KETIKA ketua Hwa I Kaipang yang usianya sudah enam puluh tahun keluar menemui tamu itu, dengan terang-terangan orang yang mengaku bernama Ouwyang Kwi itu mengatakan bahwa dia hendak mengambil alih pimpinan Hwa I Kaipang!
Tentu saja Hwa I Kai-pangcu menjadi marah sehingga terjadilah perkelahian. Akan tetapi ternyata orang itu lihai bukan main. Walau pun dia dikeroyok oleh belasan orang yang merupakan pimpinan serta para pembantunya, dia mampu merobohkan mereka semua, bahkan menawan ketuanya.
Melihat kelihaian si muka hitam itu, semua pengemis menyatakan takluk dan tunduk dan semenjak hari itu, Ouwyang Kwi menjadi ketua Hwa I Kaipang. Bahkan dia memindahkan sarang Hwa I Kaipang ke lereng bukit itu, di mana berdiri sebuah gedung tembok yang besar. Dan mulailah terjadi perubahan besar dari para anggota Hwa I Kaipang.
Karena anjuran pemimpin baru mereka, para pengemis itu berani melakukan pemerasan terhadap penduduk kota Su-couw, dusun-dusun dan kota-kota di sekitar wilayah itu. Sejak Ouwyang Kwi menjadi ketua, kehidupan para pengemis baju kembang berubah menjadi mewah.
Pakaian mereka yang berkembang-kembang selalu bersih dan masih baru sebab mereka mendapatkannya dari toko-toko yang tidak berani menentang permintaan mereka. Kalau permintaan mereka ditolak, maka mereka lalu mengamuk dan tidak ada orang yang berani melawan.
Memang tadinya ada orang-orang yang merasa dirinya kuat dan pandai silat, kemudian menentang kaum pengemis Baju Kembang. Akan tetapi satu demi satu mereka semua dirobohkan oleh ketua Hwa I Kaipang yang bermuka hitam itu. Demikianlah keadaan Hwa I Kaipang belakangan ini.
Ouwyang Kwi tadinya adalah seorang perampok tunggal. Tapi agaknya dia merasa jemu dengan pekerjaan merampok seorang diri saja. Maka dia pun mengambil alih kedudukan ketua Hwa I Kaipang. Selain memperoleh kedudukan ketua, dia juga mendapatkan anak buah yang siap melakukan semua perintahnya. Dia merasa seolah menjadi seorang raja!
Pakaiannya juga berkembang-kembang, namun pakaian itu mewah, sama sekali bukan pakaian seorang pengemis yang biasanya compang-camping dan penuh tambalan. Hanya dalam waktu beberapa bulan saja semua anak buah Hwa I Kaipang telah berubah.
Memang demikianlah keadaan kita manusia. Mengajar orang-orang agar supaya menjadi baik budi amatlah sukarnya. Akan tetapi ajarilah orang-orang itu untuk berbudi buruk dan memperoleh kesenangan, maka sebentar saja semua orang akan suka dan menurut
Pada saat Lu Tung San, Yok-sian dan Si Kong memasuki perkampungan Hwa I Kaipang, mereka disambut oleh Ouwyang Kwi sendiri yang muncul bersama seorang kakek yang berpakaian mewah. Kakek ini bukan orang biasa. Dia adalah seorang datuk besar dunia kang-ouw dan juga majikan Pulau Tembaga di Lautan Timur.
Datuk sesat ini adalah guru Ouwyang Kwi yang datang berkunjung kepada muridnya yang kini sudah menjadi ketua Hwa I Kaipang itu. Kedatangannya disambut oleh Ouwyang Kwi dengan mengadakan pesta makan minum secara mewah.
Ketika menerima laporan dari salah seorang anak buahnya bahwa Lu Tung San datang bersama seorang kakek dan seorang pemuda yang pada siang hari tadi menghajar enam orang anggotanya, Ouwyang Kwi menjadi marah sekali.
“Bagus, dia telah mengantarkan sendiri nyawanya. Sekarang aku tidak akan membiarkan dia pergi hidup-hidup!” kata Ouwyang Kwi.
Gurunya merasa sangat heran melihat muridnya marah-marah. “Ada apa Ouwyang Kwi? Siapa yang datang dan membuatmu marah?”
Datuk ini merasa bangga sekali bahwa muridnya telah menjadi ketua sebuah perkumpulan pengemis yang berpengaruh. Dia sendiri adalah seorang datuk yang mempunyai pengaruh besar di Lautan Timur. Para bajak laut tunduk kepadanya dan semua membayar ‘upeti’ kepadanya sebagai hadiah karena mereka diperkenankan membajak di perairan itu.
Di dalam dunia kang-ouw datuk ini dikenal sebagai Tung-hai Liong-ong (Raja Naga Lautan Timur). Julukan Raja Naga ini mungkin diperolehnya karena orang melihat dia bersenjata sebatang tongkat berkepala naga yang selalu dibawanya ke mana pun dia pergi. Memang tongkat kepala naga ini menjadi andalan dan senjatanya yang amat ampuh.
Ketika Tung-hai Liong-ong melihat Yok-sian Lo-kai, dia tercengang sejenak dan menatap tajam. Demikian pula dengan Yok-sian Lo-kai. Sama sekali tidak pernah menyangka akan bertemu dengan datuk besar itu di tempat ini.
“Hemm, kiranya Yok-sian Lo-kai yang datang!” kata Tung-hai Liong-ong.
“Ha-ha-ha-ha, kiranya majikan Pulau Tembaga berada di sini pula! Tidak mengherankan kalau terjadi keributan!” kata Yok-sian sambil tertawa. Dua orang yang sama-sama sangat terkenal di dunia kangouw ini memang pernah saling bertemu walau pun di antara mereka belum pernah terjadi pertikaian.
Sementara itu, pada saat melihat Lu Tung San, Ouwyang Kwi segera berkata mengejek. “Hek I Kaipang, agaknya ada orang yang mengobatimu sampai sembuh. Apakah engkau belum jera dan ingin merasakan pukulanku lagi?”
“Ouwyang Kwi, aku datang mengantarkan locianpwe Yok-sian Lo-kai yang ingin berbicara denganmu karena sepak terjang anak buahmu yang sewenang-wenang.”
“Aha, kiranya engkau memanggil bala bantuan? Aku tidak takut menghadapi jagoanmu!” Ouwyang Kwi mengejek.
Ouwyang Kwi adalah murid Tung-hai Liong-ong dan dia baru saja masuk ke dalam dunia kang-ouw setelah selama beberapa tahun menjadi perampok tunggal. Oleh karena itu dia belum mengenal nama Yok-sian Lo-kai dan sama sekali tidak gentar menghadapi nama julukan itu.
“Jadi mereka inikah yang memukul enam orang anak buahku? Jembel tua dan pengemis muda ini?” Dia menudingkan telunjuknya ke arah Yok-sian dan Si Kong.
“Ha-ha-ha-ha, betapa sombongnya! Aku sudah mengenal semua ketua perkumpulan para pengemis di empat penjuru. Mereka semua rata-rata baik. Maka aku menjadi tertarik dan ingin menyelidiki ketika melihat enam orang pengemis Baju Kembang melarang Pengemis Baju Hitam untuk mengemis. Aku pernah mendengar bahwa perkumpulan Pengemis Baju Kembang adalah perkumpulan yang bersih, dipimpin oleh ketuanya yang baik pula. Akan tetapi, kenapa sekarang menjadi tersesat? Aku mendengar pula bahwa engkau orang she Ouwyang mengambil alih ketua yang lama?”
“Jembel tua, orang di luar Hwa I Kaipang sama sekali tidak berhak mencampuri urusan yang menyangkut Hwa I Kaipang. Sekarang yang menjadi ketua Hwa I Kaipang adalah aku, Ouwyang Kwi. Sebaiknya engkau tidak lancang mencampuri urusan kami, atau kami akan menggunakan kekerasan mengusirmu!”
“Ha-ha-ha-ha! Engkau bukan lawanku, Ouwyang Kwi. Kalau engkau mampu mengalahkan tongkat muridku ini barulah engkau pantas untuk melawan aku. Si Kong, bersiaplah untuk menandingi ketua palsu yang sombong ini.”
Si Kong juga merasa marah mendengar kata-kata ketua berpakaian kembang-kembang yang sombong itu. Maka, mendengar ucapan suhu-nya itu dia lalu menurunkan keranjang rempah-rempah dan melintangkan tongkat bambunya di depan dadanya.
“Aku sudah siap, orang sombong!” katanya kepada Ouwyang Kwi.
Ouwyang Kwi telah mendengar laporan anak buahnya bahwa pemuda yang masih remaja itulah yang merobohkan mereka. Akan tetapi tentu saja dia tak merasa gentar. Dia sudah punya banyak pengalaman dalam perkelahian selama bertahun-tahun, mana mungkin dia kalah oleh seorang bocah yang usianya paling banyak lima belas tahun ini?
“Baik, akan kubunuh dulu bocah ini, baru kemudian engkau jembel tua berikut ketua Hek I Kaipang ini!” bentaknya.
Tanpa banyak cakap lagi Ouwyang Kwi telah mencabut sebatang golok dari punggungnya dan langsung menyerang Si Kong yang memegang tongkat bambu. Akan tetapi Si Kong sudah siap siaga. Dengan mudahnya dia mengelak lantas secepat kilat tongkatnya sudah menotok ke tiga titik jalan darah di kedua pundak dan dada lawannya.
“Ehhhh...!” Ouwyang Kwi terkejut sekali dan cepat memutar goloknya di depan tubuhnya untuk melindungi diri dari totokan-totokan yang cepat dan tak terduga itu.
Kalau Si Kong bertanding hanya untuk merobohkan lawan saja, sebaliknya Ouwyang Kwi bertanding untuk membunuh lawannya. Dia adalah seorang ahli bermain golok yang lihai, akan tetapi sekali ini dia sangat kewalahan dan sebentar saja dia sudah terdesak hebat! Dia hanya mampu menangkis dan memutar goloknya saja tanpa dapat membalas.
“Jangan pakai golok, tapi gunakan Tok-ciang (Tangan Beracun)!” tiba-tiba dia mendengar suara gurunya. Orang lain tidak dapat mendengar seruan itu karena Tung-hai Liong-ong ‘mengirim’ suaranya melalui khikang yang kuat sehingga seolah dia berbisik dekat telinga muridnya.
Ouwyang Kwi segera melempar goloknya lalu dia menggerak-gerakkan kedua tangannya yang perlahan-lahan berubah menghitam! Yok-sian Lo-kai terkejut bukan kepalang melihat perubahan ini. Dia pun tidak mendengar bisikan itu, akan tetapi dia dapat menduga bahwa Majikan Pulau Tembaga itu yang agaknya memberi nasehat kepada muridnya.
Dia tahu bahwa Si Kong tidak bermaksud membunuh lawan, karena itu tongkatnya hanya mencoba untuk menotok jalan darah yang tidak membahayakan nyawa lawan. Akan tetapi kini Ouwyang Kwi bertangan kosong, maka dia dapat menangkis tongkat bambu dengan tangannya dan sekaligus mencoba untuk merampas tongkat. Juga sambaran tangannya mengandung hawa beracun yang berbahaya.
Diam-diam Yok-sian mengerahkan khikang-nya, lalu berbisik yang hanya dapat didengar oleh muridnya. “Pukul Kaki Seratus Anjing.” Ini adalah nama jurus dari ilmu silat Tongkat Sakti Pemukul Anjing itu.
Ketika Si Kong mendengar bisikan gurunya itu, dia langsung mengubah caranya bersilat. Tubuhnya bergerak rendah dan tongkatnya secara bertubi-tubi menyerang ke arah kedua kaki lawan. Karena yang diserangnya adalah bagian lutut dan pergelangan kaki, maka bila mengenai sasaran tentu lawan akan jatuh berlutut.
Kembali Ouwyang Kwi terdesak oleh serangan Si Kong. Dia berloncat-loncatan dan tidak mampu balas menyerang. Kembali telinganya mendengar bisikan gurunya.
“Garuda menyerang segerombolan kelinci!”
Ini merupakan sebuah jurus yang dilakukan dengan loncatan ke atas kemudian dari atas mencengkeram ke arah kepala lawan. Begitu dia meloncat tinggi di udara, maka dengan sendirinya serangan Si Kong juga macet, dan kini berbalik dia yang diserang oleh kedua tangan yang membentuk cakar itu.
Si Kong terpaksa mengelak ke sana sini, karena amat berbahaya apa bila dia menangkis. Tongkat itu dapat terpegang oleh lawannya dan kalau hal ini terjadi maka tongkatnya akan terampas atau setidaknya dihancurkan oleh cengkeraman tangan beracun itu!
Ketika sedang terdesak itu tiba-tiba dia mendengar bisikan gurunya kembali, “Ular Senduk Menyerang Garuda!”
Si Kong menjadi girang sekali. Cepat dia menggerakkan tongkatnya yang meluncur bagai seekor ular menyerang musuh yang datangnya dari atas. Dengan jurus ini maka kembali Si Kong bisa mendesak lawannya. Yang diserang oleh luncuran tongkatnya adalah kedua mata dan leher lawan, serangan yang cukup berbahaya bila mengenai sasaran.
Demikianlah, dua orang itu saling serang dan sesungguhnya yang bertanding adalah guru-guru mereka yang membisikkan jurus-jurus melalui mereka.
Ketika mendapat kesempatan baik, Si Kong menggetarkan ujung tongkatnya, lalu dengan pengerahan sinkang-nya dia cepat menusuk ke arah ulu hati lawan. Melihat ini, Ouwyang Kwi menangkis dengan tangan kanan sambil mengerahkan sinkang pula.
“Tukkk...!”
Ujung tongkat bertemu telapak tangan, kemudian keduanya terdorong mundur hingga lima langkah. Dalam hal tenaga sinkang ternyata kekuatan mereka seimbang dan hal ini amat mengejutkan hati Ouwyang Kwi. Jika tidak mendapatkan bisikan-bisikan gurunya, tadi pun dia sudah terdesak beberapa kali oleh pemuda remaja itu! Kini tahulah dia mengapa anak buahnya yang berjumlah enam orang itu tidak mampu melawan pemuda ini.
Yok-sian Lo-kai dan Tung-hai Liong-ong sama-sama merasa khawatir kalau pertandingan antara murid-murid mereka itu terus dilanjutkan.
“Hemm, Jembel Tua, murid kita sudah cukup bertanding. Bagaimana kalau guru mereka, tua sama tua, maju menguji ilmu kepandaian?”
“Ha-ha-ha, Naga Tua, kalau dilanjutkan pun muridmu akan kalah. Kau menantang aku? Ha-ha-ha-ha, memang sudah lama aku ingin sekali mengetahui sampai di mana kelihaian Tung-hai Liong-ong dari Pulau Tembaga yang namanya tersohor itu!”
“Jembel Tua, kalau kita menggunakan senjata, orang-orang akan menganggap aku tidak adil karena senjataku lebih berat dan lebih besar dari pada tongkat bambumu. Karena itu aku tantang engkau untuk bertanding dengan tangan kosong!” Berkata demikian Tung-hai Liong-ong menancapkan tongkat kepala naga itu ke tanah. Tongkat itu menancap di tanah sampai hampir setengahnya dan ini menunjukkan betapa kuat tenaga sinkang datuk itu.
Yok-sian tertawa. Dia maklum bahwa lawannya tentu gentar menghadapi ilmu tongkatnya Ta-kaw Sin-tung maka sengaja menantang pertandingan tangan kosong. Tentu hendak mengandalkan Tok-ciang (Tangan Beracun) yang hebat. Akan tetapi dia hanya tertawa dan tidak menolak tantangan itu.
“Ha-ha-ha, sesukamulah, Naga Tua. Bersenjata baik, bertangan kosong juga baik! Nah, aku sudah siap, mulailah!”
Kakek pengemis itu hanya berdiri santai saja, tidak memasang kuda-kuda seperti orang yang hendak bertanding. Melihat sikap lawannya, Tung-hai Liong-ong lalu mengeluarkan suara bentakan nyaring dan tubuhnya langsung bergerak ke depan menyerang dengan dahsyat bagaikan angin topan!
“Hyaaaat....!” Kedua lengan Tung-hai Liong-ong menyambar dari kanan kiri.
“Heeiiiittt...!” Yok-sian mengelak dengan tubuh condong ke belakang sehingga serangan pertama Liong-ong (Raja Naga) itu luput dan segera kakinya mencuat untuk membalas serangan lawan dengan sebuah tendangan kilat.
“Wuuuutt....! Dukkk!”
Liong-ong sudah menangkis tendangan Yok-sian dan langsung balas memukul. Terjadilah pertandingan yang berjalan amat cepat sehingga yang terlihat hanya bayangan dua orang kakek itu yang menyambar-nyambar seperti dua ekor ayam jantan berlaga.
Diam-diam Si Kong memperhatikan. Dia melihat bahwa gurunya masih menang setingkat dalam hal ginkang atau meringankan tubuh. Akan tetapi Liong-ong memiliki ilmu pukulan yang hebat sekali. Dari kedua tangannya itu menyambar hawa pukulan yang panas.
Maka tahulah dia bahwa kedua tangan Liong-ong sudah mengandung hawa beracun yang amat jahat. Sekarang dia mengerti pula mengapa Liong-ong mengajak gurunya bertanding dengan tangan kosong. Tentu karena dia mengandalkan ilmunya itu untuk mengalahkan Yok-sian.
