SUAMI isteri ini sebenarnya sama sekali tidak memiliki keinginan untuk mengambil murid baru. Bagi mereka, seorang murid seperti Pek Han Siong sudah cukup, terlebih lagi masih ada puteri mereka yang sudah mewarisi ilmu-ilmu mereka. Akan tetapi apa yang mereka harapkan, yaitu agar Han Siong menjadi menantu mereka telah gagal dan mereka merasa kecewa bukan main.
Baru saja mereka membicarakan urusan perjodohan puteri mereka. Mereka sudah ingin sekali mempunyai mantu dan memiliki cucu. Maka kemunculan seorang pemuda seperti Tan Hok Seng itu mempunyai arti besar bagi mereka, menumbuhkan suatu harapan baru.
Biar pun baru saja berjumpa, namun banyak hal pada diri pemuda ini yang telah menarik perhatian mereka. Pertama, Tan Hok Seng adalah seorang pemuda yang cukup dewasa, berusia dua puluh lima tahun lebih, dan yatim piatu pula. Dia cukup tampan dan gagah, juga sikapnya sangat sopan, baik dan agaknya terpelajar. Sungguh merupakan gambaran seorang calon mantu yang baik. Mengenai ilmu silat, kepandaiannya juga tidak terlampau rendah, dan dengan gemblengan yang keras, dalam waktu tak terlalu lama tentu dia akan memperoleh kemajuan pesat.
"Tan Hok Seng, bangkit dan duduklah. Permintaan itu akan kami pertimbangkan sesudah engkau tinggal beberapa hari di sini. Karena kami belum mengenal benar siapa engkau, maka kami tentu tidak dapat tergesa-gesa menerimamu sebagai murid," kata Siangkoan Ci Kang dan isterinya segera menyambung dengan pertanyaan.
"Orang muda, selain yatim piatu apakah engkau tidak mempunyai seorang pun anggota keluarga? Kakak atau adik, paman atau bibi, mungkin isteri atau tunangan?"
Pertanyaan ini hanya sambil lalu dan tidak kentara, akan tetapi Tan Hok Seng bukanlah seorang pemuda hijau. Dia dapat menangkap apa yang tersembunyi di balik pertanyaan itu dan diam-diam dia pun merasa girang bukan main. Kalau saja selain menjadi murid suami isteri yang sakti ini juga dapat menjadi menantu mereka! Gadis tadi sungguh cantik manis menggairahkan!
"Saya hidup sebatang kara, Bibi, tidak ada sanak tidak ada kadang, apa lagi keluarga."
Mendengar ini, kembali suami isteri itu bertukar pandang. Mereka sungguh mengharapkan agar sekali ini puteri mereka akan bisa menemukan jodohnya. Atas pertanyaan pasangan suami isteri itu, Tan Hok Seng kemudian menuturkan pengalamannya, sampai dia difitnah sehingga selain kehilangan kedudukan dan pekerjaannya, bahkan dia dihukum buang pula oleh pemerintah.
"Sejak kecil saya sudah kehilangan orang tua yang meninggal dunia karena sakit. Saya hidup terlunta-lunta, mengembara, dan menyadari bahwa saya akan hidup sengsara kalau tidak mempunyai kepandaian, maka sejak kecil saya bekerja sambil belajar. Banyak yang saya pelajari dengan biaya hasil pekerjaan saya memburuh. Mempelajari ilmu baca tulis sampai sastera, dan terutama sekali mempelajari ilmu-ilmu silat dari mana pun. Sesudah dewasa, dengan bekal ilmu-ilmu yang saya pelajari, saya berhasil mendapatkan pekerjaan di kota raja sebagai seorang prajurit pengawal istana. Karena ketekunan serta kerajinan saya, maka dalam waktu beberapa tahun saja saya menerima kenaikan pangkat sampai akhirnya menjadi seorang perwira pengawal."
Suami isteri itu mendengarkan dengan hati senang. Pemuda ini sungguh mengagumkan. Sejak kecil yatim piatu dan hidup sebatang kara, namun mampu memperoleh kemajuan yang hebat sampai menjadi seorang perwira pasukan pengawal istana! Dari kemajuan ini saja dapat dijadikan ukuran bahwa Tan Hok Seng memang seorang pemuda yang penuh semangat.
"Kemudian, bagaimana tentang fitnah itu?" tanya Siangkoan Ci Kang dengan hati tertarik.
Hok Seng menghela napas panjang. "Itulah, Suhu..." Pemuda itu tergagap karena keliru menyebut suhu (guru), "maafkan teecu (murid)..."
Siangkoan Ci Kang tersenyum dan mengangguk, "Tidak apa-apa, engkau boleh menyebut guru kepadaku."
Mendengar ini, Hok Seng menjadi gembira bukan kepalang dan dia segera menjatuhkan dirinya lagi, berlutut dan memberi hormat kepada suami isteri itu dengan menyebut suhu dan subo.
Suami isteri itu saling pandang dan tersenyum. Sekarang mereka tidak ragu lagi sehingga tidak perlu menanti sampai beberapa hari. Mereka percaya kepada pemuda ini dan suka menerima sebagai murid, bahkan dengan harapan untuk mengambil pemuda ini sebagai calon mantu, pengganti Pek Han Siong yang sudah ditolak oleh puteri mereka.
"Bangkit dan duduklah, Hok Seng, lalu lanjutkan ceritamu kepada kami," kata Siangkoan Ci Kang.
"Suhu, agaknya kemajuan serta keberuntungan teecu di kota raja itu menimbulkan iri hati kepada teman-teman dan rekan-rekan karena di antara mereka ada yang telah bertahun-tahun menjadi prajurit pengawal namun tidak pernah mendapatkan kenaikan. Sedangkan teecu dalam beberapa tahun saja sudah mendapatkan beberapa kali kenaikan pangkat. Nah, pada suatu hari istana ribut-ribut akibat kehilangan peti kecil terisi perhiasan seorang puteri istana, dan aneh sekali, peti itu kemudian ditemukan di dalam kamar teecu!"
"Hemmm, dan engkau tidak mencuri peti perhiasan itu, Hok Seng?" Toan Hui Cu bertanya sambil memandang tajam.
"Subo, bagaimana mungkin teecu mencuri? Selamanya teecu tidak pernah mencuri. Lagi pula bagaimana mungkin teecu dapat mencuri peti perhiasan yang berada di dalam istana bagian puteri? Hanya para thai-kam (kebiri) sajalah yang dijinkan memasuki bagian puteri. Itu jelas fitnah."
"Hemm, kalau fitnah, bagaimana peti perhiasan itu dapat ditemukan di dalam kamarmu?" Siangkoan Ci Kang bertanya.
"Itulah yang mencelakakan teecu, Suhu. Teecu tidak tahu bagaimana peti itu bisa berada di dalam kamar teecu dan tersembunyi di bawah pembaringan. Jelas bahwa ini perbuatan seorang yang sengaja melempar fitnah kepada teecu. Akan tetapi karena bukti ditemukan di kamar teecu, teecu tidak mampu banyak membela diri. Teecu hanya dijatuhi hukuman buang, karena Sribaginda Kaisar masih mengingat akan jasa-jasa teecu maka teecu tidak dihukum mati. Akan tetapi dalam perjalanan melaksanakan hukuman buang itu, di tengah perjalanan muncullah seorang pendekar berkedok yang membebaskan teecu bahkan juga memberi bekal uang emas kepada teecu tanpa memberi kesempatan kepada teecu untuk mengenal mukanya atau namanya."
"Ahh, kalau orang benar ada saja penolong datang," kata Toan Hui Cu dengan girang.
Akan tetapi Siangkoan Ci Kang mengerutkan alisnya lantas bertanya kepada pemuda itu. "Tahukah engkau siapa yang melakukan fitnah sekeji itu kepadamu?"
"Teccu dapat menduga orangnya, akan tetapi tidak ada buktinya. Yang meyakinkan hati teecu adalah karena dialah yang mendapat kedudukan menggantikan teecu setelah teecu dihukum."
"Engkau mendendam kepada orang itu?" kembali Siangkoan Ci Kang bertanya, suaranya tegas dan pandang matanya mencorong dan penuh selidik menatap wajah pemuda itu.
Tan Hok Seng adalah seorang pemuda yang amat cerdik. Dia banyak membaca sehingga tahu bagaimana watak para pendekar. Seorang pendekar sejati tak akan mudah dikuasai nafsu, demikian dia membaca. Seorang pendekar sejati tidak akan membiarkan nafsu dan dendam kebencian meracuni hatinya. Maka, mendengar pertanyaan itu dengan tegas dan mantap dia pun menjawab,
"Sama sekali tidak, Suhu! Teecu tidak mendendam, hanya kelak kalau ada kesempatan dan kalau kepandaian teecu memungkinkan, teecu ingin menyelidiki siapa sesungguhnya yang mencuri peti perhiasan lalu menyembunyikan di dalam kamar teecu itu."
"Hemmm, apa bedanya itu dengan mendendam? Dan kalau engkau berhasil menemukan orangnya, lalu apa yang akan kau lakukan?"
Kalau saja Tan Hok Seng bukan seorang pemuda cerdik dan hanya menuruti panasnya hati saja, kemudian menjawab bahwa dia akan membunuh orang itu, tentu suami isteri itu akan kecewa dan belum tentu mereka dapat menerimanya dengan hati bulat. Akan tetapi Hok Seng tahu apa yang harus menjadi jawabannya.
"Teecu akan melaporkan ke pengadilan supaya ditangkap sehingga dapat membersihkan nama teecu yang telah difitnah."
Jawaban ini melegakan hati Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu. Dan untuk menjenguk isi hati calon murid ini, Siangkoan Ci Kang bertanya lagi, "Apa bila namamu sudah bersih, apakah engkau masih menginginkan kembali jabatan dan kedudukan itu?"
"Tidak sama sekali, Suhu. Teecu telah bosan dengan kedudukan itu sebab di sana terjadi banyak kebusukan. Persaingan, fitnah, sogok-menyogok, kecurangan dan mementingkan diri sendiri. Hampir semua pejabat hanya memikirkan bagaimana untuk mendapat untung sebanyaknya. Teecu sudah muak dengan semua keadaan itu."
Bukan main girang hati suami isteri itu. "Baiklah, Hok Seng. Mulai hari ini engkau menjadi murid kami dan kami berharap engkau menjadi murid yang baik. Untuk mengetahui dasar yang ada padamu, cobalah engkau mainkan semua ilmu silat yang pernah kau pelajari."
Mereka pergi ke lian-bu-thia dan belum lama mereka memasuki ruangan berlatih silat ini, Bi Lian menyusul mereka. Gadis ini merasa heran melihat betapa tamu itu diajak masuk ke lian-bu-thia (ruangan berlatih silat) oleh ayah ibunya. Ketika dia bertanya, dia merasa semakin heran mendengar penjelasan ibunya.
"Bi Lian, Tan Hok Seng telah kami terima menjadi murid kami. Mulai sekarang dia adalah sute-mu, tetapi engkau boleh menyebut suheng (kakak seperguruan) karena dia tebih tua darimu. Dan Hok Seng, engkau boleh menyebut sumoi (adik seperguruan) kepada puteri kami Siangkoan Bi Lian ini."
"Sumoi...!" Hok Seng cepat mengangkat kedua tangan di depan dada menyalam gadis itu. Sikap ini saja sudah menunjukkan bahwa pemuda itu menghormatinya, bahkan tak segan memberi hormat lebih dahulu biar pun dia mendapat kehormatan untuk menjadi saudara tua.
Diam-diam Bi Lian tidak puas. Bagaimana pun juga, pemuda itu baru saja menjadi murid ayah ibunya, dan dalam ilmu silat jauh berada di bawah tingkatnya, mana pantas menjadi suheng-nya? Akan tetapi rasanya tidak enak juga kalau disebut suci (kakak seperguruan) oleh pemuda yang usianya beberapa tahun lebih tua darinya. Hal itu akan mendatangkan perasaan cepat tua di dalam hatinya. Maka dia pun tidak membantah dan dia membalas penghormatan Hok Seng sambil berkata lirih.
