TANG GUN amat terkejut, mencoba untuk mengelak sambil menangkis, namun masih saja tendangan kaki orang itu menyerempet pahanya. Dia pun cepat-cepat meloncat dari atas pembaringan sambil mencabut pedang Kwan-im-kiam!
“Sumoi....!” Han Siong memanggil lirih saat melihat sumoi-nya tergeletak terlentang dalam keadaan sudah telanjang bulat sama sekali. Cepat dia menggerakkan tangannya menotok jalan darah di pundak dan tengkuk gadis itu. "Cepat berpakaian, Sumoi!"
Kini Bi Lian dapat bergerak. Biar pun kaki tangannya masih terasa kaku, dia cepat meraih pakaiannya dan mengenakan pakaiannya dengan tergesa-gesa.
Tang Gun marah bukan main. Diumpamakan daging sudah di depan mulut, kini tergelincir lepas. "Keparat busuk!" bentaknya.
Dia pun langsung menyerang dengan pedang Kwa-im-kiam. Akan tetapi Han Siong telah mengerahkan kekuatan sihirnya kemudian dia menuding ke arah pedang di tangan Tang Gun sambil membentak dengan suara nyaring penuh wibawa.
"Engkau memegang ular itu untuk apa?"
Tang Gun tertegun. "Ular...?" Dan otomatis dia memandang ke arah pedang pada tangan kanannya dan matanya terbelalak lebar, mukanya pucat seketika.
"Ular....!" teriaknya.
Dia pun cepat melemparkan pedang itu ke atas lantai dengan jijik karena yang dilihatnya bukan lagi pedang, tetapi seekor ular yang dipegang tangan kanannya. Timbul perasaan takut di hatinya sehingga dia hendak melarikan diri melalui pintu yang dijebol itu. Akan tetapi nampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu sumoi-nya, Siangkoan Bi Lian, sudah berdiri di ambang pintu menghadangnya!
"Suheng, serahkan keparat ini kepadaku. Tolonglah Cia Kui Hong, dia berada di kamar sebelah!" kata Siangkoan Bi Lian. Mendengar ini Han Siong segera meloncat keluar dari dalam kamar itu.
"Jahanam busuk, sekarang saatnya kita menyelesaikan perhitungan sampai tuntas!" kata Bi Lian dengan sikap tenang, tetapi sepasang matanya mencorong seperti mata naga dan mukanya merah karena dia sudah marah sekali. Tang Gun merasa jeri sekali.
"Sumoi.... tadi aku telah khilaf... maafkanlah aku, Sumoi, dan biarkan aku pergi. Aku amat menyesal...”
"Jahanam busuk! Engkau sudah membohongi dan menipu orang tuaku sehingga engkau berhasil mencuri ilmu silat kami! Kemudian, aku yang menjadi sumoi-mu sudah bersusah-payah hendak membantumu mencari musuhmu. Ternyata engkau adalah anak Ang-hong-cu, sudah bersekongkol dengan ayahmu untuk menawanku secara curang dan pengecut! Semua ini masih ditambah lagi dengan perbuatanmu yang terkutuk tadi. Engkau hendak memperkosa aku! Dan sekarang engkau minta maaf? Hemmm, orang she Tang! Biar pun engkau kubunuh sampai seratus kali, hutangmu masih belum lunas!"
Tang Gun merasa takut sekali. Ketika sumoi-nya itu menjadi tawanan, dia pun tidak lagi menyembunyikan kenyataan dirinya bahwa dia bernama Tang Gun dan putera Ang-hong-cu, maka sekarang Bi Lian sudah mengetahui semua rahasianya. Bagaikan seekor anjing tersudut, matanya melirik ke sana-sini mencari lubang untuk melarikan diri.
Pandang matanya melihat pedang Kwan-im-kiam yang tadi dibuangnya karena pedang itu berubah menjadi ular. Sekarang pedang itu menggeletak di sana, tidak lagi berbentuk ular melainkan sebatang pedang biasa! Tahulah dia bahwa tadi dia berada di bawah pengaruh sihir! Kini, melihat Kwan-im-kiam menggeletak di sana, matanya berkilat dan tiba-tiba saja dia membuat gerakan ke kiri, menubruk ke arah pedang itu.
"Deessss....!"
Tubuhnya terpelanting akibat sebuah tendangan yang datang dari kiri dan tepat mengenai lambungnya. Tang Gun segera meloncat bangun lagi dan ternyata pedang Kwan-im-kiam telah berada di tangan Bi Lian. Gadis itu tersenyum mengejek.
"Pedang ini terlalu bersih untuk dijamah tanganmu yang kotor,” katanya dan menyimpan kembali pedang itu ke dalam sarung pedang yang sudah diambilnya dari atas meja, lantas memasang pedang itu di punggungnya. Dengan menyimpan pedang pusaka miliknya itu, berarti dia memandang rendah Tang Gun yang cukup dihadapinya dengan tangan kosong saja.
Tang Gun tidak melihat jalan lain kecuali membela diri. Cintanya terhadap Bi Lian lenyap seperti asap tipis tertiup angin, dan sekarang yang ada hanyalah kebencian dan keinginan untuk membunuh gadis itu atau setidaknya untuk dapat menghindarkan diri dari ancaman sumoi-nya ini.
Cinta nafsu memang tidak tahan uji. Cinta nafsu bukanlah cinta, melainkan rangsangan gairah nafsu belaka. Sekali nafsu itu terpuaskan, maka cintanya pun akan segera luntur, dan kalau nafsu itu tidak tercapai, maka cintanya berubah kebencian.
Dia menanamkan kepercayaan kepada diri sendiri bahwa dia telah mempelajari ilmu-ilmu yang dikuasai gadis itu. Setidaknya dia akan sanggup menandingi Siangkoan Bi Lian, apa lagi karena gadis itu pun tidak mempergunakan pedangnya.
Tang Gun menggerak-gerakkan kedua lengannya menghimpun tenaga dalam, kemudian sambil mengeluarkan bentakan nyaring dia segera menyerang dengan pukulan dahsyat. Melihat betapa suheng-nya atau lebih tepat bekas suheng itu memainkan ilmu silat Kim-ke Sin-kun, ilmu ciptaan ayah ibunya, hati Bi Lian menjadi makin penasaran dan marah. Dimainkannya ilmu ini mengingatkannya bahwa pemuda di depannya sudah menipu ayah ibunya sehingga mereka berkenan menerima Tang Gun sebagai murid dan mengajarkan ilmu itu kepadanya.
Maka Bi Lian juga memainkan ilmu silat itu dan mereka pun bertanding dengan seru dan mati-matian. Karena gerakan mereka sama, maka mereka nampak seperti sedang latihan saja. Akan tetapi sebenarnya mereka saling serang dengan dahsyat, dengan jurus-jurus maut. Biar pun Bi Lian menang matang latihannya, di samping tingkat kepandaian gadis ini memang lebih tinggi, namun Tang Gun masih dapat bertahan dengan kenekatannya.
Sementara itu Han Siong cepat meloncat keluar kamar itu sesudah mendengar ucapan Bi Lian tadi. Dia percaya sepenuhnya bahwa sumoi-nya itu pasti akan marnpu rnengalahkan lawannya. Sekarang dia harus lebih dahulu menolong Cia Kui Hong yang berada di kamar sebelah.
Seperti juga tadi, kini dia menendang roboh daun pintu kamar sebelah dan benar saja, di situ terjadi hal yang hampir sama. Tang Cun Sek sedang menggeluti Cia Kui Hong! Akan tetapi agaknya Tang Cun Sek tidak tergesa-gesa seperti Tang Gun. Dia mencoba untuk merayu dan menundukkan hati Kui Hong. Agaknya Cun Sek ingin gadis itu menyerahkan diri dengan suka rela, maka dia tidak tergesa-gesa hendak rnemperkosanya.
Berbeda dengan Bi Lian yang tadi sudah hampir diperkosa, kini keadaan Kui Hong masih mengenakan pakaian lengkap. Cun Sek hanya membelai dan merayunya, memeluk dan menciuminya tanpa Kui Hong dapat mengelak atau melawan. Gadis ini pun lemas tertotok sehingga tidak mampu menggerakkan kaki tangan, juga tidak mampu berteriak.
"Brakkkkk....!"
Sesudah daun pintu jebol, barulah Cun Sek terkejut. Agaknya pemuda ini tadi tidak begitu memperhatikan kegaduhan yang terjadi di kamar sebelah karena dibakar nafsu birahinya. Sesudah daun pintu kamar itu jebol baru dia terkejut dan cepat-cepat meloncat turun dari pembaringan, membalik sambil mencabut sepasang pedang Hok-mo Siang-kiam, pedang pasangan yang dirampasnya dari Cia Kui Hong.
"Keparat!" bentak Han Siong dan dia pun telah menerjang dengan pedang Gin-hwa-kiam. Sinar perak berkilat menyilaukan mata.
Cun Sek terkejut bukan main ketika mengenal siapa orangnya yang datang merobohkan daun pintu. Tentu saja dia mengenal Pek Han Siong, bahkan dia pernah dikalahkan oleh pemuda ini. Karena maklum betapa lihainya lawan ini, maka dia pun cepat menggerakkan sepasang pedang Hok-mo Siang-kiam, menangkis sambil mengerahkan tenaganya.
“Trangggg...!”
Sepasang pedang di tangan Cun Sek terpental hingga hampir terlepas dari pegangan. Dia terkejut bukan main karena dia sempat terhuyung ke belakang. Kesempatan itu langsung digunakan oleh Han Siong untuk melompat ke dekat pembaringan. Tangan kirinya cepat membuat totokan dua kali pada tubuh Kui Hong dan gadis ini pun terbebas dari totokan.
Cun Sek yang ketakutan meloncat ke pintu, akan tetapi Han Siong sudah mendahuluinya dan menghadang di pintu sambil membentak. "Engkau hendak lari ke mana?!”
Cun Sek terkejut dan semakin jeri, akan tetapi karena tidak melihat jalan keluar, dia pun menjadi nekat dan menyerang dengan sepasang pedangnya. Namun serangannya dapat ditangkis dengan mudah oleh Han Siong. Sementara itu Kui Hong menggerak-gerakkan kaki tangannya untuk mengusir kekakuan dan kepegalan, lalu dia meloncat ke depan.
"Saudara Pek Han Siong, serahkan jahanam ini kepadaku! Aku yang akan membereskan keparat ini!"
Pek Han Siong maklum akan perasaan Cia Kui Hong, karena itu setelah mendesak lawan sehingga Cun Sek meloncat ke belakang, dia lalu menyerahkan pedangnya kepada gadis itu.
"Nona Cia Kui Hong, pakailah pedang ini. Ini adalah pedang rampasan dari Sim Ki Liong, sekarang kuserahkan kepadamu untuk dikembalikan ke Pulau Teratai Merah!"
"Gin-hwa-kiam....!" Kui Hong berseru girang ketika menerima pedang itu dari tangan Han Siong.
Sesudah menyerahkan pedang Gin-hwa-kiam itu kepada Kui Hong yang dia percaya akan mampu mengalahkan Cun Sek, Han Siong lalu meloncat keluar untuk melihat keadaan Bi Lian. Bagaimana pun juga dia mengkhawatirkan keselamatan sumoi-nya atau gadis yang dicintainya itu.
"Trang...! Cring...! Tranggg…!"
Bunga api berpijar-pijar menyilaukan mata ketika berulang kali kedua senjata itu bertemu di udara. Hay Hay mengerahkan tenaga saktinya, namun lawannya, Si Kumbang Merah yang merupakan ayah kandungnya sendiri, ternyata memiliki tenaga yang dahsyat pula.
Pertandingan antara mereka merupakan pertandingan bisu, tidak ada yang menyaksikan, namun pertandingan itu merupakan pertarungan antara mati dan hidup bagi Ang-hong-cu Tang Bun An. Si Kumbang Merah ini maklum bahwa Hay Hay atau Tang Hay, puteranya yang amat dikagumi juga sangat disegani, tidak mungkin akan suka melepaskannya. Dan dia tidak mau ditangkap. Ditangkap berarti penghinaan besar sebelum kematian, mungkin dihukum buang atau dihukum seumur hidup, mungkin juga mati dikeroyok para pendekar yang sakit hati kepadanya.
Tidak, dia harus dapat membunuh Hay Hay kalau dia ingin bebas, maka pertandingan itu merupakan persoalan mati hidup baginya. Dia mengeluarkan seluruh ilmu simpanannya dan mengerahkan semua tenaganya. Hanya satu yang dia khawatirkan, yaitu bila pemuda itu mempergunakan sihirnya. Dia sendiri memiliki kekuatan untuk menolak pengaruh sihir, akan tetapi kalau kekuatan sihir pemuda itu terlalu kuat maka dia akan terpengaruh dan ini berarti dia akan celaka.
Namun sedikit pun tidak terpikir oleh Hay Hay untuk mempergunakan ilmu sihirnya. Tidak, dia harus menunjukkan kepada orang ini, ayah kandungnya, bahwa dia seorang pendekar gagah sejati. Dia akan menggunakan ilmu silat untuk menangkap orang tua itu.
Hal yang membuat Hay Hay mengalami kesulitan adalah karena dia tak mau membunuh lawannya, melainkan ingin menangkapnya hidup-hidup. Kalau saja dia berkelahi dengan tekad membunuh, kiranya tak akan demikian sukarnya seperti sekarang. Dia membatasi serangannya agar tidak sampai membunuh lawan bila sampai mengenai sasaran, dan hal ini tentu saja mengurangi daya serangnya, mengurangi kehebatan serangan itu.
"Trang…! Tranggg...!”
“Haiiiiittt....!”
Setelah dua kali pisau di ujung rantai itu bertemu pedang di tangan Hay Hay, tiba-tiba Si Kumbang Merah membuat gerakan berputar dan kini ujung lain dari rantai itu menyambar ganas. Ujung lain ini berupa kaitan runcing. Hay Hay kembali menggerakkan pedangnya menangkis karena sambaran itu amat cepat sampai mengeluarkan suara berdesing,.
"Cringgg...!"
Ujung rantai yang berbentuk kaitan itu sekarang melibat pedang dan kaitannya mengkait pedang. Pada saat Hay Hay menarik untuk melepaskan pedangnya dari libatan rantai itu, tiba-tiba pisau itu menyambar lagi ke arah lehernya!
Serangan susulan ini hanya mungkin terjadi karena Hay Hay tidak bermaksud membunuh lawannya. Kalau dia menghendaki, dapat saja dia mengerahkan tenaga mukjijat yang dia latih dari Song Lojin, tenaga sinkang yang diperkuat tenaga sihir sehingga rantai itu akan putus dan pedangnya dapat meluncur menusuk dada lawan. Akan tetapi karena dia tidak ingin membunuh lawannya ini, maka dia mengerahkan tenaga hanya untuk menarik lepas pedangnya dan hal ini membuat lawan memperoleh peluang untuk menyerangkan pisau di ujung rantai.
Dalam keadaan terdesak itu Hay Hay merendahkan tubuhnya mengelak. Gerakan ini pun kembali merupakan mengalah, hanya untuk menghindarkan diri. Apa bila dia mau, maka dengan kekuatan tangannya yang dahsyat dia dapat menyambar dan menangkap rantai di balik pisau itu, kemudian melontar balikkan pisau ke arah penyerangnya.
Keadaannya makin terdesak Karena sikap mengalah ini, dan selagi dia mengelak dengan merendahkan tubuhnya, Si Kumbang Merah yang banyak pengalaman, memiliki banyak tipu muslihat dalam ilmu silatnya, telah mengirim tendangan secara tiba-tiba.
"Dessss...!"
Tubuh Hay Hay terlempar. Dia cepat bergulingan untuk menghindarkan diri dari sambaran pisau dan kaitan berganti-ganti karena lawannya sudah mengejarnya dan menghujankan serangannya. Walau pun dia tidak terluka, namun dadanya yang tertendang terasa nyeri.
Dia berhasil menghindarkan desakan senjata lawan kemudian meloncat berdiri. Namun Si Kumbang Merah tidak memberinya kesempatan untuk mengatur kedudukannya dan terus melakukan serangan dengan gencar. Hanya dengan menggunakan langkah ajaib Jiauw-pouw Poan-san saja Hay Hay mampu menghindarkan diri dari semua sambaran senjata itu.
Pertandingan antara ayah dan anak ini sungguh hebat. Ang-hong-cu Tang Bun An sudah mengeluarkan seluruh simpanan kepandaiannya untuk bisa merobohkan puteranya, akan tetapi semua serangannya itu sia-sia belaka dan karena usianya, juga karena dia seorang yang semenjak muda sering menghamburkan tenaga melalui keroyalannya dengan kaum wanita, maka mulailah dia terengah-engah, tubuhnya penuh keringat dan tenaganya mulai berkurang.
“Tar-tarr-tarrr...!"
Tiba-tiba terdengar suara ledakan-ledakan kecil, dan sebatang cambuk dengan ganasnya menyambar-nyambar di atas kepala Si Kumbang Merah hingga membuat dia terkejut dan cepat memutar rantainya ke atas kepala sambil meloncat ke belakang.
"Mayang....!" kata Hay Hay yang juga langsung menghentikan serangannya. Dia merasa girang sekali melihat adiknya selamat, namun juga khawatir melihat gadis itu menyerang Ang-hong-cu. "Jangan mencampuri, biarkan aku sendiri menghadapinya! Ini adalah urusan antara aku dan dia!"
Mayang mengerutkan sepasang alisnya, bertolak pinggang dengan tangan kiri sedangkan tangan kanannya mengamangkan cambuknya ke arah Ang-hong-cu, matanya mencorong marah memandang kepada orang yang menjadi ayah kandungnya itu.
"Tidak, Koko. Ini juga urusanku! Aku harus membunuh iblis ini! Dia telah mempermainkan ibuku, menyia-nyiakan ibuku. Kemudian, walau pun dia tahu bahwa aku adalah anaknya, dia masih tega menjebakku, menawanku, bahkan dia menawan enci Kui Hong dan enci Bi Lian dengan niat yang amat jahat. Aku harus membunuhnya!"
