PEDANG PUSAKA NAGA PUTIH JILID 01
PADA suatu pagi, ketika fajar tengah menyingsing dan dari sana sini terdengar ayam hutan berkokok nyaring, di halaman depan sebuah pondok bambu di puncak bukit Kam-hong-san, tampak sesosok bayangan putih berkelebat kesana kemari di antara bayang-bayang pohon yang gelap. Ia adalah seorang pemuda baju putih yang sedang berlatih silat.
Gerakan tubuhnya demikian cepat hingga seolah-olah ia bertangan enam berkepala tiga ketika ia bersilat ilmu pukulan Ouw-wan-cianghoat (Silat Monyet Hitam). Sambaran kepalan tangannya sampai menggetarkan daun-daun pohon jauh di depan sehingga mutiara-mutiara air di ujung daun-daun itu jatuh berhamburan bagaikan hujan gerimis. Kakinya demikian ringan meloncat kesana kemari seakan-akan ia tak menginjak tanah!
Tiba-tiba di atas pohon terdengar suara sayap bergerak. Anak muda itu menengok sedikit ke atas, kemudian sekali mengayun kakinya, tubuhnya melayang ke atas menuju ke sebuah dahan di mana seekor ayam hutan sedang bertengger. Ayam itu terkejut sekali dan ketika tangan anak muda itu hendak menangkapnya, dengan gesit ayam itu terbang ke bawah.
Anak muda itu tak kehabisan akal, ia tadinya telah berdiri di atas sebuah dahan, ketika melihat ayam itu terbang ke bawah, ia segera menjatuhkan dirinya pula ke bawah, tapi kedua kakinya mengait dahan hingga kepalanya menukik ke bawah. Secepat kilat tangannya terulur dan ia berhasil menangkap ayam hutan. Ayam itu bergerak-gerak hendak melepaskan diri, tapi tak berhasil, kemudian dengan tertawa riang pemuda itu lompat turun.
“Ah, engkau kurus benar,” katanya kepada ayam yang menggelepar-gelepar di tangannya itu. “Bibi tentu akan mengatakan aku bodoh, karena ayam ini hanya berisi tulang belaka, buat apa. Nah, pergilah kau. Kelak kalau sudah gemuk boleh kutangkap lagi!” ia melepaskan ayam itu, yang segera terbang dengan terkeok-keok.
Pemuda itu berusia lebih kurang lima belas tahun, berwajah putih, cakap, dengan sepasang mata bersinar tajam, tapi lembut dan dihiasi sepasang alis tebal hitam yang panjang. Tubuhnya yang sedang besar dan tingginya itu mengenakan pakaian serba putih dengan angkin kuning kepalanya bertopi kuning pula. Di pinggangnya agak di belakang tergantung sekantong kim-chie-piao (senjata rahasia mata uang).
Tadi ia telah melatih ilmu silatnya dengan tangan kosong. Kini ia berdiri di bawah pohon itu tertawa-tawa seorang diri karena geli melihat laku ayam hutan tadi. Kemudian ia memungut sebatang dahan kering berwarna hijau di tanah dan segera memulai melatih dirinya lagi.
Dahan kering itu dipermainkannya seperti sebilah golok. Sungguhpun yang diayunkan dan digerakkannya itu hanya sebatang dahan, namun sambaran anginnya bersiutan dan dahan itu sendiri tak tampak lagi, hanya kelihatan bayangan putih kehijau-hijauan berputar-putar kesana kemari.
Setelah ia bersilat beberapa puluh jurus tiba-tiba terdengar suara pujian, “Bagus!!” dan tahu-tahu bayangan hitam seorang tinggi besar menerjangnya! “Lihat pedangku!” bentak bayangan itu sambil menyerang dengan tipu Hui-eng-bok-thou (Biang Terbang Menyambar Kelinci).
Ia agak terkejut akan serangan orang yang tiba-tiba tanpa sebab itu, namun pemuda baju putih itu tak kurang waspada. Ia berkelit ke samping, tapi lawannya melanjutkan serangannya dengan tipu Liong-ting-ti-cu (Mengambil Mutiara di Atas Kepala Naga) Pedangnya berpusing-pusing seperti alap-alap menyambar dari atas. Serangan ini sangat cepat hingga pemuda itu tak sempat mengelak lagi, maka terpaksa ia gunakan dahan kering yang masih dipegangnya untuk menangkis.
“Prakkk!” terdengar suara dahan itu beradu dengan pedang.
Pemuda itu merasa telapak tangannya perih. Ia kagum akan tenaga penyerangnya. Tapi biarpun demikian pedang yang tertahan oleh dahannya itu terpental juga.
“Hai, mengapa kau menyerangku? Aku Si Han Liong belum pernah punya musuh!” Ia menegur keren, tapi yang ditegurnya tak berkata apa-apa hanya kini berserak kembali menyerangnya dengan hebat!
Pedangnya bergerak seperti baling-baling dan dengan tidak disadarinya ujungnya meluncur ke arah pinggang kanan Han Liong. Anak muda itu masih saja berkelit ke sana sini dengan gesit sampai tujuh jurus. Akhirnya ia merasa bahwa penyerangnya yang berkedok hitam itu bukanlah lawan yang ringan. Segera dia balas menyerang.
Saling serang antara pedang dan dahan kering terjadi dengan serunya sampai tiga puluh jurus lebih. Makin lama Han Liong makin merasa heran, karena lawannya itu menggunakan ilmu golok Oei-liong-coan-sin (Naga Kuning Memutar Tubuh) kemudian terdapat pula jurus-jurus ilmu gabungan golok dan pedang ciptaan Bie Kong Hosiang, gurunya sendiri! Ia terkejut, karena ilmu ini menurut gurunya itu tak pernah diturunkan kepada lain orang, tapi mengapa orang ini dapat menggunakan demikian mahirnya!
Tak terasa ia berseru, “tahan!”
Tapi lawannya tak memberi kesempatan padanya dan terus menyerang makin sengit, Han Liong terpaksa menghadapinya pula beberapa puluh jurus dan selama itu ia dapat melayaninya dengan baik. Semua serangan yang dikenalnya tipu-tipunya itu dapat dipecahkan, malah kalau ia mau, ia bisa menggunakan kegesitan tubuhnya yang melebihi lawannya itu untuk balas menyerang dengan ilmu-ilmu berbahaya.
Tapi Han Liong tidak mau melakukan serangan yang mematikan karena ia tak suka mencelakakan lawan yang belum diketahui sebab-sebab memusuhinya ini. Tiba-tiba ia teringat sesuatu setelah mengamat-amati tubuh dan gerakan orang itu, lagi pula keadaan cuaca kini telah agak terang.
Ketika lawannya menusuk dengan tipu Raja Naga Menyerbu Goa, sebuah tipu silat gabungan golok pedang yang sangat berbahaya dan banyak perpecahannya, Han Liong menyontak tanah dan melayang jauh ke belakang sampai tiga tombak. Lalu ia melemparkan dahan keringnya dan segera berlutut.
“Suhu (guru)!” teriaknya.
Lawannya berdiri, melempar pedangnya, dan sambil tertawa ia membuka kedoknya, “Ha ha ha! Anak baik, muridku yang baik!”
Bie Kong Hosiang tertawa lagi dengan gembira lalu menghampiri dan mengangkat bangun Han Liong yang segera dipeluknya. Kemudian ia memegang kedua pundak anak muda itu dan dipandangnya baik-baik.
“Lima tahun kita tak berjumpa dan engkau sudah banyak maju! Bagus sekali, muridku.”
“Sungguh berbahaya, suhu. Kalau suhu tidak menyerang dengan tipu terakhir itu, teecu (murid) takkan mengira bahwa suhu sedang mencoba kebisaanku!” jawab Han Liong.
“Aku hanya ingin tahu kemajuanmu.” berkata Kim-too Bie Cong Hosiang si Golok Emas.
“He, hwesio (pendeta) tua! Enak saja engkau memuji murid kami sesukamu. Berilah waktu padaku untuk mengujinya juga!” tiba-tiba terdengar seruan dari atas pohon, dan segera pembicaranya tampak melayang ke bawah.
