PEDANG ULAR MERAH JILID 20
Gan Tian Cu yang lebih matang ilmu batinnya dari pada keempat orang sutenya, masih dapat mempertahankan semangat dan ia mengerahkan seluruh tenaga batinnya untuk melenyapkan bayangan yang aneh ini dan hendak memperingatkan kepada keempat orang sutenya bahwa yang dilihat ini hanyalah bayangan dari ilmu sihir belaka.
Akan tetapi terlambat. Saking takut dan kagetnya, adik-adik seperguruannya itu menjadi kacau balau permainan pedangnya dan berturut-turut mereka mengeluh dan terjungkal karena terkena totokan tongkat bambu yang lihai dari lawan mereka!
Gan Tian Cu hendak mengamuk dan mengadu nyawa, akan tetapi dikeroyok lima tentu saja ia tak berdaya. Apa lagi, karena melihat keempat orang sutenya telah dirobohkan, semangatnya menjadi turun dan hatinya terguncang, maka kini iapun melihat lima orang lawannya itu menjadi makin besar dan mengerikan!
Beberapa jurus ia masih dapat bertahan, akan tetapi akhirnya iapun roboh tak dapat berkutik lagi, terkena totokan pada jalan darahnya bagian thian-yu-hiat seperti apa yang telah dialami oleh empat orang adik seperguruannya!
Pada saat itu, dari jauh nampak debu mengebul dan Oei Sun atau Oei ciangkun datang berkuda, diiringi oleh sepasukan pengawalnya. Melihat ribut-ribut di depan pintu gerbang ia segera membalapkan kudanya dan ketika melihat betapa Go-bi Ngo-koai-tung telah merobohkan lima orang tosu, ia lalu melompat turun dan dengan heran sekali bertanya,
”Apakah yang telah terjadi?”
Akan tetapi pada saat itu, Thian It Tosu dengan marah sedang mencela Tiong Kiat. La menghadapi pemuda ini dan dengan suara keras ia berkata,
”Sim ciangkun, di mana rasa setiakawanmu? Kau tahu sendiri bahwa pinto berlima dengan susah payah melawan lima orang Kun lun pai ini, semata-mata hanya untuk membantu dan melindungimu. Akan tetapi, akhirnya kau bahkan mengundurkan diri dan berdiri sebagai penonton saja, sama sekali tidak mau membantu kami. Apakah artinya ini?"
Merahlah muka Tiong Kiat mendengar teguran ini. Memang ia harus akui bahwa sikapnya tadi benar-benar amat buruk dan patut dicela, akan tetapi ia masih ragu-ragu karena teringat akan tuduhan Gan Tian Cu terhadap Go-bi Ngo-koai-tung.
”Totiang apakah betul ucapan Gan Tian Cu tadi bahwa totiang berlima adalah bekas orang-orang Pek-lian-kauw?” tanyanya dengan kening berkerut.
”Kalau betul, mengapa? Apakah kami tidak berhak untuk hidup? Sim ciangkun, ingat bahwa kau sendiri dahulunyapun terkenal dengan julukan Ang-coa-kiam yang ditakuti orang. Akan tetapi sekarang kaupun menjadi seorang perwira yang memilih jalan benar apakah kami tidak berhak pula melakukan kebaikan itu?”
Oei ciangkun yang mendengar pertengkaran ini, menjadi pucat dan cepat menghampiri mereka. ”Sim-ciangkun, siapa bilang bahwa ngo-wi totiang ini bekas antek-antek Pek-lian-kauw?” tanyanya dengan suara keren.
Sim Tiong Kiat tentu saja tak pernah menyangka bahwa Oei Sun sendiri adalah bekas seorang tokoh Pek-lian-kauw, maka kini mendengar pertanyaan ini, ia segera mencari kawan untuk menghadapi lima orang pendeta Pek-lian-kauw itu.
”Yang bilang adalah Iima orang tosu Kun-lun-pai itu dan anehnya, Go bi Ngo-totiang ini tidak membantah bahkan mengaku betul!” jawabnya lalu mendekati Oei ciangkun untuk menghadapi lima orang tosu itu bersama.
Akan tetapi Oei ciangkun tidak memperhatikan Go-bi Ngo-koai-tung, sebaliknya lalu menghampiri lima orang tosu Kun-lun-pai yang masih menggeletak dalam keadaan tidak berdaya itu, lalu bertanyalah dia kepada Tiong Kiat,
”Ada keperluan apakah lima orang tosu Kun-lun-pai ini datang ke sini?”
”Mereka datang mencariku untuk menawanku, karena ada sesuatu permusuhan antara mereka dan aku. Pernah aku membunuh seorang murid mereka dan agaknya mereka merasa dendam dan hendak menghukumku,” jawab Tiong Kiat sejujurnya.
“Dan Go-bi Ngo totiang membantumu?” tanya pula Oei ciangkun.
Tiong Kiat mengangguk. “Lima tosu Kun-lun-pai ini sudah tahu bahwa kau seorang perwira kerajaan dan mereka tetap menyerangmu?” tanya lagi Oei Sun.
Kembali Tiong Kiat mengangguk membenarkan. Oei Sun berpaling kepada beberapa orang pengawalnya dan memberi perintah singkat. ”Bunuh mereka semua!”
Tiong Kiat terkejut sekali dan hendak mencegah. Tak disangkanya Oei Sun akan menghukum mati kepada lima orang tosu Kun-lun-pai itu, karena kalau sampai lima orang tosu Kun lun pai itu tewas, hal ini bukanlah perkara kecil. Mereka adalah tokoh-tokoh Kun lun dan kalau sampai dibunuh, tentu akan membangkitkan kemarahan orang gagah seluruh dunia!
Akan tetapi Oei Sun memegang tangannya dan menariknya masuk ke dalam benteng. ”Marilah, Sim-ciangkun dan jangan perdulikan lagi urusan kecil itu. Mereka adalah pemberontak-pemberontak, karena orang-orang yang berani memusuhi seorang perwira di dalam benteng, mereka itu berarti memberontak terhadap Hong-siang sendiri. Jangankan seorang perwira, baru terhadap seorang perajurit biasa saja rakyat tidak boleh melawan!”
Pada saat itu, para pengawal Oei ciangkun telah menggerakkan tombak mereka ditusukkan ke arah ulu hati kelima orang tosu Kun-lun-pai itu, maka tanpa dapat mengeluarkan suara sedikitpun, lima orang tokoh Kun lun-pai yang bernasib malang itu tewas dalam keadaan yang amat menyedihkan!
Tiong Kiat merasa menyesal sekali akan tetapi apa yang dapat ia lakukan? Ia memandang kepada Oei Sun dan terpaksa ikut masuk ke dalam benteng. Di ruang dalam, duduklah mereka bertujuh. Gobi Ngo koai tung, Oei Sun, dan Tiong Kiat. Lain orang tidak boleh masuk, bahkan Huayen khan dan Ang Hwa sendiripun diminta berada di luar dulu karena ada hal yang amat penting hendak mereka bicarakan. Setelah mereka mengambil tempat duduk berkatalah Oei Sun kepada Tiong Kiat dengan air muka sungguh-sungguh.
”Sim ciangkun, kau telah cukup maklum betapa besar kepercayaanku kepadamu dan bahwa kau telah kuanggap sebagai seorang kawan kerja, seorang murid, juga seorang guru. Oleh karena itu, harap kau suka berpikir tenang dan menggunakan pertimbangan yang sehat. Aku sendiri tidak tahu apakah benar kelima totiang ini dahulunya pernah menjadi orang-orang Pek lian kauw atau bukan. Hal itu sekarang bukan merupakan persoalan lagi. Pernah menjadi orang Pek lian kauw ataupun tidak pernah, yang sudah pasti kelima totiang ini membantu perjuangan kita, membantu pemerintah dan negara. Dalam menghadapi perkara besar dan perjuangan mulia tak perlu kita menggali-gali urusan lama. Bukankah aku sendiri tidak pernah mencari tahu tentang keadaan dirimu sebelum datang di sini?”
Oei Sun memang pandai sekali bicara dan kalau sampai Tiong Kiat dapat terjerumus ke dalam perangkap, semua itu terutama sekali adalah oleh karena Tiong Kiat tertarik dan tertipu oleh omongan-omongan manis yang diucapkan oleh Oei ciangkun secara pandai sekali. Kinipun, pemuda itu mengerutkan kening dan tak dapat membantah kebenaran omongan Oei Sun. Tiong Kiat teringat akan keadaannya sendiri. Bukankah iapun seringkali melakukan hal-hal yang amat tidak baik apabila dipandang dari sudut kebenaran?
Bahkan sampai sekarangpun, ia berani bermain gila dengan Ang Hwa di depan Huayen khan, berarti mengganggu seorang isteri di depan suaminya! Dia sendiri seorang yang banyak melakukan kesesatan, bagaimana ia dapat memburukkan orang-orang lain hanya karena mereka pernah menjadi orang Pek-Iian-kauw?
”Oei ciangkun ternyata mengeluarkan ucapan gagah sebagai seorang laki-laki sejati, Sim-ciangkun. Memang pinto harus mengaku bahwa pinto berlima dahulu memang pernah menjadi pendeta Pek-lian-kauw, akan tetapi apakah salahnya itu? Apakah salahnya memeluk sesuatu agama tertentu? Ah, sudahlah, tak perlu pinto membela agama Pek-Iian-kauw yang sudah diburukkan orang lain, karena pinto percaya bahwa agama Pek-Iian-kauw sungguhpun sudah dicemarkan orang, kelak pasti akan bangun kembali, akan terlihat kemurniannya bagaikan emas jatuh di dalam lumpur. Sekarang yang penting kita melihat kedepan, melihat kenyataan sekarang. Benar dan tepat sekali apa yang dikatakan oleh Oei ciangkun tadi bahwa kita adalah orang-orang sepaham dan seperjuangan, mengapa kita harus saling menuduh?”
Didesak oleh omongan-omongan yang terdengar penuh cengli (aturan) ini, mau tidak mau Tiong Kiat terpaksa harus menyatakan betul. Ia berdiri dan menjura kepada Thian It Tosu dan kawan-kawannya.
”Maafkan aku, totiang. Sekarang aku merasa bahwa aku telah melakukan kebodohan besar sekali. Maafkan bahwa tadi aku tidak membantu ngowi totiang menghadapi pendeta-pendeta Kun-Iun-pai, dan terima kasih bahwa ngowi totiang telah membantuku menghadapi mereka.”
