PEDANG ULAR MERAH JILID 09
Pada suatu hari, Tiong Kiat tiba di kota I-kiang yang terletak di pantai sungai Yang-ce di propinsi Hopak. Ketika ia memasuki kota tak seorangpun akan mengira bahwa dia adalah Ang-Coa-Kiam, nama julukan penjahat muda yang amat ditakuti orang itu. Tiada orang akan mengira bahwa pemuda yang tampan dan lemah lembut seperti putera bangsawan ini adalah penjahat yang suka mengganggu anak bini orang dan suka melakukan pencurian besar-besaran?
Pakaiannya berwarna biru dan terbuat dari sutera mahal dan halus. Bajunya dihias dengan pinggiran berwarna kuning emas dengan sulaman yang indah sedangkan rambut di kepalanya yang hitam terbungkus dengan kain kepala yang berwarna kuning dan bersih sekali. Pedang Ang-coa-kiam tersembunyi di bawah bajunya, hanya tampak ujungnya sedikit menonjol di bawah baju. la cakap sekali dalam pakaian yang mahal ini.
Dengan muka gembira dan mata berseri-seri, Tiong Kiat berjalan di sepanjang jalan raya dalam kota I-kiang. Ia sedang gembira, kantongnya penuh uang. Ia tidak butuh uang dan tidak perlu mencuri di kota ini. Ia ingin beristirahat dan menghibur diri, maka begitu masuk ke kota, ia lalu menyewa kamar dalam hotel terbesar di kota itu, kemudian bertanya kepada pelayan hotel dimana terdapat tempat pelesiran di kota itu.
Pelayan itu memandangnya sambil tertawa gembira. "Kongcu agaknya baru datang dan belum pernah datang ke kota ini? Kebetulan sekali kalau begitu, karena kedatangan kongcu di Kota ini tidak rugi! Di sini terdapat tempat pelesiran yang amat indah, kongcu. Dan keindahan tempat itu sudah terkenal sampai ke kota raja!"
"Eh, kau bicara dalam rahasia, lopek,” kata Tiong Kiat kepada pelayan setengah tua itu. "Katakan sajalah, di mana adanya tempat itu dan apakah keindahannya?"
"Di sebelah barat dalam kota ini, kongcu. Di bagian sungai yang membelok. Di situ dijadikan tempat pelesiran yang indah sekali dan banyak orang dari luar kota datang sengaja untuk bermain perahu sambil menikmati arak I-Kiang dan mendengarkan nyanyian bidadari bidadari I-Kiang."
"Apa katamu? Bidadari-bidadari I-Kiang, siapakah mereka itu?"
Kembali senyum gembira bermain di bibir pelayan itu. "Aah, benar-benar kongcu telah menyia-nyiakan hidup dan masa mudamu! Siapa orangnya yang belum pernah mendengar bidadari-bidadari I-Kiang? Kalau belum pernah mendengar suara nyanyian mereka, sedikitnya tentu telah mendengar akan nama mereka."
Pelayan itu lalu menuturkan dengan gerakan kaki tangan, ia merasa girang sekali dapat menuturkan semua itu kepada seorang tamu muda yang nampaknya tampan dan kaya raya karena ia mengharapkan hadiah besar. Menurut penuturan pelayan ini, ternyata bahwa di kota itu memang terdapat tempat pelesiran sebagaimana yang disebutkan tadi.
Air sungai Yang-ce masuk ke dalam kota itu dengan aliran perlahan karena banyak tikungan. Dan karena sungai itu amat lebarnya, di sepanjang pantainya dibangunlah oleh orang-orang kaya tempat-tempat peristirahatan yang indah. Banyak orang berpelesir, di atas air naik perahu-perahu yang banyak disewakan orang di tempat itu. Air yang tenang membuat tempat itu merupakan tempat sunyi untuk bersenang diri memancing ikan.
Disamping keindahan pemandangan alam di sekitar tempat ini, yang merupakan daya penarik terbesar agaknya adalah rumah kapal milik Cia-ma, seorang janda tua yang kaya. Rumah ini didirikan di atas air, yakni di pinggir sungai itu dan bentuknya seperti kapal besar. Kalau orang berada di tingkat atas dan memandang ke arah air sungai Yang-ce yang mengalir perlahan, orang akan merasa seakan-akan sedang berada di atas perahu besar.
Keindahan rumah inipun sesungguhnya tidak akan mendatangkan banyak pelancong dari luar kota, akan tetapi terutama sekali adalah 'bidadari-bidadari' yang menjadi anak angkat Cia-ma! Sebetulnya semenjak ditinggal mati oleh suaminya dengan peninggalan beberapa ratus tail perak, janda tua ini tidak tahu harus berbuat apa.
Dia tidak mempunyai anak dan akhirnya ia lalu bekerja sebagai penghibur para pelancong. Dibelinya budak-budak belian, yakni wanita-wanita muda yang cantik, diajarnya gadis-gadis itu menari dan bernyanyi atau mainkan alat musik, kemudian ia dapat menarik hati dan isi saku para pelancong yang datang di tempat itu.
Sebentar saja Cia ma telah dapat mengumpulkan banyak uang, akhirnya ia dapat membangun sebuah rumah kapal di tepi sungai Yang-ce. Telah banyak gadis gadis cantik datang dan pergi dari rumahnya. Datang sebagai budak belian dan kalau kebetulan gadis itu bernasib baik, maka akan datang seorang hartawan yang suka kepadanya dan menebusnya dengan bayaran tinggi untuk dijadikan bini muda.
Pada waktu itu, di antara anak-anak angkat Cia ma, yang paling terkenal adalah tiga orang gadis yang dibelinya dari selatan. Gadis ini amat cantik, pandai menulis dan bersisir, pandai menari, bernyanyi dan menabuh musik. Oleh karena itu, tidak mudahlah bagi seorang laki-laki untuk dapat menghibur hati mendekati tiga bunga peliharaan Cia ma ini.
Cia ma tidak sembarangan mengeluarkan tiga bunga peliharaannya ini kalau tidak dengan bayaran yang amat tinggi. Dipasangnya tarip-tarip tertentu untuk tiga orang gadis ini, terutama sekali gadis pertama yang bernama Li Lan. Untuk dapat melihat waiah cantik Li Lan dan melihatnya menari di depan mata? Keluarkan uang lima belas tail perak
Mau mengajak Li Lan duduk di satu meja dan menemani minum arak? Keluarkan dua puluh lima tail! Menyuruh gadis ini membunyikan kim sambil bernyanyi disamping anda? Keluarkan lima puluh tail! Dan demikian seterusnya. Oleh karena itu, siapakah yang kuat membayar uang sebanyak itu untuk bersenang-senang dengan Li Lan? Hanya orang-orang yang betul-betul kaya. Dan si kaya inipun belum tentu berani, karena Li Lan telah disanjung-sanjung dan menjadi pujaan banyak pejabat dan bangsawan. Seringkali terjadi perebutan perhatian dari Li Lan oleh dua orang hartawan sehingga timbul permusuhan yang mendalam antara mereka. Dan orang-orang tolol ini tidak tahu bahwa di belakang mereka, Li Lan yang diperebutkan itu mentertawakan mereka.
"Akan tetapi, kongcu, tidak sembarang orang berani mengunjungi rumah kapal itu kecuali mereka yang mempunyai banyak emas dan perak." Pelayan hotel itu melanjutkan penuturannya.
Selama ia bercerita, Tiong Kiat mendengarkan dengan hati tertarik. "Mengapa begitu, lopek?" tanyanya. "Bukankah tempat itu menjadi tempat hiburan umum."
"Di sana Cia-ma merupakan orang yang amat berpengaruh. Selain dia mempunyai sahabat-sahabat di antara pembesar, juga dia mempergunakan tenaga tiga orang jagoan yang bertugas menjaga keamanan. Banyak sudah laki-Iaki yang berani menggoda bidadari-bidadari itu padahal kantongnya kosong, telah dihajar oleh jagoan-jagoan di rumah kapal dan dilemparkan keluar dari pintu!"
Makin tertarik hati pemuda itu mendengar cerita ini. Sebuah rumah pelesiran yang aneh pikirnya. Pada sore harinya ia lalu keluar dari hotel dan menuju ke tempat pelesiran di pinggir pantai sungai Yang-ce itu. Benar saja di situ ramai sekali, penuh dengan orang-orang yang hilir mudik, berpelesir dengan perahu dan ada pula yang hanya duduk di pinggir pantai. Memang hari itu begitu ramainya, karena malam nanti bulan akan keluar sepenuhnya. Betul-betul tempat wisata.
Segala macam terdapat di situ dijual orang. Menara-menara yang mungil bangunan-bangunan yang indah, bahkan terdapat pula sebuah kelenteng kecil di ujung kiri! Dan yang paling menonjol serta menarik perhatian, adalah sebuah rumah berbentuk kapal. Itulah rumah kapal dari Cia ma yang diceritakan oleh pelayan tadi!
Tiong Kiat berjalan mendekati rumah kapal itu. Benar saja di depan pintu nampak sebuah meja besar di mana duduk berkeliling tujuh orang laki-laki kelihatan galak dan kuat. la tidak tahu yang manakah tiga orang jagoan yang menjadi kepala penjaga. Ketika ia sedang berjalan di dekat rumah kapal itu, terdengar suara tertawa merdu. la cepat menengok ke atas dan di tingkat atas nampak duduk beberapa orang gadis cantik dengan pakaian mewah sedang tertawa-tawa dan bercakap cakap. Untuk sesaat Tiong Kiat memandang ke arah mereka, akan tetapi hatinya kecewa!
Penuturan pelayan tadi terlampau dilebih-lebihkan. Lima orang gadis yang duduk di atas itu biarpun tak dapat disangkal berwajah cantik, namun tidak cukup menarik bagi Tiong Kiat. Muka mereka ditutupi bedak tebal dan pemerah bibir dan pipi bagaikan anak-anak wayang yang hendak tampiI ke depan panggung! Lenyaplah seketika keinginan hatinya tadi yang hendak mengunjungi rumah kapal itu. Ia menjadi sebal dan dibelokkan kakinya menuju ke tempat perahu-perahu yang disewakan...
(Maaf para pembaca! Ada sebagian yang hilang...!)
