PEDANG ULAR MERAH JILID 05
Akan tetapi, setelah mereka bertempur belasan jurus lamanya, tahulah Ban Yang Tojin bahwa dalam hal ilmu mainkan senjata la masih jauh berada di bawah tingkat gadis aneh ini. Sepasang tombak bintangnya sama sekali tidak berdaya dan belum juga dua puluh jurus mereka bertempur, ia tidak kuasa menyerang lagi. Gerakan golok di tangan gadis itu benar-benar aneh dan luar biasa sekali, sukar diikuti oleh pandangan mata dan sukar pula diduga ke mana perobahan gerakannya.
la hanya dapat melindungi tubuhnya dengan sepasang tombaknya dengan jalan memutarnya secepat mungkin, merupakan benteng yang kuat. Agaknya gulungan sinar golok di tangan Eng Eng merupakan halilintar yang hendak memecah dan menembus awan dari gerakan sepasang tombak bintang. Golok itu berkelebat-kelebat ke atas, ke bawah, dari kanan dan kiri, pendeknya amat sukar dijaga.
Ban Yang Tojin tidak sempat mempergunakan ilmu pukulan Pek-lek-ciang yang diandalkannya, karena gadis itu tidak memberi kesempatan scdikitpun juga kepadanya. Tosu ini memutar otak, mencari jalan keluar dari pada kepungan sinar golok ini. Pada saat sinar golok Eng Eng menyambar ke arah mukanya dengan cepat Ban Yang Tojin menggerakkan kedua tombaknya yang berbintang, dengan gerak tipu Orang Tua Menutup Pintu, la berhasil menjepit golok lawannya, ia mengerahkan tenaga Iweekangnya untuk mematahkan golok di tangan gadis itu, lalu menggerakkan sepasang senjatanya untuk diputar sedemikian rupa supaya gadis itu melepaskan goloknya.
Akan tetap, tiba-tiba Eng Eng berseru keras sekali dan tenaga yang luar biasa dahsyatnya keluar dari golok yang terpegang oleh Eng Eng. Kini gadis inilah yang menguasai keadaan dan Eng Eng membalas gertakan lawan, mempergunakan tenaga menempel lalu memutar goloknya cepat sekali dari kanan ke kiri!
Ban Yang Tojin tak dapatt mempertahankan serangan ini dan sepasang senjatanya ikut berputar, kemudian dengan mengeluarkan suara keras, sepasang tombak berbintang ini patah menjadi empat potong. Bukan main marahnya tosu itu. Ia menyambitkan sepasang senjatanya yang tinggal gagang itu ke arah lawannya akan tetapi dengan amat mudahnya Eng Eng mengelak dan kemudian goloknya diputar amat cepatnya menyerarg Ban Yang Toiin dengan gerak gerak tipu yarg paling lihai!
Tadi ketika masih memegang sepasang senjata saja tosu itu sudah terdesak hebat dan tidak mampu mengimbangi permainan golok Eng Eng apa lagi sekarang satelah bertangan kosong! Ia berusaha hendak melarikan diri, akan tetapi sinar golok gadis lihai itu mengurungnya rapat-rapat dan tidak memberi jalan keluar sama sekali. Karenanya Ban Yang Tojin lalu berlaku mati-matian, dan sambil mengelak dan melompat ke sana ke mari, ia berusaha untuk melancarkan terangan pukulan Pek-lek-ciang yang hebat.
Betapapun tinggi ilmu kepandaian Eng Eng gadis ini belum mempunyai banyak pengalaman bertempur dan ia tidak dapat menduga bahwa lawannya yang sudah tidak berdaya ini masih memiliki kepandaian simpanan yang jahat dan berbahaya sekali, maka ia berlaku lalai. Ia terlalu girang karena sudah hampir berbasil membunuh seorang di antara musuh-musuh Ting Kwan Ek, membalaskan sakit hatinya, dengan seruan keras gadis Ini lalu menyerang dengan sabetan golok dari atas ke arah kepala lawannya, la hendak membelah kepala tosu itu menjadi dua.
Gerakan ini cepat sekali dan biarpun Ban Yang Tojin cepat mengelak, golok itu masih menyembur hebat ke arah pundaknya. Di dalam keadaan berbahaya dan tidak berdaya itu, Ban Yang Tojin lalu melakukan serangan balasan mati-matian dan tangan kanannya lalu mengerahkan pukulan Pek-lek-ciang yang dilakukan dengan sepenuh tenaganya!
Akibatnya hebat sekali untuk kedua fihak. Terdengar Ban Yang Tojin memekik ngeri dan lengan kirinya sebatas pundak terbabat putus. Akan tetapi, tangan kanannya yang dipukulkan dengan gerakan mendorong ke arah dada Eng Eng juga mendapat hasil baik. Biarpun tangan itu tidak sampai menyentuh dada gadis itu, namun hawa pukulannya yang hebat itu telah menghantam dengan telak sekali, sehingga Eng Eng terjengkang ke belakang, goloknya terlepas dan pegangan dan setelah terhuyung-huyung, Eng Eng bergelimpangan di atas tanah dalam keadaan pingsan!
Hampir eaja Ban Yang Tojin tak dapat menahan rasa sakitnya. Darah mengucur bagaikan pancuran dari pundak kirinya yang telah tak berlengan lagi itu. Akan tetapi, sambil menggigit bibirnya hingga berdarah dalam menahan rasa sukitnya, tosu ini masih cukup bertenaga untuk mengambil golok Eng Eng yang terlempar ke atas tanah dan bermaksud hendak membacok tubuh bekas lawannya itu.
Akan tetapi pada saat itu, terdengar teriakan dari jauh aan nampak sesosok bayangan orang yang amat cepat berlari bagaikan terbang menuju ke tempat itu. Ban Yang Tojin merasa khawatir kalau kalau orang itu merupakan musuh, maka tanpa banyak cakap lagi ia melarikan diri pergi dari situ, meninggalkan tubuh Eng Eng yang masih menggeletak pingsan, dan meninggalkan juga lengan kirinya yang sudah putus!
Bayangan ini adalah seorang pemuda yang berwajah tampan sekali. Pakaiannya berwarna biru muda dengan leher dan pinggir lengan baju warna putih, ikat kepala berwarna merah. Karena pakaiannya itu terbuat dari pada sutera halus, maka ia nampaknya makin cakap dan mewah. Di pinggangnya tergantung gagang pedang yang berukir gambar liong yang indah sekali.
Ketika pemuda ini melihat berkelebatnya tubuh seorang tosu yang putus lengan kirinya, ia hendak mengejar, akan tetapi tiba-tiba ia melihat Eng Eng yang menggeletak di atas rumput seperti majat. Ia menahan kakinya dan matanya teibelulak kagum memandang ke arah wajah yang jelita dan tubuh yang ramping mengulurkan hati itu. Ia menghampiri lalu berlutut di dekat tubuh gadis itu.
Ketika melihat muka yang pucat dan pakaian Eng Eng di bagian dada remuk dan robek, ia menjadi terkejut sekali. Tanpa ragu-ragu ia]u diangkatnya tubuh itu dan dibawanya ke dalam hutan itu, di mana terdapat sebuah bangunan bobrok bekas sebuah kuil tua. Ia memondong tubuh gadis itu ke dalam kuil dan meletakkan di atas lantai yang bersih Tempat ini memang menjadi tempat tinggalnya sementara ia berada ditempat itu.
"Ah, kasihan." bisiknya perlahan, "pukulan Pek-lek-ciang! Sungguh jahat sekali"
Kemudian dengan jari-jari tangan gemetar, pemuda itu lalu merobek baju Eng Eng untuk memeriksa luka akibat pukulan Pek-lek-ciang yang lihai. Kulit tubuh gadis itu hanya nampak merah saja, akan tetapi pemuda ini cukup maklum bahwa gadis yang mempunyai wajah seperti bidadari dan potongan tubuh luar biasa indahnya ini telah menderita pukulan dan terluka di sebelah dalam! Ia memeriksa dada gadis itu dan tak lama kemudian terlihat ia berkelebat keluar dari kuil bobrok itu dan masuk ke dalam hutan. Ia mencari-cari dan setelah matahari sudah condong ke barat, nampak ia kembali ke kuil membawa banyak sekali daun-daun obat
Ternyata Eng Eng masih belum siuman dari pingsannya, dan pemuda itu dengan cekatan sekali lalu memeras daun-daun itu dengan kedua tangannya, memberi minum perasan daun obat itu kepada Eng Eng dengan paksa, Lalu ampas daun itu ditempelkannya ke atas dada Eng Eng yang nampak merah. Kemudian ia lalu mengurut dan menotok jalan darah di pundak dan punggung gadis itu. Semua ini dilakukan dengan tangan gemetar, dada berdebar dan kadang-kadang la meramkan kedua matanya, tidak tahan ia melihat keindahan tubuh yang nampak di depan matanya!
Iblis adalah menggoda atau pembujuk hati manusia dan dia akan selalu akan muncul dan menggoda manusia apabila manusia itu sedang berada di tempat sunyi, berada seorang diri dan terutama sekali apabila manusia itu sedang menghadapi atau melihat sesuatu yaog merangsang atau menarik hatinya. Oleh karena tahu akan sifat sifat iblis penganjur segala kejahatan dunia ini Nabi LOCU pernah bersabda demikian:
"Jangan memperlihatkan sesuatu yang merangsang dan menimbulkan nafsu, agar manusia tidak tergoda hatinya!"
Dan juga Nabi KHONG CU pernah bersabda;
"Berhati-hatilah apabila kau sedang berada seorang diri"
Memang, tepat sekali wejangan - wejangan ini bagi manusia untuk ingat bahwa pikiran-pikiran dan nafsu-nafsu timbul waktu berada seorang diri dan menghadapi sesuatu yang neutmbulkan nafsu. Amatlah berbahaya bujukan iblis pada saat-saat seperti itu.
Apalagi kalau orang ysng terbujuk itu tidak memiliki iman yang kuat, dan kesadarannya akan baik dan buruk sudah menyuram. Nafsu yang dibangkitkan oleh iblis akan sedemikian kuatnya sehingga ia tidak memperdulikan lagi akan segala pelanggaran, tidak perduli akan prikemenusiaan, dan ia akan menjadi buta dan lupa daratan karena dipengaruhi oleh nafsu.
Pemuda baju biru itupun demikian. Setelah ia berhasil mengobati Eng Eng, melihat wajah yang cantik jelita itu, melihat bagian tubuh yang menggiurkan hatinya, ia tidak dapat menahan bujukan iblis. Ia lupa segala telinganya penuh oleh pendengaran suara iblis yang terdengar merdu sekali, bagaikan telinga seorang pemabok mendengar musik. Matanya seakan-akan tidak sewajarnya lagi, bagaikan mata seorang yang sedang kelaparan melihat roti atau lebih tepat lagi, seperti mata seekor anjing kurus melihat tulang.
