KISAH SEPASANG NAGA JILID 11
Pemuda itu dengan tenang menangkis keras dan Pangeran Lu dengan mata terbelalak memandang gagang pedangnya sendiri entah telah terlempar kemana. Sebelum ia hilang kagetnya, tahu-tahu pedang Sin Wan menyambar dan tanpa dapat berteriak lagi pangeran itu roboh dengan kepala terpisah dari lehernya!
Sebetulnya Pangeran Lu yang menjadi murid Kwi Kai Hoatsu, cukup memiliki kepandaian silat, tapi karena dalam gemasnya Sin Wan datang-datang menggunakan gerak tipu Naga Putih Menyambar Awan, mana Pangeran itu dapat menghindarkan diri dari maut!
Sin Wan cepat ketok-ketok dan mengurut-urut pundak dan punggung Giok Ciu dan sebentar saja lenyaplah pengaruh totokan yang melumpuhkan gadis itu. Pelayan yang ketakutan itupun lalu dirobohkan dengan totokan.
“Kau tidak apa-apa, moi-moi?” Tanyanya.
Giok Ciu tersenyum manis sambil geleng-geleng kepala. “Aku tadi juga sama sekali tidak percaya obrolan pangeran rendah ini tentang matimu,” katanya.
“Hayo kita serbu Pendeta binatang itu!” Sin Wan berkata gemas.
“Baik, Koko, memang aku hendak mencari dia, karena pokiamku juga berada ditangannya.”
“Apa? Ah, kita harus rampas kembali,” kata Sin Wan. “Biarlah kita menggunakan siasat. Aku bikin panas hatinya dan kau boleh tantang serta maki-maki dia untuk bertanding lagi dan jangan menggunakan ilmu curang!”
Dengan cepat keduanya lalu meloncat ke atas genteng dan langsung menuju tempat dimana Kwi Kai Hoatsu dan Gak Bin Tong sedang main catur. Tanpa ragu-ragu lagi, Sin Wan dan Giok Ciu meloncat turun dan menuju ke ruang itu. Kwi Kai Hoatsu tahu akan kedatangan mereka, tapi ia sedang asyik memikirkan jalan untuk menghindari serangan Gak Bin Tong dalam permainan itu, ia sengaja diam saja. Demikianlah kesombongannya yang menganggap rendah tiap orang yang datang padanya.
“Tosu siluman hayo kita bertanding lagi sampai seribu jurus tanpa menggunakan ilmu siluman rendah dan hina!” Giok Ciu menantang sambil memandang ke arah pedang Ouw Liong Pokiam yang benar saja terletak di atas meja di dekat papan catur.
Gak Bin Tong memandang ke arah mereka dan pura-pura merasa kaget. Tapi Kwi Kai Hoatsu dengan tenang menggerakkan biji caturnya dulu sebelum menengok ke arah mereka. Matanya yang lebar dapat melihat Sin Wan yang berdiri di sebelah Giok Ciu dengan pedang putih berkilauan di tangan, maka ia lalu mengerti bahwa gadis itu telah tertolong.
“Hm, kalau tertangkap lagi olehku, tentu aku akan menotok jalan darah Tai-Wi-Hiat agar kau takkan tertolong lagi,” katanya menghina.
“Pendeta bangsat jangan banyak mulut, kalau kau memang orang gagah, marilah kita bertempur untuk menetapkan kepandaian siapa yang lebih unggul!” Giok Ciu berseru.
“Moi-moi, aku mendengar bahwa Kwi Kai Hoatsu adalah seorang tokoh di Tibet yang menduduki kelas tiga. Tapi ternyata ia hanya mengandalkan ilmu siluman. Sedangkan terhadap kau seorang muda saja ia sudah ketakutan setengah mati hingga mana ia berani menghadapimu, apalagi kalau pedangmu berada di tanganmu kembali!” Sin Wan berkata kepada Giok Ciu, cukup keras hingga terdengar oleh Kwi Kai Hoatsu.
“Anak muda sombong! Siapakah kau berani menghina Kwi Kai Hoatsu? Apakah kau sudah bosan hidup?” teriak Pendeta itu dengan marah.
Tapi Sin Wan memandangnya dengan mengejek. “Kwi Kai Hoatsu! Aku adalah suheng dari nona ini. Tadi kau telah mendengar sendiri tantangannya, dan aku ingin sekali melihat apakah benar-benar kau bisa mengalahkan sumioku ini. Aku tidak percaya kau begitu becus mengalahkan ilmu pedang sumoiku. Sayang kau begitu pengecut hingga pedang sumoiku kau sembunyikan! Kalau kau bisa mengalahkan sumoiku, barulah kau ada harga untuk mencoba kepandaianku!"
Lagak Sin Wan dalam kata-katanya demikian jumawa hingga membuat Kwi Kai Hoatsu marah sekali! Ia adalah seorang tokoh kenamaan dan biasanya dihormati orang, apalagi oleh yang muda-muda. Sekarang di depan Gak Bin Tong ia dihina oleh dua anak muda tentu saja ia murka luar biasa. Lebih-lebih ketika Gak Bin Tong yang mengerti maksud Sin Wan, berkata kepada Kwi Kai Hoatsu,
“Kwi Totiang, anak muda itulah yang mencari-cari Suma-Cianbu untuk dibunuhnya. Ilmu silatnya lihai sekali.”
Kwi Kai Hoatsu berdiri dan membanting papan caturnya. “Baiklah, aku akan menghancurkan kepala dua binatang kecil ini!”
“Majulah kau, Pendeta palsu. Biar aku lawan kau dengan tangan kosong!” Giok Ciu menyombong.
Tiba-tiba Kwi Kai Hoatsu memungut pedang Ouw Liong Pokiam dan sekali ia ajukan tangan, sambil berseru, “Nah terimalah kembali pedangmu!”
Pedang itu meluncur bagaikan anak panah cepatnya ke arah dada Giok Ciu, merupakan sinar hitam yang luar biasa! Tapi Giok Ciu dengan tenang miringkan tubuh dan ulur tangannya dan dengan cepat pedang itu telah berada di tangannya. Inilah gerakan hebat untuk menyambut timpukan senjata rahasia yang disebut Kwan-Imsiu-Hwa atau Dewi Kwan Im Sambut Bunga.
“Bagus!” Kwi Kai Hoatsu berseru dan sekejap kemudian ia telah meloncat menyerang Giok Ciu dengan tongkat ularnya yang lihai.
Sebaliknya Giok Ciu setelah mendapatkan kembali pedangnya, terdorong oleh hati yang sakit karena pernah dijatuhkan dengan kecurangan oleh Tosu itu, segera menyerang dengan sengit dan ganas sekali. Sin Wan melihat betapa Tosu itu betul-betul kosen dan gerakan-gerakannya berbahaya hingga Giok Ciu hanya dapat mengimbanginya saja. Kalau Tosu itu keluarkan serangan-serangan gelap yang tak terduga, tentu gadis itu akan menjadi kurban lagi. Maka ia segera meloncat maju sambil kelebatkan Pek Liong Pokiam dan berseru,
“Tosu siluman, kau cukup berharga untuk mampus di tanganku!”
Melihat Sin Wan maju, Gak Bin Tong merasa tidak pantas kalau tinggal diam, lagi pula ia kuatir kalau-kalau dicurigai maka iapun meloncat sambil menyerang Giok Ciu dan membentak,
“Jangan menghina Kwi Totiang!”
Sebetulnya orang she Gak ini hendak menggunakan kesempatan itu untuk menjajal ilmu pedang Giok Ciu, tapi tidak disangka, Kwi Kai Hoatsu berkata padanya,
“Gak Kongcu, jangan ikut campur. Aku masih belum perlu dibantu untuk menghadapi dua orang anak kecil ini saja!”
Demikianlah kesombongan Kwi Kai Hoatsu hingga ia menolak bantuan orang biarpun dirinya dikeroyok! Terpaksa Gak Bin Tong mundur kembali dan berdiri di pinggir sambil menonton. Majunya Sin Wan mendatangkan perubahan besar, karena biarpun dalam hal ilmu pedang, pemuda ini tidak lebih jauh dari pada Giok Ciu tingkatannya, namun mempunyai perbedaan gerakan yang besar sekali. Dan kini karena dua macam ilmu pedang yang kedua-duanya hebat itu dimainkan berbareng, maka mendatangkan serangan yang luar biasa, tidak terduga-duga dan yang tak mungkin dihadapi oleh seorang saja!
Pendeta itu terdesak dan dengan repot memutar-mutar tongkat ular dan kebutan yang kini telah digunakan di tangan kirinya untuk menangkis datangnya serangan yang bertubi-tubi itu. Beberapa kali hampir saja tubuhnya terluka oleh pedang lawan dan jubah merahnya telah robek terkena sambaran pedang Giok Ciu, maka ia menjadi terkejut, marah dan berbareng kagum sekali.
