KISAH SEPASANG NAGA JILID 10
Karena ia melihat betapa Suma-Cianbu meloncat ke atas genteng, iapun mengayun tubuhnya ke atas dan masih dapat ia melihat bayangan musuhnya itu di atas wuwungan yang tinggi. Ia segera mengejar tapi kedua Tosu, Liang Gwat Tosu dan Liang Hun Tosu, sudah mengejarnya pula dan menyerangnya dengan tongkat mereka.
Sin Wan memutar pedangnya menangkis lalu setelah melayani mereka beberapa jurus dan mendapat ketika, ia meloncat pula mengejar ke arah bayangan tadi. Ia mencari-cari dengan matanya dan melihat berkelebatnya bayangan di tempat jauh, di atas sebuah gedung yang jauhnya beberapa belas rumah dari situ. Ia lalu meloncat lagi dan lari mengejar.
Ia masih sempat melihat betapa Suma-Cianbu yang ketakutan setengah mati itu lari dan meloncat turun dalam pekarang belakang sebuah gedung. Tapi pada saat itu, Liang Gwat Tosu dan Liang Hun Tosu sudah sampai pula ke situ dan mengirim serangan mereka lagi!
“Pendeta-Pendeta tak tahu diri! Aku tak ingin membunuhmu, lepaskanlah aku!”
“Bangsat kecil, jangan kau banyak tingkah. Menyerah atau mati.”
Maka timbullah marah Sin Wan. Ia memutar Pokiamnya sedemikian rupa sehingga Pek Liong Pokiam seakan-akan berubah menjadi puluhan dan menyerang ke dua Tosu itu dari segala jurusan.
Tosu-Tosu itu adalah murid Cin Cin Hoatsu tingkat pertama, maka kepandaian silat mereka memang tinggi. Tapi kini menghadapi Pek Liong Kiam-Sut, mereka tak berdaya. Mereka masih mencoba untuk memutar-mutar tongkat menangkis, tapi sia-sia, karena pokiam itu telah mendahului mereka dan tiba-tiba Liang Hun Tosu berteriak kesakitan karena lengan tanggannya berikut tongkatnya terbabat putus!
Dengan kaget Liang Gwat Tosu meloncat mundur, dan Sin Wan lalu lari pula ke arah gedung di mana tadi Suma-Cianbu turun. Liang Gwat Tosu terpaksa hanya bisa menolong sutenya yang terluka parah. Sin Wan meloncat turun ke pekarangan gedung besar itu dan ia tiba di taman yang indah. Ia menengok ke sana ke sini, lari lari ke arah gedung. Ia mengintai ke dalam dari sebuah jendela, tapi gedung itu sunyi saja.
Setelah mengambil jalan memutar ia mengintai ke jendela lain dan di dalam sebuah kamar ia melihat seorang gadis sedang membaca kitab Tiong Yong, yakni kitab pelajaran Nabi Khong Hu Cu. Seorang pelayan wanita datang mengantar air teh dan berkata,
“Suma-Siocia, kau rajin sekali sehingga siang malam hanya belajar kitab saja. Apakah Siocia ingin menjadi sasterawan wanita? Ataukah Siocia ingin menjadi gadis suci?” Pelayan itu menggoda. Dan gadis itu perdengarkan suara ketawanya yang halus dan merdu. Tubuhnya yang langsing itu bergoyang-goyang di atas bangku yang didudukinya ketika ia tertawa, lalu terdengar suaranya yang lemah lembut,
“A-bwe, aku adalah seorang wanita terpelajar, kalau tidak membaca kitab yang balik di dalam kamar atau menyulam sulaman yang indah, habis apakah harus pegang pedang main panah?” A-bwe, pelayan itu tertawa sambil menutup mulutnya dengan ujung lengan baju, lagaknya genit sekali.
“Siocia, apa salahnya kalau kau bermain pedang? Ayahmu seorang pembesar militer yang gagah perkasa.”
“Ingat, A-bwe, aku seorang wanita.”
“Tapi, Siocia. Bukankah jaman sekarang banyak terdapat wanita-wanita pandai bersilat? Coba saja lihat nyonya tua yang berbaju hijau yang kemarin datang itu, namanya kalau tidak salah Liong-San Toanio, begitulah disebut orang. Ia selalu membawa-bawa pedang dan kabarnya kepandaiannya tidak dibawah Ayahmu sendiri. Bukankah itu hebat dan luar biasa sekali namanya?”
Nona itu menghela napas dan ia memutar tubuhnya perlahan dan menghadap jendela hingga Sin Wan terkejut dan buru-buru bersembunyi, dan mendengar lebih jauh sambil mengagumi wajah gadis yang luar biasa cantiknya itu.
Usia gadis itu paling banyak delapan belas tahun, pakaiannya indah berkembang, tubuhnya tinggi langsing, rambunya hitam panjang dikonde ke belakang dengan manisnya, sedangkan kulit muka yang halus lemas kemerah-merahan itu terhias sepasang mata yang cerdas dan lembut sinarnya, hidung dan mulutnya kecil dan indah bentuknya. Pendeknya seorang Cian-Kim Siocia yang benar-benar tiada cacad celanya!
Nona itu menghela napas dan berkata, “A-bwe, biarpun Ayah berpangkat Cianbu dan tiap hari kau melihat orang-orang dari golongan ahli silat, namun sesungguhya aku tidak suka melihat orang-orang yang biasanya hanya bermain dengan senjata tajam untuk membunuh orang lain! Lihatlah betapa permusuhan ditumpuk-tumpuk, orang-orang saling kejar, saling bunuh, dan saling balas sakit hati. Apakah hidup macam demikian itu baik? Ah, aku lebih senang membaca kitab-kitab kuno yang memberi nasehat-nasehat dan petuah tentang hidup yang baik.”
“Suma-Siocia, kau memang seorang Ciankim Siocia yang berbudi dan pandai,” A-bwe memuji.
Sementara itu, kini Sin Wan tidak ragu-ragu lagi bahwa nona cantik di dalam kamar itu adalah puteri musuhnya, anak perempuan dari Suma-Cianbu! Ia tidak mau mengganggunya, karena yang dibenci dan dicarinya hanya Suma-Cianbu seorang. Maka ia segera tinggalkan tempat itu dan memeriksa kamar lain. Tapi Suma-Cianbu tidak tampak bayangannya! Sin Wan menjadi marah dan timbul gemasnya. Ia lalu kembali ke atas kamar Suma-Siocia tadi dan cepat meloncat masuk dari jendela!
Suma-Siocia menggunakan saputangan menutup mulutnya yang hendak mengeluarkan jeritan kaget ketika melihat betapa tiba-tiba seorang pemuda yang tampan dan gagah tahu-tahu telah berada di dalam kamarnya! Kebetulan sekali A-bwe baru saja keluar dari kamar itu karena disuruhnya mengambil benang sulam baru.
“Maaf Siocia. Aku tak hendak mengganggumu, hanya ingin bertanya bukankah Siocia puteri dari Suma-Cianbu?”
Melihat sikap dan kata-kata Sin Wan yang halus, lenyaplah rasa kaget nona itu dan ia mengangguk untuk membenarkan kata-kata Sin Wan.
“Di manakah Ayahmu sekarang, Siocia? Tadi aku melihat ia masuk ke dalam gedung ini, tapi telah lenyap begitu saja. Dimana ia bersembunyi?”
Tiba-tiba Suma-Siocia menjadi berani dan bertanya, “Ada urusan apakah kau mencari Ayahku?”
“Dia adalah musuh besarku yang harus menebus dosanya!”
Terbelalak sepasang mata yang bening itu mendengar pengakuan ini. “Apa?? Mengapa begitu? Apakah dosanya terhadapmu?”
Sin Wan kertak gigi ketika menjawab. “Ayahmu telah membunuh Ibuku dan Kakekku! Hayo katakan, dimana dia?”
“Tidak, tidak! Ayah...!! Kau pergilah... ada orang jahat!!” Suma-Siocia berteriak-teriak.
Sin Wan cepat maju dan ulurkan tangannya sehingga sekelebat saja Suma-Siocia kena tertotok dan lemas tak berdaya. Tiba-tiba timbullah akal pada pikiran Sin Wan. Musuh besarnya sangat licin dan selain banyak pelindungnya, juga pandai bersembunyi. Lebih baik kalau ia culik Suma-Siocia saja untuk memancing Suma-Cianbu! Karena pikiran ini, maka ia berkata kepada gadis itu yang masih dapat mendengarnya walaupun telah menjadi gagu.
“Maaf, Siocia. Kau terpaksa kubawa untuk memancing Ayahmu keluar dari tempat sembunyiannya!”
