KISAH SEPASANG NAGA JILID 05
Anak itu tidak boleh menjadi korban begitu saja, dan jika Suma Cianbu datang, ia tidak dapat tanggung tentang keselamatan Sin Wan. Walaupun ia tahu bahwa anak itu telah memiliki kepandaian yang lumayan juga, namun keenam lawan yang mendatangi itu terlampau lihai. Kemudian Kang Lam Ciuhiap dengan diam-diam mengadakan perundingan dengan anaknya. Setelah dijelaskan tentang bahaya yang dapat mengancam jiwa Sin Wan, nyonya muda itu menjadi gugup.
“Ketahuilah, anakku. Kalau kaki tangan Kaisar mengetahui bahwa Sin Wan adalah putera tunggal suamimu, maka jangan harap jiwa puteramu akan tertolong. Mereka itu tentu berebut membuat pahala dan sedapat mungkin hendak menawan Sin Wan pula, hidup atau mati!”
Maka lalu diambil keputusan oleh kedua orang itu untuk menyuruh Sin Wan pergi dari situ untuk sementara waktu. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Ibunya memanggilnya dan ketika Sin Wan menghadap, ternyata di situ sudah tampak Engkongnya sedang minum arak. Sepagi itu sudah minum arak, sungguh kuat sekali Engkongnya itu, demikian Sin Wan berpikir menghampiri.
“Sin Wan, kau masih ingat kepada keluarga Kwie di balik gunung itu?” tanya Kang Lam Ciuhiap kepadanya.
Sin Wan pandang Kakeknya dengan tajam dan heran, dan ia mencoba membaca isi hati Kakeknya itu. “Tentu saja aku masih ingat, Engkong.”
“Mereka itu ramah tamah dan baik hati sekali, ya?” Sin Wan mengangguk. “Katanya ada juga seorang anak gadisnya yang cantik, benarkah Sin Wan?” tanya Ibunya.
Sin Wan makin heran dan dadanya berdebar, tapi dengan menindas perasaannya ia menjawab. “Setahuku Kwie Pekhu hanya mempunyai seorang anak perempuan namanya Giok Ciu.”
“Bagaimana pendapatmu tentang anak perempuan itu, Sin Wan?” dengan cepat Ibunya bertanya hingga anak muda itu cepat memandang Ibunya.
“Apakah maksudmu, Ibu? Ia pandai silat, berwatak baik, dan pandai... masak.”
Ibunya tersenyum dan Ciuhiap tertawa bergelak. “Sin Wan, karena mereka itu baik sekali dan masih tetangga dengan kita, yakni karena kita masih tinggal di satu gunung, maka untuk menyambut hari raya ini kita harus mengantar apa-apa kepada mereka. Aku sudah sediakan sedikit kue-kue dan sutera simpananku di dalam bungkusan itu, kau antarlah bungkusan ini kepada mereka sekarang juga.”
Sin Wan memandang ke atas meja di depan Kakeknya dimana memang terdapat sebuah bungkusan besar. Kemudian ia memandang Kakeknya dan berkata dengan sangsi, “Tapi, Ngkong. Perlu sekalikah itu? Apakah tenagaku tidak diperlukan disini? Aku harus menjaga keselamatan Ibu.”
“Aku cukup kuat untuk menjaganya, Sin Wan.”
“Dan kalau musuh-musuh itu datang aku dapat membantumu, Ngkong.”
“Aah, musuh-musuh macam itu saja? Tak perlu, Sin Wan.”
“Tapi, Ngkong, kalau Suma Cianbu dan Ngo-Sinto ikut datang?”
“Ha ha ha! Mereka boleh datang, dengan batang suling dan kepalan akan kuhancurkan kepala mereka seorang demi seorang!”
“Tapi, bukankah kemarin kau katakan bahwa mereka itu tangguh sekali?”
“Aku kemarin hanya membohong.”
“Tapi... tapi... Aku khawatir, Ngkong...”
Kakeknya berdiri serentak dan membentaknya, “Sin Wan! Tidak percayakah kau kepada Kang Lam Ciuhiap? Tidak taatkah kau kepada Engkong dan gurumu?”
Melihat sikap Kakeknya Sin Wan tak berani membantah lagi. Ia mengambil bungkusan kain itu dari atas meja, lalu menghampiri Ibunya dan memegang tangan Ibunya dengan rasa sayang.
“Ibu, jaga baik-baik dirimu, ya? Aku akan segera kembali, kalau mungkin sore nanti juga aku sudah kembali.”
“Sin Wan, sampaikan salamku kepada Kwie Cu Ek, dan engkau jangan sampai memalukan kami dengan berlaku kurang sopan. Jika mereka minta kau bermalam disana, biarpun hanya untuk semalam, kau harus menerima dan jangan kukuh menampik hingga mereka akan menyangka bahwa kau sombong dan tidak ramah-tamah.”
Setelah sekali lagi memandang Ibunya dengan mesra, pemuda itu lalu berangkat meninggalkan rumahnya dengan lari secepat mungkin agar ia segera sampai di tempat tujuan dan segera kembali. Dulu ketika ia dan Kakeknya pulang dari rumah keluarga Kwie, mereka gunakan waktu hampir sehari penuh. Tapi sekarang ilmu larinya telah maju berlipat ganda hingga ketika matahari telah naik sampai tepat di atas kepalanya ia telah sampai di rumah Giok Ciu.
Hati Sin Wan berdebar keras ketika ia melihat seorang gadis berbaju merah muda dan bercelanaa biru berdiri di depan rumah sambil mengambil baju yang dijemur disitu. Ia segera mengenal gadis itu yang bukan lain ialah Giok Ciu adanya!
Biarpun gadis itu sedang berdiri membelakanginya, tapi ia tidak lupa melihat potongan badan gadis itu. Ketika ia telah menghampiri dekat, gadis itu berpaling dan seketika itu juga kain yang sedang dipegangnya terlepas dari tangannya dan didiamkannya saja karena kedua matanya yang indah itu memandang bengong kepada pemuda tampan yang berdiri di depannya.
Juga Sin Wan merasa malu-malu dan sungkan sekali karena kini Giok Ciu telah menjadi seorang gadis yang luar biasa cantik jelitanya. Kedua pipinya kemerah-merahan, kulit leher dan lengannya demiian halus dan putih, apa lagi sepasanga mata yang gemilang dan bibir yang merah dan manis itu!
Untuk beberapa saat keduanya hanya saling pandang tanpa dapat mengucapkan sepatah katapun Kemudian Sin Wan maju dan membungkuk untuk mengambil kain yang terjatuh itu, lalu memberikannya kepada Giok Ciu.
“Terima kasih,” kata gadis itu dengan bibir sedikit gemetar.
“Giok Ciu!” Sin Wan menegur perlahan, dan menatap wajah yang selalu ditundukkan itu.
Giok Ciu menangkat kepalanya dan memandang dengan senyum malu-malu. “Hm??” hanya demikian mulutnya menggumam.
“Kau... kau sudah lupakah kepadaku? Kenapa diam saja?” kata Sin Wan lagi dengan agak heran. Mengapa gadis yang dulu genit dan lincah itu sekarang menjadi begini kikuk?
Giok Ciu tundukkan lagi mukanya dan mengerling pemuda itu serta memandangnya dari sudut matanya. Gerakan mata ini manis dan menarik sekali. “Masak begitu mudah melupakan orang?” jawabnya perlahan.
“Giok Ciu! aku tidak pernah lupakan kau. Mana bisa aku melupakanmu, teman baikku yang telah mengalami hal-hal aneh dan hebat bersamaku.”
Diingatkan akan peristiwa yang dialami bersama-sama Sin Wan dulu, Giok Ciu tiba-tiba merasa gembira dan wajahnya berseri. Kemudian ia teringat bahwa pada saat itu Sin Wan adalah seorang tamu, maka dengan gugup ia berkata,
“Kau..., masuklah , marilah.” Dan ia mendahului pemuda itu ambil tempat duduk.
“Dimana Kwie Pekhu? Apakah ia baik-baik saja selama ini?”
“Baik, terima kasih. Ia sekarang sedang turun ke kampung di bawah bukit untuk membeli kain.”
“Aku disuruh oleh Ibuku untuk mengantar sedikit barang tak berharga ini dan sekalian menyambangi kau.”
“Aku? Bukan menyambangi Ayah?” Wajah Sin Wan memerah.
“Ya Ayahmu juga!” Kemudian sambil menatap wajah gadis jelita itu ia berkata sungguh-sungguh, “Giok Ciu, aku heran benar melihat engkau.”
Giok Ciu balas memandang. “Heran? Mengapa? Apakah aku berubah dan... Jelek?”
Sin Wan tersenyum. “Berubah sih tentu. Kau sekarang menjadi tinggi dan... dan... makin manis!”
Giok Ciu segera tundukkan muka, tapi senyum yang menghias bibirnya itu menandakan bahwa hatinya senang sekali. “Tapi yang membuat aku heran sekali adalah perubahan yang sangat menyolok pada dirimu. Kau sekarang begitu... Begitu pendiam dan agaknya malu-malu padaku, mengapakah?”
Giok Ciu memandang lagi tapi tidak berani menentang mata Sin Wan terlalu lama. “Kau tidak mempunyai perasaan... malu kepadakukah?”
“Mengapa aku mesti malu-malu kepadamu? Bukankah kau ini sahabatku yang baik, kawan sependeritaan ketika kita terjeblos dalam jurang dan akhirnya keluar dari sumur itu?”
