JAGO PEDANG TAK BERNAMA JILID 01
Sejak hari kemarin kota Sauwciu berbeda dengan biasanya. Banyak tamu dari luar kota membanjiri kota itu. Penginapan-penginapan besar kecil penuh, bahkan banyak tamu tak mendapat kamar dan terpaksa tidur di kelenteng, dan ada pula yang bermalam di rumah kenalan atau keluarganya.
Sebagian besar dari para tamu terdiri dari orang-orang kasar dan orang-orang dari kalangan persilatan, bahkan banyak yang datang dari rimba hijau dan jagoan-jagoan terkenal di kalangan kangouw. Di hotel Lim an saja orang melihat Boan Hong si Macan dari Simsee yang terkenal namanya di seluruh propinsi, apalagi di hotel-hotel besar seperti Ang hwa Likoan dan Bun toa Likoan.Menurut kata orang-orang di kedua penginapan besar itu orang melihat Cin Ouw Bu Kauwsu, guru silat dari selatan yang terkenal dengan ilmu toyanya, juga Bin Lok Ong si Garuda Terbang, jagoan dari cabang Go-bi yang namanya menggemparkan kalangan kangouw karena pernah mengobrak-abrik sarang perampok di bukit Lun san seorang diri saja!.
Tak heran penduduk kota Sauwciu menjadi gempar karena datangnya tamu-tamu terkenal itu. Banyak orang, terutama yang gemar akan persilatan, berkeliling kota melihat-lihat kalau-kalau berjumpa dengan seorang jagoan, untuk belajar kenal atau untuk mencari guru.
Para ahli silat itu datang kekota Sauwciu dengan semacam makdud, yakni mengunjungi Pek thou houw Lim San si Harimau Kepala Putih. Lim San merayakan hari kelahirannya yang kelima puluh dan menurut berita angin, kabarnya pada kesempatan itu juga ia ingin memilih mantu. Sedangkan puterinya, Lim Giok Lan siocia sudah sangat terkenal kecantikannya dan kepandaian silatnya. Juga gadis itu terkenal pandai dalam hal ilmu kesusastraan.
Maka kesempatan ini tak dilewatkan begitu saja oleh para jagoan tua muda untuk datang mengunjungi Lim San. Yang tua mengingat karena persahabatannya dengan Lim San dan mengindahkan orang tua terkenal itu. Yang muda sekalian hendak mengadu untung. Siapa tahu kalau akan kejatuhan bintang berupa Lim Giok Lan siocia yang manis.
Pagi-pagi sekali, belum juga matahari memperlihatkan wajahnya, banyak orang berduyun-duyun menuju ke gedung Lim San. Para tamu untuk mulai kunjungan mereka, para penduduk kota untuk melihat keramaian. Di depan gedung dipasang tarub lebar dan di tengah-tengah pelataran depan telah dibangun sebuah panggung lui tai, yakni tempat orang mengadu silat yang tingginya kurang lebih dua atau tiga tombak.
Si Harimau Kepala Putih Lim San berdiri di depan pintu menyambut datangnya para tamu. Ia adalah seorang tua tinggi kurus yang rambut dan kumisnya telah putih seluruhnya. Kulit mukanya putih pula, maka pantas ia mendapat sebutan si Harimau Kepala Putih. Jubahnya dari sutera biru dan kelihatan gagah sekali. Lim Seng, kakak Lim siocia, atau putera satu-satunya dari Lim San, ikut pula menyambut tamu. Ia seorang pemuda bertubuh tegap dan gagah, pantas menjadi putra si Harimau Kepala Putih.
Tuan rumah dan puteranya tersenyum-senyum gembira dan membongkokkan badan memberi hormat kepada mereka yang datang berkunjung. Karena banyaknya kenalan dan tamu, mereka tidak tahu lagi siapakah yang datang dengan undangan dan siapa yang tidak. Pokoknya bagi mereka, asal ada orang masuk, ia tentu tamu mereka.
Kaum cianpwe, yakni golongan jago-jago tua yang terkenal seperti Cin Ouw Bu kauwcu, Bin Lok Ong si Garuda Terbang, Ang Cit Kwan si Tongkat Buntung, Hwat Lai jagoan dari cabang Siauw lim dan banyak yang lain mendapat tempat duduk terhormat. Mereka ini semua terdiri dari orang-orang tua yang namanya sudah terkenal.
Ketika pesta sedang berjalan meriah, tiba-tiba penjaga pintu melaporkan bahwa ada seorang tamu muda minta tuan rumah keluar menyambut. Orang-orang heran mendengar hal ini, karena setelah tuan rumah sibuk melayani para tamu, maka yang mewakilinya menyambut tamu ini begitu tak tahu dapat minta tuan rumah keluar sendiri menyambut?
Semua orang menengok dengan tak senang, tapi Lim San yang sabar dan peramah segera keluar dengan wajah berseri-seri. Sesampainya di pintu, ia lihat seorang pemuda yang berwajah cakap dengan mata agak kebiru-biruan berdiri dengan sikap sombong di luar pintu. Di pinggangnya tergantung pedang panjamg dan pakainannya berwarna merah berkembang, mewah sekali.
Lim San segera memberi hormat yang dibalas dengan sikap jumawa sekali oleh tamunya. "Selamat datang, selamat datang. Kukira siapa, tidak tahunya Sim hiante yang datang. Dan mana Sim lo enghiong, ayahmu? Mengapa tidak datang?" tanyanya dengan wajah manis.
"Ayah tidak ada waktu untuk datangdan minta aku datang mewakilinya. Bagaimana, Lim lopek banyak baik?" kata tamunya dengan kata-kata yang sebenarnya jauh dari pada pantas dan sopan. Tapi Lim San tetap bersenyum.
"Baik, baik, terima kasih. Mari silahkan masuk, Sim hiante..." Dengan hormat sekali ia pimpin tamunya yang muda itu ketempat yang tertinggi dimana para cianpwe duduk berkumpul. Semua mata menengok kearahnya, yang muda-muda iri dan panas hati, yang tua-tua heran dan ingin sekali tahu.
Bin Lok Ong si garuda Terbang yang duduk dekat Ang Cit Kwan si Tongkat Buntung, berbisik kepada kawannya ini, "Suheng, tahukah kau siapa pemuda ini? ia adalah putera tunggal dari Sim Boan Lip pangcu yang bernama Sim Tek Hin. Kabarnya ilmu silatnya bahkan melebihi ayahnya, demikianpun kesombongannya dan kekejamannya. Kalau tidak salah, Kang Lam Sianghiap itu sepasang pendekat dari Kanglam telah mati di tangan anak muda ini dalam suatu pertempuran karena memperebutkan seorang bunga raja di kota Kunciauw."
Ang Cit Kwan mengangguk-anggukkan kepalanya. "Hm, kalau ayahnya sudah begitu lihai, tentu ia ini hebat sekali. Dan kalau ia lebih kejam dari ayahnya, waah, akan ramai hari ini. Kulihat ia membawa sikap yang agaknya akan menimbulkan onar"
Sementara itu, Sim Tek Hin duduk diatas sebuah kursi dengan sikap sombong dan melayangkan pandangan matanya kepada para cianpwe itu dengan tak ambil peduli, seakan-akan para jago tua itu hanyalah patung-patung tak berarti baginya. Tiba-tiba kedua matanya berhenti bergerak dan memandang kearah Cin Ouw Hu kauccu dan dari kedua matanya yang agak kebiru-biruan itu keluar cahaya marah. Cin kauwcu pun memandangnya sejenak, tapi segera buang muka untuk bicara dengan kawan duduknya.
Tuan rumah dengan hormat sekali melayani tamu baru ini dan pestapun berjalan lancer dan meriah sekali. Dari sana sini mulai trdengar orang-orang mengucapkan kata-kata selamat kepada tuan rumah yang disambut dengan hormat dan berterima kasih dari fihak tuan rumah.
Setelah arak hangat dan wangi diminum empat atau lima putaran LimSan bangun berdiri dan menjuru keempat penjuru kepada para tamunya.
"Cuwi sekalian yang terhormat. Kami sekeluarga menghaturkan trima kasih atas kehormatan yang diberikan kepada kami dengan kunjungan cuwi yang berharga ini. Sekarang perkenankanlah saya umumkan sesuatu hal. Sebagaimana cuwi tentu telah mengetahui atau mendengar bahwa say a mempunyai seorang anak perempuan yang bodoh dan buruk. Tapi karena ia anak perempuan satu-satunya, maka adatnya menjadi manja. Banyak lamaran yang datang, tetapi ditolaknya, karena ia hanya mau menjadi istri seorang ahli silat yan kepandaiannya lebih tinggi darinya sendiri, bahkan lebih tinggi dari kakaknya dan ayahnya. Ah, saya orang tua ini sungguh menjadi pusing, tapi apa boleh buat. Kini cuwi sekalian telah berkumpul disini, maka saya memberanikan diri untuk mengundang cuwi yang ada minat untuk memasuki sayembara ini. Barangkali saja anakku yang bodoh dan manja ini akan mendapat jodoh disini, siapa tahu?"
Pidato ini disambut dengan tepukan tangan riuh rendah, lebih-lebih dari golongan pemuda. Mereka sudah gatal gatal tangan hendakikut memasuki sayembara. Penonton penonton di luarpun merasa gembira hingga ikut bertepuk tangan.
"Cuwi sekalian!" tuan rumah menyambung kata-katanya, "Sayembara ini tidak terbatas pada para tamu saja, bahkan orang luarpun berhak ikut serta!" Kali ini para penonton menyambutnya dengan sorakan gemuruh.
"Nah, sekarang sebagai permulaan, untuk membuka sayembara ini, puteraku yang bodoh mohon pengajaran dari cuwi sekalian"
Atas tanda dari ayahnya , Lim Seng meloncat keatas panggung dengan sambutan tepukan riuh. Ia merapikan dan mengencangkan ikat pinggangnya, lalu menggulung lengan bajunya menanti tanding.
"Lim lopek, maafkan siuwte!" terdengar seruan seorang pemuda dan ia melompat keatas lantai. Ternyata ia adalah Oei Sun, putera Oei wangwe di kota itu yan dulu lamarannya ditolak oleh Lim siocia.
"Lim Seng twako, mohon jangan berlaku keras kepadaku," katanya sambil menjuru memberi hormat kepada Lim Seng.
"Oei kongcu, jangan sungkan sungkan, silahkan memberi pengajaran," jawab Lim Seng tersenyum ramah.
"Maaf!" kata-kata ini disertai dengan sebuah pukulan tangan kanan dalam tipu Harimau menerkam kambing.
Lim Seng berlaku waspada. Ia geser kaki kirinya ke belakang hingga kepalan lawan lewat disamping iganya, lalu balas menyerang dengan tipu Burung Kepinis Balikkan Badan. Tapi ini digerakkan dengan membalikkan badan, menggeser kaki kanan ke belakang lalu dengan tiba-tiba berbalik memajukan kaki kanan itu sambil mengayun kepalan tangan kiri keatas, lalu loncat setindak ke depan memukul dengan tangan kanan.