Pada saat itu A-bwe telah datang dan melihat seorang pemuda berada disitu dan nonanya dalam keadaan lemas dipegang oleh pemuda tampan dan asing itu, segera ia lari keluar kamar dan menjerit-jerit. Sin Wan tidak buang waktu lagi, segera ia pondong tubuh Suma-Siocia dan meloncat keluar dari jendela, terus saja ia melayang ke atas genteng.
“Bangsat penculik jangan lari!” terdengar teriakan orang dan beberapa orang pengawal meloncat naik mengejar. Tapi Sin Wan kecewa sekali karena di antara lima orang pengawal yang mengejarnya itu tidak tampak Suma-Cianbu sendiri.
“Kalian minggirlah dari sini! Aku tidak butuh jiwamu. Suruh bangsat Suma-Cianbu itu keluar sendir!”
Sin Wan berseru marah dan gemas, tapi kelima pahlawan itu segera mengurungnya dan menyerangnya. Sin Wan hanya berkelit karena ia tiada nafsu untuk melayani orang-orang ini. Ia segera menggunakan ginkangnya dan sekali loncat saja ia telah keluar dari kepungan itu sambil pondong tubuh Suma-Siocia!
Kemudian ia berlari-lari cepat di atas genteng. Lima orang pengawal itu mengejarnya, tapi sebentar saja Sin Wan telah lenyap jauh di depan. Sin Wan kembali ke tempat di mana tadi Giok Ciu dikeroyok, yakni dipintu gerbang kota.
Tapi alangkah terkejutnya ketika ia tidak melihat orang berkelahi di tempat itu lagi. Apakah Giok ciu telah berhasil memukul mundur semua musuhnya dan menyusulnya? Tapi kenapa ia tidak bertemu dengan gadis itu? Atau barangkali Giok Ciu telah kembali lebih dulu di Kelenteng.
Memikir demikian, Sin Wan lalu cepat lari menuju ke Kelenteng dimana ia dan Giok Ciu tinggal. Tapi kembali ia kecewa karena di tempat inipun gadis itu belum pulang! Dua orang Nikouw tua dari Kwan-Im-Bio heran sekali melihat Sin Wan memondong seorang gadis cantik yang setengah pingsan.
“Bun Taihiap, kalau kau hendak melanggar kesopanan dan melakukan kejahatan, maka terpaksa kami mengusir kau dari sini!”
Nikouw itu berkata dengan sikap keren, karena mereka menyangka keliru pada Sin Wan yang membawa seorang gadis dalam keadaan demikian. Sin Wan segera lepaskan totokan Suma-Siocia yang segera menjatuhkan diri berlutut di depan kedua Nikouw itu sambil menangis sedih.
“Jangan khawatir, saya tidak melakukan sesuatu yang jahat. Gadis ini sengaja saya culik untuk memaksa Ayahnya keluar dari tempat persembunyiannya, dan Ayahnya ialah musuh besar saya, pembunuh Ibu dan Kakek! Suma-Siocia, ku harap kau suka tinggal di Kelenteng ini untuk sementara waktu sampai Ayahmu sudah bertemu dengan aku. Aku bukanlah orang rendah yang hendak menyusahkan dan mengganggumu, dan percayalah, aku melakukan ini karena sangat terpaksa. Kalau Ayahmu tidak berlaku curang dan pengecut, mungkin kau dan aku selamanya tak pernah bertemu muka. Agaknya memang telah menjadi nasibmu harus ikut merasakan dosa-dosa Ayahmu!”
Sin Wan lalu meninggalkan gadis itu kepada kedua Nikouw yang terheran-heran sekali mendengar kata-katanya. Gadis itu hanya menangis sedih dan segera dihibur oleh kedua Nikouw itu dan dibawa kekamar mereka.
Sementara itu, Sin Wan dengan hati sangat gelisah menanti-nanti kembalinya Giok Ciu. Ia duduk dalam kamarnya, lalu keluar untuk melihat apakah gadis itu telah kembali, kemudian kembali ke kamar dan duduk lagi. Ia gelisah sekali karena setelah ditunggu sampai sore, belum, juga Giok Ciu kembali!
Setelah hari menjadi gelap dan bintang-bintang malam mulai tampak menghias langit hitam, kegelisahan Sin Wan memuncak dan ia tidak sabar untuk untuk menanti lebih lama. Giok Ciu pasti terkena bencana, pikirnya dengan hati cemas dan tercampur mendongkol. Pembalasan dendam belum berhasil, telah ditambah lagi dengan lenyapnya Giok Ciu!
Ia segera meninggalkan Kelenteng setelah berpesan kepada kedua Nikouw agar menjaga Suma-Siocia baik-baik, dan langsung menuju ke dalam kota. Ia berdiri lama sekali di tempat persembunyian siang tadi, tapi di situ sunyi senyap.
“Kemanakah ia harus mencari jejak Giok Ciu?”
Ia lalu meloncat naik ke atas genteng dan menuju ke gedung Suma-Cianbu dari mana tadi ia menculik Suma-Siocia. Disitupun sunyi saja, bahkan gedung di bawah itu gelap sama sekali, menunjukkan bahwa pada saat itu tidak ada penghuni. Tentu bangsat tua she Suma itu telah pergi ke lain tempat, pikirnya gemas.
Apakah betul-betul bangsat itu demikian kejam dan tega terhadap puteri sendiri sehingga tidak hendak menolong? Apakah ia hendak mengorbankan puterinya untuk keselamatan jiwa sendiri? Pada saat ia berdiri termenung di atas genteng, tiba-tiba dari arah kiri tampak berkelebat bayangan orang dengan gerakan sangat gesit. Begitu tiba dekat Sin Wan, bayangan itu bertanya,
“Apakah kau mencari Kwie Lihiap?”
Terkejutlah Sin Wan mendengar ini, dan cepat ia mencabut Pek Liong Pokiam dari pinggangnya dan membentak, “Bangsat rendah, hayo katakan dimana kalian sembunyian Kwie Giok Ciu!”
Bayangan itu yang ternyata seorang pemuda berwajah tampan dan putih, tersenyum. “Sebelum aku menjawab, marilah kita main-main sebentar!”
Dan ia lalu mencabut keluar sebatang pedang dan menyerang Sin Wan yang menjadi marah sekali dan menangkis dengan pedangnya. Terdengar bunyi...
“Trang!!” dan bunga api bepercikan ketika kedua pedang itu berardu dengan kerasnya.
Sin Wan terkejut karena ternyata bahwa senjata lawannya juga sebatang pedang pusaka yang kuat dan tajam, juga ketika kedua pedang bertemu. Ia merasakan betapa telapak tangganya tergetar karena tenaga lawannya tidak lemah! Sebaliknya pemuda muka putih itu mengeluarkan suara kagum karena ia merasa telapak tangannya perih dan hampir saja pokiam yang dipegangnya terpental! Mereka lalu saling serang dengan hebatnya.
Setelah bertempur puluhan jurus, tahulah Sin Wan bahwa lawannya adalah seorang ahli pedang Bu-Tong-Pai, tapi yang telah memiliki kepandaian asli hingga gerakan-gerakannya sangat sempurna dan hebat. Diam-diam ia mengeluh karena kalau fihak musuhnya mempunyai orang-orang yang seperti ini kepandaiannya, maka makin sukarlahnya untuk membalas dendam.
Memang ilmu pedang Bu-Tong mempunyai keistimewaan dalam membela diri, hingga pedang pemuda muka putih itu diputar sedemikian rupa bagaikan benteng baja yang amat kuat. Akan tetapi kali ini ia menghadapi Sin Wan, pemuda yang telah meyakinkan Sin-Liong Kiam-Sut yang tiada bandingnya di dunia ini, ditambah pula telah mempelajari Pek Liong Kiam-Sut, maka desakan-desakannya membuat pemuda ahli Bu-Tong-Pai itu repot juga.
Sin Wan mainkan gerakan Sin-Liong Kiam-Sut di bagian yang paling sulit dilawan, yakni Sin-Liong Koan-Jit atau Naga Sakti Menutupi Matahari. Tubuhnya yang memiliki ginkang tinggi itu berkelebat ke atas dan bawah demikian cepatnya, didahului dengan gerakan pedang yang menyambar-nyambar merupakan sinar putih menyilaukan dan setiap saat mengancam hendak menembus dan membobolkan benteng baja dari pedang pemuda muka putih itu!
Kali ini benar-benar pemuda muka putih itu kewalahan dan hampir saja ia tak dapat bertahan lagi, maka cepat ia berseru, “Bun Taihiap, tahan dulu!” lalu ia meloncat ke belakang berjumpalitan dengan gerak tipu Ular Air Menerjang Ombak.
Sin Wan menahan serangannya dan memandang dengan mata tajam dan marah di tahan-tahan. “Kau mau apa?” tanyanya dengan ketus.
Heran sekali, pemuda itu agaknya tidak mengambil sikap bermusuhan, sebaliknya bahkan tertawa. “Bun-Taihiap, sungguh hebat Pek Liong Kiam-Sut yang kau mainkan! Setelah bertempur kurang lebih seratus jurus, aku Gak Bin Tong mengaku kalah! Terima kasih atas pelajaran yang kau berikan tadi.”
