KISAH SEPASANG NAGA JILID 17
Kini wajah suma Li Lian menjadi pucat sekali, dan ia lalu berkata dengan suara yang hampir tidak kedengaran,
“Apa...? Kalau begitu... siapakah... siapakah...?” ia lalu menggunakan kedua tangan menutupi mukanya yang pucat dan terlihat oleh Sin Wan betapa sepuluh jari itu menggigil hingga timbul hati iba di dalam hatinya terhadap nasib gadis yang malang ini.
“Siocia, biarpun tidak ada bukti, namun aku berani pastikan bahwa yang menganggu engkau tentu bukan lain orang ialah Gak Bin Tong!”
“Apa katamu?” Li Lian berteriak keras.
Sin Wang mengangguk-angguk. “Kau tentu tidak mengetahui bahwa pada malam itu, pemuda muka putih itu bermalam di Kelenteng. Ia memiliki ilmu silat yang tinggi juga dan tentang potongan tubuh, memang ia sama dengan aku agaknya. Pula, ia memang terkenal sangat cerdik dan licin, juga aku tahu bahwa ia mempunyai adat yang buruk, maka sudah pasti ia meniru-niru suaraku untuk mengelabui engkau!”
Mendengar kata-kata ini, tiba-tiba Li Lian berteriak dan roboh pingsan! Sin Wan cepat sekali menyambar tubuh nona itu, lalu mengambil anak kecil dari gendongan Li Lian dan merebahkan tubuh itu perlahan di atas rumput. Anak itu menangis keras dan Sin Wan terpaksa gendong anak itu sambil mengayun-ayunnya di dalam lengannya. Ia merasa kasihan sekali melihat Li Lian dan di dalam hati ia bersumpah hendak membunuh Gak Bin Tong manusia keparat itu! Ketika Li Lian sadar dari pingsannya, ia menangis menggerung-gerung dan memukul-mukul kepala sendiri. Rambutnya menjadi awut-awutan dan berkali-kali ia mengeluh,
“Ya Tahun, Engkau tidak adil! Sungguh tidak adil! Mengapa aku harus menderita semua ini? Koko Sin Wan, biarpun perbuatanku itu rendah dan hina, tapi agaknya aku masih sanggup mempertahankan hidupku bahkan sanggup mencapai kebahagiaan jika kiranya engkaulah orang itu! Tidak kusangka... dia itu... Gak Bin Tong keparat, manusia iblis terkutuk... aduh, aduh... nasib diriku... dosa apakah yang telah kuperbuat maka terhukum sehebat ini...? Gak Bin Tong, kau... kau... bangsat!! Tunggu, aku harus bunuh kau untuk perbuatanmu yang terkutuk itu!”
Tiba-tiba Suma Li Lian, gadis bangsawan cantik jelita yang biasanya halus itu, menjadi liar dan ganas. Rambutnya awut-awutan, matanya yang bening terputar-putar dan mulutnya mengeluarkan busa! Ia lalu lari turun gunung, tersaruk-saruk, jatuh dan bangun lagi, terus lari sambil memaki-maki nama Gak Bin Tong seakan-akan pemuda muka putih itu telah berada di depannya dan sedang dikejar-kejarnya untuk dibunuh!
Sin Wan kaget melihat bahwa Suma Li Lian agaknya telah berubah pikiran dan menjadi gila! Ia hendak mengejar, tapi tiba-tiba anak perempuan yang baru berusia lima bulan dan berada di dalam gendongannya itu menangis keras! Ia menjadi serba salah, karena dengan cara kikuk dan kaku sekali ia menggendong anak kecil itu dan tidak berani lari sambil menggendong. Untuk tinggalkan anak itu iapun tidak tega. Lagi pula, untuk apa ia mengejar Li Lian?
Maka akhirnya ia hanya berdiri bingung sambil memandang anak yang menangis keras di dalam pelukannya itu. Setelah ditimang-timang beberapa lama tapi anak itu tidak juga mau diam seakan-akan menangisi ibunya yang lari pergi meninggalkannya, Sin Wan menjadi bingung sekali. Kemudia ia meletakkan anak itu di atas rumput kering, lalu ia meloncat memetik buah yang telah masak.
Setelah ia memberi makan anak itu dengan buah, diamlah tangis anak itu hingga Sin Wan yang tadinya bingung sekali sampai mengeluarkan peluh dingin di dahinya, kini tersenyum girang karena anak itu makan buah sambil tertawa-tawa lucu! Sin Wan memutar-mutar otaknya. Mengapa ia harus mengalami peristiwa yang aneh dan membingungkan ini?
Kala teringat kepada Giok Ciu, ia merasa sedih sekali dan hatinya terasa perih, apalagi kalau mengingat betapa gadis kekasihnya itu telah menghancurkan suling pengikat jodoh mereka! Kalau teringat kepada Li Lian, hatinya terharu dan ia merasa kasihan sekali akan nasib gadis cantik itu.
Ayahnya telah terbunuh olehnya, sedangkan ia sendiri mengalami nasib memalukan dan yang menghancurkan namanya dan nama keluarganya. Teringat akan hal ini, memuncaklah kegemasan Sin Wan kepada Gak Bin Tong! Kemudia ia teringat kembali kepada anak Li Lian yag ditinggalkan oleh ibunya ini. Apa yang harus ia lakukan? Memelihara anak ini? Ah, ia tak sanggup dan juga tidak mau. Habis bagaimana?
Tiba-tiba ia teringat akan kampung ibunya. Wajahnya menjadi terang, dan ia lalu angkat anak itu dalam dukungannya dan berangkatlah ia turun gunung menuju ke perkampungan Ibu dan kakeknya. Kedatangannya disambut girang oleh para penduduk kampung, tapi alangkah heran mereka ketika melihat bahwa pemuda pahlawan mereka itu datang sambil mendukung seorang anak perempuan yang masih bayi!
Dengan singkat Sin Wan menuturkan riwayat anak kecil itu, tentu saja tanpa membongkar-bongkar rahasia Ibu anak itu, kemudian ia menyerahkan anak itu kepada seorang janda she Thio untuk dirawat. Kepada janda itu Sin Wan memberi beberapa potong emas sebagai bekal membiayai pemeliharaan anak itu. Kemudian, ia pun pergi hendak mencari Giok Ciu.
Ia pikir bahwa gadis itu tentu pergi mencari musuh besarnya, yakni Cin Cin Hoatsu. Asal saja ia pergi mencari Pendeta Tibet itu, banyak harapan ia akan bertemu dengan Giok Ciu. Ia ingin sekali segera bertemu dengan gadis itu menjelaskan segala hal tapi apa boleh buat, ia harus bersabar, karena ia tak tahu jurusan mana yang diambil oleh gadis itu!
Beberapa hari kemudian ketika Sin Wan tiba di luar sebuah kampung, ia melihat bayangan seorang yang dikenalnya baik, karena dari belakang ia kenal bahwa orang itu adalah Kwi Kai Hoatsu! Pertapa lihai itu sedang keluar dari kampung itu dan berlari keras sekali. Sin Wan juga merasa penasaran dan marah karena pernah terjatuh dalam tangan imam dari Tibet ini segera mengejar.
Juga, selain hendak membalas kekalahan dulu, iapun tahu bahwa ini adalah saudara seperguruan dari Cin Cin Hoatsu, maka kalau mungkin ia hendak mendapat keterangan tentang musuh besar itu dari Kwi Kai Hoatsu. Karena kepandaiannya memang tinggi, Kwi Kai Hoatsu segera tahu bahwa dirinya dikejar orang, maka segera ia 'Tancap Gas' dan membalap sekerasnya! Tapi Sin Wan telah mempunyai ginkang yang mendekati puncak kesempurnaan, maka ia tidak tertinggal, bahkan lambat laun tapi pasti, ia makin dekat dengan Pendeta yang dikejarnya itu.
Diam-diam ketika menengok, Kwi Kai Hoatsu terkejut sekali melihat betapa orang yang mengejarnya itu makin dekat. Ia tidak menyangka sama sekali bahwa pengejarnya demikian lihai. Tadinya ia menyangka bahwa yang mengejarnya hanyalah orang biasa saja, maka ia hendak mempermainkannya, tidak tahunya, setelah mengerahkan tenaga larinya, ternyata jarak antara ia dan pengejarnya itu makin dekat saja.
