DIA sudah mengerahkan anak buah Cin-ling-pai untuk mencari jejak mereka yang hilang secara aneh, namun belum juga berhasil dan malam ini, selagi dia berada di kamarnya, daun jendela kamarnya perlahan-lahan diketuk orang dari luar.
"Siapa...?” Gouw Kian Sun bertanya dari dalam.
Semenjak peristiwa lenyapnya tokoh-tokoh penting Cin-ling-pai, dia selalu merasa curiga dan khawatir. Tentu saja ketukan di jendela itu membuat dia curiga. Kalau ada murid Cin-ling-pai yang perlu berbicara dengan dia tentu akan mengetuk daun pintu, bukan jendela! Dan di tengah malam pula!
"Teecu datang, Suhu, harap dibukakan jendela!"
Hampir Kian Sun tidak percaya akan pendengarannya sendiri. Dia lalu membuka jendela kamarnya dan sesosok bayangan melompat masuk ke dalam kamarnya. Tentu saja dia terkejut, heran, khawatir dan juga girang ketika melihat bahwa bayangan itu bukan lain adalah Ciok Gun, murid yang selama ini dicari-cari.
"Ciok Gun, engkau? Apa... apa yang terjadi?" tanyanya gagap dan bingung.
Ciok Gun memberi isyarat kepada suhu-nya supaya tidak membuat gaduh, kemudian dia pun bicara dengan suara lirih. "Suhu, harap jangan berisik. Teecu tahu di mana adanya sukong Cia Kong Liang, supek Cia Hui Song, supek-bo Ceng Sui Cin, dan juga adik Cia Kui Bu. Akan tetapi jangan membuat ribut. Marilah, Suhu, teecu antarkan Suhu melihat mereka."
Bisa dibayangkan betapa kaget dan girangnya rasa hati Kian Sun mendengar berita yang menggembirakan ini. Akan tetapi dia juga merasa heran dan bingung mengapa pembantu yang sangat dipercayanya ini kini bersikap demikian aneh dan penuh rahasia. Akan tetapi kegembiraannya untuk segera melihat gurunya serta suheng-nya membuat dia langsung mengangguk dan keduanya lantas berloncatan keluar dari jendela kamar itu, menutupkan daun jendela dari luar, kemudian Gouw Kian Sun mengikuti muridnya menyusup keluar dari perkampungan Cin-ling-pai.
Malam sudah larut, bahkan lewat tengah malam, maka para penjaga dan peronda hanya berkumpul di gardu penjagaan dan membuat api unggun melawan hawa dingin. Guru dan murid yang pada waktu itu merupakan orang pertama dan kedua di Cin-ling-pai, dengan mudah keluar dari perkampungan. Gouw Kian Sun terus mengikuti muridnya yang berlari-lari menuju ke sebuah bukit.
Bisa dibayangkan betapa kaget dan heran rasa hati Kian Sun ketika muridnya membawa dia ke depan sebuah bangunan besar yang tersembunyi di tengah hutan di lereng bukit itu. Setahu dia, di situ tidak ada bangunannya! Dia hendak bertanya, akan tetapi Ciok Gun sudah membisikinya.
"Hati-hati, Suhu, jangan mengeluarkan suara. lkuti saja teecu..."
Walau pun hatinya merasa tidak enak melihat sikap muridnya yang kini penuh rahasia itu, namun dia mengikuti saja ketika Ciok Gun mengajaknya memasuki bangunan itu dengan menyelinap melalui sebuah pintu kecil di dalam kebun atau pekarangan samping. Tidak lama kemudian muridnya sudah mengajaknya mengintai dari lubang.
Ia melihat betapa gurunya, Cia Kong Liang, sedang tidur nyenyak bersama cucu gurunya, yaitu Cia Kui Bu. Jelas bahwa keduanya sehat dan sedang tidur nyenyak di dalam kamar tahanan yang kokoh kuat dengan pintu berjendela dan beruji baja itu. Dan pada sebelah sana dia melihat pula suheng-nya, Cia Hui Song, juga tidur pulas di dalam sebuah kamar tahanan lain, sedang di kamar ke tiga dia tnelihat Ceng Sui Cin juga tertidur pulas.
Sesudah memandang semua itu dengan mata terbelalak, Kian Sun menoleh dan menatap kepada muridnya. "Ciok Gun, apa artinya semua ini? Mengapa mereka di sini dan apakah yang telah teriadi?" Saking khawatirnya dia bicara agak keras. Ciok Gun memberi isyarat agar gurunya suka mengikutinya meninggalkan tempat itu dan menuju ke ruangan lain di dalam rumah itu.
"Mari kita temui orang yang menawan mereka, Suhu," kata Ciok Gun yang berjalan cepat memasuki sebuah ruangan lain di bagian depan.
Ruangan ini luas dan terang. Pada saat Kian Sun melangkah masuk mengikuti muridnya, dia melihat seorang wanita cantik serta tiga orang pria setengah tua berpakaian pendeta sedarig duduk di situ, agaknya memang sedang menunggu kehadirannya. Dan suatu hal yang aneh terjadi. Ciok Gun muridnya yang setia dan paling dipercaya itu tanpa ragu-ragu melangkah dan berdiri di belakang empat orang itu dan sikapnya seperti menanti perintah!
“Selamat datang dan selamat malam, Gouw Pangcu (Ketua Gouw)! Maafkan kelambatan kami menyambut wakil ketua Cin-ling-pai yang terhormat. Silakan duduk, Gouw Pangcu!"
Gouw Kian Sun memandang heran dan gugup, namun melihat sikap mereka yang ramah, dia pun terpaksa menyambut dengan hormat kemudian duduk di atas kursi yang sudah disediakan menghadapi mereka berempat. Sejenak dia memperhatikan mereka.
Usia wanita itu masih muda, tidak akan lebih dari dua puluh lima tahun. Wajahnya cantik manis, matanya bersinar-sinar, lincah gembira, senyumnya selalu menghias bibir, bentuk tubuhnya padat dan indah. Tiga orang lelaki berpakaian pendeta itu seperti tosu (pendeta agama To). Mereka berusia antara lima puluh sampai enam puluh tahun, sikap mereka angkuh dan dingin, dan mereka diam saja, agaknya memang gadis itu yang menjadi juru pembicara.
"Maafkan saya jika saya terpaksa mengaku bahwa saya tidak mengenal kalian. Siapakah kalian dan apakah artinya semua ini?" kata Gouw Kian Sun sambil memandang tajam.
Wanita yang bukan lain adalah Tok-ciang Bi Moli Su Bi Hwa itu tersenyum. Manis sekali ketika mulutnya tersenyum, bagai sekuntum bunga merekah sehingga nampak kilatan gigi yang berderet rapi dan putih.
"Kami tidak akan merahasiakan diri kami, Pangcu. Namaku Su Bi Hwa dan golongan kita mengenalku sebagai Tok-ciang Bi Moli."
Gouw Kian Sun mengerutkan alisnya. Dia belum pemah mendengar nama dan julukan ini, tetapi mengingat akan arti julukan Tok-ciang Bi Moli (Iblis Betina Cantik Bertangan Racun) itu saja mudah diduga bahwa gadis ini adalah seorang wanita golongan sesat yang lihai. Akan tetapi Kian Sun adalah seorang tokoh Cin-ling-pai yang telah berpengalaman, maka dia mengangkat tangan ke depan dada sambil berkata.
"Ah, kiranya Tok-ciang Bi Moli yang terkenal. Sudah lama mendengar nama besar itu dan mengaguminya."
"Dan mereka ini adalah guru-guruku, bemama Lan Hwa Cu, Siok Hwa Cu dan Kim Hwa Cu, terkenal dengan julukan mereka Pek-lian Sam-kwi."
Kini Gouw Kian Sun benar-benar terkejut. Ternyata dia berhadapan dengan orang-orang Pek-lian-kauw! "Hemm, seingatku, Cin-ling-pai tidak pemah berurusan dengan pihak Pek-lian-kauw. Sekarang kalian datang ke wilayah kami, sebenarnya ada keperluan apakah?”
"Hi-hi-hik, ternyata Gouw Pangcu adalah seorang laki-laki yang gagah perkasa dan sudah berpengalaman. Sungguh mengherankan kalau seorang gagah seperti pangcu ini sampai sekarang belum juga menikah."
Kian Sun mengerutkan alisnya. Agaknya orang-orang Pek-lian-kauw ini sudah menyelidiki keadaan Cin-ling-pai sehingga tahu tentang keadaannya pula. Sungguh banyak hal yang aneh dia temui di sini.
Para tokoh Cin-ling-pai, bahkan suheng-nya Cia Hui Song serta isterinya, yang keduanya memilki ilmu kepandaian tinggi, berada di dalam kamar-kamar tahanan itu. Muridnya, Ciok Gun bersikap demikian aneh, tentu muridnya itu yang menceritakan semua hal mengenai Cin-ling-pai.
Kian Sun menjadi marah bukan main kepada muridnya itu. Ciok Gun yang digemblengnya menjadi seorang pendekar yang gagah itu sekarang mengkhianati Cin-ling-pai? Rasanya benar-benar tidak masuk akal.
“Ciok Gun, ke sini engkau dan lekas ceritakan padaku apa artinya semua ini!" bentaknya kepada Ciok Gun.
Namun orang yang dibentaknya itu sedikit pun tidak memperlihatkan tanggapan, bergerak pun tidak, berkedip pun tidak, hanya menunduk dan tetap berdiri di belakang empat orang Pek-lian-kauw itu.
"Moli, katakan saja terus terang, apa yang kalian kehendaki dariku?" Akhirnya Kian Sun membentak marah setelah melihat muridnya sama sekali tidak menjawabnya.
"Hi-hik, Ciok Gun ini hanya akan bicara atau bertindak bila mendengar perintahku! Gouw Kian Sun, dengarlah keinginan kami. Kami datang untuk mengulurkan tangan kepadamu dan menawarkan kerja sama dengan Cin-ling-pai.”
Kian Sun langsung bangkit berdiri, wajahnya berubah merah, "Cin-ling-pai bekerja sama dengan Pek-lian-kauw? Tidak mungkin! Lebih baik aku mati dari pada harus bekerja sama dengan Pek-lian-kauw yang sesat!"
Bi Hwa tertawa. "Hi-hik, sudah kuduga engkau akan menjawab demikian, Gouw Kian Sun. Akan tetapi kami tidak menghendaki engkau mati. Engkau perlu hidup untuk bekerja sama dengan kami dan engkau harus mentaati kami."
"Tidak sudi!"
"Hi-hi-hik, bagaimana engkau bisa bilang tidak sudi? Engkau tidak mempunyai pilihan lain kecuali hanya ada dua, yaitu pertama, engkau taat kepada kami, suka bekerja sama dan semuanya akan selamat. Atau engkau memilih yang ke dua, yaitu kalau engkau menolak, berarti engkau akan membunuh kakek Cia Kong Liang, Cia Hui Song dan Ceng Sui Cin, juga anak mereka Cia Kui Bu. Engkaulah yang membunuh mereka melalui penolakanmu terhadap uluran tangan kami. Nah, kau pilih yang mana?"
“Aku pilih mati!" Gouw Kian Sun membentak dan dia pun sudah menerjang ke arah wanita cantik itu. Karena dia sudah dapat menduga betapa lihainya empat orang itu, maka begitu menyerang Bi Hwa dia telah mempergunakan Thai-kek Sin-kun dan mengerahkan seluruh tenaga sinkang-nya dalam hantamannya.
"Brakkkk…!"
Kursi yang tadi diduduki Bi Hwa hancur berkeping-keping, akan tetapi wanita itu sendiri tidak terkena pukulan karena dengan gesitnya dia sudah meloncat meninggalkan kursinya ketika hantaman itu tiba.
Kim Hwa Cu, tosu termuda di antara Pek-lian Sam-kwi yang bertubuh tinggi kurus dengan muka kuning, sekali bergerak telah meloncat ke depan Kian Sun. Ia tersenyum mengejek sambil mengelus jenggotnya.
"Gouw Kian Sun, kami peringatkan agar sebaiknya engkau menyerah saja supaya semua tokoh Cin-ling-pai selamat. Kami hanya ingin menggunakan nama Cin-ling-pai saja untuk mencapai maksud tujuan kami."
"Tosu Pek-lian-kauw keparat!" Kian Sun membentak saking marahnya dan dengan nekat dia pun telah menyerang tosu itu dengan pukulan tangannya, sekarang dia mengerahkan tenaga dan memainkan ilmu Thian-te Sin-ciang yang amat kuat.
"He-he, ini Thian-te Sin-ciang lumayan juga!" Kim Hwa Cu tertawa mengejek dan dengan berani dia pun menyambut pukulan dua tangan wakil ketua Cin-ling-pai yang didorongkan ke arah dadanya itu dengan kedua tangan pula.
"Desss...!”
Dua pasang tangan bertemu dengan dahsyatnya dan akibatnya, Kian Sun terdorong ke belakang sambil terhuyung-huyung, ada pun Kim Hwa Cu juga mundur dua langkah. Dari pertemuan tenaga ini saja dapat diketahui bahwa dalam hal tenaga sinkang, Kim Hwa Cu masih menang sedikit.
Tentu saja Kian Sun menjadi terkejut bukan main karena baru menghadapi seorang tosu saja dia sudah kalah tenaga. Dan tadi pun serangannya terhadap gadis cantik itu gagal, tanda bahwa gadis itu memiliki ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang hebat pula. Maka tahulah dia bahwa dia tidak akan menang melawan empat orang itu.
Namun dia adalah wakil ketua Cin-ling-pai dan karena pada waktu itu ketua Cin-ling-pai sedang tidak ada, maka dialah yang bertanggung jawab sepenuhnya terhadap Cin-ling-pai. Bagaimana mungkin dia akan menyerah kepada perkumpulan sesat macam Pek-lian-kauw dan suka diajak bekerja sama? Hal itu tentu akan mencemarkan nama baik Cin-ling-pai dan dia yakin bahwa ketuanya, Cia Kui Hong, pasti tidak akan setuju. Maka Kian Sun menjadi nekat. Tanpa mempedulikan kehebatan lawan dia sudah menubruk maju lagi dan kini Siok Hwa Cu yang maju menangkisnya.
Tiba-tiba saja Kian Sun mendengar bentakan suara nyaring seperti suara wanita dari arah belakangnya. Kian Sun membalik, mengira bahwa gadis tadi yang menyerangnya. Akan tetapi ternyata yang berteriak seperti wanita tadi adalah tosu paling tua, yaitu Lan Hwa Cu. Kian Sun berusaha mengelak, akan tetapi tetap saja kakinya terkena sapuan dan dia pun terpelanting. Sebelum dia dapat bangkit, ujung sebatang pedang sudah menempel di lehernya! Pedang itu dipegang oleh Bi Hwa yang memandang padanya sambil tersenyum mengejek.
"Hi-hik-hik, bagaimana engkau akan mampu melawan kami, Gouw Kian Sun? Sedangkan gurumu dan suheng-mu, juga puteri Pendekar Sadis, sudah dapat kami tawan. Apa lagi kamu!"
"Bunuh saja aku!" bentak Kian Sun.
"Manusia tolol. Apa gunanya kami membunuhmu? Tidak ada untungnya bagi kami, juga tidak ada manfaatnya bagi dirimu. Kalau engkau mati, engkau tidak dapat menyelamatkan nyawa para tokoh Cin-ling-pai itu, sebaliknya kalau engkau hidup, mereka pun akan tetap hidup."
Kian mengerutkan alisnya yang tebal. "Maksudmu?"
"Gouw Kian Sun, kalau engkau menolak tawaran kami untuk bekerja sama, maka mereka yang kini menjadi tawanan kami akan kami bunuh! Dan engkaulah yang membuat mereka terpaksa harus kami bunuh itu! Sebaliknya, kalau engkau suka menyambut uluran tangan kami untuk bekerja sama, maka mereka akan selamat dan akan kami perlakukan seperti sekarang ini, menjadi tamu-tamu kami yang terhormat dan kami tidak akan mengganggu selembar rambut pun milik mereka. Bagaimana?” Bi Hwa menarik pedangnya, kemudian meloncat ke belakang. "Sekarang duduklah, dan mari kita bicara dengan kepala dingin."
Kian Sun bangkit berdiri akan tetapi tidak mau duduk. Dia tahu bahwa melawan pun tidak ada gunanya. Dia tidak takut mati, akan tetapi mengingat akan nasib keempat orang yang berada di dalam tahanan itu, dia harus memikirkan keadaan mereka.
"Engkau membual, Moli! Tidak mungkin kalian akan mampu membunuh mereka!" katanya mencoba, karena bagaimana pun juga,dia tidak percaya kalau gurunya, suheng-nya dan isteri suheng-nya itu kalah oleh empat orang Pek-lian-kauw ini.
"Hik-hik, untuk apa kami membual? Buktinya, mereka kini menjadi tawanan kami, bukan? Dan apa sukarnya membunuh mereka? Pada setiap kamar tahanan itu terdapat pipa-pipa penyalur asap pembius. Apa bila kami meniupkan asap pembius dari luar, mereka semua akan pingsan terbius dan tidak ada ilmu silat yang akan mampu menolak serangan asap pembius! Nah, engkau ingin melihat mereka mati konyol akibat kebodohan dan kekerasan kepalamu?"
