SEMENTARA itu pertandingan antara Gu Kauwsu dan Tung-hai Ling-ong juga berjalan tidak seimbang sama sekali. Tingkat ilmu kepandaian datuk itu masih jauh lebih tinggi dari pada tingkat Gu Kauwsu sehingga setelah lewat tiga puluh jurus, Gu Kauwsu sudah terdesak hebat oleh tongkat berkepala naga itu dan dia hanya mampu menangkis sambil mundur.
Sambil mundur Gu Kauwsu tidak mengkhawatirkan diri sendiri, melainkan dia memikirkan keselamatan puterinya. Mau tak mau perhatiannya menjadi terpecah, sebagian digunakan untuk memperhatikan keadaan puterinya. Dia menjadi gelisah sekali melihat puteri dan muridnya juga terdesak hebat oleh Ouwyang Kwi.
“Mei Cin, Bun Can, lekas lari...!” Dia berteriak.
Akan tetapi perhatiannya yang terpecah itu mendatangkan bencana. Tangan kiri Tung-hai Ling-ong menyambar dan tangan itu dengan jari-jari tangan terbuka tepat menghantam dadanya.
“Dukkk...!”
Tubuh Gu Kauwsu terjengkang dan robohlah dia untuk tidak bangkit kembali. Dia sudah terkena pukulan Tok-ciang datuk itu, pukulan yang tidak kalah ampuhnya dengan pukulan tongkatnya. Gu Kauwsu roboh dengan tanda telapak jari tangan hitam di dadanya.
Tok-ciang (Tangan Beracun) adalah ilmu pukulan yang mengandung hawa beracun yang berbahaya sekali. Gu Kauwsu tepat terpukul dadanya hingga jantungnya terguncang oleh hawa beracun dan dia pun tewas seketika.
Dalam perlawanannya terhadap Ouwyang Kwi, Mei Cin yang dibantu suheng-nya sempat pula memperhatikan ayahnya. Agaknya Ouwyang Kwi tidak terlampau mendesaknya, tapi lebih mendesak Thio Bun Can. Maka ketika ayahnya roboh Mei Cin dapat melihatnya dan dia pun menjerit.
“Ayah...!” Tanpa mempedulikan suheng-nya lagi Mei Cin melompat ke dekat ayahnya dan berlutut. Ketika melihat ayahnya sudah tewas, dia pun amat berduka dan marah. Dengan mengangkat pedangnya dia menyerang Tung-hai Ling-ong.
“Kau... kau... membunuh ayahku...!” bentaknya sambil menangis dan menyerang.
“Suhu, jangan bunuh gadis itu. Aku sayang kepadanya!” Ouwyang Kwi berseru kepada gurunya dan dia pun memperhebat serangannya kepada Thio Bun Can.
Kasihan pemuda ini. Tadi mengeroyok bersama sumoi-nya saja dia tidak mampu menang, apa lagi sekarang harus menghadapi lawan seorang diri. Pedangnya berkali-kali terpental dan pada suatu kesempatan selagi pemuda itu terhuyung karena pertemuan senjata itu, dengan sebuah gerakan cepat Ouwyang Kwi mengelebatkan goloknya dan robohlah Thio Bun Can bermandikan darahnya sendiri. Lehernya nyaris putus oleh babatan golok.
Ouwyang Kwi tidak peduli lagi dengan korbannya dan dia segera meloncat untuk melihat keadaan Mei Cin. Alangkah girangnya melihat Mei Cin sudah menggeletak roboh akibat totokan jari tangan gurunya.
“Mari kita pergi, Suhu!” kata Ouwyang Kwi sambil memondong tubuh Mei Cin yang sudah tidak dapat bergerak itu. Mereka lari ke kiri memasuki hutan.
Tak lama kemudian nampak sesosok bayangan orang mendaki bukit itu. Orang ini bukan lain adalah Si Kong. Kebetulan saja dia lewat di lereng bukit itu dan melihat keadaan bukit itu, hatinya tertarik untuk mendaki puncaknya.
Sesudah tiba di lereng paling atas, dia mendengar gerakan orang berkelahi di puncak. Si Kong mempercepat larinya dan tibalah dia di puncak. Akan tetapi di puncak itu telah sepi tidak terdengar apa-apa lagi. Hatinya terkejut bukan main melihat dua tubuh menggeletak di tempat itu dan dia pun cepat-cepat menghampiri.
Pertama dia menghampiri tubuh Gu Kauwsu dan setelah menyentuh nadi serta dadanya, dia pun menghela napas. Orang itu tidak dapat ditolong lagi, pikirnya. Sudah tewas! Dia lalu menghampiri tubuh Thio Bun Can dan melihat pemuda ini masih dapat menggerakkan tangannya. Dan ketika memeriksa, Si Kong terkejut sekali sesudah mengenalnya sebagai pemuda yang bermalam di rumah penginapan pada beberapa malam yang lalu. Pemuda ini bermalam bersama sumoi-nya! Dan di mana sumoi-nya sekarang?
Dia cepat menotok jalan darah untuk menghentikan darah yang mengalir keluar dari luka di leher. Dia pun melihat adanya sebatang pedang lain di situ dan dia mengkhawatirkan kalau-kalau sumoi pemuda itu juga telah menjadi korban pembunuhan. Dia mengguncang pundak pemuda itu dan mengurut tengah keningnya. Pemuda itu kini dapat membuka dan mengedip-ngedipkan matanya yang sudah layu.
“Di mana sumoi-mu? Di mana? Tunjukkan!” kata Si Kong.
Dalam keadaan sekarat Bun Can masih dapat mengerti dan dia mengangkat tangannya, menuding ke arah kiri lalu terkulai dan mati.
Isyarat itu sudah cukup bagi Si Kong. Dia cepat melompat ke arah kiri dan lari memasuki hutan di lereng itu. Dia harus bergerak cepat selagi hutan itu masih belum gelap. Dengan penuh kewaspadaan dia menyusup-nyusup di hutan itu, dan akhirnya usahanya berhasil ketika mendengar isak tangis seorang wanita!
Dia bergerak cepat sekali ke arah suara itu dan melihat gadis yang dicarinya itu rebah di atas rumput, tidak mampu bergerak dan hanya dapat menangis! Dan didekatnya berlutut seorang laki-laki tinggi besar bermuka hitam.
Melihat laki-laki bermuka hitam itu, teringatlah Si Kong akan peristiwa empat tahun yang lalu. Dia segera mengenal Ouwyang Kwi sebagai orang yang telah merampas kedudukan ketua Hwa I Kaipang! Bahkan di waktu itu, dalam usia sekitar lima belas atau enam belas tahun, dia pernah bertanding melawan Ouwyang Kwi ini.
Dia tahu betapa jahatnya Ouwyang Kwi dan gurunya yang merupakan datuk timur berjuluk Tung-hai Liong-ong itu, maka dia pun tahu bahwa gadis itu tentu terancam bahaya besar. Dia pun mengenal gadis yang rebah telentang sambil menangis itu sebagai gadis yang pernah bermalam di rumah penginapan Hok-lai.
“Nona manis, jangan menangis. Percuma saja engkau menangis dan tidak ada gunanya engkau menolak kehendakku. Ditolak atau pun tidak engkau tetap akan menjadi milikku! Maka lebih baik engkau menyerah dengan suka rela dari pada aku harus memaksamu.” Setelah berkata demikian, sambil menyeringai seperti seekor serigala yang menghampiri korbannya dia mendekatkan dirinya kepada gadis itu, kemudian perlahan-lahan tangan kanannya meraih ke arah dada.
“Wuuuutt...! Plakk!”
Ouwyang Kwi terkejut dan dia mengaduh. Tangannya terasa nyeri dan ketika dilihatnya, ternyata tangannya telah lecet berdarah akibat disambar sepotong batu yang runcing. Dia meloncat bangkit berdiri sambil memutar tubuh dan melihat seorang pemuda telah berdiri di depannya dengan mata yang mencorong seperti mata seekor naga. Tahulah Ouwyang Kwi bahwa tentu pemuda itu yang tadi menyambitnya dengan batu ke tangannya, maka tentu saja dia menjadi marah bukan main.
“Keparat, engkaukah yang menyerangku dengan batu tadi?!” bentaknya.
Si Kong mengerutkan alis, diam-diam dia pun marah sekali melihat perbuatan Ouwyang Kwi tadi. “Ouwyang Kwi, ternyata engkau masih juga belum jera dan kembali melakukan perbuatan jahat dan terkutuk!”
Ouwyang Kwi terkejut sekali. Pemuda itu sudah mengenal namanya!
“Siapakah engkau yang begitu lancang berani mencampuri urusanku?”
“Ouwyang Kwi, lupakah engkau padaku? Empat lima tahun yang lalu, engkau dan gurumu Tung-hai Liong-ong pernah bertemu dengan aku dan guruku Yok-sian Lo-kai di Souw-ciu.”
Ouwyang Kwi terkejut dan sekarang dia pun teringat kepada pemuda itu. Lima tahun yang lalu pemuda itu masih merupakan seorang pemuda remaja akan tetapi sudah sedemikian lihainya hingga dapat menandinginya. Bahkan gurunya, Tung-hai Liong-ong terluka dalam parah sekali oleh Yok-sian Lo-kai dan gurunya harus mengobati dirinya selama tiga tahun untuk menyembuhkan luka itu!
Akan tetapi dia tidak takut. Selama lima tahun ini dia sudah memperdalam ilmu silatnya dan juga suhu-nya berada tidak jauh dari tempat itu. Pemuda ini hanya datang seorang diri dan dia dapat mengandalkan gurunya kalau sampai dia kalah dari pemuda itu.
Cepat dia mencabut goloknya lantas menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka Si Kong. “Ternyata engkau bocah setan itu dan lagi-lagi engkau sudah berani mencampuri urusan pribadiku. Akan tetapi sekali ini jangan harap engkau mampu meloloskan diri dari golokku ini!” Setelah berkata demikian, tanpa banyak cakap lagi Ouwyang Kwi langsung meloncat dan menerjang dengan golok besarnya.
Si Kong sudah siap siaga. Dia cepat menjatuhkan buntalan pakaiannya ke atas tanah dan menggunakan pikulan bambunya untuk senjata tongkat.
“Trangg…! Tranggg...!”
Dua tangkisan itu membuat golok terpental dan hampir terlepas dari tangan Ouwyang Kwi. Hal ini membuat si muka hitam terkejut bukan kepalang, maka tahulah dia bahwa pemuda itu juga sudah memperoleh kemajuan pesat sehingga dalam hal tenaga sinkang dia kalah jauh!
“Suhu...! Tolonggg...!” Ouwyang Kwi berteriak tanpa malu lagi ketika dia menerjang maju kembali dengan serangan yang lebih dahsyat.
Si Kong teringat betapa Ouwyang Kwi sudah membunuh dua orang yang mayatnya masih menggeletak di luar hutan di puncak itu, dan juga teringat bahwa setelah lewat empat lima tahun orang itu tidak berubah menjadi baik bahkan menjadi semakin jahat. Maka dia pun mempercepat gerakan tongkatnya.
Gerakan tongkat Si Kong sekarang jauh sekali bedanya kalau dibandingkan gerakannya empat tahun yang lampau. Dia telah digembleng Kwa Siucai, kemudian bahkan mendapat bimbingan dari Pendekar Sadis Ceng Lojin sehingga dibandingkan empat tahun yang lalu, tingkat kepandaiannya sekarang telah maju jauh sekali. Begitu dia mempercepat gerakan tongkatnya, tongkat itu dapat menyusup di antara gulungan sinar golok, bergetar menotok pergelangan tangan lalu meluncur ke arah tenggorokan Ouwyang Kwi.
Ouwyang Kwi berteriak ketika lengannya tiba-tiba menjadi lumpuh dan goloknya terlepas dari pegangan, tapi teriakannya langsung terhenti ketika ujung tongkat bambu itu menotok tenggorokannya. Dia pun roboh dan tidak mampu bergerak kembali karena totokan pada jalan darah dekat tenggorokannya itu telah menewaskannya!
“Wuuuttttt...! Wiiirrrrrr...!”
Si Kong mengelak dengan cepat ketika tongkat kepala naga itu menyambar ke arah kepalanya dengan amat kuat dan dahsyatnya.
“Jahanam, berani engkau membunuh muridku?!” teriak Tung-hai Liong-ong ketika melihat muridnya menggeletak dan tewas. Dia terbelalak memandang kepada gadis yang masih telentang, lalu kepada Si Kong yang masih memegang tongkatnya dengan sikap tenang.
“Siapa engkau?!”
“Tung-hai Liong-ong, engkau bersama muridmu Ouwyang Kwi ternyata masih juga belum menghentikan perbuatan jahat kalian. Agaknya engkau belum jera ketika lima tahun yang lalu guruku Yok-sian Lo-kai memukulmu!”
Tung-hai Liong-ong teringat. “Ah, jadi engkau murid Yok-sian Lo-kai? Bagus, memang aku tengah mencarinya untuk membalas kekalahanku dulu dan sekarang engkau malah berani membunuh muridku? Engkau harus mati di tanganku!” Kembali Tung-hai Liong-ong sudah menyerang dengan tongkatnya yang berkepala naga.
Tongkat itu amat berat dan ketika menyambar ada hawa pukulan dahsyat sekali menerpa muka Si Kong. Akan tetapi pemuda ini sama sekali tidak merasa gentar. Dengan sangat ringan tubuhnya sudah mengelak dari serangan beruntun sambung menyambung sampai lima kali itu.
Tung-hai Liong-ong merasa penasaran bukan kepalang. Lima kali berturut-turut tongkatnya menyambar-nyambar ke arah bagian tubuh yang berbahaya, namun dengan mudahnya pemuda itu mengelak sehingga pukulannya tidak ada yang mengenai sasaran. Sebelum dia melanjutkan serangannya, kini pemuda itu sudah membalas dan ujung tongkat bambu itu bergetar menjadi belasan banyaknya yang menyerang ke arah tiga belas jalan darah terpenting di tubuhnya!
“Haiiiitttttt...!” Tung-hai Liong-ong berseru nyaring sambil memutar tongkatnya, menangkis tongkat bambu yang ujungnya tergetar menjadi banyak itu.
“Tuk-tuk-tunggg...!”
Tiga kali tongkat bambu itu bertemu dengan tongkat kepala naga dan Tung-hai Liong-ong terkejut bukan main karena getaran tongkat bambu itu menjalar melalui tongkatnya hingga menggetarkan tangannya yang memegang tongkat itu. Sebelum hilang kagetnya, tongkat bambu itu sudah menotok ke arah pergelangan tangannya. Totokan ini datangnya cepat bukan main.
Tung-hai Liong-ong cepat menarik tangan kanan yang memegang tongkat dan mengganti dengan tangan kirinya untuk membebaskan tangan kanannya dari totokan. Tetapi betapa kagetnya ketika ujung tongkat itu seperti ular saja sudah merayap naik dan kini menotok pergelangan tangan kirinya! Dan terpaksa datuk itu melepaskan tongkat di tangan kirinya, akan tetapi dia menghujamkan tongkat itu ke arah Si Kong sebelum melepaskannya.
Tongkat itu menyambar dahsyat ke arah Si Kong. Akan tetapi pemuda itu menggunakan tangan kirinya untuk menangkap tongkat itu lalu dia menancapkan tongkat kepala naga itu ke atas tanah. Lawannya sekarang telah kehilangan senjata ampuhnya.
“Keparat, kau kira dapat terlepas dari tanganku?!” bentak Tung-hai Liong-ong dan kini dia menerjang dengan kedua tangan kosong. Akan tetapi tangannya bahkan lebih berbahaya dari tongkatnya karena kedua tangan itu mengandung ilmu Tok-ciang (Tangan Beracun) yang dapat membuat tubuh lawan menjadi hangus kalau terkena pukulannya.
Si Kong melepaskan tongkat bambunya dan menghadapi serangan lawan dengan tangan kosong pula. Lawannya adalah seorang datuk yang ternama, oleh karena itu tidak mudah membunuhnya begitu saja. Melihat tangan yang telah berubah menghitam itu menyambar ke arah kepalanya dengan cengkeraman mengerikan, Si Kong cepat mengelak dan ketika tangan kiri kakek itu menghantam ke arah dada, dia menangkis.
Tangan kiri lawan itu terpental, akan tetapi dengan cepat telah mencengkeram kembali ke arah pundaknya. Si Kong segera mengerahkan Thi-khi-i-beng ketika melihat cengkeraman ke arah pundaknya itu.
