PEGUNUNGAN itu jelas menunjukkan sentuhan musim kering yang berkepanjangan. Pohon-pohon kehilangan banyak daunnya, bahkan banyak pohon yang nampak gundul. Cabang dan rantingnya mencuat kering ke sana sini. Sebatang pohon besar nampak menyendiri di antara pohon-pohon yang layu itu. Pohon ini terlihat masih hijau segar. Mungkin karena akar-akarnya sudah mencari air sampai jauh di bawah permukaan tanah yang kering kerontang itu.
Sawah dan ladang terpaksa dibiarkan menganggur setelah dicangkuli, nampak tergeletak dan dengan sabar menanti datangnya air hujan. Bila angin berhembus kuat nampak debu mengepul di permukaan tanah. Matahari bersinar terik, dan beberapa gumpalan-gumpalan awan putih tidak menjanjikan hujan yang ditunggu-tunggu itu. Anak-anak sungai tidak ada airnya dan dasarnya yang masih agak basah itu dipenuhi rumput-rumput.
Beberapa ekor kerbau yang ramping kurus mencoba untuk makan rumput yang tumbuh di tengah anak sungai. Seorang lelaki setengah tua yang sama kurusnya mencontoh usaha kerbau-kerbau itu, mencabuti rumput hijau untuk dimakan! Dari pada mati harus kelaparan maka diambilnya apa saja yang masih nampak hijau dan masih hidup untuk dimasak dan dimakan, terutama bagi anaknya yang masih kecil di rumah!
Jauh di atas nampak beberapa ekor burung beterbangan. Mereka lebih beruntung karena dengan sayapnya mereka dapat terbang jauh untuk mencari makanan. Banyak serangga terpaksa keluar dari sarang mereka di bawah tanah untuk mencari makanan yang sangat kurang bagi mereka sehingga serangga-serangga ini menjadi makanan burung. Musim kering yang panjang, mengeringkan segala yang berada di atas permukaan bumi, menjadi masa yang sengsara bagi para petani dusun.
Dusun Ki-ceng di kaki pegunungan itu dilanda mala petaka musim kering yang panjang. Banyak penduduk yang mati karena kelaparan. Satu-satunya sumber air yang terdapat di dusun itu masih mengeluarkan air, akan tetapi hanya tinggal sepersepuluh dari biasanya. Air yang mengucur kecil inilah yang setiap hari dibuat rebutan oleh para penduduk dusun, hanya sekedar untuk minum. Tubuh yang kurus kering dengan pakaian compang-camping itu kulitnya kelihatan kering dan dimakan kutu penyakit gatal. Perut anak-anak membesar walau pun kaki tangannya mengecil, tanda mereka menderita penyakit busung lapar. Memang ada beberapa orang kaya di dusun itu, yang menjadi tuan-tuan tanah.
Namun mereka sama sekali tak pernah mempedulikan keadaan rakyat di sekitar mereka. Mereka menutup pintu gudang yang penuh beras dan gandum itu rapat-rapat. Kalau pun ada yang mau menolong, tentu ada pamrihnya. Yang mempunyai anak gadis cantik dan bersih akan ditolong, tentu saja dengan menyerahkan anak gadisnya kepada si hartawan untuk ditukar dengan beberapa karung gandum atau beras.
Keluarga Si Cun termasuk satu di antara para keluarga miskin itu. Si Cun sudah berusia lima puluh tahun, ada pun isterinya beberapa tahun lebih muda dari pada dia. Keluarga ini mempunyai tiga orang anak, yang pertama seorang anak perempuan dan yang dua orang lagi anak laki-laki. Anak perempuan itu bernama Si Kiok Hwa, anak yang kedua bernama Si Leng dan yang ketiga bernama Si Kong.
Karena sudah tidak mampu mendapatkan makanan lagi, maka ketika Hartawan Lui yang tertarik kepada kecantikan Kiok Hwa menurunkan bantuan, Si Cun terpaksa menyerahkan Kiok Hwa untuk menjadi selir hartawan itu, menukar anaknya dengan lima karung beras. Nasib Kiok Hwa yang baru berusia enam belas tahun itu benar-benar patut dikasihani. Dia dipaksa menyerahkan dirinya kepada Hartawan Lui yang berusia hampir tujuh puluh tahun itu. Akan tetapi dia menerima nasib.
Kalau dia tidak mau, berarti dia sekeluarga akan mati kelaparan. Lima karung beras itu hanya bertahan beberapa bulan saja, dan setelah itu tidak mungkin mengharapkan uluran tangan dari Kiok Hwa. Anak perempuan itu seakan-akan telah mati bagi keluarga Si, karena dilarang keluar apa lagi memberikan apa-apa untuk keluarganya.
Pada suatu hari Si Leng, anak yang kedua itu, tidak pulang ke rumah. Ayah ibunya dan Si Kong yang baru berusia sepuluh tahun tentu saja menjadi bingung sekali dan mencari ke mana-mana. Akhirnya beberapa orang tetangga datang menggotong tubuh Si Leng yang berusia empat belas tahun itu dalam keadaan sudah tidak bernyawa lagi. Menurut cerita para tetangga, Si Leng hendak mencuri di rumah Hartawan Lui, naik ke pagar tembok dan ketahuan penjaga yang mengejarnya dan membacoknya dengan golok sehingga anak itu tewas!
Si Cun sekeluarga menangis dan meratapi kematian anak mereka. Mereka tahu benar bahwa Si Leng pergi ke sana bukan untuk mencuri, akan tetapi hendak menemui kakak perempuannya dan minta bantuan. Untuk masuk melalui pintu depan tentu tidak mungkin sebab akan diusir para tukang pukul. Maka dia pun naik ke pagar tembok dengan harapan bertemu dengan enci-nya di bagian belakang gedung itu. Akan tetapi nasibnya buruk dan dia ketahuan tukang pukul, dituduh mencuri dan dibunuhnya!
Si Cun tidak berdaya. Mau melapor ke mana? Yang berwajib di dusun itu adalah Lurah Ciu. Dan lurah ini tentu akan menyalahkan Si Leng yang dituduh mencuri dan memarahi Si Cun yang dikatakan tidak dapat mendidik anaknya. Kiok Hwa yang berada di gedung Hartawan Lui itu pun mendengar tentang adiknya yang terbunuh karena meloncati pagar tembok, tetapi dia pun hanya dapat menangisi kematian adiknya itu, tak dapat berbuat apa-apa.
Dalam keadaan terhimpit itu Si Cun terpaksa menggadaikan sawahnya kepada Hartawan Boan, seorang hartawan lain di dusun Ki-ceng. Dia memperoleh hanya sepuluh tael perak dan hutangnya itu dibebani bunga yang tinggi, sepuluh prosen sebulan. Tanah itu menjadi milik hartawan Boan sampai Si Cun dapat mengembalikan utangnya berikut bunganya.
Uang sepuluh tael perak itu dibelikan beras. Akan tetapi keluarga yang hanya tinggal tiga orang ini setiap hari harus makan bubur yang banyak airnya, itu pun dibagi-bagi di antara tiga orang itu. Ketika hujan mulai turun, uang itu pun sudah habis. Untuk mengembalikan hutang yang telah menjadi dua puluh tael itu tentu saja Si Cun tidak sanggup. Dan karena tanahnya dikuasai hartawan Boan, terpaksa Si Cun bekerja kepada tuan tanah sebagai buruh tani!
Dia mulai mencangkul tanah miliknya sendiri sebagai buruh tani. Curahan peluhnya untuk menyuburkan hasil sawah itu hasilnya bukan untuk dia, melainkan untuk tuan tanah Boan dan dia hanya kebagian sepersepuluh bagian. Hanya cukup untuk makan setiap hari saja dan tidak ada sisa untuk ditabung sebagai pembayar utang.
Dengan sendirinya hutang itu semakin menumpuk, tertimbun bunganya sehingga setahun kemudian hutang itu telah menjadi berlipat ganda! Si Cun kehilangan anak gadisnya, juga kehilangan anak kedua, dan akhirnya kehilangan sawahnya pula!
Setiap malam Si Cun dan isterinya merenungi nasib mereka dan air mata Nyonya Si Cun sampai habis terkuras karena setiap malam menangis. Dari pagi sampai petang mereka bertiga bekerja di sawah. Bahkan Si Kong yang baru berusia sepuluh tahun itu pun turut membantu mencangkul di sawah.
Kehidupan manusia di dunia ini teramat janggal, teramat tidak adil. Si kaya mempunyai makanan, pakaian dan rumah yang berlebihan, ada pun si miskin yang tinggal di sebelah rumahnya sedemikian melaratnya sehingga untuk makan saja tidak cukup! Malaskah si miskin itu? Sama sekali tidak. Malah mereka bekerja keras siang malam untuk sekedar bertahan hidup.
Menyedihkan memang! Apa lagi jika melihat si kaya membeli barang-barang mewah yang tak perlu. Padahal uang yang dihamburkan itu dapat menghidupi banyak keluarga miskin. Lebih menyedihkan lagi kalau banyak sekali uang dihamburkan untuk membeli senjata untuk mempertahankan diri. Padahal uang untuk membeli senjata itu bisa menghidupkan suatu bangsa yang sedang dilanda kemiskinan.
Alangkah baiknya jika dalam kehidupan ini manusia mau saling menolong, bangsa saling menolong sehingga tidak akan terjadi permusuhan. Alangkah indahnya kalau sinar kasih menyelimuti kehidupan kita, bukan permusuhan, dendam dan kebencian!
Musim kering sudah lewat. Sawah ladang nampak hijau segar. Lautan daun padi nampak menghijau dan ketika angin bertiup daun-daun itu seperti menari-nari, merayakan musim panen yang segera datang. Akan tetapi semua yang serba indah itu bagaikan ejekan bagi keluarga Si. Pada waktu mereka bertiga menjaga sawah yang mulai berbuah itu, mereka merenungi nasib mereka, seakan tenggelam dalam lautan menghijau itu.
Sesudah bekerja keras tanpa mengenal lelah, akhirnya Si Cun dan isterinya dapat juga memetik hasilnya. Walau pun hanya mendapat sepuluh bagian, akan tetapi karena hasil sawahnya banyak sekali, mereka bisa menjual hasil panen untuk mengembalikan hutang kepada Hartawan Boan sebanyak dua puluh lima tael.
Sawah itu kembali kepada mereka, namun hidup mereka tetap miskin. Sisa hasil sawah yang dijual mampu menahan mereka dari ancaman kelaparan, akan tetapi mereka harus berhemat. Makan dikurangi, pakaian pun tidak membeli melainkan memakai satu-satunya pakaian yang melekat di badan! Bila mana sedang mencuci pakaian maka mereka hanya menggunakan selimut butut untuk menutupi tubuh mereka yang telanjang.
Pengalaman pahit membuat orang menjadi kebal dan pengalaman itu tidak terasa pahit lagi. Makan sedikit bubur dengan garam tidak mendatangkan kesedihan bagi orang yang sudah terbiasa dengan makanan itu. Kehidupan yang keras dan sukar tertanam dalam-dalam di jiwa Si Kong sehingga anak ini dapat mandiri dalam usianya yang baru sepuluh tahun.
Dia menjadi seorang anak yang tabah dan tidak cengeng. Dia seakan lupa lagi untuk menangis karena di waktu kecilnya sudah terlampau banyak menangis. Tubuhnya pun menjadi kokoh kuat, tulang-tulangnya mengeras dan daya tahannya luar biasa. Dia mampu mencangkul seharian penuh tanpa istirahat dan hanya makan semangkok bubur encer!
Kemalangan bagi seorang manusia kadang datang secara bertubi-tubi. Baru saja keadaan keluarga Si sedikit membaik karena tanahnya sudah kembali kepada mereka, timbullah wabah penyakit di dusun Ki-ceng. Di antara orang-orang yang terkena penyakit ini, juga termasuk Si Cun dan isterinya!
Karena keadaan, maka penghidupan mereka tidak dapat disebut bersih. Dan inilah yang membuat mereka kejangkitan wabah penyakit itu. Dan dalam waktu sepekan saja, Si Cun dan isterinya berturut-turut meninggal dunia!
Dunia terasa kiamat bagi Si Kong yang usianya baru sepuluh tahun itu! Bagi Si Kong dan mungkin kebanyakan orang, peristiwa itu dianggap keterlaluan seakan-akan Tuhan tidak adil! Tentu karena manusia hanya melihat segi lahiriahnya saja!
Tuhan Maha Adil! Hanya jalan yang ditempuh Tuhan untuk menentukan sesuatu menjadi rahasia besar bagi kita, tidak terjangkau oleh akal pikiran kita. Bagi kita hanya ada satu sikap, yaitu berikhtiar sekuat dan sebaik mungkin, akan tetapi menerima kenyataan dan keadaan dengan pasrah dan menguatkan iman kita bahwa apa yang Tuhan kehendaki semua terjadilah!
Dan semua itu terjadi dengan benar dan adil. Kenapa terjadi begini atau kenapa terjadi begitu berada di luar kekuasaan kita. Hukum Karma takkan pernah menyimpang seujung rambut pun. Kita harus dapat menerimanya penuh kepasrahan, ikhlas dan dengan iman yang kuat akan kekuasaan, kebesaran dan kebenaran Tuhan!
Atas nasehat para tetangga, Si Kong terpaksa menjual sawah dan rumah gubuknya untuk membiayai pemakaman ayah ibunya. Dia menggunakan uang hasil penjualan sawah dan rumah itu untuk membeli peti mati dan semua keperluan sembahyang, kemudian dilayat oleh para tetangga, ayah ibunya dikuburkan secara sederhana.
Semua tetangga yang melayat telah meninggalkan tanah kuburan itu, akan tetapi Si Kong tidak mau pergi. Beberapa tetangga mencoba untuk membujuknya, namun Si Kong tetap berkeras tidak mau pulang sehingga akhirnya semua orang meninggalkannya di hadapan sepasang makam itu.
Si Kong mendekam berlutut di hadapan kuburan ayah ibunya sambil menangis. Suaranya sampai habis dipakai menangis sejak kemarin. Dia merasa berduka dan nelangsa sekali. Kini dia hidup seorang diri, yatim piatu. Satu-satunya saudaranya hanyalah Si Kiok Hwa, namun enci-nya itu telah 'dipenjara' dalam gedung Hartawan Lui, tidak dapat dijumpainya. Bahkan mungkin enci-nya itu tidak tahu akan kematian orang tuanya.
Si Kong terus mendekam sambil menyentuh tanah. Dia tak merasakan lagi perutnya yang lapar dan seluruh tubuhnya yang lemah lunglai. Kalau mungkin dia tidak mau bangkit lagi selamanya, ingin berada di situ bersama makam ayah bundanya yang tercinta. Akhirnya tubuhnya yang tidak kuat dan dia pun tergolek pingsan.
Malam itu turun hujan. Keadaan gelap pekat, hanya kadang-kadang ada cahaya kilat yang menerangi permukaan bumi, meninggalkan bayang-bayang pohon raksasa yang nampak menyeramkan. Tanah kuburan itu menjadi tempat yang sangat mengerikan. Sesudah tubuhnya disiram air hujan, Si Kong siuman dari pingsannya. Tubuhnya terasa lemas dan begitu siuman dia pun teringat kepada ayah ibunya.
"Ayah...! Ibu...! Bawalah aku..., aku ikut...!" dia menangis dan berteriak-teriak. Kalau ada orang mendengarkan suara itu di tengah malam hujan di pekuburan, tentu mengira suara iblis.
Sesudah menangis dan berteriak-teriak sampai suaranya habis, Si Kong lalu bangkit. Dia memandang ke arah dua gundukan tanah itu dan baru sadar sepenuhnya apa yang telah terjadi. Ayah ibunya telah mati, telah dikubur dan tidak mungkin membawanya.
Dia harus pulang, akan tetapi pulang ke mana? Rumahnya sudah dijual, uangnya untuk biaya penguburan. Sisanya yang hanya tinggal beberapa keping saja ada di dalam saku bajunya yang basah kuyup. Dia menggigil dan menatap dua makam itu.
"Ayah... ibu... bagaimana dengan aku ini...?" kembali dia menubruk makam itu, kemudian menangis sambil memeluk dan rebah menelungkup di atas makam ibunya. Dia pingsan lagi!