Kian Sun menjadi lemas. Dia bukan seorang yang bodoh atau ceroboh. Dia tahu bahwa dia berada di tangan orang-orang yang amat licik. Dia tidak mengkhawatirkan diri sendiri. Dibunuh pada waktu itu pun dia tidak akan menyesal kalau pengorbanan itu demi nama baik Cin-ling-pai. Akan tetapi bagaimana mungkin dia membiarkan mereka ini membunuh gurunya, suheng-nya, isteri suheng-nya dan putera suheng-nya?
Mendadak dia teringat kepada Ciok Gun. Muridnya itu biasanya setia sekali, juga berjiwa pendekar. Ingin dia dapat menarik Ciok Gun agar mau membantunya menghadapi orang-orang Pek-lian-kauw yang curang ini. Tiba-tiba dia menoleh ke arah Ciok Gun yang masih berdiri mematung di belakang empat orang itu.
"Ciok Gun, di manakah Teng Sin dan Koo Ham?" Ia berteriak untuk memancing perhatian muridnya itu. Akan tetapi seperti juga tadi Ciok Gun diam saja, tidak menjawab, juga tidak menoleh, melainkan berdiri dengan muka ditundukkan seperti patung!
"Hi-hi-hik, biar engkau berteriak sampai suaramu habis, dia tak akan sudi mendengarnya, Gouw Kian Sun. Hanya aku seorang yang akan ditaatinya. Engkau belum percaya? Nah, engkau lihatlah baik-baik."
Wanita itu bangkit dari tempat duduknya, lalu menghampiri Ciok Gun dan mengusap leher pemuda itu dengan tangan kirinya, gerakannya mesra sekali seperti orang membelai, dan dia pun berkata dengan suara yang lembut merayu.
“Ciok Gun, kekasihku yang tampan, Gouw Kian Sun itu tidak mau tunduk kepadaku. Kau hajarlah dia!"
Kini Ciok Gun baru mengangkat mukanya, lalu menoleh ke arah gurunya. Sinar matanya penuh kemarahan, alisnya berkerut dan tiba-tiba saja dia melompat ke arah Kian Sun dan langsung saja menyerang dengan tamparan tangan kiri ke arah muka gurunya sendlri!
Tentu saja Kian Sun terkejut bukan kepalang. Dia bangkit berdiri dan mengangkat lengan untuk menangkis tamparan itu sambil mengerahkan tenaganya untuk membuat muridnya itu terdorong jatuh.
"Dukkk...!"
Dua buah lengan bertemu dengan keras sekali dan hampir saja Kian Sun mengeluarkan teriakan saking kagetnya. Muridnya itu sama sekali tidak terdorong jatuh, dan dia merasa betapa kekuatan di lengan tangan muridnya itu besar sekali, sama sekali tidak kalah oleh tenaganya sendiri!
Ciok Gun sudah membuat gerakan hendak menyerang lagi dan Kian Sun juga sudah siap melawan muridnya sendiri. Akan tetapi pada saat itu, terdengar suara lembut Bi Hwa,
"Ciok Gun, sudah cukup. Engkau mundurlah dan berdiri di tempat semula, siap menunggu perintahku!"
Ciok Gun tidak peduli lagi dengan Kian Sun, melainkan melangkah ke belakang tempat duduk empat orang itu. Bi Hwa sudah duduk pula di sebuah kursi yang baru karena kursi yang pertama kali didudukinya telah hancur oleh pukulan Kian Sun tadi.
"Ciok Gun…! Kau... kau...!” Kian Sun menjatuhkan dirinya di atas kursi, seluruh tubuhnya terasa lemas. Dia tahu bahwa keadaan muridnya itu tidak wajar dan teringatlah dia bahwa Pek-lian-kauw mempunyai banyak ahli sihir dan ahli racun. Tentu Ciok Gun sudah dibius dan diberi racun yang membuat dia seperti patung atau mayat hidup yang hanya mentaati perintah dari orang yang menguasainya.
"Sudahlah, Gouw Pangcu. Engkau telah menyaksikan kelihaian kami. Tidak ada gunanya engkau melawan. Bila engkau hendak menyelamatkan Cin-ling-pai dan seluruh tokohnya, engkau harus mau bekerja sama dengan kami dan harus memenuhi seluruh permintaan kami. Teng Sin dan Koo Ham, dua orang murid Cin-ling-pai itu, tak ada gunanya sehingga sudah kami bunuh. Dan seluruh nyawa semua anggota Cin-ling-pai berada di tanganmu. Kalau engkau menolak, bukan hanya engkau dan para tawanan kami itu yang akan kami bunuh, juga seluruh murid Cin-ling-pai akan kami basmi, tak ada seorang pun yang akan selamat!"
"Kalian iblis-iblis keji! Demi keselamatan suhu dan keluarga suheng, baiklah, aku menurut dan menyerah. Akan tetapi ingat, aku takkan sudi membantu kalian melakukan perbuatan jahat. Ingat, lebih baik kami orang-orang Cin-ling-pai mati semua dari pada dipaksa untuk melakukan perbuatan jahat!”
"Aiih, Gouw Pangcu. Kami adalah orang baik-baik, mana mungkin kami menyuruh engkau berbuat jahat? Jangan khawatir, kami tidak akan minta engkau melakukan kejahatan."
"Cepat katakan, apa yang harus kulakukan untuk kalian?"
"Sederhana saja, Pangcu. Pertama, cepat engkau umumkan dan kirim undangan kepada ketua semua perkumpulan serta partai persilatan besar untuk menghadiri pernikahanmu pada tanggal satu bulan depan."
Gouw Kian Sun terbelalak, memandang kepada gadis cantik itu dengan hati ragu. Gilakah gadis ini, pikirnya. Tanggal satu hanya kurang beberapa hari lagi dan akan diadakan pesta pemikahannya?
"Moli! Apa pula artinya semua ini? Siapa yang akan menikah? Aku kurang mengerti."
“Engkau yang akan menikah, Pangcu."
Kini Kian Sun betul-betul kaget sehingga dia menjadi bengong tanpa dapat mengeluarkan kata-kata.
"Menikah dengan aku, Pangcu!” kata pula Bi Hwa sambil terkekeh genit.
"Aahhh...?! Aku... menikah dengan... dengan kau? Apa artinya ini? Kita .. kita tidak... ehh, maksudku aku tidak..."
“Hi-hi-hik, tidak usah bingung, Pangcu. Kau lihat, bukankah aku seorang gadis muda yang cantik molek? Tidak banggakah engkau kalau menjadi suamiku? Hemm, ribuan orang pria di dunia ini merindukanku, bermimpi agar bisa menjadi kekasihku, apa lagi suamiku. Dan engkau tampak begitu bingung? Hi-hik!"
“Bukan begitu, tetapi aku... kita... bagaimana mungkin kita dapat menjadi suami isteri?"
Kini berubah sikap Bi Hwa, tidak lagi tersenyum manis seperti tadi. Senyumnya berubah dingin dan mengejek. "Gouw Kian Sun, engkau masih mau membangkang? Perintah yang demikian menyenangkan hendak kau tolak? Ini bukan perintah melakukan kejahatan! Aku ingin menjadi isterimu, atau lebih tepat lagi aku ingin menjadi nyonya ketua Cin-ling-pai! Dan untuk perayaan pesta pernikahan, aku minta engkau mengundang ketua-ketua partai persilatan besar di empat penjuru. Jangan banyak membantah lagi kalau tidak ingin aku menjadi naik darah dan membunuh salah seorang di antara tawananku!”
Wajah Kian Sun seketika berubah pucat saat diingatkan tentang tawanan itu. Dia maklum bahwa dia sama sekali tidak berdaya. Kalau saja keselamatan nyawa keluarga Cia tidak terancam, tentu dia tidak sudi menyerah dan akan melawan sampai mati! Kini dia merasa tidak berdaya sama sekali. Hatinya memberontak untuk mentaati perintah iblis betina ini, namun dia tak dapat membangkang, demi keselamatan keluarga Cia yang dihormatinya.
"Baiklah, aku bersedia melakukan apa yang kau minta tadi." Akhirnya dia berkata sambil menghela napas panjang. Bi Hwa tersenyum manis lagi, bahkan mendekatkan tubuhnya pada Kian Sun dan pandang matanya semakin genit.
“Kalau engkau sudah menjadi suamiku, lalu bersikap baik dan penurut, aku benar-benar akan melayanimu sebagai isteri dan engkau pasti akan berbahagia sekali."
Kian Sun diam saja, walau pun hatinya merasa marah bukan main. Sampai berusia empat puluh dua dia masih membujang, belum menikah karena dia belum menemukan seorang gadis yang dianggapnya baik. Bagaimana mungkin sekarang dia harus merendahkan diri sedemikian rupa dengan menjadi suami seorang wanita iblis semacam Tok-ciang Bi Moli ini?
Para tokoh kang-ouw partai persilatan merasa heran juga ketika menerima undangan Cin-ling-pai yang hendak merayakan pemikahan wakil ketuanya. Mereka tahu bahwa Cin-ling-pai kini diketuai oleh seorang gadis, namun yang sekarang akan menikah bukanlah gadis itu, melainkan wakil ketua yang bemama Gouw Kian Sun.
Nama Gouw Kian Sun tidak dikenal oleh para tokoh kang-ouw, tidak seperti nama Cia Kui Hong, gadis yang kini menjadi ketua Cin-ling-pai. Akan tetapi karena memandang nama besar Cin-ling-pai, biar pun undangan itu amat tiba-tiba dan waktunya mendesak, hampir semua perkumpulan mengirim wakil atau utusan, ada pula ketua yang datang sendiri.
Meski pun bukan ketua pusat dari perkumpulan-perkumpulan besar yang hadir, melainkan hanya ketua-ketua cabang dan utusan-utusan pusat, namun para undangan yang datang berkunjung lengkap juga. Bahkan karena terdapat undangan yang datang dari jauh, maka dua hari sebelum hari perayaan sudah banyak rombongan utusan perkumpulan silat yang temama berdatangan. Di antara mereka terdapat wakil-wakil dari Siauw-lim-pai, Bu-tong-pai, Kun-lun-pai dan Go-bi-pai.
Sesuai dengan perintah Bi Hwa, Gouw Kian Sun yang tidak berdaya itu sudah menyuruh murid-murid Cin-ling-pai membangun pondok-pondok darurat untuk para tamu. Pondok-pondok darurat itu tersebar di sekitar perkampungan Cin-ling-pai di dekat puncak Cin-ling-san yang luas itu.
Para tamu yang berdatangan itu menjadi bertambah heran ketika mereka hanya disambut oleh wakil ketua Cin-ling-pai atau calon pengantin pria yang ditemani oleh Giok Gun serta beberapa orang miurid Cin-ling-pai. Tidak nampak keluarga Cia yang merupakan keluarga pimpinan Cin-ling-pai turun-temurun itu. Atas pertanyaan para tamu, menurut keterangan Gouw Kian Sun sekarang ketua Cin-ling-pai sedang merantau, pendekar Cia Hui Song dan isterinya sedang berkunjung ke pulau Teratai Merah, dan kakek Cia Kong Liang juga sedang tidak berada di Cin-ling-pai.
Meski pun merasa heran dan juga kecewa, akan tetapi karena mereka amat menghormati nama besar Cin-ling-pai, rombongan dari berbagai partai persilatan itu menempati pondok masing-masing dan sebelum hari perayaan tiba, mereka sempat menikmati pemandangan alam yang indah dan hawa udara yang jemih sejuk dari pegunungan Cin-ling-pai.
Rombongan Bu-tong-pai terdiri dari tujuh orang, dipimpin oleh Tiong Gi Cin-jin, seorang tokoh tingkat dua dari Bu-tong-pai yang usianya telah enam puluh dua tahun. Enam orang yang lain adalah murid-muridnya yang berusia antara dua puluh lima sampai empat puluh tahun. Para murid itu adalah murid-murid Bu-tong-pai yang pandai dan terkenal sebagai pendekar-pendekar yang gagah.
Rombongan Bu-tong-pai ini memperoleh sebuah pondok besar di sebelah barat, di antara pohon-pohon cemara. Seperti para tamu dari berbagai perkumpulan silat lain, rombongan Bu-tong-pai juga datang lebih awal dua hari sehingga mereka akan tinggal di sana selama dua hari dua malam sampai hari perayaan tiba.
Tidak jauh dari pondok tempat tinggal para utusan Bu-tong-pai ini terdapat pondok lain yang juga cukup besar. Kedua pondok itu hanya dipisahkan oleh sebuah kebun besar di mana selain pohon-pohon buah juga terdapat taman bunga yang indah.
Pondok ke dua ini hanya ditempati empat orang utusan dari Go-bi-pai, tiga orang murid pria yang usianya antara empat puluh sampai lima puluh tahun, dan seorang murid wanita yang masih gadis, berusia delapan belas tahun. Ketiga orang pria itu merupakan murid-murid kelas dua dari Go-bi-pai, sedangkan gadis itu adalah puteri dari seorang di antara mereka yang menjadi memimpin rombongan.
Ayah gadis itu bernama Poa Cin An, berusia lima puluh tahun dan sebagai seorang tokoh kelas dua di Go-bi-pai, tentu saja ilmu silatnya amat lihai, terutama permainan siang-kiam (sepasang pedang) dari ilmu pedang Go-bi Kiam-sut. Puterinya yang bernama Poa Liu In itu adalah seorang gadis berusia delapan belas tahun yang berwajah manis dan bersikap lembut.
Di sebelah timur, juga hanya dipisahkan oleh sebuah kebun besar, terdapat pondok untuk para utusan dari Siauw-lim-pai yang terdiri dari dua orang hwesio tingkat dua, yaitu Thian Hok Hwesio dan Thian Khi Hwesio, dua orang hwesio berusia kurang lebih enam puluh tahun yang bersikap lembut dan ramah.
Di sekitar pondok darurat itu tinggal pula utusan dari Kun-lun-pai yang berjumlah empat orang. Tiga orang murid kelas dua dan paman guru mereka, seorang tosu yang bemama Yang Tek Tosu berusia lima puluh tahun dan bertubuh jangkung kering.
Masih banyak lagi para utusan perkumpulan lain yang tinggal di pondok-pondok darurat, akan tetapi yang menjadi tamu kehormatan di antaranya adalah utusan dari empat buah perkumpulan besar itu.
Pada keesokan harnya sesudah mereka datang, pagi-pagi sekali, masih remang-remang dan hawa dingin sekali, di belakang pondok yang dijadikan tempat bermalam para utusan Go-bi-pai nampak seorang gadis sedang berlatih silat. Gadis itu adalah Poa Liu In, puteri Poa Cin An yang memimpin rombongan Go-bi-pai.
Mula-mula dia berlatih silat tangan kosong. Gerakannya cepat dan pukulannya mantap. Memang dia seorang gadis yang berbakat dan sejak kecil digembleng oleh ayahnya yang menjadi tokoh tingkat dua Go-bi-pai, bahkan sekarang mengepalai cabang Go-bi-pai yang berada di Lembah Sungai Han, yang masih merupakan bagian kaki Cin-ling-pai.
Ilmu silat tangan kosong yang dimainkan gadis itu selain cepat dan mantap, juga sangat indah. Apa lagi dimainkan oleh seorang gadis manis yang memiliki bentuk tubuh seindah tubuh Liu In, maka nampak seperti seorang dewi yang sedang menari saja. Liu In berlatih sungguh-sungguh sehingga dari kepala yang rambutnya hitam panjang itu mengepul uap. Hawa udara amat dingin, akan tetapi tubuhnya menjadi panas karena latihan itu sehingga kepalanya mengepulkan uap putih dan menambah keindahan latihan silat tangan kosong yang mirip seperti tarian itu.
Setelah selesai berlatih silat tangan kosong dia pun segera mencabut pedangnya, pedang pasangan dan mulailah dia melanjutkan latihannya dengan memainkan ilmu pedang Gobi Kiam-sut. Dia mainkan sepasang pedangnya dengan cepat, semakin lama semakin cepat sehingga lenyaplah bentuk kedua pedang itu. Yang nampak hanyalah dua gulungan sinar seperti dua ekor naga bermain-main di antara tubuh yang padat dan langsing itu.
Dalam latihan ilmu pedang ini Liu In juga bermain sungguh-sungguh, mengerahkan semua tenaga dan memusatkan perhatiannya sehingga kini lebih banyak lagi uap putih mengepul ke atas dari kepalanya. Ketika akhirnya dia menghentikan latihan pedangnya, nampak kini muka serta lehernya basah oleh keringat, dan dadanya yang membusung itu naik turun, nafasnya agak memburu.
Liu In meletakkan pedangnya di atas tanah. Dia sendiri lantas memilih tanah yang kering dan duduk bersila untuk memulihkan tenaga dan mengatur pernafasan. Sungguh nyaman sekali rasanya. Sehabis berlatih badannya menjadi panas dan jantungnya berdebar, kini duduk melakukan latihan pernafasan seperti itu. Sesudah napasnya normal kembali dan kelelahannya menghilang, dia pun melanjutkannya dengan siulian.
Pada waktu dia sedang mengosongkan pikirannya itulah, tiba-tiba terdengar bisikan suara yang mengandung wibawa amat kuatnya.
"Poa Liu In, betapa nyaman rasa tubuhmu dan hawa udara sejuk membuatmu mengantuk. Engkau mengantuk dan tertidur...”