Tangan kiri Tung-hai Liong-ong yang penuh hawa beracun bertemu dengan pundak, dan kakek itu berteriak kaget. Tenaganya amblas tersedot oleh pundak itu, akan tetapi hanya sebentar. Karena terkejut dia menjadi lengah dan kesempatan itu digunakan oleh Si Kong untuk melancarkan pukulan Hok-liong Sin-cang. Pukulan tangan kanan Si Kong itu sangat cepat dan mengandung getaran bergelombang, tidak dapat dielakkan lagi oleh kakek itu. Tung-hai Liong-ong coba menangkis dengan tangan kanannya.
“Dessss...!”
Walau pun dia telah berhasil menangkis pukulan itu, akan tetapi pukulan itu mengandung tenaga yang begitu kuat sehingga tubuh kakek itu terpental dan terjengkang ke belakang!
Tung-hai Liong-ong terkejut bukan kepalang. Tak pernah disangkanya bahwa kepandaian pemuda itu sehebat ini. Dia tahu bahwa kini tingkat kepandaian pemuda itu bahkan sudah melewati tinggi kepandaian Yok-sian Lo-kai! Maklum bahwa kalau dilanjutkan dia tak akan menang, dia lalu bangkit berdiri dan berkata,
“Lain kali akan kubalas kekalahan ini!” Sesudah berkata demikian, cepat dia menyambar mayat muridnya, mencabut tongkat naganya, kemudian pergilah dia dengan langkah agak terhuyung. Ternyata kakek itu telah menderita luka dalam.
Si Kong menghela napas panjang dan tidak melakukan pengejaran. Dia hendak memberi kesempatan lagi kepada datuk itu untuk mengubah jalan hidupnya, kembali ke jalan benar dan berjanji kepada diri sendiri bahwa kalau lain kali dia bertemu lagi dengan datuk itu dan melihat bahwa kakek itu masih saja melakukan kejahatan, maka dia akan membasminya.
Kini perhatian Si Kong beralih kepada gadis itu. Cepat dia meloncat mendekati dan sekali tangannya bergerak, gadis itu telah dapat bergerak. Gadis itu bangkit berdiri memandang kepada Si Kong dengan kedua mata masih basah.
“Terima kasih atas pertolongan In-kong (tuan penolong),” katanya dengan perasaan haru, membayangkan bahwa jika tidak ada orang ini, entah bagaimana jadinya dengan dirinya. Akan tetapi ketika memandang wajah Si Kong, Mei Cin teringat dan dia terbelalak.
“Kau... kau... pelayan itu...!”
Si Kong membungkuk dan berkata, “Sekarang Nona telah terlepas dari mara bahaya.”
“Kau... kalau begitu, ... penolong di rumah makan itu, dan di kamar penginapan itu, tentu engkau pula orangnya!”
“Sudahlah, Nona. Hal itu tidak perlu dibicarakan lagi.”
Mei Cin teringat kepada ayahnya serta suheng-nya, maka tiba-tiba dia menangis. “Ayah... suheng... mereka telah terbunuh. In-kong, tolonglah aku, jangan kepalang menolongku... bantulah aku mengurus jenazah ayah dan suheng-ku yang mati di sana.” Dia menunjuk ke depan lalu berlari keluar dari hutan itu, mendaki puncak.
Tadinya Si Kong hendak meninggalkan gadis itu, akan tetapi ketika dia teringat akan dua jenazah itu, dia pun merasa kasihan dan segera mengikuti gadis itu mendaki ke puncak. Begitu di puncak Mei Cin segera menubruk mayat ayahnya dan menangis tersedu-sedu.
Si Kong menghela napas dan duduk di atas batu, membiarkan gadis itu menangis karena dalam kedukaan yang mendalam hanya tangis itu yang akan dapat meringankan himpitan pada hatinya. Dia teringat akan orang tuanya sendiri yang sudah tiada.
Hidup begini banyak penderitaan, pikirnya. Akan tetapi bagaimana pun juga, setiap orang harus sanggup memikul derita hidupnya sendiri, dengan hati yang kuat karena memang sudah ditakdirkan hidup mengalami semua itu. Setelah tangis gadis itu agak mereda, dia pun turun dari atas batu dan menghampiri Mei Cin.
“Nona, sudah cukup, tidak ada gunanya ditangisi lagi. Sekarang yang lebih penting adalah mengurus jenazah ayah dan suheng-mu. Akan dibawa ke mana kedua jenazah ini?’
Gadis itu pun bangkit berdiri. Mukanya basah oleh air mata dan agak pucat. “Saya akan membawa mereka pulang. Kami tinggal di kota Sin-keng di bawah bukit ini.”
Si Kong memandang kepada dua jenazah itu. Bagaimana mengangkut mereka? Dia tentu kuat membawa mereka, memanggul pada kedua pundaknya atau menjinjingnya dengan kedua tangannya, akan tetapi hal itu amat tidak pantas dan kasihan kepada dua jenazah itu kalau hanya dipanggul begitu saja.
“Aku akan mencari bambu dulu, Nona. Kau tunggu sebentar di sini,” katanya dan dia pun berkelebat lenyap dari depan gadis itu, memasuki hutan dan tak lama kemudian dia sudah membawa beberapa batang bambu. Diikatnya bambu-bambu itu menjadi sebuah usungan besar dan dia merebahkan dua jenazah itu berjajar di atas usungan.
“Kita terpaksa mengusung dua jenazah ini dan membawanya pulang, Nona.”
“Terima kasih, in-kong. Tidak tahu harus bagaimana aku membalas budimu.”
“Sudahlah, jangan bicarakan tentang budi. Mari kita gotong bersama usungan ini.”
Mereka berdua lalu menggotong usungan itu. Mei Cin berjalan di depan sebagai penunjuk jalan sambil memegang ujung kedua bambu usungan sedangkan Si Kong mengangkat di bagian belakang. Akan tetapi secara diam-diam pemuda ini mengerahkan tenaganya agar usungan itu tak terasa terlalu berat bagi Mei Cin. Demikianlah, bersama dengan turunnya matahari ke barat, Mei Cin yang berjalan sambil menangis perlahan itu bersama Si Kong mengusung dua jenazah itu ke kota Sin-keng.
Setelah hari menjadi gelap barulah mereka memasuki kota. Banyak orang terkejut melihat pemuda dan gadis itu mengusung mayat Gu Kauwsu dan Thi Bun Can. Para murid Gu Kauwsu segera berdatangan lantas mereka membantu mengusung jenazah itu ke rumah keluarga mereka.
Nyonya Gu menyambut dengan jerit tangis memilukan. Para tetangga segera berdatangan melayat dan sebentar saja sudah tersiar berita di seluruh kota bahwa Gu Kauwsu telah tewas terbunuh oleh penjahat.
Setelah ratap tangis yang memenuhi rumah mendiang Gu Kauwsu itu agak reda, Mei Cin lalu menceritakan kepada ibunya tentang kematian ayah dan suheng-nya.
“Kalau saja di situ tidak muncul dewa penolong... ehh, di mana in-kong?” tanyanya sambil mencari-cari dengan pandangan matanya di antara para tamu yang datang melayat. Akan tetapi dara itu tidak melihat bayangan Si Kong yang diam-diam telah pergi karena merasa bahwa tugasnya menolong gadis itu telah selesai.
“In-kong siapa?” tanya ibunya.
“Pemuda yang tadi bersama aku menggotong jenazah ayah dan suheng. Dia tadi masih berdiri di sini!”
Namun tidak ada seorang pun melihat pemuda itu dan Mei Cin lalu menceritakan semua pengalamannya.
“Sayang dia telah pergi sehingga aku tidak sempat menghaturkan terima kasih,” kata ibu Mei Cin.
Semua orang yang berada di sana juga menyayangkan hal itu karena mendengar cerita Mei Cin, para murid guru silat Gu itu juga menjadi kagum sekali. Sedikit pun mereka tidak pernah mengira bahwa pemuda yang berpakaian sederhana itu ternyata adalah seorang pendekar sakti seperti diceritakan Mei Cin.
Mei Cin sendiri juga merasa kehilangan. Dara ini merasa kagum sekali kepada Si Kong. Ia tertarik bahwa pendekar sakti itu sedemikian rendah hati sehingga mau bekerja sebagai pelayan rumah penginapan dan rumah makan. Ia merasa sayang sekali belum berkenalan dengan pemuda itu, bahkan namanya pun tidak diketahuinya.
Kota Ci-bun merupakan sebuah kota yang ramai. Kota ini tidak begitu jauh dari kota raja, akan tetapi di kota itu terdapat banyak pengemis. Hal ini tidak mengherankan karena pada waktu itu negara sedang dilanda musim kering berkepanjangan sehingga semua barang sukar didapatkan dan mahal harganya, termasuk bahan pangan yang sangat dibutuhkan manusia.
Rakyat kecil menderita kelaparan sehingga banyak di antara mereka yang terpaksa harus menjadi pengemis. Keadaan kekurangan bahan pangan ini juga mendorong banyak orang yang tak kuat batinnya untuk melakukan kejahatan, seperti mencuri, merampok dan lain-lain.
Si Kong melihat benar kesengsaraan rakyat kecil ini, terutama yang hidup dipedusunan karena dia melakukan perantauan melalui dusun-dusun dan kota-kota. Dia melihat betapa kehidupan manusia lebih banyak menderita dari pada bahagia. Dia melihat pula kepalsuan manusia.
Mereka yang berada di atas dan memiliki kedudukan serta wewenang, seolah tidak peduli akan kesengsaraan rakyat itu. Juga para hartawan menutup pintu gapura rumah mereka rapat-rapat, seolah takut kalau-kalau harta benda mereka akan diambil orang, baik secara sembunyi atau terang-terangan. Mereka menggunakan anjing-anjing besar untuk menjaga rumah dan mengumpulkan banyak tukang pukul untuk melindungi harta mereka.
Si Kong melihat semua ini dan batinnya bergolak. Mengapa begitu banyak ketidak-adilan terjadi di dunia ini? Mengapa para pejabat tidak berusaha untuk menolong rakyatnya yang menderita? Mengapa para hartawan segan mengulurkan tangan, mengurangi sedikit harta mereka untuk menolong mereka yang kelaparan?
Dia pun melihat betapa banyaknya jembel-jembel baru berkeliaran di jalan-jalan besar di kota Ci-bun ketika dia memasuki kota itu sambil memanggul buntalan pakaiannya di ujung tongkat bambu. Melihat keadaan mereka, Si Kong merasa terharu, tetapi dia juga merasa bersyukur atas kemurahan Tuhan kepadanya. Nasibnya sendiri masih terhitung baik kalau dibandingkan dengan mereka yang berkeliaran di jalan-jalan itu!
Benarlah kata orang bijaksana jaman dulu bahwa kalau kita sedang ditimpa kesengsaraan dalam kehidupan ini, sebaiknya kita menundukkan kepala dan memandang ke bawah. Di sana masih terdapat banyak sekali orang-orang yang keadaannya lebih payah dari pada keadaan kita!
Si Kong merasa heran ketika melihat orang berbondong-bondong menuju ke satu jurusan. Mereka adalah para pengemis dan orang-orang miskin yang bisa dia ketahui dari pakaian mereka yang lusuh dan muka mereka yang amat kurus. Mereka membawa tempat untuk membawa sesuatu, ada yang membawa kertas, kain-kain yang lusuh, panci dan tempat-tempat lain. Melihat ini Si Kong menjadi tertarik. Tentu di sana ada terjadi sesuatu yang menarik semua orang itu berkunjung ke sana.
Ketika tiba di ujung timur kota itu, tahulah dia apa yang menarik semua orang itu pergi ke situ. Kiranya di depan gedung seorang hartawan terdapat beberapa orang pelayan sedang membagi-bagi beras dari karung. Beberapa karung yang masih penuh sudah ditumpuk di situ dan orang-orang yang ingin mendapatkan pembagian beras itu berdiri antri berderet-deret. Mereka terdiri dari bermacam-macam orang. Ada yang pria atau wanita, kakek dan nenek, juga ada anak-anak kecil ikut antri.
Si Kong berdiri bengong dan kagum. Kenyataan yang sekarang dilihatnya itu membantah bahwa semua hartawan terlampau pelit dan tidak mau menolong mereka yang kelaparan. Buktinya hartawan pemilik gedung itu sedang membagi-bagi beras kepada mereka yang membutuhkannya!
Karena terharu dan tertarik, tanpa disadarinya dia terdesak banyak orang itu sehingga dia melangkah maju dan masuk ke dalam antrian. Dia baru menyadari setelah melihat bahwa di belakangnya ternyata telah banyak orang yang antri. Ia pun berdiri dalam antrian untuk mendapatkan beras!
Biarlah, katanya pada diri sendiri. Dia memang ingin melihat orang yang membagi-bagikan beras itu dan tiba-tiba hatinya menjadi gembira. Ingin dia melihat siapa hartawan itu dan menyampaikan terima kasihnya. Seorang hartawan yang juga dermawan dan budiman!
Mendadak terjadi keributan dan antrian itu menjadi kacau ketika muncul seorang laki-laki tinggi besar berpakaian serba hitam yang melangkah maju ke deretan paling depan. Tentu saja mereka yang berdiri di depan merasa penasaran dan tidak mengijinkan si tinggi besar menyerobot antrian.
“Harus antri di belakang!” kata orang terdepan. “Kami juga antri sejak pagi.”
Akan tetapi orang tinggi besar berpakaian serba hitam itu menjadi marah, lantas dua kali tangannya bergerak memukul. Dua orang terdepan terpelanting roboh akibat pukulan itu. Semua orang menjadi gentar dan si tinggi besar itu tanpa mempedulikan siapa pun sudah berdiri paling depan. Akan tetapi dia tidak membawa tempat untuk menerima pemberian beras.
“Mana tempat untuk menerima beras?” tanya petugas yang membagi-bagi beras, dengan alis berkerut serta pandang mata marah karena dia pun tadi melihat betapa si tinggi besar itu memukul dua orang untuk menyerobot antrian.
“Tempat beras apa? Aku minta sekarung dan akan kupanggul sendiri. Berikan sekarung beras!” kata si tinggi besar dengan suara galak.
Tentu saja para petugas yang terdiri dari empat orang itu tak mau menyetujui permintaan ini. Sekarung beras! Beras sebanyak itu kalau dibagi-bagi cukup untuk dua puluh orang!
“Tak bisa kami memberikan sekarung beras kepada seorang saja. Kami harus membagi-bagi secara rata, lima kati untuk setiap orang, tidak kurang dan tidak lebih!”
“Akan tetapi aku menghendaki sekarung!” kata pula si tinggi besar kukuh. “Majikan kalian The Wan-gwe (Hartawan The) mempunyai beras bergudang-gudang. Apa artinya kalau aku hanya minta sekarung?’ Si tinggi besar itu lalu melangkah maju menghampiri tempat penumpukan beras dalam karung. Dengan tangan kirinya dia mengangkat sekarung beras yang beratnya seratus kati itu!
“Heiiiii...! Kembalikan beras itu!” teriak empat orang petugas itu sambil menghampiri ketika melihat si tinggi besar hendak melangkah pergi. Namun empat kali tangan kanan orang itu menampar dan empat orang petugas itu segera berpelantingan!
Setelah merobohkan empat orang petugas, dengan lagak sombong si baju hitam sengaja memamerkan tenaganya. Ia melemparkan sekarung beras ke atas kemudian memainkan benda yang cukup berat itu seperti sebuah bola saja. Dia pun menyambut kembali karung beras itu dengan tangan kirinya, lalu memandang ke arah semua orang yang sedang antri dan kini menjadi ketakutan itu.
“Hayo, siapa lagi yang hendak melarangku mengambil beras ini? Majulah untuk menerima hajaranku!”
Para pekerja itu sudah melapor ke dalam dan kini mucul Hartawan The dari pintu depan. Dia adalah seorang pria berusia enam puluh tahun dan dari sikapnya yang lemah lembut, wajahnya yang penuh senyum ramah dan pandang matanya yang lembut, dapat diketahui bahwa dia adalah seorang yang baik hati. Melihat lagak si baju hitam itu, dengan lembut dia berkata kepada para pembantunya,
“Biarkan dia pergi membawa sekarung beras itu.”
Si baju hitam mendengar ucapan itu dan dia pun menoleh. “Ha-ha, kalian dengar sendiri itu? Hartawan The tidak keberatan aku membawa sekarung beras ini, bahkan setiap saat kalau aku membutuhkan tentu akan boleh datang untuk mengambil beberapa karung lagi!” Setelah berkata demikian, sambil tertawa-tawa si baju hitam itu melangkah pergi dari situ.