Mengenang masa lampau, takut menghadapi masa depan, menimbulkan duka. Apa bila kita sedang berduka, duka itu makin menghebat jika kita membandingkan keadaan kita dengan keadaan orang lain, karena kita selalu tengadah dan melihat mereka yang berada di atas kita. Kalau kita melihat ke atas, yang nampak hanyalah orang-orang yang lebih tinggi kedudukannya dari pada kita, lebih kaya, lebih senang dan sebagainya, pendeknya serba lebih dari pada kita. Akan tetapi sekali kita menunduk, melihat ke bawah, ternyata masih banyak sekali orang yang lebih rendah dari pada kita, lebih miskin, lebih sengsara dan baru kita menyadari bahwa keadaan kita masih lebih baik dari pada keadaan banyak orang!
Kali ini air hujan yang kembali menyiram tubuhnya tidak mampu menggugah Si Kong dari pingsannya. Dia pingsan terus sampai pagi, sampai matahari pagi mulai menghidupkan segala sesuatu, mengusir kabut dan kegelapan.
Seorang kakek yang pakaiannya penuh tambalan memasuki kuburan itu. Usianya sudah enam puluhan tahun, tangan kanannya membawa sebatang tongkat bambu dan tangan kirinya menjinjing sebuah keranjang berisi beberapa macam daun dan akar-akaran. Kakek berusia enam puluhan tahun itu rambutnya telah berwarna dua, hitam dan putih sehingga dari jauh kepalanya nampak kelabu.
Namun wajahnya yang lebar itu masih nampak muda tanpa keriput, bahkan kedua pipinya kemerahan tanda sehat dan mulutnya tidak pernah berhenti tersenyum. Matanya juga bersinar-sinar sehingga wajah itu selalu terlihat berseri. Mukanya menengok kanan kiri, dan agaknya dia mencari tumbuh-tumbuhan, sementara mulutnya perlahan menyanyikan sajak.
"Bacoklah air dengan pedang dan air akan mengalir terus, benamkan duka dalam arak dan kedukaan makin bertambah, dalam hidup ini, harapan-harapan kita terpenuhi, kelak dengan rambut terurai lepas, kita akan pergi."
"Anda bertanya mengapa aku memilih tinggal di pegunungan. aku tersenyum tanpa jawab, hatiku dalam kedamaian, bunga persik pergi air mengalir, terdapat Langit dan Bumi di luar dunia manusia."
Sajak itu adalah tulisan pujangga Li Pai (701-762) ratusan tahun yang lalu, dinyanyikan oleh kakek itu dengan suaranya yang dalam.
Dan Si Kong masih pingsan atau tertidur itu bermimpi. Dia merasa duduk dekat perapian yang dibuat di dalam rumah dan dirangkul ibunya. Detak jantung ibunya terasa olehnya, menimbulkan suasana akrab dan hangat. Telinganya seakan mendengar suara ayahnya yang agak parau dan dalam, dan suara itu mendatangkan rasa damai dan tenteram dalam hatinya.
Alangkah senangnya duduk di dekat api dalam rangkulan ibunya sambil mendengar suara ayahnya. Memang perutnya masih terasa lapar. Makan semangkok bubur malam itu tidak memuaskan perutnya. Tetapi suasana yang akrab dan tenteram itu amat menyenangkan.
"Hei, nak, matahari telah naik tinggi akan tetapi engkau masih enak-enak tidur di sini?" Ia mendengar teguran ayahnya. Ayahnya memang tidak senang bila melihat dia bermalas-malasan.
Kemudian pundaknya terasa diguncang dan suara ayahnya terdengar lagi. "Hayo bangun! Engkau bisa sakit tidur di sini!"
Eh, mengapa ayahnya berkata demikian? Dan suara itu, memang dalam akan tetapi tidak parau. Bukan suara ayahnya! Si Kong segera bangkit dari tidurnya. Sinar matahari tepat menerobos celah-celah daun lantas menimpa matanya. Dia melindungi matanya dengan punggung tangan, menggosok-gosoknya untuk mengusir sisa-sisa rasa kantuk, kemudian menurunkan kedua tangannya.
Terbelalak dia memandang kepada kakek yang tadi menyuruhnya bangun. Sama sekali bukan ayahnya, melainkan seorang kakek. Kakek itu asing pula, bukan penghuni dusun Ki-ceng. Seluruh penduduk dusun Ki-ceng dikenalnya, akan tetapi kakek ini tidak dikenal. Rasa lapar menggerogoti perutnya, akan tetapi ditahannya.
"Engkau siapakah, kek?" tanyanya.
"Ha-ha-ha-ha, sepatutnya aku bertanya engkau ini siapa dan apa kerjamu di sini? Engkau tertidur di atas makam dan seluruh pakaianmu basah. Lihat, mukamu juga membiru tanda kedinginan. Cepat kau kunyah ini kemudian telan, jangan pedulikan pedas dan pahitnya!" Dia menyodorkan sejari jahe yang diambilnya dari keranjang obatnya.
Si Kong tak membantah. Dia memang seorang anak yang penurut dan mudah memahami kehendak orang lain. Dia segera tahu bahwa kakek ini hendak menolongnya, maka dia pun menerima jahe itu dan dimakannya. Panas dan getir bukan main rasanya, akan tetapi terus ditelan saja. Ada rasa hangat di perutnya. Rasa hangat yang kemudian menjalar ke seluruh tubuhnya sehingga dia tidak lagi merasa kedinginan.
"Nah, sekarang engkau harus memberitahu kepadaku, mengapa engkau berada di sini, siapa namamu dan di mana pula rumahmu?"
Karena kedua kakinya agak gemetar dipakai berdiri, Si Kong duduk di atas batu di dekat makam ayah ibunya. "Namaku Si Kong dan ini adalah makam ayah dan ibuku yang baru dimakamkan kemarin sore."
"Kemarin sore dimakamkan lantas semalam suntuk engkau berada di sini, kehujanan dan kedinginan?" tanya kakek itu dengan suara mengandung keheranan dan juga kekaguman. Anak ini sungguh berbakti dan pemberani. Sukar dicari anak yang berani tinggal semalam suntuk di kuburan, apa lagi malam tadi gelap dan dingin banyak mengandung kilat.
"Mereka adalah orang tuaku, Kakek, dan aku tidak mempunyai siapa-siapa lagi." Teringat akan ini, Si Kong pun kembali mengeluarkan air mata. "Rumah kami sudah kujual untuk membeli peti mati. Aku tidak punya rumah lagi, sebatangkara di dunia ini."
Melihat anak itu mulai menangis dan mengguguk, kakek itu lantas meloncat dan tertawa-tawa. Suara tawanya berbaur dengan suara tangis Si Kong sehingga terdengar sungguh aneh. Bahkan Si Kong yang sedang menangis itu menghentikan tangisnya memandang kakek itu.
"Kek, apa yang kau tertawakan?"
"Anak yang baik, apa yang kau tangisi?"
"Aku menangisi kematian ayah ibuku," kata Si Kong penasaran.
"Ha-ha-ha, benarkah itu? Untuk apa engkau menangisi orang tuamu kalau engkau tidak tahu bagaimana keadaan mereka sekarang? Yang jelas mereka terhindar dari kemiskinan, dan terhindar dari sakit. Hal itukah yang kau tangisi? Ataukah engkau menangisi dirimu sendiri karena merasa ditinggalkan orang-orang yang kau sayangi, karena merasa hidup seorang diri dan tidak mempunyai siapa-siapa lagi, tidak memiliki apa-apa lagi? Itukah yang kau tangisi?"
Si Kong tertegun dan sadar. "Memang begituah, kek, aku menangisi diriku sendiri, merasa kasihan kepada diriku sendiri. Salahkah itu?"
"Ha-ha-ha, tidak salah melainkan tidak tepat. Manusia harus berusaha untuk mengatasi kesulitannya, bukan hanya ditangisi."
"Dan engkau sendiri mengapa tertawa-tawa, kek? Apa engkau menertawakan aku yang sedang berduka? Alangkah kejamnya engkau."
"Ha-ha-ha, aku tertawa karena melihat kelucuan. Betapa manusia diombang-ambingkan antara tawa dan tangis, antara suka dan duka. Baru terlahir telah menangis, masih belum puaskah? Menangis dan menangis lagi. Seorang bocah semacam engkau ini tidak pantas menangis, pantasnya tertawa seperti aku, mentertawakan dunia mentertawakan manusia dengan segala kepalsuannya! Sudahlah, berkabung semalam suntuk sudah cukup baik. Kulihat engkau kedinginan dan kelaparan. Dinginmu sudah kuusir dengan jahe tadi, akan tetapi kalau kubiarkan saja perutmu kosong, engkau dapat mudah diserang penyakit. Ini aku mempunyai beberapa potong buah pisang. Nah makanlah dan habiskan!"
Dia mengambil lima potong buah pisang dari keranjangnya. Si Kong terheran-heran. Dari mana kakek itu dapat memiliki buah pisang? Di daerah itu sama sekali tidak ada pohon pisang. Bahkan Si Kong baru melihat saja, tetapi belum pernah makan. Akan tetapi dia tidak menolak. Diterimanya buah pisang itu, dikupasnya kulitnya dan dimakannya dengan lahap. Sejak kemarin pagi perutnya tidak dimasuki apa-apa.
"Sekarang telanlah ini untuk menguatkan badanmu." Kakek itu kembali mengambil sebutir pil dari bungkusan di dalam keranjangnya. Pil itu berwarna merah dan tanpa ragu-ragi lagi Si Kong menelannya.
"Aku mendengar bahwa dusun Ki-ceng diserang wabah penyakit. Apakah orang tuamu juga terserang penyakit itu?"
"Agaknya begitulah, kek. Tubuh mereka panas sekali, lantas dalam waktu dua hari saja mereka meninggal dunia seperti orang-orang lain di dusun ini yang lebih dulu terserang."
"Engkau sebatang kara? Tidak memiliki apa-apa dan siapa-siapa?"
"Benar, kek..."
"Kalau begitu, maukah engkau ikut dan membantuku? Akan tetapi ingat, keadaanku tidak banyak bedanya denganmu, aku juga tidak mempunyai apa-apa dan siapa-siapa. Maukah engkau menjadi muridku?"
"Mnjadi murid? Belajar apakah, kek?"
"Ha-ha-ha, belajar apa? Mengobati orang, membaca huruf, dan juga mengemis!"
"Aku suka belajar mengobati orang dan membaca huruf, akan tetapi aku tidak mau belajar mengemis, kek."
"Mengemis adalah perbuatan yang penting untuk mencegah kita menjadi pencuri. Kalau kita dapat bekerja mencari nafkah, itu baik sekali. Akan tetapi kalau tidak bisa, lalu apa yang dapat kau makan? Tidak makan berarti mati, karena itu dari pada mencuri lebih baik mengemis, menggerakkan hati manusia untuk sekedar memberi semangkok nasi."
Si Kong tidak berpikir lama. Jelas bahwa kakek ini mempunyai hati yang baik. Dia dapat belajar mengobati dan juga membaca huruf. Soal mengemis, bagaimana nanti sajalah. Ia dapat bekerja apa saja.
"Bagaimana? Engkau suka menjadi muridku?"
Si Kong cepat menjawab. "Suka sekali!" kemudian dia segera menjatuhkan diri berlutut di hadapan kakek pengemis tua itu dan menyebut, 'suhu'.
"Bagus! Nah, mulai sekarang engkau harus menurut semua kata-kataku. Siapa namamu tadi? Si Kong? Orang-orang yang usil mulut menyebutku Yok-sian Lo-kai (Pengemis Tua Dewa Obat). Lihatlah, mereka mengangkatku menjadi Yok-sian (Dewa Obat) akan tetapi memakiku sebagai Lo-kai (Pengemis Tua). Akan tetapi aku sudah terbiasa dengan nama itu sehingga aku sudah lupa namaku sendiri, ha-ha-ha!"
"Suhu, kita akan ke mana sekarang?"
"Di Ki-ceng sedang berjangkit wabah yang menular. Orang tuamu sendiri menjadi korban. Kita harus menolong mereka yang sakit dan menjaga mereka yang belum ketularan agar tidak sakit. Hayo, antarkan aku ke rumah kepala dusun."
Si Kong menjadi penunjuk jalan. Sementara itu matahari mulai memuntahkan cahayanya yang panas sehingga pakaian Si Kong yang tadinya basah kuyup karena semalaman diguyur air hujan, kini mulai mengering. Mereka disambut oleh kepala dusun sendiri yang mengenal Si Kong.
"Si Kong, ada apakah engkau minta menghadapku dan siapakah kakek ini?"
"Lo-ya, kakek ini adalah guru saya berjuluk Yok-sian Lo-kai. Dia datang untuk mengobati mereka yang sakit terkena wabah."
"Ahhh, sungguh kebetulan sekali. Anakku juga terserang dan baru malam tadi badannya panas sekali," kata kepala dusun.
"Boleh aku memeriksanya dan mengobatinya?" tanya Yok-sian Lo-kai.
"Tentu saja. Mari, silakan masuk." Kepala dusun yang sedang gelisah itu mempersilakan mereka masuk. Kakek itu masih memegang tongkat bambunya, akan tetapi keranjang terisi rempah-rempah itu kini dibawakan oleh Si Kong.
Anak sakit itu berusia sepuluh tahun, sebaya dengan Si Kong. Pada saat Yok-sian Lo-kai memasuki kamarnya, anak itu dalam keadaan tidak sadar dan tubuhnya sangat panas. Yok-sian Lo-kai memeriksa denyut nadinya, membuka matanya dan mulutnya, kemudian mengangguk-angguk.
"Penyakit ini memang mudah menular, terbawa oleh lalat. Akan tetapi keadaannya masih dini, belum parah dan mudah-mudahan dia dapat disembuhkan."
Dengan jarinya kakek itu lalu menotok pada beberapa bagian tubuh anak itu. Anak itu kini siuman dan mengerang kepanasan. Kakek itu mengambil sedikit akar dan berkata kepada Si Kong.
"Si Kong, masaklah akar ini dengan semangkok air hingga mendidih dan tersisa setengah mangkok, lalu bawa kesini."
Isteri lurah yang juga berada di dalam kamar itu lalu menggapai ke arah Si Kong. "Mari kusediakan alatnya untuk memasak obat."
Mereka lalu ke dapur dan kakek itu tetap menggunakan jari-jari tangannya untuk menekan sana-sini. Sesudah obat itu selesai dimasak, Si Kong lalu membawanya kepada gurunya. Setelah obat itu agak dingin barulah Yok-sian Lo-kai menyuruh anak yang sakit itu minum obat itu sampai habis, kemudian dia menyuruh anak itu tidur kembali. Obat itu sungguh manjur sekali karena panas tubuh anak itu segera menurun. Tentu saja kepala dusun dan keluarganya merasa girang dan berterima kasih sekali.
"Kalian carilah ilalang dan akar ini sebanyaknya. Masak dan beri minum kepada mereka yang sakit. Tentu dapat menolong nyawa mereka. Mereka yang belum terkena penyakit ini harus berhati-hati. Jangan sekali-kali membiarkan lalat hinggap pada makanan. Semua makanan harus ditutup rapat. Jangan minum air mentah, melainkan air itu harus dimasak sampai mendidih. Keluarkan alas tempat tidur serta selimut, jemur sampai kering benar. Jagalah kebersihan dan wabah ini akan lenyap dengan sendirinya," demikian Yok-sian Lo-kai berkata kepada kepala dusun.
Kepala dusun segera memanggil semua penduduk dan kepada mereka dia meneruskan pesan Yok-sian. Penduduk yang sanak keluarganya sakit segera beramai-ramai mencari daun ilalang dan akar itu, lalu mengobati mereka yang sakit.
Kepala dusun lantas menjamu Yok-sian Lo-kai dan Si Kong. Tanpa sungkan lagi Yok-sian lalu makan minum dengan lahapnya. Juga Si Kong yang sejak kemarin belum makan, kini makan dengan lahapnya. Setelah itu Yok-sian lalu berkata kepada kepala dusun.
"Sekarang harap lo-ya suka memanggil semua orang yang kaya agar berkumpul di sini. Saya ingin bicara hal penting pada mereka."
Permintaan ini pun dilaksanakan oleh kepala dusun. Tidak lama kemudian belasan orang tuan tanah yang kaya raya berkumpul di tempat itu, tidak ketinggalan disertai pengawal-pengawal atau tukang pukul.
