SUAMI isteri yang terpaksa saling berpisah selagi merayakan hari pernikahan itu langsung menerjang dua orang tosu Pek-lian-kauw yang mengeroyok Kui Hong sehingga Kui Hong berhadapan sendiri satu lawan satu dengan Su Bi Hwa. Wanita tokoh Pek-lian-kauw ini terbelalak ketakutan ketika muncul dua orang tangguh yang begitu menerjang membuat dua orang tosu Pek-lian-kauw terdorong ke belakang.
Ia sendiri harus menghadapi Cia Kui Hong yang amat marah dan benci kepadanya karena dia pernah mengacaukan Cin-ling-pai! Dia tahu bahwa ketua Cin-ling-pai itu tak akan mau mengampuninya, dan untuk melarikan diri pun agaknya sia-sia saja. Ia tahu benar betapa ketua Cin-ling-pai ini memiliki ilmu meringankan tubuh yang hebat sehingga ke mana pun dia lari tentu akan dapat dikejar dan disusulnya dengan mudah.
Oleh karena itu dia pun menggigit bibirnya dan dengan nekat dia lalu memutar pedangnya menyerang mati-matian mengeluarkan seruruh kepandaiannya. Jarum-jarum beracunnya telah habis sejak tadi karena ketika dia mengeroyok tadi, dia masih melepaskan jarumnya terus menerus sampai habis, akan tetapi gerakan Kui Hong memang luar biasa cepatnya sehingga semua serangan jarumnya tidak berhasil mengenai tubuh gadis itu.
"Su Bi Hwa, dosa-dosamu sudah bertumpuk! Bersiaplah untuk menghadap Malaikat Maut dan mempertanggung jawabkan semua dosamu!" seru Kui Hong dan dia pun memainkan sepasang pedangnya dengan cepat, mendesak Su Bi Hwa yang memang sudah jeri sekali itu.
Karena maklum bahwa apa bila iblis betina itu sampai mampu lolos lagi tentu hanya akan mendatangkan mala petaka bagi orang lain, maka. Kui Hong tidak memberi kesempatan lagi. Dengan ilmu Pedang Penakluk Iblis, sepasang pedangnya berubah menjadi gulungan sinar bagai dua ekor naga yang sedang memperebutkan mustika. Dan mustika itu adalah tubuh Su Bi Hwa!
Wanita yang sudah ketakutan ini berusaha sedapat mungkin untuk melindungi tubuhnya dengan putaran pedangnya. Namun terdengar Kui Hong membentak nyaring, sinar kedua pedangnya berkelebat. Su Bi Hwa yang terdesak hebat itu melompat tinggi ke atas untuk menghindar, tetapi tubuh Kui Hong juga melompat tinggi dan dia menggerakkan sepasang pedangnya menyerang di udara.
Su Bi Hwa berusaha menangkis, tetapi hanya sebatang pedang yang dapat ditangkisnya, ada pun pedang di tangan kiri Kui Hong sudah membabat ke arah lehernya. Tanpa dapat menjerit lagi Su Bi Hwa terbanting roboh ke atas tanah dengan bermandikan darah yang bercucuran keluar dari lehernya yang hampir putus. Dia pun tewas seketika!
Kini Kui Hong melihat ke arah Hay Hay, Han Siong dan Bi Lian. Baik Han Siong mau pun Bi Lian mampu mendesak dua orang tosu Pek-lian-kauw namun Hay Hay masih nampak terdesak oleh pengeroyokan Sim Ki Liong dan Hek-tok Sian-su.
"Sim Ki Liong, bersiaplah untuk mampus!" Kui Hong membentak, lantas dengan sepasang pedangnya dia pun menerjang bekas murid pulau Teratai Merah itu.
Ki Liong menyambut dengan nekat walau pun dia maklum bahwa kini keadaannya sudah berbalik sama sekali. Ketika tadi dia melihat munculnya Pek Han Siong dan Siangkoan Bi Lian, wajahnya berubah pucat dan dia merasa jeri sekali. Akan tetapi karena kedua orang itu bertanding melawan dua orang tosu Pek-lian-kauw, ada pun Su Bi Hwa mati-matian melawan Kui Hong, dia pun berusaha untuk lebih dahulu merobohkan Hay Hay bersama Hek-tok Sian-su. Kalau Hay Hay sudah roboh, dengan batuan Hek-tok Sian-su dan dua orang tosu Pek-lia-kauw, agaknya dia beserta kawan-kawannya tak perlu takut lagi.
Akan tetapi ternyata sukar sekali untuk merobohkan Hay Hay dan sebaliknya Su Bi Hwa malah roboh lebih dahulu. Dan kini Kui Hong telah menyerangnya, maka tak ada jalan lain baginya kecuali melawan mati-matian dengan nekat.
Sekarang terjadilah perkelahian satu lawan satu yang sangat hebat. Sungguh merupakan pertandingan tingkat tinggi yang pasti akan ditonton oleh semua tokoh kangouw sekiranya mereka mengetahuinya. Sayang pertandingan yang demikian hebatnya itu tidak ada yang menyaksikan, terjadi di tempat yang sunyi, hanya disaksikan pohon-pohon dan batu-batu, dan sinar matahari.
Pertandingan antara Siangkoan Bi Lian dan Lian Hwa Cu berlangsung amat seru karena tingkat kepandaian mereka seimbang. Biar pun Bi Lian sudah mengeluarkan ilmunya yang paling hebat, yaitu Kim-ke Kiam-sut (Ilmu Pedang Ayam Emas) yang indah dan cepat, akan tetapi lawannya adalah seorang tokoh Pek-lian-kauw yang banyak pengalamannya.
Sebagai satu di antara Pek-lian Sam-kwi (Tiga Setan Pek-lian), Lian Hwa Cu memiliki ilmu kepandaian tinggi. Seperti halnya mendiang Kim Hwa Cu, suheng-nya yang merupakan seorang di antara Pek-lian Sam-kwi pula, selain mempunyai ilmu pedang yang berbahaya dia pun memiliki ilmu andalan, yaitu penggunaan tenaga sakti yang membuat lengannya dapat mulur sampai hampir dua kali lengan biasa! Inilah yang sangat berbahaya!
Ketika untuk pertama kali dia menggunakan ilmu itu, Bi Lian terkejut sehingga hampir saja pundaknya terkena bacokan pedang lawan. Tentu saja dia tidak menyangka sama sekali bahwa pedang yang tadinya menyerangnya dan sudah dapat dia elakkan itu, tiba-tiba saja meluncur terus hendak membacok lehernya! Dia tak pernah menduga bahwa tangan yang memegang pedang itu dapat menjadi panjang seperti itu.
Akan tetapi sesudah dia mengetahui, Bi Lian kemudian mampu mengatasi keanehan ilmu itu dengan kecepatan gerakannya, bahkan ketika beberapa kali lengan itu mulur kembali, Bi Lian segera menyerang ke arah lengan itu untuk membuntunginya! Dengan demikian, dari keadaan menguntungkan bagi Lian Hwa Cu, lengan panjangnya itu sebaliknya malah merugikan.
Setelah ilmu yang diandalkan itu kini ternyata malah membahayakan dirinya sehingga dia tak berani lagi mempergunakannya, maka mulailah Lian Hwa Cu terdesak oleh permainan pedang Siangkoan Bi Lian yang sangat dahsyat. Lian Hwa Cu yang pandai menggunakan kekuatan sihir seperti para tosu Pek-lian-kauw pada umumnya itu beberapa kali mencoba menggunakan kekuatan sihirnya untuk mempengaruhi Bi Lian. Akan tetapi, setiap kali dia mengerahkan sihir untuk merobohkan lawan, sihirnya itu tidak hanya gagal tidak mampu menguasai Bi Lian, bahkan kekuatan sihirnya membalik lantas menyerang dirinya sendiri. Setelah mencoba empat lima kali yang akibatnya bahkan hampir saja mencelakai dirinya, akhirnya dia tidak berani lagi mencobanya, menyangka bahwa lawannya itu seorang yang kebal terhadap serangan sihir.
Tentu saja tidak demikian halnya. Sungguh pun dia lihai sekali, namun Bi Lian tidak kebal terhadap sihir, juga tidak pandai mempergunakan ilmu sihir. Akan tetapi semua serangan sihir Lian Hwa Cu ditolak oleh Pek Han Siong yang sengaja melawan Gin Hwa Cu, tosu Pek-lian-kauw yang matanya juling namun lihai bukan main.
Han Siong selalu mengawasi dan mendekati isterinya untuk melindunginya dari serangan sihir lawan. Dia maklum bahwa orang-orang Pek-lian-kauw pandai sihir, maka biar pun dia tidak mengkhawatirkan isterinya kalau bertanding silat, akan tetapi dia tahu bahwa kalau lawan isterinya menggunakan sihir, maka isterinya akan terancam bahaya.
Begitu tadi diserang Han Siong, Gin Hwa Cu sendiri mencoba kekuatan sihirnya kepada pendatang baru yang masih muda itu. Dia mengira bahwa dengan kekuatan sihirnya, dia akan dapat membuat pemuda itu tidak berdaya tanpa susah payah.
"Orang muda, pandanglah mataku!" bentaknya dan dengan pedang di tangan kanan dia mengangkat kedua tangannya menatap sepasang mata Han Siong.
Pemuda ini mengangkat muka memandang. Dia melihat betapa sepasang mata lawannya itu memang tajam berpengaruh, akan tetapi juling sehingga nampak lucu. Meski pun Han Siong adalah seorang pemuda pendiam, tenang dan halus, jarang berkelakar, tapi dia pun merasa geli juga melihat sepasang mata itu. Sambil mengerahkan tenaga batinnya untuk menolak pengaruh sihir dari Gin Hwa Cu, dia lantas berkata, bukan main-main melainkan sejujurnya.
"Sudah kupandang, matamu juling!"
Gin Hwa Cu terkejut, terheran dan marah bukan main. Pemuda itu tidak terpengaruh oleh perintahnya, tidak menjatuhkan diri berlutut sebaliknya malah mengatakan matanya juling. Tidak mungkin ini, pikirnya. Dia mengerahkan seluruh kekuatan sihirnya, menggerakkan kedua tangan ke atas dan ke bawah, kemudian seperti ditimpakan ke arah Han Siong dan suaranya terdengar semakin galak.
"Kukatakan berlututlah! Haiiiittttt... phuahhh!"
Air ludah muncrat dari mulutnya yang dimoncongkan. Akan tetapi Han Siong tetap berdiri tegak, sama sekali tidak berlutut, hanya tersenyum-senyum dan bersikap tenang.
"Sudah selesaikah engkau bermain sulap, dukun lepus?" dia bertanya.
Wajah Gin Hwa Cu berubah pucat, lalu merah karena malu. Tahulah dia sekarang bahwa dia tidak mampu mempengaruhi lawan muda itu dengan sihirnya. Maka dia pun memutar pedangnya dan sambil mengeluarkan betakan nyaring dia pun menerjang maju.
Han Siong mempergunakan Kwan-im-kiam dan sesudah menyerang dengan pedangnya, tosu Pek-lian-kauw itu dengan kaget mendapat kenyataan bahwa dalam hal ilmu pedang ternyata pemuda itu lebih lihai lagi! Dia telah menyerang bertubi-tubi, dengan marah dan setiap serangannya merupakan serangan maut, namun tidak sebuah pun di antara hujan serangannya mengenai sasaran, bahkan beberapa kali pedangnya yang ditangkis lawan membalik dan hampir menyembelih lehernya sendiri!
Akan tetapi, karena dia tidak melihat jalan keluar, dan kawan-kawannya juga masih sibuk bertanding sehingga dia tidak dapat mengharapkan bantuan mereka, Gin Hwa Cu tidak punya pilihan lain kecuali melawan mati-matian. Masih untung baginya bahwa perhatian lawannya agaknya terpecah untuk melindungi gadis cantik yang bertanding melawari sute-nya, yaitu Lian Hwa Cu, maka sampai sekian lamanya dia masih dapat bertahan.
Pertandingan yang paling sengit dan mati-matian adalah antara Cia Kui Hong dengan Sim Ki Liong. Akan tetapi yang paling dahsyat adalah pertandingan antara Hay Hay melawan Hek-tok Sian-su.
Sebenarnya kakek ini meninggalkan barat dan kembali ke timur bersama Ban-tok Sian-su untuk mencari ketenangan dan menghabiskan sisa hidup mereka di kampung halaman. Akan tetapi ternyata bukan ketenangan yang mereka dapatkan.
Begitu berkunjung ke kuil Siauw-lim-si untuk menemui penolong sekaligus guru mereka, yaitu Ceng Hok Hwesio di pegunungan Heng-tuan-san, mereka telah dibuat marah karena melihat penderitaan penolong mereka itu. Bahkan akhirnya Ceng Hok Hwesio meninggal dunia dalam keadaan menderita di rangkulan mereka.
Karena menganggap bahwa biang keladi penderitaan Ceng Hok Hwesio adalah Siongkoan Ci Kang dan isterinya, maka mereka berdua lalu berusaha untuk membalaskan kematian Ceng Hok Hwesio. Namun bukan suami isteri itu yang berhasil mereka bunuh, sebaliknya malah Ban-tok Sian-su yang tewas di tangan Siangkoan Ci Kang, pendekar yang tangan kirinya buntung itu! Kini Hek-tok Sian-su tinggal seorang diri dengan hati penuh dendam, baik terhadap keluarga Siangkoan Ci Kang mau pun terhadap Tang Hay karena pemuda itu dianggap sebagai pembunuh tiga orang pendeta Lama dari Tibet yang menjadi saudara seperguruannya.
Kini Hek-tok Sian-su sudah berhadapan dengan Tang Hay, satu lawan satu, maka kakek ini mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaganya untuk membunuh pemuda yang dia tahu amat lihai itu.
Begitu pemuda itu harus ia hadapi sendiri karena Sim Ki Liong terpaksa meninggalkannya setelah pemuda itu diserang oleh gadis yang amat lihai pula, dia segera berkemak-kemik membaca mantera, mengerahkan ilmu sihir yang dipelajarinya dari para pendeta Lama di Tibet. Dia menyambar segenggam tanah, dikepalnya di dalam genggaman, ditiupnya tiga kali, kemudian sambil memandang kepada Hay Hay dia pun berseru dengan suara yang menggetar penuh wibawa.
"Orang muda, lihat naga hitamku akan menelanmu!" Dia melontarkan segenggam tanah ke atas dan... nampaklah seekor naga hitam yang mengerikan melayang di udara dengan moncong terbuka lebar seolah hendak menggigit dan menelan Hay Hay.
Kui Hong yang sedang bertanding melawan Ki Liong dan sudah dapat mendesak pemuda itu, sempat terkejut bukan kepalang melihat seekor naga hitam menyambar dan hendak menerkam ke arah Hay Hay.
"Hay-ko, awasss...!" teriaknya.
Karena perhatiannya terpecah, hampir saja pedang di tangan Ki Liong menusuk dadanya. Gadis ini terpaksa melempar tubuhnya ke belakang untuk menghindarkan tusukan pedang lawan dan ketika Ki Liong mengejar dengan serangan bertubi-tubi, dia pun bergulingan sambil menangkis.
Kini Ki Liong melihat kesempatan baik untuk membunuh gadis yang pernah membuatnya tergila-gila tetapi juga menjadi penyebab utama penyelewengannya ke dalam kesesatan. Melihat gadis itu bergulingan, dia menyerang terus, tidak memberi kesempatan kepada Kui Hong untuk bangkit. Biar pun dia tahu bahwa tingkat kepandaian gadis itu lebih tinggi darinya, akan tetapi kini Kui Hong sudah rebah di tanah dan tidak sempat bangkit, maka dia terus mendesaknya dengan bacokan bertubi-tubi, membuat Kui Hong bergulingan ke sana-sini sambil menangkis untuk menghindarkan diri dari maut.
Sementara itu, melihat ada naga hitam hendak menerkamnya dari angkasa seperti yang dilihat Kui Hong, Hay Hay tenang saja, berdiri tegak, bahkan kedua tangannya bertolak pinggang dan mulutnya tersenyum, seolah seorang dewasa melihat lagak seorang anak-anak.
Dia sempat melirik ke arah Kui Hong dan meski pun dia melihat Kui Hong bergulingan dan didesak dengan serangan bertubi oleh Ki Liong, Hay Hay tidak merasa khawatir. Dengan ilmunya yang tinggi, dia bisa melihat bahwa Kui Hong bergulingan bukan karena terdesak, melainkan bergulingan untuk memancing lawan menjadi lengah.
Maka ia pun kembali memperhatikan lawannya sendiri dan melihat kakek itu mengangkat kedua tangan ke atas, seolah-olah hendak mengemudikan naga hitam itu dan mulutnya tetap berkemak-kemik membaca mantera.
"Hek-tok Sian-su, Mau apa engkau bermain-main dengan seekor cacing tanah? Cacingmu itu hanya pantas untuk menakut-nakuti anak perempuan saja!"
Hek-tok Sian-su terkejut karena dalam pandang matanya sendiri, naga hitam jadi-jadian itu benar-benar berubah menjadi seekor cacing hitam! Dia membaca mantera lagi sambil mengerahkan tenaga sihir sekuatnya, menggerakkan kedua tangannya ke arah bayangan naga yang berubah menjadi cacing sehingga kini perlahan-Iahan cacing itu membesar dan menjadi naga kembali.