Karena marah dan penasaran, ketika tiba di tempat sunyi dan kanan kiri hanya terdapat sawah kosong, ia berhenti dan menanti dengan mata melotot. Tapi ketika pengejarnya dengan cepat sekali telah tiba di depannya, ia memandang pemuda tampan yang sedang tersenyum di depannya itu dengan heran, karena ia mengenal pemuda ini.
“Eh, ternyata engkaukah ini?” katanya dengan senyum sindir karena ia hendak tetapkan hati sendiri dengan memandang rendah pemuda itu.
Tak mungkin pemuda ini dapat memiliki kepandaian yang lebih tinggi darinya karena biarpun andaikata pemuda ini belajar lagi, namun waktunya hanya setahun dan dalam masa waktu sependek itu tak mungkin pemuda ini akan dapat melawan kepandaian lweekang dan hoatsut yang telah dipelajarinya berpuluh tahun lamanya. Sin Wan menjawab dengan tenang.
“Ya, akulah!” Pertapa itu memandang ke kanan kiri, seakan-akan hendak mencari-cari apakah pemuda ini berteman, karena kalau gadis yang lihai dulu itu ikut datang, maka mereka berdua merupakan lawan yang berat juga. Hatinya merasa lega ketika mendapat kenyataan bahwa Sin Wan memang hanya seorang diri saja.
“Anak muda, apa maksudmu mengejarku? Apakah pelajaran yang kau terima dulu itu belum membikin kau merasa kapok?”
Sin Wan tersenyum mengejek. “Maksudmu, engkau atau akukah yang menerima pelajaran dan merasa kapok? Kwi Kai Hoatsu, sesungguhnya antara kita tidak terdapat sesuatu permusuhan yang menyebabkan kita saling membenci, kecuali barangkali sifat-sifat sombong dan tidak mau kalah dari kita masing-masing. Aku mengejarmu bukanlah dengan niat hendak mengajak kau bertempur, kecuali kalau kau sendiri yang memaksaku!”
Kwi Kat Hoatsu memandang kepada Sin Wan dengan heran. “Kalau bukan untuk bertempur, mengapa kau mengejarku?”
Sin Wan tersenyum sabar. “Aku hanya ingin bertanya di manakah gerangan adanya Cin Cin Hoatsu pada waktu ini?”
Tiba-tiba Kwi Kai Hoatsu tertawa besar. “Enak saja kau bicara. Kau mencari saudaraku itu untuk mengajak berkelahi dan mengadu jiwa, bukan? Dan kau katakan bahwa kita tidak ada permusuhan?”
“Memang saudaramu itu musuh besarku. Ia telah membunuh mati Suhuku, yakni Hui-Houw Kwie Cu Ek, maka aku harus membalas dendam ini. Bukankah ini suatu hal yang lajim dan pantas?”
“Anak muda, jangan banyak ribut. Dengan kepandaianmu serendah ini mana kau dapat melawan Cin Cin Hoatsu? Kau boleh mencoba-coba kepandaianmu padaku, coba kulihat apakah kau cukup pantas untuk bertanding melawan saudaraku itu!”
Sambil berkata demikian Kwi Kai Hoatsu mencabut keluar tongkar ular dan hudtimnya yang terkenal lihai itu dan mendahului menyerang. Sin Wan juga telah mencabut keluar Pek Liong Pokiam dan melayani Tosu itu. Ketika tongkat ularnya beradu dengan pedang pusaka berwarna putih itu, terkejutlah si Tosu, karena dari bentrokan kedua senjata ini saja ia tahu betapa hebat tenaga lweekang pemuda itu!
Sungguh luar biasa betapa dalam waktu setahun saja tenaga lweekang pemuda itu yang dulu jauh dibawahnya, kini boleh dikata telah mencapai kedudukan setingkat dengan dia, kalau tidak lebih tinggi malah! Karena inilah maka ia menjadi jerih. Memang, dalam hal ilmu silat, setahun yang lalupun ilmu pedang Pek-Liong Kiam-Sut telah membuat Tosu itu sibuk.
Hanya pada waktu itu lweekangnya masih menang jauh hingga ia berhasil merobohkan Sin Wan. Maka, kini setelah pemuda itu mendapat gemblengan khusus dari Bu Beng Lojin dalam hal tenaga lweekang dan batin, tentu saja kepandaian pemuda itu jauh lebih hebat lagi. Sin Wan juga merasa betapa sampokan-sampokan senjata lawannya tak terasa berat lagi baginya, hingga ia menjadi girang dan mendesak hebat dengan sinar pedang.
Dulu ia merasa betapa dari tongkat ular itu keluar bau amis yang memuakkan, tapi sekarang ia dapat melawan hawa itu dengan mengatur napasnya dan mengusir hawa jahat yang menyerang mulut dan hidungnya dengan tiupan napas. Setelah bertempur tiga puluh jurus lebih. Ia berhasil membabat putus kebutan lawannya hingga Tosu itu berseru kaget.
Kalau saja Sin Wan berlaku kejam, agaknya ia akan berhasil membunuh Kwi Kai Hoatsu, tapi pemuda itu tidak bermaksud membunuhnya, hanya ingin mengalahkannya saja sebagai pembalasan tahun lalu. Maka cepat sekali pedangnya mengurung dan maksudnya hendak membuat senjata lawan terlepas dari pegangan.
Kwi Kai Hoatsu yang tidak tahu akan kehendak pemuda itu dan menyangka bahwa Sin Wan tentu akan mendesak dan membunuhnya, menjadi sibuk sekali dan tiba-tiba ia berseru keras sambil mencabut keluar sabuk sutera hitam yang dulu digunakan untuk merampas pedang Sin Wan. Kini agaknya iapun hendak menggunakan lagi senjata luar biasa itu. Sambil membentak keras dan mengerahkan tenaga ilmu hitamnya, ia menggerakkan tangan kiri dan sutera hitam itu bagaikan ular yang hidup menyambar pedang Sin Wan.
Pemuda ini girang sekali melihat senjata aneh ini dikeluarkan, karena ia memang hendak mencoba kelihaian senjata yang dulu pernah merampas pedangnya. Ia berlaku tabah dan bahkan membiarkan senjatanya dibelit benda itu. Setelah ujung Pek Liong Pokiam terlibat erat, ia lalu mengerahkan tenaga dalamnya untuk menolak serangan pengaruh bentakan lawan dan membarengi menggunakan lweekangnya untuk menggerakkan pedang itu.
Terdengarlah suara kain robek dan ternyata sutera hitam yang sangat diandalkan oleh Kwi Kai Hoatsu telah terputus oleh pedang Pek Liong Pokiam! Kwi Kai Hoatsu menjerit kaget karena ia tahu bahwa kini ia akan tewas dalam tangan pemuda yang kosen ini, maka tanpa malu-malu lagi ia lalu meloncat jauh untuk melarikan diri. Tapi Sin Wan segera meloncat pula mengejar sambil berseru.
“Kwi Kai Hoatsu! Nanti dulu, jangan kau pergi sebelum memberi tahu padaku tempat tinggal Cin Cin Hoatsu!” tapi Tosu tidak memperdulikan teriakannya dan lari makin cepat. Sin Wan terus saja mengejar dengan lebih cepat.
Biarpun ilmu lari cepat dari Tosu itu sudah cukup tinggi, tapi mana ia dapat melawan Sin Wan yang selain mendapat didikan seorang suci dan berilmu tinggi, juga ia telah makan buah-buah mujijat yang membersihkan darahnya dan membuat tubuhnya menjadi ringan. Lambat laun jarak antara mereka makin dekat. Tapi, ketika Kwi Kai Hoatsu tiba di dalam sebuah hutan dan Sin Wan telah dekat benar dengannya, tiba-tiba Tosu itu mengeluarkan sebuah benda dan membantingnya ke belakang.
Benda itu pecah dan mengeluarkan asap hitam tebal bergulung-gulung di belakangnya dan membuat ia lenyap dari pandangan mata pengejarnya. Sin Wan merasa terkejut dan cepat ia membelokkan arah jalannya agar jangan sampai menerjang asap hitam itu karena ia menduga tentu asap itu adalah asap berbisa yang berbahaya. Tapi, ternyata Tosu itu telah dapat melenyapkan diri di belakang tabir asap itu karena tanpa diketahui oleh Sin Wan ke mana arah yang ditempuh imam itu.