Untuk sejenak gadis itu memandang heran, kemudian tiba-tiba saja sikapnya yang malu-malu itu lenyap dan ia berubah menjadi seperti biasa, bahkan gembira sekali seakan-akan ada sesuatu yang tadinya mengganjal di dalam hatinya telah disingkirkan.
“Sin Wan, kau tentu sudah maju sekali dalam ilmu silat, bukan?”
“Ah, belum tentu semaju engkau!”
“Hayo, kita mencoba kepandaian kita, boleh?” ajak Giok Ciu gembira.
Sin Wan geleng-gelang kepala. “Sebenarnya aku tergesa-gesa sekali, Giok Ciu.” Katanya perlahan dan tiba-tiba lenyap kegembiraannya karena ia teringat akan Ibu dan Kakeknya yang mungkin diancam bahaya dan bencana besar.
Melihat betapa pemuda itu kehilangan seri wajahnya dan keningnya tampak berkerut seperti orang bingung dan susah, gadis itu menjadi heran dan buru-buru bertanya,
“Sin Wan, apakah yang terjadi? Kau agaknya bingung, apakah yang menyusahkanmu? Katakan padaku, aku pasti akan membantumu!”
Melihat sikap gadis yang sangat memperhatikan padanya itu, hati Sin Wan terhibur dan ia merasa berterima kasih sekali. Ternyata gadis ini sama sekali tidak berubah, bahkan lebih baik dan setia kawan. Karena ini ia lalu ceritakan dengan sejelasnya apa yang telah terjadi, yakni tentang pengeroyokan yang terjadi atas diri Kakeknya dan betapa Kakeknya telah memberi hajaran kepada rombongan tentara itu, tapi kini telah datang ancaman bahaya baru yang sangat mengkhawatirkan.
“Karena itulah maka aku tidak dapat lama-lama berada disini, Giok Ciu, karena mungkin sekali tenaga bantuanku dibutuhkan sangat oleh Kakekku. Aku harus kembali sekarang juga!”
“Sebetulnya aku harus menyesal karena kau tak pernah mengunjungi kami dan sekarang begitu datang kau hendak pergi lagi. Tapi urusan di kampung itu memang gawat sekali. Tidak saja kau harus lekas pulang, bahkan akupun akan menyertai kesana. Kita lebih baik sama-sama menghajar orang-orang kurang ajar itu!”
Sin Wan pandang gadis itu dengan heran, hatinya girang seklaik tapi ia ragu-ragu. “Ah, Giok Ciu, apakah kau tidak akan dimarahi Ayahmu? Betapapun juga kau harus memberi tahu lebih dulu kepada Kwie Pekhu!”
“Untuk urusan sepenting ini, aku boleh pergi tanpa pamit. Apa pula untuk membela Ibumu dan Ayahmu adalah kewajibanku yang terutama! Biarlah aku meninggalkan surat saja untuknya agar kalau telah pulang ia bisa segera menyusul kita.”
“Kau maksudkan... Kwie Pekhu juga akan ke sana membantu kami?” tanyanya girang sekali.
“Mengapa tidak? Ia pasti akan menyusul kita.” Giok Ciu lalu cepat ambil alat tulis dan menulis surat pemberitahuan untuk Ayahnya di atas meja dalam kamar Ayahnya.
“Hayo kita pergi,tapi kau harus makan dulu. Bukankah kau tadi belum makan? Jangan kita nanti kelaparan lagi dijalan seperti dulu.” Kata gadis itu menimbulkan kegembiraan lagi di dalam hati Sin Wan.
“Tak usah, Giok Ciu, kalau ada kue, kau bawa kue saja, kita makan di jalan nanti.”
Giok Ciu tidak membantah lalu mereka berangkat dengan lari cepat. Sin Wan sengaja lari cepat sekali dan sekuat tenaganya, tapi ternyata ilmu lari cepat gadis itu tidak berada dibawh tingkatnya hingga ia menjadi kagum dan girang. Ketika tiba di jurang yang lebar, dimana dulu mereka meloncatinya dengan bantuan pohon dan tambang, mereka loncati begitu saja dengan tidak terlalu sukar. Giok Ciu dengan gembira menunjuk ke sebuah batu karang yang tinggi dan runcing sambil berkata,
“Sin Wan, lihat di sana itu, masih ingatkah kau?”
Sin Wan memandang dan melihat sebuah benda panjang keputih-putihan menggantung dari puncak karang. Ia ingat bahwa itu adalah tali tambang yang dulu ia pakai untuk meloncati jurang itu. Ia menghela napas dan berkata,
“Alangkah cepatnya waktu berjalan. Tiga empat tahun telah lalu dan tali itu masih tergantung di situ hingga kalau kita pergi berdiri di sini, seakan-akan peristiwa itu baru terjadi kemarin. Dan kitapun tak terasa pula sudah bukan kanak-kanak lagi, sudah setengah dewasa!”
“Kenapa dalam beberapa tahun itu kau atau Kong-kong tak pernah datang menengok kami? Tadinya kukira kalian sudah lupa!” Gadis itu berkata sambil cemberutkan bibirnya, tapi dalam pandangan Sin Wan malahan tampak lebih manis.
“Kakekku selalu sibuk mengajar silat padaku, sedangkan kalau aku hendak pergi sendiri, Ibu selalu melarangku setelah terjadi aku hilang dua hari dulu itu!” Giok Ciu padang wajah Sin Wan dengan iri hati.
“Ah, kau memang beruntung, mempunyai seorang Ibu menyayangimu.” Dan mata gadis itu menjadi merah.
Tapi Sin Wan segera menghiburnya. “Tapi aku tidak mempunyai Ayah seperti kau. Keadaan kita sama. Giok Ciu, jangan kau bersedih. Biarlah kau anggap Ibuku seperti Ibumu sendiri.”
Tiba-tiba sikap Giok Ciu berubah dan ia lari menjauhi Sin Wan. Pemuda itu terheran dan tunda larinya, hingga Giok Ciu yang tidak kenal jalan terpaksa berhenti juga, agak jauh dari tempat Sin Wan berhenti.
“Giok Ciu, kau kenapakah? Marahkah kau?”
Giok Ciu memandangnya dengan tajam seakan-akan hendak membaca isi hatinya. Kemudian gadis itu tampak tenang kembali dan bersikap biasa. “Tidak apa-apa, hanya aku tadi terharu mendengar bahwa aku harus menganggap Ibumu seperti Ibuku sendiri. Alangkah baiknya, dan kau juga menganggap Ayahku seperti Ayahmu sendiri.”
“Ya, begitulah lebih baik,” kata Sin Wan sambil tunduk dan tidak tahu betapa Giok Ciu memandang padanya dengan mata setengah terkatup hingga sepasang mata yang bening itu mengincar dari balik bulu matanya yang panjang dan lentik.
“Marilah kita percepat perjalanan ini agar segera sampai dirumah,” kata Sin Wan.
“Apakah kau tidak lapar? Ini, makanlah kue ini.”
Gadis itu keluarkan sepotong kueh kering dari saku bajunya, dan mereka lalu makan kuih itu. Hal ini membuat mereka teringat lagi akan peristiwa dulu didalam jurang, dimana mereka juga makan kue kering bekal Sin Wan.
Setelah makan dan minum air gunung yang jernih, dingin, dan segar mereka lalu berangkat pula. Perjalanan kali ini berbeda dengan ketika Sin Wan berangkat dari rumah, karena dengan berdua mereka merasa gembira dan lebih menikmati pemandangan di kanan kiri. Tamasya alam yang tadi ketika berangkat tidak diindahkan, bahkan tidak terlihat oleh Sin Wan.
Kini nampak bagus dan menarik sekali hingga beberapa kali ini ia dan Giok Ciu berhenti untuk menikmati pemandangan indah itu beberapa lama. Dari perjalanan ini maka terbuktilah kekuatan dan keuletan tubuh Sin Wan. Pemuda itu boleh dibilang sehari penuh terus berlari cepat dan hanya berhenti sebentar, tapi ia sama sekali tidak merasa lelah!
Karena sering berhenti, maka ketika mereka tiba di kampung Sin Wan telah mulai senja. Matahari telah sembunyi di balik puncak Kam-Hong-San dan keadaan telah sunyi senyap karena burung-burung telah kembali ke sarang mereka dan beristirahat setelah sehari penuh beterbangan mencari makan. Beberapa ekor burung kuntul yang berbulu putih terbang tergesa-gesa di bawah mega, gerakan sayap mereka perlahan tapi kuat hingga tubuh mereka meluncur maju bagaikan anak panah terlepas dari busurnya.
“Sin Wan kenapa kampungmu begini sunyi?” tanya Giok Ciu dengan heran ketika mereka mulai masuk perkampungan itu.
Sin Wan tak menjawab, tapi ia sendiri juga heran sekali. Tiba-tiba telinga mereka dapat mendengar suara tangis sedih yang tertahan-tahan, agaknya orang-orang menangis tapi karena takut maka tidak berani menangis keras. Sin Wan terkejut dan ia memegang lengan Giok Ciu sambil berkata,
“Hayo cepat, Giok Ciu!”
Gadis itu merasa betapa tangan Sin Wan yang memegang lengannya sangat dingin! Maka hatinyapun berdebar karena menyangka sesuatu yang tidak beres. Dan apa yang tampak oleh mereka sungguh mengerikan! Ketika mereka tiba di depan rumah Sin Wan, tampak tubuh-tubuh malang melintang di atas tanah yang telah menjadi merah karena aliran darah dari para korban itu.