Setelah lewat seratus jurus, dua orang kakek itu mengubah gerakan mereka. Kini gerakan mereka tidak cepat lagi seperti tadi, melainkan bergerak dengan lambat tapi dalam setiap gerakannya terkandung hawa sakti yang menyambar-nyambar, terasa oleh mereka yang menonton.
Kedua orang sakti itu kini mengerahkan tenaga sinkang untuk saling menyerang. Pukulan mereka dilakukan dengan jari-jari tangan terbuka dan dari telapak tangan mereka itulah menyambar hawa pukulan yang dahsyat bukan main. Dengan khawatir Si Kong melihat betapa kedua tangan Liong-ong menghitam sampai ke sikunya. Itulah tandanya bahwa Liong-ong telah mempergunakan Tok-ciang (Tangan Beracun) yang amat berbahaya.
“Heeeiiiiiittt...!” Liong-ong berseru sambil tangan kirinya mendorong ke depan, sementara tangan kanannya diangkat tinggi di atas kepalanya. Nampak hawa hitam menyambar dan ketika Yok-sian mengelak, sebatang pohon kena dihantam tangan Liong-ong. Pohon itu tumbang dan pada bagian yang terpukul menjadi hitam seperti terbakar.
“Hyaaatt...!” Yok-sian yang sudah mengelak itu kini merendahkan tubuh, kemudian kedua tangannya mendorong ke depan sambil menekuk kedua lututnya.
Akan tetapi Tung-hai Liong-ong agaknya sengaja hendak mengadu tenaga karena dia pun melakukan gerakan yang sama dan mendorongkan kedua tangannya.
“Wuuuuuuutttt...! Plakkk!”
Dua pasang tangan itu bertemu di udara dan telapak tangan mereka saling melekat. Kini kedua orang kakek itu seperti dua orang anak-anak bermain dorong-dorongan! Nampak sekali mereka mengerahkan seluruh tenaga untuk mendorong lawan. Dari kepala Liong-ong mengepul uap hitam dan dari kepala Yok-sian mengepul uap putih.
Si Kong memandang dengan hati khawatir sekali. Dia tahu betul bahwa gurunya sedang bertanding mati-matian mengerahkan seluruh tenaga. Kalau gurunya kalah kuat dan dapat terdorong, tentu gurunya akan menderita luka dalam yang hebat! Untuk membantu juga tak mungkin, bahkan amat berbahaya karena dia akan terserang oleh dua tenaga sinkang yang sedang saling dorong itu.
Ouwyang Kwi juga mengerti keadaan gurunya. Dia nampak bingung dan tidak tahu harus berbuat apa, hanya membanting-banting kakinya dengan kesal. Wajah Liong-ong menjadi tegang dan kemerahan, sedangkan wajah Yok-sian masih tersenyum seperti biasa.
“Hyaaaaaaaaaaaattt…!”
Secara bersamaan dua orang kakek itu mengeluarkan teriakan melengking dan akibatnya Tung-hai Liong-ong terdorong mundur sampai lima langkah dan hampir saja dia terjatuh, akan tetapi ditahannya, lalu dia muntahkan darah segar dari mulutnya!
Tubuh Yok-sian hanya bergoyang-goyang akan tetapi sepasang kakinya tidak melangkah, hanya mukanya yang menjadi agak pucat.
Tung-hai Liong-ong menoleh kepada Ouwyang Kwi sambil mengusap darah dari bibirnya dan berkata dengan suara parau. “Hayo kita pergi! Untuk apa memperebutkan kedudukan ketua pengemis busuk?”
Dengan kedua tangan dia mencabut tongkatnya yang tadi tertancap di atas tanah, lantas dia memandang kepada Yok-sian. “Lain kali akulah yang menang!”
Dia pun melangkah pergi. Ouwyang Kwi nampak bingung, akan tetapi dia pun tahu bahwa dia sudah kalah, maka tanpa banyak cakap lagi dia pun mengikuti langkah gurunya.
Sekarang Lu Tung San melangkah maju lalu menghadapi anak buah Hwa I Kaipang dan berteriak lantang. “Kami akan memaafkan kalian apa bila kalian segera mencari di mana adanya ketua kalian yang lama, Tang Sin Pangcu.”
Seorang anggota Hwa I Kaipang berlari ke dalam dan tidak lama kemudian dia menuntun seorang kakek yang nampak lemah. Dia itu bukan lain adalah Tang Sin, yaitu ketua Hwa I Kaipang yang dikalahkan oleh Ouwyang Kwi lantas ditahan di kamar tahanan di belakang gedung!
Yok-sian sendiri kini duduk bersila sambil mengatur pernapasannya. Dari sudut mulutnya nampak darah menetes. Kiranya dia pun telah terluka parah, hanya tidak kelihatan seperti halnya Tung-hai Liong-ong. Si Kong segera berlutut di sisi gurunya.
“Suhu terluka...?” tanyanya lirih.
Yok-sian mengangguk, membuka mata memandang kepada Tang Sin yang juga sudah menjatuhkan diri berlutut di depannya. Yok-sian berkata kepada muridnya.
“Si Kong, cepat kau periksa dia dan obati sampai sembuh.”
Si Kong memenuhi perintah gurunya. Dia memeriksa tubuh Tang Sin yang sangat lemah. Ternyata Tang Sin juga terluka oleh pukulan beracun seperti halnya Lu Tung San. Maka cepat dia menotok dan menekan beberapa jalan darah di tubuhnya dan memasakkan obat dengan bantuan para pengemis baju berkembang dan memberikan obat itu kepada Tang Sin.
“Si Kong, mari kita pergi dari sini!” kata Yok-sian kepada muridnya sambil bangkit berdiri. Wajahnya masih pucat akan tetapi dia tetap penuh senyum.
“Kami menghaturkan terima kasih kepada locianpwe Yok-sian Lo-kai!” kata Lu Tung San.
“Ahh, sudahlah, di antara kita mana ada budi dan terima kasih? Semua yang kita lakukan adalah kewajiban kita. Dan engkau, Hek I Kai-pangcu, engkau pun mempunyai kewajiban. Bantulah ketua Hwa I Kaipang untuk menyadarkan para anggotanya yang sudah dibawa menyeleweng oleh Ouwyang Kwi. Bantulah dia membawa anak buahnya kembali ke jalan lurus. Sekarang biarkan kami pergi melanjutkan perjalanan kami.”
Tang Sin dan Lu Tung San yang berterima kasih itu mencoba untuk mencegah kepergian kakek itu, akan tetapi sia-sia saja. Mereka hanya dapat mengantar sampai di luar gedung dan membiarkan Yok-sian Lo-kai dan Si Kong pergi dari situ.
“Kita mencari tempat yang sunyi. Aku... aku ingin beristirahat,” kataYok-sian.
Si Kong membawanya keluar kota Souw-ciu. Ketika melihat ada sebatang pohon besar di sebelah kanan jalan, Si Kong mengajak gurunya ke sana dan Yok-sian lalu duduk bersila di bawah pohon.
“Suhu, biarkan teecu (murid) memeriksa keadaan Suhu.”
“Aku sudah tahu keadaanku. Aku terserang hawa beracun dari Naga Tua itu. Luka yang parah sekali. Aku tidak akan mampu lagi mengerahkan tenaga sinkang untuk waktu yang cukup lama.”
“Suhu, apakah tidak ada obatnya untuk mengobati luka Suhu?”
Yok-sian menggelengkan kepala. “Salahku sendiri. Jika tadi aku mengaku kalah dan tidak menahan, tentu aku tidak akan terluka sampai seperti ini. Dia pun terluka, sama parahnya dengan aku. Dia dan aku kini menjadi orang-orang tua tanpa daya dan untuk memulihkan keadaanku, aku harus menghimpun tenaga dari hawa murni, entah selama berapa tahun lagi.”
Tentu saja Si Kong merasa amat prihatin. “Suhu, biarlah teecu berusaha untuk membantu Suhu mengusir mengusir hawa beracun itu,” katanya.
Dia pun segera bersila di belakang tubuh suhu-nya dan menempelkan kedua tangannya di punggung Yok-sian sambil mengerahkan tenaga saktinya. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika terasa olehnya ada hawa yang amat panas menyerangnya sehingga membuatnya terpelanting.
“Jangan kau lakukan hal itu, percuma saja, bahkan engkau bisa terluka. Tenaga dalamku menjadi kacau dan keracunan. Aku memerlukan waktu yang lama untuk memurnikannya kembali,” kata Yok-sian Lo-kai.
Si Kong merasa sedih melihat keadaan gurunya. Dia mengusulkan kepada gurunya untuk bermalam di sebuah penginapan, sementara dia sendiri akan bekerja mencari uang untuk membayar sewa kamar. Akan tetapi gurunya tidak setuju.
“Pengemis-pengemis menginap di rumah penginapan? Kita hanya akan diejek dan diusir. Sudahlah, aku tidak membutuhkan tempat yang baik, tetapi hanya membutuhkan tempat yang sunyi.”
Akhirnya Si Kong menemukan sebuah kuil tua yang kosong, beberapa li jauhnya dari kota Souw-ciu. Dia mengajak suhu-nya untuk berdiam di kuil itu. Setiap pagi dia pergi ke kota Souw-ciu, pulangnya membawa makanan dan juga obat penguat badan untuk gurunya. Dia bekerja apa saja untuk mendapatkan uang guna keperluan itu.
Setelah tiga bulan tinggal di kuil itu dan setiap hari dia bekerja sebagai buruh kasar, pada suatu siang ketika dia kembali ke kuil tua, gurunya sudah tidak ada di tempat itu! Si Kong menjadi bingung dan khawatir, tetapi dia menemukan coret-coretan pada dinding sebelah dalam. Itu adalah tulisan Yok-sian Lo-kai yang dilakukan dengan ujung tongkatnya.
Si Kong,
Aku terpaksa harus pergi meninggalkanmu. Aku tidak ingin melihat engkau bersusah payah untuk mengurus diriku. Aku hanya membutuhkan istirahat selama beberapa tahun. Engkau merantaulah seorang diri dan pergunakanlah apa yang kau pelajari dariku untuk menegakkan kebenaran dan keadilan. Selamat tinggal.
Si Kong menjadi lemas. Seperti orang kebingungan dia lari keluar dan mencari ke sana-sini untuk mengejar suhu-nya. Akan tetapi usahanya itu gagal dan akhirnya dia kembali ke kuil, menjatuhkan dirinya duduk di lantai yang biasa diduduki gurunya dan termenung.
Dia merasa nelangsa, merasa kesepian. Sesudah hidup bersama Yok-sian Lo-kai selama lima tahun, orang tua itu telah melekat di hatinya, menjadi satu-satunya orang yang dekat dengannya. Dan sekarang tiba-tiba saja gurunya pergi karena tak ingin menyusahkannya! Bagaimana hatinya takkan merasa sedih. Padahal dengan senang hati dia ingin merawat suhu-nya sebagai pembalas budi, tetapi orang tua itu tidak mau dan meninggalkannya.
Selama ini dia merasa hidupnya bahagia. Meski harus hidup sebagai seorang pengemis tapi dia tidak pernah merasa susah. Ke mana pun dia merasa berbahagia karena gurunya selalu tersenyum dan tertawa, katanya menertawakan dunia dan manusianya yang serba palsu dan lucu.
Si Kong merasa kesepian dan ditinggalkan oleh kebahagiaan. Rasanya berat harus hidup seorang diri, seolah-olah kehilangan pegangan. Ke mana dia harus pergi? Ketika bersama gurunya tak pernah dia tanya hal ini. Seolah dengan sendirinya dia harus pergi ke mana gurunya pergi dan gurunya itu pun tidak pernah mempunyai rencana harus pergi ke mana.
Dia teringat akan kata-kata gurunya. Manusia mencari kebahagiaan ke mana-mana dan dengan segala cara, akan tetapi tidak pernah bisa menemukan kebahagiaan itu. Menurut gurunya, kebahagiaan justru tidak bisa ditemukan kalau dicari. Kebahagiaan adalah suatu keadaan batin yang tidak diganggu oleh gejolaknya nafsu. Selama nafsu masih bergejolak dalam batin, tidak mungkin manusia dapat berbahagia, karena dia akan terbentur dengan halangan-halangan dalam mengejar kesenangan seperti yang dikehendaki oleh nafsu.
Dalam keadaan tidak berbahagia, bagaimana mungkin menemukan kebahagiaan? Kalau keadaan yang tidak berbahagia itu sudah tidak ada lagi, manusia tidak lagi membutuhkan kebahagiaan. Kenapa? Karena dia sudah bahagia!
Kebahagiaan itu sudah ada selalu di dalam diri manusia sendiri, namun terselubung oleh bermacam persoalan dan kesukaran yang menjadi akibat dari menuruti nafsu diri. Seperti orang yang mencari kesehatan. Bagaimana mungkin akan dapat mengalami kesehatan bila tubuhnya sedang sakit? Dari pada mencari kesehatan yang tak mungkin dia temukan, lebih baik meneliti dirinya sendiri yang sakit, mengusahakan supaya penyakit itu lenyap. Kalau dirinya sudah tidak dihinggapi penyakit lagi, apakah dia masih perlu untuk mencari kesehatan?Tidak perlu lagi karena dia sudah sehat!
Manusia biasanya tidak dapat menikmati kesehatan apa bila dia sehat. Baru merindukan kesehatan kalau dia sakit. Demikian pula manusia tidak dapat menikmati kebahagiaan bila dia berbahagia. Baru merindukan kebahagiaan di kala dia sedang tidak berbahagia. Hidup itu sendiri adalah indah, hidup itu sendiri adalah bahagia. Mengapa harus repot-repot lagi mencari kebahagiaan dengan segala cara?
Si Kong merasa terhibur setelah merenungkan kembali apa yang pernah dia dengar dari Yok-sian Lo-kai,. Kalau dia merasa kehilangan dan kesepian, maka itu sama saja dengan mengundang ketidak-bahagiaan dalam hatinya. Kata gurunya hidup harus berani mandiri, tidak boleh terikat atau tergantung kepada apa dan siapa pun juga. Hidup adalah miliknya sendiri, akan diisi apa pun terserah kepada dirinya sendiri.
Dia bangkit berdiri, merasa lega dan merasa kuat. Memang sudah semestinya aku hidup sendiri, demikian pikirnya. Aku sudah yatim piatu dan tidak memiliki apa-apa. Aku akan merantau, seperti yang dilakukan suhu. Aku harus berani dan menempuh kehidupan ini dengan tabah dan gembira.
Aku harus menjadi seorang kelana, pergi ke mana saja menurutkan arah kaki melangkah. Terbang bebas lepas di angkasa seperti seekor burung. Kata gurunya, burung yang kecil-kecil dan penakut selalu terbang berkelompok dan tidak berani menyendiri. Akan tetapi burung rajawali berani terbang melayang dengan lepas bebas sendirian saja, menghadapi kehidupan ini seorang diri tanpa rasa takut.
“Aku akan berkelana! Terima kasih atas segala petunjuk dan bimbinganmu suhu!” katanya keras-keras, lalu dia keluar dari kuil itu dan mulai dengan pengembaraannya.
Sesudah berkelana seorang diri, Si Kong meninggalkan kebiasaannya memakai pakaian seperti pengemis, yaitu tambal-tambalan. Dengan tubuhnya yang kuat serta tenaganya yang besar, mudah baginya mencari pekerjaan kasar yang menghasilkan sedikit uang dan mulailah dia membeli pakaian yang sederhana namun tidak ada tambalannya. Dia lantas berkelana dari kota ke kota, dari dusun ke dusun, dan berhenti beberapa bulan lamanya untuk bekerja. Setelah mendapatkan uang, dia pun berkelana lagi.
Pada suatu pagi dia berjalan dengan santai mendaki sebuah bukit kecil. Dia baru saja meninggalkan kota Pu-han di mana dia tinggal selama satu bulan untuk bekerja. Kini dia melanjutkan kelananya dengan mengantungi uang hasil pekerjaannya.
Hatinya terasa ringan, segalanya nampak indah. Matahari belum naik tinggi dan sinarnya masih kemerahan. Pemandangan di bukit kecil itu pada pagi hari amat indahnya. Burung-burung berkicau, bersiap meninggalkan sarangnya di mana dia melewatkan malam gelap. Para petani sudah menuju ke sawah ladangnya, membawa cangkul. Semua tampak indah berseri dan seperti itulah seyogyanya kehidupan ini. Namun sayang, batin selalu mudah terguncang sehingga menimbulkan perasaan tidak bahagia.
Si Kong mendaki semakin tinggi dan di dekat puncak bukit sudah tidak ada lagi sawah ladang, melainkan padang rumput dan hutan di sana-sini. Tiba-tiba dia mendengar suara orang menyanyikan sajak. Jantungnya berdebar.
Gurunya, Yok-sian Lo-kai biasanya juga bernyanyi seperti itu! Akan tetapi suaranya agak lain. Dia mempercepat langkahnya dan dapat menyusul seseorang yang berjalan sambil menyanyikan sajak.
“Sebelum timbul girang dan marah sebelum terasa senang dan susah batin berada dalam keadaan bimbang. Apa bila perasaan itu timbul namun dapat mengendalikan batin berada dalam keadaan keselarasan. Keseimbangan dasar termulia di dunia dan keselarasan adalah jalan utama di dunia.”
