajar ini harus pergi sekarang juga!" Mendadak terdengar bentakan halus dari sebelah dalam.
Mendengar suara ini ibu Mayang cepat membungkuk, lantas merangkap kedua tangannya memberi hormat. Juga Mayang segera menjatuhkan diri berlutut di dekat ibunya, sikapnya amat hormat.
Hay Hay mengangkat muka memandang. Yang rnuncul di ambang pintu memang sangat menakjubkan, seperti bukan manusia ketika mendadak muncul di situ, dengan sikap yang lembut dan anggun sekali. Sukar dapat dipercaya bahwa seorang wanita berusia enam puluh tahun masih seperti itu!
Rambutnya yang bercampur uban itu berwarna keemasan! Kulit mukanya nampak lembut tanpa keriput, matanya mencorong dan bibirnya masih kemerahan namun terhias senyum aneh. Tubuh, wajah dan sikap wanita ini pantasnya terdapat pada sebuah patung, seperti arca Kwan Im Pouwsat saja!
Tanpa dibuat-buat, di dalam hati Hay Hay timbul perasaan hormat terhadap wanita ini, maka dia pun cepat memberi hormat dengan merangkap kedua tangan di depan dada, kemudian berkata dengan suara lantang.
"Mohon maaf sebesarnya dari Siankouw akan kelancangan saya yang telah berani datang dan menghadap Siankouw tanpa diundang. Saya memberanikan diri datang menghadap Siankouw untuk memohon pertolongan, karena saya mendengar bahwa Siankouw adalah seorang manusia berbudi luhur, seorang pertapa yang mencari penerangan dan tentu akan selalu menjulurkan tangan untuk menolong yang membutuhkan bantuan. Atas pertolongan Siankouw yang sakti dan suci, sebelumnya saya Tang Hay menghaturkan banyak terima kasih dan akan selalu berdoa semoga semua budi kebaikan Siankouw akan tercatat oleh para Malaikat dan Thian yang akan berkenan membalas semua amal perbuatan Siankouw yang berbudi sehingga kalau dalam kehidupan yang sekarang saya tidak dapat membalas segala kebaikan Siankouw yang mulia, semoga dalam kehidupan mendatang saya akan dapat menebusnya dan...”
“Sudah, cukup... cukup...!” Kim Mo Siankouw berkata sambil menahan ketawanya ketika mendengar kata-kata yang berderet-deret tanpa ada putusnya itu. "Engkau lelaki perayu, dengan kata-katamu yang indah, suaramu yang merdu, ucapanmu yang manis, sungguh engkau seorang yang palsu dan berbahaya sekali bagi kaum wanita. Engkau harus pergi dari sini!" Sambil berkata demikian, seperti orang yang merasa jengkel, wanita itu lantas menggerakkan tangannya ke arah kepala Hay Hay.
Pemuda ini mendengar angin berdesir dan dia terkejut bukan main. Biar pun nampaknya hanya mengebutkan tangan, akan tetapi sesungguhnya gerakan itu merupakan serangan yang sangat dahsyat dan berbahaya bukan main! Maka, agar jangan kentara bahwa dia mengelak, pada saat itu dia segera menjatuhkan diri berlutut menghadap ke arah wanita berambut keemasan itu sambil mengangguk-angguk memberi hormat.
“Siankouw yang sakti, Siankouw yang budiman, Siankouw yang agung, tolonglah saya, tolonglah sahabat saya...”
Kim Mo Siankouw agak terbelalak dan dia menoleh kepada Mayang. “Mayang, dari mana engkau memperoleh pemuda perayu ini dan apa kehendakmu membawa orang semacam ini kepadaku? Hayo jawab yang sejujurnya!" Ucapannya halus akan tetapi mengandung teguran dan perintah.
Sambil berlutut Mayang lalu menjawab, "Harap Subo sudi memaafkan teecu (murid). Subo (ibu guru) tentu maklum bahwa teecu tidak akan berani berlancang hati untuk membawa seorang tamu pria datang menghadap subo. Akan tetapi telah terjadi peristiwa yang cukup hebat, yang teecu anggap cukup penting bagi Subo untuk mengetahuinya. Pertama-tama, agar Subo ketahui bahwa tadi teecu sudah bentrok dengan tiga orang pendeta Lama yang memimpin para pendeta Lama di puncak Bukit Bangau."
Kim Mo Siankouw terkejut walau pun hal ini hanya nampak pada pandang matanya dan kerutan alisnya. "Hemmm, sudah kukatakan bahwa engkau tidak boleh berurusan dengan mereka. Urusan pemberontakan terhadap Dalai Lama bukanlah urusan kita dan kita tidak perlu mencampuri."
"Maaf, Subo. Bukan maksud teecu untuk mencampuri, tetapi secara kebetulan saja teecu bertemu dengan mereka bertiga itu di kedai makan di dusun Wang-kan dalam perjalanan teecu pulang mengantar ternak ke kota Cauw-ti. Mereka makan di sana bersama seorang pemuda. Ketika mereka melihat teecu, seorang di antara mereka menghampiri teecu dan pura-pura minta derma, akan tetapi teecu merasakan betapa dia menggunakan kekuatan sihir untuk menguasai pikiran teecu. Tadi malam teecu datang ke gubuk di luar dusun di mana mereka menanti dan dengan sihir pendeta Lama itu menarik teecu datang. Karena teecu menganggap mereka itu jahat sekali, sebagai pendeta Lama tidak patut melakukan kekejian seperti itu terhadap teecu, maka teecu datang dan ingin menghajar mereka!"
“Aih, engkau lancang, Mayang. Mereka itu adalah tiga orang pendeta Lama yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Yang mana di antara mereka itu yang menyihirmu?"
"Ketika teecu berada di dalam rumah makan, yang menyihir teecu adalah pendeta yang mukanya kekanak-kanakan, tubuhnya tinggi bongkok...”
“Hemm, siapa lagi jika bukan Pat Hoa Lama si pendeta cabul? Huh, berani dia menghina muridku! Lalu bagaimana? Agaknya tidak mungkin engkau dapat lolos dari tangan mereka bertiga!" Setelah berkata demikian, Kim Mo Siankouw mengerling kepada Hay Hay yang masih menunggu dengan hati tegang. Dia merasa betapa wanita itu memang hebat, dan agaknya sudah mengenal dan mengetahui keadaan para pendeta Lama yang menculik Han Siong.
