PEDANG PUSAKA NAGA PUTIH JILID 06
Tiba-tiba ia merasa ada orang meraba-raba kantongnya yang tergantung di pinggangnya. Cepat sekali gerakan tangan itu hingga tahu-tahu kantongnya telah terlepas dari ikatan! Tapi tangan Han Liong lebih cepat lagi. Pencopet yang licik ttu tanpa disadarinya, ia merasa pergelangan tangannya yang memegang kantong tadi telah dipegang oleh tangan korbannya. Ia berusaha melepaskan pegangannya, tapi sia-sia.
Bahkan ketika ia kerahkan tenaganya, ia merasa pergelangan tangannya begitu sakit seakan-akan hendak patah. Mata dengan muka merah dan kebingungan ia menurut saja ketika Han Liong menariknya ke tempat yang agak sunyi. Mereka berdua berjalan seakan-akan dua sahabat karib saling bergandengan tangan. Setelah tiba di sebuah gang sepi Han Liong melepaskan cekalannya.
Orang itu mengembalikan kantong yang dicopetnya itu sambil menunduk memberi hormat. “Kongcu maafkan siauwte yang telah berlaku tak sepatutnya padamu,” katanya.
Han Liong melihat orang itu masih muda, kira-kira berusia dua puluh lima tahun, tubuhnya kecil tapi tampak kuat dan dari gerak-geriknya dapat kita ketahui bahwa ia mengerti ilmu silat.
“Tidak apa,” jawabnya, “Tapi barangkali kau bisa menolongku,” kata Han Liong.
Orang itu memandang heran. “Kongcu, aku Tan Sam dijuluki orang Si Copet Tangan Seribu. Belum pernah tanganku gagal, tapi kali ini kongcu telah membuat aku takluk benar-benar, karena tidak sembarang orang dapat memegang lenganku tanpa aku dapat berdaya sama sekali. Aku orang miskin dan tentang kepandaian, kongcu jauh lebih tinggi dariku, maka pertolongan apakah yang dapat kuberikan kepada kongcu?”
“Aku tidak inginkan pertolongan tenaga maupun uang,” kata Han Liong. “Hanya aku membutuhkan keterangan tentang seorang di kota ini.”
“Oo, kalau soal itu saja, jangan kongcu khawatir, karena tidak ada seorang juapun di kota ini yang tidak kukenal, kecuali kalau ia orang luar kota.”
“Nah, kalau begitu, kenalkan kau seorang bernama Lie Ban yang disebut orang si Naga Tanduk Besi?”
Tan Sam mengerutkan dahinya memikir- mikir. “Lie Ban Naga Tanduk Besi? Sungguh heran, tidak ada rasanya orang yang bernama itu di sini, kongcu.”
Han Liong kecewa, tapi masih mencoba menerangkan. “Ia belum lama ini pindah dengan keluarganya dari Lam-ciu.”
“Dari Lam-ciu katamu, kongcu? Ada seorang she Lie yang baru pindah dari Lam-ciu, tapi namanya adalah Lie Wan-gwa. Tapi aku tidak tahu apakah hartawan itu bernama Lie Ban. Lagi pula, masakan seorang hartawan mempunyai nama julukan seperti seorang ahli silat demikian? Tapi, nanti dulu! terus terang kukatakan bahwa aku pernah mencoba memasuki gedungnya, tapi gagal, aku mendapat genteng yang dilemparkannya padaku yang menyebabkan hampir saja aku dapat ditawannya dan...!”
“Dan... bagaimana maksudmu?” Han Liong tertarik.
“Aku tidak berhasil apa-apa, bahkan hampir aku mati terbunuh!”
“Bagaimana bisa terjadi?”
“Tidak kuketahui bahwa di gedung wan-gwe itu ada setannya! Baru saja aku mendarat di atas genteng, tiba-tiba sebuah genteng terbang menyambar kepalaku. Berkali-kali genteng terbang menyambarku hingga tubuh dan kepalaku luka dan mencucurkan darah! Anehnya, sama sekali aku tidak melihat orangnya yang menyambit itu. Maka, kalau bukan setan, siapakah lagi?”
Han Liong tak dapat menahan senyumnya, “Hm, kalau begitu maukah kau menolong aku untuk menyelidiki, apakah hartawan Lie itu yang bernama Lie Ban atau bukan?”
“Baik, kongcu, baik. Sore nanti akan kukirim berita hasil penyelidikanku padamu.”
Mereka lalu berpisah dan Han Liong kembali ke kamarnya. Ia masih ragu-ragu apakah hartawan itu benar-benar musuh besarnya yang dicari-carinya itu? Ia harus bertindak dengan hati-hati jangan sampai gegabah yang bisa mencelakakan orang lain yang tak bersalah, karena salah alamat. Sore harinya, betul saja Tan Sam datang, dengan muka berseri-seri, ia menceritakan hasil penyelidikannya.
“Tidak percuma kau minta tolong dan mempercayaiku, kongcu! Hartawan she Lie itu betul-betul Lie Ban Naga Tanduk Besi!”
“Bagaimana kau tahu begitu pasti?” tanya Han Liong teliti.
“Karena aku yakin, untuk dapat masuk ke gedung itu tipis benar harapan, karena sangat berbahaya, maka aku gunakan akal. Aku pancing-pancing keterangan di antara pelayan-pelayan gedung itu, dan dari mereka aku tahu bahwa semua pelayannya berasal dari kota ini, di antaranya terdapat seorang pelayan tua yang dibawa oleh Lie wan-gwe dari Lam-ciu. Kebetulan sekali pelayan tua itu keluar dari gedung lalu kuculik. Setelah kupaksa, akhirnya pelayan tua itu mengaku juga, bahwa Lie-wan-gwe itu ialah Lie Ban si Naga Tanduk Besi itu sendiri! Ia bekas panglima perang yang kini telah berhenti. Tapi kalau kau hendak memusuhi orang she Lie ini, hati-hatilah, kongcu, karena aku mendengar bahwa baru beberapa hari ini di rumahnya kedatangan kawan-kawannya yang terdiri dari ahli-ahli silat terkemuka. Bahkan sejak mereka pindah ke sini, selalu gedung itu dijaga oleh adiknya sendiri Oei-kak-liong Lie Kong dan dua saudara Jie-pa-cu yang bernama Beng Liok Hui dan Beng Liok Houw. Mereka ini merupakan penjaga-penjaga yang kuat dan tinggi ilmu silatnya, kini ditambah lagi dengan tamu-tamunya yang datang itu, maka gedung orang she Lie itu merupakan sarang harimau-harimau galak yang tidak mudah dikalahkan. Hm, kalau kuingat aku masih merasa sakit hati, kongcu. Tidak heran ketika aku coba-coba datang ke sana dulu, genteng-genteng beterbangan melukaiku. Aku tidak tahu bahwa di situ bersarang jagoan-jagoan besar. Ah, untung mereka masih mengampuni aku dan tidak membunuhku!”
Alangkah lega dan girang hati Han Liong mendengar keterangan-keterangan ini. Ia sekarang tidak ragu-ragu lagi, karena ternyata Oei-kak-liong Lie Kong adik Lie Ban dan dua saudara macan tutul itupun berada di situ, tepat seperti yang diceritakan oleh gurunya Liok-tee-sin-mo Hong In, yang menolong dirinya juga ketika itu bertempur dengan mereka berempat ini di masa lalu!
Mendengar penjagaan yang kuat itu, sedikitpun ia tidak gentar, bahkan semangatnya bertambah. Ia yakin, dengan berkumpulnya orang-orang itu, maka pembalasannya akan menjadi lengkap. Ia mengucapkan terima kasih kepada Tan Sam dan memberinya potongan uang emas, tapi hadiah ini ditolak oleh Tan Sam dengan manis.
“Kongcu, kau adalah orang baik. Aku tahu benar bahwa kau seorang berbudi luhur yang pernah kucopet. Aku senang membantumu, kongcu. Jika kau ada apa-apa, carilah aku di jembatan kelima jalan barat sana!” Kemudian ia pergi.
Malam itu kebetulan tanggal empat belas dan sore-sore sang ratu malam telah menampakkan diri, bulan purnama memancarkan sinarnya terang benderang seolah-olah tersenyum manis pada setiap mahluk dan segala benda yang ada di permukaan bumi. Tidak tampak sedikitpun awan gelap yang mengganggu.