Liu In terkejut dan dia mencoba untuk melawan perintah itu yang dianggapnya tidak wajar. Tak mungkin ayahnya memerintahkan seperti itu. Dia hendak menoleh dan menolak akan tetapi sungguh aneh. Kepalanya seperti penuh dengan suara itu yang memaksanya untuk tidur, yang menekankan bahwa dia mengantuk dan tidak mampu menoleh, bahkan tidak mampu bergerak sehingga akhirnya dia pun menyerah. Dia tertidur dalam keadaan masih bersila!
Karena tidurnya adalah tidur yang tak wajar, maka dia pun sama sekali tak terjaga ketika ada bayangan berkelebat di belakangnya. Dengan gerakan yang amat cepat bayangan itu menggerakkan tangan menotok tengkuk gadis itu yang segera terkulai pingsan, kemudian bayangan itu mengangkat dan memondong tubuh yang sudah terkulai lemas itu dan cepat membawanya pergi dari situ.
Bayangan yang memondong tubuh Liu In yang pingsan itu menyelinap masuk ke dalam sebuah pondok darurat yang belum dipakai tamu dan yang berdiri agak terpencil di dekat hutan sebelah barat.
Tak seorang pun melihat bayangan itu memondong Liu In ke dalam pondok. Dan tidak ada seorang pun yang tahu apa yang terjadi di dalam pondok itu. Hari masih terlalu pagi dan udara terlampau dingin sehingga orang segan untuk keluar dari pondok.
Matahari sudah mulai mengeluarkan sinarnya yang lembut namun cukup mendatangkan kehangatan pada saat Liu In mengeluarkan keluhan lirih sambil menggerakkan tubuhnya, lalu membuka kedua matanya. Pada saat itu pula dia mendengar suara yang masuk dari luar tempat itu.
"Gadis Go-bi-pai yang sombong, memamerkan kepandaianmu yang tidak seberapa itu di Cin-ling-pai? Ha-ha-ha! Kalau engkau mau tahu siapa aku, ingat saja orang she Lui murid Cin-ling-pai!"
Liu In terkejut bukan main, segera meloncat turun dari atas dipan hanya untuk menahan jeritnya dan matanya terbelalak mendapatkan kenyataan bahwa tubuhnya telanjang bulat! Pakaiannya berada di atas dipan itu. Dia menyambarnya dan cepat mengenakan kembali pakaiannya, wajahnya pucat karena dia kini sadar benar apa yang sudah terjadi menimpa dirinya. Dia telah diperkosa orang selagi pingsan atau tidur!
Akan tetapi dia segera ingat bahwa tadi dia berlatih silat dan duduk bersila. Kini tahu-tahu dia sudah berada di dalam sebuah pondok. Tentu dia telah ditotok dan pingsan! Sesudah secepatnya mengenakan kembali pakaiannya, dia lalu meloncat keluar sambil mendorong daun pintu pondok itu dan dia pun berdiri tertegun.
Ia melihat ada beberapa orang pria muda murid-murid Cin-ling-pai sedang hilir mudik, dan melihat pula rombongan para tamu tengah berjalan-jalan menikmati cahaya matahari pagi yang hangat. Tentu saja dia tidak berani ribut-ribut.
Bagaimana dia berani membuat ribut kepada para murid Cin-ling-pai itu? Tentu berarti dia akan melumuri dirinya sendiri dengan aib, mengaku bahwa dia baru saja diperkosa orang! Hatinya terasa bagai ditusuk-tusuk dan ingin dia menjerit, ingin dia menangis, akan tetapi dia pun menahan perasaannya setelah melihat semakin banyak orang berjalan-jalan.
"Liu In...!" Tiba-tiba terdengar suara ayahnya menegur.
Ia menoleh dan melihat ayahnya bersama dua orang susiok-nya. Agaknya mereka bukan hanya berjalan-jalan biasa, melainkan sedang mencarinya karena ayahnya membawa pula siang-kiam-nya yang tadi dia pergunakan untuk berlatih silat.
Tentu saja Poa Cin An terkejut bukan kepalang dan merasa amat khawatir ketika melihat puterinya berdiri dengan tubuh kelihatan lunglai dan wajahnya pucat sekali.
"Liu In, ke mana saja engkau tadi? Apa yang terjadi?" Poa Cin An dan dua orang sute-nya cepat menghampiri Liu In. Begitu ayahnya berada di depannya, Liu In tak dapat menahan kehancuran hatinya lagi.
“Ayah...!" Dia menubruk ayahnya dan menangis di dada ayahnya.
"Ehhh? Apa yang terjadi? Ada apakah, Liu In?" tanya Poa Cin An.
Melihat betapa semua orang kini memandang ke arah mereka dengan pandangan mata heran tetapi tidak berani bertanya hanya karena rombongan Go-bi-pai tentu saja disegani orang, dua orang sute dari Poa Cin An lalu memberi isyarat kepada suheng mereka.
“Mari kita pulang ke pondok dan bicara di sana."
Biar pun sedang menangis, setelah mendengar ucapan itu Liu In mengangguk lemah dan mereka pun berjalan menuju ke pondok mereka. Liu In menahan rasa nyeri di tubuh dan hatinya.
Begitu sampai di pondok mereka, Liu In tak dapat menahan kesedihannya lagi. Dia berlari memasuki kamarnya, membanting diri di atas pembaringan dan menangis tersedu-sedu. Air matanya membanjir bagaikan air bah mengalir keluar dari bendungan yang pecah.
Poa Cin An mengerutkan kedua alisnya, memberi isyarat kepada dua orang sute-nya agar mereka tetap tinggal di luar sedangkan dia sendiri segera memasuki kamar puterinya dan menutupkan kembali daun pintu kamar itu. Ia melihat puterinya sedang menangis terisak-isak sambil menyembunyikan mukanya di bantal, menelungkup dan tubuhnya terguncang-guncang. Dia pun duduk di tepi pembaringan, lalu menyentuh pundak puterinya.
"Liu In, ke mana perginya sifatmu yang gagah sebagai pendekar? Kenapa engkau menjadi cengeng dan menangis seperti anak kecil? Apakah yang sudah terjadi? Katakan padaku, ceritakan kepada ayahmu."
Liu In melanjutkan tangisnya sampai akhirnya dapat menguasai hatinya. Ia bangkit duduk, akan tetapi kedua tangannya masih menutupi mukanya. Dengan suara yang hampir tidak terdengar dia kemudian berkata, “Ayah... aku... aku... diperkosa orang..."
Bagai dipatuk ular Poa Cin An yang biasanya tenang itu melompat dari tepi pembaringan, lalu berdiri dengan mata terbelalak dan mukanya berubah merah sekali.
"Apa?! Siapa…? Hayo ceritakan, apa yang terjadi!” Kini suaranya penuh dengan api yang berkobar karena harga diri dan kehormatannya tertusuk.
Dengan kedua tangan masih menutupi mukanya Liu In lalu menuturkan pengalamannya, betapa tadi pagi-pagi sekali dia berlatih silat, kemudian dia tertidur saat tengah melakukan latihan siu-lian (semedhi). Ketika terbangun atau siuman kembali dia mendapatkan dirinya berada di dalam pondok kosong dan telah diperkosa orang.
"Siapa? Siapa dia? Cepat katakan!"
"Ayah, aku tidak tahu. Ketika hal itu terjadi, aku dalam keadaan pingsan, sama sekali tidak sadar. Ketika siuman aku hanya sendirian saja di pondok itu, tetapi aku mendengar suara seorang lelaki yang mengaku bahwa dialah yang melakukan perbuatan itu dan dia adalah seorang murid Cin-ling-pai yang she (bermarga) Lui...."
"Keparat jahanam! Noda ini harus dicuci dengan darah!" Poa Cin An berteriak, kemudian dia meloncat keluar dari dalam kamar pondok itu. Dua orang sute-nya terkejut sekali dan menyambutnya dengan kaget dan heran.
"Suheng, ada apakah?”
“Keparat Cin-ling-pai...!” Poa Cin An terengah-engah dan sepasang matanya mencorong penuh kemarahan sehingga amat mengejutkan dua orang adik seperguruannya.
Tiba-tiba terdengar suara gedobrakan di dalam kamar Liu In dan disusul rintihan gadis itu, “...ayaahhh...”
Tiga orang tokoh Go-bi-pai itu berlari memasuki kamar dan.... Poa Cin An berteriak parau dan menubruk tubuh puterinya yang sudah menggeletak di atas lantai dengan sepasang pedangnya menembus dada dan perut! Darah membanjiri lantai di mana gadis itu rebah miring.
“Liu In....!” Poa Cin An hanya bisa merangkul puterinya, maklum bahwa dengan dada dan perut ditembusi kedua pedang itu, mustahil untuk dapat menyelamatkan nyawa anaknya.
Liu In masih bisa memandang ayahnya. Bibirnya bergerak-gerak, lalu terdengar suaranya yang amat lemah dan lirih, "...aku malu... Ayah... balaskan...” kemudian lehernya terkulai dan nyawanya melayang.
"Liu In...!” Ayah itu kembali menubruk jenazah puterinya.
Poa Cin An seorang tokoh Go-bi-pai, seorang pendekar yang keras hati, namun sekali ini dia menangis seperti anak kecil! Anaknya hanya tunggal dan sekarang tewas sedemikian menyedihkan di depan matanya. Diperkosa orang kemudian membunuh diri!
"Cin-ling-pai keparat! Tenanglah, anakku, aku akan membalaskan dendam setinggi langit ini!" teriaknya dan dia pun meloncat bangun, menyambar sepasang pedangnya yang tadi dia lempar di atas meja ketika dia melihat keadaan puterinya. Akan tetapi dua orang sute-nya cepat menangkap lengannya.
“Suheng, tahan dulu...!”
Poa Cin An rnemandang kedua orang sute-nya dengan mata merah dan mendelik, kedua pipinya masih basah dengan air mata. "Apa? Kalian hendak menghalangiku? Sepatutnya kalian membantuku!"
“Tentu saja kami akan membantumu, Suheng. Seandainya Suheng tidak menuntut balas pun, kami berdua akan mempertaruhkan nyawa untuk membalas penghinaan ini! Bukan hanya puterimu saja yang dihina, bukan hanya Suheng, melainkan Go-bi-pai! Akan tetapi kita harus tenang, Suheng. Apakah Suheng ingin agar seluruh dunia tahu akan aib yang menimpa diri puterimu? Tidak kasihankah Suheng terhadap puterimu, setidaknya kepada namanya?”
Poa Cin An tercengang, lalu menunduk, lalu mengguguk. Sejenak dia tak mampu bicara, lalu mengangguk-angguk dan menenangkan hatinya dengan tarikan napas panjang.
"Kalian benar, Sute. Harap maafkan aku...! Hampir aku tidak mampu menguasai hati dan menyiarkan noda yang mencemarkan nama baik anakku. Aihh…, Liu In, sungguh malang nasibmu, anakku. Akan tetapi jangan khawatir, ayahmu akan menuntut balas. Jahanam itu akan kubuhuh, kepalanya akan kupakai bersembahyang di hadapan jenazahmu atau makammu! Jangan khawatir, anakku..."
Setelah Poa Cin An mengangkat jenazah puterinya dan membaringkannya di atas dipan, mencabut sepasang pedang itu dan menyelimuti jenazah, mereka bertiga lalu keluar dari pondok dan dengan langkah lebar serta muka tegang mereka menuju ke bangunan pusat Cin-ling-pai.
Di pintu gerbang depan mereka segera disambut oleh beberapa orang murid Cin-ling-pai yang sedang bertugas di situ. Para murid Cin-ling-pai ini memandang heran melihat sikap tiga orang tamu yang mereka kenal dan mereka hormati sebagai tiga orang di antara para tamu kehormatan, wakil-wakil dari Go-bi-pai. Namun mereka menyambut dengan ramah.
"Selamat pagi, Sam-wi Locianpwe (Tiga orang tua gagah). Ada keperluan apakah sam-wi datang berkunjung pagi ini?”
“Laporkan kepada Gouw-pangcu (Ketua Gouw) bahwa kami ingin bertemu dan berbicara dengan dia. Cepat!” bentak Poa Cin An dengan sikap bengis dan marah sehingga amat mengejutkan tujuh orang murid Cin-ling-pai itu.
Pemimpin para murid yang bertugas jaga itu cepat memberi hormat dan tetap menjawab dengan sikap sopan dan ramah. "Sam-wi Locianpwe, saat ini Gouw-pangcu sedang sibuk menerima kunjungan para wakil Kun-lun-pai dan Bu-tong-pai. Mereka baru saja masuk ke dalam dan kini sedang diterima oleh pangcu di ruangan tamu."
"Kalau para utusan Kun-lun-pai dan Bu-tong-pai dapat diterima, mengapa kami dari Go-bi-pai tidak? Antarkan kami untuk bertemu dengan dia, atau kami akan masuk sendiri!" kata pula Poa Cin An.
"Sabarlah, Locianpwe. Kami bukan menolak atau menghalangi, hanya saja pangcu kami akan menjadi sibuk sekali kalau sam-wi masuk sekarang, maka sebaiknya kalau sam-wi suka menanti sebentar...”
"Tidak, kami harus masuk sekarang dan bertemu sekarang juga!"
Para murid itu terkejut. Tadi pun mereka sudah dikejutkan oleh sikap para pimpinan Kun-lun-pai yang juga nampak marah, disusul utusan Bu-tong-pai yang juga kelihatan marah, dan sekarang orang-orang Go-bi-pai ini benar-benar marah sekali. Apa yang telah terjadi? Mereka tidak berani membantah lagi dan mengantarkan tiga orang ini menuju ke ruangan tamu yang amat besar itu.
Ketika memasuki ruangan itu, tiga orang tokoh Go-bi-pai itu melihat bahwa Tiong Gi Cin-jin pemimpin rombongan Bu-tong-pai bersama enam orang murid Bu-tong-pai telah duduk berjajar di situ, demikian pula Yang Tek Tosu bersama ketiga orang murid keponakannya, dua di antaranya nampak luka-luka dan dibalut di bagian leher dan dahi. Juga tiga orang tokoh Go-pi-pai itu melihat betapa wajah mereka semua itu kelihatan tegang dan marah sehingga mudah diduga bahwa pasti sudah terjadi hal-hal yang hebat, seperti yang juga mereka alami.
Kiranya wakil ketua Cin-ling-pai, yaitu Gouw Kian Sun, belum keluar menyambut dan para tamu itu baru dipersilakan menunggu di ruangan tamu. Hal ini tidak mengherankan karena wakil ketua itu tentu sibuk sekali karena dia adalah calon pengantin.
Karena mereka sendiri pun sedang tegang dan marah, maka mereka hanya mengangguk saja kepada dua rombongan terdahulu, kemudian mereka ikut duduk pula di sebelah kiri, menanti munculnya Gouw Kian Sun.
Akhirnya orang yang dinanti-nanti itu pun muncul dengan sikap tenang serta wajah yang tidak membayangkan kesalahan. Sebagai calon pengantin, pakaiannya baru sehingga dia terlihat gagah. Dia ditemani oleh Ciok Gun, murid Cin-ling-pai yang pandai dan setia, dan yang menjadi pembantu utama wakil ketua Gouw Kian Sun. Pria jangkung ini pun nampak tenang saja ketika memasuki ruangan itu.
Melihat para tamu bangkit berdiri dengan sikap marah, Gouw Pangcu memandang heran. Akan tetapi dengan ramah dia pun menghampiri kursinya, kemudian memberi hormat dan mempersilakan para tamunya duduk kembali.
Poa Cin An sudah ingin sekali meneriakkan rasa penasarannya kepada pimpinan Cin-ling-pai itu, akan tetapi bagaimana pun juga dia adalah seorang wakil perkumpulan besar yang mengenal aturan, maka sebagai rombongan yang datang terakhir, dia harus bersabar dan mengalah, membiarkan dua rombongan tamu yang datang terlebih dahulu bicara dengan tuan rumah.
“Selamat pagi para Locianpwe yang terhormat!” Gouw Kian Sun dengan ramah menyapa tamunya. Walau pun dia sendiri sedang menghadapi urusan Cin-ling-pai yang amat rumit dan membuat dia selalu gelisah, akan tetapi di depan para tamu kehormatan ini dia dapat memperlihatkan sikap ramah. "Kami harap cu-wi (anda sekalian) bisa beristirahat dengan senang di pondok-pondok yang kami sediakan dan maafkan kalau ada kekurangan...”
"Kami datang bukan untuk bicara tentang itu!" tiba-tiba Yang Tek Tosu pemimpin utusan Bu-tong-pai berkata dengan wajah keruh.
Gouw Kian Sun terkejut dan diam-diam dia menjadi semakin gelisah, tak dapat menduga atau membayangkan apa yang telah terjadi, namun secara diam-diam dia melirik ke arah Ciok Gun, murid yang dia tahu kini telah menjadi mayat hidup dan menjadi kaki tangan dari orang-orang Pek-lian-kauw di luar kesadarannya itu. Kalau terjadi sesuatu, Ciok Gun ini pasti mengetahuinya, pikirnya. Akan tetapi wajah Ciok Gun tetap dingin saja. Ia hanya duduk membungkam mulut dengan matanya yang memandang kosong!
Selagi dia hendak bertanya kepada tosu Bu-tong-pai itu, tiba-tiba terdengar suara dari luar ruangan.
