PEDANG ULAR MERAH JILID 17
Orang-orang bangsa Cou memiliki watak yang jujur dan tidak curang. Para perajurit yang tadinya masih merupakan barisan, kini setelah melihat betapa dua orang pemimpin mereka bertempur melawan seorang gadis Han yang cantik jelita dan lihai sekali, mereka lalu mengurung dan duduk berjongkok sambil tertawa-tawa dengan senangnya seakan-akan mereka sedang menonton pertunjukan yang amat menarik tanpa bayar!
Ketika mereka melihat betapa Eng Eng berkelebatan bagaikan seekor kupu-kupu yang cepat dan ringan sekali beterbangan diantara sambaran dua batang golok dari kedua orang pemimpin mereka, terdengarlah pujian pujian dan sorakan-sorakan riuh rendah.
"Lihai sekali!”
"Bukan main hebatnya!"
Dan masih banyak lagi kata-kata pujian dalam bahasa Cou yang tidak dimengerti oleh Eng Eng, Akan tetapi sikap mereka ini benar-benar menggembirakan hati Eng Eng, sehingga timbullah kesan baik di dalam hati gadis ini terhadap orang-orang Cou yang jujur itu. Ia menjadi tidak tega untuk melukai dua orang pengeroyoknya ini, dan hanya mempermainkan mereka saja sambil tersenyum-senyum manis.
Entah mengapa semenjak pertemuannya dengan Tiong Han dan mendapat kenyataan bahwa Tiong Han bukanlah pemuda yang dibencinya, ia menjadi amat tertarik kepada pemuda itu dan kalau tadinya ia memandang penghidupan ini nampak gelap dan menyedihkan, kini seakan-akan di dalam kegelapan itu timbul cahaya terang dan di dalam kesedihan itu nampak sesuatu yang membesarkan harapan dan menimbulkan kegembiraannya.
Dulu cita-cita hidupnya hanya satu, yakni membunuh Tiong Kiat dan mencari Thian te Sam kui untuk membalas dendam. Kalau cita-cita ini sudah tercapai, agaknya ia takkan suka hidup lagi!
Akan tetapi sekarang, entah mengapa, bayangan Tiong Han, pemuda yang lemah-lembut sopan santun, berbudi mulia, dan berkepandaian tinggi itu selalu nampak di depan matanya dan menimbulkan harapan serta pegangan hidup. Kini sering kali Eng Eng merasa demikian gembira sehingga bunga-bunga seakan-akan tersenyum kepadanya, daun-daun hijau seakan akan melambai-lambai dengan ramahnya.
Kini menghadapi kedua orang lawannya iapun sedang bergembira, maka tidak henti-hentinya ia tersenyum hingga menambahkan kekaguman bagi semua orang Cou yang menonton pertempuran itu. Gadis lihai itu tidak saja dapat mempermainkan dan melayani dua orang pemimpin mereka dengan golok di tangan kiri bahkan masih mempunyai kesempatan untuk tersenyum-senyum!
Lima puluh jurus telah lewat dan selama itu, jangankan melukai gadis aneh itu, menyentuh ujung bajunya saja kedua orang pemimpin rombongan bangsa Cou itu tidak sanggup. Sebaliknya Eng Eng juga tidak pernah membalas serangan mereka. Kini Eng Eng telah merasa cukup dan mulai menjadi bosan. Pada saat itu, dari kanan kirinya, kedua orang lawannya mengangkat golok dengan cepat dan kuatnya lalu diayun ke arah kepala gadis itu!
Akan tetapi Eng Eng masih dapat tertawa dan berkata, "Perlahan dulu, sahabat!"
Gadis ini dengan gerakan yang amat lemas dan gaya yang amat manis lalu mainkan gerak tipu yang disebut Burung Hong Membuka Sayap. Kaki kirinya diangkat ke atas kaki kanan berdiri di atas ujung sepatunya. Tangan kiri yang memegang golok diayun ke kiri dengan gerakan cepat untuk menangkis serangan golok dari kiri, adapun tangan kanannya berbareng dengan tangan kiri, bergerak pula ke kanan dengan jari-jari terbuka, dan sebelum lawannya yang berada di kanannya tahu apa yang terjadi, ia telah mengeluh dan goloknya terlepas dari pegangan!
Juga goloknya, tidak dapat menahan tenaga tangkisan Eng Eng dan goloknya terlempar jauh! Orang di sebelah kanan tadi kini meringis-ringis sambil memegangi siku kanannya yang telah terkena bacokan tangan Eng Eng sehingga ia merasa lengannya sakit sekali dan lumpuh! Adapun orang di sebelah kirinya kini berdiri dengan mata terbelalak, penuh keheranan dan juga kekagetan melihat betapa goloknya tadi terdorong sedemikian hebatnya oleh golok lawannya!
"Hayo maju... tangkap dan keroyok!"
Orang yang sikunya lumpuh itu mengeluarkan aba-aba, akan tetapi para perajurit Cou ragu-ragu untuk maju melawan gadis yang sedemikian lihainya itu.
"Mundur semua, jangan berlaku kurang ajar!” tiba-tiba terdengar suara orang yang amat berpengaruh dan dari belakang para perajurit itu melompatlah seorang yang tinggi, melompati kepala para perajurit itu dan dengan ringan sekali ia turun di depan Eng Eng.
Gadis ini memandang dan diam-diam ia mengakui bahwa ginkang dari orang yang baru datang ini cukup lumayan. Ia bersiap sedia, karena maklum bahwa kepandaian orang yang baru datang ini, apabila dibandingkan dengan kepandaian dua orang pengeroyoknya tadi, amat jauh lebih pandai!
Akan tetapi, ia menjadi terheran ketika melihat betapa orang tinggi yang sudah setengah tua ini menjura dengan penuh hormat kepadanya, lalu berkata dalam bahasa Han yang ramah tamah dan lancar sekali.
"Lihiap, mohon kau sudi memaafkan kelancangan dan kekasaran orang orangku yang tidak tahu aturan. Maklumlah bahwa orang-orang yang telah disakiti hatinya oleh orang orang lain yang tadinya dipandang sebagai sahabat-sahabat baik, tentu saja mudah marah. Terus terang saja kami, suku bangsa Cou amat kecewa dan penasaran melihat sikap bangsamu, orang-orang Han. Kami telah dikhianati, orang-orang Han tanpa melihat keadaan dan tanpa alasan yang kuat, telah memilih dan memihak kepada orang-orang Ouigour yang selalu mengganggu kami. Banyak saudara-saudara kami yang tewas oleh pasukan Oei-ciangkun yang kuat, semua ini hanya karena hasutan dari Huayen-khan, pemimpin suku Ouigour yang membenci kami itu!"
Mendengar uraian panjang lebar yang tidak dimengerti betul itu, Eng Eng menjadi bingung. Akan tetapi melihat wajah orang tua ini yang amat berduka dan tampak bersungguh-sungguh, ia tidak berani main-main. Ia melempar golok rampasannya tadi dan membalas penghormatan Piloko.
"Aku adalah seorang perantau yang sama sekali tidak mengerti semua itu. Sebenarnya siapakah saudara dan mengapa pula rombongan saudara tiba di tempat yang miskin ini?"
"Aku bernama Piloko, dan semua ini adalah orang-orangku, yakni suku bangsa Cou yang amat menderita. Sebelum aku melanjutkan penuturanku, sudilah kiranya lihiap memperkenalkan diri. Siapakah lihiap, datang dari mana dan benarkah lihiap tidak mempunyai hubungan dengan benteng tentara kerajaan yang dipimpin oleh Oei-ciangkun?"
"Sudah kukatakan tadi, aku adalah seorang perantau bernama Suma Eng. Pekerjaanku hanya membasmi orang jahat dan menolong orang yang tertindas, bagaimana aku dapat terikat oleh hubungan dengan sepihak? Ceritakanlah kesusahanmu, saudara Piloko, mungkin aku dapat membantumu."
Bukan main girangnya hati Piloko mendengar ucapan ini. Lagi pula diam-diam ia telah menyaksikan kepandaian Eng Eng yang dengan demikian mudahnya mempermainkan dua orang pembantunya. Ia maklum bahwa kepandaiannya sendiri masih jauh untuk dapat melawan kepandaian nona ini, maka kalau saja ia dapat menarik tenaga nona ini untuk membantunya hal itu tentu amat baiknya.
Pada saat itu terdengar seruan perlahan dari seorang wanita. Para perajurit yang duduk memberi jalan dan nampaklah seorang wanita setengah tua datang membawa sebatang pedang telanjang di tangannya. Wajahnya nampak berduka dan juga gelisah, akan tetapi ketika ia melihat Piloko berdiri berhadapan dengan Eng Eng dan bercakap-cakap dalam suasana damai, ia menjadi lega kembali dan pedangnya cepat ia sarungkan di pinggang.
"Nona Suma Eng, ini adalah Yamani isteriku yang setia. Lihat biarpun ia tidak memiliki kepandaian, namun mendengar aku datang ke sini menghadapi orang yang disangka lawan berbahaya, ia lupa kebodohannya dan datang membawa-bawa pedang!" kata Piloko memperkenalkan istrinya kepada Eng Eng, lalu disambungnya ketika ia memperkenalkan Eng Eng kepada istrinya.
"Yamani, jangan kau gelisah. Lihiap ini adalah seorang pendekar wanita yang gagah perkasa, yang mungkin belum pernah kau jumpai di alam mimpi sekalipun! Lihiap ini bernama Suma Eng dan kepandaiannya mungkin sepuluh kali lebih lihai dari pada kepandaianku."
Dengan singkat, Piloko lalu menceritakan kepada istrinya tentang kegagahan Eng Eng yang dikeroyok dua oleh pembantunya yang disebutnya kasar dan lancang tidak bisa mengenal orang.