Suasana tampak menggembirakan, penuh damai dan tenteram, sehingga tak seorang juapun menyangka bahwa di malam itu akan terjadi suatu peristiwa besar yang mengerikan. Di atas genteng-genteng rumah-rumah yang berjajar-jajar di bagian kota itu tampak berkelebat bayangan yang gesit sekali. Jika ada orang yang kebetulan berada di atas genteng rumahnya ia akan melihat bayangan saja yang berpusing tanpa terlihat orangnya, tentu ia akan menyangka bahwa bayangan itu adalah bayangan burung terbang.
Sebetulnya adalah Han Liong sendiri yang berpakaian putih dengan ikat pinggang warna kuning panjang berkibar-kibar di belakangnya. Langsung Han Liong menuju ke rumah Lie Ban yang besar dan mewah itu. Setibanya di luar gedung, Han Liong mengencangkan ikat pinggangnya dan kemudian mengayunkan tubuhnya ke atas genteng.
Tindakan kakinya demikian ringan hingga sedikitpn tak mengeluarkan suara. Ia berhenti di atas sebuah kamar besar di mana menyala api lilin yang dipasang lebih dari empat tempat hingga menerangi seluruh kamar. Diam-diam ia membuka genteng dan mengintip ke dalam.
Di tengah-tengah kamar itu terdapat beberapa orang sedang duduk mengelilingi meja bundar. Kelihatan seorang laki-laki setengah tua yang bertubuh tegap duduk di kepala meja. Di kanan kiri dan depannya duduk lima orang laki-laki yang semuanya bertubuh kuat menandakan bahwa mereka adalah orang-orang ahli silat yang pandai.
Ternyata mereka tengah asyik bercakap-cakap dan dari kata-kata mereka, Han Liong mendapat kesan bahwa orang-orang itu adalah orang baik-baik yang berbicara tentang silat dan tempat-tempat indah di berbagai tempat. Pemuda itu ragu-ragu, lalu loncat ke tempat lain melanjutkan penyelidikannya, tiba-tiba ia mendengar suara wanita sedang bercakap-cakap. Hatinya berdebar-debar, karena bukankah nyonya Lie Ban adalah ibunya sendiri?
Teringat ini hatinya menjadi perih, karena selalu ia mengenangkan ibunya dengan dua perasaan menjadi satu, perasaan cinta dan kecewa. Ia segera melakukan pengintaian lagi. Kamar itu lebih kecil daripada kamar yang lain. Di situ hanya terdapat sebuah lilin yang kecil sehingga keadaan dalam kamar suram. Tampak olehnya seorang wanita setengah tua tengah berbaring dan di sampingnya duduk seorang perempuan muda yang memijat-mijat kakinya.
“Anakku,” terdengar suara wanita setengah tua itu dengan suara halus penuh kasih sayang hingga Han Liong yang mendengarkannya merasa terharu. “Kurangilah kebiasaanmu pergi merantau. Kau adalah anak perempuan seorang bekas pembesar, seorang cian kim siocia yang sepatutnya berdiam di rumah belajar pekerjaan halus-halus. Kalau kau bertemu dan berkenalan dengan segala bangsa kasar, derajatmu dengan sendirinya akan turun.”
“Ah, ibu. Aku bosan kalau terus-terusan berada di dalam rumah. Aku ingin meluaskan pandangan dan menambah pengalaman,” jawab anak perempuan tadi sambil mengelus-elus kaki ibunya.
“Dasar anak sekarang. Tapi, hati-hatilah, nak, karena menurut pengalamanku, lebih banyak orang jahat daripada orang baik. Nah, sekarang mengasolah, ibumu hendak tidur.”
Han Liong tidak dapat melihat tegas wajah mereka karena cahaya lilin sangat suram. Ia mellat betapa wanita muda itu turun dari pembaringan dan meninggalkan ibunya, memasuki kamar lain dan wanita itu bangun dari pembaringan lalu duduk di kursi. Ia nampak kurus dan tua.
Karena ingin kepastian, Han Liong tidak ragu-ragu lagi lalu melompat turun di depan pintu kamar itu, dan menolak daun pintu perlahan-lahan. Perempuan itu menengok, agaknya terkejut melihat pemuda yang tidak dikenal itu. Tapi ia segera dapat menetapkan hatinya.
“Siapa kau?” tanyanya dengan suara tenang.
Han Liong melihat ada sebuah lilin yang agak besar belum dipasang di atas meja, maka tanpa menjawab pertanyaan itu, dengan cepat ia mengambil lilin itu dibakarnya dengan lilin kecil yang masih menyala itu. Kamar menjadi terang dan dengan sekilas pandang Han Liong dapat melihat wajah yang membayangkan kesedihan itu, dan dapat pula dilihatnya dengan nyata bahwa muka itu persis seperti bekas wajah wanita cantik. Kemudian sambil memandang dengan tajam, ia menjawab lemah.
“Namaku Han Liong... Si Han Liong!!”
Wanita itu terkejut bagai disentakkan oleh tenaga gaib. Kedua tangannya diulurkannya, sepasang matanya terbelalak memandang seakan-akan melihat setan, penuh pancaran tidak percaya, kedua kakinya tiba-tiba gemetar dan bergerak maju tanpa disengaja. Kemudian secepat kilat ia menangkap tangan kiri Han Liong dan membalikkan telapak tangan anak muda itu.
Ia membiarkan saja. Terlihat di nadi Han Liong sebuah titik hitam. Wanita itu memandang Han Liong pula dari kepala sampai ke kaki, kedua matanya yang terbelalak lebar perlahan-lahan menjadi basah dan air mata menetes turun di sepanjang pipinya. Kemudian ia mundur terhuyung-huyung, tapi kedua lengannya terbuka seakan-akan hendak memeluk.
“Han Liong... Han Liong... anakku...!!” Ia mengharapkan puteranya itu maju menubruk dan memeluknya, tapi Han Liong diam saja, berdiri tegak laksana patung.
“Han Liong...!” nyonya tua itu merasa seluruh anggota tubuhnya lemah dan tangannya meraba-raba ke sandaran kursi mencari pegangan untuk menahan tubuhnya yang hendak roboh karena kepalanya tiba-tiba menjadi pusing. Beberapa saat berlalu sunyi, hanya terdengar suara pernapasan wanita itu yang terengah-engah berat.
“Han Liong... kau datang mencari ibumu...?” tanyanya lemah.
“Bukan,” jawab pemuda itu tegas tanpa pikir lagi, sehingga ia sendiri menjadi heran akan kata-katanya karena mengapa sedang hatinya bagaikan hancur luluh melihat ibu kandungnya sendiri yang sudah lama dirindukannya, dengan seluruh hasratnya yang menggelora ingin memeluk kaki ibunya dan ingin pula menjatuhkan kepalanya di pangkuan ibunya, maka tiba-tiba mengeluarkan kata-kata ketus.
“Aku datang hendak mencari pembunuh ayahku. Ibu tentu sudah lupa ayahku orang she Si yang terbunuh oleh suami ibu yang sekarang ini. Tapi aku tidak lupa, dan aku ingin menuntut balas!” Suaranya makin keras dan lantang, semua diucapkannya diluar kesadarannya.
Mendengar kata-kata yang bagaikan pisau tajam menusuk hatinya dan yang penuh pernyataan penyesalan dari anak kepada ibunya ini. Yo Lu Hwa, wanita itu, mendekap dadanya dan menjerit ngeri, lalu roboh tak sadar diri!
Buyar seketika semua kekerasan hati Han Liong melihat ibunya pingsan. Ia maju dengan lemah lembut diangkatnya tubuh ibunya ke atas pembaringan. Yo Lu Hwa mulai sadar tapi masih merasa pening dan matanya memandang gelap, lalu dipeluknya leher anaknya dengan hati hancur. Tapi Han Liong melepaskan pelukan ibunya karena pada saat itu ia mendengar suara langkah kaki memasuki kamar.
Ia hendak meloncat keluar, tapi ibunya memegang tangannya seakan-akan hendak menahannya, sehingga hal ini membuatnya terlambat untuk keluar dan pada saat itu pintu kamar terpentang lebar. Orang yang memasuki kamar itu adalah seorang gadis muda yang tadi berbicara dengan ibunya, dan ketika ia melihat tegas, hampir saja ia berteriak karena heran. Karena yang berdiri di depannya memegang sepasang pedang itu tiada lain ialah Lie Hong Ing sendiri, gadis gagah yang baru pagi tadi meninggalkan perahunya!
“Ibu... ada apa, ibu?” kata gadis itu melihat ibunya dengan cemas. Ibunya yang terserang tekanan batin hebat itu hanya dapat menuding ke arah Han Liong sambil berkata lemah, “Ia... ia...” lalu menangis tersedu-sedu.
Hong Ing cepat menengok dan ketika ia melihat Han Liong, kedua alis matanya bergerak-gerak tercengang. “Kau...?? Kau... datang ke sini mengganggu ibuku? Berani benar kau!”