Serangan ini cepat datangnya dan tak terduga. Tapi Oei Sun ternyata gesit juga. Ia cepat menangkis dengan tangan kiri. Celaka baginya ia kalah tenaga hingga ketika lengan kirinya terbentur dengan tangan lawan, ia terhuyung-huyung ke belakang. Sebelum ia sempat memulihkan kedudukannya, Lim Seng sudah memburu maju mengirim tendangan. Biarpun Oei Sun dapat memapaki tendangan ini dengan tangan kanannya, namun tenaga tendangan itu demikian kuat sehingga ia terdorong ke belakanga dan jatuh terjengkang.
Suara tepuk tangan terdengar dan Oei Sun dengan wajah merah karena malu bangun berdiri memberi hormat, lalu melompat turun. Semua orang memuji ketangkasan Lim Seng yang telah berhasil merobohkan lawan dengan hanya dua kali gebrakan saja.
Lawan yang melompat panggung berikutnya adalah Ong Tat, seorang pemuda yang meningkat tinggi namanya karena piauwkioknya (ekspedisi) yang terkenal. Ia seorang pemuda tinggi besar yang terkenal kuat dan ilmu silatnya mengandalkan gwa kang atau tenaga tubuh. Sesampainya diats panggung ia menggerak-gerakan tangannya sampai berbuni berkerotokan dan urat-urat lengan tangannya menggembung keluar.
"Perkenankanlah siauwte ikut main-main" katanya nyengir.
"Silakan," jawab Lim Seng.
Ong Tat segera menyerang dengan tendangan tantui yang dahsyat dan kejam. Lim Seng tak percuma mendapat didikan ayahnya dalam hal kegesitan tubuh. Karena dengan mudah saja ia dapat mengelak dari tendangan yang dilancarkan beruntun lima kali itu. Bahkan ia balas menyerang dengan tak kalah serunya.
Pertempuran kali ini agak seimbang hingga para penonton merasa gembira dan berdebat-debar. Ong Tat kuat dan serangan-serangannya keras, sebaliknya Lim Seng lincah dan gesit sekali. Telah beberapa kali Ong Tat terkena pulkul di bahunya dan pernah sekali pahanya tertendang, tapi semua itu tak menjerihkannya, bahkan ia makin buas dan mengamuk seperti kerbau gila.
Suatu saat ia menyerang denga kedua tangan dalam tipu Garuda Menyambar Kelinci. Serangan ini keras dan cepat dan hampir saja pundak Lim Seng menjadi korban. Baiknya pemuda ini gesit sekali, ia masih sempat membungkuk, lalu dari bawah kedua lengan lawan, ia mengirim pukulan yang tepat mengenai dada lawan.
Terdengar suara membuka dan tubuh tinggi besar itu terhuyung-huyung ke belakang, lalu tak tertahan lagi ia terjengkang keluar panggung! Sekali lagi orang bersorak atas kemenangan fihak tuan rumah.
Berturut-turut Lim Seng menjatuhkan dua lawan lagi dan ketika lawan kelima naik ke panggung, tiba -tiba sebuah bayangan yang gesit dan ringan sekali melompat ke atas panggung. Ketika semua orang melihat dengan tegas, mereka bersorak riuh.
Ternyata yang melompat naik itu adalah seorang gadis berusia paling banyak delapan belas tahun, berwajah cantik jelita dengan kedua pipi kemerah-merahan dan bibirnya yang mungil tersenyum manis. Pakaiannya berwarna hijau dan ringkas sekali, rambutnya yang hitam gobyok dan panjang diikat keatas dengan tali sutera merah. Ia adalah Lim Giok Lan siocia sendiri yang menggantikan kakaknya.
"Twako turunlah mengaso, biar siauwmoi yang menggantikanmu!" kakaknya tersenyum dan melompat turun.
Lawan yang telah naik ke panggung tadi adalah pemuda hitam dengan cambang menyeramkan. Dengan lagak dibuat-buat ia menjuru sambil berbicara dengan mata melirik-lirik.
"Terima kasih bahwa siocia sudi bermain-main sebentar dengan aku..."
Lim siocia tidak menjawab, hanya langsung mengirim serangan dengan tipu Naga Sakti Keluar Goa. Pemuda hitam itu terkejut melihat cepatnya gerakan tangan gadis itu dan segera berkelit ke samping menghindarkan dadanya dari pukulan. Ia tidak berani sembarangan menerima pukulan itu karena sungguhpun kulit tangan itu halus bagaikan sutera, namun pukulannya membawa angina dingin menandakan besarnya tenaga dalam!
Namun gadis itu tidak memberi kesempatan padanya untuk main-main, karena setelah pukulannya gagal, kakinya segera melayang mengarah ulu hati lawan. Pemuda itu menjadi sibuk juga melayani kegesitan Lim siocia. Ia tidak diberi waktu sedikit juag untuk balas menyerang. Akhirnya ia tidak tahan dan kaki Lim siocia yang mungil mampir di pundaknya hingga ia terjengkang keluar dari panggung disambut sorakan riuh rendah dari para penonton.
Tiba-tiba terdengar bentakan keras dan tahu-tahu diatas panggung tampak laki-laki kira-kira berusia empat puluh tahun. Gerakannya melompat keatas panggung begitu cepat hingga tak terlihat orang. Lim Seng melihat orang ini menjadi terkejut dan Lim San loenghiong juga segera memberi tanda kepada puteranya untuk naik keatas panggung. Lim Seng segera melompat kesamping adiknya dan berkata,
"Moi-moi, lekas turun, biarkan aku menyambut tuan ini..." Adiknya menurut lalu turun.
"Ha ha ha, Lim Seng! Kenapa engkau begitu tidak tahu adapt? Seharusnya kau biarkan adikmu itu main-main sebentar dengan aku!" kata orang itu.
"Maaf, Hek Sam twako. Siauwte harap twako tidak berolok-olok dengan kami. Dengan maksud apakah twako naik ke sini? Maafkan jika kami lupa mengundang twako dan silakan turun minum arak wangi"
"Eeh, eh siapa sudi arak dinginmu? Aku datang bukan untuk mengemis arak. Bukankah ini sayembara terbuka dan siapa saja boleh ikut?"
"Oh! itukah maksudmu? Baiklah, silakan memberi pelajaran padaku!" tantang Lim Seng yang panas juga mendengar kesombongan orang.
"Baiklah, nah sambutlah!"
Hek Sam jagoan sungai telaga yang terkenal mata keranjang itu segera mulai menyerang. Pukulannya berat dan berisi tenaga dalam yang kuat. Namun Lim Seng perlihatkan kegesitannya dan dapat melayaninya dengan baik. Tapi setelah bertempur kurang lebih lima puluh jurus, Lim Seng merasa bahwa kepandaiannya masih kalah jauh. Ia mulai sibuk dan terdesak.
Pada suatu saat Hek Sam melancarkan serangan dengan tipu Kerbau Gila Menanduk Pohon, dengan membungkukkan tubuh ia menyerang dada Lim Seng secepat kilat. Lim Seng yang sudah mulai lelah berkelit ke samping, tapi Hek Sam merubah pukulannya dan siku-siku kanannya memukul dari samping yang telah menghantam iga Lim Seng. Pemuda itu terpental beberapa kaki dan roboh pingsan.
"Bangsat kejam" terdengar teriakan halus dan Giok Lan sudah melompat keatas panggung.
Setelah ayahnya yang ikut meloncat juga menolong Lim Seng turun panggung, Giok Lan segera menyerang dengan marah. Hek Sam tertawa sombong dan melayani Giok Lan sambil tersenyum -senyum menggoda. Karena ternyata bahwa lawannya tidak balas menyerang, bahkan sengaja membiarkan lengan mereka beradu sambil tersenyum menjemukan, Giok Lan menjadi makin marah dan menyerang dengan lebih hebat! Keadaaan menjadi tegang dan para penonton melihat pertempuran itu dengan hati berdebar-debar.
Lim San melihat jalannya pertempuran dengan kwawatir sekali. Ia maklum bahwa puterinya, walaupun kepandaiannya lebih baik daripada Lim Seng, namun masih belum dapat menandingi Hek Sam. Segera ia buka baju luarnya dan menggenjot tubuhnya naik keatas panggung.
"Giok Lan, mundurlah. Biarkan aku orang tua menerima kehormatan yang diberikan oleh Hek Sam twako!"
Mendengar kata-kata ayahnya, Giok Lan lompat mundur, tapi karena itu Hek Sam telah mengulur tangannya, maka tak dapat dihindarkan lagi tangan Hek Sam yang kasar berkeringat itu dapat menjamah pipi kirinya. Giok Lan menjadi marah dan malu, hampir saja ia menangis.
Kini Lim San sendiri yang menghadapi Hek Sam. "Hek lauwte, pandanglah mukaku yang tua ini dan sudahi sajalah pertempuran ini. maafkan jika kami ada kesalahan terhadapmu"
Hek Sam tersenyum dan menjuru. "Lim lopek, mengapa begitu? Apa salahnya kalau siauwte juga ikut memasuki sayembara ini? tidak pantaskah aku menjadi mantumu?" kata-kata ini ditutup dengan suara ketawa keras. Lim San menjadi marah dan ia mulai menyesal mengapa ia mengadakan sayembara gila ini.
"Baiklah, nah, mari kita menguji ilmu," katanya tak banyak cakap lagi.
Pertempuran ini benar-benar ramai. Lim San yang sudah tua memang kalah tenaga, namun ia banyak pengalaman dalam hal perkelahian dan tenaga dalamnya menang setingkat. Harimau Kepala Puti ini terkenal dengan kemahiran dalam hal ilmu menotok jalan darah warisan dari Cin san pai. Namun Hek Sam berbadan kuat dan ia telah mempelajari ilmu kekebalan badan, hingga jika bukan di bagian yang sangat berbahaya, ia tidak takut akan totokan tiam hoat lawannya.
Mereka bertarung sengit sekali sampai tujuh puluh jurus lebih, tidak ada yang mau mengalah. Akhirnya Lim San mendapat kesempatan dan ia tidak lewatkan ketika bagus itu segera ulur jarinya menotok kearah jalan darah kiok ti hiat lawan. Hek Sam maklum akan bahaya totokan di bagian iga dan segera mebuang diri ke belakang, tapi celaka baginya, kaki kiri Lim San terayun maju menendang sambungan lututnya.
Tidak ampun lagi ia jatuh terguling dan tidak dapat bangun lagi, karena sambungan lututnya putus. Dari tengah-tengah penonton yang bersorak riuh rendah itu tiba-tiba melompat seorang kate keatas panggung dan segera memondong Hek Sam turun. Kemudian orang pendek itu loncat lagi keatas menghadapi Lim San dengan senyum di bibirnya yang tebal.