Diam-diam Hay Hay merasa kagum. Kakek ini boleh juga, memiliki kekuatan sihir yang ampuh. Maka dia pun merendahkan tubuhnya, tangan kanannya mengambil segenggam tanah dan melontarkan tanah itu ke arah bayangan naga sambil membentak,
"Hek-tok Sian-su, tak mungin engkau bisa mengubah kenyataan. Asal dari tanah kembali menjadi tanah!"
Genggamam tanah itu disambitkan ke arah bayangan, nampak sinar hitam menyambar ke arah naga jadi-jadian kemudian bayangan itu pun lenyap, kini yang nampak hanya tanah berhamburan jatuh kembali ke bawah.
Kembali Hek-tok Sian-su membaca mantera sambil tubuhnya membuat gerakan berputar seperti gasing dan mulutnya terdengar berkata "Angin hanya terasa tetapi tidak kelihatan, aku menggunakan ilmu angin, bersatu dengan angin...!" suaranya bergaung di angkasa, tubuhnya berputar semakin cepat dan akhirnya bayangannya pun tidak nampak, hanya terdengar bunyi angin berdesir yang timbul dari gerakannya berputar cepat itu!
Sungguh hebat ilmu ini karena tentu saja lawan menjadi bingung melawan seorang yang tidak nampak dan hanya terasa sambaran anginnya. Sambil berputar itu Hek-tok Sian-su meluncur ke arah Hay Hay. Disangkanya bahwa ilmu yang mengandung kekuatan sihir itu sekali ini mempengaruhi lawannya, maka dia pun cepat menyerang dengan pukulan maut dari arah belakang Hay Hay.
Namun Hay Hay yang memiliki kekuatan sihir sangat kuat itu tentu saja tidak terpengaruh dan kalau orang lain tidak dapat melihat bayangan kakek itu, dia sendiri dapat mengikuti dengan baik sehingga dia pun tahu bahwa kakek itu sedang menyerangnya dari belakang. Dia tersenyum dan membiarkan kakek itu mengira dia sudah terpengaruh. Hal ini bahkan dia pergunakan untuk keuntungannya. Karena mengira dia terpengaruh, kakek itu sudah yakin bahwa serangannya akan mengenai sasaran dan dia merasa tidak perlu bersikap waspada menjaga diri.
"Wuuuuutttttt...!"
Ketika serangan itu sudah datang dekat dan Hek-tok Sian-su merasa yakin bahwa kali ini lawannya akan dapat dipukul roboh dengan pukulan beracun, tiba-tiba saja dengan cepat bukan main Hay Hay telah melempar tubuh ke samping, kemudian kakinya mencuat dari samping menyambar ke arah dada lawan.
Hek-tok Sian-su yakin bahwa lawannya akan roboh dengan tubuh menjadi hitam seperti arang terkena pukulan racun hitamnya, maka dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika tiba-tiba saja tubuh Hay Hay mengelak dan kaki pemuda itu bahkan menyambar ke arah dadanya secepat kilat! Hek-tok Sian-su yang tidak menduga sama sekali mencoba untuk mengelak dengan miringkan tubuhnya.
Walau pun dadanya terhindar dari tendangan, akan tetapi kaki Hay Hay masih mengenai pangkal lengan kirinya, membuat dia terpelanting dan kalau dia tidak cepat menjatuhkan diri bergulingan, tentu tubuhnya akan terbanting keras. Dia pun terus bergulingan seperti seekor binatang trenggiling, dan setiap kali tubuhnya bangkit dia segera mengirim pukulan seperti seekor katak berjongkok dan sepasang tangan yang didorongkan ke arah Hay Hay itu mengandung tenaga sinkang yang dahsyat bukan main. Namun Hay Hay selalu dapat menghindarkan diri dari serangan aneh ini, ilmu campuran antara binatang katak dengan binatang trenggiling yang bergulingan.
"Haiiiiittttt...!"
Gin Hwa Cu membentak marah karena sudah dua kali dia terpelanting akibat tendangan kaki Han Siong. Kemarahan membuatnya nekat karena dia merasa dipermainkan lawan. Pedangnya membuat gerakan melingkar-lingkar dan bagaikan badai mengamuk dia pun menerjang ke arah Han Siong. Seluruh tenaganya dia kerahkan untuk serangan itu, tanpa mempedulikan segi perlindungan diri karena dia sudah nekat hendak mengadu nyawa.
Melihat kenekatan lawan ini, Han Siong maklum bahwa kalau dia tidak cepat merobohkan lawan dan selalu mengalah maka keadaan bisa berbahaya baginya. Melawan orang nekat amatlah berbahaya, maka dia pun mempercepat gerakan pedangnya.
Ilmu pedang Kwan-im-kiamsut yang sudah dikuasainya dengan sempurna itu membuat lawan menjadi bingung. Seperti para tokoh Pek-lian-kauw, Gin Hwa Cu ini juga memiliki banyak macam ilmu hitam selain ilmu silatnya yang sangat lihai. Karena maklum bahwa dalam hal ilmu silat agaknya dia tidak akan menang melawan orang muda yang tangguh dan yang memiliki ilmu pedang luar biasa itu, dia lalu mencoba untuk menyerang dengan ilmu lain.
Tiba-tiba saja dia mengeluarkan suara nyanyian yang aneh, nadanya tinggi sampai seperti melengking-lengking. Suara ini bagai pedang runcing yang menusuk ke dalam telinga Han Siong! Inilah ilmu yang berbahaya sekali bagi lawan karena suara melengking itu dapat membuat lawan menjadi bingung dan telinga seperti ditusuk benda tajam. Apa bila lawan kurang kuat, suara ini bahkan dapat menyerang ke dalam kepala dan mematikan! Ilmu ini didorong oleh tenaga sakti yang bercampur dengan ilmu hitam.
Namun Pek Han Siong adalah seorang pemuda bekas Sin-tong (anak ajaib). Selain dia memang memiliki pembawaan lain sejak lahir, memiliki dasar lebih kuat secara batiniah, juga semenjak kecil dia telah berkenalan dengan ilmu sihir dari ibunya, bahkan kemudian menerima pelajaran ilmu sihir yang ampuh dari Ban Tok Lojin, seorang di antara Delapan Dewa. Oleh karena itu dia memiliki kekuatan sihir yang amat hebat sehingga dia bersikap tenang saja menghadapi serangan suara dari Gin Hwa Cu. Dengan tenaga saktinya dia dapat menutup kedua telinganya sehingga tak terpengaruh. Sebaliknya dia mempercepat gerakan pedangnya untuk mendesak.
Gin Hwa Cu terkejut. Pemuda itu bukan saja tidak terpengaruh oleh serangan suaranya, sebaliknya malah mendesaknya secara gencar sehingga dia terpaksa memutar pedang sambil terhuyung-huyung. Karena terdesak hebat, maka perhatiannya terpecah dan suara lengkingannya itu menjadi kacau dan sumbang, bahkan menurun, dan sebuah tendangan kaki Han Siong membuat dia terpelanting.
Dengan perasaan kaget dan gentar, Gin Hwa Cu yang terpelanting itu dapat bergulingan untuk menghindarkan diri dari serangan susulan lawan. Namun Han Siong adalah seorang pendekar gagah sejati yang tidak mau menyerang lawan yang telah roboh. Maka, melihat tendangannya membuat tosu Pek-lian-kauw itu terguling-guling, dia hanya berdiri tegak dan memandang saja.
Kesempatan itu dipergunakan Gin Hwa Cu untuk memulihkan diri. Dada kanannya terasa nyeri oleh tendangan tadi, akan tetapi dia telah meloncat bangun dengan mulut berkemik-kemik, kemudian dia mengembangkan jubahnya dan melambaikannya ke atas kepalanya. Ini merupakan ilmu sihir untuk membuat dirinya tidak nampak oleh orang lain!
Setelah memutar jubah di atas kepala dan merasa yakin bahwa dia lenyap dari pandang mata lawan, dia pun tiba-tiba meloncat ke depan dan pedangnya meluncur, menusuk ke arah dada Han Siong yang disangkanya tidak dapat melihatnya dan tentu dadanya akan tertembus pedang.
"Wuuuuttt...! Singgg...! Cappp!"
Sinar pedang berkilat, sebuah dada tertembus pedang yang cepat tercabut kembali, darah muncrat, dan robohlah tubuh Gin Hwa Cu! Ternyata ilmunya menghilang itu sama sekali tidak mempengaruhi Han Siong sehingga pendekar itu dapat melihat jelas semua gerakan lawan.
Pada waktu Gin Hwa Cu menusukkan pedangnya dengan keyakinan pasti akan berhasil sehingga tidak melakukan penjagaan diri sama sekali, dengan mudah Han Siong segera miringkan tubuh sambil menggeser kaki ke samping, dan pada saat tubuh lawan berlebat ke depan, dia pun menggerakkan pedangnya yang menembus dada Gin Hwa Cu. Ketika tubuh tosu itu roboh dalam keadaan tewas, Han Siong sudah melompat meninggalkannya untuk membantu isterinya, Siangkoan Bi Lian.
Wanita muda yang cantik jelita dan gagah perkasa ini sebetulnya tidak perlu dibantu. Biar pun lawannya, Lian Hwa Cu, sangat lihai, namun Bi Lian dapat mengimbanginya, bahkan tosu Pek-lian-kauw itu menjadi sibuk sekali setelah dia memainkan Kwan-im Kiam-sut.
Kwan-im Kiam-sut merupakan ilmu pedang yang nampak lembut. Gerakannya amat halus bagaikan gerakan wanita cantik menari pedang, atau seperti Dewi Welas Asih Kwan Im beterbangan dan bermain di awan, namun di balik keindahan dan kelembutan gerakan itu terkandung kekuatan yang dahsyat sekali.
Melihat isterinya mendesak lawan dan tidak terancam bahaya, Han Siong tentu saja tidak mau melakukan pengeroyokan. Bukan saja dia tidak mau bertindak curang, juga dia tahu bahwa jika dia turun tangan mengeroyok, tentu isterinya akan merasa tidak senang. Maka dia hanya berdiri menjadi penonton sambil siap membantu atau melindungi apa bila lawan isterinya menggunakan kekuatan sihir terhadap isterinya. Dia pun memperhatikan semua perkelahian yang terjadi di situ.
Sim Ki Liong terdesak hebat. Pria yang sudah terlalu banyak menumpuk dosa ini, yang beberapa kali hendak bertobat akan tetapi selalu gagal, repot bukan kepalang menghadapi desakan Kui Hong yang mengamuk seperti seekor naga betina marah. Sim Ki Liong telah mengeluarkan semua kepandaiannya, namun semua gerakan silatnya sudah dikenal Kui Hong, maka tentu saja gadis perkasa ini mampu membuyarkan semua serangan Ki Liong, dan sebaliknya Kui Hong mendesak terus dengan memainkan ilmu-ilmu yang tidak pernah dipelajari lawan.
Sebenarnya sudah lama Kui Hong memaafkan kesalahan yang diperbuat Ki Liong ketika pemuda ini pernah merayunya, bahkan kemudian melarikan diri minggat dari pulau Teratai Merah dan melarikan pula pedang pusaka milik kakek dan neneknya. Kebenciannya pada Ki Liong pernah lenyap berganti perasaan iba ketika Mayang memintakan ampun untuk Ki Liong demi cinta kasih gadis adik tiri Hay Hay itu terhadap Ki Liong. Akan tetapi, sesudah melihat kenyataan bahwa pemuda ini mengkhianati cinta Mayang, bahkan kembali bergaul dengan golongan sesat dan terjun kembali menjadi orang jahat, Kui Hong marah bukan main dan dia sudah mengambil keputusan bahwa sekali ini dia harus membunuh pemuda jahat ini. Demi Mayang dan demi dunia persilatan, karena kalau dibiarkan hidup, pemuda ini hanya akan mendatangkan banyak bencana bagi orang banyak.
Sambil membela diri mati-matian dan memutar pedangnya hingga sinar pedangnya yang bergulung-gulung itu seakan menjadi perisai baginya, di dalam hatinya Ki Liong menyesal bukan main. Laksana serangkaian gambar yang diputar, dia melihat betapa dia tersesat, terbujuk oleh nafsu-nafsunya sendiri sehingga akhirnya dia kini harus menghadapi akibat yang mencelakakan dirinya.
Dia seolah melihat mata pedang sudah menempel di lehernya, tidak ada jalan keluar lagi. Dia merasa takut dan menyesal mengapa dia yang tadinya sudah tertolong oleh Mayang, lantas menyia-nyiakan cinta kasih Mayang dan terbujuk oleh Su Bi Hwa, wanita iblis yang kini sudah menggeletak tanpa nyawa.
Kita semua, seperti juga Ki Liong, yaitu manusia pada umumnya, memang merupakan makhluk yang amat lemah menghadapi nafsu-nafsu yang berada di dalam diri kita sendiri. Nafsu-nafsu dalam diri kita merupakan suatu pembawaan sejak kita lahir, memang diikut sertakan dengan kita karena kehidupan manusia baru mungkin bisa berkembang selama adanya nafsu. Nafsu yang menimbulkan gairah dan semangat bagi kita untuk melakukan sesuatu karena nafsu mendatangkan kenikmatan. Nafsu menimbulkan kenikmatan pada mulut sehingga kita bergairah untuk makan, satu di antara syarat untuk kelangsungan hidup. Nafsu pula yang mendatangkan kenikmatan dalam hubungan badan sehingga kita bergairah untuk berjodoh yang merupakan syarat bagi perkembang biakan manusia. Dan demikian seterusnya.
Tanpa adanya nafsu daya rendah, kita tidak akan bergairah melakukan apa yang menjadi syarat utama untuk kelangsungan hidup. Nafsu-nafsu menyelinap, lantas menjadi gerak pendorong bagi hati akal dan pikiran sehingga timbul gairah untuk mengerjakan pikiran demi kenikmatan kehidupan kita. Maka nafsu daya rendah sudah mendorong kita untuk mempergunakan akal dan berpikir untuk membuat segala sesuatu demi kenikmatan dan kesenangan hidup. Maka manusia bisa membuat segala macam benda, perabot-perabot hidup, pakaian, rumah dan segala macam benda yang dibuat melalui akal pikiran untuk mendatangkan kenikmatan dalam kehidupan.
Puji Tuhan Maha Pengasih! Hanya karena kasih Tuhan sajalah maka manusia diberikan semua itu, diberi peserta-peserta seperti nafsu daya rendah sehingga kita bisa menikmati kehidupan. Namun, nafsu yang sedianya menjadi peserta yang sangat berguna itu, yang menjadi hamba yang melayani semua kebutuhan jiwa dalam badan yang berujud manusia ini, terjadi karena daya-daya rendah yang saling berlomba untuk menguasai kita!
Nafsu daya rendah membutuhkan badan manusia agar nafsu dapat menyampaikan dan memuaskan keinginannya. Karena itu nafsu-nafsu daya rendah berebut untuk menguasai kita agar manusia menurut saja segala kehendak nafsu. Nafsu yang tadinya menjadi alat kita, berbalik ingin memperalat kita. Nafsu yang sedianya menjadi hamba kita, berbalik ingin memperhamba kita.
Kita diperhamba nafsu melalui kenikmatan dan kesenangan tadi. Kita diperhamba nafsu melalui benda-benda yang dibuat oleh manusia sendiri seperti harta kekayaan, uang, dan sebagainya. Melalui makanan, melalui hubungan seksuil, pendeknya semua daya rendah saling berebut untuk menguasai kita.
Nafsu itu mutlak penting bagi kita, akan tetapi juga mutlak berbahaya. Seperti api, kalau menjadi alat kita teramat penting, akan tetapi bila sudah menjadi liar tak terkendali akan menghabiskan segalanya, akan membakar kita. Seperti kuda, jika jinak menjadi hamba yang amat berguna, sebaliknya kalau liar, kita dapat dibawa kabur memasuki jurang.
Manusia baru tahu akan bahayanya nafsu dalam diri sendiri setelah merasakan akibat buruknya. Memang sifat nafsu itu selalu mengejar kesenangan dan menjauhi kesusahan. Maka, pengetahuan tentang akibat buruk itu pun datang dari nafsu, dan tentu saja nafsu berkeinginan pula untuk mengubah yang buruk dan menyusahkan itu.
Dan kita pun terseret ke dalam lingkaran setan yang tak ada putusnya. Hati akal pikiran dipergunakan untuk mengendalikan nafsu, tanpa sadar bahwa hati akal pikiran kita telah bergelimang nafsu, telah dikuasai nafsu! Maka apa pun yang dilakukan menurut hati akal pikiran akan sejalan dengan kehendak nafsu, yaitu mengejar kesenangan, masih tetap di dalam ruangan yang sama di mana nafsu menjadi rajanya.
Karena itu segala macam usaha yang dilakukan oleh manusia untuk 'menjadi orang baik' akan selalu gagal karena usaha itu pun timbul dari keinginan nafsu dengan dasar bahwa menjadi orang baik berarti akan terbebas dari kesusahan dan berada dalam kenikmatan atau kesenangan, walau pun mungkin dengan jubah yang lebih halus dan bersih.
