KISAH SEPASANG NAGA JILID 18
Sementara itu, Sin Wan sudah merubah gerakannya dan kini menyabet dengan tipu Naga Putih Sabetkan Ekor! Mana bisa Keng Kong Tosu mempertahankan dirinya terhadap serangan-serangan dari kedua anak muda yang mengeluarkan tipu-tipu terlihai dari Pek-Liong Kiam-Sut dan Ouw-Liong Kiam-Sut!
Biarpun ia menggunakan pedang pendek dan hudtimnya untuk menjaga diri, tak urung kedua pedang lawan itu dengan berbareng telah menusuk tembus dada dan lambungnya sehingga tanpa dapat berteriak lagi Keng Kong Tosu roboh tak bernyawa pula!
Giok Ciu merasa penasaran karena lagi-lagi ia tak dapat mendahului Sin Wan dan boleh dikata Tosu jahanam itu terbunuh oleh mereka berdua dengan berbareng! Dalam gemasnya ia hendak menyerang kedua murid Keng Kong Tosu yang berdiri terkejut dan kesima, tetapi Sin Wan menegur,
“Jangan, Giok Ciu, jangan bunuh mereka!”
“Peduli apa kau dengan urusanku sendiri?” bentak gadis tiu dan melanjutkan serangannya kepada dua orang murid Tosu yang telah mati itu. Tapi tiba-tiba sinar putih berkelebat cepat dan pedang Sin Wan telah menangkis Ouw-Liong Pokiam.
“Moi-moi, ingatlah pesan Suhu. Jangan sembarangan membunuh orang, kalau tidak terpaksa dan mempunyai asalan yang kuat! Sudah cukup kita bunuh Keng Kong yang memang jahat, jangan ganggu muridnya.”
Giok Ciu mencibirkan mulutnya, “Cih, pandai benar bermain mulut, bisa saja berpura-pura alim dan suci, coba kau pandang mukamu sendiri. Tak malu menyebut-nyebut orang lain jahat!”
“Moi-moi, dengarlah dulu keteranganku...”
“Siapa sudi mendengarkan kata-katamu yang palsu!” Dengan ucapan ini Giok Ciu lalu meloncat pergi.
Sin Wan tidak mengejarnya karena ia maklum bahwa gadis itu benar-benar telah membencinya dan tak mungkin mau diajak berbicara. Kalaupun ia dapat memberi penjelasan, belum tentu gadis yang keras hati itu suka mempercayainya. Ah, sungguh serba susah dan Sin Wan menghela napas panjang. Tiba-tiba ia mendengar suara tertawa menyindir. Ia melihat betapa kedua murid Keng Kong Tosu masih berdiri di situ dan memandangnya dengan senyum sindir.
Marahlah Sin Wan dan sekali tubuhnya bergerak, tahu-tahu dua orang itu kena diterjangnya dan roboh di atas genteng sambil merintih-rintih. Ternyata sekali bergerak saja Sin Wan telah berhasil menotok mereka hingga roboh tak berdaya dan biarpun mereka takkan mati karenanya, namun dalam waktu dua belas jam, kalau tidak ada orang pandai yang melepaskan totokan itu, mereka akan lemas tak dapat bergerak, hanya dapat merintih-rintih saja. Kemudian Sin Wan meloncat pergi dari situ dengan hati mengkal.
Marilah kita ikuti perjalan Suma Li Lian, gadis bangsawan yang cantik jelita, tapi yang tertimpa nasib malang itu. Setelah mendengar dari mulut Sin Wan kenyataan-kenyataan yang sangat pahit dan menikam ulu hatinya, gadis cantik ini hampir menjadi gila! Jiwanya memang telah tertekan oleh rasa terhina dan malu karena sebagai seorang gadis baik-baik keturunan bangsawan, adalah hal yang lebih hebat dan lebih rendah daripada mati ketika mengandung dan melahirkan seorang anak tanpa mempunyai suami!
Sebetulnya ketika merasa bahwa dirinya mengandung, ia telah mengambil keputusan hendak membunuh diri, tapi wajah Sin Wan yang tampan dan gagah selalu terbayang di muka matanya, maka ia lalu menetapkan hatinya. Ia nekad untuk menghadapi semua hinaan dan nistaan karena betapapun juga, ia diam-diam mengakui bahwa ia tidak menyesal mengandung seorang keturunan dari Sin Wan!
Ia cinta pemuda itu, cinta dengan cinta murni, dan ia bersedia mengorbankan apa saja untuk pemuda itu. Jangankan baru hinaan dari dunia luar, aah, ia takkan merasa terhina, bahkan ia akan merasa bangga kalau anaknya telah lahir, anak mereka, anaknya dan anak Sin Wan. Demikian besar rasa cintanya terhadap Sin Wan hingga Li Lian rela dirinya mendapat hinaan karena sebagai seorang gadis yang melahirkan seorang anak tak ber Ayah.
Ia bahkan sempat diusir oleh ibunya dan keluarganya dan hidup terlunta-lunta di sebuah kampung kecil. Akhirnya ia mengambil keputusan untuk mencari dan menyusul Sin Wan, karena bukankah dulu Sin Wan pernah bilang bahwa jika hendak mencari dirinya, harus pergi ke puncak Kam-Hong-San? Maka, ia lalu jual semua perhiasannya untuk dipakai biaya mencari suaminya itu.
Dan akhirnya setelah bersusah payah, ia berhasil membawa anaknya yang baru berusia lima bulan itu ke puncak Kam-Hong-San. Tapi disana ia hampir saja menjadi kurban keganasan dan kejahatan empat orang pemikul tandu, dan baiknya datang Giok Ciu yang menolongnya. Dan akhirnya ia bertemu dengan Sin Wan, suaminya! Tapi alangkah remuk rendam hatinya, hancur luluh kalbunya. Segala penderitaan, segala perngorbanan yang dilakukan itu sia-sia belaka! Bukan Sin Wan pemuda idaman itulah yang sebenarnya menjadi Ayah anak itu, tapi Gak Bin Tong!
Gak Bin Tong pemuda muka putih yang dibencinya, karena semenjak dulu pemuda itu selalu menggodanya, selalu memperlihatkan sikap ceriwis dan menjemukan. Pemuda yang pernah ia tolak lamarannya! Pemuda yang bahkan telah ia laporkan kepada para pengawal agar ditangkap dan dibunuh, karena ia sungguh-sungguh membencinya!
Dan kini... dari mulut Sin Wan sendiri, dari mulut laki-laki yang tadinya telah dianggap sebagai suaminya, ia mendengar bahwa suaminya bukanlah Sin Wan, tapi... Orang she Gak itu! Ketika ia melahirkan, segala hinaan yang didengarnya tak dapat menggoyahkan kalbunya, tak dapat merobah pendiriannya.
Tapi kenyataan yang didengarnya ini merupakan penghinaan yang sebesar-besarnya baginya, dan kenyataan ini membuat ia tak sanggup memandang wajah Sin Wan lagi, membuat ia begitu membenci Gak Bin Tong hingga seakan-akan hendak dicekiknya dan dibunuhnya pada saat itu juga pemuda muka putih yang telah menodai dan merusak hidupnya itu!
Demikianlah, ia lari bagaikan gila menuruni lereng bukit. Beberapa hari kemudian, Suma Li Lian yang tadinya cantik jelita, telah berubah menjadi seorang wanita yang menakutkan. Rambutnya yang riap-riapan menutupi sebagian wajahnya yang kotor penuh debu dan lumpur. Matanya merah dan liar dan bibirnya yang biasanya tersenyum manis menarik hati, kini tertarik menyeringai penuh kebencian.
Pakaiannya yang tadinya indah dan rapi, kini robek disana-sini dan kotor sekali hingga tak tampak pula bekas-bekasnya yang terbuat dari bahan mahal. Kakinya tak bersepatu lagi, hanya berkaus yang sudah dekil dan hitam penuh tanah. Sungguh mengenaskan nasib manusia ini. Ketika ia memasuki sebuah dusun kecil, semua anak-anak lari ketakutan dan menggodanya dari jauh sambil melempar-lemparinya dengan batu.
Dimana saja ia angsurkan tangan untuk minta makanan pengisi perutnya yang sudah lapar sekali, orang-orang mengusirnya dengan kata-kata menyatakan jijik. Dengan tindakan kaki limbung dan terhuyung-huyung, terpaksa Li Lian meninggalkan dusun itu. Tubuhnya lemas, perutnya terasa perih sekali, dan pandang matanya berkunang-kunang.