Dia kembali menerjang dan cambuknya segera meledak-ledak menyerang Ang-hong-cu Tang Bun An yang cepat menggerakkan sepasang senjata pada kedua ujung rantai untuk membela diri sambil balas menyerang. Sim Ki Liong yang datang bersama Mayang telah menerjang maju pula untuk membantu Mayang.
"Sim Ki Liong, kau pengkhianat!" bentak Ang-hong-cu dengan marah. Akan tetapi Sim Ki Liong diam saja dan terus menyerang dengan pedangnya.
Melihat ini Hay Hay merasa tak enak sekali. “Ki Liong, mundurlah. Ini urusan antara ayah dan anak, orang luar tidak boleh mencampuri!” Dia meloncat ke dalam pertempuran dan mendengar ini, Sim Ki Liong meloncat keluar lapangan dan hanya menjadi penonton.
Dia masih merasa tidak enak terhadap Hay Hay karena bagaimana pun juga, tadinya dia adalah musuh pemuda itu. Baru sekarang dia benar-benar menyadari betapa dia sudah melakukan penyelewengan besar sejak dia melarikan diri dari Pulau Teratai Merah.
Hay Hay melompat ke depan, akan tetapi bukan untuk mengeroyok Si Kumbang Merah. Dia merasa malu untuk mengeroyok, karena itu dia membiarkan saja Mayang menyerang ayah mereka ini, sedangkan dia hanya bergerak untuk melindungi Mayang dari serangan Ang-hong-cu.
Tentu saja Ang-hong-cu menjadi repot bukan main. Bagaimana pun juga Mayang memiliki kepandaian yang sudah tinggi dan serangan dengan cambuknya itu dahsyat bukan main. Sedangkan semua serangan balasan dari Ang-hong-cu kalau tidak dapat dielakkan atau ditangkis gadis itu, tentu ditangkis oleh Hay Hay yang selalu melindungi Mayang!
"Tarrrrrr....!" Cambuk itu meledak keras ketika ujungnya menyambar ke arah kepala Ang-hong-cu.
Orang tua ini cepat mengelak dengan merendahkan tubuhnya ke samping kiri, dan sambil mengelak kaitan di ujung rantainya lantas menyambar dari bawah ke arah perut gadis itu. Mayang tidak mau mengandalkan bantuan kakaknya saja. Dia melompat ke kanan untuk menghindarkan serangan lawan sambil menggerakkan cambuknya lagi.
"Tarrr...!” Kini ujung cambuk menotok ke arah jalan darah di pundak lawan.
"Prattt!" Ang-hong-cu menangkis dengan rantainya, kemudian tiba-tiba dia bergulingan ke kiri.
Mayang agak bingung ketika melihat gerakan bergulingan ini. Akan tetapi karena lawan menjauh, disangkanya Ang-hong-cu hendak melarikan diri maka dia pun segera mengejar dengan loncatan.
"Singgg...!"
Kini pisau di ujung rantai menyambar dari bawah ke arah lutut Mayang. Gadis itu terkejut dan meloncat ke atas, akan tetapi kaitan baja itu mengejarnya, menyambar ke arah perut.
“Tranggg…!" Kaitan itu terpental oleh tangkisan Hay Hay yang melihat datangnya bahaya mengancam adiknya.
“Jahanam!" Mayang memaki, kemudian cambuknya menyambar dahsyat sampai tiga kali beruntun.
"Tar-tarr-tarrr....!”
Ang-hong-cu kembali bergulingan mengelak sambil menjauh, akan tetapi tetap saja ujung cambuk itu menyambar ke arah punggung.
"Bretttt....!" Robeklah punggung baju itu, bahkan kulit punggungnya sempat dipatuk ujung cambuk sehingga terluka dan berdarah!
Ang-hong-cu mengeluarkan teriakan nyaring dan sekarang rantainya menyambar-nyambar sedemikian dahsyatnya sehingga Mayang terpaksa harus berloncatan ke belakang untuk menghindarkan diri dan hanya karena ada gulungan sinar pedang Hong-cu-kiam sajalah maka gelombang serangan rantai itu bisa dibendung, bahkan kemudian serangan cambuk dari Mayang kembali membuat Ang-hong-cu kelabakan.
Keadaan Si Kumbang Merah ini makin payah karena serangan-serangan Mayang cukup berbahaya sedangkan dia tak mampu membalas karena gadis itu terus dilindungi pedang ditangan Hay Hay. Kini napasnya semakin memburu dan pakaiannya sudah basah oleh keringat sehingga bau cendana makin semerbak keluar dari tubuhnya.
Sementara itu, ketika Pek Han Siong meninggalkan Cia Kui Hong yang menghadapi Tang Cun Sek dan cepat pergi melihat keadaan Siangkoan Bi Lian, pertandingan antara Bi Lian dan Tang Gun telah berpindah keluar kamar. Tang Gun membela diri mati-matian, bahkan tidak lagi bertangan kosong karena ketika didesak, dia menyambar benda apa saja untuk dijadikan senjata. Kursi, bangku, pot bunga dan apa saja, tapi semua senjata sementara itu dapat dipukul atau ditendang hancur oleh Bi Lian yang sudah marah sekali.
Tang Gun berusaha lari dan meloncat ke luar kamar, akan tetapi dengan cepat sekali Bi Lian langsung mengejarnya dan kini Tang Gun mati-matian membela diri karena didesak terus oleh Bi Lian. Ketika Han Siong muncul, pemuda ini pun hanya berdiri di pinggir dan menjadi penonton. Dia tentu saja tidak mau mengeroyok, apa lagi melihat betapa Bi Lian sama sekali tidak membutuhkan bantuan.
Sepasang mata Tang Gun melotot karena marah dan juga merasa takut, mulutnya kering berbusa dan pipi kanannya bengkak membiru karena tadi terkena tamparan tangan kiri Bi Lian. Juga kini gerakan kakinya kurang tangkas karena paha kirinya juga pernah tercium ujung sepatu Bi Lian sehingga kain celana di paha berikut kulit serta dagingnya terobek dan berdarah.
"Hyaaaattt....!" Bi Lian menyerang kembali, serangan pancingan dengan sebuah jurus dari Kim-ke Sin-kun yang sudah dikenal baik oleh Tang Gun.
Melihat ini tahulah Tang Gun bagaimana dia harus menghadapi serangan yang dilakukan dengan tendangan terbang itu. Tubuh Bi Lian meluncur dari atas bagaikan seekor ayam yang menerjang lawan. Serangan ini hampir tidak mungkin untuk ditangkis. Menangkisnya berarti membahayakan diri sendiri, maka Tang Gun mengambil jalan yang paling aman. Dia tidak menyambut serangan, melainkan melempar tubuh ke belakang untuk mengelak, lalu berguling dan meloncat.
Dia tidak tahu bahwa gerakannya ini sudah diperhitungkan oleh Bi Lian dan gadis ini pun bergulingan di atas tanah mengejar. Begitu Tang Gun meloncat bangun, tiba-tiba gadis itu pun meloncat dan menyerang dari bawah sambil mengeluarkan suara melengking.
Tang Gun terkejut, tidak mengenal serangan ini dan karenanya dia menjadi bingung. Apa lagi ketika dara itu mengeluarkan suara gerengan melengking, tiba-tiba jantungnya terasa bagaikan diremas, kedua kakinya menggigil dan ketika kedua tangan gadis itu dari bawah memukul dengan jari tangan terbuka, mengenai perut dan dadanya, dia pun terjengkang dan roboh terlentang dalam keadaan tewas seketika!
Memang Bi Lian tidak lagi menggunakan ilmu dari orang tuanya, melainkan menggunakan ilmu pukulan yang dibarengi dengan ho-kang atau teriakan yang menggetarkan jantung lawan, yang pernah dipelajarinya dari seorang di antara dua gurunya yang menjadi datuk-datuk sesat, yaitu Tung Hek Kwi (Iblis Hitam Timur)!
Dia pun meloncat berdiri dan seperti patung memandang kepada tubuh Tang Gun yang sudah tak bernyawa lagi. Dia membayangkan betapa tadi Tang Gun telah menggelutinya, bahkan menelanjanginya, maka dia pun meludah ke arah mayat itu.
"Sumoi...!" Pek Han Siong memanggil.
Bi Lian memutar tubuhnya. Begitu melihat Han Siong, bayangannya lalu berlanjut. Betapa Han Siong melihat keadaannya yang telanjang bulat, betapa pendekar itu membebaskan totokannya, kemudian memenuhi permintaannya untuk tidak ikut menyerang Tang Gun.
"Suheng....!" Bi Lian pun menggigil teringat akan bahaya yang tadi mengancam dirinya.
"Kenapa, Sumoi... ?" Han Siong melompat dan berdiri mendekatmya. "Engkau kenapa?"
Bi Lian menggeleng kepalanya. "Tidak apa-apa, Suheng... hanya aku teringat tadi... kalau engkau tidak cepat datang menolongku.... ahhhh.... si keparat itu...”
"Sudahlah, Sumoi. Jangan dipikirkan lagi. Mari kita melihat keadaan nona Cia Kui Hong. Lihat, dia masih berkelahi melawan Tang Cun Sek. Bahkan kini mereka berkelahi di luar rumah."
Keduanya lantas berloncatan menuju ke pekarangan pondok itu di mana Kui Hong masih bertanding melawan Tang Cun Sek. Memang Tang Cun Sek jauh lebih lihai dibandingkan Tang Gun, maka dibandingkan Siangkoan Bi Lian, Cia Kui Hong menghadapi lawan yang lebih tangguh dan tidak begitu mudah ditundukkan.
Tang Cun Sek maklum bahwa nyawanya berada dalam ancaman maut. Ketika Pek Han Siong membebaskan totokan Kui Hong sehingga membuat gadis itu dapat bergerak lagi, kemudian Han Siong menyerahkan Gin-hwa-kiam kepada gadis itu, tentu saja dia merasa khawatir bukan main. Dia tahu betapa lihainya Pek Han Siong, juga Cia Kui Hong.
Menghadapi Pek Han Siong seorang diri saja dia pasti kalah, dan juga dia pernah kalah saat bertanding melawan Kui Hong dalam memperebutkan kedudukan ketua Cin-ling-pai. Kalau sekarang dua orang itu mengeroyoknya tentu dia akan roboh dalam waktu singkat. Akan tetapi kemudian Han Siong meninggalkan mereka dan hal ini membuat dia melihat harapan untuk dapat meloloskan diri. Dia lalu meloncat keluar dari dalam kamar.
"Jahanam busuk, engkau hendak lari ke mana?!" Kui Hong mengejar.
Ketika tiba di luar pondok, Cun Sek baru teringat akan keterangan Ang-hong-cu bahwa bukit itu tidak mempunyai jalan keluar kecuali melalui terowongan bawah tanah tadi! Dia menjadi bingung, namun pada saat itu pula Kui Hong sudah menyusulnya dan langsung menyerangnya. Sinar perak bergulung-gulung menyambar ke arahnya. Cun Sek terpaksa mencurahkan seluruh perhatiannya untuk melawan Kui Hong.
Seperti juga pertandingan antara Siangkoan Bi Lian melawan Tang Gun tadi, sekarang pertandingan antara Cun Sek dan Kui Hong juga merupakan pertandingan antar saudara seperguruan. Seperti yang kita ketahui, Cun Sek sudah mewarisi ilmu-ilmu simpanan dari Cin-ling-pai, sedangkan Kui Hong adalah puteri ketua Cin-ling-pai, bahkan kini dia adalah ketuanya!
Akan tetapi Kui Hong memiliki satu kelebihan dari Cun Sek. Selain ilmu-ilmu silat Cin-ling-pai yang sudah dikuasainya lebih matang dari pada Cun Sek, juga dia sudah digembleng oleh kakek dan neneknya di Pulau Teratai Merah. Inilah kelebihan itu, yang membuat Kui Hong lebih unggul dibandingkan Cun Sek.
Dan Kui Hong benar-benar memanfaatkan kelebihannya ini. Walau pun Cun Sek mampu membela diri dengan baik dan rapat, akan tetapi lambat laun dia terdesak hebat oleh Kui Hong. Sekarang Gin-hwa-kiam telah berada di tangannya, maka dia pun memainkan ilmu pedang tunggal Gin-hwa Kiam-sut yang dipelajari dari kakeknya, sambil kadang-kadang mencari lowongan untuk memasukkan pukulan ampuh Pek-in-ciang (Tangan Awan Putih) dengan tangan kirinya.
Ketika Pek Han Siong dan Siangkoan Bi Lian tiba di sana, Kui Hong sedang mendesak Cun Sek dengan hebatnya. Melihat ini Bi Lian dan Han Siong tidak mau membantu tetapi hanya menonton. Diam-diam mereka kagum karena gerakan Kui Hong amat dahsyatnya. Jelas bahwa gadis ini sudah memperoleh kemajuan pesat sekali dan semakin hebat saja kepandaiannya sehingga pantaslah kalau dia menjadi ketua Cin-ling-pai.
Kui Hong tahu akan kemunculan Han Siong dan Bi Lian, maka dia pun dapat menduga bahwa Bi Lian sudah berhasil ‘membereskan’ Tang Gun. Ia merasa penasaran karena dia sendiri belum dapat merobohkan Tang Cun Sek. Maka dia segera mengeluarkan seruan melengking nyaring dan memutar pedang Gin-bwa-kiam dengan cepat serta mengandung tenaga yang amat kuat untuk menempel dua batang pedang lawan.
Cun Sek terkejut sekali karena kedua pedangnya ikut terputar dan untuk menyelamatkan dirinya, dia cepat menarik sepasang pedang itu sambil meloncat mundur. Kesempatan ini dipergunakan oleh Kui Hong. Dia menancapkan pedangnya di atas tanah, lalu melompat ke depan dengan tubuh hampir bertiarap setengah berjongkok sambil kedua tangannya didorongkan ke depan dengan suara melengking.
"Hyaaaaattt...!"
Tenaga dahsyat menyambar keluar. Itulah sebuah di antara jurus ilmu silat Hok-liong Sin-ciang (Tangan Sakti Penakluk Naga) yang hanya delapan jurus namun yang sangat hebat dan dahsyat. Ilmu ini dipelajarinya dari kakeknya, dan merupakan ilmu ciptaan Bu-beng Hud-couw yang menjadi guru kakeknya, Pendekar Sadis.
"Desssss...!"
Walau pun dia berusaha untuk membabat dengan pedangnya, namun sepasang lengan dara itu menerobos sehingga hawa pukulannya membuat sepasang pedangnya terpental, lalu bagian bawah dada Cun Sek kena dihantam oleh pukulan sakti itu. Dia mengeluarkan suara parau lantas terjengkang, sepasang pedang Hok-mo Siang-kiam terlempar ke atas dan dia pun tewas seketika.
Kui Hong meloncat ke atas dan dengan dua tangannya dia menyambut sepasang pedang miliknya itu, kemudian mencabut pula Gin-hwa-kiam dari atas tanah. Dengan tenang dia lalu menghampiri Han Siong dan Bi Lian.
"Jahanam itu sudah kau bereskan?" tanyanya kepada Bi Lian dan gadis ini mengangguk. Kui Hong lalu memandang kepada Pek Han Siong.
"Saudara Pek Han Siong, aku berterima kasih sekali atas pertolonganmu tadi, dan ini aku kembalikan Gin-hwa-kiam yang kau pinjamkan kepadaku tadi."
Han Siong memberi hormat dan menolak dengan halus. "Ahh, nona Cia Kui Hong, kenapa berterima kasih. Di antara kita tidak ada pelepasan budi, yang ada hanyalah saling bantu. Tidak usah sungkan, dan tentang Gin-hwa-kiam ini, pusaka ini adalah milik Pulau Teratai Merah, maka sudah sepatutnya berada di tanganmu. Aku hanya meminjam dari saudara Tang Hay... ahh, di mana Hay Hay? Kenapa dia tidak nampak...?”
"Kau maksudkan, dia datang bersamamu?" tanya Kui Hong tertarik.
"Memang kami datang berdua, mengejar Ang-hong-cu. Ia mengambil jalan belakang, aku dari depan dan... ahhh, dengar. Itu suara cambuk! Seperti cambuk yang biasa digunakan Mayang. Mari!" Han Siong lalu berlari ke arah belakang pondok dan dari jauh saja sudah nampak adanya pertempuran di puncak belakang pondok itu.
Mereka bertiga berlari menghampiri. Ternyata Mayang sedang berkelahi dengan seorang pria setengah tua yang wajahnya mirip Han Lojin akan tetapi tanpa jenggot dan kumis.
"Hemm, agaknya inilah wajah yang asli dari Ang-hong-cu!" kata Han Siong.
Mereka melihat betapa Mayang terus mendesak dan menghujankan serangan cambuknya kepada Ang-hong-cu yang tidak dapat membalas lagi karena gadis itu dilindungi oleh Hay Hay. Pakaiannya sudah tercabik-cabik dan mukanya sudah penuh guratan merah akibat terkena ujung cambuk. Namun Ang-hon-cu masih melawan sekuat tenaga.
"Jahanam, kiranya engkau masih di sini?" tiba-tiba Kui Hong membentak, kemudian sekali loncat tubuhnya sudah berada di depan Sim Ki Liong.
Sim Ki Liong nampak tenang saja bahkan menundukkan mukanya, sama sekali tidak ada gerakan atau sikap melawan. Melihat ini Kui Hong menahan tangannya yang sudah gatal untuk menyerang pemuda yang dibencinya ini. Pemuda yang minggat melarikan diri dari Pulau Teratai Merah, melarikan Gin-hwa-kiam, bahkan bersekutu dengan orang jahat dan ikut pula menangkapnya.
"Sim Ki Liong, hayo cepat gunakan senjatamu. Di sini kita selesaikan semua perhitungan di antara kita. Aku mewakili kakek dan nenekku di Pulau Teratai Merah untuk menghukum engkau, juga aku bertindak atas diri sendiri untuk membasmi kejahatanmu."