"Lim loenghiong sungguh gagah. Tak percuma julukan Pek thou houw yangtelah lama kudengar! Suteku yang bodoh telah menerima pengajaranmu, maka janganlah membikin aku penasaran dan tidak dapat bagian!"
Lim San tahu bahwa yang berdiri dihadapannya merupakan orang pendek yang nampaknya lemah ini bukan lain adalah Lui Thung si Setan Bumi yang menjadi suheng dari Hek Sam. Lui Thung terkenal dengan permainan senjata rantai baja yang membuatnya menjagoi diantara bajak air.
"Maaf, Lui enghiong. Sebetulnya ingin sekali aku tahu dengan maksud apakah k au naik ke panggung ini?"
"Ha ha ha, Lim loenghiong!" jawabnya dengan suara ketawa seperti bebek. "Apalagi kalau bukannya melamar puterimu? Aku biarpun sudah empat puluh tahun lebih namun masih hujang!"
"Hm, baiklah, silakan maju!"
"Nanti dulu, aku dengar bahwa kau terkenal dengan senjatamu Kim to (Golok Emas). Bolehkah aku mencobanya?"
"Lui enghiong! Pertempuran ini bersifat persahabatan, bukan maksudku mendirikan panggung ini untuk mengadu jiwa. Perlu apa kita harus bertempur menggunakan senjata tajam?" tegur Lim San.
"Eh, eh! Kau takut melihat darah ? atau takut kepada rantaiku yang karatan ini?" tantang Lui Thung sambil meloloskan rantainya dari pinggang.
"Takut? Tidak sekali-kali. Baiklah kalau kau memaksa, tapi jangan menyesal kalau goloku tak bermata"
Pada saat itu Lim Seng sejak tadi memperhatikan pembicaraan mereka, meloncat keatas membawa golok ayahnya. Golok itu bergagang emas dan merupakan golok kesayangan Lim San. Entah sudah berapa puluh lawan terpaksa harus mengakui keunggulan golok itu.
"Nah, silakan" berkata Lim San sambil memasang kuda-kuda dengan mengangkat kaki kanan sebatas lutut kiri, tangan kiri menunjuk keatas dengan jari telunjuk dan jari tengah lurus, tangan kanan memegang golok yang diputar di belakang sembunyi di punggung lengannya.
Lui Thung tertawa menghina, maju selangkah dan mengayun rantainya. Rantai itu bagaikan ular hidup meluncur kearah leher Lim San yang segera mengangkat goloknya menyabet untuk memutuskan rantai. Tapi Lui Thung membetot kembali rantainya dan mengayun senjata itu secara memutar kearah pinggang lawan. Kembali Lim San menangkis, kali ini dengan pinggir golok. Dua senjata beradu dengan berbunyi nyaring dan mengeluarkan api. Ternyata tenaga mereka seimbang. Lim San bakas menyerang dan mereka segera serang mnyerang dengan sengit mengarah jiwa lawan.
Tiga puluh jurus lebih telah lewat namun masih belum dapt dipastikan seiapa diantara mereka yang lebih unggul. Tiba-tiba dari tempat duduk para jago taua tampak seorang berdiri dari kursinya sambil tertawa nyaring. Suara ketawanya bagaikan sura ketawa wanita dan dengan sekali mengenjot tubuhnya, orang itu melewati kepala semua tamu, langsung loncat keatas panggung!
Gerakan ini sungguh indah dan hebat, hingga mau tak mau para penonton yang melihatnya mengeluarkan seruan tertahan karena kagum. Orang ini ternyata adalah pemuda sombong dan yang diberi tempat duduk diantara para cianpwe tadi. Sim Tek Hin, pemuda itu, mengeluarkan sapu tangannya yang panjang dan ketika rantai Lui Thung menyambar, ia kebut rantai itu dengan saputangannya hingga terlilit sambil berkata,
"Lim lopek, mundurlah, biar aku mewakilimu"
Melihat rantai lawan ditahan oleh saputangan pemuda itu, Lim San menarik kembali goloknya yang hendak dibacokkan, lalu mundur.
"Kenapa engkau ikut campur, Sim hiante? Biar aku menerima pengajaran tuan Lui ini," ia mencela.
"Ah, lopek sudah tua, tidak pantas melayani pertempuran dengan segala orang kasar. Biar aku yang bereskan dia!" bantah Sim Tek Hin.
Terpaksa Lim San meloncat turun dan melihat dari bawah panggung.
"Nah, Lui Thung, majulah kalau engkau berani!" tantang pemuda itu.
Lui Thung tadinya merasa marah sekali melihat ada orang menghalang-halanginya, tapi ketika ia melihat orang yang menantangnya ini, tiba-tiba ia menjadi pucat.
"Sim kongcu, benar-benarkah kongcu hendak membela tuan rumah?" tanyanya merendah.
"Bodoh, siapa membela siapa? Ketahuilah, kau tidak pantas menjadi suami Lim siocia, tahu?" bentaknya.
Tiba-tiba Lui Thung tertawa, kemudian tersenyum sambil mengejap-ngejapkan matanya serta mulutnya mengoceh.
"Siauwte tahu, siauwte maklum. Nah, semoga kongcu berhasil!" kemudian ia menjuru sekali, lalu meloncat turun dari panggung, lenyap diantara gerombolan penonton.
Semua tamu dan penonton heran melihat Lui Thung yang kosen itu ternyata takut melawan pemuda itu. Siapakah ia? Masih muda dan cakap, tapi sudah begitu besar pengaruhnya? Demikian bisikan-bisikan diantara penonton.
Sim Tek Hin dengan lagak jumawa sekali mengangkat tangan memberi hormat keempat penjuru, seakan-akan lakunya seorang jagoan tanpa tanding.
"Saudara-saudara sekalian. Perkenalkanlah aku adalah Siauw san coa Sim Tek Hin si Ular Gunung, ayahku adalah Sim pangcu dari San coa pai. Hari ini Lim loenghong mengadakan sayembara untuk memilih mantu. Maka aku mewakilinya untuk menyambut setiap orang yang hendak mengikuti sayembara ini. maka hayo majulah siapa yang ada kepandaian!"
Nama Sim pangcu dari San coa pai sangat terkenal dan ditakuti orang. Jarang orang yang tidak pernah dengar nama ini dan mereka tahu betapa lihainya keluarga Sim ini. maka beberapa orang yang tadinya ada hasrat hendak mencoba ikut dalam sayembara itu, dengan sendirinya mundur teratur karena segan dan takut.
Tapi, diantara mereka yang takut, terdapat seorang pemuda she Thio yang sangat rindu untuk dapat memiliki Lim siocia. Ia adalah seorang siucai (sastrawan) yang mendapat pelajaran silat dari pamannya. Jauh-jauh dari kota Patciu yang letaknya ratusan li dari situ, ia datang untuk ikut sayembara itu.
Maka ketika ia lihat Sim Tek Hin mewakili tuan rumah, walaupun ia sudah mendengar juga tentang kelihaian Sim kongcu ini, namun ia loncat juga naik ke panggung. Sim Tek Hin menyambutnya dengan senyum sindir.
"Ha, ternyata masih ada juga orang gagah diantara kalian," tegurnya.
Thio Bun, pemuda yang baru naik itu, menjura kepada penonton, lalu kepada Sim Tek Hin. Sim enghiong, jangan tertawakan aku yang bodoh ini ingin mencoba-coba pengertaianku yang masih rencah"
"Majulah sobat," Sim Tek Hin mengejek.
Mereka lalu bergebrak dengan seru. Ternyata Thio Bun memiliki kepandaian yang lumayan juga. Gerakan-gerakannya jelas ternyata bahwa ia mewarisi ilmu silat Kun lun pai. Kalau hanya mendapat lawan Lim Seng saja, tentu akan ramai sekali pertempuran mereka. Tapi kali ini ia berhadapan dengan Sim Tek Hin yang mewarisi kepandaian tinggi dan lihai, ditambah pula adatnya yang keras dan kejam.
Serangan-serangan pemuda she Sim itu selalu ditujukan kearah tempat berbahaya, merupakan serangan maut, maka Thi Bun menjadi sibuk dan terdesak sekali. Ketika Thio Bun menyerang dengan tendangan kaki kanan, tiba-tiba sambil berkelit Sim Tek Hin bergerak cepat kearah kiri lawan dan memukul dada kiri. Thio Bun turunkan kaki dan jongkok untuk berkelit, tapi ia kalah cepat, pundaknya terpukul keras hingga ia terhuyung-huyung lalu jatuh tersungkur. Sim Tek Hin dengan tertawa memburu sambil berkata,
"Pergilah kamu" kaki kanannya diayunkan untuk menendang tubuh orang kebawah panggung. Tendangan ini sebenarnya tendangan mematikan, karena yang diarah lambung orang!
Tapi ketika ujung sepatunya telah dekat dengan lambung Thio Bun, tiba-tiba ia tarik kembali kakinya dan giginya menggit bibir menahan sakit. Tanpa terliaht oleh orang lain, sebutir batu kecil telah disambitkan orang kearah akakinya, hingga sepatunya berlubang dan kakinya terluka sedikit. Sambitan ini menolong jiwa Thio Bun yang sudah sadar kembali dan segera loncat ke bawah dengan perasaan malu dan putus harapan.
Sim Tek Hin penasaran. Siapakah yang begitu kurang ajar berani menyambit kakinya! Ia sangka pasti seorang diantara cianpwe itu, karena siapa lagi yang mempunyai kepandaian tinggi? Maka ia segera menantang lagi, kini kearah para tamu dan pandangan matanya khusus ditujukan ke tempat duduk para jagi tua.
"Saudara-saudara. Siapa lagi yang ingin coba-coba? Majulah! Apakah diantara para tamu yang terhormat ini tidak ada yang ingin memperlihatkan kepunsuan? Hayo maju, kita ramaikan pesta ini dan menambah pengajaran!"
Tapi tak seorangpun menyambut, karena mereka segan melawan kongcu yang lihai dan berpengaruh ini. Sim Tek Hin kurang puas, lalu berkata pula, dibarengi gaya yang jumawa.
"Eh, eh! Kalau begini, siapakah yang pantas menjadi suami Lim siocia?"
Kembali tidak ada yang menyambut, hanya Lim San memandangnya dengan kwawatir dan marah. Hendak berbuat apa anak setan itu? Pikirnya. Sin Tek Hin lalu tujukan pandangan matanya kearah Cin Ouw Bu kauwsu dan ia berkata lagi.
"Kalau sudah tidak ada yang berani maju, bagaimana kalau kita minta para locianpwe yang berada disini memberi pengajaran barang sejurus? Hei, saudra-saudara yang menonton, setujukah kalau saya minta seorang jago tua untuk meperlihatkan keahliannya di atas panggung ini?"
Tentu saja semua penonton berteriak, "Setuju-setuju!"