Karena terik matahari membuat kepalanya berdenyut-denyut, ia lalu menghampiri sebuah pohon besar yang tumbuh dipinggir jalan untuk meneduh, tapi ketika tiba di bawah pohon, tubuhnya tak tertahan lagi dan tubuh itu limbung hendak roboh, matanya meram dan kedua tangannya diulurkan meraba-raba mencari pegangan diudara!
Pada saat ia pingsan, sebelum tubuhnya roboh di tanah, tiba-tiba dari atas pohon menyambar turun sebuah tali yang secara aneh dan cepat bagaikan ular telah membelit kedua pergelangan tangan Li Lian dan tahu-tahu tubuh Li Lian telah mencelat ke atas pohon bagaikan disendal oleh tenaga yang luar biasa besarnya!
Ketika tubuh gadis yang malang itu terapung ke atas, sebuah lengan yang panjang dan besar lagi hitam dan kotor terulur dan tubuh Li Lian ditangkapnya pada bajunya. Terdengar suara ketawa yang aneh, karena bunyinya seperti setengah tertawa setengah menangis dan sebuah jari yang kotor menyentil belakang kepala Li Lian sehingga gadis itu siuman dari pingsan dan membuka matanya.
Alangkah herannya ketika Li Lian melihat bahwa ia sudah duduk di atas sebatang cabang pohon yang tinggi. Kalau saja hal ini terjadi padanya dahulu, tentu ia akan berteriak-teriak minta tolong karena takutnya melihat tanah sebegitu jauh di bawahnya. Tapi agaknya rasa takut telah lenyap di telan ombak samudera kesedihannya, hingga jangan kata baru tempat tinggi, biarpun berada di depan mulut harimau, agaknya gadis itu takkan merasa takut lagi. Maut akan disambutnya dengan senyum dan lambaian tangan karena baginya hidup ini tak berarti lagi.
Tapi ketika ia menengok dan memandang orang yang duduk di atas sebuah dahan lain dan sedang memandangnya pula, ia terkejut sekali dan tanpa disengaja ia membelalakan matanya. Di atas sebatang dahan duduk seorang laki-laki tua yang tinggi besar dan kurus sekali tapi keadaannya menyatakan bahwa orang itu bukanlah orang yang berotak waras!
Orang itu memegang segulung tali yang ujungnya diputar-putar seperti lagak seorang kanak-kanak yang sedang bermain-main. Ia memandang Li Lian sambil tertawa ha-ha hi-hi. Suma Li Lian menahan tubuhnya yang lemas dan gemetar karena lelah dan lapar, lalu berkata,
“Lopek, kau siapakah dan mengapa kau menolong aku?”
Orang yang berpakaian jembel itu memandangnya dengan heran, lalu pada wajahnya yang berkulit kotor hitam itu terbayang seri gembira ketika ia menjawab, “Siapa aku?” ia garuk-garuk kepalanya, “Aku adalah aku dan siapa yang menolong siapa? Aku tidak menolong juga tidak ditolong. Nona sakit, maka kubawa naik ke sini.”
Suma Li Lian maklum bahwa orang yang menolongnya ini benar-benar gila dan otaknya tidak waras namun ia heran sekali bagaimanakah orang gila ini dapat membawanya ke atas? Melihat wajah dan sinar mata orang tua tinggi besar itu, agaknya tidak berwatak jelek, bahkan ketika tadi tersenyumpun tampak baik hati benar, maka ia lalu berterus terang,
“Lopek, aku tidak sakit, hanya lelah dan lapar.”
“Lapar? Bagus! Akupun lapar!” jawabnya sambil tertawa terkekeh.
Mau tak mau, Suma Li Lian terpaksa ikut tertawa geli, hingga ia sendiri merasa heran mengapa ia dapat tertawa! Agaknya pada saat itu semua kesedihannya lenyap dan kegilaan orang tua itu menjalar kepadanya hingga iapun merasa sangat geli mendengar kata-kata si jembel gila yang lucu dan gila itu. Celaka dua belas, pikirnya. Dalam keadaan sedemikian menderita, bertemu dengan orang berotak miring.
Tapi tiba-tiba si jembel gila itu gerakkan tangannya yang memegang tali dan tali itu meluncur panjang dan bergerak-gerak bagaikan seekor ular terbang, ujung tali itu telah menyelusup diantara daun-daun pohon dan ketika di tarik kembali, diujung tali itu telah terbelit setangkai ranting yang ada buahnya beberapa butir. Tali kecil itu agaknya dapat disuruh mencarikan makan! Si gila itu memetik beberapa butir buah dan memberikan kepada Suma Li Lian.
“Kalau lapar, enak sekali makan. Makanlah buah ini.”
Suma Li Lian memandang jembel gila itu dengan pandangan berterima kasih sekali. Ia maklum bahwa orang gila ini adalah seorang sakti yang berkepandaian tinggi. Dengan lahapnya ia lalu makan buah-buah itu bersama-sama si jembel yang mencari buah-buah lagi. Sambil makan buah, mereka saling pandang tanpa bercakap-cakap. Kemudian, Li Lian berkata lagi,
“Lo-Suhu, sebenarnya siapakah Lo-Suhu ini dan mengapakah kau begini baik kepadaku?”
Kakek gembel itu tertawa lagi dengan geli. “Dunia ini memang lucu, tapi kau tidak lucu, nona. Kau berwajah gelap diliputi kemurungan, menimbulkan rasa sakit dalam dada kiriku.”
Setelah berkata demikian, jembel gila itu meringis-ringis seperti menahan sakit dan tangan kirinya meraba-raba dadanya. Kemudian ia melanjutkan kata-katanya,
“Aku adalah aku, kau tak usah bertanya karena aku sendiripun tidak tahu! Tapi kau mengapa bermuram durja? Siapa yang mengganggumu, anakku manis?”
Mendengar pertanyaan yang tiba-tiba diucapkan dengan suara sangat menyayang ini, hati Li Lian menjadi sedih sekali hingga tubuhnya limbung dan ia terjungkal dari dahan pohon yang didudukinya dan tubuhnya melayang ke bawah. Tapi sedikitpun Li Lian tidak menjerit, hanya meramkan mata menanti datangnya maut. Tapi, tubuhnya tidak terbanting ke atas tanah keras, bahkan merasa seakan-akan tubuhnya diayun-ayun dan tiba-tiba ia merasa kakinya menginjak tanah. Ketika ia membuka mata, ternyata ia telah berdiri di atas tanah dengan selamat, sedangkan empek gila tadi telah berdiri pula di depannya seakan-akan tidak terjadi sesuatu.
“Nona, kau belum menjawab pertanyaanku. Siapakah yang mengganggumu?”
Suma Li Lian tidak menjawab, tapi lalu menjatuhkan diri berlutut sambil menangis. Jembel gila itu mengangkat kepala dan sambil memandang langit ia tertawa bergelak-gelak.
“Ha ha ha! Kau memang pantas menjadi muridku. Pantas, pantas!”
Dengan ujung kakinya ia mencokel tubuh Li Lian dengan perlahan, tapi cukup membuat tubuh gadis itu mencelat mumbul ke atas, berputaran beberapa kali di udara sebelum jatuh lagi kebawah, tapi Li Lian sama sekali tidak merasa takut! Kembali kakek jembel itu tertawa bergelak-gelak dan menyambar baju Li Lian untuk mencegah tubuh gadis itu terpelanting.
“Bagus, bagus! berdirilah muridku!”
Sebenarnya, sekali-kali bukan maksud Li Lian untuk mengangkat guru kepada orang gila ini ketika berlutut tadi, tapi karena kakek aneh itu telah menerimanya sebagai murid, ia tidak berani menolak atau membantah. Pula, di dunia ini tidak ada orang yang berlaku baik kepadanya hingga ia benci kepada dunia dan penduduknya, kini tiba-tiba ada seorang berotak miring yang sangat baik kepadanya, maka diam-diam timbul pikiran baru dalam otaknya.
Kakek ini mempunyai kepandaian luar biasa, maka kalau ia menjadi muridnya dan mempunyai kepandaian tinggi, tak mungkin manusia-manusia macam Gak Bin Tong itu berani menghinanya. Gak Bin Tong! Teringat akan nama ini, mata Suma Li Lian memancarkan cahaya kemarahan. Kalau ia memiliki kepandaian tinggi, bahkan ia akan dapat membalas dendamnya kepada pemuda muka putih yang jahanam itu!
“Muridku, sekarang juga kau harus mulai belajar!” kata kakek gila itu.
