SEMENTARA itu Mayang harus bergulat dengan nafsu sendiri setelah menyaksikan kejadian yang aneh di taman itu. Jika menurutkan nafsu amarah yang membakar hatinya, ingin dia muncul dan menemui Liong Ki pada saat itu juga, lalu menegurnya dan minta ketegasan sikapnya, bahkan pada malam itu juga mengambil keputusan mengenai hubungan antara mereka.
Akan tetapi dia menahan diri karena apa yang dilihatnya itu belum merupakan bukti akan niat kotor dari kekasihnya itu. Dia harus bersabar dan melihat perkembangannya. Bukan saja untuk menentukan sikap mengenai hubungannya dengan pemuda itu, tapi yang lebih penting lagi, dia harus melindungi keluarga Cang yang demikian baik.
Menteri Cang adalah seorang yang bijaksana dan namanya harum, dikenal dan dihormati oleh semua pendekar. Juga puteranya, Cang Sun, seorang pemuda yang sopan dan alim. Apa lagi Cang Hui, seorang gadis yang amat disayangnya biar pun mereka baru bergaul beberapa pekan lamanya. Gadis bangsawan itu begitu lincah jenaka, hatinya bersih dan budinya baik.
Andai kata ada orang yang akan mengganggu keluarga itu, dia harus melindungi keluarga ini, biar pengacau itu kekasihnya sendiri sekali pun! Juga masih ada sedikit harapan yang tergantung di dalam hatinya bahwa apa yang dilihatnya tadi adalah hal yang terjadi bukan karena kesalahan kekasihnya, bahwa memang Liong Ki tidak tahu menahu tentang sikap aneh Cang Hui itu. Dia masih menaruh harapan bahwa Liong Ki yang mencintanya dan dicintanya akan tetap bertobat dan mengambil jalan yang bersih.
Pada keesokan harinya, ketika Mayang seperti biasa menemui Cang Hui dan Cin Nio, dia tidak melihat adanya perubahan pada sikap Cang Hui. Akan tetapi dia bisa melihat bahwa selama beberapa hari ini Cin Nio kelihatan lesu dan seperti orang yang selalu melamun, seperti orang yang menderita kesedihan namun ditahan-tahan.
Dia tidak mau bertanya apa-apa kepada Cang Hui, karena hal itu tentu akan membuat gadis bangsawan itu terkejut dan malu, apa lagi gadis itu juga tidak memperlihatkan suatu kelainan, seakan tidak pernah terjadi apa-apa dengan dirinya. Sebaliknya, ketika Mayang hendak melanjutkan petunjuknya tentang ilmu silat, Cin Nio kelihatan malas, bahkan gadis ini kemudian berpamit dan mengatakan bahwa kepalanya agak pening sehingga hari itu dia tidak ikut berlatih silat. Kesempatan ini lalu dipergunakan Mayang untuk bertanya mengenai Cin Nio, dengan harapan agar dia mendengar sesuatu yang ada hubungannya dengan peristiwa semalam.
"Adik Hui, kenapa adik Cin terlihat begitu lesu dan bersedih? Apakah terjadi sesuatu yang membuatnya seperti itu?" Mereka sedang duduk mengaso sehabis berlatih.
Cang Hui menyusut keringatnya sambil memandang wajah Mayang. Dia merasa suka dan sayang kepada gadis peranakan Tibet ini, dan teringatlah dia akan percakapan yang dia lakukan bersama kakaknya, di mana kakaknya itu mengaku bahwa dia kagum dan dapat jatuh cinta kepada gadis Tibet ini!
Dia sendiri menyayangkan bahwa Mayang telah menjadi tunangan Liong Ki, perwira yang semalam... terkenang akan peristiwa ini, tiba-tiba saja Cang Hui tersipu dan kedua pipinya berubah merah. Dia sengaja menggosok-gosok mukanya yang terasa panas itu sehingga mukanya menjadi semakin merah segar.
"Kasihan enci Cin...," akhirnya dia mengeluh, teringat akan nasib Cin Nio yang mengalami patah hati karena cinta sepihak.
"Kenapa dia? Ataukah... hal itu tidak dapat kau ceritakan kepada orang luar seperti aku? Kalau begitu maafkan pertanyaanku tadi."
Cang Hui cepat memegang lengan Mayang dan tersenyum manis. "Bagiku engkau bukan orang luar lagi, Mayang. Engkau sudah kuanggap seperti keluarga sendiri. Maka engkau boleh saja mendengar mengenai urusan itu, asal engkau tidak akan menceritakan kepada orang lain."
"Tentu saja, Adik Hui. Rahasia keluargamu sama dengan rahasiaku sendiri. Bukankah aku sudah mendapatkan kepercayaan untuk membimbingmu dalam berlatih ilmu silat dan tinggal di istana ini?"
"Kasihan enci Cin, dia patah hati, Mayang. Dia telah menjadi korban cinta sepihak. Sudah kuceritakan bahwa ayah dan ibuku menghendaki agar kakakku, Cang Sun-koko, berjodoh dengan enci Hui. Beberapa hari yang lalu, dalam suatu kesempatan ketika mereka dapat berbicara empat mata, dengan sejujurnya kakakku mengatakan kepada enci Cin bahwa dia tidak dapat berjodoh dengan enci Cin karena dia menyayang enci Cin sebagai adiknya sendiri. Nah, dapat kau bayangkan betapa susah hatinya, padahal kelihatannya enci Cin sudah jatuh cinta setengah mati kepada kakakku itu."
Mendengar ini Mayang mengerutkan sepasang alisnya dan termenung sejenak. "Hemmm, kalau begitu kasihan sekali adik Cin Nio. Sungguh mengherankan, kenapa kakakmu tidak dapat mencintanya? Padahal, adik Cin adalah seorang gadis yang amat baik, cantik jelita, pandai dan baik budi..."
"Pernah kuceritakan kepadamu bahwa kakakku sudah mencinta gadis lain, Mayang."
"Hemmm, kau maksudkan Cia Kui Hong itu? Mengapa masih memikirkan dia? Bukankah gadis itu telah menjadi milik orang lain dan tidak membalas cintanya? Apakah selamanya kakakmu akan tetap bertahan dalam cintanya yang sepihak terhadap gadis itu?" Mayang merasa penasaran karena kasihan kepada Cin Nio.
"Kurasa tidak begitu, Mayang. Sebenarnya kakakku itu suka kepada..." Cang Hui cepat mengurungkan niatnya yang hendak membuka rahasia hati kakaknya. Tidak, pikirnya, dia tidak boleh memberi tahu bahwa kakaknya mencinta Mayang. Bukankah Mayang sudah ada yang punya?
"Suka kepada siapa, Adik Hui?"
"Suka kepada gadis yang memiliki ilmu kepandaian silat tinggi."
"Hemm, dia sendiri tidak suka belajar ilmu silat."
"Mungkin karena itulah. Karena tidak suka belajar ilmu silat, maka dia ingin melengkapi kekurangan dirinya itu dengan memilih seorahg gadis lihai menjadi jodohnya. Akan tetapi tentu saja tidak semua wanita lihai disukainya. Peristiwa yang terjadi beberapa malam yang lalu itu... " Dia berhenti pula, ragu-ragu apakah peristiwa antara kakaknya dengan Liong Bi itu sebaiknya dia ceritakan kepada Mayang atau tidak.
"Peristiwa apakah, Adik Hui?"
Cang Hui menghela napas panjang. Sudah kepalang basah, pikirnya. "Sayang, sebelum kuceritakan, katakan dulu, apakah engkau sayang kepada calon adik iparmu itu?"
Mayang terbelalak heran. "Calon adik ipar yang mana...?"
"Bukankah Liong Bi itu adik Liong Ki, tunanganmu?"
Barulah Mayang teringat bahwa wanita yang tidak disukanya itu menyamar sebagai adik kekasihnya. "Ahhh, dia yang kau maksudkan? Hemm, bagaimana, ya? Sayang sih tidak, bahkan terus terang saja aku... kurang suka akan sikapnya yang genit. Selain itu, dia pun bukan adik iparku..." Mayang menghentikan ucapannya, merasa telah kelepasan bicara.
"Ehh? Bukankah dia adik Liong Ki?"
Mayang mengangguk, bingung sendiri karena hampir saja dia membuka rahasia mereka berdua. "Memang benar, adik Hui, akan tetapi aku... aku bukan tunangan Liong Ki. Kami hanya sahabat yang akrab."
"Hemm, sahabat akrab yang saling mencinta, bukan ?"
"Sudahlah, Adik Hui, aku tidak suka bicara tentang hal itu. Sebenarnya apa yang hendak kau ceritakan kepadaku? Peristiwa apa yang terjadi beberapa malam yang lalu itu?"
Cang Hui kemudian menceritakan tentang perbuatan Liong Bi yang memikat dan merayu kakaknya. "Kulihat jelas sekali Liong Bi merayu kakakku dengan sikap yang sangat genit dan menjemukan. Akan tetapi kakakku tidak suka kepadanya, walau pun dia pandai silat. Nah, sudah kuceritakan padamu, Mayang. Kalau engkau dekat dengan Liong Bi, katakan kepadanya agar jangan lagi dia melakukan hal yang tidak patut seperti itu."
Diam-diam Mayang terkejut dan marah mendengar ini. Akan tetapi dia tak merasa heran. Dia tahu bahwa Liong Bi memang genit sekali, akan tetapi tidak diduganya akan seberani itu, merayu Cang Sun, putera tuan rumah! Sungguh tidak tahu diri, tidak tahu malu. Yang membuat dia merasa heran, bagaimana Liong Ki bisa mempunyai seorang sahabat yang seperti itu?
Dia pun teringat kembali akan peristiwa aneh yang dilihatnya antara Cang Hui dan Liong Ki. Dia tidak ingin membikin Cang Hui malu dengan menanyakan peristiwa itu, akan tetapi dia menjadi semakin curiga. Hatinya merasa tidak enak. Dia harus menyelidiki keadaan Liong Ki dan Liong Bi!
Malam itu gelap sekali. Langit tertutup mendung sehingga tidak ada sebuah pun bintang yang nampak. Mayang menyelinap di balik pot bunga besar. Biar pun malam amat gelap namun istana keluarga Cang dipasangi banyak lampu gantung. Dan dia melihat bayangan Liong Bi berindap-indap keluar dari kamarnya.
Selama beberapa malam ini dia memang melakukan pengintaian, mengintai kamar wanita itu. Selama tiga malam ini tidak terjadi sesuatu, akan tetapi malam ini dia melihat Liong Bi menyelinap keluar kamar, sikapnya mencurigakan sekali maka dia pun membayangi dari jauh. Kemudian dia ketahui bahwa Liong Bi menuju ke kamar Liong Ki dari belakang!
Dengan jantung berdebar Mayang mengintai. Agaknya saat yang ditunggu-tunggu sudah tiba. Jerih payahnya selama beberapa malam itu akan segera membuahkan hasil.
Perlahan Liong Bi mengetuk daun jendela kamar Liong Ki. Daun pintu dibuka dari dalam dan wanita itu cepat meloncat masuk seperti seekor kucing, lalu daun jendela ditutup lagi. Dengan menggunakan kepandaiannya, Mayang kemudian menghampiri kamar itu tanpa menimbulkan suara, lalu dia mendengarkan dengan penuh perhatian.
"Bi Hwa, kenapa engkau begini lancang masuk ke sini? Bodoh kau, bagaimana kalau ada yang melihatmu?"
"Hi-hik, siapa yang dapat melihatku? Andai kata ada yang melihat pun, apa salahnya aku memasuki kamar kakakku sendiri? Aku kesepian, Ki Liong, aku penasaran dan kecewa karena gagal memikat Cang-kongcu. Gara-gara adiknya, daging yang sudah menempel di bibir, terlepas lagi!"
"Hemm, bukan hanya engkau yang gagal. Aku pun sudah hampir berhasil menundukkan Cang Hui, tiba-tiba saja terlepas dan gagal."
"Nah, itulah! Maka aku ke sini untuk menghibur diri, juga menghiburmu agar kita berbesar hati dan sama-sama dapat berusaha lagi." Terdengar wanita itu tertawa-tawa genit. Juga Ki Liong tertawa kecil.
Mayang tidak perlu mendengar lebih banyak, juga dia tidak sudi mengintai ke dalam. Dia sudah tahu segalanya! Kiranya Sim Ki Liong bersekongkol dengan Su Bi Hwa! Bukan saja keduanya mempunyai hubungan yang mesum, tapi agaknya keduanya juga bersekongkol untuk masing-masing merayu dan menundukkan Cang Sun dan Cang Hui!
Penghambaan diri kedua orang itu kepada keluarga Cang tidak jujur, tidak bersih, namun mereka memiliki rencana yang kotor. Agaknya kedua orang itu ingin mencari kedudukan tinggi melalui cara yang licik, yaitu ingin menjadi mantu Menteri Cang!
Dan pemuda yang pernah menjatuhkan hatinya itu, pria pertama di dalam hidupnya yang menjatuhkan cintanya, yang dia harapkan akan bertobat menjadi seorang pendekar dan calon suaminya, agaknya kini sudah kembali ke jalan lama, jalan sesat! Setelah bertemu dengan wanita itu, kekasihnya agaknya telah pulih kembali seperti dahulu, menjadi hamba nafsu yang membuta.
Mayang cepat meninggalkan tempat pengintaiannya dan kembali ke kamarnya. Dia lantas menangis tanpa dapat ditahannya lagi! Dia membenamkan mukanya pada bantal dan air matanya bercucuran.
Harus diakuinya bahwa ia mencinta Sim Ki Liong dan mengharapkan pemuda itu menjadi suaminya yang baik. Akan tetapi sekarang jantungnya terasa bagaikan ditusuk-tusuk, dan perasaan cinta yang mendalam itu langsung berubah menjadi kebencian!
Jika cintanya itu diumpamakan sebuah mimpi indah, kini dia telah terbangun dan melihat kenyataan yang sebaliknya. Selama ini dengan penuh harapan cintanya dibangun dan dia bentuk menjadi tempat bunga dari kaca yang sangat indah. Namun dalam sekejap mata saja tempat bunga itu telah hancur berantakan dan meninggalkan pecahan-pecahan kaca yang menggores kalbu, mendatangkan luka berdarah yang teramat pedih.
Cinta asmara adalah cinta nafsu yang selalu bersyarat dan berpamrih. Cinta seperti ini muncul sesudah adanya suatu daya tarik yang menyenangkan, baik melalui ketampanan atau kecantikan wajah, kelembutan, keramahan, bahkan dapat pula melalui kemewahan, kedudukan, kemuliaan, atau kepintaran. Ada sesuatu yang ingin diraih dan dinikmati.
Kalau pada suatu waktu terjadi sebaliknya, sesuatu yang tidak menyenangkan lagi malah menyusahkan atau mengecewakan, maka cinta seperti ini mungkin saja akan berubah menjadi kebencian! Kita dengan mudah saja bersumpah cinta, sehidup semati, senasib sependeritaan, dan semua itu dapat terjadi selama si dia yang dicinta memenuhi syarat. Sekali saja syarat itu dilanggar maka cinta akan berubah menjadi benci dan kebahagiaan berubah menjadi kesengsaraan.
Banyak sudah terjadi peristiwa yang membuktikan betapa fananya cinta itu. Suami isteri yang tadinya bersumpah saling cinta akhirnya bercerai sesudah cekcok setiap hari, atau kawan yang tadinya saling mencinta dan saling setia akhirnya saling bermusuhan, malah orang tua yang tadinya bersumpah mencinta anaknya akhirnya menyumpahi anak itu.
Semua ini terjadi karena syarat cinta itu dilanggar, pamrih dalam bercinta tidak terpenuhi. Terjadi konflik-konflik yang bisa menjalar dan berkembang menjadi konflik antar bangsa dan antar negara. Sumbernya adalah konflik dalam diri pribadi kita masing-masing.
Selama hati akal pikiran dikuasai nafsu berdaya rendah, maka si-aku semakin menonjol, semakin berkembang kuat. Si-aku adalah nafsu yang menguasai hati akal pikiran, si aku adalah keinginan-keinginan. Selama si aku masih merajalela, maka terjadilah bentrokan-bentrokan antar keinginan, antar kepentingan diri masing-masing dan timbullah pertikaian dan permusuhan.
