PEDANG PUSAKA NAGA PUTIH JILID 09
Ketika mereka sampai di rumah Lie Kiam ternyata suhengnya telah hampir sembuh dan dapat turun dari pembaringan. Alangkah girang hati Lie Kiam dan isterinya melihat putera mereka satu-satunya itu pulang dengan selamat.
Dengan ringkas Han Liong menceritakan pengalamannya tanpa menyebut jalannya pertempuran, tapi Lie Kiam yang merasa tidak puas lalu bertanya kepada Hong Ing. Sebetulnya sejak tadi juga Hong Ing merasa tidak puas mendengar cerita Han Liong, tetapi ia tidak berani bicara karena kakaknya itu berkali-kali memberi tanda agar ia tidak berkata apa-apa.
Tapi sekali ini karena Lie Kiam sendiri yang mengajukan pertanyaan tanpa Han Liong berani mencegah dan melarangnya, Hong Ing segera buka suara dan menceritakan jelas betapa ia dikalahkan oleh Ban Hok dan betapa dengan sebatang ranting pohon liu, Han Liong dapat mengalahkan Ban Hok dengan mudahnya!
Ceritanya ini diucapkan dengan kata-kata menarik diikuti gerekan-gerakan meniru-nirua gerak silat kedua pihak, penuh dengan pujian-pujian bagi Han Liong yang membuat pemuda itu menundukkan kepala dengan kemerah-merahan.
Karena kemarin tiada waktu untuk bicara panjang lebar, maka setelah mendengar cerita itu, Lie Kiam terheran-heran karena ia merasa mustahil bahwa suhunya telah berlaku berat sebelah dan memberikan kepandaian istimewa kepada sutenya itu. Maka ia menuntut kepada sutenya agar menceritakan riwayatnya. Terpaksa Han Liong menuturkan riwayat pelajaran silatnya yang didengarkan dengan penuh perhatian oleh Lie Kiam.
Semenjak saat itu, Bwee Lan makin kagum melihat susioknva dan bahkan Bwee Hwa yang tedinya masih raga-ratu menjadi tunduk betul. Kedaan nona dari Shoatang itu bahkan dengan tidak malu-malu minta kepada susioknya untuk memberi mereka pelajaran satu dua jurus ilmu silat untuk memperdalam kepandaian mereka. Tetapi Han Liong dengan halus menolaknya.
Ternyata selain nakal dan galak, Bwee Hwa juga cerdik. Ia menggunakan Hong Ing sebagai perantara untuk mendesak Han Liong agar suka memberi pelajaran kepada mereka. Setelah Hon Ing turun tangan, terpaksa, sebagaimana biasa, Han Liong tak dapat melawan kehendak adiknya yang manja itu, dan ia turunkan juga silat yang diwarisinya dari suhunya Hee Ban Kiat kepada mereka sebanyak sepuluh jurus.
Tetapi biarpun hanya sepuluh jurus, kedua nona itu merasa girang sekali dan belajar dengan rajin dan bersemangat, karena yang mereka pelajari itu adalah sepuluh jurus pilihan dari Kiauw-ta-sin-na yaitu gabungan dari Kim-na-hoat dari Siauw-lim-si dan Bu-tong-pai.
Kalau sepuluh jurus pukulan ini dipelajarinya dengan sempurna, maka kelihaiannya melebihi ratusan jurus ilmu silat cabang lain. Lagi pula, di dalam pukulan yang paling lihai dari Siauw-lo-ong Hee Bin Kiat si mata ini, Han Ltoug telah mengadakan pecahan-pecahan dan variasi hingga sepuluh jurus ini dapat terpecah menjadi puluhan gerakan.
Sebelah tingggal di rumah suhengnya selama setengah bulan, Han Liong dan Hong Ing berpamit untuk meneruskan perantauan mereka. Lie Kiam yang merasa sayang sekali kepada sutenya itu tak dapat menahan, hanya memberi pesan agar sutenya berlaku hati-hati dan jangan mudah mencari permusuhan.
"Sute," katanya kemudian, "kebetulan sekali aku mendapat undangan dari Siok Houw Sianseng di Kie-lok, Sianseng ini bukanlah sembarangan orang, bahkan ia ini kawan seperjuangan almarhum ayahmu. Ia seorang sasterawan yang tubuhnya lemah tapi pikirannya kuat dan pandai sekali. Tulisannya yang tajam menyerang hebat pemerintah musuh dan membangkitkan semangat perjuangan rakyat sehingga ia menjadi musuh pemerintah. Besok lusa ia merayakan hari perkawinan puterinya. Maka, kau wakililah aku, sute, sekalian kau belajar kenal dengan orang tua bijaksana itu. Selain itu, di sana tentu datang semua hohan dari kalangan kang-ouw hingga kau dapat, memperluas pengalamanmu."
Karena memang tidak mempunyai tujuan tertentu dalam perjalanannya merantau, Han Liong menerima perintah ini dengan gembira. Ia membawa surat dari Lie Kiam dan berangkatlah ia dengan Hong Ing yang masih tetap menyamar sebagai seorang pemuda yang tampan.
Karena sayangnya kepada mereka, Lie Kiam mengusahakan dua ekor kuda yang baik untuk sute dan adiknya ini, sehingga mereka berterima kasih sekali. Jarak antara kota tempat tinggal Lie Kiam dan Kie-lok tidak jauh, hanya lebih kurang delapan puluh li, maka sepasang pemuda pemudi tidak sangat tergesa-gesa. Mereka membiarkan kuda mereka berjalan seenaknya saja. Ketika melalui sebuah jalan gunung yang sempit, tiba-tiba dari belakang mereka terdengar suara kaki kuda yang berlari kencang.
Han Liong dan Hong Ing menahan kuda mereka dan menanti di pinggir jalan. Kebetulan di dekat Hong Ing ada bunga mawar gunung yang sedang mekar harum, maka gadis itu tak dapat menahan hatinya untuk tidak memetik bunga itu dan menancapkan di lipatan pengikat rambutnya. Suara kaki kuda dari belakang makin keras kedengarannya dan sebentar kemudian dua orang penunggang kuda itu dengan secepat kilat lalu dekat merela karena jalan itu memang sempit.
Ternyata kedua penunggang kuda itu adalah dua orang perempuan muda yang berwajah hitam dan buruk. Yang menarik perhatian adalah sarung pedang dan hudtim atau kebutan yang terselip di punggung mereka. Han Liong dan Hong Ing mencium bau wangi yang ganjil ketika kedua wanita itu lewat.
Tiba-tiba Hong Ing menjerit perlahan. Ternyata ketika mereka itu lewat cepat di dekatnya, seorang diantara mereka mengulurkan tangannya dan sambil tertawa kecil wanita itu menyambar bunga mawar yang tertancap di rambut Hong Ing! Hong Ing marah sekali dan ia segera menyentakkan kendali kudanya untuk mengejar.
"Sudahlah, adik Ing, biarkan saja. Di sini masih banyak bunga, mari kupetikkan," cegah Han Liong yang tak ingin mencari onar karena ia maklum bahwa kedua buruk itu memiliki kepandaian tinggi sehingga lebih baik tidak mencari ribut dengan mereka hanya karena setangkai bungai!
Tapi mana Hong Ing mau menurut. "Orang itu telah menghinaku, kau suruh aku diam saja? Koko, kalau kau takut, bersembunyilah disini, aku harus memberi tamparan kepada wanita setan itu!"
Dan Hong Ing mencambuk kudanya mengejar. Karena kudanya bagus dan ia memang pandai berkuda, sebentar saja ia dapat menyusul.
"He, perempuan busuk, berhenti dulu!" teriaknya marah.
Dua orang perempuan di depannya menahan kuda mereka dan berpaling. Hong Ing terkejut sekali melihat wajah mereka yang buruk menjijikkan itu. Agaknya mereka berdua menjadi korban penyakit kulit yang menyerang wajah mereka sehingga wajah mereka menjadi hitam serta kulitnya bercacat. Tapi sepasang mata merela yang indah, bersinar tajam ketika mereka memandang Hong Ing dengan kagum.
"Siangkong mengapa menahan kami?" tanya seorang diantara mereka yang lebih tua.
Hong Ing melihat bahwa bunganya kini telah berada di atas rambut perempuan kedua, maka ia menunjuk sambil membelalakkan mata, "Perempuan ini berlaku keji sekali! Kembalikan bungaku!"
Kedua perempuan itu tertawa geli melihat sikap Hong Ing yang seperti seorang kanak-kanak direbut bunganya.
"Bunga adalah lambang persahabatan dan rasa suka, mengapa kau tidak rela kembangmu kuminta ?" perempuan itu berkata sambil tersenyum genit.