Ia lalu memutuskan sepotong tali dan gunakan itu untuk mengikat ujung celana Li Lian di bagian pergelangan kaki kiri, demikianpun dengan ujung celana dipergelangan kaki kanan muridnya. Lalu ia pergi ke bawah pohon dan berjungkir balik dengan kepala di atas tanah dan kaki ke atas.
“Kau tiru ini, dan sandarkan kedua kakimu di batang pohon!” katanya kepada Li Lian.
Semenjak kecil memang Li Lian belum pernah belajar silat hingga ia sama sekali tidak tahu bagaimana cara orang bersilat, maka mendapat perintah demikian itu, dengan membuta ia turut dan taat. Sebentar saja ia merasa kepalanya pening dan berdenyut-denyutan ketika ia berdiri dengan kepala di bawah macam itu. Kalau tidak ada batang pohon yang menahan tubuhnya, tentu sudah tadi-tadi ia terguling!
Tapi karena hati dan perasaan Li Lian telah dibikin kaku dan membatu oleh penderitaan batin yang dipikulnya, ia bulatkan kemauannya dan biarpun andaikata sampai matipun tak nanti ia menyerah dan mundur! Agaknya gurunya yang gila itupun maklum akan kekerasan hati muridnya, maka ia lalu membuka rahasia pelajaran mengatur napas dan latihan lweekang yang sangat luar biasa, karena di kalangan persilatan tidak ada latihan-latihan yang kesemuanya dilakukan secara aneh dan terbalik macam yang diajarkan oleh si gila ini.
Demikianlah, berhari-hari Suma Li Lian, gadis bangsawan yang sopan santun terpelajar, dan halus budi pekertinya itu, kini menjadi murid seorang gila yang sakti dan mempelajari ilmu-ilmu yang sakti yang mujijat sekali! Karena Li Lian telah mendapat pukulan batin yang hebat sehingga keadaannya boleh dikata tidak sewajarnya lagi, dan kini mendapat seorang orang guru yang gila pula, maka sikapnyapun makin tidak karuan dan ketidak acuhannya akan keadaan diri sendiri membuat ia lebih mendekati kegilaan!
Latihan-latihan aneh dilakukan tiada hentinya di dalam sebuah hutan yang tak pernah dikunjungi manusia, dan mereka hanya berhenti berlatih apabila perut terasa lapar dan tak tertahan atau mata merasa ngantuk sekali. Selain keperluan khusus yang tak dapat ditahan atau ditunda lagi, mereka siang malam terus berlatih mati-matian!
Kakek tua jembel yang berotak miring ini sebetulnya dahulu adalah seorang gagah yang berwatak berani, jujur, dan jantan. Tapi karena tersesat seorang diri dalam sebuah gua siluman, ia mendapatkan ilmu mujijat yang penuh mengandung hawa siluman dan tanpa sadar mempelajarinya. Ilmu yang dipelajarinya itu demikian mujijat hingga setelah keluar dari gua itu ia menjadi gila tapi memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa anehnya pula, karena gerakan-gerakannya demikian aneh, sesuai dengan orangnya yang menjadi gila!
Pengalaman-pengalaman hebat di waktu mudanya, dapat diikut dalam cerita Bu Beng Kiam-hiap yang ramai. Entah apakah yang menggerakkan jiwa empek gila itu untuk merasa sangat tertarik dan sayang kepada Suma Li Lian sehingga ia menerima gadis sengsara itu sebagai muridnya dan menurunkan ilmu mujijat yang dimilikinya kepada murid ini.
Setelah mereka berdua bersembunyi di dalam hutan itu selama sebulan lebih, maka si jembel gila lalu mengajak muridnya keluar untuk ikut dalam perantauannya yang tiada tentu tujuan itu. Kecantikan Li Lian lenyap tertutup oleh kekotoran yang menutupi mukanya dan oleh rambutnya yang riap-riapan mengerikan. Tapi sepasang matanya tetap bening dan jeli, hanya sepasang mata itu mengeluarkan sinar yang seakan-akan merasa jemu melihat segala yang berada di sekelilingnya. Di sepanjang jalan tiada hentinya dan bosannya, Li Lian berlatih silat dan lweekang yang aneh-aneh.
Kita kembali kepada Giok Ciu, gadis jelita yang patah hati karena kecewa kepada Sin Wan kekasihnya. Ia tetap menganggap bahwa pemuda itu telah terpikat oleh kecantikan Li Lian dan telah bermata gelap hingga melakukan perbuatan rendah, maka perasaan cintanya terhadap pemuda itu berubah benci sekali, benci bercampur kecewa dan memandang rendah.
Setelah berpisah dari Sin Wan pada malam itu, yakni sesudah berhasil membunuh Keng Kong Tosu bersama-sama dengan Sin Wan seakan-akan mereka sekali lagi berlumba dan tidak mau kalah dalam hal mengeluarkan kepandaian membasmi musuh-musuh mereka, Giok Ciu lari cepat di malam gelap.
Setelah keluar dari dusun itu dan memasuki sebuah hutan, ia melihat sebuah Kelenteng kecil atau Bio yang berdiri terpencil di pinggir jalan. Bio tua itu tampak sunyi terpencil hingga menarik perhatian Giok Ciu. Ia lalu masuk ke dalam Bio itu. Di tengah-tengah ruangan terdapat sebuah patung Dewi Kwan Im yang sudah luntur catnya. Melihat patung kecil itu berada di tempat terpencil dan sunyi, biarpun di dalam keadaan remang-remang dan gelap.
Namun Giok Ciu seakan-akan melihat betapa patung itu merasa kesunyian dan sengsara karena tiada kawan, sebatang kara di dunia ini, maka sedihlah rasa hatinya. Ia lalu menangis dan mencurahkan semua kedukaan hatinya. Di depan patung kecil itu sambil berlutut. Sampai fajar menyingsing, gadis itu berlutut di depan patung Kwan Im. Kemudian ia lalu duduk bersila dan menjalankan siulian untuk menenangkan pikiran dan istirahat.
Untuk beberapa lama ia bersamadhi, kemudian ia merasa seakan-akan ada orang yang memandangnya, maka sadarlah ia lalu membuka mata. Ternyata, seperti dulu ketika di puncak Kam-Hong-San, tak jauh di depannya tampak Gak Bin Tong duduk pula memandangnya dengan sepasang mata yang sangat kagum dan tertarik. Seketika itu juga naiklah warna merah di kedua pipi Giok Ciu dan ia lalu meloncat berdiri.
“Eh, kau lagi! Mau apa kau mengganggu aku?” bentaknya sambil mencabut pedangnya.
Tapi Gak Bin Tong buru-buru berdiri dan mengangkat kedua tangannya menyabarkannya. “Maafkan aku, Lihiap. Aku tidak mempunyai maksud jahat terhadapmu, hal ini kau tahu dengan baik. Kalau dulu-dulu aku pernah mengeluarkan kata-kata kurang ajar, maka lupakanlah itu dan aku mohon maaf sebesar-besarnya.”
“Jangan bicarakan lagi hal dulu-dulu!” Giok Ciu membentak pula, tapi ia agak sabar melihat sikap pemuda itu.
“Baiklah, Lihiap. Aku selalu ingin sekali bersahabat dengan engkau, sama sekali tak ingin menjadi lawan. Bukankah dulu aku telah memperingatkan kau dari segala keburukan? Aku pernah mengatakan bahwa Li Lian dan Sin Wan...”
“Tutup mulutmu! Sekali lagi kau menyebut hal mereka, terpaksa pedangku ini yang akan berbicara!” Gak Bin Tong tersenyum dan mengangkat kedua tangan memberi hormat.
“Maaf! Baiklah, aku takkan mengulangi hal itu. Agaknya kau masih saja tidak percaya dan membenciku, Lihiap, sungguh hal itu sangat kusesalkan, karena sebetulnya aku ingin menolongmu dalam segala hal.” Giok Ciu menjadi tidak sabar.
“Sudahlah, katakan saja apa maksudmu mengikuti aku dan datang kesini mengganggu istirahatku?”
Gak Bin Tong memperlihatkan muka terkejut. “Aku tidak mengikutimu, Lihiap. Hanya kebetulan saja aku lewat disini. Alangkah girang hatiku melihat kau berada dalam Bio ini. Aku... aku mempunyai dugaan bahwa mungkin sekali kau akan mencari musuh besarmu, bukan? Nah, kalau betul dugaanku ini, agaknya aku akan dapat menolongmu.”