“Sin Wan, apakah yang terjadi?” Giok Ciu dengan wajah pucat pegang lengan pemuda itu, tapi bagaikan orang kalap Sin Wan mengkipaskan tangan Giok Ciu dan meloncat masuk ke dalam rumahnya sambil berteriak-teriak,
“Ibu...! Kakek…!”
Giok Ciu cepat mengikut pemuda itu dan meloncat masuk ke dalam pintu yang terpentang lebar. Dan ketika ia masuk kedalam, ia melihat Sin Wan telah berlutut dan memeluki tubuh Ibunya yang menggeletak mandi darah! Juga Kakeknya rebah dengan lengan kanan putus dan tidak ingat orang!
“Ibu... Kong-kong...” Giok Ciu berbisik perlahan dan ia merasa betapa seluruh tubuhnya menggigil.
Sin Wan seperti orang gila. Ia menangis tanpa mengeluarkan suara, hanya kedua matanya melotot lebar dan dari pelupuk matanya mengalir air mata berbutir-butir membasahi pipinya. Ia angkat kepala Ibunya dan dipangkunya kepala yang lemas itu, di dekapnya muka Ibunya pada dadanya dan diciuminya jidat yang halus putih dan pucat itu. Kemudian, lama sekali, barulah Sin Wan dapat berbisik, suaranya tenggelam dalam kerongkongannya
“Ibu... Ibu… bangunlah, Ibu… bukalah matamu, aku datang, Ibu... aku Sin Wan anakmu…”
Giok Ciu melihat keadaan pemuda itu dan mendengar ratap tangisnya, hanya bisa mencucurkan air mata dari belakang ia pegang lengan Sin Wan. Hatinya ingin menghibur, tapi tak sepatah kata-kata dapat keluar dari mulutnya. Tiba-tiba ia melihat Ibu Sin Wan menggerak-gerakkan kulit matanya.
“Sin Wan, lihat Ibumu siuman.” Bisik Giok Ciu.
Sin Wan pandang wajah Ibunya dan harapan timbul dalam hatinya. “Ibu… bangunlah, Ibu...” ratapnya dan ia mencoba untuk mengangkat tubuh Ibunya, tapi tiba-tiba nyonya itu merintih kesakitan sehingga terpaksa Sin Wan menunda maksudnya dan ia baringkan kepala Ibunya di atas pangkuannya.
Nyonya yang bernasib malang itu buka pelupuk matanya dan ia tersenyum ketika melihat Sin Wan. “Syukur… kau… kau selamat, Sin Wan…” katanya perlahan.
“Ibu, bagaimana kau bisa berkata begitu? Kau... ah, siapakah yang melakukan ini, Ibu? Siapa? Katakanlah, hendak kubeset menjadi dua tubuhnya!”
“Siapa lagi, anakku... Kalau bukan orang-orangnya… Kaisar... lalim...” Ibu Sin Wan melirik ke arah gadis yang berada di belakang Sin Wan dan ikut mengalirkan air mata itu. Wajahnya yang sudah menyuram tiba-tiba berseri dan berbisik,
“Sin Wan... inikah... Giok Ciu...?”
“Betul, Ibu,” jawab Giok Ciu sambil mendekat. Ibu Sin Wan masih kuasa mengangkat lengan kanannya untuk meraba-raba muka dan rambut Giok Ciu, agaknya ia puas sekali.
“Kau... cantik… dan… baik, bahagialah kau dengan… anakku…”
Giok Ciu tak kuasa menahan keharuan hatinya, ia hanya mengangguk-angguk sambil menciumi tangan yang membelainya itu.
“Sin Wan... jagalah baik-baik dia ini… dia ini calon isterimu… tanda perjodohannya... Sepatu kecil... kusimpan di peti pakaianku... Sin Wan... Giok Ciu... Aduh!” Dan Nyonya yang telah kepayahan karena kehabisan darah yang mengalir dari lukanya itu menjadi lemas dan napasnya berhenti!
“Ibu…! Ibu…!!” Sin Wan menjerit dan kedua matanya jelalatan bagaikan mencari-cari sesuatu. Kemudian ia turunkan kepala yang dipangkuannya perlahan, lalu ia loncat berdiri dan memburu ke depan. “Siapa yang membunuh Ibuku? Siapa?? Hayo keluar!!” Kemudian, karena yang dilihatnya hanya mayat-mayat orang kampung bergelimpangan, ia lari lagi ke dalam dan tubruk mayat Ibunya.
“Ibu... Ibu...! Mana Kong-kong, mana...? Kong-kong… dimana kau?” Sin Wan benar-benar seperti orang gila hingga ia tidak melihat Kong-kongnya yang menggeletak tak jauh dari situ.
Giok Ciu sambil menangis lalu memegang tangan Sin Wan dan berkata, “Sin Wan, tenanglah, Kong-kong ada disini, lihatlah...!”
Sin Wan menengok ke bawah dan ketika melihat tubuh Kakeknya membujur di situ mandi darah, ketegangan di wajahnya lenyap seketika. Ia menubruk Kong-kongnya dan mengangkat kepala yang sudah putih itu.
“Kong-kong! Kau juga menjadi korban? Kong-kong… katakanlah siapa yang melakukan ini, siapa??”
Ia menggoyang-goyang tubuh Kong-kongnya yang sudah lemas itu. Agaknya nyawa Kakek itu belum meninggalkan raganya, karena memang orang tua itu kuat sekali dan telah mempunyai latihan tenaga dalam yang luar biasa. Maka dalam keadaan yang bagi orang lain sudah tak mungkin dapat mempertahankan lebih lama itu karena selain lengannya yang kanan terpotong sebatas pundak, juga ia mendapat luka-luka di dada dan perutnya, ia masih dapat membuka matanya. Mata itu memandang kepada Sin Wan dengan tajam dan dengan paksaan tenaganya yang terakhir ia berkata dengan suara parau seakan-akan bukan suara manusia lagi.
“Sin Wan... yang melakukan ini ialah... Suma Cianbu dan Siauw-San Ngo-Sinto...!”
Kepala yang tadinya menegang itu lalu terkulai lemas dalam pelukan Sin Wan, tanda bahwa hayatnya telah meninggalkan tubuh! Sin Wan lepaskan kepala itu kebawah, lalu tiba-tiba ia betot suling bambu yang terpegang di tangan kiri Kakeknya, kemudian dengan geraman hebat Sin Wan meloncat keluar bagaikan seekor naga mengamuk!
Pemuda itu tidak ingat apa-apa lagi, yang diingat hanya dendam kepada musuh-musuhnya! Ia tiba diluar dan matanya memandang jelalatan ke sana ke mari. Tiba-tiba ia meloncat ke samping ketika merasa betapa pundaknya dijamah orang dengan perlahan dari belakang. Sambil meloncat ia mengayun suling ke arah orang yang menjamahnya itu hingga Giok Ciu cepat berkelit dengan kaget sekali.
“Sin Wan, ingatlah, ini aku, Giok Ciu!” kata gadis itu sambil bertindak maju dan memegang lengan Sin Wan, “Sin Wan, begini lemahkah hatimu? Beginikah sikap seorang jantan yang gagah perkasa? Kau boleh marah dan sakit hati, tetapi kau tidak tahu dimana adanya musuh-musuhmu. Apakah kau telah melupakan jenazah Ibu dan Kakek? Apakah mereka itu tidak harus diurus lebih dulu dan dibiarkan saja? Ah, Sin Wan... Sin Wan...”
Tubuh Sin Wan yang tadinya menegang dan matanya yang liar dan ganas itu melembut. Suling yang dicengkeram dalam tangannya terlepas dan jatuh di tanah tanpa terasa. Kemudian ia lari dengan tubuh lemas ke dalam rumah. Melihat mayat Kong-kongnya ia lalu berlutut dan sambil memandang wajah Kakeknya itu dan ia meratap dan menyesali Kakeknya.
“Kong-kong, kenapa kau suruh aku pergi? Kenapa? Kau sengaja menyuruh aku menyingkir. Aku tahu... Aku tahu...! Kong-kong, apa kau sangka aku penakut? Apa kau sangka aku takut mati? Ah, Kong-kong. Kalau saja aku tidak pergi... Kong-kong… kau bikin aku selamanya akan menyesali saat kepergianku itu... Kau bikin aku menjadi penasaran selalu...” Kemudian, sambil menyusut air mata dengan ujung baju, pemuda tanggung yang mengalami nasib buruk itu menubruk mayat Ibunya.
“Ibu... Ibu... anakmu tidak berbakti! Kau... kau diserang musuh, dilukai, dibunuh... sedangkan aku... anakmu... Pergi dan bergembira di luar! Ibu ampunkan anakmu, Ibu... aku bersumpah, sebelum dapat membunuh orang-orang terkutuk itu, aku tidak mau menyebut namaku kepada orang lain…”
Kemudian Sin Wan menangis lagi sambil berlutut di dekat mayat Ibunya. Ia pukul-pukulkan kepalanya di atas lantai hingga terluka dan kulit jidat itu mengeluarkan darah! Demikian besar rasa penyesalannya telah pergi hingga Ibunya dibunuh orang pada saat ia tidak berada di situ, maka karena menyesal ia bentur-benturkan jidat di lantai dan akhirnya sambil memekik keras ia roboh pingsan di atas dada Ibunya!