"'Omitohud....! Siapa kira Cin-ling-pai menjadi begini?" Lalu muncullah Thian Hok Hwesio dan Thian Khi Hwesio, dua orang tokoh Siauw-lim-pai yang juga menjadi tamu itu. Ketika mereka masuk dan melihat betapa rombongan dari tiga perguruan besar telah berkumpul di situ pula, Thian Hok Hwesio yang tadi bicara lantas menoleh kepada sute-nya dan dia pun mengelus jenggotnya yang panjang.
"Omitohud...., kiranya semua orang telah berkumpul di sini?"
Kian Sun cepat bangkit berdiri diikuti oleh Ciok Gun, kemudian Kian Sun memberi hormat kepada dua orang hwesio itu. "Ji-wi Lo-suhu (Dua orang pendeta tua), selamat pagi dan kebetulan sekali ji-wi datang karena agaknya ada urusan yang perlu dibicarakan tetapi hal itu belum kami ketahui. Silakan ji-wi duduk."
Dua orang hwesio itu membalas penghormatan Gouw Pangcu lantas mereka pun duduk. Agaknya Gouw Pangcu merasa lega dengan hadirnya dua orang hwesio Siauw-lim-pai ini yang dia tahu pasti akan bertindak adil dan tidak suka menggunakan kekerasan.
Yang Tek Tosu tadi telah mulai bicara karena rombongannya datang lebih dahulu, namun bicaranya kemudian terhenti akibat munculnya dua orang hwesio itu. Kini agaknya dia tak bisa menahan kemarahannya lagi. Dia bangkit berdiri dengan muka merah dan tubuhnya yang jangkung kurus itu nampak seolah-olah bertambah jangkung.
“Gouw Pangcu, kami datang bukan hendak beramah-tamah atau berbasa-basi. Lihat saja keadaan dua orang murid keponakan pinto (aku) ini dan kiranya tidak perlu lagi Pangcu berpura-pura!”
Gouw Kian Sun memandang ke arah dua orang murid Kun-lun-pai yang leher dan dahinya luka-luka itu, lalu dia kembali memandang kepada Yang Tek Tosu yang masih berdiri.
“Saya melihat bahwa mereka berdua menderita luka-luka pada leher dan dahi. Akan tetapi sungguh mati saya tidak tahu kenapa bisa begitu, Totiang (bapak pendeta). Apakah yang telah terjadi?"
Yang Tek Tosu menahan amarahnya dan sekarang dia berjalan mondar-mandir. Gerak-geriknya diikuti oleh pandang mata semua yang hadir, kecuali Ciok Gun yang nampaknya tenang-tenang saja, tidak terkejut dan gelisah seperti Kian Sun.
"Mungkin saja Gouw Pancgu tidak mengetahui apa yang terjadi. Kami sendiri hampir tidak percaya kalau saja kedua orang murid keponakan ini tidak mengalami sendiri. Sejak dulu Cin-ling-pai terkenal sebagai perguruan besar yang memiliki murid-murid pendekar, akan tetapi siapa tahu sekarang mempunyai murid-murid yang nyeleweng, jahat dan curang!”
Kian Sun bangkit berdiri. Mukanya menjadi merah. Dia seorang tokoh Cin-ling-pai yang sangat setia, dan juga dia sedikit pun tidak mengira bahwa ada murid Cin-1ing-pai yang akan berani berbuat jahat. Bahkan dia pun sudah mendapat janji dari Tok-ciang Bi Moli yang menguasai dirinya bahwa wanita itu beserta sekutunya tidak akan melakukan hal-hal yang merusak nama baik Cin-ling-pai. Karena itu tentu saja dia menjadi terkejut dan juga marah sekali ketika mendengar tuduhan Yang Tek Tosu.
"Harap Totiang tidak menuduh hal yang tak ada buktinya. Penyelewengan dan kejahatan apakah yang sudah dilakukan murid kami? Tunjukkan buktinya dan siapa orangnya, pasti kami akan mengambil tindakan dan memberi hukuman jika ternyata tuduhan itu memang benar!" katanya dengan suara lantang.
“Gouw-pangcu! Sesudah melihat sendiri keadaan dua orang murid keponakanku, engkau masih minta bukti lagi?” Dia menoleh kepada dua orang yang menderita luka-luka itu dan memberi perintah, "Kalian ceritakan apa yang telah kalian alami semalam!"
Dua orang murid Kun-lun-pai itu mengangguk, kemudian seorang di antara mereka yang lukanya tidak terlalu parah bercerita. Kiranya malam tadi, karena iseng saja mereka pergi meninggalkan pondok dan bahkan keluar dari perkampungan Cin-lihg-pai. Ketika mereka keluar, malam belum gelap benar. Mereka pergi ke perkampungan di lereng bukit di mana terdapat beberapa dusun.
Dua orang murid Kun-lun-pai itu merupakan murid biasa, bukan tosu (pendeta To), maka mereka pergi ke dusun itu untuk bermain-main dan membeli makanan. Malam telah agak gelap ketika mereka mengambil keputusan untuk kembali ke perkampungan Cin-lihg-pai. Akan tetapi ketika mereka tiba di luar dusun di mana mereka bermain-main tadi, mereka mendengar jerit tangis seorang wanita. Mereka segera mengejar dan melihat lima orang laki-laki muda sedang menarik-narik seorang gadis dusun.
Sebagai pendekar-pendekar Kun-lun-pai, tentu saja dua orang itu langsung turun tangan menegur. Akan tetapi lima orang itu tanpa banyak cakap lagi memaki. Seorang di antara mereka mengatakan bahwa sebagai tamu, kedua orang itu tidak sepatutnya mencampuri urusan murid-murid Cin-ling-pai.
Terjadilah perkelahian dan karena dua orang itu dikeroyok, maka mereka menderita luka-luka di leher dan dahi. Mereka melawan terus dan akhirnya terpaksa melarikan diri karena kelima orang yang mengaku murid Cin-ling-pai itu agaknya berkeras hendak membunuh mereka. Untung mereka mampu melepaskan diri kemudian lari sampai ke perkampungan Cin-ling-pai.
Malam itu juga mereka mendapat pengobatan dari paman guru mereka, yaitu Yang Tek Tosu. Karena kebijaksanaannya, Yang Tek Tosu tidak mau membikin ribut di malam hari itu, menunggu hingga keesokan harinya barulah pagi-pagi dia membawa dua orang murid keponakan yang luka-luka itu untuk mengadu dan memprotes kepada pimpinan Cin-ling-pai.
"Nah, Pangcu mendengar sendiri. Patutkah kelakuan murid-murid Cin-ling-pai itu? Mereka berlima itu hendak memaksa dan memperkosa seorang gadis dusun! Begitukah kelakuan para pendekar Cin-ling-pai? Dan ketika dua orang murid keponakanku menegur, mereka berdua malah dikeroyok secara pengecut. Maka kami minta pertanggungan jawab Gouw Pangcu sebagai pimpinan Cin-ling-pai saat ini!"
Gouw Kian Sun memandang terbelalak saking kaget dan herannya mendengar penuturan murid Kun-lun-pai itu. Sebelum dia sempat menjawab, terdengar Tiong Gi Cinjin pimpinan rombongan Bu-tong-pai berseru dengan suaranya yang lantang.
"Perbuatan mengeroyok dua orang murid Kun-lun-pai oleh kelima orang itu masih belum berapa hebat, karena akibatnya hanya melukai dua orang murid Kun-lun-pai. Yang lebih hebat lagi adalah kejadian yang dialami oleh muridku sendiri! Muridku telah dikeroyok dan dibunuh oleh belasan orang murid Cin-ling-pai!"
Semua orang amat terkejut, terutama sekali Gouw Kian Sun. "Tidak mungkin! Bagaimana mungkin murid-murid Cin-ling-pai membunuh tamu mereka sendiri?"
"Hemmm, Gouw Pangcu. Selama hidupku, aku tidak pernah berbohong! Aku tidak akan sembarangan menuduh kalau tidak ada buktinya. Mau bukti? Datanglah ke pondok kami dan lihatlah sendiri. Jenazah muridku, Gu Kay Ek, sampai sekarang masih rebah di atas dipan dan masih hangat!”
Saking kagetnya Kian Sun segera bangkit berdiri dari tempat duduknya dan hendak pergi menyaksikan sendiri bahwa ada murid Bu-tong-pai yang tewas akibat pengeroyokan para murid Cin-ling-pai. Akan tetapi pada saat itu Poa Cin An sudah bangkit berdiri dan sekali menggerakkan tubuhnya, dia telah meloncat dan berdiri di depan Gouw Kian Sun, seolah menghadang kepergian wakil ketua Cing-ling-pai itu.
"Gouw Pangcu, jangan pergi dulu! Dua murid Kun-lun-pai hanya menderita luka-luka dan Bu-tong-pai menderita kematian seorang muridnya yang dikeroyok. Akan tetapi aku orang Go-bi-pai yang selama hidup tidak pernah menganggap Cin-ling-pai sebagai musuh, pagi tadi telah menderita yang teramat hebat dan noda ini hanya dapat ditebus dengan darah!"
Wajah Kian Sun menjadi sedikit pucat. Dia tahu bahwa Poa Cin An, tokoh kelas dua dari Go-bi-pai ini datang bersama dua orang sute-nya dan puterinya, seorang dara muda yang cantik. Sekarang tokoh ini hanya muncul dengan dua orang sute-nya, tanpa puterinya! Dan dia bicara tentang noda yang harus ditebus dengan darah!
"Locianpwe... apa... apa pula yang telah terjadi?" tanya Kian Sun dan suaranya terdengar penuh kegelisahan.
"Apa yang terjadi? Puteriku, Poa Liu In, pagi tadi selagi dia berlatih sendirian dan sedang bersiulian, telah ditotok orang, dalam keadaan pingsan dibawa ke sebuah pondok kosong dan diperkosa! Dan sekarang Gouw Pangcu masih tidak percaya dan minta bukti? Lihat, tubuh puteriku juga masih hangat walau pun nyawanya telah melayang setelah ditembusi dua batang pedangnya sendiri yang dia pergunakan untuk membunuh diri! Pangcu, kalau engkau tidak menyerahkan pelaku perbuatan terkutuk itu, jangan salahkan bila Go-bi-pai akan membasmi Cin-ling-pai!"
Wajah Gouw Kian Sun menjadi pucat sekali. Sungguh mimpi pun dia tidak pernah bahwa murid-murid Cin-ling-pai dapat melakukan semua perbuatan buruk yang dituduhkan oleh tiga orang pimpinan rombongan tiga perguruan besar itu. Seperti orang mencari pembela, otomatis dia menoleh ke arah dua orang hwesio Siauw-lim-pai.
"Omitohud...!" kata Thian Hok Hwesio. "Tadinya pinceng (aku) mengira bahwa orang Cin-ling-pai telah menjadi kurang ajar dan suka menghina orang, tidak tahunya bahkan terjadi perbuatan-perbuatan yang demikian jahatnya. Hemmm, apakah artinya semua ini, Gouw Pangcu?"
“Maaf, Lo-suhu. Apakah ada peristiwa lain yang membuat Losuhu menjadi marah?" tanya Gouw Kian Sun, perasaan hatinya semakin tidak enak dan dia seakan mendapat firasat yang amat tidak baik.
"Omitohud, pinceng berdua menerima hidangan yang terdiri dari berbagai macam daging, juga arak. Sedangkan yang mengantar hidangan itu adalah murid-murid perempuan Cin-ling-pai yang bersikap genit pula. Bukankah itu berarti sebuah penghinaan yang disengaja untuk merendahkan pinceng berdua?"
"Aihh, mana mungkin begitu? Kami sudah menyiapkan masakan ciak-jai (masakan bebas daging) untuk para Losuhu dan para Totiang!"
"Hemmm, Gouw Pangcu. Arak dan semua masakan itu masih ada di pondok kami, belum tersentuh. Apakah Pangcu tidak percaya dan ingin melihat sendiri?"
Kian Sun menjadi lemas. Bagaimana dia dapat tidak mempercayai mereka? Mereka yang kematian murid, kematian anak, adalah tokoh-tokoh besar dari perguruan yang terkenal. Mereka pasti tidak berbohong. Tetapi dia pun masih ragu-ragu untuk untuk percaya begitu saja, karena selama dia menjadi murid Cin-ling-pai sampai sekarang, belum pernah ada murid Cin-ling-pai yang melakukan perbuatan jahat seperti itu.
Cin-ling-pai selalu memegang keras peraturan dan setiap murid yang melanggar peraturan sedikit saja pasti dihukum berat. Apa lagi sampai melakukan penghinanan kepada tamu, bahkan melakukan pembunuhan dan perkosaan!
"Cu-wi Locianpwe, bagaimana pihak Cin-ling-pai dapat tidak mempercayai keterangan cu-wi (anda sekalian)? Tetapi beritahukan kepada kami, siapa saja pelaku-pelaku kejahatan itu di antara murid kami, pasti akan kami tangkap sekarang juga!”
"Mereka yang mengeroyok dan melukai kami tidak pernah menyebutkan nama mereka,” kata dua orang murid Kun-lun-pai itu.
“Sebelum menghembuskan napas terakhir, muridku Gu Kay Ek sudah pinto tanyai, tetapi dia mengatakan bahwa para pengeroyoknya itu hanya mengaku murid-murid Cin-ling-pai tanpa ada yang menyebut namanya," kata pula Tiong Gi Cin-jin dari Bu-tong-pai.
"Murid Cin-ling-pai jahanam yang sudah melakukan perbuatan terkutuk terhadap puteriku itu mengaku bermarga Lui!" kata Poa Cin An. "Serahkan jahanam she Lui itu kepadaku, Pangcu. Aku harus membawa kepalanya untuk kupakai bersembahyang di depan jenazah atau makam puteriku!”
Kian Sun mengerutkan alisnya, “She Lui? Akan tetapi di antara semua murid Cin-ling-pai rasanya tidak ada yang she Lui....”
“Maaf, Suhu. Teecu melapor. Pagi tadi teecu melihat dua orang murid yang mengganggu seorang gadis dusun. Teecu lantas menegur, tetapi mereka langsung melarikan diri ketika teecu akan menangkap mereka untuk diseret ke depan Suhu agar menerima hukuman." Mendadak Ciok Gun berkata, suaranya tenang namun jelas terdengar oleh semua yang berada di ruangan itu.
Kian Sun terbelalak memandang kepada muridnya itu. "Ciok Gun! Apa maksudmu? Apa artinya keteranganmu itu? Siapa dua orang murid itu?"
“Mereka adalah Lui Ti dan Ji Kun, dua orang murid seangkatan teecu, hanya mereka lebih muda beberapa tahun."
"Gouw Pangcu, jelas sekali bahwa engkau hendak melindungi murid yang bersalah, ya? Tadi kau mengatakan bahwa tidak ada yang she Lui, sekarang muncul yang bernama Lui Ti!" kata Poa Cin An. "Tentu dialah yang telah melakukannya. Cepat Pangcu tangkap dan serahkan dia kepada kami!”
Kian Sun merasa kepalanya pening. Tentu saja dia sangat meragukan keterangan yang keluar dari mulut Ciok Gun, muridnya yang kini sudah menjadi seperti mayat hidup yang dikuasai oleh Pek-lian-kauw! Di dalam hatinya timbul dugaan bahwa semua peristiwa itu pasti didalangi oleh Pek-lian-kauw! Akan tetapi mengapa mereka melakukan semua ini?
Ahh, dia tahu sekarang! Agaknya keinginan Pek-lian-kauw hendak menguasai Cin-ling-pai merupakan sebuah siasat untuk mengadu domba antara Cin-ling-pai dengan perguruan-perguruan besar lainnya. Jantungnya berdebar keras. Otaknya dikerjakan!
Kalau begitu, ketika pertentangan memuncak tentu mereka akan membebaskan keluarga Cia, perlunya agar keluarga Cia mempertahankan Cin-ling-pai dari amukan para pimpinan perguruan lain itu. Akan tetapi apa yang dapat dia lakukan sekarang? Membuka rahasia itu? Malah semakin merugikan!
Pertama, tentu para tamu tak percaya, karena buktinya dialah yang masih duduk sebagai pimpinan di Cin-ling-pai. Dan yang ke dua, kalau dia membuka rahasia yang belum tentu dipercaya oleh para tamu itu, tentu keselamatan seluruh keluarga Cia terancam. Apa bila siasat mereka gagal, tentu orang-orang Pek-lian-kauw tidak akan segan-segan melanggar janji dan membunuh semua keluarga Cia yang sudah dipenjarakan itu.
Dia menarik napas panjang. Dia harus dapat mengulur waktu, mencari kesempatan untuk menyampaikan semua itu kepada gurunya dan kepada suheng-nya, Cia Hui Song.
"Cu-wi Locianpwe harap jangan khawatir. Kami akan menyelidiki dengan sangat teliti dan akan mengerahkan seluruh anggota kami untuk menangkapi mereka yang bersalah. Kami berjanji. Sekarang kami ingin melihat semua korban sebagai bukti. Dua orang murid Kun-lun-pai sudah kami lihat bahwa mereka memang luka-luka!”
Dengan diiringi oleh Ciok Gun, Gouw Kian Sun bersama semua rombongan tamu itu lalu meninggalkan kamar tamu dan pertama-tama mereka berkunjung ke pondok Bu-tong-pai. Di sini mereka melihat Gu Kay Ek, murid Tiong Gi Cin-jin yang sudah menjadi mayat dan kini rebah telentang di pembaringan dengan tubuh penuh luka. Kemudian mereka semua menyaksikan jenazah Poa Liu In, gadis murid Go-bi-pai, dan yang terakhir mereka semua menyaksikan hidangan daging dan arak di pondok kedua hwesio utama utusan Siauw-lim-pai.