Han Liong segera berlutut dan berseru dengan girang “Hee-suhu, selamat datang, teecu menghaturkan hormat!”
Bie Kong Hosiang juga merangkapkan kedua tangannya memberi hormat dan berkata, “Omitohud, kebetulan sekali engkau telah datang. Selamat bertemu, selamat datang!”
Hee Ban Kiat membalas hormatnya dengan tertawa, kemudian ia menyuruh muridnya bangun berdiri, “Han Liong, sudah tiba masanya kini aku harus mengujimu. Ayoh, bersiaplah.”
“Teecu tak berani melawan suhu.”
“Apa katamu? Siapa bilang melawan? Ini hanya latihan, anak bodoh!” Kemudian secepat kilat ia menyerang.
Han Liong sangat kagetnya dan merasa bahwa ia bersalah dalam jawabannya. Bukanlah lima atau enam tahun yang lalu ia selalu berlatih dan harus melawan bersilat dengan gurunya ini? Segera ia melompat mundur menghindarkan serangan itu dan memasang kuda-kuda menjaga serangan seterusnya.
“Jangan terlalu seeji (segan-segan)!” tegur gurunya yang segera menggeser kakinya maju sambil menyerang dengan tipu Kim-liong tam-jiauw (Naga Mas Mengulur Kuku). Dengan berturut-turut kedua lengannya meluncur ke arah dada muridnya.
Menghadapi serangan hebat ini, Han Liong jungkir balik menghindarinya dengan tipu Koai-bong houn-sin. Demikianlah selanjutnya, Siauw-Io ong Hee Ban Kiat si Giam lo-ong kecil bermata satu itu menyerang muridnya dengan tipu-tipu silat Thai Kek Touw, Kiauw-ta-sin-na dan Ouw-wan-ciang-hoat diselang-seling.
Han Liong melayaninya dengan sangat baik hingga tak pernah tampah terdesak. Hanya ia masih ragu-ragu untuk balas menyerang, sehingga kebanyakan ia hanya bertahan saja. Kelincahan dan keringanan tubuh dan kaki tangannya banyak menolong dirinya, karena ternyata gerakannya lebih gesit dari pada gurunya itu!
Akhirnya ia menarik nafas lega dan tertawa gembira, karena gurunya menghentikan serangannya, “Bagus, bagus. Tak percuma aku si tua bangka mengajarimu. Eh, bagaimana pendapatmu, Hong Losuhu dan Pouw Losuhu!” tanyanya menoleh ke belakang, matanya yang hanya tinggal sebuah itu bercahaya girang dan bangga.
“Memang bagus, Hee Koanjin (orang aneh).” menjawab Liok-tee Sin-mo Hong In si Iblis Daratan dan Pauw Kim Kong si Malaikat Rambut Putih dengan mengangguk-angguk girang.
Han Liong tercengang melihat bahwa kedua gurunya itupun telah berada di situ dan juga ie-ienya (bibi) yang tadi turun gunung membeli barang-barang keperluan mereka telah pula berada di situ. Dalam kebingungannya menghadapi serangan-serangan gurunya tadi, ia tak sempat memperhatikan keadaan di sekitarnya. Segera ia berlutut dan menunjukkan hormatnya kepada kedua gurunya yang datang belakangan itu.
“Kami juga datang hendak melihat kemajuanmu, Liong,” kata Liok-tee Sin-mo Hong In si Iblis Daratan, “Nah, cobalah kejar aku seperti permainan kita dahulu.”
Tubuh Han Liong segera bergerak ke depan dan dengan gembira mengejar gurunya itu. Sekejab kemudian mereka hanya merupakan dua sosok bayangan, yang kuning di depan dan yang putih di belakang kejar-mengejar sehingga tak lama kemudian hanya tampak dua titik kecil yang makin jauh. Tak lama antaranya, segera tampak dua orang guru dan murid itu melayang-layang mendekat.
Sebuah bayangan kuning gurunya, Si Iblis Daratan berputar cepat dan tiba-tiba berdiri dan beberapa puluh detik kemudian sebuah bayangan putih Han Liong berkelebat dan telah tiba pula menyusul gurunya. Liok-tee Sin-mo Hong In segera melompat ke arah dahan sebuah pohon, ketika Han Liong menyusul, ia telah meloncat pula ke atas dahan yang lebih tinggi dan segera disusul pula oleh Han Liong.
Demikianlah gurunya meloncat-loncat ke atas puncak pohon sebagai seekor kupu-kupu kuning disusul oleh Han Liong dengan cepatnya. Akhirnya sang guru melayang turun dan kakinya menyentuh tanah dengan ringan seperti sehelai daun kering jatuh. Perbuatannya ini ditiru oleh Han Liong dengan gerakan serupa pula.
“Cukup muridku, engkau sudah hampir dapat melebihiku.”
Tapi diam-diam Han Liong maklum bahwa ia masih kalah setingkat. Kemudian oleh gurunya itu Han Liong disuruh mendemonstrasikan kepandaiannya menggunakan kim-cie-piaow. Liok-tee Sin-mo melempar dengan uang logamnya ke arah sebatang pohon yang jauhnya kira-kira lima tombak lebih. Berturut-turut ia melempar sampai lima kali, kemudian ia menyuruh muridnya menyusul lemparannya itu.
Han Liong mengerti maksudnya. Segera dilakukannya dengan sebuah piao. Ketika tangannya terayun, terdengar bunyi nyaring lima kali di batang pohon itu. Ketika diperiksa, ternyata piao sang guru yang tertanam di dalam pohon kena dihantam oleh piao muridnya, sehingga keluar menembus pohon itu. Sang guru tersenyum memuji.
“Eh, aku jangan ditinggalkan!” seru Pauw Kim Kong si Malaikat Rambut Putih. “Kemarilah, Liong, dan pegang bambu ini.”
Han Liong menghampiri gurunya yang berdiri lurus sambil memegang tongkat bambu itu dan diacungkannya ke depan. Han Liong segera memegang ujung tongkat itu, sehingga mereka masing-masing memegang kedua ujungnya.
“Nah, kerahkan tenagamu menahan, karena aku hendak mengangkatmu!” Han Liong segera mengumpulkan tenaga dalam, memasang bhesinya (kuda-kudanya) dengan kuat sehingga kedua kakinya seakan-akan berakar ke dalam tanah. Tiba-tiba ia merasa ujung bambu itu seakan-akan tergetar dan aliran tenaga gurunya telah menyentuhnya. Bambu itu kini makin bergetar ketika dua tenaga dalam itu bertanding mengadu kekuatan.
“Naik!” Si Malaikat Rambut Putih berseru dan Han Liong merasa betapa tenaga gurunya dengan hebat menggempur pertahanannya hingga bhesinya terasa lemah dan untuk sesaat kedua kakinya terangkat dari tanah kira-kira satu setengah dim!
Namun ia masin tetap dalam keadaan memasang kuda-kuda dan memegang ujung bambu itu dengan tangan kanan, sedangkan tangan kirinya dengan jari-jari terbuka mengembang di atas kepalanya, sehingga ia merupakan sebuah patung kayu! Ia mengerahkan tenaganya dan perlahan-lahan ia dapat turun kembali.
Kini tangan kiri gurunya turun ke bawah, suatu tanda bahwa ia kini yang harus menyerang. Dengan penuh semangat ia mengerahkan seluruh tenaga dalamnya untuk mengangkat gurunya. Ternyata ia berhasil membuat gurunya menggeserkan kaki depannya yang berarti bahwa ia telah berhasil menggempur bhesi gurunya!
Kendatipun ia belum dapat mengangkat si Malaikat Rambut Putih itu ke atas, tapi ia telah memperoleh banyak kemajuan. Ia mengerahkan pula tenaganya dan ditahan oleh gurunya. Dua tenaga dalam bertemu dengan kerasnya dan...
“Brakkk!” bambu itu pecah berkeping-keping! Kedua-duanya mundur dan sama-sama memeramkan mata mengatur nafas sebentar.