Si Kong langsung mengenali kata-kata itu. Dia sudah banyak mempelajari ayat-ayat dari kitab-kitab agama dari Yok-sian. Maka dia pun mengenal syair yang dinyanyikan itu, ialah sebagian dari pada isi kitab Tiong Yong. Karena suara orang itu terdengar lantang dan gembira, dia terbawa gembira dan seperti tanpa disadari dia pun menyambung nyanyian itu dengan suaranya yang lantang.
“Apa bila Keseimbangan dan Keselarasan dilaksanakan dengan sempurna, maka keberesan abadi meliputi langit dan bumi, dan segala makhluk dan benda terpelihara dengan baik.”
Mendengar ini, orang itu segera menghentikan langkahnya dan menoleh. Dia seorang pria berusia lima puluh tahun, tubuhnya kurus kering seperti pohon kekeringan, tapi wajahnya tampan dengan kumis dan jenggot yang terpelihara baik-baik. Orang itu membelalakkan matanya dan terlihat keheranan setelah melihat bahwa orang yang menyambung sajaknya itu hanyalah seorang pemuda remaja! Dia berhenti melangkah dan menunggu sampai Si Kong datang dekat.
“Engkau hafal akan ujar-ujar dalam kitab Tiong Yong?” tanya orang itu, masih keheranan. “Engkau tentu seorang anak yang terpelajar!”
Si Kong tersenyum lantas memberi hormat. “Paman, saya tidak pernah bersekolah atau belajar, saya hanya menirukan apa yang pernah di katakan suhu.”
“Siapa suhu-mu?”
Dengan bangga Si Kong menjawab, “Suhu adalah Yok-sian Lo-kai.”
“Ahh, dia? Pantas saja engkau hafal ayat-ayat Tiong Yong. Akan tetapi apakah engkau mengerti akan artinya ayat-ayat itu?”
“Justru artinya yang membingungkan aku, Paman. Suhu tidak pernah menjelaskan tetapi hanya mengatakan bahwa kelak aku akan mengerti sendiri.”
“Mengerti sendiri memang bisa, tetapi ada kemungkinan pengertian itu menyeleweng dari arti yang sebenarnya. Nah, dengarlah baik-baik, anak muda. Batin manusia seperti yang telah ada padanya semenjak lahir, memiliki Watak Asli yang sifatnya tenteram, lurus dan seimbang. Akan tetapi apa bila batin diguncangkan oleh perasaan seperti suka dan duka, senang dan marah, maka keseimbangannya dapat menjadi goyah dan miring, dan setelah demikian maka dia pun akan meninggalkan Tao atau Jalan Kebenaran atau Hukum Alam. Akan tetapi manusia disertai pula oleh nafsu-nafsu daya rendah yang saling berebut untuk menguasainya, maka tak bisa dielakkan lagi timbulnya berbagai macam guncangan yang akan menerjangnya dalam kehidupan, seperti sebuah biduk tak terbebas dari guncangan ombak. Akan tetapi kalau manusia sedang diguncang nafsu namun dapat mengendalikan perasaan itu, maka akan terciptalah keselarasan. Sudah manusiawi bila manusia berduka ketika mendapatkan sesuatu yang tidak enak, atau marah apa bila melihat kejadian yang tidak adil, akan tetapi bila semua itu dapat dia kendalikan, maka segalanya akan selaras dan dia tak akan tenggelam ke dalam perasaan itu dan pertimbangannya akan tetap tegak dan berimbang. Demikian pula kalau menghadapi sesuatu yang mendatangkan perasaan suka dan girang, dia tak akan mabuk dan menjadi bangga, angkuh, serakah dan lainnya. Demikianlah, seperti yang kau nyanyikan tadi, apa bila Keseimbangan dan Keselarasan dapat dilaksanakan dengan sempurna, maka langit dan bumi akan menjadi tenteram dan beres, dan kehidupan di dunia akan penuh kebahagiaan.”
Si Kong memandang kagum. Jelas bahwa orang ini seorang sastrawan, atau setidaknya seorang yang terpelajar. Dia segera memberi hormat dan berkata, “Paman, terima kasih atas penerangan semua itu. Kalau begitu, dalam kitab Tiong Yong terdapat pelajaran yang amat mendalam tentang kehidupan.”
“Di dalam kitab suci tentu saja tersimpan banyak pelajaran yang amat mendalam. Hanya persoalannya, kalau hanya dipelajari tetapi tidak dilaksanakan, maka pelajaran itu menjadi benda yang tidak ada gunanya sama sekali.”
Si Kong menghela napas panjang. “Tepat sekali, paman. Akan tetapi mengapa di dunia ini terdapat lebih banyak kejahatan dari pada kebaikan, terdapat demikian banyaknya orang jahat padahal di dunia ini terdapat pelajaran agama yang demikian indah dan mendalam?”
“Ha-ha-ha!” Sastrawan itu terbahak, mengingatkan Si Kong akan gurunya yang memiliki kebiasaan tertawa lepas. “Itu mudah sekali menjawabnya. Karena manusia disertai nafsu-nafsu daya rendahnya yang selalu ingin menguasainya. Nafsu-nafsu daya rendah sudah menguasai manusia lahir batin, lebih kuat karena memang manusia itu lemah sehingga manusia menjadi budak dari nafsunya. Bahkan pikirannya sudah dikuasai nafsu sehingga biar pun dia tahu bahwa melakukan perbuatan yang menyimpang dari kebenaran, pikiran yang sudah dikuasai nafsu itu selalu mencoba untuk membela dan membenarkan semua tindakannya yang menyimpang dari kebenaran itu. Maka orang bijaksana jaman dahulu selalu mengingatkan manusia agar berhati-hati menghadapi musuh dalam selimut, yaitu nafsu-nafsunya sendiri.”
“Wah, Paman. Sungguh jelas apa yang Paman terangkan itu! Terima kasih, Paman.”
“Dan engkau juga seorang anak yang aneh. Masih remaja akan tetapi sudah tertarik akan soal-soal kehidupan.”
“Tentu saja, Paman. Saya juga manusia hidup yang harus tahu akan kehidupan, bukan?”
“Ha-ha-ha, engkau juga cerdik. Siapakah namamu orang muda?”
“Nama saya Si Kong, paman.”
“Si Kong? Nama yang sangat bagus. Engkau harus berhati-hati kalau mempunyai nama yang bagus, karena engkau harus menyesuaikan perbuatanmu dengan namamu itu! Kau tidak ingin tahu namaku?”
“Tentu saja, Paman. Paman tentu seorang yang terkenal sekali di dunia.”
“Ha-ha-ha-ha, orang-orang menyebut aku Kwa Siucai (Pelajar Kwa) dan ada pula yang menyebutku Penyair Gila! Orang-orang itu membenciku karena aku suka berterus terang menyatakan watak-watak mereka yang buruk. Aku seorang peramal, heh-heh!”
“Saya tidak suka kalau nasib saya diramal, Paman.”
“Kenapa?”
“Tahu lebih dulu akan nasib diri malah mendatangkan banyak kerugian. Jika nasibnya baik akan membuat dia sombong dan takabur, sebaliknya ketika mengetahui nasibnya buruk akan membuat dia putus asa dan murung. Tidak, lebih baik saya tidak mengetahui dan menanti saja apa yang akan datang menimpa diri kita.”
“Ha-ha-ha-ha, cocok sekali! Aku sendiri juga tidak suka meramalkan nasib sendiri. Tetapi orang-orang bodoh itu ingin sekali menjenguk masa depan mereka. Dan aku hidup bebas dari rasa takut. Heh, Si Kong, banyak sikap yang sama di antara kita, dan melihat bentuk tubuhmu, aku takkan merasa heran kalau engkau lihai dalam ilmu silat. Bukankah gurumu adalah Yok-sian Lo-kai yang lihai?”
“Saya hanya mempelajari beberapa macam pukulan dengan tongkat ini, Paman.”
“Ahh, engkau tentu sudah pandai memainkan Ta-kaw Sin-tung!”
Si Kong tertegun. Orang ini memang aneh. Ternyata pandai pula menebak ilmu silat yang dia pelajari dari Yok-sian Lo-kai.
“Bagaimana paman dapat mengetahuinya?”
“Engkau masih muda, sebetulnya tidak membutuhkan tongkat, akan tetapi engkau selalu membawa tongkat bambu. Apa lagi kalau bukan karena pandai Ta-kaw Sin-tung, Tongkat Sakti Pemukul Anjing yang tersohor itu?”
“Ahh, saya hanya bisa sedikit saja, Paman.”
“Ada nasehat yang selalu dikatakan orang-orang di dunia kangouw bahwa semakin orang merendahkan diri, makin lihailah dia! Sudah lama sekali aku mendengar tentang Tongkat Sakti Pemukul Anjing yang kabarnya sudah mengalahkan banyak anjing dan serigala di dunia kang-ouw. Sekarang aku sudah bertemu denganmu, ingin sekali aku merasakan bagaimana lihainya ilmu tongkat itu.”
“Ahh, Paman hanya main-main saja. Aku tidak akan mau menggunakan tongkat ini untuk memukul Paman. Tongkat ini kubawa hanya untuk memukul anjing-anjing dan serigala.”
“Nah, anggap saja aku ini anjing atau serigala!”
“Tidak, Paman adalah seorang yang baik hati. Aku tidak ingin berkelahi dengan Paman.”
“Aku hanya ingin mencoba kelihaian tongkatmu, bukan mengajakmu berkelahi. Sekarang begini saja. Aku akan menyerangmu dan kau lawanlah dengan Ta-kaw Sin-tung. Awas, aku mulai!”
Sesudah berkata demikian, Kwa Siucai atau Penyair Gila itu segera menerjang ke depan dan tangannya menghantam ke arah dada Si Kong. Pemuda ini terkejut bukan kepalang ketika dari tangannya yang menghantam itu menyambar hawa pukulan yang sangat kuat! Kiranya Penyair Gila ini memiliki tenaga sinkang yang amat hebat.
Dia pun cepat mengelak sambil memutar tongkatnya. Begitu serangan pertamanya luput, Kwa Siucai sudah menyusul dengan serangan kedua yang lebih cepat dan lebih kuat. Kini untuk membela diri terpaksa Si Kong memainkan Ta-kaw Sin-tung, menangkis, memutar tongkat melindungi dirinya dan balas menyerang.
Dalam ilmu tongkat Ta-kaw Sin-tung, balas menyerang merupakan gaya melindungi diri yang paling tepat. Apa bila orang diserang anjing, dia harus membalas dengan serangan, bukan hanya mengelak saja, demikian inti ilmu tongkat itu.
Kwa Siucai tertawa terbahak sebab merasa girang melihat betapa pemuda itu memainkan ilmu tongkat yang ingin sekali dilihatnya itu. Dan sesudah Si Kong menyerangnya secara bertubi-tubi, barulah dia menjadi repot melayaninya.
Memang ilmu tongkat itu aneh bukan main. Yang dipukul kepala tetapi tahu-tahu ujungnya yang lain menotok ke arah kaki. Kalau yang dipukul bagian tubuh yang kanan, ujungnya yang lain menyerang tubuh kiri! Anjing-anjing memang akan menjadi bingung dan terkena pukulan kalau diserang seperti itu!
Si Kong tak ingin melukai Kwa Siucai, maka tongkatnya hanya mendesak saja. Dia tidak pernah memukul dengan sungguh-sungguh biar pun kedua ujung tongkatnya menyerang silih berganti dan tidak memberi peluang kepada lawan untuk membalas menyerang.
“Bagus, Si Kong. Bagus sekali! Akan tetapi sekarang berhati-hatilah engkau!”
Tiba-tiba saja tubuh Kwa Siucai yang diserangnya itu lenyap! Dari hawa pukulannya yang datang dari belakang tahulah dia bahwa lawannya telah berada di belakangnya. Dia cepat membalik dan memutar tongkatnya untuk menyerang, namun hanya nampak bayangan orang berkelebat dan tahu-tahu Kwa Siucai sudah lenyap pula. Tiba-tiba orang itu sudah berada di sebelah kanannya.
Kini Si Kong yang menjadi repot. Dia harus terus menangkis pukulan yang datangnya dari semua penjuru seolah tubuh Kwa Siucai berubah menjadi puluhan banyaknya! Tahulah dia dengan hati kagum dan kaget bahwa Kwa Siucai sebenarnya seorang sakti yang memiliki ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkatan sempurna sehingga dia seperti pandai menghilang saja!
Karena terus diserang dari berbagai penjuru sehingga sama sekali dia tidak dapat balas menyerang, Si Kong sampai mandi keringat menjaga diri dari serangan yang datangnya selalu tiba-tiba itu. Akan tetapi, setelah Si Kong mendadak kehilangan lagi bayangan Kwa Siucai, tahu-tahu ujung tongkatnya sudah terpegang dari belakang. Dia mempertahankan tongkatnya sehingga tidak dapat dirampas, akan tetapi dia pun tidak dapat menggerakkan lagi tongkatnya!
“Ha-ha-ha, memang bukan kosong saja berita tentang kehebatan Ta-kaw Sin-tung! Aku kagum sekali, Si Kong!”
Si Kong adalah seorang pemuda remaja yang cerdik bukan main. Dari pengalamannya bertanding tadi, dia pun maklum bahwa dia sedang berhadapan dengan orang sakti yang memiliki ilmu silat tinggi. Maka tanpa banyak cakap lagi dia segera menjatuhkan diri dan berlutut di depan Penyair Gila itu.
“Locianpwe sudah membuka mata saya untuk melihat ilmu meringankan tubuh yang luar biasa sekali. Mohon petunjuk, locianpwe!”
“Ha-ha-ha! Bagus sekali, Si Kong. Tadi ketika bertemu pertama kali dan melihat engkau dapat menghafal ujar-ujar dalam kitab Tiong Yong, aku sudah tertarik sekali kepadamu. Setelah melihat engkau memainkan Ta-kaw Sin-tung, aku lebih kagum lagi. Agaknya kita memang berjodoh, Si Kong. Bagaimana kalau engkau menjadi muridku?”
Memang inilah yang dikehendaki oleh Si Kong. Maka tanpa banyak cakap lagi dia pun lalu memberi hormat sambil berlutut dan berkata, “Teecu (murid) akan mentaati semua perintah suhu!”
Kwa Siucai menjadi gembira sekali. “Bagus! Sekarang bangkitlah dan perhatikan semua petunjukku. Kejarlah aku!” Dan tiba-tiba saja tubuh Kwa Siucai sudah melesat bagai anak panah terlepas dari busurnya, sebentar saja sudah jauh.
Melihat ini Si Kong menjadi gembira, lalu dia pun melompat dan mengejar. Akan tetapi betapa pun dia mengerahkan tenaga untuk berlari secepatnya, tetap saja dia tidak mampu mengejar, padahal Kwa Siucai kelihatan hanya melangkah dengan santai saja. Dipandang sepintas lalu, seolah-olah kedua kaki Penyair Gila itu tidak menyentuh tanah!
Napas Si Kong hampir putus ketika mereka tiba di puncak bukit karena sejak tadi dia telah mengerahkan seluruh tenaganya. Tahu-tahu Kwa Siucai sudah menunggu di puncak bukit dan segera tertawa ketika melihat dia terengah-engah.
“Duduklah bersila!” perintahnya.
Si Kong mentaati dan duduk bersila di depan suhu-nya yang juga sudah duduk bersila di atas tanah berumput.
“Bernapaslah dengan perut. Tarik napas sepanjang dan sekuat mungkin, tarik terus lantas keluarkan ke dalam tan-tian dan tahan sejenak, kemudian keluarkan dari mulut dengan mengeluarkan suara begini!” Kwa Siucai memberi contoh kepada Si Kong.
Pada saat itu juga dia telah mulai dilatih untuk menghimpun udara bersih dan memperkuat pernapasannya. Si Kong berlatih dengan penuh kesungguhan sehingga gurunya menjadi semakin suka kepada pemuda remaja ini.
Pada hari-hari berikutnya dia mulai melatih ginkang (ilmu meringankan tubuh) kepada Si Kong. Perlahan-lahan dia mengajarkan ilmu meringankan tubuh yang disebut Liok-te Hui-teng (Lari Terbang Di atas Tanah) dan ilmu silat yang mengandalkan ginkang dan disebut ilmu silat Yan-cu Hui-kun (Silat Burung Walet Terbang).
Untuk mempelajari kedua ilmu ini tentu saja membutuhkan waktu lama, terutama untuk latihan pernapasan. Akan tetapi dengan tekunnya Si Kong mengikuti semua petunjuk Kwa Siucai.
Dalam kehidupannya bersama guru barunya ini, Si Kong mendapatkan kenyataan bahwa Penyair Gila itu malah lebih miskin dari pada Yok-sian Lo-kai. Setidaknya Yok-sian selalu diterima orang dengan senang hati dan tangan terbuka karena Dewa Obat datang untuk mengobati orang sehingga dia dan guru pertamanya itu di mana-mana disambut orang dengan hidangan dan kehormatan. Dan kalau dia mau, dengan kepandaiannya mengobati orang, dia akan bisa mendapatkan uang. Akan tetapi Penyair Gila ini tidak dapat menjual sajak-sajaknya yang aneh, apa lagi ramalannya yang menelanjangi orang-orang sehingga membuat banyak orang merasa tidak suka kepadanya!
Dan terdapat perbedaan yang besar antara watak Kwa Siucai ini dengan Yok-sian. Meski pun miskin namun Yok-sian menjaga nama dan kehormatan dirinya, tidak suka mencuri bahkan tidak pernah menjual kepandaiannya mengobati orang. Dari pada mencuri lebih baik dia mengemis! Akan tetapi ternyata tidak demikian dengan Kwa Siucai.