"Siapa...?” Gouw Kian Sun bertanya dari dalam.
Semenjak peristiwa lenyapnya tokoh-tokoh penting Cin-ling-pai, dia selalu merasa curiga dan khawatir. Tentu saja ketukan di jendela itu membuat dia curiga. Kalau ada murid Cin-ling-pai yang perlu berbicara dengan dia tentu akan mengetuk daun pintu, bukan jendela! Dan di tengah malam pula!
"Teecu datang, Suhu, harap dibukakan jendela!"
Hampir Kian Sun tidak percaya akan pendengarannya sendiri. Dia lalu membuka jendela kamarnya dan sesosok bayangan melompat masuk ke dalam kamarnya. Tentu saja dia terkejut, heran, khawatir dan juga girang ketika melihat bahwa bayangan itu bukan lain adalah Ciok Gun, murid yang selama ini dicari-cari.
"Ciok Gun, engkau? Apa... apa yang terjadi?" tanyanya gagap dan bingung.
Ciok Gun memberi isyarat kepada suhu-nya supaya tidak membuat gaduh, kemudian dia pun bicara dengan suara lirih. "Suhu, harap jangan berisik. Teecu tahu di mana adanya sukong Cia Kong Liang, supek Cia Hui Song, supek-bo Ceng Sui Cin, dan juga adik Cia Kui Bu. Akan tetapi jangan membuat ribut. Marilah, Suhu, teecu antarkan Suhu melihat mereka."
Bisa dibayangkan betapa kaget dan girangnya rasa hati Kian Sun mendengar berita yang menggembirakan ini. Akan tetapi dia juga merasa heran dan bingung mengapa pembantu yang sangat dipercayanya ini kini bersikap demikian aneh dan penuh rahasia. Akan tetapi kegembiraannya untuk segera melihat gurunya serta suheng-nya membuat dia langsung mengangguk dan keduanya lantas berloncatan keluar dari jendela kamar itu, menutupkan daun jendela dari luar, kemudian Gouw Kian Sun mengikuti muridnya menyusup keluar dari perkampungan Cin-ling-pai.
Malam sudah larut, bahkan lewat tengah malam, maka para penjaga dan peronda hanya berkumpul di gardu penjagaan dan membuat api unggun melawan hawa dingin. Guru dan murid yang pada waktu itu merupakan orang pertama dan kedua di Cin-ling-pai, dengan mudah keluar dari perkampungan. Gouw Kian Sun terus mengikuti muridnya yang berlari-lari menuju ke sebuah bukit.
Bisa dibayangkan betapa kaget dan heran rasa hati Kian Sun ketika muridnya membawa dia ke depan sebuah bangunan besar yang tersembunyi di tengah hutan di lereng bukit itu. Setahu dia, di situ tidak ada bangunannya! Dia hendak bertanya, akan tetapi Ciok Gun sudah membisikinya.
"Hati-hati, Suhu, jangan mengeluarkan suara. lkuti saja teecu..."
Walau pun hatinya merasa tidak enak melihat sikap muridnya yang kini penuh rahasia itu, namun dia mengikuti saja ketika Ciok Gun mengajaknya memasuki bangunan itu dengan menyelinap melalui sebuah pintu kecil di dalam kebun atau pekarangan samping. Tidak lama kemudian muridnya sudah mengajaknya mengintai dari lubang.
Ia melihat betapa gurunya, Cia Kong Liang, sedang tidur nyenyak bersama cucu gurunya, yaitu Cia Kui Bu. Jelas bahwa keduanya sehat dan sedang tidur nyenyak di dalam kamar tahanan yang kokoh kuat dengan pintu berjendela dan beruji baja itu. Dan pada sebelah sana dia melihat pula suheng-nya, Cia Hui Song, juga tidur pulas di dalam sebuah kamar tahanan lain, sedang di kamar ke tiga dia tnelihat Ceng Sui Cin juga tertidur pulas.
Sesudah memandang semua itu dengan mata terbelalak, Kian Sun menoleh dan menatap kepada muridnya. "Ciok Gun, apa artinya semua ini? Mengapa mereka di sini dan apakah yang telah teriadi?" Saking khawatirnya dia bicara agak keras. Ciok Gun memberi isyarat agar gurunya suka mengikutinya meninggalkan tempat itu dan menuju ke ruangan lain di dalam rumah itu.
"Mari kita temui orang yang menawan mereka, Suhu," kata Ciok Gun yang berjalan cepat memasuki sebuah ruangan lain di bagian depan.
Ruangan ini luas dan terang. Pada saat Kian Sun melangkah masuk mengikuti muridnya, dia melihat seorang wanita cantik serta tiga orang pria setengah tua berpakaian pendeta sedarig duduk di situ, agaknya memang sedang menunggu kehadirannya. Dan suatu hal yang aneh terjadi. Ciok Gun muridnya yang setia dan paling dipercaya itu tanpa ragu-ragu melangkah dan berdiri di belakang empat orang itu dan sikapnya seperti menanti perintah!
“Selamat datang dan selamat malam, Gouw Pangcu (Ketua Gouw)! Maafkan kelambatan kami menyambut wakil ketua Cin-ling-pai yang terhormat. Silakan duduk, Gouw Pangcu!"
Gouw Kian Sun memandang heran dan gugup, namun melihat sikap mereka yang ramah, dia pun terpaksa menyambut dengan hormat kemudian duduk di atas kursi yang sudah disediakan menghadapi mereka berempat. Sejenak dia memperhatikan mereka.
Usia wanita itu masih muda, tidak akan lebih dari dua puluh lima tahun. Wajahnya cantik manis, matanya bersinar-sinar, lincah gembira, senyumnya selalu menghias bibir, bentuk tubuhnya padat dan indah. Tiga orang lelaki berpakaian pendeta itu seperti tosu (pendeta agama To). Mereka berusia antara lima puluh sampai enam puluh tahun, sikap mereka angkuh dan dingin, dan mereka diam saja, agaknya memang gadis itu yang menjadi juru pembicara.
"Maafkan saya jika saya terpaksa mengaku bahwa saya tidak mengenal kalian. Siapakah kalian dan apakah artinya semua ini?" kata Gouw Kian Sun sambil memandang tajam.
Wanita yang bukan lain adalah Tok-ciang Bi Moli Su Bi Hwa itu tersenyum. Manis sekali ketika mulutnya tersenyum, bagai sekuntum bunga merekah sehingga nampak kilatan gigi yang berderet rapi dan putih.
"Kami tidak akan merahasiakan diri kami, Pangcu. Namaku Su Bi Hwa dan golongan kita mengenalku sebagai Tok-ciang Bi Moli."
Gouw Kian Sun mengerutkan alisnya. Dia belum pemah mendengar nama dan julukan ini, tetapi mengingat akan arti julukan Tok-ciang Bi Moli (Iblis Betina Cantik Bertangan Racun) itu saja mudah diduga bahwa gadis ini adalah seorang wanita golongan sesat yang lihai. Akan tetapi Kian Sun adalah seorang tokoh Cin-ling-pai yang telah berpengalaman, maka dia mengangkat tangan ke depan dada sambil berkata.
"Ah, kiranya Tok-ciang Bi Moli yang terkenal. Sudah lama mendengar nama besar itu dan mengaguminya."
"Dan mereka ini adalah guru-guruku, bemama Lan Hwa Cu, Siok Hwa Cu dan Kim Hwa Cu, terkenal dengan julukan mereka Pek-lian Sam-kwi."
Kini Gouw Kian Sun benar-benar terkejut. Ternyata dia berhadapan dengan orang-orang Pek-lian-kauw! "Hemm, seingatku, Cin-ling-pai tidak pemah berurusan dengan pihak Pek-lian-kauw. Sekarang kalian datang ke wilayah kami, sebenarnya ada keperluan apakah?”
"Hi-hi-hik, ternyata Gouw Pangcu adalah seorang laki-laki yang gagah perkasa dan sudah berpengalaman. Sungguh mengherankan kalau seorang gagah seperti pangcu ini sampai sekarang belum juga menikah."
Kian Sun mengerutkan alisnya. Agaknya orang-orang Pek-lian-kauw ini sudah menyelidiki keadaan Cin-ling-pai sehingga tahu tentang keadaannya pula. Sungguh banyak hal yang aneh dia temui di sini.
Para tokoh Cin-ling-pai, bahkan suheng-nya Cia Hui Song serta isterinya, yang keduanya memilki ilmu kepandaian tinggi, berada di dalam kamar-kamar tahanan itu. Muridnya, Ciok Gun bersikap demikian aneh, tentu muridnya itu yang menceritakan semua hal mengenai Cin-ling-pai.
Kian Sun menjadi marah bukan main kepada muridnya itu. Ciok Gun yang digemblengnya menjadi seorang pendekar yang gagah itu sekarang mengkhianati Cin-ling-pai? Rasanya benar-benar tidak masuk akal.
“Ciok Gun, ke sini engkau dan lekas ceritakan padaku apa artinya semua ini!" bentaknya kepada Ciok Gun.
Namun orang yang dibentaknya itu sedikit pun tidak memperlihatkan tanggapan, bergerak pun tidak, berkedip pun tidak, hanya menunduk dan tetap berdiri di belakang empat orang Pek-lian-kauw itu.
"Moli, katakan saja terus terang, apa yang kalian kehendaki dariku?" Akhirnya Kian Sun membentak marah setelah melihat muridnya sama sekali tidak menjawabnya.
"Hi-hik, Ciok Gun ini hanya akan bicara atau bertindak bila mendengar perintahku! Gouw Kian Sun, dengarlah keinginan kami. Kami datang untuk mengulurkan tangan kepadamu dan menawarkan kerja sama dengan Cin-ling-pai.”
Kian Sun langsung bangkit berdiri, wajahnya berubah merah, "Cin-ling-pai bekerja sama dengan Pek-lian-kauw? Tidak mungkin! Lebih baik aku mati dari pada harus bekerja sama dengan Pek-lian-kauw yang sesat!"
Bi Hwa tertawa. "Hi-hik, sudah kuduga engkau akan menjawab demikian, Gouw Kian Sun. Akan tetapi kami tidak menghendaki engkau mati. Engkau perlu hidup untuk bekerja sama dengan kami dan engkau harus mentaati kami."
"Tidak sudi!"
"Hi-hi-hik, bagaimana engkau bisa bilang tidak sudi? Engkau tidak mempunyai pilihan lain kecuali hanya ada dua, yaitu pertama, engkau taat kepada kami, suka bekerja sama dan semuanya akan selamat. Atau engkau memilih yang ke dua, yaitu kalau engkau menolak, berarti engkau akan membunuh kakek Cia Kong Liang, Cia Hui Song dan Ceng Sui Cin, juga anak mereka Cia Kui Bu. Engkaulah yang membunuh mereka melalui penolakanmu terhadap uluran tangan kami. Nah, kau pilih yang mana?"
“Aku pilih mati!" Gouw Kian Sun membentak dan dia pun sudah menerjang ke arah wanita cantik itu. Karena dia sudah dapat menduga betapa lihainya empat orang itu, maka begitu menyerang Bi Hwa dia telah mempergunakan Thai-kek Sin-kun dan mengerahkan seluruh tenaga sinkang-nya dalam hantamannya.
"Brakkkk…!"
Kursi yang tadi diduduki Bi Hwa hancur berkeping-keping, akan tetapi wanita itu sendiri tidak terkena pukulan karena dengan gesitnya dia sudah meloncat meninggalkan kursinya ketika hantaman itu tiba.
Kim Hwa Cu, tosu termuda di antara Pek-lian Sam-kwi yang bertubuh tinggi kurus dengan muka kuning, sekali bergerak telah meloncat ke depan Kian Sun. Ia tersenyum mengejek sambil mengelus jenggotnya.
"Gouw Kian Sun, kami peringatkan agar sebaiknya engkau menyerah saja supaya semua tokoh Cin-ling-pai selamat. Kami hanya ingin menggunakan nama Cin-ling-pai saja untuk mencapai maksud tujuan kami."
"Tosu Pek-lian-kauw keparat!" Kian Sun membentak saking marahnya dan dengan nekat dia pun telah menyerang tosu itu dengan pukulan tangannya, sekarang dia mengerahkan tenaga dan memainkan ilmu Thian-te Sin-ciang yang amat kuat.
"He-he, ini Thian-te Sin-ciang lumayan juga!" Kim Hwa Cu tertawa mengejek dan dengan berani dia pun menyambut pukulan dua tangan wakil ketua Cin-ling-pai yang didorongkan ke arah dadanya itu dengan kedua tangan pula.
"Desss...!”
Dua pasang tangan bertemu dengan dahsyatnya dan akibatnya, Kian Sun terdorong ke belakang sambil terhuyung-huyung, ada pun Kim Hwa Cu juga mundur dua langkah. Dari pertemuan tenaga ini saja dapat diketahui bahwa dalam hal tenaga sinkang, Kim Hwa Cu masih menang sedikit.
Tentu saja Kian Sun menjadi terkejut bukan main karena baru menghadapi seorang tosu saja dia sudah kalah tenaga. Dan tadi pun serangannya terhadap gadis cantik itu gagal, tanda bahwa gadis itu memiliki ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang hebat pula. Maka tahulah dia bahwa dia tidak akan menang melawan empat orang itu.
Namun dia adalah wakil ketua Cin-ling-pai dan karena pada waktu itu ketua Cin-ling-pai sedang tidak ada, maka dialah yang bertanggung jawab sepenuhnya terhadap Cin-ling-pai. Bagaimana mungkin dia akan menyerah kepada perkumpulan sesat macam Pek-lian-kauw dan suka diajak bekerja sama? Hal itu tentu akan mencemarkan nama baik Cin-ling-pai dan dia yakin bahwa ketuanya, Cia Kui Hong, pasti tidak akan setuju. Maka Kian Sun menjadi nekat. Tanpa mempedulikan kehebatan lawan dia sudah menubruk maju lagi dan kini Siok Hwa Cu yang maju menangkisnya.
Tiba-tiba saja Kian Sun mendengar bentakan suara nyaring seperti suara wanita dari arah belakangnya. Kian Sun membalik, mengira bahwa gadis tadi yang menyerangnya. Akan tetapi ternyata yang berteriak seperti wanita tadi adalah tosu paling tua, yaitu Lan Hwa Cu. Kian Sun berusaha mengelak, akan tetapi tetap saja kakinya terkena sapuan dan dia pun terpelanting. Sebelum dia dapat bangkit, ujung sebatang pedang sudah menempel di lehernya! Pedang itu dipegang oleh Bi Hwa yang memandang padanya sambil tersenyum mengejek.
"Hi-hik-hik, bagaimana engkau akan mampu melawan kami, Gouw Kian Sun? Sedangkan gurumu dan suheng-mu, juga puteri Pendekar Sadis, sudah dapat kami tawan. Apa lagi kamu!"
"Bunuh saja aku!" bentak Kian Sun.
"Manusia tolol. Apa gunanya kami membunuhmu? Tidak ada untungnya bagi kami, juga tidak ada manfaatnya bagi dirimu. Kalau engkau mati, engkau tidak dapat menyelamatkan nyawa para tokoh Cin-ling-pai itu, sebaliknya kalau engkau hidup, mereka pun akan tetap hidup."
Kian mengerutkan alisnya yang tebal. "Maksudmu?"
"Gouw Kian Sun, kalau engkau menolak tawaran kami untuk bekerja sama, maka mereka yang kini menjadi tawanan kami akan kami bunuh! Dan engkaulah yang membuat mereka terpaksa harus kami bunuh itu! Sebaliknya, kalau engkau suka menyambut uluran tangan kami untuk bekerja sama, maka mereka akan selamat dan akan kami perlakukan seperti sekarang ini, menjadi tamu-tamu kami yang terhormat dan kami tidak akan mengganggu selembar rambut pun milik mereka. Bagaimana?” Bi Hwa menarik pedangnya, kemudian meloncat ke belakang. "Sekarang duduklah, dan mari kita bicara dengan kepala dingin."
Kian Sun bangkit berdiri akan tetapi tidak mau duduk. Dia tahu bahwa melawan pun tidak ada gunanya. Dia tidak takut mati, akan tetapi mengingat akan nasib keempat orang yang berada di dalam tahanan itu, dia harus memikirkan keadaan mereka.
"Engkau membual, Moli! Tidak mungkin kalian akan mampu membunuh mereka!" katanya mencoba, karena bagaimana pun juga,dia tidak percaya kalau gurunya, suheng-nya dan isteri suheng-nya itu kalah oleh empat orang Pek-lian-kauw ini.
"Hik-hik, untuk apa kami membual? Buktinya, mereka kini menjadi tawanan kami, bukan? Dan apa sukarnya membunuh mereka? Pada setiap kamar tahanan itu terdapat pipa-pipa penyalur asap pembius. Apa bila kami meniupkan asap pembius dari luar, mereka semua akan pingsan terbius dan tidak ada ilmu silat yang akan mampu menolak serangan asap pembius! Nah, engkau ingin melihat mereka mati konyol akibat kebodohan dan kekerasan kepalamu?"