“Eh, apa artinya kata-katamu semua ini? Jangan kau bermain-main didepanku, aku sedang sibuk!” Sin Wan menegur gemas.
Pemuda muka putih itu segera angkat tangan menjura. “Maaf, Taihiap, sebetulnya aku tadi hanya ingin mencoba kelihaianmu saja. Aku bukan musuhmu, jika kau tidak percaya, hendak kubuktikan sekarang. Bukankah kau sedang mencari-cari kawanmu yang lenyap?”
“Ya, dimanakah dia? Tahukah kau apa yang telah terjadi dengan Kwie Lihiap?”
“Dia telah tertawan,” kata Gak Bin Tong.
Terkejutlah Sin Wan mendengar ini. “Tertawan? Ah, rasanya tak mungkin!”
Gak Bin Tong tersenyum mengejek. “Memang kau dan kawanmu itu sudah cukup pantas untuk bersikap jumawa, tapi ingatlah, di dunia ini masih banyak sekali orang yang terlebih pandai daripada kita. Kwi Kai Hoatsu kebetulan datang dan apa yang tidak mungkin baginya? Sumoimu itu mudah saja tertawan olehnya.”
“Kwi Kai Hoatsu, siapakah itu? Dan bagaimana bisa tertawan olehnya?” Sin Wan bertanya cepat.
“Kwi Kai Hoatsu adalah jago nomor tiga dari Tibet yang memiliki kepandaian hebat dan tinggi sekali. Juga ia pandai ilmu sihir yang sukar sekali dilawan. Aku melihat sendiri tertawannya kawanmu siang tadi. Beginilah...”
Gak Bin Tong lalu menceritakan apa yang telah dilihatnya siang tadi. Ketika Sin Wan lari mengejar Suma-Cianbu yang melarikan diri, Giok Ciu memutar Ouw Liong Pokiam di tangannya lebih cepat lagi untuk mencegah orang-orang itu mengejar Sin Wan dan membela Suma-Cianbu.
Memang gadis ini lincah sekali gerakannya dan ketika ia memainkan silat pedang di bagian Ouw Liong Ciong-Thian atau Naga Hitam Terjang Langit, sebentar saja dua orang pengeroyoknya telah roboh mandi darah. Kemudian ia maju terus menghadapi pengeroyoknya yang tinggal empat orang lagi, yakni Liong-San Kui-Bo si wanita baju hijau, dan ketiga pahlawan lain yang berkepandaian tinggi, termasuk Liang Ging Tosu yang bersenjata tongkat baja. Biarpun dikeroyok empat, namun Giok Ciu masih berada difihak penyerang dan keempat musuhnya hanya dapat menangkis dan berkelit saja!
Tak lama lagi tentu keempatnya akan dapat dirobohkan oleh gadis yang konsen itu. Tapi pada saat itu, datanglah seorang Pendeta berjubah merah yang tubuhnya tinggi sekali, matanya lebar bundar dan hidungnya seperti pelatuk burung kakatua. Tosu ini memegang sebatang tongkat aneh.
Karena tongkat itu sebetulnya adalah seekor ular cobra yang telah mati dan dikeringkan, dengan bagian lehernya berkembang mengerikan, sedangkan di punggu Tosu itu terselip sebatang hudtim atau kebutan dengan bulu berwarna hitam. Tosu ini datang dengan tindakan lebar, dan di sebelahnya terdapat seorang laki-laki yang berpakain serba mewah dan bertopi indah terhias permata. Laki-laki ini usianya paling banyak empat puluh tahun dan dari topinya ternyata bahwa ia adalah seorang pangeran!
Ia datang sambil naik seekor kuda yang tinggi besar dan berbulu putih. Biarpun kudanya lari cepat, namun Tosu itu yang tampak berjalan seenaknya, ternyata tidak ketinggalan. Ini saja membuktikan kelihaian Tosu aneh itu. Melihat betapa seorang gadis dengan hebatnya mengurung keempat pahlawan Kaisar dengan sinar pedangnya yang berwarna hitam, pangeran itu berkata,
“Gadis cilik manakah yang berani main gila disini?”
Tosu itu lalu tertawa besar dan berkata, “Kalian mundurlah, biarkan Pinto menangkapnya!” Setelah berkata begini, Tosu itu meloncat dan tahu-tahu telah menghadang di depan Giok Ciu. Gadis ini terkejut melihat gerakan orang yang demikian cepat, tapi ia tidak jerih dan memutar pokiamnya dengan gerakan Ouw Liong Ciauw-Hai atau Naga Hitam Lintasi Laut, langsung menyerang dengan tusukan maut ke dada Tosu itu.
Tosu itu cepat-cepat berkelit ke kiri dan berbareng ulur tangan kanannya yang berbulu hitam itu untuk menangkap lengan Giok Ciu yang memegang pedang, tapi siapa sangka, begitu tusukannya dapat dikelit, Giok Ciu teruskan serangannya dengan gerakan Naga Hitam Caplok Ekornya. Pedangnya lalu berbalik dan menablas tangan Tosu yang hendak mencengkeram lengannya itu!
Tosu itu berseru heran dan terkejut. Tak disangkanya bahwa kiam-hwat gadis ini sedemikian lihainya hingga kalau tidak ia buru-buru meloncat ke belakang dan menarik kembali lengannya, tentu lengan itu telah terbabat putus! Diam-diam ia mengeluarkan keringat dingin dan kini ia tahu bahwa gadis ini adalah murid seorang sakti yang tidak boleh dibuat main-main lagi.
Ia lalu memindahkan tongkat ular yang tadinya dipegang di tangan kiri, ke tangan kanan, lalu dengan tongkat aneh itu ia melayani Giok Ciu. Karena kulit ular cobra yang menjadi tongkat itupun berwarna ke hitam-hitaman, maka kini tampak dua sinar hitam saling serang dengan hebatnya!
Betapapun hebat gerakan dan senjata Tosu itu, namun menghadapi Ouw Liong Pokiam yang dimainkan dengan sedemikian luar biasanya oleh Giok Ciu, Tosu itu tidak dapat berbuat banyak. Bahkan ia harus berlaku hati-hati sekali, karena kalau tidak, banyak kemungkinan tongkat ular senduk itu akan terbabat putus oleh Ouw Liong Pokiam!
Tosu itu adalah Kwi Kai Hoatsu, seorang paderi di Tibet yang telah diusir pergi oleh kaum Lama karena paderi ini ternyata bukanlah orang suci seperti seharusnya seorang Pendeta, dan dalam tingkat kepandaian. Ia boleh dibilang menduduki tingkat ke tiga di seluruh Tibet. Ia bukan lain ialah suheng atau kakak seperguruan dari Cin Cin Hoatsu, ialah Pendeta Tibet yang dulu membunuh Kwie Cu Ek, Ayah Giok Ciu!
Tapi dibandingkan dengan Cin Cin Hoatsu, Kwi Kai Hoatsu lebih lihai. Sebetulnya dalam hal lweekang atau ginkang, Giok Ciu masih belum dapat menyamai Kwi Kai Hoatsu yang lihai, tapi karena gadis itu memegang sebuah pedang keramat yang sangat ampuh, pula memainkan ilmu pedang yang benar-benar menjagoi di seluruh kalangan persilatan pedang, maka untuk beberapa lama Tosu itu tidak berdaya. Sebaliknya Giok Ciu juga merasa lelah karena lawannya ini benar-benar tangguh.
Setelah mereka bertempur hampir seratus jurus dan belum juga dapat merobohkan gadis itu, Kwi Kai Hoatsu merasa penasaran dan malu sekali. Ia merasa kehilangan muka di depan para pahlawan, terutama di depan pangeran yang tadi datang bersama-sama dia dan kini masih menonton di atas kudanya, ia merasa betapa nama besarnya dipermainkan oleh gadis cilik ini. Karena itu maka ia lalu berseru keras dan tiba-tiba dari mulut ular yang telah menjadi tongkat itu menyambar keluar asap hijau ke arah muka Giok Ciu!
Pada saat itu, Kwi Kai Hoatsu sedang menyerang dengan pukulan ke leher Giok Ciu dan Giok Ciu hanya miringkan kepala berkelit maka ketika tiba-tiba mulut ular itu mengeluarkan uap hijau, ia tak dapat berbuat lain kecuali membuang diri kebelakang. Tapi terlambat, karena ia telah mencium bau yang amis sekali dan tiba-tiba kepalanya menjadi pening, matanya berkunang-kunang. Kemudian, dengan pekik nyaring, gadis gagah itu roboh pingsan dengan pedang masih terkepal erat di tangannya!
