PEDANG ULAR MERAH JILID 04
Lo Beng Tat mengejar lagi dan melanjutkan serangannya bertubi-tubi. Ouw Tang Sin menjadi makin bingung. Untuk mencegah mertuanya, ia tidak berani, akan tetapi kalau dilanjutkan pertempuran itu, berarti fihaknya telah ada perpecahan, dan bagaimana nanti kalau musuh-musuh yang ditakutinya itu datang mengganggu?
Juga Ting Kwan Ek, Kim Bwe, dan semua orang yang keluar tak berani turun tangan mencegah pertempuran itu. Ting piauwsu hanya memandang dengan muka pucat dan diam-diam ia amat benci kepada Lo Houw yang dianggap menjadi gara-gara dan biang keladi semua ini.
Setelah menghadapi sepasang golok besar Lo Beng Tat sampai dua puluh jurus lamanya, Eng Eng harus mengakui bahwa ilmu golok orang tua ini benar-benar berbahaya. Ia lalu berseru keras dan sinar merah berkelebat ketika ia mengeluarkan pedangnya, Ting Kwan Ek sudah maklum akan kelihaian ilmu pedang gadis itu, maka ia segera berseru,
“Suma lihiap, harap kau jangan menurunkan tangan kejam!”
Akan tetapi sambil menggerakkan pedangnya yang luar biasa, Eng Eng menjawab sambit tersenyum mengejek, “Ting twako, apa kau kira monyet tua ini tidak akan melukai aku dengan goloknya, kalau ia mampu melakukan hal itu?” Sambil berkata demikian, Eng Eng lalu membalas dengan pedangnya yang luar biasa gerakannya.
Sejak tadi, Lo Beng Tat sudah merasa terheran-heran dan kaget sekali. Belum pernah ia menyaksikan ilmu silat seperti yang dimainkan oleh gadis itu ketika menghadapi sepasang goloknya. Ia terkenal memiliki ilmu golok yang ganas sekali, akan tetapi gadis itu, dengan tangan kosong dapat menghadapi sepasang goloknya, dengan gerakan tubuh yang aneh, kadang-kadang terhuyung-huyung seperti orang mau jatuh, kadang seperti menari-nari.
Namun goloknya tetap saja dapat dielakkan dengan amat cepat dan tak terduga-duga. Kini melihat gadis itu memegang sebatang pedang yang sinarnya kemerah-merahan dan yang gerakannya amat luar biasa makin terkejut. Ia mencoba untuk menangkis dengan golok kiri dan membalas menyerang dengan golok kanan, akan tetapi ketika pedang itu membentur golok kirinya pedang itu melesat ke samping dan mendahului golok kanannya, menyambar ke arah lengan tangan kanannya!
Ia cepat melompat mundur sambil menarik tangan kanannya dengan muka pucat. Hampir saja tangan kanannya menjadi korban dalam gebrakan pertama setelah gadis itu memegang pedangnya. Eng Eng tidak mau memberi hati kepada lawannya dan terus maju menyerang sehingga sebentar saja Lo Beng Tat terdesak hebat, memutar dua batang goloknya untuk melindungi tubuhnya, sambil menggerakkan kedua kakinya mundur teratur.
Bukan main gelisahnya Ting Kwan Ek melihat hal ini. Kalau sampai orang itu terluka, tentu hal ini akan menjadi semakin hebat dan besar sekali kemungkinannya bahwa dia akan terlibat dan akan bertentangan dengan keluarga suhengnya! Ia lalu membisiki telinga isterinya dan terdengarlah kemudian nyonya Ting berseru,
“Adik Eng, dengarlah omonganku, pandanglah mukaku, jangan kau membunuh atau melukai orang!”
Suara nyonya Ting ini terdengar mengharukan dan mengandung isak tangis sehingga pengaruhnya jauh lebih besar bagi Eng Eng dari pada ucapan Ting piauwsu tadi. Memang kepada nyonya ini Eng Eng amat menyayang dan menghormatinya, maka begitu mendengar seruan ini, ia memutar otaknya dan berpikir mengapa nyonya Ting melarangnya membunuh atau melukai orang yang dianggapnya jahat ini.
Pengetahuannya yang amat dangkal tentang hubungan kekeluargaan dan sebagainya, membuat ia tidak mengerti mengapa nyonya Ting seakan-akan membela orang tua ini, Akan tetapi, untuk melanggar larangan ini, ia tidak tega, karena dari suara nyonya itu, ia maklum bahwa nyonya Ting sedang berada dalam keadaan yang amat Cemas dan berduka karena pertempuran ini.
“Baiklah cici, aku hanya akan memperlihatkan bahwa adikmu tidak boleh dibuat permainan!”
Ia lalu menggerakkan pedangnya lebih cepat lagi dan terdengarlah suara keras dibarengi pekik Lo Beng Tat. Sebuah goloknya yang kanan, terlepas dari pegangan dan terlempar ke udara! Sebelum ia tahu bagaimana lawannya dapat melakukan hal ini, tangan kiri Eng Eng sudah bergerak, didahului oleh tusukan pedangnya yang cepat sekali hendak menancap ke ulu hati lawan!
Tentu saja bagi Lo Beng Tat gerakan pedang yang mengancam ulu hatinya itu lebih penting untuk diperhatikan karena lebih berbahaya, maka cepat la mengelak ke kanan untuk menghindarkan diri dari tusukan pedang itu. Tidak tahunya bahwa serangan pedang ini hanya pancingan belaka, karena Eng Eng lebih mengutamakan tangan kirinya yang dengan tepat telah menotok urat nadi tangan kiri Lo Beng Tat yang memegang golok.
“Aduh!” Kepala rampok itu berseru kesakitan dan sebentar saja golok kirinya telah pindah tangan!
Eng Eng menghentikan gerakannya dan kini sambil menimang-nimang golok besar di tangan kirinya, ia tersenyum dan menyimpan kembali pedangnya.
“Kalau tidak memandang muka ciciku yang baik, bukan hanya golok yang kurampas, melainkan kepala orang!” katanya sambil tersenyum manis.
Lo Beng Tat hanya berdiri melongo saking heran dan terkejut, kemudian ia sadar dan menudingkan golok kanannya ke arah Eng Eng.
“Kau benar seorang yang tidak kenal budi, seorang perempuan liar yang baru keluar dari hutan dan tidak tahu aturan! Berbulan- bulan kau tinggal di rumah kami, makan nasi kami, mendapat perlakuan yang baik dan manis budi! Sekarang bahkan kami mempunyai pikiran untuk menarik kau sebagai seorang anggota keluarga, akan tetapi apakah balasanmu? Kau menghina ayahku, dan mencaci maki adikku, sungguh, hari ini aku harus mengadu jiwa dengan kau, perempuan liar!”
Sambil berkata demikian, Lo Kim Bwe menggerakkan sepasang goloknya dan menyerang Eng Eng dengan kalang kabut! Terdengar Ouw Tang Sin, Ting Kwan Ek, dan nyonya Ting berseru membujuk, akan tetapi Lo Kim Bwe tidak perdulikan semua itu dan terus menyerang dengan hebatnya.
“Jangan takut, enci Bwe, aku membantumu!” seru Lo Houw yang sudah mengeluarkan ruyungnya dan menyerang Eng Eng pula dengan gerakan yang berat dan kuat sekali.
“Celaka!” Ting Kwan Ek berseru bingung. “Bagaimana baiknya sekarang?”
Ouw Tang Sin juga menjadi bingung dan serba salah, akan tetapi ia hanya mengangkat pundak karena tidak berdaya.
“Eng Eng, sekali lagi, kuharap kau tidak melukai mereka!” Nyonya Ting berseru kembali.
Akan tetapi kini kemarahan Eng Eng sudah banyak mereda setelah ia berhasil mengalahkan Lo Beng Tat. Sambil tersenyum-senyum ia menyambut serangan kedua saudara Lo itu dengan senjata golok yang tadi dirampasnya dari Lo Beng Tat. Golok itu masih dipegang di tangan kiri dan ternyata bahwa gerakan tangan kirinya memainkan golok itupun amat mengagumkan!
Terbelalak mata Lo Beng Tat yang terkenal sebagai ahli golok ketika ia menyaksikan betapa dengan golok di tangan kiri, Eng Eng menjawab seruan nyonya Ting tadi dan kini ia memutar goloknya demikian rupa sehingga tubuhnya lenyap di tengah gulungan sinar putih dari golok itu. Baik Kim Bwe maupun Lo Houw tak dapat melihat bayangan Eng Eng dan yang mereka lihat hanyalah bayangan sinar putih dari golok itu yang menyambar-nyambar ke arah mereka dengan kecepatan luar biasa dan menimbulkan hawa dingin!
Baru saja bertempur tiga puluh jurus lebih sepasang golok di tangan Kim Bwe telah terpental jauh dan nyonya muda yang genit ini terpaksa melompat mundur.
“Mengapa kau diam saja? Apakah kau tidak mau membantu isterimu?” bentaknya dengan mulut cemberut dan mata berapi kepada suaminya.
Ouw Tang Sin menjadi bingung dan serba salah. Tidak membantu, bagaimana? Yang bertempur melawan Eng Eng adalah isteri dan iparnya, akan tetapi kalau membantu, ia sudah merasa jerih terhadap kelihaian Eng Eng!
“Ha, agaknya kau sudah tergila-gila kepada gadis liar itu, bukan?” Kim Bwe mendesak marah.
Terpaksa Ouw Tang Sin mencabut senjatanya, akan tetapi Ting Kwan Ek mencegah. “Jangan, suheng, apakah kau hendak membikin keadaan menjadi makin kusut?”
Ouw Tang Sin makin menjadi ragu-ragu dan pada saat itu, terdengar jeritan ngeri dari Lo Houw karena ujung golok Eng Eng telah menggurat mukanya sehingga mukanya berlumuran darah dari jidat sampai ke dagu! Eng Eng sengaja memberi hajaran hebat kepada pemuda muka hitam itu. Memang ia hanya menggaris saja sehingga kulit muka pemuda Itu pecah dan biarpun ia tidak menderita luka hebat, namun terpaksa wajahnya akan bercacad dengan goresan dari atas ke bawah untuk selamanya! Lo Houw melempar ruyungnya dan mendekap mukanya dengan kedua tangannya. Darah mengalir melalui celah-celah jarinya.
“Bangsat perempuan keji!” Kim Bwe berteriak dan ia melompat maju hendak menyerang Eng Eng dengan mati matian
Akan tetapi pada saat itu terdengar suara ketawa terbahak-bahak yang amat mengerikan. Sebatang piauw yang merupakan kilat hitam menyambar ke arah dada Kim Bwe!
Tiba-tiba Eng Eng berseru keras dan nona perkasa ini menubruk maju menangkap tangan Kim Bwe dan menariknya kuat kuat sehingga nyonya muda itu terseret jatuh dan piauw yang menyambarnya itu lewat sambil mengeluarkan bunyi melengking lalu menancap pada tiang pintu, bergoyang-goyang mengerikan!