Kian Sun menjadi lemas. Dia bukan seorang yang bodoh atau ceroboh. Dia tahu bahwa dia berada di tangan orang-orang yang amat licik. Dia tidak mengkhawatirkan diri sendiri. Dibunuh pada waktu itu pun dia tidak akan menyesal kalau pengorbanan itu demi nama baik Cin-ling-pai. Akan tetapi bagaimana mungkin dia membiarkan mereka ini membunuh gurunya, suheng-nya, isteri suheng-nya dan putera suheng-nya?
Mendadak dia teringat kepada Ciok Gun. Muridnya itu biasanya setia sekali, juga berjiwa pendekar. Ingin dia dapat menarik Ciok Gun agar mau membantunya menghadapi orang-orang Pek-lian-kauw yang curang ini. Tiba-tiba dia menoleh ke arah Ciok Gun yang masih berdiri mematung di belakang empat orang itu.
"Ciok Gun, di manakah Teng Sin dan Koo Ham?" Ia berteriak untuk memancing perhatian muridnya itu. Akan tetapi seperti juga tadi Ciok Gun diam saja, tidak menjawab, juga tidak menoleh, melainkan berdiri dengan muka ditundukkan seperti patung!
"Hi-hi-hik, biar engkau berteriak sampai suaramu habis, dia tak akan sudi mendengarnya, Gouw Kian Sun. Hanya aku seorang yang akan ditaatinya. Engkau belum percaya? Nah, engkau lihatlah baik-baik."
Wanita itu bangkit dari tempat duduknya, lalu menghampiri Ciok Gun dan mengusap leher pemuda itu dengan tangan kirinya, gerakannya mesra sekali seperti orang membelai, dan dia pun berkata dengan suara yang lembut merayu.
“Ciok Gun, kekasihku yang tampan, Gouw Kian Sun itu tidak mau tunduk kepadaku. Kau hajarlah dia!"
Kini Ciok Gun baru mengangkat mukanya, lalu menoleh ke arah gurunya. Sinar matanya penuh kemarahan, alisnya berkerut dan tiba-tiba saja dia melompat ke arah Kian Sun dan langsung saja menyerang dengan tamparan tangan kiri ke arah muka gurunya sendlri!
Tentu saja Kian Sun terkejut bukan kepalang. Dia bangkit berdiri dan mengangkat lengan untuk menangkis tamparan itu sambil mengerahkan tenaganya untuk membuat muridnya itu terdorong jatuh.
"Dukkk...!"
Dua buah lengan bertemu dengan keras sekali dan hampir saja Kian Sun mengeluarkan teriakan saking kagetnya. Muridnya itu sama sekali tidak terdorong jatuh, dan dia merasa betapa kekuatan di lengan tangan muridnya itu besar sekali, sama sekali tidak kalah oleh tenaganya sendiri!
Ciok Gun sudah membuat gerakan hendak menyerang lagi dan Kian Sun juga sudah siap melawan muridnya sendiri. Akan tetapi pada saat itu, terdengar suara lembut Bi Hwa,
"Ciok Gun, sudah cukup. Engkau mundurlah dan berdiri di tempat semula, siap menunggu perintahku!"
Ciok Gun tidak peduli lagi dengan Kian Sun, melainkan melangkah ke belakang tempat duduk empat orang itu. Bi Hwa sudah duduk pula di sebuah kursi yang baru karena kursi yang pertama kali didudukinya telah hancur oleh pukulan Kian Sun tadi.
"Ciok Gun…! Kau... kau...!” Kian Sun menjatuhkan dirinya di atas kursi, seluruh tubuhnya terasa lemas. Dia tahu bahwa keadaan muridnya itu tidak wajar dan teringatlah dia bahwa Pek-lian-kauw mempunyai banyak ahli sihir dan ahli racun. Tentu Ciok Gun sudah dibius dan diberi racun yang membuat dia seperti patung atau mayat hidup yang hanya mentaati perintah dari orang yang menguasainya.
"Sudahlah, Gouw Pangcu. Engkau telah menyaksikan kelihaian kami. Tidak ada gunanya engkau melawan. Bila engkau hendak menyelamatkan Cin-ling-pai dan seluruh tokohnya, engkau harus mau bekerja sama dengan kami dan harus memenuhi seluruh permintaan kami. Teng Sin dan Koo Ham, dua orang murid Cin-ling-pai itu, tak ada gunanya sehingga sudah kami bunuh. Dan seluruh nyawa semua anggota Cin-ling-pai berada di tanganmu. Kalau engkau menolak, bukan hanya engkau dan para tawanan kami itu yang akan kami bunuh, juga seluruh murid Cin-ling-pai akan kami basmi, tak ada seorang pun yang akan selamat!"
"Kalian iblis-iblis keji! Demi keselamatan suhu dan keluarga suheng, baiklah, aku menurut dan menyerah. Akan tetapi ingat, aku takkan sudi membantu kalian melakukan perbuatan jahat. Ingat, lebih baik kami orang-orang Cin-ling-pai mati semua dari pada dipaksa untuk melakukan perbuatan jahat!”
"Aiih, Gouw Pangcu. Kami adalah orang baik-baik, mana mungkin kami menyuruh engkau berbuat jahat? Jangan khawatir, kami tidak akan minta engkau melakukan kejahatan."
"Cepat katakan, apa yang harus kulakukan untuk kalian?"
"Sederhana saja, Pangcu. Pertama, cepat engkau umumkan dan kirim undangan kepada ketua semua perkumpulan serta partai persilatan besar untuk menghadiri pernikahanmu pada tanggal satu bulan depan."
Gouw Kian Sun terbelalak, memandang kepada gadis cantik itu dengan hati ragu. Gilakah gadis ini, pikirnya. Tanggal satu hanya kurang beberapa hari lagi dan akan diadakan pesta pemikahannya?
"Moli! Apa pula artinya semua ini? Siapa yang akan menikah? Aku kurang mengerti."
“Engkau yang akan menikah, Pangcu."
Kini Kian Sun betul-betul kaget sehingga dia menjadi bengong tanpa dapat mengeluarkan kata-kata.
"Menikah dengan aku, Pangcu!” kata pula Bi Hwa sambil terkekeh genit.
"Aahhh...?! Aku... menikah dengan... dengan kau? Apa artinya ini? Kita .. kita tidak... ehh, maksudku aku tidak..."
“Hi-hi-hik, tidak usah bingung, Pangcu. Kau lihat, bukankah aku seorang gadis muda yang cantik molek? Tidak banggakah engkau kalau menjadi suamiku? Hemm, ribuan orang pria di dunia ini merindukanku, bermimpi agar bisa menjadi kekasihku, apa lagi suamiku. Dan engkau tampak begitu bingung? Hi-hik!"
“Bukan begitu, tetapi aku... kita... bagaimana mungkin kita dapat menjadi suami isteri?"
Kini berubah sikap Bi Hwa, tidak lagi tersenyum manis seperti tadi. Senyumnya berubah dingin dan mengejek. "Gouw Kian Sun, engkau masih mau membangkang? Perintah yang demikian menyenangkan hendak kau tolak? Ini bukan perintah melakukan kejahatan! Aku ingin menjadi isterimu, atau lebih tepat lagi aku ingin menjadi nyonya ketua Cin-ling-pai! Dan untuk perayaan pesta pernikahan, aku minta engkau mengundang ketua-ketua partai persilatan besar di empat penjuru. Jangan banyak membantah lagi kalau tidak ingin aku menjadi naik darah dan membunuh salah seorang di antara tawananku!”
Wajah Kian Sun seketika berubah pucat saat diingatkan tentang tawanan itu. Dia maklum bahwa dia sama sekali tidak berdaya. Kalau saja keselamatan nyawa keluarga Cia tidak terancam, tentu dia tidak sudi menyerah dan akan melawan sampai mati! Kini dia merasa tidak berdaya sama sekali. Hatinya memberontak untuk mentaati perintah iblis betina ini, namun dia tak dapat membangkang, demi keselamatan keluarga Cia yang dihormatinya.
"Baiklah, aku bersedia melakukan apa yang kau minta tadi." Akhirnya dia berkata sambil menghela napas panjang. Bi Hwa tersenyum manis lagi, bahkan mendekatkan tubuhnya pada Kian Sun dan pandang matanya semakin genit.
“Kalau engkau sudah menjadi suamiku, lalu bersikap baik dan penurut, aku benar-benar akan melayanimu sebagai isteri dan engkau pasti akan berbahagia sekali."
Kian Sun diam saja, walau pun hatinya merasa marah bukan main. Sampai berusia empat puluh dua dia masih membujang, belum menikah karena dia belum menemukan seorang gadis yang dianggapnya baik. Bagaimana mungkin sekarang dia harus merendahkan diri sedemikian rupa dengan menjadi suami seorang wanita iblis semacam Tok-ciang Bi Moli ini?
********************
Para tokoh kang-ouw partai persilatan merasa heran juga ketika menerima undangan Cin-ling-pai yang hendak merayakan pemikahan wakil ketuanya. Mereka tahu bahwa Cin-ling-pai kini diketuai oleh seorang gadis, namun yang sekarang akan menikah bukanlah gadis itu, melainkan wakil ketua yang bemama Gouw Kian Sun.
Nama Gouw Kian Sun tidak dikenal oleh para tokoh kang-ouw, tidak seperti nama Cia Kui Hong, gadis yang kini menjadi ketua Cin-ling-pai. Akan tetapi karena memandang nama besar Cin-ling-pai, biar pun undangan itu amat tiba-tiba dan waktunya mendesak, hampir semua perkumpulan mengirim wakil atau utusan, ada pula ketua yang datang sendiri.
Meski pun bukan ketua pusat dari perkumpulan-perkumpulan besar yang hadir, melainkan hanya ketua-ketua cabang dan utusan-utusan pusat, namun para undangan yang datang berkunjung lengkap juga. Bahkan karena terdapat undangan yang datang dari jauh, maka dua hari sebelum hari perayaan sudah banyak rombongan utusan perkumpulan silat yang temama berdatangan. Di antara mereka terdapat wakil-wakil dari Siauw-lim-pai, Bu-tong-pai, Kun-lun-pai dan Go-bi-pai.
Sesuai dengan perintah Bi Hwa, Gouw Kian Sun yang tidak berdaya itu sudah menyuruh murid-murid Cin-ling-pai membangun pondok-pondok darurat untuk para tamu. Pondok-pondok darurat itu tersebar di sekitar perkampungan Cin-ling-pai di dekat puncak Cin-ling-san yang luas itu.
Para tamu yang berdatangan itu menjadi bertambah heran ketika mereka hanya disambut oleh wakil ketua Cin-ling-pai atau calon pengantin pria yang ditemani oleh Giok Gun serta beberapa orang miurid Cin-ling-pai. Tidak nampak keluarga Cia yang merupakan keluarga pimpinan Cin-ling-pai turun-temurun itu. Atas pertanyaan para tamu, menurut keterangan Gouw Kian Sun sekarang ketua Cin-ling-pai sedang merantau, pendekar Cia Hui Song dan isterinya sedang berkunjung ke pulau Teratai Merah, dan kakek Cia Kong Liang juga sedang tidak berada di Cin-ling-pai.
Meski pun merasa heran dan juga kecewa, akan tetapi karena mereka amat menghormati nama besar Cin-ling-pai, rombongan dari berbagai partai persilatan itu menempati pondok masing-masing dan sebelum hari perayaan tiba, mereka sempat menikmati pemandangan alam yang indah dan hawa udara yang jemih sejuk dari pegunungan Cin-ling-pai.
Rombongan Bu-tong-pai terdiri dari tujuh orang, dipimpin oleh Tiong Gi Cin-jin, seorang tokoh tingkat dua dari Bu-tong-pai yang usianya telah enam puluh dua tahun. Enam orang yang lain adalah murid-muridnya yang berusia antara dua puluh lima sampai empat puluh tahun. Para murid itu adalah murid-murid Bu-tong-pai yang pandai dan terkenal sebagai pendekar-pendekar yang gagah.
Rombongan Bu-tong-pai ini memperoleh sebuah pondok besar di sebelah barat, di antara pohon-pohon cemara. Seperti para tamu dari berbagai perkumpulan silat lain, rombongan Bu-tong-pai juga datang lebih awal dua hari sehingga mereka akan tinggal di sana selama dua hari dua malam sampai hari perayaan tiba.
Tidak jauh dari pondok tempat tinggal para utusan Bu-tong-pai ini terdapat pondok lain yang juga cukup besar. Kedua pondok itu hanya dipisahkan oleh sebuah kebun besar di mana selain pohon-pohon buah juga terdapat taman bunga yang indah.
Pondok ke dua ini hanya ditempati empat orang utusan dari Go-bi-pai, tiga orang murid pria yang usianya antara empat puluh sampai lima puluh tahun, dan seorang murid wanita yang masih gadis, berusia delapan belas tahun. Ketiga orang pria itu merupakan murid-murid kelas dua dari Go-bi-pai, sedangkan gadis itu adalah puteri dari seorang di antara mereka yang menjadi memimpin rombongan.
Ayah gadis itu bernama Poa Cin An, berusia lima puluh tahun dan sebagai seorang tokoh kelas dua di Go-bi-pai, tentu saja ilmu silatnya amat lihai, terutama permainan siang-kiam (sepasang pedang) dari ilmu pedang Go-bi Kiam-sut. Puterinya yang bernama Poa Liu In itu adalah seorang gadis berusia delapan belas tahun yang berwajah manis dan bersikap lembut.
Di sebelah timur, juga hanya dipisahkan oleh sebuah kebun besar, terdapat pondok untuk para utusan dari Siauw-lim-pai yang terdiri dari dua orang hwesio tingkat dua, yaitu Thian Hok Hwesio dan Thian Khi Hwesio, dua orang hwesio berusia kurang lebih enam puluh tahun yang bersikap lembut dan ramah.
Di sekitar pondok darurat itu tinggal pula utusan dari Kun-lun-pai yang berjumlah empat orang. Tiga orang murid kelas dua dan paman guru mereka, seorang tosu yang bemama Yang Tek Tosu berusia lima puluh tahun dan bertubuh jangkung kering.
Masih banyak lagi para utusan perkumpulan lain yang tinggal di pondok-pondok darurat, akan tetapi yang menjadi tamu kehormatan di antaranya adalah utusan dari empat buah perkumpulan besar itu.
Pada keesokan harnya sesudah mereka datang, pagi-pagi sekali, masih remang-remang dan hawa dingin sekali, di belakang pondok yang dijadikan tempat bermalam para utusan Go-bi-pai nampak seorang gadis sedang berlatih silat. Gadis itu adalah Poa Liu In, puteri Poa Cin An yang memimpin rombongan Go-bi-pai.
Mula-mula dia berlatih silat tangan kosong. Gerakannya cepat dan pukulannya mantap. Memang dia seorang gadis yang berbakat dan sejak kecil digembleng oleh ayahnya yang menjadi tokoh tingkat dua Go-bi-pai, bahkan sekarang mengepalai cabang Go-bi-pai yang berada di Lembah Sungai Han, yang masih merupakan bagian kaki Cin-ling-pai.
Ilmu silat tangan kosong yang dimainkan gadis itu selain cepat dan mantap, juga sangat indah. Apa lagi dimainkan oleh seorang gadis manis yang memiliki bentuk tubuh seindah tubuh Liu In, maka nampak seperti seorang dewi yang sedang menari saja. Liu In berlatih sungguh-sungguh sehingga dari kepala yang rambutnya hitam panjang itu mengepul uap. Hawa udara amat dingin, akan tetapi tubuhnya menjadi panas karena latihan itu sehingga kepalanya mengepulkan uap putih dan menambah keindahan latihan silat tangan kosong yang mirip seperti tarian itu.
Setelah selesai berlatih silat tangan kosong dia pun segera mencabut pedangnya, pedang pasangan dan mulailah dia melanjutkan latihannya dengan memainkan ilmu pedang Gobi Kiam-sut. Dia mainkan sepasang pedangnya dengan cepat, semakin lama semakin cepat sehingga lenyaplah bentuk kedua pedang itu. Yang nampak hanyalah dua gulungan sinar seperti dua ekor naga bermain-main di antara tubuh yang padat dan langsing itu.
Dalam latihan ilmu pedang ini Liu In juga bermain sungguh-sungguh, mengerahkan semua tenaga dan memusatkan perhatiannya sehingga kini lebih banyak lagi uap putih mengepul ke atas dari kepalanya. Ketika akhirnya dia menghentikan latihan pedangnya, nampak kini muka serta lehernya basah oleh keringat, dan dadanya yang membusung itu naik turun, nafasnya agak memburu.
Liu In meletakkan pedangnya di atas tanah. Dia sendiri lantas memilih tanah yang kering dan duduk bersila untuk memulihkan tenaga dan mengatur pernafasan. Sungguh nyaman sekali rasanya. Sehabis berlatih badannya menjadi panas dan jantungnya berdebar, kini duduk melakukan latihan pernafasan seperti itu. Sesudah napasnya normal kembali dan kelelahannya menghilang, dia pun melanjutkannya dengan siulian.
Pada waktu dia sedang mengosongkan pikirannya itulah, tiba-tiba terdengar bisikan suara yang mengandung wibawa amat kuatnya.
"Poa Liu In, betapa nyaman rasa tubuhmu dan hawa udara sejuk membuatmu mengantuk. Engkau mengantuk dan tertidur...”
Liu In terkejut dan dia mencoba untuk melawan perintah itu yang dianggapnya tidak wajar. Tak mungkin ayahnya memerintahkan seperti itu. Dia hendak menoleh dan menolak akan tetapi sungguh aneh. Kepalanya seperti penuh dengan suara itu yang memaksanya untuk tidur, yang menekankan bahwa dia mengantuk dan tidak mampu menoleh, bahkan tidak mampu bergerak sehingga akhirnya dia pun menyerah. Dia tertidur dalam keadaan masih bersila!
