PEDANG ULAR MERAH JILID 13
Eng Eng menengok dan menatap wajah pemuda itu. Sepasang matanya yang indah itu tampak terbaru, akan tetapi bibirnya dirapatkan dengan gemas. "Orang lemah..." katanya perlahan, kemudian ia berpaling kepada Gan Tian Cu lalu berkata,
"Totiang, bukan kau saja yang salah pandang, bahkan aku sendiri pun tadinya telah salah sangka. Orang muda ini bernama Sim Tiong Han, dan Sim Tiong Kiat si jahanam adalah adik kembarnya. Adiknya itulah orang yang harus kau cari dan kau tangkap bukan Sim twako ini."
"Akan tetapi... pedang Ang-coa-kiam berada di tangannya dan... dan mengapa kau tidak mau memberitahukan keadaan yang sebenarnya?" tanyanya kemudian kepada Tiong Han.
Pemuda ini menghela napas. Tak perlu lagi ia menyembunyikan hal yang sebenarnya. "Totiang keterangan nona ini memang benar. Tiong Kiat adalah adikku dan kalau ia telah melakukan dosa terhadap Kun-lun-pai biarlah aku sebagai kakak kandungnya yang bertanggung jawab dan menerima hukumannya. Pedang ini belum lama kuterima dari padanya."
Bukan main herannya hati Gan Tian Cu mendengar ini. "Aah, mengapa begitu? Orang muda, hampir saja kau membuat kami melakukan kedosaan besar, menghukum orang yang tidak bersalah. Baiknya datang Suma Iihiap ini yang berani berkata terus terang! Sim enghiong pinto dapat memaklumi pembelaan dan pengorbananmu terhadap seorang adik. Akan tetapi, perbuatanmu ini benar-benar keliru sekali. Benar seperti dikatakan oleh Suma lihiap tadi, kau terlalu lemah! Kelemahan dan kasih sayang hatimu terhadap adikmu telah menggelapkan pertimbangan dan keadilanmu! Apa kau kira dengan mengorbankan nyawa untuk membela adikmu itu, kau telah melakukan suatu tindakan yang bijaksana? Sebaliknya, anak muda, sebaliknya kau bahkan menambah kejahatan kepada dunia! Dengan tindakanmu ini, seakan-akan kau membela penjahat yang mengacaukan dunia! Pikiranmu cupat sekali, Sim enghiong. Karena kasih sayangmu terhadap adik, kau membiarkan adikmu merajalela dan mencelakakan orang-orang yang seharusnya patut kau bela. Di manakah keadilanmu? Di manakah kegagahanmu?"
Terpukul hati Tiong Han mendengar ucapan pendeta ini dan ia menundukkan mukanya yang pucat.
"Sim enghiong," kata lagi Gan Tian Cu yang merasa penasaran melihat kelemahan hati pemuda yang demikian gagah, "kau benar-benar telah memalukan nama Kim-liong-pai yang besar. Ketahuilah bahwa pendirian seorang pendekar, di dalam membela kebenaran dan keadilan tidak ada hubungan saudara maupun keluarga. Yang benar harus dibela, sungguhpun orang lain yang belum dikenalnya, yang salah harus dilawan biarpun saudara atau keluarga sendiri! Bahkan kaIau di dalam Kim-liong-pai terdapat seorang yang nyeleweng adalah kewajibanmu untuk mencegah dan melenyapkan pendurhaka itu. Kewajibanmu untuk menangkap adikmu itu demi membersihkan nama Kim-liong-pai, demi menjaga baik nama ayahmu dan demi sifatmu sebagai pendekar pembela rakyat! Nah, cukup pinto bicara, kau turut atau tidak terserah, akan tetapi pinto takkan berhenti berusaha untuk menangkap adikmu." Maka pergilah Gan Tian Cu dengan empat orang adik seperguruannya.
Ucapan itu mendorong dua titik air mata mengalir keluar dari mata Tiong Han yang masih menundukkan mukanya. Terbangun semangatnya dan ia berkata kepada Eng Eng yang masih memandangnya dengan terharu.
"Nona benar juga ucapan Gan Tian Cu totiang. Aku akan mencari Tiong Kiat, hendak kutangkap dan kubawa kembali ke Kim liong pai, menyerahkannya kepada suhu."
"Bagus, akan tetapi aku tidak mau kalah dulu baik olehmu maupun oleh pendeta Kun-lun-pai tadi. Gan Tian Cu hendak menangkap Tiong Kiat untuk dibawa ke Kun-Iun-pai, kau hendak menangkapnya untuk kau bawa ke Liong-san. Akan tetapi, akulah yang berhak menghancurkan kepalanya untuk membalaskan dendam hatiku!" Setelah berkata demikian, gadis itu lalu melompat pergi, meninggalkan Tiong Han yang memandang sayu.
"Tiong Kiat... Tiong Kiat... tidak kusangka bahwa nasibmu akan demikian buruknya... adikku, mengapa kau tersesat sejauh ini...?"
Dengan kaki lemas, Tiong Han lalu menuruni bukit Ta-pie-san dalam perjalanannya mencari adiknya untuk membawanya dengan paksa ke Liong san, di mana suhunya telah menanti. la merasa penasaran mengapa Tiong Kiat telah berpisah dari Kui Hwa, padahal tadinya ia mengharap supaya adiknya itu hidup berbahagia dengan sumoinya atau bekas tunangannya itu. Apakah Kui Hwa yang menyebabkan Tiong Kiat menjadi tersesat?
Panas dadanya ketika ia mendapatkan pikiran ini. Siapa tahu? Mungkin Kui Hwa yang menjadi biang keladinya! la teringat akan kata-kata Tiong Kiat bahwa kini Kui Hwa dapat dicari di kota Heng yang. Maka iapun lalu tujukan perjalanannya ke kota Heng-yang untuk mencari Kui Hwa dan untuk bertanya kepada sumoinya itu mengapa Tiong Kiat dan Kui Hwa dapat berpisah.
Sebelum Tiong Han yang hendak mencari sumoinya, yakni Can Kui Hwa, tiba di tempat itu, marilah kita mendahuluinya menengok keadaan nona yang malang nasibnya ini. Dalam buku jilid kedua telah diketahui bahwa setelah melihat Tiong Kiat melakukan perbuatan hina terhadap Gu Loan Li, gadis yang mereka tolong dari tangan kepala gerombolan Sorban Merah sehingga Loan Li membunuh diri, Kui Hwa menjadi marah sekali dan menyerang Tiong Kiat.
Akan tetapi tentu saja ia bukan lawan pemuda yang berkepandaian Iebih tinggi tingkatnya itu dan telah dikalahkan. Setelah Tiong Kiat meninggalkannya Kui Hwa yang putus asa lalu teringat akan permintaan para anggauta gerombolan Sorban Merah yang hendak mengangkatnya menjadi kepala. Ia lalu kembali ke kota Heng yang dan diterima baik dan dengan gembira oleh para pengurus Perkumpulan Sorban Merah itu.
Setelah melihat gadis ini mengalahkan dan menewaskan kepala mereka, yakni Hek pa cu Teng Sun, para thauwbak dan anak buah gerombolan Sorban Merah amat mengaguminya. Perkumpulan Sorban Merah mempunyai anggota yang banyak jumlahnya dan semenjak dipimpin oleh Hek-pa-cu Teng Sun, perkumpulan ini telah menghasilkan banyak uang, yang didapat dengan jalan terang maupun gelap, Kui Hwa sendiri menjadi terkesiap ketika ia melihat peti penuh dengan barang perhiasan yang amat besar nilainya disodorkan kepadanya oleh para thauwbak.
"Mulai sekarang, tidak boleh lagi ada pelanggaran-pelanggaran," katanya dengan suara keras. "Tidak boleh melakukan sesuatu yang jahat dan siapapun juga diantara anggota ada yang melanggar akan berkenalan dengan pedangku!"
Gadis ini karena tidak mempunyai harapan untuk kembali ke rumah ayahnya dan tidak mempunyai perlindungan lalu membeli sebuah rumah besar dan memasang merk papan nama Perkumpulan Sorban Merah. Ia lalu mengatur anak buahnya untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang baik, misalnya menjaga keamanan kota, mengawal kiriman-kiriman barang dan Iain-lain.
Pengaruh Perkumpulan Sorban Merah sudah besar sekali, akan tetapi kalau tadinya perkumpulan ini ditakuti dan disegani orang, sekarang orang orang menghormatinya sebagai perkumpulan orang-orang yang gagah yang boleh mereka andalkan bantuannya.
Diantara para thauwbak (pembantu pemimpin) dan anggota Sorban Merah, banyak juga yang merasa tidak puas dengan peraturan-peraturan keras ini, karena mereka ini memang mempunyai watak yang busuk seperti Hek-pacu Teng Sun. Maka diam-diam orang-orang ini lalu melarikan diri dan mencari seorang yang mereka harapkan menjadi pemimpin mereka. Orang ini adalah suheng (kakak seperguruan) dari Teng Sun yang bernama Kim-pacu Gak Kun si Macan Tutul Emas dan yang menjadi kepala rampok di pegunungan Pek-ma-san, tak jauh dari kota Heng-yang.
Untuk menyesuaikan dirinya sebagai kepala dari Perkumpulan Sorban Merah yang terdiri dari anggota-anggota ahli bermain golok, Kui Hwa kini mengganti senjata pedangnya dengan golok pula. la bahkan memberi pelajaran ilmu silat golok yang baru kepada anak buahnya, yang dimainkan berdasarkan ilmu pedang Ang-coa-kiamsut yang lihai. Maka tentu saja para anggota Sorban Merah mendapat kemajuan yang hebat sekali dan kedudukan perkumpulan ini makin kuat saja.
Kui Hwa merasa senang dengan kedudukannya yang baru ini. Selain dapat penghormatan dari semua anak buahnya, iapun terkenal sekali di kota Heng-yang sebagai seorang wanita perkasa yang selain cantik jelita juga gagah berani dan berbudi. Banyak hati pemuda-pemuda Heng-yang, baik yang pandai ilmu silat maupun yang tidak, jatuh hati kepadanya dan banyak pula gadis yang kini disebut Can pangcu (ketua Can) ini menerima pinangan.
Akan tetapi semua pinangan ini ditolaknya dengan manis. Di dalam hatinya sebenarnya Kui Hwa menderita hebat. Hatinya telah terluka perih oleh perbuatan Tiong Kiat, pemuda yang amat dikasihinya itu. Dan ia merasa amat menyesal mengapa ia jatuh hati oleh bujukan Tiong Kiat yang ternyata tidak berbudi itu. Sering kali ia terkenang kepada Tiong Han dan membayangkan betapa akan bahagianya kalau ia menikah dengan suhengnya ini. Ia menyesal bukan main, akan tetapi nasi telah menjadi bubur, apa hendak dikata?