Eng Eng melepaskan tangan Kim Bwe dan tubuhnya melesat ke arah dari mana datangnya piauw (senjata rahasia vang disambitkan) tadi. Orang-orang hanya melihat bayangannya saja berkelebat keluar dan sebentar kemudian lenyaplah gadis itu!
Ting Kwan Ek dan Ouw Tang Sin cepat mengejar dan tak lama kemudian mereka melihat Eng Eng yang masih memegang golok bertempur melawan seorang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh tahun yang mengenakan pakaian mewah dan indah gerakannya. Laki-laki ini amat gesitnya, dan senjatanya adalah sepasang tombak yang ada Kaitannya. Melihat laki-laki ini Ting Kwan Ek dan Ouw Tang Sin menjadi pucat.
“Ban Hwa Yong!” mereka berseru dengan suara tertahan.
Memang laki-laki itu adalah Ban Hwa Yong saudara termuda dan Thian-te Sam-kui. Ketika Ban Hwa Yong mendengar seruan ini dan melihat bahwa yang datang adalah Ouw piauwsu dan Ting piauwsu, ia tertawa bergelak, menyerang Eng Eng dengan cepat dan hebat sehingga terpaksa Eng Eng melompat mundur. Ban Hwa Yong menggerakkan tubuhnya melompat pergi sambil berkata,
“Ha ha ha! Jiwi-piauwsu dari Pek-eng Piauwkiok! Bagus sekali, kulihat di sini terdapat dua bunga indah yang kalian harus persembahkan kepadaku pada hari besok!” Setelah berkata demikian, lalu lompat pergi.
“Bangsat pengecut!” Eng Eng bergerak mengejar, akan tetapi dari arah Ban Hwa Yong meluncurlah tiga batang piauw hitam.
Memang Ban Hwa Yong telah terkenal akan keahliannya melepaskan berbagai macam senjata rahasia dan lemparannya dengan tiga batang piauw ini tidak boleh dipandang ringan. Tidak saja ia memiliki kepandaian menyambit piauw yang disebut ilmu melepas piauw 'seratus kali lepas seratus kali mengenai sasaran', juga piauw itu telah direndam dalam racun yang amat berbahaya. Sambitannya juga cepat sekali datangnya, begitu cepat sehingga sukar sekali untuk dikelit.
Akan tetapi Eng Eng bukan murid Hek Sin-mo yang luar biasa ilmu kepandaiannya dan ginkangnya kalau ia dapat dijadikan korban oleh hanya sambaran tiga batang piauw itu. Piauw itu menyambar ke arah tiga tempat. Yang pertama menyambar ke arah ulu hatinya dengan kecepatan luar biasa, piauw kedua menyambar ke arah sisi kanannya setinggi kepalanya, adapun piauw ketiga menyambar ke arah sisi kirinya setinggi pahanya.
Inilah sambitan piauw yang disebut 'mengurung harimau menutup pintu guanya'. Dengan cara serangan piauw seperti ini seakan-akan jalan keluar bagi yang diserang telah tertutup sama sekali. Mengelak ke kiri akan terserang oleh piauw ke tiga. Mengelak ke kanan akan diserang oleh piauw ke dua!
Adapun Eng Eng yang menghadapi serangan ini, tetap saja tenang sekali. Sambil tersenyum mengejek, ia menggerakkan goloknya, menyampok piauw yang meluncur ke arah ulu hatinya, tangan kanan yang tidak bersenjata diulurkannya ke atas, menangkap piauw yang terbang di sebelah kanannya lalu langsung disambitkan ke depan kembali, sedangkan kaki kirinya dengan gerakan istimewa sekali menendang ke arah piauw vang melayang sebelah kirinya, mengirim kembali piauw itu ke depan!
Berbareng dengan tiga gerakan ini, yakni gerakan kedua tangan dan kaki kiri, tiga batang piauw itu dapat balikkan kembali ke arah penyerangnya! Ban Hwa Yong terkejut sekali melihat kelihaian Eng Eng ini. dan tanpa banyak cakap lagi ia lalu membalikkan tubuh dan berlari cepat meninggalkan tempat itu!
Eng Eng melompat mengejarnya akan tetapi ternyata Ban Hwa Yong telah menghilang di balik rumah-rumah orang! Ting Kwan Ek mengejar Eng Eng dau setelah menjura ia berkata,
“Suma lihiap, amat besarlah budimu yang telah kau limpahkan kepada kami sekeluarga dari Pek-eng Piauwkiok. Sungguh aku merasa menyesal sekali atas kejadian di rumah tadi, dan harap kau sudi kiranya memberi ampun kepada mereka dan suka kembali ke rumah kami.”
Akan tetapi Eng Eng menggelengkan kepala, melemparkan goloknya yang dirampasnya dari Lo Beng Tat ke atas tanah dan menjawab,
“Tidak Ting-twako. Aku tidak sudi kembali ke rumah kotor itu! Sampaikan salamku kepada cici!” Setelah berkata demikian, gadis itu lalu berjalan pergi.
“Lihiap, pakaianmu masih berada di kamarmu.” kata Ting Kwan Ek dengan gelisah dan bingung.
“Biarlah, lain kali kuambil” jawab gadis itu yang segera berlari pergi. Ting-piauwsu tidak berdaya, hanya berdiri tunduk dengan kecewa sekali.
Ouw Tang Sin menghampiri sutenya dan sambil memegang lengan sutenya, ia berkata. “Sute, kau maafkanlah aku banyak-banyak. Aku benar-benar merasa menyesal sekali, akan tetapi apakah yang dapat kita lakukan?”
Kedua orang ini lalu kembali ke rumah mereka dan mereka disambut oleh semua orang dengan gelisah. Ternyata bahwa piauw yang disambitkan oleh Ban Hwa Yong ke arah Kim Bwe itu diberi sehelai kertas yang berisi ancaman mengerikan seperti berikut,
Thian-te Sam-kui takkan berhenti berusaha sebelum Pek-eng Piauwkiok musnah dan hancur lebur beserta seluruh anggautanya! Tunggulah besok pagi-pagi sebelum terang!
Ting Kwan Ek dan Ouw Tang Sin saling pandang dengan wajah pucat.
“Kaulah yang mencari perkara!” Kata Ouw Tang Sin kepada isterinya yang sementara itu sedang merawat luka di muka Lo Houw. Isterinya tidak menjawab hanya, cemberut saja sambil melepas kerling membenci ke arah suaminya.
Ting Kwan Ek, Ouw Tang Sin dan Lo Beng Tat lalu mengadakan perundingan. Mereka mengumpulkan anggota-anggota mereka yang pada waktu itu hanya ada sepuluh orang saja, karena yang lain sedang menjalankan tugas mengantar barang. Ketika terjadi keributan tadi, para pembantu mereka itu hanya menonton saja tanpa berani ikut turun tangan.
“Kita harus mengadakan persiapan untuk menyambut mereka,” kata Lo Beng Tat.
Orang tua ini untung juga bahwa kini terdapat alasan baginya untuk melupakan kekalahannya terhadap Eng Eng. Dengan menghadapi ancaman Thian-te Sam-kui maka peristiwa yang tadi terjadi memang tak perlu dipikirkan lagi dan semua pikiran harus dahulukan kepada bahaya yang mengancam hebat.
“Sudah terang bahwa Thian-te Sam-kui besok pagi-pagi hendak datang menyerbu, dan tak usah kita menyombongkan diri, karena sesungguhnya kepandaian mereka masih lebih tinggi dari pada kita. Kalau kita lawan begitu saja, biarpun kita berjumlah lebih banyak, agaknya sedikit sekali harapan untuk menang.”
“Habis, bagaimana baiknya, gakhu (ayah mertua)? Untuk memanggil bantuan sudah tidak ada waktu lagi,” kata Ouw Tang Sin gelisah.
“Memang tidak ada waktu,” menyambung Ting Kwan Ek dengan gemas dan menggigit bibir. “Akan tetapi, betapapun juga kita harus menghadapi mereka dengan senjata ditangan. Lebih baik mati seperti harimau dari pada disembelih seperti babi!”
Ucapan yang bersemangat ini membangunkan keberanian semua orang, dan Lo Houw yang kini sudah diobati lukanya, berkata, “Biarlah kita maju berbareng. Ada ayah, cihu, Ting-piauwsu, aku sendiri dan enci Kim Bwe. Kita berlima dibantu oleh semua saudara, para piauwsu yang jumlahnya sepuluh orang, masa kita tak dapat mengusir mereka itu semua?”
Lo Beng Tat menggeleng-gelengkan kepalanya. “Takkan ada gunanya. Biarpun jumlah kita ada lima belas orang, akan tetapi kalau kita maju secara keroyokan, belum tentu kita akan dapat menang. Kita harus mempergunakan siasat!”
Sebagai seorang kepala rampok, Lo Beng Tat tentu saja memiliki banyak akal dalam menghadapi musuh-musuh tangguh. Ia lain mengajukan siasatnya yang didengar oleh semua orang dengan penuh perhatian.
“He, kau berempat!” Lo Beng Tat menunjuk kepada empat orang piauwsu yang duduknya paling depan seperti memerintah kepada anak buahnya sendiri saja, karena kepala rampok ini memang sudah biasa memerintah para perampok yang menjadi kaki tangannya.
“Kalian keluarlah dan jaga baik-baik di luar, di atas genteng di empat penjuru. Siasat yang hendak kita bicarakan tak boleh terdengar oleh orang lain, takut kalau-kalau fihak musuh akan mencuri dengar!”
Empat orang piauwsu itu mengerti maksud orang tua ini dan mereka lalu keluar.
“Nah, dengar baik-baik. Besok pagi-pagi, tiga orang itu tentu akan datang bersama, dan kita berlima yang mengerti ilmu silat boleh duduk menanti di ruang depan yang lebar itu, Ting piauwsu, lebih baik kau suruh isteri, anak-anakmu. dan para pelayan yang lemah lebih dulu menyingkir ke lain tempat agar tidak menimbulkan hal-hal yang membutuhkan tenaga bantuan kita. Kemudian para piauwsu yang pandai melepas anak panah atau senjata rahasia lain, bersembunyi merupakan baihok (barisan pendam) mengurung ruangan itu. Apa bila ketiga orang iblis itu sudah datang dan hendak turun tangan, aku akan memberi tanda dengan lambaian tangan dan para piauwsu harus serentak menyerang dengan senjata rahasia. Nah dengan serangan tiba-tiba itu, ditambah oleh serangan kita, mustahil kita takkan dapat mengalahkan mereka.”
Diam-diam Ting Kwan Ek dan Ouw Tang Sin merasa malu dan tidak setuju dengan cara yang curang dan pengecut ini, akan tetapi pada waktu yang amat terdesak dan berbahaya, agaknya tidak ada lain jalan lagi yang lebih baik.
Semua orang menyetujui siasat ini dan segera setiap orang piauwsu diharuskan mempersiapkan diri. Kebetulan sekali pada saat itu terdengar suara ribut-ribut di luar dan ternyata rombongan piauwsu yang pergi ke Kanglam mengantar dan mengambil barang-barang telah kembali. Akan tetapi, apakah yang terdapat dalam kendaraan mereka? Bukan barang berharga, melainkan mayat tiga orang piauwsu!