Semenjak tadi, Giok Ciu tak berdaya dan hanya ikut menangis. Ia adalah seorang yang keras hati, tapi menghadapi pemandangan demikian mengerikan dan mengharukan, ia tak dapat menahan mengucurnya ia mata dan rasa iba hati yang luar biasa sampai menyakitkan dadanya. Ia merasa iba sekali sekali melihat Sin Wan, pemuda tunangannya yang sebelum diberi tahu oleh Ibunya tidak mengerti bahwa Giok Ciu adalah tunangannya!
Giok Ciu sendiri telah diberi tahu oleh Ayahnya, bahkan suling kecil pemberian Kang Lam Ciuhiap telah diserahkan kepadanya untuk disimpan. Inilah sebabnya maka ketika bertemu dengan Sin Wan, ia meraa malu sekali dan kikuk. Tapi, kemudian dapat diterkanya bahwa pemuda itu agaknya belum tahu akan pertunangan mereka, maka lenyaplah rasa malunya terhadap Sin Wan. Hal ini membuat kegembiraannya timbul dan ia bisa bergaul lebih bebas dengan pemuda itu. Tapi, tidak disangkanya sama sekali, musuh telah mendahului mereka dan telah mengamuk demikian kejamnya!
Kini melihat betapa Sin Wan jatuh pingsan, Giok Ciu merasa makin bingung dan ia merasa hatinya seperti diremas-remas! Ia lari keluar dan masuk ke dalam rumah terdekat. Di dalam rumah itu terdapat dua orang wanita tua dan muda saling peluk dengan tubuh gemetar, dan ditengah-tengah mereka ada tiga anak-anak kecil. Ternyata mereka masih ketakutan. Alangkah kaget mereka ketika da orang masuk ke rumah, mereka sangka bahwa tentara-tentara yang kejam itu masih berada di luar. Tapi Giok Ciu berkata dengan halus,
“Encim dan cici, jangan takut-takut, musuh telah pergi semua. Marilah kau bantu aku untuk memberi tahu semua tetangga. Suruh mereka keluar dan menolong kawan-kawan kita.”
Maka berdirilah kedua wanita itu dan sebentar saja mereka berdua pergi ke rumah-rumah para tetangga. Semua orang keluarlah berbondong-bondong dan tangis dan pekik saling menyusul ketika mereka melihat mayat-mayat bergelimpangan. Masing-masing keluar lalu mengangkat korban-korban yang masih menggeletak di luar dan menggotong tubuh-tubuh itu ke rumah masing-masing. Giok Ciu dengan bantuan beberapa orang lalu mengurus kedua jenasah Ibu Sin Wan dan Kang Lam Ciuhiap Bun Gwat Kong.
Sedangkan Sin Wan setelah siuman, hanya duduk bengong menghadapi kedua mayat orang-orang tercinta itu. Selama hidupnya ia hanya kenal Ibu dan Ayahnya, dan kini tiba-tiba saja kedua orang tua itu tinggalkan dia dalam cara yang demikian menyedihkan! Sementara itu Giok Ciu mendengarkan keterangan yang diberikan oleh orang-orang kampung yang tidak menjadi korban keganasan gerombolan kaki tangan Kaisar.
Ternyata pada kira-kira tengah hari tadi, sebarisan tentara berkuda dan bersenjata lengkap menyerbu kampung itu, dipimpin oleh Suma Cianbu dan lima orang gagah, yakni Siauw-San Ngo-Sinto atau Lima Golok Malaikat dari Gunung Siauw-San. Mereka hendak menangkap Kang Lam Ciuhiap Bun Gwat Kong, tapi Kakek yang gagah perkasa itu melawan hebat. Pertempuran seru terjadi dan orang-orang kampung yang jujur dan setia kawan ketika melihat betapa empek itu dikeroyok, lalu maju membantu.
Tapi mereka bukanlah tandingan para tentara yang terlatih hingga sebentar saja belasan orang roboh mandir darah. Kang Lam Ciuhiap dengan senjata suling mengamuk bagaikan seekor naga sakti. Seorang pemuda yang berhasil menonton pertempuran itu sambil bersembunyi, menuturkan berikut.
Rombongan penyerbu itu terdiri dari dua puluh anggauta tentara dibawah pimpinan seorang tinggi besar yang brewokan dan mengaku bahwa Suma Cianbu, yakni kapten Suma. Kapten Suma itu bersenjatakan sepasang pedang. Di antara mereka terdapat lima orang Tosu atau Pendeta yang semua berbaju kuning dan rambutnya diikat ke atas. Mereka ini langsung menuju ke rumah Kang Lam Ciuhiap. Kakek yang gagah itu dengan tenang dan sedikitpun tidak jeri menyambut kedatangan mereka di luar rumahnya.
“Ha ha ha! Kang Lam Ciuhiap! Sungguh aku beruntung sekali karena ternyata kau masih hidup hingga memberi kesempatan kepadaku untuk membunuhmu!” kata Kapten Suma itu sambil meloncat turun dari kudanya.
“Memang benar kata-katamu bahwa aku masih hidup, Suma Cianbu. Tapi tentang membunuh itu masih merupakan teka-teki siapa tahu, barangkali akulah yang akan berhasil membunuhmu.”
“Hm, orang she Bun! Kau seorang yang berdosa tetapi masih berani membuka mulut besar!” menegur seorang diantara kelima Tosu itu. “Tahukah kau akan dosa-dosamu?”
Kang Lam Ciuhiap memandang ke arah Tosu itu dengan pandang mata menghina. “Bukankah aku berhadapan dengan Siauw-San Ngo-Sinto yang terkenal? Kenapa kalian orang-orang pertapa meninggalkan tempat pertapaan dan bersatu dengan anjing-anjing penjilat Kaisar ini? Apakah kalian juga telah diberi makanan lezat?"
Marahlah Tosu tertua mendengar sindiran ini. “Bun Gwat Kong! Ajalmu telah berada di depan mata, kau masih berani menghina orang! Kau telah memberontak dan membunuh banyak pembesar-pembesar negeri, mengikuti jejak anak mantumu yang juga menjadi pemberontak! Apakah dosa ini tidak terlalu besar dan kejam sehingga terpaksa kami turun gunung untuk menghajarmu?”
“Sudahlah, sudahlah… kalau negeri sedang kacau, memang selalu muncul tikus-tikus seperti kalian. Ternyata hanya namanya Siauw-San Ngo-Sinto besar, tapi orang-orangnya tak berjiwa bersih!”
Kelima Tosu itu dengan marah lalu mencabut golok masing-masing. Golok mereka kecil dan panjang tapi gemerlapan karena tajamnya. Kemudian mereka maju mengepung Kang Lam Ciuhiap yang hanya bersenjatakan suling bambu di tangan!
Maka terjadilah pertempuran yang luar biasa serunya! Dengan suling bambunya Kang Lam Ciuhiap ternyata dapat bertahan dan melindungi dirinya dari serangan-serangan maut yang berpancaran dari golok kelima lawannya. Melihat betapa orang tua gagah itu dalam berpuluh jurus belum juga dapat dirobohkan, Suma Cianbu sendiri maju dengan sepasang pedang atau siang-kiamnya.
Dan kini Kakek itu mulai sibuk dan terdesak hebat, karena kepandaian kapten ini tidak dibawah seorang dari para Tosu-Tosu itu. Akan tetapi, Kang Lam Ciuhiap benar-benar meperlihatkan bahwa nama besarnya bukanlah kosong belaka. Ia mengamuk bagaikan seekor naga terluka. Beberapa orang anggauta tentara yang mencoba untuk mengeroyoknya dan berusaha mencari pahala telah roboh dibawah totokan sulingnya.
Tapi musuh terlalu banyak dan Kalng-lam Ciuhiap telah mendapat beberapa luka dibadannya. Kemudian terdengar jerit ngeri dari dalam rumah dan Kakek itu yang mengenal jerit anak perempuannya, segera berseru nyaring dan ia meloncat ke dalam rumah, di kejar oleh lawan-lawannya. Alangkah kaget Kakek itu ketika melihat betapa anaknya telah roboh mandi darah dan di dekatnya berdiri soerang anak buah rombongan itu sambil memegang goloknya yang berlumuran darah.
Dalam marahnya Kang Lam Ciuhiap mengayun sulingnya dan pembunuh anaknya itu robohlah sambil berteriak ngeri, tapi Kang Lam Ciuhiap masih belum puas. Ia kerjakan kedua kakinya dan sulingnya untuk memukul dan mendendang sehingga orang itu andaikata mempunyai sepuluh nyawa tentu kesepuluh nyawanya juga akan terbang pergi meninggalkan raganya!
Akan tetapi pada saat itu Suma Cianbu dan kelima Tosu yang lihai telah masuk rumah pula dan dalam keadaan terdesak di tempat sempit itu akhirnya robohlah Kang Lam Ciuhiap Bun Gwat kong, Kakek yang gagah perkasa itu!
Sementara itu, orang-orang kampung yang melihat betapa Bun didatangi penyerbu-penyerbu lalu bersiap dan berusaha membantu. Akan tetapi mereka bukanlah lawan para anggota tentara pemerintah asing yang telah terlatih dan sebentar saja belasan orang dapat dirobohkan dan yang lainnya lari bersembunyi. Maka sebentar saja penuhlah pekarangan rumah keluarga Bun dengan tubuh-tubh luka dan mayat bergelimpangan. Pemandangan yang mengerikan sekali!
