KISAH SEPASANG NAGA JILID 09
Pek Liong Kiam-Sut gerakannya gagah dan kuat, tetapi gerakan-gerakan yang lurus itu mengandung bermacam-macam tenaga dan tipu gerak tak terduga. Sebaliknya Ouw Liong Kiam-Sut gerakannya lincah dan gesit sekali, membingungkan lawan karena banyak sekali pecahan dan gerak tipunya.
Sinar pedangnya tajam pendek-pendek tetapi berubah-ubah mengacaukan pertahanan lawan. Akan tetapi, kedua sifat ilmu pedang ini setelah kini dimainkan bersama dan dipakai untuk saling serang, ternyata kedua duanya gagal dan tak berdaya, seakan-akan keduanya telah saling kenal baik gerakan masing-masing. Kalau Pek Liong Kiam-Sut diumpamakan senjata tajamnya maka Ouw Liong Kiam-Sut adalah sarungnya!
Giok Ciu penasaran sekali dan ia mengeluarkan gerakan terhebat dari Ouw Liong Kiam-Sut, namun sia-sia, karena Sin Wan tahu belaka kemana dan bagaimana ia hendak menyerang. Memang hal ini tidak aneh kalau dipikirkan bahwa kedua ilmu pedang ini berasal dari satu cabang, yakni Sin-Liong Kiam-Sut, dan mereka telah mempelajari Sin-Liong Kiam-Sut sampai hafal benar.
Sedangkan Pek Liong Kiam-Sut dan Ouw Liong Kiam-Sut sebenarnya belum mereka kuasai seluruhnya. Karena sebetulnya mereka belum tamat mempelajari kedua ilmu pedang ini, dan sebelum mereka dapat menguasai dengan sempurna, keburu datang perisitiwa di luar sumur sehingga mereka disuruh turun gunung!
Setelah lelah berlatih, keduanya berhenti dan menyimpan pedang masing-masing, lalu duduk beristirahat di aas rumput sambil menikmati angin gunung yang sejuk. Dan aneh sekali, karena latihan itu, di dalam lubuk hati masing-masing timbul rasa tidak puas karena terhadap masing-masing mereka merasa tidak berdaya.
Lebih-lebih Giok Ciu, gadis ini merasa mengapa kepandaian yang dimilikinya menjadi tidak berarti kalau melayani Sin Wan. Kalau saja ia kalah atau menang, ia akan merasa puas, tetapi ia kini menjadi penasaran dan tidak puas. Kalah tidak, menangpun bukan! Juga ia tidak dapat menentukan, pedang mana yang lebih baik atau lebih ampuh!
“Koko, aku merasa heran sekali, Agaknya ilmu pedang yang kita pelajari ini tidak seberapa hebat.”
Sin Wan memandang jauh dengan termenung, lalu menjawab, “Aneh, moi-moi, akupun merasa mempunyai perasaan begitu. Tapi tidak ingatkah kau ketika terjadi pengeroyokan itu? Kau menggunakan pedang dan sebentar saja kau dapat merobohkan lawanmu!”
Giok Ciu teringat dan kekecewaannya agak berkurang. “Kau benar, Koko. Tapi anehnya, menghadapi ilmu pedangmu, kepandaianku tiada gunanya sama sekali!”
Sin Wan melirik sambil tersenyum. “Kau ini aneh, moi-moi. Kau kan tidak mempelajari Ouw Liong Kiam-Sut untuk digunakan menyerang aku? Ketahuilah, aku sendiri merasa betapa pedangku sama sekali tak dapat menembus pertahanan ilmu pedangmu!”
Setelah beristirahat dan makan buah-buahan yang mereka petik di dalam hutan di lereng bukit, mereka lalu melanjutkan perjalanan mereka dengan cepat.
“Koko, apakah kita pergi ke gedung Suma-Cianbu?”
“Ya, kita langsung menuju ke sana dan membasmi bangsat she Suma lebih dulu!” jawab Sin Wan sambil mengertak gigi karena gemas teringat akan musuh besarnya.
Karena mereka menggunakan ilmu lari cepat, maka dua hari saja mereka telah tiba dikota tempat tinggal Suma-Cianbu. Hari telah menjadi gelap ketika mereka berdua memasuki kota. Maka mereka menanti sebentar sebelum menyerbu ke gedung Suma-Cianbu itu. Setelah hari menjadi gelap, keduanya lagi loncat keatas genteng dan sambil berlari-lari cepat di atas genteng merupakan dua bayangan putih dan hitam, mereka menuju ke gedung yang tinggi dan besar itu.
Tetapi mereka terheran mendapat kenyataan betapa gedung itu sunyi saja dan yang menjaga keamanan hanya empat orang anggauta keamanan yang berjalan mondar-mandir di belakag tembok yang mengurung gedung itu. Didalam gedung sendiri sunyi senyap, hanya dibagian belakang tampak lampu bernyala dan ada suara orang bercakap-cakap.
Bagaikan dua ekor kucing mereka meloncat turun dengan ringan sekali sehingga tidak menerbitkan suara. Ketika dua orang penjaga lewat ditempat mereka bersembunyi, mereka menerjang dan tanpa dapat mengeluarkan teriakan kedua penjaga itu kena tertotok dan roboh pingsan. Demikianlah nasib ke dua penjaga lainnya.
Kemudian Sin Wan Giok Ciu meloncat masuk ke dalam gedung. Alangkah kecewa mereka ketika mendapat kenyataan bahwa gedung itu betul-betul kosong dan tidak ada orangnya, dan yang sedang bercakap-cakap di bagian belakang hanyalah beberapa orang pelayan saja. Para nelayan itu, empat orang tua dan dua orang laki-laki terkejut sekali ketika tiba-tiba tampak dua orang muda yang telah berada dihadapan mereka.
“Jangan takut, kami takkan mengganggu!” Kata Sin Wan kepada mereka yang berlutut, sambil menggigil ketakutan. “Asal saja kalian terangkan di mana adanya Sum-Cianbu dan keluarganya.”
“Taijin, Hujin dan Siocia beserta beberapa orang pelayan dan pengawal telah tiga hari pergi ke kota raja.” Jawab seorang pelayan yag agak tabah.
“Awas, jangan membohong!” Giok Ciu membentak sambil menendang sebuah meja sehingga meja itu terpental dan semua barang di atas meja itu beterbangan.
Mereka takut sekali dan makin pucat wajah mereka. “Tidak… tidak, Lihiap... Kami ti… tidak berani membohong.”
Bukan main rasa kecewa hati Sin Wan dan Giok Ciu. Mereka lalu meninggalkan gedung itu, setelah terjadi pula sedikit pertentangan faham antara Sin Wan dan Giok Ciu. Karena kecewa dan marah, Giok Ciu hampir saja mengangkat tangan dan membunuh semua isi gedung Suma-Cianbu, tetapi Sin Wan segera mencegahnya.
“Moi-moi tak perlu membunuh mereka ini. Mereka tiada sangkut pautnya dengan kedosaan Suma-Cianbu.”
“Tetapi orang-orang yang bekerja kepadanya dan menjadi kaki tangannya bukankah orang baik-baik!” Giok Ciu bersikeras.
“Jangan begitu, moi-moi. Mereka hanyalah orang-orang kecil yang bekerja hanya untuk mencari sesuap nasi. Kalau mereka tidak mengganggu kita, tak perlu kita berlaku kejam terhadap mereka.”
Giok Ciu mendongkol sekali dan mulutnya cemberut, tapi ia tidak membantah lagi, lalu mendahului meloncat ke atas genteng, diikut oleh Sin Wan dari belakang. Malam itu juga mereka meninggalkan kota Wie-Kwan untuk mengejar Suma-Cianbu yang sedang pergi ke kota raja. Jarak antara Wie-Kwan dan kota raja bukanlah dekat dan jika mereka berjalan cepat, maka mereka sedikitnya membutuhkan waktu tiga hari.
“Moi-moi, di kota raja kita harus berlaku hati-hati, karena di sana adalah pusat para pahlawan Kaisar yang berkepandaian tinggi.”
Giok Ciu menahan tindakan kakinya dan menengok, “Ah, jadi kau tiba-tiba merasa jerih dan takut, Koko?” katanya mengandung suara sindiran.
Sin Wan mengerutkan jidatnya dan berkata, “Tidak takut, moi-moi, tapi berhati-hati. Kau kan juga ingin agar pekerjaan kita membalas dendam kali ini jangan sampai gagal, bukan?”