Sim Tek Hin kembali memandang kearah Cin Ouw Bu. "Nah, para locianpwe mendengar sendiri. Masakan para locianpwe hendak berlaku begitu pelit untuk memperlihatkan sedikit kepandaian? Siauwte mohon kepada Cin Ouw Bu kauwcu, sukalah meramaikan pesta ini dan memberi sedikit pelajaran kepadaku. Kecuali kalau Cin loenghiong merasa takut kalau mndapat luka, biarlah lain loenghiong saja yang maju"
Sindiran ini hebat sekali. Cin Ouw Bu maklum bahwa anak muda itu ingin mencari perkara saja, karena diantara ia dan ayah pemuda itu, yakni Sim pangcu memang ada sedikit permusuhan. Ia segera berdiri dan setelah menjuru kepada tuan rumah, ia meloncat dengan tenang keatas panggung. Kehadirannya disambut tepukan tangan riuh rendah dari penonton.
Para tamu yang merasa akan sindiran pemuda itu, merasa berdebar, karena mereka maklum bahwa 'main-main' ini akan berbahaya sekali. Lebih lebih Lim San sebagai tuan rumah merasa kuatir dan cemas.
"Sim kongcu kau begini muda tadi sungguh gagah dan berani. Biarlah aku mencoba tulangku yang tua ini"
"Siauwte bersedia menerima pengajaran," jawab Sim Tek Hin menyindir.
"Mulailah," tantang Cin Ouw Bu.
"Tidak, kau yang lebih tua menyeranglah dulu" Jawab Tek Hin.
"Baik jagalah!"
Cin Ouw Bu tanpa sungkan-sungkan lagi segera menyerang dengan menggunakan pukulan-pukulan dari ilmu silat Pat kwa ciang. Sim Tek Hin menangkis dan balas menyerang dengan ilmu silat keluarganya, yakni ilmu silat San coa cianghoat. Mereka berputar-putar dengan cepat hingga kedua-duanya merupakan dua bayangan yang berkelebat kesana sini dan sukar dilihat dengan tegas. Seratus jurus telah lewat, tapi keadaan mereka masih berimbang. Tiba-tiba Sim Tek Hin berseru,
"Tahan!" lalu keduanya meloncat mundur.
"Apa kehendakmu?" Tanya Cin Ouw Bu penasaran, karena sampai demikian jauh ia yang sudah kawakan belum juga dapat menjatuhkan seorang pemuda yang masih hijau.
"Ilmu silat loenghiong hebat sekali. Tapi aku belum kalah. Bagaimana kalau kita coba -coba ilmu mainkan senjata?" Tanya Tek Hin.
"Boleh, boleh!" jawab orang tua itu dan segera ia meloncat kearah tempat duduknya dan minta pinjam sebatang toya dari tuan rumah.
"Saudara Cin, perlu apakah pertempuran ini dilanjutkan?" tegur Lim San. "Tak usah kau layani pemuda sombong itu"
Cin Ouw Bu menghela napas. "Ayah ular anaknyapun ular. Ayahnya dulu pernah kuhalang -halangi ketika hendak merampok seorang gadis kampong, dan hal ini rupanya menjadikan dendamnya hingga puteranya tahu akan permusuhan ayahnya dengan aku. Biarlah, sudah terlanjur, kalau aku mundur, maka akan hancurlah namaku karena mulutnya yang jahil itu," kemudian sambil membawa toya ia loncat pula keatas panggu ng dimana Sim Tek Hin telah berdiri menanti sambil memegang pedang.
Cin Ouw Bu adalah seorang ahli main toya, ilmu toyanya disegani semua ahli di kalangan kang ouw dan dikenal sebagai ilmu toya Gin liong pang hwat atau Ilmu Toya Naga Perak. Di lain pihak Sim Tek Hin mewarisi ilmu pedang ayahnya, ialah ilmu pedang tunggal San coa kiamhwat yang ganas gerakan-gerakannya.
Maka ketika mereka mulai bertempur, merupakan pemandangan hebat luar biasa membuat mata semua penontong berkunang-kunang. Pukulan-pukulan dan tusukan-tusukan dilakukan dengan gerakan-gerakan mematikan! Lengah sedikit saja maka akan putuslah nyawa lawan. Tetapi ternyata pemuda itu benar-benar hebat permainan pedangnya, karena selain mendapat warisan ilmu pedang ayahnya, ia pernah pula dididik oleh Cun Kong Hwesio mempelajari ilmu pedang Go bi yang lihai.
Setelah bertempur puluhan jurus, Cin Ouw Bu yang lebih tua mulai lemah dan terdesak. Ia kalah ulet dan kalah tenaga. Pada suatu saat ketika ia membabat dengan toyanya dari atas ke bawah kearah kepala lawan dengan tipu gunung Thaisan Menghantam Menara, Sim Tek Hin menyambut toya itu dengan pedangnya, kedua senjata itu menempel bagaikan besi dengan besi sembrani. Masing-masing mengerahkan tenaga dan lama kelamaan Cin Ouw Bu kalah tenaga hingga pedang lawan mendekati kepalanya.
Tiba-tiba Sim Tek Hin menarik kembali pedangnya sambil berkelit kesamping menghindari ayunan toya, berbareng ulurkan kepalan kiri kearah dada lawannya! Serangan ini tak dapat dihindarkan lagi dan dada kanan Cin Ouw Bu kauwsu kena erpukul hingga ia terlempar dan jatuh sambil memuntahkan darah segar.
Bin Lok Ong si Garuda Terbang dan Lim San buru-buru loncat keatas panggung untuk menolong orang tua itu dan membawanya turun panggung. Si Garuda Terbang sangat penasaran sekali dan ingin kembali keatas panggung, tapi dicekal oleh Lim San yang mendahuluinya loncat menghadapi Sim Tek Hin.
"Sim hiante, kenapa kau berlaku kejam? Sudahlah habiskan saja pertempuran-pertempuran ini. kau membikin aku malu."
"Lim lopek, apakah ini berarti bahwa siauwte dianggap pemenang dalam sayembara ini?" Tanya Sim Tek Hin dengan berani sambil tersenyum tapi kedua matanya yang kebiru-biruan bercahaya kejam.
Lim San terkejut. Hm, inikah maksudnya, pikirnya. "Sim hiante, bukankah kau hanya mewakili aku?"
"Tentu saja, karena kau calon mertuaku, harus kujaga jangan sampai celaka di tangan orang. Sekarang, ternyata tiada orang yang dapat menjatuhkan aku dalam sayembara ini dan berarti akulah yang memenuhi syarat"
"Hal ini tidak semudah yang kau kira. Hianate," kata Lim San menahan marah. "Harus kutanya dulu orang yang hendak menjalani..."
Tiba-tiba Lim Giok Lan siocia loncat naik ke atas panggung sambil bertolak pinggang menghadapi Sim Tek Hin. "Siapa sudi menjadi istri seorang kejam seperti orang ini? Ayah, aku tidak sudi!"
"Turun kau!" bentak ayahnya, dan Lim siocia meloncat turun dengan marah.
"Bagus, Lim lopek. Apakah dengan caramu ini kau tidak takut disebut orang tua yang tidak memegang janji? Sayembara ini kau adakan untuk memilih mantu, yaitu siapa yang berkepandaian paling tinggi akan dipilih. Nah, sekarang siapakah berani melawan aku dalam sayembara ini?"
"Aku berani!" terdengar bentakan keras dan Bin Lok Ong si Garuda Terbang melayang ke atas panggung.
"Hm, hm!" kau orang tua juga ingin memasuki sayembara? Ingin dipungut mantu oleh Lim lopek" Mengejek Sim Tek Hin.
"Tutup mulutnmu yang kotor! Siapa ingin memasuki sayembara? Aku hanya ingin mencoba kepandaianmu ingin kulihat apakah kepandaianmu itu lebih jahat daripada mulutmu!" jawab si Garuda Terbang.
"Kau jangan membikin aku takut! Aku tidak ada waktu melayani kau! Nanti saja atau lain kali. Sekarang adalah pertandingan sayembara, siapa saja yang ingin merebut Lim siocia, dia boleh naik untuk menjatuhkan aku"
"Bangsat kecil!" memaki Bin Lok Ong, tapi ia segera dicegah oleh Lim San. Akhirnya setelah dibujuk -bujuk mau juga ia turun dari panggung setelah berkata kepada Sim Tek Hin. "Setan kecil, baiklah lain kali aku mengajar adat padamu..."
Lim San berkata kepada Sim Tek Hin, "Sim hiante, kalau kau memaksa, maka apa boleh buat, tapi ingat, kau belum memenuhi syarat..."
"Apa lagi syaratnya?"
"Kau belum menjatuhkan aku..."
"O, begitu? Nah, bersiaplah, tapi jangan menyesal. Aku tidak suka kalau kelak mertuaku benci padaku karena pernah kujatuhkan..."
"Majulah!" Lim San yang mulai marah menantang.
Sebelum mereka bertempur, tiba-tiba terdengar suara nyaring. "Tahan dulu" dan begitu suara itu lenyap, sudah tampak orangnya di atas panggung. Penonton yang tadinya diam karena tegang melihat perselisihan itu, kini berisik pula, karena suasana tambah ramai.
Orang yang baru datang itu ternyata seorang pemuda berusia kurang lebih dua puluh lima tahun. Pakaiannya seperti pelajar tapi baju dan celanannya yang warna kuning itu sudah lapuk dan ada tambalan disana sini. Ikat pinggangnya dari sutera merah, panjang berkibar-kibar dan sepatunya warna hitam, sudah tua pula. Ikat kepalanya juga berwarna kuning.
Tubuhnya kurus tapi padat, gerakannya lemah lembut bagai seorang pelajar, wajahnya cakap dan kurus. Hanya kedua matanya yang seperti bintang pagi itulah yang menyatakan bahwa ia memiliki tanaga iweekang yang dalam. Ketika kakinya tiba di atas papan panggung, sedikitpun tak mengeluarkan suara, tapi Sim Tek Hind an Lim San merasa betapa papan itu tergetar. Pemuda i ni menjura kepada Lim San dengan sikap hormat sekali sambil berkata,
"Maafkan siauwte, loenghiong, jika siauwte mengganggu dan ikut campur dalam perkara ini. siauwte tidak ingin ikut memasuki sayembara, siauwte hanya ingin mewakili loenghiong menghadapi sobat baik ini. bolehkah?"
Sebelum Lim San dapat menjawab, Sim Tek Hin mendahului berkata kasar, "He, tidak tahu aturan sekali kau! Kalau kau hendak memasuki sayembara, aku bersedia,. Tapi kau ingin mewakili Lim lopek, aku tidak mau terima!"
"Sabar dulu, sobat. Tidak ingatkah kau bahwa berdirimu disini inipun tadinya karena mewakili Lim loenghiong ? kalau kau boleh menjadi wakil, mengapa aku tidak ? tadi kau mewakili, tapi kini menjadi musuh, maka akulah yang menggantikanmu menjadi wakil, karena tidak pantas turan rumah harus turun tangan sendiri mengusir anjing!"