"Siapa sudi menjadi sahabatmu ? Ayoh kembalikan!" Hong Ing membentak marah.
"Sumoi, kembalikan saja, jangan membikin siangkong yang tampan ini menjadi marah," kata perempuan pertama.
Karena kata-kata sucinya ini, perempuan kembang itu lalu mengambil bunga mawar itu dari kepalanya, lalu mendekatkan kembang itu ke hidung dan bibirnya untuk dicium, kemudian ia lemparkan kearah Hong Ing.
"Ini, terimalah tanda mata dariku, siangkong!" katanya sambil melirik dibuat-buat.
"Cis, tak tahu malu!" Hong Ing semakin marah dan menyampok kembang itu dengan tangannya hingga berantakan di tanah. "Memang sudah kuduga kalian bukan orang-baik !" Sambil berkata begitu Hong Ing mencabut siang-kiamnya dan menyerang.
"Suci, biar kutangkap sitampan ini untuk teman seperjalanan!" kata perempuan yang muda sambil tertawa genit, tetapi bersamaan dengan ini ia mencabut kebutannya dan menggunakan kebutan itu menangkis pedang Hong Ing.
Hong Ing makin marah mendengar kata-kata itu dan kedua tangannya bekerja keras memberi serangan-serangan berbahaya bergantian. Melihat gerakan 'pemuda' ini, barulah lawannya tidak berani main-main lagi dan melayaninya dengan hati-hati, bahkan kini ia mencabut pedangnya dan membalas menyerang.
Maka bertempurlah Hong Ing dengan perempuan buruk itu dengan sengitnya. Ternyata lawan ini sangat lihai sehingga sebentar saja Hong Ing terdesak. Ia terpaksa melompat turun dari kuda lalu menyerang lagi. Perempuan itupun terpaksa melompat pula dari kudanya, maka kini mereka berkelahi di atas tanah dengan lebih seru.
Selama bersama dengan Han Liong, Hong Ing telah banyak mendapat petunjuk dari kakaknya ini sehingga ilmu silatnya sekarang sudah jauh lebih hebat dari dulu, bahkan ia sudah mempunyai beberapa tipu gerakan dari pelajaran yang didapat Han Liong dari gurunya Kim-to Bie Kong Hosiang. Maka gerakan siang-kiam di tangan Hong Ing sangat hebat, terlebih lagi ketika ia bersilat dengan ilmu golok yang sudah diubah oleh Han Liong dalam tipu gerakan Ngo-houw-toan-hun-to atau Lima Harimau Mencegat di Pintu. Kedua pedangnya berputar-putar cepat.
Pedang kiri merupakan penjaga yang tangguh sedangkan pedang kanan digunakan untuk menyerang, tetapi lawannya tidak kalah hebatnya, terutama geeakan kebutan itu membuat Hong Ing menjadi bingung. Kebutan itu dapat digunakan untuk melilit pedangnya dan beberapa kail pedang kanannya kena terlilit. Kalau tenaga dalamnya tidak begitu terlatih atas bimbingan Han Liong, patti tadi-tadi pedang ditangannya sudah terlepas kena kebutan lawannya!
Sementara itu, kuda yang ditunggangi Hong Ing tadi, ketika mendengar ribut-ribut pertempuran itu, menjadi terkejut dan lari sambil meringkik keras! Tetapi Han Liong yang masih berada di atas kudanya mendatangi tempat pertempuran itu, ketika melihat kuda Hong Ing hendak kabur, sekali tubuhnya bergerak ia sudah melayang keatas punggung kuda Hong Ing dan menahan kendalinya.
"Bagus!" terdengar pujian dari suci lawan Hong Ing yang melihat gerakan ini dan menjadi sangat heran serta kagum.
Ia maklum bahwa pemuda kedua ini berkepandaian jauh lebih tinggi dari pemuda yang sedang bertempur melawan adiknya itu karena dari gerakannya saja ia sadar bahwa ia sendiri berdua adiknya takkan dapat melawan pemuda ini. Maka ia segera berkata kepada adiknya yang sedang berkelahi.
"Sumoi, mundurlah, ayo kita pergi. Lupakah kau akan pesan subo agar kita jangan mencari onar di jalan? Urusan kecil diperhatikan, urusan besar bisa gagal!"
Dan ia gerakkan hudtimnya yang berbulu kuning di tengah-tengah antara pedang adiknya dan pedang Hong Ing. Ujung bulu kebutan yang lemas itu ternyata membawa tenaga besar yang mengeluarkan angin, sehingga kedua orang yang sedang bertempur itu terhuyung mundur! Kemudian ia memberi hormat kepada Hong Ing dan Han Liong sambil senyum,
"Jiwi enghiong harap maafkan kami berdua."
Dan dari kedua kepalannya menyambar uap hitam yang kuat sekali kearah Han Liong dan Hong Ing. Han Liong terkejut sekali dan maklum akan keajaiban uap hitam itu, maka ia segera melompat ke depan melindungi Hong Ing. Ia gerakkan tangan kirinya perlahan kedepan dan uap itu membentur balik membuat perempuan buruk itu terhuyung ke belakang!
"Maaf tak mengenal Gunnng Thai-san." Perempuan itu berkata dan menujukan pandang matanya dengan tajam ke arah Han Liong yang berdiri tersenyum saja. Kemudian ia tarik tangan adiknya dan mereka berdua melompat ke atas kuda yang segera dipacunya!
"Koko, kenapa kau tidak basmi saja dua siluman perempuan itu?" kata Hong Ing gemas.
"Buat apa mencari permusuhan dengan segala orang yang tak dikenal? Adik Ing, belajar sabarlah kau. Kau lihat dua orang wanita tadi, mereka begitu berani. Kau anggap baikkah sikap berani mereka itu? Kurasa kau tidak ingin seperti mereka bukan?"
Hong Ing hanya melirik dengan merengut, lalu berkata manja "Kau mau persamakan aku dengan siluman-siluman buruk itu??"
"Ah, tentu saja tidak, adikku. Kau cantik seperti dewi, sedangkan mereka itu buruk seperti iblis neraka, mana bisa disamakan? Hanya harus kau ingat, ilmu silat mereka, terutama yang tua lihai benar."
"Memang lihai, memang lihai..." Hong Ing mengangguk-angguk dengan sikap menurut dan sabar, karena sebenarnya semua kemarahan dan kegemasannya telah lenyap musnah mendengar pujian Han Liong yang menyebut ia cantik seperti dewi! Iapun patuh dan tak membantah lagi ketika Han Liong mengajaknya melanjutkan perjalanan.
Pada keesokan harinya, ketika matahari telah terbenam, Han Liong dan Hong Ing tiba di Kie-lok dan dengan mudah saja mereka dapat mencari rumah Siok Houw Sianseng yang cukup dikenal. Tuan rumah yang berusia lebih kurang lima puluh tahun itu dan sangat peramah serta halus budi bahasanya. Ia menyambut mereka dengan gembira. Han Liong menyampaikan surat Lie Kiam dan segera mereka dipersilakan memasuki ruang tamu.
Biarpun pesta baru akan diadakan pada esok harinya, namun sudah banyak orang berkumpul di ruang tamu. Mereka ini ialah tamu-tamu yang datang dari tempat jauh. Lebih kurang lima meja dikelilingi para tamu. Ada yang berpakaian seperti jago silat, tapi ada juga yang terdiri dari kaum sasterawan. Tentu saja mereka itu memilih golongan masing-masing, sehingga rombongan tamu terbagi menjadi dua, golongan ahli silat dan golongan ahli sastera.
Han Liong dan Hong Ing yang berpakaian seperti kaum sasterawan, lagi pula karena sikap dan bahasa mereka lemah lembut, segera dianggap ahli-ahli sasteta dan dipersilakan duduk di bagian kutu buku yang berkumpul di situ sambil mengonol. Mereka ini ada yang mempercakapkan kitab-kitab kuno, ada pula yang membicarakan tentang syair-syair ternama dan hikayat serta riwayat di tanah air pada zaman dahulu.
Ternyata lebih banyak ahli sastera daripada ahli silat yang berkumpul di situ. Ahli-ahli silat yang berkumpul hanya ada dua meja terdiri dari dua belas orang, sedangkan kaum sasterawan mengelilingi tiga meja. Hong log segera tertarik oleh percakapan para ahli tulis itu, karena ia sendiripun suka akan buku-buku dan kesusasteraan. Han Liong diam-diam mengerling ke arah meja di seberang, di mana duduk orang-orang gagah yang sedang bercakap-cakap riuh rendah sambil minum arak sepuasnya.
Tiba-tiba di meja sudut terdengar tertawa meriah, bahkan ada beberapa orang yang bertepuk tangan.