“Engkau sudah banyak maju, Liong. Ketika latihan yang terakhir beberapa tahun yang lalu, kau masih dapat kuangkat setinggi dua kaki! Kini engkau sudah bisa menggempur kedudukan kakiku. Berlatihlah terus, muridku.”
Kemudian ia minta muridnya memperlihatkan pelajaran Sin-kut-hoat yakni ilmu melepas tulang yang segera diturut pula oleh Han Liong. Merela memilih sebuah pohon yang banyak dahannya dan di situ Han Liong memperlihatkan kemahirannya. Ia melayang ke atas dan menerobos diantara dahan-dahan dan cabang-cabang yang demikian rapatnya sehingga tubuhnya seakan-akan melilit-lilit dahan seperti seekor ular besar!
Keempat gurunya bukan main girang melihat kemajuan murid mereka itu. Mereka puas dan gembira sekali, lebih-lebih Pauw Kim Kong yang tiada hentinya menepuk-nepuk pundak muridnya dengan kasih sayang.
“O ya, dan bagaimana pelajaranmu dalam ilmu surat? Kami ingin sekali tahu,” kata Pauw Kim Kong sambil melirik ke arah Yo Leng In.
“Ah, teecu sangat bodoh dan hanya dapat menulis beberapa patah kata dan beberapa buah huruf saja, suhu,” jawab Han Liong malu.
“Eh, jangan membuat malu aku yang mendidikmu, Liong,” sela bibinya, Yo Leng In.
“Yo Toanio benar, Liong. Di depan orang lain kau boleh merendah, tapi karena hari ini adalah hari ujianmu, kau tak boleh malu-malu. Ayoh perlihatkan kepandaianmu menulis, agar kami puas.” Siauw-lo-ong Hee Ban Kiat si mata satu mendesak.
Dengan terpaksa Han Liong lari mengambil alat tulis dan kertas dari dalam pondok, lalu menulis di atas sebuah batu yang rata, dilihat oleh keempat guru dan bibinya. Setelah selesai, ia perlihatkan tulisannya itu. Semua orang-orang tua itu memuji, kecuali Liok-tee Sin-mo yang berkata sambil tertawa.
“Aku orang tua tak berguna yang harus malu! Setua ini tapi satu huruf pun aku tidak kenal. Coba tolong bacakan tulisan Han Liong itu Yo Toanio!”
Yo Leng In mengambil kertas itu lalu membacanya. Ternyata tulisan Han Liong itu berbentuk sajak berbunyi demikian:
Kecil lemah tak berdaya
Yatim piatu menderita sengsara
Hidup terancam bahaya gelap gulita
Untung datang lima bintang bercahaya
Aku orang sengsara tiada guna ini
Sampai mati tak mungkin membalas budi
Hanya berjanji mengorbankan nyawa
Menjunjung tinggi nama lima bintang dengan Setia!
Yo Leng In membaca dengan suara merayu, dan semua pendengarnya maklum bahwa yang dimaksud dengan lima bintang itu ialah keempat gurunya dan seorang bibinya yang telah menolong dan mendidiknya. Kemudian, dengan huruf-huruf kecil yang ditulis dengan tangan gemetar, terdapat dua baris syair demikian,
Sebatang kara, yatim piatu. Siapa ayah, siapa ibu??
Dua baris tulisan ini seakan-akan teriakan jiwa anak muda itu yang ingin sekali mengetahui di mana dan siapakah orang tuanya, tapi ia tak berani bertanya, karena dahulu tiap kali ia bertanya, selalu ia dilarang karena belum waktunya. Tulisannya ini membuat keempat guru dan bibinya sangat terbaru, sehingga dikedua pipi bibinya yang membaca sajaknya itu mengalir air mata!
Pauw Kim Kong menghela nafas, dan ketika ia memandang Han Liong, ternyata kedua mata pemuda itupun mengeluarkan dua butir air mata. “Hm, sudahlah jangan bersedih. Mari kita masuk ke dalam pondok, dan di situ nanti akan kami ceritakan padamu sebenarnya tentang engkau dan orang tuamu. Karena hari ini engkau telah tamat belajar, maka sudah sepatutnya pula kalau kau ketahui akan hal Itu.”
Semua orang memasuki pondok kecil itu dan di situ Han Liong untuk pertama kalinya mendengar cerita mengenal orang tuanya dan tentang dirinya seperti berikut.
Si Han Liong adalah putera tunggal dari Si enghiong (orang gagah she Si) atau Si Cin Hai yang tak lain adalah seorang siucai (sasterawan) muda patriot sejati yang diangkat menjadi kepala daripada banyak kaum kang-ouw dan liok-lim (kalangan persilatan dan jagoan-jagoan). Si Cin Hai ini adalah putera seorang bekas menteri pemerintah Beng Tiauw bernama Si Kim Pau dan tadinya menjadi kawan baik Gouw Sam Kwie yang ternama itu.
Pada masa Si Kim Pau masih menjadi menteri, kerajaan Beng Tiauw kacau-balau karena ancaman pemberontak Lie Cu Seng. Gouw Sam Kwie yang melihat bahaya ini lalu minta pertolongan serdadu-serdadu Boan dari Mancuria untuk memasuki tembok besar dan membantu usaha menindas kaum pemberontak. Hal ini tidak disetujui oleh Menteri Si Kim Pau dan ia berkata bahwa usaha itu seakan-akan 'mengusir serigala dan mendatangkan harimau'.
Gouw Sam Kwie yang biasanya menghargai pendapat Si kim Pau, ketika itu karena sedang bingung melihat ancaman dan desakan Lie Cu Seng, tidak memperdulikan nasihat Si Kim Pau sehingga mereka berdua berselisih paham. Akhirnya serdadu-serdadu Boan betul berhasil juga menindas pemberontakan Lie Cu Seng. Namun, setelah melihat keindahan dan kekayaan bumi Tiongkok, orang Boan itu menjadi keenakan dan tak mau meninggalkan Tiongkok, bahkan lalu berbalik memukul hancur dan menjatuhkan pemerintah Beng Tiauw, dan semenjak itu bangsa Boan Ciu berkuasa di Tiongkok dan mendirikan pemerintah Ceng Tiauw.
Si Kim Pau melihat keadaan menjadi begitu hebat, hatinya bersedih dan menyesal sekali, ia seorang menteri yang setia dan berjiwa patriot, maka karena diri sendiri tidak berdaya, ia mengambil keputusan untuk mengorbankan nyawanya sebagai pernyataan bakti kepada negara dengan membunuh diri.
Tapi, ketika ia menghunus pedangnya dan hendak menusuk lehernya sendiri, tiba-tiba sepucuk sinar putih berkelebat, serta merta pedangnya terpotong menjadi dua dan di depannya berdiri seorang tua berjubah putih dan rambut serta jambangnya yang panjang sampai kepinggang semuanya putih melepak!
Ia merasa seakan-akan bermimpi, tapi sebagai seorang yang waspada ia segera maklum bahwa ia sedang berhadapan dengan seorang suci. Tanpa perdulikan, pangkat dan kedudukan, ia segera berlutut.
Orang tua itu mengaku bernama Kam Hong Siansu, seorang suci setengah dewa yang mengasingkan diri di bukit Kam-hong-san. Kam Hong Siansu menyatakan bahwa Si Kim Pau berbakat untuk menjadi seorang pertapa, lalu dengan samar-samar ia meramalkan bahwa untuk sementara ini pemerintah Ceng Tiauw tak dapat dirobohkan, karena sudah takdirnya demikian.
Dengan pertolongan Kam Hong Siansu yang menggunakan ilmunya, sekaligus Si Kim Pau, isterinya, dan Si Cin Hai, puteranya yang berusia sembilan belas tahun, dibawa ke puncak Gunung Kam hong-san. Atas petunjuk Kam Hong Siansu, Si Kim Pau bertapa di situ sambil mendidik puteranya dalam ilmu-ilmu ketatanegaraan dan kesusasteraan.
Namun darah patriot yang mengalir dalam tubuh Si Cin Hai membuat ia tak betah tinggal di atas gunung dan tanpa dapat dicegah ia pergi turun gunung. Ibunya sangat sedih karena hal ini lalu jatuh sakit dan meninggal dunia. Si Kim Pau yang ditinggal seorang diri di puncak gunung melanjutkan pertapaannya tanpa memperdulikan urusan dunia. Kadang-kadang, Kam Hong Siansu, entah dari mana datangnya, datang mengunjunginya dan memberi wejangan-wejangan ilmu batin.
