PEDANG PUSAKA NAGA PUTIH JILID 03
SEMENJAK terculik oleh Liok-tee Sin-mo Hong In dibawa ke puncak Gunung Kam-hong-san dan dapat pula kata sepakat antara keempat orang kakek yang kini menjadi gurunya, Han Liong lalu diserahkan dalam asuhan Yo Leng In. Bibinya ini selain tangkas dalam ilmu silat, iapun ahli pula dalam kesusasteraan, pandai menulis sajak-sajak dan pernah membaca habis kitab-kitab kuno.
Yo Toanio yang baik ini tiap hari memelihara Han Liong dengan penuh kasih sayang, mengajar anak itu bercakap-cakap. Tiap pagi dan sore ia melatih tubuh anak itu, memukulinya dari perlahan sampai keras dengan kulit bambu dan rotan sambil memandikannya dalam air tercampur arak hangat dengan ramuan obat buatan Beng-san Tojin Pauw Kim Kong yang pandai pula dalam ilmu pengobatan.
Dengan rawatan luar biasa ini, kulit dan daging anak itu tumbuh dengan baik dan mempunyai kekuatan dan keuletan yang sempurna, namun kulitnya tetap lemas halus karena tiap habis mandi, Yo Toanio menggosok seluruh tubuhnya dengan bedak batu kuning yang terdapat di atas Gunung Kam-hong-san.
Ketika Han Liong telah berusia empat tahun, ia mulai menerima pelajaran-pelajaran pokok dalam ilmu silat dari bibinya, Yo Toanio mengajar dengan cara halus dan sewajarnya, tidak dengan paksaan. Ajaib sekail, anak kecil itu seakan-akan senang sekali mempelajari kuda-kuda atau bhesi dan mencontoh gerakan-gerakan kaki bibinya dengan gembira. Alangkah heran dan senang hati nyonya muda itu karena dalam beberapa bulan saja Han Liong telah dapat menirunya dalam gerakan-gerakan bhesi Thiao Ma, Peng Ma dan lain-lain pasangan kuda-kuda yang sulit dengan sempurna!
Setahun kemudian, dalam usia kurang lebih lima tahun, Han Liong telah pandai bergerak ke sana ke mari dengan lincah dan sigap dalam segala macam bentuk 'pou' gerakan perubahan kaki) yang baik. Selain itu, ia telah hafal dan faham benar akan segala cara menggunakan tangan dan jari dalam ilmu pukulan seperti Houw Jiauw Ciu (gerakan jari telunjuk dan tengah untuk menyodok atau tiam) Yang Ciu, Sam Ciat Ciu dan lain-lain. Pandai pula menggunakan tendangan kaki Heng Tui dan lain-lain, menggunakan siku seperti Teng Tun, In Tun dan sebagainya, dan ia mengerti pula cara yang bermacam-macam dari kepalan tangan (koan).
Sampai sebegitu jauh maka selesailah tugas Yo Toanio membimbingnya dalam pokok dasar ilmu silat dan kini mulai mengajarnya dalam ilmu surat (bun) saja. Juga dalam mata pelajaran ini, Han Liong ternyata sangat cerdas. Tiap harinya ia dapat menghafal lebih dari dua puluh huruf. Anehnya, sekali menghapal, seperti huruf-huruf itu sudah tercetak dalam ingatannya hingga tak bisa lupa lagi!
Setelah Han Liong paham benar akan dasar-dasar ilmu silat dan selanjutnya untuk mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi agar menjadi seorang ahli silat yang sempurna, maka Yo Leng ln menyerahkannya kepada Liok-tee Sin-mo Hong In, karena ilmu silatnya jauh lebih tinggi dari pada ilmu silat Yo Leng In sendiri, seperti yang sudah diajarkannya kepada Han Liong.
Si Iblis Daratan Hong In mulai mengajar Han Liong dari latihan napas (khikang) sampai kepada ilmu meringankan tubuh dan lari cepat. Dasar ia memang berbakat pendekar, dalam setahun saja berlatih siang malam, ia telah mewarisi seluruh dasar-dasar kepandaian Liok tee Sin-mo Hong In, dan setengah tahun kemudian, kepandaian dasar menggunakan dan menyambit Kim-chie-piao telah ia pahami pula. Tentu saja baru dasar-dasarnya dan tinggal meyakinkannya dengan latihan-latihan praktek.
Karena masih ada tiga orang guru lainnya, si Iblis Daratan setelah merasa bahwa Han Liong sudah mewarisi seluruh pokok dasar kepandaiannya, lalu menyerahkan anak itu ke dalam asuhan Pauw Kim Kong si Malaikat Rambut Putih.
Beng-san Tojin Pouw Kim Kong menerima tugas ini dengan gembira dan segera melatih Han Liong dalam ilmu silat berdasarkan tenaga dalam dan melemaskan tulang. Ia mendidik anak itu memperkuat tenaga dalamnya dan mengajarnya ilmu le Kin Keng dan cara bagaimana untuk Siulian (semadhi) memperkuat ketabahan batin.
Kemudian, selang setahun lebih, Siauw-lo-ong Hee Ban Kiat mengajarnya ilmu silat tangan kosong yang cekatan. Selama satu tahun, ilmu silat Ouw-wan cianghoat (Ilmu Silat Tangan Lutung Hitam) yang berjumlah seratus delapan jurus, Thai Kek Touw dan seratus dua puluh jurus Kiauw-ta-sin-na ialah gabungan Kim-na-hoat dari Siauw-lim dan Bu-tong pai telah dipelajarinya dengan baik.
Gurunya yang terakhir ialah Bie Kong Hosiang) yang mewariskan ilmu goloknya yang tiada taranya itu. Selain ilmu golok, hwesio tinggi besar itu mengajarnya pula ilmu ciptaannya sendiri, ialah gabungan permainan golok dan pedang. Ilmu ini dapat digunakan baik dengan golok maupun dengan pedang dan gerakan-gerakannya sulit sekali.
Sementara itu, Han Liong masih tetap melanjutkan pelajarannya dalam ilmu surat menyurat dengan rajin di bawah bimbingan Yo Leng In seperti sediakala. Keempat orang gurunya masih terus memberi petunjuk-petunjuk berganti-ganti sehingga ketika ia berusia lima belas tahun, Han Liong yang digembleng oleh empat orang ahli itu mewaiisi kepandaian silat campuran yang sangat hebat.
Demikianlah penuturan dari guru-gurunya yang didengarkan oleh Han Liong dengan bercucuran air mata. Lebih-lebih ketika ia mendengar tentang kematian ayahnya dan nasib ibunya. Ia menjatuhkan diri dan hampir pingsan karena duka. Baiknya guru-gurunya pandai menghibur, dan di depan guru-gurunya ia bersumpah untuk melanjutkan cita-cita ayahnya dan membalaskan sakit hati orang tuanya.
"Han Liong," berkata Pauw Kim Kong, "Biarpun kini engkau sudah memiliki kepandaian yang lumayan, tapi janganlah sekali-kali engkau takabur dan menganggap dirimu sendiri yang terpandai di dunia Ini. Di dalam dunia masih banyak terdapat orang-orang pandai. Jika kau menyombongkan kepandaianmu, maka engkau akan terjeblos!"
"Lagi, jangan sekali-kali menggunakan kepandaian untuk menindas kaum yang lemah, Liong. Ingatlah selalu bahwa kami memberi pelajaran padamu ialah untuk digunakan menolong sesama hidup yang tertindas, untuk membela negara dan membasmi penjahat. Kalau kau tersesat dan menggunakan kepandaianmu untuk keuntungan sendiri, maka kau tak akan selamat," sambung Siauw lo-ong Hee Ban Kiat.
"Pesanku padamu ialah, jangan terlampau mudah membunuh orang, muridku. Jauhkanlah golok dan pedangmu sedapat mungkin dari pertumpahan darah. Kalau tidak sangat terpaksa, janganlah membunuh orang secara serampangan," ujar Bie Kong Hosiang.
"Dan berlakulah sebagai orang gagah yang kenal pribudi. Harus selalu merendahkan diri dan rajin menambah pengetahuan. Ingat, Liong, sepanjang pengalamanku, yang tidak boleh dipandang ringan adalah orang-orang yang kelihatan paling lemah, misalnya kaum wanita, orang-orang tua, pengemis-pengemis, dan orang-orang lain yang kelihatan sangat lemah. Biasanya lawan yang sangat berbahaya itu adalah mereka yang kelihatan lemah itu, tapi di dalamnya tersembunyi kekuatan dan kepandaian tinggi. Karena tampaknya dari luar lemah, maka orang mudah sekali memandang sepi. Tapi kau jangan sekali-kali memandang rendah orang-orang lemah itu, Liong. Kepandaian orang tak tampak di luar tubuhnya," kata Hong In si Iblis Daratan.