Ia berhenti sebentar lalu berpaling kepada Oei Sun dan berkata, ”Hanya sayang sekali lima orang tokoh penting dari Kun lun-pai telah dibunuh, aku kuatir sekali hal ini akan berekor panjang. Mereka itu adalah tosu tosu tingkat dua dari Kun-lun-pai bukanlah hal ini berbahaya sekali?”
Oei Sun tersenyum. ”Mereka telah melakukan pemberontakan dan satu-satunya hukuman bagi pemberontak adalah hukuman mati! Dan lagi, siapakah yang tahu bahwa mereka itu lewat di sini? Seandainya ada yang tahu, mengapa kita takut? Kita adalah alal-alat negara, dan orang orang gagah akan membantu kita kalau orang orang Kun lun pai datang membikin onar!"
Demikianlah, dengan secara pandai sekali Oei Sun tidak saja dapat menghilangkan keraguan hati Tiong Kiat dan menjauhkan diri sendiri dari dugaan bahwa dia juga adalah seorang bekas tokoh Pek-lian-kauw, akan tetapi juga ia dapat membersihkan nama kelima orang pendeta itu.
”Aku ada berita yang jauh lebih penting dari pada urusan lima orang tosu dari Kun-lun-pai itu.” akhirnya Oei ciangkun membuka oleh-olehnya yang didapatkan dari pada perjalanannya tadi.
Tiong Kiat dan kelima Go-bi Ngo koai-tung dengan penuh perhatian mendengarkan.
”Lebih dulu tolong kau panggil masuk Huayen khan dan isterinya, Sim ciangkun. Mereka juga berhak mendengarkan,” kata pula Oei ciangkun.
Ketika Tiong Kiat keluar dari kamar itu untuk memanggil Huayen-khan dan Ang Hwa, Oei Sun cepat berkata kepada Go bi Ngo koai-tung. ”Lain kali harap berlaku lebih sabar terhadap dia. Kita amat memerlukan bantuannya. Aku mendengar kabar bahwa seorang murid dari Kim-liong-pai, mungkin kakak dari Sim Tiong Kiat ini, kini muncul dan menjadi pembantu utama dari Gak ciangkun. Siapa tahu kalau Sim ciangkun ini akan dapat kita pergunakan untuk menghadapi kakaknya yang kabarnya amat lihai itu!”
Thian It Tosu dan adik-adik seperguruannya hanya mengangguk-angguk saja karena mereka tidak mendapat kesempatan untuk bicara lagi. Tiong Kiat telah masuk diikuti oleh Huayen khan dan Ang Hwa. Nyonya muda ini cemberut ketika ia berkata kepada Oei-ciangkun.
”Ah, sekarang kau agaknya sudah tidak percaya lagi kepadaku!”
Kalau orang lain yang mendengar sikap dan ucapan ini, tentu orang itu akan merasa heran bagaimana seorang nyonya muda yang boleh dibilang menjadi tamu di benteng itu, bicara macam itu terhadap komandan benteng! Akan tetapi bagi mereka yang berada di situ, tidak merasa heran lagi, karena seperti juga dengan Tiong Kiat, Ang Hwa mengadakan hubungan pula dengan Oei Sun.
”Ha ha ha! Perundingan rahasia selamanya tidak boleh terdengar oleh lain orang!” Huayen khan berkata sambil tertawa. Sungguhpun diam-diam di dalam hatinya amat mendongkol, akan tetapi kepala suku bangsa Ouigour yang licin ini tidak memperlihatkan perasaannya.
”Dengarlah kawan-kawan semua.” Kata Oei Sun sambil menghadapi Tiong Kiat, ”didalam perjalananku melakukan penyelidikan, aku mendengar berita yang amat mengejutkan hati. Aku mendengar keterangan para penyelidik rahasia yang kusebar dimana-mana bahwa Gak ciangkun kini telah diangkat oleh Hong siang menjadi Jenderal. Gak-goanswe (Jenderal Gak) kini memimpin barisan besar melakukan penjagaan di tapal batas sebelah barat.”
”Berita seperti itu apa salahnya? Bukankah itu baik sekali.” Tanya Tiong Kiat dengan heran.
”Belum habis Sim ciangkun. Memang kalau hanya sampai di situ saja amat bagus, akan tetapi ternyata hal ini berkembang dengan hebatnya. Kini Gak goanswe secara diam-diam telah mengadakan persekutuan dengan tentara Tartar yang amat besar jumlahnya. Mereka berdua itu kini telah menyusun kekuatan di sebelah barat untuk dipergunakan menyerbu ke kota raja!”
”Sungguh tak berbudi!’ seru Tiong Kiat. ”Sudah diberi pangkat tinggi masih hendak memberontak!”
”Sama sekali bukan tidak berbudi, Sim ciangkun.” Kata Oei Sun. ”Hal itu hanya menunjukkan betapa tinggi cita-cita Gak goanswe. Orang yang bercita-cita tinggi saja yang akan mendapat kemajuan di dunia ini. Akan tetapi, betapapun juga, kita harus menggempur pasukan Gak goanswe itu sebelum merupakan bahaya besar bagi kita.”
”Maksudmu tentu bahaya besar bagi kerajaan, Oei ciangkun.” Tiong Kiat berkata.
”Ah ya, tentu saja bagi kerajaan. Kita harus mendahuluinya memukul karena menurut berita, kini barisannya menjadi amat kuat dan besar sekali jumlahnya, dipecah-pecah menjadi beberapa bagian dan menjaga di tempat-tempat mengelilingi kota raja, merupakan ancaman yang berbahaya sekali.”
”Tentu, kita harus memukulnya ” kata Tiong Kiat mengangguk-angguk. ”Akan tetapi, kau lebih tahu tentang keadaan mereka, maka terserahlah bagaimana hendak diaturnya.”
”Menurut penyelidikan, Gak goanswe telah memasang sepasukan tentara di tapal batas kota raja sebelah utara, jadi tepat di sebelah selatan kita. Mungkin sekali selain untuk mengurung kota raja dalam persiapannya memberontak, pasukan ini diadakan untuk menghalangi barisan kita dari utara apabila hendak membantu kotaraja. Oleh karena itu, aku memberi tugas kepadamu, Sim ciangkun untuk membawa lima ratus orang tentara dan memukul pasukan ini. Huayen khan dan pasukannya boleh membantumu dari belakang.”
”Baik, Oei-ciangkun.” Jawab Tiong Kiat dengan gembira sekali.
Memang semenjak ia menjadi perwira di benteng Oei Sun, pemuda ini banyak sekali terhanyut hatinya. Ia merasa amat berdosa bukan karena mengingat akan semua perbuatannya yang dulu, bukan karena ia telah membunuh beberapa orang dan mengganggu banyak wanita, akan tetapi ia merasa amat berdosa dan berduka apabila ia teringat Suma Eng, gadis yang boleh dibilang tak pernah ia lupakan ini.
Sekarang setelah ia menjadi seorang perwira, ia merasa telah berjasa kepada negara, merasa telah melakukan perbuatan yang amat baik dan bijaksana, perbuatan yang akan menghapus dosanya terhadap Suma Eng itu! Apa lagi sekarang ia akan memimpin pasukan memukul barisan pemberontak dari Jenderal Gak! Alangkah mulianya pekerjaan ini, alangkah besarnya, jauh lebih besar apabila dibandingkan dengan kecilnya dosa yang ia lakukan terhadap Eng Eng!
Maka bersiap-siaplah Tiong Kiat, memilih sepasukan tentara sebanyak lima ratus orang, menentukan komandan-komandan regu dan setelah mendapat nasehat dan siasat dari Oei Sun, berangkatlah Tiong Kiat dengan barisannya menuju ke selatan untuk menyerbu pertahanan barisan Gak goanswe!
Pemuda ini dalam pakaian perwira, menunggangi kuda putih pemberian Ang Hwa. Ia menunggang kuda di depan, tampak gagah sekali dan wajahnya yang tampan itu berseri gembira. Barisannya berbaris rapi, didahului oleh regu berkuda yang bertugas sebagai penyelidik dan pelopor.
Bendera besar dengan huruf OEI untuk menghormat dan menjadi tanda bahwa barisan ini adalah barisan dari benteng di bawah pimpinan Oei Sun, berkibar tinggi di atas punggung kuda, dipegangi oleh seorang perajurit. Bendera-bendera lain yang agak kecil dengan sulaman huruf SIM tanda bahwa barisan ini dalam pergerakannya dipimpin oleh seorang perwira she Sim.
Kurang lebih seratus li di sebelah selatan tempat itu, di lembah Sungai Kim-seng kiang Sungai Bintang Mas yang menjadi anak sungai dari Sungai Sungari yang besar, memang menjadi tempat pertahanan sepasukan tentara kerajaan yang berjumlah tiga ratus orang lebih. Pasukan ini, melakukan penjagaan di tapal batas antara Tiongkok pedalaman dan Mongolia. Memang pasukan ini adalah sebagian dari pada pasukan Jenderal Gak yang mendapat tugas penuh untuk menjaga keamanan kota raja di bagian luar.
Jenderal Gak ini mulai timbul kecurigaan hatinya terhadap Oei Ciangkun yang memimpin barisan di utara, maka ia bersiap-siap untuk menyelidiki dan kalau perlu menggempur dan melucuti senjata pasukan di bawah pimpinan perwira she Oei itu. Maka sebagai penjagaan, ia lalu mengirim pasukan ini ke lembah Sungai Kim seng, untuk menjaga kalau-kalau kecurigaannya itu terbukti sehingga kota raja dapat dilindungi.
Ia tak dapat mengerahkan semua pasukan di tempat ini, karena selain Oei-ciangkun yang diduganya hendak memberontak, terdapat musuh-musuh yang lebih berbahaya lagi, bangsa Tartar yang mulai nampak gejala hendak menyerang ke pedalaman. Tentara Tartar jauh lebih besar dan lebih kuat daripada tentara pimpinan Oei ciangkun maka perlu sekali dijaga seluruh tapal batas di sebelah barat dan utara.
Tiga ratus lebih tentara yang menjaga di tapal batas dan di lembah Sungai Kim-seng ini dipimpin oleh seorang perwira tua bernama Ma Goan. Ma Goan atau perwira Ma ini biarpun sudah berusia hampir lima puluh tahun namun ia masih nampak kuat dan angker. Tubuhnya pendek akan tetapi tegap dan besar, dengan perut yang besar dan bulat, tertutup oleh pakaian perang yang tebal dan indah.