...Ia lalu menyewa sebuah perahu dan mendayung perahunya dengan gembira, akan tetapi kegembiraannya tidak berlangsung lama. Biarpun tempat itu makin ramai dikunjungi orang, namun Tiong Kiat menjadi bosan. Diantara sekian banyak wanita yang berada disitu tak seorangpun yang terlihat cantik dalam pandangan matanya dan membuat ia tidak tertarik sama sekali. Sial baginya, ternyata dalam kota ini tidak ada tempat yang indah. Dengan kecewa ia lalu mendayung perahunya ke pinggir dengan kesalnya hendak kembali kehotel dan tidur agar besok dapat melanjutkan perjalanannya pagi-pagi.
Akan tetapi tiba-tiba gerakan tangannya yang mendayung perahu menjadi tertahan. Ia mendengar bunyi musik mengiringi suara nyanyian yang luar biasa merdunya. Ada tiga suara wanita yang bernyanyi bersama, akan tetapi biarpun tiga suara itu sama merdunya, tetap saja ada satu suara yang menggerakkan hati, lekukan suara dan gayanya berbeda dengan yang lain. Tak terasa lagi Tiong Kiat mendekatkan perahunya ke arah rumah kapal, karena dari situlah keluarnya suara nyanyian itu.
Sambil duduk di atas perahunya yang sudah menempel pada tepi sungai, Tiong Kiat duduk termenung mendengarkan nyanyian itu. Alangkah merdunya, alangkah halusnya napas yang terdengar menyelingi suara nyanyian. Tentu cantik sekali orang yang mempunyai suara merdu ini, pikirnya. Namun tetap saja ia masih merasa ragu-ragu untuk masuk ke rumah itu, takut kalau-kalau ia akan kecewa. Bagaimana kalau wajah penyanyi itu buruk dan tidak menarik seperti gadis-gadis yang tadi dilihatnya? Siapa tahu kalau-kalau yang bernyanyi ini seorang diantara mereka itu?
Suara nyanyian berhenti, akan tetapi musiknya masih terus berbunyi. Tiba-tiba Tiong Kiai melihat betapa semua mata memandang ke atas rumah kapal dan terdengar pujian penuh kekaguman, ia pun menengok dan apa yang dilihatnya membuat hatinya berdebar-debar tidak karuan.
Ia melihat tiga orang gadis menjenguk dari jendela kamar rumah kapal dan melambai-lambaikan tangan kepada orang orang di bawah yang mengagumi mereka. Mereka ini nampaknya seperti puteri puteri kerajaan yang melambai kepada rakyat yang menghormat mereka, padahal mereka ini bukan lain adalah bunga-bunga hidup dari Cia ma yang mendapat sebutan tiga bidadari dari I-Kiang!
Biarpun tiga orang gadis ini benar-benar cantik jelita dan tidak penuh bedak mukanya seperti lima orang gadis lain yang dilihatnya tadi, namun Tiong Kiat tak akan menjadi terpesona kalau saja ia tidak melihat seorang di antara mereka yakni yang berdiri di tengah. Tak salah lagi, pikir Tiong Kiat, itulah gadis yang dulu dijumpainya di dalam rimba raya! Itulah gadis yang pernah ditolongnya, pernah diganggunya dan juga selama ini tak pernah Ienyap dari bayangan ingatannya!
Memang sesungguhnya gadis itu yang bukan lain adalah Li Lan, memiliki wajah yang banyak persamaannya dengan wajah Suma Eng atau Eng Eng! Hanya bedanya adalah sinar mata dan tarikan bibir mereka. Kalau sinar mata Eng Eng mengandung kegagahan dan membayangkan kekerasan hati, adalah sinar mata Li Lan mengerling-ngerling dengan genit dan memikat hati. Kalau bibir Eng Eng selalu nampak membayangkan keangkuhan hatinya, hanya indah kalau sedang tersenyum atau tertawa saja, adalah bibir Li Lan tak pernah ditinggalkan senyum menantang!
Bukan main girangnya hati Tiong Kiat ketika ia melihat gadis ini. Dengan cepat ia lalu meninggalkan perahunya, membayar tukang perahu dengan royal sekali, kemudian setelah membetulkan letak pakaiannya yang mewah dengan tindakan kaki lebar ia menghampiri rumah kapal itu. Penjaga-penjaga pintu yang tadi duduk di situ kini telah ramai bermain maciok dan permainan ini diselingi oleh suara tertawa mereka yang riuh gembira. Dengan tindakan tenang tiong Kiat naik anak tangga dan memperhatikan mereka, hendak terus memasuki pintu. Akan tetapi tiba-tiba seorang diantara mereka melompat dan berdiri di depan pintu menghadangnya.
"Perlahan dulu, kongcu," kata-katanya cukup sopan karena penjaga ini dapat melihat pakaian orang yang mewah. "Agaknya kongcu orang baru dan sudah menjadi peraturan kami bahwa setiap pendatang baru harus memberitahukan nama, kedudukan dan memperlihatkan isi sakunya!"
Tiong Kiat maklum bahwa untuk menundukkan manusia-manusia kasar ini tidak cukup dengan memperlihatkan uang belaka. Tanpa memperlihatkan kepandaiannya, mereka tentu akan berusaha memerasnya dan akan berani pula menghinanya. la tidak ingin kegembiraannya terganggu oleh pertentangan. Sambil tersenyum ia lalu merogoh sakunya, mengeluarkan tujuh potong uang perak yang kecil akan tetapi cukup berharga dan berkata,
“Jangan khawatir, aku bukan seorang pelit, Lihat!”
Sambil berkata demikian tangan yang menggenggam tujuh potong uang itu bergerak ke arah meja. Bagaikan tujuh butir peluru perak potongan-potongan uang itu meluncur cepat dan menancap di atas meja yang keras!
Tentu saja tujuh orang penjaga itu menjadi tertegun dan untuk beberapa lama mereka menatap wajah pemuda yang tampan, kaya dan gagah ini. Akan tetapi kepala penjaga yang berkumis jarang masih belum puas. Dia adalah seorang jagoan yang ditakuti orang, biarpun tamu yang memiliki kedudukan tinggi selalu akan bersikap menghormat kepadanya dan bicara dengan manis budi.
Kini melihat si pemuda asing ini datang-datang memperlihatkan kepandaian dan tenaganya, tentu saja hal ini tidak menyenangkan hatinya, sungguhpun ia tidak dapat menjadi marah karena pemuda ini telah memperlihatkan keroyalannya. Orang ini she Ma dan disebut Ma kauwsu (guru silat she Ma) karena memang dia dulunya bekerja sebagai seorang guru silat, di samping dua orang sutenya yang disebut Cin-kauwsu dan Kwee kauwsu. Tiga orang guru silat inilah yang menjadi tiga jagoan, kepala dari penjaga rumah kapal.
Ma kauwsu tersenyum dan menghampiri meja. la menggerakkan tangan kanannya sambil mengerahkan tenaga dan sekali ia menarik uang yang menancap di atas meja itu, tujuh potong perak itu telah berada dalam genggaman tangan kanannya. Ia lalu menghampiri Tiong Kiat dan berkata'
“Kongcu, pertunjukanmu bagus sekali, tetapi dihadapanku pertunjukan itu tak berarti apa-apa dan tidak cukup untuk dijadikan modal menakut-nakuti kami! Kami dapat menerima hadiahmu yang royal, akan tetapi tidak bisa menerima sikap jagoan dari siapapun juga. Lihat, apakah artinya potongan-potongan perak yang empuk ini?"
Sambil berkata demikian, ia mengerahkan tenaga dan meremas tujuh potong perak di tangannya itu dan ketika ia membuka kembali tangannya, ternyata bahwa tujuh potong perak itu telah menjadi satu merupakan segumpal perak yang tidak karuan bentuknya!
Tiong Kiat tersenyum mengejek, panas juga hatinya. Akan tetapi tetap saja ia tidak mau membikin ribut karena ia ingin sekali bertemu dan bergembira dengan gadis yang disangka Eng Eng itu.
“Bagus sekali, sobat," katanya. "Tenagamu kuat seperti tenaga kerbau. Akan tetapi yang kau remas adalah benda mati, kukira kalau dipergunakan untuk meremas benda hidup tidak ada gunanya sama sekali!"
“Begitu pendapatmu? Benda hidup apa kiranya?" tanya Ma kauwsu dengan hati geli karena mengira bahwa pemuda yang hanya mengerti sedikit ilmu silat ini benar-benar buta tidak dapat melihat betapa ia memiliki tenaga Thiat se-ciang (Bubuk Pasir Besi)!
"Benda hidup seperti... tanganku ini misalnya!" jawab Tiong Kiat sambil mengulurkan tangan kanannya yang berkulit halus dan putih seperti tangan wanita.
Terdengar suara ketawa riuh rendah karena tujuh orang penjaga itu semua tidak tahan untuk tidak tertawa geli.
"Kongcu jangan kau main-main!" kata seorang penjaga. “Tangan Ma-twako itu dapat memukul pecah kepala harimau dengan sekali pukul seperti yang dilakukan oleh Bu Siong (pendekar ternama dahulu kala) dapat meremas besi sampai hancur dan tadipun dengan sekali remas saja tujuh potong uang perak sampai menjadi segumpal apa lagi tanganmu yang halus? Ah, hati-hati kongcu, kalau tanganmu rusak bukankah para bidadari di atas akan menjadi kecewa dan marah kepada kami!”
"Betul kata kawanku itu, kongcu. Aku tidak ingin menyombong, akan tetapi janganlah menantangku untuk meremas tanganmu yang halus ini!" kata Ma-kauwsu, karena sesungguhnya iapun tidak suka mencelakakan langganan baru yang royal dan nampaknya kaya ini.
Akan tetapi sudah tetap dalam hati Tiong Kiat bahwa orang ini harus ditundukkannya. Maka sambil tersenyum la lalu mengeluarkan lima potong uang perak lagi dari sakunya.
"Ma-twako,” katanya kepada Ma kauwsu sambil memandang wajah guru silat tersebut, “Mari kita bertaruh sedikit. Biarkan kau remas sekuatnya, kalau sampai aku kesakitan, kau boleh ambil uang perak ini. Namun bila tidak, janganlah kalian membantah apa yang kuperintahkan!”
Ma kauwsu memandang kepada kawan-kawannya dan mereka menganggap bahwa pemuda yang tampan ini tentu agak miring otaknya, akan tetapi ia tetap tidak ambil peduli dan berpikir untuk memberi pelajaran kepada kongcu ini. Lumayan, lima potong perak bukan sedikit pikirnya. Dipegang sedikit saja pemuda ini tentu akan berkaok-kaok kesakitan.
“Baiklah, akan tetapi kalau sampai kesakitan jangan menyalahkan kepadaku.”
“Tentu saja tidak " jawab Tiong Kiat sambil mengulurkan tangannya. "Nah, kau remaslah yang keras!"