“Nah, demikianlah, Kwie Lihiap tertawan oleh mereka dan dibawa pergi.” Gak Bin Tong mengakhiri ceritanya kepada Sin Wan.
Sin Wan marah sekali, kedua matanya mengeluarkan cahaya api dan giginya berbunyi. Kemudian ia dapat menekan perasaan cemasnya, lalu ia menjura kepada Gak Bin Tong.
“Maafkan sikapku yang kasar tadi, saudara. Sebetulnya dengan siapakah aku berhadapan? Dan mengapa kau agaknya membela kami?”
Gan Bin Tong membalas hormatnya, “Aku adalah Gan Bin Tong dan aku terpaksa menggabungkan diri dengan para pahlawan Kaisar, karena Ayahku adalah seorang pembesar di istana, tapi semenjak kecil aku belajar di Bu-Tong-San dan baru beberapa bulan kembali ke sini. Aku suka melihat sepak terjangmu dan sepak terjang Kwie Lihiap, karena aku tahu bahwa kalian hanya datang untuk menuntut balas, sekali-kali bukan maksud kalian untuk memberontak atau mengacau. Sekarang, marilah kita tolong Kwie Lihiap.”
“Apa dia tidak apa-apa? Dimana dikeramnya?” Sin Wan bertanya dengan hati memukul.
“Tenanglah, ia tidak apa-apa dan kalau tidak salah, ia dibawa oleh Pangeran Lu ke gedungnya.”
“Pangeran Lu? Siapakah dia?”
“Pangeran Lu Boh Ong adalah murid dari Kwi Kai Hoatsu, kepandaiannya lumayan juga, dan ia sangat disayang oleh Suhunya karena pangeran Lu pandai mengambil hati dan menguruk diri Kwi Kai Hoatsu dengan segala kesenangan dan harta benda.”
“Kalau begitu, mari kita segera berangkat. Biar kau serahkan saja pangeran anjing itu kepadaku,” kata Sin Wan.
“Sabar, kawan. Kita harus menggunakan siasat, karena ketahuilah bahwa Kwi Kai Hoatsu menjaga gedung itu.”
“Siapa takuti dia?” kata Sin Wan gagah.
“Memang kau tak perlu takuti dia, tapi ia benar-benar lihai dan ilmu sihirnya berbahaya sekali. Lebih baik diatur begini. kau menyerbu ke dalam gedung dan aku akan ajak Tosu itu bercakap-cakap, karena aku sudah kenal padanya dan sering bercakap-cakap atau main catur dengan dia.”
Sin Wan girang sekali dan dia menjabat tangan kawan baru itu dengan berterima kasih. Kemudian mereka lalu berangkat dan bergerak cepat sekali di atas genteng. Biarpun dalam hal ilmu lari cepat Gak Bin Tong masih jauh di bawah kepandaian Sin Wan, namun pemuda muka putih itu tidak tertinggal jauh.
Ketika mereka tiba di sebuah gedung besar dan megah, Gak Bin Tong memberi tanda kepada Sin Wan supaya berhati-hati. Pertama-tama mereka menuju ke kamar di sebelah kiri. Begitu mereka menginjak genteng, tiba-tiba dari bawah terdengar bentakan.
“Siapa di atas?”
Terkejutlah Sin Wan melihat kelihaian orang di bawah yang segera mengetahui bahwa di atas genteng ada orang! Ia tidak tahu bahwa memang di bawah genteng dipasangi alat hingga jika genteng itu terpijak sedikit saja, maka akan ada tanda di dalam kamar itu. Gak Bin Tong segera menjawab,
“Bukan lain orang, Totiang, aku Gak Bin Tong hendak bercakap-cakap dengan kau orang tua!”
Pemuda muka putih itu segera memberi tanda kepada Sin Wan untuk meloncat ke bagian lain, sementara ia sendiri meloncat untuk bertemu dengan Kwi Kai Hoatsu yang lihai.
Sin Wan segera memeriksa gedung itu dengan hati-hati sekali. Ketika ia memeriksa bagian belakang gedung itu, terdengar suara orang berkata-kata dengan suara marah. Ia girang sekali karena kenal suara ini sebagai suara Giok Ciu. Cepat Sin Wan membuka genteng dan mengintai ke dalam. Ternyata Giok Ciu tampak duduk di atas sebuah pembaringan dengan wajah pucat bagaikan seorang yang baru sembuh dari sakit.
Ternyata bisa yang tersembur dai mulut tongkat ular dan yang telah kena tercium olehnya itu berbahaya sekali dan setelah minum obat penawar dari Kwi Kai Hoatsu, barulah jiwa Giok Ciu tertolong. Sebetulnya, biarpun tidak minum obat penawar, belum tentu gadis itu akan terbinasa, karena di dalam tubuhnya telah mengalir pengaruh mujijat dari buah-buah yang dulu ia makan didalam gua ular. Tentu saja ia sendiri maupun Kwi Kai Hoatsu tidak mengetahui hal ini.
Setelah Giok Ciu sadar, maka Pendeta yang lihai itu lalu menotok urat jalan darah gadis itu bagian Koan-Goan-Hiat, hingga biarpun Giok Ciu telah kembali kesehatannya, namun tenaganya lumpuh dan ia tidak berdaya. Kalau tidak mendapat pertolongan untuk memunahkan pengaruh totokan itu, ia harus menanti tiga hari baru tenaganya akan pulih dan totokan itu akan lenyap pengaruhnya sendiri.
Ia telah kerahkan tenaganya tapi karena totokan itu memang lihai, ia tidak bisa gerakkan lweekangnya hingga sia-sia saja usahanya untuk melepaskan totokan. Sin Wan sekejab saja tahu bahwa Giok Ciu berada dibawah pengaruh totokan, maka hatinya menjadi marah sekali. Tapi ia masih menahan sabar karena ia harus bertindak hati-hati. Ia melihat bahwa pada saat itu, seorang pelayan wanita sedang membujuk gadis itu yang dijawab dengan makian dan cacian sehingga pelayan itu menjadi kewalahan.
Pada saat Sin Wan hendak meloncat turun, tiba-tiba pintu kamar terbuka dan seorang laki-laki berpakaian mewah dan indah berjalan masuk. Laki-laki itu usianya kurang lebih empat puluh tahun, lagaknya dibuat-buat dan ceriwis sekali. Sepasang matanya yang kekuning-kuningan itu berminyak dan memandang kepada Giok Ciu dengan kurang ajar.
“Aah, Siocia, bagaimana rasanya tubuhmu? Sudah sehat kembali, bukan? Sukurlah...” Kata laki-laki itu kepada Giok Ciu yang tidak menjawabnya, tapi memandang dengan tajam dan marah.
“Siocia telah berkali-kali kukatakan tak perlu kau melawan kami, karena di kota raja banyak sekali terdapat pahlawan-pahlawan yang gagah perkasa dan orang-orang berilmu tinggi. Dan lagi, apakah perlunya mengacau dan memberontak? Usahamu akan sia-sia belaka, bahkan nyawamu akan tak tertolong. Bukankah sayang sekali kalau orang seperti kau yang semanis dan semuda ini mengorbankan jiwa dengan sia-sia?”
Suara bujukan yang manis ini bahkan menambah marah hati Giok Ciu. “Siapa yang perduli omonganmu yang kosong? Aku datang hendak membunuh bangsat she Suma itu dan kawan-kawannya! Apa hubungannya dengan kau?”
“Itulah yang salah sekali, Suma-Cianbu adalah seorang berjasa di istana, dan yang dibunuh olehnya dulu adalah para pemberontak negara. Mana bisa kau sekarang datang-datang hendak membunuhnya? Itulah yang disebut mengapa kau memberontak mengacau. Sudahlah, kau menyerahlah saja dengan baik-baik. Kalau kau berjanji hendak menyerah dan tidak mengamuk lagi, aku Lu Boh Ong akan menanggung dan membelamu. Percayalah kepada Pangeran Lu!”
“Sudahlah kau jangan banyak mengobrol di depanku. Tunggu saja, kalau kawanku datang, kau pasti akan mendapat hadiah ujung pedangnya!”
Lu Boh Ong tertawa bergelak-gelak. “Kawanmu? Ha ha ha, jangan ngelindur! Kawanmu itu telah mati di tangan para pahlawan. Tubuhnya sudah dihancur leburkan, maka jangan kau menanti sia-sia!”
Sehabis berkata demikian, pangeran ceriwis itu bertindak mendekat dan hendak memeluk Giok Ciu. Gadis itu biarpun telah lumpuh karena totokan, tidak sudi didekati pangeran itu, maka ia bergerak, berdiri dan hendak meloncat. Tapi tubuhnya menjadi limbung dan ia roboh!