Kemudian pemuda itu menghadapi semua penonton dan berkata lantang. "Bagaimana saudara-saudara, bolehkah aku mewakili Lim loenghiong untuk bermain-main sebentar dengan tuan ini?"
Serentak terdengar jawaban "Boleh! Boleh!"
Pemuda ini tersenyum dan menjuru kembali kepada Lim San. "Nah, loenghiong, silakan turun dan melihat dari bawah saja. Kalau siauwte kalah dalam pertempuran ini barulah loenghiong yang maju..." Terpaksa Lim San menyatakan terima kasihnya dan loncat turun.
"Pengemis hina" Sim Tek Hin memaki. "Beritahukan namamu, aku tidak biasa memukul orang tak bernama?"
Masih saja pemuda itu tersenyum, "Namaku? Namaku Bu Beng (Tiada Nama)"
"Apa ? jangan main-main! Kau tak bernama?"
Pemuda itu mengangguk, "Memang aku tak bernama. Tapi kalau kau paksa padaku agar aku bernama, maka namaku ialah Tak Bernama, sebut saja aku Bu Beng, habis perkara"
"Bu Beng Siauwcut (bangsat rendah tak bernama)! Biarlah kau mampus tanpa nama! Mari, majulah dan siapkan senjatamu!" Sim Tek Hin mencabut pedangnya dan menanti lawannya mengambil senjata. Tapi pemuda tak bernama itu hanya berdiri tersenyum.
"Mana senjatamu? Hayo keluarkan!" bentak Sim Tek Hin ganas.
"Inilah senjataku," katanya sambil perlihatkan kedua kepalan. "Dan ini!" berganti-ganti ia lonjorkan kakinya ke depan.
Semua penonton merasa lucu melihat gerakan pemuda itu hingga tak dapat menahan ketawa. Hanya para jago tua di ruangan itu merasa kwawatir melihat tingkah pemuda itu. Mereka anggap pemuda itu terlampau sembrono untuk menghadapi Sim Tek Hin dengan pedangnya yang lihai hanya dengan tangan kosong.
Sim Tek Hin merasa dihina dan menjadi marah sekali. "Kau sudah bosan hidup!" teriaknya dan tiba-tiba pedangnya menusuk kearah tenggorokan lawan.
Bu Beng dengan masih tersenyum tundukkan kepala sinar pedang meluncur hanya setengah dim diatas kepalanya. Kedua kakinya sedikitpun tidak digeser dan masih berdiri tegak. Bagi yang tidak mengerti ilmu silat menganggap gerakan ini tidak seperti gerakan orang bersilat dan nampak lucu dan canggung, tapi Bin Lok Ong si Garuda Terbang diam-diam terkejut karena samara-samar ia dapat menerka bahwa pemuda yang kelihatan lemah itu gerakannya lemas dan gesit sekali. Hampir menyerupai gerakan ilmu silat Kiu sian ciang hwat atau ilmu silat sembilan dewa.
Sim Tek Hin merasa penasaran, lalu mengayunkan pedangnya kearah pinggang lawan, tapi Bu Beng dengan terhuyung-huyung melangkah kesamping, hingga pedang itu mengenai tempat kosong.
"Meleset lagi, sayang" mulut pemuda yang selalu tersenyum itu mengejek. Berkali-kali Sim Tek Hin menyerang menusuk, menyabet, membacok, tapi berkali-kali Bu Beng berkelit seenaknya saja menghindari serangan pedang sambil berkali-kali mengejek,
"Tidak kena, sayang!? Dan... Meleset, kawan..."
Lebih dari dua puluh jurus Sim Tek Hin menyerang, tapi selalu tak berhasil. Penonton riuh rendah bersorak karena kagum melihat betapa pemuda itu meloncat, mendekam, terhuyung-huyung ke belakang, ke samping, bagaikan orang mabuk, tapi selalu tepat menghindari jalannya pedang.
Pemuda she Sim itu dengan menggigit bibir karena gemas segera memutar pedangnya dan menggunakan ilmu-ilmu berbahaya dari ilmu pedang San coa kiamhoat. Pedangnya merupakan gulungan sinar putih mengurung tubuh lawan, Bu Beng pun percepat gerakannya hingga bagaikan kupu-kupu terbang diantara sinar pedang.
Lambat laun Sim Tek Hin mengucurkan keringat dingin dari jidatnya dan bulu tengkuknya seakan akan berdiri! Ia merasa seram dan cemas. Belum pernah selama hidupnya ia berjumpa dengan orang yang ilmu silatnya seperti ini! Bahkan gurunya sendiri tak mungkin dengan menghindari serangan-serangannya dengan hanya berkelit saja sampai puluhan jurus! Ia percepat gerakan pedangnya tapi lawannya berputar lebih cepat lagi. Tiba-tiba Sim Tek Hin kehilangan musuhnya. Selagi ia kebingungan, ia merasa punggungnya disentuh orang dan ada suara berkata,
"Aku disini, hayo serang lagi jangan melamun!" ia kertak gigi dan mengayun pedangnya ke belakang. Tapi lawannya sudah tak nampak lagi! Tahu-tahu telinga kirinya dijiwir orang. Demikianlah Bu Beng mempermainkannya hingga ia menjadi gemas, malu dan pusing. Pandangan matanya kabur.
"Sudah cukupkah, kawan? Maka menjadi orang janganlah sombong, kaukira di dunia ini hanya kau sendiri yang terpandai? Sebenarnya orang macam kau ini harus dilenyapkan dari muka bumi, tapi mengingat usiamu yang masih sangat muda, biarlah kali ini kuampunkan kau! Tapi kau perlu diberi hajaran sedikit untuk kau ingat!" kata-kata ini diucapkan diantara kilatan dan loncatan menghindari serangan pedang.
Tiba-tiba Bu Beng memasang dadanya dan tidak berkelit ketika Sim Tek Hin menusuk dadanya. Sim Tek Hin menjadi girang sekali dan kerahkan seluruh tenganya, maksudnya hendak menusuk tembus dada lawan yang dibenci ini. tapi tiba-tiba Bu Beng miringkan tubuh dan tangan kirinya bergerak cepat. Dengan tiga jari tangan ia menjepit pedang dan tangan kanannya bergerak kearah pundak kanan Sim Tek Hin. Terdengar suara "krek" dan pemuda she Sim itu tersungkur. Tulang pundaknya patah dan pedangnyapun patah menjadi dua. Suara tadi ternyata adalah suara patahnya tulang dan pedang dengan berbareng.
Orang-orang bersorak riuh. Si Garuda Terbang berdiri terheran-heran sambil mulutnya mengeluarkan kata-kata, "Hebat! Ajaib!"
Lim San meloncat ke atas panggung dan menyatakan terima kasihnya. Ia memerintahkan anaknya Lim Seng, untuk menolong Sim Tek Hin. Kemudian kembali ia menjuru kepada Bu Beng menyatakan terima kasihnya. Bu Beng balas menjuru dan berkata,
"Loenghiong, tak perlu kiranya segala upacara ini. siauwte hanya ingin menghabiskan pertempuran tak berarti ini. menurut pandangan siauwte yang sempit, mantu yang loenghiong cari-cari itu sudah ada, ialah tak lain saudara Thio Bun yang tadi dijatuhkan oleh orang she Sim itu. Siauwte telah merawatnya dan kini ia berada dihotel Peng An. Ilmu silatnya tinggi dan ia seorang terpelajar, sopan santun dan berbudi. Maka, jika kiranya tidak ada keberatan dari pihak loenghiong siauwte pujikan saudara Thio Bun itu untuk dijodohkan kepada Lim siocia. Namun selanjutnya terserah, siauwte tak dapat lama di sini. Perkenankan siauwte mengundurkan diri..."
"Tunggu dulu, anak muda. Sebenarnya siapakah namamu?" Tanya Lim San.
"Siauwte tak bernama. Ini bukan kata-kata bohong, benar-benar siuawte tak bernama, maka orang hanya menyebut siauwte Bu Beng Kiam hiap..."
Lim San terheran-heran dan ketika itu digunakan oleh Bu Beng untuk meloncat melewati kepala para penonton dan lenyap dari pandangan Lim San. Orang tua itu hanya mengeleng-gelengkan kepala dan menghela napas. Para locianpwe yang memburu ke situ ketika diceritakan oleh Lim San , semua menyatakan keherannan mereka dan menyayangkan mengapa anak muda luar biasa itu tidak dapat menjumpai mereka untuk bicara.
"Sepanjang penglihatanku hanya Kim Kong Tianglo saja yang setinggi itu kepandaiannya," berkata Hwat Lai ahli silat cabang Siauw lim itu.
"Tapi gerakannya ketika menjepit pedang dengan tiga jarinya tadi adalah gerakan ilmu silat Hoa san pai," kata Ang Cit Kwan si Tongkat Buntung.
"Memang aneh, benar-benar aneh..." Si Garuda Terbang berkata, "Dulu suhu pernah berkata bahwa ilmu silat Kun sian ciang hoat adalah ilmu silat paling lihai di jaman ini. Gerakan anak muda tadi hampir menyerupai ilmu itu yang pernah kulihat. Tapi kelitan-kelitannya sambil terhuyung-huyung tada ada miripnya dengan gerakan dari Kim liong pai, yaitu ilmu silat Ular Merayap diantara Rumput. Sungguh aneh. Dan namanya tidak ada pula. Ah, tidak sangka kita yang sudah berkelana puluhan tahun di kalangan kang ouw baru sekarang menjumpai Bu Beng Kiam hiap yang berilmu setinggi itu. Sayang" sayang ia segera pergi..."
Demikianlah, hampir semua tamu dan penonton sehari itu dan sampai berhari-hari berikutnya membicarakan halnya Bu Beng yang aneh itu. Kira-kira lima li di luar kota Sauwciu ada sebuah bukit kecil yang jarang didatangi orang karena tempat itu merupakan hutan belukar dengan pohon-pohon liar dan banyak terdapat rawa-rawa yang berbahaya.
********************
Malam hari itu keadaan di bukit itu sunyi senyap dan gelap gulita. Tapi pada kira-kira jam sepuluh malam, tampaklah bulan tua yang tinggal tiga perempat sehingga keadaan di hutan yang tadinya hitam itu kini berubah menjadi remeng-remeng menyeramkan. Pohon-pohon besar tampak bagaikan raksasa-raksasa siluman berdiri bertolak pinggang dengan kepala yang besar. Suara burung-burung malam makin menmbah seramnya hutan itu. Keadaan yang remeng-remang itu diramaikan oleh bunyi suara jangkrik dan belalang yang mendesir-desir saling sahut tiada hentinya.
Tiba-tiba dari tengah-tengah hutan yang berada di puncak bukit, terdengar suara tiupan suling. Suara suling itu melengking tinggi dan tergetar-getar seakan-akan membawa getaran kalbu yang sedih dari peniupnya. Menyedihkan, menyayat hati, tapi suara itu indah sekali menggema di seluruh permukaan bukit.
