Pedang Ular Merah Jilid 14

Serial Jago Pedang Tak Bernama Episode Pedang Ular Merah Jilid 14 Karya Kho Ping Hoo

PEDANG ULAR MERAH JILID 14

Akan tetapi, sambil tersenyum-senyum Ban Hwa Yong mengelak dan bertempurlah kedua orang ini dengan ramainya. Ban Hwa Yong terkejut juga melihat permainan golok nona itu karena benar-benar kuat dan berbahaya. Akan tetapi, sepasang kaitannya digerakkan secara luar biasa sekali sehingga Kui Hwa segera terdesak hebat, kalau saja gadis itu memegang pedang dan tidak berada dalam keadaan semarah itu, takkan mudah bagi Ban Hwa Yong untuk mengalahkannya.

Akan tetapi dalam keadaan semarah itu Kui Hwa kehilangan kewaspadaannya dan sama sekali tidak memperhatikan bahwa sesungguhnya lawannya ini lihai sekali dan tidak boleh dipandang ringan. Golok ditangannya diputar sedemikian rupa dan hanya satu saja kehendaknya yakni membunuh manusia kurang ajar ini.

Akan tetapi dengan kaitannya yang lihai Ban Hwa Yong dapat menahan golok Kui Hwa dan pada satu saat yang baik ketika kaitannya dapat membuat golok gadis itu belum sampai menyerang lagi, tiba-tiba kaitan di tangan kanannya bergerak cepat ke arah dada Kui Hwa dan,...

"Brettt...!" terkaitlah baju gadis itu pada bagian dada dan terbawa kain robek itu dikaitan sehingga nampak sebagian dada gadis ini!

Bukan main terkejutnya hati Kui Hwa. Ia menjerit perlahan dan mukanya menjadi malu sekali, sesaat kemudian mukanya berubah merah sampai ke telinganya ketika ia mendengar betapa Ban Hwa Yong tertawa terkekeh-kekeh!

Pada saat itu terjadilah hal aneh yang sedetikpun tak pernah disangka oleh Kui Hwa. Terdengar bentakan nyaring dan bayangan yang cukup gesit melompat dari belakangnya dan menyerang Ban Hwa Yong dengan sebatang golok! Orang ini bukan lain adalah Un Leng!

Ternyata bahwa pemuda ini marah sekali melihat Kui Hwa dipermainkan dan dihina oleh Ban Hwa Yong. Ia cepat berlari menghampiri kudanya dan dari balik pelana kuda dikeluarkannya sebatang golok besar yang tajam sekali dan ketika ia melihat betapa baju Kui Hwa terkait robek, kemarahannya memuncak. Ia lalu menyerang hebat yang segera ditangkis pula oleh Ban Hwa Yong. Penjahat inipun tertegun sebentar karena tak disangkanya bahwa pemuda yang nampak Iemah ini ternyata pandai juga mainkan golok.

Biarpun terheran-heran, Kui Hwa cepat melompat ke belakang dan membalikkan tubuhnya. Dilepasnya kain pengikat rambutnya disambung dengan saputangan lebar dan dilibatkannya kain itu pada dadanya untuk menutupi bagian tubuh yang telanjang itu. Kemudian ia cepat menengok dan melihat betapa Un Leng mempertahankan diri mati-matian dari desakan sepasang kaitan di tangan Ban Hwa Yong yang lihai.

Berdebar aneh dada Kui Hwa ketika ia menyaksikan bahwa betapapun juga, pemuda sasterawan yang disangkanya hanya seorang kutu buku yang lemah itu ternyata memiliki ilmu silat yang tidak rendah! Akan tetapi senjata di tangan penjahat itu benar-benar berbahaya sekali dan keadaan Un Leng juga sudah mulai terdesak, maka Kui Hwa lalu melompat maju dan kini goloknya menyambar-nyambar bagaikan setan maut mengancam nyawa Ban Hwa Yong.

Penjahat ini sekarang tak dapat tertawa lagi. Menghadapi dua orang ini, benar-benar ia merasa kewalahan dan setelah melawan sampai empat puluh jurus dalam waktu mana keselamatannya terancam hebat ia lalu melompat dan melarikan diri. Kui Hwa yang marah sekali hendak mengejar akan tetapi Un Leng berkata,

“Tak usah dikejar lawan yang sudah kalah dan ketakutan!"

Kui Hwa tidak jadi mengejar Ban Hwa Yong dan memandang kepada Un Leng dengan pandang mata kagum. Un Leng menyimpan kembali goloknya di bawah sela di atas kudanya kemudian ketika ia kembali kepada Kui Hwa ia berkata,

"Maaf bahwa aku terpaksa memperlihatkan kebodohanku nona."

“Saudara Siok Un Leng, mengapa kau selama ini berpura-pura tidak mengerti ilmu silat? Kepandaianmu cukup baik dan... mengapa kau menyembunyikan kepandaian itu padaku?"

Un Leng tersenyum. "Tak ingatkah betapa aku tidak suka akan kekerasan? Aku mempelajari ilmu silat hanya untuk penjagaan diri seperti yang tadi telah kulakukan menghadapi penjahat itu, bukan sekali-kali untuk kusombongkan dan kujadikan alat mencari permusuhan. Tidak nona, aku lebih suka menggerakkan tangkai pena daripada menggerakkan golok yang mengerikan itu!"