Mendengar cerita suaminya ini, Yamani lalu menghampiri Eng Eng dan memegang lengannya. "Ah, lihiap, sungguh berbahagia sekali rasanya dapat bertemu dengan seorang pendekar wanita yang sudah lama menjadi buah mimpi padaku. Aku seringkali mendengar cerita tentang pendekar-pendekar wanita, akan tetapi belum pernah bertemu dengan seorangpun, harap kau mau memaafkan semua kesalahan kawan-kawan kami dan marilah kita bercakap-cakap di dalam kendaraanku yang biarpun kecil akan tetapi lebih enak dari pada di sini."
Sambil berkata demikian, dengan amat ramah tamah, Yamani lalu menarik lengan Eng Eng. Gadis ini tak dapat menolak karena semenjak bertemu, ia telah merasa suka kepada nyonya bangsa Cou ini yang selain ramah tamah, juga amat manis mukanya.
Setelah duduk berhadapan di dalam kendaraan sambil makan hidangan yang disuguhkan oleh Yamanl yang ramah-tamah, Eng Eng lalu mendengar penuturan sepasang suami istri kepala suku bangsa Cou ini. Ia mendengar betapa suku bangsa Cou selalu mendapat perlakuan kejam dan hinaan daripada suku bangsa Ouigour dan Mongol, dan betapa akhir-akhir ini tentara kerajaan nampaknya bahkan memusuhi mereka dan membantu orang orang Ouigour yang menahan suku bangsa Cou yang kecil jumlahnya.
"Perkampungan kami yang terakhir kemarin telah diserang pula oleh Huayen-khan dibantu oleh pasukan dari Oei ciangkun. Terpaksa kami sekarang mengungsi dan mau tidak mau harus menetap di daerah yang tandus dan tidak subur ini." kata Piloko sambil menghela napas.
"Bagi kami sih tidak begitu berat karena kami berdua tidak mempunyai anak." sambung Yamani dengan suara mengharukan.
"Akan tetapi kalau kuingat keadaan bangsaku…lihatlah mereka yang mempunyai anak-anak kecil, ah... bagaimana akan jadinya dengan kami...?" Menangislah Yamani dengan sedihnya.
"Diam kau!" Piloko tiba-tiba membentak dengan muka merah. "Apa artinya tangis saja dalam keadaan seperti ini!"
Istrinya terdiam dan dengan wajah pucat dan sepasang mata terbelalak ia memandang kepada suaminya. Semenjak mereka kawin puluhan tahun yang lalu, baru kali ini Piloko membentaknya sedemikian kasarnya. Melihat pandang mata isterinya, luluhlah kemarahan Piloko dan ia ingat bahwa ia tadi telah bersikap terlalu kasar, apa lagi di depan seorang tamu ia cepat memegang kedua tangan isterinya dan berkata,
"Yamani maafkan suamimu... aku terlampau tertindih oleh kedukaan sehingga lupa diri. Maafkanlah..."
Yamani hanya mengangguk-angguk karena tidak kuasa mengeluarkan kata-kata dari kerongkongan yang telah penuh oleh sedu sedan yang ditahan-tahannya. Melihat keadaan mereka ini, bukan main terharunya hati Eng Eng. Ia merasa penasaran dan marah sekali kepada orang-orang Ouigour yang sewenang-wenang. Terutama sekali ia merasa penasaran dan kecewa mendengar betapa pasukan kerajaan dari Oei-ciangkun membantu pekerjaan terkutuk dari pasukan Ouigour itu.
Mendengar betapa orang-orang lelaki dan anak-anak bangsa Cou dibunuh dan orang-orang wanita yang muda-muda diculik secara kurang ajar, darah dalam tubuh Eng Eng sudah bergolak saking marahnya. Ia berdiri dari bangkunya, dan berkata,
"Saudara Piloko, jangan khawatir. Aku akan membantumu dan biarlah aku memberi latihan ilmu golok kepada pasukanmu, kemudian mari kita menyerbu dan membalas kejahatan orang-orang Ouigour itu!”
Mendengar ucapan ini, Piloko dan Yamani segera menjatuhkan diri berlutut di depan gadis gagah itu saking girang dan bersyukurnya. Eng Eng cepat membangunkan mereka dan berkata,
"Aku adalah seorang perantau yang tidak tentu tempat tinggalku. Biarlah untuk sementara aku ikut dengan kalian sampai kalian dapat merampas kembali kampung yang diserobot oleh bangsa Ouigour!"
Demikianlah, untuk beberapa pekan lamanya, di daerah tandus itu, Eng Eng melatih ilmu golok kepada anak buah Piloko. Bahkan Piloko sendiri, juga Yamani dan banyak lagi wanita-wanita bangsa Cou yang kebanyakan manis-manis dan cekatan, ikut pula belajar golok yang diajarkan oleh pendekar wanita itu.
Sementara itu, Piloko menyuruh penyelidik-penyelidiknya untuk menyelidiki keadaan bekas kampung mereka yang telah dirampas oleh orang-orang Ouigour.
Pada suatu hari ia mendengar kabar bahwa kampung itu telah ditinggalkan oleh tentara kerajaan dan juga oleh pasukan-pasukan yang dipimpin sendiri oleh Huayen-khan, dan hanya terjaga oleh sepasukan orang Ouigour yang tak berapa kuat.
"Lihiap, kampung kita tidak terjaga kuat. Sekarang besar sekali kesempatan kita untuk menyerbu dan merampasnya kembali.”
Eng Eng setuju, maka berangkatlah pasukan Cou dipimpin oleh Eng Eng dan Piloko. Adapun rombongan keluarganya tidak berangkat bersama pasukan ini, melainkan menanti di tempat itu sampai kampung mereka dapat terampas kembali. Kini keluarga ini tidak begitu takut lagi ditinggal seorang diri oleh suaminya dan ayah mereka itu sedikit-sedikit telah mempelajari ilmu silat.
Karena perjalanan dilakukan cepat dan tidak membawa keluarga seperti ketika mereka pergi mengungsi, dalam waktu sehari semalam saja sampailah pasukan ini di kampung tempat tinggal mereka.
Terjadilah perang tanding yang hebat dan ramai. Akan tetapi, jangankan baru pasukan Ouigour yang hanya terdiri dari seratus orang lebih, biarpun di situ ada pasukan induk yang dipimpin oleh Huayen-khan sendiri, belum tentu akan dapat mengalahkan dengan mudah pasukan yang dipimpin oleh Eng Eng ini!
Terutama sekali sepak terjang Eng Eng mengerikan hati orang-orang Ouigour, maka dalam pertempuran yang tak berapa lama, kocar-kacirlah orang-orang Ouigour ini meninggalkan kawan-kawan yang tewas maupun yang terluka. Dengan mendapat kemenangan besar, orang-orang Cou lalu masuk ke dalam kampung mereka dan menduduki kampung sendiri. Mereka segera turun tangan memperbaiki rumah-rumah yang dulu dirusak, kemudian mereka beristirahat.
Pada keesokan harinya, Eng Eng dan Piloko naik kuda untuk menjemput keluarga Cou. Pasukan kuda mereka ditinggalkan dan diharuskan menjaga kampung itu dengan kuat sedangkan sebagian pula melanjutkan usaha memperbaiki rumah-rumah yang rusak.
Eng Eng merasa gembira sekali. Baru sekarang ia merasa bahwa hidupnya tidak percuma. Ia mempunyai tugas dan usaha untuk menuntun dan menolong kehidupan ratusan orang Cou yang ternyata benar-benar jujur dan baik itu.
Melakukan perjalanan bersama Piloko sambil bercakap-cakap, mendengar ucapan yang ramah dan hormat, melihat pandangan mata yang penuh rasa terima kasih itu, ah, Eng Eng merasa seakan-akan berjalan dengan seorang paman atau ayah sendiri!
Bodoh sekali dia, pikirnya, mengapa tidak dari dulu menghubungi masyarakat ramai dan melakukan sesuatu demi kebaikan orang-orang itu? Sesungguhnya banyak sekali yang harus dilakukan, karena di dunia ini penuh dengan hal-hal yang amat ganjil, penuh dengan penindasan dan kekejaman, penuh dengan orang-orang yang patut dikasihani dan ditolong serta juga orang-orang yang patut dibasmi karena jahatnya!
"Suma lihiap, jasamu amat besar dan budimu terhadap bangsaku takkan dapat kami lupakan selamanya.” kata Piloko.
"Ah, saudara Piloko apa perlunya segala ucapan sungkan ini. Aku suka membantumu dan membantu bangsamu yang tertindas."
“Ah, alangkah akan bahagia hatiku kalau saja aku dapat mempunyai seorang anak perempuan seperti kau!"
"Kau tidak punya anak, saudara Piloko?”
Kepala suku bangsa Cou itu menghela napas. "Dulu punya seorang anak perempuan akan tetapi ia meninggal dunia karena penyakit demam. Semenjak itu, aku dan isteriku menganggap semua anak buahku sebagai anak kami dan yang harus kami jaga dengan segenap nyawa dan raga."
Eng Eng tidak menjawab, akan tetapi diam-diam ia juga berpikir. Alangkah senangnya kalau dia masih mempunyai ayah ibu pula, biarpun ayah ibu bangsa Cou seperti Piloko dan Yamani! Semenjak kecil ia merindukan cinta kasih ayah bunda yang tak pernah dirasakannya. Ingin sekali ia berkata kepada Piloko bahwa ia suka menjadi anak orang ini akan tetapi ia tidak dapat mengucapkannya dan hanya diam saja sambil menarik napas panjang.
Ketika mereka tiba di perkampungan baru di daerah tandus itu, senja telah mulai mendatang. Mereka memasuki kampung, dan dengan amat heran mereka melihat tempat itu sunyi saja tidak kelihatan seorangpun! Piloko menjadi pucat menyangka bahwa kampung ini tentulah mengalami malapetaka sewaktu ditinggal pergi.
Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara-suara orang seperti dikeluarkan oleh orang-orang yang sedang bertempur. Eng Eng melompat turun dari kudanya dan berlari cepat ke arah suara itu yang datang dari luar dusun sebelah barat.