Giok Ciu berkata jumawa. “Hah, apa yang dikuatirkan? Aku tidak takut segala pahlawan anjing itu. Paling-paling kita akan berhadapan dengan Tosu siluman Cin Cin Hoatsu, dan aku seujung rambutpun tidak takut padanya!”
Sin Wan makin heran melihat sikap dan kejumawaan Giok Ciu, karena tidak disangkanya gadis itu akan menjadi sesombong itu. Ia tidak tahu bahwa semenjak dapat mengalahkan para pahlawan yang mengeroyok mereka diluar sumur, didalam hati gadis muda itu timbullah sifat bangga yang besar sehingga membuat ia menjadi jumawa dan menganggap bahwa kepandaiannya telah sampai di puncak kesempurnaan! Karena inilah maka ketika berlatih mengadu pedang dengan Sin Wan, ia menjadi penasaran dan kecewa karena tak dapat menangkan pemuda itu!
Dua hari kemudian mereka tiba di kota Kiong-Kwan yang besar. Kota ini cukup ramai karena letaknya dekat kota raja dan di sini banyak pula tinggal orang-orang berpangkat pangeran. Ketika Sin Wan dan Giok Ciu berjalan perlahan memasuki pintu kota, tiba-tiba dari belakang terdengar suara kaki kuda dan ketika mereka berdiri di pinggir jalan memandang, ternyata yang datang adalah tiga orang tinggi besar yang pandai sekali menunggang kuda. Ketika tiga orang itu lewat di depan mereka, ketiganya menengok dan memandang dengan tajam.
Tapi Sin Wan dan Giok Ciu tidak ambil perduli sama sekali dan melanjutkan perjalan mereka memasuki kota. Giok Ciu tertarik oleh sebuah rumah penginapan yang daun pintu dan tiang-tiangnya di cat merah sehingga nampak indah sekali, maka ia lalu mengajak Sin Wan bermalam di situ saja. Sin Wan tersenyum melihat kegembiraan gadis itu dan menurut saja. Kepada seorang pelayan ia lalu minta disediakan dua kamar.
“Dua kamar ukuran kecil, atau satu saja kamar ukuran besar?” Pelayan yang berlidah tajam dan jenaka itu bertanya sambil melirik ke arah Giok Ciu.
Gadis itu timbul marahnya dan ia membentak, “Tulikah kau? Kami minta dua kamar dan jangan kau banyak cerewet lagi!”
Pelayan itu memandang dengan terkejut dan buru-buru ia menyediakan kamar yang diminta.
“Sabarlah, moi-moi untuk apa meladeni segala macam orang seperti dia?”
“Apa? Justeru orang-orang macam dia itu kalau tidak diberi hajaran tentu selalu akan mengganggu orang!”
Sin Wan hanya tersenyum melihat kegalakan nona ini, karena betapapun juga, jika Giok Ciu sedang marah seperti itu matanya bersinar-sinar, kedua pipinya kemerah-merahan, kulit hidunganya yang tipis kembang-kempis dan bibirnya yang bagus bentuknya itu merengut dan meruncing tetapi menambah manisnya!
Pada saat itu, tiba-tiba dari luar terdengar suara orang berkata-kata dan Sin Wan lalu memberi isarat kepada Giok Ciu. Ketika mereka memandang, ternyata yang datang adalah tiga orang yang berkuda yang tadi bertemu dengan mereka di pintu gerbang kota. Ketika orang itupun memandang kepada mereka dengan tajam, tetapi lalu mereka membuang muka dan memasuki kamar pengurus rumah penginapan.
Sin Wan lalu mengajak Giok Ciu memasuki kamarnya dan ia berkata, “Moi-moi, kurasa tiga orang itu bukanlah orang-orang baik. Mereka agaknya mengikuti kita.”
“Apa? Biar kuhajar mereka sekarang juga!”
“E, e! Sabar, Giok Ciu. Dengan alasan apa kita harus mencari perkara? Biarkan sajalah, tetapi malam ini kita harus berjaga-jaga dan berhati-hati.”
“Menghadapi tiga ekor tikus busuk itu saja mengapa begitu ribut-ribut? Aku malam ini ingin melihat-lihat kota, Koko.”
Sin Wan menyatakan setuju. “Baiklah, kita pergi mencari tempat makan yang paling besar.”
Setelah membersihkan tubuh Sin Wan dan Giok Ciu keluar dari rumah penginapan dan berjalan melihat-lihat kota yang indah dan besar itu. Giok Ciu kagum melihat bangunan-bangunan yang besar dan tinggi. Sungguhpun kedua anak muda itu tampaknya berjalan-jalan dan mengagumi pemandangan kota namun sebenarnya mereka tahu bahwa ada seorang diantara ketiga penunggang kuda sedang mengikuti mereka! Orang itu tinggi dan kurus dan kaki kirinya agak pincang, tapi dipinggang tergantung sebatang pedang yang memakai ronce kuning.
“Kita sikat dia, Koko?” kata Giok Ciu.
Mereka lalu masuk ke dalam sebuah restoran besar dan memesan masakan. Dan alangkah mendongkolnya dan marahnya Giok Ciu ketika melihat betapa si pincang itupun memasuki restoran dan duduk di meja yang dekat dengan meja mereka. Alangkah kurang ajar dan beraninya!
Kalau ia tidak duduk bersama Sin Wan, tentu ia melemparkan meja di depannya kepada orang tinggi kurus itu! Tetapi Sin Wan berkejab kepadanya untuk mencegah gadis itu melakukan sesuatu yang mengacaukan. Untuk melampiaskan marahnya, Giok Ciu berkata,
“Tak kusangka, tiga bangkai tikus yang terserak di sanan tadi tahu-tahu yang seekor terdampar kesini!”
Sambil berkata demikian, ia sengaja memandang si pincang itu dengan mata marah! Tentu saja, kata-katanya ini membuat para tamu restoran memandang heran, sedangkan si pincang itu yang merasa dirinya disindir, tampak jelas menahan-nahan diri untuk tidak memperlihatkan marahnya. Ia hanya balas memandang tajam, lalu menundukkan kepala dan maka hidangan yang dipesannya.
Setelah makan kenyang, Sin Wan dan Gio Ciu sengaja mengambil jalan memutar, melalui jalan yang sunyi. Dan betul saja, si tinggi pincang itu tetap mengikuti mereka. Sin Wan dan Giok Ciu lalu menggunakan ilmu lari cepat, tetapi orang itupun pandai dalam ilmu ini! Hanya saja, kedua anak itu maklum bahwa kepandaian orang itu tidak berapa tinggi.
“Giok Ciu, tentu ada apa-apa yang tidak beres. Mari kita pulang dengan diam-diam kita lihat, mereka itu sebetulnya orang-orang apa dan sedang melakukan apa.”
“Dan tikus ini bagaimana? Aku ingin memberi rasa padanya.”
Sin Wan tersenyum, “Sesukamulah asal jangan terlalu lama.” Giok Ciu lalu membungkuk untuk memungut sepotong batu, lalu ia berhenti dan berteriak,
“He, tikus pincang, jalanmu tidak sedap dipandang karena kakimu pincang sebelah. Biarlah aku tolong kau dan bikin pincang kakimu yang sebelah lagi!”
Tangannya lalu diayun dan batu kecil itu meluncur cepat ke arah pengejar. Si tinggi kurus itu berlaku waspada, tetapi ternyata batu yang menyerangnya lebih cepat lagi. Ia tak sempat berkelit dan tahu-tahu tulang keringnya berbunyi,
“Pletak!” dan ia roboh karena kaki kanannya tiba-tiba lemas dan sakit sekali. Ketika ia merabanya, ternyata tulangnya telah pecah! Ia meringis kesakitan dan diam-diam terkejut sekali melihat kelihaian kedua anak muda itu.
“Masih baik mereka tidak menghendaki jiwaku,” Ia berpikir dan merangkak maju untuk minta pertolongan orang.
Sin Wan dan Giok Ciu lalu meloncat ke atas genteng dan mereka menggunakan kepandaian untuk meloncati rumah-rumah dan cepat menuju ke rumah penginapan. Ginkang mereka sudah demikian sempurna sehingga yang tampak berkelebat hanya dua bayangan putih dan hitam. Setibanya di atas rumah penginapan, mereka bersembunyi di balik wuwungan yang tinggi dan mengintai.