"Mereka bertiga lantas menghadapi teecu dan mencoba untuk menguasai teecu dengan sihir. Akan tetapi... hemmm, mereka tidak tahu bahwa teecu adalah murid Subo. Segala permainan kanak-kanak itu...”
"Jangan tergesa-gesa menyombongkan diri!" Kim Mo Siankouw memotong dengan suara tegas sehingga mengejutkan Mayang sendiri karena tidak biasanya gurunya menghardik dirinya. Sementara itu, diam-diam Hay Hay tersenyum melihat sikap Mayang.
"Sesudah sihir mereka itu gagal, seorang di antara mereka yang memegang tongkat lalu menyerang teecu. Teecu melawan dengan cambuk. Kami berdua saling serang dan teecu sudah mengambil keputusan untuk menghajar mereka bertiga. Akan tetapi tiba-tiba teecu dikejutkan oleh terbakarnya gubuk itu dan teecu lalu pergi meninggalkan mereka. Teecu bertemu dengan Hay Hay ini, lantas dia menceritakan bahwa pemuda yang bersama tiga orang pendeta Lama itu adalah seorang sahabatnya yang diculik mereka untuk dijadikan pelayan. Karena teecu menduga bahwa kawannya itu dilarikan ke Bukit Bangau, maka Hay Hay minta kepada teecu untuk menghadap Subo dan mohon pertolongan Subo untuk dapat menolong dan membebaskan sahabatnya itu."
Kim Mo Siankouw menahan senyum, memandang kepada muridnya itu dan menggeleng kepalanya. "Mayang, kau kira aku tidak tahu siapa ketiga orang pendeta Lama itu? Yang menyihirmu adalah Pat Hoa Lama, ada pun orang yang menyerangmu dengan tongkat itu bukankah bertubuh tinggi besar, dan tongkatnya itu memakai kelenengan? Lalu orang ke tiga itu tinggi kurus, matanya seperti selalu terpejam?"
“Benar sekali, Subo."
"Mereka itu adalah tokoh-tokoh di Tibet. Yang menyerangmu bernama Gunga Lama dan yang matanya terpejam itu Janghau Lama. Mereka bertiga adalah orang-orang sakti dan menghadapi Gunga Lama seorang saja belum tentu engkau dapat menang. Kalau tidak ada orang yang membakar gubuk itu, kiranya belum tentu engkau akan dapat meloloskan diri dari tangan mereka. Siapa yang membakar gubuk itu?"
Hay Hay cepat mengacungkan telunjuk kanannya ke atas, "Saya, Siankouw! Untung ada saya...”
Pada saat itu pula terdengar suara ribut di luar. Mereka segera memandang keluar dan nampaklah lima orang Lama sedang ribut mulut dengan para pelayan wanita yang bekerja di pekarangan depan. Agaknya para pelayan itu bersikeras melarang mereka memasuki pekarangan, tapi lima orang pendeta Lama itu berkeras pula akan memasuki pekarangan sehingga terjadi ketegangan.
Melihat hal ini, Mayang melompat bangun, juga ibunya sudah melangkah keluar bersama puterinya. Kim Mo Siankouw sendiri dengan sikap tenang bangkit berdiri akan tetapi dia pun melangkah keluar. Hay Hay yang ditinggal seorang diri dalam keadaan masih berlutut itu pun segera bangkit dan keluar.
"Heiii, apa yang telah terjadi di sini!” bentak Mayang yang bersama ibunya telah berada di pintu pagar di mana lima orang pendeta Lama itu bersitegang dengan para pelayan yang melarang mereka memasuki pekarangan.
Lima orang pendeta Lama itu berusia kurang lebih antara empat puluh tahun. Mendengar bentakan ini, mereka mengangkat muka memandang dan ketika melihat Mayang, mereka memandang dengan wajah berseri. Salah seorang di antara mereka yang mulutnya lebar segera melangkah maju.
"Apakah engkau yang bernama nona Mayang?”
"Kalau benar aku, mengapa?" tantang Mayang yang sudah marah melihat mereka karena dia menduga bahwa tentu mereka ini anak buah tiga orang pendeta Lama yang mereka bicarakan tadi.
Lima orang pendeta itu saling pandang dan mereka pun menyeringai kurang ajar. Si mulut besar tertawa. "Ha-ha-ha, pantas saja suhu berpesan agar kita membawanya hidup-hidup dan jangan melukainya. Kiranya memang manis sekali dan sayang kalau sampai terluka," katanya kepada kawan-kawannya, lalu dia menghadapi Mayang kembali. "Nona Mayang, kami diutus oleh para guru kami untuk mengundang Nona ke tempat kami, menghadap tiga orang suhu kami karena ada urusan penting yang hendak dibicarakan denganmu."
"Aku tidak sudi!” Mayang membentak.
"Nona Mayang, kami datang dengan niat baik dan tidak ingin menggunakan kekerasan, akan tetapi kami pun tidak berani pulang kalau tidak bersamamu. Maka marilah engkau ikut dengan kami agar tidak perlu kami menggunakan kekerasan untuk memaksamu."
Mayang melompat lantas membanting kakinya dengan marah. “Kalian ini lima ekor anjing gundul berani mengancam aku? Majulah dan aku akan membikin remuk gundul-gundulmu itu!”
"Mayang, mundur kau!" Mendadak terdengar Kim Mo Siankouw berkata lembut. Mayang terkejut dan dia pun tidak berani membantah, walau pun dia masih ragu-ragu.
"Mayang, lekas taati Siankouw!" kata pula ibunya yang lebih mengerti mengapa Kim Mo Siankouw menyuruh Mayang mundur. Dia bisa menduga bahwa kalau tiga orang pendeta Lama itu mengirim utusan lima orang ini, tentu mereka sudah memperhitungkan bahwa lima orang pendeta utusan ini akan mampu menandingi bahkan mengalahkan Mayang.