Tiba-tiba lenyaplah segala kegalakkan Giok Ciu. Wajahnya yang tadi muram kini tampak berseri dan penuh semangat, “Betulkah? Tahukah dimana tempat tinggal siluman itu? Beritahukanlah padaku!”
Diam-diam Gak Bin Tong tersenyum. Ia telah menggunakan senjata terampuh dalam menghadapi gadis ini. “Begini, Lihiap. Aku sendiri pada saat sekarang ini tidak dapat menentukan di mana ia tinggal, tapi karena aku kenal semua tempat dan orang-orang di kota raja, mudah sekali bagiku untuk menyelidikinya. Aku tanggung, jika kau ikut aku ke kotaraja, pasti dalam waktu beberapa hari saja aku akan memberi tahu padamu dimana tempat sembunyinya siluman tua itu!”
Giok Ciu adalah seorang gadis yang biarpun memiliki kepandaian tinggi sekali namun masih hijau dan belum banyak mengenal kepalsuan dan kelicinan muslihat orang. Mendengar kata-kata Gak Bin Tong ini, ia percaya penuh dan merasa bersyukur sekali. Lenyaplah sebagian besar rasa tidak sukanya kepada pemuda muda putih yang tampan itu. Ia lalu mengangkat kedua tangan di dada dan menjura.
“Saudara Gak, sungguh kau ternyata seorang sahabat yang baik. Maafkan kelakuan kasarku yang sudah-sudah karena aku bercuriga kepadamu.”
“Sama-sama, Kwie Lihiap, akupun sebagai seorang muda tentu banyak kekhilapan, maka harap dari pihakmu juga yang banyak memaafkan segala kesalahanku yang sudah-sudah.” Demikianlah, dengan kata-kata yang halus, sopan, dan manis, Gak Bin Tong memasang perangkapnya
Dan Giok Ciu si dara muda yang masih bodoh ini bagaikan seekor lalat yang tanpa merasa mendekati jaring laba-laba yang berbahaya. Namun, Giok Ciu yang mempunyai kepercayaan besar sekali kepada diri sendiri, sedikitpun tidak merasa betapa pemuda muka putih itu sedang memasang perangkap untuknya. Hal ini sebenarnya dapat terjadi demikian mudahnya karena sikap Giok Ciu yang memandang rendah kepada pemuda itu.
Ia menganggap bahwa betapapun juga, pemuda itu takkan berdaya menghadapinya dan ia tahu betul bahwa kepandaiannya masih jauh lebih tinggi hingga tak perlu berkuatir apa-apa. Ia tidak tahu bahwa disamping kelihaian ilmu silat, masih ada kepandaian yang lebih hebat dan lebih berbahaya lagi, yakni tipu muslihat yang banyak digunakan orang untuk menjatuhkan lawan yang lihai dan tangguh!
“Saudara Gak, menurut dugaanmu dimanakah adanya Cin Cin Hoatsu pada waktu ini?”
“Kalau tidak salah tentu ada di kota raja, tapi entah di gedung mana. Kita harus berlaku hati-hati sekali, karena pada waktu ini di kota raja terdapat seorang yang sangat tangguh dan sakti, yakni Beng Hoat Taisu, seorang utusan dari Tibet yang masih paman guru dari Cin Cin Hoatsu sendiri. Aku mendengar berita bahwa kepandaian Taisu ini tinggi sekali, maka kau harus waspada dan berhati-hati Lihiap.”
“Aku tidak takut, marilah kita berangkat mencari mereka!”
Di dalam hatinya, Gak Bin Tong merasa girang sekali karena ternyata muslihatnya berhasil baik. Ia telah dicap sebagai pengkhianat oleh para pengawal kota raja semenjak rahasianya dibuka oleh Suma Li Lian dulu itu hingga ia dikejar-kejar sampai di puncak Kam-Hong-San. Kini ia mendapat kesempatan untuk menebus kedosaannya. Kalau saja ia dapat menjebak gadis pemberontak ini dan dapat menyerahkannya kepada Cin Cin Hoatsu, tentu ia akan mendapat muka terang dan mendapat jasa! Tentu saja Giok Ciu sedikitpun tak pernah menyangka akan apa yang terpikir di dalam kepala pemuda tampan muka putih ini.
Di sepanjang jalan dalam perjalanan mereka ke kota raja dan mencari tahu akan keadaan Cin Cin Hoatsu, Gak Bin Tong berlaku sopan santun dan baik hingga sedikit kecurigaan yang masih bersisa di dalam hati Giok Ciu dan membuatnya berlaku waspada terhadap pemuda itu, kini lenyap sama sekali, terganti kepercayaan besar.
Berhari-hari mereka melakukan perjalanan dan setelah masuk ke kota raja, Gak Bin Tong mengajaknya secara sembunyi-sembunyi tinggal di dalam sebuah rumah di pinggir kota. Dari tempat itu, tiap malam mereka keluar melakukan penyelidikan. Kadang-kadang mereka berpisah, untuk melakukan penyelidikan masing-masing. Pada hari kelima setelah mereka berada di kota yang besar itu, Gak Bin Tong berkata dengan wajah girang setelah kembali dari penyelidikannya.
“Nah, terpeganglah sekarang olehku! Aku telah menemukan tempat tinggal siluman itu, Lihiap!”
Bukan main girang hati Giok Ciu mendengar ini. Dengan wajah berseri-seri ia segera menanyakan di mana tempat itu.
“Kita harus berhati-hati, Lihiap. Sekali-kali tidak boleh berlaku lancang dan sembrono. Cin Cin Hoatsu sendiri kepandaiannya tinggi, sedangkan aku belum tahu jelas siapa saja yang tinggal di gedung besar itu. Mungkin Beng Hoat Taisu juga berada di situ pula, dan ini berbahaya sekali. Lebih baik malam nanti kita berdua pergi menyelidiki ke sana dan kalau kiranya ada kesempatan baik, kita turun tangan!”
Giok Ciu memandang wajah pemuda itu dan menghela napas. “Saudara Gak, kau sungguh baik hati kepadaku. Pekerjaan ini tiada sangkut-pautnya dengan kau dan sangat berbahaya, maka janganlah kau membahayakan keselamatanmu untuk urusanku. Biarlah aku pergi sendiri malam nanti.”
Gak Bin tong membalas pandangan nona itu dan tersenyum menjawab, “Lihiap harap jangan sungkan, Lihiap telah tahu betul akan perasaanku terhadapmu. Maaf Lihiap, aku tidak berani mengulang-ulangi hal itu karena kau tidak suka mendengarnya. Tentu kau tidak percaya kepadaku, maka biarlah kesempatan ini kugunakan untuk membuktikan betapa murninya perasaanku itu. Biarlah kalau perlu aku mengorbankan jiwa dalam membelamu.”
Giok Ciu merasa terharu mendengar ucapan ini, tapi ia tidak berkata apa-apa karena kembali bayangan Sin Wan terbayang di depan matanya dan membuatnya merasa sangat sedih. Melihat keadaan gadis itu, Gak Bin Tong lalu meninggalkan gadis itu untuk mengadakan persiapan guna penyelidikan mereka malam nanti.
Malam hari itu udara gelap sekali. Udara hanya diterangi oleh sinar ribuan bintang yang berkelap-kelip. Di dalam kegelapan malam itu, tampak dua bayangan hitam berkelebat di atas genteng-genteng rumah yang tinggi. Mereka ini adalah Giok Ciu dan Gak Bin Tong. Seperti biasa Giok Ciu mengenakan pakaiannya yang serba hitam dan Ouw Liong Pokiam tergantung di pinggangnya.
Rambutnya yang hitam dan bagus itu diikat ke atas degan pengikat kepala dari sutera merah. Gak Bin Tong mengenakan pakaian serba biru dan tampaknya gagah sekali. Mereka menggunakan ilmu lari cepat dan berloncat-loncatan di atas wuwungan rumah. Akhirnya tibalah mereka di atas sebuah gedung yang tinggi besar.
“Lihiap, inilah gedungnya. Lebih baik kita berpencar, aku masuk dari kiri dan kau dari kanan.”
Giok Ciu mengangguk. Mereka lalu berpencar dan Giok Ciu dengan gesit sekali loncat ke atas wuwungan bangunan sebelah kanan. Ia melihat betapa di bawah masih terang sekali, tanda bahwa penghuni gedung itu belum tidur. Hatinya berdebar keras karena ia ingin sekali lekas-lekas bertemu dengan musuh besarnya dan membuat perhitungan.
