PEDANG PUSAKA NAGA PUTIH JILID 02
TAPI ketika kakinya menginjak wuwungan rumahnya dan matanya mencari-cari ke sana ke mari, ia tak melihat sesuatu kecuali bayangan daun-daun pohon yang bermain di atas genteng. Heran, pikirnya, apakah aku tadi melihat kucing? Ia langsung menuju ke kamar adiknya dan kedua saudara Beng. Ternyata mereka sudah tidur, maka segera ia kembali ke kamar isterinya. Alangkah kagetnya ketika ia mendengar Yo Lu Hwa menjerit-jerit.
“Jangan... jangan ambil anakku...!”
Cepat ia meloncat masuk melalui pintu dan melihat seorang laki-laki tua yang mukanya bagian bawah tertutup jambang dan jenggot putih, berpakaian kuning tua. Orang tua itu telah memondong Han Liong, Sedangkan isterinya berusaha merebutnya. Tapi gerakan orang tua itu cepat benar dan isterinya yang sedang sakit tak dapat berbuat apa-apa. Lie Ban amat marah.
“Bangsat tua! Kau berani bermain-main di depan tuanmu! Lepaskan anak itu!”
“Ha ha ha! Lie Ban orang rendah! Anak ini bukan anakmu, ada hak apakah kau melarang aku membawanya pergi?”
“Kurang ajar!” Dengan kemarahan yang meluap-luap, Tiat-kak liong Lie Ban menyerbu dengan gerakan Go-yang-pok-sit (Kambing Kelaparan Tubruk Makanan) dan mencengkeram ke arah dada orang tua itu.
Ketika cengkeramannya ditangkis lawan, Lie Ban merubah serangannya dengan Kim-liong-tam-jiauw (Naga Emas Mengulur Cakar), kedua tangannya maju serentak, yang kanan memukul ke arah muka lawan dan yang kiri mencengkeram hendak merampas Han Liong. Tapi ternyata lawannya lebih tinggi kepandaiannya.
Ia meloncat ke sana ke mari sambil ketawa mengejek. Orang tua itu adalah Liok-tee Sin-mo Hong In si Iblis Daratan, menggunakan ilmu silat Jiauw-pouw-poan-toan (Tindakan Mengitar Berputar-putaran), berkelit kian ke mari dan sekali lompat saja ke arah pintu, ia terus menghilang ke atas genteng!
Anak yang didukungnya berteriak-teriak menangis hingga membangunkan Lie Kong dan kedua Macan Tutul dari Sankang. Dengan susul-menyusul mereka bertiga memburu ke atas genteng. Si Iblis Daratan yang sedang meloncat dengan tipu Tiang-hong-koan-jit (Bianglala Melintang Langit), tiba-tiba merasa sambaran angin keras ke arah kakinya. Ia tak heran lagi, dan terus menahan kakinya yang hendak turun, lalu berpoksai (jungkir balik) di udara dengan gerak tipu Koai-bong-hoan-sin (Siluman Ular Berputar Balik) ia meloncat secepat kilat ke belakang. Ternyata serangan itu adalah sebuah toya yang menyambar kakinya.
“Penculik hina jangan lari!” teriak penyerangnya yang bukan lain adalah Oei-kak-liong Lie Kong.
Kemudian dengan tipu Hok houw-kun hoat atau Ilmu Toya Penakluk Harimau, Lie Kong menyerang dengan buasnya, tak peduli lagi bahwa pukulan-pukulannya bisa mencelakakan Han Liong yang berada dalam dukungan orang tua itu. Namun dengan masih tertawa-tawa kecil orang tua yang bertubuh ringan lincah itu yang sangat mahir dalam berkelit, berpusing-pusing ke sana ke mari di antara sambaran toya.
Lie Ban yang tadinya menolong isterinya yang sedang jatuh pingsan, kini tiba-tiba mengejar dan menyerang dengan goloknya. Serangannya ini sangat hebatnya, karena dilakukannya dalam keadaan marah yang sangat memuncak. Lie Ban menyerang dengan ilmunya yang paling diandalkan, ialah Ilmu golok Ngo-houw-bun to atau Lima Harimau Mencegat Pintu.
Goloknya yang berat berkeredepan di bawah sinar bulan dan menyerang ke arah tenggorokan lawannya dengan mengeluarkan angin dingin yang berciutan. Karena di dalam hatinya terasa takkan baik jadinya jika menghadapi Kedua bersaudara yang tak boleh diabaikan itu, ia segera meng gunakan ilmunya berlari cepat sambil berkata,
“Lie Ban, aku tak sempat melayanimu lebih lama. Selamat tinggal!”
Tetapi dua bersaudara itu lompat mengejar lagi. Ketika Liok-tee Sin-mo Hong In sudah melalui dua wuwungan, tiba-tiba dari depan terlihat dua bayangan orang menghadang. Mereka ternyata adalah dua saudara Beng yang berdiri menanti dengan pedang di tangan!
“Berhenti, bangsat tua bangka!”
Mereka menyerang serentak dengan menggunakan tipu silat pedang mereka yang terkenal yakni Jie-pa-cu Siang-Kiam Hoat (Ilmu Silat Pedang Sepasang Macan Tutul) yang mereka ciptakan berdua. Ilmu ini hebat sekali, teristimewa kalau dilakukan di dalam penyerangan bersama, seakan-akan mereka berdua itu hanya seorang dengan empat tangan dan empat pedang!
Belum pernah selama hidupnya Liok-tee Sin- mo Hong In menyaksikan ilmu pedang sebaik ini. Ia merasa kagum serta gembira, kalau saja ia tidak sedang mendukung Han Liong, tentu ia ingin sekali mencoba ilmu pedang istimewa ini. Ia tak usah takut, karena dengan, mengandalkan kelincahan dan ilmu meringankan tubuh yang tinggi, belum tentu dua pasang pedang itu akan dapat melukainya. Tapi kini ia tiada waktu untuk melayani kedua macan tutul itu, maka ia meloncat pergi melayang ke atas pohon dan berkata,
“Bagus benar permainan pedang kalian!”
Kedua saudara Lie Ban dan Lie Kong yang mengejar sudah sampai pula di situ, dan mereka berempat ternyata tak mampu mengejar si Iblis Daratan. Tiba-tiba Beng Liok Hui mengayunkan kedua tangannya dan dua buah benda hitam melayang menyambar ke arah punggung dan pinggang Liok-tee Sin-mo Hong In yang baru saja menurunkan sebelah kakinya di atas cabang pohon yang tertinggi.
Baru saja angin senjata rahasia itu terasa olehnya, dengan cepat ia jungkir balik ke bawah pohon, dan benda itu menyambar dengan cepat sekali sehingga terasa dingin sambaran anginnya, Mau tak mau si Iblis Daratan terkejut! Ia maklum kelihaian penyambit piauw tadi, karena sambaran anginnya menunjukkan tenaga dalam yang hebat!
Maka segera ia menggunakan ilmu Keng-sin-sut hingga tubuhnya bagaikan melayang-layang di atas rumput, sekejap saja sudah berada jauh dan lenyap dari pandangan mata musuh-musuhnya!
Gunung Kam-hong-san yang dikelilingi bukit-bukit kecil berjejer-jejer merupakan seorang jenderal perang yang mengepalai barisan pejuang. Gunung itu berdiri di tengah-tengah, puncaknya menjulang tinggi menembus awan, bukit-bukit yang mengelilinginya hijau gelap penuh hutan liar.
Pada waktu pagi, keadaan di sekitar lereng gunung ini sungguh indah. Bumi yang naik turun tak rata itu dihiasi rumput hijau muda yang membentang luas bagaikan kain beludru menutupi seluruh gunung. Di sana sini tumbuh bunga-bunga hutan beraneka warna dan ragam, bagaikan sulaman-sulaman indah di permukaan beludru hijau itu, menebarkan bau semerbak harum. Hutan-hutan yang penuh dengan pohon Liu, Siong, dipayungi cabang-cabang beberapa pohon raksasa yang telah ribuan tahun usianya.
Matahari bersinar merah di timur, menerjang halimun menimbulkan cahaya pelangi beraneka warna yang indah sekali. Suara burung-burung beraneka macam berkicau dan berdendang melakukan puja-puji kepada tamasya alam, suara mereka nyaring merdu diiringi suara anak sungai gemercik tiada berkeputusan menambah sedap pemandangan dan pendengaran. Jika di Sorga terdapat taman, agaknya seperti inilah macamnya!