Harus dikasihani nasib Eng Eng. Dalam keadaan pingsan dan terluka ia bertemu dengan seorang penolong yang ternyata merupakan seorang pemuda yang lemah iman, seorang yang telah lupa akan asal mulanya yang suci murni. Menjelang tengah malam, Eng Eng siuman dari pingsannya. Ia terkejut sekali ketika melihat bahwa ia berada dalam pelukan seorang laki-laki!
Tempat itu diterangi oleh api unggun yang bernyala dari setumpuk kayu kering sehingga ia hanya melihat samar-samar wajah seorang laki laki muda yang amat tampan, seorang pemuda yang berkulit muka putih, bermata tajam, berbibir merah dan berpakaian biru muda! Kemudian gadis ini roboh pingsan lagi, tidak kuat menahan pukulan bhatin yang luar biasa, malapetaka yang datang kepadanya, yang lebih mengerikan dan pada maut sendiri!
Perguruan silat Kim-liong-pai terletak di puncak Gunung Liong-san dan nama Kim-liong-pai sudah amat terkenal di dunia persilatan sebagai cabang ilmu silat yang luar biasa. Dulu ketika ketua Kim-liong-pai masih berada di tangan seseorang yang luar biasa yang berjuluk Bu beng Siansu, cabang persilatan ini boleh dibilang menjagoi seluruh kangouw, tidak kalah terkenalnya dengan cabang-cabang ilmu silat lain seperti Kun-lun-pai atau Go-bi pai yang besar.
Semenjak Bu Beng Siansu lenyap dari permukaan bumi, tak seorangpun mengetahui di mana adanya kakek sakti itu yang telah mencuci tangan dan tidak mau mencampuri urusan dunia, maka Kim-liong-pai jatuh ke tangan anak muridnya.
Pada waktu cerita ini terjadi, Kim-liong-pai dipimpin oleh cucu murid Bu Beng Siansu yang hidup sebagai seorang tosu (Pendeta Agama To) dan sudah berjuluk Lui Thian Sianjin pada waktu mudanya Lui Thian Sianjin mempunyai belasan orang anak murid. Akan tetapi ketika beberapa orang di antara murid-muridnya itu melakukan pelanggaran dan penyelewengan, ia menjadi marah dan putus asa.
Dibubarkannyalah murid muridnya itu dan masih baik bahwa mereka itu mempelajari ilmu pedang Kim liong-pai yang disebut Ang-coa-kiamsut (Ilmu Pedang Ular Merah) sebanyak enam puluh bagian saja! Ang- coa-kiamsut adalah ilmu pedang warisan dari Bu Beng Siansu, dan ilmu pedang ini terkenal sebagai raja ilmu pedang di seluruh dunia kangouw.
Tidak mudah untuk mempelajari ilmu pedang ini, oleh karena gerakannya amat sulit dan perkembangannya amat luas pula untuk dapat mainkan Ang-coa-kiamsut orang harus lebih dulu memiliki ginkang dan lweekang tingkat tinggi. Bahkan Lui Thian Sianjin sendiri hanya dapat mewarisi delapan puluh bagian dari Bu Beng Siansu sucouw (guru besar) Kim-hong-pai ia mendapat tinggalan kitab ilmu pedang itu, namun tetap saja ia tidak dapat mewarisi seluruhnya.
Setelah bertahun-tahun tiduk mau menerima murid, ketika berusia lima puluh tahun lebih, diam-diam Lui Thian Sianjin merasa gelisah sendiri. Dari suhunya, ia dulu pernah mendapat pesan bahwa sebelum mati ia harus dapat mewariskan Ang-Coa-Kiamsut kepada seorang murid yang benar-benar baik. Akhirnya ia mulai mercari murid lagi dan kini ia memilih dengan amat hati-hati.
Akhirnya ia menemukan sepasang anak kembar yang baru berusia lima tahun, dari keluarga Sim yang telah tewas semua karena pemberontakan. Kedua anak itu adalah anak laki-laki, bernama Sim Tiong Han dan Sim Tiong Kiat, ia mengambil kedua orang anak yang dilihatnya berbakat baik ini, lalu melatihnya ilmu silat.
Selain kedua orang anak kembar ini, Lui Thian Sianjin juga mengambil seorang murid perempuan yang bernama Can Kui Hwa. Usianya ini sebaya dengan Sim Tiong Kiat, dan juga memiliki bakat yang luar biasa. Can Kui Hwa adalah anak dari seorang murid Kim-liong-pai juga yang bernama Can Kong dan yang kini menjadi guru silat di kota Sam koan. Empat belas tahun kemudian, ketiga orang anak ini telah menjadi dewasa.
Kalau orang tidak mempunyai perhubungan dekat dengan sepasang pemula kembar itu, akan amat sukarlah baginya untuk membedakan. Keduanya sama benar, baik wajah maupun bentuk badan. Sama tampan, bermuka putih dengan mata tajam dan bibir merah, alis mata tebal dan pantang. Ada sedikit tanda pada Tiong Kiat yang menjadi tanda pengenal, yakni sebuah tahi lalat kecil hitam di atas dagunya, tepat di bawah bibir.
Juga watak kedua orang ini jauh berbeda. Tiong Iian yang lebih tua beberapa jam dari adiknya berwatak pendiam dan lemah lembut. Sebaliknya, Tiong Kiat jenaka, gembira, juga nakal sekali. Semenjak kecilnya, seringkali Tiong Kiat menggoda kakaknya, akan tetapi Tiong Han yang amat mencinta adiknya selalu mengalah.
Namun, di dalam pelajaran ilmu silat Tiong Kiat lebih maju daripada kakaknya. Memang anak ini luar biasa sekali bakatnya dalam hal ilmu silat. Harus diakui bahwa kecerdikannya tidak melebihi Tiong Han, namun agaknya ia berdarah ahli silat, karena gerakannya demikian lemas dan cepat. Ini pula yang membuat Lui Thian Sianjin amat sayang kepadanya, sungguhpun seringkali kakek ini termenung dan mengerutkan keningnya, karena ia masih meragukan watak daripada Tiong Kiat. Tidak seperti Tiong Han, kakek ini sudah menaruh kepercayaan sepenuhnya.
Juga Kui Hwa memiliki bakat yang amat baik, sungguhpun ia tidak dapat mengimbangi bakat Tiong Han, apalagi kalau dibandingkan dengan Tiong Kiat, ia kalah jauh. Setelah dewasa ia menjidi seorang gadis yang cantik manis. Sikapnya gembira dan jenaka seperti Tiong Kiat, sehingga kedua anak ini menjadi sahabat baik. Perhubungan gadis ini terhadap Tiong Kiat jauh lebih erat apabila dibanding, kan dengan hubungannya terhadap Tiong Han.
Setelah mendapat gemblengan ilmu ailat selama empat belas tahun, kepandaian ilmu silat dan ilmu pedang ketiga orang murid itu mencapai tingkat tinggi. Lebih-lebih Tiong Kiat, ia telah mewarisi ilmu pedang Ang coa kiamsut sampai tujuh puluh bagian lebih, sedangkan Kui Hwa hanya memiliki lima puluh bagian, sedangkan Tiong Han sendiri paling banyak hanya mewarisi enam puluh bagian.
Di dalam latihan nampak sekali perbedaan itu, baik Tiong Han maupun Kui Hwa tidak dapat mengimbangi permainan pedang Tiong Kiat yang luar biasa. Tentu saja suhu mereka menjadi girang sekali, merasa bahwa ia telah cukup mewariskan ilmu pedang itu dan karenanya Kim-liong-pai tak usah dikhawatirkan lagi akan tinggal nama saja!
Akan tetapi, kadang-kadang ia merasa gelisah dan berdebar dadanya kalau ia melihat Tiong Kiat, karena bagaimanakah kelak kalau ternyata ia salah pilih. Siapa yang akan dapat memasang kendali pada hidungnya atau dengan lain kata-kata siapa yang akan dapat menundukkannya?
Dan apa yang dikuatirkan oleh kakek ini terbukti. Setelah dewasa dan ingin agar supaya ilmu pedang Ang coa.kiamsut tidak sampai terpecah-pecah, Lui Thian Sianjin mengusulkan agar supaya Tiong Han dijodohkan dengan Kui Hwa ! Pemuda itu karena sudah tiada ayah bunda lagi, hanya menyerahkan nasibnya kepada suhunya yang amat dihormatinya, adapun ayah Kui Hwa, yakni Can Kong beserta isterinya, juga tidak keberatan.
Akan tetapi, beberapa bulan kemudian, terjadilah peristiwa yang amat menggemparkan itu! Peristiwa yang amat menyedihkan hati Lui Thian Sianjin, menghancurkan hati Tiong Han, dan memarahkan hati Can Kong. Dengan cara yang tidak tahu malu sekali, Tiong Kiat telah melarikan diri bersama dengan sumoinya, yakni Kui Hwa! Dan yang lebih hebat lagi, adalah kedua orang muda ini telah menyikat pedang mustika yang menjadi barang pusaka di Kim liong-pai, yakni pedang Ang-coa-kiam (Pedang Ular Merah) warisan dari Bu Beng Siansu, guru besar dari Kim-liong-pai.
Lui Thian Sianjin ketika membaca surat yang ditinggalkan oleh Tiong Kiat yang menyatakan bahwa ia dan sumoinya telah bosan tinggal di gunung itu dan ingin merantau bersama serta membawa pedang pusaka dengan menyatakan bahwa ia sebagai murid terpandai berhak untuk memiliki pedang itu, kakek ini duduk bagaikan patung, mukanya pucat dan napasnya memburu! Yang lebih hebat lagi adalah sedikit 'embel-embel' dalam surat itu bahwa tak perlu orang mencari mereka, karena mereka sudah saling mencintai
Tiong Han cepat membujuk suhunya agar suka bersabar dan menenangkan pikiran. "Sudahlah, suhu, harap jangan banyak berduka dan marah. Adikku itu masih amat muda dan masih hijau sehingga ia mudah dikuasai oleh nafsu. Ampunkanlah dia suhu." Pemuda ini berkata dengan mata basah.
Tosu itu memandang kepada Tiong Han dengan mata heran hampir ia tidak percaya akan pendengarannya. "Apa...?" Katanya dengan suara parau. "Kau... kau yang dihina dan diperlakukan seperti itu, kau masih minta ampun untuknya...?"
Tiong Han menundukkan mukanya. "Dia adalah adikku suhu, orang satu-satunya di dunia harus teecu cinta, sayang, dan bela."