“Orang-orang kaya yang tidak pernah mau mempedulikan nasib sesama manusia yang menderita karena kemiskinannya adalah orang-orang yang tidak berbudi,” demikian antara lain Kwa Siucai berkata. “Orang-orang kaya itu telah mendapatkan kemurahan dari Thian, maka sudah sepantasnya kalau dia menjadi seorang dermawan pula. Seorang hartawan harus menjadi seorang dermawan pula, maka barulah cocok. Kalau dia kikir, maka orang seperti itu pantas kalau dikurangi sebagian hartanya.”
Yang dimaksudkan oleh Kwa Siucai dengan dikurangi sebagian hartanya itu adalah dicuri, kemudian uang hasil curian itu dibagikan kepada orang-orang miskin. Kwa Siucai adalah seorang maling budiman! Dan Si Kong yang menjadi muridnya diharuskan melakukan perbuatan yang sama!
Si Kong mempertimbangkan alasan Kwa Siucai itu, dan akhirnya dia pun tidak keberatan untuk mencuri uang dari para hartawan untuk dibagi-bagikan kepada orang miskin. Sejak kecil dia sudah terbiasa dengan kemiskinan sehingga dapat merasakan penderitaan orang miskin. Maka sesudah mendapat pelajaran dari Kwa Siucai, dia dapat merasakan betapa bahagianya orang-orang miskin yang diberinya uang hasil curian itu.
Akan tetapi semua ini dikerjakan oleh Kwa Siucai secara diam-diam. Dia mencuri tanpa meninggalkan bekas, lantas memberikan uang kepada orang-orang miskin tanpa mereka ketahui siapa pemberinya. Hartawan-hartawan pemeras rakyat itu tahu-tahu kehilangan sebagian hartanya, ada pun orang-orang miskin itu tahu-tahu menemukan uang di dalam rumahnya tanpa mengetahui siapa yang memberi mereka.
Kalau guru dan murid ini mendengar adanya seorang hartawan yang dermawan, mereka sama sekali tidak mengganggu hartawan itu. Akan tetapi mereka tak pernah mengampuni hartawan yang pelit dan suka memeras rakyat jelata. Dan di antara yang mereka curi itu, hanya sedikit saja yang mereka gunakan untuk keperluan sendiri. Hanya untuk membeli makan dan minum, juga pengganti pakaian sekadarnya. Semua dihabiskan untuk dibagi-bagikan kepada orang miskin!
Setelah selama setahun belajar dengan tekun sambil merantau bersama Kwa Siucai, Si Kong telah menguasai dua ilmu yang diajarkan oleh Kwa Siucai, yaitu ilmu meringankan tubuh Liok-te Hui-teng dan ilmu silat Yan-cu Hui-kun. Dia kini tinggal mematangkan saja ilmu-ilmu itu dengan latihan yang tekun.
Pada suatu hari Kwa Siucai berkata kepada Si Kong. “Si Kong, engkau sudah menguasai dua ilmu yang kuajarkan kepadamu. Dalam waktu setahun engkau sudah bisa menguasai keduanya, hal itu luar biasa sekali. Bakatmu amat besar dan engkau memiliki ketekunan yang teguh. Sekarang tiba saatnya bagi kita untuk berpisah!”
Si Kong terkejut sekali. “Akan tetapi kenapa, Suhu? Kenapa kita harus berpisah? Teecu masih membutuhkan bimbingan Suhu dalam segala hal!”
Kwa Siucai tersenyum dan menggerakkan tangannya. “Engkau telah menguasai Ta-kaw Sin-tung. Kalau ilmu tongkatmu itu kau gabungkan dengan Yan-cu Hui-kun, maka engkau sudah menjadi orang yang sulit ditandingi. Kini aku ingin kembali ke kampungku, jauh di selatan, Si Kong, dan kita pun tidak mungkin berkumpul terus. Aku dapat mengurus diriku sendiri seperti juga engkau dapat mengurus dirimu sendiri. Ada pertemuan tentu ada pula perpisahan, Si Kong.”
Si Kong menjatuhkan dirinya berlutut. “Suhu, perkenankan teecu ikut dengan Suhu untuk membalas semua kebaikan Suhu.”
“Aihh…, sudahlah, tidak ada budi dan tidak ada pembalasan. Selama ini engkau menjadi murid yang baik, itu sudah cukup menyenangkan hatiku. Selamat tinggal, Si Kong!”
“Suhu...!”
Tetapi Si Kong melihat bayang berkelebat dan tahu-tahu suhu-nya sudah tidak berada di depannya lagi. Dia tetap berlutut lalu berkata lantang. “Terima kasih atas semua kebaikan Suhu kepada teecu!”
Sesudah memberi hormat beberapa kali dia baru bangkit berdiri. Kembali dia merasakan kekosongan di hatinya seperti ketika dulu ditinggalkan oleh Yok-sian Lo-kai. Dia merasa kesepian dan sendiri, bagaikan seekor burung di angkasa, tidak tahu harus pergi ke mana dan harus berbuat apa!
Dia menghela napas. Inilah kelemahannya selama ini. Dia terlalu menggantungkan dirinya kepada orang lain! Maka dia merasa kesepian dan nelangsa ketika ditinggalkan. Tidak! Dia harus berani hidup sendiri!
Dia mengepal tinjunya. Dia sama sekali tidak boleh lemah seperti ini. Dua orang gurunya itu telah memberi banyak pelajaran tentang hidup kepadanya. Sekaranglah saatnya untuk memasuki kehidupan seorang diri dan menghadapi apa saja yang menimpa dirinya. Dia bukan anak kecil lagi. Kini usianya sudah enam belas tahun! Dia harus berani dan harus mampu mandiri.
Si Kong seperti mendapat semangat baru. Dengan cepat dia menuruni bukit itu. Dari atas bukit itu tadi dia melihat samar-samar genteng rumah orang di bukit depan. Tentu di sana ada penghuninya, maka dia pun kini menuruni bukit lalu mendaki bukit di depan.
Hari telah menjelang sore dan dia ingin mencari tempat bermalam di dusun yang berada di lereng bukit itu. Sesudah sampai di lereng itu, dia melihat sebuah perkampungan yang dikelilingi tembok yang cukup tinggi. Akan tetapi agaknya itu bukan merupakan sebuah dusun karena pintu gerbangnya yang besar terjaga oleh lima orang yang bertubuh tinggi besar dan berwajah kereng.
“Hei, orang muda! Siapakah engkau dan hendak ke mana?” tanya seorang di antara para penjaga itu ketika melihat Si Kong hendak memasuki pintu gerbang. Lima orang itu cepat menghadang di pintu gerbang dan sikap mereka nampak galak sekali.
“Maaf, aku hanya ingin memasuki dusun ini untuk mencari tempat menginap malam ini,” kata Si Kong dengan sikap tenang.
Kelima orang itu saling pandang, lantas tertawa bergelak. Si penanya tadi yang agaknya menjadi pimpinan lalu membentak, “Bocah lancang! Ini bukan dusun, akan tetapi tempat tinggal majikan kami, Tong Loya (Tuan besar Tong). Orang luar sama sekali tidak boleh masuk ke sini!”
“Ahh...” kata Si Kong kecewa, akan tetapi dia mendapat pikiran baik dan segera berkata, “Kebetulan sekali kalau begitu. Aku hendak menghadap majikan kalian untuk mohon diberi pekerjaan.”
Memang di dalam hatinya Si Kong sudah mengambil keputusan untuk tidak mengemis seperti Yok-sian dan tidak mencuri seperti Kwa Siucai. Kedua kebiasaan ini dianggapnya tidak baik. Dia ingin bekerja untuk mendapatkan uang guna biaya hidupnya.
“Hemm, tidak begitu mudah untuk menghadap majikan kami! Dan bocah macam engkau ini dapat bekerja apakah?”
Si Kong masih bersabar hati menghadapi sikap yang angkuh dan kasar ini. “Aku dapat melakukan apa saja yang kalian dapat lakukan.”
Pemimpin para penjaga itu mengerutkan alisnya. “Kau dapat melakukan apa saja yang kami dapat lakukan? Huh, kalahkan kami dulu jika engkau ingin diberi kesempatan untuk menghadap Loya!” dia menantang untuk menakut-nakuti pemuda remaja itu, sedangkan keempat orang kawannya tertawa-tawa. Pemuda itu pasti pergi ketakutan, pikir mereka. Akan tetapi Si Kong kini merasa penasaran.
“Kalau itu yang kalian kehendaki, aku siap melawan kalian berlima!”
“Bocah gila! Melawan aku seorang saja jangan harap kau dapat menang, apa lagi hendak melawan kami berlima!” teriak seorang di antara mereka yang matanya agak juling.
“Boleh coba-coba!” kata Si Kong yang menganggap sikap mereka ini sangat keterlaluan. Dia segera menancapkan tongkatnya ke atas tanah karena tidak memerlukan senjata itu untuk melawan lima orang sombong itu.
Si juling semakin marah. “Bocah gila, kau rasakan pukulanku ini!” Dia segera menyerang dengan jotosan ke arah muka Si Kong.
Akan tetapi dengan amat mudahnya Si Kong mengangkat tangan dan menangkap lengan yang menyambar ke arahnya itu, lalu sekali menggeser kakinya dia telah menekuk lengan itu ke belakang tubuh si juling dan mendorong ke depan.
Si juling terdorong ke depan dan jatuh menelungkup! Bukan main marahnya si mata juling. Dia meloncat bangun dan langsung menyambar sebatang tombak yang disandarkan pada gardu penjagaan, lalu menyerang Si Kong dengan tusukan-tusukan tombak.
Si Kong sudah melihat bahwa kepandaian lawannya itu biasa saja, maka dia masih tidak mau menggunakan tongkatnya melainkan mengelak ke kanan kiri. Dan setelah mendapat kesempatan, kakinya cepat menendang tangan lawan. Tombak itu terlepas dan terlempar sampai jauh.
Melihat ini, empat orang penjaga yang lain lalu turun tangan mengeroyok Si Kong dengan mempergunakan golok dan tombak. Si mata juling juga tidak menjadi jera. Melihat teman-temannya membantu, dia pun segera mengambil tombaknya yang terlempar tadi dan ikut pula mengeroyok!
Si Kong masih menghadapi pengeroyokan lima orang itu dengan tangan kosong saja. Gerakannya yang sangat gesit membuat lima orang itu bingung, bahkan kadang senjata mereka saling bertemu sendiri. Pemuda itu seperti berubah menjadi bayangan yang tidak dapat disentuh senjata mereka. Si Kong sengaja tidak mau mencari permusuhan, maka dia pun hanya mengelak saja dan berloncatan ke sana sini tanpa membalas.
Tiba-tiba nampak seorang pemuda meloncat keluar dari sebelah dalam pintu gapura dan dia membentak, “Hentikan perkelahian!”
Lima orang itu langsung menghentikan pengeroyokan mereka sehingga Si Kong merasa lega. Dia melihat seorang pemuda berperawakan sedang dan wajahnya tampan, berusia kurang lebih delapan belas tahun telah berdiri di situ dengan gagahnya.
“Ada apa ribut-ribut ini?” bentak si pemuda kepada lima orang penjaga. Pemimpin para penjaga segera menghadap pemuda itu dengan sikap hormat.
“Maafkan kami, Kongcu. Bocah ini hendak lancang menghadap Tong Loya. Tentu saja kami melarangnya sehingga timbul perkelahian.”
Pemuda ini mengerutkan alisnya dan matanya memandang ke arah Si Kong. Pandangan matanya menunjukkan kemarahan dan dia memandang rendah kepada Si Kong, seorang pemuda yang pakaiannya sederhana seperti orang dusun.
“Siapa engkau yang begitu lancang hendak menghadap ayahku?” tanyanya dan nadanya menunjukkan bahwa dia tidak senang mendengar laporan para penjaga.
Si Kong segera memberi hormat, karena dia maklum bahwa pemuda yang disebut kongcu ini tentulah putera majikan Tong itu. “Maafkan saya, Kongcu. Nama saya Si Kong. Saya hanya mohon menghadap Loya untuk minta pekerjaan.”
Pemilik atau majikan tempat itu yang disebut Tong-Loya oleh para penjaga itu bernama Tong Li Koan, seorang hartawan berusia lima puluh tahun yang juga terkenal mempunyai kepandaian ilmu silat tinggi. Pemuda itu adalah puteranya yang bernama Tong Kim Hok, berusia delapan belas tahun.
Pemuda ini sudah mempelajari ilmu silat dari ayahnya. Wataknya agak angkuh dan tinggi hati, sadar sepenuhnya bahwa sebagai kongcu (tuan muda) dia adalah majikan kecil Bukit Bangau itu dan menganggap dirinya telah mempunyai ilmu silat yang dapat dibanggakan. Kini melihat ada seorang pemuda lain berani melawan pengeroyokan lima orang penjaga, dia merasa penasaran sekali.
“Minta pekerjaan? Engkau bisa apakah?” tanyanya dengan nada tinggi.
“Pekerjaan apa pun yang diberikan kepada saya, akan saya lakukan, Kongcu. Pekerjaan kasar pun tidak saya tolak!”
“Pekerjaan kasar? Engkau merasa kuat?”
“Tentu saja saya merasa kuat melakukannya, Kongcu.”
“Hemm, hendak kulihat sampai di mana kekuatanmu. Aku yang akan mengujimu apakah engkau pantas bekerja untuk kami. Coba lawanlah aku. Jaga seranganku ini. Hyaaaatt...!”
Si Kong terkejut sekali. Tak diduganya dia akan mendapat sambutan seperti itu dari tuan muda ini. Akan tetapi dia dapat melihat bahwa serangan pemuda itu tidak seperti gerakan para penjaga yang mengandalkan tenaga kasar saja. Serangan pemuda ini mengandung tenaga dalam dan dilakukan cukup cepat. Namun tidak terlalu cepat baginya dan dengan mudah dia sudah mengelak.
Serangannya yang luput membuat Tong Kim Hok menjadi semakin penasaran dan marah. Dia merasa malu kepada para penjaga itu kalau dia tidak mampu merobohkan Si Kong. Maka dia pun menyerang lagi lebih cepat dan kuat.
Si Kong menjadi bingung. Tentu saja dia mampu melawan pemuda yang ilmu silatnya masih mentah itu. Akan tetapi dia tidak berani mengalahkan pemuda itu, karena pemuda itu tentu akan marah dan kalau sudah begitu, tidak mungkin dia diterima bekerja di situ. Maka dia pun mengalah. Setelah mengelak dari enam tujuh serangan dengan mengelak, dia mulai menangkis tanpa mengerahkan tenaganya sehingga setiap kali menangkis dia terhuyung ke belakang.
“Bukkk...!”
Sebuah tendangan dari Tong Kim Hok mengenai lambungnya, membuat tubuh Si Kong terhuyung-huyung. Memang dia sengaja membiarkan lambungnya terkena tendangan itu, namun tentu saja dia sudah menjaga lambungnya itu dengan sinkang sehingga dia tidak sampai terluka.
Akan tetapi ternyata Tong Kim Hok masih belum puas dengan sebuah tendangan yang mengenai lambung Si Kong. Dia bahkan merasa penasaran sekali karena Si Kong tidak sampai roboh dan dia menyerang lagi kalang-kabut. Beberapa kali Si Kong membiarkan tubuhnya kena hantaman yang membuatnya terhuyung.
“Sudah cukup, Kongcu. Saya mengaku kalah!” katanya berulang-ulang.
Akan tetapi Tong Kim Hok tetap saja menyerangnya terus. Para penjaga menjadi girang melihat Si Kong dihajar. Mereka tertawa-tawa dan ada yang berkata memberi semangat kepadaTong Kim Hok.
“Hajar terus, Kongcu! Pukul terus!”
Walau pun dia tidak sampai terluka, akan tetapi karena membiarkan tubuhnya mendapat pukulan-pukulan, maka bibir kiri Si Kong berdarah dan pipi kanannya menjadi biru bekas pukulan. Pada saat itu seekor kuda datang berlari dan sesosok bayangan orang meloncat dari atas punggung kuda itu.
“Cukup, koko (kakak)! Mengapa engkau memukul orang?” terdengar seruan dan di antara Si Kong dan Tong Kim Hok telah berdiri menghadang seorang gadis remaja yang berusia kurang dari enam belas tahun. Gadis ini cantik manis, dengan rambut dikuncir dua dan diikat pita merah, dibiarkan tergantung pada kedua pundaknya.
“Moi-moi (adik), engkau minggirlah, biar aku menghajar bocah lancang ini!” kata Tong Kim Hok yang lehernya sudah bersimbah peluh dan napasnya agak memburu karena tadi dia mengerahkan seluruh tenaganya untuk menghajar Si Kong.
“Nanti dulu, koko. Kenapa engkau hendak menghajar orang? Apa kesalahannya?”
“Bocah itu minta bertemu dengan ayah, katanya dia hendak mencari pekerjaan. Maka aku mengujinya karena dia tadi melawan lima orang penjaga kita. Nah, minggirlah, aku ingin menghajarnya sampai dia tahu rasa!”
Gadis itu bernama Tong Kim Lan, berusia hampir enam belas tahun dan adik dari Tong Kim Hok. Dia memang seorang gadis lincah dan amat berbakat dalam ilmu silat sehingga dia lebih maju bila dibandingkan dengan Tong Kim Hok, terutama sekali gerakannya lebih cepat dan dalam hal ilmu pedang dia pun melebih kakaknya.
