KINI Kim Mo Siankouw bersikap serius. "Pek Taihiap, agaknya engkau akrab dan kagum kepada Hay Hay. Dia tentu seorang sahabatmu yang baik sekali."
"Bukan hanya sahabat, Siankouw, bahkan lebih dari itu. Dulu ketika masih bayi, Hay Hay pernah dipungut anak oleh orang tuaku, maka dia itu dapat dikatakan saudara angkatku pula."
"Bagus sekali. Tidak mengherankan mengapa kalian demikian akrab! Pek Taihiap, kalau engkau menyayang Hay Hay, maka kami pun menyayang muridku Mayang. Dan engkau sendiri sudah menyaksikan betapa terdapat kemesraan antara Hay Hay dengan Mayang. Maka kami ingin minta bantuanmu, Taihiap, untuk menjadi perantara dan menyampaikan kepada Hay Hay mengenai niat hati kami yang murni, yaitu menjodohkan Mayang dengan Hay Hay. Maukah engkau membantu kami, Taihiap?"
"Tentu saja, dengan segala senang hati, Siankouw! Bahkan saya setuju sekali bila mana ikatan perjodohan itu diadakan, dan Hay Hay sudah sepatutnya menyambut gembira! Aku tahu bahwa dia menyayangi nona Mayang. Dan kali ini dia harus mau, bahkan kalau perlu saya akan membujuk atau memaksanya!"
Ibu Mayang bangkit lalu memberi hormat kepada pemuda itu. Melihat ini, Han Siong cepat membalas sambil berkata, "Bibi, harap jangan sungkan dan tidak perlu memakai banyak penghormatan...”
"Pek Taihiap, sebagai ibu Mayang sebelumnya saya menghaturkan banyak terima kasih atas kebaikanmu yang suka menjadi perantara perjodohan anakku Mayang dengan Hay Hay. Tentu saja bukan maksud kami untuk memaksa Hay Hay, Taihiap. Akan tetapi perlu Taihiap ketahui bahwa Mayang... anakku yang keras hati itu, dengan tegas mengatakan kepadaku bahwa kalau dia tidak menikah dengan Hay Hay, dia... dia akan bunuh diri...”
"Ahhh...!" Han Siong terkejut bukan main mendengar ini. Mayang, gadis yang lincah dan galak itu hendak membunuh diri?
"Kenapa sampai begitu, Bibi?"
Wanita itu menghela napas panjang. "Mayang memang berwatak keras. Dia mengatakan bahwa Hay Hay merupakan satu-satunya pria yang masih hidup, yang melihat keadaan dirinya bertelanjang bulat. Kalau Hay Hay menjadi suaminya, maka hal itu tidak mengapa. Akan tetapi bila tidak menjadi suaminya, maka peristiwa itu dianggapnya sebagai aib yang sangat memalukan dan satu-satunya jalan untuk mencuci aib itu adalah membunuh Hay Hay. Karena hal itu jelas tidak mungkin, maka dia akan membunuh diri kalau ikatan jodoh itu sampai gagal."
"Hemm, bukan itu saja,” tiba-tiba Kim Mo Siankouw berkata, "kalau dia menolak, berarti dia telah menghina muridku dan menghinaku, karena dia telah mempermainkan kami. Hal ini tentu tidak mungkin kubiarkan saja. Kalau Mayang tidak berani membunuhnya, masih ada aku yang akan turun tangan membunuhnya!"
Han Siong terkejut. Ini semua gara-gara mata keranjangmu, Hay Hay, pikirnya.
"Harap Siankouw dan Bibi jangan khawatir. Saya akan membujuk agar dia tidak menolak."
Dua orang wanita itu kembali mengangkat kedua tangan memberi hormat, dan Kim Mo Siankouw berkata lembut. "Kami percaya akan ketulusan serta kebaikan hati Pek Taihiap dan sebelumnya kami mengucapkan banyak terima kasih!"
Han Siong cepat membalas penghormatan mereka, lalu minta diri meninggalkan ruangan itu. Dia tidak kembali ke dalam kamarnya, melainkan langsung saja menghampiri kamar Hay Hay dan mengetuk daun pintunya.
"Tok-tok-tok!"
Hay Hay sudah hampir tertidur pulas ketika mendengar ketukan pada pintu kamarnya itu. Suara ketukan itu seketika mengusir semua kantuknya dan dalam satu dua detik saja dia telah terjaga dalam keadaan siap siaga menghadapi ancaman dari mana pun datangnya.
"Tok-tok-tok!" ketukan itu terulang.
"Siapa di luar?" Hay Hay bertanya.
"Aku Han Siong. Bukalah pintunya, Hay Hay, aku mau bicara. Penting sekali!"
Hay Hay menarik napas lega, akan tetapi juga dia merasa mendongkol karena terganggu tidurnya. "Malam-malam begini mengganggu orang," omelnya, akan tetapi dia tetap turun dari pembaringan dan membuka daun pintu kamarnya.
Dengan wajah serius Han Siong melangkah masuk dan melihat sikap sahabatnya itu, Hay Hay lalu menutupkan kembali daun pintu kamarnya. Ketika dia membalik, dia melihat Han Siong sudah duduk di atas kursi dekat pembaringannya. Dia pun tersenyum dan duduk di atas pembaringan.
"Han Siong, ada urusan apa sehingga malam-malam begini engkau mengganggu orang yang sedang tidur?" tegurnya.
Teringat olehnya betapa sebelum tidur tadi dia masih memikirkan Han Siong dengan hati penuh iba. Dalam pengaruh sihir jahat sahabatnya itu telah menggauli Ci Goat dan setelah menyadari hal itu, Han Siong merasa menyesal bukan main. Dia merasa berdosa kepada gadis itu.
Orang semacam Han Siong tentu akan mempertanggung jawabkan perbuatannya sendiri, walau pun perbuatan itu didorong akibat pengaruh sihir jahat. Dan dia belum tahu bahwa gadis manis yang sudah menyerahkan diri kepadanya dengan suka rela karena memang mencintainya itu kini telah meninggal dunia dalam keadaan yang amat mengerikan!
Kini Han Siong tersenyum dan bangkit dari duduknya, lalu mengangkat tangan memberi hormat kepadanya. "Sebelumnya biarlah lebih dulu aku memberi selamat kepadamu, Hay Hay!"
Hay Hay terbelalak. "Ehh, ehh, apakah engkau bermimpi? Mengapa malam-malam begini mendadak memberi selamat kepadaku?” Dia juga turun dari pembaringan dan memegang lengan kawannya agar tidak memberi hormat kepadanya. "Jangan main-main, Han Siong. Katakan apa artinya semua ini."
"Hay Hay, bergembiralah. Aku datang membawa berita yang bagus sekali. Engkau akan menjadi pengantin! Aku ikut merasa gembira, Hay Hay. Engkau sungguh beruntung sekali dan memang sudah sepatutnya engkau berbahagia "
"Ehh, nanti dulu! Menjadi pengantin? Bagaimana ini? Siapa dan mengapa?"
"Duduklah dan dengarkan keteranganku," kata Han Siong. Mereka lalu duduk di atas dua buah kursi yang berhadapan, terhalang meja kecil di dekat pembaringan. "Tadi baru saja aku dipanggil Kim Mo Siankouw dan ibu Mayang. Mereka mengajukan pertanyaan tentang pribadimu, kemudian mereka minta aku menjadi perantara agar menyampaikan kepadamu bahwa mereka ingin menjodohkan nona Mayang denganmu."
Hay Hay terkejut sekali, cepat dia bangkit seperti ada kalajengking menyengat pinggulnya kemudian memandang kepada sahabatnya itu dengan mata terbelalak. "Ahhh... ehhh... bagaimana...? Tidak bisa ini...”
Han Siong juga bangkit, menarik lengan Hay Hay dan diajaknya duduk kembali. "Engkau tenanglah, jangan ah-eh-oh begitu!"
Dia mulai menikmati keadaan itu. Sudah terlalu sering Hay Hay menggodanya dan kini dia mendapatkan kesempatan untuk membalas! Betapa manisnya pembalasan dendam!
"Hay Hay, tak perlu engkau meragu lagi. Mereka telah bertekad bulat untuk menjodohkan nona Mayang denganmu dan engkau sungguh beruntung sekali. Nona Mayang demikian cantik jelita dan baik, dan aku melihat bahwa engkau memang pantas menjadi suaminya. Engkau harus menyetujui keinginan mereka, Hay Hay. Sukar untuk mendapatkan seorang calon isteri sehebat nona Mayang dan..."
"...dan aku menjadi suami orang, lalu menjadi ayah dari anak-anak kecil dan terikat di sini, seperti seekor kera yang diikat pinggangnya, seperti seekor burung yang terkurung dalam sarang, kehilangan kebebasanku? Ahh, tidak, Han Siong, aku tidak mau...!"
"Apa? Berani engkau menolak nona Mayang? Hay Hay, jangan gila kau! Dia begitu cantik jelita, dia begitu pandai dan dia mencintaimu dan engkau...”
"Hushh, Han Siong. Engkau ini kenapa sih? Engkau seperti hendak mendorong-dorongku, engkau seperti hendak memaksaku menikah dengan Mayang. Engkau kenapa? Apakah masih ada sisa-sisa pengaruh sihir pada tubuhmu? Ahhh, benar juga! Dari pada engkau mendesakku, mengapa tidak engkau sendiri saja yang menikah dengan Mayang? Benar! Engkau akan merupakan suami yang baik, dan kalian serasi sekali, cocok kalau menjadi suami isteri. Biarlah aku yang akan mengusulkan kepada mereka agar engkau saja yang menikah dengan Mayang!"
"Hay Hay, hentikan kelakarmu itu. Aku tidak akan menikah dengan nona Mayang atau dengan wanita mana pun juga, karena aku..." Dia berhenti dan wajahnya tiba-tiba nampak berduka.
"Engkau kenapa, Han Siong?" Hay Hay tidak menggodanya lagi sesudah melihat betapa wajah sahabatnya itu nampak bersedih.
Han Siong menghela napas panjang. "Hay Hay, hanya engkau yang tahu apa yang telah terjadi antara aku dan nona Ouw Ci Goat. Sesudah apa yang terjadi dengan kami, walau pun hal itu terjadi karena aku dikuasai sihir, namun aku harus bertanggung jawab! Dialah satu-satunya wanita yang harus menjadi isteriku, karena dia telah... ternoda olehku..."
"Han Siong...! tiba Hay Hay memegang kedua tangan sahabatnya itu dan hatinya merasa terharu sekali. Juga kagum bukan main. Pemuda ini memang pantas menjadi sahabatnya, dan pantas pula menjadi seorang pendekar budiman. Penuh tanggung jawab atas semua perbuatannya!
"Han Siong, tenangkan hatimu, kawan! Terpaksa aku akan memberi tahu kepadamu akan hal yang amat menyedihkan, yang telah menimpa diri Ci Goat..."
Han Siong terkejut. "Apa? Apa maksudmu?"
"Dia... Ouw Ci Goat... dia telah tewas, Han Siong."
Han Siong terkejut, wajahnya pucat dan matanya terbelalak. "Apa? Bagaimana? Hay Hay, ceritakanlah apa yang telah terjadi!"
Hay Hay menghela napas, penuh rasa iba karena teringat akan keadaan gadis manis itu. "Ketika aku membayangimu, begitu sampai di kuil tua di mana tiga orang pendeta Lama itu berada, aku lantas masuk melalui pintu belakang. Dan di bagian belakang kuil itu aku menemukan tubuh nona Ouw Ci Goat yang sudah menjadi mayat, tentu karena terbunuh oleh mereka..."
Han Siong melompat dan mengepal tinju. "Keparat jahanam para pendeta Lama itu...!”
"Sudahlah, Han Siong. Mereka bertiga juga sudah mati. Agaknya sudah kehendak Tuhan bahwa sampai sekian saja riwayat nona Ouw Ci Goat. Aku telah mengubur jenazahnya di dekat kuil itu, baru aku melakukan pengejaran ketika engkau dibawa oleh tiga orang Lama itu. Nah, sekarang engkau sudah tahu dan tidak perlu menyedihi yang sudah mati." Hay Hay menghibur dan sengaja dia bersikap gembira lagi. “Dan itu berarti bahwa engkau kini telah bebas, Han Siong, engkau dapat menikah dengan nona Mayang!"
Dengan sikap masih penuh kedukaan Han Siong berkata lirih, "Hay Hay, betapa pun juga nona Ouw Ci Goat tewas karena aku! Bagaimana aku tidak akan berduka dan menyesal? Aku adalah orang yang bertanggung jawab, Hay Hay. Andai kata nona Ouw Ci Goat tidak tewas, dengan sungguh hati aku akan menikahinya! Kuharap engkau pun memiliki cukup kegagahan untuk bertanggung jawab atas perbuatanmu terhadap nona Mayang. Karena kalau tidak, tentu aku akan membencimu dan tidak akan memandangmu sebagai sahabat lagi, Hay Hay. Mungkin engkau akan kupandang sebagai seorang laki-laki pengecut dan sebagai musuhku!"
Hay Hay memandang sahabatnya itu dengan mata terbelalak dan lenyaplah semua sikap main-main dari wajahnya. "Han Siong, apa maksudmu? Engkau mengatakan aku harus bertanggung jawab terhadap Mayang? Apa artinya ini? Kalau kau kira aku telah... telah… engkau keliru sekali!"
Han Siong yang masih tenggelam dalam kegetiran dan kedukaan itu memandang wajah sahabatnya, dan suaranya terdengar bersungguh-sungguh. "Aku percaya bahwa engkau belum bertindak sejauh itu, Hay Hay. Akan tetapi engkau sudah melihat gadis itu dalam keadaan telanjang bulat!"
"Heii! Apa salahnya dengan itu, Han Siong? Memangnya aku yang menelanjanginya? Aku hanya menyelamatkannya dari tangan Pat Hoa Lama yang hampir saja memperkosanya!"
"Benar, akan tetapi bagaimana pun juga, engkaulah satu-satunya pria hidup yang pernah melihatnya dalam keadaan seperti itu. Dan engkau pun sudah bermesraan dengan nona Mayang, saling peluk dan saling cium! Apakah engkau hendak menyangkal bahwa nona Mayang amat mencintaimu?"
Hay Hay sekali ini memandang bodoh dan menggelengkan kepala. "Aku tidak tahu akan isi hatinya, Han Siong."
"Dan engkau berani menyangkal bahwa engkau mencintanya?"
"Itu... itu aku pun tidak tahu benar. Aku suka, kagum dan sayang kepadanya, akan tetapi cinta? Ahh, aku tidak pernah merasa jatuh cinta..."
"Mata keranjang! Perayu wanita! Engkau telah mendekapnya dan menciuminya, sekarang engkau bilang tidak tahu apakah mencintanya? Hay Hay, apakah engkau hendak menjadi seorang jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga atau penjahat pemerkosa wanita)?”
Wajah Hay Hay berubah merah sekali karena saat Han Siong mengeluarkan kata-kata itu, dia pun teringat akan ayah kandungnya! Ucapan itu seperti mengingatkannya bahwa dia adalah putera kandung Ang-hong-cu (Si Kumbang Merah), seorang jai-hwa-cat yang amat keji dan jahat!
"Pek Han Siong!" katanya dengan nada ketus. "Apakah engkau ingin mengatakan bahwa karena ayahku seorang jai-hwa-cat, maka aku pun menjadi seorang penjahat cabul?"
"Benar! Kalau engkau tidak mau bertanggung jawab dan menikah dengan nona Mayang, lalu apa bedanya engkau dengan Ang-hong-cu?" Han Siong berkata marah.
"Engkau hendak menghinaku?" Hay Hay bangkit sambil mengepal tinju.
Han Siong turut bangkit dan mengepal tinju pula. "Sesukamu kalau engkau berpendapat begitu! Pendeknya, kalau engkau tidak mau menikah dengan nona Mayang, engkau akan menghadapi tiga hal!"
"Huhh! Engkau mengancamku? Apa yang kau maksudkan dengan tiga hal itu?" Hay Hay mengambil sikap menantang pula.
"Dengar baik-baik! Pertama, engkau akan menghadapi aku sebagai seorang musuh! Aku akan menganggap engkau sebagai orang yang merusak kehidupan seorang gadis, sudah mendatangkan aib baginya namun tidak mau bertanggung jawab. Tentu saja aku tak akan tinggal diam dan akan menantangmu!"
"Hemm, itu hanya anggapanmu. Dan aku tidak mungkin dapat kau paksa menikah hanya dengan ancaman itu"
"Yang ke dua," Han Siong melanjutkan tanpa mempedulikan jawaban Hay Hay. "Engkau akan berhadapan dengan Kim Mo Siankouw yang tentu akan menantangmu karena dia tidak mau membiarkan engkau menghina muridnya, merayu muridnya kemudian sesudah muridnya jatuh cinta, engkau tidak mau bertanggung jawab."