Han Liong menghaturkan terima kasih atas nasehat-nasehat keempat gurunya itu dan berjanji akan memperhatikannya sungguh-sungguh. Kemudian bibinya bicara,
"Han Liong anakku, kami berlima sudah bersepakat untuk menyuruh engkau turun gunung hari ini juga. Kau perlu mencari pengalaman di luar, nak. Dan kau boleh mencari ibumu. Tentang sakit hati terhadap Tiat-Kak-liong Lie Ban terserah padamu. Itu adalah soal pribadimu, kami hanya memesan agar segala sepak terjangmu dilakukan atas dasar prikebenaran yang layak. Engkau sudah tahu ke mana harus mencari ibumu. Tapi, sekali lagi kuulangi nasehat-nasehat guru-gurumu, yaitu engkau jangan mengambil jalan salah karena kalau engkau kelak dikemudian hari ternyata berobah menjadi anak durhaka dan murid yang mencemarkan nama baik guru-gurumu, maka kami berlima tentu akan mencarimu!"
Pada saat itu tiba-tiba terdengar bunyi guntur keras menggelegar dan satu tenaga besar menggetarkan bumi yang mereka injak sehingga mereka berenam walaupun memiliki kepandaian tinggi, jadi sempoyongan dan terhuyung-huyung. Semua orang heran karena hari itu langit bersih dan tiada tanda-tanda kemungkinan ada guntur. Kemudian terdengar ledakan keras dan tahulah mereka bahwa suara gemuruh itu bukan sekali-kali suara guntur, tapi adalah suara tanah yang gugur dari pinggir gunung.
Suara 'krek-krek' terdengar dan keenam orang itu segera berlompatan keluar pondok. Ternyata pondok itu menjadi miring dan belum lama mereka berada di luar, pondok itu roboh dengan mengeluarkan suara hiruk-pikuk. Di luar mereka lihat debu mengepul di sebelah kiri bukit dan Pauw Kim Kong segera maklum apa yang telah terjadi.
Ketika tanah yang mereka injak tadi tergetar membuat mereka terhuyung-huyung berkali-kali, kenyataan sebenarnya ialah gempa bumi besar di gunung sehingga pondok mereka juga roboh karenanya. Dan suara hebat tadi tentu tanah dan batu-batu gunung yang gugur karena gempa bumi itu dan jatuh ke dalam jurang. Debunya masih tampak hebat! Tanpa mufakat lebih dulu mereka berenam serentak berlari-lari menuju ke kiri di mana nampak debu mengepul tinggi.
"Hati-hati!" Hee Ban Kiat memesan dan betul saja, ketika sampai di sebuah tikungan, dari atas turun menimpa beberapa buah batu besar yang rupanya terlepas dari sandarannya di atas puncak dan berguling-guling ke bawah.
Untungnya mereka telah waspada dan segera meloncat ke belakang menjauhi tempat bencana itu. Betapapun tinggi kepandaian mereka, kalau sampai, tertimpa batu-batu yang berpuluh ribu kati beratnya itu, pasti akan tamatlah riwayat mereka!
Han Liong yang belum banyak pengalaman dan ingin sekali melihat sesuatu yang masih asing baginya, tak terasa maju mendekati tempat di mana batu-batu tadi jatuh. Tiba-tiba ia melihat sebuah benda pulih berkilau-kilauan yang bergerak gerak diantara tumpukan batu. Ia heran dan maju mendekat.
Tiba-tiba benda panjang itu melayang menyambarnya. Han Liong terkejut dan serangan benda itu demikian cepatnya hingga tak mungkin pula dikelit olehnya. Maka terpaksa ia mengibaskan tangan kirinya untuk menangkis. Alangkah terkejutnya ketika benda itu tidak terlempar, tapi menempel di jari tangan kirinya dan terus menggigit.
"Aduh!" hanya itulah yang dapat diteriakkannya dan ia roboh pingsan. Guru-gurunya dan bibinya dengan terkejut lari memburu. Bukan main khawatir mereka melihat keadaan anak muda itu. Seekor ular berkulit putih berkilau seumpama perak digosok menempel di jari telunjuk tangan kirinya, giginya masih tertanam di jari Han Liong. Yang sangat mencemaskan adalah keadaan tubuh anak muda itu. Seluruh tubuhnya tampak hitam semu hijau. Mulutnya terkancing, matanya tertutup dan nafasnya sengal-sengal, tinggal satu-satu!
Yo Toanio tak dapat menahan getaran hatinya. Ia tubruk keponakannya sambil menjerit-jerit! Guru-guru Han Liong pun menjadi bingung, hanya Pauw Kim Kong yang agak tenang. Tapi setelah memeriksa keadaan muridnya dan melihat ular yang masih menggerak-gerakkan ekornya itu, ia menjadi lebih sedih daripada yang lain-lain.
"Bagaimana, Pauw-suhu?' tanya Bie Kong Hosian ketika melihat Pauw Kim Kong berdiri putus asa dan menggeleng-gelengkan kepala sambil menghela nafas.
"Ular berbisa. Bisanya sangat berbahaya. Belum pernah kulihat racun ular demikian luar biasa!"
Sambil menangis keras Yo Toanio mencabut pedangnya dan dengan gemas membacok ular yang masih menempel di tangan Han Liong. Sekali bacok ular itu putus kepalanya dan Yo Leng In agaknya masih belum puas. Dibacoknya tubuh ular itu berkali-kali hingga hancur menjadi berpotong-potong. Kemudian, setelah menubruk dan menangisi keponakannya sekali lagi, ia mengangkat pedangnya dan ditusukkan ke lehernya sendiri!
Untunglah Hee Ban Kiat berada di dekatnya dan dengan cepat memegang pergelangan Yo Toanio yang memegang pedang hingga sesaat kemudian pedang itu sudah berpindah tangan!
"Sabar, Toanio. Jangan putus harapan. Han Liong belum mati," kata Hee Ban Kiat menghibur.
"Belum mati? Lihatlah... lihatlah! Mukanya sudah hitam semua. Siapa bisa memberi obat? Kan, bertahun-tahun kita didik ia, dari anak-anak sampai dewasa. Pengharapan kita semua digantungkan kepadanya... tapi... tapi justeru hari ini,saat ia harus mulai menunaikan kewajibannya... saat seperti ini... ia... ia berangkat mati... Dimanakah keadilan Thian (Tuhan)?"
Tiba-tiba, bagaikan menjawab keluhan nyonya yang bersedih hati itu, terdengar desis keras di dekat mereka. Mereka terkejut dan menengok ke arah suara itu. Alangkah terperanjat dan marahnya mereka ketika melihat seekor ular lain menggeleser-geleser mendekati tubuh Han Liong! Ular itu sangat hitamnya, dengan belang-belang kuning emas pada kepala dan ekornya. Kelihatannya ganas benar dan beracun pula!
"Kau... binatang!! Siluman!! Engkau mau ganggu anakku juga??"
Yo Leng In dalam kemurkaannya menyambar pedang yang sudah diletakkan di tanah oleh Hee Ban Kiat, lalu melompat ke arah ular hitam itu. Heran sekali, ular itu berhenti dan menanti serangan Yo Toanio dengan berdiri di atas ekornya, seperti ular senduk, tapi lebih tinggi lagi!
Kedua matanya mencorong dan lidahnya yang merah menjilat-jilat. Yo Leng ln mengayunkan pedangnya memancung ke arah kepala ular itu, tapi kenyataannya ular itu bukan main gesitnya dan dapat mengelak, Yo Leng In makin marah dan dengan nafas sesak ia memancung berulang ulang, tapi sekalipun serangannya tak mengenai sasaran.
Bie Kong Hosiang berseru keras dan setelah mencabut goloknya ia membantu Yo Toanio untuk membinasakan ular itu, sungguh aneh, bacokan-bacokan Bie Kong Hosiang yang tak mudah dielakkan oleh seorang ahli silat ternyata dapat dihindarkan oleh ular itu, hingga tiada lama kemudian Hong In, Pauw Kim Kong, dan Hee Ban Kiat terpaksa turun tangan mengeroyok ular kecil itu!
Karena dikeroyok lima orang ahli silat yang hebat itu ular itu sudah dapat dipastikan nasibnya. Dapat dibayangkan bahwa sebentar lagi ia tentu akan hancur menjadi berpotong-potong, kalau tidak, hancur sama sekali. Tapi, tiba-tiba terdengar deruan angin dan disusul suara yang angker,
"Siancai, siancai Cuwi yang terhormat, hentikan segera serangan itu!"