Sin Wan merasa penasaran dan kecewa sekali mengapa tidak ia robohkan saja imam jahat itu tadi agar dapat ia paksa untuk mengaku dimana tempat tinggal Cin Cin Hoatsu. Kini ia kehilangan pegangan dan tidak tahu harus mencari kemana. Tapi ia pikir bahwa keadaan Giok Ciu juga sama dengan dia sendiri yakni tidak mempunyai tujuan yang tetap dalam mencari musuh besarnya.
Maka besar kemungkinan gadis itu akan mencari di kota raja, karena di situlah pusat para pembatu Kaisar berkumpul dan disitu pula akan dapat dicari keterangan tentang musuh besar itu. Karena pikiran ini, maka Sin Wan segera menuju ke kota raja. Pikiran Sin Wan yang berotak cerdas ini memang tidak keliru.
Giok Ciu dengan hati sedih dan kalbu hancur lari turun dari Kam-Hong-San. Gadis itu berlari-lari sambil tiada hentinya menangis. Kini ia tidak pedulikan segala apa dan tujuan hidupnya hanya satu, yakni mencari Cin Cin Hoatsu dan membunuh orang yang telah membunuh Ayahnya itu. Ia merasa bingung sekali karena tidak tahu harus mencari kemana, maka ia lalu menuju ke kotaraja, karena teringat bahwa selain dari tempat itu, agaknya sukar untuk mencari tahu tempat tinggal Pendeta Tibet itu.
Karena sedihnya, ia tidak mau berhenti berlari dan lupa makan lupa tidur. Setelah sehari semalam lari cepat tanpa berhenti sedikitpun, ia tiba di kota Ang-Len dan karena merasa kepalanya pening sekali dan tubuhnya panas, terpaksa ia mencari sebuah rumah penginapan dan minta sebuah kamar. Begitu tutup pintu kamar dan merebahkan diri di atas pembaringan, ia jatuh pingsan.
Ternyata karena mendapat serangan dari dalam dan luar, gadis itu tidak kuat menahan lagi. Dari dalam ia mendapat pukulan hebat sekali karena hatinya merasa hancur dikecewakan oleh kenyataan betapa Sin Wan, pemuda kekasihnya dan orang satu-satunya di dunia ini yang dicintanya dan dijadikan sandaran hidupnya telah mencemarkan kesucian ikatan jodoh mereka.
Dan ternyata pemuda itu telah melakukan perbuatan yang hina dina dan yang tak mungkin dapat ia maafkan lagi. Dari luar ia mendapat serangan penyakit panas yang tentu akan dapat dilawan oleh kekuatan tubuhnya kalau saja ia tidak memaksa tubuhnya berlari terus-menerus sehari semalam tanpa mengaso dan tanpa makan. Akhirnya tubuhnya tak kuat bertahan lagi dan jatuh sakit!
Setelah sadar dari pingsannya, Giok Ciu merasakan tubuhnya sangat lemah dan kepalanya pusing sekali. Juga tubuhnya terasa panas seakan-akan ada api yang membakar tubuhnya dari dalam. Ia maklum bahwa gangguan kesehatan ini terjadi karena kesalahannya sendiri, terjadi karena kacaunya keadaan hati dan pikirannya, juga karena ia tidak memperhatikan pemeliharaan tubuhnya. Ia teringat betapa Suhunya, Bu Beng Lojin yang sakti itu, pernah berkata demikian.
“Alam telah mempunyai hukum-hukum tertentu dan siapa saja yang tidak menyesuaikan dirinya dengan hukum alam, pasti akan mengalami bencana dan hukuman. Siapa yang melanggar hukum alam, pasti akan terhukum dan menderita, sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum alam itu sendiri. Sebagai contoh, sebuah daripada hukum-hukum alam itu ialah hukum kesehatan, misalnya ketentuan bahwa manusia harus makan pada saat tubuhnya membutuhkan makanan, harus beristirahat pada waktu tubuh lelah dan membutuhkan istirahat. Kalau kita paksakan diri dan melanggar ketentuan hukum ini, tak dapat tidak pasti akan menderita hukumannya, yakni mendapat sakit! Penyakit bukan datang dari luar, tapi terjadi karena pelanggaran hukum itu tadilah! Demikian pula dengan hukuman-hukuman yang lain, yang kesemuanya terjadi karena pelanggaran-pelanggaran hukum alam yang kita lakukan sendiri, bagaimana macamnya hukuman dan penderitaan itu. Maka hati-hatilah menghadapi percobaan dalam hidupmu, karena sekali kau salah tindak, bukan orang lain yang akan menerima hukumannya tapi kau sendiri. Inilah keadilan alam!”
Mengingat akan semua nasihat-nasihat dan petuah-petuah Suhunya yang sangat berharga, agak terobatlah luka di hati Giok Ciu. Ia menjadi tenang, walaupun rasa bencinya kepada Sin Wan masih menghebat. Ia lalu turun dari pembaringan dengan perlahan dan memanggil pelayan. Ketika pelayan datang, ia minta dibelikan makanan dan makan dengan hati-hati, kemudian ia memerintahkan pelayan untuk membeli obat pelawan panas dan setelah merawat diri baik-baik dan membantu pekerjaan obat itu dengan bersamadhi dan mengatur napas, maka dua hari kemudian sembuhlah ia.
Setelah merasa sembuh betul, barulah ia melanjutkan perjalanannya. Malam hari berikutnya ia bermalam di sebuah kota kecil, di dalam sebuah hotel. Menjelang tengah malam, ia terjaga dari tidurnya oleh suara kaki orang yang dengan hati-hati sekali berjalan di atas hotel itu! Giok Ciu dengan telinga terlatih dan tajam, dapat menduga bahwa yang berjalan di atas genteng itu hanyalah seorang yang memiliki kepandaian yang tidak seberapa tinggi.
Namun tindakan orang itu cukup mencurigakan dan karena menduga akan terjadinya kejahatan, Giok Ciu segera berganti pakaian dan meloncat keluar dari jendela, terus melayang naik ke wuwungan rumah. Ia melihat bayangan hitam meloncat dan berlari-lari di atas genteng rumah di depan maka ia segera mengejarnya. Giok Ciu sengaja mengikuti orang itu untuk melihat apakah yang hendak dilakukan olehnya.
Ternyata setelah berputar-putar di atas rumah-rumah orang, bayangan hitam itu meloncat turun ke dalam sebuah rumah. Giok Ciu cepat mengejar dan meloncat turun pula. Ia melihat betapa bayangan hitam itu menggunakan goloknya membuka jendela sebuah kamar dan meloncat masuk. Terdengar teriakan tertahan dan suara laki-laki yang kasar membentak,
“Diam kalau tak ingin mampus!”
Giok Ciu marah sekali karena teriakan itu adalah teriakan seorang wanita. Ia dapat menduga bahwa bayangan hitam itu tentulah seorang penjahat. Kalau bukan Jai-Hwa-Cat atau Penjahat Pemetik Bunga, tentulah seorang pencuri atau perampok! Maka ia segera membentak dari luar jendela,
“Bangsat hina yang berada di dalam kamar orang. Ayo lekas kau keluar kalau tidak ingin kepalamu kutabas putus!”
Dari dalam kamar terdengar seruan marah dan heran dan pada saat selanjutnya bayangan hitam itu meloncat keluar dari dalam kamar sambil memutar-mutarkan goloknya ketika melalui jendela agar jangan sampai disergap musuh. Tapi Giok Ciu hanya tertawa menyindir sambil bertolak pinggang dan menanti di atas genteng.
Ketika penjahat itu telah berada di atas genteng, ia heran sekali melihat di bawah sinar bulan bahwa yang mengganggunya hanyalah seorang dara berpakaian serba hitam yang cantik sekali. Dalam pakaiannya yang hitam itu, Giok Ciu tampak cantik dan gagah, sedangkan kulit muka dan kedua tangannya tampak putih sekali. Bayangan hitam itu ternyata seorang laki-laki yang masih muda dan mempunyai sepasang mata bangsat yang liar. Kini, menghadapi Giok Ciu, ia menyeringai dan berkata,
“Aduh, nona yang cantik seperti bidadari! Apa kehendakmu maka kau memanggil aku kemari?”
Giok Ciu marah sekali mendengar kata-kata orang ini mengandung kekurangajaran. Ia berkata dingin, “Kau mencari celaka sendiri! Tadinya kusangka kau hanya seorang penjahat rendah yang patut dikasihani dan diberi ampun dengan menerima peringatan keras saja, tidak tahunya kau seorang yang lancang mulut pula! Untuk kelancanganmu ini, kau harus meninggalkan sebelah tanganmu!”