Bukan Kui Hwa tidak ada niatan membangun rumah tangga, menikah dengan seorang pemuda yang baik, akan tetapi ia merasa ragu-ragu setelah kegagalannya dengan Tiong Kiat. Pula, sebagai seorang gadis berkepandaian tinggi, tentu saja takkan merasa puas kalau menikah dengan seorang pemuda yang lemah, yang tidak mengimbangi ilmu kepandaiannya. Dan pula, ia merasa malu karena ia telah berIaku sesat bersama Tiong Kiat.
Pada suatu hari, ketua Kui Hwa tengah duduk di dalam rumah perkumpulannya dan bercakap-cakap dengan beberapa orang pembantunya, membicarakan tentang pekerjaan-pekerjaan yang diserahkan kepada perkumpulannya, tiba tiba seorang anggauta Sorban Merah berlari masuk. Terkejutlah Kui Hwa dan kawan-kawannya ketika melihat anggauta ini pakaiannya berlumuran darah dan ternyata bahwa darah itu menetes turun dengan derasnya dari telinga kirinya yang telah dipotong orang!
"Apakah yang telah terjadi dengan dirimu?" tanya Kui Hwa dengan suara tenang. Ia menduga bahwa tentu ada orang jahat yang mengganggu anak buahnya ini.
"Celaka, pangcu (ketua) kawan-kawan kita pengikut-pengikut mendiang Hek-pa-cu yang melarikan diri kini telah datang dan merupakan rombongan perampok bersorban biru, dipimpin oleh Kim-pa-cu Gak Kun sendiri! Hamba dan beberapa orang yang bertugas menjaga keamanan kota, mereka serbu dan banyak kawan kita yang binasa! Kim-pa-cu Gak Kun menantang kepada pangcu untuk menyambutnya di sebelah barat kota Heng-yang!"
Setelah menuturkan hal ini, anak buah Sorban Merah ini lalu jatuh tersungkur dalam keadaan pingsan. Naiklah kedua alis Kui Hwa mendengar dari para thauwbak tentang Kim-pa-cu Gak Kun ini sebagai suheng dari Hek-pa-cu Teng Sun yang telah dibunuhnya. Memang ia telah siap sedia menghadapi pembalasan dari perampok ini.
Akan tetapi sama sekali tidak pernah diduganya bahwa anak buah Sorban Merah yang diam-diam melarikan diri, kini ternyata telah bergabung dengan penjahat ini dan membentuk gerombolan Sorban Biru, kemudian datang menyerbu dan membikin kacau kota Heng-yang! Marah sekali gadis ini dan cepat ia lalu masuk ke dalam kamarnya, berganti pakaian yang ringkas berwarna biru gelap, lalu membawa goloknya.
Pada saat itu, datanglah tergopoh-gopoh kepala kota dan tikoan. Kedua orang pembesar ini telah mendengar tentang kerusuhan yang ditimbulkan oleh Gerombolan Sorban biru yang mulai merampoki rumah rumah penduduk di pinggir kota dan mengganggu wanita-wanita.
"Can pangcu, harap kau suka lekas tolong usir mereka!" kata kepala kota dengan wajah pucat.
"Kalau perlu bantuan, aku dapat mengerahkan penjaga kota!" menyambung tikoan sambil memandang kepada Kui Hwa dengan kagum. Belum pernah ia melihat Kui Hwa segagah dan secantik ini, dalam pakaian yang ringkas dan mencetak tubuhnya itu.
"Harap jiwi taijin suka tenang" jawab Kui Hwa. "Tak usah diserahkan penjaga kota, biarlah aku dan pembantu-pembantuku menyelesaikan urusan ini. Percayalah, tak lama lagi akan kubawa kepala perampok she Gak itu kehadapan jiwi taijin!"
Setelah berkata demikian Kui Hwa lalu menghampiri anak buahnya yang buntung telinganya itu. Setelah mendapat perawatan kawan-kawannya, orang ini siuman kembali.
"Berapa banyak kiranya jumlah gerombolan itu?" tanyanya.
"Maaf, pangcu hamba kurang jelas akan tetapi sedikitnya tentu ada tiga puluh orang." jawab anggauta Sorban Merah itu.
"Pangcu, apakah aku harus mengumpulkan kawan-kawan yang bertugas di berbagai tempat?" tanya seorang thauwbak.
"Tidak usah, berapa orang yang berada disini?"
"Hanya ada sembilan orang dengan pangcu sendiri."
"Sudah cukup, mari kita berangkat!" Jawab Kui Hwa dengan gagah.
Gadis itu bukan menyombong akan tetapi karena ia melihat bahwa di antara delapan orang anak buahnya. Yang empat adalah thauwbak-thauwbak yang telah menerima latihan-latihan ilmu golok darinya. Baginya lebih baik membawa empat orang thauwbak ini dari pada membawa empat puluh orang anggota biasa yang ilmu goloknya masih rendah.
Beramai-ramai sembilan orang ini berlari cepat menuju ke sebelah barat kota. Ketika mereka tiba di gerbang kota, sudah terdengar oleh mereka jerit tangis penduduk yang diganggu oleh para penjahat Sorban Biru itu. Bukan main marahnya Kui Hwa mendengar ini. Ia mengerahkan kepandaiannya berlari cepat sehingga kawan-kawannya tertinggal jauh.
Begitu ia tiba di tempat kerusuhan itu, gegerlah keadaan di situ di antara penjahat. Setiap kali melihat seorang penjahat bersorban biru, golok di tangan Kui Hwa menyambar dan menjeritlah penjahat itu dan terguling roboh dengan tubuh hampir terbelah dua! Empat orang penjahat telah menjadi korban golok Kui Hwa dan tiba tiba dari sebuah rumah melompat keluar seorang laki-laki pendek besar yang berseru keras.
"Bangsat wanita! Kaukah yang bernama Can Kui Hwa dan yang telah membunuh suteku Teng Sun?"
Kui Hwa memandang orang itu dengan penuh perhatian. Ia adalah seorang laki-laki yang bertubuh agak pendek, akan tetapi tegap dan nampaknya bertenaga besar. Sorban serta ikat kepalanya berwarna biru, demikianpun celananya, sedangkan bajunya berwarna putih dengan garis-garis merah. Senjata yang dipegangnya adalah sebatang tongkat bercabang. Inilah dia Kim-pa-cu Gak Kun yang namanya amat terkenal dan yang oleh anak-anak buah Sorban Merah disohorkan memiliki ilmu silat yang amat tinggi.
Kui Hwa sebenarnya tentu saja lebih pandai memainkan pedang dari pada permainan golok. Memang ia adalah anak murid Kim-Liong-Pai yang khusus mendapat pelajaran ilmu pedang Ang-coa-kiamsut yang lihai. Akan tetapi gadis ini setelah ditinggalkan oleh Tiong Kiat, menjadi sadar dan insaf akan kesesatannya. la maklum bahwa sebagai seorang murid Kim-liong-pai, ia telah melakukan pelanggaran besar sekali.
Sering kali setiap malam ia menguras air mata dari kedua matanya karena menyesal dan merasa berdosa serta malu, terutama sekali terhadap ayahnya dan suhunya, Lui Thian Sianjin. Oleh karena itu, ia merasa malu untuk mengaku sebagai murid Kim-liong-pai lagi. Ia anggap dirinya terlampau hina dan rendah menjadi murid Kim-liong-pai.
Dan kalau ia masih memegang pedang serta mainkan ilmu silat Ang-coa-kiamsut, maka itu berarti bahwa ia hanya akan mengotori dan mencemarkan nama Kim-Liong-pai dan ilmu pedang Ang-coa-kiamsut belaka! Oleh karena inilah yang terutama sekali maka ia lalu berganti senjata dan melatih ilmu golok ciptaan sendiri berdasarkan ilmu pedang Ang-coa-kiamsut!
Kini menghadapi laki-laki bersorban biru yang menjadi suheng dari Teng Sun, ia lalu membentak. "Kaukah yang bernama Kim-pa-cu Gak Kun? Kalau kau berdiam di hutan melakukan pekerjaan merampok, itu masih tidak apa, akan tetapi sekarang kau memimpin orang-orangmu untuk mengganggu Heng-yang, apakah kau sudah bosan hidup? Mari kuantar kau menjumpai adikmu Hek-pa-cu!"
Marahlah Gak Kun mendengar ucapan ini. "Perempuan sombong ! Kalau kau minta maaf kepadaku dan suka turut ucapanku, aku Kim-pa-cu masih sayang akan kecantikanmu. Serahkan kedudukan pangcu dari Perkumpulan Sorban Merah kepadaku dan kau akan kuangkat menjadi permaisuriku!"
"Anjing tak tahu malu!" bentak Kui Hwa yang menjadi merah mukanya. Ia lalu mengayun goloknya dan menyerang dengan sengit.
Gak Kun menangkis dengan tongkatnya yang istimewa itu dan bertempurlah mereka dengan serunya. Pertempuran itu demikian hebatnya dan senjata mereka berkelebatan mengerikan sehingga para anak buah Gak Kun dan para anggota Sorban Merah hanya berani menonton dari jauh. Dengan berdebar kedua fihak ini menonton pertempuran yang dilakukan oleh ketua masing-masing dengan senjata siap di tangan!
Segera Kui Hwa mendapat kenyataan bahwa ilmu kepandaian orang she Gak ini jauh lebih tinggi daripada kepandaian Teng Sun. Tongkat bercabang pada gagangnya itu betul-betul lihai sekali karena gagangnya dapat dipergunakan untuk menangkis golok dan ujung tongkat itu bergerak cepat dengan serangan-serangan totokan keatas jalan darah. Ternyata bahwa orang she Gak ini telah mempelajari thiam-hoat (ilmu menotok jalan darah) yang lihai.
Kui Hwa berlaku hati-hati sekali dan memutar goloknya untuk melindungi tubuh dan melakukan serangan balasan yang cukup menggetarkan hati Gak Kun. Kepala Sorban biru ini benar-benar tak pernah mengira bahwa gadis ini benar-benar luar biasa pandainya. Ia harus mengakui bahwa dalam hal ilmu meringankan tubuh, ia masih kalah.
la kalah gesit dan gerakan senjatanya kalah cepat, tetapi Gak Kun masih dapat melawan mengandalkan dua macam kepandaiannya yang istimewa, yakni menotok dan menendang. Tendangannya ini adalah ilmu tendang yang mirip dengan Soan-hong-twi (tendangan kitiran angin) yang dilakukan bertubi-tubi dengan kedua kaki bergantian sedangkan tongkatnya tetap digerakkan mengancam dari atas!