Ma kauwsu lalu menjabat tangan pemuda ini dan mulai memencet dengan sedikit tenaga.
“Jangan ragu-ragu, Ma-twako, yang keraslah!" kata Tiong Kiat ketika merasa betapa pencetan itu tidak bertenaga sama sekali.
Ma kauwsu menjadi penasaran dan kini ia mulai mengerahkan tenaga Thiat se-ciang, akan tetapi tetap saja pemuda itu tidak kelihatan menderita sakit, bahkan kembali menyuruh ia mempergunakan tenaganya! la lalu mengerahkan seluruh tenaganya dan memeras sekuatnya dan tiba-tiba ia terkejut sekali. Tangan yang halus itu tiba-tiba menjadi licin dan lemas sekali seperti kapas!
Terkejutlah hatinya karena ia maklum bahwa pemuda ini ternyata adalah seorang ahli lweekeh yang memiliki Iweekang yang tinggi. Ini tentulah ilmu jui-kut-kang (ilmu melepaskan tulang dan melemaskan tubuh) yang lihai. Cepat ia mengendorkan remasannya karena takut kalau-kalau tenaga Thiat se ciang akan terbentur kembali dan melukai tangannya sendiri. Akan tetapi terlambat!
Tiba-tiba Tiong Kiat mengeluarkan serangan dengan tenaga Iweekeng dan sekarang dialah yang meremas tangan guru silat yang kasar dan besar itu. Terdengar Ma kauwsu menjerit kesakitan seperti kerbau disembelih. Tangan kanannya terasa panas, sakit dan kaku. Ketika Tiong Kiat melepaskan tangannya, tangan Ma kauwsu menjadi merah dan bengkak!
“Masih belum mengenal orang?" Tiong Kiat membentak dan kini ia berdiri bertolak pinggang dengan sikap yang gagah sekali.
Ma kauwsu dan keenam orang kawan-kawannya berdiri terbelalak saking heran dan terkejutnya. Terutama sekali Ma kauwsu, Cin-kauwsu dan Kwee kauwsu menjadi terheran-heran. Melihat betapa mereka masih terheran-heran dan agaknya menduga-duga siapa dia, timbul kesombongan Tiong Kiat. Dicabutnya pedangnya dan berkatalah dia,
"Masih belum juga mengenal pedang ini? Ataukah harus kalian rasakan dulu ketajamannya?"
Melihat sinar merah dan bentuk pedang itu pucatlah muka ketiga orang kepala penjaga ini "Ang-coa-kiam..." bisik Ma kauwsu dan serta merta dia dan kedua orang adiknya menjatuhkan diri berlutut di depan Tiong Kiat! Empat orang anak buah mereka juga menjadi terkejut dan cepat berlutut.
"Maafkan kami yang tidak melihat Gunung Thai-san menjulang tinggi di depan mata taihiap, ampunkaan kekurangajaran kami kepada taihiap karena kami tidak mengenal taihiap."
"Sudah, tak perlu banyak peradatan ini." kata Tiong Kiat sambil menyarungkan pedangnya kembali. "Ma-twako, kau boleh ambil uang itu untuk membeli obat tanganmu dan ingat kalau aku berada disini. Jaga jangan memperbolehkan orang lain masuk. Mengerti?"
"Baik, taihiap, baik!" jawab tujuh orang penjaga yang sudah ditundukkan itu.
Pada saat itu pintu terbuka dari dalam dan seorang wanita tua yang pakaiannya masih mewah sekali keluar. Nenek ini memandang kepada Tiong Kiat dengan penuh perhatian dan keningnya berkerut ketika ia melihat betapa para penjaganya berdiri di hadapan Tiong Kiat dengan kepala tunduk dan sikap menghormat sekali.
"Siapakah kongcu yang tampan ini?" tanya wanita itu yang bukan lain adalah Cia-ma sendiri.
"Kongcu ini adalah Ang..."
Akan tetapi kata-kata Ma kauwsu ini diputuskan oleh jawaban Tiong Kiat yang cepat mengerling tajam kepadanya. Pemuda ini menjura kepada Cia-ma dan berkata,
"Aku adalah seorang pelancong bernama Tiong Kiat, she Sim. Tadi ketika aku berperahu, aku mendengar suara nyaring yang amat merdu dan kemudian melihat tiga orang bidadari ada diatas. Hatiku tergoncang dan ingin sekali aku belajar kenal dengan mereka, atau lebih tepat lagi, dengan yang berbaju hijau.”
Wanita itu tersenyum. "Ahh, kongcu maksudkan Li Lan? Masuklah, Sim kongcu. Kebetulan sekali belum ada tamu dan tentu Li Lan anakku akan suka berkenalan dengan kongcu yang tampan!"
Mereda berdua masuk ke dalam dan pintu ditutup lagi.
"Kongcu ingin bertemu dengan Li Lan, bunga cantik di daerah ini? Ah, kongcu beruntung sekali mendapat kesempatan ini, karena biarpun kongcu akan menjelajah di seluruh Propinsi Ho-pak, takkan mungkin kongcu bertemu dengan gadis secantik Li Lan! Akan tetapi, apakah yang kongcu kehendaki? Melihat dia menari? Mendengarkan dia bernyanyi? Ataukah kongcu ingin minum arak bersama dia sambil mendengarkan dia mainkan kim? Yang pertama dapat dilaksanakan dengan pembayaran lima belas tail, yang kedua dua puluh lima tail dan yang ketiga lima puluh tail. Yang mana kongcu kehendaki?"
Sambi tersenyum Tiong Kiat merogoh saku bajunya sebelah dalam. Ia mengeluarkan uang dan menaruh uang itu di atas meja, di depan Cia-ma. Nenek itu membelalakkan matanya dan tiada habisnya ia menatap tumpukan uang di atas meja itu. Bukan lima belas tali perak, atau lima puluh tail perak, akan tetapi lima potong uang emas yang harganya lebih dari tiga ratus tail perak yang bertumpuk di atas meja, berkilauan cahayanya membuat silau pandangan mata nenek yang mata duitan ini.
"Ambillah uang itu, Cia-ma. Akan tetapi dengar keinginanku. Aku ingin semua bidadari yang berada di dalam rumah kapal ini menghiburku dengan tari-tarian dan nyanyian! Dan Li Lan menemaniku minum arak dan berada di sini. Hanya aku seorang yang mendapat hiburan, tidak boleh ada orang lain. Mengerti!"
Nenek ini mengangguk-anggukkan kepalanya seperti seekor ayam yang makan padi. "Baik. baik, kongcu. Malam ini hanya kongcu seorang yang akan mendapat hiburan di sini. Tiada orang lain!"
Nenek itu lalu berlari-lari ke dalam setelah menyaur uang itu dari meja. Terdengar ia berteriak-teriak memanggil semua anaknya dan sebentar saja ruangan itu penuh dengan gadis-gadis yang jumlahnya semua ada empat belas orang! Akan tetapi Tiong Kiat tidak memperdulikan mereka semua, karena pandangan matanya hanya tertuju kepada seorang, yakni gadis berbaju hijau, Li Lan yang mirip sekali dengan Eng Eng!
Li Lan telah diberi tahu oleh Cia-ma betapa royal dan kayanya pemuda itu dan ketika ia menyaksikan dengan mata bintangnya betapa tampan dan gagah pemuda yang hendak berkenalan dengannya, senyumnya melebar dan sinar matanya gembira.
"Selamat datang, kongcu. Sungguh merupakan kehormatan dan kebanggaan besar bagiku telah mendapat perhatian kongcu yang budiman."
Suara ini terdengar merdu bagaikan musik yang-kim dan pada saat Tiong Kiat baru sadar bahwa gadis ini bukan gadis yang dulu ditolongnya di dalam rimba. Akan tetapi ia menjadi girang juga, karena Li Lan memiliki wajah serupa dengan gadis yang ditolongnya itu, bahkan tidak kalah cantiknya dan malah jauh lebih manis dan menarik.
Tanpa malu-malu lagi karena memang sudah biasa, Tiong Kiat melangkah maju dan memegang tangan Li Lan yang halus. Tercium olehnya bau harum semerbak dari rambut gadis itu yang membuat hatinya menjadi makin mabok.
Cia-ma sibuk memberi perintah agar hidangan yang lezat dikeluarkan, arak yang paling baik berikut daging yang paling empuk. Kemudian para gadis itu lalu mengambil alat musik dan sebentar saja ruangan itu berobah menjadi tempat pesta yang meriah. Ada yang menari, bernyanyi dan Tiong Kiat makan-minum ditemani oleh Li Lan yang makin lama makin menarik hatinya.
Demikianlah, pemuda yang tersesat ini dilayani seperti seorang raja muda di tempat itu. Belum pernah ada tamu yang demikian dihormati seperti Tiong Kiat dan hal ini tidak aneh, Cia-ma puas hatinya karena mendapatkan uang sekian banyaknya, adapun gadis gadis itu gembira sekali dapat melayani seorang pemuda yang tampan dan gagah, berbeda dengan para pembesar, tua-tua bangka yang sesungguhnya menyebalkan hati mereka!
Para penjaga, Ma kauwsu dan kawannya, patuh sekali terhadap perintah Tiong Kiat. Mereka tidak memperkenankan siapa saja memasuki rumah kapal itu, biarpun yang hendak masuk itu hartawan atau pembesar yang sudah menjadi langganan tetap.
"Menyesal sekali," kata Ma kauwsu terhadap mereka. "malam hari ini tidak menerima tamu, karena tempat ini telah diborong oleh seorang pelancong."
Biarpun hati mereka kecewa namun mereka tidak berani membantah dan pulanglah mereka dengan hati mengkal. Siapakah orangnya yang begitu kurang ajar berani memborong tempat itu? Akhirnya bukan mereka saja yang mendongkol dan gelisah. Juga Cia-ma menjadi sibuk sekali pikirannya ketika mendapat kenyataan bahwa pemuda itu lama sekali tidak mau keluar lagi dari rumah kapal!
Sudah tiga malam Tiong Kiat berada di tempat itu, dan pemuda ini masih saja belum mempunyai keinginan meninggalkan Li Lan! Akan tetapi bagaimana Cia-ma berani mengusirnya? Pemuda itu royal sekali, tiap hari mengeluarkan uang emas dan lebih-lebih lagi gelisahnya hati Cia-ma ketika mendengar dari para penjaganya bahwa pemuda itu bukan lain adalah Ang-coa-kiam yang telah tersohor namanya!