Tiba-tiba tampak bayangan beberapa orang bergerak di atas genteng dan meloncat ke bawah dengan gerakan cukup gesit. Mereka berdua lalu meloncat mendekati dan dengan hati-hati mereka membuka genteng kamar para penunggang kuda itu. Ternyata di dalam kamar yang besar itu telah berkumpul banyak orang dan langkah terkejut mereka melihat bahwa diantara mereka terdapat juga pahlawan-pahlawan Kaisar yang dulu mengeroyok mereka di atas sumur! Mereka mendengarkan dengan teliti.
“Benarkah mereka mengejar Suma-Cianbu?” terdengar seorang berkata. “Kalau begitu, kita harus dapat menangkap mereka sebelum kabur.”
“Tetapi mereka lihai sekali,” berkata seorang yanng dulu mengeroyok Sin Wan.
“Jangan takut, Hek Twako dan Mo Susiok ada disini. Pula, mereka tadi telah diikuti oleh Liu sute. Kita nanti mengepung mereka, masak tak dapat merobohkan dua orang anak muda saja?”
Maka tahulah Sin Wan dan Giok Ciu bahwa kedatangan mereka di gedung Suma-Cianbu telah diketahui oleh orang-orang ini dan tahu pula bahwa orang-orang ini bukan lain ialah para pengawal dan pahlawan kerajaan! Maka Giok Ciu menjadi hilang sabar dan ia tertawa nyaring di atas genteng, sambil memaki,
“Bangsat anjing penjilat Kaisar! Kalau kalian sudah bosan hidup, naiklah ke sini kutunggu!”
Sin Wan terpaksa juga meloncat dan bersiap menanti kedatangan para lawan itu, ia merasa geli tercampur 'Bohwat' atau tak berdaya menghadapi gadis yang pemberani sekali ini. Mendengar kata-kata Giok Ciu, tiba-tiba api lilin di dalam kamar itu ditiup padan tak lama kemudian dari empat penjuru berloncatan naiklah orang-orang dengan senjata tajam di tangan!
Sin Wan melihat bahwa yang naik lebih dari dua puluh orang dan yang terdepan sekali adalah seorang tua yang gerakannya gesit dan seorang pemuda gagah dan bersenjata tombak. Orang tua itu bersenjata sepasang pedang yang tergantung di punggungnya.
“Bangsat pemberontak yang berani mati. Menyerahlah hidup-hidup dari pada mati tertembus pedang,” orang tua itu membentak garang.
Giok Ciu tertawa dan menunjuk ke arah orang tua itu sambil berkata kepada Sin Wan, “Koko, kau lihat baik-baik. Bukankah orang she Mo ini mukanya sama benar dengan tikus tua yang hampir mati kelaparan?”
Sin Wan memandang dan hampir saja ia tertawa geli kalau saja ia tidak ingat bahwa orang tua itu seorang yang berkepandaian tinggi sehingga tidak baik menghinanya, karena sesungguhnya muka yang sempit dan berpotongan tajam, ditambah dengan beberapa lembar kumis dibawah hidunganya itu memang seperti seekor tikus!
Ternyata Giok Ciu menduga tepat, karena memang orang tua itu adalah Mo Hin Cu yang berjuluk Iblis berpedang dua dan termasuk pahlawan Kaisar kelas dua. Ilmu pedangnya telah terkenal dan kepandaiannya masih lebih tinggi dari semua orang yang kini mengepung Giok Ciu dan Sin Wan. Sebagai seorang yang memiliki kepandaian dan kedudukan tinggi, tentu saja Mo Hin Cu marah sekali mendengar ejekan Giok Ciu. Ia mencabut sepasang siang-kiamnya dan menyerang sambil membentak,
“Bangsat pemberontak rendah!” Sepasang pedang di tangan kiri kanannya bergerak, yang kanan menusuk lengan dan yang kiri menyapu pinggang gadis itu!
“Haya...!!” Giok Ciu berkelit mundur sambil mengejek sehingga Mo Hin Cu makin marah dan menyerang lagi.
Kalau dibandingkan, kepandaian orang she Mo ini setingkat dengan kepandaian Song Tat Kin murid Cin Cin Hoatsu yang pernah dijatuhkan oleh Giok Ciu. Memang dulu secara mudah sekali Song Tat Kin dapat dirobohkan oleh gadis itu, tapi hal itu terjadi karena Song Tat Kin tak bersenjata dan tidak pernah menyangka bahwa gadis itu demikian lihai.
Sedangkan kini orang she Mo ini telah dapat menduga bahwa lawannya adalah seorang muda yang memilki kepandaian tinggi, dan di kedua tangannya terdapat sepasang pedang yang telah mengangkat namanya tinggi-tinggi, maka setelah diserang terus, Giok Ciu terdesak juga dan menjadi marah. Sambil berseru keras gadis itu mencabut pokiamnya dan Mo Hin Cu bergidik ketika melihat sinar hitam berkelebat dan menyambarnya dengan mengeluarkan hawa panas mengerikan!
Cepat sekali Mo Hin Cu menggunakan sepasang pedangnya menangkis dengan tipu gerakan Hong-Sauw Pai-Yap atau Angin Sapu Daun Rontok. Maksudnya hendak menggunakan tenaga untuk menangkis dengan keras agar sekali babat saja membuat senjata lawan yang aneh itu terpental. Tetapi alangkah terkejutnya ketika ia merasa betapa kedua siang-kiamnya seakan-akan membacok air dan tahu-tahu yang tinggal di dalam kedua tangannya hanya gagang pedang saja, sedangkan pedangnya sendiri entah telah terbang kemana?
Demikianlah hebat dan ketajaman Ouw Liong Pokiam. Giok Ciu mengeluarkan seruan menghina dan sekali saja ia menyerang, pundak lawannya telah kena terbabat oleh pokiamnya sehingga orang she Mo itu roboh sambil mengeluarkan teriakan ngeri!
Sementara itu orang muda yang bersenjata tombak menyerang Sin Wan, akan tetapi oleh Sin Wan mudah saja dikelit dan anak muda ini balas menyerang dengan tangan kosong. Anak muda bersenjata tombak itu hanya pahlawan kelas tiga saja, mana ia dapat melawan Sin Wan? Dalam beberapa jurus saja, tombaknya telah dapat dirampas dan sekali tekuk dalam tangannya, tombak besi itu menjadi bengkok dan dilemparkan Sin Wan ke bawah genteng. Melihat betapa lihainya kedua anak muda itu, semua pahlawan maju mengeroyok dengan senjata masing-masing.
Sin Wan terpaksa mencabut Pek- Liong Pokiam dan bersama-sama Giok Ciu ia mainkan pedangnya dengan gerakan bergelombang yang hebat. Harus dikasihani para pengeroyok itu, seakan-akan rombongan semut mengeroyok api, begitu mendekat segera tubuh mereka bergelimpangan karena sinar hitam dan putih itu saja sudah cukup membuat mereka roboh!
Akhirnya beberapa orang yang masih belum menjadi korban segera meloncat turun dan melarikan diri dari amukan Sin Wan dan Giok Ciu. Tak lama kemudian datanglah barisan tentara dibawah pimpinan seorang komandan mengurung rumah penginapaan tu.
Sin Wan dan Giok Ciu sudah masuk kembali ke dalam kamar dan berkemas, karena malam ini juga mereka hendak melanjutkan perjalanan. Ketika Sin Wan melihat keluar, ternyata puluhan tentara penjaga keamanan yang datang membantu telah mengurung rumah itu dan semua tamu yang tidur menginap disitu menjadi ketakutan.
“Pemberontak-pemberontak keluar dengan damai!” komandan yang gemuk dan bermuka merah itu berteriak-teriak sambil mengatur barisannya mengurung. Sin Wan tersenyum melihat ini, kemudian setelah beres membungkus pakaian dan lain-lain, ia dan Giok Ciu keluar dari pintu depan dengan tenang!
Para anggota penjaga itu tidak tahu yang manakah pemberontak-pemberontak yang harus ditangkap, maka ketika melihat Sin Wan dan Giok Ciu keluar mereka diamkan saja. Baru setelah seorang pengeroyok yang lari dan kini telah ikut mengepung berteriak,
“Inilah pemberontak-pemberotak itu, serbu!”
Mereka segera bergerak dengan mata memandang heran. Inikah pemberontak-pemberontaknya? Seorang pemuda tampan dan seorang gadis cantik? Komandan muka merah memperlihatkan kegagahannya dan sambil palangkan golok besar ia mencegat Sin Wan dan Giok Ciu.