"Nona, aku Sim Ki Liong memang telah melakukan dosa besar terhadap suhu dan subo di Pulau Teratai Merah. Juga aku telah tersesat dan menyeleweng sehingga bergaul dengan orang jahat. Kalau engkau hendak mewakili suhu dan subo menghukumku, silakan, Nona. Aku siap menerima hukuman mati sekali pun, aku tidak akan melawan dan aku menerima kesalahanku."
Kui Hong tertegun. Tidak percaya. Dia tahu bahwa Sim Ki Liong lihai dan belum tentu dia akan dapat mengalahkan bekas murid kakek dan neneknya ini secara mudah. Bagaimana kini pemuda itu menyerah begitu saja, rela dihukum mati sekali pun tanpa melawan?
"Sim Ki Liong!" bentaknya dengan gemas. "Cabut senjatamu! Aku tidak sudi menyerang orang yang tidak melawan. Jangan menjadi pengecut engkau!"
Mendadak Ki Liong menjatuhkan diri berlutut, tidak menghadap Kui Hong melainkan ke arah selatan, lalu terdengar suaranya penuh kedukaan dan penyesalan, "Suhu dan subo telah mendidik teecu, telah mencurahkan kasih sayang dan melimpahkan ilmu-ilmu, akan tetapi teecu telah membalasnya dengan pengkhianatan. Teecu merasa bersalah dan jika suhu dan subo mengutus nona Cia Kui Hong untuk menghukum teecu, maka teecu akan menerimanya dengan rela. Mohon suhu dan subo memberi ampun agar arwah teecu tidak terlalu tersiksa."
Mendengar ini Kui Hong mengerutkan alisnya. Dia masih menganggap bahwa Ki Liong berpura-pura atau bersandiwara agar dia merasa iba. Maka dia berkata lantang, "Bagus! Kalau begitu biarlah aku mewakili kakek dan nenek memberi hukuman mati, hitung-hitung aku melenyapkan seorang manusia iblis yang mengacaukan dunia!"
Ia melangkah maju dan Ki Liong menundukkan kepala, seolah menjulurkan lehernya dan siap untuk menerima pancungan pedang Kui Hong.
"Enci Kui Hong, jangan...!" Tiba-tiba Mayang meloncat meninggalkan Ang-hong-cu.
Teriakan ini mengejutkan Kui Hong sehingga dia menahan gerakan pedangnya. Mayang kini berdiri di depan Kui Hong, membelakangi Ki Liong yang masih berlutut.
"Enci Kui Hong, jangan bunuh dia!"
Kui Hong mengerutkan alisnya dan memandang dengan galak. “Mayang, dia ini seorang yang jahat sekali! Minggirlah, dia harus dilenyapkan dari permukaan bumi!”
“Tidak, enci Kui Hong! Biar pun dia pernah tersesat, namun dia sudah menyadarinya dan bertobat. Bahkan dia sudah menyelamatkan aku. Tidak, kalau engkau memaksa hendak membunuhnya, kau bunuh aku lebih dulu, enci Kui Hong!” Ucapan Mayang ini membuat Ki Liong terbelalak dan sinar kegembiraan memancar dari sepasang matanya.
“Adik Mayang, jangan engkau membelaku seperti itu. Aku tidak berharga..."
"Mayang, minggir kau!” Kui Hong membentak.
"Tidak, enci!" Suara Mayang tegas sekali sehingga Kui Hong tertegun.
"Aihh, Mayang. Ada apa dengan engkau? Mengapa engkau mendadak melindungi Sim Ki Liong?" tanyanya penasaran.
"Enci Kui Hong, karena dia mencintaku, dan aku... aku juga cinta padanya. Aku pernah mencinta Hay-koko, akan tetapi ternyata kami masih saudara seayah sehingga terpaksa aku harus berpisah darinya. Sekarang jangan engkau memaksa aku berpisah pula dari orang yang kucinta."
Semua orang terbelalak, kagum dengan keberanian serta ketulusan hati gadis peranakan Tibet itu, juga merasa terharu. Akan tetapi Kui Hong yang marah sekali kepada Ki Liong, mengerutkan alisnya.
"Mayang, jangan memaksa aku untuk merobohkanmu terlebih dahulu supaya aku dapat membunuh keparat itu."
"Aku bersedia mati bersama dia, enci Kui Hong!"
Pada saat yang menegangkan itu Hay Hay sudah bertanding kembali melawan Ang-hong-cu. Akan tetapi telinganya mendengar dan mengikuti perdebatan itu, dan hatinya menjadi gelisah bukan main.
Dia tahu bahwa ada hubungan kasih antara Sim Ki Liong dengan adiknya, dan kini malah adiknya membuat pengakuan yang begitu terbuka bahwa dia pun mencintai pemuda itu. Maka Hay Hay menjadi semakin khawatir saat mendengar suara Kui Hong yang agaknya berkeras hendak membunuh Ki Liong.
Karena perhatiannya terpecah, bahkan sebagian besar ditujukan ke arah adiknya dan Kui Hong, maka perlawanannya terhadap desakan Ang-hong-cu menjadi lemah sehingga dia pun terdesak. Saking khawatirnya, Hay Hay cepat meloncat ke belakang dan menoleh ke arah Kui Hong.
“Hong-moi..., jangan bunuh dia. Dia telah membantu kami melawan para penjahat...”
“Crattt...! Augghhh...!”
Hay Hay sudah mengelak namun tetap saja pangkal lengan kirinya tersabet pisau di ujung rantai yang digerakkan Ang-hong-cu Tang Bun An secara curang karena tadi dia melihat kesempatan bagus sekali ketika Hay Hay meloncat dan menoleh ke arah Kui Hong. Hay Hay terhuyung dan melihat ini, Si Kumbang Merah menerjang dengan senjatanya. Kaitan itu menyambar ganas ke arah leher Hay Hay.
"Trangggg...!” Kaitan itu membalik ketika ditangkis oleh pedang di tangan Kui Hong yang sudah menolong Hay Hay.
"Ang-hong-cu iblis busuk! Engkau curang dan pengecut sekali!" bentak Kui Hong sambil menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka orang itu, sedangkan pedang Gin-hwa-kiam siap di tangan kanan.
Ang-hong-cu tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, Cia Kui Hong! Katanya engkau ketua Cin-ling-pai, akan tetapi ternyata hanya menjadi seorang pengeroyok saja. Siapa yang curang dan pengecut? Ha-ha-ha, nona manis, engkau boleh membantu Hay Hay dan maju bersama dia untuk mengeroyok aku!"
"Hong-moi, mundur. Aku masih sanggup menghadapinya!" kata Hay Hay setelah memberi obat bubuk pada luka di pangkal lengan kirinya. Kui Hong memandang kepada Hay Hay dengan alis berkerut.
"Aku pun tidak sudi mengeroyok, dan aku pun percaya bahwa engkau tentu akan mampu mengalahkannya, Hay-ko. Aku juga percaya bahwa engkau sudah tahu kalau kebenaran dan keadilan harus ditegakkan, setiap penjahat harus dihukum, tak peduli siapa pun dia! Hubungan keluarga tidak boleh mempengaruhi keadilan!" Setelah berkata demikain, Kui Hong melangkah mundur.
Gadis ini melihat betapa ketika membantu Mayang tadi Hay Hay sama sekali tak pernah menyerang Ang-hong-cu, seolah-olah dia tidak tega dan sengaja mengalah terhadap ayah kandungnya itu. Maka kini dia mengingatkan Hay Hay agar tidak bersikap lemah. Dialah orangnya yang akan merasa menyesal dan kecewa bukan main kalau karena hubungan keluarga, Hay Hay sampai melupakan kebenaran dan keadilan, dan sengaja melindungi ayah kandungnya yang jahat sekali itu.
Hay Hay memandang pada Kui Hong dan dua pasang mata itu saling tatap, dua pasang sinar mata bertaut sebentar.
"Aku mengerti, Kui Hong!"
Kini Hay Hay menghadapi Ang-hong-cu dan begitu dia mengeluarkan suara melengking nyaring yang memekakkan telinga dan mengguncang jantung, dia pun menerjang dengan pedang Hong-cu-kiam diputar cepat. Nampak sinar emas bergulung-gulung, menyambar ke arah Ang-hong-cu yang cepat menyambut dengan senjata rantainya.
"Tranggg…! Cringgg...!"
Si Kumbang Merah terkejut bukan main karena kini Hay Hay menggunakan tenaga sakti yang amat dahsyat sehingga dua senjata itu, yaitu pisau dan kaitan, menjadi patah ketika kedua ujung rantainya bertemu dengan pedang! Dan sinar pedang emas itu masih terus menyambar ke arah kepalanya, demikian cepatnya sehingga kembali Ang-hong-cu harus menangkis dengan rantainya yang dipegang kedua tangan pada ujung yang sudah tidak ada senjatanya lagi.
"Trangggg....!"
Rantai itu putus menjadi dua dan tubuh Ang-hong-cu terjengkang lantas dia bergulingan sampai jauh. Dia cepat melompat bangun, wajahnya berubah pucat dan kedua matanya terbelalak, akan tetapi wajah itu menjadi merah kembali dan dia tersenyum menyeringai.
"Bagus, Hay Hay! Engkau memang hebat. Akan tetapi aku belum kalah. Senjataku sudah putus dan tidak ada gunanya lagi, akan tetapi aku rnasih mempunyai tangan dan kaki!"
Dia lalu membuang dua potong rantai itu dan mernasang kuda-kuda dengan sikup gagah sekali. Tubuhnya tegak lurus, kaki kanan diangkat sehingga tumitnya menempel lutut kiri, tangan kanan menempel pada pinggang dengan jari tangan terbuka dan tangan kiri agak bengkok ke depan, juga dengan jari tangan terbuka.
Hay Hay memasukkan pedang Hong-cu-kiam ke sarungnya yang terselip di pinggangnya. Dia adalah seorang gagah, tentu saja tak sudi melawan orang bertangan kosong dengan senjata, apa lagi dia memang ingin menangkap Ang-hong-cu saja, bukan membunuhnya. Melihat Ang-hong-cu masih hendak melawannya dengan tangan kosong, bahkan bersikap menantang, Hay Hay menyimpan pedangnya dan dia pun melompat ke depan lawan.
Ang-hong-cu menyambut Hay Hay dengan serangan gencar. Dia menyerang dengan dua tangan terbuka, kadang-kadang menusuk dan kedua tangannya dipergunakan membacok dan menusuk seperti golok, kadang-kadang tangan itu terbuka untuk mencengkeram, tapi di lain saat sudah dirubah lagi dengan kepalan yang memukul dahsyat.
Namun dalam hal ilmu silat tangan kosong Hay Hay jauh lebih unggul dibandingkan ayah kandungnya itu. Bukan hanya dia sudah menerima gemblengan dari tokoh-tokoh Delapan Dewa, namun juga semua ilmunya itu menjadi matang oleh gemblengan kakek sakti Song Lojin.
Betapa pun hebatnya ilmu silat tangan kosong Ang-hong-cu yang mengandung banyak kembangan dan tipu muslihat, namun segera dia menjadi bingung dan repot sekali begitu Hay Hay memainkan ilmu silat Cui-sian Cap-pek-ciang (Delapan Belas Jurus Dewa Arak). Ang-hong-cu sama sekali tidak mengenal gerakan puteranya itu dan tidak dapat menduga bagaimana perubahannya, tetapi dia hanya melihat betapa lawannya seolah-olah berubah menjadi banyak, padahal Hay Hay sama sekali tidak mempergunakan ilmu sihir .
Namun Ang-hong-cu tidak mau menyerah begitu saja. Dia mengeluarkan semua ilmunya dan mengerahkan segenap tenaganya. Akan tetapi dia sudah terlampau lelah, tenaganya semakin berkurang dan setiap kali mereka mengadu lengan, dia terdorong dan terhuyung ke belakang, lantas menyeringai kesakitan. Hay Hay mendesak terus.
Kui Hong, Mayang, Han Siong dan Bi Lian hanya menoton dan mereka berempat merasa lega serta kagum karena melihat betapa Hay Hay dapat mengungguli lawan yang sangat tangguh itu. Dalam kesempatan ini, dengan suara lirih Mayang menceritakan tentang Sim Ki Liong kepada Kui Hong.
Ki Liong sendiri berdiri agak menjauh, juga turut menonton pertandingan walau pun lebih banyak menunduk. Kini matanya baru terbuka benar betapa selama ini dia lebih banyak bergaul dengan orang-orang sesat. Memang hal ini diakuinya, akan tetapi dia pun merasa terpaksa sekali melakukan semua perbuatan itu.
Dia sudah salah langkah untuk pertama kalinya ketika dia tergila-gila terhadap Kui Hong lantas melarikan diri dari Pulau Teratai Merah dan mencuri pedang pusaka Gin-hwa-kiam. Itulah kesalahannya yang pertama, yang memaksa dia bergaul dengan para penjahat dan orang sesat karena perbuatan itu tidak memungkinkan dia untuk berdekatan dengan para pendekar.
Kini sungguh terasa olehnya betapa ilmu silat baru bisa mendatangkan perasaan bangga dan bahagia bila digunakan untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, kalau digunakan untuk menentang kejahatan. Sebaliknya, kalau dipergunakan untuk mengejar kesenangan nafsu, hidupnya akan berlepotan kejahatan dan tidak akan merasakan ketentraman lagi.
Pada suatu saat Hay Hay menerjang lawannya dengan pukulan dari bawah depan. Gaya permainannya memang amat aneh dan sulit diduga. Maklum, karena penciptanya adalah Ciu-sian Sin-kai, si pengemis dewa arak sehingga gerakan itu mirip gerakan orang mabok kebanyakan minum arak. Tetapi justru gerakan seperti itu malah membuat lawan menjadi bingung.
Ketika melihat tangan Hay Hay meluncur ke arah dadanya dengan gerakan yang sangat aneh dan cepat sehingga dia sama sekali tidak dapat menghindarkan diri lagi, Ang-hong-cu menjadi nekat. Dia tak peduli lagi akan keselamatan dirinya dan menerima begitu saja pukulan itu, akan tetapi membarengi dengan gerakan kedua tangannya mencengkeram ke arah leher Hay Hay dari kanan kiri!
"Dukkk!" Dada Ang-hong-cu terpukul.
"Plakkk!"
Pukulan dua tangan terbuka dari Ang-hong-cu juga mengenai leher Hay Hay, akan tetapi alangkah kagetnya Ang-hong-cu ketika merasa betapa dadanya nyeri sehingga napasnya menjadi sesak. Pada waktu kedua tangan itu mengenai leher, dia merasa seakan-akan menampar leher yang terbuat dari baja yang keras dan licin. Kedua tangannya meleset ke bawah dan kini mencengkeram kedua pundak Hay Hay.
"Brettttt...!"
Baju pada kedua pundak Hay Hay robek dan jari-jari tangan itu mencengkeram kulit serta daging sehingga kedua pundak Hay Hay luka berdarah! Hay Hay menggerakkan kakinya dan lututnya menendang.
"Brukkk!" Perut Si Kumbang Merah tertendang lutut dan dia pun roboh telentang, meringis kesakitan. Dia masih berusaha untuk bangkit berdiri sambil kedua tangannya memegangi dada, akan tetapi dia terjatuh kembali, jatuh terduduk.
Kui Hong, Bi Lian, Mayang, dan Han Siong kini berloncatan mendekati Ang-hong-cu dan tangan mereka siap untuk memukul. Jelas nampak dari sikap dan pandang mata mereka bahwa empat orang itu hendak membunuh Ang-hong-cu. Melihat ini, tanpa mempedulikan kedua pundak serta pangkal lengan kiri yang terluka parah, Hay Hay mendahului mereka, meloncat menghadang antara mereka berempat dan tubuh Ang-hong-cu yang kini masih terduduk sambil meringis kesakitan.
"Jangan...! Kalian tidak boleh membunuh dia!" katanya sambil mengembangkan sepasang lengannya melindungi Ang-hong-cu yang meski pun masih meringis kesakitan akan tetapi kini dia mengangkat muka memandang dan wajah yang kesakitan itu berseri gembira!
"Hay-koko, aku harus membunuh dia untuk membalaskan sakit hati ibuku!" kata Mayang yang sudah siap dengan cambuknya.
"Hay 'Hay, ingatlah engkau kepada adikku Pek Eng?" kata Han Siong.
"Dan ingat pula kepada Cia Ling. Aku harus membunuhnya!" kata Kui hong.
"Hay-ko, orang ini terlalu jahat, kejam seperti iblis. Sudah sepatutnya kita bunuh dia!" kata pula Bi Lian.
Hay Hay menggeleng kepalanya dengan tegas. "Tidak, siapa pun tidak boleh membunuh dia. Aku sudah berjanji untuk menangkapnya dan menyeret dia ke pengadilan supaya dia dapat mempertanggung jawabkan semua dosanya. Aku menangkapnya untuk menentang kejahatannya. Sekarang dia sudah tertangkap, dalam keadaan tidak berdaya sama sekali, jika ada yang hendak membunuhnya maka terpaksa aku akan melindunginya. Bagaimana pun dia ini adalah... ayah kandungku!"
“Bagus! Engkau seorang lelaki sejati, Hay-ko!" Kui Hong berseru dengan wajah gembira sekali dan dia pun kini melangkah maju lalu berdiri di sisi Hay Hay, sikapnya menantang. "Hay-ko benar! Aku akan membantu dia melindungi Si Kumbang Merah kalau ada yang hendak membunuhnya!"
Bi Lian dan Han Siong mengerutkan alisnya, sementara itu Mayang memandang bingung. Tiba-tiba mereka semua memandang kepada Ang-hong-cu yang tertawa bergelak sambil duduk bersila.
