PEDANG ULAR MERAH JILID 11
Lui Thian Sianjin, suhu mereka, pernah menceritakan bahwa ayah mereka adalah seorang pahlawan dan patriot bangsa yang gugur dalam pemberontakan menggulingkan pemerintahan yang korup. Oleh cerita yang singkat dan tidak jelas inilah maka Tiong Han dan Tiong Kiat suka sekali bermain perang-perangan, menjadi pahlawan seperti ayah mereka!
Pada saat itu, Tiong Han tenggelam dalam kenangannya. Bertitik air matanya kalau ia mengingat betapa hubungan mesra itu kini telah rusak. Adiknya yang dicinta sepenuh hatinya itu kini entah berada dimana dan ia mendapat tugas mencarinya, merampas pedang Ang-coa-kiam, bahkan kalau perlu membunuhnya! Ia merasa bahwa kini ia akan dapat mengimbangi kepandaian Tiong Kiat, karena setiap hari tiada hentinya ia memperdalam kepandaian ilmu pedang Ang-coa-kiamsut dari kitab yang dibawanya. Ia telah hampir dapat menguasai seluruh isi kitab itu dan ilmu pedangnya maju dengan pesatnya.
Ketika ia teringat betapa ia dan adiknya pada saat bermain perang-perangan itu menyanyikan sajak yang mereka dengar dari suhu mereka bernyanyi dan yang kemudian mereka robah sendiri. Tiong Han lalu bangun berdiri dari batu yang didudukinya. Bagaikan dalam mimpi, ia lalu melangkah maju di pinggir jurang, lalu ia bernyanyi, seperti ketika masih kecil bersama Tiong Kiat di lereng Bukit Liong san.
Bulan sepotong sudah mulai timbul dari timur, angin gunung hanya meniup perlahan saja, mendatangkan suara berkereseknya daun-daun yang bahkan menambah rasa sunyi yang mencekam hatinya. Bagaikan terpimpin oleh perasaan halus yang tak disadarinya, Tiong Han bernyanyi dengan suara keras, sepenuh dadanya, sambil menggerak-gerakkan tangan kanannya meniru gaya seorang panglima seperti yang ia lakukan bersama adiknya ketika mereka masih kecil dulu.
Pedang telanjang di tangan
Berlumur darah musuh jahanam!
Anak panah beterbangan
Bagai maut mengintai nyawa
Pasukan musuh di sana?
Serbu…! Maju gembira!
Inilah tugas tiap kesatria!
Mati? Hanya gugur bagai bunga
Aku hanya ingin menang… menang!
Biar takkan mendapat Jasa
Biar takkan menerima pahala.
Tidak peduli, aku ingin menang!
Aku ingin menjadi pahlawan.
Seperti ayah... seperti ayah…!
Tiong Han bernyanyi penuh semangat, seperti dulu ketika masih keciI. Bunyi sajak ini sesungguhnya sudah berbeda dari pada aslinya karena banyak yang berobah dan baris terakhir 'seperti ayah' adalah tambahan sendiri dari Tiong Han dan Tiong Kiat. Keduanya merasa bangga sekali akan ayah mereka, sungguhpun mereka tidak tahu dan tidak ingat lagi bagaimana rupa ayah mereka!
Tiong Han tidak tahu sama sekali bahwa pada saat bernyanyi, seorang pemuda sedang berjalan mendaki jalan kecil dari timur. Ketika mendengar ia bernyanyi, pemuda itu berhenti bertindak dan diam bagaikan patung! Akhirnya setelah Tiong Han menyanyikan baris terakhir dari sajaknya, pemuda yang berpakaian biru kehitaman itu berlari menghampirinya dan berseru dengan suara terharu.
"Engko Han…!"
Tiong Han yang sudah mengakhiri nyanyiannya cepat menengok dan terkejutlah kedua matanya ketika ia melihat Tiong Kiat berlari-lari naik seperti dulu ketika masih kecil!
“Tiong Kiat…!”
Keduanya berdiri berhadapan, saling pandang, kalau dilihat oleh orang lain seperti seorang pemuda berdiri di depan cermin, demikian serupa, sebentuk dan segaya! Kemudian terdorong oleh keharuan hati, kedua orang muda itu lalu saling tubruk dan saling peluk dengan penuh kemesraan dan keharuan hati. Tiong Han tak dapat menahan Iagi bertitiknya air mata dari sepasang matanya ketika ia merangkul adiknya. Akan tetapi ketika matanya memandang kebawah dan terlihat olehnya gagang pedang Ang-coa-kiam, hatinya seperti tertusuk oleh pedang itu dan ia melepaskan pelukannya.
“Tiong Kiat, anak nakal, kemana saja kau selama ini?" tanyanya dengan pandangan menegur seperti biasa ia lakukan dahulu bila adiknya berlaku nakal.
Mendengar teguran dan pertanyaan ini Tiong Kiat melangkah mundur dua tindak. Walau iapun terpengaruh oleh keharuan hatinya, akan tetapi ia sekarang teringat Iagi akan kesalahan-kesalahannya terhadap kakaknya ini, ia memandang tajam dan bertanya dengan suara dingin,
"Han.ko, mengapa kau berada di sini?" la melirik ke arah pedang yang tergantung di pinggang kiri Tiong Han. "Apakah kau disuruh oleh suhu untuk menyusul dan menangkapku?" Ia memandang makin tajam dan kepalanya agak dimiringkan, pandangan matanya penuh selidik.
"Tiong Kiat, tak perlu aku berbohong kepadamu. Kepergianmu dari Liong-san membuat suhu menjadi marah sekali, terutama sekali karena kau membawa pergi pedang Ang-coa-kiam yang menjadi pedang pusaka Kim-liong-pai, Mengapa kau berani melakukan hal itu, adikku? Mengapa?"
Tiong Kiat tertawa mengejek dan tangan kirinya menepuk-nepuk pedang Ang-coa-kiam. "Tiong Han," ia tidak menyebut kakak. "aku adalah murid yang terpandai, maka berhak mewarisi pedang ini. Habis, apakah sekarang kehendakmu?"
Dua orang pemuda yang sama rupa sama bentuk itu berdiri berhadapan dalam keadaan tegang. Tiong Kiat dengan pandangan mata menantang sedangkan Tiong Han dengan mata berduka.
"Tiong Kiat, kau harus kembalikan pedang itu. Aku disuruh oleh suhu untuk mengambil kembali pedang itu. Sadarlah bahwa kau tidak berhak mengambil pedang pusaka itu begitu saja tanpa ijin dari suhu."
Akan tetapi Tiong Kiat melangkah mundur tiga tindak dan tiba-tiba ia mencabut pedang Ang-coa-kiam dan berkata, "Tiong Han! Selama beberapa bulan ini, pedang inilah kawan satu-satunya dariku yang telah melindungi keselamatanku. Bagaimana aku bisa mengembalikannya begitu saja? KaIau pedang ini kau ambil aku akan merasa sunyi, seakan-akan ditinggalkan seorang sahabat yang paling baik."
Berobah wajah Tiong Han mendengar ini. "Tiong Kiat, di mana... sumoi? Aku tidak melihatnya!"
Tiong Klat tersenyum pahit. "Kau mencari tunanganmu?”
"Jangan kurang ajar!" Tiong Han membentak. "Aku tidak menganggapnya sebagai tunangan lagi. Aku rela melepaskannya untuk menjadi jodohmu. Aku hanya ingin mengetahui mengapa dia tidak berada di sini, bersamamu. Apakah kau telah meninggalkannya pula?” Pandangan pemuda ini menjadi tajam dan keras.
"Siapa meninggalkannya? Kami hanya memilih jalan masing-masing. Kalau kau mau mencarinya ke kota Hang-yang, kau akan dapat bertemu dengan dia dan kau boleh mengambilnya sebagai istrimu!"
Mendongkol juga hati Tiong Han mendengar ucapan ini. "Tiong Kiat, tak perlu kita melanjutkan percakapan tentang sumoi. Yang paling penting sekarang ialah pengembalian pedang itu. Suhu menghendaki agar supaya aku mengambil kembali pedang Ang-coa-kiam dan membunuhmu. Akan tetapi asal saja kau mengembalikan pedang itu dan berjanji takkan melakukan kesesatan, aku takkan mengganggumu."
Tiong Kiat tertawa bergelak mendengar omongan ini. "Tiong Han, biarpun suhu sendiri yang datang mengambil pedang ini, agaknya ia takkan dapat mengambilnya begitu saja tanpa membuktikan bahwa kepandaiannya masih lebih tinggi dari padaku. Siapa yang memiliki kepandaian ilmu pedang Ang coa kiamsut lebih tinggi, dialah yang berhak memiliki pedang ini! Aku memegang pedang ini, nah, apakah kau memiliki keberanian untuk menentangku. Apakah kau tidak tahu bahwa pemegang pedang ini harus dihormati dan ditaati oleh semua anak murid Kim-liong-pai?"
"Tiong Kiat, jangan kau berkeras! Lebih baik kembalikan pedang itu dan kalau kau menginginkan sebatang pedang yang baik, kau boleh ambil pedangku Hui-liong-kiam ini. Aku tidak bisa menyerangmu, kau adalah adikku dan kau tahu betapa besar cinta kasihku kepadamu."
"Jangan omong kosong! Aku memegang Ang-coa-kiam, kalau kau mau menjadi murid Kim-liong pai yang mendurhaka, kau boleh melawan aku!"
Sedih benar hati Tiong Han menyaksikan sikap adiknya ini. Terpaksa ia merogoh saku bajunya dan mengeluarkan kitab Ang-coa-kiam coan-si. "Kau Iihat ini, Tiong Kiat! Akulah yang lebih berhak dari padamu, karena kitab pusaka ini dipercayakan kepadaku oleh suhu!"
Terbelalak mata Tiong Kiat memandang kepada kitab Iapuk di tangan kakaknya itu. Ketika ia hendak pergi, ia telah mencari-cari kitab ini, akan tetapi ia tak terdapat olehnya. Kalau saja ia dapat memiliki kitab itu, tentu ilmu pedangnya akan menjadi maju pesat sekali. Otaknya yang cerdik bekerja cepat dan ia lalu tersenyum ramah kepada kakaknya.
"Han-ko, terpaksa aku mengakui keunggulanmu karena kau memegang kitab itu. Baiklah aku akan kembalikan Ang-coa-kiam kepadamu, akan tetapi kau harus memberi pinjam kitab itu selama beberapa bulan kepadaku agar adikmu ini dapat melanjutkan pelajaran ilmu pedang."
Tiong Han menggeleng kepalanya. "Tidak mungkin, Tiong Kiat. Kitab ini tidak boleh kuberikan kepada siapapun juga. Lekas kau berikan pedang itu padaku."
"Berikan? Mari, terimalah!" Akan tetapi ucapan ini disambung dengan gerakan menusuk dengan pedangnya ke arah dada kakaknya! Sungguh kejam dan jahat sekali hati pemuda yang sudah tertutup oleh hawa nafsu busuk itu.