Ma Goan telah menjadi tentara semenjak berusia dua puluh tahun, dan pengalamannya dalam pertempuran selama tiga puluh tahunan inilah yang membuat ia dapat memanjat naik sampai menduduki pangkat perwira dan memimpin tentara sebanyak tiga ratus orang lebih.
Padahal ia berasal dari dusun dan hanya mengerti sedikit mata surat, hampir buta huruf. Akan tetapi memiliki ilmu silat yang tinggi, bahkan oleh pengalamannya yang berpuluh tahun itu ia mengerti juga sedikit hoat sut (ilmu sihir) yang dipelajari dari orang India ketika ia bertugas di tapal batas sebelah barat.
Adapun siasat-siasat perang tak usah disangsikan lagi, karena pengalaman memang Iebih nampak manfaatnya dari pada pelajaran mati, pengalaman adalah pelajaran yang hidup, pelajaran yang otomatis mendarah daging.
Ma Goan terkenal ahli dalam permainan senjata golok gagang panjang yang besar dan berat sekali. Di dalam pertempuran berkuda, senjata macam ini amat praktis dan juga berbahaya sekali, karena selain panjang juga berat dan tajam. Tak terhitung banyaknya perwira dan panglima musuh yang roboh di bawah sambaran golok di tangan Ma Goan yang perkasa.
Selain bintang-bintang yang diterimanya sebagai tanda kegagahan dari kaisar dan panglima-panglimanya, juga Ma Goan sudah menerima tanda kegagahan dari musuh yakni berupa cacad-cacad dan bekas-bekas luka di leher, pundak, dan pipi kanannya. Di bagian-bagian tubuh ini kulitnya telah sobek oleh pedang lawan dan kini menjadi cacad yang bahkan menambahkan keangkerannya.
Ma Goan tidak sempat membuat benteng pertahanan di lembah sungai Kim seng itu hanya menyuruh anak buahnya memasang tenda-tenda di bawah pohon-pohon siong yang besar. Kemudian ia memasang penjaga-penjaga di empat penjuru dan setiap hari melatih barisannya, sebagian pula menebang pohon untuk dibuat perahu-perahu dan tiang bangunan tempat tinggal. Perahu-perahu amat penting bagi mereka, karena hubungan yang paling cepat dan mudah dengan barisan lain adalah melalui sungai ini.
Pada pagi hari itu, Ma Goan yang berada di dalam tendanya, mendapat laporan dari penjaga terdepan bahwa kurang Iebih lima li dari situ sedang mendatangi barisan kerajaan yang berjumlah besar dan pada benderanya terdapat tanda bahwa barisan itu adalah barisan yang datang dari benteng Panglima Oei dan dipimpin oleh perwira Sim.
"Berapa banyak jumlahnya tentara mereka?" tanya Ma Goan dengan sikap masih tenang, sungguhpun di dalam dadanya ia berdebar mendengar laporan ini. Inilah pasukan-pasukan dari Oei Sun yang dikabarkan hendak memberontak itu!
"Menurut perkiraan saya, sedikitnya ada lima ratus orang ciangkun." jawab pelapor itu.
"Hm, minta semua komandan regu untuk datang ke sini. Cepat!”
Pelapor itu cepat berlari keluar dan tak lama kemudian, tujuh orang perwira pembantu telah datang menghadap.
"Pasukan pemberontak telah mulai datang. Kita belum tahu kehendak mereka, maka jangan sembarangan turun tangan. Bagi pasukan kita menjadi tiga bagian. Sebagian aku kupimpin menyambut kedatangan mereka, yang dua bagian bersembunyi di kanan kiri hutan. Kalau pasukan yang kupimpin terjadi perang dengan mereka, baru kedua pasukan di kanan kiri membantu dan memukul dari kedua samping. Kekuatan musuh lebih besar hampir dua kali kekuatan kita. Dengan serangan menggapit dari kanan kiri, tetap belum tentu kita kalah. Kalau sampai terjadi apa-apa dan kalah atau tewas dalam pertempuran sebagian pasukan boleh mundur menggunakan perahu-perahu kita, minta bantuan kepada benteng di lembah Sungai Sungari. Mengerti?"
Semua pembantunya menyatakan mengerti. Maka Ma Goan segera membubarkan mereka untuk melakukan tugas masing-masing. Dia sendiri setelah barisan dibagi tiga, lalu memimpin barisan dari seratus orang ini untuk menuju ke utara memapaki barisan yang berbendera OEI dan SIM itu.
Di luar hutan siong, kedua barisan itu bertemu. Ketika Tiong Kiat melihat pasukan berbendera GAK dan MA dan melihat pakaian tentara itu menunjukkan bahwa mereka adalah tentara kerajaan, diam-diam ia segera memberi perintah agar supaya Huayen-khan dan Ang Hwa menyuruh barisan mereka bersembunyi di belakang. Dia sendiri lalu memberi perintah kepada anak buahnya agar supaya jangan bergerak lebih dulu.
"Tunggu sampai aku bertempur dengan panglima yang memimpin pasukan pemberontak di depan itu. Kalau ia dapat bertahan sampai sepuluh jurus melawanku, barulah barisan boleh maju menyerbu! Kalau sebelum sepuluh jurus panglima itu telah roboh aku akan mencoba agar pasukan di depan itu suka takluk dan memihak kita!"
Ini adalah siasat perang yang ia pelajari dari Oei Sun yang disebut siasat 'membunuh ular tanpa merusak kulitnya'. Memang Oei Sun amat membutuhkan tenaga tentara untuk maksud dan cita-citanya, maka kalau saja pemimpin pasukan musuh dapat dibinasakan sehingga pasukannya menjadi jerih dan kacau sampai dapat menaluk dan menjadi tentara taklukan, hal itu tentu saja amat baiknya!
Tentu saja pendirian Tiong Kiat jauh berlainan dengan kehendak Oei Sun. Bagi Tiong Kiat, kalau sampai tentara Gak goanswe yang dianggapnya memberontak itu sampai takluk tanpa perang dan dapat 'insaf' alangkah baiknya hal itu. Tidak perlu terjadi bunuh-membunuh antara bangsa sendiri!
Tak lama kemudian, kedua barisan itu berhenti kurang lebih seperempat li jauhnya satu kepada yang lain. Tiong Kiat membedal kudanya maju. Sebaliknya Ma Goan sambil menyeret golok gagang panjangnya juga mengaburkan kudanya memapaki perwira pemberontak itu.
"Apakah yang di depan ini seorang perwira dari barisan Gak goanswe, pemberontak hina dina itu?”
Mendengar suara yang berkumandang dan keras itu, tahulah Ma Goan bahwa dia berhadapan dengan seorang ahli silat yang telah memiliki khikang yang tinggi. Akan tetapi ia menjadi amat marah mendengar ucapan itu.
"Perwira bermulut lancang!” ia membalas. "Kau tentulah seorang perwira gadungan (yang tidak diangkat oleh kaisar) dari barisan Oei manusia tak tahu diri itu, bukan? Lekas turun dari kudamu dan menyerah sebelum aku Ma Goan memenggal lehermu dan membasmi tentaramu!”
Tiong Kiat merasa heran dan juga marah sekali. Bagaimanakah perwira yang memimpin barisan pemberontak ini begitu berani memakinya sebagai perwira gadungan dan bahkan memaki-maki nama Oei Sun pula? la tertawa mengejek dan berkata,
"Perwira pendek! Kau mengandalkan apamukah maka bicara begitu sombong? Apakah kau mengandalkan golok pemotong babi di tanganmu itu?"
Ma Goan pikir tak perlu bicara banyak-banyak dengan pemberontak ini, maka dengan cepat ia lalu berseru, "Makanlah golok pemotong babiku ini, babi!"
Dengan amat cepatnya golok di tangannya itu menyambar ke arah dada Tiong Kiat sehingga pemuda itu terkejut juga. Tak diduganya bahwa lawan yang pendek tangannya itu ternyata dapat menggerakkan golok gagang panjang demikian cepatnya. Ia belum sempat mencabut pedangnya dan untuk mengelakkan diri di atas kuda, tak mungkin sama sekali melihat datangnya serangan yang benar-benar amat lihai itu. Maka sambil berseru keras, ia lalu berjumpalitan dari atas kudanya sehingga terhindar dari sabetan golok.
Melihat betapa perwira muda itu dapat melompat dan berjumpalitan dengan ilmu lompat Naga Hitam Menembus Awan dengan gerakan yang amat indah dan cepat, kembali Ma Goan tertegun. Lebih-lebih kagetnya ketika tiba-tiba tubuh pemuda yang sudah turun ke atas tanah itu kini berkelebat ke arahnya dan sinar pedang yang putih berkilau menyambar-nyambar dengan hebatnya.
Ia cepat memutar golok panjangnya akan tetapi tiba-tiba kudanya meringkik keras dan cepat ia melompat turun. Baiknya ia melakukan hal ini, karena kalau tidak, dalam segebrakan itu tadi ia tentu akan terjungkal dari kuda dan binasa di bawah ujung pedang lawannya.
Ternyata bahwa Tiong Kiat telah berhasil membabat dua buah kaki belakang kuda yang ditunggangi oleh Ma Goan itu! Pemuda ini tadi berpikir bahwa melihat gerakan ilmu golok panjang dari perwira pendek itu, agaknya sukar baginya untuk mendapat kemenangan. Selain lawannya amat lihai, juga lawannya lebih pandai bertempur di atas kuda dan senjata lawannya jauh lebih panjang maka ia cepat menyerang kuda itu sehingga kini lawannya terpaksa harus melayaninya di atas tanah!
Adapun Ma Goan dengan amat marah segera memutar golok panjangnya dan menyerang pemuda itu. Tiong Kiat menyambutnya dengan senyuman mengejek, akan tetapi tak lama kemudian senyuman mengejek ini lenyap dari bibir Tiong Kiat ketika ia mendapat kenyataan bahwa kepandaian Ma Goan ini ternyata benar-benar tak boleh dipandang ringan!
Ilmu silat perwira pendek ini hebat sekali dan golok panjang di tangannya merupakan dua macam senjata yang berbahaya. Apabila golok itu dibalikkan, maka gagang golok itu dapat dipergunakan sebagai senjata toya yang ditotokkan dan kemplangannya dapat mendatangkan maut! Juga tenaga dan kegesitan Ma Goan yang sudah tua itu mengagumkan sekali, Tiong Kiat menggigit bibirnya dan memutar pedangnya makin cepat, kini setelah lima belas jurus tak dapat mengalahkan Ma Goan ia mulai mengeluarkan tipu-tipu yang terlihai dari Ang-coa-kiamsut!