"Ehhh? Kenapa Kim Mo Siankouw juga berpandangan sesempit itu, seperti juga engkau? Sungguh aku tidak mengerti!" sekali ini Hay Hay mengeluh.
"Masih ada yang ke tiga!" kata pula Han Siong penuh kemarahan dan suaranya meninggi. "Kalau engkau menolak untuk menikah dengan nona Mayang, maka nona Mayang akan membunuh diri!"
"Bohong...!" Hay Hay berseru, kaget bukan main, matanya terbelalak memandang wajah Han Siong karena biar pun mulutnya meneriakkan pemuda itu bohong akan tetapi hatinya maklum bahwa Han Siong tidak akan berbohong.
Dan ancaman ke tiga ini sungguh menggetarkan hatinya. Ancaman ke tiga itu yang paling hebat. Walau pun amat berat baginya, dia masih dapat menghadapi ancaman tantangan Pek Han Siong dan Kim Mo Siankouw. Akan tetapi ancaman Mayang untuk membunuh diri benar-benar membuat dia menyerah sebelum bertanding!
Dan ancaman ke tiga ini sungguh menggetarkan hatinya. Ancaman ke tiga itu yang paling hebat. Menghadapi ancaman tantangan Pek Han Siong dan Kim Mo Siankouw, biar pun amat berat baginya, masih dapat dia hadapi. Akan tetapi ancaman Mayang untuk membunuh diri benar-benar membuat dia menyerah sebelum bertanding!
“Tidak mungkin dia... dia... sebodoh itu!"
"Hemmm, dasar laki-laki mata keranjang yang mau enaknya sendiri saja, mau mengambil bunganya tapi tidak mau terkena durinya! Engkau mengatakan dia bodoh, ya? Bayangkan saja! Dia sudah mengalami aib, tubuhnya dalam keadaan telanjang bulat dilihat seorang pria, kemudian pria itu dicintanya namun ternyata pria itu tidak mau menjadi suaminya! Hanya ada dua pilihan bagi seorang gadis yang menjaga baik nama dan kehormatannya, yaitu membunuh pria itu atau membunuh diri. Karena nona Mayang mencintamu, padahal engkau laki-laki yang tidak patut mendapatkan cinta seorang wanita, maka dia tidak akan membunuhmu dan akan membunuh diri. Hal ini dikatakan oleh ibu nona Mayang dan aku mendengarnya sendiri! Nah, katakanlah aku membohong!"
Sekali ini Hay Hay jatuh terduduk dan bengong seperti patung. Dia tidak mampu bicara lagi, hanya menatap kosong seperti orang kehilangan semangat, dan mulutnya berkemak-kemik, "...menikah...? Menikah...? Ya ampuuunn... menikah?”
Melihat ini, diam-diam Han Siong merasa girang. Rasakan engkau sekarang, orang mata keranjang, pikirnya. Bilamana sudah menjadi suami Mayang, tentu gadis itu akan mampu memasangi kendali pada hidungnya sehingga dia tidak akan liar lagi!
Dia tidak merasa kasihan kepada sahabatnya itu. Kenapa harus kasihan? Hay Hay akan menikah dengan seorang gadis yang hebat! Cantik jelita, manis, pandai, kaya raya. Mau apa lagi? Dia masih tenggelam dalam duka teringat akan kematian Ci Goat, maka dia lalu berkata dengan suara lembut,
"Hay Hay, pikirkan baik-baik semalam ini. Besok pagi-pagi mereka sudah mengharapkan jawabanmu yang pasti. Selamat malam!" Han Siong meninggalkan Hay Hay yang masih duduk di atas kursinya seperti boneka hidup itu.
"Kiong-hi (selamat), kiong-hi!" kata Wakil Dalai Lama setelah pada keesokan harinya dia mendengar bahwa Hay Hay dipertunangkan dengan Mayang. "Aihh, sungguh tepat sekali. Pinceng (aku) mengenal baik siapa Kim Mo Siankouw, maka muridnya tentu hebat dan merupakan seorang gadis pilihan! Dan saudara ini, meski pun masih muda namun sudah mempunyai kepandaian yang hebat! Tentu dia akan menjadi seorang yang amat berguna bagi negara dan bangsanya!”
Kini mereka semua berkumpul di ruangan tamu. Pada hari itu Hay Hay terpaksa memberi jawaban dan tak ada jalan lain baginya kecuali menerima usul perjodohan itu. Yang paling berat adalah kenekatan Mayang. Gadis itu akan membunuh diri kalau dia menolak ikatan jodoh itu! Tentu saja dia tidak ingin gadis itu mati karena dia! Dan bagaimana pun juga, harus diakuinya bahwa Mayang adalah seorang gadis yang hebat!
Demikianlah, ketika pada pagi itu Kim Mo Siankouw mengundangnya, dan dia memasuki ruangan tamu, di situ sudah menunggu Kim Mo Siankouw dan ibu Mayang! Dan dengan sikap halus namun serius, Kim Mo Siankouw bertanya,
"Bagaimana, Hay Hay, apakah engkau sudah mendengar dari sahabatmu Pek-taihap itu akan niat hati kami menjodohkan Mayang denganmu? Dan bagaimana jawabmu?"
Ditanya secara terbuka dan jujur itu, Hay Hay juga menjawab sejujurnya. "Sesungguhnya di dalam hati saya belum ada keinginan untuk menikah, Siankouw. Akan tetapi saya pun tidak dapat menolak kehormatan yang diberikan kepada saya."
"Jadi, bagaimana keputusanmu?" tanya ibu Mayang.
Hay Hay menundukkan mukanya. "Saya menerima ikatan jodoh itu dengan rasa haru dan terima kasih."
"Siancai...! Giranglah rasa hatiku, Hay Hay," kata Kim Mo Siankouw.
"Terima kasih, Hay Hay! Sungguh engkau telah membahagiakan kami semua," kata pula ibu Mayang dengan suara bercampur isak akibat terharu. "Semoga Tuhan selalu memberi bimbingan kepada anakku agar bisa menjadi isterimu yang setia dan membahagiakanmu kelak."
Hay Hay memberi hormat. "Saya yang merasa berterima kasih. Akan tetapi karena masih ada tugas penting di pundak saya, yaitu urusan pribadi yang harus saya selesaikan lebih dulu, maka saya mohon agar pernikahan dapat dilaksanakan setelah saya menyelesaikan tugas pribadi itu."
Kedua orang wanita itu mengangguk setuju. Diterimanya usul ikatan jodoh itu saja sudah amat membahagiakan hati mereka. Maka mereka lalu mengumumkan ikatan perjodohan itu sehingga Wakil Dalai Lama yang masih berada di situ segera datang memberi selamat.
Kini mereka semua berkumpul di ruangan itu. Bahkan Mayang juga telah dipanggil ibunya. Gadis yang biasanya tabah dan lincah ini nampak jinak dan malu-malu. Akan tetapi ketika ibunya menyuruh dia memberi hormat kepada calon suaminya, dengan cepat tanpa ragu dia lalu memberi hormat kepada Hay Hay yang dibalas oleh pemuda itu dengan muka kemerahan pula.
"Kiong-hi, sekali lagi kiong-hi kuucapkan kepadamu, Hay Hay, dan kepadamu, Mayang. Akulah orang pertama yang merasa paling berbahagia dengan terikatnya kalian menjadi calon suami isteri!" kata Han Siong. Namun wajahnya sama sekali tidak membayangkan kegirangan hati karena pemuda yang semalaman tidak tidur ini masih terus teringat akan kematian Ouw Ci Goat.
"Kalau kelak diadakan upacara pernikahan, jangan lupa mengundang pinceng, Siankouw! Engkau memperoleh seorang mantu yang amat hebat, maka pinceng juga menghaturkan selamat kepadamu!"
Secara diam-diam Han Siong merasa betapa dia juga telah ikut memaksa Hay Hay untuk menerima usul ikatan jodoh itu. Karena itu, ketika melihat betapa Hay Hay nampak tersipu dan kehilangan kejenakaannya, dia pun berusaha menghiburnya dengan memuji-mujinya di depan orang banyak.
"Losuhu mungkin belum mengenal betul siapa adanya calon mempelai pria ini! Sahabatku ini pernah menjadi seorang pahlawan, membantu dua orang Menteri Yang Ting Hoo dan Menteri Cang Ku Ceng ketika membasmi pemberontakan di Yunan yang dipimpin oleh mendiang Lam-hai Gim-lo!"
"Omitohud…!" Wakil Dalai Lama segera berseru kagum. "Kiranya begitukah? Kami sudah mengenal kedua orang Yang Taijin dan Cang Taijin, dua menteri yang bijaksana. Bahkan Yang Taijin pernah mengirim pasukan untuk membantu kami membasmi pemberontakan. Kalau begitu, kami hendak menitipkan sepucuk surat untuk dihaturkan kepada dua orang menteri yang bijaksana itu. Maukah engkau membawa surat kami ke kota raja kemudian menyerahkannya kepada mereka, Taihiap?" Ucapan ini ditujukan kepada Hay Hay.
Tentu saja Hay Hay merasa tak enak untuk menolak. "Dengan senang hati, Losuhu. Akan tetapi hendaknya cu-wi (kalian semua) tidak mendengarkan bualan Pek Han Siong! Yang membasmi para pemberontak yang dipimpin oleh Lam-hai Giam-lo itu bukan saya sendiri, namun ada banyak pendekar yang ikut membantu pemerintah, termasuk Pek Han Siong sendiri!"
Wakil Dalai Lama memuji. "Omitohud...! Ji-wi (kalian berdua) adalah pendekar-pendekar yang berjiwa patriot. Sungguh beruntung sekali sebuah negara yang memiliki orang-orang muda seperti ji-wi!"
Sesudah menerima hidangan sarapan pagi yang disuguhkan nyonya rumah, Wakil Dalai Lama kemudian minta diri untuk kembali ke Lasha, dan dia menyerahkan sesampul surat kepada Hay Hay untuk disampaikan kepada kedua orang menteri itu. Setelah Wakil Dalai Lama bersama rombongannya pergi, kini yang tinggal di rumah Kim Mo Siankouw sebagai tamu hanya tinggal Hay Hay dan Han Siong berdua.
Siang hari itu Hay Hay mendapat kesempatan untuk berdua saja dengan Mayang. Mereka duduk di taman belakang rumah. Mayang terlihat cantik sekali dengan pakaian baru yang bersih. Potongan pakaiannya itu ketat sehingga mencetak tubuhnya yang tinggi ramping, dengan dada membusung dan pinggul yang padat membukit.
Rambutnya dikuncir menjadi dua dan rambut yang lebat serta panjang itu bergantungan manis di kanan kiri, kadang-kadang di depan, kadang-kadang di belakang, ujungnya diikat sutera merah. Pakaiannya merupakan kombinasi warna hitam dan kuning sehingga kulit yang nampak di leher dan tangannya semakin putih, putih mulus serta kemerahan seperti kulit anak-anak bayi.
Mau tidak mau Hay Hay merasa bangga juga. Gadis ini memang seorang wanita hebat dan dia akan selalu merasa bangga memandang wanita ini sebagai isterinya. Biasanya gadis ini bersikap lincah jenaka dan tak mengenal rasa takut atau malu-malu. Akan tetapi sekarang dia lebih banyak menundukkan muka dan setiap kali mengangkat muka lantas bertemu pandang dengan Hay Hay, maka wajahnya yang manis itu berubah kemerahan.
“Mayang, aku sengaja mencarimu karena aku ingin bicara denganmu,” kata Hay Hay dan dia sendiri merasa heran kenapa suaranya tidak seperti biasa, agak gemetar dan kenapa jantungnya berdebar demikian keras!
Belum pernah dia menjadi begini gugup saat berhadapan dengan seorang wanita. Seolah lenyap semua ketabahannya. Biasanya dengan mudahnya kata-kata manis meluncur dari mulutnya kalau memuji-muji wanita, akan tetapi sekarang, dia selalu khawatir kalau-kalau membikin hati gadis ini menjadi tidak senang!
Mayang mengangkat mukanya hingga sejenak dua pasang mata itu bertemu. “Bicaralah, Hay Hay,” kata Mayang lirih lalu dia menunduk kembali.
“Mayang, tentu Siankouw dan ibumu telah memberi tahu tentang keputusanku. Aku masih mempunyai suatu tugas pribadi yang sangat penting. Aku harus menyelesaikan tugas itu lebih dahulu dan untuk sementara aku akan meninggalkanmu. Sesudah tugas itu selesai, aku akan kembali ke sini untuk melangsungkan pernikahan kita.”
Sejenak Mayang tak dapat bicara karena kepalanya semakin menunduk. Dia tersipu dan merasa rikuh sekali mendengar pria yang dicintanya itu bicara tentang pernikahan. Akan tetapi karena timbul perasaan duka dan khawatir ketika mendengar bahwa kekasihnya itu hendak meninggalkannya, akhirnya dia mengangkat mukanya sehingga dua pasang mata kembali bertemu dan bertaut.
Indahnya mata itu, pikir Hay Hay dengan bangga. Memang sipit, akan tetapi bentuknya amat indah dan di kedua ujungnya seperti ditambahi garis hitam memanjang ke atas. Dan dari balik belahan pelupuk mata yang sipit itu memancar dua pasang mata yang amat jeli dan tajam.
“Hay Hay, engkau hendak ke manakah?” Suaranya lirih, tidak malu-malu lagi akan tetapi kini suara itu mengandung penuh kekhawatiran.
Aku hendak pergi ke kota raja, Mayang. Mengantar surat titipan Wakil Dalai Lama kepada Yang Taijin dan Cang Taijin." Dia tidak ingin bercerita mengenai usahanya mencari jejak Ang-hong-cu di kota raja dengan menyelidiki perwira she Tang di kota raja yang kabarnya mengaku sebagai putera Ang-hong-cu.
"Dan tugas pribadimu itu, tugas apakah? Atau... engkau tidak mau menceritakan tentang hal itu kepadaku?"
Hay Hay tersipu, Mayang adalah calon isterinya, tentu saja dia berhak mengetahui urusan pribadinya. Akan tetapi bagaimana mungkin dia akan mengaku bahwa dia adalah putera kandung seorang jai-hwa-cat, seorang penjahat besar yang tersohor di dunia kang-ouw?
"Aku hendak mencari musuh besarku!"
Mayang kelihatan terkejut dan kini dia mengangkat muka, memandang sepenuhnya pada wajah kekasih hatinya, sepasang matanya penuh selidik.
"Apa yang telah dilakukan oleh musuh besarmu itu!”
Hay Hay mengerutkan alisnya. Dia merasa tidak senang membicarakan urusan itu, akan tetapi dia harus menjawabnya. "Dia sudah membunuh ibuku! Sudahlah, Mayang, kuharap engkau tidak bertanya mengenai urusan ini. Aku selalu merasa berduka, kesal dan marah kalau membicarakan musuh besar itu."
Ketika tangan gadis itu memegang salah sebuah kuncir rambutnya dan memindahkannya ke belakang punggung, tangan itu gemetar dan wajahnya agak berubah pucat.
"Aku tak akan bertanya lagi, Hay Hay. Akan tetapi... orang yang menjadi musuh besarmu tentu lihai bukan main. Karena itu aku harus menemanimu! Aku harus ikut denganmu ke kota raja. Aku akan membantumu menghadapi musuh besarmu itu, Hay Hay!"
Hay Hay terkejut. Hal ini sungguh tak pernah disangkanya. "Ahh, jangan, Mayang! Musuh besarku itu lihai bukan main. Aku tidak ingin melihat engkau terancam bahaya!"
Dalam lubuk hatinya, Mayang merasa girang bahwa calon suaminya itu mengkhawatirkan keselamatannya. Namun dia pun tidak ingin ditinggal, apa lagi ditinggal untuk menempuh bahaya.
"Hay Hay, meski pun ilmu kepandaianku tidak ada artinya bagimu, akan tetapi aku dapat membantu sekuat tenagaku. Setidaknya aku dapat menyaksikan bagaimana keadaanmu setelah engkau berhadapan dengan musuh besarmu itu, Hay Hay. Aku akan mati karena selalu gelisah bila engkau pergi menempuh bahaya dan aku diharuskan menanti di sini."
"Tapi, Mayang...”
"Tak ada tapi, Hay Hay. Aku tak bermaksud untuk memaksakan kehendakku kepadamu. Sama sekali tidak. Engkau adalah calon suamiku, engkau satu-satunya orang yang mulai sekarang harus kutaati. Tetapi setelah kita terikat perjodohan, bukankah berarti nasib kita menjadi satu? Bukankah mati hidup harus selalu kita hadapi bersama-sama? Aku harus ikut denganmu, Hay Hay. Kalau engkau memaksaku tinggal, kalau engkau menolak aku ikut serta, kalau engkau meninggalkan aku, aku pun tidak berani memaksamu, akan tetapi tak lama setelah engkau pergi, maka aku pun akan menyusulmu, mencarimu ke kota raja. Apakah engkau menghendaki kita melakukan perjalanan sendiri-sendiri dan menghadapi ancaman bahaya dalam keadaan saling terpisah?"