"Dan... tunanganmu...? Ah, Tiong Han benar-benar kau lebih berhasil menguasai hati dan perasaan dari pada aku yang sudah tua bangka. Tidak sakitkah hatimu karena tunanganmu dibawa pergi oleh adikmu sendiri?"
Tiong Han menggelengkan kepalanya dan walaupun mukanya berobah pucat la menjawab dengan tenang, "Tidak, suhu. Hal ini tidak mengherankan teecu."
Kakek itu berdiri dari duduknya. "Apa katamu...? Jadi kau sudah tahu akan hal busuk dan memalukan itu? Dan kau diam saja tidak memberitahukan kepadaku?"
Tiong Han melihat suhunya menjadi marah, lalu menjatuhkan diri dan berlutut. "Suhu, ampunkan adik Tiong Kiat. Sesungguhnya... sudah sebulan yang lalu teecu tanpa disengaja melihat perhubungan erat antara Tiong Kiat dan sumoi. Dan... dan... agaknya karena teeecu telah mengetahui akan hubungan rahasia mereka itulah yang membuat meteka pagi hari ini melarikan diri. Hanya satu hal yang teecu sayangkan, mengapa Tiong Kiat begitu sembrono membawa pergi pedang pusaka Ang-coa-kiam."
Lui Thian Sianjin membanting-banting kakinya. "Gila... Gila...! Mengapa aku seperti buta mataku? Semenjak dahulu aku sudah ragu-ragu dan menaruh hati curiga terhadap watak adikmu! Sekarang... ah, Tiong Han, hanya kaulah yang dapat menolongku. Hanya kau satu-satunya orang yang akan dapat membelaku dan membuat aku dapat meninggalkan dunia ini dengan rela."
"Apakah maksud ucapan suhu ini?"
"Bersumpahlah, muridku, bersumpahlah dengan saksi bumi dan langit! Bersumpahlah bahwa kau akan menjunjung tinggi nama Kim-liong-pai, akan berlaku sebagai seorang pendekar gagah yang menjunjung tinggi kebajikan, prikemanusiaan dan membela keadilan."
"Teecu bersumpah untuk melakukan semua nasihat suhu itu."
"Dengarlah kau harus bersumpah untuk memenuhi dua macam tugas berat yang harus kau lakukan, baik sewaktu aku masih hidup maupun sesudah aku mati."
"Teecu bersedia untuk bersumpah, harap suhu beritahukan apakah adanya dua macam tugas itu."
鈥淧ertama, kau harus berusaha dan mencari atau merampas kembali sampai dapat pedang Ang-coa-kiam dari tangan Tiong Kiat dan membawa pedang itu ke mana juga kau pergi, menjaga dengan seluruh kehormatan."
"Bagaimana teecu dapat melakukan hal ini, suhu? Suhu maklum sendiri bahwa ilmu kepandaian Tiong Kiat masih lebih tinggi dari pada teecu, apalagi karena sekarang ia telah memiliki pedang Ang coa . kiam. Bagaimana teecu dapat memenuhi tugas ini dan merampas pedang pusaka Ang-coa kiam!"
"Bersumpah lah dulu bahwa kau mau melakukan hal itu!" kata Lui Thian Sianjin tidak sabar. "Hal kekalahanmu terhadap dia mudah dibicarakan kemudian."
"Baiklah, suhu, teecu bersumpah bahwa tecu akan mencari dan merampas pedang Ang-coa-kiam sampai dapat. Teecu takkan berhenti berusaha sebelum pedang itu dapat terampas oleh teecu"
"Bagus, itu sumpah pertama, kau harus mendapatkan kembali pedang itu agar nama Kim-liong-pai jangan sampai ternoda karena orang telah menyalah gunakan pedang pusaka itu. Dan sumpah kedua, kau harus mencari dan membunuh Sim Tiong Kiat!"
Pucatlah muka Tiong Han mendengar permintaan suhunya ini. Ia memandang kepada suhunya dengan mata terbelalak dan tak dapat menjawab, hanya menggeleng-gelengkan kepalanya saja.
"Tiong Han! Ucapkanlah sumpahmu!"
"Ti... dak... suhu... teecu tak dapat melakukan hal ini! Teecu tidak sanggup"
Setelah berkata demikian Tiong Han lalu menjatuhkan mukanya di atas tanah dan meratap serta mintakan ampun untuk adiknya. Sungguh harus dikasihani pemuda yang berhati penuh kasih sayang terhadap adik kembarnya ini. Air matanya membasahi seluruh mukanya dan karena ia membentur-benturkan jidatnya di atas tanah, maka mukanya kini menjadi kotor.
"Tiong Han!" suhunya membentak marah. "Kalau aku tidak sudah tua dan kekurangan tenaga, pasti aku sendiri yang akan kurun gunung dan mencari murid murtad itu untuk kubunuh sendiri! Akan tetapi, di Kim-liong-pai kini tinggal kaulah ahli waris satu-satunya yang kiranya kuat dan dapat melakukan tugas ini!"
Sampai beberapa lama tidak terdengar pemuda itu berkata kata, hanya ia menangis terisak-isak seperti seorang anak kecil. Ia tak kuasa membuka mulut, bagaimanakah la dapat membunuh Tiong Kiat? Bagaimana ia dapat bertega hati membunuh adiknya yang dikasihinya sepenuh hati dan jiwanya? Tiong Kiat merupakan sebagian dari pada tubuhnya sebagian daripada nyawanya!
"Ampun, suhu... ampunkanlah teecu dan ampunkan adikku Teecu tidak sanggup, tidak sampai hati melakukan tugas ini dan apakah dosa Tiong Kiat maka harus dibunuh? Terhadap Kim-liong-pai, kesalahannya hanya mencuri pedang pusaka, tidak cukupkah kalau teecu bersumpah mengambil kembali pedang itu? Ampunkanlah dia suhu!"
"Tiong Han, kau terlalu lemah! Kau bilang Tiong Kiat tidak begitu besar salahnya terhadap Kim-liong-pai? Soal pedang bukanlah soal terutama, akan tetapi yang paling hebat adalah perbuatannya yang melanggar adat, melanggar kesopanan, melanggar prikemanusiaan melanggar prikebajikan. Dia sudah berani membawa lari tunangan kakaknya apakah kau mau bilang bahwa manusia macam itu tidak seharusnya dibunuh?"
"Suhu, beribu ampun apabila pendapat tecu lain dengan pendapat suhu. Bukan sekali-kali teecu membutakan mata dan membela adik sendiri tanpa alasan. Memang sesungguhnya pembuatan Tiong Kiat yang melarikan sumoi itu amat tidak sopan dan kurang ajar. Akan tetapi, siapakah yang tak terluka hatinya oleh perbuatan ini? Siapakah yang terhina dan siapa pula yang dirugikan? Kalau ada orang yang seharusnya merasa sakit hati, maka orang itu hanya teeculah. Akan tetapi, suhu, teecu tidak merasa sakit hati kepadanya teecu tidak merasa terhina, bahkan teecu dengan rela hati mengalah, biar sumoi menjadi jodoh Tiong Kiat, sudah cukup cocok dan pantas! Biarlah, hitung-hitung teecu mencarikan jodoh untuk adik teecu, apa salahnya? Bukankah dengan demikian tidak ada urutan sakit hati lagi, tidak ada keharusan hukuman mati terhadap Tiong Kiat?"
Pemuda itu berbicara dengan bernafsu sekali, nafsu yang terdorong oleh rasa sayangnya terhadap Tiong Kiat dan dalam kesungguhan membela adiknya itu. Pertapa itu mengelus-elus jenggotnya dan menarik napas panjang berkali-kali. la duduk termenung dan pandangan matanya melayang jauh.
"Kalau begitu, terpaksa aku harus memaksa tulang belulangku yang sudah reyot dan lapuk ini untuk turun gunung dan bekerja sendiri. Ah... tidak kusangka akan menjadi demikian nasibku... Tiga orang murid tersayang kugembleng dan kulatih selama belasan tahun... bersusah payah... tanpa... mengharapkan pembalasan sedikit jugapun... dua orang dari pada mereka menikam hatiku dan melarikan diri, siap merusak nama baikku, nama baik Kim-liong-pai. Sekarang kau pula tidak bersedia membelaku, ah Su-couw tentu akan menerima rohku dengan teguran hebat!"
Kakek ini lalu menundukkan mukanya dan untuk menyembunyikan sesuatu dari pandangan mata Tiong Han, akan tetapi pemuda itu sudah melihat bahwa suhunya telah mengalirkan dua titik air mata. Suatu hal yang amat langka terjadi, karena ia maklum betapa suhunya ini pantang mengalirkan air mata.
"Suhu..." kata Tiong Han terharu. "Teecu sama sekali bukan tidak mau membela suhu, karena suhu tentu sudah maklum dan cukup mengerti bahwa teecu bahkan bersedia membela suhu dengan taruhan nyawa sekalipun! Hanya yang membuat tecu ragu ragu, sudah patutkah Tiong Kiat dibunuh, karena kesalahannya terhadap teecu yang sudah lama teocu maafkan itu?"
"Sudahlah, sudahlah... mana kau ada... hati untuk mengganggu adikmu yang tercinta walaupun ia amat jahat dan menyeleweng? Kalau ia sampai mencemarkan nama Kim-liong-pai, kaupun tidak akan terbawa-bawa tentu saja kau lebih berat kepada adikmu daripada kepadaku ataupun kepala Kim-liong-pai. Sudahlah..."
Bukan main perihnya rasa hati Tiong Han mendengar sindiran suhunya ini. Ia lalu memberi hormat lagi, kemudian ia berdiri dan berkata,
"Suhu, teecu bermohon diri. Tecu hendak mencari Tiong Kiat dan hendak minta kembali pedang pusaka Ang-cong-klam, juga tecu hendak mencegah segala kejahatan atau penyelewengannya, kalau perlu dengan nyawa teecu!" Setelah berkata demikian Tiong Han lalu menggerakkan tubuh hendak berlari turun.
"Tiong Han, tunggul" tiba-tiba suhunya membentak dan ketika pemuda itu memutar tubuhnya, Lui Thian Sianjin melemparkan sesuatu kepadanya. Tiong Hin cepat menyambut benda itu dan ternyata bahwa yang diberikan kepadanya adalah sebuah kitab yang terbungkus dengan sutera putih.