Kenyataan terbukti kalau kita melihat keadaan manusia di dalam dunia ini. Setiap orang manusia berusaha melalui segala cara, melalui kebudayaan, melalui keagamaan, melalui filsafat, pelajaran budi pekerti atau melalui pengertian, untuk menjadi 'orang baik' karena melihat betapa ketidak baikan sebagai manusia sudah mendatangkan berbagai mala petaka. Namun adakah nampak hasil dari semua usaha untuk menjadi baik itu?
Apa bila kita mempelajari sejarah dan melihat keadaan dunia ini, dengan jujur kita harus mengakui bahwa semua usaha itu agaknya belum dapat dibilang berhasil! Dunia masih kacau balau, kehidupan masih menjadi penderitaan yang berkepanjangan, permusuhan yang berkepanjangan, permusuhan terjadi di mana-mana, nampak sekali bahwa nafsulah yang menjadi raja, yang merajalela menguasai hati akal pikiran semua manusia. Bahkan segala pemenuhan dan hasil buatan manusia sudah menjadi alat nafsu untuk mengumbar angkara murka! Kita telah gagal!
Keadaan kita sama benar dengan keadaan Sim Ki Liong. Sebagai manusia, mula-mula dia diseret oleh dorongan nafsu yang memang ada di dalam dirinya seperti di dalam diri kita, dorongan yang membuat dia melakukan hal-hal yang tidak patut. Kemudian, akibat perbuatannya yang mendatangkan kepahitan membuat dia merasa menyesal dan ingin memperbaiki jalan hidupnya. Penyesalan yang datang dari akibat yang pahit, jadi jelas dari nafsu. Keinginan untuk mengubah cara hidup juga keinginan nafsu yang hanya ingin mengubah yang tidak enak menjadi yang enak, melalui istilah yang kurang baik menjadi yang baik!
Tentu saja dia gagal. Nafsu hanya menuntunnya ke jalan di mana dia akan mendapatkan kesenangan, kenikmatan, dan karena itulah maka Ki Liong juga gagal. Seperti juga semua orang di dunia ini, dia tahu bahwa dia melakukan kejahatan dan melalui jalan yang tidak benar, bahwa dia jahat. Namun dia tak kuasa menghentikannya.
Pencuri manakah di dunia ini yang tidak tahu bahwa perbuatan mencuri itu tidak baik? Namun pengetahuan tidak mempunyai kekuatan untuk mengendalikan nafsu. Walau pun tahu bahwa perbuatan itu tidak benar dan tidak baik, tapi kita tidak mampu mengalahkan dorongan nafsu dalam diri yang sudah mencengkeram kita melalui hati akal pikiran dan panca indera kita.
Tahu belum berarti mengerti. Bahkan biar sudah mengetahui dan mengerti sekali pun, belumlah yakin kalau belum merasakan. Namun kelengkapan dari tahu, mengerti dan merasa pun tidak cukup kuat untuk menguasai gelora nafsu. Lalu bagaimana nasib kita ini kalau kita ini tidak dapat hidup tanpa nafsu, namun juga kita dicengkeram oleh nafsu? Bagaimana kita akan mampu mengalahkan nafsu, atau lebih tepat, bagaimana kita akan dapat mengendalikan nafsu dalam kedudukannya semula, yaitu menjadi alat dan hamba, menjadi peserta yang baik dari kita?
Tidak ada caranya! Karena cara ini merupakan jalan dari pikiran pula. Kita, dengan akal pikiran dan hati, tidak akan mungkin bisa mengalahkan nafsu kita. Hanya ada satu yang dapat menguasai nafsu, yaitu pencipta nafsu itu sendiri, Sang Maha Pencipta, Sang Maha Kuasa yang menciptakan segala apa pun di dalam alam mayapada ini.
Hanya kekuasaan Tuhan jualah yang bisa mengubah yang bengkok menjadi lurus, yang salah menjadi benar. Karena itu, satu-satunya yang dapat kita lakukan adalah menyerah! Menyerah sepenuhnya, lahir batin, penuh keikhlasan dan ketawakalan, sepenuh iman kita kepada Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Pengampun. Dan kalau kekuasaan Tuhan sudah bekerja dalam diri kita, maka dengan sendirinya semua akan berjalan dengan baik dan sewajarnya menurut kodrat masing-masing.
Menyerah bukan dalam arti kata yang sempit, juga bukan dalam arti kata untuk mencari enaknya saja. Yang menyerah itu seluruh jiwa raga, sebagai dasar dari semua tindakan kita dalam hidup. Hati akal pikiran harus bekerja, bahkan bekerja dengan sepenuhnya, sesuai dengan kodratnya, sesuai dengan kewajibannya. Hati akal pikiran telah diciptakan untuk bekerja membantu manusia dan mengatur semua alat tubuh untuk bekerja, untuk mencukupi kebutuhan hidup di dunia ini.
Ki Liong selalu dipermainkan oleh nafsu-nafsunya yang semakin kuat. Sebagai manusia Ki Liong telah menjadi hamba nafsunya. Keadaan telah berbalik, maka setiap langkahnya dalam hidup selalu ditujukan untuk mencari kesenangan, tanpa menghiraukan segala cara. Perintah nafsu setiap saat berteriak lantang dalam hatinya, sebaliknya, suara nurani yang memperingatkan hanya terdengar bisik-bisik dan sayup sampai saja.
Kini dia merasa menyesal, namun penyesalan yang tidak ada gunanya lagi. Andai kata dia mendapatkan kesempatan kedua seperti ketika dia dimintakan ampun oleh Mayang, belum tentu dia akan benar-benar insyaf dan menjadi baik kembali. Selama nafsu masih mencengkeramnya maka dia akan selalu saja melakukan penyelewengan untuk mengejar kesenangan.
Karena tidak melihat jalan keluar, Ki Liong menjadi nekat dan dia pun melawan dengan mati-matian sambil mengeluarkan segala kepandaiannya.
"Sing-singg-singgg...!"
Ki Liong menggerakkan pedangnya dengan nekat. Dia mengerahkan tenaga sakti Thian-te Sinkang, sedangkan pedangnya yang memainkan jurus ilmu pedang Gin-hwa Kiamsut menyambar-nyambar dengan dahsyat.
Tapi Kui Hong telah mengenal baik ilmu dari kakeknya itu. Dia cepat menyambut dengan tangkisan kedua pedangnya. Kemudian, ketika dia melihat kesempatan yang baik, kedua pedangnya menyambut pedang Ki Liong dengan menggunting dari kanan kiri.
Pedang Ki Liong tertahan dan pada waktu dia mengerahkan tenaga, tiba-tiba saja pedang di tangan kiri Kui Hong telah meluncur ke depan sedangkan pedangnya yang kanan masih tetap menempel pada pedang lawan. Ki Liong melihat luncuran sinar itu dengan dua mata terbelalak, tidak sempat menghindar lagi dan dia seolah-olah melihat jelas betapa pedang itu memasuki dadanya.
"Ihhhhhhh...!" Ki Liong melepaskan pedangnya, mendekap dada yang terluka, kemudian terhuyung.
Kui Hong sudah meloncat ke belakang, kemudian berdiri tegak dengan sepasang pedang di tangan, matanya memandang tajam. Ki Liong mundur dengan terhuyung, memandang kepada Kui Hong dengan mata yang membayangkan kedukaan dan ketakutan, kemudian dia pun jatuh terjengkang dan tewas.
Kui Hong menoleh dan melihat betapa Hay Hay masih bertanding melawan Hek-tok Sian-su, sedangkan Bi Lian masih menandingi seorang tosu Pek-lian-kauw yang tangguh. Juga dia melihat Han Siong berdiri nonton. Dia pun mengerutkan alisnya.
"Hek Han Siong, bagaimana sih engkau ini? Menjadi penonton saja dan tidak membantu Bi Lian dan Hay-ko?" tegurnya.
Han Siong tersenyum. "Aku tidak mau dikatakan curang dan..."
"Ahhh, bodoh sekali, di dalam pertandingan mengadu ilmu memang tidak boleh melakukan pengeroyokan dan kecurangan, menang atau kalah harus berlaku seperti pendekar sejati. Akan tetapi yang kita hadapi ini adalah segerombolan tokoh sesat yang tak segan-segan melakukan segala macam kejahatan dan kecurangan. Mereka tadi pun mengeroyok kami. Kini kita menghadapi mereka untuk membasmi kejahatan, bukan untuk mengadu ilmu. Nah, terserah kepadamu, tetapi aku akan membantu Hay-ko!" Setelah berkata demikian, tanpa banyak cakap lagi Kui Hong langsung melompat dan terjun ke dalam gelanggang perkelahian, sepasang pedangnya menyambar dahsyat ke arah tubuh Hek-tok Sian-su!
"Singgg...! Singgg...!"
Dua cahaya berkliat membuat Hek-tok Sian-su terkejut karena dia tahu bahwa sepasang pedang itu sangat lihai dan berbahaya sekali. Cepat dia menggerakkan kedua lengannya, dan ujung lengan baju yang panjang itu menyambut sepasang pedang. Bagaikan dua ekor ular saja, lengan baju itu menangkap dan membelit sepasang pedang Kui Hong.
Gadis itu terkejut, berusaha menarik kembali sepasang pedangnya, namun belitan ujung lengan baju itu terlampau kuat dan sepasang pedang itu tidak dapat terlepas lagi. Melihat ini, Hay Hay segera menyerang dari samping. Tentu saja Hek-tok Sian-su maklum bahwa serangan Hay Hay jauh lebih berbahaya dari pada sepasang pedang itu, maka terpaksa dia melepaskan libatan kedua ujung lengan bajunya pada pedang-pedang itu untuk dapat meloncat ke belakang dan mengelak.
"Hay-ko, mari kita basmi tosu iblis ini!" kata Kui Hong yang telah bergerak menyerang lagi. Namun lebih mudah mengeluarkan ucapan itu dari pada melaksanakannya.
Hek-tok Sian-su adalah seorang datuk yang sudah mempunyai tingkat kepandaian tinggi sekali sehingga dia tetap saja mampu mempertahankan diri dengan ilmu-ilmu pukulannya yang dahsyat walau pun kini dikeroyok oleh Hay Hay dan Kui Hong,. Kadang-kadang dia mengeluarkan ilmu pukulan Angin Taufan, kadang kala mengerahkan tenaga sakti sambil menyerang dengan ilmu pukulan Gelombang Samudera, bahkan kadang dia mengejutkan Kui Hong dengan serangan bergulingan seperti trenggiling, lalu melancarkan pukulan jarak jauh dengan dorongan kedua tangannya sambil berjongkok dan dari perutnya keluar suara berkokokan.
Sementara itu, mendengar ucapan Kui Hong diam-diam Han Siong merasa kagum, lantas mengangguk membenarkan. Memang perkelahian itu bukanlah adu kepandaian di antara orang-orang gagah, melainkan sebuah pertempuran antara mereka melawan gerombolan orang-orang sesat. Tugas mereka adalah membasmi orang sesat.
Akan tetapi karena dia melihat bahwa isterinya sama sekali tidak membutuhkan bantuan, bahkan Bi Lian sedang mendesak tosu yang menjadi lawannya, dia pun ragu-ragu untuk membantu. Dia tidak ingin mengecewakan hati isterinya, maka dia tidak mau membantu secara langsung tetapi hanya berseru dengan suara berwibawa sambil menudingkan jari telunjuknya ke arah Lian Hwa Cu yang sedang repot menghindarkan rangkaian serangan Bi Lian.
"Lian-moi, tosu lawanmu itu hanya seorang yang bertubuh kerdil dan lemah, sedangkan engkau memiliki tubuh raksasa dan bertenaga raksasa, kenapa tidak segera merobohkan dia?"
Mendengar ucapan itu, diam-diam Bi Lian merasa heran sekali karena dia tidak mengerti kenapa suaminya mengatakan dia bertubuh dan bertenaga raksasa sedangkan lawannya seorang kerdil dan lemah. Akan tetapi keheranannya bertambah menjadi terkejut sekali ketika melihat bahwa dalam pandangannya lawannya benar-benar menjadi seorang yang kerdil, hanya setinggi lututnya!
Sebaliknya tosu itu pun terbelalak ketika mendengar ucapan itu karena kini melihat betapa lawannya sudah menjadi seorang wanita yang tinggi besar menakutkan! Sebagai seorang ahli sihir dia pun segera menyadari bahwa ucapan tadi mengandung tenaga yang amat kuat dan telah mempengaruhinya, maka cepat dia mengerahkan kekuatan batinnya untuk membuyarkan pengaruh yang menakutkan itu.
Namun pada saat itu Bi Lian sudah menyerang dengan pedangnya dan karena pedang itu pun nampak besar dan panjang sekali, lebih panjang dibandingkan tinggi tubuhnya, maka mengelak pun amat sulit bagi Lian Hwa Cu. Pinggangnya tersabet ujung pedang, lalu dia pun terjungkal roboh dan tidak mampu bangkit kembali karena beberapa saat kemudian dia segera tewas.
Baru dua hari suami isteri ini saling berjumpa. Seperti yang sudah diduga oleh Pek Han Siong, isterinya pergi mencari Hay Hay untuk meminjam mustika kemala penghisap racun ke Cin-ling-pai. Di Cin-ling-pai Bi Lian tidak bertemu dengan Hay Hay, bahkan mendengar bahwa Kui Hong juga pergi mencari Hay Hay ke kota raja. Dia pun segera pergi ke kota raja.
Han Siong yang mengejar isterinya lalu melakukan perjalanan cepat, tidak seperti Bi Lian yang mencari Hay Hay. Oleh karena itu dua hari yang lalu Han Siong berhasil menyusul Bi Lian dan suami isteri ini merasa gembira dan bahagia bukan main. Mereka baru saja melangsungkan pernikahan, tapi di tengah perayaan itu datang gangguan yang membuat mereka saling berpisah.
Pertemuan dengan suami tersayang itu semakin menggembirakan setelah dia mendengar dari Han Siong bahwa ayahnya sudah disembuhkan oleh obat yang ditinggalkan Hek-tok Sian-su. Dapat dibayangkan betapa selama dua hari dua malam itu pasangan suami isteri ini menumpahkan kerinduan serta kasih sayang masing-masing sebagai pengantin baru yang berbulan madu.
Pada hari ke dua, ketika mereka sedang berbulan madu di sebuah rumah penginapan, dan tidak melanjutkan usaha mereka mencari Hay Hay, dari dalam kamar penginapan itu mereka mendengar suara orang yang sangat mereka kenal, yaitu suara Hek-tok Sian-su! Mereka lalu mengintai dan melihat serombongan orang memasuki rumah penginapan itu, langsung menuju ke ruangan belakang.
Suami isteri ini terkejut dan heran sekali ketika mengenal adanya Sim Ki Liong di antara rombongan itu. Selain Hek-tok Sian-su dan Sim Ki Liong, nampak pula dua orang tosu serta seorang wanita cantik yang tidak mereka kenal.
Tadinya Bi Lian hendak menerjang keluar, mengingat bahwa Hek-tok Sian-su merupakan musuh besar yang bersama mendiang Ban-tok Sian-su sudah menyerang ayahnya. Tapi suaminya merangkulnya dan mencegahnya, lalu berbisik bahwa yang melukai Siangkoan Ci Kang adalah Ban-tok Sian-su, dan bahwa Hek-tok Sian-su malah meninggalkan obat penawar racun yang telah menyembuhkan ayah mertuanya itu.
Bagaimana pun juga, pada keesokan harinya ketika pagi-pagi sekali rombongan itu pergi, seperti yang mereka dengar dari pelayan rumah penginapan itu, Han Siong dan Bi Lian merasa tertarik dan melakukan perjalanan cepat mengejar ke arah perginya rombongan itu, yaitu ke arah kota raja. Akhirnya mereka melihat Hay Hay dan Kui Hong dikeroyok oleh rombongan itu, sedang terdesak dan keadaannya gawat. Maka, tanpa diminta lagi mereka lalu terjun ke dalam pertempuran dan mereka berdua akhirnya dapat merobohkan dua orang tosu Pek-lian-kauw.
Kini mereka memandang ke arah perkelahian antara Hek-tok Sian-su yang dikeroyok oleh Hay Hay dan Kui Hong. Mereka tidak maju membantu, karena betapa pun juga mereka teringat bahwa Hek-tok Sian-su sudah memberi obat penawar racun dan menyembuhkan Siangkoan Ci Kang.
"Kita tidak boleh mencampuri, apa lagi pihak Hay Hay dan Kui Hong sama sekali tidak membutuhkan bantuan," kata Han Siong dan isterinya mengangguk membenarkan.
Tiba-tiba terdengar derap kaki kuda dan suara orang riuh mendatangi ke arah tempat itu. Han Siong dan Bi Lian mengangkat muka memandang dan mereka terkejut ketika melihat rombongan orang yang tidak kurang dari seratus orang datang dari arah kota Cang-cow yang temboknya sudah nampak dari situ. Tanpa banyak cakap lagi rombongan ini lantas mencabut senjata mengepung Kui Hong dan Hay Hay yang sedang bertanding melawan Hek-tok Sian-su.
