AKAN tetapi dia berpesan pula kepada mereka agar mereka jangan sampai melukai gadis itu, dan berhati-hati karena gadis itu lihai sekali. Para anggota Kui-jiauw-pang yang sudah mengetahui bahwa pemuda itu adalah seorang utusan Pek-lian-pai dan diterima dengan hormat oleh tiga orang ketua mereka, mentaati pesan Leng Kun.
Pek Bwe Hwa melakukan pendakian dengan hati-hati sekali. Dia dapat menduga bahwa Kui-jiauw-pang tentu telah melakukan penjagaan dengan hati-hati dan tidak aneh kalau di jalan setapak menuju puncak itu dipasangi jebakan-jebakan yang berbahaya.
Dia menggunakan segenap kewaspadaannya untuk menyelidiki jalan setapak itu sebelum kakinya melangkah. Dia mematahkan sebuah ranting pohon yang cukup panjang, lantas dengan kayu ini dia mencoba jalan di depannya. Ketika melihat di depannya ada sepetak rumput yang menutupi jalan, dia lalu menggunakan rantingnya untuk memeriksa.
Dia menusukkan ujung rantingnya ke dalam rumput yang tebal itu dan tepat seperti yang dikhawatirkannya, tongkatnya masuk dalam sekali dan merasa betapa di bawah selimut rumput itu agaknya kosong dan merupakan sebuah lubang. Dia lalu mengambil sepotong batu besar dan melemparkannya kepada timbunan rumput itu dan batu itu terus masuk ke dalam lubang yang tersembunyi di bawah rumput. Maklum bahwa di depannya terdapat jebakan lubang besar yang tertutup rumput, dia lalu mencari jalan memutar dan meraba-raba dengan tongkatnya.
Bwe Hwa melangkah terus dengan berani. Biar pun terdapat banyak perangkap tetapi dia tidak takut dan melanjutkan perjalanannya dengan penuh kewaspadaan. Diam-diam dia mengkhawatirkan nasib Leng Kun. Pemuda itu tentu menghadapi banyak perangkap pula. Akan tetapi dia segera menenangkan hatinya. Leng Kun adalah seorang pemuda yang tinggi ilmunya. Tentu dia dapat menjaga diri sendiri dengan baik.
Ketika dia menghindari jalan yang tertutup semak belukar penuh duri, tiba-tiba saja dari dalam semak belukar itu menyambar belasan batang anak panah ke arah tubuhnya. Bwe Hwa sudah siap siaga. Bagaikan seekor burung walet saja, tubuhnya sudah meloncat ke atas sehingga anak panah itu lewat di bawah kakinya dan menyambar masuk ke dalam semak-semak.
Bwe Hwa turun dengan hati-hati dan setelah memeriksa dengan teliti, tahulah dia bahwa tadi dia sudah menginjak sepotong kayu. Kayu ini menarik sehelai tali yang dihubungkan dengan alat untuk melepas anak panah itu yang disembunyikan di dalam semak belukar. Berbahaya sekali, pikirnya. Akan tetapi dia tidak merasa jeri dan melangkah terus dengan lebih berhati-hati, selalu memperhatikan dulu sebelum dia melangkah.
Ketika jalan setapak yang diikutinya itu sampai di sebuah selokan ke kanan, tiba-tiba saja berlompatan belasan orang laki-laki dari balik pohon-pohon dan semak-semak. Lima belas orang laki-laki telah berdiri di hadapannya dan mereka semua memakai cakar setan pada kedua tangan. Sikap mereka bengis dan menyeramkan.
Bwe Hwa dapat menduga bahwa belasan orang itu tentu anak buah Kui-jiauw-pang, maka dia pun bersiap untuk menghadapi pengeroyokan mereka. Dia bersikap tenang saja dan memandang kepada mereka dengan mata bersinar tajam.
Pemimpin regu anak buah Kui-jiauw-pang itu kemudian membentak dengan suara lantang, “Nona, siapakah engkau yang berani memasuki wilayah kami tanpa ijin? Lebih baik Nona menyerah untuk kami tangkap dan kami hadapkan kepada pimpinan kami, dari pada kami harus menggunakan kekerasan untuk menangkapmu.”
Dengan sikap tenang dan gagah Bwe Hwa menjawab, “Aku tak akan sudi menyerah dan silakan kalau kalian hendak menangkapku dengan kekerasan. Hendak kulihat bagaimana caranya kalian menggunakan kekerasan!”
Pemimpin regu memberi aba-aba, dan lima belas orang itu mengurung Bwe Hwa seperti belasan ekor serigala mengepung seekor domba. Akan tetapi sesudah mereka bergerak, ternyata yang mereka kepung itu bukanlah seekor domba, namun seekor harimau betina yang tangguh sekali.
Ketika mereka menyerbu untuk menangkapnya, Bwe Hwa menyambut dengan tamparan dan tendangan. Dalam segebrakan saja empat orang pengeroyok sudah terpelanting oleh tamparan dan tendangan yang dilakukan dengan amat cepatnya.
Sebenarnya belasan orang itu telah mendengar dari Leng Kun betapa lihainya gadis yang akan mereka hadapi. Akan tetapi ketika tadi melihat Bwe Hwa hanya seorang dara cantik jelita dan halus gerak-geriknya, mereka tak percaya dan mengira akan dapat menangkap gadis itu dengan mudah. Karena memandang rendah ini, maka dengan mudah Bwe Hwa dapat merobohkan empat orang itu. Kini barulah mereka terkejut dan tahu bahwa gadis itu benar-benar lihai. Maka legalah hati mereka ketika Leng Kun muncul dan meloncat dekat Bwe Hwa sambil berseru,
“Kalian mundurlah, jangan menyerang! Hwa-moi, hentikan perkelahian ini!”
Bwe Hwa melompat ke belakang dan memandang pemuda itu dengan heran. “Mengapa, Kun-ko? Mereka ini hendak menangkap aku!”
“Hwa-moi, mereka adalah para anggota Kui-jiauw-pang. Para ketuanya adalah sahabat-sahabat kakek guruku, maka harap engkau maafkan mereka yang tidak tahu ini.” Dia lalu menoleh kepada para anggota Kui-jiauw-pang sambil membentak, “Kalian keliru menilai orang! Hayo cepat meminta maaf kepada Pek-lihip (pendekar wanita Pek) lalu laporkanlah kepada pimpinan kalian bahwa aku datang bersama Pek-lihiap yang gagah perkasa ini!”
Lima belas orang itu segera mengangkat tangan ke depan dada sambil membungkuk dan berkata, “Harap Pek-lihiap suka maafkan kami!”
Bwe Hwa yang merasa heran hanya mengangguk. Sesudah belasan orang itu pergi, dia lalu bertanya kepada Leng Kun. “Kun-ko apakah yang telah terjadi? Kenapa nampaknya engkau berhubungan baik sekali dengan Kui-jiauw-pang?”
“Tentu engkau merasa heran, Hwa-moi. Aku sendiri pun sama sekali tidak mengira akan mendapat penyambutan baik dari Kui-jiauw-pang. Ketika mendaki tadi aku juga bertemu dengan belasan orang anggota Kui-jiauw-pang kemudian aku pun dikeroyok. Aku berhasil mengalahkan mereka lantas muncullah seorang di antara tiga orang ketua Kui-jiauw-pang. Setelah kami bertanding, dia dapat mengenali ilmu silatku lalu menghentikan perkelahian. Setelah kami bercakap-cakap, ternyata bahwa Toa Pangcu dari Kui-jiauw-pang dahulunya menjadi sahabat baik kakek guruku. Dia mengenal ilmu silat kakekku itu. Setelah dia tahu bahwa aku adalah cucu murid kakek guruku, dia bersikap baik dan bersahabat. Bahkan ketika aku bicara tentang pedang Pek-lui-kiam, dia mengatakan bahwa di antara sahabat pedang itu tak perlu diperebutkan. Aku lalu teringat akan engkau, Hwa-moi. Aku khawatir engkau akan terjebak atau dikeroyok, maka aku cepat mencarimu. Sekarang marilah kita menghadap tiga orang ketua Kui-jiauw-pang. Sudah kuceritakan kepada mereka bahwa aku datang bersama seorang sahabatku dan mereka menyatakan mau menerima engkau sebagai sahabat pula.”
Tentu saja Bwe Hwa menjadi bingung sekali. Sama sekali tidak pernah diduganya bahwa pemegang pedang Pek-lui-kiam akan menyambutnya seperti sahabat! Ayahnya memesan apa bila pedang berada di tangan seorang jahat maka dia harus merampasnya. Namun kalau pedang itu menjadi milik seorang pendekar perkasa yang berbudi, dia malah harus membantunya mempertahankan pedang itu dari incaran golongan sesat. Dia belum tahu apakah tiga orang ketua Kui-jiauw-pang itu orang baik-baik ataukah jahat. Akan tetapi dia akan disambut dengan baik sebagai seorang sahabat!
“Kun-ko, bukankah Kui-jiauw-pang adalah perkumpulan sesat dan para pemimpinnya tentu orang-orang jahat pula?”
“Sebetulnya mereka bukan orang-orang jahat yang suka melakukan kejahatan, Hwa-moi. Mereka hanya menguasai seluruh rumah pelesir serta rumah judi, dan dari sana mereka mendapatkan sebagian keuntungan. Mereka bertindak jahat terhadap penjahat, dan soal mata pencaharian mereka itu sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan kita. Sikap mereka baik, maka sepantasnya kita pun bersikap baik kepada mereka. Dan soal pedang pusaka, kukira tidak perlu menggunakan kekerasan. Kita dapat memintanya dari mereka.”
Bwe Hwa mengerutkan alisnya. Dia tidak dapat percaya begitu saja. Pedang Pek-lui-kiam diperebutkan oleh banyak orang, bagaimana mungkin diserahkan kepadanya begitu saja? Akan tetapi dia percaya kepada Leng Kun. Tak mungkin pemuda itu membohonginya.
“Hemm, aku ingin menemui mereka dan melihat bagaimana sikap mereka,” kata Bwe Hwa dengan hati ingin tahu sekali.
“Kalau begitu, marilah kita segera menemui mereka sebelum pedang pusaka itu terjatuh ke tangan orang lain,” kata Leng Kun.
Mereka lalu mendaki puncak bukit Kui-liong-san. Dia melihat kenyataan bahwa Leng Kun tidak menggunakan jalan setapak, melainkan menyusup di antara pohon dan semak.
“Kenapa kita mengambil jalan memotong seperti ini?” tanya Bwe Hwa pada waktu mereka menyusup di antara semak berduri.
“Jalan setapak menuju ke puncak penuh dengan jebakan, bahkan ada yang diberi racun, maka berbahaya sekali. Aku sudah mendapat petunjuk dari ketiga orang ketua Kui-jiauw-pang, jalan mana yang harus diambil menuju ke puncak. Jalan ini tidak dipasangi apa-apa maka kita dapat mencapai puncak dengan aman.”
Bwe Hwa menjadi semakin heran. “Mengapa Kui-jiauw-pang mempunyai tiga orang ketua, Kun-ko? Bukankah ketuanya adalah Ang I Sianjin?”
“Ang I Sianjin hanya menjadi Sam Pangcu (Ketua Ketiga), masih ada Ji Pangcu dan Toa Pangcu. Marilah, Hwa-moi. Engkau akan segera dapat bertemu dan berkenalan dengan mereka.”
Mereka maju dengan cepat karena mereka mempergunakan ginkang (Ilmu Meringankan Tubuh). Mereka mendaki seperti orang berlari saja. Tak lama kemudian tibalah mereka di depan pintu gerbang.
Bwe Hwa melihat ada belasan orang anak buah Kui-jiauw-pang melakukan penjagaan dan melihat Leng Kun, mereka memberi hormat dan membiarkan Leng Kun lewat. Diam-diam Bwe Hwa semakin kagum kepada Leng Kun. Pemuda itu cerdik sekali sehingga dia dapat diterima sebagai sahabat oleh para pimpinan Kui-jiauw-pang.
Ketika mereka memasuki ruangan besar di sebelah kiri bangunan induk yang besar, tiga orang ketua Kui-jiauw-pang menyambut mereka dengan wajah ramah dan senyum lebar.
“Selamat datang di tempat kami, lihiap! Kami telah mendengar tentang kelihaianmu, Pek-lihiap!” kata Sam Pangcu.
Bwe Hwa memandang kepada orang yang menyambutnya itu. Dia seorang kakek berusia enam puluh tahun lebih yang bertubuh tinggi kurus, bermuka pucat dan pakaiannya serba merah. Tahulah dara ini bahwa kakek itu tentu Ang I Sianjin yang dikabarkan orang telah membunuh pendekar Tan Tiong Bu dan mencuri pedang Pek-lui-kiam. Dan ternyata Ang I Sianjin hanya menduduki jabatan ketua ketiga saja dari Kui-jiauw-pang.
Dia lalu memperhatikan dua orang kakek yang tersenyum ramah itu. Diam-diam dia pun terkejut sekali melihat sinar mata mereka yang tajam bersinar, tanda bahwa kedua orang itu memiliki sinkang yang amat kuat. Kedua orang itu pun sambil tersenyum mengenalkan diri.
Yang berkepala besar dan botak, bertelinga lebar sekali serta tubuhnya gendut, mengaku sebagai Toa Pangcu. Sedangkan orang kedua yang mengaku sebagai Ji Pangcu, ketua kedua dari Kui-jiauw-pang adalah seorang yang menyeramkan. Tubuhnya hanya pendek kurus, akan tetapi rambutnya panjang dan mukanya berambut seperti muka monyet.
Kalau ketua pertama berbaju serba putih, ketua kedua ini bajunya serba hitam. Sungguh menyolok perbedaan warna baju tiga ketua itu. Orang pertama berbaju putih, orang kedua berbaju hitam dan orang ketiga berbaju merah.
Mendengar ucapan penyambutan dari Sam Pangcu yang memuji kepandaiannya itu, Bwe Hwa membalas penghormatan mereka dan menjawab.
“Aku girang sekali bahwa sam-wi pangcu suka menerima kedatanganku sebagai sahabat. Tentang kelihaian itu, kukira Kun-ko terlalu melebih-lebihkan. Kebisaanku tak ada artinya kalau dibandingkan dengan kepandaian sam-wi pangcu.”
“Ha-ha-ha, nona masih amat muda sudah memiliki ilmu kepandaian tinggi dan pandai pula merendahkan diri, membuat kami kagum sekali!” kata Toa Pangcu.
“Pek-lihiap, mari silakan duduk!” kata Ji Pangcu sambil tersenyum.
Bwe Hwa merasa senang melihat keramahan tiga orang ketua itu. Dia lantas mengambil tempat duduk di sebuah kursi dan tiga orang ketua itu turut duduk sambil mempersilakan Leng Kun. Mereka semua duduk mengelilingi meja. Sam Pangcu lalu bertepuk tangan dan berdatanganlah pelayan-pelayan wanita, membawa bermacam makanan serta minuman. Kiranya semua itu memang sudah dipersiapkan.
Melihat ini tahulah Bwe Hwa bahwa dia hendak dijamu makan, maka dia mengerutkan alis dan menolak. “Sam-wi pangcu, aku tidak akan lama berada di sini, dan jangan merepotkan sam-wi.”
“Ahh, mana bisa begitu, lihiap? Kami telah mendapatkan kehormatan dengan datangnya Pek-lihiap dan Coa-sicu, maka untuk menyatakan kegembiraan kami, kami menyuguhkan sekedar makanan dan minuman untuk ji-wi (kalian berdua). Nanti sesudah makan minum barulah kita bicara tentang keperluan ji-wi datang ke tempat ini,” kata Toa Pangcu.
Leng Kun yang duduk di sebelah kiri Bwe Hwa memandang kepada gadis itu dan berkata lirih, “Hwa-moi, mereka telah bersikap baik sekali kepada kita, sungguh tidak enak jika kita menolak hidangan mereka.”
Bwe Hwa terpaksa mengangguk dan berkata, “Kedatangan kami hanya merepotkan sam-wi saja.”
Mereka lalu makan minum. Mula-mula Bwe Hwa bersikap hati-hati sekali, tidak mau lebih dulu menyentuh hidangan. Sesudah melihat pihak tuan rumah makan, barulah dia berani mengambil hidangan dan ikut makan. Dia selalu waspada dan menjaga diri jangan sampai dia tertipu dan keracunan.
Setelah mereka selesai makan dan Sam Pangcu memerintahkan beberapa pelayan untuk membersihkan meja, Toa Pangcu lalu berkata kepada Bwe Hwa dan Leng Kun.
“Nah, kini tiba saatnya bagi kita untuk bicara. Kalau boleh kami mengetahui, sebenarnya apakah yang menjadi keperluan ji-wi datang berkunjung ke Kui-liong-san?”
Leng Kun dan Bwe Hwa saling pandang dan Leng Kun memberi isyarat kepada Bwe Hwa agar gadis itu yang menjawab pertanyaan Toa Pangcu itu. Bwe Hwa mengangguk dan dia pun memandang tajam kepada tiga orang ketua yang duduk di hadapannya.
“Begini, sam-wi pangcu. Sudah lama kami mendengar akan adanya pedang pusaka Pek-lui-kiam dan bahwa banyak tokoh kangouw ingin memperebutkan Pek-lui-kiam. Kami juga mendengar bahwa pedang pusaka itu berada di tangan ketua Kui-jiauw-pang. Nah, karena itulah terus terang saja kami menjadi tertarik dan ingin pula memperebutkan pusaka itu.” Sesudah berkata demikian, sepasang mata yang mencorong dari gadis itu menatap wajah ketiga orang ketua.