Baiknya Tiong Han sudah berlaku waspada. la kenaI baik adiknya yang cerdik dan semenjak kecil memang mempunyai banyak akal licin ini. Ia cepat mengelak, menyimpan kitabnya dan mencabut pedang Hui-liong-kiam.
"Tiong Kiat, dengan hati perih terpaksa aku harus memberi hajaran kepadamu dan mengambil kembali pedang itu dengan paksa!” katanya sambil membalas dengan serangan yang kuat.
"Ha ha ha! Baik mari kita mencoba siapa yang lebih kuat diantara kita." jawab Tiong Kiat memandang rendah, oleh karena ia tahu bahwa kepandaiannya masih lebih menang dari pada kakaknya.
Akan tetapi begitu mereka bergebrak selama beberapa jurus saja terkejutlah Tiong Kiat. Ilmu pedang kakaknya ini sudah maju jauh sekali, bahkan tenaga lweekangnya lebih mantap dan berisi dari pada dulu! Ia menjadi gemas, mengertak gigi dan melakukan serangan mati-matian, menggerakkan seluruh tenaga dan kepandaiannya.
Beberapa kali ia sengaja mengadu pedang Ang-coa-kiam untuk membabat putus pedang di tangan Tiong Han, akan tetapi biarpun bunga api berpijar menyilaukan mata, pedang Hui-Iiong-kiam itu ternyata tidak rusak sedikitpun juga. Pertempuran dilanjutkan dengan amat sengitnya. Serang-menyerang terjadi, desak mendesak antara kedua saudara kembar itu. Mereka sama lincah, kuat dan sama mahir ilmu pedangnya.
Hanya ada sedikit perbedaan, yakni kalau Tiong Kiat menyerang dengan mati-matian dengan nafsu merobohkan dan membunuh kalau perlu dalam usahanya untuk merampas kitab Ang-coa-kiam-coan-si, adalah Tiong Han bertempur dengan terpaksa. Hatinya tidak tega untuk melukai adiknya yang amat dicintanya ini, dan ia hanya mempertahankan diri dan serangan balasannya hanya ditujukan untuk merampas pedang!
Sesungguhnya, setelah mematangkan ilmu pedangnya dari kitab yang dibawanya, kemajuan Tiong Han luar biasa sekali dan ia telah dapat melampaui kepandaian adiknya. Banyak jurus-jurus rahasia yang menjadi bagian-bagian tersulit dari ilmu pedang Ang-coa-kiamsut telah dipelajarinya sedangkan Tiong Kiat belum pernah mempelajari jurus-jurus ini. Kalau Tiong Han mau menyerang mati-matian seperti adiknya, tak dapat disangsikan Iagi bahwa ia pasti akan menang. Akan tetapi keraguannya membuat ia selalu bahkan terdesak oleh Tiong Kiat!
"Engko Han yang baik," Tiong Kiat berkata mengejek, "biarpun kepandaianmu sudah maju, tetap saja kau takkan dapat menangkap aku. Lebih baik kau serahkan kitab itu agar aku tidak akan berdosa melukaimu!"
"Kau buta oleh nafsu jahatmu, Tiong Kiat." Tiong Han menjawab sambil menangkis sebuah sambaran pedang adiknya.
Pertempuran dilanjutkan Iebih hebat lagi, karena Tiong Kiat kini menyerang Iebih bernafsu. la merasa penasaran juga karena telah bertempur lebih dari lima puluh jurus, belum juga Tiong Han dapat dikalahkan. Padahal dulu, di dalam latihan, ia dapat mengalahkan kakaknya ini dalam waktu tiga puluh jurus saja.
Bukan main hebatnya pertempuran kakak beradik ini, dua saudara kembar ini. Gulungan sinar pedang Ang-coa-kiam yang berwarna merah bergulat dengan sinar pedang dari Hui liong kiam, merupakan dua ekor naga yang saling membelit. Pertempuran ini hanya disaksikan oleh bulan, angin dan pohon pohon di sekitar mereka.
Seratus jurus terlewat dan Tiong Han makin terdesak saja. Tiba-tiba serangan kilat yang amat hebat dari Tiong Kiat dan yang ditangkisnya kurang cepat membuat pedang Ang-Coa-kiam meleset dan melukai pundak Tiong Han! Bajunya di bagian pundak terbabat robek, berikut sedikit daging dan kulitnya sehingga mengucurkan darah dari pundak Tiong Han!
"Serahkan kitab itu!" Tiong Kiat membentak sambil menahan serangannya. Betapapun juga, ia tidak ingin membunuh kakaknya dan timbul rasa kasihan di hatinya melihat betapa wajah kakaknya menjadi meringis menahan sakit.
"Tiong Kiat, kau terlalu!" Tiong Han menegur dan kini pemuda inilah yang mendahului maju menyerang adiknya.
Tiong Kiat menangkis dan sebentar kemudian terkejutlah dia karena gerakan pedang Tiong Han bukan main kuat dan hebatnya, penuh dengan gerakan dan gaya yang aneh dan tak dapat terduga sama sekali olehnya! la merasa seakan-akan pedang Hui-liong-kiam berobah menjadi banyak sekali, mengelilingi dan menyerang ke arah dirinya dari segenap penjuru!
Barulah Tiong Kiat tahu bahwa kepandaian kakaknya sudah mencapai tingkat tinggi sekali! Akan tetapi terlambat ia sadar akan kesombongannya karena sebelum ia tahu apa yang terjadi, ia merasa perih sekali pada lengan kanannya dan tahu-tahu pedangnya telah pindah ke tangan kiri Tiong Han dan Iengan bajunya telah robek berikut kulit lengannya yang mengalirkan darah lebih banyak daripada darah yang mengucur dari pundak Tiong Han.
"Aduh..." Tiong Kiat mengeluh. Kemudian saking jengkel, marah dan malunya ia lalu menjatuhkan diri di atas tanah, menutupi mukanya dan menangis!
Tiong Han tidak merasa heran melihat kelakuan adiknya ini. Semenjak dulu ketika mereka masih kecil, tiap kali dia marah kepada adiknya atau memukulnya, Tiong Kiat selalu menangis seperti itu. Dan juga ia tidak merasa heran ketika mendengar adiknya meratap.
"Ayah ibu, mengapa kalian tidak membawa aku mati saja! apa artinya hidup bersama seorang kakak yang kejam terhadap adiknya sendiri?”
Memang, sikap Tiong Kiat ini benar benar lucu dan bersifat kekanak-kanakan, akan tetapi memang pemuda ini memiliki kelemahan hati yang akhirnya menjadi kebiasaan, bahkan seringkali dipergunakan sebagai siasatnya untuk mengalahkan hati kakaknya! Kali inipun, melihat haI adiknya sedemikian rupa, biarpun Tiong Han maklum bahwa hal itu mungkin hanya siasat, hatinya tersinggung dan sambil mengalirkan air mata, ia menubruk dan memeluk Tiong Kiat!
"Adikku, jangan kau berduka. lni ambillah pedangku Hui-liong-kiam! Kau sudah menyaksikan sendiri bahwa ketajaman dan keampuhannya tidak kalah oleh Ang-coa-kiam. Mana lenganmu, biar aku balut agar jangan banyak darah yang keluar!"
Sambil berkata demikian, Tiong Han lalu merobek pinggir Jubahnya dan membalut lengan tangan Tiong Kiat yang memandang dengan muka terharu. Alangkah baik hatinya kakaknya ini. Lukanya sendiri di pundak tidak dlperhatikan, sebaliknya malah membalut luka di tangannya.
"Han ko, bisakah kau memaafkan aku yang sudah menyakiti hatimu?" tanyanya dengan terharu, rasa haru yang timbul dari hati murninya, bukan pura-pura.
"Mengapa tidak, adikku? Semenjak dahulu aku telah memaafkanmu bahkan tadipun aku terpaksa melukaimu. Ilmu pedangmu terlampau kuat!"
"llmu pedangmu yang hebat Han-ko! Apakah serangan tadipun merupakan jurus-jurus dari Ang-coa-kiam-sut."
Tiong Han mengangguk dan melanjutkan pekerjaan membalut lengan tangan adiknya. Ia sedang menundukkan mukanya, tidak melihat betapa kini sinar mata Tiong Kiat telah berobah menjadi liar lagi, ditujukan dengan mata penuh nafsu ke arah baju kakaknya, seakan-akan hendak menaksir di mana kakaknya menyembunyikan kitab ilmu pedang yang amat diinginkannya itu.
"Han-ko, terima kasih atas pemberianmu pedang Hui-liong-kiam ini. Biarlah kau bawa kembali pedang Ang-coa-kiam yang sial itu!"
Tiong Han tersenyum. "Adikku, jangan kau kira bahwa kau boleh mempergunakan pedang hui liong kiam sesuka hatimu. Ketahuilah bahwa pedang itu datang dari Heng-san, tadinya punya Lui-kong-jiu Keng Kim Tosu dan penggunaan pedang itu berada di bawah pengurusannya dan juga pengawasan Pat-jiu Toanio Li bi Hong! hati-hatilah dan jangan kau bertindak nyeleweng, karena kalau sampai mereka tahu bahwa pedang ini dipergunakan untuk kejahatan, mereka tentu akan turun tangan kepadamu!"
"Aduh...!" Tiong Kiat mengeluh dan Tiong Han cepat memegang tangan kanan yang terluka itu. "Sakitkah? terlalu eratkah aku membalutnya?" la memeriksa lengan yang telah dibalutnya itu, sambil mendekatkan mukanya.
Tiba-tiba sekali diluar persangkaannya, tangan kiri Tiong Kiat bergerak dan menotok dengan cepat sekali jalan darah pada punggungnya! Tiong Han tak dapat mengeluarkan suara lagi dan roboh terguling dalam keadaan lemas tak berdaya menggerakkan seluruh tubuhnya! Hanya matanya saja memandang ke arah adiknya dengan mata menyesal sekali.
"Engko Tiong Han, terpaksa aku merobohkanmu, karena ketahuilah, aku ingin sekali mendapatkan kitab ilmu pedang Ang-coa kiam-sut itu! Bukan untuk memilikinya dan mempergunakan pengaruhnya, akan tetapi untuk mempelajari ilmu pedang itu lebih sempurna lagi! Pedang Ang-coa-kiam kutinggalkan kepadamu, biarlah aku merasa puas dengan Hui Iiong kiam ini saja. Akan tetapi kitab Ang-coa-kiamsut kubawa!"
Ia lalu mengulurkan tangan menggeledah, akhirnya ia mendapatkan kitab itu di saku baju Tiong Han. Dengan girang ia membalik-balik lembaran kitab itu, lalu menyimpannya di dalam saku bajunya.