Belum pernah selama hidupnya ia menghadapi lawan-lawan yang segini lihai dan memiliki Kiam-Hwat yang luar biasa. Ia ingin menggunakan senjata-senjata rahasianya tapi merasa malu, maka diam-diam ia mengerahkan tenaga batinnya untuk merobohkan lawannya dengan sihir. Setelah tenaga batinnya terkumpul ia lalu berkata, suaranya menggetar dan mendatangkan pengaruh menyeramkan hingga Giok Ciu merasa bulu tengkuknya berdiri ketika Tosu itu berkata,
“Haa, kalian anak-anak muda hendak melawan aku? Pasti kalah, pasti roboh. Lihatlah, aku siapa, lihat, pandanglah dan roboh!”
Karena kata-kata itu memang aneh Giok Ciu memandang heran tapi begitu pandang matanya bertemu dengan sinar mata Kwi Kai Hoatsu, ia tiba-tiba merasa kepalanya pusing dan berat hingga tubuhnya menjadi limbung!
“Haaa! Pasti roboh, pasti roboh!” Sin Wan terkejut sekali, lalu dengan tangan kiri ia memegang lengan Giok Ciu dan menyendalkan sambil berseru keras,
“Moi-moi, jangan pandang matanya! Lekas gunakan lweekang melawan kepusingan dan atur napasmu!”
Giok Ciu memang telah hampir berada dalam pengaruh sihir Pendeta itu, tapi karena suara Sin Wan adalah suara orang yang selalu dekat di hatinya, pula pemuda itu memang menggunakan suara batinnya yang kuat. Maka dengan ucapannya itu Sin Wan dapat merampas kedudukan si Pendeta, dan dialah yang pegang pengaruh atas diri Giok Ciu.
Maka seketika itu juga gadis itu lalu menurut dan taat atas perintah Sin Wan, dan melakukan apa yang diperintahkan tadi. Segera ia sembuh kembali dan menyerang lagi dengan lebih sengit. Juga Sin Wan menyerang sengit tetapi selalu berhati-hati. Ia tahu bahwa tongkat ular itu mengandung senjata-senjata rahasia yang tersembunyi.
Melihat betapa ilmu sihirnya telah terpukul punah sebelum menjatuhkan kurban, Kwi Kai Hoatsu marah sekali. Terpaksa ia harus menggunakan senjata rahasia untuk melawan dua anak muda yang kosen ini. Tapi ia tak mau menggunakannya dengan diam-diam karena takut disangka curang. Ia segera membentak,
“Awas jarum!” tiba-tiba dari ujung kebutannya itu menyambar keluar sembilan batang jarum halus ke arah jalan darah tubuh Sin Wan dan Giok Ciu.
Baiknya kedua anak muda itu telah berjaga-jaga, maka ketika mendengar desir jarum itu menyambar, mereka memutar pedang dengan cepat hingga jarum jarum terpukul pergi semua. Dan pada saat itu, pedang Sin Wan berhasil pula menabas pundak Kwi Kai Hoatsu yang cepat menggulingkan diri kebawah, tapi tidak urung sedikit kulit dan daging pundaknya telah terkelupas! Ia berseru marah sekali dan berkata,
“Gak Kongcu, sekarang majulah!”
Gak Bin Tong segera memutar pedangnya membantu, disambut oleh Giok Ciu dengan hebat, karena gadis itu belum tahu akan pertolongan pemuda itu. Ia hanya menganggap bahwa pemuda itu adalah seorang pahlawan istana juga. Tapi ia segera terkejut melihat betapa pedang pemuda muka putih itu dapat menahan Ouw Liong Pokiam, sedangkan ilmu pedang pemuda itu tidaklah lemah! Pada saat mereka bertempur hebat, dari belakang muncul banyak pahlawan yang maju mengurung kedua anak muda itu.
“Moi-moi, lari!” ajak Sin Wan yang mengerahkan tenaga menyerang Kwi Kai Hoatsu yang terpaksa meloncat mundur.
Kemudian kedua anak muda itu menggunakan ilmu loncat mereka menerjang ke luar sambil memutar pokiamnya sehingga terlepas dari kurungan. Dengan hati murung dan penasaran serta kecewa, Sin Wan dan Giok Ciu pulang ke Kelenteng Nikouw di luar kota tu. Setelah bersusah payah sedemikian lama, belum juga mereka dapat membalas dendam, bahkan hampir saja terkena celaka! Di sepanjang jalan Sin Wan menghibur gadis yang diketahuinya sedang murung itu.
“Biarlah kita besok menyerang lagi dan mencari jalan yang baik,” kata Sin Wan.
Ketika mereka tiba di Kelenteng, Giok Ciu melihat Suma-Siocia duduk di ruang belakang sambil menangis. Ia heran sekali dan bertanya kepada Sin Wan. Lalu dengan ringkas Sin Wan menuturkan pengalamannya ketika berpisah dengan Giok Ciu siang tadi dalam mengejar Suma-Cianbu. Mendengar bahwa gadis itu adalah anak perempuan Suma-Cianbu, Giok Ciu maju dan membentak,
“Coba angkat mukamu!”
Suma-Siocia terkejut mendengar suara orang membentaknya, maka ia segera mengangkat muka memandang. Giok Ciu melihat betapa gadis itu sangat cantik maka timbul rasa cemburu di dalam hatinya.
“Siapa namamu?” Tanyanya dengan kasar, Suma-Siocia tidak senang sekali melihat sikap orang dan ia anggap gadis cantik yang masih muda ini kasar dan galak, tidak tahu aturan. Maka iapun tidak mau menjawab dan menundukkan mukanya lagi. Marahlah Giok Ciu.
“Jawablah kalau tak ingin aku pukul mukamu!”
Sin Wan mendekati mereka, “Suma-Siocia, ini adalah Kwie Giok Ciu, sumoiku. Harap kau terangkan namamu kepadanya.”
Suma-Siocia mengangkat mukanya dan memandang Sin Wan. Alangkah halusnya sikap pemuda yang telah menculiknya ini. Halus dan sopan santun! Ia sangat tertarik dan kagum melihat Sin Wan, dan menyesali nasibnya mengapa pemuda seperti itu justru menjadi musuh dan hendak membunuh Ayahnya! Kini mendengar kata-kata itu, ia berkata,
“Namaku Suma Li Lian dan tolong beritahu kepada Lihiap ini bahwa aku tidak perlu dibentak-bentak. Kalau kalian mau bunuh, boleh bunuh saja.” Melihat sikap Sin Wan yang agaknya ramah tamah dan sopan santun terhadap gadis cantik puteri musuhnya itu, Giok Ciu makin cemburu saja, kini mendengar kata-kata Suma Li Lian, ia makin marah.
“Minta mati, sekarang juga kau mati!” dan cepat sekali pedangnya menyambar.
“Tahan, moi-moi!” Sin Wan menggunakan pedangnya menangkis sehingga sepasang pedang hitam dan putih itu beradu dengan keras mengeluarkan titik-titik bunga api.
Giok Ciu penasaran sekali. “Koko, lupakah kau bahwa perempuan ini adalah anak bangsat she Suma yang telah membunuh Ibu dan Kakekmu?”
“Sabar, moi-moi. Benar ia anaknya, tapi ia tidak berdosa dalam hal itu. Ia tidak tahu apa-apa!”
“Kalau begitu, mengapa kau bawa ia kemari? Apa maksudmu? Katakanlah!”
“Moi-moi, dia kubawa ke sini hanya untuk memancing keluar Ayahnya!” Tapi Giok Ciu menganggap alasan ini terlalu lemah dan tak masuk di akal dan tetap ia merasa sangat cemburu. Maka ia segera mengirim serangan kembali ke arah Li Lian sambil berseru,
“Kalau kau tidak memusuhinya, biar aku yang menjadi musuhnya. Dia anak seorang jahat dan tetap jahat.”
Serangannya hebat sekali dan cepat Sin Wan mengangkat senjata menangkis tapi tidak urung pundak Sum Li Lian masih terkena sedikit oleh ujung pedang Giok Ciu hingga gadis yang malang itu menjerit perlahan dan roboh pingsan.
“Moi-moi!”
“Kau mau bela padanya? Baik belalah!” Kemudian Giok Ciu menyerang lagi ke arah tubuh yang sudah rebah di lantai, tapi Sin Wan kembali menangkis.
Giok Ciu menjadi marah dan kini menujukan serangannya kepada Sin Wan! Maka terjadilah pertempuran di ruang itu. Sebetulnya bukanlah pertempuran, karena Sin Wan tak pernah membalas serangan Giok Ciu, hanya menangkis saja sambil berusaha menyabarkan hati gadis yang kalap itu. Akhirnya Giok Ciu menghentikan serangan sambil menangis karena tidak dapat menahan marahnya lagi. Ia mencabut sesuatu dari dalam saku bajunya dan menyambitkan barang itu ke arah Li Lian.