Si Kong tidak dapat menahan kesabarannya lagi. Orang itu sudah bertindak dan bersikap keterlaluan, dan orang yang suka memaksakan kehendak sendiri seperti itu merupakan bahaya bagi umum. Dia melangkah keluar dari antrian dan menghadang si baju hitam.
“Perlahan dulu, sobat. Engkau lupa bahwa satu karung beras itu disediakan untuk orang banyak, bukan untuk memenuhi keserakahanmu. Hayo cepat kembalikan sekarung beras itu pada tempatnya. Kalau membutuhkan beras, engkau harus berdiri di belakang antrian untuk mendapatkan lima kati beras!”
Si baju hitam itu membelalakkan matanya, seolah-olah tidak percaya bahwa ada seorang yang masih sangat muda berani mengeluarkan ucapan semacam itu kepadanya. Agaknya pemuda ini sudah bosan hidup!
Dengan mata melotot dia lantas membentak, “Apa?! Kau ingin aku mengembalikan beras ini? Nah, sambutlah!”
Dia lalu melontarkan sekarung beras yang berat itu kepada Si Kong dengan pengerahan tenaga. Sekarung beras itu segera meluncur ke arah Si Kong, dan seandainya bukan Si Kong yang menerimanya, tentu akan roboh terjengkang tertimpa beras sekarung!
Akan tetapi dengan mudah Si Kong menerima beras itu, dan sekali tangannya bergerak, sekarung beras itu sudah melayang kemudian jatuh di atas tumpukan beras, kembali ke tempatnya semula.
“Jahanam keparat kau! Mampuslah!” si baju hitam berteriak sambil menerjang ke arah Si Kong, menubruknya seperti seekor harimau menerkam kambing.
Dengan tenang Si Kong menggeser kakinya ke samping dan begitu tubuh tinggi besar itu lewat, dia menggerakkan kakinya ke depan sehingga tanpa dapat dihindarkan lagi, si baju hitam itu terperosok ke depan dan jatuh menelungkup!
“Ngekkk…!”
Terdengar suara ketika dia terbanting. Semua orang yang sedang antri beras tersenyum gembira melihat betapa si baju hitam itu dirobohkan pemuda yang berpakaian sederhana ini. Akan tetapi si baju hitam cepat merangkak bangun lantas meloncat berdiri. Hidungnya berdarah dan dia kelihatan marah bukan main.
“Setan! Berani kau melawanku?”
Kembali dia menyerang namun sekali ini dia tidak menyerang secara sembarangan saja, melainkan menggunakan ilmu silat. Tangan kanannya melayang ke arah kepala Si Kong, tangan kirinya segera menyusul menusuk ke arah perut pemuda itu dengan jari-jari tangan terbuka.
“Dukk! Dukk!”
Kedua tangan itu tertangkis oleh Si Kong. Akan tetapi si baju hitam itu memang tidak tahu diri. Meski pun tangkisan tangan pemuda itu membuat kedua lengannya terasa panas dan nyeri sekali, dia tidak menjadi jera dan kini kaki kanannya menendang dengan pengerahan tenaga sekuatnya. Kaki itu menyambar ke arah perut Si Kong dan merupakan serangan yang amat berbahaya.
Tetapi dengan tenang Si Kong menanti sampai kaki itu dekat dengan perutnya, kemudian tiba-tiba saja dia menarik dirinya ke belakang sambil melangkahkan kaki. Pada saat kaki kanan si baju hitam itu menyambar lewat, secepat kilat Si Kong menggunakan tangan kiri menangkap tumit kaki itu lantas mendorongnya ke atas lalu ke depan. Tubuh si baju hitam itu terlempar dan kembali terbanting, akan tetapi sekali ini dia terbanting terlentang.
“Ngekkk...!”
Si baju hitam meringis kesakitan. Tulang belakangnya seperti patah-patah rasanya ketika pinggulnya terbanting ke atas tanah. Sekali ini para penonton tertawa dengan hati senang.
Si Kong menghampiri si baju hitam yang kini sudah bangkit duduk dengan muka meringis. “Masih belum jera dan ingin melanjutkan perkelahian? Silakan bangkit berdiri, aku sudah siap!”
Si baju hitam yang bagian belakang tubuhnya masih terasa nyeri itu cepat bangkit berdiri, lantas memandang dengan mata melotot kepada Si Kong dan berkata, “Kau tunggu saja pembalasanku!’ Setelah berkata demikian dia pun pergi dengan terhuyung-huyung sambil kedua tangannya menekan pinggulnya.
Hartawan The yang menyaksikan semua itu, menghampiri Si Kong dan berkata, “Orang muda, terima kasih atas bantuanmu mengusir orang jahat itu. Akan tetapi, bagaimana jika dia kembali bersama kawan-kawannya?”
“Harap Loya (tuan besar) tidak khawatir. Kalau diperbolehkan, saya ingin membantu Loya dalam pembagian beras kepada rakyat kecil yang miskin ini.”
“Engkau hendak bekerja membantu kami? Tentu saja boleh, malah kebetulan sekali. Kami mengangkat engkau menjadi pengawas dan pengatur pembagian beras yang setiap hari kami lakukan dari pagi sampai sore.”
“Terima kasih banyak, Loya.”
“Siapakah namamu, anak muda?”
“Nama saya Si Kong, Loya.”
Hartawan itu lalu berkata kepada empat orang pembantunya yang tadi dirobohkan si baju hitam, “Mulai sekarang Si Kong ini menjadi pengawas dan pengatur pekerjaan kalian.”
Empat orang petugas itu menyambut dengan gembira karena mereka merasa ada yang melindungi kalau-kalau si perusuh tadi kembali membawa kawan-kawannya. Hartawan The lalu masuk ke dalam rumah kembali dan Si Kong segera mengatur antrian itu supaya jangan menjadi kacau. Empat orang petugas itu senang sekali karena meski pun diangkat menjadi pengawas dan pengatur, ternyata Si Kong juga ikut membantu mereka membagi beras, bahkan mengangkat beras dalam karung yang belum dibuka.
Sementara itu Hartawan The memasuki rumahnya dan bersyukur sekali bahwa peristiwa kerusuhan itu telah berlalu, akan tetapi dia pun merasa khawatir kalau-kalau para perusuh datang lagi. Dia kembali ke ruangan tamu di mana tadi dia bersama isterinya bercakap-cakap dengan seorang gadis cantik berusia delapan belas tahun. Ia tadi tengah bercakap-cakap di situ ketika dilapori oleh pembantunya mengenai keributan yang terjadi diluar.
Gadis itu bernama Tan Kiok Nio, datang dari kota Sia-lin. Ibunya adalah adik Hartawan The Kun. Begitu datang dan disambut Hartawan The beserta isterinya, Kiok Nio menangis sedih di dalam rangkulan isteri The-wan-gwe. Dengan heran dan khawatir Hartawan The Kun dan isterinya bertanya mengapa gadis itu menangis. Setelah tangisnya reda, Kiok Nio lalu menceritakan malapetaka yang menimpa keluarganya.
Ayah Kiok Nio bernama Tan Tiong Bu, seorang pendekar besar yang namanya terkenal di dunia kang-ouw. Keluarga Tan tinggal di kota Sia-lin, sebelah selatan kota raja. Tan Tiong Bu yang biasa disebut Tan-taihiap mempunyai sebuah rumah besar dan dia pun memiliki sawah ladang yang luas sehingga kehidupan keluarganya cukup mampu meski pun tidak dapat dibilang kaya raya.
Ketika muda Tan Tiong Bu pernah menjadi murid di biara Siauw-lim-pai, kemudian pernah pula menjadi murid Bu-tong-pai. Dia terus memperdalam ilmu-ilmunya sehingga akhirnya dia berhasil menggabungkan semua ilmu itu dan merangkai ilmu pedang yang hebat. Ilmu pedang ini hanya dinamakan ilmu pedang keluarga Tan.
Di waktu mudanya dia malang melintang di dunia kang-ouw, mengalahkan banyak tokoh sesat dan sebagai pendekar dia selalu menegakkan kebenaran dan keadilan. Sesudah dia menikah dengan seorang gadis yang menjadi adik Hartawan The dan mempunyai seorang anak perempuan, Tiong Bu mulai mengurangi petualangannya. Akan tetapi namanya telah tersohor dan dia disegani orang-orang kang-ouw.
Kemudian muncul berita angin bahwa pedang Pek-lui-kiam berada di tangan Tan-taihiap ini. Sejak lama pedang itu sudah menjadi perebutan di antara orang-orang kang-ouw dan sudah terjadi banyak perkelahian dan pembunuhan untuk memperebutkannya.
Akhir-akhir ini juga tersiar berita yang amat mengagetkan, yaitu kematian beberapa tokoh kang-ouw yang diketahui mencoba untuk mendapatkan Pek-lui-kiam. Mereka mati dalam keadaan mengerikan, dengan kepala putus terlepas dari lehernya. Padahal yang tewas itu adalah orang-orang yang terkenal di dunia persilatan, baik dari golongan bersih mau pun dari golongan sesat.
Maka peristiwa itu amat menggemparkan dunia persilatan. Banyak orang menduga bahwa Tan Tiong Bu yang menjadi pelaku pembunuhan itu karena ada pula berita bahwa pedang Pek-lui-kiam berada di tangannya. Tan Tiong Bu sendiri tidak mengacuhkan berita itu. Dia tak merasa membunuh. Ada pun tentang pedang Pek-lui-kiam memang berada padanya, sebagai pemilik yang sah.
Siang itu hawa udara amat panasnya. Musim kering yang berkepanjangan mendatangkan hawa yang panas. Terlalu lama bumi dipanggang sinar matahari, tanpa pernah mendapat siraman hujan. Karena merasa panas Tan Tiong Bu dan isterinya duduk di beranda depan yang terbuka agar mendapatkan angin. Puteri mereka sedang tidak berada di rumah.
Memang gadis itu sudah biasa pergi keluar rumah tapi orang tuanya tak merasa khawatir. Sebagai anak tunggal, meski pun dia seorang wanita, akan tetapi dia telah mewarisi ilmu-ilmu silat dari ayahnya, bahkan telah mahir memainkan ilmu pedang keluarga Tan. Karena itu kepergian Kiok Nio dari rumah tidak pernah dikhawatirkan oleh orang tuanya.
Tiba-tiba dari pintu pagar luar masuklah seorang kakek berusia sekitar enam puluh tahun. Tan Tiong Bu mengerutkan alisnya dan memandang penuh perhatian kepada orang yang kini melangkah tenang memasuki halaman depan itu.
Dia seorang kakek yang menggelung rambutnya ke atas dan mengikat rambut itu dengan pita merah! Dan pakaiannya seperti pakaian pertapa atau pendeta, dengan jubah longgar berlengan lebar. Akan tetapi yang terasa aneh, jubah itu berwarna merah! Di punggungnya tergantung sebatang pedang, sedangkan tangan kirinya memegang sebuah kipas yang gagangnya terbuat dari pada baja.
Melihat pakaian serba merah itu Tan Tiong Bu terkejut. Biar pun belum pernah bertemu, akan tetapi dia sudah mendengar akan adanya seorang datuk di barat yang berjuluk Ang I Sianjin (Manusia Dewa Berbaju Merah). Menurut keterangan yang pernah diperolehnya, Ang I Sianjin adalah seorang datuk yang berilmu tinggi, akan tetapi menggunakan ilmunya di jalan yang sesat dan suka memaksakan kehendaknya terhadap orang lain.
Mengingat keadaan kakek itu, tentu saja Tan Tiong Bu merasa tidak senang kedatangan datuk sesat itu. Akan tetapi sebagai tuan rumah mau tak mau dia tetap harus menyambut kedatangan tamu. Maka Tan Tiong Bu bangkit berdiri lantas menyambut ke depan sambil mengangkat kedua tangan di depan dada dan berkata,
“Selamat datang, sobat. Engkau siapakah dan ada keperluan apa datang berkunjung?’
Kakek tinggi kurus itu tersenyum, senyumnya mengandung ejekan. Dia tertawa terkekeh sebelum menjawab, “Heh-heh-heh! Apakah aku berhadapan dengan pendekar besar Tan Tiong Bu?”
“Benar sekali. Kalau tidak salah, yang sedang datang berkunjung ini adalah Ang I Sianjin, benarkah?”
“Heh-heh-heh-heh! Ternyata matamu tajam sekali. Sudah lama aku mendengar mengenai kehebatan ilmu silat keluarga Tan.”
“Lalu apa maksud kunjungan ini, Sianjin?”
“Aku ingin bertanding denganmu!”
“Aihh, Sianjin. Mengapa kita harus bertanding kalau di antara kita tidak ada urusan apa pun?”
“Hemm, jadi engkau tidak berani menerima tantanganku?”
“Tak ada alasan bagiku untuk bertanding denganmu, Sianjin. Mari silakan duduk dan kita membicarakan hal lain saja sebagai sahabat. Aku tidak ingin bermusuhan dengan siapa pun juga.”
“Heh-heh-heh-heh! Bagus sekali kalau begitu. Engkau mau menerimaku sebagai sahabat, tentu tidak keberatan kalau memberi pinjam Pek-lui-kiam kepadaku!”
Tan Tiong Bu terkejut sekali. Memang ada berita angin bahwa para tokoh dunia persilatan menginginkan pedang pusakanya, yaitu Pek-lui-kiam. Karena ada berita itu, sekarang dia menyembunyikan pedang pusaka itu di dalam kamarnya dan tidak pernah membawanya keluar rumah. Kini hal yang dikhawatirkan mulai terjadi, yaitu para tokoh kang-ouw tentu akan mendatanginya dan berusaha merebut Pek-lui-kiam.
“Pedang Pek-lui-kiam tidak ada padaku,” kata Tan Tiong Bu tegas.
“Hemm, kalau begitu engkau tidak ingin menjadi sahabatku! Cabutlah pedangmu, hari ini aku ingin sekali mencoba kepandaian keluarga Tan. Pilihlah salah satu. Serahkan Pek-lui-kiam kepadaku dan aku segera pergi, atau engkau harus melawan pedangku!”
Tan Tiong Bu adalah seorang pendekar besar. Ketika ditantang dan didesak seperti itu, tentu saja dia menjadi marah. Kalau dia berbohong mengatakan bahwa Pek-lui-kiam tidak ada padanya, hal itu dilakukan untuk menghindarkan perkelahian dan permusuhan, bukan karena takut. Dia menoleh kepada isterinya,
“Ambilkan pedangku yang tergantung di dinding kamar itu.”
Isterinya masuk ke dalam tanpa mengucapkan sesuatu. Wanita ini sudah maklum bahwa suaminya adalah seorang pendekar besar, karena itu sewaktu-waktu tentu akan ditantang orang untuk bertanding. Akan tetapi wanita itu merasa jantungnya berdebar akibat tegang dan gelisah.
Setelah isterinya kembali sambil membawa pedangnya, Tan Tiong Bu lantas menghadapi Ang I Sianjin dan berkata dengan lantang, “Ang I Sianjin, di antara kita tiada permusuhan. Karena engkau memaksa dan menantang maka terpaksa aku melayanimu!” Dia pun lalu mencabut pedangnya yang berkilauan saking tajamnya, dan menyerahkan sarung pedang itu kepada isterinya.
Tadinya Ang I Sianjin sudah memandang dengan wajah berseri-seri pada waktu isteri Tan Tiong Bu menyerahkan pedang kepada suaminya. Dia mengira bahwa pendekar itu akan menggunakan Pek-lui-kiam. Akan tetapi dia merasa kecewa setelah pedang itu dicabut. Pedang di tangan lawannya itu memang pedang baik, akan tetapi sama sekali bukan Pek-lui-kiam.
“Engkau tidak mau menyerahkan Pek-lui-kiam, maka jangan mengatakan aku kejam kalau aku akan membunuhmu dan merampas Pek-lui-kiam!” kata Ang I Sianjin sambil mencabut pula pedangnya dengan tangan kanan. Sesudah berteriak lantang dia pun mulai dengan serangannya yang dahsyat.
“Tranggg...!”
Tan Tiong Bu menangkis dan dia merasakan getaran hebat dan hawa panas menyerang seluruh lengannya, maka tahulah dia bahwa lawannya itu lihai bukan main. Karena itu dia segera mainkan ilmu pedang keluarga Tan yang telah terkenal di dunia persilatan itu.