Dengan seruan keras sekali Gak Kun yang menjadi penasaran karena semua serangannya dapat digagalkan oleh lawannya, tiba-tiba mengayun kaki kirinya menendang dengan hebat. Tendangan yang dilakukan ahli ini berbahaya sekali karena dikerahkan dengan penuh tenaga. Tendangan ke arah dada ini dielakkan oleh Kui Hwa dengan miringkan tubuh ke kiri sambil menggeser kaki kiri ke depan, goloknya diputar di atas kepala dengan sikap mengancam tubuh atas lawannya.
Akan tetapi sebetuInya gadis ini sedang melakukan gerakan yang disebut Naga Sakti Menyabetkan Ekornya dengan berlaku lambat sambil menanti tendangan susulan lawan. Benar saja, ketika tendangan kirinya tidak berhasil mengenai lawan Gak Kun berseru lagi dan tiba-tiba ketika kaki kirinya turun ke atas tanah, tendangan kanannya menyusuI cepat dibarengi dengan totokan tongkatnya pada pundak gadis itu.
Inilah yang dinanti-nanti oleh Kui Hwa dalam gerakannya Naga Sakti Menyabetkan ekornya tadi. Begitu melihat kaki kanan bergerak, goloknya yang diputar-putar di atas kepala itu lalu menyambar cepat ke bawah, membabat dan menyambut tendangan kaki kanan lawan. Tubuhnya ditarik ke bawah dan kaki kanannya secepat kilat menendang pergelangan tangan kanan lawan yang sedang menusukkan tongkat itu!
Bukan main hebatnya serangan balasan dari Kui Hwa ini. Gerakan gadis ini demikian tiba-tiba dan tak tersangka-sangka sehingga Gak Kun tak dapat menolong dirinya lagi. Biarpun ia berusaha menarik kembali kakinya dengan cepat, namun tetap saja golok itu mengejar kakinya. Hampir berbareng dengan ujung kakinya yang berhasil menendang pergelangan tangan lawannya, ujung goloknya juga berhasil mencium betis Gak Kun!
Kim-pa-cu Gak Kun menjerit keras dan sambil melepaskan tongkatnya, tubuhnya jatuh terguling dalam keadaan pingsan! Kaki kanannya hampir-hampir putus karena sabetan golok itu sedangkan pergelangan tangannya juga pecah tulangnya karena tendangan Kui Hwa!
Kemudian Kui Hwa mengamuk hebat. Para penjahat Sorban Biru tadinya masih hendak melawan dan mengeroyok, mengandalkan jumlah yang lebih banyak. Akan tetapi begitu Kui Hwa dan delapan orang pembantunya menyerbu, pihak sorban biru dibabat dengan mudah bagaikan orang membabat rumput saja!
Larilah penjahat-penjahat itu pontang-panting, sebagian besar cepat membuang senjata dan berlutut minta ampun. Dengan kemenangan besar ini, Kui Hwa menyuruh anak buahnya membawa para tawanan ke kota. Namanya makin terkenal dan dipuji-puji orang, dan semenjak hari itu, tidak pernah ada penjahat yang berani mencoba-coba mengganggu kota Heng-Yang lagi. Juga barang barang yang dikawal oleh anggauta sorban merah, selalu tidak terganggu perampok di jalan.
Nama Can Kui Hwa sebagai seorang pangcu (ketua) yang cantik dan gagah, terdengar sampai jauh, karena tiap pelancong atau pedagang yang telah datang mengunjungi kota Heng-yang setelah pergi meninggalkan kota itu, tentu menceritakan hal nona itu kepada para kenalannya. Diantara para pelamar di kota Heng-yang terdapat seorang sasterawan muda she Siok yang tampan dan sopan santun.
Siok kongcu ini telah menempuh ujian di kota raja dan lulus dengan baik sehingga ia mendapat gelar siucai, akan tetapi oleh karena di dalam hatinya pemuda terpelajar ini amat benci melihat pembesar-pembesar yang melakukan korupsi dan tidak melakukan tugasnya dengan baik, ia tidak mau menerima pengangkatan dan tidak mengejar kedudukan, sebaliknya bahkan kembali ke Heng-yang di mana ia hidup dengan ibunya yang telah janda.
Siok siucai, lengkapnya siok Un Leng, mencari nafkah hidupnya dengan mengajar anak-anak di kota itu. Ia bekerja membuka sebuah sekolah di rumahnya mengajar membaca dan menulis pada anak-anak dengan mendapat upah yang sederhana. Sesungguhnya diantara sekian banyak pemuda yang mengaguminya, hanya Siok-siucai saja yang menarik hati Kui Hwa.
Pemuda tampan, berpemandangan luas, sikapnya halus dan sopan santun, pendeknya seorang calon suami yang baik sekali. Akan tetapi yang mengecewakan hati Kui Hwa dan yang membuat ragu-ragu adalah bahwa pemuda ini tidak mengerti ilmu silat! Memang harus ia akui bahwa begitu melihat pemuda she Siok yang baru beberapa bulan datang dari kota raja ini, hatinya sudah amat tertarik.
Memang Siok Un Leng baru sebulan lebih datang dari kota raja dan secara kebetulan saja ia melihat Kui Hwa menunggang kuda lewat di depan rumahnya. Dan keesokan harinya, pemuda ini lalu minta kepada ibunya untuk melamar gadis itu! Tentu saja ibunya terkejut bukan main.
"Leng-ji (anak Leng), apakah kau sudah gila? Kau tidak tahu siapa gadis itu? Dia adalah Can-pangcu, ketua dari Sorban Merah!"
Un Leng tersenyum. "Habis mengapa ibu? Apakah dia bukan manusia?"
"Tentu saja dia manusia, bahkan manusia yang Iebih mulia dari pada orang kebanyakan! Dia seorang gagah perkasa, berpengaruh dan menjadi pangcu dari sebuah perkumpulan orang gagah. Bagaimana aku berani meminang untukmu? Leng-ji, lebih baik kucarikan nona yang lebih sesuai untukmu, yang pandai menyulam dan membaca, bukan seperti Can-pangcu yang pandai mainkan golok!"
"Tidak, ibu. Melihat nona itu, aku tahu bahwa dialah orang yang akan dapat membahagiakan anakmu."
Ibunya menghela napas panjang, "Aneh sekali kau ini, Leng-ji. apakah kau tidak takut melihat goloknya yang tajam?"
Mendengar ini Un Leng tertawa bergelak sehingga ibunya menjadi terheran. Puteranya ini agaknya telah berobah semenjak lima tahun pergi ke kota raja!
"Ibu ini aneh-aneh saja. Kalau Can-siocia memang algojo yang biasa menyembelih orang barangkali akupun tidak takut. Apa lagi dia seorang berhati mulia dan gagah perkasa seperti ibu katakan tadi. Sudahlah ibu, tolonglah anakmu dan pinanglah dia."
"Aku tidak berani, anakku. Kita orang miskin, bagaimana aku harus melamar seorang yang kaya raya dan berpengaruh seperti Can Siocia?"
Akan tetapi Un Leng membujuk terus sehingga akhirnya berangkatlah ibu yang mencinta anaknya ini, mengajukan pinangan kepada Kui Hwa. Di luar dugaannya semula, nona ini menerimanya dengan penuh penghormatan dan dengan muka merah kemalu-maluan. Nona ini tidak menolaknya mentah-mentah hanya menyatakan bahwa ia belum ingin mengikat diri dengan perjodohan dan mohon kepada nyonya itu agar supaya tidak kecewa dan menyesal.
Setelah tiba di rumah, ibu ini mengomeli puteranya. "Kau membikin malu ibumu saja! Nona Can begitu baik dan ramah tamah. Biarpun ia tidak menolak dengan kasar, akan tetapi alasannya belum ingin menikah itu telah merupakan penolakan yang halus."
Akan tetapi Un Leng tidak putus harapan. Pemuda yang lama tinggal di kota raja ini memang seorang pemberani dan tanpa malu-malu dia lalu mengunjungi rumah perkumpulan sorban Merah untuk berkenalan dengan Can pangcu!
Tentu saja Kui Hwa merasa terkejut dan heran sekali melihat keberanian pemuda ini. Timbul kemarahan di dalam hatinya karena ia mengira bahwa pemuda ini tentu sebangsa pemuda mata keranjang yang kurang ajar. Tidak tahunya, setelah mereka berjumpa, Un Leng bersikap sopan santun dan pemuda ini pandai sekali bercakap-cakap dan pengetahuannya luas sekali sehingga Kiu Hwa merasa suka bergaul dengan dia!
Mulailah mereka berkenalan dan tidak saja Un Leng seringkali datang berkunjung bahkan kini Kui Hwa seringkali datang ke rumah Un Leng untuk mengobrol dengan pemuda itu dan ibunya! Tentu saja nyonya Siok menjadi terheran-heran akan tetapi diam-diam nyonya ini girang sekali karena kalau Can pangcu menjadi sahabat puteranya, sedikitnya mereka akan lebih disegani oleh para tetangga.
Pada suatu hari, ketika Un Leng bercakap-cakap di rumah Kui Hwa, pemuda ini berkata, "Nona Can, kuharap kau tidak berkecil hati dan tidak mengira yang bukan-bukan ketika ibuku datang mengajukan pinangan kepadamu. Sesungguhnya terus terang saja aku mengagumimu sebagai seorang gadis gagah perkasa yang berani memimpin perkumpulan besar ini. Kau patut dipuji dan penolakan dulu tidak mengecilkan hatiku. Dapat menjadi sahabatmu saja sudah merupakan hal yang amat membahagiakan hatiku..."
Kui Hwa merasa terharu mendengar ini. Pemuda ini benar-benar seorang yang baik dan sopan. "Saudara Un Leng harap kau suka maafkan padaku. Sesungguhnya, seperti yang pernah kukatakan kepada ibumu, aku belum mempunyai niat untuk mengikat diriku dengan perjodohan. Kau seorang yang baik dan aku suka bersahabat dengan kau. Adapun tentang pernikahan... agaknya selama hidupku aku takkan menikah!"
Un Leng memandang tajam lalu berkata perlahan, "Nona, tentu saja kalau sampai tiba waktunya kau menikah, kau tentu akan memilih seorang suami yang memiliki kepandaian bu (ilmu silat), bukan seorang siucai yang Iemah seperti aku!"