“Hemmm, dengan alasan apakah engkau hendak merebut pusaka itu, Pek-lihiap?” tanya Sam Pangcu.
“Dengan alasan bahwa pusaka seperti itu tidak boleh jatuh ke tangan orang jahat, karena hal itu akan membahayakan kehidupan rakyat. Dahulu, pada waktu pusaka itu berada di tangan pendekar Tan Tiong Bu, tidak ada yang merasa penasaran dan aku pun tak akan mengganggunya. Namun Tan Tiong Bu telah terbunuh dan menurut kabar, pembunuhnya adalah Sam Pangcu ini. Tentu Sam Pangcu lebih mengetahui akan hal itu. Nah, sesudah mendengar bahwa pendekar Tan terbunuh oleh ketua Kui-jiauw-pang dan pedang Pek-lui-kiam terampas, maka aku datang ke sini untuk menyelidiki kebenaran berita itu.” Kini Bwe Hwa memandang tajam wajah kakek berbaju merah itu.
“Ha-ha-ha-ha!” Toa Pangcu tertawa bergelak, perutnya yang gendut bergerak-gerak dan kepalanya yang besar itu digeleng-gelengkannya. “Tak kami sangkal bahwa Pek-lui-kiam memang berada di tangan kami, tetapi kami tidak ingin berhadapan dengan ji-wi sebagai musuh. Kami sudah menerima kalian sebagai sahabat dan tamu terhormat. Apa lagi Coa-sicu ini adalah cucu seorang sahabat baik kami di waktu dulu. Kalau memang lihiap dan sicu menghendaki Pek-lui-kiam, maka kami akan menyerahkan pusaka itu dengan suka rela. Akan tetapi, sebagai imbalannya, kami mengharap ji-wi suka membantu kami dalam ancaman bahaya yang kami hadapi sekarang.”
Bwe Hwa saling pandang dengan Leng Kun, kemudian pemuda itu bertanya kepada Toa Pangcu. “Toa Pangcu, harap jelaskan dulu ancaman bahaya apa yang sam-wi hadapi?”
“Semua gara-gara Pek-lui-kiam itu. Kini banyak orang kangouw mendatangi bukit ini dan kami merasa khawatir bahwa kami bertiga tidak akan mampu melawan mereka. Karena itu kami harapkan ji-wi suka membantu kami menghadapi mereka dan setelah itu Pek-lui-kiam tentu akan kami serahkan kepada lihiap.”
Bwe Hwa mengerutkan alisnya. “Akan tetapi mengapa Ang I Sianjin atau Sam Pangcu membunuh pendekar Tan Tiong Bu dan merampas Pek-lui-kiam?” tanyanya.
Sam Pangcu menghela napas panjang. “Memang antara Tan Tiong Bu dan aku terdapat permusuhan pribadi yang amat besar. Pedang Pek-lui-kiam itu dahulu dia gunakan untuk membunuh keluargaku, maka aku membalas dendam dan merampas Pek-lui-kiam. Baru aku mendengar bahwa orang-orang kang-ouw hendak memperebutkan pusaka itu.”
“Kalau kami membantu kalian, pedang pusaka itu akan diserahkan kepadaku?” tanya pula Bwe Hwa.
“Sekarang juga akan kami serahkan jika lihiap berjanji akan membantu kami menghadapi mereka yang hendak merebut Pek-lui-kiam dari tangan kami.”
Kesangsian Bwe Hwa segera lenyap. “Kalau begitu aku berjanji untuk membantu sam-wi, asal pedang pusaka itu diserahkan kepadaku sekarang.”
“Ha-ha-ha, agaknya lihiap belum percaya benar kepada kami, tetapi sebaliknya kami telah percaya penuh kepada lihiap. Lihiap menghendaki pedang pusaka itu diserahkan dahulu? Baik, kami akan serahkan sekarang juga!”
Toa Ok atau sebagaimana Bwe Hwa mengenalnya sebagai Toa Pangcu menggerakkan tangan kanan ke bawah jubah putihnya dan ketika tangan itu keluar dari balik jubah, dia telah memegang sebatang pedang yang masih berada dalam sarung pedang. Dia segera menyerahkan pedang itu kepada Bwe Hwa.
“Terimalah Pek-lui-kiam ini, lihiap!”
Girang bukan main rasa hati Bwe Hwa. Tak pernah disangkanya bahwa dia akan dapat memiliki Pek-lui-kiam sedemikian mudahnya. Dia cepat menerima pedang itu. Akan tetapi dia tidak mau ditipu. Harus diperiksanya dulu pedang itu, baru dia akan percaya.
Bwe Hwa mencabut pedang itu dari sarung pedang dan nampaklah sinar berkilauan ketika pedang tercabut. Pedang itu amat indah dan mengeluarkan sinar yang menyilaukan mata. Bwe Hwa menimang-nimang pedang itu dan wajahnya berseri-seri.
“Pek-lui-kiam...!” Gadis itu berseru girang.
Dia belum pernah melihat Pek-lui-kiam, akan tetapi pedang itu mengeluarkan cahaya kilat dan merupakan pedang pusaka yang indah sekali. Maka dia percaya dan menyarungkan kembali pedang itu.
“Terima kasih, sam-wi pangcu. Jangan khawatir, kalau ada orang berani datang ke sini untuk merampas pedang ini, aku akan membantu sam-wi melawannya. Juga Kun-ko tentu dengan senang hati akan membantu juga, bukan?”
Leng Kun memandang dengan wajah berseri dan mata bersinar, tanda bahwa dia merasa gembira sekali dan tidak merasa iri hati melihat betapa Bwe Hwa menerima Pek-lui-kiam itu.
“Tentu saja, Hwa-moi. Kita akan tinggal di sini selama satu bulan. Selama itu kita berdua akan membantu Kui-jiauw-pang menghadapi musuh yang hendak mencuri atau merampas pedang!”
Bwe Hwa mengerutkan alisnya. Satu bulan? Terlampau lama baginya. Akan tetapi karena pedang pusaka telah diserahkan kepadanya, dia pun merasa tidak enak kalau menolak. Demikianlah, mulai hari itu Bwe Hwa mendapatkan sebuah kamar di bangunan induk itu. Begitu pula Leng Kun mendapatkan sebuah kamar yang berdekatan dengan kamar Bwe Hwa.
Biar pun pedang pusaka Pek-lui-kiam sudah berada di tangannya dan pihak tuan rumah kelihatan bersikap baik amat kepadanya, namun Bwe Hwa masih bersikap waspada dan berhati-hati. Bahkan pada malam pertama dia sudah memperingatkan Leng Kun sebelum mereka memasuki kamar masing-masing.
“Kun-ko, kuharap engkau waspada, jangan sampai kita terjebak.”
“Aihh, Hwa-moi. Siapa yang akan menjebak kita?”
“Siapa lagi, tentu pimpinan Kui-jiauw-pang.”
“Ahh, mengapa kita harus curiga kepada mereka, Hwa-moi? Mereka bersikap baik sekali kepada kita, bahkan Pek-lui-kiam telah diserahkan kepadamu. Aku sudah percaya penuh terhadap tiga orang ketua itu, Hwa-moi.”
“Syukurlah kalau mereka benar-benar baik kepada kita. Walau bagaimana pun juga kita harus berhati-hati. Akan tetapi jangan mencurigai mereka. Siapa tahu kebaikan mereka itu ada pamrih yang tersembunyi?”
“Baik, Hwa-moi, aku akan berhati-hati. Akan tetapi tidak perlu mencurigai mereka. Mereka sudah berbuat baik terhadap kita, kalau kita membalasnya dengan kecurigaan, bukankah itu kurang adil?”
“Maksudku bukan mencurigai siapa pun, hanya kita harus tetap waspada dan berhati-hati karena bahaya dapat datang dari mana saja.”
“Baik, Hwa-moi, selamat tidur.”
Mereka memasuki kamar masing-masing, akan tetapi tak lama kemudian Leng Kun keluar dari kamarnya untuk mengadakan perundingan rahasia dengan para pimpinan Kui-jiauw-pang. Tentu saja hal ini sama sekali tidak pernah terbayangkan oleh Bwe Hwa. Dia tidak menyadari bahwa apa yang dikhawatirkannya itu bahkan datang dari orang yang paling dipercayanya saat itu.
Malam itu bulan purnama nampak terang karena tidak ada awan menutupinya. Rembulan menebarkan sinarnya yang lembut, mendatangkan pemandangan yang indah tetapi penuh rahasia. Di tempat-tempat tertentu yang sunyi senyap, cahaya itu justru membuat tempat itu menjadi seram, mendatangkan bayangan khayal yang bukan-bukan dan menakutkan.
Demikian pula keadaan di sekitar puncak Kui-liong-san. Hutan-hutan di sekeliling puncak, di lereng-lereng itu jarang didatangi manusia dan nampak sunyi sepi menyeramkan pada malam bulan purnama itu.
Tak jauh dari puncak, dalam hutan cemara yang tidak begitu lebat sehingga cahaya bulan dapat menerangi tanah di bawah pohon-pohon cemara itu, memang sunyi sekali. Hanya suara jengkerik dan belalang yang memenuhi tempat itu.
Menjelang tengah malam, tiba-tiba suara jengkerik dan belalang itu terdiam. Lalu nampak sesosok bayangan manusia berjalan ke depan memasuki hutan itu. Gerakan inilah yang telah menghentikan suara jengkerik dan belalang itu.
Dari jauh bayangan itu kelihatan hitam dan menyeramkan. Tentu orang akan menyangka dia siluman atau setan, berjalan seorang diri di waktu malam seperti itu. Akan tetapi kalau orang berada di dekatnya, tentu akan melihat bahwa dia seorang manusia, sudah berusia enam puluh tahun. Bentuk tubuhnya sedang saja, tapi wajahnya masih kelihatan tampan. Pada punggungnya tergantung sebatang pedang.
Ketika melihat sebuah batu besar yang datar, orang itu berhenti melangkah, lalu sekali bergerak tubuhnya sudah bersila di atas batu besar. Dia duduk dan diam tidak bergerak seolah telah berubah menjadi arca di atas batu itu. Jengkerik dan belalang mulai bersuara lagi, riuh rendah seperti merayakan keindahan malam bulan purnama itu.
Kakek ini tidak tahu jika di belakangnya, di balik semak belukar, terdapat dua orang yang juga melewatkan malam di tempat itu. Mereka kini mengintai dari balik semak-semak.
“Wah, itu ayahku...!” bisik Siangkoan Cu Yin kepada temannya yang bukan lain adalah Tio Gin Ciong, putera Datuk Timur yang berjuluk Tung-giam-ong (Raja Maut Dari Timur).
Kedua orang muda ini melakukan perjalanan bersama untuk ikut memperebutkan pedang pusaka Pek-lui-kiam di bukit Kui-liong-san. Mereka kemalaman dan terpaksa melewatkan malam di hutan cemara itu. Dua orang muda yang lihai ini dapat mencapai tempat itu dan menghindarkan diri dari jebakan yang dipasang di sepanjang jalan.
Karena hutan cemara itu sudah dekat dengan puncak, mereka ingin melewatkan malam di tempat itu dan besok baru mendaki puncak. Agar tidak kelihatan para penghuni puncak, mereka memilih tempat yang tersembunyi di balik semak-semak itu.
Mereka dikelilingi semak belukar sehingga tidak akan dapat terlihat dari arah mana pun. Bahkan mereka tidak berani membuat api unggun, hanya menggunakan sinkang mereka untuk menahan serangan hawa dingin. Selagi mereka bersembunyi itulah mereka melihat gerakan orang yang kini duduk di atas batu besar. Siangkoan Cu Yin langsung mengenali ayahnya.
Tio Gin Ciong adalah putera datuk besar dari timur. Akan tetapi melihat datuk besar dari selatan ini, dia pun merasa jeri. Dia sudah melakukan perjalanan dengan puteri datuk itu, maka dia khawatir kalau datuk itu marah-marah.
“Ssttt... itu di sana ada gerakan orang. Kita lihat saja dulu...,” bisik Gin Ciong lirih.
Siangkoan Cu Yin mengangguk dan dia pun lalu melihat gerakan orang-orang di depan, orang-orang yang merangkak mendekati batu yang diduduki oleh ayahnya. Dia juga tidak tergesa-gesa menegur ayahnya, takut kalau ayahnya marah melihat dia bersama seorang pemuda di hutan yang sunyi itu pada malam hari.
Kini orang-orang yang merangkak sudah tiba dekat. Ternyata mereka adalah lima orang anggota Kui-jiauw-pang. Melihat ada orang yang berani memasuki tempat itu, lima orang anggota Kui-jiauw-pang ini lantas mengintai. Akan tetapi mereka tidak berani turun tangan karena cuaca yang remang-remang membuat mereka tidak dapat melihat wajah kakek itu dengan baik. Karena itu mereka hanya melakukan penjagaan saja, ingin melihat apa yang akan dilakukan orang itu kalau malam sudah berganti pagi.
Melihat kelima orang itu hanya bersembunyi dan tidak melakukan gerakan apa pun, Gin Ciong segera berbisik. “Kita bersembunyi saja, tunggu perkembangan lebih lanjut. Engkau tidurlah, aku akan berjaga.”
Siangkoan Cu Yin mengangguk. Petak rumput yang dikelilingi semak belukar itu cukup lebar, ada tiga meter persegi. Dia lalu merebahkan dirinya di atas rumput. Diam-diam dia berpikir mengapa ayahnya berada di tempat itu.
Dia merasa yakin bahwa ayahnya tentu sudah mengetahui gerakan lima orang tadi, akan tetapi sengaja diam saja. Kalau dia dan Gin Ciong tentu belum diketahui ayahnya. Mereka sama sekali tidak bergerak dan bicara pun bisik-bisik, tentu bisikan mereka tertutup oleh suara jengkerik dan belalang yang riuh rendah itu.
Sambil merebahkan dirinya Cu Yin memandang kepada Gin Ciong dari samping. Seorang pemuda yang baik dan ramah kepadanya, dan dia dapat menduga bahwa putera datuk besar dari timur ini jatuh hati kepadanya. Ucapan, gerak-gerik dan pandang mata pemuda itu membuka semua rahasia hatinya.
Dia suka mengadakan perjalanan bersama pemuda ini, sebagai sahabat karena dia sama sekali tidak mencintainya. Hatinya telah dipenuhi dengan bayangan Si Kong dan agaknya tidak mungkin dia dapat mencinta laki-laki lain. Di manakah kini Si Kong berada? Menurut perkiraannya, tentu pemuda itu juga berada di sekitar tempat ini.
Jantungnya berdebar penuh ketegangan kalau dia membayangkan dapat bertemu dengan Si Kong di Kui-liong-san. Sebenarnya inilah yang menariknya sehingga dia mau pergi ke Kui-liong-san bersama Gin Ciong. Harapan bertemu dengan Si Kong!
Malam yang amat indah itu lewat dengan cepatnya. Cahaya bulan segera memudar begitu matahari menggantikan singgasananya. Cu Yin sudah bangun dari tidurnya. Dia melihat Gin Ciong duduk bersila seperti orang sedang bersemedhi. Pemuda ini langsung menoleh ketika mendengar gerakan Cu Yin.
“Engkau bisa tidur nyenyak?” tanya Gin Ciong.
Cu Yin menganguk. “Kenapa engkau tidak mengaso dan tidur, Ciong-ko?”
“Aku sudah cukup beristirahat, akan tetapi ayahmu masih belum bergerak, agaknya masih tenggelam dalam semedhinya.”
Cu Yin memandang ke arah ayahnya. Jarak antara mereka dan Lam Tok Siangkoan Lok kurang lebih lima puluh meter. Benar saja seperti yang dikatakan Gin Ciong, orang tua itu masih duduk seperti semalam, sedikit pun tidak bergerak seperti orang tidur.
“Jangan ganggu dia, kita lihat saja perkembangannya. Ayahku datang ke tempat ini tentu ada maksudnya. Mungkin dia hendak turun tangan sendiri untuk merampas Pek-lui-kiam. Orang-orang yang mengintai itu apakah masih ada?”
“Masih ada, bahkan sekarang jumlah mereka menjadi sepuluh orang. Akan tetapi mereka belum turun tangan dan hanya mengintai. Itu di belakang semak belukar itu, dan ada pula yang berada di balik pohon besar.”
“Aku yakin ayahku telah melihat mereka atau sudah mengetahui bahwa ada orang-orang mengintainya. Kita tunggu saja apa yang akan terjadi. Ayah paling benci kalau ada orang bermaksud menolongnya.”
Gin Ciong mengangguk. Sekarang mereka berdua menunggu dan mengintai dengan hati tegang. Apa lagi saat mereka melihat sepuluh orang itu perlahan-lahan keluar dari tempat pengintaian mereka lantas berindap menghampiri Lam Tok dari belakang, seperti sepuluh orang pemburu hendak menyergap harimau. Kuku-kuku cakar setan yang disambung di tangannya itu berkilauan saking tajam dan runcingnya.
“Ayahmu terancam bahaya,” bisik Gin Ciong.
Cu Yin tersenyum mengejek. “Bukan ayah, tapi sepuluh orang itu yang akan mampus!”