Dari sikap mereka jelas terlihat bahwa mereka berpihak kepada Hek-tok Sian-su! Padahal mereka nampak seperti para petugas keamanan dari kota Cang-cow, sebagian memakai seragam akan tetapi di antara mereka terdapat pula orang barat yang bermata biru. Ada pula orang asing yang pendek dan mengingatkan Han Siong pada orang Jepang, dan ada pula beberapa orang tosu seperti dua orang tosu yang mereka lawan tadi, yaitu tosu Pek-lain-kauw!
Maklum bahwa Hay Hay dan Kui Hong berada dalam bahaya, tanpa banyak cakap lagi suami isteri muda ini segera menerjang ke arah gerombolan orang yang baru tiba itu dan mengamuk dengan pedang mereka. Segera puluhan orang mengeroyok suami isteri ini.
Melihat itu, Kui Hong yang tahu bahwa kekasihnya tak akan kalah melawan Hek-tok Sian-su, langsung meloncat dan membantu suami isteri itu menghadapi pengeroyokan banyak orang. Kini terjadi pertempuran yang amat hebat. Tiga orang ini, Cia Kui Hong, Siangkoan Bi Lian, dan Pek Han Siong lalu mengamuk sehingga di antara para pengeroyok banyak yang roboh bergelimpangan karena terkena sambaran pedang mereka yang bergulung-gulung!
Betapa pun gagah perkasanya tiga orang pendekar muda ini, menghadapi pengeroyokan puluhan orang yang jumlahnya mendekati seratus, apa lagi di situ terdapat orang Pek-lian-kauw, juga jagoan-jagoan bajak laut Jepang serta beberapa orang Portugis yang pandai menggunakan pedang tipis panjang dan runcing, mereka terdesak juga sehingga terpaksa harus memutar pedang menjadi gulungan sinar yang menjadi perisai diri mereka.
Pertandingan antara Hay Hay dan Hek-tok Sian-su juga amat seru. Hek-tok Sian-su juga merasa penasaran dan marah bukan main sesudah tadi terdesak karena masuknya Kui Hong ke dalam perkelahian. Kini dia melawan Hay Hay satu lawan satu, dan dia merasa penasaran. Apa lagi hatinya menjadi besar karena munculnya rombongan para rekan dari kota Cong-cow.
Memang Su Bi Hwa yang kini telah tewas adalah seorang wanita amat cerdik dan luas hubungannya. Ketika mereka bertiga melarikan diri dari kota raja, atas petunjuk Bi Hwa mereka lari ke Cong-cow dan di kota itu ternyata Su Bi Hwa memiliki hubungan dengan para tosu Pek-lian-kauw yang bersekutu dengan orang Portugis dan pejabat Cong-cow, juga dengan bajak-bajak laut Jepang.
Tentu saja Su Bi Hwa, Sim Ki Liong dan Hek-tok Sian-su diterima dengan baik oleh dua pejabat kota Cong-cow yang bersekutu dengan orang Portugis, yaitu kepala daerah Yong Ki Hok dan wakilnya, yaitu Ouw Seng. Dua pejabat yang merencanakan pemberontakan karena mengandalkan kekuatan orang Portugis ini sekarang sedang membutuhkan orang-orang pandai. Apalagi Hek-tok Sian-su, Su Bi Hwa dan Sim Ki Liong datang diperkenalkan oleh orang-orang Pek-lian-kauw.
Ketika mendengar dari mata-mata yang melakukan penjagaan di sepanjang jalan di luar kota bahwa Hay Hay dan Cia Kui Hong menuju ke kota Cong-cow, Hek-tok Sian-su, Su Bi Hwa, Sim Ki Liong dan dibantu dua orang tosu Pek-lian-kauw yang lihai cepat melakukan penghadangan. Agar tak menarik perhatian maka tidak dikirim pasukan, apa lagi Hek-tok Sian-su memastikan bahwa pihak mereka tentu akan cukup kuat untuk meringkus atau membunuh Hay Hay dan Kui Hong.
Hanya ada beberapa orang mata-mata saja yang melakukan pengintaian untuk melihat hasil penghadangan terhadap dua orang musuh itu. Para mata-mata inilah yang segera mengirim laporan ke kota Cong-cow ketika pihak mereka kewalahan.
Kepala daerah Yong Ki Hok segera mengirim serombongan orang-orang yang terdiri dari campuran persekutuan mereka, akan tetapi kedatangan rombongan itu terlambat karena di antara lima orang jagoan mereka yang kini masih mampu bertahan hanyalah Hek-tok Sian-su seorang, sedangkan empat orang yang lain, yaitu dua orang tosu Pek-lian-kauw yang tadinya disombongkan oleh para orang Pek-lian-kauw sebagai jagoan tangguh, juga Su Bi Hwa dan Sim Ki Liong, telah tewas!
Hay Hay merasa khawatir juga saat melihat munculnya gerombolan yang memiliki banyak orang tangguh itu. Biar pun dia yakin akan kehebatan ilmu kepandaian Han Siong, Bi Lian dan Kui Hong, namun terlihat jelas bahwa mereka mulai terhimpit oleh banyaknya musuh. Maka, dia pun mengambil keputusan untuk cepat merobohkan Hek-tok Sian-su.
Tapi ternyata kakek ini pun berusaha mati-matian, bukan hanya untuk melindungi dirinya, melainkan juga untuk membalas dengan serangan yang sangat dahsyat, yang membuat Hay Hay tidak berani bersikap lengah.
"Aauughhhhhh...!" Hek-tok Sian-su kini mengirim serangan dengan ilmunya Angin Taufan yang dahsyat, dengan kedua lutut ditekuk dia meloncat ke depan sambil mendorongkan kedua telapak tangannya ke arah Hay Hay.
Pendekar ini maklum bahwa jika dia tidak cepat mengalahkan orang ini, maka tiga orang temannya akan terancam bahaya. Sekali ini dia tidak mau lagi mengelak atau menangkis, melainkan dia mengerahkan sinkang pula dan menyambut dorongan itu dengan dorongan kedua telapak tangannya pula.
"Plakkk!"
Dua pasang telapak tangan saling bertemu dan melekat! Keduanya mengerahkan tenaga sakti yang melalui telapak tangan mereka mempunyai kekuatan untuk membunuh lawan yang kuat sekali pun. Keduanya tak mau kalah karena mundur berartu hancur. Mengalah berarti terancam maut.
Sekarang keadaan mereka sudah terlanjur, kedua pasang telapak tangan itu sudah saling melekat dan terjadi adu sinkang yang tidak dapat dilihat orang lain. Tubuh mereka tergetar dan dari ubun-ubun kepala mereka keluar mengepul uap tebal!
Dalam adu tenaga itu Hay Hay maklum bahwa tenaga lawannya sunggguh amat dahsyat. Walau pun dia tidak dapat dikatakan lebih lemah, namun dia tidak berani menganggap diri lebih kuat. Andai kata ada selisihnya, maka dia hanya menang sedikit saja dan ini tidak cukup untuk dapat merobohkan lawan dalam waktu singkat. Tahulah Hay Hay bahwa adu tenaga sinkang ini akan berlangsung lama sebelum dia akan mampu mengalahkan kakek itu.
Kini hanya tinggal mengadu daya tahan dan kekuatan napas saja karena tenaga mereka seimbang. Kalau saja Kui Hong tidak meninggalkannya untuk membantu Han Siong dan Bi Lian, dengan bantuan kekasihnya itu tentu dia akan mampu mendapat kemenangan tanpa banyak membuang waktu. Akan tetapi dia tidak menyalahkan Kui Hong. Memang Han Siong dan Bi Lian lebih perlu dibantu.
Seorang tosu Pek-lian-kauw yang datang bersama rombongan itu tiba-tiba meloncat ke belakang Hay Hay yang berdiri dengan kedua lutut ditekuk dan kedua lengan diluruskan, dengan telapak tangan menempel pada kedua telapak tangan Hek-tok Sian-su. Tosu Pek-lain-kauw itu tanpa banyak cakap lagi sudah menghantamkan telapak tangan kanannya ke punggung Hay Hay dengan pengerahan sinkang yang cukup dahsyat.
"Plakkk!"
Telapak tangan itu menempel di punggung Hay Hay, lantas tenaga yang kuat memasuki tubuh Hay Hay melalui punggung itu. Si tosu terkejut sekali karena sama sekali tidak ada perlawanan dari orang yang dipukulnya, bahkan tenaga sinkang dari telapak tangannya itu seperti menembus punggung.
Memang hal itu disengaja oleh Hay Hay. Dengan tingkatnya yang sangat tinggi berkat gemblengan Song Lojin, dia dapat menerima dan menampung tenaga dari hantaman tosu itu, kemudian langsung menyalurkan hawa itu ke arah kedua telapak tangannya sehingga tenaganya bertambah besar menghadapi kedua telapak tangan Hek-tok Sian-su.
"Ihhhh...!" Hek-tok Sian-su menyemburkan darah dari mulutnya.
Hek-tok Sian-su memandang kepada tosu Pek-lian-kauw itu. Dia tidak berani membuka mulut melarangnya, karena mengeluarkan kata-kata berarti memecah tenaga dan hal ini akan membahayakan jiwanya. Akan tetapi membiarkan saja tosu itu membantunya juga mendorongnya ke ambang maut karena lawannya yang masih muda itu ternyata mampu memanfaatkan serangan tosu itu untuk memperbesar tenaga sinkang-nya!
Biar pun tosu Pek-lian-kauw itu seorang tokoh yang lihai, namun dia terlalu memandang rendah Hay Hay. Menerima dan menyalurkan tenaga lawan demi keuntungan diri sendiri merupakan ilmu yang sangat langka, maka dia sama sekali tidak pernah mengira bahwa pemuda itu mampu melakukan hal itu, malah disangkanya bahwa Hek-tok Sian-su sudah terluka dan lemah. Oleh karena itu, ketika melihat kakek itu menyemburkan darah dia pun bermaksud untuk membantunya dan kini tangan kirinya dihantamkan ke punggung Hay Hay sambil mengerahkan seluruh sisa tenaganya.
"Dessssss...!"
Akibatnya hebat sekali. Hek-tok Sian-su kembali menyemburkan darah dan dia pun lantas terjengkang, sedangkan tubuh Hay Hay bergulingan menjauh. Ketika pemuda ini meloncat bangun, wajahnya agak pucat dan napasnya terengah namun dia tidak terluka. Dan ketika dia menoleh ke arah Hek-tok Sian-su, kakek itu rebah terlentang dan sudah tewas!
Sekarang tosu Pek-lian-kauw itu baru tahu apa yang telah terjadi. Hek-tok Sian-su tewas karena tanpa disadarinya dia telah membantu pemuda itu yang kiranya mampu menerima dan menyalurkan tenaga hantamannya tadi untuk menyerang Hek-tok Sian-su. Dia pun menjadi marah, lalu meneriaki kawan-kawannya untuk mengeroyok Hay Hay.
Walau pun kini bertambah dengan Hay Hay, namun tetap saja para pendekar itu sangat kewalahan menghadapi pengeroyokan musuh yang demikian banyaknya. Mereka segera bergabung dan membentuk sebuah lingkaran dengan saling membelakangi. Empat orang pendekar atau dua pasang orang muda perkasa itu masing-masing menghadap empat penjuru sehingga pihak musuhnya hanya dapat menyerang mereka dari depan dan kanan kiri saja.
Kalau saja Hay Hay dan Han Siong tidak memiliki kekuatan sihir yang hebat di samping ilmu silat mereka, agaknya mereka berempat tidak akan dapat bertahan terlampau lama. Namun kedua orang muda perkasa ini berulang-ulang mengeluarkan bentakan-bentakan yang menggetarkan sehingga membuat banyak pengeroyoknya terjungkal tanpa dipukul, terpelanting atau terjengkang karena pengaruh suara yang mengandung kekuatan sihir Hay Hay dan Han Siong.
Namun mereka tidak melihat kesempatan untuk melarikan diri karena pengepungan itu berlapis-lapis dengan datangnya bala bantuan bagi musuh yang mengalir keluar dari kota Cong-cow. Keadaan benar-benar gawat! Bahkan empat orang pendekar muda itu sudah menerima beberapa kali serangan yang mendatangkan luka di tubuh mereka, walau pun berkat kelihaian mereka, luka-luka itu tidaklah parah.
Keadaan yang sangat gawat bagi dua pasang pendekar itu tiba-tiba saja berubah ketika terdengar suara tambur dan sorak-sorai, lalu diikuti munculnya pasukan pemerintah yang berjumlah besar! Di antara para panglima dan perwira yang memimpin pasukan itu juga terdapat Mayang, Cang Hui dan Teng Cin Nio! Cang Sun yang tidak pernah bertempur itu bahkan terdapat pula di antara mereka.
Tentu saja gerombolan pemberontak itu tidak mudah dibasmi, bahkan pasukan-pasukan yang dipimpin langsung oleh Menteri Yang Ting Hoo itu terus menyerbu ke dalam kota Cong-cow, bergabung dengan pasukan pemerintah yang masih setia kepada pemerintah dan tidak ikut terseret ke dalam gerombolan persekutuan pemberontak.
Hay Hay, Kui Hong, Han Siong beserta Bi Lian tidak ikut menyerbu ke kota itu, melainkan kembali ke kota raja menumpang dalam kereta besar bersama Cang Sun, Mayang, Cang Hui dan Cin Nio.
Dua pasang pendekar itu saling mengobati luka-luka kecil pada tubuh mereka, kemudian mereka semua menghadap Menteri Cang Ku Ceng yang menyatakan penyesalannya bahwa keluarganya sampai diselundupi orang-orang macam Su Bi Hwa dan Sim Ki Liong sehingga hampir saja mendatangkan mala petaka, bukan hanya bagi keluarga, melainkan juga bagi istana kerajaan.
Menteri Cang Ku Ceng beserta keluarganya menyambut gembira ketika puteranya, Cang Sun menyatakan keinginannya untuk menikah dengan Mayang dan Cin Nio sekaligus! Di dalam kesempatan ini Cang Sun yang sudah dibujuk oleh Mayang minta kepada ayahnya agar suka menjadi wali bagi Hay Hay untuk mengajukan pinangan ke Cin-ling-pai, untuk meminang Cia Kui Hong menjadi jodoh Hay Hay. Bahkan dia menyatakan, tentu saja atas desakan Mayang pula, bahwa hari pernikahannya akan dilaksanakan berbareng dengan hari pernikahan Hay Hay. Menteri Cang Ku Ceng yang merasa betapa besar jasa Hay Hay selama ini, menyatakan setuju.
Untuk sekian kalinya orang-orang Portugis kembali dihalau pergi oleh pasukan pemerintah dari kota Cong-cow. Banyak di antara mereka yang tewas bersama sekutu mereka di kota Cong-cow dan sisanya dihalau pergi, melarikan diri dengan kapal-kapal mereka ke lautan.
Akan tetapi agaknya pemerintah kerajaan Beng tidak pernah jera menghadapi kecurangan orang-orang Portugis. Memang tertanam kebencian dan kecurigaan terhadap orang-orang kulit putih karena ulah orang-orang Portugis yang merupakan pendatang orang kulit putih pertama di daratan China, akan tetapi pemerintah dan para pedagang melihat keuntungan besar dengan adanya perdagangan antara bangsa pribumi dengan orang-orang asing dari barat itu.
Orang-orang kulit putih amat menghargai rempah-rempah yang dianggap kurang berharga di daratan Cina, dan rempah-rempah itu ditukar dengan benda-benda asing yang langka didapat di daratan. Perdagangan yang dianggap menguntungkan kedua pihak inilah yang membuat pemerintah kerajaan merasa sayang untuk menolak kedatangan orang-orang Portugis.
Beberapa tahun kemudian, yaitu pada tahun 1557, dengan dukungan para pejabat daerah yang mendapat banyak keuntungan melalui pajak dan sogokan perdagangan itu, akhirnya pemerintah mengijinkan bangsa Portugis untuk mendarat di Macao, sebuah semenanjung di Kanton, sebuah tempat terpencil dan jauh dari kota-kota yang penting. Bahkan sebuah pasukan yang kuat ditempatkan di perbentengan untuk mencegah orang-orang Portugis masuk ke pedalaman.
Akibat ulah orang-orang Portugis inilah maka sampai bertahun-tahun lamanya rakyat Cina tidak percaya kepada orang-orang kulit putih, biar pun mereka itu bukan orang Portugis, melainkan dari daratan Eropa yang lain, seperti Belanda dan Inggris
Pada waktu utusan Menteri Cang Ku Ceng datang meminang Kui Hong untuk dijodohkan dengan Tang Hay, tentu saja Cia Hui Song dan isterinya, Ceng Sui Cin, menerima dengan penuh penghormatan. Sekarang suami isteri ini telah yakin bahwa jodoh berada di tangan Tuhan, dan kalau puteri mereka sudah saling mencinta dengan Tang Hay, maka mereka pun tidak mampu menghalangi.
Tidak lama kemudian, pada hari yang sama dilangsungkan pernikahan antara Tang Hay dan Cia Kui Hong, dan antara Cang Sun dengan kedua orang isterinya, yaitu Mayang dan Cin Nio. Perayaan pengantin kembar itu dirayakan secara besar-besaran di kota raja, di gedung istana keluarga Menteri Cang Ku Ceng, dihadiri oleh para pejabat tinggi dan oleh tokoh-tokoh persilatan. Di antara mereka hadir pula Pek Han Siong dan isterinya tercinta, yaitu Siangkoan Bi Lian.