Sin Wan cepat meloncat dan menyambar benda itu yang ternyata adalah suling kecil tanda perjodohan mereka! Sin Wan terkejut dan hendak mengembalikan suling itu, tapi Giok Ciu sudah meninggalkan dia dengan lari keluar Kelenteng. Ketika Sin Wan mengejar, gadis itu membalikkan tubuh dan membentak,
“Aku tidak sudi tidur serumah dengan anak musuhku dan hendak tidur di luar Kelenteng, apakah ini juga tidak boleh?” Ia memandang Sin Wan dengan mata tertutup air mata.
Sin Wan hanya menghela napas dengan sedih dan meninggalkan dia masuk. Ia minta kedua Nikouw yang ketakutan itu menolong dan membalu luka di pundak Suma Li Lian yang telah sadar dan menangis terisak-isak, kemudian ia masuk kamarnya dengan hati gelisah. Ternyata segala-galanya berjalan tiadk menurut rencananya. Musuh belum terbalas, Giok Ciu telah tertawan dan hampir saja celaka.
Sekarang usahanya memancing Suma-Cianbu keluar dengan menculik Li Lian bahkan menimbulkan keributan antara dia dan Giok Ciu sendiri. Ah, ia menyesal sekali! Ia tahu bahwa Giok Ciu melakukan keganasan itu hanya karena merasa cemburu padanya, timbul dari hati kuatir kalau-kalau ia jatuh cinta kepada gadis lain!
Ia tidak persalahkan Giok Ciu, karena sudah sepantasnya gadis itu marah-marah karena hampir saja kena celaka oleh tipu muslihat Suma-Cianbu dan kawan-kawannya! Untuk membalas dendam belum tentu bisa, maka tentu saja melihat anak perempuan dari musuh itu, ia menjadi marah sekali kepada anak gadis itu dan hendak melampiaskan rasa dendamnya kepada anak gadis itu. Yang membikin ia sangat sedih ialah sulingnya yang dilempar itu! Ah, sampai demikian hebatnya marah yang menggelora dalam dada Giok Ciu?
Karena pikiran ini, biarpun tubuhnya sangat lelah, namun Sin Wan tidak dapat meramkan matanya. Ia gelisah sekali dan berguling di atas pembaringannya. Keesokan harinya, pagi-pagi sekali pada waktu ayam jantan berkeruyuk nyaring, Sin Wan telah turun dari pembaringannya dimana ia tidak tidur sama sekali dan berjalan keluar dari kamarnya menuju ke pekarangan belakang.
Suling hitam kecil yang semenjak terpegang olehnya tak pernah dilepaskannya lagi itu dibawahnya ke belakang. Pekarangan belakang itu lebar sekali, karena dari situ orang terus dapat menuju ke bukit kecil di belakang sawah ladang. Sin Wan berjalan melalui jalan kecil di antara ladang dan batu. Kemudian berdiri memandang ke depan dengan bengong.
Embun pagi mendatangkan pemandangan yang makin menyedihkan hati. Semua tampak kabur dan abu-abu, seakan-akan seluruh dunia berkabung dan menyedihi sesuatu. Bahkan suara ayam berkeruyuk juga terdengar menyedihkan dan bagaikan suara tangis yang mengharukan. Maka sedihlah hati Sin Wan. Terbayang segala kesedihan di ruang kepalanya.
Terbayanglah ia akan segala yang telah lalu dan terkenang kembali kepada Ibu dan Kakeknya. Tak terasa lagi naik sedu-sedan dari ulu hatinya yang berhenti dari kerongkongannya karena ia tekan dari atas. Kemudian bagaikan dalam mimpi tak terasa lagi ia angkat suling kecil itu ke arah bibirnya. Sebentar kemudian terdengarlah suara tiupan suling yang halus itu mengiris kesunyian pagi. Suara itu terdengar mengalun di antara embun pagi yang melayang-layang, merayu-rayu dan indah sekali bunyinya.
Tanpa merasa lagi Sin Wan meniup lagu ciptaannya sendiri ketika ia masih kecil. Dalam tiupannya sekali ini, tercurahlah seluruh kesedihan hatinya yang tadi naik dari ulu hatinya. Ia main dengan penuh perasaan, seakan-akan jiwanya ikut melayang-layang dengan suara itu, seakan-akan seluruh perasaannya mengemudi lagu yang dimainkannya itu.
Halus merdu, nyaring melengking, naik turun, sedih dan menyayat hati tiap pendengarnya. Bahkan ayam jantan di belakang Kelenteng yang tadi tiada hentinya berkeruyuk menyambut datangnya pagi, kini terdiam seakan-akan terpesona dan ikut mengagumi suara yang mengalun bagaikan turun dari angkasa itu. Sin Wan tidak tahu betapa di dalam kamarnya di Kelenteng itu, Suma Li Lian duduk dari tempat tidurnya dan mendengarkan dengan penuh keheranan.
Kemudian gadis itu tekap mukanya dengan tangan dan menangis tersedu-sedu. Ia teringat akan peristiwa tadi dan menjadi sedih sekali. Ia dapat menduga bahwa yang bermain suling itu tentu Sin Wan karena iapun telah sadar dan melihat ketika Giok Ciu menyambitnya dengan suling yang disambar oleh Sin Wan tadi.
Ia tahu bahwa pemuda yang halus dan sopan itu mencinta Giok Ciu dan ia menyesali diri sendiri bahwa dengan adanya dia disitu maka timbullah pertentangan dan perselisihan faham antara Sin Wan dan Giok Ciu yang kasar, tapi hatinya tak dapat menyangkal lagi bahwa ia jatuh hati kepada Sin Wan, pemuda yang tampan dan gagah itu. Maka kini tak tertahan lagi olehnya mendengar tiupan suling Sin Wan dan tangisnya menjadi-jadi hingga kedua Nikouw itu terbangun dan cepat menghiburnya, karena disangkanya bahwa gadis itu menangis karena luka dipundaknya terasa sakit.
Sementara itu, Sin Wan juga tidak tahu bahwa pada saat ia meniup suling dengan asiknya itu, di sebuah tikungan jalan kecil itu tampak tubuh seorang gadis mendatangi. Gadis itu adalah Giok Ciu yang datang bagaikan tidur sambil berjalan. Kedua matanya basah air mata dan ia merasakan bagaikan dirinya ditarik oleh suara lagu itu.
Ia juga satu malam tak dapat tidur, bahkan tidak berganti pakaian, hanya menambahkan sehelai mantel diluar pakaiannya karena malam sangat dingin. Kini ia mendatangi ke arah suara tiupan suling dengan hati terharu sekali. Semalam penuh ia gunakan untuk berpikir dan setelah kemarahannya agak mereda, ia dapat berpikir secara dingin dan sehat. Ia merasa telah berlaku agak terlalu terburu nafsu hingga sampai terjadi pertempuran dengan Sin Wan hanya karena gadis itu saja!
Memang tidak ada bukti-bukti bahwa Sin Wan cinta kepada gadis anak musuh itu, dan mungkin juga pemuda itu menculiknya hanya untuk memancing musuhnya keluar dari persembunyiannya. Ah, kenapa ia begitu terburu nafsu sehingga suling tanda perjodohan yang keramat itu dilempar? Dapatkah Sin Wan memaafkannya?
Ketika mendengar suara suling itu, ia terkejut. Kemudian, perlahan-lahan air matanya jatuh menitik ketika ia kenali lagu itu. Lagu yang dulu pernah dimainkan oleh Sin Wan dengan suling itu juga di rumahnya, dan lagu yang telah membuat mendiang Ayahnya menangis. Maka ia segera bangun dan menghampiri tempat suara itu, dimana ia dapatkan Sin Wan berdiri sambil meniup sulingnya.
Dalam keadaan biasa Sin Wan tentu akan mendengar suara tindakan kaki Giok Ciu dengan telinganya yang sudah terlatih baik, tapi pada saat itu ia seperti orang tak sadar dan seluruh perhatian dan perasaannya terbawa oleh suara suling itu, maka ia tidak tahu bahwa Giok Ciu telah berdiri di belakangnya. Setelah suara suling makin merendah dan melambat hingga akhirnya berhenti, Sin Wan menurunkan tangannya yang memegang suling dan menghela napas.
“Koko!” tiba-tiba terdengar suara halus merdu di dekat telinganya. Ia menengok dan sepasang mata bertemu saling tangkap.
“Moi-moi!”
“Koko, kau memaafkan aku, bukan?” suara Giok Ciu mengandung isak.