Suara itu sangat berpengaruh dan kelima orang itu segera melompat mundur, sedangkan ular itu berlenggak-lenggok, rupanya sangat kelelahan membela diri, mengelak ke sana ke mari di antara hujan senjata tadi!
Suara yang berpengaruh itu disusul dengan munculnya seorang tua berjubah putih dan bertubuh kurus tinggi. Wajahnya kelihatan alim sekali, tapi sepasang matanya yang lembut mengeluarkan cahaya tajam berkilauan. Tampaknya ia berjalan perlahan saja dengan tenangnya, tapi tiba-tiba ia telah berada di depan mereka sambil mengangkat kedua tangan memberi hormat.
"Cuwi yang terhormat maafkan pinto datang mengganggu."
Kemudian tanpa berkata apa-apa lagi ia menghampiri tubuh Han Liong yang masih rebah tak bergerak itu, diikuti oleh kelima orang itu dengan was-was dan khawatir. Setelah dekat dengan tubuh Han Liong, ia berjongkok lalu tiba-tiba memberi tanda supaya semua orang mundur. Sepasang matanya dengan tajam memandang ke arah ular hitam tadi.
Yo Toanio dan kawan-kawannya menengok dan dengan hati berdebar-debar mereka lihat ular itu bergerak cepat menghampiri tubuh Han Liong. Tiba-tiba ular hitam itu melihat atau mencium bau darah ular putih yang telah hancur tubuhnya. Ia berdiri di atas ekornya, mendesis-desis mengeluarkan lidah dan ajaib sekali, dari kedua matanya yang merah itu menitik keluar dua butir air mata.
Sikapnya jadi makin galak, kepalanya digerakkan ke kanan dan ke kiri seakan-akan mencari orangnya yang membunuh ular putih itu. Ketika sinar matanya beradu dengan sinar mata orang tua yang masih jongkok di dekat tubuh Han Liong, tiba-tiba ia bergerak mundur lalu membalikkan tubuh hendak pergi.
Tiba-tiba orang tua itu cepat mengulurkan kedua tangannya dan mengangkat tubuh Han Liong dan dengan sekali lompat ia telah berada di depan ular hitam, mencegat dan jongkok pula sambil memondong tubuh Han Liong. Ular itu segera membalikkan tubuh lagi, tapi orang tua itu segera mengejar dan melompatinya lalu menghadang di depannya.
Setelah hal ini terjadi berkali-kali, ular hitam itu rupa-rupanya menjadi marah dan ia berdiri di atas ekornya sambil menjulurkan lidahnya yang merah. Desisnya keras dan tajam menyakitkan telinga. Kemudian setelah menurunkan kepalanya ke bawah untuk mengumpulkan tenaga, ular itu melompat, meluncur bagaikan anak panah terlepas dari busurnya menuju ke arah leher orang tua itu.
Yang diserang tenang saja dan memegang tangan kanan Han Liong dan menggunakan tangan anak muda itu untuk menangkis, dengan gerakan yang sama benar dengan gerakan anak muda itu ketika menangkis serangan ular putih tadi.
Yo Toanio yang dari tadi terheran-heran dan tidak mengerti, kini sangat terkejut melihat betapa ular hitam itu menggigit jari tangan kanan Han Liong dan menempel di situ tidak mau melepaskannya! Yo Toanio tak dapat menahan gelora kemarahan hatinya,
"Siluman tua, apa yang kau lakukan?"
Dengan penuh kebencian ia memungut pedang yang diletakkan di atas tanah lalu melemparkan pedang itu dengan sekuat tenaganya. Ketika itu orang tua yang aneh itu tengah menggunakan tangan kirinya memijit-mijit ubun-ubun Han Liong dan tangan kanannnya memegang leher ular hitam. Agaknya ia sama sekali tidak ambil perduli akan datangnya pedang yang melayang ke arah dadanya!
Yo Toanio dengan jelas sekali melihat betapa pedang itu tepat menancap di dada orang tua itu, tapi ajaib, orang tua itu seolah-olah tidak merasa apa-apa, dan melanjutkan pekerjaannya memijit-mijit ubun-ubun Han Liong dan mencekik-leher ular!
Sejenak kemudian ia berdiri dan ular hitam itu malah dipegangnya, karena itu dengan mudah saja ia mencabut gigitan ular-ular itu dari jari Han Liong. Baru sekarang ia memandang mereka berlima itu dengan sebuah senyum manis tersungging di bibirnya.
"Siancai, siancai! Berkat kemurahan Thian Yang Agung, cucuku Han Liong tertolong jiwanya." Kemudian ia memandang ular hitam yang di tangannya. "Maafkan pinto, kim ouw-coa (ular emas hitam), terpaksa pinto melakukan dosa besar. Engkau telah menolong jiwa orang, tapi kau sendiri harus dibalas dengan kematian." Ia menggeleng-gelengkan kepalanya. "Alangkah kejamnya, tapi apa boleh buat, jiwa cucuku lebih penting dari pada jiwamu. Nah, mengalahlah kali ini, ouw-coa biarlah di lain penjelmaan pinto balas budimu dan menebus dosa!"
Kemudian dengan perlahan ia mencabut pedang yang masih menancap di dadanya dan sekali pancung saja maka putuslah leher ular hitam itu!
Yo Toanio dengan kawan-kawannya terheran-heran melihat kelakuan orang tua itu, lebih-lebih ketika mereka melihat bahwa bekas tusukan pedang di dadanya ternyata tidak mengeluarkan darah, seolah-olah dadanya itu belum tertusuk pedang. Mereka memandang ke arah tubuh Han Liong, dan alangkah girang hati mereka melihat Han Liong bergerak-gerak perlahan-lahan, lalu bangun dan menggosok-gosok matanya seakan-akan baru bangun tidur!
Segera mereka berebut menghampiri Han Liong dan serentak bagaikan mendapat komando, mereka berlima menjatuhkan diri berlutut di depan orang tua itu.
"Ah, cuwi, jangan lakukan peradatan tak berarti ini. Silahkan bangun, pinto tak layak menerima kehormatan ini."
Kata-kata ini diucapkan dengan suara demikian halus dan sopan oleh orang tua itu, hingga mereka segera berdiri dan mengangkat tangan memberi hormat.
"Maafkan kami yang buta tak mengenal orang pandai," kata Pauw Kim Kong mewakili kawan-kawannya bicara, "Dan maafkanlah perbuatan Yo Toanio tadi yang dilakukan terdorong karena kebingungan hatinya melihat keadaan keponakannya. Mohon tanya siapakah toheng yang mulia?"
"Ah, pinto sendiri sudah hampir lupa akan nama pinto. Dan lagi, apakah artinya nama? Diberi tahu juga, cuwi takkan mengenalnya. Rasanya sudah cukup bila pinto katakan bahwa pinto adalah orang yang mengasingkan diri dan menerima berkah dari Kam Hong Siansu. Kedatangan pinto inipun bukannya bermaksud untuk mencampuri urusan cuwi. Tapi tak lain karena menerima perintah dari Siansu untuk membawa cucuku ini. Ketahuilah cuwi, bahwa Han Liong berjodoh untuk berjumpa dengan Kam Hong Siansu. Adapun kedua ular ini, bukannya kebetulan saja mereka datang menggigit Han Liong. Agaknya sudah kehendak Thian bahwa anak ini menerima karunia yang luar biasa. Ketahuilah, racun ular putih yang penuh dengan hawa Yang dapat mematikan seratus orang dengan bisanya. Tidak ada obat di dunia ini yang dapat menyembuhkan pengaruh bisanya yang hebat itu. Sebaliknya, ular hitam inipun penuh dengan racun yang mengandung sari hawa Im, maka apabila ia menggigit orang yang menjadi korban gigitan ular putih, racunnya menjadi saling tolak dan saling memunahkan, bahkan kedua racun yang mengandung hawa Yang dan Im itu kalau bercampur di dalam tubuh menjadi obat yang mempunyai daya luar biasa, memperkuat tubuh dan memperbesar daya tan tian. Dapat cuwi bayangkan betapa beruntungnya Han Liong karena tergigit oleh kedua ular ini."
Tak perlu dikatakan betapa senangnya hati keempat guru itu dan Yo Toanio mendengar keterangan ini, dan pula saat itu Han Liong sudah sadar benar. Segera Yo Toanio memerintahkan keponakannya untuk mengucapkan terima kasih. Han Liong segera berlutut.
"Nah, cuwi, kini perkenankanlah pinto membawa Han Liong kepada Siansu. Bangkai kedua ular ini pinto bawa karena merupakan obat untuk anak ini. Musim Chun tahun depan cuwi boleh menanti di sini untuk menyambut Han Liong kembali." Dengan tenang ia pungut dua bangkai ular itu dan memegang lengan Han Liong.