Hay Hay menghela napas panjang. Dia sudah mulai merasakan akibat ikatan perjodohan itu. Sudah terasa betapa dia kini terikat, tidak bebas lagi, tidak seperti sebelum ada ikatan perjodohan.
Semua yang dikemukakan Mayang itu memang tak dapat dibantah kebenarannya. Kalau Mayang seorang wanita biasa, tidak memiliki kepandaian silat, maka apa yang dikatakan itu tentu tidak benar. Akan tetapi Mayang adalah seorang gadis yang pandai, yang bukan saja mampu menjaga dan melindungi diri sendiri, tetapi bahkan dapat pula membantunya dalam menghadapi lawan tangguh!
“Tentu saja aku tidak menghendaki demikian, Mayang. Akan tetapi kita baru bertunangan, belum menikah, bagaimana mungkin engkau pergi berdua saja bersamaku? Tentu ibumu dan gurumu tidak akan memperkenankan."
"Sekarang juga aku hendak memberi tahu ibu dan subo, dan meminta ijin mereka!" kata gadis itu.
Akan tetapi pada saat itu pula kebetulan sekali tampak Kim Mo Siankouw dan ibu Mayang berjalan keluar dari dalam rumah menuju ke taman. Melihat ini, dengan gembira Mayang cepat berlari menyambut mereka.
"Subo, Ibu…, kebetulan sekali. Aku hendak mencari kalian untuk membicarakan hal yang teramat penting."
Melihat puterinya demikian bersungguh-sungguh serta kelihatan risau dan tegang, ibunya menegurnya. "Tenanglah, Mayang. Segala hal dapat dibicarakan dengan tenang. Biarkan Subo-mu duduk dulu, baru engkau bicara."
Hay Hay juga cepat memberi hormat kepada Kim Mo Siankouw dan calon ibu mertuanya. Mereka berdua duduk di atas bangku panjang, ada pun Mayang dan Hay Hay lalu duduk di bawah, di atas batu-batu hiasan taman itu.
"Nah, muridku. Katakanlah apa yang terkandung dalam hatimu," kata Kim Mo Siankouw.
"Subo, Hay Hay mengatakan bahwa dia hendak pergi menunaikan tugas pribadinya dan ketika teecu (murid) menanyakan apa tugas itu, dia mengaku bahwa dia hendak mencari musuh besarnya. Subo dapat membayangkan bahwa yang menjadi musuh besar seorang yang mempunyai kepandaian tinggi seperti dia tentulah orang yang lihai dan berbahaya sekali. Oleh karena itu teecu ingin ikut bersamanya, Subo! Teecu mohon perkenan Subo dan Ibu agar diperbolehkan menemani Hay Hay untuk membantu dia menghadapi musuh besarnya. Bukankah itu sudah menjadi tugas seorang calon isteri? Hati teecu akan terasa tersiksa sekali jika teecu ditinggalkan dan mengetahui bahwa tunangan teecu menempuh bahaya seorang diri. Mohon Subo dan Ibu sudi memberi ijin."
Kedua orang wanita itu saling pandang, kemudian Kim Mo Siankouw memandang kepada Hay Hay, bertanya lembut. “Benarkah apa yang dikatakan calon isterimu itu, Hay Hay?”
"Memang benar, Siankouw. Akan tetapi sebenarnya saya sudah merasa keberatan untuk membawa Mayang menghadapi ancaman bahaya. Musuh besar saya itu lihainya bukan main. Saya akan lebih merasa lega kalau dia tinggal saja di rumah. Akan tetapi saya tidak dapat mencegah kehendaknya yang kuat."
Kembali kedua orang wanita itu saling pandang, lantas Kim Mo Siankouw berkata kepada Mayang. “Muridku, dalam hal melepaskan dirimu untuk ikut dengan Hay Hay, karena ada ibumu di sini, maka dialah yang berhak menentukan. Aku sih setuju saja atas keputusan yang diambil ibumu."
Mendengar ucapan subo-nya itu, wajah Mayang segera berseri. Ia mendekati ibunya lalu merangkul ibunya dengan sikap manja. "Ibu tentu memperkenankan aku pergi bersama Hay Hay, bukan?"
Selama ini ibu yang sangat menyayangi puterinya itu hampir selalu mengabulkan segala permintaan puterinya yang pantas, maka Mayang juga hampir yakin bahwa ibunya tentu akan mengangguk. Akan tetapi kali ini wanita setengah tua yang masih nampak cantik itu mengerutkan alisnya, kemudian dengan perlahan menggelengkan kepalanya.
"Ibu...!" Mayang berseru penuh kekecewaan dan keheranan. "Akan tetapi kenapa, Ibu...?”
"Mayang, sungguh tidak bijaksana jika aku membiarkan engkau pergi berdua saja dengan Hay Hay. Ingatlah, Nak, dia itu baru calon suamimu, belum suami yang sah! Andai kata kalian sudah menikah, tentu saja aku akan menyetujui sepenuhnya."
Mendengar ini, Mayang pun merajuk. Mulutnya cemberut dan matanya semakin sipit saja seperti hendak menangis. "Aihh, ibu..., apakah ibu takut akan anggapan orang-orang lain? Yang penting aku mampu menjaga diri, Ibu, dan aku percaya bahwa Hay Hay juga akan dapat menjaga diri."
Akan tetapi ibunya masih mengerutkan alisnya. Dia teringat akan keadaannya sendiri. Dia membayangkan hal yang buruk-buruk. Bagaimana kalau mereka, dua orang muda yang sedang dewasa, lupa diri dan melakukan pelanggaran? Bagaimana kalau kemudian Hay Hay meninggalkan puterinya dan tidak jadi menikahinya? Segala mala petaka yang timbul akibat hubungan di luar nikah itu selalu akan menimpa diri wanita.
“Ibu, kalau ibu melarangku kemudian Hay Hay meninggalkan aku, tentu aku akan menjadi kurus dan akan jatuh sakit karena selalu gelisah dan khawatir memikirkan dia. Aku... aku akan minggat dan mencarinya..."
“Mayang, tidak baik engkau mengancam ibumu seperti itu!" mendadak Kim Mo Siankouw membentak muridnya. Mendengar bentakan marah ini, Mayang cepat menjatuhkan dirinya berlutut di depan kaki gurunya.
"Akan tetapi, Subo. Bagaimana mungkin teecu membiarkan Hay Hay pergi dan menempuh bahaya tanpa membantunya sama sekali? Teecu akan selalu merasa gelisah dan takut. Subo, teecu takut kalau... kalau kehiangan dia... dia satu-satunya..."
Kim Mo Siankouw tersenyum. "Siancai..., baru saja mendapatkan seorang tunangan, tapi engkau sudah lupa bahwa di dunia ini masih ada aku dan ibumu, bukan hanya ada Hay Hay seorang!"
Mayang tersipu dan baru teringat, maka dia hanya menundukkan mukanya. "Mohon belas kasihan dan pertimbangan Subo dan Ibu...," katanya memelas.
Ibu Mayang kembali bertukar pandang dengan Kim Mo Siankouw, kemudian ibu Mayang menghela napas panjang. "Aku hanya dapat memberi ijin engkau pergi bersama Hay Hay apa bila kalian sudah menikah. Karena itu, kalau engkau berkeras hendak pergi mengikuti Hay Hay, kalian harus menikah sekarang juga. Bagaimana pendapatmu, Hay Hay?”
Hay Hay tertegun dan sejenak dia bengong. Menikah? Sekarang juga? Hal ini sungguh tak pernah dipikirkannya sehingga kini dia tidak mampu menjawab. Bagaimana dia dapat melakukan pernikahan kalau dia hanya hidup sebatang kara di dunia ini, tidak mempunyai apa-apa kecuali beberapa potong baju saja? Dia merasa bingung, perasaan yang belum pernah mengganggunya selama hidupnya.
“Ini... ini... saya... saya bingung, tidak tahu..."
Melihat sikap pendekar muda yang dikaguminya itu, diam-diam Kim Mo Siankouw merasa iba juga. Hay Hay adalah seorang pemuda dan sekarang baru tampak bahwa sebenarnya dia masih hijau dalam urusan rumah tangga. Maka dia pun berkata,
"Biarlah lebih dahulu kita memberi kesempatan kepada Hay Hay untuk membicarakan hal ini dengan Pek Taihiap, satu-satunya sahabat atau keluarganya yang dapat mewakilinya dan memberinya nasehat. Nah, engkau bicarakanlah urusan pernikahan itu dengan Pek Taihiap, Hay Hay, dan nanti malam kami mengharap jawaban dan kepastian darimu."
Pemuda itu mengangguk, memberi hormat kepada mereka kemudian mengundurkan diri, meninggalkan taman itu dan memasuki rumah untuk mencari Han Siong. Setelah pemuda itu pergi, Kim Mo Sian-kouw menegur Mayang dan ibunya.
"Aihh... kalian ini sungguh membuat seorang pemuda menjadi tersipu sehingga tidak tahu harus berkata bagaimana. Kalian seperti mendesaknya saja. Mudah-mudahan dia dapat menerimanya dan dapat melangsungkan pernikahan yang tiba-tiba ini."
Mendengar teguran itu, ibu Mayang menjawab lembut, "Anak inilah yang memaksa saya!"
Mayang menubruk dan merangkul ibunya. "Subo, Ibu, aku… aku terlalu cinta kepadanya, dan tidak ingin berpisah darinya..."
Kedua orang wanita itu saling pandang dan tersenyum. Dengan diam-diam mereka hanya mengharap agar Hay Hay suka menerima usul baru itu, yaitu melangsungkan pernikahan sekarang juga agar dia dapat pergi membawa isterinya yang rewel ini!
Sementara itu, Han Siong yang sedang duduk bersila dan berlatih sambil bersemedhi di dalam kamarnya, terkejut sekali ketika Hay Hay memasuki kamarnya seperti orang dikejar setan.
"Pek Han Siong, sekarang engkau harus menolong aku...!" kata Hay Hay begitu pemuda ini mendorong daun pintu kamar hingga terbuka.
Han Siong membuka matanya. Dia tidak merasa heran melihat sepak terjang sahabatnya ini karena sudah sering melihat Hay Hay ugal-ugalan dan kadang-kadang aneh. "Hemm, Hay Hay, apakah engkau sedang mabok? Engkau mengejutkan orang saja. Ada apa sih? Mungkin hanya kalau dunia kiamat saja engkau kebingungan seperti sekarang ini!”
Hay Hay menjatuhkan diri di atas kursi, lalu memegangi kepala dengan kedua tangannya. "Lebih dari kiamat, Han Siong, sebab itu engkau harus menolongku sekarang! Aku benar-benar bingung, tidak tahu harus berbuat apa!"
"Ha-ha-ha, tenanglah sahabatku. Ada peristiwa apakah yang membuat engkau menjadi seperti ini? Ceritakanlah, tentu saja setiap saat aku siap sedia untuk membantumu."
"Aihh, Han Siong, apa yang harus kukatakan sekarang? Ketahuilah, mereka itu, Mayang, ibunya dan gurunya, mereka mengusulkan supaya pernikahan itu dilangsungkan sekarang juga!"
"Ehhh.... ?!" Han Siong terkejut dan heran juga. “Mengapa mereka begitu tergesa-gesa? "Tapi... kenapa begitu? Tentu ada alasannya yang kuat."
Hay Hay menarik napas panjang, lalu dia menceritakan betapa Mayang berkeras hendak ikut dengan dia, untuk membantunya menghadapi musuh besarnya. Apa bila dia menolak maka gadis itu kelak akan minggat untuk mencari dan menyusulnya. Ketika mereka minta ijin kepada ibu Mayang, maka ibu dan guru Mayang lalu mengajukan saran agar mereka menikah dulu, sekarang juga.
“Mayang berkeras hendak ikut, dan ibunya berkeras agar kami menikah dahulu. Nah, aku terjepit di tengah-tengah. Bagaimana ini, Han Siong?"
Pek Han Siong tertawa terpingkal-pingkal karena dia merasa alangkah lucunya keadaan Hay Hay. Rasakan kau sekarang, kata hatinya. Ini pembalasan untuk watakmu yang mata keranjang. Akan tetapi, setelah berhenti tertawa dia pun berkata,
"Hay Hay, terjepit secara demikian bukankah malah enak buatmu? Apa lagi masalahnya? Sekarang engkau disuruh menikah, lantas isterimu ikut denganmu, melakukan perjalanan bersama seperti sedang berbulan madu! Kurang enak bagaimana? Kenapa engkau masih bingung dan mengomel lagi? Dasar tidak tahu terima kasih!"
"Han Siong, jangan engkau main-main! Berilah jalan keluar, berilah nasehat bagaimana aku harus menghadapi perkembangan baru ini!"
"Siapa main-main, Hay Hay. Apa sih yang perlu kau risaukan? Menikah hari ini atau bulan depan atau tahun depan, apa sih bedanya?"
"Han Siong, jangan bergurau! Engkau sudah tahu bahwa aku mau menerima ikatan jodoh dengan Mayang karena tiga hal, yaitu pertama aku tidak ingin bermusuhan denganmu, ke dua aku tak ingin berkelahi dengan Kim Mo Siankouw, dan ke tiga aku tidak ingin Mayang membunuh diri...."
"Masih ada yang ke empat dan tidak boleh engkau melupakan itu, ialah kenyaaan bahwa Mayang cinta padamu dan engkau pun cinta padanya!"
"Tak kusangkal kalau aku suka dan kagum kepada Mayang, akan tetapi cinta? Aku tidak tahu. Tapi sudahlah, aku sudah menerima ikatan jodoh, akan tetapi pernikahan sekarang? Aku belum siap!"
Han Siong tertawa. "Ha-ha, apanya lagi yang belum siap? Engkau sudah cukup dewasa, belum siap apanya?"
"Ihh, jangan main-main, Han Siong. Aku sebatang kara, tidak mempunyai apa-apa, rumah pun tidak punya. Bagaimana aku dapat menikahi anak orang. Apakah isteriku lalu kuajak mengembara tanpa tempat tinggal? Apa dia bisa kuberi makan rumput dan daun saja?"
"Hemm, kukira Mayang tidak membutuhkan itu semua! Dan hal itu pun merupakan urusan nanti, dapat kalian rundingkan bersama. Sekarang, yang penting engkau terima saja usul mereka. Engkau menikah sekarang juga dengan Mayang dan hal itu berarti engkau telah membuat jasa besar bagi manusia dan dunia!"
Hay Hay bengong dan memandang terbelalak,. "Ehh? Kau jangan membikin aku menjadi semakin bingung, Han Siong. Engkau mengatakan bahwa kalau sekarang aku menikah dengan Mayang maka aku sudah berjasa terhadap manusia dan dunia. Apa maksudmu?"
"Betapa tidak? Jika sekarang engkau menikah dengan Mayang, berarti engkau membikin senang hati Mayang, membikin lega hati ibunya serta gurunya, membikin gembira hatiku, dan membikin gembira para tamu yang nanti akan menghadiri perayaan pernikahan itu. Nah, berarti engkau menyenangkan banyak manusia, juga menyenangkan dirimu sendiri. Betapa senangnya melakukan perjalanan ditemani seorang isteri sehebat Mayang. Selain itu, engkau mendatangkan kebaikan kepada dunia karena dengan adanya seorang isteri yang selalu menemani, maka bahaya bagi para gadis lain tidak ada lagi!"
"Bahaya bagi para gadis lain?" Hay Hay mengerutkan alisnya, tidak mengerti.
"Tentu saja, karena engkau tentu tidak lagi berani mengumbar mata keranjang kalau ada isterimu di sisimu!"
"Ahhh...!” bibir Hay Hay cemberut. “Engkau tidak memberi obat, malah membikin penyakit ini menjadi lebih parah!”
Han Siong bangkit dari pembaringan, menghampiri Hay Hay yang duduk di atas kursi, lalu memegang pundak kawannya. "Sahabatku, gunakanlah akal sehatmu dan jangan murung. Syukurilah berkah yang dilimpahkan Tuhan kepadamu! Engkau tahu, ada kalanya orang harus mengorbankan sesuatu dan meniadakan kepentingan diri sendiri untuk melakukan kebaikan kepada orang lain. Akan tetapi sekarang ini, engkau dapat melakukan banyak kebaikan kepada banyak orang, tanpa berkorban apa-apa, bahkan engkau menerima pula nikmat dan kebahagiaan. Pria mana yang tak akan berbahagia memetik setangkai bunga yang demikian indah dan harumnya seperti calon isterimu itu? Nah, hadapilah kenyataan dan berterima kasihlah kepada Tuhan!"
