ENAM orang pelayan itu berlarian menyusul nona majikan mereka, dan akhirnya mereka menemukan Cu Yiin menangis seorang diri di bawah sebatang pohon besar.
Joli tadi juga sudah di bawa ke situ. “Silakan duduk di dalam joli, siocia. Katakan ke mana siocia hendak pergi dan kami akan mengantarmu.”
Cu Yin marah dan menyesal sekali jantungnya seperti diremas-remas rasanya. Akan tetapi dia tidak dapat menyalahkan enam orang pelayannya. Maka ia lalu membuka tirai, masuk ke dalam joli dan berkata, “Antarkan aku ke Kwi-liong-san!”
Enam orang itu saling pandang namun tidak berani membantah. Empat di antara mereka lalu memanggul joli itu dan mereka melakukan perjalanan dengan cepat. Mereka adalah orang-orang yang lihai, menjadi pelayan sekaligus juga menerima pelajaran ilmu silat dari Lam-tok, maka perjalanan itu dapat dilakukan dengan cepat. Di sepanjang jalan mereka mendengar nona majikan mereka menangis terisak-isak.
Pagi hari itu puncak bukit itu nampak bersih dan sejuk. Malam tadi turun hujan lebat dan pagi ini segala sesuatu terlihat hidup. Daun-daun pohon masih basah, rumput-rumput dan ilalang nampak segar seperti kanak-kanak yang baru habis mandi. Tanah mengeluarkan bau yang sedap, seolah menghaturkan terima kasih kepada langit yang tadi malam telah menghujaninya. Matahari baru muncul di tepi bukit dan langit menjadi lukisan yang paling indah di dunia. Ada seberkas cahaya biru di antara awan-awan putih, amat mengesankan dan penuh mengandung rahasia alam.
Si Kong duduk termenung di atas batu. Tadi dia menikmati keindahan yang terbentang luas di hadapannya, juga dia menikmati kicau burung di pohon-pohon, akan tetapi sayang keadaan yang indah di mana dia merasa ikut menjadi satu dengan seluruh alam itu hanya sebentar saja dinikmatinya. Hati serta akal pikirannya sudah bekerja lagi dan dia teringat kepada Cu Yin.
Cu Yin mengaku cinta kepadanya! Hampir dia tidak percaya. Gadis yang begitu kaya dan lihai, puteri Lam-tok, telah jatuh hati kepadanya! Terbayanglah wajah yang cantik jelita itu. Alangkah mudahnya untuk jatuh cinta kepada seorang gadis seperti Cu Yin. Akan tetapi yang dia rasakan hanya kekaguman terhadap ilmunya, keberaniannya, kepintarannya dan kecantikannya. Dia tidak tahu apakah dia mencintai Cu Yin ataukah tidak.
Lamunannya membuyar ketika muncul seorang lelaki tua berusia kurang lebih enam puluh tahun yang memikul sebongkok kayu. Tentunya untuk dijadikan kayu bakar, pikir Si Kong. Kakek itu terbongkok-bongkok memikul beban kayu itu.
Mendadak Si Kong mendapat pikiran yang dianggapnya baik sekali. Laki-laki setua kakek itu tentu mempunyai banyak pengalaman tentang hidup, sudah banyak merasakan suka duka dalam kehidupan dan dengan sendirinya tentu mengenal cinta.
“Selamat pagi, paman yang baik!” kata Si Kong sambil tersenyum ramah. “Maukah paman menikmati roti kering dan daging kering sambil minum arak bersamaku?”
“Daging dan roti kering? Dan ada araknya pula? Orang muda, sangat bodohlah aku kalau menolak tawaranmu yang baik itu.” Dia berusaha menurunkan ikatan kayu dari pundaknya dan cepat Si Kong membantunya.
Si Kong lantas mengeluarkan bungkusan roti kering dan daging kering yang kemarin siang dibelinya dari kedai makanan, lalu mereka berdua duduk berhadapan di atas batu sambil makan minum.
“Orang muda, siapakah engkau dan mengapa engkau begini baik dan ramah kepadaku?”
“Sungguh menyenangkan di pagi yang sunyi ini dapat bertemu dengan paman. Aku tahu bahwa paman tentu seorang yang baik budi, maka kuanggap bahwa paman tentu dapat menjawab rahasia yang menekan hatiku.”
Kakek itu minum arak dari guci. Dia merasa puas dan kenyang.
“Apakah soal yang harus dijawab itu? Aku hanya seorang penghuni dusun di bawah sana. Pengetahuanku dangkal saja, bagaimana aku bisa menjawab rahasia yang engkau sendiri tidak mampu melakukannya?”
“Aku yakin paman bisa karena paman sudah mengalaminya, sedangkan aku belum.”
“Hemm, engkau menarik hatiku, orang muda. Coba katakan, rahasia apakah itu?”
“Bagimu sederhana saja, paman. Aku hendak bertanya kepadamu. Apakah sebenarnya cinta itu? Paman pernah jatuh cinta bukan?”
Kakek itu terkekeh. Ia adalah seorang petani yang sederhana, berpikiran sederhana pula. Mendengar pertanyaan itu dia merasa lucu. “Orang muda, tentu saja aku pernah jatuh cinta, bahkan sering kali aku jatuh cinta.”
Si Kong terkejut. Kakek ini jatuh cinta kepada banyak wanita?
“Berapa kali engkau jatuh cinta, paman?”
“Tak terhitung lagi berapa banyaknya. Aku mencintai isteriku dan mencintai anak-anakku, mencintai kepala dusunku yang baik hati, mencintai sahabat-sahabatku, bahkan aku juga mencintai parang ini dan cangkul di rumah.”
Si Kong tertegun. “Jadi paman hanya sekali saja beristeri?”
“Ya, sekali saja. Aku mencintai isteriku sebab dia menyenangkan hatiku, melayani semua kehendakku dan tidak pernah membantah.”
“Apakah cinta paman terhadap isteri paman itu sama dengan cinta paman kepada anak-anak, tetangga dan juga cangkul itu?”
“Tentu saja sama. Aku mencintai isteriku karena dia melayaniku dengan senang hati. Aku mencinta anak-anakku karena mereka taat dan berbakti kepadaku. Aku mencinta kepala dusun, para sahabatku, karena mereka itu bersikap baik kepadaku. Aku mencinta parang dan cangkul karena dua benda itu amat berguna bagiku. Pendeknya aku mencinta segala hal yang menguntungkan dan menyenangkan hatiku. Andai kata parang ini patah menjadi dua, tentu aku tidak mencintanya lagi dan aku akan membuangnya.”
“Akan tetapi cinta seperti itu bukanlah cinta yang sejati, paman. Cinta seperti itu mudah luntur dan berbalik menjadi benci!”
“He-he-heh-heh, mana ada cinta yang tanpa pamrih disenangkan? Aku mencinta isteriku karena dia penurut dan menyenangkan, demikian pula anak-anak dan yang lain-lainnya. Bahkan aku memuja dan mencinta Kwan Im Posat (Dewi Kwan Im) karena dia memberi berkah kepadaku. Bukankah cinta kita ini seperti itu adanya? Mencinta karena ada pamrih supaya disenangkan? Apa bila engkau mempunyai isteri dan dia menyeleweng atau tidak menyenangkan hatimu, apakah engkau masih bisa mencintanya? Bila anak-anak durhaka kepadamu, apakah engkau akan tetap mencinta mereka? Kalau kawan-kawan dan yang lain itu merugikan dan tidak menyenangkan hatimu, apakah masih ada perasaan cinta itu dalam hatimu terhadap mereka? Manusia mencintai seseorang atau sesuatu benda pada dasarnya tidak berbeda. Kalau orang atau benda itu menyenangkan dan menguntungkan, dia akan mencintainya, sebaliknya kalau tidak menguntungkan atau merugikan, dia akan membencinya.”
Si Kong tertegun dan termenung. Ucapan itu keluar dari mulut seorang petani sederhana, seorang yang jujur, seorang yang tidak pernah membaca kitab agama dan filsafat, namun dia harus mengakui kebenarannya. Cinta di dalam hati manusia memang berpamrih, demi kesenangan dan keuntungan diri pribadi, seperti cinta jual beli. Betapa palsu dan kotornya cinta itu.
“Akan tetapi, paman. Bukankah ada cinta yang murni seperti misalnya cinta seorang ibu kepada anaknya? Jika ada ibu yang membenci anaknya, maka dia itu seorang yang tidak waras pikirannya.”
“Hemm, aku masih menyangsikan cinta seorang ibu terhadap anaknya. Apakah dia tidak pernah marah kepada anaknya? Apakah dia tidak pernah jengkel karena anaknya nakal? Nah, marah dan jengkel itu lahir dari benci karena si anak tidak menyenangkan hatinya.”
“Apakah di dunia ini sama sekali tidak ada cinta murni tanpa pamrih?” Si Kong bertanya dengan hati penuh penasaran.
“Menurut penglihatanku, tidak ada. Memang ada cinta, akan tetapi cinta itu diselingi rasa benci yang sewaktu-waktu dapat timbul kalau yang dicintai itu tidak menyenangkan hati.”
“Tetapi, paman. Lihat matahari. Dia memberi cahaya dan kehidupan tanpa pamrih, tanpa minta imbalan apa pun. Lihatlah bunga, dia memberi keharuman kepada siapa pun juga tanpa pandang bulu, juga tanpa pamrih apa pun. Apakah itu bukan cinta sejati yang suci murni?”
“Wah, engkau benar juga. Bahkan tanah, air, pohon-pohon berbuah dan kayu-kayu kering ini, semuanya itu menguntungkan dan menyenangkan kita tanpa pamrih apa pun! Engkau benar, orang muda. Akan tetapi aku tidak tahu mengapa segala benda itu seolah dapat mencintai manusia tanpa pamrih, sedangkan semua manusia itu baru bisa mencinta kalau disenangkan hatinya. Tegasnya, cinta manusia itu berpamrih. Mengapa begitu?”
“Sebab manusia itu makhluk yang dikaruniai akal dan pikiran, paman. Sejak lahir manusia dikaruniai nafsu-nafsu yang bertujuan untuk menyertai manusia, menjadi budak manusia. Tetapi manusia sering lemah terhadap nafsunya sendiri sehingga bukan dia yang menjadi majikan nafsu melainkan sebaliknya dialah yang menjadi budak nafsu. Cinta mengandung nafsu inilah yang membuat cinta itu berpamrih, karena nafsu sifatnya ingin menang, ingin untung dan ingin senang. Ada pun cinta seperti bunga harum dan matahari bercahaya itu adalah cinta Tuhan kepada kita. Tuhan selalu memberi, memberi tanpa menuntut apa pun, sejak lahir kita sampai kita mati, karena itulah sudah sepatutnya kalau kita bersyukur dan memuja Tuhan setiap saat.” Si Kong mengeluarkan pengetahuannya yang didapat ketika dia menjadi murid Si Penyair Gila atau Kwa Siucai.
Kakek itu menjadi bengong. Menurut pengetahuannya yang diperoleh dari tradisi, segala benda itu dikuasai oleh para dewa. Oleh karena itu dia dan masih banyak orang lagi selalu bersembahyang untuk menyenangkan hati para dewa itu agar bisa mendapatkan berkah. Tuhan itu dianggap sebagai Raja, maka untuk memberkahi semua orang, dilakukan oleh para dewa yang menjadi pembantu-pembantuNya. Orang muda ini begitu pandai, pikirnya, sedangkan otaknya menjadi pening dan bingung kalau harus memikirkan itu.
“Mungkin engkau benar, orang muda. Akan tetapi matahari sudah mulai naik dan sebentar lagi panas terik menyengat. Aku harus cepat pulang, isteriku telah menunggu karena kayu bakarnya habis. Terima kasih atas sarapan yang kau hidangkan padaku.”
Kakek itu memanggul kayu bakarnya, lantas melangkah pergi menuruni bukit itu. Si Kong hanya mengikutinya dengan pandang matanya.
Dia termenung dan berulang kali menghela napasnya. Kakek tadi itu tentu seorang yang hidupnya berbahagia. Keluarganya hidup sederhana, tidak banyak yang mereka butuhkan, sehingga mendapatkan satu ikat kayu bakar saja telah membahagiakan hatinya, disuguhi sarapan berupa roti dan daging kering saja sudah amat menyenangkan hatinya.
Dia menghela napas panjang lagi. Mengapa dia tidak pernah dapat merasakan bahagia? Kadang-kadang hatinya memang terasa senang, akan tetapi lebih sering hatinya murung. Mengapa bahagia seolah menghindar darinya? Terlebih lagi di saat itu. Dia merasa sedih, kesepian, tidak tahu harus berbuat apa dan harus ke mana. Dia merasa tidak ada orang yang membutuhkannya.
Dia menoleh ke arah buntalan pakaiannya, lantas teringatlah dia akan sepasang gelang di dalam kantung kain yang berada di buntalan bersama pakaiannya. Begitu teringat akan gelang itu, teringat pula dia kepada Tan Kiok Nio, keponakan Hartawan Kun yang berbudi baik.
Gadis itu telah memberikan sepasang gelang kepadanya, untuk bekal mencari orang yang telah membunuh ayah bunda gadis itu. Dan dia sudah tahu siapa orang itu. Tentu Ang I Sianjin! Hanya ada satu hal yang meragukan. Kalau Ang I Sianjin adalah pembunuh orang tua Kiok Nio kemudian merampas pedang Pek-lui-kiam yang kabarnya ampuh luar biasa itu, mengapa dalam pertandingan tadi Ang I Sianjin tidak mempergunakan pedang pusaka itu? Dia sudah memeriksa pedang yang terlepas dari tangan Ang I Sianjin ketika berkelahi dengannya, dan pedang itu walau pun pedang yang baik, akan tetapi bukan pedang Pek-lui-kiam yang dimaksudkan. Kalau memang Ang I Sianjin merampas pedang itu, mengapa tidak menggunakan Pek-lui-kiam?
Kalau sekarang dia kembali ke kota Ci-bung untuk memberi tahu kepada Kiok Nio bahwa pembunuh ayah bundanya adalah Ang I Sianjin, hal itu belumlah cukup. Dia harus merasa yakin benar bahwa Ang I Sianjin adalah pembunuh itu dan untuk meyakinkan hatinya, dia harus berusaha untuk merampas kembali pedang Pek-lui-kiam.
Tidak, tidak sekarang, tetapi nanti kalau dia sudah yakin dan keyakinan itu akan terbukti jika dia dapat merampas Pek-lui-kiam dari tangan Ang I Sianjin. Lagi pula, kalau sekarang dia memberi tahukan Kiok Nio bahwa musuh besarnya adalah Ang I Sianjin dan gadis itu dengan nekat pergi untuk membalas dendam, hal itu akan amat berbahaya bagi Kiok Nio.
Timbul semangat dalam batin Si Kong. Masih ada yang membutuhkan dia, yaitu Kiok Nio! Perasaan dibutuhkan ini langsung menimbulkan gairah hidup baginya. Dia harus mencari Ang I Sianjin, dan Siangkoan Cu Yin sudah memberi tahu kepadanya bahwa Ang I Sianjin adalah ketua perkumpulan Cakar Setan yang berpusat di Kwi-liong-san. Kini dia memiliki tujuan perjalanannya, yaitu ke Kwi-liong-san untuk mencari Ang I Sianjin.
Siang itu panasnya bukan main. Sinar matahari seakan membakar dan menyengat kulit. Untuk melindungi kulit dari sengatan matahari, orang-orang banyak yang memakai caping lebar atau payung. Kota Liok-bun yang biasanya ramai karena kota itu merupakan pusat perdagangan, pada siang hari itu nampak sepi. Orang-orang segan keluar menjadi korban panas terik yang membakar.
Kota Liok-bun terletak di dekat sungai Li-kiang, sebuah sungai yang menjadi anak sungai Huang-ho. Sungai itu menjadi sangat penting karena dijadikan lalu lintas perahu-perahu para pedagang. Banyak pedagang dari luar kota yang datang ke kota ini untuk membeli atau menjual barang.
Di antara sekian banyaknya orang yang memanfaatkan perlindungan caping atau payung, terdapat seorang gadis yang memakai payung melindungi mukanya agar jangan dibakar sinar matahari. Gadis itu berusia kurang lebih sembilan belas tahun dan pakaiannya serba merah muda. Wajahnya cantik sekali, dengan kulit putih mulus dan karena hawanya amat panas, kedua pipinya yang tanpa bedak dan gincu menjadi kemerahan.Terutama sekali sepasang matanya, sangat menarik perhatian karena mata itu indah sekali dan sinarnya mencorong. Juga mulutnya membuat wajah itu nampak cerah dan manis bukan main.