Hanya cinta kasih Tuhan sajalah yang maha benar dan maha suci, tak ada kebalikannya karena tunggal! Hanya kekuasaan Tuhan sajalah yang akan mampu membebaskan batin dari cengkeraman nafsu daya rendah dan mengembalikan nafsu-nafsu pada kedudukan yang semestinya, yaitu menjadi alat pelengkap kehidupan manusia, menjadi abdi, bukan majikan. Kalau sudah begitu maka hanya kekuasaan Tuhan yang akan menjadi kemudi, bukan lagi nafsu daya rendah, dan barulah apa yang dinamakan cinta kasih tidak akan mendatangkan sengsara!
Dalam kesedihannya Mayang masih menahan diri. Tidak mungkin dia harus mendatangi Sim Ki Liong dan Su Bi Hwa lalu menegur mereka. Tidak mungkin dia mengamuk karena cemburu. Kalau saja dia tidak ingat akan keluarga Cang, tentu malam itu juga dia sudah meninggalkan tempat itu, meninggalkan Sim Ki Liong begitu saja, memutuskan hubungan lahir batin dan mengambil jalan hidupnya sendiri.
Akan tetapi dia mengkhawatirkan keselamatan keluarga Cang. Dia tak ingin melihat Cang Hui menjadi korban Sim Ki Liong, atau Cang Sun menjadi korban Su Bi Hwa. Dia harus menentang niat buruk mereka. Mereka itu hendak memikat putera puteri pembesar Cang hanya untuk mendapatkan kedudukan tinggi. Dan dia harus mencegah terjadinya hal ini.
Sekarang dia mulai menduga bahwa kekuatan aneh yang membuat dia malam-malam itu rindu kepada Ki Liong, juga yang membuat Cang Hui seolah-olah dalam mimpi dan mau saja dirangkul Ku Liong, adalah kekuatan tidak wajar, kekuatan sihir! Buktinya, ketika dia mengerahkan kekuatan batinnya, dia segera tersadar, demikian pula Cang Hui.
Mengingat akan hal ini dia menjadi semakin penasaran dan marah. Liong Ki atau Sim Ki Liong sudah berani mempergunakan sihir, hal ini membuktikan bahwa pemuda itu kembali mengambil jalan sesat.
Sim Ki Liong dan Su Bi Hwa tidak tahu bahwa rahasia mereka sudah diketahui Mayang. Malam itu mereka mengadakan pertemuan untuk melepaskan kerinduan mereka dan juga untuk mengatur siasat. Mereka maklum bahwa siasat mereka hendak memikat Cang Sun dan Cang Hui telah mengalami kegagalan.
Mereka akan mengulang kembali, akan tetapi harus secara halus dan tidak tergesa-gesa. Kalau rahasia mereka sampai terbongkar, akan gagallah segalanya, bahkan mereka akan terancam malapetaka. Mereka lalu mengatur siasat lain untuk memperbesar kepercayaan Menteri Cang kepada mereka. Kepercayaan menteri itu yang akan menjadi landasan kuat bagi kedudukan mereka.
Mayang berpura-pura tidak tahu saja akan hubungan antara Liong Ki dengan Liong Bi. Ia harus mendapatkan bukti yang lebih kuat untuk membongkar maksud buruk mereka, bila memang benar mereka itu berniat buruk seperti yang diduganya. Tanpa bukti yang nyata tentu saja dia tidak mampu melakukan sesuatu. Terlebih lagi karena sikap kedua orang itu kepadanya amatlah baik, bahkan lebih ramah dari pada biasanya. Juga Liong Ki selalu bersikap sopan, tidak lagi memperlihatkan sikap merayu seperti biasanya.
Tiga hari kemudian, pada suatu malam yang amat gelap, empat sosok bayangan orang bergerak dengan lincahnya di dalam taman yang luas dari istana Menteri Cang Ku Ceng. Sesungguhnya sangat mengherankan bagaimana sampai ada empat orang asing dapat memasuki taman itu dari luar, padahal penjagaan di situ cukup ketat.
Mereka dapat melompati pagar tembok taman dari bagian yang kebetulan tidak terjaga. Juga sambil berindap-indap sekarang mereka menghampiri bangunan gedung atau istana keluarga Cang dan berhasil memasuki gedung melalui pintu samping yang ternyata tidak terkunci dari dalam! Agaknya mereka sudah hafal akan keadaan di sana, buktinya sambil berindap-indap mereka langsung saja menuju ke kamar induk, kamar Menteri Cang dan isterinya!
Ketika mereka berindap menuju ke kamar itu, tiba-tiba muncul dua orang penjaga yang melakukan perondaan. Seorang membawa lampu teng, yang ke dua membawa canang yang kadang dipukulnya lirih. Keduanya membawa golok telanjang.
Cepat sekali gerakan dua di antara empat sosok bayangan itu. Mereka melompat keluar, tahu-tahu dua orang peronda itu sudah roboh tertotok, canang dan lampu telah berpindah tangan, begitu pula golok mereka sehingga mereka berdua itu roboh tanpa mengeluarkan suara gaduh.
Agaknya empat orang itu sudah mempelajari keadaan di gedung besar itu. Mereka tanpa ragu-ragu menghampiri kamar besar di mana Cang Taijin dan isterinya tidur. Akan tetapi ketika mereka menghampiri jendela kamar untuk membongkarnya, tiba-tiba saja muncul dua orang penjaga yang sempat melihat betapa dua orang penjaga yang meronda telah menggeletak tak bergerak.
"Penjahat...!" bentak mereka dan dua orang ini sudah menerjang dengan golok mereka.
Dua di antara empat orang itu cepat menyambut dengan pedang, sedangkan dua orang lainnya membongkar jendela. Suara gaduh itu mengejutkan Menteri Cang Ku Ceng yang sudah membuka daun pintu. Isterinya menjerit dan berteriak-teriak memanggil pengawal.
Ketika melihat Menteri Cang keluar sambil membawa sebatang pedang, dua orang yang tadi membongkar jendela segera menyerang. Menteri Cang bukan seorang ahli pedang. Dia seorang ahli militer, jadi meski pun dia tidak pandai sekali berkelahi, namun sebagai seorang menteri yang kadang menjadi seorang panglima, tentu saja dia juga bukan orang yang lemah. Ia segera menggerakkan pedang melindungi dirinya, sementara itu isterinya berteriak-teriak minta tolong.
Dua orang penjahat sudah merobohkan dua orang penjaga yang tadi menyerbu dan kini mereka membantu dua orang kawan mereka mengeroyok Menteri Cang! Mereka adalah orang-orang yang pandai memainkan golok mereka, maka pembesar itu segera terdesak hebat dan berada dalam keadaan yang amat berbahaya bagi keselamatan nyawanya.
Akan tetapi teriakan-teriakan isteri pembesar itu agaknya menarik perhatian dan tiba-tiba muncullah Liong Ki dan Liong Bi! Dengan pedang di tangan kedua orang ini menerjang dan dalam waktu singkat saja empat orang penjahat itu telah roboh!
Mayang juga datang, akan tetapi dia agak terlambat tiba di sana karena dia terbiasa tidur melepaskan pakaian dan sepatu sehingga tadi dia harus mengenakan pakaian dan sepatu lebih dahulu, juga menyanggul rambutnya yang dibiarkan terlepas dari ikatan. Ketika tiba dia melihat empat orang itu telah roboh.
"Tangkap mereka hidup-hidup!" dia berseru. Namun seruannya terlambat sudah, pedang di tangan Liong Ki dan Liong Bi sudah menembus jantung mereka sehingga empat orang itu tewas seketika.
Mayang cepat melompat ke dekat empat orang itu dan memeriksa. Ternyata mereka tidak mungkin dapat ditanya lagi. "Aihh, kenapa kalian membunuh mereka?" Dia mencela Liong Ki dan Liong Bi.
"Mereka adalah orang-orang jahat, maka sudah sepatutnya dibunuh!" kata Liong Bi.
"Benar, aku pun tidak dapat menahan kemarahanku tadi. Sekarang baru aku ingat bahwa semestinya mereka itu ditanya dulu sebelum dibunuh." kata Liong Ki.
"Sudahlah, mereka sudah mati semua dan kalian sungguh telah menyelamatkan nyawa kami," kata Menteri Cang dengan sikap masih tenang saja.
Dia sudah terbiasa menghadapi ancaman dan bahaya, karena itu peristiwa yang hampir mencelakainya tadi dihadapi sebagai hal yang biasa saja. Isterinya juga keluar dari kamar dan wajah nyonya bangsawan itu agak pucat. Kemudian muncul pula Cang Hui dan Teng Cin Nio dan kedua orang gadis ini pun telah membawa sebatang pedang. Ketika mereka melihat Menteri Cang dan isterinya selamat dan empat orang penjahat terbunuh, legalah hati mereka dan Cang Hui merangkul ibunya. Cang Sun muncul dan pemuda itu segera berkata, dengan sikap sungguh-sungguh kepada ayahnya.
"Ayah, peristiwa ini sudah membuktikan bahwa pihak yang memusuhi ayah mulai berani mengirim pembunuh untuk menyerang kita. Oleh karena itu sudah seyogianya kalau ayah memperketat dan memperkuat penjagaan. Jika dua kakak-beradik Liong kebetulan hadir, tentu saja keamanan ayah terjamin. Tetapi tidak mungkin mereka menjaga keselamatan ayah siang malam."
Menteri Cang mengangguk, kemudian memerintahkan penjaga agar menyingkirkan mayat empat orang penjahat dan dua orang penjaga, juga memerintahkan komandan jaga untuk melapor kepada panglima pasukan keamanan agar diselidiki siapa adanya empat orang penjahat itu. Kemudian dia menyuruh Cang Hui dan Cin Nio menemani isterinya di dalam kamar, dan dia sendiri mengajak Liong Ki, Liong Bi dan Mayang untuk bercakap-cakap di ruangan dalam.
Setelah mereka berempat duduk berhadapan terhalang oleh meja besar, kembali Menteri Cang memuji dua orang pembantunya dan juga berterima kasih atas pertolongan mereka ketika tadi dia terdesak dan terancam.
Liong Ki segera memberi hormat kepada Menteri Cang. "Harap paduka tidak berpendapat demikian, Taijin. Sudah menjadi tugas kewajiban kami berdua untuk melindungi keluarga Taijin dari ancaman bahaya yang datang dari mana pun. Kami hanya merasa bersyukur bahwa kami tidak sampai terlambat."
"Taijin sudah melimpahkan kebaikan kepada kami, sudi menerima kami. Karena itu kami selalu siap untuk membela Taijin, dengan taruhan nyawa sekali pun," kata pula Liong Ki dengan suara dan wajah sungguh-sungguh.
Cang Taijin mengangguk-angguk. "Bagus, tidak percuma kami menerima kalian sebagai pengawal keluarga."
Semenjak tadi Mayang hanya diam saja. Ia pun bersyukur bahwa pembesar bijaksana itu dapat diselamatkan. Pembelaan Liong Ki dan Liong Bi sedikit banyak sudah mengurangi rasa tidak senangnya kepada mereka. Mereka itu terbukti setia, dan siapa tahu, mungkin mereka berdua merayu putera puteri Menteri Cang bukan dengan niat buruk, melainkan karena jatuh hati! Yang membuat dia tidak puas adalah dibunuhnya empat orang calon pembunuh itu sehingga tidak dapat diselidiki siapa yang menyuruh mereka itu menyerbu.
"Sayang kita tidak dapat mengetahui siapa orangnya yang sudah menyuruh empat orang pembunuh itu, Taijin," kata Mayang. "Apa bila mereka tidak dibunuh dan dapat ditangkap hidup-hidup, tentu mereka akan dapat membuat pengakuan dan kita pun bisa menangkap dalangnya."
Mendengar ini Liong Ki dan Liong Bi saling lirik, lalu Liong Ki berkata, "Adik Mayang benar sekali. Kami juga merasa menyesal mengapa kami tidak ingat akan hal itu. Kami terlalu terburu nafsu sehingga lupa dan telah membunuh mereka."
"Siapa yang tidak marah melihat para penjahat itu nyaris membunuh Taijin? Pada saat itu kami terlalu marah," sambung Liong Bi.
Cang Taijin mengelus jenggotnya dan mengangguk-angguk. "Hal itu sudah terjadi dan tak ada gunanya disesalkan. Andai kata mereka tertawan hidup-hidup, belum tentu mereka mau mengaku. Musuh kami terlalu banyak, dan kami kira mereka adalah kaki tangan para pemberontak. Mulai sekarang pasukan pengawal harus disiapkan untuk membantu kalian. Coa-ciangkun akan kupanggil kembali supaya dia mengatur pasukan pengawal sehingga tidak ada lagi pengacau yang dapat menyelinap masuk tanpa diketahui."
Sejak peristiwa malam itu, Menteri Cang Ku Ceng semakin percaya kepada kakak beradik Liong Ki dan Liong Bi. Tentu saja kedua orang ini merasa senang sekali. Memang inilah tujuan mereka.
Liong Bi yang mengatur siasat itu. Ia menghubungi Pek-lian-kauw, mengatakan bahwa dia dapat memberi jalan kepada beberapa orang Pek-lian-kauw untuk masuk ke dalam rumah gedung Menteri Cang Ku Ceng. Tentu saja pihak Pek-lian-kauw gembira mendengar ini karena mereka tahu bahwa Menteri Cang merupakan seorang di antara dua menteri setia yang pandai dan menjadi tulang punggung kerajaan Beng.
Ki Liong dan Bi Hwa adalah orang-orang yang berpengalaman dan cerdik. Merasa bahwa dengan kejadian ini mereka telah maju beberapa langkah dan kedudukan mereka menjadi semakin kokoh dan baik, untuk sementara mereka tidak mau membuat banyak ulah yang mungkin membahayakan kedudukan mereka. Maka usaha mereka mendekati Cang Sun dan Cang Hui untuk sementara mereka tunda. Jika kepercayaan keluarga Cang semakin menebal, tentu akan semakin mudah bagi mereka untuk mencapai sasaran itu.
Karena perubahan sikap itu, Mayang juga terkecoh. Dia tidak lagi melihat kedua orang itu merayu putera-puteri Menteri Cang. Sikap mereka baik dan sopan, dan ramah terhadap dirinya. Dari Cang Hui dia mendengar bahwa kini kedua orang itu sama sekali tak pernah lagi mengganggu, bersikap sopan dan baik.
Akan tetapi sungguh aneh, luka di hati Mayang agaknya tidak dapat sembuh sama sekali. Rasa cintanya terhadap Sim Ki Liong kini sudah membuyar karena dia merasakan benar bahwa ada sebuah rahasia yang busuk di antara Sim Ki Liong dan Su Bi Hwa yang kini menyamar sebagai kakak-beradik itu. Meski pun kedua orang itu kini bersikap sopan dan baik terhadap Cang Sun dan Cang Hui, namun dia hampir yakin bahwa mereka itu pernah merayu putera dan puteri Mnteri Cang dengan cara yang tidak wajar.
Ada kehidupan di perutnya. Perutnya berkeruyuk di luar kehendaknya. Perut itu hidup dan kini memberi isyarat minta diisi. Bukan hanya memperdengarkan suara berkeruyuk, akan tetapi juga terasa hampa dan pedih. Lapar! Dalam keadaan seperti itu, yang dibutuhkan hanyalah makanan pengisi perut. Makanan apa saja asal dapat memenuhi tuntutan perut lapar. Bukan lagi tuntutan nafsu selera mulut yang ingin makan enak.
Hay Hay memasuki hutan yang nampak liar dan gelap itu. Hutan selebat itu tentu dihuni oleh banyak binatang yang dagingnya dapat dimakan, atau mungkin juga tumbuh pohon buah. Pendeknya daging binatang atau buah apa saja yang dapat dimakan. Dia sangat memerlukannya saat itu.