Setelah menjatuhkan malapetaka dikampung itu, rombongan Suma Cianbu segera meninggalkan kampung itu sambil membawa beberapa orang yang telah terbinasa oleh Kang Lam Ciuhiap dalam amukannya tadi...
“Ketahuilah, anakku. Kalau kaki tangan Kaisar mengetahui bahwa Sin Wan adalah putera tunggal suamimu, maka jangan harap jiwa puteramu akan tertolong. Mereka itu tentu berebut membuat pahala dan sedapat mungkin hendak menawan Sin Wan pula, hidup atau mati!”
Maka lalu diambil keputusan oleh kedua orang itu untuk menyuruh Sin Wan pergi dari situ untuk sementara waktu. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Ibunya memanggilnya dan ketika Sin Wan menghadap, ternyata di situ sudah tampak Engkongnya sedang minum arak. Sepagi itu sudah minum arak, sungguh kuat sekali Engkongnya itu, demikian Sin Wan berpikir menghampiri.
“Sin Wan, kau masih ingat kepada keluarga Kwie di balik gunung itu?” tanya Kang Lam Ciuhiap kepadanya.
Sin Wan pandang Kakeknya dengan tajam dan heran, dan ia mencoba membaca isi hati Kakeknya itu. “Tentu saja aku masih ingat, Engkong.”
“Mereka itu ramah tamah dan baik hati sekali, ya?” Sin Wan mengangguk. “Katanya ada juga seorang anak gadisnya yang cantik, benarkah Sin Wan?” tanya Ibunya.
Sin Wan makin heran dan dadanya berdebar, tapi dengan menindas perasaannya ia menjawab. “Setahuku Kwie Pekhu hanya mempunyai seorang anak perempuan namanya Giok Ciu.”
“Bagaimana pendapatmu tentang anak perempuan itu, Sin Wan?” dengan cepat Ibunya bertanya hingga anak muda itu cepat memandang Ibunya.
“Apakah maksudmu, Ibu? Ia pandai silat, berwatak baik, dan pandai... masak.”
Ibunya tersenyum dan Ciuhiap tertawa bergelak. “Sin Wan, karena mereka itu baik sekali dan masih tetangga dengan kita, yakni karena kita masih tinggal di satu gunung, maka untuk menyambut hari raya ini kita harus mengantar apa-apa kepada mereka. Aku sudah sediakan sedikit kue-kue dan sutera simpananku di dalam bungkusan itu, kau antarlah bungkusan ini kepada mereka sekarang juga.”
Sin Wan memandang ke atas meja di depan Kakeknya dimana memang terdapat sebuah bungkusan besar. Kemudian ia memandang Kakeknya dan berkata dengan sangsi, “Tapi, Ngkong. Perlu sekalikah itu? Apakah tenagaku tidak diperlukan disini? Aku harus menjaga keselamatan Ibu.”
“Aku cukup kuat untuk menjaganya, Sin Wan.”
“Dan kalau musuh-musuh itu datang aku dapat membantumu, Ngkong.”
“Aah, musuh-musuh macam itu saja? Tak perlu, Sin Wan.”
“Tapi, Ngkong, kalau Suma Cianbu dan Ngo-Sinto ikut datang?”
“Ha ha ha! Mereka boleh datang, dengan batang suling dan kepalan akan kuhancurkan kepala mereka seorang demi seorang!”
“Tapi, bukankah kemarin kau katakan bahwa mereka itu tangguh sekali?”
“Aku kemarin hanya membohong.”
“Tapi... tapi... Aku khawatir, Ngkong...”
Kakeknya berdiri serentak dan membentaknya, “Sin Wan! Tidak percayakah kau kepada Kang Lam Ciuhiap? Tidak taatkah kau kepada Engkong dan gurumu?”
Melihat sikap Kakeknya Sin Wan tak berani membantah lagi. Ia mengambil bungkusan kain itu dari atas meja, lalu menghampiri Ibunya dan memegang tangan Ibunya dengan rasa sayang.
“Ibu, jaga baik-baik dirimu, ya? Aku akan segera kembali, kalau mungkin sore nanti juga aku sudah kembali.”
“Sin Wan, sampaikan salamku kepada Kwie Cu Ek, dan engkau jangan sampai memalukan kami dengan berlaku kurang sopan. Jika mereka minta kau bermalam disana, biarpun hanya untuk semalam, kau harus menerima dan jangan kukuh menampik hingga mereka akan menyangka bahwa kau sombong dan tidak ramah-tamah.”
Setelah sekali lagi memandang Ibunya dengan mesra, pemuda itu lalu berangkat meninggalkan rumahnya dengan lari secepat mungkin agar ia segera sampai di tempat tujuan dan segera kembali. Dulu ketika ia dan Kakeknya pulang dari rumah keluarga Kwie, mereka gunakan waktu hampir sehari penuh. Tapi sekarang ilmu larinya telah maju berlipat ganda hingga ketika matahari telah naik sampai tepat di atas kepalanya ia telah sampai di rumah Giok Ciu.
Hati Sin Wan berdebar keras ketika ia melihat seorang gadis berbaju merah muda dan bercelanaa biru berdiri di depan rumah sambil mengambil baju yang dijemur disitu. Ia segera mengenal gadis itu yang bukan lain ialah Giok Ciu adanya!
Biarpun gadis itu sedang berdiri membelakanginya, tapi ia tidak lupa melihat potongan badan gadis itu. Ketika ia telah menghampiri dekat, gadis itu berpaling dan seketika itu juga kain yang sedang dipegangnya terlepas dari tangannya dan didiamkannya saja karena kedua matanya yang indah itu memandang bengong kepada pemuda tampan yang berdiri di depannya.
Juga Sin Wan merasa malu-malu dan sungkan sekali karena kini Giok Ciu telah menjadi seorang gadis yang luar biasa cantik jelitanya. Kedua pipinya kemerah-merahan, kulit leher dan lengannya demiian halus dan putih, apa lagi sepasanga mata yang gemilang dan bibir yang merah dan manis itu!
Untuk beberapa saat keduanya hanya saling pandang tanpa dapat mengucapkan sepatah katapun Kemudian Sin Wan maju dan membungkuk untuk mengambil kain yang terjatuh itu, lalu memberikannya kepada Giok Ciu.
“Terima kasih,” kata gadis itu dengan bibir sedikit gemetar.
“Giok Ciu!” Sin Wan menegur perlahan, dan menatap wajah yang selalu ditundukkan itu.
Giok Ciu menangkat kepalanya dan memandang dengan senyum malu-malu. “Hm??” hanya demikian mulutnya menggumam.
“Kau... kau sudah lupakah kepadaku? Kenapa diam saja?” kata Sin Wan lagi dengan agak heran. Mengapa gadis yang dulu genit dan lincah itu sekarang menjadi begini kikuk?
Giok Ciu tundukkan lagi mukanya dan mengerling pemuda itu serta memandangnya dari sudut matanya. Gerakan mata ini manis dan menarik sekali. “Masak begitu mudah melupakan orang?” jawabnya perlahan.
“Giok Ciu! aku tidak pernah lupakan kau. Mana bisa aku melupakanmu, teman baikku yang telah mengalami hal-hal aneh dan hebat bersamaku.”
Diingatkan akan peristiwa yang dialami bersama-sama Sin Wan dulu, Giok Ciu tiba-tiba merasa gembira dan wajahnya berseri. Kemudian ia teringat bahwa pada saat itu Sin Wan adalah seorang tamu, maka dengan gugup ia berkata,
“Kau..., masuklah , marilah.” Dan ia mendahului pemuda itu ambil tempat duduk.
“Dimana Kwie Pekhu? Apakah ia baik-baik saja selama ini?”
“Baik, terima kasih. Ia sekarang sedang turun ke kampung di bawah bukit untuk membeli kain.”
“Aku disuruh oleh Ibuku untuk mengantar sedikit barang tak berharga ini dan sekalian menyambangi kau.”
“Aku? Bukan menyambangi Ayah?” Wajah Sin Wan memerah.
“Ya Ayahmu juga!” Kemudian sambil menatap wajah gadis jelita itu ia berkata sungguh-sungguh, “Giok Ciu, aku heran benar melihat engkau.”
Giok Ciu balas memandang. “Heran? Mengapa? Apakah aku berubah dan... Jelek?”
Sin Wan tersenyum. “Berubah sih tentu. Kau sekarang menjadi tinggi dan... dan... makin manis!”
Giok Ciu segera tundukkan muka, tapi senyum yang menghias bibirnya itu menandakan bahwa hatinya senang sekali. “Tapi yang membuat aku heran sekali adalah perubahan yang sangat menyolok pada dirimu. Kau sekarang begitu... Begitu pendiam dan agaknya malu-malu padaku, mengapakah?”
Giok Ciu memandang lagi tapi tidak berani menentang mata Sin Wan terlalu lama. “Kau tidak mempunyai perasaan... malu kepadakukah?”
“Mengapa aku mesti malu-malu kepadamu? Bukankah kau ini sahabatku yang baik, kawan sependeritaan ketika kita terjeblos dalam jurang dan akhirnya keluar dari sumur itu?”
Untuk sejenak gadis itu memandang heran, kemudian tiba-tiba saja sikapnya yang malu-malu itu lenyap dan ia berubah menjadi seperti biasa, bahkan gembira sekali seakan-akan ada sesuatu yang tadinya mengganjal di dalam hatinya telah disingkirkan.