Rombongan ini berdiri dari lima orang piauwsu yang terpilih pandai dan mereka kembali dari Kanglam membawa beberapa bal kain sutera yang mahal. Ketika rombongan ini hendak memasuki kota Han-leng mereka dicegat oleh Thian te Sam-kui! Ketiga iblis ini selain mencabut dan merobek-robek bendera Pek-eng Piauwkiok, juga membunuh tiga orang piauwsu, merampas barang-barang dan setelah mengerat daun telinga kedua piauwsu yang lainnya, mereka lalu menyuruh dua orang piauwsu itu masuk ke dalam kota Hun-leng, membawa jenazah ketiga orang kawannya!
Sambil merintih-rintih kedua orang piauwsu ini menuturkan pengalamannya kepada Ting-piauwsu dan Ouw piauwsu yang menjadi marah dan sakit hati sekali. Sambil mengepal tangan mereka berjanji hendak menghancurkan Thian-te Sam-kui pada esok hari atau mereka siap untuk menerima kematian di tangan ketiga orang Iblis Bumi Langit yang lihai itu!
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali di perusahaan Pek eng Piauwkiok itu semua orang telah bersiap sedia. Di atas genteng, terpisah menjadi dua rombongan di kanan kirlr telah siap dua belas orang piauwsu yang memegang anak panah, menjaga di atas ruang depan itu. Lo Beng Tat dengan garangnya telah duduk di kursi tengah sambil menaruh sepasang goloknya di atas meja, Lo Houw telah siap pula dengan sepasang ruyung di tangan. Lo Kim Bwe juga duduk di situ dengan sepasang goloknya pula. Adapun Ouw piauwsu dan Ting piauwsu dengan wajah tegang juga telah berkumpul di situ dengan senjata di tangan.
Keadaan sunyi sekali, karena hari masih amat pagi. Yang terdengar hanya kokok ayam jantan dan kicau burung-burung pagi. Semua berdiam diri, tidak berani mengeluarkan suara, dan memasang telinga dengan penuh perhatian, menanti datangnya ketiga iblis yang menakutkan itu. Untuk lebih memperkuat penjagaan mereka Ting piauwsu telah melepaskan tiga ekor anjing peliharaan di luar pekarangan depan. Semua orang merasa gelisah dan boleh dibilang hampir semalam penuh tak seorangpun dapat meramkan mata.
Tiba-tiba terdengar anjing-anjing penjaga yang menggonggong keras dan riuh, akan tetapi dengan mendadak pula suara mereka lenyap seakan-akan leher ketiga anjing itu dicekik oleh tangan yang kuat! Keadaan menjadi sunyi kembali dan semua orang yang bersiap di ruang depan itu, makin gelisah dan memandang keluar dengan hati berdebar. Lo Beng Tat, jago tua itu kini telah mengambil golok yang ditaruh di atas meja, dipegangnya dengan kedua tangannya.
Tiba-tiba dari luar menyambar tiga bayangan hitam dan bayangan-bayangan ini langsung menubruk ke arah Lo Beng Tat, Ouw Tang Sin dan Ting Kwan Ek! Ketiga orang ini terkejut sekali. Lo Beng Tat mengayun goloknya membacok, demikian Ouw Tang Sin dan Ting Kwan Ek membacok ke arah bayangan yang menyambar ke arah mereka.
“Crap! Crap! Crap!”
Darah muncrat membasahi lantai dibarengi oleh jatuhnya tiga bayangan yang menyerang itu, ketika golok ketiga orang ini mengenai sasarannya. Mereka semua memandang dan hampir saja Ting Kwan Ek mengeluarkan seruan keras saking kagetnya ketika melihat bahwa tiga bayangan yang menubruk tadi bukan lain adalah tiga ekor anjingnya yang tadinya menjaga di luar dan yang tadi masih terdengar gonggongannya. Kini tiga ekor anjing itu telah menggeletak di atas lantai dengan tubuh hampir terbelah dua dan darahnya membanjir di tempat itu!
Ting Kwan Ek dan Ouw.Tang Sin cepat menyeret bangkai ketiga anjing itu dan melemparkannya keluar ruangan. Pada saat ituv terdengarlah suara ketawa bergelak dari luar dan muncullah seorang hwesio yang gemuk dan bundar.
“Ha ha ha! Para piauwsu dari Pek-eng Piauwkiok! Kalian semua hanyalah anjing-anjing kaki dua yang pengecut dan nasib kalian takkan jauh bedanya dengan tiga ekor anjing kaki empat itu, Ha ha ha!”
Dengan tenang dan enaknya, hwesio gendut itu memasuki pekarangan depan lalu berjalan melenggang ke ruang depan menghampiri tuan rumah yang sudah siap dan berdiri dengan senjata di tangan itu.
“Hm, yang datang bukankah Ban Im Hosiang ketua dari Thiau-te Sam-kui?" Tanya Lo Beng Tat sambil menenangkan hatinya yang berdebar. "Harap kau suka memandang mukaku, kalau mantuku Ouw Tang Sin telah melakukan pelanggaran, aku sanggup mintakan maaf!"
Hwesio itu tertawa lagi bergelak-gelak, "Lo Beng Tat, kau seorang kepala rampok telah menyerahkan anakmu kepada seorang piauwsu, hal ini sudah amat ganjil dan menunjukan bahwa kau bukan seorang yang dapat dipercaya! Mana ada harimau yang mengawinkan anaknya pada seekor ular yang menjadi musuhnya? Aku tidak mau memandang muka seorang yang tak berharga seperti kau! Pula Pek-eng Piauw-kiok telah menghina Thian-te Sam-kui, maka hari ini harus hancur dan musnah!"
"Hwesio keparat!" Lo Beng Tat yang berwatak kasar itu memaki marah. "Siapa takut padamu? Kau telah memilih jalan Kematianmu."
Sambil berkata demikian Lo Beng Tat memberi tanda dengan tangan kanan dengan mengacungkan goloknya itu kepada Ban Im Hosiang. Pada saat itu terdengarlah bunyi,
"Serr! Serr!!" susul menyusul dari atas genteng karena enam orang di sebelah kiri dan enam orang di sebelah kanan telah melepaskan anak panah ke arah tubuh yang gendut dari Ban Im Hosiang itu.
Hwesio ini terkejut juga, akan tetapi benar-benar mengagumkan gerakannya yang amat tenang dan cepat. Biarpun tubuhnya dan sudah terancam oleh belasan batang anak panah itu, ia masih berlaku sigap sekali. Dengan seruan keras ia mengenjot kakinya dan tubuhnya mumbul bagaikan sebuah balon karet tertiup angin, kemudian ia menarik kedua kakinya ke atas sehingga lututnya menempel pada perutnya dan kedua tangannya yang tertutup oleh lengan baju yang lebar dan panjang digerakkan sedemikian rupa sehingga dua potong lebihan kain itu merupakan segulung sinar putih yang melindungi seluruh tubuhnya.
Lo Beng Tat dan yang lain lain melihat dengan mata terbelalak betapa semua anak panah itu runtuh ke atas lantai ketika terkena sambatan gulungan sinar itu. Lo Beng Tat terkejut cekali dan dengan hati kecut ia melihat hwesio iiu telah turun kembali sambil tertawa bergelak-gelak.
"Ha ha ha! Lo Beng Tat, perampok rendah, Kau tidak malu mempergunakan akal pengecut"
"Hujani anak panah..." teriak Lo Beng Tat ke atas, akan tetapi tidak ada anak panah lagi yang melayang turun, sebaliknya mereka lalu mendengar ribut-ribut di atas genteng.
Tak lama kemudian, nampak tubuh orang dilemparkan dari atas dan ketika tubuh orang-orang itu jatuh berdebuk di atas lantai, ternyata bahwa mereka ini adalah para piauwsu yang tadi membokong dan atas, dalam keadaan tidak bernyawa pula! Dua belas orang piauwsu itu semuanya telah ditewaskan dan kini mayat mereka bertumpuk-tumpuk di depan Lo Beng Tat!
Bukan main kagetnya semua orang menyaksikan pemandangan yang mengerikan ini dan ketika terdengar suara tertawa mengejek dari atas, maka nampaklah berkelebat bayangan Ban Hwa Yong melompat dari atas genteng sebelah kiri dan bayangan Ban Yang Tojin dari genteng sebelah kanan. Ternyata bahwa kedua orang inilah yang telah menewaskan para piauwsu tadi.
Kini Thian-te Sam-kui ketiga iblis itu, lengkap ketiga tiganya telah hadir di situ! Ban Yang Tojin dengan senjatanya tombak berujung bintang di tangan, sedangkan Ban Hwa Yong dengan sepasang senjatanya yang melengkung ujungnya seperti kaitan. Bahkan Ban Im Hosiang sambil tertawa besar juga sudah mengeluarkan senjatanya yang hebat, yakni sebatang pedang perak yang berkilau saking tajamnya.
Merasa bahwa tidak ada gunanya untuk bercakap pula dengan tiga orang musuh yang datang dengan nafsu memburuh ini. Ting piauwsu lalu bersetu keras dan melompat maju, menyerang dengan goloknya. Juga Ouw piauwsu, Lu Kim Bwe, Lo Houw, dan Lo Beng Tat cepat pula maju mengeroyok tiga orang lawan itu.
"Suheng, jangan dirusak bunga indah ini!"
Ban Hwa Yong tertawa berkata kepada kedua suhengnya, kemudian manusia cabul ini lalu menubruk maju menghadapi Lo Kim Bwe yang menyerangnya dengan sepasang goloknya. Sekali saja Ban Hwa Yong menangkis dengan sepasang senjatanya, kedua golok itu terlempar dari tangan Kim Bwe dan sebelum nyonya muda cantik ini sempat mengelak, Ban Hwa Yong telah mengulur tangan kirinya menangkapnya!
Kim Bwe hendak melawan akan tetapi dengan gerakan yang cepat, Ban Hwa Yong sudah menotok pundak nyonya ini sehingga tubuh Kim Bwe menjadi lemas tidak berdaya lagi. Sambil tertawa bergolak Ban Hwa Yong lalu mengalihkan senjata di tangan kanan semua dan menggunakan tangan kirinya untuk memeluk tubuh nyonya itu dan mengempitnya dengan cara yang kurang ajar sekali.
"Bangsat rendah lepaskan isteriku..." Ouw Tang Sio maju menyerangnya dengan golok yang dimainkan secara hebat sekali.
Melihat gerakan ini, Ban Hwa Yong maklum bahwa ilmu golok Ouw piauwsu tak boleh dibuat permainan, maka dengan tangan kanan ia menangkis keras. Biarpun Ouw-piauwsu merasa betapa tangannya sampai tergetar karena tangkisan itu, namun ia masih dapat mempertahankan goloknya dan tidak sampai terlepas. Ia lalu menyerang lagi dengan hebat. Ban Hwa Yong sedang mengempit tubuh Kim Bwe, maka tentu saja gerakannya tidak leluasa lagi dan ia hanya dapat menggerakkan senjatanya menangkis.