Si Cin Hai turun dari Kam hong san dan membuat hubungan dengan enghiong (orang gagah) berjiwa patriot dari seluruh tempat untuk berusaha merobohkan pemerintoh Ceng Tiauw dan mengusir orang-orang Boan, penjajah angkara itu dari permukaan bumi Tiongkok. Iapun berhubungan pula dengan Gouw Sam Kwie yang bergerak dari Propinsi Hun Lam.
Karena ternyata Si Cin Hai seorang terpelajar yang cerdik pandai dan seorang patriot sejati, walaupun ia masih muda dan tak pandai ilmu silat, ia diangkat menjadi bengcu oleh semua enghiong dan disebut Si-enghiong. Sementara itu, ia kawin dengan Yo Lu Hwa, puteri dari Yo Beng Kiat seorang piauwsu (tukang pengantar barang ekspedisi) ternama di kota Liok-cu. Yo Lu Hwa lalu ikut aktip dalam perjuangan suaminya.
Pada permulaan tahun Kong Hie ke empat belas, ketika Raja kedua dari pemerintah Ceng Tiauw mulai bertahta, Si Cin Hai bersamaan dengan Gouw Sam Kwie dari daerah lain, mulai bergerak untuk menggulingkan pemerintah musuh. Tapi sayang, karena Gouw Sam Kwie kurang berhati-hati, maka rahasia pergerakan itu bocor, dan mereka dipukul oleh Pemerintah Ceng Tiauw sebelum mereka sempat bergerak, sehingga banyak kawan-kawan seperjuangannya yang tewas.
Ternyata pemerintah penjajah mempunyai banyak panglima jagoan, diantaranya ialah Coan Eng, Ta Hai dan Lie Ban si Naga Tanduk Besi. Di antara para patriot vang gugur, termasuk juga Si Cin Hai dan Ong Kee Lin suami Yo Leng In. Yo Leng In ini adalah adik kandung Yo Lu Hwa. Yo Lu Hwa sendiri tertawan oleh Tiat-kak-liong Lie Ban si Naga Tanduk Besi!
Sebetulnya Yo Lu Hwa ingin mengamuk sampai titik darah penghabisan setelah melihat suaminya gugur, tapi apa daya, ia terpaksa menyerah untuk melindungi puteranya dari bahaya maut!
Demikianlah, ia dan Han Liong, puteranya yang baru berusia lima bulan itu ditawan musuh. Masih bergema di telinganya pesan suaminya yang terakhir. “Peliharalah Han Liong baik-baik dan teruskanlah perjuangan kita!” Pesan pertama untuk memelihara Han Liong telah dilaksanakan dengan pengorbanan menyerah kepada musuh, tetapi pesan kedua takkan mungkin dapat ia lakukan.
Tiat-kak-liong Lie Ban yang baru setahun kematian isterinya, sangat tertarik melihat kecantikan dan kegagahan Yo Lu Hwa, maka ia sengaja menawannya dengan anaknya. Kemudian, ia membujuk-bujuk agar nyonya muda itu suka menjadi isterinya. Tentu saja Yo Lu Hwa tidak sudi dan memaki-makinya sebagai seorang tak tahu malu dan rendah budi. Tapi setelah Lie Ban mengancam akan membunuh Han Liong jika ia tidak mau menjadi isterinya, dengan hati hancur luluh nyonya muda itu terpaksa menurut. Ia mau berkorban apa saja asal anaknya terluput dari bahaya maut.
Hal ini sangat menyakitkan hati kawan-kawan di kalangan kang ouw dan liok-lim. Mereka anggap bahwa penyerahan Yo Lu Hwa itu sangat memalukan dan merendahkan nama para patriot, terutama nama Si-enghiong yang mereka hormati. Teristimewa Yo Leng In yang telah menjadi janda pula, ia merasa sangat malu dan telah berkali-kali dicobanya memasuki gedang Lie Ban untuk menculik Han Liong dan kalau mungkin membunuh Lie Ban serta encinya!
Tapi Tiat kak-liong Lie Ban bukan anak kemarin sore. Ia tahu betul bahwa Yo Lu Hwa mau menjadi isterinya karena menjaga keselamatan Han Liong. Kalau Han Liong sampai terculik hilang, tentu isterinya yang baru itu takkan sudi lagi mendekatinya, bahkan mungkin akan menimbulkan keributan!
Maka, ia menjaga Han Liong dengan sangat hati-hati, bahkan sengaja ia mendatangkan beberapa orang kawan-kawannya yang juga ahli-ahli silat kelas satu untuk menjaga gedungnya. Karena itu, segala daya upaya Yo Leng In menjadi gagal sama sekali, bahkan beberapa orang kawannya mendapat luka berat di dalam percobaan menculik Han Liong itu.
Demikianlah tujuh bulan telah lampau. Peristiwa tewasnya Si-enghiong dan dirampasnya Yo Lu Hwa oleh Lie Ban telah terdengar oleh semua kawan-kawan di kalangan kang-ouw dan menggerakkan hati para hohan (kesatria) di seluruh pelosok. Di antara mereka yang tergerak hatinya adalah Liok-tee Sin-mo Hong In si Iblis Daratan.
Ia meninggalkan guanya di Gunung Kwan lim-san dan memberi kabar kepada beberapa orang sahabatnya untuk mengadakan pertemuan di Kam hong-san pada permulaan musim Chun (musim semi)! la sendiri langsung menggunakan ilmunya berlari cepat menuju ke gedung Tiat-kak-liong Lie Ban yang dijaga kuat itu.
Malam itu, tidak seperti biasanya, di rumah Lie Ban agak sunyi. Biasanya Tiat-kak-liong Lie Ban dengan ditemani oleh tiga orang kawannya, ialah Oei-kak-liong Lie Kong si Naga Tanduk Kuning adiknya sendiri, dan berdua saudara Beng Liok Hui dan Beng Liok Houw yang dijuluki orang Sankang Jie-pa-cu (Dua Macan Tutul dari Sankang), minum arak atau main maciok sampai tengah malam. Tapi malam itu Lie Kong dan kedua saudara Beng telah masuk ke kamar masing-masing, sedangkan Tiat-kak-Liong Lie Ban berada di kamar isterinya.
Di antara bayang.bayang daun pohon yang ditimpa sinar bulan, berkelebat sesosok bayangan tubuh manusia di atas genteng gedung itu. Gerakannya demikian enteng dan gesit sehingga gerakan seekor kucingpun kalah olehnya. Dengan ilmu meringankan tubuh Keng-kong-tee-sut-hoat ia berlari-lari ke sana ke mari di atas genteng mencari-cari. Tiba-tiba ia berhenti di atas kamar Lie Ban dan kakinya bergerak dalam tipu Ouw liong coan-tah (Naga Hitam Menembus Menara) ia melompat turun ke bawah tanpa bersuara sedikitpun. Kemudian dengan langkah ringan sekali ia menghampiri jendela dan memasang telinga.
“Isteriku, janganlah engkau terlampau makan hati. Kurang apakah engkau jadi isteriku? Aku cinta padamu, hormat padamu, dan menjaga Han Liong seperti anakku sendiri. Bergembiralah isteriku, dan ingat akan kandunganmu,” terdengar suara seorang laki-laki halus membujuk. Lalu terdengar helaan nafas seorang perempuan, “Memang nasibku yang buruk.... nasibku yang sial... ahh...” terdengar isak perlahan.
“Sudahlah, bukankah engkau cinta kepada Han Liong? Dan bukankah aku berlaku baik padamu? Jangan bersedih, supaya lekas sembuh.”
“Memang engkau baik padaku dan Han Liong... dan sekarang aku mengandung pula... mengandung anakmu…”
“Bukankah itu baik sekali?” tiba-tiba suaranya terdiam dan dengan gerakan Ouw-liong-chut-tong (Naga Hitam Keluar Gua) ia meloncat keluar pintu dan masih sempat melihat sekelebat bayangan hitam melayang ke atas genteng.