Ternyata yang meniup suling itu adalah seorang pemuda yang sedang duduk diatas akar kayu pohon siong tua. Di dekatnya berdiri sebuah pondok kecil terbuat dari pada bamboo dan beratap daun ilalang. Pemuda itu sedang asyik benar dengan permainan sulingnya hingga dunia ini baginya hanya penuh dengan suara sulingnya yang membawa semangatnya seakan-akan melayang-layang tak tentu arah tujuan.
Kalau saja disitu ada orang lain dan agak lebih terang, orang itu pasti akan melihat air mata mengalir turun perlahan-lahan dari kedua mata pemuda itu dan membasahi kedua pipinya. Tiupan suling makin endah dan akhirnya berhenti, berganti oleh suara belalang yang seakan-akan baru timbul setelah tenggelam dalam kenikmatan ayunan suara suling itu.
Bu Beng pemuda itu, menaruh sulingnya diatas tanah lalu menggunakan tangannya memeluk lutut. Kepalanya ditundukkan dan mukanya disembunyikan diantara kedua lututnya. Hatinya perih dan berkali -kali ia menghela napas. Teringat olehnya semua keadaannya sejak ia dapat mengingat sampai saat itu. Hidup penuh derita dan tekanan batin yang berat karena kesedihannya.
Kira-kira dua puluh tahun yang lalu, ketika ia berangkali baru berusia lima atau enam tahun, ia telah dapatkan diri sendiri lari ketakutan keluar dari kampong yang terbakar musnah. Entah mengapa kampung dan rumahnya terbakar. Ia tak tahu. Yang ia masih ingat hanya bahwa ayah ibunya rebah mandi darah dan rumahnya menyala-nyala dimakan api. Ia tidak tahu apa-apa, hanya merasa takut sekali, lalu lari keluar dari kampong yang merupakan neraka itu!
Hampir patah kakinya karena terus lari semalam penuh. Akhirnya ia jatuh pingsan di sebuah hutan. Seorang kampung menemukannya dan semenjak itu ia bekerja di kampong menjadi penggembala ternak. Tapi induk semangnya, seorang kaya raya di kampong itu sangat kejam dan galak. Hampir tiap hari ia menerima makian dan pukulan. Namun ditahan-tahannya juga hingga setahun lebih ia bekerja kepada hartawan pelit itu hanya untuk dapat mengisi perut setiap hari.
Pada suatu hari ternaknya lenyap dua ekor. Entah dimakan binatang buas, entah dicuri orang. Induk semangnya marah dan ia dipukul setengah mati lalu disuruh pergi mencari dengan ancaman kalau tidak ketemu ia akan dibunuh. Dengan putus harapan dan takut bercampur sedih ia pergi mencari-cari, tapi sia-sia. Karena terus menerus berjalan semalam penuh dan perutnya belum diisi semenjak pagi, ia merasa amat lapar dan lemah.
Ketika sampai di tepi sebuah sungai, ia jatuh terduduk lalu menangis sedih. Dari mulutnya yang kecil menyebut-nyebut ayah ibunya. Kemudian kaarena bingungnya ia menjadi nekat dan loncat ke dalam sungai. Ia tidak ingat apa-apa, hanya ketika membuka mata ia dapatkan dirinya berada dalam sebuah kamar tanah dan berbaring diatas tempat tidur yangbersih. Ternyata seorang tua berjubah putih telah menolongnya.
"Kau sudah sadar, anak?" kata orang tua itu dengan suara manis, "Nah, ini makanlah..." Karena lemah ia tak dapat berkata-kata, hanya makan saja makanan itu dengan lahapnya. Setelah kenyang ia lalu menjatuhkan diri berlutut sambil menangis.
"Kasihan kau, anak," orang tua itu membangunkannya, "Siapa namamu nak?"
Ia hendak menjawab tapi tahu-tahu ia merasa terkejut sekali karena entah bagaimana ia tidak ingat lagi namanya. "Namaku... namaku... ah, aku tak ingat lagi...!" ia menangis lagi.
Orang tua itu mengangguk-angguk. Ia tahu bahwa anak itu karena sedih, bingung dan menderita lalu terganggu ingatannya hingga lupa akan nama sendiri. "Tidak apa, kalau kau tak bernama, biarlah kuberi nama kau Bu Beng (tanpa nama). Dan mulai sekarang kau menjadi muridku, maukah?"
Bu Beng segera menjatuhkan diri berlutut sambil menyebut 'Suhu'. Demikianlah hampir dua puluh tahun ia menjadi murid Hun San Tojin, bersama-sama dengan suhengnya yang sudah tua, yaitu Kim Kong Tianglo. Mereka bertiga, suhu dan dua murid, hidup terasing diatas Gunung Liong san. Hun San Tojin adalah sahabat baik ketua Hoa san pai yang sering berkunjung kesitu, karena Hoa san tidak jauh letaknya dari Liong san. Dan karena melihat bakat Bu Beng yang baik, ketua Hoa san pai itu berkenan memberi pelajaran beberapa pukulan yang paling lihai dari ilmu silatnya.
Hun San Tojin sebenarnya adalah ahli waris satu-satunya dari Kim liong pai maka Bu Beng menerima peajaran campuran, hingga ia mahir sekali dalam menggabung-gabungkan silat berbagai cabang. Suhunya memang ahli dalam cara menggabung ini dan pelajaran ini sebenarnya tiada batasnya, karena daya pikiran dan daya cipta seseorang itu tiada batasnya.
Maka setelah belajar teori dan praktek bertahun-tahun, Bu Beng sudah pandai merangkai gerakan-gerakan dari semua cabang silat yang dikenalnya. Bahkan sambil bersilat, ia dapat menggabungkan gerakan-gerakan yang sesuai. Dalam hal kecepatan menggabungkan ilmu silat ini, bahkan suhengnya sendiri Kim Kong Tianglo tidak sepandai ia.
Hidup diatas gunung dengan suhu dan suhengnya itu merupakan bagian hidup yang paling bahagia baginya. Dua orang itu merupakan orang-orang yang tercinta dan pengganti orang tuanya. Tapi pada suatu hari gurunya meninggal dunia dengan meninggalkan pesan agar ia suka berkelana memenuhi kewajiban hidup sebagai seorang hohan. Terpaksa ia berpisah dengan suhengnya dengan hati sedih.
Semenjak itu, ia hidup seorang diri, terlunta-lunta di dalam dunia yang penuh kepalsuan ini. Demikianlah Bu Beng malam hari itu termenung-menung setelah meniup sulingnya. Kepandaian meniup suling ini dipelajarinya dari suhengnya. Memang semenjak turun gunung, kerap kali ia bersedih jika terkenang akan nasibnya. Tak berayah tak beribu, dan tidak tahu siapa ayah ibunya dan bagaimana riwayat keluarganya itu. Jangankan orang tua, bahkan namanya iapun tidak punya!
Jika teringat akan semua itu, ditambah kenangan kepada gurunya yang tercinta yang kini telah wafat itu, tak terasa pula air matanya mengalir turun. Begitu hebat ia terbenam dalam gelombang kesedihan sehingga ia tidak tahu bahwa sejak tadi ada sepasang mata yang melihatnya dari belakang gerombolan pohon kecil.
Orang yang mengintainya itu adalah seorang laki-laki setengah tua yang akhirnya keluar juga dari tempat sembunyinya. Suara daun kering terinjak cukup mmbuat Bu Beng tersadar kembali dari lamunannya. Secepat kilat ia meloncat bangun dan memutar tubuhnya. Orang itu menjura dalam di hadapannya.
"Maafkan aku, Bu Beng taihiap!" katanya cepat-cepat karena takut kalau-kalau pendekar muda itu turun tangan. "Aku hanya seorang pesuruh. Lim San loenghiong menyuruh aku menjumpai taihiap dan menyampaikan undangannya untuk merundingkan sesuatu yang penting..."
Bu Beng memandang dengan curiga. "Bagaimana kau bisa dapatkan tempat ini?"
Orang itu kembali menjuru. "Biarlah aku bicara terus terang, taihiap. Di kota Sauwciu aku dikenal dengan sebutan Kim Kie si Kaki Tangan Seribu. Keadaan di seluruh kota aku tahu dan paham karena semua orang boleh dikata menjadi sahabatku. Maka Lim San loenghiong minta bantuanku untuk mencarimu, taihiap. Semenjak kau meninggalkan panggung, aku dan kawan-kawanku telah tersebar dan mengikuti jejakmu. Baiknya kau tidak lari cepat. Hanya setelah sampai di kaki bukit ini kau lenyap dari pandangan, karena begitu berkelebat kau tidak tampak lagi. Dugaanku tak lain kau pasti berada di at as bukit ini. maka aku pergi mencarimu dan betul kau berada disini, taihiap..."
Diam-diam Bu Beng kagum juga akan kecerdikan orang itu. "Ada keperluan apakah Lim San Loenghiong mengundangdaku?" tanyanya.
Kim Kie mengangkat pundak lalu mengerak-gerakkan alisnya. "Sebetulnya Lim loenghiong tidak menerangkan sesuatu padaku, tapi sukar bagi orang untuk menutup rahasia terhadap aku. Kalau tidak salah pendengaran dan penglihatan kawan-kawanku, Lim loenghiong kini sedang menghadapi urusan besar. Sim Tek Hin si Ular Gunung Muda yang kau kalahkan itu, setelah pulang lalu mengirim berita kepada Lim loenghiong, menantang adu silat dengan mantunya atau lebih tepat dengan Thio Bun kongcu bakal mantunya itu, karena ia masih penasaran, katanya. Nah, hal ini tentu saja sangat menyusahkan hati orang tua itu karena perkumpulan Ular Gunung itu telah terkenal keganasannya. Maka ia teringat kepadamu taihiap, dan mengharapkan petunjuk dan bantuanmu..."
"Hm, sungguh orang she Sim itu tak tahu diri. Baik, baik. Pulanglah dulu. tapi tunggu, bilakah orang she Sim itu akan datang membikin ribut?"
"Si Ular Gunung memberi tempo tiga hari, jika dalam waktu itu Thio Bun kongcu tidak datang ke San coa pang, maka ia dan pengikut-pengikutnya akan datang meluruk ke Sauwciu. Jadi dua hari lagi waktunya"
"Hm, kalau begitu, beritahu Lim San lo enghiong agar Thio Bun kongcu jangan pergi ke sarang musuh. Biarkan musuh datang, aku pasti akan membantu sedapatku"
Kim Kie menjuru berulang-ulang. "Terima kasih Bu Beng Taihiap!" Kemudian ia pergi meninggalkan pemuda itu berdiri melamun seorang diri.