“Ha-ha-ha! Semua anak-anakku yang tidak mampu mengalahkan aku ingin membunuhku. Sebaliknya Tang Hay, satu-satunya anakku yang mampu mengalahkan aku justru hendak melindungiku dan tidak mau membunuhku. Ha-ha-ha! Engkau memang hebat, Tang Hay. Engkau lebih hebat dari ayahmu. Sayang sekali engkau lemah dan tidak dapat menikmati hidupmu. Engkau mata keranjang namun hanya lahirnya saja. Engkau tidak sepenuhnya mewarisi watakku. Akan tetapi aku cukup puas. Aku kalah oleh anakku sendiri. Tang Hay, sekarang apa yang akan kau lakukan terhadap diriku?"
Hay Hay memandang dengan alis berkerut. "Aku akan rnenyerahkanmu kepada Menteri Cang. Beliau seorang pembesar yang adil dan bijaksana, tentu akan memberi hukuman yang adil. Nah itu, beliau datang...”
Memang pada saat itu terdengar suara gaduh, kemudian muncullah Cang Taijin bersama puluhan orang prajurit pengawal. Mereka berhasil menemukan terowongan bawah tanah sehingga akhirnya dapat sampai di tempat itu.
"Ha-ha-ha, di dunia ini tidak ada seorang pun yang berhak membunuhku!" Ang-hong-cu berseru sambil tertawa bergelak.
Semua orang memandang, sementara Hay Hay cepat menangkap lengan Ang-hong-cu. Akan tetapi terlambat. Orang itu sudah menelan sebutir pil hitam, lantas tiba-tiba saja dia terkulai roboh. Wajahnya berubah menghitam, namun dia masih tertawa terkekeh-kekeh. Suara ketawa itu lalu berhenti dan Si Kumbang Merah terkulai lemas, tewas dengan mata terbelalak dan mulut masih terbuka seperti orang tertawa.
Hay Hay menjatuhkan diri berlutut di dekat mayat ayahnya, kemudian dia memejamkan mata seperti orang berdoa. Bagaimana pun juga pria ini adalah ayah kandungnya!
Tidak lama kemudian Hay Hay bangkit dan memondong mayat ayahnya, mencari tempat yang terbaik di bukit itu, lalu menggali lubang kuburan. Tanpa banyak cakap lagi Pek Han Siong membantunya, bahkan Mayang turut pula menangisi mayat ayah kandungnya yang pernah dirindukannya itu.
Yang terbujur itu adalah sesosok mayat, alat yang di waktu hidupnya dijadikan perebutan antara daya-daya rendah yang menguasai seluruh anggota badan. Tubuh yang mestinya menjadi alat bagi kehidupan jiwa yang mendiaminya akhirnya justru menjadi budak nafsu. Bahkan pikiran yang menjadi kusir pemegang kendali juga telah dikuasai oleh kuda-kuda nafsu.
Badan bagaikan kereta. Baik kereta badan, kuda-kuda nafsu, kusir mau pun kendalinya, semestinya semua menjadi hamba dan alat yang melayani jiwa. Tanpa adanya kuda-kuda nafsu maka kereta badan tak akan dapat bergerak maju. Tanpa adanya kusir pikiran dan kendalinya, segalanya akan kacau dan rusak arahnya. Akan tetapi bila kuda-kuda nafsu itu tidak terkendali lagi dan menjadi liar, maka nafsu akan kabur sesukanya dan kalau sampai terjerumus ke dalam jurang, segalanya ikut menderita. Bukan hanya keretanya, juga penghuni kereta, Sang Jiwa.
Sebaliknya, kalau jiwa yang menjadi majikannya sedangkan semua alat itu hanya menjadi hambanya, barulah jiwa itu dapat menjadi seorang manusia yang seutuhnya. Hanya kalau jiwa ini bisa bersatu dengan sumbernya, yaitu Tuhan Yang Maha Kasih, Allah Yang Maha Kuasa, maka jiwa akan mendapatkan kembali kekuasaannya atas semua hambanya, yaitu jasmani.
Sesudah jenazah Ang-hong-cu Tang Bun An atau Si Kumbang Merah dimakamkan, juga jenazah Tang Gun dan Tang Cun Sek yang dikubur di sebelah kiri Ang-hong-cu, Hay Hay bersama Mayang lalu menyembahyangi kuburan mereka secara sederhana.
Menteri Cang Ku Ceng menyatakan penghargaan serta rasa terima kasihnya kepada para pendekar yang untuk kedua kalinya membantu pemerintah dalam membasmi gerombolan yang dianggap berbahaya. Akan tetapi seperti biasa, Hay Hay dan para pendekar lainnya tidak bersedia menerima anugerah jabatan, juga menolak pemberian hadiah berupa harta kekayaan. Hal ini membuat Menteri Cang menjadi semakin kagum dan hormat terhadap mereka.
"Nona Cia, kalau nona memperbolehkan dan masih percaya kepadaku, aku mohon agar Gin-hwa-kiam diserahkan kepadaku," kata Sim Ki Liong kepada Cia Kui Hong, didengar pula oleh para pendekar lainnya.
"Benar, enci Kui Hong. Kami sudah membicarakan tentang hal itu dan aku pun berharap agar sukalah kiranya engkau menyerahkan Gin-hwa-kiam kepada Liong-koko."
“Menyerahkan Gin-hwa-kiam kepadamu?" Kui Hong mengulang kata-kata itu dengan hati heran. "Untuk apa?" Sinar matanya penuh selidik menatap wajah Ki Liong.
"Nona Cia. Pedang Gin-hwa-kiam adalah pusaka Pulau Teratai Merah. Akulah yang dulu mencurinya dan melarikannya. Oleh karena itu, untuk membuktikan bahwa kini aku telah sadar dan bertobat, aku ingin mengembalikan sendiri pusaka itu kepada suhu dan subo. Aku akan menghadap suhu dan subo, dan seandainya suhu dan subo marah dan hendak menghukumku, aku akan menerimanya dengan rela."
"Aku akan menemaninya, enci Hong. Andai kata engkau belum dapat percaya kepadanya tentu engkau percaya kepadaku, bukan?" kata Mayang.
Kui Hong terlihat bimbang, kemudian dia menoleh kepada Hay Hay dan biar pun mulutnya tidak berkata sesuatu, namun pandang matanya jelas minta pertimbangan pendekar itu. Sungguh aneh, dia sendiri tidak mengerti mengapa dia berpaling kepada Hay Hay untuk meminta pertimbangan. Hay Hay dapat menangkap pandang mata itu dan dia menghela napas panjang.
"Beruntunglah orang yang sakit tapi dapat sembuh dari penyakitnya. Sebaliknya, berhati-hatilah orang yang sehat karena sewaktu-waktu dia dapat saja dihinggapi suatu penyakit. Saya lebih menghargai orang jahat yang menyadari kejahatannya lalu bertobat dari pada orang baik yang membanggakan serta menyombongkan kebaikannya sehingga takabur. Aku sendiri kini dapat mempercayai Sim Ki Liong karena aku yakin bahwa adikku Mayang tidak akan salah pilih."
"Aku setuju dengan pendapat Hay-ko," kata Siangkoan Bi Lian.
Gadis ini bukan saja teringat betapa dia pernah menjadi murid dua orang datuk sesat, tapi juga dia tahu bahwa ayahnya adalah putera seorang datuk sesat, bahkan ibunya adalah puteri suami isteri yang menjadi datuk besar dunia hitam sebagai raja dan ratu!
Kui Hong termenung. Dia teringat akan neneknya di Pulau Teratai Merah. Dulu neneknya adalah seorang datuk besar kaum sesat dengan julukan Lam Sin (Malaikat Selatan), akan tetapi sesudah menikah dengan kakeknya kemudian berubah menjadi seorang pendekar yang menentang kejahatan.
"Baiklah, kau boleh antarkan pedang pusaka ini kembali ke Pulau Teratai Merah. Andai kata engkau menipuku, aku masih dapat mencarimu dan membuat perhitungan."
Sim Ki Liong yang sejak bertobat wajahnya selalu kelihatan muram, kini nampak gembira bukan main. Wajahnya berseri dan matanya bersinar-sinar kembali. Dia lantas menerima pedang Gin-hwa-kiam dan memberi hormat kepada Kui Hong.
"Nona Cia, dahulu mataku seperti buta, melihat engkau sebagai seorang gadis yang tinggi hati, keras dan kejam. Sekarang baru aku dapat melihat betapa engkau sangat bijaksana. Terima kasih, Nona, engkau telah menghidupkan kembali semangat dan harapanku. Mari, adik Mayang, sekarang juga kita berangkat ke Pulau Teratai Merah!"
Mayang lari menghampiri Hay Hay dan memegang lengan pemuda itu. "Hay-ko, engkau tidak marah bukan dengan keputusanku untuk menemani Liong-koko?"
Hay Hay tersenyum. "Sama sekali tidak, adikku. Aku bahkan merasa gembira sekali dan aku hanya mendoakan agar engkau berbahagia. Ki Liong, jaga adikku baik-baik."
Sim Ki Liong dan Mayang lalu berpamit kepada semua orang dan mereka pun berangkat meninggalkan tempat itu, diikuti pandang mata para pendekar. Sesudah bayangan kedua orang ini lenyap, Bi Lian saling pandang dengan Han Siong, sedangkan Kui Hong saling pandang dengan Hay Hay. Mereka masih merasa terharu akan perubahan yang terjadi pada diri Sim Ki Liong. Sungguh, cinta kasih dapat merubah segalanya!
Tiba-tiba Siangkoan Bi Lian melangkah maju menghampiri Pek Han Siong. Ia melepaskan pedang Kwan-im-kiam berikut sarungnya dan menyerahkannya kepada Han Siong.
"Suheng, engkau terimalah pedang ini," katanya lirih.
Han Siong memandang dengan mata terbelalak. “Kwan-im-kiam? Akan tetapi ini adalah pedangmu, Sumoi. Pedang pusaka milik ayah ibumu!"
"Tidak, Suheng. Pedang ini milikmu. Ingat, ayah dan ibu telah memberikan Kwan-im-kiam ini kepadamu."
"Tapi... tapi...” Han Siong mengerutkan alisnya karena diingatkan akan kenyataan pahit itu, suhu dan subo memberikan pedang ini sebagai ikatan dan ikatan itu telah putus." Dia tidak berani menjelaskan dengan kata ‘perjodohan’ karena di situ terdapat Kui Hong dan Hay Hay.
Siangkoan Bi Lian tersenyum sehingga wajahnya nampak manis sekali. "Benar, Suheng. Itu dahulu. Sesudah pedang ini kembali ke tanganmu, bukankah berarti ikatan perjodohan itu telah bersambung kembali?"
Wajah Han Siong seketika berubah merah dan matanya kembali terbelalak, namun sinar kebahagiaan terpancar dari pandang matanya itu. "Bi Lian..., Sumoi... ini... ini... benarkah ini... ehh, maksudku, engkau... engkau mau..." Dia tidak dapat bicara terus terang karena merasa malu didengar oleh Hay Hay dan Kui Hong.
Bi Lian mengangguk sambil tersenyum. "Terserah padamu, Suheng. Kini ada dua jalan. Engkau dapat menghadap ayah dan ibu lantas mengembalikan pusaka ini, atau engkau boleh datang bersama orang tuamu ke sana. Nah, aku pergi dahulu, menunggu di sana bersama ayah dan ibu. Hay-ko, adik Hong, aku pergi dulu!" Setelah berkata demikian, Bi Lian meloncat dan berlari cepat sekali menuju ke jalan keluar satu-satunya yang tadi juga dilewati Ki Liong dan Mayang, yaitu jalan menuju ke terowongan bawah tanah.
Han Siong masih berdiri tertegun dengan Kwan-im-kiam di tangan. Dia baru sadar ketika Hay Hay merangkul pundaknya dan sahabatnya itu tertawa gembira.
"Han Siong, bocah ajaib, sekarang engkau menjadi bocah beruntung! Kionghi (selamat), Han Siong!"
"Hay Hay..., kau... kau pikir, dia... dia...” Han Siong masih salah tingkah karena hatinya terguncang oleh keharuan dan kegembiraan.
"Dia menanti datangnya pinangan orang tuamu, bocah bodoh!"
Han Siong tersenyum, lantas mengangkat kedua tangan ke arah Hay Hay dan Kui Hong, "Selamat tinggal... selamat tinggal dan terima kasih!" Dan dia pun melompat pergi dengan cepatnya, diikuti pandang mata Hay Hay dan Kui Hong.
Mereka berdiri saling pandang. Kini hanya tinggal mereka berdua saja di bukit itu bersama tiga gundukan tanah kuburan. Dalam keadaan itu terbayanglah di dalam ingatan mereka semua pengalaman mereka dahulu. Mereka pernah mengalami banyak hal yang sangat hebat ketika melakukan perjalanan bersama (baca kisah Pendekar Mata Keranjang).
Kui Hong teringat bahwa Hay Hay merupakan laki-laki pertama yang sudah menjatuhkan hatinya! Juga Hay Hay teringat betapa dia pernah tertarik sekali kepada Kui Hong, namun dahulu dia selalu menolak perasaan cinta yang membutuhkan persatuan sebagai suami isteri. Baru sekarang dia menyadari bahwa sesungguhnya dia sudah ingin sekali memiliki seorang teman hidup, seorang isteri yang mencinta dan dicinta, seorang calon ibu anak-anaknya.
Dan dalam diri Kui Hong dia melihat segala keindahan yang pernah didambakannya. Dia tahu bahwa gadis ini mencintanya. Pandangan mata dan sikap gadis itu, suaranya, juga ketika tadi meminta pertimbangan kepadanya melalui pandang mata tentang diri Sim Ki Liong. Dia lantas melangkah maju menghampiri. Kui Hong menyambut dengan pandang matanya, tidak menjauh.
"Kui Hong...”
"Hay Hay...”
Gelora perasaan yang aneh itu demikian kuatnya, membuat mereka merasa canggung dan sukar untuk bicara. Akan tetapi Hay Hay dapat menguasai perasaannya dan dia pun menyerahkan Hong-cu-kiam kepada gadis itu.
"Pangcu...”
"Hushh, aku tidak sudi disebut pangcu olehmu. Tidak enak...!"
"Tetapi engkau memang ketua Cin-ling-pai. Baiklah, Hong-moi, ini kukembalikan Hong-cu-kiam kepadamu. Pedang ini adalah pusaka Cin-ling-pai dan secara kebetulan aku dapat merampasnya dari Tang Cun Sek."
"Engkau bawalah, Hay-ko. Aku sudah mempunyai Hok-mo Siang-kiam. Kelak kau boleh kembalikan ke Cin-ling-san, aku akan menunggu di sana...,” kata Kui Hong, teringat akan ucapan Bi Lian kepada Han Siong tadi.
Hay Hay tersenyum maklum, akan tetapi dia lalu menarik napas panjang. "Hong-moi, Han Siong akan datang bersama ayah ibunya untuk meminang Bi Lian. Akan tetapi aku...? Aku sebatang kara, tiada ayah ibu lagi…"
"Takutkah engkau menghadap seorang diri kepada orang tuaku? Biasanya engkau begitu pemberani, Hay-ko!"
"Tapi... tapi.... bagaimana kalau aku ditolak?"
"Hemm, keputusan sepenuhnya berada di tanganku."
"Hong-moi, engkau... engkau... sudikah engkau menjadi isteriku?"
Kui Hong memandang kepadanya dan dua pasang mata bertemu. Sebetulnya tidak perlu lagi mereka bicara. Sinar mata mereka sudah berbicara banyak dan tanpa bertanya sekali pun mereka telah sama-sama mengetahui bahwa mereka saling mencinta, bahwa dengan hati bahagia mereka suka menjadi suami isteri.
"Hay-ko, salah satu di antara sifatmu yang menarik hatiku adalah keterbukaanmu. Akan tetapi katakanlah, mengapa engkau tiba-tiba ingin memperisteri aku?"
"Hemm, mengapa? Karena aku clnta padamu tentu saja."
"Aneh! Masih terngiang di telingaku betapa dahulu engkau mengatakan tidak ada cinta itu di hatimu. Engkau tidak ingin terikat biar pun engkau memuji-muji diriku. Engkau senang dengan keindahan akan tetapi tidak mau terikat...”
"Dulu aku bodoh, Hong-moi. Mana ada orang yang lahir terus pintar? Untuk menjadi pintar tentu harus melalui kebodohan dulu, bukan? Sekarang mataku terbuka sudah. Engkaulah segala keindahan di dunia ini! Dan tanpa engkau, aku akan kehilangan semua keindahan itu. Perjodohan adalah satu di antara kodrat manusia, tak terelakkan lagi, kecuali mereka yang sengaja hendak menyiksa diri tidak mau menikah dan menjadi orang alim. Dan aku bukan orang alim!"
"Huh, engkau mata keranjang, siapa bilang alim?" Kui Hong mencela akan tetapi sambil tertawa dan Hay Hay juga tertawa.
"Biar pun mata keranjang tetapi aku tidak cabul, aku tidak seperti mendiang ayahku, aku tidak pernah mempermainkan wanita, aku...”
“Hushh, cukup. Kalau engkau seperti itu, mana mungkin aku sudi menjadi isterimu?"
"Jadi engkau mau?"
"Kalau engkau melamarku kepada orang tuaku!"
"Hong-moi...!" Hay Hay menangkap Kui Hong lantas melemparkan tubuh gadis itu ke atas, diterimanya dengan lembut, lalu dilemparkan lagi sampai berulang kali. Kui Hong tertawa dan menjerit-jerit. Permainan itu baru berhenti sesudah Hay Hay menyambutnya dengan dekapan dan tahu-tahu mereka telah berciuman dengan lembut dan mesra.
"Ahh… Hong-moi, pujaan hatiku, kekasihku, sayangku yang kucinta dengan sepenuh jiwa ragaku, mari kita pergi ke Cin-ling-pai, sayang...”
Kui Hong tertawa geli, akan tetapi juga senang. "Dasar perayu kau, mata keranjang kau!"
Mereka bergandengan tangan sambil tertawa-tawa, meninggalkan tempat itu dengan hati penuh kebahagiaan dan harapan.