Ketika ia sedang mengintai ke dalam, telinganya yang tajam mendengar sesuatu di atas genteng sebelah belakangnya. Cepat-cepat ia menengok dan melihat bayangan yang berkelebat cepat sekali tapi terus lenyap! Ia kaget sekali karena orang itu memiliki kepandaian tinggi dan gerakan yang cepat sekali...
Biarpun ia menggunakan pedang pendek dan hudtimnya untuk menjaga diri, tak urung kedua pedang lawan itu dengan berbareng telah menusuk tembus dada dan lambungnya sehingga tanpa dapat berteriak lagi Keng Kong Tosu roboh tak bernyawa pula!
Giok Ciu merasa penasaran karena lagi-lagi ia tak dapat mendahului Sin Wan dan boleh dikata Tosu jahanam itu terbunuh oleh mereka berdua dengan berbareng! Dalam gemasnya ia hendak menyerang kedua murid Keng Kong Tosu yang berdiri terkejut dan kesima, tetapi Sin Wan menegur,
“Jangan, Giok Ciu, jangan bunuh mereka!”
“Peduli apa kau dengan urusanku sendiri?” bentak gadis tiu dan melanjutkan serangannya kepada dua orang murid Tosu yang telah mati itu. Tapi tiba-tiba sinar putih berkelebat cepat dan pedang Sin Wan telah menangkis Ouw-Liong Pokiam.
“Moi-moi, ingatlah pesan Suhu. Jangan sembarangan membunuh orang, kalau tidak terpaksa dan mempunyai asalan yang kuat! Sudah cukup kita bunuh Keng Kong yang memang jahat, jangan ganggu muridnya.”
Giok Ciu mencibirkan mulutnya, “Cih, pandai benar bermain mulut, bisa saja berpura-pura alim dan suci, coba kau pandang mukamu sendiri. Tak malu menyebut-nyebut orang lain jahat!”
“Moi-moi, dengarlah dulu keteranganku...”
“Siapa sudi mendengarkan kata-katamu yang palsu!” Dengan ucapan ini Giok Ciu lalu meloncat pergi.
Sin Wan tidak mengejarnya karena ia maklum bahwa gadis itu benar-benar telah membencinya dan tak mungkin mau diajak berbicara. Kalaupun ia dapat memberi penjelasan, belum tentu gadis yang keras hati itu suka mempercayainya. Ah, sungguh serba susah dan Sin Wan menghela napas panjang. Tiba-tiba ia mendengar suara tertawa menyindir. Ia melihat betapa kedua murid Keng Kong Tosu masih berdiri di situ dan memandangnya dengan senyum sindir.
Marahlah Sin Wan dan sekali tubuhnya bergerak, tahu-tahu dua orang itu kena diterjangnya dan roboh di atas genteng sambil merintih-rintih. Ternyata sekali bergerak saja Sin Wan telah berhasil menotok mereka hingga roboh tak berdaya dan biarpun mereka takkan mati karenanya, namun dalam waktu dua belas jam, kalau tidak ada orang pandai yang melepaskan totokan itu, mereka akan lemas tak dapat bergerak, hanya dapat merintih-rintih saja. Kemudian Sin Wan meloncat pergi dari situ dengan hati mengkal.
********************
Marilah kita ikuti perjalan Suma Li Lian, gadis bangsawan yang cantik jelita, tapi yang tertimpa nasib malang itu. Setelah mendengar dari mulut Sin Wan kenyataan-kenyataan yang sangat pahit dan menikam ulu hatinya, gadis cantik ini hampir menjadi gila! Jiwanya memang telah tertekan oleh rasa terhina dan malu karena sebagai seorang gadis baik-baik keturunan bangsawan, adalah hal yang lebih hebat dan lebih rendah daripada mati ketika mengandung dan melahirkan seorang anak tanpa mempunyai suami!
Sebetulnya ketika merasa bahwa dirinya mengandung, ia telah mengambil keputusan hendak membunuh diri, tapi wajah Sin Wan yang tampan dan gagah selalu terbayang di muka matanya, maka ia lalu menetapkan hatinya. Ia nekad untuk menghadapi semua hinaan dan nistaan karena betapapun juga, ia diam-diam mengakui bahwa ia tidak menyesal mengandung seorang keturunan dari Sin Wan!
Ia cinta pemuda itu, cinta dengan cinta murni, dan ia bersedia mengorbankan apa saja untuk pemuda itu. Jangankan baru hinaan dari dunia luar, aah, ia takkan merasa terhina, bahkan ia akan merasa bangga kalau anaknya telah lahir, anak mereka, anaknya dan anak Sin Wan. Demikian besar rasa cintanya terhadap Sin Wan hingga Li Lian rela dirinya mendapat hinaan karena sebagai seorang gadis yang melahirkan seorang anak tak ber Ayah.
Ia bahkan sempat diusir oleh ibunya dan keluarganya dan hidup terlunta-lunta di sebuah kampung kecil. Akhirnya ia mengambil keputusan untuk mencari dan menyusul Sin Wan, karena bukankah dulu Sin Wan pernah bilang bahwa jika hendak mencari dirinya, harus pergi ke puncak Kam-Hong-San? Maka, ia lalu jual semua perhiasannya untuk dipakai biaya mencari suaminya itu.
Dan akhirnya setelah bersusah payah, ia berhasil membawa anaknya yang baru berusia lima bulan itu ke puncak Kam-Hong-San. Tapi disana ia hampir saja menjadi kurban keganasan dan kejahatan empat orang pemikul tandu, dan baiknya datang Giok Ciu yang menolongnya. Dan akhirnya ia bertemu dengan Sin Wan, suaminya! Tapi alangkah remuk rendam hatinya, hancur luluh kalbunya. Segala penderitaan, segala perngorbanan yang dilakukan itu sia-sia belaka! Bukan Sin Wan pemuda idaman itulah yang sebenarnya menjadi Ayah anak itu, tapi Gak Bin Tong!
Gak Bin Tong pemuda muka putih yang dibencinya, karena semenjak dulu pemuda itu selalu menggodanya, selalu memperlihatkan sikap ceriwis dan menjemukan. Pemuda yang pernah ia tolak lamarannya! Pemuda yang bahkan telah ia laporkan kepada para pengawal agar ditangkap dan dibunuh, karena ia sungguh-sungguh membencinya!
Dan kini... dari mulut Sin Wan sendiri, dari mulut laki-laki yang tadinya telah dianggap sebagai suaminya, ia mendengar bahwa suaminya bukanlah Sin Wan, tapi... Orang she Gak itu! Ketika ia melahirkan, segala hinaan yang didengarnya tak dapat menggoyahkan kalbunya, tak dapat merobah pendiriannya.
Tapi kenyataan yang didengarnya ini merupakan penghinaan yang sebesar-besarnya baginya, dan kenyataan ini membuat ia tak sanggup memandang wajah Sin Wan lagi, membuat ia begitu membenci Gak Bin Tong hingga seakan-akan hendak dicekiknya dan dibunuhnya pada saat itu juga pemuda muka putih yang telah menodai dan merusak hidupnya itu!
Demikianlah, ia lari bagaikan gila menuruni lereng bukit. Beberapa hari kemudian, Suma Li Lian yang tadinya cantik jelita, telah berubah menjadi seorang wanita yang menakutkan. Rambutnya yang riap-riapan menutupi sebagian wajahnya yang kotor penuh debu dan lumpur. Matanya merah dan liar dan bibirnya yang biasanya tersenyum manis menarik hati, kini tertarik menyeringai penuh kebencian.
Pakaiannya yang tadinya indah dan rapi, kini robek disana-sini dan kotor sekali hingga tak tampak pula bekas-bekasnya yang terbuat dari bahan mahal. Kakinya tak bersepatu lagi, hanya berkaus yang sudah dekil dan hitam penuh tanah. Sungguh mengenaskan nasib manusia ini. Ketika ia memasuki sebuah dusun kecil, semua anak-anak lari ketakutan dan menggodanya dari jauh sambil melempar-lemparinya dengan batu.
Dimana saja ia angsurkan tangan untuk minta makanan pengisi perutnya yang sudah lapar sekali, orang-orang mengusirnya dengan kata-kata menyatakan jijik. Dengan tindakan kaki limbung dan terhuyung-huyung, terpaksa Li Lian meninggalkan dusun itu. Tubuhnya lemas, perutnya terasa perih sekali, dan pandang matanya berkunang-kunang.
Karena terik matahari membuat kepalanya berdenyut-denyut, ia lalu menghampiri sebuah pohon besar yang tumbuh dipinggir jalan untuk meneduh, tapi ketika tiba di bawah pohon, tubuhnya tak tertahan lagi dan tubuh itu limbung hendak roboh, matanya meram dan kedua tangannya diulurkan meraba-raba mencari pegangan diudara!