"Memang sudah sepantasnya Bhok lo-enghiong membuka pertunjukan barang sepuluh jurus agar mata kami terbuka. Di ruangan ini selain Bhok lo-enghiong, siapa lagi yang patut menambah pengertian kita?" demikian terdengar suara desakan.
Seorang yang bertubuh tinggi kurus, berusia lebih kurang empat puluh tahun, berdiri dari kursinya. Ia menjura kepada orang yang memujinya dengan sikap merendah, tapi dadanya tampak naik, sehingga orang-orang tahu bahwa diam-diam ia merasa bangga.
"Cuwi," katanya, "Di sini berkumpul orang-orang dari kalangan bun (sastera) yang halus dan sopan, mana aku berani memperlihatkan kekasaranku. Juga tuan rumah adalah seorang siucai yang terhormat, sekailikali aku tak berani kurang ajar!" Lalu ia duduk kembali.
"Mana bisa begitu?" seorang tua bertubuh gagah kuat berkata, "Bhok enghiong hendak mengadakan pertunjukan silat, ini bukanlah mengganggu, bahkan membantu tuan rumah meramaikan dan menggembirakan pestanya. Siok Sianseng adalah seorang sasterawan patriot yang mengutamakan kegagahan, hingga biarpun beliau bertubuh lemah, tapi jiwanya termasuk orang gagah juga, apa bedanya dengan kita? Kalau bun (kesusasteraan) dan bu (kegagahan) tidak disatupadukan, mana perjuangan akan berhasil? Siok Sianseng, bukankah pendapatku ini benar?" tanyanya kepada Siok Houw Sianseng yang sedang menghampiri mereka karena tertarik oleh suara perdebatan itu.
Siok Sianseng menjura dan berkata gembira, "Kalau para enghiong merasa gembira dan hendak mengadakan pertunjukan, sudah tentu hal itu amat menggirangkan dan siauwte sebelumnya menghaturkan banyak terima kasih!"
"Nah, apa kataku? Ayoh, Bhok enghiong, silakan kau membuka pertunjukan lebih dahulu. Tidak mudah kami melihat menyambarnya Garuda Putih kalau tidak kebetulan berada di pesta Siok Sianseng!"
Mendengar orang she Bhok itu disebut Garuda Putih, Han Liong segera memperhatikan. Jadi orang tinggi kurus yang dipuji-puji itu adalah suhengnya, Bhok Kian Eng si Garuda Putih? Ia lihat Bhok Kian Eng dengan sikap apa boleh buat berdiri dari kursi dan setelah mengangkat kedua tangannya ke kepala memberi hormat kearah para tamu, ia melompat ke tengah ruangan yang lebar dan kosong itu.
Di situ ia bersilat tangan kosong dan tubuhnya melompat ke sana ke mari. Memang hebat kepandaian Garuda Putih ini. Gin-kangnya sudah mahir sekali sehingga ketika ia percepat gerakan-gerakannya, maka kedua kakinya seakan-akan tak menginjak lantai!
Tubuhnya menjadi bertambah seakan-akan ada dua orang yang bersilat karena cepatnya gerak tubuhnya. Diam-diam Han Liong kagum. Tak kecawa Bhok Kian Eng ini menjadi murid dari Liok-tee Sin-mo Hong In si Iblis Daratan, karena ternyata ilmu meringankan tubuh yang bebat dari Iblis Daratan itu sedikitnya delapan bagian telah diwarisinya!
Tentu saja semua tamu menyambut ilmu silat yang lihai ini dengan tepuk tangan riuh, disana-sini terdengar suara pujian. Bibran para sasterawan yang asing sama sekali akan pertunjukan seperti itu, juga mau tak mau menjadi tertarik. Mereka ini heran betul betapa tubuh seorang manusia biasa dapat bergerak selincah burung garuda hingga mengaburkan mata!
Maka mereka juga ikut bertepuk tangan memuji. Dengan hati kecewa Han Liong melihat betapa suhengnya itu mempunyai watak sombong dan takabur, jauh berbeda dengan Lie Kiam, twa-suhengnya. Bhok Kian Eng menghentikan silatnya dan menjura dengan mulut tersenyum dan dada yang kurus itu terangkat naik!
"Sungguh hebat setali ilmu silatmu, Bhok enghiong. Baru sekarang aku menyaksikan sendiri kelihaian Garuda Putih, sungguh membikin kami gentar. Tapi, sudikah kau memperlihatkan pertunjukan ilmu sambit kim-chi-piauwmu yang terkenal itu?"
Bhok Kian Eng makin angkuh mendengar pujian orang, maka tanpa ragu-ragu lagi ia rogoh sakunya, "Lihat, aku hendak memadamkan semua lilin besar di meja-meja ini!"
Dan ia mulai mengayunkan tangannya. Tiap kali ia mengayunkan tangannya, maka padamlah sebuah lilin di meja pertama. Demikianlah, dengan bergiliran lilin-lilin besar di semua meja padam kena sambitan kim-chi-piauw, sedangkan uang logam yang disambitkan itu sama sekail tidak melukai orang!
Ketika lilin di depan Han Liong kena dan padam, maka tinggal sebuah lilin di meja para sasterawan di ujung ruangan itu saja yang belum padam. Bhok Kin Eng mengeluarkan kepandaiannya untuk sambitan terakhir ini. Ia sengaja berdiri membelakangi meja itu dan tiba-tiba tangan kirinya bergerak melalui bawah lengan kanan!
Sebuah uang tembaga meluncur cepat ke arah api lilin. Tapi tiba-tiba seorang sasterawan muda tampak terkejut hingga tangan kanannya terangkat ke depan. Uang logam itu tidak mengenai lilin karena buktinya lilin tidak padam dan senjata rahasia itu entah kemana terbangnya. Keadaan menjadi sunyi dan Bhok Kian Eng heran sekali mengapa tidak terdengar tepuk tangan untuk sambitan kali ini, tidak seperti hasil sambitan sambitan yang tadi. Ia segera menengok dan wajahnya merah ketika melihat lilin itu masih menyala!
Rupanya sambitannya tidak mengenal sasaran. Maka untuk menutup rasa malunya, ia ayunkan lagi tangannya, kini tangan itu melalui selangkang kakinya! Tapi kini semua tamu, kecuali Han Liong yang telah tahu, merasa terkejut sekali, karena pada saat uang logam itu akan menyambar api lilin, tiba tiba uang logam yang pertama datang menyambar dan membentur uang logam kedua hingga menerbitkan suara nyaring dan kedua senjata rahasia itu jatuh ke atas lantai!
Han Liong kagum melihat hal ini. Tadi ia dapat melihat betapa dengan gerakan Menangkap Burung Terbang, sasterawan muda yang duduk di meja itu telah berhasil menangkap piauw pertama tanpa diketahui orang lain dan kemudian setelah piauw kedua menyambar, ia gunakan piauw pertama itu untuk menyambut piauw kedua. Tapi gerakan ini tentu saja dapat terlihat oleh semua orang hingga menimbulkan suara-suara kagum dan heran terkejut.
Bhok Kian Eng merasa malu dan marah sekali, karena merasa dipermainkan orang. Segera ia menghampiri sasterawan yang bertubuh tegap berwajah cakap dan berusia lebih kurang tiga puluh tahun itu, dan dengan senyum dibuat-buat Bhok Kian Eng menjura.
"Saudara telah memperlihatkan kelihaian dan dengan itu memberi pelajaran padaku, maka janganlah kepalang, siauwte mohon pengajaran barang dua-tiga jurus."
Sasterawan muda itu tertawa, "Bhok enghiong terkenal dengan julukan Garuda Putih, ternyata memang bukan nama kosong belaka. Tadi siauwte telah melihat ilmu silatmu dan soal kepandaian ginkang, aku orang she Bie boleh berguru padamu! Tapi, dengan uang logam memadamkan api di meja semua orang, bukanlah itu tak mengindahkan orang lain?"
Bhok Kian Eng menundukkan kepalanya dan ia memang merasa bahwa dirinya bersalah. Tapi ia beradat keras dan tinggi hati, mana ia mau mengalah begitu saja?
"Bie enghiong, memang siauwte bermata tapi seakan-akan buta, biarlah kesempatan ini kugunakan untuk mengerti kelihatanmu."
Orang yang ditantangnya secara halus itu berdiri dan menanggalkan baju luarnya sambil tersenyum. "Aku Bie Cauw Giok selamanya tak suka bermusuh, tapi jaga selamanya takkan mundur jika hendak dicoba orang. Marilah, Bhok enghiong, kutemani kau main-main sebentar untuk menggembirakan pesta Siok Sianseng yang budiman."