"Selamat menjadi murid ayah dan ibu, Suheng."
Demikianlah, sejak hari itu Tan Hok Seng menerima gemblengan dari dua orang gurunya sesudah memperlihatkan seluruh ilmu silat yang pernah dipelajarinya. Menurut penilaian Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu, ternyata dasar ilmu silat pemuda ini sudah cukup lumayan.
Dia telah mempelajari bermacam-macam ilmu silat, hanya tenaga dasar sinkang-nya yang kurang, sebab itu Siangkoan Ci Kang memberi pelajaran berlatih dan menghimpun tenaga sinkang. Sedangkan Toan Hui Cu mengajarkan silat Kwan Im Sin-kun, bahkan sepasang suami isteri itu kemudian mengajarkan ilmu baru mereka, yaitu Kim-ke Sin-kun.
Tentu saja suami isteri yang selama belasan tahun tinggal sebagai orang hukuman di kuil Siauw-lim-si itu dan kurang pengalaman, sama sekali tak pernah bermimpi bahwa mereka sudah menerima seorang murid yang seolah-olah harimau berbulu domba! Tan Hok Seng bukanlah orang seperti yang mereka duga dan gambarkan!
Sesudah mendengar Tan Hok Seng menceritakan riwayatnya, maka tidak sukar menduga siapa dia sebenarnya. Tan Hok Seng bukan lain hanyalah nama samaran dari Tang Gun! Sudah diceritakan di bagian depan betapa perwira muda istana ini melarikan seorang selir terkasih kaisar. Dia ditangkap oleh Tang Bun An yang ingin mencari jasa dan kedudukan, kemudian diserahkan kepada kaisar!
Tentu saja kaisar marah sekali dan Tang Gun dijatuhi hukuman buang. Dalam perjalanan ke tempat pembuangan dia diselamatkan oleh seorang berkedok yang lihai sekali. Bukan saja dia dibebaskan, malah juga diberi sekantung uang emas sebagai bekal. Sama sekali dia tidak tahu dan tak dapat menduga siapa adanya orang berkedok yang membebaskan dirinya itu.
Tang Gun, atau sebaiknya kini kita menyebutnya Tan Hok Seng sebagai nama barunya, tentu saja tidak berani mempergunakan nama aslinya karena betapa pun juga dia adalah seorang pelarian dan buronan. Selain itu, jika dia memperkenalkan nama aslinya kepada suami isteri yang kini telah menjadi gurunya itu dan kemudian mereka mendengar bahwa dia dihukum karena melarikan seorang selir kaisar, tentu kedua orang gurunya itu takkan sudi menerimanya sebagai murid. Karena itu dia pun mengarang cerita yang tidak begitu menarik perhatian, walau pun yang dia anggap sebagai musuhnya, yaitu yang melakukan fitnah adalah orang yang telah menangkapnya itu.
Sejak remaja Tan Hok Seng telah merantau dan mengalami banyak penderitaan. Dengan pengalamannya yang amat banyak ini dia bisa membawa diri secara baik, dapat bersikap lembut dan sopan sehingga dengan mudahnya dia dapat mengelabui Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu.
Bahkan Bi Lian sendiri mulai tertarik dan merasa suka kepada suheng itu sesudah lewat satu bulan dia tinggal dan mempelajari silat di rumah suami isteri pendekar itu,. Siapa pun dalam keluarga itu akan merasa suka kepada Hok Seng.
Pemuda ini amat rajin, pagi-pagi sekali sudah bangun dan sejak dia berada di situ, rumah dan pekarangan keluarga itu nampak semakin bersih dan terpelihara baik-baik. Hok Seng bekerja tanpa mengenal lelah dan tidak mengenal pekerjaan kasar atau rendah. Biar pun dia pernah menjadi seorang perwira muda istana yang membuat dia hidup mewah serta terhormat, tetapi kini dia tidak segan untuk menyapu pekarangan, membelah kayu bakar, memikul air dan segala pekerjaan kasar lainnya.
Ketekunannya dalam mempelajari dan melatih ilmu silat membuat suami isteri itu kagum bukan main, maka dia pun cepat mendapatkan kemajuan. Semua sikap yang baik inilah yang mulai menarik perhatian Bi Lian. Dan semakin tebal harapan terkandung dalam hati Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu bahwa kelak pemuda itu akan dapat menjadi mantu mereka!
Kurang lebih setengah tahun sudah lewat dengan cepatnya semenjak Hok Seng tinggal di Kim-ke-kok menjadi murid ayah dan ibu Bi Lian. Bukan saja kedua orang gurunya makin suka kepadanya, bahkan hubungannya dengan Bi Lian menjadi semakin akrab, dan gadis itu mulai percaya akan segala kebaikan yang diperlihatkan dalam kehidupan sehari-hari.
Pada suatu sore mereka latihan bersama di lian-bu-thia. Mereka berlatih ilmu silat Kim-ke Sin-kun, ilmu baru yang diciptakan Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu. Mengagumkan sekali melihat dua orang muda itu berlatih silat. Yang pria tinggi tegap, berwajah tampan dan gagah, memiliki gerakan yang mantap bertanaga, sedangkan wanitanya cantik jelita dan memiliki gerakan lincah.
Dari latihan ini saja dapat diketahui bahwa Hok Seng sudah memperoleh kemajuan pesat sekali. Bahkan dalam latihan ilmu silat Kim-ke Sin-kun ini dia sama sekali tidak terdesak oleh sumoi-nya! Dalam hal tenaga sinkang dia juga sudah memperoleh kemajuan dan kini tenaganya menjadi amat kuat, walau pun dibanding Bi Lian tentu saja dia masih kalah.
Mereka baru saja selesai latihan dan kini sedang beristirahat di luar lian-bu-thia, berjalan-jalan di taman bunga sambil menyeka keringat dengan kain. Keduanya lalu duduk saling berhadapan di dekat kolam ikan, di atas bangku batu.
"Aih, Sumoi. Sampai kapan pun aku takkan mungkin mampu menandingimu. Gerakanmu demikian matang, tenagamu juga kuat sekali dan engkau dapat bergerak secepat burung walet." Hok Seng memuji sambil menatap wajah sumoi-nya dengan sinar mata kagum.
Bi Lian sudah biasa dengan tatapan mata kagum ini, akan tetapi karena dia tidak melihat adanya pandang mata yang kurang ajar, maka dia pun bahkan selalu merasa bangga dan gembira bila mana suheng-nya memandang seperti itu. Andai kata Hok Seng tidak pandai menahan diri dan pandangan matanya mengandung pencerminan keadaan hatinya yang penuh birahi, tentu Bi Lian dapat melihat dan merasakannya, dan tentu dia akan merasa tidak senang bahkan marah sekali.
"Suheng, jangan khawatir. Kulihat engkau telah memperoleh kemajuan yang pesat. Kalau engkau terus tekun berlatih, terutama sekali menghimpun sinkang seperti diajarkan ayah, aku percaya kelak engkau akan mampu menyusulku."
Hok Seng menarik napas panjang dan wajahnya yang tampan nampak termenung, diliputi mendung. Melihat ini Bi Lian merasa heran. Selama ini belum pernah dia melihat suheng-nya bermuram seperti itu.
"Suheng, engkau kenapakah? Apa yang kau pikirkan?"
Kembali Hok Seng menarik napas panjang. "Ahh, Sumoi, betapa besar keinginanku dapat mempunyai ilmu kepandaian seperti engkau agar tidak ada lagi orang berani menghinaku dan menjatuhkan fitnah kepadaku seperti yang pernah kualami."
"Suheng, aku pernah mendengar dari ibuku bahwa dulu engkau pernah menjadi seorang perwira di istana akan tetapi difitnah orang sehingga kehilangan kedudukanmu. Benarkah itu? Ceritakanlah kepadaku, Suheng. Aku ingin mendengarnya."
"Memang betul demikian, Sumoi. Dengan susah payah aku merintis dan berusaha secara tekun sehingga dari seorang prajurit pengawal aku dapat menduduki jabatan perwira dan dipercaya oleh istana. Namun kemudian terjadi pencurian perhiasan milik seorang puteri istana dan si pencuri menyembunyikan peti perhiasan itu di bawah pembaringan di dalam kamarku. Jelas bahwa aku telah difitnah orang. Karena itu aku tekun berlatih silat supaya memperoleh kepandaian yang cukup untuk melakukan penyelidikan."
"Engkau hendak membalas dendam?"
"Tidak, aku hanya ingin membongkar rahasia pencurian itu sehingga yang bersalah akan dihukum, dan aku dapat membersihkan nama baikku."
"Kalau engkau mengetahui bahwa engkau difitnah, kenapa dulu engkau tidak mengambil tindakan, Suheng?"
Hok Seng menggelengkan kepala dengan sedih, lantas terbayanglah di dalam ingatannya penghinaan yang terjadi atas dirinya pada saat dia ditangkap dan diseret ke kota raja oleh penangkapnya itu.
"Aku difitnah oleh orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, Sumoi. Ketika itu pun aku sudah melawan, akan tetapi aku sama sekali tidak berdaya menghadapi orang yang lihai itu. Dan sekarang, menurut penyelidikanku sebelum tinggal di sini, orang yang melakukan fitnah itu telah memperoleh kedudukan tinggi sebagai imbalan jasanya karena menangkap aku sebagai pencurinya! Aku akan membongkar rahasianya itu kalau aku sudah memiliki kepandaian cukup tinggi. Sebelum kepandaianku cukup, baginya aku takkan ada artinya, bahkan mungkin aku akan ditangkap kembali sebagai seorang pelarian. Dia sangat lihai, Sumoi."
Hati Bi Lian sangat tertarik. Ada perasaan setia kawan terhadap suheng-nya yang difitnah orang itu, juga perasaan marah dan penasaran. Orang yang melakukan fitnah jelas orang yang berhati kejam dan jahat, pikirnya.
"Suheng, siapa sih orang yang melakukan fitnah terhadap dirimu itu?"
"Menurut penyelidikanku, namanya Tang Bun An."
Berkerut alis Bi Lian mendengar she (nama keluarga) Tang itu. Teringat dia akan Hay Hay yang juga marga Tang. Ang-hong-cu Si Kumbang Merah yang menjadi ayah kandung Hay Hay itu, penjahat cabul yang amat jahat, juga she Tang. Tetapi Bi Lian hanya menyimpan perasaan kaget itu di dalam hatinya saja.
Bi Lian tidak ingin suheng-nya mendengar tentang Ang-hong-cu, juga tak ingin ada orang lain mendengar bahwa adik kandung suheng-nya yang pernah ditunangkan dengannya itu telah menjadi korban kecabulan Ang-hong-cu. Pek Eng, adik Pek Han Siong itu, kini telah menjadi isteri Song Bun Hok putera ketua Kang-jiu-pang. Seorang pendekar wanita lain, Cia Ling, masih keluarga dekat Cin-ling-pai, juga menjadi korban Ang-hong-cu itu, namun kini Cia Ling juga sudah menjadi isteri Can Sun Hok.
Kalau dia bercerita mengenai Ang-hong-cu, tentu sukar baginya untuk tidak menceritakan kedua orang pendekar wanita itu dan dia tidak ingin melakukan hal ini. Peristiwa aib yang menimpa kedua pendekar itu harus dikubur dan dilupakan. Karena itulah Bi Lian tak mau memperlihatkan kekagetannya mendengar bahwa musuh Hok Seng adalah seorang she Tang yang mengingatkan dia kepada Si Kumbang Merah Ang-hong-cu.
"Tang Bun An? Hemm, orang macam apakah dia dan sampai di mana kelihaiannya?".