Kini Kim Mo Siankouw memandang kepada Hay Hay sambil tersenyum, senyum dingin mengejek. "Orang muda, pin-ni (aku) akan mempertimbangkan permintaanmu tadi kalau engkau dapat mewakili kami menghadapi lima orang pendeta Lama ini."
"Subo, apakah Subo hendak mencelakakan Hay Hay? Dia tidak bisa apa-apa, seorang pemuda yang lemah, bagaimana harus...”
"Mayang, jangan membantah kehendak Siankouw!" kembali ibu gadis itu menegur.
Mayang tidak melanjutkan kata-katanya, hanya memandang terbelalak kepada Hay Hay, merasa kasihan karena bagaimana pemuda lemah itu akan dapat menandingi lima orang pendeta Lama itu? Melawan seorang dari mereka pun tidak akan mampu. Tentu dia akan tewas!
Tiba-tiba dia merasa khawatir dan gelisah sekali. Tidak, pikirnya, pemuda itu tidak boleh mati. konyol. Dia tidak berani lagi membantah subo-nya, akan tetapi secara diam-diam dia akan berjaga-jaga dan akan melindungi Hay Hay!
Sementara itu, diam-diam Hay Hay kagum bukan main kepada guru Mayang. Wanita tua yang masih cantik dan lembut itu sungguh memiliki penglihatan yang sangat tajam. Tentu dia telah tahu bahwa dia mempunyai kepandaian, kalau tidak demikian, tidak mungkin dia menyuruh dia melawan lima orang pendeta Lama ini! Maka dia pun tersenyum, walau pun masih berpura-pura tolol karena melihat sikap Mayang.
"Aihhh, syaratnya berat amat! Akan tetapi, baiklah, Siankouw. Demi menolong sahabatku, saya akan berusaha sekuat tenaga untuk melawan lima ekor anjing gundul ini.
Melihat sikap Hay Hay, Mayang merasa girang dan bangga. Biar pun jelas bahwa pemuda itu bukan lawan lima orang pendeta Lama yang dia duga tentu lihai, akan tetapi pemuda itu sudah memperlihatkan sikap yang gagah! Berani memaki mereka sebagai lima ekor anjing gundul, meniru makiannya tadi.
"Benar, Hay Hay. Hantam kepala lima ekor anjing gundul itu. Jangan takut, kalau mereka hendak menggigitmu, akan kuketok kepala mereka yang gundul itu!" Dia berteriak penuh semangat. Gurunya dan ibunya hanya melirik saja sambil tersenyum karena sungguh pun berteriak tetapi gadis itu tidak turun tangan, mentaati perintah subo-nya tadi.
Hay Hay melirik kepada Mayang dan masih tersenyum, kemudian dengan langkah gontai seperti orang yang tidak bertenaga dia maju menghampiri lima orang pendeta Lama itu.
Lima orang pendeta Lama itu adalah tokoh-tokoh di Tibet, dan merupakan tangan kanan dari tiga pendeta Lama yang bersarang di Bukit Bangau. Mereka sudah marah ketika tadi mendengar penghinaan Mayang, gadis manis yang berani memaki mereka sebagai lima ekor anjing gundul. Kini kembali mereka dimaki, dan yang memaki adalah pemuda yang terlihat lemah ini, bahkan tadi gadis itu telah mencegah pemuda ini maju karena dikatakan bahwa pemuda ini lemah.
Dalam kemarahan itu, lima orang pendeta Lama bermaksud untuk mempermainkan dan menghina Hay Hay. Salah seorang di antara mereka yang tubuhnya kurus kering berkata dengan suaranya yang parau besar, tidak sesuai dengan tubuhnya.
"Saudara-saudara sekalian, monyet cilik ini hendak melawan kita? Ha-ha-ha-ha, mari kita buat dia menari-nari!" Ucapan ini merupakan isyarat kepada teman-temannya agar mereka mempergunakan kekuatan sihir saja untuk mempermainkan dan menghina Hay Hay, yaitu menyihirnya agar dia bersikap seperti seekor monyet!
Mereka berlima kemudian mengerahkan kekuatan sihir mereka, menatap wajah Hay Hay dengan tajam, lalu si kurus tadi membentak lagi, kini kekuatan sihirnya disatukan dengan kekuatan empat orang kawannya.
"Orang muda, engkau adalah seekor monyet yang baru keluar dari dalam hutan! Ingatlah baik-baik, engkau adalah seekor monyet! Monyet! Monyet! Monyet! Hayo monyet, engkau menari-narilah!"
Mayang merasa benar akan gelombang kekuatan sihir itu. Bagi dirinya sendiri yang sudah kebal, gelombang kekuatan itu hanya lewat saja tanpa membekas, akan tetapi ia khawatir sekali melihat Hay Hay karena bagaimana mungkin pemuda yang tidak mengenal sihir itu akan mampu bertahan menghadapi serangan ilmu sihir sekuat itu? Dia melihat Hay Hay tersenyum lebar, lalu memandang seperti orang bingung dan heran.
"Monyet? Aku disuruh menjadi monyet? Ha-ha, baiklah, aku akan menari seperti monyet. Akan tetapi pertunjukan monyet harus dilengkapi dengan segerombolan anjing! Dan kalian yang menjadi lima ekor anjingnya! Anjing gundul, ha-ha! Kalian lima ekor anjing gundul, hayo kalian menggonggong, biar aku jadi monyet menari-nari!”
Kini Mayang terbelalak. Apa yang telah dilihatnya? Lima orang pendeta Lama itu tiba-tiba saja merangkak-rangkak dan menggonggong mirip anjing, menyalak-nyalak dan meringis-ringis!
Tadinya dia mengira bahwa mungkin subo-nya yang telah membantu Hay Hay sehingga dia merasa gembira sekali. Akan tetapi, ketika dia menoleh kepada subo-nya, dia melihat betapa subo-nya juga terbelalak dan terheran-heran, maka dia cepat memandang lagi ke arah Hay Hay dan lima orang pendeta Lama itu.
Lima orang pendeta itu masih merangkak-rangkak, kadang kala berloncatan ke sana-sini sambil menyalak-nyalak, dan Hay Hay meloncat ke atas punggung pendeta kurus kering. Sambil menari dan menggaruk-garuk tubuh seperti seekor monyet, Hay Hay berloncatan dari satu punggung ke lain punggung, persis seekor monyet yang sedang bermain-main dengan lima ekor anjing. Riuh rendah suara lima orang pendeta itu menggonggong dan menyalak-nyalak dengan galak.