Ia sendiri harus menghadapi Cia Kui Hong yang amat marah dan benci kepadanya karena dia pernah mengacaukan Cin-ling-pai! Dia tahu bahwa ketua Cin-ling-pai itu tak akan mau mengampuninya, dan untuk melarikan diri pun agaknya sia-sia saja. Ia tahu benar betapa ketua Cin-ling-pai ini memiliki ilmu meringankan tubuh yang hebat sehingga ke mana pun dia lari tentu akan dapat dikejar dan disusulnya dengan mudah.
Oleh karena itu dia pun menggigit bibirnya dan dengan nekat dia lalu memutar pedangnya menyerang mati-matian mengeluarkan seruruh kepandaiannya. Jarum-jarum beracunnya telah habis sejak tadi karena ketika dia mengeroyok tadi, dia masih melepaskan jarumnya terus menerus sampai habis, akan tetapi gerakan Kui Hong memang luar biasa cepatnya sehingga semua serangan jarumnya tidak berhasil mengenai tubuh gadis itu.
"Su Bi Hwa, dosa-dosamu sudah bertumpuk! Bersiaplah untuk menghadap Malaikat Maut dan mempertanggung jawabkan semua dosamu!" seru Kui Hong dan dia pun memainkan sepasang pedangnya dengan cepat, mendesak Su Bi Hwa yang memang sudah jeri sekali itu.
Karena maklum bahwa apa bila iblis betina itu sampai mampu lolos lagi tentu hanya akan mendatangkan mala petaka bagi orang lain, maka. Kui Hong tidak memberi kesempatan lagi. Dengan ilmu Pedang Penakluk Iblis, sepasang pedangnya berubah menjadi gulungan sinar bagai dua ekor naga yang sedang memperebutkan mustika. Dan mustika itu adalah tubuh Su Bi Hwa!
Wanita yang sudah ketakutan ini berusaha sedapat mungkin untuk melindungi tubuhnya dengan putaran pedangnya. Namun terdengar Kui Hong membentak nyaring, sinar kedua pedangnya berkelebat. Su Bi Hwa yang terdesak hebat itu melompat tinggi ke atas untuk menghindar, tetapi tubuh Kui Hong juga melompat tinggi dan dia menggerakkan sepasang pedangnya menyerang di udara.
Su Bi Hwa berusaha menangkis, tetapi hanya sebatang pedang yang dapat ditangkisnya, ada pun pedang di tangan kiri Kui Hong sudah membabat ke arah lehernya. Tanpa dapat menjerit lagi Su Bi Hwa terbanting roboh ke atas tanah dengan bermandikan darah yang bercucuran keluar dari lehernya yang hampir putus. Dia pun tewas seketika!
Kini Kui Hong melihat ke arah Hay Hay, Han Siong dan Bi Lian. Baik Han Siong mau pun Bi Lian mampu mendesak dua orang tosu Pek-lian-kauw namun Hay Hay masih nampak terdesak oleh pengeroyokan Sim Ki Liong dan Hek-tok Sian-su.
"Sim Ki Liong, bersiaplah untuk mampus!" Kui Hong membentak, lantas dengan sepasang pedangnya dia pun menerjang bekas murid pulau Teratai Merah itu.
Ki Liong menyambut dengan nekat walau pun dia maklum bahwa kini keadaannya sudah berbalik sama sekali. Ketika tadi dia melihat munculnya Pek Han Siong dan Siangkoan Bi Lian, wajahnya berubah pucat dan dia merasa jeri sekali. Akan tetapi karena kedua orang itu bertanding melawan dua orang tosu Pek-lian-kauw, ada pun Su Bi Hwa mati-matian melawan Kui Hong, dia pun berusaha untuk lebih dahulu merobohkan Hay Hay bersama Hek-tok Sian-su. Kalau Hay Hay sudah roboh, dengan batuan Hek-tok Sian-su dan dua orang tosu Pek-lia-kauw, agaknya dia beserta kawan-kawannya tak perlu takut lagi.
Akan tetapi ternyata sukar sekali untuk merobohkan Hay Hay dan sebaliknya Su Bi Hwa malah roboh lebih dahulu. Dan kini Kui Hong telah menyerangnya, maka tak ada jalan lain baginya kecuali melawan mati-matian dengan nekat.
Sekarang terjadilah perkelahian satu lawan satu yang sangat hebat. Sungguh merupakan pertandingan tingkat tinggi yang pasti akan ditonton oleh semua tokoh kangouw sekiranya mereka mengetahuinya. Sayang pertandingan yang demikian hebatnya itu tidak ada yang menyaksikan, terjadi di tempat yang sunyi, hanya disaksikan pohon-pohon dan batu-batu, dan sinar matahari.
Pertandingan antara Siangkoan Bi Lian dan Lian Hwa Cu berlangsung amat seru karena tingkat kepandaian mereka seimbang. Biar pun Bi Lian sudah mengeluarkan ilmunya yang paling hebat, yaitu Kim-ke Kiam-sut (Ilmu Pedang Ayam Emas) yang indah dan cepat, akan tetapi lawannya adalah seorang tokoh Pek-lian-kauw yang banyak pengalamannya.
Sebagai satu di antara Pek-lian Sam-kwi (Tiga Setan Pek-lian), Lian Hwa Cu memiliki ilmu kepandaian tinggi. Seperti halnya mendiang Kim Hwa Cu, suheng-nya yang merupakan seorang di antara Pek-lian Sam-kwi pula, selain mempunyai ilmu pedang yang berbahaya dia pun memiliki ilmu andalan, yaitu penggunaan tenaga sakti yang membuat lengannya dapat mulur sampai hampir dua kali lengan biasa! Inilah yang sangat berbahaya!
Ketika untuk pertama kali dia menggunakan ilmu itu, Bi Lian terkejut sehingga hampir saja pundaknya terkena bacokan pedang lawan. Tentu saja dia tidak menyangka sama sekali bahwa pedang yang tadinya menyerangnya dan sudah dapat dia elakkan itu, tiba-tiba saja meluncur terus hendak membacok lehernya! Dia tak pernah menduga bahwa tangan yang memegang pedang itu dapat menjadi panjang seperti itu.
Akan tetapi sesudah dia mengetahui, Bi Lian kemudian mampu mengatasi keanehan ilmu itu dengan kecepatan gerakannya, bahkan ketika beberapa kali lengan itu mulur kembali, Bi Lian segera menyerang ke arah lengan itu untuk membuntunginya! Dengan demikian, dari keadaan menguntungkan bagi Lian Hwa Cu, lengan panjangnya itu sebaliknya malah merugikan.
Setelah ilmu yang diandalkan itu kini ternyata malah membahayakan dirinya sehingga dia tak berani lagi mempergunakannya, maka mulailah Lian Hwa Cu terdesak oleh permainan pedang Siangkoan Bi Lian yang sangat dahsyat. Lian Hwa Cu yang pandai menggunakan kekuatan sihir seperti para tosu Pek-lian-kauw pada umumnya itu beberapa kali mencoba menggunakan kekuatan sihirnya untuk mempengaruhi Bi Lian. Akan tetapi, setiap kali dia mengerahkan sihir untuk merobohkan lawan, sihirnya itu tidak hanya gagal tidak mampu menguasai Bi Lian, bahkan kekuatan sihirnya membalik lantas menyerang dirinya sendiri. Setelah mencoba empat lima kali yang akibatnya bahkan hampir saja mencelakai dirinya, akhirnya dia tidak berani lagi mencobanya, menyangka bahwa lawannya itu seorang yang kebal terhadap serangan sihir.
Tentu saja tidak demikian halnya. Sungguh pun dia lihai sekali, namun Bi Lian tidak kebal terhadap sihir, juga tidak pandai mempergunakan ilmu sihir. Akan tetapi semua serangan sihir Lian Hwa Cu ditolak oleh Pek Han Siong yang sengaja melawan Gin Hwa Cu, tosu Pek-lian-kauw yang matanya juling namun lihai bukan main.
Han Siong selalu mengawasi dan mendekati isterinya untuk melindunginya dari serangan sihir lawan. Dia maklum bahwa orang-orang Pek-lian-kauw pandai sihir, maka biar pun dia tidak mengkhawatirkan isterinya kalau bertanding silat, akan tetapi dia tahu bahwa kalau lawan isterinya menggunakan sihir, maka isterinya akan terancam bahaya.
Begitu tadi diserang Han Siong, Gin Hwa Cu sendiri mencoba kekuatan sihirnya kepada pendatang baru yang masih muda itu. Dia mengira bahwa dengan kekuatan sihirnya, dia akan dapat membuat pemuda itu tidak berdaya tanpa susah payah.
"Orang muda, pandanglah mataku!" bentaknya dan dengan pedang di tangan kanan dia mengangkat kedua tangannya menatap sepasang mata Han Siong.
Pemuda ini mengangkat muka memandang. Dia melihat betapa sepasang mata lawannya itu memang tajam berpengaruh, akan tetapi juling sehingga nampak lucu. Meski pun Han Siong adalah seorang pemuda pendiam, tenang dan halus, jarang berkelakar, tapi dia pun merasa geli juga melihat sepasang mata itu. Sambil mengerahkan tenaga batinnya untuk menolak pengaruh sihir dari Gin Hwa Cu, dia lantas berkata, bukan main-main melainkan sejujurnya.
"Sudah kupandang, matamu juling!"
Gin Hwa Cu terkejut, terheran dan marah bukan main. Pemuda itu tidak terpengaruh oleh perintahnya, tidak menjatuhkan diri berlutut sebaliknya malah mengatakan matanya juling. Tidak mungkin ini, pikirnya. Dia mengerahkan seluruh kekuatan sihirnya, menggerakkan kedua tangan ke atas dan ke bawah, kemudian seperti ditimpakan ke arah Han Siong dan suaranya terdengar semakin galak.
"Kukatakan berlututlah! Haiiiittttt... phuahhh!"
Air ludah muncrat dari mulutnya yang dimoncongkan. Akan tetapi Han Siong tetap berdiri tegak, sama sekali tidak berlutut, hanya tersenyum-senyum dan bersikap tenang.
"Sudah selesaikah engkau bermain sulap, dukun lepus?" dia bertanya.
Wajah Gin Hwa Cu berubah pucat, lalu merah karena malu. Tahulah dia sekarang bahwa dia tidak mampu mempengaruhi lawan muda itu dengan sihirnya. Maka dia pun memutar pedangnya dan sambil mengeluarkan betakan nyaring dia pun menerjang maju.
Han Siong mempergunakan Kwan-im-kiam dan sesudah menyerang dengan pedangnya, tosu Pek-lian-kauw itu dengan kaget mendapat kenyataan bahwa dalam hal ilmu pedang ternyata pemuda itu lebih lihai lagi! Dia telah menyerang bertubi-tubi, dengan marah dan setiap serangannya merupakan serangan maut, namun tidak sebuah pun di antara hujan serangannya mengenai sasaran, bahkan beberapa kali pedangnya yang ditangkis lawan membalik dan hampir menyembelih lehernya sendiri!
Akan tetapi, karena dia tidak melihat jalan keluar, dan kawan-kawannya juga masih sibuk bertanding sehingga dia tidak dapat mengharapkan bantuan mereka, Gin Hwa Cu tidak punya pilihan lain kecuali melawan mati-matian. Masih untung baginya bahwa perhatian lawannya agaknya terpecah untuk melindungi gadis cantik yang bertanding melawari sute-nya, yaitu Lian Hwa Cu, maka sampai sekian lamanya dia masih dapat bertahan.
Pertandingan yang paling sengit dan mati-matian adalah antara Cia Kui Hong dengan Sim Ki Liong. Akan tetapi yang paling dahsyat adalah pertandingan antara Hay Hay melawan Hek-tok Sian-su.
Sebenarnya kakek ini meninggalkan barat dan kembali ke timur bersama Ban-tok Sian-su untuk mencari ketenangan dan menghabiskan sisa hidup mereka di kampung halaman. Akan tetapi ternyata bukan ketenangan yang mereka dapatkan.
Begitu berkunjung ke kuil Siauw-lim-si untuk menemui penolong sekaligus guru mereka, yaitu Ceng Hok Hwesio di pegunungan Heng-tuan-san, mereka telah dibuat marah karena melihat penderitaan penolong mereka itu. Bahkan akhirnya Ceng Hok Hwesio meninggal dunia dalam keadaan menderita di rangkulan mereka.
Karena menganggap bahwa biang keladi penderitaan Ceng Hok Hwesio adalah Siongkoan Ci Kang dan isterinya, maka mereka berdua lalu berusaha untuk membalaskan kematian Ceng Hok Hwesio. Namun bukan suami isteri itu yang berhasil mereka bunuh, sebaliknya malah Ban-tok Sian-su yang tewas di tangan Siangkoan Ci Kang, pendekar yang tangan kirinya buntung itu! Kini Hek-tok Sian-su tinggal seorang diri dengan hati penuh dendam, baik terhadap keluarga Siangkoan Ci Kang mau pun terhadap Tang Hay karena pemuda itu dianggap sebagai pembunuh tiga orang pendeta Lama dari Tibet yang menjadi saudara seperguruannya.
Kini Hek-tok Sian-su sudah berhadapan dengan Tang Hay, satu lawan satu, maka kakek ini mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaganya untuk membunuh pemuda yang dia tahu amat lihai itu.
Begitu pemuda itu harus ia hadapi sendiri karena Sim Ki Liong terpaksa meninggalkannya setelah pemuda itu diserang oleh gadis yang amat lihai pula, dia segera berkemak-kemik membaca mantera, mengerahkan ilmu sihir yang dipelajarinya dari para pendeta Lama di Tibet. Dia menyambar segenggam tanah, dikepalnya di dalam genggaman, ditiupnya tiga kali, kemudian sambil memandang kepada Hay Hay dia pun berseru dengan suara yang menggetar penuh wibawa.
"Orang muda, lihat naga hitamku akan menelanmu!" Dia melontarkan segenggam tanah ke atas dan... nampaklah seekor naga hitam yang mengerikan melayang di udara dengan moncong terbuka lebar seolah hendak menggigit dan menelan Hay Hay.
Kui Hong yang sedang bertanding melawan Ki Liong dan sudah dapat mendesak pemuda itu, sempat terkejut bukan kepalang melihat seekor naga hitam menyambar dan hendak menerkam ke arah Hay Hay.
"Hay-ko, awasss...!" teriaknya.
Karena perhatiannya terpecah, hampir saja pedang di tangan Ki Liong menusuk dadanya. Gadis ini terpaksa melempar tubuhnya ke belakang untuk menghindarkan tusukan pedang lawan dan ketika Ki Liong mengejar dengan serangan bertubi-tubi, dia pun bergulingan sambil menangkis.
Kini Ki Liong melihat kesempatan baik untuk membunuh gadis yang pernah membuatnya tergila-gila tetapi juga menjadi penyebab utama penyelewengannya ke dalam kesesatan. Melihat gadis itu bergulingan, dia menyerang terus, tidak memberi kesempatan kepada Kui Hong untuk bangkit. Biar pun dia tahu bahwa tingkat kepandaian gadis itu lebih tinggi darinya, akan tetapi kini Kui Hong sudah rebah di tanah dan tidak sempat bangkit, maka dia terus mendesaknya dengan bacokan bertubi-tubi, membuat Kui Hong bergulingan ke sana-sini sambil menangkis untuk menghindarkan diri dari maut.
Sementara itu, melihat ada naga hitam hendak menerkamnya dari angkasa seperti yang dilihat Kui Hong, Hay Hay tenang saja, berdiri tegak, bahkan kedua tangannya bertolak pinggang dan mulutnya tersenyum, seolah seorang dewasa melihat lagak seorang anak-anak.
Dia sempat melirik ke arah Kui Hong dan meski pun dia melihat Kui Hong bergulingan dan didesak dengan serangan bertubi oleh Ki Liong, Hay Hay tidak merasa khawatir. Dengan ilmunya yang tinggi, dia bisa melihat bahwa Kui Hong bergulingan bukan karena terdesak, melainkan bergulingan untuk memancing lawan menjadi lengah.
Maka ia pun kembali memperhatikan lawannya sendiri dan melihat kakek itu mengangkat kedua tangan ke atas, seolah-olah hendak mengemudikan naga hitam itu dan mulutnya tetap berkemak-kemik membaca mantera.
"Hek-tok Sian-su, Mau apa engkau bermain-main dengan seekor cacing tanah? Cacingmu itu hanya pantas untuk menakut-nakuti anak perempuan saja!"
Hek-tok Sian-su terkejut karena dalam pandang matanya sendiri, naga hitam jadi-jadian itu benar-benar berubah menjadi seekor cacing hitam! Dia membaca mantera lagi sambil mengerahkan tenaga sihir sekuatnya, menggerakkan kedua tangannya ke arah bayangan naga yang berubah menjadi cacing sehingga kini perlahan-Iahan cacing itu membesar dan menjadi naga kembali.