"Han-ko! Aku masih mengingat budi dan ikatan persaudaraan maka aku takkan membunuhmu. Jangan kau persalahkan adikmu yang hanya ingin memperdalam ilmu kepandaiannya. Pedang Hui-liong-kiam kubawa berikut kitab ini. Besok siang kau akan sehat kembali dan pulanglah ke Liong-san mengembalikan pedang Ang-coa-kiam kepada suhu! Nah, selamat tinggal saudaraku yang budiman!"
Tiong Kiat memondong tubuh Tiong Han yang lemas itu dan meletakkannya di bawah sebatang pohon besar. Pedang Ang-coa-kiam ia masukkan ke dalam sarung pedang Tiong Han yang masih tergantung di pinggang. Kemudian ia berdiri dan memandang kepada kakaknya.
Kasihan juga hatinya melihat betapa kakaknya rebah terlentang tak berdaya. Darah merah mengalir pada pundaknya. Akan tetapi ia teringat bahwa kini kepandaian kakaknya sudag lebih tinggi dari padanya. Kalau kakaknya pulih kembali dari pengaruh totokannya dan ia masih berada di situ, tentu ia akan kalah lagi dan terpaksa mengembalikan kitab itu. Maka ia lalu berlari pergi dari tempat itu.
Dewa penjaga gunung Ta-pie-san agaknya marah menyaksikan kejahatan adik terhadap kakaknya ini. Bulan yang tadinya bersinar terang tiba-tiba berubah mendung tebal. Tiong Kiat menjadi bingung karena sukar sekali untuk menuruni bukit-bukit yang banyak jurang-jurangnya di dalam gelap. Dan tak lama kemudian saat ia maju perlahan mencari jalan, hujan turunlah dengan lebatnya bagaikan dituangkan dari atas!
"Jahanam benar!"
Tiong Kiat menyumpah-nyumpah dan terpaksa mencari tempat perlindungan di bawah sebatang pohon yang besar. la memperhitungkan bahwa totokannya yang tepat mengenai jalan darah sui-mo-hiat di punggung Tiong Han, akan membuat tubuh kakaknya menjadi lemas sampai sedikitnya besok siang baru bisa lenyap. Sementara ini, ia merasa aman. Besok pagi-pagi terang tanah, ia dapat turun gunung dan sebelum kakaknya sadar ia telah berada di tempat jauh!
Akan tetapi semalam itu ia tidak dapat beristirahat. Pertama-tama karena hujan yang turun telah membuat tubuhnya menjadi basah kuyup, terutama sekali lengannya yang terluka itu biarpun telah dibalut, kini air telah merayap masuk dan membuat lukanya terasa perih dan sakit sekali. Kembali ia mengumpat caci kepada hujan, kepada bulan, kepada malam gelap.
Tiba-tiba ia teringat dan wajahnya menjadi pucat! Kakaknya rebah terlentang di bawah pohon itu dan tentu terserang oleh hujan lebat pula. Dan kakaknya berada dalam keadaan terluka dan tidak dapat bergerak sama sekali! Ah, bagaimana kalau kakaknya itu sampai tewas? Hujan dan hawa dingin menyerangnya. Luka itu masih terus mengalirkan darah! Berdebar jantung Tiong Kiat. Kalau kakaknya tewas, maka berarti dialah yang membunuhnya! Tidak, tidak! la tidak mau menjadi pembunuh kakaknya!
Sambil mengerang Tiong Kiat lalu bangkit berdiri hendak kembali ke tempat di mana Tiong Han rebah tadi. Hendak dijaga dan dirawatnya Tiong Han sampai besok pagi, agar kakaknya itu tidak ditinggalkan dalam keadaan terancam bahaya maut. Akan tetapi terpaksa ia harus membatalkan kehendak hatinya itu. Tak mungkin kembali ke tempat tadi dalam malam gelap dan hujan Iebat ini. la tidak tahu Iagi ke mana harus mencari jalan. Akhirnya dengan hati khawatir sekali ia menjatuhkan diri, duduk kembali di bawah pohon.
Hujan turun terus sampai keesokan harinya, pagi pagi baru reda. Tiong Kiat tidak jadi turun gunung dan kembali ke tempat kemarin malam untuk menengok kakaknya. Hatinya gelisah sekali. Berdebar jantungnya penuh kengerian kalau ia membayangkan betapa Tiong Han akan didapatinya di bawah pohon dalam keadaan kaku tak bernyawa lagi! Ia mempercepat tindakan kakinya.
Akan tetapi ia menjadi melongo keheranan ketika tiba di tempat itu, ternyata ia tidak melihat Tiong Han Iagi! Mungkinkah ini? Mungkinkah Tiong Han dapat melepaskan diri dari pada totokannya? Tidak bisa jadi! Dengan hati gelisah Tiong Kiat memandang ke kanan kiri, lalu berjalan masuk ke dalam hutan di dekat tempat itu dengan hati-hati. Kalau kakaknya muncul, ia akan melarikan diri.
Tiba tiba ia mendengar suara wanita menangis, diiringi oleh kata-kata pedas seperti orang memaki-maki. Ia mempercepat tindakan kakinya menuju goa batu karang darimana suara itu terdengar. la cepat bersembunyi di balik pohon ketika melihat seorang wanita muda keluar dari goa itu sambil menyeret tubuh seorang laki laki. Alangkah kagetnya ketika melihat bahwa tubuh yang diseret itu bukan lain adalah tubuh Tiong Han yang masih lemas! Dan yang menyeret itu ia kenal sebagai gadis cantik jelita yang dulu telah ditolong dan kemudian diganggunya di dalam hutan!
Memang gadis ini bukan lain adalah Suma Eng atau Eng Eng! Sebagai mana telah dituturkan di bagian depan, Eng Eng telah bertemu dengan Tiong Han dan mengira bahwa pemuda ini adalah yang telah mengganggunya sehingga gadis ini menyerang Tiong Han dengan hebat. Kemudian Tiong Han melarikan diri dan Eng Eng selalu berusaha mencari pemuda ini.
la mencari keterangan dan mengikuti ke mana juga jejak pemuda ini nampak. Sampai berbulan-bulan ia tidak berhasil bertemu dengan Tiong Han. Akhirnya ia mendengar bahwa pemuda yang dicarinya itu berada di puncak gunung Ta-pie-san, maka tanpa membuang waktu lagi ia lalu mengejar ke atas dan pada senja hari itu ia tiba di lereng bukit Ta pie san.
Akan tetapi, malam hari itu ia tidak dapat mencari Tiong Han karena hujan turun dengan derasnya. Betapapun juga, gadis yang keras hati ini terus merayap naik dan akhirnya di dalam hujan lebat, ia melihat tubuh seorang laki-laki menggeletak telentang di bawah pohon. Ia tidak mengira bahwa itu adalah tubuh pemuda yang dicarinya, karena malam gelap dan hanya diterangi oleh berkelebatnya sinar kilat.
Timbul perasaan kasihan di dalam hatinya dan dipondongnya tubuh pemuda yang tak berdaya itu ke sebuah gua di dalam hutan. Ia melihat betapa pundak pemuda itu terluka, maka ia segera membalutnya dengan baik-baik. Ketika ia melihat pedang tergantung di pinggang Tiong Han, diam-diam ia memuji pedang bagus itu.
Pada keesokan harinya, ketika malam gelap telah pergi dan ada penerangan masuk ke dalam goa, ia memandang pemuda itu dan alangkah terkejutnya ia bahwa pemuda yang ditolong itu bukan lain adalah Tiong Han, pemuda yang selama ini dicari-carinya!
"Jahanam terkutuk! Kiranya kau ini!"
Tiong Han mengalami penderitaan yang luar biasa. Ketika tadi ia ditinggalkan oleh Tiong Kiat, tubuhnya lemas tak berdaya dan luka di pundaknya mengeluarkan banyak darah. Ketika hujan turun menimpanya ia berusaha untuk mempertahankan diri, akan tetapi hawa dingin dan rasa sakit, pada pundaknya membuatnya jatuh pingsan. Ia tidak tahu bahwa dia telah ditolong oleh Eng Eng. Kini ia telah siuman dan pengaruh totokan itu sudah makin lemah sehingga ia dapat bicara dan menggerakkan sedikit tangan kakinya. akan tetapi masih belum mampu bangun. Iapun terkejut sekali ketika melihat Suma Eng yang dikenalnya.
"Nona Suma Eng kaukah yang menolongku? Terima kasih..."
"Bangsat besar! Sim Tiong Han... baru sekarang aku dapat bertemu dengan kau! Dosamu telah terlampau besar dan agaknya Thian sudah memberi kesempatan kepadaku untuk mencincang hancur kepalamu!" Gadis itu tertawa bergelak. Akan tetapi suara ketawanya disusul oleh tangis yang mengharukan.
"Aku akan membunuhmu... aku akan menghancurkan kepalamu! Tidak, tidak, aku akan menyiksamu, akan membiarkan tubuhmu diterkam dan dipakai berebutan binatang-binatang hutan. Biar burung-burung hantu menarik keluar matamu, biar srigala-srigala hutan mencabik-cabik dagingmu!”
Sambil berkata demikian, Eng Eng lalu menjambak rambut Tiong Han dan diseretnya pemuda itu keluar dari goa, Tiong Han merasa ngeri sekali. la merasa yakin bahwa gadis ini tentulah seorang gadis liar dan gila! Akan tetapi apakah dayanya? la masih setengah berada dalam pengaruh totokan Tiong Kiat dan tak mungkin baginya untuk menggerakkan tubuh melakukan perlawanan!
Dan pada saat Eng Eng menyeret tubuh Tiong Han sambil menjambak rambutnya ini, menariknya keluar goa, datanglah Tiong Kiat yang segera bersembunyi di balik pohon. Pemuda ini memandang dengan mata terbelalak dan menahan nafas. Wajahnya berobah pucat sekali.
Setelah Eng Eng berada di luar goa, di dalam keadaan yang sangat terang itu ia memandang ke arah wajah Tiong Han. Diam-diam ia mendongkol sekali ketika melihat wajah yang tampan itu sama sekali tidak memperlihatkan rasa takut. Ia begitu benci kepada pemuda yang merusak hidupnya ini dan sebelum membunuhnya ingin sekali menyiksanya dengan rasa takut. Akan tetapi pemuda ini hanya memandangnya dengan heran dan mulutnya bahkan tersenyum. Ia melihat betapa Tiong Han menarik napas maka ia melepaskan jambakannya dan berkata,
"Ha, kau menarik napas! Baru sekarang kau merasa menyesal atas perbuatan dahulu bukan? Sungguh matamu buta. Kau berani mati sekali telah berbuat tidak patut terhadapku. Tak tahukah kau siapa aku? Manusia terkutuk, aku Suma Eng tak boleh dihina begitu saja. Aku telah bersumpah sebelum dapat mencarimu dan membalas dendam, aku takkan berhenti berusaha! Aku tidak mau mati dulu sebelum dapat menghancurkan mukamu! Dan sekarang kau telah berada di dalam tanganku!” Kembali gadis itu tertawa kemudian disusul oleh tangisnya yang memilukan.