Akan tetapi di tempat itu tak ada pohon buah. Yang ada hanyalah pohon-pohon liar yang sangat besar, mungkin sudah ratusan tahun umurnya. Dia harus mencari binatang hutan yang dagingnya enak dimakan. Kalau ada kelinci atau kijang. Dia tak mau makan daging kera atau babi hutan karena belum pernah dia memakannya dan rasanya tidak tega untuk makan daging kera, dan dia merasa jijik untuk makan daging babi hutan yang nampaknya demikian kotor.
Sejak kemarin dia melakukan perjalanan di daerah tandus, tidak bertemu dusun sehingga sudah sehari semalam dia tidak makan. Perutnya yang sangat lapar membuat tubuhnya agak gemetar.
Tiba-tiba dia mendengar suara auman yang menggetarkan bumi. Auman harimau! Pernah dia menyantap daging harimau. Lumayan juga. Seperti daging domba, panas tetapi lebih kasar. Kalau tidak ada pilihan lain, daging harimau pun akan diterima dengan senang oleh perutnya. Daging harimau bakar, dan dia masih menyimpan bawang kering dan garam! Jakunnya sudah naik turun ketika dia membayangkan daging harimau yang dipanggang kemerahan.
Cepat dia menyelinap menuju ke arah suara auman harimau tadi. Kini suara itu menjadi semakin riuh dan ternyata bukan suara seekor harimau saja yang mengaum, melainkan ada beberapa ekor harimau dan dua di antaranya menggereng, disusul gerengan harimau lain sehingga terdengar ramai sekali.
Hay Hay cepat menghampiri tempat itu, dan dia bersembunyi sambil mengintai dengan hati tertarik sekali. Nampak seekor harimau berbulu hitam sedang berkelahi melawan dua ekor harimau belang. Dua ekor harimau yang mengeroyoknya itu bertubuh lebih besar, akan tetapi harimau hitam itu tangkas bukan main. Gerakannya amat cepat, gesit dan dari otot-otot kekar yang melingkari tubuh di bawah kulit itu dapatlah diketahui bahwa harimau hitam ini selain tangkas juga sangat kuat. Hay Hay yang menjadi penonton kagum bukan main. Harimau hitam jantan itu sungguh perkasa.
Di tempat itu nampak pula dua ekor harimau betina yang masih muda. Agaknya mereka pun menjadi penonton sambil sesekali mengeluarkan gerengan. Seperti yang telah diduga oleh Hay Hay, perkelahian itu tidak berlangsung lama. Segera dua ekor harimau biasa itu melarikan diri dengan luka-luka berdarah. Dan kini harimau hitam menghampiri dua ekor harimau betina, harimau berbulu belang biasa seperti dua ekor harimau jantan yang tadi melarikan diri.
Dua ekor harimau betina ini menggereng dan kelihatan tidak senang, akan tetapi ketika harimau hitam mengeluarkan auman dan menunjukkan gigi bercaling yang runcing tajam, kedua ekor harimau betina itu nampak ketakutan dan mereka pun tidak melawan ketika harimau jantan hitam itu membelai-belai dan menumpahkan birahinya.
Hay Hay tertegun dan dia pun teringat kepada mendiang ayah kandungnya, Si Kumbang Merah. Harimau hitam ini agaknya memiliki watak yang mirip mendiang ayahnya itu. Gila betina dan mempergunakan kekerasan untuk merampas harimau betina dari harimau lain, suka memaksakan kehendak dan birahinya!
Dia masih terpesona melihat lagak harimau jantan hitam itu. Binatang itu memaksa dua ekor harimau betina, memperkosa mereka bergantian dan agaknya binatang itu memiliki kekuatan yang tidak wajar. Dia tidak mengenal lelah. Menyaksikan peristiwa yang selama hidup belum pernah dilihatnya itu, Hay Hay menjadi tertarik sekali sampai dia lupa akan rasa lapar di perutnya.
Akhirnya harimau jantan yang berbulu kehitaman itu tidak lagi mengganggu kedua ekor korbannya. Dengan langkah gontai yang menambah kegagahannya harimau itu kemudian berjalan menuju ke bawah pohon besar. Di sana kedua kaki depannya mencakar-cakar tanah dan menggali tanaman seperti ubi, lalu dimakannya ubi itu dengan lahapnya.
Hay Hay semakin heran. Ketika harimau itu makan ubi, mulutnya menjadi merah seperti berlepotan darah! Setelah harimau itu menghabiskan beberapa butir ubi merah, kemudian terjadilah hal yang membuat Hay Hay mengerutkan alisnya.
Harimau jantan hitam itu kembali mengganggu dua ekor harimau betina yang nampaknya sudah kelelahan. Dua ekor harimau betina itu melakukan perlawanan, akan tetapi mereka menerima cakaran dan gigitan yang membuat mereka luka-luka.
Melihat ini Hay Hay tak dapat menahan kemarahannya. Dia seperti melihat penjahat cabul memperkosa dua orang wanita dan menyiksa mereka. Dengan geram dia pun melompat keluar dari balik semak belukar.
Melihat ada orang meloncat keluar, harimau itu menghentikan gangguannya kepada dua ekor korbannya kemudian dia pun mengaum dengan nyaring, menggetarkan bumi sambil berindap-indap menghampiri Hay Hay. Setelah tiba di depan Hay Hay dalam jarak empat meter, harimau itu berhenti, mendekam dan matanya seperti mencorong mengamati Hay Hay.
Pemuda ini pun tidak mau kalah, memandang harimau itu sehingga sejenak manusia dan harimau bertatap pandang mata. Bagaimana pun juga harimau itu akhirnya mengejapkan mata dan nampak gelisah, kemudian bangkit berdiri, keempat kakinya menegang, semua ototnya menggetar dan harimau itu mengaum lagi dua kali.
Hay Hay sudah siap siaga, maklum bahwa harimau itu tentu akan segera menyerangnya. Dia telah membuat perhitungan dan mengukur jarak antara tempat itu dengan sebongkah batu besar yang berada di sebelah kirinya.
Harimau hitam itu kini menggereng dan segera tubuhnya meluncur naik ke depan, seperti terbang menubruk ke arah Hay Hay dengan gerakan yang cepat sekali. Semua suara dan sikapnya mendatangkan rasa gentar karena dahsyat dan berwibawa, namun gerakan itu tidak terlalu cepat bagi Hay Hay.
"Binatang kejam dan jahat!" bentak Hay Hay.
Ketika tubuh binatang itu hampir menerkamnya, secara tiba-tiba dia membuat gerakan ke depan bawah, menyelinap dan mengelak sehingga tubuh harimau itu meluncur lewat. Dia cepat membalik dan menangkap ekor harimau yang panjang itu dengan kedua tangannya. Kemudian, tanpa membuang waktu lagi, Hay Hay mengayun tubuh harimau itu.
Harimau yang dipegang ekornya dan diayun-ayun itu tidak mendapat kesempatan untuk membalik dan mencakar dua tangan yang menangkap ekornya, bahkan dengan ayunan kuat tubuh harimau itu sekarang telah meluncur ke arah batu besar.
"Prakkk!" Harimau itu tidak sempat mengaum lagi karena kepalanya sudah pecah ketika dengan amat kuatnya kepala itu dihantamkan ke batu besar. Binatang itu mati seketika!
Hay Hay tersenyum ketika menengok ke arah dua ekor harimau betina tadi. Dua harimau itu melarikan diri bagaikan dua orang wanita yang baru saja terbebas dari cengkeraman seorang jai-hwa-cat (penjahat cabul)!
Dia pun cepat membuat api unggun, memanggang daging harrmau jantan hitam setelah membumbuinya dengan garam dan bawang kering. Baunya sedap bukan main sesudah daging yang dibumbui itu terpanggang api.
Ketika mulai makan daging panggang yang masih panas itu, dia menyayangkan bahwa di sana tidak ada nasi. Dan teringatlah dia akan ubi merah yang tadi dimakan oleh harimau, maka dia pun menghampiri tempat itu. Dilihatnya tanaman semacam ubi jalar dan ketika dia mencabutnya, dia mendapatkan dua butir ubi yang kulitnya kemerahan.
Dia mengupasnya dan nampak daging ubi yang merah sekali, merah darah! Pantas saja tadi mulut harimau hitam menjadi merah seperti berlepotan darah sesudah makan ubi itu. Dia mencoba makan ubi itu. Rasanya enak, manis dan sedap! Dia pun makan ubi merah yang manis itu dengan daging harimau, sampai kenyang sekali.
Perut yang kenyang, tubuh yang lelah dan tersilirkan oleh angin yang sejuk membuat Hay Hay mengantuk. Dia bersandar pada batang pohon dan hampir tertidur. Ketika dia teringat kepada hariamu-harimau tadi, dia segera meloncat naik ke atas pohon. Amat berbahaya tidur di tempat yang banyak harimaunya itu. Tidak lama kemudian dia pun sudah tertidur nyenyak di atas pohon. Dalam perjalanan dan petualangannya dia sudah terbiasa tidur di atas pohon.
Matahari sudah condong ke barat ketika Hay Hay mengejap-ejapkan matanya kemudian terbangun. Dia mimpi terjebak oleh musuh dan berada dalam ruangan yang terkurung api. Ketika terbangun dia masih merasakan hawa yang panasnya bukan kepalang dan semua pakaiannya basah karena keringat. Dia lantas meloncat turun dari atas pohon. Tubuhnya terasa ringan dan kuat, akan tetapi panasnya bukan main seolah ada api besar bernyala di dalam perut dan dadanya.
Hay Hay juga merasakan rangsangan birahi yang kuat sekali sehingga dia merasa sangat khawatir. Tahulah bahwa keadaannya ini tidak wajar dan dia pun teringat akan apa yang dimakannya tadi. Daging harimau jantan bulu hitam dan ubi merah darah. Agaknya itulah yang menjadi sebab keadaannya ini.
Dia pun cepat duduk bersila kemudian mengerahkan tenaga dalamnya. Setelah mengatur pernapasan dan menghimpun hawa jernih akhirnya dia berhasil meredakan gelora dalam tubuhnya. Namun api itu tidak padam, hanya kini menyala kecil di sebelah dalam. Tahulah dia bahwa daging harimau hitam dan ubi merah itu mengandung daya rangsangan birahi yang amat kuat.
Sekarang dia mengerti mengapa watak harimau jantan hitam itu seperti tadi. Tentu karena binatang itu biasa makan ubi merah, maka harimau itu memiliki gairah yang sangat besar, juga agaknya makanan itu mendatangkan tenaga yang hebat pula.
Sebelum malam tiba dia harus mencari sebuah dusun dan memperoleh tempat menginap. Walau pun dapat saja dia melewatkan malam di hutan, tidur di atas pohon, namun akan lebih nyaman apa bila dia dapat bermalam di dalam sebuah rumah, meski hanya rumah pondok kecil sederhana milik orang dusun.
Dia mencari sebatang pohon yang paling tinggi, meloncat dan memanjat pohon itu hingga ke puncaknya lantas dari tempat tinggi itu dia memandang ke sekeliling. Matahari sudah condong ke barat, senja telah mendatang dan pemandangan dari pohon tinggi itu amatlah indahnya. Kiranya hutan itu berada di lereng bukit dan di sebelah bawah lereng bukit itu nampak sebuah dusun yang hanya kelihatan genteng-genteng rumahnya. Penglihatan ini mendatangkan kegembiraan di hati Hay Hay. Genteng rumah itu seakan-akan melambai-lambai memanggilnya datang.
Segera dia turun dari pohon dan berlari cepat keluar dari hutan itu, menuju ke arah dusun yang tadi dilihatnya. Saat tiba di luar dusun cuaca menjadi lebih terang dan pemandangan senja itu amat indahnya. Seolah-olah sang matahari yang akan mengundurkan diri malam itu, sebelum menghilang lebih dahulu memancarkan cahayanya lebih gemilang walau pun lembut.
Hay Hay berhenti sejenak menikmati pemandangan indah itu. Kini dari luar hutan itu dia dapat melihat dusun tadi. Nampak pula sebuah sungai yang berkelok-kelok di luar dusun, airnya berkilauan tertimpa cahaya senja. Dia pun cepat menuruni lereng itu menuju ke dusun.
Ketika dia sampai di dekat anak sungai yang berbatu-batu dan berpasir sehingga airnya amat jernihnya, tiba-tiba dia berhenti lagi. Sekali ini bukan untuk menikmati pemandangan indah, melainkan karena mendengar suara yang amat dikenalnya dan amat disenanginya. Suara gadis-gadis bercanda dan tertawa-tawa, suara air yang mereka permainkan dengan menampar permukaan sungai. Entah mengapa, suara wanita yang merdu, suara mereka tertawa dan bergurau, telah menyenangkan hati Hay Hay dan dia pun segera menuju ke arah suara.
Kembali Hay Hay berhenti melangkah. Sekarang dia tertegun dan terpesona. Seperti yang diharapkannya, ternyata di sungai yang dangkal itu ada lima orang wanita sedang mandi! Dan melampaui dugaan dan harapannya, mereka adalah gadis-gadis yang cantik, sedang mandi sambil bersiram-siraman air di sungai jernih yang dalamnya hanya sepinggang itu. Mereka bersenda gurau, bermain-main di air dengan gembira dan Hay Hay terpesona.
Pantasnya mereka adalah lima orang bidadari dari kahyangan yang datang dan mandi di sungai jernih, di waktu senja seperti yang pernah dia baca dalam dongeng kuno! Mereka hanya mengenakan pakaian dalam sebatas dada, ada pun pundak, punggung dan lengan mereka yang telanjang itu nampak putih keemasan tertimpa cahaya matahari senja, halus mulus dan amat indahnya.
Hay Hay bersembunyi di balik rumpun ilalang di pinggir sungai, mengintai dengan jantung berdebar kencang. Rasa hangat dari apa yang tak pernah padam sejak dia makan daging harimau hitam dan ubi merah tadi sekarang mulai berkobar lagi. Gairah nafsu yang hebat merangsangnya dan hampir tak tertahankan. Terutama sekali ketika dia melihat seorang di antara lima orang gadis dusun itu.
Seorang gadis yang sangat manis. Agaknya empat orang gadis lain memusatkan godaan mereka kepada gadis manis ini, yang kadang-kadang tersipu malu dengan muka menjadi kemerahan! Dari ucapan dan godaan empat orang gadis itu, tahulah Hay Hay bahwa dara manis yang amat menarik hatinya itu adalah seorang pengantin baru!
Nafsu bagaikan api. Kalau dapat dikendalikan maka nafsu sangat berguna bagi manusia, bahkan manusia tak mungkin bisa hidup tanpa nafsu. Nafsu menyusup dan menjadi satu dengan panca indera, bergelimang dalam hati dan akal pikiran. Tanpa bekerjanya nafsu yang menyusup ke dalam hati dan akal pikiran maka manusia tak akan dapat mengalami kemajuan dalam keduniawian.
Tapi, seperti juga api, kalau nafsu tidak terkendali, kalau nafsu tidak lagi menjadi pelayan melainkan menjadi majikan, maka celakalah kita! Kita akan diseretnya, laksana api yang tak terkendali, semua akan dilahapnya dan akan semakin berkobar. Kita akan terseret ke dalam perbuatan tanpa pantangan lagi demi mengejar kesenangan.
Makanan nafsu adalah kesenangan. Di mana ada kesenangan maka nafsu akan bangkit dan menjadi sangat kuat. Makin kuat nafsu merajalela maka semakin lemahlah jiwa. Dan tidak ada kekuatan di dunia lni yang akan sanggup meredakan nafsu kecuali kekuasaan Tuhan! Kepada Tuhan saja kita dapat memohon dan menyerah, mohon pertolongan dan bimbingan. Tanpa bimbingan Tuhan, setiap perbuatan yang bagaimana nampak baik pun pada dasarnya bergelimang nafsu, pada dasarnya pasti berpamrih demi keuntungan dan kesenangan diri sendiri, karena ke sanalah arah tujuan semua nafsu.
Hay Hay merasa betapa seluruh tubuhnya tergetar ketika dia melihat lima orang gadis itu bermain-main di air sungai, terutama sekali saat melihat wanita muda yang oleh kawan-kawannya digoda sebagai pengantin baru. Dia tidak dapat menahan diri lagi untuk tidak mendekati dan berkenalan dengan mereka.