Dari dalam hutan, sayup-sampai terdengar suara geraman binatang buas, yang dibalas oleh auman di lain hutan, sehingga suara gerengan susul menyusul bersahut-sahutan, menggelegar bagaikan bunyi tambur besar yang dipukul riuh rendah menggetarkan ujung-ujung daun yang dihias butiran-butiran air embun. Sungguh benar kata orang bahwa di tempat yang indah merupakan sorga dunia itu ternyata tersembunyi bayangan-bayangan maut yang mengintai mangsanya!
Maka tak heran bila belum pernah ada yang berani menjelajahi tempat yang indah itu, karena semua orang kampung yang tinggal puluhan li dari kaki gunung tahu akan bahayanya memasuki hutan-hutan yang penuh binatang liar itu. Namun, pada pagi hari di permulaan musim Chun, di kala hawa udara sangat sejuknya dan segala taman-tamanan sedang semi berkembang, ketika angin gunung sedang berdesir perlahan menghalau halimun ke arah timur, dari bukit yang terdekat dengan Gunung Kam-hong-san, tampak sesosok bayangan terbang melayang-layang di atas rumput-rumput hijau.
Dilihat dari jauh, bayangan itu mungkin akan disangka setan penjaga gunung. Tapi, ketika bayangan itu sampai ke tempat yang agak terang, maka ternyatalah bahwa ia adalah seorang tua yang sedang berlari sangat cepatnya sehingga seakan-akan melayang. Memang ia sedang berlari menggunakan ilmu lari cepat Keng-sin-sut yang telah sempurna diyakininya. Yang mengherankan, adalah kepandaiannya meringankan tubuh.
Rumput-rumput yang terinjak oleh kakinya hanya bergerak-gerak sedikit seakan-akan hanya dihinggapi sepasang kupu-kupu. Ujung-ujung rumput rebah sedikit dan segera bangkit kembali setelah kakinya berlalu. Ini menandakan bahwa ilmu meringankan tubuh 'Co-siang-hui' dari orang tua itu sudah hampir mencapai puncak kesempurnaannya.
Kakak itu berwajah kurus, berusia kira-kira enam puluh tahun. Mukanya hanya kelihatan dari batas hidung ke atas, karena dari hidung ke bawah tertutup oleh jambang dan jenggot putih melepak yang berkilauan laksana benang perak. Rambutnya yang putih lebat digelung ke atas. Pakaiannya berwarna kuning tua, telah robek dan compang-camping. Leher dan lengan bajunya lebar, berkibar-kibar ditiup angin ketika ia lari. Sepasang kakinya berkasut jerami. Ia menggendong seorang anak kecil dalam lengan kirinya, anak yang berusia kira-kira setahun.
Karena kecepatan larinya, sebelum matahari selesai mengusir semua embun di lereng gunung, orang tua itu telah sampai di dekat puncak Kam hong-san dan memasuki sebuah hutan yang besar di puncak. Hutan itu penuh dengan pohon yang aneh-aneh dan jarang terdapat di hutan lain. Ia langsung menuju ke sebuah pondok bambu di tengah-tengah hutan, dan kedatangannya disambut oleh tiga orang kakek lain.
“Ha ha ha, Hong Losuhu, bagus benar! Kulihat engkau telah berhasil,” kata seorang dari mereka yang matanya buta sebelah. Anak kecil itu lalu didukung bergantian oleh mereka dengan wajah girang dan kagum.
Siapakah mereka itu? Anak itu adalah Han Liong dan pendukungnya bukan lain Ialah Liok-tee Sin-mo Hong In si Iblis Daratan yang telah berhasil menculik Han Liong. Tiga orang kakek itu ialah kawan-kawan si Iblis Daratan yang ia beri kabar dan diminta datang berkumpul di Kam-hong-san pada permulaan musim Chun.
Yang bermata sebelah adalah Siauw-lo-ong Hee Ban Kiat, yang di kalangan kangouw dikenal sebagai Giam lo-ong kecil bermata satu. Tubuhnya kecil kurus kering seperti cecak mati, tetapi matanya yang hanya sebelah kanan itu bersinar-sinar seperti bintang pagi. Rambut dan jambangnya telah berwarna dua, kasar dan kaku, kacau balau tak teratur.
Orang ketiga adalah seorang hwesio (pendeta) gundul bertubuh tinggi besar. Sepasang matanya besar bundar dilindungi alis tebal hitam, tapi mukanya licin seperti kepalanya. Ia adalah Kim-to Bie Kong Hosiang si Golok Emas, ketua kelenteng Kim kee-tang di bukit, Hun-tian-si, seorang ahli silat golok yang kenamaan.
Orang keempat adalah seorang tosu (pertapa atau imam). Usianya juga sebaya dengan yang lain, kurang lebih enam puluh tahun, tapi berbeda dengan kawan-kawannya yang sudah tampak tua itu, ia sendiri mempunyai muka seperti kanak-kanak, walaupun rambutnya sudah putih seperti salju, panjangnya sampai ke punggung, diikat menjadi satu. Wajahnya kemerah-merahan dan nampak sehat sekali. Ini adalah Beng-san Tojin Pauw Kim Kong yang dijuluki orang si Malaikat Rambut Putih.
Keempat orang tua itu berganti-ganti memegang dan memandang anak kecil itu sambil berkali-kali menyebut, “Anak baik. Tampang luar biasa. Tulang suci,” dan lain pujian lagi.
“Hong Losuhu,” kata Hee Ban Kiat si mata satu, “sebagai orang tua kali ini kau harus mengalah padaku. Anak ini serahkan saja padaku untuk kudidik. Dengan mempunyai murid seperti ini aku akan dapat mati tenteram!”
“Eh, Hee-koaijin!” bantah Hong In si Iblis Daratan, ia sudah biasa menyebut si mata satu 'koaijin' (orang aneh). “Engkau mau enaknya saja. Aku yang memeras keringat engkau yang menjadi tukang tadah. Ini tak mungkin!”
“Jiwi losuhu. Kelentengku kosong. Pinceng si tua bangka belum pernah punya murid. Keadaan pinceng ini cocok dengan anak ini. Memang kedatangan pinceng ke sini hendak menyambut keturunan Si-enghiong ini untuk diwarisi sedikit kemampuan yang ada pada pincang,” menyambung Bie Kong Hosiang dengan senyum memohon.
“Hm, saudara-saudara, jangan berebut,” sela Pauw Kim Kong yang mempunyai suara halus seperti wanita. “Baiknya diatur begini. Karena semua ingin mewariskan kepandaiannya kepada anak ini yang memang sudah sepatutnya, maka baiklah sekarang diadakan sayembara. Siapa diantara kita yang berkepandaian paling tinggi, dialah yang berhak menjadi guru anak ini!”
“Eh, eh! Pauw Toheng (saudara Pauw) hendak menguji kita semua ?” tanya si mata satu, matanya yang tunggal memancarkan cahaya kilat.
Beng-san Tojin Pauw Kim Kong mengangkat lengan kanannya yang terbungkus baju putih panjang, “Jangan keliru sangka kawan. Maksudku hanya untuk memperlihatkan kepunsuan (kepandaian) masing-masing. Yang dianggap paling tinggi kepandaiannya dialah yang menang.”
Semua setuju mendengar usul ini.
“Nah, Pauw Toheng, karena kau yang mengusulkan, sudah sepantasnya kalau engkau pula yang membuka pertunjukan sayembara ini dengan mengeluarkan kepandaianmu untuk menambah pengertian kita.”
Pauw Kim Kong tidak ragu-ragu lagi. Ia menuju ke lapangan rumput di depan pondok itu dan semua orang mengikutinya. Kemudian, dengan sekali lompat, ia melayang dengan menggunakan gerakan Hui-niauw-coan-in (Burung Terbang Menerjang Mega), dengan gesit dan ringan kakinya turun dan berdiri di tengah-tengah lapangan. Kemudian sambil menghadapi kawan-kawannya, ia mengangkat kedua kepalan tangan di atas dada memberi hormat, dan berkata,
“Aku si tua bangka yang tak tahu diri mohon maaf. Karena tulang-tulangku yang tua sudah lemah, dagingku sudah loyo, maka aku tak mempunyai apa-apa yang patut disajikan. Sekarang aku sudah tak berani menghadapi musuh dan menjadi orang penakut. Paling-paling aku hanya berani melawan pohon yang tak bisa membalas memukul. Maka, cu-wi (saudara-saudara sekalian) maafkanlah, aku mau main-main dengan pohon sion g tua ini.”