Tentu saja Hwa I Kai-pangcu menjadi marah sehingga terjadilah perkelahian. Akan tetapi ternyata orang itu lihai bukan main. Walau pun dia dikeroyok oleh belasan orang yang merupakan pimpinan serta para pembantunya, dia mampu merobohkan mereka semua, bahkan menawan ketuanya.
Melihat kelihaian si muka hitam itu, semua pengemis menyatakan takluk dan tunduk dan semenjak hari itu, Ouwyang Kwi menjadi ketua Hwa I Kaipang. Bahkan dia memindahkan sarang Hwa I Kaipang ke lereng bukit itu, di mana berdiri sebuah gedung tembok yang besar. Dan mulailah terjadi perubahan besar dari para anggota Hwa I Kaipang.
Karena anjuran pemimpin baru mereka, para pengemis itu berani melakukan pemerasan terhadap penduduk kota Su-couw, dusun-dusun dan kota-kota di sekitar wilayah itu. Sejak Ouwyang Kwi menjadi ketua, kehidupan para pengemis baju kembang berubah menjadi mewah.
Pakaian mereka yang berkembang-kembang selalu bersih dan masih baru sebab mereka mendapatkannya dari toko-toko yang tidak berani menentang permintaan mereka. Kalau permintaan mereka ditolak, maka mereka lalu mengamuk dan tidak ada orang yang berani melawan.
Memang tadinya ada orang-orang yang merasa dirinya kuat dan pandai silat, kemudian menentang kaum pengemis Baju Kembang. Akan tetapi satu demi satu mereka semua dirobohkan oleh ketua Hwa I Kaipang yang bermuka hitam itu. Demikianlah keadaan Hwa I Kaipang belakangan ini.
Ouwyang Kwi tadinya adalah seorang perampok tunggal. Tapi agaknya dia merasa jemu dengan pekerjaan merampok seorang diri saja. Maka dia pun mengambil alih kedudukan ketua Hwa I Kaipang. Selain memperoleh kedudukan ketua, dia juga mendapatkan anak buah yang siap melakukan semua perintahnya. Dia merasa seolah menjadi seorang raja!
Pakaiannya juga berkembang-kembang, namun pakaian itu mewah, sama sekali bukan pakaian seorang pengemis yang biasanya compang-camping dan penuh tambalan. Hanya dalam waktu beberapa bulan saja semua anak buah Hwa I Kaipang telah berubah.
Memang demikianlah keadaan kita manusia. Mengajar orang-orang agar supaya menjadi baik budi amatlah sukarnya. Akan tetapi ajarilah orang-orang itu untuk berbudi buruk dan memperoleh kesenangan, maka sebentar saja semua orang akan suka dan menurut
Pada saat Lu Tung San, Yok-sian dan Si Kong memasuki perkampungan Hwa I Kaipang, mereka disambut oleh Ouwyang Kwi sendiri yang muncul bersama seorang kakek yang berpakaian mewah. Kakek ini bukan orang biasa. Dia adalah seorang datuk besar dunia kang-ouw dan juga majikan Pulau Tembaga di Lautan Timur.
Datuk sesat ini adalah guru Ouwyang Kwi yang datang berkunjung kepada muridnya yang kini sudah menjadi ketua Hwa I Kaipang itu. Kedatangannya disambut oleh Ouwyang Kwi dengan mengadakan pesta makan minum secara mewah.
Ketika menerima laporan dari salah seorang anak buahnya bahwa Lu Tung San datang bersama seorang kakek dan seorang pemuda yang pada siang hari tadi menghajar enam orang anggotanya, Ouwyang Kwi menjadi marah sekali.
“Bagus, dia telah mengantarkan sendiri nyawanya. Sekarang aku tidak akan membiarkan dia pergi hidup-hidup!” kata Ouwyang Kwi.
Gurunya merasa sangat heran melihat muridnya marah-marah. “Ada apa Ouwyang Kwi? Siapa yang datang dan membuatmu marah?”
Datuk ini merasa bangga sekali bahwa muridnya telah menjadi ketua sebuah perkumpulan pengemis yang berpengaruh. Dia sendiri adalah seorang datuk yang mempunyai pengaruh besar di Lautan Timur. Para bajak laut tunduk kepadanya dan semua membayar ‘upeti’ kepadanya sebagai hadiah karena mereka diperkenankan membajak di perairan itu.
Di dalam dunia kang-ouw datuk ini dikenal sebagai Tung-hai Liong-ong (Raja Naga Lautan Timur). Julukan Raja Naga ini mungkin diperolehnya karena orang melihat dia bersenjata sebatang tongkat berkepala naga yang selalu dibawanya ke mana pun dia pergi. Memang tongkat kepala naga ini menjadi andalan dan senjatanya yang amat ampuh.
Ketika Tung-hai Liong-ong melihat Yok-sian Lo-kai, dia tercengang sejenak dan menatap tajam. Demikian pula dengan Yok-sian Lo-kai. Sama sekali tidak pernah menyangka akan bertemu dengan datuk besar itu di tempat ini.
“Hemm, kiranya Yok-sian Lo-kai yang datang!” kata Tung-hai Liong-ong.
“Ha-ha-ha-ha, kiranya majikan Pulau Tembaga berada di sini pula! Tidak mengherankan kalau terjadi keributan!” kata Yok-sian sambil tertawa. Dua orang yang sama-sama sangat terkenal di dunia kangouw ini memang pernah saling bertemu walau pun di antara mereka belum pernah terjadi pertikaian.
Sementara itu, pada saat melihat Lu Tung San, Ouwyang Kwi segera berkata mengejek. “Hek I Kaipang, agaknya ada orang yang mengobatimu sampai sembuh. Apakah engkau belum jera dan ingin merasakan pukulanku lagi?”
“Ouwyang Kwi, aku datang mengantarkan locianpwe Yok-sian Lo-kai yang ingin berbicara denganmu karena sepak terjang anak buahmu yang sewenang-wenang.”
“Aha, kiranya engkau memanggil bala bantuan? Aku tidak takut menghadapi jagoanmu!” Ouwyang Kwi mengejek.
Ouwyang Kwi adalah murid Tung-hai Liong-ong dan dia baru saja masuk ke dalam dunia kang-ouw setelah selama beberapa tahun menjadi perampok tunggal. Oleh karena itu dia belum mengenal nama Yok-sian Lo-kai dan sama sekali tidak gentar menghadapi nama julukan itu.
“Jadi mereka inikah yang memukul enam orang anak buahku? Jembel tua dan pengemis muda ini?” Dia menudingkan telunjuknya ke arah Yok-sian dan Si Kong.
“Ha-ha-ha-ha, betapa sombongnya! Aku sudah mengenal semua ketua perkumpulan para pengemis di empat penjuru. Mereka semua rata-rata baik. Maka aku menjadi tertarik dan ingin menyelidiki ketika melihat enam orang pengemis Baju Kembang melarang Pengemis Baju Hitam untuk mengemis. Aku pernah mendengar bahwa perkumpulan Pengemis Baju Kembang adalah perkumpulan yang bersih, dipimpin oleh ketuanya yang baik pula. Akan tetapi, kenapa sekarang menjadi tersesat? Aku mendengar pula bahwa engkau orang she Ouwyang mengambil alih ketua yang lama?”
“Jembel tua, orang di luar Hwa I Kaipang sama sekali tidak berhak mencampuri urusan yang menyangkut Hwa I Kaipang. Sekarang yang menjadi ketua Hwa I Kaipang adalah aku, Ouwyang Kwi. Sebaiknya engkau tidak lancang mencampuri urusan kami, atau kami akan menggunakan kekerasan mengusirmu!”
“Ha-ha-ha-ha! Engkau bukan lawanku, Ouwyang Kwi. Kalau engkau mampu mengalahkan tongkat muridku ini barulah engkau pantas untuk melawan aku. Si Kong, bersiaplah untuk menandingi ketua palsu yang sombong ini.”
Si Kong juga merasa marah mendengar kata-kata ketua berpakaian kembang-kembang yang sombong itu. Maka, mendengar ucapan suhu-nya itu dia lalu menurunkan keranjang rempah-rempah dan melintangkan tongkat bambunya di depan dadanya.
“Aku sudah siap, orang sombong!” katanya kepada Ouwyang Kwi.
Ouwyang Kwi telah mendengar laporan anak buahnya bahwa pemuda yang masih remaja itulah yang merobohkan mereka. Akan tetapi tentu saja dia tak merasa gentar. Dia sudah punya banyak pengalaman dalam perkelahian selama bertahun-tahun, mana mungkin dia kalah oleh seorang bocah yang usianya paling banyak lima belas tahun ini?
“Baik, akan kubunuh dulu bocah ini, baru kemudian engkau jembel tua berikut ketua Hek I Kaipang ini!” bentaknya.
Tanpa banyak cakap lagi Ouwyang Kwi telah mencabut sebatang golok dari punggungnya dan langsung menyerang Si Kong yang memegang tongkat bambu. Akan tetapi Si Kong sudah siap siaga. Dengan mudahnya dia mengelak lantas secepat kilat tongkatnya sudah menotok ke tiga titik jalan darah di kedua pundak dan dada lawannya.
“Ehhhh...!” Ouwyang Kwi terkejut sekali dan cepat memutar goloknya di depan tubuhnya untuk melindungi diri dari totokan-totokan yang cepat dan tak terduga itu.
Kalau Si Kong bertanding hanya untuk merobohkan lawan saja, sebaliknya Ouwyang Kwi bertanding untuk membunuh lawannya. Dia adalah seorang ahli bermain golok yang lihai, akan tetapi sekali ini dia sangat kewalahan dan sebentar saja dia sudah terdesak hebat! Dia hanya mampu menangkis dan memutar goloknya saja tanpa dapat membalas.
“Jangan pakai golok, tapi gunakan Tok-ciang (Tangan Beracun)!” tiba-tiba dia mendengar suara gurunya. Orang lain tidak dapat mendengar seruan itu karena Tung-hai Liong-ong ‘mengirim’ suaranya melalui khikang yang kuat sehingga seolah dia berbisik dekat telinga muridnya.
Ouwyang Kwi segera melempar goloknya lalu dia menggerak-gerakkan kedua tangannya yang perlahan-lahan berubah menghitam! Yok-sian Lo-kai terkejut bukan kepalang melihat perubahan ini. Dia pun tidak mendengar bisikan itu, akan tetapi dia dapat menduga bahwa Majikan Pulau Tembaga itu yang agaknya memberi nasehat kepada muridnya.
Dia tahu bahwa Si Kong tidak bermaksud membunuh lawan, karena itu tongkatnya hanya mencoba untuk menotok jalan darah yang tidak membahayakan nyawa lawan. Akan tetapi kini Ouwyang Kwi bertangan kosong, maka dia dapat menangkis tongkat bambu dengan tangannya dan sekaligus mencoba untuk merampas tongkat. Juga sambaran tangannya mengandung hawa beracun yang berbahaya.
Diam-diam Yok-sian mengerahkan khikang-nya, lalu berbisik yang hanya dapat didengar oleh muridnya. “Pukul Kaki Seratus Anjing.” Ini adalah nama jurus dari ilmu silat Tongkat Sakti Pemukul Anjing itu.
Ketika Si Kong mendengar bisikan gurunya itu, dia langsung mengubah caranya bersilat. Tubuhnya bergerak rendah dan tongkatnya secara bertubi-tubi menyerang ke arah kedua kaki lawan. Karena yang diserangnya adalah bagian lutut dan pergelangan kaki, maka bila mengenai sasaran tentu lawan akan jatuh berlutut.
Kembali Ouwyang Kwi terdesak oleh serangan Si Kong. Dia berloncat-loncatan dan tidak mampu balas menyerang. Kembali telinganya mendengar bisikan gurunya.
“Garuda menyerang segerombolan kelinci!”
Ini merupakan sebuah jurus yang dilakukan dengan loncatan ke atas kemudian dari atas mencengkeram ke arah kepala lawan. Begitu dia meloncat tinggi di udara, maka dengan sendirinya serangan Si Kong juga macet, dan kini berbalik dia yang diserang oleh kedua tangan yang membentuk cakar itu.
Si Kong terpaksa mengelak ke sana sini, karena amat berbahaya apa bila dia menangkis. Tongkat itu dapat terpegang oleh lawannya dan kalau hal ini terjadi maka tongkatnya akan terampas atau setidaknya dihancurkan oleh cengkeraman tangan beracun itu!
Ketika sedang terdesak itu tiba-tiba dia mendengar bisikan gurunya kembali, “Ular Senduk Menyerang Garuda!”
Si Kong menjadi girang sekali. Cepat dia menggerakkan tongkatnya yang meluncur bagai seekor ular menyerang musuh yang datangnya dari atas. Dengan jurus ini maka kembali Si Kong bisa mendesak lawannya. Yang diserang oleh luncuran tongkatnya adalah kedua mata dan leher lawan, serangan yang cukup berbahaya bila mengenai sasaran.
Demikianlah, dua orang itu saling serang dan sesungguhnya yang bertanding adalah guru-guru mereka yang membisikkan jurus-jurus melalui mereka.
Ketika mendapat kesempatan baik, Si Kong menggetarkan ujung tongkatnya, lalu dengan pengerahan sinkang-nya dia cepat menusuk ke arah ulu hati lawan. Melihat ini, Ouwyang Kwi menangkis dengan tangan kanan sambil mengerahkan sinkang pula.
“Tukkk...!”
Ujung tongkat bertemu telapak tangan, kemudian keduanya terdorong mundur hingga lima langkah. Dalam hal tenaga sinkang ternyata kekuatan mereka seimbang dan hal ini amat mengejutkan hati Ouwyang Kwi. Jika tidak mendapatkan bisikan-bisikan gurunya, tadi pun dia sudah terdesak beberapa kali oleh pemuda remaja itu! Kini tahulah dia mengapa anak buahnya yang berjumlah enam orang itu tidak mampu melawan pemuda ini.
Yok-sian Lo-kai dan Tung-hai Liong-ong sama-sama merasa khawatir kalau pertandingan antara murid-murid mereka itu terus dilanjutkan.
“Hemm, Jembel Tua, murid kita sudah cukup bertanding. Bagaimana kalau guru mereka, tua sama tua, maju menguji ilmu kepandaian?”
“Ha-ha-ha, Naga Tua, kalau dilanjutkan pun muridmu akan kalah. Kau menantang aku? Ha-ha-ha-ha, memang sudah lama aku ingin sekali mengetahui sampai di mana kelihaian Tung-hai Liong-ong dari Pulau Tembaga yang namanya tersohor itu!”
“Jembel Tua, kalau kita menggunakan senjata, orang-orang akan menganggap aku tidak adil karena senjataku lebih berat dan lebih besar dari pada tongkat bambumu. Karena itu aku tantang engkau untuk bertanding dengan tangan kosong!” Berkata demikian Tung-hai Liong-ong menancapkan tongkat kepala naga itu ke tanah. Tongkat itu menancap di tanah sampai hampir setengahnya dan ini menunjukkan betapa kuat tenaga sinkang datuk itu.
Yok-sian tertawa. Dia maklum bahwa lawannya tentu gentar menghadapi ilmu tongkatnya Ta-kaw Sin-tung maka sengaja menantang pertandingan tangan kosong. Tentu hendak mengandalkan Tok-ciang (Tangan Beracun) yang hebat. Akan tetapi dia hanya tertawa dan tidak menolak tantangan itu.
“Ha-ha-ha, sesukamulah, Naga Tua. Bersenjata baik, bertangan kosong juga baik! Nah, aku sudah siap, mulailah!”
Kakek pengemis itu hanya berdiri santai saja, tidak memasang kuda-kuda seperti orang yang hendak bertanding. Melihat sikap lawannya, Tung-hai Liong-ong lalu mengeluarkan suara bentakan nyaring dan tubuhnya langsung bergerak ke depan menyerang dengan dahsyat bagaikan angin topan!
“Hyaaaat....!” Kedua lengan Tung-hai Liong-ong menyambar dari kanan kiri.
“Heeiiiittt...!” Yok-sian mengelak dengan tubuh condong ke belakang sehingga serangan pertama Liong-ong (Raja Naga) itu luput dan segera kakinya mencuat untuk membalas serangan lawan dengan sebuah tendangan kilat.
“Wuuuutt....! Dukkk!”
Liong-ong sudah menangkis tendangan Yok-sian dan langsung balas memukul. Terjadilah pertandingan yang berjalan amat cepat sehingga yang terlihat hanya bayangan dua orang kakek itu yang menyambar-nyambar seperti dua ekor ayam jantan berlaga.
Diam-diam Si Kong memperhatikan. Dia melihat bahwa gurunya masih menang setingkat dalam hal ginkang atau meringankan tubuh. Akan tetapi Liong-ong memiliki ilmu pukulan yang hebat sekali. Dari kedua tangannya itu menyambar hawa pukulan yang panas.
Maka tahulah dia bahwa kedua tangan Liong-ong sudah mengandung hawa beracun yang amat jahat. Sekarang dia mengerti pula mengapa Liong-ong mengajak gurunya bertanding dengan tangan kosong. Tentu karena dia mengandalkan ilmunya itu untuk mengalahkan Yok-sian.