Kebanyakan pria yang berpapasan dengan gadis itu pasti menengok beberapa kali untuk memandang gadis yang manis dan jelita itu. Dipandang dari belakang pun sudah menarik perhatian karena bentuk tubuhnya yang sempurna. Tetapi kalau orang melihat sepasang pedang yang berada di punggungnya, maka orang itu akan mudah menduga bahwa gadis ini bukanlah gadis biasa saja, melainkan seorang pendekar wanita yang mahir memainkan ilmu pedang.
Tidak ada seorang pun di dalam kota Liok-bun yang mengenalnya. Akan tetapi, kalau ada yang mengenal puteri siapa yang berjalan seorang diri itu, mereka tentu menjadi terkejut dan gentar. Gadis ini adalah Tang Hui Lan. Ayahnya adalah seorang pendekar silat yang pernah menggetarkan dunia kangouw, bernama Tang Hay, ada pun ibunya juga seorang pendekar terkenal bernama Cia Kui Hong yang menjadi ketua Cin-ling-pai.
Seperti yang telah diceritakan dalam kisah ini, Tang Hay, Cia Kui Hong dan Tang Hui Lan, berkunjung ke pulau Teratai Merah. Kedatangan mereka sangat tepat, walau pun sedikit terlambat karena Ceng Lojin, guru Si Kong yang terakhir, terluka parah setelah memukul mundur para datuk yang menantangnya. Kemudian Ceng Lojin tewas, dan mereka bertiga membantu Si Kong mengubur jenazah Ceng Lojin di pulau itu. Penguburan yang sangat menyedihkan karena tidak ada seorang pun tamu yang datang melayat.
Beberapa hari sesudah pemakaman, Tang Hay, Cia Kui Hong dan Tang Hui Lan kembali ke Cin-ling-pai. Semenjak pulang dari Pulau Teratai Merah, Hui Lan banyak termenung. Ia tidak mau menerima begitu saja kematian Ceng Lojin, kakek buyutnya.
Biar pun kakek buyutnya itu wafat dalam usia seratus tahun lebih, tetap saja dia merasa penasaran karena kematian itu dapat dibilang sebagai akibat dari perlawanannya terhadap para datuk yang menantangnya. Apa bila para datuk itu tidak datang menantang, belum tentu kakek buyutnya akan tewas.
Kecantikan gadis ini menarik perhatian orang, terutama kaum pria. Tidak ada yang tidak menengok kembali setelah berpapasan dengan dara ini. Tapi Hui Lan tidak mempedulikan atau memperhatikan ulah para pria itu. Dia sudah terbiasa melihat mata kaum pria yang menatapnya dengan mata kagum, bahkan ada juga yang bersikap kurang ajar kepadanya.
Pada waktu dia menyatakan keinginan hatinya untuk merantau, ayahnya berkata sambil memandang puterinya penuh perhatian, “Apakah kepergianmu ada hubungannya dengan kematian kakek buyutmu di Pulau Teratai Merah?”
Hui Lan menggeleng kepalanya. “Tidak, ayah. Aku hanya ingin pergi merantau agar bisa mendapatkan pengalaman dan menambah pengetahuanku tentang dunia persilatan.”
Ibunya, Cia Kui Hong berkata. “Nasehat kami kepadamu dahulu tidak kosong belaka, Hui Lan. Bu-tek Ngo-sian itu merupakan lawan tangguh kalau mereka berlima maju bersama. Apa lagi Toa Ok dan Ji Ok, dua orang datuk ini sangat kejam dan berbahaya. Lebih baik hindarkan bentrokan dengan mereka.”
“Apakah Ayah dan Ibu juga akan menghindar dan melarikan diri apa bila bertemu dengan mereka di dalam perjalanan?” gadis itu bertanya sambil memandang tajam kepada ayah ibunya.
Tang Hay dan Cia Kui Hong saling pandang sejenak, kemudian Tang Hay berkata, “Tentu saja tidak, Hui Lan. Kami akan melawan mereka. Tetapi engkau lain lagi. Engkau seorang diri saja, bagaimana mungkin dapat menandingi pengeroyokan mereka? Kalau melawan satu demi satu, kami tidak mengkhawatirkan dirimu. Akan tetapi mereka itu sangat licik. Buktinya ketika melawan kakek Ceng, mereka melakukan pengeroyokan secara curang. Karena itu jangan nekat untuk menentang mereka.”
“Ayahmu berkata benar, Hui Lan. Menghindarkan diri dari musuh yang jumlahnya banyak bukan berarti penakut, melainkan suatu tindakan bijaksana. Sebaliknya perbuatan nekat sehingga mati konyol adalah tindakan bodoh. Mengertikah engkau?”
Hui Lan mengangguk. “Aku mengerti Ibu dan aku bersikap hati-hati menjaga diri.”
“Kalau begitu sebaiknya terlebih dahulu engkau mengunjungi pamanmu Cia Kui Bu yang tinggal di Pao-ting sebelah selatan kota raja untuk menyampaikan berita tentang kematian kakek buyutmu, juga untuk melihat bagaimana keadaannya sekarang. Kita sudah terlalu lama berpisah dari pamanmu itu.”
“Baik, Ayah. Memang aku juga ingin berkunjung ke kota raja, aku akan singgah ke rumah Paman Cia Kui Bu.”
Cia Kui Bu adalah adik Cia Kui Hong, satu ayah berlainan ibu. Akan tetapi Ceng Sui Cin sudah menganggapnya sebagai anaknya sendiri, maka Cia Kui Bu juga sudah mewarisi ilmu-ilmu dari ayah dan ibu tirinya itu.
“Kalau engkau pergi ke kota raja, sekalian kau singgah ke Tung-ciu, ke rumah pamanmu Pek Han Siong dan kirimkan salamku untuk dia sekeluarga,” kata pula Tang Hay.
“Dan jangan lupa kabarkan kepada mereka tentang kematian kakek buyutmu,” Kui Hong menambahkan.
“Baik, Ayah dan Ibu. Aku pasti tidak melupakan pesan-pesan itu.”
“Sekarang pamitlah kepada kakek dan nenekmu,” kata Kui Hong.
Hui Lan lalu pergi ke ruang dalam. Dia mendapatkan neneknya, Ceng Sui Cin yang sudah berusia enam puluh lima tahun, sedang duduk menyendiri, asyik dengan pekerjaan yang disenanginya, yaitu menyulam.
“Nek...!” kata Hui Lan manja.
Nenek itu mengangkat wajah, tersenyum memandang cucunya tersayang. “Ahh, kiranya engkau Hui Lan. Duduklah. Wajahmu nampak demikian berseri, ada berita baik apakah?”
Hui Lan menarik kursi ke dekat neneknya. “Memang aku sedang bergembira sekali, Nek. Ayah dan ibu mengijinkan aku pergi merantau!”
Nenek itu menunda pekerjaannya. Ia menaruh kain yang disulam ke atas meja kemudian memandang kepada cucunya dengan wajah berseri dan merangkul pundak cucunya itu. “Ahh, engkau mengingatkan aku akan masa remajaku dan masa remaja ibumu. Di waktu aku seusiamu sekarang ini, aku pun merantau sampai jauh, seorang diri saja, begitu pula ibumu. Apa lagi engkau sudah mewarisi ilmu dari ayah ibumu, tentu engkau akan mampu menjaga dirimu sendiri. Aku ikut merasa girang, Hui Lan.”
“Terima kasih, Nek. Di mana kakek?”
“Dia sedang bersemedhi dalam kamar belakang. Jangan ganggu dia. Setelah usianya tua, lebih dari tujuh puluh tahun, dia memang membutuhkan banyak istirahat dan ketenangan. Tetapi aku mempunyai nasehat untukmu, berdasarkan pengalamanku dahulu. Ketahuilah bahwa di dunia persilatan terdapat banyak orang yang berilmu tinggi. Jika mereka semua adalah orang baik-baik maka tidak perlu kita bicarakan lagi. Akan tetapi banyak di antara mereka yang lihai-lihai itu menjadi orang jahat! Karena itu engkau harus berhati-hati kalau berhadapan dengan mereka. Engkau seorang gadis muda yang cantik, tentu akan banyak menghadapi godaan pria-pria iseng. Jangan layani mereka kalau mereka tidak keterlaluan sekali, dan usahakan agar engkau tak perlu membunuh orang. Sedapat mungkin jauhkan segala permusuhan yang tidak berarti. Mengertikah engkau, Hui Lan?”
Hui Lan merangkul dan mencium pipi neneknya. “Aku mengerti, Nek, dan jangan khawatir, aku akan selalu ingat nasehat nenek ini. Aku hendak berkemas dahulu, Nek. Sampaikan salam hormat dan ucapan selamat tinggalku untuk kakek.”
Hui Lan berlari-lari kecil meninggalkan neneknya untuk pergi ke kamarnya sendiri, diikuti pandang mata neneknya yang kemudian menggeleng-gelengkan kepala. Dia tidak segera mengambil kain sulaman yang diletakkan di atas meja, tetapi termenung membayangkan kembali semua pengalamannya pada waktu dia masih gadis seusia cucunya.
Alangkah cepatnya waktu berlalu. Membayangkan semua pengalamannya di waktu muda, seolah-olah baru terjadi beberapa bulan yang lalu. Tahu-tahu dia sudah menjadi seorang nenek-nenek! Kembali dia menghela napas panjang dan menggelengkan kepalanya yang sudah berwarna kelabu itu.
Pada hari itu juga Hui Lan meninggalkan rumah keluarganya, dan ibunya memberi bekal uang cukup banyak berikut sepasang pedang Hok-mo-kiam. Ayahnya juga menyerahkan batu giok mustika yang dapat mengobati segala macam luka beracun. Setelah menerima banyak petuah dari orang tuanya, lalu berangkatlah Hui Lan dengan buntalan pakaian dan pedang pada punggungnya.
Demikianlah, pada hari itu dia memasuki kota Liok-bun dan hal pertama yang dia lakukan adalah membeli sebuah payung di kedai terdekat. Hari itu panas bukan main dan dia tidak mau kalau kulit wajahnya menjadi rusak oleh sengatan matahari.
Setelah membeli payung dia pun melanjutkan perjalanan memasuki kota Liok-bun. Ia tidak mempedulikan pandang mata penuh gairah dari para pria yang berpapasan di jalan, akan tetapi melangkah terus dengan tenang sampai dia melihat papan nama di depan sebuah rumah makan besar. Papan itu menyatakan bahwa di tempat itu terdapat rumah makan berikut pula rumah penginapan.
Semenjak pagi tadi Hui Lan sudah melakukan perjalanan. Kini dia merasa lelah dan lapar, maka dimasukinya rumah makan itu. Semua tamu pria menengok dan memandang wajah yang cantik itu, yang sekarang tidak tertutup payung lagi karena Hui Lan sudah menutup payungnya sehingga wajahnya dapat nampak dari kanan kiri dan depan. Seorang pelayan segera menghampirinya dan berkata dengan hormat.
“Selamat siang, nona. Apakah siocia hendak makan atau menyewa kamar?”
“Kedua-duanya,” jawab Hui Lan. “Akan tetapi perlihatkan dulu kamar itu!”
“Mari silakan, nona.” kata si pelayan yang mendahului naik anak tangga menuju ke loteng di mana terdapat banyak kamar yang disewakan.
Pelayan mengantar Hui Lan ke sebuah kamar sudut dan gadis ini merasa cocok. Kamar itu cukup bersih, maka dia pun segera menaruh buntalannya di atas meja.
“Sekarang harap sediakan air untuk mencuci muka, sesudah itu baru aku akan turun dan memesan makanan.”
“Baik, siocia.” Pelayan itu segera pergi dan tak lama kemudian dia datang lagi membawa sebaskom air jernih yang dia letakkan di atas sebuah bangku.
“Terima kasih, dan keluarlah. Nanti aku akan turun dan makan.”
“Baik, siocia.” pelayan itu mengangguk dan segera meninggalkan kamar itu.
Hui Lan menutup pintu kamar, kemudian membersihkan tubuhnya dan berganti pakaian. Sesudah itu dia keluar dari kamarnya dengan meninggalkan pakaiannya tetapi membawa uang, batu giok mustika dan pedangnya turun dari loteng. Pelayan tadi menyambutnya.
“Bawa pergi baskom air itu, bersihkan kamar dan panggil pelayan lain supaya aku dapat memesan makanan,” kata Hui Lan.
Dia hanya mengerutkan alis saat melihat betapa semua pria melahapnya dengan pandang mata mereka. Dia pun sengaja duduk menghadap ke dinding, membelakangi para tamu. Bagaimana pun juga, akan tidak nyaman apa bila makan sambil dipandang banyak mata. Memang dia tidak mengacuhkan mereka, akan tetapi merasa tidak enak juga.
Seorang pelayan lain menghampirinya. Hui Lan lalu memesan nasi dan beberapa macam sayuran. Untuk minumnya dia minta disediakan air teh.
Selagi dia menunggu datangnya masakan, dia mendengar dengan jelas percakapan yang terjadi di meja belakangnya. Dari percakapan itu dia dapat mengetahui bahwa pada meja di belakangnya terdapat empat orang pria yang sedang bercakap-cakap. Semula dia tidak menghiraukan percakapan mereka, tapi ketika percakapan itu menyinggung dirinya, mau tidak mau dia memperhatikan juga.
“Hati-hati, kawan. Jangan-jangan dia seorang pendekar wanita yang lihai!”
“Aihhh, takut apa? Paling-paling dia mengerti satu dua jurus ilmu pedang. Kita berempat takut apa?”
“Benar, agaknya dia bukan orang sini. Kalau dapat membujuknya alangkah senangnya.”
“Aku juga sudah merasa muak dengan perempuan-perempuan pelacur itu. Kalau yang ini boleh sekali!”
Merah kedua pipi Hui Lan. Mereka itu membicarakannya secara kurang ajar sekali. Dia melihat di depannya ada beberapa pasang sumpit. Diambilnya dua batang sumpit dengan tangan kanannya dan disambitkan sumpit itu melalui pundak kirinya ke arah belakang.
“Capp! Capp!”
Dua batang sumpit itu menancap di atas meja keempat orang itu, menancap sampai ke gagangnya! Meja itu terbuat dari papan yang tebal dan keras, namun sumpit bambu itu dapat menancap setengahnya lebih. Apa lagi kalau mengenai tubuh mereka. Kulit tubuh tentu akan dapat ditembusi oleh sumpit-sumpit itu.
Dengan mata terbelalak empat orang itu memandang ke arah sepasang sumpit, kemudian menoleh ke arah Hui Lan. Akan tetapi Hui Lan duduk dengan tenang saja seolah-olah dia tidak mengetahui apa yang telah terjadi di meja belakangnya.
Empat orang itu adalah pemuda-pemuda berandal anak orang-orang kaya yang biasanya memaksa orang lain untuk memenuhi kehendak mereka. Mereka juga pernah mempelajari ilmu silat, namun apa yang mereka lihat sudah cukup untuk melenyapkan nyali mereka.
Mereka berempat segera meninggalkan meja mereka yang masih kosong karena pesanan mereka adalah makanan-makanan istimewa yang membutuhkan waktu cukup lama untuk membuatnya. Akan tetapi baru beberapa langkah mereka berjalan, mereka terguling satu demi satu karena ada yang mengganjal kaki mereka. Sesudah mereka menoleh, ternyata yang memalangkan kakinya adalah seorang pemuda yang berpakaian serba putih seperti seorang terpelajar.
Wajah pemuda itu tampan sekali. Mulutnya tersenyum sinis dan matanya melirik ke arah keempat pemuda tadi. Karena hati mereka memang sudah gentar setelah ada sepasang sumpit menancap di meja mereka, empat orang pemuda itu tanpa banyak cakap lagi lalu bangkit dan berlari keluar rumah makan.
Hui Lan hanya mendengar empat orang yang ingin mengganggunya tadi berpelantingan, akan tetapi tidak tahu apa yang sudah terjadi dan dia pun tidak ingin menengok. Setelah peristiwa itu dia merasa tidak tenang apa bila duduk menghadapi tembok, khawatir kalau-kalau ada orang yang akan menyerangnya. Karena itu Hui Lan lalu pindah duduk di atas bangku yang dekat dinding sehingga dia dapat melihat para tamu.
Agaknya tidak ada orang yang melihat ketika dia menyambitkan sepasang sumpit kepada empat orang pemuda tadi karena seluruh mata para tamu tidak ditujukan ke arahnya akan tetapi kepada seorang pemuda yang berpakaian serba putih bersih itu. Ia dapat menduga bahwa empat orang yang berpelantingan itu tentu dihajar oleh pemuda tampan ini.