Kui Hwa memandang kagum dan hatinya merasa girang sekali. Inilah pemuda yang patut dipercayainya dan yang akan dapat melindunginya selama hidupnya. "Saudara Un Leng... kalau aku tahu..."

"Nona, setelah sekarang kau mengetahui keadaanku, biarlah di sini kuulangi pinanganku dahulu. Bagaimana? Sudikah kau menerimaku sebagai suamimu? Kita menjauhkan diri dari segala urusan dunia, kita pindah ke tempat aman, mendirikan rumah tangga yang aman dan damai, tidak mengenal tajamnya senjata. Sudikah kau...?"

Sambil berkata demikian dengan mesra dan halus, pemuda itu melangkah maju dan memegang tangan Kui Hwa. Untuk sesaat gadis itu memandang mesra. Akan tetapi tiba-tiba ia teringat kepada Tiong Kiat. Direnggutnya tangannya dan ia berkata,

"Tidak... tidak! Jangan dekati aku Un Leng... aku... aku tidak berharga...!" ia lalu menjatuhkan diri di atas rumput dan menangis!

"Nona apakah kau akan maksudkan kepergianmu dari Kim-liong-pai, minggat bersama dengan ji-suhengmu (kakak seperguruan kedua)? Itukah yang kau anggap bahwa kau tidak berharga lagi?"

Kui Hwa terkejut dan memandang dengan mata basah! "Apa...? Kau sudah tahu akan hal itu?"

Un Leng mengangguk. "Sebelum kembali ke Heng-yang di kota raja aku telah mendengar akan hal itu. Peristiwa yang terjadi di Gunung Liong-san, mengenai diri anak-anak murid Kim-liong-pai yang terkenal tentu saja mudah tersiar di kalangan kang-ouw. Aku teIah mendengarnya semua, nona, tak perlu kau menuturkannya lagi."

"Kau... kau sudah tahu selama ini... dan kau... tidak memandang rendah dan hina kepadaku...?"

Un Leng tersenyum. "Kalau aku memandang rendah, apakah aku mau mendekatimu, menyuruh ibuku meminangmu sebagai istriku?"

Makin deras air mata mengalir dari mata Kui Hwa. ”Saudara Siok... aku bukan seorang baik-baik, aku telah menjalankan kesesatan bersama manusia jahanam yang menjadi suhengku itu, aku telah meninggalkan suhu meninggalkan ayah, membatalkan pertunanganku dengan twa-suheng secara paksa... aku gadis tak tahu malu, yang sudah melanggar kesusilaan, aku tak berharga lagi... tahukan kau akan semua ini?"

Un Leng berkata sungguh-sungguh. "Aku sudah tahu, nona, akan tetapi aku tidak menganggap kau tidak berharga. Seorang yang sudah sadar dari pada kesesatannya adalah seorang bijaksana. Aku mengagumimu dan aku... aku tertarik dan cinta padamu."

Saking terharunya Kui Hwa lalu menubruk kaki Un Leng, berlutut sambil menangis. Ia berterima kasih sekali, juga terharu dan girang karena selama berkenalan, ia maklum bahwa hatinya telah jatuh pula terhadap pemuda ini. Un Leng menarik napas panjang dan mengelus-elus rambut Kui Hwa, membiarkan kekasihnya melepaskan tekanan batin dengan air matanya.

Ketika mereka kembali ke kota Heng-yang dengan wajah gembira dan penuh bahagia, keduanya lalu menuju ke rumah perkumpulan Sorban Merah. Kui Hwa telah bermufakat untuk menerima pinangan Nyonya Siok untuk yang kedua kalinya dan telah setuju pula bahwa dia akan ikut suaminya dan mertuanya untuk pindah ke kota raja di mana suaminya akan mencari pekerjaan.

Ia telah mengambil keputusan pula untuk meletakkan jabatannya sebagai ketua perkumpulan Sorban Merah. Akan tetapi, ketika ia dan Un Leng berjalan memasuki pekarangan rumah perkumpulan itu, ia melihat seorang pemuda bangkit berdiri dari bangku di ruang depan dan kini pemuda itu berdiri menanti kedatangan mereka dengan wajah tenang.

Pucatlah wajah Kui Hwa ketika ia memandang kepada pemuda itu dengan mata terbelalak dan tak terasa pula ia menahan tindakan kakinya. Ia melihat betapa pemuda itu memandang kepadanya dengan senyum tenang dan sama sekali tidak kelihatan marah atau membenci. Terharulah hati Kui Hwa dan tak terasa lagi ia lalu berlari ke depan dan menjatuhkan diri berlutut di depan pemuda itu!

Un Leng hanya memandang heran dan mengerutkan kening, karena ia tidak mengenal pemuda itu, cepat memegang kedua pundak Kui Hwa, membangunkannya sambil berkata,

"Eh, sumoi mengapa kau begini? Berdirilah dan mari kita bicara dengan baik."

Kui Hwa tak dapat menahan berlinangnya air matanya, ia tidak berani menentang pandang mata pemuda yang bukan lain adalah Tiong Han ini. Ia merasa malu sekali kepada bekas tunangan dan suhengnya ini, yang selalu bersikap baik terhadapnya.