Pauw Kim Kong si Malaikat Rambut Putih lalu menghampiri sebatang pohon siong sebesar pelukan lengan. Ia berdiri sejauh dua langkah dari pohon itu, memasang bhesi dengan kaki terpentang merupakan segi tiga, kedua tangan terjulur ke depan, kepala tunduk. Ternyata ia sedang mengumpulkan tenaga dalam dan memusatkannya ke dalam lengan.
Kini kedua lengan bajunya tampak tergetar-getar dan ia menegakkan kepalanya, lurus memandang sebatang pohon. Kedua lengannya bergerak-gerak bagaikan mendorong, dan... segera datang hujan daun pohon itu yang rontok berhamburan melayang-layang ke bawah, pada hal pohonnya tak bergerak sedikitpun.
“Bagus!” memuji tiga orang kawannya dengan kagum melihat tenaga dalam yang istimewa itu.
Pauw Kim Kong segera memberi hormat dan merendah, “Seperti tadi telah kukatakan, aku sekarang takut berkelahi, maka aku mengandalkan ilmuku melarikan diri! Janganlah cuwi menertawakanku, tapi kalau untuk meloloskan diri dari musuh saja, aku setua ini masih sanggup. Persilakan cuwi menyaksikan aku yang penakut kalau lari dari musuh.”
Ia berdongak memandang ke atas, dan di antara cabang pohon siong yang sekarang telah menjadi setengah gundul itu, terdapat banyak cabang-cabang besar. Renggang di antara cabang-cabang itu kira-kira hanya setengah kaki lebih, dan terhalang oleh cabang-cabang yang bersimpang siur itu. Si Malaikat Rambut Putih lalu membuka baju luarnya yang lebar dan panjang itu, dan kini hanya memakai baju dalam yang pendek ringkas. Lalu ia menjejakkan kaki ke tanah, dan tubuhnya segera melayang ke atas, tak dinyana telah berdiri di kedua cabang terendah.
Kemudian, setelah sekali lagi bersoja ke arah kawan-kawannya, ia segera meluncur menerobos renggangan-renggangan di antara cabang-cabang itu. Gerakannya demikian bagus, tubuhnya demikian licin den lemas pula, sehingga seakan-akan merupakan seekor ular yang berbelit-belit, meluncur di antara cabang-cabang pohon. Dengan menggunakan ilmu Sin-kut-hoat (Melepas Tulang), ia berhasil membuat tubuhnya seakan-akan tak bertulang dan berhasil lolos dari renggangan-renggangan yang kecil dan sempit itu!
Sekali lagi kawan-kawannya memuji. Setelah menyatakan kebodohannya sendiri dengan ucapan-ucapan merendah, Pauw Kim Kong lalu mempersilakan yang lain memperlihatkan kepandaiannya.
Bie Kong Hosiang segera maju ke depan. Ia merangkapkan kedua tangan di dada dan berkata kepada Pauw Kim Kong, “Omitohud! Kepandaian seperti Toheng ini sungguh jarang tolok bandingannya. Pinceng benar-benar menyerah dan memang pantas kalau anak ini kau bawa ke Gunung Beng-san untuk kau didik. Tapi pinceng akan memperlihatkan juga sedikit pertunjukan golok yang tak berarti, kiranya boleh juga diwariskan kepada anak ini. Maafkan pincang.”
Hwesio itu dengan sigap lalu loncat ke lapangan sambil menggerakkan tangan kanannya ke arah punggung. Ia melompat dengan gerakan Ang-liong-coan-lah (Naga Merah Menembus Menara). Gerakannya tak kalah lincah dari pada si Malaikat, dan tahu-tahu tangan kanannya telah memegang sebatang golok bergagang emas yang berkilauan hijau karena tajamnya.
Ternyata golok itu sangat tipis dan diselipkan di bawah baju belakang, sehingga tersembunyi. Dengan sekali putar, jari-jarinya menyembunyikan golok itu dibelakang lengan dan setelah memberi hormat kepada kawan-kawannya ia segera mulai bersilat. Ia membuka pertunjukannya dengan Ilmu golok Ngo-houw-toan-bun-to (Lima Harimau Memegat Pintu). Gerakannya mula-mula perlahan, kakinya berkisar ke sana ke mari, kuda-kudanya sangat teguh dan tubuhnya yang tinggi besar itu sangat lemas gerakannya.
Goloknya menari-nari dan berputar makin cepat dan akhirnya ketika ia bersilat dengan gerak tipu Ui-liong-coan sin (Naga Kuning Memutar Tubuh), maka bayangan goloknya merupakan bundaran putih yang melindungi tubuhnya! Bayangan tubuhnya lenyap dari pandangan mata, hanya bundaran putih terdiri dari ribuan ujung golok berputar-putar dan orang hanya dapat tahu bahwa di dalam lingkaran mata golok itu terdapat orang yang memainkannya karena kadang-kadang kelihatan sepatu hitam hwesio itu menginjak tanah!
Setelah Bie Kong Hosiang berhenti bersilat. Dengan tenang tanpa kelihatan lelah sedikitpun menghampiri kawan-kawannya dan memberi hormat, semua orang memuji.
“Waah, Losuhu terlalu merendahkan diri,” memuji Pauw Kim Kong. “Silat golok seperti yang baru saja kulihat, aku orang she Pauw tak dapat menandinginya!”
Ketika Siauw-lo-ong Hee Ban Kiat si mata satu diberi giliran. Ia segera ayunkan tubuhnya dengan gerakan Yan-cu sip pat-sian-hoan (Burung Walet Terbang Jungkir Balik), dengan indah, tubuhnya berpoksai atau berputar-putar beberapa kali di udara dan turun di tengah-tengah lapangan.
“Cuwi, selama berpuluh tahun berkeliaran di dunia, aku hanya mengharapkan kekuatan kedua tanganku yang tua ini. Karena kepandaianku yang lain tidak ada, terpaksa juga aku mempertunjukkan sedikit kebisaan lenganku yang kurus kering ini untuk diwariskan kepada putera Si enghiong.”
Setelah memberi hormat, ia segera bersilat dengan tangan kosong yang menjadi jaminan hidupnya selama ini di kalangan kang-ouw. Pertama-tama ia bersilat Ouw-wan-ciang-hoat (Ilmu Silat Tangan Lutung Hitam) yang mempunyai tiga puluh enam jalan, tiap gerakan mempunyai tiga jurus hingga seluruhnya berjumlah seratus delapan jurus, tetapi ia hanya mengeluarkan sepertiganya saja, kemudian mengganti gerakannya dengan tipu-tipu Pat-kwa-mui yang tak kalah hebatnya!
Bagi orang biasa, gerakan-gerakannya biasa saja, bahkan agak lambat tak bertenaga, tapi bagi ketiga orang yang melihatnya ketika itu, mau tidak mau mereka harus memuji karena maklum akan luar biasanya kedua lengan tangan itu. Di dalam tiap-tiap tipu dan gerakan berganti-ganti menggunakan tenaga nui-kang dan nge-kang hingga dapat mengimbangi musuh yang bagaimanapun.
Bahkan belakangan, si mata satu itu mengeluarkan kepandaiannya menotok dengan jari menurut gerakan Su-sat-chiu yang terkenal kesaktiannya. Jika mempunyai ilmu ini sampai mahir, maka biarpun bertangan kosong, tidak khawatir rasanya menghadapi lawan yang bersenjata! Tentu saja setelah ia akhiri pertunjukannya, semua kawannya memujinya.
Kini tiba giliran Liok-tee Sin-mo Hong In si Iblis Daratan. Seperti ketiga orang kawannya, iapun merendah dan kemudian mengeluarkan kepandaiannya yang mengagumkan. Si Iblis Daratan memang terkenal dengan ilmunya meringankan tubuh dan kepandaian melempar dengan kim-chie-piao (senjata rahasia uang logam). Pertama-tama ia keluarkan ilmunya meringankan tubuh Too-tiam-leng-po-pou sehingga tubuhnya bagaikan melayang-layang ketika ia melompat-lompat di antara puncak-puncak pohon.