Segera ia menusuk dengan pedang kanan ke arah leher Han Liong. Pemuda itu kini maklum bahwa Hong Ing adalah anak ibunya dan Lie Ban! Hebat rasanya kenyataan ini. Hong Ing adalah anak musuh besarnya, tapi adalah adiknya sendiri, adik seibu. Dan kini adiknya itu menyerangnya dengan tusukan maut!
“Hong Ing... ia... kakakmu...!”
Yo Lu Hwa masih sempat berbisik, tapi tak terdengar oleh Hong Ing yang sedang marah sekali. Tusukannya dapat dikelit Han Liong yang segera turut mundur keluar dengan cepat.
“Bangsat, jangan lari!!” teriak Hong Ing lalu menyusul.
Han Liong melompat ke atas genteng, disusul oleh nona itu. Untuk sesaat Han Liong ingin berlari pergi karena ia segan melawan nona itu, tapi sifat jantannya melarang ia pergi sebelum ia membatas sakit hati ayahnya. Maka ia berdiri menanti dengan tenang. Ketika Hong Ing yang tertinggal karena kalah gesit itu tiba di hadapan Han Liong, gadis itu menahan serangannya dan bertanya dengan suara ketus,
“Tak kusangka kau adalah golongan orang jahat! Sekarang terangkan maksud kedatanganmu sebelum kupisahkan kepalamu dari tubuhmu!”
Mau tak mau Han Liong memainkan senyum di bibirnya mendengar kecongkakan gadis itu. “Kau hendak tahu maksud kedatanganku? Baiklah aku berterus terang. Kepadamu aku tak bermaksud apa-apa, maka baiknya panggil saja ayahmu keluar. Bukankah ayahmu adalah Lie Ban si Naga Tanduk Besi?”
“Ada urusan apa kau mau berjumpa dengan ayahku?” tanya Hong Ing.
“Ia adalah pembunuh ayahku dan aku datang hendak membalas dendam dan membunuhnya!”
“Bangsat kecil! Kau hendak membunuh ayahku? Bagus, besar sekali nyalimu. Tak perlu ayahku keluar untuk membereskan kau, cukup aku sendiri dengan sepasang pedangku ini!” Terus ia menyerang kembali dengan hebat.
“Apa boleh buat! Kau sendiri yang mencari celaka!” kata Han Liong dan tiba-tiba Hong Ing merasa matanya kabur ketika pemuda itu berkelit menghindari serangannya sambil mencabut Pek liong pokiam yang bersinar putih melepak dan menyilaukan mata ketika ditimpa sinar bulan!
Tapi Hong Ing tidak takut, ia segera menyerang kembali dengan gerak tipu Dua Dewa Kecil Bermain-main. Pedang kanannya diputar-putar seperti baling-baling lalu diarahkan ke leher lawan, sedangkan yang kiri langsung menusuk perut lawannya itu. Han Liong kelit tusukan dan menangkis sabetan pada lehernya.
"Tranggg!" dan tahu-tahu pedang kanan Hong Ing telah putus!
Hong Ing terkejut tapi tidak mau mengalah. Pedang kiri segera pindah tangan, lalu ia menyerang pula dengan hebat. Tapi kali ini ia berlaku hati-hati karena pedang lawan luar biasa tajamnya sehingga sebilah pedangnya sendiri yang terbuat dari baja tulen pun dengan mudah dipatahkan lawan. Han Liong banyak mengalah dan berkelit ke sana sini mengandalkan kegesitan tubuhnya yang diwarisinya dari si Iblis Bumi.
Tiba-tiba dari bawah melayang keluar enam bayangan dengan sangat gesitnya dan terdengar suaranya berseru, “Tangkap bangsat itu!”
Ternyata mereka ini adalah Lie Ban Naga Tanduk Besi sendiri, diikuti oleh adiknya Lie Kong. Sepasang Macan Tutul she Beng, dan dua orang tua tamu Lie Ban yang dilihat oleh Han Liong tadi ketika keenam orang itu tengah duduk bercakap-cakap.
Melihat enam orang itu telah berada di depannya, Han Liong gunakan pokiamnya memapas pedang Hong Ing sehingga terdengar suara “trang” untuk kedua kalinya dan gadis itu kehilangan pedangnya! Hong Ing menjadi marah sekali, tapi sebelum ia dapat berbuat sesuatu, Han Liong berteriak. Tunggu!!” sambil lompat mundur setindak lebih.
“Bangsat dari mana berani membikin kacau di sini?” teriak Lie Ban dengan marah.
“Yang mana di antara kalian yang bernama Lie Ban Naga Tanduk Besi?” tanya Han Liong.
“Aku sendirilah Lie Ban! Kau mau apa?” jawab si Naga Tanduk Besi.
Sepasang mata Han Liong menyinarkan penuh kebencian. Ia gunakan ketika itu untuk memandang musuh besarnya dengan teliti. Hm, jadi inikah pengrusak rumah tangga orang tuaku? Inikah orangnya yang membunuh ayahku dan kemudian menawan ibuku serta memaksanya menjadi isterinya?
“Hm, tua bangka she Lie yang rendah budi! Dengarlah baik-baik, aku adalah Si Han Liong!! Ingatkah kau nama ini??”
Lie Ban terkejut. “Han Liong?? Kau anakku! Ibumu selalu mengharapkan kedatanganmu.”
“Siluman tua! Jangan sebut-sebut nama ibuku untuk meredakan sakit hatiku! Ayahku telah kau bunuh dan sekarang aku anaknya harus mengambil kepalamu untuk dipakai sembahyang di depan arwah ayahku!”
“Tapi... tapi...” ia tak dapat melanjutkan kata-katanya karena pada saat itu Pek liong pokiam telah menyambar ke arah lehernya!
Namun Lie Ban bukanlah orang lemah. Ia bekas panglima yang berkepandaian tinggi, maka dengan melompat ke samping ia dapat menghindarkan dirinya dari tusukan walaupun keringat dingin mengucur dari jidatnya karena sinar Pek-liong pokiam yang begitu lebat dan mendatangkan angin dingin!
“Jangan banyak tingkah!” berteriak Lie Kong lalu menyerang dengan toyanya dengan ilmu toyanya yang hebat sekali, yaitu Hok-houw-kun-hoat atau Ilmu toya Penakluk Harimau. Toyanya yang berat itu dimainkan dengan cepat hingga anginnya bersuara.
Dengan sengit Han Liong mengayun pokiamnya. Kembang api memancar ketika ujung toya itu terpotong karena tertebas Pek-liong-pokiam.
“Haya!” teriak Lie Kong dengan terkejut sekali. Kawan-kawannya melihat kehebatan pokiam lawan, segera memegang senjata masing-masing dan maju mengeroyok!
Kedua saudara Beng dengan pedang di tangan memainkan ilmu Ji-pa-cu Siang-kiam-hoat atau ilmu Pedang Sepasang Dua Macan tutul yang bengis dan dulu dikagumi oleh Liok tee-sin-mo Hong In! Sedangkan Lie Ban sendiri segera mencabut goloknya dan kedua tamunya, yang seorang bernama Ma Kui si jagoan dari Sinkiang dan Ban Cat-lin si orang Tua Dewa Arak, masing-masing bersenjata tombak dan pian baja, maju pula menyerang Han Liong.
“Bagus!” teriak Han Liong dengan gagahnya, lalu Pek-liong-pokiam diputar begitu hebat sehingga tiba-tiba tubuhnya lenyap dari pandangan mata semua lawannya. Hanya cahaya pedang yang putih gemerlapan itu saja bergerak-gerak ke sana ke mari, sinarnya jauh dan panjang sampai tujuh kaki dan gerakan-gerakannya luar biasa sekali!
Baru berjalan belasan jurus saja, Lie Kong yang hanya bersenjatakan toya buntung itu berteriak lalu roboh mandi darah. Ternyata pundaknya luka karena sabetan ujung pokiam lawan! Permainan pedang dari Sepasang Macan Tutul memang hebat, karena pedang mereka juga pedang mustika yang tak mudah terputus oleh Pek-liong-pokiam, mereka memutar-mutar pedang dengan ilmu pedang pasangan hingga mereka merupakan hanya seorang yang memainkan empat pedang.
Gerakan mereka demikian teratur, hampir menyerupai gerakan kedua saudara Sepasang Garuda Sungai Lien ho yang dulu dikalahkan oleh Han Liong, tapi Sepasang Macan Tutul ini ilmu pedangnya jauh lebih tinggi dari dua saudara Kong yang dulu itu! Sedangkan ilmu golok Lie Ban sendiri juga tak boleh dipandang ringan, apa lagi ilmu tombak dari Ma Kui dan pian baja dari Bun Cat-lin. Sungguh kali ini Han Liong menghadapi lima orang lawan yang betul-betul berat dan tangguh.