Sin Wan girang sekali dan semua rasa sedihnya lenyap seketika. Ia maju dan memegang tangan Giok Ciu dengan mesra. Mereka berdiri berhadapan dan berpegang tangan sambil saling pandang dengan penuh perasaan. Entah berapa lama mereka berdiri dalam keadaan seperti itu, dan tiba-tiba keduanya melepaskan pegangan masing-masing karena mendengar tindakan kaki orang mendatangi!
Melihat orang yang datang sambil tersenyum itu, Giok Ciu segera mencabut pedang dan siap menghadapinya. Tapi Sin Wan tersenyum dan berkata perlahan,
“Moi-moi, simpanlah pedangmu. Dia adalah saudara Gak Bin Tong yang telah menolongmu.”
“Menolongku? Bukankah ia malam tadi membantu Kwi Kai Hoatsu?” tanya Giok Ciu terheran.
Sementara itu, Gak BinTong sudah tiba disitu dan disambut dengan girang oleh Sin Wan. “Gak-Lotee, terima kasih atas petunjukmu hingga sumoiku dapat tertolong,” kata Sin Wan dengan wajah berseri. Hati pemuda itu sekarang sudah seperti biasa, bahkan gembira sekali.
Kemudian Sin Wan menceritakan Giok Ciu bagaimana orang she Gak itu telah membantu dan menolong mereka. Giok Ciu lalu menjura dan menyatakan terima kasihnya kepada pemuda tampan bermuka putih itu.
“Tidak apa, tidak apa!” Gak Bin Tong balas menjura. “Kwie Lihiap janganlah terlalu sungkan. Orang-orang seperti kita memang sudah sepantasnya bantu membantu dan tolong menolong, bukan? Sayang aku terlahir dalam keluarga hamba Kaisar, hingga tak mungkin dapat membantu jiwi secara berterang.”
Sebetulnya, biarpun harus mengakui bahwa pemuda muka putih itu telah berjasa dan membantunya menolong Giok Ciu, namun Sin Wan tidak suka bergaul rapat dengan Gak Bin Tong. Ia diam-diam tidak merasa suka kepada pemuda ini karena dianggapnya bahwa pemuda ini mempunyai watak palsu dan tidak setia. Kalau tidak demikian, mengapa pemuda ini membantu orang luar dan mengkhianati golongan sendiri? Kalau misalnya ia tidak suka kepada golongannya, mengapa tidak secara terus terang saja ia keluar dari situ? Sikap berpura-pura dari pemuda itu terhadap golongan pahlawan Kaisar membuat Sin Wan diam-diam bercuriga dan tidak suka padanya.
“Saudara Gak, pagi-pagi sekali telah datang mengunjungi kami, tentu ada sesuatu yang sangat penting bukan?” Kata Sin Wan dengan suara manis dan ramah.
“Benar katamu, Bun-Lauwte, ada berita baik sekali. Suma-Cianbu pagi ini pergi melarikan diri ke Cee-Tong-An, hanya dengan tiga orang pengawal. Kau dapat mencegatnya di hutan sebelah selatan kota raja karena ia pasti mengambil jalan itu.”
Girang sekali Sin Wan mendengar ini, lebih-lebih Giok Ciu yang segera berkata, “Hayo kita berangkat sekarang juga, Koko.”
“Kukira Kwie Lihiap jangan ikut pergi,” tiba-tiba Gak Bin Tong berkata hingga gadis itu terkejut dan heran, demikianpun Sin Wan.
“Mengapa begitu?” Sin Wan bertanya.
“Mereka telah mengetahui bahwa Suma-Siocia dibawa ke tempat ini, maka aku kuatir kalau-kalau ada orang menyerbu kesini. Lebih baik Lihiap tinggal di sini menjaga Suma-Siocia, pula Suma-Cianbu hanya dikawal oleh tiga orang yang tidak berapa tinggi kepandaiannya, sehingga agaknya tidak akan menyukarkan saudara Bun.”
Sin Wan menganggap omongan ini betul juga, maka setelah memesan agar Giok Ciu berhati-hati, ia lalu pergi ke hutan yang berada di sebelah selatan tembok kota. Sementara itu, setelah Sin Wan pergi, Giok Ciu mempersilahkan Gak Bin Tong masuk Kelenteng dan duduk di ruang tamu, dimana mereka bercakap-cakap dengan asik, karena Gak Bin Tong memang pandai berkata-kata.
Pemuda ini selain tinggi kepandaian silatnya, juga sudah berpengalaman dan ia menarik perhatian Giok Ciu dengan ceritanya tentang berbagai tempat yang ramai. Kemudia pembicaraan mereka tertuju kepada persoalan yang mereka hadapi dan mereka membicarakan Suma-Cianbu.
“Memang kapten she Suma itu cukup banyak mengurbankan jiwa orang-orang gagah hingga banyak orang gagah sakit hati kepadanya,” kata Gak Bin Tong dengan gemas, kemudian suaranya melembut ketika ia melanjutkan kata-katanya.
“Tapi puterinya Suma-Siocia, berbeda jauh dengan Ayahnya itu. Ia adalah seorang gadis terpelajar tinggi, cantik jelita, dan berbudi baik, hingga ia terkenal sebagai seorang Ciankim-Siocia yang harum sekali namanya.”
“Saudara Gak, apa perlunya kau membicarakan hal gadis itu kepadaku? Aku tidak tertarik sama sekali!” kata Giok Ciu dengan sikap murung karena hatinya panas sekali mendengar gadis yang dibencinya itu dipuji-puji orang didepannya.
Gak Bin Tong tersenyum dan pura-pura tidak tahu akan sikap gadis itu. Ia menghela napas. “Tapi puteri itu terlalu angkuh dan tinggi hati. Tiada seorang pemuda diacuhkannya, agaknya memang saudara Bun saja yang pantas untuk memetik bunga harum itu!”
Mata Giok Ciu menyambarnya dengan tajam, “Apa katamu? Apa... Apa maksudmu?”
Gak Bin Tong memandang dengan kaget dan heran terbayang nyata di mukanya yang cakap. “Eh, kau belum tahukah, Kwie Lihiap?”
“Tahu apa?”
“Saudara Bun jatuh hati kepada gadis cantik itu.”
Giok Ciu menahan debaran jantungnya dengan menggigit bibir, “Aah masak, Bun Twako tidak semudah itu jatuh hati!”
“Ha ha ha! Memang, saudara dekat tak mungkin mengetahui isi hati kakak seperguruannya yang tiap hari dekat dan merupakan seperti saudara sendiri. Mungkin juga Bun-Lauwte malu-malu untuk mengaku padamu, tapi apakah kau tidak dapat menduga? Kalau dia tidak cinta kepada gadis itu, tak perlu ia menculiknya, bukan?”
“Sudahlah jangan bicarakan soal ini!” kata Giok Ciu dengan gemas dan tak senang.
“Maaf, Lihiap. Tapi sungguh aku heran melihat sikapmu. Apakah kau tidak ikut gembira melihat kakak seperguruanmu mendapat jodoh seorang gadis yang demikian cantik dan bijaksana seperti Suma Li Lian itu? Aku sendiri yang hanya menjadi kawan barunya, ikut merasa gembira dan girang!”
Terpaksa Giok Ciu menyembunyikan perasaannya dan menjawab, “Bukan aku tidak girang, tapi itu bukanlah urusanku, dan pula, aku masih tidak percaya bahwa Bun Twako mencinta gadis anak musuh kami itu. Sungguh tak masuk akal dan mustahil!” Gak Bin Tong bangun dan berdiri dari bangku yang didudukinya.
“Kwi Lihiap, aku Gak Bin Tong tidak biasa membohong. Kalau kau hendak membuktikan kebenaran bicaraku, coba kau buktikan dan baik kita sama-sama lihat siapa yang lebih tepat dugaannya. Kalau ternyata aku memang keliru sangka , aku bersedia meminta maaf kepadamu, dan kepada saudara Bun!”
Giok Ciu tersenyum dan sebetulnya ia tak ingin melayani orang yang cerewet seperti pemuda ini, namun di dalam hatinya telah menyala api yang dicetus oleh kata-kata Gak Bin Tong tadi. Ia lalu bertanya,
“Dengan cara bagaimanakah kita membuktikan itu?”
“Mudah saja. Kalau saudara Bun datang, coba kau beritahu padanya bahwa kau telah membunuh mati nona Suma itu, coba kita bagaimana sikapnya terhadapmu. Bukankah ini ujian yang baik sekali? Kalau ia mencinta Suma-Siocia, pasti ia akan marah dan sedih sekali.”
Giok Ciu mengangguk-angguk dan anggap bahwa ujian itu baik dan tepat sekali, maka ia merasa setuju. Setelah bercakap-cakap lagi beberapa lama, beberapa kali Gak Bin Tong menutup mulut dengan tangan dan menguap.
“Saudara Gak. Kalau kau lelah dan mengantuk, tidurlah di kamar Bun Twako. Akupun hendak beristirahat di kamarku sambil menanti kembalinya Bun Twako.”