"Aku ingin bicara, harap kalian dengarkan baik-baik. Kalian adalah warga-warga dusun Ki-ceng, berarti senasib sependeritaan dengan warga lain yang kurang mampu. Mulai saat ini harap kalian suka mengubah sikap terhadap warga yang miskin. Jangan lagi memeras mereka, akan tetapi bantulah mereka ketika musim paceklik tiba. Jangan memberi hutang dengan bunga tinggi, dan jangan merampas sawah ladang mereka. Apa bila kalian masih berani melakukan penindasan, mungkin dusun ini akan terkutuk dan datang lagi wabah penyakit yang lebih hebat pula. Dan penyakit itu tidak takut kepada harta kalian."
Segera belasan orang hartawan itu menjadi gempar. Jelas kelihatan bahwa mereka tidak menyetujui hal ini. Melihat ini Yok-sian Lo-kai lalu berkata lantang kepada kepala dusun. "Lo-ya sebagai kepala dusun di sini harus bersikap keras terhadap para hartawan yang membangkang. Mereka yang tidak mau membantu warga yang melarat harus dipaksa."
"Akan tetapi, in-kong (tuan penolong), semua itu adalah milik mereka sendiri maka kami tidak dapat memaksa. Bahkan mereka masing-masing memiliki pengawal-pengawal yang siap menghajar siapa yang berani menentang mereka."
Mendengar kata-kata ini, Yok-sian Lo-kai segera berkata lagi kepada para hartawan itu. "Kalian dengar itu? Agaknya kalian selalu memaksakan kehendak dengan mengandalkan anjing-anjing pengawal kalian! Sekarang aku yang memerintahkan kalian menurut aturan itu, membantu para warga yang miskin, memberikan pinjaman tanpa bunga. Siapa yang berani menentang perintah itu?"
Para tukang pukul itu serentak maju.Tidak kurang dari tiga puluh orang tukang pukul yang bertubuh tinggi besar melangkah maju. "Siapa yang berani memaksa majikan kami akan berhadapan dengan kami!" kata seorang di antara mereka. "Apa lagi engkau hanya seorang jembel tua, bagaimana berani bicara seperti itu kepada majikan kami? Apakah engkau sudah bosan hidup?"
"Ha-ha-ha, dengarlah!" kata Yok-sian Lo-kai sambil menudingkan tongkatnya kepada para tukang pukul itu. "Ajing-anjing peliharaan para hartawan memang pandai menggonggong, akan tetapi mereka tidak pandai menggigit."
Para hartawan yang tidak rela untuk menolong warga yang miskin menjadi marah bukan main. Mereka memberi isyarat kepada para tukang pukul mereka untuk bertindak. Tukang pukul yang tadi bicara berada paling depan. Agaknya dia hendak memamerkan kehebatannya, maka dengan ganas dia telah menyerang Yok-sian Lo-kai dengan kepalan tangannya yang sebesar kepala orang itu!
"Wuuutt...!"
Dengan hanya miringkan tubuh menggerakkan kepalanya Yok-sian Lo-kai telah membuat pukulan itu mengenai tempat kosong saja dan dengan secepat kilat tongkatnya menotok, tepat mengenai lutut kanan kiri tukang pukul itu. Mendadak, tanpa dapat dihindarkan lagi, tukang pukul itu jatuh berlutut di depan Yok-sian Lo-kai.
"Ha-ha-ha, engkau minta ampun? Baik, baik, kuampuni kau!" kata Yok-sian Lo-kai.
Penduduk yang berdatangan menonton peristiwa itu menahan tawa karena geli. Memang dipandang sepintas lalu, tukang pukul itu kelihatan seperti berlutut minta ampun kepada si pengemis tua.
Melihat ini, para tukang pukul lainnya menjadi marah. Tiga orang langsung meloncat dan menyerang, akan tetapi dengan gerakan tongkat tga kali, tiga orang itu pun terpelanting roboh terkena sambaran tongkat bambu!
Kini mengertilah para tukang pukul bahwa kakek yang pandai mengobati itu juga pandai bersilat. Karena mereka berjumlah banyak, mereka tidak takut dan kini mereka mencabut senjata pedang dan golok kemudian segera menyerbu.
Terdengar suara tawa pengemis tua itu dan tahu-tahu tubuhnya sudah melayang ke atas. Ketika turun tongkatnya diputar lantas banyak pengeroyok roboh berpelantingan. Sisanya menyerbu semakin nekat, akan tetapi mereka ini pun roboh satu demi satu sehingga tidak ada seorang pun yang tidak roboh. Gerakan Yok-sian Lo-kai itu demikian cepat sehingga tidak dapat diikuti dengan pandangan mata. Yang nampak hanya gulungan sinar kuning dan tahu-tahu para tukang pukul itu sudah roboh berpelantingan.
"Bagaimana, cu-wi wangwe (hartawan sekalian)? Maukah kalian memenuhi permintaanku tadi? Membantu warga miskin, jangan memungut bunga, jangan mengambil sawah ladang mereka, dan bayarlah buruh tani dengan selayaknya sehingga mereka bisa hidup dengan layak pula."
Seperti dikomando saja, para hartawan itu mengangguk dan menyatakan setuju.
"Ingat, kalau lain kali aku lewat di Ki-ceng lagi tetapi kalian masih melakukan pemerasan terhadap warga dusun yang miskin, maka aku Yok-sian Lo-kai tak akan mau mengampuni kalian lagi. Sekarang pulanglah ke rumah masing-masing dan laksanakanlah perintahku. Bubarkan para tukang pukul karena kalau kalian bersikap baik terhadap warga tani yang miskin, kalian tidak perlu khawatir lagi akan harta kalian. Penduduk akan berterima kasih kepada kalian dan akan menjaga harta milik kalian."
Orang-orang kaya itu lantas pergi dengan muka ditundukkan. Di antara mereka ada yang rela, namun ada pula yang tidak rela, akan tetapi mereka takut akan ancaman pengemis tua yang sakti itu.
Sementara itu Si Kong merasa khawatir sekali ketika melihat Yok-sian Lo-kai dikeroyok para tukang pukul. Akan tetapi dia segera bersorak di dalam hati ketika terjadi hal yang tidak disangka-sangkanya, betapa pengemis renta itu menghajar tiga puluh orang tukang pukul itu. Dia mengambil keputusan dalam hatinya bahwa selain belajar ilmu pengobatan dan membaca huruf, dia pun akan minta supaya diajari ilmu bela diri!
Sesudah semua orang bubaran, Yok-sian Lo-kai segera berpamit kepada kepala dusun. Kepala dusun tergopoh-gopoh mengambil uang dan hendak memberi sumbangan kepada pengemis tua itu. Akan tetapi Yok-sian Lo-kai tidak mau menerimanya dan berkata,
"ku memang seorang pengemis dan kalau terpaksa aku suka mengemis makanan. Akan tetapi untuk pengobatanku, aku tidak sudi menerima upah." Dia lalu menggandeng tangan Si Kong dan menarik anak ini pergi dari situ.
Orang-orang hanya memandang heran dan mengikuti murid dan guru itu pergi. Tongkat bambu itu berbunyi tak-tuk tak-tuk di sepanjang jalan. Sesudah bayangan pengemis tua itu menghilang pada sebuah tikungan, barulah mereka ramai membicarakan sepak terjang pengemis tua itu.
Dan semenjak hari itu tidak ada lagi penyakit yang berjangkit di dusun itu. Juga kehidupan para warga dusun yang miskin kini menjadi mendingan keadaannya karena uluran tangan para hartawan. Paksaan dan siksaan yang dahulu dilakukan para tukang pukul juga tidak ada lagi.
Mulai saat meninggalkan dusun Ki-ceng, Si Kong menjadi murid Yok-sian Lo-kai. Yok-sian adalah seorang perantau yang tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap. Kalau bertemu dengan kota atau dusun yang cocok dan menyenangkan hatinya, dia dapat tinggal di situ hingga sebulan lamanya. Akan tetapi banyak pula dusun dan kota yang dilewatinya begitu saja.
Di sepanjang jalan dia selalu mengumpulkan rempah-rempah yang dianggapnya berguna. Dia selalu mengulurkan tangan untuk menolong dan mengobati orang sakit. Untuk makan mereka, kadang-kadang mereka mendapatkan binatang buruan di hutan, atau memetik buah-buahan di dalam hutan. Sering pula Si Kong bekerja di rumah makan atau rumah penginapan untuk mendapatkan uang sekedar pembeli makan untuk dia dan gurunya.
Akan tetapi, kalau Yok-sian Lo-kai tidak tinggal lama di suatu tempat, mereka mengemis makanan dari rumah-rumah. Cara mengemis Yok-sian Lo-kai berbeda dengan pengemis lain. Dia bersama Si Kong mendatangi rumah orang dan menyatakan terus terang bahwa mereka minta diberi makanan. Kalau diberi uang Yok-sian tidak menerimanya, melainkan pindah ke rumah lain. Si Kong tidak sesabar itu, akan tetapi kalau ada gurunya, dia pun tunduk pada kebiasaan gurunya itu.
"Kalau perutmu tidak lapar, mengapa mengemis makanan? Apa bila tidak haus, mengapa mengemis minuman? Kalau tidak butuh pengganti pakaian, mengapa mengemis pakaian? Kita tidak boleh melanggar pantangan itu. Mengemis uang dapat membuat kita menjadi malas," demikianlah pendirian Yok-sian Lo-kai.
Pada waktu senggang kakek itu mulai mengajarkan ilmu pengobatan kepada muridnya. Tidak saja Si Kong harus menghafalkan nama rempah-rempah dan kegunaannya, juga dia diajar cara meneliti keadaan orang dari denyut nadinya. Melihat gejala-gejala penyakit dari lidah dan mata orang yang sakit. Ketika ada orang sakit yang membutuhkan pengobatan, dia bahkan menyuruh muridnya untuk mengobatinya sementara dia sendiri hanya meneliti kalau-kalau muridnya salah memberi obat.
Si Kong juga diberi pelajaran mengenai jalan darah manusia, titik-titik mana yang harus dipijat atau ditotok. Memang Si Kong memiliki kecerdasan sehingga dia dapat menerima dan menghafalkan semua pelajaran itu.
Di samping pelajaran pengobatan Si Kong mulai pula diajar ilmu membaca dan menulis. Ternyata Si Kong cepat sekali mendapatkan kemajuan dalam ilmu ini. Baru setahun turut merantau bersama Yok-sian Lo-kai, dia sudah pandai membaca dan menulis. Tentu saja gurunya merasa girang sekali melihat kemajuan muridnya. Dia lantas mulai mengajarkan dasar-dasar ilmu silat kepada muridnya.
Si Kong merasa gembira sekali dan dia berlatih dengan tekun sekali. Karena sejak masih kecil sekali Si Kong telah terbiasa menggunakan tenaga kasar, maka tubuhnya lebih kuat dari pada anak biasa. Bahkan kemajuannya dalam ilmu silat mengalahkan kemajuannya dalam ilmu sastra.
Gurunya maklum bahwa anak ini memang bertulang baik dan berbakat sekali, maka dia pun mengajarkan ilmu tongkatnya yang sangat terkenal di seluruh dunia kang-ouw, yaitu Ta-kaw Sin-tung (Tongkat Sakti Pemukul Anjing). Ilmu tongkat ini hanya terdiri tiga belas jurus pokok, akan tetapi perkembangannya dapat menjadi ratusan, tergantung dari bakat yang menguasai ilmu itu.
Karena itu setelah berlatih tiga tahun lamanya, barulah Si Kong dapat menguasai Ta-kaw Sin-tung. Semenjak berlatih ilmu tongkat itu, sekarang dia pun memiliki sebatang tongkat bambu yang selain dipakai untuk berlatih silat juga digunakan untuk memikul keranjang rempah-rempah milik gurunya.
Pada suatu pagi yang cerah, matahari masih agak kekuningan di langit timur, akan tetapi sinarnya sudah menyengat hangat. Pohon-pohon dan segala tumbuh-tumbuhan nampak seperti baru hidup lagi sesudah semalam suntuk mereka diselimuti kegelapan yang penuh rahasia itu.
Di jalan yang menuju ke kota Souw-ciu suasananya masih sunyi. Jalan itu memang hanya jalan yang menghubungkan kota Souw-ciu dengan dusun-dusun, karena itu tampak sunyi. Keadaan yang sunyi itu dibuyarkan oleh dua orang yang berjalan berdampingan. Mereka adalah Yok-sian Lo-kai dan Si Kong.
Anak itu kini sudah menjadi seorang pemuda remaja berusia lima belas tahun, akan tetapi dia nampak lebih tua dari pada usianya. Mungkin hal ini akibat dia kenyang ditempa oleh keadaan, banyak menghadapi kesukaran dan kesengsaraan. Tubuhnya tinggi tegap, dan wajahnya jantan lagi gagah, walau pun pakaiannya yang nampak bersih itu sudah penuh dengan tambalan, seperti pakaian yang dipakai Yok-sian Lo-kai.
Agaknya pagi yang cerah itu telah membangkitkan kegembiraan di hati Yok-sian. Dia pun memandang ke atas lalu menyanyikan sebuah sajak.
"Mari pada menguasai sampai sepenuhnya lebih baik berhenti pada saatnya. Menempa untuk mencapai tajamnya ketajaman itu takkan bertahan lama. Ruangan penuh dengan emas dan batu permata tidak mungkin dapat dijaga. Angkuh karena mewah dan mulia dengan sendirinya membawa bencana. Tugas selesai, nama menyusul, diri mundur demikianlah jalan yang ditempuh langit."
"Nah sajak Suhu sekali ini membuat aku bingung dan tidak mengerti apa artinya. Maukah Suhu menjelaskan kepadaku?"
"Apa yang tidak jelas? Sajak itu sendiri sudah menjelaskan artinya. Di situ dinasehatkan supaya kita jangan menuruti kehendak nafsu yang ingin memiliki sepenuhnya, menguasai sepenuhnya, yang akhirnya tidak pernah puas dan tergelincir oleh tindakan sendiri. Lebih baik berhenti pada saatnya atau mengenal batas. Segala sesuatu yang dipaksakan untuk diperoleh, maka yang diperoleh itu tidak akan bertahan lama, akan membosankan. Harta kekayaan yang berlebihan hanya akan menimbulkan rasa iri hati dan mengundang maling untuk mencurinya. Kalau orang menjadi angkuh karena kemewahan dan kemuliaan, harta benda atau kedudukan tinggi, hal itu akhirnya akan mendatangkan bencana pada dirinya sendiri. Kalau merasa sudah menyelesaikan tugas dengan baik, tentu namanya menjadi harum dan dia boleh mengundurkan diri untuk menyatukan diri dengan Tuhan. Jalan itulah yang ditempuh oleh Langit dan Bumi, yang bersikap selaras dengan kehendak Tuhan."
"Aduh, demikian dalamnya isi sajak itu, Suhu. Siapakah pembuat sajak itu?"
"Sajak itu termuat dalam kitab Tao-tek-keng, merupakan ujar-ujar peninggalan dari Sang Bijaksana Lo Cu. Kelak bila ada kesempatan engkau harus menghafalkan dan memahami seluruh sajak Tao-tek-keng itu."
Mereka kini memasuki kota Souw-ciu dari arah barat. Kota itu cukup ramai dan dikelilingi bukit-bukit sehingga pemandangannya indah dan hawanya juga sejuk. Gembira rasa hati Si Kong ketika dia memasuki kota, melihat banyak toko, rumah makan dan penginapan.
"Suhu, aku dapat mencari pekerjaan di kota ini!" katanya. "Di sini banyak sekali toko-toko besar, rumah makan dan penginapan."
"Hemmm, kita lihat saja nanti. Belum tentu aku suka tinggal lama di tempat ini. Mari kita melihat ke sana, agaknya di sana itu ada pasar yang ramai."
Mereka berjalan terus dan tiba-tiba perhatian mereka tertarik oleh sedikit keributan yang terjadi di depan sebuah rumah makan. Nampak seorang pengemis berpakaian compang-camping warna hitam sedang ribut mulut dengan seorang pengemis lain yang pakaiannya tambal-tambalan berkembang.
"Tidak usah banyak cakap! Engkau bersama rombonganmu tidak kami perbolehkan untuk mengemis di kota ini, kecuali kalau kalian menjadi anggota kami!" kata si pengemis baju berkembang.