Sebaliknya, Li Lan dan kawan-kawannya sama sekali tidak merasa kecewa. Mereka bahkan senang sekali melayani pemuda yang selain tampan dan gagah, juga royal sekali membagi-bagi hadiah itu. Li Lan nampaknya suka sekali dan tak dapat berpisah dari Tiong Kiat, demikian pula pemuda itu telah tergila-gila kepada Li Lan. Bukan karena kecantikan Li Lan atau pandainya mengambil hati, akan tetapi terutama sekali karena wajah Li Lan hampir sama dengan wajah Eng Eng, gadis yang dulu ditolongnya dan yang diam-diam dicintainya itu.
Betapapun juga akhirnya persediaan uang di dalam saku baju Tiong Kiat menjadi habis.
“Cia-Ma,” katanya. "aku akan pergi sebentar mengambil buntalanku yang di hotel dan sebentar lagi aku akan kembali. Jangan perbolehkan lain orang masuk kesini," katanya.
Malam itu ia keluar bukan hanya untuk mengambil pakaiannya di hotel, akan tetapi juga untuk mengambil banyak uang emas dari peti uang seorang hartawan!
Sementara itu, sebelum pemuda itu kembali, Cia-ma lalu mengadakan perundingan dengan Li Lan dan kawan-kawannya.
"Celaka!" kata nenek ini dengan wajah gelisah. "Kalau Sim kongcu terus-menerus memborong tempat ini, kita akan celaka."
"Mengapa begitu, Cia-ma?" bantah Li Lan. "Bukankah Sim kongcu amat royal dan memberi hadiah kepada kita? Kita tidak boleh membantah kehendaknya, lagi pula, apa yang dapat kita lakukan terhadap seorang gagah seperti Ang-coa-kiam?"
"Anak bodoh!" nenek itu mencelanya. "Betapapun juga. Dia akhirnya akan bosan dan pergi. Dan nama kita rusak dipandangan mata semua pembesar! Penolakan para pembesar yang hendak mengunjungi kalian, berarti penghinaan dan tentu saja mereka merasa sakit hati kepada kita. Kalau tidak ada perlindungan dari pada mereka, apakah daya kita? Celaka!"
"Sudahlah Cia-ma, tak perlu kita mencari penyakit dan permusuhan terhadap Ang-coa-kiam. Bahkan aku hendak mempergunakan tenaganya untuk membasmi musuh-musuhku."
"Jangan, Li Lan! Jangan kau menimbulkan gara-gara, nanti kita celaka semua."
Akan tetapi gadis cantik itu hanya mainkan bibirnya, tersenyum manis. Menjelang tengah malam datanglah Tiong Kiat dengan membawa uang sekantong besar! Mulailah lagi pesta pora yang amat meriah. Para penjaga juga ikut kebagian rejeki karena Tiong Kiat membagi-bagi hadiah bagaikan orang membuang pasir belaka.
Pada keesokan harinya, gegerlah kota I-kang karena seorang hartawan besar telah kecurian uang banyak sekali dan pada dinding kamar terlukis pedang Ang-coa-kiam! Sebentar saja hal ini terdengar oleh para penjaga rumah kapal, akan tetapi apakah yang dapat mereka perbuat? Mereka hanya saling lirik dan tersenyum girang karena dalam diri Tiong Kiat, mereka mendapatkan seorang pemimpin yang selain royal, juga amat boleh diandalkan!
Juga Cia-ma dan anak-anaknya mendengar akan pencurian yang dilakukan oleh Ang-coa-kiam Sim Tiong Kiat ini, akan tetapi tak seorangpun di antara mereka yang berani bertanya. Cia-ma hanya menarik napas berulang-ulang dan berkata seorang diri,
"Celaka, celaka! Rumahku kemasukan harimau ganas dan aku tak berdaya sama sekali untuk mengusirnya!"
Sementara itu, di dalam kamarnya, sambil menangis Li Lan menuturkan kepada Tiong Kiat. "Telah dua tahun aku mendendam sakit hati yang amat besar dan sekarang Thian Yang Maha Kuasa telah mempertemukan aku dengan kongcu, sungguh satu kebahagiaan besar. Aku percaya dengan penuh keyakinan bahwa kalau memang betul kongcu mencinta kepadaku yang hina dina dan rendah ini, pasti jahanam-jahanam busuk she Lui itu dapat dibasmi!"
"Apakah kau masih meragukan cintaku manis?" kata Tiong Kiat sambil memeluk Li Lan. "Katakanlah siapa yang pernah menimbulkan sakit hati kepadamu kalau perlu akan kuhajar adat kepada mereka."
"Hanya menghajar adat? Kau harus bunuh mereka, kongcu. Ya, mereka itu jahanam yang menjerumuskan diriku ke dalam jurang kehinaan ini, mereka itu harus dibunuh!" Muka yang manis itu menjadi kemerahan dan matanya yang bening dan indah itu bersinar-sinar.
"Kau makin cantik saja kalau marah, Li Lan. Apakah yang telah diperbuat oleh orang-orang she Lui kepadamu maka kau ingin aku membunuh mereka?”
Biarpun pemuda ini membicarakan soal pembunuhan dengan lidah ringan, namun di dalam hatinya ia terkejut juga. karena sesungguhnya, di dalam kesesatannya, belum pernah ia membunuh orang begitu saja secara kejam. Tentu saja ia pernah membunuh rombongan perampok dan orang jahat akan tetapi apabila ia melakukan percurian atau gangguan, tak pernah ia membunuh orang.
Dengan gaya manja dan memikat hati Li Lan lalu menuturkan pengalamannya. "Kongcu, kau adalah seorang mulia dan gagah. Kalau tidak kepadamu, kepada siapa lagi aku dapat mengharapkan pertolongan? Dahulu aku bekerja sebagai pelayan di rumah keluarga Lui yang kaya raya. Hidupku penuh kebahagiaan sungguhpun pekerjaanku hanya sebagai pelayan belaka. Akan tetapi malapetaka menimpa diriku ketika majikanku yang muda dan tua, yakni Lui wangwe dan puteranya, Lui kongcu, secara kurang ajar dan kejam sekali telah mempermainkan aku yang lemah dan tak berdaya! Aku berada di dalam gedung mereka sebagai budak belian, aku yatim-piatu dan berada di dalam kekuasaan mereka. Apakah dayaku? Kemudian setelah rahasia kedua orang jahanam itu terbuka, mereka menjadi malu dan menyingkirkan diriku dengan menjualku kepada Cia-ma."
Adapun Tiong Kiat yang mendengar penuturan ini, menjadi marah dan juga tersinggung hatinya. Ia marah karena kejahatan keluarga Lui ayah dan anak itu dan merasa tersinggung karena ia teringat kepada gadis yang ditolongnya di dalam rimba raya itu.
"Kongcu, telah lama dendam ini terkandung dalam hatiku. Pada saat itu juga, ingin sekali aku membunuh diri, akan tetapi aku teringat bahwa aku akan menjadi setan penasaran kalau belum dapat membalas kejahatan mereka. Aku bersumpah hendak membalas dendam dulu sebelum mati dan sekarang setelah aku bertemu dengan kau, kongcu, tidak ada keinginan mati pada hatiku. Aku ingin selama hidupku berada di sampingmu, akan tetapi kebahagiaanku takkan lengkap apabila sakit hati ini tidak terbalas. Kongcu yang tersayang, kalau saja kau suka menolongku membalaskan sakit hati ini, aku Li Lan akan menghambakan diriku kepadamu sampai selama hidupku.”
Menghadapi bujuk dan cumbu rayu gadis cantik ini, lumerlah hati Tiong Kiat. Tanpa pikir panjang lagi ia menyanggupi permintaan kekasihnya ini dan pada malam hari itu, ia keluar dengan pedang Ang Coa Kiam di tangan! Dan pada keesokan harinya gegerlah kembali kota I-kiang ketika orang mengetahui bahwa hartawan Lui dan puteranya telah terbunuh mati di dalam kamarnya!
Hartawan Lui terkenal sebagai seorang hartawan yang dermawan dan jujur, maka peristiwa ini tentu saja menggemparkan sekali. Apa lagi ketika di tembok korban-korban itu terdapat lukisan pedang Ang-coa-kiam! Sungguh Tiong Kiat telah menjadi mata gelap dan sombong sekali. Biarpun ia masih berada di kota l-kiang dengan berani mati ia mengakui dengan lukisan itu bahwa pembunuhan itu dialah yang melakukannya.
Kegemparan ini sampai juga ke telinga orang-orang gagah di dunia kang-ouw dan marahlah mereka yang mendengar akan hal ini. Kalau sampai sebegitu lama orang-orang kang ouw tidak bertindak memusuhi Tiong Kiat adalah karena mereka itu masih memandang nama besar Ang-coa-kiam pedang pusaka dari Kim liong pai. Semenjak puluhan tahun yang lalu, Kim-liong-pai, terkenal sebagai cabang persilatan yang terpandang tinggi.
Nama Bu Beng Sianjin sebagai pendiri cabang ini amat disegani dan dihormati, juga anak-anak murid Kim-liong pai terutama sekali Lui Thian Sianjin amat terkenal sebagai tokoh kang ouw yang gagah perkasa dan budiman. Oleh karena ini nama Ang-coa-kiam yang menjadi jai-hwa-cat dan pencuri masih diragu-ragukan oleh para tokoh kang-ouw.
Akan tetapi sepak terjang Ang-coa-kiam Sim Tiong Kiat akhir-akhir ini benar-benar menggemparkan sekali, terutama sekali setelah pembunuhan Lui wangwe ayah dan anak. Yang paling marah adalah seorang gagah yang tinggal di kota I-Kiang, karena ia berada terdekat dengan peristiwa itu terjadi. Orang gagah ini bernama Lo Ban Tek yang berjuluk Thiat-gu (Kerbau besi).
Dia adalah seorang gagah perkasa, murid dari Kun-lun-pai yang menyembunyikan diri di kota ini dan bekerja sebagai seorang pandai besi, pembuat tombak dan golok. Ia telah mendengar tentang pencurian uang seorang hartawan yang dilakukan oleh penjahat yang melukiskan pedang Ang-coa-kiam ditembok, akan tetapi masih bersabar dan tidak mau mencampuri urusan itu. la menganggap urusan pencurian itu soal kecil saja, karena untuk meributkan pencurian yang terjadi dalam rumah seorang hartawan?