Gak Bin Tong menyatakan setuju dan ia lalu menuju ke kamar Sin Wan dan gadis itupun lalu memasuki kamarnya.
Sebetulnya Pangeran Lu yang menjadi murid Kwi Kai Hoatsu, cukup memiliki kepandaian silat, tapi karena dalam gemasnya Sin Wan datang-datang menggunakan gerak tipu Naga Putih Menyambar Awan, mana Pangeran itu dapat menghindarkan diri dari maut!
Sin Wan cepat ketok-ketok dan mengurut-urut pundak dan punggung Giok Ciu dan sebentar saja lenyaplah pengaruh totokan yang melumpuhkan gadis itu. Pelayan yang ketakutan itupun lalu dirobohkan dengan totokan.
“Kau tidak apa-apa, moi-moi?” Tanyanya.
Giok Ciu tersenyum manis sambil geleng-geleng kepala. “Aku tadi juga sama sekali tidak percaya obrolan pangeran rendah ini tentang matimu,” katanya.
“Hayo kita serbu Pendeta binatang itu!” Sin Wan berkata gemas.
“Baik, Koko, memang aku hendak mencari dia, karena pokiamku juga berada ditangannya.”
“Apa? Ah, kita harus rampas kembali,” kata Sin Wan. “Biarlah kita menggunakan siasat. Aku bikin panas hatinya dan kau boleh tantang serta maki-maki dia untuk bertanding lagi dan jangan menggunakan ilmu curang!”
Dengan cepat keduanya lalu meloncat ke atas genteng dan langsung menuju tempat dimana Kwi Kai Hoatsu dan Gak Bin Tong sedang main catur. Tanpa ragu-ragu lagi, Sin Wan dan Giok Ciu meloncat turun dan menuju ke ruang itu. Kwi Kai Hoatsu tahu akan kedatangan mereka, tapi ia sedang asyik memikirkan jalan untuk menghindari serangan Gak Bin Tong dalam permainan itu, ia sengaja diam saja. Demikianlah kesombongannya yang menganggap rendah tiap orang yang datang padanya.
“Tosu siluman hayo kita bertanding lagi sampai seribu jurus tanpa menggunakan ilmu siluman rendah dan hina!” Giok Ciu menantang sambil memandang ke arah pedang Ouw Liong Pokiam yang benar saja terletak di atas meja di dekat papan catur.
Gak Bin Tong memandang ke arah mereka dan pura-pura merasa kaget. Tapi Kwi Kai Hoatsu dengan tenang menggerakkan biji caturnya dulu sebelum menengok ke arah mereka. Matanya yang lebar dapat melihat Sin Wan yang berdiri di sebelah Giok Ciu dengan pedang putih berkilauan di tangan, maka ia lalu mengerti bahwa gadis itu telah tertolong.
“Hm, kalau tertangkap lagi olehku, tentu aku akan menotok jalan darah Tai-Wi-Hiat agar kau takkan tertolong lagi,” katanya menghina.
“Pendeta bangsat jangan banyak mulut, kalau kau memang orang gagah, marilah kita bertempur untuk menetapkan kepandaian siapa yang lebih unggul!” Giok Ciu berseru.
“Moi-moi, aku mendengar bahwa Kwi Kai Hoatsu adalah seorang tokoh di Tibet yang menduduki kelas tiga. Tapi ternyata ia hanya mengandalkan ilmu siluman. Sedangkan terhadap kau seorang muda saja ia sudah ketakutan setengah mati hingga mana ia berani menghadapimu, apalagi kalau pedangmu berada di tanganmu kembali!” Sin Wan berkata kepada Giok Ciu, cukup keras hingga terdengar oleh Kwi Kai Hoatsu.
“Anak muda sombong! Siapakah kau berani menghina Kwi Kai Hoatsu? Apakah kau sudah bosan hidup?” teriak Pendeta itu dengan marah.
Tapi Sin Wan memandangnya dengan mengejek. “Kwi Kai Hoatsu! Aku adalah suheng dari nona ini. Tadi kau telah mendengar sendiri tantangannya, dan aku ingin sekali melihat apakah benar-benar kau bisa mengalahkan sumioku ini. Aku tidak percaya kau begitu becus mengalahkan ilmu pedang sumoiku. Sayang kau begitu pengecut hingga pedang sumoiku kau sembunyikan! Kalau kau bisa mengalahkan sumoiku, barulah kau ada harga untuk mencoba kepandaianku!"
Lagak Sin Wan dalam kata-katanya demikian jumawa hingga membuat Kwi Kai Hoatsu marah sekali! Ia adalah seorang tokoh kenamaan dan biasanya dihormati orang, apalagi oleh yang muda-muda. Sekarang di depan Gak Bin Tong ia dihina oleh dua anak muda tentu saja ia murka luar biasa. Lebih-lebih ketika Gak Bin Tong yang mengerti maksud Sin Wan, berkata kepada Kwi Kai Hoatsu,
“Kwi Totiang, anak muda itulah yang mencari-cari Suma-Cianbu untuk dibunuhnya. Ilmu silatnya lihai sekali.”
Kwi Kai Hoatsu berdiri dan membanting papan caturnya. “Baiklah, aku akan menghancurkan kepala dua binatang kecil ini!”
“Majulah kau, Pendeta palsu. Biar aku lawan kau dengan tangan kosong!” Giok Ciu menyombong.
Tiba-tiba Kwi Kai Hoatsu memungut pedang Ouw Liong Pokiam dan sekali ia ajukan tangan, sambil berseru, “Nah terimalah kembali pedangmu!”
Pedang itu meluncur bagaikan anak panah cepatnya ke arah dada Giok Ciu, merupakan sinar hitam yang luar biasa! Tapi Giok Ciu dengan tenang miringkan tubuh dan ulur tangannya dan dengan cepat pedang itu telah berada di tangannya. Inilah gerakan hebat untuk menyambut timpukan senjata rahasia yang disebut Kwan-Imsiu-Hwa atau Dewi Kwan Im Sambut Bunga.
“Bagus!” Kwi Kai Hoatsu berseru dan sekejap kemudian ia telah meloncat menyerang Giok Ciu dengan tongkat ularnya yang lihai.
Sebaliknya Giok Ciu setelah mendapatkan kembali pedangnya, terdorong oleh hati yang sakit karena pernah dijatuhkan dengan kecurangan oleh Tosu itu, segera menyerang dengan sengit dan ganas sekali. Sin Wan melihat betapa Tosu itu betul-betul kosen dan gerakan-gerakannya berbahaya hingga Giok Ciu hanya dapat mengimbanginya saja. Kalau Tosu itu keluarkan serangan-serangan gelap yang tak terduga, tentu gadis itu akan menjadi kurban lagi. Maka ia segera meloncat maju sambil kelebatkan Pek Liong Pokiam dan berseru,
“Tosu siluman, kau cukup berharga untuk mampus di tanganku!”
Melihat Sin Wan maju, Gak Bin Tong merasa tidak pantas kalau tinggal diam, lagi pula ia kuatir kalau-kalau dicurigai maka iapun meloncat sambil menyerang Giok Ciu dan membentak,
“Jangan menghina Kwi Totiang!”
Sebetulnya orang she Gak ini hendak menggunakan kesempatan itu untuk menjajal ilmu pedang Giok Ciu, tapi tidak disangka, Kwi Kai Hoatsu berkata padanya,
“Gak Kongcu, jangan ikut campur. Aku masih belum perlu dibantu untuk menghadapi dua orang anak kecil ini saja!”
Demikianlah kesombongan Kwi Kai Hoatsu hingga ia menolak bantuan orang biarpun dirinya dikeroyok! Terpaksa Gak Bin Tong mundur kembali dan berdiri di pinggir sambil menonton. Majunya Sin Wan mendatangkan perubahan besar, karena biarpun dalam hal ilmu pedang, pemuda ini tidak lebih jauh dari pada Giok Ciu tingkatannya, namun mempunyai perbedaan gerakan yang besar sekali. Dan kini karena dua macam ilmu pedang yang kedua-duanya hebat itu dimainkan berbareng, maka mendatangkan serangan yang luar biasa, tidak terduga-duga dan yang tak mungkin dihadapi oleh seorang saja!
Pendeta itu terdesak dan dengan repot memutar-mutar tongkat ular dan kebutan yang kini telah digunakan di tangan kirinya untuk menangkis datangnya serangan yang bertubi-tubi itu. Beberapa kali hampir saja tubuhnya terluka oleh pedang lawan dan jubah merahnya telah robek terkena sambaran pedang Giok Ciu, maka ia menjadi terkejut, marah dan berbareng kagum sekali.