Karena tidurnya adalah tidur yang tak wajar, maka dia pun sama sekali tak terjaga ketika ada bayangan berkelebat di belakangnya. Dengan gerakan yang amat cepat bayangan itu menggerakkan tangan menotok tengkuk gadis itu yang segera terkulai pingsan, kemudian bayangan itu mengangkat dan memondong tubuh yang sudah terkulai lemas itu dan cepat membawanya pergi dari situ.
Bayangan yang memondong tubuh Liu In yang pingsan itu menyelinap masuk ke dalam sebuah pondok darurat yang belum dipakai tamu dan yang berdiri agak terpencil di dekat hutan sebelah barat.
Tak seorang pun melihat bayangan itu memondong Liu In ke dalam pondok. Dan tidak ada seorang pun yang tahu apa yang terjadi di dalam pondok itu. Hari masih terlalu pagi dan udara terlampau dingin sehingga orang segan untuk keluar dari pondok.
********************
Matahari sudah mulai mengeluarkan sinarnya yang lembut namun cukup mendatangkan kehangatan pada saat Liu In mengeluarkan keluhan lirih sambil menggerakkan tubuhnya, lalu membuka kedua matanya. Pada saat itu pula dia mendengar suara yang masuk dari luar tempat itu.
"Gadis Go-bi-pai yang sombong, memamerkan kepandaianmu yang tidak seberapa itu di Cin-ling-pai? Ha-ha-ha! Kalau engkau mau tahu siapa aku, ingat saja orang she Lui murid Cin-ling-pai!"
Liu In terkejut bukan main, segera meloncat turun dari atas dipan hanya untuk menahan jeritnya dan matanya terbelalak mendapatkan kenyataan bahwa tubuhnya telanjang bulat! Pakaiannya berada di atas dipan itu. Dia menyambarnya dan cepat mengenakan kembali pakaiannya, wajahnya pucat karena dia kini sadar benar apa yang sudah terjadi menimpa dirinya. Dia telah diperkosa orang selagi pingsan atau tidur!
Akan tetapi dia segera ingat bahwa tadi dia berlatih silat dan duduk bersila. Kini tahu-tahu dia sudah berada di dalam sebuah pondok. Tentu dia telah ditotok dan pingsan! Sesudah secepatnya mengenakan kembali pakaiannya, dia lalu meloncat keluar sambil mendorong daun pintu pondok itu dan dia pun berdiri tertegun.
Ia melihat ada beberapa orang pria muda murid-murid Cin-ling-pai sedang hilir mudik, dan melihat pula rombongan para tamu tengah berjalan-jalan menikmati cahaya matahari pagi yang hangat. Tentu saja dia tidak berani ribut-ribut.
Bagaimana dia berani membuat ribut kepada para murid Cin-ling-pai itu? Tentu berarti dia akan melumuri dirinya sendiri dengan aib, mengaku bahwa dia baru saja diperkosa orang! Hatinya terasa bagai ditusuk-tusuk dan ingin dia menjerit, ingin dia menangis, akan tetapi dia pun menahan perasaannya setelah melihat semakin banyak orang berjalan-jalan.
"Liu In...!" Tiba-tiba terdengar suara ayahnya menegur.
Ia menoleh dan melihat ayahnya bersama dua orang susiok-nya. Agaknya mereka bukan hanya berjalan-jalan biasa, melainkan sedang mencarinya karena ayahnya membawa pula siang-kiam-nya yang tadi dia pergunakan untuk berlatih silat.
Tentu saja Poa Cin An terkejut bukan kepalang dan merasa amat khawatir ketika melihat puterinya berdiri dengan tubuh kelihatan lunglai dan wajahnya pucat sekali.
"Liu In, ke mana saja engkau tadi? Apa yang terjadi?" Poa Cin An dan dua orang sute-nya cepat menghampiri Liu In. Begitu ayahnya berada di depannya, Liu In tak dapat menahan kehancuran hatinya lagi.
“Ayah...!" Dia menubruk ayahnya dan menangis di dada ayahnya.
"Ehhh? Apa yang terjadi? Ada apakah, Liu In?" tanya Poa Cin An.
Melihat betapa semua orang kini memandang ke arah mereka dengan pandangan mata heran tetapi tidak berani bertanya hanya karena rombongan Go-bi-pai tentu saja disegani orang, dua orang sute dari Poa Cin An lalu memberi isyarat kepada suheng mereka.
“Mari kita pulang ke pondok dan bicara di sana."
Biar pun sedang menangis, setelah mendengar ucapan itu Liu In mengangguk lemah dan mereka pun berjalan menuju ke pondok mereka. Liu In menahan rasa nyeri di tubuh dan hatinya.
Begitu sampai di pondok mereka, Liu In tak dapat menahan kesedihannya lagi. Dia berlari memasuki kamarnya, membanting diri di atas pembaringan dan menangis tersedu-sedu. Air matanya membanjir bagaikan air bah mengalir keluar dari bendungan yang pecah.
Poa Cin An mengerutkan kedua alisnya, memberi isyarat kepada dua orang sute-nya agar mereka tetap tinggal di luar sedangkan dia sendiri segera memasuki kamar puterinya dan menutupkan kembali daun pintu kamar itu. Ia melihat puterinya sedang menangis terisak-isak sambil menyembunyikan mukanya di bantal, menelungkup dan tubuhnya terguncang-guncang. Dia pun duduk di tepi pembaringan, lalu menyentuh pundak puterinya.
"Liu In, ke mana perginya sifatmu yang gagah sebagai pendekar? Kenapa engkau menjadi cengeng dan menangis seperti anak kecil? Apakah yang sudah terjadi? Katakan padaku, ceritakan kepada ayahmu."
Liu In melanjutkan tangisnya sampai akhirnya dapat menguasai hatinya. Ia bangkit duduk, akan tetapi kedua tangannya masih menutupi mukanya. Dengan suara yang hampir tidak terdengar dia kemudian berkata, “Ayah... aku... aku... diperkosa orang..."
Bagai dipatuk ular Poa Cin An yang biasanya tenang itu melompat dari tepi pembaringan, lalu berdiri dengan mata terbelalak dan mukanya berubah merah sekali.
"Apa?! Siapa…? Hayo ceritakan, apa yang terjadi!” Kini suaranya penuh dengan api yang berkobar karena harga diri dan kehormatannya tertusuk.
Dengan kedua tangan masih menutupi mukanya Liu In lalu menuturkan pengalamannya, betapa tadi pagi-pagi sekali dia berlatih silat, kemudian dia tertidur saat tengah melakukan latihan siu-lian (semedhi). Ketika terbangun atau siuman kembali dia mendapatkan dirinya berada di dalam pondok kosong dan telah diperkosa orang.
"Siapa? Siapa dia? Cepat katakan!"
"Ayah, aku tidak tahu. Ketika hal itu terjadi, aku dalam keadaan pingsan, sama sekali tidak sadar. Ketika siuman aku hanya sendirian saja di pondok itu, tetapi aku mendengar suara seorang lelaki yang mengaku bahwa dialah yang melakukan perbuatan itu dan dia adalah seorang murid Cin-ling-pai yang she (bermarga) Lui...."
"Keparat jahanam! Noda ini harus dicuci dengan darah!" Poa Cin An berteriak, kemudian dia meloncat keluar dari dalam kamar pondok itu. Dua orang sute-nya terkejut sekali dan menyambutnya dengan kaget dan heran.
"Suheng, ada apakah?”
“Keparat Cin-ling-pai...!” Poa Cin An terengah-engah dan sepasang matanya mencorong penuh kemarahan sehingga amat mengejutkan dua orang adik seperguruannya.
Tiba-tiba terdengar suara gedobrakan di dalam kamar Liu In dan disusul rintihan gadis itu, “...ayaahhh...”
Tiga orang tokoh Go-bi-pai itu berlari memasuki kamar dan.... Poa Cin An berteriak parau dan menubruk tubuh puterinya yang sudah menggeletak di atas lantai dengan sepasang pedangnya menembus dada dan perut! Darah membanjiri lantai di mana gadis itu rebah miring.
“Liu In....!” Poa Cin An hanya bisa merangkul puterinya, maklum bahwa dengan dada dan perut ditembusi kedua pedang itu, mustahil untuk dapat menyelamatkan nyawa anaknya.
Liu In masih bisa memandang ayahnya. Bibirnya bergerak-gerak, lalu terdengar suaranya yang amat lemah dan lirih, "...aku malu... Ayah... balaskan...” kemudian lehernya terkulai dan nyawanya melayang.
"Liu In...!” Ayah itu kembali menubruk jenazah puterinya.
Poa Cin An seorang tokoh Go-bi-pai, seorang pendekar yang keras hati, namun sekali ini dia menangis seperti anak kecil! Anaknya hanya tunggal dan sekarang tewas sedemikian menyedihkan di depan matanya. Diperkosa orang kemudian membunuh diri!
"Cin-ling-pai keparat! Tenanglah, anakku, aku akan membalaskan dendam setinggi langit ini!" teriaknya dan dia pun meloncat bangun, menyambar sepasang pedangnya yang tadi dia lempar di atas meja ketika dia melihat keadaan puterinya. Akan tetapi dua orang sute-nya cepat menangkap lengannya.
“Suheng, tahan dulu...!”
Poa Cin An rnemandang kedua orang sute-nya dengan mata merah dan mendelik, kedua pipinya masih basah dengan air mata. "Apa? Kalian hendak menghalangiku? Sepatutnya kalian membantuku!"
“Tentu saja kami akan membantumu, Suheng. Seandainya Suheng tidak menuntut balas pun, kami berdua akan mempertaruhkan nyawa untuk membalas penghinaan ini! Bukan hanya puterimu saja yang dihina, bukan hanya Suheng, melainkan Go-bi-pai! Akan tetapi kita harus tenang, Suheng. Apakah Suheng ingin agar seluruh dunia tahu akan aib yang menimpa diri puterimu? Tidak kasihankah Suheng terhadap puterimu, setidaknya kepada namanya?”
Poa Cin An tercengang, lalu menunduk, lalu mengguguk. Sejenak dia tak mampu bicara, lalu mengangguk-angguk dan menenangkan hatinya dengan tarikan napas panjang.
"Kalian benar, Sute. Harap maafkan aku...! Hampir aku tidak mampu menguasai hati dan menyiarkan noda yang mencemarkan nama baik anakku. Aihh…, Liu In, sungguh malang nasibmu, anakku. Akan tetapi jangan khawatir, ayahmu akan menuntut balas. Jahanam itu akan kubuhuh, kepalanya akan kupakai bersembahyang di hadapan jenazahmu atau makammu! Jangan khawatir, anakku..."
Setelah Poa Cin An mengangkat jenazah puterinya dan membaringkannya di atas dipan, mencabut sepasang pedang itu dan menyelimuti jenazah, mereka bertiga lalu keluar dari pondok dan dengan langkah lebar serta muka tegang mereka menuju ke bangunan pusat Cin-ling-pai.
Di pintu gerbang depan mereka segera disambut oleh beberapa orang murid Cin-ling-pai yang sedang bertugas di situ. Para murid Cin-ling-pai ini memandang heran melihat sikap tiga orang tamu yang mereka kenal dan mereka hormati sebagai tiga orang di antara para tamu kehormatan, wakil-wakil dari Go-bi-pai. Namun mereka menyambut dengan ramah.
"Selamat pagi, Sam-wi Locianpwe (Tiga orang tua gagah). Ada keperluan apakah sam-wi datang berkunjung pagi ini?”
“Laporkan kepada Gouw-pangcu (Ketua Gouw) bahwa kami ingin bertemu dan berbicara dengan dia. Cepat!” bentak Poa Cin An dengan sikap bengis dan marah sehingga amat mengejutkan tujuh orang murid Cin-ling-pai itu.
Pemimpin para murid yang bertugas jaga itu cepat memberi hormat dan tetap menjawab dengan sikap sopan dan ramah. "Sam-wi Locianpwe, saat ini Gouw-pangcu sedang sibuk menerima kunjungan para wakil Kun-lun-pai dan Bu-tong-pai. Mereka baru saja masuk ke dalam dan kini sedang diterima oleh pangcu di ruangan tamu."
"Kalau para utusan Kun-lun-pai dan Bu-tong-pai dapat diterima, mengapa kami dari Go-bi-pai tidak? Antarkan kami untuk bertemu dengan dia, atau kami akan masuk sendiri!" kata pula Poa Cin An.
"Sabarlah, Locianpwe. Kami bukan menolak atau menghalangi, hanya saja pangcu kami akan menjadi sibuk sekali kalau sam-wi masuk sekarang, maka sebaiknya kalau sam-wi suka menanti sebentar...”
"Tidak, kami harus masuk sekarang dan bertemu sekarang juga!"
Para murid itu terkejut. Tadi pun mereka sudah dikejutkan oleh sikap para pimpinan Kun-lun-pai yang juga nampak marah, disusul utusan Bu-tong-pai yang juga kelihatan marah, dan sekarang orang-orang Go-bi-pai ini benar-benar marah sekali. Apa yang telah terjadi? Mereka tidak berani membantah lagi dan mengantarkan tiga orang ini menuju ke ruangan tamu yang amat besar itu.
Ketika memasuki ruangan itu, tiga orang tokoh Go-bi-pai itu melihat bahwa Tiong Gi Cin-jin pemimpin rombongan Bu-tong-pai bersama enam orang murid Bu-tong-pai telah duduk berjajar di situ, demikian pula Yang Tek Tosu bersama ketiga orang murid keponakannya, dua di antaranya nampak luka-luka dan dibalut di bagian leher dan dahi. Juga tiga orang tokoh Go-pi-pai itu melihat betapa wajah mereka semua itu kelihatan tegang dan marah sehingga mudah diduga bahwa pasti sudah terjadi hal-hal yang hebat, seperti yang juga mereka alami.
Kiranya wakil ketua Cin-ling-pai, yaitu Gouw Kian Sun, belum keluar menyambut dan para tamu itu baru dipersilakan menunggu di ruangan tamu. Hal ini tidak mengherankan karena wakil ketua itu tentu sibuk sekali karena dia adalah calon pengantin.
Karena mereka sendiri pun sedang tegang dan marah, maka mereka hanya mengangguk saja kepada dua rombongan terdahulu, kemudian mereka ikut duduk pula di sebelah kiri, menanti munculnya Gouw Kian Sun.
Akhirnya orang yang dinanti-nanti itu pun muncul dengan sikap tenang serta wajah yang tidak membayangkan kesalahan. Sebagai calon pengantin, pakaiannya baru sehingga dia terlihat gagah. Dia ditemani oleh Ciok Gun, murid Cin-ling-pai yang pandai dan setia, dan yang menjadi pembantu utama wakil ketua Gouw Kian Sun. Pria jangkung ini pun nampak tenang saja ketika memasuki ruangan itu.
Melihat para tamu bangkit berdiri dengan sikap marah, Gouw Pangcu memandang heran. Akan tetapi dengan ramah dia pun menghampiri kursinya, kemudian memberi hormat dan mempersilakan para tamunya duduk kembali.
Poa Cin An sudah ingin sekali meneriakkan rasa penasarannya kepada pimpinan Cin-ling-pai itu, akan tetapi bagaimana pun juga dia adalah seorang wakil perkumpulan besar yang mengenal aturan, maka sebagai rombongan yang datang terakhir, dia harus bersabar dan mengalah, membiarkan dua rombongan tamu yang datang terlebih dahulu bicara dengan tuan rumah.
“Selamat pagi para Locianpwe yang terhormat!” Gouw Kian Sun dengan ramah menyapa tamunya. Walau pun dia sendiri sedang menghadapi urusan Cin-ling-pai yang amat rumit dan membuat dia selalu gelisah, akan tetapi di depan para tamu kehormatan ini dia dapat memperlihatkan sikap ramah. "Kami harap cu-wi (anda sekalian) bisa beristirahat dengan senang di pondok-pondok yang kami sediakan dan maafkan kalau ada kekurangan...”
"Kami datang bukan untuk bicara tentang itu!" tiba-tiba Yang Tek Tosu pemimpin utusan Bu-tong-pai berkata dengan wajah keruh.
Gouw Kian Sun terkejut dan diam-diam dia menjadi semakin gelisah, tak dapat menduga atau membayangkan apa yang telah terjadi, namun secara diam-diam dia melirik ke arah Ciok Gun, murid yang dia tahu kini telah menjadi mayat hidup dan menjadi kaki tangan dari orang-orang Pek-lian-kauw di luar kesadarannya itu. Kalau terjadi sesuatu, Ciok Gun ini pasti mengetahuinya, pikirnya. Akan tetapi wajah Ciok Gun tetap dingin saja. Ia hanya duduk membungkam mulut dengan matanya yang memandang kosong!
Selagi dia hendak bertanya kepada tosu Bu-tong-pai itu, tiba-tiba terdengar suara dari luar ruangan.
"'Omitohud....! Siapa kira Cin-ling-pai menjadi begini?" Lalu muncullah Thian Hok Hwesio dan Thian Khi Hwesio, dua orang tokoh Siauw-lim-pai yang juga menjadi tamu itu. Ketika mereka masuk dan melihat betapa rombongan dari tiga perguruan besar telah berkumpul di situ pula, Thian Hok Hwesio yang tadi bicara lantas menoleh kepada sute-nya dan dia pun mengelus jenggotnya yang panjang.