Ketika ia tiba di situ, ia menjadi marah bukan main melihat Yamani dan beberapa orang wanita lain dengan mati-matian sedang mengeroyok seorang laki-laki yang melayani mereka sambil tertawa-tawa mengejek. Sambil mengelak dari serangan golok para wanita itu, laki-laki ini menowel sana mencolek sini, memilih wanita-wanita muda dengan cara yang amat kurang ajar.
"Bangsat Ban Hwa Yong!” Eng Eng memaki marah. "Kau benar-benar harus dibikin mampus!"
Sambil berkata demikian, Eng Eng minta golok dari seorang wanita yang tadi ikut mengeroyok penjahat itu dan sambil melompat cepat ia menerjang penjahat cabul itu. Gadis ini makin lama makin merasa sayang kepada pedangnya, maka ia tidak mau mengotori pedangnya dengan darah bangsat yang dibencinya ini. Pula ia merasa yakin bahwa dengan sebatang golokpun ia akan dapat mengalahkan Ban Hwa Yong.
Sementara itu, Ban Hwa Yong menjadi kaget setengah mati ketika melihat Eng Eng, gadis yang pernah dirasai kelihaiannya dan yang telah menewaskan kedua suhengnya. Ban Im Hosiang dan Ban Yang Tojin. Ia menjadi jerih dan juga marah sekali terhadap gadis ini, maka sambil berseru keras ia mencabut sepasang senjata kaitannya dan memutar sepasang senjata ini bagaikan kitiran cepatnya.
Yamani dan teman-temannya ketika melihat penjahat yang lihai itu menggunakan senjata dan melihat datangnya Eng Eng cepat-cepat mengundurkan diri dan menonton sambil berdiri di tempat yang cukup jauh agar jangan mengganggu Eng Eng dan jangan sampai terkena sambaran senjata penjahat yang lihai itu. Bahkan Piloko sendiri tidak berani turun tangan karena ia tidak berani mengganggu Eng Eng yang nampaknya sudah kenal penjahat ini dan belum pernah Piloko melihat nona pendekar itu demikian marah.
Ia lalu didekati oleh istrinya yang menceritakan dengan singkat bahwa sebelum Piloko dan Eng Eng pulang, penjahat ini datang memasuki kampung dan melihat betapa penduduk kampung itu hanya wanita-wanita saja. Ban Hwa Yong lalu hendak berlaku kurang ajar. Ia hendak mengangkat diri menjadi pemimpin orang-orang itu dan memilih gadis-gadis yang tercantik untuk melayaninya.
Tentu saja orang-orang wanita Cou itu menjadi marah sekali lalu beramai-ramai mengeroyoknya. Akan tetapi tentu saja mereka ini bukan lawan Ban Hwa Yong yang kosen. Biarpun penjahat itu dikeroyok oleh beberapa orang wanita yang dipimpin oleh Yamani namun dengan tangan kosong ia menghadapi keroyokan golok itu dengan amat mudahnya bahkan ia masih dapat mengganggu para pengeroyoknya!
Memang agaknya dosa Ban Hwa Yong sudah terlampau bertumpuk-tumpuk sehingga dusun yang nampaknya tenang dan penuh wanita sehingga ia merasa aman dan gembira itu, tidak tahunya adalah tempat tinggal dari Suma Eng, gadis yang dibencinya dan juga amat ditakutinya. Kini Eng Eng telah maju dengan amat marah.
Gadis ini menggerakkan goloknya dengan sekuat tenaga, dibacokkan ke arah kepala Ban Hwa Yong sambil mengerahkan lweekangnya. Ban Hwa Yong menangkis dan mencoba untuk membalas dengan serangan balasan yang hebat. Akan tetapi, baru tangkisannya saja sudah membuat ia merasa makin jerih.
Ketika ia menangkis tadi, ia merasa betapa tangannya yang memegang kaitan yang ditangkiskan menjadi kesemutan dan pedas sekali. la masih mempertahankan diri sampai dua puluh jurus dengan harapan bahwa karena gadis itu memegang golok, tentu tidak berapa lihai. Tidak tahunya, rangsekan gadis itu makin hebat saja dan golok yang dimainkan seolah-olah telah berobah menjadi lima batang!
Akhirnya Ban Hwa Yong tak kuat menahan dan sambil berseru keras ia lalu melepaskan beberapa batang jarum rahasia yang dijemputnya dengan tangan kiri dari saku bajunya akan tetapi Eng Eng dengan amat mudahnya mengelakkan diri. Ketika gadis ini hendak menyerang lagi, Ban Hwa Yong melompat jauh dan melarikan diri. Akan tetapi mana Eng Eng mau melepaskan penjahat ini?
"Bangsat cabul, kau hendak lari ke mana?" serunya dan secepat burung melayang, tubuhnya berkelebat mengejar. Sebentar saja dua orang ini sudah lenyap dari pandangan mata semua orang yang menonton pertempuran itu.
"Lekas, kejar mereka dan bantu Suma lihiap!” kata Yamani kepada suaminya dengan gelisah.
Akan tetapi Piloko yang memiliki kepandaian jauh lebih tinggi dari isterinya, tersenyum. "Kau jangan kuatir, lihiap takkan apa-apa. Bangsat itu pasti akan mampus di tangan Suma lihiap.”
Memang ramalan Piloko ini tidak kosong belaka. Biarpun Ban Hwa Yong memiliki ginkang yang tinggi dan pandai menggunakan ilmu lari cepat Co sang-hui (Terbang di Atas Rumput). Namun sebentar saja Eng Eng telah dapat mengejarnya. Terpaksa Ban Hwa Yong memutar tubuhnya dan bersiap sedia dengan kaitannya.
"Bangsat rendah, mampuslah kau!” seru Eng Eng dan cepat gadis ini menyerang dengan goloknya, menggunakan golok di tangan kanan untuk membacok ke arah leher sedangkan tangan kirinya siap untuk mengirim pukulan susulan.
Ban Hwa Yong makin gugup. Tak terasa keringat dingin mengalir turun dari balik bajunya. Ia menangkis bacokan itu dengan kaitan di tangan kanan sambil menggeser kaki kanan, kaitan kirinya menyambar ke arah perut Eng Eng! Akan tetapi, gadis yang sudah sangat marahnya ini lalu menggerakkan kaki kiri menendang tepat mengenai pergelangan tangan kiri Ban Hwa Yong.
"Krekkk...!”
Ban Hwa Yong menjerit ketika tulang pergelangan tangannya patah terkena tendangan Eng Eng yang mengerahkan tenaga luar biasa itu! Kaitan kiri terlepas dan terlempar jauh. Sebelum kaitan kanannya dapat sempat bergerak, golok Eng Eng sudah menyambar dan tanpa dapat berteriak lagi. Ban Hwa Yong manusia durhaka dan keji itu telah roboh dengan kepala terpisah dari tubuh!
"Ting twako, harap kau sekeluarga dapat puas dan tenang. Musuh-musuhmu telah tewas semua!" kata Eng Eng sambil memandang ke angkasa, seolah-olah ia bicara dengan arwah dari Ting Kwan Ek, piauwsu yang terbunuh sekeluarganya oleh Thian-te Sam-kui yang kini telah ditewaskannya semua itu!
Kemudian Eng Eng lalu melempar goloknya dan melompat kembali ke arah dusun, piloko dan orang-orang perempuan di situ menyambutnya dengan amat lega dan gembira apalagi ketika mendengar bahwa penjahat itu telah dapat ditewaskan. Eng Eng menceritakan siapa adanya penjahat itu, maka semua orang menjadi kagum mendengar ini, lebih-lebih ketika mendengar bahwa penjahat itu adalah seorang di antara Thian-te Sam-kui yang pernah didengar namanya oleh Piloko.
Kemudian pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali rombongan keluarga yang semua berwajah girang dan berseri ini lalu berangkat kembali ke kampung mereka yang telah dapat dirampas kembali dari tangan orang-orang Ouigour. Kedatangan keluarga dalam keadaan selamat ini menambah kegembiraan orang-orang Cou yang sedang membangun kembali dusun mereka, dan menambah pula rasa terima kasih mereka kepada Suma Eng yang mereka beri nama julukan 'Bunga Dewa'!
Dikalangan orang Cou ini dahulu memang terdapat kepercayaan tentang adanya bunga dewa yang sakti sekali yang sering kali diturunkan oleh dewata untuk menolong manusia. Bunga dewa yang diturunkan ke dunia oleh dewa ini sering kali menjelma menjadi manusia gagah atau menjelma menjadi pertapa-pertapa. Dengan diberi nama julukan bunga dewa berarti bahwa orang-orang Cou merasa amat berterima kasih dan amat menjunjung tinggi gadis ini!
Setelah suku bangsa Cou bisa merampas kembali kampung mereka dan memperbaiki rumah-rumah di kampung itu. Eng Eng merasa bahwa tugasnya menolong orang ini sudah selesai. Akan tetapi, sebelum ia berpamit untuk meninggalkan Piloko dan anak buahnya, kepala suku bangsa Cou itu bersama istrinya berkata kepadanya dengan suara mengandung permohonan.
"Lihiap, kami mengharap dengan sangat sukalah lihiap tinggal bersama kami, tidak saja untuk melanjutkan latihan ilmu golok kepada kami, akan tetapi terutama sekali untuk menakuti orang-orang Ouigour. Kalau tiada lihiap di sini kami pasti akan diserangnya lagi dan sekali ini mereka tentu akan membuat pembalasan hebat. Bagaimana kami dapat melawan mereka kalau sampai tentara Han membantu mereka?"
Eng Eng berpikir bahwa kekuatiran ini beralasan juga. “Biarkan mereka datang, saudara Piloko, akan kubasmi mereka semua, kalau mereka berani datang mengganggu lagi. Baiklah aku akan tinggal untuk sementara di sini, akan tetapi sesungguhnya aku mempunyai tugas amat penting yakni mencari seorang musuh besarku. Kalau aku tinggal di sini, berarti hal itu kutunda-tunda. Maka tolonglah menyuruh beberapa orangmu untuk membantuku dan mewakili aku menyelidiki di mana adanya orang yang kucari-cari itu."
ia lalu memberi keterangan tentang Sim Tiong Kiat yang berjuluk Ang-coa-kiam, dan memberi gambaran pula tentang bentuk muka dan tubuh pemuda musuh besarnya itu. Piloko dengan girang lalu menyanggupi, bahkan segera memilih kawan-kawannya yang pandai sebanyak lima orang untuk disuruh menyelidiki di mana adanya Sim Tiong Kiat itu.