Meski pun pakaiannya seperti seorang terpelajar yang lemah, namun sinar matanya yang mencorong serta sebatang sulingnya yang diletakkan di atas meja bercerita banyak bagi Hui Lan. Ketika pemuda yang tersenyum-senyum itu mengangkat muka memandangnya, dua pasang sinar mata bertemu dan Hui Lan segera membuang muka ketika pemuda itu menganggukkan sedikit kepalanya.
Sekarang hidangan untuknya sudah datang dan Hui Lan merasa tidak enak kalau makan ditonton orang, terutama pemuda berpakaian serba putih itu, maka dia pindah duduk lagi seperti tadi, menghadap dinding.
Melihat ini pemuda berpakaian serba putih itu memperlebar senyumnya. Dia tahu kenapa Hui Lan pindah duduk, maka dia merasa geli.
Setelah makan Hui Lan membayar harga makanan dan dia pun keluar dari rumah makan itu. Dia melihat pemuda berpakaian putih yang tadi duduk di belakangnya kini sudah tidak berada di situ lagi. Dia tidak mengacuhkan pandang mata para tamu dan cepat keluar dari situ sambil membawa payungnya.
Buntalan uang terikat di pinggangnya dan pedangnya berada di punggung. Hui Lan ingin berjalan-jalan melihat keadaan kota Liok-bun. Baru setelah itu dia akan kembali ke rumah penginapan untuk beristirahat.
Akan tetapi belum jauh ia meninggalkan rumah makan itu, di depannya telah menghadang kurang lebih sepuluh orang laki-laki. Melihat bahwa empat orang di antara mereka segera menuding-nuding kepadanya, dia pun dapat menduga bahwa agaknya empat orang itulah yang tadi di rumah makan hendak menggodanya.
Hui Lan melangkah terus dengan sikap tenang sekali. Dia bisa menduga bahwa agaknya orang-orang itu hendak membalas dendam kepadanya karena dia sudah mengusir empat orang pemuda kurang ajar itu. Orang-orang ini mencari penyakit sendiri, pikirnya.
Ayah ibunya menasehatkan supaya dia tidak mencari permusuhan selama perjalanannya, akan tetapi kalau dia di ganggu tentu dia tak akan tinggal diam dan akan memberi hajaran keras kepada orang-orang yang menghadangnya itu.
Dari kelompok itu majulah seorang pria berusia kurang lebih empat puluh tahun, tubuhnya tinggi besar dan kekar, mukanya kehitaman dan wajah itu nampak bengis sekali.
“Hemm, jadi nona inikah yang berani menghina empat orang muridku?” tanyanya kepada para murid itu dan mengertilah Hui Lan bahwa orang ini adalah guru silat dari empat orang yang tadi mengganggunya.
Akan tetapi, sebelum Hui Lan sampai di depan mereka, tiba-tiba nampak bayangan putih berkelebat dan tahu-tahu di hadapan rombongan orang itu sudah berdiri seorang pemuda berpakaian putih sambil tersenyum-senyum.
Hui Lan segera mengenalnya sebagai pemuda yang duduk di rumah makan, tak jauh dari tempat dia duduk. Karena pemuda itu telah mendahuluinya menghadapi rombongan orang itu, maka dia pun berhenti dan menonton saja.
Empat orang pemuda segera menuding kepada pemuda berpakaian putih itu dan berkata, “Inilah pemuda yang mengganjal kaki kami sehingga kami terjatuh!”
Si muka hitam memandang kepada pemuda berpakaian putih itu dengan mata mendelik penuh kemarahan. Tangan kanannya menuding ke arah muka pemuda itu ada pun tangan kirinya bertolak pinggang ketika dia menghardik, “Bocah kurang ajar! Berani engkau main-main dan menjatuhkan empat orang murid kami? Hayo cepat berlutut minta ampun atau nyawamu akan melayang!”
Pemuda itu tersenyum mengejek. “Hemm, kiranya engkaukah guru empat orang berandal itu? Kebetulan sekali, sebab sebagai guru mereka sepatutnya engkau mengajarkan sopan santun kepada mereka. Sekarang engkau beserta empat orang muridmu itu harus berlutut minta ampun kepada nona itu.” Ia menunjuk kepada Hui Lan yang berdiri di belakangnya.
Si muka hitam makin melotot. Dia mengancam pemuda itu agar berlutut, tapi sebaliknya pemuda itu minta agar dia dan murid-muridnya yang berlutut minta ampun!
“Keparat!” bentaknya. “Engkau belum mengenal aku, Si Harimau Bermuka Hitam!” Sambil berkata demikian dia sudah menerjang maju dan memukul ke arah pemuda baju putih itu.
Pemuda ini cepat mencondongkan tubuhnya ke kiri sehingga pukulan itu hanya mengenai tempat kosong. Sebelum si muka hitam dapat bergerak lebih lanjut, kakinya menendang dua kali ke arah lutut guru silat itu. Tanpa dapat dihindarkan lagi dua lutut yang tertendang itu kehilangan kekuatannya dan Si Harimau Bermuka Hitam itu jatuh menekuk lututnya di depan pemuda baju putih.
“He, bukan kepadaku engkau harus berlutut, akan tetapi kepada nona itu!”
Si Muka Hitam menjadi marah bukan kepalang. Dia sudah dihina di depan banyak orang, terutama di depan murid-muridnya. Dia merasa malu bukan main, karena itu dia menjadi marah. Dicabutnya golok yang tergantung di pinggangnya, dan dengan suara mengaum seperti seekor harimau dia lalu menyerang dengan goloknya, menyerang secara membabi buta!
Namun pemuda itu gesit bukan main. Selalu mengelak di antara sambaran golok bahkan kadang-kadang malah menangkis dengan kedua tangannya! Tangan telanjang itu berani menangkis golok yang demikian tajam dan berat, maka dapat diketahui bahwa pemuda itu memiliki sinkang yang kuat sekali, yang dapat membuat kedua tangannya kebal terhadap senjata tajam!
Dengan diam-diam Hui Lan memperhatikan gerakan pemuda itu. Seorang pemuda yang tinggi ilmu silatnya, pikirnya, akan menjadi lawan tangguh baginya kalau sampai dia harus bertanding melawan pemuda itu.
Mendadak Hui Lan terbelalak kagum. Pemuda itu membuat gerakan memutar tubuhnya seperti angin taufan yang melanda ke arah si muka hitam. Golok itu terpental dan tubuh si muka hitam terlempar ke belakang sehingga menimpa para muridnya.
Sepuluh orang muridnya menjadi penasaran dan marah. Serentak mereka mencabut golok masing-masing lantas menyerbu pemuda itu, menyerang dari segala jurusan. Akan tetapi Hui Lan hanya melihat pemuda itu membuat gerakan memutar dengan tubuhnya, lalu satu demi satu sepuluh orang murid si muka hitam itu terpelanting dan golok mereka terlepas dari tangan mereka! Semua itu terjadi hanya dalam beberapa menit saja.
Si muka hitam serta sepuluh orang muridnya merangkak bangkit sambil mengaduh-aduh karena mereka semua telah menderita luka parah.
“Jahanam busuk! Apakah kalian masih hendak mengganggu wanita lagi?” bentak pemuda baju putih itu.
Tanpa menjawab lagi si muka hitam bersama-sama muridnya meninggalkan tempat itu. Mereka seperti sekumpulan anjing ketakutan yang pergi dengan mengempit ekor di antara kedua kaki belakang mereka!
Pemuda baju putih itu membalikkan tubuhnya, menghadapi Hui Lan dan dia mengangkat kedua tangannya depan dada sambil berkata .“Nona, menghadapi berandalan macam itu harus menggunakan tangan besi.”
Hui Lan membalas penghormatan itu dan berkata, “Terima kasih atas bantuanmu.”
“Aihh, nona. Perlu apa berterima kasih? Aku yakin sekali bahwa tanpa aku turun tangan sekali pun tentu nona akan sanggup mengusir mereka. Akan tetapi bagaimana aku dapat membiarkan seorang gadis seperti nona menghadapi pengeroyokan segerombolan anjing itu? Nona, perkenalkan, nama saya Coa Leng Kun berasal dari pegunungan Lam-san di selatan. Kalau boleh saya mengetahui, siapakah nona dan ke mana nona hendak pergi?”
Sikap dan ucapan pemuda baju putih yang mengaku bernama Coa Leng Kun itu demikian sopan dan halus sehingga Hui Lan tidak merasa keberatan untuk melayani pemuda ini bicara. “Namaku Tang Hui Lan dan aku tinggal di Cing-ling-pai. Aku hendak pergi ke kota Pao-ting.”
Coa Leng kun melebarkan matanya dan wajahnya berseri. “Dari Cin-ling-pai? Ahh, kalau begitu tentu nona adalah murid Cin-Ling-pai yang terkenal sekali di dunia persilatan. Aku mendengar bahwa ketua Cin-Ling-Pai adalah seorang wanita sakti yang mempunyai ilmu tinggi. Apakah nona muridnya?”
Hui Lan tersenyum, merasa bangga karena ibunya demikian terkenal sehingga pemuda ini pernah mendengar ketenaran ibunya. “Ketua Cin-ling-pai adalah ibuku.”
“Ahh, maaf... maaf..., nona. Aku telah bersikap kurang hormat karena tidak mengerti!” dia menjura kembali dengan tubuh membungkuk sebagai tanda menghormat.
“Sudahlah jangan terlalu merendah,” Hui Lan berkata sambil membalas penghormatan itu. “Aku melihat ilmu silatmu juga hebat bukan main, tentu engkau murid orang sakti.”
“Guruku adalah ayahku yang sudah meninggal dunia,” kata Coa Leng Kun dengan suara mengandung kedukaan, “dan kepandaian silatku tidak akan ada artinya bila dibandingkan dengan kepandaianmu, nona.”
Hui Lan merasa tidak enak untuk bercakap-cakap lebih lama lagi dengan pemuda yang baru saja dijumpainya. Ia lalu berkata dengan tegas . “Sudahlah, aku hendak melanjutkan perjalanan. Sekali lagi terima kasih atas kebaikanmu.”
Sesudah berkata demikian dia lalu membalikkan tubuhnya dan melanjutkan perjalanannya melihat-lihat kota Liok-bun yang ramai. Apa lagi mereka berdua sekarang menjadi pusat perhatian orang karena perkelahian tadi. Melihat sikap tegas gadis itu, Leng Kun juga tak mau membantah lagi dan dia memberi hormat lagi.
“Selamat berpisah nona Hui Lan,” katanya dengan nada suara gembira.
Hui Lan melangkah pergi. Dia merasa tidak enak sekali karena hatinya tertarik kepada pemuda itu. Seorang pemuda yang tampan dan gagah, tampaknya hanya seperti seorang sastrawan yang lemah akan tetapi ilmu silatnya amat tinggi, bicaranya sopan dan lembut, selalu merendahkan diri. Ingin dia menengok kembali, namun dia mengeraskan hatinya. Tidak baik mudah tertarik kepada seorang pria yang belum di kenalnya sama sekali.
Ibunya pernah menasehatinya agar dia waspada terhadap pria, terutama sekali pria yang kelihatan tampan gagah. Jangan mudah percaya sebelum mengenal benar orang macam apa pemuda itu. Hatinya menjadi tenang kembali dan dia pun tak ingin menengok lagi.
Dia pernah mendengar dari ibunya bahwa kini dunia kangouw sedang digemparkan oleh perebutan sebilah pedang pusaka yang bernama Pek-Lui-Kiam (Pedang Halilintar). “Buka mata dan telingamu,” kata ayahnya pula, “siapa tahu engkau bertemu dengan orang yang menguasai pedang itu. Kalau dia seorang pendekar yang baik, jangan kau ganggu bahkan bela dia, akan tetapi kalau pedang pusaka berada di tangan golongan sesat, engkau boleh mencoba untuk merampasnya.”
“Akan tetapi pedang pusaka Pek-lui-kiam itu sebenarnya milik siapakah, Ayah dan Ibu?”
“Kabar yang kami dapatkan seperti dongeng saja, Hui Lan. Kabar itu mengatakan bahwa pedang itu dibuat oleh orang sakti yang disebut Pek-sim Lo-sian (Dewa Tua Berhati Putih) sehingga tentu saja menjadi miliknya. Akan tetapi pada suatu hari pedang itu dicuri orang. Sampai puluhan tahun tidak ada beritanya tentang pedang pusaka itu sampai akhir-akhir ini tersiar berita bahwa pedang itu sudah terjatuh ke tangan seorang pendekar bernama Tan Tiong Bu yang tinggal di Sia-lin. Akan tetapi belum lama ini Tan Tiong Bu itu bersama isterinya terbunuh orang, dan pedang pusaka itu pun lenyap dari rumahnya. Kemungkinan besar dicuri oleh pembunuh itu.”
“Dan siapakah pembunuh itu?”
“Tidak ada seorang pun yang mengetahui. Hanya kabarnya pembunuh itu selalu memakai pakaian serba merah, seorang kakek berusia enam puluh tahunan yang berpakaian serba merah,” kata ibunya. Ibunya memperoleh keterangan ini sesudah mengutus murid-murid Cin-ling-pai untuk menyelidiki ke Sia-lin.
“Aku teringat akan seorang datuk yang suka berpakaian merah, akan tetapi entah dia atau bukan yang sudah membunuh Tan Tiong Bu dan mencuri pedang pusaka itu,” kata Tang Hay setelah berpikir sejenak. “Dia berjuluk Ang I Sianjin dan menjadi ketua Kwi-jiauw-pang di Kwi-liong-san. Kabarnya dia lihai sekali dan menjagoi dunia barat.”
“Akan tetapi engkau tidak perlu menyelidiki ke Kwi-liong-san, Hui Lan,” kata ibunya. “Kami tidak bermusuhan dengan Kwi-jiauw-pang sehingga jangan sampai ada kesalah pahaman di antara kita dan mereka. Belum tentu berita itu benar adanya. Kalau ternyata bukan dia pencurinya lalu engkau membuat geger di sana, sungguh tidak enak bagi Cin-ling-pai.”
“Baiklah, Ibu. Aku akan mentaati nasehatmu.” Demikian Hui Lan berkata.
Ketika berjalan-jalan di kota Liok-bun itu, Hui Lan terkenang kembali akan nasehat ayah ibunya itu. Tidak, dia tak akan mencari gara-gara keributan. Tadi pun untung ada pemuda bernama Coa Leng Kun yang turun tangan sendiri memberi hajaran kepada gerombolan orang kasar itu sehingga tidak ada permusuhan antara dia dan orang-orang itu.
Hari sudah menjadi senja ketika Hui Lan pulang ke rumah penginapan. Sampai dia makan malam di rumah makan di bagian depan rumah penginapan itu, tidak terjadi sesuatu yang menimpa dirinya.
Malam hari itu, ketika sedang tidur dia mendengar suara perlahan di jendela kamarnya. Karena kamarnya gelap, lilin sudah dia padamkan dan di luar terdapat penerangan lampu, dia dapat melihat berkelebatnya bayangan orang di luar kamarnya. Hui Lan mengerutkan alisnya.
Bayangan itu tentu bukan bayangan pelayan rumah penginapan karena berkelebat sangat cepat. Akan tetapi dia tidak bangkit, melainkan terus berbaring sambil mengamati ke arah jendela dengan waspada. Kembali dia melihat bayangan itu berkelebat, kini bayangan itu berhenti di depan jendela kamarnya, lantas jendela itu terdengar berkeresekan. Agaknya bayangan itu berusaha untuk membuka jendela dari luar. Tanpa mengeluarkan suara Hui Lan bangkit duduk dan menanti dengan tenang. Maling ini mencari penyakit, pikirnya.
Tiba-tiba terdengar keributan di luar jendelanya dan terlihat bayangan dua orang berkelahi di luar kamarnya. Ia cepat meloncat turun dari pembaringan, menyambar pedangnya dan membuka daun pintu. Benar saja! Di sebelah kamarnya, di bagian luar jendela terdapat dua orang yang berkelahi.
Salah satu di antara mereka adalah seorang lelaki yang mengenakan penutup muka dari hidung ke bawah dan berpakaian serba hitam. Sedangkan yang seorang lagi bukan lain adalah pemuda berpakaian serba puith yang siang tadi membantunya, Coa Leng Kun!
