SEMENTARA itu, Kui Hong yang tinggal dan menumpang di rumah Menteri Cang Ku Ceng merasa rikuh sendiri setelah lebih dari satu bulan dia tinggal di situ, belum juga anak buah menteri itu berhasil menemukan dua orang musuh besarnya yang dicarinya. Sim Ki Liong dan Tang Cun Sek seakan-akan lenyap ditelan bumi sehingga tak seorang pun di antara para penyelidik yang disebar Menteri Cang dapat menemukan mereka. Dia merasa rikuh karena keluarga pejabat tinggi itu amat ramah dan baik kepadanya, apa lagi melihat sikap Cang Sun yang semakin terang-terangan menyatakan tergila-gila dan mencintanya!
Sore hari itu, ketika dia duduk melamun seorang diri di dalam taman di belakang rumah keluarga Cang yang luas, dia mengambil keputusan di dalam hatinya untuk menghadap keluarga itu dan berpamit. Dia akan melanjutkan perjalanan, terutama mencari sendiri dua orang yang telah melarikan pedang pusaka dari Cin-ling-pai dan dari Pulau Teratai Merah itu.
Matahari telah mulai condong ke barat, akan tetapi belum terlalu larut walau pun sinarnya sudah mulai lemah. Sinar matahari sore itu masih mampu menerobos antara celah-celah daun pohon sehingga taman bunga itu seolah-olah bermandikan cahaya yang lemah akan tetapi masih hangat itu.
Indah sekali keadaan di taman itu. Burung-burung mulai beterbangan pulang ke sarang mereka di pohon-pohon, untuk berlindung di sarang yang aman dan hangat kalau malam gelap menjelang tiba. Dua ekor kelinci berkejaran dan menyusup ke dalam semak-semak. Seekor ular sebesar ibu jari kaki yang hitam dan mengkilap, berlenggak-lenggok menuju rumpun semak belukar pula, dengan lidah yang kadang terjulur keluar dengan cepatnya. Kepala ular itu berbentuk bulat telur, tidak segitiga. Bukan ular beracun, dan kulitnya yang hitam mengkilap itu indah bukan main, indah dan bersih seperti baru saja digosok dengan minyak.
Semua makhluk pulang ke sarang masing-masing, pulang ke rumahnya masing-masing, pikiran ini menyelinap ke dalam benak Kui Hong dan dia pun mengerutkan alisnya. Hanya dia seorang yang tidak dapat merasakan kenikmatan itu. Pulang! Ke mana?
Ayah bundanya, Cia Hui Song dan Ceng Sui Cin, bersama adik tirinya, Cia Kui Bu, sudah pergi meninggalkan Cin-ling-san karena mereka ingin mencari hawa baru dan sementara ini hendak tinggal di Pulau Teratai Merah. Ke sana menyusul ayah ibunya? Ah, dia bukan anak kecil lagi. Dia harus berani hidup sendiri! Dia bukan anak-anak yang selalu mohon perlindungan ayah dan minta dimanjakan ibu.
Kembali ke Cin-ling-san? Tentu sekali waktu dia harus kembali ke situ. Dia adalah pangcu (ketua) Cin-ling-pai, walau pun sebenarnya dia tidak suka menjadi ketua karena banyak urusan dan tidak bebas. Kalau dahulu dia ikut memperebutkan kedudukan pangcu, hal itu dilakukan secara terpaksa karena dia tak ingin melihat Tang Cun Sek menjadi ketua Cin-ling-pai.
Kui Hong menarik napas panjang. Bagaimana seorang gadis seperti dia, seorang wanita, dapat benar-benar merasakan ‘pulang rumah’ kalau tidak memiliki rumah tangga sendiri? Dan memillki rumah tangga berarti menikah! Akan tetapi, dengan siapa?
Banyak sudah dia menemui pria di dalam hidupnya. Pria-pria yang sungguh merupakan pemuda gagah perkasa dan tampan, yang memperlihatkan sikap jatuh cinta kepadanya, atau setidaknya suka kepadanya. Dalam setiap perjalanannya selalu saja ia bertemu pria muda yang memandang kepadanya dengan perasaan hati seperti sebuah kitab terbuka. Demikian jelas pandang mata itu membayangkan keadaan hati yang tertarik!
Sudah puluhan orang pemuda, bahkan mungkin ratusan. Bahkan banyak pula yang ingin mendapatkan dirinya, secara halus mau pun kasar. Terbayanglah wajah-wajah para muda itu berderet-deret. Sim Ki Liong, Tang Cun Sek, Hay Hay dan kini Cang Sun.
Ya, putera Menteri Cang itu cinta padanya! Bahkan seluruh anggota keluarga Cang suka kepadanya dan mengharapkan dia menjadi isteri Cang Sun. Dia pun bisa membayangkan bagaimana jika dia menjadi isteri Cang Sun. Dia akan hidup mulia, terhormat, kaya raya, menjadi seorang wanita bangsawan yang tinggal di dalam gedung istana, ke mana pun dikawal pasukan, ingin apa pun tinggal perintah saja karena puluhan orang pelayan setiap saat siap melayaninya.
“Ahh, seperti burung di dalam sangkar emas...," dia berbisik dan menarik napas panjang. Bukan, kehidupan macam itu bukan untuknya! Kalau pun harus berumah tangga, dia lebih senang hidup bebas dan menghadapi banyak tantangan hidup, tidak enak-enak seperti itu, bermalas-malasan!
Tiba-tiba gadis itu sadar dari lamunannya. Dia mendengar langkah kaki orang! Ketika dia menengok, kiranya yang datang menghampirinya adalah Cang Sun! Pemuda itu dengan tenang melangkah menghampirinya, seperti biasa dengan sikap yang lembut, sopan dan ramah sambil mulutnya tersenyum.
Seorang pemuda yang tampan, berpakaian rapi, pembawaannya tenang dan berwibawa, halus dan lembut, seorang pemuda yang telah dewasa dan tentu akan menarik hati setiap orang wanita, apa lagi kalau diketahui bahwa dia adalah putera tunggal seorang menteri yang amat terkenal, Menteri Cang Ku Ceng yang terkenal amat bijaksana dan mempunyai kekuasaan besar!
"Selamat sore, Hong-moi. Asyik melamunkan apa sore-sore begini seorang diri di dalam taman?"
Kui Hong bangkit dan tersenyum. Dia adalah seorang gadis yang sejak kecil hidup bebas dan sudah berkecimpung di dunia kang-ouw, mempunyai banyak pengalaman dan sudah terbiasa dengan sikap terbuka, bahkan mengarah kepada sikap lincah jenaka dan kadang berandalan. Akan tetapi, sejak dia berdiam di rumah keluarga Cang, keluarga bangsawan tinggi yang bergelimang kehormatan, mau tidak mau dia pun membatasi diri dan sikapnya juga sopan, meski pun masih ramah dan lincah jenaka.
"Aihh, kiranya Toako yang datang. Selamat sore, Cang-toako."
Walau pun pemuda itu sering kali mendesaknya agar bersikap kekeluargaan dan ramah, namun tetap saja Kui Hong merasa rikuh untuk bersikap terlalu akrab. Rasanya canggung bila dia menyebut nama kecil pemuda itu, terlalu akrab menyebutnya Sun-koko misalnya. Maka, biar pun dia telah menghentikan sebutan kongcu (tuan muda) dan menyebut toako (kakak), namun dia menyebut nama keluarga pemuda itu, bukan kakak Sun, melainkan kakak Cang!
“Apa yang kau lamunkan, Hong-moi?” Pemuda itu duduk di atas bangku, di bagian ujung, dan Kui Hong juga duduk kembali di ujung yang lain.
“Aku melihat burung beterbangan menuju ke sarang, dan tiba-tiba aku merasa rindu untuk pulang, Toako.”
“Pulang ke mana, Hong-moi?”
Gadis itu mengangkat muka memandang. Karena pada saat itu Cang Sun juga sedang menatap wajahnya, maka kedua pasang mata itu bertemu dan Kui Hong melihat betapa sepasang mata pemuda itu dengan lembut membayangkan kasih sayang besar. Pemuda bangsawan ini tidak lagi menyembunyikan perasaannya, dan kasih sayang dan kagumnya terbayang jelas dalam pandang matanya.
"Ahh, toako. Ke mana lagi kalau bukan ke tempat tinggal keluargaku? Di Cin-ling-san atau di Pulau Teratai Merah karena saat ini mungkin ayah ibuku masih berada di sana."
"Aihh, kukira tadi…”
"Apa yang kau kira, Cang-toako?"
"Kukira... ahh, betapa akan senangnya kalau rasa rindumu itu kau tujukan kepada... ehh, diriku dan arti pulang itu ke sini, bukan ke mana-mana. Betapa akan bahagia rasa hatiku bila engkau pun rindu kepadaku seperti aku yang siang malam selalu merindukan dirimu, Hong-moi..."
"Hemm, Toako, apa yang kau katakan ini?" Kui Hong berkata dengan suara mengandung teguran karena baru sekarang pemuda ini begitu terang-terangan menyatakan perasaan hatinya.
"Hong-moi, masih perlukah aku menjelaskan kepadamu? Aku rindu kepadamu karena aku cinta padamu, Hong-moi. Ahh… aku selalu membayangkan engkau bersanding denganku selamanya, sebagai isteriku tercinta, sebagai ibu dari anak-anakku."
"Cukup, Cang-toako. Mari kita bicara serius. Coba katakan, mengapa engkau jatuh cinta kepadaku? Engkau adalah putera seorang bangsawan terkenal, memiliki kedudukan yang terhormat, engkau juga terpelajar dan kaya raya, dan kalau engkau menghendaki bahkan puteri kaisar pun mungkin dapat menjadi isterimu. Tapi mengapa engkau mendekati aku, seorang gadis ahli silat, gadis kang-ouw yang bergelimang kekerasan? Kenapa? Aku ingin sekali mengetahuinya, dan aku percaya bahwa engkau akan membuat pengakuan dengan sejujurnya, Toako."
Cang Sun menarik napas panjang. Alangkah manisnya gadis ini bila mana bersikap wajar seperti itu, berani mengeluarkan semua perasaan hatinya tanpa disembunyikan lagi, tidak seperti kaum wanita pada umumnya, terutama wanita bangsawan yang sudah terbiasa menyembunyikan kepribadiannya di balik kesopanan dan kehormatan pura-pura yang palsu.
"Pertanyaan yang baru kau ajukan itu saja telah mengandung keterbukaan dan kejujuran, Hong-moi. Oleh karena itu aku pun mencoba untuk keluar dari sangkar kesopanan pura-pura yang selama ini semenjak aku kecil sudah mengurung diriku dalam lingkungan kami. Memang betul ucapanmu tadi, bila aku menghendaki, mudah bagiku untuk mendapatkan jodoh seorang gadis bangsawan, bahkan mungkin puteri kaisar. Namun terus terang saja aku tidak tertarik kepada para gadis yang lemah itu. Melihat engkau aku seperti melihat setangkai bunga yang segar dan sehat. Kalau aku dapat hidup di sampingmu selamanya, aku akan merasa aman. Engkau tentu tahu, kehidupan ayahku sebagai seorang menteri selalu terancam bahaya. Kalau ada seorang seperti engkau ini yang teramat lihai, maka kami sekeluarga akan selalu merasa aman, juga keselamatan kami selalu terjamin. Nah, itulah hal-hal pada dirimu yang membuat aku jatuh cinta kepadamu."
Kui Hong pun termenung. Ucapan itu memang jujur, dan jelas membayangkan apa yang tersembunyi di balik cinta kasih pemuda bangsawan itu terhadap dirinya. Justru karena ia gadis kang-ouw, karena ia memiliki ilmu silat tinggi dan boleh diandalkan sebagai jaminan keselamatan, maka Cang Sun jatuh cinta kepadanya. Bagaimana andai kata aku seorang gadis lemah seperti para puteri itu?
Pertanyaan ini hanya dia ajukan kepada dirinya sendiri, di dalam batin pula. Dia tidak tega untuk mengajukan pertanyaan itu kepada Cang Sun yang sudah bersikap jujur. Jawaban pemuda itu tentu tidak enak. Kalau tidak jujur dia akan kecewa, namun kalau jujur hanya akan menyakitkan hati mereka berdua.
Cang Sun jatuh cinta kepadanya bukan karena pribadinya, namun karena kelihaiannya! Dan hal ini mendatangkan rasa lega di hatinya. Dia sendiri tidak mencinta Cang Sun, dan kenyataan bahwa sesungguhnya pemuda itu pun tidak mencintanya, tetapi hanya tertarik oleh kepandaiannya, membuat hatinya lega. Cang Sun takkan menderita nyeri hati kalau cintanya ditolak.
"Terima kasih atas kejujuran pengakuanmu dan atas perhatianmu, Cang-toako. Kini aku pun tidak ragu-ragu lagi untuk menjawab sejujurnya. Ketahuilah, Toako, bahwa aku bukan sekedar basa-basi ketika mengatakan kepada Paman dan Bibi Cang bahwa sama sekali aku belum berminat akan perjodohan. Selain itu, walau pun aku sangat kagum dan suka bersahabat denganmu, tetapi terus terang saja rasanya dalam hatiku tidak ada perasaan cinta terhadap dirimu. Kita dapat saja bersahabat atau bersaudara, tetapi bukan berjodoh. Nah, lega hatiku sudah dapat berterus terang kepadamu, Toako."
Tepat seperti yang diduganya, pengakuannya yang terus terang bahwa dia tidak mencinta pemuda itu tidak membuat wajah pemuda tampan itu pucat pasi atau menimbulkan sinar duka pada pandangan matanya, melainkan membuat wajah itu berubah kemerahan dan pada matanya hanya terbayang perasaan kecewa dan keheranan.
"Hong-moi… betapa pun tidak enaknya tapi kuterima kejujuranmu ini. Katakanlah, apakah di sana sudah ada seorang pria yang memenuhi hatimu?"
Ditanya demikian, wajah Kui Hong juga menjadi kemerahan. Lalu terbayanglah beberapa wajah pria yang pernah menyatakan jatuh cinta kepadanya. Wajah Sim Ki Liong, wajah Tang Cun Sek, dan akhirnya yang tinggal hanyalah wajah Hay Hay!
Dan timbullah perasaan rindu yang amat sangat terhadap pemuda ugal-ugalan yang mata keranjang itu! Hay Hay! Ah, betapa rindu hatinya kepada pemuda itu, dan baru sekarang, setelah ditanya demikian oleh Cang Sun, dia dapat melihat kenyataan bahwa sebenarnya selama ini hanya Hay Hay yang memenuhi hatinya, hanya pemuda ugal-ugalan itu yang dicintanya, walau pun hal ini dicobanya untuk disangkal dan ditentangnya sendiri.