"Usianya sekitar lima puluh tahun lebih. Dia nampak tampan dan gagah, dan tentang ilmu silatnya, aku tidak dapat mengukur berapa tingginya, akan tetapi dulu aku seperti seorang anak kecil yang lemah ketika melawannya. Dalam segebrakan saja aku sudah roboh."
"Apakah orang ini memelihara kumis dan jenggot yang rapi, matanya tajam mencorong dan mulutnya selalu tersenyum?" tanyanya.
Dia teringat akan Ang-hong-cu yang dahulu pernah muncul dengan nama Han Lojin. Han Lojin yang kemudian ternyata Ang-hong-cu itu juga berusia lima puluh tahun lebih, gagah dan tampan, dengan kumis dan jenggot yang terpelihara rapi.
"Dia memang memiliki mata yang tajam dan sikapnya ramah, akan tetapi mukanya halus bersih, tidak berkumis mau pun berjenggot. Kenapa engkau bertanya demikian, Sumoi?"
"Ah, tidak. Aku teringat kepada seseorang, akan tetapi tidak ada sangkut pautnya dengan urusanmu itu. Suheng, mengapa tidak sekarang saja engkau pergi ke kota raja kemudian membongkar rahasia fitnah dan pencurian itu? Lebih cepat namamu dibersihkan, semakin baik, bukan?"
"Mana mungkin, Sumoi? Aku merasa belum sanggup menandinginya dan kalau kembali aku tertawan, berarti aku bukan hanya menghadapi penderitaan dan hukuman berat, juga akan menyeret nama baik suhu dan subo. Tidak, sebelum merasa yakin telah menguasai ilmu yang lebih tinggi sehingga akan dapat mengalahkannya, aku belum berani mencoba untuk membongkar fitnah itu, sumoi."
"Suheng, aku akan membantumu! Kalau dibiarkan terlalu lama, namamu sudah terlanjur rusak dan kedudukan orang itu terlanjur kuat sekali sehingga sukar untuk ditangkap."
Wajah Hok Seng berseri. Kalau sumoi-nya ini mau membantu, tentu lain soalnya. Sumoi-nya ini hebat, memiliki ilmu kepandajan tinggi sekali, dapat disebut sakti, dan dia percaya kalau sumomya ini akan mampu menandingi orang yang dahulu menangkapnya itu.
"Akan tetapi aku merupakan seorang pelarian atau orang buruan, maka aku tidak berani berterang memasuki kota raja, Sumoi."
"Itu mudah saja, Suheng. Engkau masuk dengan cara menyamar dan menyelundup. Lalu secara diam-diam kita mencari orang yang melakukan fitnah itu, apa sukarnya?"
"Akan tetapi harus berhati-hati, Sumoi. Selain lihai dia juga tukang fitnah, tentu dia akan menyangkal semua perbuatannya yang keji, bahkan tidak mungkin dia akan melontarkan fitnah yang lebih keji terhadap diriku!"
"Jangan khawatir, Suheng. Aku yakin kita berdua akan dapat membongkar rahasia itu dan membekuknya."
Ketika mereka menghadap Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu lalu menyatakan hendak pergi bersama ke kota raja untuk membongkar urusan fitnah, juga hendak membersihkan nama baik Tan Hok Seng yang pernah tercemar, kedua orang suami isteri itu sebenarnya merasa tidak setuju. Akan tetapi karena mereka melihat kesempatan bagi puteri mereka untuk bergaul secara lebih akrab dengan Hok Seng yang diharapkan menjadi calon mantu mereka, maka mereka pun memberi persetujuan mereka.
"Akan tetapi engkau tentu masih ingat dengan pengakuanmu dahulu bahwa engkau tidak menaruh dendam pada orang yang melempar fitnah kepadamu, bukan?" kata Siangkoan Ci Kang.
"Dan kalian jangan menimbulkan keributan di kota raja, apa lagi kalau sampai menentang petugas pemerintah," pesan pula Toan Hui Cu.
"Harap Suhu dan Subo tenangkan hati," jawab Tan Hok Seng tenang. 鈥淭eecu ke kota raja bukan karena mendendam, melainkan atas dorongan sumoi teecu hendak mencuci nama baik teecu yang dicemarkan orang, menangkap yang bersalah agar dihukum. Dan teecu bersama sumoi akan bekerja diam-diam sehingga tidak sampai menimbulkan keributan di kota raja, apa lagi karena teecu masih merupakan seorang pelarian sebelum nama teecu dibersihkan kembali."
Di dalam hatinya tentu saja pemuda ini sama sekali bukan berniat untuk 'membersihkan nama' karena bagaimana pun juga, namanya yang asli tidak mungkin dapat dibersihkan lagi. Dia sudah membuat dosa besar kepada kaisar, yaitu melarikan seorang selir terkasih kaisar. Hal itu telah terbukti, bagaimana mungkin dibersihkan lagi?
Yang jelas, dia menaruh dendam kepada Tang Bun An yang menurut penyelidikannya kini telah menjadi seorang perwira tinggi, mempunyai kedudukan yang bahkan lebih tinggi dari kedudukannya dahulu karena sudah berjasa menemukan kembali selir yang minggat dan menangkap dia sebagai pembawa pergi selir itu. Dia merasa yakin akan dapat membalas dendam kepada orang itu, bukan saja karena kini dia telah memperoleh kemajuan pesat sekali dalam ilmu silat, akan tetapi dia ditemani Siangkoan Bi Lian, gadis perkasa yang memiliki ilmu silat tinggi itu.
Sebetulnya hanya itulah yang terpenting, yaitu membalas dendam kepada Tang Bun An! Yang lain dia tidak peduli. Kalau sudah berhasil membunuh Tang Bun An, dia akan lebih tekun belajar silat, kemudian, apa bila keadaannya memungkinkan, dia akan mendekati Bi Lian dan mengusahakan agar gadis yang amat cantik jelita menggairahkan dan lihai ilmu silatnya ini dapat menjadi isterinya!
Tidak sukar bagi seorang menteri negara yang memiliki kekuasaan demikian besar seperti Menteri Cang Ku Ceng untuk minta bantuan seorang perwira pengawal thaikam (kebiri) sehingga Kui Hong dengan mudah dapat diselundupkan ke dalam istana! Karena maksud Kui Hong menyelundup ke dalam istana hanya untuk melakukan pengintaian dan sedapat mungkin menangkap basah pria yang menurut desas-desus kabarnya menggauli hampir semua selir, dayang dan puteri istana, maka dia pun hanya minta waktu satu minggu saja untuk melakukan penyelidikan. Dan waktu untuk mengintai baginya hanya malam hari.
Oleh karena itu, untuk membebaskan gadis perkasa itu dari perhatian dan kecurigaan, Kui Hong selalu bersembunyi di siang hari, disembunyikan oleh perwira thaikam itu di dalam kamar seorang wanita setengah tua yang bekerja sebagai tukang cuci dan bisa dipercaya penuh oleh perwira thaikam itu. Setelah hari menjadi gelap, barulah Kui Hong keluar dari dalam kamar itu untuk melakukan perondaan secara rahasia.
Memang tidak mudah bagi perwira thaikam itu untuk mempercaya seorang pun di dalam istana, kecuali wanita tukang cuci yang masih terhitung saudara misan ibunya di dusun. Hampir semua wanita di dalam istana, terutama yang masih muda dan cantik, agaknya memiliki hubungan dengan pria misterius yang tidak pernah dilihat orang memasuki istana itu. Kalau pun ada yang melapor, mereka hanya melihat berkelebatnya bayangan seorang pria, namun belum pernah melihat orangnya.
Agaknya tidak mungkin ada orang yang kelihatan bayangannya tidak kelihatan orangnya. Hanya setan saja yang demikian itu. Tapi anehnya Sang Permaisuri sendiri agaknya acuh atau tidak menaruh perhatian, bahkan nampak tidak percaya kalau diberi laporan bahwa ada pria memasuki istana bagian puteri.
Karena itulah terpaksa Kui Hong diselundupkan secara tersembunyi, tidak seperti seorang dayang baru atau pelayan baru. Karena jika tidak dilakukan demikian, Kui Hong khawatir kalau kehadirannya akan mencurigakan hati orang dan akan membuat laki-laki yang suka berkeliaran di dalam istana bagian puteri itu berhati-hati dan tidak muncul lagi.
Kehadirannya di dalam istana harus dirahasiakan dan tidak boleh diketahui umum. Hal ini dia kemukakan kepada Menteri Cang Ku Ceng, dan menteri yang bijaksana ini kemudian menggunakan kekuasaannya untuk dapat memenuhi permintaan Kui Hong.
Sudah tiga hari tiga malam Kui Hong berada di dalam istana, hanya diketahui oleh Menteri Cang, perwira thaikam, dan pelayan wanita tukang cuci di istana. Setiap malam gadis ini melakukan pengintaian dan perondaan, tetapi dari pagi sampai sore dia bersembunyi saja di dalam kamar.
Akan tetapi selama ini belum pernah dia menemukan sesuatu yang mencurigakan, belum pernah bertemu seorang pria yang berkeliaran di istana bagian puteri itu. Yang kelihatan hanyalah para pengawal istana, yaitu orang-orang thaikam yang melakukan perondaan.
Bosan juga rasanya, dan Kui Hong hampir putus asa ketika pada malam yang ke empat dia melakukan pengintaian lagi secara rahasia. Malam itu hawa udara dingin bukan main. Suatu keadaan yang menambah sengsara perasaan Kui Hong yang memang sudah kesal dan bosan karena semua jerih payahnya tidak ada hasilnya. Untuk melawan hawa dingin yang menusuk tulang, terpaksa dia mengerahkan sinkang di dalam tubuhnya.
Padahal, pada waktu malam dingin yang membuat orang menggigil itu, enaknya tinggal di dalam sebuah kamar yang hangat, di mana terdapat perapian yang akan membikin badan terasa nyaman. Musim semi telah tiba, kembang-kembang di taman istana telah kuncup, bahkan ada yang mulai mekar sehingga keharumannya semerbak di seluruh istana. Akan tetapi hawa dingin musim lalu agaknya masih tergantung di udara.
Bagaikan bayangan setan, Kui Hong menyusup di antara pondok-pondok mungil di celah-celah taman-taman bunga yang indah. Biar pun malam itu sunyi sekali karena sore-sore para penghuni istana bagian puteri sudah memasuki kamar masing-masing karena tidak kuat berada di luar yang amat dingin, akan tetapi Kui Hong tetap berhati-hati.
Dia sedang melakukan pengintaian terhadap orang yang sama sekali tidak diketahuinya siapa dan kapan atau di bagian mana dari tempat itu dia akan muncul. Maka, tentu saja dia sama sekali tidak boleh kelihatan oleh orang itu.
Kui Hong terus menyusup-nyusup di antara tanaman-tanaman bunga, atau pepohonan, atau pondok-pondok, kadang-kadang berhenti sejenak untuk memperhatikan keadaan di sekelilingnya dengan pandang mata dan pendengaran telingannya.
Waktu itu sudah menjelang tengah malam. Ketika dia memasuki taman bunga di sebelah belakang bangunan induk istana yang menjadi tempat tinggal permaisuri, tiba-tiba saja dia melihat berkelebatnya bayangan orang! Jantungnya berdebar tegang ketika dia hampir menjatuhkan diri untuk menyelinap di balik bunga dan mengintai.
Bayangan itu memiliki gerakan yang sangat ringan dan gesit, dan tahu-tahu bayangan itu sudah berdiri di bawah sebatang pohon sambil mengamati keadaan sekelilingnya. Hemm, orang itu memang berhati-hati sekali, pikir Kui Hong.