Hay Hay menghela napas, lalu bangkit dengan malas. "Sudahlah, akan kupertimbangkan semalaman ini.”
"Besok pagi aku akan membawa keputusanmu yang menggembirakan kepada mereka!" kata Han Siong sambil tersenyum memandang sahabatnya yang meninggalkan kamarnya dengan langkah gontai.
Memang tidak ada pilihan lain bagi Hay Hay kecuali menerima usul baru agar pernikahan dilangsungkan dulu sebelum dia pergi meninngalkan puncak Awan Kelabu tempat tinggal Kim Mo Siankouw itu.
Pernikahan yang sangat mendadak ini dirayakan dengan sederhana. Bahkan tak sempat lagi mengundang tamu jauh, juga Wakil Dalai Lama tidak mungkin dapat diundang. Yang diundang hanya penduduk dusun di sekitar Pegunungan Ning-jing-san saja dan perayaan dilaksanakan secara sederhana namun cukup meriah.
Yang menemani Hay Hay hanyalah Han Siong seorang. Pemuda ini menjadi semacam hiburan bagi Hay Hay, yang menganggap sahabat ini seperti saudara sendiri. Dan Han Siong juga menemani Hay Hay dengan kesungguhan hati karena di dalam hati Han Siong memang amat kagum dan sayang kepada Hay Hay.
Para tamu yang terdiri dari penduduk dusun di pegunungan itu tentu saja bergembira ria dijamu masakan yang lezat dan arak wangi sehingga belum sampai tengah malam, para tamu sudah banyak yang mabok lantas mereka pun berpamit meninggalkan tempat pesta setelah memberi selamat kepada sepasang mempelai dan kepada Kim Mo Siankouw dan ibu Mayang. Han Siong juga mewakili pengantin pria untuk membalas pemberian selamat itu. Akhirnya semua tamu sudah meninggalkan tempat pesta dan sepasang pengantin lalu diarak memasuki kamar pengantin.
Dalam kesempatan terakhir ini, Han Siong sekali lagi memberi selamat kepada Hay Hay dan Mayang. "Kionghi, kionghi (selamat, selamat) sekali lagi," katanya gembira. "Semoga Tuhan memberkahi kalian de ngan kebahagiaan abadi!"
Mayang hanya menunduk tersipu malu, akan tetapi Hay Hay memandang sahabatnya itu dengan sinar mata haru. "Han Siong, engkau adalah sahabatku yang paling baik. Terima kasih untuk segalanya!"
Sepasang pengantin itu didorong memasuki kamar yang segera ditutup, kemudian semua orang meninggalkan kamar itu. Para pelayan lalu sibuk membersihkan bekas pesta. Kim Mo Siankouw dan ibu Mayang yang merasa lelah sekali setelah tadi menerima tamu juga segera beristirahat di kamar masing-masing, sekalian hendak menyembunyikan keharuan mereka karena begitu memasuki kamar masing-masing, kedua orang wanita ini langsung menangis terharu mengingat betapa gadis yang mereka kasihi itu sekarang telah menjadi isteri orang dan memulai suatu kehidupan baru. Rasa haru dan bahagla membuat mereka dlam-diam mencucurkan air mata!
Sepasang mempelai itu telah berganti pakaian. Sambil bersembunyi di balik tirai, Mayang melepaskan pakaian pengantin lalu mengenakan pakaian tidur yang tipis, sedangkan Hay Hay juga telah mengenakan pakaian biasa. Sekarang mereka duduk bersanding di pinggir pembaringan.
Mayang menunduk, tersipu malu. Gadis yang biasanya lincah jenaka dan sangat tabah itu kini tidak berani berkutik, tidak berani bersuara, bahkan juga tak berani mengangkat muka memandang wajah suaminya. Hay Hay juga duduk dengan muka kemerahan karena tadi dia agak terlalu banyak minum arak ketika menerima penghormatan dan ucapan selamat, akan tetapi dia pun tersipu, kehilangan akal, salah tingkah dan jantungnya berdebar penuh ketegangan.
Terbayanglah semua pengalamannya dengan para wanita pada masa lalu. Baru satu kali hubungannya dengan wanita benar-benar hampir melanggar batas, yaitu dengan Kok Hui Lan, janda muda yang tubuhnya semerbak harum seperti bunga itu! Juga pada waktu dia hampir ‘diperkosa’ wanita cabul Ji Sun Bi. Selain dua kali pengalaman itu, belum pernah dia berhubungan dengan wanita sampai ke hubungan badan, kecuali hanya bermesraan luar saja.
Kini dia berdebar penuh ketegangan dan kebingungan ketika menghadapi seorang gadis yang mulai saat itu sudah menjadi isterinya, yang akan menyerah sebulatnya kepadanya dan dapat dia gauli tanpa ada orang yang melarang, tanpa ada pelanggaran susila atau hukum apa pun. Dia sama sekali tidak berpengalaman dalam hal itu!
Karena sulit membuka mulut, hanya duduk bersanding di tepi pembaringan, Hay Hay lalu berdehem dua kali dan mengeluarkan suara tawa kecil untuk menarik perhatian ‘isterinya’. Dan usahanya berhasil.
Mendengar suaminya berdehem lalu mengeluarkan suara ketawa kecil, Mayang khawatir kalau ada sesuatu pada dirinya yang tidak beres sehingga memancing tawa suaminya. Ia cepat memandangi pakaiannya kalau-kalau ada yang tidak beres, kemudian karena tidak menemukan sesuatu yang salah, dia pun mengangkat mukanya memandang.
Dua pasang mata bertemu, bertaut dan akhirnya Mayang menundukkan kembali mukanya yang menjadi kemerahan, akan tetapi bibirnya menahan senyum. Manisnya!
"Mayang....” suara Hay Hay terdengar gemetar dan hal ini terasa benar olehnya sehingga dia pun tidak berani melanjutkan!
Mayang kembali menoleh dan kembali dua pasang mata bertemu pandang dan bertaut.
"Hay Hay..." Mayang berbisik, lalu cepat dibetulkannya. "Hay-koko (kanda Hay)!" Ia cepat menunduk lalu dan mukanya semakin merah.
Begitu merdu dan manisnya sebutan Hay-koko itu sehingga perasaan bahagia menyelinap di dalam kalbu Hay Hay. Tanpa disadari, tangan kirinya bergerak dan memegang pundak itu dengan sentuhan lembut.
"Mayang, engkau.... engkau... sungguh cantik jelita dan manis bukan main....”
Mayang kembali menoleh tetapi kini dia tersenyum. "Engkau perayu!" katanya manja dan entah siapa yang mulai lebih dahulu, tahu-tahu keduanya saling rangkul dan saling dekap. Ketika Hay Hay menciumnya, Mayang lantas menyambut dengan rintihan lirih. Mereka kini rebah dengan saling rangkul.
Tiba-tiba Mayang bangkit duduk dan matanya yang sipit itu dibuka lebar memandang ke arah leher Hay Hay dan tanpa terasa dia mengeluarkan seruan lirih namun mengejutkan.
"Ihhhh...!"
Hay Hay juga bangkit duduk. "Ada apakah, Mayang...?"
Tangan kanan Mayang bergerak menangkap benda yang tergantung pada leher Hay Hay, yaitu mainan berbentuk kumbang merah yang tadi sempat berjuntai keluar dari balik baju Hay Hay.
"Ang... hong... cu...!" Mayang berbisik dan tangan kirinya juga mengeluarkan benda yang sama dari balik bajunya!
Kini giliran Hay Hay yang tersentak kaget. Sekali tangannya bergerak dia telah merampas dua buah benda itu dari kedua tangan Mayang, lalu dia membandingkan dua buah benda itu. Persis sama!
"Mayang..." suaranya terdengar gemetar dan wajahnya pucat sekali, "dari mana... engkau mendapatkan benda ini... ?"
"Dari ibuku, baru tadi ibu memberikannya kepadaku sebagai hadiah pernikahan. Benda... benda itu... tadi ibu menyebut Ang-hong-cu (Si Kumbang Merah), kata ibu itu peninggalan ayah kandungku...”
"Ayah... ayah kandungmu...? Ya Tuhan...!" Tiba-tiba saja wajah Hay Hay menjadi semakin pucat dan seluruh tubuhnya menggigil.
Mayang terkejut bukan main melihat keadaan Hay Hay itu. "Kenapa, Hay-koko? Kenapa? Dan dari mana engkau bisa mendapatkan benda yang serupa benar dengan peninggalan ayahku? Dari mana engkau dapat memiliki Ang-hong-cu?"
"Mayang...," Hay Hay menggeser duduknya lebih menjauh agar tubuhnya tak menyentuh tubuh Mayang, "Mayang... kita... kita... kau... Ang-hong-cu... dia ayah kandungku pula..."
Sepasang mata yang sipit itu terbelalak, muka yang manis itu menjadi sepucat mayat lalu terdengarlah suara melengking tinggi dan nyaring dari mulut itu, lengkingan yang keluar sebagai jeritan dari dalam. Kedua tangan itu merenggut dua buah benda itu dari tangan Hay Hay, kemudian tubuh itu bergerak melompat turun dari atas pembaringan dan berlari menerjang pintu kamar sehingga terbuka dan Mayang pun berlari keluar.
"Mayang...! Mayanggg...!" Dengan tubuh masih menggigil Hay Hay juga melompat turun.
"Ang-hong-cu... ahhh, Ang-hong-cu..., hu-huu-huuuhhh...!" sambil menangis sesenggukan Mayang berlari keluar dan hampir saja dia bertabrakan dengan gurunya dan ibunya yang sedang berlarian menuju ke kamarnya. Dua orang tua itu terkejut ketika mendengar pekik melengking tadi dan keduanya sudah berlari keluar dari kamar masing-masing menuju ke kamar pengantin.
"Mayang, ya Tuhan, ada apakah, Mayang?" ibunya segera merangkul puterinya dengan wajah penuh kekhawatiran.
Kim Mo Siankouw memandang muridnya dengan alis berkerut dan sepasang mata tajam penuh selidik. Dan pada saat itu pula Kim Mo Siankouw juga melihat bayangan Han Siong berkelebat. Pemuda ini juga sudah keluar dari kamarnya dan terkejut oleh jeritan Mayang tadi. Kini, melihat Mayang menangis dalam rangkulan ibunya, Han Siong cepat melompat dan lari ke arah kamar pengantin untuk melihat Hay Hay.
"Mayang, berhentilah menangis dan katakan ada apa?" Ibunya menggoyang-goyang tubuh puterinya yang masih tersedu-sedu menangis sambil merangkulnya.
"Tenanglah, Mayang. Apakah engkau tidak malu menjadi gadis cengeng seperti ini? Mana kegagahanmu?" kata pula Kim Mo Siankouw.
Mayang segera melepaskan rangkulan pada ibunya, kemudian menoleh dan memandang subo-nya dengan air mata bercucuran.
"Subo....!" Sekarang dia menubruk subo-nya dan menangis di pundak Kim Mo Siankouw. Gurunya terheran-heran, juga terkejut melihat sikap muridnya seperti kanak-kanak itu.
"Mayang, engkau kenapa? Mayang anakku...!" Ibunya berkata dengan hati bingung dan khawatir sekali.
Mayang kembali melepaskan rangkulan pada gurunya dan kini menangis dalam rangkulan ibunya. "Ibu... hu-hu-huuuhhh... ibu..., subo.... bunuh saja aku, ibu... hu-hu-huuuhhh....”
"Ehh? Engkau kenapa, Mayang? Ada apakah? Ibunya semakin khawatir. Mayang segera menjulurkan kedua tangannya yang sejak tadi menggenggam dua buah benda kecil itu.
"Ang-hong-cu... dia.... dia... Ang-hong-cu....,” katanya dengan suara terputus-putus akibat isak yang menyesak dadanya.
Kini ibunya terbelalak, lantas mukanya berubah pucat. "Ang-hong-cu...? Apa maksudmu? Dan kenapa benda itu kini menjadi dua? Dari mana yang sebuah lagi?"
"Dia... dia... putera Ang-hong-cu...!" Dan kini Mayang terkulai, pingsan dalam rangkulan ibunya. Dua buah benda itu terlepas dari genggamannya dan jatuh ke atas lantai.
Kim Mo Siankouw cepat-cepat mengambil dua buah benda itu. Ketika para pelayan mulai berdatangan, Kim Mo Siankouw memberi isyarat dengan tangan agar mereka cepat pergi dan kembali ke kamar mereka.
Para pelayan tidak berani membantah walau pun mereka menjadi terheran-heran melihat nona mereka menangis, menjerit-jerit dan kemudian pingsan itu. Mereka tak bisa mengerti mengapa nona mereka yang menjadi pengantin bersikap seperti itu.
Sementara itu, ketika Han Siong memasuki kamar pengantin yang pintunya terbuka lebar, dia melihat Hay Hay duduk di tepi pembaringan seperti sebuah patung. Pemuda itu duduk dengan mata terbelalak, mukanya pucat dan penglihatannya nampak kosong. Han Siong cepat memegang kedua pundak Hay Hay.
"Hay Hay, sadarlah! Apa yang sudah terjadi? Ada apa dengan Mayang isterimu?" Tanpa disengaja Han Siong memandang ke atas pembaringan dan jelas bahwa tempat itu belum pernah dipergunakan. Bantal, selimut dan tilam sutera itu masih rapi, belum kusut seperti kalau sudah dipakai tidur.
Karena pundaknya diguncang keras oleh Han Siong, Hay Hay seperti baru sadar. Dia pun menghela napas panjang, lalu dia memegang kedua lengan sahabatnya. Kedua matanya basah!
"Eh? Engkau menangis?" Han Siong hampir tidak percaya. Akan tetapi dia melihat kedua mata itu basah, basah dan berlinang air mata!
Hay Hay mengusapkan mukanya pada kedua pangkal lengan, lalu berkata dengan suara seperti orang dalam rnimpi.
"Untung... sungguh Tuhan masih melindungi kami... aiiihh, Han Siong, mengapa nasibku sekarang jadi seperti ini? Ataukah ini dosa orang tuaku?"
"Hay Hay, katakan apakah yang telah terjadi?"
Melihat Hay Hay sudah tenang, Han Siong melepaskan tangannya dan dia kini mundur, memandang wajah sahabatnya yang masih pucat itu.
"Han Siong, dia adalah adikku! Kami seayah berlainan ibu!"
"Ahhh...?! Mayang puteri Ang Ang-hong-cu...?” Kini Han Siong yang melongo keheranan.
Hay Hay mengangguk, kembali menghela napas. “Dia juga memiliki benda perhiasan itu, seekor kumbang merah, persis dengan yang aku punyai. Baru hari ini dia menerima dari ibunya sebagai hadiah pernikahan, peninggalan ayah kandungnya..."
Han Siong jatuh terduduk di atas kursi. Bengong. Kini mengertilah dia mengapa gadis itu tadi menjerit-jerit dan Hay Hay seperti arca. Dan dia pun mengerti maksud kata-kata Hay Hay yang mengatakan masih untung bahwa mereka masih dilindungi Tuhan. Jelas bahwa mereka belum melakukan hubungan suami isteri! Apa bila sudah, berarti dunia ini kiamat bagi mereka!
Dia menghela napas. "Aihh, engkau masih beruntung, Hay Hay. Aku turut merasa girang bahwa kalian masih belum terjatuh ke dalam aib dan dosa. Kasihan engkau, Hay Hay....”
"Kasihan Mayang, bukan aku, Han Siong. Tentu hancur hatinya... ah, mari kita keluar. Aku harus menghiburnya, menghibur adikku...” Mereka lalu keluar dari dalam kamar itu. Ketika melihat Mayang terkulai pingsan dalam pondongan ibunya, Hay Hay terkejut.
“Mayang...!”
Kim Mo Siankouw berkata dengan suara lembut namun tegas, “Mari kita bicara di ruang dalam. Engkau juga, Pek Taihiap!"
Kini Ibu Mayang memondong tubuh Mayang. Gadis itu masih pingsan, dan mereka semua memasuki ruangan dalam. Kim Mo Siankouw sendiri menutup dua buah pintu tembusan pada ruangan itu. Ibu Mayang merebahkan puterinya di sebuah kursi panjang.
“Kalian duduklah!” kata Kim Mo Sian-kouw kepada Hay Hay dan Han Siong.
Dua orang pemuda itu lalu duduk dan Hay Hay menundukkan mukanya, menutupi muka dengan sepasang tangannya, tidak tahu harus berbuat apa atau berkata apa. Dia merasa bingung karena kenyataan yang teramat pahit itu merupakan pukulan yang mengguncang batinnya dengan hebat. Nyaris dia menjadi suami isteri dengan adiknya sendiri!