Mungkin benar-benar anak murid Kim liong-pai itu sedang lewat dan kehabisan bekal lalu mengambil uang hartawan itu, hal ini sudah biasa terjadi dan tidak sangat hebat. Akan tetapi, ia mendengar bahwa seorang pemuda tampan yang mengaku sebagai Ang coa-kiam Sim Tiong Kiat telah beberapa hari lamanya berdiam di rumah kapal dan kemungkinan pula terlibat dalam pembunuhan atas hartawan Lui dan putranya.
Pakaiannya berwarna biru dan terbuat dari sutera mahal dan halus. Bajunya dihias dengan pinggiran berwarna kuning emas dengan sulaman yang indah sedangkan rambut di kepalanya yang hitam terbungkus dengan kain kepala yang berwarna kuning dan bersih sekali. Pedang Ang-coa-kiam tersembunyi di bawah bajunya, hanya tampak ujungnya sedikit menonjol di bawah baju. la cakap sekali dalam pakaian yang mahal ini.
Dengan muka gembira dan mata berseri-seri, Tiong Kiat berjalan di sepanjang jalan raya dalam kota I-kiang. Ia sedang gembira, kantongnya penuh uang. Ia tidak butuh uang dan tidak perlu mencuri di kota ini. Ia ingin beristirahat dan menghibur diri, maka begitu masuk ke kota, ia lalu menyewa kamar dalam hotel terbesar di kota itu, kemudian bertanya kepada pelayan hotel dimana terdapat tempat pelesiran di kota itu.
Pelayan itu memandangnya sambil tertawa gembira. "Kongcu agaknya baru datang dan belum pernah datang ke kota ini? Kebetulan sekali kalau begitu, karena kedatangan kongcu di Kota ini tidak rugi! Di sini terdapat tempat pelesiran yang amat indah, kongcu. Dan keindahan tempat itu sudah terkenal sampai ke kota raja!"
"Eh, kau bicara dalam rahasia, lopek,” kata Tiong Kiat kepada pelayan setengah tua itu. "Katakan sajalah, di mana adanya tempat itu dan apakah keindahannya?"
"Di sebelah barat dalam kota ini, kongcu. Di bagian sungai yang membelok. Di situ dijadikan tempat pelesiran yang indah sekali dan banyak orang dari luar kota datang sengaja untuk bermain perahu sambil menikmati arak I-Kiang dan mendengarkan nyanyian bidadari bidadari I-Kiang."
"Apa katamu? Bidadari-bidadari I-Kiang, siapakah mereka itu?"
Kembali senyum gembira bermain di bibir pelayan itu. "Aah, benar-benar kongcu telah menyia-nyiakan hidup dan masa mudamu! Siapa orangnya yang belum pernah mendengar bidadari-bidadari I-Kiang? Kalau belum pernah mendengar suara nyanyian mereka, sedikitnya tentu telah mendengar akan nama mereka."
Pelayan itu lalu menuturkan dengan gerakan kaki tangan, ia merasa girang sekali dapat menuturkan semua itu kepada seorang tamu muda yang nampaknya tampan dan kaya raya karena ia mengharapkan hadiah besar. Menurut penuturan pelayan ini, ternyata bahwa di kota itu memang terdapat tempat pelesiran sebagaimana yang disebutkan tadi.
Air sungai Yang-ce masuk ke dalam kota itu dengan aliran perlahan karena banyak tikungan. Dan karena sungai itu amat lebarnya, di sepanjang pantainya dibangunlah oleh orang-orang kaya tempat-tempat peristirahatan yang indah. Banyak orang berpelesir, di atas air naik perahu-perahu yang banyak disewakan orang di tempat itu. Air yang tenang membuat tempat itu merupakan tempat sunyi untuk bersenang diri memancing ikan.
Disamping keindahan pemandangan alam di sekitar tempat ini, yang merupakan daya penarik terbesar agaknya adalah rumah kapal milik Cia-ma, seorang janda tua yang kaya. Rumah ini didirikan di atas air, yakni di pinggir sungai itu dan bentuknya seperti kapal besar. Kalau orang berada di tingkat atas dan memandang ke arah air sungai Yang-ce yang mengalir perlahan, orang akan merasa seakan-akan sedang berada di atas perahu besar.
Keindahan rumah inipun sesungguhnya tidak akan mendatangkan banyak pelancong dari luar kota, akan tetapi terutama sekali adalah 'bidadari-bidadari' yang menjadi anak angkat Cia-ma! Sebetulnya semenjak ditinggal mati oleh suaminya dengan peninggalan beberapa ratus tail perak, janda tua ini tidak tahu harus berbuat apa.
Dia tidak mempunyai anak dan akhirnya ia lalu bekerja sebagai penghibur para pelancong. Dibelinya budak-budak belian, yakni wanita-wanita muda yang cantik, diajarnya gadis-gadis itu menari dan bernyanyi atau mainkan alat musik, kemudian ia dapat menarik hati dan isi saku para pelancong yang datang di tempat itu.
Sebentar saja Cia ma telah dapat mengumpulkan banyak uang, akhirnya ia dapat membangun sebuah rumah kapal di tepi sungai Yang-ce. Telah banyak gadis gadis cantik datang dan pergi dari rumahnya. Datang sebagai budak belian dan kalau kebetulan gadis itu bernasib baik, maka akan datang seorang hartawan yang suka kepadanya dan menebusnya dengan bayaran tinggi untuk dijadikan bini muda.
Pada waktu itu, di antara anak-anak angkat Cia ma, yang paling terkenal adalah tiga orang gadis yang dibelinya dari selatan. Gadis ini amat cantik, pandai menulis dan bersisir, pandai menari, bernyanyi dan menabuh musik. Oleh karena itu, tidak mudahlah bagi seorang laki-laki untuk dapat menghibur hati mendekati tiga bunga peliharaan Cia ma ini.
Cia ma tidak sembarangan mengeluarkan tiga bunga peliharaannya ini kalau tidak dengan bayaran yang amat tinggi. Dipasangnya tarip-tarip tertentu untuk tiga orang gadis ini, terutama sekali gadis pertama yang bernama Li Lan. Untuk dapat melihat waiah cantik Li Lan dan melihatnya menari di depan mata? Keluarkan uang lima belas tail perak
Mau mengajak Li Lan duduk di satu meja dan menemani minum arak? Keluarkan dua puluh lima tail! Menyuruh gadis ini membunyikan kim sambil bernyanyi disamping anda? Keluarkan lima puluh tail! Dan demikian seterusnya. Oleh karena itu, siapakah yang kuat membayar uang sebanyak itu untuk bersenang-senang dengan Li Lan? Hanya orang-orang yang betul-betul kaya. Dan si kaya inipun belum tentu berani, karena Li Lan telah disanjung-sanjung dan menjadi pujaan banyak pejabat dan bangsawan. Seringkali terjadi perebutan perhatian dari Li Lan oleh dua orang hartawan sehingga timbul permusuhan yang mendalam antara mereka. Dan orang-orang tolol ini tidak tahu bahwa di belakang mereka, Li Lan yang diperebutkan itu mentertawakan mereka.
"Akan tetapi, kongcu, tidak sembarang orang berani mengunjungi rumah kapal itu kecuali mereka yang mempunyai banyak emas dan perak." Pelayan hotel itu melanjutkan penuturannya.
Selama ia bercerita, Tiong Kiat mendengarkan dengan hati tertarik. "Mengapa begitu, lopek?" tanyanya. "Bukankah tempat itu menjadi tempat hiburan umum."
"Di sana Cia-ma merupakan orang yang amat berpengaruh. Selain dia mempunyai sahabat-sahabat di antara pembesar, juga dia mempergunakan tenaga tiga orang jagoan yang bertugas menjaga keamanan. Banyak sudah laki-Iaki yang berani menggoda bidadari-bidadari itu padahal kantongnya kosong, telah dihajar oleh jagoan-jagoan di rumah kapal dan dilemparkan keluar dari pintu!"
Makin tertarik hati pemuda itu mendengar cerita ini. Sebuah rumah pelesiran yang aneh pikirnya. Pada sore harinya ia lalu keluar dari hotel dan menuju ke tempat pelesiran di pinggir pantai sungai Yang-ce itu. Benar saja di situ ramai sekali, penuh dengan orang-orang yang hilir mudik, berpelesir dengan perahu dan ada pula yang hanya duduk di pinggir pantai. Memang hari itu begitu ramainya, karena malam nanti bulan akan keluar sepenuhnya. Betul-betul tempat wisata.
Segala macam terdapat di situ dijual orang. Menara-menara yang mungil bangunan-bangunan yang indah, bahkan terdapat pula sebuah kelenteng kecil di ujung kiri! Dan yang paling menonjol serta menarik perhatian, adalah sebuah rumah berbentuk kapal. Itulah rumah kapal dari Cia ma yang diceritakan oleh pelayan tadi!
Tiong Kiat berjalan mendekati rumah kapal itu. Benar saja di depan pintu nampak sebuah meja besar di mana duduk berkeliling tujuh orang laki-laki kelihatan galak dan kuat. la tidak tahu yang manakah tiga orang jagoan yang menjadi kepala penjaga. Ketika ia sedang berjalan di dekat rumah kapal itu, terdengar suara tertawa merdu. la cepat menengok ke atas dan di tingkat atas nampak duduk beberapa orang gadis cantik dengan pakaian mewah sedang tertawa-tawa dan bercakap cakap. Untuk sesaat Tiong Kiat memandang ke arah mereka, akan tetapi hatinya kecewa!
Penuturan pelayan tadi terlampau dilebih-lebihkan. Lima orang gadis yang duduk di atas itu biarpun tak dapat disangkal berwajah cantik, namun tidak cukup menarik bagi Tiong Kiat. Muka mereka ditutupi bedak tebal dan pemerah bibir dan pipi bagaikan anak-anak wayang yang hendak tampiI ke depan panggung! Lenyaplah seketika keinginan hatinya tadi yang hendak mengunjungi rumah kapal itu. Ia menjadi sebal dan dibelokkan kakinya menuju ke tempat perahu-perahu yang disewakan...
(Maaf para pembaca! Ada sebagian yang hilang...!)
...Ia lalu menyewa sebuah perahu dan mendayung perahunya dengan gembira, akan tetapi kegembiraannya tidak berlangsung lama. Biarpun tempat itu makin ramai dikunjungi orang, namun Tiong Kiat menjadi bosan. Diantara sekian banyak wanita yang berada disitu tak seorangpun yang terlihat cantik dalam pandangan matanya dan membuat ia tidak tertarik sama sekali. Sial baginya, ternyata dalam kota ini tidak ada tempat yang indah. Dengan kecewa ia lalu mendayung perahunya ke pinggir dengan kesalnya hendak kembali kehotel dan tidur agar besok dapat melanjutkan perjalanannya pagi-pagi.