Ang I Sianjin terkejut dan kagum ketika hampir saja perutnya terkena tusukan lawan. Dia melompat ke belakang dan karena dia pun tahu bahwa lawannya merupakan lawan yang amat lihai, dia lalu memutar pedangnya dan juga memainkan kipasnya dengan tangan kiri. Ternyata permainan pedang dan kipas itu serasi sekali, dapat saling membantu dan saling menutupi lowongan kalau sedang menyerang.
Kini Tan Tiong Bu yang terkejut. Biasanya, kalau lawan menyerang, maka pertahanannya akan terbuka untuk balas diserang. Tapi setelah lawannya memainkan kipas dan pedang, ketika lawan menyerang sama sekali tidak ada bagian tubuh yang terbuka pertahanannya. Kalau pedang yang menyerang maka kipas yang bertahan, sebaliknya bila kipas baja itu dipakai menyerang maka pedang yang bertahan. Dengan begitu Tan Tiong Bu tidak diberi kesempatan sedikit pun untuk membalas serangan lawan.
Sesudah pertandingan yang seru itu berlangsung lima puluh jurus, pundak kiri Tan Tiong Bu terkena tusukan gagang kipas baja sehingga dia terhuyung dan pundaknya berdarah. Melihat lawannya terhuyung, Ang I Sianjin tertawa dan cepat menubruk ke depan dengan pedangnya.
“Tranggg…!”
Pedangnya tertangkis dari samping dan ternyata yang menangkis pedang itu adalah isteri Tan Tiong Bu. Untuk menyelamatkan suaminya, nyonya itu dengan nekat menggunakan pedang yang tadi dibawanya pula dari dalam untuk menangkis. Padahal dalam ilmu silat pengetahuannya masih rendah.
Ang I Sianjin marah sekali dan kipasnya cepat bergerak ke arah nyonya itu. Dengan tepat ujung kipas itu menusuk leher lalu sambil mengeluh isteri Tan Tiong Bu roboh terpelanting.
Melihat ini Tan Tiong Bu terkejut dan marah sekali. Dia langsung meloncat ke depan dan menyerang lawan sekuat tenaga tanpa mempedulikan pundak kirinya yang terasa nyeri. Akan tetapi permainan pedangnya menjadi kurang tetap karena hatinya gelisah mengingat keadaan isterinya.
Kesempatan ini dipergunakan oleh Ang I Sianjin untuk menghujamkan serangan pedang dan kipasnya. Tan Tiong Bu beruaha membela diri, akan tetapi dia kalah cepat. Pada saat pedangnya terpental karena bertemu dengan kipas, tahu-tahu pedang Ang I Sianjin telah menembus dadanya.
Darah muncrat dan tubuh Tan Tiong Bu terguling. Akan tetapi pendekar ini masih mampu mengarahkan tubuhnya agar jatuh dekat isterinya. Dia masih dapat memeriksa keadaan isterinya dan ketika melihat bahwa isterinya sudah tewas, dia menudingkan telunjuknya yang berlepotan darah isterinya kepada Ang I Sianjin dan berkata,
“Kau… kau iblis... terkutuk...!” Tubuh Tan Tiong Bu terkulai dan dia pun menghembuskan napas terakhir.
Ang I Sianjin tidak mempedulikan pasangan suami isteri yang telah mati itu. Dia meloncat ke dalam rumah dan mulai melakukan penggeledahan untuk mencari Pek-lui-kiam. Ketika bertemu dua orang pembantu rumah tangga itu, seorang pria dan seorang wanita, tanpa berkata apa pun tangannya bergerak dan kedua orang pembantu itu tewas dengan kepala retak!
Ang I Sianjin menggeledah kamar Tan Tiong Bu hingga akhirnya dia berhasil menemukan pedang pusaka itu yang tersimpan di dalam almari pakaian pendekar itu. Dia mencabut pedang itu dan sinar berkilat menyilaukan mata ketika pedang dicabut. Kakek itu tertawa-tawa gembira.
“Heh-heh-heh-heh! Inilah Pek-lui-kiam! Kini terjatuh ke tanganku! Dengan pedang ini aku akan menjadi jagoan tanpa tanding, heh-heh-heh!” Dia menyarungkan kembali pedang itu, menyelipkannya pada ikat pinggangnya kemudian dia berlari keluar dengan cepat sekali.
Ketika ada seorang tetangga datang ke rumah keluarga Tan untuk suatu keperluan, dia terkejut sekali melihat Tan Tiong Bu dan isterinya menggeletak di halaman dekat beranda dalam keadaan tidak bernyawa lagi dan tubuhnya mandi darah. Tetangga ini keluar sambil berteriak-teriak minta tolong.
Para tetangga lain datang berlarian dan mereka semua merasa terkejut juga ngeri. Apa lagi ketika mereka menemukan mayat dua orang pembantu rumah tangga keluarga Tan. Para tetangga lalu merawat empat jenazah itu.
Menjelang sore Tan Kiok Nio pulang ke rumahnya. Gadis itu merasa terkejut dan heran melihat banyaknya orang di rumahnya. Ia cepat berlari memasuki halaman rumahnya dan tertegun melihat empat buah peti mati berjajar di beranda. Mukanya menjadi pucat sekali, jantungnya berdebar-debar dan dia pun meloncat menghampiri peti mati. Ketika melihat peti mati yang masih belum ditutup itu dan menjenguk ke dalamnya, gadis itu langsung menjerit-jerit. Dia berlarian dari satu peti ke peti yang lain.
“Ayah...! Ibu...! Kalian kenapa...? Kenapa...?” Gadis itu lunglai dan roboh pingsan.
Para wanita tetangga yang berada di situ ikut menangis kemudian beramai-ramai mereka mengangkat gadis yang pingsan itu ke kamarnya.
Setelah sadar dari pingsannya, Kiok Nio segera bangkit dan berlari keluar. Bukan, bukan mimpi! Di beranda itu terdapat empat buah peti mati berisi mayat-mayat ayahnya, ibunya, dan dua orang pembantunya. Dia pun menubruk peti ibunya dan menangis tersedu-sedu sambil memanggil ibunya, kemudian menubruk peti ayahnya sambil memanggil ayahnya. Para tetangga membiarkan gadis itu melampiaskan dukanya melalui air mata. Sesudah tangisnya mereda, barulah para wanita tetangga menghiburnya.
“Mereka sudah meninggal dunia, walau ditangisi juga tidak ada gunanya, Nona. Sekarang sebaiknya kita mengurus jenazah-jenazah itu.”
Kiok Nio dapat menekan perasaan dukanya, kemudian bertanya, “Apa yang telah terjadi? Mengapa ayah ibu mati? Siapakah yang telah membunuh mereka?”
“Tidak ada yang tahu, Nona. Hanya kebetulan saja seorang tetangga ketika lewat melihat seorang kakek berjubah merah yang tubuhnya tinggi kurus dan mukanya pucat keluar dari halaman rumah ini. Tetangga itu mempunyai urusan dengan ayahmu maka dia masuk ke halaman, lantas melihat ayah ibumu sudah menggeletak di halaman dalam keadaan tidak bernyawa. Kami semua lalu masuk ke rumahmu dan melihat dua orang pembantumu juga sudah tewas pula.”
“Kakek tinggi kurus berjubah merah? Siapa dia?” Kiok Nio bangkit berdiri dan mengepal kedua tinjunya. “Siapa dia?”
“Nona, sayalah yang melihat kakek itu, akan tetapi saya tidak mengenalnya. Akan tetapi dia mudah sekali dikenal. Jubahnya itu yang aneh, mirip jubah pendeta namun berwarna merah dan rambutnya yang digelung ke atas juga diikat pita merah,” kata tetangga yang melihat kakek itu dan yang pertama kali menemukan mayat TanTiong Bu dan isterinya.
“Siapa pun adanya orang itu, pasti akan kucari dan kubalaskan dendam ini!”
Kiok Nio lalu berlari keluar dengan gerakan cepat dan dia mencari-cari kakek itu di seluruh pelosok kota. Para tetangga tidak berani melarangnya dan hanya menunggu peti-peti mati itu. Akhirnya Kiok Nio pulang kembali dengan wajah lesu. Dia tidak berhasil menemukan musuh besarnya.
Sesudah jenazah ayah ibunya dimakamkan, Kiok Nio merasa tidak betah tinggal seorang diri di dalam rumah itu. Sebulan kemudian dia pergi meninggalkan rumahnya dan pergi ke kota Ci-bun untuk mengunjungi pamannya, yaitu Hartawan The Kun. Di depan paman dan bibinya dia menangis menceritakan mengenai kematian ayah ibunya. Tentu saja The Kun menjadi terkejut bukan main.
“Kau tinggallah bersama kami di sini, Kiok Nio. Engkau telah yatim-piatu, anggaplah kami sebagai orang tua sendiri. Kebetulan kami juga tidak mempunyai anak.”
Karena paman serta bibinya sangat ramah dan Kiok Nio tahu bahwa pamannya itu adalah seorang hartawan yang berwatak budiman dan dermawan, maka dia suka tinggal di sana. Demikianlah riwayat gadis cantik manis yang tinggal di rumah Hartawan The Kun.
Kini mari kita kembali keluar gedung untuk melihat apa yang terjadi di tempat pembagian beras itu. Si Kong bekerja dengan rajin sehingga menyenangkan keempat orang lainnya. Akan tetapi, seperti yang dikhawatirkan semua orang, mendadak datang lima orang yang semuanya berpakaian hitam. Sikap mereka kasar dan tubuh mereka nampak kokoh kuat. Di antara lima orang itu terdapat si baju hitam yang tadi hendak merampas satu karung beras namun berhasil diusir oleh Si Kong.
“Di mana pemuda jahanam yang tadi berani memukul aku?” teriak si baju hitam itu.
Sebelum Si Kong melangkah maju, terdengar bentakan halus. “Bangsat pengacau, kalian datang untuk mencari penyakit!”
Semua orang terkejut dan menengok. Ternyata Kiok Nio sudah berdiri di situ. Tadi gadis ini mendengar cerita pamannya tentang si baju hitam yang memaksa hendak mengambil sekarung beras namun pengacau itu berhasil diusir oleh seorang pemuda yang kini sudah diterimanya sebagai pembantu bekerja membagi-bagi beras.
Gadis itu merasa menyesal mengapa dia tadi tidak turut keluar sehingga dapat menghajar sendiri pengacau itu. Kini begitu mendengar ribut-ribut di luar dia segera meloncat keluar dan melihat lima orang itu, dia lalu membentak mereka.
Si baju hitam dan empat orang kawannya mendengar bentakan itu lalu menoleh. Kiranya yang membentak mereka adalah seorang gadis cantik. Melihat Kiok Nio si baju hitam lalu maju menghampiri, diikuti oleh keempat orang temannya.
“Nona manis,” si baju hitam berkata sambil menudingkan jari telunjuknya. “Jangan engkau mencampuri urusan kami, atau aku akan menangkapmu untuk kujadikan isteriku!” Empat orang kawannya juga menyeringai menjemukan.
“Jahanam busuk, kalau engkau dan kawan-kawanmu ini datang untuk mengacau, maka aku sendiri yang akan memberi hajaran kepada kalian!”
Pada saat itu dari dalam rumah muncul Hartawan The Kun. Melihat keponakannya sudah berhadapan dengan lima orang laki-laki yang menyeramkan, dia pun cepat berkata, “Kiok Nio, jangan berkelahi!” lalu kepada si baju hitam dia berkata, “Kalau kalian menginginkan beras ambillah, akan tetapi harap jangan bikin kacau di sini.”
Sejak tadi Si Kong terheran-heran ketika melihat seorang gadis cantik berani menantang lima orang berandal itu. Melihat pedang di punggung gadis itu, dia pun tahu bahwa gadis itu tentu seorang yang pandai ilmu silat. Ketika Hartawan The Kun muncul dan menegur gadis yang dipanggil Kiok Nio itu, Si Kong mengira bahwa gadis itu puteri Hartawan The. Dia lalu menghampiri dan berkata kepada si baju hitam.
“Sobat, engkau berani datang lagi dengan membawa teman-temanmu. Majulah, aku tidak takut kepada kalian.”
“Tidak!” Gadis itu berkata cepat. “Akulah yang akan menghajar lima orang ini jika mereka tidak cepat pergi dari sini. Paman The, jangan khawatir, aku sanggup menandingi mereka. Hayo, anjing baju hitam, aku tantang kalian. Kalau kalian tidak berani, cepat kalian pergi dari sini dan jangan menganggu ketenteraman di sini.”
Tentu saja si baju hitam menjadi sangat marah mendengar dirinya disebut anjing hitam oleh seorang gadis. Itu adalah penghinaan besar, apa lagi diucapkan di hadapan banyak orang yang sedang antri beras.
“Gadis kurang ajar, berani engkau menghina kami!” Dan setelah bekata demikian, dia lalu menerjang maju dengan gerakan cepat sambil mengembangkan kedua lengannya seolah hendak menerkam Kiok Nio.
Akan tetapi dengan gesitnya Kiok Nio mengelak ke samping sehingga terkaman itu luput. Melihat kawannya telah mulai bergerak, empat orang kawan si baju hitam tak mau tinggal diam. Mereka semua ingin sekali dapat membekuk dan memeluk gadis cantik itu, karena itu tanpa diperintah lagi mereka langsung mengepung Kiok Nio dengan sikap yang kasar menakutkan.
Melihat dia dikepung lima orang laki-laki tinggi besar itu, Kiok Nio sama sekali tak merasa gentar. Akan tetapi dia tidak mau beradu tangan dan lengan dengan mereka, maka sekali tangan kanannya bergerak ke punggung, dia telah mencabut sebatang pedang kemudian melintangkan pedang itu di depan dada!
Melihat ini si baju hitam dan kawan-kawannya segera mencabut senjata mereka berupa golok yang besar dan tajam. “Kawan-kawan, hati-hati jangan lukai nona manis ini. Sayang kalau kulitnya yang halus itu sampai ada yang lecet, ha-ha-ha-ha!” Kawan-kawannya juga tertawa mendengar ucapan ini.
Ucapan si baju hitam itu membuat Kiok Nio menjadi marah bukan main. “Lihat serangan!” bentaknya dan pedangnya sudah berkelebat ke depan menyerang si baju hitam.
Orang ini terkejut bukan main. Serangan itu demikian cepatnya sehingga hampir saja dia terkena tusukan pada dadanya. Dia menggerakkan goloknya menangkis sambil melompat mundur dan kini empat orang kawannya juga maju dengan golok mereka, menyerang Kiok Nio dari empat jurusan.
Akan tetapi Kiok Nio memutar pedangnya dan terdengar suara nyaring berdenting empat kali. Selanjutnya gadis itu memainkan ilmu pedang keluarga Tan sehingga lima lawannya menjadi kaget sekali dan mata mereka silau. Pedang di tangan Kiok Nio berubah menjadi segulungan sinar yang terang dan menyambar-nyambar ke arah tubuh mereka! Sekarang lima orang itu hanya mampu membela diri dengan tangkisan-tangkisan dan berlompatan ke sana sini untuk menghindarkan sinar pedang yang makin lama semakin cepat itu.
Si Kong yang tadinya merasa khawatir dan telah bersiap membantu atau menolong kalau gadis itu terancam bahaya, kini sebaliknya menjadi kagum bukan main. Dara itu memiliki ilmu pedang yang dahsyat dan tahulah dia bahwa gadis itu tak akan kalah dikeroyok lima orang itu.
Dugaan Si Kong memang tepat. Sesudah lewat belasan jurus, pedang di tangan Kiok Nio telah mengurung lima orang itu dan orang yang pertama roboh terpelanting adalah si baju hitam. Pedang Kiok Nio melukai pangkal lengan kanannya sehingga dia terpaksa harus melepaskan goloknya kemudian roboh, memegangi lengan kanan yang terluka itu sambil mengaduh-aduh.
Pedang itu berkelebatan terus dan berturut-turut empat orang pengeroyok yang lain juga roboh. Ada yang terluka pundaknya, ada yang robek pahanya dan orang ke lima roboh oleh tendangan kaki Kiok Nio yang tepat mengenai perut sehingga membuat perut orang itu terasa mulas!
Tepuk sorak terdengar ketika orang-orang yang antri beras melihat kelima orang itu dapat dirobohkan oleh gadis itu. Si Kong juga ikut bertepuk tangan dan memuji dengan hati lega karena selain gadis itu dapat menang, namun terutama sekali gadis itu tidak membunuh orang.