Setelah lewat seratus jurus, dua orang kakek itu mengubah gerakan mereka. Kini gerakan mereka tidak cepat lagi seperti tadi, melainkan bergerak dengan lambat tapi dalam setiap gerakannya terkandung hawa sakti yang menyambar-nyambar, terasa oleh mereka yang menonton.
Kedua orang sakti itu kini mengerahkan tenaga sinkang untuk saling menyerang. Pukulan mereka dilakukan dengan jari-jari tangan terbuka dan dari telapak tangan mereka itulah menyambar hawa pukulan yang dahsyat bukan main. Dengan khawatir Si Kong melihat betapa kedua tangan Liong-ong menghitam sampai ke sikunya. Itulah tandanya bahwa Liong-ong telah mempergunakan Tok-ciang (Tangan Beracun) yang amat berbahaya.
“Heeeiiiiiittt...!” Liong-ong berseru sambil tangan kirinya mendorong ke depan, sementara tangan kanannya diangkat tinggi di atas kepalanya. Nampak hawa hitam menyambar dan ketika Yok-sian mengelak, sebatang pohon kena dihantam tangan Liong-ong. Pohon itu tumbang dan pada bagian yang terpukul menjadi hitam seperti terbakar.
“Hyaaatt...!” Yok-sian yang sudah mengelak itu kini merendahkan tubuh, kemudian kedua tangannya mendorong ke depan sambil menekuk kedua lututnya.
Akan tetapi Tung-hai Liong-ong agaknya sengaja hendak mengadu tenaga karena dia pun melakukan gerakan yang sama dan mendorongkan kedua tangannya.
“Wuuuuuuutttt...! Plakkk!”
Dua pasang tangan itu bertemu di udara dan telapak tangan mereka saling melekat. Kini kedua orang kakek itu seperti dua orang anak-anak bermain dorong-dorongan! Nampak sekali mereka mengerahkan seluruh tenaga untuk mendorong lawan. Dari kepala Liong-ong mengepul uap hitam dan dari kepala Yok-sian mengepul uap putih.
Si Kong memandang dengan hati khawatir sekali. Dia tahu betul bahwa gurunya sedang bertanding mati-matian mengerahkan seluruh tenaga. Kalau gurunya kalah kuat dan dapat terdorong, tentu gurunya akan menderita luka dalam yang hebat! Untuk membantu juga tak mungkin, bahkan amat berbahaya karena dia akan terserang oleh dua tenaga sinkang yang sedang saling dorong itu.
Ouwyang Kwi juga mengerti keadaan gurunya. Dia nampak bingung dan tidak tahu harus berbuat apa, hanya membanting-banting kakinya dengan kesal. Wajah Liong-ong menjadi tegang dan kemerahan, sedangkan wajah Yok-sian masih tersenyum seperti biasa.
“Hyaaaaaaaaaaaattt…!”
Secara bersamaan dua orang kakek itu mengeluarkan teriakan melengking dan akibatnya Tung-hai Liong-ong terdorong mundur sampai lima langkah dan hampir saja dia terjatuh, akan tetapi ditahannya, lalu dia muntahkan darah segar dari mulutnya!
Tubuh Yok-sian hanya bergoyang-goyang akan tetapi sepasang kakinya tidak melangkah, hanya mukanya yang menjadi agak pucat.
Tung-hai Liong-ong menoleh kepada Ouwyang Kwi sambil mengusap darah dari bibirnya dan berkata dengan suara parau. “Hayo kita pergi! Untuk apa memperebutkan kedudukan ketua pengemis busuk?”
Dengan kedua tangan dia mencabut tongkatnya yang tadi tertancap di atas tanah, lantas dia memandang kepada Yok-sian. “Lain kali akulah yang menang!”
Dia pun melangkah pergi. Ouwyang Kwi nampak bingung, akan tetapi dia pun tahu bahwa dia sudah kalah, maka tanpa banyak cakap lagi dia pun mengikuti langkah gurunya.
Sekarang Lu Tung San melangkah maju lalu menghadapi anak buah Hwa I Kaipang dan berteriak lantang. “Kami akan memaafkan kalian apa bila kalian segera mencari di mana adanya ketua kalian yang lama, Tang Sin Pangcu.”
Seorang anggota Hwa I Kaipang berlari ke dalam dan tidak lama kemudian dia menuntun seorang kakek yang nampak lemah. Dia itu bukan lain adalah Tang Sin, yaitu ketua Hwa I Kaipang yang dikalahkan oleh Ouwyang Kwi lantas ditahan di kamar tahanan di belakang gedung!
Yok-sian sendiri kini duduk bersila sambil mengatur pernapasannya. Dari sudut mulutnya nampak darah menetes. Kiranya dia pun telah terluka parah, hanya tidak kelihatan seperti halnya Tung-hai Liong-ong. Si Kong segera berlutut di sisi gurunya.
“Suhu terluka...?” tanyanya lirih.
Yok-sian mengangguk, membuka mata memandang kepada Tang Sin yang juga sudah menjatuhkan diri berlutut di depannya. Yok-sian berkata kepada muridnya.
“Si Kong, cepat kau periksa dia dan obati sampai sembuh.”
Si Kong memenuhi perintah gurunya. Dia memeriksa tubuh Tang Sin yang sangat lemah. Ternyata Tang Sin juga terluka oleh pukulan beracun seperti halnya Lu Tung San. Maka cepat dia menotok dan menekan beberapa jalan darah di tubuhnya dan memasakkan obat dengan bantuan para pengemis baju berkembang dan memberikan obat itu kepada Tang Sin.
“Si Kong, mari kita pergi dari sini!” kata Yok-sian kepada muridnya sambil bangkit berdiri. Wajahnya masih pucat akan tetapi dia tetap penuh senyum.
“Kami menghaturkan terima kasih kepada locianpwe Yok-sian Lo-kai!” kata Lu Tung San.
“Ahh, sudahlah, di antara kita mana ada budi dan terima kasih? Semua yang kita lakukan adalah kewajiban kita. Dan engkau, Hek I Kai-pangcu, engkau pun mempunyai kewajiban. Bantulah ketua Hwa I Kaipang untuk menyadarkan para anggotanya yang sudah dibawa menyeleweng oleh Ouwyang Kwi. Bantulah dia membawa anak buahnya kembali ke jalan lurus. Sekarang biarkan kami pergi melanjutkan perjalanan kami.”
Tang Sin dan Lu Tung San yang berterima kasih itu mencoba untuk mencegah kepergian kakek itu, akan tetapi sia-sia saja. Mereka hanya dapat mengantar sampai di luar gedung dan membiarkan Yok-sian Lo-kai dan Si Kong pergi dari situ.
“Kita mencari tempat yang sunyi. Aku... aku ingin beristirahat,” kataYok-sian.
Si Kong membawanya keluar kota Souw-ciu. Ketika melihat ada sebatang pohon besar di sebelah kanan jalan, Si Kong mengajak gurunya ke sana dan Yok-sian lalu duduk bersila di bawah pohon.
“Suhu, biarkan teecu (murid) memeriksa keadaan Suhu.”
“Aku sudah tahu keadaanku. Aku terserang hawa beracun dari Naga Tua itu. Luka yang parah sekali. Aku tidak akan mampu lagi mengerahkan tenaga sinkang untuk waktu yang cukup lama.”
“Suhu, apakah tidak ada obatnya untuk mengobati luka Suhu?”
Yok-sian menggelengkan kepala. “Salahku sendiri. Jika tadi aku mengaku kalah dan tidak menahan, tentu aku tidak akan terluka sampai seperti ini. Dia pun terluka, sama parahnya dengan aku. Dia dan aku kini menjadi orang-orang tua tanpa daya dan untuk memulihkan keadaanku, aku harus menghimpun tenaga dari hawa murni, entah selama berapa tahun lagi.”
Tentu saja Si Kong merasa amat prihatin. “Suhu, biarlah teecu berusaha untuk membantu Suhu mengusir mengusir hawa beracun itu,” katanya.
Dia pun segera bersila di belakang tubuh suhu-nya dan menempelkan kedua tangannya di punggung Yok-sian sambil mengerahkan tenaga saktinya. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika terasa olehnya ada hawa yang amat panas menyerangnya sehingga membuatnya terpelanting.
“Jangan kau lakukan hal itu, percuma saja, bahkan engkau bisa terluka. Tenaga dalamku menjadi kacau dan keracunan. Aku memerlukan waktu yang lama untuk memurnikannya kembali,” kata Yok-sian Lo-kai.
Si Kong merasa sedih melihat keadaan gurunya. Dia mengusulkan kepada gurunya untuk bermalam di sebuah penginapan, sementara dia sendiri akan bekerja mencari uang untuk membayar sewa kamar. Akan tetapi gurunya tidak setuju.
“Pengemis-pengemis menginap di rumah penginapan? Kita hanya akan diejek dan diusir. Sudahlah, aku tidak membutuhkan tempat yang baik, tetapi hanya membutuhkan tempat yang sunyi.”
Akhirnya Si Kong menemukan sebuah kuil tua yang kosong, beberapa li jauhnya dari kota Souw-ciu. Dia mengajak suhu-nya untuk berdiam di kuil itu. Setiap pagi dia pergi ke kota Souw-ciu, pulangnya membawa makanan dan juga obat penguat badan untuk gurunya. Dia bekerja apa saja untuk mendapatkan uang guna keperluan itu.
Setelah tiga bulan tinggal di kuil itu dan setiap hari dia bekerja sebagai buruh kasar, pada suatu siang ketika dia kembali ke kuil tua, gurunya sudah tidak ada di tempat itu! Si Kong menjadi bingung dan khawatir, tetapi dia menemukan coret-coretan pada dinding sebelah dalam. Itu adalah tulisan Yok-sian Lo-kai yang dilakukan dengan ujung tongkatnya.
Si Kong,
Aku terpaksa harus pergi meninggalkanmu. Aku tidak ingin melihat engkau bersusah payah untuk mengurus diriku. Aku hanya membutuhkan istirahat selama beberapa tahun. Engkau merantaulah seorang diri dan pergunakanlah apa yang kau pelajari dariku untuk menegakkan kebenaran dan keadilan. Selamat tinggal.
Si Kong menjadi lemas. Seperti orang kebingungan dia lari keluar dan mencari ke sana-sini untuk mengejar suhu-nya. Akan tetapi usahanya itu gagal dan akhirnya dia kembali ke kuil, menjatuhkan dirinya duduk di lantai yang biasa diduduki gurunya dan termenung.
Dia merasa nelangsa, merasa kesepian. Sesudah hidup bersama Yok-sian Lo-kai selama lima tahun, orang tua itu telah melekat di hatinya, menjadi satu-satunya orang yang dekat dengannya. Dan sekarang tiba-tiba saja gurunya pergi karena tak ingin menyusahkannya! Bagaimana hatinya takkan merasa sedih. Padahal dengan senang hati dia ingin merawat suhu-nya sebagai pembalas budi, tetapi orang tua itu tidak mau dan meninggalkannya.
Selama ini dia merasa hidupnya bahagia. Meski harus hidup sebagai seorang pengemis tapi dia tidak pernah merasa susah. Ke mana pun dia merasa berbahagia karena gurunya selalu tersenyum dan tertawa, katanya menertawakan dunia dan manusianya yang serba palsu dan lucu.
Si Kong merasa kesepian dan ditinggalkan oleh kebahagiaan. Rasanya berat harus hidup seorang diri, seolah-olah kehilangan pegangan. Ke mana dia harus pergi? Ketika bersama gurunya tak pernah dia tanya hal ini. Seolah dengan sendirinya dia harus pergi ke mana gurunya pergi dan gurunya itu pun tidak pernah mempunyai rencana harus pergi ke mana.
Dia teringat akan kata-kata gurunya. Manusia mencari kebahagiaan ke mana-mana dan dengan segala cara, akan tetapi tidak pernah bisa menemukan kebahagiaan itu. Menurut gurunya, kebahagiaan justru tidak bisa ditemukan kalau dicari. Kebahagiaan adalah suatu keadaan batin yang tidak diganggu oleh gejolaknya nafsu. Selama nafsu masih bergejolak dalam batin, tidak mungkin manusia dapat berbahagia, karena dia akan terbentur dengan halangan-halangan dalam mengejar kesenangan seperti yang dikehendaki oleh nafsu.
Dalam keadaan tidak berbahagia, bagaimana mungkin menemukan kebahagiaan? Kalau keadaan yang tidak berbahagia itu sudah tidak ada lagi, manusia tidak lagi membutuhkan kebahagiaan. Kenapa? Karena dia sudah bahagia!
Kebahagiaan itu sudah ada selalu di dalam diri manusia sendiri, namun terselubung oleh bermacam persoalan dan kesukaran yang menjadi akibat dari menuruti nafsu diri. Seperti orang yang mencari kesehatan. Bagaimana mungkin akan dapat mengalami kesehatan bila tubuhnya sedang sakit? Dari pada mencari kesehatan yang tak mungkin dia temukan, lebih baik meneliti dirinya sendiri yang sakit, mengusahakan supaya penyakit itu lenyap. Kalau dirinya sudah tidak dihinggapi penyakit lagi, apakah dia masih perlu untuk mencari kesehatan?Tidak perlu lagi karena dia sudah sehat!
Manusia biasanya tidak dapat menikmati kesehatan apa bila dia sehat. Baru merindukan kesehatan kalau dia sakit. Demikian pula manusia tidak dapat menikmati kebahagiaan bila dia berbahagia. Baru merindukan kebahagiaan di kala dia sedang tidak berbahagia. Hidup itu sendiri adalah indah, hidup itu sendiri adalah bahagia. Mengapa harus repot-repot lagi mencari kebahagiaan dengan segala cara?
Si Kong merasa terhibur setelah merenungkan kembali apa yang pernah dia dengar dari Yok-sian Lo-kai,. Kalau dia merasa kehilangan dan kesepian, maka itu sama saja dengan mengundang ketidak-bahagiaan dalam hatinya. Kata gurunya hidup harus berani mandiri, tidak boleh terikat atau tergantung kepada apa dan siapa pun juga. Hidup adalah miliknya sendiri, akan diisi apa pun terserah kepada dirinya sendiri.
Dia bangkit berdiri, merasa lega dan merasa kuat. Memang sudah semestinya aku hidup sendiri, demikian pikirnya. Aku sudah yatim piatu dan tidak memiliki apa-apa. Aku akan merantau, seperti yang dilakukan suhu. Aku harus berani dan menempuh kehidupan ini dengan tabah dan gembira.
Aku harus menjadi seorang kelana, pergi ke mana saja menurutkan arah kaki melangkah. Terbang bebas lepas di angkasa seperti seekor burung. Kata gurunya, burung yang kecil-kecil dan penakut selalu terbang berkelompok dan tidak berani menyendiri. Akan tetapi burung rajawali berani terbang melayang dengan lepas bebas sendirian saja, menghadapi kehidupan ini seorang diri tanpa rasa takut.
“Aku akan berkelana! Terima kasih atas segala petunjuk dan bimbinganmu suhu!” katanya keras-keras, lalu dia keluar dari kuil itu dan mulai dengan pengembaraannya.
********************
Sesudah berkelana seorang diri, Si Kong meninggalkan kebiasaannya memakai pakaian seperti pengemis, yaitu tambal-tambalan. Dengan tubuhnya yang kuat serta tenaganya yang besar, mudah baginya mencari pekerjaan kasar yang menghasilkan sedikit uang dan mulailah dia membeli pakaian yang sederhana namun tidak ada tambalannya. Dia lantas berkelana dari kota ke kota, dari dusun ke dusun, dan berhenti beberapa bulan lamanya untuk bekerja. Setelah mendapatkan uang, dia pun berkelana lagi.
Pada suatu pagi dia berjalan dengan santai mendaki sebuah bukit kecil. Dia baru saja meninggalkan kota Pu-han di mana dia tinggal selama satu bulan untuk bekerja. Kini dia melanjutkan kelananya dengan mengantungi uang hasil pekerjaannya.
Hatinya terasa ringan, segalanya nampak indah. Matahari belum naik tinggi dan sinarnya masih kemerahan. Pemandangan di bukit kecil itu pada pagi hari amat indahnya. Burung-burung berkicau, bersiap meninggalkan sarangnya di mana dia melewatkan malam gelap. Para petani sudah menuju ke sawah ladangnya, membawa cangkul. Semua tampak indah berseri dan seperti itulah seyogyanya kehidupan ini. Namun sayang, batin selalu mudah terguncang sehingga menimbulkan perasaan tidak bahagia.
Si Kong mendaki semakin tinggi dan di dekat puncak bukit sudah tidak ada lagi sawah ladang, melainkan padang rumput dan hutan di sana-sini. Tiba-tiba dia mendengar suara orang menyanyikan sajak. Jantungnya berdebar.
Gurunya, Yok-sian Lo-kai biasanya juga bernyanyi seperti itu! Akan tetapi suaranya agak lain. Dia mempercepat langkahnya dan dapat menyusul seseorang yang berjalan sambil menyanyikan sajak.
“Sebelum timbul girang dan marah sebelum terasa senang dan susah batin berada dalam keadaan bimbang. Apa bila perasaan itu timbul namun dapat mengendalikan batin berada dalam keadaan keselarasan. Keseimbangan dasar termulia di dunia dan keselarasan adalah jalan utama di dunia.”
Si Kong langsung mengenali kata-kata itu. Dia sudah banyak mempelajari ayat-ayat dari kitab-kitab agama dari Yok-sian. Maka dia pun mengenal syair yang dinyanyikan itu, ialah sebagian dari pada isi kitab Tiong Yong. Karena suara orang itu terdengar lantang dan gembira, dia terbawa gembira dan seperti tanpa disadari dia pun menyambung nyanyian itu dengan suaranya yang lantang.