Akan tetapi tiba-tiba gerakan tangannya yang mendayung perahu menjadi tertahan. Ia mendengar bunyi musik mengiringi suara nyanyian yang luar biasa merdunya. Ada tiga suara wanita yang bernyanyi bersama, akan tetapi biarpun tiga suara itu sama merdunya, tetap saja ada satu suara yang menggerakkan hati, lekukan suara dan gayanya berbeda dengan yang lain. Tak terasa lagi Tiong Kiat mendekatkan perahunya ke arah rumah kapal, karena dari situlah keluarnya suara nyanyian itu.
Sambil duduk di atas perahunya yang sudah menempel pada tepi sungai, Tiong Kiat duduk termenung mendengarkan nyanyian itu. Alangkah merdunya, alangkah halusnya napas yang terdengar menyelingi suara nyanyian. Tentu cantik sekali orang yang mempunyai suara merdu ini, pikirnya. Namun tetap saja ia masih merasa ragu-ragu untuk masuk ke rumah itu, takut kalau-kalau ia akan kecewa. Bagaimana kalau wajah penyanyi itu buruk dan tidak menarik seperti gadis-gadis yang tadi dilihatnya? Siapa tahu kalau-kalau yang bernyanyi ini seorang diantara mereka itu?
Suara nyanyian berhenti, akan tetapi musiknya masih terus berbunyi. Tiba-tiba Tiong Kiai melihat betapa semua mata memandang ke atas rumah kapal dan terdengar pujian penuh kekaguman, ia pun menengok dan apa yang dilihatnya membuat hatinya berdebar-debar tidak karuan.
Ia melihat tiga orang gadis menjenguk dari jendela kamar rumah kapal dan melambai-lambaikan tangan kepada orang orang di bawah yang mengagumi mereka. Mereka ini nampaknya seperti puteri puteri kerajaan yang melambai kepada rakyat yang menghormat mereka, padahal mereka ini bukan lain adalah bunga-bunga hidup dari Cia ma yang mendapat sebutan tiga bidadari dari I-Kiang!
Biarpun tiga orang gadis ini benar-benar cantik jelita dan tidak penuh bedak mukanya seperti lima orang gadis lain yang dilihatnya tadi, namun Tiong Kiat tak akan menjadi terpesona kalau saja ia tidak melihat seorang di antara mereka yakni yang berdiri di tengah. Tak salah lagi, pikir Tiong Kiat, itulah gadis yang dulu dijumpainya di dalam rimba raya! Itulah gadis yang pernah ditolongnya, pernah diganggunya dan juga selama ini tak pernah Ienyap dari bayangan ingatannya!
Memang sesungguhnya gadis itu yang bukan lain adalah Li Lan, memiliki wajah yang banyak persamaannya dengan wajah Suma Eng atau Eng Eng! Hanya bedanya adalah sinar mata dan tarikan bibir mereka. Kalau sinar mata Eng Eng mengandung kegagahan dan membayangkan kekerasan hati, adalah sinar mata Li Lan mengerling-ngerling dengan genit dan memikat hati. Kalau bibir Eng Eng selalu nampak membayangkan keangkuhan hatinya, hanya indah kalau sedang tersenyum atau tertawa saja, adalah bibir Li Lan tak pernah ditinggalkan senyum menantang!
Bukan main girangnya hati Tiong Kiat ketika ia melihat gadis ini. Dengan cepat ia lalu meninggalkan perahunya, membayar tukang perahu dengan royal sekali, kemudian setelah membetulkan letak pakaiannya yang mewah dengan tindakan kaki lebar ia menghampiri rumah kapal itu. Penjaga-penjaga pintu yang tadi duduk di situ kini telah ramai bermain maciok dan permainan ini diselingi oleh suara tertawa mereka yang riuh gembira. Dengan tindakan tenang tiong Kiat naik anak tangga dan memperhatikan mereka, hendak terus memasuki pintu. Akan tetapi tiba-tiba seorang diantara mereka melompat dan berdiri di depan pintu menghadangnya.
"Perlahan dulu, kongcu," kata-katanya cukup sopan karena penjaga ini dapat melihat pakaian orang yang mewah. "Agaknya kongcu orang baru dan sudah menjadi peraturan kami bahwa setiap pendatang baru harus memberitahukan nama, kedudukan dan memperlihatkan isi sakunya!"
Tiong Kiat maklum bahwa untuk menundukkan manusia-manusia kasar ini tidak cukup dengan memperlihatkan uang belaka. Tanpa memperlihatkan kepandaiannya, mereka tentu akan berusaha memerasnya dan akan berani pula menghinanya. la tidak ingin kegembiraannya terganggu oleh pertentangan. Sambil tersenyum ia lalu merogoh sakunya, mengeluarkan tujuh potong uang perak yang kecil akan tetapi cukup berharga dan berkata,
“Jangan khawatir, aku bukan seorang pelit, Lihat!”
Sambil berkata demikian tangan yang menggenggam tujuh potong uang itu bergerak ke arah meja. Bagaikan tujuh butir peluru perak potongan-potongan uang itu meluncur cepat dan menancap di atas meja yang keras!
Tentu saja tujuh orang penjaga itu menjadi tertegun dan untuk beberapa lama mereka menatap wajah pemuda yang tampan, kaya dan gagah ini. Akan tetapi kepala penjaga yang berkumis jarang masih belum puas. Dia adalah seorang jagoan yang ditakuti orang, biarpun tamu yang memiliki kedudukan tinggi selalu akan bersikap menghormat kepadanya dan bicara dengan manis budi.
Kini melihat si pemuda asing ini datang-datang memperlihatkan kepandaian dan tenaganya, tentu saja hal ini tidak menyenangkan hatinya, sungguhpun ia tidak dapat menjadi marah karena pemuda ini telah memperlihatkan keroyalannya. Orang ini she Ma dan disebut Ma kauwsu (guru silat she Ma) karena memang dia dulunya bekerja sebagai seorang guru silat, di samping dua orang sutenya yang disebut Cin-kauwsu dan Kwee kauwsu. Tiga orang guru silat inilah yang menjadi tiga jagoan, kepala dari penjaga rumah kapal.
Ma kauwsu tersenyum dan menghampiri meja. la menggerakkan tangan kanannya sambil mengerahkan tenaga dan sekali ia menarik uang yang menancap di atas meja itu, tujuh potong perak itu telah berada dalam genggaman tangan kanannya. Ia lalu menghampiri Tiong Kiat dan berkata'
“Kongcu, pertunjukanmu bagus sekali, tetapi dihadapanku pertunjukan itu tak berarti apa-apa dan tidak cukup untuk dijadikan modal menakut-nakuti kami! Kami dapat menerima hadiahmu yang royal, akan tetapi tidak bisa menerima sikap jagoan dari siapapun juga. Lihat, apakah artinya potongan-potongan perak yang empuk ini?"
Sambil berkata demikian, ia mengerahkan tenaga dan meremas tujuh potong perak di tangannya itu dan ketika ia membuka kembali tangannya, ternyata bahwa tujuh potong perak itu telah menjadi satu merupakan segumpal perak yang tidak karuan bentuknya!
Tiong Kiat tersenyum mengejek, panas juga hatinya. Akan tetapi tetap saja ia tidak mau membikin ribut karena ia ingin sekali bertemu dan bergembira dengan gadis yang disangka Eng Eng itu.
“Bagus sekali, sobat," katanya. "Tenagamu kuat seperti tenaga kerbau. Akan tetapi yang kau remas adalah benda mati, kukira kalau dipergunakan untuk meremas benda hidup tidak ada gunanya sama sekali!"
“Begitu pendapatmu? Benda hidup apa kiranya?" tanya Ma kauwsu dengan hati geli karena mengira bahwa pemuda yang hanya mengerti sedikit ilmu silat ini benar-benar buta tidak dapat melihat betapa ia memiliki tenaga Thiat se-ciang (Bubuk Pasir Besi)!
"Benda hidup seperti... tanganku ini misalnya!" jawab Tiong Kiat sambil mengulurkan tangan kanannya yang berkulit halus dan putih seperti tangan wanita.
Terdengar suara ketawa riuh rendah karena tujuh orang penjaga itu semua tidak tahan untuk tidak tertawa geli.
"Kongcu jangan kau main-main!" kata seorang penjaga. “Tangan Ma-twako itu dapat memukul pecah kepala harimau dengan sekali pukul seperti yang dilakukan oleh Bu Siong (pendekar ternama dahulu kala) dapat meremas besi sampai hancur dan tadipun dengan sekali remas saja tujuh potong uang perak sampai menjadi segumpal apa lagi tanganmu yang halus? Ah, hati-hati kongcu, kalau tanganmu rusak bukankah para bidadari di atas akan menjadi kecewa dan marah kepada kami!”
"Betul kata kawanku itu, kongcu. Aku tidak ingin menyombong, akan tetapi janganlah menantangku untuk meremas tanganmu yang halus ini!" kata Ma-kauwsu, karena sesungguhnya iapun tidak suka mencelakakan langganan baru yang royal dan nampaknya kaya ini.
Akan tetapi sudah tetap dalam hati Tiong Kiat bahwa orang ini harus ditundukkannya. Maka sambil tersenyum la lalu mengeluarkan lima potong uang perak lagi dari sakunya.
"Ma-twako,” katanya kepada Ma kauwsu sambil memandang wajah guru silat tersebut, “Mari kita bertaruh sedikit. Biarkan kau remas sekuatnya, kalau sampai aku kesakitan, kau boleh ambil uang perak ini. Namun bila tidak, janganlah kalian membantah apa yang kuperintahkan!”
Ma kauwsu memandang kepada kawan-kawannya dan mereka menganggap bahwa pemuda yang tampan ini tentu agak miring otaknya, akan tetapi ia tetap tidak ambil peduli dan berpikir untuk memberi pelajaran kepada kongcu ini. Lumayan, lima potong perak bukan sedikit pikirnya. Dipegang sedikit saja pemuda ini tentu akan berkaok-kaok kesakitan.
“Baiklah, akan tetapi kalau sampai kesakitan jangan menyalahkan kepadaku.”
“Tentu saja tidak " jawab Tiong Kiat sambil mengulurkan tangannya. "Nah, kau remaslah yang keras!"
Ma kauwsu lalu menjabat tangan pemuda ini dan mulai memencet dengan sedikit tenaga.
“Jangan ragu-ragu, Ma-twako, yang keraslah!" kata Tiong Kiat ketika merasa betapa pencetan itu tidak bertenaga sama sekali.