Terdengar pangeran itu tertawa besar dan pada saat itu Sin Wan dengan gemasnya telah meloncat ke dalam kamar. Kaget sekali Pangeran Lu itu melihat seorang pemuda dengan pedang berkilau putih di tangan tahu-tahu telah berada di situ. Ia segera menyambar sebatang pedang yang memang tersedia di punggungnya dan cepat bagaikan seekor harimau ia menubruk ke arah Sin Wan.
Sin Wan memutar pedangnya menangkis lalu setelah melayani mereka beberapa jurus dan mendapat ketika, ia meloncat pula mengejar ke arah bayangan tadi. Ia mencari-cari dengan matanya dan melihat berkelebatnya bayangan di tempat jauh, di atas sebuah gedung yang jauhnya beberapa belas rumah dari situ. Ia lalu meloncat lagi dan lari mengejar.
Ia masih sempat melihat betapa Suma-Cianbu yang ketakutan setengah mati itu lari dan meloncat turun dalam pekarang belakang sebuah gedung. Tapi pada saat itu, Liang Gwat Tosu dan Liang Hun Tosu sudah sampai pula ke situ dan mengirim serangan mereka lagi!
“Pendeta-Pendeta tak tahu diri! Aku tak ingin membunuhmu, lepaskanlah aku!”
“Bangsat kecil, jangan kau banyak tingkah. Menyerah atau mati.”
Maka timbullah marah Sin Wan. Ia memutar Pokiamnya sedemikian rupa sehingga Pek Liong Pokiam seakan-akan berubah menjadi puluhan dan menyerang ke dua Tosu itu dari segala jurusan.
Tosu-Tosu itu adalah murid Cin Cin Hoatsu tingkat pertama, maka kepandaian silat mereka memang tinggi. Tapi kini menghadapi Pek Liong Kiam-Sut, mereka tak berdaya. Mereka masih mencoba untuk memutar-mutar tongkat menangkis, tapi sia-sia, karena pokiam itu telah mendahului mereka dan tiba-tiba Liang Hun Tosu berteriak kesakitan karena lengan tanggannya berikut tongkatnya terbabat putus!
Dengan kaget Liang Gwat Tosu meloncat mundur, dan Sin Wan lalu lari pula ke arah gedung di mana tadi Suma-Cianbu turun. Liang Gwat Tosu terpaksa hanya bisa menolong sutenya yang terluka parah. Sin Wan meloncat turun ke pekarangan gedung besar itu dan ia tiba di taman yang indah. Ia menengok ke sana ke sini, lari lari ke arah gedung. Ia mengintai ke dalam dari sebuah jendela, tapi gedung itu sunyi saja.
Setelah mengambil jalan memutar ia mengintai ke jendela lain dan di dalam sebuah kamar ia melihat seorang gadis sedang membaca kitab Tiong Yong, yakni kitab pelajaran Nabi Khong Hu Cu. Seorang pelayan wanita datang mengantar air teh dan berkata,
“Suma-Siocia, kau rajin sekali sehingga siang malam hanya belajar kitab saja. Apakah Siocia ingin menjadi sasterawan wanita? Ataukah Siocia ingin menjadi gadis suci?” Pelayan itu menggoda. Dan gadis itu perdengarkan suara ketawanya yang halus dan merdu. Tubuhnya yang langsing itu bergoyang-goyang di atas bangku yang didudukinya ketika ia tertawa, lalu terdengar suaranya yang lemah lembut,
“A-bwe, aku adalah seorang wanita terpelajar, kalau tidak membaca kitab yang balik di dalam kamar atau menyulam sulaman yang indah, habis apakah harus pegang pedang main panah?” A-bwe, pelayan itu tertawa sambil menutup mulutnya dengan ujung lengan baju, lagaknya genit sekali.
“Siocia, apa salahnya kalau kau bermain pedang? Ayahmu seorang pembesar militer yang gagah perkasa.”
“Ingat, A-bwe, aku seorang wanita.”
“Tapi, Siocia. Bukankah jaman sekarang banyak terdapat wanita-wanita pandai bersilat? Coba saja lihat nyonya tua yang berbaju hijau yang kemarin datang itu, namanya kalau tidak salah Liong-San Toanio, begitulah disebut orang. Ia selalu membawa-bawa pedang dan kabarnya kepandaiannya tidak dibawah Ayahmu sendiri. Bukankah itu hebat dan luar biasa sekali namanya?”
Nona itu menghela napas dan ia memutar tubuhnya perlahan dan menghadap jendela hingga Sin Wan terkejut dan buru-buru bersembunyi, dan mendengar lebih jauh sambil mengagumi wajah gadis yang luar biasa cantiknya itu.
Usia gadis itu paling banyak delapan belas tahun, pakaiannya indah berkembang, tubuhnya tinggi langsing, rambunya hitam panjang dikonde ke belakang dengan manisnya, sedangkan kulit muka yang halus lemas kemerah-merahan itu terhias sepasang mata yang cerdas dan lembut sinarnya, hidung dan mulutnya kecil dan indah bentuknya. Pendeknya seorang Cian-Kim Siocia yang benar-benar tiada cacad celanya!
Nona itu menghela napas dan berkata, “A-bwe, biarpun Ayah berpangkat Cianbu dan tiap hari kau melihat orang-orang dari golongan ahli silat, namun sesungguhya aku tidak suka melihat orang-orang yang biasanya hanya bermain dengan senjata tajam untuk membunuh orang lain! Lihatlah betapa permusuhan ditumpuk-tumpuk, orang-orang saling kejar, saling bunuh, dan saling balas sakit hati. Apakah hidup macam demikian itu baik? Ah, aku lebih senang membaca kitab-kitab kuno yang memberi nasehat-nasehat dan petuah tentang hidup yang baik.”
“Suma-Siocia, kau memang seorang Ciankim Siocia yang berbudi dan pandai,” A-bwe memuji.
Sementara itu, kini Sin Wan tidak ragu-ragu lagi bahwa nona cantik di dalam kamar itu adalah puteri musuhnya, anak perempuan dari Suma-Cianbu! Ia tidak mau mengganggunya, karena yang dibenci dan dicarinya hanya Suma-Cianbu seorang. Maka ia segera tinggalkan tempat itu dan memeriksa kamar lain. Tapi Suma-Cianbu tidak tampak bayangannya! Sin Wan menjadi marah dan timbul gemasnya. Ia lalu kembali ke atas kamar Suma-Siocia tadi dan cepat meloncat masuk dari jendela!
Suma-Siocia menggunakan saputangan menutup mulutnya yang hendak mengeluarkan jeritan kaget ketika melihat betapa tiba-tiba seorang pemuda yang tampan dan gagah tahu-tahu telah berada di dalam kamarnya! Kebetulan sekali A-bwe baru saja keluar dari kamar itu karena disuruhnya mengambil benang sulam baru.
“Maaf Siocia. Aku tak hendak mengganggumu, hanya ingin bertanya bukankah Siocia puteri dari Suma-Cianbu?”
Melihat sikap dan kata-kata Sin Wan yang halus, lenyaplah rasa kaget nona itu dan ia mengangguk untuk membenarkan kata-kata Sin Wan.
“Di manakah Ayahmu sekarang, Siocia? Tadi aku melihat ia masuk ke dalam gedung ini, tapi telah lenyap begitu saja. Dimana ia bersembunyi?”
Tiba-tiba Suma-Siocia menjadi berani dan bertanya, “Ada urusan apakah kau mencari Ayahku?”
“Dia adalah musuh besarku yang harus menebus dosanya!”
Terbelalak sepasang mata yang bening itu mendengar pengakuan ini. “Apa?? Mengapa begitu? Apakah dosanya terhadapmu?”
Sin Wan kertak gigi ketika menjawab. “Ayahmu telah membunuh Ibuku dan Kakekku! Hayo katakan, dimana dia?”
“Tidak, tidak! Ayah...!! Kau pergilah... ada orang jahat!!” Suma-Siocia berteriak-teriak.
Sin Wan cepat maju dan ulurkan tangannya sehingga sekelebat saja Suma-Siocia kena tertotok dan lemas tak berdaya. Tiba-tiba timbullah akal pada pikiran Sin Wan. Musuh besarnya sangat licin dan selain banyak pelindungnya, juga pandai bersembunyi. Lebih baik kalau ia culik Suma-Siocia saja untuk memancing Suma-Cianbu! Karena pikiran ini, maka ia berkata kepada gadis itu yang masih dapat mendengarnya walaupun telah menjadi gagu.
“Maaf, Siocia. Kau terpaksa kubawa untuk memancing Ayahmu keluar dari tempat sembunyiannya!”
Pada saat itu A-bwe telah datang dan melihat seorang pemuda berada disitu dan nonanya dalam keadaan lemas dipegang oleh pemuda tampan dan asing itu, segera ia lari keluar kamar dan menjerit-jerit. Sin Wan tidak buang waktu lagi, segera ia pondong tubuh Suma-Siocia dan meloncat keluar dari jendela, terus saja ia melayang ke atas genteng.