Pada saat ia pingsan, sebelum tubuhnya roboh di tanah, tiba-tiba dari atas pohon menyambar turun sebuah tali yang secara aneh dan cepat bagaikan ular telah membelit kedua pergelangan tangan Li Lian dan tahu-tahu tubuh Li Lian telah mencelat ke atas pohon bagaikan disendal oleh tenaga yang luar biasa besarnya!
Ketika tubuh gadis yang malang itu terapung ke atas, sebuah lengan yang panjang dan besar lagi hitam dan kotor terulur dan tubuh Li Lian ditangkapnya pada bajunya. Terdengar suara ketawa yang aneh, karena bunyinya seperti setengah tertawa setengah menangis dan sebuah jari yang kotor menyentil belakang kepala Li Lian sehingga gadis itu siuman dari pingsan dan membuka matanya.
Alangkah herannya ketika Li Lian melihat bahwa ia sudah duduk di atas sebatang cabang pohon yang tinggi. Kalau saja hal ini terjadi padanya dahulu, tentu ia akan berteriak-teriak minta tolong karena takutnya melihat tanah sebegitu jauh di bawahnya. Tapi agaknya rasa takut telah lenyap di telan ombak samudera kesedihannya, hingga jangan kata baru tempat tinggi, biarpun berada di depan mulut harimau, agaknya gadis itu takkan merasa takut lagi. Maut akan disambutnya dengan senyum dan lambaian tangan karena baginya hidup ini tak berarti lagi.
Tapi ketika ia menengok dan memandang orang yang duduk di atas sebuah dahan lain dan sedang memandangnya pula, ia terkejut sekali dan tanpa disengaja ia membelalakan matanya. Di atas sebatang dahan duduk seorang laki-laki tua yang tinggi besar dan kurus sekali tapi keadaannya menyatakan bahwa orang itu bukanlah orang yang berotak waras!
Orang itu memegang segulung tali yang ujungnya diputar-putar seperti lagak seorang kanak-kanak yang sedang bermain-main. Ia memandang Li Lian sambil tertawa ha-ha hi-hi. Suma Li Lian menahan tubuhnya yang lemas dan gemetar karena lelah dan lapar, lalu berkata,
“Lopek, kau siapakah dan mengapa kau menolong aku?”
Orang yang berpakaian jembel itu memandangnya dengan heran, lalu pada wajahnya yang berkulit kotor hitam itu terbayang seri gembira ketika ia menjawab, “Siapa aku?” ia garuk-garuk kepalanya, “Aku adalah aku dan siapa yang menolong siapa? Aku tidak menolong juga tidak ditolong. Nona sakit, maka kubawa naik ke sini.”
Suma Li Lian maklum bahwa orang yang menolongnya ini benar-benar gila dan otaknya tidak waras namun ia heran sekali bagaimanakah orang gila ini dapat membawanya ke atas? Melihat wajah dan sinar mata orang tua tinggi besar itu, agaknya tidak berwatak jelek, bahkan ketika tadi tersenyumpun tampak baik hati benar, maka ia lalu berterus terang,
“Lopek, aku tidak sakit, hanya lelah dan lapar.”
“Lapar? Bagus! Akupun lapar!” jawabnya sambil tertawa terkekeh.
Mau tak mau, Suma Li Lian terpaksa ikut tertawa geli, hingga ia sendiri merasa heran mengapa ia dapat tertawa! Agaknya pada saat itu semua kesedihannya lenyap dan kegilaan orang tua itu menjalar kepadanya hingga iapun merasa sangat geli mendengar kata-kata si jembel gila yang lucu dan gila itu. Celaka dua belas, pikirnya. Dalam keadaan sedemikian menderita, bertemu dengan orang berotak miring.
Tapi tiba-tiba si jembel gila itu gerakkan tangannya yang memegang tali dan tali itu meluncur panjang dan bergerak-gerak bagaikan seekor ular terbang, ujung tali itu telah menyelusup diantara daun-daun pohon dan ketika di tarik kembali, diujung tali itu telah terbelit setangkai ranting yang ada buahnya beberapa butir. Tali kecil itu agaknya dapat disuruh mencarikan makan! Si gila itu memetik beberapa butir buah dan memberikan kepada Suma Li Lian.
“Kalau lapar, enak sekali makan. Makanlah buah ini.”
Suma Li Lian memandang jembel gila itu dengan pandangan berterima kasih sekali. Ia maklum bahwa orang gila ini adalah seorang sakti yang berkepandaian tinggi. Dengan lahapnya ia lalu makan buah-buah itu bersama-sama si jembel yang mencari buah-buah lagi. Sambil makan buah, mereka saling pandang tanpa bercakap-cakap. Kemudian, Li Lian berkata lagi,
“Lo-Suhu, sebenarnya siapakah Lo-Suhu ini dan mengapakah kau begini baik kepadaku?”
Kakek gembel itu tertawa lagi dengan geli. “Dunia ini memang lucu, tapi kau tidak lucu, nona. Kau berwajah gelap diliputi kemurungan, menimbulkan rasa sakit dalam dada kiriku.”
Setelah berkata demikian, jembel gila itu meringis-ringis seperti menahan sakit dan tangan kirinya meraba-raba dadanya. Kemudian ia melanjutkan kata-katanya,
“Aku adalah aku, kau tak usah bertanya karena aku sendiripun tidak tahu! Tapi kau mengapa bermuram durja? Siapa yang mengganggumu, anakku manis?”
Mendengar pertanyaan yang tiba-tiba diucapkan dengan suara sangat menyayang ini, hati Li Lian menjadi sedih sekali hingga tubuhnya limbung dan ia terjungkal dari dahan pohon yang didudukinya dan tubuhnya melayang ke bawah. Tapi sedikitpun Li Lian tidak menjerit, hanya meramkan mata menanti datangnya maut. Tapi, tubuhnya tidak terbanting ke atas tanah keras, bahkan merasa seakan-akan tubuhnya diayun-ayun dan tiba-tiba ia merasa kakinya menginjak tanah. Ketika ia membuka mata, ternyata ia telah berdiri di atas tanah dengan selamat, sedangkan empek gila tadi telah berdiri pula di depannya seakan-akan tidak terjadi sesuatu.
“Nona, kau belum menjawab pertanyaanku. Siapakah yang mengganggumu?”
Suma Li Lian tidak menjawab, tapi lalu menjatuhkan diri berlutut sambil menangis. Jembel gila itu mengangkat kepala dan sambil memandang langit ia tertawa bergelak-gelak.
“Ha ha ha! Kau memang pantas menjadi muridku. Pantas, pantas!”
Dengan ujung kakinya ia mencokel tubuh Li Lian dengan perlahan, tapi cukup membuat tubuh gadis itu mencelat mumbul ke atas, berputaran beberapa kali di udara sebelum jatuh lagi kebawah, tapi Li Lian sama sekali tidak merasa takut! Kembali kakek jembel itu tertawa bergelak-gelak dan menyambar baju Li Lian untuk mencegah tubuh gadis itu terpelanting.
“Bagus, bagus! berdirilah muridku!”
Sebenarnya, sekali-kali bukan maksud Li Lian untuk mengangkat guru kepada orang gila ini ketika berlutut tadi, tapi karena kakek aneh itu telah menerimanya sebagai murid, ia tidak berani menolak atau membantah. Pula, di dunia ini tidak ada orang yang berlaku baik kepadanya hingga ia benci kepada dunia dan penduduknya, kini tiba-tiba ada seorang berotak miring yang sangat baik kepadanya, maka diam-diam timbul pikiran baru dalam otaknya.
Kakek ini mempunyai kepandaian luar biasa, maka kalau ia menjadi muridnya dan mempunyai kepandaian tinggi, tak mungkin manusia-manusia macam Gak Bin Tong itu berani menghinanya. Gak Bin Tong! Teringat akan nama ini, mata Suma Li Lian memancarkan cahaya kemarahan. Kalau ia memiliki kepandaian tinggi, bahkan ia akan dapat membalas dendamnya kepada pemuda muka putih yang jahanam itu!
“Muridku, sekarang juga kau harus mulai belajar!” kata kakek gila itu.
Ia lalu memutuskan sepotong tali dan gunakan itu untuk mengikat ujung celana Li Lian di bagian pergelangan kaki kiri, demikianpun dengan ujung celana dipergelangan kaki kanan muridnya. Lalu ia pergi ke bawah pohon dan berjungkir balik dengan kepala di atas tanah dan kaki ke atas.