"Twa-suheng, tolong bereskan dulu cacing ini“ serunya sambil tertawa dan ketika Ban lm Hosiang menggerakkan pedangnya dari samping, Ouw Tang Sin cepat menangkis pedang yang bersinar terang ini.
"Tranggg...!"
Golok di tangan Ouw Tang Sin terlepas ke atas lantai, bukan golok itu saja, bahkan jaga lengannya yang tadi memegang golok, telah terputus oleh pedang itu sebatas sikunya, Ouw Tang Sio menjerit ngeri dan pada saat itu, Ban Hwa Yong menyusulkan pula dengan serangan senjatanya dan terkaitlah perut Ouw-piauwsu oleh senjata itu. Sekali Ban Hwa Yong menarik tangannya, robeklah perut Ouw-piauwsu, tubuhnya roboh dan menggeletak dengan perut terbuka, tewas pada saat Itu juga.
Sementara itu, setelah menolong sutenya, Ban Im Hosiang dan Ban Yang Tojin mengamuk hebat dan tentu saja para lawannya yang berkepandaian jauh di bawah tingkat kepandaian mereka itu bagaikan rumput kering menghadapi api. Sebentar saja Ting Kwan Ek terguling mandi darah, demikian pula Lo Houw dan Lo Beng Tat. Belum sampai dua puluh jurus, seluruh isi rumah dan pemimpin Pek-eng Piauwkiok telah tewas semua, kecuali Kim Bwe yang masih dikempit oleh lengan kiri Ban Hwa Yong.
Tiga Iblis Bumi Langit ini lalu melakukan perampokan, mengambil semua barang berharga, bahkan lalu membunuh semua orang yang berada di dalam rumah itu! Celakalah nyonya Ting dengan anak-anakya, karena nyonya ini biarpun telah dibujuk oleh suaminya, tetap tidak mau meninggalkan rumah itu.
Ketika Ban Hwa Yong melihat nyonya Ting, timbul pula pikiran jahatnya untuk menculik nyonya yang muda dan manis Ini, akan tetapi nyonya Ting melakukan perlawanan hebat sehingga ia lalu dibunuh berikut anak-anaknya yang masih kecil. Benar-benar musnah dan hancur lebur Pek-eng Piauwkiok, cocok dengan ancaman tiga orang Iblis jahat itu. Benar-benar mengerikan sekali! Tidak kurang dari dua puluh orang melayang nyawanya di dalam tangan Thian tu Sam-koi!
Sambil tertawa-tawa, rnembawa hasil rampokan dan menculik Kim Bwe, tiga orang manusia yang berhati iblis itu meninggalkan rumah itu dan dengan cepatnya melarikan diri keluar kota Hun - leng. Para tetangga yang mendengar teriakan - teriakan dan pertempuran itu, cepat menyembunyikan diri dan biarpun keadaannya sudah sunyi, mereka masih tidak berani keluar dari pintu.
Belum lama setelah ketiga orang iblis itu pergi, nampak bayangan yang ramping dan gesit melompat memasuki pekarangan Pek-eng Piauwkiok. Bayangan ini adalah Eng Eng yang hendak mengambil pakaiannya lebelum melanjutkan perjalanannya. Ia merasa heran melihat keadaan yang amat sunyi di sekitar rumah itu, dan ketika ia memasuki ruangan depan gadis ini berdiri terbelalak bagaikan patung. Ia melihat tumpukan tubuh manusia yang sudah menjadi mayat dan darah memenuhi ruangan itu!
Ketika melpat para piauwsu, Lo Beng Tat, Lo Houw, dan Ouw Tang Sin menggeletak menjadi mayat hatinya tidak merasa apa paa, akan tetapi ketika ia melihat Ting Kwan Ek berada di situ pula rebah mandi darah dengan tangan kanan masih memegang goloknya bukan main kagetnya.
"Ting-twako...” serunya dan cepat. Ia melompat ke dekat tuouh Ting piauwsu. Dilihatnya Ting piauwsu membuka mata dan menggerak-gerakkan bibirnya.
"Ting-twako, siapa yang melakukan perbuatan ini?" tanya Eng Eng sambil berjongkok di dekat tubuh orang yang bernasib malang itu.
Ting Kwan Ek masih dapat menggerakkan bibirnya dengan amat lemah, dan akhirnya dapat juga bibir itu mengeluarkan kata kata yang perlahan sekail,
"Thian-te Sam-kui!"
Setelah berkata demikian agaknya ia telah mengerahkan tenaganya terlalu banyak untuk menahan nyawanya, maka tiba-tiba ia menjadi lemas dan menghembuskan nafas yang terakhir!
Mengalirlah air mata dari kedua mata Eng Eng. Ia teringat kepada suhunya yang meninggal dunia. Di dalam dunia ini, baginya hanya Ting Kwan Ek dan isterinya yang dianggap sebagai manusia-manusia baik dan sayang kepadanya. Eng Eng mengambil colok yang masih dipegang oleh tangan Ting Kwan Ek, lalu katanya penuh kegemasan.
"Ting-twako, aku akan membunuh tiga iblis itu dengan golokmu ini!"
Setelah berkata demikian, ia lalu melompat ke dalam rumah dan melihat nyonya Ting menggeletak di dekat anak-anaknya yang semuanya telah menjadi mayat. Eng Eng menubruk mayat nyonya Ting dan menangis tersedu-sedu. Baru kali ini selama hidupnya Eig Eng merasa amat sedih dan hancur hatinya. Kembali la berjanji kepada nyonya Ting untuk membunuh tiga iblis jahat itu. Kemudian setelah mengambil bungkusan pakaiannya, Eng Eng lalu melompat keluar dari rumah itu dan berlari cepat sekali memasuki hutan.
Dia berlari cepat sekali sehingga setelah mata hari naik tinggi, ia telah memasuki hutan ke tiga di atas pegunungan yang indah pemandangannya. Dasar sudah menjadi nasib orang kedua dari Thian-te Sam-kui, atau memang karena dosa-dosanya sudah bertumpuk-tumpuk, maka orang kedua itu, yakni Ban Yang Tojin, telah memisahkan diri dari kedua orang saudaranya dan berada di dalam hutan itu.
Demikianlah ketika Ban Yang Tojin sedang berjalan di dalam hutan itu, hendak pergi ke kota Tit-le di mana tinggal seorang sahabatnya tiba-tiba bayangan seorang yang ramping tubuhnya tahu-tahu telah berkelebat dan telah berdiri di depannya!
Ban Yang Tojin terkejut dan heran melihat seorang gadis cantik dan gagah sekali telah berdiri di depannya dengan memegang sebatang golok besar. Tojin itu biarpun tidak tergila-gila wanita seperti sutenya, Ban Hwa Yang akan tetapi melihat dara muda yang cantik sekali ini mau tak mau ia memandang dengan mata terbelalak kagum. Sebelum ia sempat bertanya, gadis itu telah mendahuluinya dan bertanya dengan suaranya yang merdu dan nyaring sekali,
"Orang tua, siapakah kau dan kenalkah kepada Thian-te Sam-kui?"
Ban Yang Tojin tercengang, akan tetapi ia lalu tersenyum girang. Ia pikir bahwa gadis ini tentulah telah mendengar dan mengagumi nama dia dan kedua saudaranya dan kini mencari untuk minta menjadi murid. la lalu tertawa bergolak sambil mendongakkan kepala ke atas, komudian la berkata,
"Nona, kau mencari tiga orang gagah itu? Ha, ha, ha! Tidak jauh ! Aku adalah Bin Yang Tojin, orang ke dua dari Thiante Sam-kui (Tiga iblis Bumi Langit)! Kau mencari kami apakah hendak belajar ilmu ulat? Kebetulan sekali, nona, aku memang sedang mencari murid yang cocok, dan agaknya kau lah yang patut menjadi muridku!"
Mendengar suara tosu ini. Eng Eog memandang tajam dan teringatlah ia kini bahwa tosu ini adalah tosu yang pernah bertempur dengan dia dan bahkan telah ia kalahkan ketika ia membantu Ting Kwan Ek! Mendengar ucapan totu itu, diam-diam ia menjadi geli, karena ternyata bahwa tosu ini tidak mengenalnya lagi. Dulu ketika ia bertempur dengan Ban Yang Tojin, ia mengenakan pakaian seperti seorang pemuda, dan tentu saja tosu itu tidak mengenalnya yang kini telah berubah menjadi seorang gadis!
Akan tetapi, berbareng dengan kegelian hatinya, iapun merasa marah sekali karena kalau saja ia tidak lupa akan muka tosu ini dan tahu bahwa inilah orangnya yang menjadi biang keladi kebinasaan seluruh keluarga Pek-ong Piauwkiok, tentu ia tak perlu bertanya lagi.
"Bagus sekali" Serunya dengan wajah berubah merah saking marahnya, "Jadi kau sengaja menanti di sini untuk menunggu aku mengambil nyawamu? Mana kedua orang saudaramu agar aku dapat membasmi sekalian?" Sambil berkata demikian, Eng Eng lalu menggerakkan goloknya dan sambil menyerang dengan hebatnya!
Tentu saja Ban Yang Tojin menjadi sangat terkejut. Akan tetapi la masih memandang rendah kepada gadis cantik ini dan cepat ia mengelak. Alangkah terkejutnya ketika golok di tangan nona itu biarpun sudah dapat menghindarkannya namun dilanjutkan pula dengan serangan menyerong yang amat berbahaya. Tosu ini cepat melempar tubuhnya ke belakang menggunakan gerak loncat Kera Tua Melompati Cabang dan hampir saja ujung golok memakan tubuhnya. Keringat dingin keluar dari jidatnya dan cepat tosu itu lalu mencabut senjatanya yang istimewa, yakni tongkat runcing yang berbintang ujungnya.
"Eh eh, siapakah kau dan kenapa kau menyerangku tanpa sebab?”
"Tidak ada hal yang tak bersebab," jawab Eng Eng tenang, "lupakah kau kepada Pek-eng Piauwkiok yang baru saja kaubinasakan secara keji? Dan lupakah kau pula ketika golokku masih memberi ampun kepadamu, tidak memenggal lehermu, akan tetapi hanya melukai pundakmu? sekarang aku tidak menghendaki sedikit kulit pundakmu, melainkan menghendaki kepalamu"
Eng Eng lalu menyerbu lagi dan Ban Yang Tojin tidak mendapat kesempatan barang sedikitpun untuk mengeluarkan seruan heran dan terkejut. Ia kini teringat lagi dan terbukalah bahwa gadis ini adalah pemuda yang dulu pernah melukainya dan yang membantu Ting Kwan Ek
"Perempuan rendah! Jadi kaukah orangnya yang dulu membantu anjing she Ting? Bagus, kau telah menyerahkan diri tanpa dicari lagi!"
Memang tosu ini merasa amat benci dan dendam terhadap pemuda yang telah melukainya dan semenjak dia dikalahkan oleh Eng Eng tosu ini lalu melatih diri dan terutama sekali ia melatih ilmu pukulan Pek-lek-ciang dengan tekunnya. Tenaga lweekang kakek ini sekarang jauh lebih tinggi dan kuat daripada dulu, sedangkan ilmu pukulannya Pek-lek-ciang benar - benar amat berbahaya. Ia dapat merobohkan lawan dari jarak jauh hanya dengan hawa pukulannya ini...