“Bangsat penculik jangan lari!” terdengar teriakan orang dan beberapa orang pengawal meloncat naik mengejar. Tapi Sin Wan kecewa sekali karena di antara lima orang pengawal yang mengejarnya itu tidak tampak Suma-Cianbu sendiri.
“Kalian minggirlah dari sini! Aku tidak butuh jiwamu. Suruh bangsat Suma-Cianbu itu keluar sendir!”
Sin Wan berseru marah dan gemas, tapi kelima pahlawan itu segera mengurungnya dan menyerangnya. Sin Wan hanya berkelit karena ia tiada nafsu untuk melayani orang-orang ini. Ia segera menggunakan ginkangnya dan sekali loncat saja ia telah keluar dari kepungan itu sambil pondong tubuh Suma-Siocia!
Kemudian ia berlari-lari cepat di atas genteng. Lima orang pengawal itu mengejarnya, tapi sebentar saja Sin Wan telah lenyap jauh di depan. Sin Wan kembali ke tempat di mana tadi Giok Ciu dikeroyok, yakni dipintu gerbang kota.
Tapi alangkah terkejutnya ketika ia tidak melihat orang berkelahi di tempat itu lagi. Apakah Giok ciu telah berhasil memukul mundur semua musuhnya dan menyusulnya? Tapi kenapa ia tidak bertemu dengan gadis itu? Atau barangkali Giok Ciu telah kembali lebih dulu di Kelenteng.
Memikir demikian, Sin Wan lalu cepat lari menuju ke Kelenteng dimana ia dan Giok Ciu tinggal. Tapi kembali ia kecewa karena di tempat inipun gadis itu belum pulang! Dua orang Nikouw tua dari Kwan-Im-Bio heran sekali melihat Sin Wan memondong seorang gadis cantik yang setengah pingsan.
“Bun Taihiap, kalau kau hendak melanggar kesopanan dan melakukan kejahatan, maka terpaksa kami mengusir kau dari sini!”
Nikouw itu berkata dengan sikap keren, karena mereka menyangka keliru pada Sin Wan yang membawa seorang gadis dalam keadaan demikian. Sin Wan segera lepaskan totokan Suma-Siocia yang segera menjatuhkan diri berlutut di depan kedua Nikouw itu sambil menangis sedih.
“Jangan khawatir, saya tidak melakukan sesuatu yang jahat. Gadis ini sengaja saya culik untuk memaksa Ayahnya keluar dari tempat persembunyiannya, dan Ayahnya ialah musuh besar saya, pembunuh Ibu dan Kakek! Suma-Siocia, ku harap kau suka tinggal di Kelenteng ini untuk sementara waktu sampai Ayahmu sudah bertemu dengan aku. Aku bukanlah orang rendah yang hendak menyusahkan dan mengganggumu, dan percayalah, aku melakukan ini karena sangat terpaksa. Kalau Ayahmu tidak berlaku curang dan pengecut, mungkin kau dan aku selamanya tak pernah bertemu muka. Agaknya memang telah menjadi nasibmu harus ikut merasakan dosa-dosa Ayahmu!”
Sin Wan lalu meninggalkan gadis itu kepada kedua Nikouw yang terheran-heran sekali mendengar kata-katanya. Gadis itu hanya menangis sedih dan segera dihibur oleh kedua Nikouw itu dan dibawa kekamar mereka.
Sementara itu, Sin Wan dengan hati sangat gelisah menanti-nanti kembalinya Giok Ciu. Ia duduk dalam kamarnya, lalu keluar untuk melihat apakah gadis itu telah kembali, kemudian kembali ke kamar dan duduk lagi. Ia gelisah sekali karena setelah ditunggu sampai sore, belum, juga Giok Ciu kembali!
Setelah hari menjadi gelap dan bintang-bintang malam mulai tampak menghias langit hitam, kegelisahan Sin Wan memuncak dan ia tidak sabar untuk untuk menanti lebih lama. Giok Ciu pasti terkena bencana, pikirnya dengan hati cemas dan tercampur mendongkol. Pembalasan dendam belum berhasil, telah ditambah lagi dengan lenyapnya Giok Ciu!
Ia segera meninggalkan Kelenteng setelah berpesan kepada kedua Nikouw agar menjaga Suma-Siocia baik-baik, dan langsung menuju ke dalam kota. Ia berdiri lama sekali di tempat persembunyian siang tadi, tapi di situ sunyi senyap.
“Kemanakah ia harus mencari jejak Giok Ciu?”
Ia lalu meloncat naik ke atas genteng dan menuju ke gedung Suma-Cianbu dari mana tadi ia menculik Suma-Siocia. Disitupun sunyi saja, bahkan gedung di bawah itu gelap sama sekali, menunjukkan bahwa pada saat itu tidak ada penghuni. Tentu bangsat tua she Suma itu telah pergi ke lain tempat, pikirnya gemas.
Apakah betul-betul bangsat itu demikian kejam dan tega terhadap puteri sendiri sehingga tidak hendak menolong? Apakah ia hendak mengorbankan puterinya untuk keselamatan jiwa sendiri? Pada saat ia berdiri termenung di atas genteng, tiba-tiba dari arah kiri tampak berkelebat bayangan orang dengan gerakan sangat gesit. Begitu tiba dekat Sin Wan, bayangan itu bertanya,
“Apakah kau mencari Kwie Lihiap?”
Terkejutlah Sin Wan mendengar ini, dan cepat ia mencabut Pek Liong Pokiam dari pinggangnya dan membentak, “Bangsat rendah, hayo katakan dimana kalian sembunyian Kwie Giok Ciu!”
Bayangan itu yang ternyata seorang pemuda berwajah tampan dan putih, tersenyum. “Sebelum aku menjawab, marilah kita main-main sebentar!”
Dan ia lalu mencabut keluar sebatang pedang dan menyerang Sin Wan yang menjadi marah sekali dan menangkis dengan pedangnya. Terdengar bunyi...
“Trang!!” dan bunga api bepercikan ketika kedua pedang itu berardu dengan kerasnya.
Sin Wan terkejut karena ternyata bahwa senjata lawannya juga sebatang pedang pusaka yang kuat dan tajam, juga ketika kedua pedang bertemu. Ia merasakan betapa telapak tangganya tergetar karena tenaga lawannya tidak lemah! Sebaliknya pemuda muka putih itu mengeluarkan suara kagum karena ia merasa telapak tangannya perih dan hampir saja pokiam yang dipegangnya terpental! Mereka lalu saling serang dengan hebatnya.
Setelah bertempur puluhan jurus, tahulah Sin Wan bahwa lawannya adalah seorang ahli pedang Bu-Tong-Pai, tapi yang telah memiliki kepandaian asli hingga gerakan-gerakannya sangat sempurna dan hebat. Diam-diam ia mengeluh karena kalau fihak musuhnya mempunyai orang-orang yang seperti ini kepandaiannya, maka makin sukarlahnya untuk membalas dendam.
Memang ilmu pedang Bu-Tong mempunyai keistimewaan dalam membela diri, hingga pedang pemuda muka putih itu diputar sedemikian rupa bagaikan benteng baja yang amat kuat. Akan tetapi kali ini ia menghadapi Sin Wan, pemuda yang telah meyakinkan Sin-Liong Kiam-Sut yang tiada bandingnya di dunia ini, ditambah pula telah mempelajari Pek Liong Kiam-Sut, maka desakan-desakannya membuat pemuda ahli Bu-Tong-Pai itu repot juga.
Sin Wan mainkan gerakan Sin-Liong Kiam-Sut di bagian yang paling sulit dilawan, yakni Sin-Liong Koan-Jit atau Naga Sakti Menutupi Matahari. Tubuhnya yang memiliki ginkang tinggi itu berkelebat ke atas dan bawah demikian cepatnya, didahului dengan gerakan pedang yang menyambar-nyambar merupakan sinar putih menyilaukan dan setiap saat mengancam hendak menembus dan membobolkan benteng baja dari pedang pemuda muka putih itu!
Kali ini benar-benar pemuda muka putih itu kewalahan dan hampir saja ia tak dapat bertahan lagi, maka cepat ia berseru, “Bun Taihiap, tahan dulu!” lalu ia meloncat ke belakang berjumpalitan dengan gerak tipu Ular Air Menerjang Ombak.
Sin Wan menahan serangannya dan memandang dengan mata tajam dan marah di tahan-tahan. “Kau mau apa?” tanyanya dengan ketus.
Heran sekali, pemuda itu agaknya tidak mengambil sikap bermusuhan, sebaliknya bahkan tertawa. “Bun-Taihiap, sungguh hebat Pek Liong Kiam-Sut yang kau mainkan! Setelah bertempur kurang lebih seratus jurus, aku Gak Bin Tong mengaku kalah! Terima kasih atas pelajaran yang kau berikan tadi.”