“Menyerahlah!” bentaknya dengan suaranya yang tinggi kecil.
“Hm, kalian gentong-gentong kosong ini harus diberi hajaran!” Giok Ciu berkata gemas, tetapi Sin Wan mendahului membentak kepada komandan muka merah yang gemuk itu.
“Kau menggelindinglah pergi dari sini!” dan sebelum si gemuk itu tahu apa yang terjadi, tahu-tahu ia merasa tangan pemuda itu yang kuat sekali mendorongnya demikian keras sehingga tidak ampun lagi tubunya terjengkang ke belakang dan bergulingan, betul-betul seperti bola menggelinding!
“Hayo, moi-moi! Buat apa mengotorkan tangan melayani segala tikus rendah.”
Biarpun belum puas, Giok Ciu mengejar Sin Wan yang meloncat naik ke atas genteng dan mereka pergi tinggalkan Kiong-Kwan menuju ke kota raja. Menjelang fajar mereka telah tiba di luar tembok besar kota raja dan di sebuah bukit kecil mereka melihat sebuah Kuil kecil yang mungil. Karena perlu beristirahat sebentar sebelum memulai dengan pekerjaan yang penting itu.
Ternyata itu adalah Kelenteng Kwan-Im-Pouwsat yang dijaga oleh dua orang Pendeta wanita yang telah tua. Kedua Pendeta itu sangat ramah tamah dan mereka menerima kedatangan Sin Wan dan Giok Ciu dengan girang. Kedua anak muda itu memberi hormat kepada patung Kwan-Im, lalu mereka mengaso sambil bersamadhi di ruang belakang.
Setelah matahari pagi menerangi permukaan bumi dan kedua anak muda itu makan bubur hidangan Nikouw tadi, mereka lalu meninggalkan bungkusan uang dan pakaian, dan hanya dengan membekal pedang, mereka berangkat menuju ke pintu gerbang kota raja.
Tetapi ternyata bahwa para penjaga yang mereka pukul kucar-kacir di Kiong-Kwan malam tadi, telah cepat memberi kabar ke kota raja pada malam itu juga sehingga Suma-Cianbu telah bersiap menanti kedatangan mereka!
Hal ini Sin Wan dan Giok Ciu tidak menyangkanya, maka ketika mereka tiba di pintu gerbang mereka kaget melihat banyak orang menghadang di jalan masuk pintu itu. Ketika mereka melihat tegas, ternyata kesemuanya adalah pahlawan Kaisar dan diantaranya terdapat Suma-Cianbu sendiri yang berpakaian perang dengan lengkap! Selain Suma-Cianbu sendiri, di dekat kapten itu terdiri tiga orang Tosu dan seorang perempuan tua berbaju hijau.
Melihat musuh besarnya berdiri di depannya, Sin Wan timbul marahnya dan segera ia mencabut Pek Liong Pokiam sambil membentak, “Bangsat Suma sekarang kau hendak lari kemana?”
Sambil berkata begini ia meloncat menerjang Suma-Cianbu yang cepat menangkis dengan pedangnya, tetapi sekali bentur saja pedang itu patah! Sin Wan melanjutkan pedangnya membabat leher dan Suma-Cianbu berteriak kaget, tetapi pada saat itu, seorang diantara tiga Tosu itu telah maju menolong dengan tongkat bajanya yang berat menusuk perut Sin Wan dengan gerakan Ular Hitam Masuk Lubang! Terpaksa Sin Wan menarik kembali pedangnya dan meloncat berkelit karena jika ia meneruskan serangannya, maka sukar baginya untuk menghindarkan diri dari sodokan tongkat itu.
“Bangsat muda sabar dulu!” Tosu itu membentak, “Siapakah kau berani mengacau ke kota raja? Apakah kau sudah bosan hidup?”
Sin Wan tersenyum dan membalas memaki, “Hm, hm, kau bangsat berjubah Pendeta. Agaknya kaupun bukan orang baik-baik. Ketahuilah, aku adalah Bun Sin Wan dan kedatanganku hendak membalas dendam orang tuaku kepada bangsat she Suma ini. Kalian tiada permusuhan dengan aku, maka lebih baik mundurlah. Tetapi kalau hendak membela bangsat ini, akupun tidak takut!”
Tiba-tiba terdengar suara perempuan tua baju hijau itu berkata, “Cianbu, apakah ini anak pemberontak itu?”
Suma-Cianbu mengangguk. “Benar, Toanio. Inilah anak pemberontak itu.”
Wanita itu lalu menunding dan berkata, “Anak muda, kau lebih baik menyerah saja, mungkin dosa-dosamu dapat diperingan. Kau mengandalkan apakah berani melawan kami?” Sikap wanita ini jumawa sekali sehingga menimbulkan marahnya Giok Ciu.
“Eh, kau ini siluman perempuan darimakah begitu sombong?” bentaknya.
Wanita baju hijau itu memandang kepada Giok Ciu dengan tersenyum mengejek. “Kau anak kemarin sore sudah berani unjuk gigi. Ketahuilah nenekmu ini ialah Liong-San Kui-Bo! Hayo lekas kau berlutut di depanku.”
Wanita itu agaknya mengira bahwa Giok Ciu tentu pernah mendengar namanya yang tersohor dan menjadi jerih. Tidak tahunya, tidak saja Giok Ciu memang belum pernah mendengar julukan yang berarti Biang Hantu dari Liong-San itu, bahkan andaikata sudah mendengarpun, gadis yang bernyali besar sekali pasti takkan merasa takut. Mendengar kata-kata Liong-San Kui-Bo, ia bahwa tertawa merdu dan nyaring, lalu berkata,
“Jadi kaukah si Biang Hantu? He, anakku, kalau begitu kau harus berlutut tiga kali di depanku. Ketahuilah, aku ini ialah Nenek Moyang Biang Hantu! Hayo kau lekas berlutut!”
Tentu saja Liong-San Kui-Bo menjadi marah sekali. Ia berpaling kepada ketiga Tosu itu lalu berkata, “Toyu sekalian, mari kita bikin mampus dua anak kurang ajar ini!”
Sehabis berkata demikian, perempuan tua baju hijau itu lalu mencabut keluar sepasang pedangnya dan langsung menyerang Giok Ciu dengan hebat. Giok Ciu terkejut melihat betapa gerakan perempuan itu ganas dan cepat sekali, tapi ia tidak takut dan sambil berloncatan menyingkiri serangan lawan, ia mencabut Ouw Liong Pokiam.
Kini Liong-San Kui-Bo yang kaget karena tiba-tiba ia merasa sambaran pedang hitam yang ganas itu. Ia tahu bahwa pedang gadis itu adalah sebuah pokiam yang sangat ampuh, maka ia tidak berani beradu pedang. Ia hanya menggunakan kiam-hwatnya yang memang indah dan cepat itu untuk mengurung Giok Ciu. Tapi ia tidak tahu bahwa disamping Kiam-Sutnya, yakni Sin-Eng Kiam-Sut yang lihai, masih banyak ilmu pedang yang lebih hebat lagi, dan diantaranya yang terlihai adalah Ouw Liong Kiam-Sut!
Maka ketika Giok Ciu mulai menjalankan ilmu pedangnya, sebentar saja ia menjadi sibuk menangkis sambil mundur. Tosu termuda diantara ketiganya, yakni Liang Ging Tosu segera maju membantu. Sedangkan yang dua, Liang Gwat Tosu dan Liang Hun Tosu, maju menyerang Sin Wan dengan tongkat mereka yang berat dan kuat.
Pertempuran makin ramai ketika beberapa orang pahlawan yang memiliki kepandaian tinggi juga mengurung mereka. Tapi pedang-pedang mustika itu dimainkan oleh Sin Wan dan Giok Ciu demikian hebat sehingga merupakan sepasang naga sedang mengamuk dan membuat jerih mereka yang mengeroyoknya. Sebentar saja beberapa orang pengeroyok telah roboh dan yang lain-lainnya terdesak.
Sin Wan menggunakan sebagian besar daripada perhatiannya untuk menyerang Suma-Cianbu yang telah berganti pedang sehingga karena beberapa kali hampir saja kapten itu menjadi korban keganasan Pek Liong Pokiam, dan melihat betapa para pembantunya terdesak mundur, Suma-Cianbu lalu meloncat mundur dan lari memasuki pintu gerbang!