Namun, tak percuma Han Liong diasuh bertahun-tahun oleh empat orang gurunya dan ditambah dengan pengetahuan yang luar biasa dari Kam Hong Siansu. Gerakannya sangat lincah dan gesit berkat dari pimpinan si Iblis Daratan dan ilmu pedang yang ia mainkan tadi adalah Ilmu Pedang Empat Bintang!
Tiba-tiba dari bawah tampak dua bayangan melompat naik. Mata Han Liong yang tajam segera dapat mengenali bahwa yang naik itu adalah Lie Hong Ing dan ibunya sendiri! Hong Ing kini bersenjatakan sepasang pedang baru dan ibunya sendiripun membawa-bawa pedang!
Perih sekali rasa hati Han Liong melihat ibunya membawa pedang itu. Apakah ibunya sendiri, ibu kandung yang dirindukan bertahun-tahun itu kini hendak ikut mengeroyok dan membunuhnya? Hatinya sakit sekali dan perasaan ini membuat gerakan pedangnya agak lambat. Tentu saja hal ini dapat dilihat nyata oleh semua pengeroyoknya yang terdiri dari jagoan-jagoan cabang atas yang segara menyerang lebih hebat lagi.
Han Liong melihat Hong Ing yang segera ikut menyerbu membuat ia sibuk menangkis. Kini ia dikeroyok oleh enam orang dari segala jurusan. Tapi ibunya hanya berdiri memegang pedang sambil tangannya bergerak-gerak seakan-akan berbicara dan memberi isyarat supaya ia pergi!
Hatinya menjadi sangat kecewa dan gerakannya tak keruan. Pada suatu saat ujung pian baja dari Bun Cat-lin si Dewa Arak, tepat mengenai pundak kiri Han Liong. Ia terhuyung-huyung ke belakang, tapi baiknya ilmu dalam dan tenaga tubuhnya sudah demikian kuat hingga pian itu yang bagi orang lain dapat memecah daging, meremukkan tulang, terhadapnya hanya mengakibatkan lecet saja. Namun darahnya keluar juga membuat bajunya yang putih menjadi merah mengerikan.
Han Liong mendengar ibunya mengeluarkan seruan tertahan. Ia menenangkan hatinya dan dengan memusatkan pikirannya, ia berkomat-kamit membaca doa kepada suhunya Kam Hong Siansu, minta ijin untuk menggunakan ilmu pedang Pek-liong Kiam-hoat.
Tiba-tiba saja enam orang pengeroyoknya itu hampir semua berseru kaget, karena tiba-tiba saja Pek liong-pokiam mengeluarkan suara bercuitan dan gerakan-gerakannya begitu hebat sehingga dalam beberapa kali serangan saja empat pedang dari Sepasang Macan Tutul terpelanting ke udara, masing-masing terlepas dari pegangan kedua saudara Beng itu! Terpelantingnya pedang diikuti teriakan kedua orang itu yang roboh mandi darah, masing-masing tangan kirinya putus!
“Han Liong, tahan, nak!!” tiba-tiba terdengar jerit Yo Lu Hwa dengan sedih. Nyonya itu dengan nekad masuk ke lapangan pertempuran itu. Han Liong menahan pedangnya sambil memandang tajam.
“Ibu mau apa?” tanyanya ketus.
“Sudahilah pertumpahan darah ini, Liong.”
“Tidak, ibu. Sebelum aku membunuh orang she Lie yang menjadi pembunuh ayahku ini, aku tidak mau berhenti. Biar aku mati di sini, tidak mengapa!” katanya gagah.
Sementara itu Lie Hong Ing berdiri bingung keheran-heranan ketika mendengar pemuda itu menyebut ibunya sendiri 'ibu'. Belum pernah ibunya menceritakan bahwa ibunya mempunyai seorang anak lain!
“Han Liong, dengarlah. Lie Ban tidak salah, akulah yang berdosa. Dan kalau ada sebutan membalas sakit hati, maka sebenarnya aku sendirilah yang mempunyai kewajiban itu, bukan kau!
Tiba-tiba saja nyonya itu menggerakkan pedangnya secepat kilat. Karena ia juga serang ahli silat yang tidak lemah dan Lie Ban ketika itu sedang berdiri bingung, maka serangan tiba-tiba ini sama sekali tidak disangkanya dan tahu-tabu pedang isterinya sendiri sudah bersarang dalam dadanya!
“Ayah!!” Hong Ing berteriak ngeri dan menubruk ayahnya.
Pada saat itu Yo Lu Hwa berseru, “Ampuni aku, suamiku!” dan tiba-tiba pedangnya sendiri menancap ke dadanya dan iapun roboh mandi darah di samping suaminya!
“Ibu!!” Han Liong berteriak keras dan pilu lalu menubruk ibunya.
Ma Kui dan Bun Cat-lin yang hanya menjadi tamu dan sebenarnya tidak ada sangkut-paut dengan urusan itu, hanya berdiri saling pandang. Mereka adalah orang-orang ternama, dan baru saja mereka telah menyaksikan sendiri kehebatan kepandaian silat Han Liong yang ternyata dan jelas sekali berkepandaian jauh lebih tinggi dari mereka, maka sebagai seorang panjang pikiran, mereka tidak melanjutkan ikut campur dalam hal ini, hanya menghela nafas dan menggeleng-geleng kepala.
Hong Ing ketika mendengar teriakan Han Liong dan melihat ibunya rebah mandi darah dengan kepala di pangkuan pemuda itu, menjerit ngeri sambil menubruk ibunya. Mulutnya hanya dapat menangis dan berbisik sambil menyebut-nyebut dengan penuh kepiluan.
“Ayah... ibu... ayah... ibu...!” tangisnya makin sedih dan akhirnya iapun jatuh pingsan.
Kedua orang tua she Ma dan Bun segera menolong gadis itu, dan segera Ma Kui memijit pundak gadis itu, dan dalam beberapa detik saja ia siuman kembali dan... menangis tersedu-sedu. Yo Lu Hwa membuka matanya dan tersenyum ketika melihat Han Liong memangku kepalanya.
“Han Liong... alangkah... alangkah rinduku padamu, nak... sudah besar dan gagah... seperti ayahmu...”
Lalu matanya mengerling ke arah Hong Ing yang menangis sambil memegang tangannya. “Hong Ing... kasihan kau, nak... kau terbawa-bawa... menanggung derita karena dosa ibu...”
“Liong... kau... kau keliru nak... tidak ada yang beraslah dalam hal ini... hanya akulah yang yang berdosa... tetapi aku terpaksa, Liong... Lie Ban benar membunuh ayahmu... tapi... ingat, hal itu terjadi dalam perang...”
Sampai di sini napasnya sangat memburu, maka Han Liong segera mengambil sebuah pil obat pemberian gurunya, Pauw Kim Kong. Ia memasukkan pil itu ke dalam mulut ibunya, yang segera ditelan oleh ibunya yang maklum akan maksud anaknya, setelah menelan pil penahan sakit itu Yo Lu Hwa tampak lebih tenang. Ia melanjutkan kata-katanya lagi dengan lebih nyata,
“Pembunuhan dalam perang bukan pembunuhan biasa lagi namanya, Liong. Salahnya ialah bahwa ia mengambil aku sebagai isteri, tapi ini juga karena ia sungguh-sungguh... cinta padaku, Liong. Dan aku... aku terpaksa menjalani karena untuk menjaga... menjaga kau, Liong. Ayahmu seorang patriot sejati dan orang baik, Lie Ban hanya bersalah karena ia cinta padaku, dan... dan aku... aku seorang wanita yang berdosa, Liong. Ampuni ibumu, nak...”
Han Liong tak dapat menahan keharuan hatinya. Ia memeluk ibunya. “Ibu... ibu... bertahun-tahun anakmu ini merindukan pangkuanmu... Hatiku selalu hancur dan iri hati bila melihat semua binatang di hutan mempunyai ayah ibu, tetapi aku sendiri tidak... Aku rindu kepada ibu, tapi sekarang... sekarang, karena akulah maka ibu membunuh diri...”
“Tidak, Liong. Memang sejak dulu aku ingin menyusul ayahmu. Sekarang Lie Ban juga telah mati dalam tanganku. Aku puas nak, biarlah kami bertiga di alam baka membuat perhitungan masing-masing. Hanya...” ia memandang Hong Ing yang masih menangis. “pesanku, Liong... adikmu ini... Hong Ing... ia yatim piatu... terserah padamu, Liong... Ing... selamat tinggal...”