Sementara itu, barisannya yang melihat betapa perwira pendek itu ternyata tangguh dan dapat menahan serangan Sim ciangkun sampai lima belas jurus lebih, segera perwira pembantu memberi aba-aba dengan teriakan keras dan panjang-panjang.
"Serbuuuuuuuu!”
Maka majulah lima ratus orang perajurit itu bagaikan gelombang menderu dan dengan pekik sorak riuh rendah dan tangan mengangkat senjata yang berkilauan terkena sinar matahari, kedua barisan bertemu di luar hutan dalam pertempuran yang hebat sekali! Pertemuan dua barisan yang menimbulkan perang hebat itu ditambah lagi dengan sorak sorai dari kedua pasukan yang bersembunyi di kanan kiri, yakni pasukan pendam yang telah diatur semula oleh Ma Goan.
Agak terkejut dan kacau balau pasukan Tiong Kiat ketika tiba-tiba muncul barisan musuh dari kanan kiri ini dan pertempuran dilakukan dalam keadaan kacau. Akan tetapi oleh karena memang pasukan yang dipimpin oleh Tiong Kiat lebih besar jumlahnya, hampir dua kali lebih banyak, mereka dapat melakukan perlawanan kuat sekaIi.
Ma Goan, perwira pendek yang gagah itu, ketika melihat betapa pasukannya tetap saja tidak dapat mendesak musuh yang besar jumlahnya dan kini fihak musuh sudah mulai mendekati pintu benteng dan mulai mengancam pertahanan, menjadi gelisah sekali. Apa lagi karena Tiong Kiat mendesaknya dengan hebat.
Serangan pedang pemuda yang dilawannya itu benar-benar di luar dugaannya. Ia telah mengetahui akan kelihaian Oei Sun dan agaknya ia masih dapat menghadapi Oei Sun. Siapa tahu kepandaian pemuda yang menjadi pembantu Oei ciangkun ini ternyata lebih lihai dari pada perwira pemberontak itu sendiri.
Setelah merasa bahwa dengan ilmu silatnya tidak mungkin dapat mengalahkan lawannya yang lihai itu, Ma Goan lalu memberi aba-aba yang memerintahkan pasukannya mundur dan melarikan diri mempergunakan perahu-perahu yang telah siap di pinggir sungai. Ia sendiri lalu memutar golok panjangnya untuk mencari jalan keluar dari kepungan Tiong Kiat.
Akan tetapi ilmu pedang Ang-coa-kiamsut yang dimainkan oleh Tiong Kiat sudah sempurna. Boleh dibilang semua ilmu kepandaian yang dituliskan di dalam kitab ilmu pedang Kim-Liong-pai itu telah dipelajari semua sehingga dalam hal ilmu pedang, kepandaian Tiong Kiat tidak kalah oleh Lui Thian Sianjin sendiri!
Dalam usaha Ma Goan untuk menerjang keluar dari kurungan sinar pedang yang hebat itu sia-sia belaka bahkan kini pedang di tangan Tiong Kiat makin cepat gerakannya dan hebat sekali serangan-serangannya. Ma Goan tak dapat berdaya lagi dan ketika sebuah tangkisannya meleset, pundak kirinya terbabat ujung pedang Hui-liong kiam di tangan Tiong Kiat sehingga sepotong daging pundaknya berikut baju perangnya terbawa oleh pedang!
Ma Goan berseru keras saking sakitnya akan tetapi ia telah dapat mengumpulkan tenaga batinnya dan dengan sedikit ilmu hoatsut (sihir) yang pernah dipelajarinya, ia berkata dengan suara berpengaruh.
"Orang muda, Iihat pedangmu itu. Bukankah itu telah berubah menjadi seekor ular putih? Lihat baik baik!"
Tiong Kiat yang tidak mengira sama sekali bahwa lawannya mempergunakan ilmu sihir tak dapat mencegah keinginan hatinya untuk memandang ke arah pedangnya dan alangkah kagetnya ketika ia melihat Hui-liong kiam itu benar-benar telah berubah menjadi seekor ular putih! Pedang itu kini merupakan seekor ular yang ia pegang pada ekornya dan dengan gerakan-gerakan yang amat menggelikan, ular itu lalu membalikkan tubuh dan dengan mulut terbuka hendak menyerangnya sendiri!
Tentu saja Tiong Kiat menjadi kaget sekali dan cepat cepat ia melempar ular itu ke atas tanah. Akan tetapi, apa yang dilihatnya ? Ketika ular putih itu dibanting jatuh di atas tanah, terdengar suara nyaring dan ternyata ular putih itu telah berobah lagi menjadi pedang Hui liong kiam yang berkilauan!
Baru tahulah Tiong Kiat bahwa la telah kena tertipu oleh lawannya. Ia cepat menyambar pedangnya Iagi, akan tetapi ketika ia mengangkat muka memandang, ternyata bahwa Ma Goan telah pergi dari situ dan tidak kelihatan bayangannya lagi! la mendongkol sekali dan cepat ia lalu menyerbu dalam gelanggang pertempuran, membabat para perajurit musuh yang mulai melarikan diri, dikejar oleh pasukannya!
Tiong Kiat dan pasukannya mendapat kemenangan besar. Hampir separuh dari pada barisan pemberontak, anak buah Gak goanswe telah dapat ditewaskan dan sebagian lagi melarikan diri, ada yang melalui darat, ada yang menggunakan perahu. Benteng dapat dirampas dan sejumlah besar perbekalan musuh dapat dirampas pula. Dengan membawa kemenangan besar yang pertama kali ini, Tiong Kiat memimpin pasukannya kembali ke Oei-ciangkun.
Oei Ciangkun sendiri bersama Go bi Ngo Koai Tung menyambut pasukan yang menang perang ini. Huayen khan dan Ang Hwa yang juga telah bertempur hebat dan banyak merobohkan perajurit musuh menjadi amat bangga akan tetapi Tiong Kiat hanya tersenyum-senyum saja. Pikirannya penuh dengan pengalamannya ketika bertempur melawan Ma Goan tadi.
Baiknya ia sudah melukai Ma Goan. Kalau lawannya itu belum terluka dan ketika ia melemparkan pedangnya yang berobah menjadi ular tadi, bukankah amat berbahaya baginya kalau lawannya itu menyerangnya? Oei Sun yang mempunyai pandangan tajam dapat melihat kemuraman wajah kawannya, maka ia lalu berkata,
“Saudaraku Sim, mengapa kau yang menang perang dan berhasil baik dalam gerakanmu kali ini, agaknya nampak muram?"
“Oei-ciangkun, biarpun pasukan kita menang akan tetapi aku mendapat kenyataan bahwa segala jerih payahku bertahun-tahun yang lalu, ilmu silat yang kupelajari dengan rajin dan tak mengenal lelah ternyata tidak berdaya sama sekali menghadapi ilmu siluman dari seorang perwira musuh!"
Setelah berkata demikian, Tiong Kiat lalu menceritakan kepada Oei Sun dan Ngo koai tung tentang pertempurannya melawan Ma Goan. Mendengar penuturan ini, Thian lt Tosu tertawa bergelak.
"Ha ha ha Sim ciangkun. Kukira apa menimbulkan kemuraman pada wajahmu, tidak tahunya kau memikirkan sedikit ilmu kepandaian anak kecil itu! Ha ha ha! apa sih sukarnya kepandaian macam itu saja? Anak kecilpun bisa."
Ketika Tiong Kiat memandang kepada Thian It Tosu, tiba tiba tosu itu memandangnya dengan mata terpentang lebar seperti yang dilakukan oleh Ma Goan tadi, kemudian sebelum Tiong Kiat mengerti apa yang dimaksudkan atau dikehendaki oleh tosu ini, orang tertua dari Go-bi Ngo-koai tung itu berkata,
"Sim-ciangkun, sungguh kau gagah sekali pulang dan masuk ruang ini naik seekor harimau!"
Tiong Kiat menjadi makin bingung. Gilakah tosu ini? Akan tetapi tiba-tiba ia merasa betapa bangku yang didudukinya bergerak-gerak dan ketika ia memandang ke bawah, hampir saja ia berteriak karena kagetnya. Yang diduduki sejak tadi itu bukan sebuah bangku biasa, melainkan seekor harimau yang besar!
"Nah, Sim ciangkun, bukankah pedangmu itu telah menjadi seekor ular putih lagi sekarang?”
Tiong Kiat menengok ke arah pedang yang tergantung di pinggangnya, dan alangkah kagetnya melihat bahwa yang tergantung di pinggangnya bukan Hui liong-kiam di dalam sarung pedang, melainkan seekor ular putih! Berubah wajah Tiong Kiat dan ia telah melakukan gerakan cepat sekali melompat turun dari harimau besar itu dan hendak melemparkan pedangnya. Akan tetapi Thian It Tosu menggerakkan tangannya dan berkata,
"Sim ciangkun, sabarlah. Semua itu hanyalah bayangan belaka! Harimau dan ular lenyap, yang kau duduki sebuah bangku biasa dan pedangmu masih Hui-liong-kiam yang ampuh!”
Betul saja, harimau dan ular itu tak nampak lagi dan kini mata Tiong Kiat melihat benda-benda biasa. Ia menjadi heran dan merahlah mukanya.
“Hebat," katanya menarik napas panjang, ”Totiang, kau benar-benar lihai sekali. Bagaimanakah manusia bisa mempelajari ilmu seperti itu?"
“Sim ciangkun, apakah kau ingin mempelajari ilmu sihir seperti itu?"
"Tentu saja, totiang. Akan girang sekali hatiku kalau aku dapat memiliki kepandaian yang aneh itu hingga lain kali bertemu dengan lawan seperti Ma Goan, aku takkan mendapat malu lagi."
“Akan tetapi," tiba-tiba Oei Sun berkata, ”kau mempelajari ilmu ini, berarti kau mempelajari ilmu dari Pek-lian-kauw."
Sambil berkata demikian, Oei Sun memandang tajam sekali, kemudian setelah ia melihat keraguan di wajah Tiong Kiat, ia menyambung. "Akan tetapi aku sendiri pernah mempelajari ilmu itu saudara Tiong Kiat. Kau lihatlah baik-baik bukankah yang kududuki inipun seekor harimau yang gagah dan besar sekali?"