Hui Lan mengerutkan alisnya. Kiranya pemuda itu kembali membantunya dan menyerang maling yang hendak mencongkel jendelanya dan kini mereka bertanding dengan serunya. Bayangan hitam tadi tentulah orang bertopeng yang mengenakan pakaian serba hitam itu. Dia menggunakan sebatang golok yang amat besar dan berat, sedangkan Coa Leng Kun menandinginya dengan sebatang suling. Gerakan maling itu cukup cepat dan bertenaga besar, akan tetapi Hui Lan melihat bahwa maling itu bukan lawan pemuda yang lihai itu. Leng Kun seakan mempermainkan maling itu.
Suara gaduh perkelahian itu membuat para tamu di rumah penginapan itu terbangun dan banyak jendela serta pintu dibuka dari dalam. Juga para pelayan penjaga hotel berlarian mendatangi tempat itu.
Melihat hal ini, maling yang sudah kewalahan menjadi semakin jeri. Dia membentak dan menggerakkan tangan kirinya. Sebatang piauw (senjata rahasia tajam) meluncur ke arah Leng Kun dan sebatang lagi meluncur kearah Hui Lan.
Dengan tenang gadis itu menangkap piauw itu dengan tangan kirinya, menjepit di antara dua jari tangan, sedangkan Leng kun juga mengelak sehingga senjata rahasia itu jatuh ke atas genteng mengeluarkan bunyi berkerontang. Maling itu menggunakan kesempatan ini untuk meloncat kemudian melarikan diri.
Leng Kun tidak mengejar, demikian pula Hui Lan yang sekarang memandang pemuda itu dengan alis berkerut.
“Selamat malam, Tang-siocia,” katanya sambil memberi hormat, “sayang saya tidak dapat menangkap maling itu.”
“Sobat Coa, aku sama sekali tidak membutuhkan bantuanmu,” kata Hui Lan agak marah sebab pemuda ini selalu melindunginya, padahal dia tidak membutuhkan perlindungan dan bantuan itu. Jika hanya menghadapi pemuda-pemuda berandalan seperti yang siang tadi mengganggunya atau maling yang berusaha membuka jendelanya, dia masih sanggup.
“Maaf, nona. Saya sama sekali tidak tahu bahwa nona yang tinggal di kamar ini, bahkan tidak tahu bahwa nona menginap di rumah penginapan ini.” Leng Kun memberi hormat lagi sambil senyum ramah.
Hui Lan tidak mengatakan sesuatu dan kembali memasuki kamarnya lalu menutup pintu kamarnya. Leng Kun dihujani pertanyaan oleh para tamu dan petugas rumah penginapan.
“Tidak perlu ribut-ribut,” kata Leng Kun dengan suara cukup nyaring sehingga terdengar oleh Hui Lan. “Aku mendengar gerakan orang di luar kamarku, kemudian aku keluar dan membayanginya. Ternyata dia berusaha mencongkel jendela kamar ini, maka aku segera menegurnya dan kami berkelahi.” Sesudah berkata demikian Leng Kun juga kembali ke kamarnya.
Orang-orang itu bubaran dan para tamu lalu menutupkan jendela dan pintu kamar rapat-rapat karena takut didatangi penjahat.
Hui Lan sudah rebah kembali di atas pembaringannya. Akkan tetapi dia sukar jatuh pulas. Bayangan pemuda pakaian putih itu selalu terbayang di depan matanya. Dia mengerutkan alisnya lantas bangkit duduk. Apakah dia tadi tidak bersikap keterlaluan kepada Coa Leng Kun?
Pemuda itu tidak tahu bahwa dia bermalam di situ dan bantuannya tadi hanya kebetulan saja. Sebagai seorang pendekar, tentu saja Leng Kun segera turun tangan ketika melihat ada maling yang hendak mencongkel jendela kamar. Akan tetapi dia tidak berterima kasih malah mengatakan tidak butuh bantuan! Apakah sikapnya itu sudah benar? Dia merasa menyesal, akan tetapi apa yang dapat dia lakukan?
Dia mengambil piauw yang tadi ditangkapnya dari maling itu. Sebatang piauw biasa saja, tidak mengandung racun. Ia melemparnya kembali ke atas meja. Setidaknya sikapnya itu menunjukkan kepada Coa Leng Kun bahwa dia bukan gadis yang lemah tak berdaya dan membutuhkan bantuannya! Dengan pikiran ini hatinya menjadi lega dan akhirnya dia bisa tidur pulas.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Hui Lan sudah membayar sewa kamar kemudian meninggalkan rumah penginapan itu. Ia hendak berangkat pagi-pagi menuju kota Pao-ting di mana tinggal pamannya, Cia Kui Bu.
Pamannya itu masih muda, baru berusia kurang lebih tiga puluh dua tahun. Sebenarnya dia adalah paman tirinya, karena pamannya itu adik tiri ibunya. Akan tetapi paman tirinya itu sudah dianggap sebagai putera sendiri oleh neneknya, maka hubungan mereka sangat akrab. Bahkan pamannya juga telah menerima pelajaran silat dari neneknya sehingga dia menjadi seorang pendekar yang gagah perkasa.
Cia Kui Bu tinggal di Pao-ting dan membuka sebuah perusahaan pengantar dan pengawal barang-barang kiriman yang berharga. Namun sampai berusia tiga puluh dua tahun Cia Kui Bu belum juga menikah. Padahal perusahaannya maju pesat. Barang berharga yang dikawal perusahaannya semakin banyak saja.
Para pedagang sangat mempercayainya karena selama bertahun-tahun membuka piauw-kiok (perusahaan pengawal) belum ada barang yang diganggu penjahat. Gangguan mula-mula memang ada. Ada perampok-perampok yang berusaha mengganggu dan merampas barang kiriman itu. Akan tetapi para perampok itu selalu berhasil dipukul mundur oleh Cia Kui Bu sehingga nama piauw-kiok itu menjadi terkenal dan ditakuti penjahat.
Jika melihat bendera dengan gambar naga hijau di atas kereta bermuatan barang-barang berharga maka tidak ada penjahat yang berani mengusiknya. Perusahaan piauw-kiok itu memang memakai nama Ceng-liong Pauw-kiok (Perusahaan pengawal naga Hijau), dan Cia Kui Bu yang suka memakai pakaian serba hijau itu bahkan dijuluki Ceng-liong (Naga Hijau) oleh para perampok.
Untuk mempercepat perjalanannya ke kota Pao-ting, Hui Lan lantas membeli seekor kuda kemudian melanjutkan perjalanannya dengan menunggang kuda. Semenjak kecil dia telah belajar menunggang kuda sehingga perjalanan itu bisa dilakukan dengan cepat. Beberapa hari kemudian dia sudah memasuki kota Pao-ting.
Kota ini cukup besar dan ramai karena letaknya tak jauh dari kota raja, di sebelah selatan kota raja. Dan mudah sekali baginya untuk mencari Ceng-liong Piauw-kiok. Semua orang di Pao-ting mengetahui di mana adanya piauw-kiok itu. Hui Lan belum pernah datang ke kota ini, biasanya Cia kui Bu yang datang berkunjung ke Cin-ling-san.
Hui Lan menjadi kagum sekali saat melihat rumah besar yang menjadi pusat perusahaan pamannya itu,. Agaknya perusahaan pamannya itu telah maju dengan pesatnya. Di depan pintu gerbang terdapat gambar naga hijau yang besar dan tulisan huruf-huruf besar yang berbunyi 'Ceng Liong Piauw-kiok', dan di pintu gerbang duduk beberapa orang lelaki yang bertubuh kekar dan gagah.
Hui Lan melompat turun dari kudanya, lalu menuntun kuda itu menghampiri pintu gerbang. Melihat ada seorang gadis cantik yang membawa pedang di punggung menghampiri pintu gerbang, lima orang piauwsu (pengawal barang) itu cepat bangkit berdiri dan menghadang di depan pintu.
“Siapakah nona dan ada keperluan apa datang ke piauw-kiok kami? Apakah nona hendak mengirim barang?” tanya seorang di antara mereka.
“Aku datang untuk bertemu dengan paman Cia Kui Bu. Dia adalah pamanku,” jawab Hui Lan singkat.
Akan tetapi kelima orang itu mengerutkan alisnya dan kelihatan tidak percaya. Hal ini tidak aneh. Mereka belum pernah bertemu dengan Hui Lan, dan sekarang tiba-tiba saja muncul seorang gadis yang tahu-tahu mengaku sebagai keponakan majikan mereka. Tentu saja mereka menjadi curiga.
“Nona, sekarang majikan kami sedang berada dalam keadaan yang tidak memungkinkan dia untuk menemui nona. Maka katakan siapa nona dan ada keperluan apa. Kami adalah pembantunya dan kami dapat mewakili majikan kami untuk mewakili keperluan nona.”
Hui Lan mengerutkan alisnya. “Sudah kukatakan bahwa dia adalah pamanku, adik ibuku, tapi kalian masih belum percaya. Panggil paman Cia Kui Bu keluar agar bertemu dengan aku!”
“Maaf, nona. Kami belum pernah melihat nona dan kami tidak pernah mendengar bahwa majikan kami memiliki seorang keponakan seperti nona. Karena itu harap nona memberi tahukan nama nona dan kami akan melaporkan ke dalam.”
“Tidak, panggil saja dia keluar!”
“Kami tidak dapat memenuhi permintaan nona.”
“Kalau begitu baiklah, aku yang akan masuk ke dalam dan mencarinya sendiri!”
Hui Lan menambatkan kendali kudanya pada sebatang pohon yang tumbuh di sana, lalu melangkah lebar hendak memasuki pintu gerbang itu. Akan tetapi lima orang penjaga itu menghadang di pintu gerbang, malah seorang di antara mereka melintangkan tombaknya.
“Minggir, atau terpaksa aku akan menghajar kalian!” bentak Hui Lan.
Ketika penjaga yang memegang tombak itu menghalanginya dengan tombak, dengan satu gerakan yang amat cepat Hui Lan merampas tombak itu, kemudian sekali menggerakkan tangan, tombak itu segera meluncur lalu menancap pada batang pohon di atas kudanya. Tombak itu menancap sampai hampir tembus!
Lima orang itu terbelalak, akan tetapi mereka tak menjadi gentar karena mereka mengira bahwa gadis ini sengaja datang untuk membikin kekacauan. Mereka segera menyambar golok dan pedang lalu mengepung Hui Lan.
“Nona tidak boleh melakukan kekerasan di sini!” bentak pemimpin mereka.
“Begitukah? Majulah kalau kalian ingin kuhajar!” tantang Hui Lan.
Lima orang itu lalu maju menyerang, akan tetapi tiba-tiba saja gadis itu sudah hilang dari kepungan mereka dan tahu-tahu ada dua orang di antara mereka yang roboh tertotok dan tidak mampu bergerak kembali.
Tiga orang lainnya menjadi sangat terkejut dan cepat menyerang, namun kembali mereka kehilangan gadis yang tadi berada di depan mereka, dan tahu-tahu mereka bertiga juga terpelanting roboh dan tidak mampu bergerak kembali!
“Hemm, hendak kulihat apa yang akan dilakukan paman Cia Kui Bu kepada kalian yang berani main kasar terhadap diriku!” setelah berkata demikian, Hui Lan meloncat memasuki rumah gedung itu sambil berteriak, “Paman Kui Bu, ini aku Hui Lan yang datang!”
Seorang pelayan wanita menyambutnya dan mata pelayan itu terbelalak heran. “Bibi, aku adalah keponakan paman Cia Ku Bu. Cepat bawa aku kepadanya!”
“Tapi... tapi... kongcu sedang sakit, nona.’
“Sakit...? Sakit apa? Cepat antarkan aku kepadanya, bibi!”
Pelayan itu tidak berani membantah dan dia mendahului masuk ke dalam, diikuti oleh Hui Lan. Pelayan itu membuka pintu sebuah kamar yang luas dan di tengah kamar itu Hui Lan melihat Cia Kui Bu sedang rebah telentang dengan muka pucat.
“Paman Kui Bu...!” Hui Lan berteriak sambil berlari menghampiri, kemudian duduk di tepi pembaringan itu.
Cia Kui Bu menggerakkan kepalanya menoleh dan begitu melihat Hui Lan dia menghela napas panjang. “Hui Lan, aku... aku sedang menderita luka berat...”
“Kenapa, paman? Coba kuperiksa!”
Kui Bu membuka kancing bajunya dan nampaklah oleh Hui Lan betapa di dada pamannya itu ada tanda tapak lima buah jari yang agak menghitam. Pukulan beracun! Untung bahwa pamannya sudah mempunyai sinkang yang cukup kuat sehingga pukulan itu tidak sampai menewaskannya, hanya melukainya saja. Akan tetapi luka itu dapat merenggut nyawanya kalau dibiarkan saja.
“Engkau terkena pukulan beracun, paman, harus cepat-cepat diobati! Tenanglah, paman, aku akan mengobati paman!” Setelah berkata demikian dia pun menoleh kepada pelayan wanita tadi. “Bibi, cepat ambilkan semangkok air yang telah masak, akan tetapi yang telah panas dan mendidih!” Pelayan itu segera pergi untuk memenuhi perintah gadis itu.
“Mulanya begini, Hui Lan…”
“Nanti saja, paman. Sekarang sebaiknya paman yang santai saja, mengatur pernapasan untuk memasukkan hawa murni, jangan mengeluarkan tenaga. Batu giok mustika ini bisa menghisap semua hawa beracun.”
“Hemm, milik ayahmu?”
“Benar, untung bahwa ayah memberikan ini kepadaku ketika aku hendak berangkat.”
Hui Lan mengeluarkan batu giok mestika itu, lantas menggosok-gosokannya ke atas dada yang kehitaman itu sambil mengerahkan tenaga sinkang-nya untuk menyedot. Tidak lama kemudian pelayan datang membawa sepanci air mendidih dan sebuah mangkok. Hui Lan minta pelayan itu menuangkan air mendidih semangkok. Kemudian, setelah menggosok-gosok beberapa lamanya, warna kehitaman di dada makin menipis dan dia mencelupkan batu giok mestika ke dalam sisa air di panci.
Air itu seketika berubah warna menjadi kehitaman, ada pun batu giok mestika itu menjadi bersih kembali. Ternyata hawa beracun yang dihisap batu mestika itu larut ke dalam air panas. Hui Lan mengulangi kembali usapan batu mestika itu sampai warna hitam menjadi bersih kembali.
Setelah membersihkan batu kemala mestika, Hui Lan lalu memasukkan batu itu ke dalam semangkok air dan membiarkan air itu menjadi dingin. Setelah airnya dingin, ia membantu pamannya untuk minum air rendaman batu kemala mestika itu. Begitu air diminum habis, Kui Bu menjadi sehat kembali. Dia lalu mencoba mengerahkan sinkang-nya dan dia tidak merasakan sakit lagi!
“Ahh, terima kasih, Hui Lan. Engkau telah menyelamatkan aku!”
“Kita harus bersyukur bahwa kita tidak terlambat, paman. Sekarang ceritakan apa yang telah terjadi.”
Sebelum Kui Bu bercerita, dari luar datang berlarian lima orang anak buahnya yang tadi roboh tertotok oleh Hui Lan. Agaknya totokan mereka sudah pudar kembali dan mereka kini memburu ke dalam karena mengkhawatirkan majikan mereka kalau-kalau diganggu oleh gadis yang lihai itu.
“Kalian mau apa?!” bentak Kui Bu.
Lima orang itu terheran-heran dan juga terkejut bukan main melihat gadis itu duduk dekat majikan mereka yang kini telah sehat kembali. Mereka lalu menjatuhkan diri berlutut.
“Maafkan kami, kongcu... kami... kami kira nona itu... akan mengganggu kongcu…”
“Hemm, keponakanku ini mengganggu? Malah dialah yang menyembuhkan aku!”
Lima penjaga itu kaget bukan kepalang. Mereka berlutut sambil berulang-ulang memberi hormat kepada Hui Lan dan pemimpin mereka berkata, “Mohon pengampunan dari lihiap, karena kami tidak mengenal maka kami bersikap kurang hormat…”
“Apa? Kalian berani kurang ajar kepada keponakanku?”
“Ampun, kongcu. Karena benar-benar tidak tahu maka tadi kami hendak melarang lihiap ini masuk, akan tetapi dia merobohkan kami semua...”
Kui Bu tertawa. “Ha-ha-ha-ha, biar pun kalian ditambah puluhan orang lagi, jangan harap dapat mencegah Hui Lan masuk untuk menemuiku!” Setelah tertawa kembali Kui Bu lalu mengusir anak buahnya keluar dari situ.
“Maafkan mereka, Hui Lan. Mereka belum pernah bertemu denganmu, karena itu berani melarangmu.”
“Tidak mengapa, paman. Mereka tidak berbuat kurang ajar, hanya hendak melarang aku masuk karena mereka curiga dan khawatir kalau-kalau aku ini datang sebagai musuhmu. Sekarang ceritakanlah, apa yang telah terjadi, paman?”