Malam begitu dingin dan suasana begitu sunyi, bahkan para pengawal thaikam agaknya merasa malas untuk meronda saking dinginnya hawa udara. Dan orang ini agaknya kenal betul dengan keadaan ini, yaitu saat-saat dan tempat yang akan sunyi senyap kalau hawa udara sedang dingin sekali seperti sekarang. Walau pun berhati-hati, nampak jelas bahwa sikapnya amat tenang ketika melihat sekeliling, kemudian pandang matanya berhenti dan menatap sebuah pondok yang berdiri tak jauh dari situ.
Pondok itu tidak terlalu besar tetapi sangat indah, apa lagi dikelilingi dengan taman bunga di mana kembang-kembangnya mulai mekar. Nampak dua lampu gantung yang dipasang di depan dan di belakang pondok itu sehingga biar pun hanya remang-remang akan tetapi Kui Hong dapat melihat bahwa dinding pondok itu berwarna hijau. Dari jendela terbayang penerangan di dalam pondok hijau itu, tanda bahwa ada orang di dalamnya
Lelaki ini tidak lama berdiri di sana. Sesudah merasa yakin bahwa di tempat itu tidak ada orang lain, dia kembali berkelebat dan dengan beberapa lompatan saja tubuhnya sudah tiba di depan pintu pondok yang masih tertutup. Tanpa ragu dia lalu mengetuk pintu itu.
"Tok! Tok! Tok!"
Dengan pendengarannya yang terlatih Kui Hong dapat mendengar ketukan itu, dan entah mengapa dia merasa tiga kali ketukan itu seolah-olah berirama seperti merupakan sebuah isyarat. Maka tahulah dia bahwa agaknya pria ini sudah mengenal penghuni atau orang yang berada di dalam pondok itu.
Kui Hong melihat pintu itu dibuka dari dalam, namun pembuka pintu itu tidak nampak dari tempatnya mengintai. Sesudah pria itu memasuki pondok dan pintunya sudah ditutup lagi, dengan amat hati-hati dan dengan gerakan ringan sekali Kui Hong berkelebat mendekati pondok itu.
Bukan main girangnya hati gadis itu ketika melalui celah-celah di antara tirai jendela dia dapat mengintai ke dalam. Kiranya, di dalam sebuah ruangan yang terang dan indah, pria itu sudah duduk di atas lantai yang ditilami kasur yang lebar dan dia sudah dikelilingi oleh lima orang wanita yang cantik-cantik! Wanita yang berpakaian mewah, berusia antara dua puluh hingga tiga puluh tahun, kelimanya cantik manis dan jelas merupakan wanita-wanita bangsawan!
Dari perwira thaikam yang menyembunyikan dirinya, dia sudah mempelajari tentang para wanita yang tinggal di istana, maka dia pun tahu bahwa lima orang wanita itu tentu selir-selir kaisar! Dan kini kelima orang selir kaisar itu secara tidak tahu malu dan tanpa sopan santun sedang duduk mengelilingi seorang laki-laki dengan sikap dan pandang mata yang demikian genitnya!
"Kalian berdua berjaga di luar, seorang di depan dan seorang lainnya di belakang. Cepat!" kata seorang di antara lima wanita cantik itu kepada dua orang gadis lainnya yang berdiri di dekat pintu.
Dua gadis itu memberi hormat, lalu keluar dengan wajah bersungut-sungut. Malam begini dingin dan mereka disuruh berjaga di luar! Padahal mereka berdua juga termasuk kekasih pria setengah tua yang ganteng itu! Akan tetapi karena kedudukan mereka hanya dayang, sedangkan lima orang wanita di dalam pondok itu adalah majikan-majikan mereka, maka tentu saja kedua orang itu tidak berani membantah.
Kui Hong cepat menyelinap pergi ketika dua orang gadis dayang itu keluar pondok. Dua gadis itu langsung berpisah saat keluar tadi, seorang melalui pintu belakang dan seorang lagi melalui pintu depan. Setelah tiba di depan dan di belakang pondok, mereka berjalan mengitari pondok. Akan tetapi karena keadaan sunyi, aman dan sangat dingin, keduanya lalu berlindung di dekat pintu depan dan belakang yang terlindung oleh tembok sehingga sedikit banyak dapat terhindar dari semilirnya angin malam yang membuat hawa menjadi semakin dingin tak tertahankan.
Melihat dua orang dayang itu berdiri di dekat pintu, Kui Hong menyelinap lagi mendekati jendela. Begitu mengintai, dia langsung membuang muka setelah melihat betapa kini pria itu berpelukan dan bermesraan dengan lima orang wanita itu. Seorang pria dikeroyok oleh lima orang wanita! Dia hanya butuh mendengarkan percakapan di antara mereka, bukan melihat tontonan yang tidak senonoh itu!
"Engkau sungguh kejam sekali, membiarkan kami kedinginan dan menanti dengan sia-sia sampai tiga malam. Kemana saja engkau selama ini?"
"Memang laki-laki berhati kejam. Membiarkan orang setengah mati dalam kerinduan!"
"Agaknya dia mempunyai kekasih di luar istana, maka sudah melupakan kita!"
Demikian lima orang wanita itu menegur sambil diselingi suara tawa cekikikan. Kui Hong merasa muak sekali. Begitukah tingkah laku para selir itu? Mereka lebih pantas menjadi pelacur dari pada menjadi selir kaisar, menjadi wanita-wanita bangsawan!
"Aah, ciangkun (perwira), apa yang hendak kau katakan sekarang?" seorang wanita lain menuntut.
Kui Hong mendengar suara laki-laki tertawa. Suara tawa yang tenang dan bebas, lantas disambung dengan suaranya yang dalam. "Aih, kalian ini sungguh tidak menaruh kasihan kepadaku! Aku harus beristirahat. Ingat, aku bukan seekor ayam jantan yang masih enak saja berkokok walau pun harus melayani puluhan ekor ayam betina!"
Terdengar suara wanita cekikikan menyambut ucapan pria itu. "Huhh, kau samakan kami dengan ayam-ayam betina, ya? Terlalu!" Kemudian terdengarlah suara gedebag-gedebug pukulan manja yang disambut oleh pria itu sambil tertawa-tawa.
Kui Hong tidak tahan untuk mendengar lebih lanjut. Dia cepat berkelebat menjauhi jendela itu dan menyelinap ke bawah pohon yang rindang. Dari jauh dia termenung memandang ke arah jendela pondok itu. Apa yang harus dilakukannya sekarang?
Pria itulah yang dimaksud oleh Menteri Cang! Dan kecurigaan menteri itu memang tepat sekali, karena dia pun kini hampir yakin bahwa pengacau istana itu, lelaki yang menyeret hampir semua wanita di dalam istana ke lembah kenistaan, tentu juga perwira bernama Tang Bun An itu.
Pertemuan di pondok itu sekaligus membongkar dua rahasia itu. Rahasia pria misterius yang mengotori kehormatan istana dan rahasia perwira Tang Bun An. Sungguh sayang, pikirnya. Sayang bahwa perwira itu bukan Ang-hong-cu seperti yang diduganya semula, walau pun nama keluarga mereka sama, yaitu Tang.
"Apa yang harus kulakukan sekarang?" Kui Hong berpikir-pikir.
Kini pergi meninggalkan pondok ini dan besok melaporkan hasil penyelidikannya kepada Menteri Cang? Akan tetapi, apa artinya? Tentu saja Tang Bun An dapat menyangkal dan semua selir pasti akan berpihak kepadanya. Para selir itu tentu berani bersumpah bahwa perwira itu tidak pernah mengunjungi mereka di istana bagian puteri itu! Maka apa artinya kesaksian dia seorang diri?
Walau pun hatinya diliputi keraguan, namun Kui Hong terus memikirkan cara untuk dapat menangkap pria ini dengan bukti-bukti kuat agar dia tidak mampu mengelak lagi. Alisnya berkerut, sementara pandangan matanya tidak pernah lepas menatap pondok itu, di mana pria setengah tua yang masih nampak gagah itu sedang bersenang-senang dengan lima orang selir kaisar.
Agaknya takkan ada gunanya untuk melaporkan pria itu. Dia tidak memiliki satu pun bukti selain pemandangan yang disaksikannya. Juga tidak ada orang lain yang dapat dijadikan saksi untuk mendukung keterangannya. Wanita-wanita di dalam pondok itu bahkan dapat membalikkan kenyataan sehingga akan menyerang dirinya sendiri.
Tidak mungkin pula untuk menangkapnya saat ini, ketika mereka masih berada di dalam lingkungan istana. Melihat gerakannya tadi yang sangat cepat dan gesit, laki-laki ini tentu mempunyai kepandaian yang tidak rendah. Apabila dia nekat menyerangnya, pasti akan terjadi pertarungan yang menimbulkan keributan, lantas sekejap saja akan datang banyak pengawal istana mengepung tempat itu.
Aku harus menunggunya di luar lingkungan istana, kemudian menangkapnya setelah dia keluar dari istana, demikian Kui Hong mengambil keputusan setelah tidak melihat adanya jalan lain. Mudah saja kalau dia sudah berhasil menangkapnya di luar istana. Apabila dia menyangkal maka dia dapat memaksanya agar mengaku dan kalau perlu menyiksanya!
Setelah mengambil keputusan ini, Kui Hong lalu kembali ke kamarnya dan ia minta tolong kepada pelayan wanita setengah tua itu supaya secepatnya memanggil perwira thaikam, saat itu juga. Sesudah perwira itu datang, Kui Hong minta bantuan perwira itu supaya dia dapat dikeluarkan dari istana.
"Sekarang juga, Nona? Malam-malam begini?"
"Aku mempunyai keperluan penting sekali yang harus kulakukan di luar istana, karena itu aku harus keluar malam ini juga. Kau atur saja agar aku dapat keluar dari istana dengan selamat, ciangkun!" kata Kui Hong dan perwira itu tidak berani membantah.
Gadis ini adalah orang kepercayaan Menteri Cang yang telah memerintahkan kepadanya agar dia melayani dan membantu gadis ini. Maka dia sendiri lantas mengawal Kui Hong keluar dari istana bagian puteri, bahkan terus meninggalkan lingkungan istana.
Karena yang mengawalnya adalah seorang perwira thaikam yang mengatakan bahwa Kui Hong adalah kerabat seorang selir kaisar, maka dengan mudah saja Kui Hong bisa keluar dari lingkungan istana. Tanpa pengawalan perwira thaikam itu, maka jangan harap dapat keluar masuk istana yang dijaga ketat.
Walau pun sudah keluar dari lingkungan istana, namun Kui Hong tetap berada tidak jauh dari tempat itu, tepatnya dia menanti sambil mengintai dari sebuah tempat tersembunyi di dekat pintu gerbang bagian depan istana. Dari tempat ini dia dapat memperhatikan semua orang yang keluar dari pintu gerbang itu, akan tetapi dia sendiri tidak akan terlihat karena tubuhnya terlindung oleh sebatang pohon besar.
Ketika menunggu, waktu terasa merambat amat perlahan seperti keong berjalan, apa lagi bagi seorang gadis muda seperti Kui Hong yang harus menanti pada tengah malam dan di tengah hawa udara yang demikian dingin. Karena itu tidak mengherankan apa bila lama kelamaan gadis ini mulai merasa bosan dan mengeluh, bahkan kadang-kadang kelihatan bibirnya berkomat-kamit mengomel, biar pun dilakukan dengan bisik-bisik saja.
Tidak terlihat seorang pun yang keluar dari pintu gerbang itu, biar pun dari pos penjagaan di sampingnya dia dapat mendengar nada yang ribut-ribut, karena udara dingin membuat orang malas keluar sebelum matahari terbit. Dan dia memperhitungkan bahwa laki-laki itu tentu tidak akan mengeram diri di dalam istana bagian puteri itu sampai matahari terbit.