Sepeninggal Kim Kie, Bu Beng kembali duduk melamun. Telah setahun lebih ia pergi merantau. Selama ini, banyak sudah ia membasmi orang-orang jahat. Hidupnya selalu dihadapi kenyataan-kenyataan bahwa di dunia ini lebih banyak orang jahat darpada orang baik. Yang baik-baik kebanyakan orang miskin dan lemah. Yang kuat dan kaya sebagian besar jahat -jahat. Heran ia memikirkan hal ini. teringatlah ia akan kata-kata mendiang gurunya.
"Hati-hatilah kau, muridku. Musuh yang bagaimana lihai dan jahatpun masih tak berarti jika dibandingkan dengan musuh tersembunyi yang berada dalam hatimu sendiri. Dan musuh itu paling berbahaya jika orang berada dalam puncak kekuasaan atau kekayaannya. Kekuasaan dan kekayaan membuat musuh dalam dirimu itu bangun dan menjatuhkan. Biasanya kalau orang dalam keadaan sengsara dan tertindas, ia akan ingat kepada Tuhan dan berlaku baik sebagaimana layaknya seorang manusia karena musuh dalam dirinya itu tak berdaya dan tinggal sembunyi. Tapi kalau orang itu sudah mempunyai kekuasaan dan menjadi kaya, maka bangunlah musuh tak terlihat itu dan membuat ia lupa segala, lalu menjadi jahat..."
Mengingat nasehat dan pesan gurunya itu, agak terbukalah pikiran Bu Beng dan terhiburlah kesedihannya. Ia merasa lebih beruntung daripada orang-orang yang telah disesatkan oleh musuh jahat yang bersembunyi di dalam hati itu. Kemudian ia memasuki gubuknya dan pergi tidur.
********************
Dua hari kemudian, di rumah Lim San orang sibuk membuat persiapan-persiapan menghadapi datangnya Sim Tek Hind an kawan-kawannya. Biarpun Kim Kie sudah membawa warta menggembirakan bahwa Bu Beng Kiamhiap akan datang membantu, namun hati Lim San masih berdebar-debar cemas. Tapi sikap bakal mantunya, Thio Bun yang tampak tenang-tenang saja itu membuat ia girang. Sungguh benar kata-kata Bu Beng Kiamhiap bahwa pemuda itu cukup berharga untuk menjadi mantu suami puteri tunggalnya.
Kira-kira jam delapan pagi Sim Tek Hin datang sambil pantang dada. Ia diikuti oleh lima orang, ayahnya sendiri dan empat orang jagoan kawan ayahnya. Lim San menyambut kedatangan mereka dengan hormat dan diam-diam hatinya tercekat melihat empat orang tua yang ikut datang itu. Tiga diantara mereka ia kenal karena mereka itu bukan lain ialah Hut Bong Hwesio, ketua kelenteng Lin hoan si, kedua adalah Pok Thian Beng jagoan dari timur yang dijuluki orang si Tangan Besi, dan yang ketiga adalah Lui Im ketua dari Cung lim pang.
Orang keempat yang belum dikenalnya adalah seorang kurus seperti cecak kering dan pakaiannya mewah sekali. Tangan kirinya memegang sebatang huncwe dan sebentar-sebentar ia sedot pipa tembakaunya itu sambil kebul-kebulkan asap dengan sikap angkuh sekali. Setelah diperkenalkan, ternyata orang keempat itu adalah Song Leng Ho yang dijuluki orang di Huncwe maut.
Setelah mempersilakan para tamunya duduk, Lim San menjuru dengan hormat dan berkata. "Sungguh satu kehormatan yang besar sekali bahwa hari ini siauwte menerima kunjungan para locianpwe yang mulia. Tidak tahu akan memberi petunjuk apakah?"
Tiba-tiba Sim Tek Hin berdiri. "Janganlah lopek berpura-pura lagi. Kurasa lopek sudah tahu akan maksud kedatanganku..."
Sim Boan Lip pangcu berdiri dan balas menjuru sambil tersenyum, "Lim twako diantara kita tak perlu menggunakan banyak peradatan lagi. Kami berlima orang-orang tua tak berguna ini tidak bermaksud apa-apa, hanya ingin mengantar puteraku ini dan sekalian mengajukan lamaran kepada puterimu. Dengan memandang mukaku dan mengingat persahabatan kita, maka kukira sudah sepatutnya kalau kita menjadi besan, bukan?"
Lim San tersenyum pahit. "Saudara Sim, aturan ini tak mungkin dilaksanakan. Bukannya aku yang endah tidak menghargai penghormatan yang kauberikan ini, bahkan aku merasa sangat berterima kasih atas perhatian Sim hiante kepada anakku yang bodoh. Tapi pa hendak dikata, anakku sekarang telah bertunangan dengan orang lain..."
"Tidak menurut aturan!" cela Sim Tek Hin. "Bukankah lopek telah menerapkan sendiri bahwa calon mantu harus pemenang sayembara? Nah biarkan aku melawan dan mencoba kepandaian Thio Bun itu, lihat siapa yang lebih unggul..."
"Hal ini menyesal sekali tak mungkin diadakan," bantah Lim San.
"Lim twako, kau sejak dulu ingin mempunyai mantu seorang yang lumayan ilmu silatnya. Masakan kini ingin mengambil mantu seorang yang terhadap anakku saja tidak berani melawan?"
"Biarlah siauwte melawannya!" tiba-tiba Thio Bun yang sejak tadi diam saja di sudut membuka suara dan berdiri.
"Tidak!" bantah Lim San yang tahu bahwa orang she Thio calon mantunya itu bukan tandingan Sim Tek Hin. "Kuakui bahwa calon mantuku itu biarpun semangatnya besar, namun kepandaiannya belum cukup untuk melawan Sim hiante. Biarlah kucarikan wakilnya..."
"Siapa wakilnya? si Bu Beng siauwcut?" tiba-tiba si Huncwe Maut Song Leng Ho berdiri dan mengepulkan asap dari mulut dan hidungnya.
Lim San menengok kesana kemari, tapi ternyata penolong yang ditunggu-tunggu itu belum tampak mata hidungnya. Terpaksa ia berkata, "Aku sendirilah wakilnya, untuk menolong anak dan calon mantu..."
"Ho ho! Bagus kalau begitu. Akupun akan meniru contohmu, orang she Lim biarlah aku mewakili anakku..." Kata Sim Boan Lip sambil berdiri menantang.
Lim San merasa tidak ada jalan keluar lagi, maka ia segera berkata. "Terserah padamu, marilah kita pergi ke ruang silat..."
Beramai-ramai mereka menuju ke ruang main silat yang berada di samping rumah. Tiba-tiba tampak Lim Giok Lan muncul dengan pakaian ringkas membawa pedang.
"Ayah, biarkan anakmu bertempur mati-matian melawan pengacau-pengacau ini!" katanya penuh semangat.
Ayahnya kagum melihat keberanian puterinya, tapi ia memberi tanda supaya anaknya mendur. Juga Lim Seng yang kelihatan membawa-bawa pedang ia perintahkan berdiri di pinggiran saja.
Lim San meloncat ke tengah-tegah ruangan itu dan berkata, "Silakan memberi petunjuk kepadaku. Sim enghiong..."
Sim Boan Lip segera melepas baju luarnya dan meloncat menghadapi lawannya. "Mari, marilah, kita coba-coba tua sama tua..."
Dan ia membuka bhesinya dari ilmu silat San coa ciang yang lihai. Pada saat itu entah dari mana datangnya, tiba-tiba tampak berkelebat bayangan orang dan Bu Beng Kiamhiap tahu-tahu berdiri di antara kedua jago tua itu sambil tersenyum tenang.
"Lim San loenghiong, siauwte masih belum tinggalkan kota ini dan sampai sekarangpun siauwte masih menjadi wakilmu dalam permainan yang menggembirakan ini. Biarlah siauwte menambah pengertian dari para loenghiong ini."
Diam-diam hati Lim San yang tadinya tegang dan cemas menjadi gembira kembali karena ia percaya akan kepandaian anak muda itu yang sesungguhnya masih jauh diatas kepandaiannya sendiri. Maka sambil menjuru berterima kasih ia mundur kepinggiran.
"Inilah bangsat itu, ayah!" teriak Sim Tek Hin dari pinggir.
"Oo, kaukah biang keladinya?" Bu Beng menyindir sambil memandang pemuda she Sim itu dengan tajam.
"Dan kaukah Bu Beng Kiamhiap? Bagus, bagus! Aku sudah mendengar kehebatanmu dari puteraku. Memang kami datang ini sebenarnya ingin sekali merasakan kelihaianmu!"
"Loenghiong. Kita belum pernah bertemu muka, juga belum pernah bentrok dalam hal apa saja. Tapi mengapa loenghiong jauh-jauh datang mencari siauwte yang muda ini?" Tanya Bu Beng.
"Jangan berlagak bodoh! Bukanlah kau telah menghina anakku?"
"Sama sekali tidak, loenghiong. Sudah lazim jika di dalam pertandingan di panggung luitai kalau tidak menang tentu kalah."
Sim Boan Lip salah sangka. Ia kira anak muda itu takut padanya, maka ia menjadi besar hati. "Orang muda, jangan kwawatir. Aku hanya ingin lihat dari siapakah kau memperoleh ilmu silat dengan melihat gerakanmu sejurus dua jurus saja," katanya.
"Kalau begitu silakan loenghiong menyaksikannya," kata Bu Beng yang lalu memasang bhesi dengan berdiri di tumitnya lalu menggeser tubuhnya maju, tapi anhnya kedua lengannya tertempel di pinggang rapat-rapat, sama sekali tidak memukul seperti lakunya orang bersilat. Kemudian ia menggeser ke kiri dan ke dua lengannya dibuka seakan-akan terbang. Beberapa kali ia bergerak lalu kembali berdiri lempeng ditempat semula sambil tersenyum.
"Nah, loenghiong. Siauwte telah bergerak empat jurus. Tentu sekarang loenghiong telah tahu ilmu silat apakah yang pernah siauwte pelajari," katanya.
Wajah Sim Boan Lip menjadi merah. Ia merasa dipermainkan orang, karena seumur hidupnya belum pernah ia lihat gerakan tipu silat seperti itu. Bahkan empat orang kawannya sama sekali tidak tahu ilmu silat apakah yang tadi diperlihatkan oleh anak muda itu.
Dengan marah ditahan Sim Boan Lip berkata, "Bagus! Tapi dapatkah ilmu silat macam ini dapat bertempur?"
"Tentu dapat, loenghiong!"
"Nah, coba tangkis seranganku dengan ilmu silatmu itu," kata orang tua itu sambil maju menyerang dengan ilmu gerakan Ular Gunung Menyambar, semacam ilmu dari San coa ciang yang lihai. Tangan kanannya mengarah ulu hati lawan tapi sampai di tengah jalan tangan kanan itu ditarik kembali lalu disusul oleh tangan kiri memukul iga!
Bu Beng berseru "Aya...!" sambil dengan gerakan lincah tapi lucu berkelit menghindari pukulan itu. "Hebat sekali pukulanmu, Sim loenghiong!" katanya masih tersenyum.