Dengan hati-hati sepuluh orang itu menghampiri Lam Tok yang nampaknya masih tidak tahu apa-apa dan sedang tidur sambil duduk bersila. Setelah para anggota Kui-jiauw-pang itu berada dalam jarak sepuluh meter, tiba-tiba serentak mereka menyambitkan senjata rahasia ke arah punggung Lam Tok. Senjata rahasia mereka itu adalah pisau belati yang berwarna menghitam, tanda bahwa pisau itu telah direndam racun yang amat ganas.
Hampir saja Gin Ciong berteriak, akan tetapi tangan Cu Yin sudah menyentuh tangannya dan ketika dia menengok, Cu Yin menggeleng kepalanya. Gin Ciong segera memandang lagi ke depan. Dia melihat betapa pisau-pisau itu beterbangan mengarah tubuh belakang Lam Tok. Akan tetapi kakek itu sama sekali tidak mengelak mau pun menangkis!
“Tuk-tuk-tuk...!”
Terdengar suara nyaring ketika pisau-pisau terbang itu mengenai punggung Lam Tok dan senjata rahasia itu pun runtuh seakan-akan yang dijadikan sasaran adalah baja yang kuat sekali.
Gin Ciong terbelalak dan kagum sekali. Orang tua itu ternyata mempunyai kekebalan luar biasa dan sungguh berani menerima pisau terbang yang mengandung racun itu dengan punggungnya! Tetapi dia segera teringat akan julukan datuk itu, Lam tok (Racun Selatan). Dari nama julukan ini saja sudah dapat diduga bahwa dia tentulah seorang ahli racun, maka berani membiarkan punggungnya diserang pisau-pisau beracun.
Para anggota Kui-jiauw-pang menjadi marah dan penasaran sekali melihat betapa orang yang mereka jadikan sasaran itu tidak roboh ketika terkena pisau-pisau beracun, bahkan pisau-pisau itu runtuh ke atas tanah. Mereka cepat berloncatan menyerbu. Yang mereka serang adalah bagian belakang tubuh datuk itu, dari kepala sampai ke bawah punggung.
Tiba-tiba saja datuk yang bersila seperti arca tanpa bergerak-gerak itu membuat gerakan dengan kedua tangannya digerakkan ke belakang. Nampak sinar berkilat ketika dari dua tangannya menyambar empat batang panah tangan.
Terdengar teriakan keras saat empat orang di antara para penyerbu itu terpelanting roboh lantas tewas seketika karena anak panah itu mengandung racun yang mematikan. Enam orang yang lainnya terkejut dan marah sekali. Mereka segera menubruk ke depan dengan nekat.
“Hemmm...!” Kakek itu mengeluarkan gerengan, lantas tubuhnya berputar dalam keadaan masih duduk bersila.
Ketika cakar-cakar setan itu menyambar ke arah tubuhnya, Lam Tok menyambut dengan kedua tangannya. Jari-jari tangannya membentuk cakar burung garuda dan begitu kedua tangannya bergerak, dia sudah mencengkeram cakar-cakar setan itu. Sekali cengkeram, cakar-cakar setan itu berikut tangannya menjadi hancur!
Enam orang anggota Kui-jiauw-pang berteriak kesakitan dan meloncat ke belakang. Akan tetapi mereka segera mengaduh-aduh dan menggerak-gerakkan tangan mereka yang ikut hancur bersama cakar setannya, kemudian mereka roboh bergulingan saking nyerinya.
Ternyata tangan mereka bukan hanya hancur dicengkeram, tetapi juga sudah keracunan hebat yang menjalar dengan cepat menuju ke jantung! Tak lama mereka berkelojotan, lalu diam tak bergerak lagi. Maka tewaslah sepuluh orang anak buah Kui-jiauw-pang itu dalam keadaan yang mengerikan.
Lam Tok masih duduk bersila ketika dia menoleh ke arah semak belukar di mana Cu Yin dan Gin Ciong bersembunyi. Lalu terdengarlah suaranya yang galak. “Kalian berdua yang bersembunyi dalam semak, keluarlah cepat jika kalian tidak ingin mampus seperti mereka itu!”
Gin Ciong terkejut bukan kepalang sehingga jantungnya berdebar kencang. Akan tetapi Cu Yin berkata kepadanya, “Ciong-ko, mari kita keluar menemui ayahku.”
Gadis itu kemudian meloncat keluar dari semak belukar diikuti oleh Gin Ciong. Dia segera menghampiri ayahnya dan berkata dengan manja.
“Ayah...!”
Lam Tok membuka matanya dan memandang kepada puterinya yang sudah bergantung pada pundaknya dengan gaya manja sekali. “Hemmm, kau anak nakal! Mau apa engkau bersembunyi di sana? Dan siapa pula pemuda itu?” Dia menuding ke arah Gin Ciong yang telah mengangkat kedua tangannya ke depan dada sambil memberi hormat dengan tubuh membungkuk.
“Dia adalah kenalanku yang baru, Ayah. Kami sedang melakukan perjalanan ke Kui-liong-san untuk menyelidiki tentang Pek-lui-kiam. Engkau tentu tidak dapat menebak siapakah adanya pemuda ini!”
Lam Tok memandang kepada pemuda itu dengan sinar mata tajam penuh selidik. Sambil tersenyum menggoda Cu Yin berkata pula. “Ayah, aku hendak menguji kecerdikan Ayah. Coba Ayah menebak siapa pemuda ini, kalau berhasil menebak aku akan melakukan apa saja sekehendak hati ayah tanpa membantah, akan tetapi jika tidak dapat menebak, maka Ayah harus merampaskan Pek-lui-kiam untukku!”
Lam Tok menggumam, “Hemm, apa sukarnya?” tubuhnya yang tadi duduk bersila di atas batu tiba-tiba telah melayang turun dan dia sudah berdiri di depan Gin Ciong.
“Sambutlah!” serunya dan lengan bajunya yang lebar dan panjang sudah menyambar ke arah muka Gin Ciong.
Cepat dan kuat sekali ujung lengan baju itu menyambar hingga Gin Ciong menjadi terkejut sekali. Akan tetapi sejak kecil pemuda ini sudah digembleng ilmu silat oleh ayahnya, maka dia memiliki gerakan yang sangat cepat. Begitu ujung lengan baju menyambar, dia sudah dapat mengelak dengan gesit sekali.
“Locianpwe... apa kesalahanku...?” dia menegur.
“Tak usah banyak cakap. Sambutlah ini...!” Kembali ujung lengan baju itu menyambar, kini dua ujung lengan baju yang menyambar dari kanan kiri dengan dahsyat sekali.
Gin Ciong maklum bahwa dia berhadapan dengan seorang datuk besar yang wataknya aneh seperti ayahnya. Aneh, tidak pedulian dan dapat pula bersikap sangat kejam seperti yang sudah diperlihatkan Lam Tok terhadap semua anak buah Kui-jiauw-pang. Dia harus membela diri kalau tidak ingin mati konyol.
Kembali Gin Ciong mengelak dengan loncatan ke belakang dan selanjutnya dia membela diri dengan ilmu silat Hek-wan-kun (Silat Lutung Hitam). Gerakannya menjadi gesit sekali seperti seekor lutung, kadang kala dia bergulingan dan berloncatan untuk menghindarkan diri dari kurungan sinar ujung lengan baju yang menyambar-nyambar.
“Ayah tidak boleh membunuhnya. Jika Ayah membunuh atau melukai, berarti Ayah kalah bertaruh!”
Lam Tok tidak menjawab, akan tetapi kedua tangannya bergerak makin cepat. Beberapa kali Gin Ciong nyaris terpukul. Melihat kenyataan bahwa ilmu silat Lutung Hitam itu tidak mampu menolongnya, pemuda itu kemudian mengeluarkan suara memekik nyaring lantas dia mengubah ilmu silatnya.
Ilmu silat yang dimainkannya sangat dahsyat, bersifat keras dan setiap gerakan serangan merupakan serangan maut! Dia sudah memainkan ilmu silat simpanannya yaitu Giam-ong Sin-kun (Ilmu Silat Sakti Raja Maut), ada pun pekikan tadi menunjukkan bahwa dia telah mengerahkan tenaga Ji-hwe-kang (Tenaga Api Matahari)!
“Dukkk! Desss...!”
Pertemuan antara tangan Lam Tok dan Gin Ciong tidak dapat dihindarkan lagi dan tubuh pemuda itu terhuyung ke belakang, akan tetapi dia dapat menguasai dirinya sehingga tak sampai terjengkang. Lam Tok berdiri tegak, lalu bertolak pinggang dengan tangan kanan sedangkan tangan kirinya mengelus jenggotnya. Dia tertawa bergelak.
“Ha-ha-ha-ha, dengan mudah saja aku mengalahkanmu dalam taruhan ini, Cu Yin!”
Cu Yin yang cerdik segera tahu bahwa tadi ayahnya memaksa pemuda itu mengeluarkan ilmu-ilmu silatnya dan melalui ilmu silat inilah ayahnya mengenal siapa adanya pemuda itu. Akan tetapi dia pura-pura mengejek untuk menyenangkan hati ayahnya.
“Ayah tidak akan tahu. Hayo siapa dia kalau Ayah sudah menegetahuinya?”
“Pemuda ini tentu putera Tung-giam-ong Tio Sun, datuk majikan Pulau Biruang di Lautan Timur!”
“Ayah ngawur! Bagaimana Ayah dapat mengetahuinya? Ayah tentu asal menebak saja!” kata puterinya.
“Hemm, anak nakal. Apa kau kira engkau sendiri yang cerdik dan banyak akal? Ayahmu lebih cerdik lagi. Aku sengaja menyerangnya sehingga pemuda ini terpaksa mengeluarkan ilmu-ilmu silatnya, maka tahulah aku bahwa dia menggunakan ilmu silat milik Tung-giam-ong.”
“Akan tetapi, setiap orang murid dari Tung-giam-ong tentu dapat memainkan ilmu silat itu. Bagaimana engkau tahu bahwa dia adalah putera Tung-giam-ong?”
“Saat dia memainkan Hek-wan-kun ilmu silat monyet itu, aku sudah tahu bahwa dia murid Pulau Biruang. Untuk menyelidiki lebih jauh, aku sengaja mendesaknya sehingga dia pun terpaksa mengeluarkan ilmu silat simpanan seperti Giam-ong Sin-kun dan mengerahkan tenaga Jut-hwe-kang sehingga dia sanggup bertahan ketika mengadu tangan denganku. Tidak mungkin setiap orang murid diberi pelajaran ilmu simpanan itu, maka aku menduga bahwa dia tentu putera datuk timur itu.”
Gin Ciong yang mendengar percakapan itu diam-diam merasa sangat kagum kepada Lam Tok. Akan tetapi Cu Yin yang merasa kalah bertaruh menjadi cemberut dan dia bertanya kepada ayahnya.
“Aku sudah kalah, dan Ayah boleh menyuruh aku melakukan apa saja!”
Lam Tok terawa sambil mengelus jenggotnya, lantas memandang kepada Tin Gin Ciong, “Siapa namamu?”
“Saya bernama Tio Gin Ciong, locianpwe.”
“Mana ayahmu? Apakah dia belum datang?”
Gin Ciong menjadi bingung. “Saya... saya tidak tahu kalau ayah akan datang ke sini.”
“Dia tentu datang, kalau tidak dia akan mendapatkan sebuah julukan tambahan, yaitu Si Pengecut!”
Gin Ciong diam saja, tidak berani menjawab, takut kalau dia salah bicara. Datuk ini lalu memandang puterinya. “Anak nakal, apakah engkau mencinta Tio Gin Ciong ini?”
Pertanyaan ini seperti todongan ujung pedang saja, membuat Cu Yin gelagapan dan salah tingkah. Juga Gin Ciong memandang dengan wajah merah, lalu menundukkan mukanya. Kalau dia yang ditanya apakah mencinta Cu Yin, tentu seketika itu pula akan dijawabnya dengan anggukan kepala!
“Ayah ini mengajukan pertanyaan yang aneh-aneh saja!” kata Cu Yin pura-pura marah.
“Cu Yin, sejak kapan engkau menjadi seorang gadis yang plintat-plintut dan janjinya tidak dapat dipercaya? Engkau sudah kalah bertaruh denganku sehingga harus menurut segala perintahku. Sekarang baru ditanya apakah engkau mencinta Gin Ciong, tapi engkau telah membantah dan tidak segera menjawab!”
“Ayah, aku ingin menguji lagi kecerdikanmu. Nah, sekarang katakanlah apa aku mencinta Gin Ciong atau tidak dan kemukakan alasanmu!”
Dengan sikap menantang Cu Yin memandang ayahnya. Dia sudah mengenal benar watak ayahnhya yang tidak akan pernah mundur menghadapi tantangan apa pun dan dari siapa pun juga.
Lam Tok mengangguk-angguk sambil mengelus jenggotnya, memandang dengan penuh selidik ke arah wajah puterinya, lalu menjawab, “Hemm, ketika memandang Gin Ciong di matamu sama sekali tidak ada cahaya dari seorang yang mencinta. Meski pada lahirnya disembunyikan, namun seorang wanita yang mencinta seorang pria tidak mungkin dapat menyembunyikan perasaannya itu lewat pandang matanya saat dia memandang pria yang dicintanya. Tidak, engkau tidak mencintai Gin Ciong ini!”
Tentu saja Gin Ciong merasa jantungnya seperti ditusuk ketika mendengar ucapan yang terus terang antara anak dengan ayahnya itu. Benarkah Cu Yin tidak mencintanya? Dia sendiri sudah mencinta gadis itu dengan seluruh perasaannya.
Walau pun dia merasa salah tingkah dan canggung sekali menghadapi percakapan yang menyangkut dirinya itu, kini Gin Ciong memberanikan hatinya untuk mengangkat muka dan mengamati wajah Cu Yin penuh perhatian. Dia pun ingin sekali mendengar jawaban Cu Yin dan mengharapkan jawaban itu akan menyangkal pendapat orang tua itu.
Cu Yin memandang kepadanya dan gadis ini maklum bahwa jawabannya akan menyakiti hati pemuda itu, maka dia pun berkata dengan lembut. “Ciong-ko, kuharap engkau dapat mengerti dan memaafkan pengakuanku ini. Aku tidak mungkin dapat berbohong terhadap ayah,” lalu dia menoleh kepada ayahnya dan berkata, “Ayah memang benar, aku kagum pada Ciong-ko dan suka menjadi sahabatnya, akan tetapi aku tidak mencintainya seperti seorang wanita mencintai pria.”
Lam Tok menghela napas panjang. “Sayang sekali, kalau engkau berjodoh dengan putera Tung-giam-ong maka hal itu bagus sekali, sama dengan mempersatukan dua kekuatan yang saling bertentangan. Engkau sudah mendengar sendiri ucapan anakku, Gin Ciong. Bagaimana dengan keputusanmu? Engkau mencinta anakku, hal itu sudah jelas nampak pada wajahmu!”
Gin Ciong memberi hormat kepada Lam Tok. “Saya sudah tahu, locianpwe. Biar pun saya sudah jatuh cinta kepada Yin-moi sejak pertemuan pertama, namun dia tidak mencintaku, hanya suka bersahabat denganku. Saya tahu benar bahwa dia mencinta seorang pemuda lain yang bernama Si Kong. Akan tetapi saya tidak putus asa, saya mengharapkan akan tiba saatnya cinta Yin-moi kepadaku akan berubah.” Gin Ciong memandang kepada Cu Yin dengan mesra.
“Hemmm, benarkah engkau mencinta seorang pemuda yang bernama Si Kong, Cu Yin? Orang macam apakah dia itu?”
“Aku memang mencintanya, akan tetapi aku juga membencinya, Ayah.”
“Ha-ha-ha-ha-ha!” Lam Tok tertawa bergelak dengan kepala didongakkan dan tangan kiri mengelus jenggotnya. Dia terlihat gembira bukan main. “Bukan puteri Lam Tok kalau tidak dapat membenci sekaligus mencinta! Engkau mencintanya, hal itu adalah urusan hati, tak perlu dipertanyakan lagi. Tapi engkau juga membencinya, hal itu tentu ada penyebabnya. Mengapa engkau membencinya, anakku?”
“Habis, dia tidak menyambut uluran cintaku, Ayah. Dia berani menolak cintaku, kemudian menolak ketika kuajak melakukan perjalanan bersamaku. Padahal dia selalu bersikap baik kepadaku, juga ketika aku menyamar pria dan dia belum tahu bahwa aku wanita.”
Lam Tok mengerutkan alisnya yang tebal. “Hemmm..., keparat! Bagaimana mungkin ada pemuda yang menolak cintamu? Dia tentu gila, atau sombong! Katakan padaku di mana dia sekarang dan aku akan menghajarnya sampai dia mampus!”
Untuk mencari muka, Gin Ciong segera berkata, “Sebenarnya Si Kong sudah terjatuh ke tangan kami, locianpwe. Tetapi Yin-moi melarangku ketika saya hendak membunuhnya.”
Cu Yin mengerutkan alisnya sambil menatap wajah Gin Ciong dengan tajam dan mencela. “Kalau engkau sendiri mampu mengalahkan dan menjatuhkan Si Kong, tentu aku tak akan melarangmu, Ciong-ko. Akan tetapi Si Kong roboh oleh racunku, maka terserah kepadaku dia akan dibunuh atau tidak!”
Mendengar kata-kata yang mengomelinya itu, Gin Ciong langsung menutup mulutnya dan menunduk. Sebaliknya Lam Tok merasa penasaran mendengar bahwa putera Tung-giam-ong itu tidak mampu merobohkan pemuda bernama Si Kong yang dicinta puterinya akan tetapi tidak mau menyambut uluran cintanya.