"Bukan hanya sahabat, Siankouw, bahkan lebih dari itu. Dulu ketika masih bayi, Hay Hay pernah dipungut anak oleh orang tuaku, maka dia itu dapat dikatakan saudara angkatku pula."
"Bagus sekali. Tidak mengherankan mengapa kalian demikian akrab! Pek Taihiap, kalau engkau menyayang Hay Hay, maka kami pun menyayang muridku Mayang. Dan engkau sendiri sudah menyaksikan betapa terdapat kemesraan antara Hay Hay dengan Mayang. Maka kami ingin minta bantuanmu, Taihiap, untuk menjadi perantara dan menyampaikan kepada Hay Hay mengenai niat hati kami yang murni, yaitu menjodohkan Mayang dengan Hay Hay. Maukah engkau membantu kami, Taihiap?"
"Tentu saja, dengan segala senang hati, Siankouw! Bahkan saya setuju sekali bila mana ikatan perjodohan itu diadakan, dan Hay Hay sudah sepatutnya menyambut gembira! Aku tahu bahwa dia menyayangi nona Mayang. Dan kali ini dia harus mau, bahkan kalau perlu saya akan membujuk atau memaksanya!"
Ibu Mayang bangkit lalu memberi hormat kepada pemuda itu. Melihat ini, Han Siong cepat membalas sambil berkata, "Bibi, harap jangan sungkan dan tidak perlu memakai banyak penghormatan...”
"Pek Taihiap, sebagai ibu Mayang sebelumnya saya menghaturkan banyak terima kasih atas kebaikanmu yang suka menjadi perantara perjodohan anakku Mayang dengan Hay Hay. Tentu saja bukan maksud kami untuk memaksa Hay Hay, Taihiap. Akan tetapi perlu Taihiap ketahui bahwa Mayang... anakku yang keras hati itu, dengan tegas mengatakan kepadaku bahwa kalau dia tidak menikah dengan Hay Hay, dia... dia akan bunuh diri...”
"Ahhh...!" Han Siong terkejut bukan main mendengar ini. Mayang, gadis yang lincah dan galak itu hendak membunuh diri?
"Kenapa sampai begitu, Bibi?"
Wanita itu menghela napas panjang. "Mayang memang berwatak keras. Dia mengatakan bahwa Hay Hay merupakan satu-satunya pria yang masih hidup, yang melihat keadaan dirinya bertelanjang bulat. Kalau Hay Hay menjadi suaminya, maka hal itu tidak mengapa. Akan tetapi bila tidak menjadi suaminya, maka peristiwa itu dianggapnya sebagai aib yang sangat memalukan dan satu-satunya jalan untuk mencuci aib itu adalah membunuh Hay Hay. Karena hal itu jelas tidak mungkin, maka dia akan membunuh diri kalau ikatan jodoh itu sampai gagal."
"Hemm, bukan itu saja,” tiba-tiba Kim Mo Siankouw berkata, "kalau dia menolak, berarti dia telah menghina muridku dan menghinaku, karena dia telah mempermainkan kami. Hal ini tentu tidak mungkin kubiarkan saja. Kalau Mayang tidak berani membunuhnya, masih ada aku yang akan turun tangan membunuhnya!"
Han Siong terkejut. Ini semua gara-gara mata keranjangmu, Hay Hay, pikirnya.
"Harap Siankouw dan Bibi jangan khawatir. Saya akan membujuk agar dia tidak menolak."
Dua orang wanita itu kembali mengangkat kedua tangan memberi hormat, dan Kim Mo Siankouw berkata lembut. "Kami percaya akan ketulusan serta kebaikan hati Pek Taihiap dan sebelumnya kami mengucapkan banyak terima kasih!"
Han Siong cepat membalas penghormatan mereka, lalu minta diri meninggalkan ruangan itu. Dia tidak kembali ke dalam kamarnya, melainkan langsung saja menghampiri kamar Hay Hay dan mengetuk daun pintunya.
"Tok-tok-tok!"
Hay Hay sudah hampir tertidur pulas ketika mendengar ketukan pada pintu kamarnya itu. Suara ketukan itu seketika mengusir semua kantuknya dan dalam satu dua detik saja dia telah terjaga dalam keadaan siap siaga menghadapi ancaman dari mana pun datangnya.
"Tok-tok-tok!" ketukan itu terulang.
"Siapa di luar?" Hay Hay bertanya.
"Aku Han Siong. Bukalah pintunya, Hay Hay, aku mau bicara. Penting sekali!"
Hay Hay menarik napas lega, akan tetapi juga dia merasa mendongkol karena terganggu tidurnya. "Malam-malam begini mengganggu orang," omelnya, akan tetapi dia tetap turun dari pembaringan dan membuka daun pintu kamarnya.
Dengan wajah serius Han Siong melangkah masuk dan melihat sikap sahabatnya itu, Hay Hay lalu menutupkan kembali daun pintu kamarnya. Ketika dia membalik, dia melihat Han Siong sudah duduk di atas kursi dekat pembaringannya. Dia pun tersenyum dan duduk di atas pembaringan.
"Han Siong, ada urusan apa sehingga malam-malam begini engkau mengganggu orang yang sedang tidur?" tegurnya.
Teringat olehnya betapa sebelum tidur tadi dia masih memikirkan Han Siong dengan hati penuh iba. Dalam pengaruh sihir jahat sahabatnya itu telah menggauli Ci Goat dan setelah menyadari hal itu, Han Siong merasa menyesal bukan main. Dia merasa berdosa kepada gadis itu.
Orang semacam Han Siong tentu akan mempertanggung jawabkan perbuatannya sendiri, walau pun perbuatan itu didorong akibat pengaruh sihir jahat. Dan dia belum tahu bahwa gadis manis yang sudah menyerahkan diri kepadanya dengan suka rela karena memang mencintainya itu kini telah meninggal dunia dalam keadaan yang amat mengerikan!
Kini Han Siong tersenyum dan bangkit dari duduknya, lalu mengangkat tangan memberi hormat kepadanya. "Sebelumnya biarlah lebih dulu aku memberi selamat kepadamu, Hay Hay!"
Hay Hay terbelalak. "Ehh, ehh, apakah engkau bermimpi? Mengapa malam-malam begini mendadak memberi selamat kepadaku?” Dia juga turun dari pembaringan dan memegang lengan kawannya agar tidak memberi hormat kepadanya. "Jangan main-main, Han Siong. Katakan apa artinya semua ini."
"Hay Hay, bergembiralah. Aku datang membawa berita yang bagus sekali. Engkau akan menjadi pengantin! Aku ikut merasa gembira, Hay Hay. Engkau sungguh beruntung sekali dan memang sudah sepatutnya engkau berbahagia "
"Ehh, nanti dulu! Menjadi pengantin? Bagaimana ini? Siapa dan mengapa?"
"Duduklah dan dengarkan keteranganku," kata Han Siong. Mereka lalu duduk di atas dua buah kursi yang berhadapan, terhalang meja kecil di dekat pembaringan. "Tadi baru saja aku dipanggil Kim Mo Siankouw dan ibu Mayang. Mereka mengajukan pertanyaan tentang pribadimu, kemudian mereka minta aku menjadi perantara agar menyampaikan kepadamu bahwa mereka ingin menjodohkan nona Mayang denganmu."
Hay Hay terkejut sekali, cepat dia bangkit seperti ada kalajengking menyengat pinggulnya kemudian memandang kepada sahabatnya itu dengan mata terbelalak. "Ahhh... ehhh... bagaimana...? Tidak bisa ini...”
Han Siong juga bangkit, menarik lengan Hay Hay dan diajaknya duduk kembali. "Engkau tenanglah, jangan ah-eh-oh begitu!"
Dia mulai menikmati keadaan itu. Sudah terlalu sering Hay Hay menggodanya dan kini dia mendapatkan kesempatan untuk membalas! Betapa manisnya pembalasan dendam!
"Hay Hay, tak perlu engkau meragu lagi. Mereka telah bertekad bulat untuk menjodohkan nona Mayang denganmu dan engkau sungguh beruntung sekali. Nona Mayang demikian cantik jelita dan baik, dan aku melihat bahwa engkau memang pantas menjadi suaminya. Engkau harus menyetujui keinginan mereka, Hay Hay. Sukar untuk mendapatkan seorang calon isteri sehebat nona Mayang dan..."
"...dan aku menjadi suami orang, lalu menjadi ayah dari anak-anak kecil dan terikat di sini, seperti seekor kera yang diikat pinggangnya, seperti seekor burung yang terkurung dalam sarang, kehilangan kebebasanku? Ahh, tidak, Han Siong, aku tidak mau...!"
"Apa? Berani engkau menolak nona Mayang? Hay Hay, jangan gila kau! Dia begitu cantik jelita, dia begitu pandai dan dia mencintaimu dan engkau...”
"Hushh, Han Siong. Engkau ini kenapa sih? Engkau seperti hendak mendorong-dorongku, engkau seperti hendak memaksaku menikah dengan Mayang. Engkau kenapa? Apakah masih ada sisa-sisa pengaruh sihir pada tubuhmu? Ahhh, benar juga! Dari pada engkau mendesakku, mengapa tidak engkau sendiri saja yang menikah dengan Mayang? Benar! Engkau akan merupakan suami yang baik, dan kalian serasi sekali, cocok kalau menjadi suami isteri. Biarlah aku yang akan mengusulkan kepada mereka agar engkau saja yang menikah dengan Mayang!"
"Hay Hay, hentikan kelakarmu itu. Aku tidak akan menikah dengan nona Mayang atau dengan wanita mana pun juga, karena aku..." Dia berhenti dan wajahnya tiba-tiba nampak berduka.
"Engkau kenapa, Han Siong?" Hay Hay tidak menggodanya lagi sesudah melihat betapa wajah sahabatnya itu nampak bersedih.
Han Siong menghela napas panjang. "Hay Hay, hanya engkau yang tahu apa yang telah terjadi antara aku dan nona Ouw Ci Goat. Sesudah apa yang terjadi dengan kami, walau pun hal itu terjadi karena aku dikuasai sihir, namun aku harus bertanggung jawab! Dialah satu-satunya wanita yang harus menjadi isteriku, karena dia telah... ternoda olehku..."
"Han Siong...! tiba Hay Hay memegang kedua tangan sahabatnya itu dan hatinya merasa terharu sekali. Juga kagum bukan main. Pemuda ini memang pantas menjadi sahabatnya, dan pantas pula menjadi seorang pendekar budiman. Penuh tanggung jawab atas semua perbuatannya!
"Han Siong, tenangkan hatimu, kawan! Terpaksa aku akan memberi tahu kepadamu akan hal yang amat menyedihkan, yang telah menimpa diri Ci Goat..."
Han Siong terkejut. "Apa? Apa maksudmu?"
"Dia... Ouw Ci Goat... dia telah tewas, Han Siong."
Han Siong terkejut, wajahnya pucat dan matanya terbelalak. "Apa? Bagaimana? Hay Hay, ceritakanlah apa yang telah terjadi!"
Hay Hay menghela napas, penuh rasa iba karena teringat akan keadaan gadis manis itu. "Ketika aku membayangimu, begitu sampai di kuil tua di mana tiga orang pendeta Lama itu berada, aku lantas masuk melalui pintu belakang. Dan di bagian belakang kuil itu aku menemukan tubuh nona Ouw Ci Goat yang sudah menjadi mayat, tentu karena terbunuh oleh mereka..."
Han Siong melompat dan mengepal tinju. "Keparat jahanam para pendeta Lama itu...!”
"Sudahlah, Han Siong. Mereka bertiga juga sudah mati. Agaknya sudah kehendak Tuhan bahwa sampai sekian saja riwayat nona Ouw Ci Goat. Aku telah mengubur jenazahnya di dekat kuil itu, baru aku melakukan pengejaran ketika engkau dibawa oleh tiga orang Lama itu. Nah, sekarang engkau sudah tahu dan tidak perlu menyedihi yang sudah mati." Hay Hay menghibur dan sengaja dia bersikap gembira lagi. “Dan itu berarti bahwa engkau kini telah bebas, Han Siong, engkau dapat menikah dengan nona Mayang!"
Dengan sikap masih penuh kedukaan Han Siong berkata lirih, "Hay Hay, betapa pun juga nona Ouw Ci Goat tewas karena aku! Bagaimana aku tidak akan berduka dan menyesal? Aku adalah orang yang bertanggung jawab, Hay Hay. Andai kata nona Ouw Ci Goat tidak tewas, dengan sungguh hati aku akan menikahinya! Kuharap engkau pun memiliki cukup kegagahan untuk bertanggung jawab atas perbuatanmu terhadap nona Mayang. Karena kalau tidak, tentu aku akan membencimu dan tidak akan memandangmu sebagai sahabat lagi, Hay Hay. Mungkin engkau akan kupandang sebagai seorang laki-laki pengecut dan sebagai musuhku!"
Hay Hay memandang sahabatnya itu dengan mata terbelalak dan lenyaplah semua sikap main-main dari wajahnya. "Han Siong, apa maksudmu? Engkau mengatakan aku harus bertanggung jawab terhadap Mayang? Apa artinya ini? Kalau kau kira aku telah... telah… engkau keliru sekali!"
Han Siong yang masih tenggelam dalam kegetiran dan kedukaan itu memandang wajah sahabatnya, dan suaranya terdengar bersungguh-sungguh. "Aku percaya bahwa engkau belum bertindak sejauh itu, Hay Hay. Akan tetapi engkau sudah melihat gadis itu dalam keadaan telanjang bulat!"
"Heii! Apa salahnya dengan itu, Han Siong? Memangnya aku yang menelanjanginya? Aku hanya menyelamatkannya dari tangan Pat Hoa Lama yang hampir saja memperkosanya!"
"Benar, akan tetapi bagaimana pun juga, engkaulah satu-satunya pria hidup yang pernah melihatnya dalam keadaan seperti itu. Dan engkau pun sudah bermesraan dengan nona Mayang, saling peluk dan saling cium! Apakah engkau hendak menyangkal bahwa nona Mayang amat mencintaimu?"
Hay Hay sekali ini memandang bodoh dan menggelengkan kepala. "Aku tidak tahu akan isi hatinya, Han Siong."
"Dan engkau berani menyangkal bahwa engkau mencintanya?"
"Itu... itu aku pun tidak tahu benar. Aku suka, kagum dan sayang kepadanya, akan tetapi cinta? Ahh, aku tidak pernah merasa jatuh cinta..."
"Mata keranjang! Perayu wanita! Engkau telah mendekapnya dan menciuminya, sekarang engkau bilang tidak tahu apakah mencintanya? Hay Hay, apakah engkau hendak menjadi seorang jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga atau penjahat pemerkosa wanita)?”
Wajah Hay Hay berubah merah sekali karena saat Han Siong mengeluarkan kata-kata itu, dia pun teringat akan ayah kandungnya! Ucapan itu seperti mengingatkannya bahwa dia adalah putera kandung Ang-hong-cu (Si Kumbang Merah), seorang jai-hwa-cat yang amat keji dan jahat!
"Pek Han Siong!" katanya dengan nada ketus. "Apakah engkau ingin mengatakan bahwa karena ayahku seorang jai-hwa-cat, maka aku pun menjadi seorang penjahat cabul?"
"Benar! Kalau engkau tidak mau bertanggung jawab dan menikah dengan nona Mayang, lalu apa bedanya engkau dengan Ang-hong-cu?" Han Siong berkata marah.
"Engkau hendak menghinaku?" Hay Hay bangkit sambil mengepal tinju.
Han Siong turut bangkit dan mengepal tinju pula. "Sesukamu kalau engkau berpendapat begitu! Pendeknya, kalau engkau tidak mau menikah dengan nona Mayang, engkau akan menghadapi tiga hal!"
"Huhh! Engkau mengancamku? Apa yang kau maksudkan dengan tiga hal itu?" Hay Hay mengambil sikap menantang pula.
"Dengar baik-baik! Pertama, engkau akan menghadapi aku sebagai seorang musuh! Aku akan menganggap engkau sebagai orang yang merusak kehidupan seorang gadis, sudah mendatangkan aib baginya namun tidak mau bertanggung jawab. Tentu saja aku tak akan tinggal diam dan akan menantangmu!"
"Hemm, itu hanya anggapanmu. Dan aku tidak mungkin dapat kau paksa menikah hanya dengan ancaman itu"
"Yang ke dua," Han Siong melanjutkan tanpa mempedulikan jawaban Hay Hay. "Engkau akan berhadapan dengan Kim Mo Siankouw yang tentu akan menantangmu karena dia tidak mau membiarkan engkau menghina muridnya, merayu muridnya kemudian sesudah muridnya jatuh cinta, engkau tidak mau bertanggung jawab."