"Nona Suma, aku tidak menyesali perbuatanku yang sudah-sudah, karena sepanjang ingatanku, aku tak pernah berbuat dosa terhadapmu ataupun terhadap siapapun juga. Aku Sim Tiong Han adalah seorang laki laki sejati, mana mungkin aku mengganggu seorang wanita. Aku kasihan melihatmu, nona."
Eng Eng menengok dan memandang dengan mata terbelalak. "Kasihan?"
"Aku kasihan melihat kau, seorang gadis muda yang agaknya menjadi murid orang pandai, ternyata menderita sakit. Entah kejadian atau malapetaka apa yang telah menimpa dirimu dan yang telah membuat pikiranmu tidak waras lagi."
"Kaukira aku gila? Bangsat terkutuk, jahanam keparat, kubunuh kau!" Eng Eng menghunus pedangnya yang bersinar merah dan diangkatnya pedang itu ke atas.
Tiong Han memandangnya dengan senyum, "Nona Suma Eng semenjak kita bertemu didalam hutan di dalam keadaan yang aneh dulu itu dan kemudian kau menyerangku tanpa alasan, aku tak pernah melupakan kau. Sikapmu yang aneh itu benar-benar membingungkan aku. Kita belum pernah bertemu, akan tetapi kau tiba-tiba saja memusuhi dan hendak membunuhku. Ah, sungguh di dunia ini banyak terjadi hal yang aneh”
"Ha, kau takut mati?"
"Tidak ada orang yang takut mati atau takut hidup, karena hidup dan mati tidak berada di tangan manusia. Mati di dalam tangan seorang seperti kau bukan hal yang terlalu buruk," la tersenyum. "Hanya sayangnya aku selalu akan merasa penasaran karena belum tahu apa sebabnya nona Suma Eng yang pandai dan cantik begitu membenci Sim Tiong Han yang rendah."
Tiba-tiba sinar mata Eng Eng mengeras ketika ia menatap wajah pemuda itu penuh selidik. "Kau masih berpura-pura ataukah aku yang mimpi? Orang she Sim, kau dulu bertemu dengan aku di dalam hutan, bukan?"
"Betul, kau berada dalam keadaan pingsan dan kehujanan."
"Kau lalu membawaku ke kuil tua bukan?"
Tiong Han menggeleng kepalanya. "Tidak, aku hanya menyelimuti tubuhmu dengan mantelku, agar jangan terserang air hujan. Aku tidak tahu adanya kuil di tempat itu, kalau tahu tentu kau akan kubawa ke sana agar terhindar dari serangan hujan lebat. Aku hanya menyelimutimu dan ketika kau siuman, tiba-tiba kau menyerang dan melukai pundakku!"
"Bohong!" tiba-tiba Eng Eng menampar dan "plak!" pipi Tiong Han terkena tamparan keras sehingga pemuda yang masih lemas ini tak dapat menahan. Darah segar mengalir keluar dari bibirnya.
"Manusia pengecut! Kau telah berani melanggar dosa, berani berbuat akan tetapi tidak berani mengaku. Laki laki macam apakah kau ini? Kau telah membawaku ke kuil ketika aku sedang pingsan dan kau... kau telah berbuat hina kepadaku! Karena itu aku harus menghancurkan kepalamu sebelum aku menghabiskan nyawaku sendiri!"
"Nona, tidak salahkah kau? Apakah orang terkutuk itu orang lain?"
“Bangsat! Kau kira aku dapat melupakan muka orang?" ia menatap dengan tajam dan merasa yakin bahwa pemuda yang dulu menghinanya adalah orang inilah!
Tiba-tiba Tiong Han teringat kepada Tiong Kiat dan ia menghela napas dengan hati perih! "Ah. Mungkinkah…? Ya Tuhan mengapa kau tersesat sedemikian jauhnya...?"
"Apa maksudmu? Siapa tersesat?” Eng Eng bertanya.
"Sudahlah, nona. Kalau kau mengira bahwa orang yang berbuat tidak patut terhadapmu itu adalah aku, maka bunuhlah aku! Aku takkan menyangkal lagi dan memang barangkali akulah orang itu!"
"Kau mengaku?"
“Ya, boleh, kau sebutkan aku mengaku. Boleh bunuh saja dan habis perkara!"
Tiba-tiba Eng Eng menangis sedih. Entah mengapa, setelah melihat wajah dan sikap Tiong Han, rasa bencinya lenyap secara aneh. Kalau tadi ketika Tiong Han tidak mau mengaku, ia menjadi penasaran dan marah, adalah sekarang setelah pemuda itu mengaku, ia sendiri merasa ragu-ragu!
Sungguh aneh, tadi ketika Tiong Han menyangkal dan membuatnya merasa yakin bahwa pemuda inilah orangnya yang berdosa, ia tidak melihat perbedaan sedikitpun dan wajah pemuda yang mengganggunya dengan wajah pemuda dihadapannya ini. Akan tetapi sekarang timbullah keraguan besar. Tak mungkin pemuda yang bersikap halus, sabar dan gagah ini melakukan perbuatan sedemikian rendahnya. Dan kini ada sesuatu yang membisikinya bahwa bukan inilah orangnya yang berdosa!
Ada satu titik perbedaan antara orang di kuil itu dengan pemuda ini, akan tetapi Eng Eng tidak tahu dan tidak ingat lagi apakah perbedaan itu. Akan tetapi pemuda ini telah mengaku dan harus dibunuh untuk membalas dendam hatinya. Kemudian dia akan membunuh diri sendiri, karena untuk apa hidup lebih lama lagi menanggung derita batin yang hebat? la akan selalu merasa dirinya kotor dan tidak berharga lagi!
Tiba-tiba Eng Eng menangis terisak-isak, menutupi mukanya dengan kedua tangannya, sehingga Tiong Han merasa heran sekali.
"Nona Suma Eng mengapa menangis? Kau telah menganggapku orang yang berdosa telah mencelakakan hidupnya. Nah bunuhlah, aku takkan merasa penasaran mati di tanganmu setelah aku ketahui apa sebabnya kau hendak membunuhku."
"Kau... kau bohong! Bersumpahlah bahwa kau bukan yang melakukan hal itu dan aku akan melepaskanmu!"
Tertegun Tiong Han mendengar ini. Tentu saja ia ingin bersumpah untuk menyatakan kebersihan dirinya akan tetapi ia teringat kepada Tiong Kiat! Ia tahu bahwa gadis ini tentu telah diganggu oleh Tiong Kiat dan hatinya hancur memikirkan kejahatan dan kesesatan adiknya itu. Kalau ia bersumpah, tentu gadis ini akan mencari Tiong Kiat dan dia sendiri pun tidak akan dapat memaafkan Tiong Kiat untuk perbuatannya yang biadab itu.
la menggeleng kepala. "Tidak, nona. Aku tidak dapat bersumpah!"
Tiba-tiba Eng Eng menjadi marah lagi. "Begitu? Hm, kau seorang pengecut! Tadi kau menyangkal bahwa kau yang melakukan perbuatan itu, sekarang kau bahkan tidak berani berkata terus terang! Kau… kau menyebalkan hatiku!”
Kembali Eng Eng menampar dan untuk kedua kalinya bibir Tiong Han berdarah! Pipi pemuda yang telah ditampar dua kali oleh tangan Eng Eng yang mengandung tenaga hebat itu telah menjadi bengkak.
"Bunuhlah saja, nona…”
"Tentu saja kubunuh kau laki-laki pengecut!"
Diangkatnya pedang di tangannya dengan maksud untuk memenggal leher Tiong Han. Akan tetapi pada saat itu sebutir batu melayang cepat dan tepat menangkis pedangnya itu.
"Tranggg...!"
Eng Eng terkejut sekali dan cepat melompat ke arah pohon besar dari mana batu tadi melayang. Ia melihat berkelebatnya bayangan orang melompat pergi dari situ, maka cepat ia berlari menyusul. Ternyata bahwa Tiong Kiat yang menyambit dan menangkis bacokan pedang Eng Eng tadi. Betapapun juga Tiong Kiat merasa terharu sekali melihat dan mendengar betapa Tiong Han membela dan melindungi namanya!
Alangkah mulianya hati kakaknya itu. Kakaknya telah dikhianati, telah ditotok dan dilukai, bahkan telah dicurinya pula kitab yang dibawa oleh kakaknya. Dan sekarang, kakaknya masih berusaha melindunginya dari nama busuk. Bagaimana ia dapat membiarkan kakaknya terbunuh oleh gadis liar ini?
Melihat Eng Eng mengangkat pedangnya, cepat Tiong Kiat lalu menggunakan kepandaiannya, menyambit dengan batu untuk menangkis pedang itu. Ia telah mempergunakan sepenuh tenaganya, dan percaya bahwa pedang di tangan nona itu tentu akan terpukul jatuh dan terlepas. Siapa kira pedang itu tidak terlepas bahkan batu yang dipergunakan untuk menyambit itu ketika beradu dengan pedang telah terpentaI jauh!
Ketika Eng Eng melompat mengejar, lebih kaget lagi hati Tiong Kiat karena sebentar saja gadis itu sudah hampir dapat mengejarnya! Tak jauh dari tempat tadi, terpaksa ia berhenti dan dengan pedang Hui-Iiong kiam di tangan, ia menanti kedatangan Eng Eng. Setelah gadis itu tiba di hadapannya, ia terpesona oleh kecantikan yang murni dari gadis ini. Hatinya berdebar. Alangkah jelitanya gadis ini, dan alangkah gagahnya. Untuk kedua kalinya, Tiong Kiat merasa betapa hatinya berdenyut aneh. Pandangan matanya melembut dan senyumnya menjadi mesra sekali.
Di lain fihak, ketika Eng Eng menghadapi pemuda ini wajahnya berubah pucat sekali. la merasa seakan-akan berada di dalam mimpi, atau seakan-akan melihat seorang iblis di siang hari. Tak terasa pula ia menengok ke belakang ke arah tempat tadi. Dari jauh ia masih melihat Tiong Han rebah miring di atas rumput. Apakah pandangan matanya sudah menjadi rusak? Mengapa ada dua orang yang demikian sama dan serupa segala-galanya?
"Siapa kau? Mengakulah, siapa kau?" tanyanya dengan bibir gemetar.
"Nona sudah Iupa lagikah kau kepadaku? Kita pernah saling bertemu."
"Di kuil...?"
Tiong Kiat mengangguk. “Ya, di kuil...”
Eng Eng merasa kepalanya pening. Bumi yang dipijaknya serasa berputaran dan ia terhuyung-huyung. Tiong Kiat melompat mendekat dan hendak memeluknya, akan tetapi Eng Eng mengelak dan berkata,
"Jangan sentuh aku!”
"Nona, aku... aku cinta kepadamu. Maafkanlah aku, aku... aku menyesal sekali telah melukai hatimu. Ikutlah aku, jadilah istriku dan kuperlihatkan padamu bahwa aku akan menjadi suami yang baik untuk menebus dosaku..."