Mayang hampir tidak dapat percaya akan pandangan matanya sendiri. Sudah jelas bahwa Hay Hay agaknya berada di bawah pengaruh sihir dan bersikap laksana seekor monyet, akan tetapi mengapa lima orang pendeta yang menyihir Hay Hay itu seperti terkena sihir pula? Bahkan lebih parah dari Hay Hay? Kalau Hay Hay hanya bersikap seperti monyet, menggaruk-garuk dan menari-nari tetapi masih bisa bercakap-cakap, lima orang pendeta Lama itu benar-benar bersikap dan bersuara seperti anjing!
Akan tetapi ketika kembali Mayang menoleh kepada subo-nya, dia melihat subo-nya kini tidak terheran-heran lagi. Bahkan subo-nya tersenyum-senyum! Sekarang dia melihat Hay Hay meloncat turun dari punggung para pendeta Lama itu, masih berjingkrak-jingkrak dan menggaruk-garuk dada dan punggung seperti monyet, sambil tertawa-tawa.
"Ha-ha-ha, bagus, bagus! Anjjng-anjing gundul, kalian sekarang boleh saling serang, lima ekor anjing berebut tulang dan aku monyetnya yang memberi tulang!"
Dengan gerakan mirip monyet Hay Hay lalu mengambil sepotong kayu dan melemparkan kayu ke arah lima orang pendeta yang masih merangkak-rangkak dan berloncat-loncatan itu dan terjadilah suatu penglihatan yang membuat Mayang kini tertawa terkekeh-kekeh!
Bagaikan lima ekor anjing tulen kelima orang pendeta itu sekarang menyerbu dan saling memperebutkan ‘tulang’ yang bukan lain hanya sepotong kayu itu! Mereka saling terkam dan saling gigit di antara gonggongan yang riuh rendah! Ada yang telinganya kena gigit sampai robek, atau hidungnya kena gigit sampai berdarah dan melihat semua ini, Mayang tertawa terpingkal-pingkal sampai harus memegangi perutnya yang terguncang-guncang dan menjadi keras.
Tiba-tiba terdengar suara Hay Hay, "Sudah... sudah, cukup! Kalian ini lima orang pendeta Lama, kenapa bermain-main seperti anak-anak kecil?"
Tiba-tiba lima orang pendeta itu berloncatan berdiri dan saling pandang. Wajah mereka seketika menjadi pucat, lalu menjadi merah sekali. Mereka menyusut darah dari muka dan kini mereka memandang kepada Hay Hay dengan mata melotot penuh kemarahan.
"Srattt! Srattt! Singgg...!"
Nampaklah sinar berkilauan dan lima orang pendeta Lama itu sudah mencabut golok dari sarung golok yang menempel di punggung mereka. Mereka segera mengepung Hay Hay dengan golok di tangan, sikap mereka nampak beringas serta penuh ancaman sehingga Mayang memandang dengan muka berubah agak pucat.
"Heii, kalian ini berpakaian pendeta, kenapa memegang golok? Apakah pekerjaan kalian menjagal babi?" Hay Hay agaknya tidak sadar akan bahaya maut yang mengancam maka masih sempat berkelakar.
“Kami memang jagal, sekali ini hendak menjagal kamu, monyet busuk!" bentak seorang di antara mereka yang hidungnya pecah berdarah karena digigit kawannya sendiri.
"Hemm, tadi kalian memperebutkan tulang, tapi sekarang tulangnya ditinggal begitu saja!" kata Hay Hay, lantas dia pun mengambil sepotong kayu tadi yang besarnya selengan dan panjangnya tiga kaki.
"Orang muda sombong, bersiaplah engkau untuk mampus!" bentak lima orang pendeta itu yang sudah mengepungnya.
"Hay Hay, mundurlah! Mereka itu lihai dan engkau tidak pandai silat...!" Tiba-tiba Mayang berteriak karena gadis ini merasa khawatir sekali.
Hay Hay menoleh kepadanya dan tersenyum. "Biarlah, Mayang. Justru karena mereka itu lihai, maka hendak kuhadapi dengan gerakan yang bukan silat. Aku menjadi monyet, aku akan bergerak seperti monyet."
"Jangan, Hay Hay! Engkau akan celaka...!" Mayang sudah siap untuk meloncat ke depan, untuk menggantikan Hay Hay, atau setidaknya untuk melindunginya, akan tetapi subo-nya menegurnya.
"Mayang, jangan mencampuri!"
Mayang terkejut dan cepat dia menghampiri subo-nya, lalu menjatuhkan diri duduk di atas tanah dekat subo-nya yang juga sudah duduk di atas sebuah bangku yang tadi disediakan oleh seorang pelayan wanita. Ibu gadis itu juga duduk di atas bangku di sebelah kiri Kim Mo Siankouw.
"Subo, bagaimana ini? Jangan biarkan Hay Hay tewas, Subo. Dia akan mati konyol...”
"Hushhh..., Mayang, kau pergunakanlah matamu baik-baik. Sejak bertemu tadi aku sudah melihat bahwa pemuda itu sama sekali bukan orang lemah. Kau lihat saja!"
Gadis itu terkejut dan merasa heran. Hay Hay bukan orang lemah? Dengan bingung dia memandang dan melihat betapa kini lima orang pendeta Lama itu sudah mulai menyerang dengan golok mereka. Gulungan sinar golok menyambar-nyambar ganas dan hampir saja Mayang memejamkan mata karena merasa ngeri membayangkan tubuh pemuda itu akan tersayat-sayat.
Akan tetapi aneh! Dia melihat tubuh pemuda itu bergerak seperti monyet, berloncatan ke sana-sini, tangan kanan memegang tongkat dan tangan kiri menggaruk-garuk sana-sini di tubuhnya, akan tetapi kelima batang golok itu tidak pernah mampu menyentuhnya! Mula-mula Mayang terbelalak, terheran-heran, akan tetapi segera dia tersenyum dan akhirnya dia berteriak-teriak saking gembiranya.