Nyonya yang banyak mengalami kesengsaraan batin ini menghembuskan napas yang terakhir dalam pelukan kedua anaknya!
Bahkan ketika ia kerahkan tenaganya, ia merasa pergelangan tangannya begitu sakit seakan-akan hendak patah. Mata dengan muka merah dan kebingungan ia menurut saja ketika Han Liong menariknya ke tempat yang agak sunyi. Mereka berdua berjalan seakan-akan dua sahabat karib saling bergandengan tangan. Setelah tiba di sebuah gang sepi Han Liong melepaskan cekalannya.
Orang itu mengembalikan kantong yang dicopetnya itu sambil menunduk memberi hormat. “Kongcu maafkan siauwte yang telah berlaku tak sepatutnya padamu,” katanya.
Han Liong melihat orang itu masih muda, kira-kira berusia dua puluh lima tahun, tubuhnya kecil tapi tampak kuat dan dari gerak-geriknya dapat kita ketahui bahwa ia mengerti ilmu silat.
“Tidak apa,” jawabnya, “Tapi barangkali kau bisa menolongku,” kata Han Liong.
Orang itu memandang heran. “Kongcu, aku Tan Sam dijuluki orang Si Copet Tangan Seribu. Belum pernah tanganku gagal, tapi kali ini kongcu telah membuat aku takluk benar-benar, karena tidak sembarang orang dapat memegang lenganku tanpa aku dapat berdaya sama sekali. Aku orang miskin dan tentang kepandaian, kongcu jauh lebih tinggi dariku, maka pertolongan apakah yang dapat kuberikan kepada kongcu?”
“Aku tidak inginkan pertolongan tenaga maupun uang,” kata Han Liong. “Hanya aku membutuhkan keterangan tentang seorang di kota ini.”
“Oo, kalau soal itu saja, jangan kongcu khawatir, karena tidak ada seorang juapun di kota ini yang tidak kukenal, kecuali kalau ia orang luar kota.”
“Nah, kalau begitu, kenalkan kau seorang bernama Lie Ban yang disebut orang si Naga Tanduk Besi?”
Tan Sam mengerutkan dahinya memikir- mikir. “Lie Ban Naga Tanduk Besi? Sungguh heran, tidak ada rasanya orang yang bernama itu di sini, kongcu.”
Han Liong kecewa, tapi masih mencoba menerangkan. “Ia belum lama ini pindah dengan keluarganya dari Lam-ciu.”
“Dari Lam-ciu katamu, kongcu? Ada seorang she Lie yang baru pindah dari Lam-ciu, tapi namanya adalah Lie Wan-gwa. Tapi aku tidak tahu apakah hartawan itu bernama Lie Ban. Lagi pula, masakan seorang hartawan mempunyai nama julukan seperti seorang ahli silat demikian? Tapi, nanti dulu! terus terang kukatakan bahwa aku pernah mencoba memasuki gedungnya, tapi gagal, aku mendapat genteng yang dilemparkannya padaku yang menyebabkan hampir saja aku dapat ditawannya dan...!”
“Dan... bagaimana maksudmu?” Han Liong tertarik.
“Aku tidak berhasil apa-apa, bahkan hampir aku mati terbunuh!”
“Bagaimana bisa terjadi?”
“Tidak kuketahui bahwa di gedung wan-gwe itu ada setannya! Baru saja aku mendarat di atas genteng, tiba-tiba sebuah genteng terbang menyambar kepalaku. Berkali-kali genteng terbang menyambarku hingga tubuh dan kepalaku luka dan mencucurkan darah! Anehnya, sama sekali aku tidak melihat orangnya yang menyambit itu. Maka, kalau bukan setan, siapakah lagi?”
Han Liong tak dapat menahan senyumnya, “Hm, kalau begitu maukah kau menolong aku untuk menyelidiki, apakah hartawan Lie itu yang bernama Lie Ban atau bukan?”
“Baik, kongcu, baik. Sore nanti akan kukirim berita hasil penyelidikanku padamu.”
Mereka lalu berpisah dan Han Liong kembali ke kamarnya. Ia masih ragu-ragu apakah hartawan itu benar-benar musuh besarnya yang dicari-carinya itu? Ia harus bertindak dengan hati-hati jangan sampai gegabah yang bisa mencelakakan orang lain yang tak bersalah, karena salah alamat. Sore harinya, betul saja Tan Sam datang, dengan muka berseri-seri, ia menceritakan hasil penyelidikannya.
“Tidak percuma kau minta tolong dan mempercayaiku, kongcu! Hartawan she Lie itu betul-betul Lie Ban Naga Tanduk Besi!”
“Bagaimana kau tahu begitu pasti?” tanya Han Liong teliti.
“Karena aku yakin, untuk dapat masuk ke gedung itu tipis benar harapan, karena sangat berbahaya, maka aku gunakan akal. Aku pancing-pancing keterangan di antara pelayan-pelayan gedung itu, dan dari mereka aku tahu bahwa semua pelayannya berasal dari kota ini, di antaranya terdapat seorang pelayan tua yang dibawa oleh Lie wan-gwe dari Lam-ciu. Kebetulan sekali pelayan tua itu keluar dari gedung lalu kuculik. Setelah kupaksa, akhirnya pelayan tua itu mengaku juga, bahwa Lie-wan-gwe itu ialah Lie Ban si Naga Tanduk Besi itu sendiri! Ia bekas panglima perang yang kini telah berhenti. Tapi kalau kau hendak memusuhi orang she Lie ini, hati-hatilah, kongcu, karena aku mendengar bahwa baru beberapa hari ini di rumahnya kedatangan kawan-kawannya yang terdiri dari ahli-ahli silat terkemuka. Bahkan sejak mereka pindah ke sini, selalu gedung itu dijaga oleh adiknya sendiri Oei-kak-liong Lie Kong dan dua saudara Jie-pa-cu yang bernama Beng Liok Hui dan Beng Liok Houw. Mereka ini merupakan penjaga-penjaga yang kuat dan tinggi ilmu silatnya, kini ditambah lagi dengan tamu-tamunya yang datang itu, maka gedung orang she Lie itu merupakan sarang harimau-harimau galak yang tidak mudah dikalahkan. Hm, kalau kuingat aku masih merasa sakit hati, kongcu. Tidak heran ketika aku coba-coba datang ke sana dulu, genteng-genteng beterbangan melukaiku. Aku tidak tahu bahwa di situ bersarang jagoan-jagoan besar. Ah, untung mereka masih mengampuni aku dan tidak membunuhku!”
Alangkah lega dan girang hati Han Liong mendengar keterangan-keterangan ini. Ia sekarang tidak ragu-ragu lagi, karena ternyata Oei-kak-liong Lie Kong adik Lie Ban dan dua saudara macan tutul itupun berada di situ, tepat seperti yang diceritakan oleh gurunya Liok-tee-sin-mo Hong In, yang menolong dirinya juga ketika itu bertempur dengan mereka berempat ini di masa lalu!
Mendengar penjagaan yang kuat itu, sedikitpun ia tidak gentar, bahkan semangatnya bertambah. Ia yakin, dengan berkumpulnya orang-orang itu, maka pembalasannya akan menjadi lengkap. Ia mengucapkan terima kasih kepada Tan Sam dan memberinya potongan uang emas, tapi hadiah ini ditolak oleh Tan Sam dengan manis.
“Kongcu, kau adalah orang baik. Aku tahu benar bahwa kau seorang berbudi luhur yang pernah kucopet. Aku senang membantumu, kongcu. Jika kau ada apa-apa, carilah aku di jembatan kelima jalan barat sana!” Kemudian ia pergi.
********************
Malam itu kebetulan tanggal empat belas dan sore-sore sang ratu malam telah menampakkan diri, bulan purnama memancarkan sinarnya terang benderang seolah-olah tersenyum manis pada setiap mahluk dan segala benda yang ada di permukaan bumi. Tidak tampak sedikitpun awan gelap yang mengganggu.
Suasana tampak menggembirakan, penuh damai dan tenteram, sehingga tak seorang juapun menyangka bahwa di malam itu akan terjadi suatu peristiwa besar yang mengerikan. Di atas genteng-genteng rumah-rumah yang berjajar-jajar di bagian kota itu tampak berkelebat bayangan yang gesit sekali. Jika ada orang yang kebetulan berada di atas genteng rumahnya ia akan melihat bayangan saja yang berpusing tanpa terlihat orangnya, tentu ia akan menyangka bahwa bayangan itu adalah bayangan burung terbang.