"Terkutuk! Jadi kaulah orangnya?" sambil menjerit nyaring Eng Eng lalu menyerang dengan pedang merahnya.
Pada saat itu, Tiong Han tenggelam dalam kenangannya. Bertitik air matanya kalau ia mengingat betapa hubungan mesra itu kini telah rusak. Adiknya yang dicinta sepenuh hatinya itu kini entah berada dimana dan ia mendapat tugas mencarinya, merampas pedang Ang-coa-kiam, bahkan kalau perlu membunuhnya! Ia merasa bahwa kini ia akan dapat mengimbangi kepandaian Tiong Kiat, karena setiap hari tiada hentinya ia memperdalam kepandaian ilmu pedang Ang-coa-kiamsut dari kitab yang dibawanya. Ia telah hampir dapat menguasai seluruh isi kitab itu dan ilmu pedangnya maju dengan pesatnya.
Ketika ia teringat betapa ia dan adiknya pada saat bermain perang-perangan itu menyanyikan sajak yang mereka dengar dari suhu mereka bernyanyi dan yang kemudian mereka robah sendiri. Tiong Han lalu bangun berdiri dari batu yang didudukinya. Bagaikan dalam mimpi, ia lalu melangkah maju di pinggir jurang, lalu ia bernyanyi, seperti ketika masih kecil bersama Tiong Kiat di lereng Bukit Liong san.
Bulan sepotong sudah mulai timbul dari timur, angin gunung hanya meniup perlahan saja, mendatangkan suara berkereseknya daun-daun yang bahkan menambah rasa sunyi yang mencekam hatinya. Bagaikan terpimpin oleh perasaan halus yang tak disadarinya, Tiong Han bernyanyi dengan suara keras, sepenuh dadanya, sambil menggerak-gerakkan tangan kanannya meniru gaya seorang panglima seperti yang ia lakukan bersama adiknya ketika mereka masih kecil dulu.
Pedang telanjang di tangan
Berlumur darah musuh jahanam!
Anak panah beterbangan
Bagai maut mengintai nyawa
Pasukan musuh di sana?
Serbu…! Maju gembira!
Inilah tugas tiap kesatria!
Mati? Hanya gugur bagai bunga
Aku hanya ingin menang… menang!
Biar takkan mendapat Jasa
Biar takkan menerima pahala.
Tidak peduli, aku ingin menang!
Aku ingin menjadi pahlawan.
Seperti ayah... seperti ayah…!
Tiong Han bernyanyi penuh semangat, seperti dulu ketika masih keciI. Bunyi sajak ini sesungguhnya sudah berbeda dari pada aslinya karena banyak yang berobah dan baris terakhir 'seperti ayah' adalah tambahan sendiri dari Tiong Han dan Tiong Kiat. Keduanya merasa bangga sekali akan ayah mereka, sungguhpun mereka tidak tahu dan tidak ingat lagi bagaimana rupa ayah mereka!
Tiong Han tidak tahu sama sekali bahwa pada saat bernyanyi, seorang pemuda sedang berjalan mendaki jalan kecil dari timur. Ketika mendengar ia bernyanyi, pemuda itu berhenti bertindak dan diam bagaikan patung! Akhirnya setelah Tiong Han menyanyikan baris terakhir dari sajaknya, pemuda yang berpakaian biru kehitaman itu berlari menghampirinya dan berseru dengan suara terharu.
"Engko Han…!"
Tiong Han yang sudah mengakhiri nyanyiannya cepat menengok dan terkejutlah kedua matanya ketika ia melihat Tiong Kiat berlari-lari naik seperti dulu ketika masih kecil!
“Tiong Kiat…!”
Keduanya berdiri berhadapan, saling pandang, kalau dilihat oleh orang lain seperti seorang pemuda berdiri di depan cermin, demikian serupa, sebentuk dan segaya! Kemudian terdorong oleh keharuan hati, kedua orang muda itu lalu saling tubruk dan saling peluk dengan penuh kemesraan dan keharuan hati. Tiong Han tak dapat menahan Iagi bertitiknya air mata dari sepasang matanya ketika ia merangkul adiknya. Akan tetapi ketika matanya memandang kebawah dan terlihat olehnya gagang pedang Ang-coa-kiam, hatinya seperti tertusuk oleh pedang itu dan ia melepaskan pelukannya.
“Tiong Kiat, anak nakal, kemana saja kau selama ini?" tanyanya dengan pandangan menegur seperti biasa ia lakukan dahulu bila adiknya berlaku nakal.
Mendengar teguran dan pertanyaan ini Tiong Kiat melangkah mundur dua tindak. Walau iapun terpengaruh oleh keharuan hatinya, akan tetapi ia sekarang teringat Iagi akan kesalahan-kesalahannya terhadap kakaknya ini, ia memandang tajam dan bertanya dengan suara dingin,
"Han.ko, mengapa kau berada di sini?" la melirik ke arah pedang yang tergantung di pinggang kiri Tiong Han. "Apakah kau disuruh oleh suhu untuk menyusul dan menangkapku?" Ia memandang makin tajam dan kepalanya agak dimiringkan, pandangan matanya penuh selidik.
"Tiong Kiat, tak perlu aku berbohong kepadamu. Kepergianmu dari Liong-san membuat suhu menjadi marah sekali, terutama sekali karena kau membawa pergi pedang Ang-coa-kiam yang menjadi pedang pusaka Kim-liong-pai, Mengapa kau berani melakukan hal itu, adikku? Mengapa?"
Tiong Kiat tertawa mengejek dan tangan kirinya menepuk-nepuk pedang Ang-coa-kiam. "Tiong Han," ia tidak menyebut kakak. "aku adalah murid yang terpandai, maka berhak mewarisi pedang ini. Habis, apakah sekarang kehendakmu?"
Dua orang pemuda yang sama rupa sama bentuk itu berdiri berhadapan dalam keadaan tegang. Tiong Kiat dengan pandangan mata menantang sedangkan Tiong Han dengan mata berduka.
"Tiong Kiat, kau harus kembalikan pedang itu. Aku disuruh oleh suhu untuk mengambil kembali pedang itu. Sadarlah bahwa kau tidak berhak mengambil pedang pusaka itu begitu saja tanpa ijin dari suhu."
Akan tetapi Tiong Kiat melangkah mundur tiga tindak dan tiba-tiba ia mencabut pedang Ang-coa-kiam dan berkata, "Tiong Han! Selama beberapa bulan ini, pedang inilah kawan satu-satunya dariku yang telah melindungi keselamatanku. Bagaimana aku bisa mengembalikannya begitu saja? KaIau pedang ini kau ambil aku akan merasa sunyi, seakan-akan ditinggalkan seorang sahabat yang paling baik."
Berobah wajah Tiong Han mendengar ini. "Tiong Kiat, di mana... sumoi? Aku tidak melihatnya!"
Tiong Klat tersenyum pahit. "Kau mencari tunanganmu?”
"Jangan kurang ajar!" Tiong Han membentak. "Aku tidak menganggapnya sebagai tunangan lagi. Aku rela melepaskannya untuk menjadi jodohmu. Aku hanya ingin mengetahui mengapa dia tidak berada di sini, bersamamu. Apakah kau telah meninggalkannya pula?” Pandangan pemuda ini menjadi tajam dan keras.
"Siapa meninggalkannya? Kami hanya memilih jalan masing-masing. Kalau kau mau mencarinya ke kota Hang-yang, kau akan dapat bertemu dengan dia dan kau boleh mengambilnya sebagai istrimu!"
Mendongkol juga hati Tiong Han mendengar ucapan ini. "Tiong Kiat, tak perlu kita melanjutkan percakapan tentang sumoi. Yang paling penting sekarang ialah pengembalian pedang itu. Suhu menghendaki agar supaya aku mengambil kembali pedang Ang-coa-kiam dan membunuhmu. Akan tetapi asal saja kau mengembalikan pedang itu dan berjanji takkan melakukan kesesatan, aku takkan mengganggumu."
Tiong Kiat tertawa bergelak mendengar omongan ini. "Tiong Han, biarpun suhu sendiri yang datang mengambil pedang ini, agaknya ia takkan dapat mengambilnya begitu saja tanpa membuktikan bahwa kepandaiannya masih lebih tinggi dari padaku. Siapa yang memiliki kepandaian ilmu pedang Ang coa kiamsut lebih tinggi, dialah yang berhak memiliki pedang ini! Aku memegang pedang ini, nah, apakah kau memiliki keberanian untuk menentangku. Apakah kau tidak tahu bahwa pemegang pedang ini harus dihormati dan ditaati oleh semua anak murid Kim-liong-pai?"
"Tiong Kiat, jangan kau berkeras! Lebih baik kembalikan pedang itu dan kalau kau menginginkan sebatang pedang yang baik, kau boleh ambil pedangku Hui-liong-kiam ini. Aku tidak bisa menyerangmu, kau adalah adikku dan kau tahu betapa besar cinta kasihku kepadamu."
"Jangan omong kosong! Aku memegang Ang-coa-kiam, kalau kau mau menjadi murid Kim-liong pai yang mendurhaka, kau boleh melawan aku!"
Sedih benar hati Tiong Han menyaksikan sikap adiknya ini. Terpaksa ia merogoh saku bajunya dan mengeluarkan kitab Ang-coa-kiam coan-si. "Kau Iihat ini, Tiong Kiat! Akulah yang lebih berhak dari padamu, karena kitab pusaka ini dipercayakan kepadaku oleh suhu!"
Terbelalak mata Tiong Kiat memandang kepada kitab Iapuk di tangan kakaknya itu. Ketika ia hendak pergi, ia telah mencari-cari kitab ini, akan tetapi ia tak terdapat olehnya. Kalau saja ia dapat memiliki kitab itu, tentu ilmu pedangnya akan menjadi maju pesat sekali. Otaknya yang cerdik bekerja cepat dan ia lalu tersenyum ramah kepada kakaknya.
"Han-ko, terpaksa aku mengakui keunggulanmu karena kau memegang kitab itu. Baiklah aku akan kembalikan Ang-coa-kiam kepadamu, akan tetapi kau harus memberi pinjam kitab itu selama beberapa bulan kepadaku agar adikmu ini dapat melanjutkan pelajaran ilmu pedang."
Tiong Han menggeleng kepalanya. "Tidak mungkin, Tiong Kiat. Kitab ini tidak boleh kuberikan kepada siapapun juga. Lekas kau berikan pedang itu padaku."
"Berikan? Mari, terimalah!" Akan tetapi ucapan ini disambung dengan gerakan menusuk dengan pedangnya ke arah dada kakaknya! Sungguh kejam dan jahat sekali hati pemuda yang sudah tertutup oleh hawa nafsu busuk itu.
Baiknya Tiong Han sudah berlaku waspada. la kenaI baik adiknya yang cerdik dan semenjak kecil memang mempunyai banyak akal licin ini. Ia cepat mengelak, menyimpan kitabnya dan mencabut pedang Hui-liong-kiam.