Marahlah orang itu dan ia lalu menerjang dengan goloknya setelah berseru, “Bagus! Perlihatkan kepandainmu, nona cilik!”
Tapi Giok Ciu dengan sekali sabet saja telah membuat golok penjahat itu terbabat putus, kemudian cepat bagaikan kilat Ouw-Liong Pokiam berkelebat dan sebelum kuasa menghilangkan kagetnya karena goloknya terbabat putus, tahu-tahu orang itu merasa tangan kirinya perih dan dingin. Ketika ia melihat, ternyata tangannya sebelah kiri telah terpotong pula pada sebatas pergelangan tangan itu! Ia membelalakan mata dan lari sambil berteriak-teriak,
“Aduh... aduh tolong... Suhu... Tolong… Suhu...!”
Demikian tajamnya Ouw-Liong Pokiam sehingga hampir saja penjahat itu tidak merasa bahwa tangan kirinya telah terbabat putus! Giok Ciu merasa puas telah memberi pelajaran kepada penjahat itu, tapi begitu mendengar penjahat itu menyebut-nyebut gurunya, ia segera mengejar.
Kalau penjahat itu mempunyai seorang guru di kota ini, maka gurunya tentu bukan seorang baik-baik pula dan perlu dan dibasmi agar jangan merupakan pengganggu dan pengacau rakyat di kota itu. Penjahat itu, terus menuju ke sebuah rumah yang tinggi gentengnya sambil terus berteriak-teriak minta tolong kepada gurunya.
Tiba-tiba dari dalam rumah itu melayang keluar bayangan seorang yang mempunyai gerakan gesit sekali. Giok Ciu siap dengan pedangnya karena dari gerakan orang itu ia dapat menduga bahwa lawannya ini tentu seorang yang memiliki kepandaian tinggi juga. Ketika bayangan orang itu tiba di depannya dan membentak nyaring, Giok Ciu merasa terkejut berbareng girang karena ternyata bahwa orang itu bukan lain ialah Keng Kong Tosu!
“Ha, jadi kaukah guru penjahat itu? Pantas saja muridnya jahat, tidak tahunya gurunya seorang penjahat besar!”
Keng Kong Tosu lebih kaget lagi ketika melihat bahwa orang yang melukai dan mengejar muridnya bukan lain adalah gadis lihai yang dulu pernah bertempur dengannya! Ia masih ingat betapa lebih setahun yang lalu gadis itu telah memiliki kepandaian tinggi, apalagi sekarang, maka diam-diam ia merasa jerih juga. Akan tetapi, karena lawan itu telah berada disitu, pula ia dapat mengharapkan bantuan tiga murid lain yang berada di bawah ia lalu membentak,
“Pemberontak perempuan, tidak tahunya kaukah yang lagi-lagi menghina kami dan melukai muridku? Kau agaknya telah bosan hidup!”
“Jangan banyak cakap, kau majulah Tosu palsu!”
Giok Ciu lalu menyerang hebat dengan pokiamnya, hingga Keng Kong Tosu buru-buru meloncat dan mengeluarkan pedang pendek dan hudtimnya yang digerakkan secara istimewa untuk menangkis dan balas menyerang. Ia berlaku hati-hati sekali karena dulu pernah merasakan kelihaian dari pendekar ini dan pernah dilukai pundaknya oleh pedang pusaka yang ampuh itu. Tapi baru saja bertempur beberapa jurus, makin kuncup dan jerih hati Tosu itu karena ia mendapat kenyataan bahwa tenaga lweekang dan permainan pedang dara itu kini telah maju hebat sekali!
Ia lalu bersuit nyaring untuk memanggil murid-muridnya dan sambil membentak keras ia mengeluarkan senjata-senjata rahasia jarum hitam dari dalam kebutannya. Jarum-jarum itu jumlahnya lebih dari sepuluh batang dan kecil sekali sehingga ketika menyambar di dalam gelap itu, sama sekali tidak tampak.
Tetapi Giok Ciu memiliki tenaga pendengaran, yang halus sekali dapat menangkap angin gerakan hudtim itu maka ia dapat menduga bahwa dari gerakan itu tentu keluar senjata rahasia. Ia lalu menggunakan pedangnya yang diputar dalam gerak tipu Naga Hitam Menutup Gua untuk melindungi tubuhnya dan benar saja, terdengar suara tring-tring nyaring sekali ketika jarum-jarum itu terpukul oleh pedangnya.
Pada saat itu, dari bawah meloncat naik tiga bayangan yang juga memiliki gerakan gesit. Mereka ini adalah murid-murid Keng Kong Tosu yang tadi sibuk menolong Sute mereka yang terbabat tangannya oleh pedang Giok Ciu. Kini mereka mendengar tanda siutan Suhu mereka, ketiga orang itupun mengambil senjata masing-masing dan naik untuk membantu Keng Kong Tosu.
Sekali-kali Keng Kong Tosu berseru keras dan asap hitam menyambar kearah tubuh Giok Ciu. Tapi Giok Ciu sekarang bukanlah dara setahun yang lalu, yang takut akan segala ilmu hitam dan senjata-senjata mujijat. Ia telah memiliki tenaga lweekang dan tenaga batin yang kuat sekali dan membuatnya waspada dan tenang. Melihat datangnya asap hitam yang berbau busuk itu, ia lalu menggunakan mulutnya meniup ke depan dari atas ke bawah.
Tenaga tiupan ini demikian besar sehingga asap itu tertiup berbalik, dan kini bahkan menyerang Keng Kong Tosu dan murid-muridnya! Tosu sesat itu cepat menggunakan kebutannya diputar untuk mendatangkan angin mengusir asap itu, juga dua orang muridnya meloncat menyingkir, tapi seorang murid tidak menyangka sama sekali akan tiupan Giok Ciu maka ia terserang oleh asap hitam itu.
Ia kena sedot asap itu sehingga terbatuk-batuk dan tubuhnya lalu terguling roboh di atas genteng! Keng Kong Tosu terkejut dan marah sekali. Ia cepat mengeluarkan obat pemunah dan memasukkan obat itu ke dalam mulut muridnya. Seorang murid lain lalu memondong tubuh kawannya itu dan meloncat ke bawah sedangkan gurunya dan seorang kawannya yang masih berada disitu lalu maju mengeroyok gadis yang lihai itu.
Giok Ciu memutar pokiamnya dan memainkan ilmu pedang Ouw-Liong Kiam-Sut yang luar biasa dan ganas. Sebentar saja sinar pedangnya yang hitam dan membuat ia lenyap dari pandangan mata kedua lawannya, telah mengurung dan mendesak kedua lawannya. Pada saat itu murid yang tadi menolong kawannya terkena asap berbisa dari Suhunya sendiri, telah naik pula dan maju mengeroyok dengan pedangnya. Tapi Giok Ciu tidak takut, bahkan tertawa menyindir.
“Keng Kong Tosu, Tosu busuk! Kau agaknya hendak mampus sambil membawa dua orang pengiring!”
Keng Kong Tosu marah sekali, tapi ia tidak berdaya, maka ia lalu berkelahi dengan nekad dan mati-matian! Pada saat itu, tampak berkelebat bayangan putih dan sebuah sinar putih yang terang sekali meluncur dan menyerbu ke dalam kalangan pertempuran serta langsung membantu Giok Ciu.
“Moi-moi, mari kita musnahkan manusia jahat ini!” terdengar seruan Sin Wan dengan suara gembira karena tanpa dinyana ia dapat bertemu dengan gadis itu di tempat ini! Tapi Giok Ciu menjawab marah.
“Siapa butuh pertolonganmu? Jangan kau ikut mencampuri urusanku!”
Sin Wan merasa mendongkol juga mendengar betapa keng Kong Tosu dan kedua muridnya sengaja memperdengarkan suara ketawa untuk menghinanya. Ia merasa betapa gadis itu merendahkannya dimuka musuh-musuhnya, maka dengan suara dingin ia berkata,
“Siapa yang hendak membantu engkau? Akupun mempunyai sedikit urusan dengan Tosu jahanam ini!”
Sambil berkata demikian, Sin Wan lalu menggunakan pedangnya yang bersinar putih menyerang hebat dengan tipu Naga Putih Menembus Awan. Gerakannya hebat dan cepat sekali sehingga Keng Kong Tosu menjadi terkejut dan cepat berkelit. Tapi pada saat itu Giok Ciu yang tidak mau 'didului' Sin Wan, segera menyerangnya dengan gerakan Naga Hitam Terjun ke Laut...!