Dari bawah ia kelihatan seperti seekor burung garuda yang bermain-main dengan puncak pohon, membuat setiap ujung daun pohon bagian atas bergerak-gerak, sebentar di pohon ini, sebentar di pohon itu dengan gerakan secepat kilat. Ia menggunakan gerakan Kim-hong-hi-lui (Tawon Gula Bermain di Tangkai Bunga). Kemudian ia mendemonstrasikan ketangkasannya melempar dengan kim-chie-piao.
Kedua tangannya masing-masing memegang sepuluh buah uang logam. Ia melemparkan kim-chie-piao itu ke arah batang pohon dengan gerakan bermacam-macam. Langsung, miring, dari bawah lengan, dengan membelakangi, bahkan dengan mendekam di tanah. Gerakan tangannya terus menerus tiada hentinya sampai semua kim-chie itu menyambar ke arah batang pohon. Ketika mereka semua menghampiri batang pohon siong itu, maka terlihat dua puluh buah uang logam itu semua telah memasuki tubuh pohon itu dengan berjajar-jajar rapi bagaikan diatur! Semua uang itu masuk miring dan dalam sekali.
“Dalam hal mengentengkan tubuh dan melempar piao, engkau pasti paling unggul, Hong Losu!” memuji si mata satu.
“Nah, sekarang bagaimana?” kata Hong In, “Ternyata melihat jalannya sayembara, kita masing-masing mempunyai kemampuan tersendiri hingga sukar untuk menentukan siapa di antara kita yang tertinggi ilmunya. Bagaimanakah baiknya ini?”
Sedang empat orang tua itu bingung dan saling pandang, tiba-tiba di atas udara terdengar suara tertawa yang merdu dan halus, suara tertawa itu dari perlahan lalu makin nyaring dan susul-menyusul hingga bergema di seluruh hutan seakan-akan di semua penjuru ada orang yang sedang tertawa!
Keempat orang kakek itu maklum bahwa ada seorang wanita yang sedang menunjukkan iweekangnya. Suara ketawa itu digerakkan oleh sebuah tenaga yang keluar dari Tan-tian sehingga dapat dikirim ke tempat jauh dan bergema dengan nyaringnya. Dari suara ini saja seorang ahli dapat mengukur ketinggian ilmu orang.
Diantara keempat kakek itu, Pauw Kim Kong yang tertinggi ilmu tenaga dalamnya, maka segera ia dapat menduga di mana adanya orang yang tertawa tadi. Ia menghampiri sebuah pohon besar di samping pondok, dan memberi hormat ke arah daun-daun pohon sambil berkata,
“Li enghiong, silakan turun. Kami merasa terhormat sekali mendapat kunjunganmu yang mulia.”
Dari dalam pohon itu segera melayang turun sesosok bayangan hitam dan seorang wanita muda yang cantik tapi berwajah duka dan berpakaian serba hitam berdiri di hadapan mereka sambil mengangkat tangan memberi hormat berulang-ulang.
“Maaf sebanyak-banyaknya. Saya yang tidak tahu diri dan rendah telah mengganggu losuhu sekalian. Sebenarnya telah sejak tadi saya datang, tapi tak berani turun karena khawatir mengganggu permainan losuhu sekalian. Kemudian karena mendengar tentang hasil sayembara itu, dengan lancang saya telah melepaskan tertawa, mohon Losuhu sekalian sudi memaafkan. Sebetulnya kedatangan saya Ini tak lain juga berhubungan pula dengan puterà almarhum Si-enghiong dan ingin sekali mendidiknya sekadar membaktikan sedikit tenagaku untuk negara.”
Mendengar kata-kata yang bersifat patriotik ini, Hong In bertanya dengan hormat, “Maaf, Toanio, bolehkah kiranya kami mengetahui namamu yang terhormat?”
“Saya yang rendah adalah Yo Long In, dan Si-enghiong almarhum adalah cihuku (kakak Ipar), dan anak ini adalah keponakanku sendiri,” jawab nyonya muda itu. “Saya datang terlambat dan mendengar bahwa keponakanku telah dibawa kemari, maka saya segera menyusulnya.”
Keempat kakek itu kini tahu bahwa mereka sedang berhadapan dengan janda almarhum Ong Kee In, kawan seperjuangan Si-enghiong yang gugur pula dalam usaha mereka meruntuhkan kekuasaan Boan. Maka segera mereka menunjukkan hormat kepada wanita patriot itu.
“Losuhu sekalian,” berkata Yo Leng ln pula, “saya tadi telah mendengar akan kecintaan hati Losuhu untuk mendidik Han Liong. Saya merasa terharu dan berterima kasih. Tak perlu kiranya Losuhu sekalian berebut. Karena pondok di Kam-hong-san ini memang kosong dan tadinya hanya dipakai sebagai tempat pertemuan rahasia dari Si-enghiong dan kawan-kawan lain, apakah salahnya kalau Losuhu dengan bergiliran datang ke sini untuk mendidik Han Liong? Saya sendiri akan merawatnya di sini, karena anak ini harus dididik ilmu surat pula, agar kelak setelah dewasa dapat melanjutkan cita-cita kita semua, menjadi orang Bun-bu-enghiong (ksatrya gagah dan pandai), mewakili kita orang-orang tua menggerakkan sekalian orang gagah membela negara dan bangsa. Bagaimana, Losuhu, dapatkah usulku ini diterima!”
Empat orang kakek itu saling pandang dengan tertawa ditahan, kemudian mereka serentak menyatakan setuju sambil menyatakan kebodohan mereka sendiri-sendiri yang sudah berebut dengan kacau balau tak keruan!
Siauw-lo-ong Hee Ban Kiat si mata satu tertawa terbahak-bahak. “Yo toanio, maafkanlah kami berempat orang, orang kasar yang tolol ini! Baiknya toanio segera datang dengan cepat, kalau tidak, mungkin kami akan tersesat makin jauh. Usulmu baik sekali. Aku yang bodoh setuju sepenuhnya! He, bagaimana pendapat kalian?” tegurnya kepada kawan-kawannya.
“Hee koanjin bicara betul. Kami setuju. Memang usul Toanio itu wajar sekali,” kata Hong In si Iblis Daratan.
“Nah, marilah kita rayakan hari gemilang ini. Tadi sambil menantikan kembalinya Hong Losuhu, kami bertiga sudah menyediakan arak tua dan makanan. Pinceng sudah merasa lapar sekali!” kata Bie Kong Hosiang si Golok Emas dengan senyum lebar.
Bersama-sama mereka melangkah memasuki pondok, didahului oleh Yo Leng In yang mendukung Han Liong. Di tengah-tengah pondok terdapat sebuah meja kayu bundar besar dan dua losin bangku yang mengelilingi meja itu. Memang tempat ini biasanya digunakan untuk rapat para Hohan (orang gagah) dari kalangan kang-ouw dan liok-lim yang berjiwa patriot dari segala pelosok, yang dipimpin oleh Si-enghiong.
Tentang halnya bekas menteri Si Kim Pau, ayah mendiang Si-enghiong, tak seorangpun tahu di mana tempat tinggalnya kini, bahkan sebelum Si enghiong gugur, iapun tak pernah berjumpa dengan ayahnya. Agaknya Si Kim Pau telah pergi mengikuti Kam-hong Siansu, Entahlah! Gua bekas tempat ia bertapapun telah lama sekali kosong.
Karena di dalam pondok itu telah tersedia lilin, maka Yo Leng In segera mengatur meja sembahyang, dan kemudian dengan disaksikan oleh keempat Losuhu, ia mengajak Han Liong bersembahyang minta izin roh ayah anak itu, Si-enghiong, untuk berguru kepada keempat Losuhu yang pandai-pandai itu. Setelah itu, Yo Toanio dengan memangku Han Liong, mengajak anak itu bersama-sama berlutut kepada mereka bergiliran.