Joli tadi juga sudah di bawa ke situ. “Silakan duduk di dalam joli, siocia. Katakan ke mana siocia hendak pergi dan kami akan mengantarmu.”
Cu Yin marah dan menyesal sekali jantungnya seperti diremas-remas rasanya. Akan tetapi dia tidak dapat menyalahkan enam orang pelayannya. Maka ia lalu membuka tirai, masuk ke dalam joli dan berkata, “Antarkan aku ke Kwi-liong-san!”
Enam orang itu saling pandang namun tidak berani membantah. Empat di antara mereka lalu memanggul joli itu dan mereka melakukan perjalanan dengan cepat. Mereka adalah orang-orang yang lihai, menjadi pelayan sekaligus juga menerima pelajaran ilmu silat dari Lam-tok, maka perjalanan itu dapat dilakukan dengan cepat. Di sepanjang jalan mereka mendengar nona majikan mereka menangis terisak-isak.
********************
Pagi hari itu puncak bukit itu nampak bersih dan sejuk. Malam tadi turun hujan lebat dan pagi ini segala sesuatu terlihat hidup. Daun-daun pohon masih basah, rumput-rumput dan ilalang nampak segar seperti kanak-kanak yang baru habis mandi. Tanah mengeluarkan bau yang sedap, seolah menghaturkan terima kasih kepada langit yang tadi malam telah menghujaninya. Matahari baru muncul di tepi bukit dan langit menjadi lukisan yang paling indah di dunia. Ada seberkas cahaya biru di antara awan-awan putih, amat mengesankan dan penuh mengandung rahasia alam.
Si Kong duduk termenung di atas batu. Tadi dia menikmati keindahan yang terbentang luas di hadapannya, juga dia menikmati kicau burung di pohon-pohon, akan tetapi sayang keadaan yang indah di mana dia merasa ikut menjadi satu dengan seluruh alam itu hanya sebentar saja dinikmatinya. Hati serta akal pikirannya sudah bekerja lagi dan dia teringat kepada Cu Yin.
Cu Yin mengaku cinta kepadanya! Hampir dia tidak percaya. Gadis yang begitu kaya dan lihai, puteri Lam-tok, telah jatuh hati kepadanya! Terbayanglah wajah yang cantik jelita itu. Alangkah mudahnya untuk jatuh cinta kepada seorang gadis seperti Cu Yin. Akan tetapi yang dia rasakan hanya kekaguman terhadap ilmunya, keberaniannya, kepintarannya dan kecantikannya. Dia tidak tahu apakah dia mencintai Cu Yin ataukah tidak.
Lamunannya membuyar ketika muncul seorang lelaki tua berusia kurang lebih enam puluh tahun yang memikul sebongkok kayu. Tentunya untuk dijadikan kayu bakar, pikir Si Kong. Kakek itu terbongkok-bongkok memikul beban kayu itu.
Mendadak Si Kong mendapat pikiran yang dianggapnya baik sekali. Laki-laki setua kakek itu tentu mempunyai banyak pengalaman tentang hidup, sudah banyak merasakan suka duka dalam kehidupan dan dengan sendirinya tentu mengenal cinta.
“Selamat pagi, paman yang baik!” kata Si Kong sambil tersenyum ramah. “Maukah paman menikmati roti kering dan daging kering sambil minum arak bersamaku?”
“Daging dan roti kering? Dan ada araknya pula? Orang muda, sangat bodohlah aku kalau menolak tawaranmu yang baik itu.” Dia berusaha menurunkan ikatan kayu dari pundaknya dan cepat Si Kong membantunya.
Si Kong lantas mengeluarkan bungkusan roti kering dan daging kering yang kemarin siang dibelinya dari kedai makanan, lalu mereka berdua duduk berhadapan di atas batu sambil makan minum.
“Orang muda, siapakah engkau dan mengapa engkau begini baik dan ramah kepadaku?”
“Sungguh menyenangkan di pagi yang sunyi ini dapat bertemu dengan paman. Aku tahu bahwa paman tentu seorang yang baik budi, maka kuanggap bahwa paman tentu dapat menjawab rahasia yang menekan hatiku.”
Kakek itu minum arak dari guci. Dia merasa puas dan kenyang.
“Apakah soal yang harus dijawab itu? Aku hanya seorang penghuni dusun di bawah sana. Pengetahuanku dangkal saja, bagaimana aku bisa menjawab rahasia yang engkau sendiri tidak mampu melakukannya?”
“Aku yakin paman bisa karena paman sudah mengalaminya, sedangkan aku belum.”
“Hemm, engkau menarik hatiku, orang muda. Coba katakan, rahasia apakah itu?”
“Bagimu sederhana saja, paman. Aku hendak bertanya kepadamu. Apakah sebenarnya cinta itu? Paman pernah jatuh cinta bukan?”
Kakek itu terkekeh. Ia adalah seorang petani yang sederhana, berpikiran sederhana pula. Mendengar pertanyaan itu dia merasa lucu. “Orang muda, tentu saja aku pernah jatuh cinta, bahkan sering kali aku jatuh cinta.”
Si Kong terkejut. Kakek ini jatuh cinta kepada banyak wanita?
“Berapa kali engkau jatuh cinta, paman?”
“Tak terhitung lagi berapa banyaknya. Aku mencintai isteriku dan mencintai anak-anakku, mencintai kepala dusunku yang baik hati, mencintai sahabat-sahabatku, bahkan aku juga mencintai parang ini dan cangkul di rumah.”
Si Kong tertegun. “Jadi paman hanya sekali saja beristeri?”
“Ya, sekali saja. Aku mencintai isteriku sebab dia menyenangkan hatiku, melayani semua kehendakku dan tidak pernah membantah.”
“Apakah cinta paman terhadap isteri paman itu sama dengan cinta paman kepada anak-anak, tetangga dan juga cangkul itu?”
“Tentu saja sama. Aku mencintai isteriku karena dia melayaniku dengan senang hati. Aku mencinta anak-anakku karena mereka taat dan berbakti kepadaku. Aku mencinta kepala dusun, para sahabatku, karena mereka itu bersikap baik kepadaku. Aku mencinta parang dan cangkul karena dua benda itu amat berguna bagiku. Pendeknya aku mencinta segala hal yang menguntungkan dan menyenangkan hatiku. Andai kata parang ini patah menjadi dua, tentu aku tidak mencintanya lagi dan aku akan membuangnya.”
“Akan tetapi cinta seperti itu bukanlah cinta yang sejati, paman. Cinta seperti itu mudah luntur dan berbalik menjadi benci!”
“He-he-heh-heh, mana ada cinta yang tanpa pamrih disenangkan? Aku mencinta isteriku karena dia penurut dan menyenangkan, demikian pula anak-anak dan yang lain-lainnya. Bahkan aku memuja dan mencinta Kwan Im Posat (Dewi Kwan Im) karena dia memberi berkah kepadaku. Bukankah cinta kita ini seperti itu adanya? Mencinta karena ada pamrih supaya disenangkan? Apa bila engkau mempunyai isteri dan dia menyeleweng atau tidak menyenangkan hatimu, apakah engkau masih bisa mencintanya? Bila anak-anak durhaka kepadamu, apakah engkau akan tetap mencinta mereka? Kalau kawan-kawan dan yang lain itu merugikan dan tidak menyenangkan hatimu, apakah masih ada perasaan cinta itu dalam hatimu terhadap mereka? Manusia mencintai seseorang atau sesuatu benda pada dasarnya tidak berbeda. Kalau orang atau benda itu menyenangkan dan menguntungkan, dia akan mencintainya, sebaliknya kalau tidak menguntungkan atau merugikan, dia akan membencinya.”
Si Kong tertegun dan termenung. Ucapan itu keluar dari mulut seorang petani sederhana, seorang yang jujur, seorang yang tidak pernah membaca kitab agama dan filsafat, namun dia harus mengakui kebenarannya. Cinta di dalam hati manusia memang berpamrih, demi kesenangan dan keuntungan diri pribadi, seperti cinta jual beli. Betapa palsu dan kotornya cinta itu.
“Akan tetapi, paman. Bukankah ada cinta yang murni seperti misalnya cinta seorang ibu kepada anaknya? Jika ada ibu yang membenci anaknya, maka dia itu seorang yang tidak waras pikirannya.”
“Hemm, aku masih menyangsikan cinta seorang ibu terhadap anaknya. Apakah dia tidak pernah marah kepada anaknya? Apakah dia tidak pernah jengkel karena anaknya nakal? Nah, marah dan jengkel itu lahir dari benci karena si anak tidak menyenangkan hatinya.”
“Apakah di dunia ini sama sekali tidak ada cinta murni tanpa pamrih?” Si Kong bertanya dengan hati penuh penasaran.
“Menurut penglihatanku, tidak ada. Memang ada cinta, akan tetapi cinta itu diselingi rasa benci yang sewaktu-waktu dapat timbul kalau yang dicintai itu tidak menyenangkan hati.”
“Tetapi, paman. Lihat matahari. Dia memberi cahaya dan kehidupan tanpa pamrih, tanpa minta imbalan apa pun. Lihatlah bunga, dia memberi keharuman kepada siapa pun juga tanpa pandang bulu, juga tanpa pamrih apa pun. Apakah itu bukan cinta sejati yang suci murni?”
“Wah, engkau benar juga. Bahkan tanah, air, pohon-pohon berbuah dan kayu-kayu kering ini, semuanya itu menguntungkan dan menyenangkan kita tanpa pamrih apa pun! Engkau benar, orang muda. Akan tetapi aku tidak tahu mengapa segala benda itu seolah dapat mencintai manusia tanpa pamrih, sedangkan semua manusia itu baru bisa mencinta kalau disenangkan hatinya. Tegasnya, cinta manusia itu berpamrih. Mengapa begitu?”
“Sebab manusia itu makhluk yang dikaruniai akal dan pikiran, paman. Sejak lahir manusia dikaruniai nafsu-nafsu yang bertujuan untuk menyertai manusia, menjadi budak manusia. Tetapi manusia sering lemah terhadap nafsunya sendiri sehingga bukan dia yang menjadi majikan nafsu melainkan sebaliknya dialah yang menjadi budak nafsu. Cinta mengandung nafsu inilah yang membuat cinta itu berpamrih, karena nafsu sifatnya ingin menang, ingin untung dan ingin senang. Ada pun cinta seperti bunga harum dan matahari bercahaya itu adalah cinta Tuhan kepada kita. Tuhan selalu memberi, memberi tanpa menuntut apa pun, sejak lahir kita sampai kita mati, karena itulah sudah sepatutnya kalau kita bersyukur dan memuja Tuhan setiap saat.” Si Kong mengeluarkan pengetahuannya yang didapat ketika dia menjadi murid Si Penyair Gila atau Kwa Siucai.
Kakek itu menjadi bengong. Menurut pengetahuannya yang diperoleh dari tradisi, segala benda itu dikuasai oleh para dewa. Oleh karena itu dia dan masih banyak orang lagi selalu bersembahyang untuk menyenangkan hati para dewa itu agar bisa mendapatkan berkah. Tuhan itu dianggap sebagai Raja, maka untuk memberkahi semua orang, dilakukan oleh para dewa yang menjadi pembantu-pembantuNya. Orang muda ini begitu pandai, pikirnya, sedangkan otaknya menjadi pening dan bingung kalau harus memikirkan itu.
“Mungkin engkau benar, orang muda. Akan tetapi matahari sudah mulai naik dan sebentar lagi panas terik menyengat. Aku harus cepat pulang, isteriku telah menunggu karena kayu bakarnya habis. Terima kasih atas sarapan yang kau hidangkan padaku.”
Kakek itu memanggul kayu bakarnya, lantas melangkah pergi menuruni bukit itu. Si Kong hanya mengikutinya dengan pandang matanya.
Dia termenung dan berulang kali menghela napasnya. Kakek tadi itu tentu seorang yang hidupnya berbahagia. Keluarganya hidup sederhana, tidak banyak yang mereka butuhkan, sehingga mendapatkan satu ikat kayu bakar saja telah membahagiakan hatinya, disuguhi sarapan berupa roti dan daging kering saja sudah amat menyenangkan hatinya.
Dia menghela napas panjang lagi. Mengapa dia tidak pernah dapat merasakan bahagia? Kadang-kadang hatinya memang terasa senang, akan tetapi lebih sering hatinya murung. Mengapa bahagia seolah menghindar darinya? Terlebih lagi di saat itu. Dia merasa sedih, kesepian, tidak tahu harus berbuat apa dan harus ke mana. Dia merasa tidak ada orang yang membutuhkannya.
Dia menoleh ke arah buntalan pakaiannya, lantas teringatlah dia akan sepasang gelang di dalam kantung kain yang berada di buntalan bersama pakaiannya. Begitu teringat akan gelang itu, teringat pula dia kepada Tan Kiok Nio, keponakan Hartawan Kun yang berbudi baik.
Gadis itu telah memberikan sepasang gelang kepadanya, untuk bekal mencari orang yang telah membunuh ayah bunda gadis itu. Dan dia sudah tahu siapa orang itu. Tentu Ang I Sianjin! Hanya ada satu hal yang meragukan. Kalau Ang I Sianjin adalah pembunuh orang tua Kiok Nio kemudian merampas pedang Pek-lui-kiam yang kabarnya ampuh luar biasa itu, mengapa dalam pertandingan tadi Ang I Sianjin tidak mempergunakan pedang pusaka itu? Dia sudah memeriksa pedang yang terlepas dari tangan Ang I Sianjin ketika berkelahi dengannya, dan pedang itu walau pun pedang yang baik, akan tetapi bukan pedang Pek-lui-kiam yang dimaksudkan. Kalau memang Ang I Sianjin merampas pedang itu, mengapa tidak menggunakan Pek-lui-kiam?
Kalau sekarang dia kembali ke kota Ci-bung untuk memberi tahu kepada Kiok Nio bahwa pembunuh ayah bundanya adalah Ang I Sianjin, hal itu belumlah cukup. Dia harus merasa yakin benar bahwa Ang I Sianjin adalah pembunuh itu dan untuk meyakinkan hatinya, dia harus berusaha untuk merampas kembali pedang Pek-lui-kiam.
Tidak, tidak sekarang, tetapi nanti kalau dia sudah yakin dan keyakinan itu akan terbukti jika dia dapat merampas Pek-lui-kiam dari tangan Ang I Sianjin. Lagi pula, kalau sekarang dia memberi tahukan Kiok Nio bahwa musuh besarnya adalah Ang I Sianjin dan gadis itu dengan nekat pergi untuk membalas dendam, hal itu akan amat berbahaya bagi Kiok Nio.
Timbul semangat dalam batin Si Kong. Masih ada yang membutuhkan dia, yaitu Kiok Nio! Perasaan dibutuhkan ini langsung menimbulkan gairah hidup baginya. Dia harus mencari Ang I Sianjin, dan Siangkoan Cu Yin sudah memberi tahu kepadanya bahwa Ang I Sianjin adalah ketua perkumpulan Cakar Setan yang berpusat di Kwi-liong-san. Kini dia memiliki tujuan perjalanannya, yaitu ke Kwi-liong-san untuk mencari Ang I Sianjin.
Siang itu panasnya bukan main. Sinar matahari seakan membakar dan menyengat kulit. Untuk melindungi kulit dari sengatan matahari, orang-orang banyak yang memakai caping lebar atau payung. Kota Liok-bun yang biasanya ramai karena kota itu merupakan pusat perdagangan, pada siang hari itu nampak sepi. Orang-orang segan keluar menjadi korban panas terik yang membakar.
Kota Liok-bun terletak di dekat sungai Li-kiang, sebuah sungai yang menjadi anak sungai Huang-ho. Sungai itu menjadi sangat penting karena dijadikan lalu lintas perahu-perahu para pedagang. Banyak pedagang dari luar kota yang datang ke kota ini untuk membeli atau menjual barang.
Di antara sekian banyaknya orang yang memanfaatkan perlindungan caping atau payung, terdapat seorang gadis yang memakai payung melindungi mukanya agar jangan dibakar sinar matahari. Gadis itu berusia kurang lebih sembilan belas tahun dan pakaiannya serba merah muda. Wajahnya cantik sekali, dengan kulit putih mulus dan karena hawanya amat panas, kedua pipinya yang tanpa bedak dan gincu menjadi kemerahan.Terutama sekali sepasang matanya, sangat menarik perhatian karena mata itu indah sekali dan sinarnya mencorong. Juga mulutnya membuat wajah itu nampak cerah dan manis bukan main.