“Bangsat jangan lari!” Sin Wan loncat mengejar, tapi ia dihalang-halangi pengeroyok lain sehingga ia harus merobohkan dua orang dulu baru ia dapat meloncat mengejar...
Sinar pedangnya tajam pendek-pendek tetapi berubah-ubah mengacaukan pertahanan lawan. Akan tetapi, kedua sifat ilmu pedang ini setelah kini dimainkan bersama dan dipakai untuk saling serang, ternyata kedua duanya gagal dan tak berdaya, seakan-akan keduanya telah saling kenal baik gerakan masing-masing. Kalau Pek Liong Kiam-Sut diumpamakan senjata tajamnya maka Ouw Liong Kiam-Sut adalah sarungnya!
Giok Ciu penasaran sekali dan ia mengeluarkan gerakan terhebat dari Ouw Liong Kiam-Sut, namun sia-sia, karena Sin Wan tahu belaka kemana dan bagaimana ia hendak menyerang. Memang hal ini tidak aneh kalau dipikirkan bahwa kedua ilmu pedang ini berasal dari satu cabang, yakni Sin-Liong Kiam-Sut, dan mereka telah mempelajari Sin-Liong Kiam-Sut sampai hafal benar.
Sedangkan Pek Liong Kiam-Sut dan Ouw Liong Kiam-Sut sebenarnya belum mereka kuasai seluruhnya. Karena sebetulnya mereka belum tamat mempelajari kedua ilmu pedang ini, dan sebelum mereka dapat menguasai dengan sempurna, keburu datang perisitiwa di luar sumur sehingga mereka disuruh turun gunung!
Setelah lelah berlatih, keduanya berhenti dan menyimpan pedang masing-masing, lalu duduk beristirahat di aas rumput sambil menikmati angin gunung yang sejuk. Dan aneh sekali, karena latihan itu, di dalam lubuk hati masing-masing timbul rasa tidak puas karena terhadap masing-masing mereka merasa tidak berdaya.
Lebih-lebih Giok Ciu, gadis ini merasa mengapa kepandaian yang dimilikinya menjadi tidak berarti kalau melayani Sin Wan. Kalau saja ia kalah atau menang, ia akan merasa puas, tetapi ia kini menjadi penasaran dan tidak puas. Kalah tidak, menangpun bukan! Juga ia tidak dapat menentukan, pedang mana yang lebih baik atau lebih ampuh!
“Koko, aku merasa heran sekali, Agaknya ilmu pedang yang kita pelajari ini tidak seberapa hebat.”
Sin Wan memandang jauh dengan termenung, lalu menjawab, “Aneh, moi-moi, akupun merasa mempunyai perasaan begitu. Tapi tidak ingatkah kau ketika terjadi pengeroyokan itu? Kau menggunakan pedang dan sebentar saja kau dapat merobohkan lawanmu!”
Giok Ciu teringat dan kekecewaannya agak berkurang. “Kau benar, Koko. Tapi anehnya, menghadapi ilmu pedangmu, kepandaianku tiada gunanya sama sekali!”
Sin Wan melirik sambil tersenyum. “Kau ini aneh, moi-moi. Kau kan tidak mempelajari Ouw Liong Kiam-Sut untuk digunakan menyerang aku? Ketahuilah, aku sendiri merasa betapa pedangku sama sekali tak dapat menembus pertahanan ilmu pedangmu!”
Setelah beristirahat dan makan buah-buahan yang mereka petik di dalam hutan di lereng bukit, mereka lalu melanjutkan perjalanan mereka dengan cepat.
“Koko, apakah kita pergi ke gedung Suma-Cianbu?”
“Ya, kita langsung menuju ke sana dan membasmi bangsat she Suma lebih dulu!” jawab Sin Wan sambil mengertak gigi karena gemas teringat akan musuh besarnya.
Karena mereka menggunakan ilmu lari cepat, maka dua hari saja mereka telah tiba dikota tempat tinggal Suma-Cianbu. Hari telah menjadi gelap ketika mereka berdua memasuki kota. Maka mereka menanti sebentar sebelum menyerbu ke gedung Suma-Cianbu itu. Setelah hari menjadi gelap, keduanya lagi loncat keatas genteng dan sambil berlari-lari cepat di atas genteng merupakan dua bayangan putih dan hitam, mereka menuju ke gedung yang tinggi dan besar itu.
Tetapi mereka terheran mendapat kenyataan betapa gedung itu sunyi saja dan yang menjaga keamanan hanya empat orang anggauta keamanan yang berjalan mondar-mandir di belakag tembok yang mengurung gedung itu. Didalam gedung sendiri sunyi senyap, hanya dibagian belakang tampak lampu bernyala dan ada suara orang bercakap-cakap.
Bagaikan dua ekor kucing mereka meloncat turun dengan ringan sekali sehingga tidak menerbitkan suara. Ketika dua orang penjaga lewat ditempat mereka bersembunyi, mereka menerjang dan tanpa dapat mengeluarkan teriakan kedua penjaga itu kena tertotok dan roboh pingsan. Demikianlah nasib ke dua penjaga lainnya.
Kemudian Sin Wan Giok Ciu meloncat masuk ke dalam gedung. Alangkah kecewa mereka ketika mendapat kenyataan bahwa gedung itu betul-betul kosong dan tidak ada orangnya, dan yang sedang bercakap-cakap di bagian belakang hanyalah beberapa orang pelayan saja. Para nelayan itu, empat orang tua dan dua orang laki-laki terkejut sekali ketika tiba-tiba tampak dua orang muda yang telah berada dihadapan mereka.
“Jangan takut, kami takkan mengganggu!” Kata Sin Wan kepada mereka yang berlutut, sambil menggigil ketakutan. “Asal saja kalian terangkan di mana adanya Sum-Cianbu dan keluarganya.”
“Taijin, Hujin dan Siocia beserta beberapa orang pelayan dan pengawal telah tiga hari pergi ke kota raja.” Jawab seorang pelayan yag agak tabah.
“Awas, jangan membohong!” Giok Ciu membentak sambil menendang sebuah meja sehingga meja itu terpental dan semua barang di atas meja itu beterbangan.
Mereka takut sekali dan makin pucat wajah mereka. “Tidak… tidak, Lihiap... Kami ti… tidak berani membohong.”
Bukan main rasa kecewa hati Sin Wan dan Giok Ciu. Mereka lalu meninggalkan gedung itu, setelah terjadi pula sedikit pertentangan faham antara Sin Wan dan Giok Ciu. Karena kecewa dan marah, Giok Ciu hampir saja mengangkat tangan dan membunuh semua isi gedung Suma-Cianbu, tetapi Sin Wan segera mencegahnya.
“Moi-moi tak perlu membunuh mereka ini. Mereka tiada sangkut pautnya dengan kedosaan Suma-Cianbu.”
“Tetapi orang-orang yang bekerja kepadanya dan menjadi kaki tangannya bukankah orang baik-baik!” Giok Ciu bersikeras.
“Jangan begitu, moi-moi. Mereka hanyalah orang-orang kecil yang bekerja hanya untuk mencari sesuap nasi. Kalau mereka tidak mengganggu kita, tak perlu kita berlaku kejam terhadap mereka.”
Giok Ciu mendongkol sekali dan mulutnya cemberut, tapi ia tidak membantah lagi, lalu mendahului meloncat ke atas genteng, diikut oleh Sin Wan dari belakang. Malam itu juga mereka meninggalkan kota Wie-Kwan untuk mengejar Suma-Cianbu yang sedang pergi ke kota raja. Jarak antara Wie-Kwan dan kota raja bukanlah dekat dan jika mereka berjalan cepat, maka mereka sedikitnya membutuhkan waktu tiga hari.
“Moi-moi, di kota raja kita harus berlaku hati-hati, karena di sana adalah pusat para pahlawan Kaisar yang berkepandaian tinggi.”
Giok Ciu menahan tindakan kakinya dan menengok, “Ah, jadi kau tiba-tiba merasa jerih dan takut, Koko?” katanya mengandung suara sindiran.
Sin Wan mengerutkan jidatnya dan berkata, “Tidak takut, moi-moi, tapi berhati-hati. Kau kan juga ingin agar pekerjaan kita membalas dendam kali ini jangan sampai gagal, bukan?”
Giok Ciu berkata jumawa. “Hah, apa yang dikuatirkan? Aku tidak takut segala pahlawan anjing itu. Paling-paling kita akan berhadapan dengan Tosu siluman Cin Cin Hoatsu, dan aku seujung rambutpun tidak takut padanya!”