"Pedang Ang-coa-kiam telah berada di tangan Tiong Kiat. Satu-satunya benda yang dapat melawan pedang itu hanyalah kitab ini. Pelajarilah baik-baik dan dengan adanya kitab itu di tanganmu, maka kedudukanmu dalam Kim liong-pai masih lebih tinggi dari pada pemegang pedang Ang coa kiam. Menurut peraturan di Kim-liong-pai, seperti kau juga sudah mengetahuinya, sebagaimana yang dipesankan dahulu oleh mendiang sucouw kita, semua murid Kim-liong-pai harus tunduk dan taat kepada pemegang dua buah pusaka Kim-liong-pai, pertama-tama sekali kepada pemegang dari kitab ilmu pedang Ang-coa-kiam-coan-si sebagai pemimpin tertinggi, dan kedua kepada pemegang pedang Ang-coa-kiam sebagai pemimpin kedua. Tiong Kiat juga tahu akan peraturan ini dan kalau dia hendak mempergunakan haknya sebagai pemegang pedang Ang-coa-kiam, maka menurut aturan, la masih harus tunduk dan taat kepada pemegang kitab Ang-coa-kiam-coan-si. Nah, kau pergilah."
Adapun Can Kong, ayah dari Can Kui Hwa, ketika mendengar berita tentang puterinya yang melarikan diri sama Sim Tiong Kiat menjadi marah sekali. Tanpa dapat dicegah lagi oleh isterinya yang menangis dan meratap lalu membawa pedangnya keluar dari rumah untuk mencari anaknya dan Tiong Kiat.
"Terkutuk!" makinya dengan muka merah. "Aku harus mencari dan membunuh sepasang anjing itu!"
Ayah ini merasa malu sekali malu terhadap suhunya, malu terhadap calon mantunya, dan malu kepada diri sendiri. Bagaimana puteri tunggalnya bisa melakukan perbuatan yang rendah itu? Dan kemarahannya terhadap Tiong Kiat memuncak.
Dua bayangan yang cepat sekali gerakannya berlari bagaikan dua ekor burung garuda melayang turun dari Gunung Liong-san. Kalau dilihat dari jauh, mereka ini nampak bagaikan dua ekor burung saja dan bagaikan dua titik yang makin lama makin membesar. Akan tetapi setelah kedua sosok bayangan ini datang dekat, ternyata mereka adalah sepasang orang muda dan elok sekali, sepasang pemuda dan pemudi yang amat sedap dilihat karena mereka ini benar-benar tampan dan cantik.
Pemuda itu adalah Sim Tiong Kiat, pemuda yang berusia dua puluh tahun yang amat tampan. Tubuhnya sedang, dadanya bidang, mukanya yang bundar dengan dagu tajam itu berkulit putih bersih kemerah-merahan bagaikan muka seorang wanita. Sepasang matanya berkilat-kilat dan bersinar tajam sekali, dengan gerakan yang liar dan tiada hentinya bergerak. Alisnya tebal dan panjang menghitam, nampak makin jelas pada wajahnya yang putih bagaikan dicat.
Hidungrya mancung dan bibirnya merah den berbentuk indah. Benar-benar seorang pemuda yang amat cakap dan tampan. Hanya tarikan mulut dan dagunya saja yang membayangkan kegagahan dan ketinggian hati, sikap mukanya selalu memandang rendah dan mengejek orang lain yang dipandangnya. Pakaiannya berwarna biru dengan ikat kepala dan pinggir leher berwarna merah menambah kegagahannya. Sarung pedang yang indah sekali tergantung di pinggang kirinya. Inilah Sim Tong kiat, murid dari Kim-liong-pai yang melarikan diri itu, dan pedang ynng tergantung dipinggangnya itu adalah pedang Ang-coa-kiam, pedang pusaka Kim liong-pai yang dicuri dan dibawanya pergi
Dara yang berjalan di sebelah kirinya cantik sekali. Wajahnya manis dan potongan tubuhnya langsing dan penuh hampir mendekati sebutan montok. Ikat kepalanya biru, pakaiannya merah, agak kehitaman. Di atas telinga kanannya terhias oleh bunga bungaan dari sutera yang indah. Bibirnya selalu tersenyum manis dan sepasang matanya kocak, kalau mengerling nampak nyata kegenitannya, kegenitan yang tidak menjemukan, bahkan yang merupakan senjata istimewa dari pada kecantikannya, karena sukarlah bagi seotang pria untuk bertahan menghadapi serangan kerling semanis itu. Gadis itu bukan lain adalah sumoi (adik seperguruan) dari Sim Tiong Kiat yang bernama Can Kui Hui, puteri tunggal dari Can Kong.
Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, biarpun oleh suhu dan ayahnya ia di tunangkan dengan Tiong Han namun di dalam hatinya, Kui Hwa, tidak menyetujui pertunangan ini, karena semenjak kecil ia telah tertarik kepada Tiong Kiat. Setelah menjadi dewasa rasa suka ini berobah menjadi cinta kasih yarg mendalam. Watak Tiong Kiat yang gembira dan jenaka, cocok sekali dengan wataknya, tidak seperti Tiong Han yang pendiam dan bersikap sungguh-sungguh. Apalagi dari fihak Tiong Kiat ada jawaban maka kakak beradik seperguruan ini saling jatuh cinta dan makin lama hubungan mereka makin erat.
Sungguh amat disayangkan bahwa gadis yang cantik itu memiliki sifat genit, dan demikian pula Tiong Kiat mempunyai watak yang mata keranjang. Hubungan mereka yang amat erat pergaulan mereka yang bebas lepas di atas puncak Liong san, kesempatan-kesempatan yang terbuka dan watak mereka yang romantis merupakan kekuatan yang maha besar mendobrak daya tahan iman mereka yang muda.
Ditambah lagi oleh kata-kata manis dari Tiong Kiat yang agaknya berbakat pula untuk mencumbu rayu wanita, maka jatuhlah hati Kui Hwa. Mereka lupa daratan, tak acuh kepada bisikan-bisikan dan teguran hati nurani sendiri dan akhirnya merela melakukan hubungan yang melanggar batas-batas kesopanan dan kesusilaan!
Sesungguhnya mereka tidak ada niat sama sekali untuk lari minggat dari puncak gunung itu. Sungguhpun Kui Hwa amat mencintai Tiong Kiat, namun ia tidak berani membantah kehendak suhu dan ayahnya dalam hal ikatan jodohnya dengan Tiong Han. Akan tetapi, ketika pada malam hari itu tanpa disangka sangka Tiong Han melihat mereka berdua sedang berkasih-kasihan, keduanya menjadi malu dan gelisah sekali. Memang Tiong Han segera pergi dan berlaku biasa pura-pura tidak melihat mereka, namun mereka tetap saja takut kalau-kalau Tiong Han akan melaporkan hal itu kepada Lui Thian Sianjin atau kepada Can Kong.
Demikianlah mereka lalu mengambil keputusan untuk minggat saja, Untuk menjaga agar kelak tidak menghadapi kemurkaan Lui Thian Sianjin dan juga karena memang suka kepada pedang pusuka Ang-coa-kiam, Tiong Kiat lalu mencuri pedang itu, bahkan secara kurang ajar dan berani sekali meninggalkan surat untuk suhunya, mengakui terus terang bahwa dia mengambil pedang pusaka dan bahwa ia dan sumoinya akan pergi karena telah saling menyinta.
"Suheng, bagaimana kalau twa-suheng (kakak seperguruan tertua) mengejar kita?" Kata Kui Hwa sambil memegang tangan Tiong Kait dengan sikap manja ketika mereka berjalan berdampingan di dalam sebuah hutan di kaki Gunung Liong-san.
"Hwa moi, mengapa kau takut? Han-ko tidak akan mengejar kita, karena tidak tahukah kau bahwa dia sebenarnya juga tidak menaruh rasa cinta kepadamu, kalau bukan demikian mengapa dia tidak menegur kita ketika dia melihat perhubungan kita? Pula kalau sampai dia mengejar juga apa sih yang harus ditakuti? Menghadapi kau saja belum temu dia akan menang, apalagi terhadap aku. Dan masih ada pokiam (pedang mustika) ini"
"Takut sih tidak, koko (kanda). Akan tetapi..." Kui Hwa menahan langkahnya dan hendak menundukkan mukanya yang bersemu merah.
Tiong Kiat juga berhenti dan juga memegang tangan kekasihnya itu "Akan tetapi apa... moi... moi?"
"Kalau twa-suheng datang, aku... aku merasa malu. Bukankah aku sudah dipertunangkan dengan dia? Aku... aku malu,"
Tiong Kiat merenggutkan tangannya dari tangan Kui Hwa dan keningnya berkerut, "Kau menyesal? Kalau kau masih menyayangkan pertunanganmu dengan dia kau boleh kembali"
Terbelalak mata Kui Hwa ketika ia memandang wajah pemuda itu. Kemudian melangkah maju dan memeluk kekasihnya sambil menjatuhkan jidat pada dada Tiong Kiat.
"Tega benar kau berkata begitu kepadaku, koko. Mengapakah kau tidak percaya kepadaku? Masih belum cukupkah pengorbananku? Aku memutuskan pertunangan yang telah dijadikan oleh suhu dan ayah, telah meninggalkan suhu dan meningalkan ayah untuk ikut padamu, telah dengan rela menyerahkan jiwa raga kepadamu, kini tega benar kau mengeluarkan kata-kata seperti itu"
Tiong Kiat mengelus-elus kepala Kui Hwa dan membelai rambutnya dengan sentuhan mesra, "Hwa moi, kita sudah bersumpah sehidup semati, dengan disaksikan oleh bulan dan bintang kita telah menjadi suami isteri, mengapa kau masih mau memperdulikan orang lain? Biarkan Han-ko datang mengejar kalau ia berani. Kau jangan ikut-ikut, aku sendiri yang akan menghadapinya"
Kui Hwa mempererat pelukanrya dan bisiknya, "Kekasihku... aku tak dapat mencintai orang lain, dan aku hanya menyerahkan nasib hidupku kepadamu. Aku akan turut kepadamu, kemana juapun kau pergi! Aku bersedia hidup sengsara asal saja berada di sampingmu. Hanya satu hal... jangan sekali-kali kau menyia-nyiakan cintaku, koko jangan sekali-kali kau bermain gila dengan wanita lain. Kalau terjadi hal seperti itu, akan kubunuh wanita itu dan aku akan meninggalkanmu!"
Tiong Kiat tersenyum dan berkata jenaka, "Bagiku di atas dunia ini hanya ada seorang wanita, yakni engkaulah. Bagaimana aku dapat bermain dengan wanita lain? Wanita mana yang dapat menyamaimu? Wanita mana yang mempunyai mata seindah ini, bibir semanis ini, dan rambut sehalus ini?"