"Benar, Toako, dan... maafkan aku..."
Satu di antara kenyataan yang terasa amat pahit dan menyakitkan hati adalah mendengar pengakuan seorang gadis yang dicinta bahwa dia mencinta orang lain. Akan tetapi, berkat lingkungan hidup yang selalu bertopeng kesopanan, Cang Sun dapat menutupi rasa nyeri di hatinya dengan senyum, dan dia pun mengangguk-angguk,
"Aku dapat mengerti, Hong-moi."
Apa yang kita namakan ‘cinta’ antara pria dan wanita itu selalu mendatangkan dua hal yang bertentangan, puas atau kecewa, senang atau susah. Ini membuktikan bahwa yang kita agung-agungkan itu sebenarnya hanyalah nafsu belaka. Nafsu adalah gairah, adalah ‘si-aku yang ingin senang’.
Nafsu selalu berpamrih, karena bersumber pada pikiran yang menciptakan si aku lewat pengalaman dan pengetahuan. Pamrihnya hanya satu, sungguh pun kadang terselubung dan mengenakan beribu macam kedok, yaitu ingin mencapai sesuatu, ingin memperoleh sesuatu, dan ‘sesuatu’ ini pasti yang menyenangkan dirinya.
Tidak mengherankan kalau kemudian muncul kecewa dan duka ketika keinginan itu tak tercapai. Kalau keinginan itu terlaksana maka timbullah kepuasan. Kepuasan sementara, selewatan saja. Karena nafsu selalu menghendaki lebih. Bukti bahwa yang kita anggap sebagai ‘cinta suci’ antara pria dan wanita itu pada hakekatnya hanyalah nafsu, dapat dilihat dari akibat yang ditimbulkan oleh cinta itu.
Cinta antara pria dan wanita dimulai dari pandang mata, saling melihat. Dari sini timbul perasaan tertarik, karena apa yang dilihatnya itu menyenangkan hatinya, cocok dengan seleranya. Sesudah saling tertarik lalu timbul keinginan untuk saling memiliki. Kemudian bermunculan akibat dari nafsu ini. Cemburu, patah hati, duka, benci, pertentangan dan sebagainya.
Betapa banyaknya kejadian di mana dua orang yang tadinya bersumpah saling mencinta hingga mati, setelah menjadi suami isteri bertengkar setiap hari, bahkan berakhir dengan perceraian dan saling membenci! Sungguh aneh kalau cinta kasih murni berakhir menjadi kebencian. Kalau nafsu, sama sekali tidak mengherankan bila kemudian mendatangkan akibat duka dan kebencian.
Banyak orang melihat kenyataan ini! Mereka melihat bahayanya nafsu yang terselubung sebagai ‘cinta suci’ ini. Untuk menghindarkan diri dari duka, dan untuk membikin putus ikatan ini, ada orang yang dengan sengaja menjauhkan diri dari asmara ini. Mereka tidak mau melakukan hubungan antara pria dan wanita, lantas menjadi perjaka atau perawan selama hidup, tidak mau atau pantang melakukan hubungan sex.
Apakah dengan cara demikian berarti mereka telah terbebas dari nafsu? Apakah nafsu itu hanya muncul melalui gairah birahi saja? Apakah kalau sudah begitu kita akan dapat bebas dari duka? Bagaimana dengan nafsu dalam bentuk lain, keinginan si aku dalam bentuk lain?
Masih ada seribu satu macam cara bagi si aku untuk mengejar keinginannya. Bahkan satu di antaranya adalah ‘keinginan bebas dari nafsu sex’ itulah! Keinginan memuaskan nafsu dan keinginan menjauhi nafsu datang dari sumber yang sama!
Sumbernya adalah si aku yang ingin! Pamrihnya adalah kesenangan bagi si aku. Karena maklum bahwa menuruti nafsu akan menimbulkan duka, maka si aku lalu berkeinginan untuk menjauhi nafsu, tentu saja pamrihnya supaya jangan mengalami duka, dan hal ini tentu akan menyenangkan!
Demikian pandainya nafsu daya rendah mempermainkan kita! Begitu pandainya bersalin rupa sehingga kita sering kali terkecoh. Hati dan akal pikiran kita telah bergelimang daya rendah, maka apa pun yang dihasilkan hati dan akal pikiran telah terpengaruh oleh nafsu. Kenapa seluruh badan ini luar dalam bergelimang dengan nafsu? Karena memang sudah kodratnya demikian! Selama jiwa bersemayam di dalam badan, agar dapat hidup, badan harus disertai nafsu-nafsu daya rendah.
Badan akan binasa tanpa adanya nafsu daya rendah. Badan kita ini dapat hidup karena ketergantungan pada banyak benda. Kita butuh makanan, kita butuh benda-benda, kita butuh orang lain. Kita tidak mungkin dapat terbebas dari ikatan-ikatan dengan daya-daya rendah yang sebenarnya merupakan alat hidup, merupakan sarana untuk hidup, bahkan kebutuhan mutlak bagi kehidupan. Memang ini sudah kodratnya, sudah kehendak Tuhan begitu. Kita tidak mungkin mengingkari ini.
Nafsu yang kita namakan nafsu sex merupakan kodrat pula. Tidak mungkin dilenyapkan kalau kita menghendaki manusia masih berkelanjutan hidup di dunia ini. Nafsu sex hanya merupakan alat, merupakah sarana perkembang biakan makhluk manusia. Jika terdapat kenikmatan di situ, hal itu merupakan anugerah Tuhan yang patut kita syukuri.
Karena seluruh badan kita luar dalam telah bergelimang nafsu, hati dan akal pikiran kita telah bergelimang nafsu rendah, maka badan dan batin kita dikuasai oleh nafsu, menjadi hamba nafsu. Padahal nafsu daya rendah itu seharusnya yang menjadi alat kita, menjadi hamba kita, menjadi pelayan kita. Lantas bagaimana kita dapat membebaskan diri dari cengkeraman nafsu kalau ‘kita’ ini adalah hati dan akal pikiran yang bergelimang nafsu?
Hanya satu kekuasaan saja yang akan mampu mengatur, yang akan mampu merubah, yang akan mampu mengembalikan nafsu daya rendah ini ke dalam tempatnya semula, mengembalikan nafsu daya rendah pada tempat dan tugasnya yang benar, yaitu sebagai pelayan dalam kehidupan. Kekuasaan itu adalah kekuasaan Tuhan Yang Maha Kuasa, kekuasaan yang juga menciptakan nafsu daya rendah, yang menciptakan segala sesuatu di alam mayapada ini!
Dan kita? Kita hanya menyerah! Menyerah dengan sepenuhnya, menyerah dengan rasa ikhlas, dengan hati tawakal, dengan pasrah. Menyerah sebulatnya dengan mutlak, tanpa adanya hati akal pikiran yang mencampuri. Yang ada hanya penyerahan saja. Yang ada hanya kepasrahan. Yang ada hanya pengamatan, penerimaan tanpa disertai keinginan hati akal pikiran. Menyerah dan menerima, merasakan dan waspada, bukan ‘aku’ yang waspada.
Kui Hong dapat melihat perubahan pada muka pemuda itu. Dara ini melihat kekecewaan dan juga penyesalan terbayang pada wajah tampan itu, maka dia pun cepat mengalihkan perhatian pada persoalan lain.
"Toako, di mana adanya Paman Cang? Aku ingin menghadap dan berbicara dengannya. Kenapa dia jarang nampak? Apakah ada kesibukan?"
Usahanya itu berhasil. Perhatian Cang Sun teralihkan dan kini wajahnya tak lagi dicekam kekecewaan dan kedukaan. "Ayah memang sedang sibuk bukan kepalang. Banyak sekali urusan yang harus ditanganinya."
"Ahh, sayang aku tidak dapat membantu ayahmu, Toako. Tugas yang diberikan kepadaku untuk menyelidik ke istana pun telah gagal. Tidak ada gunanya lagi aku tinggal lebih lama di sini."
"Hong-moi, engkau tidak perlu merasa menyesal lagi. Tentu saja engkau tidak berhasil menangkap penjahat yang sudah mencemarkan istana bagian puteri itu, karena penjahat itu memang telah tewas."
Kui Hong terkejut bukan main. Dia menatap wajah pemuda itu dengan mata terbelalak. "Sudah tewas? Siapa yang menewaskannya dan siapa pula penjahat itu, Toako? Kenapa aku tidak pernah mendengar akan hal itu?"
"Memang hal itu harus dirahasiakan, orang luar tidak boleh tahu. Akan tetapi engkau tidak kuanggap orang luar, apa lagi engkau pernah melakukan penyelidikan untuk menangkap penjahat cabul itu. Penjahat cabul itu ternyata adalah seorang prajurit pengawal thai-kam yang bertugas di dalam istana."
"Ahhh...!" Kui Hong menjadi semakin heran. "Siapa yang telah membunuhnya, Toako?"
Pemuda itu tersenyum. "Pembunuhnya yang amat berjasa itu bahkan orang yang pernah dicurigai ayah, yaitu bekas perwira Tang Bun An."
Kini Kui Hong terbelalak dan mulutnya terbuka. Demikian besar rasa heran dan kagetnya mendengar keterangan yang sama sekali tidak disangka-sangkanya itu sehingga sampai beberapa lama dia tak mampu bersuara! Akhirnya dia dapat mengendalikan perasaannya, kemudian dia berkata dengan suara yang tenang saja, sama sekali tidak membayangkan ketegangan yang mencekam hatinya.
"Hemm, dia...? Jadi perwira Tang... ehh, kau katakan tadi bekas perwira, Toako?"
"Benar, karena dia kini telah mengundurkan diri"
"Cang-toako, aku merasa tertarik sekali! Maukah engkau menceritakannya kepadaku apa yang terjadi? Bagaimana Paman Cang dapat tahu bahwa penjahat itu telah terbunuh oleh Tang-ciangkun, dan mengapa pula Tang-ciangkun tiba-tiba mengundurkan diri. Aku ingin tahu sekali...”
Cang Sun tersenyum. Dia merasa girang bahwa percakapan sudah beralih sehingga dia tidak lagi merasakan akibat dari penolakan cinta gadis itu.
"Begini, Hong-moi. Tadinya ayah memanggil Tang-ciangkun untuk minta perwira itu turut mencari penjahat cabul di dalam istana. Akan tetapi Tang-ciangkun yang tadinya harus merahasiakan peristiwa itu seperti diperintahkan Permaisuri, lalu memberitahukan bahwa penjahat itu telah ditangkap dan dibunuhnya atas perintah Hong-houw (Permaisuri).”
"Ahhh...!”
Diam-diam Kui Hong mengepal tinju dengan hati panas sekali. Sudah jelas yang menjadi penjahat cabul adalah Tang Bun An sendiri alias Ang-hong-cu, namun keparat itu malah berlagak menjadi penangkap dan pembunuh penjahat cabul!
Ingin dia berteriak mengatakan bahwa Tang Bun An itulah penjahat cabulnya, akan tetapi dia menahan gelora hatinya. Dia sudah berjanji kepada Ang-hong-cu dan janjinya itu lebih berharga dari pada nyawa. Sampai mati pun dia tidak akan mau memusuhi Ang-hong-cu, tidak mau pula membuka rahasianya meski hatinya seperti akan menjerit-jerit menentang janjinya sendiri itu.
"Jadi diakah yang sudah menangkap dan membunuh penjahat cabul itu? Tetapi mengapa pula sesudah membuat jasa yang sangat besar itu dia lalu mengundurkan diri? Bukankah kedudukannya sudah kuat dan baik sekali?" Pertanyaan ini bukan iseng atau pura-pura, tetapi memang hatinya penuh dengan pertanyaan ini.
"Hal itu juga pernah kutanyakan kepada ayah. Ternyata Tang-ciangkun adalah seorang patriot, seorang yang mencinta tanah air dan bangsa, yang setia kepada kerajaan. Melihat betapa ada usaha pembunuhan terhadap kaisar yang dilakukan pembunuh bayaran yang diperintah oleh orang-orang kulit putih dan juga dibunuh olehnya, maka dia mengajukan permohonan untuk berhenti sebagai perwira pengawal. Dan sesudah berhenti dia hendak menghimpun semua kekuatan kangouw, menyatukan kekuatan kangouw untuk membela negara. Dan ayah menyetujui niatnya yang mulia itu, yaitu membantu pemerintah melalui dunia kang-ouw, dunia persilatan yang menjadi dunianya."
Kui Hong mengerutkan alis. Dia sendiri merasa bingung. Dia tahu bahwa meski pun Ang-hong-cu seorang tokoh sesat yang amat jahat terhadap wanita, tetapi harus diakui bahwa dia bukan pemberontak, dan setia terhadap kerajaan. Pernah hal ini dibuktikannya ketika Ang-hong-cu menyamar sebagai Han Lojin dan membantu pemerintah dalam membasmi gerombolan pemberontak yang dipimpin Lam-hai Giam-lo.
Tetapi apakah benar bahwa Ang-hong-cu meninggalkan kedudukan dan kemuliaan hanya untuk dapat berbakti kepada negara melalui dunia kang-ouw? Sehebat itukah semangat kepahlawanan seorang penjahat cabul macam Ang-hong-cu itu? Tidak, dia tidak percaya! Tentu ada pamrih lain di balik kepatriotannya itu! Dan dia akan menyelidikinya, walau pun tentu saja dia tidak mungkin memusuhinya karena telah terbelenggu oleh janjinya sendiri.
Karena hari sudah menjelang senja, Kui Hong minta diri lalu meninggalkan taman itu dan memasuki kamarnya. Setelah tiba di dalam kamarnya, dia lantas membanting diri di atas pembaringan, telentang dan melamun. Pengakuan cinta Cang Sun sudah membangkitkan semua kenangan lama, pengalaman-pengalaman yang sudah lalu.
Dengan hati perih harus diakuinya bahwa dia amat merindukan Hay Hay! Dan dia pernah menuduh pemuda itu sebagai Ang-hong-cu pemerkosa wanita! Akan tetapi bagaimana dia dapat memikirkan tentang cinta pada saat-saat semacam itu? Cinta? Menikah? Dia sudah bersumpah untuk tidak menikah sebelum Ang-hong-cu tewas! Dan jelas penjahat itu tidak mungkin dapat tewas di tangannya.