Lalu dengan gerakan lincah sekali, ia melompat ke tengah ruangan dengan ilmu loncat It-ho-ciong-thian atau Burung Hoo Terjang Langit. Hong Ing melihat ini menjadi kagum karena gerakan ini menunjukkan gerakan seorang ahli lweekeh. Tapi yang lebih heran adalah Han Liong. Ketika ia mendengar orang itu menyebutkan namanya Bie Cauw Giok, tanpa disadarinya, ia bangun dari kursinya dengan wajah gembira.
Karena nama itu bukan lain ialah nama murid tunggal dari gurunya sendiri, Pauw Kim Kong Beng-san Tojiu si Malaikat Rambut Putih! Jadi, sebagaimana Bhok Kian Eng maka Bie Cauw Giok inipun bukan lain adalah suhengnya sendiri! Dan kedua suheng ini sekarang saling berhadapan hendak bertempur! Tentu saja ia merasa gelisah dan bingung.
Sementara itu, Bhok Kian Eng juga sudah melompat menyusul Bie Cauw Giok dan segera mereka bertanding mengadu kepalan. Bhok Kian Eng yang berwatak keras segera melancarkan serangan bertubi-tubi dengan mengeluarkan ilmu silatnya yang istimewa. Tapi Bie Cauw Giok ternyata bukan orang lemah dan dapat melayaninya dengan baik sekali. Mereka berdua bergerak cepat sehingga membuat para penonton menahan nafas dan tak dapat membedakan mana kawan dan lawan.
Han Liong yang masih berdiri bingung segera dapat mengenal perbedaan mereka dalam hal kepandaian. Bhok Kian Eng sangat mahir tentang ilmu meringankan tubuh hingga gerakannya lebih gesit dan cepat, sedang Bie Cauw Giok mempunyai keuletan luar biasa dan tenaga dalamnya lebih tinggi daripada lawannya. Bhok Kian Eng dapat melancarkan serangan lebih sering karena lincahnya, tapi ia selalu menjaga agar jangan sampai beradu tangan, karena tadi baru sekali saja berada lengan ia terhuyung-huyung mundar dan lengannya terasa sakit!
Maka keadaan mereka boleh dibilang tak jauh selisihnya. Namun Han Liong yakin bahwa jika didiamkan saja, seorang di antara mereka pasti akan terluka, dan ia tak ingin hal ini terjadi. Tanpa raga-ragu lagi ia melompat kedepan. Orang-orang hanya melihat bayangan berkelebat di antara kedua orang yang bertanding itu, dan tahu-tahu Bhok Kian Eng dan Bie Cauw Giok terhuyung mundur bagai ditolak oleh suatu tenaga besar!
Han Liong menjura kepada mereka berdua dengan sikap hormat sekali, lalu berkata, "Siauwte mohon maaf dan harap sudilah suheng berdua menghentikan permainan-permainan yang berbahaya ini."
Bhok Kian Eng dan Bie Cauw Giok yang tadinya merasa marah kini menjadi terheran-heran.
"Eh siapakah kau maka menyebut aku suhengmu?" Bhok Kian Eng bertanya dengan marah, sedangkan Bie Cauw Giok memandang makin heran.
Kalau orang ini benar-benar sute dari Bhok Kian Eng, mengapa menyebut suheng pula kepadanya? Tapi diam-diam kedua orang gagah itu kagum melihat gerakan dan tenaga anak muda yang telah dengan mudah membuat mereka terhuyung mundur. Tapi mereka juga mesara amat tidak senang atas kelancangan anak muda ini.
"Siauwte adahh Si Han Liong. Bukankah Bhok suheng murid suhu Liok-tee Sin-mo Hong In dan bukankah suhu Pauw Kim Kong guru dari Bie suheng?"
Untuk kedua kalinya Bhok Kian Eng dan Bie Cauw Giok terheran-heran karena pemuda itu dapat mengetahui nama guru mereka. Tentu saja mereka tidak percaya karena mana bisa jadi, sute mereka masih begitu muda tapi berkepandaian demikian tinggi?
"Bie enghiong," Bhok Kian Eng berkata kepada Bie Cauw Giok, "agaknya orang ini hendak mempermainkan kita dan memamerkan kegagahannya untuk menghina kita berdua."
"Benar begitu kiranya," kata Bie Cauw Giok, "karena mana mungkin sutemu menjadi suteku pula? Biarlah aku mencobanya dulu, sampai di mana kepandaian orang yang mengaku suteku ini."
"Tidak, biar aku maju lebih dulu untuk memberi pelajaran kepadanya," bantah Bhok Kian Eng.
Sampai disini, maka kesabaran Hong Ing yang dari tadi dirahan-tahan menjadi hilang melihat kokonya dipandang rendah. Dan sekali melompat ia telah berada di tengah ruangan itu. Semua tamu makin heran melihat datangnya seorang pemuda yang muda dan cakap, dan dari gerakannya ternyata memiliki kepandaian tinggi. Suasana menjadi tegang.
"Jiwi enghiong jangan berebut. Kalau jiwi masih tidak percaya kepada kokoku ini dan masih menganggap dia seorang sute palsu, kurasa untuk mencobanya tak perlu seorang demi seorang. Majulah saja bersama-sama, pasti kokoku akan dapat melayani jiwi dengan baik."
Kata-kata ini mengandung tantangan hebat dan memandang rendah kedua orang itu, maka wajah kedua orang itu menjadi merah padam. Han Liong melihat kenakalan Hoag Ing, buru-buru menunduk memberi hormat dan berkata,
"Jiwi suheng, ia adalah adikku Hong Ing. Maafkan dia yang masih muda, tetapi biarlah suheng berdua melaksanakan seperti yang diusulkannya. Siauwte akan melayani suheng berdua, tetapi siauwte akan membuktikan bahwa ilmu silat yang siauwte pakai dalam permainan ini tiada bedanya dengan ilmu suheng sendiri."
Kedua orang itu heran dan tercengang atas keberanian orang muda ini. Bagaimana seorang dapat melayani mereka berdua dengan menggunakan dua macam cabang ilmu silat? Tetapi karena tahu akan ketangguhan lawan, Bhok Kian Eng memberi tanda kepada Bie Cauw Giok dan berkata,
"Kau sombong sekali, anak mula. Baiklah, mari kita serang dia bersama-sama, Bie enghiong, lihat, bagaimana dia akan melayani kita."
"Tetapi tidak adil kalau kita harus maju terentak, Bhok enghiong," bantah Bie Cauw Giok.
"Tidak apa, Bie suheng, majulah," kata Han Liong dengan tenang dan mengambil tempat di tengah, Bhok Kian Eng di kiri dan Bie Cauw Giok di kanan.
Mendengar kata-kata yang bersifat menantang ini, Bhok Kian Eng dan Bie Cauw Giok tak dapat menahan rasa amarahnya dan maju melakukan serangan hebat! Han Liong yang telah, dilatih sempurna oleh Kam Hong Siansu yang menciptakan Ilmu Silat Empat Bintang, yakni yang mengambil dasar dari pelajaran keempat guru Han Liong, tentu saja kenal baik gerakan-gerakan kedua suhengnya itu.
Segera ia bergerak dengan gesit, tangan kanan dipakai menangkis serangan Bie Cauw Giok dan tangan kiri menangkis serangan Bhok Kian Eng. Sekaligus ia dapat mempergunakan dua gerakan dari kedua cabang persilatan, dengan mengandalkan kekuatan ilmu ginkangnya yang tinggi, sehingga tubuhnya dapat bergerak dengan cepat.
Setelah menyerang beberapa belas jurus, kedua suheng itu terheran-heran dan terkejut, karena ternyata semua gerakan Han Liong adalah benar-benar ilmu silat cabang mereka! Bahkan tangkisan-tangkisan anak muda itu membawa tenaga yang demikian besar sehingga tiap kali lengan mereka beradu, kedua orang itu mesata betapa tubuh mereka terpental dan lengan mereka tergetar hebat.
Hal ini membuat mereka heran dan kagum, lebih-lebih Bie Cauw Giok yang memiliki ilmu tenaga dalam yang tinggi namun tetap tak berdaya terhadap orang yang mengaku sutenya itu! Juga Bhok Kian Eng yang mahir ilmu meringankan tabuh, kagum sekali melihat gerakan Han Liong yang tak kalah hebatnya jika dibandingkan dengan gurunya, Hong In si Iblis Daratan sendiri!
Tapi kedua orang itu masih belum puas dan mereka menyerang semakin hebat. Han Liong terpaksa menggunakan ilmu silatnya Empat Bintang Untuk melayani kedua suheng ini. Tentu saja kedua lawannya menjadi bingung karena pemuda ini kini bergerak dalam ilmu silat yang aneh sekali. Mirip ilmu silat mereka sendiri, tapi toh bukan!