Dengan ilmu pedang seperti itu, kalau gadis itu hendak membunuh para pengeroyoknya, hal itu dapat dilakukan dengan mudah. Akan tetapi gadis itu hanya membuat mereka luka ringan saja. Hal inilah yang mengagumkan hati Si Kong.
Sambil mundur Gu Kauwsu tidak mengkhawatirkan diri sendiri, melainkan dia memikirkan keselamatan puterinya. Mau tak mau perhatiannya menjadi terpecah, sebagian digunakan untuk memperhatikan keadaan puterinya. Dia menjadi gelisah sekali melihat puteri dan muridnya juga terdesak hebat oleh Ouwyang Kwi.
“Mei Cin, Bun Can, lekas lari...!” Dia berteriak.
Akan tetapi perhatiannya yang terpecah itu mendatangkan bencana. Tangan kiri Tung-hai Ling-ong menyambar dan tangan itu dengan jari-jari tangan terbuka tepat menghantam dadanya.
“Dukkk...!”
Tubuh Gu Kauwsu terjengkang dan robohlah dia untuk tidak bangkit kembali. Dia sudah terkena pukulan Tok-ciang datuk itu, pukulan yang tidak kalah ampuhnya dengan pukulan tongkatnya. Gu Kauwsu roboh dengan tanda telapak jari tangan hitam di dadanya.
Tok-ciang (Tangan Beracun) adalah ilmu pukulan yang mengandung hawa beracun yang berbahaya sekali. Gu Kauwsu tepat terpukul dadanya hingga jantungnya terguncang oleh hawa beracun dan dia pun tewas seketika.
Dalam perlawanannya terhadap Ouwyang Kwi, Mei Cin yang dibantu suheng-nya sempat pula memperhatikan ayahnya. Agaknya Ouwyang Kwi tidak terlampau mendesaknya, tapi lebih mendesak Thio Bun Can. Maka ketika ayahnya roboh Mei Cin dapat melihatnya dan dia pun menjerit.
“Ayah...!” Tanpa mempedulikan suheng-nya lagi Mei Cin melompat ke dekat ayahnya dan berlutut. Ketika melihat ayahnya sudah tewas, dia pun amat berduka dan marah. Dengan mengangkat pedangnya dia menyerang Tung-hai Ling-ong.
“Kau... kau... membunuh ayahku...!” bentaknya sambil menangis dan menyerang.
“Suhu, jangan bunuh gadis itu. Aku sayang kepadanya!” Ouwyang Kwi berseru kepada gurunya dan dia pun memperhebat serangannya kepada Thio Bun Can.
Kasihan pemuda ini. Tadi mengeroyok bersama sumoi-nya saja dia tidak mampu menang, apa lagi sekarang harus menghadapi lawan seorang diri. Pedangnya berkali-kali terpental dan pada suatu kesempatan selagi pemuda itu terhuyung karena pertemuan senjata itu, dengan sebuah gerakan cepat Ouwyang Kwi mengelebatkan goloknya dan robohlah Thio Bun Can bermandikan darahnya sendiri. Lehernya nyaris putus oleh babatan golok.
Ouwyang Kwi tidak peduli lagi dengan korbannya dan dia segera meloncat untuk melihat keadaan Mei Cin. Alangkah girangnya melihat Mei Cin sudah menggeletak roboh akibat totokan jari tangan gurunya.
“Mari kita pergi, Suhu!” kata Ouwyang Kwi sambil memondong tubuh Mei Cin yang sudah tidak dapat bergerak itu. Mereka lari ke kiri memasuki hutan.
Tak lama kemudian nampak sesosok bayangan orang mendaki bukit itu. Orang ini bukan lain adalah Si Kong. Kebetulan saja dia lewat di lereng bukit itu dan melihat keadaan bukit itu, hatinya tertarik untuk mendaki puncaknya.
Sesudah tiba di lereng paling atas, dia mendengar gerakan orang berkelahi di puncak. Si Kong mempercepat larinya dan tibalah dia di puncak. Akan tetapi di puncak itu telah sepi tidak terdengar apa-apa lagi. Hatinya terkejut bukan main melihat dua tubuh menggeletak di tempat itu dan dia pun cepat-cepat menghampiri.
Pertama dia menghampiri tubuh Gu Kauwsu dan setelah menyentuh nadi serta dadanya, dia pun menghela napas. Orang itu tidak dapat ditolong lagi, pikirnya. Sudah tewas! Dia lalu menghampiri tubuh Thio Bun Can dan melihat pemuda ini masih dapat menggerakkan tangannya. Dan ketika memeriksa, Si Kong terkejut sekali sesudah mengenalnya sebagai pemuda yang bermalam di rumah penginapan pada beberapa malam yang lalu. Pemuda ini bermalam bersama sumoi-nya! Dan di mana sumoi-nya sekarang?
Dia cepat menotok jalan darah untuk menghentikan darah yang mengalir keluar dari luka di leher. Dia pun melihat adanya sebatang pedang lain di situ dan dia mengkhawatirkan kalau-kalau sumoi pemuda itu juga telah menjadi korban pembunuhan. Dia mengguncang pundak pemuda itu dan mengurut tengah keningnya. Pemuda itu kini dapat membuka dan mengedip-ngedipkan matanya yang sudah layu.
“Di mana sumoi-mu? Di mana? Tunjukkan!” kata Si Kong.
Dalam keadaan sekarat Bun Can masih dapat mengerti dan dia mengangkat tangannya, menuding ke arah kiri lalu terkulai dan mati.
Isyarat itu sudah cukup bagi Si Kong. Dia cepat melompat ke arah kiri dan lari memasuki hutan di lereng itu. Dia harus bergerak cepat selagi hutan itu masih belum gelap. Dengan penuh kewaspadaan dia menyusup-nyusup di hutan itu, dan akhirnya usahanya berhasil ketika mendengar isak tangis seorang wanita!
Dia bergerak cepat sekali ke arah suara itu dan melihat gadis yang dicarinya itu rebah di atas rumput, tidak mampu bergerak dan hanya dapat menangis! Dan didekatnya berlutut seorang laki-laki tinggi besar bermuka hitam.
Melihat laki-laki bermuka hitam itu, teringatlah Si Kong akan peristiwa empat tahun yang lalu. Dia segera mengenal Ouwyang Kwi sebagai orang yang telah merampas kedudukan ketua Hwa I Kaipang! Bahkan di waktu itu, dalam usia sekitar lima belas atau enam belas tahun, dia pernah bertanding melawan Ouwyang Kwi ini.
Dia tahu betapa jahatnya Ouwyang Kwi dan gurunya yang merupakan datuk timur berjuluk Tung-hai Liong-ong itu, maka dia pun tahu bahwa gadis itu tentu terancam bahaya besar. Dia pun mengenal gadis yang rebah telentang sambil menangis itu sebagai gadis yang pernah bermalam di rumah penginapan Hok-lai.
“Nona manis, jangan menangis. Percuma saja engkau menangis dan tidak ada gunanya engkau menolak kehendakku. Ditolak atau pun tidak engkau tetap akan menjadi milikku! Maka lebih baik engkau menyerah dengan suka rela dari pada aku harus memaksamu.” Setelah berkata demikian, sambil menyeringai seperti seekor serigala yang menghampiri korbannya dia mendekatkan dirinya kepada gadis itu, kemudian perlahan-lahan tangan kanannya meraih ke arah dada.
“Wuuuutt...! Plakk!”
Ouwyang Kwi terkejut dan dia mengaduh. Tangannya terasa nyeri dan ketika dilihatnya, ternyata tangannya telah lecet berdarah akibat disambar sepotong batu yang runcing. Dia meloncat bangkit berdiri sambil memutar tubuh dan melihat seorang pemuda telah berdiri di depannya dengan mata yang mencorong seperti mata seekor naga. Tahulah Ouwyang Kwi bahwa tentu pemuda itu yang tadi menyambitnya dengan batu ke tangannya, maka tentu saja dia menjadi marah bukan main.
“Keparat, engkaukah yang menyerangku dengan batu tadi?!” bentaknya.
Si Kong mengerutkan alis, diam-diam dia pun marah sekali melihat perbuatan Ouwyang Kwi tadi. “Ouwyang Kwi, ternyata engkau masih juga belum jera dan kembali melakukan perbuatan jahat dan terkutuk!”
Ouwyang Kwi terkejut sekali. Pemuda itu sudah mengenal namanya!
“Siapakah engkau yang begitu lancang berani mencampuri urusanku?”
“Ouwyang Kwi, lupakah engkau padaku? Empat lima tahun yang lalu, engkau dan gurumu Tung-hai Liong-ong pernah bertemu dengan aku dan guruku Yok-sian Lo-kai di Souw-ciu.”
Ouwyang Kwi terkejut dan sekarang dia pun teringat kepada pemuda itu. Lima tahun yang lalu pemuda itu masih merupakan seorang pemuda remaja akan tetapi sudah sedemikian lihainya hingga dapat menandinginya. Bahkan gurunya, Tung-hai Liong-ong terluka dalam parah sekali oleh Yok-sian Lo-kai dan gurunya harus mengobati dirinya selama tiga tahun untuk menyembuhkan luka itu!
Akan tetapi dia tidak takut. Selama lima tahun ini dia sudah memperdalam ilmu silatnya dan juga suhu-nya berada tidak jauh dari tempat itu. Pemuda ini hanya datang seorang diri dan dia dapat mengandalkan gurunya kalau sampai dia kalah dari pemuda itu.
Cepat dia mencabut goloknya lantas menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka Si Kong. “Ternyata engkau bocah setan itu dan lagi-lagi engkau sudah berani mencampuri urusan pribadiku. Akan tetapi sekali ini jangan harap engkau mampu meloloskan diri dari golokku ini!” Setelah berkata demikian, tanpa banyak cakap lagi Ouwyang Kwi langsung meloncat dan menerjang dengan golok besarnya.
Si Kong sudah siap siaga. Dia cepat menjatuhkan buntalan pakaiannya ke atas tanah dan menggunakan pikulan bambunya untuk senjata tongkat.
“Trangg…! Tranggg...!”
Dua tangkisan itu membuat golok terpental dan hampir terlepas dari tangan Ouwyang Kwi. Hal ini membuat si muka hitam terkejut bukan kepalang, maka tahulah dia bahwa pemuda itu juga sudah memperoleh kemajuan pesat sehingga dalam hal tenaga sinkang dia kalah jauh!
“Suhu...! Tolonggg...!” Ouwyang Kwi berteriak tanpa malu lagi ketika dia menerjang maju kembali dengan serangan yang lebih dahsyat.
Si Kong teringat betapa Ouwyang Kwi sudah membunuh dua orang yang mayatnya masih menggeletak di luar hutan di puncak itu, dan juga teringat bahwa setelah lewat empat lima tahun orang itu tidak berubah menjadi baik bahkan menjadi semakin jahat. Maka dia pun mempercepat gerakan tongkatnya.
Gerakan tongkat Si Kong sekarang jauh sekali bedanya kalau dibandingkan gerakannya empat tahun yang lampau. Dia telah digembleng Kwa Siucai, kemudian bahkan mendapat bimbingan dari Pendekar Sadis Ceng Lojin sehingga dibandingkan empat tahun yang lalu, tingkat kepandaiannya sekarang telah maju jauh sekali. Begitu dia mempercepat gerakan tongkatnya, tongkat itu dapat menyusup di antara gulungan sinar golok, bergetar menotok pergelangan tangan lalu meluncur ke arah tenggorokan Ouwyang Kwi.
Ouwyang Kwi berteriak ketika lengannya tiba-tiba menjadi lumpuh dan goloknya terlepas dari pegangan, tapi teriakannya langsung terhenti ketika ujung tongkat bambu itu menotok tenggorokannya. Dia pun roboh dan tidak mampu bergerak kembali karena totokan pada jalan darah dekat tenggorokannya itu telah menewaskannya!
“Wuuuttttt...! Wiiirrrrrr...!”
Si Kong mengelak dengan cepat ketika tongkat kepala naga itu menyambar ke arah kepalanya dengan amat kuat dan dahsyatnya.
“Jahanam, berani engkau membunuh muridku?!” teriak Tung-hai Liong-ong ketika melihat muridnya menggeletak dan tewas. Dia terbelalak memandang kepada gadis yang masih telentang, lalu kepada Si Kong yang masih memegang tongkatnya dengan sikap tenang.
“Siapa engkau?!”
“Tung-hai Liong-ong, engkau bersama muridmu Ouwyang Kwi ternyata masih juga belum menghentikan perbuatan jahat kalian. Agaknya engkau belum jera ketika lima tahun yang lalu guruku Yok-sian Lo-kai memukulmu!”
Tung-hai Liong-ong teringat. “Ah, jadi engkau murid Yok-sian Lo-kai? Bagus, memang aku tengah mencarinya untuk membalas kekalahanku dulu dan sekarang engkau malah berani membunuh muridku? Engkau harus mati di tanganku!” Kembali Tung-hai Liong-ong sudah menyerang dengan tongkatnya yang berkepala naga.
Tongkat itu amat berat dan ketika menyambar ada hawa pukulan dahsyat sekali menerpa muka Si Kong. Akan tetapi pemuda ini sama sekali tidak merasa gentar. Dengan sangat ringan tubuhnya sudah mengelak dari serangan beruntun sambung menyambung sampai lima kali itu.
Tung-hai Liong-ong merasa penasaran bukan kepalang. Lima kali berturut-turut tongkatnya menyambar-nyambar ke arah bagian tubuh yang berbahaya, namun dengan mudahnya pemuda itu mengelak sehingga pukulannya tidak ada yang mengenai sasaran. Sebelum dia melanjutkan serangannya, kini pemuda itu sudah membalas dan ujung tongkat bambu itu bergetar menjadi belasan banyaknya yang menyerang ke arah tiga belas jalan darah terpenting di tubuhnya!
“Haiiiitttttt...!” Tung-hai Liong-ong berseru nyaring sambil memutar tongkatnya, menangkis tongkat bambu yang ujungnya tergetar menjadi banyak itu.
“Tuk-tuk-tunggg...!”
Tiga kali tongkat bambu itu bertemu dengan tongkat kepala naga dan Tung-hai Liong-ong terkejut bukan main karena getaran tongkat bambu itu menjalar melalui tongkatnya hingga menggetarkan tangannya yang memegang tongkat itu. Sebelum hilang kagetnya, tongkat bambu itu sudah menotok ke arah pergelangan tangannya. Totokan ini datangnya cepat bukan main.
Tung-hai Liong-ong cepat menarik tangan kanan yang memegang tongkat dan mengganti dengan tangan kirinya untuk membebaskan tangan kanannya dari totokan. Tetapi betapa kagetnya ketika ujung tongkat itu seperti ular saja sudah merayap naik dan kini menotok pergelangan tangan kirinya! Dan terpaksa datuk itu melepaskan tongkat di tangan kirinya, akan tetapi dia menghujamkan tongkat itu ke arah Si Kong sebelum melepaskannya.
Tongkat itu menyambar dahsyat ke arah Si Kong. Akan tetapi pemuda itu menggunakan tangan kirinya untuk menangkap tongkat itu lalu dia menancapkan tongkat kepala naga itu ke atas tanah. Lawannya sekarang telah kehilangan senjata ampuhnya.
“Keparat, kau kira dapat terlepas dari tanganku?!” bentak Tung-hai Liong-ong dan kini dia menerjang dengan kedua tangan kosong. Akan tetapi tangannya bahkan lebih berbahaya dari tongkatnya karena kedua tangan itu mengandung ilmu Tok-ciang (Tangan Beracun) yang dapat membuat tubuh lawan menjadi hangus kalau terkena pukulannya.
Si Kong melepaskan tongkat bambunya dan menghadapi serangan lawan dengan tangan kosong pula. Lawannya adalah seorang datuk yang ternama, oleh karena itu tidak mudah membunuhnya begitu saja. Melihat tangan yang telah berubah menghitam itu menyambar ke arah kepalanya dengan cengkeraman mengerikan, Si Kong cepat mengelak dan ketika tangan kiri kakek itu menghantam ke arah dada, dia menangkis.
Tangan kiri lawan itu terpental, akan tetapi dengan cepat telah mencengkeram kembali ke arah pundaknya. Si Kong segera mengerahkan Thi-khi-i-beng ketika melihat cengkeraman ke arah pundaknya itu.