Keempat orang kakek itu sangat gembira. Lebih-lebih setelah Han Liong diberi makan oleh bibinya, tampak kemungilannya. Ia tertawa-tawa dengan girang sekali, pipinya kemerah-merahan, sepasang matanya yang jeli memandang kepada guru-gurunya dengan bersinar-sinar. Tak sedikitpun tampak takut.
“Anak baik!” memuji guru-gurunya dengan rasa kasih sayang.
“Jangan... jangan ambil anakku...!”
Cepat ia meloncat masuk melalui pintu dan melihat seorang laki-laki tua yang mukanya bagian bawah tertutup jambang dan jenggot putih, berpakaian kuning tua. Orang tua itu telah memondong Han Liong, Sedangkan isterinya berusaha merebutnya. Tapi gerakan orang tua itu cepat benar dan isterinya yang sedang sakit tak dapat berbuat apa-apa. Lie Ban amat marah.
“Bangsat tua! Kau berani bermain-main di depan tuanmu! Lepaskan anak itu!”
“Ha ha ha! Lie Ban orang rendah! Anak ini bukan anakmu, ada hak apakah kau melarang aku membawanya pergi?”
“Kurang ajar!” Dengan kemarahan yang meluap-luap, Tiat-kak liong Lie Ban menyerbu dengan gerakan Go-yang-pok-sit (Kambing Kelaparan Tubruk Makanan) dan mencengkeram ke arah dada orang tua itu.
Ketika cengkeramannya ditangkis lawan, Lie Ban merubah serangannya dengan Kim-liong-tam-jiauw (Naga Emas Mengulur Cakar), kedua tangannya maju serentak, yang kanan memukul ke arah muka lawan dan yang kiri mencengkeram hendak merampas Han Liong. Tapi ternyata lawannya lebih tinggi kepandaiannya.
Ia meloncat ke sana ke mari sambil ketawa mengejek. Orang tua itu adalah Liok-tee Sin-mo Hong In si Iblis Daratan, menggunakan ilmu silat Jiauw-pouw-poan-toan (Tindakan Mengitar Berputar-putaran), berkelit kian ke mari dan sekali lompat saja ke arah pintu, ia terus menghilang ke atas genteng!
Anak yang didukungnya berteriak-teriak menangis hingga membangunkan Lie Kong dan kedua Macan Tutul dari Sankang. Dengan susul-menyusul mereka bertiga memburu ke atas genteng. Si Iblis Daratan yang sedang meloncat dengan tipu Tiang-hong-koan-jit (Bianglala Melintang Langit), tiba-tiba merasa sambaran angin keras ke arah kakinya. Ia tak heran lagi, dan terus menahan kakinya yang hendak turun, lalu berpoksai (jungkir balik) di udara dengan gerak tipu Koai-bong-hoan-sin (Siluman Ular Berputar Balik) ia meloncat secepat kilat ke belakang. Ternyata serangan itu adalah sebuah toya yang menyambar kakinya.
“Penculik hina jangan lari!” teriak penyerangnya yang bukan lain adalah Oei-kak-liong Lie Kong.
Kemudian dengan tipu Hok houw-kun hoat atau Ilmu Toya Penakluk Harimau, Lie Kong menyerang dengan buasnya, tak peduli lagi bahwa pukulan-pukulannya bisa mencelakakan Han Liong yang berada dalam dukungan orang tua itu. Namun dengan masih tertawa-tawa kecil orang tua yang bertubuh ringan lincah itu yang sangat mahir dalam berkelit, berpusing-pusing ke sana ke mari di antara sambaran toya.
Lie Ban yang tadinya menolong isterinya yang sedang jatuh pingsan, kini tiba-tiba mengejar dan menyerang dengan goloknya. Serangannya ini sangat hebatnya, karena dilakukannya dalam keadaan marah yang sangat memuncak. Lie Ban menyerang dengan ilmunya yang paling diandalkan, ialah Ilmu golok Ngo-houw-bun to atau Lima Harimau Mencegat Pintu.
Goloknya yang berat berkeredepan di bawah sinar bulan dan menyerang ke arah tenggorokan lawannya dengan mengeluarkan angin dingin yang berciutan. Karena di dalam hatinya terasa takkan baik jadinya jika menghadapi Kedua bersaudara yang tak boleh diabaikan itu, ia segera meng gunakan ilmunya berlari cepat sambil berkata,
“Lie Ban, aku tak sempat melayanimu lebih lama. Selamat tinggal!”
Tetapi dua bersaudara itu lompat mengejar lagi. Ketika Liok-tee Sin-mo Hong In sudah melalui dua wuwungan, tiba-tiba dari depan terlihat dua bayangan orang menghadang. Mereka ternyata adalah dua saudara Beng yang berdiri menanti dengan pedang di tangan!
“Berhenti, bangsat tua bangka!”
Mereka menyerang serentak dengan menggunakan tipu silat pedang mereka yang terkenal yakni Jie-pa-cu Siang-Kiam Hoat (Ilmu Silat Pedang Sepasang Macan Tutul) yang mereka ciptakan berdua. Ilmu ini hebat sekali, teristimewa kalau dilakukan di dalam penyerangan bersama, seakan-akan mereka berdua itu hanya seorang dengan empat tangan dan empat pedang!
Belum pernah selama hidupnya Liok-tee Sin- mo Hong In menyaksikan ilmu pedang sebaik ini. Ia merasa kagum serta gembira, kalau saja ia tidak sedang mendukung Han Liong, tentu ia ingin sekali mencoba ilmu pedang istimewa ini. Ia tak usah takut, karena dengan, mengandalkan kelincahan dan ilmu meringankan tubuh yang tinggi, belum tentu dua pasang pedang itu akan dapat melukainya. Tapi kini ia tiada waktu untuk melayani kedua macan tutul itu, maka ia meloncat pergi melayang ke atas pohon dan berkata,
“Bagus benar permainan pedang kalian!”
Kedua saudara Lie Ban dan Lie Kong yang mengejar sudah sampai pula di situ, dan mereka berempat ternyata tak mampu mengejar si Iblis Daratan. Tiba-tiba Beng Liok Hui mengayunkan kedua tangannya dan dua buah benda hitam melayang menyambar ke arah punggung dan pinggang Liok-tee Sin-mo Hong In yang baru saja menurunkan sebelah kakinya di atas cabang pohon yang tertinggi.
Baru saja angin senjata rahasia itu terasa olehnya, dengan cepat ia jungkir balik ke bawah pohon, dan benda itu menyambar dengan cepat sekali sehingga terasa dingin sambaran anginnya, Mau tak mau si Iblis Daratan terkejut! Ia maklum kelihaian penyambit piauw tadi, karena sambaran anginnya menunjukkan tenaga dalam yang hebat!
Maka segera ia menggunakan ilmu Keng-sin-sut hingga tubuhnya bagaikan melayang-layang di atas rumput, sekejap saja sudah berada jauh dan lenyap dari pandangan mata musuh-musuhnya!
Gunung Kam-hong-san yang dikelilingi bukit-bukit kecil berjejer-jejer merupakan seorang jenderal perang yang mengepalai barisan pejuang. Gunung itu berdiri di tengah-tengah, puncaknya menjulang tinggi menembus awan, bukit-bukit yang mengelilinginya hijau gelap penuh hutan liar.
Pada waktu pagi, keadaan di sekitar lereng gunung ini sungguh indah. Bumi yang naik turun tak rata itu dihiasi rumput hijau muda yang membentang luas bagaikan kain beludru menutupi seluruh gunung. Di sana sini tumbuh bunga-bunga hutan beraneka warna dan ragam, bagaikan sulaman-sulaman indah di permukaan beludru hijau itu, menebarkan bau semerbak harum. Hutan-hutan yang penuh dengan pohon Liu, Siong, dipayungi cabang-cabang beberapa pohon raksasa yang telah ribuan tahun usianya.
Matahari bersinar merah di timur, menerjang halimun menimbulkan cahaya pelangi beraneka warna yang indah sekali. Suara burung-burung beraneka macam berkicau dan berdendang melakukan puja-puji kepada tamasya alam, suara mereka nyaring merdu diiringi suara anak sungai gemercik tiada berkeputusan menambah sedap pemandangan dan pendengaran. Jika di Sorga terdapat taman, agaknya seperti inilah macamnya!