Tiong Kiat memandang dan... betul saja! Oei Sun bukan duduk di atas bangku yang tadi lagi, melainkan di atas seekor harimau yang besar!
Akan tetapi terlambat. Saking takut dan kagetnya, adik-adik seperguruannya itu menjadi kacau balau permainan pedangnya dan berturut-turut mereka mengeluh dan terjungkal karena terkena totokan tongkat bambu yang lihai dari lawan mereka!
Gan Tian Cu hendak mengamuk dan mengadu nyawa, akan tetapi dikeroyok lima tentu saja ia tak berdaya. Apa lagi, karena melihat keempat orang sutenya telah dirobohkan, semangatnya menjadi turun dan hatinya terguncang, maka kini iapun melihat lima orang lawannya itu menjadi makin besar dan mengerikan!
Beberapa jurus ia masih dapat bertahan, akan tetapi akhirnya iapun roboh tak dapat berkutik lagi, terkena totokan pada jalan darahnya bagian thian-yu-hiat seperti apa yang telah dialami oleh empat orang adik seperguruannya!
Pada saat itu, dari jauh nampak debu mengebul dan Oei Sun atau Oei ciangkun datang berkuda, diiringi oleh sepasukan pengawalnya. Melihat ribut-ribut di depan pintu gerbang ia segera membalapkan kudanya dan ketika melihat betapa Go-bi Ngo-koai-tung telah merobohkan lima orang tosu, ia lalu melompat turun dan dengan heran sekali bertanya,
”Apakah yang telah terjadi?”
Akan tetapi pada saat itu, Thian It Tosu dengan marah sedang mencela Tiong Kiat. La menghadapi pemuda ini dan dengan suara keras ia berkata,
”Sim ciangkun, di mana rasa setiakawanmu? Kau tahu sendiri bahwa pinto berlima dengan susah payah melawan lima orang Kun lun pai ini, semata-mata hanya untuk membantu dan melindungimu. Akan tetapi, akhirnya kau bahkan mengundurkan diri dan berdiri sebagai penonton saja, sama sekali tidak mau membantu kami. Apakah artinya ini?"
Merahlah muka Tiong Kiat mendengar teguran ini. Memang ia harus akui bahwa sikapnya tadi benar-benar amat buruk dan patut dicela, akan tetapi ia masih ragu-ragu karena teringat akan tuduhan Gan Tian Cu terhadap Go-bi Ngo-koai-tung.
”Totiang apakah betul ucapan Gan Tian Cu tadi bahwa totiang berlima adalah bekas orang-orang Pek-lian-kauw?” tanyanya dengan kening berkerut.
”Kalau betul, mengapa? Apakah kami tidak berhak untuk hidup? Sim ciangkun, ingat bahwa kau sendiri dahulunyapun terkenal dengan julukan Ang-coa-kiam yang ditakuti orang. Akan tetapi sekarang kaupun menjadi seorang perwira yang memilih jalan benar apakah kami tidak berhak pula melakukan kebaikan itu?”
Oei ciangkun yang mendengar pertengkaran ini, menjadi pucat dan cepat menghampiri mereka. ”Sim-ciangkun, siapa bilang bahwa ngo-wi totiang ini bekas antek-antek Pek-lian-kauw?” tanyanya dengan suara keren.
Sim Tiong Kiat tentu saja tak pernah menyangka bahwa Oei Sun sendiri adalah bekas seorang tokoh Pek-lian-kauw, maka kini mendengar pertanyaan ini, ia segera mencari kawan untuk menghadapi lima orang pendeta Pek-lian-kauw itu.
”Yang bilang adalah Iima orang tosu Kun-lun-pai itu dan anehnya, Go bi Ngo-totiang ini tidak membantah bahkan mengaku betul!” jawabnya lalu mendekati Oei ciangkun untuk menghadapi lima orang tosu itu bersama.
Akan tetapi Oei ciangkun tidak memperhatikan Go-bi Ngo-koai-tung, sebaliknya lalu menghampiri lima orang tosu Kun-lun-pai yang masih menggeletak dalam keadaan tidak berdaya itu, lalu bertanyalah dia kepada Tiong Kiat,
”Ada keperluan apakah lima orang tosu Kun-lun-pai ini datang ke sini?”
”Mereka datang mencariku untuk menawanku, karena ada sesuatu permusuhan antara mereka dan aku. Pernah aku membunuh seorang murid mereka dan agaknya mereka merasa dendam dan hendak menghukumku,” jawab Tiong Kiat sejujurnya.
“Dan Go-bi Ngo totiang membantumu?” tanya pula Oei ciangkun.
Tiong Kiat mengangguk. “Lima tosu Kun-lun-pai ini sudah tahu bahwa kau seorang perwira kerajaan dan mereka tetap menyerangmu?” tanya lagi Oei Sun.
Kembali Tiong Kiat mengangguk membenarkan. Oei Sun berpaling kepada beberapa orang pengawalnya dan memberi perintah singkat. ”Bunuh mereka semua!”
Tiong Kiat terkejut sekali dan hendak mencegah. Tak disangkanya Oei Sun akan menghukum mati kepada lima orang tosu Kun-lun-pai itu, karena kalau sampai lima orang tosu Kun lun pai itu tewas, hal ini bukanlah perkara kecil. Mereka adalah tokoh-tokoh Kun lun dan kalau sampai dibunuh, tentu akan membangkitkan kemarahan orang gagah seluruh dunia!
Akan tetapi Oei Sun memegang tangannya dan menariknya masuk ke dalam benteng. ”Marilah, Sim-ciangkun dan jangan perdulikan lagi urusan kecil itu. Mereka adalah pemberontak-pemberontak, karena orang-orang yang berani memusuhi seorang perwira di dalam benteng, mereka itu berarti memberontak terhadap Hong-siang sendiri. Jangankan seorang perwira, baru terhadap seorang perajurit biasa saja rakyat tidak boleh melawan!”
Pada saat itu, para pengawal Oei ciangkun telah menggerakkan tombak mereka ditusukkan ke arah ulu hati kelima orang tosu Kun-lun-pai itu, maka tanpa dapat mengeluarkan suara sedikitpun, lima orang tokoh Kun lun-pai yang bernasib malang itu tewas dalam keadaan yang amat menyedihkan!
Tiong Kiat merasa menyesal sekali akan tetapi apa yang dapat ia lakukan? Ia memandang kepada Oei Sun dan terpaksa ikut masuk ke dalam benteng. Di ruang dalam, duduklah mereka bertujuh. Gobi Ngo koai tung, Oei Sun, dan Tiong Kiat. Lain orang tidak boleh masuk, bahkan Huayen khan dan Ang Hwa sendiripun diminta berada di luar dulu karena ada hal yang amat penting hendak mereka bicarakan. Setelah mereka mengambil tempat duduk berkatalah Oei Sun kepada Tiong Kiat dengan air muka sungguh-sungguh.
”Sim ciangkun, kau telah cukup maklum betapa besar kepercayaanku kepadamu dan bahwa kau telah kuanggap sebagai seorang kawan kerja, seorang murid, juga seorang guru. Oleh karena itu, harap kau suka berpikir tenang dan menggunakan pertimbangan yang sehat. Aku sendiri tidak tahu apakah benar kelima totiang ini dahulunya pernah menjadi orang-orang Pek lian kauw atau bukan. Hal itu sekarang bukan merupakan persoalan lagi. Pernah menjadi orang Pek lian kauw ataupun tidak pernah, yang sudah pasti kelima totiang ini membantu perjuangan kita, membantu pemerintah dan negara. Dalam menghadapi perkara besar dan perjuangan mulia tak perlu kita menggali-gali urusan lama. Bukankah aku sendiri tidak pernah mencari tahu tentang keadaan dirimu sebelum datang di sini?”
Oei Sun memang pandai sekali bicara dan kalau sampai Tiong Kiat dapat terjerumus ke dalam perangkap, semua itu terutama sekali adalah oleh karena Tiong Kiat tertarik dan tertipu oleh omongan-omongan manis yang diucapkan oleh Oei ciangkun secara pandai sekali. Kinipun, pemuda itu mengerutkan kening dan tak dapat membantah kebenaran omongan Oei Sun. Tiong Kiat teringat akan keadaannya sendiri. Bukankah iapun seringkali melakukan hal-hal yang amat tidak baik apabila dipandang dari sudut kebenaran?
Bahkan sampai sekarangpun, ia berani bermain gila dengan Ang Hwa di depan Huayen khan, berarti mengganggu seorang isteri di depan suaminya! Dia sendiri seorang yang banyak melakukan kesesatan, bagaimana ia dapat memburukkan orang-orang lain hanya karena mereka pernah menjadi orang Pek-Iian-kauw?
”Oei ciangkun ternyata mengeluarkan ucapan gagah sebagai seorang laki-laki sejati, Sim-ciangkun. Memang pinto harus mengaku bahwa pinto berlima dahulu memang pernah menjadi pendeta Pek-lian-kauw, akan tetapi apakah salahnya itu? Apakah salahnya memeluk sesuatu agama tertentu? Ah, sudahlah, tak perlu pinto membela agama Pek-Iian-kauw yang sudah diburukkan orang lain, karena pinto percaya bahwa agama Pek-Iian-kauw sungguhpun sudah dicemarkan orang, kelak pasti akan bangun kembali, akan terlihat kemurniannya bagaikan emas jatuh di dalam lumpur. Sekarang yang penting kita melihat kedepan, melihat kenyataan sekarang. Benar dan tepat sekali apa yang dikatakan oleh Oei ciangkun tadi bahwa kita adalah orang-orang sepaham dan seperjuangan, mengapa kita harus saling menuduh?”
Didesak oleh omongan-omongan yang terdengar penuh cengli (aturan) ini, mau tidak mau Tiong Kiat terpaksa harus menyatakan betul. Ia berdiri dan menjura kepada Thian It Tosu dan kawan-kawannya.
”Maafkan aku, totiang. Sekarang aku merasa bahwa aku telah melakukan kebodohan besar sekali. Maafkan bahwa tadi aku tidak membantu ngowi totiang menghadapi pendeta-pendeta Kun-Iun-pai, dan terima kasih bahwa ngowi totiang telah membantuku menghadapi mereka.”
Ia berhenti sebentar lalu berpaling kepada Oei Sun dan berkata, ”Hanya sayang sekali lima orang tokoh penting dari Kun lun-pai telah dibunuh, aku kuatir sekali hal ini akan berekor panjang. Mereka itu adalah tosu tosu tingkat dua dari Kun-lun-pai bukanlah hal ini berbahaya sekali?”