Hay Hay muncul dari balik rumpun ilalang. Begitu melihat kemunculan seorang pria asing, lima orang wanita itu menjerit kecil dan dengan bingung dan panik mereka menggunakan kedua tangan untuk menutupi dada yang hanya tertutup kain tipis yang tembus pandang karena basah.
Melihat mereka salah tingkah dan nampak ketakutan, sambil mengangkat dua tangannya ke atas Hay Hay cepat-cepat berkata, "Nona-nona harap jangan takut. Aku bukan setan tetapi manusia biasa dan manusia pun bukan yang jahat. Lihat, aku sudah membalikkan tubuh agar tidak melihat kalian mengenakan pakaian. Aku hanya ingin berkenalan." Hay Hay lalu membalikkan tubuh sehingga membelakangi mereka.
Melihat ini timbul pula keberanian para gadis itu, lantas sambil cekikikan menahan tawa mereka segera keluar dari sungai, mengenakan pakaian kering dan sambil tertawa-tawa mereka beriari-larian kecil meninggalkan tempat itu.
"Nanti dulu! Nona pengantin, aku ingin sekali memberi selamat kepadamu! Sebagai nona pengantin yang baik engkau harus mau menerima ucapan selamat dariku!" kata Hay Hay dengan suara lembut membujuk.
Mendengar ini pengantin baru itu terpaksa berhenti berlari, tetapi empat orang kawannya terus melanjutkan lari mereka meninggalkan Hay Hay. Wanita pengantin baru itu berdiri menanti dan dengan muka tersipu dia memandang kepada pemuda yang kini telah berdiri di depannya. Seorang pemuda tampan yang sikapnya sederhana, pandangan mata dan senyumnya lembut dan sopan sehingga dia hanya merasa malu tetapi tidak takut lagi.
"Nona pengantin yang baik, aku merasa menyesal sekali tidak sempat menghadiri pesta pernikahanmu. Tentu meriah sekali, tetapi sayang aku tidak dapat hadir" Hay Hay berkata ramah, kemudian menyambung untuk memancing percakapan, "kenapa nona begitu tega kepadaku dan tidak mengundangku untuk menghadiri pesta pernikahanmu?"
Wanita itu memandang heran tetapi cepat membela diri. "Bagaimana aku dapat mengirim undangan kalau aku tidak mengenalmu?"
"Ahhh, benar juga, aku sampai lupa, Nona pengantin baru! Nah, biarlah sekarang engkau mengenalku. Aku adalah Hay Hay, dan bolehkah aku mengetahui nama Nona pengantin yang manis? Tanpa mengetahui nama, bagaimana aku dapat memberi selamat?" kata Hay Hay dengan sikap sopan dan ramah sekali.
Melihat pemuda ini tidak bersikap kurang ajar, bahkan sopan dan manis budi, tentu saja wanita muda pengantin baru itu pun tidak lagi merasa curiga atau sungkan. Ia tersenyum sehingga jantung di dalam dada Hay Hay terlonjak. Manisnya senyum itu! Bahagianya si pengantin pria, pikirnya agak iri.
"Namaku Cing Ling... ehh, maksudku Nyonya Ji San." kata wanita itu yang tersipu karena kelepasan bicara memperkenalkan nama gadisnya.
"Cing Ling, nama yang bagus sekali. Aku lebih suka mengingat nama itu, karena nama itu mengingatkan aku akan seorang gadis yang cantik jelita seperti bidadari. Kau tahu, Nona. Ketika tadi aku baru tiba di tempat ini, aku bersembunyi karena takut!"
Kini wanita itu telah terpancing dan sudah terlibat dalam percakapan. Setiap kali Hay Hay bicara selalu membuat dia ingin tahu kelanjutannya. Sikap pemuda itu terlalu lembut dan manis, juga ucapannya halus dan selalu berupa kalimat yang membutuhkan keterangan lanjutan.
"Kongcu, kenapa kau takut?" tanya wanita itu ingin tahu sekali.
"Kongcu? Aihh, sekarang engkau membuat aku merasa sedih dan penasaran, Cing Ling! Apakah engkau tidak sudi menerima uluran tanganku untuk berkenalan dan bersahabat?"
Wanita itu terkejut, tidak tahu mengapa dia membuat pemuda itu sedih dan penasaran! "Apa maksudmu, Kongcu?"
"Kongcu lagi! Aih, celaka, kenapa engkau berkongcu-kongcuan kepadaku? Bukahkah kita telah berkenalan dan menjadi sahabat? Sudah kuberi tahukan bahwa namaku adalah Hay Hay. Nah, panggil saja namaku itu, jangan pakai kongcu segala. Maukah engkau menjadi sahabatku dan menyebut namaku saja, Cing Ling?"
Wanita muda ini sudah merasa terbuai di awang-awang oleh pujian Hay Hay mengenai kecantikannya, maka kini dia merasa gembira dan tersenyum lagi, senyum yang mampu membuat Hay Hay setengah pingsan!
"Baiklah, Hay Hay. Nah, sekarang katakan mengapa engkau ketakutan begitu tiba di sini tadi? Apakah engkau melihat setan?" pengantin muda itu mulai berani bergurau.
Hal ini dapat dimaklumi. Ia baru saja menjadi pengantin, dipersandingkan dengan seorang lelaki yang tadinya tidak dikenalnya sama sekali sehingga membuat dia merasa sungkan, asing, dan malu-malu. Selama beberapa hari tinggal di rumah suaminya, dengan keluarga mertuanya, dia merasa terasing dan rikuh, seperti berada di pulau terasing tanpa kawan dekat, melayani suami dan mertua yang masih asing sehingga hubungan antara mereka menjadi kaku.
Baru sore hari ini dia memperoleh kesempatan untuk keluar dan mandi di sungai bersama kawan-kawan lamanya sehingga mendatangkan kegembiraan luar biasa. Kini, berjumpa dengan Hay Hay yang pandai mengambil hati, amat ramah dan halus, timbul kegembiraan hati Cing Ling dan dia pun mulai berani menyambut gurauan Hay Hay.
"Melihat setan? Wah, jauh dari pada itu. Bahkan sebaliknya! Aku melihat bidadari! Lima orang bidadari sedang mandi di air sungai yang sangat jernih, dan terutama seorang di antara mereka, sungguh membuat aku terpesona dan juga ketakutan!"
Sepasang mata yang jeli itu bersinar-sinar, sedangkan bibir yang manis itu dihias senyum nakal. "Hemmm, aneh! Tidak melihat setan akan tetapi melihat bidadari, kenapa menjadi ketakutan?"
Hay Hay tertawa. "Ha-ha-ha, kalau hanya menghadapi setan, aku sama sekali tidak akan merasa takut! Akan tetapi jantungku seperti akan copot kalau menghadapi bidadari yang cantik jelita, manis seperti madu, rambut yang ikal mayang dan hitam panjang, kulit tubuh yang mulus dan bersih, sepasang mata yang jeli dan dapat menjadi redup, pipi yang ada kalanya dapat menjadi kemerahan, dan senyum yang... aduhai senyummu, Cing Ling!"
Wanita mana di dunia ini yang tidak haus dengan pujian tentang kecantikannya? Wanita mana yang tidak haus dengan kata-kata yang manis merayu? Apa lagi kalau yang memuji dan merayunya adalah seorang pemuda yang demikian tampan seperti Hay Hay, dengan sikap yang lembut dan sopan, tidak kurang ajar. Jika wanita itu menjadi marah, maka hal itu hanya pura-pura saja untuk menyembunyikan rasa senangnya, karena malu, seperti halnya Cin Ling.
"Ihh, engkau... engkau sedang merayuku, ya? Engkau mata keranjang!" Cing Ling hendak membalikkan tubuh meninggalkan Hay Hay, akan tetapi Hay Hay segera menjatuhkan diri berlutut dengan kaki kirinya.
"Cing Ling, sungguh mati aku tidak bermaksud kurang ajar! Apa bila ucapanku tadi sudah menyinggung hatimu, maukah engkau mengampuni aku? Kita sudah bersahabat, bukan? Nah, maafkanlah aku dan aku tidak akan mengulang lagi ucapan yang akan menyinggung hatimu. Maafkan aku, kalau tidak, aku pun akan berlutut terus di sini sampai akhir jaman!"
Mendengar ucapan itu, mau tak mau sang pengantin baru menghentikan langkahnya dan ketika menengok, dia menahan suara ketawanya melihat pemuda itu benar-benar berlutut menghadapnya. Selama hidupnya gadis dusun ini tidak pernah mendapatkan kehormatan seperti itu, maka dia cepat-cepat menghampiri Hay Hay dan berkata.
"Ihh, jangan begitu! Bangkitlah dan jangan berlutut, nanti bajumu menjadi kotor!"
"Tidak, sebelum engkau memaafkan aku maka aku tidak akan mau bangkit, biar aku mati berlutut terus begini!"
"Baiklah, aku maafkan engkau... nah, bangkitlah..."
"Sebut dulu namaku, baru aku mau bangkit."
Wanita muda itu menarik napas panjang. Dia merasa tidak berdaya menghadapi pemuda yang sangat menarik hatinya ini. Walau pun sudah terikat, dia merasa kasihan dan suka kepada pemuda ini, merasa seolah-olah dia telah mengenal pemuda ini selama bertahun-tahun karena pemuda ini bersikap sedemikian akrabnya.
"Aihh, Hay Hay, bangkitlah, aku memaafkanmu," akhirnya dia berkata.
Hay Hay mengangkat muka memandang. "Cing Ling, bagaimana aku bisa percaya bahwa engkau memaafkan aku lahir batin? Jangan-jangan hanya di bibir saja. Aku bukan memuji kosong, aku pun bukan perayu, aku hanya berkata terus terang ketika menyatakan bahwa engkau memang cantik jelita dan manis bagaikan bidadari. Benarkah engkau memaafkan aku?"
Wajah itu berubah menjadi kemerahan dan Cing Ling menggigit bibirnya sendiri karena gemas. Minta maaf sambil mengulang lagi pujian-pujiannya! Sungguh selama hidup belum pernah dia bertemu dengan seorang laki-laki seperti ini, bahkan dalam mimpi sekali pun!
"Aku memaafkanmu," katanya mengangguk.
Hay Hay mengulurkan dua tangannya. "Bangkitkan aku, Cing Ling, baru aku mau percaya bahwa engkau memang benar-benar sudah memaafkan aku. Bukankah kita telah menjadi sahabat baik?"
Wanita itu tersenyum. Pemuda ini malah keluar manjanya! Akan tetapi karena semua itu dilakukan Hay Hay dengan sungguh-sungguh, maka Cing Ling terpaksa menjulurkan pula kedua tangannya, memegang tangan Hay Hay dan pemuda itu pun menggenggam kedua tangan yang kecil mungil itu, kemudian bangkit berdiri tanpa melepaskan dua tangan itu. Bagaikan dua ekor anak ayam yang lembut dan hangat, dua buah tangan kecil di dalam genggangannya itu gemetar dan Cing Ling menundukkan mukanya.
Baru beberapa hari yang lalu dia mendapatkan pengalaman pertama berdekatan dengan pria, yaitu suaminya. Namun dia tidak pernah merasakan seperti sekarang ini! Jantungnya terasa seperti terguncang ketika kedua tangannya digenggam seperti ini, membuat kedua kakinya menggigil dan tubuhnya panas dingin! Dia seperti kehilangan semua tenaganya sehingga tidak kuasa melepaskan kedua tangan yang tergenggam.
Sementara itu, pada diri Hay Hay juga terjadi hal yang aneh, yang tak pernah dia rasakan sebelumnya. Sejak dulu dia memang pengagum keindahan dan kecantikan wanita. Tetapi semua rasa kagum itu berjalan wajar saja, seperti orang mengagumi bunga-bunga yang indah, rasa suka yang bersih dari pada nafsu. Namun sekarang lain lagi!
Kini di dalam tubuhnya terdapat api yang menggelora, bernyala-nyala membakar seluruh dirinya. Api nafsu birahi yang tak pernah dia rasakan sebelumnya, yang membuat semua kesadarannya menjadi gelap dan pertimbangannya menjadi terguncang sehingga dia lupa diri. Gairah yang menggebu membuat dia menarik kedua tangan itu mendekat dan tubuh wanita itu pun roboh dalam dekapannya!
Kalau saja saat itu Cing Ling meronta dan melawan, tentu kesadaran Hay Hay akan pulih kembali. Akan tetapi tidak. Wanita itu pun bagai terpesona, seperti kehilangan kesadaran dan hanya pasrah dalam dekapan Hay Hay dengan isak tertahan. Ketika dalam kobaran nafsu birahi Hay Hay menunduk dan mencium wanita itu, Cing Ling pasrah dan merekah seperti setangkai bunga yang menerima siraman embun pagi.
"Cing Ling...!" Hay Hay berbisik dan mencium lagi.
"Hay Hay...," Cing Ling mengeluh dan pasrah.
"Jahanam keparat...!" terdengar bentakan orang.
Tentu saja Hay Hay dan Cing Ling yang sedang bermesraan dan lupa diri itu terkejut dan ketika mereka menengok, ternyata di tempat itu telah berdiri belasan orang laki-laki dusun dengan wajah penuh kemarahan!
Cing Ling tersadar dan dia pun segera mendorong dada Hay Hay sekuat tenaga, lantas menudingkan jari telunjuknya yang gemetar. Mukanya pucat, rambutnya awut-awutan dan suaranya gemetar pula, "Mengapa... mengapa kau... kau... memelukku...?" Berkali-kali dia berseru seperti itu.
Hay Hay juga sadar akan keadaan dirinya. Mukanya menjadi merah sekali dan dia pun memaki diri sendiri. Celaka sekali, pikirnya. Dia telah mendatangkan mala petaka kepada seorang wanita yang sangat baik, seorang wanita yang sama sekali tidak berdosa! Tentu pengantin baru ini akan menghadapi ancaman kemarahan suaminya dan semua keluarga suaminya!
"Keparat jahanam, berani engkau mempermainkan isteri orang?!" bentak seorang pemuda tinggi besar bermuka hitam. "Engkau telah menghina isteriku, maka engkau layak dipukul hingga mampus!" kata si muka hitam yang menerjang maju dengan kedua tangan dikepal.
Wah, kiranya si tinggi besar muka hitam ini adalah suami si pengantin baru! Hay Hay tak sempat berpikir lagi karena orang itu sudah menjotos mukanya. Karena merasa bersalah dan marah terhadap diri sendiri, Hay Hay merasa bahwa dirinya memang pantas dipukul, patut dihajar!
"Dukk!" Pukulan itu keras sekali menghantam pipinya.
"Bukk!" Pukulan ke dua mengenai dadanya.
Tubuh Hay Hay lantas terjengkang, kepalanya menjadi pening. Dia memang sengaja tidak mengerahkan tenaga apa pun, sengaja menerima pukulan-pukulan itu begitu saja untuk membiarkan dirinya dihajar!
Sekarang belasan orang itu menghujankan pukulan kepadanya. Hay Hay baru mengelak apa bila ada kaki menyambar. Dia sudah memberikan tubuhnya untuk dihajar orang, akan tetapi dia tidak mau menerima tendangan. Pukulan mereka berdatangan dan terdengarlah bunyi bak-bik-buk ketika tubuhnya dijadikan bulan-bulan pukulan mereka. Terutama sekali si muka hitam yang marah sekali melihat isterinya tadi didekap dan diciumi oleh pemuda itu, kini melampiaskan kemarahannya dengan pukulan-pukulan sekuatnya.
Mampus kau, pikir Hay Hay menyumpahi diri sendiri. Rasakan kau sekarang! Dia merasa tubuhnya remuk-remuk, bibirnya pecah berdarah, kedua matanya berkunang-kunang dan agaknya dia nyaris pingsan. Tiba-tiba terdengar teriakan dan tangis wanita itu.
"Jangan bunuh dia... ahh, jangan bunuh dia... dia tidak bersalah...!"
Hay Hay membuka lagi kedua matanya yang sudah lebam membengkak dan kehitaman. Dia melihat pengantin baru itu berlutut di dekatnya dan menangis, menutupi muka dengan kedua tangan sambil minta ampun bagi dirinya! Hay Hay merasa terharu sekali! Alangkah lembut dan mulia hati wanita ini, dan hampir saja dia tadi menodainya! Betapa jahat dia!