“Eh, apa artinya kata-katamu semua ini? Jangan kau bermain-main didepanku, aku sedang sibuk!” Sin Wan menegur gemas.
Pemuda muka putih itu segera angkat tangan menjura. “Maaf, Taihiap, sebetulnya aku tadi hanya ingin mencoba kelihaianmu saja. Aku bukan musuhmu, jika kau tidak percaya, hendak kubuktikan sekarang. Bukankah kau sedang mencari-cari kawanmu yang lenyap?”
“Ya, dimanakah dia? Tahukah kau apa yang telah terjadi dengan Kwie Lihiap?”
“Dia telah tertawan,” kata Gak Bin Tong.
Terkejutlah Sin Wan mendengar ini. “Tertawan? Ah, rasanya tak mungkin!”
Gak Bin Tong tersenyum mengejek. “Memang kau dan kawanmu itu sudah cukup pantas untuk bersikap jumawa, tapi ingatlah, di dunia ini masih banyak sekali orang yang terlebih pandai daripada kita. Kwi Kai Hoatsu kebetulan datang dan apa yang tidak mungkin baginya? Sumoimu itu mudah saja tertawan olehnya.”
“Kwi Kai Hoatsu, siapakah itu? Dan bagaimana bisa tertawan olehnya?” Sin Wan bertanya cepat.
“Kwi Kai Hoatsu adalah jago nomor tiga dari Tibet yang memiliki kepandaian hebat dan tinggi sekali. Juga ia pandai ilmu sihir yang sukar sekali dilawan. Aku melihat sendiri tertawannya kawanmu siang tadi. Beginilah...”
Gak Bin Tong lalu menceritakan apa yang telah dilihatnya siang tadi. Ketika Sin Wan lari mengejar Suma-Cianbu yang melarikan diri, Giok Ciu memutar Ouw Liong Pokiam di tangannya lebih cepat lagi untuk mencegah orang-orang itu mengejar Sin Wan dan membela Suma-Cianbu.
Memang gadis ini lincah sekali gerakannya dan ketika ia memainkan silat pedang di bagian Ouw Liong Ciong-Thian atau Naga Hitam Terjang Langit, sebentar saja dua orang pengeroyoknya telah roboh mandi darah. Kemudian ia maju terus menghadapi pengeroyoknya yang tinggal empat orang lagi, yakni Liong-San Kui-Bo si wanita baju hijau, dan ketiga pahlawan lain yang berkepandaian tinggi, termasuk Liang Ging Tosu yang bersenjata tongkat baja. Biarpun dikeroyok empat, namun Giok Ciu masih berada difihak penyerang dan keempat musuhnya hanya dapat menangkis dan berkelit saja!
Tak lama lagi tentu keempatnya akan dapat dirobohkan oleh gadis yang konsen itu. Tapi pada saat itu, datanglah seorang Pendeta berjubah merah yang tubuhnya tinggi sekali, matanya lebar bundar dan hidungnya seperti pelatuk burung kakatua. Tosu ini memegang sebatang tongkat aneh.
Karena tongkat itu sebetulnya adalah seekor ular cobra yang telah mati dan dikeringkan, dengan bagian lehernya berkembang mengerikan, sedangkan di punggu Tosu itu terselip sebatang hudtim atau kebutan dengan bulu berwarna hitam. Tosu ini datang dengan tindakan lebar, dan di sebelahnya terdapat seorang laki-laki yang berpakain serba mewah dan bertopi indah terhias permata. Laki-laki ini usianya paling banyak empat puluh tahun dan dari topinya ternyata bahwa ia adalah seorang pangeran!
Ia datang sambil naik seekor kuda yang tinggi besar dan berbulu putih. Biarpun kudanya lari cepat, namun Tosu itu yang tampak berjalan seenaknya, ternyata tidak ketinggalan. Ini saja membuktikan kelihaian Tosu aneh itu. Melihat betapa seorang gadis dengan hebatnya mengurung keempat pahlawan Kaisar dengan sinar pedangnya yang berwarna hitam, pangeran itu berkata,
“Gadis cilik manakah yang berani main gila disini?”
Tosu itu lalu tertawa besar dan berkata, “Kalian mundurlah, biarkan Pinto menangkapnya!” Setelah berkata begini, Tosu itu meloncat dan tahu-tahu telah menghadang di depan Giok Ciu. Gadis ini terkejut melihat gerakan orang yang demikian cepat, tapi ia tidak jerih dan memutar pokiamnya dengan gerakan Ouw Liong Ciauw-Hai atau Naga Hitam Lintasi Laut, langsung menyerang dengan tusukan maut ke dada Tosu itu.
Tosu itu cepat-cepat berkelit ke kiri dan berbareng ulur tangan kanannya yang berbulu hitam itu untuk menangkap lengan Giok Ciu yang memegang pedang, tapi siapa sangka, begitu tusukannya dapat dikelit, Giok Ciu teruskan serangannya dengan gerakan Naga Hitam Caplok Ekornya. Pedangnya lalu berbalik dan menablas tangan Tosu yang hendak mencengkeram lengannya itu!
Tosu itu berseru heran dan terkejut. Tak disangkanya bahwa kiam-hwat gadis ini sedemikian lihainya hingga kalau tidak ia buru-buru meloncat ke belakang dan menarik kembali lengannya, tentu lengan itu telah terbabat putus! Diam-diam ia mengeluarkan keringat dingin dan kini ia tahu bahwa gadis ini adalah murid seorang sakti yang tidak boleh dibuat main-main lagi.
Ia lalu memindahkan tongkat ular yang tadinya dipegang di tangan kiri, ke tangan kanan, lalu dengan tongkat aneh itu ia melayani Giok Ciu. Karena kulit ular cobra yang menjadi tongkat itupun berwarna ke hitam-hitaman, maka kini tampak dua sinar hitam saling serang dengan hebatnya!
Betapapun hebat gerakan dan senjata Tosu itu, namun menghadapi Ouw Liong Pokiam yang dimainkan dengan sedemikian luar biasanya oleh Giok Ciu, Tosu itu tidak dapat berbuat banyak. Bahkan ia harus berlaku hati-hati sekali, karena kalau tidak, banyak kemungkinan tongkat ular senduk itu akan terbabat putus oleh Ouw Liong Pokiam!
Tosu itu adalah Kwi Kai Hoatsu, seorang paderi di Tibet yang telah diusir pergi oleh kaum Lama karena paderi ini ternyata bukanlah orang suci seperti seharusnya seorang Pendeta, dan dalam tingkat kepandaian. Ia boleh dibilang menduduki tingkat ke tiga di seluruh Tibet. Ia bukan lain ialah suheng atau kakak seperguruan dari Cin Cin Hoatsu, ialah Pendeta Tibet yang dulu membunuh Kwie Cu Ek, Ayah Giok Ciu!
Tapi dibandingkan dengan Cin Cin Hoatsu, Kwi Kai Hoatsu lebih lihai. Sebetulnya dalam hal lweekang atau ginkang, Giok Ciu masih belum dapat menyamai Kwi Kai Hoatsu yang lihai, tapi karena gadis itu memegang sebuah pedang keramat yang sangat ampuh, pula memainkan ilmu pedang yang benar-benar menjagoi di seluruh kalangan persilatan pedang, maka untuk beberapa lama Tosu itu tidak berdaya. Sebaliknya Giok Ciu juga merasa lelah karena lawannya ini benar-benar tangguh.
Setelah mereka bertempur hampir seratus jurus dan belum juga dapat merobohkan gadis itu, Kwi Kai Hoatsu merasa penasaran dan malu sekali. Ia merasa kehilangan muka di depan para pahlawan, terutama di depan pangeran yang tadi datang bersama-sama dia dan kini masih menonton di atas kudanya, ia merasa betapa nama besarnya dipermainkan oleh gadis cilik ini. Karena itu maka ia lalu berseru keras dan tiba-tiba dari mulut ular yang telah menjadi tongkat itu menyambar keluar asap hijau ke arah muka Giok Ciu!
Pada saat itu, Kwi Kai Hoatsu sedang menyerang dengan pukulan ke leher Giok Ciu dan Giok Ciu hanya miringkan kepala berkelit maka ketika tiba-tiba mulut ular itu mengeluarkan uap hijau, ia tak dapat berbuat lain kecuali membuang diri kebelakang. Tapi terlambat, karena ia telah mencium bau yang amis sekali dan tiba-tiba kepalanya menjadi pening, matanya berkunang-kunang. Kemudian, dengan pekik nyaring, gadis gagah itu roboh pingsan dengan pedang masih terkepal erat di tangannya!
“Nah, demikianlah, Kwie Lihiap tertawan oleh mereka dan dibawa pergi.” Gak Bin Tong mengakhiri ceritanya kepada Sin Wan.
Sin Wan marah sekali, kedua matanya mengeluarkan cahaya api dan giginya berbunyi. Kemudian ia dapat menekan perasaan cemasnya, lalu ia menjura kepada Gak Bin Tong.