Diam-diam Hay Hay merasa kagum. Kakek ini boleh juga, memiliki kekuatan sihir yang ampuh. Maka dia pun merendahkan tubuhnya, tangan kanannya mengambil segenggam tanah dan melontarkan tanah itu ke arah bayangan naga sambil membentak,
"Hek-tok Sian-su, tak mungin engkau bisa mengubah kenyataan. Asal dari tanah kembali menjadi tanah!"
Genggamam tanah itu disambitkan ke arah bayangan, nampak sinar hitam menyambar ke arah naga jadi-jadian kemudian bayangan itu pun lenyap, kini yang nampak hanya tanah berhamburan jatuh kembali ke bawah.
Kembali Hek-tok Sian-su membaca mantera sambil tubuhnya membuat gerakan berputar seperti gasing dan mulutnya terdengar berkata "Angin hanya terasa tetapi tidak kelihatan, aku menggunakan ilmu angin, bersatu dengan angin...!" suaranya bergaung di angkasa, tubuhnya berputar semakin cepat dan akhirnya bayangannya pun tidak nampak, hanya terdengar bunyi angin berdesir yang timbul dari gerakannya berputar cepat itu!
Sungguh hebat ilmu ini karena tentu saja lawan menjadi bingung melawan seorang yang tidak nampak dan hanya terasa sambaran anginnya. Sambil berputar itu Hek-tok Sian-su meluncur ke arah Hay Hay. Disangkanya bahwa ilmu yang mengandung kekuatan sihir itu sekali ini mempengaruhi lawannya, maka dia pun cepat menyerang dengan pukulan maut dari arah belakang Hay Hay.
Namun Hay Hay yang memiliki kekuatan sihir sangat kuat itu tentu saja tidak terpengaruh dan kalau orang lain tidak dapat melihat bayangan kakek itu, dia sendiri dapat mengikuti dengan baik sehingga dia pun tahu bahwa kakek itu sedang menyerangnya dari belakang. Dia tersenyum dan membiarkan kakek itu mengira dia sudah terpengaruh. Hal ini bahkan dia pergunakan untuk keuntungannya. Karena mengira dia terpengaruh, kakek itu sudah yakin bahwa serangannya akan mengenai sasaran dan dia merasa tidak perlu bersikap waspada menjaga diri.
"Wuuuuutttttt...!"
Ketika serangan itu sudah datang dekat dan Hek-tok Sian-su merasa yakin bahwa kali ini lawannya akan dapat dipukul roboh dengan pukulan beracun, tiba-tiba saja dengan cepat bukan main Hay Hay telah melempar tubuh ke samping, kemudian kakinya mencuat dari samping menyambar ke arah dada lawan.
Hek-tok Sian-su yakin bahwa lawannya akan roboh dengan tubuh menjadi hitam seperti arang terkena pukulan racun hitamnya, maka dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika tiba-tiba saja tubuh Hay Hay mengelak dan kaki pemuda itu bahkan menyambar ke arah dadanya secepat kilat! Hek-tok Sian-su yang tidak menduga sama sekali mencoba untuk mengelak dengan miringkan tubuhnya.
Walau pun dadanya terhindar dari tendangan, akan tetapi kaki Hay Hay masih mengenai pangkal lengan kirinya, membuat dia terpelanting dan kalau dia tidak cepat menjatuhkan diri bergulingan, tentu tubuhnya akan terbanting keras. Dia pun terus bergulingan seperti seekor binatang trenggiling, dan setiap kali tubuhnya bangkit dia segera mengirim pukulan seperti seekor katak berjongkok dan sepasang tangan yang didorongkan ke arah Hay Hay itu mengandung tenaga sinkang yang dahsyat bukan main. Namun Hay Hay selalu dapat menghindarkan diri dari serangan aneh ini, ilmu campuran antara binatang katak dengan binatang trenggiling yang bergulingan.
"Haiiiiittttt...!"
Gin Hwa Cu membentak marah karena sudah dua kali dia terpelanting akibat tendangan kaki Han Siong. Kemarahan membuatnya nekat karena dia merasa dipermainkan lawan. Pedangnya membuat gerakan melingkar-lingkar dan bagaikan badai mengamuk dia pun menerjang ke arah Han Siong. Seluruh tenaganya dia kerahkan untuk serangan itu, tanpa mempedulikan segi perlindungan diri karena dia sudah nekat hendak mengadu nyawa.
Melihat kenekatan lawan ini, Han Siong maklum bahwa kalau dia tidak cepat merobohkan lawan dan selalu mengalah maka keadaan bisa berbahaya baginya. Melawan orang nekat amatlah berbahaya, maka dia pun mempercepat gerakan pedangnya.
Ilmu pedang Kwan-im-kiamsut yang sudah dikuasainya dengan sempurna itu membuat lawan menjadi bingung. Seperti para tokoh Pek-lian-kauw, Gin Hwa Cu ini juga memiliki banyak macam ilmu hitam selain ilmu silatnya yang sangat lihai. Karena maklum bahwa dalam hal ilmu silat agaknya dia tidak akan menang melawan orang muda yang tangguh dan yang memiliki ilmu pedang luar biasa itu, dia lalu mencoba untuk menyerang dengan ilmu lain.
Tiba-tiba saja dia mengeluarkan suara nyanyian yang aneh, nadanya tinggi sampai seperti melengking-lengking. Suara ini bagai pedang runcing yang menusuk ke dalam telinga Han Siong! Inilah ilmu yang berbahaya sekali bagi lawan karena suara melengking itu dapat membuat lawan menjadi bingung dan telinga seperti ditusuk benda tajam. Apa bila lawan kurang kuat, suara ini bahkan dapat menyerang ke dalam kepala dan mematikan! Ilmu ini didorong oleh tenaga sakti yang bercampur dengan ilmu hitam.
Namun Pek Han Siong adalah seorang pemuda bekas Sin-tong (anak ajaib). Selain dia memang memiliki pembawaan lain sejak lahir, memiliki dasar lebih kuat secara batiniah, juga semenjak kecil dia telah berkenalan dengan ilmu sihir dari ibunya, bahkan kemudian menerima pelajaran ilmu sihir yang ampuh dari Ban Tok Lojin, seorang di antara Delapan Dewa. Oleh karena itu dia memiliki kekuatan sihir yang amat hebat sehingga dia bersikap tenang saja menghadapi serangan suara dari Gin Hwa Cu. Dengan tenaga saktinya dia dapat menutup kedua telinganya sehingga tak terpengaruh. Sebaliknya dia mempercepat gerakan pedangnya untuk mendesak.
Gin Hwa Cu terkejut. Pemuda itu bukan saja tidak terpengaruh oleh serangan suaranya, sebaliknya malah mendesaknya secara gencar sehingga dia terpaksa memutar pedang sambil terhuyung-huyung. Karena terdesak hebat, maka perhatiannya terpecah dan suara lengkingannya itu menjadi kacau dan sumbang, bahkan menurun, dan sebuah tendangan kaki Han Siong membuat dia terpelanting.
Dengan perasaan kaget dan gentar, Gin Hwa Cu yang terpelanting itu dapat bergulingan untuk menghindarkan diri dari serangan susulan lawan. Namun Han Siong adalah seorang pendekar gagah sejati yang tidak mau menyerang lawan yang telah roboh. Maka, melihat tendangannya membuat tosu Pek-lian-kauw itu terguling-guling, dia hanya berdiri tegak dan memandang saja.
Kesempatan itu dipergunakan Gin Hwa Cu untuk memulihkan diri. Dada kanannya terasa nyeri oleh tendangan tadi, akan tetapi dia telah meloncat bangun dengan mulut berkemik-kemik, kemudian dia mengembangkan jubahnya dan melambaikannya ke atas kepalanya. Ini merupakan ilmu sihir untuk membuat dirinya tidak nampak oleh orang lain!
Setelah memutar jubah di atas kepala dan merasa yakin bahwa dia lenyap dari pandang mata lawan, dia pun tiba-tiba meloncat ke depan dan pedangnya meluncur, menusuk ke arah dada Han Siong yang disangkanya tidak dapat melihatnya dan tentu dadanya akan tertembus pedang.
"Wuuuuttt...! Singgg...! Cappp!"
Sinar pedang berkilat, sebuah dada tertembus pedang yang cepat tercabut kembali, darah muncrat, dan robohlah tubuh Gin Hwa Cu! Ternyata ilmunya menghilang itu sama sekali tidak mempengaruhi Han Siong sehingga pendekar itu dapat melihat jelas semua gerakan lawan.
Pada waktu Gin Hwa Cu menusukkan pedangnya dengan keyakinan pasti akan berhasil sehingga tidak melakukan penjagaan diri sama sekali, dengan mudah Han Siong segera miringkan tubuh sambil menggeser kaki ke samping, dan pada saat tubuh lawan berlebat ke depan, dia pun menggerakkan pedangnya yang menembus dada Gin Hwa Cu. Ketika tubuh tosu itu roboh dalam keadaan tewas, Han Siong sudah melompat meninggalkannya untuk membantu isterinya, Siangkoan Bi Lian.
Wanita muda yang cantik jelita dan gagah perkasa ini sebetulnya tidak perlu dibantu. Biar pun lawannya, Lian Hwa Cu, sangat lihai, namun Bi Lian dapat mengimbanginya, bahkan tosu Pek-lian-kauw itu menjadi sibuk sekali setelah dia memainkan Kwan-im Kiam-sut.
Kwan-im Kiam-sut merupakan ilmu pedang yang nampak lembut. Gerakannya amat halus bagaikan gerakan wanita cantik menari pedang, atau seperti Dewi Welas Asih Kwan Im beterbangan dan bermain di awan, namun di balik keindahan dan kelembutan gerakan itu terkandung kekuatan yang dahsyat sekali.
Melihat isterinya mendesak lawan dan tidak terancam bahaya, Han Siong tentu saja tidak mau melakukan pengeroyokan. Bukan saja dia tidak mau bertindak curang, juga dia tahu bahwa jika dia turun tangan mengeroyok, tentu isterinya akan merasa tidak senang. Maka dia hanya berdiri menjadi penonton sambil siap membantu atau melindungi apa bila lawan isterinya menggunakan kekuatan sihir terhadap isterinya. Dia pun memperhatikan semua perkelahian yang terjadi di situ.
Sim Ki Liong terdesak hebat. Pria yang sudah terlalu banyak menumpuk dosa ini, yang beberapa kali hendak bertobat akan tetapi selalu gagal, repot bukan kepalang menghadapi desakan Kui Hong yang mengamuk seperti seekor naga betina marah. Sim Ki Liong telah mengeluarkan semua kepandaiannya, namun semua gerakan silatnya sudah dikenal Kui Hong, maka tentu saja gadis perkasa ini mampu membuyarkan semua serangan Ki Liong, dan sebaliknya Kui Hong mendesak terus dengan memainkan ilmu-ilmu yang tidak pernah dipelajari lawan.
Sebenarnya sudah lama Kui Hong memaafkan kesalahan yang diperbuat Ki Liong ketika pemuda ini pernah merayunya, bahkan kemudian melarikan diri minggat dari pulau Teratai Merah dan melarikan pula pedang pusaka milik kakek dan neneknya. Kebenciannya pada Ki Liong pernah lenyap berganti perasaan iba ketika Mayang memintakan ampun untuk Ki Liong demi cinta kasih gadis adik tiri Hay Hay itu terhadap Ki Liong. Akan tetapi, sesudah melihat kenyataan bahwa pemuda ini mengkhianati cinta Mayang, bahkan kembali bergaul dengan golongan sesat dan terjun kembali menjadi orang jahat, Kui Hong marah bukan main dan dia sudah mengambil keputusan bahwa sekali ini dia harus membunuh pemuda jahat ini. Demi Mayang dan demi dunia persilatan, karena kalau dibiarkan hidup, pemuda ini hanya akan mendatangkan banyak bencana bagi orang banyak.
Sambil membela diri mati-matian dan memutar pedangnya hingga sinar pedangnya yang bergulung-gulung itu seakan menjadi perisai baginya, di dalam hatinya Ki Liong menyesal bukan main. Laksana serangkaian gambar yang diputar, dia melihat betapa dia tersesat, terbujuk oleh nafsu-nafsunya sendiri sehingga akhirnya dia kini harus menghadapi akibat yang mencelakakan dirinya.
Dia seolah melihat mata pedang sudah menempel di lehernya, tidak ada jalan keluar lagi. Dia merasa takut dan menyesal mengapa dia yang tadinya sudah tertolong oleh Mayang, lantas menyia-nyiakan cinta kasih Mayang dan terbujuk oleh Su Bi Hwa, wanita iblis yang kini sudah menggeletak tanpa nyawa.
Kita semua, seperti juga Ki Liong, yaitu manusia pada umumnya, memang merupakan makhluk yang amat lemah menghadapi nafsu-nafsu yang berada di dalam diri kita sendiri. Nafsu-nafsu dalam diri kita merupakan suatu pembawaan sejak kita lahir, memang diikut sertakan dengan kita karena kehidupan manusia baru mungkin bisa berkembang selama adanya nafsu. Nafsu yang menimbulkan gairah dan semangat bagi kita untuk melakukan sesuatu karena nafsu mendatangkan kenikmatan. Nafsu menimbulkan kenikmatan pada mulut sehingga kita bergairah untuk makan, satu di antara syarat untuk kelangsungan hidup. Nafsu pula yang mendatangkan kenikmatan dalam hubungan badan sehingga kita bergairah untuk berjodoh yang merupakan syarat bagi perkembang biakan manusia. Dan demikian seterusnya.
Tanpa adanya nafsu daya rendah, kita tidak akan bergairah melakukan apa yang menjadi syarat utama untuk kelangsungan hidup. Nafsu-nafsu menyelinap, lantas menjadi gerak pendorong bagi hati akal dan pikiran sehingga timbul gairah untuk mengerjakan pikiran demi kenikmatan kehidupan kita. Maka nafsu daya rendah sudah mendorong kita untuk mempergunakan akal dan berpikir untuk membuat segala sesuatu demi kenikmatan dan kesenangan hidup. Maka manusia bisa membuat segala macam benda, perabot-perabot hidup, pakaian, rumah dan segala macam benda yang dibuat melalui akal pikiran untuk mendatangkan kenikmatan dalam kehidupan.
Puji Tuhan Maha Pengasih! Hanya karena kasih Tuhan sajalah maka manusia diberikan semua itu, diberi peserta-peserta seperti nafsu daya rendah sehingga kita bisa menikmati kehidupan. Namun, nafsu yang sedianya menjadi peserta yang sangat berguna itu, yang menjadi hamba yang melayani semua kebutuhan jiwa dalam badan yang berujud manusia ini, terjadi karena daya-daya rendah yang saling berlomba untuk menguasai kita!
Nafsu daya rendah membutuhkan badan manusia agar nafsu dapat menyampaikan dan memuaskan keinginannya. Karena itu nafsu-nafsu daya rendah berebut untuk menguasai kita agar manusia menurut saja segala kehendak nafsu. Nafsu yang tadinya menjadi alat kita, berbalik ingin memperalat kita. Nafsu yang sedianya menjadi hamba kita, berbalik ingin memperhamba kita.
Kita diperhamba nafsu melalui kenikmatan dan kesenangan tadi. Kita diperhamba nafsu melalui benda-benda yang dibuat oleh manusia sendiri seperti harta kekayaan, uang, dan sebagainya. Melalui makanan, melalui hubungan seksuil, pendeknya semua daya rendah saling berebut untuk menguasai kita.
Nafsu itu mutlak penting bagi kita, akan tetapi juga mutlak berbahaya. Seperti api, kalau menjadi alat kita teramat penting, akan tetapi bila sudah menjadi liar tak terkendali akan menghabiskan segalanya, akan membakar kita. Seperti kuda, jika jinak menjadi hamba yang amat berguna, sebaliknya kalau liar, kita dapat dibawa kabur memasuki jurang.
Manusia baru tahu akan bahayanya nafsu dalam diri sendiri setelah merasakan akibat buruknya. Memang sifat nafsu itu selalu mengejar kesenangan dan menjauhi kesusahan. Maka, pengetahuan tentang akibat buruk itu pun datang dari nafsu, dan tentu saja nafsu berkeinginan pula untuk mengubah yang buruk dan menyusahkan itu.
Dan kita pun terseret ke dalam lingkaran setan yang tak ada putusnya. Hati akal pikiran dipergunakan untuk mengendalikan nafsu, tanpa sadar bahwa hati akal pikiran kita telah bergelimang nafsu, telah dikuasai nafsu! Maka apa pun yang dilakukan menurut hati akal pikiran akan sejalan dengan kehendak nafsu, yaitu mengejar kesenangan, masih tetap di dalam ruangan yang sama di mana nafsu menjadi rajanya.
Karena itu segala macam usaha yang dilakukan oleh manusia untuk 'menjadi orang baik' akan selalu gagal karena usaha itu pun timbul dari keinginan nafsu dengan dasar bahwa menjadi orang baik berarti akan terbebas dari kesusahan dan berada dalam kenikmatan atau kesenangan, walau pun mungkin dengan jubah yang lebih halus dan bersih.
Kenyataan terbukti kalau kita melihat keadaan manusia di dalam dunia ini. Setiap orang manusia berusaha melalui segala cara, melalui kebudayaan, melalui keagamaan, melalui filsafat, pelajaran budi pekerti atau melalui pengertian, untuk menjadi 'orang baik' karena melihat betapa ketidak baikan sebagai manusia sudah mendatangkan berbagai mala petaka. Namun adakah nampak hasil dari semua usaha untuk menjadi baik itu?