Sambil berkata demikian ia membelai mata, bibir dan rambut gadis itu. "Tidak, aku akan tetap setia padamu seperti juga setiamu kepadaku, Hwa-moi!" Akan tetapi di dalam Hatinya, Tiong Kiat mentertawakan sumoinya ini, sungguhpun ia berdebar juga mendengar ancaman yang diucapkan Kui Hwa, karena ia maklum bahwa gadis ini tentu akan membuktikan ancamannya itu.
la hanya dapat melindungi tubuhnya dengan sepasang tombaknya dengan jalan memutarnya secepat mungkin, merupakan benteng yang kuat. Agaknya gulungan sinar golok di tangan Eng Eng merupakan halilintar yang hendak memecah dan menembus awan dari gerakan sepasang tombak bintang. Golok itu berkelebat-kelebat ke atas, ke bawah, dari kanan dan kiri, pendeknya amat sukar dijaga.
Ban Yang Tojin tidak sempat mempergunakan ilmu pukulan Pek-lek-ciang yang diandalkannya, karena gadis itu tidak memberi kesempatan scdikitpun juga kepadanya. Tosu ini memutar otak, mencari jalan keluar dari pada kepungan sinar golok ini. Pada saat sinar golok Eng Eng menyambar ke arah mukanya dengan cepat Ban Yang Tojin menggerakkan kedua tombaknya yang berbintang, dengan gerak tipu Orang Tua Menutup Pintu, la berhasil menjepit golok lawannya, ia mengerahkan tenaga Iweekangnya untuk mematahkan golok di tangan gadis itu, lalu menggerakkan sepasang senjatanya untuk diputar sedemikian rupa supaya gadis itu melepaskan goloknya.
Akan tetap, tiba-tiba Eng Eng berseru keras sekali dan tenaga yang luar biasa dahsyatnya keluar dari golok yang terpegang oleh Eng Eng. Kini gadis inilah yang menguasai keadaan dan Eng Eng membalas gertakan lawan, mempergunakan tenaga menempel lalu memutar goloknya cepat sekali dari kanan ke kiri!
Ban Yang Tojin tak dapatt mempertahankan serangan ini dan sepasang senjatanya ikut berputar, kemudian dengan mengeluarkan suara keras, sepasang tombak berbintang ini patah menjadi empat potong. Bukan main marahnya tosu itu. Ia menyambitkan sepasang senjatanya yang tinggal gagang itu ke arah lawannya akan tetapi dengan amat mudahnya Eng Eng mengelak dan kemudian goloknya diputar amat cepatnya menyerarg Ban Yang Toiin dengan gerak gerak tipu yarg paling lihai!
Tadi ketika masih memegang sepasang senjata saja tosu itu sudah terdesak hebat dan tidak mampu mengimbangi permainan golok Eng Eng apa lagi sekarang satelah bertangan kosong! Ia berusaha hendak melarikan diri, akan tetapi sinar golok gadis lihai itu mengurungnya rapat-rapat dan tidak memberi jalan keluar sama sekali. Karenanya Ban Yang Tojin lalu berlaku mati-matian, dan sambil mengelak dan melompat ke sana ke mari, ia berusaha untuk melancarkan terangan pukulan Pek-lek-ciang yang hebat.
Betapapun tinggi ilmu kepandaian Eng Eng gadis ini belum mempunyai banyak pengalaman bertempur dan ia tidak dapat menduga bahwa lawannya yang sudah tidak berdaya ini masih memiliki kepandaian simpanan yang jahat dan berbahaya sekali, maka ia berlaku lalai. Ia terlalu girang karena sudah hampir berbasil membunuh seorang di antara musuh-musuh Ting Kwan Ek, membalaskan sakit hatinya, dengan seruan keras gadis Ini lalu menyerang dengan sabetan golok dari atas ke arah kepala lawannya, la hendak membelah kepala tosu itu menjadi dua.
Gerakan ini cepat sekali dan biarpun Ban Yang Tojin cepat mengelak, golok itu masih menyembur hebat ke arah pundaknya. Di dalam keadaan berbahaya dan tidak berdaya itu, Ban Yang Tojin lalu melakukan serangan balasan mati-matian dan tangan kanannya lalu mengerahkan pukulan Pek-lek-ciang yang dilakukan dengan sepenuh tenaganya!
Akibatnya hebat sekali untuk kedua fihak. Terdengar Ban Yang Tojin memekik ngeri dan lengan kirinya sebatas pundak terbabat putus. Akan tetapi, tangan kanannya yang dipukulkan dengan gerakan mendorong ke arah dada Eng Eng juga mendapat hasil baik. Biarpun tangan itu tidak sampai menyentuh dada gadis itu, namun hawa pukulannya yang hebat itu telah menghantam dengan telak sekali, sehingga Eng Eng terjengkang ke belakang, goloknya terlepas dan pegangan dan setelah terhuyung-huyung, Eng Eng bergelimpangan di atas tanah dalam keadaan pingsan!
Hampir eaja Ban Yang Tojin tak dapat menahan rasa sakitnya. Darah mengucur bagaikan pancuran dari pundak kirinya yang telah tak berlengan lagi itu. Akan tetapi, sambil menggigit bibirnya hingga berdarah dalam menahan rasa sukitnya, tosu ini masih cukup bertenaga untuk mengambil golok Eng Eng yang terlempar ke atas tanah dan bermaksud hendak membacok tubuh bekas lawannya itu.
Akan tetapi pada saat itu, terdengar teriakan dari jauh aan nampak sesosok bayangan orang yang amat cepat berlari bagaikan terbang menuju ke tempat itu. Ban Yang Tojin merasa khawatir kalau kalau orang itu merupakan musuh, maka tanpa banyak cakap lagi ia melarikan diri pergi dari situ, meninggalkan tubuh Eng Eng yang masih menggeletak pingsan, dan meninggalkan juga lengan kirinya yang sudah putus!
Bayangan ini adalah seorang pemuda yang berwajah tampan sekali. Pakaiannya berwarna biru muda dengan leher dan pinggir lengan baju warna putih, ikat kepala berwarna merah. Karena pakaiannya itu terbuat dari pada sutera halus, maka ia nampaknya makin cakap dan mewah. Di pinggangnya tergantung gagang pedang yang berukir gambar liong yang indah sekali.
Ketika pemuda ini melihat berkelebatnya tubuh seorang tosu yang putus lengan kirinya, ia hendak mengejar, akan tetapi tiba-tiba ia melihat Eng Eng yang menggeletak di atas rumput seperti majat. Ia menahan kakinya dan matanya teibelulak kagum memandang ke arah wajah yang jelita dan tubuh yang ramping mengulurkan hati itu. Ia menghampiri lalu berlutut di dekat tubuh gadis itu.
Ketika melihat muka yang pucat dan pakaian Eng Eng di bagian dada remuk dan robek, ia menjadi terkejut sekali. Tanpa ragu-ragu ia]u diangkatnya tubuh itu dan dibawanya ke dalam hutan itu, di mana terdapat sebuah bangunan bobrok bekas sebuah kuil tua. Ia memondong tubuh gadis itu ke dalam kuil dan meletakkan di atas lantai yang bersih Tempat ini memang menjadi tempat tinggalnya sementara ia berada ditempat itu.
"Ah, kasihan." bisiknya perlahan, "pukulan Pek-lek-ciang! Sungguh jahat sekali"
Kemudian dengan jari-jari tangan gemetar, pemuda itu lalu merobek baju Eng Eng untuk memeriksa luka akibat pukulan Pek-lek-ciang yang lihai. Kulit tubuh gadis itu hanya nampak merah saja, akan tetapi pemuda ini cukup maklum bahwa gadis yang mempunyai wajah seperti bidadari dan potongan tubuh luar biasa indahnya ini telah menderita pukulan dan terluka di sebelah dalam! Ia memeriksa dada gadis itu dan tak lama kemudian terlihat ia berkelebat keluar dari kuil bobrok itu dan masuk ke dalam hutan. Ia mencari-cari dan setelah matahari sudah condong ke barat, nampak ia kembali ke kuil membawa banyak sekali daun-daun obat
Ternyata Eng Eng masih belum siuman dari pingsannya, dan pemuda itu dengan cekatan sekali lalu memeras daun-daun itu dengan kedua tangannya, memberi minum perasan daun obat itu kepada Eng Eng dengan paksa, Lalu ampas daun itu ditempelkannya ke atas dada Eng Eng yang nampak merah. Kemudian ia lalu mengurut dan menotok jalan darah di pundak dan punggung gadis itu. Semua ini dilakukan dengan tangan gemetar, dada berdebar dan kadang-kadang la meramkan kedua matanya, tidak tahan ia melihat keindahan tubuh yang nampak di depan matanya!
Iblis adalah menggoda atau pembujuk hati manusia dan dia akan selalu akan muncul dan menggoda manusia apabila manusia itu sedang berada di tempat sunyi, berada seorang diri dan terutama sekali apabila manusia itu sedang menghadapi atau melihat sesuatu yaog merangsang atau menarik hatinya. Oleh karena tahu akan sifat sifat iblis penganjur segala kejahatan dunia ini Nabi LOCU pernah bersabda demikian:
"Jangan memperlihatkan sesuatu yang merangsang dan menimbulkan nafsu, agar manusia tidak tergoda hatinya!"
Dan juga Nabi KHONG CU pernah bersabda;
"Berhati-hatilah apabila kau sedang berada seorang diri"
Memang, tepat sekali wejangan - wejangan ini bagi manusia untuk ingat bahwa pikiran-pikiran dan nafsu-nafsu timbul waktu berada seorang diri dan menghadapi sesuatu yang neutmbulkan nafsu. Amatlah berbahaya bujukan iblis pada saat-saat seperti itu.
Apalagi kalau orang ysng terbujuk itu tidak memiliki iman yang kuat, dan kesadarannya akan baik dan buruk sudah menyuram. Nafsu yang dibangkitkan oleh iblis akan sedemikian kuatnya sehingga ia tidak memperdulikan lagi akan segala pelanggaran, tidak perduli akan prikemenusiaan, dan ia akan menjadi buta dan lupa daratan karena dipengaruhi oleh nafsu.
Pemuda baju biru itupun demikian. Setelah ia berhasil mengobati Eng Eng, melihat wajah yang cantik jelita itu, melihat bagian tubuh yang menggiurkan hatinya, ia tidak dapat menahan bujukan iblis. Ia lupa segala telinganya penuh oleh pendengaran suara iblis yang terdengar merdu sekali, bagaikan telinga seorang pemabok mendengar musik. Matanya seakan-akan tidak sewajarnya lagi, bagaikan mata seorang yang sedang kelaparan melihat roti atau lebih tepat lagi, seperti mata seekor anjing kurus melihat tulang.