Yo Toanio penasaran. "Maaf, suhu. Bukannya saya tidak percaya padamu, tapi Han Liong adalah keponakanku yang kudidik semenjak kecil. Maka perkenankanlah saya mengetahui nama suhu dan ke mana suhu akan membawa Han Liong agar hatiku menjadi tenteram."
"Ha ha ha! Memang wanita selalu ingin tahu segala hal! Nah. ketahuilah, aku adalah ayah iparmu Si Cin Hai, jadi Han Liong ini adalah cucuku sendiri. Kemana aku hendak bawa anak ini, tak seorangpun boleh tahu, pendeknya, ke tempat Kam Hong Siansu. Nah, selamat tinggal!"
Sebelum mereka dapat berkata sesuatu, orang tua itu segera menarik lengan Han Liong dan membawa pemuda itu lompat ke jurang di mana batu-batu besar tadi berjatuhan! Yo Toanio hendak mengejar, tapi dicegah oleh Pauw Kim Kong.
"Jangan, toanio. Kulihat ia bukan orang sembarangan. Dan lagi, bukankah ayah Si enghiong itu Menteri Si Kim Pauw yang dulu dikabarkan lenyap setelah bertapa di gunung ini?"
Yo Toanio mulai sadar, "Si Kim Pauw! Betul, betul dia. Biarpun aku belum pernah bertemu denganya, tapi wajahnya serupa benar dengan Si enghiong. Ya Tuhan, syukur kalau begitu. Han Liong berada di tangan kakeknya sendiri dan pasti sekali Kam Hong Siansu adalah seorang luar biasa dan pandai!"
Semua menyatakan kegirangan mereka karena kenyataan itu dan Hee Ban Kiat berkata. "Kalau bukan Yo Toanio sudah yakin bahwa orang itu adalah kakek Han Liong sendiri, aku masih saja merasa khawatir, karena orang tua itu seperti bukan manusia. Kusangka tadi ia siluman gunung ini."
"Jangan gegabah, Hee koanjin," tegur Hong In. "Orang tua itu sudah tinggi sekali ilmu batinnya. Tidakkah kau lihat betapa tadi ia menerima tusukan pedang yang dilemparkan Yo Toanio? Ia dapat mematikan rasa, dan ilmunya yang sempurna telah dapat menahan jalan darahnya hingga tusukan pedang itu sama sekali tidak dirasanya dan tidak dapat melukainya. Bagi kita yang masih suka berada di tengah-tengah kekotoran dunia ini, jangan harap akan mencapai tingkat setinggi itu."
Kemudian mereka bermufakat untuk berkumpul kembali pada musim Chun tahun depan seperti yang telah dijanjikan oleh Si Kim Pauw itu. Setelah itu, mereka berpisah dan kembali ke tempat masing-masing.
Sekarang marilah kita ikuti perjalanan Si Han Liong yang dibawa oleh kakeknya. Ketika ia dibawa oleh kakeknya melompat ke dalam jurang, diam-diam hatinya cemas karena kakinya menginjak tempat kosong dan mereka berdua meluncur ke bawah dengan amat cepatnya! Ketika memandang ke bawah, terpaksa Han Liong menutup matanya, karena jurang itu seakan-akan tak berdasar karena dalamnya!
Tiba-tiba kakeknya memperkuat pegangannya pada pergelangan lengannya dan berbisik, "Pegang dahan pohon di bawah itu!"
Han Liong waspada, ia menggunakan ilmunya meringankan tubuh dengan kegesitannya. Pohon di bawah itu seperti melayang naik menuju dirinya, pada hal tubuhnya sendirilah yang sedang melayang turun dengan cepatnya. Bagaikan bersayap, kakeknya dapat menggerakkan tubuh hingga mereka meluncur ke samping pohon.
Orang tua itu mengulurkan lengan dan tangannya berhasil memegang cabang pohon. Han Liong memperlihatkan pula kegesitannya, ia sambar ujung ranting pohon itu, tapi malang baginya ranting itu patah. Tapi sedikitnya kelajuan luncuran tubuhnya telah tertahan dan dengan gerakan mementangkan kedua kakinya, ia dapat bergerak ke arah cabang rendah dan berhasil memegangnya!
Keringat dingin keluar dari keningnya ketika ia duduk di dahan pohon dan memandang ke bawah. Ternyata jurang itu sangat dalam dan tak mungkin orang akan dapat hidup jika jatuh ke bawah. Pohon yang didudukinya itu tumbuh miring. Akar-akarnya berada di tanah gunung yang curam.
"Lompat ke situ!" kakeknya berkata sambil menunjuk ke kiri.
Ketika Han Liong memandang, ternyata kira-kira empat tombak dari pohon itu terdapat sebuah gua besar yang hitam dan gelap, bentuknya bagaikan mulut naga sedang menganga dengan batu-batu tajam di atasnya bergantungan ke bawah merupakan taring dan gigi naga. Kakeknya mendahului lompat dan lapun segara mengerahkan tenaganya terjun menyusul dan tiba di mulut gua dengan selamat.
Han Liong mengikuti kakeknya memasuki gua itu yang ternyata panjang berliku-liku. Di dalam gua itu tampak sinar terang, dan ketika mereka sampai di situ, ternyata bahwa di atas gua itu ada sebuah lobang yang memasukkan sinar matahari dan menerangi gua itu. Di sebelah kanan ada pula lobang besar merupakan jendela. Ketika Han Liong menghampiri jendela itu dan memandang. Ia menjjadi sangat kagum. Bukan main indahnya pemandangan yang nampak di luar jendela!
Tamasya alam yang belum pernah dilihatnya seumur hidupnya. Daun-daun liu di hutan-hutan berkelompok-kelompok, beberapa anak sungai yang berkelak kelok bagaikan ular ular kecil, bukit-bukit yang berjajar-jajar rapi seakan-akan diatur oleh tangan seorang ahli, dihiasi dengan batu batu bundar besar berwarna hijau dan biru karena tertutup lumut, dan warna warni merah, kuning, biru dari bunga-bunga gunung merupakan hiasan terakhir dan terindah. Ia terpesona sejenak oleh lukisan alam yang luar biasa itu. Pikirannya menjadi tenang, tubuhnya terasa segar dan sedap.
"Han Liong, jangan melamun. Menghormatlah kepada Siansu," kata kakeknya tiba-tiba.
Han Liong terkejut dan segera menengok. Terlihat olehnya seorang tinggi besar berjubah putih, berkumis dan berjenggot putih yang panjangnya sampai ke perut. Wajahnya yang tua nampak amat agung, dan entah kapan ia masuk ke situ, karena serta merta ia telah duduk bersila di atas sebuah batu hitam berbentuk pat-kwa (segi delapan)
Wajah yang agung itu menjadikan Han Liong merasa dirinya sangat kecil tak bearti. Dengan penuh khidmat ia maju berlutut. Mulutnya berkata perlahan-lahan dengan penuh hormat,
"Teccu menghaturkan hormat..."
Kam Hong Siansu membuka kedua matanya yang ternyata sangat bening seperti mata kanak-kanak. "Anak baik, beristirahatlah dulu untuk mengembalikan tenagamu. Mulai besok sampai setahun penuh, kau akan sibuk belajar menambah pengetahuanmu."
Han Liong memberi hormat sekali lagi, kemudian ikut kakeknya ke ruangan dalam di mana tersedia sebuah kamar tanah kira-kira dua meter persegi, di mana tersedia sebuah batu yang rata untuk duduk. Kakeknya memberitahu bahwa ia hanya boleh mengaso atau tidur sambil bersila di atas batu itu!
Demikianlah, tiap hari Han Liong menghadap Kam Hong Siansu di mana ia diperintahkan bersilat memperlihatkan segala macam kepandaian yang telah dipelajarinya dari keempat gurunya yang lalu. Untuk tiap ilmu pukulan maupun permainan senjata, selalu Kam Hong Siansu memberi petunjuk-petunjuk yang membuat gerakannya menjadi luar biasa, hingga ilmu silat pemuda itu mengalami perobahan penuh rahasia dan tak terduga.
Petunjuk-petunjuk yang diberikan secara sabar dengan suara lemah lembut itu meresap betul ke dalam hati dan pikiran Han Liong hingga ia mendapat kemajuan sangat pesat. Kam Hong Siansu sangat sayang kepadanya hingga orang tua pertapa yang berilmu tinggi itu turun tangan, menciptakan ilmu silat tangan kosong yang dipetiknya dari semua pelajaran yang diperoleh anak muda itu.