Apa bila kita mempelajari sejarah dan melihat keadaan dunia ini, dengan jujur kita harus mengakui bahwa semua usaha itu agaknya belum dapat dibilang berhasil! Dunia masih kacau balau, kehidupan masih menjadi penderitaan yang berkepanjangan, permusuhan yang berkepanjangan, permusuhan terjadi di mana-mana, nampak sekali bahwa nafsulah yang menjadi raja, yang merajalela menguasai hati akal pikiran semua manusia. Bahkan segala pemenuhan dan hasil buatan manusia sudah menjadi alat nafsu untuk mengumbar angkara murka! Kita telah gagal!
Keadaan kita sama benar dengan keadaan Sim Ki Liong. Sebagai manusia, mula-mula dia diseret oleh dorongan nafsu yang memang ada di dalam dirinya seperti di dalam diri kita, dorongan yang membuat dia melakukan hal-hal yang tidak patut. Kemudian, akibat perbuatannya yang mendatangkan kepahitan membuat dia merasa menyesal dan ingin memperbaiki jalan hidupnya. Penyesalan yang datang dari akibat yang pahit, jadi jelas dari nafsu. Keinginan untuk mengubah cara hidup juga keinginan nafsu yang hanya ingin mengubah yang tidak enak menjadi yang enak, melalui istilah yang kurang baik menjadi yang baik!
Tentu saja dia gagal. Nafsu hanya menuntunnya ke jalan di mana dia akan mendapatkan kesenangan, kenikmatan, dan karena itulah maka Ki Liong juga gagal. Seperti juga semua orang di dunia ini, dia tahu bahwa dia melakukan kejahatan dan melalui jalan yang tidak benar, bahwa dia jahat. Namun dia tak kuasa menghentikannya.
Pencuri manakah di dunia ini yang tidak tahu bahwa perbuatan mencuri itu tidak baik? Namun pengetahuan tidak mempunyai kekuatan untuk mengendalikan nafsu. Walau pun tahu bahwa perbuatan itu tidak benar dan tidak baik, tapi kita tidak mampu mengalahkan dorongan nafsu dalam diri yang sudah mencengkeram kita melalui hati akal pikiran dan panca indera kita.
Tahu belum berarti mengerti. Bahkan biar sudah mengetahui dan mengerti sekali pun, belumlah yakin kalau belum merasakan. Namun kelengkapan dari tahu, mengerti dan merasa pun tidak cukup kuat untuk menguasai gelora nafsu. Lalu bagaimana nasib kita ini kalau kita ini tidak dapat hidup tanpa nafsu, namun juga kita dicengkeram oleh nafsu? Bagaimana kita akan mampu mengalahkan nafsu, atau lebih tepat, bagaimana kita akan dapat mengendalikan nafsu dalam kedudukannya semula, yaitu menjadi alat dan hamba, menjadi peserta yang baik dari kita?
Tidak ada caranya! Karena cara ini merupakan jalan dari pikiran pula. Kita, dengan akal pikiran dan hati, tidak akan mungkin bisa mengalahkan nafsu kita. Hanya ada satu yang dapat menguasai nafsu, yaitu pencipta nafsu itu sendiri, Sang Maha Pencipta, Sang Maha Kuasa yang menciptakan segala apa pun di dalam alam mayapada ini.
Hanya kekuasaan Tuhan jualah yang bisa mengubah yang bengkok menjadi lurus, yang salah menjadi benar. Karena itu, satu-satunya yang dapat kita lakukan adalah menyerah! Menyerah sepenuhnya, lahir batin, penuh keikhlasan dan ketawakalan, sepenuh iman kita kepada Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Pengampun. Dan kalau kekuasaan Tuhan sudah bekerja dalam diri kita, maka dengan sendirinya semua akan berjalan dengan baik dan sewajarnya menurut kodrat masing-masing.
Menyerah bukan dalam arti kata yang sempit, juga bukan dalam arti kata untuk mencari enaknya saja. Yang menyerah itu seluruh jiwa raga, sebagai dasar dari semua tindakan kita dalam hidup. Hati akal pikiran harus bekerja, bahkan bekerja dengan sepenuhnya, sesuai dengan kodratnya, sesuai dengan kewajibannya. Hati akal pikiran telah diciptakan untuk bekerja membantu manusia dan mengatur semua alat tubuh untuk bekerja, untuk mencukupi kebutuhan hidup di dunia ini.
Ki Liong selalu dipermainkan oleh nafsu-nafsunya yang semakin kuat. Sebagai manusia Ki Liong telah menjadi hamba nafsunya. Keadaan telah berbalik, maka setiap langkahnya dalam hidup selalu ditujukan untuk mencari kesenangan, tanpa menghiraukan segala cara. Perintah nafsu setiap saat berteriak lantang dalam hatinya, sebaliknya, suara nurani yang memperingatkan hanya terdengar bisik-bisik dan sayup sampai saja.
Kini dia merasa menyesal, namun penyesalan yang tidak ada gunanya lagi. Andai kata dia mendapatkan kesempatan kedua seperti ketika dia dimintakan ampun oleh Mayang, belum tentu dia akan benar-benar insyaf dan menjadi baik kembali. Selama nafsu masih mencengkeramnya maka dia akan selalu saja melakukan penyelewengan untuk mengejar kesenangan.
Karena tidak melihat jalan keluar, Ki Liong menjadi nekat dan dia pun melawan dengan mati-matian sambil mengeluarkan segala kepandaiannya.
"Sing-singg-singgg...!"
Ki Liong menggerakkan pedangnya dengan nekat. Dia mengerahkan tenaga sakti Thian-te Sinkang, sedangkan pedangnya yang memainkan jurus ilmu pedang Gin-hwa Kiamsut menyambar-nyambar dengan dahsyat.
Tapi Kui Hong telah mengenal baik ilmu dari kakeknya itu. Dia cepat menyambut dengan tangkisan kedua pedangnya. Kemudian, ketika dia melihat kesempatan yang baik, kedua pedangnya menyambut pedang Ki Liong dengan menggunting dari kanan kiri.
Pedang Ki Liong tertahan dan pada waktu dia mengerahkan tenaga, tiba-tiba saja pedang di tangan kiri Kui Hong telah meluncur ke depan sedangkan pedangnya yang kanan masih tetap menempel pada pedang lawan. Ki Liong melihat luncuran sinar itu dengan dua mata terbelalak, tidak sempat menghindar lagi dan dia seolah-olah melihat jelas betapa pedang itu memasuki dadanya.
"Ihhhhhhh...!" Ki Liong melepaskan pedangnya, mendekap dada yang terluka, kemudian terhuyung.
Kui Hong sudah meloncat ke belakang, kemudian berdiri tegak dengan sepasang pedang di tangan, matanya memandang tajam. Ki Liong mundur dengan terhuyung, memandang kepada Kui Hong dengan mata yang membayangkan kedukaan dan ketakutan, kemudian dia pun jatuh terjengkang dan tewas.
Kui Hong menoleh dan melihat betapa Hay Hay masih bertanding melawan Hek-tok Sian-su, sedangkan Bi Lian masih menandingi seorang tosu Pek-lian-kauw yang tangguh. Juga dia melihat Han Siong berdiri nonton. Dia pun mengerutkan alisnya.
"Hek Han Siong, bagaimana sih engkau ini? Menjadi penonton saja dan tidak membantu Bi Lian dan Hay-ko?" tegurnya.
Han Siong tersenyum. "Aku tidak mau dikatakan curang dan..."
"Ahhh, bodoh sekali, di dalam pertandingan mengadu ilmu memang tidak boleh melakukan pengeroyokan dan kecurangan, menang atau kalah harus berlaku seperti pendekar sejati. Akan tetapi yang kita hadapi ini adalah segerombolan tokoh sesat yang tak segan-segan melakukan segala macam kejahatan dan kecurangan. Mereka tadi pun mengeroyok kami. Kini kita menghadapi mereka untuk membasmi kejahatan, bukan untuk mengadu ilmu. Nah, terserah kepadamu, tetapi aku akan membantu Hay-ko!" Setelah berkata demikian, tanpa banyak cakap lagi Kui Hong langsung melompat dan terjun ke dalam gelanggang perkelahian, sepasang pedangnya menyambar dahsyat ke arah tubuh Hek-tok Sian-su!
"Singgg...! Singgg...!"
Dua cahaya berkliat membuat Hek-tok Sian-su terkejut karena dia tahu bahwa sepasang pedang itu sangat lihai dan berbahaya sekali. Cepat dia menggerakkan kedua lengannya, dan ujung lengan baju yang panjang itu menyambut sepasang pedang. Bagaikan dua ekor ular saja, lengan baju itu menangkap dan membelit sepasang pedang Kui Hong.
Gadis itu terkejut, berusaha menarik kembali sepasang pedangnya, namun belitan ujung lengan baju itu terlampau kuat dan sepasang pedang itu tidak dapat terlepas lagi. Melihat ini, Hay Hay segera menyerang dari samping. Tentu saja Hek-tok Sian-su maklum bahwa serangan Hay Hay jauh lebih berbahaya dari pada sepasang pedang itu, maka terpaksa dia melepaskan libatan kedua ujung lengan bajunya pada pedang-pedang itu untuk dapat meloncat ke belakang dan mengelak.
"Hay-ko, mari kita basmi tosu iblis ini!" kata Kui Hong yang telah bergerak menyerang lagi. Namun lebih mudah mengeluarkan ucapan itu dari pada melaksanakannya.
Hek-tok Sian-su adalah seorang datuk yang sudah mempunyai tingkat kepandaian tinggi sekali sehingga dia tetap saja mampu mempertahankan diri dengan ilmu-ilmu pukulannya yang dahsyat walau pun kini dikeroyok oleh Hay Hay dan Kui Hong,. Kadang-kadang dia mengeluarkan ilmu pukulan Angin Taufan, kadang kala mengerahkan tenaga sakti sambil menyerang dengan ilmu pukulan Gelombang Samudera, bahkan kadang dia mengejutkan Kui Hong dengan serangan bergulingan seperti trenggiling, lalu melancarkan pukulan jarak jauh dengan dorongan kedua tangannya sambil berjongkok dan dari perutnya keluar suara berkokokan.
Sementara itu, mendengar ucapan Kui Hong diam-diam Han Siong merasa kagum, lantas mengangguk membenarkan. Memang perkelahian itu bukanlah adu kepandaian di antara orang-orang gagah, melainkan sebuah pertempuran antara mereka melawan gerombolan orang-orang sesat. Tugas mereka adalah membasmi orang sesat.
Akan tetapi karena dia melihat bahwa isterinya sama sekali tidak membutuhkan bantuan, bahkan Bi Lian sedang mendesak tosu yang menjadi lawannya, dia pun ragu-ragu untuk membantu. Dia tidak ingin mengecewakan hati isterinya, maka dia tidak mau membantu secara langsung tetapi hanya berseru dengan suara berwibawa sambil menudingkan jari telunjuknya ke arah Lian Hwa Cu yang sedang repot menghindarkan rangkaian serangan Bi Lian.
"Lian-moi, tosu lawanmu itu hanya seorang yang bertubuh kerdil dan lemah, sedangkan engkau memiliki tubuh raksasa dan bertenaga raksasa, kenapa tidak segera merobohkan dia?"
Mendengar ucapan itu, diam-diam Bi Lian merasa heran sekali karena dia tidak mengerti kenapa suaminya mengatakan dia bertubuh dan bertenaga raksasa sedangkan lawannya seorang kerdil dan lemah. Akan tetapi keheranannya bertambah menjadi terkejut sekali ketika melihat bahwa dalam pandangannya lawannya benar-benar menjadi seorang yang kerdil, hanya setinggi lututnya!
Sebaliknya tosu itu pun terbelalak ketika mendengar ucapan itu karena kini melihat betapa lawannya sudah menjadi seorang wanita yang tinggi besar menakutkan! Sebagai seorang ahli sihir dia pun segera menyadari bahwa ucapan tadi mengandung tenaga yang amat kuat dan telah mempengaruhinya, maka cepat dia mengerahkan kekuatan batinnya untuk membuyarkan pengaruh yang menakutkan itu.
Namun pada saat itu Bi Lian sudah menyerang dengan pedangnya dan karena pedang itu pun nampak besar dan panjang sekali, lebih panjang dibandingkan tinggi tubuhnya, maka mengelak pun amat sulit bagi Lian Hwa Cu. Pinggangnya tersabet ujung pedang, lalu dia pun terjungkal roboh dan tidak mampu bangkit kembali karena beberapa saat kemudian dia segera tewas.
Baru dua hari suami isteri ini saling berjumpa. Seperti yang sudah diduga oleh Pek Han Siong, isterinya pergi mencari Hay Hay untuk meminjam mustika kemala penghisap racun ke Cin-ling-pai. Di Cin-ling-pai Bi Lian tidak bertemu dengan Hay Hay, bahkan mendengar bahwa Kui Hong juga pergi mencari Hay Hay ke kota raja. Dia pun segera pergi ke kota raja.
Han Siong yang mengejar isterinya lalu melakukan perjalanan cepat, tidak seperti Bi Lian yang mencari Hay Hay. Oleh karena itu dua hari yang lalu Han Siong berhasil menyusul Bi Lian dan suami isteri ini merasa gembira dan bahagia bukan main. Mereka baru saja melangsungkan pernikahan, tapi di tengah perayaan itu datang gangguan yang membuat mereka saling berpisah.
Pertemuan dengan suami tersayang itu semakin menggembirakan setelah dia mendengar dari Han Siong bahwa ayahnya sudah disembuhkan oleh obat yang ditinggalkan Hek-tok Sian-su. Dapat dibayangkan betapa selama dua hari dua malam itu pasangan suami isteri ini menumpahkan kerinduan serta kasih sayang masing-masing sebagai pengantin baru yang berbulan madu.
Pada hari ke dua, ketika mereka sedang berbulan madu di sebuah rumah penginapan, dan tidak melanjutkan usaha mereka mencari Hay Hay, dari dalam kamar penginapan itu mereka mendengar suara orang yang sangat mereka kenal, yaitu suara Hek-tok Sian-su! Mereka lalu mengintai dan melihat serombongan orang memasuki rumah penginapan itu, langsung menuju ke ruangan belakang.
Suami isteri ini terkejut dan heran sekali ketika mengenal adanya Sim Ki Liong di antara rombongan itu. Selain Hek-tok Sian-su dan Sim Ki Liong, nampak pula dua orang tosu serta seorang wanita cantik yang tidak mereka kenal.
Tadinya Bi Lian hendak menerjang keluar, mengingat bahwa Hek-tok Sian-su merupakan musuh besar yang bersama mendiang Ban-tok Sian-su sudah menyerang ayahnya. Tapi suaminya merangkulnya dan mencegahnya, lalu berbisik bahwa yang melukai Siangkoan Ci Kang adalah Ban-tok Sian-su, dan bahwa Hek-tok Sian-su malah meninggalkan obat penawar racun yang telah menyembuhkan ayah mertuanya itu.
Bagaimana pun juga, pada keesokan harinya ketika pagi-pagi sekali rombongan itu pergi, seperti yang mereka dengar dari pelayan rumah penginapan itu, Han Siong dan Bi Lian merasa tertarik dan melakukan perjalanan cepat mengejar ke arah perginya rombongan itu, yaitu ke arah kota raja. Akhirnya mereka melihat Hay Hay dan Kui Hong dikeroyok oleh rombongan itu, sedang terdesak dan keadaannya gawat. Maka, tanpa diminta lagi mereka lalu terjun ke dalam pertempuran dan mereka berdua akhirnya dapat merobohkan dua orang tosu Pek-lian-kauw.
Kini mereka memandang ke arah perkelahian antara Hek-tok Sian-su yang dikeroyok oleh Hay Hay dan Kui Hong. Mereka tidak maju membantu, karena betapa pun juga mereka teringat bahwa Hek-tok Sian-su sudah memberi obat penawar racun dan menyembuhkan Siangkoan Ci Kang.
"Kita tidak boleh mencampuri, apa lagi pihak Hay Hay dan Kui Hong sama sekali tidak membutuhkan bantuan," kata Han Siong dan isterinya mengangguk membenarkan.
Tiba-tiba terdengar derap kaki kuda dan suara orang riuh mendatangi ke arah tempat itu. Han Siong dan Bi Lian mengangkat muka memandang dan mereka terkejut ketika melihat rombongan orang yang tidak kurang dari seratus orang datang dari arah kota Cang-cow yang temboknya sudah nampak dari situ. Tanpa banyak cakap lagi rombongan ini lantas mencabut senjata mengepung Kui Hong dan Hay Hay yang sedang bertanding melawan Hek-tok Sian-su.
Dari sikap mereka jelas terlihat bahwa mereka berpihak kepada Hek-tok Sian-su! Padahal mereka nampak seperti para petugas keamanan dari kota Cang-cow, sebagian memakai seragam akan tetapi di antara mereka terdapat pula orang barat yang bermata biru. Ada pula orang asing yang pendek dan mengingatkan Han Siong pada orang Jepang, dan ada pula beberapa orang tosu seperti dua orang tosu yang mereka lawan tadi, yaitu tosu Pek-lain-kauw!