Tangan kiri Tung-hai Liong-ong yang penuh hawa beracun bertemu dengan pundak, dan kakek itu berteriak kaget. Tenaganya amblas tersedot oleh pundak itu, akan tetapi hanya sebentar. Karena terkejut dia menjadi lengah dan kesempatan itu digunakan oleh Si Kong untuk melancarkan pukulan Hok-liong Sin-cang. Pukulan tangan kanan Si Kong itu sangat cepat dan mengandung getaran bergelombang, tidak dapat dielakkan lagi oleh kakek itu. Tung-hai Liong-ong coba menangkis dengan tangan kanannya.
“Dessss...!”
Walau pun dia telah berhasil menangkis pukulan itu, akan tetapi pukulan itu mengandung tenaga yang begitu kuat sehingga tubuh kakek itu terpental dan terjengkang ke belakang!
Tung-hai Liong-ong terkejut bukan kepalang. Tak pernah disangkanya bahwa kepandaian pemuda itu sehebat ini. Dia tahu bahwa kini tingkat kepandaian pemuda itu bahkan sudah melewati tinggi kepandaian Yok-sian Lo-kai! Maklum bahwa kalau dilanjutkan dia tak akan menang, dia lalu bangkit berdiri dan berkata,
“Lain kali akan kubalas kekalahan ini!” Sesudah berkata demikian, cepat dia menyambar mayat muridnya, mencabut tongkat naganya, kemudian pergilah dia dengan langkah agak terhuyung. Ternyata kakek itu telah menderita luka dalam.
Si Kong menghela napas panjang dan tidak melakukan pengejaran. Dia hendak memberi kesempatan lagi kepada datuk itu untuk mengubah jalan hidupnya, kembali ke jalan benar dan berjanji kepada diri sendiri bahwa kalau lain kali dia bertemu lagi dengan datuk itu dan melihat bahwa kakek itu masih saja melakukan kejahatan, maka dia akan membasminya.
Kini perhatian Si Kong beralih kepada gadis itu. Cepat dia meloncat mendekati dan sekali tangannya bergerak, gadis itu telah dapat bergerak. Gadis itu bangkit berdiri memandang kepada Si Kong dengan kedua mata masih basah.
“Terima kasih atas pertolongan In-kong (tuan penolong),” katanya dengan perasaan haru, membayangkan bahwa jika tidak ada orang ini, entah bagaimana jadinya dengan dirinya. Akan tetapi ketika memandang wajah Si Kong, Mei Cin teringat dan dia terbelalak.
“Kau... kau... pelayan itu...!”
Si Kong membungkuk dan berkata, “Sekarang Nona telah terlepas dari mara bahaya.”
“Kau... kalau begitu, ... penolong di rumah makan itu, dan di kamar penginapan itu, tentu engkau pula orangnya!”
“Sudahlah, Nona. Hal itu tidak perlu dibicarakan lagi.”
Mei Cin teringat kepada ayahnya serta suheng-nya, maka tiba-tiba dia menangis. “Ayah... suheng... mereka telah terbunuh. In-kong, tolonglah aku, jangan kepalang menolongku... bantulah aku mengurus jenazah ayah dan suheng-ku yang mati di sana.” Dia menunjuk ke depan lalu berlari keluar dari hutan itu, mendaki puncak.
Tadinya Si Kong hendak meninggalkan gadis itu, akan tetapi ketika dia teringat akan dua jenazah itu, dia pun merasa kasihan dan segera mengikuti gadis itu mendaki ke puncak. Begitu di puncak Mei Cin segera menubruk mayat ayahnya dan menangis tersedu-sedu.
Si Kong menghela napas dan duduk di atas batu, membiarkan gadis itu menangis karena dalam kedukaan yang mendalam hanya tangis itu yang akan dapat meringankan himpitan pada hatinya. Dia teringat akan orang tuanya sendiri yang sudah tiada.
Hidup begini banyak penderitaan, pikirnya. Akan tetapi bagaimana pun juga, setiap orang harus sanggup memikul derita hidupnya sendiri, dengan hati yang kuat karena memang sudah ditakdirkan hidup mengalami semua itu. Setelah tangis gadis itu agak mereda, dia pun turun dari atas batu dan menghampiri Mei Cin.
“Nona, sudah cukup, tidak ada gunanya ditangisi lagi. Sekarang yang lebih penting adalah mengurus jenazah ayah dan suheng-mu. Akan dibawa ke mana kedua jenazah ini?’
Gadis itu pun bangkit berdiri. Mukanya basah oleh air mata dan agak pucat. “Saya akan membawa mereka pulang. Kami tinggal di kota Sin-keng di bawah bukit ini.”
Si Kong memandang kepada dua jenazah itu. Bagaimana mengangkut mereka? Dia tentu kuat membawa mereka, memanggul pada kedua pundaknya atau menjinjingnya dengan kedua tangannya, akan tetapi hal itu amat tidak pantas dan kasihan kepada dua jenazah itu kalau hanya dipanggul begitu saja.
“Aku akan mencari bambu dulu, Nona. Kau tunggu sebentar di sini,” katanya dan dia pun berkelebat lenyap dari depan gadis itu, memasuki hutan dan tak lama kemudian dia sudah membawa beberapa batang bambu. Diikatnya bambu-bambu itu menjadi sebuah usungan besar dan dia merebahkan dua jenazah itu berjajar di atas usungan.
“Kita terpaksa mengusung dua jenazah ini dan membawanya pulang, Nona.”
“Terima kasih, in-kong. Tidak tahu harus bagaimana aku membalas budimu.”
“Sudahlah, jangan bicarakan tentang budi. Mari kita gotong bersama usungan ini.”
Mereka berdua lalu menggotong usungan itu. Mei Cin berjalan di depan sebagai penunjuk jalan sambil memegang ujung kedua bambu usungan sedangkan Si Kong mengangkat di bagian belakang. Akan tetapi secara diam-diam pemuda ini mengerahkan tenaganya agar usungan itu tak terasa terlalu berat bagi Mei Cin. Demikianlah, bersama dengan turunnya matahari ke barat, Mei Cin yang berjalan sambil menangis perlahan itu bersama Si Kong mengusung dua jenazah itu ke kota Sin-keng.
Setelah hari menjadi gelap barulah mereka memasuki kota. Banyak orang terkejut melihat pemuda dan gadis itu mengusung mayat Gu Kauwsu dan Thi Bun Can. Para murid Gu Kauwsu segera berdatangan lantas mereka membantu mengusung jenazah itu ke rumah keluarga mereka.
Nyonya Gu menyambut dengan jerit tangis memilukan. Para tetangga segera berdatangan melayat dan sebentar saja sudah tersiar berita di seluruh kota bahwa Gu Kauwsu telah tewas terbunuh oleh penjahat.
Setelah ratap tangis yang memenuhi rumah mendiang Gu Kauwsu itu agak reda, Mei Cin lalu menceritakan kepada ibunya tentang kematian ayah dan suheng-nya.
“Kalau saja di situ tidak muncul dewa penolong... ehh, di mana in-kong?” tanyanya sambil mencari-cari dengan pandangan matanya di antara para tamu yang datang melayat. Akan tetapi dara itu tidak melihat bayangan Si Kong yang diam-diam telah pergi karena merasa bahwa tugasnya menolong gadis itu telah selesai.
“In-kong siapa?” tanya ibunya.
“Pemuda yang tadi bersama aku menggotong jenazah ayah dan suheng. Dia tadi masih berdiri di sini!”
Namun tidak ada seorang pun melihat pemuda itu dan Mei Cin lalu menceritakan semua pengalamannya.
“Sayang dia telah pergi sehingga aku tidak sempat menghaturkan terima kasih,” kata ibu Mei Cin.
Semua orang yang berada di sana juga menyayangkan hal itu karena mendengar cerita Mei Cin, para murid guru silat Gu itu juga menjadi kagum sekali. Sedikit pun mereka tidak pernah mengira bahwa pemuda yang berpakaian sederhana itu ternyata adalah seorang pendekar sakti seperti diceritakan Mei Cin.
Mei Cin sendiri juga merasa kehilangan. Dara ini merasa kagum sekali kepada Si Kong. Ia tertarik bahwa pendekar sakti itu sedemikian rendah hati sehingga mau bekerja sebagai pelayan rumah penginapan dan rumah makan. Ia merasa sayang sekali belum berkenalan dengan pemuda itu, bahkan namanya pun tidak diketahuinya.
********************
Kota Ci-bun merupakan sebuah kota yang ramai. Kota ini tidak begitu jauh dari kota raja, akan tetapi di kota itu terdapat banyak pengemis. Hal ini tidak mengherankan karena pada waktu itu negara sedang dilanda musim kering berkepanjangan sehingga semua barang sukar didapatkan dan mahal harganya, termasuk bahan pangan yang sangat dibutuhkan manusia.
Rakyat kecil menderita kelaparan sehingga banyak di antara mereka yang terpaksa harus menjadi pengemis. Keadaan kekurangan bahan pangan ini juga mendorong banyak orang yang tak kuat batinnya untuk melakukan kejahatan, seperti mencuri, merampok dan lain-lain.
Si Kong melihat benar kesengsaraan rakyat kecil ini, terutama yang hidup dipedusunan karena dia melakukan perantauan melalui dusun-dusun dan kota-kota. Dia melihat betapa kehidupan manusia lebih banyak menderita dari pada bahagia. Dia melihat pula kepalsuan manusia.
Mereka yang berada di atas dan memiliki kedudukan serta wewenang, seolah tidak peduli akan kesengsaraan rakyat itu. Juga para hartawan menutup pintu gapura rumah mereka rapat-rapat, seolah takut kalau-kalau harta benda mereka akan diambil orang, baik secara sembunyi atau terang-terangan. Mereka menggunakan anjing-anjing besar untuk menjaga rumah dan mengumpulkan banyak tukang pukul untuk melindungi harta mereka.
Si Kong melihat semua ini dan batinnya bergolak. Mengapa begitu banyak ketidak-adilan terjadi di dunia ini? Mengapa para pejabat tidak berusaha untuk menolong rakyatnya yang menderita? Mengapa para hartawan segan mengulurkan tangan, mengurangi sedikit harta mereka untuk menolong mereka yang kelaparan?
Dia pun melihat betapa banyaknya jembel-jembel baru berkeliaran di jalan-jalan besar di kota Ci-bun ketika dia memasuki kota itu sambil memanggul buntalan pakaiannya di ujung tongkat bambu. Melihat keadaan mereka, Si Kong merasa terharu, tetapi dia juga merasa bersyukur atas kemurahan Tuhan kepadanya. Nasibnya sendiri masih terhitung baik kalau dibandingkan dengan mereka yang berkeliaran di jalan-jalan itu!
Benarlah kata orang bijaksana jaman dulu bahwa kalau kita sedang ditimpa kesengsaraan dalam kehidupan ini, sebaiknya kita menundukkan kepala dan memandang ke bawah. Di sana masih terdapat banyak sekali orang-orang yang keadaannya lebih payah dari pada keadaan kita!
Si Kong merasa heran ketika melihat orang berbondong-bondong menuju ke satu jurusan. Mereka adalah para pengemis dan orang-orang miskin yang bisa dia ketahui dari pakaian mereka yang lusuh dan muka mereka yang amat kurus. Mereka membawa tempat untuk membawa sesuatu, ada yang membawa kertas, kain-kain yang lusuh, panci dan tempat-tempat lain. Melihat ini Si Kong menjadi tertarik. Tentu di sana ada terjadi sesuatu yang menarik semua orang itu berkunjung ke sana.
Ketika tiba di ujung timur kota itu, tahulah dia apa yang menarik semua orang itu pergi ke situ. Kiranya di depan gedung seorang hartawan terdapat beberapa orang pelayan sedang membagi-bagi beras dari karung. Beberapa karung yang masih penuh sudah ditumpuk di situ dan orang-orang yang ingin mendapatkan pembagian beras itu berdiri antri berderet-deret. Mereka terdiri dari bermacam-macam orang. Ada yang pria atau wanita, kakek dan nenek, juga ada anak-anak kecil ikut antri.
Si Kong berdiri bengong dan kagum. Kenyataan yang sekarang dilihatnya itu membantah bahwa semua hartawan terlampau pelit dan tidak mau menolong mereka yang kelaparan. Buktinya hartawan pemilik gedung itu sedang membagi-bagi beras kepada mereka yang membutuhkannya!
Karena terharu dan tertarik, tanpa disadarinya dia terdesak banyak orang itu sehingga dia melangkah maju dan masuk ke dalam antrian. Dia baru menyadari setelah melihat bahwa di belakangnya ternyata telah banyak orang yang antri. Ia pun berdiri dalam antrian untuk mendapatkan beras!
Biarlah, katanya pada diri sendiri. Dia memang ingin melihat orang yang membagi-bagikan beras itu dan tiba-tiba hatinya menjadi gembira. Ingin dia melihat siapa hartawan itu dan menyampaikan terima kasihnya. Seorang hartawan yang juga dermawan dan budiman!
Mendadak terjadi keributan dan antrian itu menjadi kacau ketika muncul seorang laki-laki tinggi besar berpakaian serba hitam yang melangkah maju ke deretan paling depan. Tentu saja mereka yang berdiri di depan merasa penasaran dan tidak mengijinkan si tinggi besar menyerobot antrian.
“Harus antri di belakang!” kata orang terdepan. “Kami juga antri sejak pagi.”
Akan tetapi orang tinggi besar berpakaian serba hitam itu menjadi marah, lantas dua kali tangannya bergerak memukul. Dua orang terdepan terpelanting roboh akibat pukulan itu. Semua orang menjadi gentar dan si tinggi besar itu tanpa mempedulikan siapa pun sudah berdiri paling depan. Akan tetapi dia tidak membawa tempat untuk menerima pemberian beras.
“Mana tempat untuk menerima beras?” tanya petugas yang membagi-bagi beras, dengan alis berkerut serta pandang mata marah karena dia pun tadi melihat betapa si tinggi besar itu memukul dua orang untuk menyerobot antrian.
“Tempat beras apa? Aku minta sekarung dan akan kupanggul sendiri. Berikan sekarung beras!” kata si tinggi besar dengan suara galak.
Tentu saja para petugas yang terdiri dari empat orang itu tak mau menyetujui permintaan ini. Sekarung beras! Beras sebanyak itu kalau dibagi-bagi cukup untuk dua puluh orang!
“Tak bisa kami memberikan sekarung beras kepada seorang saja. Kami harus membagi-bagi secara rata, lima kati untuk setiap orang, tidak kurang dan tidak lebih!”
“Akan tetapi aku menghendaki sekarung!” kata pula si tinggi besar kukuh. “Majikan kalian The Wan-gwe (Hartawan The) mempunyai beras bergudang-gudang. Apa artinya kalau aku hanya minta sekarung?’ Si tinggi besar itu lalu melangkah maju menghampiri tempat penumpukan beras dalam karung. Dengan tangan kirinya dia mengangkat sekarung beras yang beratnya seratus kati itu!
“Heiiiii...! Kembalikan beras itu!” teriak empat orang petugas itu sambil menghampiri ketika melihat si tinggi besar hendak melangkah pergi. Namun empat kali tangan kanan orang itu menampar dan empat orang petugas itu segera berpelantingan!
Setelah merobohkan empat orang petugas, dengan lagak sombong si baju hitam sengaja memamerkan tenaganya. Ia melemparkan sekarung beras ke atas kemudian memainkan benda yang cukup berat itu seperti sebuah bola saja. Dia pun menyambut kembali karung beras itu dengan tangan kirinya, lalu memandang ke arah semua orang yang sedang antri dan kini menjadi ketakutan itu.
“Hayo, siapa lagi yang hendak melarangku mengambil beras ini? Majulah untuk menerima hajaranku!”
Para pekerja itu sudah melapor ke dalam dan kini mucul Hartawan The dari pintu depan. Dia adalah seorang pria berusia enam puluh tahun dan dari sikapnya yang lemah lembut, wajahnya yang penuh senyum ramah dan pandang matanya yang lembut, dapat diketahui bahwa dia adalah seorang yang baik hati. Melihat lagak si baju hitam itu, dengan lembut dia berkata kepada para pembantunya,
“Biarkan dia pergi membawa sekarung beras itu.”
Si baju hitam mendengar ucapan itu dan dia pun menoleh. “Ha-ha, kalian dengar sendiri itu? Hartawan The tidak keberatan aku membawa sekarung beras ini, bahkan setiap saat kalau aku membutuhkan tentu akan boleh datang untuk mengambil beberapa karung lagi!” Setelah berkata demikian, sambil tertawa-tawa si baju hitam itu melangkah pergi dari situ.