Dari dalam hutan, sayup-sampai terdengar suara geraman binatang buas, yang dibalas oleh auman di lain hutan, sehingga suara gerengan susul menyusul bersahut-sahutan, menggelegar bagaikan bunyi tambur besar yang dipukul riuh rendah menggetarkan ujung-ujung daun yang dihias butiran-butiran air embun. Sungguh benar kata orang bahwa di tempat yang indah merupakan sorga dunia itu ternyata tersembunyi bayangan-bayangan maut yang mengintai mangsanya!
Maka tak heran bila belum pernah ada yang berani menjelajahi tempat yang indah itu, karena semua orang kampung yang tinggal puluhan li dari kaki gunung tahu akan bahayanya memasuki hutan-hutan yang penuh binatang liar itu. Namun, pada pagi hari di permulaan musim Chun, di kala hawa udara sangat sejuknya dan segala taman-tamanan sedang semi berkembang, ketika angin gunung sedang berdesir perlahan menghalau halimun ke arah timur, dari bukit yang terdekat dengan Gunung Kam-hong-san, tampak sesosok bayangan terbang melayang-layang di atas rumput-rumput hijau.
Dilihat dari jauh, bayangan itu mungkin akan disangka setan penjaga gunung. Tapi, ketika bayangan itu sampai ke tempat yang agak terang, maka ternyatalah bahwa ia adalah seorang tua yang sedang berlari sangat cepatnya sehingga seakan-akan melayang. Memang ia sedang berlari menggunakan ilmu lari cepat Keng-sin-sut yang telah sempurna diyakininya. Yang mengherankan, adalah kepandaiannya meringankan tubuh.
Rumput-rumput yang terinjak oleh kakinya hanya bergerak-gerak sedikit seakan-akan hanya dihinggapi sepasang kupu-kupu. Ujung-ujung rumput rebah sedikit dan segera bangkit kembali setelah kakinya berlalu. Ini menandakan bahwa ilmu meringankan tubuh 'Co-siang-hui' dari orang tua itu sudah hampir mencapai puncak kesempurnaannya.
Kakak itu berwajah kurus, berusia kira-kira enam puluh tahun. Mukanya hanya kelihatan dari batas hidung ke atas, karena dari hidung ke bawah tertutup oleh jambang dan jenggot putih melepak yang berkilauan laksana benang perak. Rambutnya yang putih lebat digelung ke atas. Pakaiannya berwarna kuning tua, telah robek dan compang-camping. Leher dan lengan bajunya lebar, berkibar-kibar ditiup angin ketika ia lari. Sepasang kakinya berkasut jerami. Ia menggendong seorang anak kecil dalam lengan kirinya, anak yang berusia kira-kira setahun.
Karena kecepatan larinya, sebelum matahari selesai mengusir semua embun di lereng gunung, orang tua itu telah sampai di dekat puncak Kam hong-san dan memasuki sebuah hutan yang besar di puncak. Hutan itu penuh dengan pohon yang aneh-aneh dan jarang terdapat di hutan lain. Ia langsung menuju ke sebuah pondok bambu di tengah-tengah hutan, dan kedatangannya disambut oleh tiga orang kakek lain.
“Ha ha ha, Hong Losuhu, bagus benar! Kulihat engkau telah berhasil,” kata seorang dari mereka yang matanya buta sebelah. Anak kecil itu lalu didukung bergantian oleh mereka dengan wajah girang dan kagum.
Siapakah mereka itu? Anak itu adalah Han Liong dan pendukungnya bukan lain Ialah Liok-tee Sin-mo Hong In si Iblis Daratan yang telah berhasil menculik Han Liong. Tiga orang kakek itu ialah kawan-kawan si Iblis Daratan yang ia beri kabar dan diminta datang berkumpul di Kam-hong-san pada permulaan musim Chun.
Yang bermata sebelah adalah Siauw-lo-ong Hee Ban Kiat, yang di kalangan kangouw dikenal sebagai Giam lo-ong kecil bermata satu. Tubuhnya kecil kurus kering seperti cecak mati, tetapi matanya yang hanya sebelah kanan itu bersinar-sinar seperti bintang pagi. Rambut dan jambangnya telah berwarna dua, kasar dan kaku, kacau balau tak teratur.
Orang ketiga adalah seorang hwesio (pendeta) gundul bertubuh tinggi besar. Sepasang matanya besar bundar dilindungi alis tebal hitam, tapi mukanya licin seperti kepalanya. Ia adalah Kim-to Bie Kong Hosiang si Golok Emas, ketua kelenteng Kim kee-tang di bukit, Hun-tian-si, seorang ahli silat golok yang kenamaan.
Orang keempat adalah seorang tosu (pertapa atau imam). Usianya juga sebaya dengan yang lain, kurang lebih enam puluh tahun, tapi berbeda dengan kawan-kawannya yang sudah tampak tua itu, ia sendiri mempunyai muka seperti kanak-kanak, walaupun rambutnya sudah putih seperti salju, panjangnya sampai ke punggung, diikat menjadi satu. Wajahnya kemerah-merahan dan nampak sehat sekali. Ini adalah Beng-san Tojin Pauw Kim Kong yang dijuluki orang si Malaikat Rambut Putih.
Keempat orang tua itu berganti-ganti memegang dan memandang anak kecil itu sambil berkali-kali menyebut, “Anak baik. Tampang luar biasa. Tulang suci,” dan lain pujian lagi.
“Hong Losuhu,” kata Hee Ban Kiat si mata satu, “sebagai orang tua kali ini kau harus mengalah padaku. Anak ini serahkan saja padaku untuk kudidik. Dengan mempunyai murid seperti ini aku akan dapat mati tenteram!”
“Eh, Hee-koaijin!” bantah Hong In si Iblis Daratan, ia sudah biasa menyebut si mata satu 'koaijin' (orang aneh). “Engkau mau enaknya saja. Aku yang memeras keringat engkau yang menjadi tukang tadah. Ini tak mungkin!”
“Jiwi losuhu. Kelentengku kosong. Pinceng si tua bangka belum pernah punya murid. Keadaan pinceng ini cocok dengan anak ini. Memang kedatangan pinceng ke sini hendak menyambut keturunan Si-enghiong ini untuk diwarisi sedikit kemampuan yang ada pada pincang,” menyambung Bie Kong Hosiang dengan senyum memohon.
“Hm, saudara-saudara, jangan berebut,” sela Pauw Kim Kong yang mempunyai suara halus seperti wanita. “Baiknya diatur begini. Karena semua ingin mewariskan kepandaiannya kepada anak ini yang memang sudah sepatutnya, maka baiklah sekarang diadakan sayembara. Siapa diantara kita yang berkepandaian paling tinggi, dialah yang berhak menjadi guru anak ini!”
“Eh, eh! Pauw Toheng (saudara Pauw) hendak menguji kita semua ?” tanya si mata satu, matanya yang tunggal memancarkan cahaya kilat.
Beng-san Tojin Pauw Kim Kong mengangkat lengan kanannya yang terbungkus baju putih panjang, “Jangan keliru sangka kawan. Maksudku hanya untuk memperlihatkan kepunsuan (kepandaian) masing-masing. Yang dianggap paling tinggi kepandaiannya dialah yang menang.”
Semua setuju mendengar usul ini.
“Nah, Pauw Toheng, karena kau yang mengusulkan, sudah sepantasnya kalau engkau pula yang membuka pertunjukan sayembara ini dengan mengeluarkan kepandaianmu untuk menambah pengertian kita.”
Pauw Kim Kong tidak ragu-ragu lagi. Ia menuju ke lapangan rumput di depan pondok itu dan semua orang mengikutinya. Kemudian, dengan sekali lompat, ia melayang dengan menggunakan gerakan Hui-niauw-coan-in (Burung Terbang Menerjang Mega), dengan gesit dan ringan kakinya turun dan berdiri di tengah-tengah lapangan. Kemudian sambil menghadapi kawan-kawannya, ia mengangkat kedua kepalan tangan di atas dada memberi hormat, dan berkata,
“Aku si tua bangka yang tak tahu diri mohon maaf. Karena tulang-tulangku yang tua sudah lemah, dagingku sudah loyo, maka aku tak mempunyai apa-apa yang patut disajikan. Sekarang aku sudah tak berani menghadapi musuh dan menjadi orang penakut. Paling-paling aku hanya berani melawan pohon yang tak bisa membalas memukul. Maka, cu-wi (saudara-saudara sekalian) maafkanlah, aku mau main-main dengan pohon sion g tua ini.”