Maklum bahwa Hay Hay dan Kui Hong berada dalam bahaya, tanpa banyak cakap lagi suami isteri muda ini segera menerjang ke arah gerombolan orang yang baru tiba itu dan mengamuk dengan pedang mereka. Segera puluhan orang mengeroyok suami isteri ini.
Melihat itu, Kui Hong yang tahu bahwa kekasihnya tak akan kalah melawan Hek-tok Sian-su, langsung meloncat dan membantu suami isteri itu menghadapi pengeroyokan banyak orang. Kini terjadi pertempuran yang amat hebat. Tiga orang ini, Cia Kui Hong, Siangkoan Bi Lian, dan Pek Han Siong lalu mengamuk sehingga di antara para pengeroyok banyak yang roboh bergelimpangan karena terkena sambaran pedang mereka yang bergulung-gulung!
Betapa pun gagah perkasanya tiga orang pendekar muda ini, menghadapi pengeroyokan puluhan orang yang jumlahnya mendekati seratus, apa lagi di situ terdapat orang Pek-lian-kauw, juga jagoan-jagoan bajak laut Jepang serta beberapa orang Portugis yang pandai menggunakan pedang tipis panjang dan runcing, mereka terdesak juga sehingga terpaksa harus memutar pedang menjadi gulungan sinar yang menjadi perisai diri mereka.
Pertandingan antara Hay Hay dan Hek-tok Sian-su juga amat seru. Hek-tok Sian-su juga merasa penasaran dan marah bukan main sesudah tadi terdesak karena masuknya Kui Hong ke dalam perkelahian. Kini dia melawan Hay Hay satu lawan satu, dan dia merasa penasaran. Apa lagi hatinya menjadi besar karena munculnya rombongan para rekan dari kota Cong-cow.
Memang Su Bi Hwa yang kini telah tewas adalah seorang wanita amat cerdik dan luas hubungannya. Ketika mereka bertiga melarikan diri dari kota raja, atas petunjuk Bi Hwa mereka lari ke Cong-cow dan di kota itu ternyata Su Bi Hwa memiliki hubungan dengan para tosu Pek-lian-kauw yang bersekutu dengan orang Portugis dan pejabat Cong-cow, juga dengan bajak-bajak laut Jepang.
Tentu saja Su Bi Hwa, Sim Ki Liong dan Hek-tok Sian-su diterima dengan baik oleh dua pejabat kota Cong-cow yang bersekutu dengan orang Portugis, yaitu kepala daerah Yong Ki Hok dan wakilnya, yaitu Ouw Seng. Dua pejabat yang merencanakan pemberontakan karena mengandalkan kekuatan orang Portugis ini sekarang sedang membutuhkan orang-orang pandai. Apalagi Hek-tok Sian-su, Su Bi Hwa dan Sim Ki Liong datang diperkenalkan oleh orang-orang Pek-lian-kauw.
Ketika mendengar dari mata-mata yang melakukan penjagaan di sepanjang jalan di luar kota bahwa Hay Hay dan Cia Kui Hong menuju ke kota Cong-cow, Hek-tok Sian-su, Su Bi Hwa, Sim Ki Liong dan dibantu dua orang tosu Pek-lian-kauw yang lihai cepat melakukan penghadangan. Agar tak menarik perhatian maka tidak dikirim pasukan, apa lagi Hek-tok Sian-su memastikan bahwa pihak mereka tentu akan cukup kuat untuk meringkus atau membunuh Hay Hay dan Kui Hong.
Hanya ada beberapa orang mata-mata saja yang melakukan pengintaian untuk melihat hasil penghadangan terhadap dua orang musuh itu. Para mata-mata inilah yang segera mengirim laporan ke kota Cong-cow ketika pihak mereka kewalahan.
Kepala daerah Yong Ki Hok segera mengirim serombongan orang-orang yang terdiri dari campuran persekutuan mereka, akan tetapi kedatangan rombongan itu terlambat karena di antara lima orang jagoan mereka yang kini masih mampu bertahan hanyalah Hek-tok Sian-su seorang, sedangkan empat orang yang lain, yaitu dua orang tosu Pek-lian-kauw yang tadinya disombongkan oleh para orang Pek-lian-kauw sebagai jagoan tangguh, juga Su Bi Hwa dan Sim Ki Liong, telah tewas!
Hay Hay merasa khawatir juga saat melihat munculnya gerombolan yang memiliki banyak orang tangguh itu. Biar pun dia yakin akan kehebatan ilmu kepandaian Han Siong, Bi Lian dan Kui Hong, namun terlihat jelas bahwa mereka mulai terhimpit oleh banyaknya musuh. Maka, dia pun mengambil keputusan untuk cepat merobohkan Hek-tok Sian-su.
Tapi ternyata kakek ini pun berusaha mati-matian, bukan hanya untuk melindungi dirinya, melainkan juga untuk membalas dengan serangan yang sangat dahsyat, yang membuat Hay Hay tidak berani bersikap lengah.
"Aauughhhhhh...!" Hek-tok Sian-su kini mengirim serangan dengan ilmunya Angin Taufan yang dahsyat, dengan kedua lutut ditekuk dia meloncat ke depan sambil mendorongkan kedua telapak tangannya ke arah Hay Hay.
Pendekar ini maklum bahwa jika dia tidak cepat mengalahkan orang ini, maka tiga orang temannya akan terancam bahaya. Sekali ini dia tidak mau lagi mengelak atau menangkis, melainkan dia mengerahkan sinkang pula dan menyambut dorongan itu dengan dorongan kedua telapak tangannya pula.
"Plakkk!"
Dua pasang telapak tangan saling bertemu dan melekat! Keduanya mengerahkan tenaga sakti yang melalui telapak tangan mereka mempunyai kekuatan untuk membunuh lawan yang kuat sekali pun. Keduanya tak mau kalah karena mundur berartu hancur. Mengalah berarti terancam maut.
Sekarang keadaan mereka sudah terlanjur, kedua pasang telapak tangan itu sudah saling melekat dan terjadi adu sinkang yang tidak dapat dilihat orang lain. Tubuh mereka tergetar dan dari ubun-ubun kepala mereka keluar mengepul uap tebal!
Dalam adu tenaga itu Hay Hay maklum bahwa tenaga lawannya sunggguh amat dahsyat. Walau pun dia tidak dapat dikatakan lebih lemah, namun dia tidak berani menganggap diri lebih kuat. Andai kata ada selisihnya, maka dia hanya menang sedikit saja dan ini tidak cukup untuk dapat merobohkan lawan dalam waktu singkat. Tahulah Hay Hay bahwa adu tenaga sinkang ini akan berlangsung lama sebelum dia akan mampu mengalahkan kakek itu.
Kini hanya tinggal mengadu daya tahan dan kekuatan napas saja karena tenaga mereka seimbang. Kalau saja Kui Hong tidak meninggalkannya untuk membantu Han Siong dan Bi Lian, dengan bantuan kekasihnya itu tentu dia akan mampu mendapat kemenangan tanpa banyak membuang waktu. Akan tetapi dia tidak menyalahkan Kui Hong. Memang Han Siong dan Bi Lian lebih perlu dibantu.
Seorang tosu Pek-lian-kauw yang datang bersama rombongan itu tiba-tiba meloncat ke belakang Hay Hay yang berdiri dengan kedua lutut ditekuk dan kedua lengan diluruskan, dengan telapak tangan menempel pada kedua telapak tangan Hek-tok Sian-su. Tosu Pek-lain-kauw itu tanpa banyak cakap lagi sudah menghantamkan telapak tangan kanannya ke punggung Hay Hay dengan pengerahan sinkang yang cukup dahsyat.
"Plakkk!"
Telapak tangan itu menempel di punggung Hay Hay, lantas tenaga yang kuat memasuki tubuh Hay Hay melalui punggung itu. Si tosu terkejut sekali karena sama sekali tidak ada perlawanan dari orang yang dipukulnya, bahkan tenaga sinkang dari telapak tangannya itu seperti menembus punggung.
Memang hal itu disengaja oleh Hay Hay. Dengan tingkatnya yang sangat tinggi berkat gemblengan Song Lojin, dia dapat menerima dan menampung tenaga dari hantaman tosu itu, kemudian langsung menyalurkan hawa itu ke arah kedua telapak tangannya sehingga tenaganya bertambah besar menghadapi kedua telapak tangan Hek-tok Sian-su.
"Ihhhh...!" Hek-tok Sian-su menyemburkan darah dari mulutnya.
Hek-tok Sian-su memandang kepada tosu Pek-lian-kauw itu. Dia tidak berani membuka mulut melarangnya, karena mengeluarkan kata-kata berarti memecah tenaga dan hal ini akan membahayakan jiwanya. Akan tetapi membiarkan saja tosu itu membantunya juga mendorongnya ke ambang maut karena lawannya yang masih muda itu ternyata mampu memanfaatkan serangan tosu itu untuk memperbesar tenaga sinkang-nya!
Biar pun tosu Pek-lian-kauw itu seorang tokoh yang lihai, namun dia terlalu memandang rendah Hay Hay. Menerima dan menyalurkan tenaga lawan demi keuntungan diri sendiri merupakan ilmu yang sangat langka, maka dia sama sekali tidak pernah mengira bahwa pemuda itu mampu melakukan hal itu, malah disangkanya bahwa Hek-tok Sian-su sudah terluka dan lemah. Oleh karena itu, ketika melihat kakek itu menyemburkan darah dia pun bermaksud untuk membantunya dan kini tangan kirinya dihantamkan ke punggung Hay Hay sambil mengerahkan seluruh sisa tenaganya.
"Dessssss...!"
Akibatnya hebat sekali. Hek-tok Sian-su kembali menyemburkan darah dan dia pun lantas terjengkang, sedangkan tubuh Hay Hay bergulingan menjauh. Ketika pemuda ini meloncat bangun, wajahnya agak pucat dan napasnya terengah namun dia tidak terluka. Dan ketika dia menoleh ke arah Hek-tok Sian-su, kakek itu rebah terlentang dan sudah tewas!
Sekarang tosu Pek-lian-kauw itu baru tahu apa yang telah terjadi. Hek-tok Sian-su tewas karena tanpa disadarinya dia telah membantu pemuda itu yang kiranya mampu menerima dan menyalurkan tenaga hantamannya tadi untuk menyerang Hek-tok Sian-su. Dia pun menjadi marah, lalu meneriaki kawan-kawannya untuk mengeroyok Hay Hay.
Walau pun kini bertambah dengan Hay Hay, namun tetap saja para pendekar itu sangat kewalahan menghadapi pengeroyokan musuh yang demikian banyaknya. Mereka segera bergabung dan membentuk sebuah lingkaran dengan saling membelakangi. Empat orang pendekar atau dua pasang orang muda perkasa itu masing-masing menghadap empat penjuru sehingga pihak musuhnya hanya dapat menyerang mereka dari depan dan kanan kiri saja.
Kalau saja Hay Hay dan Han Siong tidak memiliki kekuatan sihir yang hebat di samping ilmu silat mereka, agaknya mereka berempat tidak akan dapat bertahan terlampau lama. Namun kedua orang muda perkasa ini berulang-ulang mengeluarkan bentakan-bentakan yang menggetarkan sehingga membuat banyak pengeroyoknya terjungkal tanpa dipukul, terpelanting atau terjengkang karena pengaruh suara yang mengandung kekuatan sihir Hay Hay dan Han Siong.
Namun mereka tidak melihat kesempatan untuk melarikan diri karena pengepungan itu berlapis-lapis dengan datangnya bala bantuan bagi musuh yang mengalir keluar dari kota Cong-cow. Keadaan benar-benar gawat! Bahkan empat orang pendekar muda itu sudah menerima beberapa kali serangan yang mendatangkan luka di tubuh mereka, walau pun berkat kelihaian mereka, luka-luka itu tidaklah parah.
Keadaan yang sangat gawat bagi dua pasang pendekar itu tiba-tiba saja berubah ketika terdengar suara tambur dan sorak-sorai, lalu diikuti munculnya pasukan pemerintah yang berjumlah besar! Di antara para panglima dan perwira yang memimpin pasukan itu juga terdapat Mayang, Cang Hui dan Teng Cin Nio! Cang Sun yang tidak pernah bertempur itu bahkan terdapat pula di antara mereka.
Tentu saja gerombolan pemberontak itu tidak mudah dibasmi, bahkan pasukan-pasukan yang dipimpin langsung oleh Menteri Yang Ting Hoo itu terus menyerbu ke dalam kota Cong-cow, bergabung dengan pasukan pemerintah yang masih setia kepada pemerintah dan tidak ikut terseret ke dalam gerombolan persekutuan pemberontak.
Hay Hay, Kui Hong, Han Siong beserta Bi Lian tidak ikut menyerbu ke kota itu, melainkan kembali ke kota raja menumpang dalam kereta besar bersama Cang Sun, Mayang, Cang Hui dan Cin Nio.
Dua pasang pendekar itu saling mengobati luka-luka kecil pada tubuh mereka, kemudian mereka semua menghadap Menteri Cang Ku Ceng yang menyatakan penyesalannya bahwa keluarganya sampai diselundupi orang-orang macam Su Bi Hwa dan Sim Ki Liong sehingga hampir saja mendatangkan mala petaka, bukan hanya bagi keluarga, melainkan juga bagi istana kerajaan.
Menteri Cang Ku Ceng beserta keluarganya menyambut gembira ketika puteranya, Cang Sun menyatakan keinginannya untuk menikah dengan Mayang dan Cin Nio sekaligus! Di dalam kesempatan ini Cang Sun yang sudah dibujuk oleh Mayang minta kepada ayahnya agar suka menjadi wali bagi Hay Hay untuk mengajukan pinangan ke Cin-ling-pai, untuk meminang Cia Kui Hong menjadi jodoh Hay Hay. Bahkan dia menyatakan, tentu saja atas desakan Mayang pula, bahwa hari pernikahannya akan dilaksanakan berbareng dengan hari pernikahan Hay Hay. Menteri Cang Ku Ceng yang merasa betapa besar jasa Hay Hay selama ini, menyatakan setuju.
Untuk sekian kalinya orang-orang Portugis kembali dihalau pergi oleh pasukan pemerintah dari kota Cong-cow. Banyak di antara mereka yang tewas bersama sekutu mereka di kota Cong-cow dan sisanya dihalau pergi, melarikan diri dengan kapal-kapal mereka ke lautan.
Akan tetapi agaknya pemerintah kerajaan Beng tidak pernah jera menghadapi kecurangan orang-orang Portugis. Memang tertanam kebencian dan kecurigaan terhadap orang-orang kulit putih karena ulah orang-orang Portugis yang merupakan pendatang orang kulit putih pertama di daratan China, akan tetapi pemerintah dan para pedagang melihat keuntungan besar dengan adanya perdagangan antara bangsa pribumi dengan orang-orang asing dari barat itu.
Orang-orang kulit putih amat menghargai rempah-rempah yang dianggap kurang berharga di daratan Cina, dan rempah-rempah itu ditukar dengan benda-benda asing yang langka didapat di daratan. Perdagangan yang dianggap menguntungkan kedua pihak inilah yang membuat pemerintah kerajaan merasa sayang untuk menolak kedatangan orang-orang Portugis.
Beberapa tahun kemudian, yaitu pada tahun 1557, dengan dukungan para pejabat daerah yang mendapat banyak keuntungan melalui pajak dan sogokan perdagangan itu, akhirnya pemerintah mengijinkan bangsa Portugis untuk mendarat di Macao, sebuah semenanjung di Kanton, sebuah tempat terpencil dan jauh dari kota-kota yang penting. Bahkan sebuah pasukan yang kuat ditempatkan di perbentengan untuk mencegah orang-orang Portugis masuk ke pedalaman.
Akibat ulah orang-orang Portugis inilah maka sampai bertahun-tahun lamanya rakyat Cina tidak percaya kepada orang-orang kulit putih, biar pun mereka itu bukan orang Portugis, melainkan dari daratan Eropa yang lain, seperti Belanda dan Inggris
********************
Pada waktu utusan Menteri Cang Ku Ceng datang meminang Kui Hong untuk dijodohkan dengan Tang Hay, tentu saja Cia Hui Song dan isterinya, Ceng Sui Cin, menerima dengan penuh penghormatan. Sekarang suami isteri ini telah yakin bahwa jodoh berada di tangan Tuhan, dan kalau puteri mereka sudah saling mencinta dengan Tang Hay, maka mereka pun tidak mampu menghalangi.
Tidak lama kemudian, pada hari yang sama dilangsungkan pernikahan antara Tang Hay dan Cia Kui Hong, dan antara Cang Sun dengan kedua orang isterinya, yaitu Mayang dan Cin Nio. Perayaan pengantin kembar itu dirayakan secara besar-besaran di kota raja, di gedung istana keluarga Menteri Cang Ku Ceng, dihadiri oleh para pejabat tinggi dan oleh tokoh-tokoh persilatan. Di antara mereka hadir pula Pek Han Siong dan isterinya tercinta, yaitu Siangkoan Bi Lian.
T A M A T
Lanjut Ke Bagian Dua Belas Serial Pedang Kayu Harum PENDEKAR KELANA