Kui Hwa terkejut karena pemuda ini ternyata dapat meraba isi hatinya. Akan tetapi ia harus bersikap jujur terhadap pemuda yang baik hati ini. "Ada betulnya juga kata-katamu itu, saudara Un Leng. Kau tentu mengerti sendiri bahwa suami isteri baru bisa hidup rukun apabila mempunyai kesukaan yang sama. Kurasa sukar juga kalau kesukaan si isteri memegang golok sedangkan kesukaan si suami memegang tangkai pena!" Gadis ini tersenyum dan ucapannya itu dimaksudkan sebagai sebuah kelakar.
Akan tetapi Un Leng memandang dengan tajam dan berkata dengan sikap bersungguh-sungguh. "Kau keliru, nona. Mempelajari permainan golok bukanlah termasuk kesenangan, akan tetapi lebih tepat sebagai penjagaan diri terhadap gangguan orang-orang jahat. Sebaliknya mempelajari menggerakkan tangkai pena merupakan sebuah kesenian dan mempertinggi peradaban sebagai manusia. Tangkai pena tidak berbahaya, berbeda dengan golok yang biasanya hanya mendatangkan malapetaka, bunuh membunuh dan balas membalas karena dendam!" Pemuda ini nampak bersemangat sekali.
"Kau berat sebelah, saudara Un Leng." kata Kui Hwa dan matanya berkata, "Kau tahu apa tentang ilmu silat?" akan tetapi mulutnya berkata lain, "Tangkai pena bukanlah benda yang tidak berbahaya, bahkan kurasa lebih berbahaya dari pada mata golok. Kalau orang menggunakan golok untuk menyerang maka lawan yang diserang dapat melihatnya dan mempunyai kesempatan untuk melawan. Akan tetapi, berapa banyaknya orang yang mendapat celaka serumah tangga hanya oleh coretan pena seorang pembesar yang melakukan serangan dan fitnah secara sembunyi?"
Un Leng cemberut. Ia merasa sebal sekali terhadap pembesar-pembesar yang jahat dan yang tepat seperti dikatakan oleh gadis ini. "Oleh karena itulah aku tidak sudi menjabat pangkat!" serunya gemas. "Akan tetapi, tidak semua orang sejahat yang aku katakan tadi, nona."
Kui Hwa tersenyum geli melihat kemarahan Un Leng. "Ingat Siok siucai yang terhormat demikian pula dengan pemegang golok. Tidak semua sejahat seperti yang kau katakan tadi!"
Mereka saling pandang dengan marah, kemudian berbareng tertawa geli. "Ha, kita ini seakan akan mewakili dua fihak yang bertentangan, fihak bu (ahli silat) dan bun (ahli sastera)!" kata Un Leng.
Juga Kui Hwa tertawa dan gadis itu makin suka kepada pemuda yang baik budinya ini. Sayang sekali dia tidak pandai ilmu silat, pikirnya. Kalau Un Leng pandai ilmu silat agaknya tidak akan kecewa menjadi istri pemuda ini. Akan tetapi, tiba-tiba ia teringat lagi akan kesesatannya bersama Tiong Kiat dahulu dan wajah gadis ini berubah murung sekali.
"Aku takkan menikah selama hidupku," hatinya berkata dan tanpa disadarinya, bibirnya juga membisikkan kata-kata ini sehingga terdengar oleh Un Leng.
"Nona mengapakah kau berduka? Agaknya ada sesuatu yang mengganjal hatimu dan yang membuat kau putus asa. Dapatkah kau menceritakan hal itu kepada sahabatmu ini?"
Kui Hwa menggeleng kepala dan menarik napas panjang. "Tak mungkin, saudara Un Leng. Tak mungkin kuceritakan kepada siapapun juga."
Dalam keadaan hati tertekan berdiamlah kedua orang sahabat ini. Sebagaimana telah dituturkan di depan, Can Kui Hwa sebagai pangcu dari Sorban Merah yang cantik jelita dan gagah, terkenal sampai jauh dari daerah Heng-yang. Hal ini menarik hati orang-orang gagah, terutama mereka yang masih muda dan belum menikah, karena bukankah pangcu wanita yang cantik dan masih gadis itu merupakan kembang yang amat menarik hati? Muda, cantik, kaya raya menjadi ketua dari perkumpulan yang berpengaruh!
Dan di antara mereka yang mendengar nama Can Kui Hwa yang mengagumi dari jauh terdapat juga Ban Hwa Yong, si penjahat pemetik bunga yang lihai itu! Seperti telah diketahui orang ketiga dari Thian-te Sam-kui ini telah kehilangan dua orang suhengnya yang tewas dalam tangan Eng Eng dan Tiong Han.
Biarpun ia sendiri ditinggal mati oleh kedua orang suhengnya, Ban Hwa Yong menjadi gelisah dan gentar sekali menghadapi kejaran Suma Eng, nona yang hebat dan lihai sekali itu. Timbul pikiran dalam kepalanya untuk mencuci tangan, untuk berhenti melakukan kejahatan dan kesukaannya mengganggu anak isteri orang. Ia ingin mencari seorang gadis yang baik, mendirikan rumah tangga yang aman dan meninggalkan dunia kang ouw karena ia merasa bahwa keselamatannya amat terancam.
Ketika Ban Hwa Yong mendengar nama Can Kui Hwa tergeraklah hatinya. Ia sudah mendengar bahwa Perkumpulan Sorban Merah merupakan perkumpulan yang kuat, berpengaruh dan kaya. Dan sekarang ketuanya adalah seorang gadis yang cantik jelita, yang masih belum menikah. Ah, inilah yang dibutuhkannya. lsteri cantik dan gagah, kedudukan yang kuat, dan harta cukup!
Dengan hati girang dan penuh harapan ia lalu berangkat ke Heng-yang dengan maksud memperisteri gadis yang menjadi pangcu itu. Ketika Ban Hwa Yong tiba di rumah perkumpulan itu, ternyata ia mendapat keterangan bahwa Can-pangcu yang dicarinya sedang pergi keluar kota.
"Kemanakah dia pergi?" tanya Ban Hwa Yong.
Anggaota Sorban Merah yang menjaga pintu memandang kepada orang yang berwajah tua itu dengan curiga. Orang ini tinggi kurus dengan muka seperti seekor burung, hidungnya seperti hidung kakatua dan mukanya jelek pandangan matanya liar sedangkan di pinggangnya tergantung sepasang senjata yang aneh, yakni sepasang kaitan yang menyeramkan.
"Siapakah saudara ini dan ada keperluan apa mencari pangcu?" tanyanya dengan curiga.
Ban Hwa Yong tertawa bergelak. "Aku sahabat dari pangcu mu dan kelak kamu tentu akan lebih mengenalku dengan baik. Sebutkan saja di mana adanya pangcumu itu."
"Pangcu sedang berjalan jalan naik kuda ke hutan sebelah barat kota," akhirnya penjaga itu menjawab juga.
Ban Hwa Yong lalu berlari pergi dengan cepatnya sehingga penjaga itu menjadi kagum. Jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga) ini Ialu berlari menyusul ke hutan di luar kota Heng-yang di mana merupakan hutan kecil yang amat indah dan banyak terdapat bunga bunga yang berkembang.
Pada saat itu, Kui Hwa sedang duduk di bawah pohon bersama Siok Un Leng, pemuda sasterawan yang menjadi sahabat baiknya itu. Mereka datang berkuda dan kini kedua ekor kuda itu mereka lepaskan ditempat yang banyak rumputnya agar binatang itu dapat makan rumput dengan seenaknya. Adapun mereka berdua lalu duduk di bawah pohon. Un Leng membaca sajak-sajak yang digubahnya sendiri dan Kui Hwa mendengarkan dengan penuh kegembiraan dan kekaguman.
Memang gadis ini suka sekali akan kesusasteraan sungguhpun ia sendiri hanya mempelajari sedikit saja dari ibunya. Keduanya nampak rukun dan cocok, sungguh merupakan pasangan yang baik sekali. Akan tetapi selama itu, Kui Hwa selalu menghindarkan diri dari percakapan tentang pernikahan dan pernyataan kasih sayang pemuda itu selalu ditolaknya dengan halus.
Ia maklum bahwa hatinya runtuh juga menghadapi pemuda yang selain tampan, juga sopan dan baik sekali ini, akan tetapi dia mengeraskan hati dan rasanya karena ia merasa yakin bahwa tak mungkin ia yang sudah melakukan kesesatan itu dapat menjadi isteri Un Leng! Tiba-tiba terdengar bentakan keras di sebelah belakang mereka.
"Pemuda kurang ajar dari manakah yang telah berani bermain gila dengan Can pangcu?" bentakan ini keras dan parau dan ketika Un Leng dan Kui Hwa menengok sambil melompat berdiri, ternyata di hadapan mereka berdiri seorang laki-laki jangkung yang bermuka tajam seperti muka kakatua.
Laki laki ini bukan lain adalah Ban Hwa Yong yang memandang dengan mulut menyeringai menjemukan sekali. Dengan pandang mata merah penuh cemburu, Ban Hwa Yong lalu menggerakkan kaitan di tangan kanannya untuk menyerang Un Leng, akan tetapi golok Kui Hwa menangkis kaitan ini.
"Bangsat hina dina! Siapakah kau dan apa maksud kedatanganmu mengganggu kami?" bentak Kui Hwa yang kagum juga melihat betapa Un Leng nampak tenang saja dan tidak takut biarpun tadi hampir menjadi kurban senjata kaitan itu.
"Dan pangcu harap jangan marah." jawab Ban Hwa Yong yang memandang ringan, "Aku Ban Hwa Yong dari tempat yang ratusan lie jauhnya sengaja datang hendak bercengrama dan mengajakmu bercakap-cakap. Akan tetapi oleh karena di sini ada orang lain maka kuharap bocah ini pergi segera dari sini agar kita dapat bicara lebih leluasa lagi."
Bukan main gemasnya hati Kui Hwa mendengar ucapan yang sifatnya kurang ajar dan memandang rendah ini. "Pemuda ini adalah sahabat baikku dan dia boleh pula mendengar apa yang akan keluar dari mulutmu yang busuk. Lekas bilang apa maksud kedatanganmu sebelum golokku menghajar dan memutuskan lehermu!"
"Aduh galak benar!" Ban Hwa Yong tertawa. "Akan tetapi makin galak makin bertambah manis! Nona Can, terus terang saja kedatanganku ini hendak meminangmu menjadi istriku! Aku masih bujangan dan tentu tidak enak hidup sendiri seperti engkau ini, apa lagi kalau memegang kedudukan sebagai pangcu. Serahkan saja pekerjaanmu itu kepadaku, calon suamimu dan kau akan hidup berbahagia!"