"Tiong Kiat, dengan hati perih terpaksa aku harus memberi hajaran kepadamu dan mengambil kembali pedang itu dengan paksa!” katanya sambil membalas dengan serangan yang kuat.
"Ha ha ha! Baik mari kita mencoba siapa yang lebih kuat diantara kita." jawab Tiong Kiat memandang rendah, oleh karena ia tahu bahwa kepandaiannya masih lebih menang dari pada kakaknya.
Akan tetapi begitu mereka bergebrak selama beberapa jurus saja terkejutlah Tiong Kiat. Ilmu pedang kakaknya ini sudah maju jauh sekali, bahkan tenaga lweekangnya lebih mantap dan berisi dari pada dulu! Ia menjadi gemas, mengertak gigi dan melakukan serangan mati-matian, menggerakkan seluruh tenaga dan kepandaiannya.
Beberapa kali ia sengaja mengadu pedang Ang-coa-kiam untuk membabat putus pedang di tangan Tiong Han, akan tetapi biarpun bunga api berpijar menyilaukan mata, pedang Hui-Iiong-kiam itu ternyata tidak rusak sedikitpun juga. Pertempuran dilanjutkan dengan amat sengitnya. Serang-menyerang terjadi, desak mendesak antara kedua saudara kembar itu. Mereka sama lincah, kuat dan sama mahir ilmu pedangnya.
Hanya ada sedikit perbedaan, yakni kalau Tiong Kiat menyerang dengan mati-matian dengan nafsu merobohkan dan membunuh kalau perlu dalam usahanya untuk merampas kitab Ang-coa-kiam-coan-si, adalah Tiong Han bertempur dengan terpaksa. Hatinya tidak tega untuk melukai adiknya yang amat dicintanya ini, dan ia hanya mempertahankan diri dan serangan balasannya hanya ditujukan untuk merampas pedang!
Sesungguhnya, setelah mematangkan ilmu pedangnya dari kitab yang dibawanya, kemajuan Tiong Han luar biasa sekali dan ia telah dapat melampaui kepandaian adiknya. Banyak jurus-jurus rahasia yang menjadi bagian-bagian tersulit dari ilmu pedang Ang-coa-kiamsut telah dipelajarinya sedangkan Tiong Kiat belum pernah mempelajari jurus-jurus ini. Kalau Tiong Han mau menyerang mati-matian seperti adiknya, tak dapat disangsikan Iagi bahwa ia pasti akan menang. Akan tetapi keraguannya membuat ia selalu bahkan terdesak oleh Tiong Kiat!
"Engko Han yang baik," Tiong Kiat berkata mengejek, "biarpun kepandaianmu sudah maju, tetap saja kau takkan dapat menangkap aku. Lebih baik kau serahkan kitab itu agar aku tidak akan berdosa melukaimu!"
"Kau buta oleh nafsu jahatmu, Tiong Kiat." Tiong Han menjawab sambil menangkis sebuah sambaran pedang adiknya.
Pertempuran dilanjutkan Iebih hebat lagi, karena Tiong Kiat kini menyerang Iebih bernafsu. la merasa penasaran juga karena telah bertempur lebih dari lima puluh jurus, belum juga Tiong Han dapat dikalahkan. Padahal dulu, di dalam latihan, ia dapat mengalahkan kakaknya ini dalam waktu tiga puluh jurus saja.
Bukan main hebatnya pertempuran kakak beradik ini, dua saudara kembar ini. Gulungan sinar pedang Ang-coa-kiam yang berwarna merah bergulat dengan sinar pedang dari Hui liong kiam, merupakan dua ekor naga yang saling membelit. Pertempuran ini hanya disaksikan oleh bulan, angin dan pohon pohon di sekitar mereka.
Seratus jurus terlewat dan Tiong Han makin terdesak saja. Tiba-tiba serangan kilat yang amat hebat dari Tiong Kiat dan yang ditangkisnya kurang cepat membuat pedang Ang-Coa-kiam meleset dan melukai pundak Tiong Han! Bajunya di bagian pundak terbabat robek, berikut sedikit daging dan kulitnya sehingga mengucurkan darah dari pundak Tiong Han!
"Serahkan kitab itu!" Tiong Kiat membentak sambil menahan serangannya. Betapapun juga, ia tidak ingin membunuh kakaknya dan timbul rasa kasihan di hatinya melihat betapa wajah kakaknya menjadi meringis menahan sakit.
"Tiong Kiat, kau terlalu!" Tiong Han menegur dan kini pemuda inilah yang mendahului maju menyerang adiknya.
Tiong Kiat menangkis dan sebentar kemudian terkejutlah dia karena gerakan pedang Tiong Han bukan main kuat dan hebatnya, penuh dengan gerakan dan gaya yang aneh dan tak dapat terduga sama sekali olehnya! la merasa seakan-akan pedang Hui-liong-kiam berobah menjadi banyak sekali, mengelilingi dan menyerang ke arah dirinya dari segenap penjuru!
Barulah Tiong Kiat tahu bahwa kepandaian kakaknya sudah mencapai tingkat tinggi sekali! Akan tetapi terlambat ia sadar akan kesombongannya karena sebelum ia tahu apa yang terjadi, ia merasa perih sekali pada lengan kanannya dan tahu-tahu pedangnya telah pindah ke tangan kiri Tiong Han dan Iengan bajunya telah robek berikut kulit lengannya yang mengalirkan darah lebih banyak daripada darah yang mengucur dari pundak Tiong Han.
"Aduh..." Tiong Kiat mengeluh. Kemudian saking jengkel, marah dan malunya ia lalu menjatuhkan diri di atas tanah, menutupi mukanya dan menangis!
Tiong Han tidak merasa heran melihat kelakuan adiknya ini. Semenjak dulu ketika mereka masih kecil, tiap kali dia marah kepada adiknya atau memukulnya, Tiong Kiat selalu menangis seperti itu. Dan juga ia tidak merasa heran ketika mendengar adiknya meratap.
"Ayah ibu, mengapa kalian tidak membawa aku mati saja! apa artinya hidup bersama seorang kakak yang kejam terhadap adiknya sendiri?”
Memang, sikap Tiong Kiat ini benar benar lucu dan bersifat kekanak-kanakan, akan tetapi memang pemuda ini memiliki kelemahan hati yang akhirnya menjadi kebiasaan, bahkan seringkali dipergunakan sebagai siasatnya untuk mengalahkan hati kakaknya! Kali inipun, melihat haI adiknya sedemikian rupa, biarpun Tiong Han maklum bahwa hal itu mungkin hanya siasat, hatinya tersinggung dan sambil mengalirkan air mata, ia menubruk dan memeluk Tiong Kiat!
"Adikku, jangan kau berduka. lni ambillah pedangku Hui-liong-kiam! Kau sudah menyaksikan sendiri bahwa ketajaman dan keampuhannya tidak kalah oleh Ang-coa-kiam. Mana lenganmu, biar aku balut agar jangan banyak darah yang keluar!"
Sambil berkata demikian, Tiong Han lalu merobek pinggir Jubahnya dan membalut lengan tangan Tiong Kiat yang memandang dengan muka terharu. Alangkah baik hatinya kakaknya ini. Lukanya sendiri di pundak tidak dlperhatikan, sebaliknya malah membalut luka di tangannya.
"Han ko, bisakah kau memaafkan aku yang sudah menyakiti hatimu?" tanyanya dengan terharu, rasa haru yang timbul dari hati murninya, bukan pura-pura.
"Mengapa tidak, adikku? Semenjak dahulu aku telah memaafkanmu bahkan tadipun aku terpaksa melukaimu. Ilmu pedangmu terlampau kuat!"
"llmu pedangmu yang hebat Han-ko! Apakah serangan tadipun merupakan jurus-jurus dari Ang-coa-kiam-sut."
Tiong Han mengangguk dan melanjutkan pekerjaan membalut lengan tangan adiknya. Ia sedang menundukkan mukanya, tidak melihat betapa kini sinar mata Tiong Kiat telah berobah menjadi liar lagi, ditujukan dengan mata penuh nafsu ke arah baju kakaknya, seakan-akan hendak menaksir di mana kakaknya menyembunyikan kitab ilmu pedang yang amat diinginkannya itu.
"Han-ko, terima kasih atas pemberianmu pedang Hui-liong-kiam ini. Biarlah kau bawa kembali pedang Ang-coa-kiam yang sial itu!"
Tiong Han tersenyum. "Adikku, jangan kau kira bahwa kau boleh mempergunakan pedang hui liong kiam sesuka hatimu. Ketahuilah bahwa pedang itu datang dari Heng-san, tadinya punya Lui-kong-jiu Keng Kim Tosu dan penggunaan pedang itu berada di bawah pengurusannya dan juga pengawasan Pat-jiu Toanio Li bi Hong! hati-hatilah dan jangan kau bertindak nyeleweng, karena kalau sampai mereka tahu bahwa pedang ini dipergunakan untuk kejahatan, mereka tentu akan turun tangan kepadamu!"
"Aduh...!" Tiong Kiat mengeluh dan Tiong Han cepat memegang tangan kanan yang terluka itu. "Sakitkah? terlalu eratkah aku membalutnya?" la memeriksa lengan yang telah dibalutnya itu, sambil mendekatkan mukanya.
Tiba-tiba sekali diluar persangkaannya, tangan kiri Tiong Kiat bergerak dan menotok dengan cepat sekali jalan darah pada punggungnya! Tiong Han tak dapat mengeluarkan suara lagi dan roboh terguling dalam keadaan lemas tak berdaya menggerakkan seluruh tubuhnya! Hanya matanya saja memandang ke arah adiknya dengan mata menyesal sekali.
"Engko Tiong Han, terpaksa aku merobohkanmu, karena ketahuilah, aku ingin sekali mendapatkan kitab ilmu pedang Ang-coa kiam-sut itu! Bukan untuk memilikinya dan mempergunakan pengaruhnya, akan tetapi untuk mempelajari ilmu pedang itu lebih sempurna lagi! Pedang Ang-coa-kiam kutinggalkan kepadamu, biarlah aku merasa puas dengan Hui Iiong kiam ini saja. Akan tetapi kitab Ang-coa-kiamsut kubawa!"
Ia lalu mengulurkan tangan menggeledah, akhirnya ia mendapatkan kitab itu di saku baju Tiong Han. Dengan girang ia membalik-balik lembaran kitab itu, lalu menyimpannya di dalam saku bajunya.
"Han-ko! Aku masih mengingat budi dan ikatan persaudaraan maka aku takkan membunuhmu. Jangan kau persalahkan adikmu yang hanya ingin memperdalam ilmu kepandaiannya. Pedang Hui-liong-kiam kubawa berikut kitab ini. Besok siang kau akan sehat kembali dan pulanglah ke Liong-san mengembalikan pedang Ang-coa-kiam kepada suhu! Nah, selamat tinggal saudaraku yang budiman!"