“Bangsat, jangan lari!” la berseru dan mengayun tubuhnya ke atas genteng, mengejar...
Gerakan tubuhnya demikian cepat hingga seolah-olah ia bertangan enam berkepala tiga ketika ia bersilat ilmu pukulan Ouw-wan-cianghoat (Silat Monyet Hitam). Sambaran kepalan tangannya sampai menggetarkan daun-daun pohon jauh di depan sehingga mutiara-mutiara air di ujung daun-daun itu jatuh berhamburan bagaikan hujan gerimis. Kakinya demikian ringan meloncat kesana kemari seakan-akan ia tak menginjak tanah!
Tiba-tiba di atas pohon terdengar suara sayap bergerak. Anak muda itu menengok sedikit ke atas, kemudian sekali mengayun kakinya, tubuhnya melayang ke atas menuju ke sebuah dahan di mana seekor ayam hutan sedang bertengger. Ayam itu terkejut sekali dan ketika tangan anak muda itu hendak menangkapnya, dengan gesit ayam itu terbang ke bawah.
Anak muda itu tak kehabisan akal, ia tadinya telah berdiri di atas sebuah dahan, ketika melihat ayam itu terbang ke bawah, ia segera menjatuhkan dirinya pula ke bawah, tapi kedua kakinya mengait dahan hingga kepalanya menukik ke bawah. Secepat kilat tangannya terulur dan ia berhasil menangkap ayam hutan. Ayam itu bergerak-gerak hendak melepaskan diri, tapi tak berhasil, kemudian dengan tertawa riang pemuda itu lompat turun.
“Ah, engkau kurus benar,” katanya kepada ayam yang menggelepar-gelepar di tangannya itu. “Bibi tentu akan mengatakan aku bodoh, karena ayam ini hanya berisi tulang belaka, buat apa. Nah, pergilah kau. Kelak kalau sudah gemuk boleh kutangkap lagi!” ia melepaskan ayam itu, yang segera terbang dengan terkeok-keok.
Pemuda itu berusia lebih kurang lima belas tahun, berwajah putih, cakap, dengan sepasang mata bersinar tajam, tapi lembut dan dihiasi sepasang alis tebal hitam yang panjang. Tubuhnya yang sedang besar dan tingginya itu mengenakan pakaian serba putih dengan angkin kuning kepalanya bertopi kuning pula. Di pinggangnya agak di belakang tergantung sekantong kim-chie-piao (senjata rahasia mata uang).
Tadi ia telah melatih ilmu silatnya dengan tangan kosong. Kini ia berdiri di bawah pohon itu tertawa-tawa seorang diri karena geli melihat laku ayam hutan tadi. Kemudian ia memungut sebatang dahan kering berwarna hijau di tanah dan segera memulai melatih dirinya lagi.
Dahan kering itu dipermainkannya seperti sebilah golok. Sungguhpun yang diayunkan dan digerakkannya itu hanya sebatang dahan, namun sambaran anginnya bersiutan dan dahan itu sendiri tak tampak lagi, hanya kelihatan bayangan putih kehijau-hijauan berputar-putar kesana kemari.
Setelah ia bersilat beberapa puluh jurus tiba-tiba terdengar suara pujian, “Bagus!!” dan tahu-tahu bayangan hitam seorang tinggi besar menerjangnya! “Lihat pedangku!” bentak bayangan itu sambil menyerang dengan tipu Hui-eng-bok-thou (Biang Terbang Menyambar Kelinci).
Ia agak terkejut akan serangan orang yang tiba-tiba tanpa sebab itu, namun pemuda baju putih itu tak kurang waspada. Ia berkelit ke samping, tapi lawannya melanjutkan serangannya dengan tipu Liong-ting-ti-cu (Mengambil Mutiara di Atas Kepala Naga) Pedangnya berpusing-pusing seperti alap-alap menyambar dari atas. Serangan ini sangat cepat hingga pemuda itu tak sempat mengelak lagi, maka terpaksa ia gunakan dahan kering yang masih dipegangnya untuk menangkis.
“Prakkk!” terdengar suara dahan itu beradu dengan pedang.
Pemuda itu merasa telapak tangannya perih. Ia kagum akan tenaga penyerangnya. Tapi biarpun demikian pedang yang tertahan oleh dahannya itu terpental juga.
“Hai, mengapa kau menyerangku? Aku Si Han Liong belum pernah punya musuh!” Ia menegur keren, tapi yang ditegurnya tak berkata apa-apa hanya kini berserak kembali menyerangnya dengan hebat!
Pedangnya bergerak seperti baling-baling dan dengan tidak disadarinya ujungnya meluncur ke arah pinggang kanan Han Liong. Anak muda itu masih saja berkelit ke sana sini dengan gesit sampai tujuh jurus. Akhirnya ia merasa bahwa penyerangnya yang berkedok hitam itu bukanlah lawan yang ringan. Segera dia balas menyerang.
Saling serang antara pedang dan dahan kering terjadi dengan serunya sampai tiga puluh jurus lebih. Makin lama Han Liong makin merasa heran, karena lawannya itu menggunakan ilmu golok Oei-liong-coan-sin (Naga Kuning Memutar Tubuh) kemudian terdapat pula jurus-jurus ilmu gabungan golok dan pedang ciptaan Bie Kong Hosiang, gurunya sendiri! Ia terkejut, karena ilmu ini menurut gurunya itu tak pernah diturunkan kepada lain orang, tapi mengapa orang ini dapat menggunakan demikian mahirnya!
Tak terasa ia berseru, “tahan!”
Tapi lawannya tak memberi kesempatan padanya dan terus menyerang makin sengit, Han Liong terpaksa menghadapinya pula beberapa puluh jurus dan selama itu ia dapat melayaninya dengan baik. Semua serangan yang dikenalnya tipu-tipunya itu dapat dipecahkan, malah kalau ia mau, ia bisa menggunakan kegesitan tubuhnya yang melebihi lawannya itu untuk balas menyerang dengan ilmu-ilmu berbahaya.
Tapi Han Liong tidak mau melakukan serangan yang mematikan karena ia tak suka mencelakakan lawan yang belum diketahui sebab-sebab memusuhinya ini. Tiba-tiba ia teringat sesuatu setelah mengamat-amati tubuh dan gerakan orang itu, lagi pula keadaan cuaca kini telah agak terang.
Ketika lawannya menusuk dengan tipu Raja Naga Menyerbu Goa, sebuah tipu silat gabungan golok pedang yang sangat berbahaya dan banyak perpecahannya, Han Liong menyontak tanah dan melayang jauh ke belakang sampai tiga tombak. Lalu ia melemparkan dahan keringnya dan segera berlutut.
“Suhu (guru)!” teriaknya.
Lawannya berdiri, melempar pedangnya, dan sambil tertawa ia membuka kedoknya, “Ha ha ha! Anak baik, muridku yang baik!”
Bie Kong Hosiang tertawa lagi dengan gembira lalu menghampiri dan mengangkat bangun Han Liong yang segera dipeluknya. Kemudian ia memegang kedua pundak anak muda itu dan dipandangnya baik-baik.
“Lima tahun kita tak berjumpa dan engkau sudah banyak maju! Bagus sekali, muridku.”
“Sungguh berbahaya, suhu. Kalau suhu tidak menyerang dengan tipu terakhir itu, teecu (murid) takkan mengira bahwa suhu sedang mencoba kebisaanku!” jawab Han Liong.
“Aku hanya ingin tahu kemajuanmu.” berkata Kim-too Bie Cong Hosiang si Golok Emas.
“He, hwesio (pendeta) tua! Enak saja engkau memuji murid kami sesukamu. Berilah waktu padaku untuk mengujinya juga!” tiba-tiba terdengar seruan dari atas pohon, dan segera pembicaranya tampak melayang ke bawah.
Han Liong segera berlutut dan berseru dengan girang “Hee-suhu, selamat datang, teecu menghaturkan hormat!”