"Twa suheng... kau... kau dapat memaafkan aku? Kau tidak marah dan tidak benci kepadaku?"

Tiong Han menggeleng kepalanya dan tersenyum tenang, sungguhpun senyumnya bukanlah senyum gembira. "Mengapa aku harus benci dan marah kepadamu, sumoi? Kau adalah adikku, adikku yang kusayang semenjak kita masih anak-anak. Aku hanya kasihan melihatmu, sumoi."

Kemudian barulah Tiong Han merasa bahwa mereka tidak patut bicara urusan pribadi mereka di depan seorang pemuda tampan yang tidak dikenalnya. Ia lalu mengangkat muka memandang kepada Un Leng yang sudah menghampirinya dengan senyum dan pandang mata kagum. Un Leng menjura dan cepat dibalas oleh Tiong Han.

“Ah tidak tahunya kau adalah Sim Tiong Han, orang gagah dari Kim-liong-pai. Aku ini Un Leng, adalah seorang yang bodoh." Seru pemuda sasterawan ini dengan sikap hormat.

Melihat sikap dan kesederhanaan pemuda ini, Tiong Han merasa suka dan cocok, hanya ia belum mengerti apakah hubungan antara pemuda ini dan sumoinya. Akan tetapi Kui Hwa segera menjelaskan,

"Suheng, dia ini adalah... sahabatku, seorang yang jujur dan banyak berjasa terhadap diriku yang hancur dan perasaanku yang luka oleh kejahatan ji-suheng."

Tiong Han menghela napas dan keningnya berkerut. "Sumoi terus terang saja, aku sudah bertemu dengan Tiong Kiat dan aku datang ini hanya hendak bertanya kepadamu mengapa kau meninggalkan Tiong Kiat dan membiarkan dia tersesat sedemikian jauhnya!"

Mendengar nada suara Tiong Han, diam-diam Kui Hwa terkejut sekali. Dari suara pemuda ini, ia dapat menduga bahwa suhengnya ini biarpun tidak menaruh hati dendam kepadanya, namun merasa tidak senang mengapa dia berpisah dari Tiong Kiat dan tentu menyangka yang bukan-bukan.

Maka ia cepat menuturkan pengalamannya dengan Tiong Kiat, betapa Tiong Kiat telah melakukan perbuatan rendah terhadap seorang gadis yang ditolongnya sehingga mereka menjadi berselisih dan bertempur. Kemudian diceritakannya bahwa Tiong Kiatlah yang pergi meninggalkannya dan betapa ia lalu menjadi ketua dari Perkumpulan sorban Merah.

Mendengar semua penuturan ini, kembali Tiong Han menarik napas panjang berkali-kali. "Ah, sumoi, kalau begitu adikku itulah yang jahat dan tersesat. Kasihan sekali nasibmu yang buruk."

Dan diam-diam pemuda ini makin terheran melihat betapa Kui Hwa dapat menuturkan semua pengalamannya ini di depan Un Leng, seakan-akan di antara mereka tidak terdapat rahasia lagi. Ia menduga-duga dan ketika Kui Hwa memaksanya untuk bermalam di situ menikmati hidangan yang dikeluarkan dibantu pula oleh Un Leng, terpaksa ia menerimanya. Ia kagum juga melihat betapa kuat dan teratur perkumpulan yang dipimpin oleh sumoinya dan betapa semua anggauta Sorban Merah amat tunduk dan taat kepadanya.

Di dalam kesempatan itu, Un Leng mendapat pikiran yang amat baik. Diam-diam ia memberitahukan pikirannya ini kepada Kui Hwa dan gadis ini dengan muka kemerah-merahan hanya menganggukkan kepala dan kemudian ia sengaja meninggalkan ruangan dimana Tiong Han berada untuk memberi kesempatan kepada Un Leng untuk bicara berdua saja dengan suhengnya.

"Sim taihiap" kata Un Leng ketika mereka selesai makan dan duduk menghadapi meja dengan cawan terisi arak. "Sebelumnya kuharap kau sudi memaafkan aku apabila kau anggap aku berlaku lancang. Telah kuceritakan kepadamu bahwa aku adalah murid dari Kim-l-sin-kai (Pengemis Sakti Baju Kembang) di kota raja yang juga kau tahu telah kenal baik dengan suhumu. Biarpun aku hanya mengerti sedikit ilmu silat, akan tetapi seperti juga suhu, aku benci akan perkelahian dan permusuhan. Aku lebih suka hidup damai dan tenteram dengan penaku. Nah, kau telah mengetahui keadaan sumoimu. Seperti juga kau, aku kasihan sekali kepadanya. Akan tetapi kalau kau berkasihan sebagai seorang suheng terhadap sumoinya, adalah aku berkasihan kepadanya sebagai seorang pemuda terhadap seorang gadis yang telah merebut hatiku! Ya terus terang saja, taihiap, diantara sumoimu dan aku telah ada persesuaian paham dan kami telah bermupakat untuk menjadi suami-istri! Oleh karena itu, mengingat bahwa Hwa moi jauh dari orang tua, maka kiranya kau menjadi wakilnya! Kepadamulah sebagai wali Hwa-moi kuajukan pinanganku harap saja kau sudi menolong kami.”