"Omitohud...., kiranya semua orang telah berkumpul di sini?"
Kian Sun cepat bangkit berdiri diikuti oleh Ciok Gun, kemudian Kian Sun memberi hormat kepada dua orang hwesio itu. "Ji-wi Lo-suhu (Dua orang pendeta tua), selamat pagi dan kebetulan sekali ji-wi datang karena agaknya ada urusan yang perlu dibicarakan tetapi hal itu belum kami ketahui. Silakan ji-wi duduk."
Dua orang hwesio itu membalas penghormatan Gouw Pangcu lantas mereka pun duduk. Agaknya Gouw Pangcu merasa lega dengan hadirnya dua orang hwesio Siauw-lim-pai ini yang dia tahu pasti akan bertindak adil dan tidak suka menggunakan kekerasan.
Yang Tek Tosu tadi telah mulai bicara karena rombongannya datang lebih dahulu, namun bicaranya kemudian terhenti akibat munculnya dua orang hwesio itu. Kini agaknya dia tak bisa menahan kemarahannya lagi. Dia bangkit berdiri dengan muka merah dan tubuhnya yang jangkung kurus itu nampak seolah-olah bertambah jangkung.
“Gouw Pangcu, kami datang bukan hendak beramah-tamah atau berbasa-basi. Lihat saja keadaan dua orang murid keponakan pinto (aku) ini dan kiranya tidak perlu lagi Pangcu berpura-pura!”
Gouw Kian Sun memandang ke arah dua orang murid Kun-lun-pai yang leher dan dahinya luka-luka itu, lalu dia kembali memandang kepada Yang Tek Tosu yang masih berdiri.
“Saya melihat bahwa mereka berdua menderita luka-luka pada leher dan dahi. Akan tetapi sungguh mati saya tidak tahu kenapa bisa begitu, Totiang (bapak pendeta). Apakah yang telah terjadi?"
Yang Tek Tosu menahan amarahnya dan sekarang dia berjalan mondar-mandir. Gerak-geriknya diikuti oleh pandang mata semua yang hadir, kecuali Ciok Gun yang nampaknya tenang-tenang saja, tidak terkejut dan gelisah seperti Kian Sun.
"Mungkin saja Gouw Pancgu tidak mengetahui apa yang terjadi. Kami sendiri hampir tidak percaya kalau saja kedua orang murid keponakan ini tidak mengalami sendiri. Sejak dulu Cin-ling-pai terkenal sebagai perguruan besar yang memiliki murid-murid pendekar, akan tetapi siapa tahu sekarang mempunyai murid-murid yang nyeleweng, jahat dan curang!”
Kian Sun bangkit berdiri. Mukanya menjadi merah. Dia seorang tokoh Cin-ling-pai yang sangat setia, dan juga dia sedikit pun tidak mengira bahwa ada murid Cin-1ing-pai yang akan berani berbuat jahat. Bahkan dia pun sudah mendapat janji dari Tok-ciang Bi Moli yang menguasai dirinya bahwa wanita itu beserta sekutunya tidak akan melakukan hal-hal yang merusak nama baik Cin-ling-pai. Karena itu tentu saja dia menjadi terkejut dan juga marah sekali ketika mendengar tuduhan Yang Tek Tosu.
"Harap Totiang tidak menuduh hal yang tak ada buktinya. Penyelewengan dan kejahatan apakah yang sudah dilakukan murid kami? Tunjukkan buktinya dan siapa orangnya, pasti kami akan mengambil tindakan dan memberi hukuman jika ternyata tuduhan itu memang benar!" katanya dengan suara lantang.
“Gouw-pangcu! Sesudah melihat sendiri keadaan dua orang murid keponakanku, engkau masih minta bukti lagi?” Dia menoleh kepada dua orang yang menderita luka-luka itu dan memberi perintah, "Kalian ceritakan apa yang telah kalian alami semalam!"
Dua orang murid Kun-lun-pai itu mengangguk, kemudian seorang di antara mereka yang lukanya tidak terlalu parah bercerita. Kiranya malam tadi, karena iseng saja mereka pergi meninggalkan pondok dan bahkan keluar dari perkampungan Cin-lihg-pai. Ketika mereka keluar, malam belum gelap benar. Mereka pergi ke perkampungan di lereng bukit di mana terdapat beberapa dusun.
Dua orang murid Kun-lun-pai itu merupakan murid biasa, bukan tosu (pendeta To), maka mereka pergi ke dusun itu untuk bermain-main dan membeli makanan. Malam telah agak gelap ketika mereka mengambil keputusan untuk kembali ke perkampungan Cin-lihg-pai. Akan tetapi ketika mereka tiba di luar dusun di mana mereka bermain-main tadi, mereka mendengar jerit tangis seorang wanita. Mereka segera mengejar dan melihat lima orang laki-laki muda sedang menarik-narik seorang gadis dusun.
Sebagai pendekar-pendekar Kun-lun-pai, tentu saja dua orang itu langsung turun tangan menegur. Akan tetapi lima orang itu tanpa banyak cakap lagi memaki. Seorang di antara mereka mengatakan bahwa sebagai tamu, kedua orang itu tidak sepatutnya mencampuri urusan murid-murid Cin-ling-pai.
Terjadilah perkelahian dan karena dua orang itu dikeroyok, maka mereka menderita luka-luka di leher dan dahi. Mereka melawan terus dan akhirnya terpaksa melarikan diri karena kelima orang yang mengaku murid Cin-ling-pai itu agaknya berkeras hendak membunuh mereka. Untung mereka mampu melepaskan diri kemudian lari sampai ke perkampungan Cin-ling-pai.
Malam itu juga mereka mendapat pengobatan dari paman guru mereka, yaitu Yang Tek Tosu. Karena kebijaksanaannya, Yang Tek Tosu tidak mau membikin ribut di malam hari itu, menunggu hingga keesokan harinya barulah pagi-pagi dia membawa dua orang murid keponakan yang luka-luka itu untuk mengadu dan memprotes kepada pimpinan Cin-ling-pai.
"Nah, Pangcu mendengar sendiri. Patutkah kelakuan murid-murid Cin-ling-pai itu? Mereka berlima itu hendak memaksa dan memperkosa seorang gadis dusun! Begitukah kelakuan para pendekar Cin-ling-pai? Dan ketika dua orang murid keponakanku menegur, mereka berdua malah dikeroyok secara pengecut. Maka kami minta pertanggungan jawab Gouw Pangcu sebagai pimpinan Cin-ling-pai saat ini!"
Gouw Kian Sun memandang terbelalak saking kaget dan herannya mendengar penuturan murid Kun-lun-pai itu. Sebelum dia sempat menjawab, terdengar Tiong Gi Cinjin pimpinan rombongan Bu-tong-pai berseru dengan suaranya yang lantang.
"Perbuatan mengeroyok dua orang murid Kun-lun-pai oleh kelima orang itu masih belum berapa hebat, karena akibatnya hanya melukai dua orang murid Kun-lun-pai. Yang lebih hebat lagi adalah kejadian yang dialami oleh muridku sendiri! Muridku telah dikeroyok dan dibunuh oleh belasan orang murid Cin-ling-pai!"
Semua orang amat terkejut, terutama sekali Gouw Kian Sun. "Tidak mungkin! Bagaimana mungkin murid-murid Cin-ling-pai membunuh tamu mereka sendiri?"
"Hemmm, Gouw Pangcu. Selama hidupku, aku tidak pernah berbohong! Aku tidak akan sembarangan menuduh kalau tidak ada buktinya. Mau bukti? Datanglah ke pondok kami dan lihatlah sendiri. Jenazah muridku, Gu Kay Ek, sampai sekarang masih rebah di atas dipan dan masih hangat!”
Saking kagetnya Kian Sun segera bangkit berdiri dari tempat duduknya dan hendak pergi menyaksikan sendiri bahwa ada murid Bu-tong-pai yang tewas akibat pengeroyokan para murid Cin-ling-pai. Akan tetapi pada saat itu Poa Cin An sudah bangkit berdiri dan sekali menggerakkan tubuhnya, dia telah meloncat dan berdiri di depan Gouw Kian Sun, seolah menghadang kepergian wakil ketua Cing-ling-pai itu.
"Gouw Pangcu, jangan pergi dulu! Dua murid Kun-lun-pai hanya menderita luka-luka dan Bu-tong-pai menderita kematian seorang muridnya yang dikeroyok. Akan tetapi aku orang Go-bi-pai yang selama hidup tidak pernah menganggap Cin-ling-pai sebagai musuh, pagi tadi telah menderita yang teramat hebat dan noda ini hanya dapat ditebus dengan darah!"
Wajah Kian Sun menjadi sedikit pucat. Dia tahu bahwa Poa Cin An, tokoh kelas dua dari Go-bi-pai ini datang bersama dua orang sute-nya dan puterinya, seorang dara muda yang cantik. Sekarang tokoh ini hanya muncul dengan dua orang sute-nya, tanpa puterinya! Dan dia bicara tentang noda yang harus ditebus dengan darah!
"Locianpwe... apa... apa pula yang telah terjadi?" tanya Kian Sun dan suaranya terdengar penuh kegelisahan.
"Apa yang terjadi? Puteriku, Poa Liu In, pagi tadi selagi dia berlatih sendirian dan sedang bersiulian, telah ditotok orang, dalam keadaan pingsan dibawa ke sebuah pondok kosong dan diperkosa! Dan sekarang Gouw Pangcu masih tidak percaya dan minta bukti? Lihat, tubuh puteriku juga masih hangat walau pun nyawanya telah melayang setelah ditembusi dua batang pedangnya sendiri yang dia pergunakan untuk membunuh diri! Pangcu, kalau engkau tidak menyerahkan pelaku perbuatan terkutuk itu, jangan salahkan bila Go-bi-pai akan membasmi Cin-ling-pai!"
Wajah Gouw Kian Sun menjadi pucat sekali. Sungguh mimpi pun dia tidak pernah bahwa murid-murid Cin-ling-pai dapat melakukan semua perbuatan buruk yang dituduhkan oleh tiga orang pimpinan rombongan tiga perguruan besar itu. Seperti orang mencari pembela, otomatis dia menoleh ke arah dua orang hwesio Siauw-lim-pai.
"Omitohud...!" kata Thian Hok Hwesio. "Tadinya pinceng (aku) mengira bahwa orang Cin-ling-pai telah menjadi kurang ajar dan suka menghina orang, tidak tahunya bahkan terjadi perbuatan-perbuatan yang demikian jahatnya. Hemmm, apakah artinya semua ini, Gouw Pangcu?"
“Maaf, Lo-suhu. Apakah ada peristiwa lain yang membuat Losuhu menjadi marah?" tanya Gouw Kian Sun, perasaan hatinya semakin tidak enak dan dia seakan mendapat firasat yang amat tidak baik.
"Omitohud, pinceng berdua menerima hidangan yang terdiri dari berbagai macam daging, juga arak. Sedangkan yang mengantar hidangan itu adalah murid-murid perempuan Cin-ling-pai yang bersikap genit pula. Bukankah itu berarti sebuah penghinaan yang disengaja untuk merendahkan pinceng berdua?"
"Aihh, mana mungkin begitu? Kami sudah menyiapkan masakan ciak-jai (masakan bebas daging) untuk para Losuhu dan para Totiang!"
"Hemmm, Gouw Pangcu. Arak dan semua masakan itu masih ada di pondok kami, belum tersentuh. Apakah Pangcu tidak percaya dan ingin melihat sendiri?"
Kian Sun menjadi lemas. Bagaimana dia dapat tidak mempercayai mereka? Mereka yang kematian murid, kematian anak, adalah tokoh-tokoh besar dari perguruan yang terkenal. Mereka pasti tidak berbohong. Tetapi dia pun masih ragu-ragu untuk untuk percaya begitu saja, karena selama dia menjadi murid Cin-ling-pai sampai sekarang, belum pernah ada murid Cin-ling-pai yang melakukan perbuatan jahat seperti itu.
Cin-ling-pai selalu memegang keras peraturan dan setiap murid yang melanggar peraturan sedikit saja pasti dihukum berat. Apa lagi sampai melakukan penghinanan kepada tamu, bahkan melakukan pembunuhan dan perkosaan!
"Cu-wi Locianpwe, bagaimana pihak Cin-ling-pai dapat tidak mempercayai keterangan cu-wi (anda sekalian)? Tetapi beritahukan kepada kami, siapa saja pelaku-pelaku kejahatan itu di antara murid kami, pasti akan kami tangkap sekarang juga!”
"Mereka yang mengeroyok dan melukai kami tidak pernah menyebutkan nama mereka,” kata dua orang murid Kun-lun-pai itu.
“Sebelum menghembuskan napas terakhir, muridku Gu Kay Ek sudah pinto tanyai, tetapi dia mengatakan bahwa para pengeroyoknya itu hanya mengaku murid-murid Cin-ling-pai tanpa ada yang menyebut namanya," kata pula Tiong Gi Cin-jin dari Bu-tong-pai.
"Murid Cin-ling-pai jahanam yang sudah melakukan perbuatan terkutuk terhadap puteriku itu mengaku bermarga Lui!" kata Poa Cin An. "Serahkan jahanam she Lui itu kepadaku, Pangcu. Aku harus membawa kepalanya untuk kupakai bersembahyang di depan jenazah atau makam puteriku!”
Kian Sun mengerutkan alisnya, “She Lui? Akan tetapi di antara semua murid Cin-ling-pai rasanya tidak ada yang she Lui....”
“Maaf, Suhu. Teecu melapor. Pagi tadi teecu melihat dua orang murid yang mengganggu seorang gadis dusun. Teecu lantas menegur, tetapi mereka langsung melarikan diri ketika teecu akan menangkap mereka untuk diseret ke depan Suhu agar menerima hukuman." Mendadak Ciok Gun berkata, suaranya tenang namun jelas terdengar oleh semua yang berada di ruangan itu.
Kian Sun terbelalak memandang kepada muridnya itu. "Ciok Gun! Apa maksudmu? Apa artinya keteranganmu itu? Siapa dua orang murid itu?"
“Mereka adalah Lui Ti dan Ji Kun, dua orang murid seangkatan teecu, hanya mereka lebih muda beberapa tahun."
"Gouw Pangcu, jelas sekali bahwa engkau hendak melindungi murid yang bersalah, ya? Tadi kau mengatakan bahwa tidak ada yang she Lui, sekarang muncul yang bernama Lui Ti!" kata Poa Cin An. "Tentu dialah yang telah melakukannya. Cepat Pangcu tangkap dan serahkan dia kepada kami!”
Kian Sun merasa kepalanya pening. Tentu saja dia sangat meragukan keterangan yang keluar dari mulut Ciok Gun, muridnya yang kini sudah menjadi seperti mayat hidup yang dikuasai oleh Pek-lian-kauw! Di dalam hatinya timbul dugaan bahwa semua peristiwa itu pasti didalangi oleh Pek-lian-kauw! Akan tetapi mengapa mereka melakukan semua ini?
Ahh, dia tahu sekarang! Agaknya keinginan Pek-lian-kauw hendak menguasai Cin-ling-pai merupakan sebuah siasat untuk mengadu domba antara Cin-ling-pai dengan perguruan-perguruan besar lainnya. Jantungnya berdebar keras. Otaknya dikerjakan!
Kalau begitu, ketika pertentangan memuncak tentu mereka akan membebaskan keluarga Cia, perlunya agar keluarga Cia mempertahankan Cin-ling-pai dari amukan para pimpinan perguruan lain itu. Akan tetapi apa yang dapat dia lakukan sekarang? Membuka rahasia itu? Malah semakin merugikan!
Pertama, tentu para tamu tak percaya, karena buktinya dialah yang masih duduk sebagai pimpinan di Cin-ling-pai. Dan yang ke dua, kalau dia membuka rahasia yang belum tentu dipercaya oleh para tamu itu, tentu keselamatan seluruh keluarga Cia terancam. Apa bila siasat mereka gagal, tentu orang-orang Pek-lian-kauw tidak akan segan-segan melanggar janji dan membunuh semua keluarga Cia yang sudah dipenjarakan itu.
Dia menarik napas panjang. Dia harus dapat mengulur waktu, mencari kesempatan untuk menyampaikan semua itu kepada gurunya dan kepada suheng-nya, Cia Hui Song.
"Cu-wi Locianpwe harap jangan khawatir. Kami akan menyelidiki dengan sangat teliti dan akan mengerahkan seluruh anggota kami untuk menangkapi mereka yang bersalah. Kami berjanji. Sekarang kami ingin melihat semua korban sebagai bukti. Dua orang murid Kun-lun-pai sudah kami lihat bahwa mereka memang luka-luka!”
Dengan diiringi oleh Ciok Gun, Gouw Kian Sun bersama semua rombongan tamu itu lalu meninggalkan kamar tamu dan pertama-tama mereka berkunjung ke pondok Bu-tong-pai. Di sini mereka melihat Gu Kay Ek, murid Tiong Gi Cin-jin yang sudah menjadi mayat dan kini rebah telentang di pembaringan dengan tubuh penuh luka. Kemudian mereka semua menyaksikan jenazah Poa Liu In, gadis murid Go-bi-pai, dan yang terakhir mereka semua menyaksikan hidangan daging dan arak di pondok kedua hwesio utama utusan Siauw-lim-pai.