Pauw Kim Kong si Malaikat Rambut Putih lalu menghampiri sebatang pohon siong sebesar pelukan lengan. Ia berdiri sejauh dua langkah dari pohon itu, memasang bhesi dengan kaki terpentang merupakan segi tiga, kedua tangan terjulur ke depan, kepala tunduk. Ternyata ia sedang mengumpulkan tenaga dalam dan memusatkannya ke dalam lengan.
Kini kedua lengan bajunya tampak tergetar-getar dan ia menegakkan kepalanya, lurus memandang sebatang pohon. Kedua lengannya bergerak-gerak bagaikan mendorong, dan... segera datang hujan daun pohon itu yang rontok berhamburan melayang-layang ke bawah, pada hal pohonnya tak bergerak sedikitpun.
“Bagus!” memuji tiga orang kawannya dengan kagum melihat tenaga dalam yang istimewa itu.
Pauw Kim Kong segera memberi hormat dan merendah, “Seperti tadi telah kukatakan, aku sekarang takut berkelahi, maka aku mengandalkan ilmuku melarikan diri! Janganlah cuwi menertawakanku, tapi kalau untuk meloloskan diri dari musuh saja, aku setua ini masih sanggup. Persilakan cuwi menyaksikan aku yang penakut kalau lari dari musuh.”
Ia berdongak memandang ke atas, dan di antara cabang pohon siong yang sekarang telah menjadi setengah gundul itu, terdapat banyak cabang-cabang besar. Renggang di antara cabang-cabang itu kira-kira hanya setengah kaki lebih, dan terhalang oleh cabang-cabang yang bersimpang siur itu. Si Malaikat Rambut Putih lalu membuka baju luarnya yang lebar dan panjang itu, dan kini hanya memakai baju dalam yang pendek ringkas. Lalu ia menjejakkan kaki ke tanah, dan tubuhnya segera melayang ke atas, tak dinyana telah berdiri di kedua cabang terendah.
Kemudian, setelah sekali lagi bersoja ke arah kawan-kawannya, ia segera meluncur menerobos renggangan-renggangan di antara cabang-cabang itu. Gerakannya demikian bagus, tubuhnya demikian licin den lemas pula, sehingga seakan-akan merupakan seekor ular yang berbelit-belit, meluncur di antara cabang-cabang pohon. Dengan menggunakan ilmu Sin-kut-hoat (Melepas Tulang), ia berhasil membuat tubuhnya seakan-akan tak bertulang dan berhasil lolos dari renggangan-renggangan yang kecil dan sempit itu!
Sekali lagi kawan-kawannya memuji. Setelah menyatakan kebodohannya sendiri dengan ucapan-ucapan merendah, Pauw Kim Kong lalu mempersilakan yang lain memperlihatkan kepandaiannya.
Bie Kong Hosiang segera maju ke depan. Ia merangkapkan kedua tangan di dada dan berkata kepada Pauw Kim Kong, “Omitohud! Kepandaian seperti Toheng ini sungguh jarang tolok bandingannya. Pinceng benar-benar menyerah dan memang pantas kalau anak ini kau bawa ke Gunung Beng-san untuk kau didik. Tapi pinceng akan memperlihatkan juga sedikit pertunjukan golok yang tak berarti, kiranya boleh juga diwariskan kepada anak ini. Maafkan pincang.”
Hwesio itu dengan sigap lalu loncat ke lapangan sambil menggerakkan tangan kanannya ke arah punggung. Ia melompat dengan gerakan Ang-liong-coan-lah (Naga Merah Menembus Menara). Gerakannya tak kalah lincah dari pada si Malaikat, dan tahu-tahu tangan kanannya telah memegang sebatang golok bergagang emas yang berkilauan hijau karena tajamnya.
Ternyata golok itu sangat tipis dan diselipkan di bawah baju belakang, sehingga tersembunyi. Dengan sekali putar, jari-jarinya menyembunyikan golok itu dibelakang lengan dan setelah memberi hormat kepada kawan-kawannya ia segera mulai bersilat. Ia membuka pertunjukannya dengan Ilmu golok Ngo-houw-toan-bun-to (Lima Harimau Memegat Pintu). Gerakannya mula-mula perlahan, kakinya berkisar ke sana ke mari, kuda-kudanya sangat teguh dan tubuhnya yang tinggi besar itu sangat lemas gerakannya.
Goloknya menari-nari dan berputar makin cepat dan akhirnya ketika ia bersilat dengan gerak tipu Ui-liong-coan sin (Naga Kuning Memutar Tubuh), maka bayangan goloknya merupakan bundaran putih yang melindungi tubuhnya! Bayangan tubuhnya lenyap dari pandangan mata, hanya bundaran putih terdiri dari ribuan ujung golok berputar-putar dan orang hanya dapat tahu bahwa di dalam lingkaran mata golok itu terdapat orang yang memainkannya karena kadang-kadang kelihatan sepatu hitam hwesio itu menginjak tanah!
Setelah Bie Kong Hosiang berhenti bersilat. Dengan tenang tanpa kelihatan lelah sedikitpun menghampiri kawan-kawannya dan memberi hormat, semua orang memuji.
“Waah, Losuhu terlalu merendahkan diri,” memuji Pauw Kim Kong. “Silat golok seperti yang baru saja kulihat, aku orang she Pauw tak dapat menandinginya!”
Ketika Siauw-lo-ong Hee Ban Kiat si mata satu diberi giliran. Ia segera ayunkan tubuhnya dengan gerakan Yan-cu sip pat-sian-hoan (Burung Walet Terbang Jungkir Balik), dengan indah, tubuhnya berpoksai atau berputar-putar beberapa kali di udara dan turun di tengah-tengah lapangan.
“Cuwi, selama berpuluh tahun berkeliaran di dunia, aku hanya mengharapkan kekuatan kedua tanganku yang tua ini. Karena kepandaianku yang lain tidak ada, terpaksa juga aku mempertunjukkan sedikit kebisaan lenganku yang kurus kering ini untuk diwariskan kepada putera Si enghiong.”
Setelah memberi hormat, ia segera bersilat dengan tangan kosong yang menjadi jaminan hidupnya selama ini di kalangan kang-ouw. Pertama-tama ia bersilat Ouw-wan-ciang-hoat (Ilmu Silat Tangan Lutung Hitam) yang mempunyai tiga puluh enam jalan, tiap gerakan mempunyai tiga jurus hingga seluruhnya berjumlah seratus delapan jurus, tetapi ia hanya mengeluarkan sepertiganya saja, kemudian mengganti gerakannya dengan tipu-tipu Pat-kwa-mui yang tak kalah hebatnya!
Bagi orang biasa, gerakan-gerakannya biasa saja, bahkan agak lambat tak bertenaga, tapi bagi ketiga orang yang melihatnya ketika itu, mau tidak mau mereka harus memuji karena maklum akan luar biasanya kedua lengan tangan itu. Di dalam tiap-tiap tipu dan gerakan berganti-ganti menggunakan tenaga nui-kang dan nge-kang hingga dapat mengimbangi musuh yang bagaimanapun.
Bahkan belakangan, si mata satu itu mengeluarkan kepandaiannya menotok dengan jari menurut gerakan Su-sat-chiu yang terkenal kesaktiannya. Jika mempunyai ilmu ini sampai mahir, maka biarpun bertangan kosong, tidak khawatir rasanya menghadapi lawan yang bersenjata! Tentu saja setelah ia akhiri pertunjukannya, semua kawannya memujinya.
Kini tiba giliran Liok-tee Sin-mo Hong In si Iblis Daratan. Seperti ketiga orang kawannya, iapun merendah dan kemudian mengeluarkan kepandaiannya yang mengagumkan. Si Iblis Daratan memang terkenal dengan ilmunya meringankan tubuh dan kepandaian melempar dengan kim-chie-piao (senjata rahasia uang logam). Pertama-tama ia keluarkan ilmunya meringankan tubuh Too-tiam-leng-po-pou sehingga tubuhnya bagaikan melayang-layang ketika ia melompat-lompat di antara puncak-puncak pohon.