“Apa...? Kalau begitu... siapakah... siapakah...?” ia lalu menggunakan kedua tangan menutupi mukanya yang pucat dan terlihat oleh Sin Wan betapa sepuluh jari itu menggigil hingga timbul hati iba di dalam hatinya terhadap nasib gadis yang malang ini.
“Siocia, biarpun tidak ada bukti, namun aku berani pastikan bahwa yang menganggu engkau tentu bukan lain orang ialah Gak Bin Tong!”
“Apa katamu?” Li Lian berteriak keras.
Sin Wang mengangguk-angguk. “Kau tentu tidak mengetahui bahwa pada malam itu, pemuda muka putih itu bermalam di Kelenteng. Ia memiliki ilmu silat yang tinggi juga dan tentang potongan tubuh, memang ia sama dengan aku agaknya. Pula, ia memang terkenal sangat cerdik dan licin, juga aku tahu bahwa ia mempunyai adat yang buruk, maka sudah pasti ia meniru-niru suaraku untuk mengelabui engkau!”
Mendengar kata-kata ini, tiba-tiba Li Lian berteriak dan roboh pingsan! Sin Wan cepat sekali menyambar tubuh nona itu, lalu mengambil anak kecil dari gendongan Li Lian dan merebahkan tubuh itu perlahan di atas rumput. Anak itu menangis keras dan Sin Wan terpaksa gendong anak itu sambil mengayun-ayunnya di dalam lengannya. Ia merasa kasihan sekali melihat Li Lian dan di dalam hati ia bersumpah hendak membunuh Gak Bin Tong manusia keparat itu! Ketika Li Lian sadar dari pingsannya, ia menangis menggerung-gerung dan memukul-mukul kepala sendiri. Rambutnya menjadi awut-awutan dan berkali-kali ia mengeluh,
“Ya Tahun, Engkau tidak adil! Sungguh tidak adil! Mengapa aku harus menderita semua ini? Koko Sin Wan, biarpun perbuatanku itu rendah dan hina, tapi agaknya aku masih sanggup mempertahankan hidupku bahkan sanggup mencapai kebahagiaan jika kiranya engkaulah orang itu! Tidak kusangka... dia itu... Gak Bin Tong keparat, manusia iblis terkutuk... aduh, aduh... nasib diriku... dosa apakah yang telah kuperbuat maka terhukum sehebat ini...? Gak Bin Tong, kau... kau... bangsat!! Tunggu, aku harus bunuh kau untuk perbuatanmu yang terkutuk itu!”
Tiba-tiba Suma Li Lian, gadis bangsawan cantik jelita yang biasanya halus itu, menjadi liar dan ganas. Rambutnya awut-awutan, matanya yang bening terputar-putar dan mulutnya mengeluarkan busa! Ia lalu lari turun gunung, tersaruk-saruk, jatuh dan bangun lagi, terus lari sambil memaki-maki nama Gak Bin Tong seakan-akan pemuda muka putih itu telah berada di depannya dan sedang dikejar-kejarnya untuk dibunuh!
Sin Wan kaget melihat bahwa Suma Li Lian agaknya telah berubah pikiran dan menjadi gila! Ia hendak mengejar, tapi tiba-tiba anak perempuan yang baru berusia lima bulan dan berada di dalam gendongannya itu menangis keras! Ia menjadi serba salah, karena dengan cara kikuk dan kaku sekali ia menggendong anak kecil itu dan tidak berani lari sambil menggendong. Untuk tinggalkan anak itu iapun tidak tega. Lagi pula, untuk apa ia mengejar Li Lian?
Maka akhirnya ia hanya berdiri bingung sambil memandang anak yang menangis keras di dalam pelukannya itu. Setelah ditimang-timang beberapa lama tapi anak itu tidak juga mau diam seakan-akan menangisi ibunya yang lari pergi meninggalkannya, Sin Wan menjadi bingung sekali. Kemudia ia meletakkan anak itu di atas rumput kering, lalu ia meloncat memetik buah yang telah masak.
Setelah ia memberi makan anak itu dengan buah, diamlah tangis anak itu hingga Sin Wan yang tadinya bingung sekali sampai mengeluarkan peluh dingin di dahinya, kini tersenyum girang karena anak itu makan buah sambil tertawa-tawa lucu! Sin Wan memutar-mutar otaknya. Mengapa ia harus mengalami peristiwa yang aneh dan membingungkan ini?
Kala teringat kepada Giok Ciu, ia merasa sedih sekali dan hatinya terasa perih, apalagi kalau mengingat betapa gadis kekasihnya itu telah menghancurkan suling pengikat jodoh mereka! Kalau teringat kepada Li Lian, hatinya terharu dan ia merasa kasihan sekali akan nasib gadis cantik itu.
Ayahnya telah terbunuh olehnya, sedangkan ia sendiri mengalami nasib memalukan dan yang menghancurkan namanya dan nama keluarganya. Teringat akan hal ini, memuncaklah kegemasan Sin Wan kepada Gak Bin Tong! Kemudia ia teringat kembali kepada anak Li Lian yag ditinggalkan oleh ibunya ini. Apa yang harus ia lakukan? Memelihara anak ini? Ah, ia tak sanggup dan juga tidak mau. Habis bagaimana?
Tiba-tiba ia teringat akan kampung ibunya. Wajahnya menjadi terang, dan ia lalu angkat anak itu dalam dukungannya dan berangkatlah ia turun gunung menuju ke perkampungan Ibu dan kakeknya. Kedatangannya disambut girang oleh para penduduk kampung, tapi alangkah heran mereka ketika melihat bahwa pemuda pahlawan mereka itu datang sambil mendukung seorang anak perempuan yang masih bayi!
Dengan singkat Sin Wan menuturkan riwayat anak kecil itu, tentu saja tanpa membongkar-bongkar rahasia Ibu anak itu, kemudian ia menyerahkan anak itu kepada seorang janda she Thio untuk dirawat. Kepada janda itu Sin Wan memberi beberapa potong emas sebagai bekal membiayai pemeliharaan anak itu. Kemudian, ia pun pergi hendak mencari Giok Ciu.
Ia pikir bahwa gadis itu tentu pergi mencari musuh besarnya, yakni Cin Cin Hoatsu. Asal saja ia pergi mencari Pendeta Tibet itu, banyak harapan ia akan bertemu dengan Giok Ciu. Ia ingin sekali segera bertemu dengan gadis itu menjelaskan segala hal tapi apa boleh buat, ia harus bersabar, karena ia tak tahu jurusan mana yang diambil oleh gadis itu!
Beberapa hari kemudian ketika Sin Wan tiba di luar sebuah kampung, ia melihat bayangan seorang yang dikenalnya baik, karena dari belakang ia kenal bahwa orang itu adalah Kwi Kai Hoatsu! Pertapa lihai itu sedang keluar dari kampung itu dan berlari keras sekali. Sin Wan juga merasa penasaran dan marah karena pernah terjatuh dalam tangan imam dari Tibet ini segera mengejar.
Juga, selain hendak membalas kekalahan dulu, iapun tahu bahwa ini adalah saudara seperguruan dari Cin Cin Hoatsu, maka kalau mungkin ia hendak mendapat keterangan tentang musuh besar itu dari Kwi Kai Hoatsu. Karena kepandaiannya memang tinggi, Kwi Kai Hoatsu segera tahu bahwa dirinya dikejar orang, maka segera ia 'Tancap Gas' dan membalap sekerasnya! Tapi Sin Wan telah mempunyai ginkang yang mendekati puncak kesempurnaan, maka ia tidak tertinggal, bahkan lambat laun tapi pasti, ia makin dekat dengan Pendeta yang dikejarnya itu.
Diam-diam ketika menengok, Kwi Kai Hoatsu terkejut sekali melihat betapa orang yang mengejarnya itu makin dekat. Ia tidak menyangka sama sekali bahwa pengejarnya demikian lihai. Tadinya ia menyangka bahwa yang mengejarnya hanyalah orang biasa saja, maka ia hendak mempermainkannya, tidak tahunya, setelah mengerahkan tenaga larinya, ternyata jarak antara ia dan pengejarnya itu makin dekat saja.
Karena marah dan penasaran, ketika tiba di tempat sunyi dan kanan kiri hanya terdapat sawah kosong, ia berhenti dan menanti dengan mata melotot. Tapi ketika pengejarnya dengan cepat sekali telah tiba di depannya, ia memandang pemuda tampan yang sedang tersenyum di depannya itu dengan heran, karena ia mengenal pemuda ini.