Kui Hong menarik napas panjang. Dua tugasnya, yaitu mencari Sim Ki Liong dan Tang Cun Sek, lalu merampas dua pedang pusaka Cin-ling-pai dan Pulau Teratai Merah belum terlaksana dan dia sudah gagal pula menangkap Ang-hong-cu, bahkan terikat janji yang membuat dia sama sekali tidak berdaya terhadap penjahat itu. Kalau membayangkan hal ini, ingin rasanya dia menjerit-jerit dan menangis.
Engkau sungguh tolol telah berjanji seperti itu. Ratusan kali dia memaki dan menyalahkan diri sendiri. Akan tetapi dia bergidik kalau dia membayangkan keadaannya ketika tertawan Ang-hong-cu. Kalau saja saat itu dia dibunuh, hal itu tidak mengapa. Tetapi Ang-hong-cu adalah penjahat cabul yang keji. Dia akan mengalami siksaan dan penghinaan yang jauh lebih hebat dari kematian. Itulah yang memaksanya untuk berjanji!
Tapi itu berarti bahwa dia masih dicengkeram perasaan takut! Demikian dia menyalahkan dirinya sendiri. Walau tidak takut menghadapi maut akan tetapi masih takut menghadapi siksaan, penghinaan dan pemerkosaan! Itu berarti bahwa tetap saja dia adalah seorang penakut, seoang pengecut! Karena pengecutnya, kini dia harus membiarkan jai-hwa-cat itu bebas dan bertindak semaunya tanpa dia mampu turun tangan. Dia pengecut!
Beberapa titik air mata menetes turun ke atas kedua pipinya. Kui Hong merasa menyesal bukan main. Dia tidak pantas menjadi seorang pendekar, sama sekali tak pantas menjadi pangcu dari perkumpulan orang gagah seperti Cin-ling-pai. Dia terlalu mementingkan diri sendiri, terlalu sayang pada diri sendiri. Dengan perasaan amat tertekan, pada keesokan harinya Kui Hong menghadap Menteri Cang Ku Ceng dan berpamit untuk meninggalkan rumah keluarga Cang, bahkan meninggalkan kota raja.
"Ehhh? Kenapa tergesa-gesa, Kui Hong? Aku sedang menanti hasil penyelidikan tentang dua orang muda itu. Selain kuserahkan kepada para penyelidik, juga aku minta bantuan bekas perwira Tang."
"Paman, saya tidak ingin membikin paman lebih repot lagi. Sudah terlalu lama saya pergi meninggalkan orang tua saya. Saya ingin pulang dan melaporkan semua kegagalan saya kepada ayah dan ibu."
"Kui Hong, kami sudah menganggap engkau sebagai keluarga sendiri. Sayang..." sampai di sini suara Nyonya Cang jadi tersendat. “...sayang engkau tidak berjodoh dengan putera kami, akan tetapi hal itu tidak menghalangi kami untuk menyayangimu sebagai keluarga sendiri."
Mendengar ini, Kui Hong melirik ke arah Cang Sun dan merasa berterima kasih. Pemuda itu agaknya telah memberi tahukan ayah ibunya tentang penolakannya dan keluarga yang budiman itu agaknya sama sekali tidak mendendam atau menyesal. Dan hal ini membuat perasaan hatinya menjadi semakin rikuh.
Setelah mencoba untuk menahan namun tidak berhasil, akhirnya Menteri Cang berkata, "Baiklah, Kui Hong. Kami tak berhak untuk menahanmu lebih lama lagi di sini, akan tetapi kami sungguh mengharapkan agar engkau tidak melupakan kami yang menganggapmu seperti keluarga sendiri."
Bagaimana pun juga sikap ramah dan akrab dari keluarga itu mendatangkan keharuan di dalam hati pendekar wanita itu. Dia memberi hormat, lantas berkata dengan suara tegas, "Percayalah, Paman dan Bibi, juga engkau, Cang-toako, bahwa aku Cia Kui Hong selama hidupku takkan melupakan keluarga Cang yang budiman. Semoga kelak kita dapat saling bertemu kembali dalam suasana yang lebih akrab dan bahagia."
Biar pun tadinya dia menolak, namun karena desakan Menteri Cang, akhirnya Kui Hong tidak mampu menolak lagi ketika tuan rumah itu menghadiahkan seekor kuda yang amat baik kepadanya. Dengan diantar oleh keluarga itu sampai di pintu gerbang rumah mereka, Kui Hong kemudian meninggalkan keluarga itu sesudah sempat membisikkan kata-kata yang membuat Menteri Cang Ku Ceng termenung setelah gadis itu pergi. Bisikan itu hanya singkat saja.
"Paman, kuharap Paman sekali lagi bertanya kepada Hong-houw tentang penjahat cabul di istana itu."
Kui Hong memang sengaja membisikkan kata-kata ini. Dia tidak berani untuk menyebut nama Ang-hong-cu karena sudah terikat janji. Maka dia menganjurkan pejabat tinggi itu untuk menyelidiki lagi melalui Permaisuri. Kalau Permaisuri berani menyatakan kebenaran terhadap keterangan Tang Bun An yang jelas berbohong, maka tentu ada apa-apa di balik pernyataan itu, ada apa-apa yang tidak wajar antara Permaisuri dan Ang-hong-cu!
"Aduh, aku lelah sekali, Hay-ko," dara itu mengeluh, lalu menjatuhkan diri duduk di bawah sebatang pohon besar, menyandarkan punggungnya pada batang pohon dan menjulurkan kedua kakinya, memijati kedua kaki itu dengan tangan kanan, sedangkan tangan kirinya melepaskan ikatan buntalan kain di pundak, kemudian menghapus keringat dari leher dan dahinya.
Hay Hay terpaksa berhenti dan memandang gadis itu sambil tersenyum. Mayang sungguh manis bukan main. Anak rambut di dahinya menjadi kusut ketika dia menggunakan sapu tangan menghapus keringatnya, akan tetapi justru keadaan pakaian yang tidak rapi, anak rambut yang kusut, muka yang basah oleh keringat itu yang membuat dia terlihat semakin manis!
Rambutnya yang panjang hitam dikuncir dua tergantung manja di depan dada. Matanya yang sipit sekarang terpejam sehingga nampak bulu mata merapat lentik, hidungnya yang mancung kembang-kempis dan mulutnya yang kecil dengan bibir merah basah itu sedang cemberut. Kulit muka dan leher yang putih mulus itu kini kemerahan.
Memang semenjak pagi mereka melakukan perjalanan tiada hentinya dan kini telah lewat tengah hari, karena itu tidak mengherankan kalau gadis itu mengeluh kelelahan. Memang Mayang bukan seorang gadis lemah, bahkan dia pandai berburu, sudah biasa berkeliaran di hutan-hutan dan gunung-gunung. Akan tetapi baru sekarang ini bersama Hay Hay dia melakukan perjalanan yang jauh dan berjalan kaki setiap hari melalui daerah-daerah yang terjal dan sukar.
Hay Hay merasa iba juga dan dia pun menghampiri, lalu duduk pula di dekat adik tirinya itu, menurunkan buntalan dari punggungnya.
“Sudah kukatakan bahwa perjalanan ini amat jauh, Mayang, sangat melelahkan, apa lagi bagi seorang gadis seperti engkau. Kasihan engkau, Mayang."
Sepasang mata yang tadinya terpejam itu terbuka, sipit namun indah bentuknya, dengan kedua ujung pinggir meruncing dan naik, lalu mulut yang cemberut itu kembali mengeluh, "Uuhh, koko, kau bilang kasihan? Jangan kasihani aku, akan tetapi kasihanilah sepasang kakiku ini. Seperti remuk rasanya!"
Hay Hay mendekati gadis itu. Dia memang merasa iba dan dapat membayangkan betapa nyeri rasa kedua kaki yang kecil mungil itu. Otot-otot kedua kaki itu tidak biasa digunakan untuk berjalan jarak jauh, maka tentu terasa nyeri dan penat, otot-otot seperti mau pecah dan tulang seperti retak-retak. Tetapi kelelahan pada otot-otot itu mudah saja dilenyapkan atau dikurangi.
"Mari kupijati kedua kakimu untuk menghilangkan rasa penat itu, adikku,” katanya, lantas tanpa menanti jawaban kedua tangannya sudah mulai memijati kaki kiri Mayang.
Dengan jari-jari tangannya yang peka dan terlatih, Hay Hay lalu memijati serta menekan jalan-jalan darah dan otot-otot besar di paha, belakang lutut, betis dan di sepanjang kaki, memulihkan jalan darah dan melemaskan otot-otot yang menjadi kaku. Dia melakukannya dengan lembut sekali sehingga Mayang merasa keenakan. Bukan hanya nyaman rasanya ketika dipijati oleh seorang ahli yang tahu akan jalan darah, akan tetapi dia juga merasa seolah-olah jari tangan itu menyentuh kakinya penuh kemesraan dan kasih sayang, meski pun kakinya terbungkus celana sutera.
Mayang kembali memejamkan sepasang matanya dan hatinya dipenuhi kemesraan yang mengharukan. Seketika dia lupa bahwa pemuda yang tengah memijati kakinya itu adalah saudaranya seayah, dan timbul pula perasaan kasih sayangnya sebagai seorang wanita terhadap seorang pria, yang membuat pernapasannya tersendat-sendat.
Hay Hay yang sudah mulai memijati kaki kanan, tentu saja dapat melihat dan mendengar pernapasan Mayang. Dia mengangkat muka, lalu memandang wajah gadis itu dan melihat wajah itu kini menjadi merah sekali, betapa cuping hidung yang mancung itu berkembang kempis dan mulutnya agak terbuka, seolah pernapasan tidak cukup melalui kedua lubang hidungnya. Karena pemijatan itu memang sudah selesai, Hay Hay lalu menghentikannya dan bertanya sambil menyentuh pundak gadis yang masih memejamkan kedua mata itu.
"Mayang, engkau kenapakah? Sakitkah engkau?" tanyanya penuh kekhawatiran.
Sentuhan pada pundak yang lembut itu seperti menjebolkan bendungan. Sambil merintih Mayang kemudian merangkul Hay Hay dan menangis pada dada pemuda itu, menangis sesenggukan sehingga amat mengejutkan Hay Hay. Dia tidak tahu kenapa Mayang dapat menangis sesedih itu. Padahal sepanjang pengetahuannya Mayang adalah seorang gadis yang tabah, bahkan keras hati dan tidak cengeng sama sekali. Andai kata dia terlampau kelelahan sekali pun, tidak mungkin dia menangis seperti anak kecil.
Akan tetapi melihat betapa dara itu menangis dengan sungguh-sungguh, menangis penuh kesedihan, dia pun tak berani main-main dan membiarkan gadis itu menangis sepuasnya. Pada saat seperti itu, tangis merupakan obat yang paling ampuh bagi orang yang sedang dilanda kesedihan.
Dia pun hanya mengelus kepala gadis itu dengan kasih sayang seorang kakak. Dia sama sekali tidak tahu betapa elusan tangan yang lembut pada kepala itu menambah derasnya air mata mengalir dari kedua mata sipit itu.
Bagaimana pun derasnya hujan pasti akan mereda. Air mata pun akan terkuras habis dan tangis pun akan terhenti. Apa lagi bagi seorang gadis semacam Mayang, seorang gadis berhati baja. Biar pun tadi dia terseret dan terhanyut oleh keharuan hatinya, akhirnya dia dapat menenteramkan hatinya dan kini isaknya semakin lirih dan jarang.
"Nah, sekarang coba katakan, mengapa engkau menangis?" kata Hay Hay, masih lembut dan belum berani bercanda seperti biasanya, takut kalau akan salah ucap dan menyentuh kembali hati gadis itu.
Mayang masih merangkulkan kedua tangannya di leher Hay Hay, tetapi kini rangkulannya semakin kuat seolah-olah dia mengerahkan tenaga dan memaksa diri untuk bicara.
"Hay-ko... maafkan aku... akan tetapi aku... aku... sangat cinta padamu...”
Hay Hay mencium rambut di kepala gadis itu sambil tersenyum. "Aihh, tentu saja. Aku pun amat cinta kepadamu, Mayang. Engkau adikku dan aku kakakmu..."
"Tidak! Bukan itu! Aku cinta padamu bukan sebagai adik, melainkan... ahh, koko, engkau tentu tahu... aku... aku hanya akan dapat hidup berbahagia kalau menjadi isterimu..."
"Mayang...!"
Hay Hay cepat melepaskan rangkulannya dan dengan lembut mendorong gadis itu, lantas dipegangnya kedua pundak gadis itu dan dijauhkan, dipaksanya supaya mereka saling pandang. Dengan mata sipit dan agak membengkak gadis itu memandang, sinar matanya penuh kedukaan.
"Mayang, adikku yang bengal! Apa yang kau katakan ini? Inginkah engkau menyeret kita berdua ke dalam lembah dosa yang tak dapat diampuni? Kita ini saudara, Mayang. Ingat, kita saudara seayah! Kita sama-sama satu darah, satu she (Marga) sehingga kalau kita menjadi suami isteri, bukan hanya seluruh manusia akan mengutuk kita, juga Tuhan akan menghukum kita. Sadar dan ingatlah, adikku. Kalau karena keadaan kita tidak bisa saling mencinta seperti suami isteri, apakah kita tidak dapat saling mencinta sebagai kakak dan adik?"
Mayang memandang wajah Hay Hay dengan mengejap-ngejapkan matanya yang penuh air mata, dan dia pun mengangguk-angguk. Gerakan ini membuat beberapa titik air mata yang telah bergantung pada pelupuk matanya kini berjatuhan. Pemandangan ini demikian mengharukan hati Hay Hay sehingga dia pun menahan air matanya keluar dari sepasang matanya yang panas. Ia tahu bahwa andai kata Mayang bukan adiknya seayah, mungkin saja dia benar-benar akan jatuh cinta kepada gadis ini, dan akan mencintainya sebagai seorang isteri yang baik.
"Ehhh, bagaimana rasanya kedua kakimu sekarang?" tanya Hay Hay untuk mengalihkan persoalan dari batin adiknya.
Mayang memandang ke arah kakinya, kemudian mulutnya yang kecil mungil membentuk senyum lagi. Senyum itu mendatangkan kecerahan seperti matahari tersembul dari balik awan setelah hujan mereda. Dia lalu bangkit berdiri, melangkah ke sana-sini, menggerak-gerakkan kedua kakinya.
"Wah sudah tak terasa lelah lagi, Hay-ko. Hebat, engkau boleh membuka praktek menjadi tukang pijat. Pasti laris!"