Tentu saja Hay Hay bukan lawan seimbang bagi kelima orang pendeta Lama itu. Dengan mudah saja pendekar ini menggunakan ilmu Jiauw-pouw Poan-san, yaitu gerak langkah kaki ajaib yang membuat dirinya selalu dapat mengelak dari sambaran lima batang golok. Hanya gerakannya itu dicampurnya dengan gerakan dan loncatan mirip monyet sehingga nampak lucu sekali. Tongkat di tangannya itu kadang membantunya, setiap kali ada golok yang terlalu berbahaya menyambarnya, tongkat cepat bergerak dan ujungnya mendorong golok lawan sehingga menyerong.
Lima orang pendeta Lama itu terkejut, akan tetapi juga penasaran dan marah sekali. Tadi mereka sudah dihina secara luar biasa, yaitu mereka seolah-olah menjadi seperti anjing yang saling serang sendiri. Sekarang golok mereka sama sekali tidak mampu menyentuh tubuh pemuda itu, padahal katanya pemuda itu tidak pandai silat, dan kini hanya bergerak seperti monyet saja. Namun golok mereka selalu membacok dan menusuk udara kosong!
"Bocah keparat! Kalau berani, hadapilah kami dan mari kita mengadu kepandaian, bukan terus mengelak seperti itu!" bentak si kurus kering.
"Singgg...!"
Goloknya menyambar ke arah leher Hay Hay dari kanan ke kiri. Hay Hay merendahkan tubuhnya dan golok itu menyambar lewat di atas kepalanya.
"Nih tulang, makanlah!" kata Hay Hay dan tiba-tiba saja, tanpa dapat dihindarkan lagi oleh si tinggi kurus, ujung tongkat itu sudah menusuk ke arah mulutnya, lantas terdengar bunyi berkerotokan!
"Auhhhh....!"
Si tinggi kurus terjengkang, kemudian dia menutupi mulutnya yang berdarah-darah karena sebagian besar giginya di bagian depan telah rontok dan tanggal karena mulut itu dijejali ujung tongkat!
Empat orang pendeta lainnya menjadi terkejut, akan tetapi juga marah bukan main. Golok mereka menyambar-nyambar semakin ganas, akan tetapi Hay Hay tidak ingin membuang banyak waktu lagi. Sekarang dia pun membalas dan nampak sinar hijau bergulung-gulung ketika tongkatnya berkelebatan.
“Tak! Tuk! Tak! Tuk!”
Terdengar suara tongkat beradu dengan empat kepala gundul, disusul teriakan kesakitan empat orang itu. Empat batang golok terlempar, dan keempat orang pendeta itu langsung menghentikan serangan mereka.
Kini mereka mengelus-elus kepala gundul mereka yang ternyata telah benjol-benjol akibat dihajar tongkat. Lima orang pendeta itu langsung maklum bahwa kini mereka berhadapan dengan lawan yang amat pandai, maka tanpa banyak cakap lagi, tanpa memungut golok mereka, lima orang pendeta Lama itu segera lari tunggang langgang tanpa pamit!
Sejak tadi Mayang hampir tidak berkedip. Dia meloncat berdiri dan menghampiri Hay Hay, kini pandang dari sepasang mata yang jeli indah itu berubah. Penuh kagum, akan tetapi juga penuh dengan perasaan penasaran.
“Kau... kau... telah berpura-pura bodoh, ya?" bentaknya penuh teguran karena dia merasa dipermainkan pemuda ini. Hay Hay hanya tersenyum dan dia segera menghadap Kim Mo Siankouw dengan sikap hormat. Wanita itu sekarang bersikap angkuh ketika berkata dan bangkit berdiri.
"Orang muda, kita bicara di dalam!"
Hay Hay mengangguk, kemudian mengikuti wanita itu yang memasuki rumah bersama ibu Mayang. Gadis itu sendiri lalu mengikuti dari belakang, hatinya masih merasa dongkol terhadap Hay Hay karena dia merasa dibodohi, merasa dipermainkan pemuda itu dalam pertemuan pertama.
Wajahnya berubah kemerahan apa bila dia membayangkan semua peristiwa yang sudah terjadi sejak dia berjumpa dengan Hay Hay yang membakar gubuk dan pura-pura sebagai seorang pemuda yang lemah! Tidak tahunya, pemuda ini memiliki ilmu silat yang hebat, yang dengan amat mudahnya mengalahkan lima orang pendeta Lama itu dan yang lebih hebat lagi, pemuda ini agaknya juga seorang ahli sihir!
Mereka kini duduk di dalam ruangan sebelah belakang. Hanya empat orang yang berada di ruang itu. Kim Mo Siankouw duduk di atas kursi yang ditilami sutera merah. Ibu Mayang duduk di sebelah kirinya, dan Mayang sendiri berlutut di atas lantai di sebelah kanannya, Hay Hay duduk pula di bangku berhadapan dengan mereka.
Untuk sejenak mereka hanya saling pandang saja. Ibu Mayang memandang dengan alis berkerut dan sinar mata penuh selidik. Kim Mo Siankouw menatap dengan pandang mata menyelidik pula seperti hendak mengukur dan menjenguk isi hati pemuda itu. Sedangkan Mayang sendiri memandang dengan wajah berubah-ubah, kadang -kadang penuh kagum, lalu penuh perasaan dongkol.
Hay Hay sendiri bersikap tenang saja. Walau pun dengan jelas dia dapat melihat keadaan hati mereka melalui wajah mereka, akan tetapi dia berpura-pura tidak tahu dan bersikap tenang, pada bibirnya terhias senyum.
Tiba-tiba Hay Hay terkejut karena merasakan suatu getaran yang sangat kuat datang dari wanita tua itu. Ketika dia mengangkat muka, dia melihat betapa sepasang mata Kim Mo Siankouw mencorong laksana dua buah bintang yang memiliki sinar amat kuatnya. Maka tahulah dia bahwa wanita itu memandang kepadanya dengan pengerahan kekuatan batin untuk mengukur dirinya, karena sinar yang keluar dari mata wanita tua itu bukan bersifat menyerang, melainkan berusaha untuk membuka isi hatinya melalui pikiran, seakan-akan hendak memaksa dirinya mengaku.