Ma kauwsu menjadi penasaran dan kini ia mulai mengerahkan tenaga Thiat se-ciang, akan tetapi tetap saja pemuda itu tidak kelihatan menderita sakit, bahkan kembali menyuruh ia mempergunakan tenaganya! la lalu mengerahkan seluruh tenaganya dan memeras sekuatnya dan tiba-tiba ia terkejut sekali. Tangan yang halus itu tiba-tiba menjadi licin dan lemas sekali seperti kapas!
Terkejutlah hatinya karena ia maklum bahwa pemuda ini ternyata adalah seorang ahli lweekeh yang memiliki Iweekang yang tinggi. Ini tentulah ilmu jui-kut-kang (ilmu melepaskan tulang dan melemaskan tubuh) yang lihai. Cepat ia mengendorkan remasannya karena takut kalau-kalau tenaga Thiat se ciang akan terbentur kembali dan melukai tangannya sendiri. Akan tetapi terlambat!
Tiba-tiba Tiong Kiat mengeluarkan serangan dengan tenaga Iweekeng dan sekarang dialah yang meremas tangan guru silat yang kasar dan besar itu. Terdengar Ma kauwsu menjerit kesakitan seperti kerbau disembelih. Tangan kanannya terasa panas, sakit dan kaku. Ketika Tiong Kiat melepaskan tangannya, tangan Ma kauwsu menjadi merah dan bengkak!
“Masih belum mengenal orang?" Tiong Kiat membentak dan kini ia berdiri bertolak pinggang dengan sikap yang gagah sekali.
Ma kauwsu dan keenam orang kawan-kawannya berdiri terbelalak saking heran dan terkejutnya. Terutama sekali Ma kauwsu, Cin-kauwsu dan Kwee kauwsu menjadi terheran-heran. Melihat betapa mereka masih terheran-heran dan agaknya menduga-duga siapa dia, timbul kesombongan Tiong Kiat. Dicabutnya pedangnya dan berkatalah dia,
"Masih belum juga mengenal pedang ini? Ataukah harus kalian rasakan dulu ketajamannya?"
Melihat sinar merah dan bentuk pedang itu pucatlah muka ketiga orang kepala penjaga ini "Ang-coa-kiam..." bisik Ma kauwsu dan serta merta dia dan kedua orang adiknya menjatuhkan diri berlutut di depan Tiong Kiat! Empat orang anak buah mereka juga menjadi terkejut dan cepat berlutut.
"Maafkan kami yang tidak melihat Gunung Thai-san menjulang tinggi di depan mata taihiap, ampunkaan kekurangajaran kami kepada taihiap karena kami tidak mengenal taihiap."
"Sudah, tak perlu banyak peradatan ini." kata Tiong Kiat sambil menyarungkan pedangnya kembali. "Ma-twako, kau boleh ambil uang itu untuk membeli obat tanganmu dan ingat kalau aku berada disini. Jaga jangan memperbolehkan orang lain masuk. Mengerti?"
"Baik, taihiap, baik!" jawab tujuh orang penjaga yang sudah ditundukkan itu.
Pada saat itu pintu terbuka dari dalam dan seorang wanita tua yang pakaiannya masih mewah sekali keluar. Nenek ini memandang kepada Tiong Kiat dengan penuh perhatian dan keningnya berkerut ketika ia melihat betapa para penjaganya berdiri di hadapan Tiong Kiat dengan kepala tunduk dan sikap menghormat sekali.
"Siapakah kongcu yang tampan ini?" tanya wanita itu yang bukan lain adalah Cia-ma sendiri.
"Kongcu ini adalah Ang..."
Akan tetapi kata-kata Ma kauwsu ini diputuskan oleh jawaban Tiong Kiat yang cepat mengerling tajam kepadanya. Pemuda ini menjura kepada Cia-ma dan berkata,
"Aku adalah seorang pelancong bernama Tiong Kiat, she Sim. Tadi ketika aku berperahu, aku mendengar suara nyaring yang amat merdu dan kemudian melihat tiga orang bidadari ada diatas. Hatiku tergoncang dan ingin sekali aku belajar kenal dengan mereka, atau lebih tepat lagi, dengan yang berbaju hijau.”
Wanita itu tersenyum. "Ahh, kongcu maksudkan Li Lan? Masuklah, Sim kongcu. Kebetulan sekali belum ada tamu dan tentu Li Lan anakku akan suka berkenalan dengan kongcu yang tampan!"
Mereda berdua masuk ke dalam dan pintu ditutup lagi.
"Kongcu ingin bertemu dengan Li Lan, bunga cantik di daerah ini? Ah, kongcu beruntung sekali mendapat kesempatan ini, karena biarpun kongcu akan menjelajah di seluruh Propinsi Ho-pak, takkan mungkin kongcu bertemu dengan gadis secantik Li Lan! Akan tetapi, apakah yang kongcu kehendaki? Melihat dia menari? Mendengarkan dia bernyanyi? Ataukah kongcu ingin minum arak bersama dia sambil mendengarkan dia mainkan kim? Yang pertama dapat dilaksanakan dengan pembayaran lima belas tail, yang kedua dua puluh lima tail dan yang ketiga lima puluh tail. Yang mana kongcu kehendaki?"
Sambi tersenyum Tiong Kiat merogoh saku bajunya sebelah dalam. Ia mengeluarkan uang dan menaruh uang itu di atas meja, di depan Cia-ma. Nenek itu membelalakkan matanya dan tiada habisnya ia menatap tumpukan uang di atas meja itu. Bukan lima belas tali perak, atau lima puluh tail perak, akan tetapi lima potong uang emas yang harganya lebih dari tiga ratus tail perak yang bertumpuk di atas meja, berkilauan cahayanya membuat silau pandangan mata nenek yang mata duitan ini.
"Ambillah uang itu, Cia-ma. Akan tetapi dengar keinginanku. Aku ingin semua bidadari yang berada di dalam rumah kapal ini menghiburku dengan tari-tarian dan nyanyian! Dan Li Lan menemaniku minum arak dan berada di sini. Hanya aku seorang yang mendapat hiburan, tidak boleh ada orang lain. Mengerti!"
Nenek ini mengangguk-anggukkan kepalanya seperti seekor ayam yang makan padi. "Baik. baik, kongcu. Malam ini hanya kongcu seorang yang akan mendapat hiburan di sini. Tiada orang lain!"
Nenek itu lalu berlari-lari ke dalam setelah menyaur uang itu dari meja. Terdengar ia berteriak-teriak memanggil semua anaknya dan sebentar saja ruangan itu penuh dengan gadis-gadis yang jumlahnya semua ada empat belas orang! Akan tetapi Tiong Kiat tidak memperdulikan mereka semua, karena pandangan matanya hanya tertuju kepada seorang, yakni gadis berbaju hijau, Li Lan yang mirip sekali dengan Eng Eng!
Li Lan telah diberi tahu oleh Cia-ma betapa royal dan kayanya pemuda itu dan ketika ia menyaksikan dengan mata bintangnya betapa tampan dan gagah pemuda yang hendak berkenalan dengannya, senyumnya melebar dan sinar matanya gembira.
"Selamat datang, kongcu. Sungguh merupakan kehormatan dan kebanggaan besar bagiku telah mendapat perhatian kongcu yang budiman."
Suara ini terdengar merdu bagaikan musik yang-kim dan pada saat Tiong Kiat baru sadar bahwa gadis ini bukan gadis yang dulu ditolongnya di dalam rimba. Akan tetapi ia menjadi girang juga, karena Li Lan memiliki wajah serupa dengan gadis yang ditolongnya itu, bahkan tidak kalah cantiknya dan malah jauh lebih manis dan menarik.
Tanpa malu-malu lagi karena memang sudah biasa, Tiong Kiat melangkah maju dan memegang tangan Li Lan yang halus. Tercium olehnya bau harum semerbak dari rambut gadis itu yang membuat hatinya menjadi makin mabok.
Cia-ma sibuk memberi perintah agar hidangan yang lezat dikeluarkan, arak yang paling baik berikut daging yang paling empuk. Kemudian para gadis itu lalu mengambil alat musik dan sebentar saja ruangan itu berobah menjadi tempat pesta yang meriah. Ada yang menari, bernyanyi dan Tiong Kiat makan-minum ditemani oleh Li Lan yang makin lama makin menarik hatinya.
Demikianlah, pemuda yang tersesat ini dilayani seperti seorang raja muda di tempat itu. Belum pernah ada tamu yang demikian dihormati seperti Tiong Kiat dan hal ini tidak aneh, Cia-ma puas hatinya karena mendapatkan uang sekian banyaknya, adapun gadis gadis itu gembira sekali dapat melayani seorang pemuda yang tampan dan gagah, berbeda dengan para pembesar, tua-tua bangka yang sesungguhnya menyebalkan hati mereka!
Para penjaga, Ma kauwsu dan kawannya, patuh sekali terhadap perintah Tiong Kiat. Mereka tidak memperkenankan siapa saja memasuki rumah kapal itu, biarpun yang hendak masuk itu hartawan atau pembesar yang sudah menjadi langganan tetap.
"Menyesal sekali," kata Ma kauwsu terhadap mereka. "malam hari ini tidak menerima tamu, karena tempat ini telah diborong oleh seorang pelancong."
Biarpun hati mereka kecewa namun mereka tidak berani membantah dan pulanglah mereka dengan hati mengkal. Siapakah orangnya yang begitu kurang ajar berani memborong tempat itu? Akhirnya bukan mereka saja yang mendongkol dan gelisah. Juga Cia-ma menjadi sibuk sekali pikirannya ketika mendapat kenyataan bahwa pemuda itu lama sekali tidak mau keluar lagi dari rumah kapal!
Sudah tiga malam Tiong Kiat berada di tempat itu, dan pemuda ini masih saja belum mempunyai keinginan meninggalkan Li Lan! Akan tetapi bagaimana Cia-ma berani mengusirnya? Pemuda itu royal sekali, tiap hari mengeluarkan uang emas dan lebih-lebih lagi gelisahnya hati Cia-ma ketika mendengar dari para penjaganya bahwa pemuda itu bukan lain adalah Ang-coa-kiam yang telah tersohor namanya!
Sebaliknya, Li Lan dan kawan-kawannya sama sekali tidak merasa kecewa. Mereka bahkan senang sekali melayani pemuda yang selain tampan dan gagah, juga royal sekali membagi-bagi hadiah itu. Li Lan nampaknya suka sekali dan tak dapat berpisah dari Tiong Kiat, demikian pula pemuda itu telah tergila-gila kepada Li Lan. Bukan karena kecantikan Li Lan atau pandainya mengambil hati, akan tetapi terutama sekali karena wajah Li Lan hampir sama dengan wajah Eng Eng, gadis yang dulu ditolongnya dan yang diam-diam dicintainya itu.