Dan sebentar saja kedua orang itu merasa seakan-akan bukan sedang bertanding melawan seorang, tapi lebih dari lima orang. Dimana-mana tampak bayangan pemuda itu mengeroyok mereka...!
Dengan ringkas Han Liong menceritakan pengalamannya tanpa menyebut jalannya pertempuran, tapi Lie Kiam yang merasa tidak puas lalu bertanya kepada Hong Ing. Sebetulnya sejak tadi juga Hong Ing merasa tidak puas mendengar cerita Han Liong, tetapi ia tidak berani bicara karena kakaknya itu berkali-kali memberi tanda agar ia tidak berkata apa-apa.
Tapi sekali ini karena Lie Kiam sendiri yang mengajukan pertanyaan tanpa Han Liong berani mencegah dan melarangnya, Hong Ing segera buka suara dan menceritakan jelas betapa ia dikalahkan oleh Ban Hok dan betapa dengan sebatang ranting pohon liu, Han Liong dapat mengalahkan Ban Hok dengan mudahnya!
Ceritanya ini diucapkan dengan kata-kata menarik diikuti gerekan-gerakan meniru-nirua gerak silat kedua pihak, penuh dengan pujian-pujian bagi Han Liong yang membuat pemuda itu menundukkan kepala dengan kemerah-merahan.
Karena kemarin tiada waktu untuk bicara panjang lebar, maka setelah mendengar cerita itu, Lie Kiam terheran-heran karena ia merasa mustahil bahwa suhunya telah berlaku berat sebelah dan memberikan kepandaian istimewa kepada sutenya itu. Maka ia menuntut kepada sutenya agar menceritakan riwayatnya. Terpaksa Han Liong menuturkan riwayat pelajaran silatnya yang didengarkan dengan penuh perhatian oleh Lie Kiam.
********************
Semenjak saat itu, Bwee Lan makin kagum melihat susioknva dan bahkan Bwee Hwa yang tedinya masih raga-ratu menjadi tunduk betul. Kedaan nona dari Shoatang itu bahkan dengan tidak malu-malu minta kepada susioknya untuk memberi mereka pelajaran satu dua jurus ilmu silat untuk memperdalam kepandaian mereka. Tetapi Han Liong dengan halus menolaknya.
Ternyata selain nakal dan galak, Bwee Hwa juga cerdik. Ia menggunakan Hong Ing sebagai perantara untuk mendesak Han Liong agar suka memberi pelajaran kepada mereka. Setelah Hon Ing turun tangan, terpaksa, sebagaimana biasa, Han Liong tak dapat melawan kehendak adiknya yang manja itu, dan ia turunkan juga silat yang diwarisinya dari suhunya Hee Ban Kiat kepada mereka sebanyak sepuluh jurus.
Tetapi biarpun hanya sepuluh jurus, kedua nona itu merasa girang sekali dan belajar dengan rajin dan bersemangat, karena yang mereka pelajari itu adalah sepuluh jurus pilihan dari Kiauw-ta-sin-na yaitu gabungan dari Kim-na-hoat dari Siauw-lim-si dan Bu-tong-pai.
Kalau sepuluh jurus pukulan ini dipelajarinya dengan sempurna, maka kelihaiannya melebihi ratusan jurus ilmu silat cabang lain. Lagi pula, di dalam pukulan yang paling lihai dari Siauw-lo-ong Hee Bin Kiat si mata ini, Han Ltoug telah mengadakan pecahan-pecahan dan variasi hingga sepuluh jurus ini dapat terpecah menjadi puluhan gerakan.
Sebelah tingggal di rumah suhengnya selama setengah bulan, Han Liong dan Hong Ing berpamit untuk meneruskan perantauan mereka. Lie Kiam yang merasa sayang sekali kepada sutenya itu tak dapat menahan, hanya memberi pesan agar sutenya berlaku hati-hati dan jangan mudah mencari permusuhan.
"Sute," katanya kemudian, "kebetulan sekali aku mendapat undangan dari Siok Houw Sianseng di Kie-lok, Sianseng ini bukanlah sembarangan orang, bahkan ia ini kawan seperjuangan almarhum ayahmu. Ia seorang sasterawan yang tubuhnya lemah tapi pikirannya kuat dan pandai sekali. Tulisannya yang tajam menyerang hebat pemerintah musuh dan membangkitkan semangat perjuangan rakyat sehingga ia menjadi musuh pemerintah. Besok lusa ia merayakan hari perkawinan puterinya. Maka, kau wakililah aku, sute, sekalian kau belajar kenal dengan orang tua bijaksana itu. Selain itu, di sana tentu datang semua hohan dari kalangan kang-ouw hingga kau dapat, memperluas pengalamanmu."
Karena memang tidak mempunyai tujuan tertentu dalam perjalanannya merantau, Han Liong menerima perintah ini dengan gembira. Ia membawa surat dari Lie Kiam dan berangkatlah ia dengan Hong Ing yang masih tetap menyamar sebagai seorang pemuda yang tampan.
Karena sayangnya kepada mereka, Lie Kiam mengusahakan dua ekor kuda yang baik untuk sute dan adiknya ini, sehingga mereka berterima kasih sekali. Jarak antara kota tempat tinggal Lie Kiam dan Kie-lok tidak jauh, hanya lebih kurang delapan puluh li, maka sepasang pemuda pemudi tidak sangat tergesa-gesa. Mereka membiarkan kuda mereka berjalan seenaknya saja. Ketika melalui sebuah jalan gunung yang sempit, tiba-tiba dari belakang mereka terdengar suara kaki kuda yang berlari kencang.
Han Liong dan Hong Ing menahan kuda mereka dan menanti di pinggir jalan. Kebetulan di dekat Hong Ing ada bunga mawar gunung yang sedang mekar harum, maka gadis itu tak dapat menahan hatinya untuk tidak memetik bunga itu dan menancapkan di lipatan pengikat rambutnya. Suara kaki kuda dari belakang makin keras kedengarannya dan sebentar kemudian dua orang penunggang kuda itu dengan secepat kilat lalu dekat merela karena jalan itu memang sempit.
Ternyata kedua penunggang kuda itu adalah dua orang perempuan muda yang berwajah hitam dan buruk. Yang menarik perhatian adalah sarung pedang dan hudtim atau kebutan yang terselip di punggung mereka. Han Liong dan Hong Ing mencium bau wangi yang ganjil ketika kedua wanita itu lewat.
Tiba-tiba Hong Ing menjerit perlahan. Ternyata ketika mereka itu lewat cepat di dekatnya, seorang diantara mereka mengulurkan tangannya dan sambil tertawa kecil wanita itu menyambar bunga mawar yang tertancap di rambut Hong Ing! Hong Ing marah sekali dan ia segera menyentakkan kendali kudanya untuk mengejar.
"Sudahlah, adik Ing, biarkan saja. Di sini masih banyak bunga, mari kupetikkan," cegah Han Liong yang tak ingin mencari onar karena ia maklum bahwa kedua buruk itu memiliki kepandaian tinggi sehingga lebih baik tidak mencari ribut dengan mereka hanya karena setangkai bungai!
Tapi mana Hong Ing mau menurut. "Orang itu telah menghinaku, kau suruh aku diam saja? Koko, kalau kau takut, bersembunyilah disini, aku harus memberi tamparan kepada wanita setan itu!"
Dan Hong Ing mencambuk kudanya mengejar. Karena kudanya bagus dan ia memang pandai berkuda, sebentar saja ia dapat menyusul.
"He, perempuan busuk, berhenti dulu!" teriaknya marah.
Dua orang perempuan di depannya menahan kuda mereka dan berpaling. Hong Ing terkejut sekali melihat wajah mereka yang buruk menjijikkan itu. Agaknya mereka berdua menjadi korban penyakit kulit yang menyerang wajah mereka sehingga wajah mereka menjadi hitam serta kulitnya bercacat. Tapi sepasang mata merela yang indah, bersinar tajam ketika mereka memandang Hong Ing dengan kagum.
"Siangkong mengapa menahan kami?" tanya seorang diantara mereka yang lebih tua.
Hong Ing melihat bahwa bunganya kini telah berada di atas rambut perempuan kedua, maka ia menunjuk sambil membelalakkan mata, "Perempuan ini berlaku keji sekali! Kembalikan bungaku!"
Kedua perempuan itu tertawa geli melihat sikap Hong Ing yang seperti seorang kanak-kanak direbut bunganya.
"Bunga adalah lambang persahabatan dan rasa suka, mengapa kau tidak rela kembangmu kuminta ?" perempuan itu berkata sambil tersenyum genit.
"Siapa sudi menjadi sahabatmu ? Ayoh kembalikan!" Hong Ing membentak marah.
"Sumoi, kembalikan saja, jangan membikin siangkong yang tampan ini menjadi marah," kata perempuan pertama.