Oei Sun tersenyum. ”Mereka telah melakukan pemberontakan dan satu-satunya hukuman bagi pemberontak adalah hukuman mati! Dan lagi, siapakah yang tahu bahwa mereka itu lewat di sini? Seandainya ada yang tahu, mengapa kita takut? Kita adalah alal-alat negara, dan orang orang gagah akan membantu kita kalau orang orang Kun lun pai datang membikin onar!"
Demikianlah, dengan secara pandai sekali Oei Sun tidak saja dapat menghilangkan keraguan hati Tiong Kiat dan menjauhkan diri sendiri dari dugaan bahwa dia juga adalah seorang bekas tokoh Pek-lian-kauw, akan tetapi juga ia dapat membersihkan nama kelima orang pendeta itu.
”Aku ada berita yang jauh lebih penting dari pada urusan lima orang tosu dari Kun-lun-pai itu.” akhirnya Oei ciangkun membuka oleh-olehnya yang didapatkan dari pada perjalanannya tadi.
Tiong Kiat dan kelima Go-bi Ngo koai-tung dengan penuh perhatian mendengarkan.
”Lebih dulu tolong kau panggil masuk Huayen khan dan isterinya, Sim ciangkun. Mereka juga berhak mendengarkan,” kata pula Oei ciangkun.
Ketika Tiong Kiat keluar dari kamar itu untuk memanggil Huayen-khan dan Ang Hwa, Oei Sun cepat berkata kepada Go bi Ngo koai-tung. ”Lain kali harap berlaku lebih sabar terhadap dia. Kita amat memerlukan bantuannya. Aku mendengar kabar bahwa seorang murid dari Kim-liong-pai, mungkin kakak dari Sim Tiong Kiat ini, kini muncul dan menjadi pembantu utama dari Gak ciangkun. Siapa tahu kalau Sim ciangkun ini akan dapat kita pergunakan untuk menghadapi kakaknya yang kabarnya amat lihai itu!”
Thian It Tosu dan adik-adik seperguruannya hanya mengangguk-angguk saja karena mereka tidak mendapat kesempatan untuk bicara lagi. Tiong Kiat telah masuk diikuti oleh Huayen khan dan Ang Hwa. Nyonya muda ini cemberut ketika ia berkata kepada Oei-ciangkun.
”Ah, sekarang kau agaknya sudah tidak percaya lagi kepadaku!”
Kalau orang lain yang mendengar sikap dan ucapan ini, tentu orang itu akan merasa heran bagaimana seorang nyonya muda yang boleh dibilang menjadi tamu di benteng itu, bicara macam itu terhadap komandan benteng! Akan tetapi bagi mereka yang berada di situ, tidak merasa heran lagi, karena seperti juga dengan Tiong Kiat, Ang Hwa mengadakan hubungan pula dengan Oei Sun.
”Ha ha ha! Perundingan rahasia selamanya tidak boleh terdengar oleh lain orang!” Huayen khan berkata sambil tertawa. Sungguhpun diam-diam di dalam hatinya amat mendongkol, akan tetapi kepala suku bangsa Ouigour yang licin ini tidak memperlihatkan perasaannya.
”Dengarlah kawan-kawan semua.” Kata Oei Sun sambil menghadapi Tiong Kiat, ”didalam perjalananku melakukan penyelidikan, aku mendengar berita yang amat mengejutkan hati. Aku mendengar keterangan para penyelidik rahasia yang kusebar dimana-mana bahwa Gak ciangkun kini telah diangkat oleh Hong siang menjadi Jenderal. Gak-goanswe (Jenderal Gak) kini memimpin barisan besar melakukan penjagaan di tapal batas sebelah barat.”
”Berita seperti itu apa salahnya? Bukankah itu baik sekali.” Tanya Tiong Kiat dengan heran.
”Belum habis Sim ciangkun. Memang kalau hanya sampai di situ saja amat bagus, akan tetapi ternyata hal ini berkembang dengan hebatnya. Kini Gak goanswe secara diam-diam telah mengadakan persekutuan dengan tentara Tartar yang amat besar jumlahnya. Mereka berdua itu kini telah menyusun kekuatan di sebelah barat untuk dipergunakan menyerbu ke kota raja!”
”Sungguh tak berbudi!’ seru Tiong Kiat. ”Sudah diberi pangkat tinggi masih hendak memberontak!”
”Sama sekali bukan tidak berbudi, Sim ciangkun.” Kata Oei Sun. ”Hal itu hanya menunjukkan betapa tinggi cita-cita Gak goanswe. Orang yang bercita-cita tinggi saja yang akan mendapat kemajuan di dunia ini. Akan tetapi, betapapun juga, kita harus menggempur pasukan Gak goanswe itu sebelum merupakan bahaya besar bagi kita.”
”Maksudmu tentu bahaya besar bagi kerajaan, Oei ciangkun.” Tiong Kiat berkata.
”Ah ya, tentu saja bagi kerajaan. Kita harus mendahuluinya memukul karena menurut berita, kini barisannya menjadi amat kuat dan besar sekali jumlahnya, dipecah-pecah menjadi beberapa bagian dan menjaga di tempat-tempat mengelilingi kota raja, merupakan ancaman yang berbahaya sekali.”
”Tentu, kita harus memukulnya ” kata Tiong Kiat mengangguk-angguk. ”Akan tetapi, kau lebih tahu tentang keadaan mereka, maka terserahlah bagaimana hendak diaturnya.”
”Menurut penyelidikan, Gak goanswe telah memasang sepasukan tentara di tapal batas kota raja sebelah utara, jadi tepat di sebelah selatan kita. Mungkin sekali selain untuk mengurung kota raja dalam persiapannya memberontak, pasukan ini diadakan untuk menghalangi barisan kita dari utara apabila hendak membantu kotaraja. Oleh karena itu, aku memberi tugas kepadamu, Sim ciangkun untuk membawa lima ratus orang tentara dan memukul pasukan ini. Huayen khan dan pasukannya boleh membantumu dari belakang.”
”Baik, Oei-ciangkun.” Jawab Tiong Kiat dengan gembira sekali.
Memang semenjak ia menjadi perwira di benteng Oei Sun, pemuda ini banyak sekali terhanyut hatinya. Ia merasa amat berdosa bukan karena mengingat akan semua perbuatannya yang dulu, bukan karena ia telah membunuh beberapa orang dan mengganggu banyak wanita, akan tetapi ia merasa amat berdosa dan berduka apabila ia teringat Suma Eng, gadis yang boleh dibilang tak pernah ia lupakan ini.
Sekarang setelah ia menjadi seorang perwira, ia merasa telah berjasa kepada negara, merasa telah melakukan perbuatan yang amat baik dan bijaksana, perbuatan yang akan menghapus dosanya terhadap Suma Eng itu! Apa lagi sekarang ia akan memimpin pasukan memukul barisan pemberontak dari Jenderal Gak! Alangkah mulianya pekerjaan ini, alangkah besarnya, jauh lebih besar apabila dibandingkan dengan kecilnya dosa yang ia lakukan terhadap Eng Eng!
Maka bersiap-siaplah Tiong Kiat, memilih sepasukan tentara sebanyak lima ratus orang, menentukan komandan-komandan regu dan setelah mendapat nasehat dan siasat dari Oei Sun, berangkatlah Tiong Kiat dengan barisannya menuju ke selatan untuk menyerbu pertahanan barisan Gak goanswe!
Pemuda ini dalam pakaian perwira, menunggangi kuda putih pemberian Ang Hwa. Ia menunggang kuda di depan, tampak gagah sekali dan wajahnya yang tampan itu berseri gembira. Barisannya berbaris rapi, didahului oleh regu berkuda yang bertugas sebagai penyelidik dan pelopor.
Bendera besar dengan huruf OEI untuk menghormat dan menjadi tanda bahwa barisan ini adalah barisan dari benteng di bawah pimpinan Oei Sun, berkibar tinggi di atas punggung kuda, dipegangi oleh seorang perajurit. Bendera-bendera lain yang agak kecil dengan sulaman huruf SIM tanda bahwa barisan ini dalam pergerakannya dipimpin oleh seorang perwira she Sim.
********************
Kurang lebih seratus li di sebelah selatan tempat itu, di lembah Sungai Kim-seng kiang Sungai Bintang Mas yang menjadi anak sungai dari Sungai Sungari yang besar, memang menjadi tempat pertahanan sepasukan tentara kerajaan yang berjumlah tiga ratus orang lebih. Pasukan ini, melakukan penjagaan di tapal batas antara Tiongkok pedalaman dan Mongolia. Memang pasukan ini adalah sebagian dari pada pasukan Jenderal Gak yang mendapat tugas penuh untuk menjaga keamanan kota raja di bagian luar.
Jenderal Gak ini mulai timbul kecurigaan hatinya terhadap Oei Ciangkun yang memimpin barisan di utara, maka ia bersiap-siap untuk menyelidiki dan kalau perlu menggempur dan melucuti senjata pasukan di bawah pimpinan perwira she Oei itu. Maka sebagai penjagaan, ia lalu mengirim pasukan ini ke lembah Sungai Kim seng, untuk menjaga kalau-kalau kecurigaannya itu terbukti sehingga kota raja dapat dilindungi.
Ia tak dapat mengerahkan semua pasukan di tempat ini, karena selain Oei-ciangkun yang diduganya hendak memberontak, terdapat musuh-musuh yang lebih berbahaya lagi, bangsa Tartar yang mulai nampak gejala hendak menyerang ke pedalaman. Tentara Tartar jauh lebih besar dan lebih kuat daripada tentara pimpinan Oei ciangkun maka perlu sekali dijaga seluruh tapal batas di sebelah barat dan utara.
Tiga ratus lebih tentara yang menjaga di tapal batas dan di lembah Sungai Kim-seng ini dipimpin oleh seorang perwira tua bernama Ma Goan. Ma Goan atau perwira Ma ini biarpun sudah berusia hampir lima puluh tahun namun ia masih nampak kuat dan angker. Tubuhnya pendek akan tetapi tegap dan besar, dengan perut yang besar dan bulat, tertutup oleh pakaian perang yang tebal dan indah.
Ma Goan telah menjadi tentara semenjak berusia dua puluh tahun, dan pengalamannya dalam pertempuran selama tiga puluh tahunan inilah yang membuat ia dapat memanjat naik sampai menduduki pangkat perwira dan memimpin tentara sebanyak tiga ratus orang lebih.