“Kau tiru ini, dan sandarkan kedua kakimu di batang pohon!” katanya kepada Li Lian.
Semenjak kecil memang Li Lian belum pernah belajar silat hingga ia sama sekali tidak tahu bagaimana cara orang bersilat, maka mendapat perintah demikian itu, dengan membuta ia turut dan taat. Sebentar saja ia merasa kepalanya pening dan berdenyut-denyutan ketika ia berdiri dengan kepala di bawah macam itu. Kalau tidak ada batang pohon yang menahan tubuhnya, tentu sudah tadi-tadi ia terguling!
Tapi karena hati dan perasaan Li Lian telah dibikin kaku dan membatu oleh penderitaan batin yang dipikulnya, ia bulatkan kemauannya dan biarpun andaikata sampai matipun tak nanti ia menyerah dan mundur! Agaknya gurunya yang gila itupun maklum akan kekerasan hati muridnya, maka ia lalu membuka rahasia pelajaran mengatur napas dan latihan lweekang yang sangat luar biasa, karena di kalangan persilatan tidak ada latihan-latihan yang kesemuanya dilakukan secara aneh dan terbalik macam yang diajarkan oleh si gila ini.
Demikianlah, berhari-hari Suma Li Lian, gadis bangsawan yang sopan santun terpelajar, dan halus budi pekertinya itu, kini menjadi murid seorang gila yang sakti dan mempelajari ilmu-ilmu yang sakti yang mujijat sekali! Karena Li Lian telah mendapat pukulan batin yang hebat sehingga keadaannya boleh dikata tidak sewajarnya lagi, dan kini mendapat seorang orang guru yang gila pula, maka sikapnyapun makin tidak karuan dan ketidak acuhannya akan keadaan diri sendiri membuat ia lebih mendekati kegilaan!
Latihan-latihan aneh dilakukan tiada hentinya di dalam sebuah hutan yang tak pernah dikunjungi manusia, dan mereka hanya berhenti berlatih apabila perut terasa lapar dan tak tertahan atau mata merasa ngantuk sekali. Selain keperluan khusus yang tak dapat ditahan atau ditunda lagi, mereka siang malam terus berlatih mati-matian!
Kakek tua jembel yang berotak miring ini sebetulnya dahulu adalah seorang gagah yang berwatak berani, jujur, dan jantan. Tapi karena tersesat seorang diri dalam sebuah gua siluman, ia mendapatkan ilmu mujijat yang penuh mengandung hawa siluman dan tanpa sadar mempelajarinya. Ilmu yang dipelajarinya itu demikian mujijat hingga setelah keluar dari gua itu ia menjadi gila tapi memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa anehnya pula, karena gerakan-gerakannya demikian aneh, sesuai dengan orangnya yang menjadi gila!
Pengalaman-pengalaman hebat di waktu mudanya, dapat diikut dalam cerita Bu Beng Kiam-hiap yang ramai. Entah apakah yang menggerakkan jiwa empek gila itu untuk merasa sangat tertarik dan sayang kepada Suma Li Lian sehingga ia menerima gadis sengsara itu sebagai muridnya dan menurunkan ilmu mujijat yang dimilikinya kepada murid ini.
Setelah mereka berdua bersembunyi di dalam hutan itu selama sebulan lebih, maka si jembel gila lalu mengajak muridnya keluar untuk ikut dalam perantauannya yang tiada tentu tujuan itu. Kecantikan Li Lian lenyap tertutup oleh kekotoran yang menutupi mukanya dan oleh rambutnya yang riap-riapan mengerikan. Tapi sepasang matanya tetap bening dan jeli, hanya sepasang mata itu mengeluarkan sinar yang seakan-akan merasa jemu melihat segala yang berada di sekelilingnya. Di sepanjang jalan tiada hentinya dan bosannya, Li Lian berlatih silat dan lweekang yang aneh-aneh.
********************
Kita kembali kepada Giok Ciu, gadis jelita yang patah hati karena kecewa kepada Sin Wan kekasihnya. Ia tetap menganggap bahwa pemuda itu telah terpikat oleh kecantikan Li Lian dan telah bermata gelap hingga melakukan perbuatan rendah, maka perasaan cintanya terhadap pemuda itu berubah benci sekali, benci bercampur kecewa dan memandang rendah.
Setelah berpisah dari Sin Wan pada malam itu, yakni sesudah berhasil membunuh Keng Kong Tosu bersama-sama dengan Sin Wan seakan-akan mereka sekali lagi berlumba dan tidak mau kalah dalam hal mengeluarkan kepandaian membasmi musuh-musuh mereka, Giok Ciu lari cepat di malam gelap.
Setelah keluar dari dusun itu dan memasuki sebuah hutan, ia melihat sebuah Kelenteng kecil atau Bio yang berdiri terpencil di pinggir jalan. Bio tua itu tampak sunyi terpencil hingga menarik perhatian Giok Ciu. Ia lalu masuk ke dalam Bio itu. Di tengah-tengah ruangan terdapat sebuah patung Dewi Kwan Im yang sudah luntur catnya. Melihat patung kecil itu berada di tempat terpencil dan sunyi, biarpun di dalam keadaan remang-remang dan gelap.
Namun Giok Ciu seakan-akan melihat betapa patung itu merasa kesunyian dan sengsara karena tiada kawan, sebatang kara di dunia ini, maka sedihlah rasa hatinya. Ia lalu menangis dan mencurahkan semua kedukaan hatinya. Di depan patung kecil itu sambil berlutut. Sampai fajar menyingsing, gadis itu berlutut di depan patung Kwan Im. Kemudian ia lalu duduk bersila dan menjalankan siulian untuk menenangkan pikiran dan istirahat.
Untuk beberapa lama ia bersamadhi, kemudian ia merasa seakan-akan ada orang yang memandangnya, maka sadarlah ia lalu membuka mata. Ternyata, seperti dulu ketika di puncak Kam-Hong-San, tak jauh di depannya tampak Gak Bin Tong duduk pula memandangnya dengan sepasang mata yang sangat kagum dan tertarik. Seketika itu juga naiklah warna merah di kedua pipi Giok Ciu dan ia lalu meloncat berdiri.
“Eh, kau lagi! Mau apa kau mengganggu aku?” bentaknya sambil mencabut pedangnya.
Tapi Gak Bin Tong buru-buru berdiri dan mengangkat kedua tangannya menyabarkannya. “Maafkan aku, Lihiap. Aku tidak mempunyai maksud jahat terhadapmu, hal ini kau tahu dengan baik. Kalau dulu-dulu aku pernah mengeluarkan kata-kata kurang ajar, maka lupakanlah itu dan aku mohon maaf sebesar-besarnya.”
“Jangan bicarakan lagi hal dulu-dulu!” Giok Ciu membentak pula, tapi ia agak sabar melihat sikap pemuda itu.
“Baiklah, Lihiap. Aku selalu ingin sekali bersahabat dengan engkau, sama sekali tak ingin menjadi lawan. Bukankah dulu aku telah memperingatkan kau dari segala keburukan? Aku pernah mengatakan bahwa Li Lian dan Sin Wan...”
“Tutup mulutmu! Sekali lagi kau menyebut hal mereka, terpaksa pedangku ini yang akan berbicara!” Gak Bin Tong tersenyum dan mengangkat kedua tangan memberi hormat.
“Maaf! Baiklah, aku takkan mengulangi hal itu. Agaknya kau masih saja tidak percaya dan membenciku, Lihiap, sungguh hal itu sangat kusesalkan, karena sebetulnya aku ingin menolongmu dalam segala hal.” Giok Ciu menjadi tidak sabar.
“Sudahlah, katakan saja apa maksudmu mengikuti aku dan datang kesini mengganggu istirahatku?”
Gak Bin Tong memperlihatkan muka terkejut. “Aku tidak mengikutimu, Lihiap. Hanya kebetulan saja aku lewat disini. Alangkah girang hatiku melihat kau berada dalam Bio ini. Aku... aku mempunyai dugaan bahwa mungkin sekali kau akan mencari musuh besarmu, bukan? Nah, kalau betul dugaanku ini, agaknya aku akan dapat menolongmu.”
Tiba-tiba lenyaplah segala kegalakkan Giok Ciu. Wajahnya yang tadi muram kini tampak berseri dan penuh semangat, “Betulkah? Tahukah dimana tempat tinggal siluman itu? Beritahukanlah padaku!”