"Ihh! Kau ingin kakakmu ini menjadi tukang pijat? Siapakah yang akan suka membiarkan tubuhnya kupijati?"
"Siapakah yang akan suka? Hemm, Hay-koko, akan banyak yang berdatangan, terutama kaum wanitanya. Tukang pijatnya tampan, dan pijatannya sungguh membuat tubuh terasa nyaman, menghilangkan semua kelelahan. Wanita-wanita akan berebutan dan antri untuk minta kau pijati, dan mereka pasti berani membayar mahal!"
"Huh, bagaimana jika yang berdatangan dan antri itu nenek-nenek yang napasnya sudah empas-empis? Jangan-jangan mereka itu kehabisan napas ketika sedang kupijati. Bukan upah banyak yang kudapatkan, malah urusan berabe, orang menyangka aku membunuh para nenek itu!"
Mayang tertawa dan diam-diam Hay Hay gembira bukan main melihat adiknya itu sudah dapat tertawa. Memang bukan watak Mayang untuk menjadi seorang wanita cengeng.
"Koko, kenapa engkau ini bisa segala-galanya? Apa sih yang kau tidak bisa? Dari mana pula engkau mempelajari ilmu pijat yang membuat badan terasa begini enak?"
"Mayang, apa sukarnya mempelajari ilmu memijat seperti tadi? Bukankah engkau sudah banyak mempelajari ilmu silat dari subo-mu? Engkau pun tentu sudah mempelajari letak jalan darah dan kedudukan tulang. Nah, pengetahuanmu tentang itu sudah cukup menjadi dasar untuk mempelajari ilmu pijat. Jika nanti ada waktu senggang biarlah akan kuajarkan kepadamu biar kelak kalau ada yang membutuhkan, engkau akan dapat memijatinya dan mengusir kelelahan dari tubuhnya.”
"Ihh, siapa yang akan membutuhkan aku untuk memijatinya?"
"Siapa lagi kalau bukan... ehh, suamimu kelak."
Sepasang mata yang sipit itu dilebarkan, dan mulut yang tadinya tersenyum itu cemberut. Mayang bangkit berdiri dan bertolak pinggang.
"Hay-ko, engkau nakal! Aku tidak akan mempunyai suami!"
"Ehhh, kenapa, Mayang? Maafkan, tadi aku hanya main-main. Bagaimana pun juga kelak engkau tentu akan menikah dan sudah sepatutnya kalau engkau memijati suamimu. Itu hal yang wajar, bukan?"
"Tidak! Aku tidak akan menikah!"
“Ehh, bagaimana mungkin? Engkau adikku yang begini manis, begini cantik jelita, begini lihai dan pandai. Ribuan orang pemuda akan saling berebutan untuk menjadi suamimu, dan engkau tidak akan menikah?"
"Aku tidak akan suka bicara tentang perjodohan sebelum..."
“Sebelum apa? Hayo katakan, sebelum apa, adikku sayang?"
"Sebelum engkau sendiri menikah, Hay-ko."
Hay Hay berhenti bernapas. Lehernya terasa seperti dicekik dari dalam karena keharuan yang menyerbu keluar dari dalam hatinya. Dia mengerti. Mayang demikian mencintanya, cinta seorang gadis terhadap seorang pemuda, cinta seorang wanita terhadap pria, bukan cinta kasih antara saudara.
Hanya kenyataan bahwa mereka adalah saudara seayah sajalah yang membuat gadis itu memaksa diri agar melihat kenyataan dan menekan gejolak hatinya. Akan tetapi cintanya masih tetap dan gadis itu tentu saja merasa berat untuk menikah dengan pria lain, maka mengatakan bahwa dia baru mau bicara tentang perjodohan setelah Hay Hay, pria yang dicintanya, juga kakaknya sendiri, telah menikah dengan wanita lain tentu saja.
Sesudah berdiam sesaat dan memandang kepada adiknya, akhirnya dapat pula Hay Hay mengeluarkan keluhan lirih, “Mayang...”
Mendengar suara yang menggetar ini dan melihat wajah kakaknya seperti orang menahan tangis. Mayang menubruk dan merangkul pinggang Hay Hay, menyembunyikan mukanya di dada pemuda itu.
"Hay-ko, ahhh... maafkan aku, Hay-koko…"
"Engkaulah yang harus memaafkan aku, Mayang. Adikku sayang…!"
Beberapa lamanya mereka berpelukan, tapi kini dengan perasaan kasih sayang kakak dan adik, sampai kemudian Hay Hay merasa betapa lemahnya mereka membiarkan perasaan mereka hanyut oleh keharuan.
"Wah-wahh, apakah kita ini sedang main di panggung, menjadi anak wayang? Ha-ha-ha, sayang tidak ada penontonnya!"
Mayang menatap wajah pemuda itu, lalu dia pun terkekeh-kekeh geli sehingga suasana menjadi gembira sekali. Mereka lalu melanjutkan perjalanan sambil bergandengan tangan dan di sepanjang perjalanan itu Mayang bernyanyi-nyanyi. Semua kedukaannya tadi telah terlupa dan kini mereka seperti kakak beradik yang sedang pesiar bersenang-senang.
Setelah melakukan perjalanan cepat, kadang melalui air sungai, kadang mereka membeli kuda dan berkuda, akhirnya tibalah mereka di daerah kota raja. Di sepanjang perjalanan mereka hanya menemukan rintangan yang tak berarti, akan tetapi berkat ilmu kepandaian mereka yang tinggi, semua rintangan dapat mereka atasi dan beberapa kali perampokan terhadap mereka berakhir dengan kocar-kacirnya para perampok.
Pada suatu sore tibalah mereka di sebuah dusun di luar kota raja. Ketika mereka sedang menanyakan jalan yang menuju ke kota raja kepada penduduk dusun, seorang penduduk tua yang merasa khawatir melihat Mayang gadis yang cantik jelita lagi muda itu, segera rnemberi nasehat.
"Sebaiknya kalau Kongcu dan Siocia (Tuan muda dan Nona) bermalam saja di dusun ini dan besok setelah matahari naik baru melanjutkan ke kota raja."
"Akan tetapi kenapa, Paman? Apakah perjalanan ini tidak aman?" tanya Mayang kepada penduduk dusun itu.
"Apakah di tengah perjalanan ada gangguan dari perampok, Paman? Ataukah gangguan dari binatang buas?" tanya pula Hay Hay.
Kakek itu menggelengkan kepalanya. "Jika bicara tentang keamanan, sekarang di sekitar daerah kota raja aman, tidak pernah terjadi perampokan, bahkan tidak ada pencuri berani melakukan kejahatan. Namun sungguh tidak aman sama sekali melakukan perjalanan di waktu sore dan malam hari bagi seorang gadis muda dan cantik seperti Nona. Perjalanan rnenuju ke kota raja masih cukup jauh dan sunyi sekali pada malam hari. Maka sebaiknya melakukan perjalanan pada besok hari siang saja, di mana terdapat banyak orang berlalu lalang sehingga Nona tidak akan terancam gangguan."
"Hemm, apakah tak ada jalan pintas yang lebih dekat, Paman?” tanya Hay Hay, maklum akan maksud ucapan kakek itu. Kecantikan Mayang tentu akan menarik perhatian banyak pria yang mata keranjang dan hidung belang, dan mereka itulah yang nanti akan menjadi pengganggu, bukan para perampok yang menghendaki uang.
"Ada, ada jalan pintas melalui hutan di bukit sana itu. Lebih dekat dan akan makan waktu yang lebih singkat, akan tetapi juga lebih berbahaya karena di sana banyak berkeliaran binatang buas dan di sana pun keselamatan seorang gadis seperti Nona akan terancam.”
"Tetapi siapakah yang akan menganggu aku, Paman? Dan mengapa pula seorang wanita diganggu? Siapa mereka yang suka menganggu wanita?”
"Sstt, jangan keras-keras bicara, Nona," kata kakek itu setengah berbisik sambil matanya memandang ke kanan ke kiri dengan sikap jeri. "Tidak ada penjahat yang menggunakan kekerasan. Akan tetapi sekarang banyak sekali orang-orang gagah yang agaknya sedang membutuhkan isteri. Bila mereka bertemu seorang gadis, apa lagi yang muda dan cantik seperti Nona, mereka akan memaksa Nona untuk menjadi isteri. Isteri yang sah! Sudah banyak sekali gadis yang menjadi isteri orang-orang itu."
"Ehhh? Kalau aku tidak mau, apakah mereka akan memaksaku?" tanya Mayang dengan sikap penasaran dan mulai marah. "Kalau begitu, mereka itu sama saja dengan penjahat, bahkan lebih keji lagi!"
"Ssttt... jangan keras-keras, Nona. Mereka itu bukan penjahat, dan tidak pernah terdengar berita bahwa mereka memaksakan kehendak atau memperkosa wanita. Nyata-nyata para gadis itu mau menjadi isteri mereka. Mereka benar-benar bukan penjahat, bahkan semua penjahat takut kepada mereka. Mereka adalah para anggota perkumpulan Ho-han-pang."
Mendengar nama perkumpulan itu, Mayang dan Hay Hay bertukar pandang. Ho-han-pang (Perkumpulan Patriot Gagah)? Kalau nama itu benar sesuai, maka tentu saja mereka tak perlu khawatir akan mendapat gangguan. Mana mungkin para ho-han, yaitu sebutan bagi orang-orang gagah yang berjiwa pahlawan, mau mengganggu wanita?
"Paman, di mana lebih banyak kemungkinan kita bertemu dengan para ho-han itu, melalui jalan raya ataukah melalui jalan pintas?” tanya Hay Hay.
Kakek itu mengerutkan alisnya. "Kongcu, bila engkau sendiri yang melakukan perjalanan, maka melalui jalan raya tidak akan ada bahaya apa pun. Akan tetapi bagi Nona ini..., di jalan raya tentu akan bertemu banyak anggota Ho-han-pang..."
“Jangan khawatir, Paman. Kami adalah sahabat para ho-han (orang gagah). Terima kasih, Paman, kami akan melanjutkan perjalanan sekarang juga."
Setelah berkata demikian, Hay Hay lalu meloncat ke atas punggung kudanya, diikuti oleh Mayang. Gadis ini tersenyum manis kepada kakek itu, sedikit pun tidak memperlihatkan rasa takut dan melihat cara gadis itu meloncat ke atas kuda, kakek itu pun bisa menduga bahwa gadis cantik itu tentulah seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Kalau tidak begitu, mana ada gadis muda cantik yang tidak takut menghadapi orang-orang Ho-han-pang, bahkan menganggap mereka sebagai sahabat?
Hay Hay dan Mayang segera membalapkan kuda mereka keluar dari dusun itu. Sesudah cukup jauh meninggalkan dusun, mereka menahan kuda mereka dan Hay Hay mengajak adiknya bicara.
"Bagaimana pendapatmu tentang keterangan kakek tadi, Mayang?"
"Mengenai Ho-han-pang itu? Aku merasa sangat curiga, Hay-ko. Mana ada ho-han yang suka mengganggu wanita?"
"Cocok sekali dengan perasaanku, Mayang. Keterangan tadi tentu hanya mempunyai dua arti. Pertama, ada gerombolan orang jahat yang berkedok perkumpulan orang gagah dan menggunakan nama muluk Ho-han-pang. Dan ke dua, keterangan kakek tadi yang keliru. Mereka memang orang-orang gagah yang bergabung dalam perkumpulan Ho-han-pang, dan kakek tadi yang jahat dan memusuhi mereka maka menyebar berita bohong supaya dapat memburukkan mereka."
Mayang mengangguk-angguk. "Mudah-mudahan saja kita akan berjumpa dengan mereka lantas membuktikannya sendiri, orang-orang macam apa adanya mereka yang mengaku para anggota Ho-han-pang itu. Atau mungkin mereka bukan orang yang suka melakukan kejahatan seperti mencuri atau merampok, seperti dikatakan kakek tadi bahwa daerah ini sekarang aman karena para penjahat takut kepada Ho-han-pang, melainkan sekumpulan laki-laki mata keranjang seperti..." Dara itu menghentikan ucapannya dan cepat menutupi mulutnya seperti hendak mencegah kata-kata selanjutnya meloncat keluar dari mulut kecil itu.
"Seperti apa, Mayang?"
"Seperti... engkau, Hay-ko!”
Hay Hay mengerutkan alisnya, pura-pura marah. "Ihhh, engkau menghina aku, ya? Siapa yang mata keranjang? Kau memang bengal!”
Tangannya meraih hendak mencubit, akan tetapi Mayang tertawa-tawa sambil membedal kudanya, membalap ke depan, dikejar Hay Hay. Mereka berkejaran sambil tertawa-tawa, seperti dua orang kanak-kanak bermain-main dan diam-diam perasaan Hay Hay menjadi girang melihat adiknya sama sekali sudah melupakan kedukaannya tadi.
Dia tidak tertarik untuk menyelidiki orang-orang Ho-han-pang itu. Urusannya sendiri sudah cukup penting namun belum juga mampu dia laksanakan dengan hasil baik, yaitu mencari Ang-hong-cu, musuh besarnya sekaligus juga ayah kandungnya, yang bukan saja sudah melakukan banyak sekali kejahatan mengganggu wanita, tetapi juga telah mencemarkan nama baiknya sebab orang-orang gagah menyangka bahwa dialah yang telah melakukan perkosaan dan gangguan terhadap para wanita itu.
Tiba-tiba Mayang menahan kudanya. Melihat gadis itu menghentikan kudanya, Hay Hay juga ikut menahan kendali kudanya. Dia tidak perlu bertanya lagi karena dia yang berada di belakang Mayang juga telah melihat apa yang membuat adiknya itu berhenti. Di depan mereka terdapat lima orang penunggang kuda sedang malang melintang di tengah jalan raya. Jelas lima orang itu sengaja menghadang mereka dan memenuhi jalan.
Dia memandang tajam penuh perhatian kepada kelima orang itu. Matahari belum rendah benar dan sinarnya masih cukup terang. Lima orang itu adalah pria semua, berusia antara dua puluh lima sampai tiga puluh lima tahun. Mereka berpakaian ringkas yang cukup rapi dan bahkan nampak mewah.
Melihat gagang pedang atau golok di punggung mereka, mudah diketahui bahwa mereka adalah orang-orang dunia persilatan. Muka mereka terawat dan bersih, dan sikap mereka pun tidak kasar seperti para perampok atau penjahat pada umumnya. Sikap mereka lebih pantas seperti sikap orang-orang muda bangsawan atau hartawan yang berlagak congkak mengandalkan kedudukan atau kekayaan orang tua mereka.