Padahal ia berasal dari dusun dan hanya mengerti sedikit mata surat, hampir buta huruf. Akan tetapi memiliki ilmu silat yang tinggi, bahkan oleh pengalamannya yang berpuluh tahun itu ia mengerti juga sedikit hoat sut (ilmu sihir) yang dipelajari dari orang India ketika ia bertugas di tapal batas sebelah barat.
Adapun siasat-siasat perang tak usah disangsikan lagi, karena pengalaman memang Iebih nampak manfaatnya dari pada pelajaran mati, pengalaman adalah pelajaran yang hidup, pelajaran yang otomatis mendarah daging.
Ma Goan terkenal ahli dalam permainan senjata golok gagang panjang yang besar dan berat sekali. Di dalam pertempuran berkuda, senjata macam ini amat praktis dan juga berbahaya sekali, karena selain panjang juga berat dan tajam. Tak terhitung banyaknya perwira dan panglima musuh yang roboh di bawah sambaran golok di tangan Ma Goan yang perkasa.
Selain bintang-bintang yang diterimanya sebagai tanda kegagahan dari kaisar dan panglima-panglimanya, juga Ma Goan sudah menerima tanda kegagahan dari musuh yakni berupa cacad-cacad dan bekas-bekas luka di leher, pundak, dan pipi kanannya. Di bagian-bagian tubuh ini kulitnya telah sobek oleh pedang lawan dan kini menjadi cacad yang bahkan menambahkan keangkerannya.
Ma Goan tidak sempat membuat benteng pertahanan di lembah sungai Kim seng itu hanya menyuruh anak buahnya memasang tenda-tenda di bawah pohon-pohon siong yang besar. Kemudian ia memasang penjaga-penjaga di empat penjuru dan setiap hari melatih barisannya, sebagian pula menebang pohon untuk dibuat perahu-perahu dan tiang bangunan tempat tinggal. Perahu-perahu amat penting bagi mereka, karena hubungan yang paling cepat dan mudah dengan barisan lain adalah melalui sungai ini.
Pada pagi hari itu, Ma Goan yang berada di dalam tendanya, mendapat laporan dari penjaga terdepan bahwa kurang Iebih lima li dari situ sedang mendatangi barisan kerajaan yang berjumlah besar dan pada benderanya terdapat tanda bahwa barisan itu adalah barisan yang datang dari benteng Panglima Oei dan dipimpin oleh perwira Sim.
"Berapa banyak jumlahnya tentara mereka?" tanya Ma Goan dengan sikap masih tenang, sungguhpun di dalam dadanya ia berdebar mendengar laporan ini. Inilah pasukan-pasukan dari Oei Sun yang dikabarkan hendak memberontak itu!
"Menurut perkiraan saya, sedikitnya ada lima ratus orang ciangkun." jawab pelapor itu.
"Hm, minta semua komandan regu untuk datang ke sini. Cepat!”
Pelapor itu cepat berlari keluar dan tak lama kemudian, tujuh orang perwira pembantu telah datang menghadap.
"Pasukan pemberontak telah mulai datang. Kita belum tahu kehendak mereka, maka jangan sembarangan turun tangan. Bagi pasukan kita menjadi tiga bagian. Sebagian aku kupimpin menyambut kedatangan mereka, yang dua bagian bersembunyi di kanan kiri hutan. Kalau pasukan yang kupimpin terjadi perang dengan mereka, baru kedua pasukan di kanan kiri membantu dan memukul dari kedua samping. Kekuatan musuh lebih besar hampir dua kali kekuatan kita. Dengan serangan menggapit dari kanan kiri, tetap belum tentu kita kalah. Kalau sampai terjadi apa-apa dan kalah atau tewas dalam pertempuran sebagian pasukan boleh mundur menggunakan perahu-perahu kita, minta bantuan kepada benteng di lembah Sungai Sungari. Mengerti?"
Semua pembantunya menyatakan mengerti. Maka Ma Goan segera membubarkan mereka untuk melakukan tugas masing-masing. Dia sendiri setelah barisan dibagi tiga, lalu memimpin barisan dari seratus orang ini untuk menuju ke utara memapaki barisan yang berbendera OEI dan SIM itu.
Di luar hutan siong, kedua barisan itu bertemu. Ketika Tiong Kiat melihat pasukan berbendera GAK dan MA dan melihat pakaian tentara itu menunjukkan bahwa mereka adalah tentara kerajaan, diam-diam ia segera memberi perintah agar supaya Huayen-khan dan Ang Hwa menyuruh barisan mereka bersembunyi di belakang. Dia sendiri lalu memberi perintah kepada anak buahnya agar supaya jangan bergerak lebih dulu.
"Tunggu sampai aku bertempur dengan panglima yang memimpin pasukan pemberontak di depan itu. Kalau ia dapat bertahan sampai sepuluh jurus melawanku, barulah barisan boleh maju menyerbu! Kalau sebelum sepuluh jurus panglima itu telah roboh aku akan mencoba agar pasukan di depan itu suka takluk dan memihak kita!"
Ini adalah siasat perang yang ia pelajari dari Oei Sun yang disebut siasat 'membunuh ular tanpa merusak kulitnya'. Memang Oei Sun amat membutuhkan tenaga tentara untuk maksud dan cita-citanya, maka kalau saja pemimpin pasukan musuh dapat dibinasakan sehingga pasukannya menjadi jerih dan kacau sampai dapat menaluk dan menjadi tentara taklukan, hal itu tentu saja amat baiknya!
Tentu saja pendirian Tiong Kiat jauh berlainan dengan kehendak Oei Sun. Bagi Tiong Kiat, kalau sampai tentara Gak goanswe yang dianggapnya memberontak itu sampai takluk tanpa perang dan dapat 'insaf' alangkah baiknya hal itu. Tidak perlu terjadi bunuh-membunuh antara bangsa sendiri!
Tak lama kemudian, kedua barisan itu berhenti kurang lebih seperempat li jauhnya satu kepada yang lain. Tiong Kiat membedal kudanya maju. Sebaliknya Ma Goan sambil menyeret golok gagang panjangnya juga mengaburkan kudanya memapaki perwira pemberontak itu.
"Apakah yang di depan ini seorang perwira dari barisan Gak goanswe, pemberontak hina dina itu?”
Mendengar suara yang berkumandang dan keras itu, tahulah Ma Goan bahwa dia berhadapan dengan seorang ahli silat yang telah memiliki khikang yang tinggi. Akan tetapi ia menjadi amat marah mendengar ucapan itu.
"Perwira bermulut lancang!” ia membalas. "Kau tentulah seorang perwira gadungan (yang tidak diangkat oleh kaisar) dari barisan Oei manusia tak tahu diri itu, bukan? Lekas turun dari kudamu dan menyerah sebelum aku Ma Goan memenggal lehermu dan membasmi tentaramu!”
Tiong Kiat merasa heran dan juga marah sekali. Bagaimanakah perwira yang memimpin barisan pemberontak ini begitu berani memakinya sebagai perwira gadungan dan bahkan memaki-maki nama Oei Sun pula? la tertawa mengejek dan berkata,
"Perwira pendek! Kau mengandalkan apamukah maka bicara begitu sombong? Apakah kau mengandalkan golok pemotong babi di tanganmu itu?"
Ma Goan pikir tak perlu bicara banyak-banyak dengan pemberontak ini, maka dengan cepat ia lalu berseru, "Makanlah golok pemotong babiku ini, babi!"
Dengan amat cepatnya golok di tangannya itu menyambar ke arah dada Tiong Kiat sehingga pemuda itu terkejut juga. Tak diduganya bahwa lawan yang pendek tangannya itu ternyata dapat menggerakkan golok gagang panjang demikian cepatnya. Ia belum sempat mencabut pedangnya dan untuk mengelakkan diri di atas kuda, tak mungkin sama sekali melihat datangnya serangan yang benar-benar amat lihai itu. Maka sambil berseru keras, ia lalu berjumpalitan dari atas kudanya sehingga terhindar dari sabetan golok.
Melihat betapa perwira muda itu dapat melompat dan berjumpalitan dengan ilmu lompat Naga Hitam Menembus Awan dengan gerakan yang amat indah dan cepat, kembali Ma Goan tertegun. Lebih-lebih kagetnya ketika tiba-tiba tubuh pemuda yang sudah turun ke atas tanah itu kini berkelebat ke arahnya dan sinar pedang yang putih berkilau menyambar-nyambar dengan hebatnya.
Ia cepat memutar golok panjangnya akan tetapi tiba-tiba kudanya meringkik keras dan cepat ia melompat turun. Baiknya ia melakukan hal ini, karena kalau tidak, dalam segebrakan itu tadi ia tentu akan terjungkal dari kuda dan binasa di bawah ujung pedang lawannya.
Ternyata bahwa Tiong Kiat telah berhasil membabat dua buah kaki belakang kuda yang ditunggangi oleh Ma Goan itu! Pemuda ini tadi berpikir bahwa melihat gerakan ilmu golok panjang dari perwira pendek itu, agaknya sukar baginya untuk mendapat kemenangan. Selain lawannya amat lihai, juga lawannya lebih pandai bertempur di atas kuda dan senjata lawannya jauh lebih panjang maka ia cepat menyerang kuda itu sehingga kini lawannya terpaksa harus melayaninya di atas tanah!
Adapun Ma Goan dengan amat marah segera memutar golok panjangnya dan menyerang pemuda itu. Tiong Kiat menyambutnya dengan senyuman mengejek, akan tetapi tak lama kemudian senyuman mengejek ini lenyap dari bibir Tiong Kiat ketika ia mendapat kenyataan bahwa kepandaian Ma Goan ini ternyata benar-benar tak boleh dipandang ringan!
Ilmu silat perwira pendek ini hebat sekali dan golok panjang di tangannya merupakan dua macam senjata yang berbahaya. Apabila golok itu dibalikkan, maka gagang golok itu dapat dipergunakan sebagai senjata toya yang ditotokkan dan kemplangannya dapat mendatangkan maut! Juga tenaga dan kegesitan Ma Goan yang sudah tua itu mengagumkan sekali, Tiong Kiat menggigit bibirnya dan memutar pedangnya makin cepat, kini setelah lima belas jurus tak dapat mengalahkan Ma Goan ia mulai mengeluarkan tipu-tipu yang terlihai dari Ang-coa-kiamsut!