"Ehhh? Kenapa Kim Mo Siankouw juga berpandangan sesempit itu, seperti juga engkau? Sungguh aku tidak mengerti!" sekali ini Hay Hay mengeluh.
"Masih ada yang ke tiga!" kata pula Han Siong penuh kemarahan dan suaranya meninggi. "Kalau engkau menolak untuk menikah dengan nona Mayang, maka nona Mayang akan membunuh diri!"
"Bohong...!" Hay Hay berseru, kaget bukan main, matanya terbelalak memandang wajah Han Siong karena biar pun mulutnya meneriakkan pemuda itu bohong akan tetapi hatinya maklum bahwa Han Siong tidak akan berbohong.
Dan ancaman ke tiga ini sungguh menggetarkan hatinya. Ancaman ke tiga itu yang paling hebat. Walau pun amat berat baginya, dia masih dapat menghadapi ancaman tantangan Pek Han Siong dan Kim Mo Siankouw. Akan tetapi ancaman Mayang untuk membunuh diri benar-benar membuat dia menyerah sebelum bertanding!
Dan ancaman ke tiga ini sungguh menggetarkan hatinya. Ancaman ke tiga itu yang paling hebat. Menghadapi ancaman tantangan Pek Han Siong dan Kim Mo Siankouw, biar pun amat berat baginya, masih dapat dia hadapi. Akan tetapi ancaman Mayang untuk membunuh diri benar-benar membuat dia menyerah sebelum bertanding!
“Tidak mungkin dia... dia... sebodoh itu!"
"Hemmm, dasar laki-laki mata keranjang yang mau enaknya sendiri saja, mau mengambil bunganya tapi tidak mau terkena durinya! Engkau mengatakan dia bodoh, ya? Bayangkan saja! Dia sudah mengalami aib, tubuhnya dalam keadaan telanjang bulat dilihat seorang pria, kemudian pria itu dicintanya namun ternyata pria itu tidak mau menjadi suaminya! Hanya ada dua pilihan bagi seorang gadis yang menjaga baik nama dan kehormatannya, yaitu membunuh pria itu atau membunuh diri. Karena nona Mayang mencintamu, padahal engkau laki-laki yang tidak patut mendapatkan cinta seorang wanita, maka dia tidak akan membunuhmu dan akan membunuh diri. Hal ini dikatakan oleh ibu nona Mayang dan aku mendengarnya sendiri! Nah, katakanlah aku membohong!"
Sekali ini Hay Hay jatuh terduduk dan bengong seperti patung. Dia tidak mampu bicara lagi, hanya menatap kosong seperti orang kehilangan semangat, dan mulutnya berkemak-kemik, "...menikah...? Menikah...? Ya ampuuunn... menikah?”
Melihat ini, diam-diam Han Siong merasa girang. Rasakan engkau sekarang, orang mata keranjang, pikirnya. Bilamana sudah menjadi suami Mayang, tentu gadis itu akan mampu memasangi kendali pada hidungnya sehingga dia tidak akan liar lagi!
Dia tidak merasa kasihan kepada sahabatnya itu. Kenapa harus kasihan? Hay Hay akan menikah dengan seorang gadis yang hebat! Cantik jelita, manis, pandai, kaya raya. Mau apa lagi? Dia masih tenggelam dalam duka teringat akan kematian Ci Goat, maka dia lalu berkata dengan suara lembut,
"Hay Hay, pikirkan baik-baik semalam ini. Besok pagi-pagi mereka sudah mengharapkan jawabanmu yang pasti. Selamat malam!" Han Siong meninggalkan Hay Hay yang masih duduk di atas kursinya seperti boneka hidup itu.
********************
"Kiong-hi (selamat), kiong-hi!" kata Wakil Dalai Lama setelah pada keesokan harinya dia mendengar bahwa Hay Hay dipertunangkan dengan Mayang. "Aihh, sungguh tepat sekali. Pinceng (aku) mengenal baik siapa Kim Mo Siankouw, maka muridnya tentu hebat dan merupakan seorang gadis pilihan! Dan saudara ini, meski pun masih muda namun sudah mempunyai kepandaian yang hebat! Tentu dia akan menjadi seorang yang amat berguna bagi negara dan bangsanya!”
Kini mereka semua berkumpul di ruangan tamu. Pada hari itu Hay Hay terpaksa memberi jawaban dan tak ada jalan lain baginya kecuali menerima usul perjodohan itu. Yang paling berat adalah kenekatan Mayang. Gadis itu akan membunuh diri kalau dia menolak ikatan jodoh itu! Tentu saja dia tidak ingin gadis itu mati karena dia! Dan bagaimana pun juga, harus diakuinya bahwa Mayang adalah seorang gadis yang hebat!
Demikianlah, ketika pada pagi itu Kim Mo Siankouw mengundangnya, dan dia memasuki ruangan tamu, di situ sudah menunggu Kim Mo Siankouw dan ibu Mayang! Dan dengan sikap halus namun serius, Kim Mo Siankouw bertanya,
"Bagaimana, Hay Hay, apakah engkau sudah mendengar dari sahabatmu Pek-taihap itu akan niat hati kami menjodohkan Mayang denganmu? Dan bagaimana jawabmu?"
Ditanya secara terbuka dan jujur itu, Hay Hay juga menjawab sejujurnya. "Sesungguhnya di dalam hati saya belum ada keinginan untuk menikah, Siankouw. Akan tetapi saya pun tidak dapat menolak kehormatan yang diberikan kepada saya."
"Jadi, bagaimana keputusanmu?" tanya ibu Mayang.
Hay Hay menundukkan mukanya. "Saya menerima ikatan jodoh itu dengan rasa haru dan terima kasih."
"Siancai...! Giranglah rasa hatiku, Hay Hay," kata Kim Mo Siankouw.
"Terima kasih, Hay Hay! Sungguh engkau telah membahagiakan kami semua," kata pula ibu Mayang dengan suara bercampur isak akibat terharu. "Semoga Tuhan selalu memberi bimbingan kepada anakku agar bisa menjadi isterimu yang setia dan membahagiakanmu kelak."
Hay Hay memberi hormat. "Saya yang merasa berterima kasih. Akan tetapi karena masih ada tugas penting di pundak saya, yaitu urusan pribadi yang harus saya selesaikan lebih dulu, maka saya mohon agar pernikahan dapat dilaksanakan setelah saya menyelesaikan tugas pribadi itu."
Kedua orang wanita itu mengangguk setuju. Diterimanya usul ikatan jodoh itu saja sudah amat membahagiakan hati mereka. Maka mereka lalu mengumumkan ikatan perjodohan itu sehingga Wakil Dalai Lama yang masih berada di situ segera datang memberi selamat.
Kini mereka semua berkumpul di ruangan itu. Bahkan Mayang juga telah dipanggil ibunya. Gadis yang biasanya tabah dan lincah ini nampak jinak dan malu-malu. Akan tetapi ketika ibunya menyuruh dia memberi hormat kepada calon suaminya, dengan cepat tanpa ragu dia lalu memberi hormat kepada Hay Hay yang dibalas oleh pemuda itu dengan muka kemerahan pula.
"Kiong-hi, sekali lagi kiong-hi kuucapkan kepadamu, Hay Hay, dan kepadamu, Mayang. Akulah orang pertama yang merasa paling berbahagia dengan terikatnya kalian menjadi calon suami isteri!" kata Han Siong. Namun wajahnya sama sekali tidak membayangkan kegirangan hati karena pemuda yang semalaman tidak tidur ini masih terus teringat akan kematian Ouw Ci Goat.
"Kalau kelak diadakan upacara pernikahan, jangan lupa mengundang pinceng, Siankouw! Engkau memperoleh seorang mantu yang amat hebat, maka pinceng juga menghaturkan selamat kepadamu!"
Secara diam-diam Han Siong merasa betapa dia juga telah ikut memaksa Hay Hay untuk menerima usul ikatan jodoh itu. Karena itu, ketika melihat betapa Hay Hay nampak tersipu dan kehilangan kejenakaannya, dia pun berusaha menghiburnya dengan memuji-mujinya di depan orang banyak.
"Losuhu mungkin belum mengenal betul siapa adanya calon mempelai pria ini! Sahabatku ini pernah menjadi seorang pahlawan, membantu dua orang Menteri Yang Ting Hoo dan Menteri Cang Ku Ceng ketika membasmi pemberontakan di Yunan yang dipimpin oleh mendiang Lam-hai Gim-lo!"
"Omitohud…!" Wakil Dalai Lama segera berseru kagum. "Kiranya begitukah? Kami sudah mengenal kedua orang Yang Taijin dan Cang Taijin, dua menteri yang bijaksana. Bahkan Yang Taijin pernah mengirim pasukan untuk membantu kami membasmi pemberontakan. Kalau begitu, kami hendak menitipkan sepucuk surat untuk dihaturkan kepada dua orang menteri yang bijaksana itu. Maukah engkau membawa surat kami ke kota raja kemudian menyerahkannya kepada mereka, Taihiap?" Ucapan ini ditujukan kepada Hay Hay.
Tentu saja Hay Hay merasa tak enak untuk menolak. "Dengan senang hati, Losuhu. Akan tetapi hendaknya cu-wi (kalian semua) tidak mendengarkan bualan Pek Han Siong! Yang membasmi para pemberontak yang dipimpin oleh Lam-hai Giam-lo itu bukan saya sendiri, namun ada banyak pendekar yang ikut membantu pemerintah, termasuk Pek Han Siong sendiri!"
Wakil Dalai Lama memuji. "Omitohud...! Ji-wi (kalian berdua) adalah pendekar-pendekar yang berjiwa patriot. Sungguh beruntung sekali sebuah negara yang memiliki orang-orang muda seperti ji-wi!"
Sesudah menerima hidangan sarapan pagi yang disuguhkan nyonya rumah, Wakil Dalai Lama kemudian minta diri untuk kembali ke Lasha, dan dia menyerahkan sesampul surat kepada Hay Hay untuk disampaikan kepada kedua orang menteri itu. Setelah Wakil Dalai Lama bersama rombongannya pergi, kini yang tinggal di rumah Kim Mo Siankouw sebagai tamu hanya tinggal Hay Hay dan Han Siong berdua.
Siang hari itu Hay Hay mendapat kesempatan untuk berdua saja dengan Mayang. Mereka duduk di taman belakang rumah. Mayang terlihat cantik sekali dengan pakaian baru yang bersih. Potongan pakaiannya itu ketat sehingga mencetak tubuhnya yang tinggi ramping, dengan dada membusung dan pinggul yang padat membukit.
Rambutnya dikuncir menjadi dua dan rambut yang lebat serta panjang itu bergantungan manis di kanan kiri, kadang-kadang di depan, kadang-kadang di belakang, ujungnya diikat sutera merah. Pakaiannya merupakan kombinasi warna hitam dan kuning sehingga kulit yang nampak di leher dan tangannya semakin putih, putih mulus serta kemerahan seperti kulit anak-anak bayi.
Mau tidak mau Hay Hay merasa bangga juga. Gadis ini memang seorang wanita hebat dan dia akan selalu merasa bangga memandang wanita ini sebagai isterinya. Biasanya gadis ini bersikap lincah jenaka dan tak mengenal rasa takut atau malu-malu. Akan tetapi sekarang dia lebih banyak menundukkan muka dan setiap kali mengangkat muka lantas bertemu pandang dengan Hay Hay, maka wajahnya yang manis itu berubah kemerahan.
“Mayang, aku sengaja mencarimu karena aku ingin bicara denganmu,” kata Hay Hay dan dia sendiri merasa heran kenapa suaranya tidak seperti biasa, agak gemetar dan kenapa jantungnya berdebar demikian keras!
Belum pernah dia menjadi begini gugup saat berhadapan dengan seorang wanita. Seolah lenyap semua ketabahannya. Biasanya dengan mudahnya kata-kata manis meluncur dari mulutnya kalau memuji-muji wanita, akan tetapi sekarang, dia selalu khawatir kalau-kalau membikin hati gadis ini menjadi tidak senang!
Mayang mengangkat mukanya hingga sejenak dua pasang mata itu bertemu. “Bicaralah, Hay Hay,” kata Mayang lirih lalu dia menunduk kembali.
“Mayang, tentu Siankouw dan ibumu telah memberi tahu tentang keputusanku. Aku masih mempunyai suatu tugas pribadi yang sangat penting. Aku harus menyelesaikan tugas itu lebih dahulu dan untuk sementara aku akan meninggalkanmu. Sesudah tugas itu selesai, aku akan kembali ke sini untuk melangsungkan pernikahan kita.”
Sejenak Mayang tak dapat bicara karena kepalanya semakin menunduk. Dia tersipu dan merasa rikuh sekali mendengar pria yang dicintanya itu bicara tentang pernikahan. Akan tetapi karena timbul perasaan duka dan khawatir ketika mendengar bahwa kekasihnya itu hendak meninggalkannya, akhirnya dia mengangkat mukanya sehingga dua pasang mata kembali bertemu dan bertaut.
Indahnya mata itu, pikir Hay Hay dengan bangga. Memang sipit, akan tetapi bentuknya amat indah dan di kedua ujungnya seperti ditambahi garis hitam memanjang ke atas. Dan dari balik belahan pelupuk mata yang sipit itu memancar dua pasang mata yang amat jeli dan tajam.
“Hay Hay, engkau hendak ke manakah?” Suaranya lirih, tidak malu-malu lagi akan tetapi kini suara itu mengandung penuh kekhawatiran.
Aku hendak pergi ke kota raja, Mayang. Mengantar surat titipan Wakil Dalai Lama kepada Yang Taijin dan Cang Taijin." Dia tidak ingin bercerita mengenai usahanya mencari jejak Ang-hong-cu di kota raja dengan menyelidiki perwira she Tang di kota raja yang kabarnya mengaku sebagai putera Ang-hong-cu.
"Dan tugas pribadimu itu, tugas apakah? Atau... engkau tidak mau menceritakan tentang hal itu kepadaku?"
Hay Hay tersipu, Mayang adalah calon isterinya, tentu saja dia berhak mengetahui urusan pribadinya. Akan tetapi bagaimana mungkin dia akan mengaku bahwa dia adalah putera kandung seorang jai-hwa-cat, seorang penjahat besar yang tersohor di dunia kang-ouw?
"Aku hendak mencari musuh besarku!"
Mayang kelihatan terkejut dan kini dia mengangkat muka, memandang sepenuhnya pada wajah kekasih hatinya, sepasang matanya penuh selidik.
"Apa yang telah dilakukan oleh musuh besarmu itu!”
Hay Hay mengerutkan alisnya. Dia merasa tidak senang membicarakan urusan itu, akan tetapi dia harus menjawabnya. "Dia sudah membunuh ibuku! Sudahlah, Mayang, kuharap engkau tidak bertanya mengenai urusan ini. Aku selalu merasa berduka, kesal dan marah kalau membicarakan musuh besar itu."
Ketika tangan gadis itu memegang salah sebuah kuncir rambutnya dan memindahkannya ke belakang punggung, tangan itu gemetar dan wajahnya agak berubah pucat.
"Aku tak akan bertanya lagi, Hay Hay. Akan tetapi... orang yang menjadi musuh besarmu tentu lihai bukan main. Karena itu aku harus menemanimu! Aku harus ikut denganmu ke kota raja. Aku akan membantumu menghadapi musuh besarmu itu, Hay Hay!"
Hay Hay terkejut. Hal ini sungguh tak pernah disangkanya. "Ahh, jangan, Mayang! Musuh besarku itu lihai bukan main. Aku tidak ingin melihat engkau terancam bahaya!"
Dalam lubuk hatinya, Mayang merasa girang bahwa calon suaminya itu mengkhawatirkan keselamatannya. Namun dia pun tidak ingin ditinggal, apa lagi ditinggal untuk menempuh bahaya.
"Hay Hay, meski pun ilmu kepandaianku tidak ada artinya bagimu, akan tetapi aku dapat membantu sekuat tenagaku. Setidaknya aku dapat menyaksikan bagaimana keadaanmu setelah engkau berhadapan dengan musuh besarmu itu, Hay Hay. Aku akan mati karena selalu gelisah bila engkau pergi menempuh bahaya dan aku diharuskan menanti di sini."
"Tapi, Mayang...”
"Tak ada tapi, Hay Hay. Aku tak bermaksud untuk memaksakan kehendakku kepadamu. Sama sekali tidak. Engkau adalah calon suamiku, engkau satu-satunya orang yang mulai sekarang harus kutaati. Tetapi setelah kita terikat perjodohan, bukankah berarti nasib kita menjadi satu? Bukankah mati hidup harus selalu kita hadapi bersama-sama? Aku harus ikut denganmu, Hay Hay. Kalau engkau memaksaku tinggal, kalau engkau menolak aku ikut serta, kalau engkau meninggalkan aku, aku pun tidak berani memaksamu, akan tetapi tak lama setelah engkau pergi, maka aku pun akan menyusulmu, mencarimu ke kota raja. Apakah engkau menghendaki kita melakukan perjalanan sendiri-sendiri dan menghadapi ancaman bahaya dalam keadaan saling terpisah?"