Si Kong tidak dapat menahan kesabarannya lagi. Orang itu sudah bertindak dan bersikap keterlaluan, dan orang yang suka memaksakan kehendak sendiri seperti itu merupakan bahaya bagi umum. Dia melangkah keluar dari antrian dan menghadang si baju hitam.
“Perlahan dulu, sobat. Engkau lupa bahwa satu karung beras itu disediakan untuk orang banyak, bukan untuk memenuhi keserakahanmu. Hayo cepat kembalikan sekarung beras itu pada tempatnya. Kalau membutuhkan beras, engkau harus berdiri di belakang antrian untuk mendapatkan lima kati beras!”
Si baju hitam itu membelalakkan matanya, seolah-olah tidak percaya bahwa ada seorang yang masih sangat muda berani mengeluarkan ucapan semacam itu kepadanya. Agaknya pemuda ini sudah bosan hidup!
Dengan mata melotot dia lantas membentak, “Apa?! Kau ingin aku mengembalikan beras ini? Nah, sambutlah!”
Dia lalu melontarkan sekarung beras yang berat itu kepada Si Kong dengan pengerahan tenaga. Sekarung beras itu segera meluncur ke arah Si Kong, dan seandainya bukan Si Kong yang menerimanya, tentu akan roboh terjengkang tertimpa beras sekarung!
Akan tetapi dengan mudah Si Kong menerima beras itu, dan sekali tangannya bergerak, sekarung beras itu sudah melayang kemudian jatuh di atas tumpukan beras, kembali ke tempatnya semula.
“Jahanam keparat kau! Mampuslah!” si baju hitam berteriak sambil menerjang ke arah Si Kong, menubruknya seperti seekor harimau menerkam kambing.
Dengan tenang Si Kong menggeser kakinya ke samping dan begitu tubuh tinggi besar itu lewat, dia menggerakkan kakinya ke depan sehingga tanpa dapat dihindarkan lagi, si baju hitam itu terperosok ke depan dan jatuh menelungkup!
“Ngekkk…!”
Terdengar suara ketika dia terbanting. Semua orang yang sedang antri beras tersenyum gembira melihat betapa si baju hitam itu dirobohkan pemuda yang berpakaian sederhana ini. Akan tetapi si baju hitam cepat merangkak bangun lantas meloncat berdiri. Hidungnya berdarah dan dia kelihatan marah bukan main.
“Setan! Berani kau melawanku?”
Kembali dia menyerang namun sekali ini dia tidak menyerang secara sembarangan saja, melainkan menggunakan ilmu silat. Tangan kanannya melayang ke arah kepala Si Kong, tangan kirinya segera menyusul menusuk ke arah perut pemuda itu dengan jari-jari tangan terbuka.
“Dukk! Dukk!”
Kedua tangan itu tertangkis oleh Si Kong. Akan tetapi si baju hitam itu memang tidak tahu diri. Meski pun tangkisan tangan pemuda itu membuat kedua lengannya terasa panas dan nyeri sekali, dia tidak menjadi jera dan kini kaki kanannya menendang dengan pengerahan tenaga sekuatnya. Kaki itu menyambar ke arah perut Si Kong dan merupakan serangan yang amat berbahaya.
Tetapi dengan tenang Si Kong menanti sampai kaki itu dekat dengan perutnya, kemudian tiba-tiba saja dia menarik dirinya ke belakang sambil melangkahkan kaki. Pada saat kaki kanan si baju hitam itu menyambar lewat, secepat kilat Si Kong menggunakan tangan kiri menangkap tumit kaki itu lantas mendorongnya ke atas lalu ke depan. Tubuh si baju hitam itu terlempar dan kembali terbanting, akan tetapi sekali ini dia terbanting terlentang.
“Ngekkk...!”
Si baju hitam meringis kesakitan. Tulang belakangnya seperti patah-patah rasanya ketika pinggulnya terbanting ke atas tanah. Sekali ini para penonton tertawa dengan hati senang.
Si Kong menghampiri si baju hitam yang kini sudah bangkit duduk dengan muka meringis. “Masih belum jera dan ingin melanjutkan perkelahian? Silakan bangkit berdiri, aku sudah siap!”
Si baju hitam yang bagian belakang tubuhnya masih terasa nyeri itu cepat bangkit berdiri, lantas memandang dengan mata melotot kepada Si Kong dan berkata, “Kau tunggu saja pembalasanku!’ Setelah berkata demikian dia pun pergi dengan terhuyung-huyung sambil kedua tangannya menekan pinggulnya.
Hartawan The yang menyaksikan semua itu, menghampiri Si Kong dan berkata, “Orang muda, terima kasih atas bantuanmu mengusir orang jahat itu. Akan tetapi, bagaimana jika dia kembali bersama kawan-kawannya?”
“Harap Loya (tuan besar) tidak khawatir. Kalau diperbolehkan, saya ingin membantu Loya dalam pembagian beras kepada rakyat kecil yang miskin ini.”
“Engkau hendak bekerja membantu kami? Tentu saja boleh, malah kebetulan sekali. Kami mengangkat engkau menjadi pengawas dan pengatur pembagian beras yang setiap hari kami lakukan dari pagi sampai sore.”
“Terima kasih banyak, Loya.”
“Siapakah namamu, anak muda?”
“Nama saya Si Kong, Loya.”
Hartawan itu lalu berkata kepada empat orang pembantunya yang tadi dirobohkan si baju hitam, “Mulai sekarang Si Kong ini menjadi pengawas dan pengatur pekerjaan kalian.”
Empat orang petugas itu menyambut dengan gembira karena mereka merasa ada yang melindungi kalau-kalau si perusuh tadi kembali membawa kawan-kawannya. Hartawan The lalu masuk ke dalam rumah kembali dan Si Kong segera mengatur antrian itu supaya jangan menjadi kacau. Empat orang petugas itu senang sekali karena meski pun diangkat menjadi pengawas dan pengatur, ternyata Si Kong juga ikut membantu mereka membagi beras, bahkan mengangkat beras dalam karung yang belum dibuka.
Sementara itu Hartawan The memasuki rumahnya dan bersyukur sekali bahwa peristiwa kerusuhan itu telah berlalu, akan tetapi dia pun merasa khawatir kalau-kalau para perusuh datang lagi. Dia kembali ke ruangan tamu di mana tadi dia bersama isterinya bercakap-cakap dengan seorang gadis cantik berusia delapan belas tahun. Ia tadi tengah bercakap-cakap di situ ketika dilapori oleh pembantunya mengenai keributan yang terjadi diluar.
Gadis itu bernama Tan Kiok Nio, datang dari kota Sia-lin. Ibunya adalah adik Hartawan The Kun. Begitu datang dan disambut Hartawan The beserta isterinya, Kiok Nio menangis sedih di dalam rangkulan isteri The-wan-gwe. Dengan heran dan khawatir Hartawan The Kun dan isterinya bertanya mengapa gadis itu menangis. Setelah tangisnya reda, Kiok Nio lalu menceritakan malapetaka yang menimpa keluarganya.
Ayah Kiok Nio bernama Tan Tiong Bu, seorang pendekar besar yang namanya terkenal di dunia kang-ouw. Keluarga Tan tinggal di kota Sia-lin, sebelah selatan kota raja. Tan Tiong Bu yang biasa disebut Tan-taihiap mempunyai sebuah rumah besar dan dia pun memiliki sawah ladang yang luas sehingga kehidupan keluarganya cukup mampu meski pun tidak dapat dibilang kaya raya.
Ketika muda Tan Tiong Bu pernah menjadi murid di biara Siauw-lim-pai, kemudian pernah pula menjadi murid Bu-tong-pai. Dia terus memperdalam ilmu-ilmunya sehingga akhirnya dia berhasil menggabungkan semua ilmu itu dan merangkai ilmu pedang yang hebat. Ilmu pedang ini hanya dinamakan ilmu pedang keluarga Tan.
Di waktu mudanya dia malang melintang di dunia kang-ouw, mengalahkan banyak tokoh sesat dan sebagai pendekar dia selalu menegakkan kebenaran dan keadilan. Sesudah dia menikah dengan seorang gadis yang menjadi adik Hartawan The dan mempunyai seorang anak perempuan, Tiong Bu mulai mengurangi petualangannya. Akan tetapi namanya telah tersohor dan dia disegani orang-orang kang-ouw.
Kemudian muncul berita angin bahwa pedang Pek-lui-kiam berada di tangan Tan-taihiap ini. Sejak lama pedang itu sudah menjadi perebutan di antara orang-orang kang-ouw dan sudah terjadi banyak perkelahian dan pembunuhan untuk memperebutkannya.
Akhir-akhir ini juga tersiar berita yang amat mengagetkan, yaitu kematian beberapa tokoh kang-ouw yang diketahui mencoba untuk mendapatkan Pek-lui-kiam. Mereka mati dalam keadaan mengerikan, dengan kepala putus terlepas dari lehernya. Padahal yang tewas itu adalah orang-orang yang terkenal di dunia persilatan, baik dari golongan bersih mau pun dari golongan sesat.
Maka peristiwa itu amat menggemparkan dunia persilatan. Banyak orang menduga bahwa Tan Tiong Bu yang menjadi pelaku pembunuhan itu karena ada pula berita bahwa pedang Pek-lui-kiam berada di tangannya. Tan Tiong Bu sendiri tidak mengacuhkan berita itu. Dia tak merasa membunuh. Ada pun tentang pedang Pek-lui-kiam memang berada padanya, sebagai pemilik yang sah.
Siang itu hawa udara amat panasnya. Musim kering yang berkepanjangan mendatangkan hawa yang panas. Terlalu lama bumi dipanggang sinar matahari, tanpa pernah mendapat siraman hujan. Karena merasa panas Tan Tiong Bu dan isterinya duduk di beranda depan yang terbuka agar mendapatkan angin. Puteri mereka sedang tidak berada di rumah.
Memang gadis itu sudah biasa pergi keluar rumah tapi orang tuanya tak merasa khawatir. Sebagai anak tunggal, meski pun dia seorang wanita, akan tetapi dia telah mewarisi ilmu-ilmu silat dari ayahnya, bahkan telah mahir memainkan ilmu pedang keluarga Tan. Karena itu kepergian Kiok Nio dari rumah tidak pernah dikhawatirkan oleh orang tuanya.
Tiba-tiba dari pintu pagar luar masuklah seorang kakek berusia sekitar enam puluh tahun. Tan Tiong Bu mengerutkan alisnya dan memandang penuh perhatian kepada orang yang kini melangkah tenang memasuki halaman depan itu.
Dia seorang kakek yang menggelung rambutnya ke atas dan mengikat rambut itu dengan pita merah! Dan pakaiannya seperti pakaian pertapa atau pendeta, dengan jubah longgar berlengan lebar. Akan tetapi yang terasa aneh, jubah itu berwarna merah! Di punggungnya tergantung sebatang pedang, sedangkan tangan kirinya memegang sebuah kipas yang gagangnya terbuat dari pada baja.
Melihat pakaian serba merah itu Tan Tiong Bu terkejut. Biar pun belum pernah bertemu, akan tetapi dia sudah mendengar akan adanya seorang datuk di barat yang berjuluk Ang I Sianjin (Manusia Dewa Berbaju Merah). Menurut keterangan yang pernah diperolehnya, Ang I Sianjin adalah seorang datuk yang berilmu tinggi, akan tetapi menggunakan ilmunya di jalan yang sesat dan suka memaksakan kehendaknya terhadap orang lain.
Mengingat keadaan kakek itu, tentu saja Tan Tiong Bu merasa tidak senang kedatangan datuk sesat itu. Akan tetapi sebagai tuan rumah mau tak mau dia tetap harus menyambut kedatangan tamu. Maka Tan Tiong Bu bangkit berdiri lantas menyambut ke depan sambil mengangkat kedua tangan di depan dada dan berkata,
“Selamat datang, sobat. Engkau siapakah dan ada keperluan apa datang berkunjung?’
Kakek tinggi kurus itu tersenyum, senyumnya mengandung ejekan. Dia tertawa terkekeh sebelum menjawab, “Heh-heh-heh! Apakah aku berhadapan dengan pendekar besar Tan Tiong Bu?”
“Benar sekali. Kalau tidak salah, yang sedang datang berkunjung ini adalah Ang I Sianjin, benarkah?”
“Heh-heh-heh-heh! Ternyata matamu tajam sekali. Sudah lama aku mendengar mengenai kehebatan ilmu silat keluarga Tan.”
“Lalu apa maksud kunjungan ini, Sianjin?”
“Aku ingin bertanding denganmu!”
“Aihh, Sianjin. Mengapa kita harus bertanding kalau di antara kita tidak ada urusan apa pun?”
“Hemm, jadi engkau tidak berani menerima tantanganku?”
“Tak ada alasan bagiku untuk bertanding denganmu, Sianjin. Mari silakan duduk dan kita membicarakan hal lain saja sebagai sahabat. Aku tidak ingin bermusuhan dengan siapa pun juga.”
“Heh-heh-heh-heh! Bagus sekali kalau begitu. Engkau mau menerimaku sebagai sahabat, tentu tidak keberatan kalau memberi pinjam Pek-lui-kiam kepadaku!”
Tan Tiong Bu terkejut sekali. Memang ada berita angin bahwa para tokoh dunia persilatan menginginkan pedang pusakanya, yaitu Pek-lui-kiam. Karena ada berita itu, sekarang dia menyembunyikan pedang pusaka itu di dalam kamarnya dan tidak pernah membawanya keluar rumah. Kini hal yang dikhawatirkan mulai terjadi, yaitu para tokoh kang-ouw tentu akan mendatanginya dan berusaha merebut Pek-lui-kiam.
“Pedang Pek-lui-kiam tidak ada padaku,” kata Tan Tiong Bu tegas.
“Hemm, kalau begitu engkau tidak ingin menjadi sahabatku! Cabutlah pedangmu, hari ini aku ingin sekali mencoba kepandaian keluarga Tan. Pilihlah salah satu. Serahkan Pek-lui-kiam kepadaku dan aku segera pergi, atau engkau harus melawan pedangku!”
Tan Tiong Bu adalah seorang pendekar besar. Ketika ditantang dan didesak seperti itu, tentu saja dia menjadi marah. Kalau dia berbohong mengatakan bahwa Pek-lui-kiam tidak ada padanya, hal itu dilakukan untuk menghindarkan perkelahian dan permusuhan, bukan karena takut. Dia menoleh kepada isterinya,
“Ambilkan pedangku yang tergantung di dinding kamar itu.”
Isterinya masuk ke dalam tanpa mengucapkan sesuatu. Wanita ini sudah maklum bahwa suaminya adalah seorang pendekar besar, karena itu sewaktu-waktu tentu akan ditantang orang untuk bertanding. Akan tetapi wanita itu merasa jantungnya berdebar akibat tegang dan gelisah.
Setelah isterinya kembali sambil membawa pedangnya, Tan Tiong Bu lantas menghadapi Ang I Sianjin dan berkata dengan lantang, “Ang I Sianjin, di antara kita tiada permusuhan. Karena engkau memaksa dan menantang maka terpaksa aku melayanimu!” Dia pun lalu mencabut pedangnya yang berkilauan saking tajamnya, dan menyerahkan sarung pedang itu kepada isterinya.
Tadinya Ang I Sianjin sudah memandang dengan wajah berseri-seri pada waktu isteri Tan Tiong Bu menyerahkan pedang kepada suaminya. Dia mengira bahwa pendekar itu akan menggunakan Pek-lui-kiam. Akan tetapi dia merasa kecewa setelah pedang itu dicabut. Pedang di tangan lawannya itu memang pedang baik, akan tetapi sama sekali bukan Pek-lui-kiam.
“Engkau tidak mau menyerahkan Pek-lui-kiam, maka jangan mengatakan aku kejam kalau aku akan membunuhmu dan merampas Pek-lui-kiam!” kata Ang I Sianjin sambil mencabut pula pedangnya dengan tangan kanan. Sesudah berteriak lantang dia pun mulai dengan serangannya yang dahsyat.
“Tranggg...!”
Tan Tiong Bu menangkis dan dia merasakan getaran hebat dan hawa panas menyerang seluruh lengannya, maka tahulah dia bahwa lawannya itu lihai bukan main. Karena itu dia segera mainkan ilmu pedang keluarga Tan yang telah terkenal di dunia persilatan itu.
Ang I Sianjin terkejut dan kagum ketika hampir saja perutnya terkena tusukan lawan. Dia melompat ke belakang dan karena dia pun tahu bahwa lawannya merupakan lawan yang amat lihai, dia lalu memutar pedangnya dan juga memainkan kipasnya dengan tangan kiri. Ternyata permainan pedang dan kipas itu serasi sekali, dapat saling membantu dan saling menutupi lowongan kalau sedang menyerang.