“Eh, ternyata engkaukah ini?” katanya dengan senyum sindir karena ia hendak tetapkan hati sendiri dengan memandang rendah pemuda itu.
Tak mungkin pemuda ini dapat memiliki kepandaian yang lebih tinggi darinya karena biarpun andaikata pemuda ini belajar lagi, namun waktunya hanya setahun dan dalam masa waktu sependek itu tak mungkin pemuda ini akan dapat melawan kepandaian lweekang dan hoatsut yang telah dipelajarinya berpuluh tahun lamanya. Sin Wan menjawab dengan tenang.
“Ya, akulah!” Pertapa itu memandang ke kanan kiri, seakan-akan hendak mencari-cari apakah pemuda ini berteman, karena kalau gadis yang lihai dulu itu ikut datang, maka mereka berdua merupakan lawan yang berat juga. Hatinya merasa lega ketika mendapat kenyataan bahwa Sin Wan memang hanya seorang diri saja.
“Anak muda, apa maksudmu mengejarku? Apakah pelajaran yang kau terima dulu itu belum membikin kau merasa kapok?”
Sin Wan tersenyum mengejek. “Maksudmu, engkau atau akukah yang menerima pelajaran dan merasa kapok? Kwi Kai Hoatsu, sesungguhnya antara kita tidak terdapat sesuatu permusuhan yang menyebabkan kita saling membenci, kecuali barangkali sifat-sifat sombong dan tidak mau kalah dari kita masing-masing. Aku mengejarmu bukanlah dengan niat hendak mengajak kau bertempur, kecuali kalau kau sendiri yang memaksaku!”
Kwi Kat Hoatsu memandang kepada Sin Wan dengan heran. “Kalau bukan untuk bertempur, mengapa kau mengejarku?”
Sin Wan tersenyum sabar. “Aku hanya ingin bertanya di manakah gerangan adanya Cin Cin Hoatsu pada waktu ini?”
Tiba-tiba Kwi Kai Hoatsu tertawa besar. “Enak saja kau bicara. Kau mencari saudaraku itu untuk mengajak berkelahi dan mengadu jiwa, bukan? Dan kau katakan bahwa kita tidak ada permusuhan?”
“Memang saudaramu itu musuh besarku. Ia telah membunuh mati Suhuku, yakni Hui-Houw Kwie Cu Ek, maka aku harus membalas dendam ini. Bukankah ini suatu hal yang lajim dan pantas?”
“Anak muda, jangan banyak ribut. Dengan kepandaianmu serendah ini mana kau dapat melawan Cin Cin Hoatsu? Kau boleh mencoba-coba kepandaianmu padaku, coba kulihat apakah kau cukup pantas untuk bertanding melawan saudaraku itu!”
Sambil berkata demikian Kwi Kai Hoatsu mencabut keluar tongkar ular dan hudtimnya yang terkenal lihai itu dan mendahului menyerang. Sin Wan juga telah mencabut keluar Pek Liong Pokiam dan melayani Tosu itu. Ketika tongkat ularnya beradu dengan pedang pusaka berwarna putih itu, terkejutlah si Tosu, karena dari bentrokan kedua senjata ini saja ia tahu betapa hebat tenaga lweekang pemuda itu!
Sungguh luar biasa betapa dalam waktu setahun saja tenaga lweekang pemuda itu yang dulu jauh dibawahnya, kini boleh dikata telah mencapai kedudukan setingkat dengan dia, kalau tidak lebih tinggi malah! Karena inilah maka ia menjadi jerih. Memang, dalam hal ilmu silat, setahun yang lalupun ilmu pedang Pek-Liong Kiam-Sut telah membuat Tosu itu sibuk.
Hanya pada waktu itu lweekangnya masih menang jauh hingga ia berhasil merobohkan Sin Wan. Maka, kini setelah pemuda itu mendapat gemblengan khusus dari Bu Beng Lojin dalam hal tenaga lweekang dan batin, tentu saja kepandaian pemuda itu jauh lebih hebat lagi. Sin Wan juga merasa betapa sampokan-sampokan senjata lawannya tak terasa berat lagi baginya, hingga ia menjadi girang dan mendesak hebat dengan sinar pedang.
Dulu ia merasa betapa dari tongkat ular itu keluar bau amis yang memuakkan, tapi sekarang ia dapat melawan hawa itu dengan mengatur napasnya dan mengusir hawa jahat yang menyerang mulut dan hidungnya dengan tiupan napas. Setelah bertempur tiga puluh jurus lebih. Ia berhasil membabat putus kebutan lawannya hingga Tosu itu berseru kaget.
Kalau saja Sin Wan berlaku kejam, agaknya ia akan berhasil membunuh Kwi Kai Hoatsu, tapi pemuda itu tidak bermaksud membunuhnya, hanya ingin mengalahkannya saja sebagai pembalasan tahun lalu. Maka cepat sekali pedangnya mengurung dan maksudnya hendak membuat senjata lawan terlepas dari pegangan.
Kwi Kai Hoatsu yang tidak tahu akan kehendak pemuda itu dan menyangka bahwa Sin Wan tentu akan mendesak dan membunuhnya, menjadi sibuk sekali dan tiba-tiba ia berseru keras sambil mencabut keluar sabuk sutera hitam yang dulu digunakan untuk merampas pedang Sin Wan. Kini agaknya iapun hendak menggunakan lagi senjata luar biasa itu. Sambil membentak keras dan mengerahkan tenaga ilmu hitamnya, ia menggerakkan tangan kiri dan sutera hitam itu bagaikan ular yang hidup menyambar pedang Sin Wan.
Pemuda ini girang sekali melihat senjata aneh ini dikeluarkan, karena ia memang hendak mencoba kelihaian senjata yang dulu pernah merampas pedangnya. Ia berlaku tabah dan bahkan membiarkan senjatanya dibelit benda itu. Setelah ujung Pek Liong Pokiam terlibat erat, ia lalu mengerahkan tenaga dalamnya untuk menolak serangan pengaruh bentakan lawan dan membarengi menggunakan lweekangnya untuk menggerakkan pedang itu.
Terdengarlah suara kain robek dan ternyata sutera hitam yang sangat diandalkan oleh Kwi Kai Hoatsu telah terputus oleh pedang Pek Liong Pokiam! Kwi Kai Hoatsu menjerit kaget karena ia tahu bahwa kini ia akan tewas dalam tangan pemuda yang kosen ini, maka tanpa malu-malu lagi ia lalu meloncat jauh untuk melarikan diri. Tapi Sin Wan segera meloncat pula mengejar sambil berseru.
“Kwi Kai Hoatsu! Nanti dulu, jangan kau pergi sebelum memberi tahu padaku tempat tinggal Cin Cin Hoatsu!” tapi Tosu tidak memperdulikan teriakannya dan lari makin cepat. Sin Wan terus saja mengejar dengan lebih cepat.
Biarpun ilmu lari cepat dari Tosu itu sudah cukup tinggi, tapi mana ia dapat melawan Sin Wan yang selain mendapat didikan seorang suci dan berilmu tinggi, juga ia telah makan buah-buah mujijat yang membersihkan darahnya dan membuat tubuhnya menjadi ringan. Lambat laun jarak antara mereka makin dekat. Tapi, ketika Kwi Kai Hoatsu tiba di dalam sebuah hutan dan Sin Wan telah dekat benar dengannya, tiba-tiba Tosu itu mengeluarkan sebuah benda dan membantingnya ke belakang.
Benda itu pecah dan mengeluarkan asap hitam tebal bergulung-gulung di belakangnya dan membuat ia lenyap dari pandangan mata pengejarnya. Sin Wan merasa terkejut dan cepat ia membelokkan arah jalannya agar jangan sampai menerjang asap hitam itu karena ia menduga tentu asap itu adalah asap berbisa yang berbahaya. Tapi, ternyata Tosu itu telah dapat melenyapkan diri di belakang tabir asap itu karena tanpa diketahui oleh Sin Wan ke mana arah yang ditempuh imam itu.
Sin Wan merasa penasaran dan kecewa sekali mengapa tidak ia robohkan saja imam jahat itu tadi agar dapat ia paksa untuk mengaku dimana tempat tinggal Cin Cin Hoatsu. Kini ia kehilangan pegangan dan tidak tahu harus mencari kemana. Tapi ia pikir bahwa keadaan Giok Ciu juga sama dengan dia sendiri yakni tidak mempunyai tujuan yang tetap dalam mencari musuh besarnya.