Hay Hay menghela napas panjang. Dia sudah mulai merasakan akibat ikatan perjodohan itu. Sudah terasa betapa dia kini terikat, tidak bebas lagi, tidak seperti sebelum ada ikatan perjodohan.
Semua yang dikemukakan Mayang itu memang tak dapat dibantah kebenarannya. Kalau Mayang seorang wanita biasa, tidak memiliki kepandaian silat, maka apa yang dikatakan itu tentu tidak benar. Akan tetapi Mayang adalah seorang gadis yang pandai, yang bukan saja mampu menjaga dan melindungi diri sendiri, tetapi bahkan dapat pula membantunya dalam menghadapi lawan tangguh!
“Tentu saja aku tidak menghendaki demikian, Mayang. Akan tetapi kita baru bertunangan, belum menikah, bagaimana mungkin engkau pergi berdua saja bersamaku? Tentu ibumu dan gurumu tidak akan memperkenankan."
"Sekarang juga aku hendak memberi tahu ibu dan subo, dan meminta ijin mereka!" kata gadis itu.
Akan tetapi pada saat itu pula kebetulan sekali tampak Kim Mo Siankouw dan ibu Mayang berjalan keluar dari dalam rumah menuju ke taman. Melihat ini, dengan gembira Mayang cepat berlari menyambut mereka.
"Subo, Ibu…, kebetulan sekali. Aku hendak mencari kalian untuk membicarakan hal yang teramat penting."
Melihat puterinya demikian bersungguh-sungguh serta kelihatan risau dan tegang, ibunya menegurnya. "Tenanglah, Mayang. Segala hal dapat dibicarakan dengan tenang. Biarkan Subo-mu duduk dulu, baru engkau bicara."
Hay Hay juga cepat memberi hormat kepada Kim Mo Siankouw dan calon ibu mertuanya. Mereka berdua duduk di atas bangku panjang, ada pun Mayang dan Hay Hay lalu duduk di bawah, di atas batu-batu hiasan taman itu.
"Nah, muridku. Katakanlah apa yang terkandung dalam hatimu," kata Kim Mo Siankouw.
"Subo, Hay Hay mengatakan bahwa dia hendak pergi menunaikan tugas pribadinya dan ketika teecu (murid) menanyakan apa tugas itu, dia mengaku bahwa dia hendak mencari musuh besarnya. Subo dapat membayangkan bahwa yang menjadi musuh besar seorang yang mempunyai kepandaian tinggi seperti dia tentulah orang yang lihai dan berbahaya sekali. Oleh karena itu teecu ingin ikut bersamanya, Subo! Teecu mohon perkenan Subo dan Ibu agar diperbolehkan menemani Hay Hay untuk membantu dia menghadapi musuh besarnya. Bukankah itu sudah menjadi tugas seorang calon isteri? Hati teecu akan terasa tersiksa sekali jika teecu ditinggalkan dan mengetahui bahwa tunangan teecu menempuh bahaya seorang diri. Mohon Subo dan Ibu sudi memberi ijin."
Kedua orang wanita itu saling pandang, kemudian Kim Mo Siankouw memandang kepada Hay Hay, bertanya lembut. “Benarkah apa yang dikatakan calon isterimu itu, Hay Hay?”
"Memang benar, Siankouw. Akan tetapi sebenarnya saya sudah merasa keberatan untuk membawa Mayang menghadapi ancaman bahaya. Musuh besar saya itu lihainya bukan main. Saya akan lebih merasa lega kalau dia tinggal saja di rumah. Akan tetapi saya tidak dapat mencegah kehendaknya yang kuat."
Kembali kedua orang wanita itu saling pandang, lantas Kim Mo Siankouw berkata kepada Mayang. “Muridku, dalam hal melepaskan dirimu untuk ikut dengan Hay Hay, karena ada ibumu di sini, maka dialah yang berhak menentukan. Aku sih setuju saja atas keputusan yang diambil ibumu."
Mendengar ucapan subo-nya itu, wajah Mayang segera berseri. Ia mendekati ibunya lalu merangkul ibunya dengan sikap manja. "Ibu tentu memperkenankan aku pergi bersama Hay Hay, bukan?"
Selama ini ibu yang sangat menyayangi puterinya itu hampir selalu mengabulkan segala permintaan puterinya yang pantas, maka Mayang juga hampir yakin bahwa ibunya tentu akan mengangguk. Akan tetapi kali ini wanita setengah tua yang masih nampak cantik itu mengerutkan alisnya, kemudian dengan perlahan menggelengkan kepalanya.
"Ibu...!" Mayang berseru penuh kekecewaan dan keheranan. "Akan tetapi kenapa, Ibu...?”
"Mayang, sungguh tidak bijaksana jika aku membiarkan engkau pergi berdua saja dengan Hay Hay. Ingatlah, Nak, dia itu baru calon suamimu, belum suami yang sah! Andai kata kalian sudah menikah, tentu saja aku akan menyetujui sepenuhnya."
Mendengar ini, Mayang pun merajuk. Mulutnya cemberut dan matanya semakin sipit saja seperti hendak menangis. "Aihh, ibu..., apakah ibu takut akan anggapan orang-orang lain? Yang penting aku mampu menjaga diri, Ibu, dan aku percaya bahwa Hay Hay juga akan dapat menjaga diri."
Akan tetapi ibunya masih mengerutkan alisnya. Dia teringat akan keadaannya sendiri. Dia membayangkan hal yang buruk-buruk. Bagaimana kalau mereka, dua orang muda yang sedang dewasa, lupa diri dan melakukan pelanggaran? Bagaimana kalau kemudian Hay Hay meninggalkan puterinya dan tidak jadi menikahinya? Segala mala petaka yang timbul akibat hubungan di luar nikah itu selalu akan menimpa diri wanita.
“Ibu, kalau ibu melarangku kemudian Hay Hay meninggalkan aku, tentu aku akan menjadi kurus dan akan jatuh sakit karena selalu gelisah dan khawatir memikirkan dia. Aku... aku akan minggat dan mencarinya..."
“Mayang, tidak baik engkau mengancam ibumu seperti itu!" mendadak Kim Mo Siankouw membentak muridnya. Mendengar bentakan marah ini, Mayang cepat menjatuhkan dirinya berlutut di depan kaki gurunya.
"Akan tetapi, Subo. Bagaimana mungkin teecu membiarkan Hay Hay pergi dan menempuh bahaya tanpa membantunya sama sekali? Teecu akan selalu merasa gelisah dan takut. Subo, teecu takut kalau... kalau kehiangan dia... dia satu-satunya..."
Kim Mo Siankouw tersenyum. "Siancai..., baru saja mendapatkan seorang tunangan, tapi engkau sudah lupa bahwa di dunia ini masih ada aku dan ibumu, bukan hanya ada Hay Hay seorang!"
Mayang tersipu dan baru teringat, maka dia hanya menundukkan mukanya. "Mohon belas kasihan dan pertimbangan Subo dan Ibu...," katanya memelas.
Ibu Mayang kembali bertukar pandang dengan Kim Mo Siankouw, kemudian ibu Mayang menghela napas panjang. "Aku hanya dapat memberi ijin engkau pergi bersama Hay Hay apa bila kalian sudah menikah. Karena itu, kalau engkau berkeras hendak pergi mengikuti Hay Hay, kalian harus menikah sekarang juga. Bagaimana pendapatmu, Hay Hay?”
Hay Hay tertegun dan sejenak dia bengong. Menikah? Sekarang juga? Hal ini sungguh tak pernah dipikirkannya sehingga kini dia tidak mampu menjawab. Bagaimana dia dapat melakukan pernikahan kalau dia hanya hidup sebatang kara di dunia ini, tidak mempunyai apa-apa kecuali beberapa potong baju saja? Dia merasa bingung, perasaan yang belum pernah mengganggunya selama hidupnya.
“Ini... ini... saya... saya bingung, tidak tahu..."
Melihat sikap pendekar muda yang dikaguminya itu, diam-diam Kim Mo Siankouw merasa iba juga. Hay Hay adalah seorang pemuda dan sekarang baru tampak bahwa sebenarnya dia masih hijau dalam urusan rumah tangga. Maka dia pun berkata,
"Biarlah lebih dahulu kita memberi kesempatan kepada Hay Hay untuk membicarakan hal ini dengan Pek Taihiap, satu-satunya sahabat atau keluarganya yang dapat mewakilinya dan memberinya nasehat. Nah, engkau bicarakanlah urusan pernikahan itu dengan Pek Taihiap, Hay Hay, dan nanti malam kami mengharap jawaban dan kepastian darimu."
Pemuda itu mengangguk, memberi hormat kepada mereka kemudian mengundurkan diri, meninggalkan taman itu dan memasuki rumah untuk mencari Han Siong. Setelah pemuda itu pergi, Kim Mo Sian-kouw menegur Mayang dan ibunya.
"Aihh... kalian ini sungguh membuat seorang pemuda menjadi tersipu sehingga tidak tahu harus berkata bagaimana. Kalian seperti mendesaknya saja. Mudah-mudahan dia dapat menerimanya dan dapat melangsungkan pernikahan yang tiba-tiba ini."
Mendengar teguran itu, ibu Mayang menjawab lembut, "Anak inilah yang memaksa saya!"
Mayang menubruk dan merangkul ibunya. "Subo, Ibu, aku… aku terlalu cinta kepadanya, dan tidak ingin berpisah darinya..."
Kedua orang wanita itu saling pandang dan tersenyum. Dengan diam-diam mereka hanya mengharap agar Hay Hay suka menerima usul baru itu, yaitu melangsungkan pernikahan sekarang juga agar dia dapat pergi membawa isterinya yang rewel ini!
********************
Sementara itu, Han Siong yang sedang duduk bersila dan berlatih sambil bersemedhi di dalam kamarnya, terkejut sekali ketika Hay Hay memasuki kamarnya seperti orang dikejar setan.
"Pek Han Siong, sekarang engkau harus menolong aku...!" kata Hay Hay begitu pemuda ini mendorong daun pintu kamar hingga terbuka.
Han Siong membuka matanya. Dia tidak merasa heran melihat sepak terjang sahabatnya ini karena sudah sering melihat Hay Hay ugal-ugalan dan kadang-kadang aneh. "Hemm, Hay Hay, apakah engkau sedang mabok? Engkau mengejutkan orang saja. Ada apa sih? Mungkin hanya kalau dunia kiamat saja engkau kebingungan seperti sekarang ini!”
Hay Hay menjatuhkan diri di atas kursi, lalu memegangi kepala dengan kedua tangannya. "Lebih dari kiamat, Han Siong, sebab itu engkau harus menolongku sekarang! Aku benar-benar bingung, tidak tahu harus berbuat apa!"
"Ha-ha-ha, tenanglah sahabatku. Ada peristiwa apakah yang membuat engkau menjadi seperti ini? Ceritakanlah, tentu saja setiap saat aku siap sedia untuk membantumu."
"Aihh, Han Siong, apa yang harus kukatakan sekarang? Ketahuilah, mereka itu, Mayang, ibunya dan gurunya, mereka mengusulkan supaya pernikahan itu dilangsungkan sekarang juga!"
"Ehhh.... ?!" Han Siong terkejut dan heran juga. “Mengapa mereka begitu tergesa-gesa? "Tapi... kenapa begitu? Tentu ada alasannya yang kuat."
Hay Hay menarik napas panjang, lalu dia menceritakan betapa Mayang berkeras hendak ikut dengan dia, untuk membantunya menghadapi musuh besarnya. Apa bila dia menolak maka gadis itu kelak akan minggat untuk mencari dan menyusulnya. Ketika mereka minta ijin kepada ibu Mayang, maka ibu dan guru Mayang lalu mengajukan saran agar mereka menikah dulu, sekarang juga.
“Mayang berkeras hendak ikut, dan ibunya berkeras agar kami menikah dahulu. Nah, aku terjepit di tengah-tengah. Bagaimana ini, Han Siong?"
Pek Han Siong tertawa terpingkal-pingkal karena dia merasa alangkah lucunya keadaan Hay Hay. Rasakan kau sekarang, kata hatinya. Ini pembalasan untuk watakmu yang mata keranjang. Akan tetapi, setelah berhenti tertawa dia pun berkata,
"Hay Hay, terjepit secara demikian bukankah malah enak buatmu? Apa lagi masalahnya? Sekarang engkau disuruh menikah, lantas isterimu ikut denganmu, melakukan perjalanan bersama seperti sedang berbulan madu! Kurang enak bagaimana? Kenapa engkau masih bingung dan mengomel lagi? Dasar tidak tahu terima kasih!"
"Han Siong, jangan engkau main-main! Berilah jalan keluar, berilah nasehat bagaimana aku harus menghadapi perkembangan baru ini!"
"Siapa main-main, Hay Hay. Apa sih yang perlu kau risaukan? Menikah hari ini atau bulan depan atau tahun depan, apa sih bedanya?"
"Han Siong, jangan bergurau! Engkau sudah tahu bahwa aku mau menerima ikatan jodoh dengan Mayang karena tiga hal, yaitu pertama aku tidak ingin bermusuhan denganmu, ke dua aku tak ingin berkelahi dengan Kim Mo Siankouw, dan ke tiga aku tidak ingin Mayang membunuh diri...."
"Masih ada yang ke empat dan tidak boleh engkau melupakan itu, ialah kenyaaan bahwa Mayang cinta padamu dan engkau pun cinta padanya!"
"Tak kusangkal kalau aku suka dan kagum kepada Mayang, akan tetapi cinta? Aku tidak tahu. Tapi sudahlah, aku sudah menerima ikatan jodoh, akan tetapi pernikahan sekarang? Aku belum siap!"
Han Siong tertawa. "Ha-ha, apanya lagi yang belum siap? Engkau sudah cukup dewasa, belum siap apanya?"
"Ihh, jangan main-main, Han Siong. Aku sebatang kara, tidak mempunyai apa-apa, rumah pun tidak punya. Bagaimana aku dapat menikahi anak orang. Apakah isteriku lalu kuajak mengembara tanpa tempat tinggal? Apa dia bisa kuberi makan rumput dan daun saja?"
"Hemm, kukira Mayang tidak membutuhkan itu semua! Dan hal itu pun merupakan urusan nanti, dapat kalian rundingkan bersama. Sekarang, yang penting engkau terima saja usul mereka. Engkau menikah sekarang juga dengan Mayang dan hal itu berarti engkau telah membuat jasa besar bagi manusia dan dunia!"
Hay Hay bengong dan memandang terbelalak,. "Ehh? Kau jangan membikin aku menjadi semakin bingung, Han Siong. Engkau mengatakan bahwa kalau sekarang aku menikah dengan Mayang maka aku sudah berjasa terhadap manusia dan dunia. Apa maksudmu?"
"Betapa tidak? Jika sekarang engkau menikah dengan Mayang, berarti engkau membikin senang hati Mayang, membikin lega hati ibunya serta gurunya, membikin gembira hatiku, dan membikin gembira para tamu yang nanti akan menghadiri perayaan pernikahan itu. Nah, berarti engkau menyenangkan banyak manusia, juga menyenangkan dirimu sendiri. Betapa senangnya melakukan perjalanan ditemani seorang isteri sehebat Mayang. Selain itu, engkau mendatangkan kebaikan kepada dunia karena dengan adanya seorang isteri yang selalu menemani, maka bahaya bagi para gadis lain tidak ada lagi!"
"Bahaya bagi para gadis lain?" Hay Hay mengerutkan alisnya, tidak mengerti.
"Tentu saja, karena engkau tentu tidak lagi berani mengumbar mata keranjang kalau ada isterimu di sisimu!"
"Ahhh...!” bibir Hay Hay cemberut. “Engkau tidak memberi obat, malah membikin penyakit ini menjadi lebih parah!”
Han Siong bangkit dari pembaringan, menghampiri Hay Hay yang duduk di atas kursi, lalu memegang pundak kawannya. "Sahabatku, gunakanlah akal sehatmu dan jangan murung. Syukurilah berkah yang dilimpahkan Tuhan kepadamu! Engkau tahu, ada kalanya orang harus mengorbankan sesuatu dan meniadakan kepentingan diri sendiri untuk melakukan kebaikan kepada orang lain. Akan tetapi sekarang ini, engkau dapat melakukan banyak kebaikan kepada banyak orang, tanpa berkorban apa-apa, bahkan engkau menerima pula nikmat dan kebahagiaan. Pria mana yang tak akan berbahagia memetik setangkai bunga yang demikian indah dan harumnya seperti calon isterimu itu? Nah, hadapilah kenyataan dan berterima kasihlah kepada Tuhan!"