Sebetulnya adalah Han Liong sendiri yang berpakaian putih dengan ikat pinggang warna kuning panjang berkibar-kibar di belakangnya. Langsung Han Liong menuju ke rumah Lie Ban yang besar dan mewah itu. Setibanya di luar gedung, Han Liong mengencangkan ikat pinggangnya dan kemudian mengayunkan tubuhnya ke atas genteng.
Tindakan kakinya demikian ringan hingga sedikitpn tak mengeluarkan suara. Ia berhenti di atas sebuah kamar besar di mana menyala api lilin yang dipasang lebih dari empat tempat hingga menerangi seluruh kamar. Diam-diam ia membuka genteng dan mengintip ke dalam.
Di tengah-tengah kamar itu terdapat beberapa orang sedang duduk mengelilingi meja bundar. Kelihatan seorang laki-laki setengah tua yang bertubuh tegap duduk di kepala meja. Di kanan kiri dan depannya duduk lima orang laki-laki yang semuanya bertubuh kuat menandakan bahwa mereka adalah orang-orang ahli silat yang pandai.
Ternyata mereka tengah asyik bercakap-cakap dan dari kata-kata mereka, Han Liong mendapat kesan bahwa orang-orang itu adalah orang baik-baik yang berbicara tentang silat dan tempat-tempat indah di berbagai tempat. Pemuda itu ragu-ragu, lalu loncat ke tempat lain melanjutkan penyelidikannya, tiba-tiba ia mendengar suara wanita sedang bercakap-cakap. Hatinya berdebar-debar, karena bukankah nyonya Lie Ban adalah ibunya sendiri?
Teringat ini hatinya menjadi perih, karena selalu ia mengenangkan ibunya dengan dua perasaan menjadi satu, perasaan cinta dan kecewa. Ia segera melakukan pengintaian lagi. Kamar itu lebih kecil daripada kamar yang lain. Di situ hanya terdapat sebuah lilin yang kecil sehingga keadaan dalam kamar suram. Tampak olehnya seorang wanita setengah tua tengah berbaring dan di sampingnya duduk seorang perempuan muda yang memijat-mijat kakinya.
“Anakku,” terdengar suara wanita setengah tua itu dengan suara halus penuh kasih sayang hingga Han Liong yang mendengarkannya merasa terharu. “Kurangilah kebiasaanmu pergi merantau. Kau adalah anak perempuan seorang bekas pembesar, seorang cian kim siocia yang sepatutnya berdiam di rumah belajar pekerjaan halus-halus. Kalau kau bertemu dan berkenalan dengan segala bangsa kasar, derajatmu dengan sendirinya akan turun.”
“Ah, ibu. Aku bosan kalau terus-terusan berada di dalam rumah. Aku ingin meluaskan pandangan dan menambah pengalaman,” jawab anak perempuan tadi sambil mengelus-elus kaki ibunya.
“Dasar anak sekarang. Tapi, hati-hatilah, nak, karena menurut pengalamanku, lebih banyak orang jahat daripada orang baik. Nah, sekarang mengasolah, ibumu hendak tidur.”
Han Liong tidak dapat melihat tegas wajah mereka karena cahaya lilin sangat suram. Ia mellat betapa wanita muda itu turun dari pembaringan dan meninggalkan ibunya, memasuki kamar lain dan wanita itu bangun dari pembaringan lalu duduk di kursi. Ia nampak kurus dan tua.
Karena ingin kepastian, Han Liong tidak ragu-ragu lagi lalu melompat turun di depan pintu kamar itu, dan menolak daun pintu perlahan-lahan. Perempuan itu menengok, agaknya terkejut melihat pemuda yang tidak dikenal itu. Tapi ia segera dapat menetapkan hatinya.
“Siapa kau?” tanyanya dengan suara tenang.
Han Liong melihat ada sebuah lilin yang agak besar belum dipasang di atas meja, maka tanpa menjawab pertanyaan itu, dengan cepat ia mengambil lilin itu dibakarnya dengan lilin kecil yang masih menyala itu. Kamar menjadi terang dan dengan sekilas pandang Han Liong dapat melihat wajah yang membayangkan kesedihan itu, dan dapat pula dilihatnya dengan nyata bahwa muka itu persis seperti bekas wajah wanita cantik. Kemudian sambil memandang dengan tajam, ia menjawab lemah.
“Namaku Han Liong... Si Han Liong!!”
Wanita itu terkejut bagai disentakkan oleh tenaga gaib. Kedua tangannya diulurkannya, sepasang matanya terbelalak memandang seakan-akan melihat setan, penuh pancaran tidak percaya, kedua kakinya tiba-tiba gemetar dan bergerak maju tanpa disengaja. Kemudian secepat kilat ia menangkap tangan kiri Han Liong dan membalikkan telapak tangan anak muda itu.
Ia membiarkan saja. Terlihat di nadi Han Liong sebuah titik hitam. Wanita itu memandang Han Liong pula dari kepala sampai ke kaki, kedua matanya yang terbelalak lebar perlahan-lahan menjadi basah dan air mata menetes turun di sepanjang pipinya. Kemudian ia mundur terhuyung-huyung, tapi kedua lengannya terbuka seakan-akan hendak memeluk.
“Han Liong... Han Liong... anakku...!!” Ia mengharapkan puteranya itu maju menubruk dan memeluknya, tapi Han Liong diam saja, berdiri tegak laksana patung.
“Han Liong...!” nyonya tua itu merasa seluruh anggota tubuhnya lemah dan tangannya meraba-raba ke sandaran kursi mencari pegangan untuk menahan tubuhnya yang hendak roboh karena kepalanya tiba-tiba menjadi pusing. Beberapa saat berlalu sunyi, hanya terdengar suara pernapasan wanita itu yang terengah-engah berat.
“Han Liong... kau datang mencari ibumu...?” tanyanya lemah.
“Bukan,” jawab pemuda itu tegas tanpa pikir lagi, sehingga ia sendiri menjadi heran akan kata-katanya karena mengapa sedang hatinya bagaikan hancur luluh melihat ibu kandungnya sendiri yang sudah lama dirindukannya, dengan seluruh hasratnya yang menggelora ingin memeluk kaki ibunya dan ingin pula menjatuhkan kepalanya di pangkuan ibunya, maka tiba-tiba mengeluarkan kata-kata ketus.
“Aku datang hendak mencari pembunuh ayahku. Ibu tentu sudah lupa ayahku orang she Si yang terbunuh oleh suami ibu yang sekarang ini. Tapi aku tidak lupa, dan aku ingin menuntut balas!” Suaranya makin keras dan lantang, semua diucapkannya diluar kesadarannya.
Mendengar kata-kata yang bagaikan pisau tajam menusuk hatinya dan yang penuh pernyataan penyesalan dari anak kepada ibunya ini. Yo Lu Hwa, wanita itu, mendekap dadanya dan menjerit ngeri, lalu roboh tak sadar diri!
Buyar seketika semua kekerasan hati Han Liong melihat ibunya pingsan. Ia maju dengan lemah lembut diangkatnya tubuh ibunya ke atas pembaringan. Yo Lu Hwa mulai sadar tapi masih merasa pening dan matanya memandang gelap, lalu dipeluknya leher anaknya dengan hati hancur. Tapi Han Liong melepaskan pelukan ibunya karena pada saat itu ia mendengar suara langkah kaki memasuki kamar.
Ia hendak meloncat keluar, tapi ibunya memegang tangannya seakan-akan hendak menahannya, sehingga hal ini membuatnya terlambat untuk keluar dan pada saat itu pintu kamar terpentang lebar. Orang yang memasuki kamar itu adalah seorang gadis muda yang tadi berbicara dengan ibunya, dan ketika ia melihat tegas, hampir saja ia berteriak karena heran. Karena yang berdiri di depannya memegang sepasang pedang itu tiada lain ialah Lie Hong Ing sendiri, gadis gagah yang baru pagi tadi meninggalkan perahunya!
“Ibu... ada apa, ibu?” kata gadis itu melihat ibunya dengan cemas. Ibunya yang terserang tekanan batin hebat itu hanya dapat menuding ke arah Han Liong sambil berkata lemah, “Ia... ia...” lalu menangis tersedu-sedu.
Hong Ing cepat menengok dan ketika ia melihat Han Liong, kedua alis matanya bergerak-gerak tercengang. “Kau...?? Kau... datang ke sini mengganggu ibuku? Berani benar kau!”
Segera ia menusuk dengan pedang kanan ke arah leher Han Liong. Pemuda itu kini maklum bahwa Hong Ing adalah anak ibunya dan Lie Ban! Hebat rasanya kenyataan ini. Hong Ing adalah anak musuh besarnya, tapi adalah adiknya sendiri, adik seibu. Dan kini adiknya itu menyerangnya dengan tusukan maut!