Tiong Han tersenyum dan memandang tajam. "Saudara Siok bukan main girangnya hatiku mendengar ucapan yang terus terang ini! Sebelum kau menceritakan kepadaku, aku sudah dapat menduga lebih dulu, dan pengakuanmu ini menandakan bahwa kau memang jujur dan bersifat jantan. Kau telah mendengar tentang riwayat sumoi dengan adikku, namun kau dapat memaafkan dan masih dapat menghargainya, ini menandakan bahwa cintamu terhadapnya suci dan tulus. Akan tetapi, aku hanya menjadi suhengnya bagaimana aku berani berlaku lancang bertindak sebagai walinya?"

Un Leng berbangkit dari bangkunya dan menjura kepada Tiong Han yang dibalas cepat-cepat oleh pemuda ini. "Terima kasih banyak, taihiap. Sungguh pun benar pula ucapanmu tadi agaknya kau lupa bahwa Hwa moi sesungguhnya telah diberikan kepadamu oleh orang tuanya sebagai calon jodohmu. Kau berhak penuh atas dirinya dan berhak pula menjadi walinya. Kalau kau sudi menerima permohonanku, berarti kau telah melepas budi besar terhadap kami."

Terpaksa Tiong Han menerimanya dengan hati girang. Kui Hwa lalu dipanggil dan dengan muka kemerah-merahan gadis ini lalu menjura kepada suhengnya yang kini menjadi walinya itu. Para anggota Sorban Merah lalu dikumpulkan dan setelah Tiong Han diperkenalkan sebagai suheng dan wali dari Kui Hwa, Tiong Han lalu mengumumkan dengan suara lantang tentang perjodohan antara kedua orang muda itu.

Semua anggota Sorban Merah menerima berita ini dengan girang sekali. Akan tetapi kegirangan ini segera terganti kekecewaan ketika Kui Hwa menyatakan bahwa setelah menikah, terpaksa meninggalkan perkumpulannya dan menyerahkan perkumpulannya ini kepada beberapa orang thauwbak yang paling tua dan cukup bijaksana.

Dengan disaksikan oleh Tiong Han, beberapa hari kemudian dilangsungkanlah pernikahan sepasang orang muda itu dengan sangat sederhana, akan tetapi cukup meriah karena diramaikan dan dihadiri oleh anggota Sorban Merah dan para sahabat-sahabat di kota Heng-yang.

Setelah itu, pada keesokan harinya, Tiong Han minta diri dari sepasang suami-istri ini untuk melanjutkan perjalanannya mencari adiknya. Kui Hwa mengantarkan kepergiaan suhengnya ini dengan air mata berIinang. Ia kini mendapat kenyataan betapa bijaksana dan mulia hati twa suhengnya ini dan diam-diam ia menyumpahi dirinya yang telah terpikat oleh bujukan-bujukan iblis dari mulut ji-suhengnya.

********************

Cersil karya Kho Ping Hoo Serial Jago Pedang Tak Bernama

Pada waktu itu, pemerintah kerajaan Tang mempunyai hubungan baik sekali dengan suku bangsa Ouigour, yakni nenek moyang suku bangsa mongol. Raja bangsa Ouigour ini bernama Huayen khan, seorang yang sudah mempelajari kebudayaan Tiongkok dan selain pandai menulis huruf Tiongkok juga terkenal sekali dengan ilmu silat dan ilmu memanahnya yang tinggi.

Huayen-khan mengadakan hubungan dagang dengan kerajaan Tang, menukar kulit binatang dan bulu binatang dengan gula dan kain sutera. Pernah dua kali Huayen-khan datang mengunjungi kaisar Tang yang bernama Tai Cong, dan di kota raja kepala suku bangsa Ouigour ini disambut dengan segala kehormatan, bahkan Kaisar Tai Cong lalu mengadakan perayaan pesta untuk menghormati kunjungan Huayen khan ini. Di dalam pesta ini, setelah Huayen-khan minum banyak arak wangi yang dihidangkan dan kepalanya telah menjadi agak ringan dan kegembiraannya membesar, ia berkata kepada Kaisar Tai Cung.

"Saya lihat pengawal-pengawal paduka membawa busur dan anak panah. Agaknya ilmu panah dari kerajaan paduka amat maju dan hebat!" Kepala suku bangsa Ouigour ini lalu tertawa bergelak.

Kaisar Tai Cung terkenal sebagai seorang yang amat bijaksana, pandai memerintah, dicinta oleh rakyat karena adilnya dan selain itu iapun amat cerdik. Mendengar ucapan Huayen-khan ini, Kaisar Tai Cung sudah tahu akan maksudnya, karena iapun maklum akan kepandaian Huayen-khan dalam ilmu panah. Sambil tersenyum ia berkata,

"Betapapun pandainya para pengawalku, agaknya masih harus mendapat banyak petunjuk dari padamu, khan yang baik."

Huayen-khan tertawa bergelak sambil menenggak cawan araknya yang segera diisi pula sampai penuh oleh seorang dayang pelayan. "Paduka pandai sekali merendahkan diri. Kita sedang bergembira, apa salahnya bermain-main sedikit dengan ilmu panah? Harap paduka tidak berlaku sungkan dan sudi memanggil seorang ahli panah terpandai dari dalam tembok besar."