Eng Eng tinggal serumah dengan Piloko dan Yamani dan hubungannya dengan nyonya rumah ini makin erat saja seperti enci adik atau bahkan seperti ibu dan anak. Dari Yamani Eng Eng mempelajari banyak sekali kepandaian bahasa Cou, kerajinan tangan dan juga menerima nasihat-nasihat tentang kehidupan dari nyonya yang sudah banyak pengalaman hidup ini.
Tepat seperti yang dikuatirkan oleh Piloko, dua pekan kemudian datanglah serbuan yang sangat besar-besaran dari pasukan Ouigour yang dipimpin sendiri oleh Huayen-khan dan Ang Hwa!
Ketika itu Eng Eng dan Piloko yang ditemani oleh Yamani sedang duduk di belakang rumah menyaksikan latihan ilmu golok yang dilakukan oleh belasan orang pemimpin pasukan. Tiba-tiba seorang penjaga dengan napas terengah-engah datang melaporkan.
"Dari balik bukit di timur datang pasukan Ouigour yang jumlahnya kurang lebih dua ratus orang, dikepalai sendiri oleh Huayen khan dan seorang wanita muda yang cantik berpakaian merah."
"Ang Hwa si perempuan lacur !" kata Piloko dan Yamani hampir berbareng dengan muka kaget.
"Siapkan barisan, perkuat penjagaan di empat pintu gerbang dan sisa barisan semua bersiap di pintu timur!"
Piloko memberi perintah kepada para pembantunya yang sedang berlatih golok itu. Pemimpin-pemimpin pasukan itu cepat pergi untuk mengatur pasukan masing-masing dan Piloko lalu berkata kepada Eng Eng!
"Nah, Suma-lihiap sekaranglah saatnya kami mohon bantuanmu karena tanpa bantuanmu kami semua pasti akan celaka ditangan Huayen khan dan Ang Hwa. Selain jumlahnya pasukan mereka lebih besar, juga Huayen khan dan Ang Hwa amat lihai."
Akan tetapi dengan tenang Eng Eng lalu mengajak kepala suku bangsa Cou itu dan istrinya untuk segera keluar dan ikut menjaga di pintu gerbang sebelah timur.
"Siapakah orang yang kau sebut Ang Hwa itu?” tanyanya ketika mereka telah tiba di tempat yang dituju di mana para perajurit Cou telah siap sedia dengan golok di tangan.
"Ang Hwa adalah puteri seorang ahli silat Kun Iun pai yang telah menjadi isteri dari Huayen-khan. Mungkin kepandaiannya tidak kalah oleh Huayen khan, terutama sekali pedangnya yang amat ganas." Jawab Piloko.
Mendengar ini, Eng Eng menjadi tertarik sekali. Ingin ia menyaksikan sampai di mana kelihaian Huayen khan, terutama orang yang bernama Ang Hwa itu. Sambil menanti kedatangan tentara musuh, Eng Eng mendengar keterangan Piloko tentang kejahatan dan kecabulan Ang Hwa yang biarpun sudah menjadi istri Huayen khan, namun masih suka bermain gila dengan laki laki lain setahu suaminya!
Tentu saja Eng Eng menjadi sebal mendengar ini dan timbullah rasa benci dalam hatinya terhadap Ang Hwa yang dianggapnya tidak tahu malu. Sebelum kelihatan barisan Ouigour itu, sudah nampak debu mengebul dan suara sorakan mereka, Eng Eng berpesan kepada Piloko.
"Jangan bergerak dulu. lihat apa yang hendak mereka lakukan. Kalau memang betul Huayen khan dan Ang Hwa berniat buruk, biar aku merobohkan mereka dulu agar semangat barisannya menjadi patah."
Piloko menurut dan memberi perintah kepada para pembantunya, akan tetapi di dalam hatinya diam-diam ia merasa ragu-ragu apakah mungkin Eng Eng dapat merobohkan Huayen-khan dan Ang Hwa seorang diri saja. Ia telah maklum bahwa ilmu kepandaian Huayen khan sendiri jauh lebih tinggi dari pada ilmu kepandaiannya, apa lagi Ang Hwa yang disohorkan orang amat ganas dan kejam itu. Biarpun ia telah menyaksikan kelihaian Eng Eng, namun sukarlah dapat dipercaya adanya seorang gadis yang dapat menghadapi Huayen-khan dan Ang Hwa!
Tak lama kemudian dari sebuah tikungan di luar dusun, nampaklah barisan Ouigour itu muncul dengan segala kegagahan. Huayen-khan sendiri naik kuda abu-abu disamping kuda putih yang dinaiki Ang Hwa dan kedua orang ini nampak gagah dan keren. Melihat dua orang musuh besar ini, Piloko merasa marah dan juga gentar. Telah berkali-kali ia merasai kelihaian Huayen khan, biarpun ia mengeroyok orang ini, selalu ia menderita kekalahan.
Sementara itu, Huayen-khan memandang kepada Piloko dengan muka merah dan menudingkan golok besarnya sambil berkata,
"Piloko, manusia tak tahu malu! Apakah kau telah bosan hidup maka kau telah berani sekali berlaku curang dan menyerang pasukanku selagi aku tidak ada? Ketika kami merampas kampungmu, kami masih berlaku murah tidak membunuhmu. Akan tetapi kau melepaskan kesempatan dan kekuatan tentara yang lebih besar jumlahnya untuk menyerang kembali kampungmu. Sungguh hal ini aku tak dapat membiarkan saja dan hari ini aku harus dapat memenggal lehermu dengan golokku."
Ucapan ini dikeluarkan dalam bahasa Cou yang kaku. Eng Eng yang sudah mempelajari bahasa ini, dapat mengerti maksudnya, maka ia mendengarkan dengan penuh perhatian, akan tetapi tetap waspada.
“Huayen khan, bisa saja kau memutar balikkan duduknya perkara. Sudah kau katakan juga bahwa kau telah merampas kampungku mau bicara apa lagi? Kau telah mengaku dan memperdengarkan kejahatanmu sendiri. Kau selalu menindas dan memusuhi bangsaku yang lebih kecil jumlahnya, sedangkan seekor semutpun kalau diinjak-injak sarangnya akan mengamuk dan melawan seekor gajah, apalagi pula seorang manusia? Kami merampas kembali kampung kami sendiri, dipandang dari sudut keadilan siapapun juga, ini sudah menjadi hak kami dan kau boleh mengatakan apa juga, namun tetap kampung ini adalah tempat tinggal kami."
Tiba-tiba terdengar suara tertawa mengejek. Ternyata yang tertawa adalah wanita cantik yang berkuda putih di samping Huayen-khan, yakni Ang Hwa.
"He he he, sekarang Piloko berani membuka mulut besar, agaknya burung walet yang sudah habis bulunya itu kini telah tumbuh sayap.”
"Ha, ha, ha !!" Huayen-khan tertawa bergelak mendengar ejekan isterinya ini. "Kau betul sekali, manis. Biar aku putuskan lagi sayapnya yang baru tumbuh itu. Ha ha ha!"
Sambil berkata demikian, tangannya bergerak cepat dan tahu-tahu sebatang anak panah telah terlepas dari busurnya, menyambar Piloko. Memang Huayen khan adalah seorang ahli main panah. Akan tetapi piloko yang mendapat julukan Yan ong (Raja WaIet) memiliki ginkang yang sudah cukup tinggi.
Begitu melihat berkelebatnya anak panah yang menyambar, lebih dulu ia telah dapat melompat ke kiri. Anak panah itu lewat di samping tubuhnya dan menancap ke atas tanah sampai ke gagangnya. Akan tetapi, dengan amat cepatnya, tiga batang anak panah menyambar lagi, kini ketiga bagian tubuh Piloko!
"Manusia curang!” tiba-tiba berkelebat bayangan tubuh yang amat langsing dan tahu-tahu tiga batang anak panah itu telah kena ditendang runtuh oleh Eng Eng yang tahu-tahu telah berdiri di depan Piloko dan menghadapi Huayen khan dengan mata bersinar marah.
“Ha, ha, ha, pantas saja Piloko berani berlagak, tidak tahunya ia telah mempunyai seorang selir yang cantik dan gagah perkasa. Eh, kau nona yang cantik dan gagah, mengapa kau begitu merendahkan diri ikut pada Piloko yang miskin?"
Bukan main marahnya hati Eng Eng mendengar hinaan ini. Akan tetapi ia teringat akan penuturan PiIoko tentang Huayen-khan dan istrinya yang ternyata masih muda, cantik yang jelas berasal dari selatan itu, maka katanya dalam bahasa Han sambil tersenyum mengejek.
"Huayen khan, aku adalah seorang gadis kang ouw pembasmi orang-orang jahat seperti kau mana bisa dibandingkan dengan isterimu? Agaknya kau selalu memandang rendah kepada setiap orang wanita, karena mengingat akan istrimu sendiri yang kau biarkan bermain dengan laki laki lain!"
Biarpun omongan yang dikeluarkan oleh Eng Eng ini disertai senyum simpul, akan tetapi tajamnya melebihi ujung pedang yang menikam dada Huayen khan dan Ang Hwa. Dua orang ini belum pernah dihina orang seperti ini, tentu saja mereka menjadi marah sekali. Huayen khan saking marahnya tidak dapat berkata sesuatu, hanya kedua tangannya saja yang bergerak secepat kilat dan lima batang anak panah melayang ke arah tubuh Eng Eng!
Gadis ini memperlihatkan kepandaiannya yang benar-benar mengagumkan sekali. Bagi orang lain, anak-anak panah itu datangnya amat cepat dan sukar sekali diikuti oleh pandangan mata sehingga amat sukar dilihat. Akan tetapi bagi Eng Eng, ia dapat melihat jelas datangnya anak panah ini. Dua batang melayang agak rendah, mengarah perut dari kanan kiri. Dua lagi mengarah dada dari kanan kiri dan sebatang lagi menuju ke arah kepalanya!