Belum pernah selama hidupnya ia menghadapi lawan-lawan yang segini lihai dan memiliki Kiam-Hwat yang luar biasa. Ia ingin menggunakan senjata-senjata rahasianya tapi merasa malu, maka diam-diam ia mengerahkan tenaga batinnya untuk merobohkan lawannya dengan sihir. Setelah tenaga batinnya terkumpul ia lalu berkata, suaranya menggetar dan mendatangkan pengaruh menyeramkan hingga Giok Ciu merasa bulu tengkuknya berdiri ketika Tosu itu berkata,
“Haa, kalian anak-anak muda hendak melawan aku? Pasti kalah, pasti roboh. Lihatlah, aku siapa, lihat, pandanglah dan roboh!”
Karena kata-kata itu memang aneh Giok Ciu memandang heran tapi begitu pandang matanya bertemu dengan sinar mata Kwi Kai Hoatsu, ia tiba-tiba merasa kepalanya pusing dan berat hingga tubuhnya menjadi limbung!
“Haaa! Pasti roboh, pasti roboh!” Sin Wan terkejut sekali, lalu dengan tangan kiri ia memegang lengan Giok Ciu dan menyendalkan sambil berseru keras,
“Moi-moi, jangan pandang matanya! Lekas gunakan lweekang melawan kepusingan dan atur napasmu!”
Giok Ciu memang telah hampir berada dalam pengaruh sihir Pendeta itu, tapi karena suara Sin Wan adalah suara orang yang selalu dekat di hatinya, pula pemuda itu memang menggunakan suara batinnya yang kuat. Maka dengan ucapannya itu Sin Wan dapat merampas kedudukan si Pendeta, dan dialah yang pegang pengaruh atas diri Giok Ciu.
Maka seketika itu juga gadis itu lalu menurut dan taat atas perintah Sin Wan, dan melakukan apa yang diperintahkan tadi. Segera ia sembuh kembali dan menyerang lagi dengan lebih sengit. Juga Sin Wan menyerang sengit tetapi selalu berhati-hati. Ia tahu bahwa tongkat ular itu mengandung senjata-senjata rahasia yang tersembunyi.
Melihat betapa ilmu sihirnya telah terpukul punah sebelum menjatuhkan kurban, Kwi Kai Hoatsu marah sekali. Terpaksa ia harus menggunakan senjata rahasia untuk melawan dua anak muda yang kosen ini. Tapi ia tak mau menggunakannya dengan diam-diam karena takut disangka curang. Ia segera membentak,
“Awas jarum!” tiba-tiba dari ujung kebutannya itu menyambar keluar sembilan batang jarum halus ke arah jalan darah tubuh Sin Wan dan Giok Ciu.
Baiknya kedua anak muda itu telah berjaga-jaga, maka ketika mendengar desir jarum itu menyambar, mereka memutar pedang dengan cepat hingga jarum jarum terpukul pergi semua. Dan pada saat itu, pedang Sin Wan berhasil pula menabas pundak Kwi Kai Hoatsu yang cepat menggulingkan diri kebawah, tapi tidak urung sedikit kulit dan daging pundaknya telah terkelupas! Ia berseru marah sekali dan berkata,
“Gak Kongcu, sekarang majulah!”
Gak Bin Tong segera memutar pedangnya membantu, disambut oleh Giok Ciu dengan hebat, karena gadis itu belum tahu akan pertolongan pemuda itu. Ia hanya menganggap bahwa pemuda itu adalah seorang pahlawan istana juga. Tapi ia segera terkejut melihat betapa pedang pemuda muka putih itu dapat menahan Ouw Liong Pokiam, sedangkan ilmu pedang pemuda itu tidaklah lemah! Pada saat mereka bertempur hebat, dari belakang muncul banyak pahlawan yang maju mengurung kedua anak muda itu.
“Moi-moi, lari!” ajak Sin Wan yang mengerahkan tenaga menyerang Kwi Kai Hoatsu yang terpaksa meloncat mundur.
Kemudian kedua anak muda itu menggunakan ilmu loncat mereka menerjang ke luar sambil memutar pokiamnya sehingga terlepas dari kurungan. Dengan hati murung dan penasaran serta kecewa, Sin Wan dan Giok Ciu pulang ke Kelenteng Nikouw di luar kota tu. Setelah bersusah payah sedemikian lama, belum juga mereka dapat membalas dendam, bahkan hampir saja terkena celaka! Di sepanjang jalan Sin Wan menghibur gadis yang diketahuinya sedang murung itu.
“Biarlah kita besok menyerang lagi dan mencari jalan yang baik,” kata Sin Wan.
Ketika mereka tiba di Kelenteng, Giok Ciu melihat Suma-Siocia duduk di ruang belakang sambil menangis. Ia heran sekali dan bertanya kepada Sin Wan. Lalu dengan ringkas Sin Wan menuturkan pengalamannya ketika berpisah dengan Giok Ciu siang tadi dalam mengejar Suma-Cianbu. Mendengar bahwa gadis itu adalah anak perempuan Suma-Cianbu, Giok Ciu maju dan membentak,
“Coba angkat mukamu!”
Suma-Siocia terkejut mendengar suara orang membentaknya, maka ia segera mengangkat muka memandang. Giok Ciu melihat betapa gadis itu sangat cantik maka timbul rasa cemburu di dalam hatinya.
“Siapa namamu?” Tanyanya dengan kasar, Suma-Siocia tidak senang sekali melihat sikap orang dan ia anggap gadis cantik yang masih muda ini kasar dan galak, tidak tahu aturan. Maka iapun tidak mau menjawab dan menundukkan mukanya lagi. Marahlah Giok Ciu.
“Jawablah kalau tak ingin aku pukul mukamu!”
Sin Wan mendekati mereka, “Suma-Siocia, ini adalah Kwie Giok Ciu, sumoiku. Harap kau terangkan namamu kepadanya.”
Suma-Siocia mengangkat mukanya dan memandang Sin Wan. Alangkah halusnya sikap pemuda yang telah menculiknya ini. Halus dan sopan santun! Ia sangat tertarik dan kagum melihat Sin Wan, dan menyesali nasibnya mengapa pemuda seperti itu justru menjadi musuh dan hendak membunuh Ayahnya! Kini mendengar kata-kata itu, ia berkata,
“Namaku Suma Li Lian dan tolong beritahu kepada Lihiap ini bahwa aku tidak perlu dibentak-bentak. Kalau kalian mau bunuh, boleh bunuh saja.” Melihat sikap Sin Wan yang agaknya ramah tamah dan sopan santun terhadap gadis cantik puteri musuhnya itu, Giok Ciu makin cemburu saja, kini mendengar kata-kata Suma Li Lian, ia makin marah.
“Minta mati, sekarang juga kau mati!” dan cepat sekali pedangnya menyambar.
“Tahan, moi-moi!” Sin Wan menggunakan pedangnya menangkis sehingga sepasang pedang hitam dan putih itu beradu dengan keras mengeluarkan titik-titik bunga api.
Giok Ciu penasaran sekali. “Koko, lupakah kau bahwa perempuan ini adalah anak bangsat she Suma yang telah membunuh Ibu dan Kakekmu?”
“Sabar, moi-moi. Benar ia anaknya, tapi ia tidak berdosa dalam hal itu. Ia tidak tahu apa-apa!”
“Kalau begitu, mengapa kau bawa ia kemari? Apa maksudmu? Katakanlah!”
“Moi-moi, dia kubawa ke sini hanya untuk memancing keluar Ayahnya!” Tapi Giok Ciu menganggap alasan ini terlalu lemah dan tak masuk di akal dan tetap ia merasa sangat cemburu. Maka ia segera mengirim serangan kembali ke arah Li Lian sambil berseru,
“Kalau kau tidak memusuhinya, biar aku yang menjadi musuhnya. Dia anak seorang jahat dan tetap jahat.”
Serangannya hebat sekali dan cepat Sin Wan mengangkat senjata menangkis tapi tidak urung pundak Sum Li Lian masih terkena sedikit oleh ujung pedang Giok Ciu hingga gadis yang malang itu menjerit perlahan dan roboh pingsan.
“Moi-moi!”
“Kau mau bela padanya? Baik belalah!” Kemudian Giok Ciu menyerang lagi ke arah tubuh yang sudah rebah di lantai, tapi Sin Wan kembali menangkis.
Giok Ciu menjadi marah dan kini menujukan serangannya kepada Sin Wan! Maka terjadilah pertempuran di ruang itu. Sebetulnya bukanlah pertempuran, karena Sin Wan tak pernah membalas serangan Giok Ciu, hanya menangkis saja sambil berusaha menyabarkan hati gadis yang kalap itu. Akhirnya Giok Ciu menghentikan serangan sambil menangis karena tidak dapat menahan marahnya lagi. Ia mencabut sesuatu dari dalam saku bajunya dan menyambitkan barang itu ke arah Li Lian.