Akan tetapi dia menahan diri karena apa yang dilihatnya itu belum merupakan bukti akan niat kotor dari kekasihnya itu. Dia harus bersabar dan melihat perkembangannya. Bukan saja untuk menentukan sikap mengenai hubungannya dengan pemuda itu, tapi yang lebih penting lagi, dia harus melindungi keluarga Cang yang demikian baik.
Menteri Cang adalah seorang yang bijaksana dan namanya harum, dikenal dan dihormati oleh semua pendekar. Juga puteranya, Cang Sun, seorang pemuda yang sopan dan alim. Apa lagi Cang Hui, seorang gadis yang amat disayangnya biar pun mereka baru bergaul beberapa pekan lamanya. Gadis bangsawan itu begitu lincah jenaka, hatinya bersih dan budinya baik.
Andai kata ada orang yang akan mengganggu keluarga itu, dia harus melindungi keluarga ini, biar pengacau itu kekasihnya sendiri sekali pun! Juga masih ada sedikit harapan yang tergantung di dalam hatinya bahwa apa yang dilihatnya tadi adalah hal yang terjadi bukan karena kesalahan kekasihnya, bahwa memang Liong Ki tidak tahu menahu tentang sikap aneh Cang Hui itu. Dia masih menaruh harapan bahwa Liong Ki yang mencintanya dan dicintanya akan tetap bertobat dan mengambil jalan yang bersih.
Pada keesokan harinya, ketika Mayang seperti biasa menemui Cang Hui dan Cin Nio, dia tidak melihat adanya perubahan pada sikap Cang Hui. Akan tetapi dia bisa melihat bahwa selama beberapa hari ini Cin Nio kelihatan lesu dan seperti orang yang selalu melamun, seperti orang yang menderita kesedihan namun ditahan-tahan.
Dia tidak mau bertanya apa-apa kepada Cang Hui, karena hal itu tentu akan membuat gadis bangsawan itu terkejut dan malu, apa lagi gadis itu juga tidak memperlihatkan suatu kelainan, seakan tidak pernah terjadi apa-apa dengan dirinya. Sebaliknya, ketika Mayang hendak melanjutkan petunjuknya tentang ilmu silat, Cin Nio kelihatan malas, bahkan gadis ini kemudian berpamit dan mengatakan bahwa kepalanya agak pening sehingga hari itu dia tidak ikut berlatih silat. Kesempatan ini lalu dipergunakan Mayang untuk bertanya mengenai Cin Nio, dengan harapan agar dia mendengar sesuatu yang ada hubungannya dengan peristiwa semalam.
"Adik Hui, kenapa adik Cin terlihat begitu lesu dan bersedih? Apakah terjadi sesuatu yang membuatnya seperti itu?" Mereka sedang duduk mengaso sehabis berlatih.
Cang Hui menyusut keringatnya sambil memandang wajah Mayang. Dia merasa suka dan sayang kepada gadis peranakan Tibet ini, dan teringatlah dia akan percakapan yang dia lakukan bersama kakaknya, di mana kakaknya itu mengaku bahwa dia kagum dan dapat jatuh cinta kepada gadis Tibet ini!
Dia sendiri menyayangkan bahwa Mayang telah menjadi tunangan Liong Ki, perwira yang semalam... terkenang akan peristiwa ini, tiba-tiba saja Cang Hui tersipu dan kedua pipinya berubah merah. Dia sengaja menggosok-gosok mukanya yang terasa panas itu sehingga mukanya menjadi semakin merah segar.
"Kasihan enci Cin...," akhirnya dia mengeluh, teringat akan nasib Cin Nio yang mengalami patah hati karena cinta sepihak.
"Kenapa dia? Ataukah... hal itu tidak dapat kau ceritakan kepada orang luar seperti aku? Kalau begitu maafkan pertanyaanku tadi."
Cang Hui cepat memegang lengan Mayang dan tersenyum manis. "Bagiku engkau bukan orang luar lagi, Mayang. Engkau sudah kuanggap seperti keluarga sendiri. Maka engkau boleh saja mendengar mengenai urusan itu, asal engkau tidak akan menceritakan kepada orang lain."
"Tentu saja, Adik Hui. Rahasia keluargamu sama dengan rahasiaku sendiri. Bukankah aku sudah mendapatkan kepercayaan untuk membimbingmu dalam berlatih ilmu silat dan tinggal di istana ini?"
"Kasihan enci Cin, dia patah hati, Mayang. Dia telah menjadi korban cinta sepihak. Sudah kuceritakan bahwa ayah dan ibuku menghendaki agar kakakku, Cang Sun-koko, berjodoh dengan enci Hui. Beberapa hari yang lalu, dalam suatu kesempatan ketika mereka dapat berbicara empat mata, dengan sejujurnya kakakku mengatakan kepada enci Cin bahwa dia tidak dapat berjodoh dengan enci Cin karena dia menyayang enci Cin sebagai adiknya sendiri. Nah, dapat kau bayangkan betapa susah hatinya, padahal kelihatannya enci Cin sudah jatuh cinta setengah mati kepada kakakku itu."
Mendengar ini Mayang mengerutkan sepasang alisnya dan termenung sejenak. "Hemmm, kalau begitu kasihan sekali adik Cin Nio. Sungguh mengherankan, kenapa kakakmu tidak dapat mencintanya? Padahal, adik Cin adalah seorang gadis yang amat baik, cantik jelita, pandai dan baik budi..."
"Pernah kuceritakan kepadamu bahwa kakakku sudah mencinta gadis lain, Mayang."
"Hemmm, kau maksudkan Cia Kui Hong itu? Mengapa masih memikirkan dia? Bukankah gadis itu telah menjadi milik orang lain dan tidak membalas cintanya? Apakah selamanya kakakmu akan tetap bertahan dalam cintanya yang sepihak terhadap gadis itu?" Mayang merasa penasaran karena kasihan kepada Cin Nio.
"Kurasa tidak begitu, Mayang. Sebenarnya kakakku itu suka kepada..." Cang Hui cepat mengurungkan niatnya yang hendak membuka rahasia hati kakaknya. Tidak, pikirnya, dia tidak boleh memberi tahu bahwa kakaknya mencinta Mayang. Bukankah Mayang sudah ada yang punya?
"Suka kepada siapa, Adik Hui?"
"Suka kepada gadis yang memiliki ilmu kepandaian silat tinggi."
"Hemm, dia sendiri tidak suka belajar ilmu silat."
"Mungkin karena itulah. Karena tidak suka belajar ilmu silat, maka dia ingin melengkapi kekurangan dirinya itu dengan memilih seorahg gadis lihai menjadi jodohnya. Akan tetapi tentu saja tidak semua wanita lihai disukainya. Peristiwa yang terjadi beberapa malam yang lalu itu... " Dia berhenti pula, ragu-ragu apakah peristiwa antara kakaknya dengan Liong Bi itu sebaiknya dia ceritakan kepada Mayang atau tidak.
"Peristiwa apakah, Adik Hui?"
Cang Hui menghela napas panjang. Sudah kepalang basah, pikirnya. "Sayang, sebelum kuceritakan, katakan dulu, apakah engkau sayang kepada calon adik iparmu itu?"
Mayang terbelalak heran. "Calon adik ipar yang mana...?"
"Bukankah Liong Bi itu adik Liong Ki, tunanganmu?"
Barulah Mayang teringat bahwa wanita yang tidak disukanya itu menyamar sebagai adik kekasihnya. "Ahhh, dia yang kau maksudkan? Hemm, bagaimana, ya? Sayang sih tidak, bahkan terus terang saja aku... kurang suka akan sikapnya yang genit. Selain itu, dia pun bukan adik iparku..." Mayang menghentikan ucapannya, merasa telah kelepasan bicara.
"Ehh? Bukankah dia adik Liong Ki?"
Mayang mengangguk, bingung sendiri karena hampir saja dia membuka rahasia mereka berdua. "Memang benar, adik Hui, akan tetapi aku... aku bukan tunangan Liong Ki. Kami hanya sahabat yang akrab."
"Hemm, sahabat akrab yang saling mencinta, bukan ?"
"Sudahlah, Adik Hui, aku tidak suka bicara tentang hal itu. Sebenarnya apa yang hendak kau ceritakan kepadaku? Peristiwa apa yang terjadi beberapa malam yang lalu itu?"
Cang Hui kemudian menceritakan tentang perbuatan Liong Bi yang memikat dan merayu kakaknya. "Kulihat jelas sekali Liong Bi merayu kakakku dengan sikap yang sangat genit dan menjemukan. Akan tetapi kakakku tidak suka kepadanya, walau pun dia pandai silat. Nah, sudah kuceritakan padamu, Mayang. Kalau engkau dekat dengan Liong Bi, katakan kepadanya agar jangan lagi dia melakukan hal yang tidak patut seperti itu."
Diam-diam Mayang terkejut dan marah mendengar ini. Akan tetapi dia tak merasa heran. Dia tahu bahwa Liong Bi memang genit sekali, akan tetapi tidak diduganya akan seberani itu, merayu Cang Sun, putera tuan rumah! Sungguh tidak tahu diri, tidak tahu malu. Yang membuat dia merasa heran, bagaimana Liong Ki bisa mempunyai seorang sahabat yang seperti itu?
Dia pun teringat kembali akan peristiwa aneh yang dilihatnya antara Cang Hui dan Liong Ki. Dia tidak ingin membikin Cang Hui malu dengan menanyakan peristiwa itu, akan tetapi dia menjadi semakin curiga. Hatinya merasa tidak enak. Dia harus menyelidiki keadaan Liong Ki dan Liong Bi!
********************
Malam itu gelap sekali. Langit tertutup mendung sehingga tidak ada sebuah pun bintang yang nampak. Mayang menyelinap di balik pot bunga besar. Biar pun malam amat gelap namun istana keluarga Cang dipasangi banyak lampu gantung. Dan dia melihat bayangan Liong Bi berindap-indap keluar dari kamarnya.
Selama beberapa malam ini dia memang melakukan pengintaian, mengintai kamar wanita itu. Selama tiga malam ini tidak terjadi sesuatu, akan tetapi malam ini dia melihat Liong Bi menyelinap keluar kamar, sikapnya mencurigakan sekali maka dia pun membayangi dari jauh. Kemudian dia ketahui bahwa Liong Bi menuju ke kamar Liong Ki dari belakang!
Dengan jantung berdebar Mayang mengintai. Agaknya saat yang ditunggu-tunggu sudah tiba. Jerih payahnya selama beberapa malam itu akan segera membuahkan hasil.
Perlahan Liong Bi mengetuk daun jendela kamar Liong Ki. Daun pintu dibuka dari dalam dan wanita itu cepat meloncat masuk seperti seekor kucing, lalu daun jendela ditutup lagi. Dengan menggunakan kepandaiannya, Mayang kemudian menghampiri kamar itu tanpa menimbulkan suara, lalu dia mendengarkan dengan penuh perhatian.
"Bi Hwa, kenapa engkau begini lancang masuk ke sini? Bodoh kau, bagaimana kalau ada yang melihatmu?"
"Hi-hik, siapa yang dapat melihatku? Andai kata ada yang melihat pun, apa salahnya aku memasuki kamar kakakku sendiri? Aku kesepian, Ki Liong, aku penasaran dan kecewa karena gagal memikat Cang-kongcu. Gara-gara adiknya, daging yang sudah menempel di bibir, terlepas lagi!"
"Hemm, bukan hanya engkau yang gagal. Aku pun sudah hampir berhasil menundukkan Cang Hui, tiba-tiba saja terlepas dan gagal."
"Nah, itulah! Maka aku ke sini untuk menghibur diri, juga menghiburmu agar kita berbesar hati dan sama-sama dapat berusaha lagi." Terdengar wanita itu tertawa-tawa genit. Juga Ki Liong tertawa kecil.
Mayang tidak perlu mendengar lebih banyak, juga dia tidak sudi mengintai ke dalam. Dia sudah tahu segalanya! Kiranya Sim Ki Liong bersekongkol dengan Su Bi Hwa! Bukan saja keduanya mempunyai hubungan yang mesum, tapi agaknya keduanya juga bersekongkol untuk masing-masing merayu dan menundukkan Cang Sun dan Cang Hui!
Penghambaan diri kedua orang itu kepada keluarga Cang tidak jujur, tidak bersih, namun mereka memiliki rencana yang kotor. Agaknya kedua orang itu ingin mencari kedudukan tinggi melalui cara yang licik, yaitu ingin menjadi mantu Menteri Cang!
Dan pemuda yang pernah menjatuhkan hatinya itu, pria pertama di dalam hidupnya yang menjatuhkan cintanya, yang dia harapkan akan bertobat menjadi seorang pendekar dan calon suaminya, agaknya kini sudah kembali ke jalan lama, jalan sesat! Setelah bertemu dengan wanita itu, kekasihnya agaknya telah pulih kembali seperti dahulu, menjadi hamba nafsu yang membuta.
Mayang cepat meninggalkan tempat pengintaiannya dan kembali ke kamarnya. Dia lantas menangis tanpa dapat ditahannya lagi! Dia membenamkan mukanya pada bantal dan air matanya bercucuran.
Harus diakuinya bahwa ia mencinta Sim Ki Liong dan mengharapkan pemuda itu menjadi suaminya yang baik. Akan tetapi sekarang jantungnya terasa bagaikan ditusuk-tusuk, dan perasaan cinta yang mendalam itu langsung berubah menjadi kebencian!
Jika cintanya itu diumpamakan sebuah mimpi indah, kini dia telah terbangun dan melihat kenyataan yang sebaliknya. Selama ini dengan penuh harapan cintanya dibangun dan dia bentuk menjadi tempat bunga dari kaca yang sangat indah. Namun dalam sekejap mata saja tempat bunga itu telah hancur berantakan dan meninggalkan pecahan-pecahan kaca yang menggores kalbu, mendatangkan luka berdarah yang teramat pedih.
Cinta asmara adalah cinta nafsu yang selalu bersyarat dan berpamrih. Cinta seperti ini muncul sesudah adanya suatu daya tarik yang menyenangkan, baik melalui ketampanan atau kecantikan wajah, kelembutan, keramahan, bahkan dapat pula melalui kemewahan, kedudukan, kemuliaan, atau kepintaran. Ada sesuatu yang ingin diraih dan dinikmati.
Kalau pada suatu waktu terjadi sebaliknya, sesuatu yang tidak menyenangkan lagi malah menyusahkan atau mengecewakan, maka cinta seperti ini mungkin saja akan berubah menjadi kebencian! Kita dengan mudah saja bersumpah cinta, sehidup semati, senasib sependeritaan, dan semua itu dapat terjadi selama si dia yang dicinta memenuhi syarat. Sekali saja syarat itu dilanggar maka cinta akan berubah menjadi benci dan kebahagiaan berubah menjadi kesengsaraan.
Banyak sudah terjadi peristiwa yang membuktikan betapa fananya cinta itu. Suami isteri yang tadinya bersumpah saling cinta akhirnya bercerai sesudah cekcok setiap hari, atau kawan yang tadinya saling mencinta dan saling setia akhirnya saling bermusuhan, malah orang tua yang tadinya bersumpah mencinta anaknya akhirnya menyumpahi anak itu.
Semua ini terjadi karena syarat cinta itu dilanggar, pamrih dalam bercinta tidak terpenuhi. Terjadi konflik-konflik yang bisa menjalar dan berkembang menjadi konflik antar bangsa dan antar negara. Sumbernya adalah konflik dalam diri pribadi kita masing-masing.
Selama hati akal pikiran dikuasai nafsu berdaya rendah, maka si-aku semakin menonjol, semakin berkembang kuat. Si-aku adalah nafsu yang menguasai hati akal pikiran, si aku adalah keinginan-keinginan. Selama si aku masih merajalela, maka terjadilah bentrokan-bentrokan antar keinginan, antar kepentingan diri masing-masing dan timbullah pertikaian dan permusuhan.