Harus dikasihani nasib Eng Eng. Dalam keadaan pingsan dan terluka ia bertemu dengan seorang penolong yang ternyata merupakan seorang pemuda yang lemah iman, seorang yang telah lupa akan asal mulanya yang suci murni. Menjelang tengah malam, Eng Eng siuman dari pingsannya. Ia terkejut sekali ketika melihat bahwa ia berada dalam pelukan seorang laki-laki!
Tempat itu diterangi oleh api unggun yang bernyala dari setumpuk kayu kering sehingga ia hanya melihat samar-samar wajah seorang laki laki muda yang amat tampan, seorang pemuda yang berkulit muka putih, bermata tajam, berbibir merah dan berpakaian biru muda! Kemudian gadis ini roboh pingsan lagi, tidak kuat menahan pukulan bhatin yang luar biasa, malapetaka yang datang kepadanya, yang lebih mengerikan dan pada maut sendiri!
********************
Perguruan silat Kim-liong-pai terletak di puncak Gunung Liong-san dan nama Kim-liong-pai sudah amat terkenal di dunia persilatan sebagai cabang ilmu silat yang luar biasa. Dulu ketika ketua Kim-liong-pai masih berada di tangan seseorang yang luar biasa yang berjuluk Bu beng Siansu, cabang persilatan ini boleh dibilang menjagoi seluruh kangouw, tidak kalah terkenalnya dengan cabang-cabang ilmu silat lain seperti Kun-lun-pai atau Go-bi pai yang besar.
Semenjak Bu Beng Siansu lenyap dari permukaan bumi, tak seorangpun mengetahui di mana adanya kakek sakti itu yang telah mencuci tangan dan tidak mau mencampuri urusan dunia, maka Kim-liong-pai jatuh ke tangan anak muridnya.
Pada waktu cerita ini terjadi, Kim-liong-pai dipimpin oleh cucu murid Bu Beng Siansu yang hidup sebagai seorang tosu (Pendeta Agama To) dan sudah berjuluk Lui Thian Sianjin pada waktu mudanya Lui Thian Sianjin mempunyai belasan orang anak murid. Akan tetapi ketika beberapa orang di antara murid-muridnya itu melakukan pelanggaran dan penyelewengan, ia menjadi marah dan putus asa.
Dibubarkannyalah murid muridnya itu dan masih baik bahwa mereka itu mempelajari ilmu pedang Kim liong-pai yang disebut Ang-coa-kiamsut (Ilmu Pedang Ular Merah) sebanyak enam puluh bagian saja! Ang- coa-kiamsut adalah ilmu pedang warisan dari Bu Beng Siansu, dan ilmu pedang ini terkenal sebagai raja ilmu pedang di seluruh dunia kangouw.
Tidak mudah untuk mempelajari ilmu pedang ini, oleh karena gerakannya amat sulit dan perkembangannya amat luas pula untuk dapat mainkan Ang-coa-kiamsut orang harus lebih dulu memiliki ginkang dan lweekang tingkat tinggi. Bahkan Lui Thian Sianjin sendiri hanya dapat mewarisi delapan puluh bagian dari Bu Beng Siansu sucouw (guru besar) Kim-hong-pai ia mendapat tinggalan kitab ilmu pedang itu, namun tetap saja ia tidak dapat mewarisi seluruhnya.
Setelah bertahun-tahun tiduk mau menerima murid, ketika berusia lima puluh tahun lebih, diam-diam Lui Thian Sianjin merasa gelisah sendiri. Dari suhunya, ia dulu pernah mendapat pesan bahwa sebelum mati ia harus dapat mewariskan Ang-Coa-Kiamsut kepada seorang murid yang benar-benar baik. Akhirnya ia mulai mercari murid lagi dan kini ia memilih dengan amat hati-hati.
Akhirnya ia menemukan sepasang anak kembar yang baru berusia lima tahun, dari keluarga Sim yang telah tewas semua karena pemberontakan. Kedua anak itu adalah anak laki-laki, bernama Sim Tiong Han dan Sim Tiong Kiat, ia mengambil kedua orang anak yang dilihatnya berbakat baik ini, lalu melatihnya ilmu silat.
Selain kedua orang anak kembar ini, Lui Thian Sianjin juga mengambil seorang murid perempuan yang bernama Can Kui Hwa. Usianya ini sebaya dengan Sim Tiong Kiat, dan juga memiliki bakat yang luar biasa. Can Kui Hwa adalah anak dari seorang murid Kim-liong-pai juga yang bernama Can Kong dan yang kini menjadi guru silat di kota Sam koan. Empat belas tahun kemudian, ketiga orang anak ini telah menjadi dewasa.
Kalau orang tidak mempunyai perhubungan dekat dengan sepasang pemula kembar itu, akan amat sukarlah baginya untuk membedakan. Keduanya sama benar, baik wajah maupun bentuk badan. Sama tampan, bermuka putih dengan mata tajam dan bibir merah, alis mata tebal dan pantang. Ada sedikit tanda pada Tiong Kiat yang menjadi tanda pengenal, yakni sebuah tahi lalat kecil hitam di atas dagunya, tepat di bawah bibir.
Juga watak kedua orang ini jauh berbeda. Tiong Iian yang lebih tua beberapa jam dari adiknya berwatak pendiam dan lemah lembut. Sebaliknya, Tiong Kiat jenaka, gembira, juga nakal sekali. Semenjak kecilnya, seringkali Tiong Kiat menggoda kakaknya, akan tetapi Tiong Han yang amat mencinta adiknya selalu mengalah.
Namun, di dalam pelajaran ilmu silat Tiong Kiat lebih maju daripada kakaknya. Memang anak ini luar biasa sekali bakatnya dalam hal ilmu silat. Harus diakui bahwa kecerdikannya tidak melebihi Tiong Han, namun agaknya ia berdarah ahli silat, karena gerakannya demikian lemas dan cepat. Ini pula yang membuat Lui Thian Sianjin amat sayang kepadanya, sungguhpun seringkali kakek ini termenung dan mengerutkan keningnya, karena ia masih meragukan watak daripada Tiong Kiat. Tidak seperti Tiong Han, kakek ini sudah menaruh kepercayaan sepenuhnya.
Juga Kui Hwa memiliki bakat yang amat baik, sungguhpun ia tidak dapat mengimbangi bakat Tiong Han, apalagi kalau dibandingkan dengan Tiong Kiat, ia kalah jauh. Setelah dewasa ia menjidi seorang gadis yang cantik manis. Sikapnya gembira dan jenaka seperti Tiong Kiat, sehingga kedua anak ini menjadi sahabat baik. Perhubungan gadis ini terhadap Tiong Kiat jauh lebih erat apabila dibanding, kan dengan hubungannya terhadap Tiong Han.
Setelah mendapat gemblengan ilmu ailat selama empat belas tahun, kepandaian ilmu silat dan ilmu pedang ketiga orang murid itu mencapai tingkat tinggi. Lebih-lebih Tiong Kiat, ia telah mewarisi ilmu pedang Ang coa kiamsut sampai tujuh puluh bagian lebih, sedangkan Kui Hwa hanya memiliki lima puluh bagian, sedangkan Tiong Han sendiri paling banyak hanya mewarisi enam puluh bagian.
Di dalam latihan nampak sekali perbedaan itu, baik Tiong Han maupun Kui Hwa tidak dapat mengimbangi permainan pedang Tiong Kiat yang luar biasa. Tentu saja suhu mereka menjadi girang sekali, merasa bahwa ia telah cukup mewariskan ilmu pedang itu dan karenanya Kim-liong-pai tak usah dikhawatirkan lagi akan tinggal nama saja!
Akan tetapi, kadang-kadang ia merasa gelisah dan berdebar dadanya kalau ia melihat Tiong Kiat, karena bagaimanakah kelak kalau ternyata ia salah pilih. Siapa yang akan dapat memasang kendali pada hidungnya atau dengan lain kata-kata siapa yang akan dapat menundukkannya?
Dan apa yang dikuatirkan oleh kakek ini terbukti. Setelah dewasa dan ingin agar supaya ilmu pedang Ang coa.kiamsut tidak sampai terpecah-pecah, Lui Thian Sianjin mengusulkan agar supaya Tiong Han dijodohkan dengan Kui Hwa ! Pemuda itu karena sudah tiada ayah bunda lagi, hanya menyerahkan nasibnya kepada suhunya yang amat dihormatinya, adapun ayah Kui Hwa, yakni Can Kong beserta isterinya, juga tidak keberatan.
Akan tetapi, beberapa bulan kemudian, terjadilah peristiwa yang amat menggemparkan itu! Peristiwa yang amat menyedihkan hati Lui Thian Sianjin, menghancurkan hati Tiong Han, dan memarahkan hati Can Kong. Dengan cara yang tidak tahu malu sekali, Tiong Kiat telah melarikan diri bersama dengan sumoinya, yakni Kui Hwa! Dan yang lebih hebat lagi, adalah kedua orang muda ini telah menyikat pedang mustika yang menjadi barang pusaka di Kim liong-pai, yakni pedang Ang-coa-kiam (Pedang Ular Merah) warisan dari Bu Beng Siansu, guru besar dari Kim-liong-pai.
Lui Thian Sianjin ketika membaca surat yang ditinggalkan oleh Tiong Kiat yang menyatakan bahwa ia dan sumoinya telah bosan tinggal di gunung itu dan ingin merantau bersama serta membawa pedang pusaka dengan menyatakan bahwa ia sebagai murid terpandai berhak untuk memiliki pedang itu, kakek ini duduk bagaikan patung, mukanya pucat dan napasnya memburu! Yang lebih hebat lagi adalah sedikit 'embel-embel' dalam surat itu bahwa tak perlu orang mencari mereka, karena mereka sudah saling mencintai
Tiong Han cepat membujuk suhunya agar suka bersabar dan menenangkan pikiran. "Sudahlah, suhu, harap jangan banyak berduka dan marah. Adikku itu masih amat muda dan masih hijau sehingga ia mudah dikuasai oleh nafsu. Ampunkanlah dia suhu." Pemuda ini berkata dengan mata basah.
Tosu itu memandang kepada Tiong Han dengan mata heran hampir ia tidak percaya akan pendengarannya. "Apa...?" Katanya dengan suara parau. "Kau... kau yang dihina dan diperlakukan seperti itu, kau masih minta ampun untuknya...?"
Tiong Han menundukkan mukanya. "Dia adalah adikku suhu, orang satu-satunya di dunia harus teecu cinta, sayang, dan bela."
"Dan... tunanganmu...? Ah, Tiong Han benar-benar kau lebih berhasil menguasai hati dan perasaan dari pada aku yang sudah tua bangka. Tidak sakitkah hatimu karena tunanganmu dibawa pergi oleh adikmu sendiri?"