“Sumoi....!” Han Siong memanggil lirih saat melihat sumoi-nya tergeletak terlentang dalam keadaan sudah telanjang bulat sama sekali. Cepat dia menggerakkan tangannya menotok jalan darah di pundak dan tengkuk gadis itu. "Cepat berpakaian, Sumoi!"
Kini Bi Lian dapat bergerak. Biar pun kaki tangannya masih terasa kaku, dia cepat meraih pakaiannya dan mengenakan pakaiannya dengan tergesa-gesa.
Tang Gun marah bukan main. Diumpamakan daging sudah di depan mulut, kini tergelincir lepas. "Keparat busuk!" bentaknya.
Dia pun langsung menyerang dengan pedang Kwa-im-kiam. Akan tetapi Han Siong telah mengerahkan kekuatan sihirnya kemudian dia menuding ke arah pedang di tangan Tang Gun sambil membentak dengan suara nyaring penuh wibawa.
"Engkau memegang ular itu untuk apa?"
Tang Gun tertegun. "Ular...?" Dan otomatis dia memandang ke arah pedang pada tangan kanannya dan matanya terbelalak lebar, mukanya pucat seketika.
"Ular....!" teriaknya.
Dia pun cepat melemparkan pedang itu ke atas lantai dengan jijik karena yang dilihatnya bukan lagi pedang, tetapi seekor ular yang dipegang tangan kanannya. Timbul perasaan takut di hatinya sehingga dia hendak melarikan diri melalui pintu yang dijebol itu. Akan tetapi nampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu sumoi-nya, Siangkoan Bi Lian, sudah berdiri di ambang pintu menghadangnya!
"Suheng, serahkan keparat ini kepadaku. Tolonglah Cia Kui Hong, dia berada di kamar sebelah!" kata Siangkoan Bi Lian. Mendengar ini Han Siong segera meloncat keluar dari dalam kamar itu.
"Jahanam busuk, sekarang saatnya kita menyelesaikan perhitungan sampai tuntas!" kata Bi Lian dengan sikap tenang, tetapi sepasang matanya mencorong seperti mata naga dan mukanya merah karena dia sudah marah sekali. Tang Gun merasa jeri sekali.
"Sumoi.... tadi aku telah khilaf... maafkanlah aku, Sumoi, dan biarkan aku pergi. Aku amat menyesal...”
"Jahanam busuk! Engkau sudah membohongi dan menipu orang tuaku sehingga engkau berhasil mencuri ilmu silat kami! Kemudian, aku yang menjadi sumoi-mu sudah bersusah-payah hendak membantumu mencari musuhmu. Ternyata engkau adalah anak Ang-hong-cu, sudah bersekongkol dengan ayahmu untuk menawanku secara curang dan pengecut! Semua ini masih ditambah lagi dengan perbuatanmu yang terkutuk tadi. Engkau hendak memperkosa aku! Dan sekarang engkau minta maaf? Hemmm, orang she Tang! Biar pun engkau kubunuh sampai seratus kali, hutangmu masih belum lunas!"
Tang Gun merasa takut sekali. Ketika sumoi-nya itu menjadi tawanan, dia pun tidak lagi menyembunyikan kenyataan dirinya bahwa dia bernama Tang Gun dan putera Ang-hong-cu, maka sekarang Bi Lian sudah mengetahui semua rahasianya. Bagaikan seekor anjing tersudut, matanya melirik ke sana-sini mencari lubang untuk melarikan diri.
Pandang matanya melihat pedang Kwan-im-kiam yang tadi dibuangnya karena pedang itu berubah menjadi ular. Sekarang pedang itu menggeletak di sana, tidak lagi berbentuk ular melainkan sebatang pedang biasa! Tahulah dia bahwa tadi dia berada di bawah pengaruh sihir! Kini, melihat Kwan-im-kiam menggeletak di sana, matanya berkilat dan tiba-tiba saja dia membuat gerakan ke kiri, menubruk ke arah pedang itu.
"Deessss....!"
Tubuhnya terpelanting akibat sebuah tendangan yang datang dari kiri dan tepat mengenai lambungnya. Tang Gun segera meloncat bangun lagi dan ternyata pedang Kwan-im-kiam telah berada di tangan Bi Lian. Gadis itu tersenyum mengejek.
"Pedang ini terlalu bersih untuk dijamah tanganmu yang kotor,” katanya dan menyimpan kembali pedang itu ke dalam sarung pedang yang sudah diambilnya dari atas meja, lantas memasang pedang itu di punggungnya. Dengan menyimpan pedang pusaka miliknya itu, berarti dia memandang rendah Tang Gun yang cukup dihadapinya dengan tangan kosong saja.
Tang Gun tidak melihat jalan lain kecuali membela diri. Cintanya terhadap Bi Lian lenyap seperti asap tipis tertiup angin, dan sekarang yang ada hanyalah kebencian dan keinginan untuk membunuh gadis itu atau setidaknya untuk dapat menghindarkan diri dari ancaman sumoi-nya ini.
Cinta nafsu memang tidak tahan uji. Cinta nafsu bukanlah cinta, melainkan rangsangan gairah nafsu belaka. Sekali nafsu itu terpuaskan, maka cintanya pun akan segera luntur, dan kalau nafsu itu tidak tercapai, maka cintanya berubah kebencian.
Dia menanamkan kepercayaan kepada diri sendiri bahwa dia telah mempelajari ilmu-ilmu yang dikuasai gadis itu. Setidaknya dia akan sanggup menandingi Siangkoan Bi Lian, apa lagi karena gadis itu pun tidak mempergunakan pedangnya.
Tang Gun menggerak-gerakkan kedua lengannya menghimpun tenaga dalam, kemudian sambil mengeluarkan bentakan nyaring dia segera menyerang dengan pukulan dahsyat. Melihat betapa suheng-nya atau lebih tepat bekas suheng itu memainkan ilmu silat Kim-ke Sin-kun, ilmu ciptaan ayah ibunya, hati Bi Lian menjadi makin penasaran dan marah. Dimainkannya ilmu ini mengingatkannya bahwa pemuda di depannya sudah menipu ayah ibunya sehingga mereka berkenan menerima Tang Gun sebagai murid dan mengajarkan ilmu itu kepadanya.
Maka Bi Lian juga memainkan ilmu silat itu dan mereka pun bertanding dengan seru dan mati-matian. Karena gerakan mereka sama, maka mereka nampak seperti sedang latihan saja. Akan tetapi sebenarnya mereka saling serang dengan dahsyat, dengan jurus-jurus maut. Biar pun Bi Lian menang matang latihannya, di samping tingkat kepandaian gadis ini memang lebih tinggi, namun Tang Gun masih dapat bertahan dengan kenekatannya.
Sementara itu Han Siong cepat meloncat keluar kamar itu sesudah mendengar ucapan Bi Lian tadi. Dia percaya sepenuhnya bahwa sumoi-nya itu pasti akan marnpu rnengalahkan lawannya. Sekarang dia harus lebih dahulu menolong Cia Kui Hong yang berada di kamar sebelah.
Seperti juga tadi, kini dia menendang roboh daun pintu kamar sebelah dan benar saja, di situ terjadi hal yang hampir sama. Tang Cun Sek sedang menggeluti Cia Kui Hong! Akan tetapi agaknya Tang Cun Sek tidak tergesa-gesa seperti Tang Gun. Dia mencoba untuk merayu dan menundukkan hati Kui Hong. Agaknya Cun Sek ingin gadis itu menyerahkan diri dengan suka rela, maka dia tidak tergesa-gesa hendak rnemperkosanya.
Berbeda dengan Bi Lian yang tadi sudah hampir diperkosa, kini keadaan Kui Hong masih mengenakan pakaian lengkap. Cun Sek hanya membelai dan merayunya, memeluk dan menciuminya tanpa Kui Hong dapat mengelak atau melawan. Gadis ini pun lemas tertotok sehingga tidak mampu menggerakkan kaki tangan, juga tidak mampu berteriak.
"Brakkkkk....!"
Sesudah daun pintu jebol, barulah Cun Sek terkejut. Agaknya pemuda ini tadi tidak begitu memperhatikan kegaduhan yang terjadi di kamar sebelah karena dibakar nafsu birahinya. Sesudah daun pintu kamar itu jebol baru dia terkejut dan cepat-cepat meloncat turun dari pembaringan, membalik sambil mencabut sepasang pedang Hok-mo Siang-kiam, pedang pasangan yang dirampasnya dari Cia Kui Hong.
"Keparat!" bentak Han Siong dan dia pun telah menerjang dengan pedang Gin-hwa-kiam. Sinar perak berkilat menyilaukan mata.
Cun Sek terkejut bukan main ketika mengenal siapa orangnya yang datang merobohkan daun pintu. Tentu saja dia mengenal Pek Han Siong, bahkan dia pernah dikalahkan oleh pemuda ini. Karena maklum betapa lihainya lawan ini, maka dia pun cepat menggerakkan sepasang pedang Hok-mo Siang-kiam, menangkis sambil mengerahkan tenaganya.
“Trangggg...!”
Sepasang pedang di tangan Cun Sek terpental hingga hampir terlepas dari pegangan. Dia terkejut bukan main karena dia sempat terhuyung ke belakang. Kesempatan itu langsung digunakan oleh Han Siong untuk melompat ke dekat pembaringan. Tangan kirinya cepat membuat totokan dua kali pada tubuh Kui Hong dan gadis ini pun terbebas dari totokan.
Cun Sek yang ketakutan meloncat ke pintu, akan tetapi Han Siong sudah mendahuluinya dan menghadang di pintu sambil membentak. "Engkau hendak lari ke mana?!”
Cun Sek terkejut dan semakin jeri, akan tetapi karena tidak melihat jalan keluar, dia pun menjadi nekat dan menyerang dengan sepasang pedangnya. Namun serangannya dapat ditangkis dengan mudah oleh Han Siong. Sementara itu Kui Hong menggerak-gerakkan kaki tangannya untuk mengusir kekakuan dan kepegalan, lalu dia meloncat ke depan.
"Saudara Pek Han Siong, serahkan jahanam ini kepadaku! Aku yang akan membereskan keparat ini!"
Pek Han Siong maklum akan perasaan Cia Kui Hong, karena itu setelah mendesak lawan sehingga Cun Sek meloncat ke belakang, dia lalu menyerahkan pedangnya kepada gadis itu.
"Nona Cia Kui Hong, pakailah pedang ini. Ini adalah pedang rampasan dari Sim Ki Liong, sekarang kuserahkan kepadamu untuk dikembalikan ke Pulau Teratai Merah!"
"Gin-hwa-kiam....!" Kui Hong berseru girang ketika menerima pedang itu dari tangan Han Siong.
Sesudah menyerahkan pedang Gin-hwa-kiam itu kepada Kui Hong yang dia percaya akan mampu mengalahkan Cun Sek, Han Siong lalu meloncat keluar untuk melihat keadaan Bi Lian. Bagaimana pun juga dia mengkhawatirkan keselamatan sumoi-nya atau gadis yang dicintainya itu.
********************
"Trang...! Cring...! Tranggg…!"
Bunga api berpijar-pijar menyilaukan mata ketika berulang kali kedua senjata itu bertemu di udara. Hay Hay mengerahkan tenaga saktinya, namun lawannya, Si Kumbang Merah yang merupakan ayah kandungnya sendiri, ternyata memiliki tenaga yang dahsyat pula.
Pertandingan antara mereka merupakan pertandingan bisu, tidak ada yang menyaksikan, namun pertandingan itu merupakan pertarungan antara mati dan hidup bagi Ang-hong-cu Tang Bun An. Si Kumbang Merah ini maklum bahwa Hay Hay atau Tang Hay, puteranya yang amat dikagumi juga sangat disegani, tidak mungkin akan suka melepaskannya. Dan dia tidak mau ditangkap. Ditangkap berarti penghinaan besar sebelum kematian, mungkin dihukum buang atau dihukum seumur hidup, mungkin juga mati dikeroyok para pendekar yang sakit hati kepadanya.
Tidak, dia harus dapat membunuh Hay Hay kalau dia ingin bebas, maka pertandingan itu merupakan persoalan mati hidup baginya. Dia mengeluarkan seluruh ilmu simpanannya dan mengerahkan semua tenaganya. Hanya satu yang dia khawatirkan, yaitu bila pemuda itu mempergunakan sihirnya. Dia sendiri memiliki kekuatan untuk menolak pengaruh sihir, akan tetapi kalau kekuatan sihir pemuda itu terlalu kuat maka dia akan terpengaruh dan ini berarti dia akan celaka.
Namun sedikit pun tidak terpikir oleh Hay Hay untuk mempergunakan ilmu sihirnya. Tidak, dia harus menunjukkan kepada orang ini, ayah kandungnya, bahwa dia seorang pendekar gagah sejati. Dia akan menggunakan ilmu silat untuk menangkap orang tua itu.
Hal yang membuat Hay Hay mengalami kesulitan adalah karena dia tak mau membunuh lawannya, melainkan ingin menangkapnya hidup-hidup. Kalau saja dia berkelahi dengan tekad membunuh, kiranya tak akan demikian sukarnya seperti sekarang. Dia membatasi serangannya agar tidak sampai membunuh lawan bila sampai mengenai sasaran, dan hal ini tentu saja mengurangi daya serangnya, mengurangi kehebatan serangan itu.
"Trang…! Tranggg...!”
“Haiiiiittt....!”
Setelah dua kali pisau di ujung rantai itu bertemu pedang di tangan Hay Hay, tiba-tiba Si Kumbang Merah membuat gerakan berputar dan kini ujung lain dari rantai itu menyambar ganas. Ujung lain ini berupa kaitan runcing. Hay Hay kembali menggerakkan pedangnya menangkis karena sambaran itu amat cepat sampai mengeluarkan suara berdesing,.
"Cringgg...!"
Ujung rantai yang berbentuk kaitan itu sekarang melibat pedang dan kaitannya mengkait pedang. Pada saat Hay Hay menarik untuk melepaskan pedangnya dari libatan rantai itu, tiba-tiba pisau itu menyambar lagi ke arah lehernya!
Serangan susulan ini hanya mungkin terjadi karena Hay Hay tidak bermaksud membunuh lawannya. Kalau dia menghendaki, dapat saja dia mengerahkan tenaga mukjijat yang dia latih dari Song Lojin, tenaga sinkang yang diperkuat tenaga sihir sehingga rantai itu akan putus dan pedangnya dapat meluncur menusuk dada lawan. Akan tetapi karena dia tidak ingin membunuh lawannya ini, maka dia mengerahkan tenaga hanya untuk menarik lepas pedangnya dan hal ini membuat lawan memperoleh peluang untuk menyerangkan pisau di ujung rantai.
Dalam keadaan terdesak itu Hay Hay merendahkan tubuhnya mengelak. Gerakan ini pun kembali merupakan mengalah, hanya untuk menghindarkan diri. Apa bila dia mau, maka dengan kekuatan tangannya yang dahsyat dia dapat menyambar dan menangkap rantai di balik pisau itu, kemudian melontar balikkan pisau ke arah penyerangnya.
Keadaannya makin terdesak Karena sikap mengalah ini, dan selagi dia mengelak dengan merendahkan tubuhnya, Si Kumbang Merah yang banyak pengalaman, memiliki banyak tipu muslihat dalam ilmu silatnya, telah mengirim tendangan secara tiba-tiba.
"Dessss...!"
Tubuh Hay Hay terlempar. Dia cepat bergulingan untuk menghindarkan diri dari sambaran pisau dan kaitan berganti-ganti karena lawannya sudah mengejarnya dan menghujankan serangannya. Walau pun dia tidak terluka, namun dadanya yang tertendang terasa nyeri.
Dia berhasil menghindarkan desakan senjata lawan kemudian meloncat berdiri. Namun Si Kumbang Merah tidak memberinya kesempatan untuk mengatur kedudukannya dan terus melakukan serangan dengan gencar. Hanya dengan menggunakan langkah ajaib Jiauw-pouw Poan-san saja Hay Hay mampu menghindarkan diri dari semua sambaran senjata itu.
Pertandingan antara ayah dan anak ini sungguh hebat. Ang-hong-cu Tang Bun An sudah mengeluarkan seluruh simpanan kepandaiannya untuk bisa merobohkan puteranya, akan tetapi semua serangannya itu sia-sia belaka dan karena usianya, juga karena dia seorang yang semenjak muda sering menghamburkan tenaga melalui keroyalannya dengan kaum wanita, maka mulailah dia terengah-engah, tubuhnya penuh keringat dan tenaganya mulai berkurang.
“Tar-tarr-tarrr...!"
Tiba-tiba terdengar suara ledakan-ledakan kecil, dan sebatang cambuk dengan ganasnya menyambar-nyambar di atas kepala Si Kumbang Merah hingga membuat dia terkejut dan cepat memutar rantainya ke atas kepala sambil meloncat ke belakang.
"Mayang....!" kata Hay Hay yang juga langsung menghentikan serangannya. Dia merasa girang sekali melihat adiknya selamat, namun juga khawatir melihat gadis itu menyerang Ang-hong-cu. "Jangan mencampuri, biarkan aku sendiri menghadapinya! Ini adalah urusan antara aku dan dia!"
Mayang mengerutkan sepasang alisnya, bertolak pinggang dengan tangan kiri sedangkan tangan kanannya mengamangkan cambuknya ke arah Ang-hong-cu, matanya mencorong marah memandang kepada orang yang menjadi ayah kandungnya itu.
"Tidak, Koko. Ini juga urusanku! Aku harus membunuh iblis ini! Dia telah mempermainkan ibuku, menyia-nyiakan ibuku. Kemudian, walau pun dia tahu bahwa aku adalah anaknya, dia masih tega menjebakku, menawanku, bahkan dia menawan enci Kui Hong dan enci Bi Lian dengan niat yang amat jahat. Aku harus membunuhnya!"