“Sin Wan, kau tentu sudah maju sekali dalam ilmu silat, bukan?”
“Ah, belum tentu semaju engkau!”
“Hayo, kita mencoba kepandaian kita, boleh?” ajak Giok Ciu gembira.
Sin Wan geleng-gelang kepala. “Sebenarnya aku tergesa-gesa sekali, Giok Ciu.” Katanya perlahan dan tiba-tiba lenyap kegembiraannya karena ia teringat akan Ibu dan Kakeknya yang mungkin diancam bahaya dan bencana besar.
Melihat betapa pemuda itu kehilangan seri wajahnya dan keningnya tampak berkerut seperti orang bingung dan susah, gadis itu menjadi heran dan buru-buru bertanya,
“Sin Wan, apakah yang terjadi? Kau agaknya bingung, apakah yang menyusahkanmu? Katakan padaku, aku pasti akan membantumu!”
Melihat sikap gadis yang sangat memperhatikan padanya itu, hati Sin Wan terhibur dan ia merasa berterima kasih sekali. Ternyata gadis ini sama sekali tidak berubah, bahkan lebih baik dan setia kawan. Karena ini ia lalu ceritakan dengan sejelasnya apa yang telah terjadi, yakni tentang pengeroyokan yang terjadi atas diri Kakeknya dan betapa Kakeknya telah memberi hajaran kepada rombongan tentara itu, tapi kini telah datang ancaman bahaya baru yang sangat mengkhawatirkan.
“Karena itulah maka aku tidak dapat lama-lama berada disini, Giok Ciu, karena mungkin sekali tenaga bantuanku dibutuhkan sangat oleh Kakekku. Aku harus kembali sekarang juga!”
“Sebetulnya aku harus menyesal karena kau tak pernah mengunjungi kami dan sekarang begitu datang kau hendak pergi lagi. Tapi urusan di kampung itu memang gawat sekali. Tidak saja kau harus lekas pulang, bahkan akupun akan menyertai kesana. Kita lebih baik sama-sama menghajar orang-orang kurang ajar itu!”
Sin Wan pandang gadis itu dengan heran, hatinya girang seklaik tapi ia ragu-ragu. “Ah, Giok Ciu, apakah kau tidak akan dimarahi Ayahmu? Betapapun juga kau harus memberi tahu lebih dulu kepada Kwie Pekhu!”
“Untuk urusan sepenting ini, aku boleh pergi tanpa pamit. Apa pula untuk membela Ibumu dan Ayahmu adalah kewajibanku yang terutama! Biarlah aku meninggalkan surat saja untuknya agar kalau telah pulang ia bisa segera menyusul kita.”
“Kau maksudkan... Kwie Pekhu juga akan ke sana membantu kami?” tanyanya girang sekali.
“Mengapa tidak? Ia pasti akan menyusul kita.” Giok Ciu lalu cepat ambil alat tulis dan menulis surat pemberitahuan untuk Ayahnya di atas meja dalam kamar Ayahnya.
“Hayo kita pergi,tapi kau harus makan dulu. Bukankah kau tadi belum makan? Jangan kita nanti kelaparan lagi dijalan seperti dulu.” Kata gadis itu menimbulkan kegembiraan lagi di dalam hati Sin Wan.
“Tak usah, Giok Ciu, kalau ada kue, kau bawa kue saja, kita makan di jalan nanti.”
Giok Ciu tidak membantah lalu mereka berangkat dengan lari cepat. Sin Wan sengaja lari cepat sekali dan sekuat tenaganya, tapi ternyata ilmu lari cepat gadis itu tidak berada dibawh tingkatnya hingga ia menjadi kagum dan girang. Ketika tiba di jurang yang lebar, dimana dulu mereka meloncatinya dengan bantuan pohon dan tambang, mereka loncati begitu saja dengan tidak terlalu sukar. Giok Ciu dengan gembira menunjuk ke sebuah batu karang yang tinggi dan runcing sambil berkata,
“Sin Wan, lihat di sana itu, masih ingatkah kau?”
Sin Wan memandang dan melihat sebuah benda panjang keputih-putihan menggantung dari puncak karang. Ia ingat bahwa itu adalah tali tambang yang dulu ia pakai untuk meloncati jurang itu. Ia menghela napas dan berkata,
“Alangkah cepatnya waktu berjalan. Tiga empat tahun telah lalu dan tali itu masih tergantung di situ hingga kalau kita pergi berdiri di sini, seakan-akan peristiwa itu baru terjadi kemarin. Dan kitapun tak terasa pula sudah bukan kanak-kanak lagi, sudah setengah dewasa!”
“Kenapa dalam beberapa tahun itu kau atau Kong-kong tak pernah datang menengok kami? Tadinya kukira kalian sudah lupa!” Gadis itu berkata sambil cemberutkan bibirnya, tapi dalam pandangan Sin Wan malahan tampak lebih manis.
“Kakekku selalu sibuk mengajar silat padaku, sedangkan kalau aku hendak pergi sendiri, Ibu selalu melarangku setelah terjadi aku hilang dua hari dulu itu!” Giok Ciu padang wajah Sin Wan dengan iri hati.
“Ah, kau memang beruntung, mempunyai seorang Ibu menyayangimu.” Dan mata gadis itu menjadi merah.
Tapi Sin Wan segera menghiburnya. “Tapi aku tidak mempunyai Ayah seperti kau. Keadaan kita sama. Giok Ciu, jangan kau bersedih. Biarlah kau anggap Ibuku seperti Ibumu sendiri.”
Tiba-tiba sikap Giok Ciu berubah dan ia lari menjauhi Sin Wan. Pemuda itu terheran dan tunda larinya, hingga Giok Ciu yang tidak kenal jalan terpaksa berhenti juga, agak jauh dari tempat Sin Wan berhenti.
“Giok Ciu, kau kenapakah? Marahkah kau?”
Giok Ciu memandangnya dengan tajam seakan-akan hendak membaca isi hatinya. Kemudian gadis itu tampak tenang kembali dan bersikap biasa. “Tidak apa-apa, hanya aku tadi terharu mendengar bahwa aku harus menganggap Ibumu seperti Ibuku sendiri. Alangkah baiknya, dan kau juga menganggap Ayahku seperti Ayahmu sendiri.”
“Ya, begitulah lebih baik,” kata Sin Wan sambil tunduk dan tidak tahu betapa Giok Ciu memandang padanya dengan mata setengah terkatup hingga sepasang mata yang bening itu mengincar dari balik bulu matanya yang panjang dan lentik.
“Marilah kita percepat perjalanan ini agar segera sampai dirumah,” kata Sin Wan.
“Apakah kau tidak lapar? Ini, makanlah kue ini.”
Gadis itu keluarkan sepotong kueh kering dari saku bajunya, dan mereka lalu makan kuih itu. Hal ini membuat mereka teringat lagi akan peristiwa dulu didalam jurang, dimana mereka juga makan kue kering bekal Sin Wan.
Setelah makan dan minum air gunung yang jernih, dingin, dan segar mereka lalu berangkat pula. Perjalanan kali ini berbeda dengan ketika Sin Wan berangkat dari rumah, karena dengan berdua mereka merasa gembira dan lebih menikmati pemandangan di kanan kiri. Tamasya alam yang tadi ketika berangkat tidak diindahkan, bahkan tidak terlihat oleh Sin Wan.
Kini nampak bagus dan menarik sekali hingga beberapa kali ini ia dan Giok Ciu berhenti untuk menikmati pemandangan indah itu beberapa lama. Dari perjalanan ini maka terbuktilah kekuatan dan keuletan tubuh Sin Wan. Pemuda itu boleh dibilang sehari penuh terus berlari cepat dan hanya berhenti sebentar, tapi ia sama sekali tidak merasa lelah!
Karena sering berhenti, maka ketika mereka tiba di kampung Sin Wan telah mulai senja. Matahari telah sembunyi di balik puncak Kam-Hong-San dan keadaan telah sunyi senyap karena burung-burung telah kembali ke sarang mereka dan beristirahat setelah sehari penuh beterbangan mencari makan. Beberapa ekor burung kuntul yang berbulu putih terbang tergesa-gesa di bawah mega, gerakan sayap mereka perlahan tapi kuat hingga tubuh mereka meluncur maju bagaikan anak panah terlepas dari busurnya.
“Sin Wan kenapa kampungmu begini sunyi?” tanya Giok Ciu dengan heran ketika mereka mulai masuk perkampungan itu.
Sin Wan tak menjawab, tapi ia sendiri juga heran sekali. Tiba-tiba telinga mereka dapat mendengar suara tangis sedih yang tertahan-tahan, agaknya orang-orang menangis tapi karena takut maka tidak berani menangis keras. Sin Wan terkejut dan ia memegang lengan Giok Ciu sambil berkata,
“Hayo cepat, Giok Ciu!”
Gadis itu merasa betapa tangan Sin Wan yang memegang lengannya sangat dingin! Maka hatinyapun berdebar karena menyangka sesuatu yang tidak beres. Dan apa yang tampak oleh mereka sungguh mengerikan! Ketika mereka tiba di depan rumah Sin Wan, tampak tubuh-tubuh malang melintang di atas tanah yang telah menjadi merah karena aliran darah dari para korban itu.