Ketika mereka melihat betapa Eng Eng berkelebatan bagaikan seekor kupu-kupu yang cepat dan ringan sekali beterbangan diantara sambaran dua batang golok dari kedua orang pemimpin mereka, terdengarlah pujian pujian dan sorakan-sorakan riuh rendah.
"Lihai sekali!”
"Bukan main hebatnya!"
Dan masih banyak lagi kata-kata pujian dalam bahasa Cou yang tidak dimengerti oleh Eng Eng, Akan tetapi sikap mereka ini benar-benar menggembirakan hati Eng Eng, sehingga timbullah kesan baik di dalam hati gadis ini terhadap orang-orang Cou yang jujur itu. Ia menjadi tidak tega untuk melukai dua orang pengeroyoknya ini, dan hanya mempermainkan mereka saja sambil tersenyum-senyum manis.
Entah mengapa semenjak pertemuannya dengan Tiong Han dan mendapat kenyataan bahwa Tiong Han bukanlah pemuda yang dibencinya, ia menjadi amat tertarik kepada pemuda itu dan kalau tadinya ia memandang penghidupan ini nampak gelap dan menyedihkan, kini seakan-akan di dalam kegelapan itu timbul cahaya terang dan di dalam kesedihan itu nampak sesuatu yang membesarkan harapan dan menimbulkan kegembiraannya.
Dulu cita-cita hidupnya hanya satu, yakni membunuh Tiong Kiat dan mencari Thian te Sam kui untuk membalas dendam. Kalau cita-cita ini sudah tercapai, agaknya ia takkan suka hidup lagi!
Akan tetapi sekarang, entah mengapa, bayangan Tiong Han, pemuda yang lemah-lembut sopan santun, berbudi mulia, dan berkepandaian tinggi itu selalu nampak di depan matanya dan menimbulkan harapan serta pegangan hidup. Kini sering kali Eng Eng merasa demikian gembira sehingga bunga-bunga seakan-akan tersenyum kepadanya, daun-daun hijau seakan akan melambai-lambai dengan ramahnya.
Kini menghadapi kedua orang lawannya iapun sedang bergembira, maka tidak henti-hentinya ia tersenyum hingga menambahkan kekaguman bagi semua orang Cou yang menonton pertempuran itu. Gadis lihai itu tidak saja dapat mempermainkan dan melayani dua orang pemimpin mereka dengan golok di tangan kiri bahkan masih mempunyai kesempatan untuk tersenyum-senyum!
Lima puluh jurus telah lewat dan selama itu, jangankan melukai gadis aneh itu, menyentuh ujung bajunya saja kedua orang pemimpin rombongan bangsa Cou itu tidak sanggup. Sebaliknya Eng Eng juga tidak pernah membalas serangan mereka. Kini Eng Eng telah merasa cukup dan mulai menjadi bosan. Pada saat itu, dari kanan kirinya, kedua orang lawannya mengangkat golok dengan cepat dan kuatnya lalu diayun ke arah kepala gadis itu!
Akan tetapi Eng Eng masih dapat tertawa dan berkata, "Perlahan dulu, sahabat!"
Gadis ini dengan gerakan yang amat lemas dan gaya yang amat manis lalu mainkan gerak tipu yang disebut Burung Hong Membuka Sayap. Kaki kirinya diangkat ke atas kaki kanan berdiri di atas ujung sepatunya. Tangan kiri yang memegang golok diayun ke kiri dengan gerakan cepat untuk menangkis serangan golok dari kiri, adapun tangan kanannya berbareng dengan tangan kiri, bergerak pula ke kanan dengan jari-jari terbuka, dan sebelum lawannya yang berada di kanannya tahu apa yang terjadi, ia telah mengeluh dan goloknya terlepas dari pegangan!
Juga goloknya, tidak dapat menahan tenaga tangkisan Eng Eng dan goloknya terlempar jauh! Orang di sebelah kanan tadi kini meringis-ringis sambil memegangi siku kanannya yang telah terkena bacokan tangan Eng Eng sehingga ia merasa lengannya sakit sekali dan lumpuh! Adapun orang di sebelah kirinya kini berdiri dengan mata terbelalak, penuh keheranan dan juga kekagetan melihat betapa goloknya tadi terdorong sedemikian hebatnya oleh golok lawannya!
"Hayo maju... tangkap dan keroyok!"
Orang yang sikunya lumpuh itu mengeluarkan aba-aba, akan tetapi para perajurit Cou ragu-ragu untuk maju melawan gadis yang sedemikian lihainya itu.
"Mundur semua, jangan berlaku kurang ajar!” tiba-tiba terdengar suara orang yang amat berpengaruh dan dari belakang para perajurit itu melompatlah seorang yang tinggi, melompati kepala para perajurit itu dan dengan ringan sekali ia turun di depan Eng Eng.
Gadis ini memandang dan diam-diam ia mengakui bahwa ginkang dari orang yang baru datang ini cukup lumayan. Ia bersiap sedia, karena maklum bahwa kepandaian orang yang baru datang ini, apabila dibandingkan dengan kepandaian dua orang pengeroyoknya tadi, amat jauh lebih pandai!
Akan tetapi, ia menjadi terheran ketika melihat betapa orang tinggi yang sudah setengah tua ini menjura dengan penuh hormat kepadanya, lalu berkata dalam bahasa Han yang ramah tamah dan lancar sekali.
"Lihiap, mohon kau sudi memaafkan kelancangan dan kekasaran orang orangku yang tidak tahu aturan. Maklumlah bahwa orang-orang yang telah disakiti hatinya oleh orang orang lain yang tadinya dipandang sebagai sahabat-sahabat baik, tentu saja mudah marah. Terus terang saja kami, suku bangsa Cou amat kecewa dan penasaran melihat sikap bangsamu, orang-orang Han. Kami telah dikhianati, orang-orang Han tanpa melihat keadaan dan tanpa alasan yang kuat, telah memilih dan memihak kepada orang-orang Ouigour yang selalu mengganggu kami. Banyak saudara-saudara kami yang tewas oleh pasukan Oei-ciangkun yang kuat, semua ini hanya karena hasutan dari Huayen-khan, pemimpin suku Ouigour yang membenci kami itu!"
Mendengar uraian panjang lebar yang tidak dimengerti betul itu, Eng Eng menjadi bingung. Akan tetapi melihat wajah orang tua ini yang amat berduka dan tampak bersungguh-sungguh, ia tidak berani main-main. Ia melempar golok rampasannya tadi dan membalas penghormatan Piloko.
"Aku adalah seorang perantau yang sama sekali tidak mengerti semua itu. Sebenarnya siapakah saudara dan mengapa pula rombongan saudara tiba di tempat yang miskin ini?"
"Aku bernama Piloko, dan semua ini adalah orang-orangku, yakni suku bangsa Cou yang amat menderita. Sebelum aku melanjutkan penuturanku, sudilah kiranya lihiap memperkenalkan diri. Siapakah lihiap, datang dari mana dan benarkah lihiap tidak mempunyai hubungan dengan benteng tentara kerajaan yang dipimpin oleh Oei-ciangkun?"
"Sudah kukatakan tadi, aku adalah seorang perantau bernama Suma Eng. Pekerjaanku hanya membasmi orang jahat dan menolong orang yang tertindas, bagaimana aku dapat terikat oleh hubungan dengan sepihak? Ceritakanlah kesusahanmu, saudara Piloko, mungkin aku dapat membantumu."
Bukan main girangnya hati Piloko mendengar ucapan ini. Lagi pula diam-diam ia telah menyaksikan kepandaian Eng Eng yang dengan demikian mudahnya mempermainkan dua orang pembantunya. Ia maklum bahwa kepandaiannya sendiri masih jauh untuk dapat melawan kepandaian nona ini, maka kalau saja ia dapat menarik tenaga nona ini untuk membantunya hal itu tentu amat baiknya.
Pada saat itu terdengar seruan perlahan dari seorang wanita. Para perajurit yang duduk memberi jalan dan nampaklah seorang wanita setengah tua datang membawa sebatang pedang telanjang di tangannya. Wajahnya nampak berduka dan juga gelisah, akan tetapi ketika ia melihat Piloko berdiri berhadapan dengan Eng Eng dan bercakap-cakap dalam suasana damai, ia menjadi lega kembali dan pedangnya cepat ia sarungkan di pinggang.
"Nona Suma Eng, ini adalah Yamani isteriku yang setia. Lihat biarpun ia tidak memiliki kepandaian, namun mendengar aku datang ke sini menghadapi orang yang disangka lawan berbahaya, ia lupa kebodohannya dan datang membawa-bawa pedang!" kata Piloko memperkenalkan istrinya kepada Eng Eng, lalu disambungnya ketika ia memperkenalkan Eng Eng kepada istrinya.
"Yamani, jangan kau gelisah. Lihiap ini adalah seorang pendekar wanita yang gagah perkasa, yang mungkin belum pernah kau jumpai di alam mimpi sekalipun! Lihiap ini bernama Suma Eng dan kepandaiannya mungkin sepuluh kali lebih lihai dari pada kepandaianku."
Dengan singkat, Piloko lalu menceritakan kepada istrinya tentang kegagahan Eng Eng yang dikeroyok dua oleh pembantunya yang disebutnya kasar dan lancang tidak bisa mengenal orang.
Mendengar cerita suaminya ini, Yamani lalu menghampiri Eng Eng dan memegang lengannya. "Ah, lihiap, sungguh berbahagia sekali rasanya dapat bertemu dengan seorang pendekar wanita yang sudah lama menjadi buah mimpi padaku. Aku seringkali mendengar cerita tentang pendekar-pendekar wanita, akan tetapi belum pernah bertemu dengan seorangpun, harap kau mau memaafkan semua kesalahan kawan-kawan kami dan marilah kita bercakap-cakap di dalam kendaraanku yang biarpun kecil akan tetapi lebih enak dari pada di sini."