"Kalian selalu mengganggu kami! Kami sudah mempunyai perkumpulan sendiri dan kami tak sudi menjadi anggota perkumpulan kalian. Sudah semenjak dulu kami bekerja di sini, karena itu kalian tidak berhak melarang."
"Ah, berani membantah, ya? Engkau sudah bosan hidup rupanya!" Dan si pengemis baju berkembang itu segera menyerang pengemis baju hitam.
Terjadilah perkelahian saling pukul dan saling tendang. Tidak lama kemudian datang lima orang pengemis baju berkembang, juga lima orang pengemis berbaju hitam dan terjadilah perkelahian di antara mereka. Orang-orang segera datang menonton perkelahian antara pengemis itu.
Sejak tadi Yok-sian Lo-kai berhenti melangkah dan menonton perkelahian. Melihat betapa perkelahian telah menjadi keroyokan, dia berkata kepada Si Kong, "Orang-orang itu tidak tahu diri. Pekerjaan mengemis saja diperebutkan! Si Kong, coba kau gunakan tongkatmu untuk melerai mereka. Kalau mereka masih nekat berkelahi, hajar mereka semua dengan gebukan tongkatmu!"
Selama ini belum pernah Si Kong berkelahi. Biar pun dia sudah menguasai Tongkat Sakti penggebuk anjing dengan baik, akan tetapi belum pernah dia gunakan untuk bertanding. Kehidupan mereka sebagai pengemis itu tentu saja tidak pernah menarik perhatian para perampok atau penjahat sehingga dia dan gurunya tidak pernah diganggu orang.
Kini gurunya menghendaki agar dia melerai dua belas orang yang sedang berkelahi dan merobohkan mereka semua apa bila mereka tidak mau berhenti berkelahi. Akan tetapi dia tidak membantah. Diturunkannya keranjang rempah-rempah dari pikulannya, lalu dengan senjata tongkat bambu di tangan dia menghampiri mereka yang sudah saling pukul itu.
"Heiiii, kawan-kawan! Berhentilah berkelahi! Tidak baik berkelahi antara kita sendiri. Hayo, berhenti!"
Akan tetapi saat melihat bahwa yang melerai itu adalah seorang pemuda pengemis pula, bukan anggota pengemis baju hitam dan juga bukan anggota pengemis baju berkembang, para pengemis itu tidak peduli, bahkan mereka berbalik menyerang Si Kong! Baik yang baju hitam mau pun yang baju berkembang kini menyerang Si Kong!
Si Kong cepat mengelak kemudian memutar tongkat bambunya. Gerakan para pengemis itu terlampau lamban baginya dan mudah saja untuk dirobohkan. Akan tetapi hati Si Kong tidak tega untuk menyakiti mereka. Karena itu tongkatnya bergerak hanya untuk menjegal atau mendorong sehingga berturut-turut dua belas orang pengemis itu lantas terpelanting ke kanan kiri!
Para pengemis itu terkejut. Mereka yang memakai baju berkembang segera bangkit dan seorang di antara mereka menudingkan telunjuknya kepada Si Kong sambil berkata,
"Awas akan pembalasan kami!" Dia lalu memberi isyarat kepada kawan-kawannya untuk pergi dari situ.
Sementara itu enam orang pengemis baju hitam tidak segera pergi, melainkan menatap tajam ke arah Si Kong dan Yok-sian Lo-kai. Mereka mengerti bahwa pemuda itu hanya melerai, buktinya di antara mereka tidak ada seorang pun yang terluka. Tiba-tiba seorang di antara mereka melihat keranjang rempah-rempah di dekat Yok-sian Lo-kai, kemudian dia segera memberi hormat dan bertanya,
"Bukankah locianpwe ini yang berjuluk Yok-sian Lo-kai?"
"Ha-ha-ha-ha, sialan itu nama! Di mana-mana ada saja yang mengetahuinya. Benar, aku adalah Yok-sian Lo-kai. Kalian ini apa-apaan, di antara sesama pengemis saling hantam! Sungguh memalukan sekali!"
Kini enam orang itu menjatuhkan diri berlutut di depan Yok-sian Lo-kai dan salah seorang di antara mereka berkata, "Kami mohon bantuan locianpwe!"
"Apa? Kalian menyuruh aku ikut campur dalam perkelahian antara pengemis? Nanti dulu! Aku bukan orang yang suka memusuhi sesama pengemis, dari mana pun pengemis itu berasal."
"Bukan urusan itu, locianpwe. Akan tetapi kami mohon pertolongan agar locianpwe suka mengobati ketua kami yang terluka parah."
"Hemmm, kenapa dia terluka parah? Apakah karena dia berkelahi pula dengan pengemis lain?"
"Locianpwe akan mendengarnya sendiri nanti. Tadi pun kami tidak bermaksud memusuhi pengemis baju berkembang, melainkan merekalah yang melarang kami mengemis kecuali kalau kami mau menjadi anggota mereka. Kami mohon locianpwe sudi menolong kami..."
"Hemmm, membikin repot saja. Hayo Si Kong, kita ikuti mereka."
Enam orang pengemis itu kelihatan gembira sekali. Mereka lalu menjadi penunjuk jalan, diikuti oleh Yok-sian Lo-kai dan Si Kong. Orang-orang yang tadi menonton juga bubaran, dan mereka ramai membicarakan serta memuji pemuda yang dengan tongkat bambunya dapat membuat dua belas orang yang berkelahi itu menjadi kocar-kacir.
Enam orang itu ternyata keluar dari kota dan menuju ke selatan. Di luar kota ini terdapat sebuah kuil tua yang sudah tidak dipergunakan lagi, dan agaknya kuil ini menjadi tempat tinggal perkumpulan pengemis Baju Hitam. Ketika mereka sampai di situ, terlihat belasan orang pengemis baju hitam sedang duduk di beranda kuil. Begitu melihat enam orang rekan mereka datang bersama dua orang pengemis asing, mereka semua bangkit berdiri dan menyambut.
"Bagaimana keadaan pangcu (ketua)?" tanya seorang dari enam orang pengemis yang baru datang itu.
"Nah, makin payah. Napasnya terengah-engah dan tubuhnya panas sekali," kata seorang di antara mereka yang tadi duduk di beranda.
"Locianpwe, silakan masuk. Pangcu kami berada di kamar dalam."
Yok-sian Lo-kai mengangguk dan bersama Si Kong dia mengikuti pengemis itu memasuki kuil, sebuah kuil yang sudah tua dan cukup besar. Mereka diajak masuk ke dalam sebuah kamar di mana tampak beberapa orang pengemis baju hitam tengah menjaga sang ketua yang sedang sakit.
Melihat keadaan yang gawat dari ketua itu, tanpa diminta lagi Yok-sian Lo-kai langsung menghampirinya, lantas memegang pergelangan tangan si sakit untuk merasakan denyut nadinya.
"Hemm, dia keracunan!" katanya.
"Dia terluka pukulan di dadanya," kata seorang pengemis.
"Coba buka bajunya, perlihatkan luka itu," kata Yok-sian.
Baju pengemis yang sakit itu segera dibuka dan nampaklah gambar lima jari tangan atau cap telapak tangan pada dada itu. Yok-sian memeriksa luka atau bekas pukulan tangan itu, merabanya dan berkata,
"Kalian semua boleh keluar. Biarkan aku dan muridku mengobatinya."
Mendengar ucapan ini, para pengemis baju hitam lalu keluar dari dalam kamar. Yok-sian menoleh kepada muridnya kemudian berkata, "Ini kesempatan baik bagimu untuk menguji kepandaianmu dalam ilmu pengobatan. Hayo, coba kau periksa keadaannya dan katakan bagaimana pendapatmu dan cara mengobatinya."
Si Kong yang sudah bertahun-tahun mempelajari ilmu pengobatan dari gurunya, segera menghampiri si sakit. Dia memeriksa nadinya, dirabanya dadanya dan didengarnya detak jantungnya. Kemudian dia berkata penuh keyakinan kepada gurunya.
"Dia menderita pukulan beracun, Suhu. Tangan lawannya itu tentu mengandung sinkang panas. Pengobatannya adalah dengan tusuk jarum atau totokan jari ke arah Ci-kiong-hiat, Koan-goan-hiat dan Thian-ti-hiat. Juga perlu dilakukan totokan-totokan untuk mengalirkan darah ke arah luka. Sementara itu dia harus diberi minum obat pembersih darah dan obat menurunkan panas. Kalau itu masih kurang, boleh menyalurkan sinkang untuk membantu hawa murni di tubuhnya yang keluar dari tantian. Demikianlah, Suhu, mudah-mudahan apa yang teecu kemukakan itu benar."
"Ha-ha-ha-ha, bagus! Memang itu cara pengobatan yang baik sekali. Sekarang lakukanlah totokan-totokan itu," kata Yok-sian Lo-kai.
Si Kong memandang kepada tubuh yang bagian atasnya telanjang itu, kemudian sambil mengerahkan tenaganya mulailah dia menotok jalan-jalan darah yang disebutkannya tadi. Bajunya basah dengan keringat ketika selesai melakukan totokan terakhir di sekitar dada yang terluka. Hatinya girang karena dia melihat betapa tanda telapak tangan menghitam itu kini sudah mulai pudar.
"Sekarang minggirlah. Engkau masak obat pembersih darah dan obat menurunkan panas di luar, sementara aku akan menyalurkan sinkang kepadanya."
Si Kong merasa gembira bahwa cara dia mengobati ketua Hek I Kaipang (Perkumpulan Pengemis Baju Hitam) tadi ternyata benar. Dia lalu keluar membawa keranjang rempah-rempah dan minta kepada para pengemis agar disediakan perapian untuk memasak obat.
Sesudah selesai memasak obat kemudian membawa dua mangkok kecil ke dalam kamar, Si Kong melihat suhu-nya sedang menempelkan telapak tangan kirinya pada dada ketua perkumpulan pengemis itu sambil memejamkan mata. Tahulah dia bahwa gurunya tengah mengerahkan tenaga sakti ke dada orang sakit itu untuk mengusir sisa hawa kotor yang terkandung dalam pukulan tangan beracun itu.
Dia sendiri telah mempelajari dan dapat menghimpun tenaga sinkang yang lumayan, akan tetapi tenaga saktinya belum cukup kuat untuk mengusir hawa kotor itu. Oleh karena itu suhu-nya yang melakukannya.
Sesudah Yok-sian Lo-kai menyalurkan hawa sakti dari telapak tangannya, perlahan-lahan nampak kelopak mata kakek yang sakit itu mulai bergerak. Dia lantas membuka matanya dan mencoba untuk bangkit. Yok-sian cepat membantunya bangkit duduk, dan dia minta dua mangkok yang dibawa masuk Si Kong.
"Minumlah dua mangkok obat ini dan engkau akan sembuh seperti sedia kala."
Kai-pangcu (ketua perkumpulan pengemis) itu tidak membantah dan minum dua mangkok obat itu. Tenaga kakek itu kini pulih dan wajahnya kemerahan, juga dadanya sudah tidak ada lagi tanda-tanda menghitam. Dia memandang kepada Yok-sian Lo-kai, lalu kepada Si Kong dan dia lalu turun dari pembaringan dan menjatuhkan diri berlutut di depan Yok-sian.
"Atas pertolongan locianpwe Yok-sian Lo-kai, saya menghaturkan terima kasih."
Yok-sian Lo-kai tertawa sambil memandang kepada muridnya. "Ha-ha-ha! Lihat, Si Kong, betapa tak enaknya menjadi orang terkenal. Di mana-mana ada saja orang mengenalnya, padahal orang itu tidak pernah berjumpa dengannya." Setelah berkata demikian dia lantas mempergunakan tongkatnya, dimasukkan ke bawah lengan ketua itu dan sekali bergerak, ketua itu sudah dipaksa berdiri.
"Jangan keterlaluan, aku bukan raja kenapa mesti berlutut? Dan bagaimana engkau bisa tahu siapa diriku?"
Dengan sikap hormat agak membungkuk Hek I Kai-pangcu itu lalu berkata, "Sudah saja. Melihat pakaian locianpwe jelas pakaian seorang pengemis, dan melihat betapa locianpwe dapat menyembuhkan dan memulihkan kesehatan saya, jelas bahwa locianpwe seorang ahli pengobatan luar biasa yang mempunyai ilmu tinggi. Siapa lagi pengemis yang pandai ilmu pengobatan selain Yok-sian Lo-kai?"
"Dan siapakah engkau? Mengapa engkau sampai terluka oleh pukulan keji itu?"
Ketua itu menarik nafas panjang. "Saya adalah ketua perkumpulan Pengemis Baju Hitam. Semenjak dulu kami selalu mengambil jalan benar, mengemis kepada orang-orang yang dermawan dan tak pernah melakukan kejahatan dalam bentuk apa pun. Akan tetapi pada suatu hari muncul pengemis-pengemis yang memakai baju berkembang, dan mereka lalu melarang kami mengemis di tempat ini. Kami baru boleh mengemis jika menjadi anggota perkumpulan mereka. Akan tetapi melihat cara mereka mengemis yang tak ada bedanya dengan merampok, mengemis dengan paksa, maka kami tidak sudi bergabung. Lalu pada suatu hari, yaitu sepekan yang lalu, ketuanya datang dan menantangku. Aku terluka oleh pukulannya yang keji."
Yok-sian Lo-kai mengerutkan alisnya. Walau pun dia tidak aktif di dalam dunia mengemis, namun dia sudah mendengar keadaan para perkumpulan pengemis di mana-mana.
"Tapi sepanjang pendengaranku, Hwa I Kaipang (Perkumpulan Pengemis Baju Kembang) adalah kaipang yang bersih, dipimpin oleh ketuanya yang baik pula."
Hek I Kai-pangcu menghela napas panjang. "Dulu pun saya menganggap demikian. Nama saya adalah Lu Tung San, dan saya kenal baik dengan ketua Hwa I Kaipang. Akan tetapi yang muncul dan mengaku sebagai ketua Hwa I Kaipang sama sekali bukan ketua yang saya kenal, melainkan seorang yang masih muda dan entah bagaimana dia bisa menjadi ketua Hwa I Kaipang dan membawa perkumpulan pengemis itu ke jalan sesat."
"Dan di mana adanya ketua yang dulu?"
"Tidak seorang pun yang mengetahui nasibnya dan di mana dia berada."
"Nah, benar-benar gawat kalau begitu. Pangcu, mari antar kami ke sarang Hwa I Kaipang. Kami terpaksa harus campur tangan dalam urusan ini karena dapat mencemarkan nama baik para pengemis. Kalau dibiarkan saja tentu sukar membedakan antara pengemis dan perampok."
"Baik, akan saya antar sekarang juga. Dan perlukah anak buah Hek I Kaipang ikut? Siapa tahu mereka akan melakukan pengeroyokan."
"Tidak perlu. Yang hendak kami temui hanyalah ketuanya. Perkumpulan pengemis adalah perkumpulan orang-orang yang taat kepada pimpinan. Kalau ketuanya sudah dapat kita bereskan, tentu anak buahnya akan mentaati kita."
Lu Tung San, ketua Hek I Kaipang, ternyata sudah sembuh sama sekali. Karena selama sepekan ini hampir dapat dikatakan dia tidak bisa makan, maka para anggotanya sudah menyiapkan makan minum untuk ketua mereka. Lu Tung San lalu mengajak Yok-sian dan Si Kong untuk makan bersama. Dan ternyata makanan itu cukup lumayan, bahkan cukup mewah bagi para pengemis. Sesudah makan Lu Tung San berangkat bersama Yok-sian Lo-kai dan Si Kong yang tidak lupa memikul keranjang rempah-rempah milik gurunya.
Sarang Hwa I Kaipang juga berada di luar kota, akan tetapi bukan merupakan rumah tua bekas kuil seperti yang ditempati oleh Hek I Kaipang. Di luar kota, di lereng sebuah bukit, berdiri sebuah rumah besar dari tembok dan itulah sarang Hwa I Kaipang.
Ketika mereka mendaki bukit itu, ada beberapa anggota Hwa I Kaipang melihat mereka. Mereka mengenal Lu Tung San, karena itu mereka cepat berlari ke sarang mereka untuk melaporkan kunjungan Lu Tung San yang pernah dirobohkan ketua mereka yang baru itu.