“Sin Wan, apakah yang terjadi?” Giok Ciu dengan wajah pucat pegang lengan pemuda itu, tapi bagaikan orang kalap Sin Wan mengkipaskan tangan Giok Ciu dan meloncat masuk ke dalam rumahnya sambil berteriak-teriak,
“Ibu...! Kakek…!”
Giok Ciu cepat mengikut pemuda itu dan meloncat masuk ke dalam pintu yang terpentang lebar. Dan ketika ia masuk kedalam, ia melihat Sin Wan telah berlutut dan memeluki tubuh Ibunya yang menggeletak mandi darah! Juga Kakeknya rebah dengan lengan kanan putus dan tidak ingat orang!
“Ibu... Kong-kong...” Giok Ciu berbisik perlahan dan ia merasa betapa seluruh tubuhnya menggigil.
Sin Wan seperti orang gila. Ia menangis tanpa mengeluarkan suara, hanya kedua matanya melotot lebar dan dari pelupuk matanya mengalir air mata berbutir-butir membasahi pipinya. Ia angkat kepala Ibunya dan dipangkunya kepala yang lemas itu, di dekapnya muka Ibunya pada dadanya dan diciuminya jidat yang halus putih dan pucat itu. Kemudian, lama sekali, barulah Sin Wan dapat berbisik, suaranya tenggelam dalam kerongkongannya
“Ibu... Ibu… bangunlah, Ibu… bukalah matamu, aku datang, Ibu... aku Sin Wan anakmu…”
Giok Ciu melihat keadaan pemuda itu dan mendengar ratap tangisnya, hanya bisa mencucurkan air mata dari belakang ia pegang lengan Sin Wan. Hatinya ingin menghibur, tapi tak sepatah kata-kata dapat keluar dari mulutnya. Tiba-tiba ia melihat Ibu Sin Wan menggerak-gerakkan kulit matanya.
“Sin Wan, lihat Ibumu siuman.” Bisik Giok Ciu.
Sin Wan pandang wajah Ibunya dan harapan timbul dalam hatinya. “Ibu… bangunlah, Ibu...” ratapnya dan ia mencoba untuk mengangkat tubuh Ibunya, tapi tiba-tiba nyonya itu merintih kesakitan sehingga terpaksa Sin Wan menunda maksudnya dan ia baringkan kepala Ibunya di atas pangkuannya.
Nyonya yang bernasib malang itu buka pelupuk matanya dan ia tersenyum ketika melihat Sin Wan. “Syukur… kau… kau selamat, Sin Wan…” katanya perlahan.
“Ibu, bagaimana kau bisa berkata begitu? Kau... ah, siapakah yang melakukan ini, Ibu? Siapa? Katakanlah, hendak kubeset menjadi dua tubuhnya!”
“Siapa lagi, anakku... Kalau bukan orang-orangnya… Kaisar... lalim...” Ibu Sin Wan melirik ke arah gadis yang berada di belakang Sin Wan dan ikut mengalirkan air mata itu. Wajahnya yang sudah menyuram tiba-tiba berseri dan berbisik,
“Sin Wan... inikah... Giok Ciu...?”
“Betul, Ibu,” jawab Giok Ciu sambil mendekat. Ibu Sin Wan masih kuasa mengangkat lengan kanannya untuk meraba-raba muka dan rambut Giok Ciu, agaknya ia puas sekali.
“Kau... cantik… dan… baik, bahagialah kau dengan… anakku…”
Giok Ciu tak kuasa menahan keharuan hatinya, ia hanya mengangguk-angguk sambil menciumi tangan yang membelainya itu.
“Sin Wan... jagalah baik-baik dia ini… dia ini calon isterimu… tanda perjodohannya... Sepatu kecil... kusimpan di peti pakaianku... Sin Wan... Giok Ciu... Aduh!” Dan Nyonya yang telah kepayahan karena kehabisan darah yang mengalir dari lukanya itu menjadi lemas dan napasnya berhenti!
“Ibu…! Ibu…!!” Sin Wan menjerit dan kedua matanya jelalatan bagaikan mencari-cari sesuatu. Kemudian ia turunkan kepala yang dipangkuannya perlahan, lalu ia loncat berdiri dan memburu ke depan. “Siapa yang membunuh Ibuku? Siapa?? Hayo keluar!!” Kemudian, karena yang dilihatnya hanya mayat-mayat orang kampung bergelimpangan, ia lari lagi ke dalam dan tubruk mayat Ibunya.
“Ibu... Ibu...! Mana Kong-kong, mana...? Kong-kong… dimana kau?” Sin Wan benar-benar seperti orang gila hingga ia tidak melihat Kong-kongnya yang menggeletak tak jauh dari situ.
Giok Ciu sambil menangis lalu memegang tangan Sin Wan dan berkata, “Sin Wan, tenanglah, Kong-kong ada disini, lihatlah...!”
Sin Wan menengok ke bawah dan ketika melihat tubuh Kakeknya membujur di situ mandi darah, ketegangan di wajahnya lenyap seketika. Ia menubruk Kong-kongnya dan mengangkat kepala yang sudah putih itu.
“Kong-kong! Kau juga menjadi korban? Kong-kong… katakanlah siapa yang melakukan ini, siapa??”
Ia menggoyang-goyang tubuh Kong-kongnya yang sudah lemas itu. Agaknya nyawa Kakek itu belum meninggalkan raganya, karena memang orang tua itu kuat sekali dan telah mempunyai latihan tenaga dalam yang luar biasa. Maka dalam keadaan yang bagi orang lain sudah tak mungkin dapat mempertahankan lebih lama itu karena selain lengannya yang kanan terpotong sebatas pundak, juga ia mendapat luka-luka di dada dan perutnya, ia masih dapat membuka matanya. Mata itu memandang kepada Sin Wan dengan tajam dan dengan paksaan tenaganya yang terakhir ia berkata dengan suara parau seakan-akan bukan suara manusia lagi.
“Sin Wan... yang melakukan ini ialah... Suma Cianbu dan Siauw-San Ngo-Sinto...!”
Kepala yang tadinya menegang itu lalu terkulai lemas dalam pelukan Sin Wan, tanda bahwa hayatnya telah meninggalkan tubuh! Sin Wan lepaskan kepala itu kebawah, lalu tiba-tiba ia betot suling bambu yang terpegang di tangan kiri Kakeknya, kemudian dengan geraman hebat Sin Wan meloncat keluar bagaikan seekor naga mengamuk!
Pemuda itu tidak ingat apa-apa lagi, yang diingat hanya dendam kepada musuh-musuhnya! Ia tiba diluar dan matanya memandang jelalatan ke sana ke mari. Tiba-tiba ia meloncat ke samping ketika merasa betapa pundaknya dijamah orang dengan perlahan dari belakang. Sambil meloncat ia mengayun suling ke arah orang yang menjamahnya itu hingga Giok Ciu cepat berkelit dengan kaget sekali.
“Sin Wan, ingatlah, ini aku, Giok Ciu!” kata gadis itu sambil bertindak maju dan memegang lengan Sin Wan, “Sin Wan, begini lemahkah hatimu? Beginikah sikap seorang jantan yang gagah perkasa? Kau boleh marah dan sakit hati, tetapi kau tidak tahu dimana adanya musuh-musuhmu. Apakah kau telah melupakan jenazah Ibu dan Kakek? Apakah mereka itu tidak harus diurus lebih dulu dan dibiarkan saja? Ah, Sin Wan... Sin Wan...”
Tubuh Sin Wan yang tadinya menegang dan matanya yang liar dan ganas itu melembut. Suling yang dicengkeram dalam tangannya terlepas dan jatuh di tanah tanpa terasa. Kemudian ia lari dengan tubuh lemas ke dalam rumah. Melihat mayat Kong-kongnya ia lalu berlutut dan sambil memandang wajah Kakeknya itu dan ia meratap dan menyesali Kakeknya.
“Kong-kong, kenapa kau suruh aku pergi? Kenapa? Kau sengaja menyuruh aku menyingkir. Aku tahu... Aku tahu...! Kong-kong, apa kau sangka aku penakut? Apa kau sangka aku takut mati? Ah, Kong-kong. Kalau saja aku tidak pergi... Kong-kong… kau bikin aku selamanya akan menyesali saat kepergianku itu... Kau bikin aku menjadi penasaran selalu...” Kemudian, sambil menyusut air mata dengan ujung baju, pemuda tanggung yang mengalami nasib buruk itu menubruk mayat Ibunya.
“Ibu... Ibu... anakmu tidak berbakti! Kau... kau diserang musuh, dilukai, dibunuh... sedangkan aku... anakmu... Pergi dan bergembira di luar! Ibu ampunkan anakmu, Ibu... aku bersumpah, sebelum dapat membunuh orang-orang terkutuk itu, aku tidak mau menyebut namaku kepada orang lain…”
Kemudian Sin Wan menangis lagi sambil berlutut di dekat mayat Ibunya. Ia pukul-pukulkan kepalanya di atas lantai hingga terluka dan kulit jidat itu mengeluarkan darah! Demikian besar rasa penyesalannya telah pergi hingga Ibunya dibunuh orang pada saat ia tidak berada di situ, maka karena menyesal ia bentur-benturkan jidat di lantai dan akhirnya sambil memekik keras ia roboh pingsan di atas dada Ibunya!