“Maafkan sikapku yang kasar tadi, saudara. Sebetulnya dengan siapakah aku berhadapan? Dan mengapa kau agaknya membela kami?”
Gan Bin Tong membalas hormatnya, “Aku adalah Gan Bin Tong dan aku terpaksa menggabungkan diri dengan para pahlawan Kaisar, karena Ayahku adalah seorang pembesar di istana, tapi semenjak kecil aku belajar di Bu-Tong-San dan baru beberapa bulan kembali ke sini. Aku suka melihat sepak terjangmu dan sepak terjang Kwie Lihiap, karena aku tahu bahwa kalian hanya datang untuk menuntut balas, sekali-kali bukan maksud kalian untuk memberontak atau mengacau. Sekarang, marilah kita tolong Kwie Lihiap.”
“Apa dia tidak apa-apa? Dimana dikeramnya?” Sin Wan bertanya dengan hati memukul.
“Tenanglah, ia tidak apa-apa dan kalau tidak salah, ia dibawa oleh Pangeran Lu ke gedungnya.”
“Pangeran Lu? Siapakah dia?”
“Pangeran Lu Boh Ong adalah murid dari Kwi Kai Hoatsu, kepandaiannya lumayan juga, dan ia sangat disayang oleh Suhunya karena pangeran Lu pandai mengambil hati dan menguruk diri Kwi Kai Hoatsu dengan segala kesenangan dan harta benda.”
“Kalau begitu, mari kita segera berangkat. Biar kau serahkan saja pangeran anjing itu kepadaku,” kata Sin Wan.
“Sabar, kawan. Kita harus menggunakan siasat, karena ketahuilah bahwa Kwi Kai Hoatsu menjaga gedung itu.”
“Siapa takuti dia?” kata Sin Wan gagah.
“Memang kau tak perlu takuti dia, tapi ia benar-benar lihai dan ilmu sihirnya berbahaya sekali. Lebih baik diatur begini. kau menyerbu ke dalam gedung dan aku akan ajak Tosu itu bercakap-cakap, karena aku sudah kenal padanya dan sering bercakap-cakap atau main catur dengan dia.”
Sin Wan girang sekali dan dia menjabat tangan kawan baru itu dengan berterima kasih. Kemudian mereka lalu berangkat dan bergerak cepat sekali di atas genteng. Biarpun dalam hal ilmu lari cepat Gak Bin Tong masih jauh di bawah kepandaian Sin Wan, namun pemuda muka putih itu tidak tertinggal jauh.
Ketika mereka tiba di sebuah gedung besar dan megah, Gak Bin Tong memberi tanda kepada Sin Wan supaya berhati-hati. Pertama-tama mereka menuju ke kamar di sebelah kiri. Begitu mereka menginjak genteng, tiba-tiba dari bawah terdengar bentakan.
“Siapa di atas?”
Terkejutlah Sin Wan melihat kelihaian orang di bawah yang segera mengetahui bahwa di atas genteng ada orang! Ia tidak tahu bahwa memang di bawah genteng dipasangi alat hingga jika genteng itu terpijak sedikit saja, maka akan ada tanda di dalam kamar itu. Gak Bin Tong segera menjawab,
“Bukan lain orang, Totiang, aku Gak Bin Tong hendak bercakap-cakap dengan kau orang tua!”
Pemuda muka putih itu segera memberi tanda kepada Sin Wan untuk meloncat ke bagian lain, sementara ia sendiri meloncat untuk bertemu dengan Kwi Kai Hoatsu yang lihai.
Sin Wan segera memeriksa gedung itu dengan hati-hati sekali. Ketika ia memeriksa bagian belakang gedung itu, terdengar suara orang berkata-kata dengan suara marah. Ia girang sekali karena kenal suara ini sebagai suara Giok Ciu. Cepat Sin Wan membuka genteng dan mengintai ke dalam. Ternyata Giok Ciu tampak duduk di atas sebuah pembaringan dengan wajah pucat bagaikan seorang yang baru sembuh dari sakit.
Ternyata bisa yang tersembur dai mulut tongkat ular dan yang telah kena tercium olehnya itu berbahaya sekali dan setelah minum obat penawar dari Kwi Kai Hoatsu, barulah jiwa Giok Ciu tertolong. Sebetulnya, biarpun tidak minum obat penawar, belum tentu gadis itu akan terbinasa, karena di dalam tubuhnya telah mengalir pengaruh mujijat dari buah-buah yang dulu ia makan didalam gua ular. Tentu saja ia sendiri maupun Kwi Kai Hoatsu tidak mengetahui hal ini.
Setelah Giok Ciu sadar, maka Pendeta yang lihai itu lalu menotok urat jalan darah gadis itu bagian Koan-Goan-Hiat, hingga biarpun Giok Ciu telah kembali kesehatannya, namun tenaganya lumpuh dan ia tidak berdaya. Kalau tidak mendapat pertolongan untuk memunahkan pengaruh totokan itu, ia harus menanti tiga hari baru tenaganya akan pulih dan totokan itu akan lenyap pengaruhnya sendiri.
Ia telah kerahkan tenaganya tapi karena totokan itu memang lihai, ia tidak bisa gerakkan lweekangnya hingga sia-sia saja usahanya untuk melepaskan totokan. Sin Wan sekejab saja tahu bahwa Giok Ciu berada dibawah pengaruh totokan, maka hatinya menjadi marah sekali. Tapi ia masih menahan sabar karena ia harus bertindak hati-hati. Ia melihat bahwa pada saat itu, seorang pelayan wanita sedang membujuk gadis itu yang dijawab dengan makian dan cacian sehingga pelayan itu menjadi kewalahan.
Pada saat Sin Wan hendak meloncat turun, tiba-tiba pintu kamar terbuka dan seorang laki-laki berpakaian mewah dan indah berjalan masuk. Laki-laki itu usianya kurang lebih empat puluh tahun, lagaknya dibuat-buat dan ceriwis sekali. Sepasang matanya yang kekuning-kuningan itu berminyak dan memandang kepada Giok Ciu dengan kurang ajar.
“Aah, Siocia, bagaimana rasanya tubuhmu? Sudah sehat kembali, bukan? Sukurlah...” Kata laki-laki itu kepada Giok Ciu yang tidak menjawabnya, tapi memandang dengan tajam dan marah.
“Siocia telah berkali-kali kukatakan tak perlu kau melawan kami, karena di kota raja banyak sekali terdapat pahlawan-pahlawan yang gagah perkasa dan orang-orang berilmu tinggi. Dan lagi, apakah perlunya mengacau dan memberontak? Usahamu akan sia-sia belaka, bahkan nyawamu akan tak tertolong. Bukankah sayang sekali kalau orang seperti kau yang semanis dan semuda ini mengorbankan jiwa dengan sia-sia?”
Suara bujukan yang manis ini bahkan menambah marah hati Giok Ciu. “Siapa yang perduli omonganmu yang kosong? Aku datang hendak membunuh bangsat she Suma itu dan kawan-kawannya! Apa hubungannya dengan kau?”
“Itulah yang salah sekali, Suma-Cianbu adalah seorang berjasa di istana, dan yang dibunuh olehnya dulu adalah para pemberontak negara. Mana bisa kau sekarang datang-datang hendak membunuhnya? Itulah yang disebut mengapa kau memberontak mengacau. Sudahlah, kau menyerahlah saja dengan baik-baik. Kalau kau berjanji hendak menyerah dan tidak mengamuk lagi, aku Lu Boh Ong akan menanggung dan membelamu. Percayalah kepada Pangeran Lu!”
“Sudahlah kau jangan banyak mengobrol di depanku. Tunggu saja, kalau kawanku datang, kau pasti akan mendapat hadiah ujung pedangnya!”
Lu Boh Ong tertawa bergelak-gelak. “Kawanmu? Ha ha ha, jangan ngelindur! Kawanmu itu telah mati di tangan para pahlawan. Tubuhnya sudah dihancur leburkan, maka jangan kau menanti sia-sia!”
Sehabis berkata demikian, pangeran ceriwis itu bertindak mendekat dan hendak memeluk Giok Ciu. Gadis itu biarpun telah lumpuh karena totokan, tidak sudi didekati pangeran itu, maka ia bergerak, berdiri dan hendak meloncat. Tapi tubuhnya menjadi limbung dan ia roboh!
Terdengar pangeran itu tertawa besar dan pada saat itu Sin Wan dengan gemasnya telah meloncat ke dalam kamar. Kaget sekali Pangeran Lu itu melihat seorang pemuda dengan pedang berkilau putih di tangan tahu-tahu telah berada di situ. Ia segera menyambar sebatang pedang yang memang tersedia di punggungnya dan cepat bagaikan seekor harimau ia menubruk ke arah Sin Wan.