“Hemm, sampai di manakah ilmu kepandaian bocah bernama Si Kong itu?”
Kembali Gin Ciong menjawab karena didorong oleh rasa iri dan cemburu. “Dia sangat lihai dan sombong sekali, locianpwe, sebab dia adalah murid Pendekar Sadis Ceng Thian Sin!”
Mendengar nama Pendekar Sadis ini Lam Tok mengerutkan alisnya dan jelas bahwa dia terkejut bukan main. Nama julukan Pendekar Sadis bukanlah nama kosong, bahkan Lam Tok sendiri diam-diam merasa jeri terhadap nama besar Pendekar Sadis itu.
“Hemmm, jadi dia adalah murid Pendekar Sadis? Dan engkau mencintanya, Cu Yin, cinta yang ditolak oleh pemuda itu?”
“Aku mencintanya dan juga membencinya, Ayah.”
“Kebencian terdorong oleh perasaan kecewa karena cintamu ditolak olehnya. Apabila dia menerima cintamu, apakah engkau masih akan membencinya?”
Dengan kedua pipi merah dan senyum manis sekali Cu Yin berkata, “Jika dia menyambut cintaku, tentu saja aku tidak lagi membencinya.”
“Dan di mana sekarang dia berada?”
“Dia pernah mengatakan bahwa dia pun hendak menyelidiki tentang Pek-lui-kiam di bukit ini.”
“Bagus! Kalau aku bertemu dengan dia, aku akan membuka matanya bahwa puteriku itu masih terlampau berharga baginya, maka dia harus menyambut cintamu.”
“Bagaimana kalau dia menolak, locianpwe?” tanya Gin Ciong, membakar hati datuk itu.
Lam Tok mengepal tinju tangannya. “Kalau dia tetap menolak maka dia akan mampus di tanganku!”
Cu Yin mengerutkan alisnya, akan tetapi dia tidak berkata sesuatu karena maklum bahwa sekali ayahnya mengambil keputusan, tidak akan ditariknya kembali. Dia merasa khawatir sekali akan keselamatan Si Kong setelah ayahnya mengambil keputusan seperti itu.
“Ayah akan mendaki puncak bersama kami?” tanya Cu Yin.
“Tidak. Engkau lanjutkan pendakianmu bersama Gin Ciong. Dengan bekerja sama kalian berdua akan dapat membela diri dengan lebih baik. Aku akan mengambil jalanku sendiri. Pergilah!”
“Sampai jumpa, Ayah.” Cu Yin lalu melangkah pergi, mulai mendaki puncak. Gin Ciong segera memberi hormat kepada Lam Tok, lalu cepat dia berlari menyusul Cu Yin.
Belum lama Lam Tok meninggalkan pula tempat itu di mana menggeletak sepuluh orang anak buah Kui-jiauw-pang itu, muncul sepasang orang muda yang mempergunakan ilmu berlari cepat. Mereka adalah Si Kong dan Hui Lan yang melakukan perjalanan bersama menuju puncak Kui-liong-san untuk menyelidiki tentang Pek-lui-kiam yang kabarnya sudah terjatuh ke tangan Ang I Sianjin ketua Kui-jiauw-pang. Hui Lan yang lebih dahulu melihat mayat bergelimpangan itu.
“Kong-ko, lihat...!” Dia menuding ke kiri.
Ketika Si Kong menengok, dia pun melihat mayat-mayat itu dan mengajak Hui Lan untuk menghampiri tempat itu dan melakukan penyelidikan. Si Kong meraba leher satu di antara mayat-mayat itu.
“Tubuh mereka masih hangat, mereka baru saja terbunuh. Lihat, darah pun masih belum kering benar.” Hui Lan ikut berjongkok memeriksa, kemudian ia pun mengangguk-angguk membenarkan keterangan Si Kong yang sudah berjongkok dekat mayat lain.
“Enam orang di antara mereka mati keracunan dengan cakar tangan dan tangan hancur lebur. Mereka itu jelas orang-orang Kui-jiauw-pang, dapat dilihat dari cakar-cakar setan ini. Akan tetapi yang ini... ahhh, Siangkoan Cu Yin yang telah membunuh mereka...!”
“Siangkoan Cu Yin?” Hui Lan mendekati Si Kong. “Apa buktinya bahwa dia yang sudah membunuh mereka ini?”
“Lihat ini. Empat orang ini tewas dengan anak panah menancap pada tubuh mereka. Aku mengenal senjata rahasia ini sebagai milik Siangkoan Cu Yin.”
“Hemm, mengapa dia begini ganas dan kejam?”
Si Kong menghela napas panjang, seolah-olah menyesal atas kekejaman yang dilakukan Siangkoan Cu Yin. “Ingat, dia adalah puteri Lam Tok, maka perbuatannya ini tidak aneh. Apa lagi kalau dia diserang lebih dulu. Wataknya memang keras sekali!”
Hui Lan mengangguk-angguk, teringat betapa ia dan Si Kong hampir saja mati keracunan karena perbuatan Siangkoan Cu Yin. “Kalau dia mencari Pek-lui-kiam, perbuatannya ini salah sama sekali. Dengan membunuhi anak buah Kui-jiauw-pang, berarti dia menanam permusuhan dengan perkumpulan itu dan pasti ketuanya tidak mau menyerahkan Pek-lui-kiam kepadanya.”
“Engkau benar, Lan-moi. Engkau tunggu sebentar, aku akan mengurus mayat-mayat ini.”
“Apa yang hendak kau lakukan, Kong-ko?”
“Mengubur mayat-mayat ini tentu saja. Kasihan kalau mereka dibiarkan membusuk di sini hingga menjadi makanan binatang buas. Lagi pula, dengan mengubur mereka, pihak Kui-jiauw-pang tidak akan tahu bahwa sepuluh orang anak buah mereka dibunuh Siangkoan Cu Yin.”
Hui Lan mengangguk dan diam-diam dia merasa kagum terhadap pemuda ini. Seorang pemuda berkepandaian tinggi yang baik budi. Dia tidak merasa heran kalau seorang gadis yang keras hati seperti Siangkoan Cu Yin jatuh hati kepada Si Kong.
Dia sendiri memiliki watak yang keras, akan tetapi kekerasan hatinya masih terkendali dan bukan ingin menang sendiri seperti Siangkoan Cu Yin. Tanpa berkata apa-apa dia lantas membantu Si Kong menggali lubang dan Si Kong menerima bantuan ini dengan senang hati.
Akan tetapi begitu mereka selesai menggali lubang besar dan selagi hendak mengangkat mayat-mayat itu untuk dikuburkan, tiba-tiba saja datang belasan orang yang mengenakan cakar setan di tangan mereka. Sekali lihat saja Si Kong dan Hui Lan segera tahu bahwa mereka adalah anggota-anggota Kui-jiauw-pang.
“Keparat, engkau telah membunuh banyak teman kami!” bentak seorang di antara mereka yang bermuka hitam dan agaknya menjadi pemimpin seregu anggota Kui-jiauw-pang yang berjumlah lima belas orang itu.
“Bukan kami yang membunuh mereka,” kata Si Kong dengan tenang.
“Tidak mungkin orang lain!” bentak si muka hitam. “Engkau sudah membunuh mereka dan kini berusaha menghilangkan jejak dengan mengubur mereka. Kalau bukan kalian berdua, tentu kalian tidak akan bersusah payah menguburkan mereka. Akui saja siapa kalian dan mengapa kalian membunuh kawan-kawan kami!”
Dengan sikap masih tenang Si Kong menjawab, “Namaku Si Kong, dan dia adalah nona Tang Hui Lan. Bagi kalian mungkin aneh melihat kami hendak mengubur mayat-mayat ini, namun bagi kami hal itu sudah sewajarnya dan semestinya. Kami tidak tega membiarkan mayat-mayat ini dimakan binatang buas dan membusuk di sini.”
“Bohong! Tangkap atau bunuh mereka!” seru si muka hitam dan belasan orang itu segera menyerbu dan menyerang Si Kong dan Hui Lan dengan cakar setan mereka.
Begitu belasan orang itu menyerbu, Si Kong berkata kepada Hui Lan, “Lan-moi, jangan membunuh orang!”
Dengan amat mudahnya Si Kong dan Hui Lan menghindarkan diri dari terkaman cakar-cakar setan itu, lantas kedua orang muda perkasa ini membuat para pengeroyok mereka berpelantingan dengan tendangan kaki dan tamparan. Ornag-orang itu tidak menjadi jera, bahkan dengan penasaran mereka menerjang kembali, sekarang bukan untuk menangkap melainkan untuk membunuh.
Melihat kenekatan para pengeroyok, Si Kong dan Hui Lan menyambut dengan tendangan dan tamparan yang lebih bertenaga lagi. Akibatnya lima belas orang itu terpelanting lagi, namun sekali ini mereka mengaduh-aduh dan tidak dapat segera bangkit berdiri.
Pada saat itu muncul lima orang. Hui Lan tidak mengenal siapa mereka dan memandang dengan penuh perhatian karena dia tahu bahwa yang muncul ini bukanlah orang-orang Kui-jiauw-pang biasa.
Seorang dari mereka berusia lima puluh tahun lebih, bertubuh tinggi besar dan mukanya penuh bekas cacar. Orang kedua bertubuh tinggi kurus dengan muka pucat seperti orang sakit dan usianya empat puluh tahun lebih. Orang ketiga bermuka penuh brewok, usianya lebih muda dari orang kedua. Orang keempat bertubuh pendek gendut dan orang kelima yang paling muda berusia kurang dari empat puluh tahun dan tubuhnya katai.
Melihat kemunculan lima orang ini, Si Kong terkejut karena dia segera mengenal mereka sebagai Bu-tek Ngo-sian (Lima Dewa Tanpa Tanding), yaitu lima orang yang bersama Toa Ok dan Ji Ok pernah menyerbu Pulau Teratai Merah dan menyerang gurunya, Pendekar Sadis Ceng Thian Sin atau Ceng Lojin.
Tadinya dia menyangka bahwa mereka berlima itu muncul di Kui-liong-san karena hendak ikut memperebutkan Pek-lui-kiam. Akan tetapi dia merasa terkejut dan heran sekali ketika mereka membentak dengan suara marah, kemudian orang tertua yang bermuka bopeng menegur lantang.
“Siapakah kalian yang berani membunuh dan melukai begini banyak anggota Kui-jiauw-pang?!”
Si Kong tahu bahwa lima orang itu agaknya telah lupa dan tidak mengenalnya lagi. “Kami berdua tidak membunuh. Ada orang lain yang membunuh mereka, tetapi belasan orang ini tidak percaya dan menyerang kami. Maka terpaksa kami melawan.”
“Hemm, apa kau kira kami demikian bodoh, mudah kau tipu begitu saja?!” bentak si muka bopeng.
Hui Lan yang tidak mengenal lima orang itu menjadi penasaran, dan dia yang menjawab dengan suara lantang, “Kalian mau percaya atau tidak, terserah kepada kalian! Kami tidak mau berbantahan dengan kalian!”
Orang kelima dari Bu-tek Ngo-sian, yaitu yang paling muda di antara mereka, berwatak mata keranjang. Melihat kejelitaan Hui Lan, sejak tadi dia sudah menelan ludah beberapa kali. Kini mendengar suara Hui Lan yang tegas namun merdu, dia lalu melangkah maju dan berkata sambil menyeringai.
“Nona manis, siapa namamu nona? Kalau nona yang bicara, aku percaya sepenuhnya! Di antara kita memang tidak perlu berbantahan dan bercekcok, bahkan sebaiknya nona dan aku menjalin persahabatan. Bukankah itu baik sekali?” Laki-laki itu bertubuh katai, hanya sepundak Hui Lan dan dia telah menghampiri Hui Lan untuk merangkulnya. Melihat ini Hui Lan marah sekali. Laki-laki kurang ajar seperti ini harus diberi pelajaran keras.
“Heii, kamu ini anjing dari mana berani menggonggong?!” bentaknya sambil menudingkan telunjuk kirinya dan suaranya mengandung kekuatan sihir yang dahsyat.
Empat orang yang lain terbelalak ketika melihat rekan mereka yang termuda itu tiba-tiba saja merangkak dengan kedua pasang kaki tangannya, lalu menggonggong meniru suara anjing!
“Bhe Song Ci, apa yang sedang kau lakukan? Sadarlah!” bentak orang pertama dari Bu-tek Ngo-sian yang bernama Ciok Khi. Dia mengira bahwa rekannya termuda itu bermain-main, sama sekali tidak mengira bahwa rekannya itu terkena sihir yang kuat.
Akan tetapi orang yang bernama Bhe Song Ci itu masih terus menyalak-nyalak seperti anjing. Kini empat orang lainnya menyadari bahwa keadaan rekan mereka itu tidak sadar, maka mereka lalu menghampiri Bhe Song Ci untuk menotok jalan darahnya. Bhe Song Ci terkulai, lalu rebah sambil membelalakkan matanya.
“Kenapa kalian merobohkan aku?” Dia seperti orang habis bangun tidur.
Melihat adiknya itu telah sadar, Ciok Khi lalu membebaskan totokannya dan Bhe Song Ci melompat bangkit. Ia teringat betapa tadi dia merasa dirinya menjadi anjing, dan akhirnya dia menyadari sepenuhnya kenapa kakak-kakaknya menotoknya. Tadi dia telah bersikap seperti seekor anjing, persis seperti yang diteriakkan gadis itu.
Bhe Song Ci adalah seorang dari Bu-tek Ngo-sian, tentu saja selain memiliki kepandaian tinggi dia juga mempunyai pengalaman yang luas. Segera dia menyadari bahwa gadis itu menggunakan kekuatan sihir untuk mempermainkannya. Dia menjadi marah bukan main dan mukanya berubah merah sekali. Begitu dia bergerak lagi tangannya sudah mencabut pedang yang menempel di punggungnya.
“Perempuan keparat, berani kau mempermainkan aku?!” Bhe Song Ci sudah menerjang tanpa memberi kesempatan kepada Hui Lan.
Kakak-kakaknya hanya menonton karena mereka percaya penuh akan kelihaian saudara termuda itu, apa lagi melihat gadis itu belum mencabut senjatanya dan menghadapi Bhe Song Ci dengan tangan kosong.
Akan tetapi sekali ini Bhe Song Ci bertemu dengan Tang Hui Lan, puteri pendekar besar Tang Hay yang biar pun masih muda sudah memiliki ilmu kepandaian yang hebat. Melihat lawannya marah dan menyerang dengan curang tanpa memberi kesempatan kepadanya untuk mencabut sepasang pedangnya, Hui Lan segera mengelak dari sambaran pedang yang menusuk dadanya. Begitu melihat gerakan si katai itu dia pun dapat mengukur ilmu kepandaiannya.
Memang lawannya bukan orang biasa dan mempunyai ilmu silat yang cukup tinggi, akan tetapi dia tahu pula bahwa dia menang dalam kecepatan dan tenaga sakti. Maka dia pun tidak mau mencabut siang-kiam (sepasang pedang) dari punggungnya dan menghadapi lawan yang berpedang itu dengan tangan kosong belaka!
Setelah tusukannya dapat dielakkan dengan mudah oleh gadis itu, Bhe Song Ci menjadi semakin penasaran. Dia lalu memainkan pedangnya dengan sepenuh tenaganya. Pedang itu lenyap berubah menjadi sinar yang bergulung-gulung. Akan tetapi dia menjadi sangat terkejut dan juga heran. Rasanya setiap serangannya sudah hampir mengenai sasaran, namun pada kenyataannya selalu luput!
Hal ini tidak mengherankan karena Hui Lan mempergunakan langkah ajaib yang disebut Jiauw-pouw-poan-soan. Sepasang kakinya bergerak cepat, melangkah dan menggeser ke sana sini, akan tetapi serangan pedang lawannya selalu dapat dielakkan dengan mudah!
Bhe Song Ci merasa heran bukan main. Bagi dia, gadis itu kelihatan seperti menunggu datangnya serangan, akan tetapi begitu dia menyerang, gadis itu segera melangkah dan mengelak dari serangannya. Dengan penasaran dan semakin marah Bhe Song Ci terus menyerang, kini mengerahkan seluruh tenaganya sehingga serangannya makin kuat dan cepat.
“Haiiiitttt...!”
Dia membentak dan memutar pedangnya, akan tetapi tiba-tiba dia terbelalak karena gadis itu sudah lenyap dari depannya. Sebelum dia sempat memutar tubuh mencarinya, Hui Lan sudah menendang dari belakang.
“Bukkk!”
Tubuh yang katai itu terhuyung seperti orang mabok dan dia cepat memutar tubuhnya. Dilihatnya gadis itu tersenyum mengejek. Si katai itu menjadi beringas.
“Mampuslah!” Dia membentak dan mainkan pedangnya mengirim serangan maut.
Akan tetapi kembali tubuh lawannya menghilang. Dia tidak tahu bahwa Hui Lan sedang menggunakan ilmu meringankan tubuh sambil mainkan ilmu silat Yan-cu Coan-in (Burung Walet Menembus Awan) yang memiliki gerakan cepat bukan kepalang. Sekali ini Hui Lan mengerahkan lebih banyak tenaga sinkang-nya dalam tendangannya.
“Desss...!”