Ilmu pukulan ini dinamakannya Ilmu Silat Empat Bintang dan di dalam gerakan-gerakannya terkandung sari-sari pelajaran yang dipelajari Han Liong dari keempat suhunya. Selain dari itu, anak muda ini menerima pelajaran-pelajaran dasar ilmu batin yang tinggi, hingga batinnya menjadi kuat dan tenaga dalamnya mencapai tingkat tinggi.
Yo Toanio yang baik ini tiap hari memelihara Han Liong dengan penuh kasih sayang, mengajar anak itu bercakap-cakap. Tiap pagi dan sore ia melatih tubuh anak itu, memukulinya dari perlahan sampai keras dengan kulit bambu dan rotan sambil memandikannya dalam air tercampur arak hangat dengan ramuan obat buatan Beng-san Tojin Pauw Kim Kong yang pandai pula dalam ilmu pengobatan.
Dengan rawatan luar biasa ini, kulit dan daging anak itu tumbuh dengan baik dan mempunyai kekuatan dan keuletan yang sempurna, namun kulitnya tetap lemas halus karena tiap habis mandi, Yo Toanio menggosok seluruh tubuhnya dengan bedak batu kuning yang terdapat di atas Gunung Kam-hong-san.
Ketika Han Liong telah berusia empat tahun, ia mulai menerima pelajaran-pelajaran pokok dalam ilmu silat dari bibinya, Yo Toanio mengajar dengan cara halus dan sewajarnya, tidak dengan paksaan. Ajaib sekail, anak kecil itu seakan-akan senang sekali mempelajari kuda-kuda atau bhesi dan mencontoh gerakan-gerakan kaki bibinya dengan gembira. Alangkah heran dan senang hati nyonya muda itu karena dalam beberapa bulan saja Han Liong telah dapat menirunya dalam gerakan-gerakan bhesi Thiao Ma, Peng Ma dan lain-lain pasangan kuda-kuda yang sulit dengan sempurna!
Setahun kemudian, dalam usia kurang lebih lima tahun, Han Liong telah pandai bergerak ke sana ke mari dengan lincah dan sigap dalam segala macam bentuk 'pou' gerakan perubahan kaki) yang baik. Selain itu, ia telah hafal dan faham benar akan segala cara menggunakan tangan dan jari dalam ilmu pukulan seperti Houw Jiauw Ciu (gerakan jari telunjuk dan tengah untuk menyodok atau tiam) Yang Ciu, Sam Ciat Ciu dan lain-lain. Pandai pula menggunakan tendangan kaki Heng Tui dan lain-lain, menggunakan siku seperti Teng Tun, In Tun dan sebagainya, dan ia mengerti pula cara yang bermacam-macam dari kepalan tangan (koan).
Sampai sebegitu jauh maka selesailah tugas Yo Toanio membimbingnya dalam pokok dasar ilmu silat dan kini mulai mengajarnya dalam ilmu surat (bun) saja. Juga dalam mata pelajaran ini, Han Liong ternyata sangat cerdas. Tiap harinya ia dapat menghafal lebih dari dua puluh huruf. Anehnya, sekali menghapal, seperti huruf-huruf itu sudah tercetak dalam ingatannya hingga tak bisa lupa lagi!
Setelah Han Liong paham benar akan dasar-dasar ilmu silat dan selanjutnya untuk mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi agar menjadi seorang ahli silat yang sempurna, maka Yo Leng ln menyerahkannya kepada Liok-tee Sin-mo Hong In, karena ilmu silatnya jauh lebih tinggi dari pada ilmu silat Yo Leng In sendiri, seperti yang sudah diajarkannya kepada Han Liong.
Si Iblis Daratan Hong In mulai mengajar Han Liong dari latihan napas (khikang) sampai kepada ilmu meringankan tubuh dan lari cepat. Dasar ia memang berbakat pendekar, dalam setahun saja berlatih siang malam, ia telah mewarisi seluruh dasar-dasar kepandaian Liok tee Sin-mo Hong In, dan setengah tahun kemudian, kepandaian dasar menggunakan dan menyambit Kim-chie-piao telah ia pahami pula. Tentu saja baru dasar-dasarnya dan tinggal meyakinkannya dengan latihan-latihan praktek.
Karena masih ada tiga orang guru lainnya, si Iblis Daratan setelah merasa bahwa Han Liong sudah mewarisi seluruh pokok dasar kepandaiannya, lalu menyerahkan anak itu ke dalam asuhan Pauw Kim Kong si Malaikat Rambut Putih.
Beng-san Tojin Pouw Kim Kong menerima tugas ini dengan gembira dan segera melatih Han Liong dalam ilmu silat berdasarkan tenaga dalam dan melemaskan tulang. Ia mendidik anak itu memperkuat tenaga dalamnya dan mengajarnya ilmu le Kin Keng dan cara bagaimana untuk Siulian (semadhi) memperkuat ketabahan batin.
Kemudian, selang setahun lebih, Siauw-lo-ong Hee Ban Kiat mengajarnya ilmu silat tangan kosong yang cekatan. Selama satu tahun, ilmu silat Ouw-wan cianghoat (Ilmu Silat Tangan Lutung Hitam) yang berjumlah seratus delapan jurus, Thai Kek Touw dan seratus dua puluh jurus Kiauw-ta-sin-na ialah gabungan Kim-na-hoat dari Siauw-lim dan Bu-tong pai telah dipelajarinya dengan baik.
Gurunya yang terakhir ialah Bie Kong Hosiang) yang mewariskan ilmu goloknya yang tiada taranya itu. Selain ilmu golok, hwesio tinggi besar itu mengajarnya pula ilmu ciptaannya sendiri, ialah gabungan permainan golok dan pedang. Ilmu ini dapat digunakan baik dengan golok maupun dengan pedang dan gerakan-gerakannya sulit sekali.
Sementara itu, Han Liong masih tetap melanjutkan pelajarannya dalam ilmu surat menyurat dengan rajin di bawah bimbingan Yo Leng In seperti sediakala. Keempat orang gurunya masih terus memberi petunjuk-petunjuk berganti-ganti sehingga ketika ia berusia lima belas tahun, Han Liong yang digembleng oleh empat orang ahli itu mewaiisi kepandaian silat campuran yang sangat hebat.
Demikianlah penuturan dari guru-gurunya yang didengarkan oleh Han Liong dengan bercucuran air mata. Lebih-lebih ketika ia mendengar tentang kematian ayahnya dan nasib ibunya. Ia menjatuhkan diri dan hampir pingsan karena duka. Baiknya guru-gurunya pandai menghibur, dan di depan guru-gurunya ia bersumpah untuk melanjutkan cita-cita ayahnya dan membalaskan sakit hati orang tuanya.
"Han Liong," berkata Pauw Kim Kong, "Biarpun kini engkau sudah memiliki kepandaian yang lumayan, tapi janganlah sekali-kali engkau takabur dan menganggap dirimu sendiri yang terpandai di dunia Ini. Di dalam dunia masih banyak terdapat orang-orang pandai. Jika kau menyombongkan kepandaianmu, maka engkau akan terjeblos!"
"Lagi, jangan sekali-kali menggunakan kepandaian untuk menindas kaum yang lemah, Liong. Ingatlah selalu bahwa kami memberi pelajaran padamu ialah untuk digunakan menolong sesama hidup yang tertindas, untuk membela negara dan membasmi penjahat. Kalau kau tersesat dan menggunakan kepandaianmu untuk keuntungan sendiri, maka kau tak akan selamat," sambung Siauw lo-ong Hee Ban Kiat.
"Pesanku padamu ialah, jangan terlampau mudah membunuh orang, muridku. Jauhkanlah golok dan pedangmu sedapat mungkin dari pertumpahan darah. Kalau tidak sangat terpaksa, janganlah membunuh orang secara serampangan," ujar Bie Kong Hosiang.
"Dan berlakulah sebagai orang gagah yang kenal pribudi. Harus selalu merendahkan diri dan rajin menambah pengetahuan. Ingat, Liong, sepanjang pengalamanku, yang tidak boleh dipandang ringan adalah orang-orang yang kelihatan paling lemah, misalnya kaum wanita, orang-orang tua, pengemis-pengemis, dan orang-orang lain yang kelihatan sangat lemah. Biasanya lawan yang sangat berbahaya itu adalah mereka yang kelihatan lemah itu, tapi di dalamnya tersembunyi kekuatan dan kepandaian tinggi. Karena tampaknya dari luar lemah, maka orang mudah sekali memandang sepi. Tapi kau jangan sekali-kali memandang rendah orang-orang lemah itu, Liong. Kepandaian orang tak tampak di luar tubuhnya," kata Hong In si Iblis Daratan.