Mereka juga berlagak gagah-gagahan seperti biasanya dilakukan oleh orang-orang yang memiliki ilmu silat yang kepalang tanggung dan merasa bahwa dirinya adalah orang yang paling lihai di dunia ini. Gentong kosong gaungnya lebih nyaring dari pada gentong penuh isi. Ayam katai keruyuknya lebih nyaring dari pada ayam besar.
Sore hari itu, ketika dia duduk melamun seorang diri di dalam taman di belakang rumah keluarga Cang yang luas, dia mengambil keputusan di dalam hatinya untuk menghadap keluarga itu dan berpamit. Dia akan melanjutkan perjalanan, terutama mencari sendiri dua orang yang telah melarikan pedang pusaka dari Cin-ling-pai dan dari Pulau Teratai Merah itu.
Matahari telah mulai condong ke barat, akan tetapi belum terlalu larut walau pun sinarnya sudah mulai lemah. Sinar matahari sore itu masih mampu menerobos antara celah-celah daun pohon sehingga taman bunga itu seolah-olah bermandikan cahaya yang lemah akan tetapi masih hangat itu.
Indah sekali keadaan di taman itu. Burung-burung mulai beterbangan pulang ke sarang mereka di pohon-pohon, untuk berlindung di sarang yang aman dan hangat kalau malam gelap menjelang tiba. Dua ekor kelinci berkejaran dan menyusup ke dalam semak-semak. Seekor ular sebesar ibu jari kaki yang hitam dan mengkilap, berlenggak-lenggok menuju rumpun semak belukar pula, dengan lidah yang kadang terjulur keluar dengan cepatnya. Kepala ular itu berbentuk bulat telur, tidak segitiga. Bukan ular beracun, dan kulitnya yang hitam mengkilap itu indah bukan main, indah dan bersih seperti baru saja digosok dengan minyak.
Semua makhluk pulang ke sarang masing-masing, pulang ke rumahnya masing-masing, pikiran ini menyelinap ke dalam benak Kui Hong dan dia pun mengerutkan alisnya. Hanya dia seorang yang tidak dapat merasakan kenikmatan itu. Pulang! Ke mana?
Ayah bundanya, Cia Hui Song dan Ceng Sui Cin, bersama adik tirinya, Cia Kui Bu, sudah pergi meninggalkan Cin-ling-san karena mereka ingin mencari hawa baru dan sementara ini hendak tinggal di Pulau Teratai Merah. Ke sana menyusul ayah ibunya? Ah, dia bukan anak kecil lagi. Dia harus berani hidup sendiri! Dia bukan anak-anak yang selalu mohon perlindungan ayah dan minta dimanjakan ibu.
Kembali ke Cin-ling-san? Tentu sekali waktu dia harus kembali ke situ. Dia adalah pangcu (ketua) Cin-ling-pai, walau pun sebenarnya dia tidak suka menjadi ketua karena banyak urusan dan tidak bebas. Kalau dahulu dia ikut memperebutkan kedudukan pangcu, hal itu dilakukan secara terpaksa karena dia tak ingin melihat Tang Cun Sek menjadi ketua Cin-ling-pai.
Kui Hong menarik napas panjang. Bagaimana seorang gadis seperti dia, seorang wanita, dapat benar-benar merasakan ‘pulang rumah’ kalau tidak memiliki rumah tangga sendiri? Dan memillki rumah tangga berarti menikah! Akan tetapi, dengan siapa?
Banyak sudah dia menemui pria di dalam hidupnya. Pria-pria yang sungguh merupakan pemuda gagah perkasa dan tampan, yang memperlihatkan sikap jatuh cinta kepadanya, atau setidaknya suka kepadanya. Dalam setiap perjalanannya selalu saja ia bertemu pria muda yang memandang kepadanya dengan perasaan hati seperti sebuah kitab terbuka. Demikian jelas pandang mata itu membayangkan keadaan hati yang tertarik!
Sudah puluhan orang pemuda, bahkan mungkin ratusan. Bahkan banyak pula yang ingin mendapatkan dirinya, secara halus mau pun kasar. Terbayanglah wajah-wajah para muda itu berderet-deret. Sim Ki Liong, Tang Cun Sek, Hay Hay dan kini Cang Sun.
Ya, putera Menteri Cang itu cinta padanya! Bahkan seluruh anggota keluarga Cang suka kepadanya dan mengharapkan dia menjadi isteri Cang Sun. Dia pun bisa membayangkan bagaimana jika dia menjadi isteri Cang Sun. Dia akan hidup mulia, terhormat, kaya raya, menjadi seorang wanita bangsawan yang tinggal di dalam gedung istana, ke mana pun dikawal pasukan, ingin apa pun tinggal perintah saja karena puluhan orang pelayan setiap saat siap melayaninya.
“Ahh, seperti burung di dalam sangkar emas...," dia berbisik dan menarik napas panjang. Bukan, kehidupan macam itu bukan untuknya! Kalau pun harus berumah tangga, dia lebih senang hidup bebas dan menghadapi banyak tantangan hidup, tidak enak-enak seperti itu, bermalas-malasan!
Tiba-tiba gadis itu sadar dari lamunannya. Dia mendengar langkah kaki orang! Ketika dia menengok, kiranya yang datang menghampirinya adalah Cang Sun! Pemuda itu dengan tenang melangkah menghampirinya, seperti biasa dengan sikap yang lembut, sopan dan ramah sambil mulutnya tersenyum.
Seorang pemuda yang tampan, berpakaian rapi, pembawaannya tenang dan berwibawa, halus dan lembut, seorang pemuda yang telah dewasa dan tentu akan menarik hati setiap orang wanita, apa lagi kalau diketahui bahwa dia adalah putera tunggal seorang menteri yang amat terkenal, Menteri Cang Ku Ceng yang terkenal amat bijaksana dan mempunyai kekuasaan besar!
"Selamat sore, Hong-moi. Asyik melamunkan apa sore-sore begini seorang diri di dalam taman?"
Kui Hong bangkit dan tersenyum. Dia adalah seorang gadis yang sejak kecil hidup bebas dan sudah berkecimpung di dunia kang-ouw, mempunyai banyak pengalaman dan sudah terbiasa dengan sikap terbuka, bahkan mengarah kepada sikap lincah jenaka dan kadang berandalan. Akan tetapi, sejak dia berdiam di rumah keluarga Cang, keluarga bangsawan tinggi yang bergelimang kehormatan, mau tidak mau dia pun membatasi diri dan sikapnya juga sopan, meski pun masih ramah dan lincah jenaka.
"Aihh, kiranya Toako yang datang. Selamat sore, Cang-toako."
Walau pun pemuda itu sering kali mendesaknya agar bersikap kekeluargaan dan ramah, namun tetap saja Kui Hong merasa rikuh untuk bersikap terlalu akrab. Rasanya canggung bila dia menyebut nama kecil pemuda itu, terlalu akrab menyebutnya Sun-koko misalnya. Maka, biar pun dia telah menghentikan sebutan kongcu (tuan muda) dan menyebut toako (kakak), namun dia menyebut nama keluarga pemuda itu, bukan kakak Sun, melainkan kakak Cang!
“Apa yang kau lamunkan, Hong-moi?” Pemuda itu duduk di atas bangku, di bagian ujung, dan Kui Hong juga duduk kembali di ujung yang lain.
“Aku melihat burung beterbangan menuju ke sarang, dan tiba-tiba aku merasa rindu untuk pulang, Toako.”
“Pulang ke mana, Hong-moi?”
Gadis itu mengangkat muka memandang. Karena pada saat itu Cang Sun juga sedang menatap wajahnya, maka kedua pasang mata itu bertemu dan Kui Hong melihat betapa sepasang mata pemuda itu dengan lembut membayangkan kasih sayang besar. Pemuda bangsawan ini tidak lagi menyembunyikan perasaannya, dan kasih sayang dan kagumnya terbayang jelas dalam pandang matanya.
"Ahh, toako. Ke mana lagi kalau bukan ke tempat tinggal keluargaku? Di Cin-ling-san atau di Pulau Teratai Merah karena saat ini mungkin ayah ibuku masih berada di sana."
"Aihh, kukira tadi…”
"Apa yang kau kira, Cang-toako?"
"Kukira... ahh, betapa akan senangnya kalau rasa rindumu itu kau tujukan kepada... ehh, diriku dan arti pulang itu ke sini, bukan ke mana-mana. Betapa akan bahagia rasa hatiku bila engkau pun rindu kepadaku seperti aku yang siang malam selalu merindukan dirimu, Hong-moi..."
"Hemm, Toako, apa yang kau katakan ini?" Kui Hong berkata dengan suara mengandung teguran karena baru sekarang pemuda ini begitu terang-terangan menyatakan perasaan hatinya.
"Hong-moi, masih perlukah aku menjelaskan kepadamu? Aku rindu kepadamu karena aku cinta padamu, Hong-moi. Ahh… aku selalu membayangkan engkau bersanding denganku selamanya, sebagai isteriku tercinta, sebagai ibu dari anak-anakku."
"Cukup, Cang-toako. Mari kita bicara serius. Coba katakan, mengapa engkau jatuh cinta kepadaku? Engkau adalah putera seorang bangsawan terkenal, memiliki kedudukan yang terhormat, engkau juga terpelajar dan kaya raya, dan kalau engkau menghendaki bahkan puteri kaisar pun mungkin dapat menjadi isterimu. Tapi mengapa engkau mendekati aku, seorang gadis ahli silat, gadis kang-ouw yang bergelimang kekerasan? Kenapa? Aku ingin sekali mengetahuinya, dan aku percaya bahwa engkau akan membuat pengakuan dengan sejujurnya, Toako."
Cang Sun menarik napas panjang. Alangkah manisnya gadis ini bila mana bersikap wajar seperti itu, berani mengeluarkan semua perasaan hatinya tanpa disembunyikan lagi, tidak seperti kaum wanita pada umumnya, terutama wanita bangsawan yang sudah terbiasa menyembunyikan kepribadiannya di balik kesopanan dan kehormatan pura-pura yang palsu.
"Pertanyaan yang baru kau ajukan itu saja telah mengandung keterbukaan dan kejujuran, Hong-moi. Oleh karena itu aku pun mencoba untuk keluar dari sangkar kesopanan pura-pura yang selama ini semenjak aku kecil sudah mengurung diriku dalam lingkungan kami. Memang betul ucapanmu tadi, bila aku menghendaki, mudah bagiku untuk mendapatkan jodoh seorang gadis bangsawan, bahkan mungkin puteri kaisar. Namun terus terang saja aku tidak tertarik kepada para gadis yang lemah itu. Melihat engkau aku seperti melihat setangkai bunga yang segar dan sehat. Kalau aku dapat hidup di sampingmu selamanya, aku akan merasa aman. Engkau tentu tahu, kehidupan ayahku sebagai seorang menteri selalu terancam bahaya. Kalau ada seorang seperti engkau ini yang teramat lihai, maka kami sekeluarga akan selalu merasa aman, juga keselamatan kami selalu terjamin. Nah, itulah hal-hal pada dirimu yang membuat aku jatuh cinta kepadamu."
Kui Hong pun termenung. Ucapan itu memang jujur, dan jelas membayangkan apa yang tersembunyi di balik cinta kasih pemuda bangsawan itu terhadap dirinya. Justru karena ia gadis kang-ouw, karena ia memiliki ilmu silat tinggi dan boleh diandalkan sebagai jaminan keselamatan, maka Cang Sun jatuh cinta kepadanya. Bagaimana andai kata aku seorang gadis lemah seperti para puteri itu?
Pertanyaan ini hanya dia ajukan kepada dirinya sendiri, di dalam batin pula. Dia tidak tega untuk mengajukan pertanyaan itu kepada Cang Sun yang sudah bersikap jujur. Jawaban pemuda itu tentu tidak enak. Kalau tidak jujur dia akan kecewa, namun kalau jujur hanya akan menyakitkan hati mereka berdua.
Cang Sun jatuh cinta kepadanya bukan karena pribadinya, namun karena kelihaiannya! Dan hal ini mendatangkan rasa lega di hatinya. Dia sendiri tidak mencinta Cang Sun, dan kenyataan bahwa sesungguhnya pemuda itu pun tidak mencintanya, tetapi hanya tertarik oleh kepandaiannya, membuat hatinya lega. Cang Sun takkan menderita nyeri hati kalau cintanya ditolak.
"Terima kasih atas kejujuran pengakuanmu dan atas perhatianmu, Cang-toako. Kini aku pun tidak ragu-ragu lagi untuk menjawab sejujurnya. Ketahuilah, Toako, bahwa aku bukan sekedar basa-basi ketika mengatakan kepada Paman dan Bibi Cang bahwa sama sekali aku belum berminat akan perjodohan. Selain itu, walau pun aku sangat kagum dan suka bersahabat denganmu, tetapi terus terang saja rasanya dalam hatiku tidak ada perasaan cinta terhadap dirimu. Kita dapat saja bersahabat atau bersaudara, tetapi bukan berjodoh. Nah, lega hatiku sudah dapat berterus terang kepadamu, Toako."
Tepat seperti yang diduganya, pengakuannya yang terus terang bahwa dia tidak mencinta pemuda itu tidak membuat wajah pemuda tampan itu pucat pasi atau menimbulkan sinar duka pada pandangan matanya, melainkan membuat wajah itu berubah kemerahan dan pada matanya hanya terbayang perasaan kecewa dan keheranan.
"Hong-moi… betapa pun tidak enaknya tapi kuterima kejujuranmu ini. Katakanlah, apakah di sana sudah ada seorang pria yang memenuhi hatimu?"
Ditanya demikian, wajah Kui Hong juga menjadi kemerahan. Lalu terbayanglah beberapa wajah pria yang pernah menyatakan jatuh cinta kepadanya. Wajah Sim Ki Liong, wajah Tang Cun Sek, dan akhirnya yang tinggal hanyalah wajah Hay Hay!
Dan timbullah perasaan rindu yang amat sangat terhadap pemuda ugal-ugalan yang mata keranjang itu! Hay Hay! Ah, betapa rindu hatinya kepada pemuda itu, dan baru sekarang, setelah ditanya demikian oleh Cang Sun, dia dapat melihat kenyataan bahwa sebenarnya selama ini hanya Hay Hay yang memenuhi hatinya, hanya pemuda ugal-ugalan itu yang dicintanya, walau pun hal ini dicobanya untuk disangkal dan ditentangnya sendiri.
"Benar, Toako, dan... maafkan aku..."