Tiong Han menggelengkan kepalanya dan walaupun mukanya berobah pucat la menjawab dengan tenang, "Tidak, suhu. Hal ini tidak mengherankan teecu."
Kakek itu berdiri dari duduknya. "Apa katamu...? Jadi kau sudah tahu akan hal busuk dan memalukan itu? Dan kau diam saja tidak memberitahukan kepadaku?"
Tiong Han melihat suhunya menjadi marah, lalu menjatuhkan diri dan berlutut. "Suhu, ampunkan adik Tiong Kiat. Sesungguhnya... sudah sebulan yang lalu teecu tanpa disengaja melihat perhubungan erat antara Tiong Kiat dan sumoi. Dan... dan... agaknya karena teeecu telah mengetahui akan hubungan rahasia mereka itulah yang membuat meteka pagi hari ini melarikan diri. Hanya satu hal yang teecu sayangkan, mengapa Tiong Kiat begitu sembrono membawa pergi pedang pusaka Ang-coa-kiam."
Lui Thian Sianjin membanting-banting kakinya. "Gila... Gila...! Mengapa aku seperti buta mataku? Semenjak dahulu aku sudah ragu-ragu dan menaruh hati curiga terhadap watak adikmu! Sekarang... ah, Tiong Han, hanya kaulah yang dapat menolongku. Hanya kau satu-satunya orang yang akan dapat membelaku dan membuat aku dapat meninggalkan dunia ini dengan rela."
"Apakah maksud ucapan suhu ini?"
"Bersumpahlah, muridku, bersumpahlah dengan saksi bumi dan langit! Bersumpahlah bahwa kau akan menjunjung tinggi nama Kim-liong-pai, akan berlaku sebagai seorang pendekar gagah yang menjunjung tinggi kebajikan, prikemanusiaan dan membela keadilan."
"Teecu bersumpah untuk melakukan semua nasihat suhu itu."
"Dengarlah kau harus bersumpah untuk memenuhi dua macam tugas berat yang harus kau lakukan, baik sewaktu aku masih hidup maupun sesudah aku mati."
"Teecu bersedia untuk bersumpah, harap suhu beritahukan apakah adanya dua macam tugas itu."
鈥淧ertama, kau harus berusaha dan mencari atau merampas kembali sampai dapat pedang Ang-coa-kiam dari tangan Tiong Kiat dan membawa pedang itu ke mana juga kau pergi, menjaga dengan seluruh kehormatan."
"Bagaimana teecu dapat melakukan hal ini, suhu? Suhu maklum sendiri bahwa ilmu kepandaian Tiong Kiat masih lebih tinggi dari pada teecu, apalagi karena sekarang ia telah memiliki pedang Ang coa . kiam. Bagaimana teecu dapat memenuhi tugas ini dan merampas pedang pusaka Ang-coa kiam!"
"Bersumpah lah dulu bahwa kau mau melakukan hal itu!" kata Lui Thian Sianjin tidak sabar. "Hal kekalahanmu terhadap dia mudah dibicarakan kemudian."
"Baiklah, suhu, teecu bersumpah bahwa tecu akan mencari dan merampas pedang Ang-coa-kiam sampai dapat. Teecu takkan berhenti berusaha sebelum pedang itu dapat terampas oleh teecu"
"Bagus, itu sumpah pertama, kau harus mendapatkan kembali pedang itu agar nama Kim-liong-pai jangan sampai ternoda karena orang telah menyalah gunakan pedang pusaka itu. Dan sumpah kedua, kau harus mencari dan membunuh Sim Tiong Kiat!"
Pucatlah muka Tiong Han mendengar permintaan suhunya ini. Ia memandang kepada suhunya dengan mata terbelalak dan tak dapat menjawab, hanya menggeleng-gelengkan kepalanya saja.
"Tiong Han! Ucapkanlah sumpahmu!"
"Ti... dak... suhu... teecu tak dapat melakukan hal ini! Teecu tidak sanggup"
Setelah berkata demikian Tiong Han lalu menjatuhkan mukanya di atas tanah dan meratap serta mintakan ampun untuk adiknya. Sungguh harus dikasihani pemuda yang berhati penuh kasih sayang terhadap adik kembarnya ini. Air matanya membasahi seluruh mukanya dan karena ia membentur-benturkan jidatnya di atas tanah, maka mukanya kini menjadi kotor.
"Tiong Han!" suhunya membentak marah. "Kalau aku tidak sudah tua dan kekurangan tenaga, pasti aku sendiri yang akan kurun gunung dan mencari murid murtad itu untuk kubunuh sendiri! Akan tetapi, di Kim-liong-pai kini tinggal kaulah ahli waris satu-satunya yang kiranya kuat dan dapat melakukan tugas ini!"
Sampai beberapa lama tidak terdengar pemuda itu berkata kata, hanya ia menangis terisak-isak seperti seorang anak kecil. Ia tak kuasa membuka mulut, bagaimanakah la dapat membunuh Tiong Kiat? Bagaimana ia dapat bertega hati membunuh adiknya yang dikasihinya sepenuh hati dan jiwanya? Tiong Kiat merupakan sebagian dari pada tubuhnya sebagian daripada nyawanya!
"Ampun, suhu... ampunkanlah teecu dan ampunkan adikku Teecu tidak sanggup, tidak sampai hati melakukan tugas ini dan apakah dosa Tiong Kiat maka harus dibunuh? Terhadap Kim-liong-pai, kesalahannya hanya mencuri pedang pusaka, tidak cukupkah kalau teecu bersumpah mengambil kembali pedang itu? Ampunkanlah dia suhu!"
"Tiong Han, kau terlalu lemah! Kau bilang Tiong Kiat tidak begitu besar salahnya terhadap Kim-liong-pai? Soal pedang bukanlah soal terutama, akan tetapi yang paling hebat adalah perbuatannya yang melanggar adat, melanggar kesopanan, melanggar prikemanusiaan melanggar prikebajikan. Dia sudah berani membawa lari tunangan kakaknya apakah kau mau bilang bahwa manusia macam itu tidak seharusnya dibunuh?"
"Suhu, beribu ampun apabila pendapat tecu lain dengan pendapat suhu. Bukan sekali-kali teecu membutakan mata dan membela adik sendiri tanpa alasan. Memang sesungguhnya pembuatan Tiong Kiat yang melarikan sumoi itu amat tidak sopan dan kurang ajar. Akan tetapi, siapakah yang tak terluka hatinya oleh perbuatan ini? Siapakah yang terhina dan siapa pula yang dirugikan? Kalau ada orang yang seharusnya merasa sakit hati, maka orang itu hanya teeculah. Akan tetapi, suhu, teecu tidak merasa sakit hati kepadanya teecu tidak merasa terhina, bahkan teecu dengan rela hati mengalah, biar sumoi menjadi jodoh Tiong Kiat, sudah cukup cocok dan pantas! Biarlah, hitung-hitung teecu mencarikan jodoh untuk adik teecu, apa salahnya? Bukankah dengan demikian tidak ada urutan sakit hati lagi, tidak ada keharusan hukuman mati terhadap Tiong Kiat?"
Pemuda itu berbicara dengan bernafsu sekali, nafsu yang terdorong oleh rasa sayangnya terhadap Tiong Kiat dan dalam kesungguhan membela adiknya itu. Pertapa itu mengelus-elus jenggotnya dan menarik napas panjang berkali-kali. la duduk termenung dan pandangan matanya melayang jauh.
"Kalau begitu, terpaksa aku harus memaksa tulang belulangku yang sudah reyot dan lapuk ini untuk turun gunung dan bekerja sendiri. Ah... tidak kusangka akan menjadi demikian nasibku... Tiga orang murid tersayang kugembleng dan kulatih selama belasan tahun... bersusah payah... tanpa... mengharapkan pembalasan sedikit jugapun... dua orang dari pada mereka menikam hatiku dan melarikan diri, siap merusak nama baikku, nama baik Kim-liong-pai. Sekarang kau pula tidak bersedia membelaku, ah Su-couw tentu akan menerima rohku dengan teguran hebat!"
Kakek ini lalu menundukkan mukanya dan untuk menyembunyikan sesuatu dari pandangan mata Tiong Han, akan tetapi pemuda itu sudah melihat bahwa suhunya telah mengalirkan dua titik air mata. Suatu hal yang amat langka terjadi, karena ia maklum betapa suhunya ini pantang mengalirkan air mata.
"Suhu..." kata Tiong Han terharu. "Teecu sama sekali bukan tidak mau membela suhu, karena suhu tentu sudah maklum dan cukup mengerti bahwa teecu bahkan bersedia membela suhu dengan taruhan nyawa sekalipun! Hanya yang membuat tecu ragu ragu, sudah patutkah Tiong Kiat dibunuh, karena kesalahannya terhadap teecu yang sudah lama teocu maafkan itu?"
"Sudahlah, sudahlah... mana kau ada... hati untuk mengganggu adikmu yang tercinta walaupun ia amat jahat dan menyeleweng? Kalau ia sampai mencemarkan nama Kim-liong-pai, kaupun tidak akan terbawa-bawa tentu saja kau lebih berat kepada adikmu daripada kepadaku ataupun kepala Kim-liong-pai. Sudahlah..."
Bukan main perihnya rasa hati Tiong Han mendengar sindiran suhunya ini. Ia lalu memberi hormat lagi, kemudian ia berdiri dan berkata,
"Suhu, teecu bermohon diri. Tecu hendak mencari Tiong Kiat dan hendak minta kembali pedang pusaka Ang-cong-klam, juga tecu hendak mencegah segala kejahatan atau penyelewengannya, kalau perlu dengan nyawa teecu!" Setelah berkata demikian Tiong Han lalu menggerakkan tubuh hendak berlari turun.
"Tiong Han, tunggul" tiba-tiba suhunya membentak dan ketika pemuda itu memutar tubuhnya, Lui Thian Sianjin melemparkan sesuatu kepadanya. Tiong Hin cepat menyambut benda itu dan ternyata bahwa yang diberikan kepadanya adalah sebuah kitab yang terbungkus dengan sutera putih.