Sambil berkata demikian, dengan amat ramah tamah, Yamani lalu menarik lengan Eng Eng. Gadis ini tak dapat menolak karena semenjak bertemu, ia telah merasa suka kepada nyonya bangsa Cou ini yang selain ramah tamah, juga amat manis mukanya.
Setelah duduk berhadapan di dalam kendaraan sambil makan hidangan yang disuguhkan oleh Yamanl yang ramah-tamah, Eng Eng lalu mendengar penuturan sepasang suami istri kepala suku bangsa Cou ini. Ia mendengar betapa suku bangsa Cou selalu mendapat perlakuan kejam dan hinaan daripada suku bangsa Ouigour dan Mongol, dan betapa akhir-akhir ini tentara kerajaan nampaknya bahkan memusuhi mereka dan membantu orang orang Ouigour yang menahan suku bangsa Cou yang kecil jumlahnya.
"Perkampungan kami yang terakhir kemarin telah diserang pula oleh Huayen-khan dibantu oleh pasukan dari Oei ciangkun. Terpaksa kami sekarang mengungsi dan mau tidak mau harus menetap di daerah yang tandus dan tidak subur ini." kata Piloko sambil menghela napas.
"Bagi kami sih tidak begitu berat karena kami berdua tidak mempunyai anak." sambung Yamani dengan suara mengharukan.
"Akan tetapi kalau kuingat keadaan bangsaku…lihatlah mereka yang mempunyai anak-anak kecil, ah... bagaimana akan jadinya dengan kami...?" Menangislah Yamani dengan sedihnya.
"Diam kau!" Piloko tiba-tiba membentak dengan muka merah. "Apa artinya tangis saja dalam keadaan seperti ini!"
Istrinya terdiam dan dengan wajah pucat dan sepasang mata terbelalak ia memandang kepada suaminya. Semenjak mereka kawin puluhan tahun yang lalu, baru kali ini Piloko membentaknya sedemikian kasarnya. Melihat pandang mata isterinya, luluhlah kemarahan Piloko dan ia ingat bahwa ia tadi telah bersikap terlalu kasar, apa lagi di depan seorang tamu ia cepat memegang kedua tangan isterinya dan berkata,
"Yamani maafkan suamimu... aku terlampau tertindih oleh kedukaan sehingga lupa diri. Maafkanlah..."
Yamani hanya mengangguk-angguk karena tidak kuasa mengeluarkan kata-kata dari kerongkongan yang telah penuh oleh sedu sedan yang ditahan-tahannya. Melihat keadaan mereka ini, bukan main terharunya hati Eng Eng. Ia merasa penasaran dan marah sekali kepada orang-orang Ouigour yang sewenang-wenang. Terutama sekali ia merasa penasaran dan kecewa mendengar betapa pasukan kerajaan dari Oei-ciangkun membantu pekerjaan terkutuk dari pasukan Ouigour itu.
Mendengar betapa orang-orang lelaki dan anak-anak bangsa Cou dibunuh dan orang-orang wanita yang muda-muda diculik secara kurang ajar, darah dalam tubuh Eng Eng sudah bergolak saking marahnya. Ia berdiri dari bangkunya, dan berkata,
"Saudara Piloko, jangan khawatir. Aku akan membantumu dan biarlah aku memberi latihan ilmu golok kepada pasukanmu, kemudian mari kita menyerbu dan membalas kejahatan orang-orang Ouigour itu!”
Mendengar ucapan ini, Piloko dan Yamani segera menjatuhkan diri berlutut di depan gadis gagah itu saking girang dan bersyukurnya. Eng Eng cepat membangunkan mereka dan berkata,
"Aku adalah seorang perantau yang tidak tentu tempat tinggalku. Biarlah untuk sementara aku ikut dengan kalian sampai kalian dapat merampas kembali kampung yang diserobot oleh bangsa Ouigour!"
Demikianlah, untuk beberapa pekan lamanya, di daerah tandus itu, Eng Eng melatih ilmu golok kepada anak buah Piloko. Bahkan Piloko sendiri, juga Yamani dan banyak lagi wanita-wanita bangsa Cou yang kebanyakan manis-manis dan cekatan, ikut pula belajar golok yang diajarkan oleh pendekar wanita itu.
Sementara itu, Piloko menyuruh penyelidik-penyelidiknya untuk menyelidiki keadaan bekas kampung mereka yang telah dirampas oleh orang-orang Ouigour.
Pada suatu hari ia mendengar kabar bahwa kampung itu telah ditinggalkan oleh tentara kerajaan dan juga oleh pasukan-pasukan yang dipimpin sendiri oleh Huayen-khan, dan hanya terjaga oleh sepasukan orang Ouigour yang tak berapa kuat.
"Lihiap, kampung kita tidak terjaga kuat. Sekarang besar sekali kesempatan kita untuk menyerbu dan merampasnya kembali.”
Eng Eng setuju, maka berangkatlah pasukan Cou dipimpin oleh Eng Eng dan Piloko. Adapun rombongan keluarganya tidak berangkat bersama pasukan ini, melainkan menanti di tempat itu sampai kampung mereka dapat terampas kembali. Kini keluarga ini tidak begitu takut lagi ditinggal seorang diri oleh suaminya dan ayah mereka itu sedikit-sedikit telah mempelajari ilmu silat.
Karena perjalanan dilakukan cepat dan tidak membawa keluarga seperti ketika mereka pergi mengungsi, dalam waktu sehari semalam saja sampailah pasukan ini di kampung tempat tinggal mereka.
Terjadilah perang tanding yang hebat dan ramai. Akan tetapi, jangankan baru pasukan Ouigour yang hanya terdiri dari seratus orang lebih, biarpun di situ ada pasukan induk yang dipimpin oleh Huayen-khan sendiri, belum tentu akan dapat mengalahkan dengan mudah pasukan yang dipimpin oleh Eng Eng ini!
Terutama sekali sepak terjang Eng Eng mengerikan hati orang-orang Ouigour, maka dalam pertempuran yang tak berapa lama, kocar-kacirlah orang-orang Ouigour ini meninggalkan kawan-kawan yang tewas maupun yang terluka. Dengan mendapat kemenangan besar, orang-orang Cou lalu masuk ke dalam kampung mereka dan menduduki kampung sendiri. Mereka segera turun tangan memperbaiki rumah-rumah yang dulu dirusak, kemudian mereka beristirahat.
Pada keesokan harinya, Eng Eng dan Piloko naik kuda untuk menjemput keluarga Cou. Pasukan kuda mereka ditinggalkan dan diharuskan menjaga kampung itu dengan kuat sedangkan sebagian pula melanjutkan usaha memperbaiki rumah-rumah yang rusak.
Eng Eng merasa gembira sekali. Baru sekarang ia merasa bahwa hidupnya tidak percuma. Ia mempunyai tugas dan usaha untuk menuntun dan menolong kehidupan ratusan orang Cou yang ternyata benar-benar jujur dan baik itu.
Melakukan perjalanan bersama Piloko sambil bercakap-cakap, mendengar ucapan yang ramah dan hormat, melihat pandangan mata yang penuh rasa terima kasih itu, ah, Eng Eng merasa seakan-akan berjalan dengan seorang paman atau ayah sendiri!
Bodoh sekali dia, pikirnya, mengapa tidak dari dulu menghubungi masyarakat ramai dan melakukan sesuatu demi kebaikan orang-orang itu? Sesungguhnya banyak sekali yang harus dilakukan, karena di dunia ini penuh dengan hal-hal yang amat ganjil, penuh dengan penindasan dan kekejaman, penuh dengan orang-orang yang patut dikasihani dan ditolong serta juga orang-orang yang patut dibasmi karena jahatnya!
"Suma lihiap, jasamu amat besar dan budimu terhadap bangsaku takkan dapat kami lupakan selamanya.” kata Piloko.
"Ah, saudara Piloko apa perlunya segala ucapan sungkan ini. Aku suka membantumu dan membantu bangsamu yang tertindas."
“Ah, alangkah akan bahagia hatiku kalau saja aku dapat mempunyai seorang anak perempuan seperti kau!"
"Kau tidak punya anak, saudara Piloko?”
Kepala suku bangsa Cou itu menghela napas. "Dulu punya seorang anak perempuan akan tetapi ia meninggal dunia karena penyakit demam. Semenjak itu, aku dan isteriku menganggap semua anak buahku sebagai anak kami dan yang harus kami jaga dengan segenap nyawa dan raga."
Eng Eng tidak menjawab, akan tetapi diam-diam ia juga berpikir. Alangkah senangnya kalau dia masih mempunyai ayah ibu pula, biarpun ayah ibu bangsa Cou seperti Piloko dan Yamani! Semenjak kecil ia merindukan cinta kasih ayah bunda yang tak pernah dirasakannya. Ingin sekali ia berkata kepada Piloko bahwa ia suka menjadi anak orang ini akan tetapi ia tidak dapat mengucapkannya dan hanya diam saja sambil menarik napas panjang.
Ketika mereka tiba di perkampungan baru di daerah tandus itu, senja telah mulai mendatang. Mereka memasuki kampung, dan dengan amat heran mereka melihat tempat itu sunyi saja tidak kelihatan seorangpun! Piloko menjadi pucat menyangka bahwa kampung ini tentulah mengalami malapetaka sewaktu ditinggal pergi.
Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara-suara orang seperti dikeluarkan oleh orang-orang yang sedang bertempur. Eng Eng melompat turun dari kudanya dan berlari cepat ke arah suara itu yang datang dari luar dusun sebelah barat.
Ketika ia tiba di situ, ia menjadi marah bukan main melihat Yamani dan beberapa orang wanita lain dengan mati-matian sedang mengeroyok seorang laki-laki yang melayani mereka sambil tertawa-tawa mengejek. Sambil mengelak dari serangan golok para wanita itu, laki-laki ini menowel sana mencolek sini, memilih wanita-wanita muda dengan cara yang amat kurang ajar.