Hanya cinta kasih Tuhan sajalah yang maha benar dan maha suci, tak ada kebalikannya karena tunggal! Hanya kekuasaan Tuhan sajalah yang akan mampu membebaskan batin dari cengkeraman nafsu daya rendah dan mengembalikan nafsu-nafsu pada kedudukan yang semestinya, yaitu menjadi alat pelengkap kehidupan manusia, menjadi abdi, bukan majikan. Kalau sudah begitu maka hanya kekuasaan Tuhan yang akan menjadi kemudi, bukan lagi nafsu daya rendah, dan barulah apa yang dinamakan cinta kasih tidak akan mendatangkan sengsara!
Dalam kesedihannya Mayang masih menahan diri. Tidak mungkin dia harus mendatangi Sim Ki Liong dan Su Bi Hwa lalu menegur mereka. Tidak mungkin dia mengamuk karena cemburu. Kalau saja dia tidak ingat akan keluarga Cang, tentu malam itu juga dia sudah meninggalkan tempat itu, meninggalkan Sim Ki Liong begitu saja, memutuskan hubungan lahir batin dan mengambil jalan hidupnya sendiri.
Akan tetapi dia mengkhawatirkan keselamatan keluarga Cang. Dia tak ingin melihat Cang Hui menjadi korban Sim Ki Liong, atau Cang Sun menjadi korban Su Bi Hwa. Dia harus menentang niat buruk mereka. Mereka itu hendak memikat putera puteri pembesar Cang hanya untuk mendapatkan kedudukan tinggi. Dan dia harus mencegah terjadinya hal ini.
Sekarang dia mulai menduga bahwa kekuatan aneh yang membuat dia malam-malam itu rindu kepada Ki Liong, juga yang membuat Cang Hui seolah-olah dalam mimpi dan mau saja dirangkul Ku Liong, adalah kekuatan tidak wajar, kekuatan sihir! Buktinya, ketika dia mengerahkan kekuatan batinnya, dia segera tersadar, demikian pula Cang Hui.
Mengingat akan hal ini dia menjadi semakin penasaran dan marah. Liong Ki atau Sim Ki Liong sudah berani mempergunakan sihir, hal ini membuktikan bahwa pemuda itu kembali mengambil jalan sesat.
Sim Ki Liong dan Su Bi Hwa tidak tahu bahwa rahasia mereka sudah diketahui Mayang. Malam itu mereka mengadakan pertemuan untuk melepaskan kerinduan mereka dan juga untuk mengatur siasat. Mereka maklum bahwa siasat mereka hendak memikat Cang Sun dan Cang Hui telah mengalami kegagalan.
Mereka akan mengulang kembali, akan tetapi harus secara halus dan tidak tergesa-gesa. Kalau rahasia mereka sampai terbongkar, akan gagallah segalanya, bahkan mereka akan terancam malapetaka. Mereka lalu mengatur siasat lain untuk memperbesar kepercayaan Menteri Cang kepada mereka. Kepercayaan menteri itu yang akan menjadi landasan kuat bagi kedudukan mereka.
Mayang berpura-pura tidak tahu saja akan hubungan antara Liong Ki dengan Liong Bi. Ia harus mendapatkan bukti yang lebih kuat untuk membongkar maksud buruk mereka, bila memang benar mereka itu berniat buruk seperti yang diduganya. Tanpa bukti yang nyata tentu saja dia tidak mampu melakukan sesuatu. Terlebih lagi karena sikap kedua orang itu kepadanya amatlah baik, bahkan lebih ramah dari pada biasanya. Juga Liong Ki selalu bersikap sopan, tidak lagi memperlihatkan sikap merayu seperti biasanya.
Tiga hari kemudian, pada suatu malam yang amat gelap, empat sosok bayangan orang bergerak dengan lincahnya di dalam taman yang luas dari istana Menteri Cang Ku Ceng. Sesungguhnya sangat mengherankan bagaimana sampai ada empat orang asing dapat memasuki taman itu dari luar, padahal penjagaan di situ cukup ketat.
Mereka dapat melompati pagar tembok taman dari bagian yang kebetulan tidak terjaga. Juga sambil berindap-indap sekarang mereka menghampiri bangunan gedung atau istana keluarga Cang dan berhasil memasuki gedung melalui pintu samping yang ternyata tidak terkunci dari dalam! Agaknya mereka sudah hafal akan keadaan di sana, buktinya sambil berindap-indap mereka langsung saja menuju ke kamar induk, kamar Menteri Cang dan isterinya!
Ketika mereka berindap menuju ke kamar itu, tiba-tiba muncul dua orang penjaga yang melakukan perondaan. Seorang membawa lampu teng, yang ke dua membawa canang yang kadang dipukulnya lirih. Keduanya membawa golok telanjang.
Cepat sekali gerakan dua di antara empat sosok bayangan itu. Mereka melompat keluar, tahu-tahu dua orang peronda itu sudah roboh tertotok, canang dan lampu telah berpindah tangan, begitu pula golok mereka sehingga mereka berdua itu roboh tanpa mengeluarkan suara gaduh.
Agaknya empat orang itu sudah mempelajari keadaan di gedung besar itu. Mereka tanpa ragu-ragu menghampiri kamar besar di mana Cang Taijin dan isterinya tidur. Akan tetapi ketika mereka menghampiri jendela kamar untuk membongkarnya, tiba-tiba saja muncul dua orang penjaga yang sempat melihat betapa dua orang penjaga yang meronda telah menggeletak tak bergerak.
"Penjahat...!" bentak mereka dan dua orang ini sudah menerjang dengan golok mereka.
Dua di antara empat orang itu cepat menyambut dengan pedang, sedangkan dua orang lainnya membongkar jendela. Suara gaduh itu mengejutkan Menteri Cang Ku Ceng yang sudah membuka daun pintu. Isterinya menjerit dan berteriak-teriak memanggil pengawal.
Ketika melihat Menteri Cang keluar sambil membawa sebatang pedang, dua orang yang tadi membongkar jendela segera menyerang. Menteri Cang bukan seorang ahli pedang. Dia seorang ahli militer, jadi meski pun dia tidak pandai sekali berkelahi, namun sebagai seorang menteri yang kadang menjadi seorang panglima, tentu saja dia juga bukan orang yang lemah. Ia segera menggerakkan pedang melindungi dirinya, sementara itu isterinya berteriak-teriak minta tolong.
Dua orang penjahat sudah merobohkan dua orang penjaga yang tadi menyerbu dan kini mereka membantu dua orang kawan mereka mengeroyok Menteri Cang! Mereka adalah orang-orang yang pandai memainkan golok mereka, maka pembesar itu segera terdesak hebat dan berada dalam keadaan yang amat berbahaya bagi keselamatan nyawanya.
Akan tetapi teriakan-teriakan isteri pembesar itu agaknya menarik perhatian dan tiba-tiba muncullah Liong Ki dan Liong Bi! Dengan pedang di tangan kedua orang ini menerjang dan dalam waktu singkat saja empat orang penjahat itu telah roboh!
Mayang juga datang, akan tetapi dia agak terlambat tiba di sana karena dia terbiasa tidur melepaskan pakaian dan sepatu sehingga tadi dia harus mengenakan pakaian dan sepatu lebih dahulu, juga menyanggul rambutnya yang dibiarkan terlepas dari ikatan. Ketika tiba dia melihat empat orang itu telah roboh.
"Tangkap mereka hidup-hidup!" dia berseru. Namun seruannya terlambat sudah, pedang di tangan Liong Ki dan Liong Bi sudah menembus jantung mereka sehingga empat orang itu tewas seketika.
Mayang cepat melompat ke dekat empat orang itu dan memeriksa. Ternyata mereka tidak mungkin dapat ditanya lagi. "Aihh, kenapa kalian membunuh mereka?" Dia mencela Liong Ki dan Liong Bi.
"Mereka adalah orang-orang jahat, maka sudah sepatutnya dibunuh!" kata Liong Bi.
"Benar, aku pun tidak dapat menahan kemarahanku tadi. Sekarang baru aku ingat bahwa semestinya mereka itu ditanya dulu sebelum dibunuh." kata Liong Ki.
"Sudahlah, mereka sudah mati semua dan kalian sungguh telah menyelamatkan nyawa kami," kata Menteri Cang dengan sikap masih tenang saja.
Dia sudah terbiasa menghadapi ancaman dan bahaya, karena itu peristiwa yang hampir mencelakainya tadi dihadapi sebagai hal yang biasa saja. Isterinya juga keluar dari kamar dan wajah nyonya bangsawan itu agak pucat. Kemudian muncul pula Cang Hui dan Teng Cin Nio dan kedua orang gadis ini pun telah membawa sebatang pedang. Ketika mereka melihat Menteri Cang dan isterinya selamat dan empat orang penjahat terbunuh, legalah hati mereka dan Cang Hui merangkul ibunya. Cang Sun muncul dan pemuda itu segera berkata, dengan sikap sungguh-sungguh kepada ayahnya.
"Ayah, peristiwa ini sudah membuktikan bahwa pihak yang memusuhi ayah mulai berani mengirim pembunuh untuk menyerang kita. Oleh karena itu sudah seyogianya kalau ayah memperketat dan memperkuat penjagaan. Jika dua kakak-beradik Liong kebetulan hadir, tentu saja keamanan ayah terjamin. Tetapi tidak mungkin mereka menjaga keselamatan ayah siang malam."
Menteri Cang mengangguk, kemudian memerintahkan penjaga agar menyingkirkan mayat empat orang penjahat dan dua orang penjaga, juga memerintahkan komandan jaga untuk melapor kepada panglima pasukan keamanan agar diselidiki siapa adanya empat orang penjahat itu. Kemudian dia menyuruh Cang Hui dan Cin Nio menemani isterinya di dalam kamar, dan dia sendiri mengajak Liong Ki, Liong Bi dan Mayang untuk bercakap-cakap di ruangan dalam.
Setelah mereka berempat duduk berhadapan terhalang oleh meja besar, kembali Menteri Cang memuji dua orang pembantunya dan juga berterima kasih atas pertolongan mereka ketika tadi dia terdesak dan terancam.
Liong Ki segera memberi hormat kepada Menteri Cang. "Harap paduka tidak berpendapat demikian, Taijin. Sudah menjadi tugas kewajiban kami berdua untuk melindungi keluarga Taijin dari ancaman bahaya yang datang dari mana pun. Kami hanya merasa bersyukur bahwa kami tidak sampai terlambat."
"Taijin sudah melimpahkan kebaikan kepada kami, sudi menerima kami. Karena itu kami selalu siap untuk membela Taijin, dengan taruhan nyawa sekali pun," kata pula Liong Ki dengan suara dan wajah sungguh-sungguh.
Cang Taijin mengangguk-angguk. "Bagus, tidak percuma kami menerima kalian sebagai pengawal keluarga."
Semenjak tadi Mayang hanya diam saja. Ia pun bersyukur bahwa pembesar bijaksana itu dapat diselamatkan. Pembelaan Liong Ki dan Liong Bi sedikit banyak sudah mengurangi rasa tidak senangnya kepada mereka. Mereka itu terbukti setia, dan siapa tahu, mungkin mereka berdua merayu putera puteri Menteri Cang bukan dengan niat buruk, melainkan karena jatuh hati! Yang membuat dia tidak puas adalah dibunuhnya empat orang calon pembunuh itu sehingga tidak dapat diselidiki siapa yang menyuruh mereka itu menyerbu.
"Sayang kita tidak dapat mengetahui siapa orangnya yang sudah menyuruh empat orang pembunuh itu, Taijin," kata Mayang. "Apa bila mereka tidak dibunuh dan dapat ditangkap hidup-hidup, tentu mereka akan dapat membuat pengakuan dan kita pun bisa menangkap dalangnya."
Mendengar ini Liong Ki dan Liong Bi saling lirik, lalu Liong Ki berkata, "Adik Mayang benar sekali. Kami juga merasa menyesal mengapa kami tidak ingat akan hal itu. Kami terlalu terburu nafsu sehingga lupa dan telah membunuh mereka."
"Siapa yang tidak marah melihat para penjahat itu nyaris membunuh Taijin? Pada saat itu kami terlalu marah," sambung Liong Bi.
Cang Taijin mengelus jenggotnya dan mengangguk-angguk. "Hal itu sudah terjadi dan tak ada gunanya disesalkan. Andai kata mereka tertawan hidup-hidup, belum tentu mereka mau mengaku. Musuh kami terlalu banyak, dan kami kira mereka adalah kaki tangan para pemberontak. Mulai sekarang pasukan pengawal harus disiapkan untuk membantu kalian. Coa-ciangkun akan kupanggil kembali supaya dia mengatur pasukan pengawal sehingga tidak ada lagi pengacau yang dapat menyelinap masuk tanpa diketahui."
Sejak peristiwa malam itu, Menteri Cang Ku Ceng semakin percaya kepada kakak beradik Liong Ki dan Liong Bi. Tentu saja kedua orang ini merasa senang sekali. Memang inilah tujuan mereka.
Liong Bi yang mengatur siasat itu. Ia menghubungi Pek-lian-kauw, mengatakan bahwa dia dapat memberi jalan kepada beberapa orang Pek-lian-kauw untuk masuk ke dalam rumah gedung Menteri Cang Ku Ceng. Tentu saja pihak Pek-lian-kauw gembira mendengar ini karena mereka tahu bahwa Menteri Cang merupakan seorang di antara dua menteri setia yang pandai dan menjadi tulang punggung kerajaan Beng.
Ki Liong dan Bi Hwa adalah orang-orang yang berpengalaman dan cerdik. Merasa bahwa dengan kejadian ini mereka telah maju beberapa langkah dan kedudukan mereka menjadi semakin kokoh dan baik, untuk sementara mereka tidak mau membuat banyak ulah yang mungkin membahayakan kedudukan mereka. Maka usaha mereka mendekati Cang Sun dan Cang Hui untuk sementara mereka tunda. Jika kepercayaan keluarga Cang semakin menebal, tentu akan semakin mudah bagi mereka untuk mencapai sasaran itu.
Karena perubahan sikap itu, Mayang juga terkecoh. Dia tidak lagi melihat kedua orang itu merayu putera-puteri Menteri Cang. Sikap mereka baik dan sopan, dan ramah terhadap dirinya. Dari Cang Hui dia mendengar bahwa kini kedua orang itu sama sekali tak pernah lagi mengganggu, bersikap sopan dan baik.
Akan tetapi sungguh aneh, luka di hati Mayang agaknya tidak dapat sembuh sama sekali. Rasa cintanya terhadap Sim Ki Liong kini sudah membuyar karena dia merasakan benar bahwa ada sebuah rahasia yang busuk di antara Sim Ki Liong dan Su Bi Hwa yang kini menyamar sebagai kakak-beradik itu. Meski pun kedua orang itu kini bersikap sopan dan baik terhadap Cang Sun dan Cang Hui, namun dia hampir yakin bahwa mereka itu pernah merayu putera dan puteri Mnteri Cang dengan cara yang tidak wajar.
********************
Ada kehidupan di perutnya. Perutnya berkeruyuk di luar kehendaknya. Perut itu hidup dan kini memberi isyarat minta diisi. Bukan hanya memperdengarkan suara berkeruyuk, akan tetapi juga terasa hampa dan pedih. Lapar! Dalam keadaan seperti itu, yang dibutuhkan hanyalah makanan pengisi perut. Makanan apa saja asal dapat memenuhi tuntutan perut lapar. Bukan lagi tuntutan nafsu selera mulut yang ingin makan enak.
Hay Hay memasuki hutan yang nampak liar dan gelap itu. Hutan selebat itu tentu dihuni oleh banyak binatang yang dagingnya dapat dimakan, atau mungkin juga tumbuh pohon buah. Pendeknya daging binatang atau buah apa saja yang dapat dimakan. Dia sangat memerlukannya saat itu.
Akan tetapi di tempat itu tak ada pohon buah. Yang ada hanyalah pohon-pohon liar yang sangat besar, mungkin sudah ratusan tahun umurnya. Dia harus mencari binatang hutan yang dagingnya enak dimakan. Kalau ada kelinci atau kijang. Dia tak mau makan daging kera atau babi hutan karena belum pernah dia memakannya dan rasanya tidak tega untuk makan daging kera, dan dia merasa jijik untuk makan daging babi hutan yang nampaknya demikian kotor.