Pinggul si katai kena tendang keras sekali dan tubuhnya terpental seperti sebuah bola ditendang! Ketika dia terbanting jatuh, dia terengah-engah, akan tetapi sekarang dia dan kawan-kawannya sudah menyadari bahwa gadis itu memiliki kepandaian yang tinggi.
********************
Pek Bwe Hwa melakukan pendakian dengan hati-hati sekali. Dia dapat menduga bahwa Kui-jiauw-pang tentu telah melakukan penjagaan dengan hati-hati dan tidak aneh kalau di jalan setapak menuju puncak itu dipasangi jebakan-jebakan yang berbahaya.
Dia menggunakan segenap kewaspadaannya untuk menyelidiki jalan setapak itu sebelum kakinya melangkah. Dia mematahkan sebuah ranting pohon yang cukup panjang, lantas dengan kayu ini dia mencoba jalan di depannya. Ketika melihat di depannya ada sepetak rumput yang menutupi jalan, dia lalu menggunakan rantingnya untuk memeriksa.
Dia menusukkan ujung rantingnya ke dalam rumput yang tebal itu dan tepat seperti yang dikhawatirkannya, tongkatnya masuk dalam sekali dan merasa betapa di bawah selimut rumput itu agaknya kosong dan merupakan sebuah lubang. Dia lalu mengambil sepotong batu besar dan melemparkannya kepada timbunan rumput itu dan batu itu terus masuk ke dalam lubang yang tersembunyi di bawah rumput. Maklum bahwa di depannya terdapat jebakan lubang besar yang tertutup rumput, dia lalu mencari jalan memutar dan meraba-raba dengan tongkatnya.
Bwe Hwa melangkah terus dengan berani. Biar pun terdapat banyak perangkap tetapi dia tidak takut dan melanjutkan perjalanannya dengan penuh kewaspadaan. Diam-diam dia mengkhawatirkan nasib Leng Kun. Pemuda itu tentu menghadapi banyak perangkap pula. Akan tetapi dia segera menenangkan hatinya. Leng Kun adalah seorang pemuda yang tinggi ilmunya. Tentu dia dapat menjaga diri sendiri dengan baik.
Ketika dia menghindari jalan yang tertutup semak belukar penuh duri, tiba-tiba saja dari dalam semak belukar itu menyambar belasan batang anak panah ke arah tubuhnya. Bwe Hwa sudah siap siaga. Bagaikan seekor burung walet saja, tubuhnya sudah meloncat ke atas sehingga anak panah itu lewat di bawah kakinya dan menyambar masuk ke dalam semak-semak.
Bwe Hwa turun dengan hati-hati dan setelah memeriksa dengan teliti, tahulah dia bahwa tadi dia sudah menginjak sepotong kayu. Kayu ini menarik sehelai tali yang dihubungkan dengan alat untuk melepas anak panah itu yang disembunyikan di dalam semak belukar. Berbahaya sekali, pikirnya. Akan tetapi dia tidak merasa jeri dan melangkah terus dengan lebih berhati-hati, selalu memperhatikan dulu sebelum dia melangkah.
Ketika jalan setapak yang diikutinya itu sampai di sebuah selokan ke kanan, tiba-tiba saja berlompatan belasan orang laki-laki dari balik pohon-pohon dan semak-semak. Lima belas orang laki-laki telah berdiri di hadapannya dan mereka semua memakai cakar setan pada kedua tangan. Sikap mereka bengis dan menyeramkan.
Bwe Hwa dapat menduga bahwa belasan orang itu tentu anak buah Kui-jiauw-pang, maka dia pun bersiap untuk menghadapi pengeroyokan mereka. Dia bersikap tenang saja dan memandang kepada mereka dengan mata bersinar tajam.
Pemimpin regu anak buah Kui-jiauw-pang itu kemudian membentak dengan suara lantang, “Nona, siapakah engkau yang berani memasuki wilayah kami tanpa ijin? Lebih baik Nona menyerah untuk kami tangkap dan kami hadapkan kepada pimpinan kami, dari pada kami harus menggunakan kekerasan untuk menangkapmu.”
Dengan sikap tenang dan gagah Bwe Hwa menjawab, “Aku tak akan sudi menyerah dan silakan kalau kalian hendak menangkapku dengan kekerasan. Hendak kulihat bagaimana caranya kalian menggunakan kekerasan!”
Pemimpin regu memberi aba-aba, dan lima belas orang itu mengurung Bwe Hwa seperti belasan ekor serigala mengepung seekor domba. Akan tetapi sesudah mereka bergerak, ternyata yang mereka kepung itu bukanlah seekor domba, namun seekor harimau betina yang tangguh sekali.
Ketika mereka menyerbu untuk menangkapnya, Bwe Hwa menyambut dengan tamparan dan tendangan. Dalam segebrakan saja empat orang pengeroyok sudah terpelanting oleh tamparan dan tendangan yang dilakukan dengan amat cepatnya.
Sebenarnya belasan orang itu telah mendengar dari Leng Kun betapa lihainya gadis yang akan mereka hadapi. Akan tetapi ketika tadi melihat Bwe Hwa hanya seorang dara cantik jelita dan halus gerak-geriknya, mereka tak percaya dan mengira akan dapat menangkap gadis itu dengan mudah. Karena memandang rendah ini, maka dengan mudah Bwe Hwa dapat merobohkan empat orang itu. Kini barulah mereka terkejut dan tahu bahwa gadis itu benar-benar lihai. Maka legalah hati mereka ketika Leng Kun muncul dan meloncat dekat Bwe Hwa sambil berseru,
“Kalian mundurlah, jangan menyerang! Hwa-moi, hentikan perkelahian ini!”
Bwe Hwa melompat ke belakang dan memandang pemuda itu dengan heran. “Mengapa, Kun-ko? Mereka ini hendak menangkap aku!”
“Hwa-moi, mereka adalah para anggota Kui-jiauw-pang. Para ketuanya adalah sahabat-sahabat kakek guruku, maka harap engkau maafkan mereka yang tidak tahu ini.” Dia lalu menoleh kepada para anggota Kui-jiauw-pang sambil membentak, “Kalian keliru menilai orang! Hayo cepat meminta maaf kepada Pek-lihip (pendekar wanita Pek) lalu laporkanlah kepada pimpinan kalian bahwa aku datang bersama Pek-lihiap yang gagah perkasa ini!”
Lima belas orang itu segera mengangkat tangan ke depan dada sambil membungkuk dan berkata, “Harap Pek-lihiap suka maafkan kami!”
Bwe Hwa yang merasa heran hanya mengangguk. Sesudah belasan orang itu pergi, dia lalu bertanya kepada Leng Kun. “Kun-ko apakah yang telah terjadi? Kenapa nampaknya engkau berhubungan baik sekali dengan Kui-jiauw-pang?”
“Tentu engkau merasa heran, Hwa-moi. Aku sendiri pun sama sekali tidak mengira akan mendapat penyambutan baik dari Kui-jiauw-pang. Ketika mendaki tadi aku juga bertemu dengan belasan orang anggota Kui-jiauw-pang kemudian aku pun dikeroyok. Aku berhasil mengalahkan mereka lantas muncullah seorang di antara tiga orang ketua Kui-jiauw-pang. Setelah kami bertanding, dia dapat mengenali ilmu silatku lalu menghentikan perkelahian. Setelah kami bercakap-cakap, ternyata bahwa Toa Pangcu dari Kui-jiauw-pang dahulunya menjadi sahabat baik kakek guruku. Dia mengenal ilmu silat kakekku itu. Setelah dia tahu bahwa aku adalah cucu murid kakek guruku, dia bersikap baik dan bersahabat. Bahkan ketika aku bicara tentang pedang Pek-lui-kiam, dia mengatakan bahwa di antara sahabat pedang itu tak perlu diperebutkan. Aku lalu teringat akan engkau, Hwa-moi. Aku khawatir engkau akan terjebak atau dikeroyok, maka aku cepat mencarimu. Sekarang marilah kita menghadap tiga orang ketua Kui-jiauw-pang. Sudah kuceritakan kepada mereka bahwa aku datang bersama seorang sahabatku dan mereka menyatakan mau menerima engkau sebagai sahabat pula.”
Tentu saja Bwe Hwa menjadi bingung sekali. Sama sekali tidak pernah diduganya bahwa pemegang pedang Pek-lui-kiam akan menyambutnya seperti sahabat! Ayahnya memesan apa bila pedang berada di tangan seorang jahat maka dia harus merampasnya. Namun kalau pedang itu menjadi milik seorang pendekar perkasa yang berbudi, dia malah harus membantunya mempertahankan pedang itu dari incaran golongan sesat. Dia belum tahu apakah tiga orang ketua Kui-jiauw-pang itu orang baik-baik ataukah jahat. Akan tetapi dia akan disambut dengan baik sebagai seorang sahabat!
“Kun-ko, bukankah Kui-jiauw-pang adalah perkumpulan sesat dan para pemimpinnya tentu orang-orang jahat pula?”
“Sebetulnya mereka bukan orang-orang jahat yang suka melakukan kejahatan, Hwa-moi. Mereka hanya menguasai seluruh rumah pelesir serta rumah judi, dan dari sana mereka mendapatkan sebagian keuntungan. Mereka bertindak jahat terhadap penjahat, dan soal mata pencaharian mereka itu sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan kita. Sikap mereka baik, maka sepantasnya kita pun bersikap baik kepada mereka. Dan soal pedang pusaka, kukira tidak perlu menggunakan kekerasan. Kita dapat memintanya dari mereka.”
Bwe Hwa mengerutkan alisnya. Dia tidak dapat percaya begitu saja. Pedang Pek-lui-kiam diperebutkan oleh banyak orang, bagaimana mungkin diserahkan kepadanya begitu saja? Akan tetapi dia percaya kepada Leng Kun. Tak mungkin pemuda itu membohonginya.
“Hemm, aku ingin menemui mereka dan melihat bagaimana sikap mereka,” kata Bwe Hwa dengan hati ingin tahu sekali.
“Kalau begitu, marilah kita segera menemui mereka sebelum pedang pusaka itu terjatuh ke tangan orang lain,” kata Leng Kun.
Mereka lalu mendaki puncak bukit Kui-liong-san. Dia melihat kenyataan bahwa Leng Kun tidak menggunakan jalan setapak, melainkan menyusup di antara pohon dan semak.
“Kenapa kita mengambil jalan memotong seperti ini?” tanya Bwe Hwa pada waktu mereka menyusup di antara semak berduri.
“Jalan setapak menuju ke puncak penuh dengan jebakan, bahkan ada yang diberi racun, maka berbahaya sekali. Aku sudah mendapat petunjuk dari ketiga orang ketua Kui-jiauw-pang, jalan mana yang harus diambil menuju ke puncak. Jalan ini tidak dipasangi apa-apa maka kita dapat mencapai puncak dengan aman.”
Bwe Hwa menjadi semakin heran. “Mengapa Kui-jiauw-pang mempunyai tiga orang ketua, Kun-ko? Bukankah ketuanya adalah Ang I Sianjin?”
“Ang I Sianjin hanya menjadi Sam Pangcu (Ketua Ketiga), masih ada Ji Pangcu dan Toa Pangcu. Marilah, Hwa-moi. Engkau akan segera dapat bertemu dan berkenalan dengan mereka.”
Mereka maju dengan cepat karena mereka mempergunakan ginkang (Ilmu Meringankan Tubuh). Mereka mendaki seperti orang berlari saja. Tak lama kemudian tibalah mereka di depan pintu gerbang.
Bwe Hwa melihat ada belasan orang anak buah Kui-jiauw-pang melakukan penjagaan dan melihat Leng Kun, mereka memberi hormat dan membiarkan Leng Kun lewat. Diam-diam Bwe Hwa semakin kagum kepada Leng Kun. Pemuda itu cerdik sekali sehingga dia dapat diterima sebagai sahabat oleh para pimpinan Kui-jiauw-pang.
Ketika mereka memasuki ruangan besar di sebelah kiri bangunan induk yang besar, tiga orang ketua Kui-jiauw-pang menyambut mereka dengan wajah ramah dan senyum lebar.
“Selamat datang di tempat kami, lihiap! Kami telah mendengar tentang kelihaianmu, Pek-lihiap!” kata Sam Pangcu.
Bwe Hwa memandang kepada orang yang menyambutnya itu. Dia seorang kakek berusia enam puluh tahun lebih yang bertubuh tinggi kurus, bermuka pucat dan pakaiannya serba merah. Tahulah dara ini bahwa kakek itu tentu Ang I Sianjin yang dikabarkan orang telah membunuh pendekar Tan Tiong Bu dan mencuri pedang Pek-lui-kiam. Dan ternyata Ang I Sianjin hanya menduduki jabatan ketua ketiga saja dari Kui-jiauw-pang.
Dia lalu memperhatikan dua orang kakek yang tersenyum ramah itu. Diam-diam dia pun terkejut sekali melihat sinar mata mereka yang tajam bersinar, tanda bahwa kedua orang itu memiliki sinkang yang amat kuat. Kedua orang itu pun sambil tersenyum mengenalkan diri.
Yang berkepala besar dan botak, bertelinga lebar sekali serta tubuhnya gendut, mengaku sebagai Toa Pangcu. Sedangkan orang kedua yang mengaku sebagai Ji Pangcu, ketua kedua dari Kui-jiauw-pang adalah seorang yang menyeramkan. Tubuhnya hanya pendek kurus, akan tetapi rambutnya panjang dan mukanya berambut seperti muka monyet.
Kalau ketua pertama berbaju serba putih, ketua kedua ini bajunya serba hitam. Sungguh menyolok perbedaan warna baju tiga ketua itu. Orang pertama berbaju putih, orang kedua berbaju hitam dan orang ketiga berbaju merah.
Mendengar ucapan penyambutan dari Sam Pangcu yang memuji kepandaiannya itu, Bwe Hwa membalas penghormatan mereka dan menjawab.
“Aku girang sekali bahwa sam-wi pangcu suka menerima kedatanganku sebagai sahabat. Tentang kelihaian itu, kukira Kun-ko terlalu melebih-lebihkan. Kebisaanku tak ada artinya kalau dibandingkan dengan kepandaian sam-wi pangcu.”
“Ha-ha-ha, nona masih amat muda sudah memiliki ilmu kepandaian tinggi dan pandai pula merendahkan diri, membuat kami kagum sekali!” kata Toa Pangcu.
“Pek-lihiap, mari silakan duduk!” kata Ji Pangcu sambil tersenyum.
Bwe Hwa merasa senang melihat keramahan tiga orang ketua itu. Dia lantas mengambil tempat duduk di sebuah kursi dan tiga orang ketua itu turut duduk sambil mempersilakan Leng Kun. Mereka semua duduk mengelilingi meja. Sam Pangcu lalu bertepuk tangan dan berdatanganlah pelayan-pelayan wanita, membawa bermacam makanan serta minuman. Kiranya semua itu memang sudah dipersiapkan.
Melihat ini tahulah Bwe Hwa bahwa dia hendak dijamu makan, maka dia mengerutkan alis dan menolak. “Sam-wi pangcu, aku tidak akan lama berada di sini, dan jangan merepotkan sam-wi.”
“Ahh, mana bisa begitu, lihiap? Kami telah mendapatkan kehormatan dengan datangnya Pek-lihiap dan Coa-sicu, maka untuk menyatakan kegembiraan kami, kami menyuguhkan sekedar makanan dan minuman untuk ji-wi (kalian berdua). Nanti sesudah makan minum barulah kita bicara tentang keperluan ji-wi datang ke tempat ini,” kata Toa Pangcu.
Leng Kun yang duduk di sebelah kiri Bwe Hwa memandang kepada gadis itu dan berkata lirih, “Hwa-moi, mereka telah bersikap baik sekali kepada kita, sungguh tidak enak jika kita menolak hidangan mereka.”
Bwe Hwa terpaksa mengangguk dan berkata, “Kedatangan kami hanya merepotkan sam-wi saja.”
Mereka lalu makan minum. Mula-mula Bwe Hwa bersikap hati-hati sekali, tidak mau lebih dulu menyentuh hidangan. Sesudah melihat pihak tuan rumah makan, barulah dia berani mengambil hidangan dan ikut makan. Dia selalu waspada dan menjaga diri jangan sampai dia tertipu dan keracunan.
Setelah mereka selesai makan dan Sam Pangcu memerintahkan beberapa pelayan untuk membersihkan meja, Toa Pangcu lalu berkata kepada Bwe Hwa dan Leng Kun.
“Nah, kini tiba saatnya bagi kita untuk bicara. Kalau boleh kami mengetahui, sebenarnya apakah yang menjadi keperluan ji-wi datang berkunjung ke Kui-liong-san?”
Leng Kun dan Bwe Hwa saling pandang dan Leng Kun memberi isyarat kepada Bwe Hwa agar gadis itu yang menjawab pertanyaan Toa Pangcu itu. Bwe Hwa mengangguk dan dia pun memandang tajam kepada tiga orang ketua yang duduk di hadapannya.
“Begini, sam-wi pangcu. Sudah lama kami mendengar akan adanya pedang pusaka Pek-lui-kiam dan bahwa banyak tokoh kangouw ingin memperebutkan Pek-lui-kiam. Kami juga mendengar bahwa pedang pusaka itu berada di tangan ketua Kui-jiauw-pang. Nah, karena itulah terus terang saja kami menjadi tertarik dan ingin pula memperebutkan pusaka itu.” Sesudah berkata demikian, sepasang mata yang mencorong dari gadis itu menatap wajah ketiga orang ketua.