Tepat seperti yang dikatakan Yok-sian, tadinya Hwa I Kaipang juga merupakan sebuah perkumpulan pengemis yang sederhana dan baik, tak pernah melakukan pemerasan atau kejahatan lain. Baru beberapa bulan yang lalu, pada suatu hari datanglah seorang laki-laki berusia kurang lebih tiga puluh lima tahun ke sarang Hwa I Kaipang. Laki-laki itu bertubuh tinggi besar dan bermuka hitam.
Sawah dan ladang terpaksa dibiarkan menganggur setelah dicangkuli, nampak tergeletak dan dengan sabar menanti datangnya air hujan. Bila angin berhembus kuat nampak debu mengepul di permukaan tanah. Matahari bersinar terik, dan beberapa gumpalan-gumpalan awan putih tidak menjanjikan hujan yang ditunggu-tunggu itu. Anak-anak sungai tidak ada airnya dan dasarnya yang masih agak basah itu dipenuhi rumput-rumput.
Beberapa ekor kerbau yang ramping kurus mencoba untuk makan rumput yang tumbuh di tengah anak sungai. Seorang lelaki setengah tua yang sama kurusnya mencontoh usaha kerbau-kerbau itu, mencabuti rumput hijau untuk dimakan! Dari pada mati harus kelaparan maka diambilnya apa saja yang masih nampak hijau dan masih hidup untuk dimasak dan dimakan, terutama bagi anaknya yang masih kecil di rumah!
Jauh di atas nampak beberapa ekor burung beterbangan. Mereka lebih beruntung karena dengan sayapnya mereka dapat terbang jauh untuk mencari makanan. Banyak serangga terpaksa keluar dari sarang mereka di bawah tanah untuk mencari makanan yang sangat kurang bagi mereka sehingga serangga-serangga ini menjadi makanan burung. Musim kering yang panjang, mengeringkan segala yang berada di atas permukaan bumi, menjadi masa yang sengsara bagi para petani dusun.
Dusun Ki-ceng di kaki pegunungan itu dilanda mala petaka musim kering yang panjang. Banyak penduduk yang mati karena kelaparan. Satu-satunya sumber air yang terdapat di dusun itu masih mengeluarkan air, akan tetapi hanya tinggal sepersepuluh dari biasanya. Air yang mengucur kecil inilah yang setiap hari dibuat rebutan oleh para penduduk dusun, hanya sekedar untuk minum. Tubuh yang kurus kering dengan pakaian compang-camping itu kulitnya kelihatan kering dan dimakan kutu penyakit gatal. Perut anak-anak membesar walau pun kaki tangannya mengecil, tanda mereka menderita penyakit busung lapar. Memang ada beberapa orang kaya di dusun itu, yang menjadi tuan-tuan tanah.
Namun mereka sama sekali tak pernah mempedulikan keadaan rakyat di sekitar mereka. Mereka menutup pintu gudang yang penuh beras dan gandum itu rapat-rapat. Kalau pun ada yang mau menolong, tentu ada pamrihnya. Yang mempunyai anak gadis cantik dan bersih akan ditolong, tentu saja dengan menyerahkan anak gadisnya kepada si hartawan untuk ditukar dengan beberapa karung gandum atau beras.
Keluarga Si Cun termasuk satu di antara para keluarga miskin itu. Si Cun sudah berusia lima puluh tahun, ada pun isterinya beberapa tahun lebih muda dari pada dia. Keluarga ini mempunyai tiga orang anak, yang pertama seorang anak perempuan dan yang dua orang lagi anak laki-laki. Anak perempuan itu bernama Si Kiok Hwa, anak yang kedua bernama Si Leng dan yang ketiga bernama Si Kong.
Karena sudah tidak mampu mendapatkan makanan lagi, maka ketika Hartawan Lui yang tertarik kepada kecantikan Kiok Hwa menurunkan bantuan, Si Cun terpaksa menyerahkan Kiok Hwa untuk menjadi selir hartawan itu, menukar anaknya dengan lima karung beras. Nasib Kiok Hwa yang baru berusia enam belas tahun itu benar-benar patut dikasihani. Dia dipaksa menyerahkan dirinya kepada Hartawan Lui yang berusia hampir tujuh puluh tahun itu. Akan tetapi dia menerima nasib.
Kalau dia tidak mau, berarti dia sekeluarga akan mati kelaparan. Lima karung beras itu hanya bertahan beberapa bulan saja, dan setelah itu tidak mungkin mengharapkan uluran tangan dari Kiok Hwa. Anak perempuan itu seakan-akan telah mati bagi keluarga Si, karena dilarang keluar apa lagi memberikan apa-apa untuk keluarganya.
Pada suatu hari Si Leng, anak yang kedua itu, tidak pulang ke rumah. Ayah ibunya dan Si Kong yang baru berusia sepuluh tahun tentu saja menjadi bingung sekali dan mencari ke mana-mana. Akhirnya beberapa orang tetangga datang menggotong tubuh Si Leng yang berusia empat belas tahun itu dalam keadaan sudah tidak bernyawa lagi. Menurut cerita para tetangga, Si Leng hendak mencuri di rumah Hartawan Lui, naik ke pagar tembok dan ketahuan penjaga yang mengejarnya dan membacoknya dengan golok sehingga anak itu tewas!
Si Cun sekeluarga menangis dan meratapi kematian anak mereka. Mereka tahu benar bahwa Si Leng pergi ke sana bukan untuk mencuri, akan tetapi hendak menemui kakak perempuannya dan minta bantuan. Untuk masuk melalui pintu depan tentu tidak mungkin sebab akan diusir para tukang pukul. Maka dia pun naik ke pagar tembok dengan harapan bertemu dengan enci-nya di bagian belakang gedung itu. Akan tetapi nasibnya buruk dan dia ketahuan tukang pukul, dituduh mencuri dan dibunuhnya!
Si Cun tidak berdaya. Mau melapor ke mana? Yang berwajib di dusun itu adalah Lurah Ciu. Dan lurah ini tentu akan menyalahkan Si Leng yang dituduh mencuri dan memarahi Si Cun yang dikatakan tidak dapat mendidik anaknya. Kiok Hwa yang berada di gedung Hartawan Lui itu pun mendengar tentang adiknya yang terbunuh karena meloncati pagar tembok, tetapi dia pun hanya dapat menangisi kematian adiknya itu, tak dapat berbuat apa-apa.
Dalam keadaan terhimpit itu Si Cun terpaksa menggadaikan sawahnya kepada Hartawan Boan, seorang hartawan lain di dusun Ki-ceng. Dia memperoleh hanya sepuluh tael perak dan hutangnya itu dibebani bunga yang tinggi, sepuluh prosen sebulan. Tanah itu menjadi milik hartawan Boan sampai Si Cun dapat mengembalikan utangnya berikut bunganya.
Uang sepuluh tael perak itu dibelikan beras. Akan tetapi keluarga yang hanya tinggal tiga orang ini setiap hari harus makan bubur yang banyak airnya, itu pun dibagi-bagi di antara tiga orang itu. Ketika hujan mulai turun, uang itu pun sudah habis. Untuk mengembalikan hutang yang telah menjadi dua puluh tael itu tentu saja Si Cun tidak sanggup. Dan karena tanahnya dikuasai hartawan Boan, terpaksa Si Cun bekerja kepada tuan tanah sebagai buruh tani!
Dia mulai mencangkul tanah miliknya sendiri sebagai buruh tani. Curahan peluhnya untuk menyuburkan hasil sawah itu hasilnya bukan untuk dia, melainkan untuk tuan tanah Boan dan dia hanya kebagian sepersepuluh bagian. Hanya cukup untuk makan setiap hari saja dan tidak ada sisa untuk ditabung sebagai pembayar utang.
Dengan sendirinya hutang itu semakin menumpuk, tertimbun bunganya sehingga setahun kemudian hutang itu telah menjadi berlipat ganda! Si Cun kehilangan anak gadisnya, juga kehilangan anak kedua, dan akhirnya kehilangan sawahnya pula!
Setiap malam Si Cun dan isterinya merenungi nasib mereka dan air mata Nyonya Si Cun sampai habis terkuras karena setiap malam menangis. Dari pagi sampai petang mereka bertiga bekerja di sawah. Bahkan Si Kong yang baru berusia sepuluh tahun itu pun turut membantu mencangkul di sawah.
Kehidupan manusia di dunia ini teramat janggal, teramat tidak adil. Si kaya mempunyai makanan, pakaian dan rumah yang berlebihan, ada pun si miskin yang tinggal di sebelah rumahnya sedemikian melaratnya sehingga untuk makan saja tidak cukup! Malaskah si miskin itu? Sama sekali tidak. Malah mereka bekerja keras siang malam untuk sekedar bertahan hidup.
Menyedihkan memang! Apa lagi jika melihat si kaya membeli barang-barang mewah yang tak perlu. Padahal uang yang dihamburkan itu dapat menghidupi banyak keluarga miskin. Lebih menyedihkan lagi kalau banyak sekali uang dihamburkan untuk membeli senjata untuk mempertahankan diri. Padahal uang untuk membeli senjata itu bisa menghidupkan suatu bangsa yang sedang dilanda kemiskinan.
Alangkah baiknya jika dalam kehidupan ini manusia mau saling menolong, bangsa saling menolong sehingga tidak akan terjadi permusuhan. Alangkah indahnya kalau sinar kasih menyelimuti kehidupan kita, bukan permusuhan, dendam dan kebencian!
Musim kering sudah lewat. Sawah ladang nampak hijau segar. Lautan daun padi nampak menghijau dan ketika angin bertiup daun-daun itu seperti menari-nari, merayakan musim panen yang segera datang. Akan tetapi semua yang serba indah itu bagaikan ejekan bagi keluarga Si. Pada waktu mereka bertiga menjaga sawah yang mulai berbuah itu, mereka merenungi nasib mereka, seakan tenggelam dalam lautan menghijau itu.
Sesudah bekerja keras tanpa mengenal lelah, akhirnya Si Cun dan isterinya dapat juga memetik hasilnya. Walau pun hanya mendapat sepuluh bagian, akan tetapi karena hasil sawahnya banyak sekali, mereka bisa menjual hasil panen untuk mengembalikan hutang kepada Hartawan Boan sebanyak dua puluh lima tael.
Sawah itu kembali kepada mereka, namun hidup mereka tetap miskin. Sisa hasil sawah yang dijual mampu menahan mereka dari ancaman kelaparan, akan tetapi mereka harus berhemat. Makan dikurangi, pakaian pun tidak membeli melainkan memakai satu-satunya pakaian yang melekat di badan! Bila mana sedang mencuci pakaian maka mereka hanya menggunakan selimut butut untuk menutupi tubuh mereka yang telanjang.
Pengalaman pahit membuat orang menjadi kebal dan pengalaman itu tidak terasa pahit lagi. Makan sedikit bubur dengan garam tidak mendatangkan kesedihan bagi orang yang sudah terbiasa dengan makanan itu. Kehidupan yang keras dan sukar tertanam dalam-dalam di jiwa Si Kong sehingga anak ini dapat mandiri dalam usianya yang baru sepuluh tahun.
Dia menjadi seorang anak yang tabah dan tidak cengeng. Dia seakan lupa lagi untuk menangis karena di waktu kecilnya sudah terlampau banyak menangis. Tubuhnya pun menjadi kokoh kuat, tulang-tulangnya mengeras dan daya tahannya luar biasa. Dia mampu mencangkul seharian penuh tanpa istirahat dan hanya makan semangkok bubur encer!
Kemalangan bagi seorang manusia kadang datang secara bertubi-tubi. Baru saja keadaan keluarga Si sedikit membaik karena tanahnya sudah kembali kepada mereka, timbullah wabah penyakit di dusun Ki-ceng. Di antara orang-orang yang terkena penyakit ini, juga termasuk Si Cun dan isterinya!
Karena keadaan, maka penghidupan mereka tidak dapat disebut bersih. Dan inilah yang membuat mereka kejangkitan wabah penyakit itu. Dan dalam waktu sepekan saja, Si Cun dan isterinya berturut-turut meninggal dunia!
Dunia terasa kiamat bagi Si Kong yang usianya baru sepuluh tahun itu! Bagi Si Kong dan mungkin kebanyakan orang, peristiwa itu dianggap keterlaluan seakan-akan Tuhan tidak adil! Tentu karena manusia hanya melihat segi lahiriahnya saja!
Tuhan Maha Adil! Hanya jalan yang ditempuh Tuhan untuk menentukan sesuatu menjadi rahasia besar bagi kita, tidak terjangkau oleh akal pikiran kita. Bagi kita hanya ada satu sikap, yaitu berikhtiar sekuat dan sebaik mungkin, akan tetapi menerima kenyataan dan keadaan dengan pasrah dan menguatkan iman kita bahwa apa yang Tuhan kehendaki semua terjadilah!
Dan semua itu terjadi dengan benar dan adil. Kenapa terjadi begini atau kenapa terjadi begitu berada di luar kekuasaan kita. Hukum Karma takkan pernah menyimpang seujung rambut pun. Kita harus dapat menerimanya penuh kepasrahan, ikhlas dan dengan iman yang kuat akan kekuasaan, kebesaran dan kebenaran Tuhan!
Atas nasehat para tetangga, Si Kong terpaksa menjual sawah dan rumah gubuknya untuk membiayai pemakaman ayah ibunya. Dia menggunakan uang hasil penjualan sawah dan rumah itu untuk membeli peti mati dan semua keperluan sembahyang, kemudian dilayat oleh para tetangga, ayah ibunya dikuburkan secara sederhana.
Semua tetangga yang melayat telah meninggalkan tanah kuburan itu, akan tetapi Si Kong tidak mau pergi. Beberapa tetangga mencoba untuk membujuknya, namun Si Kong tetap berkeras tidak mau pulang sehingga akhirnya semua orang meninggalkannya di hadapan sepasang makam itu.
Si Kong mendekam berlutut di hadapan kuburan ayah ibunya sambil menangis. Suaranya sampai habis dipakai menangis sejak kemarin. Dia merasa berduka dan nelangsa sekali. Kini dia hidup seorang diri, yatim piatu. Satu-satunya saudaranya hanyalah Si Kiok Hwa, namun enci-nya itu telah 'dipenjara' dalam gedung Hartawan Lui, tidak dapat dijumpainya. Bahkan mungkin enci-nya itu tidak tahu akan kematian orang tuanya.
Si Kong terus mendekam sambil menyentuh tanah. Dia tak merasakan lagi perutnya yang lapar dan seluruh tubuhnya yang lemah lunglai. Kalau mungkin dia tidak mau bangkit lagi selamanya, ingin berada di situ bersama makam ayah bundanya yang tercinta. Akhirnya tubuhnya yang tidak kuat dan dia pun tergolek pingsan.
Malam itu turun hujan. Keadaan gelap pekat, hanya kadang-kadang ada cahaya kilat yang menerangi permukaan bumi, meninggalkan bayang-bayang pohon raksasa yang nampak menyeramkan. Tanah kuburan itu menjadi tempat yang sangat mengerikan. Sesudah tubuhnya disiram air hujan, Si Kong siuman dari pingsannya. Tubuhnya terasa lemas dan begitu siuman dia pun teringat kepada ayah ibunya.
"Ayah...! Ibu...! Bawalah aku..., aku ikut...!" dia menangis dan berteriak-teriak. Kalau ada orang mendengarkan suara itu di tengah malam hujan di pekuburan, tentu mengira suara iblis.
Sesudah menangis dan berteriak-teriak sampai suaranya habis, Si Kong lalu bangkit. Dia memandang ke arah dua gundukan tanah itu dan baru sadar sepenuhnya apa yang telah terjadi. Ayah ibunya telah mati, telah dikubur dan tidak mungkin membawanya.
Dia harus pulang, akan tetapi pulang ke mana? Rumahnya sudah dijual, uangnya untuk biaya penguburan. Sisanya yang hanya tinggal beberapa keping saja ada di dalam saku bajunya yang basah kuyup. Dia menggigil dan menatap dua makam itu.
"Ayah... ibu... bagaimana dengan aku ini...?" kembali dia menubruk makam itu, kemudian menangis sambil memeluk dan rebah menelungkup di atas makam ibunya. Dia pingsan lagi!