Tiong Kiat memondong tubuh Tiong Han yang lemas itu dan meletakkannya di bawah sebatang pohon besar. Pedang Ang-coa-kiam ia masukkan ke dalam sarung pedang Tiong Han yang masih tergantung di pinggang. Kemudian ia berdiri dan memandang kepada kakaknya.
Kasihan juga hatinya melihat betapa kakaknya rebah terlentang tak berdaya. Darah merah mengalir pada pundaknya. Akan tetapi ia teringat bahwa kini kepandaian kakaknya sudag lebih tinggi dari padanya. Kalau kakaknya pulih kembali dari pengaruh totokannya dan ia masih berada di situ, tentu ia akan kalah lagi dan terpaksa mengembalikan kitab itu. Maka ia lalu berlari pergi dari tempat itu.
Dewa penjaga gunung Ta-pie-san agaknya marah menyaksikan kejahatan adik terhadap kakaknya ini. Bulan yang tadinya bersinar terang tiba-tiba berubah mendung tebal. Tiong Kiat menjadi bingung karena sukar sekali untuk menuruni bukit-bukit yang banyak jurang-jurangnya di dalam gelap. Dan tak lama kemudian saat ia maju perlahan mencari jalan, hujan turunlah dengan lebatnya bagaikan dituangkan dari atas!
"Jahanam benar!"
Tiong Kiat menyumpah-nyumpah dan terpaksa mencari tempat perlindungan di bawah sebatang pohon yang besar. la memperhitungkan bahwa totokannya yang tepat mengenai jalan darah sui-mo-hiat di punggung Tiong Han, akan membuat tubuh kakaknya menjadi lemas sampai sedikitnya besok siang baru bisa lenyap. Sementara ini, ia merasa aman. Besok pagi-pagi terang tanah, ia dapat turun gunung dan sebelum kakaknya sadar ia telah berada di tempat jauh!
Akan tetapi semalam itu ia tidak dapat beristirahat. Pertama-tama karena hujan yang turun telah membuat tubuhnya menjadi basah kuyup, terutama sekali lengannya yang terluka itu biarpun telah dibalut, kini air telah merayap masuk dan membuat lukanya terasa perih dan sakit sekali. Kembali ia mengumpat caci kepada hujan, kepada bulan, kepada malam gelap.
Tiba-tiba ia teringat dan wajahnya menjadi pucat! Kakaknya rebah terlentang di bawah pohon itu dan tentu terserang oleh hujan lebat pula. Dan kakaknya berada dalam keadaan terluka dan tidak dapat bergerak sama sekali! Ah, bagaimana kalau kakaknya itu sampai tewas? Hujan dan hawa dingin menyerangnya. Luka itu masih terus mengalirkan darah! Berdebar jantung Tiong Kiat. Kalau kakaknya tewas, maka berarti dialah yang membunuhnya! Tidak, tidak! la tidak mau menjadi pembunuh kakaknya!
Sambil mengerang Tiong Kiat lalu bangkit berdiri hendak kembali ke tempat di mana Tiong Han rebah tadi. Hendak dijaga dan dirawatnya Tiong Han sampai besok pagi, agar kakaknya itu tidak ditinggalkan dalam keadaan terancam bahaya maut. Akan tetapi terpaksa ia harus membatalkan kehendak hatinya itu. Tak mungkin kembali ke tempat tadi dalam malam gelap dan hujan Iebat ini. la tidak tahu Iagi ke mana harus mencari jalan. Akhirnya dengan hati khawatir sekali ia menjatuhkan diri, duduk kembali di bawah pohon.
Hujan turun terus sampai keesokan harinya, pagi pagi baru reda. Tiong Kiat tidak jadi turun gunung dan kembali ke tempat kemarin malam untuk menengok kakaknya. Hatinya gelisah sekali. Berdebar jantungnya penuh kengerian kalau ia membayangkan betapa Tiong Han akan didapatinya di bawah pohon dalam keadaan kaku tak bernyawa lagi! Ia mempercepat tindakan kakinya.
Akan tetapi ia menjadi melongo keheranan ketika tiba di tempat itu, ternyata ia tidak melihat Tiong Han Iagi! Mungkinkah ini? Mungkinkah Tiong Han dapat melepaskan diri dari pada totokannya? Tidak bisa jadi! Dengan hati gelisah Tiong Kiat memandang ke kanan kiri, lalu berjalan masuk ke dalam hutan di dekat tempat itu dengan hati-hati. Kalau kakaknya muncul, ia akan melarikan diri.
Tiba tiba ia mendengar suara wanita menangis, diiringi oleh kata-kata pedas seperti orang memaki-maki. Ia mempercepat tindakan kakinya menuju goa batu karang darimana suara itu terdengar. la cepat bersembunyi di balik pohon ketika melihat seorang wanita muda keluar dari goa itu sambil menyeret tubuh seorang laki laki. Alangkah kagetnya ketika melihat bahwa tubuh yang diseret itu bukan lain adalah tubuh Tiong Han yang masih lemas! Dan yang menyeret itu ia kenal sebagai gadis cantik jelita yang dulu telah ditolong dan kemudian diganggunya di dalam hutan!
Memang gadis ini bukan lain adalah Suma Eng atau Eng Eng! Sebagai mana telah dituturkan di bagian depan, Eng Eng telah bertemu dengan Tiong Han dan mengira bahwa pemuda ini adalah yang telah mengganggunya sehingga gadis ini menyerang Tiong Han dengan hebat. Kemudian Tiong Han melarikan diri dan Eng Eng selalu berusaha mencari pemuda ini.
la mencari keterangan dan mengikuti ke mana juga jejak pemuda ini nampak. Sampai berbulan-bulan ia tidak berhasil bertemu dengan Tiong Han. Akhirnya ia mendengar bahwa pemuda yang dicarinya itu berada di puncak gunung Ta-pie-san, maka tanpa membuang waktu lagi ia lalu mengejar ke atas dan pada senja hari itu ia tiba di lereng bukit Ta pie san.
Akan tetapi, malam hari itu ia tidak dapat mencari Tiong Han karena hujan turun dengan derasnya. Betapapun juga, gadis yang keras hati ini terus merayap naik dan akhirnya di dalam hujan lebat, ia melihat tubuh seorang laki-laki menggeletak telentang di bawah pohon. Ia tidak mengira bahwa itu adalah tubuh pemuda yang dicarinya, karena malam gelap dan hanya diterangi oleh berkelebatnya sinar kilat.
Timbul perasaan kasihan di dalam hatinya dan dipondongnya tubuh pemuda yang tak berdaya itu ke sebuah gua di dalam hutan. Ia melihat betapa pundak pemuda itu terluka, maka ia segera membalutnya dengan baik-baik. Ketika ia melihat pedang tergantung di pinggang Tiong Han, diam-diam ia memuji pedang bagus itu.
Pada keesokan harinya, ketika malam gelap telah pergi dan ada penerangan masuk ke dalam goa, ia memandang pemuda itu dan alangkah terkejutnya ia bahwa pemuda yang ditolong itu bukan lain adalah Tiong Han, pemuda yang selama ini dicari-carinya!
"Jahanam terkutuk! Kiranya kau ini!"
Tiong Han mengalami penderitaan yang luar biasa. Ketika tadi ia ditinggalkan oleh Tiong Kiat, tubuhnya lemas tak berdaya dan luka di pundaknya mengeluarkan banyak darah. Ketika hujan turun menimpanya ia berusaha untuk mempertahankan diri, akan tetapi hawa dingin dan rasa sakit, pada pundaknya membuatnya jatuh pingsan. Ia tidak tahu bahwa dia telah ditolong oleh Eng Eng. Kini ia telah siuman dan pengaruh totokan itu sudah makin lemah sehingga ia dapat bicara dan menggerakkan sedikit tangan kakinya. akan tetapi masih belum mampu bangun. Iapun terkejut sekali ketika melihat Suma Eng yang dikenalnya.
"Nona Suma Eng kaukah yang menolongku? Terima kasih..."
"Bangsat besar! Sim Tiong Han... baru sekarang aku dapat bertemu dengan kau! Dosamu telah terlampau besar dan agaknya Thian sudah memberi kesempatan kepadaku untuk mencincang hancur kepalamu!" Gadis itu tertawa bergelak. Akan tetapi suara ketawanya disusul oleh tangis yang mengharukan.
"Aku akan membunuhmu... aku akan menghancurkan kepalamu! Tidak, tidak, aku akan menyiksamu, akan membiarkan tubuhmu diterkam dan dipakai berebutan binatang-binatang hutan. Biar burung-burung hantu menarik keluar matamu, biar srigala-srigala hutan mencabik-cabik dagingmu!”
Sambil berkata demikian, Eng Eng lalu menjambak rambut Tiong Han dan diseretnya pemuda itu keluar dari goa, Tiong Han merasa ngeri sekali. la merasa yakin bahwa gadis ini tentulah seorang gadis liar dan gila! Akan tetapi apakah dayanya? la masih setengah berada dalam pengaruh totokan Tiong Kiat dan tak mungkin baginya untuk menggerakkan tubuh melakukan perlawanan!
Dan pada saat Eng Eng menyeret tubuh Tiong Han sambil menjambak rambutnya ini, menariknya keluar goa, datanglah Tiong Kiat yang segera bersembunyi di balik pohon. Pemuda ini memandang dengan mata terbelalak dan menahan nafas. Wajahnya berobah pucat sekali.
Setelah Eng Eng berada di luar goa, di dalam keadaan yang sangat terang itu ia memandang ke arah wajah Tiong Han. Diam-diam ia mendongkol sekali ketika melihat wajah yang tampan itu sama sekali tidak memperlihatkan rasa takut. Ia begitu benci kepada pemuda yang merusak hidupnya ini dan sebelum membunuhnya ingin sekali menyiksanya dengan rasa takut. Akan tetapi pemuda ini hanya memandangnya dengan heran dan mulutnya bahkan tersenyum. Ia melihat betapa Tiong Han menarik napas maka ia melepaskan jambakannya dan berkata,
"Ha, kau menarik napas! Baru sekarang kau merasa menyesal atas perbuatan dahulu bukan? Sungguh matamu buta. Kau berani mati sekali telah berbuat tidak patut terhadapku. Tak tahukah kau siapa aku? Manusia terkutuk, aku Suma Eng tak boleh dihina begitu saja. Aku telah bersumpah sebelum dapat mencarimu dan membalas dendam, aku takkan berhenti berusaha! Aku tidak mau mati dulu sebelum dapat menghancurkan mukamu! Dan sekarang kau telah berada di dalam tanganku!” Kembali gadis itu tertawa kemudian disusul oleh tangisnya yang memilukan.
"Nona Suma, aku tidak menyesali perbuatanku yang sudah-sudah, karena sepanjang ingatanku, aku tak pernah berbuat dosa terhadapmu ataupun terhadap siapapun juga. Aku Sim Tiong Han adalah seorang laki laki sejati, mana mungkin aku mengganggu seorang wanita. Aku kasihan melihatmu, nona."