"Anjing bermulut lancang!" Kui Hwa tak dapat menahan marahnya lagi dan cepat goloknya bergerak membacok kepala Ban Hwa Yong...
"Totiang, bukan kau saja yang salah pandang, bahkan aku sendiri pun tadinya telah salah sangka. Orang muda ini bernama Sim Tiong Han, dan Sim Tiong Kiat si jahanam adalah adik kembarnya. Adiknya itulah orang yang harus kau cari dan kau tangkap bukan Sim twako ini."
"Akan tetapi... pedang Ang-coa-kiam berada di tangannya dan... dan mengapa kau tidak mau memberitahukan keadaan yang sebenarnya?" tanyanya kemudian kepada Tiong Han.
Pemuda ini menghela napas. Tak perlu lagi ia menyembunyikan hal yang sebenarnya. "Totiang keterangan nona ini memang benar. Tiong Kiat adalah adikku dan kalau ia telah melakukan dosa terhadap Kun-lun-pai biarlah aku sebagai kakak kandungnya yang bertanggung jawab dan menerima hukumannya. Pedang ini belum lama kuterima dari padanya."
Bukan main herannya hati Gan Tian Cu mendengar ini. "Aah, mengapa begitu? Orang muda, hampir saja kau membuat kami melakukan kedosaan besar, menghukum orang yang tidak bersalah. Baiknya datang Suma Iihiap ini yang berani berkata terus terang! Sim enghiong pinto dapat memaklumi pembelaan dan pengorbananmu terhadap seorang adik. Akan tetapi, perbuatanmu ini benar-benar keliru sekali. Benar seperti dikatakan oleh Suma lihiap tadi, kau terlalu lemah! Kelemahan dan kasih sayang hatimu terhadap adikmu telah menggelapkan pertimbangan dan keadilanmu! Apa kau kira dengan mengorbankan nyawa untuk membela adikmu itu, kau telah melakukan suatu tindakan yang bijaksana? Sebaliknya, anak muda, sebaliknya kau bahkan menambah kejahatan kepada dunia! Dengan tindakanmu ini, seakan-akan kau membela penjahat yang mengacaukan dunia! Pikiranmu cupat sekali, Sim enghiong. Karena kasih sayangmu terhadap adik, kau membiarkan adikmu merajalela dan mencelakakan orang-orang yang seharusnya patut kau bela. Di manakah keadilanmu? Di manakah kegagahanmu?"
Terpukul hati Tiong Han mendengar ucapan pendeta ini dan ia menundukkan mukanya yang pucat.
"Sim enghiong," kata lagi Gan Tian Cu yang merasa penasaran melihat kelemahan hati pemuda yang demikian gagah, "kau benar-benar telah memalukan nama Kim-liong-pai yang besar. Ketahuilah bahwa pendirian seorang pendekar, di dalam membela kebenaran dan keadilan tidak ada hubungan saudara maupun keluarga. Yang benar harus dibela, sungguhpun orang lain yang belum dikenalnya, yang salah harus dilawan biarpun saudara atau keluarga sendiri! Bahkan kaIau di dalam Kim-liong-pai terdapat seorang yang nyeleweng adalah kewajibanmu untuk mencegah dan melenyapkan pendurhaka itu. Kewajibanmu untuk menangkap adikmu itu demi membersihkan nama Kim-liong-pai, demi menjaga baik nama ayahmu dan demi sifatmu sebagai pendekar pembela rakyat! Nah, cukup pinto bicara, kau turut atau tidak terserah, akan tetapi pinto takkan berhenti berusaha untuk menangkap adikmu." Maka pergilah Gan Tian Cu dengan empat orang adik seperguruannya.
Ucapan itu mendorong dua titik air mata mengalir keluar dari mata Tiong Han yang masih menundukkan mukanya. Terbangun semangatnya dan ia berkata kepada Eng Eng yang masih memandangnya dengan terharu.
"Nona benar juga ucapan Gan Tian Cu totiang. Aku akan mencari Tiong Kiat, hendak kutangkap dan kubawa kembali ke Kim liong pai, menyerahkannya kepada suhu."
"Bagus, akan tetapi aku tidak mau kalah dulu baik olehmu maupun oleh pendeta Kun-lun-pai tadi. Gan Tian Cu hendak menangkap Tiong Kiat untuk dibawa ke Kun-Iun-pai, kau hendak menangkapnya untuk kau bawa ke Liong-san. Akan tetapi, akulah yang berhak menghancurkan kepalanya untuk membalaskan dendam hatiku!" Setelah berkata demikian, gadis itu lalu melompat pergi, meninggalkan Tiong Han yang memandang sayu.
"Tiong Kiat... Tiong Kiat... tidak kusangka bahwa nasibmu akan demikian buruknya... adikku, mengapa kau tersesat sejauh ini...?"
Dengan kaki lemas, Tiong Han lalu menuruni bukit Ta-pie-san dalam perjalanannya mencari adiknya untuk membawanya dengan paksa ke Liong san, di mana suhunya telah menanti. la merasa penasaran mengapa Tiong Kiat telah berpisah dari Kui Hwa, padahal tadinya ia mengharap supaya adiknya itu hidup berbahagia dengan sumoinya atau bekas tunangannya itu. Apakah Kui Hwa yang menyebabkan Tiong Kiat menjadi tersesat?
Panas dadanya ketika ia mendapatkan pikiran ini. Siapa tahu? Mungkin Kui Hwa yang menjadi biang keladinya! la teringat akan kata-kata Tiong Kiat bahwa kini Kui Hwa dapat dicari di kota Heng yang. Maka iapun lalu tujukan perjalanannya ke kota Heng-yang untuk mencari Kui Hwa dan untuk bertanya kepada sumoinya itu mengapa Tiong Kiat dan Kui Hwa dapat berpisah.
********************
Sebelum Tiong Han yang hendak mencari sumoinya, yakni Can Kui Hwa, tiba di tempat itu, marilah kita mendahuluinya menengok keadaan nona yang malang nasibnya ini. Dalam buku jilid kedua telah diketahui bahwa setelah melihat Tiong Kiat melakukan perbuatan hina terhadap Gu Loan Li, gadis yang mereka tolong dari tangan kepala gerombolan Sorban Merah sehingga Loan Li membunuh diri, Kui Hwa menjadi marah sekali dan menyerang Tiong Kiat.
Akan tetapi tentu saja ia bukan lawan pemuda yang berkepandaian Iebih tinggi tingkatnya itu dan telah dikalahkan. Setelah Tiong Kiat meninggalkannya Kui Hwa yang putus asa lalu teringat akan permintaan para anggauta gerombolan Sorban Merah yang hendak mengangkatnya menjadi kepala. Ia lalu kembali ke kota Heng yang dan diterima baik dan dengan gembira oleh para pengurus Perkumpulan Sorban Merah itu.
Setelah melihat gadis ini mengalahkan dan menewaskan kepala mereka, yakni Hek pa cu Teng Sun, para thauwbak dan anak buah gerombolan Sorban Merah amat mengaguminya. Perkumpulan Sorban Merah mempunyai anggota yang banyak jumlahnya dan semenjak dipimpin oleh Hek-pa-cu Teng Sun, perkumpulan ini telah menghasilkan banyak uang, yang didapat dengan jalan terang maupun gelap, Kui Hwa sendiri menjadi terkesiap ketika ia melihat peti penuh dengan barang perhiasan yang amat besar nilainya disodorkan kepadanya oleh para thauwbak.
"Mulai sekarang, tidak boleh lagi ada pelanggaran-pelanggaran," katanya dengan suara keras. "Tidak boleh melakukan sesuatu yang jahat dan siapapun juga diantara anggota ada yang melanggar akan berkenalan dengan pedangku!"
Gadis ini karena tidak mempunyai harapan untuk kembali ke rumah ayahnya dan tidak mempunyai perlindungan lalu membeli sebuah rumah besar dan memasang merk papan nama Perkumpulan Sorban Merah. Ia lalu mengatur anak buahnya untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang baik, misalnya menjaga keamanan kota, mengawal kiriman-kiriman barang dan Iain-lain.
Pengaruh Perkumpulan Sorban Merah sudah besar sekali, akan tetapi kalau tadinya perkumpulan ini ditakuti dan disegani orang, sekarang orang orang menghormatinya sebagai perkumpulan orang-orang yang gagah yang boleh mereka andalkan bantuannya.
Diantara para thauwbak (pembantu pemimpin) dan anggota Sorban Merah, banyak juga yang merasa tidak puas dengan peraturan-peraturan keras ini, karena mereka ini memang mempunyai watak yang busuk seperti Hek-pacu Teng Sun. Maka diam-diam orang-orang ini lalu melarikan diri dan mencari seorang yang mereka harapkan menjadi pemimpin mereka. Orang ini adalah suheng (kakak seperguruan) dari Teng Sun yang bernama Kim-pacu Gak Kun si Macan Tutul Emas dan yang menjadi kepala rampok di pegunungan Pek-ma-san, tak jauh dari kota Heng-yang.
Untuk menyesuaikan dirinya sebagai kepala dari Perkumpulan Sorban Merah yang terdiri dari anggota-anggota ahli bermain golok, Kui Hwa kini mengganti senjata pedangnya dengan golok pula. la bahkan memberi pelajaran ilmu silat golok yang baru kepada anak buahnya, yang dimainkan berdasarkan ilmu pedang Ang-coa-kiamsut yang lihai. Maka tentu saja para anggota Sorban Merah mendapat kemajuan yang hebat sekali dan kedudukan perkumpulan ini makin kuat saja.
Kui Hwa merasa senang dengan kedudukannya yang baru ini. Selain dapat penghormatan dari semua anak buahnya, iapun terkenal sekali di kota Heng-yang sebagai seorang wanita perkasa yang selain cantik jelita juga gagah berani dan berbudi. Banyak hati pemuda-pemuda Heng-yang, baik yang pandai ilmu silat maupun yang tidak, jatuh hati kepadanya dan banyak pula gadis yang kini disebut Can pangcu (ketua Can) ini menerima pinangan.
Akan tetapi semua pinangan ini ditolaknya dengan manis. Di dalam hatinya sebenarnya Kui Hwa menderita hebat. Hatinya telah terluka perih oleh perbuatan Tiong Kiat, pemuda yang amat dikasihinya itu. Dan ia merasa amat menyesal mengapa ia jatuh hati oleh bujukan Tiong Kiat yang ternyata tidak berbudi itu. Sering kali ia terkenang kepada Tiong Han dan membayangkan betapa akan bahagianya kalau ia menikah dengan suhengnya ini. Ia menyesal bukan main, akan tetapi nasi telah menjadi bubur, apa hendak dikata?