“Hong Ing... ia... kakakmu...!”
Yo Lu Hwa masih sempat berbisik, tapi tak terdengar oleh Hong Ing yang sedang marah sekali. Tusukannya dapat dikelit Han Liong yang segera turut mundur keluar dengan cepat.
“Bangsat, jangan lari!!” teriak Hong Ing lalu menyusul.
Han Liong melompat ke atas genteng, disusul oleh nona itu. Untuk sesaat Han Liong ingin berlari pergi karena ia segan melawan nona itu, tapi sifat jantannya melarang ia pergi sebelum ia membatas sakit hati ayahnya. Maka ia berdiri menanti dengan tenang. Ketika Hong Ing yang tertinggal karena kalah gesit itu tiba di hadapan Han Liong, gadis itu menahan serangannya dan bertanya dengan suara ketus,
“Tak kusangka kau adalah golongan orang jahat! Sekarang terangkan maksud kedatanganmu sebelum kupisahkan kepalamu dari tubuhmu!”
Mau tak mau Han Liong memainkan senyum di bibirnya mendengar kecongkakan gadis itu. “Kau hendak tahu maksud kedatanganku? Baiklah aku berterus terang. Kepadamu aku tak bermaksud apa-apa, maka baiknya panggil saja ayahmu keluar. Bukankah ayahmu adalah Lie Ban si Naga Tanduk Besi?”
“Ada urusan apa kau mau berjumpa dengan ayahku?” tanya Hong Ing.
“Ia adalah pembunuh ayahku dan aku datang hendak membalas dendam dan membunuhnya!”
“Bangsat kecil! Kau hendak membunuh ayahku? Bagus, besar sekali nyalimu. Tak perlu ayahku keluar untuk membereskan kau, cukup aku sendiri dengan sepasang pedangku ini!” Terus ia menyerang kembali dengan hebat.
“Apa boleh buat! Kau sendiri yang mencari celaka!” kata Han Liong dan tiba-tiba Hong Ing merasa matanya kabur ketika pemuda itu berkelit menghindari serangannya sambil mencabut Pek liong pokiam yang bersinar putih melepak dan menyilaukan mata ketika ditimpa sinar bulan!
Tapi Hong Ing tidak takut, ia segera menyerang kembali dengan gerak tipu Dua Dewa Kecil Bermain-main. Pedang kanannya diputar-putar seperti baling-baling lalu diarahkan ke leher lawan, sedangkan yang kiri langsung menusuk perut lawannya itu. Han Liong kelit tusukan dan menangkis sabetan pada lehernya.
"Tranggg!" dan tahu-tahu pedang kanan Hong Ing telah putus!
Hong Ing terkejut tapi tidak mau mengalah. Pedang kiri segera pindah tangan, lalu ia menyerang pula dengan hebat. Tapi kali ini ia berlaku hati-hati karena pedang lawan luar biasa tajamnya sehingga sebilah pedangnya sendiri yang terbuat dari baja tulen pun dengan mudah dipatahkan lawan. Han Liong banyak mengalah dan berkelit ke sana sini mengandalkan kegesitan tubuhnya yang diwarisinya dari si Iblis Bumi.
Tiba-tiba dari bawah melayang keluar enam bayangan dengan sangat gesitnya dan terdengar suaranya berseru, “Tangkap bangsat itu!”
Ternyata mereka ini adalah Lie Ban Naga Tanduk Besi sendiri, diikuti oleh adiknya Lie Kong. Sepasang Macan Tutul she Beng, dan dua orang tua tamu Lie Ban yang dilihat oleh Han Liong tadi ketika keenam orang itu tengah duduk bercakap-cakap.
Melihat enam orang itu telah berada di depannya, Han Liong gunakan pokiamnya memapas pedang Hong Ing sehingga terdengar suara “trang” untuk kedua kalinya dan gadis itu kehilangan pedangnya! Hong Ing menjadi marah sekali, tapi sebelum ia dapat berbuat sesuatu, Han Liong berteriak. Tunggu!!” sambil lompat mundur setindak lebih.
“Bangsat dari mana berani membikin kacau di sini?” teriak Lie Ban dengan marah.
“Yang mana di antara kalian yang bernama Lie Ban Naga Tanduk Besi?” tanya Han Liong.
“Aku sendirilah Lie Ban! Kau mau apa?” jawab si Naga Tanduk Besi.
Sepasang mata Han Liong menyinarkan penuh kebencian. Ia gunakan ketika itu untuk memandang musuh besarnya dengan teliti. Hm, jadi inikah pengrusak rumah tangga orang tuaku? Inikah orangnya yang membunuh ayahku dan kemudian menawan ibuku serta memaksanya menjadi isterinya?
“Hm, tua bangka she Lie yang rendah budi! Dengarlah baik-baik, aku adalah Si Han Liong!! Ingatkah kau nama ini??”
Lie Ban terkejut. “Han Liong?? Kau anakku! Ibumu selalu mengharapkan kedatanganmu.”
“Siluman tua! Jangan sebut-sebut nama ibuku untuk meredakan sakit hatiku! Ayahku telah kau bunuh dan sekarang aku anaknya harus mengambil kepalamu untuk dipakai sembahyang di depan arwah ayahku!”
“Tapi... tapi...” ia tak dapat melanjutkan kata-katanya karena pada saat itu Pek liong pokiam telah menyambar ke arah lehernya!
Namun Lie Ban bukanlah orang lemah. Ia bekas panglima yang berkepandaian tinggi, maka dengan melompat ke samping ia dapat menghindarkan dirinya dari tusukan walaupun keringat dingin mengucur dari jidatnya karena sinar Pek-liong pokiam yang begitu lebat dan mendatangkan angin dingin!
“Jangan banyak tingkah!” berteriak Lie Kong lalu menyerang dengan toyanya dengan ilmu toyanya yang hebat sekali, yaitu Hok-houw-kun-hoat atau Ilmu toya Penakluk Harimau. Toyanya yang berat itu dimainkan dengan cepat hingga anginnya bersuara.
Dengan sengit Han Liong mengayun pokiamnya. Kembang api memancar ketika ujung toya itu terpotong karena tertebas Pek-liong-pokiam.
“Haya!” teriak Lie Kong dengan terkejut sekali. Kawan-kawannya melihat kehebatan pokiam lawan, segera memegang senjata masing-masing dan maju mengeroyok!
Kedua saudara Beng dengan pedang di tangan memainkan ilmu Ji-pa-cu Siang-kiam-hoat atau ilmu Pedang Sepasang Dua Macan tutul yang bengis dan dulu dikagumi oleh Liok tee-sin-mo Hong In! Sedangkan Lie Ban sendiri segera mencabut goloknya dan kedua tamunya, yang seorang bernama Ma Kui si jagoan dari Sinkiang dan Ban Cat-lin si orang Tua Dewa Arak, masing-masing bersenjata tombak dan pian baja, maju pula menyerang Han Liong.
“Bagus!” teriak Han Liong dengan gagahnya, lalu Pek-liong-pokiam diputar begitu hebat sehingga tiba-tiba tubuhnya lenyap dari pandangan mata semua lawannya. Hanya cahaya pedang yang putih gemerlapan itu saja bergerak-gerak ke sana ke mari, sinarnya jauh dan panjang sampai tujuh kaki dan gerakan-gerakannya luar biasa sekali!
Baru berjalan belasan jurus saja, Lie Kong yang hanya bersenjatakan toya buntung itu berteriak lalu roboh mandi darah. Ternyata pundaknya luka karena sabetan ujung pokiam lawan! Permainan pedang dari Sepasang Macan Tutul memang hebat, karena pedang mereka juga pedang mustika yang tak mudah terputus oleh Pek-liong-pokiam, mereka memutar-mutar pedang dengan ilmu pedang pasangan hingga mereka merupakan hanya seorang yang memainkan empat pedang.
Gerakan mereka demikian teratur, hampir menyerupai gerakan kedua saudara Sepasang Garuda Sungai Lien ho yang dulu dikalahkan oleh Han Liong, tapi Sepasang Macan Tutul ini ilmu pedangnya jauh lebih tinggi dari dua saudara Kong yang dulu itu! Sedangkan ilmu golok Lie Ban sendiri juga tak boleh dipandang ringan, apa lagi ilmu tombak dari Ma Kui dan pian baja dari Bun Cat-lin. Sungguh kali ini Han Liong menghadapi lima orang lawan yang betul-betul berat dan tangguh.