Sin Wan makin heran melihat sikap dan kejumawaan Giok Ciu, karena tidak disangkanya gadis itu akan menjadi sesombong itu. Ia tidak tahu bahwa semenjak dapat mengalahkan para pahlawan yang mengeroyok mereka diluar sumur, didalam hati gadis muda itu timbullah sifat bangga yang besar sehingga membuat ia menjadi jumawa dan menganggap bahwa kepandaiannya telah sampai di puncak kesempurnaan! Karena inilah maka ketika berlatih mengadu pedang dengan Sin Wan, ia menjadi penasaran dan kecewa karena tak dapat menangkan pemuda itu!
Dua hari kemudian mereka tiba di kota Kiong-Kwan yang besar. Kota ini cukup ramai karena letaknya dekat kota raja dan di sini banyak pula tinggal orang-orang berpangkat pangeran. Ketika Sin Wan dan Giok Ciu berjalan perlahan memasuki pintu kota, tiba-tiba dari belakang terdengar suara kaki kuda dan ketika mereka berdiri di pinggir jalan memandang, ternyata yang datang adalah tiga orang tinggi besar yang pandai sekali menunggang kuda. Ketika tiga orang itu lewat di depan mereka, ketiganya menengok dan memandang dengan tajam.
Tapi Sin Wan dan Giok Ciu tidak ambil perduli sama sekali dan melanjutkan perjalan mereka memasuki kota. Giok Ciu tertarik oleh sebuah rumah penginapan yang daun pintu dan tiang-tiangnya di cat merah sehingga nampak indah sekali, maka ia lalu mengajak Sin Wan bermalam di situ saja. Sin Wan tersenyum melihat kegembiraan gadis itu dan menurut saja. Kepada seorang pelayan ia lalu minta disediakan dua kamar.
“Dua kamar ukuran kecil, atau satu saja kamar ukuran besar?” Pelayan yang berlidah tajam dan jenaka itu bertanya sambil melirik ke arah Giok Ciu.
Gadis itu timbul marahnya dan ia membentak, “Tulikah kau? Kami minta dua kamar dan jangan kau banyak cerewet lagi!”
Pelayan itu memandang dengan terkejut dan buru-buru ia menyediakan kamar yang diminta.
“Sabarlah, moi-moi untuk apa meladeni segala macam orang seperti dia?”
“Apa? Justeru orang-orang macam dia itu kalau tidak diberi hajaran tentu selalu akan mengganggu orang!”
Sin Wan hanya tersenyum melihat kegalakan nona ini, karena betapapun juga, jika Giok Ciu sedang marah seperti itu matanya bersinar-sinar, kedua pipinya kemerah-merahan, kulit hidunganya yang tipis kembang-kempis dan bibirnya yang bagus bentuknya itu merengut dan meruncing tetapi menambah manisnya!
Pada saat itu, tiba-tiba dari luar terdengar suara orang berkata-kata dan Sin Wan lalu memberi isarat kepada Giok Ciu. Ketika mereka memandang, ternyata yang datang adalah tiga orang yang berkuda yang tadi bertemu dengan mereka di pintu gerbang kota. Ketika orang itupun memandang kepada mereka dengan tajam, tetapi lalu mereka membuang muka dan memasuki kamar pengurus rumah penginapan.
Sin Wan lalu mengajak Giok Ciu memasuki kamarnya dan ia berkata, “Moi-moi, kurasa tiga orang itu bukanlah orang-orang baik. Mereka agaknya mengikuti kita.”
“Apa? Biar kuhajar mereka sekarang juga!”
“E, e! Sabar, Giok Ciu. Dengan alasan apa kita harus mencari perkara? Biarkan sajalah, tetapi malam ini kita harus berjaga-jaga dan berhati-hati.”
“Menghadapi tiga ekor tikus busuk itu saja mengapa begitu ribut-ribut? Aku malam ini ingin melihat-lihat kota, Koko.”
Sin Wan menyatakan setuju. “Baiklah, kita pergi mencari tempat makan yang paling besar.”
Setelah membersihkan tubuh Sin Wan dan Giok Ciu keluar dari rumah penginapan dan berjalan melihat-lihat kota yang indah dan besar itu. Giok Ciu kagum melihat bangunan-bangunan yang besar dan tinggi. Sungguhpun kedua anak muda itu tampaknya berjalan-jalan dan mengagumi pemandangan kota namun sebenarnya mereka tahu bahwa ada seorang diantara ketiga penunggang kuda sedang mengikuti mereka! Orang itu tinggi dan kurus dan kaki kirinya agak pincang, tapi dipinggang tergantung sebatang pedang yang memakai ronce kuning.
“Kita sikat dia, Koko?” kata Giok Ciu.
Mereka lalu masuk ke dalam sebuah restoran besar dan memesan masakan. Dan alangkah mendongkolnya dan marahnya Giok Ciu ketika melihat betapa si pincang itupun memasuki restoran dan duduk di meja yang dekat dengan meja mereka. Alangkah kurang ajar dan beraninya!
Kalau ia tidak duduk bersama Sin Wan, tentu ia melemparkan meja di depannya kepada orang tinggi kurus itu! Tetapi Sin Wan berkejab kepadanya untuk mencegah gadis itu melakukan sesuatu yang mengacaukan. Untuk melampiaskan marahnya, Giok Ciu berkata,
“Tak kusangka, tiga bangkai tikus yang terserak di sanan tadi tahu-tahu yang seekor terdampar kesini!”
Sambil berkata demikian, ia sengaja memandang si pincang itu dengan mata marah! Tentu saja, kata-katanya ini membuat para tamu restoran memandang heran, sedangkan si pincang itu yang merasa dirinya disindir, tampak jelas menahan-nahan diri untuk tidak memperlihatkan marahnya. Ia hanya balas memandang tajam, lalu menundukkan kepala dan maka hidangan yang dipesannya.
Setelah makan kenyang, Sin Wan dan Gio Ciu sengaja mengambil jalan memutar, melalui jalan yang sunyi. Dan betul saja, si tinggi pincang itu tetap mengikuti mereka. Sin Wan dan Giok Ciu lalu menggunakan ilmu lari cepat, tetapi orang itupun pandai dalam ilmu ini! Hanya saja, kedua anak itu maklum bahwa kepandaian orang itu tidak berapa tinggi.
“Giok Ciu, tentu ada apa-apa yang tidak beres. Mari kita pulang dengan diam-diam kita lihat, mereka itu sebetulnya orang-orang apa dan sedang melakukan apa.”
“Dan tikus ini bagaimana? Aku ingin memberi rasa padanya.”
Sin Wan tersenyum, “Sesukamulah asal jangan terlalu lama.” Giok Ciu lalu membungkuk untuk memungut sepotong batu, lalu ia berhenti dan berteriak,
“He, tikus pincang, jalanmu tidak sedap dipandang karena kakimu pincang sebelah. Biarlah aku tolong kau dan bikin pincang kakimu yang sebelah lagi!”
Tangannya lalu diayun dan batu kecil itu meluncur cepat ke arah pengejar. Si tinggi kurus itu berlaku waspada, tetapi ternyata batu yang menyerangnya lebih cepat lagi. Ia tak sempat berkelit dan tahu-tahu tulang keringnya berbunyi,
“Pletak!” dan ia roboh karena kaki kanannya tiba-tiba lemas dan sakit sekali. Ketika ia merabanya, ternyata tulangnya telah pecah! Ia meringis kesakitan dan diam-diam terkejut sekali melihat kelihaian kedua anak muda itu.
“Masih baik mereka tidak menghendaki jiwaku,” Ia berpikir dan merangkak maju untuk minta pertolongan orang.
Sin Wan dan Giok Ciu lalu meloncat ke atas genteng dan mereka menggunakan kepandaian untuk meloncati rumah-rumah dan cepat menuju ke rumah penginapan. Ginkang mereka sudah demikian sempurna sehingga yang tampak berkelebat hanya dua bayangan putih dan hitam. Setibanya di atas rumah penginapan, mereka bersembunyi di balik wuwungan yang tinggi dan mengintai.