Akan tetapi omelan yang keluar dari mulut mungil itu makin larut malam semakin menjadi-jadi penuh kedongkolan karena malam telah hampir lewat sedangkan orang yang dinanti-nanti itu belum juga muncul. Akhirnya, sesudah kesabarannya hampir habis, ketika ayam jantan mulai berkokok, nampak orang itu keluar dari pintu gerbang istana yang terdepan.
Baru saja mereka membicarakan urusan perjodohan puteri mereka. Mereka sudah ingin sekali mempunyai mantu dan memiliki cucu. Maka kemunculan seorang pemuda seperti Tan Hok Seng itu mempunyai arti besar bagi mereka, menumbuhkan suatu harapan baru.
Biar pun baru saja berjumpa, namun banyak hal pada diri pemuda ini yang telah menarik perhatian mereka. Pertama, Tan Hok Seng adalah seorang pemuda yang cukup dewasa, berusia dua puluh lima tahun lebih, dan yatim piatu pula. Dia cukup tampan dan gagah, juga sikapnya sangat sopan, baik dan agaknya terpelajar. Sungguh merupakan gambaran seorang calon mantu yang baik. Mengenai ilmu silat, kepandaiannya juga tidak terlampau rendah, dan dengan gemblengan yang keras, dalam waktu tak terlalu lama tentu dia akan memperoleh kemajuan pesat.
"Tan Hok Seng, bangkit dan duduklah. Permintaan itu akan kami pertimbangkan sesudah engkau tinggal beberapa hari di sini. Karena kami belum mengenal benar siapa engkau, maka kami tentu tidak dapat tergesa-gesa menerimamu sebagai murid," kata Siangkoan Ci Kang dan isterinya segera menyambung dengan pertanyaan.
"Orang muda, selain yatim piatu apakah engkau tidak mempunyai seorang pun anggota keluarga? Kakak atau adik, paman atau bibi, mungkin isteri atau tunangan?"
Pertanyaan ini hanya sambil lalu dan tidak kentara, akan tetapi Tan Hok Seng bukanlah seorang pemuda hijau. Dia dapat menangkap apa yang tersembunyi di balik pertanyaan itu dan diam-diam dia pun merasa girang bukan main. Kalau saja selain menjadi murid suami isteri yang sakti ini juga dapat menjadi menantu mereka! Gadis tadi sungguh cantik manis menggairahkan!
"Saya hidup sebatang kara, Bibi, tidak ada sanak tidak ada kadang, apa lagi keluarga."
Mendengar ini, kembali suami isteri itu bertukar pandang. Mereka sungguh mengharapkan agar sekali ini puteri mereka akan bisa menemukan jodohnya. Atas pertanyaan pasangan suami isteri itu, Tan Hok Seng kemudian menuturkan pengalamannya, sampai dia difitnah sehingga selain kehilangan kedudukan dan pekerjaannya, bahkan dia dihukum buang pula oleh pemerintah.
"Sejak kecil saya sudah kehilangan orang tua yang meninggal dunia karena sakit. Saya hidup terlunta-lunta, mengembara, dan menyadari bahwa saya akan hidup sengsara kalau tidak mempunyai kepandaian, maka sejak kecil saya bekerja sambil belajar. Banyak yang saya pelajari dengan biaya hasil pekerjaan saya memburuh. Mempelajari ilmu baca tulis sampai sastera, dan terutama sekali mempelajari ilmu-ilmu silat dari mana pun. Sesudah dewasa, dengan bekal ilmu-ilmu yang saya pelajari, saya berhasil mendapatkan pekerjaan di kota raja sebagai seorang prajurit pengawal istana. Karena ketekunan serta kerajinan saya, maka dalam waktu beberapa tahun saja saya menerima kenaikan pangkat sampai akhirnya menjadi seorang perwira pengawal."
Suami isteri itu mendengarkan dengan hati senang. Pemuda ini sungguh mengagumkan. Sejak kecil yatim piatu dan hidup sebatang kara, namun mampu memperoleh kemajuan yang hebat sampai menjadi seorang perwira pasukan pengawal istana! Dari kemajuan ini saja dapat dijadikan ukuran bahwa Tan Hok Seng memang seorang pemuda yang penuh semangat.
"Kemudian, bagaimana tentang fitnah itu?" tanya Siangkoan Ci Kang dengan hati tertarik.
Hok Seng menghela napas panjang. "Itulah, Suhu..." Pemuda itu tergagap karena keliru menyebut suhu (guru), "maafkan teecu (murid)..."
Siangkoan Ci Kang tersenyum dan mengangguk, "Tidak apa-apa, engkau boleh menyebut guru kepadaku."
Mendengar ini, Hok Seng menjadi gembira bukan kepalang dan dia segera menjatuhkan dirinya lagi, berlutut dan memberi hormat kepada suami isteri itu dengan menyebut suhu dan subo.
Suami isteri itu saling pandang dan tersenyum. Sekarang mereka tidak ragu lagi sehingga tidak perlu menanti sampai beberapa hari. Mereka percaya kepada pemuda ini dan suka menerima sebagai murid, bahkan dengan harapan untuk mengambil pemuda ini sebagai calon mantu, pengganti Pek Han Siong yang sudah ditolak oleh puteri mereka.
"Bangkit dan duduklah, Hok Seng, lalu lanjutkan ceritamu kepada kami," kata Siangkoan Ci Kang.
"Suhu, agaknya kemajuan serta keberuntungan teecu di kota raja itu menimbulkan iri hati kepada teman-teman dan rekan-rekan karena di antara mereka ada yang telah bertahun-tahun menjadi prajurit pengawal namun tidak pernah mendapatkan kenaikan. Sedangkan teecu dalam beberapa tahun saja sudah mendapatkan beberapa kali kenaikan pangkat. Nah, pada suatu hari istana ribut-ribut akibat kehilangan peti kecil terisi perhiasan seorang puteri istana, dan aneh sekali, peti itu kemudian ditemukan di dalam kamar teecu!"
"Hemmm, dan engkau tidak mencuri peti perhiasan itu, Hok Seng?" Toan Hui Cu bertanya sambil memandang tajam.
"Subo, bagaimana mungkin teecu mencuri? Selamanya teecu tidak pernah mencuri. Lagi pula bagaimana mungkin teecu dapat mencuri peti perhiasan yang berada di dalam istana bagian puteri? Hanya para thai-kam (kebiri) sajalah yang dijinkan memasuki bagian puteri. Itu jelas fitnah."
"Hemm, kalau fitnah, bagaimana peti perhiasan itu dapat ditemukan di dalam kamarmu?" Siangkoan Ci Kang bertanya.
"Itulah yang mencelakakan teecu, Suhu. Teecu tidak tahu bagaimana peti itu bisa berada di dalam kamar teecu dan tersembunyi di bawah pembaringan. Jelas bahwa ini perbuatan seorang yang sengaja melempar fitnah kepada teecu. Akan tetapi karena bukti ditemukan di kamar teecu, teecu tidak mampu banyak membela diri. Teecu hanya dijatuhi hukuman buang, karena Sribaginda Kaisar masih mengingat akan jasa-jasa teecu maka teecu tidak dihukum mati. Akan tetapi dalam perjalanan melaksanakan hukuman buang itu, di tengah perjalanan muncullah seorang pendekar berkedok yang membebaskan teecu bahkan juga memberi bekal uang emas kepada teecu tanpa memberi kesempatan kepada teecu untuk mengenal mukanya atau namanya."
"Ahh, kalau orang benar ada saja penolong datang," kata Toan Hui Cu dengan girang.
Akan tetapi Siangkoan Ci Kang mengerutkan alisnya lantas bertanya kepada pemuda itu. "Tahukah engkau siapa yang melakukan fitnah sekeji itu kepadamu?"
"Teccu dapat menduga orangnya, akan tetapi tidak ada buktinya. Yang meyakinkan hati teecu adalah karena dialah yang mendapat kedudukan menggantikan teecu setelah teecu dihukum."
"Engkau mendendam kepada orang itu?" kembali Siangkoan Ci Kang bertanya, suaranya tegas dan pandang matanya mencorong dan penuh selidik menatap wajah pemuda itu.
Tan Hok Seng adalah seorang pemuda yang amat cerdik. Dia banyak membaca sehingga tahu bagaimana watak para pendekar. Seorang pendekar sejati tak akan mudah dikuasai nafsu, demikian dia membaca. Seorang pendekar sejati tidak akan membiarkan nafsu dan dendam kebencian meracuni hatinya. Maka, mendengar pertanyaan itu dengan tegas dan mantap dia pun menjawab,
"Sama sekali tidak, Suhu! Teecu tidak mendendam, hanya kelak kalau ada kesempatan dan kalau kepandaian teecu memungkinkan, teecu ingin menyelidiki siapa sesungguhnya yang mencuri peti perhiasan lalu menyembunyikan di dalam kamar teecu itu."
"Hemmm, apa bedanya itu dengan mendendam? Dan kalau engkau berhasil menemukan orangnya, lalu apa yang akan kau lakukan?"
Kalau saja Tan Hok Seng bukan seorang pemuda cerdik dan hanya menuruti panasnya hati saja, kemudian menjawab bahwa dia akan membunuh orang itu, tentu suami isteri itu akan kecewa dan belum tentu mereka dapat menerimanya dengan hati bulat. Akan tetapi Hok Seng tahu apa yang harus menjadi jawabannya.
"Teecu akan melaporkan ke pengadilan supaya ditangkap sehingga dapat membersihkan nama teecu yang telah difitnah."
Jawaban ini melegakan hati Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu. Dan untuk menjenguk isi hati calon murid ini, Siangkoan Ci Kang bertanya lagi, "Apa bila namamu sudah bersih, apakah engkau masih menginginkan kembali jabatan dan kedudukan itu?"
"Tidak sama sekali, Suhu. Teecu telah bosan dengan kedudukan itu sebab di sana terjadi banyak kebusukan. Persaingan, fitnah, sogok-menyogok, kecurangan dan mementingkan diri sendiri. Hampir semua pejabat hanya memikirkan bagaimana untuk mendapat untung sebanyaknya. Teecu sudah muak dengan semua keadaan itu."
Bukan main girang hati suami isteri itu. "Baiklah, Hok Seng. Mulai hari ini engkau menjadi murid kami dan kami berharap engkau menjadi murid yang baik. Untuk mengetahui dasar yang ada padamu, cobalah engkau mainkan semua ilmu silat yang pernah kau pelajari."
Mereka pergi ke lian-bu-thia dan belum lama mereka memasuki ruangan berlatih silat ini, Bi Lian menyusul mereka. Gadis ini merasa heran melihat betapa tamu itu diajak masuk ke lian-bu-thia (ruangan berlatih silat) oleh ayah ibunya. Ketika dia bertanya, dia merasa semakin heran mendengar penjelasan ibunya.
"Bi Lian, Tan Hok Seng telah kami terima menjadi murid kami. Mulai sekarang dia adalah sute-mu, tetapi engkau boleh menyebut suheng (kakak seperguruan) karena dia tebih tua darimu. Dan Hok Seng, engkau boleh menyebut sumoi (adik seperguruan) kepada puteri kami Siangkoan Bi Lian ini."
"Sumoi...!" Hok Seng cepat mengangkat kedua tangan di depan dada menyalam gadis itu. Sikap ini saja sudah menunjukkan bahwa pemuda itu menghormatinya, bahkan tak segan memberi hormat lebih dahulu biar pun dia mendapat kehormatan untuk menjadi saudara tua.
Diam-diam Bi Lian tidak puas. Bagaimana pun juga, pemuda itu baru saja menjadi murid ayah ibunya, dan dalam ilmu silat jauh berada di bawah tingkatnya, mana pantas menjadi suheng-nya? Akan tetapi rasanya tidak enak juga kalau disebut suci (kakak seperguruan) oleh pemuda yang usianya beberapa tahun lebih tua darinya. Hal itu akan mendatangkan perasaan cepat tua di dalam hatinya. Maka dia pun tidak membantah dan dia membalas penghormatan Hok Seng sambil berkata lirih.