Juga Ting Kwan Ek, Kim Bwe, dan semua orang yang keluar tak berani turun tangan mencegah pertempuran itu. Ting piauwsu hanya memandang dengan muka pucat dan diam-diam ia amat benci kepada Lo Houw yang dianggap menjadi gara-gara dan biang keladi semua ini.
Setelah menghadapi sepasang golok besar Lo Beng Tat sampai dua puluh jurus lamanya, Eng Eng harus mengakui bahwa ilmu golok orang tua ini benar-benar berbahaya. Ia lalu berseru keras dan sinar merah berkelebat ketika ia mengeluarkan pedangnya, Ting Kwan Ek sudah maklum akan kelihaian ilmu pedang gadis itu, maka ia segera berseru,
“Suma lihiap, harap kau jangan menurunkan tangan kejam!”
Akan tetapi sambil menggerakkan pedangnya yang luar biasa, Eng Eng menjawab sambit tersenyum mengejek, “Ting twako, apa kau kira monyet tua ini tidak akan melukai aku dengan goloknya, kalau ia mampu melakukan hal itu?” Sambil berkata demikian, Eng Eng lalu membalas dengan pedangnya yang luar biasa gerakannya.
Sejak tadi, Lo Beng Tat sudah merasa terheran-heran dan kaget sekali. Belum pernah ia menyaksikan ilmu silat seperti yang dimainkan oleh gadis itu ketika menghadapi sepasang goloknya. Ia terkenal memiliki ilmu golok yang ganas sekali, akan tetapi gadis itu, dengan tangan kosong dapat menghadapi sepasang goloknya, dengan gerakan tubuh yang aneh, kadang-kadang terhuyung-huyung seperti orang mau jatuh, kadang seperti menari-nari.
Namun goloknya tetap saja dapat dielakkan dengan amat cepat dan tak terduga-duga. Kini melihat gadis itu memegang sebatang pedang yang sinarnya kemerah-merahan dan yang gerakannya amat luar biasa makin terkejut. Ia mencoba untuk menangkis dengan golok kiri dan membalas menyerang dengan golok kanan, akan tetapi ketika pedang itu membentur golok kirinya pedang itu melesat ke samping dan mendahului golok kanannya, menyambar ke arah lengan tangan kanannya!
Ia cepat melompat mundur sambil menarik tangan kanannya dengan muka pucat. Hampir saja tangan kanannya menjadi korban dalam gebrakan pertama setelah gadis itu memegang pedangnya. Eng Eng tidak mau memberi hati kepada lawannya dan terus maju menyerang sehingga sebentar saja Lo Beng Tat terdesak hebat, memutar dua batang goloknya untuk melindungi tubuhnya, sambil menggerakkan kedua kakinya mundur teratur.
Bukan main gelisahnya Ting Kwan Ek melihat hal ini. Kalau sampai orang itu terluka, tentu hal ini akan menjadi semakin hebat dan besar sekali kemungkinannya bahwa dia akan terlibat dan akan bertentangan dengan keluarga suhengnya! Ia lalu membisiki telinga isterinya dan terdengarlah kemudian nyonya Ting berseru,
“Adik Eng, dengarlah omonganku, pandanglah mukaku, jangan kau membunuh atau melukai orang!”
Suara nyonya Ting ini terdengar mengharukan dan mengandung isak tangis sehingga pengaruhnya jauh lebih besar bagi Eng Eng dari pada ucapan Ting piauwsu tadi. Memang kepada nyonya ini Eng Eng amat menyayang dan menghormatinya, maka begitu mendengar seruan ini, ia memutar otaknya dan berpikir mengapa nyonya Ting melarangnya membunuh atau melukai orang yang dianggapnya jahat ini.
Pengetahuannya yang amat dangkal tentang hubungan kekeluargaan dan sebagainya, membuat ia tidak mengerti mengapa nyonya Ting seakan-akan membela orang tua ini, Akan tetapi, untuk melanggar larangan ini, ia tidak tega, karena dari suara nyonya itu, ia maklum bahwa nyonya Ting sedang berada dalam keadaan yang amat Cemas dan berduka karena pertempuran ini.
“Baiklah cici, aku hanya akan memperlihatkan bahwa adikmu tidak boleh dibuat permainan!”
Ia lalu menggerakkan pedangnya lebih cepat lagi dan terdengarlah suara keras dibarengi pekik Lo Beng Tat. Sebuah goloknya yang kanan, terlepas dari pegangan dan terlempar ke udara! Sebelum ia tahu bagaimana lawannya dapat melakukan hal ini, tangan kiri Eng Eng sudah bergerak, didahului oleh tusukan pedangnya yang cepat sekali hendak menancap ke ulu hati lawan!
Tentu saja bagi Lo Beng Tat gerakan pedang yang mengancam ulu hatinya itu lebih penting untuk diperhatikan karena lebih berbahaya, maka cepat la mengelak ke kanan untuk menghindarkan diri dari tusukan pedang itu. Tidak tahunya bahwa serangan pedang ini hanya pancingan belaka, karena Eng Eng lebih mengutamakan tangan kirinya yang dengan tepat telah menotok urat nadi tangan kiri Lo Beng Tat yang memegang golok.
“Aduh!” Kepala rampok itu berseru kesakitan dan sebentar saja golok kirinya telah pindah tangan!
Eng Eng menghentikan gerakannya dan kini sambil menimang-nimang golok besar di tangan kirinya, ia tersenyum dan menyimpan kembali pedangnya.
“Kalau tidak memandang muka ciciku yang baik, bukan hanya golok yang kurampas, melainkan kepala orang!” katanya sambil tersenyum manis.
Lo Beng Tat hanya berdiri melongo saking heran dan terkejut, kemudian ia sadar dan menudingkan golok kanannya ke arah Eng Eng.
“Kau benar seorang yang tidak kenal budi, seorang perempuan liar yang baru keluar dari hutan dan tidak tahu aturan! Berbulan- bulan kau tinggal di rumah kami, makan nasi kami, mendapat perlakuan yang baik dan manis budi! Sekarang bahkan kami mempunyai pikiran untuk menarik kau sebagai seorang anggota keluarga, akan tetapi apakah balasanmu? Kau menghina ayahku, dan mencaci maki adikku, sungguh, hari ini aku harus mengadu jiwa dengan kau, perempuan liar!”
Sambil berkata demikian, Lo Kim Bwe menggerakkan sepasang goloknya dan menyerang Eng Eng dengan kalang kabut! Terdengar Ouw Tang Sin, Ting Kwan Ek, dan nyonya Ting berseru membujuk, akan tetapi Lo Kim Bwe tidak perdulikan semua itu dan terus menyerang dengan hebatnya.
“Jangan takut, enci Bwe, aku membantumu!” seru Lo Houw yang sudah mengeluarkan ruyungnya dan menyerang Eng Eng pula dengan gerakan yang berat dan kuat sekali.
“Celaka!” Ting Kwan Ek berseru bingung. “Bagaimana baiknya sekarang?”
Ouw Tang Sin juga menjadi bingung dan serba salah, akan tetapi ia hanya mengangkat pundak karena tidak berdaya.
“Eng Eng, sekali lagi, kuharap kau tidak melukai mereka!” Nyonya Ting berseru kembali.
Akan tetapi kini kemarahan Eng Eng sudah banyak mereda setelah ia berhasil mengalahkan Lo Beng Tat. Sambil tersenyum-senyum ia menyambut serangan kedua saudara Lo itu dengan senjata golok yang tadi dirampasnya dari Lo Beng Tat. Golok itu masih dipegang di tangan kiri dan ternyata bahwa gerakan tangan kirinya memainkan golok itupun amat mengagumkan!
Terbelalak mata Lo Beng Tat yang terkenal sebagai ahli golok ketika ia menyaksikan betapa dengan golok di tangan kiri, Eng Eng menjawab seruan nyonya Ting tadi dan kini ia memutar goloknya demikian rupa sehingga tubuhnya lenyap di tengah gulungan sinar putih dari golok itu. Baik Kim Bwe maupun Lo Houw tak dapat melihat bayangan Eng Eng dan yang mereka lihat hanyalah bayangan sinar putih dari golok itu yang menyambar-nyambar ke arah mereka dengan kecepatan luar biasa dan menimbulkan hawa dingin!
Baru saja bertempur tiga puluh jurus lebih sepasang golok di tangan Kim Bwe telah terpental jauh dan nyonya muda yang genit ini terpaksa melompat mundur.
“Mengapa kau diam saja? Apakah kau tidak mau membantu isterimu?” bentaknya dengan mulut cemberut dan mata berapi kepada suaminya.
Ouw Tang Sin menjadi bingung dan serba salah. Tidak membantu, bagaimana? Yang bertempur melawan Eng Eng adalah isteri dan iparnya, akan tetapi kalau membantu, ia sudah merasa jerih terhadap kelihaian Eng Eng!
“Ha, agaknya kau sudah tergila-gila kepada gadis liar itu, bukan?” Kim Bwe mendesak marah.
Terpaksa Ouw Tang Sin mencabut senjatanya, akan tetapi Ting Kwan Ek mencegah. “Jangan, suheng, apakah kau hendak membikin keadaan menjadi makin kusut?”
Ouw Tang Sin makin menjadi ragu-ragu dan pada saat itu, terdengar jeritan ngeri dari Lo Houw karena ujung golok Eng Eng telah menggurat mukanya sehingga mukanya berlumuran darah dari jidat sampai ke dagu! Eng Eng sengaja memberi hajaran hebat kepada pemuda muka hitam itu. Memang ia hanya menggaris saja sehingga kulit muka pemuda Itu pecah dan biarpun ia tidak menderita luka hebat, namun terpaksa wajahnya akan bercacad dengan goresan dari atas ke bawah untuk selamanya! Lo Houw melempar ruyungnya dan mendekap mukanya dengan kedua tangannya. Darah mengalir melalui celah-celah jarinya.
“Bangsat perempuan keji!” Kim Bwe berteriak dan ia melompat maju hendak menyerang Eng Eng dengan mati matian
Akan tetapi pada saat itu terdengar suara ketawa terbahak-bahak yang amat mengerikan. Sebatang piauw yang merupakan kilat hitam menyambar ke arah dada Kim Bwe!
Tiba-tiba Eng Eng berseru keras dan nona perkasa ini menubruk maju menangkap tangan Kim Bwe dan menariknya kuat kuat sehingga nyonya muda itu terseret jatuh dan piauw yang menyambarnya itu lewat sambil mengeluarkan bunyi melengking lalu menancap pada tiang pintu, bergoyang-goyang mengerikan!
Eng Eng melepaskan tangan Kim Bwe dan tubuhnya melesat ke arah dari mana datangnya piauw (senjata rahasia vang disambitkan) tadi. Orang-orang hanya melihat bayangannya saja berkelebat keluar dan sebentar kemudian lenyaplah gadis itu!