Sambil tertawa juga, Kaisar Tai Cong lalu menyuruh seorang pengawal memanggil kepala pengawal yang bernama Ciok Kwan. Tak lama kemudian, Ciok Kwan datang menghadap. Huayen-khan memandang kepada perwira ini dengan kagum. Ciok Kwan adalah seorang perwira yang masih muda, berusia kurang lebih tiga puluh tahun, berpakaian rapi dan nampak gagah sekali karena potongan tubuhnya memang tegap dan besar. Sebagai seorang kepala pengawal bagian panah, dipunggungnya tergantung busur besar dan anak-anak panah dengan bulu warna merah.

"Seorang perwira yang gagah!" Huayen Khan berkata memuji sehingga Tai Cong tersenyum girang.

"Ciok ciangkun." kata kaisar, "tamu agung kita Huayen-khan ini ingin sekali menyaksikan kepandaian memanah darimu, maka cobalah kau memperlihatkan kepandaianmu. Huayen-Khan sendiri adalah seorang ahli panah yang terkenal, maka permainan ini tentu takkan merugikanmu, bahkan kau tentu akan mendapat petunjuk-petunjuk yang baik dari padanya."

Tentu saja Ciok Kwan tidak berani membantah dan ia mengerling ke arah kepala suku bangsa Ouigour itu. Ia telah mendengar nama besar Huayen-khan akan tetapi melihat orangnya, timbul keraguannya. Raja bangsa Ouigour ini nampak kasar, bercambang bauk dan agaknya telah mabok arak mana dapat memberi petunjuk tentang ilmu panah?

Kaisar dan tamunya lalu keluar dari ruangan dalam, menuju ke taman bunga di sebelah kanan istana, diikuti oleh para pengawal dan pelayan. Dengan sikapnya yang sopan, Ciok Kwan lalu menuju ke tempat terbuka dan berpikir-pikir cara bagaimana ia akan memperlihatkan kemahirannya mainkan panah. la memandang ke kanan ke kiri dan berdongak pula memandang ke atas. Tiba-tiba Huayen khan tertawa berkata,

"Ciok-ciangkun, apakah kau mencari-cari matahari untuk menjadi sasaran anak panahmu? Ha ha ha!"

Huayen-khan adalah seorang kasar dan kata-katanya ini hanya kelakar belaka. Kaisar Tai Cung mengerti akan hal ini, maka sambil tertawa kaisar ini berkata juga.

"Huayen-khan yang gagah, apa kau kira sekarang ini masih ada orang-orang sakti seperti Panglima Po Gwan? Panglima Po Gwan adalah seorang tokoh dalam dongeng Tiong kok yang demikian tinggi ilmu panahnya sehingga dikabarkan orang bahwa panglima ini pandai memanah bintang di langit!"

Huayen-khan juga tertawa mendengar ucapan kaisar ini, tanda bahwa kepala suku bangsa Ouigour ini tidak asing akan dongeng-dongeng dan sejarah purba dari Tiongkok. Akan tetapi, sebaliknya, Ciok Kwan yang semenjak kecil mempelajari bu (ilmu silat) dan sama sekali tidak pernah mempelajari bun (ilmu surat) merah kedua telinganya mendengar percakapan orang-orang besar ini. la mengira bahwa Huayen-khan mengejeknya dan diam-diam iapun merasa gemas sekali mengapa kaisar bahkan membumbui ejekan tamu, orang yang dianggapnya kasar dan biadab ini!

"Hamba adalah seorang yang bodoh dan anak panah hamba hanya dapat dipergunakan untuk menangkap burung di atas itu!" kata Ciok Kwan sambil menudingkan telunjuknya ke atas. Semua orang melihat ke atas dan ternyata sekawanan burung terbang tinggi sekali di udara.

"Hamba akan menurunkan burung ketiga dari depan!" seru Ciok Kwan dan seruannya itu dibarengi oleh menjepretnya tali busurnya.

Sebatang anak panah dengan cepat sekali mendesing ke udara dan tak lama kemudian betul saja, burung yang terbang di barisan ketiga dari depan nampak terkulai kepalanya dan jatuh ke bawah bagaikan sepotong batu. Ketika dilihat, burung itu telah tertembus dadanya oleh anak panah tadi, Semua pengawal berseru gembira menyaksikan ketangkasan kepala mereka ini. Kaisar Tai Cung mengangguk girang, akan tetapi Huayen-khan berkata,

"Memanah burung yang besar itu benar-benar mengagumkan orang!" Sambil berkata demikian, ia mengulur tangan kebelakang dan seorang di antara para pengawalnya lalu memberikan busur dan sebatang anak panah. "Aku hanya dapat memanah binatang yang kecil-kecil saja." Ucapan ini seperti diucapkan untuk dirinya sendiri dan pujian itu sama sekali tidak cocok dengan tarikan wajahnya yang memandang rendah. "Kalau paduka membolehkan, saya ingin mencabut ekor burung kecil warna hitam yang sedang terbang itu!"