Han Liong menghaturkan terima kasih atas nasehat-nasehat keempat gurunya itu dan berjanji akan memperhatikannya sungguh-sungguh. Kemudian bibinya bicara,
"Han Liong anakku, kami berlima sudah bersepakat untuk menyuruh engkau turun gunung hari ini juga. Kau perlu mencari pengalaman di luar, nak. Dan kau boleh mencari ibumu. Tentang sakit hati terhadap Tiat-Kak-liong Lie Ban terserah padamu. Itu adalah soal pribadimu, kami hanya memesan agar segala sepak terjangmu dilakukan atas dasar prikebenaran yang layak. Engkau sudah tahu ke mana harus mencari ibumu. Tapi, sekali lagi kuulangi nasehat-nasehat guru-gurumu, yaitu engkau jangan mengambil jalan salah karena kalau engkau kelak dikemudian hari ternyata berobah menjadi anak durhaka dan murid yang mencemarkan nama baik guru-gurumu, maka kami berlima tentu akan mencarimu!"
Pada saat itu tiba-tiba terdengar bunyi guntur keras menggelegar dan satu tenaga besar menggetarkan bumi yang mereka injak sehingga mereka berenam walaupun memiliki kepandaian tinggi, jadi sempoyongan dan terhuyung-huyung. Semua orang heran karena hari itu langit bersih dan tiada tanda-tanda kemungkinan ada guntur. Kemudian terdengar ledakan keras dan tahulah mereka bahwa suara gemuruh itu bukan sekali-kali suara guntur, tapi adalah suara tanah yang gugur dari pinggir gunung.
Suara 'krek-krek' terdengar dan keenam orang itu segera berlompatan keluar pondok. Ternyata pondok itu menjadi miring dan belum lama mereka berada di luar, pondok itu roboh dengan mengeluarkan suara hiruk-pikuk. Di luar mereka lihat debu mengepul di sebelah kiri bukit dan Pauw Kim Kong segera maklum apa yang telah terjadi.
Ketika tanah yang mereka injak tadi tergetar membuat mereka terhuyung-huyung berkali-kali, kenyataan sebenarnya ialah gempa bumi besar di gunung sehingga pondok mereka juga roboh karenanya. Dan suara hebat tadi tentu tanah dan batu-batu gunung yang gugur karena gempa bumi itu dan jatuh ke dalam jurang. Debunya masih tampak hebat! Tanpa mufakat lebih dulu mereka berenam serentak berlari-lari menuju ke kiri di mana nampak debu mengepul tinggi.
"Hati-hati!" Hee Ban Kiat memesan dan betul saja, ketika sampai di sebuah tikungan, dari atas turun menimpa beberapa buah batu besar yang rupanya terlepas dari sandarannya di atas puncak dan berguling-guling ke bawah.
Untungnya mereka telah waspada dan segera meloncat ke belakang menjauhi tempat bencana itu. Betapapun tinggi kepandaian mereka, kalau sampai, tertimpa batu-batu yang berpuluh ribu kati beratnya itu, pasti akan tamatlah riwayat mereka!
Han Liong yang belum banyak pengalaman dan ingin sekali melihat sesuatu yang masih asing baginya, tak terasa maju mendekati tempat di mana batu-batu tadi jatuh. Tiba-tiba ia melihat sebuah benda pulih berkilau-kilauan yang bergerak gerak diantara tumpukan batu. Ia heran dan maju mendekat.
Tiba-tiba benda panjang itu melayang menyambarnya. Han Liong terkejut dan serangan benda itu demikian cepatnya hingga tak mungkin pula dikelit olehnya. Maka terpaksa ia mengibaskan tangan kirinya untuk menangkis. Alangkah terkejutnya ketika benda itu tidak terlempar, tapi menempel di jari tangan kirinya dan terus menggigit.
"Aduh!" hanya itulah yang dapat diteriakkannya dan ia roboh pingsan. Guru-gurunya dan bibinya dengan terkejut lari memburu. Bukan main khawatir mereka melihat keadaan anak muda itu. Seekor ular berkulit putih berkilau seumpama perak digosok menempel di jari telunjuk tangan kirinya, giginya masih tertanam di jari Han Liong. Yang sangat mencemaskan adalah keadaan tubuh anak muda itu. Seluruh tubuhnya tampak hitam semu hijau. Mulutnya terkancing, matanya tertutup dan nafasnya sengal-sengal, tinggal satu-satu!
Yo Toanio tak dapat menahan getaran hatinya. Ia tubruk keponakannya sambil menjerit-jerit! Guru-guru Han Liong pun menjadi bingung, hanya Pauw Kim Kong yang agak tenang. Tapi setelah memeriksa keadaan muridnya dan melihat ular yang masih menggerak-gerakkan ekornya itu, ia menjadi lebih sedih daripada yang lain-lain.
"Bagaimana, Pauw-suhu?' tanya Bie Kong Hosian ketika melihat Pauw Kim Kong berdiri putus asa dan menggeleng-gelengkan kepala sambil menghela nafas.
"Ular berbisa. Bisanya sangat berbahaya. Belum pernah kulihat racun ular demikian luar biasa!"
Sambil menangis keras Yo Toanio mencabut pedangnya dan dengan gemas membacok ular yang masih menempel di tangan Han Liong. Sekali bacok ular itu putus kepalanya dan Yo Leng In agaknya masih belum puas. Dibacoknya tubuh ular itu berkali-kali hingga hancur menjadi berpotong-potong. Kemudian, setelah menubruk dan menangisi keponakannya sekali lagi, ia mengangkat pedangnya dan ditusukkan ke lehernya sendiri!
Untunglah Hee Ban Kiat berada di dekatnya dan dengan cepat memegang pergelangan Yo Toanio yang memegang pedang hingga sesaat kemudian pedang itu sudah berpindah tangan!
"Sabar, Toanio. Jangan putus harapan. Han Liong belum mati," kata Hee Ban Kiat menghibur.
"Belum mati? Lihatlah... lihatlah! Mukanya sudah hitam semua. Siapa bisa memberi obat? Kan, bertahun-tahun kita didik ia, dari anak-anak sampai dewasa. Pengharapan kita semua digantungkan kepadanya... tapi... tapi justeru hari ini,saat ia harus mulai menunaikan kewajibannya... saat seperti ini... ia... ia berangkat mati... Dimanakah keadilan Thian (Tuhan)?"
Tiba-tiba, bagaikan menjawab keluhan nyonya yang bersedih hati itu, terdengar desis keras di dekat mereka. Mereka terkejut dan menengok ke arah suara itu. Alangkah terperanjat dan marahnya mereka ketika melihat seekor ular lain menggeleser-geleser mendekati tubuh Han Liong! Ular itu sangat hitamnya, dengan belang-belang kuning emas pada kepala dan ekornya. Kelihatannya ganas benar dan beracun pula!
"Kau... binatang!! Siluman!! Engkau mau ganggu anakku juga??"
Yo Leng In dalam kemurkaannya menyambar pedang yang sudah diletakkan di tanah oleh Hee Ban Kiat, lalu melompat ke arah ular hitam itu. Heran sekali, ular itu berhenti dan menanti serangan Yo Toanio dengan berdiri di atas ekornya, seperti ular senduk, tapi lebih tinggi lagi!
Kedua matanya mencorong dan lidahnya yang merah menjilat-jilat. Yo Leng ln mengayunkan pedangnya memancung ke arah kepala ular itu, tapi kenyataannya ular itu bukan main gesitnya dan dapat mengelak, Yo Leng In makin marah dan dengan nafas sesak ia memancung berulang ulang, tapi sekalipun serangannya tak mengenai sasaran.
Bie Kong Hosiang berseru keras dan setelah mencabut goloknya ia membantu Yo Toanio untuk membinasakan ular itu, sungguh aneh, bacokan-bacokan Bie Kong Hosiang yang tak mudah dielakkan oleh seorang ahli silat ternyata dapat dihindarkan oleh ular itu, hingga tiada lama kemudian Hong In, Pauw Kim Kong, dan Hee Ban Kiat terpaksa turun tangan mengeroyok ular kecil itu!
Karena dikeroyok lima orang ahli silat yang hebat itu ular itu sudah dapat dipastikan nasibnya. Dapat dibayangkan bahwa sebentar lagi ia tentu akan hancur menjadi berpotong-potong, kalau tidak, hancur sama sekali. Tapi, tiba-tiba terdengar deruan angin dan disusul suara yang angker,
"Siancai, siancai Cuwi yang terhormat, hentikan segera serangan itu!"
Suara itu sangat berpengaruh dan kelima orang itu segera melompat mundur, sedangkan ular itu berlenggak-lenggok, rupanya sangat kelelahan membela diri, mengelak ke sana ke mari di antara hujan senjata tadi!