Diam-diam Gak Bin Tong tersenyum. Ia telah menggunakan senjata terampuh dalam menghadapi gadis ini. “Begini, Lihiap. Aku sendiri pada saat sekarang ini tidak dapat menentukan di mana ia tinggal, tapi karena aku kenal semua tempat dan orang-orang di kota raja, mudah sekali bagiku untuk menyelidikinya. Aku tanggung, jika kau ikut aku ke kotaraja, pasti dalam waktu beberapa hari saja aku akan memberi tahu padamu dimana tempat sembunyinya siluman tua itu!”
Giok Ciu adalah seorang gadis yang biarpun memiliki kepandaian tinggi sekali namun masih hijau dan belum banyak mengenal kepalsuan dan kelicinan muslihat orang. Mendengar kata-kata Gak Bin Tong ini, ia percaya penuh dan merasa bersyukur sekali. Lenyaplah sebagian besar rasa tidak sukanya kepada pemuda muda putih yang tampan itu. Ia lalu mengangkat kedua tangan di dada dan menjura.
“Saudara Gak, sungguh kau ternyata seorang sahabat yang baik. Maafkan kelakuan kasarku yang sudah-sudah karena aku bercuriga kepadamu.”
“Sama-sama, Kwie Lihiap, akupun sebagai seorang muda tentu banyak kekhilapan, maka harap dari pihakmu juga yang banyak memaafkan segala kesalahanku yang sudah-sudah.” Demikianlah, dengan kata-kata yang halus, sopan, dan manis, Gak Bin Tong memasang perangkapnya
Dan Giok Ciu si dara muda yang masih bodoh ini bagaikan seekor lalat yang tanpa merasa mendekati jaring laba-laba yang berbahaya. Namun, Giok Ciu yang mempunyai kepercayaan besar sekali kepada diri sendiri, sedikitpun tidak merasa betapa pemuda muka putih itu sedang memasang perangkap untuknya. Hal ini sebenarnya dapat terjadi demikian mudahnya karena sikap Giok Ciu yang memandang rendah kepada pemuda itu.
Ia menganggap bahwa betapapun juga, pemuda itu takkan berdaya menghadapinya dan ia tahu betul bahwa kepandaiannya masih jauh lebih tinggi hingga tak perlu berkuatir apa-apa. Ia tidak tahu bahwa disamping kelihaian ilmu silat, masih ada kepandaian yang lebih hebat dan lebih berbahaya lagi, yakni tipu muslihat yang banyak digunakan orang untuk menjatuhkan lawan yang lihai dan tangguh!
“Saudara Gak, menurut dugaanmu dimanakah adanya Cin Cin Hoatsu pada waktu ini?”
“Kalau tidak salah tentu ada di kota raja, tapi entah di gedung mana. Kita harus berlaku hati-hati sekali, karena pada waktu ini di kota raja terdapat seorang yang sangat tangguh dan sakti, yakni Beng Hoat Taisu, seorang utusan dari Tibet yang masih paman guru dari Cin Cin Hoatsu sendiri. Aku mendengar berita bahwa kepandaian Taisu ini tinggi sekali, maka kau harus waspada dan berhati-hati Lihiap.”
“Aku tidak takut, marilah kita berangkat mencari mereka!”
Di dalam hatinya, Gak Bin Tong merasa girang sekali karena ternyata muslihatnya berhasil baik. Ia telah dicap sebagai pengkhianat oleh para pengawal kota raja semenjak rahasianya dibuka oleh Suma Li Lian dulu itu hingga ia dikejar-kejar sampai di puncak Kam-Hong-San. Kini ia mendapat kesempatan untuk menebus kedosaannya. Kalau saja ia dapat menjebak gadis pemberontak ini dan dapat menyerahkannya kepada Cin Cin Hoatsu, tentu ia akan mendapat muka terang dan mendapat jasa! Tentu saja Giok Ciu sedikitpun tak pernah menyangka akan apa yang terpikir di dalam kepala pemuda tampan muka putih ini.
Di sepanjang jalan dalam perjalanan mereka ke kota raja dan mencari tahu akan keadaan Cin Cin Hoatsu, Gak Bin Tong berlaku sopan santun dan baik hingga sedikit kecurigaan yang masih bersisa di dalam hati Giok Ciu dan membuatnya berlaku waspada terhadap pemuda itu, kini lenyap sama sekali, terganti kepercayaan besar.
Berhari-hari mereka melakukan perjalanan dan setelah masuk ke kota raja, Gak Bin Tong mengajaknya secara sembunyi-sembunyi tinggal di dalam sebuah rumah di pinggir kota. Dari tempat itu, tiap malam mereka keluar melakukan penyelidikan. Kadang-kadang mereka berpisah, untuk melakukan penyelidikan masing-masing. Pada hari kelima setelah mereka berada di kota yang besar itu, Gak Bin Tong berkata dengan wajah girang setelah kembali dari penyelidikannya.
“Nah, terpeganglah sekarang olehku! Aku telah menemukan tempat tinggal siluman itu, Lihiap!”
Bukan main girang hati Giok Ciu mendengar ini. Dengan wajah berseri-seri ia segera menanyakan di mana tempat itu.
“Kita harus berhati-hati, Lihiap. Sekali-kali tidak boleh berlaku lancang dan sembrono. Cin Cin Hoatsu sendiri kepandaiannya tinggi, sedangkan aku belum tahu jelas siapa saja yang tinggal di gedung besar itu. Mungkin Beng Hoat Taisu juga berada di situ pula, dan ini berbahaya sekali. Lebih baik malam nanti kita berdua pergi menyelidiki ke sana dan kalau kiranya ada kesempatan baik, kita turun tangan!”
Giok Ciu memandang wajah pemuda itu dan menghela napas. “Saudara Gak, kau sungguh baik hati kepadaku. Pekerjaan ini tiada sangkut-pautnya dengan kau dan sangat berbahaya, maka janganlah kau membahayakan keselamatanmu untuk urusanku. Biarlah aku pergi sendiri malam nanti.”
Gak Bin tong membalas pandangan nona itu dan tersenyum menjawab, “Lihiap harap jangan sungkan, Lihiap telah tahu betul akan perasaanku terhadapmu. Maaf Lihiap, aku tidak berani mengulang-ulangi hal itu karena kau tidak suka mendengarnya. Tentu kau tidak percaya kepadaku, maka biarlah kesempatan ini kugunakan untuk membuktikan betapa murninya perasaanku itu. Biarlah kalau perlu aku mengorbankan jiwa dalam membelamu.”
Giok Ciu merasa terharu mendengar ucapan ini, tapi ia tidak berkata apa-apa karena kembali bayangan Sin Wan terbayang di depan matanya dan membuatnya merasa sangat sedih. Melihat keadaan gadis itu, Gak Bin Tong lalu meninggalkan gadis itu untuk mengadakan persiapan guna penyelidikan mereka malam nanti.
Malam hari itu udara gelap sekali. Udara hanya diterangi oleh sinar ribuan bintang yang berkelap-kelip. Di dalam kegelapan malam itu, tampak dua bayangan hitam berkelebat di atas genteng-genteng rumah yang tinggi. Mereka ini adalah Giok Ciu dan Gak Bin Tong. Seperti biasa Giok Ciu mengenakan pakaiannya yang serba hitam dan Ouw Liong Pokiam tergantung di pinggangnya.
Rambutnya yang hitam dan bagus itu diikat ke atas degan pengikat kepala dari sutera merah. Gak Bin Tong mengenakan pakaian serba biru dan tampaknya gagah sekali. Mereka menggunakan ilmu lari cepat dan berloncat-loncatan di atas wuwungan rumah. Akhirnya tibalah mereka di atas sebuah gedung yang tinggi besar.
“Lihiap, inilah gedungnya. Lebih baik kita berpencar, aku masuk dari kiri dan kau dari kanan.”
Giok Ciu mengangguk. Mereka lalu berpencar dan Giok Ciu dengan gesit sekali loncat ke atas wuwungan bangunan sebelah kanan. Ia melihat betapa di bawah masih terang sekali, tanda bahwa penghuni gedung itu belum tidur. Hatinya berdebar keras karena ia ingin sekali lekas-lekas bertemu dengan musuh besarnya dan membuat perhitungan.
Ketika ia sedang mengintai ke dalam, telinganya yang tajam mendengar sesuatu di atas genteng sebelah belakangnya. Cepat-cepat ia menengok dan melihat bayangan yang berkelebat cepat sekali tapi terus lenyap! Ia kaget sekali karena orang itu memiliki kepandaian tinggi dan gerakan yang cepat sekali...