“Apa bila Keseimbangan dan Keselarasan dilaksanakan dengan sempurna, maka keberesan abadi meliputi langit dan bumi, dan segala makhluk dan benda terpelihara dengan baik.”
Mendengar ini, orang itu segera menghentikan langkahnya dan menoleh. Dia seorang pria berusia lima puluh tahun, tubuhnya kurus kering seperti pohon kekeringan, tapi wajahnya tampan dengan kumis dan jenggot yang terpelihara baik-baik. Orang itu membelalakkan matanya dan terlihat keheranan setelah melihat bahwa orang yang menyambung sajaknya itu hanyalah seorang pemuda remaja! Dia berhenti melangkah dan menunggu sampai Si Kong datang dekat.
“Engkau hafal akan ujar-ujar dalam kitab Tiong Yong?” tanya orang itu, masih keheranan. “Engkau tentu seorang anak yang terpelajar!”
Si Kong tersenyum lantas memberi hormat. “Paman, saya tidak pernah bersekolah atau belajar, saya hanya menirukan apa yang pernah di katakan suhu.”
“Siapa suhu-mu?”
Dengan bangga Si Kong menjawab, “Suhu adalah Yok-sian Lo-kai.”
“Ahh, dia? Pantas saja engkau hafal ayat-ayat Tiong Yong. Akan tetapi apakah engkau mengerti akan artinya ayat-ayat itu?”
“Justru artinya yang membingungkan aku, Paman. Suhu tidak pernah menjelaskan tetapi hanya mengatakan bahwa kelak aku akan mengerti sendiri.”
“Mengerti sendiri memang bisa, tetapi ada kemungkinan pengertian itu menyeleweng dari arti yang sebenarnya. Nah, dengarlah baik-baik, anak muda. Batin manusia seperti yang telah ada padanya semenjak lahir, memiliki Watak Asli yang sifatnya tenteram, lurus dan seimbang. Akan tetapi apa bila batin diguncangkan oleh perasaan seperti suka dan duka, senang dan marah, maka keseimbangannya dapat menjadi goyah dan miring, dan setelah demikian maka dia pun akan meninggalkan Tao atau Jalan Kebenaran atau Hukum Alam. Akan tetapi manusia disertai pula oleh nafsu-nafsu daya rendah yang saling berebut untuk menguasainya, maka tak bisa dielakkan lagi timbulnya berbagai macam guncangan yang akan menerjangnya dalam kehidupan, seperti sebuah biduk tak terbebas dari guncangan ombak. Akan tetapi kalau manusia sedang diguncang nafsu namun dapat mengendalikan perasaan itu, maka akan terciptalah keselarasan. Sudah manusiawi bila manusia berduka ketika mendapatkan sesuatu yang tidak enak, atau marah apa bila melihat kejadian yang tidak adil, akan tetapi bila semua itu dapat dia kendalikan, maka segalanya akan selaras dan dia tak akan tenggelam ke dalam perasaan itu dan pertimbangannya akan tetap tegak dan berimbang. Demikian pula kalau menghadapi sesuatu yang mendatangkan perasaan suka dan girang, dia tak akan mabuk dan menjadi bangga, angkuh, serakah dan lainnya. Demikianlah, seperti yang kau nyanyikan tadi, apa bila Keseimbangan dan Keselarasan dapat dilaksanakan dengan sempurna, maka langit dan bumi akan menjadi tenteram dan beres, dan kehidupan di dunia akan penuh kebahagiaan.”
Si Kong memandang kagum. Jelas bahwa orang ini seorang sastrawan, atau setidaknya seorang yang terpelajar. Dia segera memberi hormat dan berkata, “Paman, terima kasih atas penerangan semua itu. Kalau begitu, dalam kitab Tiong Yong terdapat pelajaran yang amat mendalam tentang kehidupan.”
“Di dalam kitab suci tentu saja tersimpan banyak pelajaran yang amat mendalam. Hanya persoalannya, kalau hanya dipelajari tetapi tidak dilaksanakan, maka pelajaran itu menjadi benda yang tidak ada gunanya sama sekali.”
Si Kong menghela napas panjang. “Tepat sekali, paman. Akan tetapi mengapa di dunia ini terdapat lebih banyak kejahatan dari pada kebaikan, terdapat demikian banyaknya orang jahat padahal di dunia ini terdapat pelajaran agama yang demikian indah dan mendalam?”
“Ha-ha-ha!” Sastrawan itu terbahak, mengingatkan Si Kong akan gurunya yang memiliki kebiasaan tertawa lepas. “Itu mudah sekali menjawabnya. Karena manusia disertai nafsu-nafsu daya rendahnya yang selalu ingin menguasainya. Nafsu-nafsu daya rendah sudah menguasai manusia lahir batin, lebih kuat karena memang manusia itu lemah sehingga manusia menjadi budak dari nafsunya. Bahkan pikirannya sudah dikuasai nafsu sehingga biar pun dia tahu bahwa melakukan perbuatan yang menyimpang dari kebenaran, pikiran yang sudah dikuasai nafsu itu selalu mencoba untuk membela dan membenarkan semua tindakannya yang menyimpang dari kebenaran itu. Maka orang bijaksana jaman dahulu selalu mengingatkan manusia agar berhati-hati menghadapi musuh dalam selimut, yaitu nafsu-nafsunya sendiri.”
“Wah, Paman. Sungguh jelas apa yang Paman terangkan itu! Terima kasih, Paman.”
“Dan engkau juga seorang anak yang aneh. Masih remaja akan tetapi sudah tertarik akan soal-soal kehidupan.”
“Tentu saja, Paman. Saya juga manusia hidup yang harus tahu akan kehidupan, bukan?”
“Ha-ha-ha, engkau juga cerdik. Siapakah namamu orang muda?”
“Nama saya Si Kong, paman.”
“Si Kong? Nama yang sangat bagus. Engkau harus berhati-hati kalau mempunyai nama yang bagus, karena engkau harus menyesuaikan perbuatanmu dengan namamu itu! Kau tidak ingin tahu namaku?”
“Tentu saja, Paman. Paman tentu seorang yang terkenal sekali di dunia.”
“Ha-ha-ha-ha, orang-orang menyebut aku Kwa Siucai (Pelajar Kwa) dan ada pula yang menyebutku Penyair Gila! Orang-orang itu membenciku karena aku suka berterus terang menyatakan watak-watak mereka yang buruk. Aku seorang peramal, heh-heh!”
“Saya tidak suka kalau nasib saya diramal, Paman.”
“Kenapa?”
“Tahu lebih dulu akan nasib diri malah mendatangkan banyak kerugian. Jika nasibnya baik akan membuat dia sombong dan takabur, sebaliknya ketika mengetahui nasibnya buruk akan membuat dia putus asa dan murung. Tidak, lebih baik saya tidak mengetahui dan menanti saja apa yang akan datang menimpa diri kita.”
“Ha-ha-ha-ha, cocok sekali! Aku sendiri juga tidak suka meramalkan nasib sendiri. Tetapi orang-orang bodoh itu ingin sekali menjenguk masa depan mereka. Dan aku hidup bebas dari rasa takut. Heh, Si Kong, banyak sikap yang sama di antara kita, dan melihat bentuk tubuhmu, aku takkan merasa heran kalau engkau lihai dalam ilmu silat. Bukankah gurumu adalah Yok-sian Lo-kai yang lihai?”
“Saya hanya mempelajari beberapa macam pukulan dengan tongkat ini, Paman.”
“Ahh, engkau tentu sudah pandai memainkan Ta-kaw Sin-tung!”
Si Kong tertegun. Orang ini memang aneh. Ternyata pandai pula menebak ilmu silat yang dia pelajari dari Yok-sian Lo-kai.
“Bagaimana paman dapat mengetahuinya?”
“Engkau masih muda, sebetulnya tidak membutuhkan tongkat, akan tetapi engkau selalu membawa tongkat bambu. Apa lagi kalau bukan karena pandai Ta-kaw Sin-tung, Tongkat Sakti Pemukul Anjing yang tersohor itu?”
“Ahh, saya hanya bisa sedikit saja, Paman.”
“Ada nasehat yang selalu dikatakan orang-orang di dunia kangouw bahwa semakin orang merendahkan diri, makin lihailah dia! Sudah lama sekali aku mendengar tentang Tongkat Sakti Pemukul Anjing yang kabarnya sudah mengalahkan banyak anjing dan serigala di dunia kang-ouw. Sekarang aku sudah bertemu denganmu, ingin sekali aku merasakan bagaimana lihainya ilmu tongkat itu.”
“Ahh, Paman hanya main-main saja. Aku tidak akan mau menggunakan tongkat ini untuk memukul Paman. Tongkat ini kubawa hanya untuk memukul anjing-anjing dan serigala.”
“Nah, anggap saja aku ini anjing atau serigala!”
“Tidak, Paman adalah seorang yang baik hati. Aku tidak ingin berkelahi dengan Paman.”
“Aku hanya ingin mencoba kelihaian tongkatmu, bukan mengajakmu berkelahi. Sekarang begini saja. Aku akan menyerangmu dan kau lawanlah dengan Ta-kaw Sin-tung. Awas, aku mulai!”
Sesudah berkata demikian, Kwa Siucai atau Penyair Gila itu segera menerjang ke depan dan tangannya menghantam ke arah dada Si Kong. Pemuda ini terkejut bukan kepalang ketika dari tangannya yang menghantam itu menyambar hawa pukulan yang sangat kuat! Kiranya Penyair Gila ini memiliki tenaga sinkang yang amat hebat.
Dia pun cepat mengelak sambil memutar tongkatnya. Begitu serangan pertamanya luput, Kwa Siucai sudah menyusul dengan serangan kedua yang lebih cepat dan lebih kuat. Kini untuk membela diri terpaksa Si Kong memainkan Ta-kaw Sin-tung, menangkis, memutar tongkat melindungi dirinya dan balas menyerang.
Dalam ilmu tongkat Ta-kaw Sin-tung, balas menyerang merupakan gaya melindungi diri yang paling tepat. Apa bila orang diserang anjing, dia harus membalas dengan serangan, bukan hanya mengelak saja, demikian inti ilmu tongkat itu.
Kwa Siucai tertawa terbahak sebab merasa girang melihat betapa pemuda itu memainkan ilmu tongkat yang ingin sekali dilihatnya itu. Dan sesudah Si Kong menyerangnya secara bertubi-tubi, barulah dia menjadi repot melayaninya.
Memang ilmu tongkat itu aneh bukan main. Yang dipukul kepala tetapi tahu-tahu ujungnya yang lain menotok ke arah kaki. Kalau yang dipukul bagian tubuh yang kanan, ujungnya yang lain menyerang tubuh kiri! Anjing-anjing memang akan menjadi bingung dan terkena pukulan kalau diserang seperti itu!
Si Kong tak ingin melukai Kwa Siucai, maka tongkatnya hanya mendesak saja. Dia tidak pernah memukul dengan sungguh-sungguh biar pun kedua ujung tongkatnya menyerang silih berganti dan tidak memberi peluang kepada lawan untuk membalas menyerang.
“Bagus, Si Kong. Bagus sekali! Akan tetapi sekarang berhati-hatilah engkau!”
Tiba-tiba saja tubuh Kwa Siucai yang diserangnya itu lenyap! Dari hawa pukulannya yang datang dari belakang tahulah dia bahwa lawannya telah berada di belakangnya. Dia cepat membalik dan memutar tongkatnya untuk menyerang, namun hanya nampak bayangan orang berkelebat dan tahu-tahu Kwa Siucai sudah lenyap pula. Tiba-tiba orang itu sudah berada di sebelah kanannya.
Kini Si Kong yang menjadi repot. Dia harus terus menangkis pukulan yang datangnya dari semua penjuru seolah tubuh Kwa Siucai berubah menjadi puluhan banyaknya! Tahulah dia dengan hati kagum dan kaget bahwa Kwa Siucai sebenarnya seorang sakti yang memiliki ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkatan sempurna sehingga dia seperti pandai menghilang saja!
Karena terus diserang dari berbagai penjuru sehingga sama sekali dia tidak dapat balas menyerang, Si Kong sampai mandi keringat menjaga diri dari serangan yang datangnya selalu tiba-tiba itu. Akan tetapi, setelah Si Kong mendadak kehilangan lagi bayangan Kwa Siucai, tahu-tahu ujung tongkatnya sudah terpegang dari belakang. Dia mempertahankan tongkatnya sehingga tidak dapat dirampas, akan tetapi dia pun tidak dapat menggerakkan lagi tongkatnya!
“Ha-ha-ha, memang bukan kosong saja berita tentang kehebatan Ta-kaw Sin-tung! Aku kagum sekali, Si Kong!”
Si Kong adalah seorang pemuda remaja yang cerdik bukan main. Dari pengalamannya bertanding tadi, dia pun maklum bahwa dia sedang berhadapan dengan orang sakti yang memiliki ilmu silat tinggi. Maka tanpa banyak cakap lagi dia segera menjatuhkan diri dan berlutut di depan Penyair Gila itu.
“Locianpwe sudah membuka mata saya untuk melihat ilmu meringankan tubuh yang luar biasa sekali. Mohon petunjuk, locianpwe!”
“Ha-ha-ha! Bagus sekali, Si Kong. Tadi ketika bertemu pertama kali dan melihat engkau dapat menghafal ujar-ujar dalam kitab Tiong Yong, aku sudah tertarik sekali kepadamu. Setelah melihat engkau memainkan Ta-kaw Sin-tung, aku lebih kagum lagi. Agaknya kita memang berjodoh, Si Kong. Bagaimana kalau engkau menjadi muridku?”
Memang inilah yang dikehendaki oleh Si Kong. Maka tanpa banyak cakap lagi dia pun lalu memberi hormat sambil berlutut dan berkata, “Teecu (murid) akan mentaati semua perintah suhu!”
Kwa Siucai menjadi gembira sekali. “Bagus! Sekarang bangkitlah dan perhatikan semua petunjukku. Kejarlah aku!” Dan tiba-tiba saja tubuh Kwa Siucai sudah melesat bagai anak panah terlepas dari busurnya, sebentar saja sudah jauh.
Melihat ini Si Kong menjadi gembira, lalu dia pun melompat dan mengejar. Akan tetapi betapa pun dia mengerahkan tenaga untuk berlari secepatnya, tetap saja dia tidak mampu mengejar, padahal Kwa Siucai kelihatan hanya melangkah dengan santai saja. Dipandang sepintas lalu, seolah-olah kedua kaki Penyair Gila itu tidak menyentuh tanah!
Napas Si Kong hampir putus ketika mereka tiba di puncak bukit karena sejak tadi dia telah mengerahkan seluruh tenaganya. Tahu-tahu Kwa Siucai sudah menunggu di puncak bukit dan segera tertawa ketika melihat dia terengah-engah.
“Duduklah bersila!” perintahnya.
Si Kong mentaati dan duduk bersila di depan suhu-nya yang juga sudah duduk bersila di atas tanah berumput.
“Bernapaslah dengan perut. Tarik napas sepanjang dan sekuat mungkin, tarik terus lantas keluarkan ke dalam tan-tian dan tahan sejenak, kemudian keluarkan dari mulut dengan mengeluarkan suara begini!” Kwa Siucai memberi contoh kepada Si Kong.
Pada saat itu juga dia telah mulai dilatih untuk menghimpun udara bersih dan memperkuat pernapasannya. Si Kong berlatih dengan penuh kesungguhan sehingga gurunya menjadi semakin suka kepada pemuda remaja ini.
Pada hari-hari berikutnya dia mulai melatih ginkang (ilmu meringankan tubuh) kepada Si Kong. Perlahan-lahan dia mengajarkan ilmu meringankan tubuh yang disebut Liok-te Hui-teng (Lari Terbang Di atas Tanah) dan ilmu silat yang mengandalkan ginkang dan disebut ilmu silat Yan-cu Hui-kun (Silat Burung Walet Terbang).
Untuk mempelajari kedua ilmu ini tentu saja membutuhkan waktu lama, terutama untuk latihan pernapasan. Akan tetapi dengan tekunnya Si Kong mengikuti semua petunjuk Kwa Siucai.
Dalam kehidupannya bersama guru barunya ini, Si Kong mendapatkan kenyataan bahwa Penyair Gila itu malah lebih miskin dari pada Yok-sian Lo-kai. Setidaknya Yok-sian selalu diterima orang dengan senang hati dan tangan terbuka karena Dewa Obat datang untuk mengobati orang sehingga dia dan guru pertamanya itu di mana-mana disambut orang dengan hidangan dan kehormatan. Dan kalau dia mau, dengan kepandaiannya mengobati orang, dia akan bisa mendapatkan uang. Akan tetapi Penyair Gila ini tidak dapat menjual sajak-sajaknya yang aneh, apa lagi ramalannya yang menelanjangi orang-orang sehingga membuat banyak orang merasa tidak suka kepadanya!
Dan terdapat perbedaan yang besar antara watak Kwa Siucai ini dengan Yok-sian. Meski pun miskin namun Yok-sian menjaga nama dan kehormatan dirinya, tidak suka mencuri bahkan tidak pernah menjual kepandaiannya mengobati orang. Dari pada mencuri lebih baik dia mengemis! Akan tetapi ternyata tidak demikian dengan Kwa Siucai.