Kebanyakan pria yang berpapasan dengan gadis itu pasti menengok beberapa kali untuk memandang gadis yang manis dan jelita itu. Dipandang dari belakang pun sudah menarik perhatian karena bentuk tubuhnya yang sempurna. Tetapi kalau orang melihat sepasang pedang yang berada di punggungnya, maka orang itu akan mudah menduga bahwa gadis ini bukanlah gadis biasa saja, melainkan seorang pendekar wanita yang mahir memainkan ilmu pedang.
Tidak ada seorang pun di dalam kota Liok-bun yang mengenalnya. Akan tetapi, kalau ada yang mengenal puteri siapa yang berjalan seorang diri itu, mereka tentu menjadi terkejut dan gentar. Gadis ini adalah Tang Hui Lan. Ayahnya adalah seorang pendekar silat yang pernah menggetarkan dunia kangouw, bernama Tang Hay, ada pun ibunya juga seorang pendekar terkenal bernama Cia Kui Hong yang menjadi ketua Cin-ling-pai.
Seperti yang telah diceritakan dalam kisah ini, Tang Hay, Cia Kui Hong dan Tang Hui Lan, berkunjung ke pulau Teratai Merah. Kedatangan mereka sangat tepat, walau pun sedikit terlambat karena Ceng Lojin, guru Si Kong yang terakhir, terluka parah setelah memukul mundur para datuk yang menantangnya. Kemudian Ceng Lojin tewas, dan mereka bertiga membantu Si Kong mengubur jenazah Ceng Lojin di pulau itu. Penguburan yang sangat menyedihkan karena tidak ada seorang pun tamu yang datang melayat.
Beberapa hari sesudah pemakaman, Tang Hay, Cia Kui Hong dan Tang Hui Lan kembali ke Cin-ling-pai. Semenjak pulang dari Pulau Teratai Merah, Hui Lan banyak termenung. Ia tidak mau menerima begitu saja kematian Ceng Lojin, kakek buyutnya.
Biar pun kakek buyutnya itu wafat dalam usia seratus tahun lebih, tetap saja dia merasa penasaran karena kematian itu dapat dibilang sebagai akibat dari perlawanannya terhadap para datuk yang menantangnya. Apa bila para datuk itu tidak datang menantang, belum tentu kakek buyutnya akan tewas.
Kecantikan gadis ini menarik perhatian orang, terutama kaum pria. Tidak ada yang tidak menengok kembali setelah berpapasan dengan dara ini. Tapi Hui Lan tidak mempedulikan atau memperhatikan ulah para pria itu. Dia sudah terbiasa melihat mata kaum pria yang menatapnya dengan mata kagum, bahkan ada juga yang bersikap kurang ajar kepadanya.
Pada waktu dia menyatakan keinginan hatinya untuk merantau, ayahnya berkata sambil memandang puterinya penuh perhatian, “Apakah kepergianmu ada hubungannya dengan kematian kakek buyutmu di Pulau Teratai Merah?”
Hui Lan menggeleng kepalanya. “Tidak, ayah. Aku hanya ingin pergi merantau agar bisa mendapatkan pengalaman dan menambah pengetahuanku tentang dunia persilatan.”
Ibunya, Cia Kui Hong berkata. “Nasehat kami kepadamu dahulu tidak kosong belaka, Hui Lan. Bu-tek Ngo-sian itu merupakan lawan tangguh kalau mereka berlima maju bersama. Apa lagi Toa Ok dan Ji Ok, dua orang datuk ini sangat kejam dan berbahaya. Lebih baik hindarkan bentrokan dengan mereka.”
“Apakah Ayah dan Ibu juga akan menghindar dan melarikan diri apa bila bertemu dengan mereka di dalam perjalanan?” gadis itu bertanya sambil memandang tajam kepada ayah ibunya.
Tang Hay dan Cia Kui Hong saling pandang sejenak, kemudian Tang Hay berkata, “Tentu saja tidak, Hui Lan. Kami akan melawan mereka. Tetapi engkau lain lagi. Engkau seorang diri saja, bagaimana mungkin dapat menandingi pengeroyokan mereka? Kalau melawan satu demi satu, kami tidak mengkhawatirkan dirimu. Akan tetapi mereka itu sangat licik. Buktinya ketika melawan kakek Ceng, mereka melakukan pengeroyokan secara curang. Karena itu jangan nekat untuk menentang mereka.”
“Ayahmu berkata benar, Hui Lan. Menghindarkan diri dari musuh yang jumlahnya banyak bukan berarti penakut, melainkan suatu tindakan bijaksana. Sebaliknya perbuatan nekat sehingga mati konyol adalah tindakan bodoh. Mengertikah engkau?”
Hui Lan mengangguk. “Aku mengerti Ibu dan aku bersikap hati-hati menjaga diri.”
“Kalau begitu sebaiknya terlebih dahulu engkau mengunjungi pamanmu Cia Kui Bu yang tinggal di Pao-ting sebelah selatan kota raja untuk menyampaikan berita tentang kematian kakek buyutmu, juga untuk melihat bagaimana keadaannya sekarang. Kita sudah terlalu lama berpisah dari pamanmu itu.”
“Baik, Ayah. Memang aku juga ingin berkunjung ke kota raja, aku akan singgah ke rumah Paman Cia Kui Bu.”
Cia Kui Bu adalah adik Cia Kui Hong, satu ayah berlainan ibu. Akan tetapi Ceng Sui Cin sudah menganggapnya sebagai anaknya sendiri, maka Cia Kui Bu juga sudah mewarisi ilmu-ilmu dari ayah dan ibu tirinya itu.
“Kalau engkau pergi ke kota raja, sekalian kau singgah ke Tung-ciu, ke rumah pamanmu Pek Han Siong dan kirimkan salamku untuk dia sekeluarga,” kata pula Tang Hay.
“Dan jangan lupa kabarkan kepada mereka tentang kematian kakek buyutmu,” Kui Hong menambahkan.
“Baik, Ayah dan Ibu. Aku pasti tidak melupakan pesan-pesan itu.”
“Sekarang pamitlah kepada kakek dan nenekmu,” kata Kui Hong.
Hui Lan lalu pergi ke ruang dalam. Dia mendapatkan neneknya, Ceng Sui Cin yang sudah berusia enam puluh lima tahun, sedang duduk menyendiri, asyik dengan pekerjaan yang disenanginya, yaitu menyulam.
“Nek...!” kata Hui Lan manja.
Nenek itu mengangkat wajah, tersenyum memandang cucunya tersayang. “Ahh, kiranya engkau Hui Lan. Duduklah. Wajahmu nampak demikian berseri, ada berita baik apakah?”
Hui Lan menarik kursi ke dekat neneknya. “Memang aku sedang bergembira sekali, Nek. Ayah dan ibu mengijinkan aku pergi merantau!”
Nenek itu menunda pekerjaannya. Ia menaruh kain yang disulam ke atas meja kemudian memandang kepada cucunya dengan wajah berseri dan merangkul pundak cucunya itu. “Ahh, engkau mengingatkan aku akan masa remajaku dan masa remaja ibumu. Di waktu aku seusiamu sekarang ini, aku pun merantau sampai jauh, seorang diri saja, begitu pula ibumu. Apa lagi engkau sudah mewarisi ilmu dari ayah ibumu, tentu engkau akan mampu menjaga dirimu sendiri. Aku ikut merasa girang, Hui Lan.”
“Terima kasih, Nek. Di mana kakek?”
“Dia sedang bersemedhi dalam kamar belakang. Jangan ganggu dia. Setelah usianya tua, lebih dari tujuh puluh tahun, dia memang membutuhkan banyak istirahat dan ketenangan. Tetapi aku mempunyai nasehat untukmu, berdasarkan pengalamanku dahulu. Ketahuilah bahwa di dunia persilatan terdapat banyak orang yang berilmu tinggi. Jika mereka semua adalah orang baik-baik maka tidak perlu kita bicarakan lagi. Akan tetapi banyak di antara mereka yang lihai-lihai itu menjadi orang jahat! Karena itu engkau harus berhati-hati kalau berhadapan dengan mereka. Engkau seorang gadis muda yang cantik, tentu akan banyak menghadapi godaan pria-pria iseng. Jangan layani mereka kalau mereka tidak keterlaluan sekali, dan usahakan agar engkau tak perlu membunuh orang. Sedapat mungkin jauhkan segala permusuhan yang tidak berarti. Mengertikah engkau, Hui Lan?”
Hui Lan merangkul dan mencium pipi neneknya. “Aku mengerti, Nek, dan jangan khawatir, aku akan selalu ingat nasehat nenek ini. Aku hendak berkemas dahulu, Nek. Sampaikan salam hormat dan ucapan selamat tinggalku untuk kakek.”
Hui Lan berlari-lari kecil meninggalkan neneknya untuk pergi ke kamarnya sendiri, diikuti pandang mata neneknya yang kemudian menggeleng-gelengkan kepala. Dia tidak segera mengambil kain sulaman yang diletakkan di atas meja, tetapi termenung membayangkan kembali semua pengalamannya pada waktu dia masih gadis seusia cucunya.
Alangkah cepatnya waktu berlalu. Membayangkan semua pengalamannya di waktu muda, seolah-olah baru terjadi beberapa bulan yang lalu. Tahu-tahu dia sudah menjadi seorang nenek-nenek! Kembali dia menghela napas panjang dan menggelengkan kepalanya yang sudah berwarna kelabu itu.
********************
Pada hari itu juga Hui Lan meninggalkan rumah keluarganya, dan ibunya memberi bekal uang cukup banyak berikut sepasang pedang Hok-mo-kiam. Ayahnya juga menyerahkan batu giok mustika yang dapat mengobati segala macam luka beracun. Setelah menerima banyak petuah dari orang tuanya, lalu berangkatlah Hui Lan dengan buntalan pakaian dan pedang pada punggungnya.
Demikianlah, pada hari itu dia memasuki kota Liok-bun dan hal pertama yang dia lakukan adalah membeli sebuah payung di kedai terdekat. Hari itu panas bukan main dan dia tidak mau kalau kulit wajahnya menjadi rusak oleh sengatan matahari.
Setelah membeli payung dia pun melanjutkan perjalanan memasuki kota Liok-bun. Ia tidak mempedulikan pandang mata penuh gairah dari para pria yang berpapasan di jalan, akan tetapi melangkah terus dengan tenang sampai dia melihat papan nama di depan sebuah rumah makan besar. Papan itu menyatakan bahwa di tempat itu terdapat rumah makan berikut pula rumah penginapan.
Semenjak pagi tadi Hui Lan sudah melakukan perjalanan. Kini dia merasa lelah dan lapar, maka dimasukinya rumah makan itu. Semua tamu pria menengok dan memandang wajah yang cantik itu, yang sekarang tidak tertutup payung lagi karena Hui Lan sudah menutup payungnya sehingga wajahnya dapat nampak dari kanan kiri dan depan. Seorang pelayan segera menghampirinya dan berkata dengan hormat.
“Selamat siang, nona. Apakah siocia hendak makan atau menyewa kamar?”
“Kedua-duanya,” jawab Hui Lan. “Akan tetapi perlihatkan dulu kamar itu!”
“Mari silakan, nona.” kata si pelayan yang mendahului naik anak tangga menuju ke loteng di mana terdapat banyak kamar yang disewakan.
Pelayan mengantar Hui Lan ke sebuah kamar sudut dan gadis ini merasa cocok. Kamar itu cukup bersih, maka dia pun segera menaruh buntalannya di atas meja.
“Sekarang harap sediakan air untuk mencuci muka, sesudah itu baru aku akan turun dan memesan makanan.”
“Baik, siocia.” Pelayan itu segera pergi dan tak lama kemudian dia datang lagi membawa sebaskom air jernih yang dia letakkan di atas sebuah bangku.
“Terima kasih, dan keluarlah. Nanti aku akan turun dan makan.”
“Baik, siocia.” pelayan itu mengangguk dan segera meninggalkan kamar itu.
Hui Lan menutup pintu kamar, kemudian membersihkan tubuhnya dan berganti pakaian. Sesudah itu dia keluar dari kamarnya dengan meninggalkan pakaiannya tetapi membawa uang, batu giok mustika dan pedangnya turun dari loteng. Pelayan tadi menyambutnya.
“Bawa pergi baskom air itu, bersihkan kamar dan panggil pelayan lain supaya aku dapat memesan makanan,” kata Hui Lan.
Dia hanya mengerutkan alis saat melihat betapa semua pria melahapnya dengan pandang mata mereka. Dia pun sengaja duduk menghadap ke dinding, membelakangi para tamu. Bagaimana pun juga, akan tidak nyaman apa bila makan sambil dipandang banyak mata. Memang dia tidak mengacuhkan mereka, akan tetapi merasa tidak enak juga.
Seorang pelayan lain menghampirinya. Hui Lan lalu memesan nasi dan beberapa macam sayuran. Untuk minumnya dia minta disediakan air teh.
Selagi dia menunggu datangnya masakan, dia mendengar dengan jelas percakapan yang terjadi di meja belakangnya. Dari percakapan itu dia dapat mengetahui bahwa pada meja di belakangnya terdapat empat orang pria yang sedang bercakap-cakap. Semula dia tidak menghiraukan percakapan mereka, tapi ketika percakapan itu menyinggung dirinya, mau tidak mau dia memperhatikan juga.
“Hati-hati, kawan. Jangan-jangan dia seorang pendekar wanita yang lihai!”
“Aihhh, takut apa? Paling-paling dia mengerti satu dua jurus ilmu pedang. Kita berempat takut apa?”
“Benar, agaknya dia bukan orang sini. Kalau dapat membujuknya alangkah senangnya.”
“Aku juga sudah merasa muak dengan perempuan-perempuan pelacur itu. Kalau yang ini boleh sekali!”
Merah kedua pipi Hui Lan. Mereka itu membicarakannya secara kurang ajar sekali. Dia melihat di depannya ada beberapa pasang sumpit. Diambilnya dua batang sumpit dengan tangan kanannya dan disambitkan sumpit itu melalui pundak kirinya ke arah belakang.
“Capp! Capp!”
Dua batang sumpit itu menancap di atas meja keempat orang itu, menancap sampai ke gagangnya! Meja itu terbuat dari papan yang tebal dan keras, namun sumpit bambu itu dapat menancap setengahnya lebih. Apa lagi kalau mengenai tubuh mereka. Kulit tubuh tentu akan dapat ditembusi oleh sumpit-sumpit itu.
Dengan mata terbelalak empat orang itu memandang ke arah sepasang sumpit, kemudian menoleh ke arah Hui Lan. Akan tetapi Hui Lan duduk dengan tenang saja seolah-olah dia tidak mengetahui apa yang telah terjadi di meja belakangnya.
Empat orang itu adalah pemuda-pemuda berandal anak orang-orang kaya yang biasanya memaksa orang lain untuk memenuhi kehendak mereka. Mereka juga pernah mempelajari ilmu silat, namun apa yang mereka lihat sudah cukup untuk melenyapkan nyali mereka.
Mereka berempat segera meninggalkan meja mereka yang masih kosong karena pesanan mereka adalah makanan-makanan istimewa yang membutuhkan waktu cukup lama untuk membuatnya. Akan tetapi baru beberapa langkah mereka berjalan, mereka terguling satu demi satu karena ada yang mengganjal kaki mereka. Sesudah mereka menoleh, ternyata yang memalangkan kakinya adalah seorang pemuda yang berpakaian serba putih seperti seorang terpelajar.
Wajah pemuda itu tampan sekali. Mulutnya tersenyum sinis dan matanya melirik ke arah keempat pemuda tadi. Karena hati mereka memang sudah gentar setelah ada sepasang sumpit menancap di meja mereka, empat orang pemuda itu tanpa banyak cakap lagi lalu bangkit dan berlari keluar rumah makan.
Hui Lan hanya mendengar empat orang yang ingin mengganggunya tadi berpelantingan, akan tetapi tidak tahu apa yang sudah terjadi dan dia pun tidak ingin menengok. Setelah peristiwa itu dia merasa tidak tenang apa bila duduk menghadapi tembok, khawatir kalau-kalau ada orang yang akan menyerangnya. Karena itu Hui Lan lalu pindah duduk di atas bangku yang dekat dinding sehingga dia dapat melihat para tamu.
Agaknya tidak ada orang yang melihat ketika dia menyambitkan sepasang sumpit kepada empat orang pemuda tadi karena seluruh mata para tamu tidak ditujukan ke arahnya akan tetapi kepada seorang pemuda yang berpakaian serba putih bersih itu. Ia dapat menduga bahwa empat orang yang berpelantingan itu tentu dihajar oleh pemuda tampan ini.