Maka besar kemungkinan gadis itu akan mencari di kota raja, karena di situlah pusat para pembatu Kaisar berkumpul dan disitu pula akan dapat dicari keterangan tentang musuh besar itu. Karena pikiran ini, maka Sin Wan segera menuju ke kota raja. Pikiran Sin Wan yang berotak cerdas ini memang tidak keliru.
********************
Giok Ciu dengan hati sedih dan kalbu hancur lari turun dari Kam-Hong-San. Gadis itu berlari-lari sambil tiada hentinya menangis. Kini ia tidak pedulikan segala apa dan tujuan hidupnya hanya satu, yakni mencari Cin Cin Hoatsu dan membunuh orang yang telah membunuh Ayahnya itu. Ia merasa bingung sekali karena tidak tahu harus mencari kemana, maka ia lalu menuju ke kotaraja, karena teringat bahwa selain dari tempat itu, agaknya sukar untuk mencari tahu tempat tinggal Pendeta Tibet itu.
Karena sedihnya, ia tidak mau berhenti berlari dan lupa makan lupa tidur. Setelah sehari semalam lari cepat tanpa berhenti sedikitpun, ia tiba di kota Ang-Len dan karena merasa kepalanya pening sekali dan tubuhnya panas, terpaksa ia mencari sebuah rumah penginapan dan minta sebuah kamar. Begitu tutup pintu kamar dan merebahkan diri di atas pembaringan, ia jatuh pingsan.
Ternyata karena mendapat serangan dari dalam dan luar, gadis itu tidak kuat menahan lagi. Dari dalam ia mendapat pukulan hebat sekali karena hatinya merasa hancur dikecewakan oleh kenyataan betapa Sin Wan, pemuda kekasihnya dan orang satu-satunya di dunia ini yang dicintanya dan dijadikan sandaran hidupnya telah mencemarkan kesucian ikatan jodoh mereka.
Dan ternyata pemuda itu telah melakukan perbuatan yang hina dina dan yang tak mungkin dapat ia maafkan lagi. Dari luar ia mendapat serangan penyakit panas yang tentu akan dapat dilawan oleh kekuatan tubuhnya kalau saja ia tidak memaksa tubuhnya berlari terus-menerus sehari semalam tanpa mengaso dan tanpa makan. Akhirnya tubuhnya tak kuat bertahan lagi dan jatuh sakit!
Setelah sadar dari pingsannya, Giok Ciu merasakan tubuhnya sangat lemah dan kepalanya pusing sekali. Juga tubuhnya terasa panas seakan-akan ada api yang membakar tubuhnya dari dalam. Ia maklum bahwa gangguan kesehatan ini terjadi karena kesalahannya sendiri, terjadi karena kacaunya keadaan hati dan pikirannya, juga karena ia tidak memperhatikan pemeliharaan tubuhnya. Ia teringat betapa Suhunya, Bu Beng Lojin yang sakti itu, pernah berkata demikian.
“Alam telah mempunyai hukum-hukum tertentu dan siapa saja yang tidak menyesuaikan dirinya dengan hukum alam, pasti akan mengalami bencana dan hukuman. Siapa yang melanggar hukum alam, pasti akan terhukum dan menderita, sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum alam itu sendiri. Sebagai contoh, sebuah daripada hukum-hukum alam itu ialah hukum kesehatan, misalnya ketentuan bahwa manusia harus makan pada saat tubuhnya membutuhkan makanan, harus beristirahat pada waktu tubuh lelah dan membutuhkan istirahat. Kalau kita paksakan diri dan melanggar ketentuan hukum ini, tak dapat tidak pasti akan menderita hukumannya, yakni mendapat sakit! Penyakit bukan datang dari luar, tapi terjadi karena pelanggaran hukum itu tadilah! Demikian pula dengan hukuman-hukuman yang lain, yang kesemuanya terjadi karena pelanggaran-pelanggaran hukum alam yang kita lakukan sendiri, bagaimana macamnya hukuman dan penderitaan itu. Maka hati-hatilah menghadapi percobaan dalam hidupmu, karena sekali kau salah tindak, bukan orang lain yang akan menerima hukumannya tapi kau sendiri. Inilah keadilan alam!”
Mengingat akan semua nasihat-nasihat dan petuah-petuah Suhunya yang sangat berharga, agak terobatlah luka di hati Giok Ciu. Ia menjadi tenang, walaupun rasa bencinya kepada Sin Wan masih menghebat. Ia lalu turun dari pembaringan dengan perlahan dan memanggil pelayan. Ketika pelayan datang, ia minta dibelikan makanan dan makan dengan hati-hati, kemudian ia memerintahkan pelayan untuk membeli obat pelawan panas dan setelah merawat diri baik-baik dan membantu pekerjaan obat itu dengan bersamadhi dan mengatur napas, maka dua hari kemudian sembuhlah ia.
Setelah merasa sembuh betul, barulah ia melanjutkan perjalanannya. Malam hari berikutnya ia bermalam di sebuah kota kecil, di dalam sebuah hotel. Menjelang tengah malam, ia terjaga dari tidurnya oleh suara kaki orang yang dengan hati-hati sekali berjalan di atas hotel itu! Giok Ciu dengan telinga terlatih dan tajam, dapat menduga bahwa yang berjalan di atas genteng itu hanyalah seorang yang memiliki kepandaian yang tidak seberapa tinggi.
Namun tindakan orang itu cukup mencurigakan dan karena menduga akan terjadinya kejahatan, Giok Ciu segera berganti pakaian dan meloncat keluar dari jendela, terus melayang naik ke wuwungan rumah. Ia melihat bayangan hitam meloncat dan berlari-lari di atas genteng rumah di depan maka ia segera mengejarnya. Giok Ciu sengaja mengikuti orang itu untuk melihat apakah yang hendak dilakukan olehnya.
Ternyata setelah berputar-putar di atas rumah-rumah orang, bayangan hitam itu meloncat turun ke dalam sebuah rumah. Giok Ciu cepat mengejar dan meloncat turun pula. Ia melihat betapa bayangan hitam itu menggunakan goloknya membuka jendela sebuah kamar dan meloncat masuk. Terdengar teriakan tertahan dan suara laki-laki yang kasar membentak,
“Diam kalau tak ingin mampus!”
Giok Ciu marah sekali karena teriakan itu adalah teriakan seorang wanita. Ia dapat menduga bahwa bayangan hitam itu tentulah seorang penjahat. Kalau bukan Jai-Hwa-Cat atau Penjahat Pemetik Bunga, tentulah seorang pencuri atau perampok! Maka ia segera membentak dari luar jendela,
“Bangsat hina yang berada di dalam kamar orang. Ayo lekas kau keluar kalau tidak ingin kepalamu kutabas putus!”
Dari dalam kamar terdengar seruan marah dan heran dan pada saat selanjutnya bayangan hitam itu meloncat keluar dari dalam kamar sambil memutar-mutarkan goloknya ketika melalui jendela agar jangan sampai disergap musuh. Tapi Giok Ciu hanya tertawa menyindir sambil bertolak pinggang dan menanti di atas genteng.
Ketika penjahat itu telah berada di atas genteng, ia heran sekali melihat di bawah sinar bulan bahwa yang mengganggunya hanyalah seorang dara berpakaian serba hitam yang cantik sekali. Dalam pakaiannya yang hitam itu, Giok Ciu tampak cantik dan gagah, sedangkan kulit muka dan kedua tangannya tampak putih sekali. Bayangan hitam itu ternyata seorang laki-laki yang masih muda dan mempunyai sepasang mata bangsat yang liar. Kini, menghadapi Giok Ciu, ia menyeringai dan berkata,
“Aduh, nona yang cantik seperti bidadari! Apa kehendakmu maka kau memanggil aku kemari?”
Giok Ciu marah sekali mendengar kata-kata orang ini mengandung kekurangajaran. Ia berkata dingin, “Kau mencari celaka sendiri! Tadinya kusangka kau hanya seorang penjahat rendah yang patut dikasihani dan diberi ampun dengan menerima peringatan keras saja, tidak tahunya kau seorang yang lancang mulut pula! Untuk kelancanganmu ini, kau harus meninggalkan sebelah tanganmu!”