Dia kembali menerjang dan cambuknya segera meledak-ledak menyerang Ang-hong-cu Tang Bun An yang cepat menggerakkan sepasang senjata pada kedua ujung rantai untuk membela diri sambil balas menyerang. Sim Ki Liong yang datang bersama Mayang telah menerjang maju pula untuk membantu Mayang.
"Sim Ki Liong, kau pengkhianat!" bentak Ang-hong-cu dengan marah. Akan tetapi Sim Ki Liong diam saja dan terus menyerang dengan pedangnya.
Melihat ini Hay Hay merasa tak enak sekali. “Ki Liong, mundurlah. Ini urusan antara ayah dan anak, orang luar tidak boleh mencampuri!” Dia meloncat ke dalam pertempuran dan mendengar ini, Sim Ki Liong meloncat keluar lapangan dan hanya menjadi penonton.
Dia masih merasa tidak enak terhadap Hay Hay karena bagaimana pun juga, tadinya dia adalah musuh pemuda itu. Baru sekarang dia benar-benar menyadari betapa dia sudah melakukan penyelewengan besar sejak dia melarikan diri dari Pulau Teratai Merah.
Hay Hay melompat ke depan, akan tetapi bukan untuk mengeroyok Si Kumbang Merah. Dia merasa malu untuk mengeroyok, karena itu dia membiarkan saja Mayang menyerang ayah mereka ini, sedangkan dia hanya bergerak untuk melindungi Mayang dari serangan Ang-hong-cu.
Tentu saja Ang-hong-cu menjadi repot bukan main. Bagaimana pun juga Mayang memiliki kepandaian yang sudah tinggi dan serangan dengan cambuknya itu dahsyat bukan main. Sedangkan semua serangan balasan dari Ang-hong-cu kalau tidak dapat dielakkan atau ditangkis gadis itu, tentu ditangkis oleh Hay Hay yang selalu melindungi Mayang!
"Tarrrrrr....!" Cambuk itu meledak keras ketika ujungnya menyambar ke arah kepala Ang-hong-cu.
Orang tua ini cepat mengelak dengan merendahkan tubuhnya ke samping kiri, dan sambil mengelak kaitan di ujung rantainya lantas menyambar dari bawah ke arah perut gadis itu. Mayang tidak mau mengandalkan bantuan kakaknya saja. Dia melompat ke kanan untuk menghindarkan serangan lawan sambil menggerakkan cambuknya lagi.
"Tarrr...!” Kini ujung cambuk menotok ke arah jalan darah di pundak lawan.
"Prattt!" Ang-hong-cu menangkis dengan rantainya, kemudian tiba-tiba dia bergulingan ke kiri.
Mayang agak bingung ketika melihat gerakan bergulingan ini. Akan tetapi karena lawan menjauh, disangkanya Ang-hong-cu hendak melarikan diri maka dia pun segera mengejar dengan loncatan.
"Singgg...!"
Kini pisau di ujung rantai menyambar dari bawah ke arah lutut Mayang. Gadis itu terkejut dan meloncat ke atas, akan tetapi kaitan baja itu mengejarnya, menyambar ke arah perut.
“Tranggg…!" Kaitan itu terpental oleh tangkisan Hay Hay yang melihat datangnya bahaya mengancam adiknya.
“Jahanam!" Mayang memaki, kemudian cambuknya menyambar dahsyat sampai tiga kali beruntun.
"Tar-tarr-tarrr....!”
Ang-hong-cu kembali bergulingan mengelak sambil menjauh, akan tetapi tetap saja ujung cambuk itu menyambar ke arah punggung.
"Bretttt....!" Robeklah punggung baju itu, bahkan kulit punggungnya sempat dipatuk ujung cambuk sehingga terluka dan berdarah!
Ang-hong-cu mengeluarkan teriakan nyaring dan sekarang rantainya menyambar-nyambar sedemikian dahsyatnya sehingga Mayang terpaksa harus berloncatan ke belakang untuk menghindarkan diri dan hanya karena ada gulungan sinar pedang Hong-cu-kiam sajalah maka gelombang serangan rantai itu bisa dibendung, bahkan kemudian serangan cambuk dari Mayang kembali membuat Ang-hong-cu kelabakan.
Keadaan Si Kumbang Merah ini makin payah karena serangan-serangan Mayang cukup berbahaya sedangkan dia tak mampu membalas karena gadis itu terus dilindungi pedang ditangan Hay Hay. Kini napasnya semakin memburu dan pakaiannya sudah basah oleh keringat sehingga bau cendana makin semerbak keluar dari tubuhnya.
Sementara itu, ketika Pek Han Siong meninggalkan Cia Kui Hong yang menghadapi Tang Cun Sek dan cepat pergi melihat keadaan Siangkoan Bi Lian, pertandingan antara Bi Lian dan Tang Gun telah berpindah keluar kamar. Tang Gun membela diri mati-matian, bahkan tidak lagi bertangan kosong karena ketika didesak, dia menyambar benda apa saja untuk dijadikan senjata. Kursi, bangku, pot bunga dan apa saja, tapi semua senjata sementara itu dapat dipukul atau ditendang hancur oleh Bi Lian yang sudah marah sekali.
Tang Gun berusaha lari dan meloncat ke luar kamar, akan tetapi dengan cepat sekali Bi Lian langsung mengejarnya dan kini Tang Gun mati-matian membela diri karena didesak terus oleh Bi Lian. Ketika Han Siong muncul, pemuda ini pun hanya berdiri di pinggir dan menjadi penonton. Dia tentu saja tidak mau mengeroyok, apa lagi melihat betapa Bi Lian sama sekali tidak membutuhkan bantuan.
Sepasang mata Tang Gun melotot karena marah dan juga merasa takut, mulutnya kering berbusa dan pipi kanannya bengkak membiru karena tadi terkena tamparan tangan kiri Bi Lian. Juga kini gerakan kakinya kurang tangkas karena paha kirinya juga pernah tercium ujung sepatu Bi Lian sehingga kain celana di paha berikut kulit serta dagingnya terobek dan berdarah.
"Hyaaaattt....!" Bi Lian menyerang kembali, serangan pancingan dengan sebuah jurus dari Kim-ke Sin-kun yang sudah dikenal baik oleh Tang Gun.
Melihat ini tahulah Tang Gun bagaimana dia harus menghadapi serangan yang dilakukan dengan tendangan terbang itu. Tubuh Bi Lian meluncur dari atas bagaikan seekor ayam yang menerjang lawan. Serangan ini hampir tidak mungkin untuk ditangkis. Menangkisnya berarti membahayakan diri sendiri, maka Tang Gun mengambil jalan yang paling aman. Dia tidak menyambut serangan, melainkan melempar tubuh ke belakang untuk mengelak, lalu berguling dan meloncat.
Dia tidak tahu bahwa gerakannya ini sudah diperhitungkan oleh Bi Lian dan gadis ini pun bergulingan di atas tanah mengejar. Begitu Tang Gun meloncat bangun, tiba-tiba gadis itu pun meloncat dan menyerang dari bawah sambil mengeluarkan suara melengking.
Tang Gun terkejut, tidak mengenal serangan ini dan karenanya dia menjadi bingung. Apa lagi ketika dara itu mengeluarkan suara gerengan melengking, tiba-tiba jantungnya terasa bagaikan diremas, kedua kakinya menggigil dan ketika kedua tangan gadis itu dari bawah memukul dengan jari tangan terbuka, mengenai perut dan dadanya, dia pun terjengkang dan roboh terlentang dalam keadaan tewas seketika!
Memang Bi Lian tidak lagi menggunakan ilmu dari orang tuanya, melainkan menggunakan ilmu pukulan yang dibarengi dengan ho-kang atau teriakan yang menggetarkan jantung lawan, yang pernah dipelajarinya dari seorang di antara dua gurunya yang menjadi datuk-datuk sesat, yaitu Tung Hek Kwi (Iblis Hitam Timur)!
Dia pun meloncat berdiri dan seperti patung memandang kepada tubuh Tang Gun yang sudah tak bernyawa lagi. Dia membayangkan betapa tadi Tang Gun telah menggelutinya, bahkan menelanjanginya, maka dia pun meludah ke arah mayat itu.
"Sumoi...!" Pek Han Siong memanggil.
Bi Lian memutar tubuhnya. Begitu melihat Han Siong, bayangannya lalu berlanjut. Betapa Han Siong melihat keadaannya yang telanjang bulat, betapa pendekar itu membebaskan totokannya, kemudian memenuhi permintaannya untuk tidak ikut menyerang Tang Gun.
"Suheng....!" Bi Lian pun menggigil teringat akan bahaya yang tadi mengancam dirinya.
"Kenapa, Sumoi... ?" Han Siong melompat dan berdiri mendekatmya. "Engkau kenapa?"
Bi Lian menggeleng kepalanya. "Tidak apa-apa, Suheng... hanya aku teringat tadi... kalau engkau tidak cepat datang menolongku.... ahhhh.... si keparat itu...”
"Sudahlah, Sumoi. Jangan dipikirkan lagi. Mari kita melihat keadaan nona Cia Kui Hong. Lihat, dia masih berkelahi melawan Tang Cun Sek. Bahkan kini mereka berkelahi di luar rumah."
Keduanya lantas berloncatan menuju ke pekarangan pondok itu di mana Kui Hong masih bertanding melawan Tang Cun Sek. Memang Tang Cun Sek jauh lebih lihai dibandingkan Tang Gun, maka dibandingkan Siangkoan Bi Lian, Cia Kui Hong menghadapi lawan yang lebih tangguh dan tidak begitu mudah ditundukkan.
Tang Cun Sek maklum bahwa nyawanya berada dalam ancaman maut. Ketika Pek Han Siong membebaskan totokan Kui Hong sehingga membuat gadis itu dapat bergerak lagi, kemudian Han Siong menyerahkan Gin-hwa-kiam kepada gadis itu, tentu saja dia merasa khawatir bukan main. Dia tahu betapa lihainya Pek Han Siong, juga Cia Kui Hong.
Menghadapi Pek Han Siong seorang diri saja dia pasti kalah, dan juga dia pernah kalah saat bertanding melawan Kui Hong dalam memperebutkan kedudukan ketua Cin-ling-pai. Kalau sekarang dua orang itu mengeroyoknya tentu dia akan roboh dalam waktu singkat. Akan tetapi kemudian Han Siong meninggalkan mereka dan hal ini membuat dia melihat harapan untuk dapat meloloskan diri. Dia lalu meloncat keluar dari dalam kamar.
"Jahanam busuk, engkau hendak lari ke mana?!" Kui Hong mengejar.
Ketika tiba di luar pondok, Cun Sek baru teringat akan keterangan Ang-hong-cu bahwa bukit itu tidak mempunyai jalan keluar kecuali melalui terowongan bawah tanah tadi! Dia menjadi bingung, namun pada saat itu pula Kui Hong sudah menyusulnya dan langsung menyerangnya. Sinar perak bergulung-gulung menyambar ke arahnya. Cun Sek terpaksa mencurahkan seluruh perhatiannya untuk melawan Kui Hong.
Seperti juga pertandingan antara Siangkoan Bi Lian melawan Tang Gun tadi, sekarang pertandingan antara Cun Sek dan Kui Hong juga merupakan pertandingan antar saudara seperguruan. Seperti yang kita ketahui, Cun Sek sudah mewarisi ilmu-ilmu simpanan dari Cin-ling-pai, sedangkan Kui Hong adalah puteri ketua Cin-ling-pai, bahkan kini dia adalah ketuanya!
Akan tetapi Kui Hong memiliki satu kelebihan dari Cun Sek. Selain ilmu-ilmu silat Cin-ling-pai yang sudah dikuasainya lebih matang dari pada Cun Sek, juga dia sudah digembleng oleh kakek dan neneknya di Pulau Teratai Merah. Inilah kelebihan itu, yang membuat Kui Hong lebih unggul dibandingkan Cun Sek.
Dan Kui Hong benar-benar memanfaatkan kelebihannya ini. Walau pun Cun Sek mampu membela diri dengan baik dan rapat, akan tetapi lambat laun dia terdesak hebat oleh Kui Hong. Sekarang Gin-hwa-kiam telah berada di tangannya, maka dia pun memainkan ilmu pedang tunggal Gin-hwa Kiam-sut yang dipelajari dari kakeknya, sambil kadang-kadang mencari lowongan untuk memasukkan pukulan ampuh Pek-in-ciang (Tangan Awan Putih) dengan tangan kirinya.
Ketika Pek Han Siong dan Siangkoan Bi Lian tiba di sana, Kui Hong sedang mendesak Cun Sek dengan hebatnya. Melihat ini Bi Lian dan Han Siong tidak mau membantu tetapi hanya menonton. Diam-diam mereka kagum karena gerakan Kui Hong amat dahsyatnya. Jelas bahwa gadis ini sudah memperoleh kemajuan pesat sekali dan semakin hebat saja kepandaiannya sehingga pantaslah kalau dia menjadi ketua Cin-ling-pai.
Kui Hong tahu akan kemunculan Han Siong dan Bi Lian, maka dia pun dapat menduga bahwa Bi Lian sudah berhasil ‘membereskan’ Tang Gun. Ia merasa penasaran karena dia sendiri belum dapat merobohkan Tang Cun Sek. Maka dia segera mengeluarkan seruan melengking nyaring dan memutar pedang Gin-bwa-kiam dengan cepat serta mengandung tenaga yang amat kuat untuk menempel dua batang pedang lawan.
Cun Sek terkejut sekali karena kedua pedangnya ikut terputar dan untuk menyelamatkan dirinya, dia cepat menarik sepasang pedang itu sambil meloncat mundur. Kesempatan ini dipergunakan oleh Kui Hong. Dia menancapkan pedangnya di atas tanah, lalu melompat ke depan dengan tubuh hampir bertiarap setengah berjongkok sambil kedua tangannya didorongkan ke depan dengan suara melengking.
"Hyaaaaattt...!"
Tenaga dahsyat menyambar keluar. Itulah sebuah di antara jurus ilmu silat Hok-liong Sin-ciang (Tangan Sakti Penakluk Naga) yang hanya delapan jurus namun yang sangat hebat dan dahsyat. Ilmu ini dipelajarinya dari kakeknya, dan merupakan ilmu ciptaan Bu-beng Hud-couw yang menjadi guru kakeknya, Pendekar Sadis.
"Desssss...!"
Walau pun dia berusaha untuk membabat dengan pedangnya, namun sepasang lengan dara itu menerobos sehingga hawa pukulannya membuat sepasang pedangnya terpental, lalu bagian bawah dada Cun Sek kena dihantam oleh pukulan sakti itu. Dia mengeluarkan suara parau lantas terjengkang, sepasang pedang Hok-mo Siang-kiam terlempar ke atas dan dia pun tewas seketika.
Kui Hong meloncat ke atas dan dengan dua tangannya dia menyambut sepasang pedang miliknya itu, kemudian mencabut pula Gin-hwa-kiam dari atas tanah. Dengan tenang dia lalu menghampiri Han Siong dan Bi Lian.
"Jahanam itu sudah kau bereskan?" tanyanya kepada Bi Lian dan gadis ini mengangguk. Kui Hong lalu memandang kepada Pek Han Siong.
"Saudara Pek Han Siong, aku berterima kasih sekali atas pertolonganmu tadi, dan ini aku kembalikan Gin-hwa-kiam yang kau pinjamkan kepadaku tadi."
Han Siong memberi hormat dan menolak dengan halus. "Ahh, nona Cia Kui Hong, kenapa berterima kasih. Di antara kita tidak ada pelepasan budi, yang ada hanyalah saling bantu. Tidak usah sungkan, dan tentang Gin-hwa-kiam ini, pusaka ini adalah milik Pulau Teratai Merah, maka sudah sepatutnya berada di tanganmu. Aku hanya meminjam dari saudara Tang Hay... ahh, di mana Hay Hay? Kenapa dia tidak nampak...?”
"Kau maksudkan, dia datang bersamamu?" tanya Kui Hong tertarik.
"Memang kami datang berdua, mengejar Ang-hong-cu. Ia mengambil jalan belakang, aku dari depan dan... ahhh, dengar. Itu suara cambuk! Seperti cambuk yang biasa digunakan Mayang. Mari!" Han Siong lalu berlari ke arah belakang pondok dan dari jauh saja sudah nampak adanya pertempuran di puncak belakang pondok itu.
Mereka bertiga berlari menghampiri. Ternyata Mayang sedang berkelahi dengan seorang pria setengah tua yang wajahnya mirip Han Lojin akan tetapi tanpa jenggot dan kumis.
"Hemm, agaknya inilah wajah yang asli dari Ang-hong-cu!" kata Han Siong.
Mereka melihat betapa Mayang terus mendesak dan menghujankan serangan cambuknya kepada Ang-hong-cu yang tidak dapat membalas lagi karena gadis itu dilindungi oleh Hay Hay. Pakaiannya sudah tercabik-cabik dan mukanya sudah penuh guratan merah akibat terkena ujung cambuk. Namun Ang-hon-cu masih melawan sekuat tenaga.
"Jahanam, kiranya engkau masih di sini?" tiba-tiba Kui Hong membentak, kemudian sekali loncat tubuhnya sudah berada di depan Sim Ki Liong.
Sim Ki Liong nampak tenang saja bahkan menundukkan mukanya, sama sekali tidak ada gerakan atau sikap melawan. Melihat ini Kui Hong menahan tangannya yang sudah gatal untuk menyerang pemuda yang dibencinya ini. Pemuda yang minggat melarikan diri dari Pulau Teratai Merah, melarikan Gin-hwa-kiam, bahkan bersekutu dengan orang jahat dan ikut pula menangkapnya.
"Sim Ki Liong, hayo cepat gunakan senjatamu. Di sini kita selesaikan semua perhitungan di antara kita. Aku mewakili kakek dan nenekku di Pulau Teratai Merah untuk menghukum engkau, juga aku bertindak atas diri sendiri untuk membasmi kejahatanmu."