“Hemmm, dengan alasan apakah engkau hendak merebut pusaka itu, Pek-lihiap?” tanya Sam Pangcu.
“Dengan alasan bahwa pusaka seperti itu tidak boleh jatuh ke tangan orang jahat, karena hal itu akan membahayakan kehidupan rakyat. Dahulu, pada waktu pusaka itu berada di tangan pendekar Tan Tiong Bu, tidak ada yang merasa penasaran dan aku pun tak akan mengganggunya. Namun Tan Tiong Bu telah terbunuh dan menurut kabar, pembunuhnya adalah Sam Pangcu ini. Tentu Sam Pangcu lebih mengetahui akan hal itu. Nah, sesudah mendengar bahwa pendekar Tan terbunuh oleh ketua Kui-jiauw-pang dan pedang Pek-lui-kiam terampas, maka aku datang ke sini untuk menyelidiki kebenaran berita itu.” Kini Bwe Hwa memandang tajam wajah kakek berbaju merah itu.
“Ha-ha-ha-ha!” Toa Pangcu tertawa bergelak, perutnya yang gendut bergerak-gerak dan kepalanya yang besar itu digeleng-gelengkannya. “Tak kami sangkal bahwa Pek-lui-kiam memang berada di tangan kami, tetapi kami tidak ingin berhadapan dengan ji-wi sebagai musuh. Kami sudah menerima kalian sebagai sahabat dan tamu terhormat. Apa lagi Coa-sicu ini adalah cucu seorang sahabat baik kami di waktu dulu. Kalau memang lihiap dan sicu menghendaki Pek-lui-kiam, maka kami akan menyerahkan pusaka itu dengan suka rela. Akan tetapi, sebagai imbalannya, kami mengharap ji-wi suka membantu kami dalam ancaman bahaya yang kami hadapi sekarang.”
Bwe Hwa saling pandang dengan Leng Kun, kemudian pemuda itu bertanya kepada Toa Pangcu. “Toa Pangcu, harap jelaskan dulu ancaman bahaya apa yang sam-wi hadapi?”
“Semua gara-gara Pek-lui-kiam itu. Kini banyak orang kangouw mendatangi bukit ini dan kami merasa khawatir bahwa kami bertiga tidak akan mampu melawan mereka. Karena itu kami harapkan ji-wi suka membantu kami menghadapi mereka dan setelah itu Pek-lui-kiam tentu akan kami serahkan kepada lihiap.”
Bwe Hwa mengerutkan alisnya. “Akan tetapi mengapa Ang I Sianjin atau Sam Pangcu membunuh pendekar Tan Tiong Bu dan merampas Pek-lui-kiam?” tanyanya.
Sam Pangcu menghela napas panjang. “Memang antara Tan Tiong Bu dan aku terdapat permusuhan pribadi yang amat besar. Pedang Pek-lui-kiam itu dahulu dia gunakan untuk membunuh keluargaku, maka aku membalas dendam dan merampas Pek-lui-kiam. Baru aku mendengar bahwa orang-orang kang-ouw hendak memperebutkan pusaka itu.”
“Kalau kami membantu kalian, pedang pusaka itu akan diserahkan kepadaku?” tanya pula Bwe Hwa.
“Sekarang juga akan kami serahkan jika lihiap berjanji akan membantu kami menghadapi mereka yang hendak merebut Pek-lui-kiam dari tangan kami.”
Kesangsian Bwe Hwa segera lenyap. “Kalau begitu aku berjanji untuk membantu sam-wi, asal pedang pusaka itu diserahkan kepadaku sekarang.”
“Ha-ha-ha, agaknya lihiap belum percaya benar kepada kami, tetapi sebaliknya kami telah percaya penuh kepada lihiap. Lihiap menghendaki pedang pusaka itu diserahkan dahulu? Baik, kami akan serahkan sekarang juga!”
Toa Ok atau sebagaimana Bwe Hwa mengenalnya sebagai Toa Pangcu menggerakkan tangan kanan ke bawah jubah putihnya dan ketika tangan itu keluar dari balik jubah, dia telah memegang sebatang pedang yang masih berada dalam sarung pedang. Dia segera menyerahkan pedang itu kepada Bwe Hwa.
“Terimalah Pek-lui-kiam ini, lihiap!”
Girang bukan main rasa hati Bwe Hwa. Tak pernah disangkanya bahwa dia akan dapat memiliki Pek-lui-kiam sedemikian mudahnya. Dia cepat menerima pedang itu. Akan tetapi dia tidak mau ditipu. Harus diperiksanya dulu pedang itu, baru dia akan percaya.
Bwe Hwa mencabut pedang itu dari sarung pedang dan nampaklah sinar berkilauan ketika pedang tercabut. Pedang itu amat indah dan mengeluarkan sinar yang menyilaukan mata. Bwe Hwa menimang-nimang pedang itu dan wajahnya berseri-seri.
“Pek-lui-kiam...!” Gadis itu berseru girang.
Dia belum pernah melihat Pek-lui-kiam, akan tetapi pedang itu mengeluarkan cahaya kilat dan merupakan pedang pusaka yang indah sekali. Maka dia percaya dan menyarungkan kembali pedang itu.
“Terima kasih, sam-wi pangcu. Jangan khawatir, kalau ada orang berani datang ke sini untuk merampas pedang ini, aku akan membantu sam-wi melawannya. Juga Kun-ko tentu dengan senang hati akan membantu juga, bukan?”
Leng Kun memandang dengan wajah berseri dan mata bersinar, tanda bahwa dia merasa gembira sekali dan tidak merasa iri hati melihat betapa Bwe Hwa menerima Pek-lui-kiam itu.
“Tentu saja, Hwa-moi. Kita akan tinggal di sini selama satu bulan. Selama itu kita berdua akan membantu Kui-jiauw-pang menghadapi musuh yang hendak mencuri atau merampas pedang!”
Bwe Hwa mengerutkan alisnya. Satu bulan? Terlampau lama baginya. Akan tetapi karena pedang pusaka telah diserahkan kepadanya, dia pun merasa tidak enak kalau menolak. Demikianlah, mulai hari itu Bwe Hwa mendapatkan sebuah kamar di bangunan induk itu. Begitu pula Leng Kun mendapatkan sebuah kamar yang berdekatan dengan kamar Bwe Hwa.
Biar pun pedang pusaka Pek-lui-kiam sudah berada di tangannya dan pihak tuan rumah kelihatan bersikap baik amat kepadanya, namun Bwe Hwa masih bersikap waspada dan berhati-hati. Bahkan pada malam pertama dia sudah memperingatkan Leng Kun sebelum mereka memasuki kamar masing-masing.
“Kun-ko, kuharap engkau waspada, jangan sampai kita terjebak.”
“Aihh, Hwa-moi. Siapa yang akan menjebak kita?”
“Siapa lagi, tentu pimpinan Kui-jiauw-pang.”
“Ahh, mengapa kita harus curiga kepada mereka, Hwa-moi? Mereka bersikap baik sekali kepada kita, bahkan Pek-lui-kiam telah diserahkan kepadamu. Aku sudah percaya penuh terhadap tiga orang ketua itu, Hwa-moi.”
“Syukurlah kalau mereka benar-benar baik kepada kita. Walau bagaimana pun juga kita harus berhati-hati. Akan tetapi jangan mencurigai mereka. Siapa tahu kebaikan mereka itu ada pamrih yang tersembunyi?”
“Baik, Hwa-moi, aku akan berhati-hati. Akan tetapi tidak perlu mencurigai mereka. Mereka sudah berbuat baik terhadap kita, kalau kita membalasnya dengan kecurigaan, bukankah itu kurang adil?”
“Maksudku bukan mencurigai siapa pun, hanya kita harus tetap waspada dan berhati-hati karena bahaya dapat datang dari mana saja.”
“Baik, Hwa-moi, selamat tidur.”
Mereka memasuki kamar masing-masing, akan tetapi tak lama kemudian Leng Kun keluar dari kamarnya untuk mengadakan perundingan rahasia dengan para pimpinan Kui-jiauw-pang. Tentu saja hal ini sama sekali tidak pernah terbayangkan oleh Bwe Hwa. Dia tidak menyadari bahwa apa yang dikhawatirkannya itu bahkan datang dari orang yang paling dipercayanya saat itu.
Malam itu bulan purnama nampak terang karena tidak ada awan menutupinya. Rembulan menebarkan sinarnya yang lembut, mendatangkan pemandangan yang indah tetapi penuh rahasia. Di tempat-tempat tertentu yang sunyi senyap, cahaya itu justru membuat tempat itu menjadi seram, mendatangkan bayangan khayal yang bukan-bukan dan menakutkan.
Demikian pula keadaan di sekitar puncak Kui-liong-san. Hutan-hutan di sekeliling puncak, di lereng-lereng itu jarang didatangi manusia dan nampak sunyi sepi menyeramkan pada malam bulan purnama itu.
Tak jauh dari puncak, dalam hutan cemara yang tidak begitu lebat sehingga cahaya bulan dapat menerangi tanah di bawah pohon-pohon cemara itu, memang sunyi sekali. Hanya suara jengkerik dan belalang yang memenuhi tempat itu.
Menjelang tengah malam, tiba-tiba suara jengkerik dan belalang itu terdiam. Lalu nampak sesosok bayangan manusia berjalan ke depan memasuki hutan itu. Gerakan inilah yang telah menghentikan suara jengkerik dan belalang itu.
Dari jauh bayangan itu kelihatan hitam dan menyeramkan. Tentu orang akan menyangka dia siluman atau setan, berjalan seorang diri di waktu malam seperti itu. Akan tetapi kalau orang berada di dekatnya, tentu akan melihat bahwa dia seorang manusia, sudah berusia enam puluh tahun. Bentuk tubuhnya sedang saja, tapi wajahnya masih kelihatan tampan. Pada punggungnya tergantung sebatang pedang.
Ketika melihat sebuah batu besar yang datar, orang itu berhenti melangkah, lalu sekali bergerak tubuhnya sudah bersila di atas batu besar. Dia duduk dan diam tidak bergerak seolah telah berubah menjadi arca di atas batu itu. Jengkerik dan belalang mulai bersuara lagi, riuh rendah seperti merayakan keindahan malam bulan purnama itu.
Kakek ini tidak tahu jika di belakangnya, di balik semak belukar, terdapat dua orang yang juga melewatkan malam di tempat itu. Mereka kini mengintai dari balik semak-semak.
“Wah, itu ayahku...!” bisik Siangkoan Cu Yin kepada temannya yang bukan lain adalah Tio Gin Ciong, putera Datuk Timur yang berjuluk Tung-giam-ong (Raja Maut Dari Timur).
Kedua orang muda ini melakukan perjalanan bersama untuk ikut memperebutkan pedang pusaka Pek-lui-kiam di bukit Kui-liong-san. Mereka kemalaman dan terpaksa melewatkan malam di hutan cemara itu. Dua orang muda yang lihai ini dapat mencapai tempat itu dan menghindarkan diri dari jebakan yang dipasang di sepanjang jalan.
Karena hutan cemara itu sudah dekat dengan puncak, mereka ingin melewatkan malam di tempat itu dan besok baru mendaki puncak. Agar tidak kelihatan para penghuni puncak, mereka memilih tempat yang tersembunyi di balik semak-semak itu.
Mereka dikelilingi semak belukar sehingga tidak akan dapat terlihat dari arah mana pun. Bahkan mereka tidak berani membuat api unggun, hanya menggunakan sinkang mereka untuk menahan serangan hawa dingin. Selagi mereka bersembunyi itulah mereka melihat gerakan orang yang kini duduk di atas batu besar. Siangkoan Cu Yin langsung mengenali ayahnya.
Tio Gin Ciong adalah putera datuk besar dari timur. Akan tetapi melihat datuk besar dari selatan ini, dia pun merasa jeri. Dia sudah melakukan perjalanan dengan puteri datuk itu, maka dia khawatir kalau datuk itu marah-marah.
“Ssttt... itu di sana ada gerakan orang. Kita lihat saja dulu...,” bisik Gin Ciong lirih.
Siangkoan Cu Yin mengangguk dan dia pun lalu melihat gerakan orang-orang di depan, orang-orang yang merangkak mendekati batu yang diduduki oleh ayahnya. Dia juga tidak tergesa-gesa menegur ayahnya, takut kalau ayahnya marah melihat dia bersama seorang pemuda di hutan yang sunyi itu pada malam hari.
Kini orang-orang yang merangkak sudah tiba dekat. Ternyata mereka adalah lima orang anggota Kui-jiauw-pang. Melihat ada orang yang berani memasuki tempat itu, lima orang anggota Kui-jiauw-pang ini lantas mengintai. Akan tetapi mereka tidak berani turun tangan karena cuaca yang remang-remang membuat mereka tidak dapat melihat wajah kakek itu dengan baik. Karena itu mereka hanya melakukan penjagaan saja, ingin melihat apa yang akan dilakukan orang itu kalau malam sudah berganti pagi.
Melihat kelima orang itu hanya bersembunyi dan tidak melakukan gerakan apa pun, Gin Ciong segera berbisik. “Kita bersembunyi saja, tunggu perkembangan lebih lanjut. Engkau tidurlah, aku akan berjaga.”
Siangkoan Cu Yin mengangguk. Petak rumput yang dikelilingi semak belukar itu cukup lebar, ada tiga meter persegi. Dia lalu merebahkan dirinya di atas rumput. Diam-diam dia berpikir mengapa ayahnya berada di tempat itu.
Dia merasa yakin bahwa ayahnya tentu sudah mengetahui gerakan lima orang tadi, akan tetapi sengaja diam saja. Kalau dia dan Gin Ciong tentu belum diketahui ayahnya. Mereka sama sekali tidak bergerak dan bicara pun bisik-bisik, tentu bisikan mereka tertutup oleh suara jengkerik dan belalang yang riuh rendah itu.
Sambil merebahkan dirinya Cu Yin memandang kepada Gin Ciong dari samping. Seorang pemuda yang baik dan ramah kepadanya, dan dia dapat menduga bahwa putera datuk besar dari timur ini jatuh hati kepadanya. Ucapan, gerak-gerik dan pandang mata pemuda itu membuka semua rahasia hatinya.
Dia suka mengadakan perjalanan bersama pemuda ini, sebagai sahabat karena dia sama sekali tidak mencintainya. Hatinya telah dipenuhi dengan bayangan Si Kong dan agaknya tidak mungkin dia dapat mencinta laki-laki lain. Di manakah kini Si Kong berada? Menurut perkiraannya, tentu pemuda itu juga berada di sekitar tempat ini.
Jantungnya berdebar penuh ketegangan kalau dia membayangkan dapat bertemu dengan Si Kong di Kui-liong-san. Sebenarnya inilah yang menariknya sehingga dia mau pergi ke Kui-liong-san bersama Gin Ciong. Harapan bertemu dengan Si Kong!
Malam yang amat indah itu lewat dengan cepatnya. Cahaya bulan segera memudar begitu matahari menggantikan singgasananya. Cu Yin sudah bangun dari tidurnya. Dia melihat Gin Ciong duduk bersila seperti orang sedang bersemedhi. Pemuda ini langsung menoleh ketika mendengar gerakan Cu Yin.
“Engkau bisa tidur nyenyak?” tanya Gin Ciong.
Cu Yin menganguk. “Kenapa engkau tidak mengaso dan tidur, Ciong-ko?”
“Aku sudah cukup beristirahat, akan tetapi ayahmu masih belum bergerak, agaknya masih tenggelam dalam semedhinya.”
Cu Yin memandang ke arah ayahnya. Jarak antara mereka dan Lam Tok Siangkoan Lok kurang lebih lima puluh meter. Benar saja seperti yang dikatakan Gin Ciong, orang tua itu masih duduk seperti semalam, sedikit pun tidak bergerak seperti orang tidur.
“Jangan ganggu dia, kita lihat saja perkembangannya. Ayahku datang ke tempat ini tentu ada maksudnya. Mungkin dia hendak turun tangan sendiri untuk merampas Pek-lui-kiam. Orang-orang yang mengintai itu apakah masih ada?”
“Masih ada, bahkan sekarang jumlah mereka menjadi sepuluh orang. Akan tetapi mereka belum turun tangan dan hanya mengintai. Itu di belakang semak belukar itu, dan ada pula yang berada di balik pohon besar.”
“Aku yakin ayahku telah melihat mereka atau sudah mengetahui bahwa ada orang-orang mengintainya. Kita tunggu saja apa yang akan terjadi. Ayah paling benci kalau ada orang bermaksud menolongnya.”
Gin Ciong mengangguk. Sekarang mereka berdua menunggu dan mengintai dengan hati tegang. Apa lagi saat mereka melihat sepuluh orang itu perlahan-lahan keluar dari tempat pengintaian mereka lantas berindap menghampiri Lam Tok dari belakang, seperti sepuluh orang pemburu hendak menyergap harimau. Kuku-kuku cakar setan yang disambung di tangannya itu berkilauan saking tajam dan runcingnya.
“Ayahmu terancam bahaya,” bisik Gin Ciong.
Cu Yin tersenyum mengejek. “Bukan ayah, tapi sepuluh orang itu yang akan mampus!”
Dengan hati-hati sepuluh orang itu menghampiri Lam Tok yang nampaknya masih tidak tahu apa-apa dan sedang tidur sambil duduk bersila. Setelah para anggota Kui-jiauw-pang itu berada dalam jarak sepuluh meter, tiba-tiba serentak mereka menyambitkan senjata rahasia ke arah punggung Lam Tok. Senjata rahasia mereka itu adalah pisau belati yang berwarna menghitam, tanda bahwa pisau itu telah direndam racun yang amat ganas.