Bukan Kui Hwa tidak ada niatan membangun rumah tangga, menikah dengan seorang pemuda yang baik, akan tetapi ia merasa ragu-ragu setelah kegagalannya dengan Tiong Kiat. Pula, sebagai seorang gadis berkepandaian tinggi, tentu saja takkan merasa puas kalau menikah dengan seorang pemuda yang lemah, yang tidak mengimbangi ilmu kepandaiannya. Dan pula, ia merasa malu karena ia telah berIaku sesat bersama Tiong Kiat.
Pada suatu hari, ketua Kui Hwa tengah duduk di dalam rumah perkumpulannya dan bercakap-cakap dengan beberapa orang pembantunya, membicarakan tentang pekerjaan-pekerjaan yang diserahkan kepada perkumpulannya, tiba tiba seorang anggauta Sorban Merah berlari masuk. Terkejutlah Kui Hwa dan kawan-kawannya ketika melihat anggauta ini pakaiannya berlumuran darah dan ternyata bahwa darah itu menetes turun dengan derasnya dari telinga kirinya yang telah dipotong orang!
"Apakah yang telah terjadi dengan dirimu?" tanya Kui Hwa dengan suara tenang. Ia menduga bahwa tentu ada orang jahat yang mengganggu anak buahnya ini.
"Celaka, pangcu (ketua) kawan-kawan kita pengikut-pengikut mendiang Hek-pa-cu yang melarikan diri kini telah datang dan merupakan rombongan perampok bersorban biru, dipimpin oleh Kim-pa-cu Gak Kun sendiri! Hamba dan beberapa orang yang bertugas menjaga keamanan kota, mereka serbu dan banyak kawan kita yang binasa! Kim-pa-cu Gak Kun menantang kepada pangcu untuk menyambutnya di sebelah barat kota Heng-yang!"
Setelah menuturkan hal ini, anak buah Sorban Merah ini lalu jatuh tersungkur dalam keadaan pingsan. Naiklah kedua alis Kui Hwa mendengar dari para thauwbak tentang Kim-pa-cu Gak Kun ini sebagai suheng dari Hek-pa-cu Teng Sun yang telah dibunuhnya. Memang ia telah siap sedia menghadapi pembalasan dari perampok ini.
Akan tetapi sama sekali tidak pernah diduganya bahwa anak buah Sorban Merah yang diam-diam melarikan diri, kini ternyata telah bergabung dengan penjahat ini dan membentuk gerombolan Sorban Biru, kemudian datang menyerbu dan membikin kacau kota Heng-yang! Marah sekali gadis ini dan cepat ia lalu masuk ke dalam kamarnya, berganti pakaian yang ringkas berwarna biru gelap, lalu membawa goloknya.
Pada saat itu, datanglah tergopoh-gopoh kepala kota dan tikoan. Kedua orang pembesar ini telah mendengar tentang kerusuhan yang ditimbulkan oleh Gerombolan Sorban biru yang mulai merampoki rumah rumah penduduk di pinggir kota dan mengganggu wanita-wanita.
"Can pangcu, harap kau suka lekas tolong usir mereka!" kata kepala kota dengan wajah pucat.
"Kalau perlu bantuan, aku dapat mengerahkan penjaga kota!" menyambung tikoan sambil memandang kepada Kui Hwa dengan kagum. Belum pernah ia melihat Kui Hwa segagah dan secantik ini, dalam pakaian yang ringkas dan mencetak tubuhnya itu.
"Harap jiwi taijin suka tenang" jawab Kui Hwa. "Tak usah diserahkan penjaga kota, biarlah aku dan pembantu-pembantuku menyelesaikan urusan ini. Percayalah, tak lama lagi akan kubawa kepala perampok she Gak itu kehadapan jiwi taijin!"
Setelah berkata demikian Kui Hwa lalu menghampiri anak buahnya yang buntung telinganya itu. Setelah mendapat perawatan kawan-kawannya, orang ini siuman kembali.
"Berapa banyak kiranya jumlah gerombolan itu?" tanyanya.
"Maaf, pangcu hamba kurang jelas akan tetapi sedikitnya tentu ada tiga puluh orang." jawab anggauta Sorban Merah itu.
"Pangcu, apakah aku harus mengumpulkan kawan-kawan yang bertugas di berbagai tempat?" tanya seorang thauwbak.
"Tidak usah, berapa orang yang berada disini?"
"Hanya ada sembilan orang dengan pangcu sendiri."
"Sudah cukup, mari kita berangkat!" Jawab Kui Hwa dengan gagah.
Gadis itu bukan menyombong akan tetapi karena ia melihat bahwa di antara delapan orang anak buahnya. Yang empat adalah thauwbak-thauwbak yang telah menerima latihan-latihan ilmu golok darinya. Baginya lebih baik membawa empat orang thauwbak ini dari pada membawa empat puluh orang anggota biasa yang ilmu goloknya masih rendah.
Beramai-ramai sembilan orang ini berlari cepat menuju ke sebelah barat kota. Ketika mereka tiba di gerbang kota, sudah terdengar oleh mereka jerit tangis penduduk yang diganggu oleh para penjahat Sorban Biru itu. Bukan main marahnya Kui Hwa mendengar ini. Ia mengerahkan kepandaiannya berlari cepat sehingga kawan-kawannya tertinggal jauh.
Begitu ia tiba di tempat kerusuhan itu, gegerlah keadaan di situ di antara penjahat. Setiap kali melihat seorang penjahat bersorban biru, golok di tangan Kui Hwa menyambar dan menjeritlah penjahat itu dan terguling roboh dengan tubuh hampir terbelah dua! Empat orang penjahat telah menjadi korban golok Kui Hwa dan tiba tiba dari sebuah rumah melompat keluar seorang laki-laki pendek besar yang berseru keras.
"Bangsat wanita! Kaukah yang bernama Can Kui Hwa dan yang telah membunuh suteku Teng Sun?"
Kui Hwa memandang orang itu dengan penuh perhatian. Ia adalah seorang laki-laki yang bertubuh agak pendek, akan tetapi tegap dan nampaknya bertenaga besar. Sorban serta ikat kepalanya berwarna biru, demikianpun celananya, sedangkan bajunya berwarna putih dengan garis-garis merah. Senjata yang dipegangnya adalah sebatang tongkat bercabang. Inilah dia Kim-pa-cu Gak Kun yang namanya amat terkenal dan yang oleh anak-anak buah Sorban Merah disohorkan memiliki ilmu silat yang amat tinggi.
Kui Hwa sebenarnya tentu saja lebih pandai memainkan pedang dari pada permainan golok. Memang ia adalah anak murid Kim-Liong-Pai yang khusus mendapat pelajaran ilmu pedang Ang-coa-kiamsut yang lihai. Akan tetapi gadis ini setelah ditinggalkan oleh Tiong Kiat, menjadi sadar dan insaf akan kesesatannya. la maklum bahwa sebagai seorang murid Kim-liong-pai, ia telah melakukan pelanggaran besar sekali.
Sering kali setiap malam ia menguras air mata dari kedua matanya karena menyesal dan merasa berdosa serta malu, terutama sekali terhadap ayahnya dan suhunya, Lui Thian Sianjin. Oleh karena itu, ia merasa malu untuk mengaku sebagai murid Kim-liong-pai lagi. Ia anggap dirinya terlampau hina dan rendah menjadi murid Kim-liong-pai.
Dan kalau ia masih memegang pedang serta mainkan ilmu silat Ang-coa-kiamsut, maka itu berarti bahwa ia hanya akan mengotori dan mencemarkan nama Kim-Liong-pai dan ilmu pedang Ang-coa-kiamsut belaka! Oleh karena inilah yang terutama sekali maka ia lalu berganti senjata dan melatih ilmu golok ciptaan sendiri berdasarkan ilmu pedang Ang-coa-kiamsut!
Kini menghadapi laki-laki bersorban biru yang menjadi suheng dari Teng Sun, ia lalu membentak. "Kaukah yang bernama Kim-pa-cu Gak Kun? Kalau kau berdiam di hutan melakukan pekerjaan merampok, itu masih tidak apa, akan tetapi sekarang kau memimpin orang-orangmu untuk mengganggu Heng-yang, apakah kau sudah bosan hidup? Mari kuantar kau menjumpai adikmu Hek-pa-cu!"
Marahlah Gak Kun mendengar ucapan ini. "Perempuan sombong ! Kalau kau minta maaf kepadaku dan suka turut ucapanku, aku Kim-pa-cu masih sayang akan kecantikanmu. Serahkan kedudukan pangcu dari Perkumpulan Sorban Merah kepadaku dan kau akan kuangkat menjadi permaisuriku!"
"Anjing tak tahu malu!" bentak Kui Hwa yang menjadi merah mukanya. Ia lalu mengayun goloknya dan menyerang dengan sengit.
Gak Kun menangkis dengan tongkatnya yang istimewa itu dan bertempurlah mereka dengan serunya. Pertempuran itu demikian hebatnya dan senjata mereka berkelebatan mengerikan sehingga para anak buah Gak Kun dan para anggota Sorban Merah hanya berani menonton dari jauh. Dengan berdebar kedua fihak ini menonton pertempuran yang dilakukan oleh ketua masing-masing dengan senjata siap di tangan!
Segera Kui Hwa mendapat kenyataan bahwa ilmu kepandaian orang she Gak ini jauh lebih tinggi daripada kepandaian Teng Sun. Tongkat bercabang pada gagangnya itu betul-betul lihai sekali karena gagangnya dapat dipergunakan untuk menangkis golok dan ujung tongkat itu bergerak cepat dengan serangan-serangan totokan keatas jalan darah. Ternyata bahwa orang she Gak ini telah mempelajari thiam-hoat (ilmu menotok jalan darah) yang lihai.
Kui Hwa berlaku hati-hati sekali dan memutar goloknya untuk melindungi tubuh dan melakukan serangan balasan yang cukup menggetarkan hati Gak Kun. Kepala Sorban biru ini benar-benar tak pernah mengira bahwa gadis ini benar-benar luar biasa pandainya. Ia harus mengakui bahwa dalam hal ilmu meringankan tubuh, ia masih kalah.
la kalah gesit dan gerakan senjatanya kalah cepat, tetapi Gak Kun masih dapat melawan mengandalkan dua macam kepandaiannya yang istimewa, yakni menotok dan menendang. Tendangannya ini adalah ilmu tendang yang mirip dengan Soan-hong-twi (tendangan kitiran angin) yang dilakukan bertubi-tubi dengan kedua kaki bergantian sedangkan tongkatnya tetap digerakkan mengancam dari atas!