Dari bawah ia kelihatan seperti seekor burung garuda yang bermain-main dengan puncak pohon, membuat setiap ujung daun pohon bagian atas bergerak-gerak, sebentar di pohon ini, sebentar di pohon itu dengan gerakan secepat kilat. Ia menggunakan gerakan Kim-hong-hi-lui (Tawon Gula Bermain di Tangkai Bunga). Kemudian ia mendemonstrasikan ketangkasannya melempar dengan kim-chie-piao.
Kedua tangannya masing-masing memegang sepuluh buah uang logam. Ia melemparkan kim-chie-piao itu ke arah batang pohon dengan gerakan bermacam-macam. Langsung, miring, dari bawah lengan, dengan membelakangi, bahkan dengan mendekam di tanah. Gerakan tangannya terus menerus tiada hentinya sampai semua kim-chie itu menyambar ke arah batang pohon. Ketika mereka semua menghampiri batang pohon siong itu, maka terlihat dua puluh buah uang logam itu semua telah memasuki tubuh pohon itu dengan berjajar-jajar rapi bagaikan diatur! Semua uang itu masuk miring dan dalam sekali.
“Dalam hal mengentengkan tubuh dan melempar piao, engkau pasti paling unggul, Hong Losu!” memuji si mata satu.
“Nah, sekarang bagaimana?” kata Hong In, “Ternyata melihat jalannya sayembara, kita masing-masing mempunyai kemampuan tersendiri hingga sukar untuk menentukan siapa di antara kita yang tertinggi ilmunya. Bagaimanakah baiknya ini?”
Sedang empat orang tua itu bingung dan saling pandang, tiba-tiba di atas udara terdengar suara tertawa yang merdu dan halus, suara tertawa itu dari perlahan lalu makin nyaring dan susul-menyusul hingga bergema di seluruh hutan seakan-akan di semua penjuru ada orang yang sedang tertawa!
Keempat orang kakek itu maklum bahwa ada seorang wanita yang sedang menunjukkan iweekangnya. Suara ketawa itu digerakkan oleh sebuah tenaga yang keluar dari Tan-tian sehingga dapat dikirim ke tempat jauh dan bergema dengan nyaringnya. Dari suara ini saja seorang ahli dapat mengukur ketinggian ilmu orang.
Diantara keempat kakek itu, Pauw Kim Kong yang tertinggi ilmu tenaga dalamnya, maka segera ia dapat menduga di mana adanya orang yang tertawa tadi. Ia menghampiri sebuah pohon besar di samping pondok, dan memberi hormat ke arah daun-daun pohon sambil berkata,
“Li enghiong, silakan turun. Kami merasa terhormat sekali mendapat kunjunganmu yang mulia.”
Dari dalam pohon itu segera melayang turun sesosok bayangan hitam dan seorang wanita muda yang cantik tapi berwajah duka dan berpakaian serba hitam berdiri di hadapan mereka sambil mengangkat tangan memberi hormat berulang-ulang.
“Maaf sebanyak-banyaknya. Saya yang tidak tahu diri dan rendah telah mengganggu losuhu sekalian. Sebenarnya telah sejak tadi saya datang, tapi tak berani turun karena khawatir mengganggu permainan losuhu sekalian. Kemudian karena mendengar tentang hasil sayembara itu, dengan lancang saya telah melepaskan tertawa, mohon Losuhu sekalian sudi memaafkan. Sebetulnya kedatangan saya Ini tak lain juga berhubungan pula dengan puterà almarhum Si-enghiong dan ingin sekali mendidiknya sekadar membaktikan sedikit tenagaku untuk negara.”
Mendengar kata-kata yang bersifat patriotik ini, Hong In bertanya dengan hormat, “Maaf, Toanio, bolehkah kiranya kami mengetahui namamu yang terhormat?”
“Saya yang rendah adalah Yo Long In, dan Si-enghiong almarhum adalah cihuku (kakak Ipar), dan anak ini adalah keponakanku sendiri,” jawab nyonya muda itu. “Saya datang terlambat dan mendengar bahwa keponakanku telah dibawa kemari, maka saya segera menyusulnya.”
Keempat kakek itu kini tahu bahwa mereka sedang berhadapan dengan janda almarhum Ong Kee In, kawan seperjuangan Si-enghiong yang gugur pula dalam usaha mereka meruntuhkan kekuasaan Boan. Maka segera mereka menunjukkan hormat kepada wanita patriot itu.
“Losuhu sekalian,” berkata Yo Leng ln pula, “saya tadi telah mendengar akan kecintaan hati Losuhu untuk mendidik Han Liong. Saya merasa terharu dan berterima kasih. Tak perlu kiranya Losuhu sekalian berebut. Karena pondok di Kam-hong-san ini memang kosong dan tadinya hanya dipakai sebagai tempat pertemuan rahasia dari Si-enghiong dan kawan-kawan lain, apakah salahnya kalau Losuhu dengan bergiliran datang ke sini untuk mendidik Han Liong? Saya sendiri akan merawatnya di sini, karena anak ini harus dididik ilmu surat pula, agar kelak setelah dewasa dapat melanjutkan cita-cita kita semua, menjadi orang Bun-bu-enghiong (ksatrya gagah dan pandai), mewakili kita orang-orang tua menggerakkan sekalian orang gagah membela negara dan bangsa. Bagaimana, Losuhu, dapatkah usulku ini diterima!”
Empat orang kakek itu saling pandang dengan tertawa ditahan, kemudian mereka serentak menyatakan setuju sambil menyatakan kebodohan mereka sendiri-sendiri yang sudah berebut dengan kacau balau tak keruan!
Siauw-lo-ong Hee Ban Kiat si mata satu tertawa terbahak-bahak. “Yo toanio, maafkanlah kami berempat orang, orang kasar yang tolol ini! Baiknya toanio segera datang dengan cepat, kalau tidak, mungkin kami akan tersesat makin jauh. Usulmu baik sekali. Aku yang bodoh setuju sepenuhnya! He, bagaimana pendapat kalian?” tegurnya kepada kawan-kawannya.
“Hee koanjin bicara betul. Kami setuju. Memang usul Toanio itu wajar sekali,” kata Hong In si Iblis Daratan.
“Nah, marilah kita rayakan hari gemilang ini. Tadi sambil menantikan kembalinya Hong Losuhu, kami bertiga sudah menyediakan arak tua dan makanan. Pinceng sudah merasa lapar sekali!” kata Bie Kong Hosiang si Golok Emas dengan senyum lebar.
Bersama-sama mereka melangkah memasuki pondok, didahului oleh Yo Leng In yang mendukung Han Liong. Di tengah-tengah pondok terdapat sebuah meja kayu bundar besar dan dua losin bangku yang mengelilingi meja itu. Memang tempat ini biasanya digunakan untuk rapat para Hohan (orang gagah) dari kalangan kang-ouw dan liok-lim yang berjiwa patriot dari segala pelosok, yang dipimpin oleh Si-enghiong.
Tentang halnya bekas menteri Si Kim Pau, ayah mendiang Si-enghiong, tak seorangpun tahu di mana tempat tinggalnya kini, bahkan sebelum Si enghiong gugur, iapun tak pernah berjumpa dengan ayahnya. Agaknya Si Kim Pau telah pergi mengikuti Kam-hong Siansu, Entahlah! Gua bekas tempat ia bertapapun telah lama sekali kosong.
Karena di dalam pondok itu telah tersedia lilin, maka Yo Leng In segera mengatur meja sembahyang, dan kemudian dengan disaksikan oleh keempat Losuhu, ia mengajak Han Liong bersembahyang minta izin roh ayah anak itu, Si-enghiong, untuk berguru kepada keempat Losuhu yang pandai-pandai itu. Setelah itu, Yo Toanio dengan memangku Han Liong, mengajak anak itu bersama-sama berlutut kepada mereka bergiliran.
Keempat orang kakek itu sangat gembira. Lebih-lebih setelah Han Liong diberi makan oleh bibinya, tampak kemungilannya. Ia tertawa-tawa dengan girang sekali, pipinya kemerah-merahan, sepasang matanya yang jeli memandang kepada guru-gurunya dengan bersinar-sinar. Tak sedikitpun tampak takut.
“Anak baik!” memuji guru-gurunya dengan rasa kasih sayang.
********************