Tiba-tiba tampak bayangan beberapa orang bergerak di atas genteng dan meloncat ke bawah dengan gerakan cukup gesit. Mereka berdua lalu meloncat mendekati dan dengan hati-hati mereka membuka genteng kamar para penunggang kuda itu. Ternyata di dalam kamar yang besar itu telah berkumpul banyak orang dan langkah terkejut mereka melihat bahwa diantara mereka terdapat juga pahlawan-pahlawan Kaisar yang dulu mengeroyok mereka di atas sumur! Mereka mendengarkan dengan teliti.
“Benarkah mereka mengejar Suma-Cianbu?” terdengar seorang berkata. “Kalau begitu, kita harus dapat menangkap mereka sebelum kabur.”
“Tetapi mereka lihai sekali,” berkata seorang yanng dulu mengeroyok Sin Wan.
“Jangan takut, Hek Twako dan Mo Susiok ada disini. Pula, mereka tadi telah diikuti oleh Liu sute. Kita nanti mengepung mereka, masak tak dapat merobohkan dua orang anak muda saja?”
Maka tahulah Sin Wan dan Giok Ciu bahwa kedatangan mereka di gedung Suma-Cianbu telah diketahui oleh orang-orang ini dan tahu pula bahwa orang-orang ini bukan lain ialah para pengawal dan pahlawan kerajaan! Maka Giok Ciu menjadi hilang sabar dan ia tertawa nyaring di atas genteng, sambil memaki,
“Bangsat anjing penjilat Kaisar! Kalau kalian sudah bosan hidup, naiklah ke sini kutunggu!”
Sin Wan terpaksa juga meloncat dan bersiap menanti kedatangan para lawan itu, ia merasa geli tercampur 'Bohwat' atau tak berdaya menghadapi gadis yang pemberani sekali ini. Mendengar kata-kata Giok Ciu, tiba-tiba api lilin di dalam kamar itu ditiup padan tak lama kemudian dari empat penjuru berloncatan naiklah orang-orang dengan senjata tajam di tangan!
Sin Wan melihat bahwa yang naik lebih dari dua puluh orang dan yang terdepan sekali adalah seorang tua yang gerakannya gesit dan seorang pemuda gagah dan bersenjata tombak. Orang tua itu bersenjata sepasang pedang yang tergantung di punggungnya.
“Bangsat pemberontak yang berani mati. Menyerahlah hidup-hidup dari pada mati tertembus pedang,” orang tua itu membentak garang.
Giok Ciu tertawa dan menunjuk ke arah orang tua itu sambil berkata kepada Sin Wan, “Koko, kau lihat baik-baik. Bukankah orang she Mo ini mukanya sama benar dengan tikus tua yang hampir mati kelaparan?”
Sin Wan memandang dan hampir saja ia tertawa geli kalau saja ia tidak ingat bahwa orang tua itu seorang yang berkepandaian tinggi sehingga tidak baik menghinanya, karena sesungguhnya muka yang sempit dan berpotongan tajam, ditambah dengan beberapa lembar kumis dibawah hidunganya itu memang seperti seekor tikus!
Ternyata Giok Ciu menduga tepat, karena memang orang tua itu adalah Mo Hin Cu yang berjuluk Iblis berpedang dua dan termasuk pahlawan Kaisar kelas dua. Ilmu pedangnya telah terkenal dan kepandaiannya masih lebih tinggi dari semua orang yang kini mengepung Giok Ciu dan Sin Wan. Sebagai seorang yang memiliki kepandaian dan kedudukan tinggi, tentu saja Mo Hin Cu marah sekali mendengar ejekan Giok Ciu. Ia mencabut sepasang siang-kiamnya dan menyerang sambil membentak,
“Bangsat pemberontak rendah!” Sepasang pedang di tangan kiri kanannya bergerak, yang kanan menusuk lengan dan yang kiri menyapu pinggang gadis itu!
“Haya...!!” Giok Ciu berkelit mundur sambil mengejek sehingga Mo Hin Cu makin marah dan menyerang lagi.
Kalau dibandingkan, kepandaian orang she Mo ini setingkat dengan kepandaian Song Tat Kin murid Cin Cin Hoatsu yang pernah dijatuhkan oleh Giok Ciu. Memang dulu secara mudah sekali Song Tat Kin dapat dirobohkan oleh gadis itu, tapi hal itu terjadi karena Song Tat Kin tak bersenjata dan tidak pernah menyangka bahwa gadis itu demikian lihai.
Sedangkan kini orang she Mo ini telah dapat menduga bahwa lawannya adalah seorang muda yang memilki kepandaian tinggi, dan di kedua tangannya terdapat sepasang pedang yang telah mengangkat namanya tinggi-tinggi, maka setelah diserang terus, Giok Ciu terdesak juga dan menjadi marah. Sambil berseru keras gadis itu mencabut pokiamnya dan Mo Hin Cu bergidik ketika melihat sinar hitam berkelebat dan menyambarnya dengan mengeluarkan hawa panas mengerikan!
Cepat sekali Mo Hin Cu menggunakan sepasang pedangnya menangkis dengan tipu gerakan Hong-Sauw Pai-Yap atau Angin Sapu Daun Rontok. Maksudnya hendak menggunakan tenaga untuk menangkis dengan keras agar sekali babat saja membuat senjata lawan yang aneh itu terpental. Tetapi alangkah terkejutnya ketika ia merasa betapa kedua siang-kiamnya seakan-akan membacok air dan tahu-tahu yang tinggal di dalam kedua tangannya hanya gagang pedang saja, sedangkan pedangnya sendiri entah telah terbang kemana?
Demikianlah hebat dan ketajaman Ouw Liong Pokiam. Giok Ciu mengeluarkan seruan menghina dan sekali saja ia menyerang, pundak lawannya telah kena terbabat oleh pokiamnya sehingga orang she Mo itu roboh sambil mengeluarkan teriakan ngeri!
Sementara itu orang muda yang bersenjata tombak menyerang Sin Wan, akan tetapi oleh Sin Wan mudah saja dikelit dan anak muda ini balas menyerang dengan tangan kosong. Anak muda bersenjata tombak itu hanya pahlawan kelas tiga saja, mana ia dapat melawan Sin Wan? Dalam beberapa jurus saja, tombaknya telah dapat dirampas dan sekali tekuk dalam tangannya, tombak besi itu menjadi bengkok dan dilemparkan Sin Wan ke bawah genteng. Melihat betapa lihainya kedua anak muda itu, semua pahlawan maju mengeroyok dengan senjata masing-masing.
Sin Wan terpaksa mencabut Pek- Liong Pokiam dan bersama-sama Giok Ciu ia mainkan pedangnya dengan gerakan bergelombang yang hebat. Harus dikasihani para pengeroyok itu, seakan-akan rombongan semut mengeroyok api, begitu mendekat segera tubuh mereka bergelimpangan karena sinar hitam dan putih itu saja sudah cukup membuat mereka roboh!
Akhirnya beberapa orang yang masih belum menjadi korban segera meloncat turun dan melarikan diri dari amukan Sin Wan dan Giok Ciu. Tak lama kemudian datanglah barisan tentara dibawah pimpinan seorang komandan mengurung rumah penginapaan tu.
Sin Wan dan Giok Ciu sudah masuk kembali ke dalam kamar dan berkemas, karena malam ini juga mereka hendak melanjutkan perjalanan. Ketika Sin Wan melihat keluar, ternyata puluhan tentara penjaga keamanan yang datang membantu telah mengurung rumah itu dan semua tamu yang tidur menginap disitu menjadi ketakutan.
“Pemberontak-pemberontak keluar dengan damai!” komandan yang gemuk dan bermuka merah itu berteriak-teriak sambil mengatur barisannya mengurung. Sin Wan tersenyum melihat ini, kemudian setelah beres membungkus pakaian dan lain-lain, ia dan Giok Ciu keluar dari pintu depan dengan tenang!
Para anggota penjaga itu tidak tahu yang manakah pemberontak-pemberontak yang harus ditangkap, maka ketika melihat Sin Wan dan Giok Ciu keluar mereka diamkan saja. Baru setelah seorang pengeroyok yang lari dan kini telah ikut mengepung berteriak,
“Inilah pemberontak-pemberotak itu, serbu!”
Mereka segera bergerak dengan mata memandang heran. Inikah pemberontak-pemberontaknya? Seorang pemuda tampan dan seorang gadis cantik? Komandan muka merah memperlihatkan kegagahannya dan sambil palangkan golok besar ia mencegat Sin Wan dan Giok Ciu.
“Menyerahlah!” bentaknya dengan suaranya yang tinggi kecil.