Dengan seruan keras sekali Gak Kun yang menjadi penasaran karena semua serangannya dapat digagalkan oleh lawannya, tiba-tiba mengayun kaki kirinya menendang dengan hebat. Tendangan yang dilakukan ahli ini berbahaya sekali karena dikerahkan dengan penuh tenaga. Tendangan ke arah dada ini dielakkan oleh Kui Hwa dengan miringkan tubuh ke kiri sambil menggeser kaki kiri ke depan, goloknya diputar di atas kepala dengan sikap mengancam tubuh atas lawannya.
Akan tetapi sebetuInya gadis ini sedang melakukan gerakan yang disebut Naga Sakti Menyabetkan Ekornya dengan berlaku lambat sambil menanti tendangan susulan lawan. Benar saja, ketika tendangan kirinya tidak berhasil mengenai lawan Gak Kun berseru lagi dan tiba-tiba ketika kaki kirinya turun ke atas tanah, tendangan kanannya menyusuI cepat dibarengi dengan totokan tongkatnya pada pundak gadis itu.
Inilah yang dinanti-nanti oleh Kui Hwa dalam gerakannya Naga Sakti Menyabetkan ekornya tadi. Begitu melihat kaki kanan bergerak, goloknya yang diputar-putar di atas kepala itu lalu menyambar cepat ke bawah, membabat dan menyambut tendangan kaki kanan lawan. Tubuhnya ditarik ke bawah dan kaki kanannya secepat kilat menendang pergelangan tangan kanan lawan yang sedang menusukkan tongkat itu!
Bukan main hebatnya serangan balasan dari Kui Hwa ini. Gerakan gadis ini demikian tiba-tiba dan tak tersangka-sangka sehingga Gak Kun tak dapat menolong dirinya lagi. Biarpun ia berusaha menarik kembali kakinya dengan cepat, namun tetap saja golok itu mengejar kakinya. Hampir berbareng dengan ujung kakinya yang berhasil menendang pergelangan tangan lawannya, ujung goloknya juga berhasil mencium betis Gak Kun!
Kim-pa-cu Gak Kun menjerit keras dan sambil melepaskan tongkatnya, tubuhnya jatuh terguling dalam keadaan pingsan! Kaki kanannya hampir-hampir putus karena sabetan golok itu sedangkan pergelangan tangannya juga pecah tulangnya karena tendangan Kui Hwa!
Kemudian Kui Hwa mengamuk hebat. Para penjahat Sorban Biru tadinya masih hendak melawan dan mengeroyok, mengandalkan jumlah yang lebih banyak. Akan tetapi begitu Kui Hwa dan delapan orang pembantunya menyerbu, pihak sorban biru dibabat dengan mudah bagaikan orang membabat rumput saja!
Larilah penjahat-penjahat itu pontang-panting, sebagian besar cepat membuang senjata dan berlutut minta ampun. Dengan kemenangan besar ini, Kui Hwa menyuruh anak buahnya membawa para tawanan ke kota. Namanya makin terkenal dan dipuji-puji orang, dan semenjak hari itu, tidak pernah ada penjahat yang berani mencoba-coba mengganggu kota Heng-Yang lagi. Juga barang barang yang dikawal oleh anggauta sorban merah, selalu tidak terganggu perampok di jalan.
Nama Can Kui Hwa sebagai seorang pangcu (ketua) yang cantik dan gagah, terdengar sampai jauh, karena tiap pelancong atau pedagang yang telah datang mengunjungi kota Heng-yang setelah pergi meninggalkan kota itu, tentu menceritakan hal nona itu kepada para kenalannya. Diantara para pelamar di kota Heng-yang terdapat seorang sasterawan muda she Siok yang tampan dan sopan santun.
Siok kongcu ini telah menempuh ujian di kota raja dan lulus dengan baik sehingga ia mendapat gelar siucai, akan tetapi oleh karena di dalam hatinya pemuda terpelajar ini amat benci melihat pembesar-pembesar yang melakukan korupsi dan tidak melakukan tugasnya dengan baik, ia tidak mau menerima pengangkatan dan tidak mengejar kedudukan, sebaliknya bahkan kembali ke Heng-yang di mana ia hidup dengan ibunya yang telah janda.
Siok siucai, lengkapnya siok Un Leng, mencari nafkah hidupnya dengan mengajar anak-anak di kota itu. Ia bekerja membuka sebuah sekolah di rumahnya mengajar membaca dan menulis pada anak-anak dengan mendapat upah yang sederhana. Sesungguhnya diantara sekian banyak pemuda yang mengaguminya, hanya Siok-siucai saja yang menarik hati Kui Hwa.
Pemuda tampan, berpemandangan luas, sikapnya halus dan sopan santun, pendeknya seorang calon suami yang baik sekali. Akan tetapi yang mengecewakan hati Kui Hwa dan yang membuat ragu-ragu adalah bahwa pemuda ini tidak mengerti ilmu silat! Memang harus ia akui bahwa begitu melihat pemuda she Siok yang baru beberapa bulan datang dari kota raja ini, hatinya sudah amat tertarik.
Memang Siok Un Leng baru sebulan lebih datang dari kota raja dan secara kebetulan saja ia melihat Kui Hwa menunggang kuda lewat di depan rumahnya. Dan keesokan harinya, pemuda ini lalu minta kepada ibunya untuk melamar gadis itu! Tentu saja ibunya terkejut bukan main.
"Leng-ji (anak Leng), apakah kau sudah gila? Kau tidak tahu siapa gadis itu? Dia adalah Can-pangcu, ketua dari Sorban Merah!"
Un Leng tersenyum. "Habis mengapa ibu? Apakah dia bukan manusia?"
"Tentu saja dia manusia, bahkan manusia yang Iebih mulia dari pada orang kebanyakan! Dia seorang gagah perkasa, berpengaruh dan menjadi pangcu dari sebuah perkumpulan orang gagah. Bagaimana aku berani meminang untukmu? Leng-ji, lebih baik kucarikan nona yang lebih sesuai untukmu, yang pandai menyulam dan membaca, bukan seperti Can-pangcu yang pandai mainkan golok!"
"Tidak, ibu. Melihat nona itu, aku tahu bahwa dialah orang yang akan dapat membahagiakan anakmu."
Ibunya menghela napas panjang, "Aneh sekali kau ini, Leng-ji. apakah kau tidak takut melihat goloknya yang tajam?"
Mendengar ini Un Leng tertawa bergelak sehingga ibunya menjadi terheran. Puteranya ini agaknya telah berobah semenjak lima tahun pergi ke kota raja!
"Ibu ini aneh-aneh saja. Kalau Can-siocia memang algojo yang biasa menyembelih orang barangkali akupun tidak takut. Apa lagi dia seorang berhati mulia dan gagah perkasa seperti ibu katakan tadi. Sudahlah ibu, tolonglah anakmu dan pinanglah dia."
"Aku tidak berani, anakku. Kita orang miskin, bagaimana aku harus melamar seorang yang kaya raya dan berpengaruh seperti Can Siocia?"
Akan tetapi Un Leng membujuk terus sehingga akhirnya berangkatlah ibu yang mencinta anaknya ini, mengajukan pinangan kepada Kui Hwa. Di luar dugaannya semula, nona ini menerimanya dengan penuh penghormatan dan dengan muka merah kemalu-maluan. Nona ini tidak menolaknya mentah-mentah hanya menyatakan bahwa ia belum ingin mengikat diri dengan perjodohan dan mohon kepada nyonya itu agar supaya tidak kecewa dan menyesal.
Setelah tiba di rumah, ibu ini mengomeli puteranya. "Kau membikin malu ibumu saja! Nona Can begitu baik dan ramah tamah. Biarpun ia tidak menolak dengan kasar, akan tetapi alasannya belum ingin menikah itu telah merupakan penolakan yang halus."
Akan tetapi Un Leng tidak putus harapan. Pemuda yang lama tinggal di kota raja ini memang seorang pemberani dan tanpa malu-malu dia lalu mengunjungi rumah perkumpulan sorban Merah untuk berkenalan dengan Can pangcu!
Tentu saja Kui Hwa merasa terkejut dan heran sekali melihat keberanian pemuda ini. Timbul kemarahan di dalam hatinya karena ia mengira bahwa pemuda ini tentu sebangsa pemuda mata keranjang yang kurang ajar. Tidak tahunya, setelah mereka berjumpa, Un Leng bersikap sopan santun dan pemuda ini pandai sekali bercakap-cakap dan pengetahuannya luas sekali sehingga Kiu Hwa merasa suka bergaul dengan dia!
Mulailah mereka berkenalan dan tidak saja Un Leng seringkali datang berkunjung bahkan kini Kui Hwa seringkali datang ke rumah Un Leng untuk mengobrol dengan pemuda itu dan ibunya! Tentu saja nyonya Siok menjadi terheran-heran akan tetapi diam-diam nyonya ini girang sekali karena kalau Can pangcu menjadi sahabat puteranya, sedikitnya mereka akan lebih disegani oleh para tetangga.
Pada suatu hari, ketika Un Leng bercakap-cakap di rumah Kui Hwa, pemuda ini berkata, "Nona Can, kuharap kau tidak berkecil hati dan tidak mengira yang bukan-bukan ketika ibuku datang mengajukan pinangan kepadamu. Sesungguhnya terus terang saja aku mengagumimu sebagai seorang gadis gagah perkasa yang berani memimpin perkumpulan besar ini. Kau patut dipuji dan penolakan dulu tidak mengecilkan hatiku. Dapat menjadi sahabatmu saja sudah merupakan hal yang amat membahagiakan hatiku..."
Kui Hwa merasa terharu mendengar ini. Pemuda ini benar-benar seorang yang baik dan sopan. "Saudara Un Leng harap kau suka maafkan padaku. Sesungguhnya, seperti yang pernah kukatakan kepada ibumu, aku belum mempunyai niat untuk mengikat diriku dengan perjodohan. Kau seorang yang baik dan aku suka bersahabat dengan kau. Adapun tentang pernikahan... agaknya selama hidupku aku takkan menikah!"
Un Leng memandang tajam lalu berkata perlahan, "Nona, tentu saja kalau sampai tiba waktunya kau menikah, kau tentu akan memilih seorang suami yang memiliki kepandaian bu (ilmu silat), bukan seorang siucai yang Iemah seperti aku!"