Dia pun cepat mengerahkan tenaga batinnya dan menyambut sinar mata itu dengan sinar matanya sendiri sehingga terjadilah bentrokan antara dua kekuatan batin yang amat kuat. Sejenak mereka itu saling tatap, kemudian, ketika merasakan betapa sinar mata Kim Mo Siankouw melembut, Hay Hay juga cepat-cepat menarik kembali tenaganya dan dia pun menundukkan pandang matanya.
"Orang muda yang gagah, sekarang katakan terus terang kepadaku, siapakah yang telah mengajarkan ilmu sihir kepadamu?" pertanyaan itu lembut namun tegas.
Hay Hay membutuhkan bantuan wanita sakti ini, maka dia pun tidak ragu untuk membuat pengakuan. "Yang mengajarkan kepada saya adalah mendiang suhu Pek Mau Sanjin dan Song Lojin."
Kim Mo Siankouw mengangguk-angguk, tidak lagi merasa penasaran melihat kehebatan orang muda itu dalam ilmu sihir setelah mendengar siapa gurunya.
"Dan siapa pula gurumu dalam ilmu silat?"
Dari pertanyaan ini saja telah membuktikan bahwa Kim Mo Siankouw memang mengenal keadaan mendiang Pek Mau Sanjin, seorang pertapa sakti yang sangat kuat dengan ilmu sihirnya, namun yang tidak pernah mempelajari ilmu silat.
"Kedua suhu saya adalah See-thian Lama dan Ciu-sian Sin-kai."
"Siancai...!" Kini wanita tua itu nampak terkejut. "Kiranya engkau adalah murid dari dua di antara Delapan Dewa...! Ahh, Mayang, sungguh engkau beruntung sekali dapat bertemu dan bersahabat dengan pendekar muda ini!"
Akan tetapi Mayang cemberut. Biar pun dia merasa semakin kagum, tetapi juga semakin dongkol karena kebodohannya sehingga mudah saja dia dipermainkan Hay Hay, mengira bahwa Hay Hay adalah seorang pemuda yang hanya memiliki kepandaian merayu saja, seorang pemuda yang menyenangkan namun lemah.
"Orang muda yang gagah, melihat deretan nama para gurumu, engkau telah memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, dan kiranya engkau tidak perlu gentar menghadapi para pendeta Lama yang murtad dan sesat itu. Kenapa engkau masih ingin minta bantuanku?”
Hay Hay menarik napas panjang. Kini dia tak boleh berpura-pura lagi, harus menceritakan segata hal dengan sejujurnya.
"Locianpwe, sebenarnya saya tidak maju sendiri dalam menghadapi para pendeta Lama, melainkan berdua dengan sahabat baik saya itu, dan dia pun seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, baik ilmu silat mau pun ilmu sihir. Akan tetapi tetap saja kami merasa khawatir karena kami berada di Tibet, bukan di daerah kami. Apa lagi kalau diingat bahwa daerah ini berada dalam kekuasaan Dalai Lama yang agaknya terpaksa akan kami hadapi sebagai lawan."
Kim Mo Siankouw rnengerutkan alisnya dan nampak sangat terkejut. "Memusuhi Dalai Lama? Hemm, orang muda, sungguh mengejutkan sekali ucapanmu itu. Kenapa engkau dan sahabatmu memusuhi Dalai Lama?"
"Bukan kami yang memusuhi, melainkah Dalai Lama sendiri yang sejak lahirnya sahabat saya itu selalu mengganggu dan hendak menculik sahabat saya. Ketahuilah, locianpwe, sahabat saya itu bernama Pek Han Siong dan semenjak lahir dia selalu dicari dan hendak diculik oleh para pendeta Lama atas perintah Dalai Lama. Sahabatku itu dahulu dlsebut Sin-tong (Anak AJaib) yang menurut pendapat para pendeta Lama adalah seorang calon Dalai Lama!"
"Hemmm, kiranya Sin-tong? Putera dari ketua Pek-sim-pang di Nam-co itu? Kami pernah mendengar mengenai peristiwa itu! Jadi sahabatmu itukah Sin-tong? Teruskan ceritamu, orang muda. Sungguh ceritamu mulai menarik hatiku."
Kim Mo Siankouw kini benar-benar merasa tertarik. Dia sudah mendengar akan Sin-tong yang pernah dicari oleh para pendeta Lama. Dia sendiri merupakan sahabat Dalai Lama dan dia sendiri tahu bahwa Dalai Lama mencari Sin-tong bukan dengan niat buruk.
"Keluarga Pek tidak merelakan putera mereka diambil oleh para pendeta Lima," Hay Hay melanjutkan ceritanya, "Hingga dewasa Han Siong bersembunyi dan dia menjadi seorang yang berilmu tinggi. Akan tetapi sampai kini para pendeta Lama itu agaknya masih terus mengejarnya. Akhir-akhir ini muncul tiga orang pendeta Lama di kota Hok-lam dan secara jujur mereka mengatakan bahwa mereka diutus oleh Dalai Lama untuk mengundang Pek Han Siong. Karena tidak ingin dia diganggu terus, Han Siong dan saya bekerja sama. Dia pura-pura terpengaruh oleh sihir tiga orang pendeta Lama itu dan menurut saja dibawa ke daerah ini. Dengan diam-diam saya membayanginya, maka terjadilah pertemuan antara saya dengan adik Mayang. Mendengar akan kesaktian locianpwe, juga melihat kehebatan adik Mayang yang tidak mempan sihir para Pendeta Lama. maka saya memberanikan diri untuk mohon bantuan Locianpwe dalam menghadapi para pendeta Lama, terutama untuk membujuk Dalai Lama agar tidak lagi mengejar-ngejar sahabat saya Pek Han Siong itu."