Meski pun pakaiannya seperti seorang terpelajar yang lemah, namun sinar matanya yang mencorong serta sebatang sulingnya yang diletakkan di atas meja bercerita banyak bagi Hui Lan. Ketika pemuda yang tersenyum-senyum itu mengangkat muka memandangnya, dua pasang sinar mata bertemu dan Hui Lan segera membuang muka ketika pemuda itu menganggukkan sedikit kepalanya.
Sekarang hidangan untuknya sudah datang dan Hui Lan merasa tidak enak kalau makan ditonton orang, terutama pemuda berpakaian serba putih itu, maka dia pindah duduk lagi seperti tadi, menghadap dinding.
Melihat ini pemuda berpakaian serba putih itu memperlebar senyumnya. Dia tahu kenapa Hui Lan pindah duduk, maka dia merasa geli.
Setelah makan Hui Lan membayar harga makanan dan dia pun keluar dari rumah makan itu. Dia melihat pemuda berpakaian putih yang tadi duduk di belakangnya kini sudah tidak berada di situ lagi. Dia tidak mengacuhkan pandang mata para tamu dan cepat keluar dari situ sambil membawa payungnya.
Buntalan uang terikat di pinggangnya dan pedangnya berada di punggung. Hui Lan ingin berjalan-jalan melihat keadaan kota Liok-bun. Baru setelah itu dia akan kembali ke rumah penginapan untuk beristirahat.
Akan tetapi belum jauh ia meninggalkan rumah makan itu, di depannya telah menghadang kurang lebih sepuluh orang laki-laki. Melihat bahwa empat orang di antara mereka segera menuding-nuding kepadanya, dia pun dapat menduga bahwa agaknya empat orang itulah yang tadi di rumah makan hendak menggodanya.
Hui Lan melangkah terus dengan sikap tenang sekali. Dia bisa menduga bahwa agaknya orang-orang itu hendak membalas dendam kepadanya karena dia sudah mengusir empat orang pemuda kurang ajar itu. Orang-orang ini mencari penyakit sendiri, pikirnya.
Ayah ibunya menasehatkan supaya dia tidak mencari permusuhan selama perjalanannya, akan tetapi kalau dia di ganggu tentu dia tak akan tinggal diam dan akan memberi hajaran keras kepada orang-orang yang menghadangnya itu.
Dari kelompok itu majulah seorang pria berusia kurang lebih empat puluh tahun, tubuhnya tinggi besar dan kekar, mukanya kehitaman dan wajah itu nampak bengis sekali.
“Hemm, jadi nona inikah yang berani menghina empat orang muridku?” tanyanya kepada para murid itu dan mengertilah Hui Lan bahwa orang ini adalah guru silat dari empat orang yang tadi mengganggunya.
Akan tetapi, sebelum Hui Lan sampai di depan mereka, tiba-tiba nampak bayangan putih berkelebat dan tahu-tahu di hadapan rombongan orang itu sudah berdiri seorang pemuda berpakaian putih sambil tersenyum-senyum.
Hui Lan segera mengenalnya sebagai pemuda yang duduk di rumah makan, tak jauh dari tempat dia duduk. Karena pemuda itu telah mendahuluinya menghadapi rombongan orang itu, maka dia pun berhenti dan menonton saja.
Empat orang pemuda segera menuding kepada pemuda berpakaian putih itu dan berkata, “Inilah pemuda yang mengganjal kaki kami sehingga kami terjatuh!”
Si muka hitam memandang kepada pemuda berpakaian putih itu dengan mata mendelik penuh kemarahan. Tangan kanannya menuding ke arah muka pemuda itu ada pun tangan kirinya bertolak pinggang ketika dia menghardik, “Bocah kurang ajar! Berani engkau main-main dan menjatuhkan empat orang murid kami? Hayo cepat berlutut minta ampun atau nyawamu akan melayang!”
Pemuda itu tersenyum mengejek. “Hemm, kiranya engkaukah guru empat orang berandal itu? Kebetulan sekali, sebab sebagai guru mereka sepatutnya engkau mengajarkan sopan santun kepada mereka. Sekarang engkau beserta empat orang muridmu itu harus berlutut minta ampun kepada nona itu.” Ia menunjuk kepada Hui Lan yang berdiri di belakangnya.
Si muka hitam makin melotot. Dia mengancam pemuda itu agar berlutut, tapi sebaliknya pemuda itu minta agar dia dan murid-muridnya yang berlutut minta ampun!
“Keparat!” bentaknya. “Engkau belum mengenal aku, Si Harimau Bermuka Hitam!” Sambil berkata demikian dia sudah menerjang maju dan memukul ke arah pemuda baju putih itu.
Pemuda ini cepat mencondongkan tubuhnya ke kiri sehingga pukulan itu hanya mengenai tempat kosong. Sebelum si muka hitam dapat bergerak lebih lanjut, kakinya menendang dua kali ke arah lutut guru silat itu. Tanpa dapat dihindarkan lagi dua lutut yang tertendang itu kehilangan kekuatannya dan Si Harimau Bermuka Hitam itu jatuh menekuk lututnya di depan pemuda baju putih.
“He, bukan kepadaku engkau harus berlutut, akan tetapi kepada nona itu!”
Si Muka Hitam menjadi marah bukan kepalang. Dia sudah dihina di depan banyak orang, terutama di depan murid-muridnya. Dia merasa malu bukan main, karena itu dia menjadi marah. Dicabutnya golok yang tergantung di pinggangnya, dan dengan suara mengaum seperti seekor harimau dia lalu menyerang dengan goloknya, menyerang secara membabi buta!
Namun pemuda itu gesit bukan main. Selalu mengelak di antara sambaran golok bahkan kadang-kadang malah menangkis dengan kedua tangannya! Tangan telanjang itu berani menangkis golok yang demikian tajam dan berat, maka dapat diketahui bahwa pemuda itu memiliki sinkang yang kuat sekali, yang dapat membuat kedua tangannya kebal terhadap senjata tajam!
Dengan diam-diam Hui Lan memperhatikan gerakan pemuda itu. Seorang pemuda yang tinggi ilmu silatnya, pikirnya, akan menjadi lawan tangguh baginya kalau sampai dia harus bertanding melawan pemuda itu.
Mendadak Hui Lan terbelalak kagum. Pemuda itu membuat gerakan memutar tubuhnya seperti angin taufan yang melanda ke arah si muka hitam. Golok itu terpental dan tubuh si muka hitam terlempar ke belakang sehingga menimpa para muridnya.
Sepuluh orang muridnya menjadi penasaran dan marah. Serentak mereka mencabut golok masing-masing lantas menyerbu pemuda itu, menyerang dari segala jurusan. Akan tetapi Hui Lan hanya melihat pemuda itu membuat gerakan memutar dengan tubuhnya, lalu satu demi satu sepuluh orang murid si muka hitam itu terpelanting dan golok mereka terlepas dari tangan mereka! Semua itu terjadi hanya dalam beberapa menit saja.
Si muka hitam serta sepuluh orang muridnya merangkak bangkit sambil mengaduh-aduh karena mereka semua telah menderita luka parah.
“Jahanam busuk! Apakah kalian masih hendak mengganggu wanita lagi?” bentak pemuda baju putih itu.
Tanpa menjawab lagi si muka hitam bersama-sama muridnya meninggalkan tempat itu. Mereka seperti sekumpulan anjing ketakutan yang pergi dengan mengempit ekor di antara kedua kaki belakang mereka!
Pemuda baju putih itu membalikkan tubuhnya, menghadapi Hui Lan dan dia mengangkat kedua tangannya depan dada sambil berkata .“Nona, menghadapi berandalan macam itu harus menggunakan tangan besi.”
Hui Lan membalas penghormatan itu dan berkata, “Terima kasih atas bantuanmu.”
“Aihh, nona. Perlu apa berterima kasih? Aku yakin sekali bahwa tanpa aku turun tangan sekali pun tentu nona akan sanggup mengusir mereka. Akan tetapi bagaimana aku dapat membiarkan seorang gadis seperti nona menghadapi pengeroyokan segerombolan anjing itu? Nona, perkenalkan, nama saya Coa Leng Kun berasal dari pegunungan Lam-san di selatan. Kalau boleh saya mengetahui, siapakah nona dan ke mana nona hendak pergi?”
Sikap dan ucapan pemuda baju putih yang mengaku bernama Coa Leng Kun itu demikian sopan dan halus sehingga Hui Lan tidak merasa keberatan untuk melayani pemuda ini bicara. “Namaku Tang Hui Lan dan aku tinggal di Cing-ling-pai. Aku hendak pergi ke kota Pao-ting.”
Coa Leng kun melebarkan matanya dan wajahnya berseri. “Dari Cin-ling-pai? Ahh, kalau begitu tentu nona adalah murid Cin-Ling-pai yang terkenal sekali di dunia persilatan. Aku mendengar bahwa ketua Cin-Ling-Pai adalah seorang wanita sakti yang mempunyai ilmu tinggi. Apakah nona muridnya?”
Hui Lan tersenyum, merasa bangga karena ibunya demikian terkenal sehingga pemuda ini pernah mendengar ketenaran ibunya. “Ketua Cin-ling-pai adalah ibuku.”
“Ahh, maaf... maaf..., nona. Aku telah bersikap kurang hormat karena tidak mengerti!” dia menjura kembali dengan tubuh membungkuk sebagai tanda menghormat.
“Sudahlah jangan terlalu merendah,” Hui Lan berkata sambil membalas penghormatan itu. “Aku melihat ilmu silatmu juga hebat bukan main, tentu engkau murid orang sakti.”
“Guruku adalah ayahku yang sudah meninggal dunia,” kata Coa Leng Kun dengan suara mengandung kedukaan, “dan kepandaian silatku tidak akan ada artinya bila dibandingkan dengan kepandaianmu, nona.”
Hui Lan merasa tidak enak untuk bercakap-cakap lebih lama lagi dengan pemuda yang baru saja dijumpainya. Ia lalu berkata dengan tegas . “Sudahlah, aku hendak melanjutkan perjalanan. Sekali lagi terima kasih atas kebaikanmu.”
Sesudah berkata demikian dia lalu membalikkan tubuhnya dan melanjutkan perjalanannya melihat-lihat kota Liok-bun yang ramai. Apa lagi mereka berdua sekarang menjadi pusat perhatian orang karena perkelahian tadi. Melihat sikap tegas gadis itu, Leng Kun juga tak mau membantah lagi dan dia memberi hormat lagi.
“Selamat berpisah nona Hui Lan,” katanya dengan nada suara gembira.
Hui Lan melangkah pergi. Dia merasa tidak enak sekali karena hatinya tertarik kepada pemuda itu. Seorang pemuda yang tampan dan gagah, tampaknya hanya seperti seorang sastrawan yang lemah akan tetapi ilmu silatnya amat tinggi, bicaranya sopan dan lembut, selalu merendahkan diri. Ingin dia menengok kembali, namun dia mengeraskan hatinya. Tidak baik mudah tertarik kepada seorang pria yang belum di kenalnya sama sekali.
Ibunya pernah menasehatinya agar dia waspada terhadap pria, terutama sekali pria yang kelihatan tampan gagah. Jangan mudah percaya sebelum mengenal benar orang macam apa pemuda itu. Hatinya menjadi tenang kembali dan dia pun tak ingin menengok lagi.
Dia pernah mendengar dari ibunya bahwa kini dunia kangouw sedang digemparkan oleh perebutan sebilah pedang pusaka yang bernama Pek-Lui-Kiam (Pedang Halilintar). “Buka mata dan telingamu,” kata ayahnya pula, “siapa tahu engkau bertemu dengan orang yang menguasai pedang itu. Kalau dia seorang pendekar yang baik, jangan kau ganggu bahkan bela dia, akan tetapi kalau pedang pusaka berada di tangan golongan sesat, engkau boleh mencoba untuk merampasnya.”
“Akan tetapi pedang pusaka Pek-lui-kiam itu sebenarnya milik siapakah, Ayah dan Ibu?”
“Kabar yang kami dapatkan seperti dongeng saja, Hui Lan. Kabar itu mengatakan bahwa pedang itu dibuat oleh orang sakti yang disebut Pek-sim Lo-sian (Dewa Tua Berhati Putih) sehingga tentu saja menjadi miliknya. Akan tetapi pada suatu hari pedang itu dicuri orang. Sampai puluhan tahun tidak ada beritanya tentang pedang pusaka itu sampai akhir-akhir ini tersiar berita bahwa pedang itu sudah terjatuh ke tangan seorang pendekar bernama Tan Tiong Bu yang tinggal di Sia-lin. Akan tetapi belum lama ini Tan Tiong Bu itu bersama isterinya terbunuh orang, dan pedang pusaka itu pun lenyap dari rumahnya. Kemungkinan besar dicuri oleh pembunuh itu.”
“Dan siapakah pembunuh itu?”
“Tidak ada seorang pun yang mengetahui. Hanya kabarnya pembunuh itu selalu memakai pakaian serba merah, seorang kakek berusia enam puluh tahunan yang berpakaian serba merah,” kata ibunya. Ibunya memperoleh keterangan ini sesudah mengutus murid-murid Cin-ling-pai untuk menyelidiki ke Sia-lin.
“Aku teringat akan seorang datuk yang suka berpakaian merah, akan tetapi entah dia atau bukan yang sudah membunuh Tan Tiong Bu dan mencuri pedang pusaka itu,” kata Tang Hay setelah berpikir sejenak. “Dia berjuluk Ang I Sianjin dan menjadi ketua Kwi-jiauw-pang di Kwi-liong-san. Kabarnya dia lihai sekali dan menjagoi dunia barat.”
“Akan tetapi engkau tidak perlu menyelidiki ke Kwi-liong-san, Hui Lan,” kata ibunya. “Kami tidak bermusuhan dengan Kwi-jiauw-pang sehingga jangan sampai ada kesalah pahaman di antara kita dan mereka. Belum tentu berita itu benar adanya. Kalau ternyata bukan dia pencurinya lalu engkau membuat geger di sana, sungguh tidak enak bagi Cin-ling-pai.”
“Baiklah, Ibu. Aku akan mentaati nasehatmu.” Demikian Hui Lan berkata.
Ketika berjalan-jalan di kota Liok-bun itu, Hui Lan terkenang kembali akan nasehat ayah ibunya itu. Tidak, dia tak akan mencari gara-gara keributan. Tadi pun untung ada pemuda bernama Coa Leng Kun yang turun tangan sendiri memberi hajaran kepada gerombolan orang kasar itu sehingga tidak ada permusuhan antara dia dan orang-orang itu.
Hari sudah menjadi senja ketika Hui Lan pulang ke rumah penginapan. Sampai dia makan malam di rumah makan di bagian depan rumah penginapan itu, tidak terjadi sesuatu yang menimpa dirinya.
Malam hari itu, ketika sedang tidur dia mendengar suara perlahan di jendela kamarnya. Karena kamarnya gelap, lilin sudah dia padamkan dan di luar terdapat penerangan lampu, dia dapat melihat berkelebatnya bayangan orang di luar kamarnya. Hui Lan mengerutkan alisnya.
Bayangan itu tentu bukan bayangan pelayan rumah penginapan karena berkelebat sangat cepat. Akan tetapi dia tidak bangkit, melainkan terus berbaring sambil mengamati ke arah jendela dengan waspada. Kembali dia melihat bayangan itu berkelebat, kini bayangan itu berhenti di depan jendela kamarnya, lantas jendela itu terdengar berkeresekan. Agaknya bayangan itu berusaha untuk membuka jendela dari luar. Tanpa mengeluarkan suara Hui Lan bangkit duduk dan menanti dengan tenang. Maling ini mencari penyakit, pikirnya.
Tiba-tiba terdengar keributan di luar jendelanya dan terlihat bayangan dua orang berkelahi di luar kamarnya. Ia cepat meloncat turun dari pembaringan, menyambar pedangnya dan membuka daun pintu. Benar saja! Di sebelah kamarnya, di bagian luar jendela terdapat dua orang yang berkelahi.
Salah satu di antara mereka adalah seorang lelaki yang mengenakan penutup muka dari hidung ke bawah dan berpakaian serba hitam. Sedangkan yang seorang lagi bukan lain adalah pemuda berpakaian serba puith yang siang tadi membantunya, Coa Leng Kun!
Hui Lan mengerutkan alisnya. Kiranya pemuda itu kembali membantunya dan menyerang maling yang hendak mencongkel jendelanya dan kini mereka bertanding dengan serunya. Bayangan hitam tadi tentulah orang bertopeng yang mengenakan pakaian serba hitam itu. Dia menggunakan sebatang golok yang amat besar dan berat, sedangkan Coa Leng Kun menandinginya dengan sebatang suling. Gerakan maling itu cukup cepat dan bertenaga besar, akan tetapi Hui Lan melihat bahwa maling itu bukan lawan pemuda yang lihai itu. Leng Kun seakan mempermainkan maling itu.