Ting Kwan Ek dan Ouw Tang Sin cepat mengejar dan tak lama kemudian mereka melihat Eng Eng yang masih memegang golok bertempur melawan seorang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh tahun yang mengenakan pakaian mewah dan indah gerakannya. Laki-laki ini amat gesitnya, dan senjatanya adalah sepasang tombak yang ada Kaitannya. Melihat laki-laki ini Ting Kwan Ek dan Ouw Tang Sin menjadi pucat.
“Ban Hwa Yong!” mereka berseru dengan suara tertahan.
Memang laki-laki itu adalah Ban Hwa Yong saudara termuda dan Thian-te Sam-kui. Ketika Ban Hwa Yong mendengar seruan ini dan melihat bahwa yang datang adalah Ouw piauwsu dan Ting piauwsu, ia tertawa bergelak, menyerang Eng Eng dengan cepat dan hebat sehingga terpaksa Eng Eng melompat mundur. Ban Hwa Yong menggerakkan tubuhnya melompat pergi sambil berkata,
“Ha ha ha! Jiwi-piauwsu dari Pek-eng Piauwkiok! Bagus sekali, kulihat di sini terdapat dua bunga indah yang kalian harus persembahkan kepadaku pada hari besok!” Setelah berkata demikian, lalu lompat pergi.
“Bangsat pengecut!” Eng Eng bergerak mengejar, akan tetapi dari arah Ban Hwa Yong meluncurlah tiga batang piauw hitam.
Memang Ban Hwa Yong telah terkenal akan keahliannya melepaskan berbagai macam senjata rahasia dan lemparannya dengan tiga batang piauw ini tidak boleh dipandang ringan. Tidak saja ia memiliki kepandaian menyambit piauw yang disebut ilmu melepas piauw 'seratus kali lepas seratus kali mengenai sasaran', juga piauw itu telah direndam dalam racun yang amat berbahaya. Sambitannya juga cepat sekali datangnya, begitu cepat sehingga sukar sekali untuk dikelit.
Akan tetapi Eng Eng bukan murid Hek Sin-mo yang luar biasa ilmu kepandaiannya dan ginkangnya kalau ia dapat dijadikan korban oleh hanya sambaran tiga batang piauw itu. Piauw itu menyambar ke arah tiga tempat. Yang pertama menyambar ke arah ulu hatinya dengan kecepatan luar biasa, piauw kedua menyambar ke arah sisi kanannya setinggi kepalanya, adapun piauw ketiga menyambar ke arah sisi kirinya setinggi pahanya.
Inilah sambitan piauw yang disebut 'mengurung harimau menutup pintu guanya'. Dengan cara serangan piauw seperti ini seakan-akan jalan keluar bagi yang diserang telah tertutup sama sekali. Mengelak ke kiri akan terserang oleh piauw ke tiga. Mengelak ke kanan akan diserang oleh piauw ke dua!
Adapun Eng Eng yang menghadapi serangan ini, tetap saja tenang sekali. Sambil tersenyum mengejek, ia menggerakkan goloknya, menyampok piauw yang meluncur ke arah ulu hatinya, tangan kanan yang tidak bersenjata diulurkannya ke atas, menangkap piauw yang terbang di sebelah kanannya lalu langsung disambitkan ke depan kembali, sedangkan kaki kirinya dengan gerakan istimewa sekali menendang ke arah piauw vang melayang sebelah kirinya, mengirim kembali piauw itu ke depan!
Berbareng dengan tiga gerakan ini, yakni gerakan kedua tangan dan kaki kiri, tiga batang piauw itu dapat balikkan kembali ke arah penyerangnya! Ban Hwa Yong terkejut sekali melihat kelihaian Eng Eng ini. dan tanpa banyak cakap lagi ia lalu membalikkan tubuh dan berlari cepat meninggalkan tempat itu!
Eng Eng melompat mengejarnya akan tetapi ternyata Ban Hwa Yong telah menghilang di balik rumah-rumah orang! Ting Kwan Ek mengejar Eng Eng dau setelah menjura ia berkata,
“Suma lihiap, amat besarlah budimu yang telah kau limpahkan kepada kami sekeluarga dari Pek-eng Piauwkiok. Sungguh aku merasa menyesal sekali atas kejadian di rumah tadi, dan harap kau sudi kiranya memberi ampun kepada mereka dan suka kembali ke rumah kami.”
Akan tetapi Eng Eng menggelengkan kepala, melemparkan goloknya yang dirampasnya dari Lo Beng Tat ke atas tanah dan menjawab,
“Tidak Ting-twako. Aku tidak sudi kembali ke rumah kotor itu! Sampaikan salamku kepada cici!” Setelah berkata demikian, gadis itu lalu berjalan pergi.
“Lihiap, pakaianmu masih berada di kamarmu.” kata Ting Kwan Ek dengan gelisah dan bingung.
“Biarlah, lain kali kuambil” jawab gadis itu yang segera berlari pergi. Ting-piauwsu tidak berdaya, hanya berdiri tunduk dengan kecewa sekali.
Ouw Tang Sin menghampiri sutenya dan sambil memegang lengan sutenya, ia berkata. “Sute, kau maafkanlah aku banyak-banyak. Aku benar-benar merasa menyesal sekali, akan tetapi apakah yang dapat kita lakukan?”
Kedua orang ini lalu kembali ke rumah mereka dan mereka disambut oleh semua orang dengan gelisah. Ternyata bahwa piauw yang disambitkan oleh Ban Hwa Yong ke arah Kim Bwe itu diberi sehelai kertas yang berisi ancaman mengerikan seperti berikut,
Thian-te Sam-kui takkan berhenti berusaha sebelum Pek-eng Piauwkiok musnah dan hancur lebur beserta seluruh anggautanya! Tunggulah besok pagi-pagi sebelum terang!
Ting Kwan Ek dan Ouw Tang Sin saling pandang dengan wajah pucat.
“Kaulah yang mencari perkara!” Kata Ouw Tang Sin kepada isterinya yang sementara itu sedang merawat luka di muka Lo Houw. Isterinya tidak menjawab hanya, cemberut saja sambil melepas kerling membenci ke arah suaminya.
Ting Kwan Ek, Ouw Tang Sin dan Lo Beng Tat lalu mengadakan perundingan. Mereka mengumpulkan anggota-anggota mereka yang pada waktu itu hanya ada sepuluh orang saja, karena yang lain sedang menjalankan tugas mengantar barang. Ketika terjadi keributan tadi, para pembantu mereka itu hanya menonton saja tanpa berani ikut turun tangan.
“Kita harus mengadakan persiapan untuk menyambut mereka,” kata Lo Beng Tat.
Orang tua ini untung juga bahwa kini terdapat alasan baginya untuk melupakan kekalahannya terhadap Eng Eng. Dengan menghadapi ancaman Thian-te Sam-kui maka peristiwa yang tadi terjadi memang tak perlu dipikirkan lagi dan semua pikiran harus dahulukan kepada bahaya yang mengancam hebat.
“Sudah terang bahwa Thian-te Sam-kui besok pagi-pagi hendak datang menyerbu, dan tak usah kita menyombongkan diri, karena sesungguhnya kepandaian mereka masih lebih tinggi dari pada kita. Kalau kita lawan begitu saja, biarpun kita berjumlah lebih banyak, agaknya sedikit sekali harapan untuk menang.”
“Habis, bagaimana baiknya, gakhu (ayah mertua)? Untuk memanggil bantuan sudah tidak ada waktu lagi,” kata Ouw Tang Sin gelisah.
“Memang tidak ada waktu,” menyambung Ting Kwan Ek dengan gemas dan menggigit bibir. “Akan tetapi, betapapun juga kita harus menghadapi mereka dengan senjata ditangan. Lebih baik mati seperti harimau dari pada disembelih seperti babi!”
Ucapan yang bersemangat ini membangunkan keberanian semua orang, dan Lo Houw yang kini sudah diobati lukanya, berkata, “Biarlah kita maju berbareng. Ada ayah, cihu, Ting-piauwsu, aku sendiri dan enci Kim Bwe. Kita berlima dibantu oleh semua saudara, para piauwsu yang jumlahnya sepuluh orang, masa kita tak dapat mengusir mereka itu semua?”
Lo Beng Tat menggeleng-gelengkan kepalanya. “Takkan ada gunanya. Biarpun jumlah kita ada lima belas orang, akan tetapi kalau kita maju secara keroyokan, belum tentu kita akan dapat menang. Kita harus mempergunakan siasat!”
Sebagai seorang kepala rampok, Lo Beng Tat tentu saja memiliki banyak akal dalam menghadapi musuh-musuh tangguh. Ia lain mengajukan siasatnya yang didengar oleh semua orang dengan penuh perhatian.
“He, kau berempat!” Lo Beng Tat menunjuk kepada empat orang piauwsu yang duduknya paling depan seperti memerintah kepada anak buahnya sendiri saja, karena kepala rampok ini memang sudah biasa memerintah para perampok yang menjadi kaki tangannya.
“Kalian keluarlah dan jaga baik-baik di luar, di atas genteng di empat penjuru. Siasat yang hendak kita bicarakan tak boleh terdengar oleh orang lain, takut kalau-kalau fihak musuh akan mencuri dengar!”
Empat orang piauwsu itu mengerti maksud orang tua ini dan mereka lalu keluar.
“Nah, dengar baik-baik. Besok pagi-pagi, tiga orang itu tentu akan datang bersama, dan kita berlima yang mengerti ilmu silat boleh duduk menanti di ruang depan yang lebar itu, Ting piauwsu, lebih baik kau suruh isteri, anak-anakmu. dan para pelayan yang lemah lebih dulu menyingkir ke lain tempat agar tidak menimbulkan hal-hal yang membutuhkan tenaga bantuan kita. Kemudian para piauwsu yang pandai melepas anak panah atau senjata rahasia lain, bersembunyi merupakan baihok (barisan pendam) mengurung ruangan itu. Apa bila ketiga orang iblis itu sudah datang dan hendak turun tangan, aku akan memberi tanda dengan lambaian tangan dan para piauwsu harus serentak menyerang dengan senjata rahasia. Nah dengan serangan tiba-tiba itu, ditambah oleh serangan kita, mustahil kita takkan dapat mengalahkan mereka.”
Diam-diam Ting Kwan Ek dan Ouw Tang Sin merasa malu dan tidak setuju dengan cara yang curang dan pengecut ini, akan tetapi pada waktu yang amat terdesak dan berbahaya, agaknya tidak ada lain jalan lagi yang lebih baik.
Semua orang menyetujui siasat ini dan segera setiap orang piauwsu diharuskan mempersiapkan diri. Kebetulan sekali pada saat itu terdengar suara ribut-ribut di luar dan ternyata rombongan piauwsu yang pergi ke Kanglam mengantar dan mengambil barang-barang telah kembali. Akan tetapi, apakah yang terdapat dalam kendaraan mereka? Bukan barang berharga, melainkan mayat tiga orang piauwsu!