"Selamat menjadi murid ayah dan ibu, Suheng."
Demikianlah, sejak hari itu Tan Hok Seng menerima gemblengan dari dua orang gurunya sesudah memperlihatkan seluruh ilmu silat yang pernah dipelajarinya. Menurut penilaian Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu, ternyata dasar ilmu silat pemuda ini sudah cukup lumayan.
Dia telah mempelajari bermacam-macam ilmu silat, hanya tenaga dasar sinkang-nya yang kurang, sebab itu Siangkoan Ci Kang memberi pelajaran berlatih dan menghimpun tenaga sinkang. Sedangkan Toan Hui Cu mengajarkan silat Kwan Im Sin-kun, bahkan sepasang suami isteri itu kemudian mengajarkan ilmu baru mereka, yaitu Kim-ke Sin-kun.
********************
Tentu saja suami isteri yang selama belasan tahun tinggal sebagai orang hukuman di kuil Siauw-lim-si itu dan kurang pengalaman, sama sekali tak pernah bermimpi bahwa mereka sudah menerima seorang murid yang seolah-olah harimau berbulu domba! Tan Hok Seng bukanlah orang seperti yang mereka duga dan gambarkan!
Sesudah mendengar Tan Hok Seng menceritakan riwayatnya, maka tidak sukar menduga siapa dia sebenarnya. Tan Hok Seng bukan lain hanyalah nama samaran dari Tang Gun! Sudah diceritakan di bagian depan betapa perwira muda istana ini melarikan seorang selir terkasih kaisar. Dia ditangkap oleh Tang Bun An yang ingin mencari jasa dan kedudukan, kemudian diserahkan kepada kaisar!
Tentu saja kaisar marah sekali dan Tang Gun dijatuhi hukuman buang. Dalam perjalanan ke tempat pembuangan dia diselamatkan oleh seorang berkedok yang lihai sekali. Bukan saja dia dibebaskan, malah juga diberi sekantung uang emas sebagai bekal. Sama sekali dia tidak tahu dan tak dapat menduga siapa adanya orang berkedok yang membebaskan dirinya itu.
Tang Gun, atau sebaiknya kini kita menyebutnya Tan Hok Seng sebagai nama barunya, tentu saja tidak berani mempergunakan nama aslinya karena betapa pun juga dia adalah seorang pelarian dan buronan. Selain itu, jika dia memperkenalkan nama aslinya kepada suami isteri yang kini telah menjadi gurunya itu dan kemudian mereka mendengar bahwa dia dihukum karena melarikan seorang selir kaisar, tentu kedua orang gurunya itu takkan sudi menerimanya sebagai murid. Karena itu dia pun mengarang cerita yang tidak begitu menarik perhatian, walau pun yang dia anggap sebagai musuhnya, yaitu yang melakukan fitnah adalah orang yang telah menangkapnya itu.
Sejak remaja Tan Hok Seng telah merantau dan mengalami banyak penderitaan. Dengan pengalamannya yang amat banyak ini dia bisa membawa diri secara baik, dapat bersikap lembut dan sopan sehingga dengan mudahnya dia dapat mengelabui Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu.
Bahkan Bi Lian sendiri mulai tertarik dan merasa suka kepada suheng itu sesudah lewat satu bulan dia tinggal dan mempelajari silat di rumah suami isteri pendekar itu,. Siapa pun dalam keluarga itu akan merasa suka kepada Hok Seng.
Pemuda ini amat rajin, pagi-pagi sekali sudah bangun dan sejak dia berada di situ, rumah dan pekarangan keluarga itu nampak semakin bersih dan terpelihara baik-baik. Hok Seng bekerja tanpa mengenal lelah dan tidak mengenal pekerjaan kasar atau rendah. Biar pun dia pernah menjadi seorang perwira muda istana yang membuat dia hidup mewah serta terhormat, tetapi kini dia tidak segan untuk menyapu pekarangan, membelah kayu bakar, memikul air dan segala pekerjaan kasar lainnya.
Ketekunannya dalam mempelajari dan melatih ilmu silat membuat suami isteri itu kagum bukan main, maka dia pun cepat mendapatkan kemajuan. Semua sikap yang baik inilah yang mulai menarik perhatian Bi Lian. Dan semakin tebal harapan terkandung dalam hati Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu bahwa kelak pemuda itu akan dapat menjadi mantu mereka!
Kurang lebih setengah tahun sudah lewat dengan cepatnya semenjak Hok Seng tinggal di Kim-ke-kok menjadi murid ayah dan ibu Bi Lian. Bukan saja kedua orang gurunya makin suka kepadanya, bahkan hubungannya dengan Bi Lian menjadi semakin akrab, dan gadis itu mulai percaya akan segala kebaikan yang diperlihatkan dalam kehidupan sehari-hari.
Pada suatu sore mereka latihan bersama di lian-bu-thia. Mereka berlatih ilmu silat Kim-ke Sin-kun, ilmu baru yang diciptakan Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu. Mengagumkan sekali melihat dua orang muda itu berlatih silat. Yang pria tinggi tegap, berwajah tampan dan gagah, memiliki gerakan yang mantap bertanaga, sedangkan wanitanya cantik jelita dan memiliki gerakan lincah.
Dari latihan ini saja dapat diketahui bahwa Hok Seng sudah memperoleh kemajuan pesat sekali. Bahkan dalam latihan ilmu silat Kim-ke Sin-kun ini dia sama sekali tidak terdesak oleh sumoi-nya! Dalam hal tenaga sinkang dia juga sudah memperoleh kemajuan dan kini tenaganya menjadi amat kuat, walau pun dibanding Bi Lian tentu saja dia masih kalah.
Mereka baru saja selesai latihan dan kini sedang beristirahat di luar lian-bu-thia, berjalan-jalan di taman bunga sambil menyeka keringat dengan kain. Keduanya lalu duduk saling berhadapan di dekat kolam ikan, di atas bangku batu.
"Aih, Sumoi. Sampai kapan pun aku takkan mungkin mampu menandingimu. Gerakanmu demikian matang, tenagamu juga kuat sekali dan engkau dapat bergerak secepat burung walet." Hok Seng memuji sambil menatap wajah sumoi-nya dengan sinar mata kagum.
Bi Lian sudah biasa dengan tatapan mata kagum ini, akan tetapi karena dia tidak melihat adanya pandang mata yang kurang ajar, maka dia pun bahkan selalu merasa bangga dan gembira bila mana suheng-nya memandang seperti itu. Andai kata Hok Seng tidak pandai menahan diri dan pandangan matanya mengandung pencerminan keadaan hatinya yang penuh birahi, tentu Bi Lian dapat melihat dan merasakannya, dan tentu dia akan merasa tidak senang bahkan marah sekali.
"Suheng, jangan khawatir. Kulihat engkau telah memperoleh kemajuan yang pesat. Kalau engkau terus tekun berlatih, terutama sekali menghimpun sinkang seperti diajarkan ayah, aku percaya kelak engkau akan mampu menyusulku."
Hok Seng menarik napas panjang dan wajahnya yang tampan nampak termenung, diliputi mendung. Melihat ini Bi Lian merasa heran. Selama ini belum pernah dia melihat suheng-nya bermuram seperti itu.
"Suheng, engkau kenapakah? Apa yang kau pikirkan?"
Kembali Hok Seng menarik napas panjang. "Ahh, Sumoi, betapa besar keinginanku dapat mempunyai ilmu kepandaian seperti engkau agar tidak ada lagi orang berani menghinaku dan menjatuhkan fitnah kepadaku seperti yang pernah kualami."
"Suheng, aku pernah mendengar dari ibuku bahwa dulu engkau pernah menjadi seorang perwira di istana akan tetapi difitnah orang sehingga kehilangan kedudukanmu. Benarkah itu? Ceritakanlah kepadaku, Suheng. Aku ingin mendengarnya."
"Memang betul demikian, Sumoi. Dengan susah payah aku merintis dan berusaha secara tekun sehingga dari seorang prajurit pengawal aku dapat menduduki jabatan perwira dan dipercaya oleh istana. Namun kemudian terjadi pencurian perhiasan milik seorang puteri istana dan si pencuri menyembunyikan peti perhiasan itu di bawah pembaringan di dalam kamarku. Jelas bahwa aku telah difitnah orang. Karena itu aku tekun berlatih silat supaya memperoleh kepandaian yang cukup untuk melakukan penyelidikan."
"Engkau hendak membalas dendam?"
"Tidak, aku hanya ingin membongkar rahasia pencurian itu sehingga yang bersalah akan dihukum, dan aku dapat membersihkan nama baikku."
"Kalau engkau mengetahui bahwa engkau difitnah, kenapa dulu engkau tidak mengambil tindakan, Suheng?"
Hok Seng menggelengkan kepala dengan sedih, lantas terbayanglah di dalam ingatannya penghinaan yang terjadi atas dirinya pada saat dia ditangkap dan diseret ke kota raja oleh penangkapnya itu.
"Aku difitnah oleh orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, Sumoi. Ketika itu pun aku sudah melawan, akan tetapi aku sama sekali tidak berdaya menghadapi orang yang lihai itu. Dan sekarang, menurut penyelidikanku sebelum tinggal di sini, orang yang melakukan fitnah itu telah memperoleh kedudukan tinggi sebagai imbalan jasanya karena menangkap aku sebagai pencurinya! Aku akan membongkar rahasianya itu kalau aku sudah memiliki kepandaian cukup tinggi. Sebelum kepandaianku cukup, baginya aku takkan ada artinya, bahkan mungkin aku akan ditangkap kembali sebagai seorang pelarian. Dia sangat lihai, Sumoi."
Hati Bi Lian sangat tertarik. Ada perasaan setia kawan terhadap suheng-nya yang difitnah orang itu, juga perasaan marah dan penasaran. Orang yang melakukan fitnah jelas orang yang berhati kejam dan jahat, pikirnya.
"Suheng, siapa sih orang yang melakukan fitnah terhadap dirimu itu?"
"Menurut penyelidikanku, namanya Tang Bun An."
Berkerut alis Bi Lian mendengar she (nama keluarga) Tang itu. Teringat dia akan Hay Hay yang juga marga Tang. Ang-hong-cu Si Kumbang Merah yang menjadi ayah kandung Hay Hay itu, penjahat cabul yang amat jahat, juga she Tang. Tetapi Bi Lian hanya menyimpan perasaan kaget itu di dalam hatinya saja.
Bi Lian tidak ingin suheng-nya mendengar tentang Ang-hong-cu, juga tak ingin ada orang lain mendengar bahwa adik kandung suheng-nya yang pernah ditunangkan dengannya itu telah menjadi korban kecabulan Ang-hong-cu. Pek Eng, adik Pek Han Siong itu, kini telah menjadi isteri Song Bun Hok putera ketua Kang-jiu-pang. Seorang pendekar wanita lain, Cia Ling, masih keluarga dekat Cin-ling-pai, juga menjadi korban Ang-hong-cu itu, namun kini Cia Ling juga sudah menjadi isteri Can Sun Hok.
Kalau dia bercerita mengenai Ang-hong-cu, tentu sukar baginya untuk tidak menceritakan kedua orang pendekar wanita itu dan dia tidak ingin melakukan hal ini. Peristiwa aib yang menimpa kedua pendekar itu harus dikubur dan dilupakan. Karena itulah Bi Lian tak mau memperlihatkan kekagetannya mendengar bahwa musuh Hok Seng adalah seorang she Tang yang mengingatkan dia kepada Si Kumbang Merah Ang-hong-cu.
"Tang Bun An? Hemm, orang macam apakah dia dan sampai di mana kelihaiannya?".
"Usianya sekitar lima puluh tahun lebih. Dia nampak tampan dan gagah, dan tentang ilmu silatnya, aku tidak dapat mengukur berapa tingginya, akan tetapi dulu aku seperti seorang anak kecil yang lemah ketika melawannya. Dalam segebrakan saja aku sudah roboh."