Sin Wan cepat meloncat dan menyambar benda itu yang ternyata adalah suling kecil tanda perjodohan mereka! Sin Wan terkejut dan hendak mengembalikan suling itu, tapi Giok Ciu sudah meninggalkan dia dengan lari keluar Kelenteng. Ketika Sin Wan mengejar, gadis itu membalikkan tubuh dan membentak,
“Aku tidak sudi tidur serumah dengan anak musuhku dan hendak tidur di luar Kelenteng, apakah ini juga tidak boleh?” Ia memandang Sin Wan dengan mata tertutup air mata.
Sin Wan hanya menghela napas dengan sedih dan meninggalkan dia masuk. Ia minta kedua Nikouw yang ketakutan itu menolong dan membalu luka di pundak Suma Li Lian yang telah sadar dan menangis terisak-isak, kemudian ia masuk kamarnya dengan hati gelisah. Ternyata segala-galanya berjalan tiadk menurut rencananya. Musuh belum terbalas, Giok Ciu telah tertawan dan hampir saja celaka.
Sekarang usahanya memancing Suma-Cianbu keluar dengan menculik Li Lian bahkan menimbulkan keributan antara dia dan Giok Ciu sendiri. Ah, ia menyesal sekali! Ia tahu bahwa Giok Ciu melakukan keganasan itu hanya karena merasa cemburu padanya, timbul dari hati kuatir kalau-kalau ia jatuh cinta kepada gadis lain!
Ia tidak persalahkan Giok Ciu, karena sudah sepantasnya gadis itu marah-marah karena hampir saja kena celaka oleh tipu muslihat Suma-Cianbu dan kawan-kawannya! Untuk membalas dendam belum tentu bisa, maka tentu saja melihat anak perempuan dari musuh itu, ia menjadi marah sekali kepada anak gadis itu dan hendak melampiaskan rasa dendamnya kepada anak gadis itu. Yang membikin ia sangat sedih ialah sulingnya yang dilempar itu! Ah, sampai demikian hebatnya marah yang menggelora dalam dada Giok Ciu?
Karena pikiran ini, biarpun tubuhnya sangat lelah, namun Sin Wan tidak dapat meramkan matanya. Ia gelisah sekali dan berguling di atas pembaringannya. Keesokan harinya, pagi-pagi sekali pada waktu ayam jantan berkeruyuk nyaring, Sin Wan telah turun dari pembaringannya dimana ia tidak tidur sama sekali dan berjalan keluar dari kamarnya menuju ke pekarangan belakang.
Suling hitam kecil yang semenjak terpegang olehnya tak pernah dilepaskannya lagi itu dibawahnya ke belakang. Pekarangan belakang itu lebar sekali, karena dari situ orang terus dapat menuju ke bukit kecil di belakang sawah ladang. Sin Wan berjalan melalui jalan kecil di antara ladang dan batu. Kemudian berdiri memandang ke depan dengan bengong.
Embun pagi mendatangkan pemandangan yang makin menyedihkan hati. Semua tampak kabur dan abu-abu, seakan-akan seluruh dunia berkabung dan menyedihi sesuatu. Bahkan suara ayam berkeruyuk juga terdengar menyedihkan dan bagaikan suara tangis yang mengharukan. Maka sedihlah hati Sin Wan. Terbayang segala kesedihan di ruang kepalanya.
Terbayanglah ia akan segala yang telah lalu dan terkenang kembali kepada Ibu dan Kakeknya. Tak terasa lagi naik sedu-sedan dari ulu hatinya yang berhenti dari kerongkongannya karena ia tekan dari atas. Kemudian bagaikan dalam mimpi tak terasa lagi ia angkat suling kecil itu ke arah bibirnya. Sebentar kemudian terdengarlah suara tiupan suling yang halus itu mengiris kesunyian pagi. Suara itu terdengar mengalun di antara embun pagi yang melayang-layang, merayu-rayu dan indah sekali bunyinya.
Tanpa merasa lagi Sin Wan meniup lagu ciptaannya sendiri ketika ia masih kecil. Dalam tiupannya sekali ini, tercurahlah seluruh kesedihan hatinya yang tadi naik dari ulu hatinya. Ia main dengan penuh perasaan, seakan-akan jiwanya ikut melayang-layang dengan suara itu, seakan-akan seluruh perasaannya mengemudi lagu yang dimainkannya itu.
Halus merdu, nyaring melengking, naik turun, sedih dan menyayat hati tiap pendengarnya. Bahkan ayam jantan di belakang Kelenteng yang tadi tiada hentinya berkeruyuk menyambut datangnya pagi, kini terdiam seakan-akan terpesona dan ikut mengagumi suara yang mengalun bagaikan turun dari angkasa itu. Sin Wan tidak tahu betapa di dalam kamarnya di Kelenteng itu, Suma Li Lian duduk dari tempat tidurnya dan mendengarkan dengan penuh keheranan.
Kemudian gadis itu tekap mukanya dengan tangan dan menangis tersedu-sedu. Ia teringat akan peristiwa tadi dan menjadi sedih sekali. Ia dapat menduga bahwa yang bermain suling itu tentu Sin Wan karena iapun telah sadar dan melihat ketika Giok Ciu menyambitnya dengan suling yang disambar oleh Sin Wan tadi.
Ia tahu bahwa pemuda yang halus dan sopan itu mencinta Giok Ciu dan ia menyesali diri sendiri bahwa dengan adanya dia disitu maka timbullah pertentangan dan perselisihan faham antara Sin Wan dan Giok Ciu yang kasar, tapi hatinya tak dapat menyangkal lagi bahwa ia jatuh hati kepada Sin Wan, pemuda yang tampan dan gagah itu. Maka kini tak tertahan lagi olehnya mendengar tiupan suling Sin Wan dan tangisnya menjadi-jadi hingga kedua Nikouw itu terbangun dan cepat menghiburnya, karena disangkanya bahwa gadis itu menangis karena luka dipundaknya terasa sakit.
Sementara itu, Sin Wan juga tidak tahu bahwa pada saat ia meniup suling dengan asiknya itu, di sebuah tikungan jalan kecil itu tampak tubuh seorang gadis mendatangi. Gadis itu adalah Giok Ciu yang datang bagaikan tidur sambil berjalan. Kedua matanya basah air mata dan ia merasakan bagaikan dirinya ditarik oleh suara lagu itu.
Ia juga satu malam tak dapat tidur, bahkan tidak berganti pakaian, hanya menambahkan sehelai mantel diluar pakaiannya karena malam sangat dingin. Kini ia mendatangi ke arah suara tiupan suling dengan hati terharu sekali. Semalam penuh ia gunakan untuk berpikir dan setelah kemarahannya agak mereda, ia dapat berpikir secara dingin dan sehat. Ia merasa telah berlaku agak terlalu terburu nafsu hingga sampai terjadi pertempuran dengan Sin Wan hanya karena gadis itu saja!
Memang tidak ada bukti-bukti bahwa Sin Wan cinta kepada gadis anak musuh itu, dan mungkin juga pemuda itu menculiknya hanya untuk memancing musuhnya keluar dari persembunyiannya. Ah, kenapa ia begitu terburu nafsu sehingga suling tanda perjodohan yang keramat itu dilempar? Dapatkah Sin Wan memaafkannya?
Ketika mendengar suara suling itu, ia terkejut. Kemudian, perlahan-lahan air matanya jatuh menitik ketika ia kenali lagu itu. Lagu yang dulu pernah dimainkan oleh Sin Wan dengan suling itu juga di rumahnya, dan lagu yang telah membuat mendiang Ayahnya menangis. Maka ia segera bangun dan menghampiri tempat suara itu, dimana ia dapatkan Sin Wan berdiri sambil meniup sulingnya.
Dalam keadaan biasa Sin Wan tentu akan mendengar suara tindakan kaki Giok Ciu dengan telinganya yang sudah terlatih baik, tapi pada saat itu ia seperti orang tak sadar dan seluruh perhatian dan perasaannya terbawa oleh suara suling itu, maka ia tidak tahu bahwa Giok Ciu telah berdiri di belakangnya. Setelah suara suling makin merendah dan melambat hingga akhirnya berhenti, Sin Wan menurunkan tangannya yang memegang suling dan menghela napas.
“Koko!” tiba-tiba terdengar suara halus merdu di dekat telinganya. Ia menengok dan sepasang mata bertemu saling tangkap.
“Moi-moi!”
“Koko, kau memaafkan aku, bukan?” suara Giok Ciu mengandung isak.
Sin Wan girang sekali dan semua rasa sedihnya lenyap seketika. Ia maju dan memegang tangan Giok Ciu dengan mesra. Mereka berdiri berhadapan dan berpegang tangan sambil saling pandang dengan penuh perasaan. Entah berapa lama mereka berdiri dalam keadaan seperti itu, dan tiba-tiba keduanya melepaskan pegangan masing-masing karena mendengar tindakan kaki orang mendatangi!