Suara yang berpengaruh itu disusul dengan munculnya seorang tua berjubah putih dan bertubuh kurus tinggi. Wajahnya kelihatan alim sekali, tapi sepasang matanya yang lembut mengeluarkan cahaya tajam berkilauan. Tampaknya ia berjalan perlahan saja dengan tenangnya, tapi tiba-tiba ia telah berada di depan mereka sambil mengangkat kedua tangan memberi hormat.
"Cuwi yang terhormat maafkan pinto datang mengganggu."
Kemudian tanpa berkata apa-apa lagi ia menghampiri tubuh Han Liong yang masih rebah tak bergerak itu, diikuti oleh kelima orang itu dengan was-was dan khawatir. Setelah dekat dengan tubuh Han Liong, ia berjongkok lalu tiba-tiba memberi tanda supaya semua orang mundur. Sepasang matanya dengan tajam memandang ke arah ular hitam tadi.
Yo Toanio dan kawan-kawannya menengok dan dengan hati berdebar-debar mereka lihat ular itu bergerak cepat menghampiri tubuh Han Liong. Tiba-tiba ular hitam itu melihat atau mencium bau darah ular putih yang telah hancur tubuhnya. Ia berdiri di atas ekornya, mendesis-desis mengeluarkan lidah dan ajaib sekali, dari kedua matanya yang merah itu menitik keluar dua butir air mata.
Sikapnya jadi makin galak, kepalanya digerakkan ke kanan dan ke kiri seakan-akan mencari orangnya yang membunuh ular putih itu. Ketika sinar matanya beradu dengan sinar mata orang tua yang masih jongkok di dekat tubuh Han Liong, tiba-tiba ia bergerak mundur lalu membalikkan tubuh hendak pergi.
Tiba-tiba orang tua itu cepat mengulurkan kedua tangannya dan mengangkat tubuh Han Liong dan dengan sekali lompat ia telah berada di depan ular hitam, mencegat dan jongkok pula sambil memondong tubuh Han Liong. Ular itu segera membalikkan tubuh lagi, tapi orang tua itu segera mengejar dan melompatinya lalu menghadang di depannya.
Setelah hal ini terjadi berkali-kali, ular hitam itu rupa-rupanya menjadi marah dan ia berdiri di atas ekornya sambil menjulurkan lidahnya yang merah. Desisnya keras dan tajam menyakitkan telinga. Kemudian setelah menurunkan kepalanya ke bawah untuk mengumpulkan tenaga, ular itu melompat, meluncur bagaikan anak panah terlepas dari busurnya menuju ke arah leher orang tua itu.
Yang diserang tenang saja dan memegang tangan kanan Han Liong dan menggunakan tangan anak muda itu untuk menangkis, dengan gerakan yang sama benar dengan gerakan anak muda itu ketika menangkis serangan ular putih tadi.
Yo Toanio yang dari tadi terheran-heran dan tidak mengerti, kini sangat terkejut melihat betapa ular hitam itu menggigit jari tangan kanan Han Liong dan menempel di situ tidak mau melepaskannya! Yo Toanio tak dapat menahan gelora kemarahan hatinya,
"Siluman tua, apa yang kau lakukan?"
Dengan penuh kebencian ia memungut pedang yang diletakkan di atas tanah lalu melemparkan pedang itu dengan sekuat tenaganya. Ketika itu orang tua yang aneh itu tengah menggunakan tangan kirinya memijit-mijit ubun-ubun Han Liong dan tangan kanannnya memegang leher ular hitam. Agaknya ia sama sekali tidak ambil perduli akan datangnya pedang yang melayang ke arah dadanya!
Yo Toanio dengan jelas sekali melihat betapa pedang itu tepat menancap di dada orang tua itu, tapi ajaib, orang tua itu seolah-olah tidak merasa apa-apa, dan melanjutkan pekerjaannya memijit-mijit ubun-ubun Han Liong dan mencekik-leher ular!
Sejenak kemudian ia berdiri dan ular hitam itu malah dipegangnya, karena itu dengan mudah saja ia mencabut gigitan ular-ular itu dari jari Han Liong. Baru sekarang ia memandang mereka berlima itu dengan sebuah senyum manis tersungging di bibirnya.
"Siancai, siancai! Berkat kemurahan Thian Yang Agung, cucuku Han Liong tertolong jiwanya." Kemudian ia memandang ular hitam yang di tangannya. "Maafkan pinto, kim ouw-coa (ular emas hitam), terpaksa pinto melakukan dosa besar. Engkau telah menolong jiwa orang, tapi kau sendiri harus dibalas dengan kematian." Ia menggeleng-gelengkan kepalanya. "Alangkah kejamnya, tapi apa boleh buat, jiwa cucuku lebih penting dari pada jiwamu. Nah, mengalahlah kali ini, ouw-coa biarlah di lain penjelmaan pinto balas budimu dan menebus dosa!"
Kemudian dengan perlahan ia mencabut pedang yang masih menancap di dadanya dan sekali pancung saja maka putuslah leher ular hitam itu!
Yo Toanio dengan kawan-kawannya terheran-heran melihat kelakuan orang tua itu, lebih-lebih ketika mereka melihat bahwa bekas tusukan pedang di dadanya ternyata tidak mengeluarkan darah, seolah-olah dadanya itu belum tertusuk pedang. Mereka memandang ke arah tubuh Han Liong, dan alangkah girang hati mereka melihat Han Liong bergerak-gerak perlahan-lahan, lalu bangun dan menggosok-gosok matanya seakan-akan baru bangun tidur!
Segera mereka berebut menghampiri Han Liong dan serentak bagaikan mendapat komando, mereka berlima menjatuhkan diri berlutut di depan orang tua itu.
"Ah, cuwi, jangan lakukan peradatan tak berarti ini. Silahkan bangun, pinto tak layak menerima kehormatan ini."
Kata-kata ini diucapkan dengan suara demikian halus dan sopan oleh orang tua itu, hingga mereka segera berdiri dan mengangkat tangan memberi hormat.
"Maafkan kami yang buta tak mengenal orang pandai," kata Pauw Kim Kong mewakili kawan-kawannya bicara, "Dan maafkanlah perbuatan Yo Toanio tadi yang dilakukan terdorong karena kebingungan hatinya melihat keadaan keponakannya. Mohon tanya siapakah toheng yang mulia?"
"Ah, pinto sendiri sudah hampir lupa akan nama pinto. Dan lagi, apakah artinya nama? Diberi tahu juga, cuwi takkan mengenalnya. Rasanya sudah cukup bila pinto katakan bahwa pinto adalah orang yang mengasingkan diri dan menerima berkah dari Kam Hong Siansu. Kedatangan pinto inipun bukannya bermaksud untuk mencampuri urusan cuwi. Tapi tak lain karena menerima perintah dari Siansu untuk membawa cucuku ini. Ketahuilah cuwi, bahwa Han Liong berjodoh untuk berjumpa dengan Kam Hong Siansu. Adapun kedua ular ini, bukannya kebetulan saja mereka datang menggigit Han Liong. Agaknya sudah kehendak Thian bahwa anak ini menerima karunia yang luar biasa. Ketahuilah, racun ular putih yang penuh dengan hawa Yang dapat mematikan seratus orang dengan bisanya. Tidak ada obat di dunia ini yang dapat menyembuhkan pengaruh bisanya yang hebat itu. Sebaliknya, ular hitam inipun penuh dengan racun yang mengandung sari hawa Im, maka apabila ia menggigit orang yang menjadi korban gigitan ular putih, racunnya menjadi saling tolak dan saling memunahkan, bahkan kedua racun yang mengandung hawa Yang dan Im itu kalau bercampur di dalam tubuh menjadi obat yang mempunyai daya luar biasa, memperkuat tubuh dan memperbesar daya tan tian. Dapat cuwi bayangkan betapa beruntungnya Han Liong karena tergigit oleh kedua ular ini."
Tak perlu dikatakan betapa senangnya hati keempat guru itu dan Yo Toanio mendengar keterangan ini, dan pula saat itu Han Liong sudah sadar benar. Segera Yo Toanio memerintahkan keponakannya untuk mengucapkan terima kasih. Han Liong segera berlutut.
"Nah, cuwi, kini perkenankanlah pinto membawa Han Liong kepada Siansu. Bangkai kedua ular ini pinto bawa karena merupakan obat untuk anak ini. Musim Chun tahun depan cuwi boleh menanti di sini untuk menyambut Han Liong kembali." Dengan tenang ia pungut dua bangkai ular itu dan memegang lengan Han Liong.
Yo Toanio penasaran. "Maaf, suhu. Bukannya saya tidak percaya padamu, tapi Han Liong adalah keponakanku yang kudidik semenjak kecil. Maka perkenankanlah saya mengetahui nama suhu dan ke mana suhu akan membawa Han Liong agar hatiku menjadi tenteram."