"Apakah orang ini memelihara kumis dan jenggot yang rapi, matanya tajam mencorong dan mulutnya selalu tersenyum?" tanyanya.
Dia teringat akan Ang-hong-cu yang dahulu pernah muncul dengan nama Han Lojin. Han Lojin yang kemudian ternyata Ang-hong-cu itu juga berusia lima puluh tahun lebih, gagah dan tampan, dengan kumis dan jenggot yang terpelihara rapi.
"Dia memang memiliki mata yang tajam dan sikapnya ramah, akan tetapi mukanya halus bersih, tidak berkumis mau pun berjenggot. Kenapa engkau bertanya demikian, Sumoi?"
"Ah, tidak. Aku teringat kepada seseorang, akan tetapi tidak ada sangkut pautnya dengan urusanmu itu. Suheng, mengapa tidak sekarang saja engkau pergi ke kota raja kemudian membongkar rahasia fitnah dan pencurian itu? Lebih cepat namamu dibersihkan, semakin baik, bukan?"
"Mana mungkin, Sumoi? Aku merasa belum sanggup menandinginya dan kalau kembali aku tertawan, berarti aku bukan hanya menghadapi penderitaan dan hukuman berat, juga akan menyeret nama baik suhu dan subo. Tidak, sebelum merasa yakin telah menguasai ilmu yang lebih tinggi sehingga akan dapat mengalahkannya, aku belum berani mencoba untuk membongkar fitnah itu, sumoi."
"Suheng, aku akan membantumu! Kalau dibiarkan terlalu lama, namamu sudah terlanjur rusak dan kedudukan orang itu terlanjur kuat sekali sehingga sukar untuk ditangkap."
Wajah Hok Seng berseri. Kalau sumoi-nya ini mau membantu, tentu lain soalnya. Sumoi-nya ini hebat, memiliki ilmu kepandajan tinggi sekali, dapat disebut sakti, dan dia percaya kalau sumomya ini akan mampu menandingi orang yang dahulu menangkapnya itu.
"Akan tetapi aku merupakan seorang pelarian atau orang buruan, maka aku tidak berani berterang memasuki kota raja, Sumoi."
"Itu mudah saja, Suheng. Engkau masuk dengan cara menyamar dan menyelundup. Lalu secara diam-diam kita mencari orang yang melakukan fitnah itu, apa sukarnya?"
"Akan tetapi harus berhati-hati, Sumoi. Selain lihai dia juga tukang fitnah, tentu dia akan menyangkal semua perbuatannya yang keji, bahkan tidak mungkin dia akan melontarkan fitnah yang lebih keji terhadap diriku!"
"Jangan khawatir, Suheng. Aku yakin kita berdua akan dapat membongkar rahasia itu dan membekuknya."
Ketika mereka menghadap Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu lalu menyatakan hendak pergi bersama ke kota raja untuk membongkar urusan fitnah, juga hendak membersihkan nama baik Tan Hok Seng yang pernah tercemar, kedua orang suami isteri itu sebenarnya merasa tidak setuju. Akan tetapi karena mereka melihat kesempatan bagi puteri mereka untuk bergaul secara lebih akrab dengan Hok Seng yang diharapkan menjadi calon mantu mereka, maka mereka pun memberi persetujuan mereka.
"Akan tetapi engkau tentu masih ingat dengan pengakuanmu dahulu bahwa engkau tidak menaruh dendam pada orang yang melempar fitnah kepadamu, bukan?" kata Siangkoan Ci Kang.
"Dan kalian jangan menimbulkan keributan di kota raja, apa lagi kalau sampai menentang petugas pemerintah," pesan pula Toan Hui Cu.
"Harap Suhu dan Subo tenangkan hati," jawab Tan Hok Seng tenang. 鈥淭eecu ke kota raja bukan karena mendendam, melainkan atas dorongan sumoi teecu hendak mencuci nama baik teecu yang dicemarkan orang, menangkap yang bersalah agar dihukum. Dan teecu bersama sumoi akan bekerja diam-diam sehingga tidak sampai menimbulkan keributan di kota raja, apa lagi karena teecu masih merupakan seorang pelarian sebelum nama teecu dibersihkan kembali."
Di dalam hatinya tentu saja pemuda ini sama sekali bukan berniat untuk 'membersihkan nama' karena bagaimana pun juga, namanya yang asli tidak mungkin dapat dibersihkan lagi. Dia sudah membuat dosa besar kepada kaisar, yaitu melarikan seorang selir terkasih kaisar. Hal itu telah terbukti, bagaimana mungkin dibersihkan lagi?
Yang jelas, dia menaruh dendam kepada Tang Bun An yang menurut penyelidikannya kini telah menjadi seorang perwira tinggi, mempunyai kedudukan yang bahkan lebih tinggi dari kedudukannya dahulu karena sudah berjasa menemukan kembali selir yang minggat dan menangkap dia sebagai pembawa pergi selir itu. Dia merasa yakin akan dapat membalas dendam kepada orang itu, bukan saja karena kini dia telah memperoleh kemajuan pesat sekali dalam ilmu silat, akan tetapi dia ditemani Siangkoan Bi Lian, gadis perkasa yang memiliki ilmu silat tinggi itu.
Sebetulnya hanya itulah yang terpenting, yaitu membalas dendam kepada Tang Bun An! Yang lain dia tidak peduli. Kalau sudah berhasil membunuh Tang Bun An, dia akan lebih tekun belajar silat, kemudian, apa bila keadaannya memungkinkan, dia akan mendekati Bi Lian dan mengusahakan agar gadis yang amat cantik jelita menggairahkan dan lihai ilmu silatnya ini dapat menjadi isterinya!
********************
Tidak sukar bagi seorang menteri negara yang memiliki kekuasaan demikian besar seperti Menteri Cang Ku Ceng untuk minta bantuan seorang perwira pengawal thaikam (kebiri) sehingga Kui Hong dengan mudah dapat diselundupkan ke dalam istana! Karena maksud Kui Hong menyelundup ke dalam istana hanya untuk melakukan pengintaian dan sedapat mungkin menangkap basah pria yang menurut desas-desus kabarnya menggauli hampir semua selir, dayang dan puteri istana, maka dia pun hanya minta waktu satu minggu saja untuk melakukan penyelidikan. Dan waktu untuk mengintai baginya hanya malam hari.
Oleh karena itu, untuk membebaskan gadis perkasa itu dari perhatian dan kecurigaan, Kui Hong selalu bersembunyi di siang hari, disembunyikan oleh perwira thaikam itu di dalam kamar seorang wanita setengah tua yang bekerja sebagai tukang cuci dan bisa dipercaya penuh oleh perwira thaikam itu. Setelah hari menjadi gelap, barulah Kui Hong keluar dari dalam kamar itu untuk melakukan perondaan secara rahasia.
Memang tidak mudah bagi perwira thaikam itu untuk mempercaya seorang pun di dalam istana, kecuali wanita tukang cuci yang masih terhitung saudara misan ibunya di dusun. Hampir semua wanita di dalam istana, terutama yang masih muda dan cantik, agaknya memiliki hubungan dengan pria misterius yang tidak pernah dilihat orang memasuki istana itu. Kalau pun ada yang melapor, mereka hanya melihat berkelebatnya bayangan seorang pria, namun belum pernah melihat orangnya.
Agaknya tidak mungkin ada orang yang kelihatan bayangannya tidak kelihatan orangnya. Hanya setan saja yang demikian itu. Tapi anehnya Sang Permaisuri sendiri agaknya acuh atau tidak menaruh perhatian, bahkan nampak tidak percaya kalau diberi laporan bahwa ada pria memasuki istana bagian puteri.
Karena itulah terpaksa Kui Hong diselundupkan secara tersembunyi, tidak seperti seorang dayang baru atau pelayan baru. Karena jika tidak dilakukan demikian, Kui Hong khawatir kalau kehadirannya akan mencurigakan hati orang dan akan membuat laki-laki yang suka berkeliaran di dalam istana bagian puteri itu berhati-hati dan tidak muncul lagi.
Kehadirannya di dalam istana harus dirahasiakan dan tidak boleh diketahui umum. Hal ini dia kemukakan kepada Menteri Cang Ku Ceng, dan menteri yang bijaksana ini kemudian menggunakan kekuasaannya untuk dapat memenuhi permintaan Kui Hong.
Sudah tiga hari tiga malam Kui Hong berada di dalam istana, hanya diketahui oleh Menteri Cang, perwira thaikam, dan pelayan wanita tukang cuci di istana. Setiap malam gadis ini melakukan pengintaian dan perondaan, tetapi dari pagi sampai sore dia bersembunyi saja di dalam kamar.
Akan tetapi selama ini belum pernah dia menemukan sesuatu yang mencurigakan, belum pernah bertemu seorang pria yang berkeliaran di istana bagian puteri itu. Yang kelihatan hanyalah para pengawal istana, yaitu orang-orang thaikam yang melakukan perondaan.
Bosan juga rasanya, dan Kui Hong hampir putus asa ketika pada malam yang ke empat dia melakukan pengintaian lagi secara rahasia. Malam itu hawa udara dingin bukan main. Suatu keadaan yang menambah sengsara perasaan Kui Hong yang memang sudah kesal dan bosan karena semua jerih payahnya tidak ada hasilnya. Untuk melawan hawa dingin yang menusuk tulang, terpaksa dia mengerahkan sinkang di dalam tubuhnya.
Padahal, pada waktu malam dingin yang membuat orang menggigil itu, enaknya tinggal di dalam sebuah kamar yang hangat, di mana terdapat perapian yang akan membikin badan terasa nyaman. Musim semi telah tiba, kembang-kembang di taman istana telah kuncup, bahkan ada yang mulai mekar sehingga keharumannya semerbak di seluruh istana. Akan tetapi hawa dingin musim lalu agaknya masih tergantung di udara.
Bagaikan bayangan setan, Kui Hong menyusup di antara pondok-pondok mungil di celah-celah taman-taman bunga yang indah. Biar pun malam itu sunyi sekali karena sore-sore para penghuni istana bagian puteri sudah memasuki kamar masing-masing karena tidak kuat berada di luar yang amat dingin, akan tetapi Kui Hong tetap berhati-hati.
Dia sedang melakukan pengintaian terhadap orang yang sama sekali tidak diketahuinya siapa dan kapan atau di bagian mana dari tempat itu dia akan muncul. Maka, tentu saja dia sama sekali tidak boleh kelihatan oleh orang itu.
Kui Hong terus menyusup-nyusup di antara tanaman-tanaman bunga, atau pepohonan, atau pondok-pondok, kadang-kadang berhenti sejenak untuk memperhatikan keadaan di sekelilingnya dengan pandang mata dan pendengaran telingannya.
Waktu itu sudah menjelang tengah malam. Ketika dia memasuki taman bunga di sebelah belakang bangunan induk istana yang menjadi tempat tinggal permaisuri, tiba-tiba saja dia melihat berkelebatnya bayangan orang! Jantungnya berdebar tegang ketika dia hampir menjatuhkan diri untuk menyelinap di balik bunga dan mengintai.
Bayangan itu memiliki gerakan yang sangat ringan dan gesit, dan tahu-tahu bayangan itu sudah berdiri di bawah sebatang pohon sambil mengamati keadaan sekelilingnya. Hemm, orang itu memang berhati-hati sekali, pikir Kui Hong.
Malam begitu dingin dan suasana begitu sunyi, bahkan para pengawal thaikam agaknya merasa malas untuk meronda saking dinginnya hawa udara. Dan orang ini agaknya kenal betul dengan keadaan ini, yaitu saat-saat dan tempat yang akan sunyi senyap kalau hawa udara sedang dingin sekali seperti sekarang. Walau pun berhati-hati, nampak jelas bahwa sikapnya amat tenang ketika melihat sekeliling, kemudian pandang matanya berhenti dan menatap sebuah pondok yang berdiri tak jauh dari situ.