Rombongan ini berdiri dari lima orang piauwsu yang terpilih pandai dan mereka kembali dari Kanglam membawa beberapa bal kain sutera yang mahal. Ketika rombongan ini hendak memasuki kota Han-leng mereka dicegat oleh Thian te Sam-kui! Ketiga iblis ini selain mencabut dan merobek-robek bendera Pek-eng Piauwkiok, juga membunuh tiga orang piauwsu, merampas barang-barang dan setelah mengerat daun telinga kedua piauwsu yang lainnya, mereka lalu menyuruh dua orang piauwsu itu masuk ke dalam kota Hun-leng, membawa jenazah ketiga orang kawannya!
Sambil merintih-rintih kedua orang piauwsu ini menuturkan pengalamannya kepada Ting-piauwsu dan Ouw piauwsu yang menjadi marah dan sakit hati sekali. Sambil mengepal tangan mereka berjanji hendak menghancurkan Thian-te Sam-kui pada esok hari atau mereka siap untuk menerima kematian di tangan ketiga orang Iblis Bumi Langit yang lihai itu!
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali di perusahaan Pek eng Piauwkiok itu semua orang telah bersiap sedia. Di atas genteng, terpisah menjadi dua rombongan di kanan kirlr telah siap dua belas orang piauwsu yang memegang anak panah, menjaga di atas ruang depan itu. Lo Beng Tat dengan garangnya telah duduk di kursi tengah sambil menaruh sepasang goloknya di atas meja, Lo Houw telah siap pula dengan sepasang ruyung di tangan. Lo Kim Bwe juga duduk di situ dengan sepasang goloknya pula. Adapun Ouw piauwsu dan Ting piauwsu dengan wajah tegang juga telah berkumpul di situ dengan senjata di tangan.
Keadaan sunyi sekali, karena hari masih amat pagi. Yang terdengar hanya kokok ayam jantan dan kicau burung-burung pagi. Semua berdiam diri, tidak berani mengeluarkan suara, dan memasang telinga dengan penuh perhatian, menanti datangnya ketiga iblis yang menakutkan itu. Untuk lebih memperkuat penjagaan mereka Ting piauwsu telah melepaskan tiga ekor anjing peliharaan di luar pekarangan depan. Semua orang merasa gelisah dan boleh dibilang hampir semalam penuh tak seorangpun dapat meramkan mata.
Tiba-tiba terdengar anjing-anjing penjaga yang menggonggong keras dan riuh, akan tetapi dengan mendadak pula suara mereka lenyap seakan-akan leher ketiga anjing itu dicekik oleh tangan yang kuat! Keadaan menjadi sunyi kembali dan semua orang yang bersiap di ruang depan itu, makin gelisah dan memandang keluar dengan hati berdebar. Lo Beng Tat, jago tua itu kini telah mengambil golok yang ditaruh di atas meja, dipegangnya dengan kedua tangannya.
Tiba-tiba dari luar menyambar tiga bayangan hitam dan bayangan-bayangan ini langsung menubruk ke arah Lo Beng Tat, Ouw Tang Sin dan Ting Kwan Ek! Ketiga orang ini terkejut sekali. Lo Beng Tat mengayun goloknya membacok, demikian Ouw Tang Sin dan Ting Kwan Ek membacok ke arah bayangan yang menyambar ke arah mereka.
“Crap! Crap! Crap!”
Darah muncrat membasahi lantai dibarengi oleh jatuhnya tiga bayangan yang menyerang itu, ketika golok ketiga orang ini mengenai sasarannya. Mereka semua memandang dan hampir saja Ting Kwan Ek mengeluarkan seruan keras saking kagetnya ketika melihat bahwa tiga bayangan yang menubruk tadi bukan lain adalah tiga ekor anjingnya yang tadinya menjaga di luar dan yang tadi masih terdengar gonggongannya. Kini tiga ekor anjing itu telah menggeletak di atas lantai dengan tubuh hampir terbelah dua dan darahnya membanjir di tempat itu!
Ting Kwan Ek dan Ouw.Tang Sin cepat menyeret bangkai ketiga anjing itu dan melemparkannya keluar ruangan. Pada saat ituv terdengarlah suara ketawa bergelak dari luar dan muncullah seorang hwesio yang gemuk dan bundar.
“Ha ha ha! Para piauwsu dari Pek-eng Piauwkiok! Kalian semua hanyalah anjing-anjing kaki dua yang pengecut dan nasib kalian takkan jauh bedanya dengan tiga ekor anjing kaki empat itu, Ha ha ha!”
Dengan tenang dan enaknya, hwesio gendut itu memasuki pekarangan depan lalu berjalan melenggang ke ruang depan menghampiri tuan rumah yang sudah siap dan berdiri dengan senjata di tangan itu.
“Hm, yang datang bukankah Ban Im Hosiang ketua dari Thiau-te Sam-kui?" Tanya Lo Beng Tat sambil menenangkan hatinya yang berdebar. "Harap kau suka memandang mukaku, kalau mantuku Ouw Tang Sin telah melakukan pelanggaran, aku sanggup mintakan maaf!"
Hwesio itu tertawa lagi bergelak-gelak, "Lo Beng Tat, kau seorang kepala rampok telah menyerahkan anakmu kepada seorang piauwsu, hal ini sudah amat ganjil dan menunjukan bahwa kau bukan seorang yang dapat dipercaya! Mana ada harimau yang mengawinkan anaknya pada seekor ular yang menjadi musuhnya? Aku tidak mau memandang muka seorang yang tak berharga seperti kau! Pula Pek-eng Piauw-kiok telah menghina Thian-te Sam-kui, maka hari ini harus hancur dan musnah!"
"Hwesio keparat!" Lo Beng Tat yang berwatak kasar itu memaki marah. "Siapa takut padamu? Kau telah memilih jalan Kematianmu."
Sambil berkata demikian Lo Beng Tat memberi tanda dengan tangan kanan dengan mengacungkan goloknya itu kepada Ban Im Hosiang. Pada saat itu terdengarlah bunyi,
"Serr! Serr!!" susul menyusul dari atas genteng karena enam orang di sebelah kiri dan enam orang di sebelah kanan telah melepaskan anak panah ke arah tubuh yang gendut dari Ban Im Hosiang itu.
Hwesio ini terkejut juga, akan tetapi benar-benar mengagumkan gerakannya yang amat tenang dan cepat. Biarpun tubuhnya dan sudah terancam oleh belasan batang anak panah itu, ia masih berlaku sigap sekali. Dengan seruan keras ia mengenjot kakinya dan tubuhnya mumbul bagaikan sebuah balon karet tertiup angin, kemudian ia menarik kedua kakinya ke atas sehingga lututnya menempel pada perutnya dan kedua tangannya yang tertutup oleh lengan baju yang lebar dan panjang digerakkan sedemikian rupa sehingga dua potong lebihan kain itu merupakan segulung sinar putih yang melindungi seluruh tubuhnya.
Lo Beng Tat dan yang lain lain melihat dengan mata terbelalak betapa semua anak panah itu runtuh ke atas lantai ketika terkena sambatan gulungan sinar itu. Lo Beng Tat terkejut cekali dan dengan hati kecut ia melihat hwesio iiu telah turun kembali sambil tertawa bergelak-gelak.
"Ha ha ha! Lo Beng Tat, perampok rendah, Kau tidak malu mempergunakan akal pengecut"
"Hujani anak panah..." teriak Lo Beng Tat ke atas, akan tetapi tidak ada anak panah lagi yang melayang turun, sebaliknya mereka lalu mendengar ribut-ribut di atas genteng.
Tak lama kemudian, nampak tubuh orang dilemparkan dari atas dan ketika tubuh orang-orang itu jatuh berdebuk di atas lantai, ternyata bahwa mereka ini adalah para piauwsu yang tadi membokong dan atas, dalam keadaan tidak bernyawa pula! Dua belas orang piauwsu itu semuanya telah ditewaskan dan kini mayat mereka bertumpuk-tumpuk di depan Lo Beng Tat!
Bukan main kagetnya semua orang menyaksikan pemandangan yang mengerikan ini dan ketika terdengar suara tertawa mengejek dari atas, maka nampaklah berkelebat bayangan Ban Hwa Yong melompat dari atas genteng sebelah kiri dan bayangan Ban Yang Tojin dari genteng sebelah kanan. Ternyata bahwa kedua orang inilah yang telah menewaskan para piauwsu tadi.
Kini Thian-te Sam-kui ketiga iblis itu, lengkap ketiga tiganya telah hadir di situ! Ban Yang Tojin dengan senjatanya tombak berujung bintang di tangan, sedangkan Ban Hwa Yong dengan sepasang senjatanya yang melengkung ujungnya seperti kaitan. Bahkan Ban Im Hosiang sambil tertawa besar juga sudah mengeluarkan senjatanya yang hebat, yakni sebatang pedang perak yang berkilau saking tajamnya.
Merasa bahwa tidak ada gunanya untuk bercakap pula dengan tiga orang musuh yang datang dengan nafsu memburuh ini. Ting piauwsu lalu bersetu keras dan melompat maju, menyerang dengan goloknya. Juga Ouw piauwsu, Lu Kim Bwe, Lo Houw, dan Lo Beng Tat cepat pula maju mengeroyok tiga orang lawan itu.
"Suheng, jangan dirusak bunga indah ini!"
Ban Hwa Yong tertawa berkata kepada kedua suhengnya, kemudian manusia cabul ini lalu menubruk maju menghadapi Lo Kim Bwe yang menyerangnya dengan sepasang goloknya. Sekali saja Ban Hwa Yong menangkis dengan sepasang senjatanya, kedua golok itu terlempar dari tangan Kim Bwe dan sebelum nyonya muda cantik ini sempat mengelak, Ban Hwa Yong telah mengulur tangan kirinya menangkapnya!
Kim Bwe hendak melawan akan tetapi dengan gerakan yang cepat, Ban Hwa Yong sudah menotok pundak nyonya ini sehingga tubuh Kim Bwe menjadi lemas tidak berdaya lagi. Sambil tertawa bergolak Ban Hwa Yong lalu mengalihkan senjata di tangan kanan semua dan menggunakan tangan kirinya untuk memeluk tubuh nyonya itu dan mengempitnya dengan cara yang kurang ajar sekali.
"Bangsat rendah lepaskan isteriku..." Ouw Tang Sio maju menyerangnya dengan golok yang dimainkan secara hebat sekali.
Melihat gerakan ini, Ban Hwa Yong maklum bahwa ilmu golok Ouw piauwsu tak boleh dibuat permainan, maka dengan tangan kanan ia menangkis keras. Biarpun Ouw-piauwsu merasa betapa tangannya sampai tergetar karena tangkisan itu, namun ia masih dapat mempertahankan goloknya dan tidak sampai terlepas. Ia lalu menyerang lagi dengan hebat. Ban Hwa Yong sedang mengempit tubuh Kim Bwe, maka tentu saja gerakannya tidak leluasa lagi dan ia hanya dapat menggerakkan senjatanya menangkis.
"Twa-suheng, tolong bereskan dulu cacing ini“ serunya sambil tertawa dan ketika Ban lm Hosiang menggerakkan pedangnya dari samping, Ouw Tang Sin cepat menangkis pedang yang bersinar terang ini.