Sim pangcu menjadi marah sekali. Kembali ia menyerang dengan sengit sampai empat jurus, tapi semuanya dapat dikelit oleh Bu Beng. "Balaslah menyerang!" teriaknya gemas.
"Sabarlah, loenghiong. Siauwte terdesak oleh seranganmu. Baiklah sekarang siauwte menyerang!" kata-kata ini ditutup oleh serangan tangan kiri kearah leher, bukan memukul tapi membabat dengan tangan miring.
Belum juga ditangkis lawan, tangan itu mengubah gerakan, kini menyodok kearah perut, dan sebelum ditangkis lalu berubah pula terkepal memukul dada! Aneh dan cepat gerakan ini, tapi biarpun kalah dulu, Sim pangcu ingin mencoba tenaga orang, maka ia kerahkan tenaga di lengan kanan dan menangkis pukulan itu
"Plaakkk!"
Dann Sim pangcu merasa tangan kanannya tergetar keras. Sedangkan lengan pemuda itu tidak apa-apa dan terus menghantam dadanya perlahan. Untung pemuda itu hanya menepuk saja, tapi cukup membuat ia merasa dadanya pedas sekali. Sim pangcu terkejut dan meloncat mundur dua tindak.
"Ilmu silatmu baik sekali, anak muda. Marilah kita coba-coba main senjata," tantangnya sambil menghunus pedang.
Sebetulnya Bu Beng merasa kuat untuk menghadapi lawan ini dengan bertangan kosong, tapi ia tidak mau menghina lawannya yang tua dan ternama itu, maka iapun ulurkan tangan di belakang leher, dan tahu-tahu sebilah pedang tipis sekali berada dalam tangannya! Pedang itu pendek dan tipis hingga ketika disembunyikan di punggung tidak kelihatan dari luar.
"Silakan loenghiong," katanya dengan masih tersenyum.
Melihat pedang lawan yang pendek itu, hati Sim Pangcu menjadi besar. Masakan ilmu pedangnya yang terkenal itu akan kalah oleh seorang pemuda berpedang pendek. Ia segera menyerang dengan hebat sekali, mengeluarkan tipu-tipu paling berbahaya dari ilmu pedang San coa kiam. Pedangnya berputar cepat menutupi seluruh tubuhnya sampai menimbulkan angin dingin bersiutan dan mata pedang merupakan bundaran putih berkeredepan.
Tapi Bu Beng berdiri saja tidak bergerak, seakan-akan menonton pertunjukan pedang yang hebat itu. Hanya kalau sewaktu-waktu sinar pedang lawan menyambar ke arahnya, ia gerakkan pedangnya sekali untuk menangkis!
Tapi, biarpun Bu Beng hanya menangkis dengan gerakan sembarangan saja, Sim pangcu kaget sekali, karena tiap kali pedangnya terbentur pedang pendek lawan, pedang itu terpental dan mengeluarkan bunyi nyaring serta titik-titik bunga api!
Melihat gerakan Bu Beng yang seakan-akan hanya main-main saja dan sedikitpun tidak pandang mata terhadap ilmu pedangnya, Sim Boan Lip marah sekali. Gerakan-gerakannya dirobah menjadi rangsekan hebat, tiap gerakan merupakan serangan-serangan maut. Kala tadi ia berlaku hati-hati dan tiap kali menyerang selalu disertai gerakan menjaga diri karena tahu akan kelihaian lawan, kini dia nekad dan pusatkan gerakannya kepada serangan belaka.
Bu Beng juga tak dapat tinggal diam menghadapi serangan-serangan hebat dan berbahaya itu. Ia mulai menggerakkan kaki dan tubuhnya berkelebat kes ana kemari untuk menangkis dan menghindarkan pedang lawan.
Pada suatu saat, setelah menyerang lebih dari tiga puluh jurus, Sim pangcu gerakan tipu Ular Luka Mengamuk. Ia menusukkan pedangnya kearah tenggorokan Bu Beng dan ketika Bu Beng berkelit, ujung pedangnya mengikuti gerakan pemuda itu dan terus mengejar dengan sabetan-sabetan panjang dari kiri ke kanan bolak balik dan dari atas menggeser makin ke bawah. Pendeknya, serangan nekad yang dilakukan beruntun dengan sabetan-sabetan mebabi buta!
Bagi orang lain jika menghadapi serangan ini tentu akan menjadi repot dan gugup, karena pedang itu seakan-akan menjadi berpuluh-puluh yang menyerang dengan keluarkan suara bersiutan. Tapi Bu Beng yang berkepandaian tinggi dapat berlaku tenang. Untuk menghadapi serangan ini, jalan satu-satunya baginya ialah gunakan kecepatan yang melebihi kecepatan lawan.
Maka tiba-tiba pedang pendeknya berputar cepat sekali hingga tubuhnya lenyap tertutup sinar pedang. Sim pangcu kehilangan tubuh lawannya karena yang diserangnya seakan-akan sembunyi di balik ratusan pedang hingga tiap tusukan pedangnya seakan-akan ada tiga pedang pendek lawan yang menangkisnya.
Ia menjadi pening dan tiba -tiba saja lengannya yang memegang pedang kena tertendang oleh Bu Beng dan pedangnya terlempar keatas, kemudian ketika turun disampok oleh pedang pendek Bu Beng. Senjata itu kena tersampok gagangnya lalu berputar dan mencelat ke atas lagi. Demikian keras sampokan itu hingga pedang Sim pangcu melayang cepat dan menancap di kayu usuk yang melinang dibawah genteng.
Sim pangcu menjadi kaget sekali. Sedikitpun ia tak mengerti betapa cara Bu Beng menggunakan kakinya untuk menendang. Pedangnya tadi berputar cepat sekali, namun kaki pemuda itu dapat mendahului putaran pedang untuk menendang pergelangan lengannya. Ia loncat mundur dengan wajah pucat.
Bu Beng tahan gerakannya dan berdiri mengangkat kedua tangan dengan sikap merendah. "Loenghiong telah mengalah terhadapku," katanya.
Sebelum Sim pangcu dapat membuka mulut, tiba tiba Song Leng Ho si Huncwe Maut telah loncat dengan gerakan ringan sekali kehadapan Bu Beng. Ia isap huncwenya dan mengepulkan asap yang hitam kebiru-biruan kearah muka Bu Beng. Pemuda itu mencium bau yang harum dan amis, maka segera ia tutup jalan pernapasannya karena ia maklum bahwa asap itu bukanlah asap sembarangan, tapi asap yang mengandung racun melemahkan!.
"Ha ha, ha!" si Huncwe Maut bergelak tertawa, "Bu Beng Kiamhiap yang gagah perkasa ternyata takut asap huncweku!"
Bu Beng tersenyum manis, tapi sinar matanya tajam menatap orang jumawa itu. "Pernah kudengar tentang huncwe maut itu. Sungguh beruntung hari ini aku yang muda dapat berjumpa dan merasai kelihaiannya huncwe itu." Kata-kata ini biarpun halus tapi mengandung tantangan.
Song Leng Ho tiba-tiba menghentikan tawanya dan bekata kasar. "Anak muda, pantas saja kau berani kurang ajar. Ternyata kau mempunyai kepandaian berarti juga. Tapi, jangan kau kira bahwa kau sudah berdiri di puncak tertinggi hingga tiada orang yang lebih tinggi darimu. Sekarang, berhadapan dengan aku si orang tua pemadatan kau harus berani berlaku sembarangan. Hayo katakan siapa gurumu agar aku dapat memandang muka gurumu dan tidak menurunkan tangan jahat kepadamu..."
"Song loenghiong. Bukanlah aku yang muda berlaku kurang ajar kepada kau orang tua. Tapi sebaliknya, kaulah orang tua yang tidak mengalah terhadap yang muda. Telah berkali -kali kukatakan bahwa aku adalah seorang muda biasa, bahkan nama saja aku tak punya. Kini kau tanyakan guruku, siapakah guruku itu? Kalau toh ada guruku, nama beliau itu takkan kuobral dan kugunakan untuk mencari nama..."
"Hm, hm!" Song Leng Ho mengeluarkan suara dari hidung sambil keluarkan asap huncwe dari hidungnya merupakan dua gulungan bagaikan ular melingkar-lingkar ke atas. "Aku selamanya pandang muka orang-orang kang ouw. Tapi karena disini terdapat banyak hohan menjadi saksi, biarlah aku yang tua memberi ajar adap padamu. Hendaknya para lo enghiong menjadi saksi agar kelak guru anak muda ini tidak menyalahkan padaku, karena dia sendirilah yang tidak mau memberitahukan nama gurunya. Nah, Bu Beng siauwcut bersiaplah, lohan ingin sekali coba kepandaianmu."
"Silakan, aku ingin sekali merasai panasnya huncwe mu..." Jawab Bu Beng dengan berani.
Song Leng Ho si Huncwe Maut ini sebenarnya adalah seorang ahli cabang Bu tong san. Cabang Bu tong terkenal dengan ilmu pedangnya yang lihai, tapi orang she Song ini memilih senjata berupa huncwe itu. Walaupun huncwe itu kecil kurus hingga cocok sekali dengan tubuhnya yang kurus kering, namun untuk puluhan tahun lamanya senjata itu telah merobohkan entah berapa banyak jagoan di kalangan kang ouw dan jarang sekali menemukan tandingannya.
Huncwe yang terbuat dari logam hitam kehijau-hijauan dan menjadi mengkilap karena panas api dan sari tembakau itu dapat digunakan untuk menotok jalan darah. Selain itu, tembakau yang dinyalakan di huncwe itu bukanlah tembakau sembarangan, tapi tembakau istimewa buatannya sendiri dari daun-daun disertai ramuan obat yang asapnya merupakan senjata luar biasa, karena asap yang hitam kehijau-hijauan itu ternyata adalah berbahaya sekali, mengeluarkan bau harum dan amis dan kalau tersedot lawan dapat melemahkan semangat dan tenaga!
Namun orang she Song itu sendiri tidak terganggu oleh asap beracun itu, karena ia telah lebih dulu makan obat penawarnya. Setelah mendengar jawaban Bu Beng, si Huncwe Maut segera pasang kuda-kuda, kedua kaki berdiri rapat, ujung kaki kiri berjongkok dan menindih ujung kaki kanan, tubuhnya agak membongkok, tangan kiri dengan jari-jari tegang ditaruh miring di depan dada, sedangkan tangan kanan memegang kepala huncwe yang masih tertancap di mulut.
Sementara itu, asap masih mengepul-ngepul dari ujung mulut dan lubang hidungnya. Sikap dan gerakannya aksi sekali hingga membuat mereka yang melihatnya menjadi kagum. Agaknya hal ini diketahui pula olehnya, karena ia menggerak-gerakkan kedua biji matanya yang kecil untuk melirik kesana kemari dan memandang ke arah Bu Beng dengan mulut mengandung ejekan...