Satu di antara kenyataan yang terasa amat pahit dan menyakitkan hati adalah mendengar pengakuan seorang gadis yang dicinta bahwa dia mencinta orang lain. Akan tetapi, berkat lingkungan hidup yang selalu bertopeng kesopanan, Cang Sun dapat menutupi rasa nyeri di hatinya dengan senyum, dan dia pun mengangguk-angguk,
"Aku dapat mengerti, Hong-moi."
Apa yang kita namakan ‘cinta’ antara pria dan wanita itu selalu mendatangkan dua hal yang bertentangan, puas atau kecewa, senang atau susah. Ini membuktikan bahwa yang kita agung-agungkan itu sebenarnya hanyalah nafsu belaka. Nafsu adalah gairah, adalah ‘si-aku yang ingin senang’.
Nafsu selalu berpamrih, karena bersumber pada pikiran yang menciptakan si aku lewat pengalaman dan pengetahuan. Pamrihnya hanya satu, sungguh pun kadang terselubung dan mengenakan beribu macam kedok, yaitu ingin mencapai sesuatu, ingin memperoleh sesuatu, dan ‘sesuatu’ ini pasti yang menyenangkan dirinya.
Tidak mengherankan kalau kemudian muncul kecewa dan duka ketika keinginan itu tak tercapai. Kalau keinginan itu terlaksana maka timbullah kepuasan. Kepuasan sementara, selewatan saja. Karena nafsu selalu menghendaki lebih. Bukti bahwa yang kita anggap sebagai ‘cinta suci’ antara pria dan wanita itu pada hakekatnya hanyalah nafsu, dapat dilihat dari akibat yang ditimbulkan oleh cinta itu.
Cinta antara pria dan wanita dimulai dari pandang mata, saling melihat. Dari sini timbul perasaan tertarik, karena apa yang dilihatnya itu menyenangkan hatinya, cocok dengan seleranya. Sesudah saling tertarik lalu timbul keinginan untuk saling memiliki. Kemudian bermunculan akibat dari nafsu ini. Cemburu, patah hati, duka, benci, pertentangan dan sebagainya.
Betapa banyaknya kejadian di mana dua orang yang tadinya bersumpah saling mencinta hingga mati, setelah menjadi suami isteri bertengkar setiap hari, bahkan berakhir dengan perceraian dan saling membenci! Sungguh aneh kalau cinta kasih murni berakhir menjadi kebencian. Kalau nafsu, sama sekali tidak mengherankan bila kemudian mendatangkan akibat duka dan kebencian.
Banyak orang melihat kenyataan ini! Mereka melihat bahayanya nafsu yang terselubung sebagai ‘cinta suci’ ini. Untuk menghindarkan diri dari duka, dan untuk membikin putus ikatan ini, ada orang yang dengan sengaja menjauhkan diri dari asmara ini. Mereka tidak mau melakukan hubungan antara pria dan wanita, lantas menjadi perjaka atau perawan selama hidup, tidak mau atau pantang melakukan hubungan sex.
Apakah dengan cara demikian berarti mereka telah terbebas dari nafsu? Apakah nafsu itu hanya muncul melalui gairah birahi saja? Apakah kalau sudah begitu kita akan dapat bebas dari duka? Bagaimana dengan nafsu dalam bentuk lain, keinginan si aku dalam bentuk lain?
Masih ada seribu satu macam cara bagi si aku untuk mengejar keinginannya. Bahkan satu di antaranya adalah ‘keinginan bebas dari nafsu sex’ itulah! Keinginan memuaskan nafsu dan keinginan menjauhi nafsu datang dari sumber yang sama!
Sumbernya adalah si aku yang ingin! Pamrihnya adalah kesenangan bagi si aku. Karena maklum bahwa menuruti nafsu akan menimbulkan duka, maka si aku lalu berkeinginan untuk menjauhi nafsu, tentu saja pamrihnya supaya jangan mengalami duka, dan hal ini tentu akan menyenangkan!
Demikian pandainya nafsu daya rendah mempermainkan kita! Begitu pandainya bersalin rupa sehingga kita sering kali terkecoh. Hati dan akal pikiran kita telah bergelimang daya rendah, maka apa pun yang dihasilkan hati dan akal pikiran telah terpengaruh oleh nafsu. Kenapa seluruh badan ini luar dalam bergelimang dengan nafsu? Karena memang sudah kodratnya demikian! Selama jiwa bersemayam di dalam badan, agar dapat hidup, badan harus disertai nafsu-nafsu daya rendah.
Badan akan binasa tanpa adanya nafsu daya rendah. Badan kita ini dapat hidup karena ketergantungan pada banyak benda. Kita butuh makanan, kita butuh benda-benda, kita butuh orang lain. Kita tidak mungkin dapat terbebas dari ikatan-ikatan dengan daya-daya rendah yang sebenarnya merupakan alat hidup, merupakan sarana untuk hidup, bahkan kebutuhan mutlak bagi kehidupan. Memang ini sudah kodratnya, sudah kehendak Tuhan begitu. Kita tidak mungkin mengingkari ini.
Nafsu yang kita namakan nafsu sex merupakan kodrat pula. Tidak mungkin dilenyapkan kalau kita menghendaki manusia masih berkelanjutan hidup di dunia ini. Nafsu sex hanya merupakan alat, merupakah sarana perkembang biakan makhluk manusia. Jika terdapat kenikmatan di situ, hal itu merupakan anugerah Tuhan yang patut kita syukuri.
Karena seluruh badan kita luar dalam telah bergelimang nafsu, hati dan akal pikiran kita telah bergelimang nafsu rendah, maka badan dan batin kita dikuasai oleh nafsu, menjadi hamba nafsu. Padahal nafsu daya rendah itu seharusnya yang menjadi alat kita, menjadi hamba kita, menjadi pelayan kita. Lantas bagaimana kita dapat membebaskan diri dari cengkeraman nafsu kalau ‘kita’ ini adalah hati dan akal pikiran yang bergelimang nafsu?
Hanya satu kekuasaan saja yang akan mampu mengatur, yang akan mampu merubah, yang akan mampu mengembalikan nafsu daya rendah ini ke dalam tempatnya semula, mengembalikan nafsu daya rendah pada tempat dan tugasnya yang benar, yaitu sebagai pelayan dalam kehidupan. Kekuasaan itu adalah kekuasaan Tuhan Yang Maha Kuasa, kekuasaan yang juga menciptakan nafsu daya rendah, yang menciptakan segala sesuatu di alam mayapada ini!
Dan kita? Kita hanya menyerah! Menyerah dengan sepenuhnya, menyerah dengan rasa ikhlas, dengan hati tawakal, dengan pasrah. Menyerah sebulatnya dengan mutlak, tanpa adanya hati akal pikiran yang mencampuri. Yang ada hanya penyerahan saja. Yang ada hanya kepasrahan. Yang ada hanya pengamatan, penerimaan tanpa disertai keinginan hati akal pikiran. Menyerah dan menerima, merasakan dan waspada, bukan ‘aku’ yang waspada.
Kui Hong dapat melihat perubahan pada muka pemuda itu. Dara ini melihat kekecewaan dan juga penyesalan terbayang pada wajah tampan itu, maka dia pun cepat mengalihkan perhatian pada persoalan lain.
"Toako, di mana adanya Paman Cang? Aku ingin menghadap dan berbicara dengannya. Kenapa dia jarang nampak? Apakah ada kesibukan?"
Usahanya itu berhasil. Perhatian Cang Sun teralihkan dan kini wajahnya tak lagi dicekam kekecewaan dan kedukaan. "Ayah memang sedang sibuk bukan kepalang. Banyak sekali urusan yang harus ditanganinya."
"Ahh, sayang aku tidak dapat membantu ayahmu, Toako. Tugas yang diberikan kepadaku untuk menyelidik ke istana pun telah gagal. Tidak ada gunanya lagi aku tinggal lebih lama di sini."
"Hong-moi, engkau tidak perlu merasa menyesal lagi. Tentu saja engkau tidak berhasil menangkap penjahat yang sudah mencemarkan istana bagian puteri itu, karena penjahat itu memang telah tewas."
Kui Hong terkejut bukan main. Dia menatap wajah pemuda itu dengan mata terbelalak. "Sudah tewas? Siapa yang menewaskannya dan siapa pula penjahat itu, Toako? Kenapa aku tidak pernah mendengar akan hal itu?"
"Memang hal itu harus dirahasiakan, orang luar tidak boleh tahu. Akan tetapi engkau tidak kuanggap orang luar, apa lagi engkau pernah melakukan penyelidikan untuk menangkap penjahat cabul itu. Penjahat cabul itu ternyata adalah seorang prajurit pengawal thai-kam yang bertugas di dalam istana."
"Ahhh...!" Kui Hong menjadi semakin heran. "Siapa yang telah membunuhnya, Toako?"
Pemuda itu tersenyum. "Pembunuhnya yang amat berjasa itu bahkan orang yang pernah dicurigai ayah, yaitu bekas perwira Tang Bun An."
Kini Kui Hong terbelalak dan mulutnya terbuka. Demikian besar rasa heran dan kagetnya mendengar keterangan yang sama sekali tidak disangka-sangkanya itu sehingga sampai beberapa lama dia tak mampu bersuara! Akhirnya dia dapat mengendalikan perasaannya, kemudian dia berkata dengan suara yang tenang saja, sama sekali tidak membayangkan ketegangan yang mencekam hatinya.
"Hemm, dia...? Jadi perwira Tang... ehh, kau katakan tadi bekas perwira, Toako?"
"Benar, karena dia kini telah mengundurkan diri"
"Cang-toako, aku merasa tertarik sekali! Maukah engkau menceritakannya kepadaku apa yang terjadi? Bagaimana Paman Cang dapat tahu bahwa penjahat itu telah terbunuh oleh Tang-ciangkun, dan mengapa pula Tang-ciangkun tiba-tiba mengundurkan diri. Aku ingin tahu sekali...”
Cang Sun tersenyum. Dia merasa girang bahwa percakapan sudah beralih sehingga dia tidak lagi merasakan akibat dari penolakan cinta gadis itu.
"Begini, Hong-moi. Tadinya ayah memanggil Tang-ciangkun untuk minta perwira itu turut mencari penjahat cabul di dalam istana. Akan tetapi Tang-ciangkun yang tadinya harus merahasiakan peristiwa itu seperti diperintahkan Permaisuri, lalu memberitahukan bahwa penjahat itu telah ditangkap dan dibunuhnya atas perintah Hong-houw (Permaisuri).”
"Ahhh...!”
Diam-diam Kui Hong mengepal tinju dengan hati panas sekali. Sudah jelas yang menjadi penjahat cabul adalah Tang Bun An sendiri alias Ang-hong-cu, namun keparat itu malah berlagak menjadi penangkap dan pembunuh penjahat cabul!
Ingin dia berteriak mengatakan bahwa Tang Bun An itulah penjahat cabulnya, akan tetapi dia menahan gelora hatinya. Dia sudah berjanji kepada Ang-hong-cu dan janjinya itu lebih berharga dari pada nyawa. Sampai mati pun dia tidak akan mau memusuhi Ang-hong-cu, tidak mau pula membuka rahasianya meski hatinya seperti akan menjerit-jerit menentang janjinya sendiri itu.
"Jadi diakah yang sudah menangkap dan membunuh penjahat cabul itu? Tetapi mengapa pula sesudah membuat jasa yang sangat besar itu dia lalu mengundurkan diri? Bukankah kedudukannya sudah kuat dan baik sekali?" Pertanyaan ini bukan iseng atau pura-pura, tetapi memang hatinya penuh dengan pertanyaan ini.
"Hal itu juga pernah kutanyakan kepada ayah. Ternyata Tang-ciangkun adalah seorang patriot, seorang yang mencinta tanah air dan bangsa, yang setia kepada kerajaan. Melihat betapa ada usaha pembunuhan terhadap kaisar yang dilakukan pembunuh bayaran yang diperintah oleh orang-orang kulit putih dan juga dibunuh olehnya, maka dia mengajukan permohonan untuk berhenti sebagai perwira pengawal. Dan sesudah berhenti dia hendak menghimpun semua kekuatan kangouw, menyatukan kekuatan kangouw untuk membela negara. Dan ayah menyetujui niatnya yang mulia itu, yaitu membantu pemerintah melalui dunia kang-ouw, dunia persilatan yang menjadi dunianya."
Kui Hong mengerutkan alis. Dia sendiri merasa bingung. Dia tahu bahwa meski pun Ang-hong-cu seorang tokoh sesat yang amat jahat terhadap wanita, tetapi harus diakui bahwa dia bukan pemberontak, dan setia terhadap kerajaan. Pernah hal ini dibuktikannya ketika Ang-hong-cu menyamar sebagai Han Lojin dan membantu pemerintah dalam membasmi gerombolan pemberontak yang dipimpin Lam-hai Giam-lo.
Tetapi apakah benar bahwa Ang-hong-cu meninggalkan kedudukan dan kemuliaan hanya untuk dapat berbakti kepada negara melalui dunia kang-ouw? Sehebat itukah semangat kepahlawanan seorang penjahat cabul macam Ang-hong-cu itu? Tidak, dia tidak percaya! Tentu ada pamrih lain di balik kepatriotannya itu! Dan dia akan menyelidikinya, walau pun tentu saja dia tidak mungkin memusuhinya karena telah terbelenggu oleh janjinya sendiri.
Karena hari sudah menjelang senja, Kui Hong minta diri lalu meninggalkan taman itu dan memasuki kamarnya. Setelah tiba di dalam kamarnya, dia lantas membanting diri di atas pembaringan, telentang dan melamun. Pengakuan cinta Cang Sun sudah membangkitkan semua kenangan lama, pengalaman-pengalaman yang sudah lalu.
Dengan hati perih harus diakuinya bahwa dia amat merindukan Hay Hay! Dan dia pernah menuduh pemuda itu sebagai Ang-hong-cu pemerkosa wanita! Akan tetapi bagaimana dia dapat memikirkan tentang cinta pada saat-saat semacam itu? Cinta? Menikah? Dia sudah bersumpah untuk tidak menikah sebelum Ang-hong-cu tewas! Dan jelas penjahat itu tidak mungkin dapat tewas di tangannya.
Kui Hong menarik napas panjang. Dua tugasnya, yaitu mencari Sim Ki Liong dan Tang Cun Sek, lalu merampas dua pedang pusaka Cin-ling-pai dan Pulau Teratai Merah belum terlaksana dan dia sudah gagal pula menangkap Ang-hong-cu, bahkan terikat janji yang membuat dia sama sekali tidak berdaya terhadap penjahat itu. Kalau membayangkan hal ini, ingin rasanya dia menjerit-jerit dan menangis.