"Kaisar Tai Cung menengok ke arah yang ditunjuk oleh Huayen-khan dan ia terkejut sekali. Yang dituding oleh tamunya adalah seekor burung walet yang beterbangan di udara gesit sekali. Bagaimana orang dapat memanah burung yang terkenal amat gesit dan tangkas ini? Apa lagi hanya membobolkan ekornya, jauh lebih sukar dari pada kalau memanah jatuh burung itu.

"Tentu saja kami tidak melarangnya, hanya, dapatkah burung segesit itu dipanah jatuh ekornya saja?"

Huayen-khan tertawa bergelak, membidikkan anak panahnya, menanti sampai burung walet itu terbang mendekat, kemudian terdengar anak panahnya meluncur cepat sekali merupakan sinar hitam karena anak panahnya ini belakangnya memakai ronce-ronce warna hitam.

Semua orang menahan napas dan Ciok Kwan sendiri berdebar hati, karena iapun tidak percaya bahwa Huayen-khan akan berhasil. Akan tetapi, terdengar sorak-sorai dari para pengawal dan pengiring kepala suku bangsa Ouigour ini ketika terdengar burung walet menjerit lalu terbang cepat sekali tanpa ekor! Beberapa helai bulu ekornya itu telah copot dan bodol terbabat oleh anak panah yang dilepas oleh Huayen-khan!

"Bagus, hebat sekali ilmu panahan khan yang baik!" Kaisar itu memuji dan diam-diam ia bersukur bahwa kerajaannya tidak bermusuhan dengan Huayen-khan yang pandai sekaIi mainkan anak panah ini.

Huayen-khan tertawa bergelak. "Walet hitam sekecil itu perlu apa dibunuh? Dicabut ekornya saja ia akan menjerit ketakutan dan lari secepatnya. Ha ha ha!"

Kaisar Tai Cung juga tersenyum karena ia maklum akan maksud kata-kata Huayen khan yang lihai ini. Memang, pada waktu itu, terdapat suku bangsa Cou yang dipimpin oleh Piloko, seorang yang terkenal juga dalam ilmu silat sehingga ia mendapat julukan Yan-ong (Raja Burung Walet).

Juga Piloko dan suku bangsanya bersahabat dengan pemerintah Tang tetapi di dalam perdagangannya dengan pemerintah Tang, Piloko mendapat saingan keras sekali dari Huayen-khan sehingga dua orang pemimpin suku bangsa ini menjadi saling benci dan timbul permusuhan di antara mereka!

Oleh karena itu, ucapan Huayen-khan ini tentu saja menyinggung diri Piloko yang dianggapnya burung walet tadi. Inipun agak tepat, karena di dalam peperangan pernah pasukan Piloko terpukul mundur oleh Huayen-khan dan terpaksa melarikan diri. Hanya berkat kebijaksanaan campur tangan Kaisar Tai Cung saja maka peperangan tidak dilanjutkan dan tidak menghebat, akan tetapi di dalam hati masing-masing masih terdapat dendam dan kebencian.

Setelah menerima hadiah-hadiah dari kaisar, Huayen-khan lalu mengundurkan diri, diiringkan oleh sekalian pengawalnya, keluar dari istana hendak kembali ke tempat tinggalnya sendiri, yakni di lembah Sungai Salenga di utara. Kaisar Tai Cung memberi perintah kepada Ciok Kwan untuk membawa sepasukan pengawal, mengiringkan perjalanan Huayen-khan sampai keluar ibu kota.

Pada saat rombongan ini tiba di luar tembok ibu kota, tiba-tiba sepasukan orang-orang tinggi besar yang bertopi putih sambil berseru keras datang menyerbu ! Jumlah mereka banyak sekali dan ternyata bahwa mereka ini adalah pasukan suku bangsa Cou yang dipimpin oleh Piloko! Mereka telah menanti saat yang baik untuk melakukan pembalasan dan karena dendam mereka sudah memuncak, maka mereka tidak segan-segan lagi untuk menyerang Huayen-khan di Iuar tembok ibu kota kerajaan Tang!

"Atas nama kaisar, harap jangan mengganggu tamu agung kami!" Ciok Kwan berulang-ulang memberi peringatan dan berseru keras, akan tetapi Piloko tidak memperdulikan seruan itu bahkan segera berteriak.

"Ciok ciangkun! Harap kau menarik kembali pasukanmu dan masuk ke dalam kota. Kami tidak ada persoalan dengan kau dan pasukanmu dan biarkan kami membereskan urusan lama dengan Huayen-khan!"

Setelah berkata demikian Piloko memberi aba-aba dan menyerbulah anak buahnya, menyerang Huayen-khan yang hanya dikawal oleh dua puluh orang anak buahnya.

Pertempuran hebat terjadi ramai sekali Ciok Kwan menjadi ragu-ragu karena selain ia merasa mendongkol kepada Huayen-khan, juga ia gentar menghadapi Piloko dengan anak buahnya yang sedikitnya ada lima puluh orang itu! Maka ia berdiri diam saja dipinggir dan hal ini tentu saja diturut oleh pasukannya yang tidak berani lancang turun tangan tanpa aba-aba dari pemimpinnya. Betapapun juga, Ciok Kwan lalu menyuruh dua orang anak buahnya untuk melaporkan peristiwa ini kepada kaisar dan minta putusan kaisar.