"Pedang Ang-coa-kiam telah berada di tangan Tiong Kiat. Satu-satunya benda yang dapat melawan pedang itu hanyalah kitab ini. Pelajarilah baik-baik dan dengan adanya kitab itu di tanganmu, maka kedudukanmu dalam Kim liong-pai masih lebih tinggi dari pada pemegang pedang Ang coa kiam. Menurut peraturan di Kim-liong-pai, seperti kau juga sudah mengetahuinya, sebagaimana yang dipesankan dahulu oleh mendiang sucouw kita, semua murid Kim-liong-pai harus tunduk dan taat kepada pemegang dua buah pusaka Kim-liong-pai, pertama-tama sekali kepada pemegang dari kitab ilmu pedang Ang-coa-kiam-coan-si sebagai pemimpin tertinggi, dan kedua kepada pemegang pedang Ang-coa-kiam sebagai pemimpin kedua. Tiong Kiat juga tahu akan peraturan ini dan kalau dia hendak mempergunakan haknya sebagai pemegang pedang Ang-coa-kiam, maka menurut aturan, la masih harus tunduk dan taat kepada pemegang kitab Ang-coa-kiam-coan-si. Nah, kau pergilah."
Adapun Can Kong, ayah dari Can Kui Hwa, ketika mendengar berita tentang puterinya yang melarikan diri sama Sim Tiong Kiat menjadi marah sekali. Tanpa dapat dicegah lagi oleh isterinya yang menangis dan meratap lalu membawa pedangnya keluar dari rumah untuk mencari anaknya dan Tiong Kiat.
"Terkutuk!" makinya dengan muka merah. "Aku harus mencari dan membunuh sepasang anjing itu!"
Ayah ini merasa malu sekali malu terhadap suhunya, malu terhadap calon mantunya, dan malu kepada diri sendiri. Bagaimana puteri tunggalnya bisa melakukan perbuatan yang rendah itu? Dan kemarahannya terhadap Tiong Kiat memuncak.
********************
Dua bayangan yang cepat sekali gerakannya berlari bagaikan dua ekor burung garuda melayang turun dari Gunung Liong-san. Kalau dilihat dari jauh, mereka ini nampak bagaikan dua ekor burung saja dan bagaikan dua titik yang makin lama makin membesar. Akan tetapi setelah kedua sosok bayangan ini datang dekat, ternyata mereka adalah sepasang orang muda dan elok sekali, sepasang pemuda dan pemudi yang amat sedap dilihat karena mereka ini benar-benar tampan dan cantik.
Pemuda itu adalah Sim Tiong Kiat, pemuda yang berusia dua puluh tahun yang amat tampan. Tubuhnya sedang, dadanya bidang, mukanya yang bundar dengan dagu tajam itu berkulit putih bersih kemerah-merahan bagaikan muka seorang wanita. Sepasang matanya berkilat-kilat dan bersinar tajam sekali, dengan gerakan yang liar dan tiada hentinya bergerak. Alisnya tebal dan panjang menghitam, nampak makin jelas pada wajahnya yang putih bagaikan dicat.
Hidungrya mancung dan bibirnya merah den berbentuk indah. Benar-benar seorang pemuda yang amat cakap dan tampan. Hanya tarikan mulut dan dagunya saja yang membayangkan kegagahan dan ketinggian hati, sikap mukanya selalu memandang rendah dan mengejek orang lain yang dipandangnya. Pakaiannya berwarna biru dengan ikat kepala dan pinggir leher berwarna merah menambah kegagahannya. Sarung pedang yang indah sekali tergantung di pinggang kirinya. Inilah Sim Tong kiat, murid dari Kim-liong-pai yang melarikan diri itu, dan pedang ynng tergantung dipinggangnya itu adalah pedang Ang-coa-kiam, pedang pusaka Kim liong-pai yang dicuri dan dibawanya pergi
Dara yang berjalan di sebelah kirinya cantik sekali. Wajahnya manis dan potongan tubuhnya langsing dan penuh hampir mendekati sebutan montok. Ikat kepalanya biru, pakaiannya merah, agak kehitaman. Di atas telinga kanannya terhias oleh bunga bungaan dari sutera yang indah. Bibirnya selalu tersenyum manis dan sepasang matanya kocak, kalau mengerling nampak nyata kegenitannya, kegenitan yang tidak menjemukan, bahkan yang merupakan senjata istimewa dari pada kecantikannya, karena sukarlah bagi seotang pria untuk bertahan menghadapi serangan kerling semanis itu. Gadis itu bukan lain adalah sumoi (adik seperguruan) dari Sim Tiong Kiat yang bernama Can Kui Hui, puteri tunggal dari Can Kong.
Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, biarpun oleh suhu dan ayahnya ia di tunangkan dengan Tiong Han namun di dalam hatinya, Kui Hwa, tidak menyetujui pertunangan ini, karena semenjak kecil ia telah tertarik kepada Tiong Kiat. Setelah menjadi dewasa rasa suka ini berobah menjadi cinta kasih yarg mendalam. Watak Tiong Kiat yang gembira dan jenaka, cocok sekali dengan wataknya, tidak seperti Tiong Han yang pendiam dan bersikap sungguh-sungguh. Apalagi dari fihak Tiong Kiat ada jawaban maka kakak beradik seperguruan ini saling jatuh cinta dan makin lama hubungan mereka makin erat.
Sungguh amat disayangkan bahwa gadis yang cantik itu memiliki sifat genit, dan demikian pula Tiong Kiat mempunyai watak yang mata keranjang. Hubungan mereka yang amat erat pergaulan mereka yang bebas lepas di atas puncak Liong san, kesempatan-kesempatan yang terbuka dan watak mereka yang romantis merupakan kekuatan yang maha besar mendobrak daya tahan iman mereka yang muda.
Ditambah lagi oleh kata-kata manis dari Tiong Kiat yang agaknya berbakat pula untuk mencumbu rayu wanita, maka jatuhlah hati Kui Hwa. Mereka lupa daratan, tak acuh kepada bisikan-bisikan dan teguran hati nurani sendiri dan akhirnya merela melakukan hubungan yang melanggar batas-batas kesopanan dan kesusilaan!
Sesungguhnya mereka tidak ada niat sama sekali untuk lari minggat dari puncak gunung itu. Sungguhpun Kui Hwa amat mencintai Tiong Kiat, namun ia tidak berani membantah kehendak suhu dan ayahnya dalam hal ikatan jodohnya dengan Tiong Han. Akan tetapi, ketika pada malam hari itu tanpa disangka sangka Tiong Han melihat mereka berdua sedang berkasih-kasihan, keduanya menjadi malu dan gelisah sekali. Memang Tiong Han segera pergi dan berlaku biasa pura-pura tidak melihat mereka, namun mereka tetap saja takut kalau-kalau Tiong Han akan melaporkan hal itu kepada Lui Thian Sianjin atau kepada Can Kong.
Demikianlah mereka lalu mengambil keputusan untuk minggat saja, Untuk menjaga agar kelak tidak menghadapi kemurkaan Lui Thian Sianjin dan juga karena memang suka kepada pedang pusuka Ang-coa-kiam, Tiong Kiat lalu mencuri pedang itu, bahkan secara kurang ajar dan berani sekali meninggalkan surat untuk suhunya, mengakui terus terang bahwa dia mengambil pedang pusaka dan bahwa ia dan sumoinya akan pergi karena telah saling menyinta.
"Suheng, bagaimana kalau twa-suheng (kakak seperguruan tertua) mengejar kita?" Kata Kui Hwa sambil memegang tangan Tiong Kait dengan sikap manja ketika mereka berjalan berdampingan di dalam sebuah hutan di kaki Gunung Liong-san.
"Hwa moi, mengapa kau takut? Han-ko tidak akan mengejar kita, karena tidak tahukah kau bahwa dia sebenarnya juga tidak menaruh rasa cinta kepadamu, kalau bukan demikian mengapa dia tidak menegur kita ketika dia melihat perhubungan kita? Pula kalau sampai dia mengejar juga apa sih yang harus ditakuti? Menghadapi kau saja belum temu dia akan menang, apalagi terhadap aku. Dan masih ada pokiam (pedang mustika) ini"
"Takut sih tidak, koko (kanda). Akan tetapi..." Kui Hwa menahan langkahnya dan hendak menundukkan mukanya yang bersemu merah.
Tiong Kiat juga berhenti dan juga memegang tangan kekasihnya itu "Akan tetapi apa... moi... moi?"
"Kalau twa-suheng datang, aku... aku merasa malu. Bukankah aku sudah dipertunangkan dengan dia? Aku... aku malu,"
Tiong Kiat merenggutkan tangannya dari tangan Kui Hwa dan keningnya berkerut, "Kau menyesal? Kalau kau masih menyayangkan pertunanganmu dengan dia kau boleh kembali"
Terbelalak mata Kui Hwa ketika ia memandang wajah pemuda itu. Kemudian melangkah maju dan memeluk kekasihnya sambil menjatuhkan jidat pada dada Tiong Kiat.
"Tega benar kau berkata begitu kepadaku, koko. Mengapakah kau tidak percaya kepadaku? Masih belum cukupkah pengorbananku? Aku memutuskan pertunangan yang telah dijadikan oleh suhu dan ayah, telah meninggalkan suhu dan meningalkan ayah untuk ikut padamu, telah dengan rela menyerahkan jiwa raga kepadamu, kini tega benar kau mengeluarkan kata-kata seperti itu"
Tiong Kiat mengelus-elus kepala Kui Hwa dan membelai rambutnya dengan sentuhan mesra, "Hwa moi, kita sudah bersumpah sehidup semati, dengan disaksikan oleh bulan dan bintang kita telah menjadi suami isteri, mengapa kau masih mau memperdulikan orang lain? Biarkan Han-ko datang mengejar kalau ia berani. Kau jangan ikut-ikut, aku sendiri yang akan menghadapinya"
Kui Hwa mempererat pelukanrya dan bisiknya, "Kekasihku... aku tak dapat mencintai orang lain, dan aku hanya menyerahkan nasib hidupku kepadamu. Aku akan turut kepadamu, kemana juapun kau pergi! Aku bersedia hidup sengsara asal saja berada di sampingmu. Hanya satu hal... jangan sekali-kali kau menyia-nyiakan cintaku, koko jangan sekali-kali kau bermain gila dengan wanita lain. Kalau terjadi hal seperti itu, akan kubunuh wanita itu dan aku akan meninggalkanmu!"
Tiong Kiat tersenyum dan berkata jenaka, "Bagiku di atas dunia ini hanya ada seorang wanita, yakni engkaulah. Bagaimana aku dapat bermain dengan wanita lain? Wanita mana yang dapat menyamaimu? Wanita mana yang mempunyai mata seindah ini, bibir semanis ini, dan rambut sehalus ini?"
Sambil berkata demikian ia membelai mata, bibir dan rambut gadis itu. "Tidak, aku akan tetap setia padamu seperti juga setiamu kepadaku, Hwa-moi!" Akan tetapi di dalam Hatinya, Tiong Kiat mentertawakan sumoinya ini, sungguhpun ia berdebar juga mendengar ancaman yang diucapkan Kui Hwa, karena ia maklum bahwa gadis ini tentu akan membuktikan ancamannya itu.