Kim Mo Siankouw menarik napas panjang. "Benar-benar aneh! Ketahuilah, orang muda, bahwa Gunga Lama, Janghau Lama dan Pat Hoa Lama adalah tiga orang pendeta Lama tokoh-tokoh besar di Tibet yang pernah memberontak terhadap Dalai Lama. Mereka telah dihadapi para pengikut Dalai Lama, gerombolan mereka sudah dihancurkan dan mereka melarikan diri. Maka sungguh aneh sekali jika sekarang mereka itu mengaku utusan Dalai Lama untuk mengundang Pek Han Siong. Hemmm, tentu ada maksud tertentu yang tidak sehat. Dan sahabatmu itu sekarang seorang diri berada di antara mereka, tentu dibawa ke puncak Bukit Bangau dan hal ini sungguh berbahaya. Baiklah, aku akan membantumu karena tertarik oleh peristiwa ini, juga karena aku adalah sahabat baik Dalai Lama yang agaknya nama besarnya hendak dicemarkan. Memang, ketika Dalai Lama mendapatkan ilham bahwa calon Dalai Lama yang baru sudah terlahir sebagai Sin-tong, tentu saja dia berusaha menarik Sin-tong untuk dididik sebagai calon Dalai Lama. Namun hal itu terjadi dengan suka rela, dengan cara damai, tidak boleh ada pemaksaan sama sekali. Bila ada pemaksaan terhadap Pek Han Siong, maka hal itu tidak sesuai dengan sikap Dalai Lama dan merupakan hal yang tidak wajar. Nanti pada saat matahari telah naik tinggi, aku akan menemanimu naik ke Bukit Bangau. Sekarang engkau boleh beristirahat dahulu, orang muda. Mayang, engkau persiapkan sebuah kamar untuk tamu kita."
Tentu saja Hay Hay menjadi girang sekali dan menghaturkan terima kasih, lalu mengikuti Mayang meninggalkan ruangan itu menuju ke sebelah dalam bangunan besar itu.
"Nah, ini kamarmu, engkau boleh beristirahat sekarang," kata Mayang ketika mereka tiba di sebuah kamar tamu yang sudah bersih karena memang di situ terdapat kamar-kamar tamu yang siap pakai.
Melihat sikap Mayang, Hay Hay lalu tersenyum. "Mayang, aku berterima kasih padamu. Gurumu suka membantu kami, dan semua ini berkat engkau, Mayang. Bila tidak bertemu denganmu, bagaimana mungkin aku bertemu dengan subo-mu."
Akan tetapi dengan cemberut gadis itu berkata singkat, "Tak usah berterima kasih kepada aku seorang gadis yang bodoh!" katanya, kemudian dia pun membalikkan tubuhnya dan lari meninggalkan Hay Hay.
Pemuda ini terbelalak, lalu cepat mengejar. Mayang memasuki taman bunga yang indah, lantas duduk di atas bangku di dekat kolam ikan emas. Mendengar ada suara di sebelah belakangnya, dia segera membalik dan ternyata Hay Hay telah berdiri di belakangnya.
"Mau apa engkau ke sini? Engkau disuruh beristirahat, bukan?" kata Mayang, suaranya mengandung keheranan, namun juga masih ketus dan terutama sekali pandang matanya tidak menyamankan rasa hati Hay Hay.
"Wah, bagaimana aku bisa beristirahat kalau engkau seperti ini, Mayang? Suaramu yang ketus akan terus meledak-ledak di dalam telingaku, wajahmu yang cemberut akan terus menghantuiku, dan pandang matamu seperti hendak mencekik leherku. Amboi, dewi yang jelita, apakah gerangan dosa hambamu ini maka paduka marah-marah kepada hamba?”
Akan tetapi sekali ini Mayang tidak tertawa melihat ulah Hay Hay, bahkan kerut di kening gadis itu semakin mendalam dan mulutnya yang cemberut menjadi semakin meruncing. Dengan gerakan marah dia membuat dua kuncir tebal yang tadinya bergantung di depan dada melayang dan berpindah ke punggungnya.
Mata yang sipit itu basah, hidung yang agak besar itu cupingnya bergerak lembut, mulut yang kecil kemerahan itu membentuk bundaran runcing, kedua pipi yang putih mulus dan biasanya kemerahan itu kini menjadi merah padam. Akan tetapi bagi Hay Hay kelihatan semakin cantik manis saja!
"Tidak perlu menjual rayuan! Aku juga tahu bahwa aku adalah seorang gadis bodoh dan tolol, tidak sehebat engkau ini pendekar jagoan yang serba bisa!"
"Astaga! Ini namanya marah benar-benar! Mayang sayang, siapa yang mengatakan bahwa engkau gadis bodoh dan tolol? Biar kugampar mulut orang yang berani memakimu seperti itu!"
Gadis itu tadinya memutar tubuh membelakangi Hay Hay yang hanya dapat mengagumi pinggulnya yang bulat besar membusung. Tiba-tiba dia membalik dan sepasang kuncirnya turut pula melayang ke depan, secepat gerakan pecutnya, suaranya pun meledak dalam serangan yang mendadak dan mengejutkan.
"Engkau yang menghina dan memaki aku!"
Hay Hay memandang bengong. "Aku? Ya ampun dewiku! Aku menghina dan memakimu? Akan kupukuli kepala ini kalau berani! Engkau sudah menolongku, engkau telah bersikap ramah dan baik, engkau begini manis dan jelita, dan engkau sahabat baikku. Bagaimana mungkin aku menghina dan memakimu?”
"Engkau masih berani menyangkal? Bukankah ketika bertemu dengan aku, engkau sudah berlagak bodoh? Engkau berlagak seakan-akan seorang pemuda yang lemah? Bukankah itu berarti bahwa engkau sudah mempermainkan aku, bahwa engkau sudah menganggap aku bodoh dan karenanya menghinaku? Hayo katakan! Hayo katakan bahwa engkau tidak menganggapku bodoh! Engkau telah mempermainkan aku, membikin aku merasa bodoh dan malu bukan main! Ihhhh... ingin aku menghajarmu!"
Barulah Hay Hay mengerti dan diam-diam dia pun menyesal. Dia tidak pernah bermaksud mempermainkan gadis ini, sama sekali tidak. Bila dia berpura-pura, hal itu adalah karena dia memang sengaja ingin menyembunyikan kepandaiannya, tidak ingin diketahui bahwa dia memiliki ilmu kepandaian.