Hay Hay menghela napas, lalu bangkit dengan malas. "Sudahlah, akan kupertimbangkan semalaman ini.”
"Besok pagi aku akan membawa keputusanmu yang menggembirakan kepada mereka!" kata Han Siong sambil tersenyum memandang sahabatnya yang meninggalkan kamarnya dengan langkah gontai.
********************
Memang tidak ada pilihan lain bagi Hay Hay kecuali menerima usul baru agar pernikahan dilangsungkan dulu sebelum dia pergi meninngalkan puncak Awan Kelabu tempat tinggal Kim Mo Siankouw itu.
Pernikahan yang sangat mendadak ini dirayakan dengan sederhana. Bahkan tak sempat lagi mengundang tamu jauh, juga Wakil Dalai Lama tidak mungkin dapat diundang. Yang diundang hanya penduduk dusun di sekitar Pegunungan Ning-jing-san saja dan perayaan dilaksanakan secara sederhana namun cukup meriah.
Yang menemani Hay Hay hanyalah Han Siong seorang. Pemuda ini menjadi semacam hiburan bagi Hay Hay, yang menganggap sahabat ini seperti saudara sendiri. Dan Han Siong juga menemani Hay Hay dengan kesungguhan hati karena di dalam hati Han Siong memang amat kagum dan sayang kepada Hay Hay.
Para tamu yang terdiri dari penduduk dusun di pegunungan itu tentu saja bergembira ria dijamu masakan yang lezat dan arak wangi sehingga belum sampai tengah malam, para tamu sudah banyak yang mabok lantas mereka pun berpamit meninggalkan tempat pesta setelah memberi selamat kepada sepasang mempelai dan kepada Kim Mo Siankouw dan ibu Mayang. Han Siong juga mewakili pengantin pria untuk membalas pemberian selamat itu. Akhirnya semua tamu sudah meninggalkan tempat pesta dan sepasang pengantin lalu diarak memasuki kamar pengantin.
Dalam kesempatan terakhir ini, Han Siong sekali lagi memberi selamat kepada Hay Hay dan Mayang. "Kionghi, kionghi (selamat, selamat) sekali lagi," katanya gembira. "Semoga Tuhan memberkahi kalian de ngan kebahagiaan abadi!"
Mayang hanya menunduk tersipu malu, akan tetapi Hay Hay memandang sahabatnya itu dengan sinar mata haru. "Han Siong, engkau adalah sahabatku yang paling baik. Terima kasih untuk segalanya!"
Sepasang pengantin itu didorong memasuki kamar yang segera ditutup, kemudian semua orang meninggalkan kamar itu. Para pelayan lalu sibuk membersihkan bekas pesta. Kim Mo Siankouw dan ibu Mayang yang merasa lelah sekali setelah tadi menerima tamu juga segera beristirahat di kamar masing-masing, sekalian hendak menyembunyikan keharuan mereka karena begitu memasuki kamar masing-masing, kedua orang wanita ini langsung menangis terharu mengingat betapa gadis yang mereka kasihi itu sekarang telah menjadi isteri orang dan memulai suatu kehidupan baru. Rasa haru dan bahagla membuat mereka dlam-diam mencucurkan air mata!
Sepasang mempelai itu telah berganti pakaian. Sambil bersembunyi di balik tirai, Mayang melepaskan pakaian pengantin lalu mengenakan pakaian tidur yang tipis, sedangkan Hay Hay juga telah mengenakan pakaian biasa. Sekarang mereka duduk bersanding di pinggir pembaringan.
Mayang menunduk, tersipu malu. Gadis yang biasanya lincah jenaka dan sangat tabah itu kini tidak berani berkutik, tidak berani bersuara, bahkan juga tak berani mengangkat muka memandang wajah suaminya. Hay Hay juga duduk dengan muka kemerahan karena tadi dia agak terlalu banyak minum arak ketika menerima penghormatan dan ucapan selamat, akan tetapi dia pun tersipu, kehilangan akal, salah tingkah dan jantungnya berdebar penuh ketegangan.
Terbayanglah semua pengalamannya dengan para wanita pada masa lalu. Baru satu kali hubungannya dengan wanita benar-benar hampir melanggar batas, yaitu dengan Kok Hui Lan, janda muda yang tubuhnya semerbak harum seperti bunga itu! Juga pada waktu dia hampir ‘diperkosa’ wanita cabul Ji Sun Bi. Selain dua kali pengalaman itu, belum pernah dia berhubungan dengan wanita sampai ke hubungan badan, kecuali hanya bermesraan luar saja.
Kini dia berdebar penuh ketegangan dan kebingungan ketika menghadapi seorang gadis yang mulai saat itu sudah menjadi isterinya, yang akan menyerah sebulatnya kepadanya dan dapat dia gauli tanpa ada orang yang melarang, tanpa ada pelanggaran susila atau hukum apa pun. Dia sama sekali tidak berpengalaman dalam hal itu!
Karena sulit membuka mulut, hanya duduk bersanding di tepi pembaringan, Hay Hay lalu berdehem dua kali dan mengeluarkan suara tawa kecil untuk menarik perhatian ‘isterinya’. Dan usahanya berhasil.
Mendengar suaminya berdehem lalu mengeluarkan suara ketawa kecil, Mayang khawatir kalau ada sesuatu pada dirinya yang tidak beres sehingga memancing tawa suaminya. Ia cepat memandangi pakaiannya kalau-kalau ada yang tidak beres, kemudian karena tidak menemukan sesuatu yang salah, dia pun mengangkat mukanya memandang.
Dua pasang mata bertemu, bertaut dan akhirnya Mayang menundukkan kembali mukanya yang menjadi kemerahan, akan tetapi bibirnya menahan senyum. Manisnya!
"Mayang....” suara Hay Hay terdengar gemetar dan hal ini terasa benar olehnya sehingga dia pun tidak berani melanjutkan!
Mayang kembali menoleh dan kembali dua pasang mata bertemu pandang dan bertaut.
"Hay Hay..." Mayang berbisik, lalu cepat dibetulkannya. "Hay-koko (kanda Hay)!" Ia cepat menunduk lalu dan mukanya semakin merah.
Begitu merdu dan manisnya sebutan Hay-koko itu sehingga perasaan bahagia menyelinap di dalam kalbu Hay Hay. Tanpa disadari, tangan kirinya bergerak dan memegang pundak itu dengan sentuhan lembut.
"Mayang, engkau.... engkau... sungguh cantik jelita dan manis bukan main....”
Mayang kembali menoleh tetapi kini dia tersenyum. "Engkau perayu!" katanya manja dan entah siapa yang mulai lebih dahulu, tahu-tahu keduanya saling rangkul dan saling dekap. Ketika Hay Hay menciumnya, Mayang lantas menyambut dengan rintihan lirih. Mereka kini rebah dengan saling rangkul.
Tiba-tiba Mayang bangkit duduk dan matanya yang sipit itu dibuka lebar memandang ke arah leher Hay Hay dan tanpa terasa dia mengeluarkan seruan lirih namun mengejutkan.
"Ihhhh...!"
Hay Hay juga bangkit duduk. "Ada apakah, Mayang...?"
Tangan kanan Mayang bergerak menangkap benda yang tergantung pada leher Hay Hay, yaitu mainan berbentuk kumbang merah yang tadi sempat berjuntai keluar dari balik baju Hay Hay.
"Ang... hong... cu...!" Mayang berbisik dan tangan kirinya juga mengeluarkan benda yang sama dari balik bajunya!
Kini giliran Hay Hay yang tersentak kaget. Sekali tangannya bergerak dia telah merampas dua buah benda itu dari kedua tangan Mayang, lalu dia membandingkan dua buah benda itu. Persis sama!
"Mayang..." suaranya terdengar gemetar dan wajahnya pucat sekali, "dari mana... engkau mendapatkan benda ini... ?"
"Dari ibuku, baru tadi ibu memberikannya kepadaku sebagai hadiah pernikahan. Benda... benda itu... tadi ibu menyebut Ang-hong-cu (Si Kumbang Merah), kata ibu itu peninggalan ayah kandungku...”
"Ayah... ayah kandungmu...? Ya Tuhan...!" Tiba-tiba saja wajah Hay Hay menjadi semakin pucat dan seluruh tubuhnya menggigil.
Mayang terkejut bukan main melihat keadaan Hay Hay itu. "Kenapa, Hay-koko? Kenapa? Dan dari mana engkau bisa mendapatkan benda yang serupa benar dengan peninggalan ayahku? Dari mana engkau dapat memiliki Ang-hong-cu?"
"Mayang...," Hay Hay menggeser duduknya lebih menjauh agar tubuhnya tak menyentuh tubuh Mayang, "Mayang... kita... kita... kau... Ang-hong-cu... dia ayah kandungku pula..."
Sepasang mata yang sipit itu terbelalak, muka yang manis itu menjadi sepucat mayat lalu terdengarlah suara melengking tinggi dan nyaring dari mulut itu, lengkingan yang keluar sebagai jeritan dari dalam. Kedua tangan itu merenggut dua buah benda itu dari tangan Hay Hay, kemudian tubuh itu bergerak melompat turun dari atas pembaringan dan berlari menerjang pintu kamar sehingga terbuka dan Mayang pun berlari keluar.
"Mayang...! Mayanggg...!" Dengan tubuh masih menggigil Hay Hay juga melompat turun.
"Ang-hong-cu... ahhh, Ang-hong-cu..., hu-huu-huuuhhh...!" sambil menangis sesenggukan Mayang berlari keluar dan hampir saja dia bertabrakan dengan gurunya dan ibunya yang sedang berlarian menuju ke kamarnya. Dua orang tua itu terkejut ketika mendengar pekik melengking tadi dan keduanya sudah berlari keluar dari kamar masing-masing menuju ke kamar pengantin.
"Mayang, ya Tuhan, ada apakah, Mayang?" ibunya segera merangkul puterinya dengan wajah penuh kekhawatiran.
Kim Mo Siankouw memandang muridnya dengan alis berkerut dan sepasang mata tajam penuh selidik. Dan pada saat itu pula Kim Mo Siankouw juga melihat bayangan Han Siong berkelebat. Pemuda ini juga sudah keluar dari kamarnya dan terkejut oleh jeritan Mayang tadi. Kini, melihat Mayang menangis dalam rangkulan ibunya, Han Siong cepat melompat dan lari ke arah kamar pengantin untuk melihat Hay Hay.
"Mayang, berhentilah menangis dan katakan ada apa?" Ibunya menggoyang-goyang tubuh puterinya yang masih tersedu-sedu menangis sambil merangkulnya.
"Tenanglah, Mayang. Apakah engkau tidak malu menjadi gadis cengeng seperti ini? Mana kegagahanmu?" kata pula Kim Mo Siankouw.
Mayang segera melepaskan rangkulan pada ibunya, kemudian menoleh dan memandang subo-nya dengan air mata bercucuran.
"Subo....!" Sekarang dia menubruk subo-nya dan menangis di pundak Kim Mo Siankouw. Gurunya terheran-heran, juga terkejut melihat sikap muridnya seperti kanak-kanak itu.
"Mayang, engkau kenapa? Mayang anakku...!" Ibunya berkata dengan hati bingung dan khawatir sekali.
Mayang kembali melepaskan rangkulan pada gurunya dan kini menangis dalam rangkulan ibunya. "Ibu... hu-hu-huuuhhh... ibu..., subo.... bunuh saja aku, ibu... hu-hu-huuuhhh....”
"Ehh? Engkau kenapa, Mayang? Ada apakah? Ibunya semakin khawatir. Mayang segera menjulurkan kedua tangannya yang sejak tadi menggenggam dua buah benda kecil itu.
"Ang-hong-cu... dia.... dia... Ang-hong-cu....,” katanya dengan suara terputus-putus akibat isak yang menyesak dadanya.
Kini ibunya terbelalak, lantas mukanya berubah pucat. "Ang-hong-cu...? Apa maksudmu? Dan kenapa benda itu kini menjadi dua? Dari mana yang sebuah lagi?"
"Dia... dia... putera Ang-hong-cu...!" Dan kini Mayang terkulai, pingsan dalam rangkulan ibunya. Dua buah benda itu terlepas dari genggamannya dan jatuh ke atas lantai.
Kim Mo Siankouw cepat-cepat mengambil dua buah benda itu. Ketika para pelayan mulai berdatangan, Kim Mo Siankouw memberi isyarat dengan tangan agar mereka cepat pergi dan kembali ke kamar mereka.
Para pelayan tidak berani membantah walau pun mereka menjadi terheran-heran melihat nona mereka menangis, menjerit-jerit dan kemudian pingsan itu. Mereka tak bisa mengerti mengapa nona mereka yang menjadi pengantin bersikap seperti itu.
Sementara itu, ketika Han Siong memasuki kamar pengantin yang pintunya terbuka lebar, dia melihat Hay Hay duduk di tepi pembaringan seperti sebuah patung. Pemuda itu duduk dengan mata terbelalak, mukanya pucat dan penglihatannya nampak kosong. Han Siong cepat memegang kedua pundak Hay Hay.
"Hay Hay, sadarlah! Apa yang sudah terjadi? Ada apa dengan Mayang isterimu?" Tanpa disengaja Han Siong memandang ke atas pembaringan dan jelas bahwa tempat itu belum pernah dipergunakan. Bantal, selimut dan tilam sutera itu masih rapi, belum kusut seperti kalau sudah dipakai tidur.
Karena pundaknya diguncang keras oleh Han Siong, Hay Hay seperti baru sadar. Dia pun menghela napas panjang, lalu dia memegang kedua lengan sahabatnya. Kedua matanya basah!
"Eh? Engkau menangis?" Han Siong hampir tidak percaya. Akan tetapi dia melihat kedua mata itu basah, basah dan berlinang air mata!
Hay Hay mengusapkan mukanya pada kedua pangkal lengan, lalu berkata dengan suara seperti orang dalam rnimpi.
"Untung... sungguh Tuhan masih melindungi kami... aiiihh, Han Siong, mengapa nasibku sekarang jadi seperti ini? Ataukah ini dosa orang tuaku?"
"Hay Hay, katakan apakah yang telah terjadi?"
Melihat Hay Hay sudah tenang, Han Siong melepaskan tangannya dan dia kini mundur, memandang wajah sahabatnya yang masih pucat itu.
"Han Siong, dia adalah adikku! Kami seayah berlainan ibu!"
"Ahhh...?! Mayang puteri Ang Ang-hong-cu...?” Kini Han Siong yang melongo keheranan.
Hay Hay mengangguk, kembali menghela napas. “Dia juga memiliki benda perhiasan itu, seekor kumbang merah, persis dengan yang aku punyai. Baru hari ini dia menerima dari ibunya sebagai hadiah pernikahan, peninggalan ayah kandungnya..."
Han Siong jatuh terduduk di atas kursi. Bengong. Kini mengertilah dia mengapa gadis itu tadi menjerit-jerit dan Hay Hay seperti arca. Dan dia pun mengerti maksud kata-kata Hay Hay yang mengatakan masih untung bahwa mereka masih dilindungi Tuhan. Jelas bahwa mereka belum melakukan hubungan suami isteri! Apa bila sudah, berarti dunia ini kiamat bagi mereka!
Dia menghela napas. "Aihh, engkau masih beruntung, Hay Hay. Aku turut merasa girang bahwa kalian masih belum terjatuh ke dalam aib dan dosa. Kasihan engkau, Hay Hay....”
"Kasihan Mayang, bukan aku, Han Siong. Tentu hancur hatinya... ah, mari kita keluar. Aku harus menghiburnya, menghibur adikku...” Mereka lalu keluar dari dalam kamar itu. Ketika melihat Mayang terkulai pingsan dalam pondongan ibunya, Hay Hay terkejut.
“Mayang...!”
Kim Mo Siankouw berkata dengan suara lembut namun tegas, “Mari kita bicara di ruang dalam. Engkau juga, Pek Taihiap!"
Kini Ibu Mayang memondong tubuh Mayang. Gadis itu masih pingsan, dan mereka semua memasuki ruangan dalam. Kim Mo Siankouw sendiri menutup dua buah pintu tembusan pada ruangan itu. Ibu Mayang merebahkan puterinya di sebuah kursi panjang.
“Kalian duduklah!” kata Kim Mo Sian-kouw kepada Hay Hay dan Han Siong.
Dua orang pemuda itu lalu duduk dan Hay Hay menundukkan mukanya, menutupi muka dengan sepasang tangannya, tidak tahu harus berbuat apa atau berkata apa. Dia merasa bingung karena kenyataan yang teramat pahit itu merupakan pukulan yang mengguncang batinnya dengan hebat. Nyaris dia menjadi suami isteri dengan adiknya sendiri!