Hampir saja Gin Ciong berteriak, akan tetapi tangan Cu Yin sudah menyentuh tangannya dan ketika dia menengok, Cu Yin menggeleng kepalanya. Gin Ciong segera memandang lagi ke depan. Dia melihat betapa pisau-pisau itu beterbangan mengarah tubuh belakang Lam Tok. Akan tetapi kakek itu sama sekali tidak mengelak mau pun menangkis!
“Tuk-tuk-tuk...!”
Terdengar suara nyaring ketika pisau-pisau terbang itu mengenai punggung Lam Tok dan senjata rahasia itu pun runtuh seakan-akan yang dijadikan sasaran adalah baja yang kuat sekali.
Gin Ciong terbelalak dan kagum sekali. Orang tua itu ternyata mempunyai kekebalan luar biasa dan sungguh berani menerima pisau terbang yang mengandung racun itu dengan punggungnya! Tetapi dia segera teringat akan julukan datuk itu, Lam tok (Racun Selatan). Dari nama julukan ini saja sudah dapat diduga bahwa dia tentulah seorang ahli racun, maka berani membiarkan punggungnya diserang pisau-pisau beracun.
Para anggota Kui-jiauw-pang menjadi marah dan penasaran sekali melihat betapa orang yang mereka jadikan sasaran itu tidak roboh ketika terkena pisau-pisau beracun, bahkan pisau-pisau itu runtuh ke atas tanah. Mereka cepat berloncatan menyerbu. Yang mereka serang adalah bagian belakang tubuh datuk itu, dari kepala sampai ke bawah punggung.
Tiba-tiba saja datuk yang bersila seperti arca tanpa bergerak-gerak itu membuat gerakan dengan kedua tangannya digerakkan ke belakang. Nampak sinar berkilat ketika dari dua tangannya menyambar empat batang panah tangan.
Terdengar teriakan keras saat empat orang di antara para penyerbu itu terpelanting roboh lantas tewas seketika karena anak panah itu mengandung racun yang mematikan. Enam orang yang lainnya terkejut dan marah sekali. Mereka segera menubruk ke depan dengan nekat.
“Hemmm...!” Kakek itu mengeluarkan gerengan, lantas tubuhnya berputar dalam keadaan masih duduk bersila.
Ketika cakar-cakar setan itu menyambar ke arah tubuhnya, Lam Tok menyambut dengan kedua tangannya. Jari-jari tangannya membentuk cakar burung garuda dan begitu kedua tangannya bergerak, dia sudah mencengkeram cakar-cakar setan itu. Sekali cengkeram, cakar-cakar setan itu berikut tangannya menjadi hancur!
Enam orang anggota Kui-jiauw-pang berteriak kesakitan dan meloncat ke belakang. Akan tetapi mereka segera mengaduh-aduh dan menggerak-gerakkan tangan mereka yang ikut hancur bersama cakar setannya, kemudian mereka roboh bergulingan saking nyerinya.
Ternyata tangan mereka bukan hanya hancur dicengkeram, tetapi juga sudah keracunan hebat yang menjalar dengan cepat menuju ke jantung! Tak lama mereka berkelojotan, lalu diam tak bergerak lagi. Maka tewaslah sepuluh orang anak buah Kui-jiauw-pang itu dalam keadaan yang mengerikan.
Lam Tok masih duduk bersila ketika dia menoleh ke arah semak belukar di mana Cu Yin dan Gin Ciong bersembunyi. Lalu terdengarlah suaranya yang galak. “Kalian berdua yang bersembunyi dalam semak, keluarlah cepat jika kalian tidak ingin mampus seperti mereka itu!”
Gin Ciong terkejut bukan kepalang sehingga jantungnya berdebar kencang. Akan tetapi Cu Yin berkata kepadanya, “Ciong-ko, mari kita keluar menemui ayahku.”
Gadis itu kemudian meloncat keluar dari semak belukar diikuti oleh Gin Ciong. Dia segera menghampiri ayahnya dan berkata dengan manja.
“Ayah...!”
Lam Tok membuka matanya dan memandang kepada puterinya yang sudah bergantung pada pundaknya dengan gaya manja sekali. “Hemmm, kau anak nakal! Mau apa engkau bersembunyi di sana? Dan siapa pula pemuda itu?” Dia menuding ke arah Gin Ciong yang telah mengangkat kedua tangannya ke depan dada sambil memberi hormat dengan tubuh membungkuk.
“Dia adalah kenalanku yang baru, Ayah. Kami sedang melakukan perjalanan ke Kui-liong-san untuk menyelidiki tentang Pek-lui-kiam. Engkau tentu tidak dapat menebak siapakah adanya pemuda ini!”
Lam Tok memandang kepada pemuda itu dengan sinar mata tajam penuh selidik. Sambil tersenyum menggoda Cu Yin berkata pula. “Ayah, aku hendak menguji kecerdikan Ayah. Coba Ayah menebak siapa pemuda ini, kalau berhasil menebak aku akan melakukan apa saja sekehendak hati ayah tanpa membantah, akan tetapi jika tidak dapat menebak, maka Ayah harus merampaskan Pek-lui-kiam untukku!”
Lam Tok menggumam, “Hemm, apa sukarnya?” tubuhnya yang tadi duduk bersila di atas batu tiba-tiba telah melayang turun dan dia sudah berdiri di depan Gin Ciong.
“Sambutlah!” serunya dan lengan bajunya yang lebar dan panjang sudah menyambar ke arah muka Gin Ciong.
Cepat dan kuat sekali ujung lengan baju itu menyambar hingga Gin Ciong menjadi terkejut sekali. Akan tetapi sejak kecil pemuda ini sudah digembleng ilmu silat oleh ayahnya, maka dia memiliki gerakan yang sangat cepat. Begitu ujung lengan baju menyambar, dia sudah dapat mengelak dengan gesit sekali.
“Locianpwe... apa kesalahanku...?” dia menegur.
“Tak usah banyak cakap. Sambutlah ini...!” Kembali ujung lengan baju itu menyambar, kini dua ujung lengan baju yang menyambar dari kanan kiri dengan dahsyat sekali.
Gin Ciong maklum bahwa dia berhadapan dengan seorang datuk besar yang wataknya aneh seperti ayahnya. Aneh, tidak pedulian dan dapat pula bersikap sangat kejam seperti yang sudah diperlihatkan Lam Tok terhadap semua anak buah Kui-jiauw-pang. Dia harus membela diri kalau tidak ingin mati konyol.
Kembali Gin Ciong mengelak dengan loncatan ke belakang dan selanjutnya dia membela diri dengan ilmu silat Hek-wan-kun (Silat Lutung Hitam). Gerakannya menjadi gesit sekali seperti seekor lutung, kadang kala dia bergulingan dan berloncatan untuk menghindarkan diri dari kurungan sinar ujung lengan baju yang menyambar-nyambar.
“Ayah tidak boleh membunuhnya. Jika Ayah membunuh atau melukai, berarti Ayah kalah bertaruh!”
Lam Tok tidak menjawab, akan tetapi kedua tangannya bergerak makin cepat. Beberapa kali Gin Ciong nyaris terpukul. Melihat kenyataan bahwa ilmu silat Lutung Hitam itu tidak mampu menolongnya, pemuda itu kemudian mengeluarkan suara memekik nyaring lantas dia mengubah ilmu silatnya.
Ilmu silat yang dimainkannya sangat dahsyat, bersifat keras dan setiap gerakan serangan merupakan serangan maut! Dia sudah memainkan ilmu silat simpanannya yaitu Giam-ong Sin-kun (Ilmu Silat Sakti Raja Maut), ada pun pekikan tadi menunjukkan bahwa dia telah mengerahkan tenaga Ji-hwe-kang (Tenaga Api Matahari)!
“Dukkk! Desss...!”
Pertemuan antara tangan Lam Tok dan Gin Ciong tidak dapat dihindarkan lagi dan tubuh pemuda itu terhuyung ke belakang, akan tetapi dia dapat menguasai dirinya sehingga tak sampai terjengkang. Lam Tok berdiri tegak, lalu bertolak pinggang dengan tangan kanan sedangkan tangan kirinya mengelus jenggotnya. Dia tertawa bergelak.
“Ha-ha-ha-ha, dengan mudah saja aku mengalahkanmu dalam taruhan ini, Cu Yin!”
Cu Yin yang cerdik segera tahu bahwa tadi ayahnya memaksa pemuda itu mengeluarkan ilmu-ilmu silatnya dan melalui ilmu silat inilah ayahnya mengenal siapa adanya pemuda itu. Akan tetapi dia pura-pura mengejek untuk menyenangkan hati ayahnya.
“Ayah tidak akan tahu. Hayo siapa dia kalau Ayah sudah menegetahuinya?”
“Pemuda ini tentu putera Tung-giam-ong Tio Sun, datuk majikan Pulau Biruang di Lautan Timur!”
“Ayah ngawur! Bagaimana Ayah dapat mengetahuinya? Ayah tentu asal menebak saja!” kata puterinya.
“Hemm, anak nakal. Apa kau kira engkau sendiri yang cerdik dan banyak akal? Ayahmu lebih cerdik lagi. Aku sengaja menyerangnya sehingga pemuda ini terpaksa mengeluarkan ilmu-ilmu silatnya, maka tahulah aku bahwa dia menggunakan ilmu silat milik Tung-giam-ong.”
“Akan tetapi, setiap orang murid dari Tung-giam-ong tentu dapat memainkan ilmu silat itu. Bagaimana engkau tahu bahwa dia adalah putera Tung-giam-ong?”
“Saat dia memainkan Hek-wan-kun ilmu silat monyet itu, aku sudah tahu bahwa dia murid Pulau Biruang. Untuk menyelidiki lebih jauh, aku sengaja mendesaknya sehingga dia pun terpaksa mengeluarkan ilmu silat simpanan seperti Giam-ong Sin-kun dan mengerahkan tenaga Jut-hwe-kang sehingga dia sanggup bertahan ketika mengadu tangan denganku. Tidak mungkin setiap orang murid diberi pelajaran ilmu simpanan itu, maka aku menduga bahwa dia tentu putera datuk timur itu.”
Gin Ciong yang mendengar percakapan itu diam-diam merasa sangat kagum kepada Lam Tok. Akan tetapi Cu Yin yang merasa kalah bertaruh menjadi cemberut dan dia bertanya kepada ayahnya.
“Aku sudah kalah, dan Ayah boleh menyuruh aku melakukan apa saja!”
Lam Tok terawa sambil mengelus jenggotnya, lantas memandang kepada Tin Gin Ciong, “Siapa namamu?”
“Saya bernama Tio Gin Ciong, locianpwe.”
“Mana ayahmu? Apakah dia belum datang?”
Gin Ciong menjadi bingung. “Saya... saya tidak tahu kalau ayah akan datang ke sini.”
“Dia tentu datang, kalau tidak dia akan mendapatkan sebuah julukan tambahan, yaitu Si Pengecut!”
Gin Ciong diam saja, tidak berani menjawab, takut kalau dia salah bicara. Datuk ini lalu memandang puterinya. “Anak nakal, apakah engkau mencinta Tio Gin Ciong ini?”
Pertanyaan ini seperti todongan ujung pedang saja, membuat Cu Yin gelagapan dan salah tingkah. Juga Gin Ciong memandang dengan wajah merah, lalu menundukkan mukanya. Kalau dia yang ditanya apakah mencinta Cu Yin, tentu seketika itu pula akan dijawabnya dengan anggukan kepala!
“Ayah ini mengajukan pertanyaan yang aneh-aneh saja!” kata Cu Yin pura-pura marah.
“Cu Yin, sejak kapan engkau menjadi seorang gadis yang plintat-plintut dan janjinya tidak dapat dipercaya? Engkau sudah kalah bertaruh denganku sehingga harus menurut segala perintahku. Sekarang baru ditanya apakah engkau mencinta Gin Ciong, tapi engkau telah membantah dan tidak segera menjawab!”
“Ayah, aku ingin menguji lagi kecerdikanmu. Nah, sekarang katakanlah apa aku mencinta Gin Ciong atau tidak dan kemukakan alasanmu!”
Dengan sikap menantang Cu Yin memandang ayahnya. Dia sudah mengenal benar watak ayahnhya yang tidak akan pernah mundur menghadapi tantangan apa pun dan dari siapa pun juga.
Lam Tok mengangguk-angguk sambil mengelus jenggotnya, memandang dengan penuh selidik ke arah wajah puterinya, lalu menjawab, “Hemm, ketika memandang Gin Ciong di matamu sama sekali tidak ada cahaya dari seorang yang mencinta. Meski pada lahirnya disembunyikan, namun seorang wanita yang mencinta seorang pria tidak mungkin dapat menyembunyikan perasaannya itu lewat pandang matanya saat dia memandang pria yang dicintanya. Tidak, engkau tidak mencintai Gin Ciong ini!”
Tentu saja Gin Ciong merasa jantungnya seperti ditusuk ketika mendengar ucapan yang terus terang antara anak dengan ayahnya itu. Benarkah Cu Yin tidak mencintanya? Dia sendiri sudah mencinta gadis itu dengan seluruh perasaannya.
Walau pun dia merasa salah tingkah dan canggung sekali menghadapi percakapan yang menyangkut dirinya itu, kini Gin Ciong memberanikan hatinya untuk mengangkat muka dan mengamati wajah Cu Yin penuh perhatian. Dia pun ingin sekali mendengar jawaban Cu Yin dan mengharapkan jawaban itu akan menyangkal pendapat orang tua itu.
Cu Yin memandang kepadanya dan gadis ini maklum bahwa jawabannya akan menyakiti hati pemuda itu, maka dia pun berkata dengan lembut. “Ciong-ko, kuharap engkau dapat mengerti dan memaafkan pengakuanku ini. Aku tidak mungkin dapat berbohong terhadap ayah,” lalu dia menoleh kepada ayahnya dan berkata, “Ayah memang benar, aku kagum pada Ciong-ko dan suka menjadi sahabatnya, akan tetapi aku tidak mencintainya seperti seorang wanita mencintai pria.”
Lam Tok menghela napas panjang. “Sayang sekali, kalau engkau berjodoh dengan putera Tung-giam-ong maka hal itu bagus sekali, sama dengan mempersatukan dua kekuatan yang saling bertentangan. Engkau sudah mendengar sendiri ucapan anakku, Gin Ciong. Bagaimana dengan keputusanmu? Engkau mencinta anakku, hal itu sudah jelas nampak pada wajahmu!”
Gin Ciong memberi hormat kepada Lam Tok. “Saya sudah tahu, locianpwe. Biar pun saya sudah jatuh cinta kepada Yin-moi sejak pertemuan pertama, namun dia tidak mencintaku, hanya suka bersahabat denganku. Saya tahu benar bahwa dia mencinta seorang pemuda lain yang bernama Si Kong. Akan tetapi saya tidak putus asa, saya mengharapkan akan tiba saatnya cinta Yin-moi kepadaku akan berubah.” Gin Ciong memandang kepada Cu Yin dengan mesra.
“Hemmm, benarkah engkau mencinta seorang pemuda yang bernama Si Kong, Cu Yin? Orang macam apakah dia itu?”
“Aku memang mencintanya, akan tetapi aku juga membencinya, Ayah.”
“Ha-ha-ha-ha-ha!” Lam Tok tertawa bergelak dengan kepala didongakkan dan tangan kiri mengelus jenggotnya. Dia terlihat gembira bukan main. “Bukan puteri Lam Tok kalau tidak dapat membenci sekaligus mencinta! Engkau mencintanya, hal itu adalah urusan hati, tak perlu dipertanyakan lagi. Tapi engkau juga membencinya, hal itu tentu ada penyebabnya. Mengapa engkau membencinya, anakku?”
“Habis, dia tidak menyambut uluran cintaku, Ayah. Dia berani menolak cintaku, kemudian menolak ketika kuajak melakukan perjalanan bersamaku. Padahal dia selalu bersikap baik kepadaku, juga ketika aku menyamar pria dan dia belum tahu bahwa aku wanita.”
Lam Tok mengerutkan alisnya yang tebal. “Hemmm..., keparat! Bagaimana mungkin ada pemuda yang menolak cintamu? Dia tentu gila, atau sombong! Katakan padaku di mana dia sekarang dan aku akan menghajarnya sampai dia mampus!”
Untuk mencari muka, Gin Ciong segera berkata, “Sebenarnya Si Kong sudah terjatuh ke tangan kami, locianpwe. Tetapi Yin-moi melarangku ketika saya hendak membunuhnya.”
Cu Yin mengerutkan alisnya sambil menatap wajah Gin Ciong dengan tajam dan mencela. “Kalau engkau sendiri mampu mengalahkan dan menjatuhkan Si Kong, tentu aku tak akan melarangmu, Ciong-ko. Akan tetapi Si Kong roboh oleh racunku, maka terserah kepadaku dia akan dibunuh atau tidak!”
Mendengar kata-kata yang mengomelinya itu, Gin Ciong langsung menutup mulutnya dan menunduk. Sebaliknya Lam Tok merasa penasaran mendengar bahwa putera Tung-giam-ong itu tidak mampu merobohkan pemuda bernama Si Kong yang dicinta puterinya akan tetapi tidak mau menyambut uluran cintanya.
“Hemm, sampai di manakah ilmu kepandaian bocah bernama Si Kong itu?”