Kui Hwa terkejut karena pemuda ini ternyata dapat meraba isi hatinya. Akan tetapi ia harus bersikap jujur terhadap pemuda yang baik hati ini. "Ada betulnya juga kata-katamu itu, saudara Un Leng. Kau tentu mengerti sendiri bahwa suami isteri baru bisa hidup rukun apabila mempunyai kesukaan yang sama. Kurasa sukar juga kalau kesukaan si isteri memegang golok sedangkan kesukaan si suami memegang tangkai pena!" Gadis ini tersenyum dan ucapannya itu dimaksudkan sebagai sebuah kelakar.
Akan tetapi Un Leng memandang dengan tajam dan berkata dengan sikap bersungguh-sungguh. "Kau keliru, nona. Mempelajari permainan golok bukanlah termasuk kesenangan, akan tetapi lebih tepat sebagai penjagaan diri terhadap gangguan orang-orang jahat. Sebaliknya mempelajari menggerakkan tangkai pena merupakan sebuah kesenian dan mempertinggi peradaban sebagai manusia. Tangkai pena tidak berbahaya, berbeda dengan golok yang biasanya hanya mendatangkan malapetaka, bunuh membunuh dan balas membalas karena dendam!" Pemuda ini nampak bersemangat sekali.
"Kau berat sebelah, saudara Un Leng." kata Kui Hwa dan matanya berkata, "Kau tahu apa tentang ilmu silat?" akan tetapi mulutnya berkata lain, "Tangkai pena bukanlah benda yang tidak berbahaya, bahkan kurasa lebih berbahaya dari pada mata golok. Kalau orang menggunakan golok untuk menyerang maka lawan yang diserang dapat melihatnya dan mempunyai kesempatan untuk melawan. Akan tetapi, berapa banyaknya orang yang mendapat celaka serumah tangga hanya oleh coretan pena seorang pembesar yang melakukan serangan dan fitnah secara sembunyi?"
Un Leng cemberut. Ia merasa sebal sekali terhadap pembesar-pembesar yang jahat dan yang tepat seperti dikatakan oleh gadis ini. "Oleh karena itulah aku tidak sudi menjabat pangkat!" serunya gemas. "Akan tetapi, tidak semua orang sejahat yang aku katakan tadi, nona."
Kui Hwa tersenyum geli melihat kemarahan Un Leng. "Ingat Siok siucai yang terhormat demikian pula dengan pemegang golok. Tidak semua sejahat seperti yang kau katakan tadi!"
Mereka saling pandang dengan marah, kemudian berbareng tertawa geli. "Ha, kita ini seakan akan mewakili dua fihak yang bertentangan, fihak bu (ahli silat) dan bun (ahli sastera)!" kata Un Leng.
Juga Kui Hwa tertawa dan gadis itu makin suka kepada pemuda yang baik budinya ini. Sayang sekali dia tidak pandai ilmu silat, pikirnya. Kalau Un Leng pandai ilmu silat agaknya tidak akan kecewa menjadi istri pemuda ini. Akan tetapi, tiba-tiba ia teringat lagi akan kesesatannya bersama Tiong Kiat dahulu dan wajah gadis ini berubah murung sekali.
"Aku takkan menikah selama hidupku," hatinya berkata dan tanpa disadarinya, bibirnya juga membisikkan kata-kata ini sehingga terdengar oleh Un Leng.
"Nona mengapakah kau berduka? Agaknya ada sesuatu yang mengganjal hatimu dan yang membuat kau putus asa. Dapatkah kau menceritakan hal itu kepada sahabatmu ini?"
Kui Hwa menggeleng kepala dan menarik napas panjang. "Tak mungkin, saudara Un Leng. Tak mungkin kuceritakan kepada siapapun juga."
Dalam keadaan hati tertekan berdiamlah kedua orang sahabat ini. Sebagaimana telah dituturkan di depan, Can Kui Hwa sebagai pangcu dari Sorban Merah yang cantik jelita dan gagah, terkenal sampai jauh dari daerah Heng-yang. Hal ini menarik hati orang-orang gagah, terutama mereka yang masih muda dan belum menikah, karena bukankah pangcu wanita yang cantik dan masih gadis itu merupakan kembang yang amat menarik hati? Muda, cantik, kaya raya menjadi ketua dari perkumpulan yang berpengaruh!
Dan di antara mereka yang mendengar nama Can Kui Hwa yang mengagumi dari jauh terdapat juga Ban Hwa Yong, si penjahat pemetik bunga yang lihai itu! Seperti telah diketahui orang ketiga dari Thian-te Sam-kui ini telah kehilangan dua orang suhengnya yang tewas dalam tangan Eng Eng dan Tiong Han.
Biarpun ia sendiri ditinggal mati oleh kedua orang suhengnya, Ban Hwa Yong menjadi gelisah dan gentar sekali menghadapi kejaran Suma Eng, nona yang hebat dan lihai sekali itu. Timbul pikiran dalam kepalanya untuk mencuci tangan, untuk berhenti melakukan kejahatan dan kesukaannya mengganggu anak isteri orang. Ia ingin mencari seorang gadis yang baik, mendirikan rumah tangga yang aman dan meninggalkan dunia kang ouw karena ia merasa bahwa keselamatannya amat terancam.
Ketika Ban Hwa Yong mendengar nama Can Kui Hwa tergeraklah hatinya. Ia sudah mendengar bahwa Perkumpulan Sorban Merah merupakan perkumpulan yang kuat, berpengaruh dan kaya. Dan sekarang ketuanya adalah seorang gadis yang cantik jelita, yang masih belum menikah. Ah, inilah yang dibutuhkannya. lsteri cantik dan gagah, kedudukan yang kuat, dan harta cukup!
Dengan hati girang dan penuh harapan ia lalu berangkat ke Heng-yang dengan maksud memperisteri gadis yang menjadi pangcu itu. Ketika Ban Hwa Yong tiba di rumah perkumpulan itu, ternyata ia mendapat keterangan bahwa Can-pangcu yang dicarinya sedang pergi keluar kota.
"Kemanakah dia pergi?" tanya Ban Hwa Yong.
Anggaota Sorban Merah yang menjaga pintu memandang kepada orang yang berwajah tua itu dengan curiga. Orang ini tinggi kurus dengan muka seperti seekor burung, hidungnya seperti hidung kakatua dan mukanya jelek pandangan matanya liar sedangkan di pinggangnya tergantung sepasang senjata yang aneh, yakni sepasang kaitan yang menyeramkan.
"Siapakah saudara ini dan ada keperluan apa mencari pangcu?" tanyanya dengan curiga.
Ban Hwa Yong tertawa bergelak. "Aku sahabat dari pangcu mu dan kelak kamu tentu akan lebih mengenalku dengan baik. Sebutkan saja di mana adanya pangcumu itu."
"Pangcu sedang berjalan jalan naik kuda ke hutan sebelah barat kota," akhirnya penjaga itu menjawab juga.
Ban Hwa Yong lalu berlari pergi dengan cepatnya sehingga penjaga itu menjadi kagum. Jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga) ini Ialu berlari menyusul ke hutan di luar kota Heng-yang di mana merupakan hutan kecil yang amat indah dan banyak terdapat bunga bunga yang berkembang.
Pada saat itu, Kui Hwa sedang duduk di bawah pohon bersama Siok Un Leng, pemuda sasterawan yang menjadi sahabat baiknya itu. Mereka datang berkuda dan kini kedua ekor kuda itu mereka lepaskan ditempat yang banyak rumputnya agar binatang itu dapat makan rumput dengan seenaknya. Adapun mereka berdua lalu duduk di bawah pohon. Un Leng membaca sajak-sajak yang digubahnya sendiri dan Kui Hwa mendengarkan dengan penuh kegembiraan dan kekaguman.
Memang gadis ini suka sekali akan kesusasteraan sungguhpun ia sendiri hanya mempelajari sedikit saja dari ibunya. Keduanya nampak rukun dan cocok, sungguh merupakan pasangan yang baik sekali. Akan tetapi selama itu, Kui Hwa selalu menghindarkan diri dari percakapan tentang pernikahan dan pernyataan kasih sayang pemuda itu selalu ditolaknya dengan halus.
Ia maklum bahwa hatinya runtuh juga menghadapi pemuda yang selain tampan, juga sopan dan baik sekali ini, akan tetapi dia mengeraskan hati dan rasanya karena ia merasa yakin bahwa tak mungkin ia yang sudah melakukan kesesatan itu dapat menjadi isteri Un Leng! Tiba-tiba terdengar bentakan keras di sebelah belakang mereka.
"Pemuda kurang ajar dari manakah yang telah berani bermain gila dengan Can pangcu?" bentakan ini keras dan parau dan ketika Un Leng dan Kui Hwa menengok sambil melompat berdiri, ternyata di hadapan mereka berdiri seorang laki-laki jangkung yang bermuka tajam seperti muka kakatua.
Laki laki ini bukan lain adalah Ban Hwa Yong yang memandang dengan mulut menyeringai menjemukan sekali. Dengan pandang mata merah penuh cemburu, Ban Hwa Yong lalu menggerakkan kaitan di tangan kanannya untuk menyerang Un Leng, akan tetapi golok Kui Hwa menangkis kaitan ini.
"Bangsat hina dina! Siapakah kau dan apa maksud kedatanganmu mengganggu kami?" bentak Kui Hwa yang kagum juga melihat betapa Un Leng nampak tenang saja dan tidak takut biarpun tadi hampir menjadi kurban senjata kaitan itu.
"Dan pangcu harap jangan marah." jawab Ban Hwa Yong yang memandang ringan, "Aku Ban Hwa Yong dari tempat yang ratusan lie jauhnya sengaja datang hendak bercengrama dan mengajakmu bercakap-cakap. Akan tetapi oleh karena di sini ada orang lain maka kuharap bocah ini pergi segera dari sini agar kita dapat bicara lebih leluasa lagi."
Bukan main gemasnya hati Kui Hwa mendengar ucapan yang sifatnya kurang ajar dan memandang rendah ini. "Pemuda ini adalah sahabat baikku dan dia boleh pula mendengar apa yang akan keluar dari mulutmu yang busuk. Lekas bilang apa maksud kedatanganmu sebelum golokku menghajar dan memutuskan lehermu!"
"Aduh galak benar!" Ban Hwa Yong tertawa. "Akan tetapi makin galak makin bertambah manis! Nona Can, terus terang saja kedatanganku ini hendak meminangmu menjadi istriku! Aku masih bujangan dan tentu tidak enak hidup sendiri seperti engkau ini, apa lagi kalau memegang kedudukan sebagai pangcu. Serahkan saja pekerjaanmu itu kepadaku, calon suamimu dan kau akan hidup berbahagia!"
"Anjing bermulut lancang!" Kui Hwa tak dapat menahan marahnya lagi dan cepat goloknya bergerak membacok kepala Ban Hwa Yong...