Celakalah keadaan Huayen-khan. Biarpun ia sendiri gagah perkasa, namun pada saat itu ia masih setengah mabok dan anak buahnya yang hanya dua puluh orang itu tentu saja tidak dapat menandingi sepak terjang lima puluh orang anak buah Piloko yang pilihan! Seorang demi seorang anak boah Huayen-khan roboh mandi darah dan Huayen khan sendiri sudah terkurung rapat.

Namun kepala suku bangsa Ouigour ini memang mengagumkan. Dalam keadaan terjepit seperti itu, ia sama sekali tidak mau berseru minta tolong kepada Ciok Kwan. Juga ia melakukan perlawanan dengan gigih sekali, memainkan goloknya yang diputar dengan hebatnya.

Pembantu Piloko tentu saja takkan berdaya menghadapi Huayen-khan yang kosen kalau di situ tidak ada Piloko yang mengeroyoknya pula. Kepandaian silat Piloko tinggi juga dan permainan sepasang tombak pendek di tangannya cukup cepat dan kuat. Namun ia harus mengakui bahwa ia masih kalah jauh oleh Huayen-khan dan setelah mengeroyok dengan lima orang kawan-kawannya saja baru ia dapat mengimbangi permainan golok dari orang kasar bangsa Ouigour ini!

Golok Huayen-khan telah berlumur darah, karena banyaklah sudah musuh yang roboh di tangannya. Akan tetapi sekarang ia telah merasa lelah perlahan-lahan ia terdesak hebat dan kurungan yang kini terdiri dari sepuluh orang itu makin merapat!

Adapun Ciok Kwan masih sedia berdiri di situ menjadi penonton. Ia mengagumi kegagahan Huayen-khan akan tetapi ketika ia melihat gerakan sepasang tombak Piloko, ia menjadi gentar juga. Baiknya utusan-utusannya belum juga kembali, sehingga ia mendapat alasan cukup kuat untuk tinggal menjadi penonton dan belum membantu Huayen-khan.

Pada saat yang amat berbahaya bagi keselamatan Huayen-khan, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan berkelebatlah sinar putih yang menyilaukan mata. Segebrakan saja terguling dua orang pengeroyok Huayen-khan oleh sinar putih yang ternyata adalah sinar pedang yang amat cepat gerakannya itu!

Huayen-khan mengerling dan giranglah ia ketika melihat bahwa penolongnya bukanlah Ciok Kwan melainkan seorang pemuda bukan perajurit yang berpakaian biru dan berwajah tampan dan gagah sekali.

"Ha ha ha! Orang muda yang gagah, mari kita basmi tikus-tikus busuk ini!" Dalam keadaan seperti itu, Huayen-khan masih dapat tertawa, sungguh mengagumkan hati pemuda ini yang bukan lain adalah Sim Tiong Kiat adanya!

Di dalam perantauannya, tibalah Tiong Kiat di luar tembok kota raja sehingga ia melihat pertempuran itu. Ia melihat betapa seorang tua tinggi besar bercambang bauk yang hebat juga ilmu goloknya, dikeroyok oleh orang-orang suku bangsa Cou yang banyak jumlahnya. Di sana sini nampak banyak mayat bertumpuk-tumpuk bahkan masih terjadi pertempuran hebat sekali oleh kedua fihak yang tidak berimbang jumlahnya itu.

Ketika Tiong Kiat melihat Ciok Kwan dan pasukannya yang berpakaian mewah akan tetapi tidak berbuat sesuatu menghadapi pertempuran hebat itu, ia menjadi sebal sekali. Memang telah lama Tiong Kiat membenci para perajurit pemerintah yang lagaknya sombong itu. Melihat ilmu golok Huayen-khan dan kegagahan kepala suku bangsa Ouigour ini, timbul simpatinya dan segera ia mengambil keputusan untuk membelanya.

Di dalam dada pemuda ini memang masih ada keadilan dan tentu saja menghadapi dua pihak yang bertempur, tanpa mengetahui sebabnya, ia akan berpihak pada yang Iemah. Pihak Huayen-khan jauh lebih sedikit jumlahnya, maka lalu ia membela pihak ini. Ketika mendengar ucapan Huayen-khan, Tiong kiat menjadi gembira dan cepat ia mainkan pedangnya. Melihat betapa diantara para pengeroyok, sepasang tombak pendek Piloko paling lihai, Tiong Kiat lalu menyerang orang ini. Piloko menjadi marah sekali dan cepat ia menangkis sekuat tenaga dengan tombak kirinya.

"Tranggg!" dan putuslah tombak kiri ditangan Piloko itu, yang membuatnya menjadi terkejut sekali sehingga wajahnya berubah pucat.

"Ha ha ha!" Huayen-khan tertawa bergelak. Setelah kini menghadapi pengeroyok kawan-kawan musuhnya, ia mengganda dengan tertawa saja. Ia menjadi geli melihat betapa tombak Piloko terbabat buntung oleh pedang pemuda gagah itu. "Walet hitam yang tadi ekornya telah buntung, sekarang sayapnya brondol lagi. Ha ha ha! kau tidak lekas terbang minggat?"