“Hm, kalian gentong-gentong kosong ini harus diberi hajaran!” Giok Ciu berkata gemas, tetapi Sin Wan mendahului membentak kepada komandan muka merah yang gemuk itu.
“Kau menggelindinglah pergi dari sini!” dan sebelum si gemuk itu tahu apa yang terjadi, tahu-tahu ia merasa tangan pemuda itu yang kuat sekali mendorongnya demikian keras sehingga tidak ampun lagi tubunya terjengkang ke belakang dan bergulingan, betul-betul seperti bola menggelinding!
“Hayo, moi-moi! Buat apa mengotorkan tangan melayani segala tikus rendah.”
Biarpun belum puas, Giok Ciu mengejar Sin Wan yang meloncat naik ke atas genteng dan mereka pergi tinggalkan Kiong-Kwan menuju ke kota raja. Menjelang fajar mereka telah tiba di luar tembok besar kota raja dan di sebuah bukit kecil mereka melihat sebuah Kuil kecil yang mungil. Karena perlu beristirahat sebentar sebelum memulai dengan pekerjaan yang penting itu.
Ternyata itu adalah Kelenteng Kwan-Im-Pouwsat yang dijaga oleh dua orang Pendeta wanita yang telah tua. Kedua Pendeta itu sangat ramah tamah dan mereka menerima kedatangan Sin Wan dan Giok Ciu dengan girang. Kedua anak muda itu memberi hormat kepada patung Kwan-Im, lalu mereka mengaso sambil bersamadhi di ruang belakang.
Setelah matahari pagi menerangi permukaan bumi dan kedua anak muda itu makan bubur hidangan Nikouw tadi, mereka lalu meninggalkan bungkusan uang dan pakaian, dan hanya dengan membekal pedang, mereka berangkat menuju ke pintu gerbang kota raja.
Tetapi ternyata bahwa para penjaga yang mereka pukul kucar-kacir di Kiong-Kwan malam tadi, telah cepat memberi kabar ke kota raja pada malam itu juga sehingga Suma-Cianbu telah bersiap menanti kedatangan mereka!
Hal ini Sin Wan dan Giok Ciu tidak menyangkanya, maka ketika mereka tiba di pintu gerbang mereka kaget melihat banyak orang menghadang di jalan masuk pintu itu. Ketika mereka melihat tegas, ternyata kesemuanya adalah pahlawan Kaisar dan diantaranya terdapat Suma-Cianbu sendiri yang berpakaian perang dengan lengkap! Selain Suma-Cianbu sendiri, di dekat kapten itu terdiri tiga orang Tosu dan seorang perempuan tua berbaju hijau.
Melihat musuh besarnya berdiri di depannya, Sin Wan timbul marahnya dan segera ia mencabut Pek Liong Pokiam sambil membentak, “Bangsat Suma sekarang kau hendak lari kemana?”
Sambil berkata begini ia meloncat menerjang Suma-Cianbu yang cepat menangkis dengan pedangnya, tetapi sekali bentur saja pedang itu patah! Sin Wan melanjutkan pedangnya membabat leher dan Suma-Cianbu berteriak kaget, tetapi pada saat itu, seorang diantara tiga Tosu itu telah maju menolong dengan tongkat bajanya yang berat menusuk perut Sin Wan dengan gerakan Ular Hitam Masuk Lubang! Terpaksa Sin Wan menarik kembali pedangnya dan meloncat berkelit karena jika ia meneruskan serangannya, maka sukar baginya untuk menghindarkan diri dari sodokan tongkat itu.
“Bangsat muda sabar dulu!” Tosu itu membentak, “Siapakah kau berani mengacau ke kota raja? Apakah kau sudah bosan hidup?”
Sin Wan tersenyum dan membalas memaki, “Hm, hm, kau bangsat berjubah Pendeta. Agaknya kaupun bukan orang baik-baik. Ketahuilah, aku adalah Bun Sin Wan dan kedatanganku hendak membalas dendam orang tuaku kepada bangsat she Suma ini. Kalian tiada permusuhan dengan aku, maka lebih baik mundurlah. Tetapi kalau hendak membela bangsat ini, akupun tidak takut!”
Tiba-tiba terdengar suara perempuan tua baju hijau itu berkata, “Cianbu, apakah ini anak pemberontak itu?”
Suma-Cianbu mengangguk. “Benar, Toanio. Inilah anak pemberontak itu.”
Wanita itu lalu menunding dan berkata, “Anak muda, kau lebih baik menyerah saja, mungkin dosa-dosamu dapat diperingan. Kau mengandalkan apakah berani melawan kami?” Sikap wanita ini jumawa sekali sehingga menimbulkan marahnya Giok Ciu.
“Eh, kau ini siluman perempuan darimakah begitu sombong?” bentaknya.
Wanita baju hijau itu memandang kepada Giok Ciu dengan tersenyum mengejek. “Kau anak kemarin sore sudah berani unjuk gigi. Ketahuilah nenekmu ini ialah Liong-San Kui-Bo! Hayo lekas kau berlutut di depanku.”
Wanita itu agaknya mengira bahwa Giok Ciu tentu pernah mendengar namanya yang tersohor dan menjadi jerih. Tidak tahunya, tidak saja Giok Ciu memang belum pernah mendengar julukan yang berarti Biang Hantu dari Liong-San itu, bahkan andaikata sudah mendengarpun, gadis yang bernyali besar sekali pasti takkan merasa takut. Mendengar kata-kata Liong-San Kui-Bo, ia bahwa tertawa merdu dan nyaring, lalu berkata,
“Jadi kaukah si Biang Hantu? He, anakku, kalau begitu kau harus berlutut tiga kali di depanku. Ketahuilah, aku ini ialah Nenek Moyang Biang Hantu! Hayo kau lekas berlutut!”
Tentu saja Liong-San Kui-Bo menjadi marah sekali. Ia berpaling kepada ketiga Tosu itu lalu berkata, “Toyu sekalian, mari kita bikin mampus dua anak kurang ajar ini!”
Sehabis berkata demikian, perempuan tua baju hijau itu lalu mencabut keluar sepasang pedangnya dan langsung menyerang Giok Ciu dengan hebat. Giok Ciu terkejut melihat betapa gerakan perempuan itu ganas dan cepat sekali, tapi ia tidak takut dan sambil berloncatan menyingkiri serangan lawan, ia mencabut Ouw Liong Pokiam.
Kini Liong-San Kui-Bo yang kaget karena tiba-tiba ia merasa sambaran pedang hitam yang ganas itu. Ia tahu bahwa pedang gadis itu adalah sebuah pokiam yang sangat ampuh, maka ia tidak berani beradu pedang. Ia hanya menggunakan kiam-hwatnya yang memang indah dan cepat itu untuk mengurung Giok Ciu. Tapi ia tidak tahu bahwa disamping Kiam-Sutnya, yakni Sin-Eng Kiam-Sut yang lihai, masih banyak ilmu pedang yang lebih hebat lagi, dan diantaranya yang terlihai adalah Ouw Liong Kiam-Sut!
Maka ketika Giok Ciu mulai menjalankan ilmu pedangnya, sebentar saja ia menjadi sibuk menangkis sambil mundur. Tosu termuda diantara ketiganya, yakni Liang Ging Tosu segera maju membantu. Sedangkan yang dua, Liang Gwat Tosu dan Liang Hun Tosu, maju menyerang Sin Wan dengan tongkat mereka yang berat dan kuat.
Pertempuran makin ramai ketika beberapa orang pahlawan yang memiliki kepandaian tinggi juga mengurung mereka. Tapi pedang-pedang mustika itu dimainkan oleh Sin Wan dan Giok Ciu demikian hebat sehingga merupakan sepasang naga sedang mengamuk dan membuat jerih mereka yang mengeroyoknya. Sebentar saja beberapa orang pengeroyok telah roboh dan yang lain-lainnya terdesak.
Sin Wan menggunakan sebagian besar daripada perhatiannya untuk menyerang Suma-Cianbu yang telah berganti pedang sehingga karena beberapa kali hampir saja kapten itu menjadi korban keganasan Pek Liong Pokiam, dan melihat betapa para pembantunya terdesak mundur, Suma-Cianbu lalu meloncat mundur dan lari memasuki pintu gerbang!
“Bangsat jangan lari!” Sin Wan loncat mengejar, tapi ia dihalang-halangi pengeroyok lain sehingga ia harus merobohkan dua orang dulu baru ia dapat meloncat mengejar...