Namun, tak percuma Han Liong diasuh bertahun-tahun oleh empat orang gurunya dan ditambah dengan pengetahuan yang luar biasa dari Kam Hong Siansu. Gerakannya sangat lincah dan gesit berkat dari pimpinan si Iblis Daratan dan ilmu pedang yang ia mainkan tadi adalah Ilmu Pedang Empat Bintang!
Tiba-tiba dari bawah tampak dua bayangan melompat naik. Mata Han Liong yang tajam segera dapat mengenali bahwa yang naik itu adalah Lie Hong Ing dan ibunya sendiri! Hong Ing kini bersenjatakan sepasang pedang baru dan ibunya sendiripun membawa-bawa pedang!
Perih sekali rasa hati Han Liong melihat ibunya membawa pedang itu. Apakah ibunya sendiri, ibu kandung yang dirindukan bertahun-tahun itu kini hendak ikut mengeroyok dan membunuhnya? Hatinya sakit sekali dan perasaan ini membuat gerakan pedangnya agak lambat. Tentu saja hal ini dapat dilihat nyata oleh semua pengeroyoknya yang terdiri dari jagoan-jagoan cabang atas yang segara menyerang lebih hebat lagi.
Han Liong melihat Hong Ing yang segera ikut menyerbu membuat ia sibuk menangkis. Kini ia dikeroyok oleh enam orang dari segala jurusan. Tapi ibunya hanya berdiri memegang pedang sambil tangannya bergerak-gerak seakan-akan berbicara dan memberi isyarat supaya ia pergi!
Hatinya menjadi sangat kecewa dan gerakannya tak keruan. Pada suatu saat ujung pian baja dari Bun Cat-lin si Dewa Arak, tepat mengenai pundak kiri Han Liong. Ia terhuyung-huyung ke belakang, tapi baiknya ilmu dalam dan tenaga tubuhnya sudah demikian kuat hingga pian itu yang bagi orang lain dapat memecah daging, meremukkan tulang, terhadapnya hanya mengakibatkan lecet saja. Namun darahnya keluar juga membuat bajunya yang putih menjadi merah mengerikan.
Han Liong mendengar ibunya mengeluarkan seruan tertahan. Ia menenangkan hatinya dan dengan memusatkan pikirannya, ia berkomat-kamit membaca doa kepada suhunya Kam Hong Siansu, minta ijin untuk menggunakan ilmu pedang Pek-liong Kiam-hoat.
Tiba-tiba saja enam orang pengeroyoknya itu hampir semua berseru kaget, karena tiba-tiba saja Pek liong-pokiam mengeluarkan suara bercuitan dan gerakan-gerakannya begitu hebat sehingga dalam beberapa kali serangan saja empat pedang dari Sepasang Macan Tutul terpelanting ke udara, masing-masing terlepas dari pegangan kedua saudara Beng itu! Terpelantingnya pedang diikuti teriakan kedua orang itu yang roboh mandi darah, masing-masing tangan kirinya putus!
“Han Liong, tahan, nak!!” tiba-tiba terdengar jerit Yo Lu Hwa dengan sedih. Nyonya itu dengan nekad masuk ke lapangan pertempuran itu. Han Liong menahan pedangnya sambil memandang tajam.
“Ibu mau apa?” tanyanya ketus.
“Sudahilah pertumpahan darah ini, Liong.”
“Tidak, ibu. Sebelum aku membunuh orang she Lie yang menjadi pembunuh ayahku ini, aku tidak mau berhenti. Biar aku mati di sini, tidak mengapa!” katanya gagah.
Sementara itu Lie Hong Ing berdiri bingung keheran-heranan ketika mendengar pemuda itu menyebut ibunya sendiri 'ibu'. Belum pernah ibunya menceritakan bahwa ibunya mempunyai seorang anak lain!
“Han Liong, dengarlah. Lie Ban tidak salah, akulah yang berdosa. Dan kalau ada sebutan membalas sakit hati, maka sebenarnya aku sendirilah yang mempunyai kewajiban itu, bukan kau!
Tiba-tiba saja nyonya itu menggerakkan pedangnya secepat kilat. Karena ia juga serang ahli silat yang tidak lemah dan Lie Ban ketika itu sedang berdiri bingung, maka serangan tiba-tiba ini sama sekali tidak disangkanya dan tahu-tabu pedang isterinya sendiri sudah bersarang dalam dadanya!
“Ayah!!” Hong Ing berteriak ngeri dan menubruk ayahnya.
Pada saat itu Yo Lu Hwa berseru, “Ampuni aku, suamiku!” dan tiba-tiba pedangnya sendiri menancap ke dadanya dan iapun roboh mandi darah di samping suaminya!
“Ibu!!” Han Liong berteriak keras dan pilu lalu menubruk ibunya.
Ma Kui dan Bun Cat-lin yang hanya menjadi tamu dan sebenarnya tidak ada sangkut-paut dengan urusan itu, hanya berdiri saling pandang. Mereka adalah orang-orang ternama, dan baru saja mereka telah menyaksikan sendiri kehebatan kepandaian silat Han Liong yang ternyata dan jelas sekali berkepandaian jauh lebih tinggi dari mereka, maka sebagai seorang panjang pikiran, mereka tidak melanjutkan ikut campur dalam hal ini, hanya menghela nafas dan menggeleng-geleng kepala.
Hong Ing ketika mendengar teriakan Han Liong dan melihat ibunya rebah mandi darah dengan kepala di pangkuan pemuda itu, menjerit ngeri sambil menubruk ibunya. Mulutnya hanya dapat menangis dan berbisik sambil menyebut-nyebut dengan penuh kepiluan.
“Ayah... ibu... ayah... ibu...!” tangisnya makin sedih dan akhirnya iapun jatuh pingsan.
Kedua orang tua she Ma dan Bun segera menolong gadis itu, dan segera Ma Kui memijit pundak gadis itu, dan dalam beberapa detik saja ia siuman kembali dan... menangis tersedu-sedu. Yo Lu Hwa membuka matanya dan tersenyum ketika melihat Han Liong memangku kepalanya.
“Han Liong... alangkah... alangkah rinduku padamu, nak... sudah besar dan gagah... seperti ayahmu...”
Lalu matanya mengerling ke arah Hong Ing yang menangis sambil memegang tangannya. “Hong Ing... kasihan kau, nak... kau terbawa-bawa... menanggung derita karena dosa ibu...”
“Liong... kau... kau keliru nak... tidak ada yang beraslah dalam hal ini... hanya akulah yang yang berdosa... tetapi aku terpaksa, Liong... Lie Ban benar membunuh ayahmu... tapi... ingat, hal itu terjadi dalam perang...”
Sampai di sini napasnya sangat memburu, maka Han Liong segera mengambil sebuah pil obat pemberian gurunya, Pauw Kim Kong. Ia memasukkan pil itu ke dalam mulut ibunya, yang segera ditelan oleh ibunya yang maklum akan maksud anaknya, setelah menelan pil penahan sakit itu Yo Lu Hwa tampak lebih tenang. Ia melanjutkan kata-katanya lagi dengan lebih nyata,
“Pembunuhan dalam perang bukan pembunuhan biasa lagi namanya, Liong. Salahnya ialah bahwa ia mengambil aku sebagai isteri, tapi ini juga karena ia sungguh-sungguh... cinta padaku, Liong. Dan aku... aku terpaksa menjalani karena untuk menjaga... menjaga kau, Liong. Ayahmu seorang patriot sejati dan orang baik, Lie Ban hanya bersalah karena ia cinta padaku, dan... dan aku... aku seorang wanita yang berdosa, Liong. Ampuni ibumu, nak...”
Han Liong tak dapat menahan keharuan hatinya. Ia memeluk ibunya. “Ibu... ibu... bertahun-tahun anakmu ini merindukan pangkuanmu... Hatiku selalu hancur dan iri hati bila melihat semua binatang di hutan mempunyai ayah ibu, tetapi aku sendiri tidak... Aku rindu kepada ibu, tapi sekarang... sekarang, karena akulah maka ibu membunuh diri...”
“Tidak, Liong. Memang sejak dulu aku ingin menyusul ayahmu. Sekarang Lie Ban juga telah mati dalam tanganku. Aku puas nak, biarlah kami bertiga di alam baka membuat perhitungan masing-masing. Hanya...” ia memandang Hong Ing yang masih menangis. “pesanku, Liong... adikmu ini... Hong Ing... ia yatim piatu... terserah padamu, Liong... Ing... selamat tinggal...”
Nyonya yang banyak mengalami kesengsaraan batin ini menghembuskan napas yang terakhir dalam pelukan kedua anaknya!
********************