Karena kata-kata sucinya ini, perempuan kembang itu lalu mengambil bunga mawar itu dari kepalanya, lalu mendekatkan kembang itu ke hidung dan bibirnya untuk dicium, kemudian ia lemparkan kearah Hong Ing.
"Ini, terimalah tanda mata dariku, siangkong!" katanya sambil melirik dibuat-buat.
"Cis, tak tahu malu!" Hong Ing semakin marah dan menyampok kembang itu dengan tangannya hingga berantakan di tanah. "Memang sudah kuduga kalian bukan orang-baik !" Sambil berkata begitu Hong Ing mencabut siang-kiamnya dan menyerang.
"Suci, biar kutangkap sitampan ini untuk teman seperjalanan!" kata perempuan yang muda sambil tertawa genit, tetapi bersamaan dengan ini ia mencabut kebutannya dan menggunakan kebutan itu menangkis pedang Hong Ing.
Hong Ing makin marah mendengar kata-kata itu dan kedua tangannya bekerja keras memberi serangan-serangan berbahaya bergantian. Melihat gerakan 'pemuda' ini, barulah lawannya tidak berani main-main lagi dan melayaninya dengan hati-hati, bahkan kini ia mencabut pedangnya dan membalas menyerang.
Maka bertempurlah Hong Ing dengan perempuan buruk itu dengan sengitnya. Ternyata lawan ini sangat lihai sehingga sebentar saja Hong Ing terdesak. Ia terpaksa melompat turun dari kuda lalu menyerang lagi. Perempuan itupun terpaksa melompat pula dari kudanya, maka kini mereka berkelahi di atas tanah dengan lebih seru.
Selama bersama dengan Han Liong, Hong Ing telah banyak mendapat petunjuk dari kakaknya ini sehingga ilmu silatnya sekarang sudah jauh lebih hebat dari dulu, bahkan ia sudah mempunyai beberapa tipu gerakan dari pelajaran yang didapat Han Liong dari gurunya Kim-to Bie Kong Hosiang. Maka gerakan siang-kiam di tangan Hong Ing sangat hebat, terlebih lagi ketika ia bersilat dengan ilmu golok yang sudah diubah oleh Han Liong dalam tipu gerakan Ngo-houw-toan-hun-to atau Lima Harimau Mencegat di Pintu. Kedua pedangnya berputar-putar cepat.
Pedang kiri merupakan penjaga yang tangguh sedangkan pedang kanan digunakan untuk menyerang, tetapi lawannya tidak kalah hebatnya, terutama geeakan kebutan itu membuat Hong Ing menjadi bingung. Kebutan itu dapat digunakan untuk melilit pedangnya dan beberapa kail pedang kanannya kena terlilit. Kalau tenaga dalamnya tidak begitu terlatih atas bimbingan Han Liong, patti tadi-tadi pedang ditangannya sudah terlepas kena kebutan lawannya!
Sementara itu, kuda yang ditunggangi Hong Ing tadi, ketika mendengar ribut-ribut pertempuran itu, menjadi terkejut dan lari sambil meringkik keras! Tetapi Han Liong yang masih berada di atas kudanya mendatangi tempat pertempuran itu, ketika melihat kuda Hong Ing hendak kabur, sekali tubuhnya bergerak ia sudah melayang keatas punggung kuda Hong Ing dan menahan kendalinya.
"Bagus!" terdengar pujian dari suci lawan Hong Ing yang melihat gerakan ini dan menjadi sangat heran serta kagum.
Ia maklum bahwa pemuda kedua ini berkepandaian jauh lebih tinggi dari pemuda yang sedang bertempur melawan adiknya itu karena dari gerakannya saja ia sadar bahwa ia sendiri berdua adiknya takkan dapat melawan pemuda ini. Maka ia segera berkata kepada adiknya yang sedang berkelahi.
"Sumoi, mundurlah, ayo kita pergi. Lupakah kau akan pesan subo agar kita jangan mencari onar di jalan? Urusan kecil diperhatikan, urusan besar bisa gagal!"
Dan ia gerakkan hudtimnya yang berbulu kuning di tengah-tengah antara pedang adiknya dan pedang Hong Ing. Ujung bulu kebutan yang lemas itu ternyata membawa tenaga besar yang mengeluarkan angin, sehingga kedua orang yang sedang bertempur itu terhuyung mundur! Kemudian ia memberi hormat kepada Hong Ing dan Han Liong sambil senyum,
"Jiwi enghiong harap maafkan kami berdua."
Dan dari kedua kepalannya menyambar uap hitam yang kuat sekali kearah Han Liong dan Hong Ing. Han Liong terkejut sekali dan maklum akan keajaiban uap hitam itu, maka ia segera melompat ke depan melindungi Hong Ing. Ia gerakkan tangan kirinya perlahan kedepan dan uap itu membentur balik membuat perempuan buruk itu terhuyung ke belakang!
"Maaf tak mengenal Gunnng Thai-san." Perempuan itu berkata dan menujukan pandang matanya dengan tajam ke arah Han Liong yang berdiri tersenyum saja. Kemudian ia tarik tangan adiknya dan mereka berdua melompat ke atas kuda yang segera dipacunya!
"Koko, kenapa kau tidak basmi saja dua siluman perempuan itu?" kata Hong Ing gemas.
"Buat apa mencari permusuhan dengan segala orang yang tak dikenal? Adik Ing, belajar sabarlah kau. Kau lihat dua orang wanita tadi, mereka begitu berani. Kau anggap baikkah sikap berani mereka itu? Kurasa kau tidak ingin seperti mereka bukan?"
Hong Ing hanya melirik dengan merengut, lalu berkata manja "Kau mau persamakan aku dengan siluman-siluman buruk itu??"
"Ah, tentu saja tidak, adikku. Kau cantik seperti dewi, sedangkan mereka itu buruk seperti iblis neraka, mana bisa disamakan? Hanya harus kau ingat, ilmu silat mereka, terutama yang tua lihai benar."
"Memang lihai, memang lihai..." Hong Ing mengangguk-angguk dengan sikap menurut dan sabar, karena sebenarnya semua kemarahan dan kegemasannya telah lenyap musnah mendengar pujian Han Liong yang menyebut ia cantik seperti dewi! Iapun patuh dan tak membantah lagi ketika Han Liong mengajaknya melanjutkan perjalanan.
Pada keesokan harinya, ketika matahari telah terbenam, Han Liong dan Hong Ing tiba di Kie-lok dan dengan mudah saja mereka dapat mencari rumah Siok Houw Sianseng yang cukup dikenal. Tuan rumah yang berusia lebih kurang lima puluh tahun itu dan sangat peramah serta halus budi bahasanya. Ia menyambut mereka dengan gembira. Han Liong menyampaikan surat Lie Kiam dan segera mereka dipersilakan memasuki ruang tamu.
Biarpun pesta baru akan diadakan pada esok harinya, namun sudah banyak orang berkumpul di ruang tamu. Mereka ini ialah tamu-tamu yang datang dari tempat jauh. Lebih kurang lima meja dikelilingi para tamu. Ada yang berpakaian seperti jago silat, tapi ada juga yang terdiri dari kaum sasterawan. Tentu saja mereka itu memilih golongan masing-masing, sehingga rombongan tamu terbagi menjadi dua, golongan ahli silat dan golongan ahli sastera.
Han Liong dan Hong Ing yang berpakaian seperti kaum sasterawan, lagi pula karena sikap dan bahasa mereka lemah lembut, segera dianggap ahli-ahli sasteta dan dipersilakan duduk di bagian kutu buku yang berkumpul di situ sambil mengonol. Mereka ini ada yang mempercakapkan kitab-kitab kuno, ada pula yang membicarakan tentang syair-syair ternama dan hikayat serta riwayat di tanah air pada zaman dahulu.
Ternyata lebih banyak ahli sastera daripada ahli silat yang berkumpul di situ. Ahli-ahli silat yang berkumpul hanya ada dua meja terdiri dari dua belas orang, sedangkan kaum sasterawan mengelilingi tiga meja. Hong log segera tertarik oleh percakapan para ahli tulis itu, karena ia sendiripun suka akan buku-buku dan kesusasteraan. Han Liong diam-diam mengerling ke arah meja di seberang, di mana duduk orang-orang gagah yang sedang bercakap-cakap riuh rendah sambil minum arak sepuasnya.
Tiba-tiba di meja sudut terdengar tertawa meriah, bahkan ada beberapa orang yang bertepuk tangan.
"Memang sudah sepantasnya Bhok lo-enghiong membuka pertunjukan barang sepuluh jurus agar mata kami terbuka. Di ruangan ini selain Bhok lo-enghiong, siapa lagi yang patut menambah pengertian kita?" demikian terdengar suara desakan.