"Bangsat Ban Hwa Yong!” Eng Eng memaki marah. "Kau benar-benar harus dibikin mampus!"
Sambil berkata demikian, Eng Eng minta golok dari seorang wanita yang tadi ikut mengeroyok penjahat itu dan sambil melompat cepat ia menerjang penjahat cabul itu. Gadis ini makin lama makin merasa sayang kepada pedangnya, maka ia tidak mau mengotori pedangnya dengan darah bangsat yang dibencinya ini. Pula ia merasa yakin bahwa dengan sebatang golokpun ia akan dapat mengalahkan Ban Hwa Yong.
Sementara itu, Ban Hwa Yong menjadi kaget setengah mati ketika melihat Eng Eng, gadis yang pernah dirasai kelihaiannya dan yang telah menewaskan kedua suhengnya. Ban Im Hosiang dan Ban Yang Tojin. Ia menjadi jerih dan juga marah sekali terhadap gadis ini, maka sambil berseru keras ia mencabut sepasang senjata kaitannya dan memutar sepasang senjata ini bagaikan kitiran cepatnya.
Yamani dan teman-temannya ketika melihat penjahat yang lihai itu menggunakan senjata dan melihat datangnya Eng Eng cepat-cepat mengundurkan diri dan menonton sambil berdiri di tempat yang cukup jauh agar jangan mengganggu Eng Eng dan jangan sampai terkena sambaran senjata penjahat yang lihai itu. Bahkan Piloko sendiri tidak berani turun tangan karena ia tidak berani mengganggu Eng Eng yang nampaknya sudah kenal penjahat ini dan belum pernah Piloko melihat nona pendekar itu demikian marah.
Ia lalu didekati oleh istrinya yang menceritakan dengan singkat bahwa sebelum Piloko dan Eng Eng pulang, penjahat ini datang memasuki kampung dan melihat betapa penduduk kampung itu hanya wanita-wanita saja. Ban Hwa Yong lalu hendak berlaku kurang ajar. Ia hendak mengangkat diri menjadi pemimpin orang-orang itu dan memilih gadis-gadis yang tercantik untuk melayaninya.
Tentu saja orang-orang wanita Cou itu menjadi marah sekali lalu beramai-ramai mengeroyoknya. Akan tetapi tentu saja mereka ini bukan lawan Ban Hwa Yong yang kosen. Biarpun penjahat itu dikeroyok oleh beberapa orang wanita yang dipimpin oleh Yamani namun dengan tangan kosong ia menghadapi keroyokan golok itu dengan amat mudahnya bahkan ia masih dapat mengganggu para pengeroyoknya!
Memang agaknya dosa Ban Hwa Yong sudah terlampau bertumpuk-tumpuk sehingga dusun yang nampaknya tenang dan penuh wanita sehingga ia merasa aman dan gembira itu, tidak tahunya adalah tempat tinggal dari Suma Eng, gadis yang dibencinya dan juga amat ditakutinya. Kini Eng Eng telah maju dengan amat marah.
Gadis ini menggerakkan goloknya dengan sekuat tenaga, dibacokkan ke arah kepala Ban Hwa Yong sambil mengerahkan lweekangnya. Ban Hwa Yong menangkis dan mencoba untuk membalas dengan serangan balasan yang hebat. Akan tetapi, baru tangkisannya saja sudah membuat ia merasa makin jerih.
Ketika ia menangkis tadi, ia merasa betapa tangannya yang memegang kaitan yang ditangkiskan menjadi kesemutan dan pedas sekali. la masih mempertahankan diri sampai dua puluh jurus dengan harapan bahwa karena gadis itu memegang golok, tentu tidak berapa lihai. Tidak tahunya, rangsekan gadis itu makin hebat saja dan golok yang dimainkan seolah-olah telah berobah menjadi lima batang!
Akhirnya Ban Hwa Yong tak kuat menahan dan sambil berseru keras ia lalu melepaskan beberapa batang jarum rahasia yang dijemputnya dengan tangan kiri dari saku bajunya akan tetapi Eng Eng dengan amat mudahnya mengelakkan diri. Ketika gadis ini hendak menyerang lagi, Ban Hwa Yong melompat jauh dan melarikan diri. Akan tetapi mana Eng Eng mau melepaskan penjahat ini?
"Bangsat cabul, kau hendak lari ke mana?" serunya dan secepat burung melayang, tubuhnya berkelebat mengejar. Sebentar saja dua orang ini sudah lenyap dari pandangan mata semua orang yang menonton pertempuran itu.
"Lekas, kejar mereka dan bantu Suma lihiap!” kata Yamani kepada suaminya dengan gelisah.
Akan tetapi Piloko yang memiliki kepandaian jauh lebih tinggi dari isterinya, tersenyum. "Kau jangan kuatir, lihiap takkan apa-apa. Bangsat itu pasti akan mampus di tangan Suma lihiap.”
Memang ramalan Piloko ini tidak kosong belaka. Biarpun Ban Hwa Yong memiliki ginkang yang tinggi dan pandai menggunakan ilmu lari cepat Co sang-hui (Terbang di Atas Rumput). Namun sebentar saja Eng Eng telah dapat mengejarnya. Terpaksa Ban Hwa Yong memutar tubuhnya dan bersiap sedia dengan kaitannya.
"Bangsat rendah, mampuslah kau!” seru Eng Eng dan cepat gadis ini menyerang dengan goloknya, menggunakan golok di tangan kanan untuk membacok ke arah leher sedangkan tangan kirinya siap untuk mengirim pukulan susulan.
Ban Hwa Yong makin gugup. Tak terasa keringat dingin mengalir turun dari balik bajunya. Ia menangkis bacokan itu dengan kaitan di tangan kanan sambil menggeser kaki kanan, kaitan kirinya menyambar ke arah perut Eng Eng! Akan tetapi, gadis yang sudah sangat marahnya ini lalu menggerakkan kaki kiri menendang tepat mengenai pergelangan tangan kiri Ban Hwa Yong.
"Krekkk...!”
Ban Hwa Yong menjerit ketika tulang pergelangan tangannya patah terkena tendangan Eng Eng yang mengerahkan tenaga luar biasa itu! Kaitan kiri terlepas dan terlempar jauh. Sebelum kaitan kanannya dapat sempat bergerak, golok Eng Eng sudah menyambar dan tanpa dapat berteriak lagi. Ban Hwa Yong manusia durhaka dan keji itu telah roboh dengan kepala terpisah dari tubuh!
"Ting twako, harap kau sekeluarga dapat puas dan tenang. Musuh-musuhmu telah tewas semua!" kata Eng Eng sambil memandang ke angkasa, seolah-olah ia bicara dengan arwah dari Ting Kwan Ek, piauwsu yang terbunuh sekeluarganya oleh Thian-te Sam-kui yang kini telah ditewaskannya semua itu!
Kemudian Eng Eng lalu melempar goloknya dan melompat kembali ke arah dusun, piloko dan orang-orang perempuan di situ menyambutnya dengan amat lega dan gembira apalagi ketika mendengar bahwa penjahat itu telah dapat ditewaskan. Eng Eng menceritakan siapa adanya penjahat itu, maka semua orang menjadi kagum mendengar ini, lebih-lebih ketika mendengar bahwa penjahat itu adalah seorang di antara Thian-te Sam-kui yang pernah didengar namanya oleh Piloko.
Kemudian pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali rombongan keluarga yang semua berwajah girang dan berseri ini lalu berangkat kembali ke kampung mereka yang telah dapat dirampas kembali dari tangan orang-orang Ouigour. Kedatangan keluarga dalam keadaan selamat ini menambah kegembiraan orang-orang Cou yang sedang membangun kembali dusun mereka, dan menambah pula rasa terima kasih mereka kepada Suma Eng yang mereka beri nama julukan 'Bunga Dewa'!
Dikalangan orang Cou ini dahulu memang terdapat kepercayaan tentang adanya bunga dewa yang sakti sekali yang sering kali diturunkan oleh dewata untuk menolong manusia. Bunga dewa yang diturunkan ke dunia oleh dewa ini sering kali menjelma menjadi manusia gagah atau menjelma menjadi pertapa-pertapa. Dengan diberi nama julukan bunga dewa berarti bahwa orang-orang Cou merasa amat berterima kasih dan amat menjunjung tinggi gadis ini!
Setelah suku bangsa Cou bisa merampas kembali kampung mereka dan memperbaiki rumah-rumah di kampung itu. Eng Eng merasa bahwa tugasnya menolong orang ini sudah selesai. Akan tetapi, sebelum ia berpamit untuk meninggalkan Piloko dan anak buahnya, kepala suku bangsa Cou itu bersama istrinya berkata kepadanya dengan suara mengandung permohonan.
"Lihiap, kami mengharap dengan sangat sukalah lihiap tinggal bersama kami, tidak saja untuk melanjutkan latihan ilmu golok kepada kami, akan tetapi terutama sekali untuk menakuti orang-orang Ouigour. Kalau tiada lihiap di sini kami pasti akan diserangnya lagi dan sekali ini mereka tentu akan membuat pembalasan hebat. Bagaimana kami dapat melawan mereka kalau sampai tentara Han membantu mereka?"
Eng Eng berpikir bahwa kekuatiran ini beralasan juga. “Biarkan mereka datang, saudara Piloko, akan kubasmi mereka semua, kalau mereka berani datang mengganggu lagi. Baiklah aku akan tinggal untuk sementara di sini, akan tetapi sesungguhnya aku mempunyai tugas amat penting yakni mencari seorang musuh besarku. Kalau aku tinggal di sini, berarti hal itu kutunda-tunda. Maka tolonglah menyuruh beberapa orangmu untuk membantuku dan mewakili aku menyelidiki di mana adanya orang yang kucari-cari itu."
ia lalu memberi keterangan tentang Sim Tiong Kiat yang berjuluk Ang-coa-kiam, dan memberi gambaran pula tentang bentuk muka dan tubuh pemuda musuh besarnya itu. Piloko dengan girang lalu menyanggupi, bahkan segera memilih kawan-kawannya yang pandai sebanyak lima orang untuk disuruh menyelidiki di mana adanya Sim Tiong Kiat itu.