"Tranggg...!"
Golok di tangan Ouw Tang Sin terlepas ke atas lantai, bukan golok itu saja, bahkan jaga lengannya yang tadi memegang golok, telah terputus oleh pedang itu sebatas sikunya, Ouw Tang Sio menjerit ngeri dan pada saat itu, Ban Hwa Yong menyusulkan pula dengan serangan senjatanya dan terkaitlah perut Ouw-piauwsu oleh senjata itu. Sekali Ban Hwa Yong menarik tangannya, robeklah perut Ouw-piauwsu, tubuhnya roboh dan menggeletak dengan perut terbuka, tewas pada saat Itu juga.
Sementara itu, setelah menolong sutenya, Ban Im Hosiang dan Ban Yang Tojin mengamuk hebat dan tentu saja para lawannya yang berkepandaian jauh di bawah tingkat kepandaian mereka itu bagaikan rumput kering menghadapi api. Sebentar saja Ting Kwan Ek terguling mandi darah, demikian pula Lo Houw dan Lo Beng Tat. Belum sampai dua puluh jurus, seluruh isi rumah dan pemimpin Pek-eng Piauwkiok telah tewas semua, kecuali Kim Bwe yang masih dikempit oleh lengan kiri Ban Hwa Yong.
Tiga Iblis Bumi Langit ini lalu melakukan perampokan, mengambil semua barang berharga, bahkan lalu membunuh semua orang yang berada di dalam rumah itu! Celakalah nyonya Ting dengan anak-anakya, karena nyonya ini biarpun telah dibujuk oleh suaminya, tetap tidak mau meninggalkan rumah itu.
Ketika Ban Hwa Yong melihat nyonya Ting, timbul pula pikiran jahatnya untuk menculik nyonya yang muda dan manis Ini, akan tetapi nyonya Ting melakukan perlawanan hebat sehingga ia lalu dibunuh berikut anak-anaknya yang masih kecil. Benar-benar musnah dan hancur lebur Pek-eng Piauwkiok, cocok dengan ancaman tiga orang Iblis jahat itu. Benar-benar mengerikan sekali! Tidak kurang dari dua puluh orang melayang nyawanya di dalam tangan Thian tu Sam-koi!
Sambil tertawa-tawa, rnembawa hasil rampokan dan menculik Kim Bwe, tiga orang manusia yang berhati iblis itu meninggalkan rumah itu dan dengan cepatnya melarikan diri keluar kota Hun - leng. Para tetangga yang mendengar teriakan - teriakan dan pertempuran itu, cepat menyembunyikan diri dan biarpun keadaannya sudah sunyi, mereka masih tidak berani keluar dari pintu.
********************
Belum lama setelah ketiga orang iblis itu pergi, nampak bayangan yang ramping dan gesit melompat memasuki pekarangan Pek-eng Piauwkiok. Bayangan ini adalah Eng Eng yang hendak mengambil pakaiannya lebelum melanjutkan perjalanannya. Ia merasa heran melihat keadaan yang amat sunyi di sekitar rumah itu, dan ketika ia memasuki ruangan depan gadis ini berdiri terbelalak bagaikan patung. Ia melihat tumpukan tubuh manusia yang sudah menjadi mayat dan darah memenuhi ruangan itu!
Ketika melpat para piauwsu, Lo Beng Tat, Lo Houw, dan Ouw Tang Sin menggeletak menjadi mayat hatinya tidak merasa apa paa, akan tetapi ketika ia melihat Ting Kwan Ek berada di situ pula rebah mandi darah dengan tangan kanan masih memegang goloknya bukan main kagetnya.
"Ting-twako...” serunya dan cepat. Ia melompat ke dekat tuouh Ting piauwsu. Dilihatnya Ting piauwsu membuka mata dan menggerak-gerakkan bibirnya.
"Ting-twako, siapa yang melakukan perbuatan ini?" tanya Eng Eng sambil berjongkok di dekat tubuh orang yang bernasib malang itu.
Ting Kwan Ek masih dapat menggerakkan bibirnya dengan amat lemah, dan akhirnya dapat juga bibir itu mengeluarkan kata kata yang perlahan sekail,
"Thian-te Sam-kui!"
Setelah berkata demikian agaknya ia telah mengerahkan tenaganya terlalu banyak untuk menahan nyawanya, maka tiba-tiba ia menjadi lemas dan menghembuskan nafas yang terakhir!
Mengalirlah air mata dari kedua mata Eng Eng. Ia teringat kepada suhunya yang meninggal dunia. Di dalam dunia ini, baginya hanya Ting Kwan Ek dan isterinya yang dianggap sebagai manusia-manusia baik dan sayang kepadanya. Eng Eng mengambil colok yang masih dipegang oleh tangan Ting Kwan Ek, lalu katanya penuh kegemasan.
"Ting-twako, aku akan membunuh tiga iblis itu dengan golokmu ini!"
Setelah berkata demikian, ia lalu melompat ke dalam rumah dan melihat nyonya Ting menggeletak di dekat anak-anaknya yang semuanya telah menjadi mayat. Eng Eng menubruk mayat nyonya Ting dan menangis tersedu-sedu. Baru kali ini selama hidupnya Eig Eng merasa amat sedih dan hancur hatinya. Kembali la berjanji kepada nyonya Ting untuk membunuh tiga iblis jahat itu. Kemudian setelah mengambil bungkusan pakaiannya, Eng Eng lalu melompat keluar dari rumah itu dan berlari cepat sekali memasuki hutan.
Dia berlari cepat sekali sehingga setelah mata hari naik tinggi, ia telah memasuki hutan ke tiga di atas pegunungan yang indah pemandangannya. Dasar sudah menjadi nasib orang kedua dari Thian-te Sam-kui, atau memang karena dosa-dosanya sudah bertumpuk-tumpuk, maka orang kedua itu, yakni Ban Yang Tojin, telah memisahkan diri dari kedua orang saudaranya dan berada di dalam hutan itu.
Demikianlah ketika Ban Yang Tojin sedang berjalan di dalam hutan itu, hendak pergi ke kota Tit-le di mana tinggal seorang sahabatnya tiba-tiba bayangan seorang yang ramping tubuhnya tahu-tahu telah berkelebat dan telah berdiri di depannya!
Ban Yang Tojin terkejut dan heran melihat seorang gadis cantik dan gagah sekali telah berdiri di depannya dengan memegang sebatang golok besar. Tojin itu biarpun tidak tergila-gila wanita seperti sutenya, Ban Hwa Yang akan tetapi melihat dara muda yang cantik sekali ini mau tak mau ia memandang dengan mata terbelalak kagum. Sebelum ia sempat bertanya, gadis itu telah mendahuluinya dan bertanya dengan suaranya yang merdu dan nyaring sekali,
"Orang tua, siapakah kau dan kenalkah kepada Thian-te Sam-kui?"
Ban Yang Tojin tercengang, akan tetapi ia lalu tersenyum girang. Ia pikir bahwa gadis ini tentulah telah mendengar dan mengagumi nama dia dan kedua saudaranya dan kini mencari untuk minta menjadi murid. la lalu tertawa bergolak sambil mendongakkan kepala ke atas, komudian la berkata,
"Nona, kau mencari tiga orang gagah itu? Ha, ha, ha! Tidak jauh ! Aku adalah Bin Yang Tojin, orang ke dua dari Thiante Sam-kui (Tiga iblis Bumi Langit)! Kau mencari kami apakah hendak belajar ilmu ulat? Kebetulan sekali, nona, aku memang sedang mencari murid yang cocok, dan agaknya kau lah yang patut menjadi muridku!"
Mendengar suara tosu ini. Eng Eog memandang tajam dan teringatlah ia kini bahwa tosu ini adalah tosu yang pernah bertempur dengan dia dan bahkan telah ia kalahkan ketika ia membantu Ting Kwan Ek! Mendengar ucapan totu itu, diam-diam ia menjadi geli, karena ternyata bahwa tosu ini tidak mengenalnya lagi. Dulu ketika ia bertempur dengan Ban Yang Tojin, ia mengenakan pakaian seperti seorang pemuda, dan tentu saja tosu itu tidak mengenalnya yang kini telah berubah menjadi seorang gadis!
Akan tetapi, berbareng dengan kegelian hatinya, iapun merasa marah sekali karena kalau saja ia tidak lupa akan muka tosu ini dan tahu bahwa inilah orangnya yang menjadi biang keladi kebinasaan seluruh keluarga Pek-ong Piauwkiok, tentu ia tak perlu bertanya lagi.
"Bagus sekali" Serunya dengan wajah berubah merah saking marahnya, "Jadi kau sengaja menanti di sini untuk menunggu aku mengambil nyawamu? Mana kedua orang saudaramu agar aku dapat membasmi sekalian?" Sambil berkata demikian, Eng Eng lalu menggerakkan goloknya dan sambil menyerang dengan hebatnya!
Tentu saja Ban Yang Tojin menjadi sangat terkejut. Akan tetapi la masih memandang rendah kepada gadis cantik ini dan cepat ia mengelak. Alangkah terkejutnya ketika golok di tangan nona itu biarpun sudah dapat menghindarkannya namun dilanjutkan pula dengan serangan menyerong yang amat berbahaya. Tosu ini cepat melempar tubuhnya ke belakang menggunakan gerak loncat Kera Tua Melompati Cabang dan hampir saja ujung golok memakan tubuhnya. Keringat dingin keluar dari jidatnya dan cepat tosu itu lalu mencabut senjatanya yang istimewa, yakni tongkat runcing yang berbintang ujungnya.
"Eh eh, siapakah kau dan kenapa kau menyerangku tanpa sebab?”
"Tidak ada hal yang tak bersebab," jawab Eng Eng tenang, "lupakah kau kepada Pek-eng Piauwkiok yang baru saja kaubinasakan secara keji? Dan lupakah kau pula ketika golokku masih memberi ampun kepadamu, tidak memenggal lehermu, akan tetapi hanya melukai pundakmu? sekarang aku tidak menghendaki sedikit kulit pundakmu, melainkan menghendaki kepalamu"
Eng Eng lalu menyerbu lagi dan Ban Yang Tojin tidak mendapat kesempatan barang sedikitpun untuk mengeluarkan seruan heran dan terkejut. Ia kini teringat lagi dan terbukalah bahwa gadis ini adalah pemuda yang dulu pernah melukainya dan yang membantu Ting Kwan Ek
"Perempuan rendah! Jadi kaukah orangnya yang dulu membantu anjing she Ting? Bagus, kau telah menyerahkan diri tanpa dicari lagi!"
Memang tosu ini merasa amat benci dan dendam terhadap pemuda yang telah melukainya dan semenjak dia dikalahkan oleh Eng Eng tosu ini lalu melatih diri dan terutama sekali ia melatih ilmu pukulan Pek-lek-ciang dengan tekunnya. Tenaga lweekang kakek ini sekarang jauh lebih tinggi dan kuat daripada dulu, sedangkan ilmu pukulannya Pek-lek-ciang benar - benar amat berbahaya. Ia dapat merobohkan lawan dari jarak jauh hanya dengan hawa pukulannya ini...