Seorang yang bertubuh tinggi kurus, berusia lebih kurang empat puluh tahun, berdiri dari kursinya. Ia menjura kepada orang yang memujinya dengan sikap merendah, tapi dadanya tampak naik, sehingga orang-orang tahu bahwa diam-diam ia merasa bangga.
"Cuwi," katanya, "Di sini berkumpul orang-orang dari kalangan bun (sastera) yang halus dan sopan, mana aku berani memperlihatkan kekasaranku. Juga tuan rumah adalah seorang siucai yang terhormat, sekailikali aku tak berani kurang ajar!" Lalu ia duduk kembali.
"Mana bisa begitu?" seorang tua bertubuh gagah kuat berkata, "Bhok enghiong hendak mengadakan pertunjukan silat, ini bukanlah mengganggu, bahkan membantu tuan rumah meramaikan dan menggembirakan pestanya. Siok Sianseng adalah seorang sasterawan patriot yang mengutamakan kegagahan, hingga biarpun beliau bertubuh lemah, tapi jiwanya termasuk orang gagah juga, apa bedanya dengan kita? Kalau bun (kesusasteraan) dan bu (kegagahan) tidak disatupadukan, mana perjuangan akan berhasil? Siok Sianseng, bukankah pendapatku ini benar?" tanyanya kepada Siok Houw Sianseng yang sedang menghampiri mereka karena tertarik oleh suara perdebatan itu.
Siok Sianseng menjura dan berkata gembira, "Kalau para enghiong merasa gembira dan hendak mengadakan pertunjukan, sudah tentu hal itu amat menggirangkan dan siauwte sebelumnya menghaturkan banyak terima kasih!"
"Nah, apa kataku? Ayoh, Bhok enghiong, silakan kau membuka pertunjukan lebih dahulu. Tidak mudah kami melihat menyambarnya Garuda Putih kalau tidak kebetulan berada di pesta Siok Sianseng!"
Mendengar orang she Bhok itu disebut Garuda Putih, Han Liong segera memperhatikan. Jadi orang tinggi kurus yang dipuji-puji itu adalah suhengnya, Bhok Kian Eng si Garuda Putih? Ia lihat Bhok Kian Eng dengan sikap apa boleh buat berdiri dari kursi dan setelah mengangkat kedua tangannya ke kepala memberi hormat kearah para tamu, ia melompat ke tengah ruangan yang lebar dan kosong itu.
Di situ ia bersilat tangan kosong dan tubuhnya melompat ke sana ke mari. Memang hebat kepandaian Garuda Putih ini. Gin-kangnya sudah mahir sekali sehingga ketika ia percepat gerakan-gerakannya, maka kedua kakinya seakan-akan tak menginjak lantai!
Tubuhnya menjadi bertambah seakan-akan ada dua orang yang bersilat karena cepatnya gerak tubuhnya. Diam-diam Han Liong kagum. Tak kecawa Bhok Kian Eng ini menjadi murid dari Liok-tee Sin-mo Hong In si Iblis Daratan, karena ternyata ilmu meringankan tubuh yang bebat dari Iblis Daratan itu sedikitnya delapan bagian telah diwarisinya!
Tentu saja semua tamu menyambut ilmu silat yang lihai ini dengan tepuk tangan riuh, disana-sini terdengar suara pujian. Bibran para sasterawan yang asing sama sekali akan pertunjukan seperti itu, juga mau tak mau menjadi tertarik. Mereka ini heran betul betapa tubuh seorang manusia biasa dapat bergerak selincah burung garuda hingga mengaburkan mata!
Maka mereka juga ikut bertepuk tangan memuji. Dengan hati kecewa Han Liong melihat betapa suhengnya itu mempunyai watak sombong dan takabur, jauh berbeda dengan Lie Kiam, twa-suhengnya. Bhok Kian Eng menghentikan silatnya dan menjura dengan mulut tersenyum dan dada yang kurus itu terangkat naik!
"Sungguh hebat setali ilmu silatmu, Bhok enghiong. Baru sekarang aku menyaksikan sendiri kelihaian Garuda Putih, sungguh membikin kami gentar. Tapi, sudikah kau memperlihatkan pertunjukan ilmu sambit kim-chi-piauwmu yang terkenal itu?"
Bhok Kian Eng makin angkuh mendengar pujian orang, maka tanpa ragu-ragu lagi ia rogoh sakunya, "Lihat, aku hendak memadamkan semua lilin besar di meja-meja ini!"
Dan ia mulai mengayunkan tangannya. Tiap kali ia mengayunkan tangannya, maka padamlah sebuah lilin di meja pertama. Demikianlah, dengan bergiliran lilin-lilin besar di semua meja padam kena sambitan kim-chi-piauw, sedangkan uang logam yang disambitkan itu sama sekail tidak melukai orang!
Ketika lilin di depan Han Liong kena dan padam, maka tinggal sebuah lilin di meja para sasterawan di ujung ruangan itu saja yang belum padam. Bhok Kin Eng mengeluarkan kepandaiannya untuk sambitan terakhir ini. Ia sengaja berdiri membelakangi meja itu dan tiba-tiba tangan kirinya bergerak melalui bawah lengan kanan!
Sebuah uang tembaga meluncur cepat ke arah api lilin. Tapi tiba-tiba seorang sasterawan muda tampak terkejut hingga tangan kanannya terangkat ke depan. Uang logam itu tidak mengenai lilin karena buktinya lilin tidak padam dan senjata rahasia itu entah kemana terbangnya. Keadaan menjadi sunyi dan Bhok Kian Eng heran sekali mengapa tidak terdengar tepuk tangan untuk sambitan kali ini, tidak seperti hasil sambitan sambitan yang tadi. Ia segera menengok dan wajahnya merah ketika melihat lilin itu masih menyala!
Rupanya sambitannya tidak mengenal sasaran. Maka untuk menutup rasa malunya, ia ayunkan lagi tangannya, kini tangan itu melalui selangkang kakinya! Tapi kini semua tamu, kecuali Han Liong yang telah tahu, merasa terkejut sekali, karena pada saat uang logam itu akan menyambar api lilin, tiba tiba uang logam yang pertama datang menyambar dan membentur uang logam kedua hingga menerbitkan suara nyaring dan kedua senjata rahasia itu jatuh ke atas lantai!
Han Liong kagum melihat hal ini. Tadi ia dapat melihat betapa dengan gerakan Menangkap Burung Terbang, sasterawan muda yang duduk di meja itu telah berhasil menangkap piauw pertama tanpa diketahui orang lain dan kemudian setelah piauw kedua menyambar, ia gunakan piauw pertama itu untuk menyambut piauw kedua. Tapi gerakan ini tentu saja dapat terlihat oleh semua orang hingga menimbulkan suara-suara kagum dan heran terkejut.
Bhok Kian Eng merasa malu dan marah sekali, karena merasa dipermainkan orang. Segera ia menghampiri sasterawan yang bertubuh tegap berwajah cakap dan berusia lebih kurang tiga puluh tahun itu, dan dengan senyum dibuat-buat Bhok Kian Eng menjura.
"Saudara telah memperlihatkan kelihaian dan dengan itu memberi pelajaran padaku, maka janganlah kepalang, siauwte mohon pengajaran barang dua-tiga jurus."
Sasterawan muda itu tertawa, "Bhok enghiong terkenal dengan julukan Garuda Putih, ternyata memang bukan nama kosong belaka. Tadi siauwte telah melihat ilmu silatmu dan soal kepandaian ginkang, aku orang she Bie boleh berguru padamu! Tapi, dengan uang logam memadamkan api di meja semua orang, bukanlah itu tak mengindahkan orang lain?"
Bhok Kian Eng menundukkan kepalanya dan ia memang merasa bahwa dirinya bersalah. Tapi ia beradat keras dan tinggi hati, mana ia mau mengalah begitu saja?
"Bie enghiong, memang siauwte bermata tapi seakan-akan buta, biarlah kesempatan ini kugunakan untuk mengerti kelihatanmu."
Orang yang ditantangnya secara halus itu berdiri dan menanggalkan baju luarnya sambil tersenyum. "Aku Bie Cauw Giok selamanya tak suka bermusuh, tapi jaga selamanya takkan mundur jika hendak dicoba orang. Marilah, Bhok enghiong, kutemani kau main-main sebentar untuk menggembirakan pesta Siok Sianseng yang budiman."
Lalu dengan gerakan lincah sekali, ia melompat ke tengah ruangan dengan ilmu loncat It-ho-ciong-thian atau Burung Hoo Terjang Langit. Hong Ing melihat ini menjadi kagum karena gerakan ini menunjukkan gerakan seorang ahli lweekeh. Tapi yang lebih heran adalah Han Liong. Ketika ia mendengar orang itu menyebutkan namanya Bie Cauw Giok, tanpa disadarinya, ia bangun dari kursinya dengan wajah gembira.