Marahlah orang itu dan ia lalu menerjang dengan goloknya setelah berseru, “Bagus! Perlihatkan kepandainmu, nona cilik!”
Tapi Giok Ciu dengan sekali sabet saja telah membuat golok penjahat itu terbabat putus, kemudian cepat bagaikan kilat Ouw-Liong Pokiam berkelebat dan sebelum kuasa menghilangkan kagetnya karena goloknya terbabat putus, tahu-tahu orang itu merasa tangan kirinya perih dan dingin. Ketika ia melihat, ternyata tangannya sebelah kiri telah terpotong pula pada sebatas pergelangan tangan itu! Ia membelalakan mata dan lari sambil berteriak-teriak,
“Aduh... aduh tolong... Suhu... Tolong… Suhu...!”
Demikian tajamnya Ouw-Liong Pokiam sehingga hampir saja penjahat itu tidak merasa bahwa tangan kirinya telah terbabat putus! Giok Ciu merasa puas telah memberi pelajaran kepada penjahat itu, tapi begitu mendengar penjahat itu menyebut-nyebut gurunya, ia segera mengejar.
Kalau penjahat itu mempunyai seorang guru di kota ini, maka gurunya tentu bukan seorang baik-baik pula dan perlu dan dibasmi agar jangan merupakan pengganggu dan pengacau rakyat di kota itu. Penjahat itu, terus menuju ke sebuah rumah yang tinggi gentengnya sambil terus berteriak-teriak minta tolong kepada gurunya.
Tiba-tiba dari dalam rumah itu melayang keluar bayangan seorang yang mempunyai gerakan gesit sekali. Giok Ciu siap dengan pedangnya karena dari gerakan orang itu ia dapat menduga bahwa lawannya ini tentu seorang yang memiliki kepandaian tinggi juga. Ketika bayangan orang itu tiba di depannya dan membentak nyaring, Giok Ciu merasa terkejut berbareng girang karena ternyata bahwa orang itu bukan lain ialah Keng Kong Tosu!
“Ha, jadi kaukah guru penjahat itu? Pantas saja muridnya jahat, tidak tahunya gurunya seorang penjahat besar!”
Keng Kong Tosu lebih kaget lagi ketika melihat bahwa orang yang melukai dan mengejar muridnya bukan lain adalah gadis lihai yang dulu pernah bertempur dengannya! Ia masih ingat betapa lebih setahun yang lalu gadis itu telah memiliki kepandaian tinggi, apalagi sekarang, maka diam-diam ia merasa jerih juga. Akan tetapi, karena lawan itu telah berada disitu, pula ia dapat mengharapkan bantuan tiga murid lain yang berada di bawah ia lalu membentak,
“Pemberontak perempuan, tidak tahunya kaukah yang lagi-lagi menghina kami dan melukai muridku? Kau agaknya telah bosan hidup!”
“Jangan banyak cakap, kau majulah Tosu palsu!”
Giok Ciu lalu menyerang hebat dengan pokiamnya, hingga Keng Kong Tosu buru-buru meloncat dan mengeluarkan pedang pendek dan hudtimnya yang digerakkan secara istimewa untuk menangkis dan balas menyerang. Ia berlaku hati-hati sekali karena dulu pernah merasakan kelihaian dari pendekar ini dan pernah dilukai pundaknya oleh pedang pusaka yang ampuh itu. Tapi baru saja bertempur beberapa jurus, makin kuncup dan jerih hati Tosu itu karena ia mendapat kenyataan bahwa tenaga lweekang dan permainan pedang dara itu kini telah maju hebat sekali!
Ia lalu bersuit nyaring untuk memanggil murid-muridnya dan sambil membentak keras ia mengeluarkan senjata-senjata rahasia jarum hitam dari dalam kebutannya. Jarum-jarum itu jumlahnya lebih dari sepuluh batang dan kecil sekali sehingga ketika menyambar di dalam gelap itu, sama sekali tidak tampak.
Tetapi Giok Ciu memiliki tenaga pendengaran, yang halus sekali dapat menangkap angin gerakan hudtim itu maka ia dapat menduga bahwa dari gerakan itu tentu keluar senjata rahasia. Ia lalu menggunakan pedangnya yang diputar dalam gerak tipu Naga Hitam Menutup Gua untuk melindungi tubuhnya dan benar saja, terdengar suara tring-tring nyaring sekali ketika jarum-jarum itu terpukul oleh pedangnya.
Pada saat itu, dari bawah meloncat naik tiga bayangan yang juga memiliki gerakan gesit. Mereka ini adalah murid-murid Keng Kong Tosu yang tadi sibuk menolong Sute mereka yang terbabat tangannya oleh pedang Giok Ciu. Kini mereka mendengar tanda siutan Suhu mereka, ketiga orang itupun mengambil senjata masing-masing dan naik untuk membantu Keng Kong Tosu.
Sekali-kali Keng Kong Tosu berseru keras dan asap hitam menyambar kearah tubuh Giok Ciu. Tapi Giok Ciu sekarang bukanlah dara setahun yang lalu, yang takut akan segala ilmu hitam dan senjata-senjata mujijat. Ia telah memiliki tenaga lweekang dan tenaga batin yang kuat sekali dan membuatnya waspada dan tenang. Melihat datangnya asap hitam yang berbau busuk itu, ia lalu menggunakan mulutnya meniup ke depan dari atas ke bawah.
Tenaga tiupan ini demikian besar sehingga asap itu tertiup berbalik, dan kini bahkan menyerang Keng Kong Tosu dan murid-muridnya! Tosu sesat itu cepat menggunakan kebutannya diputar untuk mendatangkan angin mengusir asap itu, juga dua orang muridnya meloncat menyingkir, tapi seorang murid tidak menyangka sama sekali akan tiupan Giok Ciu maka ia terserang oleh asap hitam itu.
Ia kena sedot asap itu sehingga terbatuk-batuk dan tubuhnya lalu terguling roboh di atas genteng! Keng Kong Tosu terkejut dan marah sekali. Ia cepat mengeluarkan obat pemunah dan memasukkan obat itu ke dalam mulut muridnya. Seorang murid lain lalu memondong tubuh kawannya itu dan meloncat ke bawah sedangkan gurunya dan seorang kawannya yang masih berada disitu lalu maju mengeroyok gadis yang lihai itu.
Giok Ciu memutar pokiamnya dan memainkan ilmu pedang Ouw-Liong Kiam-Sut yang luar biasa dan ganas. Sebentar saja sinar pedangnya yang hitam dan membuat ia lenyap dari pandangan mata kedua lawannya, telah mengurung dan mendesak kedua lawannya. Pada saat itu murid yang tadi menolong kawannya terkena asap berbisa dari Suhunya sendiri, telah naik pula dan maju mengeroyok dengan pedangnya. Tapi Giok Ciu tidak takut, bahkan tertawa menyindir.
“Keng Kong Tosu, Tosu busuk! Kau agaknya hendak mampus sambil membawa dua orang pengiring!”
Keng Kong Tosu marah sekali, tapi ia tidak berdaya, maka ia lalu berkelahi dengan nekad dan mati-matian! Pada saat itu, tampak berkelebat bayangan putih dan sebuah sinar putih yang terang sekali meluncur dan menyerbu ke dalam kalangan pertempuran serta langsung membantu Giok Ciu.
“Moi-moi, mari kita musnahkan manusia jahat ini!” terdengar seruan Sin Wan dengan suara gembira karena tanpa dinyana ia dapat bertemu dengan gadis itu di tempat ini! Tapi Giok Ciu menjawab marah.
“Siapa butuh pertolonganmu? Jangan kau ikut mencampuri urusanku!”
Sin Wan merasa mendongkol juga mendengar betapa keng Kong Tosu dan kedua muridnya sengaja memperdengarkan suara ketawa untuk menghinanya. Ia merasa betapa gadis itu merendahkannya dimuka musuh-musuhnya, maka dengan suara dingin ia berkata,
“Siapa yang hendak membantu engkau? Akupun mempunyai sedikit urusan dengan Tosu jahanam ini!”
Sambil berkata demikian, Sin Wan lalu menggunakan pedangnya yang bersinar putih menyerang hebat dengan tipu Naga Putih Menembus Awan. Gerakannya hebat dan cepat sekali sehingga Keng Kong Tosu menjadi terkejut dan cepat berkelit. Tapi pada saat itu Giok Ciu yang tidak mau 'didului' Sin Wan, segera menyerangnya dengan gerakan Naga Hitam Terjun ke Laut...!