Kembali Gin Ciong menjawab karena didorong oleh rasa iri dan cemburu. “Dia sangat lihai dan sombong sekali, locianpwe, sebab dia adalah murid Pendekar Sadis Ceng Thian Sin!”
Mendengar nama Pendekar Sadis ini Lam Tok mengerutkan alisnya dan jelas bahwa dia terkejut bukan main. Nama julukan Pendekar Sadis bukanlah nama kosong, bahkan Lam Tok sendiri diam-diam merasa jeri terhadap nama besar Pendekar Sadis itu.
“Hemmm, jadi dia adalah murid Pendekar Sadis? Dan engkau mencintanya, Cu Yin, cinta yang ditolak oleh pemuda itu?”
“Aku mencintanya dan juga membencinya, Ayah.”
“Kebencian terdorong oleh perasaan kecewa karena cintamu ditolak olehnya. Apabila dia menerima cintamu, apakah engkau masih akan membencinya?”
Dengan kedua pipi merah dan senyum manis sekali Cu Yin berkata, “Jika dia menyambut cintaku, tentu saja aku tidak lagi membencinya.”
“Dan di mana sekarang dia berada?”
“Dia pernah mengatakan bahwa dia pun hendak menyelidiki tentang Pek-lui-kiam di bukit ini.”
“Bagus! Kalau aku bertemu dengan dia, aku akan membuka matanya bahwa puteriku itu masih terlampau berharga baginya, maka dia harus menyambut cintamu.”
“Bagaimana kalau dia menolak, locianpwe?” tanya Gin Ciong, membakar hati datuk itu.
Lam Tok mengepal tinju tangannya. “Kalau dia tetap menolak maka dia akan mampus di tanganku!”
Cu Yin mengerutkan alisnya, akan tetapi dia tidak berkata sesuatu karena maklum bahwa sekali ayahnya mengambil keputusan, tidak akan ditariknya kembali. Dia merasa khawatir sekali akan keselamatan Si Kong setelah ayahnya mengambil keputusan seperti itu.
“Ayah akan mendaki puncak bersama kami?” tanya Cu Yin.
“Tidak. Engkau lanjutkan pendakianmu bersama Gin Ciong. Dengan bekerja sama kalian berdua akan dapat membela diri dengan lebih baik. Aku akan mengambil jalanku sendiri. Pergilah!”
“Sampai jumpa, Ayah.” Cu Yin lalu melangkah pergi, mulai mendaki puncak. Gin Ciong segera memberi hormat kepada Lam Tok, lalu cepat dia berlari menyusul Cu Yin.
Belum lama Lam Tok meninggalkan pula tempat itu di mana menggeletak sepuluh orang anak buah Kui-jiauw-pang itu, muncul sepasang orang muda yang mempergunakan ilmu berlari cepat. Mereka adalah Si Kong dan Hui Lan yang melakukan perjalanan bersama menuju puncak Kui-liong-san untuk menyelidiki tentang Pek-lui-kiam yang kabarnya sudah terjatuh ke tangan Ang I Sianjin ketua Kui-jiauw-pang. Hui Lan yang lebih dahulu melihat mayat bergelimpangan itu.
“Kong-ko, lihat...!” Dia menuding ke kiri.
Ketika Si Kong menengok, dia pun melihat mayat-mayat itu dan mengajak Hui Lan untuk menghampiri tempat itu dan melakukan penyelidikan. Si Kong meraba leher satu di antara mayat-mayat itu.
“Tubuh mereka masih hangat, mereka baru saja terbunuh. Lihat, darah pun masih belum kering benar.” Hui Lan ikut berjongkok memeriksa, kemudian ia pun mengangguk-angguk membenarkan keterangan Si Kong yang sudah berjongkok dekat mayat lain.
“Enam orang di antara mereka mati keracunan dengan cakar tangan dan tangan hancur lebur. Mereka itu jelas orang-orang Kui-jiauw-pang, dapat dilihat dari cakar-cakar setan ini. Akan tetapi yang ini... ahhh, Siangkoan Cu Yin yang telah membunuh mereka...!”
“Siangkoan Cu Yin?” Hui Lan mendekati Si Kong. “Apa buktinya bahwa dia yang sudah membunuh mereka ini?”
“Lihat ini. Empat orang ini tewas dengan anak panah menancap pada tubuh mereka. Aku mengenal senjata rahasia ini sebagai milik Siangkoan Cu Yin.”
“Hemm, mengapa dia begini ganas dan kejam?”
Si Kong menghela napas panjang, seolah-olah menyesal atas kekejaman yang dilakukan Siangkoan Cu Yin. “Ingat, dia adalah puteri Lam Tok, maka perbuatannya ini tidak aneh. Apa lagi kalau dia diserang lebih dulu. Wataknya memang keras sekali!”
Hui Lan mengangguk-angguk, teringat betapa ia dan Si Kong hampir saja mati keracunan karena perbuatan Siangkoan Cu Yin. “Kalau dia mencari Pek-lui-kiam, perbuatannya ini salah sama sekali. Dengan membunuhi anak buah Kui-jiauw-pang, berarti dia menanam permusuhan dengan perkumpulan itu dan pasti ketuanya tidak mau menyerahkan Pek-lui-kiam kepadanya.”
“Engkau benar, Lan-moi. Engkau tunggu sebentar, aku akan mengurus mayat-mayat ini.”
“Apa yang hendak kau lakukan, Kong-ko?”
“Mengubur mayat-mayat ini tentu saja. Kasihan kalau mereka dibiarkan membusuk di sini hingga menjadi makanan binatang buas. Lagi pula, dengan mengubur mereka, pihak Kui-jiauw-pang tidak akan tahu bahwa sepuluh orang anak buah mereka dibunuh Siangkoan Cu Yin.”
Hui Lan mengangguk dan diam-diam dia merasa kagum terhadap pemuda ini. Seorang pemuda berkepandaian tinggi yang baik budi. Dia tidak merasa heran kalau seorang gadis yang keras hati seperti Siangkoan Cu Yin jatuh hati kepada Si Kong.
Dia sendiri memiliki watak yang keras, akan tetapi kekerasan hatinya masih terkendali dan bukan ingin menang sendiri seperti Siangkoan Cu Yin. Tanpa berkata apa-apa dia lantas membantu Si Kong menggali lubang dan Si Kong menerima bantuan ini dengan senang hati.
Akan tetapi begitu mereka selesai menggali lubang besar dan selagi hendak mengangkat mayat-mayat itu untuk dikuburkan, tiba-tiba saja datang belasan orang yang mengenakan cakar setan di tangan mereka. Sekali lihat saja Si Kong dan Hui Lan segera tahu bahwa mereka adalah anggota-anggota Kui-jiauw-pang.
“Keparat, engkau telah membunuh banyak teman kami!” bentak seorang di antara mereka yang bermuka hitam dan agaknya menjadi pemimpin seregu anggota Kui-jiauw-pang yang berjumlah lima belas orang itu.
“Bukan kami yang membunuh mereka,” kata Si Kong dengan tenang.
“Tidak mungkin orang lain!” bentak si muka hitam. “Engkau sudah membunuh mereka dan kini berusaha menghilangkan jejak dengan mengubur mereka. Kalau bukan kalian berdua, tentu kalian tidak akan bersusah payah menguburkan mereka. Akui saja siapa kalian dan mengapa kalian membunuh kawan-kawan kami!”
Dengan sikap masih tenang Si Kong menjawab, “Namaku Si Kong, dan dia adalah nona Tang Hui Lan. Bagi kalian mungkin aneh melihat kami hendak mengubur mayat-mayat ini, namun bagi kami hal itu sudah sewajarnya dan semestinya. Kami tidak tega membiarkan mayat-mayat ini dimakan binatang buas dan membusuk di sini.”
“Bohong! Tangkap atau bunuh mereka!” seru si muka hitam dan belasan orang itu segera menyerbu dan menyerang Si Kong dan Hui Lan dengan cakar setan mereka.
Begitu belasan orang itu menyerbu, Si Kong berkata kepada Hui Lan, “Lan-moi, jangan membunuh orang!”
Dengan amat mudahnya Si Kong dan Hui Lan menghindarkan diri dari terkaman cakar-cakar setan itu, lantas kedua orang muda perkasa ini membuat para pengeroyok mereka berpelantingan dengan tendangan kaki dan tamparan. Ornag-orang itu tidak menjadi jera, bahkan dengan penasaran mereka menerjang kembali, sekarang bukan untuk menangkap melainkan untuk membunuh.
Melihat kenekatan para pengeroyok, Si Kong dan Hui Lan menyambut dengan tendangan dan tamparan yang lebih bertenaga lagi. Akibatnya lima belas orang itu terpelanting lagi, namun sekali ini mereka mengaduh-aduh dan tidak dapat segera bangkit berdiri.
Pada saat itu muncul lima orang. Hui Lan tidak mengenal siapa mereka dan memandang dengan penuh perhatian karena dia tahu bahwa yang muncul ini bukanlah orang-orang Kui-jiauw-pang biasa.
Seorang dari mereka berusia lima puluh tahun lebih, bertubuh tinggi besar dan mukanya penuh bekas cacar. Orang kedua bertubuh tinggi kurus dengan muka pucat seperti orang sakit dan usianya empat puluh tahun lebih. Orang ketiga bermuka penuh brewok, usianya lebih muda dari orang kedua. Orang keempat bertubuh pendek gendut dan orang kelima yang paling muda berusia kurang dari empat puluh tahun dan tubuhnya katai.
Melihat kemunculan lima orang ini, Si Kong terkejut karena dia segera mengenal mereka sebagai Bu-tek Ngo-sian (Lima Dewa Tanpa Tanding), yaitu lima orang yang bersama Toa Ok dan Ji Ok pernah menyerbu Pulau Teratai Merah dan menyerang gurunya, Pendekar Sadis Ceng Thian Sin atau Ceng Lojin.
Tadinya dia menyangka bahwa mereka berlima itu muncul di Kui-liong-san karena hendak ikut memperebutkan Pek-lui-kiam. Akan tetapi dia merasa terkejut dan heran sekali ketika mereka membentak dengan suara marah, kemudian orang tertua yang bermuka bopeng menegur lantang.
“Siapakah kalian yang berani membunuh dan melukai begini banyak anggota Kui-jiauw-pang?!”
Si Kong tahu bahwa lima orang itu agaknya telah lupa dan tidak mengenalnya lagi. “Kami berdua tidak membunuh. Ada orang lain yang membunuh mereka, tetapi belasan orang ini tidak percaya dan menyerang kami. Maka terpaksa kami melawan.”
“Hemm, apa kau kira kami demikian bodoh, mudah kau tipu begitu saja?!” bentak si muka bopeng.
Hui Lan yang tidak mengenal lima orang itu menjadi penasaran, dan dia yang menjawab dengan suara lantang, “Kalian mau percaya atau tidak, terserah kepada kalian! Kami tidak mau berbantahan dengan kalian!”
Orang kelima dari Bu-tek Ngo-sian, yaitu yang paling muda di antara mereka, berwatak mata keranjang. Melihat kejelitaan Hui Lan, sejak tadi dia sudah menelan ludah beberapa kali. Kini mendengar suara Hui Lan yang tegas namun merdu, dia lalu melangkah maju dan berkata sambil menyeringai.
“Nona manis, siapa namamu nona? Kalau nona yang bicara, aku percaya sepenuhnya! Di antara kita memang tidak perlu berbantahan dan bercekcok, bahkan sebaiknya nona dan aku menjalin persahabatan. Bukankah itu baik sekali?” Laki-laki itu bertubuh katai, hanya sepundak Hui Lan dan dia telah menghampiri Hui Lan untuk merangkulnya. Melihat ini Hui Lan marah sekali. Laki-laki kurang ajar seperti ini harus diberi pelajaran keras.
“Heii, kamu ini anjing dari mana berani menggonggong?!” bentaknya sambil menudingkan telunjuk kirinya dan suaranya mengandung kekuatan sihir yang dahsyat.
Empat orang yang lain terbelalak ketika melihat rekan mereka yang termuda itu tiba-tiba saja merangkak dengan kedua pasang kaki tangannya, lalu menggonggong meniru suara anjing!
“Bhe Song Ci, apa yang sedang kau lakukan? Sadarlah!” bentak orang pertama dari Bu-tek Ngo-sian yang bernama Ciok Khi. Dia mengira bahwa rekannya termuda itu bermain-main, sama sekali tidak mengira bahwa rekannya itu terkena sihir yang kuat.
Akan tetapi orang yang bernama Bhe Song Ci itu masih terus menyalak-nyalak seperti anjing. Kini empat orang lainnya menyadari bahwa keadaan rekan mereka itu tidak sadar, maka mereka lalu menghampiri Bhe Song Ci untuk menotok jalan darahnya. Bhe Song Ci terkulai, lalu rebah sambil membelalakkan matanya.
“Kenapa kalian merobohkan aku?” Dia seperti orang habis bangun tidur.
Melihat adiknya itu telah sadar, Ciok Khi lalu membebaskan totokannya dan Bhe Song Ci melompat bangkit. Ia teringat betapa tadi dia merasa dirinya menjadi anjing, dan akhirnya dia menyadari sepenuhnya kenapa kakak-kakaknya menotoknya. Tadi dia telah bersikap seperti seekor anjing, persis seperti yang diteriakkan gadis itu.
Bhe Song Ci adalah seorang dari Bu-tek Ngo-sian, tentu saja selain memiliki kepandaian tinggi dia juga mempunyai pengalaman yang luas. Segera dia menyadari bahwa gadis itu menggunakan kekuatan sihir untuk mempermainkannya. Dia menjadi marah bukan main dan mukanya berubah merah sekali. Begitu dia bergerak lagi tangannya sudah mencabut pedang yang menempel di punggungnya.
“Perempuan keparat, berani kau mempermainkan aku?!” Bhe Song Ci sudah menerjang tanpa memberi kesempatan kepada Hui Lan.
Kakak-kakaknya hanya menonton karena mereka percaya penuh akan kelihaian saudara termuda itu, apa lagi melihat gadis itu belum mencabut senjatanya dan menghadapi Bhe Song Ci dengan tangan kosong.
Akan tetapi sekali ini Bhe Song Ci bertemu dengan Tang Hui Lan, puteri pendekar besar Tang Hay yang biar pun masih muda sudah memiliki ilmu kepandaian yang hebat. Melihat lawannya marah dan menyerang dengan curang tanpa memberi kesempatan kepadanya untuk mencabut sepasang pedangnya, Hui Lan segera mengelak dari sambaran pedang yang menusuk dadanya. Begitu melihat gerakan si katai itu dia pun dapat mengukur ilmu kepandaiannya.
Memang lawannya bukan orang biasa dan mempunyai ilmu silat yang cukup tinggi, akan tetapi dia tahu pula bahwa dia menang dalam kecepatan dan tenaga sakti. Maka dia pun tidak mau mencabut siang-kiam (sepasang pedang) dari punggungnya dan menghadapi lawan yang berpedang itu dengan tangan kosong belaka!
Setelah tusukannya dapat dielakkan dengan mudah oleh gadis itu, Bhe Song Ci menjadi semakin penasaran. Dia lalu memainkan pedangnya dengan sepenuh tenaganya. Pedang itu lenyap berubah menjadi sinar yang bergulung-gulung. Akan tetapi dia menjadi sangat terkejut dan juga heran. Rasanya setiap serangannya sudah hampir mengenai sasaran, namun pada kenyataannya selalu luput!
Hal ini tidak mengherankan karena Hui Lan mempergunakan langkah ajaib yang disebut Jiauw-pouw-poan-soan. Sepasang kakinya bergerak cepat, melangkah dan menggeser ke sana sini, akan tetapi serangan pedang lawannya selalu dapat dielakkan dengan mudah!
Bhe Song Ci merasa heran bukan main. Bagi dia, gadis itu kelihatan seperti menunggu datangnya serangan, akan tetapi begitu dia menyerang, gadis itu segera melangkah dan mengelak dari serangannya. Dengan penasaran dan semakin marah Bhe Song Ci terus menyerang, kini mengerahkan seluruh tenaganya sehingga serangannya makin kuat dan cepat.
“Haiiiitttt...!”
Dia membentak dan memutar pedangnya, akan tetapi tiba-tiba dia terbelalak karena gadis itu sudah lenyap dari depannya. Sebelum dia sempat memutar tubuh mencarinya, Hui Lan sudah menendang dari belakang.
“Bukkk!”
Tubuh yang katai itu terhuyung seperti orang mabok dan dia cepat memutar tubuhnya. Dilihatnya gadis itu tersenyum mengejek. Si katai itu menjadi beringas.
“Mampuslah!” Dia membentak dan mainkan pedangnya mengirim serangan maut.
Akan tetapi kembali tubuh lawannya menghilang. Dia tidak tahu bahwa Hui Lan sedang menggunakan ilmu meringankan tubuh sambil mainkan ilmu silat Yan-cu Coan-in (Burung Walet Menembus Awan) yang memiliki gerakan cepat bukan kepalang. Sekali ini Hui Lan mengerahkan lebih banyak tenaga sinkang-nya dalam tendangannya.
“Desss...!”
Pinggul si katai kena tendang keras sekali dan tubuhnya terpental seperti sebuah bola ditendang! Ketika dia terbanting jatuh, dia terengah-engah, akan tetapi sekarang dia dan kawan-kawannya sudah menyadari bahwa gadis itu memiliki kepandaian yang tinggi.