Semenjak tadi, Giok Ciu tak berdaya dan hanya ikut menangis. Ia adalah seorang yang keras hati, tapi menghadapi pemandangan demikian mengerikan dan mengharukan, ia tak dapat menahan mengucurnya ia mata dan rasa iba hati yang luar biasa sampai menyakitkan dadanya. Ia merasa iba sekali sekali melihat Sin Wan, pemuda tunangannya yang sebelum diberi tahu oleh Ibunya tidak mengerti bahwa Giok Ciu adalah tunangannya!
Giok Ciu sendiri telah diberi tahu oleh Ayahnya, bahkan suling kecil pemberian Kang Lam Ciuhiap telah diserahkan kepadanya untuk disimpan. Inilah sebabnya maka ketika bertemu dengan Sin Wan, ia meraa malu sekali dan kikuk. Tapi, kemudian dapat diterkanya bahwa pemuda itu agaknya belum tahu akan pertunangan mereka, maka lenyaplah rasa malunya terhadap Sin Wan. Hal ini membuat kegembiraannya timbul dan ia bisa bergaul lebih bebas dengan pemuda itu. Tapi, tidak disangkanya sama sekali, musuh telah mendahului mereka dan telah mengamuk demikian kejamnya!
Kini melihat betapa Sin Wan jatuh pingsan, Giok Ciu merasa makin bingung dan ia merasa hatinya seperti diremas-remas! Ia lari keluar dan masuk ke dalam rumah terdekat. Di dalam rumah itu terdapat dua orang wanita tua dan muda saling peluk dengan tubuh gemetar, dan ditengah-tengah mereka ada tiga anak-anak kecil. Ternyata mereka masih ketakutan. Alangkah kaget mereka ketika da orang masuk ke rumah, mereka sangka bahwa tentara-tentara yang kejam itu masih berada di luar. Tapi Giok Ciu berkata dengan halus,
“Encim dan cici, jangan takut-takut, musuh telah pergi semua. Marilah kau bantu aku untuk memberi tahu semua tetangga. Suruh mereka keluar dan menolong kawan-kawan kita.”
Maka berdirilah kedua wanita itu dan sebentar saja mereka berdua pergi ke rumah-rumah para tetangga. Semua orang keluarlah berbondong-bondong dan tangis dan pekik saling menyusul ketika mereka melihat mayat-mayat bergelimpangan. Masing-masing keluar lalu mengangkat korban-korban yang masih menggeletak di luar dan menggotong tubuh-tubuh itu ke rumah masing-masing. Giok Ciu dengan bantuan beberapa orang lalu mengurus kedua jenasah Ibu Sin Wan dan Kang Lam Ciuhiap Bun Gwat Kong.
Sedangkan Sin Wan setelah siuman, hanya duduk bengong menghadapi kedua mayat orang-orang tercinta itu. Selama hidupnya ia hanya kenal Ibu dan Ayahnya, dan kini tiba-tiba saja kedua orang tua itu tinggalkan dia dalam cara yang demikian menyedihkan! Sementara itu Giok Ciu mendengarkan keterangan yang diberikan oleh orang-orang kampung yang tidak menjadi korban keganasan gerombolan kaki tangan Kaisar.
Ternyata pada kira-kira tengah hari tadi, sebarisan tentara berkuda dan bersenjata lengkap menyerbu kampung itu, dipimpin oleh Suma Cianbu dan lima orang gagah, yakni Siauw-San Ngo-Sinto atau Lima Golok Malaikat dari Gunung Siauw-San. Mereka hendak menangkap Kang Lam Ciuhiap Bun Gwat Kong, tapi Kakek yang gagah perkasa itu melawan hebat. Pertempuran seru terjadi dan orang-orang kampung yang jujur dan setia kawan ketika melihat betapa empek itu dikeroyok, lalu maju membantu.
Tapi mereka bukanlah tandingan para tentara yang terlatih hingga sebentar saja belasan orang roboh mandir darah. Kang Lam Ciuhiap dengan senjata suling mengamuk bagaikan seekor naga sakti. Seorang pemuda yang berhasil menonton pertempuran itu sambil bersembunyi, menuturkan berikut.
Rombongan penyerbu itu terdiri dari dua puluh anggauta tentara dibawah pimpinan seorang tinggi besar yang brewokan dan mengaku bahwa Suma Cianbu, yakni kapten Suma. Kapten Suma itu bersenjatakan sepasang pedang. Di antara mereka terdapat lima orang Tosu atau Pendeta yang semua berbaju kuning dan rambutnya diikat ke atas. Mereka ini langsung menuju ke rumah Kang Lam Ciuhiap. Kakek yang gagah itu dengan tenang dan sedikitpun tidak jeri menyambut kedatangan mereka di luar rumahnya.
“Ha ha ha! Kang Lam Ciuhiap! Sungguh aku beruntung sekali karena ternyata kau masih hidup hingga memberi kesempatan kepadaku untuk membunuhmu!” kata Kapten Suma itu sambil meloncat turun dari kudanya.
“Memang benar kata-katamu bahwa aku masih hidup, Suma Cianbu. Tapi tentang membunuh itu masih merupakan teka-teki siapa tahu, barangkali akulah yang akan berhasil membunuhmu.”
“Hm, orang she Bun! Kau seorang yang berdosa tetapi masih berani membuka mulut besar!” menegur seorang diantara kelima Tosu itu. “Tahukah kau akan dosa-dosamu?”
Kang Lam Ciuhiap memandang ke arah Tosu itu dengan pandang mata menghina. “Bukankah aku berhadapan dengan Siauw-San Ngo-Sinto yang terkenal? Kenapa kalian orang-orang pertapa meninggalkan tempat pertapaan dan bersatu dengan anjing-anjing penjilat Kaisar ini? Apakah kalian juga telah diberi makanan lezat?"
Marahlah Tosu tertua mendengar sindiran ini. “Bun Gwat Kong! Ajalmu telah berada di depan mata, kau masih berani menghina orang! Kau telah memberontak dan membunuh banyak pembesar-pembesar negeri, mengikuti jejak anak mantumu yang juga menjadi pemberontak! Apakah dosa ini tidak terlalu besar dan kejam sehingga terpaksa kami turun gunung untuk menghajarmu?”
“Sudahlah, sudahlah… kalau negeri sedang kacau, memang selalu muncul tikus-tikus seperti kalian. Ternyata hanya namanya Siauw-San Ngo-Sinto besar, tapi orang-orangnya tak berjiwa bersih!”
Kelima Tosu itu dengan marah lalu mencabut golok masing-masing. Golok mereka kecil dan panjang tapi gemerlapan karena tajamnya. Kemudian mereka maju mengepung Kang Lam Ciuhiap yang hanya bersenjatakan suling bambu di tangan!
Maka terjadilah pertempuran yang luar biasa serunya! Dengan suling bambunya Kang Lam Ciuhiap ternyata dapat bertahan dan melindungi dirinya dari serangan-serangan maut yang berpancaran dari golok kelima lawannya. Melihat betapa orang tua gagah itu dalam berpuluh jurus belum juga dapat dirobohkan, Suma Cianbu sendiri maju dengan sepasang pedang atau siang-kiamnya.
Dan kini Kakek itu mulai sibuk dan terdesak hebat, karena kepandaian kapten ini tidak dibawah seorang dari para Tosu-Tosu itu. Akan tetapi, Kang Lam Ciuhiap benar-benar meperlihatkan bahwa nama besarnya bukanlah kosong belaka. Ia mengamuk bagaikan seekor naga terluka. Beberapa orang anggauta tentara yang mencoba untuk mengeroyoknya dan berusaha mencari pahala telah roboh dibawah totokan sulingnya.
Tapi musuh terlalu banyak dan Kalng-lam Ciuhiap telah mendapat beberapa luka dibadannya. Kemudian terdengar jerit ngeri dari dalam rumah dan Kakek itu yang mengenal jerit anak perempuannya, segera berseru nyaring dan ia meloncat ke dalam rumah, di kejar oleh lawan-lawannya. Alangkah kaget Kakek itu ketika melihat betapa anaknya telah roboh mandi darah dan di dekatnya berdiri soerang anak buah rombongan itu sambil memegang goloknya yang berlumuran darah.
Dalam marahnya Kang Lam Ciuhiap mengayun sulingnya dan pembunuh anaknya itu robohlah sambil berteriak ngeri, tapi Kang Lam Ciuhiap masih belum puas. Ia kerjakan kedua kakinya dan sulingnya untuk memukul dan mendendang sehingga orang itu andaikata mempunyai sepuluh nyawa tentu kesepuluh nyawanya juga akan terbang pergi meninggalkan raganya!
Akan tetapi pada saat itu Suma Cianbu dan kelima Tosu yang lihai telah masuk rumah pula dan dalam keadaan terdesak di tempat sempit itu akhirnya robohlah Kang Lam Ciuhiap Bun Gwat kong, Kakek yang gagah perkasa itu!
Sementara itu, orang-orang kampung yang melihat betapa Bun didatangi penyerbu-penyerbu lalu bersiap dan berusaha membantu. Akan tetapi mereka bukanlah lawan para anggota tentara pemerintah asing yang telah terlatih dan sebentar saja belasan orang dapat dirobohkan dan yang lainnya lari bersembunyi. Maka sebentar saja penuhlah pekarangan rumah keluarga Bun dengan tubuh-tubh luka dan mayat bergelimpangan. Pemandangan yang mengerikan sekali!
Setelah menjatuhkan malapetaka dikampung itu, rombongan Suma Cianbu segera meninggalkan kampung itu sambil membawa beberapa orang yang telah terbinasa oleh Kang Lam Ciuhiap dalam amukannya tadi...