Pondok itu tidak terlalu besar tetapi sangat indah, apa lagi dikelilingi dengan taman bunga di mana kembang-kembangnya mulai mekar. Nampak dua lampu gantung yang dipasang di depan dan di belakang pondok itu sehingga biar pun hanya remang-remang akan tetapi Kui Hong dapat melihat bahwa dinding pondok itu berwarna hijau. Dari jendela terbayang penerangan di dalam pondok hijau itu, tanda bahwa ada orang di dalamnya
Lelaki ini tidak lama berdiri di sana. Sesudah merasa yakin bahwa di tempat itu tidak ada orang lain, dia kembali berkelebat dan dengan beberapa lompatan saja tubuhnya sudah tiba di depan pintu pondok yang masih tertutup. Tanpa ragu dia lalu mengetuk pintu itu.
"Tok! Tok! Tok!"
Dengan pendengarannya yang terlatih Kui Hong dapat mendengar ketukan itu, dan entah mengapa dia merasa tiga kali ketukan itu seolah-olah berirama seperti merupakan sebuah isyarat. Maka tahulah dia bahwa agaknya pria ini sudah mengenal penghuni atau orang yang berada di dalam pondok itu.
Kui Hong melihat pintu itu dibuka dari dalam, namun pembuka pintu itu tidak nampak dari tempatnya mengintai. Sesudah pria itu memasuki pondok dan pintunya sudah ditutup lagi, dengan amat hati-hati dan dengan gerakan ringan sekali Kui Hong berkelebat mendekati pondok itu.
Bukan main girangnya hati gadis itu ketika melalui celah-celah di antara tirai jendela dia dapat mengintai ke dalam. Kiranya, di dalam sebuah ruangan yang terang dan indah, pria itu sudah duduk di atas lantai yang ditilami kasur yang lebar dan dia sudah dikelilingi oleh lima orang wanita yang cantik-cantik! Wanita yang berpakaian mewah, berusia antara dua puluh hingga tiga puluh tahun, kelimanya cantik manis dan jelas merupakan wanita-wanita bangsawan!
Dari perwira thaikam yang menyembunyikan dirinya, dia sudah mempelajari tentang para wanita yang tinggal di istana, maka dia pun tahu bahwa lima orang wanita itu tentu selir-selir kaisar! Dan kini kelima orang selir kaisar itu secara tidak tahu malu dan tanpa sopan santun sedang duduk mengelilingi seorang laki-laki dengan sikap dan pandang mata yang demikian genitnya!
"Kalian berdua berjaga di luar, seorang di depan dan seorang lainnya di belakang. Cepat!" kata seorang di antara lima wanita cantik itu kepada dua orang gadis lainnya yang berdiri di dekat pintu.
Dua gadis itu memberi hormat, lalu keluar dengan wajah bersungut-sungut. Malam begini dingin dan mereka disuruh berjaga di luar! Padahal mereka berdua juga termasuk kekasih pria setengah tua yang ganteng itu! Akan tetapi karena kedudukan mereka hanya dayang, sedangkan lima orang wanita di dalam pondok itu adalah majikan-majikan mereka, maka tentu saja kedua orang itu tidak berani membantah.
Kui Hong cepat menyelinap pergi ketika dua orang gadis dayang itu keluar pondok. Dua gadis itu langsung berpisah saat keluar tadi, seorang melalui pintu belakang dan seorang lagi melalui pintu depan. Setelah tiba di depan dan di belakang pondok, mereka berjalan mengitari pondok. Akan tetapi karena keadaan sunyi, aman dan sangat dingin, keduanya lalu berlindung di dekat pintu depan dan belakang yang terlindung oleh tembok sehingga sedikit banyak dapat terhindar dari semilirnya angin malam yang membuat hawa menjadi semakin dingin tak tertahankan.
Melihat dua orang dayang itu berdiri di dekat pintu, Kui Hong menyelinap lagi mendekati jendela. Begitu mengintai, dia langsung membuang muka setelah melihat betapa kini pria itu berpelukan dan bermesraan dengan lima orang wanita itu. Seorang pria dikeroyok oleh lima orang wanita! Dia hanya butuh mendengarkan percakapan di antara mereka, bukan melihat tontonan yang tidak senonoh itu!
"Engkau sungguh kejam sekali, membiarkan kami kedinginan dan menanti dengan sia-sia sampai tiga malam. Kemana saja engkau selama ini?"
"Memang laki-laki berhati kejam. Membiarkan orang setengah mati dalam kerinduan!"
"Agaknya dia mempunyai kekasih di luar istana, maka sudah melupakan kita!"
Demikian lima orang wanita itu menegur sambil diselingi suara tawa cekikikan. Kui Hong merasa muak sekali. Begitukah tingkah laku para selir itu? Mereka lebih pantas menjadi pelacur dari pada menjadi selir kaisar, menjadi wanita-wanita bangsawan!
"Aah, ciangkun (perwira), apa yang hendak kau katakan sekarang?" seorang wanita lain menuntut.
Kui Hong mendengar suara laki-laki tertawa. Suara tawa yang tenang dan bebas, lantas disambung dengan suaranya yang dalam. "Aih, kalian ini sungguh tidak menaruh kasihan kepadaku! Aku harus beristirahat. Ingat, aku bukan seekor ayam jantan yang masih enak saja berkokok walau pun harus melayani puluhan ekor ayam betina!"
Terdengar suara wanita cekikikan menyambut ucapan pria itu. "Huhh, kau samakan kami dengan ayam-ayam betina, ya? Terlalu!" Kemudian terdengarlah suara gedebag-gedebug pukulan manja yang disambut oleh pria itu sambil tertawa-tawa.
Kui Hong tidak tahan untuk mendengar lebih lanjut. Dia cepat berkelebat menjauhi jendela itu dan menyelinap ke bawah pohon yang rindang. Dari jauh dia termenung memandang ke arah jendela pondok itu. Apa yang harus dilakukannya sekarang?
Pria itulah yang dimaksud oleh Menteri Cang! Dan kecurigaan menteri itu memang tepat sekali, karena dia pun kini hampir yakin bahwa pengacau istana itu, lelaki yang menyeret hampir semua wanita di dalam istana ke lembah kenistaan, tentu juga perwira bernama Tang Bun An itu.
Pertemuan di pondok itu sekaligus membongkar dua rahasia itu. Rahasia pria misterius yang mengotori kehormatan istana dan rahasia perwira Tang Bun An. Sungguh sayang, pikirnya. Sayang bahwa perwira itu bukan Ang-hong-cu seperti yang diduganya semula, walau pun nama keluarga mereka sama, yaitu Tang.
"Apa yang harus kulakukan sekarang?" Kui Hong berpikir-pikir.
Kini pergi meninggalkan pondok ini dan besok melaporkan hasil penyelidikannya kepada Menteri Cang? Akan tetapi, apa artinya? Tentu saja Tang Bun An dapat menyangkal dan semua selir pasti akan berpihak kepadanya. Para selir itu tentu berani bersumpah bahwa perwira itu tidak pernah mengunjungi mereka di istana bagian puteri itu! Maka apa artinya kesaksian dia seorang diri?
Walau pun hatinya diliputi keraguan, namun Kui Hong terus memikirkan cara untuk dapat menangkap pria ini dengan bukti-bukti kuat agar dia tidak mampu mengelak lagi. Alisnya berkerut, sementara pandangan matanya tidak pernah lepas menatap pondok itu, di mana pria setengah tua yang masih nampak gagah itu sedang bersenang-senang dengan lima orang selir kaisar.
Agaknya takkan ada gunanya untuk melaporkan pria itu. Dia tidak memiliki satu pun bukti selain pemandangan yang disaksikannya. Juga tidak ada orang lain yang dapat dijadikan saksi untuk mendukung keterangannya. Wanita-wanita di dalam pondok itu bahkan dapat membalikkan kenyataan sehingga akan menyerang dirinya sendiri.
Tidak mungkin pula untuk menangkapnya saat ini, ketika mereka masih berada di dalam lingkungan istana. Melihat gerakannya tadi yang sangat cepat dan gesit, laki-laki ini tentu mempunyai kepandaian yang tidak rendah. Apabila dia nekat menyerangnya, pasti akan terjadi pertarungan yang menimbulkan keributan, lantas sekejap saja akan datang banyak pengawal istana mengepung tempat itu.
Aku harus menunggunya di luar lingkungan istana, kemudian menangkapnya setelah dia keluar dari istana, demikian Kui Hong mengambil keputusan setelah tidak melihat adanya jalan lain. Mudah saja kalau dia sudah berhasil menangkapnya di luar istana. Apabila dia menyangkal maka dia dapat memaksanya agar mengaku dan kalau perlu menyiksanya!
Setelah mengambil keputusan ini, Kui Hong lalu kembali ke kamarnya dan ia minta tolong kepada pelayan wanita setengah tua itu supaya secepatnya memanggil perwira thaikam, saat itu juga. Sesudah perwira itu datang, Kui Hong minta bantuan perwira itu supaya dia dapat dikeluarkan dari istana.
"Sekarang juga, Nona? Malam-malam begini?"
"Aku mempunyai keperluan penting sekali yang harus kulakukan di luar istana, karena itu aku harus keluar malam ini juga. Kau atur saja agar aku dapat keluar dari istana dengan selamat, ciangkun!" kata Kui Hong dan perwira itu tidak berani membantah.
Gadis ini adalah orang kepercayaan Menteri Cang yang telah memerintahkan kepadanya agar dia melayani dan membantu gadis ini. Maka dia sendiri lantas mengawal Kui Hong keluar dari istana bagian puteri, bahkan terus meninggalkan lingkungan istana.
Karena yang mengawalnya adalah seorang perwira thaikam yang mengatakan bahwa Kui Hong adalah kerabat seorang selir kaisar, maka dengan mudah saja Kui Hong bisa keluar dari lingkungan istana. Tanpa pengawalan perwira thaikam itu, maka jangan harap dapat keluar masuk istana yang dijaga ketat.
********************
Walau pun sudah keluar dari lingkungan istana, namun Kui Hong tetap berada tidak jauh dari tempat itu, tepatnya dia menanti sambil mengintai dari sebuah tempat tersembunyi di dekat pintu gerbang bagian depan istana. Dari tempat ini dia dapat memperhatikan semua orang yang keluar dari pintu gerbang itu, akan tetapi dia sendiri tidak akan terlihat karena tubuhnya terlindung oleh sebatang pohon besar.
Ketika menunggu, waktu terasa merambat amat perlahan seperti keong berjalan, apa lagi bagi seorang gadis muda seperti Kui Hong yang harus menanti pada tengah malam dan di tengah hawa udara yang demikian dingin. Karena itu tidak mengherankan apa bila lama kelamaan gadis ini mulai merasa bosan dan mengeluh, bahkan kadang-kadang kelihatan bibirnya berkomat-kamit mengomel, biar pun dilakukan dengan bisik-bisik saja.
Tidak terlihat seorang pun yang keluar dari pintu gerbang itu, biar pun dari pos penjagaan di sampingnya dia dapat mendengar nada yang ribut-ribut, karena udara dingin membuat orang malas keluar sebelum matahari terbit. Dan dia memperhitungkan bahwa laki-laki itu tentu tidak akan mengeram diri di dalam istana bagian puteri itu sampai matahari terbit.
Akan tetapi omelan yang keluar dari mulut mungil itu makin larut malam semakin menjadi-jadi penuh kedongkolan karena malam telah hampir lewat sedangkan orang yang dinanti-nanti itu belum juga muncul. Akhirnya, sesudah kesabarannya hampir habis, ketika ayam jantan mulai berkokok, nampak orang itu keluar dari pintu gerbang istana yang terdepan.