Eng Eng tinggal serumah dengan Piloko dan Yamani dan hubungannya dengan nyonya rumah ini makin erat saja seperti enci adik atau bahkan seperti ibu dan anak. Dari Yamani Eng Eng mempelajari banyak sekali kepandaian bahasa Cou, kerajinan tangan dan juga menerima nasihat-nasihat tentang kehidupan dari nyonya yang sudah banyak pengalaman hidup ini.
Tepat seperti yang dikuatirkan oleh Piloko, dua pekan kemudian datanglah serbuan yang sangat besar-besaran dari pasukan Ouigour yang dipimpin sendiri oleh Huayen-khan dan Ang Hwa!
Ketika itu Eng Eng dan Piloko yang ditemani oleh Yamani sedang duduk di belakang rumah menyaksikan latihan ilmu golok yang dilakukan oleh belasan orang pemimpin pasukan. Tiba-tiba seorang penjaga dengan napas terengah-engah datang melaporkan.
"Dari balik bukit di timur datang pasukan Ouigour yang jumlahnya kurang lebih dua ratus orang, dikepalai sendiri oleh Huayen khan dan seorang wanita muda yang cantik berpakaian merah."
"Ang Hwa si perempuan lacur !" kata Piloko dan Yamani hampir berbareng dengan muka kaget.
"Siapkan barisan, perkuat penjagaan di empat pintu gerbang dan sisa barisan semua bersiap di pintu timur!"
Piloko memberi perintah kepada para pembantunya yang sedang berlatih golok itu. Pemimpin-pemimpin pasukan itu cepat pergi untuk mengatur pasukan masing-masing dan Piloko lalu berkata kepada Eng Eng!
"Nah, Suma-lihiap sekaranglah saatnya kami mohon bantuanmu karena tanpa bantuanmu kami semua pasti akan celaka ditangan Huayen khan dan Ang Hwa. Selain jumlahnya pasukan mereka lebih besar, juga Huayen khan dan Ang Hwa amat lihai."
Akan tetapi dengan tenang Eng Eng lalu mengajak kepala suku bangsa Cou itu dan istrinya untuk segera keluar dan ikut menjaga di pintu gerbang sebelah timur.
"Siapakah orang yang kau sebut Ang Hwa itu?” tanyanya ketika mereka telah tiba di tempat yang dituju di mana para perajurit Cou telah siap sedia dengan golok di tangan.
"Ang Hwa adalah puteri seorang ahli silat Kun Iun pai yang telah menjadi isteri dari Huayen-khan. Mungkin kepandaiannya tidak kalah oleh Huayen khan, terutama sekali pedangnya yang amat ganas." Jawab Piloko.
Mendengar ini, Eng Eng menjadi tertarik sekali. Ingin ia menyaksikan sampai di mana kelihaian Huayen khan, terutama orang yang bernama Ang Hwa itu. Sambil menanti kedatangan tentara musuh, Eng Eng mendengar keterangan Piloko tentang kejahatan dan kecabulan Ang Hwa yang biarpun sudah menjadi istri Huayen khan, namun masih suka bermain gila dengan laki laki lain setahu suaminya!
Tentu saja Eng Eng menjadi sebal mendengar ini dan timbullah rasa benci dalam hatinya terhadap Ang Hwa yang dianggapnya tidak tahu malu. Sebelum kelihatan barisan Ouigour itu, sudah nampak debu mengebul dan suara sorakan mereka, Eng Eng berpesan kepada Piloko.
"Jangan bergerak dulu. lihat apa yang hendak mereka lakukan. Kalau memang betul Huayen khan dan Ang Hwa berniat buruk, biar aku merobohkan mereka dulu agar semangat barisannya menjadi patah."
Piloko menurut dan memberi perintah kepada para pembantunya, akan tetapi di dalam hatinya diam-diam ia merasa ragu-ragu apakah mungkin Eng Eng dapat merobohkan Huayen-khan dan Ang Hwa seorang diri saja. Ia telah maklum bahwa ilmu kepandaian Huayen khan sendiri jauh lebih tinggi dari pada ilmu kepandaiannya, apa lagi Ang Hwa yang disohorkan orang amat ganas dan kejam itu. Biarpun ia telah menyaksikan kelihaian Eng Eng, namun sukarlah dapat dipercaya adanya seorang gadis yang dapat menghadapi Huayen-khan dan Ang Hwa!
Tak lama kemudian dari sebuah tikungan di luar dusun, nampaklah barisan Ouigour itu muncul dengan segala kegagahan. Huayen-khan sendiri naik kuda abu-abu disamping kuda putih yang dinaiki Ang Hwa dan kedua orang ini nampak gagah dan keren. Melihat dua orang musuh besar ini, Piloko merasa marah dan juga gentar. Telah berkali-kali ia merasai kelihaian Huayen khan, biarpun ia mengeroyok orang ini, selalu ia menderita kekalahan.
Sementara itu, Huayen-khan memandang kepada Piloko dengan muka merah dan menudingkan golok besarnya sambil berkata,
"Piloko, manusia tak tahu malu! Apakah kau telah bosan hidup maka kau telah berani sekali berlaku curang dan menyerang pasukanku selagi aku tidak ada? Ketika kami merampas kampungmu, kami masih berlaku murah tidak membunuhmu. Akan tetapi kau melepaskan kesempatan dan kekuatan tentara yang lebih besar jumlahnya untuk menyerang kembali kampungmu. Sungguh hal ini aku tak dapat membiarkan saja dan hari ini aku harus dapat memenggal lehermu dengan golokku."
Ucapan ini dikeluarkan dalam bahasa Cou yang kaku. Eng Eng yang sudah mempelajari bahasa ini, dapat mengerti maksudnya, maka ia mendengarkan dengan penuh perhatian, akan tetapi tetap waspada.
“Huayen khan, bisa saja kau memutar balikkan duduknya perkara. Sudah kau katakan juga bahwa kau telah merampas kampungku mau bicara apa lagi? Kau telah mengaku dan memperdengarkan kejahatanmu sendiri. Kau selalu menindas dan memusuhi bangsaku yang lebih kecil jumlahnya, sedangkan seekor semutpun kalau diinjak-injak sarangnya akan mengamuk dan melawan seekor gajah, apalagi pula seorang manusia? Kami merampas kembali kampung kami sendiri, dipandang dari sudut keadilan siapapun juga, ini sudah menjadi hak kami dan kau boleh mengatakan apa juga, namun tetap kampung ini adalah tempat tinggal kami."
Tiba-tiba terdengar suara tertawa mengejek. Ternyata yang tertawa adalah wanita cantik yang berkuda putih di samping Huayen-khan, yakni Ang Hwa.
"He he he, sekarang Piloko berani membuka mulut besar, agaknya burung walet yang sudah habis bulunya itu kini telah tumbuh sayap.”
"Ha, ha, ha !!" Huayen-khan tertawa bergelak mendengar ejekan isterinya ini. "Kau betul sekali, manis. Biar aku putuskan lagi sayapnya yang baru tumbuh itu. Ha ha ha!"
Sambil berkata demikian, tangannya bergerak cepat dan tahu-tahu sebatang anak panah telah terlepas dari busurnya, menyambar Piloko. Memang Huayen khan adalah seorang ahli main panah. Akan tetapi piloko yang mendapat julukan Yan ong (Raja WaIet) memiliki ginkang yang sudah cukup tinggi.
Begitu melihat berkelebatnya anak panah yang menyambar, lebih dulu ia telah dapat melompat ke kiri. Anak panah itu lewat di samping tubuhnya dan menancap ke atas tanah sampai ke gagangnya. Akan tetapi, dengan amat cepatnya, tiga batang anak panah menyambar lagi, kini ketiga bagian tubuh Piloko!
"Manusia curang!” tiba-tiba berkelebat bayangan tubuh yang amat langsing dan tahu-tahu tiga batang anak panah itu telah kena ditendang runtuh oleh Eng Eng yang tahu-tahu telah berdiri di depan Piloko dan menghadapi Huayen khan dengan mata bersinar marah.
“Ha, ha, ha, pantas saja Piloko berani berlagak, tidak tahunya ia telah mempunyai seorang selir yang cantik dan gagah perkasa. Eh, kau nona yang cantik dan gagah, mengapa kau begitu merendahkan diri ikut pada Piloko yang miskin?"
Bukan main marahnya hati Eng Eng mendengar hinaan ini. Akan tetapi ia teringat akan penuturan PiIoko tentang Huayen-khan dan istrinya yang ternyata masih muda, cantik yang jelas berasal dari selatan itu, maka katanya dalam bahasa Han sambil tersenyum mengejek.
"Huayen khan, aku adalah seorang gadis kang ouw pembasmi orang-orang jahat seperti kau mana bisa dibandingkan dengan isterimu? Agaknya kau selalu memandang rendah kepada setiap orang wanita, karena mengingat akan istrimu sendiri yang kau biarkan bermain dengan laki laki lain!"
Biarpun omongan yang dikeluarkan oleh Eng Eng ini disertai senyum simpul, akan tetapi tajamnya melebihi ujung pedang yang menikam dada Huayen khan dan Ang Hwa. Dua orang ini belum pernah dihina orang seperti ini, tentu saja mereka menjadi marah sekali. Huayen khan saking marahnya tidak dapat berkata sesuatu, hanya kedua tangannya saja yang bergerak secepat kilat dan lima batang anak panah melayang ke arah tubuh Eng Eng!
Gadis ini memperlihatkan kepandaiannya yang benar-benar mengagumkan sekali. Bagi orang lain, anak-anak panah itu datangnya amat cepat dan sukar sekali diikuti oleh pandangan mata sehingga amat sukar dilihat. Akan tetapi bagi Eng Eng, ia dapat melihat jelas datangnya anak panah ini. Dua batang melayang agak rendah, mengarah perut dari kanan kiri. Dua lagi mengarah dada dari kanan kiri dan sebatang lagi menuju ke arah kepalanya!