Mengenang masa lampau, takut menghadapi masa depan, menimbulkan duka. Apa bila kita sedang berduka, duka itu makin menghebat jika kita membandingkan keadaan kita dengan keadaan orang lain, karena kita selalu tengadah dan melihat mereka yang berada di atas kita. Kalau kita melihat ke atas, yang nampak hanyalah orang-orang yang lebih tinggi kedudukannya dari pada kita, lebih kaya, lebih senang dan sebagainya, pendeknya serba lebih dari pada kita. Akan tetapi sekali kita menunduk, melihat ke bawah, ternyata masih banyak sekali orang yang lebih rendah dari pada kita, lebih miskin, lebih sengsara dan baru kita menyadari bahwa keadaan kita masih lebih baik dari pada keadaan banyak orang!
Kali ini air hujan yang kembali menyiram tubuhnya tidak mampu menggugah Si Kong dari pingsannya. Dia pingsan terus sampai pagi, sampai matahari pagi mulai menghidupkan segala sesuatu, mengusir kabut dan kegelapan.
Seorang kakek yang pakaiannya penuh tambalan memasuki kuburan itu. Usianya sudah enam puluhan tahun, tangan kanannya membawa sebatang tongkat bambu dan tangan kirinya menjinjing sebuah keranjang berisi beberapa macam daun dan akar-akaran. Kakek berusia enam puluhan tahun itu rambutnya telah berwarna dua, hitam dan putih sehingga dari jauh kepalanya nampak kelabu.
Namun wajahnya yang lebar itu masih nampak muda tanpa keriput, bahkan kedua pipinya kemerahan tanda sehat dan mulutnya tidak pernah berhenti tersenyum. Matanya juga bersinar-sinar sehingga wajah itu selalu terlihat berseri. Mukanya menengok kanan kiri, dan agaknya dia mencari tumbuh-tumbuhan, sementara mulutnya perlahan menyanyikan sajak.
"Bacoklah air dengan pedang dan air akan mengalir terus, benamkan duka dalam arak dan kedukaan makin bertambah, dalam hidup ini, harapan-harapan kita terpenuhi, kelak dengan rambut terurai lepas, kita akan pergi."
"Anda bertanya mengapa aku memilih tinggal di pegunungan. aku tersenyum tanpa jawab, hatiku dalam kedamaian, bunga persik pergi air mengalir, terdapat Langit dan Bumi di luar dunia manusia."
Sajak itu adalah tulisan pujangga Li Pai (701-762) ratusan tahun yang lalu, dinyanyikan oleh kakek itu dengan suaranya yang dalam.
Dan Si Kong masih pingsan atau tertidur itu bermimpi. Dia merasa duduk dekat perapian yang dibuat di dalam rumah dan dirangkul ibunya. Detak jantung ibunya terasa olehnya, menimbulkan suasana akrab dan hangat. Telinganya seakan mendengar suara ayahnya yang agak parau dan dalam, dan suara itu mendatangkan rasa damai dan tenteram dalam hatinya.
Alangkah senangnya duduk di dekat api dalam rangkulan ibunya sambil mendengar suara ayahnya. Memang perutnya masih terasa lapar. Makan semangkok bubur malam itu tidak memuaskan perutnya. Tetapi suasana yang akrab dan tenteram itu amat menyenangkan.
"Hei, nak, matahari telah naik tinggi akan tetapi engkau masih enak-enak tidur di sini?" Ia mendengar teguran ayahnya. Ayahnya memang tidak senang bila melihat dia bermalas-malasan.
Kemudian pundaknya terasa diguncang dan suara ayahnya terdengar lagi. "Hayo bangun! Engkau bisa sakit tidur di sini!"
Eh, mengapa ayahnya berkata demikian? Dan suara itu, memang dalam akan tetapi tidak parau. Bukan suara ayahnya! Si Kong segera bangkit dari tidurnya. Sinar matahari tepat menerobos celah-celah daun lantas menimpa matanya. Dia melindungi matanya dengan punggung tangan, menggosok-gosoknya untuk mengusir sisa-sisa rasa kantuk, kemudian menurunkan kedua tangannya.
Terbelalak dia memandang kepada kakek yang tadi menyuruhnya bangun. Sama sekali bukan ayahnya, melainkan seorang kakek. Kakek itu asing pula, bukan penghuni dusun Ki-ceng. Seluruh penduduk dusun Ki-ceng dikenalnya, akan tetapi kakek ini tidak dikenal. Rasa lapar menggerogoti perutnya, akan tetapi ditahannya.
"Engkau siapakah, kek?" tanyanya.
"Ha-ha-ha-ha, sepatutnya aku bertanya engkau ini siapa dan apa kerjamu di sini? Engkau tertidur di atas makam dan seluruh pakaianmu basah. Lihat, mukamu juga membiru tanda kedinginan. Cepat kau kunyah ini kemudian telan, jangan pedulikan pedas dan pahitnya!" Dia menyodorkan sejari jahe yang diambilnya dari keranjang obatnya.
Si Kong tak membantah. Dia memang seorang anak yang penurut dan mudah memahami kehendak orang lain. Dia segera tahu bahwa kakek ini hendak menolongnya, maka dia pun menerima jahe itu dan dimakannya. Panas dan getir bukan main rasanya, akan tetapi terus ditelan saja. Ada rasa hangat di perutnya. Rasa hangat yang kemudian menjalar ke seluruh tubuhnya sehingga dia tidak lagi merasa kedinginan.
"Nah, sekarang engkau harus memberitahu kepadaku, mengapa engkau berada di sini, siapa namamu dan di mana pula rumahmu?"
Karena kedua kakinya agak gemetar dipakai berdiri, Si Kong duduk di atas batu di dekat makam ayah ibunya. "Namaku Si Kong dan ini adalah makam ayah dan ibuku yang baru dimakamkan kemarin sore."
"Kemarin sore dimakamkan lantas semalam suntuk engkau berada di sini, kehujanan dan kedinginan?" tanya kakek itu dengan suara mengandung keheranan dan juga kekaguman. Anak ini sungguh berbakti dan pemberani. Sukar dicari anak yang berani tinggal semalam suntuk di kuburan, apa lagi malam tadi gelap dan dingin banyak mengandung kilat.
"Mereka adalah orang tuaku, Kakek, dan aku tidak mempunyai siapa-siapa lagi." Teringat akan ini, Si Kong pun kembali mengeluarkan air mata. "Rumah kami sudah kujual untuk membeli peti mati. Aku tidak punya rumah lagi, sebatangkara di dunia ini."
Melihat anak itu mulai menangis dan mengguguk, kakek itu lantas meloncat dan tertawa-tawa. Suara tawanya berbaur dengan suara tangis Si Kong sehingga terdengar sungguh aneh. Bahkan Si Kong yang sedang menangis itu menghentikan tangisnya memandang kakek itu.
"Kek, apa yang kau tertawakan?"
"Anak yang baik, apa yang kau tangisi?"
"Aku menangisi kematian ayah ibuku," kata Si Kong penasaran.
"Ha-ha-ha, benarkah itu? Untuk apa engkau menangisi orang tuamu kalau engkau tidak tahu bagaimana keadaan mereka sekarang? Yang jelas mereka terhindar dari kemiskinan, dan terhindar dari sakit. Hal itukah yang kau tangisi? Ataukah engkau menangisi dirimu sendiri karena merasa ditinggalkan orang-orang yang kau sayangi, karena merasa hidup seorang diri dan tidak mempunyai siapa-siapa lagi, tidak memiliki apa-apa lagi? Itukah yang kau tangisi?"
Si Kong tertegun dan sadar. "Memang begituah, kek, aku menangisi diriku sendiri, merasa kasihan kepada diriku sendiri. Salahkah itu?"
"Ha-ha-ha, tidak salah melainkan tidak tepat. Manusia harus berusaha untuk mengatasi kesulitannya, bukan hanya ditangisi."
"Dan engkau sendiri mengapa tertawa-tawa, kek? Apa engkau menertawakan aku yang sedang berduka? Alangkah kejamnya engkau."
"Ha-ha-ha, aku tertawa karena melihat kelucuan. Betapa manusia diombang-ambingkan antara tawa dan tangis, antara suka dan duka. Baru terlahir telah menangis, masih belum puaskah? Menangis dan menangis lagi. Seorang bocah semacam engkau ini tidak pantas menangis, pantasnya tertawa seperti aku, mentertawakan dunia mentertawakan manusia dengan segala kepalsuannya! Sudahlah, berkabung semalam suntuk sudah cukup baik. Kulihat engkau kedinginan dan kelaparan. Dinginmu sudah kuusir dengan jahe tadi, akan tetapi kalau kubiarkan saja perutmu kosong, engkau dapat mudah diserang penyakit. Ini aku mempunyai beberapa potong buah pisang. Nah makanlah dan habiskan!"
Dia mengambil lima potong buah pisang dari keranjangnya. Si Kong terheran-heran. Dari mana kakek itu dapat memiliki buah pisang? Di daerah itu sama sekali tidak ada pohon pisang. Bahkan Si Kong baru melihat saja, tetapi belum pernah makan. Akan tetapi dia tidak menolak. Diterimanya buah pisang itu, dikupasnya kulitnya dan dimakannya dengan lahap. Sejak kemarin pagi perutnya tidak dimasuki apa-apa.
"Sekarang telanlah ini untuk menguatkan badanmu." Kakek itu kembali mengambil sebutir pil dari bungkusan di dalam keranjangnya. Pil itu berwarna merah dan tanpa ragu-ragi lagi Si Kong menelannya.
"Aku mendengar bahwa dusun Ki-ceng diserang wabah penyakit. Apakah orang tuamu juga terserang penyakit itu?"
"Agaknya begitulah, kek. Tubuh mereka panas sekali, lantas dalam waktu dua hari saja mereka meninggal dunia seperti orang-orang lain di dusun ini yang lebih dulu terserang."
"Engkau sebatang kara? Tidak memiliki apa-apa dan siapa-siapa?"
"Benar, kek..."
"Kalau begitu, maukah engkau ikut dan membantuku? Akan tetapi ingat, keadaanku tidak banyak bedanya denganmu, aku juga tidak mempunyai apa-apa dan siapa-siapa. Maukah engkau menjadi muridku?"
"Mnjadi murid? Belajar apakah, kek?"
"Ha-ha-ha, belajar apa? Mengobati orang, membaca huruf, dan juga mengemis!"
"Aku suka belajar mengobati orang dan membaca huruf, akan tetapi aku tidak mau belajar mengemis, kek."
"Mengemis adalah perbuatan yang penting untuk mencegah kita menjadi pencuri. Kalau kita dapat bekerja mencari nafkah, itu baik sekali. Akan tetapi kalau tidak bisa, lalu apa yang dapat kau makan? Tidak makan berarti mati, karena itu dari pada mencuri lebih baik mengemis, menggerakkan hati manusia untuk sekedar memberi semangkok nasi."
Si Kong tidak berpikir lama. Jelas bahwa kakek ini mempunyai hati yang baik. Dia dapat belajar mengobati dan juga membaca huruf. Soal mengemis, bagaimana nanti sajalah. Ia dapat bekerja apa saja.
"Bagaimana? Engkau suka menjadi muridku?"
Si Kong cepat menjawab. "Suka sekali!" kemudian dia segera menjatuhkan diri berlutut di hadapan kakek pengemis tua itu dan menyebut, 'suhu'.
"Bagus! Nah, mulai sekarang engkau harus menurut semua kata-kataku. Siapa namamu tadi? Si Kong? Orang-orang yang usil mulut menyebutku Yok-sian Lo-kai (Pengemis Tua Dewa Obat). Lihatlah, mereka mengangkatku menjadi Yok-sian (Dewa Obat) akan tetapi memakiku sebagai Lo-kai (Pengemis Tua). Akan tetapi aku sudah terbiasa dengan nama itu sehingga aku sudah lupa namaku sendiri, ha-ha-ha!"
"Suhu, kita akan ke mana sekarang?"
"Di Ki-ceng sedang berjangkit wabah yang menular. Orang tuamu sendiri menjadi korban. Kita harus menolong mereka yang sakit dan menjaga mereka yang belum ketularan agar tidak sakit. Hayo, antarkan aku ke rumah kepala dusun."
Si Kong menjadi penunjuk jalan. Sementara itu matahari mulai memuntahkan cahayanya yang panas sehingga pakaian Si Kong yang tadinya basah kuyup karena semalaman diguyur air hujan, kini mulai mengering. Mereka disambut oleh kepala dusun sendiri yang mengenal Si Kong.
"Si Kong, ada apakah engkau minta menghadapku dan siapakah kakek ini?"
"Lo-ya, kakek ini adalah guru saya berjuluk Yok-sian Lo-kai. Dia datang untuk mengobati mereka yang sakit terkena wabah."
"Ahhh, sungguh kebetulan sekali. Anakku juga terserang dan baru malam tadi badannya panas sekali," kata kepala dusun.
"Boleh aku memeriksanya dan mengobatinya?" tanya Yok-sian Lo-kai.
"Tentu saja. Mari, silakan masuk." Kepala dusun yang sedang gelisah itu mempersilakan mereka masuk. Kakek itu masih memegang tongkat bambunya, akan tetapi keranjang terisi rempah-rempah itu kini dibawakan oleh Si Kong.
Anak sakit itu berusia sepuluh tahun, sebaya dengan Si Kong. Pada saat Yok-sian Lo-kai memasuki kamarnya, anak itu dalam keadaan tidak sadar dan tubuhnya sangat panas. Yok-sian Lo-kai memeriksa denyut nadinya, membuka matanya dan mulutnya, kemudian mengangguk-angguk.
"Penyakit ini memang mudah menular, terbawa oleh lalat. Akan tetapi keadaannya masih dini, belum parah dan mudah-mudahan dia dapat disembuhkan."
Dengan jarinya kakek itu lalu menotok pada beberapa bagian tubuh anak itu. Anak itu kini siuman dan mengerang kepanasan. Kakek itu mengambil sedikit akar dan berkata kepada Si Kong.
"Si Kong, masaklah akar ini dengan semangkok air hingga mendidih dan tersisa setengah mangkok, lalu bawa kesini."
Isteri lurah yang juga berada di dalam kamar itu lalu menggapai ke arah Si Kong. "Mari kusediakan alatnya untuk memasak obat."
Mereka lalu ke dapur dan kakek itu tetap menggunakan jari-jari tangannya untuk menekan sana-sini. Sesudah obat itu selesai dimasak, Si Kong lalu membawanya kepada gurunya. Setelah obat itu agak dingin barulah Yok-sian Lo-kai menyuruh anak yang sakit itu minum obat itu sampai habis, kemudian dia menyuruh anak itu tidur kembali. Obat itu sungguh manjur sekali karena panas tubuh anak itu segera menurun. Tentu saja kepala dusun dan keluarganya merasa girang dan berterima kasih sekali.
"Kalian carilah ilalang dan akar ini sebanyaknya. Masak dan beri minum kepada mereka yang sakit. Tentu dapat menolong nyawa mereka. Mereka yang belum terkena penyakit ini harus berhati-hati. Jangan sekali-kali membiarkan lalat hinggap pada makanan. Semua makanan harus ditutup rapat. Jangan minum air mentah, melainkan air itu harus dimasak sampai mendidih. Keluarkan alas tempat tidur serta selimut, jemur sampai kering benar. Jagalah kebersihan dan wabah ini akan lenyap dengan sendirinya," demikian Yok-sian Lo-kai berkata kepada kepala dusun.
Kepala dusun segera memanggil semua penduduk dan kepada mereka dia meneruskan pesan Yok-sian. Penduduk yang sanak keluarganya sakit segera beramai-ramai mencari daun ilalang dan akar itu, lalu mengobati mereka yang sakit.
Kepala dusun lantas menjamu Yok-sian Lo-kai dan Si Kong. Tanpa sungkan lagi Yok-sian lalu makan minum dengan lahapnya. Juga Si Kong yang sejak kemarin belum makan, kini makan dengan lahapnya. Setelah itu Yok-sian lalu berkata kepada kepala dusun.
"Sekarang harap lo-ya suka memanggil semua orang yang kaya agar berkumpul di sini. Saya ingin bicara hal penting pada mereka."
Permintaan ini pun dilaksanakan oleh kepala dusun. Tidak lama kemudian belasan orang tuan tanah yang kaya raya berkumpul di tempat itu, tidak ketinggalan disertai pengawal-pengawal atau tukang pukul.