Eng Eng menengok dan memandang dengan mata terbelalak. "Kasihan?"
"Aku kasihan melihat kau, seorang gadis muda yang agaknya menjadi murid orang pandai, ternyata menderita sakit. Entah kejadian atau malapetaka apa yang telah menimpa dirimu dan yang telah membuat pikiranmu tidak waras lagi."
"Kaukira aku gila? Bangsat terkutuk, jahanam keparat, kubunuh kau!" Eng Eng menghunus pedangnya yang bersinar merah dan diangkatnya pedang itu ke atas.
Tiong Han memandangnya dengan senyum, "Nona Suma Eng semenjak kita bertemu didalam hutan di dalam keadaan yang aneh dulu itu dan kemudian kau menyerangku tanpa alasan, aku tak pernah melupakan kau. Sikapmu yang aneh itu benar-benar membingungkan aku. Kita belum pernah bertemu, akan tetapi kau tiba-tiba saja memusuhi dan hendak membunuhku. Ah, sungguh di dunia ini banyak terjadi hal yang aneh”
"Ha, kau takut mati?"
"Tidak ada orang yang takut mati atau takut hidup, karena hidup dan mati tidak berada di tangan manusia. Mati di dalam tangan seorang seperti kau bukan hal yang terlalu buruk," la tersenyum. "Hanya sayangnya aku selalu akan merasa penasaran karena belum tahu apa sebabnya nona Suma Eng yang pandai dan cantik begitu membenci Sim Tiong Han yang rendah."
Tiba-tiba sinar mata Eng Eng mengeras ketika ia menatap wajah pemuda itu penuh selidik. "Kau masih berpura-pura ataukah aku yang mimpi? Orang she Sim, kau dulu bertemu dengan aku di dalam hutan, bukan?"
"Betul, kau berada dalam keadaan pingsan dan kehujanan."
"Kau lalu membawaku ke kuil tua bukan?"
Tiong Han menggeleng kepalanya. "Tidak, aku hanya menyelimuti tubuhmu dengan mantelku, agar jangan terserang air hujan. Aku tidak tahu adanya kuil di tempat itu, kalau tahu tentu kau akan kubawa ke sana agar terhindar dari serangan hujan lebat. Aku hanya menyelimutimu dan ketika kau siuman, tiba-tiba kau menyerang dan melukai pundakku!"
"Bohong!" tiba-tiba Eng Eng menampar dan "plak!" pipi Tiong Han terkena tamparan keras sehingga pemuda yang masih lemas ini tak dapat menahan. Darah segar mengalir keluar dari bibirnya.
"Manusia pengecut! Kau telah berani melanggar dosa, berani berbuat akan tetapi tidak berani mengaku. Laki laki macam apakah kau ini? Kau telah membawaku ke kuil ketika aku sedang pingsan dan kau... kau telah berbuat hina kepadaku! Karena itu aku harus menghancurkan kepalamu sebelum aku menghabiskan nyawaku sendiri!"
"Nona, tidak salahkah kau? Apakah orang terkutuk itu orang lain?"
“Bangsat! Kau kira aku dapat melupakan muka orang?" ia menatap dengan tajam dan merasa yakin bahwa pemuda yang dulu menghinanya adalah orang inilah!
Tiba-tiba Tiong Han teringat kepada Tiong Kiat dan ia menghela napas dengan hati perih! "Ah. Mungkinkah…? Ya Tuhan mengapa kau tersesat sedemikian jauhnya...?"
"Apa maksudmu? Siapa tersesat?” Eng Eng bertanya.
"Sudahlah, nona. Kalau kau mengira bahwa orang yang berbuat tidak patut terhadapmu itu adalah aku, maka bunuhlah aku! Aku takkan menyangkal lagi dan memang barangkali akulah orang itu!"
"Kau mengaku?"
“Ya, boleh, kau sebutkan aku mengaku. Boleh bunuh saja dan habis perkara!"
Tiba-tiba Eng Eng menangis sedih. Entah mengapa, setelah melihat wajah dan sikap Tiong Han, rasa bencinya lenyap secara aneh. Kalau tadi ketika Tiong Han tidak mau mengaku, ia menjadi penasaran dan marah, adalah sekarang setelah pemuda itu mengaku, ia sendiri merasa ragu-ragu!
Sungguh aneh, tadi ketika Tiong Han menyangkal dan membuatnya merasa yakin bahwa pemuda inilah orangnya yang berdosa, ia tidak melihat perbedaan sedikitpun dan wajah pemuda yang mengganggunya dengan wajah pemuda dihadapannya ini. Akan tetapi sekarang timbullah keraguan besar. Tak mungkin pemuda yang bersikap halus, sabar dan gagah ini melakukan perbuatan sedemikian rendahnya. Dan kini ada sesuatu yang membisikinya bahwa bukan inilah orangnya yang berdosa!
Ada satu titik perbedaan antara orang di kuil itu dengan pemuda ini, akan tetapi Eng Eng tidak tahu dan tidak ingat lagi apakah perbedaan itu. Akan tetapi pemuda ini telah mengaku dan harus dibunuh untuk membalas dendam hatinya. Kemudian dia akan membunuh diri sendiri, karena untuk apa hidup lebih lama lagi menanggung derita batin yang hebat? la akan selalu merasa dirinya kotor dan tidak berharga lagi!
Tiba-tiba Eng Eng menangis terisak-isak, menutupi mukanya dengan kedua tangannya, sehingga Tiong Han merasa heran sekali.
"Nona Suma Eng mengapa menangis? Kau telah menganggapku orang yang berdosa telah mencelakakan hidupnya. Nah bunuhlah, aku takkan merasa penasaran mati di tanganmu setelah aku ketahui apa sebabnya kau hendak membunuhku."
"Kau... kau bohong! Bersumpahlah bahwa kau bukan yang melakukan hal itu dan aku akan melepaskanmu!"
Tertegun Tiong Han mendengar ini. Tentu saja ia ingin bersumpah untuk menyatakan kebersihan dirinya akan tetapi ia teringat kepada Tiong Kiat! Ia tahu bahwa gadis ini tentu telah diganggu oleh Tiong Kiat dan hatinya hancur memikirkan kejahatan dan kesesatan adiknya itu. Kalau ia bersumpah, tentu gadis ini akan mencari Tiong Kiat dan dia sendiri pun tidak akan dapat memaafkan Tiong Kiat untuk perbuatannya yang biadab itu.
la menggeleng kepala. "Tidak, nona. Aku tidak dapat bersumpah!"
Tiba-tiba Eng Eng menjadi marah lagi. "Begitu? Hm, kau seorang pengecut! Tadi kau menyangkal bahwa kau yang melakukan perbuatan itu, sekarang kau bahkan tidak berani berkata terus terang! Kau… kau menyebalkan hatiku!”
Kembali Eng Eng menampar dan untuk kedua kalinya bibir Tiong Han berdarah! Pipi pemuda yang telah ditampar dua kali oleh tangan Eng Eng yang mengandung tenaga hebat itu telah menjadi bengkak.
"Bunuhlah saja, nona…”
"Tentu saja kubunuh kau laki-laki pengecut!"
Diangkatnya pedang di tangannya dengan maksud untuk memenggal leher Tiong Han. Akan tetapi pada saat itu sebutir batu melayang cepat dan tepat menangkis pedangnya itu.
"Tranggg...!"
Eng Eng terkejut sekali dan cepat melompat ke arah pohon besar dari mana batu tadi melayang. Ia melihat berkelebatnya bayangan orang melompat pergi dari situ, maka cepat ia berlari menyusul. Ternyata bahwa Tiong Kiat yang menyambit dan menangkis bacokan pedang Eng Eng tadi. Betapapun juga Tiong Kiat merasa terharu sekali melihat dan mendengar betapa Tiong Han membela dan melindungi namanya!
Alangkah mulianya hati kakaknya itu. Kakaknya telah dikhianati, telah ditotok dan dilukai, bahkan telah dicurinya pula kitab yang dibawa oleh kakaknya. Dan sekarang, kakaknya masih berusaha melindunginya dari nama busuk. Bagaimana ia dapat membiarkan kakaknya terbunuh oleh gadis liar ini?
Melihat Eng Eng mengangkat pedangnya, cepat Tiong Kiat lalu menggunakan kepandaiannya, menyambit dengan batu untuk menangkis pedang itu. Ia telah mempergunakan sepenuh tenaganya, dan percaya bahwa pedang di tangan nona itu tentu akan terpukul jatuh dan terlepas. Siapa kira pedang itu tidak terlepas bahkan batu yang dipergunakan untuk menyambit itu ketika beradu dengan pedang telah terpentaI jauh!
Ketika Eng Eng melompat mengejar, lebih kaget lagi hati Tiong Kiat karena sebentar saja gadis itu sudah hampir dapat mengejarnya! Tak jauh dari tempat tadi, terpaksa ia berhenti dan dengan pedang Hui-Iiong kiam di tangan, ia menanti kedatangan Eng Eng. Setelah gadis itu tiba di hadapannya, ia terpesona oleh kecantikan yang murni dari gadis ini. Hatinya berdebar. Alangkah jelitanya gadis ini, dan alangkah gagahnya. Untuk kedua kalinya, Tiong Kiat merasa betapa hatinya berdenyut aneh. Pandangan matanya melembut dan senyumnya menjadi mesra sekali.
Di lain fihak, ketika Eng Eng menghadapi pemuda ini wajahnya berubah pucat sekali. la merasa seakan-akan berada di dalam mimpi, atau seakan-akan melihat seorang iblis di siang hari. Tak terasa pula ia menengok ke belakang ke arah tempat tadi. Dari jauh ia masih melihat Tiong Han rebah miring di atas rumput. Apakah pandangan matanya sudah menjadi rusak? Mengapa ada dua orang yang demikian sama dan serupa segala-galanya?
"Siapa kau? Mengakulah, siapa kau?" tanyanya dengan bibir gemetar.
"Nona sudah Iupa lagikah kau kepadaku? Kita pernah saling bertemu."
"Di kuil...?"
Tiong Kiat mengangguk. “Ya, di kuil...”
Eng Eng merasa kepalanya pening. Bumi yang dipijaknya serasa berputaran dan ia terhuyung-huyung. Tiong Kiat melompat mendekat dan hendak memeluknya, akan tetapi Eng Eng mengelak dan berkata,
"Jangan sentuh aku!”
"Nona, aku... aku cinta kepadamu. Maafkanlah aku, aku... aku menyesal sekali telah melukai hatimu. Ikutlah aku, jadilah istriku dan kuperlihatkan padamu bahwa aku akan menjadi suami yang baik untuk menebus dosaku..."
"Terkutuk! Jadi kaulah orangnya?" sambil menjerit nyaring Eng Eng lalu menyerang dengan pedang merahnya.