Kini Tan Tiong Bu yang terkejut. Biasanya, kalau lawan menyerang, maka pertahanannya akan terbuka untuk balas diserang. Tapi setelah lawannya memainkan kipas dan pedang, ketika lawan menyerang sama sekali tidak ada bagian tubuh yang terbuka pertahanannya. Kalau pedang yang menyerang maka kipas yang bertahan, sebaliknya bila kipas baja itu dipakai menyerang maka pedang yang bertahan. Dengan begitu Tan Tiong Bu tidak diberi kesempatan sedikit pun untuk membalas serangan lawan.
Sesudah pertandingan yang seru itu berlangsung lima puluh jurus, pundak kiri Tan Tiong Bu terkena tusukan gagang kipas baja sehingga dia terhuyung dan pundaknya berdarah. Melihat lawannya terhuyung, Ang I Sianjin tertawa dan cepat menubruk ke depan dengan pedangnya.
“Tranggg…!”
Pedangnya tertangkis dari samping dan ternyata yang menangkis pedang itu adalah isteri Tan Tiong Bu. Untuk menyelamatkan suaminya, nyonya itu dengan nekat menggunakan pedang yang tadi dibawanya pula dari dalam untuk menangkis. Padahal dalam ilmu silat pengetahuannya masih rendah.
Ang I Sianjin marah sekali dan kipasnya cepat bergerak ke arah nyonya itu. Dengan tepat ujung kipas itu menusuk leher lalu sambil mengeluh isteri Tan Tiong Bu roboh terpelanting.
Melihat ini Tan Tiong Bu terkejut dan marah sekali. Dia langsung meloncat ke depan dan menyerang lawan sekuat tenaga tanpa mempedulikan pundak kirinya yang terasa nyeri. Akan tetapi permainan pedangnya menjadi kurang tetap karena hatinya gelisah mengingat keadaan isterinya.
Kesempatan ini dipergunakan oleh Ang I Sianjin untuk menghujamkan serangan pedang dan kipasnya. Tan Tiong Bu beruaha membela diri, akan tetapi dia kalah cepat. Pada saat pedangnya terpental karena bertemu dengan kipas, tahu-tahu pedang Ang I Sianjin telah menembus dadanya.
Darah muncrat dan tubuh Tan Tiong Bu terguling. Akan tetapi pendekar ini masih mampu mengarahkan tubuhnya agar jatuh dekat isterinya. Dia masih dapat memeriksa keadaan isterinya dan ketika melihat bahwa isterinya sudah tewas, dia menudingkan telunjuknya yang berlepotan darah isterinya kepada Ang I Sianjin dan berkata,
“Kau… kau iblis... terkutuk...!” Tubuh Tan Tiong Bu terkulai dan dia pun menghembuskan napas terakhir.
Ang I Sianjin tidak mempedulikan pasangan suami isteri yang telah mati itu. Dia meloncat ke dalam rumah dan mulai melakukan penggeledahan untuk mencari Pek-lui-kiam. Ketika bertemu dua orang pembantu rumah tangga itu, seorang pria dan seorang wanita, tanpa berkata apa pun tangannya bergerak dan kedua orang pembantu itu tewas dengan kepala retak!
Ang I Sianjin menggeledah kamar Tan Tiong Bu hingga akhirnya dia berhasil menemukan pedang pusaka itu yang tersimpan di dalam almari pakaian pendekar itu. Dia mencabut pedang itu dan sinar berkilat menyilaukan mata ketika pedang dicabut. Kakek itu tertawa-tawa gembira.
“Heh-heh-heh-heh! Inilah Pek-lui-kiam! Kini terjatuh ke tanganku! Dengan pedang ini aku akan menjadi jagoan tanpa tanding, heh-heh-heh!” Dia menyarungkan kembali pedang itu, menyelipkannya pada ikat pinggangnya kemudian dia berlari keluar dengan cepat sekali.
Ketika ada seorang tetangga datang ke rumah keluarga Tan untuk suatu keperluan, dia terkejut sekali melihat Tan Tiong Bu dan isterinya menggeletak di halaman dekat beranda dalam keadaan tidak bernyawa lagi dan tubuhnya mandi darah. Tetangga ini keluar sambil berteriak-teriak minta tolong.
Para tetangga lain datang berlarian dan mereka semua merasa terkejut juga ngeri. Apa lagi ketika mereka menemukan mayat dua orang pembantu rumah tangga keluarga Tan. Para tetangga lalu merawat empat jenazah itu.
Menjelang sore Tan Kiok Nio pulang ke rumahnya. Gadis itu merasa terkejut dan heran melihat banyaknya orang di rumahnya. Ia cepat berlari memasuki halaman rumahnya dan tertegun melihat empat buah peti mati berjajar di beranda. Mukanya menjadi pucat sekali, jantungnya berdebar-debar dan dia pun meloncat menghampiri peti mati. Ketika melihat peti mati yang masih belum ditutup itu dan menjenguk ke dalamnya, gadis itu langsung menjerit-jerit. Dia berlarian dari satu peti ke peti yang lain.
“Ayah...! Ibu...! Kalian kenapa...? Kenapa...?” Gadis itu lunglai dan roboh pingsan.
Para wanita tetangga yang berada di situ ikut menangis kemudian beramai-ramai mereka mengangkat gadis yang pingsan itu ke kamarnya.
Setelah sadar dari pingsannya, Kiok Nio segera bangkit dan berlari keluar. Bukan, bukan mimpi! Di beranda itu terdapat empat buah peti mati berisi mayat-mayat ayahnya, ibunya, dan dua orang pembantunya. Dia pun menubruk peti ibunya dan menangis tersedu-sedu sambil memanggil ibunya, kemudian menubruk peti ayahnya sambil memanggil ayahnya. Para tetangga membiarkan gadis itu melampiaskan dukanya melalui air mata. Sesudah tangisnya mereda, barulah para wanita tetangga menghiburnya.
“Mereka sudah meninggal dunia, walau ditangisi juga tidak ada gunanya, Nona. Sekarang sebaiknya kita mengurus jenazah-jenazah itu.”
Kiok Nio dapat menekan perasaan dukanya, kemudian bertanya, “Apa yang telah terjadi? Mengapa ayah ibu mati? Siapakah yang telah membunuh mereka?”
“Tidak ada yang tahu, Nona. Hanya kebetulan saja seorang tetangga ketika lewat melihat seorang kakek berjubah merah yang tubuhnya tinggi kurus dan mukanya pucat keluar dari halaman rumah ini. Tetangga itu mempunyai urusan dengan ayahmu maka dia masuk ke halaman, lantas melihat ayah ibumu sudah menggeletak di halaman dalam keadaan tidak bernyawa. Kami semua lalu masuk ke rumahmu dan melihat dua orang pembantumu juga sudah tewas pula.”
“Kakek tinggi kurus berjubah merah? Siapa dia?” Kiok Nio bangkit berdiri dan mengepal kedua tinjunya. “Siapa dia?”
“Nona, sayalah yang melihat kakek itu, akan tetapi saya tidak mengenalnya. Akan tetapi dia mudah sekali dikenal. Jubahnya itu yang aneh, mirip jubah pendeta namun berwarna merah dan rambutnya yang digelung ke atas juga diikat pita merah,” kata tetangga yang melihat kakek itu dan yang pertama kali menemukan mayat TanTiong Bu dan isterinya.
“Siapa pun adanya orang itu, pasti akan kucari dan kubalaskan dendam ini!”
Kiok Nio lalu berlari keluar dengan gerakan cepat dan dia mencari-cari kakek itu di seluruh pelosok kota. Para tetangga tidak berani melarangnya dan hanya menunggu peti-peti mati itu. Akhirnya Kiok Nio pulang kembali dengan wajah lesu. Dia tidak berhasil menemukan musuh besarnya.
Sesudah jenazah ayah ibunya dimakamkan, Kiok Nio merasa tidak betah tinggal seorang diri di dalam rumah itu. Sebulan kemudian dia pergi meninggalkan rumahnya dan pergi ke kota Ci-bun untuk mengunjungi pamannya, yaitu Hartawan The Kun. Di depan paman dan bibinya dia menangis menceritakan mengenai kematian ayah ibunya. Tentu saja The Kun menjadi terkejut bukan main.
“Kau tinggallah bersama kami di sini, Kiok Nio. Engkau telah yatim-piatu, anggaplah kami sebagai orang tua sendiri. Kebetulan kami juga tidak mempunyai anak.”
Karena paman serta bibinya sangat ramah dan Kiok Nio tahu bahwa pamannya itu adalah seorang hartawan yang berwatak budiman dan dermawan, maka dia suka tinggal di sana. Demikianlah riwayat gadis cantik manis yang tinggal di rumah Hartawan The Kun.
Kini mari kita kembali keluar gedung untuk melihat apa yang terjadi di tempat pembagian beras itu. Si Kong bekerja dengan rajin sehingga menyenangkan keempat orang lainnya. Akan tetapi, seperti yang dikhawatirkan semua orang, mendadak datang lima orang yang semuanya berpakaian hitam. Sikap mereka kasar dan tubuh mereka nampak kokoh kuat. Di antara lima orang itu terdapat si baju hitam yang tadi hendak merampas satu karung beras namun berhasil diusir oleh Si Kong.
“Di mana pemuda jahanam yang tadi berani memukul aku?” teriak si baju hitam itu.
Sebelum Si Kong melangkah maju, terdengar bentakan halus. “Bangsat pengacau, kalian datang untuk mencari penyakit!”
Semua orang terkejut dan menengok. Ternyata Kiok Nio sudah berdiri di situ. Tadi gadis ini mendengar cerita pamannya tentang si baju hitam yang memaksa hendak mengambil sekarung beras namun pengacau itu berhasil diusir oleh seorang pemuda yang kini sudah diterimanya sebagai pembantu bekerja membagi-bagi beras.
Gadis itu merasa menyesal mengapa dia tadi tidak turut keluar sehingga dapat menghajar sendiri pengacau itu. Kini begitu mendengar ribut-ribut di luar dia segera meloncat keluar dan melihat lima orang itu, dia lalu membentak mereka.
Si baju hitam dan empat orang kawannya mendengar bentakan itu lalu menoleh. Kiranya yang membentak mereka adalah seorang gadis cantik. Melihat Kiok Nio si baju hitam lalu maju menghampiri, diikuti oleh keempat orang temannya.
“Nona manis,” si baju hitam berkata sambil menudingkan jari telunjuknya. “Jangan engkau mencampuri urusan kami, atau aku akan menangkapmu untuk kujadikan isteriku!” Empat orang kawannya juga menyeringai menjemukan.
“Jahanam busuk, kalau engkau dan kawan-kawanmu ini datang untuk mengacau, maka aku sendiri yang akan memberi hajaran kepada kalian!”
Pada saat itu dari dalam rumah muncul Hartawan The Kun. Melihat keponakannya sudah berhadapan dengan lima orang laki-laki yang menyeramkan, dia pun cepat berkata, “Kiok Nio, jangan berkelahi!” lalu kepada si baju hitam dia berkata, “Kalau kalian menginginkan beras ambillah, akan tetapi harap jangan bikin kacau di sini.”
Sejak tadi Si Kong terheran-heran ketika melihat seorang gadis cantik berani menantang lima orang berandal itu. Melihat pedang di punggung gadis itu, dia pun tahu bahwa gadis itu tentu seorang yang pandai ilmu silat. Ketika Hartawan The Kun muncul dan menegur gadis yang dipanggil Kiok Nio itu, Si Kong mengira bahwa gadis itu puteri Hartawan The. Dia lalu menghampiri dan berkata kepada si baju hitam.
“Sobat, engkau berani datang lagi dengan membawa teman-temanmu. Majulah, aku tidak takut kepada kalian.”
“Tidak!” Gadis itu berkata cepat. “Akulah yang akan menghajar lima orang ini jika mereka tidak cepat pergi dari sini. Paman The, jangan khawatir, aku sanggup menandingi mereka. Hayo, anjing baju hitam, aku tantang kalian. Kalau kalian tidak berani, cepat kalian pergi dari sini dan jangan menganggu ketenteraman di sini.”
Tentu saja si baju hitam menjadi sangat marah mendengar dirinya disebut anjing hitam oleh seorang gadis. Itu adalah penghinaan besar, apa lagi diucapkan di hadapan banyak orang yang sedang antri beras.
“Gadis kurang ajar, berani engkau menghina kami!” Dan setelah bekata demikian, dia lalu menerjang maju dengan gerakan cepat sambil mengembangkan kedua lengannya seolah hendak menerkam Kiok Nio.
Akan tetapi dengan gesitnya Kiok Nio mengelak ke samping sehingga terkaman itu luput. Melihat kawannya telah mulai bergerak, empat orang kawan si baju hitam tak mau tinggal diam. Mereka semua ingin sekali dapat membekuk dan memeluk gadis cantik itu, karena itu tanpa diperintah lagi mereka langsung mengepung Kiok Nio dengan sikap yang kasar menakutkan.
Melihat dia dikepung lima orang laki-laki tinggi besar itu, Kiok Nio sama sekali tak merasa gentar. Akan tetapi dia tidak mau beradu tangan dan lengan dengan mereka, maka sekali tangan kanannya bergerak ke punggung, dia telah mencabut sebatang pedang kemudian melintangkan pedang itu di depan dada!
Melihat ini si baju hitam dan kawan-kawannya segera mencabut senjata mereka berupa golok yang besar dan tajam. “Kawan-kawan, hati-hati jangan lukai nona manis ini. Sayang kalau kulitnya yang halus itu sampai ada yang lecet, ha-ha-ha-ha!” Kawan-kawannya juga tertawa mendengar ucapan ini.
Ucapan si baju hitam itu membuat Kiok Nio menjadi marah bukan main. “Lihat serangan!” bentaknya dan pedangnya sudah berkelebat ke depan menyerang si baju hitam.
Orang ini terkejut bukan main. Serangan itu demikian cepatnya sehingga hampir saja dia terkena tusukan pada dadanya. Dia menggerakkan goloknya menangkis sambil melompat mundur dan kini empat orang kawannya juga maju dengan golok mereka, menyerang Kiok Nio dari empat jurusan.
Akan tetapi Kiok Nio memutar pedangnya dan terdengar suara nyaring berdenting empat kali. Selanjutnya gadis itu memainkan ilmu pedang keluarga Tan sehingga lima lawannya menjadi kaget sekali dan mata mereka silau. Pedang di tangan Kiok Nio berubah menjadi segulungan sinar yang terang dan menyambar-nyambar ke arah tubuh mereka! Sekarang lima orang itu hanya mampu membela diri dengan tangkisan-tangkisan dan berlompatan ke sana sini untuk menghindarkan sinar pedang yang makin lama semakin cepat itu.
Si Kong yang tadinya merasa khawatir dan telah bersiap membantu atau menolong kalau gadis itu terancam bahaya, kini sebaliknya menjadi kagum bukan main. Dara itu memiliki ilmu pedang yang dahsyat dan tahulah dia bahwa gadis itu tak akan kalah dikeroyok lima orang itu.
Dugaan Si Kong memang tepat. Sesudah lewat belasan jurus, pedang di tangan Kiok Nio telah mengurung lima orang itu dan orang yang pertama roboh terpelanting adalah si baju hitam. Pedang Kiok Nio melukai pangkal lengan kanannya sehingga dia terpaksa harus melepaskan goloknya kemudian roboh, memegangi lengan kanan yang terluka itu sambil mengaduh-aduh.
Pedang itu berkelebatan terus dan berturut-turut empat orang pengeroyok yang lain juga roboh. Ada yang terluka pundaknya, ada yang robek pahanya dan orang ke lima roboh oleh tendangan kaki Kiok Nio yang tepat mengenai perut sehingga membuat perut orang itu terasa mulas!
Tepuk sorak terdengar ketika orang-orang yang antri beras melihat kelima orang itu dapat dirobohkan oleh gadis itu. Si Kong juga ikut bertepuk tangan dan memuji dengan hati lega karena selain gadis itu dapat menang, namun terutama sekali gadis itu tidak membunuh orang.
Dengan ilmu pedang seperti itu, kalau gadis itu hendak membunuh para pengeroyoknya, hal itu dapat dilakukan dengan mudah. Akan tetapi gadis itu hanya membuat mereka luka ringan saja. Hal inilah yang mengagumkan hati Si Kong.