"Aku ingin bicara, harap kalian dengarkan baik-baik. Kalian adalah warga-warga dusun Ki-ceng, berarti senasib sependeritaan dengan warga lain yang kurang mampu. Mulai saat ini harap kalian suka mengubah sikap terhadap warga yang miskin. Jangan lagi memeras mereka, akan tetapi bantulah mereka ketika musim paceklik tiba. Jangan memberi hutang dengan bunga tinggi, dan jangan merampas sawah ladang mereka. Apa bila kalian masih berani melakukan penindasan, mungkin dusun ini akan terkutuk dan datang lagi wabah penyakit yang lebih hebat pula. Dan penyakit itu tidak takut kepada harta kalian."
Segera belasan orang hartawan itu menjadi gempar. Jelas kelihatan bahwa mereka tidak menyetujui hal ini. Melihat ini Yok-sian Lo-kai lalu berkata lantang kepada kepala dusun. "Lo-ya sebagai kepala dusun di sini harus bersikap keras terhadap para hartawan yang membangkang. Mereka yang tidak mau membantu warga yang melarat harus dipaksa."
"Akan tetapi, in-kong (tuan penolong), semua itu adalah milik mereka sendiri maka kami tidak dapat memaksa. Bahkan mereka masing-masing memiliki pengawal-pengawal yang siap menghajar siapa yang berani menentang mereka."
Mendengar kata-kata ini, Yok-sian Lo-kai segera berkata lagi kepada para hartawan itu. "Kalian dengar itu? Agaknya kalian selalu memaksakan kehendak dengan mengandalkan anjing-anjing pengawal kalian! Sekarang aku yang memerintahkan kalian menurut aturan itu, membantu para warga yang miskin, memberikan pinjaman tanpa bunga. Siapa yang berani menentang perintah itu?"
Para tukang pukul itu serentak maju.Tidak kurang dari tiga puluh orang tukang pukul yang bertubuh tinggi besar melangkah maju. "Siapa yang berani memaksa majikan kami akan berhadapan dengan kami!" kata seorang di antara mereka. "Apa lagi engkau hanya seorang jembel tua, bagaimana berani bicara seperti itu kepada majikan kami? Apakah engkau sudah bosan hidup?"
"Ha-ha-ha, dengarlah!" kata Yok-sian Lo-kai sambil menudingkan tongkatnya kepada para tukang pukul itu. "Ajing-anjing peliharaan para hartawan memang pandai menggonggong, akan tetapi mereka tidak pandai menggigit."
Para hartawan yang tidak rela untuk menolong warga yang miskin menjadi marah bukan main. Mereka memberi isyarat kepada para tukang pukul mereka untuk bertindak. Tukang pukul yang tadi bicara berada paling depan. Agaknya dia hendak memamerkan kehebatannya, maka dengan ganas dia telah menyerang Yok-sian Lo-kai dengan kepalan tangannya yang sebesar kepala orang itu!
"Wuuutt...!"
Dengan hanya miringkan tubuh menggerakkan kepalanya Yok-sian Lo-kai telah membuat pukulan itu mengenai tempat kosong saja dan dengan secepat kilat tongkatnya menotok, tepat mengenai lutut kanan kiri tukang pukul itu. Mendadak, tanpa dapat dihindarkan lagi, tukang pukul itu jatuh berlutut di depan Yok-sian Lo-kai.
"Ha-ha-ha, engkau minta ampun? Baik, baik, kuampuni kau!" kata Yok-sian Lo-kai.
Penduduk yang berdatangan menonton peristiwa itu menahan tawa karena geli. Memang dipandang sepintas lalu, tukang pukul itu kelihatan seperti berlutut minta ampun kepada si pengemis tua.
Melihat ini, para tukang pukul lainnya menjadi marah. Tiga orang langsung meloncat dan menyerang, akan tetapi dengan gerakan tongkat tga kali, tiga orang itu pun terpelanting roboh terkena sambaran tongkat bambu!
Kini mengertilah para tukang pukul bahwa kakek yang pandai mengobati itu juga pandai bersilat. Karena mereka berjumlah banyak, mereka tidak takut dan kini mereka mencabut senjata pedang dan golok kemudian segera menyerbu.
Terdengar suara tawa pengemis tua itu dan tahu-tahu tubuhnya sudah melayang ke atas. Ketika turun tongkatnya diputar lantas banyak pengeroyok roboh berpelantingan. Sisanya menyerbu semakin nekat, akan tetapi mereka ini pun roboh satu demi satu sehingga tidak ada seorang pun yang tidak roboh. Gerakan Yok-sian Lo-kai itu demikian cepat sehingga tidak dapat diikuti dengan pandangan mata. Yang nampak hanya gulungan sinar kuning dan tahu-tahu para tukang pukul itu sudah roboh berpelantingan.
"Bagaimana, cu-wi wangwe (hartawan sekalian)? Maukah kalian memenuhi permintaanku tadi? Membantu warga miskin, jangan memungut bunga, jangan mengambil sawah ladang mereka, dan bayarlah buruh tani dengan selayaknya sehingga mereka bisa hidup dengan layak pula."
Seperti dikomando saja, para hartawan itu mengangguk dan menyatakan setuju.
"Ingat, kalau lain kali aku lewat di Ki-ceng lagi tetapi kalian masih melakukan pemerasan terhadap warga dusun yang miskin, maka aku Yok-sian Lo-kai tak akan mau mengampuni kalian lagi. Sekarang pulanglah ke rumah masing-masing dan laksanakanlah perintahku. Bubarkan para tukang pukul karena kalau kalian bersikap baik terhadap warga tani yang miskin, kalian tidak perlu khawatir lagi akan harta kalian. Penduduk akan berterima kasih kepada kalian dan akan menjaga harta milik kalian."
Orang-orang kaya itu lantas pergi dengan muka ditundukkan. Di antara mereka ada yang rela, namun ada pula yang tidak rela, akan tetapi mereka takut akan ancaman pengemis tua yang sakti itu.
Sementara itu Si Kong merasa khawatir sekali ketika melihat Yok-sian Lo-kai dikeroyok para tukang pukul. Akan tetapi dia segera bersorak di dalam hati ketika terjadi hal yang tidak disangka-sangkanya, betapa pengemis renta itu menghajar tiga puluh orang tukang pukul itu. Dia mengambil keputusan dalam hatinya bahwa selain belajar ilmu pengobatan dan membaca huruf, dia pun akan minta supaya diajari ilmu bela diri!
Sesudah semua orang bubaran, Yok-sian Lo-kai segera berpamit kepada kepala dusun. Kepala dusun tergopoh-gopoh mengambil uang dan hendak memberi sumbangan kepada pengemis tua itu. Akan tetapi Yok-sian Lo-kai tidak mau menerimanya dan berkata,
"ku memang seorang pengemis dan kalau terpaksa aku suka mengemis makanan. Akan tetapi untuk pengobatanku, aku tidak sudi menerima upah." Dia lalu menggandeng tangan Si Kong dan menarik anak ini pergi dari situ.
Orang-orang hanya memandang heran dan mengikuti murid dan guru itu pergi. Tongkat bambu itu berbunyi tak-tuk tak-tuk di sepanjang jalan. Sesudah bayangan pengemis tua itu menghilang pada sebuah tikungan, barulah mereka ramai membicarakan sepak terjang pengemis tua itu.
Dan semenjak hari itu tidak ada lagi penyakit yang berjangkit di dusun itu. Juga kehidupan para warga dusun yang miskin kini menjadi mendingan keadaannya karena uluran tangan para hartawan. Paksaan dan siksaan yang dahulu dilakukan para tukang pukul juga tidak ada lagi.
********************
Mulai saat meninggalkan dusun Ki-ceng, Si Kong menjadi murid Yok-sian Lo-kai. Yok-sian adalah seorang perantau yang tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap. Kalau bertemu dengan kota atau dusun yang cocok dan menyenangkan hatinya, dia dapat tinggal di situ hingga sebulan lamanya. Akan tetapi banyak pula dusun dan kota yang dilewatinya begitu saja.
Di sepanjang jalan dia selalu mengumpulkan rempah-rempah yang dianggapnya berguna. Dia selalu mengulurkan tangan untuk menolong dan mengobati orang sakit. Untuk makan mereka, kadang-kadang mereka mendapatkan binatang buruan di hutan, atau memetik buah-buahan di dalam hutan. Sering pula Si Kong bekerja di rumah makan atau rumah penginapan untuk mendapatkan uang sekedar pembeli makan untuk dia dan gurunya.
Akan tetapi, kalau Yok-sian Lo-kai tidak tinggal lama di suatu tempat, mereka mengemis makanan dari rumah-rumah. Cara mengemis Yok-sian Lo-kai berbeda dengan pengemis lain. Dia bersama Si Kong mendatangi rumah orang dan menyatakan terus terang bahwa mereka minta diberi makanan. Kalau diberi uang Yok-sian tidak menerimanya, melainkan pindah ke rumah lain. Si Kong tidak sesabar itu, akan tetapi kalau ada gurunya, dia pun tunduk pada kebiasaan gurunya itu.
"Kalau perutmu tidak lapar, mengapa mengemis makanan? Apa bila tidak haus, mengapa mengemis minuman? Kalau tidak butuh pengganti pakaian, mengapa mengemis pakaian? Kita tidak boleh melanggar pantangan itu. Mengemis uang dapat membuat kita menjadi malas," demikianlah pendirian Yok-sian Lo-kai.
Pada waktu senggang kakek itu mulai mengajarkan ilmu pengobatan kepada muridnya. Tidak saja Si Kong harus menghafalkan nama rempah-rempah dan kegunaannya, juga dia diajar cara meneliti keadaan orang dari denyut nadinya. Melihat gejala-gejala penyakit dari lidah dan mata orang yang sakit. Ketika ada orang sakit yang membutuhkan pengobatan, dia bahkan menyuruh muridnya untuk mengobatinya sementara dia sendiri hanya meneliti kalau-kalau muridnya salah memberi obat.
Si Kong juga diberi pelajaran mengenai jalan darah manusia, titik-titik mana yang harus dipijat atau ditotok. Memang Si Kong memiliki kecerdasan sehingga dia dapat menerima dan menghafalkan semua pelajaran itu.
Di samping pelajaran pengobatan Si Kong mulai pula diajar ilmu membaca dan menulis. Ternyata Si Kong cepat sekali mendapatkan kemajuan dalam ilmu ini. Baru setahun turut merantau bersama Yok-sian Lo-kai, dia sudah pandai membaca dan menulis. Tentu saja gurunya merasa girang sekali melihat kemajuan muridnya. Dia lantas mulai mengajarkan dasar-dasar ilmu silat kepada muridnya.
Si Kong merasa gembira sekali dan dia berlatih dengan tekun sekali. Karena sejak masih kecil sekali Si Kong telah terbiasa menggunakan tenaga kasar, maka tubuhnya lebih kuat dari pada anak biasa. Bahkan kemajuannya dalam ilmu silat mengalahkan kemajuannya dalam ilmu sastra.
Gurunya maklum bahwa anak ini memang bertulang baik dan berbakat sekali, maka dia pun mengajarkan ilmu tongkatnya yang sangat terkenal di seluruh dunia kang-ouw, yaitu Ta-kaw Sin-tung (Tongkat Sakti Pemukul Anjing). Ilmu tongkat ini hanya terdiri tiga belas jurus pokok, akan tetapi perkembangannya dapat menjadi ratusan, tergantung dari bakat yang menguasai ilmu itu.
Karena itu setelah berlatih tiga tahun lamanya, barulah Si Kong dapat menguasai Ta-kaw Sin-tung. Semenjak berlatih ilmu tongkat itu, sekarang dia pun memiliki sebatang tongkat bambu yang selain dipakai untuk berlatih silat juga digunakan untuk memikul keranjang rempah-rempah milik gurunya.
Pada suatu pagi yang cerah, matahari masih agak kekuningan di langit timur, akan tetapi sinarnya sudah menyengat hangat. Pohon-pohon dan segala tumbuh-tumbuhan nampak seperti baru hidup lagi sesudah semalam suntuk mereka diselimuti kegelapan yang penuh rahasia itu.
Di jalan yang menuju ke kota Souw-ciu suasananya masih sunyi. Jalan itu memang hanya jalan yang menghubungkan kota Souw-ciu dengan dusun-dusun, karena itu tampak sunyi. Keadaan yang sunyi itu dibuyarkan oleh dua orang yang berjalan berdampingan. Mereka adalah Yok-sian Lo-kai dan Si Kong.
Anak itu kini sudah menjadi seorang pemuda remaja berusia lima belas tahun, akan tetapi dia nampak lebih tua dari pada usianya. Mungkin hal ini akibat dia kenyang ditempa oleh keadaan, banyak menghadapi kesukaran dan kesengsaraan. Tubuhnya tinggi tegap, dan wajahnya jantan lagi gagah, walau pun pakaiannya yang nampak bersih itu sudah penuh dengan tambalan, seperti pakaian yang dipakai Yok-sian Lo-kai.
Agaknya pagi yang cerah itu telah membangkitkan kegembiraan di hati Yok-sian. Dia pun memandang ke atas lalu menyanyikan sebuah sajak.
"Mari pada menguasai sampai sepenuhnya lebih baik berhenti pada saatnya. Menempa untuk mencapai tajamnya ketajaman itu takkan bertahan lama. Ruangan penuh dengan emas dan batu permata tidak mungkin dapat dijaga. Angkuh karena mewah dan mulia dengan sendirinya membawa bencana. Tugas selesai, nama menyusul, diri mundur demikianlah jalan yang ditempuh langit."
"Nah sajak Suhu sekali ini membuat aku bingung dan tidak mengerti apa artinya. Maukah Suhu menjelaskan kepadaku?"
"Apa yang tidak jelas? Sajak itu sendiri sudah menjelaskan artinya. Di situ dinasehatkan supaya kita jangan menuruti kehendak nafsu yang ingin memiliki sepenuhnya, menguasai sepenuhnya, yang akhirnya tidak pernah puas dan tergelincir oleh tindakan sendiri. Lebih baik berhenti pada saatnya atau mengenal batas. Segala sesuatu yang dipaksakan untuk diperoleh, maka yang diperoleh itu tidak akan bertahan lama, akan membosankan. Harta kekayaan yang berlebihan hanya akan menimbulkan rasa iri hati dan mengundang maling untuk mencurinya. Kalau orang menjadi angkuh karena kemewahan dan kemuliaan, harta benda atau kedudukan tinggi, hal itu akhirnya akan mendatangkan bencana pada dirinya sendiri. Kalau merasa sudah menyelesaikan tugas dengan baik, tentu namanya menjadi harum dan dia boleh mengundurkan diri untuk menyatukan diri dengan Tuhan. Jalan itulah yang ditempuh oleh Langit dan Bumi, yang bersikap selaras dengan kehendak Tuhan."
"Aduh, demikian dalamnya isi sajak itu, Suhu. Siapakah pembuat sajak itu?"
"Sajak itu termuat dalam kitab Tao-tek-keng, merupakan ujar-ujar peninggalan dari Sang Bijaksana Lo Cu. Kelak bila ada kesempatan engkau harus menghafalkan dan memahami seluruh sajak Tao-tek-keng itu."
Mereka kini memasuki kota Souw-ciu dari arah barat. Kota itu cukup ramai dan dikelilingi bukit-bukit sehingga pemandangannya indah dan hawanya juga sejuk. Gembira rasa hati Si Kong ketika dia memasuki kota, melihat banyak toko, rumah makan dan penginapan.
"Suhu, aku dapat mencari pekerjaan di kota ini!" katanya. "Di sini banyak sekali toko-toko besar, rumah makan dan penginapan."
"Hemmm, kita lihat saja nanti. Belum tentu aku suka tinggal lama di tempat ini. Mari kita melihat ke sana, agaknya di sana itu ada pasar yang ramai."
Mereka berjalan terus dan tiba-tiba perhatian mereka tertarik oleh sedikit keributan yang terjadi di depan sebuah rumah makan. Nampak seorang pengemis berpakaian compang-camping warna hitam sedang ribut mulut dengan seorang pengemis lain yang pakaiannya tambal-tambalan berkembang.
"Tidak usah banyak cakap! Engkau bersama rombonganmu tidak kami perbolehkan untuk mengemis di kota ini, kecuali kalau kalian menjadi anggota kami!" kata si pengemis baju berkembang.
"Kalian selalu mengganggu kami! Kami sudah mempunyai perkumpulan sendiri dan kami tak sudi menjadi anggota perkumpulan kalian. Sudah semenjak dulu kami bekerja di sini, karena itu kalian tidak berhak melarang."
"Ah, berani membantah, ya? Engkau sudah bosan hidup rupanya!" Dan si pengemis baju berkembang itu segera menyerang pengemis baju hitam.