Bie Kong Hosiang juga merangkapkan kedua tangannya memberi hormat dan berkata, “Omitohud, kebetulan sekali engkau telah datang. Selamat bertemu, selamat datang!”
Hee Ban Kiat membalas hormatnya dengan tertawa, kemudian ia menyuruh muridnya bangun berdiri, “Han Liong, sudah tiba masanya kini aku harus mengujimu. Ayoh, bersiaplah.”
“Teecu tak berani melawan suhu.”
“Apa katamu? Siapa bilang melawan? Ini hanya latihan, anak bodoh!” Kemudian secepat kilat ia menyerang.
Han Liong sangat kagetnya dan merasa bahwa ia bersalah dalam jawabannya. Bukanlah lima atau enam tahun yang lalu ia selalu berlatih dan harus melawan bersilat dengan gurunya ini? Segera ia melompat mundur menghindarkan serangan itu dan memasang kuda-kuda menjaga serangan seterusnya.
“Jangan terlalu seeji (segan-segan)!” tegur gurunya yang segera menggeser kakinya maju sambil menyerang dengan tipu Kim-liong tam-jiauw (Naga Mas Mengulur Kuku). Dengan berturut-turut kedua lengannya meluncur ke arah dada muridnya.
Menghadapi serangan hebat ini, Han Liong jungkir balik menghindarinya dengan tipu Koai-bong houn-sin. Demikianlah selanjutnya, Siauw-Io ong Hee Ban Kiat si Giam lo-ong kecil bermata satu itu menyerang muridnya dengan tipu-tipu silat Thai Kek Touw, Kiauw-ta-sin-na dan Ouw-wan-ciang-hoat diselang-seling.
Han Liong melayaninya dengan sangat baik hingga tak pernah tampah terdesak. Hanya ia masih ragu-ragu untuk balas menyerang, sehingga kebanyakan ia hanya bertahan saja. Kelincahan dan keringanan tubuh dan kaki tangannya banyak menolong dirinya, karena ternyata gerakannya lebih gesit dari pada gurunya itu!
Akhirnya ia menarik nafas lega dan tertawa gembira, karena gurunya menghentikan serangannya, “Bagus, bagus. Tak percuma aku si tua bangka mengajarimu. Eh, bagaimana pendapatmu, Hong Losuhu dan Pouw Losuhu!” tanyanya menoleh ke belakang, matanya yang hanya tinggal sebuah itu bercahaya girang dan bangga.
“Memang bagus, Hee Koanjin (orang aneh).” menjawab Liok-tee Sin-mo Hong In si Iblis Daratan dan Pauw Kim Kong si Malaikat Rambut Putih dengan mengangguk-angguk girang.
Han Liong tercengang melihat bahwa kedua gurunya itupun telah berada di situ dan juga ie-ienya (bibi) yang tadi turun gunung membeli barang-barang keperluan mereka telah pula berada di situ. Dalam kebingungannya menghadapi serangan-serangan gurunya tadi, ia tak sempat memperhatikan keadaan di sekitarnya. Segera ia berlutut dan menunjukkan hormatnya kepada kedua gurunya yang datang belakangan itu.
“Kami juga datang hendak melihat kemajuanmu, Liong,” kata Liok-tee Sin-mo Hong In si Iblis Daratan, “Nah, cobalah kejar aku seperti permainan kita dahulu.”
Tubuh Han Liong segera bergerak ke depan dan dengan gembira mengejar gurunya itu. Sekejab kemudian mereka hanya merupakan dua sosok bayangan, yang kuning di depan dan yang putih di belakang kejar-mengejar sehingga tak lama kemudian hanya tampak dua titik kecil yang makin jauh. Tak lama antaranya, segera tampak dua orang guru dan murid itu melayang-layang mendekat.
Sebuah bayangan kuning gurunya, Si Iblis Daratan berputar cepat dan tiba-tiba berdiri dan beberapa puluh detik kemudian sebuah bayangan putih Han Liong berkelebat dan telah tiba pula menyusul gurunya. Liok-tee Sin-mo Hong In segera melompat ke arah dahan sebuah pohon, ketika Han Liong menyusul, ia telah meloncat pula ke atas dahan yang lebih tinggi dan segera disusul pula oleh Han Liong.
Demikianlah gurunya meloncat-loncat ke atas puncak pohon sebagai seekor kupu-kupu kuning disusul oleh Han Liong dengan cepatnya. Akhirnya sang guru melayang turun dan kakinya menyentuh tanah dengan ringan seperti sehelai daun kering jatuh. Perbuatannya ini ditiru oleh Han Liong dengan gerakan serupa pula.
“Cukup muridku, engkau sudah hampir dapat melebihiku.”
Tapi diam-diam Han Liong maklum bahwa ia masih kalah setingkat. Kemudian oleh gurunya itu Han Liong disuruh mendemonstrasikan kepandaiannya menggunakan kim-cie-piaow. Liok-tee Sin-mo melempar dengan uang logamnya ke arah sebatang pohon yang jauhnya kira-kira lima tombak lebih. Berturut-turut ia melempar sampai lima kali, kemudian ia menyuruh muridnya menyusul lemparannya itu.
Han Liong mengerti maksudnya. Segera dilakukannya dengan sebuah piao. Ketika tangannya terayun, terdengar bunyi nyaring lima kali di batang pohon itu. Ketika diperiksa, ternyata piao sang guru yang tertanam di dalam pohon kena dihantam oleh piao muridnya, sehingga keluar menembus pohon itu. Sang guru tersenyum memuji.
“Eh, aku jangan ditinggalkan!” seru Pauw Kim Kong si Malaikat Rambut Putih. “Kemarilah, Liong, dan pegang bambu ini.”
Han Liong menghampiri gurunya yang berdiri lurus sambil memegang tongkat bambu itu dan diacungkannya ke depan. Han Liong segera memegang ujung tongkat itu, sehingga mereka masing-masing memegang kedua ujungnya.
“Nah, kerahkan tenagamu menahan, karena aku hendak mengangkatmu!” Han Liong segera mengumpulkan tenaga dalam, memasang bhesinya (kuda-kudanya) dengan kuat sehingga kedua kakinya seakan-akan berakar ke dalam tanah. Tiba-tiba ia merasa ujung bambu itu seakan-akan tergetar dan aliran tenaga gurunya telah menyentuhnya. Bambu itu kini makin bergetar ketika dua tenaga dalam itu bertanding mengadu kekuatan.
“Naik!” Si Malaikat Rambut Putih berseru dan Han Liong merasa betapa tenaga gurunya dengan hebat menggempur pertahanannya hingga bhesinya terasa lemah dan untuk sesaat kedua kakinya terangkat dari tanah kira-kira satu setengah dim!
Namun ia masin tetap dalam keadaan memasang kuda-kuda dan memegang ujung bambu itu dengan tangan kanan, sedangkan tangan kirinya dengan jari-jari terbuka mengembang di atas kepalanya, sehingga ia merupakan sebuah patung kayu! Ia mengerahkan tenaganya dan perlahan-lahan ia dapat turun kembali.
Kini tangan kiri gurunya turun ke bawah, suatu tanda bahwa ia kini yang harus menyerang. Dengan penuh semangat ia mengerahkan seluruh tenaga dalamnya untuk mengangkat gurunya. Ternyata ia berhasil membuat gurunya menggeserkan kaki depannya yang berarti bahwa ia telah berhasil menggempur bhesi gurunya!
Kendatipun ia belum dapat mengangkat si Malaikat Rambut Putih itu ke atas, tapi ia telah memperoleh banyak kemajuan. Ia mengerahkan pula tenaganya dan ditahan oleh gurunya. Dua tenaga dalam bertemu dengan kerasnya dan...
“Brakkk!” bambu itu pecah berkeping-keping! Kedua-duanya mundur dan sama-sama memeramkan mata mengatur nafas sebentar.
“Engkau sudah banyak maju, Liong. Ketika latihan yang terakhir beberapa tahun yang lalu, kau masih dapat kuangkat setinggi dua kaki! Kini engkau sudah bisa menggempur kedudukan kakiku. Berlatihlah terus, muridku.”