Sejak kemarin dia melakukan perjalanan di daerah tandus, tidak bertemu dusun sehingga sudah sehari semalam dia tidak makan. Perutnya yang sangat lapar membuat tubuhnya agak gemetar.
Tiba-tiba dia mendengar suara auman yang menggetarkan bumi. Auman harimau! Pernah dia menyantap daging harimau. Lumayan juga. Seperti daging domba, panas tetapi lebih kasar. Kalau tidak ada pilihan lain, daging harimau pun akan diterima dengan senang oleh perutnya. Daging harimau bakar, dan dia masih menyimpan bawang kering dan garam! Jakunnya sudah naik turun ketika dia membayangkan daging harimau yang dipanggang kemerahan.
Cepat dia menyelinap menuju ke arah suara auman harimau tadi. Kini suara itu menjadi semakin riuh dan ternyata bukan suara seekor harimau saja yang mengaum, melainkan ada beberapa ekor harimau dan dua di antaranya menggereng, disusul gerengan harimau lain sehingga terdengar ramai sekali.
Hay Hay cepat menghampiri tempat itu, dan dia bersembunyi sambil mengintai dengan hati tertarik sekali. Nampak seekor harimau berbulu hitam sedang berkelahi melawan dua ekor harimau belang. Dua ekor harimau yang mengeroyoknya itu bertubuh lebih besar, akan tetapi harimau hitam itu tangkas bukan main. Gerakannya amat cepat, gesit dan dari otot-otot kekar yang melingkari tubuh di bawah kulit itu dapatlah diketahui bahwa harimau hitam ini selain tangkas juga sangat kuat. Hay Hay yang menjadi penonton kagum bukan main. Harimau hitam jantan itu sungguh perkasa.
Di tempat itu nampak pula dua ekor harimau betina yang masih muda. Agaknya mereka pun menjadi penonton sambil sesekali mengeluarkan gerengan. Seperti yang telah diduga oleh Hay Hay, perkelahian itu tidak berlangsung lama. Segera dua ekor harimau biasa itu melarikan diri dengan luka-luka berdarah. Dan kini harimau hitam menghampiri dua ekor harimau betina, harimau berbulu belang biasa seperti dua ekor harimau jantan yang tadi melarikan diri.
Dua ekor harimau betina ini menggereng dan kelihatan tidak senang, akan tetapi ketika harimau hitam mengeluarkan auman dan menunjukkan gigi bercaling yang runcing tajam, kedua ekor harimau betina itu nampak ketakutan dan mereka pun tidak melawan ketika harimau jantan hitam itu membelai-belai dan menumpahkan birahinya.
Hay Hay tertegun dan dia pun teringat kepada mendiang ayah kandungnya, Si Kumbang Merah. Harimau hitam ini agaknya memiliki watak yang mirip mendiang ayahnya itu. Gila betina dan mempergunakan kekerasan untuk merampas harimau betina dari harimau lain, suka memaksakan kehendak dan birahinya!
Dia masih terpesona melihat lagak harimau jantan hitam itu. Binatang itu memaksa dua ekor harimau betina, memperkosa mereka bergantian dan agaknya binatang itu memiliki kekuatan yang tidak wajar. Dia tidak mengenal lelah. Menyaksikan peristiwa yang selama hidup belum pernah dilihatnya itu, Hay Hay menjadi tertarik sekali sampai dia lupa akan rasa lapar di perutnya.
Akhirnya harimau jantan yang berbulu kehitaman itu tidak lagi mengganggu kedua ekor korbannya. Dengan langkah gontai yang menambah kegagahannya harimau itu kemudian berjalan menuju ke bawah pohon besar. Di sana kedua kaki depannya mencakar-cakar tanah dan menggali tanaman seperti ubi, lalu dimakannya ubi itu dengan lahapnya.
Hay Hay semakin heran. Ketika harimau itu makan ubi, mulutnya menjadi merah seperti berlepotan darah! Setelah harimau itu menghabiskan beberapa butir ubi merah, kemudian terjadilah hal yang membuat Hay Hay mengerutkan alisnya.
Harimau jantan hitam itu kembali mengganggu dua ekor harimau betina yang nampaknya sudah kelelahan. Dua ekor harimau betina itu melakukan perlawanan, akan tetapi mereka menerima cakaran dan gigitan yang membuat mereka luka-luka.
Melihat ini Hay Hay tak dapat menahan kemarahannya. Dia seperti melihat penjahat cabul memperkosa dua orang wanita dan menyiksa mereka. Dengan geram dia pun melompat keluar dari balik semak belukar.
Melihat ada orang meloncat keluar, harimau itu menghentikan gangguannya kepada dua ekor korbannya kemudian dia pun mengaum dengan nyaring, menggetarkan bumi sambil berindap-indap menghampiri Hay Hay. Setelah tiba di depan Hay Hay dalam jarak empat meter, harimau itu berhenti, mendekam dan matanya seperti mencorong mengamati Hay Hay.
Pemuda ini pun tidak mau kalah, memandang harimau itu sehingga sejenak manusia dan harimau bertatap pandang mata. Bagaimana pun juga harimau itu akhirnya mengejapkan mata dan nampak gelisah, kemudian bangkit berdiri, keempat kakinya menegang, semua ototnya menggetar dan harimau itu mengaum lagi dua kali.
Hay Hay sudah siap siaga, maklum bahwa harimau itu tentu akan segera menyerangnya. Dia telah membuat perhitungan dan mengukur jarak antara tempat itu dengan sebongkah batu besar yang berada di sebelah kirinya.
Harimau hitam itu kini menggereng dan segera tubuhnya meluncur naik ke depan, seperti terbang menubruk ke arah Hay Hay dengan gerakan yang cepat sekali. Semua suara dan sikapnya mendatangkan rasa gentar karena dahsyat dan berwibawa, namun gerakan itu tidak terlalu cepat bagi Hay Hay.
"Binatang kejam dan jahat!" bentak Hay Hay.
Ketika tubuh binatang itu hampir menerkamnya, secara tiba-tiba dia membuat gerakan ke depan bawah, menyelinap dan mengelak sehingga tubuh harimau itu meluncur lewat. Dia cepat membalik dan menangkap ekor harimau yang panjang itu dengan kedua tangannya. Kemudian, tanpa membuang waktu lagi, Hay Hay mengayun tubuh harimau itu.
Harimau yang dipegang ekornya dan diayun-ayun itu tidak mendapat kesempatan untuk membalik dan mencakar dua tangan yang menangkap ekornya, bahkan dengan ayunan kuat tubuh harimau itu sekarang telah meluncur ke arah batu besar.
"Prakkk!" Harimau itu tidak sempat mengaum lagi karena kepalanya sudah pecah ketika dengan amat kuatnya kepala itu dihantamkan ke batu besar. Binatang itu mati seketika!
Hay Hay tersenyum ketika menengok ke arah dua ekor harimau betina tadi. Dua harimau itu melarikan diri bagaikan dua orang wanita yang baru saja terbebas dari cengkeraman seorang jai-hwa-cat (penjahat cabul)!
Dia pun cepat membuat api unggun, memanggang daging harrmau jantan hitam setelah membumbuinya dengan garam dan bawang kering. Baunya sedap bukan main sesudah daging yang dibumbui itu terpanggang api.
Ketika mulai makan daging panggang yang masih panas itu, dia menyayangkan bahwa di sana tidak ada nasi. Dan teringatlah dia akan ubi merah yang tadi dimakan oleh harimau, maka dia pun menghampiri tempat itu. Dilihatnya tanaman semacam ubi jalar dan ketika dia mencabutnya, dia mendapatkan dua butir ubi yang kulitnya kemerahan.
Dia mengupasnya dan nampak daging ubi yang merah sekali, merah darah! Pantas saja tadi mulut harimau hitam menjadi merah seperti berlepotan darah sesudah makan ubi itu. Dia mencoba makan ubi itu. Rasanya enak, manis dan sedap! Dia pun makan ubi merah yang manis itu dengan daging harimau, sampai kenyang sekali.
Perut yang kenyang, tubuh yang lelah dan tersilirkan oleh angin yang sejuk membuat Hay Hay mengantuk. Dia bersandar pada batang pohon dan hampir tertidur. Ketika dia teringat kepada hariamu-harimau tadi, dia segera meloncat naik ke atas pohon. Amat berbahaya tidur di tempat yang banyak harimaunya itu. Tidak lama kemudian dia pun sudah tertidur nyenyak di atas pohon. Dalam perjalanan dan petualangannya dia sudah terbiasa tidur di atas pohon.
Matahari sudah condong ke barat ketika Hay Hay mengejap-ejapkan matanya kemudian terbangun. Dia mimpi terjebak oleh musuh dan berada dalam ruangan yang terkurung api. Ketika terbangun dia masih merasakan hawa yang panasnya bukan kepalang dan semua pakaiannya basah karena keringat. Dia lantas meloncat turun dari atas pohon. Tubuhnya terasa ringan dan kuat, akan tetapi panasnya bukan main seolah ada api besar bernyala di dalam perut dan dadanya.
Hay Hay juga merasakan rangsangan birahi yang kuat sekali sehingga dia merasa sangat khawatir. Tahulah bahwa keadaannya ini tidak wajar dan dia pun teringat akan apa yang dimakannya tadi. Daging harimau jantan bulu hitam dan ubi merah darah. Agaknya itulah yang menjadi sebab keadaannya ini.
Dia pun cepat duduk bersila kemudian mengerahkan tenaga dalamnya. Setelah mengatur pernapasan dan menghimpun hawa jernih akhirnya dia berhasil meredakan gelora dalam tubuhnya. Namun api itu tidak padam, hanya kini menyala kecil di sebelah dalam. Tahulah dia bahwa daging harimau hitam dan ubi merah itu mengandung daya rangsangan birahi yang amat kuat.
Sekarang dia mengerti mengapa watak harimau jantan hitam itu seperti tadi. Tentu karena binatang itu biasa makan ubi merah, maka harimau itu memiliki gairah yang sangat besar, juga agaknya makanan itu mendatangkan tenaga yang hebat pula.
Sebelum malam tiba dia harus mencari sebuah dusun dan memperoleh tempat menginap. Walau pun dapat saja dia melewatkan malam di hutan, tidur di atas pohon, namun akan lebih nyaman apa bila dia dapat bermalam di dalam sebuah rumah, meski hanya rumah pondok kecil sederhana milik orang dusun.
Dia mencari sebatang pohon yang paling tinggi, meloncat dan memanjat pohon itu hingga ke puncaknya lantas dari tempat tinggi itu dia memandang ke sekeliling. Matahari sudah condong ke barat, senja telah mendatang dan pemandangan dari pohon tinggi itu amatlah indahnya. Kiranya hutan itu berada di lereng bukit dan di sebelah bawah lereng bukit itu nampak sebuah dusun yang hanya kelihatan genteng-genteng rumahnya. Penglihatan ini mendatangkan kegembiraan di hati Hay Hay. Genteng rumah itu seakan-akan melambai-lambai memanggilnya datang.
Segera dia turun dari pohon dan berlari cepat keluar dari hutan itu, menuju ke arah dusun yang tadi dilihatnya. Saat tiba di luar dusun cuaca menjadi lebih terang dan pemandangan senja itu amat indahnya. Seolah-olah sang matahari yang akan mengundurkan diri malam itu, sebelum menghilang lebih dahulu memancarkan cahayanya lebih gemilang walau pun lembut.
Hay Hay berhenti sejenak menikmati pemandangan indah itu. Kini dari luar hutan itu dia dapat melihat dusun tadi. Nampak pula sebuah sungai yang berkelok-kelok di luar dusun, airnya berkilauan tertimpa cahaya senja. Dia pun cepat menuruni lereng itu menuju ke dusun.
Ketika dia sampai di dekat anak sungai yang berbatu-batu dan berpasir sehingga airnya amat jernihnya, tiba-tiba dia berhenti lagi. Sekali ini bukan untuk menikmati pemandangan indah, melainkan karena mendengar suara yang amat dikenalnya dan amat disenanginya. Suara gadis-gadis bercanda dan tertawa-tawa, suara air yang mereka permainkan dengan menampar permukaan sungai. Entah mengapa, suara wanita yang merdu, suara mereka tertawa dan bergurau, telah menyenangkan hati Hay Hay dan dia pun segera menuju ke arah suara.
Kembali Hay Hay berhenti melangkah. Sekarang dia tertegun dan terpesona. Seperti yang diharapkannya, ternyata di sungai yang dangkal itu ada lima orang wanita sedang mandi! Dan melampaui dugaan dan harapannya, mereka adalah gadis-gadis yang cantik, sedang mandi sambil bersiram-siraman air di sungai jernih yang dalamnya hanya sepinggang itu. Mereka bersenda gurau, bermain-main di air dengan gembira dan Hay Hay terpesona.
Pantasnya mereka adalah lima orang bidadari dari kahyangan yang datang dan mandi di sungai jernih, di waktu senja seperti yang pernah dia baca dalam dongeng kuno! Mereka hanya mengenakan pakaian dalam sebatas dada, ada pun pundak, punggung dan lengan mereka yang telanjang itu nampak putih keemasan tertimpa cahaya matahari senja, halus mulus dan amat indahnya.
Hay Hay bersembunyi di balik rumpun ilalang di pinggir sungai, mengintai dengan jantung berdebar kencang. Rasa hangat dari apa yang tak pernah padam sejak dia makan daging harimau hitam dan ubi merah tadi sekarang mulai berkobar lagi. Gairah nafsu yang hebat merangsangnya dan hampir tak tertahankan. Terutama sekali ketika dia melihat seorang di antara lima orang gadis dusun itu.
Seorang gadis yang sangat manis. Agaknya empat orang gadis lain memusatkan godaan mereka kepada gadis manis ini, yang kadang-kadang tersipu malu dengan muka menjadi kemerahan! Dari ucapan dan godaan empat orang gadis itu, tahulah Hay Hay bahwa dara manis yang amat menarik hatinya itu adalah seorang pengantin baru!
Nafsu bagaikan api. Kalau dapat dikendalikan maka nafsu sangat berguna bagi manusia, bahkan manusia tak mungkin bisa hidup tanpa nafsu. Nafsu menyusup dan menjadi satu dengan panca indera, bergelimang dalam hati dan akal pikiran. Tanpa bekerjanya nafsu yang menyusup ke dalam hati dan akal pikiran maka manusia tak akan dapat mengalami kemajuan dalam keduniawian.
Tapi, seperti juga api, kalau nafsu tidak terkendali, kalau nafsu tidak lagi menjadi pelayan melainkan menjadi majikan, maka celakalah kita! Kita akan diseretnya, laksana api yang tak terkendali, semua akan dilahapnya dan akan semakin berkobar. Kita akan terseret ke dalam perbuatan tanpa pantangan lagi demi mengejar kesenangan.
Makanan nafsu adalah kesenangan. Di mana ada kesenangan maka nafsu akan bangkit dan menjadi sangat kuat. Makin kuat nafsu merajalela maka semakin lemahlah jiwa. Dan tidak ada kekuatan di dunia lni yang akan sanggup meredakan nafsu kecuali kekuasaan Tuhan! Kepada Tuhan saja kita dapat memohon dan menyerah, mohon pertolongan dan bimbingan. Tanpa bimbingan Tuhan, setiap perbuatan yang bagaimana nampak baik pun pada dasarnya bergelimang nafsu, pada dasarnya pasti berpamrih demi keuntungan dan kesenangan diri sendiri, karena ke sanalah arah tujuan semua nafsu.
Hay Hay merasa betapa seluruh tubuhnya tergetar ketika dia melihat lima orang gadis itu bermain-main di air sungai, terutama sekali saat melihat wanita muda yang oleh kawan-kawannya digoda sebagai pengantin baru. Dia tidak dapat menahan diri lagi untuk tidak mendekati dan berkenalan dengan mereka.
Hay Hay muncul dari balik rumpun ilalang. Begitu melihat kemunculan seorang pria asing, lima orang wanita itu menjerit kecil dan dengan bingung dan panik mereka menggunakan kedua tangan untuk menutupi dada yang hanya tertutup kain tipis yang tembus pandang karena basah.