Terjadilah perkelahian saling pukul dan saling tendang. Tidak lama kemudian datang lima orang pengemis baju berkembang, juga lima orang pengemis berbaju hitam dan terjadilah perkelahian di antara mereka. Orang-orang segera datang menonton perkelahian antara pengemis itu.
Sejak tadi Yok-sian Lo-kai berhenti melangkah dan menonton perkelahian. Melihat betapa perkelahian telah menjadi keroyokan, dia berkata kepada Si Kong, "Orang-orang itu tidak tahu diri. Pekerjaan mengemis saja diperebutkan! Si Kong, coba kau gunakan tongkatmu untuk melerai mereka. Kalau mereka masih nekat berkelahi, hajar mereka semua dengan gebukan tongkatmu!"
Selama ini belum pernah Si Kong berkelahi. Biar pun dia sudah menguasai Tongkat Sakti penggebuk anjing dengan baik, akan tetapi belum pernah dia gunakan untuk bertanding. Kehidupan mereka sebagai pengemis itu tentu saja tidak pernah menarik perhatian para perampok atau penjahat sehingga dia dan gurunya tidak pernah diganggu orang.
Kini gurunya menghendaki agar dia melerai dua belas orang yang sedang berkelahi dan merobohkan mereka semua apa bila mereka tidak mau berhenti berkelahi. Akan tetapi dia tidak membantah. Diturunkannya keranjang rempah-rempah dari pikulannya, lalu dengan senjata tongkat bambu di tangan dia menghampiri mereka yang sudah saling pukul itu.
"Heiiii, kawan-kawan! Berhentilah berkelahi! Tidak baik berkelahi antara kita sendiri. Hayo, berhenti!"
Akan tetapi saat melihat bahwa yang melerai itu adalah seorang pemuda pengemis pula, bukan anggota pengemis baju hitam dan juga bukan anggota pengemis baju berkembang, para pengemis itu tidak peduli, bahkan mereka berbalik menyerang Si Kong! Baik yang baju hitam mau pun yang baju berkembang kini menyerang Si Kong!
Si Kong cepat mengelak kemudian memutar tongkat bambunya. Gerakan para pengemis itu terlampau lamban baginya dan mudah saja untuk dirobohkan. Akan tetapi hati Si Kong tidak tega untuk menyakiti mereka. Karena itu tongkatnya bergerak hanya untuk menjegal atau mendorong sehingga berturut-turut dua belas orang pengemis itu lantas terpelanting ke kanan kiri!
Para pengemis itu terkejut. Mereka yang memakai baju berkembang segera bangkit dan seorang di antara mereka menudingkan telunjuknya kepada Si Kong sambil berkata,
"Awas akan pembalasan kami!" Dia lalu memberi isyarat kepada kawan-kawannya untuk pergi dari situ.
Sementara itu enam orang pengemis baju hitam tidak segera pergi, melainkan menatap tajam ke arah Si Kong dan Yok-sian Lo-kai. Mereka mengerti bahwa pemuda itu hanya melerai, buktinya di antara mereka tidak ada seorang pun yang terluka. Tiba-tiba seorang di antara mereka melihat keranjang rempah-rempah di dekat Yok-sian Lo-kai, kemudian dia segera memberi hormat dan bertanya,
"Bukankah locianpwe ini yang berjuluk Yok-sian Lo-kai?"
"Ha-ha-ha-ha, sialan itu nama! Di mana-mana ada saja yang mengetahuinya. Benar, aku adalah Yok-sian Lo-kai. Kalian ini apa-apaan, di antara sesama pengemis saling hantam! Sungguh memalukan sekali!"
Kini enam orang itu menjatuhkan diri berlutut di depan Yok-sian Lo-kai dan salah seorang di antara mereka berkata, "Kami mohon bantuan locianpwe!"
"Apa? Kalian menyuruh aku ikut campur dalam perkelahian antara pengemis? Nanti dulu! Aku bukan orang yang suka memusuhi sesama pengemis, dari mana pun pengemis itu berasal."
"Bukan urusan itu, locianpwe. Akan tetapi kami mohon pertolongan agar locianpwe suka mengobati ketua kami yang terluka parah."
"Hemmm, kenapa dia terluka parah? Apakah karena dia berkelahi pula dengan pengemis lain?"
"Locianpwe akan mendengarnya sendiri nanti. Tadi pun kami tidak bermaksud memusuhi pengemis baju berkembang, melainkan merekalah yang melarang kami mengemis kecuali kalau kami mau menjadi anggota mereka. Kami mohon locianpwe sudi menolong kami..."
"Hemmm, membikin repot saja. Hayo Si Kong, kita ikuti mereka."
Enam orang pengemis itu kelihatan gembira sekali. Mereka lalu menjadi penunjuk jalan, diikuti oleh Yok-sian Lo-kai dan Si Kong. Orang-orang yang tadi menonton juga bubaran, dan mereka ramai membicarakan serta memuji pemuda yang dengan tongkat bambunya dapat membuat dua belas orang yang berkelahi itu menjadi kocar-kacir.
Enam orang itu ternyata keluar dari kota dan menuju ke selatan. Di luar kota ini terdapat sebuah kuil tua yang sudah tidak dipergunakan lagi, dan agaknya kuil ini menjadi tempat tinggal perkumpulan pengemis Baju Hitam. Ketika mereka sampai di situ, terlihat belasan orang pengemis baju hitam sedang duduk di beranda kuil. Begitu melihat enam orang rekan mereka datang bersama dua orang pengemis asing, mereka semua bangkit berdiri dan menyambut.
"Bagaimana keadaan pangcu (ketua)?" tanya seorang dari enam orang pengemis yang baru datang itu.
"Nah, makin payah. Napasnya terengah-engah dan tubuhnya panas sekali," kata seorang di antara mereka yang tadi duduk di beranda.
"Locianpwe, silakan masuk. Pangcu kami berada di kamar dalam."
Yok-sian Lo-kai mengangguk dan bersama Si Kong dia mengikuti pengemis itu memasuki kuil, sebuah kuil yang sudah tua dan cukup besar. Mereka diajak masuk ke dalam sebuah kamar di mana tampak beberapa orang pengemis baju hitam tengah menjaga sang ketua yang sedang sakit.
Melihat keadaan yang gawat dari ketua itu, tanpa diminta lagi Yok-sian Lo-kai langsung menghampirinya, lantas memegang pergelangan tangan si sakit untuk merasakan denyut nadinya.
"Hemm, dia keracunan!" katanya.
"Dia terluka pukulan di dadanya," kata seorang pengemis.
"Coba buka bajunya, perlihatkan luka itu," kata Yok-sian.
Baju pengemis yang sakit itu segera dibuka dan nampaklah gambar lima jari tangan atau cap telapak tangan pada dada itu. Yok-sian memeriksa luka atau bekas pukulan tangan itu, merabanya dan berkata,
"Kalian semua boleh keluar. Biarkan aku dan muridku mengobatinya."
Mendengar ucapan ini, para pengemis baju hitam lalu keluar dari dalam kamar. Yok-sian menoleh kepada muridnya kemudian berkata, "Ini kesempatan baik bagimu untuk menguji kepandaianmu dalam ilmu pengobatan. Hayo, coba kau periksa keadaannya dan katakan bagaimana pendapatmu dan cara mengobatinya."
Si Kong yang sudah bertahun-tahun mempelajari ilmu pengobatan dari gurunya, segera menghampiri si sakit. Dia memeriksa nadinya, dirabanya dadanya dan didengarnya detak jantungnya. Kemudian dia berkata penuh keyakinan kepada gurunya.
"Dia menderita pukulan beracun, Suhu. Tangan lawannya itu tentu mengandung sinkang panas. Pengobatannya adalah dengan tusuk jarum atau totokan jari ke arah Ci-kiong-hiat, Koan-goan-hiat dan Thian-ti-hiat. Juga perlu dilakukan totokan-totokan untuk mengalirkan darah ke arah luka. Sementara itu dia harus diberi minum obat pembersih darah dan obat menurunkan panas. Kalau itu masih kurang, boleh menyalurkan sinkang untuk membantu hawa murni di tubuhnya yang keluar dari tantian. Demikianlah, Suhu, mudah-mudahan apa yang teecu kemukakan itu benar."
"Ha-ha-ha-ha, bagus! Memang itu cara pengobatan yang baik sekali. Sekarang lakukanlah totokan-totokan itu," kata Yok-sian Lo-kai.
Si Kong memandang kepada tubuh yang bagian atasnya telanjang itu, kemudian sambil mengerahkan tenaganya mulailah dia menotok jalan-jalan darah yang disebutkannya tadi. Bajunya basah dengan keringat ketika selesai melakukan totokan terakhir di sekitar dada yang terluka. Hatinya girang karena dia melihat betapa tanda telapak tangan menghitam itu kini sudah mulai pudar.
"Sekarang minggirlah. Engkau masak obat pembersih darah dan obat menurunkan panas di luar, sementara aku akan menyalurkan sinkang kepadanya."
Si Kong merasa gembira bahwa cara dia mengobati ketua Hek I Kaipang (Perkumpulan Pengemis Baju Hitam) tadi ternyata benar. Dia lalu keluar membawa keranjang rempah-rempah dan minta kepada para pengemis agar disediakan perapian untuk memasak obat.
Sesudah selesai memasak obat kemudian membawa dua mangkok kecil ke dalam kamar, Si Kong melihat suhu-nya sedang menempelkan telapak tangan kirinya pada dada ketua perkumpulan pengemis itu sambil memejamkan mata. Tahulah dia bahwa gurunya tengah mengerahkan tenaga sakti ke dada orang sakit itu untuk mengusir sisa hawa kotor yang terkandung dalam pukulan tangan beracun itu.
Dia sendiri telah mempelajari dan dapat menghimpun tenaga sinkang yang lumayan, akan tetapi tenaga saktinya belum cukup kuat untuk mengusir hawa kotor itu. Oleh karena itu suhu-nya yang melakukannya.
Sesudah Yok-sian Lo-kai menyalurkan hawa sakti dari telapak tangannya, perlahan-lahan nampak kelopak mata kakek yang sakit itu mulai bergerak. Dia lantas membuka matanya dan mencoba untuk bangkit. Yok-sian cepat membantunya bangkit duduk, dan dia minta dua mangkok yang dibawa masuk Si Kong.
"Minumlah dua mangkok obat ini dan engkau akan sembuh seperti sedia kala."
Kai-pangcu (ketua perkumpulan pengemis) itu tidak membantah dan minum dua mangkok obat itu. Tenaga kakek itu kini pulih dan wajahnya kemerahan, juga dadanya sudah tidak ada lagi tanda-tanda menghitam. Dia memandang kepada Yok-sian Lo-kai, lalu kepada Si Kong dan dia lalu turun dari pembaringan dan menjatuhkan diri berlutut di depan Yok-sian.
"Atas pertolongan locianpwe Yok-sian Lo-kai, saya menghaturkan terima kasih."
Yok-sian Lo-kai tertawa sambil memandang kepada muridnya. "Ha-ha-ha! Lihat, Si Kong, betapa tak enaknya menjadi orang terkenal. Di mana-mana ada saja orang mengenalnya, padahal orang itu tidak pernah berjumpa dengannya." Setelah berkata demikian dia lantas mempergunakan tongkatnya, dimasukkan ke bawah lengan ketua itu dan sekali bergerak, ketua itu sudah dipaksa berdiri.
"Jangan keterlaluan, aku bukan raja kenapa mesti berlutut? Dan bagaimana engkau bisa tahu siapa diriku?"
Dengan sikap hormat agak membungkuk Hek I Kai-pangcu itu lalu berkata, "Sudah saja. Melihat pakaian locianpwe jelas pakaian seorang pengemis, dan melihat betapa locianpwe dapat menyembuhkan dan memulihkan kesehatan saya, jelas bahwa locianpwe seorang ahli pengobatan luar biasa yang mempunyai ilmu tinggi. Siapa lagi pengemis yang pandai ilmu pengobatan selain Yok-sian Lo-kai?"
"Dan siapakah engkau? Mengapa engkau sampai terluka oleh pukulan keji itu?"
Ketua itu menarik nafas panjang. "Saya adalah ketua perkumpulan Pengemis Baju Hitam. Semenjak dulu kami selalu mengambil jalan benar, mengemis kepada orang-orang yang dermawan dan tak pernah melakukan kejahatan dalam bentuk apa pun. Akan tetapi pada suatu hari muncul pengemis-pengemis yang memakai baju berkembang, dan mereka lalu melarang kami mengemis di tempat ini. Kami baru boleh mengemis jika menjadi anggota perkumpulan mereka. Akan tetapi melihat cara mereka mengemis yang tak ada bedanya dengan merampok, mengemis dengan paksa, maka kami tidak sudi bergabung. Lalu pada suatu hari, yaitu sepekan yang lalu, ketuanya datang dan menantangku. Aku terluka oleh pukulannya yang keji."
Yok-sian Lo-kai mengerutkan alisnya. Walau pun dia tidak aktif di dalam dunia mengemis, namun dia sudah mendengar keadaan para perkumpulan pengemis di mana-mana.
"Tapi sepanjang pendengaranku, Hwa I Kaipang (Perkumpulan Pengemis Baju Kembang) adalah kaipang yang bersih, dipimpin oleh ketuanya yang baik pula."
Hek I Kai-pangcu menghela napas panjang. "Dulu pun saya menganggap demikian. Nama saya adalah Lu Tung San, dan saya kenal baik dengan ketua Hwa I Kaipang. Akan tetapi yang muncul dan mengaku sebagai ketua Hwa I Kaipang sama sekali bukan ketua yang saya kenal, melainkan seorang yang masih muda dan entah bagaimana dia bisa menjadi ketua Hwa I Kaipang dan membawa perkumpulan pengemis itu ke jalan sesat."
"Dan di mana adanya ketua yang dulu?"
"Tidak seorang pun yang mengetahui nasibnya dan di mana dia berada."
"Nah, benar-benar gawat kalau begitu. Pangcu, mari antar kami ke sarang Hwa I Kaipang. Kami terpaksa harus campur tangan dalam urusan ini karena dapat mencemarkan nama baik para pengemis. Kalau dibiarkan saja tentu sukar membedakan antara pengemis dan perampok."
"Baik, akan saya antar sekarang juga. Dan perlukah anak buah Hek I Kaipang ikut? Siapa tahu mereka akan melakukan pengeroyokan."
"Tidak perlu. Yang hendak kami temui hanyalah ketuanya. Perkumpulan pengemis adalah perkumpulan orang-orang yang taat kepada pimpinan. Kalau ketuanya sudah dapat kita bereskan, tentu anak buahnya akan mentaati kita."
Lu Tung San, ketua Hek I Kaipang, ternyata sudah sembuh sama sekali. Karena selama sepekan ini hampir dapat dikatakan dia tidak bisa makan, maka para anggotanya sudah menyiapkan makan minum untuk ketua mereka. Lu Tung San lalu mengajak Yok-sian dan Si Kong untuk makan bersama. Dan ternyata makanan itu cukup lumayan, bahkan cukup mewah bagi para pengemis. Sesudah makan Lu Tung San berangkat bersama Yok-sian Lo-kai dan Si Kong yang tidak lupa memikul keranjang rempah-rempah milik gurunya.
Sarang Hwa I Kaipang juga berada di luar kota, akan tetapi bukan merupakan rumah tua bekas kuil seperti yang ditempati oleh Hek I Kaipang. Di luar kota, di lereng sebuah bukit, berdiri sebuah rumah besar dari tembok dan itulah sarang Hwa I Kaipang.
Ketika mereka mendaki bukit itu, ada beberapa anggota Hwa I Kaipang melihat mereka. Mereka mengenal Lu Tung San, karena itu mereka cepat berlari ke sarang mereka untuk melaporkan kunjungan Lu Tung San yang pernah dirobohkan ketua mereka yang baru itu.
Tepat seperti yang dikatakan Yok-sian, tadinya Hwa I Kaipang juga merupakan sebuah perkumpulan pengemis yang sederhana dan baik, tak pernah melakukan pemerasan atau kejahatan lain. Baru beberapa bulan yang lalu, pada suatu hari datanglah seorang laki-laki berusia kurang lebih tiga puluh lima tahun ke sarang Hwa I Kaipang. Laki-laki itu bertubuh tinggi besar dan bermuka hitam.