“Orang-orang kaya yang tidak pernah mau mempedulikan nasib sesama manusia yang menderita karena kemiskinannya adalah orang-orang yang tidak berbudi,” demikian antara lain Kwa Siucai berkata. “Orang-orang kaya itu telah mendapatkan kemurahan dari Thian, maka sudah sepantasnya kalau dia menjadi seorang dermawan pula. Seorang hartawan harus menjadi seorang dermawan pula, maka barulah cocok. Kalau dia kikir, maka orang seperti itu pantas kalau dikurangi sebagian hartanya.”
Yang dimaksudkan oleh Kwa Siucai dengan dikurangi sebagian hartanya itu adalah dicuri, kemudian uang hasil curian itu dibagikan kepada orang-orang miskin. Kwa Siucai adalah seorang maling budiman! Dan Si Kong yang menjadi muridnya diharuskan melakukan perbuatan yang sama!
Si Kong mempertimbangkan alasan Kwa Siucai itu, dan akhirnya dia pun tidak keberatan untuk mencuri uang dari para hartawan untuk dibagi-bagikan kepada orang miskin. Sejak kecil dia sudah terbiasa dengan kemiskinan sehingga dapat merasakan penderitaan orang miskin. Maka sesudah mendapat pelajaran dari Kwa Siucai, dia dapat merasakan betapa bahagianya orang-orang miskin yang diberinya uang hasil curian itu.
Akan tetapi semua ini dikerjakan oleh Kwa Siucai secara diam-diam. Dia mencuri tanpa meninggalkan bekas, lantas memberikan uang kepada orang-orang miskin tanpa mereka ketahui siapa pemberinya. Hartawan-hartawan pemeras rakyat itu tahu-tahu kehilangan sebagian hartanya, ada pun orang-orang miskin itu tahu-tahu menemukan uang di dalam rumahnya tanpa mengetahui siapa yang memberi mereka.
Kalau guru dan murid ini mendengar adanya seorang hartawan yang dermawan, mereka sama sekali tidak mengganggu hartawan itu. Akan tetapi mereka tak pernah mengampuni hartawan yang pelit dan suka memeras rakyat jelata. Dan di antara yang mereka curi itu, hanya sedikit saja yang mereka gunakan untuk keperluan sendiri. Hanya untuk membeli makan dan minum, juga pengganti pakaian sekadarnya. Semua dihabiskan untuk dibagi-bagikan kepada orang miskin!
Setelah selama setahun belajar dengan tekun sambil merantau bersama Kwa Siucai, Si Kong telah menguasai dua ilmu yang diajarkan oleh Kwa Siucai, yaitu ilmu meringankan tubuh Liok-te Hui-teng dan ilmu silat Yan-cu Hui-kun. Dia kini tinggal mematangkan saja ilmu-ilmu itu dengan latihan yang tekun.
Pada suatu hari Kwa Siucai berkata kepada Si Kong. “Si Kong, engkau sudah menguasai dua ilmu yang kuajarkan kepadamu. Dalam waktu setahun engkau sudah bisa menguasai keduanya, hal itu luar biasa sekali. Bakatmu amat besar dan engkau memiliki ketekunan yang teguh. Sekarang tiba saatnya bagi kita untuk berpisah!”
Si Kong terkejut sekali. “Akan tetapi kenapa, Suhu? Kenapa kita harus berpisah? Teecu masih membutuhkan bimbingan Suhu dalam segala hal!”
Kwa Siucai tersenyum dan menggerakkan tangannya. “Engkau telah menguasai Ta-kaw Sin-tung. Kalau ilmu tongkatmu itu kau gabungkan dengan Yan-cu Hui-kun, maka engkau sudah menjadi orang yang sulit ditandingi. Kini aku ingin kembali ke kampungku, jauh di selatan, Si Kong, dan kita pun tidak mungkin berkumpul terus. Aku dapat mengurus diriku sendiri seperti juga engkau dapat mengurus dirimu sendiri. Ada pertemuan tentu ada pula perpisahan, Si Kong.”
Si Kong menjatuhkan dirinya berlutut. “Suhu, perkenankan teecu ikut dengan Suhu untuk membalas semua kebaikan Suhu.”
“Aihh…, sudahlah, tidak ada budi dan tidak ada pembalasan. Selama ini engkau menjadi murid yang baik, itu sudah cukup menyenangkan hatiku. Selamat tinggal, Si Kong!”
“Suhu...!”
Tetapi Si Kong melihat bayang berkelebat dan tahu-tahu suhu-nya sudah tidak berada di depannya lagi. Dia tetap berlutut lalu berkata lantang. “Terima kasih atas semua kebaikan Suhu kepada teecu!”
Sesudah memberi hormat beberapa kali dia baru bangkit berdiri. Kembali dia merasakan kekosongan di hatinya seperti ketika dulu ditinggalkan oleh Yok-sian Lo-kai. Dia merasa kesepian dan sendiri, bagaikan seekor burung di angkasa, tidak tahu harus pergi ke mana dan harus berbuat apa!
Dia menghela napas. Inilah kelemahannya selama ini. Dia terlalu menggantungkan dirinya kepada orang lain! Maka dia merasa kesepian dan nelangsa ketika ditinggalkan. Tidak! Dia harus berani hidup sendiri!
Dia mengepal tinjunya. Dia sama sekali tidak boleh lemah seperti ini. Dua orang gurunya itu telah memberi banyak pelajaran tentang hidup kepadanya. Sekaranglah saatnya untuk memasuki kehidupan seorang diri dan menghadapi apa saja yang menimpa dirinya. Dia bukan anak kecil lagi. Kini usianya sudah enam belas tahun! Dia harus berani dan harus mampu mandiri.
Si Kong seperti mendapat semangat baru. Dengan cepat dia menuruni bukit itu. Dari atas bukit itu tadi dia melihat samar-samar genteng rumah orang di bukit depan. Tentu di sana ada penghuninya, maka dia pun kini menuruni bukit lalu mendaki bukit di depan.
Hari telah menjelang sore dan dia ingin mencari tempat bermalam di dusun yang berada di lereng bukit itu. Sesudah sampai di lereng itu, dia melihat sebuah perkampungan yang dikelilingi tembok yang cukup tinggi. Akan tetapi agaknya itu bukan merupakan sebuah dusun karena pintu gerbangnya yang besar terjaga oleh lima orang yang bertubuh tinggi besar dan berwajah kereng.
“Hei, orang muda! Siapakah engkau dan hendak ke mana?” tanya seorang di antara para penjaga itu ketika melihat Si Kong hendak memasuki pintu gerbang. Lima orang itu cepat menghadang di pintu gerbang dan sikap mereka nampak galak sekali.
“Maaf, aku hanya ingin memasuki dusun ini untuk mencari tempat menginap malam ini,” kata Si Kong dengan sikap tenang.
Kelima orang itu saling pandang, lantas tertawa bergelak. Si penanya tadi yang agaknya menjadi pimpinan lalu membentak, “Bocah lancang! Ini bukan dusun, akan tetapi tempat tinggal majikan kami, Tong Loya (Tuan besar Tong). Orang luar sama sekali tidak boleh masuk ke sini!”
“Ahh...” kata Si Kong kecewa, akan tetapi dia mendapat pikiran baik dan segera berkata, “Kebetulan sekali kalau begitu. Aku hendak menghadap majikan kalian untuk mohon diberi pekerjaan.”
Memang di dalam hatinya Si Kong sudah mengambil keputusan untuk tidak mengemis seperti Yok-sian dan tidak mencuri seperti Kwa Siucai. Kedua kebiasaan ini dianggapnya tidak baik. Dia ingin bekerja untuk mendapatkan uang guna biaya hidupnya.
“Hemm, tidak begitu mudah untuk menghadap majikan kami! Dan bocah macam engkau ini dapat bekerja apakah?”
Si Kong masih bersabar hati menghadapi sikap yang angkuh dan kasar ini. “Aku dapat melakukan apa saja yang kalian dapat lakukan.”
Pemimpin para penjaga itu mengerutkan alisnya. “Kau dapat melakukan apa saja yang kami dapat lakukan? Huh, kalahkan kami dulu jika engkau ingin diberi kesempatan untuk menghadap Loya!” dia menantang untuk menakut-nakuti pemuda remaja itu, sedangkan keempat orang kawannya tertawa-tawa. Pemuda itu pasti pergi ketakutan, pikir mereka. Akan tetapi Si Kong kini merasa penasaran.
“Kalau itu yang kalian kehendaki, aku siap melawan kalian berlima!”
“Bocah gila! Melawan aku seorang saja jangan harap kau dapat menang, apa lagi hendak melawan kami berlima!” teriak seorang di antara mereka yang matanya agak juling.
“Boleh coba-coba!” kata Si Kong yang menganggap sikap mereka ini sangat keterlaluan. Dia segera menancapkan tongkatnya ke atas tanah karena tidak memerlukan senjata itu untuk melawan lima orang sombong itu.
Si juling semakin marah. “Bocah gila, kau rasakan pukulanku ini!” Dia segera menyerang dengan jotosan ke arah muka Si Kong.
Akan tetapi dengan amat mudahnya Si Kong mengangkat tangan dan menangkap lengan yang menyambar ke arahnya itu, lalu sekali menggeser kakinya dia telah menekuk lengan itu ke belakang tubuh si juling dan mendorong ke depan.
Si juling terdorong ke depan dan jatuh menelungkup! Bukan main marahnya si mata juling. Dia meloncat bangun dan langsung menyambar sebatang tombak yang disandarkan pada gardu penjagaan, lalu menyerang Si Kong dengan tusukan-tusukan tombak.
Si Kong sudah melihat bahwa kepandaian lawannya itu biasa saja, maka dia masih tidak mau menggunakan tongkatnya melainkan mengelak ke kanan kiri. Dan setelah mendapat kesempatan, kakinya cepat menendang tangan lawan. Tombak itu terlepas dan terlempar sampai jauh.
Melihat ini, empat orang penjaga yang lain lalu turun tangan mengeroyok Si Kong dengan mempergunakan golok dan tombak. Si mata juling juga tidak menjadi jera. Melihat teman-temannya membantu, dia pun segera mengambil tombaknya yang terlempar tadi dan ikut pula mengeroyok!
Si Kong masih menghadapi pengeroyokan lima orang itu dengan tangan kosong saja. Gerakannya yang sangat gesit membuat lima orang itu bingung, bahkan kadang senjata mereka saling bertemu sendiri. Pemuda itu seperti berubah menjadi bayangan yang tidak dapat disentuh senjata mereka. Si Kong sengaja tidak mau mencari permusuhan, maka dia pun hanya mengelak saja dan berloncatan ke sana sini tanpa membalas.
Tiba-tiba nampak seorang pemuda meloncat keluar dari sebelah dalam pintu gapura dan dia membentak, “Hentikan perkelahian!”
Lima orang itu langsung menghentikan pengeroyokan mereka sehingga Si Kong merasa lega. Dia melihat seorang pemuda berperawakan sedang dan wajahnya tampan, berusia kurang lebih delapan belas tahun telah berdiri di situ dengan gagahnya.
“Ada apa ribut-ribut ini?” bentak si pemuda kepada lima orang penjaga. Pemimpin para penjaga segera menghadap pemuda itu dengan sikap hormat.
“Maafkan kami, Kongcu. Bocah ini hendak lancang menghadap Tong Loya. Tentu saja kami melarangnya sehingga timbul perkelahian.”
Pemuda ini mengerutkan alisnya dan matanya memandang ke arah Si Kong. Pandangan matanya menunjukkan kemarahan dan dia memandang rendah kepada Si Kong, seorang pemuda yang pakaiannya sederhana seperti orang dusun.
“Siapa engkau yang begitu lancang hendak menghadap ayahku?” tanyanya dan nadanya menunjukkan bahwa dia tidak senang mendengar laporan para penjaga.
Si Kong segera memberi hormat, karena dia maklum bahwa pemuda yang disebut kongcu ini tentulah putera majikan Tong itu. “Maafkan saya, Kongcu. Nama saya Si Kong. Saya hanya mohon menghadap Loya untuk minta pekerjaan.”
Pemilik atau majikan tempat itu yang disebut Tong-Loya oleh para penjaga itu bernama Tong Li Koan, seorang hartawan berusia lima puluh tahun yang juga terkenal mempunyai kepandaian ilmu silat tinggi. Pemuda itu adalah puteranya yang bernama Tong Kim Hok, berusia delapan belas tahun.
Pemuda ini sudah mempelajari ilmu silat dari ayahnya. Wataknya agak angkuh dan tinggi hati, sadar sepenuhnya bahwa sebagai kongcu (tuan muda) dia adalah majikan kecil Bukit Bangau itu dan menganggap dirinya telah mempunyai ilmu silat yang dapat dibanggakan. Kini melihat ada seorang pemuda lain berani melawan pengeroyokan lima orang penjaga, dia merasa penasaran sekali.
“Minta pekerjaan? Engkau bisa apakah?” tanyanya dengan nada tinggi.
“Pekerjaan apa pun yang diberikan kepada saya, akan saya lakukan, Kongcu. Pekerjaan kasar pun tidak saya tolak!”
“Pekerjaan kasar? Engkau merasa kuat?”
“Tentu saja saya merasa kuat melakukannya, Kongcu.”
“Hemm, hendak kulihat sampai di mana kekuatanmu. Aku yang akan mengujimu apakah engkau pantas bekerja untuk kami. Coba lawanlah aku. Jaga seranganku ini. Hyaaaatt...!”
Si Kong terkejut sekali. Tak diduganya dia akan mendapat sambutan seperti itu dari tuan muda ini. Akan tetapi dia dapat melihat bahwa serangan pemuda itu tidak seperti gerakan para penjaga yang mengandalkan tenaga kasar saja. Serangan pemuda ini mengandung tenaga dalam dan dilakukan cukup cepat. Namun tidak terlalu cepat baginya dan dengan mudah dia sudah mengelak.
Serangannya yang luput membuat Tong Kim Hok menjadi semakin penasaran dan marah. Dia merasa malu kepada para penjaga itu kalau dia tidak mampu merobohkan Si Kong. Maka dia pun menyerang lagi lebih cepat dan kuat.
Si Kong menjadi bingung. Tentu saja dia mampu melawan pemuda yang ilmu silatnya masih mentah itu. Akan tetapi dia tidak berani mengalahkan pemuda itu, karena pemuda itu tentu akan marah dan kalau sudah begitu, tidak mungkin dia diterima bekerja di situ. Maka dia pun mengalah. Setelah mengelak dari enam tujuh serangan dengan mengelak, dia mulai menangkis tanpa mengerahkan tenaganya sehingga setiap kali menangkis dia terhuyung ke belakang.
“Bukkk...!”
Sebuah tendangan dari Tong Kim Hok mengenai lambungnya, membuat tubuh Si Kong terhuyung-huyung. Memang dia sengaja membiarkan lambungnya terkena tendangan itu, namun tentu saja dia sudah menjaga lambungnya itu dengan sinkang sehingga dia tidak sampai terluka.
Akan tetapi ternyata Tong Kim Hok masih belum puas dengan sebuah tendangan yang mengenai lambung Si Kong. Dia bahkan merasa penasaran sekali karena Si Kong tidak sampai roboh dan dia menyerang lagi kalang-kabut. Beberapa kali Si Kong membiarkan tubuhnya kena hantaman yang membuatnya terhuyung.
“Sudah cukup, Kongcu. Saya mengaku kalah!” katanya berulang-ulang.
Akan tetapi Tong Kim Hok tetap saja menyerangnya terus. Para penjaga menjadi girang melihat Si Kong dihajar. Mereka tertawa-tawa dan ada yang berkata memberi semangat kepadaTong Kim Hok.
“Hajar terus, Kongcu! Pukul terus!”
Walau pun dia tidak sampai terluka, akan tetapi karena membiarkan tubuhnya mendapat pukulan-pukulan, maka bibir kiri Si Kong berdarah dan pipi kanannya menjadi biru bekas pukulan. Pada saat itu seekor kuda datang berlari dan sesosok bayangan orang meloncat dari atas punggung kuda itu.
“Cukup, koko (kakak)! Mengapa engkau memukul orang?” terdengar seruan dan di antara Si Kong dan Tong Kim Hok telah berdiri menghadang seorang gadis remaja yang berusia kurang dari enam belas tahun. Gadis ini cantik manis, dengan rambut dikuncir dua dan diikat pita merah, dibiarkan tergantung pada kedua pundaknya.
“Moi-moi (adik), engkau minggirlah, biar aku menghajar bocah lancang ini!” kata Tong Kim Hok yang lehernya sudah bersimbah peluh dan napasnya agak memburu karena tadi dia mengerahkan seluruh tenaganya untuk menghajar Si Kong.
“Nanti dulu, koko. Kenapa engkau hendak menghajar orang? Apa kesalahannya?”
“Bocah itu minta bertemu dengan ayah, katanya dia hendak mencari pekerjaan. Maka aku mengujinya karena dia tadi melawan lima orang penjaga kita. Nah, minggirlah, aku ingin menghajarnya sampai dia tahu rasa!”
Gadis itu bernama Tong Kim Lan, berusia hampir enam belas tahun dan adik dari Tong Kim Hok. Dia memang seorang gadis lincah dan amat berbakat dalam ilmu silat sehingga dia lebih maju bila dibandingkan dengan Tong Kim Hok, terutama sekali gerakannya lebih cepat dan dalam hal ilmu pedang dia pun melebih kakaknya.