Piloko menjadi jerih sekali melihat kegagahan Tiong kiat, maka ia segera berseru keras dalam bahasa Cou, mengajak pergi kawan-kawannya, ia sendiri lalu mendahului melompat pergi dan berlari cepat, diikuti oleh kawan-kawannya yang hanya tinggal tiga puluh orang lebih lagi.

Baru saja rombongan Piloko melarikan diri, datanglah pasukan dari dalam kota yang mendapat perintah dari kaisar untuk memisahkan pertempuran itu dan membujuk kedua pihak supaya berdamai, biarpun harus dengan kekuatan senjata, Huayen-khan tidak memperdulikan Ciok Kwan dan pasukannya, bahkan tidak memperdulikan lagi anak buahnya yang menjadi korban, melainkan memeluk bahu Tiong Kiat sambil tertawa bergelak.

"Ha ha ha! dibandingkan dengan kau, semua orang ini hanya kecoa-kecoa pemakan bangkai belaka. Orang seperti kau inilah yang sepantasnya duduk di sebelah kananku. Orang muda yang gagah, maukah kau pergi bersama Huayen-khan ke utara dan duduk makan minum dengan aku?"

Melihat sikap yang kasar ini, Tiong Kiat makin tertarik. Orang ini gagah dan jujur dan juga mendengar nama Huayen-khan, tahulah ia bahwa ini adalah kepala suku bangsa Ouigour yang gagah berani. Maka timbul hati sukanya dan iapun lalu menurut saja ketika tangannya digandeng oleh Huayen-khan dan diajak naik kuda yang sudah disediakan oleh anak buahnya. Ketika rombongan orang Ouigour ini hendak berangkat Huayen-khan menoleh dari kudanya, memandang kepada Ciok Kwan sambil tersenyum mengejek.

"Ciok-ciangkun, benar saja seperti pengakuanmu tadi. Anak panahmu hanya dapat dipergunakan untuk menjatuhkan seekor burung besar yang lambat terbangnya. Akan tetapi menghadapi seekor burung walet yang kecil dan gesit, anak panahmu menjadi tumpul. Ha ha ha!" la lalu menarik kendali kudanya dan mengajak Tiong Kiat mengaburkan kuda mereka pergi dari situ.

Ciok Kwan mendongkol sekali akan tetapi apakah yang dapat ia lakukan? Untuk menyerang dan menyergap orang-orang ini tentu saja ia tidak berani karena tidak ada perintah dari kaisar. Untuk bertindak seorang diri terhadap kepala suku bangsa Ouigour ini lebih jerih karena maklum bahwa kepandaiannya takkan dapat menangkan orang kasar itu. Dengan marah dan mendongkol ia Ialu memimpin pasukannya untuk kembali ke kota raja untuk membuat laporan kepada kaisar.

Huayen-khan ternyata merasa suka sekali kepada Tiong Kiat. Ia mengajak pemuda ini ke utara dengan segala kehormatan dan di sepanjang jalan pemuda ini diperlakukan sebagai orang setingkat dengannya. Ketika mereka tiba di tempat perkemahan suku bangsa Ouigour, Tiong Kiat menjadi kagum sekali melihat betapa suku bangsa ini menempati perkemahan yang baik dan mempunyai anggota yang banyak sekali jumlahnya.

Lagi pula, setiap orang laki-laki bertubuh tinggi besar dan tegap, selalu membawa senjata tajam dan nampaknya mengerti ilmu silat. Sungguh merupakan pasukan yang kuat dan baik. Akan tetapi yang lebih menyenangkan hatinya adalah ketika ia melihat wanita-wanita yang berada di situ. Berbeda dengan yang laki-laki para wanita Ouigour rata-rata berkulit bersih, bermata bening dan berhidung mancung, pendek kata cantik-cantik!

Rombongan Huayen-khan berjalan perlahan dan pemimpin besar itu menjalankan kudanya perlahan-lahan sambil mengangkat tangan ke kanan ke kiri membalas penghormatan semua anak buahnya yang menyambutnya sepanjang jalan. Tiong Kiat yang menjalankan kudanya di sebelah Huayen-khan, menjadi berdebar bangga karena seakan-akan juga menerima penghormatan besar itu.

Tiba-tiba dari jurusan depan nampak seorang penunggang kuda yang membalapkan kudanya sehingga debu mengebul tinggi, kuda itu berlari cepat sekali dan Tiong Kiat memandang bagaikan terpesona. Memang hebat sekali pemandangan yang nampak di depan matanya itu.

Kuda itu berbulu kemerah-merahan, sedangkan penunggangnya adalah seorang gadis yang berpakaian merah lagi sehingga kuda dan penunggangnya itu nampaknya seperti api yang bernyala-nyala. Yang membuat Tiong Kiat merasa kaget adalah kecepatan larinya kuda itu sehingga ia merasa kuatir kalau kuda ini menubruk kudanya dan kuda yang ditunggangi oleh Huayen khan.

Akan tetapi, Huayen-khan memandang dengan tertawa lebar saja dan ketika kuda merah itu sudab tiba di depan Huayen-khan tanpa mengurangi kecepatan larinya tiba-tiba saja gadis baju merah itu menahan kendali kuda dan menjepit perut kudanya dengan kedua kakinya dan mendadak kuda itu berhenti berlari...!

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.