Engkau sungguh tolol telah berjanji seperti itu. Ratusan kali dia memaki dan menyalahkan diri sendiri. Akan tetapi dia bergidik kalau dia membayangkan keadaannya ketika tertawan Ang-hong-cu. Kalau saja saat itu dia dibunuh, hal itu tidak mengapa. Tetapi Ang-hong-cu adalah penjahat cabul yang keji. Dia akan mengalami siksaan dan penghinaan yang jauh lebih hebat dari kematian. Itulah yang memaksanya untuk berjanji!
Tapi itu berarti bahwa dia masih dicengkeram perasaan takut! Demikian dia menyalahkan dirinya sendiri. Walau tidak takut menghadapi maut akan tetapi masih takut menghadapi siksaan, penghinaan dan pemerkosaan! Itu berarti bahwa tetap saja dia adalah seorang penakut, seoang pengecut! Karena pengecutnya, kini dia harus membiarkan jai-hwa-cat itu bebas dan bertindak semaunya tanpa dia mampu turun tangan. Dia pengecut!
Beberapa titik air mata menetes turun ke atas kedua pipinya. Kui Hong merasa menyesal bukan main. Dia tidak pantas menjadi seorang pendekar, sama sekali tak pantas menjadi pangcu dari perkumpulan orang gagah seperti Cin-ling-pai. Dia terlalu mementingkan diri sendiri, terlalu sayang pada diri sendiri. Dengan perasaan amat tertekan, pada keesokan harinya Kui Hong menghadap Menteri Cang Ku Ceng dan berpamit untuk meninggalkan rumah keluarga Cang, bahkan meninggalkan kota raja.
"Ehhh? Kenapa tergesa-gesa, Kui Hong? Aku sedang menanti hasil penyelidikan tentang dua orang muda itu. Selain kuserahkan kepada para penyelidik, juga aku minta bantuan bekas perwira Tang."
"Paman, saya tidak ingin membikin paman lebih repot lagi. Sudah terlalu lama saya pergi meninggalkan orang tua saya. Saya ingin pulang dan melaporkan semua kegagalan saya kepada ayah dan ibu."
"Kui Hong, kami sudah menganggap engkau sebagai keluarga sendiri. Sayang..." sampai di sini suara Nyonya Cang jadi tersendat. “...sayang engkau tidak berjodoh dengan putera kami, akan tetapi hal itu tidak menghalangi kami untuk menyayangimu sebagai keluarga sendiri."
Mendengar ini, Kui Hong melirik ke arah Cang Sun dan merasa berterima kasih. Pemuda itu agaknya telah memberi tahukan ayah ibunya tentang penolakannya dan keluarga yang budiman itu agaknya sama sekali tidak mendendam atau menyesal. Dan hal ini membuat perasaan hatinya menjadi semakin rikuh.
Setelah mencoba untuk menahan namun tidak berhasil, akhirnya Menteri Cang berkata, "Baiklah, Kui Hong. Kami tak berhak untuk menahanmu lebih lama lagi di sini, akan tetapi kami sungguh mengharapkan agar engkau tidak melupakan kami yang menganggapmu seperti keluarga sendiri."
Bagaimana pun juga sikap ramah dan akrab dari keluarga itu mendatangkan keharuan di dalam hati pendekar wanita itu. Dia memberi hormat, lantas berkata dengan suara tegas, "Percayalah, Paman dan Bibi, juga engkau, Cang-toako, bahwa aku Cia Kui Hong selama hidupku takkan melupakan keluarga Cang yang budiman. Semoga kelak kita dapat saling bertemu kembali dalam suasana yang lebih akrab dan bahagia."
Biar pun tadinya dia menolak, namun karena desakan Menteri Cang, akhirnya Kui Hong tidak mampu menolak lagi ketika tuan rumah itu menghadiahkan seekor kuda yang amat baik kepadanya. Dengan diantar oleh keluarga itu sampai di pintu gerbang rumah mereka, Kui Hong kemudian meninggalkan keluarga itu sesudah sempat membisikkan kata-kata yang membuat Menteri Cang Ku Ceng termenung setelah gadis itu pergi. Bisikan itu hanya singkat saja.
"Paman, kuharap Paman sekali lagi bertanya kepada Hong-houw tentang penjahat cabul di istana itu."
Kui Hong memang sengaja membisikkan kata-kata ini. Dia tidak berani untuk menyebut nama Ang-hong-cu karena sudah terikat janji. Maka dia menganjurkan pejabat tinggi itu untuk menyelidiki lagi melalui Permaisuri. Kalau Permaisuri berani menyatakan kebenaran terhadap keterangan Tang Bun An yang jelas berbohong, maka tentu ada apa-apa di balik pernyataan itu, ada apa-apa yang tidak wajar antara Permaisuri dan Ang-hong-cu!
********************
"Aduh, aku lelah sekali, Hay-ko," dara itu mengeluh, lalu menjatuhkan diri duduk di bawah sebatang pohon besar, menyandarkan punggungnya pada batang pohon dan menjulurkan kedua kakinya, memijati kedua kaki itu dengan tangan kanan, sedangkan tangan kirinya melepaskan ikatan buntalan kain di pundak, kemudian menghapus keringat dari leher dan dahinya.
Hay Hay terpaksa berhenti dan memandang gadis itu sambil tersenyum. Mayang sungguh manis bukan main. Anak rambut di dahinya menjadi kusut ketika dia menggunakan sapu tangan menghapus keringatnya, akan tetapi justru keadaan pakaian yang tidak rapi, anak rambut yang kusut, muka yang basah oleh keringat itu yang membuat dia terlihat semakin manis!
Rambutnya yang panjang hitam dikuncir dua tergantung manja di depan dada. Matanya yang sipit sekarang terpejam sehingga nampak bulu mata merapat lentik, hidungnya yang mancung kembang-kempis dan mulutnya yang kecil dengan bibir merah basah itu sedang cemberut. Kulit muka dan leher yang putih mulus itu kini kemerahan.
Memang semenjak pagi mereka melakukan perjalanan tiada hentinya dan kini telah lewat tengah hari, karena itu tidak mengherankan kalau gadis itu mengeluh kelelahan. Memang Mayang bukan seorang gadis lemah, bahkan dia pandai berburu, sudah biasa berkeliaran di hutan-hutan dan gunung-gunung. Akan tetapi baru sekarang ini bersama Hay Hay dia melakukan perjalanan yang jauh dan berjalan kaki setiap hari melalui daerah-daerah yang terjal dan sukar.
Hay Hay merasa iba juga dan dia pun menghampiri, lalu duduk pula di dekat adik tirinya itu, menurunkan buntalan dari punggungnya.
“Sudah kukatakan bahwa perjalanan ini amat jauh, Mayang, sangat melelahkan, apa lagi bagi seorang gadis seperti engkau. Kasihan engkau, Mayang."
Sepasang mata yang tadinya terpejam itu terbuka, sipit namun indah bentuknya, dengan kedua ujung pinggir meruncing dan naik, lalu mulut yang cemberut itu kembali mengeluh, "Uuhh, koko, kau bilang kasihan? Jangan kasihani aku, akan tetapi kasihanilah sepasang kakiku ini. Seperti remuk rasanya!"
Hay Hay mendekati gadis itu. Dia memang merasa iba dan dapat membayangkan betapa nyeri rasa kedua kaki yang kecil mungil itu. Otot-otot kedua kaki itu tidak biasa digunakan untuk berjalan jarak jauh, maka tentu terasa nyeri dan penat, otot-otot seperti mau pecah dan tulang seperti retak-retak. Tetapi kelelahan pada otot-otot itu mudah saja dilenyapkan atau dikurangi.
"Mari kupijati kedua kakimu untuk menghilangkan rasa penat itu, adikku,” katanya, lantas tanpa menanti jawaban kedua tangannya sudah mulai memijati kaki kiri Mayang.
Dengan jari-jari tangannya yang peka dan terlatih, Hay Hay lalu memijati serta menekan jalan-jalan darah dan otot-otot besar di paha, belakang lutut, betis dan di sepanjang kaki, memulihkan jalan darah dan melemaskan otot-otot yang menjadi kaku. Dia melakukannya dengan lembut sekali sehingga Mayang merasa keenakan. Bukan hanya nyaman rasanya ketika dipijati oleh seorang ahli yang tahu akan jalan darah, akan tetapi dia juga merasa seolah-olah jari tangan itu menyentuh kakinya penuh kemesraan dan kasih sayang, meski pun kakinya terbungkus celana sutera.
Mayang kembali memejamkan sepasang matanya dan hatinya dipenuhi kemesraan yang mengharukan. Seketika dia lupa bahwa pemuda yang tengah memijati kakinya itu adalah saudaranya seayah, dan timbul pula perasaan kasih sayangnya sebagai seorang wanita terhadap seorang pria, yang membuat pernapasannya tersendat-sendat.
Hay Hay yang sudah mulai memijati kaki kanan, tentu saja dapat melihat dan mendengar pernapasan Mayang. Dia mengangkat muka, lalu memandang wajah gadis itu dan melihat wajah itu kini menjadi merah sekali, betapa cuping hidung yang mancung itu berkembang kempis dan mulutnya agak terbuka, seolah pernapasan tidak cukup melalui kedua lubang hidungnya. Karena pemijatan itu memang sudah selesai, Hay Hay lalu menghentikannya dan bertanya sambil menyentuh pundak gadis yang masih memejamkan kedua mata itu.
"Mayang, engkau kenapakah? Sakitkah engkau?" tanyanya penuh kekhawatiran.
Sentuhan pada pundak yang lembut itu seperti menjebolkan bendungan. Sambil merintih Mayang kemudian merangkul Hay Hay dan menangis pada dada pemuda itu, menangis sesenggukan sehingga amat mengejutkan Hay Hay. Dia tidak tahu kenapa Mayang dapat menangis sesedih itu. Padahal sepanjang pengetahuannya Mayang adalah seorang gadis yang tabah, bahkan keras hati dan tidak cengeng sama sekali. Andai kata dia terlampau kelelahan sekali pun, tidak mungkin dia menangis seperti anak kecil.
Akan tetapi melihat betapa dara itu menangis dengan sungguh-sungguh, menangis penuh kesedihan, dia pun tak berani main-main dan membiarkan gadis itu menangis sepuasnya. Pada saat seperti itu, tangis merupakan obat yang paling ampuh bagi orang yang sedang dilanda kesedihan.
Dia pun hanya mengelus kepala gadis itu dengan kasih sayang seorang kakak. Dia sama sekali tidak tahu betapa elusan tangan yang lembut pada kepala itu menambah derasnya air mata mengalir dari kedua mata sipit itu.
Bagaimana pun derasnya hujan pasti akan mereda. Air mata pun akan terkuras habis dan tangis pun akan terhenti. Apa lagi bagi seorang gadis semacam Mayang, seorang gadis berhati baja. Biar pun tadi dia terseret dan terhanyut oleh keharuan hatinya, akhirnya dia dapat menenteramkan hatinya dan kini isaknya semakin lirih dan jarang.
"Nah, sekarang coba katakan, mengapa engkau menangis?" kata Hay Hay, masih lembut dan belum berani bercanda seperti biasanya, takut kalau akan salah ucap dan menyentuh kembali hati gadis itu.
Mayang masih merangkulkan kedua tangannya di leher Hay Hay, tetapi kini rangkulannya semakin kuat seolah-olah dia mengerahkan tenaga dan memaksa diri untuk bicara.
"Hay-ko... maafkan aku... akan tetapi aku... aku... sangat cinta padamu...”
Hay Hay mencium rambut di kepala gadis itu sambil tersenyum. "Aihh, tentu saja. Aku pun amat cinta kepadamu, Mayang. Engkau adikku dan aku kakakmu..."
"Tidak! Bukan itu! Aku cinta padamu bukan sebagai adik, melainkan... ahh, koko, engkau tentu tahu... aku... aku hanya akan dapat hidup berbahagia kalau menjadi isterimu..."
"Mayang...!"
Hay Hay cepat melepaskan rangkulannya dan dengan lembut mendorong gadis itu, lantas dipegangnya kedua pundak gadis itu dan dijauhkan, dipaksanya supaya mereka saling pandang. Dengan mata sipit dan agak membengkak gadis itu memandang, sinar matanya penuh kedukaan.
"Mayang, adikku yang bengal! Apa yang kau katakan ini? Inginkah engkau menyeret kita berdua ke dalam lembah dosa yang tak dapat diampuni? Kita ini saudara, Mayang. Ingat, kita saudara seayah! Kita sama-sama satu darah, satu she (Marga) sehingga kalau kita menjadi suami isteri, bukan hanya seluruh manusia akan mengutuk kita, juga Tuhan akan menghukum kita. Sadar dan ingatlah, adikku. Kalau karena keadaan kita tidak bisa saling mencinta seperti suami isteri, apakah kita tidak dapat saling mencinta sebagai kakak dan adik?"
Mayang memandang wajah Hay Hay dengan mengejap-ngejapkan matanya yang penuh air mata, dan dia pun mengangguk-angguk. Gerakan ini membuat beberapa titik air mata yang telah bergantung pada pelupuk matanya kini berjatuhan. Pemandangan ini demikian mengharukan hati Hay Hay sehingga dia pun menahan air matanya keluar dari sepasang matanya yang panas. Ia tahu bahwa andai kata Mayang bukan adiknya seayah, mungkin saja dia benar-benar akan jatuh cinta kepada gadis ini, dan akan mencintainya sebagai seorang isteri yang baik.
"Ehhh, bagaimana rasanya kedua kakimu sekarang?" tanya Hay Hay untuk mengalihkan persoalan dari batin adiknya.
Mayang memandang ke arah kakinya, kemudian mulutnya yang kecil mungil membentuk senyum lagi. Senyum itu mendatangkan kecerahan seperti matahari tersembul dari balik awan setelah hujan mereda. Dia lalu bangkit berdiri, melangkah ke sana-sini, menggerak-gerakkan kedua kakinya.
"Wah sudah tak terasa lelah lagi, Hay-ko. Hebat, engkau boleh membuka praktek menjadi tukang pijat. Pasti laris!"
"Ihh! Kau ingin kakakmu ini menjadi tukang pijat? Siapakah yang akan suka membiarkan tubuhnya kupijati?"
"Siapakah yang akan suka? Hemm, Hay-koko, akan banyak yang berdatangan, terutama kaum wanitanya. Tukang pijatnya tampan, dan pijatannya sungguh membuat tubuh terasa nyaman, menghilangkan semua kelelahan. Wanita-wanita akan berebutan dan antri untuk minta kau pijati, dan mereka pasti berani membayar mahal!"