Melihat mereka salah tingkah dan nampak ketakutan, sambil mengangkat dua tangannya ke atas Hay Hay cepat-cepat berkata, "Nona-nona harap jangan takut. Aku bukan setan tetapi manusia biasa dan manusia pun bukan yang jahat. Lihat, aku sudah membalikkan tubuh agar tidak melihat kalian mengenakan pakaian. Aku hanya ingin berkenalan." Hay Hay lalu membalikkan tubuh sehingga membelakangi mereka.
Melihat ini timbul pula keberanian para gadis itu, lantas sambil cekikikan menahan tawa mereka segera keluar dari sungai, mengenakan pakaian kering dan sambil tertawa-tawa mereka beriari-larian kecil meninggalkan tempat itu.
"Nanti dulu! Nona pengantin, aku ingin sekali memberi selamat kepadamu! Sebagai nona pengantin yang baik engkau harus mau menerima ucapan selamat dariku!" kata Hay Hay dengan suara lembut membujuk.
Mendengar ini pengantin baru itu terpaksa berhenti berlari, tetapi empat orang kawannya terus melanjutkan lari mereka meninggalkan Hay Hay. Wanita pengantin baru itu berdiri menanti dan dengan muka tersipu dia memandang kepada pemuda yang kini telah berdiri di depannya. Seorang pemuda tampan yang sikapnya sederhana, pandangan mata dan senyumnya lembut dan sopan sehingga dia hanya merasa malu tetapi tidak takut lagi.
"Nona pengantin yang baik, aku merasa menyesal sekali tidak sempat menghadiri pesta pernikahanmu. Tentu meriah sekali, tetapi sayang aku tidak dapat hadir" Hay Hay berkata ramah, kemudian menyambung untuk memancing percakapan, "kenapa nona begitu tega kepadaku dan tidak mengundangku untuk menghadiri pesta pernikahanmu?"
Wanita itu memandang heran tetapi cepat membela diri. "Bagaimana aku dapat mengirim undangan kalau aku tidak mengenalmu?"
"Ahhh, benar juga, aku sampai lupa, Nona pengantin baru! Nah, biarlah sekarang engkau mengenalku. Aku adalah Hay Hay, dan bolehkah aku mengetahui nama Nona pengantin yang manis? Tanpa mengetahui nama, bagaimana aku dapat memberi selamat?" kata Hay Hay dengan sikap sopan dan ramah sekali.
Melihat pemuda ini tidak bersikap kurang ajar, bahkan sopan dan manis budi, tentu saja wanita muda pengantin baru itu pun tidak lagi merasa curiga atau sungkan. Ia tersenyum sehingga jantung di dalam dada Hay Hay terlonjak. Manisnya senyum itu! Bahagianya si pengantin pria, pikirnya agak iri.
"Namaku Cing Ling... ehh, maksudku Nyonya Ji San." kata wanita itu yang tersipu karena kelepasan bicara memperkenalkan nama gadisnya.
"Cing Ling, nama yang bagus sekali. Aku lebih suka mengingat nama itu, karena nama itu mengingatkan aku akan seorang gadis yang cantik jelita seperti bidadari. Kau tahu, Nona. Ketika tadi aku baru tiba di tempat ini, aku bersembunyi karena takut!"
Kini wanita itu telah terpancing dan sudah terlibat dalam percakapan. Setiap kali Hay Hay bicara selalu membuat dia ingin tahu kelanjutannya. Sikap pemuda itu terlalu lembut dan manis, juga ucapannya halus dan selalu berupa kalimat yang membutuhkan keterangan lanjutan.
"Kongcu, kenapa kau takut?" tanya wanita itu ingin tahu sekali.
"Kongcu? Aihh, sekarang engkau membuat aku merasa sedih dan penasaran, Cing Ling! Apakah engkau tidak sudi menerima uluran tanganku untuk berkenalan dan bersahabat?"
Wanita itu terkejut, tidak tahu mengapa dia membuat pemuda itu sedih dan penasaran! "Apa maksudmu, Kongcu?"
"Kongcu lagi! Aih, celaka, kenapa engkau berkongcu-kongcuan kepadaku? Bukahkah kita telah berkenalan dan menjadi sahabat? Sudah kuberi tahukan bahwa namaku adalah Hay Hay. Nah, panggil saja namaku itu, jangan pakai kongcu segala. Maukah engkau menjadi sahabatku dan menyebut namaku saja, Cing Ling?"
Wanita muda ini sudah merasa terbuai di awang-awang oleh pujian Hay Hay mengenai kecantikannya, maka kini dia merasa gembira dan tersenyum lagi, senyum yang mampu membuat Hay Hay setengah pingsan!
"Baiklah, Hay Hay. Nah, sekarang katakan mengapa engkau ketakutan begitu tiba di sini tadi? Apakah engkau melihat setan?" pengantin muda itu mulai berani bergurau.
Hal ini dapat dimaklumi. Ia baru saja menjadi pengantin, dipersandingkan dengan seorang lelaki yang tadinya tidak dikenalnya sama sekali sehingga membuat dia merasa sungkan, asing, dan malu-malu. Selama beberapa hari tinggal di rumah suaminya, dengan keluarga mertuanya, dia merasa terasing dan rikuh, seperti berada di pulau terasing tanpa kawan dekat, melayani suami dan mertua yang masih asing sehingga hubungan antara mereka menjadi kaku.
Baru sore hari ini dia memperoleh kesempatan untuk keluar dan mandi di sungai bersama kawan-kawan lamanya sehingga mendatangkan kegembiraan luar biasa. Kini, berjumpa dengan Hay Hay yang pandai mengambil hati, amat ramah dan halus, timbul kegembiraan hati Cing Ling dan dia pun mulai berani menyambut gurauan Hay Hay.
"Melihat setan? Wah, jauh dari pada itu. Bahkan sebaliknya! Aku melihat bidadari! Lima orang bidadari sedang mandi di air sungai yang sangat jernih, dan terutama seorang di antara mereka, sungguh membuat aku terpesona dan juga ketakutan!"
Sepasang mata yang jeli itu bersinar-sinar, sedangkan bibir yang manis itu dihias senyum nakal. "Hemmm, aneh! Tidak melihat setan akan tetapi melihat bidadari, kenapa menjadi ketakutan?"
Hay Hay tertawa. "Ha-ha-ha, kalau hanya menghadapi setan, aku sama sekali tidak akan merasa takut! Akan tetapi jantungku seperti akan copot kalau menghadapi bidadari yang cantik jelita, manis seperti madu, rambut yang ikal mayang dan hitam panjang, kulit tubuh yang mulus dan bersih, sepasang mata yang jeli dan dapat menjadi redup, pipi yang ada kalanya dapat menjadi kemerahan, dan senyum yang... aduhai senyummu, Cing Ling!"
Wanita mana di dunia ini yang tidak haus dengan pujian tentang kecantikannya? Wanita mana yang tidak haus dengan kata-kata yang manis merayu? Apa lagi kalau yang memuji dan merayunya adalah seorang pemuda yang demikian tampan seperti Hay Hay, dengan sikap yang lembut dan sopan, tidak kurang ajar. Jika wanita itu menjadi marah, maka hal itu hanya pura-pura saja untuk menyembunyikan rasa senangnya, karena malu, seperti halnya Cin Ling.
"Ihh, engkau... engkau sedang merayuku, ya? Engkau mata keranjang!" Cing Ling hendak membalikkan tubuh meninggalkan Hay Hay, akan tetapi Hay Hay segera menjatuhkan diri berlutut dengan kaki kirinya.
"Cing Ling, sungguh mati aku tidak bermaksud kurang ajar! Apa bila ucapanku tadi sudah menyinggung hatimu, maukah engkau mengampuni aku? Kita sudah bersahabat, bukan? Nah, maafkanlah aku dan aku tidak akan mengulang lagi ucapan yang akan menyinggung hatimu. Maafkan aku, kalau tidak, aku pun akan berlutut terus di sini sampai akhir jaman!"
Mendengar ucapan itu, mau tak mau sang pengantin baru menghentikan langkahnya dan ketika menengok, dia menahan suara ketawanya melihat pemuda itu benar-benar berlutut menghadapnya. Selama hidupnya gadis dusun ini tidak pernah mendapatkan kehormatan seperti itu, maka dia cepat-cepat menghampiri Hay Hay dan berkata.
"Ihh, jangan begitu! Bangkitlah dan jangan berlutut, nanti bajumu menjadi kotor!"
"Tidak, sebelum engkau memaafkan aku maka aku tidak akan mau bangkit, biar aku mati berlutut terus begini!"
"Baiklah, aku maafkan engkau... nah, bangkitlah..."
"Sebut dulu namaku, baru aku mau bangkit."
Wanita muda itu menarik napas panjang. Dia merasa tidak berdaya menghadapi pemuda yang sangat menarik hatinya ini. Walau pun sudah terikat, dia merasa kasihan dan suka kepada pemuda ini, merasa seolah-olah dia telah mengenal pemuda ini selama bertahun-tahun karena pemuda ini bersikap sedemikian akrabnya.
"Aihh, Hay Hay, bangkitlah, aku memaafkanmu," akhirnya dia berkata.
Hay Hay mengangkat muka memandang. "Cing Ling, bagaimana aku bisa percaya bahwa engkau memaafkan aku lahir batin? Jangan-jangan hanya di bibir saja. Aku bukan memuji kosong, aku pun bukan perayu, aku hanya berkata terus terang ketika menyatakan bahwa engkau memang cantik jelita dan manis bagaikan bidadari. Benarkah engkau memaafkan aku?"
Wajah itu berubah menjadi kemerahan dan Cing Ling menggigit bibirnya sendiri karena gemas. Minta maaf sambil mengulang lagi pujian-pujiannya! Sungguh selama hidup belum pernah dia bertemu dengan seorang laki-laki seperti ini, bahkan dalam mimpi sekali pun!
"Aku memaafkanmu," katanya mengangguk.
Hay Hay mengulurkan dua tangannya. "Bangkitkan aku, Cing Ling, baru aku mau percaya bahwa engkau memang benar-benar sudah memaafkan aku. Bukankah kita telah menjadi sahabat baik?"
Wanita itu tersenyum. Pemuda ini malah keluar manjanya! Akan tetapi karena semua itu dilakukan Hay Hay dengan sungguh-sungguh, maka Cing Ling terpaksa menjulurkan pula kedua tangannya, memegang tangan Hay Hay dan pemuda itu pun menggenggam kedua tangan yang kecil mungil itu, kemudian bangkit berdiri tanpa melepaskan dua tangan itu. Bagaikan dua ekor anak ayam yang lembut dan hangat, dua buah tangan kecil di dalam genggangannya itu gemetar dan Cing Ling menundukkan mukanya.
Baru beberapa hari yang lalu dia mendapatkan pengalaman pertama berdekatan dengan pria, yaitu suaminya. Namun dia tidak pernah merasakan seperti sekarang ini! Jantungnya terasa seperti terguncang ketika kedua tangannya digenggam seperti ini, membuat kedua kakinya menggigil dan tubuhnya panas dingin! Dia seperti kehilangan semua tenaganya sehingga tidak kuasa melepaskan kedua tangan yang tergenggam.
Sementara itu, pada diri Hay Hay juga terjadi hal yang aneh, yang tak pernah dia rasakan sebelumnya. Sejak dulu dia memang pengagum keindahan dan kecantikan wanita. Tetapi semua rasa kagum itu berjalan wajar saja, seperti orang mengagumi bunga-bunga yang indah, rasa suka yang bersih dari pada nafsu. Namun sekarang lain lagi!
Kini di dalam tubuhnya terdapat api yang menggelora, bernyala-nyala membakar seluruh dirinya. Api nafsu birahi yang tak pernah dia rasakan sebelumnya, yang membuat semua kesadarannya menjadi gelap dan pertimbangannya menjadi terguncang sehingga dia lupa diri. Gairah yang menggebu membuat dia menarik kedua tangan itu mendekat dan tubuh wanita itu pun roboh dalam dekapannya!
Kalau saja saat itu Cing Ling meronta dan melawan, tentu kesadaran Hay Hay akan pulih kembali. Akan tetapi tidak. Wanita itu pun bagai terpesona, seperti kehilangan kesadaran dan hanya pasrah dalam dekapan Hay Hay dengan isak tertahan. Ketika dalam kobaran nafsu birahi Hay Hay menunduk dan mencium wanita itu, Cing Ling pasrah dan merekah seperti setangkai bunga yang menerima siraman embun pagi.
"Cing Ling...!" Hay Hay berbisik dan mencium lagi.
"Hay Hay...," Cing Ling mengeluh dan pasrah.
"Jahanam keparat...!" terdengar bentakan orang.
Tentu saja Hay Hay dan Cing Ling yang sedang bermesraan dan lupa diri itu terkejut dan ketika mereka menengok, ternyata di tempat itu telah berdiri belasan orang laki-laki dusun dengan wajah penuh kemarahan!
Cing Ling tersadar dan dia pun segera mendorong dada Hay Hay sekuat tenaga, lantas menudingkan jari telunjuknya yang gemetar. Mukanya pucat, rambutnya awut-awutan dan suaranya gemetar pula, "Mengapa... mengapa kau... kau... memelukku...?" Berkali-kali dia berseru seperti itu.
Hay Hay juga sadar akan keadaan dirinya. Mukanya menjadi merah sekali dan dia pun memaki diri sendiri. Celaka sekali, pikirnya. Dia telah mendatangkan mala petaka kepada seorang wanita yang sangat baik, seorang wanita yang sama sekali tidak berdosa! Tentu pengantin baru ini akan menghadapi ancaman kemarahan suaminya dan semua keluarga suaminya!
"Keparat jahanam, berani engkau mempermainkan isteri orang?!" bentak seorang pemuda tinggi besar bermuka hitam. "Engkau telah menghina isteriku, maka engkau layak dipukul hingga mampus!" kata si muka hitam yang menerjang maju dengan kedua tangan dikepal.
Wah, kiranya si tinggi besar muka hitam ini adalah suami si pengantin baru! Hay Hay tak sempat berpikir lagi karena orang itu sudah menjotos mukanya. Karena merasa bersalah dan marah terhadap diri sendiri, Hay Hay merasa bahwa dirinya memang pantas dipukul, patut dihajar!
"Dukk!" Pukulan itu keras sekali menghantam pipinya.
"Bukk!" Pukulan ke dua mengenai dadanya.
Tubuh Hay Hay lantas terjengkang, kepalanya menjadi pening. Dia memang sengaja tidak mengerahkan tenaga apa pun, sengaja menerima pukulan-pukulan itu begitu saja untuk membiarkan dirinya dihajar!
Sekarang belasan orang itu menghujankan pukulan kepadanya. Hay Hay baru mengelak apa bila ada kaki menyambar. Dia sudah memberikan tubuhnya untuk dihajar orang, akan tetapi dia tidak mau menerima tendangan. Pukulan mereka berdatangan dan terdengarlah bunyi bak-bik-buk ketika tubuhnya dijadikan bulan-bulan pukulan mereka. Terutama sekali si muka hitam yang marah sekali melihat isterinya tadi didekap dan diciumi oleh pemuda itu, kini melampiaskan kemarahannya dengan pukulan-pukulan sekuatnya.
Mampus kau, pikir Hay Hay menyumpahi diri sendiri. Rasakan kau sekarang! Dia merasa tubuhnya remuk-remuk, bibirnya pecah berdarah, kedua matanya berkunang-kunang dan agaknya dia nyaris pingsan. Tiba-tiba terdengar teriakan dan tangis wanita itu.
"Jangan bunuh dia... ahh, jangan bunuh dia... dia tidak bersalah...!"
Hay Hay membuka lagi kedua matanya yang sudah lebam membengkak dan kehitaman. Dia melihat pengantin baru itu berlutut di dekatnya dan menangis, menutupi muka dengan kedua tangan sambil minta ampun bagi dirinya! Hay Hay merasa terharu sekali! Alangkah lembut dan mulia hati wanita ini, dan hampir saja dia tadi menodainya! Betapa jahat dia!