"Nona, aku Sim Ki Liong memang telah melakukan dosa besar terhadap suhu dan subo di Pulau Teratai Merah. Juga aku telah tersesat dan menyeleweng sehingga bergaul dengan orang jahat. Kalau engkau hendak mewakili suhu dan subo menghukumku, silakan, Nona. Aku siap menerima hukuman mati sekali pun, aku tidak akan melawan dan aku menerima kesalahanku."
Kui Hong tertegun. Tidak percaya. Dia tahu bahwa Sim Ki Liong lihai dan belum tentu dia akan dapat mengalahkan bekas murid kakek dan neneknya ini secara mudah. Bagaimana kini pemuda itu menyerah begitu saja, rela dihukum mati sekali pun tanpa melawan?
"Sim Ki Liong!" bentaknya dengan gemas. "Cabut senjatamu! Aku tidak sudi menyerang orang yang tidak melawan. Jangan menjadi pengecut engkau!"
Mendadak Ki Liong menjatuhkan diri berlutut, tidak menghadap Kui Hong melainkan ke arah selatan, lalu terdengar suaranya penuh kedukaan dan penyesalan, "Suhu dan subo telah mendidik teecu, telah mencurahkan kasih sayang dan melimpahkan ilmu-ilmu, akan tetapi teecu telah membalasnya dengan pengkhianatan. Teecu merasa bersalah dan jika suhu dan subo mengutus nona Cia Kui Hong untuk menghukum teecu, maka teecu akan menerimanya dengan rela. Mohon suhu dan subo memberi ampun agar arwah teecu tidak terlalu tersiksa."
Mendengar ini Kui Hong mengerutkan alisnya. Dia masih menganggap bahwa Ki Liong berpura-pura atau bersandiwara agar dia merasa iba. Maka dia berkata lantang, "Bagus! Kalau begitu biarlah aku mewakili kakek dan nenek memberi hukuman mati, hitung-hitung aku melenyapkan seorang manusia iblis yang mengacaukan dunia!"
Ia melangkah maju dan Ki Liong menundukkan kepala, seolah menjulurkan lehernya dan siap untuk menerima pancungan pedang Kui Hong.
"Enci Kui Hong, jangan...!" Tiba-tiba Mayang meloncat meninggalkan Ang-hong-cu.
Teriakan ini mengejutkan Kui Hong sehingga dia menahan gerakan pedangnya. Mayang kini berdiri di depan Kui Hong, membelakangi Ki Liong yang masih berlutut.
"Enci Kui Hong, jangan bunuh dia!"
Kui Hong mengerutkan alisnya dan memandang dengan galak. “Mayang, dia ini seorang yang jahat sekali! Minggirlah, dia harus dilenyapkan dari permukaan bumi!”
“Tidak, enci Kui Hong! Biar pun dia pernah tersesat, namun dia sudah menyadarinya dan bertobat. Bahkan dia sudah menyelamatkan aku. Tidak, kalau engkau memaksa hendak membunuhnya, kau bunuh aku lebih dulu, enci Kui Hong!” Ucapan Mayang ini membuat Ki Liong terbelalak dan sinar kegembiraan memancar dari sepasang matanya.
“Adik Mayang, jangan engkau membelaku seperti itu. Aku tidak berharga..."
"Mayang, minggir kau!” Kui Hong membentak.
"Tidak, enci!" Suara Mayang tegas sekali sehingga Kui Hong tertegun.
"Aihh, Mayang. Ada apa dengan engkau? Mengapa engkau mendadak melindungi Sim Ki Liong?" tanyanya penasaran.
"Enci Kui Hong, karena dia mencintaku, dan aku... aku juga cinta padanya. Aku pernah mencinta Hay-koko, akan tetapi ternyata kami masih saudara seayah sehingga terpaksa aku harus berpisah darinya. Sekarang jangan engkau memaksa aku berpisah pula dari orang yang kucinta."
Semua orang terbelalak, kagum dengan keberanian serta ketulusan hati gadis peranakan Tibet itu, juga merasa terharu. Akan tetapi Kui Hong yang marah sekali kepada Ki Liong, mengerutkan alisnya.
"Mayang, jangan memaksa aku untuk merobohkanmu terlebih dahulu supaya aku dapat membunuh keparat itu."
"Aku bersedia mati bersama dia, enci Kui Hong!"
Pada saat yang menegangkan itu Hay Hay sudah bertanding kembali melawan Ang-hong-cu. Akan tetapi telinganya mendengar dan mengikuti perdebatan itu, dan hatinya menjadi gelisah bukan main.
Dia tahu bahwa ada hubungan kasih antara Sim Ki Liong dengan adiknya, dan kini malah adiknya membuat pengakuan yang begitu terbuka bahwa dia pun mencintai pemuda itu. Maka Hay Hay menjadi semakin khawatir saat mendengar suara Kui Hong yang agaknya berkeras hendak membunuh Ki Liong.
Karena perhatiannya terpecah, bahkan sebagian besar ditujukan ke arah adiknya dan Kui Hong, maka perlawanannya terhadap desakan Ang-hong-cu menjadi lemah sehingga dia pun terdesak. Saking khawatirnya, Hay Hay cepat meloncat ke belakang dan menoleh ke arah Kui Hong.
“Hong-moi..., jangan bunuh dia. Dia telah membantu kami melawan para penjahat...”
“Crattt...! Augghhh...!”
Hay Hay sudah mengelak namun tetap saja pangkal lengan kirinya tersabet pisau di ujung rantai yang digerakkan Ang-hong-cu Tang Bun An secara curang karena tadi dia melihat kesempatan bagus sekali ketika Hay Hay meloncat dan menoleh ke arah Kui Hong. Hay Hay terhuyung dan melihat ini, Si Kumbang Merah menerjang dengan senjatanya. Kaitan itu menyambar ganas ke arah leher Hay Hay.
"Trangggg...!” Kaitan itu membalik ketika ditangkis oleh pedang di tangan Kui Hong yang sudah menolong Hay Hay.
"Ang-hong-cu iblis busuk! Engkau curang dan pengecut sekali!" bentak Kui Hong sambil menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka orang itu, sedangkan pedang Gin-hwa-kiam siap di tangan kanan.
Ang-hong-cu tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, Cia Kui Hong! Katanya engkau ketua Cin-ling-pai, akan tetapi ternyata hanya menjadi seorang pengeroyok saja. Siapa yang curang dan pengecut? Ha-ha-ha, nona manis, engkau boleh membantu Hay Hay dan maju bersama dia untuk mengeroyok aku!"
"Hong-moi, mundur. Aku masih sanggup menghadapinya!" kata Hay Hay setelah memberi obat bubuk pada luka di pangkal lengan kirinya. Kui Hong memandang kepada Hay Hay dengan alis berkerut.
"Aku pun tidak sudi mengeroyok, dan aku pun percaya bahwa engkau tentu akan mampu mengalahkannya, Hay-ko. Aku juga percaya bahwa engkau sudah tahu kalau kebenaran dan keadilan harus ditegakkan, setiap penjahat harus dihukum, tak peduli siapa pun dia! Hubungan keluarga tidak boleh mempengaruhi keadilan!" Setelah berkata demikain, Kui Hong melangkah mundur.
Gadis ini melihat betapa ketika membantu Mayang tadi Hay Hay sama sekali tak pernah menyerang Ang-hong-cu, seolah-olah dia tidak tega dan sengaja mengalah terhadap ayah kandungnya itu. Maka kini dia mengingatkan Hay Hay agar tidak bersikap lemah. Dialah orangnya yang akan merasa menyesal dan kecewa bukan main kalau karena hubungan keluarga, Hay Hay sampai melupakan kebenaran dan keadilan, dan sengaja melindungi ayah kandungnya yang jahat sekali itu.
Hay Hay memandang pada Kui Hong dan dua pasang mata itu saling tatap, dua pasang sinar mata bertaut sebentar.
"Aku mengerti, Kui Hong!"
Kini Hay Hay menghadapi Ang-hong-cu dan begitu dia mengeluarkan suara melengking nyaring yang memekakkan telinga dan mengguncang jantung, dia pun menerjang dengan pedang Hong-cu-kiam diputar cepat. Nampak sinar emas bergulung-gulung, menyambar ke arah Ang-hong-cu yang cepat menyambut dengan senjata rantainya.
"Tranggg…! Cringgg...!"
Si Kumbang Merah terkejut bukan main karena kini Hay Hay menggunakan tenaga sakti yang amat dahsyat sehingga dua senjata itu, yaitu pisau dan kaitan, menjadi patah ketika kedua ujung rantainya bertemu dengan pedang! Dan sinar pedang emas itu masih terus menyambar ke arah kepalanya, demikian cepatnya sehingga kembali Ang-hong-cu harus menangkis dengan rantainya yang dipegang kedua tangan pada ujung yang sudah tidak ada senjatanya lagi.
"Trangggg....!"
Rantai itu putus menjadi dua dan tubuh Ang-hong-cu terjengkang lantas dia bergulingan sampai jauh. Dia cepat melompat bangun, wajahnya berubah pucat dan kedua matanya terbelalak, akan tetapi wajah itu menjadi merah kembali dan dia tersenyum menyeringai.
"Bagus, Hay Hay! Engkau memang hebat. Akan tetapi aku belum kalah. Senjataku sudah putus dan tidak ada gunanya lagi, akan tetapi aku rnasih mempunyai tangan dan kaki!"
Dia lalu membuang dua potong rantai itu dan mernasang kuda-kuda dengan sikup gagah sekali. Tubuhnya tegak lurus, kaki kanan diangkat sehingga tumitnya menempel lutut kiri, tangan kanan menempel pada pinggang dengan jari tangan terbuka dan tangan kiri agak bengkok ke depan, juga dengan jari tangan terbuka.
Hay Hay memasukkan pedang Hong-cu-kiam ke sarungnya yang terselip di pinggangnya. Dia adalah seorang gagah, tentu saja tak sudi melawan orang bertangan kosong dengan senjata, apa lagi dia memang ingin menangkap Ang-hong-cu saja, bukan membunuhnya. Melihat Ang-hong-cu masih hendak melawannya dengan tangan kosong, bahkan bersikap menantang, Hay Hay menyimpan pedangnya dan dia pun melompat ke depan lawan.
Ang-hong-cu menyambut Hay Hay dengan serangan gencar. Dia menyerang dengan dua tangan terbuka, kadang-kadang menusuk dan kedua tangannya dipergunakan membacok dan menusuk seperti golok, kadang-kadang tangan itu terbuka untuk mencengkeram, tapi di lain saat sudah dirubah lagi dengan kepalan yang memukul dahsyat.
Namun dalam hal ilmu silat tangan kosong Hay Hay jauh lebih unggul dibandingkan ayah kandungnya itu. Bukan hanya dia sudah menerima gemblengan dari tokoh-tokoh Delapan Dewa, namun juga semua ilmunya itu menjadi matang oleh gemblengan kakek sakti Song Lojin.
Betapa pun hebatnya ilmu silat tangan kosong Ang-hong-cu yang mengandung banyak kembangan dan tipu muslihat, namun segera dia menjadi bingung dan repot sekali begitu Hay Hay memainkan ilmu silat Cui-sian Cap-pek-ciang (Delapan Belas Jurus Dewa Arak). Ang-hong-cu sama sekali tidak mengenal gerakan puteranya itu dan tidak dapat menduga bagaimana perubahannya, tetapi dia hanya melihat betapa lawannya seolah-olah berubah menjadi banyak, padahal Hay Hay sama sekali tidak mempergunakan ilmu sihir .
Namun Ang-hong-cu tidak mau menyerah begitu saja. Dia mengeluarkan semua ilmunya dan mengerahkan segenap tenaganya. Akan tetapi dia sudah terlampau lelah, tenaganya semakin berkurang dan setiap kali mereka mengadu lengan, dia terdorong dan terhuyung ke belakang, lantas menyeringai kesakitan. Hay Hay mendesak terus.
Kui Hong, Mayang, Han Siong dan Bi Lian hanya menoton dan mereka berempat merasa lega serta kagum karena melihat betapa Hay Hay dapat mengungguli lawan yang sangat tangguh itu. Dalam kesempatan ini, dengan suara lirih Mayang menceritakan tentang Sim Ki Liong kepada Kui Hong.
Ki Liong sendiri berdiri agak menjauh, juga turut menonton pertandingan walau pun lebih banyak menunduk. Kini matanya baru terbuka benar betapa selama ini dia lebih banyak bergaul dengan orang-orang sesat. Memang hal ini diakuinya, akan tetapi dia pun merasa terpaksa sekali melakukan semua perbuatan itu.
Dia sudah salah langkah untuk pertama kalinya ketika dia tergila-gila terhadap Kui Hong lantas melarikan diri dari Pulau Teratai Merah dan mencuri pedang pusaka Gin-hwa-kiam. Itulah kesalahannya yang pertama, yang memaksa dia bergaul dengan para penjahat dan orang sesat karena perbuatan itu tidak memungkinkan dia untuk berdekatan dengan para pendekar.
Kini sungguh terasa olehnya betapa ilmu silat baru bisa mendatangkan perasaan bangga dan bahagia bila digunakan untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, kalau digunakan untuk menentang kejahatan. Sebaliknya, kalau dipergunakan untuk mengejar kesenangan nafsu, hidupnya akan berlepotan kejahatan dan tidak akan merasakan ketentraman lagi.
Pada suatu saat Hay Hay menerjang lawannya dengan pukulan dari bawah depan. Gaya permainannya memang amat aneh dan sulit diduga. Maklum, karena penciptanya adalah Ciu-sian Sin-kai, si pengemis dewa arak sehingga gerakan itu mirip gerakan orang mabok kebanyakan minum arak. Tetapi justru gerakan seperti itu malah membuat lawan menjadi bingung.
Ketika melihat tangan Hay Hay meluncur ke arah dadanya dengan gerakan yang sangat aneh dan cepat sehingga dia sama sekali tidak dapat menghindarkan diri lagi, Ang-hong-cu menjadi nekat. Dia tak peduli lagi akan keselamatan dirinya dan menerima begitu saja pukulan itu, akan tetapi membarengi dengan gerakan kedua tangannya mencengkeram ke arah leher Hay Hay dari kanan kiri!
"Dukkk!" Dada Ang-hong-cu terpukul.
"Plakkk!"
Pukulan dua tangan terbuka dari Ang-hong-cu juga mengenai leher Hay Hay, akan tetapi alangkah kagetnya Ang-hong-cu ketika merasa betapa dadanya nyeri sehingga napasnya menjadi sesak. Pada waktu kedua tangan itu mengenai leher, dia merasa seakan-akan menampar leher yang terbuat dari baja yang keras dan licin. Kedua tangannya meleset ke bawah dan kini mencengkeram kedua pundak Hay Hay.
"Brettttt...!"
Baju pada kedua pundak Hay Hay robek dan jari-jari tangan itu mencengkeram kulit serta daging sehingga kedua pundak Hay Hay luka berdarah! Hay Hay menggerakkan kakinya dan lututnya menendang.
"Brukkk!" Perut Si Kumbang Merah tertendang lutut dan dia pun roboh telentang, meringis kesakitan. Dia masih berusaha untuk bangkit berdiri sambil kedua tangannya memegangi dada, akan tetapi dia terjatuh kembali, jatuh terduduk.
Kui Hong, Bi Lian, Mayang, dan Han Siong kini berloncatan mendekati Ang-hong-cu dan tangan mereka siap untuk memukul. Jelas nampak dari sikap dan pandang mata mereka bahwa empat orang itu hendak membunuh Ang-hong-cu. Melihat ini, tanpa mempedulikan kedua pundak serta pangkal lengan kiri yang terluka parah, Hay Hay mendahului mereka, meloncat menghadang antara mereka berempat dan tubuh Ang-hong-cu yang kini masih terduduk sambil meringis kesakitan.
"Jangan...! Kalian tidak boleh membunuh dia!" katanya sambil mengembangkan sepasang lengannya melindungi Ang-hong-cu yang meski pun masih meringis kesakitan akan tetapi kini dia mengangkat muka memandang dan wajah yang kesakitan itu berseri gembira!
"Hay-koko, aku harus membunuh dia untuk membalaskan sakit hati ibuku!" kata Mayang yang sudah siap dengan cambuknya.
"Hay 'Hay, ingatlah engkau kepada adikku Pek Eng?" kata Han Siong.
"Dan ingat pula kepada Cia Ling. Aku harus membunuhnya!" kata Kui hong.
"Hay-ko, orang ini terlalu jahat, kejam seperti iblis. Sudah sepatutnya kita bunuh dia!" kata pula Bi Lian.
Hay Hay menggeleng kepalanya dengan tegas. "Tidak, siapa pun tidak boleh membunuh dia. Aku sudah berjanji untuk menangkapnya dan menyeret dia ke pengadilan supaya dia dapat mempertanggung jawabkan semua dosanya. Aku menangkapnya untuk menentang kejahatannya. Sekarang dia sudah tertangkap, dalam keadaan tidak berdaya sama sekali, jika ada yang hendak membunuhnya maka terpaksa aku akan melindunginya. Bagaimana pun dia ini adalah... ayah kandungku!"
“Bagus! Engkau seorang lelaki sejati, Hay-ko!" Kui Hong berseru dengan wajah gembira sekali dan dia pun kini melangkah maju lalu berdiri di sisi Hay Hay, sikapnya menantang. "Hay-ko benar! Aku akan membantu dia melindungi Si Kumbang Merah kalau ada yang hendak membunuhnya!"
Bi Lian dan Han Siong mengerutkan alisnya, sementara itu Mayang memandang bingung. Tiba-tiba mereka semua memandang kepada Ang-hong-cu yang tertawa bergelak sambil duduk bersila.