"Huh, bagaimana jika yang berdatangan dan antri itu nenek-nenek yang napasnya sudah empas-empis? Jangan-jangan mereka itu kehabisan napas ketika sedang kupijati. Bukan upah banyak yang kudapatkan, malah urusan berabe, orang menyangka aku membunuh para nenek itu!"
Mayang tertawa dan diam-diam Hay Hay gembira bukan main melihat adiknya itu sudah dapat tertawa. Memang bukan watak Mayang untuk menjadi seorang wanita cengeng.
"Koko, kenapa engkau ini bisa segala-galanya? Apa sih yang kau tidak bisa? Dari mana pula engkau mempelajari ilmu pijat yang membuat badan terasa begini enak?"
"Mayang, apa sukarnya mempelajari ilmu memijat seperti tadi? Bukankah engkau sudah banyak mempelajari ilmu silat dari subo-mu? Engkau pun tentu sudah mempelajari letak jalan darah dan kedudukan tulang. Nah, pengetahuanmu tentang itu sudah cukup menjadi dasar untuk mempelajari ilmu pijat. Jika nanti ada waktu senggang biarlah akan kuajarkan kepadamu biar kelak kalau ada yang membutuhkan, engkau akan dapat memijatinya dan mengusir kelelahan dari tubuhnya.”
"Ihh, siapa yang akan membutuhkan aku untuk memijatinya?"
"Siapa lagi kalau bukan... ehh, suamimu kelak."
Sepasang mata yang sipit itu dilebarkan, dan mulut yang tadinya tersenyum itu cemberut. Mayang bangkit berdiri dan bertolak pinggang.
"Hay-ko, engkau nakal! Aku tidak akan mempunyai suami!"
"Ehhh, kenapa, Mayang? Maafkan, tadi aku hanya main-main. Bagaimana pun juga kelak engkau tentu akan menikah dan sudah sepatutnya kalau engkau memijati suamimu. Itu hal yang wajar, bukan?"
"Tidak! Aku tidak akan menikah!"
“Ehh, bagaimana mungkin? Engkau adikku yang begini manis, begini cantik jelita, begini lihai dan pandai. Ribuan orang pemuda akan saling berebutan untuk menjadi suamimu, dan engkau tidak akan menikah?"
"Aku tidak akan suka bicara tentang perjodohan sebelum..."
“Sebelum apa? Hayo katakan, sebelum apa, adikku sayang?"
"Sebelum engkau sendiri menikah, Hay-ko."
Hay Hay berhenti bernapas. Lehernya terasa seperti dicekik dari dalam karena keharuan yang menyerbu keluar dari dalam hatinya. Dia mengerti. Mayang demikian mencintanya, cinta seorang gadis terhadap seorang pemuda, cinta seorang wanita terhadap pria, bukan cinta kasih antara saudara.
Hanya kenyataan bahwa mereka adalah saudara seayah sajalah yang membuat gadis itu memaksa diri agar melihat kenyataan dan menekan gejolak hatinya. Akan tetapi cintanya masih tetap dan gadis itu tentu saja merasa berat untuk menikah dengan pria lain, maka mengatakan bahwa dia baru mau bicara tentang perjodohan setelah Hay Hay, pria yang dicintanya, juga kakaknya sendiri, telah menikah dengan wanita lain tentu saja.
Sesudah berdiam sesaat dan memandang kepada adiknya, akhirnya dapat pula Hay Hay mengeluarkan keluhan lirih, “Mayang...”
Mendengar suara yang menggetar ini dan melihat wajah kakaknya seperti orang menahan tangis. Mayang menubruk dan merangkul pinggang Hay Hay, menyembunyikan mukanya di dada pemuda itu.
"Hay-ko, ahhh... maafkan aku, Hay-koko…"
"Engkaulah yang harus memaafkan aku, Mayang. Adikku sayang…!"
Beberapa lamanya mereka berpelukan, tapi kini dengan perasaan kasih sayang kakak dan adik, sampai kemudian Hay Hay merasa betapa lemahnya mereka membiarkan perasaan mereka hanyut oleh keharuan.
"Wah-wahh, apakah kita ini sedang main di panggung, menjadi anak wayang? Ha-ha-ha, sayang tidak ada penontonnya!"
Mayang menatap wajah pemuda itu, lalu dia pun terkekeh-kekeh geli sehingga suasana menjadi gembira sekali. Mereka lalu melanjutkan perjalanan sambil bergandengan tangan dan di sepanjang perjalanan itu Mayang bernyanyi-nyanyi. Semua kedukaannya tadi telah terlupa dan kini mereka seperti kakak beradik yang sedang pesiar bersenang-senang.
Setelah melakukan perjalanan cepat, kadang melalui air sungai, kadang mereka membeli kuda dan berkuda, akhirnya tibalah mereka di daerah kota raja. Di sepanjang perjalanan mereka hanya menemukan rintangan yang tak berarti, akan tetapi berkat ilmu kepandaian mereka yang tinggi, semua rintangan dapat mereka atasi dan beberapa kali perampokan terhadap mereka berakhir dengan kocar-kacirnya para perampok.
Pada suatu sore tibalah mereka di sebuah dusun di luar kota raja. Ketika mereka sedang menanyakan jalan yang menuju ke kota raja kepada penduduk dusun, seorang penduduk tua yang merasa khawatir melihat Mayang gadis yang cantik jelita lagi muda itu, segera rnemberi nasehat.
"Sebaiknya kalau Kongcu dan Siocia (Tuan muda dan Nona) bermalam saja di dusun ini dan besok setelah matahari naik baru melanjutkan ke kota raja."
"Akan tetapi kenapa, Paman? Apakah perjalanan ini tidak aman?" tanya Mayang kepada penduduk dusun itu.
"Apakah di tengah perjalanan ada gangguan dari perampok, Paman? Ataukah gangguan dari binatang buas?" tanya pula Hay Hay.
Kakek itu menggelengkan kepalanya. "Jika bicara tentang keamanan, sekarang di sekitar daerah kota raja aman, tidak pernah terjadi perampokan, bahkan tidak ada pencuri berani melakukan kejahatan. Namun sungguh tidak aman sama sekali melakukan perjalanan di waktu sore dan malam hari bagi seorang gadis muda dan cantik seperti Nona. Perjalanan rnenuju ke kota raja masih cukup jauh dan sunyi sekali pada malam hari. Maka sebaiknya melakukan perjalanan pada besok hari siang saja, di mana terdapat banyak orang berlalu lalang sehingga Nona tidak akan terancam gangguan."
"Hemm, apakah tak ada jalan pintas yang lebih dekat, Paman?” tanya Hay Hay, maklum akan maksud ucapan kakek itu. Kecantikan Mayang tentu akan menarik perhatian banyak pria yang mata keranjang dan hidung belang, dan mereka itulah yang nanti akan menjadi pengganggu, bukan para perampok yang menghendaki uang.
"Ada, ada jalan pintas melalui hutan di bukit sana itu. Lebih dekat dan akan makan waktu yang lebih singkat, akan tetapi juga lebih berbahaya karena di sana banyak berkeliaran binatang buas dan di sana pun keselamatan seorang gadis seperti Nona akan terancam.”
"Tetapi siapakah yang akan menganggu aku, Paman? Dan mengapa pula seorang wanita diganggu? Siapa mereka yang suka menganggu wanita?”
"Sstt, jangan keras-keras bicara, Nona," kata kakek itu setengah berbisik sambil matanya memandang ke kanan ke kiri dengan sikap jeri. "Tidak ada penjahat yang menggunakan kekerasan. Akan tetapi sekarang banyak sekali orang-orang gagah yang agaknya sedang membutuhkan isteri. Bila mereka bertemu seorang gadis, apa lagi yang muda dan cantik seperti Nona, mereka akan memaksa Nona untuk menjadi isteri. Isteri yang sah! Sudah banyak sekali gadis yang menjadi isteri orang-orang itu."
"Ehhh? Kalau aku tidak mau, apakah mereka akan memaksaku?" tanya Mayang dengan sikap penasaran dan mulai marah. "Kalau begitu, mereka itu sama saja dengan penjahat, bahkan lebih keji lagi!"
"Ssttt... jangan keras-keras, Nona. Mereka itu bukan penjahat, dan tidak pernah terdengar berita bahwa mereka memaksakan kehendak atau memperkosa wanita. Nyata-nyata para gadis itu mau menjadi isteri mereka. Mereka benar-benar bukan penjahat, bahkan semua penjahat takut kepada mereka. Mereka adalah para anggota perkumpulan Ho-han-pang."
Mendengar nama perkumpulan itu, Mayang dan Hay Hay bertukar pandang. Ho-han-pang (Perkumpulan Patriot Gagah)? Kalau nama itu benar sesuai, maka tentu saja mereka tak perlu khawatir akan mendapat gangguan. Mana mungkin para ho-han, yaitu sebutan bagi orang-orang gagah yang berjiwa pahlawan, mau mengganggu wanita?
"Paman, di mana lebih banyak kemungkinan kita bertemu dengan para ho-han itu, melalui jalan raya ataukah melalui jalan pintas?” tanya Hay Hay.
Kakek itu mengerutkan alisnya. "Kongcu, bila engkau sendiri yang melakukan perjalanan, maka melalui jalan raya tidak akan ada bahaya apa pun. Akan tetapi bagi Nona ini..., di jalan raya tentu akan bertemu banyak anggota Ho-han-pang..."
“Jangan khawatir, Paman. Kami adalah sahabat para ho-han (orang gagah). Terima kasih, Paman, kami akan melanjutkan perjalanan sekarang juga."
Setelah berkata demikian, Hay Hay lalu meloncat ke atas punggung kudanya, diikuti oleh Mayang. Gadis ini tersenyum manis kepada kakek itu, sedikit pun tidak memperlihatkan rasa takut dan melihat cara gadis itu meloncat ke atas kuda, kakek itu pun bisa menduga bahwa gadis cantik itu tentulah seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Kalau tidak begitu, mana ada gadis muda cantik yang tidak takut menghadapi orang-orang Ho-han-pang, bahkan menganggap mereka sebagai sahabat?
Hay Hay dan Mayang segera membalapkan kuda mereka keluar dari dusun itu. Sesudah cukup jauh meninggalkan dusun, mereka menahan kuda mereka dan Hay Hay mengajak adiknya bicara.
"Bagaimana pendapatmu tentang keterangan kakek tadi, Mayang?"
"Mengenai Ho-han-pang itu? Aku merasa sangat curiga, Hay-ko. Mana ada ho-han yang suka mengganggu wanita?"
"Cocok sekali dengan perasaanku, Mayang. Keterangan tadi tentu hanya mempunyai dua arti. Pertama, ada gerombolan orang jahat yang berkedok perkumpulan orang gagah dan menggunakan nama muluk Ho-han-pang. Dan ke dua, keterangan kakek tadi yang keliru. Mereka memang orang-orang gagah yang bergabung dalam perkumpulan Ho-han-pang, dan kakek tadi yang jahat dan memusuhi mereka maka menyebar berita bohong supaya dapat memburukkan mereka."
Mayang mengangguk-angguk. "Mudah-mudahan saja kita akan berjumpa dengan mereka lantas membuktikannya sendiri, orang-orang macam apa adanya mereka yang mengaku para anggota Ho-han-pang itu. Atau mungkin mereka bukan orang yang suka melakukan kejahatan seperti mencuri atau merampok, seperti dikatakan kakek tadi bahwa daerah ini sekarang aman karena para penjahat takut kepada Ho-han-pang, melainkan sekumpulan laki-laki mata keranjang seperti..." Dara itu menghentikan ucapannya dan cepat menutupi mulutnya seperti hendak mencegah kata-kata selanjutnya meloncat keluar dari mulut kecil itu.
"Seperti apa, Mayang?"
"Seperti... engkau, Hay-ko!”
Hay Hay mengerutkan alisnya, pura-pura marah. "Ihhh, engkau menghina aku, ya? Siapa yang mata keranjang? Kau memang bengal!”
Tangannya meraih hendak mencubit, akan tetapi Mayang tertawa-tawa sambil membedal kudanya, membalap ke depan, dikejar Hay Hay. Mereka berkejaran sambil tertawa-tawa, seperti dua orang kanak-kanak bermain-main dan diam-diam perasaan Hay Hay menjadi girang melihat adiknya sama sekali sudah melupakan kedukaannya tadi.
Dia tidak tertarik untuk menyelidiki orang-orang Ho-han-pang itu. Urusannya sendiri sudah cukup penting namun belum juga mampu dia laksanakan dengan hasil baik, yaitu mencari Ang-hong-cu, musuh besarnya sekaligus juga ayah kandungnya, yang bukan saja sudah melakukan banyak sekali kejahatan mengganggu wanita, tetapi juga telah mencemarkan nama baiknya sebab orang-orang gagah menyangka bahwa dialah yang telah melakukan perkosaan dan gangguan terhadap para wanita itu.
Tiba-tiba Mayang menahan kudanya. Melihat gadis itu menghentikan kudanya, Hay Hay juga ikut menahan kendali kudanya. Dia tidak perlu bertanya lagi karena dia yang berada di belakang Mayang juga telah melihat apa yang membuat adiknya itu berhenti. Di depan mereka terdapat lima orang penunggang kuda sedang malang melintang di tengah jalan raya. Jelas lima orang itu sengaja menghadang mereka dan memenuhi jalan.
Dia memandang tajam penuh perhatian kepada kelima orang itu. Matahari belum rendah benar dan sinarnya masih cukup terang. Lima orang itu adalah pria semua, berusia antara dua puluh lima sampai tiga puluh lima tahun. Mereka berpakaian ringkas yang cukup rapi dan bahkan nampak mewah.
Melihat gagang pedang atau golok di punggung mereka, mudah diketahui bahwa mereka adalah orang-orang dunia persilatan. Muka mereka terawat dan bersih, dan sikap mereka pun tidak kasar seperti para perampok atau penjahat pada umumnya. Sikap mereka lebih pantas seperti sikap orang-orang muda bangsawan atau hartawan yang berlagak congkak mengandalkan kedudukan atau kekayaan orang tua mereka.
Mereka juga berlagak gagah-gagahan seperti biasanya dilakukan oleh orang-orang yang memiliki ilmu silat yang kepalang tanggung dan merasa bahwa dirinya adalah orang yang paling lihai di dunia ini. Gentong kosong gaungnya lebih nyaring dari pada gentong penuh isi. Ayam katai keruyuknya lebih nyaring dari pada ayam besar.