Karena nama itu bukan lain ialah nama murid tunggal dari gurunya sendiri, Pauw Kim Kong Beng-san Tojiu si Malaikat Rambut Putih! Jadi, sebagaimana Bhok Kian Eng maka Bie Cauw Giok inipun bukan lain adalah suhengnya sendiri! Dan kedua suheng ini sekarang saling berhadapan hendak bertempur! Tentu saja ia merasa gelisah dan bingung.
Sementara itu, Bhok Kian Eng juga sudah melompat menyusul Bie Cauw Giok dan segera mereka bertanding mengadu kepalan. Bhok Kian Eng yang berwatak keras segera melancarkan serangan bertubi-tubi dengan mengeluarkan ilmu silatnya yang istimewa. Tapi Bie Cauw Giok ternyata bukan orang lemah dan dapat melayaninya dengan baik sekali. Mereka berdua bergerak cepat sehingga membuat para penonton menahan nafas dan tak dapat membedakan mana kawan dan lawan.
Han Liong yang masih berdiri bingung segera dapat mengenal perbedaan mereka dalam hal kepandaian. Bhok Kian Eng sangat mahir tentang ilmu meringankan tubuh hingga gerakannya lebih gesit dan cepat, sedang Bie Cauw Giok mempunyai keuletan luar biasa dan tenaga dalamnya lebih tinggi daripada lawannya. Bhok Kian Eng dapat melancarkan serangan lebih sering karena lincahnya, tapi ia selalu menjaga agar jangan sampai beradu tangan, karena tadi baru sekali saja berada lengan ia terhuyung-huyung mundar dan lengannya terasa sakit!
Maka keadaan mereka boleh dibilang tak jauh selisihnya. Namun Han Liong yakin bahwa jika didiamkan saja, seorang di antara mereka pasti akan terluka, dan ia tak ingin hal ini terjadi. Tanpa raga-ragu lagi ia melompat kedepan. Orang-orang hanya melihat bayangan berkelebat di antara kedua orang yang bertanding itu, dan tahu-tahu Bhok Kian Eng dan Bie Cauw Giok terhuyung mundur bagai ditolak oleh suatu tenaga besar!
Han Liong menjura kepada mereka berdua dengan sikap hormat sekali, lalu berkata, "Siauwte mohon maaf dan harap sudilah suheng berdua menghentikan permainan-permainan yang berbahaya ini."
Bhok Kian Eng dan Bie Cauw Giok yang tadinya merasa marah kini menjadi terheran-heran.
"Eh siapakah kau maka menyebut aku suhengmu?" Bhok Kian Eng bertanya dengan marah, sedangkan Bie Cauw Giok memandang makin heran.
Kalau orang ini benar-benar sute dari Bhok Kian Eng, mengapa menyebut suheng pula kepadanya? Tapi diam-diam kedua orang gagah itu kagum melihat gerakan dan tenaga anak muda yang telah dengan mudah membuat mereka terhuyung mundur. Tapi mereka juga mesara amat tidak senang atas kelancangan anak muda ini.
"Siauwte adahh Si Han Liong. Bukankah Bhok suheng murid suhu Liok-tee Sin-mo Hong In dan bukankah suhu Pauw Kim Kong guru dari Bie suheng?"
Untuk kedua kalinya Bhok Kian Eng dan Bie Cauw Giok terheran-heran karena pemuda itu dapat mengetahui nama guru mereka. Tentu saja mereka tidak percaya karena mana bisa jadi, sute mereka masih begitu muda tapi berkepandaian demikian tinggi?
"Bie enghiong," Bhok Kian Eng berkata kepada Bie Cauw Giok, "agaknya orang ini hendak mempermainkan kita dan memamerkan kegagahannya untuk menghina kita berdua."
"Benar begitu kiranya," kata Bie Cauw Giok, "karena mana mungkin sutemu menjadi suteku pula? Biarlah aku mencobanya dulu, sampai di mana kepandaian orang yang mengaku suteku ini."
"Tidak, biar aku maju lebih dulu untuk memberi pelajaran kepadanya," bantah Bhok Kian Eng.
Sampai disini, maka kesabaran Hong Ing yang dari tadi dirahan-tahan menjadi hilang melihat kokonya dipandang rendah. Dan sekali melompat ia telah berada di tengah ruangan itu. Semua tamu makin heran melihat datangnya seorang pemuda yang muda dan cakap, dan dari gerakannya ternyata memiliki kepandaian tinggi. Suasana menjadi tegang.
"Jiwi enghiong jangan berebut. Kalau jiwi masih tidak percaya kepada kokoku ini dan masih menganggap dia seorang sute palsu, kurasa untuk mencobanya tak perlu seorang demi seorang. Majulah saja bersama-sama, pasti kokoku akan dapat melayani jiwi dengan baik."
Kata-kata ini mengandung tantangan hebat dan memandang rendah kedua orang itu, maka wajah kedua orang itu menjadi merah padam. Han Liong melihat kenakalan Hoag Ing, buru-buru menunduk memberi hormat dan berkata,
"Jiwi suheng, ia adalah adikku Hong Ing. Maafkan dia yang masih muda, tetapi biarlah suheng berdua melaksanakan seperti yang diusulkannya. Siauwte akan melayani suheng berdua, tetapi siauwte akan membuktikan bahwa ilmu silat yang siauwte pakai dalam permainan ini tiada bedanya dengan ilmu suheng sendiri."
Kedua orang itu heran dan tercengang atas keberanian orang muda ini. Bagaimana seorang dapat melayani mereka berdua dengan menggunakan dua macam cabang ilmu silat? Tetapi karena tahu akan ketangguhan lawan, Bhok Kian Eng memberi tanda kepada Bie Cauw Giok dan berkata,
"Kau sombong sekali, anak mula. Baiklah, mari kita serang dia bersama-sama, Bie enghiong, lihat, bagaimana dia akan melayani kita."
"Tetapi tidak adil kalau kita harus maju terentak, Bhok enghiong," bantah Bie Cauw Giok.
"Tidak apa, Bie suheng, majulah," kata Han Liong dengan tenang dan mengambil tempat di tengah, Bhok Kian Eng di kiri dan Bie Cauw Giok di kanan.
Mendengar kata-kata yang bersifat menantang ini, Bhok Kian Eng dan Bie Cauw Giok tak dapat menahan rasa amarahnya dan maju melakukan serangan hebat! Han Liong yang telah, dilatih sempurna oleh Kam Hong Siansu yang menciptakan Ilmu Silat Empat Bintang, yakni yang mengambil dasar dari pelajaran keempat guru Han Liong, tentu saja kenal baik gerakan-gerakan kedua suhengnya itu.
Segera ia bergerak dengan gesit, tangan kanan dipakai menangkis serangan Bie Cauw Giok dan tangan kiri menangkis serangan Bhok Kian Eng. Sekaligus ia dapat mempergunakan dua gerakan dari kedua cabang persilatan, dengan mengandalkan kekuatan ilmu ginkangnya yang tinggi, sehingga tubuhnya dapat bergerak dengan cepat.
Setelah menyerang beberapa belas jurus, kedua suheng itu terheran-heran dan terkejut, karena ternyata semua gerakan Han Liong adalah benar-benar ilmu silat cabang mereka! Bahkan tangkisan-tangkisan anak muda itu membawa tenaga yang demikian besar sehingga tiap kali lengan mereka beradu, kedua orang itu mesata betapa tubuh mereka terpental dan lengan mereka tergetar hebat.
Hal ini membuat mereka heran dan kagum, lebih-lebih Bie Cauw Giok yang memiliki ilmu tenaga dalam yang tinggi namun tetap tak berdaya terhadap orang yang mengaku sutenya itu! Juga Bhok Kian Eng yang mahir ilmu meringankan tabuh, kagum sekali melihat gerakan Han Liong yang tak kalah hebatnya jika dibandingkan dengan gurunya, Hong In si Iblis Daratan sendiri!
Tapi kedua orang itu masih belum puas dan mereka menyerang semakin hebat. Han Liong terpaksa menggunakan ilmu silatnya Empat Bintang Untuk melayani kedua suheng ini. Tentu saja kedua lawannya menjadi bingung karena pemuda ini kini bergerak dalam ilmu silat yang aneh sekali. Mirip ilmu silat mereka sendiri, tapi toh bukan!
Dan sebentar saja kedua orang itu merasa seakan-akan bukan sedang bertanding melawan seorang, tapi lebih dari lima orang. Dimana-mana tampak bayangan pemuda itu mengeroyok mereka...!