Suara gaduh perkelahian itu membuat para tamu di rumah penginapan itu terbangun dan banyak jendela serta pintu dibuka dari dalam. Juga para pelayan penjaga hotel berlarian mendatangi tempat itu.
Melihat hal ini, maling yang sudah kewalahan menjadi semakin jeri. Dia membentak dan menggerakkan tangan kirinya. Sebatang piauw (senjata rahasia tajam) meluncur ke arah Leng Kun dan sebatang lagi meluncur kearah Hui Lan.
Dengan tenang gadis itu menangkap piauw itu dengan tangan kirinya, menjepit di antara dua jari tangan, sedangkan Leng kun juga mengelak sehingga senjata rahasia itu jatuh ke atas genteng mengeluarkan bunyi berkerontang. Maling itu menggunakan kesempatan ini untuk meloncat kemudian melarikan diri.
Leng Kun tidak mengejar, demikian pula Hui Lan yang sekarang memandang pemuda itu dengan alis berkerut.
“Selamat malam, Tang-siocia,” katanya sambil memberi hormat, “sayang saya tidak dapat menangkap maling itu.”
“Sobat Coa, aku sama sekali tidak membutuhkan bantuanmu,” kata Hui Lan agak marah sebab pemuda ini selalu melindunginya, padahal dia tidak membutuhkan perlindungan dan bantuan itu. Jika hanya menghadapi pemuda-pemuda berandalan seperti yang siang tadi mengganggunya atau maling yang berusaha membuka jendelanya, dia masih sanggup.
“Maaf, nona. Saya sama sekali tidak tahu bahwa nona yang tinggal di kamar ini, bahkan tidak tahu bahwa nona menginap di rumah penginapan ini.” Leng Kun memberi hormat lagi sambil senyum ramah.
Hui Lan tidak mengatakan sesuatu dan kembali memasuki kamarnya lalu menutup pintu kamarnya. Leng Kun dihujani pertanyaan oleh para tamu dan petugas rumah penginapan.
“Tidak perlu ribut-ribut,” kata Leng Kun dengan suara cukup nyaring sehingga terdengar oleh Hui Lan. “Aku mendengar gerakan orang di luar kamarku, kemudian aku keluar dan membayanginya. Ternyata dia berusaha mencongkel jendela kamar ini, maka aku segera menegurnya dan kami berkelahi.” Sesudah berkata demikian Leng Kun juga kembali ke kamarnya.
Orang-orang itu bubaran dan para tamu lalu menutupkan jendela dan pintu kamar rapat-rapat karena takut didatangi penjahat.
Hui Lan sudah rebah kembali di atas pembaringannya. Akkan tetapi dia sukar jatuh pulas. Bayangan pemuda pakaian putih itu selalu terbayang di depan matanya. Dia mengerutkan alisnya lantas bangkit duduk. Apakah dia tadi tidak bersikap keterlaluan kepada Coa Leng Kun?
Pemuda itu tidak tahu bahwa dia bermalam di situ dan bantuannya tadi hanya kebetulan saja. Sebagai seorang pendekar, tentu saja Leng Kun segera turun tangan ketika melihat ada maling yang hendak mencongkel jendela kamar. Akan tetapi dia tidak berterima kasih malah mengatakan tidak butuh bantuan! Apakah sikapnya itu sudah benar? Dia merasa menyesal, akan tetapi apa yang dapat dia lakukan?
Dia mengambil piauw yang tadi ditangkapnya dari maling itu. Sebatang piauw biasa saja, tidak mengandung racun. Ia melemparnya kembali ke atas meja. Setidaknya sikapnya itu menunjukkan kepada Coa Leng Kun bahwa dia bukan gadis yang lemah tak berdaya dan membutuhkan bantuannya! Dengan pikiran ini hatinya menjadi lega dan akhirnya dia bisa tidur pulas.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Hui Lan sudah membayar sewa kamar kemudian meninggalkan rumah penginapan itu. Ia hendak berangkat pagi-pagi menuju kota Pao-ting di mana tinggal pamannya, Cia Kui Bu.
Pamannya itu masih muda, baru berusia kurang lebih tiga puluh dua tahun. Sebenarnya dia adalah paman tirinya, karena pamannya itu adik tiri ibunya. Akan tetapi paman tirinya itu sudah dianggap sebagai putera sendiri oleh neneknya, maka hubungan mereka sangat akrab. Bahkan pamannya juga telah menerima pelajaran silat dari neneknya sehingga dia menjadi seorang pendekar yang gagah perkasa.
Cia Kui Bu tinggal di Pao-ting dan membuka sebuah perusahaan pengantar dan pengawal barang-barang kiriman yang berharga. Namun sampai berusia tiga puluh dua tahun Cia Kui Bu belum juga menikah. Padahal perusahaannya maju pesat. Barang berharga yang dikawal perusahaannya semakin banyak saja.
Para pedagang sangat mempercayainya karena selama bertahun-tahun membuka piauw-kiok (perusahaan pengawal) belum ada barang yang diganggu penjahat. Gangguan mula-mula memang ada. Ada perampok-perampok yang berusaha mengganggu dan merampas barang kiriman itu. Akan tetapi para perampok itu selalu berhasil dipukul mundur oleh Cia Kui Bu sehingga nama piauw-kiok itu menjadi terkenal dan ditakuti penjahat.
Jika melihat bendera dengan gambar naga hijau di atas kereta bermuatan barang-barang berharga maka tidak ada penjahat yang berani mengusiknya. Perusahaan piauw-kiok itu memang memakai nama Ceng-liong Pauw-kiok (Perusahaan pengawal naga Hijau), dan Cia Kui Bu yang suka memakai pakaian serba hijau itu bahkan dijuluki Ceng-liong (Naga Hijau) oleh para perampok.
Untuk mempercepat perjalanannya ke kota Pao-ting, Hui Lan lantas membeli seekor kuda kemudian melanjutkan perjalanannya dengan menunggang kuda. Semenjak kecil dia telah belajar menunggang kuda sehingga perjalanan itu bisa dilakukan dengan cepat. Beberapa hari kemudian dia sudah memasuki kota Pao-ting.
Kota ini cukup besar dan ramai karena letaknya tak jauh dari kota raja, di sebelah selatan kota raja. Dan mudah sekali baginya untuk mencari Ceng-liong Piauw-kiok. Semua orang di Pao-ting mengetahui di mana adanya piauw-kiok itu. Hui Lan belum pernah datang ke kota ini, biasanya Cia kui Bu yang datang berkunjung ke Cin-ling-san.
Hui Lan menjadi kagum sekali saat melihat rumah besar yang menjadi pusat perusahaan pamannya itu,. Agaknya perusahaan pamannya itu telah maju dengan pesatnya. Di depan pintu gerbang terdapat gambar naga hijau yang besar dan tulisan huruf-huruf besar yang berbunyi 'Ceng Liong Piauw-kiok', dan di pintu gerbang duduk beberapa orang lelaki yang bertubuh kekar dan gagah.
Hui Lan melompat turun dari kudanya, lalu menuntun kuda itu menghampiri pintu gerbang. Melihat ada seorang gadis cantik yang membawa pedang di punggung menghampiri pintu gerbang, lima orang piauwsu (pengawal barang) itu cepat bangkit berdiri dan menghadang di depan pintu.
“Siapakah nona dan ada keperluan apa datang ke piauw-kiok kami? Apakah nona hendak mengirim barang?” tanya seorang di antara mereka.
“Aku datang untuk bertemu dengan paman Cia Kui Bu. Dia adalah pamanku,” jawab Hui Lan singkat.
Akan tetapi kelima orang itu mengerutkan alisnya dan kelihatan tidak percaya. Hal ini tidak aneh. Mereka belum pernah bertemu dengan Hui Lan, dan sekarang tiba-tiba saja muncul seorang gadis yang tahu-tahu mengaku sebagai keponakan majikan mereka. Tentu saja mereka menjadi curiga.
“Nona, sekarang majikan kami sedang berada dalam keadaan yang tidak memungkinkan dia untuk menemui nona. Maka katakan siapa nona dan ada keperluan apa. Kami adalah pembantunya dan kami dapat mewakili majikan kami untuk mewakili keperluan nona.”
Hui Lan mengerutkan alisnya. “Sudah kukatakan bahwa dia adalah pamanku, adik ibuku, tapi kalian masih belum percaya. Panggil paman Cia Kui Bu keluar agar bertemu dengan aku!”
“Maaf, nona. Kami belum pernah melihat nona dan kami tidak pernah mendengar bahwa majikan kami memiliki seorang keponakan seperti nona. Karena itu harap nona memberi tahukan nama nona dan kami akan melaporkan ke dalam.”
“Tidak, panggil saja dia keluar!”
“Kami tidak dapat memenuhi permintaan nona.”
“Kalau begitu baiklah, aku yang akan masuk ke dalam dan mencarinya sendiri!”
Hui Lan menambatkan kendali kudanya pada sebatang pohon yang tumbuh di sana, lalu melangkah lebar hendak memasuki pintu gerbang itu. Akan tetapi lima orang penjaga itu menghadang di pintu gerbang, malah seorang di antara mereka melintangkan tombaknya.
“Minggir, atau terpaksa aku akan menghajar kalian!” bentak Hui Lan.
Ketika penjaga yang memegang tombak itu menghalanginya dengan tombak, dengan satu gerakan yang amat cepat Hui Lan merampas tombak itu, kemudian sekali menggerakkan tangan, tombak itu segera meluncur lalu menancap pada batang pohon di atas kudanya. Tombak itu menancap sampai hampir tembus!
Lima orang itu terbelalak, akan tetapi mereka tak menjadi gentar karena mereka mengira bahwa gadis ini sengaja datang untuk membikin kekacauan. Mereka segera menyambar golok dan pedang lalu mengepung Hui Lan.
“Nona tidak boleh melakukan kekerasan di sini!” bentak pemimpin mereka.
“Begitukah? Majulah kalau kalian ingin kuhajar!” tantang Hui Lan.
Lima orang itu lalu maju menyerang, akan tetapi tiba-tiba saja gadis itu sudah hilang dari kepungan mereka dan tahu-tahu ada dua orang di antara mereka yang roboh tertotok dan tidak mampu bergerak kembali.
Tiga orang lainnya menjadi sangat terkejut dan cepat menyerang, namun kembali mereka kehilangan gadis yang tadi berada di depan mereka, dan tahu-tahu mereka bertiga juga terpelanting roboh dan tidak mampu bergerak kembali!
“Hemm, hendak kulihat apa yang akan dilakukan paman Cia Kui Bu kepada kalian yang berani main kasar terhadap diriku!” setelah berkata demikian, Hui Lan meloncat memasuki rumah gedung itu sambil berteriak, “Paman Kui Bu, ini aku Hui Lan yang datang!”
Seorang pelayan wanita menyambutnya dan mata pelayan itu terbelalak heran. “Bibi, aku adalah keponakan paman Cia Ku Bu. Cepat bawa aku kepadanya!”
“Tapi... tapi... kongcu sedang sakit, nona.’
“Sakit...? Sakit apa? Cepat antarkan aku kepadanya, bibi!”
Pelayan itu tidak berani membantah dan dia mendahului masuk ke dalam, diikuti oleh Hui Lan. Pelayan itu membuka pintu sebuah kamar yang luas dan di tengah kamar itu Hui Lan melihat Cia Kui Bu sedang rebah telentang dengan muka pucat.
“Paman Kui Bu...!” Hui Lan berteriak sambil berlari menghampiri, kemudian duduk di tepi pembaringan itu.
Cia Kui Bu menggerakkan kepalanya menoleh dan begitu melihat Hui Lan dia menghela napas panjang. “Hui Lan, aku... aku sedang menderita luka berat...”
“Kenapa, paman? Coba kuperiksa!”
Kui Bu membuka kancing bajunya dan nampaklah oleh Hui Lan betapa di dada pamannya itu ada tanda tapak lima buah jari yang agak menghitam. Pukulan beracun! Untung bahwa pamannya sudah mempunyai sinkang yang cukup kuat sehingga pukulan itu tidak sampai menewaskannya, hanya melukainya saja. Akan tetapi luka itu dapat merenggut nyawanya kalau dibiarkan saja.
“Engkau terkena pukulan beracun, paman, harus cepat-cepat diobati! Tenanglah, paman, aku akan mengobati paman!” Setelah berkata demikian dia pun menoleh kepada pelayan wanita tadi. “Bibi, cepat ambilkan semangkok air yang telah masak, akan tetapi yang telah panas dan mendidih!” Pelayan itu segera pergi untuk memenuhi perintah gadis itu.
“Mulanya begini, Hui Lan…”
“Nanti saja, paman. Sekarang sebaiknya paman yang santai saja, mengatur pernapasan untuk memasukkan hawa murni, jangan mengeluarkan tenaga. Batu giok mustika ini bisa menghisap semua hawa beracun.”
“Hemm, milik ayahmu?”
“Benar, untung bahwa ayah memberikan ini kepadaku ketika aku hendak berangkat.”
Hui Lan mengeluarkan batu giok mestika itu, lantas menggosok-gosokannya ke atas dada yang kehitaman itu sambil mengerahkan tenaga sinkang-nya untuk menyedot. Tidak lama kemudian pelayan datang membawa sepanci air mendidih dan sebuah mangkok. Hui Lan minta pelayan itu menuangkan air mendidih semangkok. Kemudian, setelah menggosok-gosok beberapa lamanya, warna kehitaman di dada makin menipis dan dia mencelupkan batu giok mestika ke dalam sisa air di panci.
Air itu seketika berubah warna menjadi kehitaman, ada pun batu giok mestika itu menjadi bersih kembali. Ternyata hawa beracun yang dihisap batu mestika itu larut ke dalam air panas. Hui Lan mengulangi kembali usapan batu mestika itu sampai warna hitam menjadi bersih kembali.
Setelah membersihkan batu kemala mestika, Hui Lan lalu memasukkan batu itu ke dalam semangkok air dan membiarkan air itu menjadi dingin. Setelah airnya dingin, ia membantu pamannya untuk minum air rendaman batu kemala mestika itu. Begitu air diminum habis, Kui Bu menjadi sehat kembali. Dia lalu mencoba mengerahkan sinkang-nya dan dia tidak merasakan sakit lagi!
“Ahh, terima kasih, Hui Lan. Engkau telah menyelamatkan aku!”
“Kita harus bersyukur bahwa kita tidak terlambat, paman. Sekarang ceritakan apa yang telah terjadi.”
Sebelum Kui Bu bercerita, dari luar datang berlarian lima orang anak buahnya yang tadi roboh tertotok oleh Hui Lan. Agaknya totokan mereka sudah pudar kembali dan mereka kini memburu ke dalam karena mengkhawatirkan majikan mereka kalau-kalau diganggu oleh gadis yang lihai itu.
“Kalian mau apa?!” bentak Kui Bu.
Lima orang itu terheran-heran dan juga terkejut bukan main melihat gadis itu duduk dekat majikan mereka yang kini telah sehat kembali. Mereka lalu menjatuhkan diri berlutut.
“Maafkan kami, kongcu... kami... kami kira nona itu... akan mengganggu kongcu…”
“Hemm, keponakanku ini mengganggu? Malah dialah yang menyembuhkan aku!”
Lima penjaga itu kaget bukan kepalang. Mereka berlutut sambil berulang-ulang memberi hormat kepada Hui Lan dan pemimpin mereka berkata, “Mohon pengampunan dari lihiap, karena kami tidak mengenal maka kami bersikap kurang hormat…”
“Apa? Kalian berani kurang ajar kepada keponakanku?”
“Ampun, kongcu. Karena benar-benar tidak tahu maka tadi kami hendak melarang lihiap ini masuk, akan tetapi dia merobohkan kami semua...”
Kui Bu tertawa. “Ha-ha-ha-ha, biar pun kalian ditambah puluhan orang lagi, jangan harap dapat mencegah Hui Lan masuk untuk menemuiku!” Setelah tertawa kembali Kui Bu lalu mengusir anak buahnya keluar dari situ.
“Maafkan mereka, Hui Lan. Mereka belum pernah bertemu denganmu, karena itu berani melarangmu.”
“Tidak mengapa, paman. Mereka tidak berbuat kurang ajar, hanya hendak melarang aku masuk karena mereka curiga dan khawatir kalau-kalau aku ini datang sebagai musuhmu. Sekarang ceritakanlah, apa yang telah terjadi, paman?”