Betapapun juga akhirnya persediaan uang di dalam saku baju Tiong Kiat menjadi habis.
“Cia-Ma,” katanya. "aku akan pergi sebentar mengambil buntalanku yang di hotel dan sebentar lagi aku akan kembali. Jangan perbolehkan lain orang masuk kesini," katanya.
Malam itu ia keluar bukan hanya untuk mengambil pakaiannya di hotel, akan tetapi juga untuk mengambil banyak uang emas dari peti uang seorang hartawan!
Sementara itu, sebelum pemuda itu kembali, Cia-ma lalu mengadakan perundingan dengan Li Lan dan kawan-kawannya.
"Celaka!" kata nenek ini dengan wajah gelisah. "Kalau Sim kongcu terus-menerus memborong tempat ini, kita akan celaka."
"Mengapa begitu, Cia-ma?" bantah Li Lan. "Bukankah Sim kongcu amat royal dan memberi hadiah kepada kita? Kita tidak boleh membantah kehendaknya, lagi pula, apa yang dapat kita lakukan terhadap seorang gagah seperti Ang-coa-kiam?"
"Anak bodoh!" nenek itu mencelanya. "Betapapun juga. Dia akhirnya akan bosan dan pergi. Dan nama kita rusak dipandangan mata semua pembesar! Penolakan para pembesar yang hendak mengunjungi kalian, berarti penghinaan dan tentu saja mereka merasa sakit hati kepada kita. Kalau tidak ada perlindungan dari pada mereka, apakah daya kita? Celaka!"
"Sudahlah Cia-ma, tak perlu kita mencari penyakit dan permusuhan terhadap Ang-coa-kiam. Bahkan aku hendak mempergunakan tenaganya untuk membasmi musuh-musuhku."
"Jangan, Li Lan! Jangan kau menimbulkan gara-gara, nanti kita celaka semua."
Akan tetapi gadis cantik itu hanya mainkan bibirnya, tersenyum manis. Menjelang tengah malam datanglah Tiong Kiat dengan membawa uang sekantong besar! Mulailah lagi pesta pora yang amat meriah. Para penjaga juga ikut kebagian rejeki karena Tiong Kiat membagi-bagi hadiah bagaikan orang membuang pasir belaka.
Pada keesokan harinya, gegerlah kota I-kang karena seorang hartawan besar telah kecurian uang banyak sekali dan pada dinding kamar terlukis pedang Ang-coa-kiam! Sebentar saja hal ini terdengar oleh para penjaga rumah kapal, akan tetapi apakah yang dapat mereka perbuat? Mereka hanya saling lirik dan tersenyum girang karena dalam diri Tiong Kiat, mereka mendapatkan seorang pemimpin yang selain royal, juga amat boleh diandalkan!
Juga Cia-ma dan anak-anaknya mendengar akan pencurian yang dilakukan oleh Ang-coa-kiam Sim Tiong Kiat ini, akan tetapi tak seorangpun di antara mereka yang berani bertanya. Cia-ma hanya menarik napas berulang-ulang dan berkata seorang diri,
"Celaka, celaka! Rumahku kemasukan harimau ganas dan aku tak berdaya sama sekali untuk mengusirnya!"
Sementara itu, di dalam kamarnya, sambil menangis Li Lan menuturkan kepada Tiong Kiat. "Telah dua tahun aku mendendam sakit hati yang amat besar dan sekarang Thian Yang Maha Kuasa telah mempertemukan aku dengan kongcu, sungguh satu kebahagiaan besar. Aku percaya dengan penuh keyakinan bahwa kalau memang betul kongcu mencinta kepadaku yang hina dina dan rendah ini, pasti jahanam-jahanam busuk she Lui itu dapat dibasmi!"
"Apakah kau masih meragukan cintaku manis?" kata Tiong Kiat sambil memeluk Li Lan. "Katakanlah siapa yang pernah menimbulkan sakit hati kepadamu kalau perlu akan kuhajar adat kepada mereka."
"Hanya menghajar adat? Kau harus bunuh mereka, kongcu. Ya, mereka itu jahanam yang menjerumuskan diriku ke dalam jurang kehinaan ini, mereka itu harus dibunuh!" Muka yang manis itu menjadi kemerahan dan matanya yang bening dan indah itu bersinar-sinar.
"Kau makin cantik saja kalau marah, Li Lan. Apakah yang telah diperbuat oleh orang-orang she Lui kepadamu maka kau ingin aku membunuh mereka?”
Biarpun pemuda ini membicarakan soal pembunuhan dengan lidah ringan, namun di dalam hatinya ia terkejut juga. karena sesungguhnya, di dalam kesesatannya, belum pernah ia membunuh orang begitu saja secara kejam. Tentu saja ia pernah membunuh rombongan perampok dan orang jahat akan tetapi apabila ia melakukan percurian atau gangguan, tak pernah ia membunuh orang.
Dengan gaya manja dan memikat hati Li Lan lalu menuturkan pengalamannya. "Kongcu, kau adalah seorang mulia dan gagah. Kalau tidak kepadamu, kepada siapa lagi aku dapat mengharapkan pertolongan? Dahulu aku bekerja sebagai pelayan di rumah keluarga Lui yang kaya raya. Hidupku penuh kebahagiaan sungguhpun pekerjaanku hanya sebagai pelayan belaka. Akan tetapi malapetaka menimpa diriku ketika majikanku yang muda dan tua, yakni Lui wangwe dan puteranya, Lui kongcu, secara kurang ajar dan kejam sekali telah mempermainkan aku yang lemah dan tak berdaya! Aku berada di dalam gedung mereka sebagai budak belian, aku yatim-piatu dan berada di dalam kekuasaan mereka. Apakah dayaku? Kemudian setelah rahasia kedua orang jahanam itu terbuka, mereka menjadi malu dan menyingkirkan diriku dengan menjualku kepada Cia-ma."
Adapun Tiong Kiat yang mendengar penuturan ini, menjadi marah dan juga tersinggung hatinya. Ia marah karena kejahatan keluarga Lui ayah dan anak itu dan merasa tersinggung karena ia teringat kepada gadis yang ditolongnya di dalam rimba raya itu.
"Kongcu, telah lama dendam ini terkandung dalam hatiku. Pada saat itu juga, ingin sekali aku membunuh diri, akan tetapi aku teringat bahwa aku akan menjadi setan penasaran kalau belum dapat membalas kejahatan mereka. Aku bersumpah hendak membalas dendam dulu sebelum mati dan sekarang setelah aku bertemu dengan kau, kongcu, tidak ada keinginan mati pada hatiku. Aku ingin selama hidupku berada di sampingmu, akan tetapi kebahagiaanku takkan lengkap apabila sakit hati ini tidak terbalas. Kongcu yang tersayang, kalau saja kau suka menolongku membalaskan sakit hati ini, aku Li Lan akan menghambakan diriku kepadamu sampai selama hidupku.”
Menghadapi bujuk dan cumbu rayu gadis cantik ini, lumerlah hati Tiong Kiat. Tanpa pikir panjang lagi ia menyanggupi permintaan kekasihnya ini dan pada malam hari itu, ia keluar dengan pedang Ang Coa Kiam di tangan! Dan pada keesokan harinya gegerlah kembali kota I-kiang ketika orang mengetahui bahwa hartawan Lui dan puteranya telah terbunuh mati di dalam kamarnya!
Hartawan Lui terkenal sebagai seorang hartawan yang dermawan dan jujur, maka peristiwa ini tentu saja menggemparkan sekali. Apa lagi ketika di tembok korban-korban itu terdapat lukisan pedang Ang-coa-kiam! Sungguh Tiong Kiat telah menjadi mata gelap dan sombong sekali. Biarpun ia masih berada di kota l-kiang dengan berani mati ia mengakui dengan lukisan itu bahwa pembunuhan itu dialah yang melakukannya.
Kegemparan ini sampai juga ke telinga orang-orang gagah di dunia kang-ouw dan marahlah mereka yang mendengar akan hal ini. Kalau sampai sebegitu lama orang-orang kang ouw tidak bertindak memusuhi Tiong Kiat adalah karena mereka itu masih memandang nama besar Ang-coa-kiam pedang pusaka dari Kim liong pai. Semenjak puluhan tahun yang lalu, Kim-liong-pai, terkenal sebagai cabang persilatan yang terpandang tinggi.
Nama Bu Beng Sianjin sebagai pendiri cabang ini amat disegani dan dihormati, juga anak-anak murid Kim-liong pai terutama sekali Lui Thian Sianjin amat terkenal sebagai tokoh kang ouw yang gagah perkasa dan budiman. Oleh karena ini nama Ang-coa-kiam yang menjadi jai-hwa-cat dan pencuri masih diragu-ragukan oleh para tokoh kang-ouw.
Akan tetapi sepak terjang Ang-coa-kiam Sim Tiong Kiat akhir-akhir ini benar-benar menggemparkan sekali, terutama sekali setelah pembunuhan Lui wangwe ayah dan anak. Yang paling marah adalah seorang gagah yang tinggal di kota I-Kiang, karena ia berada terdekat dengan peristiwa itu terjadi. Orang gagah ini bernama Lo Ban Tek yang berjuluk Thiat-gu (Kerbau besi).
Dia adalah seorang gagah perkasa, murid dari Kun-lun-pai yang menyembunyikan diri di kota ini dan bekerja sebagai seorang pandai besi, pembuat tombak dan golok. Ia telah mendengar tentang pencurian uang seorang hartawan yang dilakukan oleh penjahat yang melukiskan pedang Ang-coa-kiam ditembok, akan tetapi masih bersabar dan tidak mau mencampuri urusan itu. la menganggap urusan pencurian itu soal kecil saja, karena untuk meributkan pencurian yang terjadi dalam rumah seorang hartawan?
Mungkin benar-benar anak murid Kim liong-pai itu sedang lewat dan kehabisan bekal lalu mengambil uang hartawan itu, hal ini sudah biasa terjadi dan tidak sangat hebat. Akan tetapi, ia mendengar bahwa seorang pemuda tampan yang mengaku sebagai Ang coa-kiam Sim Tiong Kiat telah beberapa hari lamanya berdiam di rumah kapal dan kemungkinan pula terlibat dalam pembunuhan atas hartawan Lui dan putranya.