“Ha-ha-ha! Semua anak-anakku yang tidak mampu mengalahkan aku ingin membunuhku. Sebaliknya Tang Hay, satu-satunya anakku yang mampu mengalahkan aku justru hendak melindungiku dan tidak mau membunuhku. Ha-ha-ha! Engkau memang hebat, Tang Hay. Engkau lebih hebat dari ayahmu. Sayang sekali engkau lemah dan tidak dapat menikmati hidupmu. Engkau mata keranjang namun hanya lahirnya saja. Engkau tidak sepenuhnya mewarisi watakku. Akan tetapi aku cukup puas. Aku kalah oleh anakku sendiri. Tang Hay, sekarang apa yang akan kau lakukan terhadap diriku?"
Hay Hay memandang dengan alis berkerut. "Aku akan rnenyerahkanmu kepada Menteri Cang. Beliau seorang pembesar yang adil dan bijaksana, tentu akan memberi hukuman yang adil. Nah itu, beliau datang...”
Memang pada saat itu terdengar suara gaduh, kemudian muncullah Cang Taijin bersama puluhan orang prajurit pengawal. Mereka berhasil menemukan terowongan bawah tanah sehingga akhirnya dapat sampai di tempat itu.
"Ha-ha-ha, di dunia ini tidak ada seorang pun yang berhak membunuhku!" Ang-hong-cu berseru sambil tertawa bergelak.
Semua orang memandang, sementara Hay Hay cepat menangkap lengan Ang-hong-cu. Akan tetapi terlambat. Orang itu sudah menelan sebutir pil hitam, lantas tiba-tiba saja dia terkulai roboh. Wajahnya berubah menghitam, namun dia masih tertawa terkekeh-kekeh. Suara ketawa itu lalu berhenti dan Si Kumbang Merah terkulai lemas, tewas dengan mata terbelalak dan mulut masih terbuka seperti orang tertawa.
Hay Hay menjatuhkan diri berlutut di dekat mayat ayahnya, kemudian dia memejamkan mata seperti orang berdoa. Bagaimana pun juga pria ini adalah ayah kandungnya!
Tidak lama kemudian Hay Hay bangkit dan memondong mayat ayahnya, mencari tempat yang terbaik di bukit itu, lalu menggali lubang kuburan. Tanpa banyak cakap lagi Pek Han Siong membantunya, bahkan Mayang turut pula menangisi mayat ayah kandungnya yang pernah dirindukannya itu.
Yang terbujur itu adalah sesosok mayat, alat yang di waktu hidupnya dijadikan perebutan antara daya-daya rendah yang menguasai seluruh anggota badan. Tubuh yang mestinya menjadi alat bagi kehidupan jiwa yang mendiaminya akhirnya justru menjadi budak nafsu. Bahkan pikiran yang menjadi kusir pemegang kendali juga telah dikuasai oleh kuda-kuda nafsu.
Badan bagaikan kereta. Baik kereta badan, kuda-kuda nafsu, kusir mau pun kendalinya, semestinya semua menjadi hamba dan alat yang melayani jiwa. Tanpa adanya kuda-kuda nafsu maka kereta badan tak akan dapat bergerak maju. Tanpa adanya kusir pikiran dan kendalinya, segalanya akan kacau dan rusak arahnya. Akan tetapi bila kuda-kuda nafsu itu tidak terkendali lagi dan menjadi liar, maka nafsu akan kabur sesukanya dan kalau sampai terjerumus ke dalam jurang, segalanya ikut menderita. Bukan hanya keretanya, juga penghuni kereta, Sang Jiwa.
Sebaliknya, kalau jiwa yang menjadi majikannya sedangkan semua alat itu hanya menjadi hambanya, barulah jiwa itu dapat menjadi seorang manusia yang seutuhnya. Hanya kalau jiwa ini bisa bersatu dengan sumbernya, yaitu Tuhan Yang Maha Kasih, Allah Yang Maha Kuasa, maka jiwa akan mendapatkan kembali kekuasaannya atas semua hambanya, yaitu jasmani.
Sesudah jenazah Ang-hong-cu Tang Bun An atau Si Kumbang Merah dimakamkan, juga jenazah Tang Gun dan Tang Cun Sek yang dikubur di sebelah kiri Ang-hong-cu, Hay Hay bersama Mayang lalu menyembahyangi kuburan mereka secara sederhana.
Menteri Cang Ku Ceng menyatakan penghargaan serta rasa terima kasihnya kepada para pendekar yang untuk kedua kalinya membantu pemerintah dalam membasmi gerombolan yang dianggap berbahaya. Akan tetapi seperti biasa, Hay Hay dan para pendekar lainnya tidak bersedia menerima anugerah jabatan, juga menolak pemberian hadiah berupa harta kekayaan. Hal ini membuat Menteri Cang menjadi semakin kagum dan hormat terhadap mereka.
********************
"Nona Cia, kalau nona memperbolehkan dan masih percaya kepadaku, aku mohon agar Gin-hwa-kiam diserahkan kepadaku," kata Sim Ki Liong kepada Cia Kui Hong, didengar pula oleh para pendekar lainnya.
"Benar, enci Kui Hong. Kami sudah membicarakan tentang hal itu dan aku pun berharap agar sukalah kiranya engkau menyerahkan Gin-hwa-kiam kepada Liong-koko."
“Menyerahkan Gin-hwa-kiam kepadamu?" Kui Hong mengulang kata-kata itu dengan hati heran. "Untuk apa?" Sinar matanya penuh selidik menatap wajah Ki Liong.
"Nona Cia. Pedang Gin-hwa-kiam adalah pusaka Pulau Teratai Merah. Akulah yang dulu mencurinya dan melarikannya. Oleh karena itu, untuk membuktikan bahwa kini aku telah sadar dan bertobat, aku ingin mengembalikan sendiri pusaka itu kepada suhu dan subo. Aku akan menghadap suhu dan subo, dan seandainya suhu dan subo marah dan hendak menghukumku, aku akan menerimanya dengan rela."
"Aku akan menemaninya, enci Hong. Andai kata engkau belum dapat percaya kepadanya tentu engkau percaya kepadaku, bukan?" kata Mayang.
Kui Hong terlihat bimbang, kemudian dia menoleh kepada Hay Hay dan biar pun mulutnya tidak berkata sesuatu, namun pandang matanya jelas minta pertimbangan pendekar itu. Sungguh aneh, dia sendiri tidak mengerti mengapa dia berpaling kepada Hay Hay untuk meminta pertimbangan. Hay Hay dapat menangkap pandang mata itu dan dia menghela napas panjang.
"Beruntunglah orang yang sakit tapi dapat sembuh dari penyakitnya. Sebaliknya, berhati-hatilah orang yang sehat karena sewaktu-waktu dia dapat saja dihinggapi suatu penyakit. Saya lebih menghargai orang jahat yang menyadari kejahatannya lalu bertobat dari pada orang baik yang membanggakan serta menyombongkan kebaikannya sehingga takabur. Aku sendiri kini dapat mempercayai Sim Ki Liong karena aku yakin bahwa adikku Mayang tidak akan salah pilih."
"Aku setuju dengan pendapat Hay-ko," kata Siangkoan Bi Lian.
Gadis ini bukan saja teringat betapa dia pernah menjadi murid dua orang datuk sesat, tapi juga dia tahu bahwa ayahnya adalah putera seorang datuk sesat, bahkan ibunya adalah puteri suami isteri yang menjadi datuk besar dunia hitam sebagai raja dan ratu!
Kui Hong termenung. Dia teringat akan neneknya di Pulau Teratai Merah. Dulu neneknya adalah seorang datuk besar kaum sesat dengan julukan Lam Sin (Malaikat Selatan), akan tetapi sesudah menikah dengan kakeknya kemudian berubah menjadi seorang pendekar yang menentang kejahatan.
"Baiklah, kau boleh antarkan pedang pusaka ini kembali ke Pulau Teratai Merah. Andai kata engkau menipuku, aku masih dapat mencarimu dan membuat perhitungan."
Sim Ki Liong yang sejak bertobat wajahnya selalu kelihatan muram, kini nampak gembira bukan main. Wajahnya berseri dan matanya bersinar-sinar kembali. Dia lantas menerima pedang Gin-hwa-kiam dan memberi hormat kepada Kui Hong.
"Nona Cia, dahulu mataku seperti buta, melihat engkau sebagai seorang gadis yang tinggi hati, keras dan kejam. Sekarang baru aku dapat melihat betapa engkau sangat bijaksana. Terima kasih, Nona, engkau telah menghidupkan kembali semangat dan harapanku. Mari, adik Mayang, sekarang juga kita berangkat ke Pulau Teratai Merah!"
Mayang lari menghampiri Hay Hay dan memegang lengan pemuda itu. "Hay-ko, engkau tidak marah bukan dengan keputusanku untuk menemani Liong-koko?"
Hay Hay tersenyum. "Sama sekali tidak, adikku. Aku bahkan merasa gembira sekali dan aku hanya mendoakan agar engkau berbahagia. Ki Liong, jaga adikku baik-baik."
Sim Ki Liong dan Mayang lalu berpamit kepada semua orang dan mereka pun berangkat meninggalkan tempat itu, diikuti pandang mata para pendekar. Sesudah bayangan kedua orang ini lenyap, Bi Lian saling pandang dengan Han Siong, sedangkan Kui Hong saling pandang dengan Hay Hay. Mereka masih merasa terharu akan perubahan yang terjadi pada diri Sim Ki Liong. Sungguh, cinta kasih dapat merubah segalanya!
Tiba-tiba Siangkoan Bi Lian melangkah maju menghampiri Pek Han Siong. Ia melepaskan pedang Kwan-im-kiam berikut sarungnya dan menyerahkannya kepada Han Siong.
"Suheng, engkau terimalah pedang ini," katanya lirih.
Han Siong memandang dengan mata terbelalak. “Kwan-im-kiam? Akan tetapi ini adalah pedangmu, Sumoi. Pedang pusaka milik ayah ibumu!"
"Tidak, Suheng. Pedang ini milikmu. Ingat, ayah dan ibu telah memberikan Kwan-im-kiam ini kepadamu."
"Tapi... tapi...” Han Siong mengerutkan alisnya karena diingatkan akan kenyataan pahit itu, suhu dan subo memberikan pedang ini sebagai ikatan dan ikatan itu telah putus." Dia tidak berani menjelaskan dengan kata ‘perjodohan’ karena di situ terdapat Kui Hong dan Hay Hay.
Siangkoan Bi Lian tersenyum sehingga wajahnya nampak manis sekali. "Benar, Suheng. Itu dahulu. Sesudah pedang ini kembali ke tanganmu, bukankah berarti ikatan perjodohan itu telah bersambung kembali?"
Wajah Han Siong seketika berubah merah dan matanya kembali terbelalak, namun sinar kebahagiaan terpancar dari pandang matanya itu. "Bi Lian..., Sumoi... ini... ini... benarkah ini... ehh, maksudku, engkau... engkau mau..." Dia tidak dapat bicara terus terang karena merasa malu didengar oleh Hay Hay dan Kui Hong.
Bi Lian mengangguk sambil tersenyum. "Terserah padamu, Suheng. Kini ada dua jalan. Engkau dapat menghadap ayah dan ibu lantas mengembalikan pusaka ini, atau engkau boleh datang bersama orang tuamu ke sana. Nah, aku pergi dahulu, menunggu di sana bersama ayah dan ibu. Hay-ko, adik Hong, aku pergi dulu!" Setelah berkata demikian, Bi Lian meloncat dan berlari cepat sekali menuju ke jalan keluar satu-satunya yang tadi juga dilewati Ki Liong dan Mayang, yaitu jalan menuju ke terowongan bawah tanah.
Han Siong masih berdiri tertegun dengan Kwan-im-kiam di tangan. Dia baru sadar ketika Hay Hay merangkul pundaknya dan sahabatnya itu tertawa gembira.
"Han Siong, bocah ajaib, sekarang engkau menjadi bocah beruntung! Kionghi (selamat), Han Siong!"
"Hay Hay..., kau... kau pikir, dia... dia...” Han Siong masih salah tingkah karena hatinya terguncang oleh keharuan dan kegembiraan.
"Dia menanti datangnya pinangan orang tuamu, bocah bodoh!"
Han Siong tersenyum, lantas mengangkat kedua tangan ke arah Hay Hay dan Kui Hong, "Selamat tinggal... selamat tinggal dan terima kasih!" Dan dia pun melompat pergi dengan cepatnya, diikuti pandang mata Hay Hay dan Kui Hong.
Mereka berdiri saling pandang. Kini hanya tinggal mereka berdua saja di bukit itu bersama tiga gundukan tanah kuburan. Dalam keadaan itu terbayanglah di dalam ingatan mereka semua pengalaman mereka dahulu. Mereka pernah mengalami banyak hal yang sangat hebat ketika melakukan perjalanan bersama (baca kisah Pendekar Mata Keranjang).
Kui Hong teringat bahwa Hay Hay merupakan laki-laki pertama yang sudah menjatuhkan hatinya! Juga Hay Hay teringat betapa dia pernah tertarik sekali kepada Kui Hong, namun dahulu dia selalu menolak perasaan cinta yang membutuhkan persatuan sebagai suami isteri. Baru sekarang dia menyadari bahwa sesungguhnya dia sudah ingin sekali memiliki seorang teman hidup, seorang isteri yang mencinta dan dicinta, seorang calon ibu anak-anaknya.
Dan dalam diri Kui Hong dia melihat segala keindahan yang pernah didambakannya. Dia tahu bahwa gadis ini mencintanya. Pandangan mata dan sikap gadis itu, suaranya, juga ketika tadi meminta pertimbangan kepadanya melalui pandang mata tentang diri Sim Ki Liong. Dia lantas melangkah maju menghampiri. Kui Hong menyambut dengan pandang matanya, tidak menjauh.
"Kui Hong...”
"Hay Hay...”
Gelora perasaan yang aneh itu demikian kuatnya, membuat mereka merasa canggung dan sukar untuk bicara. Akan tetapi Hay Hay dapat menguasai perasaannya dan dia pun menyerahkan Hong-cu-kiam kepada gadis itu.
"Pangcu...”
"Hushh, aku tidak sudi disebut pangcu olehmu. Tidak enak...!"
"Tetapi engkau memang ketua Cin-ling-pai. Baiklah, Hong-moi, ini kukembalikan Hong-cu-kiam kepadamu. Pedang ini adalah pusaka Cin-ling-pai dan secara kebetulan aku dapat merampasnya dari Tang Cun Sek."
"Engkau bawalah, Hay-ko. Aku sudah mempunyai Hok-mo Siang-kiam. Kelak kau boleh kembalikan ke Cin-ling-san, aku akan menunggu di sana...,” kata Kui Hong, teringat akan ucapan Bi Lian kepada Han Siong tadi.
Hay Hay tersenyum maklum, akan tetapi dia lalu menarik napas panjang. "Hong-moi, Han Siong akan datang bersama ayah ibunya untuk meminang Bi Lian. Akan tetapi aku...? Aku sebatang kara, tiada ayah ibu lagi…"
"Takutkah engkau menghadap seorang diri kepada orang tuaku? Biasanya engkau begitu pemberani, Hay-ko!"
"Tapi... tapi.... bagaimana kalau aku ditolak?"
"Hemm, keputusan sepenuhnya berada di tanganku."
"Hong-moi, engkau... engkau... sudikah engkau menjadi isteriku?"
Kui Hong memandang kepadanya dan dua pasang mata bertemu. Sebetulnya tidak perlu lagi mereka bicara. Sinar mata mereka sudah berbicara banyak dan tanpa bertanya sekali pun mereka telah sama-sama mengetahui bahwa mereka saling mencinta, bahwa dengan hati bahagia mereka suka menjadi suami isteri.
"Hay-ko, salah satu di antara sifatmu yang menarik hatiku adalah keterbukaanmu. Akan tetapi katakanlah, mengapa engkau tiba-tiba ingin memperisteri aku?"
"Hemm, mengapa? Karena aku clnta padamu tentu saja."
"Aneh! Masih terngiang di telingaku betapa dahulu engkau mengatakan tidak ada cinta itu di hatimu. Engkau tidak ingin terikat biar pun engkau memuji-muji diriku. Engkau senang dengan keindahan akan tetapi tidak mau terikat...”
"Dulu aku bodoh, Hong-moi. Mana ada orang yang lahir terus pintar? Untuk menjadi pintar tentu harus melalui kebodohan dulu, bukan? Sekarang mataku terbuka sudah. Engkaulah segala keindahan di dunia ini! Dan tanpa engkau, aku akan kehilangan semua keindahan itu. Perjodohan adalah satu di antara kodrat manusia, tak terelakkan lagi, kecuali mereka yang sengaja hendak menyiksa diri tidak mau menikah dan menjadi orang alim. Dan aku bukan orang alim!"
"Huh, engkau mata keranjang, siapa bilang alim?" Kui Hong mencela akan tetapi sambil tertawa dan Hay Hay juga tertawa.
"Biar pun mata keranjang tetapi aku tidak cabul, aku tidak seperti mendiang ayahku, aku tidak pernah mempermainkan wanita, aku...”
“Hushh, cukup. Kalau engkau seperti itu, mana mungkin aku sudi menjadi isterimu?"
"Jadi engkau mau?"
"Kalau engkau melamarku kepada orang tuaku!"
"Hong-moi...!" Hay Hay menangkap Kui Hong lantas melemparkan tubuh gadis itu ke atas, diterimanya dengan lembut, lalu dilemparkan lagi sampai berulang kali. Kui Hong tertawa dan menjerit-jerit. Permainan itu baru berhenti sesudah Hay Hay menyambutnya dengan dekapan dan tahu-tahu mereka telah berciuman dengan lembut dan mesra.
"Ahh… Hong-moi, pujaan hatiku, kekasihku, sayangku yang kucinta dengan sepenuh jiwa ragaku, mari kita pergi ke Cin-ling-pai, sayang...”
Kui Hong tertawa geli, akan tetapi juga senang. "Dasar perayu kau, mata keranjang kau!"
Mereka bergandengan tangan sambil tertawa-tawa, meninggalkan tempat itu dengan hati penuh kebahagiaan dan harapan.
T A M A T
Lanjut Ke Bagian Sebelas Serial Pedang Kayu Harum JODOH SI MATA KERANJANG