Kemudian ia minta muridnya memperlihatkan pelajaran Sin-kut-hoat yakni ilmu melepas tulang yang segera diturut pula oleh Han Liong. Merela memilih sebuah pohon yang banyak dahannya dan di situ Han Liong memperlihatkan kemahirannya. Ia melayang ke atas dan menerobos diantara dahan-dahan dan cabang-cabang yang demikian rapatnya sehingga tubuhnya seakan-akan melilit-lilit dahan seperti seekor ular besar!
Keempat gurunya bukan main girang melihat kemajuan murid mereka itu. Mereka puas dan gembira sekali, lebih-lebih Pauw Kim Kong yang tiada hentinya menepuk-nepuk pundak muridnya dengan kasih sayang.
“O ya, dan bagaimana pelajaranmu dalam ilmu surat? Kami ingin sekali tahu,” kata Pauw Kim Kong sambil melirik ke arah Yo Leng In.
“Ah, teecu sangat bodoh dan hanya dapat menulis beberapa patah kata dan beberapa buah huruf saja, suhu,” jawab Han Liong malu.
“Eh, jangan membuat malu aku yang mendidikmu, Liong,” sela bibinya, Yo Leng In.
“Yo Toanio benar, Liong. Di depan orang lain kau boleh merendah, tapi karena hari ini adalah hari ujianmu, kau tak boleh malu-malu. Ayoh perlihatkan kepandaianmu menulis, agar kami puas.” Siauw-lo-ong Hee Ban Kiat si mata satu mendesak.
Dengan terpaksa Han Liong lari mengambil alat tulis dan kertas dari dalam pondok, lalu menulis di atas sebuah batu yang rata, dilihat oleh keempat guru dan bibinya. Setelah selesai, ia perlihatkan tulisannya itu. Semua orang-orang tua itu memuji, kecuali Liok-tee Sin-mo yang berkata sambil tertawa.
“Aku orang tua tak berguna yang harus malu! Setua ini tapi satu huruf pun aku tidak kenal. Coba tolong bacakan tulisan Han Liong itu Yo Toanio!”
Yo Leng In mengambil kertas itu lalu membacanya. Ternyata tulisan Han Liong itu berbentuk sajak berbunyi demikian:
Kecil lemah tak berdaya
Yatim piatu menderita sengsara
Hidup terancam bahaya gelap gulita
Untung datang lima bintang bercahaya
Aku orang sengsara tiada guna ini
Sampai mati tak mungkin membalas budi
Hanya berjanji mengorbankan nyawa
Menjunjung tinggi nama lima bintang dengan Setia!
Yo Leng In membaca dengan suara merayu, dan semua pendengarnya maklum bahwa yang dimaksud dengan lima bintang itu ialah keempat gurunya dan seorang bibinya yang telah menolong dan mendidiknya. Kemudian, dengan huruf-huruf kecil yang ditulis dengan tangan gemetar, terdapat dua baris syair demikian,
Sebatang kara, yatim piatu. Siapa ayah, siapa ibu??
Dua baris tulisan ini seakan-akan teriakan jiwa anak muda itu yang ingin sekali mengetahui di mana dan siapakah orang tuanya, tapi ia tak berani bertanya, karena dahulu tiap kali ia bertanya, selalu ia dilarang karena belum waktunya. Tulisannya ini membuat keempat guru dan bibinya sangat terbaru, sehingga dikedua pipi bibinya yang membaca sajaknya itu mengalir air mata!
Pauw Kim Kong menghela nafas, dan ketika ia memandang Han Liong, ternyata kedua mata pemuda itupun mengeluarkan dua butir air mata. “Hm, sudahlah jangan bersedih. Mari kita masuk ke dalam pondok, dan di situ nanti akan kami ceritakan padamu sebenarnya tentang engkau dan orang tuamu. Karena hari ini engkau telah tamat belajar, maka sudah sepatutnya pula kalau kau ketahui akan hal Itu.”
Semua orang memasuki pondok kecil itu dan di situ Han Liong untuk pertama kalinya mendengar cerita mengenal orang tuanya dan tentang dirinya seperti berikut.
********************
Si Han Liong adalah putera tunggal dari Si enghiong (orang gagah she Si) atau Si Cin Hai yang tak lain adalah seorang siucai (sasterawan) muda patriot sejati yang diangkat menjadi kepala daripada banyak kaum kang-ouw dan liok-lim (kalangan persilatan dan jagoan-jagoan). Si Cin Hai ini adalah putera seorang bekas menteri pemerintah Beng Tiauw bernama Si Kim Pau dan tadinya menjadi kawan baik Gouw Sam Kwie yang ternama itu.
Pada masa Si Kim Pau masih menjadi menteri, kerajaan Beng Tiauw kacau-balau karena ancaman pemberontak Lie Cu Seng. Gouw Sam Kwie yang melihat bahaya ini lalu minta pertolongan serdadu-serdadu Boan dari Mancuria untuk memasuki tembok besar dan membantu usaha menindas kaum pemberontak. Hal ini tidak disetujui oleh Menteri Si Kim Pau dan ia berkata bahwa usaha itu seakan-akan 'mengusir serigala dan mendatangkan harimau'.
Gouw Sam Kwie yang biasanya menghargai pendapat Si kim Pau, ketika itu karena sedang bingung melihat ancaman dan desakan Lie Cu Seng, tidak memperdulikan nasihat Si Kim Pau sehingga mereka berdua berselisih paham. Akhirnya serdadu-serdadu Boan betul berhasil juga menindas pemberontakan Lie Cu Seng. Namun, setelah melihat keindahan dan kekayaan bumi Tiongkok, orang Boan itu menjadi keenakan dan tak mau meninggalkan Tiongkok, bahkan lalu berbalik memukul hancur dan menjatuhkan pemerintah Beng Tiauw, dan semenjak itu bangsa Boan Ciu berkuasa di Tiongkok dan mendirikan pemerintah Ceng Tiauw.
Si Kim Pau melihat keadaan menjadi begitu hebat, hatinya bersedih dan menyesal sekali, ia seorang menteri yang setia dan berjiwa patriot, maka karena diri sendiri tidak berdaya, ia mengambil keputusan untuk mengorbankan nyawanya sebagai pernyataan bakti kepada negara dengan membunuh diri.
Tapi, ketika ia menghunus pedangnya dan hendak menusuk lehernya sendiri, tiba-tiba sepucuk sinar putih berkelebat, serta merta pedangnya terpotong menjadi dua dan di depannya berdiri seorang tua berjubah putih dan rambut serta jambangnya yang panjang sampai kepinggang semuanya putih melepak!
Ia merasa seakan-akan bermimpi, tapi sebagai seorang yang waspada ia segera maklum bahwa ia sedang berhadapan dengan seorang suci. Tanpa perdulikan, pangkat dan kedudukan, ia segera berlutut.
Orang tua itu mengaku bernama Kam Hong Siansu, seorang suci setengah dewa yang mengasingkan diri di bukit Kam-hong-san. Kam Hong Siansu menyatakan bahwa Si Kim Pau berbakat untuk menjadi seorang pertapa, lalu dengan samar-samar ia meramalkan bahwa untuk sementara ini pemerintah Ceng Tiauw tak dapat dirobohkan, karena sudah takdirnya demikian.
Dengan pertolongan Kam Hong Siansu yang menggunakan ilmunya, sekaligus Si Kim Pau, isterinya, dan Si Cin Hai, puteranya yang berusia sembilan belas tahun, dibawa ke puncak Gunung Kam hong-san. Atas petunjuk Kam Hong Siansu, Si Kim Pau bertapa di situ sambil mendidik puteranya dalam ilmu-ilmu ketatanegaraan dan kesusasteraan.
Namun darah patriot yang mengalir dalam tubuh Si Cin Hai membuat ia tak betah tinggal di atas gunung dan tanpa dapat dicegah ia pergi turun gunung. Ibunya sangat sedih karena hal ini lalu jatuh sakit dan meninggal dunia. Si Kim Pau yang ditinggal seorang diri di puncak gunung melanjutkan pertapaannya tanpa memperdulikan urusan dunia. Kadang-kadang, Kam Hong Siansu, entah dari mana datangnya, datang mengunjunginya dan memberi wejangan-wejangan ilmu batin.