"Ha ha ha! Memang wanita selalu ingin tahu segala hal! Nah. ketahuilah, aku adalah ayah iparmu Si Cin Hai, jadi Han Liong ini adalah cucuku sendiri. Kemana aku hendak bawa anak ini, tak seorangpun boleh tahu, pendeknya, ke tempat Kam Hong Siansu. Nah, selamat tinggal!"
Sebelum mereka dapat berkata sesuatu, orang tua itu segera menarik lengan Han Liong dan membawa pemuda itu lompat ke jurang di mana batu-batu besar tadi berjatuhan! Yo Toanio hendak mengejar, tapi dicegah oleh Pauw Kim Kong.
"Jangan, toanio. Kulihat ia bukan orang sembarangan. Dan lagi, bukankah ayah Si enghiong itu Menteri Si Kim Pauw yang dulu dikabarkan lenyap setelah bertapa di gunung ini?"
Yo Toanio mulai sadar, "Si Kim Pauw! Betul, betul dia. Biarpun aku belum pernah bertemu denganya, tapi wajahnya serupa benar dengan Si enghiong. Ya Tuhan, syukur kalau begitu. Han Liong berada di tangan kakeknya sendiri dan pasti sekali Kam Hong Siansu adalah seorang luar biasa dan pandai!"
Semua menyatakan kegirangan mereka karena kenyataan itu dan Hee Ban Kiat berkata. "Kalau bukan Yo Toanio sudah yakin bahwa orang itu adalah kakek Han Liong sendiri, aku masih saja merasa khawatir, karena orang tua itu seperti bukan manusia. Kusangka tadi ia siluman gunung ini."
"Jangan gegabah, Hee koanjin," tegur Hong In. "Orang tua itu sudah tinggi sekali ilmu batinnya. Tidakkah kau lihat betapa tadi ia menerima tusukan pedang yang dilemparkan Yo Toanio? Ia dapat mematikan rasa, dan ilmunya yang sempurna telah dapat menahan jalan darahnya hingga tusukan pedang itu sama sekali tidak dirasanya dan tidak dapat melukainya. Bagi kita yang masih suka berada di tengah-tengah kekotoran dunia ini, jangan harap akan mencapai tingkat setinggi itu."
Kemudian mereka bermufakat untuk berkumpul kembali pada musim Chun tahun depan seperti yang telah dijanjikan oleh Si Kim Pauw itu. Setelah itu, mereka berpisah dan kembali ke tempat masing-masing.
********************
Sekarang marilah kita ikuti perjalanan Si Han Liong yang dibawa oleh kakeknya. Ketika ia dibawa oleh kakeknya melompat ke dalam jurang, diam-diam hatinya cemas karena kakinya menginjak tempat kosong dan mereka berdua meluncur ke bawah dengan amat cepatnya! Ketika memandang ke bawah, terpaksa Han Liong menutup matanya, karena jurang itu seakan-akan tak berdasar karena dalamnya!
Tiba-tiba kakeknya memperkuat pegangannya pada pergelangan lengannya dan berbisik, "Pegang dahan pohon di bawah itu!"
Han Liong waspada, ia menggunakan ilmunya meringankan tubuh dengan kegesitannya. Pohon di bawah itu seperti melayang naik menuju dirinya, pada hal tubuhnya sendirilah yang sedang melayang turun dengan cepatnya. Bagaikan bersayap, kakeknya dapat menggerakkan tubuh hingga mereka meluncur ke samping pohon.
Orang tua itu mengulurkan lengan dan tangannya berhasil memegang cabang pohon. Han Liong memperlihatkan pula kegesitannya, ia sambar ujung ranting pohon itu, tapi malang baginya ranting itu patah. Tapi sedikitnya kelajuan luncuran tubuhnya telah tertahan dan dengan gerakan mementangkan kedua kakinya, ia dapat bergerak ke arah cabang rendah dan berhasil memegangnya!
Keringat dingin keluar dari keningnya ketika ia duduk di dahan pohon dan memandang ke bawah. Ternyata jurang itu sangat dalam dan tak mungkin orang akan dapat hidup jika jatuh ke bawah. Pohon yang didudukinya itu tumbuh miring. Akar-akarnya berada di tanah gunung yang curam.
"Lompat ke situ!" kakeknya berkata sambil menunjuk ke kiri.
Ketika Han Liong memandang, ternyata kira-kira empat tombak dari pohon itu terdapat sebuah gua besar yang hitam dan gelap, bentuknya bagaikan mulut naga sedang menganga dengan batu-batu tajam di atasnya bergantungan ke bawah merupakan taring dan gigi naga. Kakeknya mendahului lompat dan lapun segara mengerahkan tenaganya terjun menyusul dan tiba di mulut gua dengan selamat.
Han Liong mengikuti kakeknya memasuki gua itu yang ternyata panjang berliku-liku. Di dalam gua itu tampak sinar terang, dan ketika mereka sampai di situ, ternyata bahwa di atas gua itu ada sebuah lobang yang memasukkan sinar matahari dan menerangi gua itu. Di sebelah kanan ada pula lobang besar merupakan jendela. Ketika Han Liong menghampiri jendela itu dan memandang. Ia menjjadi sangat kagum. Bukan main indahnya pemandangan yang nampak di luar jendela!
Tamasya alam yang belum pernah dilihatnya seumur hidupnya. Daun-daun liu di hutan-hutan berkelompok-kelompok, beberapa anak sungai yang berkelak kelok bagaikan ular ular kecil, bukit-bukit yang berjajar-jajar rapi seakan-akan diatur oleh tangan seorang ahli, dihiasi dengan batu batu bundar besar berwarna hijau dan biru karena tertutup lumut, dan warna warni merah, kuning, biru dari bunga-bunga gunung merupakan hiasan terakhir dan terindah. Ia terpesona sejenak oleh lukisan alam yang luar biasa itu. Pikirannya menjadi tenang, tubuhnya terasa segar dan sedap.
"Han Liong, jangan melamun. Menghormatlah kepada Siansu," kata kakeknya tiba-tiba.
Han Liong terkejut dan segera menengok. Terlihat olehnya seorang tinggi besar berjubah putih, berkumis dan berjenggot putih yang panjangnya sampai ke perut. Wajahnya yang tua nampak amat agung, dan entah kapan ia masuk ke situ, karena serta merta ia telah duduk bersila di atas sebuah batu hitam berbentuk pat-kwa (segi delapan)
Wajah yang agung itu menjadikan Han Liong merasa dirinya sangat kecil tak bearti. Dengan penuh khidmat ia maju berlutut. Mulutnya berkata perlahan-lahan dengan penuh hormat,
"Teccu menghaturkan hormat..."
Kam Hong Siansu membuka kedua matanya yang ternyata sangat bening seperti mata kanak-kanak. "Anak baik, beristirahatlah dulu untuk mengembalikan tenagamu. Mulai besok sampai setahun penuh, kau akan sibuk belajar menambah pengetahuanmu."
Han Liong memberi hormat sekali lagi, kemudian ikut kakeknya ke ruangan dalam di mana tersedia sebuah kamar tanah kira-kira dua meter persegi, di mana tersedia sebuah batu yang rata untuk duduk. Kakeknya memberitahu bahwa ia hanya boleh mengaso atau tidur sambil bersila di atas batu itu!
Demikianlah, tiap hari Han Liong menghadap Kam Hong Siansu di mana ia diperintahkan bersilat memperlihatkan segala macam kepandaian yang telah dipelajarinya dari keempat gurunya yang lalu. Untuk tiap ilmu pukulan maupun permainan senjata, selalu Kam Hong Siansu memberi petunjuk-petunjuk yang membuat gerakannya menjadi luar biasa, hingga ilmu silat pemuda itu mengalami perobahan penuh rahasia dan tak terduga.
Petunjuk-petunjuk yang diberikan secara sabar dengan suara lemah lembut itu meresap betul ke dalam hati dan pikiran Han Liong hingga ia mendapat kemajuan sangat pesat. Kam Hong Siansu sangat sayang kepadanya hingga orang tua pertapa yang berilmu tinggi itu turun tangan, menciptakan ilmu silat tangan kosong yang dipetiknya dari semua pelajaran yang diperoleh anak muda itu.
Ilmu pukulan ini dinamakannya Ilmu Silat Empat Bintang dan di dalam gerakan-gerakannya terkandung sari-sari pelajaran yang dipelajari Han Liong dari keempat suhunya. Selain dari itu, anak muda ini menerima pelajaran-pelajaran dasar ilmu batin yang tinggi, hingga batinnya menjadi kuat dan tenaga dalamnya mencapai tingkat tinggi.