Sementara itu, barisannya yang melihat betapa perwira pendek itu ternyata tangguh dan dapat menahan serangan Sim ciangkun sampai lima belas jurus lebih, segera perwira pembantu memberi aba-aba dengan teriakan keras dan panjang-panjang.
"Serbuuuuuuuu!”
Maka majulah lima ratus orang perajurit itu bagaikan gelombang menderu dan dengan pekik sorak riuh rendah dan tangan mengangkat senjata yang berkilauan terkena sinar matahari, kedua barisan bertemu di luar hutan dalam pertempuran yang hebat sekali! Pertemuan dua barisan yang menimbulkan perang hebat itu ditambah lagi dengan sorak sorai dari kedua pasukan yang bersembunyi di kanan kiri, yakni pasukan pendam yang telah diatur semula oleh Ma Goan.
Agak terkejut dan kacau balau pasukan Tiong Kiat ketika tiba-tiba muncul barisan musuh dari kanan kiri ini dan pertempuran dilakukan dalam keadaan kacau. Akan tetapi oleh karena memang pasukan yang dipimpin oleh Tiong Kiat lebih besar jumlahnya, hampir dua kali lebih banyak, mereka dapat melakukan perlawanan kuat sekaIi.
Ma Goan, perwira pendek yang gagah itu, ketika melihat betapa pasukannya tetap saja tidak dapat mendesak musuh yang besar jumlahnya dan kini fihak musuh sudah mulai mendekati pintu benteng dan mulai mengancam pertahanan, menjadi gelisah sekali. Apa lagi karena Tiong Kiat mendesaknya dengan hebat.
Serangan pedang pemuda yang dilawannya itu benar-benar di luar dugaannya. Ia telah mengetahui akan kelihaian Oei Sun dan agaknya ia masih dapat menghadapi Oei Sun. Siapa tahu kepandaian pemuda yang menjadi pembantu Oei ciangkun ini ternyata lebih lihai dari pada perwira pemberontak itu sendiri.
Setelah merasa bahwa dengan ilmu silatnya tidak mungkin dapat mengalahkan lawannya yang lihai itu, Ma Goan lalu memberi aba-aba yang memerintahkan pasukannya mundur dan melarikan diri mempergunakan perahu-perahu yang telah siap di pinggir sungai. Ia sendiri lalu memutar golok panjangnya untuk mencari jalan keluar dari kepungan Tiong Kiat.
Akan tetapi ilmu pedang Ang-coa-kiamsut yang dimainkan oleh Tiong Kiat sudah sempurna. Boleh dibilang semua ilmu kepandaian yang dituliskan di dalam kitab ilmu pedang Kim-Liong-pai itu telah dipelajari semua sehingga dalam hal ilmu pedang, kepandaian Tiong Kiat tidak kalah oleh Lui Thian Sianjin sendiri!
Dalam usaha Ma Goan untuk menerjang keluar dari kurungan sinar pedang yang hebat itu sia-sia belaka bahkan kini pedang di tangan Tiong Kiat makin cepat gerakannya dan hebat sekali serangan-serangannya. Ma Goan tak dapat berdaya lagi dan ketika sebuah tangkisannya meleset, pundak kirinya terbabat ujung pedang Hui-liong kiam di tangan Tiong Kiat sehingga sepotong daging pundaknya berikut baju perangnya terbawa oleh pedang!
Ma Goan berseru keras saking sakitnya akan tetapi ia telah dapat mengumpulkan tenaga batinnya dan dengan sedikit ilmu hoatsut (sihir) yang pernah dipelajarinya, ia berkata dengan suara berpengaruh.
"Orang muda, Iihat pedangmu itu. Bukankah itu telah berubah menjadi seekor ular putih? Lihat baik baik!"
Tiong Kiat yang tidak mengira sama sekali bahwa lawannya mempergunakan ilmu sihir tak dapat mencegah keinginan hatinya untuk memandang ke arah pedangnya dan alangkah kagetnya ketika ia melihat Hui-liong kiam itu benar-benar telah berubah menjadi seekor ular putih! Pedang itu kini merupakan seekor ular yang ia pegang pada ekornya dan dengan gerakan-gerakan yang amat menggelikan, ular itu lalu membalikkan tubuh dan dengan mulut terbuka hendak menyerangnya sendiri!
Tentu saja Tiong Kiat menjadi kaget sekali dan cepat cepat ia melempar ular itu ke atas tanah. Akan tetapi, apa yang dilihatnya ? Ketika ular putih itu dibanting jatuh di atas tanah, terdengar suara nyaring dan ternyata ular putih itu telah berobah lagi menjadi pedang Hui liong kiam yang berkilauan!
Baru tahulah Tiong Kiat bahwa la telah kena tertipu oleh lawannya. Ia cepat menyambar pedangnya Iagi, akan tetapi ketika ia mengangkat muka memandang, ternyata bahwa Ma Goan telah pergi dari situ dan tidak kelihatan bayangannya lagi! la mendongkol sekali dan cepat ia lalu menyerbu dalam gelanggang pertempuran, membabat para perajurit musuh yang mulai melarikan diri, dikejar oleh pasukannya!
Tiong Kiat dan pasukannya mendapat kemenangan besar. Hampir separuh dari pada barisan pemberontak, anak buah Gak goanswe telah dapat ditewaskan dan sebagian lagi melarikan diri, ada yang melalui darat, ada yang menggunakan perahu. Benteng dapat dirampas dan sejumlah besar perbekalan musuh dapat dirampas pula. Dengan membawa kemenangan besar yang pertama kali ini, Tiong Kiat memimpin pasukannya kembali ke Oei-ciangkun.
Oei Ciangkun sendiri bersama Go bi Ngo Koai Tung menyambut pasukan yang menang perang ini. Huayen khan dan Ang Hwa yang juga telah bertempur hebat dan banyak merobohkan perajurit musuh menjadi amat bangga akan tetapi Tiong Kiat hanya tersenyum-senyum saja. Pikirannya penuh dengan pengalamannya ketika bertempur melawan Ma Goan tadi.
Baiknya ia sudah melukai Ma Goan. Kalau lawannya itu belum terluka dan ketika ia melemparkan pedangnya yang berobah menjadi ular tadi, bukankah amat berbahaya baginya kalau lawannya itu menyerangnya? Oei Sun yang mempunyai pandangan tajam dapat melihat kemuraman wajah kawannya, maka ia lalu berkata,
“Saudaraku Sim, mengapa kau yang menang perang dan berhasil baik dalam gerakanmu kali ini, agaknya nampak muram?"
“Oei-ciangkun, biarpun pasukan kita menang akan tetapi aku mendapat kenyataan bahwa segala jerih payahku bertahun-tahun yang lalu, ilmu silat yang kupelajari dengan rajin dan tak mengenal lelah ternyata tidak berdaya sama sekali menghadapi ilmu siluman dari seorang perwira musuh!"
Setelah berkata demikian, Tiong Kiat lalu menceritakan kepada Oei Sun dan Ngo koai tung tentang pertempurannya melawan Ma Goan. Mendengar penuturan ini, Thian lt Tosu tertawa bergelak.
"Ha ha ha Sim ciangkun. Kukira apa menimbulkan kemuraman pada wajahmu, tidak tahunya kau memikirkan sedikit ilmu kepandaian anak kecil itu! Ha ha ha! apa sih sukarnya kepandaian macam itu saja? Anak kecilpun bisa."
Ketika Tiong Kiat memandang kepada Thian It Tosu, tiba tiba tosu itu memandangnya dengan mata terpentang lebar seperti yang dilakukan oleh Ma Goan tadi, kemudian sebelum Tiong Kiat mengerti apa yang dimaksudkan atau dikehendaki oleh tosu ini, orang tertua dari Go-bi Ngo-koai tung itu berkata,
"Sim-ciangkun, sungguh kau gagah sekali pulang dan masuk ruang ini naik seekor harimau!"
Tiong Kiat menjadi makin bingung. Gilakah tosu ini? Akan tetapi tiba-tiba ia merasa betapa bangku yang didudukinya bergerak-gerak dan ketika ia memandang ke bawah, hampir saja ia berteriak karena kagetnya. Yang diduduki sejak tadi itu bukan sebuah bangku biasa, melainkan seekor harimau yang besar!
"Nah, Sim ciangkun, bukankah pedangmu itu telah menjadi seekor ular putih lagi sekarang?”
Tiong Kiat menengok ke arah pedang yang tergantung di pinggangnya, dan alangkah kagetnya melihat bahwa yang tergantung di pinggangnya bukan Hui liong-kiam di dalam sarung pedang, melainkan seekor ular putih! Berubah wajah Tiong Kiat dan ia telah melakukan gerakan cepat sekali melompat turun dari harimau besar itu dan hendak melemparkan pedangnya. Akan tetapi Thian It Tosu menggerakkan tangannya dan berkata,
"Sim ciangkun, sabarlah. Semua itu hanyalah bayangan belaka! Harimau dan ular lenyap, yang kau duduki sebuah bangku biasa dan pedangmu masih Hui-liong-kiam yang ampuh!”
Betul saja, harimau dan ular itu tak nampak lagi dan kini mata Tiong Kiat melihat benda-benda biasa. Ia menjadi heran dan merahlah mukanya.
“Hebat," katanya menarik napas panjang, ”Totiang, kau benar-benar lihai sekali. Bagaimanakah manusia bisa mempelajari ilmu seperti itu?"
“Sim ciangkun, apakah kau ingin mempelajari ilmu sihir seperti itu?"
"Tentu saja, totiang. Akan girang sekali hatiku kalau aku dapat memiliki kepandaian yang aneh itu hingga lain kali bertemu dengan lawan seperti Ma Goan, aku takkan mendapat malu lagi."
“Akan tetapi," tiba-tiba Oei Sun berkata, ”kau mempelajari ilmu ini, berarti kau mempelajari ilmu dari Pek-lian-kauw."
Sambil berkata demikian, Oei Sun memandang tajam sekali, kemudian setelah ia melihat keraguan di wajah Tiong Kiat, ia menyambung. "Akan tetapi aku sendiri pernah mempelajari ilmu itu saudara Tiong Kiat. Kau lihatlah baik-baik bukankah yang kududuki inipun seekor harimau yang gagah dan besar sekali?"
Tiong Kiat memandang dan... betul saja! Oei Sun bukan duduk di atas bangku yang tadi lagi, melainkan di atas seekor harimau yang besar!