Si Cin Hai turun dari Kam hong san dan membuat hubungan dengan enghiong (orang gagah) berjiwa patriot dari seluruh tempat untuk berusaha merobohkan pemerintoh Ceng Tiauw dan mengusir orang-orang Boan, penjajah angkara itu dari permukaan bumi Tiongkok. Iapun berhubungan pula dengan Gouw Sam Kwie yang bergerak dari Propinsi Hun Lam.
Karena ternyata Si Cin Hai seorang terpelajar yang cerdik pandai dan seorang patriot sejati, walaupun ia masih muda dan tak pandai ilmu silat, ia diangkat menjadi bengcu oleh semua enghiong dan disebut Si-enghiong. Sementara itu, ia kawin dengan Yo Lu Hwa, puteri dari Yo Beng Kiat seorang piauwsu (tukang pengantar barang ekspedisi) ternama di kota Liok-cu. Yo Lu Hwa lalu ikut aktip dalam perjuangan suaminya.
Pada permulaan tahun Kong Hie ke empat belas, ketika Raja kedua dari pemerintah Ceng Tiauw mulai bertahta, Si Cin Hai bersamaan dengan Gouw Sam Kwie dari daerah lain, mulai bergerak untuk menggulingkan pemerintah musuh. Tapi sayang, karena Gouw Sam Kwie kurang berhati-hati, maka rahasia pergerakan itu bocor, dan mereka dipukul oleh Pemerintah Ceng Tiauw sebelum mereka sempat bergerak, sehingga banyak kawan-kawan seperjuangannya yang tewas.
Ternyata pemerintah penjajah mempunyai banyak panglima jagoan, diantaranya ialah Coan Eng, Ta Hai dan Lie Ban si Naga Tanduk Besi. Di antara para patriot vang gugur, termasuk juga Si Cin Hai dan Ong Kee Lin suami Yo Leng In. Yo Leng In ini adalah adik kandung Yo Lu Hwa. Yo Lu Hwa sendiri tertawan oleh Tiat-kak-liong Lie Ban si Naga Tanduk Besi!
Sebetulnya Yo Lu Hwa ingin mengamuk sampai titik darah penghabisan setelah melihat suaminya gugur, tapi apa daya, ia terpaksa menyerah untuk melindungi puteranya dari bahaya maut!
Demikianlah, ia dan Han Liong, puteranya yang baru berusia lima bulan itu ditawan musuh. Masih bergema di telinganya pesan suaminya yang terakhir. “Peliharalah Han Liong baik-baik dan teruskanlah perjuangan kita!” Pesan pertama untuk memelihara Han Liong telah dilaksanakan dengan pengorbanan menyerah kepada musuh, tetapi pesan kedua takkan mungkin dapat ia lakukan.
Tiat-kak-liong Lie Ban yang baru setahun kematian isterinya, sangat tertarik melihat kecantikan dan kegagahan Yo Lu Hwa, maka ia sengaja menawannya dengan anaknya. Kemudian, ia membujuk-bujuk agar nyonya muda itu suka menjadi isterinya. Tentu saja Yo Lu Hwa tidak sudi dan memaki-makinya sebagai seorang tak tahu malu dan rendah budi. Tapi setelah Lie Ban mengancam akan membunuh Han Liong jika ia tidak mau menjadi isterinya, dengan hati hancur luluh nyonya muda itu terpaksa menurut. Ia mau berkorban apa saja asal anaknya terluput dari bahaya maut.
Hal ini sangat menyakitkan hati kawan-kawan di kalangan kang ouw dan liok-lim. Mereka anggap bahwa penyerahan Yo Lu Hwa itu sangat memalukan dan merendahkan nama para patriot, terutama nama Si-enghiong yang mereka hormati. Teristimewa Yo Leng In yang telah menjadi janda pula, ia merasa sangat malu dan telah berkali-kali dicobanya memasuki gedang Lie Ban untuk menculik Han Liong dan kalau mungkin membunuh Lie Ban serta encinya!
Tapi Tiat kak-liong Lie Ban bukan anak kemarin sore. Ia tahu betul bahwa Yo Lu Hwa mau menjadi isterinya karena menjaga keselamatan Han Liong. Kalau Han Liong sampai terculik hilang, tentu isterinya yang baru itu takkan sudi lagi mendekatinya, bahkan mungkin akan menimbulkan keributan!
Maka, ia menjaga Han Liong dengan sangat hati-hati, bahkan sengaja ia mendatangkan beberapa orang kawan-kawannya yang juga ahli-ahli silat kelas satu untuk menjaga gedungnya. Karena itu, segala daya upaya Yo Leng In menjadi gagal sama sekali, bahkan beberapa orang kawannya mendapat luka berat di dalam percobaan menculik Han Liong itu.
Demikianlah tujuh bulan telah lampau. Peristiwa tewasnya Si-enghiong dan dirampasnya Yo Lu Hwa oleh Lie Ban telah terdengar oleh semua kawan-kawan di kalangan kang-ouw dan menggerakkan hati para hohan (kesatria) di seluruh pelosok. Di antara mereka yang tergerak hatinya adalah Liok-tee Sin-mo Hong In si Iblis Daratan.
Ia meninggalkan guanya di Gunung Kwan lim-san dan memberi kabar kepada beberapa orang sahabatnya untuk mengadakan pertemuan di Kam hong-san pada permulaan musim Chun (musim semi)! la sendiri langsung menggunakan ilmunya berlari cepat menuju ke gedung Tiat-kak-liong Lie Ban yang dijaga kuat itu.
Malam itu, tidak seperti biasanya, di rumah Lie Ban agak sunyi. Biasanya Tiat-kak-liong Lie Ban dengan ditemani oleh tiga orang kawannya, ialah Oei-kak-liong Lie Kong si Naga Tanduk Kuning adiknya sendiri, dan berdua saudara Beng Liok Hui dan Beng Liok Houw yang dijuluki orang Sankang Jie-pa-cu (Dua Macan Tutul dari Sankang), minum arak atau main maciok sampai tengah malam. Tapi malam itu Lie Kong dan kedua saudara Beng telah masuk ke kamar masing-masing, sedangkan Tiat-kak-Liong Lie Ban berada di kamar isterinya.
Di antara bayang.bayang daun pohon yang ditimpa sinar bulan, berkelebat sesosok bayangan tubuh manusia di atas genteng gedung itu. Gerakannya demikian enteng dan gesit sehingga gerakan seekor kucingpun kalah olehnya. Dengan ilmu meringankan tubuh Keng-kong-tee-sut-hoat ia berlari-lari ke sana ke mari di atas genteng mencari-cari. Tiba-tiba ia berhenti di atas kamar Lie Ban dan kakinya bergerak dalam tipu Ouw liong coan-tah (Naga Hitam Menembus Menara) ia melompat turun ke bawah tanpa bersuara sedikitpun. Kemudian dengan langkah ringan sekali ia menghampiri jendela dan memasang telinga.
“Isteriku, janganlah engkau terlampau makan hati. Kurang apakah engkau jadi isteriku? Aku cinta padamu, hormat padamu, dan menjaga Han Liong seperti anakku sendiri. Bergembiralah isteriku, dan ingat akan kandunganmu,” terdengar suara seorang laki-laki halus membujuk. Lalu terdengar helaan nafas seorang perempuan, “Memang nasibku yang buruk.... nasibku yang sial... ahh...” terdengar isak perlahan.
“Sudahlah, bukankah engkau cinta kepada Han Liong? Dan bukankah aku berlaku baik padamu? Jangan bersedih, supaya lekas sembuh.”
“Memang engkau baik padaku dan Han Liong... dan sekarang aku mengandung pula... mengandung anakmu…”
“Bukankah itu baik sekali?” tiba-tiba suaranya terdiam dan dengan gerakan Ouw-liong-chut-tong (Naga Hitam Keluar Gua) ia meloncat keluar pintu dan masih sempat melihat sekelebat bayangan hitam melayang ke atas genteng.
“Bangsat, jangan lari!” la berseru dan mengayun tubuhnya ke atas genteng, mengejar...