Hal ini penting baginya karena bukankah dia sedang membayangi para pendeta itu, dan bukankah dia sedang bertugas untuk menyelidiki rahasia para pendeta Lama? Tadi pun di depan Kim Mo Siankouw, karena terpaksa saja dia harus mengeluarkan ilmunya, karena dia tak mungkin dapat mengelak lagi ketika harus menghadapi pengeroyokan lima orang pendeta Lama yang lihai. Apa lagi karena agaknya mata Kim Mo Siankouw tajam sekali, dapat menduga bahwa dia seorang yang memiliki kepandaian. Dan dia pun kini maklum bahwa tentu saja Mayang merasa dipermainkan.
"Aduhh, Mayang, maafkanlah aku. Sungguh mati, demi Langit dan Bumi aku bersumpah, bukan maksudku mempermainkan engkau, sayang. Terus terang saja, tadinya memang aku hendak menyembunyikan kepandaianku, bukan hanya darimu, akan tetapi juga dari subo-mu dan dari semua orang. Ingat bahwa aku mempunyai tugas penting bersama Han Siong, menyelidiki keadaan para pendeta Lama. Kalau aku memperlihatkan kepandaian, tentu akan menghadapi banyak kesukaran. Sungguh mati, Mayang, aku tidak bermaksud menghinamu. Kalau engkau merasa begitu, maukah engkau mengampuni aku, sayang? Lihat, aku jujur, aku mau minta ampun, bila perlu aku akan berlutut di depan kakimu untuk minta ampun. Mayang, ampunkan aku."
Dan Hay Hay benar-benar menjatuhkan diri berlutut di depan gadis itu. Tentu saja Mayang menjadi terkejut sekali dan cepat dia membalikkan tubuhnya sehingga Hay Hay berlutut di belakang sepasang bukit pinggul yang besar itu.
“Taihiap, engkau... engkau bangkitlah, jangan berlutut seperti itu!" katanya, suaranya tidak begitu ketus lagi biar pun masih kering.
“Ampun! Engkau menyebut aku taihiap lagil Ya ampun, Mayang, kalau engkau tidak mau menyebut namaku dan mengatakan bahwa engkau mengampuni aku, sampai mati pun aku tidak akan bangkit dan akan berlutut terus sampai dunia kiamat!"
Mau tak mau Mayang tersenyum sendiri mendengar ini. "Aku tidak percaya! Mana kedua lututmu kuat bertahan kalau menanti sampai dunia kiamat!"
Legalah hati Hay Hay mendengar ucapan yang nadanya sudah mengajak berkelakar itu. “Tentu akan kuat, asalkan engkau juga terus berdiri di depanku. Mari kita sama-sama lihat saja siapa yang kuat dan siapa yang tidak. Hayo, Mayang, lekas katakan bahwa engkau suka mengampuni aku. Aku berjanji bahwa selama hidupku, aku tidak akan berpura-pura bodoh lagi kepadamu!"
Senyum di bibir gadis itu makin melebar walau pun dia belum memutar tubuh. "Huh, siapa mau makan akalmu? Berpura-pura bodoh pun tidak ada gunanya karena aku sudah tahu!"
"Sudah tahu bahwa aku bodoh?"
"Sudah tahu bahwa engkau pan...dir!" Hay Hay cemberut. Semula disangkanya gadis itu akan mengatakan ‘pandai’, tidak tahunya berubah menjadi ‘pandir’.
"Nah, engkau telah membalas memaki aku. Kini sudah satu lawan satu, bukan? Mayang, hayolah, katakan bahwa engkau telah mengampuni aku. Kedua lututku sudah mulai nyeri dan lelah nih!"
Mayang tak dapat menahan ketawanya lagi. Dia membalik dan tersenyum. "Baiklah, Hay Hay, aku memaafkanmu. Semenjak tadi pun aku telah memaafkanmu, kalau tidak begitu, tentu aku tidak akan sudi bicara denganmu."
Hay Hay bangkit berdiri dan mereka saling pandang dengan wajah berseri-seri. "Aku pun sudah menduga bahwa engkau tentu akan suka memaafkan aku, Mayang. Seorang gadis yang manis dan jelita seperti engkau ini sudah pasti memiliki watak yang baik.”
"Huh, merayu lagi! Sekali diberi kesempatan, engkau tentu akan terus merayu. Hay Hay, aku masih merasa penasaran. Engkau begini baik kepadaku, akan tetapi kenapa engkau tega mempermainkan aku? Bahkan ketika kita berjalan melewati tebing itu, engkau pura-pura ketakutan sehingga terpaksa harus kugandeng tanganmu. Mengapa engkau begitu kejam mempermainkan aku?"
Hay Hay tersenyum. "Bukan mempermainkanmu, Mayang. Pertama-tama aku hanya ingin menyembunyikan keadaan diriku demi keamanan dan kepentingan penyelidikanku. Akan tetapi melihat engkau semanis ini, aku lalu berpura-pura dan ketika engkau menggandeng tanganku, hemmm... tanganmu begitu lembut, lunak dan hangat sehingga aku tidak ingin melepaskannya "
"Ihhh! Engkau memang mata keranjang tak ketulungan lagi!" Mayang berkata, akan tetapi wajahnya berubah merah sekali dan untuk menutupi perasaannya yang terguncang, agar jangan sampai salah tingkah, dia pun tertawa.
Dan sejak detik itu hati Mayang sudah jatuh cinta kepada pemuda yang demikian pandai merayu dan menyenangkan hatinya ini. Dia memang sudah merasa suka ketika pertama berjumpa dengan Hay Hay, dan rasa suka itu kini ditambah rasa kagum melihat betapa Hay Hay memiliki ilmu kepandaian yang demikian tinggi, maka timbullah perasaan cinta.
"Sudahlah, Hay Hay. Tadi engkau disuruh beristirahat. Engkau sedang menghadapi tugas berat dan berbahaya. Beristirahatlah agar aku jangan sampai ditegur subo kalau melihat kita bercakap-cakap di sini."
Hay Hay maklum bahwa seorang seperti Kim Mo Siankouw tentu memiliki watak aneh dan tidak mengherankan apa bila kadang-kadang dia bersikap keras luar biasa. Dia tidak ingin menyusahkan Mayang, maka dia pun lalu meninggalkan gadis itu, menuju ke kamar yang sudah disediakan untuknya.
********************