Melihat orang yang datang sambil tersenyum itu, Giok Ciu segera mencabut pedang dan siap menghadapinya. Tapi Sin Wan tersenyum dan berkata perlahan,
“Moi-moi, simpanlah pedangmu. Dia adalah saudara Gak Bin Tong yang telah menolongmu.”
“Menolongku? Bukankah ia malam tadi membantu Kwi Kai Hoatsu?” tanya Giok Ciu terheran.
Sementara itu, Gak BinTong sudah tiba disitu dan disambut dengan girang oleh Sin Wan. “Gak-Lotee, terima kasih atas petunjukmu hingga sumoiku dapat tertolong,” kata Sin Wan dengan wajah berseri. Hati pemuda itu sekarang sudah seperti biasa, bahkan gembira sekali.
Kemudian Sin Wan menceritakan Giok Ciu bagaimana orang she Gak itu telah membantu dan menolong mereka. Giok Ciu lalu menjura dan menyatakan terima kasihnya kepada pemuda tampan bermuka putih itu.
“Tidak apa, tidak apa!” Gak Bin Tong balas menjura. “Kwie Lihiap janganlah terlalu sungkan. Orang-orang seperti kita memang sudah sepantasnya bantu membantu dan tolong menolong, bukan? Sayang aku terlahir dalam keluarga hamba Kaisar, hingga tak mungkin dapat membantu jiwi secara berterang.”
Sebetulnya, biarpun harus mengakui bahwa pemuda muka putih itu telah berjasa dan membantunya menolong Giok Ciu, namun Sin Wan tidak suka bergaul rapat dengan Gak Bin Tong. Ia diam-diam tidak merasa suka kepada pemuda ini karena dianggapnya bahwa pemuda ini mempunyai watak palsu dan tidak setia. Kalau tidak demikian, mengapa pemuda ini membantu orang luar dan mengkhianati golongan sendiri? Kalau misalnya ia tidak suka kepada golongannya, mengapa tidak secara terus terang saja ia keluar dari situ? Sikap berpura-pura dari pemuda itu terhadap golongan pahlawan Kaisar membuat Sin Wan diam-diam bercuriga dan tidak suka padanya.
“Saudara Gak, pagi-pagi sekali telah datang mengunjungi kami, tentu ada sesuatu yang sangat penting bukan?” Kata Sin Wan dengan suara manis dan ramah.
“Benar katamu, Bun-Lauwte, ada berita baik sekali. Suma-Cianbu pagi ini pergi melarikan diri ke Cee-Tong-An, hanya dengan tiga orang pengawal. Kau dapat mencegatnya di hutan sebelah selatan kota raja karena ia pasti mengambil jalan itu.”
Girang sekali Sin Wan mendengar ini, lebih-lebih Giok Ciu yang segera berkata, “Hayo kita berangkat sekarang juga, Koko.”
“Kukira Kwie Lihiap jangan ikut pergi,” tiba-tiba Gak Bin Tong berkata hingga gadis itu terkejut dan heran, demikianpun Sin Wan.
“Mengapa begitu?” Sin Wan bertanya.
“Mereka telah mengetahui bahwa Suma-Siocia dibawa ke tempat ini, maka aku kuatir kalau-kalau ada orang menyerbu kesini. Lebih baik Lihiap tinggal di sini menjaga Suma-Siocia, pula Suma-Cianbu hanya dikawal oleh tiga orang yang tidak berapa tinggi kepandaiannya, sehingga agaknya tidak akan menyukarkan saudara Bun.”
Sin Wan menganggap omongan ini betul juga, maka setelah memesan agar Giok Ciu berhati-hati, ia lalu pergi ke hutan yang berada di sebelah selatan tembok kota. Sementara itu, setelah Sin Wan pergi, Giok Ciu mempersilahkan Gak Bin Tong masuk Kelenteng dan duduk di ruang tamu, dimana mereka bercakap-cakap dengan asik, karena Gak Bin Tong memang pandai berkata-kata.
Pemuda ini selain tinggi kepandaian silatnya, juga sudah berpengalaman dan ia menarik perhatian Giok Ciu dengan ceritanya tentang berbagai tempat yang ramai. Kemudia pembicaraan mereka tertuju kepada persoalan yang mereka hadapi dan mereka membicarakan Suma-Cianbu.
“Memang kapten she Suma itu cukup banyak mengurbankan jiwa orang-orang gagah hingga banyak orang gagah sakit hati kepadanya,” kata Gak Bin Tong dengan gemas, kemudian suaranya melembut ketika ia melanjutkan kata-katanya.
“Tapi puterinya Suma-Siocia, berbeda jauh dengan Ayahnya itu. Ia adalah seorang gadis terpelajar tinggi, cantik jelita, dan berbudi baik, hingga ia terkenal sebagai seorang Ciankim-Siocia yang harum sekali namanya.”
“Saudara Gak, apa perlunya kau membicarakan hal gadis itu kepadaku? Aku tidak tertarik sama sekali!” kata Giok Ciu dengan sikap murung karena hatinya panas sekali mendengar gadis yang dibencinya itu dipuji-puji orang didepannya.
Gak Bin Tong tersenyum dan pura-pura tidak tahu akan sikap gadis itu. Ia menghela napas. “Tapi puteri itu terlalu angkuh dan tinggi hati. Tiada seorang pemuda diacuhkannya, agaknya memang saudara Bun saja yang pantas untuk memetik bunga harum itu!”
Mata Giok Ciu menyambarnya dengan tajam, “Apa katamu? Apa... Apa maksudmu?”
Gak Bin Tong memandang dengan kaget dan heran terbayang nyata di mukanya yang cakap. “Eh, kau belum tahukah, Kwie Lihiap?”
“Tahu apa?”
“Saudara Bun jatuh hati kepada gadis cantik itu.”
Giok Ciu menahan debaran jantungnya dengan menggigit bibir, “Aah masak, Bun Twako tidak semudah itu jatuh hati!”
“Ha ha ha! Memang, saudara dekat tak mungkin mengetahui isi hati kakak seperguruannya yang tiap hari dekat dan merupakan seperti saudara sendiri. Mungkin juga Bun-Lauwte malu-malu untuk mengaku padamu, tapi apakah kau tidak dapat menduga? Kalau dia tidak cinta kepada gadis itu, tak perlu ia menculiknya, bukan?”
“Sudahlah jangan bicarakan soal ini!” kata Giok Ciu dengan gemas dan tak senang.
“Maaf, Lihiap. Tapi sungguh aku heran melihat sikapmu. Apakah kau tidak ikut gembira melihat kakak seperguruanmu mendapat jodoh seorang gadis yang demikian cantik dan bijaksana seperti Suma Li Lian itu? Aku sendiri yang hanya menjadi kawan barunya, ikut merasa gembira dan girang!”
Terpaksa Giok Ciu menyembunyikan perasaannya dan menjawab, “Bukan aku tidak girang, tapi itu bukanlah urusanku, dan pula, aku masih tidak percaya bahwa Bun Twako mencinta gadis anak musuh kami itu. Sungguh tak masuk akal dan mustahil!” Gak Bin Tong bangun dan berdiri dari bangku yang didudukinya.
“Kwi Lihiap, aku Gak Bin Tong tidak biasa membohong. Kalau kau hendak membuktikan kebenaran bicaraku, coba kau buktikan dan baik kita sama-sama lihat siapa yang lebih tepat dugaannya. Kalau ternyata aku memang keliru sangka , aku bersedia meminta maaf kepadamu, dan kepada saudara Bun!”
Giok Ciu tersenyum dan sebetulnya ia tak ingin melayani orang yang cerewet seperti pemuda ini, namun di dalam hatinya telah menyala api yang dicetus oleh kata-kata Gak Bin Tong tadi. Ia lalu bertanya,
“Dengan cara bagaimanakah kita membuktikan itu?”
“Mudah saja. Kalau saudara Bun datang, coba kau beritahu padanya bahwa kau telah membunuh mati nona Suma itu, coba kita bagaimana sikapnya terhadapmu. Bukankah ini ujian yang baik sekali? Kalau ia mencinta Suma-Siocia, pasti ia akan marah dan sedih sekali.”
Giok Ciu mengangguk-angguk dan anggap bahwa ujian itu baik dan tepat sekali, maka ia merasa setuju. Setelah bercakap-cakap lagi beberapa lama, beberapa kali Gak Bin Tong menutup mulut dengan tangan dan menguap.
“Saudara Gak. Kalau kau lelah dan mengantuk, tidurlah di kamar Bun Twako. Akupun hendak beristirahat di kamarku sambil menanti kembalinya Bun Twako.”
Gak Bin Tong menyatakan setuju dan ia lalu menuju ke kamar Sin Wan dan gadis itupun lalu memasuki kamarnya.